37
Modul 4 ESDH 2019 Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI Kompetensi yang ditawarkan: Setelah membaca Modul ini diharapkan adanya penguasaan terhadap kompetensi dalam hal penghitungan nilai sekarang dan nilai akan datang sumber daya hutan yang akan dikelola dan menganalisa kelayakan finansial pengelolaan sehingga juga dapat berpengaruh terhadap karakter wirausaha sektor kehutanan. Rencana perkuliahan untuk pertemuan 7 dan 9: Rencana Perkuliahan 2 x 120 menit Aktivitas Pertemuan 7 Langkah 1 10 menit Aktivitas: menjelaskan kompetensi yang akan dicapai dan menyepakati perubahan yang diperlukan sesua hasil refleksi pembelajaran. 1. Menjelaskan hasil dan rekomendasi refleksi pembelajaran yang telah dilaksanakan; 2. Mereview materi modul 1dan hubungannya dengan modul 2. Langkah 2 90 menit Aktivitas: memahami hutan sebagai modal untuk berinvestasi. 1. Mahasiswa dibagi kedalam tiga kelompok diskusi, yaitu kelompok kelompok sumber daya hutan, kelompok ongkos dan kelompok perolehan; 2. Masing-masing kelompok membaca dengan cepat halaman 70 s.d 85 3. Kelompok sumber daya akan mengemukakan berbagai kegiatan silvikultur yang perlu dilakukan. 4. Kelompok ongkos mengemukakan ongkos-ongkos yang dikeluarkan pada setiap kegiatan silvikultur tersebut. 5. Kelompok perolehan mengemukakan berbagai perolehan yang dihasilkan dalam mengelola sumber daya hutan. Langkah 3 20 menit Aktivitas: membuat rangkuman hasil diskusi dengan cara menghitung NPV. Pertemuan 9 Langkah 1 100 menit Aktivitas: menjelaskan kriteria menerima investasi pada pengelolaan sumber daya hutan. 1. Mahasiswa dibagi kedalam empat kelompok diskusi, yaitu: kelompok NPV, kelompok IRR, kelompok BCR, kelompok Payback; 2. Setiap kelompok menginisiasi diskusi sesuai tema masing-masin. Langkah 2 10 menit Aktivitas: membuat rangkuman. Semua kelompok secara bersama-sama meranking proyek yang sudah didiskusikan. Langkah 3 10 menit Aktivitas: refleksi pembelajaran. Mahasiswa secara bersama sama mengisi kusioner refleksi yang tersedia kemudian merumuskan rekomendasi perbaikan proses pembelajaran berikutnya. Hutan merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga dengan sebaik-baiknya kelestarian fungsi lingkungan hidup yang diembannya. Dengan demikian sumber daya hutan memiliki peran 69 | Page

Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

Modul 4

HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI Kompetensi yang ditawarkan: Setelah membaca Modul ini diharapkan adanya penguasaan terhadap kompetensi dalam hal penghitungan nilai sekarang dan nilai akan datang sumber daya hutan yang akan dikelola dan menganalisa kelayakan finansial pengelolaan sehingga juga dapat berpengaruh terhadap karakter wirausaha sektor kehutanan. Rencana perkuliahan untuk pertemuan 7 dan 9:

Rencana Perkuliahan 2 x 120 menit

Aktivitas

Pertemuan 7 Langkah 1 10 menit

Aktivitas: menjelaskan kompetensi yang akan dicapai dan menyepakati perubahan yang diperlukan sesua hasil refleksi pembelajaran.

1. Menjelaskan hasil dan rekomendasi refleksi pembelajaran yang telah dilaksanakan; 2. Mereview materi modul 1dan hubungannya dengan modul 2.

Langkah 2 90 menit

Aktivitas: memahami hutan sebagai modal untuk berinvestasi. 1. Mahasiswa dibagi kedalam tiga kelompok diskusi, yaitu kelompok kelompok sumber

daya hutan, kelompok ongkos dan kelompok perolehan; 2. Masing-masing kelompok membaca dengan cepat halaman 70 s.d 85 3. Kelompok sumber daya akan mengemukakan berbagai kegiatan silvikultur yang perlu

dilakukan. 4. Kelompok ongkos mengemukakan ongkos-ongkos yang dikeluarkan pada setiap kegiatan

silvikultur tersebut. 5. Kelompok perolehan mengemukakan berbagai perolehan yang dihasilkan dalam

mengelola sumber daya hutan. Langkah 3 20 menit

Aktivitas: membuat rangkuman hasil diskusi dengan cara menghitung NPV.

Pertemuan 9 Langkah 1 100 menit

Aktivitas: menjelaskan kriteria menerima investasi pada pengelolaan sumber daya hutan. 1. Mahasiswa dibagi kedalam empat kelompok diskusi, yaitu: kelompok NPV, kelompok

IRR, kelompok BCR, kelompok Payback; 2. Setiap kelompok menginisiasi diskusi sesuai tema masing-masin.

Langkah 2 10 menit

Aktivitas: membuat rangkuman. Semua kelompok secara bersama-sama meranking proyek yang sudah didiskusikan.

Langkah 3 10 menit

Aktivitas: refleksi pembelajaran. Mahasiswa secara bersama sama mengisi kusioner refleksi yang tersedia kemudian merumuskan rekomendasi perbaikan proses pembelajaran berikutnya.

Hutan merupakan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga dengan sebaik-baiknya kelestarian fungsi

lingkungan hidup yang diembannya. Dengan demikian sumber daya hutan memiliki peran

69 | P a g e

Page 2: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sekaligus

sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Hingga saat ini, sumber daya alam

sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, dan masih akan diandalkan

dalam jangka menengah. Hasil hutan, hasil laut, perikanan, pertambangan, dan pertanian

memberikan kontribusi 24,8 persen dari produk domestik bruto (PDB) nasional pada tahun

2002, dan menyerap 45 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja yang ada. Namun di lain

pihak, kebijakan ekonomi yang lebih berpihak pada pertumbuhan jangka pendek telah

memicu pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif sehingga daya

dukung dan fungsi lingkungan hidupnya semakin menurun, bahkan mengarah pada kondisi

yang mengkhawatirkan.

Kondisi hutan Indonesia dewasa ini cukup memprihatinkan. Baik perusahaan maupun

luasan hutan yang diusahakan serta produktivitas hutan dan industri kehutanan

memperlihatkan penurunan yang sangat tajam. Seperti telah diutarakan sebelumnya bahwa

jumlah perusahaan kehutanan dewasa ini hampir sama dengan jumlah perusahaan kehutanan

di awal industrialisasi kehutanan dengan perbedaan terdapat kepada kondisi potensi hutan dan

produktivitas. Kita dapat membandingkan kembali dua tahun pada periode yang berbeda,

yaitu tahun 1990 dan tahun 2003. Pada tahun 1990 terdapat unit usaha kehutanan sebanyak

564 yang menguasai kawasan hutan seluas 59,6 juta hektar dengan produksi sebesar 28 juta

m3 serta produktivitas sebesar 1,7 – 2,3 m3/ha/tahun. Sementara pada tahun 2003 terdapat unit

usaha kehutanan sebanyak 267 yang menguasai kawasan hutan sebesar 27,8 juta hektar

dengan produksi sebesar 11 juta m3 serta produktivitas sebesar 1,1 – 1,4 m3/ha/tahun. Dengan

demikian terjadi penurunan dengan level produktivitas hanya 1,1 m3 /ha/tahun. Hal ini

tentunya tidak menguntungkan bagi usaha pengelolaan hutan. Dan dampaknya adalah

penurunan penerimaan negara serta biaya yang dibutuhkan oleh negara untuk melakukan

rehabilitasi hutan.

Dalam pembahasan ini, hutan dianggap sebagai sekumpulan kekayaan atau modal

(kapital) yang dapat memberikan keuntungan tertentu bila diupayakan pengelolaannya secara

tepat. Dengan demikian hutan dalam konteks ini dapat dianggap sama seperti selembar

sertifikat deposito yang dapat dibeli dengan harapan bahwa suatu saat dalam kurun waktu

tertentu sertifikat tersebut akan memiliki harga yang melebihi harga pembeliannya. Namun

demikian, hutan merupakan kapital yang lebih kompleks karena memiliki banyak fungsi yang

sebagian di antaranya tidak memiliki nilai moneter. Sedangkan banyak pengelola hutan yang

hanya mengutamakan produk hutan, seperti kayu, yang memiliki harga pasar sehingga dengan

mudah diperjual-belikan. Memperjual-belikan kawasan hutan di Indonesia merupakan hal

70 | P a g e

Page 3: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 yang tidak dapat dilakukan karena kawasan hutan merupakan hutan negara. Tetapi hutan

rakyat yaitu hutan miliki yang diusahakan di luar hutan negara bisa diperjual-belikan,

tergantung kepada pemilik dan calon pembeli. Hutan negara hanya bisa diberikan hak konsesi

kepada pihak swasta yang ingin menginvestasikan modalnya, dengan harapan akan

memperoleh keuntungan lebih pada waktu tertentu ketika hutan siap dieksploitasi atau

dipanen.

Kendatipun produktivitas hutan seperti yang sudah diutarakan di atas tidak

menguntungkan bila diusahakan, tetapi meningkatkan produktivitas hutan sebenarnya bukan

perkara sulit. Dari studi banding dan pustaka diperoleh hasil bahwa untuk meningkatkan

produktivitas dari (1,1 – 1,4) m3/ha/th menjadi 10 m3/ha/th dapat dilakukan. Hutan di

Serawak Malaysia dan di Carita, Banten, Indonesi membuktikan bahwa diameter rerata pohon

50 cm dapat dicapai pada umur 20 tahun hingga 30 tahun. Waktu 30 tahun sudah lebih cepat

dari rotasi yang digunakan saat ini. Dengan diameter rerata 50 cm, jumlah pohon sebanyak

160 batang, standing stock diperkirakan 400 m3/ha, yang apabila ditebang akan menghasilkan

300 m3/ha. Sehingga produktivitasnya sebesar 10 m3/ha/th. Produktivitas yang lebih kecil

diperoleh pada pengukuran volume plot permanen yang berada bekas tebangan HPH dua

puluh tahun yang lalu di wilayah pegunugan Palolo Sulawesi Tengah, yaitu 270m3/ha.

Gambar IV-1 memperlihatkan hubungan antara diameter setinggi dada dengan jumlah pohon

pada plot permanen tersebut.

Gambar IV-1. Hubugan antara diameter pohon setinggi dada dengan jumlah pohon pada plot

permanen Palolo.

Pada plot yang dimaksud ditemukan jumlah pohon dengan diameter setinggi dada 50 cm

adalah 70 pohon. Sedangkan tingkat tiang dan pancang masing-masing sebanyak 479 batang

dan 3.184 batang. Dengan rata-rata 3 hingga 5 m3 volume kayu per pohon maka dapat

71 | P a g e

Page 4: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 diperoleh potensi maksimum adalah 350 m3. Sebenarnya potensi tersebut masih dapat

ditingkatkan dengan sistem pengelolaan agroforest dengan cara mengatur jumlah pancang dan

tiang sehingga volume pohon per individu pada diameter 50 cm up dapat diperbesar.

Dalam sudut pandang finansial dimana pohon dan lahan dianggap sebagai kapital, maka

terdapat dua jenis input yang paling penting yaitu: kapital dan waktu. Persoalannya adalah

bagaimana mengalokasikan kedua kapital tersebut sehingga kepuasan masyarakat dapat

dimaksimalkan. Sehingga dengan demikian yang penting untuk diketahui dalam hal ini adalah

bagaimana seorang investor dapat menggunakan perangkat standar analisis finansial dalam

melakukan evaluasi terhadap keputusan-keputusan dalam kehutanan, misalnya keputusan

tentang berapa banyak uang yang harus dibayarkan untuk sifat-sifat hutan dan praktek

pengelolaan dan mengukur keuntungan yang mungkin dari investasi yang diberikan

Perlu dijelaskan di sini bahwa dalam pembahasan hutan sebagai kapital dalam modul ini,

beberapa asumsi yang digunakan yaitu:

1. Pajak belum dipertimbangkan dalam berbagai perhitungan ekonomi dengan asumsi

bahwa semua pendapatan yang diperhitungkan telah dikurangi pajak.

2. Inflasi bernilai nol untuk semua barang yang dibeli sehingga ongkos rata-rata akan

konstan selama jangka waktu proyek. Namun harga setiap barang dapat berubah relatif

terhadap barang lainnya.

.

A. Kapital dan Bunga

Teori ekonomi klasik mendefinisikan kapital sebagai barang berjangka yang diproduksi oleh

masyarakat dan digunakan dalam proses produksi. Dalam pengertian yang lebih luas dapat

dikatakan bahwa kapital merupakan kumpulan kekayaan yang menghasilkan kepuasan bagi

pemiliknya. Berdasarkan pengertian yang luas ini, maka terdapat tiga tipe kapital, yaitu:

1. Barang berjangka (durable goods) seperti mesin-mesin, peralatan, pekerjaan seni,

bangunan, dan lain sebagainya.

2. Aset finansial seperti tabungan, bond, stok, sertifikat deposito, dan lain sebagainya.

3. Lahan dan sumber daya alam seperti minyak dan hutan.

Ketiga jenis kapital tersebut di atas merupakan kekayaan atau asset yang dapat diperjual-

belikan di pasar. Dan tentunya pembeli suatu asset akan selalu menghararapkan agar

mendapatkan hasil penjualan yang lebih besar ketika suatu saat beberapa tahun kemudian

asset yang telah dibelinya dijual kembali. Sama halnya bila seseorang ingin menyimpan

uangnya pada suatu bank sebesar satu juta rupiah misalnya. Dengan tingkat suku bunga

72 | P a g e

Page 5: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 sebesar 7 persen maka pada akhir tahun pertama uang sang penabung tersebut sebesar 1,07

juta. Seseorang tidak akan menginvestasikan sesuatu tanpa akan mendapatkan sesuatu yang

lebih (interest atau rate of return). Alasan lain seseorang bersedia menginvestasikan uangnya

adalah dengan anggapan bila proses ekonomi berfungsi dengan baik maka uang yang

diinvestasikan tersebut akan mengalami penambahan yang dapat mendatangkan keuntungan

bagi pemiliknya. Pertanyaannya sekarang adalah seberapa besar keuntungan atau interest

yang diharapkan oleh seseorang sehingga bersedia dan berkeinginan menginvestasikan

modalnya. Atau, seberapa besar kelebihan dari modal yang minimal dapat diterima oleh

pemilik modal? Tentunya paling tidak sebanyak yang pemodal dapat peroleh bila uang atau

modalnya tersebut diinvestasikan pada alternatif terbaik lainnya. Uang atau modal yang akan

diinvestasikan memiliki ongkos kesempatan atau opportunity cost, yaitu ongkos dari

kesempatan yang hilang karena memanfaatkan satu kesempatan atau sektor. Agar seseorang

bersedia menginvestasikan uang atau modalnya pada suatu kesempatan atau sektor, maka

yang dibutuhkan adalah bahwa minimum acceptable rate of return (MAR) lebih tinggi bila

dibandingkan dengan berbagai alternatif yang ada.

Pertumbuhan suatu modal yang diinvestasikan dapat dijelaskan dengan menggunakan

rumus berikut:

Vn = V0 (1 + r)n (IV-1)

dimana Vn adalah nilai modal pada tahun ke n (future value), V0 adalah investasi inisial atau

awal, r adalah tingkat suku bunga, dan n adalah tahun. Sebagai contoh, bila anda

menginvestasikan atau menyimpan uang ke suatu bank sebesar 100 juta rupiah pada tahun ke

0 dengan tingkat suku bunga sebesar 6% (r = 0,06), maka uang anda tersebut akan tumbuh

atau bertambah sebesar Vn = 100 juta (1,06)12 = Rp 201.219.647,29. Nampak bahwa uang

anda akan menjadi dua kali lipat setelah tahun ke 12. Hal ini dikarenakan oleh (1,06)12 = 2.

Pada kasus ini tingkat bunga 6% adalah rate of return anda.

Nilai setiap tahun adalah nilai tahun lalu dikalikan dengan (1 + r). Dengan demikian nilai

tahun ke 2 (future value) adalah nilai inisial (V0) dikalikan dengan (1 + r)n. Pertumbuhan ini

disebut compound interest atau bunga berbunga sebab anda akan memperoleh bunga bukan

hanya dari 100 juta rupiah saja tetapi juga dari akumulasi bunga. Bila 6% merupakan bunga

sederhana (simple interest), maka bunga akan selalu 6 juta rupiah setiap tahun, dan hal ini

memperlihatkan suatu kurva pertumbuhan berupa garis lurus dan bukannya kurva

eksponensial. Tetapi perlu diketahui bahwa investasi tidak tumbuh normal seperti pada bunga

73 | P a g e

Page 6: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 sederhana. Pada contoh di atas misalnya, bunga tahunan setelah tahun pertama melampaui 6

juta rupiah oleh karena adanya penambahan jumlah setiap tahun. Sebagai contoh berapa besar

bunga pada tahun ke tiga? Jawabnya adalah selisi antara nilai pada akhir tahun ke tiga dengan

nilai pada tahun ke dua. Atau dapat juga dijawab dengan mengalikan nilai tahun ke dua

dengan interest rate.

Persamaan IV-1 di atas dapat digunakan untuk mengetahui nilai sekarang (present value)

dari suatu nilai ke n (future value).

n

n0 r)(1

VV+

= (IV-2)

Seperti contoh sebelumnya, pada tingka suku bunga 6%, nilai modal pada tahun ke-12 yaitu

Rp 201.219.647,29, dapat dihasilkan nilai sekarang, yaitu sebesar Rp 201.219.647,29/(1,06)12

= 100 juta rupiah, sama dengan nilai yang diivestasikan untuk memperoleh future value.

Perhitungan nilai sekarang ini menjelaskan bahwa bila anda ingin memperoleh bunga 6 %,

maka nilai yang menjanjikan dari Rp 201.219.647,29 pada tahun ke 12 adalah

menginvestasikan uang sebesar 100 juta rupiah sekarang. Bila uang yang diinvestasikan lebih

besar dari seratus juta rupiah maka pertumbuhan uang yang diinvestasikan tidak

memperlihatkan suatu rate yang dapat diterima karena kurang dari 6%. Itulah sebabnya maka

interest rate yang digunakan untuk menghitung present value dan future value disebut

“minimum acceptable rate of return (MAR)”. Persamaan IV-2 merupakan dasar untuk

menemukan keinginan maksimum anda untuk membayar untuk suatu asset yang akan

menghasilkan pendapatan masa depan (future income). Oleh karena begitu banyak income

yang dapat diperoleh dari pengelolaan hutan dalam rangkaian waktu ke depan, maka

persamaan IV-2 merupakan alat yang sangat dibutuhkan untuk mengevaluasi investasi di

bidang kehutanan.

Dengan memperhatikan persamaan IV-2 anda dapat menjelaskan bahwa bila interest rate

lebih besar dari 0, present value akan lebih kecil dari future value. Pertanyaannya sekarang

adalah apakah anda lebih menginginkan untuk memperoleh uang sebesar 100 juta rupiah

sekarang ketimbang menerimanya setelah sepuluh tahun kemudian, kendatipun tidak ada

inflasi (asumsi)? Oleh karena pertanyaan seperti inilah maka kita melakukan discount atau

perhitungan terhadap future value untuk memperoleh nilai sekarang atau present values.

Interest rate yang digunakan dalam melakukan discounting kadang kadang disebut discount

rate.

74 | P a g e

Page 7: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

Persamaan IV-2 juga menjelaskan bahwa semakin jauh future value, atau nilai n semakin

besar, maka present value akan semakin kecil. Selanjutnya persamaan ini juga menjelaskan

bahwa semakin tinggi interest rate, maka semakin rendah present value.

Selanjutnya, persamaan IV-1 dan IV-2 dapat menghasilkan rumus untuk menghitung nilai

rate of return sebagai berikut:

n

0

n 1VVr −= (IV-3)

Istilah r sering juga disebut internal rate of return. Rumus di atas sangat berguna untuk

mengukur performansi suatu investasi yang sederhana dimana terdapat satu input dan satu

output, misalnya real state dan kayu yang anda dapat membelinya pada waktu tertentu

kemudian menjualnya beberapa tahun kemudian. Beberapa istilah yang menjelaskan tentang

future value seperti: accumulated value with interest, compounded value, and principle with

accumulated interest. Prosedur untuk menemukan future value disebut compounding atau

accumulating. Demikian juga dengan present value, terdapat beberapa istilah dalam literature

yang digunakan nilai ini seperti: present worth, nilai tahun ke 0, discounted value, capitalized

value, discounted cash flow (DCF), dan net present value. Dan proses untuk menemukan nilai

sekarang disebut discounting atau capitalizing.

Oleh karena keputusan tentang investasi dilakukan pada saat n=0 atau “sekarang” maka

selanjutnya yang akan banyak dibahas adalah Net Present value (NPV). NPV adalah nilai

sekarang perolehan (revenue) dikurangi dengan nilai sekarang ongkos (costs). Secara simbolis

NPV adalah:

nr) (1

nC..........3r)(1

3C2r)(1

2C1r)(1

1C0C

nr)(1nR

..........3r)(13R

2r)(12R

1r)(11R

0R NVP

+−−

+−

+−

+−

−+

+++

++

++

+=

(IV-4)

dimana R dan C masing-masing adalah revenue atau perolehan dan costs atau ongkos.

Sedangkan angka kecil di bagian depan bawah menunjukkan tahun. Perlu dicatat bahwa R0

dan C0 tidak perlu didiscounted karena keduanya sudah berada pada tahun ke 0. Secara umum

rumus NPV dapat ditulis sebagai berikut:

75 | P a g e

Page 8: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

∑=

+

−+

=n

0yy

y

y

y

r)(1C

r)(1R

NPV (IV-5)

dimana dapat dijelaskan bahwa NPV merupakan penjumlahan dari perolehan setiap tahun, y,

kemudian didiscounted ke tahun ke 0 dikurangi dengan penjumlahan ongkos yang

dikeluarkan setiap tahun yang kemudian didiscounted ke tahun ke 0. Rumus IV-4 di atas

merupakan penjabaran dari rumus IV-2 yang telah diberikan sebelumnya, dengan

memasukkan semua nilai negatif dan positif dari cash flows dari rentang waktu lebih dari satu

tahun. Keinginan anda untuk melakukan korbanan atas suatu asset dikurangi oleh nilai

sekarang dari semua ongkos dan dinaikkan oleh nilai sekarang perolehan. Dengan demikian

NPV dapat didefinisikan sebagai keinginan investor untuk melakukan korbanan atau

pembayaran atas suatu asset berdasarkan kepada estimasi benefit, ongkos dan rate of return

yang diinginkan. Kesimpulannya bahwa NPV merupakan perangkat yang sangat berguna

dalam melakukan valuasi sumber daya hutan. Valuasi ekonomi telah dibahas pada modul 3,

namun valuasi ekonomi merupakan suatu ilmu tersendiri sehingga bagi yang berminat dapat

mempelajarinya secara tersendiri. Berbagai literatur valuasi ekonomi telah tersedia, namun

masih sangat terbatas dalam versi bahasa Indonesia.

Sebagai penjelasan tambahan, berikut kita dapat melakukan suatu perhitungan NPV

dengan menggunakan garis waktu (time line) yang memperlihatkan ongkos dan perolehan

yang diharapkan dalam mengelola satu hektar hutan marginal. Perolehan akan dituliskan pada

bagian atas garis waktu, sedangkan semua ongkos berada di bawah. Data yang digunakan

merupakan perkiraan-perkiraan dari beberapa sumber yang ada, dan tentunya pembaca dapat

menggunakan data lainnya berdasarkan hasil studi yang pembaca lakukan atau miliki.

Beberapa sumber informasi tentang harga barang dan jasa yang digunakan dalam

pembangunan kehutanan diantaranya adalah dokumen yang dikeluarkan oleh Direktorat

Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan tentang Harga

Satua Pokok Gerhan 2007. Lokasi dimana proyek serta kondisi umum wilayah akan sangat

berpengaruh terhadap biaya yang dibutuhkan. Membuat lubang penanaman pada tanah hutan

yang gembur dan mengandung banyak bahan organik kan membutuhkan waktu yang lebih

sedikit bila dibandingkan dengan membuat lubang pada tanah berbatu yang padat.

76 | P a g e

Page 9: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

Menggunakan x% bunga, pada tahun ke 0, NPV dari proyeksi cash flow di atas

merupakan maksimum seorang investor dapat membayar untuk memperoleh satu hektar hutan

marginal bila x% rate of return diinginkan, dengan asumsi tidak ada ongkos tambahan lainnya.

Bila rate of return yang diinginkan adalah 6%, maka NPV dapat dihitung dengan

menggunakan persamaan III-4 sebagai berikut:

100000010(1,06)

60000040)06,1(

30000003000000020(1,06)

2000000 NPV −−+

+=

1000000791,1

600000286,10

33000000207,3

2000000−−+=

= Rp 3.396.871,637 per hektar.

Bila semua ongkos dan perolehan diproyeksikan, pembeli yang sedia membayar sebesar

Rp 3.396.871,637 per hektar lahan hutan marginal akan memperoleh rate of return sebesar 6%

dalam investasi. Bila NPV dihitung sesaat setelah land clearing, maka nilai negatife sebesar

satu juta akan hilang dari perhitungan, dan NPV merupakan WTP (willingness to pay)

terhadap lahan hutan marginal ditambah dengan biaya land clearing atau sebesar satu juta

rupiah. NPV ini adalah alat untuk membandingkan alternatif-alternatif investasi dan

menghitung maksimum perbedaan harga dan asset-asset yang ada. Membuat skenario-

skenario terhadap input-input yang diperlukan dalam perhitungan NPV biasanya sangat sering

dilakukan oleh analis, sehingga dengan demikian pengambil keputusan akan dapat memilih

skenario yang paling baik menurut proses jangka panjangnya. Nilai suatu asset adalah NPV

kepuasan yang dapat dihasilkan.

Rp 1 juta untuk land clearing

Rp 600 ribu untuk pemupukan

Rp 2 juta hasil penjarangan

Rp 30 juta hasil pemanenan; dan Rp 3 juta hasil penjualan lahan

0 10 20 30 40

77 | P a g e

Page 10: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 B. Seri Pembayaran Discounting dan Compounding

Penjelasan di atas merupakan proses discounting dan compounding terhadap cash flows

tunggal. Selanjutnya dengan berbekal pengetahuan tersebut, maka dapat difahami dengan

mudah suatu seri discounting dari pembayaran yang setara yang terjadi dalam interval yang

teratur sebagaimana yang umum terjadi dalam kehutanan. Rumus yang digunakan disajikan

dalam Tabel IV-1, namun sebelumnya terdapat beberapa hal yang harus difahami sebagai

kondisi dimana rumus-rumus tersebut dapat digunakan secara valid:

1. Pembayaran harus sama

2. Pembayaran harus terjadi dalam interval yang teratur dan disebut “periode”

3. Tidak ada pembayaran pada tahun ke 0

4. Pembayaran pertama dilakukan pada akhir periode pertama

5. Pembayaran harus dalam tanda yang sama, positif atau negatif.

Tabel III-1. Prosedur menentukan rumus yang tepat dalam perhitungan nilai sekarang dan nilai akan datang Jumlah Pembayaran Waktu antar

Pembayaran Periode Evaluasi

Waktu Nilai Rumus

Tunggal Berjangka

Future

Present

Vn = V0 (1 + r)n

V0 = Vn/(1 + r)n

Future

−+=

r1r)(1pV

n

n

Present

+=

rr)(1-1pV

-n

0

Future

Present

Vn = tak terbatas

rpV0 =

Future

Present

−+−+

=1)1(1r)(1V

n

n trp

−+

+=

1r)(1r)(1-1V

t

-n

0 p

Future

Present

Vn = tak terbatas

1)1(V0 −+

=tr

p

Berjangka

Terus menerus

Terus menerus

Berjangka

Periodik

Tahunan

Seri

MULAI

78 | P a g e

Page 11: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 Keterangan:

r = annual interest rate/100 (Bila pembayaran dilakukan dalam bentuk ril, maka r adalah ril; tapi bila pembayaran dilakukan dalam bentuk nominal, maka r adalah nominal)

V0 = present value atau nilai inisial Vn = future value setelah tahun ke n (termasuk bunga) n = jumlah tahun untuk compounding atau discounting p = jumlah pembayaran yang ditentukan setiap waktu dalam suatu seri t = jumlah tahun antara kejadian periodik p

Bila persyaratan tersebut di atas tidak terpenuhi maka rumus-rumus yang terdapat pada

Tabel IV-1 harus mengalami perubahan-perubahan sebagai langkah penyesuaian. Dan yang

terpenting adalah kita harus dapat mengenali jenis seri pembayaran investasi sebagaimana

yang dijelaskan setelah Tabel IV-1. Hal ini akan memudahkan kita untuk menentukan rumus

yang mana yang sesuai digunakan dalam melakukan analisis. Menggunakan Tabel IV-1

cukup mudah. Mulai pada sebelah kiri dari pohon (diagram) kemudian bergerak ke kanan

mengikuti cabang-cabang untuk menentukan rumus yang paling sesuai. Cabang akan dimulai

oleh percabangan tentang jumlah pembayaran yang terdiri atas pembayaran tunggal dan

pembayaran seris (ganda) dan selanjutnya.

Bila seri pembayaran tidak memenuhi kelima kondisi tersebut di atas, maka rumus pada

Tabel IV-1 membutuhkan perubahan-perubahan dan penyesuaian. Bila anda dapat mengenal

dan memberi nama setiap seri yang dijelaskan di bawah, maka cukup mudah untuk

menemukan rumus yang tepat seperti yang digambarkan pada Tabel IV-1.

Tabel IV-1 memperlihatkan dua jenis periode evaluasi. Pertama adalah berjangka

(terminating) dan yang kedua adalah terus menerus atau tidak berjangka (perpetual). Seri

tahunan tak berjangka dan seri tahunan berjangka dapat diilutrasikan seperti berikut:

Garis tahun di sebelah atas memperlihatkan model perpetual atau tidak berjangka,

sedangkan garis tahun yang terletak di sebelah bawah memperlihatkan model terminating atau

berjangka. Kedua model tersebut dapat memperlihatkan selang waktu tahunan atau periodik.

Selang periodik terjadi bila waktu antara pembayaran yang satu dengan pembayaran

berikutnya lebih dari satu tahun.

0 1 2 3 4

..…∞ Tahun

0 1 2 3 4 Tahun

79 | P a g e

Page 12: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

Perpetual periodic seris berarti terdapat beberapa periode dimana satu periode (t) lebih

besar dari satu tahun dan akhir seris periode tidak diketahui. Untuk menghitung nilai Present

Value pada konteks ini digunakan rumus:

1r)(1pV

t0 −+= (IV-6)

Tetapi bila periodik seris ini berada pada rentang waktu yang terbatas (terminating), maka

menghitung net present value dilakukan dengan menggunakan rumus:

−+

+=

1r)(1r)(1-1pV

t

-n

0 (IV-7)

Sedangkan untuk menghitung future value dari terminating annual series digunakan rumus

sebagai berikut:

−+=

r1r)(1pV

n

n (IV-8)

Seri pembayaran berjangka secara periodik memperlihatkan seri pembayaran secara

periodik dimana setiap periode teridir atas jumlah tahun yang sama, misalnya satu periode

adalah lima tahunan. Untuk menghitung present value dalam seri pembayaran berjangka

secara periodik digunakan rumus sebagai berikut:

−+

+−=

1)1()1(1

0 t

n

rrpV (IV-9)

Katakanlah seseorang berencana menanam pohon untuk mensuplai kayu bakar dengan

rotasi 5 tahun. Bila setiap pemanenan menghasilkan $1000, dan pemanenan pertama pada

tahun ke lima maka present value yang dihasilkan oleh orang tersebut dengan MAR sebesar

8% adalah sebagai berikut:

80 | P a g e

Page 13: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

57,1673$1)08.1(

)08.1(11000 5

20

=

− −

Demikian juga halnya dengan future value untuk seri pembayaran periodik berjangka

dapat dilakukan dengan menggunakan rumus berikut:

−+−+

=1)1(1)1(

t

n

n rrpV (IV-10)

Dengan contoh kasus seseorang yang ingin menanam pohon penghasil kayu bakar di atas

maka future value dapat dihitung dengan menggunakan rumus IV-10 sebagai berikut:

[ ] [ ] 42,7800$1)08.1(/1)08.1(1000 520 =−−

Rumus lengkap dapat dilihat pada Tabel dan untuk melakukan perhitungan maka berikut

adalah prosedur umum yang dapat digunakan:

1. Nama seris

2. Tentukan rumus yang relevan untuk digunakan pada Tabel IV-1

3. Yakinkan bahwa rumus yang akan digunakan sesua dengan lima kondisi yang

dibutuhkan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

4. Temukan pengambil keputusan tentang MAR. Menentukan r akan dipelajari kemudian.

5. Masukkan nilai-nilai dari setiap komponen rumus, kemudian lakukan penghitungan.

Terkadang dengan mempertimbangkan bagaimana panjangnya waktu pengusahaan hutan

dimana ketidak-pastian merupakan persoalan dan resiko utama yang kemungkinan besar

dihadapi, maka pertanyaan yang sering diutarakan dalam melakukan investasi dalam sektor

kehutanan adalah “berapa banyak pendapatan yang seharusnya diterima sampai dengan pada

akhir rotasi sehingga biaya-biaya produksi yang telah dikeluarkan beserta bunganya dapat

tertutupi?“ Oleh karena itu penting untuk menganalisa peluang dalam menerima pendapatan

tersebut. Katakanlah anda harus membayar sebesar $400 untuk membeli satu hektar lahan,

$200 untuk menanami lahan tersebut dengan pohon-pohon, dan 10 tahun kemudian anda

mengeluarkan $75 untuk melakukan pengendalian gulma dan penjarangan. Bila pemanenan

81 | P a g e

Page 14: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 diharapkan pada tahun ke-30, berapa pendapatan minimal yang dibutuhkan? Pendapatan yang

dibutuhkan atau future value adalah apa yang anda dapat peroleh bila kapital dalam hal ini

sejumlah uang tadi yang anda investasikan pada MAR minimum. Pada 7% MAR, maka future

value dari ongkos-ongkos tadi dapat dilihat sebagai berikut:

Ongkos awal pada tahun ke nol sebesar $600 diakumulasikan selama 30 tahun, dan $75

ongkos pada tahun ke 10 diakumulasikan selama 20 tahun, menghasilkan total ongkos pada

tahun ke 30 senilai $4857,58. Hal ini berarti bahwa bila jumlah ongkos-ongkos tadi

diinvestasikan ke proyek lain dengan menggunakan MAR yang sama maka uang tersebut juga

akan terakumulasi senilai $4857,58 selama 30 tahun.

Dalam kehutanan sering kita berbicara tentang ”interest cost” dari waktu yang digunakan

untuk menunggu dalam periode panjang sebelum menerima pendapatan dari hasil panen

penebangan tegakan hutan. Hal ini berupa ongkos kesempatan (opportunity cost) yaitu ongkos

yang dikorbankan untuk memperoleh kesempatan. Tetapi penting untuk diketahui

bahwa ”ongkos” ini juga adalah pendapatan bagi kapital. Konsep ini dijelaskan oleh Gambar

IV-2 berikut:

Gambar IV-2. Pendapatan untuk kapital.

0 10 20 30

-$200 -$400 -$ 75

-600(1.07)30= -$4567.35

-75(1.07)30= -$290.23 -$ 4857.58 Future value total investasi

10000

20000

30000

7711

$20000

Pendapatan= $20000 - $7711 = $12289

5 0 10 Beli Jual

Tahun

82 | P a g e

Page 15: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

Katakanlah proyeksi harga penjualan dari asset berupa hutan adalah $20000 pada tahun

ke sepuluh. Bila MAR adalah 10%, dan pembeli membayar sebesar 20000(1.10)10 = $7711.

Sekarang asumsikan bila asset tadi dijual pada tahun ke sepuluh sebesar $20000 dengan rate

of return adalah 10%. Maka perbedaan antara pembelian dan penjualan adalah merupakan

interest yang pembeli seharusnya dapat peroleh dengan melakukan investasi ditempat atau

pada proyek lain, yaitu $12289.

C. Alokasi Kapital yang Optimal

Gambar I-2 telah menjelaskan bagaimana seorang mahasiswa menggunakan waktunya secara

optimal. Sama halnya dengan sebuah alokasi optimal kapital yang ideal dalam berbagai

investasi yang berbeda maka total kepuasan dari semua investasi tersebut seharusnya

dimaksimumkan sepanjang periode proyek. Artinya bahwa alokasi kapital telah mencapai

kondisi optimal, yaitu dimana tidak ada lagi realokasi yang menyebabkan perolehan tambahan.

Hal ini berarti bahwa proyek telah mengaplikasikan prinsip equi-marginal yang mengatakan

bahwa optimumnya alokasi kapital terjadi ketika uang terakhir yang diinvestasikan pada seiap

aktivitas mendatangkan perolehan yang sama. Gambar IV-3 mengilustrasikan konsep

optimalisasi ini dimana sumbu x adalah uang (Rp) yang diinvestasikan per unit waktu

sementara sumbu y adalah marginal rate of return (%).

Gambar IV-3. Alokasi kapital secara optimal pada dua industri.

Seorang pengusaha yang ingin menginvestasikan kekayaannya senilai 15 milyar rupiah

pada dua jenis industri atu proyek, katakanlah industri A dan industri B. Pada hasil analisa

kemudian seperti yang digambarkan di atas, investasi optimum untuk industri A terdapat pada

0 2 4 6 8 10 12

2

4

6

8

10

12

0 2 4 6 8 10 12

2

4

6

8

10

12

Milliar rupiah yang diinvestasikan pada inustari A per unit waktu

Milliar rupiah yang diinvestasikan pada inustari B per unit waktu

Mar

gina

l RO

R (%

)

Mar

gina

l RO

R (%

)

83 | P a g e

Page 16: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 nilai investasi sebesar enam milyar rupiah. Sedangkan pada idustri B pada nilai investasi

sebesar sembilan milyar rupiah. Pada kedua nilai investasi tersebutlah diperoleh nilai margin

rate of return sebesar 6% dan bila investor melakuan realokasi investasi, misalnya melakukan

investasi lebih besar ke industri A atau sebaliknya lebih besar ke industri B dari kondisi di

atas maka margin rate of return akan berkurang dari enam persen. Pada titik optimal harus

diyakini bahwa tidak ada lagi pergeseran investasi yang lebih menguntungkan karena

memberikan margin rate of return yang lebih besar. Industri A dapat berupa pengelolaan

hutan dimana kegiatannya adalah menumbuhkan hutan dan memanennya. Sementara industri

B dapat berupa industri kayu gergajian yang dibangun berdekatan dengan lokasi pengelolaan

hutan.

Kemungkinan mengembangkan jumlah grafik menjadi lebih banyak sejalan dengan lebih

besar investasi yang akan ditanamkan dan lebih diversifikasi usaha atau industri yang akan

dikelola. Namun yang penting adalah menggambarkan grafik-grafik tersebut sehingga dapat

diihat bahwa margin rate of return berada pada kuantitas yang sama. Pada kondisi pasar bebas

terdapat kecenderungan hal ini terjadi sepanjang waktu proyek, tetapi tidak berada pada

kondisi presis pada saat tertentu. Namun hal ini bukanlah persoalan yang serius oleh karena

yang terpenting adalah bagaimana memperoleh rata-rata rate of return yang lebih besar. Apa

yang benar-benar harus disamakan adalah margin kepuasan (utility) dari setiap rupiah terakhir

yang dibelanjakan. Adanya berbagai resiko yang berbeda pada setiap industri yang akan

diusahakan, margin rate of return akan bervariasi agar supaya margin kepuasan dapat saling

mendekat dan memberikan kepuasan maksimum.

Kalu kita bisa menjaga dan mengelola hutan nasional kita maka bukan tidak mungkin

hutan akan dapat memainkan peranan yag penting kembali dimasa yang akan datang.

Indoneia memiliki hutan produksi seluas kurang lebih 60 juta hektar dan luasan ini

merupakan kapital yang akan memberikan devisa yang sangat besar pada 20 hingga 30 thun

kemudian. Dari luasan hutan produksi tersebut diperkirakan sebesar kurang lebih 40 juta

hektar masih berhutan dan sisanya tidak berhutan. Kawasan hutan produksi yang berhutan

dapat berupa hutan primer dan dapat berupa hutan sekunder dengan perbandingan lebih

kurang empat berbanding enam sehingga hutan produksi yang masih dalam kondisi hutan

primer adalah seluas kurang lebih 15 juta hektar. Bila saja luasan ini dapat dikelola dengan

optimal untuk memenuhi kebutuhan kayu sekarang hingga 20 atau 30 tahun kemudian,

sementara 25 juta hektar dioptimalkan pertumbuhannya sehingga mencapai tingkat

produktivtas yang lebih menguntungkan setelah 20 hingga 30 tahun kemudian.

84 | P a g e

Page 17: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

Selama kurun waktu 20 hingga 30 tahun kemudian dengan ketersediaan hutan primer

sebanyak 15 juta hektar, berarti setiap tahun ada hutan produksi seluas 500 ribu hektar yang

siap dieksploitasi. Luasan kapital tersebut dapat dieksploitasi selama jangka pengusahaan

tahap I. Kemudian pada Tahap II 20 hingga 30 tahunan akan tersedia kapital seluas 25 juta

hektar yang lebih bernilai ekonomi.

Perhitungan finansial dapat dilakukan dengan mudah dan profesional. Namun dibutuhkan

kemauan politik pengelolaan hutan nasional dalam kerangka otonomi daerah. Akan banyak

kendala yang akan timbul baik kendala teknis, finansial, dan pemanfaatan sumber daya

manusia. Tetapi sumber daya hutan sebagai kapital benar-benar akan menjadi peluang

bertumbuhnya perekonomian nasional bila isu tersebut ditindak-lanjuti dengan sebaik-baiknya.

Karena tidak adanya inventarisasi hutan yang tepat atau informasi yang terpercaya tentang

potensi dan tingkat eksploitasi yang sesungguhnya maka akan sulit dikatakan bahwa hutan

akan menjadi sebuah kapital yang handal atau justru akan menjadi lahan kritis yang gundul di

masa yang akan datang.

Beberapa hasil kalkulasi sederhana memperlihatkan bahwa permintaan sekarang ini

kiranya akan menggerogoti hutan-hutan dalam waktu beberapa tahun kemudian. Bahkan

dibeberapa tempat justru lebih cepat dibandingkan dengan tempat lainnya. Hasil kalkulasi

sederhana bagi eksploitasi berkelanjutan di Indonesia ialah bahwa satu meter kubik per hektar

yang diperdagangkan dapat diambil dari hutan setiap tahunnya. Apabila kaidah ini serta

praktek-praktek peebangan yang baik dipergunakan, maka cadangan kurang lebih akan

seimbang dengan tingkat permintaan industri yang ada sekarang dan masa yang akan datang.

Tetapi karena alasan apa pun maka skenario ini tidak realistis.

Perlu disadari bahwa dimasa lalu terjadi over eksploitasi hutan Indonesia. Sebenarnya

berdasarkan hasil perhitungan diperoleh bahwa kira-kira 22 juta meter kubik kayu yang dapat

dieksploitasi setiap tahun di Indonesia pada masa lalu, namun pada kenyataannya yang terjdi

adalah laju eksploitasi 50 persen lebih tinggi. Permintaan kayu ketika itu tidak bisa direm

sehingga yang terjadi adalah industri kayu justru mempercepat penggundulan hutan.

Indonesia masih mempunyai cukup waktu untuk mengkaji dan menentukan kembali

sasaran-sasaran pengusahaan guna menggambarkan daya dukung ekologis dan untuk

memperhitungkan kenyataan-kenyataan operasional pengambilan kayu. Tetapi perlu diyakini

bahwa suatu perubahan besar, entah sistimatis atau menyakitkan, akan datang pada waktunya.

Pergeseran menuju perekonomian kehutanan yang berkelanjutan akan menuntut

penyesuaian arus-arus biaya dan manfaat yang ada sekarang di sektor kehutanan. Pendapatan

dari hasil pengelolaan hutan harus berkeadilan antara pendapatan yang diperoleh oleh

85 | P a g e

Page 18: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 pengusaha, oleh pemerintah, serta oleh masyarakat sekitar hutan. Keuntungan total dari hasil

pejualan hasil hutan harus mengalir ke perusahaan sehingga perusahaan merasa mendapatkan

insentif dari investasi yang ditanamkannya. Demikian juga pemerintah harus memperoleh

pendapatan dari hasil penjualan hasil hutan tersebut agar dapat membiayai rehabilitasi hutan

dan pembangunan nasional dan daerah. Sementara masyarakat sekitar hutan pun harus

mendapatkan manfaat dari kegiatan proyek pengelolaan hutan.

D. Kriteria Menerima Investasi Sejak akhir tahun 1960 investasi idustri hulu pengelolaan hutan alam telah dimulai. Namun

sejalan dengan berbagai issu dan kebijakan maka sejak tahun 1980-an pengelolaan hutan alam

mulai digeser peranannya oleh hutan tanaman industri. Bahkan pada akhir tahun 1980-an

tersebut, uang dalam jumlah besar diinvestasikan untuk pembangunan hutan tanaman sebagai

sumber bahan baku industri pulp dan kertas. Tidak mengherankan kalau total produksi dalam

negeri meningkat dari 3 juta ton per tahun pada tahun 1997 menjadi 5,6 juta ton per tahun

hingga tahun 2002. Ketika itu cukup luas hutan yang dikelola oleh negara telah

dialokakasikan melalui izin hutan tanaman industri (HTI), dan hampir seratus juta dollar AS

dana modal dalam negeri dialokasaikan guna mempromosikan berbagai pengembangan hutan

tanaman indiustri di Indonesia.

Sebagian besar lahan hutan yang dialokasikan untuk investasi hutan tanaman ketika itu

berupa kawasan hutan marginal, baik berupa bekas tebangan dan padang alang-alang. Hutan

yang demikian kadang disebut sebagai hutan rawang, yaitu kawasan hutan yang potensi

kayunya kurang dari 20 meter kubik per hektar. Tidak sedikit juga kawasan hutan bekas

perladangan dan penyerobotan hutan telah dijadikan hutan tanaman industri.

Investasi pada industri hulu kehutanan pada tahun 2011 mencapai 2,33 trilyun rupiah

yang sebagian besar ditanamkan pada pembangunan hutan tanaman industri. Pemerintah

memberikan kemudahan berinvestasi pada pembangunan hutan tanaman oleh karena

diharapkan pasokan kayu ke pasar dapat didominasi oleh hutan tanaman dan menggantikan

peranan hutan alam. Hutan tanaman industri memberikan kontribusi sebesar 80% terhadap

pasokan kayu sementara sisanya yaitu 20% dari hutan alam. Berdasarkan data Ditjen Bina

Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan, nilai investasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil

Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) sampai kuartal III/2011 sebesar Rp206,19 miliar

dari 19 unit perizinan dengan luas lahan mencapai 9.103,92 hektare. Sementara, nilai investasi

dari Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-

86 | P a g e

Page 19: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 HTI) sebesar Rp2,13 triliun yang berasal dari 70 unit perizinan. Luas lahan yang telah

terealisasi 56.786 hektare dengan total produksi kayu 7,48 juta meter kubik.

Pertumbuhan industri kehutanan nasional mengikuti skenario pertumbuhan ekonomi

Indonesia seperti yang disusun Bank Dunia. Ada tiga skenario yang kemungkinan dapat

terjadi. Skenario pertama, pertumbuhan ekonomi pada 2012 berkisar 6,3%-

6,5% asalkan kondisi ekonomi berjalan normal. “Skenario ini akan berdampak positif

kepada industri kehutanan karena akan tumbuh 2%. Untuk mengatasi debottlenecking di

kehutanan maka sebaiknya ada kemudahan dalam melakukan investasi. Skenario kedua,

pertumbuhan ekonomi nasional hanya 5,3%-5,5% apabila perekonomian Eropa memburuk

tetapi tidak ditandai adanya penutupan bank berskala besar. Jika skenario ini terjadi maka

pelaku usaha lebih memilih sektor komoditas daripada sektor kehutanan. Dan yang terakhir

adalah skenario terburuk yaitu pertumbuhan perekonomian nasional sebesar 4% akibat

perekonomian Eropa terpuruk yang terlihat dari adanya penutupan bank. Akibat dari skenario

ini, industri kehutanan tidak akan tumbuh lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Seharusnya nilai investasi di sektor kehutanan dapat meningkat sebagaimana peningkatan

dari tahun 2010 ke 2011. Nilai investasi pada tahun 2011 sebagaimana yang diutarakan

sebelumnya mengalami peningkatan dari nilai investasi 2010 yaitu sebesar Rp 170 milyar

untuk invetasi dalam negeri dan 40 juta dolar Amerika untuk investasi asing. Meningkatnya

ekspor kayu Indonesia merupakan daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di

sektor kehutanan. Pada tahun 2009, volume ekspor kayu nasional sebesar 2,72 juta m3 dengan

nilai ekspor US$ 1,5 miliar, sementara pada tahun 2010 volume ekspor kayu nasional sebesar

2,76 juta m3 dengan nilai ekspor sebesar US$ 1,3 miliar. Industri pulp dan kertas telah

menarik investasi sebesar US$ 16 miliar dan mendatangkan devisa sebesar kurang lebih US$

4 miliar.

Selain hasil hutan berupa kayu yang sudah lama diusahakan dalam pengelolaan hutan

Indonesia, perdagangan karbon hutan pun memiliki tren ke depan yang menjanjikan. Program

ekonomisasi jasa lingkungan hutan tersebut berskala internasional dan disebut sebagai

Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+). Dewasa ini

program REDD+ merupakan sebuah peluang investasi di Indonesia. Rancangan untuk

Rencana Investasi Kehutanan di Indonesia dilakukan sejalan dengan pesatnya perkembangan

kebijakan dan lembaga-lembaga REDD+ di Indonesia. Selain itu, REDD+ kini dipandang

sebagai pendekatan untuk menghasilkan pembiayaan baru bagi konservasi hutan dan

pembangunan pedesaan yang berkelanjutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

(Balitbang Kehutanan) mengambil prakarsa dengan membentuk Aliansi Iklim Hutan

87 | P a g e

Page 20: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 Indonesia (Indonesia Forest and Climate Alliance / FCA) pada tahun 2007 yang dimaksudkan

untuk menjabarkan pendekatan nasional sebagai tanggapan terhadap perubahan kesempatan

yang muncul dari perundingan internasional mengenai aksi dan pembiayaan iklim. Sejumlah

kebijakan politis yang dibuat dan terkait dengan pengembangan dan pengelolaan REDD+ di

Indonesia, antara lain: (i) Peraturan Menteri Kehutanan tentang kegiatan demonstrasi

REDD+; (ii) Keputusan Presiden yang membentuk Satuan Tugas REDD+ Nasional (aktif

sampai Desember 2012) di bawah kepemimpinan Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan

dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) yang beranggotakan perwakilan dari Kementerian

Kehutanan, BAPPENAS, Kementerian Lingkungan Hidup, Sekretariat Negara, Badan

Pertanahan Nasional, Dewan Nasional Perubahan Iklim, dan Kementerian Keuangan; (iii)

publikasi tentang Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Indonesia:

Strategi Kesiapan, 2009-2012 (REDDI); (iv) pembentukan Kelompok Kerja Perubahan Iklim

Kementerian Kehutanan; dan (v) Instruksi Presiden No. 10/2011 tentang Penundaan

Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan

Gambut. Reformasi kebijakan dan kelembagaan REDD+ juga merupakan elemen penting dari

perjanjian Pinjaman Program Perubahan Iklim yang melaluinya Pemerintah mendapatkan

dukungan anggaran dari ADB, AFD, Jepang, dan Bank Dunia.

Melihat sejarah investasi dan peluang investasi di sektor kehutanan maka optimisme

bahwa sektor kehutanan dapat memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional

dalam iklim otonomi daerah yang sudah dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sejak

beberapa tahun terakhir ini. Namun demikian, kedewasaan perkembangan ekonomi kehutanan

tersebut perlu mendapatkan sebuah pra kondisi antara kebijakan desentralisasi dan otonomi

secara merata di semua sektor dan profesionalisme sehingga kinerja ekonomi kehutanan dapat

lebih meyakinkan ke depan.

1) Persoalan Penjadwalan Investasi

Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan

investasi di sektor pembangunan kehutanan. Bahkan kalaupun diperkirakan modal dalam

negeri kurang mampu meningkatkan investasi, pemerintah tidak segan-segan mengundang

pihak asing untuk melakukan investasi di Indonesia. Atau pemerintah akan berusaha

memperoleh pinjaman luar negeri sebagai modal dalam investasi berbagai proyek di bidang

kehutanan. Mengapa pemerintah melakukan hal ini? Jawabannya adalah bahwa kegiatan

investasi akan mendorong pula kegiatan ekonomi negara.

88 | P a g e

Page 21: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

Banyak manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan investasi. Di antaranya adalah

penyerapan tenaga kerja, peningkatan output yang dihasilkan, penghematan devisa ataupun

penambahan devisa, dan lain sebagainya. Yang jelas, kalau kegiatan investasi meningkat,

maka kegiatan ekonomi pun ikut terpacu pula. Tentu saja apabila kegiatan investasi ini

merupakan investasi yang sehat, arti sebenarnya secara ekonomis menguntungkan. Bukannya

kegiatan investasi yang nampaknya “menguntungkan“, tetapi sebenarnya mendapatkan

berbagai fasilitas, sehingga tidak sehat bagi perekonomian negara tersebut.

Di sini kita menggunakan pengertian proyek investasi sebagai suatu rencana untuk

menginvestasikan sumber-sumber daya yang bisa dinilai secara cukup independen. Proyek

tersebut bisa merupakan proyek raksasa, bisa juga merupakan proyek kecil. Karakteristik

dasar dari suatu pengeluaran modal (atau proyek) adalah bahwa proyek tersebut umumnya

memerlukan pengeluaran saat ini untuk memperoleh manfaat di masa yang akan datang.

Manfaat ini bisa berwujud manfaat dalam bentuk uang, bisa juga tidak. Pengeluaran modal

tersebut misalnya berbentuk pengeluaran untuk tanah, mesin, bangunan, penelitian dan

pengembangan, serta program-program pelatihan.

Dalam akuntansi, pengeluaran modal ini biasanya dimasukkan ke dalam aktiva-aktiva

yang ada dalam negara. Sejauh bisa dilakukan konsistensi dalam perlakuan, maka umumnya

pengeluaran-pengeluaran ini merupakan biaya-biaya yang ditunda pembebanannya, dan

dibebankan per tahun lewat proses penyusutan (kecuali untuk tanah).

Dipandang dari sudut perusahaan, maka proyek atau kegiatan yang menyangkut

pengeluaran modal (capital expenditure) mempunyai arti yang penting karena:

1. Pengeluaran modal mempunyai konsekuensi jangka panjang. Pengeluaran modal akan

membentuk kegiatan perusahaan di masa yang akan datang dan sifat-sifat perusahaan

dalam jangka panjang.

2. Pengeluaran modal umumnya menyangkut jumlah yang sangat besar.

3. Komitmen pengeluaran modal tidak mudah untuk diubah. Pasar untuk barang-barang

modal bekas, mungkin tidak ada terutama untuk barang-barang modal yang sangat

khusus sifatnya. Karena itu, sulit untuk mengubah keputusan pengeluaran modal.

Telah diutarakan bahwa proyek investasi umumnya memerlukan dana yang cukup besar

dan mempengaruhi perusahaan dalam jangka panjang. Karenanya, perlu dilakukan studi yang

hati-hati agar jangan sampai proyek tersebut tidak menguntungkan. Kalau proyek tersebut

berasal dari pihak swasta, maka seringkali terpaksa proyek ini dihentikan atau dijual. Tapi

kalau sponsornya pihak pemerintah, maka sering terjadi pemerintah mengusahakan agar

89 | P a g e

Page 22: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 proyek tersebut tetap bisa berjalan, meskipun dengan berbagai bantuan, proteksi, subsidi, dan

sebagainya, yang sebenarnya tidak sehat dipandang dari segi ekonomi makro.

Banyak sebab yang mengakibatkan suatu proyek ternyata kemudian menjadi tidak

menguntungkan (gagal). Sebab itu bisa berwujud karena kesalahan perencanaan, kesalahan

dalam menaksir pasar yang tersedia, kesalahan dalam memperkirakan teknologi yang tepat

dipakai, kesalahan dalam memperkirakan kontinyuitas bahan baku, kesalahan dalam

memperkirakan kebutuhan tenaga kerja dengan tersedianya tenaga kerja yang ada. Sebab lain

bisa berasal dari pelaksanaan proyek yang tidak terkendalikan, akibatnya biaya pembangunan

proyek menjadi membengkak, penyelesaian proyek menjadi tertunda-tunda dan sebagainya.

Di samping itu bisa juga disebabkan karena faktor lingkungan yang berubah, baik lingkungan

ekonomi, sosial, bahkan politik. Bisa juga karena sebab-sebab yang benar-benar di luar

dugaan, seperti bencana alam pada lokasi proyek.

Untuk itulah studi kelayakan, minimal kelayakan ekonomi suatu proyek menjadi sangat

penting. Semakin besar skala investasi semakin penting studi ini. Bahkan untuk proyek-

proyek yang besar, seringkali studi ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap pendahuluan

dan tahap keseluruhan. Apabila dari studi pendahuluan tersebut sudah menampakkan gejala-

gejala yang tidak menguntungkan, maka studi keseluruhan mungkin tidak perlu lagi dilakukan.

Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa tujuan dilakukannya studi kelayakan adalah untuk

menghindari keterlanjuran penanaman modal yang terlalu besar untuk kegiatan yang ternyata

tidak menguntungkan. Tentu saja studi kelayakan ini akan memakan biaya, tetapi biaya

tersebut relatif kecil apabila dibandingkan dengan resiko kegagalan suatu proyek yang

menyangkut investasi dalam jumlah besar.

Telah diutarakan pada bab sebelumnya bahwa input yang paling penting dalam investasi

di bidang kehutanan adalah waktu dan capital atau modal. Tenaga kerja merupakan faktor

yang juga penting setelah waktu dan modal. Dan persoalan yang paling sering terjadi di sektor

kehutanan adalah persoalan keterbatasan modal. Sehingga menimbulkan suatu pertanyaan

bagaimana menginvestasikan modal yang terbatas tersebut untuk memperoleh suatu kepuasan

yang maksimal bagi pemilik modal khususnya, dan terhadap masyarakat secara luas.

Persolan penjadwalan investasi adalah terletak pada keputusan bagaimana

menginvestasikan uang yang dimiliki sehingga nilainya menjadi maksimal. Asumsi umum

diberlakukan di sini bahwa setiap investor akan mencoba membelanjakan uangnya dengan

cara tertentu dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan maksimum.

Secara teoritis, tujuan yang paling tepat dari pengambilan keputusan untuk melakukan

investasi adalah untuk memaksimumkan nilai pasar dari uang yang diinvestasikan tersebut.

90 | P a g e

Page 23: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 Alasan yang mendukung tujuan ini adalah: pertama, bahwa pemilik modal sendiri adalah

perusahaan dan perusahaan seharusnya berusaha meningkatkan kemakmuran mereka. Kedua,

nilai pasar dari modal merupakan ukuran yang tepat untuk menilai kemakmuran para

pemegang saham. Oleh karena itu perusahaan seharusnya meningkatkan kemakmuran dan ini

berarti bahwa terdapat upaya meningkatkan nilai pasar dari modal atau kapital.

Seorang investor yang akan menanamkan modalnya harus yakin bahwa lahan yang dibeli

dengan harga tertentu, kemudian disusul dengan berbagai jenis-jenis ongkos lainnya seperti

upah tenaga kerja, pembelian peralatan, pembuatan perkantoran, serta biaya penanaman dan

pemeliharaan akan lebih kecil bila dibandingkan dengan perolehan yang dihasilkan oleh

penjualan kayu hasil penjarangan dan hasil pemanenan pada akhir tahun usaha. Hanya

penjualan kayu yang diutarakan di sini bukan berarti tidak dipertimbangkannya sama sekali

nilai bukan uang yang dapat dihasilkan oleh tegakan hutan. Hal itu belum dibahas di sini oleh

karena ia telah berkembang menjadi suatu ilmu yang luas sehingga harus disajikan secara

tersendiri.

Penilaian terhadap keadaan dan prospek suatu investasi dilakukan atas dasar kriteria-

kriteria tertentu. Kriteria-kriteria ini bisa hanya mempertimbangkan manfaat proyek bagi

perusahaan, bisa pula dengan memperhatikan aspek yang lebih luas, yaitu manfaat proyek

bagi negara dan masyarakat luas. Tentu saja tidak setiap proyek akan diteliti dengan tingkat

intensitas yang sama. Beberapa proyek mungkin diteliti dengan sangat mendalam, mencakup

berbagai aspek yang terpengaruh, beberapa proyek mungkin hanya diteliti terhadap beberapa

aspek saja. Bahkan sering juga dijumpai bahwa ada rencana-rencana investasi yang

penilaiannya tidak dilakukan secara formal.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensitas studi kelayakan. Diantaranya yang

utama adalah:

1. Besarnya dana yang ditanamkan. Umumnya semakin besar jumlah dana yang

ditanamkan, semakin mendalam studi yang dilakukan.

2. Tingkat ketidak-pastian proyek. Semakin sulit kita memperkirakan penghasilan

penjualan, biaya, aliran kas dan lain-lain, semakin berhati-hati kita dalam melakukan

studi kelayakan.

3. Kompleksitas elemen-elemen yang mempengaruhi proyek. Setiap proyek dipengaruhi

dan juga mempengaruhi faktor-faktor lainnya.

Secara ringkas kita bisa mengatakan bahwa intensitas studi kelayakan tersebut mungkin

tidak sama. Ada berbagai faktor yang mempengaruhinya, seperti: jumlah dana, ketidak-

91 | P a g e

Page 24: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 pastian, dan kompleksitas proyek tersebut. Semakin besar dana yang tertanam, semakin tidak

pasti taksiran yang dibuat, semakin kompleks faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan

semakin mendalam studi yang dilakukan.

Terdapat empat kriteria yang harus diperhatikan untuk menerima atau menolak investasi

suatu proyek, yaitu net present value (NPV), internal rate of return (IRR), benefit cost ratio

(BCR), dan payback period.

1. Net Present Value

Metode ini bertujuan menghitung selisih antara nilai sekarang investasi serta ongkos dengan

nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih (operasional maupun terminal cash flow) di

masa yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang tersebut perlu ditentukan terlebih

dahulu tingkat bunga yang dianggap relevan. Ada beberapa konsep yang dapat digunakan

untuk menghitung tingkat bunga yang dianggap relevan ini. Pada dasarnya tingkat bunga

tersebut adalah tingkat bunga pada saat kita menganggap keputusan investasi masih terpisah

dari keputusan pembelanjaan ataupun waktu kita mulai mengaitkan keputusan investasi

dengan keputusan pembelanjaan. Perhatikan di sini keterkaitan ini hanya mempengaruhi

tingkat bunga, bukan aliran kas. Apabila nilai sekarang penerimaan-penerimaan kas bersih di

masa yang akan datang lebih besar dari pada nilai sekarang investasi, maka proyek ini

dikatakan menguntungkan sehingga beralasan untuk diterima. Sedangkan apabila NPV lebih

kecil atau bernilai negatif maka proyek tidak dapat menguntungkan.

Seperti yang dapat dilihat pada persamaan IV-11, NPV suatu proyek merupakan nilai

sekarang perolehan proyek tersebut dikurangi dengan nilai sekarang total ongkos yang

dikeluarkan oleh proyek tersebut:

∑=

∑= +

−+

=n

0y 0 )1()1(NPV

n

y yr

yCyr

yR (IV-11)

dimana Ry dan Cy merupakan perolehan dan ongkos pada tahun ke y. Persamaan tersebut

dapat ditulis secara detail sebagai berikut:

+−−

+−

+−−

+++

++

++=

nr)(1nC

......2r)(1

2C1r)(1

1C0C

nr)(1nR

......2r)(1

2R1r)(1

1R0RNPV

(IV-12)

Semua unit R dan C harus didiskonto kecuali R0 dan C0 karena keduanya sudah berada

pada kondisi present values sedangkan r adalah nilai suku bunga yang berlaku. Untuk

92 | P a g e

Page 25: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 mengaplikasikan formula tersebut, maka akan diberikan perumpamaan investasi proyek D dan

N yang keduanya berbeda berdasarkan waktu perolehan income. Proyek D mendapatkan

income pada tahun ke 15 sehingga disebut distance income dan proyek N mendapatkan

income pada tahun ke 8 sehingga disebut nearest income. Dalam fenomena proyek ini dapat

dijumpai, misalnya Proyek D adalah proyek hutan tanaman dimana jenis-jenis pohon yang

ditanam adalah jenis pohon yang kayunya mulai dapat digunakan pada umur 15 tahun. Pada

umur ini kayu yang dihasilkan dari tebangan selah telah dapat memberikan pendapatan bagi

perusahaan. Sedangkan proyek N adalah proyek pembangunan hutan tanaman dimana jenis-

jenis pohon yang ditanam adalah jenis-jenis yang memiliki masak tebang lebih pendek, yaitu

berkisar 8 tahun. Jenis-jenis seperti ini biasanya akan menghasilkan bahan baku untuk

pembuatan pulp dan kertas.

Tabel IV-1. Cash flow proyek D (distance income) dan proyek N (nearer income)

Tahun Cash flow

Proyek D (x Rp 10 juta) Proyek N (x Rp 10 juta)

0 -400 -400

5 -100 -100

8 +1200

15 +200

30 +6600 +2500

Bila kita mengaplikasikan rumus di atas terhadap proyek D pada Tabel IV-1 dimana

pengambil kebijakan berasumsi untuk ingin menggunakan 6% tingkat suku bunga yang juga

merupakan MAR; minimum acceptable rate of return, maka net present value adalah:

758$400)06.1(

100)06.1(

200)06.1(

660051530 =−−+

Sebuah proyek dapat diterima untuk dilaksanakan bila NPV bernilai sama besar dengan

nol atau lebih besar dari nol. Proyek dengan NPV bernilai negatif tidak dapat diterima atau

diimplementasikan. Dengan kata lain bahwa present value penerimaan harus lebih besar dari

present value dari ongkos.

93 | P a g e

Page 26: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 2. Internal Rate of Return

Kriteria lain yang sering digunakan dalam mengevaluasi suatu rencana investasi adalah

internal rate of return (IRR). Kriteria ini bertujuan mencari nilai tingkat diskonto dimana

hasil pengurangan antara present value perolehan dengan present value ongkos sama dengan

nol atau NPV = 0. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

∑ ∑= =

=+

−+

n

y

n

y0 0y

yy

y 0IRR)(1

C

IRR)(1

R (IV-13)

IRR adalah tingkat pengembalian (rate of return) yang diperoleh dari anggaran yang

diinvestasikan dalam suatu proyek. Persamaan di atas juga menjelaskan bahwa IRR

merupakan suku bunga (interest rate) dimana present value perolehan sama dengan present

value ongkos. Pada proyek D yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa IRR berada

pada titik 9,7% dimana secara grafis present value revenue dan present value ongkos saling

memotong, artinya NPV sama dengan nol (Gambar IV-4). Mencari nilai IRR selalu dilakukan

dengan cara trial and error. Banyak kalkulator bisnis yang sudah canggih atau program

spreadsheet yang dapat melakukan perhitungan IRR secara cepat yaitu dengan memasukkan

data cashflow yang bernilai positif dan negatif serta tahun dari suatu proyek. Tanpa

menggunakan mesin penghitung canggih seperti itu maka menghitung IRR suatu proyek,

terutama proyek besar akan merupakan pekerjaan yang teramat sulit.

Gambar IV-4. Present value revenue dan present value ongkos.

IRR menjelaskan bahwa sebuah proyek dapat dilaksanakan bila perhitungan IRRnya sama

atau lebih besar dari MAR. Banyak perusahaan menggunakan IRR dibandingkan dengan NPV

0.00

1000.00

2000.00

3000.00

4000.00

5000.00

6000.00

7000.00

8000.00

0.00% 2.00% 4.00% 6.00% 8.00% 10.00% 12.00%

PV revenues

PV costs NPV IRR: 9,7%

94 | P a g e

Page 27: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 untuk memutuskan apakah akan menerima atau menolak suatu proyek. Kalau kita

membandingkan antara metode NPV dan IRR untuk menilai suatu usulan investasi yang sama,

maka hasilnya umumnya akan sama, meskipun mungkin bisa tidak selalu sama. Hal ini

terutama untuk pola aliran kas yang tidak normal. Sebagai contoh suatu rencana investasi

yang berdasarkan hasil perhitungan cash flownya pada tahun ke nol memiliki cash flow

sebesar –Rp 1,6 milyar, pada tahun ke satu memiliki cash flow sebesar +Rp 10 milyar, dan

pada tahun ke dua memiliki cash flow sebesar –Rp 10 milyar. Pola aliran kas semacam ini

kita katakan tidak normal, karena operasional cash flow ternyata tidak selalu positif setiap

tahunnya.

Keadaan tersebut bisa kita tuliskan persamaannya menjadi

Kalau kedua sisi persamaan dikalikan dengan (1 + r)2 maka hasilnya adalah:

1,6(1 + r)2 = 10(1 + r) - 10

1,6 r2 – 6,8r + 1,6 = 0

Dengan menggunakan rumus abc, maka kita bisa mencari nilai-nilai r, yaitu:

r1 = 4 yang berarti 400% dan

r2 = 0,25 yang berarti 25%.

Oleh karena diperoleh dua nilai r yang berbeda, maka dengan demikian timbul masalah,

yaitu tingkat bunga mana yang seharusnya dipakai. Kalau misalkan tingkat keuntungan yang

disyaratkan adalah 30%, maka dengan menggunakan r1 = 400%, kita dapat mengatakan

bahwa proyek akan menguntungkan, tetapi kalau kita memakai r2 = 25%, kita mengatakan

proyek ini perlu ditolak. Hal ini dapat digambarkan melalui grafis yang memperlihatkan

hubungan antara NPV dengan tingkat bunga (%).

2)1(10

r)(1101,6

r+−

+=

95 | P a g e

Page 28: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

Gambar IV-5. IRR ganda. Keadaan seperti di atas tidak akan kita jumpai kalau kita menggunakan metode NPV.

Kalau kita menggunakan tingkat bunga 30%, maka NPV proyek itu adalah Rp 0,75 juta,

karena positif berarti proyek diterima.

Kalau kita dihadapkan pada pemilihan usulan investasi, maka antara kedua metode

tersebut juga bisa memberikan keputusan yang tidak konsisten. Contoh berikut menjelaskan

tentang dua proyek, yaitu A dan B yang mempunyai karakteristik sebagai berikut: Proyek A

pada tahun ke 0, 1, 2, dan 3 memilki cash flow (dalam jutaan rupiah) masing-masing -1000,

+1300, +100, +100. Sedangkan proyek B pada tahun yang sama masing-masing memiliki

cash flow -1000, +300, +300, +1300. Misalkan tingkat keuntungan yang disyaratkan adalah

18%, maka kalau kita hitung NPV masing-masing proyek tersebut adalah:

NPVA = Rp 234,37

NPVB = Rp 260,91

Dengan demikian, proyek B lebih menguntungkan karena memberikan NPV yang lebih

besar. Sebaliknya kalau kita hitung IRR masing-masing proyek, maka diperoleh:

IRRA = 42%

IRRB = 30%

Net Present Value (Rupiah)

Tingkat Bunga (%)

-1,6

1

100 25 200 300 400

96 | P a g e

Page 29: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

Dengan demikian, A yang dipilih karena memberikan IRR yang lebih besar.

Fenomena ini akan lebih jelas kalau kita gambarkan dalam suatu grafik, dimana sumbu

tegaknya adalah NPV (dalam Rp) dan sumbu datarnya adalah tingkat bunga (dalam %) seperti

yang ditunjukkan pada Gambar IV-6.

Gambar IV-6. Hubungan antara tingkat bunga dan NPV. Gambar tersebut diperoleh dari perhitungan yang antara lain dicantumkan pada Tabel IV-

2 berikut:

Tabel IV-2. NPV pada berbagai tingkat bunga (dalam Jutaan Rupiah)

Proyek Tingkat Bunga 0% 10% 20% 30%

A 500 339 210 104 B 900 497 210 0

Pertanyaan yang timbul adalah kalau seperti ini mana yang akan kita pakai? Kalau kita

memakai NPV, maka proyek B yang dipilih, kalau memakai IRR, maka proyek A yang

dipilih. Untuk itu marilah kita menggunakan analisa “incremental“ atau analisis selisih untuk

memilih proyek mana yang sebaiknya yang akan diambil. Kita susun kembali persoalan

tersebut, hanya sekarang kita menggunakan analisis selisih.

Tabel IV-3. Analisis selisih proyek A dan proyek B

Proyek Cash Flow (dalam jutaan Rp) 0 1 2 3 IRR

A - 1000 + 1300 +100 +100 42% B - 1000 +300 +300 +1300 30%

B minus A 0 -1000 +200 +1200 20%

42 0 40 30 20 10

210

500

900

NPV(Rp)

Tingkat Bunga(%)

97 | P a g e

Page 30: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

Dengan menggunakan analisis incremental, maka hasilnya adalah bahwa seharusnya kita

memilih proyek B dan bukannya A dengan alasan bahwa kalau kita memilih proyek A, berarti

kita mendapatkan kas masuk yang lebih besar Rp 1000 pada tahun ke 1, tetapi menerima kas

masuk yang lebih kecil sebesar Rp 200 pada tahun ke 2, dan Rp 1200 pada tahun ke 3.

Tingkat bunga yang menyamakan pola aliran kas incremental ini adalah 20% yang berarti

IRR incrementalnya adalah 20%. Dengan demikian, kalau kita mensyaratkan tingkat

keuntungan 18%, bukankah tidak seharusnya kita menolak suatu usulan yang memberikan

tingkat keuntungan 20%. Karena itulah dengan menggunakan metode IRR incremental, kita

seharusnya menerima proyek B. Dan ini konsisten dengan metode NPV. Dengan kata lain,

metode NPV selalu memberikan keputusan yang tepat, sejauh kita bisa menentukan

keuntungan yang diisyaratkan dengan tepat pula.

3. Benefit/Cost Ratio

Pendekatan biaya manfaat memberikan implikasi bahwa kita harus mempertimbangkan semua

manfaat dan semua biaya yang ditimbulkan oleh suatu proyek atau kebijakan yang

berhubungan dengan pengelolaan hutan. Pendekatan ini membawa proyek-proyek kehutanan

menjadi suatu issu lingkungan yang dipertentangkan oleh berbagai kalangan. Pertentangan

antara kelompok masyarakat dapat terjadi karena ada kelompok yang lebih fokus kepada

masalah biaya yang ditimbulkan oleh lingkungan dan ada kelompok lainnya yang lebih

mengedepankan manfaat yang dapat diperoleh dari lingkungan. Suatu proyek atau kebijakan

merupakan pilihan ekonomi yang seharusnya difahami manfaat dan ongkos yang

ditimbulkannya sehingga tidak menimbulkan pertentangan hebat yang kemungkinan akan

dapat menimbulkan ongkos tambahan yang lebih besar lagi.

Benefit/cost ratio suatu proyek (B/C) adalah present value dari manfaat atau perolehan

proyek dibagi dengan present value ongkos, dan menggunakan MAR investor. B/C ratio

disebut juga profitability index, yang secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

Dari rumus di atas kita dapat mengerti bahwa ketika PV perolehan sama dengan PV

ongkos, B/C ratio bernilai sama dengan 1, dan NPV sama dengan 0. Demikian juga bila PV

=

=

+

+=

n

yy

y

n

yy

y

rC

rR

ratioCB

0

0

)1(

)1(/ (IV-14)

98 | P a g e

Page 31: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 perolehan melebihi PV ongkos, B/C pasti bernilai lebih besar dari 1. Dan bila PV ongkos

melebihi PV perolehan, B/C lebih kecil dari 1. Jadi kriteria B/C ratio mengatakan bahwa

proyek dapat diterima dan diimplementasikan bila B/C ratio sama dengan atau lebih besar dari

1, dan tidak dapat diterima bila B/C ratio lebih kecil dari 1. Hal ini sama dengan metode NPV

dalam menentukan apakah suatu proyek layak atau tidak untuk dilaksanakan, sebab NPV

yang negatif berarti B/C ratio lebih kecil dari 1.

4. Metode Payback

Metode ini mencoba mengukur seberapa cepat investasi bisa kembali. Karena itu satuan

hasilnya bukan prosentase, tetapi satuan waktu (bulan, tahun, dan sebagainya). Kalau periode

payback ini lebih pendek dari pada yang disyaratkan, maka proyek dikatakan menguntungkan.

Sedangkan kalau lebih lama maka proyek ditolak. Untuk memberikan contoh tentang

mekanisme penghitungan payback ini digunakan contoh di atas.

Karena metode ini mengukur seberapa cepat suatu investasi bisa kembali, maka dasar

yang dipergunakan adalah cash flow, bukan laba. Untuk itu kita hitung dulu cash flow dari

proyek tersebut.

Cash flow atau aliran kas operasional per tahunnya adalah Rp 260 juta + Rp 100 juta = Rp

360 juta, kalau kita anggap bahwa pengakuan terhadap biaya dan penghasilan tidak banyak

berbeda dengan terjadinya aliran kas keluar dan masuk dari operasi ini.

Terminal cash flow proyek ini adalah Rp 200 juta yang berasal dari kembalinya modal

kerja pada akhir tahun ke 8. Initial cash flow proyek ini adalah Rp 1000 juta. Dengan

demikian, karena setiap tahun memperoleh Rp 360 juta dari operasinya, maka dalam waktu

(Rp 1000/Rp 360) x 1 tahun = 2,78 tahun investasi tersebut sudah bisa kembali.

Problem utama dari metode ini adalah sulitnya menentukan periode payback maksimum

yang disyaratkan, untuk dipergunakan sebagai angka pembanding. Secara normatif, memang

tidak ada pedoman yang bisa dipakai untuk menentukan payback maksimum ini. Dalam

prakteknya yang dipergunakan adalah payback umumnya dari perusahaan yang sejenis.

Kelemahan-kelemahan dari metode ini adalah: diabaikannya nilai waktu uang; dan

diabaikannya aliran kas setelah periode payback.

Untuk mengatasi kelemahan yang pertama, ada yang menggunakan discounted payback,

dimana aliran kas operasional tersebut dan juga terminal cash flow didiscountedkan dengan

tingkat bunga yang dianggap relevan. Misalkan ada dua proyek, A dan B yang masing-masing

memerlukan investasi sebesar Rp 20 juta, dengan usia ekonomis 6 tahun untuk A dan 10

tahun untuk B. Aliran kas masuk untuk A adalah Rp 6,5 juta per tahun, sedangkan untuk B

99 | P a g e

Page 32: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 adalah Rp 6 juta per tahun. Tingkat bunga yang dianggap relevan misalkan 10%. Dengan

demikian, kalau aliran kas tersebut kita present value-kan, maka untuk investasi A akan sudah

bisa kembali kurang dari 4 tahun, tetapi untuk B sedikit lebih banyak dari 4 tahun. Dengan

demikian, kalau kita hitung secara total, ternyata proyek B memberikan tambahan kas masuk

yang lebih banyak daripada A. Karena itu, cara discounted payback hanya mengatasi

kelemahan yang pertama.

Meskipun diakui adanya kelemahan-kelemahan ini, dalam prakteknya masih banyak

organisasi yang menggunakan metode payback sebagai pelengkap penilaian investasi. Cara

ini terutama dipergunakan untuk perusahaan-perusahaan yang menghadapi problem likuiditas

atau kelancaran keuangan jangka pendek.

2). Meranking Proyek

Keputusan untuk menolak atau menerima suatu investasi atau proyek merupakan hal yang

lebih mudah bila dibandingkan dengan pekerjaan yang bertujuan melakukan ranking beberapa

proyek mulai dari proyek yang sangat baik ke proyek yang sangat buruk. Kriteria-kriteria

yang telah dibahas sebelumnya tidak cukup untuk menentukan semua proyek berada pada

ranking yang sama. Sebagaimana juga telah diulas bahwa diasumsikan setiap investor

berkeinginan untuk memaksimalkan nilai asset yang mereka investasikan. Katakanlah bila

kita ingin meranking dua proyek D dan N pada Tabel IV-1 dimana proyek D dengan distant

income dan proyek N dengan nearer income. Untuk perbandingan, kedua proyek memiliki

kebutuhan capital yang sama, demikian pula umur proyek yang sama yaitu masing-masing 30

tahun.

1. Feature Proyek

Beberapa feature proyek yang penting untuk diketahui dan dipertimbangkan dalam

melakukan perankingan proyek-proyek tersebut. Bila beberapa proyek bersifat saling terpisah

antara satu dengan yang lainnya (mutually exclusive), maka hanya satu dari beberapa proyek

tersebut yang dapat dipilih. Sebuah contoh adalah memilih antara proyek investasi untuk

menanam hutan homogen/sejenis pinus, akasia, jati pada luasan kawasan hutan tertentu. Bila

proyek tidak bersifat mutually exclusive berarti proyek-proyek tersebut bersifat independent

atau saling bebas sehingga kesemua proyek dapat diadopsi. Sebagai contoh investasi untuk

pemupukan, penjarangan komersial, dan lain sebagainya. Bila kedua proyek pada Tabel IV-1

merupakan proyek reforestasi pada lahan hutan yang sama, maka kedua proyek tersebut

bersifat mutually exclusive; tetapi bila kedua proyek tersebut akan dilaksanakan pada lahan

hutan yang berbeda maka keduanya bersifat independent.

100 | P a g e

Page 33: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

Bila kita dapat menginvestasikan satu bagian dari total investasi proyek, maka proyek

tersebut bersifat divisible (dapat dibagi), seperti misalnya penambahan uang ke account

simpanan di bank atau jumlah luas lahan dalam proyek pemupukan. Tetapi bila suatu proyek

hanya bisa dilakukan semua atau tidak sama sekali, misalnya proyek pembelian truk atau

industri pulp, maka proyek tersebut bersifat indivisible (tidak dapat dibagi).

Feature proyek tersebut di atas sangat penting untuk difahami bagi seorang pengambil

keputusan atau menejer sehingga ia dapat menggunakan sumber daya atau input dengan

efisien. Kemungkinan juga, cara ini dapat membantu pengelola proyek dalam menangani

ketidak-pastian yang bisa saja muncul sewaktu-waktu.

2. Ketidak-konsistenan antara Ranking NPV dan IRR

Kita dapat meranking proyek berdasarkan NPV dan atau IRR. Tetapi persoalannya adalah

bisa jadi terdapat ketidak-konsistenan antara NPV dengan IRR. Artinya, ranking proyek-

proyek berdasarkan IRR bisa berbeda dengan ranking proyek-proyek berdasarkan NPV.

Sebagai contoh, kita bisa menggambarkan NPV proyek D dan N dari Tabel IV-1 melalui

suku bunga (Gambar IV-7). Perlu diketahui bahwa kurva-kurva untuk setiap proyek adalah

berbeda antara PV revenue dan PV cost. Jadi pada Gambar IV-7, IRR adalah pertemuan kurva

NPV dengan axis x (dimana NPV= 0). Pada Gambar tersebut IRR untuk proyek D sebesar

9,7% dan 14,5% untuk proyek N.

Gambar IV-7. Net present value proyek D dan proyek N.

Proyek mana dari dua proyek tersebut yang terbaik? Untuk memutuskannya, kita

membutuhkan informasi tambahan. Bila rate investor adalah 9,7% atau kurang, bila kedua

proyek tersebut bersifat independen, serta bila kapital cukup tersedia, maka kedua proyek D

0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

NPV Proyek D

NPV Proyek N

NPV sama pada 6,3%

IRR= 9,7% IRR= 14,5% Interest rate

Net

Pre

sent

Val

ue ($

)

101 | P a g e

Page 34: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 dan N dapat diterima, artinya akan menguntungkan bila keduanya dilakukan. Tetapi bila

kedua proyek tersebut bersifat mutually exclusive atau kapital inisial tersedia kurang dari $800,

maka kita harus menganalisa proyek yang mana dari keduanya akan dipilih. Berdasarkan

kepada IRR, proyek N menang pada 14,5%. Untuk rate minimum yang dapat diterima di atas

6,3%, proyek N juga memiliki NPV tertinggi seperti yang diperlihatkan pada Gambar VI-7.

Tetapi pada interest rate < 6,3%, proyek D memiliki NPV lebih tinggi dan akan lebih disukai

dengan berdasarkan kepada kriteria NPV. Dengan interst rate 6,3% kita akan memiliki

pendapat yang berbeda akan kedua proyek tersebut. Bila MAR kita kurang dari 6,3%,

katakanlah 5%, dan tujuan kita untuk melakukan investasi adalah memaksimalkan NPV,

maka proyek D merupakan pilihan yang tepat kendatipun dengan IRR yang lebih rendah bila

dibandingkan dengan IRR proyek N. Pada interest rate 5%, diperoleh NPV proyek D sebesar

$ 1.144,94 dan proyek N dengan NPV sebesar $ 912,30.

Hal ini membingungkan karena proyek N dengan 14,4% rate of return kedengarannya

sangat lebih baik bila dibandingkan dengan proyek D dengan rate of return lebih kecil, yaitu

hanya sebesar 9,7%. Namun demikian kita memilih proyek D seperti yang telah dijelaskan di

atas didasarkan kepada asumsi bahwa reinvestment rate bagi intermediate income dari salah

satu proyek adalah MAR 5%. Untuk membuktikan bahwa D merupakan proyek yang terbaik

dalam kondisi kendala seperti itu, kita dapat membandingkan kekayaan akan datang (future

wealth) dalam jangka waktu 30 tahun dari sekarang dari investasi yang kita lakukan melalui

proyek D atau N sebagaimana yang ditunjukkan melalui skala waktu berikut:

Karena kedua proyek memiliki investasi kapital yang sama, maka kita hanya perlu

membandingkan nilai akan datang pendapatan yang terakumulasi pada 5% bunga reinvestasi.

Pada setiap kasus, kalikan (compound) pendapatan pertama pada 5% bunga untuk sejumlah

tahun yang tersisah dalam periode, yaitu 15 tahun untuk proyek D dan 22 tahun untuk proyek

0 5 10 15 20 25 30 Proyek D IRR= 9,7%

Tahun

+$ 200

@5%

+$6.600,00

+$415,79 atau 200(1,05)15

Nilai akan datang $7.015,79

0 5 10 15 20 25 30 Proyek N IRR= 14,5%

@5%

+$2.500,00

+$3.510,31 atau 1.200(1,05)22

Nilai akan datang $6.010,31

+$1.200

102 | P a g e

Page 35: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 N, dan kemudian tambahkan dengan pendapatan terakhir. Dengan melakukan investasi pada

proyek D, maka kita memperoleh nilai akan datang (future value) yang lebih tinggi

($7.015,79) dari pada yang kita peroleh dari proyek N ($6.010,31), dengan mengabaikan

bahwa IRR proyek N lebih tinggi. Pada jangka investasi yang sama, bila nilai akan datang

perolehan oleh proyek D adalah lebih besar, maka nilai sekarangnya juga akan lebih besar.

Dengan alasan ini, NPV lebih sesuai dengan dukungan teori dari pada IRR sebagaimana

kriteria budgeting. Perlu dicatat bahwa proyek dengan kebutuhan kapital dan waktu yang

sama seperti pada Gambar III-6 akan diranking sama oleh B/C ratio atau NPV. Bila NPV> 0,

B/C > 1. Tetapi bila kebutuhan kapital berbeda, meranking melalui B/C ratio dan NPV tidak

akan selalu konsisten.

Soal Latihan:

1. Bila anda melakukan investasi sebesar Rp 5 milyar rupiah dan akan tumbuh dengan

bunga 11 persen per tahun, berapa besar nilai investasi tersebut setelah 20 tahun

kemuian?

2. Bila anda mengharapkan akan dapat memperoleh uang sebesar Rp. 40 milyar selama

20 tahun dari penebangan hutan, dan anda menetapkan MAR sebesar 7%, Berapa nilai

sekarang usaha tersebut?

3. Katakanlah anda akan melakukan investasi sebesar Rp 10 milyar untuk dua tahun

dengan 5% suku bunga. Berapa bunga yang diperoleh pada tahun kedua?

4. Sebuah perusahaan sementara merencanakan untuk melakukan program pengelolaan

hutan berupa hutan tanaman pinus dengan siklus tebang 35 tahun. Perusahaan tersebut

merencanakan penganggaran sebesar Rp 1 juta per hektar untuk kegiatan pemeliharaan

pada tahun ke 10. Berapa besar peningkatan pendapatan dari pemanenan pada tahun

ke 35 yang seharusnya sehingga perusahaan tersebut memperoleh 6% bungan atas

pengeluaran pemeliharaan.

Rangkuman: 1. Petunjuk:

Berikut tersedia kata-kata kunci yang diambila dari modul/bahan kuliah.

Kata kunci: 1. Investasi 4. IRR 2. Nilai sekarang 5. BCR 3. NPV 6. Payback

103 | P a g e

Page 36: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019

2. Merujuk kepada kata kunci tersebut, tuliskan rangkuman anda ke dalam kotak rangkuman berikut:

Refleksi Pembelajaran

No Deskripsi/Pertanyaan Jawaban SS CS RR B SB

1. Capaian pembelajaran yang ditawarkan 2. Antusiasme mahasiswa mengikuti kuliah di

dalam kelas

3. Core content yang diberikan 4. Proses perkuliahan 5. Metode evaluasi perkuliahan 6. Tingkat kehadiran mahasiswa dalam perkuliahan

Keterangan: SS: sangat sempurna

................................................................................... .......................... ....................

............................................................................. .................... .................................

................................ ................................................ .. ...............................................

.................................... .......................... ...................................................................

.............................. .................... ................................................................. ..............

.................................. ... ................................................................................... ........

.................. ................................................................................................. ...............

..... ................................................................. ................................................ ... .......

............................................................................ .......................... ...........................

...................................................................... .................... ........................................

......................... ................................................ ... .....................................................

.............................. .......................... .........................................................................

........................ .................... ................................................................. ....................

............................ ... ................................................................................... ..............

............ ................................................................................................. ....................

................................................................. ................................................ ... .............

...................................................................... .......................... .................................

................................................................ .................... ..............................................

................... ................................................ ... ...........................................................

........................ .......................... ...............................................................................

.................. .................... ................................................................. ..........................

...................... ... ................................................................................... ....................

...... ................................................................................................. .................... ......

........................................................... ................................................ ... ...................

................................................................ .......................... .......................................

.......................................................... .................... ....................................................

............. ................................................ ... .................................................................

.................. .......................... .....................................................................................

............ .................... ................................................................. ................................

................ ... ................................................................................... .......................... ................................................................................................. .................... ............

104 | P a g e

Page 37: Modul 4 HUTAN SEBAGAI MODAL INVESTASI

Modul 4 ESDH 2019 CS: cukup sempurna RR: ragu-ragu B : buruk SB: sangat buruk Rekomendasi perbaikan: .............................................................................................................................................. .... ................................................................................................................................................ ..........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................

Vidio: http://www.rogerdickie.co.nz/Forestry.aspx

105 | P a g e