Upload
doxuyen
View
254
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MODEL PENGENDALIAN LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNANKOTA BARU BERKELANJUTAN
STUDI KASUS PENGEMBANGAN KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI
SYAMSUL HADIP-062040214
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Model
Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan. Studi Kasus
Pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai adalah karya saya sendiri dengan arahan
komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir disertasi.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Februari 2012
Syamsul HadiP-062040214
ABSTRAK
Syamsul Hadi. 2012. Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota BaruBerkelanjutan Studi Kasus Pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD). Di bawahbimbingan Bambang Pramudya sebagai ketua dan Surjono Hadi Sutjahjo dan Setiahadi sebagaianggota.
Pembangunan kota baru diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan pengembanganwilayah, namun pada kenyataannya seringkali menimbulkan masalah baru, sehingga menjaditidak berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model pengendalian lingkunganpada pembangunan kota baru berkelanjutan, dengan studi kasus di Kota Baru Bumi SerpongDamai. Pada penelitian menganalisis kualitas air dan kualitas udara dan selanjutnyadibandingkan dengan baku mutu, menganalisis keberlanjutan BSD dengan menggunakan MDS,mencari parameter kunci dengan analisa prospektif dan membuat model pengendalianlingkungan dengan model dinamik serta mencari prioritas kebijakannya. Penelitianmemperlihatkan lingkungan perairan di kawasan Kota Baru BSD tercemar limbah organik yangmudah urai (BOD) dan yang sulit urai (COD), sedangkan atmosfirnya tercemar gas beracun CO,serta tercemar oleh SOx, NOx, ozon (O3) dan TSP. Hasil analisis keberlanjutan memperlihatkanbahwa Kota Baru BSD masuk pada kategori kurang berkelanjutan (46,75), hanya dimensiinfrastruktur dan teknologi (52,20), dimensi ekonomi (53,17) dan dimensi hukum dankelembagaan (59,95) yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi ekologi (42,22) dan dimensisosial-budaya (26,49) statusnya tidak berkelanjutan. Hasil analisis prosfektif memperlihatkanbahwa di Kota Baru BSD terdapat 22 faktor pengungkit yang harus diperhatikan agar BSDmenjadi berkelanjutan. Model pengendalian lingkungan yang dibangun agar dalampembangunan kota baru dapat dikendalikan lingkungannya dan berkelanjutan harusmemperhatikan limbah cair, kualitas udara, keberadaan IPAL, keberadaan kawasan bisnis,perumahan dan pertokoan, harus memperhatikan budaya lokal dan penegakan hukum serta harusmemperhatikan efektifitas dan efisiensi sarana jalan dan pengadaan transportasi umum.Strategi kebijakan pengembangan kota baru hendaknya dapat menumbuhkan pembangunanIPAL hingga 7%, kewajiban penggunaan katalisator pada kendaraan bermotor, pembatasan umurkendaraan, peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, memperbaiki jalan rusak hingga 30%,peningkatan pajak kendaraan pribadi, pengendalian pertumbuhan penduduk dan pembangunanpemukiman terpadu sehat. Prioritas kebijakan pengembangan kota baru berkelanjutan adalahmengadakan teknologi produksi bersih, membangun IPAL, jaringan jalan dan transportasi yangefektif dan efisien,berikut kendaraan umumnya, peduli terhadap budaya local, dan membentukkelembagaan.
Kata kunci: kota baru, kualitas, air, udara, IPAL, model, strategi, prioritas, kebijakan
ABSTRACT
Syamsul Hadi. 2012. A Model For Environment Control Of Sustainable New TownDevelopment. (Case Study: New Town Development Of Bumi Serpong Damai. Under thedirection of Bambang Pramudya, Surjono Hadi Sutjahjo and Setiahadi.
Development of new town is expected to solve such problems as migration reduction to largecities, regional economic development, etc., but the reality does not correspond to the objectives.Environment is one of impacts that are not examined carefully when new town was planned anddeveloped. The objective of the study is to formulate a model of environmental control over ofnew town development, in order to achieve its sustainability objective. A case study of theresearch was conducted in a new town Bumi Serpong Damai (BSD) in Banten Province,Indonesia. The study has analyzed the quality of air and water and then comparing both with astandardized environment quality, has analyzed sustainability of BSD using multidimensionalscaling (MDS) tools, has formulated key parameters using Prospective tools, has developed anenvironment control model using system dynamics tools, and then has formulated prioritizedpolicies. The study has revealed that water and land around BSD area is contaminated withorganic waste such as BOD and COD, while the atmosphere contains toxic gas such as CO, SOx,NOx, ozon (O3) and TSP. Using the MDS tools for sustainability analysis, it has been revealedthat BSD city is categorized as less sustainable (46,75), less than 50 points. In both aspects asecology (42,22) and social culture (26,49) BSD city is categorized not sustainable. Only in suchaspects as infrastructure and technology (52,20), economy (53,17) and law and institutions(59,95) are closed to be categorized sustainable. The Prospective tools has identified 22 leveragefactors be considered for BSD city to achieve its sustainability, 5 of which have been identifiedas key parameters, including (1) air pollution, (2) availability of sewerage system facilities, (3)transportation facilities, (4) environment institution, and (5) road infrastructure. The systemdynamics and the forum group discussion have formulated a model of environmental controlover new town development consisting of sub models for environment, social, and economy.Among four alternative scenarios formulated, the realistic one to be implemented is the thirdscenario, consisting of such actions as 5% annual increase on development of sewerage systemfacilities, gas emission control for vehicles, restriction on vehicle age, improvement of roadinfrastructure capacity, 20% increase on upgrading of deteriorated road, extension of roadinfrastructure, population control, and policies on urbanization. Recommended policies toachieve its sustainability include the use of clean production technology, sewerage systemfacilities, road network development, adequate public transportation, admiration towardindigenous local culture, and development of appropriate institutions.
Key words: new town, quality of water and air, sewerage system facilities, model, strategy, andpolicies.
RINGKASAN
Syamsul Hadi. 2012. Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota BaruBerkelanjutan Studi Kasus Pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD). Di bawahbimbingan Bambang Pramudya sebagai ketua dan Surjono Hadi Sutjahjo dan Setiahadi sebagaianggota.
Meningkatnya kepadatan penduduk telah mendorong terjadinya urbanisasi, sehinggaseringkali mengakibatkan terjadinya urban sprawl. Akibat adanya urban sprawl ini seringkalimuncul berbagai permasalahan, diantaranya menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kualitashunian, tidak tertatanya fisik kota, terbatasnya kapasitas penyediaan pelayanan prasarana dansarana dasar, terjadinya kesenjangan, munculnya berbagai masalah sosial, merebaknya masalahkriminalitas, tingginya tingkat pengganguran, dsb. Kondisi tersebut mendorong dibangunnyakota baru di kota satelit, namun juga seringkali tidak terlalu merubah keadaan. Penelitianbertujuan untuk mendapatkan model pengendalian lingkungan pada pembangunan kota baruberkelanjutan. Pada penelitian ini dilakukan analisis kualitas lingkungan, analisis keberlanjutan,analisis prospektif, merancang model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baruberkelanjutan dan merumuskan strategi dan alternative kebijakan kota baru berkelanjutan.
Penelitian dilakukan di Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD) dengan mengambil dataprimer dan data sekunder. Pada penelitian ini dilakukan pengambilan data kualitas udara dankualitas air, selain itu juga melakukan wawancara dengan stakeholder yang diambil secarapurposive. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis. Data kualitas udara dan kualitas airdianalisis secara deskriptif. Pada analisis keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan MDS,sedangkan untuk mendapatkan parameter kunci dilakukan analisis prospektif dan pembuatanmodel dibuat dalam bentuk model dinamik, dan selanjutnya hasil analisis tersebut di atas, dibuatprioritas kebijakannya.
BOD dan COD baik yang berada di perumahan, pertokoan dan industri semuanya sudahberada di bawah ambang batas nilai yang dipersyaratkan, sedangkan parameter lainnya yakniNitrat-NO3-N, Total Fosfat (PO4-P), Kadmium-Cd, Deterjen, Timah Hitam- Pb, Air Raksa (Hg),Arsen-As dan Fenol yang ada dalam perairan sekitar lokasi penelitian semuanya berada di bawahbaku mutu yang ditetapkan. Kondisi atmosfir di kawasan BSD tercemar gas beracun CO, selainitu juga tercemar oleh SOx, NOx, ozon (O3) dan TSP.
Hasil analisis Rap-KOBA di Kota Baru BSD memperlihatkan bahwa BSD termasukdalam status kurang berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan gabungannya sebesar 46,75.Adapun nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 42,22 % dengan status kurangberkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 53,17 % dengan status cukup berkelanjutan, dimensisosial-budaya sebesar 26,49 % dengan status tidak berkelanjutan, dimensi infrastruktur danteknologi sebesar 52,20 % dengan status cukup berkelanjutan, dan dimensi hukum dankelembagaan sebesar 59,95 % dengan status cukup berkelanjutan.
Hasil analisis prospektif mendapatkan parameter kunci (faktor pengungkit ) untukdimensi ekologi adalah ketersediaan air bersih, manajemen banjir/bencana, permasalahantransportasi, pencemaran udara/emisi dan ketersediaan pengolah limbah cair. Pada dimensiekonomi parameter kuncinya adalah keberadaan kawasan bisnis, tingkat pengangguran,
keberadaan kawasan industri dan keberadaan pertokoan kawasan. Pada dimensi Sosial-budayaparameter kuncinya adalah pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal, keragamanbudaya dalam masyarakat dan konflik dengan masyarakat lokal. Pada dimensi infrastruktur danteknologi parameter kuncinya adalah ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbahdomestik cair, ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, ketersediaansarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan ketersediaan sarana dan prasaranakomuter. Pada dimensi hukum dan kelembagaan parameter kuncinya adalah kompetensipengelola kawasan kota baru, egosektoral dalam pengelolaan lingkungan, konsistensi penegakanhukum, tersedianya organisasi pengelola lingkungan, intensitas pelanggaran hukum dansinkronisasi peraturan dengan pusat. Parameter kunci tersebut harus segera diperbaiki, sehinggadapat meningkatkan kapasitasnya yang mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilaiindeks keberlanjutan dan menekan sekecil mungkin parameter yang berpeluang menimbulkandampak negatif atau menurunkan nilai indeks keberlanjutan kawasan Kota Baru BSD.
Alternatif kebijakan yang diambil dilakukan secara bertahap, misalnya tahun 2012dilakukan pembuatan IPAL (3%), penggunaan katalisator, uji emisi gas buang kendaraan secaraperiodik dan konsisten, peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan (menambah panjang danmembuat jalan alternatif dan memperbaiki jalan rusak 10%, serta memantapkan programkeluarga berencana. Pada tahun berikutnya upaya tersebut ditingkatkan kembali misalnyapembuatan IPAL menjadi 5%, penggunaan katalisator diketatkan (pada setiap kendaraan), ujiemisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten, pembatasan umur kendaraanpribadi, kapasitas insfrastrutur jalan ditingkatkan lagi, dengan menambah panjang, membuatjalan alternatif atau memperlebar jalan dan tingkat perbaikan jalan rusak dinaikkan menjadi 20%,KB digalakan dan dibuat kebijakan daerah tentang urbanisasi. Pada tahun berikutnya pembuatanIPAL dinaikan 7%, semua kendaraan harus sudah menggunakan katalisator uji emisi gas buangkendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten, pembatasan umur kendaraan pribadi lebihdiketatkan dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan lebih ditangkatkan, perbaikan jalan rusakbertambah 30%, diadakan kebijakan peningkatan pajak kendaraan pribadi, program KB semakindimantapkan, kebijakan daerah tentang urbanisasi lebih diimplementasikan, dan dibuat kebijakantambahan untuk pembangunan pemukiman terpadu sehat. Namun demikian alternatif skenariokebijakan yang disarankan untuk diimplementasikan adalah alternatif ke-3, yakni Alternatifkebijakan berupa kombinasi dari lingkungan berupa pembuatan instalasi pengolahan air limbah(tingkat pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisator pada tiap kendaraan yang ada di KotaTangerang Selatan serta uji emisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten.Khusus untuk ekonomi dilakukan pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitasinsfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebarjalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikanjalan rusak bertambah 20%. Aspek sosialnya berupa pengendalian pertumbuhan pendudukdengan pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan daerahtentang urbanisasi.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk
apapun tanpa izin IPB
MODEL PENGENDALIAN LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNANKOTA BARU BERKELANJUTAN
STUDI KASUS PENGEMBANGAN KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI
SYAMSUL HADIP-062040214
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Penguji luar komisi
Ujian Tertutup
Ujian Terbuka
1. Prof. Dr. Ir. Asep Sape’i2. Dr. Ir. Widiatmaka
1. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto2. Dr. Ir. Hazaddin T. Sitepu
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas semua berkat yang telah diberikan kepada
penulis, sehingga penulisan disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng. sebagai ketua Komisi
Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS., dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS. sebagai
anggota Komisi Pembimbing, yang telah berkenan membimbing, mengarahkan, serta
memberikan masukan, serta memberikan dorongan moril mulai dari perencanaan, pelaksanaan
penelitian hingga selesainya disertasi ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
pimpinan dan staf pengembang Kota Baru Bumi Serpong Damai, Pemerintah Kota Tangerang
Selatan, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Banten atas bantua.n informasi dan data yang telah
diberikan dalam pelaksanaan penelitian. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada para
responden telah banyak memberikan masukan selama penulis melakukan penelitian di lapangan.
Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. M. Yanuar dan Dr. Etty Riani yang banyak
memberikan masukan-masukan yang berharga saat ujian prakualifikasi; Dr Widiatmaka dan Prof
Dr Asep Syafei yang banyak memberikan masukan-masukan yang berharga pada ujian tertutup;
Dr. Hazaddin TS dan Dr. Yanuar yang banyak memberikan masukan-masukan yang berharga
pada ujian terbuka serta Dr. Etty Riani yang walaupun tidak menjadi penguji tapi telah berkenan
mengoreksi draft disertasi. Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua PS-PSL juga
dihaturkan terimakasih yang tidak terhingga, karena penulis telah diijinkan kuliah di Program S-
3 PSL IPB. Kepada teman-teman S3 PSL-IPB angkatan IV dan teman-teman di Kantor
Kementerian Pekerjaan Umum yang telah banyak membantu dan menyumbangkan berbagai
pemikiran juga dihaturkan terima kasih yang tidak terhingga. Kepada isteriku Renita Zein serta
anak-anakku Farrel Hadi dan Sindu Hadi yang dengan sabar selalu memberikan dorongan dan
semangat, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
dalam penyusunan disertasi ini juga diucapkan terimakasih.
Akhirnya, “tiada gading yang tak retak “, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya
membangun, sangat diharapkan. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat.
Jakarta, Februari 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Tulungagung, Jawa Timur, pada tanggal 28 September 1955, sebagai
anak pertama dari lima bersaudara, anak dari pasangan bapak Atfali dan ibu Kunasi. Penulis
telah menikah dengan Renita Zein pada tahun 1988, dan dikaruniai dua orang putra yaitu Farrel
Hadi dan Sindu Hadi.
Selesai dari Sekolah Menengah Atas di Tulungagung, penulis kemudian menempuh
pendidikan Sarjana strata satu yang ditempuh di Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil
dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung dan lulus pada tahun 1983. Gelar Master of
Regional Planning diperoleh penulis pada tahun 1994 setelah menyelesaikan pendidikan
pascasarjana pada Department of City and Regional Planning, Cornell University, di New York,
United States of America. Pada tahun 2004 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program
Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mulai bekerja di Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum
pada tahun 1985. Selama bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum, penulis telah mendapat
kesempatan mengikuti berbagai jenjang pendidikan formal maupun pendidikan kedinasan,
didalam negeri maupun di luar negeri, termasuk mengikuti berbagai kegiatan seminar dan
workshop. Bidang keahlian yang penulis pelajari selama bekerja di Kementerian Pekerjaan
Umum adalah bidang perencanaan kota dan regional, pengembangan ekonomi local, arsitektur,
pengembangan kawasan perdesaan, peremajaan kota dan revitalisasi kawasan kota, penanganan
kawasan kumuh perkotaan. Sebagai pegawai pemerintah, penulis banyak belajar dalam
penyiapan peraturan dan perundangan, standar dan pedoman, serta pendalaman fungsi-fungsi
pemerintah dalam pelaksanaan bidang tersebut di atas.
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. viDAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… vii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 11.1 Latar Belakang..................................................................... 11.2 Perumusan Masalah………………………………………… 51.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………................... 71.4 Kerangka Pemikiran……………………………………… 81.5 Kebaruan Penelitian............................................................ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………... 112.1 Permukiman……………...................................................... 112.2 Kota Baru…………………………………………………… 12
2.2.1 Beberapa Konsep dan Jenis Kota Baru…………… 142.2.2 Konsep Kota Baru Berkelanjutan………………… 16
2.3 Kebijakan Pengembangan Perkotaan……………………..... 172.4 Perkembangan Penduduk Perkotaan……………………….. 182.5 Kebijakan…………………………………………………… 222.6 Analisis dan Proses Kebijakan……………………………... 242.7 Pelestarian dan Degradasi Lingkungan …...……………….. 272.8 Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang………….. 282.9 Pencemaran………………………………………………… 302.10 Pembangunan Berkelanjutan……………………………….. 332.11 Model Dinamik…………...……………………………....... 352.12 Rapid Appraisal Analysis …..……………………………... 372.13 Analisis Prospektif……… …..……………………………... 39
BAB III METODE PENELITIAN………………………………………… 413.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………... 413.2 Rancangan Penelitian………………………………………. 413.3 Teknik pengumpulan Data…………………………………. 413.4 Metode Pengambilan Sampel………………………………. 413.5 Teknik Analisis Data……………………………………….. 42
a. Analisis Keberlanjutan………………………………….. 42b. Analisis Prospektif……………………………………… 45
3.6 Perancangan Model Pengendalian Lingkungan dalamPembangunan Kota Baru Berkelanjutan……………………. 49
3.7 Pemodelan Sistem…………………………………………. 50a. Analisis Kebutuhan…………………………………….. 50b. Formulasi Masalah……………………………………... 52c. Identifikasi Sistem……………………………………… 52d. Pembuatan Model.……………………………………… 53e. Simulasi Model…...…………………………………….. 53f. Verifikasi dan Validasi Model…...…………………….. 53
v
BAB IV KONDISI UMUM ……...………………………………………… 554.1 Master Plan BSD ………….. ……………………………... 564.2 Potensi Ekonomi……………………………………………. 594.3 Permukiman ………………………………………………... 604.4 Sosial Budaya ……………………………………………… 62
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………… 635.1 Kualitas Lingkingan BSD………………………………… 635.2. Analisis Keberlanjutan……………………………………… 65
5.2.1. Dimensi Ekologi ………………….………................ 665.2.2. Dimensi Ekonomi…………………………………… 705.2.3. Dimensi Sosial dan Budaya……………………….… 745.2.4. Dimensi Infrastruktur dan Teknologi……………..… 785.2.5. Dimensi Hukum dan Kelembagaan…………………. 845.2.6. Multidimensi………………………………………… 875.2.7. Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan ……………...… 93
5.3. Model Pengelolaan Lingkungan Kota Baru BSD…….……. 1055.3.1. Submodel Lingkungan……………………….…….… 1065.3.2. Submodel Ekonomi……………………………..…… 1185.3.3. Submodel Sosial………………………………...…… 1275.3.4. Validitas Model ……………………………...……… 1325.3.5. Skenario……………………………………………… 139
5.4. Prioritas Kebijakan Pengembangan Kota Baru BSD ……… 155
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………… 159
DAFTAR PUSTAKA…..................................................................................... 161
LAMPIRAN….................................................................................................... 169
vi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Konsep kota baru ................................................................................. 152. Perubahan penggunaan lahan di Wilayah Jabodetabek tahun 1992-
2001...................................................................................................... 213. Beberapa kawasan permukiman skala besar (>500 ha) di Wilayah
Jabotabekjur ......................................................................................... 214. Kualitas air Sungai Ciliwung ............................................................... 225. Jenis informasi pada setiap jenis kebijakan ......................................... 266. Jenis dan sumber data yang diperlukan pada penelitian ...................... 437. Rincian jumlah responden penelitian................................................... 448. Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam sistem pengendalian
kerusakan lingkungan yang berkelanjutan........................................... 489. Rencana penggunaan lahan dalam pembangunan KB – BSD ............. 5810. Kualitas udara di BSD ......................................................................... 6411. Kualitas air di BSD .............................................................................. 6412. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan
analisis RAP-KOBA ............................................................................ 9113. Hasil analisis RAP-KOBA untuk nilai stress dan koefisien
determinan (R2) .................................................................................... 9114. Hasil analisis Monte Carlo pada selang kepercayaan 95%................. 9215. Faktor pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota
Baru BSD ............................................................................................. 9416. Validasi submodel lingkungan, beban pencemaran pada air ............... 13617. Validasi submodel lingkungan, pencemaran pada udara ..................... 13618. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari angkutan umum dan
telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa ................ 13719. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari bank sewa dan ekonomi
lain........................................................................................................ 13720. Submodel sosial ................................................................................... 138
vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kerangka permasalahan penelitian .................................................... 72. Kerangka pemikiran penelitian.......................................................... 103. Perkembangan penduduk perkotaan .................................................. 194. Variasi analisis kebijakan (Parsons, 2005) ........................................ 245. Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn,
1998) .................................................................................................. 286. Dimensi pembangunan berkelanjutan (Khanna et al., 1999) ............ 357. Tahapan penelitian............................................................................. 448. Proses aplikasi MDS.......................................................................... 469. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam
sistem ................................................................................................. 4810. Model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota
baru berkelanjutan ............................................................................ 5011. Diagram INPUT-OUTPUT model pengendalian lingkungan
dalam pembangunan kota baru berkelanjutan ................................... 5412. Lokasi BSD sebagai hinterland Provinsi DKI Jakarta....................... 5513. Master plan BSD................................................................................ 5714. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi Kota Baru BSD..................... 6615. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan
dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS) .................. 6716. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Kota Baru BSD................... 7117. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang
dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square(RMS) ................................................................................................ 72
18. Indeks keberlanjutan dimensi sosial dan budaya Kota BaruBSD ................................................................................................... 75
19. Peran masing-masing atribut dimensi sosial dan budaya yangdinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square(RMS) ................................................................................................ 76
20. Indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi KotaBaru BSD........................................................................................... 79
21. Peran masing-masing atribut dimensi infrastruktur danteknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai rootmean square (RMS)........................................................................... 80
22. Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan KotaBaru BSD........................................................................................... 85
23. Peran masing-masing atribut dimensi hukum dan kelembagaanyang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root meansquare (RMS). ................................................................................... 86
24. Indeks keberlanjutan multidimensi permukiman Kota BaruBSD ................................................................................................... 89
25. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan KotaBaru BSD........................................................................................... 90
26. Pemetaan faktor pengungkit pada pengelolaan lingkungankawasan Kota Baru BSD ................................................................... 103
viii
27. Diagram lingkar sebab-akibat pengendalian lingkungan dalampembangunan kota baru berkelanjutan .............................................. 106
28. Diagram stockflow model pengendalian lingkungan dalampembangunan kota baru berkelanjutan .............................................. 107
29. Diagram sebab-akibat submodel lingkungan dalampembangunan kota baru berkelanjutan .............................................. 108
30. Diagram stockflow submodel lingkungan dalam pembangunankota baru berkelanjutan...................................................................... 109
31. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran(ton/hari) parameter BOD, COD, NO3 dan PO4 ................................ 110
32. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran(ton/hari) parameter BOD.................................................................. 110
33. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran(ton/hari) parameter COD.................................................................. 112
34. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran(ton/hari) parameter NO3 .................................................................. 113
35. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran(ton/hari) parameter PO4.................................................................... 114
36. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udaraambien (µg/Nm3) parameter NOx, COx dan SOx ............................... 115
37. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan kualitas udaraambien (µg/Nm3) parameter NOx ..................................................... 115
38. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan kualitas udaraambien (µg/Nm3) parameter COx ...................................................... 116
39. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan kualitas udaraambien (µg/Nm3) parameter SOx....................................................... 117
40. Diagram sebab-akibat submodel ekonomi dalam pembangunankota baru berkelanjutan...................................................................... 118
41. Diagram stockflow submodel ekonomi dalam pembangunankota baru berkelanjutan...................................................................... 119
42. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB (Jutaanrupiah)................................................................................................ 120
43. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB dari kegiatantransportasi dan komunikasi (Jutaan rupiah) ..................................... 121
44. Simulasi sub-model ekonomi berdasarkan PDRB perdaganganhotel dan restoran (Jutaan rupiah)...................................................... 121
45. Simulasi sub-model ekonomi berdasarkan PDRB jasa-jasa(Jutaan rupiah) ................................................................................... 122
46. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB bank,persewaan dan jasa perusahaan (Jutaan rupiah) ................................ 122
47. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB sektorekonomi lain (jutaan rupiah).............................................................. 123
48. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur, totalpanjang jalan (km) ............................................................................. 124
49. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur(persentase kerusakan jalan) .............................................................. 126
ix
50. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan persentase tambahanbiaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibatkerusakan jalan .................................................................................. 126
51. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan jumlah kendaraanroda dua dan roda empat.................................................................... 127
52. Diagram sebab-akibat submodel sosial dalam pembangunankota baru berkelanjutan...................................................................... 128
53. Diagram stockflow submodel sosial dalam pembangunan kotabaru berkelanjutan ............................................................................. 128
54. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk danpenduduk usia kerja (15-65), jumlah rumah serta pendudukcommuter ........................................................................................... 130
55. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk ................. 13056. Simulasi submodel sosial berdasarkan penduduk usia kerja
(15-65) ............................................................................................... 13157. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah rumah....................... 13158. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk yang
commuter ........................................................................................... 13259. Beban pencemaran COD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4................ 14160. Beban pencemaran BOD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4................ 14261. Beban pencemaran NO3 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4 ................. 14262. Beban pencemaran PO4 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4.................. 14363. Emisi COx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 ...................................... 14464. Emisi NOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 ...................................... 14465. Emisi SOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 ....................................... 14566. Sub model ekonomi dari kegiatan pengangkutan dan
komunikasi skenario 1, 2, 3 dan 4 ..................................................... 14667. Sub model ekonomi dari kegiatan perdagangan hotel dan
restoran skenario 1, 2, 3 dan 4 ........................................................... 14668. Submodel ekonomi dari kegiatan jasa skenario 1, 2, 3 dan 4........... 14769. Submodel ekonomi dari kegiatan bank, persewaan dan jasa
perusahaan skenario 1, 2, 3 dan 4.................................................... 14770. Submodel ekonomi dari kegiatan ekonomi lain skenario 1, 2, 3
dan 4................................................................................................... 14871. Infrastruktur jalan skenario 1, 2, 3 dan 4 .......................................... 14872. Infrastruktur kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4......................... 14973. Persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh
pekerja akibat kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4 ....................... 14974. Jumlah kendaraan roda dua, skenario 1, 2, 3 dan 4 ........................... 15075. Jumlah kendaraan roda empat, skenario 1, 2, 3 dan 4 ....................... 15076. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk,
skenario 1, 2, 3 dan 4 ......................................................................... 15177. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah rumah, skenario
1, 2, 3 dan 4........................................................................................ 15278. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk
komuter, skenario 1, 2, 3 dan 4.......................................................... 15210. Grafik fluktuasi debit di depan satu rumah .....................................................311. Grafikfluktuasi pengukuran debit outlet .........................................................3
x
12
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Parameter kualitas air yang dianalisa, bakumutu yang ditetapkandan metoda yang digunakan................................................................. 171
2 Formula matematika (stockflow diagram) ........................................... 1723 Hasil simulasi model pengendalian lingkungan dalam
pembangunan kota baru berkelanjutan ................................................ 1764 Skenario model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota
baru berkelanjutan................................................................................ 1795 Hasil simulasi dari setiap skenario model pengendalian lingkungan
dalam pembangunan kota baru berkelanjutan.................................... 181
xi
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan penduduk merupakan fenomena yang menjadi potensi sekaligus
permasalahan dalam pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut terkait dengan
kebutuhan ruang untuk penduduk yang terus menerus bertambah setiap tahunnya
(George, 2006). Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran terutama bagi pertumbuhan
wilayah dan kota. Kota dengan kepadatan tinggi akan membawa banyak masalah
terutama berkaitan dengan permasalahan keberlanjutan kawasan perkotaan (Ng, 2010).
Hal yang sama juga terjadi pada kota-kota yang sudah mencapai titik jenuh, perlu
adanya sebuah solusi yang relevan sehingga permasalahan penduduk tidak semakin
meluas ke sektor lainnya.
Hal lain yang akan terjadi dari tingginya tingkat hunian akibat pertumbuhan
penduduk di wilayah kota adalah tumbuhnya wilayah terbangun secara sporadis (urban
sprawl) di pinggiran kota dan di tempat lain, sehingga pertumbuhan kota menjadi tak
terkendali (primacy) dan tidak efisien (Soule, 2006; Squires, 2002; Bruegmann, 2006).
Tingginya tingkat hunian di wilayah perkotaan juga bukan hanya menyebabkan
terjadinya ketidak-seimbangan pertumbuhan kota-desa dan kota besar-kota kecil, namun
juga dapat menimbulkan ketimpangan kawasan, yang berakibat pada terjadinya
polarisasi ekonomi. Terjadinya ketimpangan kawasan juga mengakibatkan terjadinya
perubahan fisik wilayah perkotaan yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya
kesenjangan yang cukup tinggi1.
Salah satu bentuk pembangunan kawasan perkotaan yang diperkirakan akan
merefleksikan visi pengembangan perkotaan adalah pembangunan dan pengembangan
kota baru. Hal ini sesuai dengan definisi yang dibuat oleh Golany (1976) yang
mengatakan bahwa kota baru adalah kota yang sama sekali baru, direncanakan dan
dikembangkan dan dibangun pada suatu wilayah baru yang di dalamnya terkandung
unsur-unsur tempat tinggal yang lengkap dengan berbagai prasarana dan sarana
1Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.
494/PRT/M/2005 telah menetapkan Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNPK) yang salahsatu kebijakannya adalah memantapkan peran dan fungsi kota dalam pembangunan nasional. Salah satu strategi yangdilakukan adalah menyiapkan dan mengembangkan panduan bagi daerah untuk melakukan pembangunan perkotaanyang berkelanjutan (sustainable cities).
1
2
pelayanannya, tempat berkarya, tempat rekreasi, serta prasarana penggerakan dan sarana
perhubungan.
Konsep kota baru dirancang untuk dapat menunjang aktivitas pada kota yang
menjadi pusat kegiatan dengan tujuan utama mengatasi masalah kependudukan
(Simmonds dan Hack, 2000). Beberapa kota baru yang dapat diambil contoh dari best
practice negara-negara yang sedang menjalankan konsep yang sama yaitu Kota Baru
Putra Jaya dan Cyberjaya di Malaysia yang dikonsep untuk memecah konsentrasi
permukiman di Kuala Lumpur yang sudah terlalu padat dan Cyberjaya yang dikonsep
khusus sebagai kota baru yang fokus utamanya diperuntukkan sebagai kota industri.
Kota baru telah dikembangkan dan dibangun di beberapa kabupaten/kota yang ada
di Indonesia, diantaranya di Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan
sebagainya. Dalam pembangunan kota baru, idealnya termasuk pada kategori sebagai
berikut, yakni (i) kota yang lengkap, yang ditentukan, direncanakan dan dibangun di
suatu wilayah yang belum terdapat konsentrasi penduduk, (ii) kota yang dibangun
lengkap dalam rangka meningkatkan kemampuan dan fungsi permukiman atau kota
kecil yang telah ada di sekitar kota besar utama untuk membantu pengembangan dan
mengurangi kota induk, (iii) kota yang mandiri, mampu memenuhi pelayanan
kebutuhan serta kegiatan usahanya sendiri atau sebagian besar penduduknya (self
contained new town), (iv) lingkungan permukiman skala besar untuk mengatasi
kekurangan perumahan di suatu kota besar secara fungsional umumnya masih
bergantung pada kota induknya (dependent town), sehingga dapat disamakan dengan
kota satelit dari kota utama/kota inti.
Pada kenyataannya, kota baru yang ada di Indonesia tidak sepenuhnya mengikuti
kategori tersebut di atas. Bahkan bukan hanya itu, pada pembangunan kota baru juga
kerap terjadi penyimpangan mulai dari tahap perencanaan, tahap implementasi, dan
kebijakan pengembangannya. Selain itu juga seringkali terjadi ketidak-sesuaian pada
aspek regulasi, misalnya terkait dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah)
kabupaten/kota maupun RTRW provinsi beserta rencana rincinya. Dalam prakteknya,
pembangunan kota baru di suatu wilayah kabupaten/kota induk sangat ditentukan oleh
perusahaan pengembang yang memperoleh ijin prinsip untuk pembebasan tanah.
Lokasi kota baru yang akan dikembangkan tergantung kepada lokasi tanah yang
3
berhasil dibebaskan pengembang, yang tidak harus sama dengan rencana lokasi semula
yang tercantum dalam dokumen ijin prinsip.
Hal lain yang juga sering terjadi adalah masih minimnya peran pemerintah pusat
serta belum diimplementasikannya kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Pada
prakteknya, pemerintah pusat tidak terlibat dalam proses pembangunan kota baru di
Indonesia. Penentuan lokasi suatu rencana kota baru, misalnya, selayaknya
mempertimbangkan lokasi relatif dari kota-kota yang sudah ada, karena kota-kota
tersebut membentuk suatu jaringan kota-kota dalam suatu sistem yang mendukung
jaringan kegiatan sosial ekonomi, distribusi barang dan jasa, serta kegiatan sosial
budaya penduduk. Sebagai suatu sistem kota, dan mencakup beberapa ukuran kota
dengan fungsi masing-masing yang saling tergantung, keberadaan kota-kota tersebut
terletak pada suatu wilayah yang cukup luas, yang melebihi batas-batas wilayah
provinsi untuk ukuran di Indonesia atau bahkan antar pulau. Dengan demikian,
minimnya keterlibatan pemerintah pusat dalam proses pengembangan kota-kota baru di
Indonesia, akan dibayar mahal oleh masyarakat di kawasan kota baru maupun kawasan
di sekitarnya. Permasalahan lingkungan, misalnya berupa bencana banjir yang
frekuensinya makin sering, pencemaran udara dan pencemaran air, penurunan muka air
tanah dan intrusi air laut, adalah beberapa permasalahan lingkungan yang akan dihadapi.
Permasalahannya adalah bahwa bencana lingkungan tersebut akan terjadi dalam suatu
kurun waktu yang cukup panjang, yang memungkinkan para pengambil keputusan tidak
segera menyadarinya.
Model-model kota baru yang ada di Indonesia, diantaranya terdapat di Batam
(Batam Centre), Jakarta (Bumi Serpong Damai), dan Semarang (Bukit Semarang Baru).
Dari berbagai kota baru yang sudah terbangun dan menurut pengamatan telah
dikembangkan dengan relatif baik dan menarik untuk dikaji adalah kota baru Bumi
Serpong Damai (BSD) yang berlokasi di Provinsi Banten.
BSD terletak sekitar 30 km (18,6 mil) ke arah barat daya Jakarta dan telah
diresmikan pada 16 Januari 1989. Pembangunan BSD belum seluruhnya selesai, dari
luas kawasan yang direncanakan 6.000 Ha, baru 25%-nya yang telah dibangun untuk
perumahan, perdagangan, fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum). Dari
600.000 jiwa orang yang direncanakan bertempat tinggal di BSD, saat ini baru dihuni
oleh 80.000 jiwa. Dari rencana pembangunan rumah sebanyak 140.000 unit, hingga
4
tahun 2004 baru sebanyak 14.338 unit rumah dengan berbagai tipe yang telah dibangun.
Pembangunan Kota Baru BSD ini direncanakan akan selesai pada tahun 2020 dari target
semula tahun 2014 (Arifin dan Dillon, 2005).
Pembangunan kota baru pada umumnya dan Kota Baru BSD pada khususnya,
mempunyai tujuan utama untuk membangun ekonomi nasional melalui pengembangan
ekonomi lokal. Pembangunan ini juga telah memberi kontribusi dari sisi pertumbuhan
ekonomi nasional dan pertumbuhan penduduk. Namun dilain pihak, aspek lingkungan
(ekologi) belum mendapat perhatian yang lebih serius. Hal ini terlihat dari menurunnya
daya dukung lingkungan yang terjadi di wilayah perkotaan, terjadinya musibah banjir
dengan frekuensi yang lebih sering, terjadinya konflik sosial baik secara vertikal
maupun horizontal, dan permasalahan-permasalahan lainnya. Untuk itu maka
pembangunan kota baru di masa yang akan datang, tidak boleh hanya memperhatikan
aspek ekonomi, namun juga harus memperhatikan aspek ekologi dan aspek sosial-
budaya, sehingga kota baru yang dibangun akan menjadi kota baru yang berkelanjutan.
Dalam rangka menciptakan kota baru yang berkelanjutan, sebenarnya pemerintah
sudah membuat komitmen terhadap kesepakatan internasional Millenium Development
Goals (MDG) 2015, Habitat, serta Protocol Kyoto. Namun demikian, implementasi
kebijakan tersebut sangat sulit dilakukan. Selain itu juga disinyalir ada indikasi salah
memaknai dalam mengartikan lingkungan pada pembangunan perkotaan yang
berkelanjutan, mengingat lingkungan lebih diartikan dalam arti sempit. Oleh karena itu,
maka pembangunan berkelanjutan hingga saat ini masih merupakan slogan yang sudah
dikenal namun maknanya masih belum dimengerti secara baik dan benar. Kondisi yang
sama juga terjadi pada pembangunan dan pengembangan kota-kota baru yang justru
tidak fokus pada permasalahan yang sedang dihadapi, yaitu permasalahan
kependudukan dan keterbatasan lahan untuk permukiman. Kota-kota baru yang sedang
berkembang ini justru malah menimbulkan permasalahan-permasalahan baru, terutama
terkait dengan masalah lingkungan, masalah banjir, permasalahan penyediaan
infrastruktur, pencemaran air dan udara, dsb. Namun yang paling mengkhawatirkan
dari pembangunan kota baru adalah timbulnya pencemaran air dan udara.
Ada berbagai kemungkinan sulitnya mengimplementasikan kebijakan yang ada
dan sulitnya mencegah terjadinya pencemaran air dan udara akibat dari pembangunan
kota baru, diantaranya adalah kebijakan tersebut dibuat dengan tanpa melihat kondisi
5
eksisting di lapangan, dan dibuat dengan tanpa melibatkan masyarakat dan stakeholders
yang berkepentingan, serta kebijakan yang dibuat tidak bersifat terpadu (lintas sektoral)
dan belum bersifat holistik. Atas dasar itu, maka dalam rangka menciptakan kota baru
yang ramah lingkungan dan berkelanjutan serta dalam rangka mencegah terjadinya
pencemaran air dan udara serta kerusakan lingkungan akibat dibangunnya kota baru,
maka perlu dicari alternatif kebijakan yang paling ideal untuk kota baru dan parameter
kunci apa yang ada pada pengelolaan kota baru. Perlu dirumuskan model pengendalian
lingkungan dalam pembangunan kota baru yang berkelanjutan, sehingga pembangunan
kota baru akan bermanfaat dari aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, dengan
melibatkan pendapat dan keinginan masyarakat serta pendapat dan keinginan para
stakeholders (lintas departemen terkait) sehingga lebih mudah diimplementasikan.
1.2. Perumusan Masalah
Menurut Golany (1976), yang dimaksud dengan kota baru adalah suatu kota yang
direncanakan, didirikan dan kemudian dikembangkan secara lengkap di atas suatu
wilayah yang sama sekali baru setelah ada kota atau kota-kota lainnya yang telah
tumbuh dan berkembang terlebih dahulu. Idealnya, kota baru merupakan permukiman
yang dibangun di atas lahan dalam skala besar, sehingga memungkinkan untuk
menunjang kebutuhan berbagai jenis dan harga tempat tinggal serta kegiatan kerja bagi
masyarakat di dalam lingkungan kota itu sendiri. Salah satu contoh kota baru yang
hingga saat ini diharapkan akan mendekati definisi tersebut di atas adalah Kota Baru
Bumi Serpong Damai (BSD).
Permasalahan dari pembangunan kota-kota baru adalah relatif belum adanya
konsep yang jelas dan terintegrasi antara kebutuhan perumahan, pengaturan aktivitas
dan fungsi kawasan, serta keseimbangan alam dan adanya kerusakan lingkungan dan
pencemaran akibat terbangunnya kota baru. Sesuai prinsip kota berkelanjutan yang
dikemukakan Fauzi (2004), bahwa keberlanjutan memuat tiga hal yang harus seimbang
yaitu antara ekonomi, lingkungan, dan sosial. Begitu`pula menurut Munasinghe (1993),
pembangunan kota berkelanjutan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi,
tujuan ekologi dan tujuan sosial. Tujuan ekonomi terkait dengan masalah efisiensi dan
pertumbuhan. Tujuan ekologi terkait dengan masalah konservasi sumberdaya alam.
Tujuan sosial terkait dengan masalah pengurangan kemiskinan dan pemerataan. Dengan
6
demikian, tujuan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya
harmonisasi antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan tujuan sosial. Dalam hal ini ada
indikasi bahwa terdapat sebuah benang merah yang relatif masih terputus karena
pembangunan kota-kota baru justru melanggar beberapa hal yang terkait dengan
keseimbangan alam dan lingkungan serta mengakibatkan terjadinya pencemaran,
adanya ketidak jelasan fungsi kawasan yang ada pada kota baru tersebut serta orientasi
yang masih lebih menekankan pada profit, dan masih belum menekankan pada prinsip
keberlanjutan kota baru tersebut.
Sesuai dengan tujuan pembangunan ideal, maka pembangunan kota baru mandiri,
diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan pengembangan wilayah, mampu
menampung kelebihan penduduk, menahan arus migrasi yang mengarah ke Jakarta, dan
diharapkan mampu meningkatkan taraf ekonomi kawasan. Namun demikian sejalan
dengan pembangunan kota baru mandiri ini seperti yang terjadi di Kota Baru BSD,
muncul berbagai permasalahan, diantaranya muncul berbagai dampak negatif terhadap
lingkungan yang akan merugikan, baik ditinjau dari skala lokal, regional maupun skala
nasional. Selain itu juga muncul kesenjangan sosial antara penghuni BSD dan
masyarakat sekitarnya, muncul berbagai konflik baik konflik horizontal maupun konflik
yang vertikal, serta muncul berbagai permasalahan lainnya seperti adanya bencana
banjir di lokasi sekitar, terjadi pencemaran air dan udara serta berbagai kerusakan
lingkungan lainnya. Untuk lebih jelasnya kerangka permasalahan penelitian tersebut
disajikan pada Gambar 1. Dengan demikian, berdasarkan informasi dan uraian
sebelumnya, maka muncul pertanyaan penelitian pada pembangunan kota baru mandiri
antara lain adalah:
1. Bagaimana kondisi lingkungan di kawasan Kota Baru BSD dan sekitarnya
berdasarkan kondisi (kualitas) air dan udara di kota baru?
2. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD?
3. Faktor apa yang perlu diperhatikan dalam pengendalian lingkungan di Kota Baru
BSD secara berkelanjutan?
4. Bagaimana model pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru BSD
yang berkelanjutan?
5. Apa strategi kebijakan kota baru yang berkelanjutan?
7
Gambar 1. Kerangka permasalahan penelitian
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model pengendalian lingkungan
pada pembangunan kota baru berkelanjutan, sehingga dari sini akan dapat ditemukan
benang merah antara kebutuhan lahan permukiman, pengaturan aktivitas dan fungsi
kawasan, serta keseimbangan lingkungan dan alam. Dalam rangka mencapai tujuan
tersebut secara spesifik, maka tujuan khusus penelitian ini mencakup:
1. Mengkaji kualitas lingkungan di kawasan kota baru dan sekitarnya dengan
menganalisis kualitas lingkungan di kawasan Kota Baru BSD dan sekitarnya
2. Melakukan analisis terhadap status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di
Kota Baru BSD
3. Melakukan analisis terhadap faktor yang perlu diperhatikan dalam pengendalian
lingkungan di Kota Baru BSD agar berkelanjutan
4. Merancang model pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru
BSD berkelanjutan
5. Merumuskan prioritas kebijakan Kota Baru BSD berkelanjutan
Ketidakjelasan KonsepKota Baru Secara Aktifitasdengan Fungsi Kawasan
Ketidaksinkronan KebijakanRencana Pembangunan
Kota Baru dan Rencana TataRuang Wilayah dan Kota
Kota Baru MasihBerorientasi Profit BelumMemikirkan Keberlanjutan
Lingkungan dan Alam
Kerusakan lingkungandan kerentanan
terhadap bencanabanjir dan kekeringan
Pencemaran air danudara
Terganggunya aktivitasekonomi masyarakat
Kota baru yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungandan sumber daya alam (keberlanjutan dari sisi ekologi dan sosial)
8
Manfaat dari penelitian ini adalah:
• Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini akan menambah pengetahuan bagi ilmu
lingkungan terutama dalam penerapan aplikasi cara berfikir sistem, dalam
merumuskan pengendalian lingkungan pada pembangunan kota baru berkelanjutan
dan pada penerapan metode simulasi dinamika sistem untuk analisis kebijakan,
sehingga akan memperkaya metodologi ilmu lingkungan sekaligus akan menjadi
salah satu alternatif pilihan model strategi kebijakan pembangunan kota baru
mandiri yang berkelanjutan.
• Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dalam
menyusun kebijakan rencana pembangunan dan pengelolaan kotabaru yang
berkelanjutan.
• Bagi pengembang, penelitian ini bermanfaat untuk memahami strategi dan prospek
pengembangan usaha, sehingga terbangun kemitraan (partnership) dengan berbagai
pihak terkait, atas dasar prinsip saling menguntungkan.
• Bagi penduduk setempat dan sekitarnya, penelitian ini bermanfaat untuk membantu
memahami proses perencanaan pembangunan wilayah kota baru, sehingga
masyarakat bisa ikut berpartisipasi aktif dalam pengelolaannya, terutama dalam
mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran.
1.4. Kerangka Pemikiran
Meningkatnya jumlah penduduk dan ketidak mampuan sektor pertanian dalam
menyediakan lapangan pekerjaan di perdesaan, telah mendorong masyarakat desa
melakukan urbanisasi, sehingga pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan
meningkat dan telah mengakibatkan tingginya kebutuhan akan lahan hunian dan
merupakan faktor-faktor penggerak utama terjadinya perkembangan wilayah pinggiran
kota yang tidak terkendali yang disebut dengan urban sprawl (tumbuhnya wilayah
terbangun secara sporadis di pinggiran kota dan di tempat lain). Adapun penyebab
terjadinya urban sprawl diantaranya adalah karena lambatnya langkah-langkah
antisipatif perencanaan dan masih terbatasnya kemampuan pemerintah dalam
menyediakan pelayanan prasarana dan sarana, masih belum ketatnya pemerintah dalam
melakukan pengendalian tata ruang dan tata guna lahan, khususnya untuk mendukung
fungsi optimum pelayanan kepada masyarakat perkotaan. Akibat adanya urban sprawl
9
ini seringkali muncul berbagai permasalahan, diantaranya menurunnya kualitas
lingkungan hidup dan kualitas hunian, tidak tertatanya fisik kota, terbatasnya kapasitas
penyediaan pelayanan prasarana dan sarana dasar, serta munculnya berbagai
permasalahan sosial ekonomi perkotaan seperti terjadinya kesenjangan, munculnya
berbagai masalah sosial, merebaknya masalah kriminalitas, tingginya tingkat
pengangguran, dan sebagainya.
Sebenarnya telah dilakukan penelitian pada kota baru mandiri BSD, namun
penelitian tersebut masih bersifat parsial, yakni lebih terfokus pada aspek sosial saja,
aspek ekonomi saja, serta penelitian pada aspek teknis saja; sedangkan penelitian yang
bersifat holistik yang menggabungkan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi yang dikemas
menjadi Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru
Berkelanjutan masih belum dilakukan. Oleh karena itu, dalam rangka menjawab
permasalahan tersebut di atas maka diperlukan kebijakan yang bersifat holistik
(berdasarkan penglihatan secara menyeluruh) dengan melibatkan berbagai departemen
(lintas sektoral), masyarakat dan semua stakeholders, serta para pakar yang terkait di
dalamnya. Selain itu juga diperlukan adanya skenario yang optimal dalam memprediksi
semua kemungkinan keadaan yang akan terjadi di masa yang akan datang serta
pengelolaannya, sehingga akan meminimalkan terjadinya kerusakan lingkungan. Untuk
lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.
1.5. Kebaruan Penelitian
Kebaruan (novelty) penelitian ini dapat dilihat dari aspek pendekatan (research
approach) yang digunakan. Pendekatan sistem dinamik untuk merancang model
interaksi di antara berbagai variabel dalam subsistem ekologi, ekonomi dan sosial di
wilayah kotabaru dalam rangka melakukan pengendalian terhadap terjadinya kerusakan
lingkungan dan pencemaran, dan akan menghasilkan formulasi strategi kebijakan
pengelolaan kotabaru mandiri yang terintegrasi dalam suatu sistem perkotaan di
sekitarnya, dan berkelanjutan yang applicable sesuai kebutuhan stakeholders dan
masyarakat di masa yang akan datang. Oleh karena itu maka hasil penelitian ini dapat
membantu mengidentifikasi berbagai permasalahan yang akan menjadi bahan
pertimbangan untuk mencari solusi agar suatu kota baru dapat berkelanjutan.
10
Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian
Angka pertumbuhan ekonomi yangtak sebanding dengan pertumbuhan
penduduk
Pertumbuhan penduduk
Angka pengangguran yangcukup tinggi di daerah
pedesaan
Meningkatnya angkakemiskinan, penganggurandan gangguan kamtibmas
Meningkatnya migrasi pendudukmenuju kota
Over urbanisasiKepadatan lalulintas,
meningkatnya kemacetanpenurunan kualitas
lingkungan
Aglomerasi aktivitas
Terbatasnya pelayanan kebutuhanmasyarakat kota
Maraknya bangunan liar danmenurunnya sanitasi lingkungan
Kebutuhan rumah, sarana prasarana,daya dukung lingkungan yang
meningkat cukup tinggi
Ketimpangan kawasan
Penurunan kesejahteraan
Pembangunan kota baru
Kota baru Bumi Serpong Damai (BSD)
Kota baru Bumi Serpong Damai yang mandiri dan berkelanjutan
Permen PU No. 494/PRT/M/2005
Kajian kondisi eksistingkota baru BSD
Potret kondisi eksisting dariaspek ekologi, ekonomi dan
sosial
Rancangan model pengendalianlingkungan variabel dalam
subsistem ekologi, ekonomi&sosial
Kualitas air dan kualitasudara
Analisis model dinamis
Simulasi model dinamis
Uji validasi dan sensitifitasmodel
Analisis sosial
Analisis kondisi ekonomi
Analisis kondisi ekologi
Analisis kondisi transportasi
Analisis keberlanjutan
Analisis prospektif
Tidakvalid
Alternatif pengendalianlingkungan
Valid
Konsep pengendalianlingkungan kota baru
Skenario pengendalianlingkungan kota baru
Model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan
Strategi kebijakan pembangunan kota baru yang berkelanjutan
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Permukiman
Menurut Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman Nomor 1 Tahun
2011 permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik
yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan
dan perikehidupan dan penghidupan. Adapun yang dimaksud dengan tempat tinggal di
sini adalah tempat tinggal untuk seseorang atau satu keluarga yang terdiri dari rumah
dan pekarangannya, dengan demikian maka salah satu komponen permukiman adalah
perumahan.
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan
dan sandang, sehingga berperan sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya
dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan bentuk manifestasi jati diri. Pada
hubungan ekologis antara manusia dan permukimannya, kualitas sumber daya manusia
dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman tempat tinggalnya.
Pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman juga diyakini mampu
mendorong kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan dan
permukiman, sehingga penyelenggaraan perumahan dan permukiman sangat berpotensi
dalam menggerakkan roda ekonomi dan upaya penciptaan lapangan kerja produktif.
Bagi kebanyakan masyarakat golongan menengah ke bawah, rumah juga merupakan
barang modal (capital goods), karena dengan asset rumah dapat dilakukan kegiatan
ekonomi yang mendukung kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, maka
permasalahan perumahan dan permukiman tidak dapat dipandang sebagai permasalahan
fungsional dan fisik semata, tetapi lebih kompleks lagi sebagai persoalan yang berkaitan
dengan semua dimensi kehidupan di dalam masyarakat. Sebenarnya upaya untuk
merangkum pandangan-pandangan di atas telah dirumuskan secara konseptual dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,
yang menyatakan bahwa perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana
dan sarana lingkungan.
12
2.2. Kota Baru
Perkotaan didefinisikan sebagai kawasan yang kegiatan utamanya bukan di sektor
pertanian dengan susunan fungsi-fungsi kawasan permukiman perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi
(Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Hal ini sesuai dengan
pendapat Richardson (1977) yang mengatakan bahwa kota merupakan wilayah
administratif yang ditetapkan oleh pemerintah dengan kepadatan penduduk yang sangat
tinggi dan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah terbangun yang dilengkapi
dengan sarana dan prasarana lalulintas dan transportasi, dan kegiatan perekonomian
utamanya adalah kegiatan perekonomian non pertanian. Menurut Gallion (1986) kota
adalah wilayah geografis tertentu yang merupakan tempat terkonsentrasinya manusia,
dan manusia-manusia tersebut melakukan berbagai kegiatan ekonomi.
Berdasarkan definisi tersebut, maka perkotaan bisa dikatakan sebagai suatu
ekosistem yang terbentuk oleh kegiatan manusia. Ekosistem kota sangat tergantung
pada ekosistem lain dalam hal pemenuhan kebutuhan materi dan energi. Menurut azas
lingkungan yang dikemukakan oleh Soeriaatmadja (1977) ekosistem yang kuat (mantap)
akan mengeksploitasi ekosistem yang lebih lemah (tidak mantap). Oleh karena itu
maka jika tidak ada aturan dan kebijakan yang baik, maka akan terjadi eksploitasi
berbagai sumberdaya alam dari ekosistem pedesaan oleh ekosistem kota.
Perkembangan wilayah perkotaan dan tingginya tingkat urbanisasi ke wilayah
perkotaan menyebabkan meningkatnya kepadatan penduduk serta tingginya kebutuhan
lahan hunian. Tingginya lahan hunian ini menjadi faktor penggerak utama terjadinya
perkembangan wilayah pinggiran kota yang tidak terkendali, yaitu urban sprawl. Urban
sprawl ini terjadi karena lambatnya langkah antisipatif perencanaan dan terbatasnya
kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan prasarana dan sarana serta dalam
pengendalian tata ruang dan tata guna lahan yang dapat mendukung fungsi optimum
pelayanan kepada masyarakat perkotaan. Terjadinya urban sprawl ini memunculkan
berbagai permasalahan seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kualitas
hunian, tidak tertatanya fisik kota, terbatasnya kapasitas penyediaan pelayanan
prasarana dan sarana dasar, munculnya masalah-masalah sosial ekonomi perkotaan
seperti kesenjangan sosial, kriminalitas dan pengangguran.
13
Dalam beberapa waktu belakangan ini di dalam kota atau di sekitar kota, atau
malah di lokasi hinterland perkotaan sering terbentuk kota baru baik yang sebelumnya
memang sudah direncanakan, maupun yang tumbuh dengan sendirinya. Visi
pengembangan perkotaan ini juga terlihat dari definisi kota baru yaitu kota yang sama
sekali baru direncanakan dan dikembangkan dan dibangun pada suatu wilayah baru
yang di dalamnya terkandung unsur-unsur tempat tinggal yang lengkap dengan berbagai
prasarana dan sarana pelayanannya, tempat berkarya, tempat rekreasi serta prasarana
penggerak dan sarana perhubungan (Golany, 1976). Definisi tersebut, memberi
beberapa pengertian kota baru, yaitu (i) Kota yang lengkap, yang ditentukan,
direncanakan dan dibangun di suatu wilayah yang belum terdapat konsentrasi penduduk,
(ii) Kota yang dibangun lengkap dalam rangka meningkatkan kemampuan dan fungsi
permukiman atau kota kecil yang telah ada di sekitar kota besar utama untuk membantu
pengembangan dan mengurangi kota induk, (iii) Kota yang mandiri, mampu memenuhi
pelayanan kebutuhan serta kegiatan usahanya sendiri atau sebagian besar penduduknya
(self-contained new town), (iv) Lingkungan permukiman skala besar yang dimaksudkan
untuk mengatasi kekurangan perumahan di suatu kota besar secara fungsional umumnya
masih bergantung pada kota induknya (dependent town). Kota baru ini dapat disamakan
dengan “kota satelit” dari kota utama/kota inti.
Menurut Urban Land Institute (ULI) kota baru merupakan suatu proyek
pembangunan lahan yang luasnya mampu menyediakan unsur-unsur lengkap yang
mencakup perumahan, perdagangan, industri, yang secara keseluruhan dapat
memberikan kesempatan hidup dan bekerja di dalam lingkungan tersebut. Pada kota
baru terdapat spektrum jenis dan harga rumah lengkap, ruang terbuka bagi kegiatan
pasif dan aktif yang permanen dan ruang terbuka yang melindungi kawasan tempat
tinggal dan dampak kegiatan industri, pengendalian, dan estetika yang kuat. Oleh
karena itu maka untuk keperluan pembangunan awal, diperlukan biaya dan investasi
yang cukup besar (Sudjarto, 1993).
Menurut Advisory Commission on Intergovernmental Relation (Sudjarto, 1993),
kota baru adalah:
• Kota yang memungkinkan untuk menunjang berbagai jenis rumah tinggal dan
kegiatan ekonomi sebagai lapangan kerja bagi penduduk di dalam lingkungan itu
sendiri.
14
• Daerahnya dikelilingi jalur hijau yang menghubungkan secara langsung dari
wilayah pertanian di sekitarnya juga sebagai pembatas perkembangan kota dari segi
jumlah penduduk dan luas wilayahnya.
• Dengan mempertimbangkan kendala dan limitasi yang ada dapat menentukan suatu
proporsi yang peruntukan lahannya sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan,
fasilitas, dan utilitas umum, serta ruang terbuka pada proses perencanaannya.
Tujuan pembangunan kotabaru antara lain adalah untuk menampung kelebihan
jumlah penduduk yang tinggal di suatu kota induk yang sudah berkembang dan untuk
menahan terjadinya perpindahan penduduk dari kota-kota sekitar kota induk yang telah
berkembang. Tujuan lainnya adalah untuk mengembangkan wilayah sekitar kota induk,
karena pembangunan kota baru merupakan bagian dari sistem perkotaan yang ditujukan
untuk memantapkan fungsi kota serta keterkaitannya secara fungsional dan spasial agar
dapat berfungsi optimal dalam penyediaan fasilitas sosial dan ekonomi, penyediaan
kebutuhan perumahan dan fasilitas sosial ekonomi.
2.2.1. Beberapa Konsep dan Jenis Kota Baru
Pada dasarnya berdasarkan masanya ada empat jenis kota baru yakni kota baru
masa pra revolusi industri, kota baru masa revolusi industri, kota baru pasca revolusi
industri dan kota baru masa kini. Ke-empat jenis kota baru ini mempunyai konsep
pengembangan yang berbeda antara satu dengan lainnya, begitupun dengan tujuan
pembentukan kota baru tersebut. Untuk lebih jelasnya jenis kota baru, konsep
pengembangan dan tujuan pembentukan kota baru tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Menurut Soegijoko dan Tjahjati (1997), berdasarkan permasalahan kebutuhan dan
perkembanganya, maka kota baru modern yang dikembangkan pada umumnya ada tiga
jenis antara lain:
Kota baru yang dikembangkan sebagai suatu upaya penyelesaian masalah perkotaan
dan internal yang berupa program rehabilitasi, peningkatan kualitas lingkungan, atau
peremajaan bagian kota berskala besar yang sudah tumbuh dan berkembang.
Kedua suatu pembangunan skala besar dari suatu kota kecil sehingga memiliki
kelengkapan setara kota.
Ketiga pembangunan secara desentralisasi melalui pengembangan permukiman baru
setara kota baik yang khusus menyediakan perumahan yang umumnya berada di
15
wilayah pinggiran kota maupun pada lokasi yang berjarak dekat dengan kota induk
atau suatu permukiman baru yang mandiri pada suatu wilayah yang sama sekali baru
dibuka.
Tabel 1. Konsep kota baru
MasaPengembangan
Kota Baru
Konsep Perkembangan KotaBaru
Tujuan PembentukanKota Baru
Kota Baru masaPra revolusiIndustri
Invasi Migrasi
Penguasaan Kolonial
Eksploitasi Sumber daya alam
Prestise kekuasaanpemerintahan
Pertahanan tanah jajahn Kolonisasi Eksploitasi SDA Migrasi
Kota Baru masarevolusi Industri
Perkembangan teknologi
Industrialisasi besarbesaran
Urbanisasi
Ekonomi Kapitalistik
Peningkatan Produktivitas
Eksploitasi SDA dan Manusia
Industrialisasi Urbanisasi Kapitalisme Eksploitasi SDA dan
Manusia
Kota Baru pascarevolusi Industri Industrialisasi dan urbanisasi
Degradasi Kualitas kehidupan di KotaIndustri
Mengembalikan Kehidupan yang layak danmanusiawi
Meningkatkan kualitaskehidupan yangmanusiawi denganlandasan:
Pembatsan kepadatanpenduduk
Pembentukan lingkunganyang layak dan mandiri
Keserasian lingkungansosisal dan lingkunganfisik
Pengendalian penggunaanKota Baru masakini
Urbanisasi dan indutrialisasi
Perkembangan metropolis dan wilayahmetropolitan
Degradasi kualitas kehidupan kota besarPerkembangan kota secara sporadis dan
kontinu
Menghambat arus urbanisasi danmemperbaiki kualitas kehidupan
Keseimbangan kota desa Pemerataan
pembangunan Menghambat urbanisasi Pemecahan masalah
kebutuhan permukiman Pembangunan kota yang
berwawasan lingkungan
Sumber: Sudjarto, 1993a;1993b.
16
Selanjutnya secara fungsional Soegijoko dan Tjahjati (1997) membagi
berdasarkan ketiga jenis kotabaru dalam dua kategori berikut ini:
1. Kotabaru Penunjang, yakni kota baru yang tidak mempunyai kekuatan ekonominya
sendiri, sehingga:
secara ekonomis dan fisik tergantung pada kota induknya.
kotabaru sebagai tempat tinggal, kommuter ke induk
pelayanan dari kota induk
jarak dengan kota induk 20 - 40 km
kota yang masuk kota baru penunjang adalah kota baru satelit, kotabaru dalam
kota dan kawasan permukiman skala besar di kota induk
2. Kotabaru Mandiri, yakni kota baru yang secara ekonomis dan fisik memiliki
kemandirian, sehingga merupakan kota baru yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan berkembang secara mandiri
berperan sebagai pusat pengembangan di suatu wilayah
penduduk bermukim dan mencari kehidupan di kotabaru
penduduk bukan “kommuter”
jarak dari kota induk ≥ 40 - 60 km
Kota yang termasuk ke dalam kota baru mandiri adalah kotabaru umum, kotabaru
industri, kotabaru perusahaan (pertambangan, perkebunan), kota baru pusat
pemerintahan dan kota baru instalasi khusus (militer, riset, universitas),
2.2.2 Konsep Kota Baru Berkelanjutan
Konsep berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks,
sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan multi-interpretasi.
Karena adanya multi-dimensi dan multi-interpretasi ini para ahli sepakat untuk
sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland yang
menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi
kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi, 2004).
Selain definisi operasional di atas, Fauzi (2004) melihat bahwa konsep kota
berkelanjutan dapat diidentikan dengan konsep keberlanjutan itu sendiri sehingga
diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu:
17
1. Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu
menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan
pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidak seimbangan sektoral yang dapat
merusak produksi pertanian dan industri
2. Keberlanjutan lingkungan, sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus
mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari eksploitasi sumberdaya
alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan
keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungis ekosistem lainnya yang
tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi
3. Keberlanjutan sosial, keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang
mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan,
pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.
Menurut Munasinghe (1993), pembangunan kota berkelanjutan mempunyai tiga
tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi, tujuan ekologi, dan tujuan sosial. Tujuan ekonomi
terkait dengan masalah efisiensi dan pertumbuhan. Tujuan ekologi terkait dengan
masalah konservasi sumberdaya alam. Tujuan sosial terkait dengan masalah
pengurangan kemiskinan dan pemerataan. Oleh karena itu, maka tujuan pembangunan
berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya harmonisasi antara tujuan ekonomi,
tujuan ekologi, dan tujuan sosial.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka setidaknya pembangunan kota baru harus
mengikuti peraturan dan tatanan yang berlaku, sehingga kaidah pembangunan kota
berkelanjutan dapat dipenuhi untuk memperoleh model kebijakan dalam mewujudkan
kota mandiri berkelanjutan.
2.3. Kebijakan Pengembangan Perkotaan
Saat ini pembangunan perkotaan diupayakan untuk ditingkatkan dan
diselenggarakan secara berencana dan terpadu dengan memperhatikan rencana tata
ruang, pertumbuhan penduduk, lingkungan permukiman, lingkungan kerja, serta
kegiatan ekonomi dan sosial lainnya, agar terwujud pengelolaan perkotaan yang efisien,
dan tercipta lingkungan yang sehat, aman, dan nyaman. Sejalan dengan terjadinya
pembangunan kota dan dalam rangka memenuhi kebutuhan penduduk yang ada di
dalamnya, maka pembangunan perumahan dan permukiman di lokasi perkotaan pun
18
lebih ditingkatkan dan diperluas hingga dapat makin merata dan menjangkau
masyarakat berpenghasilan rendah. Namun demikian pembangunan permukiman
tersebut, tetap memperhatikan rencana tata ruang dan keterkaitan serta keterpaduannya
dengan lingkungan sosial di sekitarnya.
Kaitan dengan terjadinya pembangunan kota secara pesat ini, maka air, tanah dan
lahan yang mempunyai nilai ekonomi dan fungsi sosial, pemanfaatannya perlu diatur
dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi bagi sebesar-besarnya
kesejahteraan rakyat melalui berbagai penggunaan, terutama untuk kepentingan
permukiman, pertanian, kehutanan, industri, pertambangan, dan kelistrikan serta
prasarana pembangunan lainnya.
2.4. Perkembangan Penduduk Perkotaan
Hingga saat ini kota masih merupakan tempat tujuan untuk memperjuangkan
harapan, oleh karena itu maka pertumbuhan penduduk di perkotaan lebih pesat
dibanding di pedesaan. Hal ini dapat terjadi karena adanya:
a. Pertumbuhan penduduk alamiah, yang berasal dari selisih antara jumlah penduduk
yang dilahirkan dengan jumlah penduduk yang meninggal dunia.
b. Migrasi penduduk yang merupakan selisih jumlah penduduk yang masuk ke suatu
kota dengan jumlah penduduk yang pergi meninggalkan kota.
c. Reklasifikasi status kawasan yakni perbedaan dalam definisi perkotaan antara satu
sensus dengan sensus lain, selain itu juga terjadi karena adanya perluasan batas
wilayah kawasan perkotaan atau berubahnya status kawasan dari pedesaan menjadi
perkotaan.
Diantara ketiga hal yang penyebab pertumbuhan penduduk perkotaan, yang
pengaruhnya paling kecil adalah pertumbuhan penduduk secara alami; sedangkan faktor
yang paling dominan dalam pertumbuhan penduduk perkotaan adalah migrasi dan
reklasifiksi status kawasan. Hal ini terjadi karena ada faktor pendorong dan faktor
penarik yang menyebabkan masyarakat melakukan migrasi menuju perkotaan. Adapun
yang dimaksud dengan faktor pendorong di sini adalah kekuatan dari luar perkotaan
(kekuatan eksternal), sedangkan faktor penarik adalah kekuatan yang berasal dari dalam
perkotaan itu sendiri (kekuatan internal). Ada berbagai kekuatan eksternal yang
mempengaruhi perkembangan perkotaan, salah satu diantaranya adalah urbanisasi
berupa migrasi penduduk perdesaan ke kawasan perkotaan akibat sektor pertanian tidak
19
mampu lagi menyediakan lapangan kerja. Faktor eksternal ini diperkuat oleh faktor
internal berupa ketersediaan infrastruktur yang relatif lengkap dan ketersediaan moda
angkutan yang relatif mudah dan murah, yang mengakibatkan konsentrasi kegiatan
ekonomi di perkotaan semakin besar; sehingga semakin memperkuat dalam menarik
penduduk pedesaan untuk bermigrasi ke perkotaan. Hal ini tentu saja akan semakin
memicu terjadinya reklasifikasi kawasan dalam bentuk perluasan wilayah kota dan
munculnya kawasan perkotaan baru. Untuk lebih jelasnya perkembangan penduduk
perkotaan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perkembangan penduduk perkotaan
Sumber: Hasil Sensus Penduduk 1980-2010 (Badan Pusat Statistik)
Perkembangan kawasan perkotaan pada umumnya akan terjadi apabila di wilayah
perkotaan dan wilayah sekitarnya terjadi perubahan penggunaan lahan. Contoh untuk
hal ini adalah wilayah Jabodetabek pada kurun waktu 1992-2001, dalam hal ini pada
kurun waktu tersebut terjadi penurunan luasan lahan hutan dan pertanian kurang-lebih
19% (Djakapermana, 2004). Terjadinya penurunan luasan lahan hutan dan pertanian
tersebut diduga karena adanya alih fungsi dari kawasan hutan dan pertanian menjadi
lahan yang kurang dapat menyerap air dan mengakibatkan meluasnya lahan terbuka dan
kawasan permukiman yang luasnya mecapai 13,70%. Kondisi ini pada akhirnya akan
memperbesar terjadinya run off yang dapat mengakibatkan sering terjadinya banjir.
Adapun sisa lahan yang tidak digunakan untuk permukiman (sebesar 4,99%) merupakan
1980 1990 2000 2010 2015
Penduduk Kota 32.85 54.06 85 117.5 150
Penduduk Nasional 147.09 182.1 207.32 228.66 250
0
50
100
150
200
250
300
JumlahPenduduk
Kota (Juta)
Tahun
20
lahan bervegetasi campuran dan lahan lainnya, yang diduga akan memperbesar
terjadinya run off .
Meningkatnya penggunaan lahan permukiman berkaitan dengan perkembangan
perkotaan, telah melahirkan banyak perumahan baru, baik berskala kecil maupun
berskala besar (Hidayat, 2005). Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan
permukiman skala besar (>500 ha) mulai terjadi pada tahun 1990-an, yang tidak lain
merupakan era mulai dibangunnya kota-kota baru oleh pengembang swasta.
Dibangunnya beberapa kawasan perumahan di wilayah perkotaan, mengakibatkan
terjadinya perubahan penggunaan lahan, karena lahan tersebut dijadikan kawasan
perumahan, sebagai contoh perubahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur yang
dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun lokasi perumahan, luasnya serta pengembang yang
membangunnya di lokasi tersebut dan kawasan permukiman skala besar (>500 Ha) di
Wilayah Jabotabekjur dapat dilihat pada Tabel 3.
Aktivitas penduduk perkotaan (rumah tangga, industri, transportasi, perdagangan
dan lain-lain) menghasilkan berbagai macam limbah. Namun padatnya penduduk yang
ada diperkotaan mengakibatkan melimpahnya sampah dan limbah cair yang ada di
perkotaan (The Study on Urban Drainage and Waste Water Disposal Project In The
City of Jakarta, 1990) sebagai contoh, sampah rumah tangga di DKI Jakarta mencapai
70% dari seluruh sampah yang dihasilkan dan jumlahnya tidak kurang dari dari
12.000m3 (Sutjahjo et al., 2005). Melimpahnya sampah ini mengakibatkan terjadinya
ketidakseimbangan antara jumlah materi (berupa limbah/sampah) yang perlu diproses
dengan kemampuan decomposer dalam memprosesnya. Akibatnya maka proses
dekomposisi tidak dapat berlangsung sempurna, sehingga dari bahan organik akan
dihasilkan berbagai gas beracun dan berbagai bahan yang akan mencemari lingkungan
(Martin et al., 1985). Limbah itu sebagian masuk ke badan air dan terjadi akumulasi
bahan pencemar. Kemampuan alam untuk memurnikan air sangat terbatas dan
membutuhkan waktu yang sangat lama (Riani et al., 2005). Selanjutnya dikatakan
bahwa perkembangan perkotaan yang pesat, menyebabkan kemampuan badan air untuk
memurnikan limbah menjadi semakin rendah, akibatnya terjadi pencemaran berat di
beberapa badan air yang melewati daerah perkotaan.
21
Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan di Wilayah Jabodetabek tahun 1992-2001
No.Jenis penggunaan
LahanTahun 1992 Tahun 2001 Perubahan
(Ha) (%) (Ha) (%) (%)1 Lahan terbuka 142.718,90 19,94 169.276,80 23,65 + 3,712 Lahan pertanian 104.186,40 14,55 104.108,90 14,54 - 0,01
3 Lahan bervegetasicampuran 179.614,70 24,67 183.534,80 25,64 + 0,97
4 Hutan 197.792,00 27,63 64.084,14 8,95 - 18,685 Permukiman 68.169,24 9,52 139.684,10 19,51 + 9,99
6 Lahan lainnya 26.351,64 3,68 55.144,35 7,70 + 4,02
Jumlah 715.832,90 100,00 715.832,90 100,00Sumber: Djakapermana,2004
Tabel 3. Beberapa kawasan permukiman skala besar (>500 Ha) di Wilayah Jabotabekjur
Keterangan : **= tidak ada data.Sumber : * Hidayat (2005)
No. Nama Luas (Ha) Lokasi1 Lipo Cikarang* 5000 Kab. Bekasi
2 Cikarang Baru* 2000 Kab. Bekasi
3 Kota Legenda (Bekasi 2000)* 2000 Kab & Kodya Bekasi
4 Harapan Indah* 800 Kab. Bekasi
5 Bukit Jonggol Asri* 30000 Kab. Bogor
6 Citra Indah* 1000 Kab. Bogor
7 Kota Taman Metropolitan* 600 Kab. Bogor
8 Kota Wisata* 1000 Kab. Bogor
9 Bukit Sentul* 2000 Kab. Bogor
10 Rancamaya* 550 Kab. Bogor
11 Kota Cileungsi* 2000 Kab.Bogor
12 Resort Danau Lido* 1700 Kab. Bogor
13 Taruma Resort* 1100 Kab. Bogor
14 Talaga Kahuripan* 750 Kab. Bogor
15 Maharani Citra Pertiwi * 1679 Kab. Bogor
16 Kotabaru Tigaraksa * 3000 Kab. Tangerang
18 Puri Jaya * 7145 Kab. Tangerang
19 Citra Raya * 3000 Kab. Tangerang
20 Lippo Karawaci* 2000 Kab. Tangerang
21 Gading serpong * 1500 Kab. Tangerang
22 Bintaro Jaya * 2321 Kab. Tangerang
23 Bumi Serpong Damai* 6000 Kab. Tangerang
24 Pantai Indah Kapuk* 800 DKI Jakarta
25 Bukit Harmoni ** Cianjur
26 Kota Bunga ** Cianjur
27 Green Apple Village ** Cianjur
28 Mutiara Depok ** Depok
29 Depok Asri ** Depok
22
Besarnya beban pencemaran pada air dapat dicermati dari kualitasnya. Kualitas
air dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
a. Kelas I dapat digunakan sebagai bahan baku air minum;
b. Kelas II dapat digunakan untuk prasarana dan sarana rekreasi air dan perikanan;
c. Kelas III dapat digunakan untuk pertanian dan budidaya ikan air tawar;
d. Kelas IV untuk mengairi pertamanan.
Berdasarkan pembagian segmennya, kualitas badan air, dalam hal ini sungai
menjadi beberapa kelas. Sebagai contoh klasifikasi di Sungai Ciliwung berkisar dari
kelas II hingga kelas IV. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 (Kompas, 18
November 2005).
Tabel 4. Kualitas air Sungai Ciliwung
Segmen Lokasi Kualitas air
1 Cisarua kabupaten Bogor Kelas II
2 Kota Bogor Kelas IV
3 Cibinong Kabupaten Bogor Kelas III
4. Kota Depok Kelas IV
5. DKI Jakarta Tidak masuk pada kelas manapunSumber : KLH (Kompas 18 November 2005)
Tabel 4 memperlihatkan bahwa kualitas air di wilayah perkotaan seperti Kota
Bogor dan Depok buruk (kulitas IV), dan hanya layak untuk dipakai mengairi
pertamanan, atau tidak layak untuk bahan baku air minum. Bahkan di DKI Jakarta
kualitas air Sungai Ciliwung sangat buruk, sehingga tidak layak untuk pertamanan
sekalipun. Kualitas air Sungai Ciliwung yang buruk di wilayah perkotaan diduga
berkaitan dengan besarnya limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Berdasarkan
data dari Urban and Regional Development Institute (URDI), di wilayah Bodetabek,
sampah yang dapat dikelola hanya 20 -30 % dari total volume produksi sampah per hari,
sisanya dibuang ke sungai, selokan atau kanal (URDI, 2000 dalam Djakapermana,
2004).
2.5. Kebijakan
Kebijakan (policy) adalah suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, yang
dikaitkan dengan pertanyaan yang harus dijawab dan juga harus dihubungkan dengan
institusi atau lembaga yang diamati atau dipelajari. Kebijakan merupakan keputusan
23
tetap yang dicirikan konsistensi dan pengulangan perilaku dalam rangka memecahkan
persoalan dan mematuhi keputusan yang telah ditetapkan (Jones, 1984). Dengan
demikian, kebijakan bersifat dinamis, sebagai akibat adanya konsistensi dan
pengulangan perilaku untuk memecahkan masalah umum.
Menurut Davis et al. (1993) kebijakan tidak berdiri sendiri (single decision)
tetapi merupakan bagian dari proses antar hubungan. Kebijakan merupakan salah satu
alat pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran. Oleh karena itu maka pembuatan
kebijakan harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh dan tepat. Karena pembuatan
kebijakan yang dilakukan dengan sekedarnya akan menghasilkan kebijakan yang tidak
tepat. Menurut Caiden (1971) kesulitan membuat kebijakan yang tepat disebabkan oleh
sulitnya mendapatkan informasi yang cukup, sehingga sulit disimpulkan. Selain itu
juga dapat disebabkan oleh adanya berbagai macam kepentingan pada setiap sektor dan
instansi, adanya umpan balik keputusan bersifat sporadis, dan pembuat kebijakan tidak
terlalu faham dengan perumusan kebijakan. Oleh karena itu untuk terciptanya
kebijakan yang tepat (appropriateness), pemerintah harus bekerja secara seksama mulai
dari membuat rancangan atau rencana kebijakan, formulasi rencana kebijakan,
pelaksanaan di lapangan, dan proses evaluasi sebagai umpan balik terhadap proses
rancangan kebijakan. Dalam proses kebijakan itu sendiri diberikan seperangkat metode,
strategi dan teknik dalam penyusunan kebijakan dengan melibatkan semua pihak terkait.
Agar tercapai keinginan, tujuan dan sasaran. Kebijakan dapat berbentuk negatif seperti
larangan atau berbentuk positif seperti pengarahan untuk melaksanakan atau
menganjurkan.
Menurut Rees (1990), pelaksanaan kebijakan formal sangat tergantung pada
bagaimana kebijakan itu diinterpretasikan, diimplementasikan dan diberlakukannya
keputusan tersebut kepada masyarakat. Dalam implementasinya supaya kebijakan yang
dibuat tampak sangat dinamis, maka penyusunan kebijakan sangat dipengaruhi oleh
seberapa jauh wewenang yang diberikan oleh badan eksekutif, bagaimana karakteristik
badan eksekutif, metode apa yang digunakan untuk menggunakan sumberdaya alam dan
peraturan apa yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut.
Prinsip-prinsip pembuatan kebijakan yang ideal harus mengikuti tahapan (Rees,
1990). Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan juga seringkali tampak irasional, karena
kebijakan yang diterima suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat
24
1Analisis
DeterminasiKebijakan
Monitoring danEvaluasi
Kebijakan
Informasi untukKebijakan
AnalisisIsi Kebijakan
AdvokasiKebijakan
AnalisisKebijakan
Analisis untukKebijakan
2 3 4 5
yang lain. Oleh karena itu kebijakan perlu diformulasikan sedemikian rupa sesuai
dengan fungsinya sebagai pengarah, penyelia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan
dan tanggung jawab masing-masing pelaku kebijakan.
Menurut Abidin (2002) pemilihan kebijakan yang baik dan tepat akan terjadi
apabila memenuhi kriteria:
1. Efektifitas (efectiveness), mengukur apakah pemilihan sasaran dapat menghasilkan
tujuan akhir yang diinginkan. Oleh karena itu maka strategi kebijakan yang dipilih
idealnya dilihat dari kapasitasnya dalam memenuhi tujuan dalam rangka
memecahkan masalah yang ada di masyarakat.
2. Efisiensi (economic rationality), mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos yang
harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektifitas tertentu;
3. Cukup (adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan
sumberdaya yang ada;
4. Adil (equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan
ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat;
5. Terjawab (responsiveness), dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab
permasalahan tertentu dalam masyarakat;
6. Tepat (appropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan
sebelumnya.
2.6. Analisis dan Proses Kebijakan
Analisis mengandung tujuan dan relasi yang berbeda dengan proses kebijakan.
Jenis analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum pengetahuan
dalam proses kebijakan, pengetahuan untuk proses kebijakan dan pengetahuan tentang
proses kebijakan. Parsons (2005) secara definitif menetapkan variasi ini di sepanjang
sebuah kontinum seperti disajikan dalam Gambar 4.
Gambar 4. Variasi analisis kebijakanSumber: Parsons, 2005
25
Gambar 4 di atas menerangkan bahwa dalam analisis kebijakan mencakup
determinasi kebijakan dan isi kebijakan. Determinasi kebijakan ini adalah analisis yang
berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan dan untuk siapa kebijakan
tersebut dibuat. Adapun isi kebijakan adalah analisis yang mencakup deskripsi tentang
kebijakan tertentu dan bagaimana kebijakan tersebut berkembang dalam hubungannya
dengan kebijakan sebelumnya. Analisis isi kebijakan ini bisa juga didasari oleh
informasi yang disediakan oleh kerangka nilai teoritis yang mencoba memberikan kritik
terhadap kebijakan. Monitoring dan evaluasi kebijakan adalah analisis yang bertujuan
untuk mengkaji bagaimana kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan
kebijakan, dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu. Variasi
terakhir dari kontinum di atas adalah analisis untuk kebijakan yang mencakup advokasi
kebijakan berupa riset dan argumen yang dimaksudkan untuk mempengaruhi agenda
kebijakan di dalam dan atau di luar pemerintahan. Informasi untuk kebijakan adalah
analisis yang bertujuan untuk memberi informasi bagi aktivitas pembuatan kebijakan,
sehingga bisa berbentuk anjuran atau riset eksternal/internal yang terperinci tentang
aspek kualitatif dan judgemental dari suatu kebijakan.
Menurut Quade (1976) analisis kebijakan terkait erat dengan penggunaan beragam
teknik untuk rneningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan misalnya,
mengekspresikan pandangan bahwa tujuan utama analisis ini adalah untuk membantu
pembuat keputusan dalam membuat pilihan yang lebih baik ketimbang yang dibuat
pihak lain. Dengan demikian maka analisis ini berhubungan dengan manipulasi efektif
dunia nyata. Ada tiga tahap yang harus dilalui oleh analisis ini yakni pertama,
penemuan, yaitu usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di
antara alternatif-alternatif yang tersedia; kedua penerimaan, yakni mengupayakan agar
temuan itu bisa diterima dan dimasukkan ke dalam kebijakan atau keputusan; ketiga
implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada perubahan terlalu
banyak, namun dapat membuat alternatif tersebut menjadi tidak memuaskan.
Pada dasarnya ada tiga jenis analisis kebijakan yaitu analisis kebijakan yang
bersifat prospektif yang menganalisis tentang kebijakan yang berlangsung sebelum aksi
kebijakan. Analisis ini meliputi tahap-tahap identifikasi masalah,
prakiraan, identifikasi alternatif-alternatif strategis kebijakan, pilihan dan rekomendasi
kebijakan. Kedua, analisis kebijakan restrospektif yaitu analisis yang dilakukan sesudah
26
aksi kebijakan. Analisis ini digunakan untuk menilai sesudah dilakukan aksi kebijakan
atau menilai proses pelaksanaan dan hasilnya, contoh dari analisis ini adalah monitoring
dan evaluasi. Jenis analisis ketiga, adalah integrasi dan analisis prospektif dan
restrospektif. Analisis ini dapat dilakukan baik sebelum aksi kebijakan maupun
sesudah dilakukan aksi kebijakan (Dunn, 1998).
Menurut Abidin (2002) agar pada setiap tahap analisis memberikan hasil yang
relevan, maka identifikasi masalah idealnya harus dapat menghasilkan informasi tentang
rumusan masalah, prakiraan memberikan gambaran masa depan yang masuk akal, dan
masa depan yang dikehendaki. Identifikasi alternatif memberikan informasi tentang
strategi pemecahan masalah. Pilihan strategis akan menghasilkan informasi
rekomendasi untuk dimanfaatkan oleh yang berwenang, sehingga pada akhirnya
menghasilkan aksi kebijakan. Monitoring akan menghasilkan informasi tentang proses
pelaksanaan dalam hubungan dengan kinerja pada setiap waktu, sedangkan evaluasi
kebijakan akan memberi informasi tentang dampak secara keseluruhan akibat
diterapkannya suatu kebijakan. Selanjutnya dikatakan bahwa dari ketiga analisis
kebijakan di atas, jenis informasi dan bentuk kebijakan pada setiap jenis kebijakan dapat
dibeda-bedakan. Untuk lebih jelasnya perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.
Menurut Dunn (1998) metoda analisis kebijakan menyediakan informasi yang
berguna untuk menjawab lima pertanyaan. Adapun pertanyaan tersebut adalah apa
hakekat permasalahannya, kebijakan apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk
mengatasi masalah dan apa hasilnya dan seberapa bermakna hasil tersebut dalam
memecahkan masalah, alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab, dan
hasil apa yang dapat diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi
kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan.
Tabel 5. Jenis informasi pada setiap jenis kebijakan
Sumber : KLH (Kompas 18 November 2005)
No. Jenis kebijakan Jenis informasi
1. Prospektif Prediksi Evaluasi Preskripsi -
2. Retropspektif Deskripsi Evaluasi - -
3. Integratif Deskripsi Prediksi Evaluasi Preskripsi
27
Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim
dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu definisi, prediksi, preskripsi,
deskripsi, dan evaluasi. Perumusan masalah (definisi) menghasilkan informasi
mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi)
menyediakan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah
kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa
mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu.
Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif
dari konsekuensi di masa depan dari suatu permasalahan. Pemantauan (deskripsi)
menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya
alternatif kebijakan. Evaluasi akan menyediakan informasi mengenai nilai atau
kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengentasan masalah. Kelima prosedur
analisis tersebut disajikan pada Gambar 5.
2.7. Pelestarian dan Degradasi Lingkungan
Menurut Undang-undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara
kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Daya dukung
lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan mahluk
hidup, dan daya tampung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan kedalamnya.
Daya tampung lingkungan juga disebut daya lenting yaitu kemampuan suatu sistem
untuk pulih setelah terkena gangguan (Sumarwoto, 1989). Semakin tinggi daya
tampungnya, maka semakin besar pula daya dukungnya. Daya dukung dinyatakan
dalam jumlah maksimum mahluk yang dapat didukung dalam suatu lingkungan atau
daerah tertentu tanpa adanya degradasi sumber daya alam yang dapat menurunkan
populasi maksimumnya di masa datang (Odum, 2004). Degradasi sumber daya alam
dapat terjadi secara alami maupun oleh kegiatan manusia. Pencemaran oleh sampah dan
air limbah domestik maupun industri berhubungan dengan pengelolaan lahan perkotaan
dan industri yang tidak memadai (Barrow, 1991).
28
Gambar 5. Analisis
2.8. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang
Terjadinya pertambahan jumlah penduduk disertai dengan perkembangan kota
dan desa menyebabkan penggunaan lahan menjadi bersaing.
yang subur, akan mendapat ancaman dan tekanan yang lebih besar
digunakan untuk perluasan f
seperti perumahan, jalan raya, pasar dan lapangan terbang (Sitorus, 2004).
itu maka perencanaan pengembangan sumberdaya lahan (
planning) merupakan hal penting dala
Perencanaan penggunaan lahan adalah merencanakan penggunaan lahan lingkungan
hidup manusia mulai dari skala kecil sampai
sumberdaya lahan dapat dilakukan secara intensif
Hal ini sejalan dengan pernyataan
perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan
(status), potensi dan pembatas
yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang yang menaruh
perhatian terhadap daerah tersebut dalam menentukan kebutuhan mereka, keinginan dan
aspirasinya untuk masa
penggunaan lahan adalah untuk memberikan pengarahan dalam proses pengambilan
keputusan tentang penggunaan lahan
HasilKebijakan
Pemantauan
Evaluasi
Perumusan
Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalahSumber: Dunn, 1998
gelolaan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang
ertambahan jumlah penduduk disertai dengan perkembangan kota
dan desa menyebabkan penggunaan lahan menjadi bersaing. Bahkan l
mendapat ancaman dan tekanan yang lebih besar
luasan fasilitas atau sarana dalam memenuhi ke
seperti perumahan, jalan raya, pasar dan lapangan terbang (Sitorus, 2004).
itu maka perencanaan pengembangan sumberdaya lahan (land resource development
) merupakan hal penting dalam pemanfaatan sumberdaya lahan berkelanjutan.
erencanaan penggunaan lahan adalah merencanakan penggunaan lahan lingkungan
hidup manusia mulai dari skala kecil sampai skala besar. Tujuannya agar penggunaan
sumberdaya lahan dapat dilakukan secara intensif dan efisien secara berkesinambungan.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Soil Conservation Society of America
perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan
(status), potensi dan pembatas-pembatas dari suatu daerah tertentu dan sumberdayanya,
yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang yang menaruh
perhatian terhadap daerah tersebut dalam menentukan kebutuhan mereka, keinginan dan
aspirasinya untuk masa yang akan datang. Adapun fungsi utama pe
penggunaan lahan adalah untuk memberikan pengarahan dalam proses pengambilan
keputusan tentang penggunaan lahan, sehingga sumberdaya lahan dan lingkungan
MasalahKebijakan
KinerjaKebijakan
Masa DepanKebijakan
AksiKebijakan
Peramalan
Rekomendasi
Perumusanmasalah
Perumusanmasalah
Perumusanmasalah
Perumusanmasalah
ada masalah
ertambahan jumlah penduduk disertai dengan perkembangan kota
Bahkan lahan pertanian
mendapat ancaman dan tekanan yang lebih besar karena akan
kebutuhan umum
seperti perumahan, jalan raya, pasar dan lapangan terbang (Sitorus, 2004). Untuk
and resource development
m pemanfaatan sumberdaya lahan berkelanjutan.
erencanaan penggunaan lahan adalah merencanakan penggunaan lahan lingkungan
agar penggunaan
dan efisien secara berkesinambungan.
ciety of America (1982) bahwa
perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan
aerah tertentu dan sumberdayanya,
yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang yang menaruh
perhatian terhadap daerah tersebut dalam menentukan kebutuhan mereka, keinginan dan
ungsi utama perencanaan
penggunaan lahan adalah untuk memberikan pengarahan dalam proses pengambilan
sehingga sumberdaya lahan dan lingkungan
Masa DepanKebijakan
Peramalan
Rekomendasi
29
ditempatkan pada penggunaan yang paling menguntungkan bagi manusia, sekaligus
mengkonservasinya untuk penggunaan di masa yang akan datang (Sitorus, 2004).
Menurut Sitorus (2004) dalam operasionalnya perencanaan penggunaan lahan
bertujuan untuk (1) mencegah penggunaan lahan yang salah tempat dalam
mengupayakan terciptanya penggunaan lahan yang optimal, (2) mencegah adanya salah
urus yang menyebabkan lahan rusak, sehingga penggunaan lahan tidak
berkesinambungan, (3) mencegah adanya tuna kendali dalam mengupayakan
penggunaan lahan yang senantiasa diserasikan oleh adanya kendali, (4) menyediakan
lahan untuk keperluan pembangunan yang terus meningkat, dan (5) memanfaatkan
lahan sebesar-besarnya untuk kemakmuran manusia.
Menurut Sitorus (2004) pengelolaan diartikan sebagai upaya sadar dan terpadu
untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama. Dalam konteks lingkungan,
pengelolaan lingkungan dapat diartikan sebagai upaya terpadu untuk mengembangkan
strategi untuk menghadapi, menghindari dan menyelesaikan penurunan kualitas
lingkungan dan untuk mengorganisasikan program-program pelestarian lingkungan dan
pembangunan yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa pengelolaan
sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang
lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut secara
berkelanjutan. Pada dasarnya terdapat dua fungsi dalam pengelolaan sumberdaya lahan
secara garis besar, yaitu (1) tujuan fisik yang dinyatakan atau diukur dalam satuan-
satuan fisik seperti produksi per hektar dan lain-lain dan dinyatakan dalam satuan-
satuan volume atau berat dari hasil yang diperoleh, dan (2) tujuan ekonomis, yakni
diukur dalam terminologi ekonomi seperti pendapatan bersih maksimum. Lebih lanjut
dikatakan bahwa sistem pengelolaan lahan mencakup lima unsur, yang dalam sistem
pengelolaan lahan harus dilihat sebagai suatu deretan unsur yang satu sama lain saling
mengisi, yaitu: (1) Perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, (2)
Tindakan-tindakan khusus konservasi tanah dan air, (3) Menyiapkan tanah dalam
keadaan olah yang baik, (4) Menggunakan sistem pergiliran tanaman yang tersusun
baik, dan (5) Menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi pertumbuhan
tanaman.
Lal dan Pierce (1991) menyatakan bahwa manajemen sumberdaya lahan di masa
depan harus mampu: (1) mempertahankan dan memperbaiki kualitas sumberdaya lahan,
30
(2) memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan kualitas sumberdaya lahan, air
dan udara, serta (3) menyediakan kebutuhan makanan dan serat secara ekonomis dan
sosial. Lebih lanjut dikatakan bahwa prinsip manajemen di masa depan adalah
mengelola lahan dalam ruang (space) dan waktu (time). Dalam kerangka ini diusulkan
tiga prinsip manajemen spesifik yaitu: (1) berusaha tani dengan soilscape (tanah dan
landscape), (2) mengelola zona di lapangan, dan (3) mengelola periode bera/tidak
ditanami (non crop).
Masalah yang sering terkait dengan tata ruang adalah ketidaktaatan azas
(inconsistencies) antara rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan apa yang terjadi
dalam pelaksanaannya. Sesungguhnya RTRW dimaksudkan sebagai alat koordinasi
pembangunan sektor, artinya pembangunan sektor-sektor harus mengacu kepada
RTRW. Menurut Djakapermana (2004) penataan ruang mencakup proses perencanaan
tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata
ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi rencana tata ruang wilayah (RTRW)
Nasional, provinsi, kabupaten dan kota. Pemanfaatan ruang merupakan wujud
operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan. Pengendalian
pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap
pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW. Penataan ruang bertujuan
agar pemanfaatan ruang menjadi berwawasan lingkungan, pengaturan pemanfaatan
ruang pada kawasan lindung dan budidaya dapat terlaksana, dan pemanfaatan ruang
yang berkualitas dapat tercapai. Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk
menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pertumbuhan
ekonomi dan pemerataannya.
2.9. Pencemaran
Semakin meningkatnya kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula
tingkat pencemaran (Fardiaz, 1992). Selanjutnya dikatakan bahwa pencemaran akan
terjadi baik di perairan, udara maupun tanah. Pada pencemaran perairan seperti pada
sungai, secara alamiah, sungai dapat tercemar pada daerah permukaan saja. Pada sungai
yang besar dengan arus air yang deras, sejumlah bahan pencemar akan mengalami
pengenceran sehingga tingkat pencemaran menjadi sangat rendah, namun pada sungai
yang arusnya lemah dan pergantian airnya tidak banyak, seringkali mengalami
31
pencemaran yang berat sehingga air mengandung bahan pencemar yang cukup tinggi.
Selain itu arus yang lemah juga mengakibatkan terjadinya penurunan kadar oksigen
terlarut.
Menurut Odum (1971) pencemaran adalah perubahan sifat-sifat fisik, kimia
maupun biologi yang tidak dikehendaki yang dapat terjadi baik pada udara, tanah
maupun air. Menurut Sutamihardja (1982) berdasarkan sumbernya bahan pencemar
atau zat pencemar terbagi menjadi dua, yaitu yang berasal dari alam dan yang berasal
dari kegiatan manusia.
Ada berbagai parameter yang merupakan penanda bahwa suatu perairan telah
tercemar. Namun demikian indikator pencemaran air yang umum dilihat dapat
diketahui melalui: perubahan suhu, pH, warna, bau dan rasa air, timbulnya endapan,
koloidal, bahan terlarut, jumlah padatan, nilai BOD, COD, mikroorganisme, kandungan
minyak, logam berat dan meningkatnya radioaktivitas air lingkungan (Manahan, 2002).
Bahan buangan (limbah) dikelompokkan sebagai berikut: limbah padat, limbah organik,
limbah anorganik, limbah olahan bahan makanan, limbah cairan berminyak, limbah zat
kimia, dan limbah berupa panas.
Pada dasarnya perairan tidak memiliki batas-batas yang jelas, sehingga
pencemaran air dapat berakibat sangat luas (Sutamihardja 1982). Selanjutnya dikatakan
bahwa terjadinya pencemaran (perubahan-perubahan) tersebut sebagian besar berasal
dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, baik di darat maupun di
pesisir. Keadaan demikian juga dipengaruhi pula oleh adanya pergerakan massa air,
angin dan arus yang terjadi di perairan atau di perairan laut terjadi di sepanjang pantai.
Aktivitas manusia merupakan sumber terbesar dari pencemaran, karena itu
pengendaliannya harus dilakukan dengan mengendalikan aktivitas manusia itu sendiri,
di samping pengendalian sumber-sumber pencemar yang berasal dari aktivitas alam
seperti banjir, tanah longsor dan lain-lain. Beberapa sumber pencemar dapat pula
berasal dari aktivitas alam (terjadi secara alami) seperti letusan gunung berapi dan angin
ribut. Khusus untuk terjadinya pencemaran alami, sangat sulit untuk menghindarinya.
Pada umumnya pencemaran di negara berkembang seperti halnya Indonesia
paling banyak beasal dari kegiatan industri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian El-
Fadel et al. (2001) yang memperlihatkan bahwa industri-industri di negara berkembang
seperti Lebanon menghasilkan limbah padat sebanyak 346.730 ton/tahun, limbah cair
32
sebanyak 20.169.600 m3/tahun, dan limbah B3 sebanyak 3000 - 15000 ton/tahun.
Meskipun pertumbuhan sektor industri di Lebanon memberi kontribusi secara signifikan
terhadap perkembangan sosial- ekonomi negara tersebut (17% dari produk domestik
kasar), tetapi tanpa adanya rencana pengelolaan lingkungan yang komprehensif, maka
keberlanjutan perkembangan industri tidak dapat mencapai millenium yang akan datang.
Antisipasi ekspansi industri diperkirakan akan meningkatkan dampak negatif
lingkungan yang berkaitan dengan aktivitas industri akibat peningkatan volume limbah
serta penanganan dan pembuangan limbah yang tidak tepat. Dampak-dampak negatif
ini kemudian diperparah dengan kurangnya kerangka institusi, minimnya hukum
lingkungan, dan kurangnya pemberdayaan peraturan tentang pengelolaan limbah
industri.
Pertumbuhan populasi yang pesat, serta perkembangan teknologi dan industri
yang cepat mengakibatkan sejumlah besar masalah dan degradasi lingkungan, oleh
karenanya diperlukan perhatian yang sangat serius terhadap kerusakan lingkungan
tersebut. Menurut Najm et al. (2002) adanya perhatian yang terus meningkat terhadap
lingkungan serta pemulihan materi dan energi secara berangsur-angsur telah relatif
dapat mengubah orientasi pengelolaan dan perencanaan limbah padat. Selanjutnya
Najm et al. (2002) memperkenalkan model pengelolaan limbah padat hemat biaya yang
berkelanjutan dengan memperhitungkan laju penambahan limbah padat, komposisi,
pengoleksian, perlakuan, pembuangan serta dampak lingkungan potensil dari berbagai
teknik pengelolaan limbah padat. Khusus untuk limbah cair juga harus diperhatikan
secara seksama, untuk itu Al Yaqout (2003) memberikan solusi bagi pembuangan
limbah cair industri di Kuwait yang memiliki iklim kering dengan membuat kolam
evaporasi. Namun demikian menurut Muthukumaran1and Ambujam (2003)
pengumpulan dan penanganan limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada
negara yang sedang berkembang seperti India.
Mengingat limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada negara yang
sedang berkembang, maka Nhapi (2004) menyarankan bahwa untuk mengontrol muatan
pencemaran dan untuk menghilangkan kontaminan yang telah terakumulasi selama
bertahun-tahun (khususnya pengurangan aliran nutrien ke dalam danau) di Danau
Chivero, India, diperlukan pendekatan strategi tiga tahapan untuk pengelolaan air
limbah. Tahapan pendekatan ini meliputi: 1) pencegahan/penurunan pencemaran pada
33
sumber, 2) treatment air penggunaan ulang, dan 3) pembuangan dengan stimulasi
kapasitas purifikasi alami dari badan air penerima limbah. Ketiga tahapan ini harus
dilakukan secara berurutan. Lebih lanjut Nhapi (2004) menjelaskan bahwa
pendekatannya difokuskan kepada pengolahan air limbah dan penggunaan ulang air
danau secara desentralisasi dan sentralisasi. Aggregasi dari pilihan-pilihan tahapan ini
menghasilkan solusi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Selain itu,
hasil pengolahan tertier aliran buangan yang dibuang ke dalam Danau Chivero dapat
juga mengurangi masa retensi hidraulik sampai kurang dari lima tahun, sehingga
meningkatkan pencucian nutrien. Oleh karena itu Nhapi (2004) menyimpulkan bahwa
masalah kualitas dan kuantitas air Danau Chivero dapat dikurangi secara signifikan
melalui peningkatan pengelolaan air limbah yang dipadukan dengan pengendalian
sumber pencemaran baik yang bersifat point sources maupun non-point sources.
2.10. Pembangunan Berkelanjutan
Konsep pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat
memenuhi kebutuhan generasi saat ini dengan tanpa mengorbankan kepentingan
generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan
mencakup upaya memaksimumkan net benefit dari pembangunan ekonomi yang
berhubungan dengan pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya alam setiap waktu.
Oleh sebab itu pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan
per kapita riil, tetapi juga mencakup elemen-elemen lain dalam kesejahteraan sosial
(Pearce dan Turner, 1990). Hal ini sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan
yang dikemukakan oleh Serageldin (1994) yakni pembangunan yang memungkinkan
generasi sekarang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesempatan
generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh karena itu
maka konsep pembangunan berkelanjutan adalah mengintegrasikan tiga aspek
kehidupan (ekonomi, sosial dan ekologi) dalam satu hubungan yang sinergis, sehingga
makna keberlanjutan dalam konsep tersebut juga didefinisikan sebagai keberlanjutan
ekonomi, sosial dan lingkungan.
Pada beberapa dekade terakhir, konsep pembangunan keberlanjutan (sustainable
development) semakin sering digunakan oleh banyak negara di dunia untuk
mengimplementasikan kebijakan pembangunan baik pada level nasional maupun
34
internasional. Keberlanjutan (sustainability) saat ini telah menjadi elemen inti (core
element) bagi banyak kebijakan pemerintah negara-negara di dunia dan lembaga-
lembaga strategis lainnya. Menurut Khanna et al. (1999) pembangunan keberlanjutan
berimplikasi pada keseimbangan dinamik antara fungsi maintenance (sustainability) dan
transformasi (development) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
Menurut Cornelissen et al. (2001) sustainability memiliki implikasi pada dinamika
pembangunan yang sedang berlangsung dan dikendalikan oleh ekspektasi tentang
berbagai kemungkinan di masa yang akan datang. Untuk memulai dan memantau
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan diperlukan kerangka kerja terstandardisasi
(standardized framework) yang terbagi dalam empat tahap, yaitu: 1. Mendeskripsikan
permasalahan sesuai dengan konteksnya; 2. Mendeterminasi permasalahan dengan
context-dependent pada dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial; 3. Menterjemahkan
permasalahan ke dalam indikator keberlanjutan yang terukur; 4. Menilai kontribusi
indikator-indikator tersebut pada pembangunan berkelanjutan secara menyeluruh.
Menurut Khanna et al. (1999) perencanaan pembangunan berkelanjutan perlu
mempertimbangkan secara mendalam adanya trade-off antara level produksi-konsumsi
dengan kapasitas asimilasi ekosistem. Sesuai dengan konsep daya dukung (carrying
capacity), peningkatan kualitas hidup hanya bisa dilakukan apabila pola dan level
produksi-konsumsi memiliki kompatibilitas dengan kapasitas lingkungan biofisik dan
sosial. Melalui proses perencanaan berbasis daya-dukung (carrying capacity-based
planning process) kondisi ini bisa dicapai dengan mengintegrasikan ekspektasi sosial
dan kapabilitas ekologi ke dalam proses pembangunan. Dalam perencanaan
pembangunan berkelanjutan, Khanna et al. (1999) menambahkan bahwa ekonomi
dipandang sebagai sebuah subsistem dari sebuah ekosistem regional. Tidak mungkin
terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak terbatas. Dalam perspektif makroekonomi, hal
ini berarti bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi harus selalu berada di dalam batas daya
dukung wilayah dan berada pada trade-off antara jumlah penduduk dan penggunaan
sumberdaya per kapita di dalam wilayah yang bersangkutan. Untuk lebih jelasnya,
dimensi pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar
Gambar 6 memperlihatkan bahwa dimensi pembangunan yang berkelanjutan
meliputi aspek ekonomi (pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisien), aspek sosial
(keadilan, keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat) dan
aspek ekologi (keutuhan eko
keanekaragaman hayati).
pembangunan harus diukur dari
2.11. Model Dinamik
Menurut Anderson dan Johnson (1997) sistem
komponen yang saling berinteraksi, interrelasi, atau interdependensi dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen sebuah sistem dapat berupa objek
fisik yang dapat disentuh dengan ind
sebuah mobil). Komponen sebuah sistem dapat juga bersifat
informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi
of minds dalam diri seseorang seperti:
Johnson (1997) mengatakan bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik;
bagian-bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu
memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; dan memi
umpan balik (feedback mechanism).
SocialEquity
Social cohessionParticipation
Empowerment
Gambar 6. Dimensi pembangunan berkelanjutan
Sumber: Khanna et al., 1999
memperlihatkan bahwa dimensi pembangunan yang berkelanjutan
meliputi aspek ekonomi (pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisien), aspek sosial
(keadilan, keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat) dan
aspek ekologi (keutuhan ekosistem, sumberdaya alam, daya dukung lingkungan,
keanekaragaman hayati). Oleh sebab itu maka keberhasilan dan kemajuan
pembangunan harus diukur dari kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan.
Menurut Anderson dan Johnson (1997) sistem adalah kumpulan dari komponen
komponen yang saling berinteraksi, interrelasi, atau interdependensi dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen sebuah sistem dapat berupa objek
yang dapat disentuh dengan indra (misalnya berbagai spare parts
Komponen sebuah sistem dapat juga bersifat intangible
informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi
dalam diri seseorang seperti: feeling, values, dan beliefs.
Johnson (1997) mengatakan bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik;
bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu
memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; dan memi
(feedback mechanism).
Economic:Sustainable Growth
Efficiency
Ecological:Ecosystem IntegrityNatural Resources
BiodiversityCarrying capacity
Social:Equity
Social cohessionParticipation
Empowerment
35
memperlihatkan bahwa dimensi pembangunan yang berkelanjutan
meliputi aspek ekonomi (pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisien), aspek sosial
(keadilan, keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat) dan
sistem, sumberdaya alam, daya dukung lingkungan,
keberhasilan dan kemajuan
kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan.
adalah kumpulan dari komponen-
komponen yang saling berinteraksi, interrelasi, atau interdependensi dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen sebuah sistem dapat berupa objek
yang menyusun
intangible seperti aliran
informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi state
beliefs. Anderson dan
Johnson (1997) mengatakan bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik;
bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu
memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; dan memiliki mekanisme
36
System dynamics digunakan untuk mencari penjelasan tentang berbagai
permasalahan jangka panjang yang terjadi secara berulang-ulang di dalam struktur
internal. Mekanisme umpan balik merupakan konsep inti yang digunakan dalam system
dynamics untuk memahami struktur sistem. Diasumsikan bahwa keputusan secara
sosial atau individual dibuat berdasarkan informasi tentang keadaan sistem atau
lingkungan di sekitar pengambil keputusan berada. Model-model sistem dinamik
dibentuk oleh banyak lingkar simpal kausal (causal loop diagram) yang saling
berhubungan satu sama lain.
Diagram simpal kausal pada dasarnya merupakan representasi grafik dari
pemahaman tentang struktur yang sistemik. Diagram ini sangat penting karena
memberi panduan tentang bagaimana sistem itu dibangun dan bagaimana sistem itu
berperilaku (Kim dan Anderson, 1998). Diagram ini pada dasarnya menggambarkan
sistem tertutup. Sebagian besar variabel berhubungan melalui mekanisme umpan balik
dan berupa variabel indigenous. Apabila ada beberapa faktor yang dipercaya
mempengaruhi sistem dari luar tanpa dipengaruhi oleh dirinya sendiri, faktor tersebut
dipertimbangkan sebagai variabel exogenous di dalam model. Diagram simpal kausal
memainkan peranan penting dalam studi tentang system dynamics. Selama
pengembangan model, diagram simpal kausal dapat dijadikan sebagai preliminary
sketches dari hipotesis kausal yang dibangun. Selain itu diagram simpal kausal juga
dapat dianggap sebagai simplifikasi model (Goodman, 1980).
Diagram simpal kausal dan diagram alir (flow diagram) sangat penting untuk
memahami struktur sistem sebelum mengembangkannya ke dalam persamaan sistem.
Diagram alir tersusun dari elemen rate, level, dan auxiliary yang diorganisasikan dalam
sebuah network. Level adalah akumulasi atau persediaan (stok) material atau informasi.
Elemen-elemen sistem yang menunjukkan keputusan, tindakan, atau perubahan di
dalam suatu level disebut rate. Rate adalah aliran material atau informasi ke atau dari
level.
Simpal kausal dibedakan menjadi dua macam; yaitu simpal positif (reinforcing
feedback loop) dan simpal negatif (balancing feedback loop). Simpal positif cenderung
untuk memperkuat gangguan dan menghasilkan pertumbuhan atau peluruhan
eksponensial. Simpal negatif cenderung meniadakan gangguan dan membawa sistem
pada keadaan kesetimbangan atau mencapai tujuan. Kombinasi dari kedua jenis simpal
37
kausal tersebut sering terjadi dan memungkinkan pengguna system dynamics
merumuskan sejumlah generalisasi atau teorema yang berguna sehubungan dengan
struktur sistem pada kecenderungan perilaku dinamik.
2.12. Rapid Apraissal Analysis
Analisis keberlanjutan pengelolaan suatu kawasan atau keberlanjutan
pembangunan wilayah secara multidisipliner dapat dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) dengan analisis rapid
apraissal analysis yang dikenal dengan istilah Rapfish. Dalam MDS ini pada umumnya
dilihat keberlanjutan dari beberapa dimensi yang menyangkut berbagai aspek. Setiap
dimensi ini akan memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan keberlanjutan
pembangunan kawasan. Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status
masing-masing dimensi pengelolaan lingkungan apakah mendukung atau tidak terhadap
keberlanjutan sumberdaya dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis kegiatan yang
spesifik. Dasar dari penentuan status ini pada akhirnya akan menjadi barometer dalam
penentuan kebijakan yang harus dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan pengelolaan
suatu kawasan.
Penggunaan teknik MDS mempunyai berbagai keunggulan diantaranya adalah
sederhana, mudah dinilai, cepat serta biaya yang diperlukan relatif murah (Pitcher,
1999). Selain itu, teknik ini dapat menjelaskan hubungan dari berbagai aspek
keberlanjutan, dan juga mendefenisikan pembangunan kawasan yang fleksibel. Pada
pendekatan MDS, data yang diperoleh pada umumnya dianalisis dengan menggunakan
software pendukung MDS yang dimodifikasi dari software Rapfish (rapid assesment
techniques for fisheries)
Rapid apraissal (RAP) sebenarnya merupakan teknik yang digunakan untuk
mengevaluasi keberlanjutan sumberdaya perikanan secara multidisiplin yang
dikembangkan oleh University of British Columbia, Canada (Pitcher, 1999 serta Fauzi
dan Anna, 2005). Saat ini RAP dimodifikasi untuk mengevaluasi keberlanjutan
berbagai pembangunan yang saat ini dilakukan, karena pada dasarnya RAP merupakan
teknik yang bersifat multidisiplin dan dengan sedikit modifikasi dapat digunakan untuk
mengevaluasi comparative sustainability dari sejumlah atribut/indikator yang mudah
untuk dibuat skor-nya. Oleh karena itu maka aplikasi dari RAP ini juga dapat
38
digunakan untuk melihat keberlanjutan dari pembangunan kota baru beserta
infrastrukturnya. Adapun yang dimaksud dengan atribut/indikator di sini adalah
variabel atau komponen ekosistem serta variabel dan komponen pengelolaan yang
digunakan untuk menyimpulkan status kriteria.
Penggunaan analisis RAP ini bisa mencakup berbagai aspek seperti ekologi,
ekonomi, sosial, teknologi, hukum, kelembagaan, dan sebagainya, sehingga dari sini
akan diperoleh gambaran yang jelas mengenai kondisi saat tersebut. Sebagai contoh
kaitannya dengan pembangunan kota baru beserta infrastrukturnya, hasil analisis RAP-
nya akan memperoleh gambaran situasi pembangunan kota baru beserta
infrastrukturnya yang ada saat ini sekaligus akan dapat dibuat kebijakannya yang tepat
dalam rangka menciptakan pembangunan kota baru beserta infrastrukturnya yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Hasil analisis keberlanjutan ini dapat
dilanjutkan dengan analisis keterkaitan dan ketergantungan antar faktor, sehingga dari
sini akan dapat ditentukan urutan prioritas kebijakannya, dan selanjutnya dari faktor-
faktor dominannya akan dibangun model pembangunan kota baru beserta
infrastrukturnya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Kavanagh, 2001).
Menurut Kavanagh (2001) serta Fauzi dan Anna (2005) ada lima tahapan yang
harus dilalui dalam prosedur RAP indeks keberlanjutan sumberdaya, yakni:
1. Menganalisis data yang diteliti, baik data statistik maupun data yang berasal
dari studi literatur maupun data yang berasal dari hasil pengamatan di lapang
(kondisi eksisting)
2. Membuat skoring yang mengacu pada literatur yang sudah ada, untuk keperluan
ini biasanya menggunakan excel)
3. Melakukan analisis multi dimentional scalling (MDS) dengan menggunakan
software SPSS, sehingga dari sini akan dapat ditentukan ordinasi dan nilai
stress melalui ALSCAL algoritma
4. Melakukan rotasi, sehingga akan dapat ditentukan posisi sumberdayanya pada
ordinasi bad dan good. Untuk keperluan ini biasanya digunakan excell dan
visual basic
5. Melakukan analisis sensitifitas (analisis leverage) dan analisis montecarlo
sehingga dapat memperhitungkan aspek ketidak pastiannya.
39
2.13. Analisis Prospektif
Analisis prospektif adalah analisis yang digunakan untuk mengeksplorasi
kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Hasil dari analisis prospektif ini akan
diperoleh informasi mengenai faktor kunci yang berperan dalam sistem berdasarkan
kebutuhan stakeholders yang terlibat dalam sistem tersebut. Untuk keperluan analisis
prospektif ini akan ditentukan faktor kunci dan tujuan strategis. Pada penentuan faktor
kunci dan tujuan strategis tersebut sepenuhnya didasarkan pada pendapat dari pihak
yang berkompeten sebagai stakeholders yang terkait dengan sistem yang akan dikaji
dengan cara melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview) di wilayah
studi melalui bantuan kuesioner (Trayer, 2000).
Menurut Bourgeois dan Jesus (2004) tahapan analisis prospektif ada tiga yaitu:
(1) Mengidentifikasi faktor kunci penentu untuk masa depan dari sistem yang dikaji.
Pada tahap ini dilakukan identifikasi semua faktor penting dengan menggunakan kriteria
faktor variabel, menganalisis pengaruh dan kebergantungan seluruh faktor dengan
melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan
pengaruh dan kebergantungan dari masing-masing faktor ke dalam empat kuadran
utama; (2) Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan (3)
Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini
dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan
keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi
bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang akan
terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem.
Analisis prospektif juga akan menentukan faktor kunci keberlanjutan
pengelolaan suatu sistem. Pada tahap penentuan faktor kunci ini seluruh faktor penting
dengan menggunakan kriteria faktor pengungkit yang sudah didapat dari hasil analisis
MDS. Pada analisis prospektif ini, digunakan data-data yang berasal dari pendapat
pakar dan stakeholder yang terlibat dengan pengelolaan sistem tersebut. Adapun cara
yang dilakukan pada pengumpulan data tersebut adalah wawancara mendalam dengan
bantuan kuesioner dan melalui diskusi. Pada analisis prospektif ini akan dilihat
pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor serta akan melihat pengaruh timbal
baliknya yang digambarkan dengan menggunakan matriks yang memperlihatkan
pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor pada empat kuadran utama.
40
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Baru Bumi Serpong Damai, Provinsi Banten,
serta di wilayah sekitarnya. Penelitian dilakukan pada bulan Mei – September 2011.
3.2. Rancangan Penelitian
Penelitian ini melibatkan banyak stakeholder untuk berbagai kepentingan dan
merupakan penelitian yang cukup kompleks. Oleh karenanya maka penelitian ini
memerlukan pendekatan secara holistik, sehingga dari sini akan dapat memecahkan
masalah, tidak secara parsial, namun akan memecahkan masalah secara lebih tuntas.
Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dengan pendekatan sistem. Adapun
alasan pemilihan tersebut disebabkan pendekatan sistem merupakan salah satu metode
yang dapat menyelesaikan permasalahan dengan kompleksitas yang cukup tinggi,
sehingga dapat memenuhi tujuan yang telah ditetapkan.
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini akan dikumpulkan baik data primer maupun data sekunder.
Data primer dikumpulkan secara langsung dari lokasi penelitian melalui pengamatan,
diskusi serta wawancara langsung dengan para pakar dan stakeholder. Data sekunder
diperoleh dengan cara menelusuri berbagai sumber seperti hasil penelitian dan berbagai
dokumen dari instansi terkait. Adapun jenis dan sumber data yang dikumpulkan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6.
3.4. Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini dalam rangka
menggali informasi dan pengetahuan (akuisisi pendapat pakar), ditentukan/dipilih
secara sengaja (purposive sampling) diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
yang didasarkan pada kebutuhan penelitian. Adapun yang dimaksud dengan pakar di
sini adalah pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli dalam model pengelolaan
kota baru mandiri. Dasar pertimbangan dalam penentuan atau pemilihan pakar untuk
dijadikan sebagai responden menggunakan kriteria, sebagai berikut:
1. Keberadaan responden dan kesediaanya untuk dijadikan responden.
42
2. Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai
ahli atau pakar pada bidang yang diteliti.
3. Memiliki latar belakang pendidikan tinggi di bidang yang dikaji dan atau telah
memiliki pengalaman dalam bidangnya minimal 2 tahun.
Adapun stakeholders yang diwawancara di sini adalah penghuni perumahan BSD,
developer/pengembang BSD, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang, Dinas
PU Kabupaten Tanggerang, perwakilan/asosiasi pengusaha, perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan pengelolaan lingkungan, dan (5)
tokoh masyarakat sekitar. Untuk lebih jelasnya Jenis dan sumber data yang
diperlukan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6, dan responden keseluruhan
disajikan pada Tabel 7.
3.5. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini dilakukan berbagai analisis yakni analisis deskriptif untuk
melihat kondisi lingkungan eksisting, analisis keberlanjutan, analisis prospektif dan
permodelan. Untuk lebih jelasnya tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
a Analisis Keberlanjutan
Pada penelitian ini akan dilakukan analisis terhadap status keberlanjutan
pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD. Analisis terhadap status keberlanjutan
kawasan dilakukan dengan mengkaji kondisi lima dimensi pengelolaan lingkungan
yakni dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan. Hasil analisis ini
diperoleh faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD
untuk setiap dimensi. Faktor ini penting untuk diperhatikan dalam rangka mencapai
pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru BSD yang berkelanjutan.
Keberlanjutan kawasan kota baru akan dianalisis melalui pendekatan multidimensional
scaling (MDS) dengan analisis Rapfish. MDS adalah teknik analisis yang digunakan
untuk mengetahui keberlanjutan pembangunan wilayah secara multidisipliner. Dimensi
dalam MDS menyangkut berbagai aspek. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator
yang terkait dengan keberlanjutan pembangunan kawasan.
43
Tabel 6. Jenis dan sumber data yang diperlukan pada penelitian
Data Indikator Unit Sumber
Luas kota baru Luas kawasan Kota Baru terbangun ha PT. BSD
Kualitas udara Konsentrasi ambien polusi udara padakawasan kotabaru BSD dan Jakarta(CO2, NOx, SOx)
ppm Pengukuran/pengambilansample dilapang&analisis di lab
Kws. permukiman Persentase luas kws. Permukiman dr.luas total BSD % PT. BSD
Kws. terbangun Persentase luas kws. Terbangun dariluas total BSD % PT. BSD
Kawasan lindung Persentase luas kws.Lindung dr. luastotal BSD ha Bappeda
Pengelolaanlimbah
Persentase limbah domestik danindustri yang mendapat treatment. ton PT. BSD
Bapedalda
Pencemaran airKonsentrasi limbah B3 (logam beratHg, Cd, Pb, As, Cr) dan phenol)dalam air
ppm Bapedalda
BanjirPersentase kawasan banjir dariseluruh lahan daratan BSDFrekuensi banjir yang terjadi di BSD
%
Kali/th
PT. BSDBappedaBappeda
Persampahan Persentase sampah BSD terangkut keTPA % PT. BSD
Kualitas dankuantitas airbersih
BOD, COD, amoniak, nitrit, nitrat,posfat, detergen,H2S dan coliform ppm Observasi
Jumlah air tanah dan air permukaanyang dikonsumsi per tahun. BPS
Jumlah penduduk Jumlah penduduk yang tinggal BPSPertumbuhanpenduduk
Pertumbuhan penduduk per tahun diBSD BPS
Kepadatanpenduduk Kepadatan penduduk per hektar BPS
Pendapatan perKK Besar pendapatan per kapita % BPS
Mata pencaharian Jenis mata pencaharian penduduk BPS
Pendidikan Tingkat pendidikan penduduk BPSFactor pengungkitKeberlanjutankota baru
Terumuskannya faktor pengungkitpada aspek sosial, ekonomi, ekologi,teknologi, hokum dan kelembagaan
satuan Wawancara mendalam(Expert/Pakar)
Parameter kuncikeberlanjutan kotabaru
Terumuskannya parameter kuncikeberlanjutan pada aspek sosial,ekonomi, ekologi, teknologi, hokumdan kelembagaan
satuan Wawancara mendalamdengan Expert/Pakar
Kebutuhan sistem
Tujuan sistem
Identifikasi faktorstrategis sistem.
Perumusanskenario sistem.
Penentuanprioritas
Kebutuhan dari setiap stakeholderterkait permasalahan pengendalianpencemaran
Pengkajian masalah dimulai darianalisis kebutuhan hingga dapatsistem operasional yang efektif
Pernyataan kebutuhan dari masalahyang akan diselesaikan untukmencukupi kebutuhan
Terumuskannya skenario-skenariopengendalian kerusakan lingkungan
Terumuskannya prioritas utamadalam pengendalian kerusakanlingkungan
Expert/Pakar
Expert/Pakar
Expert/Pakar
Expert/Pakar
Expert/Pakar
44
Tabel 7. Rincian jumlah responden penelitian
No. RespondenTeknik Pengambilan
SampelJumlah
Pakar
1 Kepala LH Kab.Tangerang Purposive 1 orang
2 Kepala Dinas PU Purposive 1 orang
3 Pengembang BSD Purposive 1 orang
4 Akademisi Purposive 2 orang
5 LSM peduli lingkungan rusunawa purposive 1 orang
6 Asosiasi perumahan purposive 1 orang
7 Penghuni BSD purposive 2 orang
8 Tokoh masyarakat sekitar purposive 2 orang
Jumlah 11 orang
Gambar 7. Tahapan penelitian
IndikatorKeberlanjutan
Model Pengendalianlingkungan dalam
pembangunan kota baru
FaktorPengungkit
Penentuan KualitasLingkungan
(kondisi eksisting)
Analisis statuskualitas lingkungan
StatusKeberlanjutan
Prioritas Kebijakandan StrategiImplementasi
FaktorKunci
Wawancara&Pustaka
Analisis Prospektif
KuesionerWawancara
MDS
FGD
PembangunanKota Baru BSD
45
Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status masing-masing dimensi
pengelolaan lingkungan apakah mendukung atau tidak terhadap keberlanjutan
sumberdaya dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis kegiatan yang spesifik. Dasar dari
penentuan status ini menjadi barometer dalam penentuan kebijakan yang harus
dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan kota baru. Teknik MDS ini akan
menjelaskan hubungan dari berbagai aspek keberlanjutan, dan juga mendefenisikan
pembangunan kawasan yang fleksibel.
Data yang diperoleh dari penelitian ini selanjutnya akan dianalisis dengan
software Rapfish (rapid assesment techniques for fisheries) yang dikembangkan oleh
Fisheries Center University of British Columbia, Kanada. Pada analisis MDS ini, data
yang diperoleh diberi skor sesuai dengan status sumberdaya tersebut dengan skala 0
sampai 100%. Ordinasi MDS dibentuk oleh aspek ekologi, ekonomi, sosial,
kelembagaan, dan teknologi. Adapun tatacara melakukannya disajikan pada Gambar 7.
b Analisis Prospektif
Analisis prospektif digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang
berpengaruh pada pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru BSD yang
berkelanjutan saat ini. Faktor-faktor kunci hasil analisis tersebut kembali dianalisis
tingkat pengaruh dan kebergantungannya, yang selanjutnya dijadikan sebagai variabel
untuk membangun model pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru
BSD yang berkelanjutan. Model yang dibangun mengacu pada variabel yang kuantitatif
dan kualitatif. Analisis prospektif ini akan memberikan kombinasi faktor-faktor
dominan dan didefinisikan kemungkinan keadaannya di masa depan dan dirumuskan
berbagai masukan pada pengembangan model pengendalian lingkungan dalam
pembangunan Kota Baru BSD yang berkelanjutan. Selain itu juga untuk merumuskan
skenario yang mungkin terjadi dalam pengembangan model. Skenario disusun dengan
melibatkan stakeholder terkait. Teknik perumusan skenario menggunakan pendekatan
prospektif dan focus group discussion (FGD).
Pada penelitian ini keberlanjutan dinilai dari lima dimensi. Setiap dimensi
tersebut dilengkapi dengan atribut yang digunakan untuk menilai kondisi di masa lalu
dan saat ini. Penentuan skor setiap atribut dilakukan dengan berbagai teknik yaitu:
untuk atribut yang datanya tersedia dalam bentuk numerik, maka menggunakan data
46
dokumentasi. Atribut yang datanya berupa persepsi atau pandangan maka dilakukan
wawancara terhadap responden yang mengetahui dengan tepat kondisi atribut tersebut.
Gambar 8. Proses aplikasi MDS
Output dari hasil analisis ini adalah berupa status keberlanjutan untuk ke-lima
dimensi dalam bentuk skor dengan skala 0 – 100. Adapun kategori keberlanjutannya
menggunakan skor yang diadopsi dari Kavanagh (2001), yakni jika didapat skor 0-24,99
menunjukan bahwa dimensi tersebut buruk, skor 25-49,99 menunjukkan kurang
berkelanjutan; jika didapat skor 50 – 74,99 menunjukkan cukup berkelanjutan; dan jika
skor 75-100 menunjukkan bahwa dimensi tersebut berkelanjutan atau baik.
MULAI
Review Atribut(meliputi berbagai kategori
dan skoring kriteria)
Identifikasi danPendefinisian Keberlanjutan
(kriteria yang konsisten)
Skoring Kawasan(konstruksi angka referensiuntuk good, bad & anchor)
Simulasi Monte Carlo(analisis ketidakpastian)
Leveraging Factor(Analisis anomali)
Multidimensional ScalingOrdination
(untuk setiap atribut)
Analisis Keberlanjutan(Asses sustainability)
47
Pada penelitian ini juga akan didapatkan faktor pengungkit (leverage factors)
yakni faktor-faktor strategis yang harus diperhatikan dalam pengembangan kota baru di
masa mendatang. Faktor pengungkit selanjutnya dilihat kembali faktor mana yang
merupakan faktor sensitifnya atau faktor mana yang dapat mengintervensi hal-hal yang
akan membuat pengembangan kota baru menjadi berkelanjutan.
Dalam rangka mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan
nilai ordinasi pengembangan kota baru berbasis budidaya kota baru, digunakan analisis
"Monte Carlo", sehingga dari sini akan diketahui hal-hal sebagai berikut (Kanvanagh,
2001, serta Fauzi dan Anna, 2002):
1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman
kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemanaman terhadap
atribut atau cara pembuatan skor atribut;
2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti
yang berbeda;
3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi);
4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data).
Analisis prospektif ditujukan untuk mendapatkan informasi mengenai faktor
kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam pengendalian kerusakan
lingkungan yang berkelanjutan. Analisis ini juga dapat mengeksplorasi kemungkinan di
masa yang akan datang, sesuai kebutuhan para pelaku (stakeholders) yang terlibat dan
akan diperoleh melalui bantuan kuesioner dan wawancara langsung di wilayah studi.
Adapun faktor kunci yang didapat akan digunakan untuk mendeskripsikan
kemungkinan masa depan bagi pengendalian kerusakan lingkungan yang berkelanjutan.
Pada analisis ini akan dihimpun pendapat pakar dan stakeholder yang terlibat
dalam pengendalian kerusakan lingkungan yang berkelanjutan. Adapun tahapan yang
dilakukan pada analisis prospektif (Bourgeois dan Jesus, 2004) adalah sebagai berikut:
(1) Mengidentifikasi faktor kunci penentu untuk masa depan dari sistem yang dikaji.
Pada tahap ini dilakukan identifikasi semua faktor penting dengan menggunakan kriteria
faktor variabel, menganalisis pengaruh dan kebergantungan seluruh faktor dengan
melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan
pengaruh dan kebergantungan dari masing-masing faktor ke dalam empat kuadran
48
utama; (2) Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan (3)
Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan.
Tabel 8. Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam sistem pengendaliankerusakan lingkungan yang berkelanjutan
Dari
TerhadapA B C D E F G
ABCDEFG
Sumber: Godet et al. (1999). Keterangan: A - I = Faktor penting dalam sistem
Gambar 9. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem
Pada tahap tersebut dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah
dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana
yang dapat terjadi bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan memasangkan
perubahan yang akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya
terhadap sistem. Adapun untuk melihat pengaruh langsung antar faktor dalam sistem,
MDS
Pengaruh
Ketergantungan
49
pada tahap pertama digunakan matriks seperti yang terlihat pada Tabel 8. Tingkat
pengaruh dan ketergantungan antar faktor di dalam sistem disajikan pada Gambar 9.
Berdasarkan hasil analisis tersebut selanjutnya akan dibuat skenario pengendalian
kerusakan lingkungan yang berkelanjutan. Selanjutnya setelah didapat faktor kunci
dirumuskan prioritas kebijakan pengendalian kerusakan lingkungan yang berkelanjutan.
3.6. Perancangan Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan KotaBaru Berkelanjutan
Perancangan model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kotabaru
berkelanjutan dilakukan berdasarkan hasil faktor-faktor penting yang harus dikelola dari
hasil studi yang telah dilakukan berdasarkan kajian deskriptif, keberlanjutan, dan
prospektif. Selain itu juga dilakukan berdasarkan hubungan sebab akibat yang akan
terjadi dari faktor-faktor yang terpilih. Hubungan sebab akibat dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu hubungan positif dan hubungan negatif. Hubungan positif adalah
hubungan yang makin besar nilai faktor penyebabnya akan makin besar pula nilai faktor
akibat, sedangkan hubungan negatif adalah hubungan yang semakin besar nilai faktor
penyebab akan makin kecil nilai dari faktor akibat. Dampak atau akibat dari suatu
sebab dapat mempengaruhi balik sebab tersebut, sehingga terdapat hubungan sebab
akibat yang memiliki arah berlawanan dengan hubungan sebab akibat yang lain. Dalam
hal ini terbentuk suatu umpan balik tertutup, yang sering kali disebut sebagai loop.
Loop adalah suatu akibat yang dibalikkan ke penyebabnya, sehingga terbentuk apa yang
dinamakan umpan balik atau feed back loop (Aminullah et al., 2001).
Umpan balik dapat dibedakan atas dua macam yaitu umpan balik positif dan
umpan balik negatif. Suatu umpan balik disebut positif bila perkalian tanda dari
hubungan sebab akibat yang membentuknya adalah positif, sedangkan bila hasilnya
negatif maka umpan balik tersebut disebut umpan balik negatif. Umpan balik dapat
terjadi secara alamiah atau terjadi karena adanya kebijakan yang diterapkan pada
sistemnya.
Suatu umpan balik menyatakan mekanisme perubahan nilai faktor secara otomatis.
Umpan balik positif memberikan penguatan terhadap perubahan yang terjadi, sehingga
nilai perubahan tersebut makin lama makin besar. Sebaliknya umpan balik negatif
memberikan pelemahan terhadap perubahan yang terjadi, sehingga nilai perubahan
50
tersebut makin lama makin kecil dan akhirnya hilang.
umum penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 10. Model pengendalian lingkungan dalam pembangunberkelanjutan
3.7. Pemodelan Sistem
Pemodelan sistem dilakukan melalui pendekatan sistem, yak
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis
dilakukan (1) analisis kebutuhan antar pelaku, (2) formulasi permasalahan, (3)
identifikasi sistem, (4) permode
implementasi model. Adapun tahapan
adalah sebagai berikut:
a. Analisis Kebutuhan
Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengetahui gambaran awal terhadap
sistem yang akan terjadi dan
tersebut, antara lain :
n lama makin kecil dan akhirnya hilang. Untuk lebih jelasnya model
ini dapat dilihat pada Gambar 10.
endalian lingkungan dalam pembangunan kota baru
dilakukan melalui pendekatan sistem, yakni pendekatan yang
ciri sistem sebagai titik tolak analisisnya. Pada pen
analisis kebutuhan antar pelaku, (2) formulasi permasalahan, (3)
identifikasi sistem, (4) permodelan sistem, (5) verifikasi dan validasi model serta (5)
Adapun tahapan-tahapan yang akan dilakukan pada penelitian ini
Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengetahui gambaran awal terhadap
dan dilakukan pada semua pelaku yang terlibat dalam sistem
Untuk lebih jelasnya model
kota baru
pendekatan yang
nya. Pada pendekatan sistem
analisis kebutuhan antar pelaku, (2) formulasi permasalahan, (3)
lan sistem, (5) verifikasi dan validasi model serta (5)
pada penelitian ini
Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengetahui gambaran awal terhadap perilaku
terlibat dalam sistem
51
1. Masyarakat di lokasi penelitian
Terjaganya kondisi kesehatan masyarakat
Pencemaran lingkungan akibat terbangunnya kota baru menjadi minimal
Biaya hidup menjadi lebih terjangkau
Tersedianya sarana dan prasarana
2. Pemerintah
Memberikan perlindungan kepada masyarakat dan lingkungan.
Pelayanan dan penyediaan sarana dan prasarana dapat terpenuhi
Pencemaran air akibat limbah perkotaan menurun
Pencemaran udara akibat transportasi dan industri menurun
Peran serta masyarakat dan swasta meningkat
Pengaturan pengolahan limbah teratasi
Tidak ada masalah sampah
Sampah dapat di daur ulang/produksi bersih (bernilai ekonomis)
Terjadi peningkatan PDB dan PDRB
3. Akademisi
Membuat alternatif/teknologi pengendalian pencemaran limbah, emisi dan
sampah yang efektif, efisien dan ramah lingkungan.
Membuat alternatif model pengelolaan lingkungan yang dapat meningkatkan
daya dukung lingkungan
Membuat alternatif teknologi pemanfaatan kembali limbah yang ekonomis
4. Lingkungan Hidup
Ditaatinya RTRW
Lingkungan tidak rusak sehingga aman bagi semua mahluk hidup.
Kondisi air, lahan dan udara yang tidak tercemari sehingga mampu
mempertahankan keseimbangan ekologisnya
5. Pengembang
Tarif pengelolaan lingkungan berdasarkan biaya operasional
Produktifitas kegiatan tetap berlangsung
Iklim investasi sehat dan kompetitif
Sumberdaya manusia yang handal dan bertanggung jawab
Disiplin memelihara instalasi pengolah limbah dan sampah
6. LSM
Lingkungan tidak rusak dan aman bagi semua makhluk hidup.
Kondisi air, lahan dan udara yang tidak tercemari sehingga mampu
mempertahankan keseimbangan ekologisnya
Tetap tingginya porsi RTH
52
Pengelolaan lingkungan lebih diutamakan dari pada kepentingan ekonomi dan
sosial
b. Formulasi Masalah
Pada pendekatan sistem, pertama-tama dilakukan identifikasi permasalahan awal
secara mendasar, sehingga ke depannya diharapkan akan diperoleh alternatif
penyelesaian masalah sesuai dengan tingkat permasalahan yang diangkat. Adapun
permasalahan dasar tersebut, secara sistematis diuraikan sebagai berikut :
1. Meningkatnya jumlah (kebutuhan) perumahan
2. Menurunnya ruang terbuka hijau
3. Tidak ditaatinya RTRW yang sudah disahkan
4. Masih minimnya instalasi pengolah air limbah dan penggunaan alat untuk
menurunkan emisi
5. Masih minimnya kinerja instalasi pengolah limbah yang sudah dibangun
6. Tingginya biaya operasional IPAL dan TPA sampah
7. Masih adanya keterbatasan pendanaan untuk membiayai kinerja instalasi pengolah
limbah domestik yang sudah dibangun
8. Relatif rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan lingkungan
9. Meningkatnya jumlah bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan di
kawasan kotabaru
10. Menurunkan kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan
11. Perencanaan yang bersifat sektoral yang berakibat pada rendahnya koordinasi dan
kerjasama lintas sektor yang kurang sinergi
12. Adanya ketidak sesuaian regulasi dari pemerintah mengenai tingkat pencemaran di
perairan dan atmosfir
13. Belum teratasinya masalah pencemaran.
c. Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem adalah rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan
dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan. Hasil identifikasi
sistem dinyatakan dalam diagram input-output atau diagram lingkar sebab-akibat.
Menurut Manecth dan Park (1977) secara garis besar ada enam kelompok variabel yang
akan mempengaruhi kinerja sistem yang digambarkan dalam bentuk diagram input-
output yakni:
53
Variabel output yang dikehendaki yang ditentukan berdasarkan analisis
kebutuhan
Variabel output yang tidak dikehendaki
Variabel input yang terkontrol
Variabel input yang tidak terkontrol
Variabel input lingkungan
Variabel umpan balik sistem
Diagram input-output penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.
d. Pembuatan Model
Disain model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kotabaru
berkelanjutan dibangun berdasarkan hasil identifikasi sistem. Setelah modelnya dibuat,
selanjutnya dilakukan simulasi, verifikasi dan validasi model.
e. Simulasi Model
Model yang sudah dibuat selanjutnya dibuat simulasinya, yakni untuk melihat
pola kecenderungan perilaku model. Hasil simulasi ini selanjutnya akan dianalisis dan
ditelusuri faktor-faktor penyebab terjadinya pola dan kecenderungan tersebut. Hasil
simulasi ini selanjutnya dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan yang diperlukan
dalam perbaikan kinerja sistem.
f. Verifikasi dan Validasi Model
Model yang valid adalah model yang struktur dasarnya dapat menggambarkan
perilaku, dan polanya dapat menggambarkan perilaku sistem nyata dan dapat mewakili
data yang dikumpulkan dengan cukup akurat. Validasi model juga dibatasi oleh mental
model dari penyusun model. Validasi ini perlu dilakukan agar dapat memenuhi kaidah
keilmuan pada model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru
berkelanjutan.
54
Gambar 11. Diagram INPUT-OUTPUT model pengendalian lingkungan dalampembangunan kota baru berkelanjutan
Input Tak Terkontrol
Jumlah penduduk Pemukiman penduduk Migrasi penduduk Laju pertumbuhan penduduk Jaringan dan debit air Jenis dan konsentrasi limbah domestic,
industri dan rumah sakit Penerimaan masyarakat iklim
Input Terkontrol
Teknologi proses dan peralatan pengendalian limbah Tata ruang kawasan perumahan Tata pemanfaatan air Volume air limbah Pengolahan limbah Jumlah kendaraan Tahun pembuatan kendaraan Emisi transportasi Emisi industri Tarif retribusi Lapangan pekerjaan Sosial dan ekonomi penduduk Pergerakan penduduk Sarana&prasaranan pendidikan dan perkotaan
Output yang Tidak di inginkan
Tingkat pencemaran limbah domestic danindustri yang tinggi (lingkungan terganggu)
Kasus pencemaran meningkat RTH menurun Menurunnya daya dukung lingkungan Tidak taatnya masyarakat terhadap kebijakan
Output yang di inginkan
Teratasinya masalah pencemaranlingkungan
Meningkatnya daya dukungLingkungan
Meningkatnya kualitas lingkungan Efisien dan efektif-nya pengolahan
limbah Perbaikan sistem pengolah limbah Meningkatnya RTH Meningkatnya kesadara penduduk
terhadap lingkungan Ditaatinya RTRW
Model PengendalianLingkungan dalam
Pembangunan Kota BaruBerkelanjutan
Manajemen PengelolaanKota Baru
Input Lingkungan
Kebijakan Pemerintahterkait kota baru
RTRW Kebijakan pemerintah
terkait pencemaran
BAB IV. KONDISI UMUM
Kota Baru BSD terletak di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Kota Tangerang Selatan ini terletak tepat di sebelah barat Jakarta dan berbatasan
dengan Laut Jawa di sebelah utara, Provinsi DKI Jakarta di sebelah timur,
Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak di sebelah selatan, serta Kabupaten
Serang di sebelah timur. Kota Tangerang Selatan pada umumnya merupakan
dataran rendah (Gambar 12)
Gambar 12. Lokasi BSD sebagai hinterland Provinsi DKI JakartaSumber: Software Map of Jakarta (2004)
Kota Baru BSD terletak kurang lebih 20 km dari Provinsi Daerah Khusus
Ibu Kota Negara (DKI Jakarta) atau tepatnya terletak di sebelah barat daya DKI
Jakarta. Lahan pengembangan BSD disiapkan seluas kurang lebih 6000 ha dan
dari awal pembangunannya direncanakan akan dihuni sebanyak kurang lebih
530.000 penduduk dalam waktu 20-25 tahun. Kota Baru BSD pada dasarnya
merupakan hinterland DKI Jakarta, sehingga BSD diperuntukkan bagi kurang
56
lebih 40% penglaju dari DKI Jakarta dan sekitarnya. Konsep awal
pengembangan Kota Baru BSD ini berorientasi pada penyediaan unit hunian
yang representatif sebagai cikal bakal perkembangan kota tersebut. Adapun visi
dari PT. Bumi Serpong Damai dalam melakukan pembangunan tersebut adalah
mewujudkan kota mandiri (new city development), sedangkan misinya antara
lain mencakup: (1). melaksanakan pembangunan nyata; (2). investasi
berkesinambungan; (3). Tanggung jawab dan komitmen terhadap nasabah dan;
(4). kontribusi terhadap pengembangan wilayah
4.1. Master Plan BSD
Kota Baru Bumi Serpong Damai merupakan salah satu kota baru atau
kota terencana yang direncanakan sebagai kota mandiri di Indonesia. BSD
terletak di Serpong, Kota Tangerang Selatan. BSD diresmikan pada tanggal 16
Januari1984. Perencana BSD adalah Pasific Consultant International, Japan City
Planning Inc., Nihon Architect Engineer and Consultant Inc., dan Doxiadis;
sedangkan pengembangnya adalah Kelompok Sinar Mas. Kota Baru BSD
didirikan pada tanggal 16 Januari 1984 oleh pemegang saham dalam bentuk
perseroan, dalam bentuk pengembang properti. BSD mendapatkan SK ijin
lokasi seluas 5.950 hektar dan usaha pembebasan lahan bagi proyek BSD.
Pemegang saham pendiri BSD adalah PT.Serasi Niaga Sakti, PT. Anangga
Pertiwi Megah, PT. Nirmala Indah Sakti, PT. Supra Veritas, PT. Bhinneka
Karya Pratama, PT. Simas Tunggal Centre, PT. Apra Citra Universal, PT. Aneka
Karya Amarta, PT. Metropolitan Transcities Indonesia, dan PT. Pembangunan
Jaya (Gambar 13).
Master plan Kota Baru BSD dibuat pada tahun 1985, pembuatan master
plan ini membutuhkan waktu hingga lima tahun mengingat proyek tersebut besar
dan diduga akan menimbulkan dampak yang besar dan penting. Oleh karena itu
maka ijin yang dikeluarkan oleh Pemda Kabupaten Tangerang pada tahun 1987
memerlukan ijin dan persetujuan dari pemerintah pusat. Selanjutnya pada tahun
1989 Pemda Kabupaten Tangerang memberi ijin, sehingga perseroan dapat
melaksanakan konstruksi, oleh karena itu maka pada awal tahun 1989 dilakukan
peresmian, sesuai dengan RUTRK Serpong 1996.
57
Gambar 13. Master plan BSDSumber: Peta Rupa Bumi Indonesia, 2000; Masterplan BSD (www.bsd.com).
Pada perkembangan selanjutnya BSD berpartisipasi aktif pada daerah
sekitarnya, khususnya dalam mekukan pemeliharaan berbagai infrastruktur
seperti jalan, listrik, telepon dan lainnya, dengan tetap mengacu kepada
Permendagri No.1 tahun 1987 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan,
Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah Daerah.
Berdasarkan master plan BSD tersebut, BSD yang merupakan kota mandiri,
menggabungkan komunitas permukiman dan Central Business District (CBD).
Selain itu juga menggabungkannya dengan kawasan industri yang mampu
menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat dan dilengkapi dengan berbagai
fasilitas.
Pembangunan Kota Baru BSD dilakukan dalam tiga tahap, yaitu:
Tahap pertama (persiapan) dimulai tahun 1989 sudah dilakukan
pembangunan, pada saat itu juga sudah dipasarkan unit hunian dan area
komersial yang mudah dicapai dari daerah hunian (sub-pusat kota) dengan
dukungan akses jalan tol ke Jakarta. Tujuan pembangunan akses jalan tol
tersebut adalah untuk membangun ekonomi dasar yang terpusat di sub
58
pusat kota sebagai model pembangunan kota baru, pembangunan tersebut
seluruhnya dilakukan di sisi timur Sungai Cisadane.
Tahap kedua dilakukan percepatan jalannya pembangunan area komersial,
pengoperasian industri di Taman Tekno BSD dan penambahan jumlah
populasi BSD dalam kurun waktu 10 tahun (2004-2014).
Tahap ketiga atau pemantapan,yang melakukan pembangunan area CBD
dan unit hunian 2.135 hektar, karena pada tahap tersebut aktivitas ekonomi
di Kota Baru BSD lebih mantap karena pembangunan CBD dan Taman
Tekno BSD telah selesai. Tahap pemantapan ini dimulai tahun 2009 dan
diperkirakan akan selesai pada tahun 2019.
Perencanaan pengembangan lahan dalam tahapan pembangunan Kota
Baru BSD dapat dilihat pada Tabel 9
Tabel 9. Rencana penggunaan lahan dalam pembangunan KB-BSD
Penggunaan Lokasi Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3Jumlah
(ha)Kawasan hunian 1.050 1.461 2.135 4.646Kawasan komersial Sub pusat
kota150 141 145 436
CBD - 223 225 448TamanKota CBD
- 75 75 150
Kawasan industri 100 100 70 270Jumlah 1.300 2.000 2.650 5.950
Sumber: Divisi Perencanaan BSD (2006)
Pada saat ini, Kota Baru BSD dikembangkan dengan prioritas pada
sektor pelayanan berupa penyediaan fasilitas sosial dan umum berskala besar
(regional). Hal ini untuk mengantisipasi pengembangan BSD sebagai cikal
bakal pengembangan permukiman di Kabupaten Tangerang yang tidak dapat
dilepaskan kaitannya dengan wilayah yang lebih luas dan kompleks yaitu
Kawasan Metropolitan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi).
Pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD), merupakan
salah satu dari empat program prioritas pembangunan kota baru pada
pelaksanaan Repelita V, sedang tiga kota baru lainnya yang dikembangkan pada
masa tersebut adalah Kota Baru Bekasi, Kota Baru Driyorejo, dan Kota Baru
59
Cibinong. Namun kondisinya saat ini BSD relatif lebih berkembang dibanding
kota baru lainnya. Inisiatif pembangunan BSD dilakukan oleh sektor swasta,
oleh karena itu maka pihak pemerintah hanya membimbing dalam hal
administratif dan penyiapan rencana. Oleh karena itu dalam proses pelaksanaan
programnya hanya dilakukan oleh pihak swasta yang membangun BSD tersebut.
Sebenarnya kondisi tersebut dirasakan kurang tepat, mengingat pemerintah
sebagai regulator seharusnya punya peran dalam pelaksanaan program-program
yang dilakukan oleh BSD, terutama keterlibatannya dalam proses pelaksanaan
pelayanan umum.
4.2. Potensi Ekonomi
BSD dapat dikatakan sebagai pelopor pembangunan kota mandiri di
Jabodetabek yang telah menyelesaikan pembangunan tahap pertama dan tahap
kedua bagi perumahan, komersial, dan industri. Hingga saat ini penduduk BSD
ada yang bekerja pada kegiatan di sekitar BSD dan selebihnya yang telah
bekerja di Kota Jakarta dan sekitarnya.
Kota Serpong sendiri saat ini telah menjadi sumbu atau jantung utama
wilayah Tangerang, dalam hal ini Jalan Raya Serpong telah menjadi jalan kelas
provinsi yang menghubungkan Wilayah Tangerang dengan Wilayah Bogor dan
dukungan bisa diakses dari jalan Tol Merak-Jakarta (dengan jalur Serpong-
Tomang) dan jalan Tol BSD-Pondok Indah, bahkan saat ini telah dibuka Tol
JORR (Jakarta Outer Ring Road).
Mudahnya akses ke arah Serpong dan BSD ini, telah membantu BSD
untuk menjadi salah satu bagian wilayah di Kota Tangerang Selatan (awalnya
Kabupaten Tangerang, namun dipecah dari Kabupaten Tangerang pada tahun
2009) yang menjadi kawasan bisnis yang berkembang cukup pesat dan cukup
banyak diincar investor serta pengembang. Oleh karena itu maka kawasan
bisnis yang terdapat di BSD berkembang cukup pesat yang ditandai dengan
semakin banyak bermunculannya ruko (rumah-toko), restoran dan kawasan
niaga di sepanjang Jalan Raya Serpong dan di kawasan BSD sendiri, diantaranya
Plaza Niaga, Serpong Plaza, Sutera Niaga, WTC Matahari Serpong, Giant (Grup
Hero), Depo Bangunan yang diproyeksikan menjadi pusat grosir dan ritel
terbesar di Tangerang dan Kawasan Niaga Golden Road di Kawasan BSD, yaitu:
60
ruko dengan gaya arsitektur mediterania yang berlokasi di depan kawasan
German Center di Sektor VII BSD. BSD sendiri selain meluncurkan kawasan
Niaga Golden Road, juga sudah memiliki Sentra Niaga di Sektor I, VI, dan VII,
yang selalu habis terjual. Selain itu juga terdapat lokasi pergudangan seperti
Taman Teknos; pusat onderdil mobil BSD Autoparts, dsb.
Kehadiran WTC Matahari di tepi Jalan Raya Serpong serta ratusan ruko,
rumah makan dan pusat bisnis lainnya di sepanjang jalan tersebut membuat
kawasan tersebut menjadi kawasan yang ramai dan roda kehidupan boleh
dikatakan berdenyut hingga 24 jam. Oleh karena itu maka tidak heran jika
banyak yang berpendapat bahwa Jalan Raya Serpong di masa mendatang akan
menjadi Jalan Fatmawati kedua, karena di sepanjang jalan tersebut dipenuhi
dengan ruko dan kawasan niaga yang hampir selalu ramai dikunjungi pembeli.
Oleh karena itu, maka dengan adanya dukungan lokasi bisnis yang berada pada
tempat strategis dan pengunjung yang semakin ramai, maka nilai investasi ruko
dan bisnis lainnya cenderung terus meningkat setiap tahun. Potensi ekonomi
kota tersebut sudah pasti akan mendukung pemasukan PAD bagi Kota
Tangerang Selatan dan Provinsi Banten, saat ini dan di masa yang akan datang.
4.3. Permukiman
Pada awal pengembangannya, pembangunan Kota Baru BSD merupakan
alih fungsi lahan dari bekas perkebunan karet, sehingga untuk keperluan
pembangunannya telah dibebaskan lahan sebanyak kurang lebih 1.300 ha.
Status lahan yang dibangun menjadi Kota Baru BSD ini sebagian besar milik
Pemda, yang awalnya merupakan lahan kosong yang tidak produktif dengan
tingkat hunian 10 orang per hektar. Lokasi BSD meliputi tiga kecamatan yaitu
Kecamatan Serpong, Legok dan Pagedangan. Sesuai dengan konsepnya sebagai
Kota Mandiri yang heterogen, BSD menawarkan berbagai produk untuk
berbagai permintaan pasar, yakni selain menawarkan untuk industri dan bisnis
(niaga), BSD juga menawarkan perumahan baik skala kecil, skala menengah
maupun skala kecil.
Pada awal pembangunban kota baru ini telah direncanakan melakukan
pembangunan secara kontinyu, dan perencanaan selama kurun waktu 30 tahun
akan dibangun 13.900 unit hunian yang terdiri dari 60% rumah murah, 30%
61
rumah kelas menengah, dan 10% rumah mewah. Namun pada saat penulis
melakukan survay ke lapangan dilihat dari kondisi rumah yang ada ada indikasi
melenceng dari rencana semula. Dalam hal ini rumah yang terbangun pada
umumnya merupakan rumah menengah dan mewah, sehingga ada indikasi
bahwa perbandingan 60% rumah murah, 30% rumah kelas menengah, dan 10%
rumah mewah seolah-olah menjadi terbalik, yakni rumah murahnya mendekati
25%, sedangkan rumah kelas menengah dan rumah mewahnya apabila digabung
cenderung mendekati 75%.
Adapun tahapan pembangunan perumahan di BSD seperti diuraikan di
bawah ini:
Tahap I (Persiapan) seluas 1.300 ha (tahun 1998-1999): dibangun
perumahan di Sektor I dekat transit Shutle Bus dan Kolam Renang BSD.
Perumahan Tahap I terdiri dari rumah-rumah bertipe kecil dengan luas
area sampai 70 m2 yang cocok untuk masyarakat berpenghasilan
menengah, lengkap dengan sekolah, pasar dan toko-toko, taman dan
sarana olah raga seperti lapangan basket. Rumah pada kategori ini
berjumlah 8.961 unit.
Tahap II (Percepatan pertumbuhan) luas pembangunan 2.000 ha (1996-
2006): perumahan yang dibangun pada tahap II ditujukan untuk menarik
pembeli dari kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas
dengan luas 70-250 m2 dan rumah-rumah yang dibangun umumnya
adalah rumah bertingkat. Hal ini juga terlihat dari produk-produk
perumahan yang bernuansa kebarat-baratan seperti The Green, Vermont
Parkland, Virginia Lagoon, De Latinos. Pada tahap II juga dibangun
pusat perbelanjaan.
Tahap III (Penggabungan) luas pembangunan mencapai 2.700 ha (2003-
2013): pada pembangunan tahap III ini dibangun rumah-rumah mewah
yang luas bangunannya diatas 250 m2 dan umumnya merupakan
bangunan bertingkat.
Kondisi perumahan yang ada di BSD pada umumnya merupakan
kawasan yang tertata rapih dan relatif sudah memperhatikan aspek lingkungan
cukup baik. Dalam hal ini permukiman tersebut bukan hanya tertata dengan
62
baik, namun juga terlihat asri, karena ditumbuhi oleh beragam pepohonan
(tanaman keras) yang umumnya cukup banyak di sepanjang jalan. Selain itu
hampir sebagian besar rumah juga memiliki lahan pekarangan yang umumnya
juga terbuka hijau dan cukup asri. Selain adanya lahan pekarangan di lokasi
perumahan juga pada umumnya dilengkapi dengan ruang terbuka hijau yang
diperkirakan memenuhi ketentuan pemerintah, yakni diperkirakan lahan
permukiman tersebut yang digunakan untuk kawasan permukiman mendekati
30%.
Di BSD juga terdapat cukup banyak fasilitas yang mendukung aktifitas
warga yang tinggal di dalamnya. Fasilitas yang ada di lokasi tersebut antara lain
adalah sarana pendidikan dari terutama mulai dari tingkat pra sekolah,
pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Selain itu juga terdapat fasilitas
kesehatan, fasilitas peribadatan serta fasilitas tempat bermain yang masuk ke
dalam kategori baik dan memadai. Selain itu juga terdapat akses jalan dan
fasilitas yang memudahkan untuk dicapai dari dan ke Kota Jakarta, yakni
terdapat Jalan Tol Kebun Jeruk Serpong, Jalan Tol Pondok Indah Serpong, Jalan
Tol JORR, stasiun kereta api, fasilitas feeder busway, dsb.
4.4. Sosial budaya
Penduduk Kota Baru BSD pada umumnya adalah penduduk pendatang
(dari luar Kota Tangerang Selatan) atau pada umumnya adalah masyarakat
perantau. Namun demikian mereka telah berinteraksi dalam kelompok
permukiman dengan sistem cluster dalam sistem RT/RW. Proses sosialisasi
antar penghuni diduga terjadi di ruang terbuka di lingkungan kawasan
permukiman dan di kawasan perdagangan dan jasa kota (CBD).
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang penduduk yang ada
di sekitar BSD, terungkap bahwa penduduk di sekitar BSD pada umumnya
cukup banyak membantu warga BSD, bahkan beberapa diantaranya ikut
mewarnai kehidupan kota termasuk pada sektor transportasi lokal (ojek atau
supir angkot) dan beberapa sektor informal (warung tegal atau warung klontong,
dsb) yang ditata atau dialokasikan pada lahan tertentu secara terencana.
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan penduduk menimbulkan berbagai implikasi yang bersifat
multidimensi dan multisektor, seperti mengakibatkan pesatnya pertumbuhan wilayah
perkotaan yang pada akhirnya berakibat pada peningkatan kebutuhan perumahan.
Namun di lain pihak, peruntukan lahan untuk perumahan di wilayah perkotaan tidak
mengalami penambahan, namun malah cenderung semakin berkurang, sehingga
menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan pada akhirnya akan berdampak pada
timbulnya kawasan permukiman baru dan kota baru. Kondisi ini terjadi di kota-kota
besar seperti DKI Jakarta. Oleh karena itu di sekitar DKI Jakarta bermunculan
permukiman baru dan kota baru. Permukiman baru muncul di berbagai lokasi dengan
jumlah yang cukup banyak, sedangkan kota baru yang ada di sekitar DKI Jakarta ada
dua yakni Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD) dan Kota Baru Cibinong. Namun
demikian dilihat dari morfologinya Kota Baru BSD mempunyai berbagai keunikan dan
kelebihan dibanding Kota Baru Cibinong, sehingga Kota Baru BSD menarik untuk
dikaji lebih jauh. Adapun salah satu cara untuk memotret kota baru ini dapat dilakukan
dengan melihat kualitas lingkungannya yang dilihat dari kualitas air dan kualitas udara,
melihat keberlanjutannya serta membuat model pengelolaan lingkungan di Kota Baru
BSD.
5.1. Kualitas Lingkungan BSD
Pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tinggi berakibat pada meningkatnya
kebutuhan akan rumah dan kebutuhan untuk hidup layak serta pada tuntutan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Akibatnya, kegiatan di dalam kota dan
pinggiran kota besar (kota satelit) menimbulkan berbagai implikasi negatif yang
mendorong pada terjadinya penurunan kualitas lingkungan seperti terjadinya polusi
udara dan air. Adapun kualitas udara dan kualitas air tersebut dapat dilihat pada Tabel
10 dan 11. Kondisi atmosfir di Kawasan Kota Baru BSD tercemar gas beracun CO,
serta tercemar oleh SOx, NOx, ozon (O3) dan TSP. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan
mengingat udara merupakan kebutuhan semua mahluk hidup, termasuk di dalamnya
manusia, adanya bahan pencemar tersebut akan mengakibatkan kondisi kesehatan
manusia dan mahluk hidup lainnya yang melakukan pernafasan akan terganggu
kesehatannya. Disamping hal tersebut tingginya SOx, NOx dan CO juga akan
64
mengakibatkan terjadinya hujan asam yang dapat mengakibatkan berbagai masalah
muncul seperti terjadinya kerusakan bangunan, kerusakan ekosistem daratan dan
kerusakan ekosistem perairan.
Tabel 10. Kualitas udara di BSD
LokasiParameter kualitas udara (µg/m3)
SO2 NO2 O3 CO TSP Pb
Permukiman 23.45 1.12 20.4 295 25 < 1Pertokoan 32.14 2.11 22.1 317 30 < 1Industri 26.4 1.43 21.5 309 25 < 1
Baku mutu* 900 400 235 30.000 230 2
Keterangan: * = PP No.41 Thn. 1999
Tabel 11. Kualitas air di BSD
No Parameter SatuanLokasi
Perumahanluar
PerumahanBSD
Pertokoan IndustriBMII*
Fisika1 suhu oC 26 26 27 28 dev. 3
Kimia1 pH *) - 6.0 6.5 6.5 6.5 6 - 92 BOD5 mg/l 5.13 4.94 5.22 11.71 33 COD + mg/l 20.68 92.26 93.84 98.58 254 Nitrat-
NO3-Nmg/l 0.076 0.170 0.111 1.903 10
5 TotalFosfat(PO4-P)
mg/l 0.034 0.090 0.052 0.140 0.2
6 Kadmium-Cd
mg/l <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0.01
7 Deterjen mg/l 0.010 0.008 0.007 0.009 0.28 Timah
Hitam- Pbmg/l <0,005 <0,005 <0,005 <0,005
0.03
9 Air Raksa(Hg)
mg/l 0.0005 0.0005 0.0006 0.0006 0.002
10 Arsen-As mg/l 0.0003 0.0003 0.0004 0.0004 111 Fenol mg/l 0.0009 0.0009 <0,0001 0.0009 0.001
BM II*= Baku Mutu Air kelas II
Berdasakan baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lampiran 1)
memperlihatkan bahwa BOD dan COD baik yang berada di perumahan, pertokoan dan
65
industri semuanya sudah berada di bawah ambang batas nilai yang dipersyaratkan.
Sedangkan parameter lainnya yakni nitrat-NO3-N, total fosfat (PO4-P), kadmium (Cd),
deterjen, timah hitam (Pb), air raksa (Hg), arsen (As) dan fenol yang ada dalam
perairan sekitar lokasi penelitian semuanya berada di bawah baku mutu yang ditetapkan
(Lampiran 1).
5.2. Analisis Keberlanjutan
Keberlanjutan pembangunan di kota baru ini merupakan hal yang menarik
untuk dikaji, mengingat keberlanjutan kota baru dapat berpengaruh pada berbagai hal
seperti pada peningkatan pembangunan fisik dan ekonomi. Walau dampak dari
pembangunan ekonomi tersebut pada akhirnya akan semakin menarik para migran yang
ingin mencari penghidupan yang lebih layak di perkotaan. Selain hal tersebut
pembangunan fisik juga dapat berdampak negatif pada berbagai hal, terutama yang ada
kaitannya dengan lingkungan. Bahkan tidak hanya itu akibat pembangunan fisik,
malah dapat terbentuk lokasi-lokasi yang mungkin malah menjadi rawan terjadinya
bencana, dapat mengganggu kestabilan lingkungan seperti menimbulkan masalah
banjir, dsb.
Analisis keberlanjutan Kota Baru BSD ini dilakukan berdasarkan modifikasi
dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan. Hasil analisis
keberlanjutan Kota Baru BSD dinyatakan dalam indeks keberlanjutan Kota Baru BSD
(ikb-KOBA). Adapun hasil dari analisis yang dinyatakan sebagai indeks keberlanjutan
ini mencerminkan status keberlanjutan pada Kota Baru BSD berdasarkan kondisi
eksisting. Nilai tersebut ditentukan dari pendapat pakar, dengan kisaran nilai antara
0 – 100 %. Kriteria tidak berkelanjutan atau buruk, jika nilai indeks terletak antara
0 – 24,99 %. Kriteria kurang berkelanjutan apabila nilai indeksnya terletak antara
25 – 49,99 %. Kriteria cukup berkelanjutan apabila nilai indeksnya terletak antara
50 – 74,99 %. Kriteria berkelanjutan atau baik, jika nilai indeksnya 75 – 100 %
(Kavanagh, 2001).
Pada analisis keberlanjutan ini, yang dianalisis adalah dimensi ekologi,
ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Pada analisis
keberlanjutan Kota Baru BSD, sifatnya multidimensi, karena menggabungkan seluruh
atribut yang ada pada enam dimensi penentuan indeks keberlanjutan yaitu dimensi
66
ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan
kelembagaan.
5.2.1. Dimensi Ekologi
Hasil analisis keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Gambar 14
terlihat bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah 42,22 % (dengan
skala sustainabilitas 0 – 100, dan nilai indeks < 50). Hal ini memperlihatkan bahwa
berdasarkan kriteria Kavanagh (2001), maka status keberlanjutan untuk dimensi ekologi
di Kota Baru BSD termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan.
Gambar 14. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi Kota Baru BSD
Gambar 14 memperlihatkan bahwa walaupun Kota Baru BSD masuk ke dalam
kota baru yang relatif hijau dan relatif asri, namun aspek lingkungan masih harus
mendapat perhatian yang lebih serius, sehingga harus dicari upaya-upaya agar dimensi
ekologi menjadi berkelanjutan. Adapun peran masing-masing aspek pada atribut
ekologi ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage yang bertujuan untuk
melihat atribut yang sensitif dalam memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan
dimensi ekologinya, hasil analisis leverage ini dapat dilihat pada Gambar 15.
Berdasarkan wawancara terhadap pakar, agar nilai indeks ini di masa yang akan
datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan, perlu perbaikan-
perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks
RAPPERUMTES Ordination
GoodBad
Up
Down-60
-40
-20
0
20
40
60
-20 0 20 40 60 80 100 120
Status Permukiman
42,22 %
67
dimensi ekologi. Atribut-atribut yang diperkirakan dapat memberikan pengaruh
terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi di Kota Baru BSD ada lima dari
sebelas atribut. Adapun ke sebelas atribut tersebut adalah: (1) keadaan perumahan, (2)
ketersediaan instalasi pengolah limbah cair, (3) ketersediaan TPS sampah, (4) kondisi
drainase, (5) ketersediaan RTH, (6) ketersediaan air bersih, (7) kondisi jalan Kota Baru
BSD, (8) pencemaran udara/emisi, (9) penggunaan lahan BSD, (10) manajemen
banjir/bencana dan (11) permasalahan transportasi. Untuk lebih jelasnya atribut-atribut
dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakandalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS)
Pada Gambar 15 terlihat adanya atribut-atribut sensitif yang dapat memberikan
pengaruh besar terhadap nilai indek keberlanjutan dimensi ekologi (hasil analisis
laverage). Berdasarkan hasil analisis laverage tersebut diperoleh lima atribut yang
sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi yaitu (1) ketersediaan air
bersih, (2) manajemen banjir/bencana, (3) permasalahan transportasi, (4) pencemaran
udara/emisi, dan (5) ketersediaan pengolah limbah cair. Hasil analisis laverage dapat
dilihat pada Gambar 16.
Ketersediaan air bersih di Kota Baru BSD merupakan hal yang harus
diutamakan, mengingat di kota baru terjadi alih fungsi lahan yang cukup drastis, dalam
Leverage of Attributes
0.78
3.01
0.39
1.55
0.99
4.94
2.17
3.21
1.47
3.55
3.36
0 1 2 3 4 5 6
Permasalahan transportasi
Managemen Banjir/bencana
Psnggnaan lahan BSD
Pencemaran udara/emisi
Kondisi jalan Kota baru BSD
Ketersediaan air bersih
Ketersediaan RTH
Kondisi drainase
Ketersediaan TPS Sampah
Ketersediaan instalasi pengolah limbah cair
Keadaan perumahan
Attribute
Root mean square Change % in Ordination when Selected AttributeRemoved (on Status scale 0 to 100)
68
hal ini lahan yang tadinya terbuka, menjadi kawasan terbangun sehingga
memungkinkan terjadinya run off air pada saat hujan, sehingga air yang masuk ke
dalam tanah, untuk menjadi air tanah menjadi minimal, oleh karena itu maka air tanah
yang umumnya relatif bersih akan menjadi masalah dilokasi ini. Selain air tanah, di
Kota Baru BSD juga terdapat air sungai, namun kondisi air sungai dan air drainase di
lokasi penelitian juga kurang menggembirakan mengingat di lokasi ini apabila dilihat
dari bau dan warnanya, memberikan indikasi sudah tercemar berat, sehingga
ketersediaan air bersih menjadi masalah di kota baru. Di lain pihak, kebutuhan air di
Kota Baru akan cenderung semakin meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah
penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat, sehingga kelangkaan air
bersih akan semakin meningkat. Oleh karena itu maka sumberdaya air harus dikelola,
dipelihara, dimanfaatkan, dilindungi dan dijaga kelestariannya, untuk melakukan hal
tersebut, agar semuanya dapat terlaksana dengan baik, maka hal yang lebih ideal adalah
dengan cara memberikan peran kepada masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan
sumberdaya air.
Atribut sensitif ke dua adalah harus memperhatikan manajemen banjir/bencana.
Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat dari hasil survay terlihat bahwa wilayah di
sekitar Kota Baru BSD relatif pemanfaatan ruangnya masih belum terkendali dengan
baik, sehingga kondisi ini memungkinkan terjadinya bencana, seperti bencana banjir,
sehingga apabila pengelolaan dan pemanfaatan ruang tidak terkendali akan dapat
menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan tersebut, yang pada akhirnya akan
berdampak ke Kota Baru BSD. Oleh karena itu maka kesesuaian lahan di kota baru
yang diperuntukan untuk berbagai kepentingan harus benar-benar memperhatikan dan
mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah, seperti yang tercantum pada
Undang-undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada
pasal 29 ayat(1) dijelaskan bahwa: ”Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau
publik dan ruang terbuka hijau privat” dan selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa:
”Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas
wilayah kota”. Pada ayat (3) disebutkan bahwa ruang terbuka hijau publik pada wilayah
kota paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota.
Atribut sensitif ketiga adalah permasalahan transportasi. Permasalahan
transportasi tersebut nampak jelas terutama pada saat pagi hingga menjelang malam,
69
yakni di beberapa lokasi terjadi antrian kendaraan yang cukup panjang. Walau
kendaraan-kendaraan berat sudah dialihkan ke pinggir kota, masalah transportasi di
Kota Baru BSD ternyata masih menjadi masalah yang masih harus dipecahkan dengan
baik, mengingat selain akan terjadi kemacetan, juga akan mengakibatkan terjadinya
pencemaran dan terjadinya peningkatan GRK terutama NOx, SOx dan CO2.
Terjadinya pembakaran bahan bakar fosil (BBF) yang aktif pada kegiatan
transportasi ini pada akhirnya akan menyumbang terjadinya pemanasan global, yang
pada akhirnya berujung pada terjadinya perubahan iklim global, sehingga menimbulkan
berbagai bencana. Selain menyumbang GRK, dari pembakaran BBF transportasi ini
juga akan dihasilkan logam berat terutama timbal atau Pb (Volesky, 2000). Di lain
pihak adanya pencemaran juga dapat berimplikasi terhadap berkurangnya pendapatan
sebagai akibat adanya masalah kesehatan, sehingga akan dikeluarkan biaya ekstra untuk
menanggulanginya (Syahril et al. 2002). Berdasarkan hal tersebut, maka dengan
meningkatnya transportasi, bukan saja akan meningkatkan pembakaran BBF, namun
logam berat Pb yang berasal dari pembakaran BBF tersebut juga akan memberikan
dampak yang buruk bagi kesehatan masyarakat.
Atribut sensitif keempat adalah pencemaran udara/emisi. Terjadinya
pencemaran atau emisi GRK di Kota Baru harus menjadi perhatian yang serius,
mengingat di wilayah ini transportasi belum dapat dikelola secara baik, apalagi jika di
lokasi tersebut terjadi kemacetan, sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan GRK terutama NOx, SOx dan CO2. Selain adanya pencemaran
yang berasal dari Kota Baru, pencemaran udara ini juga ditambah dengan bahan
pencemar dan emisi dari lokasi lain, terutama dari jaringan jalan yang berada di
pinggiran Kota Baru BSD, mengingat kendaraan dari kota baru di alihkan ke pinggir
kota, namun mengingat udara bersifat dinamis, maka udara yang berasal dari pinggiran
kota tersebut, dengan adanya angin, pada akhirnya akan masuk ke dalam wilayah Kota
Baru BSD.
Atribut sensitif kelima adalah ketersediaan pengolah limbah cair. Limbah cair
pada dasarnya dapat dihasilkan dari berbagai kegiatan seperti dari pertokoan, industri,
perhotelan, rumah sakit, permukiman, dsb. Namun sayangnya walaupun Kota Baru
BSD adalah hunian hijau, namun limbah domestik yang ada di lokasi kajian
mengindikasikan tidak pernah dilakukan pengelolaan, sehingga limbah cair domestik
70
akan masuk ke dalam sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Kondisi
yang sama juga terjadi pada limbah lain seperti limbah industri dan limbah perkotaan,
limbah rumah sakit, dsb yang hampir semuanya langsung masuk ke dalam badan air
tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Oleh karena itu maka ketersediaan
instalasi pengolah limbah cair (IPAL) harus mendapat perhatian yang sangat serius.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kemungkinan terjadinya kerentanan
dan kerawanan ekologis di lokasi penelitian yang merupakan lokasi yang relatif asri
menjadi tidak terhindarkan dalam pengembangan kawasan Kota Baru BSD. Oleh
karena itu, maka perlu dilakukan penataan daerah, baik di dalam kota baru itu sendiri,
maupun di wilayah sekitar kawasan Kota Baru BSD secara terpadu, sesuai fungsi lahan.
5.2.2. Dimensi Ekonomi
Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan terhadap dimensi ekonomi
memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 53,17
(Gambar 16). Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi ini lebih besar dibanding
nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi. Selain itu besarnya nilai indeks
keberlanjutan ekonomi lebih besar dari 50. Hal ini mengandung arti bahwa dimensi
ekonomi pada pengelolaan kawasan Kota Baru BSD masuk pada kategori cukup
berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Kondisi ini memperlihatkan bahwa pengelolaan
kawasan Kota Baru BSD lebih memberikan manfaat secara ekonomi dibanding aspek
ekologi.
Indeks keberlanjutan pada dimensi ekonomi cukup berkelanjutan, namun
demikian pada dimensi ekonomi juga masih terdapat berbagai kelemahan yang masih
perlu diperbaiki, sehingga menjadi sangat berlanjut. Adapun perbaikan-perbaikan
tersebut, idealnya harus dilakukan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh
terhadap nilai indeks dimensi ekonomi, sehingga nilai indeks ini dimasa yang akan
datang dapat terus meningkat sampai mencapai status sangat berkelanjutan.
Adapun atribut-atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap
tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari delapan atribut, yaitu: (1)
peluang usaha, (2) kelayakan lingkungan usaha, (3) kemampuan daya beli masyarakat,
(4) tingkat pengangguran, (5) kawasan industri, (6) tingkat pendapatan, (7) keberadaan
pertokoan, dan (8) keberdaaan kawasan bisnis.
71
53.17
GOODBAD
UP
DOWN
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Gambar 16. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Kota Baru BSD
Besarnya nilai indeks keberlanjutan ekonomi dipengaruhi oleh atribut-atribut
keberlanjutan seperti telah disebutkan di atas, namun demikian atribut-atribut tersebut
memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan.
Dalam rangka melihat atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan kontribusi
terhadap nilai indek keberlanjutan ekonomi, dilakukan analisis laverage. Hasil analisis
laverage diperoleh empat atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan
dimensi ekonomi yaitu (1) keberadaan kawasan bisnis, (2) tingkat pengangguran, (3)
keberadaan kawasan industri, dan (4) keberadaan pertokoan kawasan. Hasil analisis
laverage dapat dilihat seperti Gambar 17.
Atribut sensitif pertama adalah keberadaan kawasan bisnis. Pada kota baru,
selain adanya zonasi perumahan masyarakat identik, juga harus terdapat kawasan bisnis,
mengingat dengan tersedianya kawasan bisnis, maka di perumahan tersebut juga identik
dengan relatif dapat terpenuhinya tuntutan-tuntutan dari penghuni perumahan tersebut
untuk berusaha dan untuk mencari nafkah ke lokasi yang tidak terlalu jauh. Keberadaan
kawasan bisnis yang strategis akan memudahkan masyarakat untuk mendapat barang-
barang kebutuhannya, untuk menjual barang-barang yang diproduksinya atau untuk
bertransaksi di berbagai bidang. Selain hal tersebut dengan adanya kawasan bisnis yang
72
berkembang di kota baru ini berarti ada tempat usaha yang baik, mudah ditemukan dan
dijangkau, sehingga akan menarik baik bagi konsumen perumahan kota baru itu sendiri
maupun untuk penghuni yang mata pencahariannya atau yang hobbinya berbisnis.
Keberadaan kawasan bisnis di area kota baru yang relatif dekat dengan kawasan
permukiman tentunya akan memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat, namun
juga keberadaan kawasan bisnis tersebut juga harus memperhatikan aspek lingkungan
sekitar, sehingga kawasan kota baru tetap berkelanjutan walau dalam kondisi apapun.
Gambar 17. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakandalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS)
Atribut sensitif ke dua adalah tingkat pengangguran. Walaupun Kota Baru BSD
adalah kota baru yang sudah modern dengan kondisi keberlanjutan yang masuk pada
kategori cukup, namun ternyata juga tidak pernah terlepas dari masalah pengangguran.
Berdasarkan wawancara dengan masyarakat setempat diketahui bahwa pada umumnya
masyarakat yang ada di lokasi tersebut mempunyai pekerjaan tetap, namun demikian
diantara masyarakat tersebut terutama yang berada di sekitar perumahan terencana
cukup banyak yang tidak mempunyai pekerjaan tetap (pengangguran), sehingga dapat
mengganggu ketentraman. Berdasarkan wawancara juga terungkap bahwa penganggur
yang paling banyak terutama berasal dari masyarakat pendatang yang datang ke kota
baru untuk mencari pekerjaan. Oleh karena itu maka terjadinya urbanisasi dari desa ke
Leverage of Attributes
0.44
0.66
0.48
1.81
1.19
0.31
1.48
2.57
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
Kawasan bisnis
Keberadaan industri
Tingkat pendapatan
Pertokoan kawasan
Tingkat pengangguran
Kemampuan daya beli masy
Kelayakan lingk usaha
Peluang usaha
Attribute
Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (onStatus scale 0 to 100)
73
kota merupakan salah satu aspek yang perlu diwaspadai mengingat urbanisasi seringkali
meningkatkan jumlah penganggur, di lain pihak meningkatnya jumlah penganggur ini
seringkali berdampak pada ketidak kondusifan di dalam kawasan.
Hingga saat ini pengangguran masih menjadi masalah besar di berbagai lokasi,
bahkan di kota besar sekalipun, oleh karena itu maka harus dicari jalan keluar yang
tepat, mengingat pengangguran dapat menjadi persoalan yang berakibat pada
terganggunya stabilitas sosial, politik dan ekonomi. Oleh karenanya apabila masalah
pengangguran tidak dapat terpecahkan, maka suatu saat akan sangat membahayakan
kelangsungan pemerintahan suatu negara, mengingat pengangguran akan
mengakibatkan timbulnya kerawanan sosial.
Atribut sensitif ke tiga adalah keberadaan kawasan industri. Pada dasarnya Kota
Baru BSD merupakan kota baru mandiri, dalam arti masalah ekonomi dan sosial,
berupaya untuk dipecahkan sendiri, termasuk di dalamnya masalah pengangguran.
Dalam rangka menunjang Kota Baru BSD menjadi wilayah yang mandiri, maka selain
harus terdapat kawasan bisnis. Hal yang juga sangat perlu ada adalah terdapatnya
kawasan industri, mengingat kawasan industri merupakan kawasan yang dapat
menggairahkan kondisi ekonomi kawasan, dapat meningkatkan PAD, dan PDRB serta
akan membantu pemerintah untuk mengurangi pengangguran. Oleh karena itu maka
kawasan industri mutlak harus ada di kota baru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Miranti (2007) yang mengatakan bahwa industri ini merupakan sektor yang mampu
menyerap tenaga kerja cukup besar. Pada 2006, industri ini memberikan kontribusi
sebesar 11,7 % terhadap total ekspor nasional, 20,2 % terhadap surplus perdagangan
nasional, dan 3,8 % terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional.
Selain hal tersebut di atas, keberadaan kawasan industri juga perlu mendapat
perhatian yang cukup serius, mengingat di lokasi ini akan terjadi aktifitas antropogenik
yang begitu tinggi, termasuk di dalamnya pembakaran BBF, pembuangan sampah dan
pembuangan limbah cair. Hal ini akan menimbulkan masalah yang cukup serius karena
menurut Abou et al. (2002) pada limbah industri ditemukan limbah B3 dengan jumlah
umumnya lebih tinggi dibanding kegiatan lain. Namun demikan limbah B3 dari industri
pada lokasi yang terkonsentrasi di kawasan industri (point source) seperti yang terjadi
di Kota Baru BSD, relatif lebih mudah untuk dilakukan pengawasan dan
penanganannya karena dapat dibuat IPAL komunal (Allenby, 1999).
74
Atribut sensitif ke empat adalah keberadaan pertokoan di kawasan kota baru. Di
pertokoan banyak transaksi yang terjadi, dan di kawasan pertokoan pula peredaran uang
sangat besar, sehingga pertokoan idealnya harus mengikuti pusat permukiman berada,
begitu pula dengan kebalikannya. Hal ini terjadi karena masyarakat merupakan faktor
penting dalam penentuan keberadaan pertokoan, mengingat keberadaan pertokoan
disamping dapat memberi manfaat tapi juga dapat menimbulkan kerugian bagi
masyarakat, terutama yang tinggal berdekatan dengan pertokoan pada khususnya. Oleh
karena itu penerimaan masyarakat akan keberadaan pertokoan menjadi sangat penting
untuk diperhatikan, mengingat bukan tidak mungkin di lokasi tersebut dapat terjadi
konflik dengan masyarakat.
5.2.3. Dimensi Sosial dan Budaya
Pada penelitian ini didapatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya
sebesar 26,49 %. Nilai dimensi sosial budaya ini jauh di bawah nilai 50, sehingga
termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Selain hal itu nilai
dimensi sosial budaya ini juga berada di bawah indeks keberlanjutan dimensi ekologi
maupun dimensi ekonomi. Hal ini memperlihatkan bahwa di kawasan kota baru
terdapat indikasi bahwa adanya kegiatan yang mendekati gaya metropolitan di kota baru
mengakibatkan relatif melunturnya aspek sosial budaya, yang terlihat dari tidak terdapat
lagi budaya asli wilayah tersebut, sehingga budaya masyarakat setempat sudah luntur
dan tidak didapati lagi di kawasan Kota Baru BSD. Selain itu masyarakat di Kota Baru
BSD juga relatif lebih bersifat individual, sehingga perlu dilakukan berbagai hal untuk
meningkatkan status nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya ini, terutama
dalam hal perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif yang akan mempengaruhi
nilai indeks tersebut secara nyata. Untuk lebih jelasnya nilai indeks keberlanjutan untuk
dimensi sosial dan budaya dapat dilihat pada Gambar 18.
Adapun peran masing-masing aspek pada atribut sosial budaya ini dianalisis
dengan menggunakan analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 19. Pada Gambar 19
terlihat bahwa atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi sosial-budaya terdiri dari lima atribut, yaitu: (1) kepedulian,
dan tanggung jawab masyarakat terhadap sumberdaya, (2) status kesehatan masyarakat,
(3) pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal, (4) keragaman budaya
dalam masyarakat dan (5) konflik dengan masyarakat lokal.
75
Gambar 18. Indeks keberlanjutan dimensi sosial dan budaya Kota Baru BSD
Berdasarkan hasil analisis laverage diperoleh tiga atribut yang paling sensitif
terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya yaitu (1) pengaruh
keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal, (2) keragaman budaya dalam
masyarakat, dan (3) konflik dengan masyarakat lokal. Atribut-atribut tersebut perlu
dikelola dan terus ditingkatkan dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi
sosial-budaya ini meningkat di masa yang akan datang. Pengelolaan atribut dilakukan
dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan
menekan setiap atribut yang dapat berdampak negatif terhadap indeks keberlanjutan
dimensi sosial-budaya dalam pengembangan permukiman tepi sungai di Jakarta. Hasil
analisis laverage dapat dilihat seperti Gambar 19.
Pada Gambar 19 terlihat bahwa atribut yang paling sensitif yang harus benar-
benar diperhatikan adalah adanya pengaruh keberadaan Kota Baru BSD pada nilai
sosial budaya lokal, keragaman budaya dalam masyarakat, dan konflik antara
masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman Kota Baru BSD dengan masyarakat
lokal. Hal ini dapat dimengerti mengingat masyarakat yang tinggal di suatu kawasan
perumahan perkotaan, seperti halnya di BSD pada umumnya terdiri dari beragam etnik,
adat juga latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena itu maka keragaman tersebut
26,49 %
RAPPERUMTES Ordination
Down
Up
BadGood
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Status Permukiman
26,49 %
76
harus menjadi modal dasar untuk melakukan pembangunan, mengingat apabila
keragaman itu tidak dikelola dengan baik, pada umumnya akan memudahkan terjadinya
konflik.
Gambar 19. Peran masing-masing atribut dimensi sosial dan budaya yang dinyatakandalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS)
Dalam rangka menjaga agar tidak terjadi konflik, maka masyarakat yang
mempunyai karakter multi-etnis dan multi-agama seperti yang terjadi di Kota Baru BSD
harus selalu menggali wawasan kebangsaan, sehingga dapat menghindari adanya
berbagai ketegangan dan dapat menghindarkan terjadinya konflik masyarakat. Konflik
horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di kawasan permukiman seharusnya bisa
dihindari apabila ada rasa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan yang ada.
Kondisi tersebut terjadi karena adanya toleransi antara etnis yang satu dengan
etnis yang lain tidak pernah hadir dengan sendirinya. Dalam hal ini toleransi baru akan
muncul jika dari lubuk hati masing-masing terdapat empati. Adapun yang dimaksud
dengan empati di sini adalah hati nurani manusia untuk ikut serta merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain; seperti turut bergembira pada saat melihat orang lain
bahagia, dan turut berduka apabila orang lain ada yang sedang mendapatkan
masalah/musibah/kedukaan atau dengan kata lain empati merupakan rasa kepedulian
terhadap sesama. Oleh karena itu maka apabila masing-masing anggota masyarakat
Leverage of Attributes
2.39
1.88
3.72
3.70
3.87
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
Kepedulian&tg.jawab
Pada sumberdaya
Status kesehatan
masyarakat
Keragaman budaya
dlm masyarakat
Konflik dengan
Masyarakat lokal
Keberadaan BSD
pada sosial budaya
Attribute
Root mean square Change % in Ordination when Selected AttributeRemoved (on Status scale 0 to 100)
77
memiliki rasa empati terhadap orang lain, maka akan terbangun rasa untuk saling
menerima dan menghargai orang lain, sehingga nilai toleransi akan terbangun dengan
baik.
Pada suatu kawasan permukiman yang terdapat di perkotaan, kemungkinan
adanya keranekaragaman etnis sangat tinggi, mengingat masyarakat yang ada di kota
baru berasal dari berbagai daerah, dengan adat istiadat dan bahkan mungkin agama yang
beranekaragam. Oleh karena itu maka pada kawasan permukiman baru, seperti halnya
di Kota Baru BSD, potensi bahaya konflik selalu tinggi. Adapun konflik yang
mungkin muncul di kawasan kota baru antara lain adalah konflik ketenaga kerjaan,
konflik agama, konflik budaya (adat istiadat dan kebiasaan), konflik pertanahan (walau
awalnya lebih ke antara pengembang dan masyarakat lokal), konflik atas sumber daya
alam, dsb. Satu jenis atau berbagai jenis konflik tersebutpada umumnya akan muncul
ke permukaan dalam bentuk konflik antar etnis dan konflik antar agama. Adanya
ketidak adilan baik dalam hal aspek sosial, budaya, maupun ekonomi seringkali menjadi
lahan subur untuk terjadinya konflik. Oleh karena itu dalam satu kawasan permukiman
di kota baru seperti BSD harus selalu dijaga agar masyarakat yang ada di dalamnya
merasa diperlakukan adil, dan jangan sampai membiarkan terjadinya kepentingan dari
luar yang sengaja memanaskan suasana dalam kawasan permukiman tersebut, sehingga
akan meredam terjadinya konflik.
Kenyataan yang ada saat ini, baik di kota baru, maupun di seluruh peloksok
perkotaan, cenderung terdapat kesenjangan yang diakibatkan oleh kebijakan
pembangunan ekonomi yang kurang mendukung. Hal ini terjadi karena adanya
perubahan yang sangat cepat, sementara kondisi budaya bangsa belum dapat
mengimbangi perubahan yang sangat cepat tersebut. Hal ini pada akhirnya
mengakibatkan krisis ekonomi merambah ke aspek-aspek lainnya, sehingga krisis
ekonomi tersebut akhirnya berkembang menjadi krisis moral, krisis sosial, krisis politik,
dan krisis multidimensional yang mengakibatkan terbentuknya konflik sosial, bahkan
malah pada akhirnya mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu
maka agar hal tersebut tidak sampai terjadi, maka hal yang harus benar-benar
diperhatikan sedini mungkin adalah melakukan pengelolaan terhadap keragaman
budaya yang ada pada suatu kawasan permukiman dan kota baru sebaik dan secermat
mungkin.
78
Dalam rangka menciptakan terwujudnya masyarakat yang merasa diperlakukan
adil dan damai serta terwujudnya masyarakat yang kondusif di kawasan kota baru
dengan masyarakat sekitarnya, adalah harus memahami adanya ragam budaya atau
multikulturalisme, yakni mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan,
baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu maka masyarakat
harus dipandang sebagai pemilik sebuah kebudayaan, dan kebudayaan sendiri
merupakan modal dasar pembangunan, sehingga adanya kebudayaan yang
beranekaragam menjadi modal pembangunan yang sangat besar untuk memajukan
sebuah kota baru, bahkan bangsa dan negara. Selain hal tersebut pada konteks
keragaman budaya, multikulturalisme jangan diartikan sebagai konsep keanekaragaman
secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa, mengingat multikulturalisme
menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Oleh karena itu maka
pemahaman multikulturalisme harus mengedepankan kesederajatan dan keadilan
dengan memperhatikan dan menekankan pada proses penegakan hukum,
memungkinkan terbukanya kesempatan untuk bekerja dan berusaha, mengedepankan
HAM, mengakui hak budaya komunitas dan golongan minoritas, mengedepankan
prinsip-prinsip etika dan moral, namun tetap menekankan pada mutu dan produktivitas.
5.2.4. Dimensi Infrastruktur dan Teknologi
Analisis terhadap keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada Kota
Baru BSD menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi
yang cukup tinggi, yakni sebesar 52,20 %. Nilai tersebut memperlihatkan bahwa
keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan Kota Baru BSD
masuk pada kategori cukup berkelanjutan (Kavanagh, 2001).
Adapun atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi infrastruktur dan teknologi terdiri dari tiga belas atribut,
yaitu: (1) ketersediaan sarana dan prasarana penanganan bencana, (2) ketersediaan
sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, (3) ketersediaan sarana dan
prasarana pengolahan limbah industri cair, (4) ketersediaan sarana dan prasarana
pengolahan limbah padat, (5) ketersediaan sarana dan prasarana monitoring kualitas
perairan, (6) ketersediaan sarana dan prasarana monitoring kualitas udara, (7)
ketersediaan sarana dan prasarana fasilitas sosial, (8) penggunaan sarana transportasi,
(9) ketersediaan sarana dan prasarana menurunkan emisi GRK, (10) ketersediaan sarana
79
dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, (11) akses masyarakat terhadap utilitas
ekonomi, (12) ketersediaan sarana dan prasarana komuter, dan (13) ketersediaan sarana
dan prasarana early warning system.
Gambar 20. Indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi Kota Baru BSD
Adapun peran masing-masing aspek pada atribut infrastruktur dan teknologi ini
dianalisis dengan menggunakan analisis leverage. Atribut-atribut yang lebih sensitif
yang memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur
dan teknologi hasil analisis laverage ini diperoleh empat atribut yang paling sensitif
terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi yaitu (1)
ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, (2) ketersediaan
sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, (3) ketersediaan sarana dan
prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan (4) ketersediaan sarana dan prasarana
komuter. Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan dimensi infrastruktur dan
teknologi, maka atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks
keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi ini meningkat untuk masa yang akan
datang, dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak
positif dan menekan setiap atribut yang dapat berdampak negatif terhadap indeks
keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi. Hasil analisis laverage tersebut
dapat dilihat seperti Gambar 21.
52,20 %
RAPPERUMTES Ordination
Down
Up
Bad Good
-60
-40
-20
0
20
40
60
-20 0 20 40 60 80 100 120
Status Permukiman
52,20 %
80
Atribut yang paling penting dari dimensi infrastruktur dan teknologi adalah
ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair. Hal ini merupakan
satu petunjuk bahwa dalam rangka melestarikan lingkungan Kota Baru BSD sarana
pendukung seperti pengolahan limbah domestik cair di suatu kawasan kota baru tidak
dapat diabaikan bahkan harus mendapatkan perhatian yang sangat serius, karena hampir
setiap aktivitas masyarakat di permukiman akan menghasilkan limbah domestik cair.
Selain itu dalam satu kawasan permukiman, jumlah rumah yang ada di dalamnya tidak
mungkin jumlahnya sedikit, sehingga limbah domestik yang akan dihasilkan juga
jumlahnya akan sangat banyak.
Gambar 21. Peran masing-masing atribut dimensi infrastruktur dan teknologi yangdinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS).
Menurut Sitepu (2009) pada limbah domestik ini tidak sekedar hanya terdapat
limbah organik mudah urai (BOD), TSS, Minyak dan lemak, namun dapat
mengakibatkan tercemarnya lingkungan adalah H2S, orthofosfat, ammonia, nitrit, DO,
BOD, COD, phenol dan detergen serta fecal coli. Selanjutnya disarankan agar dalam
rangka menghindari terjadinya pencemaran akibat limbah domestik di kawasan
perumahan yang dibutuhkan bukan hanya persepsi semata, namun perlu tindakan nyata
untuk mewujudkan persepsi tersebut dalam berbagai aksi, seperti aksi melakukan
Leverage of Attributes
3.43
1.67
1.23
1.03
1.11
2.74
4.54
8.18
0.52
0.69
3.21
0.24
2.46
0 2 4 6 8 10
Sarana penurun emisi GRK
Sarana pengolah limbah padat
Jalan yang efektif&efisien
Akses terhadap utilitas ekonomi
Penggunaan sarana transportasi
Sarana monitoring kualitas air
Sarana pengolah limbah industry cair
Sarana Pengolah limbah domestic cair
Sarana penanganan bencana
Sarana fasilitas sosial
Ketersediaan sarana komuter
Sarana early warning
Sarana monitoring kualitas udarak
Attribute
Root mean square Change % in Ordination when Selected AttributeRemoved (on Status scale 0 to 100)
81
pembangunan IPAL domestik, melakukan pengolahan limbah domestik cair yang
efisien dan efektif sehingga dapat menurunkan bahan pencemar dalam limbah cair yang
jenisnya semakin beragam. Oleh karena itu maka tersedianya sarana dan prasarana
pengolahan limbah domestik cair yang memadai di suatu kawasan permukiman atau di
kota baru tentunya bukan hanya akan menciptakan suasana yang nyaman bagi
penghuninya, namun juga akan dapat menyelamatkan lingkungan dan menjaga
kelestarian lingkungan secara makro.
Dalam kota baru selain harus tersedia sarana dan prasarana pengolahan limbah
domestik cair, juga perlu disediakan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri
cair, mengingat di kota baru selain terdapat permukiman juga terdapat kawasan bisnis,
yang di dalamnya terdapat kegiatan industri. Pada kawasan industri hal yang paling
sering terjadi adalah sangat sulitnya menghilangkan limbah. Hal ini terjadi karena
industri yang ada di kota baru pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya, belum
menerapkan konsep produksi bersih, seperti yang diinginkan oleh masyarakat dunia
yang tertuang pada Agenda 21 yang menganjurkan dilaksanakannya teknologi bersih,
sehingga dapat mengurangi jumlah limbah dan memudahkan pembuangan limbah
secara aman (Memahami KTT Bumi, 1992).
Limbah industri seringkali banyak disoroti oleh berbagai kalangan, karena
limbah industri pada umumnya mengandung berbagai senyawa baik dalam bentuk padat,
gas maupun cair yang mengandung senyawa organik dan anorganik yang umumnya
termasuk ke dalam limbah yang di dalamnya mengandung bahan berbahaya dan
beracun (B3) dengan jumlah yang seringkali melebihi batas yang ditentukan. Kondisi
tersebut pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya pencemaran, sehingga akan
menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan.
Industri pada umumnya berpotensi untuk mencemari lingkungan. Oleh karena
itu maka salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian di kawasan industri yang
ada di Kota Baru BSD adalah belum terdapatnya pengolah air buangan (limbah cair
industri). Dalam pengolahan air buangan ini, berdasarkan pengamatan di lapang, ada
indikasi bahwa perusahaan yang memiliki IPAL di lokasi penelitian relatif hampir tidak
ada. Hal ini disebabkan operasional IPAL dan pemeliharaannya membutuhkan
keterampilan tenaga-tenaga pelaksana dan biaya pengoperasian IPAL tersebut relatif
82
sangat mahal, sehingga menjadi kendala bukan hanya untuk kota baru, namun juga di
kawasan industri lainnya yang tersebar di seluruh peloksok tanah air.
Kesadaran masyarakat industri dalam melakukan pengelolaan terhadap
lingkungan, dalam hal ini terhadap limbah cair yang dihasilkannya juga pada umumnya
masih minim. Bahkan tidak hanya itu masih ada beberapa perusahaan (secara umum
terjadi di Indonesia) yang beranggapan bahwa program lingkungan dianggap sebagai
penghalang oleh perusahaan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Kondisi ini
terjadi karena pengetahuan dan kesadaran para pelaku industri yang relatif minim.
Selain hal tersebut, khusus untuk perusahaan yang sudah melakukan program
lingkungan, pada umumnya perusahaan tersebut juga sangat tertutup dalam hal
informasi kualitas air buangannya. Oleh karenanya, maka perusahaan-perusahaan
seringkali tidak mau memberikan informasi yang sebenarnya tentang kondisi kualitas
limbah cairnya. Hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan seringkali relatif tidak
melaksanakan pengelolaan terhadap lingkungan, atau kalaupun melakukan pengelolaan,
maka pengelolaan yang dilakukan relatif tidak optimal, sehingga kualitas limbah cair
yang dihasilkannya dan selanjutnya dibuang ke perairan masih relatif jelek.
Relatif tidak adanya IPAL di industri-industri Kota Baru BSD diduga karena
tingginya biaya investasi dan biaya operasional IPAL. Pada saat ini sebenarnya sudah
ada aturan (namun bersifat sukarela) untuk industri-industri yang mengekspor
produknya ke berbagainegara. Dalam hal ini apabila industri tersebut melakukan ekspor
produknya ke negara-negara Eropa. Negara Eropa umumnya sudah menerapkan agar
perusahaan pengekspor ecolabelling sudah menerapkan ecolabelling, sehingga mulai
dari input, proses dan out put tidak akan menghasilkan bahan pencemar dan tidak akan
merusak lingkungan. Oleh karena itu, maka berapapun mahalnya instalasi dan
operasionalnya, industri tersebut pada umumnya akan berupaya membangun IPAL dan
melaksanakan produksi bersih, sehingga produknya dapat diekspor. Oleh karena itu,
maka ada baiknya jika perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Kota Baru BSD
didorong agar melakukan ekspor ke negara-negara Eropa, sehingga perusahaan tersebut
dituntut oleh konsumennya untuk melaksanakan program ecolabelling secara sukarela.
Atribut sensitif lain yang harus diperhatikan pada pengelolaan lingkungan di kota
baru adalah ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan
ketersediaan sarana dan prasarana komuter. Hal ini disebabkan keberadaan sarana
83
transportasi yang memadai dan sistem transportasi dan terutama infrastruktur jalan raya
yang efektif dan efisien merupakan salah satu alat terpenting untuk mencapai standar
kehidupan yang tinggi, tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karenanya
sangat wajar jika pada akhirnya membawa konsekuensi penggunaan teknologi baru
yang lebih canggih, seperti interchanges, jalan-jalan layang (fly overs), jalan bebas
hambatan (freeways), jalur kereta layang (elevated railways track). Adapun tanda-tanda
lalu lintas yang terkoordinasi, dan sebagainya untuk menampung kecepatan yang lebih
tinggi dan aliran (jumlah) lalu lintas yang lebih besar, terutama di daerah perkotaan,
sehingga efektifitas tersebut tidak terlalu mengakibatkan terjadinya kemacetan lalu
lintas dan pencemaran udara dan kebisingan.
Dalam rangka menciptakan jaringan jalan yang efektif dan efisien, maka harus
dibuat perencanaan tata guna lahan atau perencanaan sistem transportasisedemikian
rupa, sehingga dapat mencapai keseimbangan yang efisien antara potensi tata guna
lahan dengan kemampuan transportasi. Selain hal tersebut dalam melakukan
pengembangan teknologi di bidang transportasi juga hendaknya adalah teknologi
prasarana transportasi berupa jaringan jalan, mengingat sistem transportasi yang
berkembang semakin cepat menuntut perubahan tata jaringan jalan yang dapat
menampung kebutuhan lalu lintas yang berkembang tersebut.
Transportasi juga memegang peran strategis untuk berfungsinya suatu
metropolitan, yang di dalamnya bukan hanya metropolitan semata sebagai kota induk,
namun juga terdapat kota di sekitarnya yang bersifat satelit, yang mandiri atau masih
erat terkait dengan kota induknya. Adapun kota tersebut, tidak lain adalah kota baru.
Jaringan transportasi penumpang untuk menghubungkan antara kawasan permukiman di
kota baru dengan tempat kerja merupakan fungsi yang amat menentukan struktur
transportasi antara kota induk dan kota satelitnya.
Tingginya peradaban masyarakat kota metropolitan yang didukung oleh tingginya
pendapatan, pada umumnya akan mendorong meningkatnya penggunaan kendaraan
pribadi. Hal ini disebabkan penggunaan kendaraan pribadi merupakan cerminan
peningkatan taraf hidup seseorang, sekaligus memenuhi kebutuhan mobilitas yang
tinggi di perkotaan. Pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi yang disatu sisi
merupakan keberhasilan dari penyediaan sistem jaringan transportasi (jalan) dengan
peningkatan kemakmuran dan mobilitas penduduk, disisi lain menimbulkan kerusakan
84
kualitas kehidupan karena terjadinya kemacetan, polusi udara dan polusi suara (Tamin,
2005). Oleh karena itu maka untuk menghindari pemakaian kendaraan pribadi yang
berlebihan maka perlu diciptakan kendaraan pengangkut penumpang masal yang aman,
nyaman dan cepat. Khusus untuk masyarakat Kota Baru BSD yang umumnya bekerja
di kota utama atau di kota satelit lainnya, dalam rangka menjaga efisiensi dan efektitas
serta untuk menghindari terjadinya pencemaran maka harustersedia sarana dan
prasarana komuter, atau dengan kata lainperlu tersedia kendaraan yang dapat
mengangkut penumpang yang jumlahnya banyak dan mobilitasnya tinggi. Hal ini
sesuai dengan pendapat Dardak (2006) yang mengatakan bahwa diperlukan jaringan
transportasi massal (mass transit) yang beragam jenis dan kombinasinya dengan ongkos
yang mampu dibayar oleh masyarakat dan tidak terlalu membebani anggaran daerah.
Oleh karena itu maka kapasitas sistem jaringan transportasi komuter harus didesain
sedemikian rupa untuk dapat menampung bangkitan lalu lintas dari sistem kegiatan
sehingga tidak terjadi kemacetan.
5.2.5. Dimensi Hukum dan Kelembagaan
Hasil analisis terhadap dimensi hukum dan kelembagaan (Gambar 22)
mendapatkan hasil bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan
adalah 59,95 % (Kavanagh, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa status keberlanjutan
untuk dimensi hukum dan kelembagaan adalah cukup berkelanjutan. Seperti pada
dimensi lainnya, peran masing-masing aspek pada atribut hukum dan kelembagaan ini
dianalisis dengan menggunakan analisis leverage seperti yang terlihat pada Gambar 23.
Walaupun dimensi hukum dan kelembagaan sudah cukup berkelanjutan, maka perlu
dilakukan lagi upaya agar dimensi hukum dan kelembagaan menjadi sangat
berkelanjutan. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut
yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi hukum dan kelembagaan sangat
perlu dilakukan sehingga nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus
meningkat sampai mencapai status berkelanjutan. Atribut-atribut yang dinilai oleh para
pakar didasarkan pada kondisi eksisting wilayah.
85
Gambar 22. Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan Kota BaruBSD
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari delapan atribut, yaitu:
(1) tersedianya organisasi pengelola lingkungan, (2) keberadaan peraturan perundang-
undangan tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di lingkup kawasan
kota baru, (3) kompetensi pengelola kawasan kota baru, (4) sinkronisasi peraturan
dengan pusat, (5) kelengkapan dokumen pengelolaan lingkungan, (6) intensitas
pelanggaran hukum, (7) egosektoral dalam pengelolaan lingkungan, dan (8) konsistensi
penegakan hukum.
Dalam rangka melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi
terhadap nilai indek keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan dilakukan analisis
laverage. Berdasarkan hasil analisis laverage diperoleh enam atribut yang sensitif
terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan yaitu (1)
kompetensi pengelola kawasan kota baru, (2) egosektoral dalam pengelolaan
lingkungan, (3) konsistensi penegakan hukum, (4) tersedianya organisasi pengelola
lingkungan, (5) intensitas pelanggaran hukum, dan (6) sinkronisasi peraturan dengan
pusat. Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks
RAPPERUMTES Ordination
Down
Up
Bad Good
-60
-40
-20
0
20
40
60
-20 0 20 40 60 80 100 120
Status Permukiman
59,95 %
86
keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan ini meningkat untuk masa yang akan
datang. Adapun hasil analisis laverage dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 23.
Gambar 23. Peran masing-masing atribut dimensi hukum dan kelembagaan yangdinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS).
Pada dasarnya terdapat berbagai hal yang sangat penting untuk memelihara dan
mempertahankan kelestarian lingkungan di kawasan kota baru, baik di kawasan
permukimannya maupun di lokasi lain di kota baru. Adapun hal-hal yang sangat
penting tersebut adalah kompetensi pengelola kawasan kota baru. Hal ini sangat
penting untuk diperhatikan, mengingat keberhasilan pengelolaan lingkungan akan
sangat tergantung pada kompetensi pengelolanya. Pengelola yang kompeten di
bidangnya pada umumnya akan memahami apa yang harus dilakukan dalam melakukan
pengelolaan lingkungan sekaligus akan mengetahui parameter kunci dan trik-trik
implementasi pengelolaan lingkungan, sehingga pengelolaan dapat dilakukan dengan
baik dan relatif akan berhasil dengan baik.
Pada pengelolaan lingkungan, termasuk di kota baru, seringkali egosektoral
dalam pengelolaan lingkungan sangat kental terjadi terutama antara dinas-dinas di
kabupaten atau kota yang berkepentingan. Kondisi ini seringkali mengakibatkan
gagalnya pengelolaan lingkungan di satu wilayah. Selain adanya egosektoral, hal yang
juga tidak kalah pentingnya adalah konsistensi penegakan hukum. Ada indikasi bahwa
Leverage of Attributes
4.02
1.45
1.51
4.24
3.61
4.82
4.68
4.48
0 1 2 3 4 5 6
Intensitas pelanggaran hukum
Keberadaan peraturan pengelolaan SDA
Kelengkapan dokumen pengelolaan lingkungan
Organisasi pengelola lingkungan
Sinkronisasi peraturan dgn pusat
Kompetensi pengelola kota baru
Egosektoral dalam pengelolaan lingkungan
Konsistensi penegakan hukum
Attribute
Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on
Status scale 0 to 100)
87
penegakan hukum di Indonesia belum berjalan dengan baik, sehingga kondisi ini
mengakibatkan tidak menariknya masyarakat atau perusahaan untuk berpartisipasi
melakukan pengelolaan lingkungan. Untuk itu maka hal ini harus menjadi perhatian
yang cukup serius bukan hanya di lokasi penelitian namun untuk Indonesia secara
keseluruhan.
Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan
berlanjut dengan baik atau bahkan sangat baik adalah tersedianya organisasi pengelola
lingkungan. Adanya kelembagaan ini secara tidak langsung juga akan membangun
“wadah” jaringan kerjasama antara stakeholders yang berfungsi sebagai jaringan
kerjasama dan koordinasi. Pihak yang membentuk wadah tersebut dapat terdiri dari
beberapa unit seperti masyarakat, pengembang, pemerintah dan instansi terkait.
Adapun prinsip organisasi tersebut adalah pelibatan stakeholders yang peduli dan
berkepentingan terhadap kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan, danketerlibatan
stakeholder akan lebih bersifat terbuka, berdasarkan kesetaraan dan partisipasi,
mekanisme negosiasi yang saling menguntungkan, berkeadilan, keputusan berdasarkan
prinsip demokrasi.
Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan
berlanjut dengan baik adalah masih tingginya intensitas pelanggaran hukum. Hal ini
terjadi karena kompetensi pengelola kawasan kota baru, para penegak hukum serta
pihak eksekutif dan legislatif yang relatif belum mempunyai kompetensi yang baik
dalam melakukan pengelolaan lingkungan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan relatif
kurang dapat membedakan mana yang betul-betul benar dan mana yang sesungguhnya
salah/keliru/kurang pas.
Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan
berlanjut dengan baik adalah sinkronisasi peraturan dengan pusat. Dalam hal ini
seringkali tata tertib dalam masyarakat dan di kawasan kotabaru dapat saja tidak
sinkron, sehingga akan membuat kebingungan masyarakat bawah yang pada akhirnya
berujung pada gagalnya pengelolaan lingkungan di kawasan kota baru.
5.2.6. Multidimensi
Hasil analisis Rap-KOBA multidimensi pengelolaan lingkungan kota baru
yang keberlanjutan dilakukan berdasarkan kondisi eksisting, diperoleh nilai indeks
keberlanjutan sebesar 46,75 % dan termasuk dalam status kurang berkelanjutan. Nilai
88
ini diperoleh berdasarkan penilaian 45 atribut dari lima dimensi keberlanjutan yaitu
dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, dan infrastruktur dan teknologi, serta hukum
dan kelembagaan. Hasil analisis multidimensi dengan Rap-KOBA mengenai
pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD memperlihatkan bahwa diantara kelima
dimensi tersebut, dimensi yang mempunyai indeks keberlanjutan paling tinggi adalah
dimensi hukum dan kelembagaan, diikuti dimensi ekonomi dan infrastruktur dan
teknologi yang keduanya masuk pada kategori berkelanjutan. Hasil analisis
memperlihatkan bahwa dimensi hukum dan kelembagaan, dimensi ekonomi dan
infrastruktur serta dimensi teknologi dan ketiga dimensi tersebut masuk pada kategori
cukup berkelanjutan. Namun dimensi ekologi masuk pada kategori belum berlanjut,
serta dimensi sosial budaya masuk pada kategori buruk
Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks
keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis laverage masing-masing dimensi
sebanyak 22 atribut. Atribut-atribut ini perlu dilakukan perbaikan ke depan untuk
meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD.
Perbaikan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas atribut yang mempunyai
dampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan dan menekan sekecil
mungkin atribut yang berpeluang menimbulkan dampak negatif atau menurunkan nilai
indeks keberlanjutan kawasan.
Hasil analisis dengan menggunakan Rap-KOBA (MDS) diperoleh nilai indeks
keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 42,22 % dengan status kurang
berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 53,17 % dengan status cukup berkelanjutan,
dimensi sosial-budaya sebesar 26,49 % dengan status tidak berkelanjutan, dimensi
infrastruktur dan teknologi sebesar 52,20 % dengan status cukup berkelanjutan, dan
dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 59,95 % dengan status cukup berkelanjutan.
Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar tersebut didasarkan pada kondisi eksisting
wilayah. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis Rap-KOBA
dapat dilihat pada Gambar 24.
Pada konsep pembangunan berkelanjutan harus mengintegrasikan setidaknya
aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Konsep ini pada dasarnya telah disepakati secara
global sejak diselenggarakannya United Nation Conference on The Human Environment
di Stockholm tahun 1972, dengan harapan agar dapat memenuhi kebutuhan generasi
89
sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi
kebutuhannya (WCED, 1987). Selain hal tersebut menurut Komisi Burtland,
pembangunan berkelanjutan bukanlah kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi
lebih merupakan suatu proses perubahan agar eksploitasi sumberdaya, arah investasi,
orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan
masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini. Kaitan pernyataan tersebut di atas
dengan nilai keberlanjutan pada setiap dimensi pada penelitian ini, bahwa semua nilai
indeks keberlanjutan dari setiap dimensi tersebut tidak harus memiliki nilai yang sama
besar.
Gambar 24. Indeks keberlanjutan multidimensi permukiman Kota Baru BSD
Hal ini disebabkan kawasan Kota Baru BSD memiliki masalah yang berbeda-
beda, sehingga prioritas dimensi apa yang lebih dominan untuk menjadi perhatian pun
juga akan berbeda. Pada prinsipnya nilai indeks keberlanjutan gabungan dari kelima
dimensi yang dilihat di sini masih berada pada kategori kurang berlanjut. Oleh karena
itu maka dalam rangka meningkatkan keberlanjutan pada setiap dimensi harus benar-
benar memperhatikan atribut-atribut sensitif terutama pada dimensi ekologi dan sosial
budaya. Namun demikian pada dimensi lainnya pun tetap harus ditingkatkan status
keberlanjutannya, dengan cara memperhatikan atribut-atribut sensitif yang dapat
meningkatkan status keberlanjutan dari semua dimensi pada Rap-KOBA tersebut.
46,75 %
RAPPERUMTES Ordination
Down
Up
Bad Good
-60
-40
-20
0
20
40
60
0 20 40 60 80 100 120
Status Permukiman Multidimensi
46,75 %
90
Gambar 25. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan KotaBaru BSD
Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan
pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD pada taraf kepercayaan 95 %, memperlihatkan
hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis Rap-KOBA
(multidimensional scaling). Hal ini mengandung arti bahwa kesalahan dalam analisis
dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian
skoring akibat terjadinya perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang
dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data
hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte
Carlo seperti pada Tabel 12.
Hasil analisis Rap-KOBA tersebut di atas, juga menunjukkan bahwa semua
atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru
BSD, cukup akurat, sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat
dipertanggung jawabkan. Hal ini terbukti dari nilai stress yang hanya antara 13 sampai
14 % dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh antara 0,94 dan 0,97. Hal ini
sesuai dengan pendapat Fisheries (1999), yang menyatakan bahwa hasil analisis cukup
memadai apabila nilai stress lebih kecil dari ketetapan yang ada, yakni nilai 0,25 (25 %).
(42,22 %)
(53,17%)
(26,49 %)(52,20 %)
(59,95 %) 0
20
40
60
80
100Ekologi
Ekonomi
Sosial dan BudayaInfrastruktur dan Teknologi
Hukum dan Kelembagaan
(42,22 %)
(59,95 %)
(52,20 %) (26,49 %)
(53,17 %)
91
Tabel 12. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengananalisis Rap-KOBA
Dimensi KeberlanjutanNilai Indeks Keberlanjutan (%)
PerbedaanMDS Monte Carlo
Ekologi 42,22 42,29 0,07
Ekonomi 43,71 43,24 0,47
Sosial-Budaya 26,49 27,02 0,53
Infrastruktur dan Teknologi 52,20 46,46 5,74
Hukum dan Kelembagan 59,95 58,23 1,72
Multi-Dimensi 46,69 45,05 1,64
Nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan dari penelitian ini mendekati
nilai 1,0. Berdasarkan kesepakatan terhadap nilai koefisien determinasi bahwa kualitas
hasil analisis dikatakan semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar
(mendekati 1). Hal ini memperlihatkan bahwa kualitas hasil analisis berdasarkan nilai
R2-nya semakin baik. Dengan demikian berdasarkan dua parameter (nilai “stress” dan
R2) tersebut menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis
keberlanjutan pengelolaan lingkungan kota baru di kawasan Kota Baru BSD, Kabupaten
Tangerang Selatan masuk pada kategori yang relatif baik dalam menerangkan kelima
dimensi pembangunan yang dianalisis. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi
seperti Tabel 13.
Tabel 13. Hasil analisis Rap-KOBA untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R2)
ParameterDimensi keberlanjutan
A B C D E F
Stress 0,14 0,13 0,13 0,14 0,13 0,13
R2 0,94 0,96 0,97 0,94 0,97 0,94
Iterasi 3 3 3 3 3 3Keterangan : A = Dimensi Ekologi, B = Dimensi Ekonomi, C = Dimensi Sosial-Budaya,
D = Dimensi Infrastruktur-Teknologi, E = Dimensi Hukum-Kelembagaan,dan F = Multidimensi
Pada penelitian ini selanjutnya dilakukan pengujian terhadap tingkat
kepercayaan nilai indeks multidimensi serta pada setiap dimensi yang digunakan,
dengan analisis Monte Carlo. Adapun yang dimaksud dengan analisis Monte Carlo
92
adalah analisis berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan
menggunakan teknik random number dan didasarkan pada teori statistika, sehingga dari
sini akan didapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis
(EPA 1997). Pada penelitian ini penggunaan analisis Montecarlo dimaksudkan untuk
melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada setiap dimensi
yang digunakan pada penelitian ini, terutama untuk melihat pengaruh kesalahan yang
disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi
pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda,
stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau ada data yang hilang
(missing data), dan nilai “stress” yang terlalu tinggi. Adanya analisis Montecarlo ini,
harapannya agar hasil akhir analisis keberlanjutan ini dapat mempunyai tingkat
kepercayaan yang tinggi (Kanvanagh, 2001 serta Fauzi dan Anna, 2002).
Berdasarkan hasil analisis Monte Carlo (Tabel 14) terlihat bahwa nilai status
indeks keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD ada pada selang
kepercayaan 95% dengan hasil antara analisis MDS dengan analisis Monte Carlo yang
hampir mirip. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kesalahan dalam pembuatan skor
setiap atribut dapat dikatakan relatif kecil; variasi pemberian skor akibat perbedaan
opini juga relatif kecil. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa proses analisis yang
dilakukan pada penelitian ini mempunyai ulangan yang cukup dan relatif stabil pada
setiap ulangan; serta dapat dikatakan terhindar dari kesalahan pemasukan data dan data
yang hilang (Kanvanagh, 2001).
Tabel 14. Hasil analisis Monte Carlo pada selang kepercayaan 95%.
Status IndeksHasil analisis
PerbedaanMDS Monte Carlo
Multidimensi 36,86 36,43 0,43Ekologi 36,14 36,44 0,30Ekonomi 53,18 52,74 0,44Sosial-Budaya 40,42 41,38 0,96Infrastruktur danTeknologi
23,17 24,04 0,87
Hukum danKelembagaan
26,07 27.10 1,03
Perbedaan yang relatif kecil ini juga memperlihatkan bahwa hasil analisis
keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD dengan menggunakan metode
93
MDS memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (Pitcher, 1999). Oleh karena itu maka
hasil analisis ini dapat direkomendasikan untuk dijadikan salah satu alat evaluasi dalam
menilai secara cepat (rapid appraisal) keberlanjutan dari sistem pengelolaan lingkungan
kota baru di suatu wilayah/daerah.
5.2.7. Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan
Pada proses pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD ini, semua atribut sensitive
yang merupakan faktor pengungkit ini harus diperhatikan dengan seksama dan harus
dilakukan berbagai upaya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan faktor pengungkit
tersebut, sehingga status keberlanjutan dari setiap dimensi dapat ditingkatkan dan
pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD menjadi berkelanjutan. Dalam arti dalam
melakukan pembangunan kota baru ini secara ekonomi akan sangat menguntungkan,
secara ekologi akan membuat lingkungan kawasan kota baru menjadi lestari, namun
tetap berkeadilan dan memberikan kemakmuran dan tidak terdapat konflik pada
masyarakat yang ada di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Munasinghe (1993)
bahwa dalam pembangunan berkelanjutan, paling tidak harus menjabarkan konsep
pembangunan berkelanjutan yakni secara ekonomi harus menguntungkan, berkeadilan,
namun tidak mengakibatkan rusaknya lingkungan. Untuk lebih jelasnya faktor
pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD dapat dilihat pada
Tabel 15.
Secara operasional, seluruh faktor pengungkit tersebut memiliki keterkaitan
dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Hal ini perlu diperhatikan
dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD secara
berkelanjutan. Namun mengingat cukup banyak faktor pengungkit yang didapat, dan
pasti ada yang lebih dominan yang akan menentukan keberlanjutan pengelolaan
lingkungan Kota Baru BSD, maka pada penelitian ini dilakukan analisis lanjutan dalam
rangka menentukan faktor dominan penentu keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota
Baru BSD dengan menggunakan analisis prospektif. Untuk selanjutnya faktor dominan
yang dihasilkan dari analisis prospektif tersebut digunakan sebagai basis dalam
perumusan prioritas kebijakan dalam pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD.
94
Tabel 15 Faktor pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD
Dimensi Faktor pengungkit
Ekologi 1. ketersediaan air bersih
2. manajemen banjir/bencana
3. permasalahan transportasi
4. pencemaran udara/emisi
5. ketersediaan pengolah limbah cair
Ekonomi 6. keberadaan kawasan bisnis
7. tingkat pengangguran
8. keberadaan kawasan industri
9. keberadaan pertokoan kawasan
Sosial-
budaya
10. pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal
11. keragaman budaya dalam masyarakat
12. konflik dengan masyarakat lokal
Infrastruktur
dan
Teknologi
13. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik
cair
14. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri
cair
15. ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien
16. ketersediaan sarana dan prasarana komuter
Hukum dan
Kelembagaan
17. kompetensi pengelola kawasan kota baru
18. egosektoral dalam pengelolaan lingkungan
19. konsistensi penegakan hukum
20. tersedianya organisasi pengelola lingkungan
21. intensitas pelanggaran hukum
22. sinkronisasi peraturan dengan pusat
Pada penelitian ini penentuan faktor dominan didasarkan pada faktor pengungkit
yang mempunyai pengaruh besar, namun tingkat ketergantungannya rendah. Hasil
analisis prospektif yang dilakukan pada penelitian ini, diperoleh lima faktor kunci
(faktor penentu) keberhasilan pengelolaan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD
yaitu faktor-faktor yang mempunyai pengaruh yang besar dengan tingkat
ketergantungan yang kecil (Bourgeois dan Jesus, 2004). Adapun faktor-faktor kunci
tersebut adalah (1) pencemaran udara/emisi, (2) ketersediaan pengolah limbah cair, (3)
ketersediaan sarana dan prasarana komuter, (4) tersedianya organisasi pengelola
95
lingkungan, dan (5) ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien.
Untuk lebih jelasnya hasil analisis prospektif ini dapat dilihat pada Gambar 26.
Mengingat ke lima faktor tersebut di atas merupakan faktor kunci keberhasilan
pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, maka faktor-faktor tersebut perlu sangat
diperhatikan dan ditindaklanjuti, seperti pada uraian di bawah ini.
Pencemaran Udara/Emisi
Kota metropolitan DKI Jakarta dengan kota satelitnya, seperti Kota Baru BSD
merupakan kota-kota yang melaksanakan pembangunan ekonomi cukup pesat. Di lain
pihak peningkatan pembangunan ekonomi tersebut selalu diikuti dengan meningkatnya
kegiatan industri dan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor. Peningkatan
kedua hal tersebut, umumnya tidak hanya memberikan kesejahteraan kepada
masyarakat, namun juga menyebabkan menurunnya kualitas udara terutama di wilayah
perkotaan, termasuk di dalamnya di Kota Baru BSD. Menurunnya kualitas udara
wilayah perkotaan dari sektor transportasi dan industri ini, disebabkan tingginya
pembakaran bahan bakar fosil (BBF). Bahkan menurut Lvovsky et al. (2000), dari
sektor transportasi saja di wilayah kota baru dapat terjadi peningkatan penggunaan BBF
hingga 53 persen. Tingginya penggunaan bahan bakar fosil (BBF) tersebut
menyebabkan kontribusi sektor transportasi terhadap turunnya kualitas udara di
berbagai kota besar di dunia yang rata-rata mencapai 70 persen atau lebih (Tietenberg ,
2003).
Selain adanya peningkatan transportasi yang signifikan dari kegiatan di kota, di
kota metropolitas dan kota satelitnya seringkali untuk mempercepat terjadinya
pertumbuhan ekonomi, maka aktivitas industri atau aktivitas ekonomi lainnya juga
semakin meningkat. Bahkan bukan hanya itu kawasan perkotaan (dan daerah manapun)
pada umumnya selalu berupaya untuk mencari investor yang akan berinvestasi di
bidang industri. Namun kenyataannya karena sarana dan prasarana di perkotaan cukup
mendukung, maka kegiatan industri dan kegiatan ekonomi lainnya lebih terpusat di
kota-kota besar dan kota satelitnya. Di lain pihak dampak dari terkonsentrasinya
pembangunan ekonomi dan industri di perkotaan ini adalah tingginya arus urbanisasi.
Tingginya urbanisasi di perkotaan juga seringkali tidak diimbangi dengan penyediaan
sarana transportasi umum yang memadai menyebabkan meningkatnya penggunaan
kendaraan yang berdampak pada meningkatnya kemacetan dan degradasi kualitas udara
96
(Panyacosit, 2000). Oleh karenanya maka kegiatan ekonomi dan industri yang terdapat
di wilayah perkotaan dan kota satelitnya seperti Kota Baru BSD seringkali menanggung
masalah tingginya pencemaran udara dan emisi gas rumah kaca (GRK).
Adapun jenis polutan yang diemisikan oleh kendaraan bermotor dan industri
akibar dari pembakaran BBM sangat bergantung pada kondisi mesin industri, kondisi
kendaraan dan kualitas bahan bakar yang digunakannya. Mesin yang menggunakan
bahan bakar bensin sebagian berkontribusi terhadap gas buang Karbon monoksida (CO),
Nitrogen oksida (NOx), dan Hidrokarbon (HC) serta logam berat timbal (Pb), sedangkan
mesin yang menggunakan bahan bakar solar mengemisikan debu/partikulat dan Sulfur
dioksida (SO2) (Volesky, 1990). Dampak terparah dari menurunnya kualitas udara
adalah pada kesehatan masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi (Ostro, 1994;
Small dan Kazimi, 1995; Lvovsky et al., 2000). Mengingat tingginya pembakaran BBF
akibat tingginya kegiatan transportasi dan industri serta telah memberi dampak negatif
pada lingkungan dan dampak negatif pada aspek sosial, terutama kesehatan, maka
pencemaran udara dari emisi mesin kendaraan bermotor dan industri tersebut harus
ditanggulangi sebaik mungkin baik maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI
Jakarta, oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota
Baru BSD maupun secara nasional, dengan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk
pengendalian pencemaran.
Ketersediaan Pengolah Limbah Cair.
Air merupakan sumber kehidupan sehingga tidak akan ada kehidupan yang tidak
membutuhkan air. Namun seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat yang
menghasilkan limbah cair dan di dalamnya terdapat berbagai bahan pencemar, telah
mengakibatkan langkanya sumberdaya air yang kualitasnya baik. Idealnya bahwa
walaupun air ada dalam jumlah yang tetap, namun kualitasnya telah menurun, sehingga
terjadinya kelangkaan air yang sudah jadi masalah yang cukup serius. Di sisi lain,
rendahnya kualitas air ini dapat membawa dampak negatif baik pada biota yang hidup
di dalamnya, maupun untuk manusia yang mengkonsumsi biota tersebut.
Salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas air tersebut disebabkan oleh
adanya limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan antropogenik seperti dari
kawasan permukiman, kegiatan perkotaan, industri, rumah sakit, rumah makan yang
97
umumnya tidak melakukan pengolahan terlebih dahulu, namun langsung membuangnya
ke badan air seperti ke sungai. Oleh karena itu maka kualitas badan air seperti sungai,
situ, kolam dan lain sebagainya di kota-kota besar berada jauh di bawah persyaratan
yang diijinkan, yang dapat dilihat secara kasat mata berupa perubahan warna, tingkat
kekeruhan air dan dari baunya, serta seringkali setelah dibuktikan di laboratorium,
kualitas berbagai parameter kualitas air, menjadi buruk (di luar ambang batas yang
sudah ditentukan) yang dikenal dengan istilah pencemaran.
Pencemaran air terjadi sebagai akibat adanya dampak negatif karena masuknya
zat pencemar ke dalam suatu perairan, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan biota,
sumberdaya dan ekosistem peairan serta kesehatan manusia yang hidup di sekitar
perairan tersebut (Sutamiharja 1978). Selanjutnya Sutamiharja (1978) menyatakan
bahwa bahan pencemar atau zat pencemar menurut sumbernya terbagi menjadi dua
yaitu yang berasal dari alam dan yang berasal dari kegiatan manusia. Pencemaran yang
diakibatkan oleh kegiatan manusia diantaranya adalah pemanfaatan sumberdaya alam
pada proses pertambangan, perindustrian dan pertanian. Dalam rangka mengetahui
apakah suatu badan air sudah tercemar atau belum dan bagaimana tingkat
pencemarannya, perlu diuji sifat-sifat air, dan disesuaikan dengan baku mutu air sesuai
dengan kriterianya yang umumnya dilakukan baik secara langsung dilakukan
pengukuran di lapangan maupun dengan cara terlebih dahulu dibawa ke laboratorium.
Di daerah perkotaan, tercemarnya sumberdaya air ini umumnya terjadi sebagai
akibat adanya aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia. Hal ini terjadi karena seringkali
manusia hanya berorientasi pada proses produksi dan konsumsi saja. Dalam hal ini
setelah selesai memproduksi atau mengkonsumsi suatu barang, pada umumnya manusia
tidak peduli lagi dengan limbah yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. Terjadinya
pencemaran badan air di perkotaan ini umumnya terjadi karena manusia seringkali
membuang limbahnya secara langsung ke dalam saluran air atau kalaupun mengalami
pengolahan, maka pengolahan yang dilakukan umumnya hanya bersifat alakadarnya.
Air tercemar ini selanjutnya akan mengalir ke dalam parit, untuk kemudian terbawa
masuk ke dalam badan air (sungai maupun danau). Bahkan apabila turun hujan, bahan
pencemar ini akan terbawa hingga ke laut.
Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan antropogenik yang langsung dibuang
ke dalam badan air tersebut seringkali mengakibatkan menjadi sangat tercemarnya
98
badan air baik oleh bahan organik maupun oleh bahan berbahaya dan beracun (B3).
Oleh karenanya maka air buangan ini tidak boleh dibuang begitu saja karena akan
mengganggu ekosistem air penerimanya. Berdasarkan hal tersebut, maka keberadaan
instalasi pengolah air limbah (IPAL) di kawasan kota baru sangat diperlukan
keberadaannya dalam rangka mempertahankan atau bahkan memperbaiki kualitas
lingkungan ekosistem air penerima limbah cair dari kegiatan kegiatan antropogenik
tersebut.
Kondisi tersebut di atas terjadi karena kurang terencananya kondisi infrastruktur
pembuangan air limbah cair untuk pengolah limbah cair dari industri, domestik, rumah
sakit, rumah makan, hotel, dsb. Selain itu jika infrastruktur ada, pada umumnya belum
mempertimbangkan kapasitas dan spesifikasi yang sesuai menyebabkan rendahnya
kualitas output air limbah di perkotaan. Melihat kondisi tersebut maka perlu dipikirkan
kembali suatu sistim penanganan air limbah domestik yang memenuhi baku mutu yang
ditentukan, dengan meminimalkan tingkat bahan pencemar hingga berada di bawah
ambang maksimal. Penanganan air limbah cair tersebut tidak saja dilakukan dengan
memperbaiki teknik penanganan air limbah namun termasuk sistim pengelolaan air
secara terpadu yang dikenal dengan waste water treatment plant. Dengan adanya
pengelolaan secara terpadu tersebut diharapkan kualitas badan air dapat dikembalikan
pada ambang normal dan meminimalkan polusi yang timbul. Berdasarkan hal tersebut
maka maka pencemaran badan air tersebut harus ditanggulangi sebaik mungkin baik
maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI Jakarta, oleh Pemerintah Daerah
Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota Baru BSD maupun secara nasional,
dengan cara menyediakan pengolah limbah cair, baik limbah cair yang berasal dari
kegiatan kawasan permukiman, industri, rumah sakit, perkantoran, perhotelan,
pertokoan, rumah makan dan kegiatan ekonomi lainnya.
Ketersediaan Sarana dan Prasarana Komuter
Pengembangan jaringan transportasi pada awalnya merupakan usaha untuk
memfasilitasi pergerakan dari asal (origin) ke tujuan (destination) yang timbul akibat
kegiatan sosial dan ekonomi. Pergerakan transportasi merupakan salah satu kegiatan
ekonomi yang mencoba untuk meningkatkan nilai ekonomis suatu barang. Oleh karena
itu kebutuhan sistem transportasi yang efisien dan efektif menjadi dasar dalam
99
melakukan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan dan pengembangan
sistem transportasi.
Dalam rangka menciptakan sistem transportasi yang efisien dan efektif tersebut,
hal yang pertama harus digaris bawahi dan perlu dibuat dengan sebaik mungkin adalah
perencanaan transportasi, baik yang menyangkut tata ruang pada zona wilayah maupun
pada penyediaan sarana transportasinya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kenworthy
dan Laube (2002) yang menyatakan bahwa ada korelasi antara pola tata guna lahan
dengan sistem transportasi dan kepadatan penduduk. Selain itu perencanaan
transportasi juga sangat berkaitan dengan perencanaan atau sistem ekonomi dari suatu
wilayah. Oleh karena itu maka perencanaan, pengembangan dan pembangunan
prasarana dan sarana transportasi merupakan implikasi dari proses pemenuhan
kebutuhan manusia dan peningkatan nilai ekonomis dari suatu barang.
Adapun salah satu sarana dan prasarana transportasi yang perlu direncanakan
dengan baik untuk kota satelit seperti halnya Kota Baru BSD yang merupakan kota
satelit pada wilayah metropolitan DKI Jakarta adalah tersedianya sarana dan prasarana
untuk angkutan umum yang memuat banyak penumpang dan melayani hampir seluruh
lokasi perkotaan yang disebut komuniter (selanjutnya disebut komuter). Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian JICA (2001) yang mengatakan bahwa jumlah keseluruhan
perjalanan oleh komuter yang terjadi di dalam DKI Jakarta sebanyak 16 juta orang
setiap hari dan 25% diantaranya adalah komuniter komuter dari Kota Satelit Bogor,
Depok, Tangerang dan Bekasi. Hal ini juga sangat wajar, mengingat hasil penelitian
Luo (2007) di tiga negara kota metropolitan di Asia yang mempunyai income tinggi,
memperlihatkan bahwa rata-rata panjang perjalanan yang dilakukan masyarakat di kota
metropolitan dari tiga negara yang diteliti untuk Kota Kuala Lumpur-Malaysia 2,7 km,
untuk masyarakat Kota Manila-Filipina 4 km, dan panjang perjalanan masyarakat Kota
Chengdu-Cina mencapai 9 km.
Khusus untuk Kota Metropolitan DKI Jakarta, saat ini telah tersedia moda
angkutan umum penumpang komuter berupa BRT Transjakarta. Khusus untuk kota
satelit, pada umumnya tidak terjangkau oleh komuter berupa BRT Transjakarta, namun
beberapa kota satelit sudah menyediakan feeder untuk Transjakarta tersebut. Mengingat
kinerja angkutan umum penumpang harus memenuhi syarat dan mencakup berbagai hal
yang meliputi daerah pelayanan dan jangkauan rute, struktur dan ruang rute, rute secara
100
langsung dan mudah, panjang rute, duplikasi rute, headway, frekuensi, standar muatan,
dan kecepatan perjalanan (NCHRP, 1980).
Mengingat tingginya calon penumpang dari kota satelit dan di kota utama,
maka semuanya harus dilayani dengan baik, dengan tetap mengikuti konsep
pembangunan berkelanjutan, yakni pembangunan untuk memenuhi kebutuhan
manusia pada saat ini tanpa merusak kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Adapun konsep pembangunan
berkelanjutan pada bidang transportasi, harus dapat memberikan kenyamanan bagi
warga kota dan lingkungan dengan beberapa kriteria. Kriteria-kriterianya antara lain
pengoperasian transportasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas udara, mengurangi
pencemaran, mengurangi kebisingan dan mengurangi dampak lalu lintas, meningkatkan
keselamatan, mengurangi kecelakaan lalu lintas, dan mengurangi konsumsi energi.
Transportasi berkelanjutan dalam arti yang lebih luas merupakan usaha untuk
menurunkan tingkat kemacetan, menghemat biaya fasilitas, meningkatkan keselamatan,
meningkatkan pergerakan non kendaraan, menggunakan lahan secara efisien, sehingga
menghasilkan mobilitas yang tinggi untuk setiap kendaraan (Litman, 2004).
Berdasarkan hal tersebut maka masalah transportasi harus ditanggulangi sebaik
mungkin baik maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI Jakarta, oleh
Pemerintah Daerah Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota Baru BSD
dengan tetap mengikuti konsep pembangunan transportasi yang berkelanjutan, yang
salah satu caranya dapat dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana komuter
sebaik mungkin.
Tersedianya Organisasi Pengelola Lingkungan,
Pada pengelolaan lingkungan, harus ada yang mengerakan agar dilakukan
pengelolaan lingkungan. Hal ini berlaku untuk berbagai lokasi, termasuk di dalamnya
untuk Kota Baru BSD. Agar pengelolaan lingkungan berjalan dengan baik, dan untuk
menjamin kelestarian lingkungan, maka di lokasi kota baru harus tersedia organisasi
pengelola lingkungan, atau dengan kata lain harus dibentuk kelembagaannya.
Dalam rangka mensukseskan kegiatan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota
Baru BSD, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kelembagaan
pengelolaan lingkungan kawasan kota baru yaitu: (1) pengelolaan kegiatan pengelolaan
101
lingkungankawasan memerlukan hubungan antar lembaga yang terintegrasi, (2)
pengelolaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan memerlukan partisipasi
stakeholder, (3) pengelolaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan memerlukan
sumber dana yang memadai, (4) memerlukan media konsultatif antara stakeholder
kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan, (5) memerlukan kepedulian masyarakat dan
institusi masyarakat lokal untuk mengontrol jalannya kelembagaan kegiatan
pengelolaan lingkungan kawasan, (6) memerlukan perangkat hukum yang jelas agar
pengelolaan lingkungan berjalan dengan baik, dan (7) memerlukan kolaborasi dengan
pemerintah setempat dan pemerintah pusat serta dengan pihak lain, misalnya perguruan
tinggi, kalangan industri dan pengelola kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan
lainnya. Untuk itu maka dalam rangka mensukseskan kegiatan pengelolaan lingkungan
di kawasan Kota Baru BSD, maka hal yang harus diperhatikan dan harus segera
diadalkan adalah membentuk struktur organisasi kegiatan pengelolaan lingkungan
kawasan Kota Baru BSD.
Ketersediaan Sarana dan Prasarana Jalan yang Efektif dan Efisien
Pada sistem transportasi hal yang ideal dilakukan adalah menyesuaikan dengan
tujuan proyek transportasi, tetapi harus tetap mengacu pada aspek ekologi, sosial dan
ekonomi, sehingga sistem transportasi tersebut menjadi berkelanjutan, dan mampu
mewujudkan agar orang tidak bergantung pada penggunaan kendaraan pribadi. Oleh
karena itu maka keberlanjutan transportasi harus dapat memenuhi beberapa tujuan: 1)
dapat meningkatkan kualitas dan aksesibilitas layanan transportasi umum; 2) tersedia
lokasi untuk berjalan dan bersepeda yang lebih menarik; 3) dapat mengurangi
kebutuhan perjalanan; 4) dapat mengurangi bahkan membuang hambatan psikologi dan
mendukung kebijakan publik untuk menggunakan kendaraan alternatif; dan 5) membuat
image bahwa transportasi menjadi sebuah komponen penting untuk strategi perencanaan
ruang suatu wilayah (Paulley dan Pedler, 2000). Oleh karena itu maka harus ada
pelayanan sebaik mungkin pada penumpang. Adapun faktor penting dalam menentukan
kualitas pelayanan adalah perceived quality yaitu tingkat kualitas pelayanan yang
dirasakan oleh pengguna, dimana kualitas pelayanan yang dirasakan oleh pengguna
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman layanan sebelumnya (Cronin dan Taylor,
1992).
102
Pada dasarnya menciptakan transportasi berkelanjutan tidaklah mudah, dan tidak
hanya sekedar keberadaan jalan padat atau tidak padat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Cook et al. (2004) yang mengatakan bahwa kriteria evaluasi masyarakat terhadap sistem
transportasi berkelanjutan adalah: 1) teknologi baru; 2) sangat cepat; 3) langsung; 4)
tidak menunggu; 5) antrian sedikit; 6) dapat memilih perjalanan sendiri; 7) tidak
mengalami frustasi; 8) baik bagi lingkungan; 9) tidak berdebat dengan supir; 10) tidak
kuatir seorang diri berada di angkutan; 11) mudah dinaiki; 12) tidak ada supir; dan 13)
lebih dapat diakses dari pada moda angkutan umum lain. Hal ini sejalan dengan
pendapat (Jeon dan Amekudzi, 2005) yang mengatakan bahwa sistem transportasi
dikatakan berkelanjutan apabila dapat memberikan penyelesaian yang efektif dan
efisien kepada pemakainya seperti adil dan aman mengakses pelayanan ekonomi dan
sosial mendasar, harus meningkatkan pembangunan ekonomi dan tidak
membahayakan lingkungan.
Menurut Litman (2008) keberlanjutan mobilitas tersebut dapat dicapai dengan
cara: 1) meningkatkan aksesibilitas dan memaksimalkan penggunaan ruang; 2)
meningkatkan bagian moda transportasi yang bersahabat secara lingkungan misalnya
angkutan umum, sepeda, berjalan dan lain-lain; 3) mengurangi kemacetan; 4)
meningkatkan keselamatan; 5) mengurangi pencemaran udara, kebisingan dan
gangguan pemandangan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa pada konsep
transportasi berkelanjutan, kegiatan manusia yang berkaitan dengan pergerakan
manusia dan barang seharusnya terjadi dengan cara-cara yang berkelanjutan baik
secara lingkungan, sosial dan ekonomika. Berdasarkan hal tersebut maka dalam
rangka membuat transportasi yang berkelanjutan, sehingga dapat mendukung
pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD yang baik, maka hal yang harus
diperhatikan dan harus segera diadakan adalah menyediakan sarana dan prasarana jalan
yang efektif dan efisien di kawasan Kota Baru BSD dan menuju ke atau dari kota utama
dan kota satelit lainnya.
Pada penelitian ini, selain terdapat lima parameter kunci seperti diuraikan di atas,
pada analisis prospektif juga diperoleh enam buah faktor penghubung yakni faktor yang
mempunyai pengaruh yang besar namun juga ketergantungannya juga besar (Bourgeois
dan Jesus, 2004). Adapun ke enam faktor penghubung yang mempunyai pengaruh yang
besar terhadap keberhasilan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD,
103
namun memiliki ketergantungan pada faktor lainnya yang cukup besar. Mengingat ke
enam faktor pengungkit tersebut mempunyai pengaruh yang besar, maka jika kita
menginginkan keberhasilan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, ke
enam faktor pengungkit tersebut juga harus diperhatikan dengan seksama. Adapun
faktor-faktor tersebut adalah keberadaan kawasan bisnis, keberadaan kawasan industri,
ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, ketersediaan sarana
dan prasarana pengolahan limbah industri cair, kompetensi pengelola kawasan kota baru
dan egosektoral dalam pengelolaan lingkungan (Gambar 26).
Gambar 26. Pemetaan faktor pengungkit pada pengelolaan lingkungan kawasanKota Baru BSD
5 6
3
1316
710
81820
14
12
15
4
912
17
2122
11
104
Keterangan gambar:
1. ketersediaan air bersih
2. manajemen banjir/bencana
3. permasalahan transportasi
4. pencemaran udara/emisi
5. ketersediaan pengolah limbah cair
6. keberadaan kawasan bisnis
7. tingkat pengangguran
8. keberadaan kawasan industri
9. keberadaan pertokoan kawasan
10. pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal
11. keragaman budaya dalam masyarakat
12. konflik dengan masyarakat lokal
13. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair
14. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair
15. ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien
16. ketersediaan sarana dan prasarana komuter
17. kompetensi pengelola kawasan kota baru
18. egosektoral dalam pengelolaan lingkungan
19. konsistensi penegakan hukum
20. tersedianya organisasi pengelola lingkungan
21. intensitas pelanggaran hukum
22. sinkronisasi peraturan dengan pusat
Berdasarkan hasil analisis prospektif tersebut diatas, memperlihatkan bahwa
hasil analisis prospektif pada dasarnya telah sesuai dengan kondisi lapangan di lokasi
tersebut, pada saat dilakukan penelitian. Ke lima faktor kunci tersebut harus benar-
benar diperhatikan dalam pengembangan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru
BSD. Hal ini diperlukan mengingat kondisi eksisting pengelolaan lingkungan di
kawasan Kota Baru BSD memperlihatkan kurang berkelanjutan, dan hanya dimensi
ekonomi, dimensi infrastruktur dan teknologi serta dimensi hukum dan kelembagaan
105
yang memperlihatkan status yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi sosial
budaya dan dimensi ekologi masih ada dalam status yang kurang berkelanjutan. Upaya-
upaya untuk meningkatkan status berkelanjutan kawasan kota baru ini sangat perlu
dilakukan mengingat kawasan Kota Baru BSD dalam kondisi seperti ini saja sudah
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya .
5.3. Model Pengelolaan Lingkungan Kota Baru BSD
Pertumbuhan kota metropolitan dan kota satelitnya seperti kota baru yang cepat
seringkali menimbulkan berbagai implikasi negatif, seperti kurang mampunya
infrastruktur perkotaan dalam menampung aktivitas warga, pelayanan publik yang
kurang baik akibat dari minimnya SDM yang tersedia, timbulnya masalah sosial seperti
pengangguran, kriminalitas dan kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan berupa
terjadinya polusi udara, tanah dan air, dsb. Adapun salah satu permasalahan rendahnya
kualitas lingkungan seringkali berhubungan erat dengan besarnya jumlah penduduk,
besarnya kegiatan bisnis seperti industri, pertokoan, dsb serta tingginya kegiatan
pembakaran BBF terutama pada kegiatan transportasi dan kegiatan industri. Dalam
rangka mensukseskan pengelolaan lingkungan yang baik di kotabaru, maka terlebih
dahulu dibuatmodel dinamikpengelolaan lingkungan kota baruyang berkelanjutan, yang
nantinya diharapkan akan memberikan arah pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan
di kota baru.
Pada pembuatan model ini terlebih dahulu dilakukan identifikasi sistem yakni
suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan khusus dari
masalah yang harus dipecahkan. Hasil identifikasi sistem dengan menggunakan model
diagram input output atau diagram lingkar sebab-akibat. Adapun diagram sebab akibat
model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru dapat dilihat pada
Gambar 27 sedangkan stockflow diagram-nya dapat dilihat pada Gambar 28.
Model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru pada penelitian
ini dibedakan atas dua submodel yaitu (1) submodel lingkungan, (2) submodel ekonomi
dan sub model sosial. Ketiga sub model tersebut merupakan rangakian dari beberapa
variabel-variabel yang saling berhubungan dan berinteraksi antara satu elemen dengan
elemen lainnya sehingga terbentuk suatu model pengelolaan lingkungan yang
berkelanjutan di kota baru.
106
5.3.1. Submodel lingkungan
Submodel lingkungan dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan
di kota baru, merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel-
variabel dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baruterhadap
keberlanjutan sistem. Pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap sistem kemudian
disajikan dalam diagram sebab akibat (causal loop) pada Gambar 27.
Gambar 27. Diagram lingkar sebab-akibat pengendalian lingkungan dalampembangunan kota baru berkelanjutan
107
JasaPHRAngkKom
BankSewa
EkLain
PDRBAngKom PDRBPHRPDRBJasa
PDRBBankSewa
PDRBEkLain
PDRB Tangsel
PangsaJasa
PangsaPHRPangsaAngkKom
penduduk pekerja
PangsaBankSewa
PangsaEkLain
infrastrukfur
Kapasitas Jalan
Drainase
kerusakanperbaikan
pengurangan
Populasi Tangsel
pertumbuhan
fraksi pertumbuhan fraksi pengurangan
jumlah rumah
pendidikan
kesadaran l ingkungan %
IPAL diperlukan
kepedulian lingkungan %
penduduk komuter
bebanNO3
KonsPO4perHari
bebanPO4
KonsNO3perhari
emisi udara
emisiSOx
emisiCOx
emisiNOx
biaya pekerja
kendaraan bermotor
roda duaroda empat
limbah cair
bebanCOD
KonsCODperHari
bebanBOD
KonsBODperhari
Gambar 28. Diagram stock-flow model pengendalian lingkungan dalam pembangunankota baru berkelanjutan
108
Gambar 29. Diagram sebab-akibat submodel lingkungan dalam pembangunan kotabaru berkelanjutan
Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa pada sub
model lingkungan, tingginya penduduk kota baru menyebabkan tingginya kegiatan
antropogenik. Di lain pihak tingginya kegiatan antropogenik mengakibatkan tingginya
limbah cair dan tingginya emisi gas, yang mengakibatkan tingginya pencemaran
lingkungan. Tingginya pencemaran lingkungan ini pada akhirnya akan berdampak
terhadap tingginya biaya pengelolaan dan memburuknya kualitas lingkungan.
Pencemaran sendiri akan terjadi apabila total bahan pencemar yang masuk ke
lingkungan baik yang berasal dari limbah cair maupun yang berasal dari emisi gas
tinggi. Tingginya biaya pengelolaan lingkungan akibat adanya pencemaran ini pada
akhirnya akan mempengaruhi masyarakat yang ada di dalamnya. Sebagai contoh
apabila biaya pengelolaan tersebut ada pada sisi industri, maka biaya pengelolaan
tersebut akan dibebankan pada masyarakat, karena biaya tersebut akan dimasukan
sebagai ongkos produksi. Di lain pihak terjadinya pencemaran di kota baru juga akan
berdampak langsung pada masyarakat misalnya dapat mengganggu terjadinya kesehatan
pada masyarakat yang ada di dalam kota baru tersebut. Model pengelolaan lingkungan
yang berkelanjutan di kota barukhususnya sub model lingkungan yang selanjutnya
digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) dapat dilihat pada Gambar 30.
109
bebanNO3
KonsPO4perHari
bebanPO4
KonsNO3perhari
emisi udara
emisiSOx
emisiCOx
emisiNOx
pengurangan
Populasi Tangsel
pertumbuhan
fraksi pertumbuhan fraksi pengurangan
limbah cair
bebanCOD
KonsCODperHari
bebanBOD
KonsBODperhari
Gambar 30. Diagram stock-flow submodel lingkungan dalam pembangunan kota baruberkelanjutan
Pada Gambar 30 terlihat bahwa berdasarkan diagram alir sub model lingkungan
di atas, terlihat bahwa pertumbuhan penduduk berdampak pada terjadinya peningkatan
bahan pencemar perairan yang dicerminkan oleh terjadinya peningkatan bahan
pencemar organik seperti terjadinya peningkatan BOD, COD, posfat, dan nitrat.
Pertumbuhan penduduk juga berdampak pada terjadinya peningkatan bahan pencemar
udara yang dicerminkan dari terjadinya peningkatan emisi gas di udara dan peningkatan
konsentrasi COx, NOx dan SOx.
Pada penelitian ini, untuk mendapat gambaran kondisi lingkungan kaitannya
dengan jumlah masyarakat dan kegiatan antropogenik di Kota Baru BSD dibuat
simulasinya yang didasarkan pada data lima tahun sebelumnya dan pada kondisi
eksisting. Simulasi yang disusun ke dalam model, dilakukan interpretasi kondisi faktor
ke dalam peubah model. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada peubah
tertentu di dalam model, sehingga data yang bersangkutan dapat disimulasikan.
Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa
terdapat faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap model pengelolaan lingkungan
110
yang berkelanjutan di kota baru antara lain pertumbuhan penduduk, beban pencemaran
perairan dankualitas udara. Kondisi (state) faktor-faktor tersebut di masa yang akan
datang, disusun pada simulasi yang mungkin terjadi. Adapun Submodel lingkungan
mengenai kondisi di masa datang disajikan pada Gambar 31 sampai dengan Gambar 39.
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
10
35
60
0
15
30
0
0
0
0
0
1
1: bebanCOD 2 2: bebanBOD 2 3: bebanNO3 2 4: bebanPO4 2
1
1
1
1
22
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
Gambar 31. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter BOD, COD, NO3 dan PO4
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
5
15
25
1: bebanBOD
1
1
1
1
Gambar 32. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter BOD
111
Pada Gambar 31 dan 32 terlihat bahwa bahan pencemar organik mudah urai atau
bahan pencemar organik yang dapat diuraikan secara biologi (BOD) yang masuk ke
dalam perairan memperlihatkan terjadinya peningkatan dari tahun ke tahun. Pada
Lampiran 3 terlihat bahwa beban pencemar organik yang dapat diuraikan secara biologi
(BOD) pada tahun 2008 sebesar 6,17 ton per hari, pada saat dilaksanakan penelitian
mencapai 9,53 ton/hari, dan pada tahun 2016 berdasarkan hasil simulasi akan menjadi
19,67 ton/hari. Hal ini disebabkan kegiatan apapun pada akhirnya akan menghasilkan
limbah berupa limbah padat atau sampah dan limbah cair. Di lain pihak, baik limbah
padat maupun limbah cair masih banyak yang membuang ke dalam sungai/badan
air/perairan umum. Selain itu setiap orang dan setiap kegiatan juga akan menyumbang
bahan organik ke dalam badan air tempat bermuaranya limbah cair baik yang berasal
dari kegiatan domestik, kegiatan industri atau kegiatan perkotaan lainnya, sehingga
sangat wajar jika jumlah penduduk makin meningkat maka nilai BOD akan semakin
meningkat. Kondisi ini juga akan semakin diperparah akibat meningkatnya
kemakmuran dan peradaban. Hal ini sesuai dengan pendapat Metcalf dan Eddy (1991)
yang mengatakan bahwa semakin meningkat gaya hidup dan semakin makmur, maka
sisa bahan organik yang terbuang ke lingkungan juga akan semakin meningkat.
Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat bahwa selain
adanya peningkatan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologi, bahan organik
yang sulit terurai dan hanya dapat diuraikan secara kimia juga (COD) juga akan terjadi
peningkatan. Untuk lebih jelasnya besarnya peningkatan COD dari tahun ke tahun
dapat dilihat pada Gambar 33 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa
pada tahun 2008 nilai beban pencemaran COD pada perairan di lokasi penelitian adalah
14,41 ton/hari, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 23,41 ton/hari,
dan dari hasil simulasi pada tahun 2016 beban COD menjadi 52,08 ton/hari. Terjadinya
peningkatan COD ini dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya
masyarakat dan kegiatan antropogenik lainnya di perkotaan terutama pada kegiatan
industry, dan pada kegiatan bisnis lainnya yang menggunakan produk bahan organik
yang sulit terurai, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan
semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula bahan
organik sulit terurai sehingga meningkatkan nilai COD (Metcalf dan Eddy, 1991).
112
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
10
35
60
1: bebanCOD
1
1
1
1
Gambar 33. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter COD
Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya
peningkatan bahan organik yang tercermin dari konsentrasi nitrat (NO3) yang terdapat
pada perairan. Seperti pada parameter bahan organik lainnya, konsentrasi nitrat juga
terjadi peningkatan dari waktu ke waktu. Untuk lebih jelasnya besarnya peningkatan
nitrat dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 34 dan pada Lampiran 3. Pada
Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008 nilai beban pencemaran nitrat pada perairan
di lokasi penelitian adalah 0,05 ton/hari, namun pada saat dilakukan penelitian
meningkat menjadi 0,08 ton/hari, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016 beban COD
menjadi 0,33 ton/hari. Terjadinya peningkatan nitrat dari tahun ke tahun juga
disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik yang
dilakukan di kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan
semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula nitrat
yang terbuang ke dalam perairan.
113
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
0
0
0
1: bebanNO3
1
1
1
1
Gambar 34. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter NO3
Hasil pemodelan dan simulasi yang dilakukan pada penelitian ini juga
memperlihatkan kandungan posfat yang cenderung semakin meningkat. Hal ini
ditunjukkan nilai beban pencemaran fosfat pada tahun 2008 sebesar 0,14 ton/hari
menjadi 0,22 ton/hari pada tahun 2011 (saat dilakukan penelitian), kemudian
peningkatan juga terjadi pada tahun-tahun berikutnya hingga perkiraan tahun 2016
mencapai 0,44 ton/hari. Kondisi ini sangat membahayakan kehidupan badan air
penerimanya (Martin, 1985) mengingat menurut Odum (1971) kandungan posfor yang
tinggi dalam ekosistem akan mengakibatkan terjadinya blooming fitoplankton yang
dapat memfiksasi nitrogen secara langsung dari atmosfir. Untuk lebih jelasnya hasil
pemodelan dan simulasi beban pencemaran posfat dapat dilihat pada Gambar 35 dan
Lampiran 3.
Kota Metropolitan DKI Jakarta merupakan ibukota negara yang dikelilingi
oleh kota satelit Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok. Mengingat DKI Jakarta
merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian maka dinamika di kota
utama dan kota satelitnya akan sangat tinggi. Dalam hal ini akan semakin
meningkatkan perjalanan antar kota yang pada umumnya saling bergantung satu sama
lain. Di lain pihak perjalanan ini merupakan aktivitas setiap manusia untuk melakukan
berbagai kebutuhan misalnya kegiatan usaha harian seperti kegiatan dasar (basic
activity) dan kegiatan jasa (services activity) serta kegiatan sosial, yang merupakan
kegiatan berkala (periodic activity). Tingginya dinamika di kota metropolitan dan di
114
kota baru ini akan semakin meningkatkan terjadinya pencemaran udara yang
terutama berasal dari sisa pembakaran BBF seperti NOx, SOx dan COx (Gambar 36).
Oleh karena itu maka tidak mengherankan jika dari tahun ke tahun terjadi
peningkatan bahan pencemar udara seperti tersebut di atas, seiring dengan
meningkatnya jumlah manusia dan kegiatan antropogenik yang dilakukannya.
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
0
0
1
1: bebanPO4
1
1
1
1
Gambar 35. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari)parameter PO4
Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya
peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi NOx yang terdapat pada
atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi NOx di atmosfir ini juga dapat dilihat pada
Gambar 36 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008
nilai konsentrasi NOx di atmosfir 53,38 µg/ Nm3, namun pada saat dilakukan penelitian
meningkat menjadi 81,14 µg/ Nm3, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016
konsentrasinya akan meningkat menjadi 163,12 µg/ Nm3. Terjadinya peningkatan NOx
di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya masyarakat
dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di
kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin
meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula NOx di atmosfir.
115
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
100
250
400
2000
5000
8000
50
150
250
1: emisiSOx 2: emisiCOx 3: emisiNOx
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
Gambar 36. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien(µg/Nm3) parameter NOx, COx dan SOx
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
50
150
250
1: emisiNOx
1
1
1
1
Gambar 37. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien(µg/Nm3) parameter NOx
Pada submodel lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya
peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi COx yang terdapat pada
atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi COx di atmosfir ini juga dapat dilihat pada
Gambar 38 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008
116
nilai konsentrasi COx di atmosfir 2316,96 µg/ Nm3, namun pada saat dilakukan
penelitian meningkat menjadi 3523,77 µg/ Nm3, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016
konsentrasinya akan meningkat menjadi 7087,59 µg/Nm3. Terjadinya peningkatan COx
di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya masyarakat
dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di
kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin
meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula COx di atmosfir.
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
2000
5000
8000
1: emisiCOx
1
1
1
1
Gambar 38. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien(µg/Nm3) parameter COx
Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya
peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi SOx yang terdapat pada
atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi SOx di atmosfir ini juga dapat dilihat pada
Gambar 39 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008
nilai konsentrasi SOx di atmosfir 106,58 µg/ Nm3, namun pada saat dilakukan penelitian
meningkat menjadi 162,09 µg/ Nm3, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016
konsentrasinya akan meningkat menjadi 326,03 µg/ Nm3. Terjadinya peningkatan SOx
di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat
dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di
kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin
meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula SOx di atmosfir.
117
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
100
250
400
1: emisiSOx
1
1
1
1
Gambar 39. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien(µg/Nm3) parameter SOx
Kota besar merupakan kota yang mempunyai anekaragam kegiatan ekonomi yang
tercermin dari tingginya kegiatan antropogenik. Tingginya kegiatan antropogenik ini
mengakibatkan tingginya motorisasi, bahkan hasil penelitian Jraiw (2003) di negara
yang sedang berkembang seperti Indonesia menunjukkan bahwa laju motorisasi lebih
tinggi dari laju peningkatan penduduk. Oleh karena itu maka dapat dimengerti jika
kepadatan lalu lintas di kota besar terutama yang ada pada negara sedang berkembang
menyebabkan emisi karbon dan menghasilkan bahan pencemar udara yang luar biasa.
Oleh karena itu maka sumber pencemaran udara di negara berkembang 81 % -nya
berasal dari sektor transportasi. Hal ini juga ditunjukkan oleh terus bertambahnya laju
kemacetan di negara berkembang, juga di Kota Baru BSD yang merupakan lokasi
penelitian penulis. Oleh karena itu maka sangat wajar jika dari penelitian ini terlihat
adanya kenaikan bahan pencemar udara baik dilihat dari parameter NOx, COx maupun
SOx. Bahan-bahan pencemar tersebut cenderung akan naik terus pada masa-masa
mendatang seperti ditunjukan oleh hasil simulasi penelitian ini. Hal ini sesuai dengan
laporan WHO (2000) bahwa di pusat-pusat kota,dari proses pembakaran bahan bakar
fosil di dalam mesin kendaraan akan dihasilkan 95% CO, 70% NOx, 60% tembaga dan
50% hidrokarbon (HC). Kondisi ini tentu akan sangat mengganggu lingkungan
mengingat bahan-bahan tersebut termasuk ke dalam GRK yang nantinya akan
menyumbang terjadinya pemanasan global dan pada akhirnya akan mengakibatkan
terjadinya perubahan iklim global. Di lain pihak bahan-bahan tersebut juga jika tercuci
oleh air hujan akan mengakibatkan terjadinya hujan asam.
118
5.3.2. Submodel Ekonomi
Komponen-komponen yang saling berhubungan dalam sub model ekonomi pada
model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baruadalah infrastruktur,
jumlah perumahan/rumah, jumlah industri, dan aktifitas ekonomi yang akan
berpengaruh terhadap komponen pendapatan kota baru. Adanya kegiatan-kegiatan
tersebut yang pada umumnya merupakan aktifitas ekonomi di kota baru, pada akhirnya
akan berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Tangerang Selatan.
Adapun sub model ekonomi dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di Kota
Baru BSD dapat dilihat pada Gambar 40. Model pengelolaan lingkungan yang
berkelanjutan di kota baru khususnya sub model ekonomi tersebut selanjutnya
digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) dapat dilihat lebih jelas pada
Gambar 41.
Gambar 40. Diagram sebab-akibat submodel ekonomi dalam pembangunan kota baruberkelanjutan
119
JasaPHRAngkKom
BankSewa
EkLain
PDRBAngKom PDRBPHRPDRBJasa
PDRBBankSewa
PDRBEkLain
PDRB Tangsel
PangsaJasa
PangsaPHRPangsaAngkKom
penduduk pekerja
PangsaBankSewa
PangsaEkLain
infrastrukfur
Jalan
Drainase
kerusakanperbaikan
biaya pekerja
kendaraan bermotor
roda duaroda empat
Gambar 41. Diagram stock-flow submodel ekonomi dalam pembangunan kota baruBerkelanjutan
Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Pemerintah Daerah Tangerang Selatan
(2009), sektor ekonomi yang berkembang di Tangerang Selatan sebenarnya bukan
berasal dari kegiatan bisnis yang terdapat di dalamnya seperti dari industri, namun
berasal dari sektor ekonomi tersier. Dalam hal ini hampir 60% PDRB di Kabupaten
Tangerang Selatan disumbangkan oleh sektor pengangkutan, sektor komunikasi serta
sektor perdagangan, hotel dan restoran. Selanjutnya berasal dari sektor jasa (13%) dan
sektor bank, persewaan dan jasa perusahaan, dan sisanya adalah sektor ekonomi lain.
Adapun keterkaitan antara PDRB yang terdapat di Tangerang Selatan pada umumnya
dan di Kota Baru BSD pada umumnya dapat dilihat pada SFD.
Pada penelitian ini, untuk mendapat gambaran kondisi ekonomi kaitannya dengan
PDRB dan kegiatan yang menyumbang PDRB di Kota Baru BSD dibuat simulasinya
yang didasarkan pada data lima tahun sebelumnya. Simulasi yang disusun ke dalam
model, dilakukan interpretasi kondisi faktor ke dalam peubah model. Simulasi model
dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa terdapat faktor-faktor yang
paling berpengaruh terhadap sub model ekonomi pada pengelolaan lingkungan yang
120
berkelanjutan di kota baru. Adapun sub model ekonomi mengenai kondisi di masa
datang secara keseluruhan disajikan pada Gambar 42.
Pada Gambar 42 dan Lampiran 3 terlihat kurva pertumbuhan pendapatan yang
diperoleh dari kegiatan transportasi dan komunikasi lebih tajam dibandingkan dengan
pendapatan dari hasil lainnya. Namun demikian kurva peningkatan pendapatan yang
berasal dari perdagangan dan hotel merupakan penyumbang PDRB ke dua, sedang
penyumbang PDRB ke tiga adalah dari sektor jasa, diikuti dari kegiatan bank sewa dan
terakhir dari kegiatan ekonomi lainnya.
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
5:
5:
5:
1500000
3500000
5500000
1000000
3000000
5000000
500000
2000000
3500000
500000
1500000
2500000
1: PDRBAngKom 2: PDRBPHR 3: PRDBJasa 4: PDRBBankSewa 5: PDRBEkLain
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
5
5
5
5
Gambar 42. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB (jutaan rupiah)
Pada Gambar 42 dan 43 terlihat bahwa PDRB yang berasal dari kegiatan
transportasi dan kegiatan telekomunikasi di lokasi penelitian. Hal ini juga terlihat lebih
jelas pada Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari
berbagai kegiatan yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3
terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan transportasi dan
telekomunikasi pada tahun 2008 jumlahnya mencapai Rp. 1.504.093.710.000,-. PDRB
pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan transportasi dan tekomunikasi besarnya
mencapai Rp. 2.287.538.520.000,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 2016
diperkirakan akan mencapai Rp. 4.601.057.050.000,-.
121
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
1500000
3500000
5500000
1: PDRBAngKom
1
1
1
1
Gambar 43. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB dari kegiatan transportasidan komunikasi (jutaan rupiah)
Penyumbang ke dua terbesar PDRB Tangerang Selatan berasal dari sektor hotel
dan restoran (Gambar 44). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang
memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan hotel dan restoran yang ada
di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban
besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan hotel dan restoran pada tahun 2008
jumlahnya mencapai Rp. 1.344.914.560.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian
dari kegiatan hotel dan restoran besarnya mencapai Rp. 2.045.446.920.000,- dan dari
hasil simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan hotel dan
restoran akan melonjak secara tajam mencapai Rp. 4.114.124.370.000,-.
Penyumbang ke tiga terbesar PDRB Tangerang Selatan berasal dari sektor jasa
(Gambar 44). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 5 yang memperlihatkan
terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan jasa yang ada di lokasi penelitian dari tahun
ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari
kegiatan jasa pada tahun 2008 jumlahnya relatif rendah yakni Rp. 924.479.450.000.
PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan jasa besarnya mencapai Rp.
406.017.690.000,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB
dari kegiatan jasa mencapai Rp. 2.828.003.790.000,-.
122
0:51 27 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
1000000
3000000
5000000
1: PDRBPHR
1
1
1
1
Gambar 44. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB perdagangan hotel danrestoran (jutaan rupiah)
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
500000
2000000
3500000
1: PDRBJasa
1
1
1
1
Gambar 45. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB jasa-jasa (jutaan rupiah)
Penyumbang PDRB Tangerang Selatan lainnya berasal dari sektor bank,
persewaan dan jasa perusahaan (Gambar 46). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada
Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan jasa yang
ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban
besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan jasa pada tahun 2008 jumlahnya relatif
rendah yakni Rp. 820.289.460.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari
kegiatan jasa besarnya mencapai Rp. 1.247.557.740.000,- dan dari hasil simulasi PDRB
123
tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan jasa mencapai Rp.
2.509.284.220.000,-.
0:50 27 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
500000
2000000
3500000
1: PDRBBankSewa
1
1
1
1
Gambar 46. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB bank, persewaan dan jasaperusahaan (jutaan rupiah)
Penyumbang PDRB Tangerang Selatan lainnya berasal dari sektor ekonomi
lainnya (Gambar 47). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang
memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan ekonomi lainnya yang ada
di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban
besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan ekonomi lainnya pada tahun 2008 jumlahnya
relatif rendah yakni Rp. 561.422.350.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian
dari kegiatan ekonomi lainnya besarnya mencapai Rp. 853.853.220.000,- dan dari hasil
simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan ekonomi lainnya
mencapai Rp. 1.717.403.810.000,-.
Pada kota baru, jalan merupakan salah satu infrastruktur terpenting sebagai salah
satu faktor daya tarik investasi di suatu daerah. Jalan kota Tangerang Selatan
berdasarkan kompilasi data untuk Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan (2008)
memiliki total panjang 115,81 km dengan 70,36% dari panjang total tersebut dalam
kondisi baik, 18,37% dalam kondisi sedang dan 11,28% dalam kondisi rusak. Data ini
berbeda dengan data Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan yang menyatakan
bahwa total panjang jalan kota adalah 137,773 km dan diperkirakan 5% rusak ringan,
5% rusak sedang dan 20% rusak berat. Berdasarkan kewenangannya, di Kota
124
Tangerang Selatan terdapat satu ruas jalan negara dengan panjang 9.160 km, kemudian
jalan provinsi sebanyak 12 ruas dengan panjang 48.900 km dan jalan kota sebanyak
1175 ruas dengan panjang 640.929 km. Total panjang jalan di Tangerang Selatan
adalah 698.989 km. Salah satu kondisi yang menyebabkan kemacetan adalah kerusakan
jalan serta proses perbaikan jalan. Perbaikan jalan yang tidak tuntas juga menjadi
penyebab kembali rusaknya jalan di Tangerang Selatan.
Gambar 47. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB sektor ekonomi lain(jutaan rupiah)
Seperti halnya di kota-kota besar dan pada kota satelit lainnya, di kawasan
Tangerang Selatan juga terdapat titik-titik rawan kemacetan. Titik rawan kemacetan
utama di Tangerang Selatan terdapat pada 12 titik yang umumnya terdapat pada sekitar
persimpangan jalan atau pasar. Stasiun kereta rel listrik (KRL) berjumlah lima buah
dan tersebar di tiga kecamatan yaitu Serpong, Ciputat dan Ciputat Timur. Titik rawan
kemacetan dan titik lokasi stasiun KRL didapatkan dari Kompilasi Data untuk
Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan (2008). Di lokasi penelitian terdapat tiga
buah yaitu Sungai Cisadane, Angke dan Pasanggrahan sepanjang 178 kilometer.
Sementara untuk anak sungai sebanyak sembilan buah dengan panjang 38,5 kilometer.
Mengingat di Tangerang Selatan sektor transportasi dan telekomunikasi merupakan
kegiatan yang menyumbang PDRB paling tinggi, maka pada penelitian ini juga dilihat
simulasi pada sub model ekonomi berdasarkan infrastruktur, total panjang jalan seperti
terlihat pada Gambar 48, serta berdasarkan kerusakan jalan. Berdasarkan infrastruktur
0:51 27 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
500000
1500000
2500000
1: PDRBEkLain
1
1
1
1
125
dan total panjang jalan terlihat bahwa PDRB akan dibantu meningkat apabila
perumbuhan infrastrukturnya meningkat dan jalan yang dibangun semakin banyak.
Namun demikian apabila jalannya rusak, maka dapat berakibat pada
menurunnya PDRB, karena kerusakan jalan sangat besar pengaruhnya pada kemacetan
lalulintas dan lamanya daya tempuh perjalanan. Oleh karena itu maka pada penelitian
ini juga dilihat simulasi kerusakan jalan dengan maka persentase tambahan biaya
transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan seperti yang
tercantum pada Gambar 49. Adapun besarnya persentase tambahan biaya transportasi
yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan dapat dilihat pada Gambar 50.
Seiring dengan waktu dan relatif murahnya kendaraan dan baiknya akses jalan, maka
akan terjadi peningkatan jumlah kendaraan baik yang roda dua maupun kendaraan roda
empat. Untuk lebih jelasnya simulasi pertumbuhan kendaraan roda dua dan roda empat
dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 51 dan Lampiran 3.
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
700
702
704
1: Jalan
1
1
1
1
Gambar 48. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur, total panjang jalan(km)
126
23:14 31 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
29
30
31
1: kerusakan jalan
1
1
1
1
Gambar 49. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur (persentasekerusakan jalan)
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
5
6
6
1: biay a tambahan transport
1
1
1
1
Gambar 50. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan persentase tambahan biayatransportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan.
127
15:57 31 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
17500
19500
21500
10000
25000
40000
1: roda empat 2: roda dua
1
1
1
1
2
2
2
2
Gambar 51. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan jumlah kendaraan roda dua danroda empat
Berdasarkan pemodelan yang dibuat, kondisi jalan (panjang total) adalah tetap,
sedangkan kerusakan dan perbaikan jalan selalu dilakukan sehingga berpotensi
meningkatkan kemacetan jalan yang akan dilintasi oleh pekerja yang sebagian besar
komuter, yakni tinggal di kawasan Tangerang Selatan tetapi berkerja di wilayah utama
yakni DKI Jakarta. Adanya kemacetan tersebut akan meningkatkan biaya konsumsi
bahan bakar yang berakibat pada peningkatan biaya transportasi serta meningkatkan
buangan gas (COx, NOx dan SOx) yang sifatnya akan merusak lingkungan. Hal ini akan
semakin diperparah oleh tingginya pertumbuhan pembelian kendaraan bermotor baik
roda empat maupun roda dua, yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan/pembuatan
jalan di Tangerang Selatan. Tingkat pertumbuhan sepeda motor adalah yang paling
tinggi. Hal ini merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat kecelakaan yang
terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat kedisiplinan pengendara sepeda motor,
ditambah lagi dengan rendahnya tingkat kedisiplinan pengendara moda kendaraan lain
seperti truk, mobil pribadi, dan angkutan umum.
5.3.3. Submodel Sosial
Submodel sosial dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota
baru, merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel dalam
model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru terhadap keberlanjutan
sistem. Pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap sistem tersebut disajikan dalam
diagram sebab akibat (causal loop) pada Gambar 52. Pada Gambar 52 terlihat bahwa
128
pertumbuhan penduduk, pendidikan dan penduduk komuter akan mempengaruhi
penduduk kota baru, selanjutnya sub model sosial ini digambarkan dalam bentuk stock
flow diagram (SFD) (Gambar 53).
Gambar 52. Diagram sebab-akibat submodel sosial dalam pembangunan kota baruberkelanjutan
penduduk pekerja
infrastrukfur
pengurangan
Populasi Tangsel
pertumbuhan
fraksi pertumbuhan fraksi pengurangan
jumlah rumah
pendidikan
kesadaran lingkungan %
IPAL diperlukan
kepedulian lingkungan %
penduduk komuter
Gambar 53. Diagram stock-flow submodel sosial dalam pembangunan kota baruberkelanjutan
129
Pada Gambar 52 dan 53 terlihat bahwa berdasarkan diagram alir sub model sosial
di atas, terlihat bahwa pengurangan dan penambahan populasi berdampak pada
pertumbuhan penduduk kota baru. Penduduk komuter juga akan mempengaruhi
penduduk kota baru, dalam hal ini jika semua fasilitas komuter baik, diduga dapat
meningkatkan penduduk kota baru dan sebaliknya. Selain hal itu pendidikan penduduk
kota baru juga akan mempengaruhi kesadaran penduduk itu sendiri terhadap kesadaran
lingkungan. Dalam hal ini semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka kecenderungan
kesadaran lingkungannya akan semakin meningkat, sehingga bukan tidak mungkin
masyarakat sendiri yang akan meminta kota baru untuk melestarikan lingkungannya
secara lebih baik lagi, misalnya dengan cara melakukan pembangunan IPAL untuk
limbah cair bagi berbagai kegiatan antropogenik, sehinggapada akhirnyaakan
berdampak positif pada penduduk kota baru itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori
Kuznet yang mengatakan bahwa semakin meningkat kesejahteraan, semakin tinggi
kepeduliannya terhadap lingkungan.
Adapun populasi Tangerang Selatan berdasarkan hasil simulasi, penduduk usia
kerja, jumlah rumah dan penduduk komuter mulai tahun 2008 hingga tahun 2016 dapat
dilihat pada Gambar 54. Pada sub model sosial berdasarkan jumlah penduduk, besarnya
peningkatan populasi Tangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada
Gambar 55 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 besarnya populasi Tangerang
Selatan 918.783 orang, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi
1.397.354 dan pada tahun 2016 diperkirakan menjadi 2.810.578 orang.
Pada sub model sosial berdasarkan simulasi jumlah penduduk usia kerja (15-65
tahun), besarnya peningkatan penduduk usia kerja diTangerang Selatan dari tahun ke
tahun juga dapat dilihat pada Gambar 55 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008
besarnya penduduk usia kerja (15-65)Tangerang Selatan 459.392 orang, yakni
setengahnya dari jumlah populasi yang ada di Tangerang Selatan. Pada saat dilakukan
penelitian meningkat menjadi 698.677 orang dan pada tahun 2016 diperkirakan
menjadi 1.405.289 orang.
Pada submodel sosial berdasarkan simulasi jumlah rumah, besarnya peningkatan
jumlah rumah di Tangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar
57 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 jumlah rumah di Tangerang Selatan
130
321.574 rumah. Pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 489.074 rumah dan
pada tahun 2016 diperkirakan menjadi 983.702 rumah.
17:52 30 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
2:
2:
2:
3:
3:
3:
4:
4:
4:
500000
2000000
3500000
450000
950000
1450000
300000
650000
1000000
300000
700000
1100000
1: Populasi Tangsel 2: penduduk pekerja 3: jumlah rumah 4: penduduk commuter
1
1
1
1
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
Gambar 54. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk dan pendudukusia kerja (15-65), jumlah rumah serta penduduk komuter
0:53 27 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
500000
2000000
3500000
1: Populasi Tangsel
1
1
1
1
Gambar 55. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk
131
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
450000
950000
1450000
1: penduduk pekerja
1
1
1
1
Gambar 56. Simulasi submodel sosial berdasarkan penduduk usia kerja (15-65)
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.001:
1:
1:
300000
650000
1000000
1: jumlah rumah
1
1
1
1
Gambar 57. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah rumah
Pada submodel sosial berdasarkan simulasi jumlah penduduk yang commuter,
besarnya peningkatan jumlah penduduk yang komuter di Tangerang Selatan dari tahun
ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar 58 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun
2008 besarnya jumlah penduduk yang komuter Tangerang Selatan 328.465 orang, yakni
jumlahnya mencapai 2/3 dari dari jumlah penduduk usia kerja yang ada di Tangerang
Selatan. Pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 499.554 orang dan pada
tahun 2016 diperkirakan menjadi 1.004.782 orang yakni mencapai tiga kali lipat dari
tahun 2008.
132
17:52 30 Okt 2011Page 1
2008.00 2010.00 2012.00 2014.00 2016.00
Years
1:
1:
1:
300000
700000
1100000
1: penduduk commuter
1
1
1
1
Gambar 58. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk yang komuter
5.3.4. Validitas Model
Seperti dijelaskan di atas bahwa validasi model dalam sistem dinamik dapat
dilakukan atas dua yaitu validasi struktur model dan validasi kinerja model.
(1). Validasi Struktur Model
Validitas atau keabsahan merupakan kriteria penilaian keobyektifan dari suatu
pekerjaan ilmiah yang dalam pemodelan ditunjukkan dari sejauhmana model dapat
menirukan fakta. Validasi model ini akan dapat menyimpulkan apakah model dari
sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji sehingga
dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 1999). Dalam pemodelan,
hasil simulasi adalah perilaku variabel yang diinteraksikan dengan bantuan komputer.
Tampilan perilaku variabel tersebut dapat bersifat terukur yang disusun menjadi data
simulasi dan bersifat tidak terukur yang disusun menjadi pola simulasi. Keserupaan
dunia model dengan dunia nyata ditunjukkan dari sejauhmana data simulasi dan pola
simulasi dapat menirukan data statistik dan informasi aktual. Adapun proses melihat
keserupaan tersebut dikenal sebagai validasi output atau kinerja model.
Validasi struktur model merupakan proses validasi utama dalam berpikir sistem.
Pada saat melakukan perancangan dan justifikasi, pembuat model dituntut untuk
mengumpulkan informasi sebanyak mungkin atas sistem yang menjadi obyek penelitian.
Informasi ini dapat berupa pengalaman dan pengetahuan dari orang yang memahami
133
mekanisme kerja pada sistem atau berasal dari studi literatur. Pada proses ini bertujuan
untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata, karena
pada uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak
berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan apakah
struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan (Sushil, 1993). Hal ini akan
meningkatkan tingkat kepercayaan atas ketepatan dari struktur model.
(2). Validasi Kinerja/Output Model
Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat
kesalahan dapat digunakan: 1) Absolute Mean Error (AME) adalah penyimpangan
(selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual, 2) Absolute
Variation Error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap
aktual.
a. Sub Model Lingkungan
Pada validasi dari sub model lingkungan, dibagi lagi menjadi dua, yakni validasi
untuk lingkungan perairan yang dilihat dari beban pencemaran perairan diwilayah yang
dikaji, dengan hasil validasi dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil uji menunjukkan bahwa
keluaran model pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, untuk sub model lingkungan
pada perairan memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) untuk beban pencemaran
BOD menyimpang 0,167% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar
0,5%. Pada sub model lingkungan di perairanuntuk beban pencemaran CODmemiliki
nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.0625% dan Absolute Variation Error
(AVE) menyimpang sebesar 0.125%. Pada sub model lingkungan di perairanuntuk
beban pencemaran NO3 memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang
0.0526% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.632%. Pada sub
model lingkungan di perairan untuk beban pencemaran PO4 memiliki nilai Absolute
Mean Error (AME) menyimpang 0.0426% dan Absolute Variation Error (AVE)
menyimpang sebesar 0.462%. Nilai validasi dari sub model lingkungan, dilihat dari
beban pencemaran perairan total diwilayah yang dikaji memiliki nilai Absolute Mean
Error (AME) menyimpang 0.0426% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang
sebesar 0.461%. Adapun validasi kinerja model untuk pencemaran air yang dilihat dari
beban pencemarannya dapat dilihat pada Tabel 16 .
134
Hasil uji menunjukkan bahwa keluaran model pengelolaan lingkungan Kota Baru
BSD, untuk sub model lingkungan pada pencemaran udara, pencemaran COx memiliki
nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.03% dan Absolute Variation Error
(AVE) menyimpang sebesar 0.07%. Khusus untuk sub model lingkungan pada
pencemaran udara, pencemaran SOx memiliki nilai Absolute Mean Error (AME)
menyimpang 0.02% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.81%.
Pada pencemaran udara, pencemaran NOx memiliki nilai Absolute Mean Error (AME)
menyimpang 0.06% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 4.25%.
Nilai validasi dari sub model lingkungan, dilihat dari pencemaran udara total di wilayah
yang dikaji memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.06% dan
Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 4.25%. Adapun validasi kinerja
model untuk pencemaran air yang dilihat dari beban pencemarannya dapat dilihat pada
Tabel 17 dan Tabel 18.
Pada validasi dari sub model ekonomi, dibagi lagi menjadi dua, yakni validasi
untuk ekonomi lingkungan yang dilihat dari PDRB dari angkutan umum dan
telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa di wilayah yang dikaji, dan
dilihat berdasarkan PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain, dengan hasil validasi dapat
dilihat pada Tabel 19 dan Tabel 20. Khusus untuk sub model ekonomi pada PDRB dari
angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasamemiliki
nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.01% dan Absolute Variation Error
(AVE) menyimpang sebesar 0.97%. Adapun nilai total PDRB dari PDRB dari
angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa
memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.06% dan Absolute Variation
Error (AVE) menyimpang 0.76%
Pada sub model ekonomi pada PDRB dari bank sewa memiliki nilai Absolute
Mean Error (AME) menyimpang 0.05% dan Absolute Variation Error (AVE)
menyimpang sebesar 0.50%. Pada sub model ekonomi pada PDRB dari ekonomi lain
memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0% dan Absolute Variation
Error (AVE) menyimpang sebesar 0.33%. Adapun nilai total PDRB dari bank sewa
dan ekonomi lain memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.04% dan
Absolute Variation Error (AVE)menyimpang 0.07%. Adapun validasi kinerja model
untuk ekonomi dapat dilihat pada Tabel 19 dan Tabel 20.
135
Pada sub model sosial pada jumlah penduduk memiliki nilai Absolute Mean
Error (AME) menyimpang 0.0149% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang
sebesar 0.343%. Pada sub model sosial pada usia kerja memiliki nilai Absolute Mean
Error (AME) menyimpang 0.0429% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang
sebesar 0.195%. Adapun untuk jumlah rumah memiliki nilai Absolute Mean Error
(AME) menyimpang 0.0103% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang
0.377%. Adapun validasi kinerja model untuk ekonomi dapat dilihat pada Tabel 20.
136
Tabel 16. Validasi submodel lingkungan, beban pencemaran pada air
Tahun
Beban (Ton/hari)
BOD COD NO3 PO4
Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi
2008 5.32 6.17 14.36 14.41 0.04 0.05 0.14 0.142009 6.88 7.13 15.95 16.95 0.06 0.07 0.15 0.162010 8.76 8.25 19.93 19.93 0.09 0.08 0.18 0.19
Mean 6.986666667 7.183333333 16.74666667 17.09666667 0.063333333 0.066666667 0.156666667 0.163333333AME 0.166666667 0.0625 0.052631579 0.042553191Varian 2.966933333 1.083733333 8.232233333 7.633733333 0.000633333 0.000233333 0.000433333 0.000633333AVE 0.5 0.125 0.631578947 0.461538462
Tabel 17. Validasi submodel lingkungan, pencemaran pada udara
Tahun
Udara Ambien (µg/ Nm3)
COx SOx NOx
Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi
2008 2021 2,316.96 105 106.58 44 53.382009 2594 2,664.49 113 122.57 67 61.382010 2980 3,064.15 155 140.95 71 70.57
Mean 2787.00 2864.32 134.00 131.76 69.00 65.98AME 0.03 0.02 0.06Varian 74498.00 79864.06 882.00 168.91 8.00 42.23AVE 0.07 0.81 4.25
136
137
Tabel 18. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa
Tahun
Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah)
Angkutan & Komunikasi PHR Jasa
Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi
2008 1,508,827.17 1,504,093.71 1,496,249.28 1,344,914.56 908,703.88 924,479.452009 1,795,403.91 1,729,707.77 1,586,935.03 1,546,651.74 1,013,260.29 1,063,151.372010 1,980,050.97 1,989,163.93 1,786,129.34 1,778,649.50 1,133,417.77 1,222,624.08
Mean 1,887,727.44 1,859,435.85 1,686,532.18 1,662,650.62 1,073,339.03 1,142,887.73AME 0.01 0.01 0.06Varian 17047267171.65 33658749480.97 19839186837.07 26911480322.51 7218909460.34 12715772617.37AVE 0.97 0.36 0.76
Tabel 19. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain
Tahun
Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah)
Bank Sewa Ekonomi Lain Total
Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi
2008 831,165.50 820,289.46 526,917.33 561,422.35 5,275,215.92 5,155,199.532009 869,902.65 943,332.88 636,658.83 645,635.70 5,710,165.72 5,928,479.462010 1,070,088.81 1,084,832.81 755,009.61 742,481.06 6,568,208.87 6,817,751.38
Mean 969,995.73 1,014,082.85 695,834.22 694,058.38 6,139,187.29 6,373,115.42AME 0.05 0.00 0.04Varian 20037249909.87 10011115095.00 7003453533.47 4689511876.76 368119026353.00 395402273850.25AVE 0.50 0.33 0.07
137
138
Tabel 20. Submodel sosial
Tahun
Penduduk
Jumlah Usia Kerja Jumlah Rumah
Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi
2008 918,783 918,783 448,816 459,392 315,688 321,5742009 1,055,215 1,056,600 500,434 528,300 366,548 369,8102010 1,250,780 1,215,091 588,737 607,545 436,843 425,282
Mean 1,152,997 1,135,846 544,586 567,923 401,696 397,546AME 0.014876014 0.042852815 0.010328732Varian 19,122,844,430 12,559,698,541 3,898,778,891 3,139,885,013 2,470,722,978 1,538,571,392AVE 0.34320971 0.194649119 0.377278875
138
139
5.3.5. Skenario
Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, pada penelitian ini dibuat
skenario dan simulasinya. Skenario yang diambil di sini berupa empat alternatif
kebijakan yang diikuti dengan pelaksanaan serta pengawasan yang tepat yaitu :
1. Alternatif kebijakan untuk tidak mengadakan perubahan (skenario do
nothing)
Alternatif ini diambil sebagai pembanding dalam pengambilan alternatif
kebijakan lainnya, juga sebagai alternatif kebijakan apabila kebijakan
lainnya kenyataannya tidak lebih baik dari yang sudah ada sekarang.
Dalam pemilihan alternatif kebijakan ini tidak ada perubahan parameter
yang dilakukan
2. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari
a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat
pertumbuhan 3%) dan penggunaan katalisator pada tiap
kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas
buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten
sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih
dari 20%
b. Ekonomi: peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan
menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau
memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas
jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak
bertambah 10%.
c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan
pemantapan program keluarga berencana.
3. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari
a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat
pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisator pada tiap
kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas
buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten
140
sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih
dari 40%
b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan
kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan,
membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga
diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik.
Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 20%.
c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan
pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan
pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi.
4. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari
a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat
pertumbuhan 7%) dan penggunaan katalisator pada tiap
kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas
buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten
sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih
dari 50%
b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan
kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan,
membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga
diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik.
Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 30%. Pada kebijakan
ini juga Kebijakan peningkatan pajak kendaraan pribadi
c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan
pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan
pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi. Kebijakan
tambahan untuk pembangunan pemukiman terpadu sehat
Adapun hasil simulasi dari setiap skenario tersebut dapat dilihat pada
Gambar 59 sampai dengan Gambar 78 dan pada Lampiran 5.
141
Simulasi skenario submodel lingkungan
Pada penelitian ini dibuat simulasi dari skenario submodel lingkungan
yang terdiri dari kualitas air dan kualitas udara.
Kualitas Air
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban COD dapat dilihat
pada Gambar 59. Pada Gambar 59 terlihat trend penurunan COD pada skenario 2,
3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang
menghasilkan penurunan COD yang sangat signifikan.
Gambar 59. Beban pencemaran COD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
Beban pencemaran BOD (ton/hari)
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban BOD dapat dilihat
pada Gambar 60. Pada Gambar 60 terlihat trend penurunan BOD pada skenario 2,
3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang
menghasilkan penurunan BOD yang sangat signifikan, sehingga akan sangat
mengurangi pencemaran bahan organik.
142
Gambar 60. Beban pencemaran BOD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
Beban pencemaran NO3 (ton/hari)
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban NO3 dapat dilihat pada
Gambar 61. Pada Gambar 61 terlihat trend penurunan NO3 pada skenario 2, 3 dan
4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan
penurunan NO3 yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi
pencemaran bahan organik yang dapat menyuburkan perairan kelewat subur,
seperti terjadinya blooming plankton
Gambar 61. Beban pencemaran NO3 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
143
Beban pencemaran PO4 (ton/hari)
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban PO4 dapat dilihat pada
Gambar 62. Pada Gambar 62 terlihat trend penurunan PO4 pada skenario 2, 3 dan
4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan
penurunan PO4 yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi
pencemaran bahan organik yang dapat menyuburkan perairan dan mengurangi
adanya faktor pembatas akibat unsur phosphor yang meningkat.
Gambar 62. Beban pencemaran PO4 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
Kualitas Udara
Pada penelitian ini juga dilakukan simulasi terhadap kualitas udara pada
skenario 1, 2, 3 dan 4. Sebagai contoh hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4
tentang emisi COx (µg/ Nm3) dapat dilihat pada Gambar 63. Pada Gambar 63
terlihat trend penurunan COx pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik
(optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan COx yang sangat
signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan
menyumbang gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
iklim global.
144
Gambar 63. Emisi COx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4
Emisi NOx (µg/ Nm3)
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang emisi NOx (µg/Nm3) dapat
dilihat pada Gambar 64. Pada Gambar 64 terlihat trend penurunan COx pada
skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4
yang menghasilkan penurunan NOx yang sangat signifikan, sehingga akan sangat
mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan menyumbang gas rumah kaca yang
dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.
Gambar 64. Emisi NOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4
145
Emisi SOx (µg/Nm3)
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang emisi SOx (µg/Nm3) dapat
dilihat pada Gambar 65. Pada Gambar 65 terlihat trend penurunan SOx pada
skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4
yang menghasilkan penurunan SOx yang sangat signifikan, sehingga akan sangat
mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan menyumbang gas rumah kaca yang
dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.
Gambar 65. Emisi SOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4
Simulasi skenario submodel ekonomi
Pada penelitian ini juga dilakukan simulasi terhadap sub model ekonomi
pada skenario 1, 2, 3 dan 4. Sebagai contoh hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4
dapat dilihat pada Gambar 66. Pada Gambar 66 terlihat trend peningkatan PDRB
pengangkutan dan komunikasi pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik
(optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan PDRB pengangkutan dan
komunikasi yang meningkat secara sangat signifikan, sehingga akan sangat
membantu meningkatkan PDRB Kota Tangsel. Kondisi yang sama juga terjadi
kegiatan ekonomi lainnya seperti yang tersaji pada Gambar 66-70.
146
Gambar 66. Sub model ekonomi dari kegiatan pengangkutan dankomunikasi skenario 1, 2, 3 dan 4
Gambar 67. Submodel ekonomi dari kegiatan perdagangan hotel danRestoran skenario 1, 2, 3 dan 4
PDRB Jasa : jasa-jasa
Di Kota Tangerang Selatan, selain terdapat kegiatan ekonomi seperti
tersebut di atas, juga terdapat penelirimaan PDRB yang berasal dari bidang jasa
yang hasil simulasi skenario 1, 2, 3 dan 4 nya seperti ditunjukan oleh Gambar 68.
Selain itu PDRB juga dapat berasal dari bank, persewaan dan jasa perusahaan
147
(Gambar 69) serta dari kegiatan ekonomi lainnya yang skenarionya dapat dilihat
pada Gambar 70.
Gambar 68. Submodel ekonomi dari kegiatan jasa skenario 1, 2, 3 dan 4
Gambar 69. Submodel ekonomi dari kegiatan bank, persewaan dan jasaperusahaan skenario 1, 2, 3 dan 4
148
Gambar 70. Submodel ekonomi dari kegiatan ekonomi lain skenario 1, 2, 3 dan 4
Infrastruktur, total panjang jalan (km)
Hasil simulasi skenario 1, 2, 3 dan 4 dalam hal infrastruktur panjang jalan
dari tahun 2008 hingga 2016 dapat dilihat pada Gambar 71, sedangkan simulasi
kerusakan jalannya dapat dilihat pada Gambar 72.
Gambar 71. Infrastruktur jalan skenario 1, 2, 3 dan 4
149
Gambar 72. Infrastruktur kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4
Adapun hasil simulasi persentase tambahan biaya transportasi yang
dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan dengan skenario 1, 2, 3 dan 4
tersaji pada Gambar 73.
Gambar 73. Persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan olehpekerja akibat kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4
Hasil simulasi jumlah kendaraan roda dua pada skenario 1, 2, 3 dan 4
dapat dilihat pada Gambar 74. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada
skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kenaikan kendaraan roda dua, namun dengan
kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.
150
Gambar 74. Jumlah kendaraan roda dua, skenario 1, 2, 3 dan 4
Hasil simulasi jumlah kendaraan roda empat pada skenario 1, 2, 3 dan 4
dapat dilihat pada Gambar 75. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada
skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada kendaraan
roda dua, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.
jumlah kendaraan roda empat, namun dengan kecepatan peningkatan yang
berbeda-beda antar skenario. Selain itu kenaikan jumlah kendaraan roda empat
lebih rendah dibanding roda dua.
Gambar 75. Jumlah kendaraan roda empat, skenario 1, 2, 3 dan 4
151
Simulasi skenario submodel sosial
Hasil simulasi terhadap jumlah penduduk pada skenario 1, 2, 3 dan 4 dapat
dilihat pada Gambar 76.
Gambar 76. Skenario sub model sosial berdasarkan jumlah penduduk, skenario1, 2, 3 dan 4
Hasil simulasi terhadap jumlah rumah pada skenario 1, 2, 3 dan 4 dapat
dilihat pada Gambar 77. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada skenario
1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada simulasi lainnya yakni
akan terjadi peningkatan jumlah rumah seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar
skenario.
Hasil simulasi terhadap jumlah penduduk komuter pada skenario 1, 2, 3
dan 4 dapat dilihat pada Gambar 78. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik
pada skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada simulasi
lainnya yakni akan terjadi peningkatan jumlah jumlah penduduk komuter seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk di Tangerang Selatan, namun dengan
kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.
152
Gambar 77. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah rumah, skenario 1, 2,3 dan 4
Gambar 78. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk komuter,skenario 1, 2, 3 dan 4
Berdasarkan skenario yang dibangun seperti tersebut di atas, idealnya
skenario yang sebaiknya diimplementasikan adalah skenario ke 3 yakni
melakukan pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan tingkat
pertumbuhan 5%. Pada dasarnya pertumbuhan instalasi pengolah air limbah
sebanyak 5% didasarkan pada hasil penelitian Sitepu (2009) yang mengatakan
bahwa kawasan permukiman umumnya belum mempunyai IPAL dan penelitian
Napitupulu (2009) yang mengatakan bahwa setelah ada undang-undang yang
mengatur pencemaran, ternyata pertumbuhan IPAL hanya kurang dari 5%.
153
Nilai tingkat pertumbuhan IPAL 5% masih dimungkinkan untuk terjadi,
mengingat kesadaran masyarakat dengan semakin baik dengan semakin
meningkatnya kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan Teori Kuznet yang
mengatakan bahwa semakin makmur, kesadaran terhadap lingkungan semakin
meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Iwami (2001); Bartz dan Kelly
(2004); Susandi (2004) yang memperlihatkan bahwa terdapat relasi antara tingkat
pencemaran dan pendapatan, yakni membuktikan bahwa pencemaran dan emisi
akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan, namun pencemaran
dan emisi juga akan menurun pada tingkat pendapatan tertentu yang digambarkan
dalam bentuk environmental kuznets curve (EKC). Selanjutnya Bartz dan Kelly
(2004) juga mengatakan bahwa meningkatnya pendapatan akan menurunkan
tingkat pencemaran, karena pada tingkat pendapatan tertentu marginal abatement
cost akan meningkat sehingga kontrol terhadap lingkungan seperti pencemaran
dan emisi juga meningkat. Oleh karena itu maka dengan adanya kesadaran
masyarakat terhadap lingkungan yang semakin membaik, diduga akan
meningkatkan paksaan terhadap kegiatan antropogenik seperti kegiatan industri
untuk membangun IPAL juga akan semakin meningkat, dan nilai 5% dirasa cukup
wajar.
Pada skenario ini Pemda juga idealnya mewajibkan setiap kendaraan yang
ada di Kota Tangerang Selatan memakai katalisator, yakni alat yang dipasang
pada kendaraan dengan tujuan untuk menurunkan pencemaran dan menurunkan
emisi gas buang. Setelah dilakukan aturan yang mewajibkan penggunaan
katalisator, selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap setiap kendaraan yang
ada di Kota Tangerang apakah mereka sudah menggunakan katalisator atau belum.
Berdasarkan hal tersebut, maka Pemda Tangerang Selatan idealnya melakukan
pemeriksaan terhadap kendaraan bermotor. Pemeriksaan terhadap katalisator
kendaraan ini dapat dilakukan bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan.
Selain itu Pemda juga hendaknya melakukan uji emisi gas buang kendaraan secara
periodik dan konsisten. Apabila hal tersebut dilakukan secara tertib, teratur dan
mengikat pada seluruh warga tanpa pandang bulu, maka diharapkan akan dapat
menekan emisi gas buang kendaraan lebih dari 40%. Apabila emisi gas buang di
Tangerang Selatan dapat diturunkan sebanyak 40%. Hal ini mengandung arti
154
bahwa Pemda Tangerang Selatan telah ikut serta membantu pemerintah pusat
dalam mengimplementasikan janji pemerintah untuk menurunkan GRK sebanyak
26%.
Pada skenario ke tiga ini selain dilakukan hal tersebut di atas, juga
dilakukan pembatasan umur kendaraan pribadi. Hal ini dapat dilakukan misalnya
dengan mengenakan pajak pada kendaraan pribadi yang umurnya tua, yakni
pajaknya relatif lebih tinggi (progressive taxation). Hal ini juga dimaksudkan
untuk mengurangi pencemaran dan mengurangi emisi gas buang, mengingat pada
kendaraan yang sudah tua, apalagi jika tidak terurus, umumnya pembakaran bahan
bakarnya kurang sempurna, sehingga seringkali dihasilkan bahan pencemaran
atmosfir yang cukup tinggi, begitu pula halnya dengan gas rumah kaca yang
dihasilkannya.
Selain itu dapat dilakukan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan,
dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan
sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat
perbaikan jalan rusak bertambah 20%. Perbaikan jalan 20% ini didasarkan pada
hasil studi literature di beberapa kabupaten dan kota sekitar DKI Jakarta yang
memperlihatkan bahwa perbaikan jalan yang dilakukan selama ini pada umumnya
maksimal 20%.
Adanya infrastruktur yang baik akan memperbaiki kualitas lingkungan.
Hal ini disebabkan pada kondisi normal kendaraan dapat melaju dengan cepat
apabila jalan yang dilalui dalam kondisi mulus, apalagi jika lebar jalan tersebut
diperluas dan panjang jalan ditambah, sehingga dari situ akan terdapat jalan
alternatif yang akan menjadi pilihan pengemudi kendaraan. Selain hal tersebut di
atas, peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan,
membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan yang memperlancar perjalanan
seringkali juga berdampak positif pada terjadinya peningkatkan kegiatan ekonomi.
Hal yang tidak kalah pentingnya jika akan mengimplementasikan skenario
ke tiga adalah melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk dengan
pemantapan program keluarga berencana (KB). Hal ini dilakukan mengingat
munculnya berbagai masalah lingkungan, ada indikasi bahwa penyebab utamanya
adalah akibat ketidak mampuan pemerintah untuk menurunkan kecepatan
155
pertumbuhan penduduk. Untuk itu, Pemda harus segera mencanangkan kembali
program KB, dan membentuk kembali Dinas atau Subdit yang menangani khusus
KB dan aktif mensosialisasikan ke seluruh peloksok Kabupaten Tangerang
Selatan.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mendorong Pemda dan
Pemerintah Pusat untuk membuat kebijakan daerah tentang urbanisasi, dan
mendorong pemerintah pusat untuk mengadakan berbagai program yang dapat
mencegah terjadinya urbanisasi seperti dengan menggalakan program
pengembangan perdesaan, program agropolitan, program minapolitan, program
agrowisata, dan sebagainya. Salah satu contoh program agropolitan atau
minapolitan, merupakan satu program pemerintah untuk membuat pusat
pertumbuhan ekonomi baru di kawasan perdesaan. Adanya pertumbuhan
ekonomi baru ini pada akhirnya dapat menurunkan tingkat urbanisasi, mengingat
masyarakat desa yang umumnya sulit mencari penghidupan di desa dengan
adanya pertumbuhan ekonomi di pusat pertumbuhan baru yang ada di desa inti
atau di hinterland-nya, akan mendorong masyarakat tersebut untuk berupaya di
kampungnya sendiri.
5.4. Prioritas Kebijakan Pengembangan Kota Baru BSD
Berdasarkan hasil analisis MDS dan hasil pembuatan model selanjutnya
dibuat prioritas kebijakan. Hasil analisis MDS yang dilakukan pada penelitian ini
diperoleh 22 buah faktor pengungkit dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya,
infrastruktur dan teknologi dan hukum kelembagaan. Ke 22 faktor pengungkit
tersebut selanjutnya dianalisis lagi dengan menggunakan analisis prospektif,
sehingga diperoleh lima buah faktor kunci yang akan menentukan keberhasilan
pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD ditambah dengan enam buah
faktor penghubung yang juga mempunyai pengaruh yang besar. Berdasarkan
faktor kunci dan faktor penghubung ini digabung dengan hasil pemodelan dengan
memperhatikan alternatif skenario kebijakan ke-3, yakni alternatif kebijakan
berupa kombinasi dari lingkungan berupa pembuatan instalasi pengolahan air
limbah (tingkat pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisator pada tiap kendaraan
yang ada di Kota Tangerang Selatan serta uji emisi gas buang kendaraan
dilakukan secara periodik dan konsisten. Khusus untuk ekonomi dilakukan
156
pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan,
dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan
sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat
perbaikan jalan rusak bertambah 20%. Aspek sosialnya berupa pengendalian
pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana diiringi
dengan pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi. Maka disusun prioritas
kebijakan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, yakni:
1. Dalam rangka meningkatkan produktifitas pengelolaan lingkungan di
kawasan Kota Baru BSD, keefisienan dan keefektipan proses
pengelolaan lingkungan, maka kegiatan pengelolaan lingkungan di
kawasan Kota Baru BSD harus mampu mengadakan teknologi produksi
bersih yang dapat menurunkan pencemaran udara dan terlepasnya emisi
gas buang yang merupakan salah satu penyumbang yang cukup dominan
untuk gas rumah kaca, sehingga masalah pencemaran udara dan emisi
GRK dapat tertanggulangi dengan baik.
2. Kawasan Kota Baru BSD juga harus membangun instalasi pengolahan
air limbah (IPAL) komunal untuk masing-masing kegiatan sehingga
dapat mengolah limbah cair yang dihasilkan dari proses kegiatan
antropogenik dan tidak membuangnya ke lingkungan secara langsung.
Adanya pengolahan limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan
antropogenik ini relatif akan menjaga kualitas air, sehingga tidak terjadi
pencemaran air pada ekosistem air penerimanya
3. Pada pembangunan kawasan kota baru juga harus dicari berbagai upaya
agar pencemaran udara dan terlepasnya GRK tidak semakin tinggi.
Untuk ini hal yang dapat dilakukan antara lain adalah mengurangi
sedapat mungkin penggunaan kendaraan pribadi, dengan menyediakan
moda transportasi umum yang dapat menjangkau semua lokasi baik
yang ada di pusat kota maupun ke kota satelit lainnya di kawasan
metropolitan DKI Jakarta. Selain itu moda transportasi tersebut harus
dibuat senyaman mungkin dan dapat berjalan secara cepat sehingga akan
menjadi pilihan bagi para pengguna jasa transportasi. Untuk itu maka
sarana dan prasarana komuter harus tersedia dengan baik, baik di Kota
157
Baru BSD, kota utama maupun di kota satelit lainnya yang semuanya
berhubungan dengan Kota Baru BSD.
4. Selain itu hal yang juga tidak kalah pentingnya untuk menurunkan
pencemaran udara dan GRK di Kota Baru BSD dan sekitarnya adalah
sosialisasi kepada masyarakat dan seluruh stakeholder untuk selalu
berupaya mengurangi pencemaran udara dan emisi GRK, sehingga
kesehatan akan terjamin dan berbagai musibah yang mungkin terjadi
akibat adanya pencemaran dan terjadinya pemanasan global dan
perubahan iklim global dapat diminimalkan.
5. Dalam kegiatan pengelolaan Kota Baru BSD, harus dibuat standar
mutu pelayanan transportasi, baik dalam penyediaan sarana maupun
prasarananya, sehingga kegiatan transportasi baik di dalam kota baru,
maupun menuju ke kota utama dan ke kota satelit lainnya akan dapat
berjalan secara efektif dan efisien, akan terhindar dari terjadinya
kemacetan dan akan mengurangi terjadinya pencemaran udara dan
terlepasnya GRK.
6. Sosialisasi kepada masyarakat yang ada di kawasan kota baru dan para
stakeholder-nya , juga hendaknya mempunyai pemahaman, kepedulian,
dan tanggung jawab yang tinggi terhadap sumberdaya alam dan
lingkungan yang ada di kawasan Kota Baru BSD dan sekitarnya,
sehingga mereka akan cenderung untuk menjaga sumberdaya dan
lingkungan yang ada di kawasan kota baru tersebut,
7. Semua pihak (pemerintah, pengusaha, perguruan tinggi dan masyarakat)
hendaknya selalu mencari atau menemukan inovasi-inovasi baru teknik
pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam dan menjauhkan diri
dari sifat egosektoral, sehingga akan didapatkan teknik pengelolaan dan
pelestarian lingkungan yang paling efisien dan efektif. Begitu pula
halnya dalam meningkatkan kondisi ekonomi dan kondisi sosial dengan
tanpa mengganggu kelestarian lingkungan.
8. Di kawasan kota baru, khususnya dan di kota metropolitan pada
umumnya, hendaknya segera dibuat kelembagaan lengkap dengan
organisasi dan peraturan perundang-undangan serta melakukan
158
penegakan hukum tentang pengelolaan sumberdaya alam dan
pelestarian lingkungan, terkait dengan kegiatan pengelolaan lingkungan
kota baru, sehingga daya dukung lingkungan tidak terlampaui,
lingkungan tetap terjaga, serta memunculkan rasa kebersamaan dan
keadilan.
9. Di Tanggerang Selatan pada umumnya dan di kawasan Kota Baru BSD
pada khususnya, yang umumnya penduduknya adalah penduduk
pendatang dari berbagai daerah dan mempunyai budaya yang berbeda-
beda, hendaknya kebijakan pemerintah menjamin bahwa budaya lokal
tetap dilestarikan, misalnya dengan membuat program-program yang
melibatkan budaya lokal sebagai bagian dari budaya di kota baru,
penyelenggaraan festival budaya lokal, dan sebagainya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan:
1. Lingkungan perairan di kawasan Kota Baru BSD tercemar limbah organic yang
mudah urai (BOD) dan yang sulit urai (COD), sedangkan atmosfirnya tercemar
gas beracun CO, serta tercemar oleh SOx, NOx, ozon (O3) dan TSP
2. Nilai indeks keberlanjutan Kota Baru BSD sebesar 46,75 % dan termasuk dalam
status kurang berkelanjutan, dan hanya dimensi infrastruktur dan teknologi
(52,20), dimensi ekonomi (53,17) dan dimensi hukum dan kelembagaan (59,95)
yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi ekologi (42,22) dan dimensi
sosial-budaya (26,49) statusnya tidak berkelanjutan
3. Terdapat 22 faktor pengungkit pada pengelolaan lingkungan dan pengembangan
Kota Baru BSD, agar berkelanjutan
4. Model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan
harus memperhatikan limbah cair, kualitas udara, keberadaan IPAL, keberadaan
kawasan bisnis, dan penegakan hukum
5. Prioritas kebijakan pengembangan kota baru berkelanjutan adalah mengadakan
teknologi produksi bersih, membangun IPAL, jaringan jalan dan transportasi
yang efektif dan efisien, memperhatikan budaya lokal yang hampir punah dan
membentuk kelembagaan.
Saran:
1. Penelitian perlu dilanjutkan dengan melihat kualitas air dan kualitas udara yang
komprehensif dan melihat eksternalitas dari bahan-bahan pencemar tersebut
2. Strategi kebijakan pengembangan kota baru hendaknya dapat menumbuhkan
pembangunan IPAL hingga 5%, kewajiban penggunaan katalisator pada
kendaraan bermotor, yang ada di Kota Tangerang Selatan serta uji emisi gas
buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten. Selain itu juga
dilakukan pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas
160
insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif
atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan
secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 20%. Hal lain yang
juga perlu dilakukan adalah pengendalian pertumbuhan penduduk dengan
pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan
daerah tentang urbanisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin S.Z. 2002. Kebijakan publik. Penerbit Yayasan Pancur Siwah. Jakarta.
Abou N., El-Fadel M., Ayoub M., El-Taha M., Al-Awar F. 2002. An optimisationmodel for regional integrated solid waste management I. Modelformulation. Waste Management & Research, 20(1): 37-45
Al Yaqout A.F. 2003. Assessment and analysis of industrial liquid waste andsludge disposal at unlined landfill sites in arid climate. WasteManagement, 23(9): 817-824
Allenby B.R. 1999. Industrial Ecology. Policy Framework and Implementation.Prentice-Hall Inc. New Jersey. USA.Anderson, V. dan Johnson, L.1997. Systems Thinking Basics: From Concepts to Causal Loops.Pegasus communication. Williston ISBN 1-883823-12-9.
Al-Yaqout A.F. 2003. Evaluation of landfill leachate in arid climate-a case study.Environment International, 29 (5) :593-600
Aminullah E. 2001. Studi Kebijakan Melalui Analisis Sistemik. Bahan AnalisisKebijakan. LAN RI. Jakarta.
Anderson W., Johnson L. 1997. Systems Thinking Basics: From Concepts toCausal Loops. Pegasus Communication INC. Williston. AmerikaSerikat
Arifin A., Dillon H.S.S. 2005 dalam Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko et. al.(2005). Bunga Rampai, Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21.Buku 1, Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia.Yayasan Sugijanto Soegijoko dan Urban and Regional DevelopmentInstiute (URDI). Jakarta.
Barrow C.J. 1991. Land Degradation, Development and Breakdown of TerrestrialEnvironments. Cambridge University Press, Cambridge, New York,Port Chester, Melbourne, Sydney.
Bartz S, Kelly D.L. 2004. Economic Growth and the Environment: Theory andFacts. Resource and Energy Economics vol. 30. p.115-49.
Bourgeois R., Jesus F. 2004. Participatory Prospective Analisys. Exploring andAnticipating Challenges with Stakeholders. UNESCAP-CAPSA.Bogor.Brand,P. dan Thomas,M. J.2005. Urban Environmentalism:Global Change and The Mediation Of Local Conflict. New York:Routlege.
Bruegmann R. 2006. Sprawl: a compact history. Chicago: The University ofChicago Press.
Caiden G.E. 1971. The Dynamics of Public Administration: Guidelines to CurrentTransformation in Theory and Practice, New York, Holt, Rinehart andWinston, Inc.,
162
Cook C., Fereday D., Lowson M., Teychenné R. 2004. Passenger response to aPRT system. Proceedings of the Transportation Research Board (TRB)83rd Annual Meeting. Washington, D.C. 11–15 Jan 2004. Corden, M.C.1975. Urban Planning Theory. Dowden, Hutchinson & Ross Inc.,Pennsylvania, USA
Cornelissen A.M.G., van den Bergb J., Koopsa W. J., Grossmanc M., Udoa H. M.J. 2001. Assessment of the Contribution of Sustainability Indicators toSustainable Development: a Novel Approach Using Fuzzy SetTheory.Elsevier Science B.V.
Cronin J.C.Jr., Taylor S.A. 1992. Measuring Service Quality: A Reexaminationand Extension. The Journal of Marketing. Vol. 56, No. 3 (Jul., 1992),pp. 55-68
Dardak H., 2006, Ruang Terbuka Hijau, Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota(Green Space as Main Component of City Planning), DirectorateGeneral of Spatial Planning Department of Public Works, Jakarta
Davis G.J., Warhurst W.J., Weller P. 1993. Public Policy in Australia, Ed ke-2. St.Leonards: Allen and Unwin.
de Vreese C.H., Peter J., Semetko H.A. 2000. Framing the euro: Across-nationalcomparative study of frames in the news. Paper presented at theInternational CommunicationAssociation, Acapulco, Mexico.
Djakapermana R.D. 2004. Degradasi Lahan di Kawasan Jabodetabek danImplikasinya Terhadap Bahaya Banjir dan Kerusakan Lingkungan,Buletin Tata Ruang , Edisi Khusus Hari Habitat Dunia, Sekretariat TimTeknis Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN).
Dunn W.N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Yogyakarta:Gajah Mada University Press.
Ng E. 2010. Designing High-Density Cities For Social & EnvironmentalSustainability. London: Earthscan.
El-Fadel M., Zeinati M, El-Jisr K., Jamali D. 2001. Industrial-waste managementin developing countries: The case of Lebanon. Journal ofenvironmental, 61(4): 281-300
EPA. 1997. Environmental Protection Act. Amerika Serikat
EPA. 2007. Review of the National Ambient Air Quality Standards for ParticulateMatter, www.epa.gov/fedrgstr/EPA-AIR, [4 Mei 2007].
Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen JilidI Edisi Kedua. IPB Press. Bogor. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem;Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Jilid I. “Ed ke-3”.IPBPress. Bogor.
Fadel M., Zeinati M., Jamali D. 2001 Water resources management in Lebanon:institutional capacity and policy options. Water Policy 3, 425–448.
163
Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Polusi Udara. Departemen Pendidikan danKebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Pusat AntarUniversitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi,
Fauzi A., Anna S. 2002. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untukAnalisis Kebijakan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum.
Fisheries. 1999. Rapfish Project. http:/fisheries.com/project/rapfish.htm. Diaksespada Tanggal 10 September 2007.
Forrester J.W. 1968. The Industrial Dynamics, the MIT Press – John Wiley andSons, Inc., New York.
Galantay E. 1980. I: Definition and Typology, II: Goals, Policies, and Strategies.New Town in National Development. IFHP Working Party, UnitedKingdom.
Gallion A.B. 1986. The Urban Pattern: City Planning and Design. New York: VanNostrand Reinhold
George H. 2006. Progress & Poverty. London: Elibron Classics.
Golany G. 1976. New Town Planning: Principles and Practice. John Wiley &Sons, Toronto, Canada.
Goodman J.C. 1980. The regulation of medical care: Is the price too high? (Catopublic policy research monograph). CATO Institute. Massachusetts.Amerika Serikat
Hague M. 1980. III: Instruments for Achieving New Town Development, IV:Means of Planning New Towns, V: Implementation of New TownDevelopment. IFHP Working Party, United Kingdom.
Hall R.E., Jones C.I. 1996. "The Productivity of Nations," NBER Working Papers5812, National Bureau of Economic Research, Inc.
Hardjasoemantri. 1991 .Hukum Perlindungan Lingkungan, KonservasiSumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Gajah Mada UniversityPress. Yogyakarta.
Herrington J. 1984. The Outer City. Harper & Row Publisher, London.
Hettne B. 2001. Teori Pembangunan Dan Tiga Dunia. Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.
Hidayat T. 2005. Identifikasi Preferensi Masyarakat dalam Sistem PengelolaanPersampahan Permukiman(Studi Kasus: Kecamatan Harjamukti, KotaCirebon. Undergraduate thesis, Universitas Diponegoro).
Hokkanen J., Lahdelma R., Slaminen P. 1999. A Multiple Criteria DecisionModel for Analyzing and Choosing Among Different DevelopmentPatterns for the Helsinki Cargo Harbour. Socio-Economic PlanningSciences 33, 1-23.
164
Iwami T. 2001. Economic development and environment in Southeast Asia: anintroductory note. International Journal of Social Economics. Vol. 28Iss: 8, pp.605 – 622
Jeon C., Amekudzi A. 2005. Addressing Sustainability in Transportation Systems:Definitions,. Indicators and Metrics. ASCE Journal of InfrastructureSystems, Vol. 11, No. 1, March, 2005, pp. 31-50
JICA (Japan International Coorporation Agency dan National DevelopmentPlanning Agency). 2001. The Study on Integrated TransportationMaster Plan (SITRAMP) for the Jabotabek Phase 1. Final Report. PCIand ALMEC Corporation. Jakarta. Republic of Indonesia.Jones, G.W.1984. Links Between Urbanization and Sectoral Shift in Employment inJava. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. XX No. 3.
Jones C.O. 1996. Pengantar kebijakan publik (public policy) Istamto R,Penerjemah. Budiman N, editor. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.Terjemahan dari : An Introduction o the Study of Public Policy.
Jraiw K. 2003. Urban road transport in Asia Developing Countries: safety andefficiency strategy. Transport Research Record.1846: 19-25.
Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. RapfishSoftware Description (for Microsoft Exel). University of BritishColumbia, Fisheries Centre, Vancouver.
Kenworthy J., Laube, F. 2002. Travel Demand Management: The potential forenhancing urban rail opportunities & reducing automobile dependencein cities. World Transport Policy & Practice 8(3): 20-36.
Khanna P., Babu P.R., George M.S. 1999. Carrying-Capacity as a Basis forSustainable Development a Case Study of National Capital Region inIndia. National Environmental Engineering Research Institute, NehruMarg, Nagpur 440 020, India: Elsevier Ltd.
Kim D.H., Anderson V. 1998. Systems archetype basics: from story to structure.Pegasus Communications INC. Williston. Amerika Serikat
Kompas, 18 November 2005. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Lal R., Pierce F.J. 1991. Soil Management for Sustainability. Ankeny, Iowa: Soiland Water Conservation Soc. in Coop. with World Assoc. of Soil andWater Conservation and Soil Sci. Soc. of Amer.
Litman T.A. 2004. The online TDM Encyclopedia: Mobility ManagementInformation Gateway. Transport Policy. 10(3): 245-249.
Litman T.A. 2008. Well Measured Developing Sustainable Transport Indicators.Victoria Transport Policy Institute. [www.vtpi.org].
Luo Y.F., Khan S., Cui Y.L., Feng Y.H., Li Y.L. 2007. Modeling the WaterBalance for Aerobic Rice: A System Dynamic Approach. AgriculturalWater Management. 74:1860-1866
165
Lvovsky K., Hudges G., Maddison D., Ostro B., Pearce D. 2000. EnvironmentalCost of Fossil Fuels. Pollution Management Series. The World BankEnvironment Department Memahami KTT Bumi, 1992
Manahan S.E. 2002. Environmental Chemistry. Seventh Edition. Lewis Publisher.Inc. NewYork.
Manecth T.J., Park G.L. 1977. System Analysis and simulation with applicationto economic and social system Part I. The third edition. Department ofelectric engineering and system science. Michigan State Univ. EastLansing. Michigan.
Martin D.W. 1985. Biokimia. I. Darmawan (Penerjemah). CV. EGC. Jakarta
Memahami KTT Bumi. 1992. Konferensi PBB tentang Pembangunan danLingkungan Hidup. Rio De Janeiro. Brazil. SKEPHI. Indonesia.
Metcalf, Eddy. 1991. Wastewater Engineering. Treatmeant, Disposal and Reuse(Revised) Mc. Graw Hill. New York
Munasinghe M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development.Washington: The World Bank.
Muthukumaran N., Ambujam N.K. 2003. Wastewater Treatment and Managementin Urban Areas—A Case Study of Mysore City, Karnataka, India.Journal of Water Resource and Protection. Vol.2 No.8. PP.717-726
Najm M.A., El-Fadel M., Ayoub G. 2002. An optimisation model for regionalintegrated solid waste management I. Model formulation. WasteManage Res vol 20: 37–45
Napitupulu A. 2009. Pengembangan Model Kebijakan Pengelolaan LingkunganBerkelanjutan Pada PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara.Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor
NCHRP (National Cooperative Highway Research Program). 1980. SUMMARYOF PROGRESS THROUGH 1980. NCHRP Summary of Progress.Washington. Amerika Serikat
Nhapi I. 2004. Options for wastewater management in Harare, Zimbabwe. PhDthesis. Wageningen University Dissertation. 179 p
Odum E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Brooks Cole. Amerika Serikat
Odum H.T. 1976. Ecological and General Systems: An Introduction to SystemsEcology. University Press of Colorado. Rev Sub edition. AmerikaSerikat
Osborn F.J., Whittic A. 1963. The New Towns, The Answer to Megalopolis. Mc.Graw Hill Book Company, London.
Ostro B. 1994. Estimating the Health Effects of Air Pollutans: A Method With anApplication to Jakarta. Policy Research Working Paper No. 1303.http://wdsbeta.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/IW3P/IB/1994/05/01/000009265_3970716141007/Rendered/PDF/multi0page.pdf. [1-Jan-11].
166
Panyacosit L. 2000. A Review of Particulate Matter and Health: Focus onDeveloping Countries.http://www.iiasa.ac.at/Publications/Documents/IR-00-005.pdf, [11-Jan-11].
Parson W. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan.Jakarta: Prenada Media.
Paulley N., Pedler A. 2000. Integration of Transport and Land Use Planning: Finalreport of the TRANSLAND project, Deliverable 4 of the projectTRANSLAND (Integration of Transport and Land Use Planning).
Pearce D.W., Turner R.K. 1990. Economics of Natural Resources and TheEnvironment, Hemel Hempstead : Harvester Wheatsheaf.
Pemerintah Daerah Tangerang Selatan. 2009. Kabupaten Tangerang Selatandalam Angka. BPS
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 494/PRT/M/2005. Tentang Kebijakandan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP Kota).
Pitcher T.J. 1999. Rapfish : A Rapid Appraisal Technique for Fisheries and ItsApplication to The Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAOUN. Rome.
Ratcliffe J. 1977. An Introduction to Town and Country Planning. Hutchinson,London.
Rees W. 1990. Sustainable development and the biosphere. Teilhard StudiesNumber 23. American Teilhard Association for the Study of Man
Reismann L. 1970. The Urban Process, Cities in Industrial Societies. New York:The Free Press.
Riani E., Sutjahjo S.H., Firmansyah. 2004. Analisis Beban Pencemaran danKapasitas Asimilasi Teluk Jakarta. Kerjasama LPPM IPB – Pemprov.DKI Jakarta..
Richardson H.W. 1977. City Size and National Spatial Strategies in DevelopingCountries. World Bank Staff Working Paper, No. 252, WashingtonD.C., USA.
RTRW Kota Tangerang Selatan. 2008. Kota Tangerang Selatan
Saaty T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta:Gramedia.
Serageldin I., Steer A. (Ed.). 1994. Making Development Sustainable: FromConcepts to Action (Environmentally Sustainable DevelopmentOccasional Paper Series, No. 2).Washington, D.C: World Bank.
Simmonds R., Hack G. (Ed.). 2000. Global City Regions Their Emerging Forms.New York: Spon Press.
Sitepu H.T. 2009. Disain Kebijakan Pengelolaan Permukiman Berkelanjutanyang Berbasis Instalasi Pengolahan Air Limbah Mandiri. DisertasiSekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
167
Sitorus S.R.P. 2004. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. EdisiKetiga. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya LahanDepartemen Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Small K.A., Kazimi C. 1995. On the costs of air pollution from motor vehicles.http://www.socsci.uci.edu/~ksmall/Small-Kazimi.pdf [11-Jan-11].
Soegijoko, Tjahjati B. 1997. Arah Pengembangan Kotabaru Dalam PerpsektifKebijakan Tata Ruang. Jakarta: Penerbit BPPT
Soemarwoto O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Bandung:Djambatan.
Soeriaatmaja R.E. 1977. Ilmu Lingkungan. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Soil Conservation Society of America (ed). 1982. Resource ConservationGlossary 3rd edn. Ankeny, IA: Soil Conservation Society of America.
Soule D.C. (Ed.). 2006. Urban Sprawl: a comprehensive references guide.Westport: Greenwood Press.
Squires G.D. (Ed.). 2002. Urban Sprawl: causes, consequences & policyresponses. Washington DC: Urban Institute Press.
Sudjarto D. 1993a. Perkembangan KotaBaru. Jurnal Perencanaan Wilayah danKota No 9. september.
Sudjarto D. 1993b. Kota Baru Indonesia. Jurnal Perencanaan Wilayah dan KotaNo 9. september
Sugijoko S. 1974. Toward an Urban Development Strategy for Indonesia.UNCRD, Nagoya.
Sumaryanto, Friyanto S. 1995. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawahke Penggunaan Non Pertanian. Makalah pada Workshop HasilPenelitian ARMP, 4 April, Cisarua. Bogor.
Susandi A. 2004. The impact of international greenhouse gas emissions reductionon Indonesia. Hamburg: Reports on Earth System Science. Jerman
Sushil. 1993. System Dynamics for Management Support. Wiley Eastern Limited.New Delhi.
Sutamihardja R.T.M. 1978. Inventarisasi dan Evaluasi Kualitas LingkunganHidup Pulau Bali. Kantor Menteri negara PPLH. Jakarta.
Syahril S., Resosudarmo B.P., Tomo H.S. 2002. Study on the Air Quality inJakarta, Indonesia. Future Trends, Health Impacts, Economic value andPolicy Options,.
Tamin R.D., Rachmatunisa A. 2007. Integrated Air Quality Management inIndonesia. Ministry of Environment. Jakarta.
Tietenberg T. 2003. Environmental and Natural Resource Economics. Ed-6.Eddison Wesley. Boston.
168
Treyer S.P. 2000. Prospective Analysis on Agricultural Water Use in TheMediterranean. http: www.Engref.fr/rgt/doc-pdf/Treyer-polagwat-metodology proposal.
Tunjung W.S. 1988. Aspek-Aspek Perencanaan dan Pembangunan Kota BaruMetropolitan. Tesis, Program Perencanaan Wilayah dan Kota, FakultasPasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007. Tentang PenataanRuang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992. Tentang Perumahandan Permukiman.
Volesky B. 1990. Biosorption of Heavy Metals. Volesky (editor). CRC Press.Inc. Boca Raton, Florida
WHO. 2000. The world health report. WHO: 2000 Press Releases
World Commission on Environment and Development. 1987. Our CommonFuture. United Nations World Commission on Environment andDevelopment.Oxford Univ. Press. New York. London.
Yeates M. 1980. The North American City. New York: Longman.
LAMPIRAN
170
171
Lampiran 1. Parameter kualitas air yang dianalisa, bakumutu yang ditetapkan dan
metoda yang digunakan
NO. Parameter Satuan Baku Mutu **) Metoda/Alat
Kelas
I II III IV
I FISIKA
1 Suhu *) oC dev.3
dev.3
dev.3
dev.3
Temperatur Meter
II KIMIA
1 pH *) - 6 - 9 6 - 9 6 - 9 5 - 9 pH Meter
2 BOD5 mg/l 2 3 6 12 APHA, ed. 21, 2005,5210-B
3 COD + mg/l 10 25 50 100 APHA, ed.21,2005,5220-D
4 Nitrat (NO3-N) mg/l 10 10 20 20 APHA, ed. 21,2005,4500-NO3-E
5 Total Fosfat mg/l 0.2 0.2 1 5 APHA, ed. 21, 20054500-P-E & B
6 Kadmium (Cd) mg/l 0.01 0.01 0.01 0.01 APHA, ed. 21, 2005,3110
7 Deterjen mg/l 0.2 0.2 0.2 (-) APHA, ed. 21,2005,5540-C
8 Timah Hitam (Pb) mg/l 0.03 0.03 0.03 1 APHA, ed. 21, 2005,3110
9 Air Raksa (Hg) mg/l 0.001 0.002 0.002 0.005 APHA, ed.19,1995,3500-Hg-B
10 Arsen (As) mg/l 0.05 1 1 1 APHA, ed. 21,2005,3500-As-B
11 Fenol mg/l 0.001 0.001 0.001 (-) APHA, ed. 21,2005,5530-C
**) : Baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
172
Lampiran 2. Formula matematika (stockflow diagram)
Rumus dari masing-masing fraksi diperoleh dari analisis data dengan menggunakan
software CurveExpert 1.3.
Submodel Lingkungan
Populasi_Tangsel(t) = Populasi_Tangsel(t - dt) + (pertumbuhan) * dt
INIT Populasi_Tangsel = 918783
INFLOWS:
pertumbuhan = Populasi_Tangsel*fraksi_pertumbuhan
UNATTACHED:
pengurangan = Populasi_Tangsel*fraksi_pengurangan
bebanBOD = limbah_cair*(KonsBODperhari/10000000000)
bebanCOD = limbah_cair*(KonsCODperHari/1000000000)
bebanNO3 = limbah_cair*(KonsNO3perhari/1000000000)
bebanPO4 = limbah_cair*(KonsPO4perHari/10000000000)
emisiCOx = 7047.2186+(-
7.0070411*TIME)+0.0017417749*TIME^2+emisi_udara/(2.3*10^4)
emisiNOx = (337.60228+(-
0.33671982*TIME)+0.000083982683*TIME^2)+emisi_udara/10^6
emisiSOx = 2*(5.1750577+(-10260.716/TIME)+emisi_udara)/10^6
emisi_udara = Populasi_Tangsel*58
fraksi_pengurangan = 4.02/100
fraksi_pertumbuhan = 5.1/100
IPAL_diperlukan = jumlah_rumah/10000
kendaraan_bermotor = penduduk_pekerja*(3.923479+(-1.0260716/TIME)
kepedulian_lingkungan_% = SQRT((kesadaran_lingkungan_%))
KonsBODperhari = (-53296.234+7096.4652*LOGN(TIME))
KonsCODperHari = -54184.112+7145.5301*LOGN(TIME)
KonsNO3perhari = 95.674974E-71*TIME^(0.01037*TIME)
KonsPO4perHari = -416.32265+56.788021*LOGN(TIME)
limbah_cair = Populasi_Tangsel*100
173
Submodel Ekonomi
Populasi_Tangsel(t) = Populasi_Tangsel(t - dt) + (pertumbuhan) * dt
INIT Populasi_Tangsel = 918783
INFLOWS:
pertumbuhan = Populasi_Tangsel*fraksi_pertumbuhan
UNATTACHED:
pengurangan = Populasi_Tangsel*fraksi_pengurangan
AngkKom = penduduk_pekerja*0.29
BankSewa = penduduk_pekerja*0.16
biaya_tambahan_transport = sqrt(kerusakan_jalan)
Drainase = infrastrukfur+178
EkLain = penduduk_pekerja*0.11
fraksi_pengurangan = 4.02/100
fraksi_pertumbuhan = 5.1/100
infrastrukfur = Populasi_Tangsel*0.15/10^5
Jalan = (698.989+infrastrukfur)
Jasa = penduduk_pekerja*0.18
kendaraan_bermotor = penduduk_pekerja*(3.923479+(-1.0260716/TIME)
kepedulian_lingkungan_% = SQRT((kesadaran_lingkungan_%))
kerusakan_jalan = (-35079.04+35.065718*TIME+-0.0087554106*TIME^2)-(Jalan-
Jalan)
PangsaAngkKom = 0.29
PangsaBankSewa = 0.16
PangsaEkLain = 0.11
PangsaJasa = 0.18
PangsaPHR = 0.26
penduduk_commuter = penduduk_pekerja*(71.5/100)
penduduk_pekerja = Populasi_Tangsel*0.5
perbaikan_jalan = (-16411.361+16.446121*TIME+-0.004112553*TIME^2)-(Jalan-
Jalan)
PHR = penduduk_pekerja*0.26
roda_dua = ((logn(TIME)+kendaraan_bermotor*0.025678)/10)*10
roda_empat = (1200+((logn(TIME)+sqrt(kendaraan_bermotor*0.02))/0.18495))*10
PDRBAngKom = (AngkKom*11)+(PangsaAngkKom*AngkKom)
PDRBBankSewa = BankSewa*11+BankSewa*PangsaBankSewa
PDRBEkLain = EkLain*11+EkLain*PangsaEkLain
PDRBJasa = Jasa*11+PangsaJasa*Jasa
PDRBPHR = (PHR*11)+(PangsaPHR*PHR)
174
PDRB_Tangsel =
PDRBAngKom+PDRBBankSewa+PDRBEkLain+PDRBPHR+PDRBJasa
175
Submodel Sosial
Populasi_Tangsel(t) = Populasi_Tangsel(t - dt) + (pertumbuhan) * dt
INIT Populasi_Tangsel = 918783
INFLOWS:
pertumbuhan = Populasi_Tangsel*fraksi_pertumbuhan
UNATTACHED:
pengurangan = Populasi_Tangsel*fraksi_pengurangan
biaya_tambahan_transport = sqrt(kerusakan_jalan)
Drainase = infrastrukfur+178
fraksi_pengurangan = 4.02/100
fraksi_pertumbuhan = 5.1/100
infrastrukfur = Populasi_Tangsel*0.15/10^5
IPAL_diperlukan = jumlah_rumah/10000
Jalan = (698.989+infrastrukfur)
jumlah_rumah = Populasi_Tangsel*0.35
kendaraan_bermotor = penduduk_pekerja*(3.923479+(-1.0260716/TIME)
kepedulian_lingkungan_% = SQRT((kesadaran_lingkungan_%))
kerusakan_jalan = (-35079.04+35.065718*TIME+-0.0087554106*TIME^2)-(Jalan-
Jalan)
kesadaran_lingkungan_% = (pendidikan*0.5)/10000
pendidikan = (penduduk_pekerja*0.9)
penduduk_commuter = penduduk_pekerja*(71.5/100)
penduduk_pekerja = Populasi_Tangsel*0.5
perbaikan_jalan = (-16411.361+16.446121*TIME+-0.004112553*TIME^2)-(Jalan-
Jalan)
PHR = penduduk_pekerja*0.26
roda_dua = ((logn(TIME)+kendaraan_bermotor*0.025678)/10)*10
roda_empat = (1200+((logn(TIME)+sqrt(kendaraan_bermotor*0.02))/0.18495))*10
176
Lampiran 3. Hasil simulasi model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota
baru berkelanjutan
Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter
BOD, COD, NO3 dan PO4
TahunBeban (Ton/hari)
BOD COD NO3 PO4
2008 6.17 14.41 0.05 0.14
2009 7.13 16.95 0.07 0.16
2010 8.25 19.93 0.08 0.19
2011 9.53 23.41 0.1 0.22
2012 11.02 27.5 0.13 0.25
2013 12.74 32.28 0.16 0.29
2014 14.72 37.87 0.21 0.33
2015 17.02 44.42 0.26 0.38
2016 19.67 52.08 0.33 0.44
Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/Nm3) parameter
NOx, COx dan SOx
Tahun Udara Ambien (µg/Nm3)
COx SOx NOx
2008 2,316.96 106.58 53.38
2009 2,664.49 122.57 61.38
2010 3,064.15 140.95 70.57
2011 3,523.77 162.09 81.14
2012 4,052.33 186.41 93.3
2013 4,660.19 214.37 107.28
2014 5,359.22 246.52 123.36
2015 6,163.11 283.5 141.85
2016 7,087.59 326.03 163.12
177
Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB (Jutaan Rupiah)
Tahun Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah)
Angkom PHR Jasa BankSewa EkLain Total
2008 1,504,093.71 1,344,914.56 924,479.45 820,289.46 561,422.35 5,155,199.53
2009 1,729,707.77 1,546,651.74 1,063,151.37 943,332.88 645,635.70 5,928,479.46
2010 1,989,163.93 1,778,649.50 1,222,624.08 1,084,832.81 742,481.06 6,817,751.38
2011 2,287,538.52 2,045,446.92 1,406,017.69 1,247,557.74 853,853.22 7,840,414.09
2012 2,630,669.30 2,352,263.96 1,616,920.34 1,434,691.40 981,931.20 9,016,476.21
2013 3,025,269.69 2,705,103.56 1,859,458.40 1,649,895.11 1,129,220.88 10,368,947.64
2014 3,479,060.15 3,110,869.09 2,138,377.16 1,897,379.37 1,298,604.02 11,924,289.78
2015 4,000,919.17 3,577,499.45 2,459,133.73 2,181,986.28 1,493,394.62 13,712,933.25
2016 4,601,057.05 4,114,124.37 2,828,003.79 2,509,284.22 1,717,403.81 15,769,873.24
Keterangan sektor
Angkom : pengangkutan dan komunikasi
PHR : perdagangan hotel dan restoran
Jasa : jasa-jasa
BankSewa : bank, persewaan dan jasa perusahaan
EkLain : sektor ekonomi lain
Simulasi submodel ekonomi berdasarkan jumlah kendaraan roda dua dan roda empat
Tahun Kendaraan
Roda dua Roda Empat
2008 11.804 17.594
2009 13.573 17.969
2010 15.608 18.371
2011 17.948 18.803
2012 20.639 19.265
2013 23.734 19.761
2014 27.293 20.294
2015 31.386 20.864
2016 36.093 21.476
178
Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk dan penduduk usia kerja (15-65
tahun)
Tahun Jumlah Penduduk jumlahrumahtotal usia kerja commuter
2008 918,783 459,392 328,465 321,5742009 1,056,600 528,300 377,735 369,8102010 1,215,091 607,545 434,395 425,2822011 1,397,354 698,677 499,554 489,0742012 1,606,957 803,479 574,487 562,4352013 1,848,001 924,000 660,660 646,8002014 2,125,201 1,062,600 759,759 743,8202015 2,443,981 1,221,991 873,723 855,3932016 2,810,578 1,405,289 1,004,782 983,702
179
Lampiran 4. Skenario model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru
berkelanjutan
Terdapat empat alternatif skenario yang dipergunakan dalam penelitian ini. Hal ini
berdasarkan pertimbagan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Skenario ini
termasuk
1. Skenario untuk tidak mengadakan perubahan (skenario do nothing).
2. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari
a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat
pertumbuhan 3%) dan penggunaan katalisatorpada tiap kendaraan yang
ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas buang kendaraan
dilakukan secara periodik dan konsisten sehingga diharapkan emisi gas
buang kendaraan berkurang lebih dari 20%
b. Ekonomi: peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah
panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga
diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodic. Tingkat
perbaikan jalan rusak bertambah 10%.
c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan
program keluarga berencana.
3. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari
a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat
pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisatorpada tiap kendaraan yang
ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas buang kendaraan
dilakukan secara periodik dan konsisten sehingga diharapkan emisi gas
buang kendaraan berkurang lebih dari 40%
b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan
kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat
jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan
kapasitas jaringan jalan secara periodic. Tingkat perbaikan jalan rusak
bertambah 20%.
180
c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan
program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan daerah
tentang urbanisasi.
4. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari
a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat
pertumbuhan 7%) dan penggunaan katalisatorpada tiap kendaraan yang
ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas buang kendaraan
dilakukan secara periodik dan konsisten sehingga diharapkan emisi gas
buang kendaraan berkurang lebih dari 50%
b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan
kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat
jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan
kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak
bertambah 30%. Pada kebijakan ini juga Kebijakan peningkatan pajak
kendaraan pribadi
c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan
program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan daerah
tentang urbanisasi. Kebijakan tambahan untuk pembangunan
pemukiman terpadu sehat
181
Lampiran 5. Hasil simulasi dari setiap skenario model pengendalian lingkungan dalam
pembangunan kota baru berkelanjutan
Beban pencemaran COD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
Beban pencemaran BOD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario BOD (ton/hari)
satu dua tiga empat
2008 6.17 6.17 6.17 6.17
2009 7.13 7.13 7.13 7.13
2010 8.25 8.25 8.25 8.25
2011 9.53 9.53 9.53 9.53
2012 11.02 10.47 9.92 8.82
2013 12.74 10.68 9.72 8.64
2014 14.72 11.75 9.82 8.47
2015 17.02 12.92 9.92 8.30
2016 19.67 14.21 10.01 8.13
Tahun Skenario COD (ton/hari)
satu dua tiga empat
2008 14.41 14.41 14.41 14.41
2009 16.95 16.95 16.95 16.95
2010 19.93 19.93 19.93 19.93
2011 23.41 23.41 23.41 23.41
2012 27.5 26.13 24.75 22.00
2013 32.28 26.65 24.26 21.56
2014 37.87 29.31 24.50 21.13
2015 44.42 32.24 24.74 20.71
2016 52.08 35.47 24.99 20.29
182
Beban pencemaran NO3 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario NO3 (ton/hari)
satu dua tiga empat
2008 0.05 0.05 0.05 0.05
2009 0.07 0.07 0.07 0.07
2010 0.08 0.08 0.08 0.08
2011 0.1 0.1 0.1 0.1
2012 0.13 0.12 0.12 0.10
2013 0.16 0.13 0.11 0.10
2014 0.21 0.14 0.12 0.10
2015 0.26 0.15 0.12 0.10
2016 0.33 0.17 0.12 0.10
Beban pencemaran PO4 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario PO4 (ton/hari)
satu dua tiga empat
2008 0.14 0.14 0.14 0.14
2009 0.16 0.16 0.16 0.16
2010 0.19 0.19 0.19 0.19
2011 0.22 0.22 0.22 0.22
2012 0.25 0.24 0.23 0.20
2013 0.29 0.24 0.22 0.20
2014 0.33 0.27 0.22 0.19
2015 0.38 0.29 0.22 0.19
2016 0.44 0.32 0.23 0.18
Emisi COx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario COx(µg/Nm3)
satu dua tiga empat
2008 2,316.96 2316.96 2316.96 2316.96
2009 2,664.49 2664.49 2664.49 2664.49
2010 3,064.15 3064.15 3064.15 3064.15
2011 3,523.77 3523.77 3523.77 3523.77
2012 4,052.33 3849.71 3647.10 3241.86
2013 4,660.19 3926.71 3574.16 3177.03
2014 5,359.22 4319.38 3609.90 3113.49
2015 6,163.11 4751.32 3646.00 3051.22
2016 7,087.59 5226.45 3682.46 2990.19
183
Emisi COx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario COx (µg/ Nm3)
satu dua tiga empat
2008 2,316.96 2316.96 2316.96 2316.96
2009 2,664.49 2664.49 2664.49 2664.49
2010 3,064.15 3064.15 3064.15 3064.15
2011 3,523.77 3523.77 3523.77 3523.77
2012 4,052.33 3849.71 3647.10 3241.86
2013 4,660.19 3926.71 3574.16 3177.03
2014 5,359.22 4319.38 3609.90 3113.49
2015 6,163.11 4751.32 3646.00 3051.22
2016 7,087.59 5226.45 3682.46 2990.19
Emisi SOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario SOx(µg/ Nm3)
satu dua tiga empat
2008 106.58 106.58 106.58 106.58
2009 122.57 122.57 122.57 122.57
2010 140.95 140.95 140.95 140.95
2011 162.09 162.09 162.09 162.09
2012 186.41 177.09 167.77 149.13
2013 214.37 180.63 164.41 146.15
2014 246.52 198.69 166.06 143.22
2015 283.5 218.56 167.72 140.36
2016 326.03 240.42 169.40 137.55
Submodel ekonomi dari kegiatan pengangkutan dan komunikasi skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun
Skenario
satu dua tiga empat
2008 1,504,093.71 1,504,093.71 1,504,093.71 1,504,093.71
2009 1,729,707.77 1,729,707.77 1,729,707.77 1,729,707.77
2010 1,989,163.93 1,989,163.93 1,989,163.93 1,989,163.93
2011 2,287,538.52 2,287,538.52 2,287,538.52 2,287,538.52
2012 2,630,669.30 2,735,896.07 2,876,899.95 2,975,897.29
2013 3,025,269.69 3,146,280.48 3,308,434.93 3,422,281.88
2014 3,479,060.15 3,618,222.56 3,804,700.18 3,935,624.17
2015 4,000,919.17 4,160,955.94 4,375,405.20 4,525,967.79
2016 4,601,057.05 4,785,099.33 5,031,715.99 5,204,862.97
184
Submodel ekonomi dari kegiatan perdagangan hotel dan restoran
skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario
satu dua tiga empat
2008 1,344,914.56 1,344,914.56 1,344,914.56 1,344,914.56
2009 1,546,651.74 1,546,651.74 1,546,651.74 1,546,651.74
2010 1,778,649.50 1,778,649.50 1,778,649.50 1,778,649.50
2011 2,045,446.92 2,045,446.92 2,045,446.92 2,045,446.92
2012 2,352,263.96 2,453,411.31 2,575,524.39 2,669,053.46
2013 2,705,103.56 2,821,423.01 2,961,853.05 3,069,411.49
2014 3,110,869.09 3,244,636.46 3,406,131.01 3,529,823.20
2015 3,577,499.45 3,731,331.93 3,917,050.66 4,059,296.68
2016 4,114,124.37 4,291,031.72 4,504,608.26 4,668,191.19
Submodel ekonomi dari kegiatan jasa skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario
satu dua tiga empat
2008 924,479.45 924,479.45 924,479.45 924,479.45
2009 1,063,151.37 1,063,151.37 1,063,151.37 1,063,151.37
2010 1,222,624.08 1,222,624.08 1,222,624.08 1,222,624.08
2011 1,406,017.69 1,406,017.69 1,406,017.69 1,406,017.69
2012 1,616,920.34 1,697,766.36 1,867,542.99 2,147,674.44
2013 1,859,458.40 1,952,431.32 2,147,674.45 2,469,825.62
2014 2,138,377.16 2,245,296.02 2,469,825.62 2,840,299.46
2015 2,459,133.73 2,582,090.42 2,840,299.46 3,266,344.38
2016 2,828,003.79 2,969,403.98 3,266,344.38 3,756,296.03
185
Submodel ekonomi dari kegiatan bank, persewaan dan jasa perusahaan skenario 1, 2, 3
dan 4
Tahun Skenario
satu dua tiga empat
2008 820,289.46 820,289.46 820,289.46 820,289.46
2009 943,332.88 943,332.88 943,332.88 943,332.88
2010 1,084,832.81 1,084,832.81 1,084,832.81 1,084,832.81
2011 1,247,557.74 1,247,557.74 1,247,557.74 1,247,557.74
2012 1,434,691.40 1,496,383.13 1,570,862.26 1,627,907.46
2013 1,649,895.11 1,720,840.60 1,806,491.60 1,872,093.58
2014 1,897,379.37 1,978,966.68 2,077,465.34 2,152,907.61
2015 2,181,986.28 2,275,811.69 2,389,085.14 2,475,843.75
2016 2,509,284.22 2,617,183.44 2,747,447.91 2,847,220.31
Submodel ekonomi dari kegiatan ekonomi lain skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario
satu dua tiga empat
2008 561,422.35 561,422.35 561,422.35 561,422.35
2009 645,635.70 645,635.70 645,635.70 645,635.70
2010 742,481.06 742,481.06 742,481.06 742,481.06
2011 853,853.22 853,853.22 853,853.22 853,853.22
2012 981,931.20 1,024,154.24 1,075,129.24 1,114,172.10
2013 1,129,220.88 1,177,777.38 1,236,398.62 1,281,297.91
2014 1,298,604.02 1,354,443.99 1,421,858.42 1,473,492.61
2015 1,493,394.62 1,557,610.59 1,635,137.18 1,694,516.49
2016 1,717,403.81 1,791,252.17 1,880,407.76 1,948,693.96
186
Infrastruktur jalan skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario
satu dua tiga empat
2008 700.37 700.37 700.37 700.37
2009 700.71 700.71 700.71 700.71
2010 701.14 701.14 701.14 701.14
2011 701.68 701.68 701.68 701.68
2012 702.35 705.37 708.67 710.78
2013 703.19 706.21 709.52 711.63
2014 704.25 707.28 710.59 712.70
2015 705.56 708.59 711.91 714.03
2016 707.20 710.24 713.56 715.69
Infrastruktur kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario
satu dua tiga empat
2008 30.55 30.55 30.55 30.55
2009 30.44 30.44 30.44 30.44
2010 30.32 30.32 30.32 30.32
2011 30.18 30.18 30.18 30.18
2012 30.02 28.73 27.41 26.65
2013 29.85 28.57 27.25 26.50
2014 29.65 28.38 27.07 26.32
2015 29.44 28.17 26.88 26.13
2016 29.22 27.96 26.68 25.94
Persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan
jalan skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario
satu dua tiga empat2008 5.53 5.53 5.53 5.53
2009 5.52 5.52 5.52 5.52
2010 5.51 5.51 5.51 5.51
2011 5.49 5.49 5.49 5.49
2012 5.48 5.24 5.00 4.86
2013 5.46 5.23 4.98 4.85
2014 5.45 5.22 4.98 4.84
2015 5.43 5.20 4.96 4.82
2016 5.41 5.18 4.94 4.80
187
Jumlah kendaraan roda dua, skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun
Skenario
satu dua tiga empat
2008 11804 11804 11804 11804
2009 13573 13573 13573 13573
2010 15608 15608 15608 15608
2011 17948 17948 17948 17948
2012 20639 19813 19743 18845
2013 23734 21361 20933 19788
2014 27293 24564 22107 20777
2015 31386 28247 25423 21816
2016 36093 32484 29235 22907
Jumlah kendaraan roda empat, skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario
satu dua tiga empat
2008 17594 17594 17594 175942009 17969 17969 17969 179692010 18371 18371 18371 183712011 18803 18803 18803 188032012 19265 19072 18991 188012013 19761 19465 19181 188932014 20294 19929 19373 190242015 20864 20447 19566 191752016 21476 20832 19762 19367
188
Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk, skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario
satu dua tiga empat
2008 918,783 918,783 918,783 918,783
2009 1,056,600 1,056,600 1,056,600 1,056,600
2010 1,215,091 1,215,091 1,215,091 1,215,091
2011 1,397,354 1,397,354 1,397,354 1,397,354
2012 1,606,957 1,537,858 1,467,012 1,426,515
2013 1,848,001 1,768,537 1,687,064 1,640,492
2014 2,125,201 2,033,817 1,940,124 1,886,566
2015 2,443,981 2,338,890 2,231,142 2,169,551
2016 2,810,578 2,689,723 2,565,813 2,494,983
Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah rumah,skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun Skenario
satu dua tiga empat
2008 321,574 321,574 321,574 321,574
2009 369,810 369,810 369,810 369,810
2010 425,282 425,282 425,282 425,282
2011 489,074 489,074 489,074 489,074
2012 562,435 538,250 513,454 499,280
2013 646,800 618,988 590,472 574,172
2014 743,820 711,836 679,043 660,298
2015 855,393 818,611 780,899 759,342
2016 983,702 941,403 898,034 873,244
Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk komuter,skenario 1, 2, 3 dan 4
TahunSkenario
satu dua tiga empat
2008 328,465 328,465 328,465 328,465
2009 377,735 377,735 377,735 377,735
2010 434,395 434,395 434,395 434,395
2011 499,554 499,554 499,554 499,554
2012 574,487 549,784 524,457 509,979
2013 660,660 632,252 603,125 586,476
2014 759,759 727,089 693,594 674,447
2015 873,723 836,153 797,633 775,614
2016 1,004,782 961,576 917,279 891,957