17
Nabi Muhammad SAW, Al Qur’an Dan Sistem Pengetahuan Manusia Kodefikasi Al Qur’an dan Sistem Ilmu Pengetahuan Selama berabad-abad, para peneliti sejarah al-Qur’an selalu menemui ketakjuban dengan komposisi dan kodefikasinya. Meskipun al-Qur’an diwahyukan dan dikitabkan sejak berabad-abad yang lalu, jauh sebelum sains modern diperbarui setelah tidur panjangnya, siapapun yang mengkaji al-Qur’an dengan teliti dan jujur akan menemui suatu fakta yang menarik bahwa komposisi dan kodefikasinya adalah suatu komposisi dan kodefikasi yang meliputi berbagai ilmu pengetahuan baik yang pasti maupun yang abstrak. Yang pasti, bersandar pada komposisi dan kodefikasi numerik yang melibatkan penomoran surat, ayat , jumlah huruf atau nilai numerik susunan kata dan hurufnya (al-Jumal bahasa Arab). Pengetahuan yang pasti mengandung suatu kaidah bagaimana logika manusia harus disusun dengan suatu konsep yang generik dengan algoritma yang kalau ditinjau kembali dari sejarah sains telah dikonsepkan secara aritmatis oleh Phyttagoras (600-500 SM) dan akan merujuk pada algoritma Euclids seorang filsuf dan ilmuwan era Yunani Kuno (sekitar 350 SM). Yang tidak pasti menjadi suatu syair yang sangat indah dengan corak yang khas dimana faktor pengajaran bagi manusia sangat dominan baik melalui kisah, ungkapan ruhaniah yang berkaitan langsung dengan kondisi kejiwaan manusia, sejarah umat, maupun konsep recursive atau syair yang berulang dengan corak dan konteks yang berbeda yang mampu menembus struktur psikis dan mengsuik kondisi jiwa manusia yang terdalam untuk sejenak merenung dan pada tingkat pengaruh yang tinggi akan mengubah akhlak dan perilaku menuju kemuliaan manusia sebagai makhluk berakal pikiran dan mempunyai instrumen ruhaniah

Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Artikel tentang peran Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dalam perkembangan pengetahuan, khusunya pengetahuan tentang manusia

Citation preview

Page 1: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

Nabi Muhammad SAW, Al Qur’an Dan Sistem Pengetahuan Manusia

Kodefikasi Al Qur’an dan Sistem Ilmu Pengetahuan

Selama berabad-abad, para peneliti sejarah al-Qur’an selalu menemui

ketakjuban dengan komposisi dan kodefikasinya. Meskipun al-Qur’an

diwahyukan dan dikitabkan sejak berabad-abad yang lalu, jauh sebelum sains

modern diperbarui setelah tidur panjangnya, siapapun yang mengkaji al-Qur’an

dengan teliti dan jujur akan menemui suatu fakta yang menarik bahwa komposisi

dan kodefikasinya adalah suatu komposisi dan kodefikasi yang meliputi berbagai

ilmu pengetahuan baik yang pasti maupun yang abstrak.

Yang pasti, bersandar pada komposisi dan kodefikasi numerik yang melibatkan

penomoran surat, ayat , jumlah huruf atau nilai numerik susunan kata dan

hurufnya (al-Jumal bahasa Arab). Pengetahuan yang pasti mengandung suatu

kaidah bagaimana logika manusia harus disusun dengan suatu konsep yang

generik dengan algoritma yang kalau ditinjau kembali dari sejarah sains telah

dikonsepkan secara aritmatis oleh Phyttagoras (600-500 SM) dan akan merujuk

pada algoritma Euclids seorang filsuf dan ilmuwan era Yunani Kuno (sekitar 350

SM).

Yang tidak pasti menjadi suatu syair yang sangat indah dengan corak yang khas

dimana faktor pengajaran bagi manusia sangat dominan baik melalui kisah,

ungkapan ruhaniah yang berkaitan langsung dengan kondisi kejiwaan manusia,

sejarah umat, maupun konsep recursive atau syair yang berulang dengan corak

dan konteks yang berbeda yang mampu menembus struktur psikis dan mengsuik

kondisi jiwa manusia yang terdalam untuk sejenak merenung dan pada tingkat

pengaruh yang tinggi akan mengubah akhlak dan perilaku menuju kemuliaan

manusia sebagai makhluk berakal pikiran dan mempunyai instrumen ruhaniah

Page 2: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

atau hati yang dapat menjadi halus dan lembut sebagai radar Pesan-pesan Ilahi.

Sintesa rasional dan ruhaniah ini menunjukkan intelektualitas dan kualitas

ruhaniah dari sang penerima wahyu itu sendiri yang mampu memaknai semua

cerapan fonemenologis Pesan-pesan Ilahi menjadi Wahyu Yang Diwahyukan

dari Tuhannya. Wahyu yang Diwahyukan adalah pengetahuan teringgi sebagai

firman Tuhan yang muncul dari kemandirian yang tampil dari kondisi psikogis-

ruhaniah Nabi Muhammad SAW sendiri yang berserah diri di hadapan Tuhannya

bahwa apa yang diterimanya semata-mata atas idzin dan kehendak Tuhannya,

dan bukan pengetahuanh miliknya. Pesan itu akhirnya aktual dan menjadi

Wahyu sebagai penjelasan bahwa apa yang diungkapkan oleh akal pikiran dan

hati Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu adalah suatu pengetahuan

azali dari sumber yang sama dengan Kitab-kitab Agama lainnya yang benar dan

ilmu rasional yang benar yang telah mulai direnungkan bangsa Ionia sejak era

Thales (700-600 SM) yang sebelumnya telah berserakan di dunia dengan

ungkapan buah Tiin dan Buah Zaitun yang diberkahi, yang menjadi masak di

suatu tempat yang nyaris terkucil yaitu Mekkah, dan pada akhirnya menjadi

pedoman serta wacana fundamental umat manusia ketika semua ilmu

pengetahuan itu dimurnikan kembali menjadi Pengetahuan Tauhid dan kemudian

terdiferensasikan lebih terperinci menjadi berbagai ilmu pengetahuan dengan

landasan aksioma mutlak benar yaitu Bilangan 1 sebagai simbolisme Allah, al-

Haqq, Tuhan Yang Esa; atau landasan masa kini sebagai sains dan teknologi

dijital.

Yang Satu Adalah Aksioma Mutlak Benar

Bagaimana sebenarnya sistem ilmu pengetahuan manusia saat ini dan kaitannya

dengan komposisi atau kodefikasi al-Qur’an? Sistem pengetahuan yang

dipahami oleh manusia sebagai makhluk berakal pikiran adalah sistem yang

menjelaskan sistem kehidupan yang berubah dan tertutup yang sebenarnya

menyatakan dimensi dan konfigurasi aktual dari semua makhluk yang ada

Page 3: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

didalamnya. Selain itu, sistem pengetahuan manusia dalam basis geometri,

abjad/alfabet, desimal sebenarnya adalah wahyu-wahyu elementer sebagai

fondasi wahyu yang diaktualkan atau Wahyu Yang Diwahyukan melalui suatu

mediator antara dengan maupun tanpa suatu proses. Ciri khas yang muncul

kemudian dinyatakan sebagai suatu prinsip dasar penciptaan makhluk, baik yang

langsung melalui tangan-tangan Ilahi maupun kita sebutkan sebagai makhluk

buatan manusia, sehingga dalam konsep dasar ilmu pengetahuan di bidang

geometri maupun bilangan muncul batasan-batasan (kendala), sistem

berpasangan, misalnya pasangan bilangan prima dan genap dengan Prima

Utama atau Angka Satu sebagai Sebab Tunggal dan Unik.

Bilangan Satu adalah aksioma mutlak benar yang menjadi dasar geometri,

bilangan dan susunan huruf. Aksioma ini memang wajib mejadi mutlak benar

sebab kalau tidak sistem ilmu pengetahuan manusia bisa dikatakan runtuh sama

sekali dan tidak mewakili realitas yang sebenarnya (artinya sains atau semua

ungkapan simboliknya menjadi sekedar permainan atau anagram bilangan dan

huruf mirip permainan scramble saja).

Kalau kita berbicara dengan pemahaman matematis, maka bilangan Satu secara

numerik menjadi asumsi yang wajib dianut semua manusia yang akal pikirannya

menyepakati sistem bilangan dan logikanya, abjad, alfabet, atau jenis huruf

lainnya. Bilangan satu dikatakan sebagai representasi sumber asal dari semua

pengetahuan yang tercerap dan mendeskripsikan semua makhluk yang ada

didalamnya. Jadi, semua makhluk asalnya dari penguraian yang satu yang

kemudian didiferensiasikan menjadi potongan-potogan kecil atau diskrit sebagai

entitas yang mungkin baru sama sekali setelah disusun ulang dan akhirnya

menjadi makhluk yang disebut dengan “penamaan” baru. Jadi, apa yang kita

sebut sebagai benda-benda aslinya memang suatu entitas makhluk yang

kemudian disepakati oleh manusia dengan “bilangan , abjad, maupun alfabet”

untuk diidentifikasikan. Bentuk aslinya mungkin akan sama sekali lain jika ada

misalnya makhluk asing yang bukan berasal dari sistem alam semesta kita.

Page 4: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

Dalam arti yang spesifik makhluk itu berada di luar spektrum akal pikiran kita

karena kita pun tak mengenali wujud dan bentuknya. Sebagai contoh yang

gamblang, apa yang akan Anda lihat kalau retina mata kita mampu menerima

frekuensi di luar spektrum cahaya tampak? Saya yakin, Anda tak akan melihat

bentuk kebendaan namun bentuk-bentuk yang energetis karena retiona mata

kita tidak melihat batas-batas yang jelas. Jadi, ekspresi lahir dan batin manusia

di alam fisikal dalam spektrum cahaya nampak menjadi sangat terbatas dan

sama sekali tidak bebas. Kebebasan adalah ilusi dan delusi mental kita yang

mirip dengan ilusi dan delusi tokoh antagonis yang dikenal sebagai Iblis yang

mengira dapat menjadi kekal.

Orang-orang di Timur Tengah dan sekitarnya kemudian menyepakati simbolisme

angka satu itu sebagai Sebab Utama dan kemudian dikonversikan menjadi lafaz

yang diungkapkan dengan kata-kata, namanya menjadi “Allah”, “YHVH”, ataupun

sebutan lainnya yang menunjukkan suatu ungkapan dengan kualitas ruhani dan

intelektual tertinggi untuk menyatakan suatu ungkapan simbolis bahwa angka

satu adalah simbolisme dari “Allah”, sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Ketika saya

gunakan susuan kalimat “Tuhan Yang Maha Esa” sebenarnya kalimat tersebut

adalah penegasan dimana bahasa Sanksekerta telah diserap dan digunakan

oleh lidah orang melayu Indonesia untuk menegaskan ungkapan simbolis “Allah”

sebagai Tuhan Yang Satu, Tunggal, dan Unik yang penampilannya nama-nama,

sifat-sifat dan perbuatannya telah terurai dengan berbagai penyebutan.

Selain ungapan bilangan 1 sebagai Prima Kausa atau sebagai simbolisme

tentang Tuhan Yang Esa, bilangan-bilangan juga mengungkapkan aspek-aspek

penting manusia ketika menjelaskan cerapan fenomenologis yang diterima

inderawi fisikal dan ruhaninya karena adanya cahaya matahari sebagai pusat

dari sistem kehidupannya yang terbatas di tatasurya. Sebagai contoh bilangan

prima 2,3,5, dan 7 adalah 4 bilangan yang menyatakan banyaknya dimensi yang

dikenali di alam tersebut yaitu 3 dimensi menyatakan ruang dan 1 dimensi waktu.

Page 5: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

Angka Satu adalah dimensi ke-5 yang sejatinya muncul ketika makhluk yang

tinggal didalamnya menggunakan instrumen kesadaran yang lebih bersifat

psikologis-ruhaniah untuk memahami eksistensi-Nya yaitu citarasa

berkesadarannya sebagai makhluk yang serba terbatas dan tidak bisa mandiri. 4

bilangan prima tersebut menjadi sebab munculnya pasangan yang menutup

keunikan bilangan prima tersebut sehingga bilangan prima merupakan pasangan

bilangan lainnya yang muncul dari penambahan satu persatu atau dengan

bantuan Angka Satu. Jadi, bilangan genap 4,6,8,9 sejatinya adalah pasangan

yang melengkapi bilangan prima. Bilangan 2 dan 3 dalam keadaan unifikasi

adalah 23, bilangan tersebut menjadi esensi makhluk yang diciptakan dan hidup

didalam sistem berpasangan dengan kesempurnaan yang dimaujudkan oleh

peniadaan eksistensi dirinya dengan bantuan Prima Kausa yaitu “1 dan 0”

sebagai 10 dan 10 sebagai biner yaitu angka 2.

Akar 2 Menjadi 2 Sebagai Pasangan kromosom

Sehingga sejatinya semua realitas yang dicerap inderawi manusia di tatasurya

(saja) dibangkitkan oleh ungkitan angka 2 yang berasal dari akar 2 dengan

penguraian atau konsep saling berpasangan yang sebenarnya menunjukkan

keadaan yang real dari semua eksistensi yang ada di alam tersebut. Peniadaan

dirinya menyebabkan 10 menjadi “01” sebagai keyakinan yang tumbuh mandiri

setelah angka 10 dijelajahi menjadi suatu bayangan kesempurnaan yang wujud

dari Angka 1 dengan “peniadaan”. Dalam arti khusus maka 01 menjadi totalitas

kepasrahan dan pengakuan bahwa esensi bilangan selain 1 sebenarnya tidak

ada jika akar 2 tidak menyingkapkan dirinya sebagai 2, sebagai suatu sistem

berpasangan. Selain itu makna 10 juga dimaksudkan sebagai 23 dalam keadaan

berpasangan yaitu 2x23=46 dengan pemisahan dimana 4+6 akhirnya menjadi

10.

Angka 23 dalam keadaan berpasangan menjadi 46 adalah kode kromosom

manusia dalam keadaan berpasangan yaitu 23 kromosom Bapak dan 23

Page 6: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

kromosom Ibu. Dalam keadaan berpasangan maka eksistensi lainnya muncul

dan berkembang biak. Dalam banyak segi bilangan prima dan genap yaitu 23

dan 46 membangun suatu sistem penciptaan sebagai 69 dan akhirnya sistem

pengetahuan yaitu dari bilangan dasar 1,2,3, 7 dan 10 yang dapat diringkas

hanya menjadi 2 yaitu 1 dan 0 atau 0 dan 1 sebagai suatu realitas bahwa dunia

fisikal yang tercerap oleh 23 adalah maya dan sekedar mimpi 1001 malam bagi

semua makhluk yang ada di dalamnya.

Bilangan yang muncul sejatinya hanya mencakup 2,3,5,dan 7 sebagai bilangan

prima utama dimana angka 1 menjadi sebab absolut yang mesti ada. Jika tidak

semua eksistensi di dalam alam yang diciptakan dengan kekuatan 69 oleh

Angka 1 sebagai Prima Kausa dikatakan sama sekali tidak ada atau maya

adanya. Dari jumlahan 2,3,5,7 menjadi 2+3+5+7=17, maka 17 adalah sebuah

ketentuan untuk memunculkan eksistensi yang berpasangan. Dengan demikian

makhluk yang wujud diantara bilangan prima utama yaitu 4 dan 6 sebenarnya

adalah 46 sebagai hasil dari 23 dalam keadaan berpasangan, atau dengan suatu

ketentuan yang pasti terjadi. Jika tidak, atau jika ketentuan dilanggar maka

semuanya akan runtuh dan ambruk.

Dari wujudnya 46 sebagai makhluk yang berbentuk 3 dimensi, 1 dimensi yang

muncul adalah bagian dari kesadaran dari sistem kealaman yang diciptakan

dengan 7 tatanan dalam konfigurasi 1 dan 6 atau 16. Konfigurasi itu dapat

dimaknai sebagai 6 alam yang ditopang oleh Yang Satu, atau 1 alam yang nyata

mampu mencerap dengan kesadaran ditopang oleh 6 lainnya dimana 1

diantaranya adalah Prima Kausa. Yang tampil dan dapat dicitrakan oleh

kodefikasi 23 adalah 4 alam dimensi sebagai realitas yang tercitarasakan

dengan pengetahuan desimal 1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan 10. Maka 234 adalah

limpahan maghfirah dari angka 1 dan jumlah akumulatif dari bilangan desimal

adalah 55 sebagai aktualnya pasangan yang melimpahkan rahmat dan kasih

sayang dari kekuasaan yang wujud dari sistem berpasangan sebagai sistem Ba

yaitu kekuasaan Ar-Rahmaan. Oleh karena itu angka 4 dikatakan sebagai angka

Page 7: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

kesempurnaan yang menampilkan sifat-sifat dari angka 1; sedangkan angka 6

adalah nama-nama dan sifat-sifat yang sejatinya muncul dari angka 1 dikali 2

dikali 3 (1x2x3) atau 3 atribut dalam keadaan berpasangan yang muncul untuk

mengenali angka 1 sebagai sebab utama yaitu Ar-Rahmaaan, ar-Rahiim, al-

Hayyu-al-Qayyum, al-Iradah-al-Qudrah dan angka 1 adalah Allah sebagai

Realitas Absolut Yang Maha Esa sebagai Prima Kausa atau Sebab Utama.

Kesadaran Atas Waktu

Realitas dimensi ke-4 sebagai waktu akan mempunyai makna yang nyata jika 23

sebagai 46 (kromosom menjadi manusia) menyadari bahwa eksistensinya nyata

karena ia berkesadaran dan berakal pikiran yang mampu menyerap sistem

pengetahuan yang diperkenalkan oleh Penciptanya yang sejatinya muncul di

alam inderawi sebagai bentuk jasad dan ruhaniah dirinya (lahir dan batin).

Karena itu manusia yang tidak menyadari eksistensinya tidak akan mampu

menyingkap dimensi waktu yang sebenarnya, yang sejatinya hanya sekedar

denyutan dari Kehendak Penciptanya.

Artinya, dirinya sebagai makhluk yang berjasad dan berjiwa sejatinya akan

menyingkap eksistensi dirinya yang maya jika ia menggunakan dimensi waktu

dengan benar yaitu waktu sebagai al-Ashr bukan sekedar dimensi waktu yang

materialistik semata. Ketika kesadaran atas al-Ashr muncul, maka ia akan

memahami esensi ruhaniahnya selalu berkaitan dengan munculnya kesadaran

atas waktu. Ketika ia bangun dari tidurnya, dan ia mencerap dimensi ruang

waktunya, maka ia merasakan kehidupannya. Oleh karena itu, kesadarannya

sejatinya dimensi ke-5 yang menghubungkan dirinya dengan Tuhannya. Tanpa

pemahaman demikian maka ia akan terpenjara dalam lingkaran setan

materialistik dirinya sebagai makhlukd engan kodefikasi 2x23=46 dalam alam 4

dimensi yang materialiastik. Padahal alam 4 dimensi tidak bersifat kekal namun

maujud karena adanya ukuran yang tertentu yaitu al-Ashr sebagai kesadarannya

yang memiliki kepastian bahwa suatu saat ia tak lagi dapat mencerap alam 4

Page 8: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

dimensinya. Dalam hal ini 3 dimensi ruang dan 1 dimesi waktu adalah ukuran-

ukuran yang membatasi eksistensinya di alam 4 dimensi. Jadi ia akan mati,

musnah dan binasa.

Oleh karena itu kebebasan dan kekekalan bagi makhluk berkode 46 adalah ilusi

semata, karena kekekalan adalah milik angka 1 sebagai Prima kausa. Makhluk

dengan kodefikasi 23 (al-Mukminun) yang menjadi 46 (kode kromosom manusia

dalam keadaan berpasangan), dan akhirnya menjadi 76 (al-Insaan) ketika

dimensi fisikalnya terasakan, dan menjadi 114 (an-Naas) ketika sistem

desimalnya dibantu dengan 28 sistem alfabet yang menyebabkan dirinya

memahami makna-makna, akan terjebak dalam lingkaran kedunguan Ablasa jika

tidak menyadari kefanaan dirinya. Ia akan terjebak dalam penjara, akan tersiksa,

termusnahkan, dan dalam keadaan kebingungan jika ia sebagai 114 (an-naas)

tidak menyingkap realitas dirinya dan alam 4 dimensi dimana ia tinggal

didalamnya, maka ia akan menjdi sehina-hinanya makhluk yang gagal untuk

menyatakan kesempurnaan dirinya.

Komposisi dan Kodefikasi Al Qur’an

Ketika ia berhasil menerobos pengertian 4 dimensinya, sejatinya ia akan

membuka tabir dirinya sebagai kesempurnaan angka 4 dengan huruf Ba (dari

Basmalah) yang menyingkapkannya yaitu menjadi 2x4 sebagai 8 dan sebagai

unifikasi 2 dan 4 atau 24 yaitu bagaimana alam 4 dimensinya berputar secara

periodik dan bagaimana eksistensinya tak lebih dari medium penampilan yaitu

sebagai cermin dari atribut yang ditampilkan oleh angka 1 yaitu Asma dan Sifat-

Nya. Ketika cermin itu tampil, yang tampil sejatinya adalah 8 sebagai cermin dan

24 sebagai satu siklus yang mendefinisikan dirinya sebagai makhluk yang

eksistensinya ditentukan oleh probabilitas kehendak Angka satu sebagai suatu

kondisi "hidup dan mati".

Angka 24 bagi 114 sejatinya adalah ukuran sebagai satuan dimana ia mencerap

Page 9: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

citarasa dirinya sebagai makhluk yang dihidupkan dan dimatikan. 24 kemudian

menjadi ketentuan dari tempat dimana 114 tinggal didalamnya yaitu periode

sehari semalam selama 24 jam. Jadi 1 siklus selama 24 jam itu kemudian

menjadi 1 dan 8 sebagai 18 yaitu konstruksi yang mulai eksis dan tegak berdiri

sebagai makhluk hidup dan 1+8 sebagai 9 atau sebagai batas akhir dimana

dirinya harus tertunduk berserah diri di hadapan Penciptanya dengan ampunan

dan taubat. Pengertian 9 kemudian menjadi nomor pertobatan sebagai

aktualisasi dari 234 maghfirah sebelum dirinya menyingkap bahwa setelah

sembilan sejatinya ia kembali ke angka 1.

Secara lahiriah, proses kembali kepada Yang Esa atau Yang Satu dipahami

sebagai 9+1=10 atau 9 dan 1 sebagai 91 yaitu wujudnya cahaya hakiki dimana

semua eksistensi kemakhlukan hanya tegak karena adanya Celupan Ilahiyah

(Shibghtalaahi) dari Prima Kausa sebagai Allah. Itulah yang wujud ketika dirinya

berserah diri sebagai makhluk yang lemah yang sejatinya sekedar cermin,

sekedar media untuk menyatakan Kebesaran, Keagunngan, dan

Kamahaindahan Sang Pencipta, Dialah Allah sebagai Prima Kausa.

Dari uraian demikian, maka realitas yang tampil dengan dukungan sistem

desimal dan alfabet/abjad, yaitu bilangan 23 sebagai al-Mukminun maupun

jumlah kromosom manusia (2x23=46) dalam keadaan awalnya adalah realitas

yang muncul dengan kesempurnaan angka 10 dan dengan kesadarannya yang

muncul sebagai makhluk yang tidak mampu tegak berdiri atau lemah, yaitu

mandirinya pengakuan dan keyakinan yang menjadi keimanan dengan tauhid

“Tiada tuhan selain Allah”, Dan Dia Maha Esa, sebagai penyaksian awal dan

akhir eksistensi yang melingkar, menutup ke dirinya sendiri sebagai suatu

“tanda” untuk melihat kepada realitas dari “keajaiban” dirinya sebagai manusia

yang beriman, yaitu sebagik-baiknya makhluk karena berakal pikiran dan berjiwa

yang murni dan lembut. Formulasinya pun menjadi gambaran yang nyata bahwa

selain angka 1 sejatinya adalah maya, dan cerapan dari semua pengetahuan

yang tampil bagi al-Mukminun, baik sebagai ladang amal, pembelajaran, maupun

Page 10: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

ladang peribadahan adalah.

1x(1001x2x3+10x23)=6236

Yang Esa = 6236/(1001x2x3+10x23)

Yaitu sebagai al-Qur’an yang disusun dan dikodefikasikan dengan basis

Pengetahuan Tuhan yang tampil dan dipahami oleh al-Mukminun yaitu sistem

desimal, biner dan 28 huruf abjad. Oleh karena itu susunan nomor surat, nomor

ayat, nama surat, dan setiap huruf maupun kata yang mengawali setiap

komposisi surat dan ayat tidak akan dapat berubah. Karena sifat ketertutupan

dan keterbatasan pengetahuan manusia itu sendiri yang sejatinya merujuk

kepada “keajaiban” wujudnya yang fisikal maupun yang non fisikal, yang lahiriah

maupun yang batiniah. Merubah satu huruf dalam suatu komposisi nomor surat

dan ayat tertentu, akan menyebabkan keruntuhan sistem pengetahuan manusia

yang disepakati saat ini berupa bilangan desimal yang sejatinya merujuk kepada

sepasang 5 jari tangan manusia dan meruntuhkan sistem abjad/alfabet dari Alif

sampai Ya, dari A sampai Z, dari Alfa sampai Omega.

Dengan komposisi yang kaku namun liat, tertutup namun terbuka, maka al-

Qur’an adalah Kitab Tentang Segala Sesuatu yang berbicara dalam banyak hal

tentang pengetahuan yang terpahami manusia sejak zaman dahulu, masa kini,

maupun masa depan. Ia menjadi kitab rujukan semua manusia dengan berbagai

potensi kecerdasan, kekayaan, kemiskinan, kesempurnaaan, kecacatan, atau

apapun kondisi manusia saat itu. Keajaiban kodefikasi al-Qur’an adalah

keajaiban “manusia” yang pengetahuannya saat ini bersandar pada sistem

pengetahuan tertutup yang merujuk kepada dirinya sendiri sebagai cermin yaitu

sistem pengetahuan berbasis bilangan desimal, biner, dan 28 huruf alfabet yang

sejatinya semua itu berasal dari Allah, sebagai Ar-Rahmaan, sebagai Rabbul

Aalamin, dan Nama-nama Agung lainnya. Menjadi mustahil untuk mengubah

koefikasi al-Qur’an baik nomor maupun hurufnya, karena kemustahilan itu

Page 11: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

muncul dari bukti yang nyata bahwa selama ini kita beraktivitas dengan sistem

pengetahuan desimal, biner, dan alfabet. Mengubah kodefikasi al-Qur’an sama

saja dengan menyatakan bahwa sistem desimal, biner, abjad/alfabet, kata-kata

kita, mimpi-mimpi kita, angan-angan kita, dan apa yang tercerap oleh inderawi

lahiriah maupun batiniah manusia “harus diubah”.

Al Qur’an dengan kodefikasi dan komposisinya saat ini adalah kitab suci yang

menghimpun Wahyu Ilahi yang pernah sampai kepada manusia sebagai Bani

Adam. Oleh karena itu al-Qur’an sejatinya merupakan suatu bukti bahwa

semuanya akan kembali kepada Prima Kausa. 6236 ayat sebagai jumlah ayat al-

Qur’an adalah bilangan optimum yang aktual bagi 23 untuk mencerap dirinya

sebagai makhluk yang diciptakan dari keinginan dan kehendak Yang Esa, maka

semua yang tercitra di alam 4 dimensi plus kesadaran atau dalam kontinuum

Kesadaran-Ruang-Waktu sebagai sistem pengetahuan 23 sebagai manusia

sejatinya hanya sekedar tampilnya Pengetahuan Yang Esa, dan sifat

pengetahuan itu menjadi semu atau maya.

Muhammad Dan Pengungkapan Pengetahuan Tuhan Bagi Manusia

Al Qur'an bukanlah produk budaya lokal Arab meskipun ia diturunkan di tanah

Arab. Ketika manusia yang meyakini Tuhan Yang Esa mengira al-Qur'an adalah

produk budaya, maka ia menjadi syirik karena secara langsung menyatakan

keterbatasan Tuhan, dengan kata lain ia tidak memahami sifat-sifat Tuhannya

yang Maha Berpengetahuan sebagai Sumber Semua Pengetahuan. Tulisan

diatas memang akhirnya harus disadari karena saya secara pribadi meyakini dan

mengimani agama Islam sebagai agama Tauhid dimana sumber asal

pengetahuan adalah Tuhan sebagai Prima Kausa sebagai suatu aksioma mutlak

benar yang harus diyakini kebenarannya karena saya masih hidup di tatasurya

dengan cerapan inderawi pada spektrum cahaya tampak dengan panjang

gelombang 0,55 mikron. Penulis atau pembaca lain boleh saja tidak sepakat dan

hal itu dan mencerminkan logika dan apa yang diyakininya.

Page 12: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

Budaya adalah produk aktivitas manusia, namun budaya adalah implementasi

praktis manusia yang terbatas atas anugerah yang sampai padanya karna

pemahamannya tentang Pengetahuan Tuhan yang diberikan kepadanya untuk

mengolah dan mencitarasakan dunianya, lengkap dengan konsekuensi dan

akibat yang ditimbulkannya dengan aturan main yang tetap. Turunnya al-Qur'an

di Mekkah adalah skenario yang sudah direncanakan sebelum manusia eksis.

Kondisi demikian sebenarnya merujuk kepada pengertian yang tidak dipengaruhi

ruang-waktu. Ketika Nabi Ibrahim a.s menemukan Tuhan, ia akhirnya

membangun Kabah sebagai rumah ibadah, masjid, kuil, atau apapun

penyebutan saat itu sebagai tempat untuk beribadah kepada Tuhan, sebagai

simbolisme untuk memuja dan memuji Tuhan, tempat munajat dan doa

dilantunkan. Bagi Umat islam, Ka’bah adalah kiblat sebagai simbolisme

ketundukkan diri dalam kesatuan wujud yang mutlak karena keterbatasan

inderawi fisikal maupun ruhaniahnya. Sehingga, arah shalat sebagai manifestasi

ubudiyyahnya harus diarahkan kepada titik temu yang sama yaitu menghadap

kiblat bukan mencla mencel tidak karuan. Kiblat yang sejati ada dalam diri

semua manusia yang beriman dengan benar yaitu Qalb al-Mukminun sebagai

tempat rendezvous antara “hamba dan Tuhannya”(‘Abd Allah). Ketika sejarah

berkembang seperti apa yang telah menjadi ketentuan Tuhan, maka Mekkah

kemudian menjadi tempat sakral manusia saat itu yang telah melupakan ajaran

Ibrahim dan Ismail a.s dengan menjadi pemuja berhala. Persis seperti kondisi

awal Nabi Ibrahim a.s ketika melihat realitas masyarakatnya yang pagan.

Model masyarakat Arab dengan kekhususan kaum Quraisy dimana Nabi

Muhammad SAW lahir adalah model masyarakat sebagai individu dan kelompok

yang menjadi ciri manusia umumnya. Artinya masyarakat saat itu, baik yang

berada di Mekkah maupun di seluruh dunia mempunyai penampilan lahiriah

maupun ruhaniah yang nyaris serupa, menjadi pagan total, tidak menauhidkan

Tuhan, dan sebagian kecil lainnya tetap berada di jalan lurus mengikuti ajaran

para Nabi dan Rasul. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa saat itu sebagai

Page 13: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

ambang batas dimana Pengetahuan Tuhan telah berubah menjadi berbagai

bentuk.

Masyarakat Quraisy bisa dikatakan sebagai Global Village baik secara historis,

maupun kenyataan yang ada saat itu. Maka saat itu juga lahirlah Muhammad

SAW sebagai pembeda yang akan memurnikan kembali Tauhid sebagai ajaran

yang meng-Esakan Tuhan. Tauhid dimulai di Mekkah dan dimurnikan kembali

ditempat asalnya dimana ajaran itu muncul yaitu Ibrahim a.s. Jadi konteks

budaya ketika kita menyimpulkan al-Qur'an sebagai produk budaya Arab sama

sekali kurang tepat.

Meskipun dalam al-Qur'an tersirat lokalitas, namun globalitas pengetahuan

masyarakat Arab dengan sistem bilangan dan abjadnyanya, yang akhirnya

diterima Muhammad SAW sebagai wahyu lebih dominan. Karena itu al-Qur'an

menjadi cermin Pengetahuan Tuhan yang tampak nyata dimana Nabi

Muhammad SAW sebagai penerimanya karena sunnatullah yang pasti. Nabi

Muhammad SAW pun menjadi cermin kesempurnaan Asma dan Sifat Tuhan (QS

9:128-129) yang menampilkan akhlak dan perilaku manusia yang mulia. Ia pun

menjadi gambaran tentang sejarah hidup seorang manusia yang menerima

Pengetahuan Tertinggi Tentang Segala Sesuatu. Nabi Muhammad SAW adalah

maujud nyata dari “Knowledge Of Everything” dan ia sebagai Nabi dan Rasul

adalah Utusan Allah sebagai Adimanusia atau Manusia Sempurna yang

sesungguhnya menjadi gagasan awal dan akhir penciptaan makhluk. Oleh

karena itu, kendati ia seorang Nabi dan Rasul , ia juga seorang manusia

umumnya yang lahir, hidup, makan dan minum, beranak pinak, dan akhirnya

mati, ia pun menjadi rujukan dan model bagi semua manusia khususnya rujukan

akhlak dan perilakunya di semua zaman. Dengan demikian, setting budaya lokal

sejatinya cuma sekedar cermin yang buram yang kemudian dibersihkan, akhlak

yang tercela yang kemudian dimuliakan kembali, dengan kata lain perubahan

dalam diri manusia di semua zaman sebenarnya terwakili oleh kondisi

masyarakat Arab saat itu.

Page 14: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

Al Qur’an sebagai Kitab Wahyu adalah al-Qur’an yang menjadi Dzikrul Lil

Aalamin dan menjadi The Book Of Everything yang akan menjadi sumber

pengetahuan yang optimum dimana pengetahuan masa lalu, masa kini, dan

masa depan manusia tercermin didalamnya sebagai Wahyu Ilahi yang diterima

oleh Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, al-Qur'an pun akhirnya

bersinggungan dengan “square root of two” Phyagoras, golden ratio, bilangan,

huruf, geometri, simbol, sejarah manusia, silsilah kenabian, baik dan buruk,

perang dan damai, cinta dan benci, keakuan dan kepasrahan, Dzulkarnain dan

Yakjuj-Makjuj, akal pikiran dan penyucian jiwa, surga dan neraka, teori kuantum,

teori relativitas, dan akhirnya teori kuantum qolbu yang menuju kepada

pengertian tentang Knowledge of Everything dalam perspektif fundamental dan

luas, bukan dalam perpsektif yang sempit atau terinci meskipun isyarat

perinciannya sesekali tampil dan diulas dengan ungkapan yang terselubung

(simak makna surat al-Falaq dan teori nuklir atau pembelahan inti sel). Dan

semua itu, sebenarnya mencakup kapasitas akal pikiran manusia yang

mempunyai kemampuan tri-lateral, filosofis, logis, dan kreatif, yang sejatinya

merupakan model penalaran otimum manusia ketika manusia menyatakan

ketundukkan dirinya dihadapan Allah sebagai Tuhan Yang Esa. Artinya, wahyu

yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi al-Qur’an

memang sesuai dengan kapasitas yang dapat dilaksanakan oleh manusia

lainnya, dengan berbagai potensinya, dan akhirnya perbedaan akan muncul

karena berbagai sebab yang menunjukkan kemajemukan sifat dan asma Tuhan

Yang Maha Berpengetahuan.

Manusia secara umum didalam al-Qur'an dinyatakan sebagai bayangan

kesempurnaan Pengetahuan Tuhan. Dan manusia yang menjadi abidin dan

muslimun menjadi lokus penciptaan yang menjadi Nabi, Rasul, Wali , orang

beriman dan akhirnya menjadi muslimin yang mengikuti sunnatulrasul untuk

menunjukkan peran sentral peribadahan dan aktivitas muslimun sebagai cermin

Tuhan. Dan satu mukmin adalah cermin dari mukmin lainnya. Ketika Muhammad

Page 15: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

menjadi cermin penampilan Pengetahuan Tuhan yang sempurna, maka ia

adalah manusia paripurna yang menjadi cermin dimana Tuhan yang memegang

cermin diri-Nya memantulkan cahaya ke cermin-cermin-Nya yang lain (yang

sudah menjadi buram, setengah bersih, atau sudah jernih) menimbulkan cermin

dalam cermin, maka dikatakannya mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya

dalam berbagai bentuk dan ukuran yang tertentu (potensi tertentu dan nyaris

tidak sama seperti keunikan sidik jari manusia), namun dengan kesempurnaan

yang serupa karena kepatuhannya untuk menjernihkan cermin yang ada

padanya yaitu qolbu yang jernih yang menjadi qolbu mukminin, yang mampu

menampung Arasy Allah. Kesamaan itu menjadi tampil ketika Umat Islam shalat,

baik sendiri-sendrii maupun berjamaah, untuk kemudian kesempurnaan yang

sama itu tampil secara lahiriah dengan ibadah Haji bagi yang memang mampu

sebagai suatu keringannan universal karena potensi manusia yang berbeda-

beda dalam aspek fisik dan lahiriah semata.

Karena itu tidak ada relevansinya menyatakan al-Qur'an produk budaya Arab

walaupun pentas dimana al-Qur'an diturunkan berada di tanah Arab karena segi

historis dan pemodelan manusia yang ada saat itu memenuhi kriteria manusia

maupun masyarakat yang berlaku sepanjang masa, yaitu manusia yang memiliki

kesombongan seperti gunung batu al-Hijr, yang hatinya bolak balik tidak

menentu, namun juga manusia yang dapat memiliki kesempurnaan sebagai

“insaana fii ahsaani takwiim”.

al-Qur'an adalah produk Pengetahuan Tuhan yang disampaikan kepada manusia

melalui esensi makhluk pertama yang diciptakan-Nya yang lahiriahnya menjadi

Nabi Muhammad SAW. Sehingga pengetahuan yang tersirat didalamnya

mencakup segala pengetahuan yang dipahami manusia sepanjang masa,

khususnya pengetahuan yang berlandaskan kepada kontinuum kesadaran-

ruang-waktu yang tak lain merupaan model hubungan Pencipta-Makhluk, Tuhan-

manusia karena sejak awal dan akhir penampilan Pengetahuan Tuhan adalah

pengenalan dari rahasia-Nya yang menjadi harta terpendam semua manusia

Page 16: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

yaitu dirinya sendiri yang menjadi cermin dimana Pengetahuan Tuhan dapat

menetap dan manusia mampu kembali kepada-Nya dengan selamat. Karena itu

manusia mengenal-Nya karena-Nya, bukan karena kemampuannya yang

sejatinya sangat lemah.

Apapun pengetahuan Tuhan yang telah disampaikan sebagai al-Qur’an pada

akhirnya akan berguna bila ia menetap dalam qolbu manusia yang

menjadikannya sebagai pedoman dalam semua aktivitasnya. Sehingga al-Qur’an

yang suci dan bukan makhluk sejatinya al-Qur’an yang nilai-nilainya

teraktivasikan dari akal pikiran dan jiwa yang paling jernih, menetap dalam hati

dan menjadi bagian dari aktivitas manusia di ladang maghfirah-nya yang

terbentang sebagai dunia dan alam semesta. Tanpa penetapan al-Qur’an

dengan al-Yaqin, maka al-Qur’an sekedar makhluk yang menjadi pajangan di

masjid-masjid, rumah-rumah, perpustakaan, atau sekedar menjadi hiasan

lahiriah saja yang mengundang datangnya syirik dan kedengkian.

Huwa.

Qul huwallahu Ahad,

Allaahu Shamad,

Lam yalid walam yulad

wa laam yaqulla hu quffuwan ahad.

Allahu Laailaha illa huwal hayyul qayyum

Bismillahirrahmanirrahiim,

Alhamdulillahi rabbil aalamin

Ar Rahmanir rahiim

Maliki yaumid diin

Iyyaaka naqbudu wa iyya kanastaain

ihdinash shirathaal mustaqiim,

Page 17: Nabi Muhammad SAW, al-Qur'an dan Sistem Pengetahuan Manusia

shiratala ladzina anamta alaihim

ghairil maghdubi alaihim walad dzolin

Laa Haula wala quwwata illaa billah

Laa ilaaha illaa Allah,Muhammadurrasululah.

Huwal Awwaalu wal aakhiruu

wazh zhaahiru wal baathinu

wa huwa bi kulli syaiin 'aliim

Amiin

Jakarta (623), Q, Lebak Bulus(132), 9-2-2006

Atmonadi,

Pengamat sosial dan budaya, agama, sains dan teknologi dan praktisi teknologi

informasi. Founder myquran.com.