Upload
sabrina-putri-dewanti
View
265
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
geh
Citation preview
LAPORAN TUTORIAL
MODUL KONSTIPASI
SISTEM GASTROENTERO-HEPATOLOGI
DISUSUN OLEH:
Kelompok 5 (Cempaka Putih)
Karel Respati (2011730144)
Fahmy Kharisma (2012730037)
Bhismo Prasetyo (2012730119)
Dona Puspitasari (2012730123)
Muhammad Uraida (2012730141)
Mustika Apriyanti (2012730142)
Nublah Permata (2012730145)
Rani Meiliana Susanti (2012730148)
Rizka Aulia Hermawati (2012730153)
Sabrina Putri Dewanti (2012730155)
Yutika Adnindya (2012730159)
Tutor : dr Yusnam Syarief
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan
karuniaNya maka Laporan Tutorial Modul Konstipasi pada system GEH dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Tidak lupa kita sampaikan salam dan shalawat kepada Rasul junjungan
kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir
zaman nanti.
Laporan ini kami buat untuk memenuhi tugas wajib yang dilakukan setelah diskusi
Tutorial. Pembuatan laporan ini bertujuan untuk meringkas semua materi yang ada di Modul
Konstipasi.
Terima kasih kami ucapkan kepada dr. Yusnam Syarief yang telah membantu kami
dalam kelancaran diskusi Tutorial serta dalam membuatan laporan ini, serta terima kasih pula
kepada seluruh pihak yang sudah membantu kami dalam mencari informasi, mengumpulkan
data, dan menyelesaikan laporan ini. Semoga laporan ini memberikan manfaat kepada orang
lain namun terutama pada para Mahasiswa Kedokteran.
Laporan ini masih jauh dari kata sempurna, maka dimohonkan kritik dan saran yang
membangun agar kelak dapat lebih baik dari pada sebelumnya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Jakarta, 21 September 2014
Penyusun
Modul II Bercak— Kelompok 5 Cempaka Putih | i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................................ i
DAFTAR ISI......................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................................1
I.1 Skenario.................................................................................................................................1
I.2 Kata Kunci.............................................................................................................................1
I.3 Tujuan Instruksiona...............................................................................................................1
I.4 Pertanyaan.............................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................................3
II.1 Definis dan Klasifikasi Konstipasi.........................................................................................4
II.2 Mekanisme Defekasi Normal dan Konstipasi........................................................................5
II.3 Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna......................................................................................6
II.4 Etiologi dan Pencegahan Konstipasi......................................................................................10
II.5 Langkah Diagnostik dan Penatalaksanaan Konstipasi.........................................................12
II.6 Mengapa Terjadi Demam, Pucat, dan Lemas Pada Skenario...............................................13
II.7 Cacing yang Dapat Menyebabkan Konstipasi......................................................................16
II.8 Diagnosis Banding...............................................................................................................16
II.9 Penyakit Anak dengan Konstipasi.......................................................................................32
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................34
III.1 Kesimpulan..........................................................................................................................34
III.2 Saran....................................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................35
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Skenario
Seorang anak laki-laki 5 tahun, diantar orang tuanya ke klinik dengan keluhan utama sudah 3
hari tidak buang air besar dan muntah beberapa kali. Beberapa hari terakhir anak tersebut
selalu merasa mual, tidak ada nafsu makan, dan demam yang terutama dirasakan pada malam
hari. Seminggu sebelumnya anak tersebut pernah BAB dan terdapat cacing pada kotorannya.
Anak tersebut kurus, terlihat lemas dan agak pucat
I.2 Kata Kunci
An. Laki-laki 5 tahun
KU : tidak BAB disertai muntah beberapa kali (sudah 3 hari)
Mual, tidak nafsu makan dan demam pada malam hari
Cacing pada fesesnya ( seminggu lalu)
Kurus, terlihat lemas dan agak pucat
I.3 Tujuan Instruksional
Tujuan Instruksional Umum :
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang
mekanisme terjadinya konstipasi, pembagian penyebab, pemeriksaan yang dibutuhkan untuk
diagnostik, penatalaksanaan bedah dan non bedah, serta epidemiologi dan pencegahannya.
Tujuan Instruksional Khusus :
Setelah selesai selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan defenisi konstipasi
2. Menjelaskan proses pasase normal dalam saluran cerna
- Anatomi dan histologi sal. cerna.
- Fisiologi pasase makanan dalam saluran cerna
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
- Biokimia zat-zat makanan dalam saluran cerna
3. Menjelaskan hal-hal yang dapat menyebabkan konstipasi
- Gangguan funsional
- Gangguan karena obat-obatan
- Gangguan obstruktif
- Gangguan neuromuscular
- Gangguan endokrin metabolik
- Gangguan psikiatrik
- Gangguan karena infeksi / infestasi parasit
4. Menjelaskan keadaan patologis yang mungkin timbul pada konstipasi
5. Menjelaskan cara diagnostik pada konstipasi
- Hal-hal yang perlu digali pada anamnesis keluhan dan riwayat penderita
- Diagnostik fisik yang diperlukan pada konstipasi
- Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada konstipasi
- Pemeriksaan radiologis yang diperlukan pada konstipasi
6. Menjelaskan penatalaksanaan konstipasi
- Penatalaksanaan medikamentosa
- Penatalaksanaan bedah
- Pendekatan nutrisional pada konstipasi
7. Menjelaskan epidemiologi dan pencegahan terjadinya konstipasi
- Epidemiologi penyakit-penyakit dengan konstipasi
- Pencegahan keadaan yang dapat mengakibatkan konstipasi
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
I.4 Pertanyaan
1. Jelaskan definisi dan klasifikasi konstipasi!
2. Jelaskan mekanisme defekasi normal dan konstipasi!
3. Jelaskan anatomi dan fisiologi saluran cerna!
4. Jelaskan etiologi beserta pencegahan dari konstipasi!
5. Jelaskan langkah diagnostic dan penatalaksanaan konstipasi!
6. Jelaskan mengapa anak tersebut demam pada malam hari dan mengapa anak tersebut
terlihat lemas dan agak pucat!
7. Jelaskan jenis-jenis cacing yang dapat menyebabkan penyakit dengan gejala
konstipasi!
8. Jelaskan diagnosis banding berdasarkan keluhan pasien pada skenario!
9. Jelaskan penyakit pada anak dengan gejala konstipasi!
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
BAB II PEMBAHASAN
II.1 Definisi dan Klasifikasi Konstipasi
A. Definisi Konstipasi
Rogers mendefenisikan konstipasi sebagai kesulitan melakukan defekasi atau berkurangnya frekuensi defekasi tanpa melihat apakah tinja keras atau tidak.
Abel mengatakan, konstipasi adalah perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi berhajat lebih jarang dan konsistensi tinja lebih keras dari biasanya.
Steffen dan Loening-Baucke mengatakan konstipasi sebagai buang air besar kurang dari 3 kali per minggu atau riwayat buang air besar dengan tinja yang banyak dan keras.
B. Klasifikasi Konstipasi
a.Konstipasi primer
a). Konstipasi akibat kelainan struktural.
Konstipasi akibat kelainan struktural terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja. Adanya obstruksi di usus besar, yang menyebabkan statis tinja di kolon sehingga menimbulkan pengeringan tinja yang berlebihan dan kegagalan untuk memulai reflek dari rektum, yang normalnya memicu evakuasi.
b). konstipasi fungsional.
Konstipasi fungsional berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorektal
Pada awalnya beberapa istilah pernah digunakan untuk menerangkan konstipasi fungsional, seperti retensi tinja fungsional, konstipasi retentif atau megakolon psikogenik. Istilah tersebut diberikan karena adanya usaha anak untuk menahan buang air besar akibat adanya rasa takut untuk berdefekasi. Retensi tinja fungsional umumnya mempunyai dua puncak kejadian, yaitu pada saat latihan berhajat danpada saat anak mulai bersekolah.
Konstipasi fungsional dapat dikelompokkan menjadi bentuk primer atau sekunder bergantung pada ada tidaknya penyebab yang mendasarinya. Konstipasi fungsional primer ditegakkan bila tidak ditemukan kelainan organik maupun biokimiawi di dalam tubuh setelah pemeriksaan seksama. Keadaan ini ditemukan pada sebagian besar pasien dengan konstipasi.
Konstipasi fungsional sekunder ditegakkan bila kita dapat menentukan penyebab dasar keluhan tersebut. Penyakit sistemik seperti hipertiroid, hipotiroid, uremia, penyakit saraf, dan kanker usus besar dan efek samping pemakaian beberapa obat tertentu, seperti antasida, anticholinergics, antidepressants, antihistamin, calcium channel blockers, clonidine (catapres), non-steroidal anti-inflammatory drugs, opioids psychotropics, sympathomi-metics. merupakan penyebab konstipasi fungsional yang sering dilaporkan.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Klasifikasi lain yang perlu dibedakan pula adalah apakah keluhan tersebut bersifat akut atau kronis.Konstipasi akut bila kejadian baru berlangsung selama 1-4 minggu, sedangkan konstipasi kronis bila keluhantelah berlangsung lebih dari 4 minggu.
II.2 Mekanisme Defekasi Normal dan Konstipasi
Pada sistem pencernaan manusia makanan mengalami proses pencernaan pada saat makanan berada di dalam mulut hingga proses pengeluaran sisa-sisa makanan hasil pencernaan. Berikut ini merupakan proses pencernaan makanan, diantaranya:
1. Ingesti : memasukkan makanan ke dalam tubuh melalui mulut
2. Mastikasi : proses mengnyah makanan oleh gigi
3. Deglutisi : proses menelan makanan di kerongkongan
4. Digesti : proses pengubahan makanan menjadi molekul yang lebih sederhana yang terjadi di lambung dengan bantuan enzim
5. Defeklasi : pengeluaran sisa-sisa makanan yang sudah tidak berguna untuk tubuh melalui anus
Usus halus merupakan saluran yang berbelok-belok dengan lebar 25 mm dan panjang 5 sampai 8 m dan terdapat lipatan yang disebut vili atau jonjot-jonjot usus. Vili ini berfungsi memperluas permukaan usus halus yang berpengaruh terhadap proses penyerapan makanan.
Kolon atau disebut juga dengan usus besar yang memiliki panjang sekitar 1 m, dan terdiri dari kolon transversum, kolon descendes, dan kolon ascendens. Terdapat sekum (Usus buntu) diantara intestinum tenue (Usus halus) dan intestinum crassum (Usus besar). Pada ujung sekum terdapat tonjolan kecil disebut dengan appendiks (Umbai cacing). Dalam keadaan normal, setiap harinya, kolon menerima sekitar 500 mL kimus dari usus halus melalui katup ileosekal dengan waktu yang dibutuhkan 8-15 jam. Oleh karena itu sebagian besar pencernaan berlangsung di usus halus.
Gerakan kontraksi pada kolon disebut kontraksi haustra yang lama interval antara dua kontraksi adalah 30 menit, sedangkan usus halus berkontraksi 9-12 kali dalam semenit. Kontraksi haustra berupa gerakan maju-mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptif yang melibatkan pleksus intrinsik. Kontraksi lambat ini pula yang menyebabkan bakterit dapat tumbuh di usus besar.
Peningkatan nyata motilitas berupa kontraksi simultan usus besar terjadi 3 sampai 4 kali sehari. Kontraksi ini disebut gerakan massa yang mampu mendorong feses sejauh 1/3 sampai 3/4 dari panjang kolon hingga mencapai bagian distal usus besar, tempat penyimpanan feses. Refleks gastrokolon, yang diperantarai oleh gastrin dari lambung ke kolon dan oleh saraf otonom ekstrinik, terjadi ketika makanan masuk ke lambung dan akan memicu refleks defekasi. Oleh karena itu, sebagian besar prang akan merasakan keinginan untuk buang air
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
besar setelah makan pagi. Hal ini karena refleks tersebut mendorong isi kolon untuk masuk ke rectum sehingga tersedia tempat di dalam usus untuk makanan yang baru dikonsumsi. Selanjutnya, isi usus halus akan didorong ke usus besar melalui refleks gastroileum.
Gerakan massa mendorong isi kolon ke dalam rektum sehingga rektum meregang. Peregangan ini menimbulkan refleks defekasi yang disebabkan oleh aktivasi refleks intrinsik. Refleks intrinsik, lebih tepatnya pleksus mienterikus, menimbulkan gerakan peristaltik sepanjang kolon desendens, sigmoid, dan rectum yang memaksa feses memasuki anus dan membuat sfingter anus berelaksasi. Namun, defekasi dapat dicegah jika sfingter anus eksternus yang berupa otot rangka tetap berkontraksi yang dikontrol secara sadar. Dinding rektum yang semula meregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda hingga akhirnya datang gerakan massa berikutnya. Gerakan peristaltis yang dipicu oleh refleks intrinsik yang bersifat lemah. Oleh karena itu, terdapat refleks parasimpatik untuk memperkuatnya. Sinyal dari rektum dilanjutkan terlebih dahulu ke korda spinalis lalu dikirim balik ke kolon, sigmoid, dan rektum melalui nervus pelvis sehingga gerakan peristaltis bersifat kuat. Sinyal defekasi yang memasuki korda spinalis menimbulkan efek lain seperti tarikan nafas yang dalam, penutupan glotis, dan kontraksi abdomen yaang mendorong feses keluar.
Pengubahan sisa makanan menjadi feses. Di dalam usus besar, tidak terjadi proses pencernaan karena ketiadaan enzim pecernaan dan penyerapan yang terjadi lebih rendah daripada usus halus akibat luas permukaan yang lebih sempit. Dalam keadaan normal, kolon menyerap sebagian garam (NaCl) dan H2O. Natrium adalah zat paling aktif diserap, Cl- secara pasif menuruni gradien listrik, dan H2O berpindah melalui osmosis. Melalui penyerapan keduanya maka terbentuk feses yang padat. Sekitar 500 ml bahan masuk ke kolon, 350 ml diserap dan 150 g feses dikeluarkan. Feses ini terdiri dari 100 g H2O dan 50 g bahan padat seperti selulosa, bilirubin, bakteri, dan sejumlah kecil garam. Dengan demikian, produk sisa utama yang dieksresikan melalui feses adalah bilirubin, serta makanan yang pada dasarnya tidak dapat diserap oleh tubuh.
Konstipasi
Apabila defekasi tertunda terlalu lama, dapat terjadi konstipasi. Jika isi kolon tertahan dalam waktu yang lama dari normal, jumlah H₂O yang diserap akan melebihi normal, sehingga feses menjadi kering dank eras.
II.3 Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna
Pada sistem pencernaan manusia makanan mengalami proses pencernaan pada saat makanan
berada di dalam mulut hingga proses pengeluaran sisa-sisa makanan hasil pencernaan.
Berikut ini merupakan proses pencernaan makanan, diantaranya:
1. Ingesti : memasukkan makanan ke dalam tubuh melalui mulut
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
2. Mastikasi : proses mengnyah makanan oleh gigi
3. Deglutisi : proses menelan makanan di kerongkongan
4. Digesti : proses pengubahan makanan menjadi molekul yang lebih sederhana
yang terjadi di lambung dengan bantuan enzim
5. Defekasi : pengeluaran sisa-sisa makanan yang sudah tidak berguna untuk tubuh
melalui anus
Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan, kerongkongan, lambung, usus halus, usus
besar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar
saluran pencernaan, yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
Mulut, Tenggorokan & Kerongkongan
Mulut terdiri atas gigi, lidah, dan jelenjar ludah
(saliva) serta rongga mulut itu sendiri. Fungsi mulut
adalah melumatkan makanan sekaligus menyatukan
menjadi homogen dengan bantuan saliva, sehingga
terbentuk substansi setengah cair yang mudah
ditelan.
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari mulut dilapisi
oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang terdapat di permukaan
lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis, asam, asin dan pahit. Penciuman
dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau.
Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah oleh gigi belakang
(molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih mudah dicerna. Ludah dari
kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian dari makanan tersebut dengan enzim-enzim
pencernaan dan mulai mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya
lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung. Proses menelan
dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis.
Terdapat 2 sfingter:
1. Sfingter esofagus bagian atas (antara orofaring dan esofagus)
2. Sfingter bagian bawah (antara esofagus dan lambung)
Fungsi: Melanjutkan makanan halus ke lambung
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Lambung
Lambung merupakan organ otot berongga yang besar, terdiri dari 3 bagian yaitu kardia,
fundus dan antrum. Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkonan melalui otot
berbentuk cincin (sfingter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan normal, sfinter
menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam kerongkongan.
Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk
mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 4
zat penting :
Buccal lipase
asam klorida (HCl)
Pepsin
Rennin
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan
oleh asam lambung. Setiap kelainan pada lapisan
lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah kepada terbentuknya tukak lambung.
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh pepsin guna
memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan sebagai penghalang
terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
Usus Halus
Lambung melepaskan makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan
bagian pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui sfingter pilorus
dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika
penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada
lambung untuk berhenti mengalirkan makanan.
Dinding usus kaya akan pembuluh darah yang
mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena
porta. Dinding usus melepaskan lendir (yang
melumasi isi usus) dan air (yang membantu
melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna).
Dinding usus juga melepaskan sejumlah kecil enzim
yang mencerna protein, gula dan lemak.
Pankreas
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Pankraes merupakan suatu organ yang terdiri dari 2
jaringan dasar :
Asini, menghasilkan enzim-enzim pencernaan
Pulau pankreas, menghasilkan hormon
Pankreas melepaskan enzim pencernaan ke dalam
duodenum dan melepaskan hormon ke dalam darah. Enzim
yang dilepaskan oleh pankreas akan mencerna protein, karbohidrat dan lemak. Enzim
proteolitik memecah protein ke dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tubuh dan
dilepaskan dalam bentuk inaktif. Enzim ini hanya akan aktif jika telah mencapai saluran
pencernaan. Pankreas juga melepaskan sejumlah besar sodium bikarbonat, yang berfungsi
melindungi duodenum dengan cara menetralkan asam lambung.
Hati
Hati merupakan sebuah organ yang besar dan memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya
berhubungan dengan pencernaan.
Zat-zat gizi dari makanan diserap ke dalam dinding usus yang kaya akan pembuluh darah
yang kecil-kecil (kapiler). Kapiler ini mengalirkan darah ke dalam vena yang bergabung
dengan vena yang lebih besar dan pada akhirnya masuk ke dalam hati sebagai vena porta.
Vena porta terbagi menjadi pembuluh-pembuluh kecil di dalam hati, dimana darah yang
masuk diolah.
Hati melakukan proses tersebut dengan kecepatan tinggi, setelah darah diperkaya dengan zat-
zat gizi, darah dialirkan ke dalam sirkulasi umum.
Kandung Empedu & Saluran Empedu
Empedu memiliki 2 fungsi penting :
membantu pencernaan dan penyerapan lemak
berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama haemoglobin (Hb)
yang berasal dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol
Usus Besar
Usus besar terdiri dari :
Kolon asendens (kanan)
Kolon transversum
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Kolon desendens (kiri)
Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan
dan membantu penyerapan zat-zat gizi.
Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K.
Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa
menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi
yang bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
Rektum & Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari
ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir
di anus. Biasanya rektum ini kosong karena tinja
disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon
desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja
masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk
buang air besar (BAB). Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini,
tetapi bayi dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang
penting untuk menunda BAB.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan limbah keluar dari
tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lannya dari usus.
Suatu cincin berotot (sfingter ani) menjaga agar anus tetap tertutup.
II.4 Etiologi dan Pencegahan Konstipasi
Secara patofisiologi, konstipasi umumnya terjadi karena kelainan pada transit dalam kolon
atau pada fungsi anorektal sebagai akibat dari gangguan motilitas primer, penggunaan obat-
obat tertentu atau berkaitan dengan sejumlah besar penyakit sistemik yang mempengaruhi
traktus gastrointestinal. Ada pula factor-faktor yang dapat menyebabkan konstipasi adalah
kurangnya serat dalam makanan.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Pada pasien yang baru saja terkena konstipasi, kemungkinan dapat ditemukan lesi obstruktif
kolon. Obstruksi kolon dapat disebabkan oleh neoplasma kolo, striktur akibat iskemia kolon,
penyakit divertikulum atau penyakit usus inflamatorik; benda asing atau striktur ani. Spasme
sfingter ani akibat hemorrhoid atau fisura yang nyeri juga dapat menghambat keinginan
untuk defekasi.
Gangguan inervasi parasimpatik pada kolon sebagai akibat dari lesi atau cedera pada veterbra
lumbosakral atau nervus sakralis dapat menimbulkan konstipasi dengan hipomotilitas,
dilatasi kolon, berkurangnya tonus rectum serta sensibilitasnya, dan gangguan defekasi. Pada
pasien multiple sklerosis, konstipasi dapat berkaitan dengan disfungsi neurogenik pada organ
lain. Demikina pula, konstipasi dapat berkaitan dengan lesi pada system saraf pusat yang
disebabkan oleh parkinsonisme atau penyakit cerebrovaskuler. Di amerika selatan, infeksi
parasit yang berupa penyakit Chagas dapat mengakibatkan konsipasi akibat kerusakan pada
sel-sel ganglion pleksus mieterikus. Penyakit Hirschsprung atau aganglionosis ditandai
dengan tidak terdapatnya neuron mieterikus dalam segmen kolon distal tepat di seblah
proximal sfingter ani. Keadaan ini mengakibatkan sebuah segmen usus berkrontraksi yang
menimbulkan obstruksi pada segmen tersebut dan dilatasi dibagian proximalnya. Disamping
itu, tidak adanya refleks inhibisi rectosfingter mengakibatkan ketidakmampuan sfingter ani
internal untuk berelaksasi setelah terjadinya distensi rectum.
Obat-obat yang dapat menimbulkan konstipasi mencakup obat-obat dengan kerja
antikolinergik, seperti preparat anti-depresan serta anti-psikotik, codein, dan analgesic
narkotik lainnya, antasida yang mengandung aluminum atau kalsium, sukralfat, suplemen zat
besi dan antagonis kalsium. Pada pasien endokrinopati tertentu, seperti hipotiroidisme dan
diabetes mellitus, konstipasi umumnya ringan dan responsive terhadap terapi. Konstipasi uga
sering ditemukan selama kehamilan, keadaan ini mungkin terjadi akibat perubahan kadar
progesterone serta estrogen yang menurunkan transit intestinal.
Pencegahan :
Jangan mengabaikan atau menahan keinginan anda untuk buang air besar.
Makanlah lebih banyak makanan berserat seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Minumlah cukup banyak air, kira-kira 8 gelas setiap hari.
Jangan mengkonsumsi obat pencahar (laksatif) terlalu sering. Penggunaan laksatif secara berlebihan bisa merusak tinja dan bisa membuat konstipasi yang terjadi bertambah parah.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Sering berolahraga atau beraktifitas.
Batasi makanan yang tinggi lemak dan gula (seperti makanan yang manis-manis, keju, dan makanan olahan). Makanan-makanan tersebut dapat menimbulkan konstipasi.
II.5 Langkah Diagnostik dan Penatalaksanaan Konstipasi
Terapi pada konstipasi!
Pada prinsipnya untuk merawat penderita konstipasi ialah:
1. Harus dicari penyebab konstipasinya2. Memberikan edukasi kepada penderita agar dapat melakukan defekasi secara alamiah3. Menghentikan kebiasaan pemakaian laksativ dan enema4. Mengebalikan dan membiasakan agar dapat defekasi sendiri tanpa menggunakan
obat-obatan.
Oleh karena itu perawatan konstipasi untuk tiap penderita tidak selalu sama, dan harus dicari sebabnya. Memberi penerangan kepada penderita, agar supaya teratur pada waktu-waktu yang tertentu melakukan defekasi.
Senam, perlu sekali dianjurkan untuk melakukan senam perut untuk memperkuat dinding perut. Senam ini terutama perlu sekali dianjurkan kepada penderita dengan atoni pada otot perut. Sebaiknya melakukan senam sehari 2 kali.
Diet, pengaturan diet perlu sekali, dianjurkan makan makanan yang mengandung banyak sayur-sayuran, buah-buahan yang banyak mengandung selulosa. Selulosa yang dimakan susah dicerna sebab didalam badan kita tak mempunyai enzim selulosa. Jadi selulosa berguna untuk memperlancar defekasi. Dianjurkan minum yang banyak, sekurang-kurangnya 1 liter sehari. Minum susu tiap hari adalah baik. Dilarang makan makanan yang menyebabkan timbulnya konstipasi misalnya pala, salak, tepung beras, kue-kue.
Obat-obatan, pada orang yang menderita konstipasi lebih dari 3 hari, pertama-tama harus dilakukan lavement, dapat dicoba dulu dengan memberikan glycerin yang dihangatkan. Atau dapat diberikan dulcolax suppositoria yang biasanya kurang mengadakan iritasi terhadap mukosa rektum. Cara ini sering dianjurkan terhadap penderita yang lama istirahat di tempat tidur. Pada penderita konstipasi yang disebabkan oleh dyschezia, dapat diberikan obat-obatan sampai proses defekasi tidak terganggu. Tapi yang terpenting ialah dianjurkan melakukan senam perut dan memberikan diit.Obat-obatan yang berupa :
a. Synthetic bulging (swelling) agents. Yang dapat menghasilkan selulosa. Sebagian obat-obatan menimbulkan peristaltik. Sebagian besar berasal dari tumbuh-tumbuhan. Termasuk golongan ini ialah: konsyl, metamucil, mucilosa, plancello, calogal, stolus.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
b. Obat-obatan yang bersifat melembekkan (stool softners). Pada penderita-penderita dengan penyakit anal, striktur pada rektum atau anus, biasanya tinjanya keras. Oleh karena itu dapat dicoba dengan obat yang bersifat melembekkan tinja, misalnya: colase, doximate, aguatyl, Dio medicone.
II.6 Mengapa Terjadi Demam, Pucat, dan Lemas Pada Skenario
Pada kasus askariasis, gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Selama bermigrasi larva dapat menimbulkan gejala bila merusak kapiler atau dinding alveolus paru. Keadaan tersebut akan menyebabkan terjadinya perdarahan, penggumpalan sel leukosit dan eksudat, yang akan menghasilkan konsolidasi paru dengan gejala panas, batuk, batuk darah, sesak napas dan pneumonitis Askaris.
Setiap 20 cacing dewasa, per hari akan merampas 2.8 gram karbohidrat dan 0.7 gram protein sehingga terutama pada ank anak sering kali menimbulkan perut buncit, pucat, lesu, rambut jarang berwarna merah serta badan kurus, apalagi jika anak sebelumnya sudah menderita undernutrisi. Gambaran ini disebabkan oleh defisiensi gizi yang juga dapat menimbulkan keadaan anemi.
Mekanisme Terjadinya Demam
Demam (pireksia) keadaan tubuh di atas normal sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL-1. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas.
Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat dua jenis pirogen yaitu pirogen eksogen dan endogen. Zat pirogen dapat berupa protein, pecahan protein.
Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar. Umumnya pirogen berinteraksi dengan sel fagosit,makrofag atau monosit, untuk merangsang sintesis IL-1. Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen eksogen (misalnya endotoksin) bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu.
Mekanisme virus memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan invansi langsung kedalam makrofag.
Pada mekanisme ini,mikroorganisme akan difagositosis oleh leukosit,makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan dan melepaskan interleukin-1 ke dalam cairan tubuh, yang disebut juga pirogen endogen.
Daerah spesifik dari IL-1 preoptik dan hipotalamus anterior, yang mengandung sekelompok saraf termosentif yang berda di dinding rostral ventrikel III, yang disebut juga sebagai organosum vasculorum lamina terminalis(OVTL), yaitu batas antara sirkulasi dan otak.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Selama demam, IL-1 masuk kedalam ruang perivaskular OVTL melalui jendela kapiler untuk merangsang sel memproduksi PGE-2,secara difusi masuk ke hipotalamus untuk menyebabkan demam.
II.7 Cacing yang Dapat Menyebabkan Konstipasi
Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides merupakan salah satu infeksi yang paling umum dan paling luas penyebarannya pada manusia. Diperkirakan 1,2 milyar penduduk dunia terinfeksi cacing ini dengan kematian sekitar 10.000 per tahun. Di Ethiopia, 37% penduduk diperkirakan terinfeksi A. lumbricoides. Suatu penelitian di Jakarta Utara pada tahun 2003 pada anak sekolah dasar di daerah kumuh menunjukkan 49,02% dari 102 spesimen feses, mengandungtelur cacing dan 80% merupakan telur A. lumbricoides.
Askaris berukuran panjang 20-25 cm (betina) dan 15-40 cm (jantan). Telur didapatkan pada usus halus dan dikeluarkan dapat dalam bentuk ovum imatur. Pada tanah yang lembab, embrio berkembang dalam dalam waktu 2-4 bulan. Bila telur tertelan, larva rhabditiform akan menetas dalam usus halus, menembus mukosa dan mencapai aliran darah, mencapai paru melalui jantung kanan, menembus dinding alveoli dan masuk ke saluran napas. Selanjutnya larva menuju trachea dan laring, melewati epiglottis dan masuk ke esophagus, tertelan untuk kedua kalinya dan mencapai usus halus. Seluruh proses ini memerlukan waktu 10-14 hari. Penularan umumnya terjadi melalui tertelannya telur cacing dari tanah yang terkontaminasi. Masa inkubasi 60-75 hari. Cacing dewasa dapat hidup sampai 1-2 tahun dan menghasilkan240.000 telur perhari.
Banyak individu terinfeksi menunjukkan sensitivitas terhadap antigen ascaris dengan gejala konjungtivitis, urtikaria, asma. Perjalanan cacing dewasa dalam tubuh individu yang senstitif dapat menyebabkan gatal hebat pada anus, dimuntahkan cacing, edema glottis. Imunitas terhadap infeksi A. lumbricoides hanya bersifat parsial.
Manifestasi klinis askariasis beragam sesuai dengan siklus hidupnya dalam tubuh manusia. Migrasi larva pada paru dapat menyebabkan kerusakan pada paru (loffler’s syndrome), terjadi 4-6 hari setelah infeksi dan dapat berlangsung sampai 3 minggu, ditandai dengan demam, batuk berdahak, asma, skin rash, eosinophilia, infiltrate paru. Kondisi ini dapat menyebabkan kematian. Larva yang mencapai otak , mata atau retina dapat menimbulkan granuloma. Gejala neurologi antara lain kejang, meningismus, epilepsy, insomnia, tooth grinding. Pada saluran cerna dapat terjadi ileus obstruksi, perforasi usus, apendisitis akut, divertukulitis, nekrosis pancreas, icterus obstruktif, kolangitis supuratif, kolesistis akut, abses hati, perforasi esophagus. Selain manifestasi klinis di atas, pada anak-anak sering disertai defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin A, hambatan pertumbuhan karena malabsorpsi di usus halus. Sejumlah penelitian juga menunjukkan pengaruh ascariasis dalam gangguan kognitif.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Komplikasi ascariasis yang paling sering adalah obstruksi usus halus. Pada pemeriksaan foto polos usus dan ultrasonografi biasanya terlihat gambaran khas yaitu railway track sign dan bull’s eye appearance.
Diagnosis berdasarkan ditemukannya cacing atau telur cacing pada feses. Beratnya infeksi dapat dinilai berdasarkan jumlah telur dalam feses dengan metode kato-katz. WHO mendefinisikan infeksi berat bila ditemukan >50.000 telur/gram feses. Pada stadium larva, didapatkan kadar eosinophil yang tinggi.
Obat pilihan adalah albendazol 400 mg atau mebendazol 500 mg dosis tunggal. Obat alternative adalah levamisol 2,5 mg/kg atau pirantel pamoat 10 mg/kg dosis tunggal. Penanganan komplikasi meliputi pemberian prednisolone pada loffler’s syndrome; pada obstruksi intestinal dilakukan pemasangan nasogastric tube, cairan intravena, analgesic, dan bila gagal diperlukan intervensi bedah.
Trichuris trichiura
Cacing ini tersebar luas di dunia, terutama di daerah tropis yang hangat dan lembab (terbanyak di daerah tropis afrika dan asia tenggara). Diperkirakan 900 juta orang terinfeksi di seluruh dunia dengan prevalensi tertinggi pada anak <5 tahun. Di Ethiopia, diperkirakan prevalensi infeksi T. trichiura pada populasi mencapai 30%. Trichuriasis sering kali berhubungan dengan infeksi A. lumbricoides dan Toxocara spp. T. trichiura berwarna putih keabuan atau merah muda dengan panjang 30-45 mm (jantan) dan 30-35 mm(betina). Cacing hidup disekum dan apendiks. Penularan terjadi melalui tertelannya telur matang pada jari yang terkontaminasi tanah. Larva muncul di usus halus, menembus vili, berkembang selama satu minggu dan masuk ke sekum dan kolorektal untuk menjadi cacing dewasa. Diperlukan waktu 60-90 hari sejak telur tertelan sampai telur muncul di feses. Cacing dewasa dapat hidup selama 5 tahun dan memproduksi 3000-7000 telur per hari.
Patologi truchuriasis tergantung banyaknya cacing dalam usus. Pada kondisi berat dapat terjadi perdarahan kolon, gejala disentri (trichuris dysentery syndrome) dan polaps rectum. Kerusakan mukosa karena Trichuris dapat memudahkan infeksi oleh organisme lain seperti shigelosis dan Entamoeba hystolytica. Infeksi juga dapat mengeksaserbasi colitis yang disebabkan oleh Campylobacter jejuni. Individu yang tinggal di daerah endemis memiliki respon imun yang tinggi yang melibatkan IgA, IgM, IgG, IgE, berbagai sitokin, namun tidak menghasilkan imunitas protektif yang lengkap.
Infeksi ringan biasanya tanpa gejala, infeksi sedang menyebabkan anemia dan gangguan pertumbuhan. Pada infeksi berat (lebih dari 500 cacing dalam usus), terjadi trichuris dysentery cyndrome (TDS), prolapse rectum. Diagnosis berdasarkan ditemukannya telur yang khas pada feses dengan metode kato-katz. Kriteria WHO untuk infeksi berat adalah ditemukannya >10.000 telur/gram feses.
Terapi pilihan adalah albendazol 400 mg atau mebendazol 500 mg dosis tunggal. Alternative lain yang sama efektifnya adalah kombinasi albendazol 400 mg dan ivermectin 200ug/kg.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
pengendalian infeksi cacing ini adalah dengan menghindari kontak dengan tanah yang terkontaminasi dan kemoterapi masal secara periodic.
II.8 Diagnosis Banding
II.8.1 Kandidiasis
1. Anamnesis Kandidiasis
ASKARIASIS
a. Hospes dan Nama Penyakit Manusia merupakan satu-satunya hospes ascaris lumbricoides. Penyakit yang disebabkannya disebut askariasis
b. Distribusi Geografik Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survey yang dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi A.lumbricoides masih cukup tinggi, sekitar 60-90%.
c. Morfologi dan Daur Hidup Cacing jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Stadium dewasa hidup dirongga usus kecil. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000 butir sehari; terdiri atas telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. (Tabel 1)Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3minggu. Bentuk infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva diparu menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk ke rongga alveoulus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan tersebut dan larva akan tertelan kedalam esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2-3 bulan. (Gambar 1)
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Gambar 1. Daur Hidup Ascaris lumbricoides
Tabel 1. Karakteristik Ascaris lumbricoides
Karakteristik Ukuran cacing dewasa
-Jantan
-Betina
Umur cacing dewasa Lokasi cacing dewasa Ukuran telur
Jumlah telur/cacingBetina/hari
Panjang 15-30 cmLebar 0,2-0,4cmPanjang 20-35 cmLebar 0,3-0,6cm1-2 tahunUsus halusPanjang 60-70mmLebar 40-50mm± 200.000 telur
d. EpidemiologiDi Indonesia prevalensi askariasis tinggi, tertama pada anak. Frekuensinya 60-99%. Kurangnya pemakaian jamban keluarga menimbulkan pencemaran tanah dengan tinja disekitar halaman rumah, dibawah pohon, ditempat pembuangan sampah. Di negara-negara tertentu terdapat kebiasaan memakai tinja sebagai pupuk.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Tanah liat, kelembaban tinggi dan suhu 25-30’C merupakan kondisi yang sangat baik untuk berkembangnya telur A.lumbricoides menjadi bentuk infektif.
e. Patologi dan Gejala Klinis Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan tersebut disebut sindrom loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak sekolah dasar. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tersebut cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif.
f. Diagnosis Cara menengakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemerikasaan tinja secara langsung. Adanya telur dalam tinga memastikan diagnosis askariasis. Selain itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut atau hidung karena muntah maupun melalui tinja.
g. Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secara perorangan atau secara massal. Untuk perorangan dapat digunanakan bermacam-macam obat misalnya piperasin, pirantel pamoat 10mg/kg berat badan, dosis tunggal mebendazol 500mg atau albendazol 400mg.Oksantel-pirantel pamoat adalah obat yang dapat digunakan untuk infeksi campurang A.lumbriocoides dan T.trichiura. Untuk pengobatan masal perlu beberapa syarat, yaitu :- Obat mudah diterima masyarakat
- Aturan pemakaian sederhana
- Mempunyai efek samping yang minim
- Bersifat polivalen, sehingga berkhasiat trhadap beberapa jenis cacing
- Harganya murah
h. Prognosis Pada umumnya askariasis mempunyai prognosis baik. Tanpa pengobatan, penyakit dapat sembuh sendiri dalam waktu 1,5 tahun. Dengan pengobatan, angka kesembuhan 70-99%.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
DEMAM TIFOID
DEFINISI
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typoid fever.
Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan
(usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran .
ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi dari
Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora,
motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat
hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu.
Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi.
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini
mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan
terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi
tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman
terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula
pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
PATOGENESIS
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh manusia melalui makanan
yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian
lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak.
Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman akan menembus
sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat
hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri
ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan
sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya
dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita
dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala
prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu
tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap
hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu
tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan
Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah
ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai
tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan
limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi
mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai
somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.
EPIDEMIOLOGI
a. Orang
Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan yang nyata antara
insiden pada laki-laki dan perempuan.
Insiden pasien demam tifoid dengan usia 12 – 30 tahun 70 – 80 %, usia 31 – 40 tahun 10 – 20
%, usia > 40 tahun 5 – 10 %.
Menurut penelitian Simanjuntak, C.H, dkk (1989) di Paseh, Jawa Barat terdapat 77 %
penderita demam tifoid pada umur 3 – 19 tahun dan tertinggi pada umur 10 -15 tahun dengan
insiden rate 687,9 per 100.000 penduduk. Insiden rate pada umur 0 – 3 tahun sebesar 263 per
100.000 penduduk.
b. Tempat dan Waktu
Demam tifoid tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2000, insiden rate demam tifoid di
Amerika Latin 53 per 100.000 penduduk dan di Asia Tenggara 110 per 100.000 penduduk.6
Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun, di Jakarta Utara pada tahun
2001, insiden rate demam tifoid 680 per 100.000 penduduk dan pada tahun 2002 meningkat
menjadi 1.426 per 100.000 penduduk.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Faktor-faktor yang Mempengaruhi (Determinan)
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang
berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau urine.
Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakterimia kepada bayinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono (2009) dengan desain case control ,
mengatakan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid
pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan tidak jajan diluar (OR=3,65)
dan anak yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena
penyakit demam tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan
sebelum makan (OR=2,7).
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan, maka
semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid.
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar hygiene
dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran demam
tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene
industri pengolahan makanan yang masih rendah.
Berdasarkan hasil penelitian Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) dengan desain case
control , mengatakan bahwa higiene perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena
penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan
yang baik (OR=20,8) dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang kualitas air minumnya
tidak tercemar berat coliform (OR=6,4) .
PENCEGAHAN
Pencegahan dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit, yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier.
Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap
sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari
strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum selang
sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita
hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk
dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis
dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan
nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada
pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara
intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui,
sedang demam dan anak umur 2 tahun.
Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar
dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan
kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan
yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan,
sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi
lingkungan.
Pencegahan Sekunder (PEMERIKSAAN PENUNJANG)
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini dan
mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat.
Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode
untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu :
a.Diagnosis klinik
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis yang khas pada demam
tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga ditemukan pada penyakit lain.
Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam
beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman
Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan lebih dari 90%
penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positip dalam minggu pertama. Hasil ini
menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%.
Meskipun demikian kultur sum-sum tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90%
positip. Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin
meningkat yaitu 85% dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme
dalam tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3%
penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu
yang lama.
c. Diagnosis serologik
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
1. Uji Widal
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin
yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada
orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin
demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan
adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan
titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan
didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan
meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari.
Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis
demam tifoid.
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita
infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita
a. Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumnpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit
selama satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau
keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat
pembentukan antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi
pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma
lanjut.
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat
pembentukan antibodi.
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat.
Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan
titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena
itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang
mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya
rendah. Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-
orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang
sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi
aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab
infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan
mempengaruhi hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik
daripada suspensi antigen dari strain lain.
2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini
mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung.
Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.
b. Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi
Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine)
secara teoritis dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA
yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella typhi dalam spesimen klinis,
yaitu double antibody sandwich ELISA.
Pencegahan sekunder dapat berupa :
a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans
demam tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau
sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan.
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi,
terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila
penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya
kekuatan penderita. Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan kesadaran serta
yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat
untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih
menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu
pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III karena
dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat
yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat
komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya tetap
menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat terhindar dari
infeksi ulang demam tifoid.
Pada penderita demam tifoid yang carier perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca
penyembuhan untuk mengetahui kuman masih ada atau tidak.
PENATALAKSANAAN
Obat-obat pilihan pertama adalah kloramfenikol, ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol.
Obat pilihan kedua adalah sefalosporin generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah
meropenem, azithromisin dan fluorokuinolon.
• Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari, terbagi dalam 3-4 kali pemberian,
oral atau intravena, selama 14 hari. Bilamana terdapat indikasi kontra pemberian
kloramfenikol , diberi
• ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian, intravena saat
belum dapat minum obat, selama 21 hari, atau
• amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari, terbagi dalam 3-4 kali. Pemberian,
oral/intravena selama 21 hari
• kotrimoksasol dengan dosis (tmp) 8 mg/kbBB/hari terbagi dalam 2-3 kali pemberian, oral,
selama 14 hari.
Pada kasus berat, dapat diberi seftriakson dengan dosis 50 mg/kg BB/kali dan
diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kg BB/hari, sekali sehari, intravena, selama 5- 7 hari. Pada
kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan antibiotika adalah meropenem,
azithromisin dan fluoroquinolon. (Darmowandowo, 2006)
Pada Anak :
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
• Klorampenikol : 50-100 mg/kg BB/dibagi dalam 4 dosis sampai 3 hari bebas panas /
minimal 14 hari. Pada bayi < 2 minggu : 25 mg/kg BB/hari dalam 4 dosis. Bila dalam 4 hari
panas tidak turun obat dapat diganti dengan antibiotika lain (lihat di bawah)
• Kotrimoksasol : 8-20 mg/kg BB/hari dalam 2 dosis sampai 5 hari bebas panas / minimal 10
hari
• Bila terjadi ikterus dan hepatomegali : selain Kloramfenikol diterapi dengan Ampisilin 100
mg/ kg BB/hari selama 14 hari dibagi dalam 4 dosis • Bila dengan upaya-upaya tersebut
panas tidak turun juga, rujuk ke RSUD.
Perhatian :
• Jangan mudah memberi golongan quinolon, bila dengan obat lain masih bisa diatasi.
• Jangan mudah memberi Kloramfenikol bagi kasus demam yang belum pasti demam tifoid,
mengingat komplikasi Agranulositotis. • Tidak semua demam dengan leukopeni adalah
Demam Tifoid • Demam < 7 hari tanpa leukositosis pada umumnya adalah infeksi virus,
jangan beri kloramfenikol.
KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :
- Komplikasi Intestinal
a. Perdarahan Usus
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami
syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan
sebanyak 5 ml/kgBB/jam.
b. Perforasi Usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga
namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam tifoid dengan perforasi
mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian
meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan
bahkan sampai syok.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
- Komplikasi Ekstraintestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis,
trombosis dan tromboflebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler
diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis
d. Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis
e. Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis
f. Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis
g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer,
psikosis, dan sindrom katatonia.
Trikuriasis (Trikosefaliasis)
Etiologi
Trichuris trichiura (Thread worm).
Epidemiologi
Terdapat di seluruh dunia (kosmopolitan), frekuensi infeksi cacing ini di jakarta dan sekitarnya cukup tinggi, di Bekasi dari 1.084 anak sekolah menunjukkan angka frekuensi 24,4% .
Cara infeksi
menelan telur yang dibuahi, kemudian larvanya melekat pada vilus usus halus sampai menjadi dewasa, kemudian ke sekum dan kolon bagian proksimal.
Gejala klinis
Infeksi ringan cacing ini tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas.
Pada Infeksi berat yang biasanya ditemukan
o Keluhan nyeri daerah epigastrium yang dapat disertai muntah-muntah
o Konstipasi
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
o Perut kembung
o Diare dengan tinja yang bergaris-garis merah darah,
o Berat badan yang berkurang,
o Dapat terjadi pula prolapsus rektum dengan cacing yang melekat pada selaput lendir
usus
o Anemia yang disebabkan perdarahan kronis, penderita akan kehilangan darah kira-
kira0,25 ml/1000 telur Trichuris trichiura yang terdapat pada 1gr tinja .
Diagnosis
Dapat dibuat dengan menemukan telur dan atau cacing Trichuris trichiura dalam tinja, baik pada sediaan langsung maupun pada konsentrasi menurut Stoll.
Pengobatan
1. Ditiazin iodida (Delvex, Telmid, Delombrin, Netocyd) dengan dosis 10 mg/kgbb/hari pada hari pertama, selanjutnya 20 mg/kgbb/hari selama 3-15 hari, juga diberikan ditiazanin enema
2. Triklormenolpiperazin
3. Stibazium iodida (Monopar)
4. Obat pilihan : tiobendaol (Mintezol) dengan dosis 25-30 mg/kgbb/hari selama 7-30 hari.
Prognosis
Baik
Pencegahan Preventif Dan Promotif
Memakai alas kaki
Penyuluhan pada masyarakat
II.9 Penyakit Anak dengan Konstipasi
Strongiloidiasis
Disebabkan oleh cacing Strongyloides stercoralis. Hanya cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyenum
Gejala klinis
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan Creeping eruption yang serng disertai rasa gatal yang hebat.
Ccng dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Infeksi ringan Strongiloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk didaerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual dan muntah, diare dan konstipasi sering bergantian. Pada strongiloides dapat terjadi autinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat di temukan diseluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan diberbagai alat dalam (paru, hati kandug empedu)
Askariasis
Disebabkan oleh Ascaris lumbricoides
Gejala klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva
Gangguan pada larva biasanya terjadi pada saat berada di paru . pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil didinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan tersebut di sebut sindrom loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasnya ringan. Kadang-kadang enderita mengalami ganguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutrisi dan penurunan status kognitif pada anak sekolah dasar. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus.
Pseudo-obstruksi intestinum kronis
Pseudo-obstruksi intestinum kronis adalah sekelompok gangguan yang ditandai oleh tanda-tanda dan gejala obstruksi intestinum tanpa adanya lesi anatomi
Manifestasi klinis
Lebih dari setengah anak penderita pseudo obstruksi bawaan mengalami gejala-gejala pada umur beberapa bulan pertama. Dua pertiga bayi yang memeperlihatkan gejala pada umur beberapa hari pertama , dilahirkan prematur, dan 40% mengalami malrtasi intestinum. Gejala yang paing sering adalah perut kembung dan muntah, ditemukan pada 75% bayi. Konstipasi, gagal tumbuh, dan nyeri perut terjadi pada sekita 60% .
Dema tifoid
infeksi akut pada usus kecil yang disebabkan oleh Salmonella
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
masa tunas demam tifoid berlangsung antara (10-14 hari). Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dengan ringan samapai berat , dan asimptomatik hingaa gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kemtian.
Pada minggu pertam gejala klinis klinis penyakit ii ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu: demam, nyeri kepala, pusing, mual,muntah, nyeri otot, anoreksia, konstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk, dan epistaksis. Demam meningkat perlahan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejaa makin terlhat jelas berupe demam, bradikardi relatif, lidah kotor, hepatomegali, splenomegali, materoismus, gangguan mental berupa somnolen.
Megakolon aganglionik bawaan ( penyakit Hirschsprung)
Disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal. Penyebab obstuksi usus bagian bawah yang paling sering pada neonatus.
Gejala klinis
Mulai saat lahir dengan terlambatnya mengeluarkan mekonum. Dicurigai apabila bayi cukup bulan yang terlambat mengeluarkan tinja. Gagal tumbuh dengan hipoproteinemia, perut kembung, konstipasi kronis
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
BAB III PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Setelah melakukan diskusi mengenai modul konstipasi ini, dapat kami
ketahui bahwa working diagnose pada skenario tersebut adalah Askariasis
juga dengan Demam Tifoid dan Trikuriasis differential diagnose.
III.2 Saran
Harus dilakukannya pemeriksaan penunjang laboratorium agar lebih
memastikan penyakit apa yang sedang diderita pasien di dalam skenario
tersebut.
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |
DAFTAR PUSTAKA
S.poorwo Soedarmo, Sumarno,dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.ed 2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Guyton dan Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.ed 11. Jakarta: EGC
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Natadisastra Djaenudin, Ridad Agoes. 2009. Parasitologi Kedokteran: ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Jakarta: EGC
Hadi, Sujono. 2013. Gastroenterologi. Bandung: Alumni.
Sherwood L. Fisiologi manusia: Sistem pencernaan. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2001, hlm. 583-584.
Corwin, Elizabeth J. 2009. PATOFISIOLOGI. Jakarta : EGC
Arvin, Behrman Klirgman. 1995. Ilmu Kesehatan Anak. Austin, J.M. and Wood
K.J. EGC.Jakarta
Buku ajar gastroentrologi ,hlm.15-16
Biokimia Harper
Modul konstipasi— Kelompok 5 Cempaka Putih |