Upload
others
View
44
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MONITORING EFEK SAMPING DAN EFEKTIVITAS TERAPI KETOROLAK DAN METAMIZOL PADA PASIEN CEDERA KEPALA DI
RSUP dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR
MONITORING of SIDE EFFECTS AND EFFECTIVENESS KETOROLAC AND METAMIZOL THERAPY TO PATIENTS’ HEAD INJURY AT RSUP
dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR
A.SUPARLAN ISYA SYAMSU
P2500214405
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
MONITORING EFEK SAMPING DAN EFEKTIVITAS TERAPI KETOROLAK DAN METAMIZOL PADA PASIEN CEDERA KEPALA DI
RSUP dr. WAHIDIN SUDIROHUSODO MAKASSAR
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Farmasi Konsentrasi Farmasi Klinik
Disusun dan diajukan oleh
A. SUPARLAN ISYA SYAMSU
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2017
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : A.Suparlan Isya Syamsu
Nomor Pokok : P2500214405
Program Studi : Farmasi
Menyatakan sengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-
benar merupakan hasil karya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan
tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian hari terbukti atau
dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan ini tesis ini hasil karya
orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas pebuatan tersebut.
Makassar, 18 Agustus 2017
Yang Menyatakan,
A.Suparlan Isya Syamsu
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas
segala rahmat, taufik dan hidayah hingga penulis dapat merampungkan
penyusunan tesis dengan judul “Monitoring Efek Samping dan Efektivitas
Terapi Ketorolak dan Metamizol pada Pasien Cedera Kepala di RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar”. Tesis ini disusun sebagai salah satu
syarat untuk mencapai gelar Magister di Program Studi Farmasi
Konsentrasi Farmasi Klinik di Universitas Hasanuddian Makassar.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih
terdapat kelemahan yang perlu diperkuat dan kekurangan yang perlu
dilengkapi. Karena itu, dengan rendah hati penulis mengaharapkan
masukan, koreksi dan saran untuk memperkuat kelemahan dan
melengkapi kekurangan tersebut.
Dengan tersusunnya tesis ini, penulis mengucapkan terimakasih
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Yth. Ibu Dr. Herlina
Rante, S.Si.,M.Si.,Apt. selaku Ketua Tim Komisi Penasehat Tesis, dan
Yth.Bapak Prof.Dr.dr.Andi Asadul Islam.,Sp.BS selaku Anggota yang telah
berkenan memberi bimbingan, arahan dan masukan bagi tersusunnya tesis
yang layak untuk disajikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Yth. Bapak Prof. Dr. Gemini Alam, M.Si., Apt, selaku Dekan
Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin.
v
2. Ibu Dr. Hj. Latifah Rahman, DESS, Apt. sebagai Ketua Program Studi
Pascasarjana Farmasi Universitas Hasanuddin.
3. Yth. Ibu Prof.Dr.Elly Wahyudin, DEA.,Apt dan Ibu Dr. Aliyah,M.S.,Apt.
serta Ibu Yulia Yusrini Djabir,M.Si,MBM,Sc,Ph.D., Apt. Atas masukan
dan segala sarannya selama menjadi Komisi Penguji.
4. Yang teramat disayangi Bapak (H.A.Syamsul Arif Abdullah) dan
Almarhumah ibu (Hj.A. Aisyah Sebbu), yang senantiasa menjadi
inspirasi, memberi do’a, dan dukungan selama berlangsungnya masa
perkuliahan.
5. Istri (A.Justi Rahmasari) yang tercinta yang tak henti-hentinya
memberikan do’a dan dukungannya
6. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tesis
ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa
tesis ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan,
sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan penulis
untuk perbaikan kedepannya. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya farmasi. Amin..
Makassar, 18 Agustus 2017
Penulis
Vi
Vii
Viii
DAFTAR ISI
SAMPUL ....................................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN TESIS .................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ................................................................ iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
ABSTRAK ..................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A Latar Belakang ........................................................................ 1
B Rumusan Masalah ................................................................. 5
C Tujuan Penelitian .................................................................... 5
D Manfaat Penelitian ................................................................. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA . ................................................................. 7
A Nyeri.................. ................................................................. 7
B Cedera Kepala ................................................................. 17
C NSAID................ ................................................................. 19
D Metode Penilaian Nyeri Visual Analog Scale (VAS) ............... 29
E Efek Samping obat ................................................................ 31
F Kerangka Teori ................................................................. 34
H Kerangka Konsep ................................................................. 34
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 26
A Rancangan Penelitian ............................................................ 35
B Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 36
C Populasi dan Teknik Sampel ................................................. 36
D Kriteria Inklusi dan Eksklusi ................................................... 37
E Variabel Penelitian.......................................................... ........ 39
F. Defenisi Operasional............................................................... 39
G. Instrumen Pengumpulan Data......................................... ....... 41
H. Analisis Data .......................................................................... 42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 43
A Karakteristik Pasien ............................................................... 43
B Efektivitas Antinyeri Terapi Ketorolak danMetamizol
dengan Parameter Visual Analog Scale................................. 43
C Monitoring Efek Samping Penggunaan NSAID ...................... 52
BAB V PENUTUP…………………..... ........................................................ 63
A Kesimpulan……. .................................................................... 63
B Saran ................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ………………………. .................................................. 64
LAMPIRAN ……………………………………. ............................................... 66
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Karakteristik Pasien ....................................................................... 43
Tabel 2 : Skor VAS pemberian Ketorolak hari I hingga hari ke III .................. 47
Tabel 3 : Hasil analisis skor VAS pemberian Ketorolak hari I hingga
hari ke III ....................................................................................... 48
Tabel 4 : Uji post-hoc Wilcoxon nilai VAS pemberian Ketolorak .................... 48
Tabel 5 : Skor VAS pemberian Metamizol hari IV hingga hari ke VI .............. 48
Tabel 6 : Hasil Analisis skor VAS pemberian Metamizol hari IV
hingga hari ke VI.................................................................... ........ 49
Tabel 7 : Uji post-hoc Wilcoxon nilai VAS pemberian Metamizol......... .......... 49
Tabel 8 : Nilai GFR pasien pada kondisi sebelum dan seduah
Pemberian Ketorolak dan Metamizol..................................... ........ 52
Tabel 9 : Nilai BT pasien pada kondisi sebelum dan sesudah
Pemberian Ketorolak dan Metamizol..................................... ........ 54
Tabel 10: Analisis perbandingan nilai BT pada kondisi sebelum dan
sesudah pemberian Ketorolak dan Metamizol....................... ........ 55
Tabel 11: Nilai CT pasien pada kondisi sebelum dan sesudah
pemberian Ketorolak dan Metamizol...................................... ........ 57
Tabel 12: Analisis perbandingan nilai CT pada kondisi sebelum dan
sesudah pemberian Ketorolak dan Metamizol....................... ........ 58
Tabel 13: Nilai PT pasien pada kondisi sebelum dan sesudah
pemberian Ketorolak dan Metamizol...................................... ........ 59
Tabel 14: Nilai INR pasien pada kondisi sebelum dan sesudah
pemberian Ketorolak dan Metamizol...................................... ........ 60
Tabel 15: Analisis perbandingan nilai PT dan INR pada kondisi
Sebelum dan sesudah pemberian Ketorolak
dan Metamizol........................................................................ ........ 61
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Metode penilaian nyeri Visual Analog Scale (VAS) .................... 27
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cedera kepala didefinisikan sebagai cedera pada kepala akibat
cedera tumpul (blunt cedera) atau cedera tembus (Penetrating cedera) atau
tenaga akselerasi-deselerasi yang menyebabkan gangguan fungsi otak
sementara atau permanen. Sebagian ahli menggunakan istilah cedera
kranioserebral berdasarkan pemahaman bahwa perlukaan atau lesi yang
terjadi dapat mengenai bagian tulang tengkorak (kranium) atau bagian
jaringan otak (cerebral) atau keduanya sekaligus (Dewanto dkk., 2009).
Pengelolaan nyeri cedera kepala yang tidak optimal akan
meningkatkan angka morbiditas pasien. Tingginya angka morbiditas cedera
kepala akan menyebabkan bertambahnya waktu penyembuhan, lama
tinggal, dan menambah biaya rawat di rumah sakit, oleh karena itu
pengelolaan nyeri cedera kepala yang optimal, bukan saja merupakan
upaya mengurangi penderitaan pasien tetapi juga meningkatkan kualitas
hidup pasien. Telah terbukti bahwa tanpa pengelolaan nyeri pasca bedah
yang adekuat, penderita akan mengalami gangguan fisiologis maupun
psikologis yang pada gilirannya secara bermakna meningkatkan angka
morbiditas dan mortalitas (Meliala, 2008).
Terapi farmakologi untuk nyeri cedera kepala adalah dengan
pemberian obat golongan Nonsreoidal anti inflamatory drug (NSAID)
sebagai analgetik pasca pembedahan minor atau sedang. NSAID memiliki
1
efek perifer dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase sehingga
konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu, yang pada
akhirnya akan menghambat aktivasi nosiseptor perifer yang penting pada
proses patofisiologi nyeri (Martini,2006).
Terapi NSAID memiliki efek samping cukup serius dan penting untuk
memperhatikan kontraindikasinya antara lain iritasi lambung, pembentukan
ulkus dan perdarahan. gangguan pada ginjal, pemburukan gejala asma,
inhibisi platelet.
Berikut ini rangkuman informasi penelitian tentang penggunaan
NSAID. NSAID tidak cukup efektif sebagai agen tunggal pasca
pembedahan mayor, dan NSAID seringkali digunakan sebagai analgetik
yang efektif pasca pembedahan minor atau sedang, serta penggunaan
NSAID dapat menurunkan kebutuhan akan opioid.
Christensen K et al.,2011 membandingkan penggunaan diklofenak
dan ketorolak secara intravena dimana efektivitas ketorolak tidak lebih baik
bila dibandingkan dengan diklofenak dengan metode Total Pain Relief over
6 hours (TOTPAR) yang diukur Visual Analog Scale.
Perez-Urizar et al.,2000, melaporkan tentang efektivitas dan
bioavailabilitas ketorolak sebagai analgetik pasca bedah. Sisa 13 dari 22
pasien yang mengikuti studi tidak merasakan sakit sama sekali setelah
pemberian ketorolak.
Penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian
sebelumnya karena penelitian ini melakukan pengamatan aspek efektivitas
dan monitoring efek samping obat meliputi pengaruh obat terhadap ginjal,
dan waktu perdarahan terapi golongan obat NSAID. Perbedaan yang lain
yaitu dari segi lokasi penelitian, khususnya di RSUP dr. Wahidin
Sudirohusodo, serta jenis subyek dalam penelitian ini yaitu pasien cedera
kepala.
Meskipun penggunaan terapi NSAID banyak digunakan untuk
mengatasi nyeri ringan hingga sedang dalam kurun waktu 20 tahun terakhir
(Schug & Manopas.,2007). Namun perlu tetap dikaji agar dapat
memperkuat bukti penggunaanya secara klinik, hal inilah yang menuntut
peneliti melaksanakan penelitian tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana efektivitas terapi Ketorolak dan Metamizol terhadap nyeri
pada pasien cedera kepala di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo yang
diukur dengan menggunakan instrumen Visual Analog scale (VAS).
2. Apakah penggunaan terapi Ketorolak dan Metamizol berpengaruh
terhadap gangguan fungsi ginjal dengan menggunakan parameter
perubahan klirens kreatinin dan berpengaruh terhadap gangguan
hemostasis pada pasien cedera kepala di RSUP dr. Wahidin
Sudirohusodo ?
C. Tujuan Penelitian
1. Diketahuinya efektivitas terapi Ketorolak dan Metamizol menggunakan
instrumen Visual Analog Scale (VAS) pada pasien Cedera kepala di
Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo.
2. Diketahuinya penggunaan terapi Ketorolak dan Metamizol meliputi
kejadian efek samping gangguan ginjal dan gangguan hemostasis.
D. Manfaat Penelitian
1. RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo
Diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi rumah
sakit dan segenap tenaga kesehatan sebagai bahan pertimbangan
dalam penggunaan terapi Ketorolak dan Metamizol dan efek samping
obat terhadap pasien nyeri cedera kepala.
2. Manfaat untuk kepentingan Praktisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan positif bagi
tenaga kesehatan dalam penatalaksanaan nyeri akut pada pasien
cedera kepala dengan instrumen Visual Analog Sacale (VAS) dan efek
samping obat.
3. Peneliti
Dapat digunakan untuk memperdalam pengetahuan tentang
penggunaan efek terapi Ketorolak dan Metamizol dan monitoring efek
samping obat terhadap pasien nyeri cedera kepala.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Nyeri
1. Defenisi Nyeri
Nyeri merupakan perasaan sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan
baik aktual maupun potensial ataupun yang menggambarkan kerusakan
tersebut (Ikawati.,2011). Timbulnya rasa nyeri berfungsi sebagai
peringatan terhadap adanya kerusakan, maupun ancaman eksternal
terhadap jaringan tubuh manusia (Greene & Harris, 2008).
Berdasarkan durasinya, nyeri terbagi atas nyeri akut dan
kronik. Nyeri akut merupakan nyeri yang berlangsung sampai dengan 7
hari yang merupakan sinyal terhadap adanya penyakit atau situasi
yang dapat membahayakan tubuh. Penyebab umum nyeri akut meliputi
pembedahan, sakit akut, Cedera, proses kelahiran, dan prosedur
medik. Sedangkan nyeri kronik biasanya berlangsung lebih dari 6
bulan. Nyeri akut dapat berubah menjadi nyeri kronik disebabkan oleh
maladaptive oleh sistem saraf terhadap persepsi nyeri. (Baumann dan
Strickland,2008; Green dan Harris, 2008).
2. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik,
keduanya mempunyai mekanisme fisiologis yang berbeda sehingga
memerlukan tindakan yang berbeda (Helms & Barone, 2008).
5
a. Nyeri akut
Nyeri akut memberikan peringatan bahwa penyakit atau cedera
telah terjadi. Rasa sakit biasanya terbatas pada daerah yang terkena.
Nyeri akutmerangsang sistem saraf simpatik sehingga menghasilkan
respon gejala yang meliputi peningkatan frekuensi jantung dan
pernapasan, berkeringat, pupil melebar, gelisah, dan khawatir. Jenis
nyeri akut meliputi somatik, viseral, dan nyeri alih (referred). Nyeri
somatik adalah nyeri dangkal yang berasal dari kulit atau jaringan
subkutan. Nyeri viseral berasal dari organ internal dan lapisan dari
rongga tubuh, sedangkan referred pain adalah nyeri yang dirasakan di
daerah yang jauh dari tempat stimulus (Helms & Barone, 2008).
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya
berlangsung lebih dari enam bulan. Klien yang mengalami nyeri kronik
seringkali mengalami periode remisi (gejala hilang sebagian atau
keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan meningkat). Sifat nyeri kronik
yang tidak dapat diprediksi ini membuat klien frustasi dan seringkali
mengarah menjadi depresi psikologis (Perry & Potter, 2005).
3. Patofisiologi Nyeri
Perasaan nyeri timbul akibat adanya proses yang kompleks dari
rangsangan saraf yang disebut nyeri nosiseptik. Nyeri nosiseptik
dapat berupa nyeri somatik (berasal dari kulit, otot, rangka, dan
jaringan ikat) maupun viseral (berasal dari organ-organ dalam seperti
jantung, saluran GI dan lain-lain). Patofisiologi dari nyeri terdiri dari
proses stimulasi, transmisi, persepsi nyeri, modulasi, dan adaptive
inflamation (Koda-Kimble et al., 2005).
a. stimulasi
Proses nyeri dimulai dengan perangsangan pada reseptor yang
berada pada ujung saraf aferen yang disebut nosiseptor. Nosiseptor ini
terdapat pada hampir seluruh bagian tubuh baik somatik maupun viseral.
Reseptor ini dapat diaktivasi dan disensitisasi oleh impuls-impuls
mekanik, thermal, dan kimia. Beberapa agen kimia yang dilepaskan
pada saat terjadinya kerusakan sel yaitu bradikinin, ion kalium (K+),
prostaglandin, histamin, leukotrien, serotonin dan substansi P dapat
mengaktivasi dan mensensitasi nosiseptor. (Baumann dan Strickland,
2008; Ikawati, 2011).
b. Transmisi
Tahap selanjutnya setelah nosiseptor teraktivasi adalah
proses transmisi. Impuls saraf kemudian diteruskan melalui 3 jenis saraf
aferen yaitu (Greene dan Harris, 2008) : Serabut A-beta termielinasi (A-
β) dengan pengantaran signal yang tercepat (30-100 m/s) yang biasanya
bereaksi pada sentuhan halus/ringan. Serabut A-delta (A-δ) yang
sedikit termielinasi dengan pengantaran signal yang lebih lambat (5-15
m/s) yang biasanya bereaksi pada tekanan, rasa panas, rasa dingin,
dan substansi kimia yang menghasilkan rasa nyeri yang tajam
sebagai peringatan terhadap adanya kerusakan jaringan. Serabut C
yang tidak termielinasi memiliki waktu pengantaran signal yang paling
lambat (0.5-2 m/s). bereaksi juga sama dengan stimulasi pada
serabut A- tapi nyeri yang ditimbulkan seperti nyeri tumpul dan
menyebar.
Ujung saraf aferen yang berakhir pada dorsal horn pada korda
spinal melepaskan neurotransmitter-neurotransmitter meliputi glutamat,
substansi P, dan calcitonin gene-related peptide . Kemudian diteruskan
ke otak untuk diproses pada bagian Medulla, hipotalamus, sistem limbik,
dan korteks serebral (Greene dan Harris, 2008).
c. Persepsi Nyeri
Rasa Nyeri kemudian timbul setelah rangsangan mempengaruhi
otak dan dirasakan oleh pasien. Persepsi nyeri juga dipengaruhi oleh
emosi individu. Persepsi ini juga bersifat subjektif sehingga setiap
individu akan mengalami sensasi yang berbeda-beda (Ikawati, 2011).
d. Modulasi
Tubuh akan memodulasi nyeri dengan serangkaian proses yang
kompleks, salah satunya diketahui dengan endogenous opiate system,
yang terdiri dari neurotransmitter (seperti enkephalins, dynorphins, dan
β-endorphin) dan reseptor (seperti µ, δ , κ ) yang terdapat pada system
saraf pusat (CNS). Efek opioid endogen ini sama dengan efek
opioid eksogen dan memodulasi transmisi rangsangan nyeri. Jenis
reseptor yang lain juga mempengaruhi sistem ini, aktivasi reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA) yang terdapat pada dorsal horn dapat
menurunkan reseptor-µ yang mempengaruhi efek opioid. (Baumann dan
Strickland, 2008).
System saraf pusat juga mengandung neurotransmitter yang
dapatmenghambat rangsangan nyeri pada dorsal horn meliputi opioid
endogen, serotonin, norepinefrin, ɣ-aminobutyric acid (GABA), dan
neurotensin. (Baumann dan Strickland, 2008)
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri
Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang
mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang
farmasis harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam
menghadapi klien yang mengalami nyeri. Hal ini sangat penting dalam
pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang baik.
a. Usia
Menurut Potter & Perry (1993) usia adalah variabel penting yang
mempengaruhi nyeri terutama pada anak dan orang dewasa. Perbedaan
perkembangan yang ditemukan antara kedua kelompok umur ini dapat
mempengaruhi bagaimana anak dan orang dewasa bereaksi terhadap
nyeri. Anak-anak kesulitan untuk memahami nyeri dan beranggapan
kalau apa yang dilakukan tenaga medis dapat menyebabkan nyeri.
Anak-anak yang belum mempunyai kosakata yang banyak, mempunyai
kesulitan mendeskripsikan secara verbal dan mengekspresikan nyeri
kepada orang tua atau tenaga medis. Anak belum bisa mengungkapkan
nyeri, sehingga tenaga medis harus mengkaji respon nyeri pada anak.
Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan
mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri A, 2007).
Seorang tenaga medis harus menggunakan teknik komunikasi
yang sederhana dan tepat untuk membantu anak dalam membantu anak
dalam memahami dan mendeskripsikan nyeri. Sebagai contoh,
pertanyaan kepada anak, “Beritahu saya dimana sakitnya?” atau “apa
yang dapat saya lakukan untuk menghilangkan sakit kamu?”. Hal-hal
diatas dapat membantu mengkaji nyeri dengan tepat. Tenaga medis
dapat menunjukkan serangkaian gambar yang melukiskan deskripsi
wajah yang berbeda, seperti tersenyum, mengerutkan dahi atau
menangis. Anak-anak dapat menunjukkan gambar yang paling tepat
untuk menggambarkan perasaan mereka.
b. Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak mempunyai
perbedaan secara signifikan mengenai respon mereka terhadap nyeri.
Masih diragukan bahwa jenis kelamin merupakan faktor yang berdiri
sendiri dalam ekspresi nyeri. Misalnya anak laki-laki harus berani dan
tidak boleh menangis dimana seorang wanita dapat menangis dalam
waktu yang sama. Penelitian yang dilakukan Burn, dkk. (1989) dikutip
dari Potter & Perry, 1993 mempelajari kebutuhan narkotik post operative
pada wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.
c. Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa
yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana
bereaksi terhadap nyeri.
Nyeri memiliki makna tersendiri pada individu dipengaruhi oleh
latar belakang budayanya nyeri biasanya menghasilkan respon efektif
yang diekspresikan berdasarkan latar belakang budaya yang berbeda.
Ekspresi nyeri dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu tenang dan emosi
pasien tenang umumnya akan diam berkenaan dengan nyeri, mereka
memiliki sikap dapat menahan nyeri. Sedangkan pasien yang emosional
akan berekspresi secara verbal dan akan menunjukkan tingkah laku
nyeri dengan merintih dan menangis.
Nilai-nilai budaya tenaga medis dapat berbeda dengan nilai-nilai
budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya tenaga
medis dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan,
seperti menangis atau meringis yang berlebihan. Pasien dengan latar
belakang budaya yang lain bisa berekspresi secara berbeda, seperti
diam seribu bahasa ketimbang mengekspresikan nyeri klien dan bukan
perilaku nyeri karena perilaku berbeda dari satu pasien ke pasien lain.
Mengenali nilai-nilai budaya yang memiliki seseorang dan
memahami mengapa nilai-nilai ini berbeda dari nilai-nilai kebudayaan
lainnya membantu untuk menghindari mengevaluasi perilaku pasien
berdasarkan harapan dan nilai budaya seseorang. Tenaga medis yang
mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang
lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji
nyeri dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam
menghilangkan nyeri pasien (Smeltzer& Bare, 2003).
d. Ansietas
Meskipun pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan
meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam semua
keadaaan. Riset tidak memperlihatkan suatu hubungan yang konsisten
antara ansietas dan nyeri juga tidak memperlihatkan bahwa pelatihan
pengurangan stres praoperatif menurunkan nyeri saat pascaoperatif.
Namun, ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat
meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak
berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksi pasien dan secara aktual
dapat menurunkan persepsi nyeri. Secara umum, cara yang efektif untuk
menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan nyeri
ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2002).
e. Pengalaman masa lalu dengan nyeri
Seringkali individu yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang
dialaminya, makin takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan
yang akan diakibatkan. Individu ini mungkin akan lebih sedikit
mentoleransi nyeri, akibatnya ia ingin nyerinya segera reda sebelum
nyeri tersebut menjadi lebih parah. Reaksi ini hampir pasti terjadi jika
individu tersebut mengetahui ketakutan dapat meningkatkan nyeri dan
pengobatan yang tidak adekuat.
Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari
banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa
orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan,
seperti pada nyeri berkepanjangan atau kronis dan persisten.
Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman
sebelumnya menunjukkan pentingnya tenaga medis untuk waspada
terhadap pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya
teratasi dengan tepat dan adekuat, individu mungkin lebih sedikit
ketakutan terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi
nyeri dengan baik (Smeltzer & Bare, 2002).
f. Efek plasebo
Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap
pengobatan atau tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa
pengobatan tersebut benar benar bekerja. Menerima pengobatan atau
tindakan saja sudah merupakan efek positif.
Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat meningkatkan
keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali makin banyak
petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan intervensi, makin
efektif intervensi tersebut nantinya. Individu yang diberitahu bahwa suatu
medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri hampir pasti akan
mengalami peredaan nyeri dibanding dengan pasien yang diberitahu
bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek apapun.
Hubungan pasien –tenaga medis yang positif dapat juga menjadi peran
yang amat penting dalam meningkatkan efek plasebo (Smeltzer & Bare,
2002).
g. Pola koping
Ketika seseorang mengalami nyeri dan menjalani tenaga medisan
di rumah sakit adalah hal yang sangat tak tertahankan. Secara terus-
menerus klien kehilangan kontrol dan tidak mampu untuk mengontrol
lingkungan termasuk nyeri. Klien sering menemukan jalan untuk
mengatasi efek nyeri baik fisik maupun psikologis. Penting untuk
mengerti sumber koping individu selama nyeri. Sumber-sumber koping
ini seperti berkomunikasi dengan keluarga, latihan dan bernyanyi dapat
digunakan sebagai rencana untuk mensupport klien dan menurunkan
nyeri klien.
Sumber koping lebih dari sekitar metode teknik. Seorang klien
mungkin tergantung pada support emosional dari anak-anak, keluarga
atau teman. Meskipun nyeri masih ada tetapi dapat meminimalkan
kesendirian. Kepercayaan pada agama dapat memberi kenyamanan
untuk berdo’a, memberikan banyak kekuatan untuk mengatasi
ketidaknyamanan yang datang (Potter & Perry, 1993).
B. CEDERA KEPALA
1. Defenisi Cedera Kepala
Cedera kepala didefinisikan sebagai Cedera pada kepala akibat
Cedera tumpul (blunt Cedera) atau Cedera tembus (penetrating Cedera)
atau tenaga akselerasi-deselerasi yang menyebabkan gangguan fungsi
otak sementara atau permanen. Sebagian ahli menggunakan istilah
Cedera kranioserebral berdasarkan pemahaman bahwa perlukaan atau
lesi yang terjadi dapat mengenai bagian tulang tengkorak (kranium) atau
bagian jaringan otak (cerebral) atau keduanya sekaligus (Dewanto dkk ,
2009).
2. Mekanisme Cedera Kepala
Organ otak dilindungi oleh rambut kepala, kulit kepala, tulang
tengkorak, dan meningen atau lapisan otak, sehingga secara fisiologis
efektif terlindungi dari Cedera atau Cedera. Cedera kepala terjadi karena
adanya benturan atau daya yang mengenai kepala secara tiba-tiba.
Cedera kepala dapat terjadi melalui dua mekanisme, yaitu ketika kepala
secara langsung kontak dengan benda atau obyek dan mekanisme
akselerasi-deselerasi. Akselerasi merupakan mekanisme Cedera kepala
yang terjadi ketika benda yang bergerak membentur kepala yang diam,
sedangkan deselerasi terjadi ketika kepala bergerak membentur benda
yang diam
Energi kinetik diabsorpsi oleh kulit kepala, tulang tengkorak, dan
meningen ketika benturan terjadi sedangkan sisa energi yang ada akan
hilang pada bagian atas otak. Namun demikian jika energi atau daya
yang dihasilkan lebih besar dari kekuatan proteksi maka akan
menimbulkan kerusakan pada otak. Berdasarkan patofisiologinya
Cedera kepala, dibagi menjadi Cedera kepala primer dan Cedera kepala
skunder. Cedera kepala primer merupakan Cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian Cedera. Cedera ini umumnya menimbulkan
kerusakan pada tengkorak, otak, pembuluh darah, dan struktur
pendukungnya. Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari
Cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pasien
Cedera kepala sekunder mengalami hipoksia, hipotensi, asidosis, dan
penurunan suplay oksigen otak. Lebih lanjut keadaan ini menimbulkan
edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai
adanya penurunan kesadaran, muntah, edema, dan nyeri. Masalah
utama yang sering terjadi pada Cedera kepala adalah adanya
perdarahan, edema serebri, dan peningkatan tekanan intrakranial.
3. Klasifikasi Cedera Kepala
Menurut Dewanto (2007) Cedera Kepala dapat dibagi menjadi tiga
berdasarkan nilai GCS, yaitu :
A. Cedera Kepala Ringan
1. GCS >13.
2. Tidak terdapat CT scan pada otak.
3. Tidak memerlukan tindakan operasi.
4. Lama dirawat di RS <48 jam.
B. Cedera Kepala Sedang
1. GCS 9-13.
2. Ditemukan kelainan pada CT Scan otak.
3. Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial.
4. Dirawat di RS setidaknya 48 jam.
C. Cedera Kepal Berat
Bila dalam waktu 48 jam setalah Cedera nilai GCS <9.
C. NSAID
1. Defenisi NSAID
NSAID (Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) atau obat anti
inflamasi non steroid (NSAID) adalah suatu kelompok obat yang
berfungsi sebagai anti inflamasi, analgetik dan
antipiretik. NSAID merupakan obat yang heterogen, bahkan beberapa
obat sangat berbeda secara kimiawi. Walaupun demikian, obat-obat ini
ternyata memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek
samping. Obat golongan NSAID dinyatakan sebagai obat anti inflamasi
non steroid, karena ada obat golongan steroid yang juga berfungsi
sebagai anti inflamasi. Obat golongan steroid bekerja di sistem yang
lebih tinggi dibanding NSAID, yaitu menghambat konversi fosfolipid
menjadi asam arakhidonat melalui penghambatan terhadap enzim
fosfolipase (Katzung B. G., 2006)
Pada enzim cyclooxygenase (COX). Kemajuan penelitian dalam
dasawarsa terakhir memberikan penjelasan mengapa kelompok yang
heterogen tersebut memiliki kesamaan efek terapi dan efek samping,
ternyata hal ini terjadi berdasarkan atas penghambatan biosintesis
prostaglandin (PG). Mekanisme kerja yang berhubungan dengan
biosintesis PG ini mulai dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vane dan
kawan-kawan yang memperlihatkan secara invitro bahwa dosis rendah
aspirin dan indometason menghambat produksi enzimatik PG. Dimana
juga telah dibuktikan bahwa jika sel mengalami kerusakan maka PG
akan dilepas.Namun demikian obat NSAID secara umum tidak
menghambat biosintesis leukotrin,yang diketahui turut berperan dalam
inflamasi. NSAID menghambat enzim cyclooxygenase (COX) sehingga
konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat
menghambat cyclooxysigenase dengan cara yang berbeda.(2)
NSAID dikelompokkan berdasarkan struktur kimia,tingkat keasaman
dan ketersediaan awalnya. Dan sekarang yang popoler dikelompokkan
berdasarkan selektifitas hambatannya pada penemuan dua bentuk
enzim constitutive cyclooxygenase-1 (COX-1) dan inducible
cycloocygenase-2 (COX-2). COX-1 selalu ada diberbagai jaringan tubuh
dan berfungsi dalam mempertahankan fisiologi tubuh seperti produksi
mukus di lambung tetapi sebaliknya ,COX-2 merupakan enzim indusibel
yang umumnya tidak terpantau di kebanyakan jaringan, tapi akan
meningkat pada keadaan inflamasi atau patologik. NSAID yang bekerja
sebagai penyekat COX akan berikatan pada bagian aktif enzim, pada
COX-1 dan atau COX -2, sehingga enzim ini menjadi tidak berfungsi dan
tidak mampu merubah asam arakidonat menjadi mediator inflamasi
prostaglandin.(Lelo A.,2005)
NSAID yang termasuk dalam tidak selektif menghambat sekaligus
COX-1 dan COX-2 adalah ibuprofen, indometasin dan naproxen.
Asetosal dan ketorokal termasuk sangat selektif menghambat COX-1.
Piroxicam lebih selektif menyekat COX-1, sedangkan yang termasuk
selektif menyekat COX-2 antara lain Celecoxib dan rofecoxib sangat
selektif menghambat COX-2. (Sala A.,1999)
2. Penggunaan NSAID
NSAID efektif mengurangi nyeri dengan intensitas ringan sampai
sedang seperti pada nyeri dental, untuk nyeri yang lebih berat diperlukan
analgesik yang tidak menimbulkan ketergantungan,misalnya tramadol.
NSAID memiliki efek analgesik pada nyeri yang berasal dari integument
bukan yang berasal dari viscera, seperti sakit kepala,myalgia dan
abralgia. (Motola D.,et al.,2004)
Setiap sediaan NSAID memberikan efek anti-inflamasi yang
sepadan. Colberg dkk pada tahun 1996 mengemukakan bahwa antara
diklofenak dengan meloksikam tidak ada perbedaannya dalam hal
khasiat analgetik antiinflamasi, baik diberikan peroral ataupun dengan
injeksi. Studi banding yang dilakukan memperlihatkan nyeri, panas dan
inflamasi pada pemberian nimesulide 200 mg/hari peroral atau 400
mg/hari per rektal sama atau lebih baik dibanding seaperase ( 15 mg),
flurbiprofen (300 mg), deklofenak (150 mg), naproxen (1000 mg),
fiprazon, piroksikam, asam mefenamat pada penderita dengan inflamasi
telinga, hidung, tenggorokan nyeri kanker, gangguan ginekologi,
kelainan urogenital, Cedera musculoskeletal akut, tromboflebitis, nyeri
punggung belakang, tendonitis dan penyakit odonstomatologi serta
pascabedah
3. Mekanisme NSAID
Sebagian besar efek terapi dan efek samping NSAID berdasarkan
atas penghambatan biosintesis prostaglandin (PG). Pada saat sel
mengalami kerusakan, maka akan dilepaskan beberapa mediator kimia.
Di antara mediator inflamasi, prostaglandin adalah mediator dengan
peran terpenting. Enzim yang dilepaskan saat ada rangsang mekanik
maupun kimia adalah prostaglandin endoperoksida sintase (PGHS) atau
siklo oksigenase (COX) yang memiliki dua sisi katalitik. Sisi yang
pertama adalah sisi aktif siklo oksigenase, yang akan mengubah asam
arakhidonat menjadi endoperoksid PGG2. Sisi yang lainnya adalah sisi
aktif peroksidase, yang akan mengubah PGG2 menjadi endoperoksid
lain yaitu PGH2. PGH2 selanjutnya akan diproses membentuk PGs,
prostasiklin dan tromboksan A2, yang ketiganya merupakan mediator
utama proses inflamasi. COX terdiri atas dua isoform yaitu COX-1 dan
COX-2.
Golongan obat ini menghambat enzim siklo oksigenase (COX)
sehingga konversi asam arakhidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap
obat menghambat dengan cara berbeda. Khusus parasetamol,
hambatan biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya
rendah kadar peroksida seperti di hipotalamus. Lokasi inflamasi
biasanya mengandung banyak peroksida yang dihasilkan oleh leukosit.
Ini menjelaskan mengapa efek anti inflamasi parasetamol praktis tidak
ada. Inhibisi biosintesis prostaglandin oleh aspirin menyebabkan
asetilasi yang irreversibel di sisi aktif siklo okigenase, sedangkan sisi aktif
peroksidase tidak terpengaruh. Berlawanan dengan aksi aspirin yang
irreversibel, NSAID lainya seperti ibuproven atau indometasin
menyebabkan penghambatan terhadap COX baik reversibel maupun
irreversibel melalui kompetisi dengan substrat, yaitu asam arakhidonat.
a. Perbandingan COX-1 dan COX-2
COX-1 memiliki fungsi fisiologis, mengaktivasi produksi
prostasiklin, dimana saat prostasiklin dilepaskan oleh endotel vaskular,
maka berfungsi sebagai anti trombogenik, dan jika dilepaskan oleh
mukosa lambung bersifat sitoprotektif. COX-1 di trombosit, yang dapat
menginduksi produksi tromboksan A2, menyebabkan agregasi trombosit
yang mencegah terjadinya perdarahan yang semestinya tidak terjadi.
COX-1 berfungsi dalam menginduksi sintesis prostaglandin yang
berperan dalam mengatur aktivitas sel normal. Konsentrasinya stabil,
dan hanya sedikit meningkat sebagai respon terhadap stimulasi hormon
atau faktor pertumbuhan. Normalnya, sedikit atau bahkan tidak
ditemukan COX-2 pada sel istirahat, akan tetapi bisa meningkat drastis
setelah terpajan oleh bakteri lipopolisakarida, sitokin atau faktor
pertumbuhan. meskipun COX-2 dapat ditemukan juga di otak dan ginjal.
Induksi COX-2 menghasilkan PGF2 yang menyebabkan terjadinya
kontraksi uterus pada akhir kehamilan sebagai awal terjadinya
persalinan.
b. Penghambat COX-1 dan COX-2
Masing-masing NSAID menunjukkan potensi yang berbeda-beda
dalam menghambat COX-1 dibandingkan COX-2. Hal inilah yang
menjelaskan adanya variasi dalam timbulnya efek samping NSAID pada
dosis sebagai anti inflamasi. Obat yang potensinya rendah dalam
menghambat COX-1, yang berarti memiliki rasio aktivitas COX-2/ COX-
1 lebih rendah, akan mempunyai efek sebagai anti inflamasi dengan efek
samping lebih rendah pada lambung dan ginjal. Piroksikam dan
indometasin memiliki toksisitas tertinggi terhadap saluran
gastrointestinal. Kedua obat ini memiliki potensi hambat COX-1 yang
lebih tinggi daripada menghambat COX-2. Dari penelitian epidemiologi
yang membandingkan rasio COX-2/ COX-1, terdapat korelasi setara
antara efek samping gastrointestinal dengan rasio COX-2/ COX-1.
Semakin besar rasio COX-2/ COX-1, maka semakin besar pula efek
samping gastrointestinalnya. Aspirin memiliki selektivitas sangat tinggi
terhadap COX-1 daripada COX-2, sehingga efek terhadap
gastrointestinal relatif lebih tinggi.
Tabel 1 berikut menunjukkan rasio COX-2/ COX-1 pada beberapa
NSAID;
Tabel 1. Rasio COX-2/COX-1 pada NSAID
NSAID COX-2 COX-1 COX-2/COX-1
Tolmetin 7 0.04 175
Aspirin 50 0.3 166
Ibuprofen 15 1 15
Asetaminofen 20 2.7 7.4
Diklofenak 0.35 0.5 0.7
Naproksen 1.3 2.2 0.6
Celecoxib 0.34 1.2 0.3
Refecoxib 0.84 63 0.013
Inhibitor COX-2 selektif diperkenalkan pada tahun 1999. NSAID
selektif menghambat COX-2 yang pertama kali diperkenalkan adalah
celecoxib dan rofecoxib. Lumiracoxib memiliki struktur yang berbeda
dengan coxib lainnya, tidak menyebabkan efek samping pada
kardiovaskuler dan komplikasi gastrointestinal yang rendah. Insiden
serangan jantung yang lebih tinggi menjadi faktor risiko semua inhibitor
COX-2 selektif. Tahun 2004, rofecoxib ditarik dari pasaran. Valdecoxib
selain menyebabkan infark miokard juga dapat menyebabkan skin rash.
Valdecoxib dan parecoxib dihubungkan dengan insiden penyakit jantung.
Parasetamol termasuk kelompok obat yang dikenal memiliki
aktivitas sebagai analgesik antipiretik, termasuk juga prekursornya yaitu
fenasetin, aminopiron dan dipiron. Banyak dari obat ini yang tidak ada di
pasaran karena toksisitasnya terhadap leukosit, tetapi dipiron masih
digunakan di beberapa negara. Parasetamol menghambat lemah baik
COX-1 maupun COX-2 dan berdasarkan penelitian diketahui bahwa
mekanisme kerjanya melalui penghambatan terhadap COX-3, yaitu
derivat dari COX-1, yang kerjanya hanya di sistem saraf pusat
4. NSAID pasca operatif
Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan
diseluruh dunia adalah aspirin, paracetamol, dan NSAID, yang
merupakan obat-obatan utama untuk nyeri ringan sampai sedang.
Yang termasuk NSAID antara lain penghambat siklo-oksigenase
(COX) non selektif seperti aspirin, diklofenak, dan ibuprofen dan juga
penghabat selektif COX 2 yang baru rofecoxib dan celecoxib. Obat-
obatan tersebut bekerja dengan cara menghambat COX dan produksi
prostaglandin setelahnya. Penghambat COX 2 telah terlihat memiliki efek
samping terhadap lambung seperti pembentukan ulkus dan perdarahan
yang lebih sedikit. Keuntungan utama dari NSAID adalah sifat analgesia
tanpa menimbulkan depresi pernapasan dan sedasi. Namun, meskipun
efek analgesiknya telah terlihat jelas dalam menangani nyeri pasca
operasi, efek tersebut tidak cukup kuat untuk diberikan secara terpisah
pada nyeri kronik. Preparatnya dapat diberikan secara oral, intravena,
atau intramuskuler. NSAID dapat diberikan ‘bila perlu’ atau ‘pada jam
tertentu’ (Mahajan R, et al.,2006)
Meta analisis terbaru terhadap 3.453 pasien pasca operatif
menempatkan NSAID sebagai analgesik yang sangat efektif. Kombinasi
Parasetamol dan kodein merupakan kelompok obat yang paling manjur
berikutnya diikuti dengan parasetamol sendiri dan tramadol.
Rekomendasi NSAID berikut telah didasarkan pada rangkuman
informasi yang baru-baru saja dipublikasikan;
a. NSAID tidak cukup efektif sebagai agen tunggal pasca pembedahan
mayor.
b. NSAID seringkali digunakan sebagai analgesik yang efektif pasca
pembedahan minor atau sedang.
c. NSAID seringkali menurunkan kebutuhan akan opioid.
Efek buruk dari NSAID cukup serius dan penting untuk
memperhatikan kontraindikasinya. Efek samping utamanya antara lain:
a. Iritasi lambung, pembentukan ulkus + perdarahan.
b. Gangguan pada ginjal.
c. Pemburukan gejala asma.
d. Inhibisi platelet.
NSAID dapat digunakan pasca intervensi pembedahan mayor dan
dikombinasikan dengan analgesik yang lebih kuat sebagai bagian dari
pendekatan analgesik multimodal atau keseimbangan analgesia. Pasca
pembedahan urologi minor, NSAID cukup efektif untuk digunakan
sebagai agen tunggal.
Tiga coxibs – celecoxib, rofecoxib, dan valdecoxib – telah disetujui
penggunaannya oleh Food and Drug Administration (FDA); coxib
keempat, etoricoxib, telah disetujui oleh dewan pengaturan di Eropa.
Etoricoxib dan obat kelima, lumiracoxib, saat ini masih berada di bawah
pertimbangan persetujuan dari FDA.
Coxib telah diproduksi besar-besaran secara langsung kepada
konsumen dan telah mendominasi pasaran resep obat NSAID.
Rofecoxib kini telah ditarik dari peredaran berdasarkan penelitian oleh
Data and Safety Monitoring Board of the Adenomatous Polyp Prevention
on Vioxx (APPROVe) dikarenakan adanya peningkatan efek buruk
berupa tromboembolisme yang serius pada kelompok yang
mendapatkan rofecoxib 25 mg per hari dibandingkan sengan kelompok
plasebo. (Kehlat H., et al, 2006)
Saat ini tidak terdapat indikasi yang jelas dalam pemakaiannya
sebagai terapi untuk nyeri pasca operasi, namun Coxib
dikontraindikasikan untuk pasien-pasien dengan kardiopati.
D. Metode Penilaian nyeri Visual Analog scale (VAS)
Penilaian nyeri sebaiknya dilakukan pada saat istirahat maupun
pasien dalam keadaan bergerak, dan dilakukan secara berkala, misalnya
pada saat sebelum dan setelah pemberian anlgetik untuk dapat menilai
efektivitas terapi dan sebagian dasar untuk melakukan penanganan
selanjutnya apabila analgetik yang diberikan tidak efektif mengatasi nyeri
pasien.
Beberapa metode penilaian nyeri yaitu (Rawal et al.,2005) :
a. Ekspresi wajah : sebuah pictogram yang terdiri dari 6 ekspresi wajah
yang berbeda mulai dari wajah tersenyum atau sangat bahagia hingga
ekspresi menangis. Metode ini berguna untuk pasien yang memiliki
masalah dalam berkomunikasi seperti anak-anak, usia lanjut, confused,
atau bagi pasien dengan bahasa asing.
b. Verbal Rating Scale (VRS) : pasien diperintahkan untuk memilih tingkat
nyeri berdasarkan 5 tingkatan nyeri yaitu : tanpa nyeri, ringan, sedang,
parah/berat, atau sangat parah/berat.
tidak nyeri nyeri nyeri nyeri nyeri ringan sedang berat berat
c. Numerical Rating Scale (NRS) : kuisioner ini terdiri dari skala 0-5 atau 0-
10 dimana pasien diperintahkan untuk memberi angka pada nyeri yang
dirasakannya dengan angka 0 sebagai tanpa nyeri dan angka 5 atau 10
(maksimal) sebagai nyeri yang sangat hebat.
d. Visual Analog Scale (VAS) : terdiri dari garis lurus sepanjang 100 mm
dengan ujung kiri garis diberi tanda “tanpa nyeri” dan ujung kanan diberi
tanda “nyeri yang palinghebat”. Kemudian pasien diminta untuk memberi
tanda silang pada garis yang mewakili rasa nyerinya.
Dari keempat metode tersebut, metode VRS dan NRS paling sering
digunakan dalam praktek klinik sedangkan metode VAS digunakan pada
penelitian . (Rawal et al.,2005).
Peningkatan VAS lebih dari 70 mm diindikasikan sebagai nyeri berat,
dan 0-5 mmsebagai tanpa nyeri, 5-44 mm sebagai nyeri ringan, dan 45-74
sebagai nyeri sedang. Penurunan 30-35% dianggap berpengaruh secara
klinis terhadap efektivitas nyeri pada pasien pasca bedah. (Macintyre, et
al.,2010).
E. Efek Samping Obat
Obat tidak hanya memiliki efek yang menguntungkan tetapi juga
dapat menimbulkan reaksi yang merugikan. Selama dekade terakhir,
beberapa penelitian mengamati tentang reaksi efek samping obat atau
reaksi obat yang merugikan (Adverse drug reaction-ADRs) telah
dipublikasikan. Kejadian efek samping obat di definisikan sebagai cedera
akibat intervensi medis yang berkaitan dengan penggunaan obat dan sering
terjadi pada orang dewasa tua. Lebih dari 90% dari orang orang dewasa
usia 65 tahun ke atas menggunakan satu obat perminggu dan 10-25% di
antaranya mengalami kejadian efek samping obat. Kejadian efek samping
obat bertanggung jawab atas 3,4-7,0% dari jumlah pasien masuk rumah
sakit dan sekitar 28% di antaranya dapat di cegah. Proporsi pasien rawat
jalan dengan kejadian efek samping obat berkisar dari 5-35%, bergantung
pada definisi tertentu yang di gunakan . lebuh dari 1,9 juta di antara 38 juta
peserta perawatan kesehatan mengalami kejadian efek samping obat
setiap tahun, dimana 180.000 di antaranya merupakan kejadian yang
mengancam senyawa atau fatal (Syamsuddin, 2011).
Efek samping obat merupakan hal yang sangat umum dalam praktik
medis sehari-hari. Sebuah studi di prancis di lakukan terhadap 2.067 orang
dewasa berusia 20-67 tahun yang menghadiri sebuh pusat kesehatan
untuk memeriksakan diri. Studi tersebut melaporkan bahwa 14,7%
memberikan pernyataan aktual tentang reaksi efek samping sistemis untuk
satu atau lebih obat yang di alami. Pada studi di swiss terhadap 5.568
pasien rawat inap rumah sakit,17% pasien mengalami reaksi
berlawanan/negatif terhadap obat. Reaksi obat yang fatal terjadi pada 0,1
pasien rawat inap bedah. Obat-obatan utama yang terlibat adalah
(Antibiotik dan obat antiinflamasi nonsteroid). Reaksi berlawanan/ negatif
terhadap obat-obatan anastesi (seperti relaksan otot, anastesi umum, dan
opiat) merupakan hal yang mengancam kehidupan dengan mortalitas
sekitar 6%. Efek samping obat adalah penyebab yang paling sering di
laporkan. Kejadian efek samping obat selama perawatan di rumah sakit
tercatat hampir 20% dan dari jumlah tersebut lebuh dari 14%
mengakibatkan cacat serius. Diperkirakan bahwa sampai dengan 20% dari
semua pasien rawat inap setidaknya menderita satu efek samping obat
selama mereka di rawat di rumah sakit. Di amerika serikat, 120.000
kejadian kematian pertahun merupakan akibat penggunaan obat (belum
termasuk penggunaan obat terlarang) atau berarti kurang dari 1% dari
seluruh penggunaan obat. Dilihat dari nilai persentase ini, kematian akibat
efek samping obat yang seharusnya menjadi perhatian penting seolah-olah
merupakan yang di abaikan. Hal ini disebabkan karena besarnya total
keseluruhan dosis obat yang di gunakan. Angka efek samping obat yang
sebenarnya sangat besar menjadi kecil jika di bandingkan dengan
keseluruhan dosisi obat yang digunakan (ESO sebagai pembilang yang
kecil sehubungan dengan banyaknya seluruh dosis obat sebagai penyebut
yang sangat besar) (Syamsuddin, 2011).
F. Kerangka Teori
Keterangan :
-X- = Penghambatan
-------- = Pengaruh
Pasien Cedera Kepala
Pembedahan
Efektivitas
Monitoring Efek Samping
Gangguan Ginjal
Gangguan Hemostasis
Analgetik perioperatif
Perawatan Pasca Bedah
Analgetik Pasca bedah
- Ketorolak - Metamizol
X
COX1 COX2
G. Kerangka Konsep
Keterangan :
-------- = Parameter Pengukuran
Pasien Cedera Kepala
Terapi NSAID
Efektivitas Monitoring Efek Samping
Gangguan Ginjal
Gangguan Hemostasis
Peningkatan ClCr
- Bleeding Time - Clothing Time - Prothrombin
Time - International
Normalized Rasio
Visual Analog Scale
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional menggunakan pre
and post design pada pasien cedera kepala yang mendapatkan terapi
Ketorolak dan Metamizol sebagai analgetik dengan penelusuran prospektif
terhadap efektivitas dan monitoring efek samping pada pasien cedera
kepala di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo.
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dimulai bulan Maret hingga Juli 2017 dan
bertempat di bangsal perawatan bedah saraf RSUP dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
C. Populasi dan Teknik Sampel
A. Populasi
Semua pasien nyeri cedera kepala pada bagian bedah saraf lontara
III bawah depan di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
B. Teknik Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah pasien nyeri cedera kepala yang
mendapatkan terapi Ketorolak dan Metamizol sebagai analgetik di RSUP
dr. Wahidin Sudirohusodo.
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling,
dimana sampel diambil berdasarkan pasien yang memenuhi kriteria inklusi
dalam penelitian sampai kurung waktu tertentu, sehingga jumlah pasien
34
yang diperlukan terpenuhi. Dengan cara consecutive, peneliti dapat
mengambil semua subyek yang baru didiagnosis mengalami nyeri cedera
kepala dan mendapatkan terapi Ketorolak dan Metamizol. Subyek minimal
terpenuhi. Jumlah sampel adalah 25 orang. Penentuan besar sampel
ditentukan dengan menggunakan rumus (Dahlan, 2013) :
Keterangan :
n = jumlah sampel minimal yang diperlukan
p = proporsi pasien yang mendapatkan terapi NSAID q = 1-p
(proporsi pasien kontrol)
d = limit dari error atau presisi absolute (0,05)
Z2= simpangan baku rata-rata yang disesuaikan dengan nilai d (1,96)
Z2α p.q n = ..................... (1)
d2
Z2 p (1-p) n = ..................... (2)
d2
1,962 x 0,0165 x (1-0,0165) Jadi, besar sampel (n) =
0.052
= 24,936 (25 orang)
D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi :
1. Pasien rawat inap yang didiagnosis cedera kepala murni derajat ringan
hingga sedang oleh dokter di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar
2. Pasien yang mendapatkan terapi Ketorolak dan Metamizol.
3. Pasien yang mendapatkan pembedahan bedah saraf.
4. Pasien sadar dan dapat berkomunikasi (Nilai GCS 15)
5. Pasien masa dewasa 18 - 49 tahun (WHO) .
6. Bersedia menandatangani surat persetujuan untuk diikutkan dalam
penelitian.
Kriteria eksklusi :
1. Pasien dengan komplikasi lain yang menjadi faktor risiko terjadinya
gagal ginjal
2. Pasien dengan riwayat penggunaan NSAID rutin minimal 1 bulan
3. Pasien dengan riwayat gagal ginjal dan gangguan pendarahan
4. Pasien buta aksara
5. Pasien demensia
6. Pasien dengan gangguan fungsi kognitif
E. Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas dan variabel
tergantung. Variabel bebas yaitu penggunaan terapi Ketorolak dan
Metamizol. Varibel tergantung meliputi efektivitas dengan skala Visual
Analog Scale (VAS) dan monitoring efek samping obat meliputi gangguan
fungsi ginjal dengan parameter Clcr dan gangguan hemostasis dengan
parameter waktu perdarahan, waktu bekuan darah, waktu protrombin
F. Defenisi Operasional
1. Sebelum pemberian terapi Ketorolak dan Metamizol adalah kondisi
pasien yang didiagnosa cedera kepala dan belum mendapatkan terapi
Ketorolak dan Metamizol.
2. Sesudah pemberian terapi Ketorolak dan Metamizol adalah kondisi
pasien yang didiagnosa cedera kepala dan telah mendapatkan terapi
NSAID.
3. Cedera kepala murni adalah pasien yang mengalami cedera bagian
kepala tanpa disertai cedera pada bagian lain.
4. Terapi NSAID yang digunakan secara berkelanjutan di RSUP dr.Wahidin
Sudirohusodo yaitu :
a. Ketorolak 1 Ampul / 8 jam selama 3 hari
b. Dilanjutkan Metamizol 1 Ampul / 8 jam selama 3 hari
5. Efektivitas adalah kemampuan terapi Ketorolak dan Metamizol untuk
mengatasi nyeri pasca bedah dengan menggunakan instrumen Visual
Analog Scale (VAS). Penurunan nilai Visual Analog Scale (VAS) berarti
memperlihatkan efektivitas terapi NSAID.
6. Efek samping obat adalah respon terhadap suatu obat yang berbahaya
dan tidak diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang digunakan untuk
tujuan profilaksis , diagnosa maupun terapi (WHO,1994).
7. Monitoring efek samping obata adalah suatu program pemantauan
keamanan obat dengan melihat respon obat yang merugikan (ESO)
dalam dosis lazim (WHO,1994).
8. Gangguan ginjal adalah menurunnya Clcr sebesar minimal 50%
dibandingkan dengan Clcr normal dalam satuan mL/menit/1,72 m2.
Dimana Clcr normal untuk pria 91 – 119 mL/menit/1.73 m2, untuk wanita
77 – 113 mL/menit/1.73 m2.
9. Gangguan hemostasis adalah gangguan fungsi darah meliputi
perpanjangan waktu perdarahan (bleeding time) (BT) waktu bekuan
darah (clotting time) (CT), waktu protrombin (prothrombin time) (PT),
International normalized Ratio (INR) berdasarkan hasil pemeriksaan
instalasi laboratorium RSUP. dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
10. Waktu Perdarahan (BT) adalah waktu yang dibutuhkan bagi darah
pasien untuk berhenti mengalir pada bagian yang telah diinsisi dan
digunakan untuk melihat fungsi trombosit yang didapatkan dari Instalasi
Laboratorium RSUP Wahidin Sudirohusodo Makassar dengan nilai
rujukan normal adalah 3-8 menit.
11. Waktu bekuan darah (CT) adalah lamanya waktu yang diperlukan
darah di dalam tabung untuk membeku dan merupakan salah satu
pengujian untuk melihat fungsi dari sistem koagulasi darah yang
didapatkan dari Instalasi Laboratorium RSUP Wahidin Sudirohusodo
Makassar dengan nilai rujukan normal adalah 4-8 menit.
12. Waktu protrombin (PT) adalah nilai laboratorium hasil pemeriksaan
waktu protrombin subyek untuk menilai fungsi sistem koagulasi darah
yang diperiksakan di Instalasi Laboratorium RSUP Wahidin
Sudirohusodo makassar dengan nilai rujukan normal adalah 8,8 - 11,6
detik.
13. INR adalah hasil konversi PT, juga untuk melihat fungsi sistem
koagulasi dengan nilai rujukan 0,9 – 1,2.
14. Usia terbagi atas dewasa yaitu pasien dengan usia 17 hingga 60 tahun,
dan lanjut usia dengan usia mulai 60 tahun ke atas. (WHO,1994).
G. Instrumen Pengumpulan Data
1. Tahap Persiapan
Tahap persiapan meliputi penulusuran pustaka, pembuatan
proposal, dan perizinan untuk melakukan penelitian
2. Tahap Penelitian
Pasien yang telah melakukan bedah saraf dan melakukan perawatan di
bangsal, masuk kriteria inklusi, dan telah setuju untuk berpartisipasi
dalam penelitian, kemuadian dilakukan penelitian sebagai berikut :
a. Dari rekam medik pasien didapatkan data nama, nomor rekam
medik, usia, jenis kelamin, diagnosa, pemberian terapi Ketorolak dan
Metamizol.
b. Selanjutnya pasien akan diminta menandatangani surat
persetujuan untuk berpartisipasi dalam penelitian, dan peneliti
melakukan wawancara untuk mendapatkan data awal yang tidak
terdapat di rekam medik meliputi efektivitas terapi Ketorolak dan
Metamizol dan monitoring efek samping obat pada pasien cedera
kepala setelah mendapatkan terapi Ketorolak dan Metamizol.
c. Pasien yang masuk kriteria inklusi selanjutnya terus diamati.
d. Pasien akan diminta mengisi lembaran Visual Analog Scale (VAS)
untuk mengamati tingkat nyeri setelah pemberian terapi Ketorolak
dan Metamizol.
e. Monitoring efek samping obat pemantauan keamanan obat dengan
melihat respon obat yang merugikan (ESO) dalam dosis lazim
3. Tahap Pengolahan Data
Setelah semua data didapatkan, selanjutnya dilakukan tabulasi
berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan untuk persiapan analisa
secara statistik.
H. Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah seluruh data terkumpul. Dilakukan
uji efektivitas terapi Ketorolak dan Metamizol dan monitoring efek samping
obat pada pasien cedera kepala dengan menggunakan uji anava satu jalur
dengan uji friedman sebagai pengujian alternatif, jika data tersebut tidak
memenuhi uji distribusi normal dan/atau uji varians. Dilakukan uji lanjutan
menggunakan uji Wilcoxon.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Pasien
Penelitian ini untuk mengamati efektivitas dan memonitoring efek
samping terapi Ketorolak dan Metamizol yang dilakukan secara prospektif
dengan pre and post design pada pasien cedera kepala di RSUP dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar. Pada penelitian ini pasien yang
berpartisipasi adalah pasien elektif, sehingga memudahkan peneliti untuk
pengambilan data pada kondisi sebelum pemberian terapi Ketorolak dan
Metamizol. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara consecutive
sampling dengan waktu periode penelitian + 3 bulan dan diperoleh 25
pasien yang bersedia mengikuti penelitian dan memenuhi kriteria inklusi.
Adapun karakteristik pasien sebanyak 25 yang memenuhi kriteria
inklusi dan setuju berpartisipasi dalam penelitian ini dibagi berdasarkan
jenis kelamin, diagnosis dan jenis pembedahan, serta kombinasi terapi
yang diberikan. Diagnosis semua pasien yang berpartisipasi meliputi
cedera kepala ringan dan sedang, sedangkan jenis pembedahan meliputi
Kranioplasty dan bedah spinal. Terapi yang diberikan kepada pasien
berupa terapi analgetik terdiri atas Ketorolak dan Metamizol, dan terapi
antibiotik terdiri atas Cefadroxil dan Ceftriaxon, serta terapi penunjang
terdiri atas vitamin B1, B6, B12, dan Piracetam, selengkapnya disajikan
dalam tabel 1.
42
Tabel 1. Karakteristik demografi pasien cedera kepala yang mengikuti penelitian di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar. Karakteristik Pasien n (%)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Umur
20-30 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
Diagnosis
Cedera kepala ringan
Cedera kepala sedang
Jenis Pembedahan
Kranioplasty
Bedah Spinal
Kombinasi Terapi
Ketorolak, Metamizol, Ceftriaxon, Ranitidin, Kombinasi Vitamin B1, B6, B12
Ketorolak, Metamizol, Cefadroxil, Ranitidin
Ketorolak, Metamizol, Ceftriaxon, Kombinasi Vitamin B1, B6, B12
Ketorolak, Metamizol, Ceftriaxon, Ranitidin
Ketorolak, Metamizol, Ceftriaxon, Piracetam
20
5
23
1
1
14
11
23
2
4
8
3
7
3
80
20
92
4
4
56
44
92
8
16
32
12
28
12
Berdasarkan tabel diatas jumlah pasien laki-laki 20 (80%)
perempuan 5 (20%), didominasi oleh laki-laki sebesar 80%. Hal ini dapat
mempengaruhi pengamatan mengenai fungsi ginjal yang akan di analisis,
menurut Silbiger dan Neugarten (2008) bahwa kadar estrogen pada pria
dapat meningkatkan hemodinamis dari ginjal dan mempercepat progres
pada penyakit ginjal. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Fadrowski et
al.,2010 menemukan laju filtrasi glomerolus pada laki-laki lebih kecil
dibandingkan dengan perempuan.
Kriteria umur ditetapkan 18-49 tahun, karena syarat untuk penentuan
laju filtrasi glomerulus menggunakan rumus Cokroft-Gault adalah pasien
dengan usia minimal 18 tahun dan secara fisiologis tubuh sudah dianggap
matang, hal ini sesuai dengan salah satu kriteria inklusi peneliti. Penurunan
fungsi tubuh dari pasien usia lanjut dapat mengganggu hasil penelitian,
karena pasien mengalami penurunan sensivitas terhadap nyeri dan terjadi
peningkatan respon terhadap obat analgetik, sehingga untuk pasien yang
usia lebih dari 50 tahun tidak diikutsertakan ke dalam penelitian.
Hasil diagnosis pasien yang berpartisipasi dalam penelitian ini yaitu
cedera kepala ringan 14 (56%) pasien dan cedera kepala sedang 11 (44%),
hal ini sesuai dengan salah satu kriteria inklusi meliputi cedera kepala
derajat ringan hingga sedang. Berdasarkan kriteria cidera kepala ringan
ditandai dengan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) 13 hingga 15 ,
sedangkan cedera kepala sedang ditandai dengan nilai GCS 9 hingga 12
yang kemudian direncanakan untuk menjalani pembedahan. Tetapi dalam
penelitian ini pasien yang diberi perlakukan adalah pasien dengan nilai GCS
15 dan dapat berkomunikasi. Hal ini memudahkan peneliti dalam menilai
skor nyeri menggunnakan metode Visual Analog Scale (VAS). Untuk pasien
dengan cedera kepala derajat yang berat tidak diikutkan dalam penelitian
karena pasien tersebut susah untuk berkomunikasi sehingga dapat
mempersulit peneliti dalam pengambilan data skor nyeri.
Jenis operasi salah satu faktor yang mempengaruhi tingkatan nyeri
pasca operasi, karena jenis operasi akan menentukan luasnya manipulasi
pembedahan serta kerusakan jaringan yang akan terjadi. Lokasi dan ukuran
insisi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada nyeri pasca
operasi. Insisi yang panjang lebih nyeri dibandingkan insisi yang pendek
(Rahman and Beattie, 2005). Pada penelitian ini jenis operasinya terdiri atas
Kranioplasty dan Bedah Spinal.
Kombinasi terapi yang diberikan kepada pasien terdiri atas terapi
NSAID (Ketorolak, Metamizol), dan terapi antibiotik, serta terapi penunjang.
Pasien dengan kombinasi Ketorolak, Metamizol, Ceftriaxon, Ranitidin,
Kombinasi Vitamin B1, B6, B12 sejumlah 4 (16%) pasien, Ketorolak,
Metamizol, Cefadroxil, Ranitidin sejumlah 8 (32%) pasien, Ketorolak,
Metamizol, Ceftriaxon, Kombinasi Vitamin B1, B6, B12 sejumlah 3 (12%)
pasien, Ketorolak, Metamizol, Ceftriaxon, Ranitidin sejumlah 7 (28%)
pasien, Ketorolak, Metamizol, Ceftriaxon, Piracetam 2 (12%) pasien.
Standard operasional prosedur di RSUP dr.Wahidin Sudirohusodo
bagian bedah saraf, semua pasien mendapatkan terapi NSAID yang terdiri
atas Ketorolak dengan dosis 30 mg tiap 8 jam sebagai analgetik untuk
mengatasi nyeri setelah pembedahan yang deiberikan selama 3 hari,
setelah 3 hari pemberian ketorolak dihentikan dan dilanjutkan dengan
pemberian Metamizol sebagai analgetik dan antipiretik dengan dosis 500
mg tiap 8 jam yang diberikan selama 3 hari.
Pemberian Ranitidin diberikan kepada 19 pasien yang ikut dalam
penelitian ini, dosis Ranitidin yang diberikan yaitu 150 mg tiap 12 jam, tujuan
pemberian ranitidin kepada pasien sebagai profilaksis gangguan Gastro
Intestinal yang dapat terjadi pada pemberian efek samping dari NSAID
khususnya ketorolak.
Pemberian Antibiotik pasien pasca operasi adalah antibiotik
golongan Cefalosporin generasi ke III, baik itu Ceftriaxon maupun cefadroxil
yang penggunaannya sebagai profilaksis terhadap infeksi yang dapat
terjadi akibat insisi dari proses pembedahan. Ceftriaxon diberikan 12 jam
melalui injeksi intravena dengan dosis sekali pemberiannya 1 gram.
Sedangkan Cefadroxil diberikan secara oral dengan dosis 500 mg tiap 12
jam. Penggunaan Ceftriaxon dan Cefadroxil menurut (Lacy, et al., 2008)
dapat mempengaruhi fungsi ginjal, namun prevalensi kejadiannya belum
pasti.
Pemberian terapi penunjang yaitu piracetam dan kombinasi vitamin
B1, B6, B12 . Piracetam dengan dosis 1 gram secara injeksi intravena tiap 8
jam dan kombinasi Vitamin B1, B6, B12 dengan dosis 1 ampul tiap 12 jam.
Tujuan pemberian Piracetam dan kombinasi Vitamin B1, B6, B12 sebagai
suplemen neurotropik utuk pasien yang mengalami gangguan pada saraf.
B. Efektivitas Antinyeri Terapi Ketorolak dan Metamizol dengan
parameter Visual Analog Scale (VAS)
Terapi NSAID digunakan sebagai analgetik, antipiretik, antiinflamasi.
Menurut (Mc Evoy.,2005) penggunaan Ketorolak secara luas digunakan
sebagai analgetik untuk nyeri akut yang sedang sedang hingga berat,
secara klinis penggunaannya disarankan adalah maksimal 5 hari, na4mun
pada penelitian ini penggunaannya hanya 3 hari lalu dihentikan dan
dilanjutkan penggunaan Metamisol selama 3 hari sehingga peneliti
melakukan pengamatan skor nyeri dari hari pertama hingga pemakaian hari
keenam. Berdasarkan standar operasional prosedur penggunaan terapi
Ketorolak dan Metamizol yang digunakan di RSUP dr.Wahidin
Sudirohusodo sudah sesuai sebagai dasar pemilihan dan penggunaan
analgetik yang tepat dan aman.
Visual Analog Scale adalah (VAS) adalah alat ukur yang digunakan
untuk memeriksa intensitas nyeri. Pengukuran yang dilakukan
menggunakan instrumen VAS yang dimodivikasi dan dikonversi hasilnya ke
dalam bentuk angka kemudian diinterpretasikan ke dalam tingkat
keparahan nyeri. Untuk skor 0 diinterpretasikan sebagai kondisi tanpa nyeri,
1 – 5 sebagai nyeri ringgan, 5 – 7 sebagai nyeri sedang, sedangkan 7 – 10
sebagai nyeri berat (Rawal et al.,2005).
Tabel 2. Skor VAS pemberian terapi Ketorolak hari I hingga hari ke III di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
No. VAS Hari I VAS Hari II Vas Hari III
1 5 5 4 2 3 2 2 3 4 4 3 4 3 3 1 5 5 4 2 6 5 4 3 7 6 3 2 8 4 3 2 9 5 4 3
10 4 4 3 11 4 3 2 12 5 4 3 13 5 4 3 14 4 2 1 15 4 3 2 16 4 3 2 17 5 3 2 No. VAS Hari I VAS Hari II Vas Hari III 18 4 2 2 19 3 3 2 20 4 3 2 21 4 3 2 22 3 3 2 23 4 3 2 24 4 3 2 25 5 4 3 X 4,24 3,28 2,28
Tabel 3. Hasil Analisis Skor VAS pemberian terapi Ketorolak dari hari ke I hingga ke III di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Penggukuran VAS n Median (Minimum-maksimum
Rerata p
Hari I 25 3 (3 – 6) 4,24 0,00
Hari II 25 3 (2 – 5) 3,28
Hari III 25 2 (1 – 4) 2,28
Tabel 4. Uji post-hoc Wilcoxon variabel nilai VAS pemeberian terapi ketorolak di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Variabel 1 Variabel 2 P
VAS Hari I VAS Hari II 0,00
VAS Hari I VAS Hari III 0,00
VAS Hari II VAS Hari III 0,00
Tabel 5. Skor VAS pemberian terapi Metamizol hari ke IV hingga hari ke VI di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
No. VAS Hari IV VAS Hari V Vas Hari VI 1 3 1 1 2 1 1 0 3 3 1 0 4 1 0 0 5 2 1 0 6 2 2 0 7 1 1 0 8 2 1 1 9 2 2 2
10 2 2 0 11 1 1 0 No. VAS Hari IV VAS Hari V Vas Hari VI 12 1 1 0 13 2 1 0 14 0 0 0 15 1 1 0 16 2 2 1 17 1 1 0 18 3 0 0 19 1 0 0 20 0 0 0 21 1 1 0
22 1 0 0 23 2 2 0 24 1 2 1 25 1 1 0 X 1,48 1 0,24
Tabel 6. Hasil Analisis Skor VAS pemberian terapi Metamizol dari hari ke IV hingga hari ke VI di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Penggukuran VAS n Median (Minimum-maksimum
Rerata p
Hari IV 25 1 (0 – 3) 1,48 0,00
Hari V 25 1 (0 – 2) 1
Hari VI 25 0,00 (0 - 2) 0,24
Tabel 7. Uji post-hoc Wilcoxon variabel nilai VAS pemeberian terapi Metamizol di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Variabel 1 Variabel 2 P
VAS Hari IV VAS Hari V 0,00
VAS Hari IV VAS Hari VI 0,00
VAS Hari V VAS Hari VI 0,00
Berdasarkan tabel 2. rata-rata skor VAS pemberian ketorolak pada
hari I dengan nilai 4,24, dan pada hari ke II dengan nilai 3,28, serta pada
hari ke III dengan nilai 2,28 menunjukkan adanya perbedaan penurunan
nilai VAS hari I, hari ke II, dan hari ke III. Penurunan ini menunjukkan bahwa
penggunaan Ketorolak dengan dosis 30 mg tiap 8 jam selama tiga hari
berefek dalam menurunkan tingkat nyeri, hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa Ketorolak memberikan efek yang cepat dan membantu
mengurangi nyeri (Haragsim, 1994).
Selanjutnya dilakukan analisis uji wilcoxon karena data tidak
memenuhi uji distribusi normal. Maka uji wilcoxon digunakan untuk
menganalisis hasil pengamatan yang berpasangan dari dua data apakah
berbeda atau tidak. Dari pengujian terlihat bahwa pemberian ketorolak
mulai hari I , hari ke II , hingga hari ke III, memberikan perbedaan yang
bermakna secara statistik (P<0.05), artinya rata-rata nilai VAS pasien
cedera kepala antara hari I ,hari ke II dan hari ke III menunjukkan perbedaan
. Sedangkan pemberian Metamizol pada hari ke IV dengan nilai rata-
rata 1,48, hari ke V dengan nilai 1, dan hari ke VI dengan nilai 0,24
menunjukkan adanya penurunan nilai VAS. Dari pengujian statistik terlihat
pada tabel uji Wilcoxon bahwa pemberian Metamizol mulai hari IV , hari ke
V , hingga hari ke VI juga memberikan perbedaan yang bermakna secara
statistik (P<0.05).
Pengukuran yang dilakukan menggunakan instrumen VAS pada
pemberian Ketorolak dan Metamizol selama 6 hari menurut menurut Rawal
et al.,2005 bahwa pada pengukuran VAS pada hari ke VI dapat
diinterpretasikan sebagai kondisi tanpa nyeri. Oleh karena itu pemberian
NSAID khususnya Metamizol pada hari ke VI efektif menurunkan rasa nyeri
pada pasien cedera kepala ringan dan sedang. Terlihat pada rerata pasien
telah mengalami resolusi atau tidak nyeri dengan skor VAS 0 (0 - 2) pada
hari ke VI.
C. Monitoring Efek Samping Penggunaan NSAID
Pada penelitian ini variabel-variabel yang akan diuji untuk melihat
efek samping obat dari penggunaan terapi Ketorolak dan Metamizol yaitu,
meliputi Glomerulus Filtration Rate (GFR) untuk melihat efek terhadap
fungsi ginjal dan fungsi koagulasi darah yang difokuskan kepada variabel
waktu perdarahan (BT) sedangkan untuk melengkapi data dan melihat
pengaruh terhadap fungsi hemostasis dianalisis pula variabel waktu bekuan
darah (CT), Protrombin time, dan Internationalized nomalized ratio (INR).
1. Pengaruh pemberian terapi NSAID terhadap Fungsi Ginjal.
Gromerular filtration rate (GFR) adalah laju rata-rata penyaringan
darah yang terjadi di glomerulus sekitar 25% dari total curah jantung per-
menit. GFR adalah salah satu indikator menilai fungsi ginjal dengan nilai
rujukan 90 – 120 ml/menit/1.73m2 yang digunakan untuk menghitung
bersihan kreatinin yang selanjunya dimasukkan kedalam rumus Cokroft-
Gault :
Keterangan : Clcr = klirens kreatinin dalam satuan ml/menit.
Usia = usia pasien dalam satuan tahun
BB = Bobot badan dalam satuan kg.
Scr = Serum kreatinin dalam satuan mg/dL
(140-usia) x BB Clcr = ____________ x JK
72 x Scr
JK = Jenis kelamin (untuk pria = 1 dan wanita =0,9)
Pada tabel 10. Menunjukkan nilai GFR dari pasien antara sebelum
dan sesudah penggunaan terapi Ketorolak dan Metamizol.
Tabel 8. Nilai GFR pasien pada kondisi sebelum dan sesudah pemberian Ketorolak dan Metamzol di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar. No. GFR Sebelum
pemberian Ketorolak dan
Metamizol
GFR Sesudah
pemberian Ketorolak dan
Metamizol
% Keterangan
1 72,57 124,40 41,66 Meningkat
2 75,39 94,24 20 Meningkat
3 79,86 88,73 10 Meningkat
4 80,78 92,32 12,5 Meningkat
5 86,20 110,83 22,22 Meningkat
6 88,39 103,13 14,28 Meningkat
7 109,81 146,41 25 Meningkat
8 81,52 103,51 21,25 Meningkat
9 76,13 101,50 25 Meningkat
10 94,06 120,93 22,22 Meningkat
11 101,67 130,71 22,22 Meningkat
12 92,59 119,05 22,22 Meningkat
13 78,67 70,80 11,11 Menurun
14 98,04 76,25 28,57 Menurun
15 95,06 85,56 11,11 Menurun
16 82,56 74,31 11,11 Menurun
17 113,49 99,31 14,28 Menurun
18 120,83 103,57 16,66 Menurun
19 107,24 83,41 28,57 Menurun
20 95,49 84,88 12,5 Menurun
21 94,17 75,33 25 Menurun
22 109,86 109,86 0 Tetap
23 120,56 120,56 0 Tetap
24 102,92 102,92 0 Tetap
25 120,58 120,58 0 Tetap
x 95,70 102,28
Berdasarkan tabel diatas bahwa kondisi pasien yang mengalami
peningkatan nilai GFR sejumlah 12 pasien, dan yang mengalami
penurunan GFR sejumlah 9 pasien, serta 4 pasien yang tidak mengalami
perubahan GFR.
Terlihat bahwa setelah penggunaan Ketorolak dan Metamizol
pada 11 pasien yang mengalami peningkatan diatas 90 ml/menit/1.73m2
artinya pasien masih memiliki fungsi ginjal yang normal, tetapi terdapat
pasien yang berada pada stadium risiko meningkat yaitu pada pasien
dengan nilai GFR 124,40 ml/menit/1.73m2 dan nilai GFR 130,71
ml/menit/1.73m2. Sedangkan pada 9 pasien yang mengalami penurunan
nilai GFR, terdapat dua pasien yang mengalami penurunan hingga
28,57% dengan nilai GFR 76,25 ml/menit/1.73m2 dan 83,41
ml/menit/1.73m2 setelah pemberian Ketorolak dan Metamizol. Jika nilai
GFR kurang dari 60 - 89 ml/menit/1.73m2 berarti fungsi ginjal mengalami
penurunan derajat ringan (The National Foundation – Kidney Disease
Outcomes Quality Intiative, 2000)
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan Ketorolak dan Metamizol
pada beberapa pasien dapat memicu penurunan fungsi ginjal , apalagi
jika digunakan dalam jangka waktu yang lama. Menurut Obrador, (2009)
bahwa dapat dikatakan suatu kelainan gangguan fungsi ginjal secara
irreversible apabila telah berlangsung selama tiga bulan atau lebih,
dengan atau tanpa penurunan laju fultrasi glomerulus yang bertahap dan
berfkelanjutan (Obrador, 2009).
Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian antara lain oleh Rao
et.,al. (1995) melaporkan bahwa penggunaan ketorolak dapat
meningkatkan konsentrasi serum kreatinin, dan Haragsim et.,al.,(1994)
melaporkan kejadian gagal ginjal akut juga dilaporkan terjadi pada 3
pasien yang mendapatkan ketorolak, serta McEvoy.,(2005) melaporkan
gagal ginjal akut yang diakibatkan oleh ketorolak dapat disebabkan oleh
penghambatan prostaglandin pada ginjal, sehingga menurunkan aliran
darah ke ginjal.
2. Pengaruh pemberian terap Ketorolak dan Metamizol terhadap
fungsi Koagulasi Darah.
A. Pengujian terhadap waktu pendarahan (BT)
Waktu perdarahan (BT) merupakan suatu parameter untuk
mengukur aktivitas platelet secara in vivo. Waktu perdarahan (BT)
secara umum digunakan untuk mendiagnosis adanya gangguan
hemostasis. Waktu perdarahan adalah uji laboratorium untuk
menentukan lamanya tubuh menghentikan perdarahan akibat trauma.
Tabel 9. Nilai BT pasien pada kondisi sebelum dan sesudah pemberian Ketorolak dan Metamizol di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
No. BT Sebelum pemberian Ketorolak
dan Metamizol (Menit)
BT Sesudah pemberian Ketorolak dan
Metamizol (Menit)
Keterangan
1 3 4 Memanjang
2 3 4 Memanjang
3 3 4 Memanjang
4 3 4 Memanjang
5 3 4 Memanjang
6 3 4 Memanjang
7 2.3 3 Memanjang
8 3 4 Memanjang
9 3 4 Memanjang
10 3 4 Memanjang
11 2 3 Memanjang
No. BT Sebelum pemberian Ketorolak
dan Metamizol (Menit)
BT Sesudah pemberian Ketorolak dan
Metamizol (Menit)
Keterangan
12 3 2 Memendek
13 3 2 Memendek
14 3 2 Memendek
15 2 2 Tetap
16 2 2 Tetap
17 2 2 Tetap
18 2 2 Tetap
19 3 3 Tetap
20 2 2 Tetap
21 2 2 Tetap
22 3.3 3.3 Tetap
23 3 3 Tetap
24 3 3 Tetap
25 3 3 Tetap
X 2,70 3,00
Tabel 10. Analsis perbandingan Nilai BT pasien pada kondisi Sebelum dan Sesudah pemberian Ketorolak dan Metamizol di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Kelompok n Median (Minimum-Maksimum)
Rerata P
BT Sebelum Pemberian NSAID
25 3 (2,0 – 3,3) 2,70 0,048
BT Sesudah Pemberian NSAID
25 3 (2,0 – 4,0) 3,00
Berdasarkan hasil pengujian terhadap waktu perdarahan (BT)
bahwa dari 25 pasien, 11 pasien yang mengalami peningkatan waktu
perdarahan, 3 pasien mengalami penurunan, dan 11 pasien yang tidak
mengalami perubahan sama sekali.
Pemanjangan waktu perdarahan pada 11 pasien menunjukkan
adanya efek hemostasis, penurunan aktivitas agregasi platelet yang
disebabkan karena penghambatan enzim siklooksigenase, sehingga
sisntesis tromboksan A2 menurun. Tromboksan A2 merupakan salah
satu mediator yang berpengaruh pada proses aktivasi palatelet dan
vasokontriksi ketika proses hemostasis yang dimediasi oleh platelet
(Anderson et al, 2001). Waktu perdarahan yang memanjang setelah
pemberian Ketorolak dan Metamizol diduga karena terjadi
penghambatan pembentukan sumbat hemostasis. Penghambatan
pembentukan sumbat hemostasis terjadi ketika ada penumpukan
platelet dijaringan ikat pada daerah luka yang membentuk agregat
(Martini, 2001).
Hasil pengujian menggunakan metode Wilcoxon bahwa pemberian
NSAID meliputi ketorolak dan metamizol dapat memperpanjang waktu
perdarahan dengan nilai signifikansi sebesar 0,048 (P<0,05) meskipun
penggunaanya selama 6 hari tidak memperlihatkan nilai waktu
perdarahan (BT) yang menyimpang dari nilai rujukan normal yaitu 3 – 8
menit.
B. Pengujian terhadap waktu bekuan darah (CT)
Waktu bekuan darah adalah waktu yang diperlukan darah untuk
membeku atau waktu yang diperlukan saat pengambilan darah sampai
saat terjadinya pembekuan. Darah manusia adalah cairan jaringan
tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yang diperlukan
oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga menyuplai jaringan tubuh
dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung
berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan mempertahankan
tubuh dari berbagai penyakit.
Tabel 11. Nilai CT pasien pada kondisi sebelum dan sesudah pemberian Ketorolak dan Metamizol di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
No. CT Sebelum pemberian Ketorolak
dan Metamizol (Menit)
CT Sesudah pemberian Ketorolak
dan Metamizol (Menit)
Keterangan
1 7.3 8 Memanjang
2 8 9 Memanjang
3 7 8 Memanjang
4 7 8 Memanjang
5 7 8 Memanjang
6 7 8 Memanjang
7 7 8 Memanjang
8 7 8 Memanjang
9 7 8 Memanjang
10 7 8 Memanjang
11 7 8 Memanjang
12 7 8 Memanjang
13 7 8 Memanjang
14 7 8 Memanjang
15 7 8 Memanjang
16 7 8 Memanjang
17 7 7 Tetap
18 8 8 Tetap
19 8 8 Tetap
20 8 8 Tetap
21 8 8 Tetap
22 8 8 Tetap
23 8 8 Tetap
24 8 8 Tetap
25 8 8 Tetap
X 7,38 8,00
Tabel 12. Analsis perbandingan Nilai CT pasien pada kondisi sebelum dan sesudah pemberian Ketorolak dan Metamizol di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Kelompok N Median (Minimum-Maksimum)
Rerata P
CT Sebelum Pemberian NSAID
25 7 (7,0 – 8,0) 7,38 0,00
CT Sesudah Pemberian NSAID
25 8 (7,0 – 9,0) 8,00
Pengujian terhadap bekuan darah (CT) dilakukan pada 25 pasien,
dari hasil pemeriksaan bekuan darah (CT) sebelum dan sesudah
pemberian Ketorolak dan Metamizol memperlihatkan bahwa 16 pasien
yang mengalami pemanjangan bekuan darah (CT) hal ini menunjukkan
terjadinya peningkatan atau pemanjangan nilai bekuan darah, dan 9
pasien tidak mengalami perubahan nilai CT.
Analisa statistik dilakukan untuk melihat hubungan antara nilai
bekuan darah (CT) antara sebelum dan sesudah pemberian terapi
Ketorolak dan Metamizol. Uji Wilcoxon dipilih karena nilai bekuan darah
(CT) tidak terdistribusi normal. Dari data yang diperoleh antara sebelum
dan sesudah pemberian Ketorolak dan Metamizol selama enam hari
tidak memperlihatkan penyimpangan dari nilai normal yaitu 4 – 8 menit
(Sacher dan McPherson.,2002). Nilai bekuan darah (CT) Sebelum
pemberian Ketorolak dan Metamizol dengan rerata 7,38 menit dan pada
kondisi sesudah rerata 8,00 menit. Meskipun demikian dari hasil uji
statistik yang dilakukan bahwa pemberian Ketorolak dan Metamizol baik
itu ketorolak dan metamizol masing-masing tiga hari dapat
memperpanjang nilai bekuan darah (CT) dengan tingkat signifikansi
sebesar 0,00 (P<0,05).
C. Pengujian terhadap waktu protrombin (PT) dan INR
Waktu Protrombin (PT) merupakan suatu parameter klinis yang
juga digunakan untuk mengetahui fungsi koagulasi darah. Beragamnya
hasil waktu protrombin (PT) dari tiap laboratorium yang disebabkan
variasi dari reagen yang digunakan mendorong dibuatnya suatu
standarisasi nilai yang disebut International Normalized Ratio (INR).
Untuk nilai rujukan normal waktu protrombin (PT) adalah 8,8 – 11,6 detik,
sedangkan nilai rujukan INR 0,9 – 1,2.
Tabel 13. Nilai PT pasien pada kondisi sebelum dan sesudah pemberian Ketorolak dan Metamizol di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar. No. PT Sebelum pemberian
Ketorolak dan Metamizol (Detik)
PT Sesudah pemberian Ketorolak dan
Metamizol (Detik)
Keterangan
1 10.1 10.9 Memanjang
2 9.4 10.1 Memanjang
3 11.2 11.3 Memanjang
4 11.2 11.6 Memanjang
5 10.4 10.9 Memanjang
6 10.5 10.9 Memanjang
7 11.2 11.6 Memanjang
8 10.8 11 Memanjang
9 10.5 10.8 Memanjang
10 10.7 11.2 Memanjang
11 11 11.2 Memanjang
12 11.3 11.9 Memanjang
13 11.2 11.4 Memanjang
14 12.1 12.7 Memanjang
15 10.2 11 Memanjang
16 11.2 11.8 Memanjang
17 15.4 15.9 Memanjang
18 13.5 13.8 Memanjang
19 13.2 13.6 Memanjang
20 10.2 10.8 Memanjang
21 11.2 11.5 Memanjang
No. PT Sebelum pemberian Ketorolak dan
Metamizol (Detik)
PT Sesudah pemberian Ketorolak dan
Metamizol (Detik)
Keterangan
22 11 10.2 Memendek
23 13.2 12 Memendek
24 11.2 11.2 Tetap
25 11.2 11.2 Tetap
X 11,00 11,33
Tabel 14. Nilai INR pasien pada kondisi sebelum dan sesudah pemberian Ketorolak dan Metamizol di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
No. INR Sebelum pemberian Ketorolak
dan Metamizol
INR Sesudah pemberian Ketorolak
dan Metamizol
Keterangan
1 1.09 1.1 Meningkat
2 0.9 1 Meningkat
3 0.9 1 Meningkat
4 0.82 0.88 Meningkat
5 0.8 0.9 Meningkat
6 1.1 1.21 Meningkat
7 1.09 1.1 Meningkat
8 1.2 1.5 Meningkat
9 1.09 1,1 Meningkat
10 1.05 1.07 Meningkat
11 1.01 1.06 Meningkat
12 0.93 1 Meningkat
13 0.9 1 Meningkat
14 0.9 1 Meningkat
15 0.86 0.9 Meningkat
16 0.87 0.9 Meningkat
17 0.9 0.93 Meningkat
18 1 1 Tetap
19 1 1 Tetap
20 0.93 0.93 Tetap
21 0.90 0.90 Tetap
22 0.92 0.92 Tetap
23 1.1 1.1 Tetap
24 0.8 0.8 Tetap
25 0.9 0.9 Tetap
X 1,00 1,01
Tabel 15. Analsis perbandingan Nilai PT dan INR pasien pada kondisi sebelum dan sesudah pemberian Ketorolak dan Metamizol di bangsal perawatan bedah saraf RSUP.dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar.
Kelompok N Median (Minimum-Maksimum)
Rerata P
PT Sebelum Pemberian NSAID
25 11,2 (9,4 – 15,4) 11,00 0,004
PT Sesudah Pemberian NSAID
25 11,2 (10,1 – 15,9) 11,33
INR Sebelum Pemberian NSAID
25 0,9 (0,80 – 1,2) 1,00 0,002
INR Sesudah Pemberian NSAID
25 1 (0,80 – 1,5) 1,01
Dari tabel 13 dan 14 dapat dilihat perbedaan nilai PT dan INR, pada
nilai PT 21 dari 25 pasien yang mengalami pemanjangan, sedangkan
pada nilai INR hanya terjadi pada 17 pasien. Perbedaan nilai PT dan INR
yang tidak mengalami perubahan, PT sejumlah 2 dan INR sejumlah 8
pasien. Karena nilai INR lebih akurat dari pada nilai PT dalam
menentukan kelainan dalam koagulasi, maka dilakukan analisa statistik
untu melihat pengaruh NSAID. Hasil dapat dilihat dari tabel 15.
Dari hasil analisa statistik dengan metode wilcoxon, baik itu
perbandingan nilai PT maupun INR keduanya berbeda secara statistik
dengan signifikasi PT 0,004 (P<0,05), INR 0,002 (P<0,05). Dengan
demikian dapat diasumsikan bahwa pemberian NSAID ketorolak selama
3 hari lalu dilanjutkan Metamizol hari ke IV hingga ke VI mempengaruhi
fungsi protrombin dengan miningkatkan nilai PT dan INR.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan analisa data pengamatan terhadap efektivitas
dan efek samping terapi Ketorolak dan Metamizol pada pasien cedera
kepala di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo, maka dapat disimpulkan :
1. Penggunaan terapi NSAID pada pasien cedera kepala meliputi ketorolak
dan dilanjutkan pemberian metamizol efektif pada hari VI dalam
menurunkan rasa nyeri ringan hingga sedang pada pasien cedera
kepala. Terlihat pada rerata pasien telah mengalami resolusi atau tidak
nyeri dengan skor VAS 0 (0 - 2) pada hari ke VI.
2. Penggunaan terapi NSAID meliputi ketorolak dan metamizol selama 6
hari mempengaruhi fungsi ginjal dilihat dari perubahan nilai GFR.
3. Penggunaan terapi NSAID meliputi ketorolak dan metamizol
berpengaruh terhadap fungsi hemostasis yaitu pemanjangan waktu
perdarahan, waktu bekuan darah, waktu protrombin, dan peningkatan
nilai International Normalized Ratio.
B. Saran
Perlu dilakukan yang membandingkan efek samping dan efektivitas
beberap obat golongan NSAID sebagai dasar pemilihan agen analgetik
yang tepat dan aman, dan pengujian efek samping yang lain semisal pada
gangguan GI dan kardiovaskuler.
DAFTAR PUSTAKA
A.Tamsuri, 2007, Konsep Dan Penatalaksanaan Nyeri EGC, Jakarta. Anderson PO, Knoben JE, Troutman WG. Handbook of Clinical Drug Data.
New York: Mc Graw Hill; 2001. Baumann, T.J., Strickland, J., 2008, Pain Management, in Joseph dipiro
(ed), Pharmacotherapy,A Pathophysiological Approach, 7th
ed., McGraw Hill, New York, U.S.A., pp 989-1003. Christensen, K., Daniels, S., Bandy, D., Ernst, BA., Hamilton, D.A.,
Hermelstein, F.H., et al., 2011, A Double-Blind Placebo-Controlled Comparison of a Novel Formulation of Intravenous Diclofenac and Ketorolac for Postoperative Third Molar Extraction Pain, A nesth Prog, 58:73-81.
Dewanto, G. Suwodo, W, J. Riyanto, B. Turana, Y. (2009). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC. Fadrowski, J.J., Navas-Acien, A., Tellez-Plaza, M., Guallar, E., Weaver,
V.M., Furth, S.L., 2010, Blood lead level and kidney function in us adolescents: The third national health and nutrition examination survey. A rch Intern Med, 170(1): 75 82.
Greene, R.J., Harris, N.D., 2008, Pathology and Therapeutic for
Pharmacists, Abasis for Clinical Pharmacy Practice, 3rd edition, Pharmaceutical Press, London, United Kingdom.
Goodman ., Gillman’s. The Pharmacological Basis of Therapeutics, 8th ed.
Millan Publishing Company,1990; 207-300. Haragsim, L., Dalal, R., Bagga, H., dan Bastani, B., 1994. Ketorolac-
induced acute renal failure and hyperkalemia: Report of three cases. A merican Journal of Kidney Diseases, 24(4), 578 580.
Helms, J.E., & Barone, C.P. (2008). Physiology and treatment of pain
Critical care nurse, 28 (6), 38-48. IASP. (2007). IASP pain terminology. Diakses pada tanggal 19Agustus
2016 dari http://www.iasp-pain.org. Ikawati, Z.,2001, Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat, Bursa Ilmu,
Yogyakarta, Indonesia.
64
Katzung B. G. 2006. Basic and Clinical Pharmacology, 10th Edition. San Fransisco
Koda-Kimble, M.A., Young, L.Y., Kradjan, W.A., Guglielmo, B.J.,
Alldredge, B.K., Corelli, R.L., 2005, Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs, eighth edition, Lippincott Williams & Wilkins, USA.
Kehlet H, Brandt MR, Rem J. Role of neurogenic stimuli in mediating the
endocrine- metabolic response to surgery. Journal of Parenteral & Enteral Nutrition,1980;4(2):152-156.
Lacy, C.F., Armstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., (ed), 2008, Drug
Inform ation Handbook A Comprehensive R esource for all Clinicians and Healthcare Proffesionals, 17th edition, Lexi-comp inc., Canada.
Lelo A . NSAIDS: Friend or Foe, Journal of the Indonesia Dental
Association. Makassar .,2005. Macintyre, P.E., Scott, D.A., Schug, S.A., Visser, E.J., Walker, S.M., (ed.),
2010, Acute Pain Management Scientific, 3rd ed., ANZCA & FPM, Meulbourne, Australia.
Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill
Livingstone. 2006. Martini, F. (2006). Fundamentals of Anatomy & Physiology. Seventh
Edition,Pearson, Benjamin Cummings. Meliala L. Penatalaksanaan Nyeri Neuropati Diabetika. Dalam Meliala
L,Rusdi I, Gofir A, Pinzon R, editor. Toward Mechanism-Based Pain Treatment The Recent Trent Current Evidences. Yogyakarta : 2008; 121 – 8.
McEvoy, G.K., (ed), 2005, AHFS Drug Information, American Society of
Health- System Pharmacists, Bethesda. Hal (2007-2014). Motola D., Vaccheri A., Silvani MC., Poluzzi E . Pattern of NSAID use in the
Italian general population: a questionnaire-based survey. Eur J Clin Pharmacol 2004; 60 (10) : 731 – 8.
Potter, P.A., Perry, A.G. (1993) Fundamental of nursing, St Louis; Mosby
Year BookPotter & Perry.2006. Fundamental Of
Nursing,Proses Konsep dan Praktis,Edisi 4 Volume2. Jakarta:EGC
Perry, A.G., & Potter, P.A. (2005). Fundamental of nursing: Concepts,
process, and practice. (6th ed). St.Louis: Mosby. (2006). Clinical nursing skills & techniques (6th ed).St.Louis: Elsevier Mosby.
Perry, A.G., Peterson, V.R., & Potter, P.A. (2002). Pocket guide to basic
skills and procedures (5th ed). Mosby: Elsevier Rawal, N., Andres, J.D., Fischer, H.B.J., Ivani, G., Mogensen, T., Narchi, P.,
2005, Postoperative Pain Management Good Clinical Practice, European Society of Regional Anasthesia and Pain Therapy, Sweden.
Rao, D. T. R. K., Naidu, M. U. R., Shobha, J. C., Ravisekhar, K., Rani, P.
U., dan Chandrasekhar, E., 1995. Renal Effects of Oral Ketorolac in Patients with Mild to Moderate Pain. Clin. Drug Invest. , 9(2), 111 115.
Sacher, RA., McPherson, RA., 2002, T injauan Klinis Hasil
Pemeriksaan L aboratorium , Edisi 11, diterjemahkan dari Bahasa Inggris oleh Brahm U Pendit, Desi Wulandari dan Huriawati Hartanto, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, Indonesia.
Sala A., Folco G. Actual Role of Prostaglandin in inflammation, in Drug
invest, 1999. 4-9 Schug, S.A., Manopas, A., 2007, Update on the Role of Non-Opioids for
Postoperative Pain Treatment, B est Practice & R esearch Clinical A naesthesiology, Vol. 21 No. 1:15-30.
Soertidewi L, Misbach J, Sjahrir H, Hamid A, Jannis J, Bustami M, editors.
(2006). Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal.Jakarta : Perdossi.
Silbiger, S., Neugarten, J., 2008, Gender and Human Chronic Renal
Disease,Gender Medicine, 5(suppl.A): S3-S10. Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheevar, K.H. (2001). Textbook
of medical surgical nursing. Brunner & Suddarth’s (8 th ed). Philadhelpia: Lipincott Williams & Wilkins.
Urizar, P.J., Soto, V.G., Hernandez, G.C., Hong, E., Gonzales, C., Martinez, J.L., et all., 2000, Analgesic Efficacy and Bioavailability of Ketorolac in Postoperative Pain: A
Probability Analysis, A rchives of Medical R esearch, 31:191-196.
Lampiran 1.
NASKAH PENJELASAN UNTUK MENDAPAT PERSETUJUAN DARI SUBJEK PENELITIAN
Bapak/Ibu/Saudara/i Yth,
Saya A.Suparlan Isya Syamsu, saat ini menjalani Program Magister
Farmasi Klinik di Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin dan sedang
melakukan penelitian yang berjudul: “Monitoring efek samping dan efektivitas
terapi Ketorolak dan Metamizol pada pasien cedera kepala di RSUP dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar”.
Penelitian bertujuan untuk diketahuinya penggunaan terapi Ketorolak dan
Metamizol meliputi kejadian efek samping (Gangguan Hemostasis, gangguan
fungsi ginjal) dan efektivitas menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS)
pada pasien cedera kepala di Bagian Perawatan Bedah saraf Rumah Sakit
Wahidin Sudirohusodo.
Bapak/Ibu/Saudara/I Yth,
Penelitian ini menyangkut terapi Ketorolak dan Metamizol yang diberikan
pada pasien Cidera kepala ringan di bagian Bedah saraf Rumah Sakit Wahidin
Sudirohusodo. Pengobatan yang dimaksud adalah pemberian terapi NSAID
berdasarkan penghambatan COX-1 dan COX-2.
Obat-obat NSAID yang sering direkomendasikan berdasarkan hasil
orientasi pada pasien seperti Ketorolak, Metamizol. Pasien terlebih dahulu dicatat
hasil pemeriksaan tanda-tanda vital dan pemeriksaan laboratorium pada awal
masuk rumah sakit, dan hari ke 6, kemudian dicatat obat Ketorolak dan Metamizol
yang diberikan selama pengobatan.
Efek samping obat-obat Ketorolak dan Metamizol seperti Gangguan
saluran gangguan Hemostasis, gangguan fungsi ginjal dapat terjadi tergantung
dari masing-masing fungsi fisiologis pasien. Selama terapi Ketorolak dan
Metamizol berjalan, akan dicatat kejadian efek samping yang terjadi pada hari ke-
6 pengobatan.
Bapak/Ibu/Saudara/i sekalian akan diambil sebagai sukarelawan penelitian
ini, berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan sebelumnya. Adapun tujuan dari
penelitian ini adalah untuk diketahuinya penggunaan terapi Ketorolak dan
Metamizol meliputi kejadian efek samping (gangguan Hemostasis, gangguan
fungsi ginjal) dan efektivitas menggunakan instrumen Visual Analog Scale (VAS)
pada pasien cedera kepala di Bagian Perawatan Bedah saraf Rumah Sakit
Wahidin Sudirohusodo..
Bapak/Ibu/Saudara/I Yth. untuk lebih jelasnya, pada saat turut serta
sebagai sukarelawan pada penelitian ini, Bapak/Ibu/Saudara/I akan menjalani
prosedur penelitian sebagai berikut :
1. Saat pasien mendapatkan terapi Ketorolak dan Metamizol dimonitoring
pemeriksaan hari l, hari ke-6.
2. Dari setiap pasien akan dicatat karakteristik subyek penelitian berupa usia, jenis
kelamin, diagnosis, jenis pembedahan, kombinasi terpi.
3. Selanjutnya dilihat efektivitas terapi NSAID dari pengukuran/instrumen visual
Analog Scale (VAS) tiap harinya.
4. Sejak hari pertama, hingga hari ke 6 diamati efek yang timbul selama
pengobatan tersebut.
Pada lazimnya, penelitian ini tidak akan menimbulkan hal-hal yang
berbahaya bagi Bapak/Ibu/Saudara/I sekalian, namun bila terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan selama penelitian ini, Bapak/Ibu/Saudara/I sekalian dapat
menghubungi A.Suparlan Isya Syamsu (HP : 081392007567) untuk mendapat
pertolongan.
Kerjasama Bapak/Ibu/Saudara/I sangat diharapkan untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini (+ 1 hari). Bila masih ada hal-hal yang belum jelas menyangkut
penelitian ini, setiap saat dapat ditanyakan kepada peneliti.
Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini,
diharapkan Bapak/Ibu/Saudara/I yang telah terpilih sebagai sukarelawan pada
penelitian ini, dapat mengisi lembar persetujuan turut serta dalam penelitian yang
telah disiapkan.
Makassar,6 Maret 2017
Peneliti
(A.Suparlan Isya Syamsu)
Lampiran 2
FORMULIR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ………………………………………………………...
Umur : ……………………………………............................
Alamat : ………………………………………………………...
Pekerjaan : ……………………………………............................
No. KTP/HP : ………………………………………………………...
Setelah memperoleh penjelasan sepenuhnya dan menyadari serta memahami tujuan, manfaat, serta resiko yang mungkin timbul dalam penelitian berjudul : “Monitoring efek samping dan efektvitas terapi NSAID pada pasien Cidera kepala di RSUP dr.Wahidin Sudirohusodo”. Dan mengetahui serta memahami subyek dalam penelitian ini sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dalam keikutsertaannya, maka saya setuju ikut serta/ mengikutsertakan anak/adik/ayah/ibu/suami/istri/kerabat lain sebagai saksi, yang bernama : ……………………………….. dalam uji penelitian dan bersedia berperan serta dengan mematuhi ketentuan yang berlaku dan telah saya sepakati dalam penelitian tersebut di atas.
Makassar, April 2017
Saksi Subyek Penelitian
(___________________) (___________________)
Penanggung Jawab Penelitian Orang tua/Wali Subyek
(______________________) (______________________)
Nama : A.Suparlan Isya Syamsu
Alamat : Jl.P. Kemerdekaan 3 Lr 1/35
Tlp : 081 392 007 567
Lampiran 3 KUESIONER
I. Kuisoner data demografi Usia : ……. Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki Perempuan
Diagnosa penyakit :
Jenis Pembedahan :
Pengobatan :
II. Skala Nyeri dengan instrumen Visual Analog Scale (VAS)
1. Sejak kapan anada mengalami nyeri ?
2. Visual Analog Scale (VAS)
No Moderate Unbearable Pain Pain Pain
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Petunjuk pengisian (Rawal et al.,2005). :
1. Berilah tanda silang pada garis yang mewakili rasa nyeri yang sekarang
saudara rasakan.
2. Batas kiri tanpa merasa nyeri atau nyeri benar-benar hilang.
3. Batas kanan mewakili nyeri paling hebat yang saudara bisa rasakan.
4. Tanpa nyeri, dengan nilai VAS 0
5. Nyeri ringan, dengan nilai VAS 1 – 5
6. Nyeri sedang, dengan nilai VAS 5 – 7
7. Nyeri berat, dengan nilai VAS 7 – 10
Evaluasi Hari I Hari II Hari III Hari IV Hari V Hari VI
Tanggal
Nilai VAS
Obat
III. Monitoring efek samping obat (MESO)
Parameter Sebelum Pemberian
NSAID
Sesudah Pemberian
NSAID
Sr Cr
Bleeding Time
PT Time
INR
Nama Obat
Lampiran 4. Persetujuan Etik
Lampiran 5. Ijin Penelitian
Lampiran 6. Statistik Uji Normalitas Obat ketorolak
Hasil friedman test
Ranks
Mean Rank
Vas_hari1 2,88
Vas_hari2 2,08
Vas_hari3 1,04
Test Statisticsa
N 25
Chi-Square 46,261
Df 2
Asymp. Sig. ,000
a. Friedman Test
Uji wilcoxon
Test Statisticsa
Vas_hari2 -
Vas_hari1
Vas_hari3 -
Vas_hari1
Vas_hari3 -
Vas_hari2
Z -4,062b -4,496b -4,630b
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,000
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based /on positive ranks.
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Vas_hari1 ,261 25 ,000 ,860 25 ,003
Vas_hari2 ,288 25 ,000 ,847 25 ,002
Vas_hari3 ,340 25 ,000 ,808 25 ,000
a. Lilliefors Significance Correction
Descriptives
Statistic Std. Error
Vas_hari1
Mean 4,24 ,156
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 3,92
Upper Bound 4,56
5% Trimmed Mean 4,22
Median 4,00
Variance ,607
Std. Deviation ,779
Minimum 3
Maximum 6
Range 3
Interquartile Range 1
Skewness ,112 ,464
Kurtosis -,250 ,902
Vas_hari2
Mean 3,28 ,147
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 2,98 Upper Bound 3,58
5% Trimmed Mean 3,27 Median 3,00 Variance ,543 Std. Deviation ,737 Minimum 2 Maximum 5 Range 3 Interquartile Range 1 Skewness ,169 ,464
Kurtosis ,036 ,902
Vas_hari3
Mean 2,28 ,136
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 2,00
Upper Bound 2,56
5% Trimmed Mean 2,27
Median 2,00
Variance ,460
Std. Deviation ,678
Minimum 1
Maximum 4
Range 3
Interquartile Range 1
Skewness ,461 ,464
Kurtosis ,656 ,902
Uji NormalitasMetamizol
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Vas_hari4 ,280 25 ,000 ,859 25 ,003
Vas_hari5 ,260 25 ,000 ,810 25 ,000
Vas_hari6 ,477 25 ,000 ,520 25 ,000
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Friedman
Ranks
Mean Rank
Vas_hari4 2,58
Vas_hari5 2,16
Vas_hari6 1,26
Test Statisticsa
N 25
Chi-Square 32,957
Df 2
Asymp. Sig. ,000
a. Friedman Test
Uji Wilcoxon
Test Statisticsa
Vas_hari5 -
Vas_hari4
Vas_hari6 -
Vas_hari4
Vas_hari6 -
Vas_hari5
Z -2,489b -4,142b -3,755b
Asymp. Sig. (2-tailed) ,013 ,000 ,000
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on positive ranks.
Descriptives
Statistic Std. Error
Vas_hari4
Mean 1,48 ,165
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 1,14
Upper Bound 1,82
5% Trimmed Mean 1,48
Median 1,00
Variance ,677
Std. Deviation ,823
Minimum 0
Maximum 3
Range 3
Interquartile Range 1
Skewness ,313 ,464
Kurtosis -,279 ,902
Vas_hari5
Mean 1,00 ,141
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound ,71 Upper Bound 1,29
5% Trimmed Mean 1,00 Median 1,00 Variance ,500 Std. Deviation ,707 Minimum 0 Maximum 2 Range 2 Interquartile Range 1 Skewness ,000 ,464
Kurtosis -,846 ,902
Vas_hari6
Mean ,24 ,105
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound ,02
Upper Bound ,46
5% Trimmed Mean ,17
Median ,00
Variance ,273
Std. Deviation ,523
Minimum 0
Maximum 2
Range 2
Interquartile Range 0
Skewness 2,197 ,464
Kurtosis 4,463 ,902
Uji Normalitas GFR Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
GFR Sebelum Pemberian ,112 25 ,200* ,953 25 ,290
GFR Setelah Pemberian ,115 25 ,200* ,968 25 ,583
*. This is a lower bound of the true significance.
a. Lilliefors Significance Correction
Uji Paired GFR
Paired Samples Statistics
Mean N Std. Deviation Std. Error Mean
Pair 1 GFR Sebelum Pemberian 95,6976 25 16,13727 3,22745
GFR Setelah Pemberian 102,2840 25 20,18501 4,03700
Paired Samples Correlations
N Correlation Sig.
Pair 1 GFR Sebelum Pemberian &
GFR Setelah Pemberian 25 ,388 ,055
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig. (2-
tailed) Mean Std.
Deviation
Std. Error
Mean
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair
1
GFR Sebelum
Pemberian - GFR
Setelah
Pemberian
-
6,586
40
20,36596 4,07319 -14,99305 1,82025 -1,617 24 ,119
Uji Normalitas Waktu perdarahan (BT)
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig. Statistic df Sig.
Waktu Perdarahan Sebelum
Pemberian ,414 25 ,000 ,665 25 ,000
Waktu Perdarahan Setelah
Pemberian ,238 25 ,001 ,785 25 ,000
a. Lilliefors Significance Correction
Uji analisis BT dengan Uji Wilcoxon
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Waktu Perdarahan Setelah
Pemberian - Waktu
Perdarahan Sebelum
Pemberian
Negative Ranks 3a 8,00 24,00
Positive Ranks 11b 7,36 81,00
Ties 11c
Total 25
a. Waktu Perdarahan Setelah Pemberian < Waktu Perdarahan Sebelum Pemberian
b. Waktu Perdarahan Setelah Pemberian > Waktu Perdarahan Sebelum Pemberian
c. Waktu Perdarahan Setelah Pemberian = Waktu Perdarahan Sebelum Pemberian
Test Statisticsa
Waktu
Perdarahan
Setelah
Pemberian -
Waktu
Perdarahan
Sebelum
Pemberian
Z -1,975b
Asymp. Sig. (2-tailed) ,048
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
Uji Normalitas CT
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Waktu Bekuan Darah
Sebelum Pemberian
Ketorolak
,379 25 ,000 ,636 25 ,000
Waktu Bekuan Darah
Setelah Pemberian
Ketorolak
,460 25 ,000 ,390 25 ,000
a. Lilliefors Significance Correction
Analisis Wilcoxon
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Waktu Bekuan Darah
Setelah Pemberian
Ketorolak - Waktu Bekuan
Darah Sebelum Pemberian
Ketorolak
Negative Ranks 0a ,00 ,00
Positive Ranks 16b 8,50 136,00
Ties 9c
Total 25
a. Waktu Bekuan Darah Setelah Pemberian Ketorolak < Waktu Bekuan Darah Sebelum
Pemberian Ketorolak
b. Waktu Bekuan Darah Setelah Pemberian Ketorolak > Waktu Bekuan Darah Sebelum
Pemberian Ketorolak
c. Waktu Bekuan Darah Setelah Pemberian Ketorolak = Waktu Bekuan Darah Sebelum
Pemberian Ketorolak
Test Statisticsa
Waktu Bekuan
Darah Setelah
Pemberian
Ketorolak -
Waktu Bekuan
Darah Sebelum
Pemberian
Ketorolak
Z -3,900b
Asymp. Sig. (2-tailed) ,000
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
Uji Normalitas PT
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Prothrombin Time Sebelum
Pemberian Ketorolak ,307 25 ,000 ,827 25 ,001
Prothrombin Time Setelah
Pemberian Ketorolak ,226 25 ,002 ,786 25 ,000
a. Lilliefors Significance Correction
Analisis Wilcoxon
Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
Prothrombin Time Setelah
Pemberian Ketorolak -
Prothrombin Time Sebelum
Pemberian Ketorolak
Negative Ranks 2a 22,00 44,00
Positive Ranks 21b 11,05 232,00
Ties 2c
Total 25
a. Prothrombin Time Setelah Pemberian Ketorolak < Prothrombin Time Sebelum Pemberian
Ketorolak
b. Prothrombin Time Setelah Pemberian Ketorolak > Prothrombin Time Sebelum Pemberian
Ketorolak
c. Prothrombin Time Setelah Pemberian Ketorolak = Prothrombin Time Sebelum Pemberian
Ketorolak
Test Statisticsa
Prothrombin
Time Setelah
Pemberian
Ketorolak -
Prothrombin
Time Sebelum
Pemberian
Ketorolak
Z -2,865b
Asymp. Sig. (2-tailed) ,004
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.
Uji Normalitas INR Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
INR Sebelum Pemberian
Ketorolak ,204 25 ,009 ,923 25 ,059
INR Setelah Pemberian
Ketorolak ,203 25 ,009 ,832 25 ,001
a. Lilliefors Significance Correction
Analisis Wilcoxon Ranks
N Mean Rank Sum of Ranks
INR Setelah Pemberian
Ketorolak - INR Sebelum
Pemberian Ketorolak
Negative Ranks 0a ,00 ,00
Positive Ranks 17b 9,00 153,00
Ties 8c
Total 25
a. INR Setelah Pemberian Ketorolak < INR Sebelum Pemberian Ketorolak
b. INR Setelah Pemberian Ketorolak > INR Sebelum Pemberian Ketorolak
c. INR Setelah Pemberian Ketorolak = INR Sebelum Pemberian Ketorolak
Test Statisticsa
INR Setelah
Pemberian
Ketorolak - INR
Sebelum
Pemberian
Ketorolak
Z -3,634b
Asymp. Sig. (2-tailed) ,002
a. Wilcoxon Signed Ranks Test
b. Based on negative ranks.