176
PENDAHULUAN Terminologi tumor adenoma pleomorfik 1,2,3,4,5 yang sekarang luas dipergunakan pertamakali diperkenalkan oleh Willis pada tahun 1948, 3 merupakan neoplasma kelenjar liur yang umum terjadi dan sering mengenai kelenjar liur mayor parotis wanita dekade-IV serta laki-laki muda dan lanjut usia. 1,2 Gambaran histologis tumor adenoma pleomorfik parotis (APP) sangat beragam, sehingga Minssen (1874) menyebutnya sebagai tumor campur / ”mixed tumor”. 3 1

Naskah APP pustaka Final

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Naskah APP pustaka Final

PENDAHULUAN

Terminologi tumor adenoma pleomorfik1,2,3,4,5 yang sekarang luas dipergunakan

pertamakali diperkenalkan oleh Willis pada tahun 1948,3 merupakan neoplasma

kelenjar liur yang umum terjadi dan sering mengenai kelenjar liur mayor parotis

wanita dekade-IV serta laki-laki muda dan lanjut usia.1,2

Gambaran histologis tumor adenoma pleomorfik parotis (APP) sangat beragam,

sehingga Minssen (1874) menyebutnya sebagai tumor campur / ”mixed tumor”.3

1

Komponen Penyusun Jaringan Tumor APP

Komponen terdiri dari komponen epitelial, komponen miksomatosa, dan komponen serupa khondroid; sehingga

tumor APP memiliki gambaran histologis yang sangat pleomorfik dan disebut sebagai tumor campur kelenjar

parotis. Sumber : arsip sediaan bagian patologi anatomi fak. kedokteran/gigi unpad rumah sakit hasan sadikin

Page 2: Naskah APP pustaka Final

Potongan melintang / “gross” pada jaringan tumor APP memperlihatkan batas

yang tegas, tetapi penonjolan ekstensi massa tumor di jaringan normal sekitarnya

kadang-kadang bisa ditemukan.1,2

Secara mikroskopis APP jinak bisa terdiagnosis sebagai karsinoma,1 karena pola

histologinya kadang sangat seluler dan kerapnya massa tumor menembus

kapsul.1,2

Selain menghasilkan musin, juga secara imunohistokimia adenoma pleomorfik

jinak parotis menunjukkan reaktifitas terhadap sitokeratin, vimentin, GFAP/“glial

2

Sumber : http://radiology.uchc.edu/eatlas/images/GI/7086b.gif

Page 3: Naskah APP pustaka Final

fibrillary acidic protein”, CEA / “carcinoma embryonic antigen”, EMA /

“epithelial membrane antigen”, dan protein S-100.1,2

Penelitian mutakhir mengungkapkan imunoreaktifitas tumor APP jinak dan ganas

terhadap C-myc, BCL-2, RasP-21, C-erbB-2, dan P-53.1-2,3,5,10-20

Perilaku biologis tumor adenoma pleomorfik, terutama yang mengenai kelenjar

liur mayor parotis sangatlah beragam; yaitu selain sering rekuren, berubah

menjadi ganas, juga kadang-kadang mampu melakukan metastasis lokal dan jauh

ke organ lain walaupun gambaran histologisnya terlihat jinak.1,2,5

Tampaknya perilaku kasus-kasus tumor adenoma pleomorfik yang mengenai

kelenjar liur mayor parotis dengan morfologi histopatologi yang jinak ini sukar

diramalkan apakah bersifat jinak atau ganas (“borderline malignancy”), sehingga

kriteria gambaran atipia morfologi histopatologi (inti membesar dan

hiperkromatik, mitosis abnormal, pertumbuhan infiltratif/invasif), nekrosis,

perdarahan, hialinisasi, atau kalsifikasi sebagai parameter yang biasa dipakai

untuk memprediksi keganasan tidak bisa digunakan untuk meramalkan perilaku

biologi tumor APP yang sangat beragam ini, terutama dalam hal keperluan

meramalkan potensi keganasan tumor.

Karena keunikannya tersebut, terapi bedah terhadap adenoma pleomorfik kelenjar

liur parotis biasanya berupa bedah-radikal yang berdampak pada berkurangnya

sensasi fasial, produksi liur, dan kosmetik pasien, serta terjadinya sindroma Frey.1

Buku ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan tumor adenoma pleomorfik

parotis (APP), mulai dari pembahasan gambaran normal kelenjar liur mayor

3

Page 4: Naskah APP pustaka Final

parotis; serta klasifikasi, grading, dan staging tumor kelenjar liur secara umum;

pembahasan terhadap tumor adenoma pleomorfik kelenjar parotisnya sendiri yang

meliputi bahasan gen-terkait- tumor dan produk proteinnya, telaah proses

apoptosis dan patogenesis tumor, serta mekanisme aksi onkoprotein rasP-21,C-

erbB-2,dan P-53 pada perkembangan sifat borderline malignancy tumor APP, dan

diakhiri dengan ringkasan umum dan penutup dari pembahasan komprehensif

yang telah dilakukan.

4

Page 5: Naskah APP pustaka Final

GAMBARAN NORMAL KELENJAR LIUR MAYOR PAROTIS

Sistem kelenjar liur manusia meliputi 3 pasang kelenjar liur mayor yang terdiri

dari kumpulan kelenjar eksokrin tubuloasiner, serta beberapa kelompokan kecil

kelenjar liur minor yang tersebar tidak merata pada mukosa rongga mulut.1,2,6

Jaringan penyusun kelenjar liur terdiri dari percabangan tubulus dan duktus serta

sel sekretori / sel asiner yang terletak pada pangkal percabangan, yang kemudian

bermuara di rongga mulut pada suatu duktus pengumpul tunggal.1,2,6

5

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 6: Naskah APP pustaka Final

Kelenjar liur menghasilkan sekret berupa cairan liur rongga mulut atau saliva,

yang berperan mempersiapkan makanan untuk dicerna sekaligus mengendalikan

populasi flora rongga mulut.1

Fungsi utama kelenjar liur adalah membasahi mukosa mulut dengan saliva yang

terutama dihasilkan oleh ke-3 pasang kelenjar liur mayor, yaitu kelenjar liur

parotis, submandibularis/submaksilaris, dan sublingualis.1,6

Terdapat dua macam sel asiner kelenjar liur yaitu sel asiner tipe serosa dan sel

asiner tipe mukus,1,6 dengan tipe sekret yang dihasilkan masing-masing berbeda

satu dengan lainnya, sehingga komposisi kimiawi saliva bergantung kepada

6

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 7: Naskah APP pustaka Final

proporsi relatif dari kedua macam tipe sel asiner yang dikandung oleh kelenjar

liur.

Sel asiner tipe serosa mengandung enzim amilase, sedangkan sel asiner tipe

mukus mensekresikan bahan sialomusin.1,6

Kelenjar parotis termasuk kelompok kelenjar liur tipe serosa penghasil amilase.1,6

Perkembangan Kelenjar Liur Parotis1,2,5,6

Perkembangan kelenjar liur manusia dimulai pada minggu ke-V sampai ke-VI

kehidupan embrio ketika primordia kelenjar parotis mulai muncul, diikuti oleh

per-kembangan primordia kelenjar liur lainnya.

7

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington

Page 8: Naskah APP pustaka Final

Primordia kelenjar liur mayor parotis berkembang dari lapisan ektodermis mulut,

berupa “buds” epitel stomatodeum primitif (kavum oris) yang berproliferasi.

“Buds” tersebut terbentuk serta terletak diantara prosesus maksilaris dan

mandibularis diantara daerah kanan arkus mandibularis dengan pipi kiri.

“Buds” epitelial secara kontinyu akan berproliferasi membentuk untaian menuju

daerah ektomesenkhim yang mendasari rongga mulut, diikuti dengan peningkatan

selularitas di sekitar kelenjar yang sedang berkembang. Proliferasi “buds” epitelial

turut berperan pada perkembangan organisasi lobuler dan enkapsulisasi kelenjar

parotis.

Di daerah ujung “cords” padat epitelial kelenjar yang tengah berkembang akan

terbentuk suatu “terminal bulbs”.

Pada “terminal bulbs” akan terbentuk celah yang kemudian akan berproliferasi

kearah ektomesenkhim berupa percabangan-percabangan dari “cords” asalnya.

Setiap “cords” epitelium yang baru terbentuk terletak bersebelahan dengan

“cords” yang ada sehingga kesinambungan dengan epitelium mulut tetap

terpelihara.

Pada awalnya setiap “cords” dan “bulbs” epitelial yang terbentuk tidak memiliki

lumen, namun setelah lumen terbentuk pertamakali pada “cords” epitelial akan

meluas ke arah “terminal bulbs”.

8

Page 9: Naskah APP pustaka Final

Diferensiasi seluler pada “cords” dan “bulbs” epitelial bertanggung-jawab

terhadap karakteristik sel duktus ekskretori, striatus, interkalatus, dan asini

kelenjar.

Cabang “cords” sebelah proksimal akan berkembang menjadi duktus utama dan

duktus ekskretori, cabang “cords” sebelah distal akan menjadi duktus striatus,

sedangkan “terminal bulbs” akan berkembang menjadi duktus interkalatus dan

asini kelenjar. Sesudah proses luminisasi “terminal bulbs” tetapi sebelum

berdiferensiasi, ia berbentuk tubulus terminalis dan sakulus yang memiliki 2

lapisan sel epitelium. Lapisan epitel di dalam lumen akan berdiferensiasi menjadi

sel asiner dan duktus interkalatus, sedangkan lapisan luar berdiferensiasi menjadi

sel mioepitelial.

Maturasi kelenjar liur secara lengkap akan terjadi pasca kelahiran sekitar bulan

ke-III periode kehamilan, kelenjar parotis akan mengalami kolonisasi oleh sel-sel

limfosit, yang kadang berkembang menjadi struktur nodus limfatikus intra dan

periparotid yang organisasinya tidak selengkap kelenjar getah bening.

Anatomi Kelenjar Liur Parotis1,2,5,6

Kelenjar parotis merupakan kelenjar liur mayor yang paling besar ukurannya,

pada orang dewasa beratnya mencapai 15 sampai 30 gram.

Bentuknya menyerupai segitiga dengan bagian apeks terletak disepanjang inferior

sudut mandibula hingga dasar superior arkus zigomatikus.

9

Page 10: Naskah APP pustaka Final

Bagian anterior kelenjar terletak disepanjang ujung posterior ramus mandibula

hampir menutupi ujung posterior otot maseter.

Di sebelah posterior kelenjar parotis dikelilingi oleh telinga, prosesus mastoideus,

dan ujung anterior otot sternokleidomastoideus.

Bagian kelenjar parotis sebelah dalam (bagian medial melenjar) meluas kearah

ruang parafaringeal dan diikat oleh prosesus stiloideus, ligamen stilomandibuler,

stiloglosus, stilohioideus, stilofaringeal, otot digastrikus, dan “carotid sheath”.

Sisi anterior bagian dalam/medial kelenjar terletak di medial otot pterigoideus.

Bagian lateral kelenjar parotis ditutupi oleh kulit dan jaringan lemak subkutis.

Jaringan ikat fibrosa dan lemak yang berasal dari fasia servikal sebelah dalam

akan membentuk kapsul pembungkus kelenjar parotis. Struktur kelenjar parotis

10

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 11: Naskah APP pustaka Final

memeluk beberapa struktur penting seperti vena jugularis interna beserta

percabangannya, nodus limatikus, arteri karotis eksterna beserta percabangannya,

cabang aurikulotemporal nervus trigeminus, dan nervus fasialis.

Sekresi kelenjar mengalir melalui sistem duktus yang akan berkumpul menjadi

satu pada duktus Stensen yang memiliki panjang sekitar 4 sampai 7 sentimeter.

Duktus Stensen keluar dari dalam kelenjar dari ujung anterior, kemudian melintas

permukaan lateral otot maseter, menembus bantalan lemak bukal dan otot

businator tepat di ujung anterior otot, kemudian bermuara pada mukosa rongga

mulut di seberang gigi molar ke-II rahang atas.

Dari sudut pandang pendekatan bedah, kelenjar parotis dibagi menjadi bagian

lobus superfisial/lateral dan bagian dalam/medial, yang dipisahkan oleh nervus

fasialis. Nervus fasialis yang muncul dari foramen stilomastoideus akan

11

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 12: Naskah APP pustaka Final

memasuki permukaan posteromedial kelenjar parotis. Setelah memasuki kelenjar,

nervus fasialis akan terbagi menjadi dua cabang utama dengan masing-masing

anak cabangnya dalam arah superior, anterior, dan inferior. Tepi posterior ramus

mandibula bersinggungan dengan bangunan kelenjar, dan kelenjar terlihat

menyempit dari bagian superfisial kearah medial.

Persarafan sekremotor kelenjar liur mayor parotis diselenggarakan oleh berkas-

berkas saraf parasimfatetik melalui nervus cranialis-VI, sedangkan suplai darah

dan drainase diselenggarakan oleh arteri karotis eksterna dan vena

retromandibuler. Selama perkembangan embrional, pada parenkhim kelenjar

parotis ditempatkan sel-sel limfoid yang akan berkembang menjadi beberapa

nodus limfatikus, yang menerima drainase dari kelenjar beserta struktur sekitarnya

kemudian diteruskan ke nodus limfatikus servikal disepanjang sisi anterior otot

sternokleidomastoideus.

12

Sumber: http/www

Page 13: Naskah APP pustaka Final

Histologi Kelenjar Liur Parotis1,2,5,6

Asinus kelenjar liur parotis :

Asinus kelenjar liur parotis terdiri dari kelompokkan sel-sel epitel berbentuk

mutiara yang dikelilingi oleh membrana basalis, inti sel terletak di basal, dengan

sitoplasma padat penuh granula sekretori zimogen basofilik (PAS) yang resisten

terhadap digesti diastase namun tidak bereaksi terhadap pulasan musikarmin.

Enzim utama yang dikandung granula zimogen adalah amilase dan ptialin,

berfungsi memecah kanji menjadi unit-unit kecil karbohidrat yang larut dalam air.

Enzim-enzim lainnya seperti lisozim (antibakterial nonspesifik) dan laktoferin

juga terdapat di dalam sitoplasma sel-sel asiner kelenjar liur parotis. Asinus

13

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 14: Naskah APP pustaka Final

kelenjar parotis memiliki lumen sentralis yang berfungsi membawa sekret kelenjar

ke dalam duktus interkalatus. Kerja pengosongan sekret oleh lumen sentralis

diatur melalui mekanisme kontraksi sel mioepitel, yang terletak diantara

permukaan luar asinus dan membrana basalis. Sel mioepitel berbentuk datar dan

memiliki penonjolan sitoplasma panjang yang meluas ke permukaan epitel asinus

dalam bentuk anyaman. Filamen sitoplasmik sel mioepitel mengandung filamen

aktin, tropomiosin, dan miosin yang polanya tersusun serupa dengan pola yang

dimiliki oleh otot polos. Sitoplasma sel mioepitel bereaksi kuat terhadap ATP-ase

dan alkalinfosfatase, dan mengandung berkas-berkas miofilamen pendukung

fungsi kontraksi. Sel mioepitel bersifat kontraktif, mampu mempercepat aliran

saliva dengan jalan meningkatkan tekanan pada unit ekskretori; dan sifat tersebut

diinduksi oleh oksitosin yang serupa dengan mekanisme kontraksi sel-sel otot

polos. Sel-sel mioepitel juga berfungsi mendukung parenkhim kelenjar dan

berperan pada proses perluasan lamina basalis.

Duktus kelenjar parotis :

Sistem duktus kelenjar parotis akan memindahkan saliva dari dalam unit sekretori

ke dalam rongga mulut, sekaligus mengatur konsentrasi air dan elektrolit. Dua

segmen pertama dari sistem duktus yaitu duktus interkalatus dan duktus striatus

terletak di dalam lobulus kelenjar (intralobuler), dan mereka dikenal sebagai

duktus sekretori karena aktivitas metaboliknya. Duktus interkalatus berhubungan

langsung dengan asinus kelenjar, dilapisi oleh satu lapis sel epitel berbentuk

kuboid dan lapisan ireguler sel-sel mioepitelial. Duktus interkalatus kelenjar liur

parotis ukurannya relatif lebih panjang dibandingkan kelenjar liur mayor lainnya,

14

Page 15: Naskah APP pustaka Final

sehingga mudah dikenali pada potongan histopatologis. Sel-sel epitelnya

memperlihatkan bentuk transformasi antara sel sekretori dengan sel duktal, serta

memiliki aktivitas lisozim dan laktoferin sitoplasma yang kuat.

Di daerah basal duktus interkalatus kelenjar parotis ditemukan sel-sel

“undifferentiated” yang positif terhadap sitokeratin dan pulasan imunohistokimia.

Duktus striatus terletak di dalam septum jaringan ikat, berhubungan dengan

duktus interlobular, dilapisi pseudostratifikasi epitel kolumner yang mengandung

sel Goblet. Sebelum duktus striatus bergabung dengan duktus utama, ukuran sel

epitelnya akan membesar secara progresif. Sel-sel epitel pembentuk duktus

15

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996.

Page 16: Naskah APP pustaka Final

striatus tampaknya memiliki kemampuan regeneratif, sebab sel-sel

“undifferentiated” yang terdapat memiliki kemampuan “pluripotensial”, sehingga

kerap dihubungkan dengan kejadian metaplastik dan neoplastik yang sering

mengenai daerah duktus striatus kelenjar liur parotis.Duktus utama kelenjar

parotis terdiri dari epitel kolumner berlapis semu yang akan menjadi berlapis

gepeng di daerah muara saluran kelenjar. Duktus utama dibungkus oleh

fibrokolagen dan berkas serat elastin.

Pemeriksaan Imunohistokimia Kelenjar Parotis.

Sediaan histologi jaringan kelenjar liur rutin pada arsip “Armed Forces Institute of

Pathology”(AFIP, Amerika) yang dipulas dengan koktail antibodi monoklonal

terhadap filamen keratin intermediet BM tinggi dan sedang memperlihatkan

intensitas reaktifitas yang kuat pada unsur sel luminal duktus interkalatus, striatus,

dan ekskretori; tetapi sel asiner dan mioepitel memperlihatkan reaktifitas lemah.

Terdapat kontroversi mengenai imunoreaktifitas terhadap protein S-100 pada

unsur jaringan kelenjar liur normal, sebagian peneliti menganggapnya sebagai

petanda (”marker”) terdapatnya sel-sel mioepitelial, sementara AFIP hanya

mengamati sedikit atau hampir tidak ada reaktifitas kelenjar liur normal terhadap

protein S-100. Reaktifitas terhadap protein S-100 berkaitan dengan “stress” yang

dialami jaringan kelenjar liur normal karena terletak bersebelahan dengan jaringan

neoplasma. Dardick (1991) melaporkan pada jaringan intersisial disekeliling

parenkhim kelenjar liur, reaktifitas terhadap protein S-100 lebih diperlihatkan oleh

16

Page 17: Naskah APP pustaka Final

anyaman serabut-serabut saraf yang tidak memiliki mielin daripada oleh sel-sel

mioepitelial.

Beberapa peneliti melaporkan bahwa sel-sel mioepitelial normal memperlihatkan

reaktifitas terhadap antibodi anti-aktin otot polos. Peneliti lain menyatakan bahwa

sel-sel mioepitelial normal juga bereaksi terhadap antibodi antivimentin,

antimiosin, dan antiglial fibriler protein asidik. Sel-sel mioepitelial normal

imunoreaktif terhadap protein S-100, aktin-miosin (petanda filamen kontraktil),

dan sitokeratin (petanda diferensiasi epitelial).

Ekspresi imunohistokimia kelenjar liur normal terhadap sitokeratin sangat

bervariasi bergantung kepada jenis sel yang menyusun unit sekretori. Sel asiner

17

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 18: Naskah APP pustaka Final

kelenjar mengekspresikan sitokeratin 6 dan 12 dengan lemah, sedangkan sel

duktal duktus ekskretori mengekspresikannya sangat kuat.

Sel-sel asiner dan duktus interkalatus mengekspresikan CEA (“carcino embryonic

antigens”), dan struktur kelenjar yang inflamatif ekspresi CEA-nya sangat kuat.

Sel-sel epitel duktus interkalatus, duktus striatus, dan duktus interlobuler

memperlihatkan imunoreaktifitas kuat terhadap EMA/”epithelial membrane

antigens”. Beberapa reaktifitas enzim bisa dipergunakan sebagai petanda

fungsional kelenjar, seperti amilase dan laktoferin untuk sel asiner kelenjar,

lisozime untuk sel-sel duktus interkalatus, serta fosfatase-alkalin dan ATP-asa

untuk sel-sel mioepitelial.

Struktur asinus kelenjar parotis normal memperlihatkan imunoreaktifitas terhadap

amilase-alfa, transferin, dan laktoferin. Sel-sel duktus interkalatus selain

memperlihatkan reaktifitas terhadap sitokeratin, juga reaktif terhadap antibodi

lisozime, transferin, dan laktoferin.

18

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 19: Naskah APP pustaka Final

Beberapa peneliti melaporkan fibronektin, kolagen tipe-IV, laminin, tenasin pada

membran basal jaringan duktal dan asinus kelenjar liur normal. Imunoreaktifitas

sel duktus ekskretori kelenjar liur terhadap estradiol dan progesteron

menimbulkan dugaan kelenjar liur merupakan sasaran dari hormon estrogen.

Crocker dan Egan melaporkan bahwa kelenjar liur normal reaktif terhadap anti

tripsin alfa-1, tetapi tidak terhadap antikimotripsin alfa-1. Jika dipergunakan

sebagai petanda histologis, protein-protein tersebut diatas akan sangat berguna

dalam lapangan kegiatan “surgical pathology” kelenjar liur. 2,5,11-5,15,19

Struktur tambahan di dalam kelenjar parotis:6

19

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 20: Naskah APP pustaka Final

Terdapat beberapa nodul jaringan limfoid kecil yang tidak berstruktur, atau berupa

nodus limfatikus yang tersebar di dalam dan di sekitar kelenjar liur mayor parotis.

Beberapa nodul kecil tampak tidak memiliki kapsul, sinus subkapsular, ataupun

medular, dan pada kapsul kelenjar parotis terletak nodus-nodus periglandular.

Kadang ditemukan kelenjar sebasea beserta sel sebasea pada jaringan kelenjar liur

parotis, sehingga sel-sel sebasea dianggap sebagai bagian normal kelenjar parotis.

20

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 21: Naskah APP pustaka Final

Korelasi histologi normal kelenjar parotis normal dengan neoplastik:6

Pengetahuan hubungan struktur normal kelenjar dengan aspek histologi tumor

kelenjar parotis sangat membantu dalam pemahaman klasifikasi morfologi tumor.

Terdapatnya kemiripan histologi tidaklah berarti bahwa “origin” tumor berasal

dari sel tertentu yang menyerupainya, walaupun dikatakan setiap unsur kelenjar

bisa berkembang menjadi neoplasma dengan gambaran histologi yang berbeda.

Pada organisasi morfologi kebanyakan tumor kelenjar liur, teramati bahwa

struktur duktus interkalatus dan duktus striatus merupakan struktur organisasi

tumor yang penting, terutama pada tumor-tumor: adenoma pleomorfik, adenoma

monomorfik, dan karsinoma epitelial-mioepitelial (”clear cell carcinoma”)

kelenjar parotis.

Tumor tersebut memperlihatkan terdapatnya diferensiasi epitelial dan mioepitelial

yang sama seperti halnya suatu duktus interkalatus dan striatus normal yang

berkembang dari sel-sel “reserve” duktus interkalatus dan striatus. Statistik

mencatat 80% - 90% tumor kelenjar liur terjadi pada kelenjar liur mayor parotis

yang memiliki duktus interkalatus relatif lebih panjang dibanding kelenjar liur

mayor lainnya.

Aspek penting lainnya pada sitodiferensiasi jaringan kelenjar liur normal dan

neoplastik adalah diekspresikannya filamen-filamen intermediet, enzim-enzim,

komponen imunologik, dan protein-protein lainnya. Protein-protein tersebut

mudah diidentifikasikan secara imunohistokimia.

21

Page 22: Naskah APP pustaka Final

KLASIFIKASI, “GRADING”, “STAGING” TUMOR KELENJAR LIUR

Klasifikasi Tumor-Tumor Kelenjar Liur 1,2,4

Klasifikasi tumor-tumor kelenjar liur terdahulu yang disusun berdasarkan

ketepatan konsep histopatologi, ternyata terus-menerus mengalami modifikasi

seiring perkem-bangan pengetahuan yang memberikan wawasan baru terutama

yang berhubungan dengan wawasan aspek prognosis dan aspek pengobatan.

Seperti terlihat pada klasifikasi tumor kelenjar liur menurut Ellis dan Auclair 1996

yang tercantum pada fasikel 17 tumor kelenjar liur dalam atlas patologi tumor

“Armed Forces Institute of Pathology” / AFIP Amerika yang diacu pada buku ini.

Klasifikasi Ellis & Auclair menguatkan“WHO’s Histological Typing of Salivary

Gland Tumors”/1972, juga sesuai dengan edisi revisi WHO pada tahun 1991 serta

memungkinkan diskusi yang lebih informatif, rinci, lebih menggambarkan

keluasan cakupan klinikopatologi entitas tumor.

Beberapa neoplasma epitelial ganas dimasukkan sebagai modifikasi klasifikasi

Thackray&Lucas/1974 yaitu adenokarsinoma sel basal, “cystadenocarcinoma”,

kar-sinoma duktus kelenjar, karsinoma sebasea, karsinoma onkositik, dan

“adenocarcinoma musinosa”. Terminologi Sialoblastoma muncul dalam

klasifikasi Ellis&Auclair untuk neoplasma kelenjar liur kongenital dan infantil

dengan morfologi histologis jinak sampai ganas, sementara WHO

mengkategorikannya sebagai “other carcinomas” kelompok karsinoma embrional.

Klasifikasi Ellis & Auclair 1996 mengidentifikasikan suatu kelompok karsinoma

22

Page 23: Naskah APP pustaka Final

sel jernih dengan gambaran klinikopatologi berbeda dari karsinoma epitelial-

mioepitelial. Karsinosarkoma dan “metastasizing pleomorphic adenomas”

dikelompokkan ter-pisah, namun WHO memandangnya sebagai “carcinoma in

pleomorphic adenoma”. Klasifikasi Ellis dan Auclair 1996 menambahkan

kelompok tumor serupa-limfadenoma-sebaseosa yang tidak memiliki diferensiasi

sebasea sebagai kelompok “lymphadenomas and sebaceous adenomas” yang

meliputi terminologi tumor dengan atau tanpa diferensiasi sebasea. Dengan

ditemukannya konsep baru tentang MALT (”mucosal-associated lymphoid tis-

sue”) yang banyak terdapat di kelenjar parotis sebagai jaringan limfoid ekstra no-

dal, berkontribusi sebagai parameter menyusun klasifikasi limfoma kelenjar liur.

Juga dimasukkan kondisi patologis non-neoplastik yang klinis susah dibedakan

dari neoplasma sialadenopati kistik, neoplasma limfoid terkait HIV, dan AID’S.

KLASIFIKASI TUMOR KELENJAR LIUR ELLIS&AUCLAIR 1996:2

Neoplasma Epitelial Jinak:

Tumor Campur (Adenoma Pleomorfik). Mioepitelioma. Tumor Warthin. Adenoma sel basal. Adenoma kanalikular. Onkositoma. Kistadenoma. PPapiloma duktal: Sialadenoma papiliferum, Papiloma duktal “inverted”,

Papiloma intraduktal. Limfadenoma dan Adenoma sebasea. Sialoblastoma.

Neoplasma epitelial ganas:

Karsinoma mukoepidermoid. Adenokarsinoma. Adenokarsinoma sel asinik.

23

Page 24: Naskah APP pustaka Final

Karsinoma kistik adenoid. Adenokarsinoma polimorf yang “low grade”. Tumor campur ganas (adenoma pleomorfik ganas): Karsinoma asal

tumor campur/adenoma pleomorfik, Karsinosarkoma, Tumor campur/ adenoma pleomorfik bermetastasis.

Karsinoma sel skuamosa. Adenokarsinoma sel basal. Karsinoma epitelial-mioepitelial. Adenokarsinoma sel jernih. Kistadenokarsinoma. Karsinoma “undifferentiated”: sel kecil, sel besar, limfoepitelial. Karsinoma onkositik. Karsinoma duktus kelenjar liur. Adenokarsinoma sebasea dan Limfadenokarsinoma. A Karsinoma mioepitelial. Karsinoma adenoskuamosa. Adenokarsinoma musinosa.

Neoplasma Mesenkhimal: jinak, Sarkoma.

Limfoma ganas.

Tumor-Tumor Metastatik.

Kondisi Serupa-Tumor Non-Neoplastik.

“GRADING” MIKROSKOPIS1,2,4,5

Adenoma pleomorfik ganas kelenjar liur mayor parotis memiliki elemen-elemen

karsinomatous yang secara mikroskopis bisa ditentukan “grade”-nya berdasarkan

metode “grading” untuk karsinoma kelenjar liur pada umumnya.

“Grading” mikroskopis pada karsinoma diketahui sangat berperan bagi

optimalisasi pengobatan, dan berperan pula didalam penentuan “staging” klinis.

Terdapat 4 metode penentuan “grading” tumor kelenjar liur yang bisa diadaptasi

dan disesuaikan guna menentukan “grading” adenoma pleomorfik ganas parotis.

24

Page 25: Naskah APP pustaka Final

Pertama, untuk kebanyakan karsinoma yang hanya memiliki satu “grade” maka

klasifikasinya langsung menentukan “grade” misalnya diagnosis adenokarsinoma

sel asiner, adenokarsinoma sel basal, atau adenokarsinoma polimorfous “low

grade” menunjukkan perilaku biologi tumor yang “low grade malignancy”;

sementara diagnosis tumor karsinoma duktus kelenjar, karsinoma sel skuamousa

primer, atau karsinoma “undifferentiated” menunjukkan tumor-tumor yang

berperilaku “high grade malignancy”.

Tiga metode penentuan “grade” lainnya diaplikasikan tersendiri, misalnya :

(a) Pada tumor adenokarsinoma yang “NOS”, “grading” ditentukan

berdasarkan evaluasi gambaran sitomorfologi.

(b) Pemisahan “grade” intermediet dan “high” pada karsinoma kistik adenoid

ditentukan berdasarkan pola pertumbuhan yang dominan, apakah berupa

“cribriform-tubular” ataukah “solid”.

(c) Kriteria khusus dipakai untuk karsinoma mukoepidermoid, berupa

penggabungan kriteria terdapat/tidaknya karakteristik pertumbuhan dan

gambaran sitomorfologi.

“STAGING” KLINIK1,2,4,5

Penentuan “staging” klinik tumor kelenjar liur didasarkan pada penelitian Spiro

dan Levitt (menyatakan prognosis tumor bergantung pada ukuran tumor primer

dan perluasan lokal tumor), sebagai berikut :

25

Page 26: Naskah APP pustaka Final

TUMOR PRIMER (T) :

TX Tumor primer tidak bisa ditentukan.

T0 Tidak terdapat bukti adanya tumor primer.

T1 Ukuran terbesar tumor primer 2 cm atau kurang.

T2 Ukuran tumor primer antara 2 sampai 4 cm.

26

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 27: Naskah APP pustaka Final

T3 Ukuran tumor primer antara 4 sampai 6 cm.

T4 Ukuran tumor primer lebih besar daripada 6 cm.

NODUS LIMFATIKUS REGIONAL / KGB (N) :

NX KGB tidak bisa ditentukan.

N0 Tidak terdapat metastasis KGB.

N1 Metastasis pada KGB satu sisi dengan ukuran 3 cm atau kurang.

N2 Metastasis pada KGB satu sisi dengan ukuran 3-6 cm; atau metastasis

multipel pada satu sisi KGB dengan ukuran tidak lebih dari 6 cm; atau metastasis

pada 2 sisi KGB atau KGB kontralateral dengan ukuran tidak lebih dari 6 cm.

N2a Metastasis tunggal pada KGB satu sisi, ukuran 3 - 6cm.

N2b Metastasis multipel pada KGB satu sisi, tidak lebih dari 6 cm.

N2c Metastasis pada KGB bilateral/kontralateral berukuran sampai 6 cm.

METASTASIS JAUH (M) :

MX Metastasis jauh tidak bisa ditentukan keberadaannya.

M0 Tidak terdapat metastasis jauh.

M1 Terdapat metastasis jauh.

PENGELOMPOKKAN “STAGE” :

“STAGE I” T1a N0 M0

27

Page 28: Naskah APP pustaka Final

T2a N0 M0

“STAGE II” T1b N0 M0

T2b N0 M0

T3a N0 M0

“ STAGE III” T3b N0 M0

T4a N0 M0

SetiapT kecualiT4b N1 M0

“STAGE IV” T4b Setiap N M0

Setiap T N2, N3 M0

Setiap T Setiap N M1

Keterangan : Kategori T dibagi menjadi :

a) Tidak terdapat ekstensi lokal massa tumor.b) Terdapat ekstensi lokal massa tumor.

Perluasan tumor secara lokal didefinisikan sebagai terbuktinya invasi secara klinis

ataupun makroskopis pada kulit, jaringan lunak, tulang, atau pada jaringan saraf.

Bukti-invasi secara mikroskopis tidak bisa dipakai menentukan “staging” klinik.

Variabel lain adalah terabanya KGB yang dicurigai terkena metastasis, serta

terdapat-tidaknya metastasis jauh. Berdasarkan hasil penelitian diatas maka AJCC

(“American Joint Committee on Cancer”) dan IUAC (“International Union

Against Cancer”) menerima kriteria yang diajukan dengan sedikit modifikasi.

Beberapa variabel klinik yang diperlukan untuk menentukan “staging” menurut

AJCC dan IUAC adalah ukuran tumor, perluasan tumor secara lokal, metastasis

28

Page 29: Naskah APP pustaka Final

pada KGB regional, serta terdapat tidaknya metastasis jauh. Terdapatnya

gangguan pada nervus fasialis turut menentukan prognosis tumor.

29

Page 30: Naskah APP pustaka Final

TUMOR ADENOMA PLEOMORFIK KELENJAR PAROTIS

Definisi:1,2,3,4,5

Adenoma pleomorfik (“mixed tumor”) adalah tumor jinak asal jaringan epitel

yang tersusun oleh sel-sel berdiferensiasi epitelial dan mesenkhimal.

Diferensiasi epitelial pada tumor adenoma pleomorfik ditunjukkan oleh

terdapatnya struktur duktal lengkap yang bercampur dengan sel-sel non-duktal

berbentuk spindel / kumparan, bundar, stelat, plasmasitoid, poligonal, atau cerah.

Elemen non-duktal yang dikandung tumor adenoma pleomorfik merupakan

petunjuk diferensiasi miksoid, hialin, kartilago, atau tulang dengan derajat yang

bervariasi.

Adenoma pleomorfik yang mengenai kelenjar liur mayor parotis (APP), biasanya

memiliki kapsul pembungkus yang terlihat jelas melingkari tumor.

30

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 31: Naskah APP pustaka Final

Terminologi tumor campur (“mixed tumor”) menekankan pada campuran /

”mixture” elemen epitelial dan mesenkhimal, sedangkan terminologi adenoma

pleomorfik merujuk kepada keberagaman morfologi yang diperlihatkan tumor.

Gambaran Umum: 1,2,4,5

Adenoma pleomorfik merupakan neoplasma asal kelenjar liur mayor dan minor

yang umum terjadi, mencapai 45%-74% keseluruhan kejadian tumor kelenjar liur.

AFIP mencatat kejadiannya mencapai 28% dari keseluruhan tumor ganas dan

jinak kelenjar liur, dan merupakan 30% dari kejadian neoplasma parotis sejak

1985.

Adenoma pleomorfik sering mengenai wanita pada dekade umur ke-IV, namun

pada laki-laki adenoma pleomorfik bisa terjadi pada anak-anak dan orang tua.

Sehingga dapat dikatakan bahwa insidensi adenoma pleomorfik dapat terjadi pada

semua umur, dan kasus terbanyak terutama terjadi pada dekade IV - V.

Umur rata-rata penderita adenoma pleomorfik adalah 43 tahun, dan hampir 40%

kasus yang dicatat AFIP mengenai penderita berumur kurang dari 40 tahun.

31

Sumber: http/www

Page 32: Naskah APP pustaka Final

Adenoma pleomorfik 10 kali lebih sering terjadi pada kelenjar liur mayor parotis

daripada kelenjar submandibuler, jarang terjadi pada kelenjar liur sublingual.

Laporan penelitian menyebutkan angka-kejadian APP mencapai 85%, sedangkan

pada kelenjar submaksilaris mencapai 8%, dan kelenjar liur minor mencapai 7%.

Terdapatnya 2 elemen jaringan yang berbeda (elemen epitelial dan mesenkhimal)

merupakan petunjuk bagi pembahasan histogenesis tumor yang mendalam.

Bukti-bukti ultrastruktur dan imunohistokimia memberikan dugaan tumor APP

me-miliki “origin” epitelial, sedangkan area mesenkhimalnya terutama disusun

oleh sel-sel yang menunjukkan bentuk modifikasi neoplastik dari sel-sel

mioepitelial.

Keberagaman morfologi terjadi karena terdapatnya diferensiasi duktal dan

mioepitel pada elemen epitelial APP, serta bervariasinya jumlah matriks

32

Sumber : arsip sediaan bagian patologi anatomi fakultas kedokteran/gigi

unpad rumah sakit hasan sadikin bandung.

Page 33: Naskah APP pustaka Final

mukopolisakarida yang kemudian akan mengalami metaplasia kondroid atau

oseosa.

Gambaran Klinis: 1,2,4,5

Secara klinis sifat pertumbuhan APP sangat lambat, asimptomatis, timbul berupa

massa dengan ciri yang khas dan akan membesar bila tidak diobati.

Tumor yang besar biasanya berbentuk masa noduler tunggal yang tidak rata, serta

meregangkan kulit atau mukosa yang melapisinya.

Umumnya lesi tumor APP berupa lesi yang keras, kecuali untuk lesi yang elemen

miksoidnya sangat dominan.

33

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. .

Page 34: Naskah APP pustaka Final

Lesi APP mudah digerakkan dan kebanyakan timbul pada lobus superfisialis,

yaitu 50% pada ekor lobus dan 25% pada bagian anterior lobus superfisialis.

Sedangkan 25% lagi muncul pada lobus kelenjar yang lebih dalam, meluas ke

ruang parafaringeal dan menimbulkan pembengkakkan di daerah fossa tonsiler,

palatum lunak, atau di daerah lateral farings sehingga tidak terlihat dari wajah.

Kadang-kadang terjadi paralisis fasial akibat penekanan tumor secara ekstrinsik

terhadap nervus fasialis.

Bentuk lesi APP rekuren seringkali timbul berupa nodul-nodul multipel yang

lebih sukar digerakkan dari dasarnya dibandingkan lesi primer.

Gambaran Makroskopis (“Gross”):1,2,4,5

Gambaran makroskopis APP yang khas berupa massa berbentuk bulat atau

lonjong yang berbatas tegas, kenyal, resilien, dengan permukaan berbenjol-benjol.

34

Sumber: http://www.ispub.com/ispub/ijhns/volume_4_number_2_58/a-case-of-

Page 35: Naskah APP pustaka Final

Konsistensi tumor bergantung kepada jumlah relatif sel-sel epitelial dan stroma

penyusun tumor; serta bergantung pula kepada jenis stromanya.

Pada APP bisa ditemukan kapsul fibrosa yang tidak lengkap dengan ketebalan

yang beragam memisahkan jaringan tumor dengan kelenjar, namun kadang-kala

sedikit perluasan massa tumor bisa terlihat menonjol di jaringan kelenjar liur

normal.

Permukaan potongan makroskopis (“gross”) jaringan tumor APP berwarna putih-

kecoklatan homogen, licin mengkilap; di beberapa daerah tampak area translusen

berisi materi miksokondroid, pulau kartilago, atau fokus tulang yang matur.

35

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 36: Naskah APP pustaka Final

Lesi-lesi tumor berukuran lebih besar dari 1 cm terlihat memiliki banyak jendolan

menggambarkan akan terdapatnya lobulasi lesi.

Pada potongan makroskopis adakalanya teramati daerah perdarahan dan infark

yang bisa terjadi sekunder akibat manipulasi bedah (biopsi/biopsi aspirasi jarum

halus).

Tumor APP rekuren memiliki nodul-nodul multipel yang tersebar diseluruh

jaringan ikat penyambung, lemak, dan kelenjar liur.

Gambaran Mikroskopis:1,2,4,5

Secara mikroskopis APP sering salah didiagnosis sebagai karsinoma karena

memperlihatkan pola histologis yang membingungkan, selularitas yang ekstrim,

atau massa tumornya kadang berpenetrasi ke dalam kapsul.

36

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-

Page 37: Naskah APP pustaka Final

APP dikenal karena keaneka-ragaman sitomorfologi dan arsitektur histologisnya

pada tiap-tiap tumor, namun bentuk dasarnya memperlihatkan gambaran

diagnostik histologis yang penting berupa susunan jaringan pulau epitelial beserta

struktur duktus dengan daerah diferensiasi kartilagenosa yang erat berhubungan.

Proporsi jaringan epitelial dan mesenkhimal pada masing-masing tumor sangat

bervariasi, bahkan kadang-kadang satu sama lainnya saling mendominasi.

Karena penampakannya yang sangat beragam, maka beberapa peneliti membuat

subklasifikasi tumor (berdasarkan proporsi elemen serupa-mesenkhimal dan

elemen epitelial) menjadi adenoma pleomorfik tipe seluler dan tipe miksoid.

APP tipe seluler didominasi oleh populasi salah satu atau beberapa elemen

epitelial, sedangkan APP tipe miksoid sebagian besar disusun oleh elemen

miksomatosa atau oleh elemen serupa-mesenkhimal miksokhondromatosa.

37

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 38: Naskah APP pustaka Final

Kebanyakan komponen miksoid APP mencapai 30% keseluruhan massa tumor,

dan 12%-15 % APP memiliki komponen epitelial mencapai 80% massa tumor.

Ketebalan kapsul fibrosa pembungkus APP sangat bervariasi, kadang-kadang

sangat tipis atau tidak ada sama sekali. Jaringan kapsuler tersebut kadang-kadang

mengandung perluasan-perluasan kecil sel-sel epitelial neoplastik berbentuk jari

atau berbentuk pulau-pulau kecil. Jenis sel epitel penyusun APP berupa sel

spindel, sel jernih, sel skuamosa, sel basaloid, sel kuboidal, sel plasmasitoid, sel

onkositoid, sel mukous, dan sel sebasea.

38

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 39: Naskah APP pustaka Final

Banyak ditemukan area transisi antara masing-masing tipe sel, karena mereka

berkumpul sangat berdekatan dan pada pengamatan seksama sering ditemukan

diferensiasi pulau-pulau skuamosa yang terpisah. Sel spindel dengan plasmasitoid

kadang terlihat dalam bentuk transisi satu sama lain. Gambaran inti semua tipe

sel tumor APP secara keseluruhan terlihat uniform, anak inti kadang kecil atau

tidak ada, dengan mitosis yang sedikit. Konfigurasi arsitektur morfologi histologi

APP sangat bervariasi baik pada satu lesi tumor, maupun antara satu tumor APP

dengan yang lainnya. Sering ditemukan arsitektur APP miksokondroid berupa

trabekula sel epitelial yang beranastomosis dalam trabekula epitelial serta struktur

duktus dan tubulus yang lengkap dipisahkan oleh stroma jaringan ikat.

39

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-51.

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-

Page 40: Naskah APP pustaka Final

Juga bisa ditemukan bentuk arsitektur APP-seluler yang tersusun oleh lembaran

sel-sel basaloid diselingi oleh sedikit stroma.

Gambaran arsitektural lainnya adalah APP kistik berupa struktur kista kecil

dilapisi epitel gepeng berkeratin, atau rongga kistik besar dilapisi selapis pita

epitelial.

40

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 41: Naskah APP pustaka Final

APP kadang memiliki arsitektur seperti Schwannoma tersusun oleh sel-sel spindel

membentuk jalinan fasikel serupa-fibrosa dan inti tersusun palisade disekitar

material amorf menyerupai gambaran khas badan Verocay dari Schwannoma.

Struktur duktal APP biasanya tersebar secara acak, dan lebih banyak terdapat

didaerah yang kaya epitel daripada di daerah mesenkhim. Pada beberapa kasus

komponen duktalnya sangat besar dengan bentuk lumen yang nyata, sedangkan

pada beberapa kasus lumennya terlihat kecil. Lumen duktus dilapisi oleh epitel

kuboid atau kolumner yang kadang dikelilingi lapisan sel-sel berbentuk besar dan

jernih, spindel, atau stelat. Dua macam elemen sel tersebut menyerupai organisasi

duktus kelenjar normal atau struktur bifasik karsinoma epitelial-myoepitelial.

Komponen serupa-mesenkimal pada APP yang miksokondroid tersusun oleh area-

area miksoid, hialin, kondroid, dan tulang yang sangat kaya dengan heparan

sulfat.

41

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3 rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 42: Naskah APP pustaka Final

Material hialin bisa teramati pada masa tumor APP sebagai deposit stroma

diantara sel-sel epitel, dan berbentuk sebagai massa fibrotik atau desmoplastik.

Zona kartilagenosa hasil akumulasi material miksohialin terlihat mengelilingi sel-

sel individual, kadang-kadang menyerupai kartilago hialin yang matang.

Gambaran tulang pada massa tumor APP jarang ditemukan, namun adakalanya

terlihat sangat dominan mendominasi keseluruhan massa tumor.

Materi stroma amorf yang melingkari untaian-untaian epitel sempit yang

berstruktur memadat atau tubuler pada tumor APP mengingatkan kepada

gambaran karsinoma adenoid kistik tipe tubuler.

Terdapatnya sel-sel basaloid kecil yang tersusun berupa kisi - kisi (“lattice”)

pada tumor APP, mengingatkan kepada gambaran karsinoma adenoid kistik

kribriform.

42

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 43: Naskah APP pustaka Final

Gambaran arsitektur APP yang rekuren biasanya berupa nodul-nodul lesi multipel

yang saling terpisah terletak di daerah sisa jaringan kelenjar liur, jaringan

periparotid, kulit, dan pada jaringan parut yang terbentuk pasca-operasi.

Temuan Imunohistokimia:2

Sel mioepitel normal imunoreaktif terhadap antibodi sitokeratin dan aktin otot

polos, namun imunoreaktifitasnya sangat bervariasi terhadap antibodi anti : GFAP

(“glial fibrillary acidic protein”), vimentin, dan protein S-100.

43

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 44: Naskah APP pustaka Final

Reaktifitas terhadap antibodi anti-GFAP teramati terbatas di daerah miksoid, tidak

pada daerah APP yang seluler. Banyak sel-sel tumor APP yang memperlihatkan

reaktifitas terhadap sitokeratin, dan anti-aktin otot polos bereaksi sangat kuat

dengan sel spindel dan sel periduktal, sedangkan antibodi anti-protein S-100

beraksi dengan semua jenis sel epitel dan stroma.

Diagnosis Banding:1,2,3,5

Faktor penyulit penegakkan diagnosis APP adalah kecilnya jaringan sampel dan

berkeping-keping tanpa daerah “interface” jaringan neoplastik dan sekitarnya.

44

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington

Page 45: Naskah APP pustaka Final

Jika sampel jaringan biopsi diatas mengandung fokus kondroid atau miksoid dan

elemen duktal, maka interpretasi yang sesuai mengarah pada APP.

Adakalanya tumor APP tersusun oleh komponen jaringan miksoid, kondroid, atau

jaringan tulang; sehingga menjadi pertimbangan diagnosis bandingnya adalah

neoplasma jaringan mesenkim seperti miksoma, lipoma miksoid, neurofibroma

miksoid, osteoma, atau osteokondroma.

Fokus diferensiasi skuamosa dan sel mukus dalam lesi APP sangat menyerupai

karsinoma mukoepidermoid; tetapi karsinoma mukoepidermoid terlihat fokal-

infiltratif, tidak banyak memiliki elemen miksokondroid, kistik, serta tidak

memiliki pulau-pulau epidermoid berkeratin.

Terdapatnya jaringan neoplastik di dalam atau meluas melalui kapsul fibrosa pada

tumor APP jinak merupakan faktor pertimbangan bagi transformasi keganasan,

demikian pula dengan terdapatnya gambaran morfologi tumor yang hiperseluler.

45

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C. pp.1-57,228-51.

Page 46: Naskah APP pustaka Final

Tetapi bila tidak ditemukan gambaran sitomorfologi abnormal (atipia, pembesaran

inti, hiperkromasi inti, pleomorfism inti) dan mitosis yang abnormal, maka

perluasan tumor pada kapsul dan hiperselularitas merupakan kriteria APP jinak

yang umum.

Sedangkan APP yang rekuren memperlihatkan sarang-sarang tumor multipel

tersebar di dalam parenkim kelenjar liur normal, dan masing-masing sarang tumor

terlihat berbatas tegas tanpa atipia sitomorfologi.

Terapi dan Perilaku Klinik: 1,2,5

Para peneliti menyepakati tindakan enukleasi (pembukaan kapsul tumor diikuti

dengan pengelupasan atau aspirasi isinya) bertanggung-jawab terhadap tingginya

angka rekurensi tumor APP. Diperdebatkan apakah prosedur parotidektomi

46

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 47: Naskah APP pustaka Final

superfisial/lateral atau prosedur diseksi ekstra kapsuler/“lumpectomy” sampai ke

tepi jaringan kelenjar normal, merupakan pilihan terbaik untuk mengendalikan

tumor dan meminimalkan komplikasi bedah.

Penelitian terakhir yang mengevaluasi kemanjuran/efikasi kedua prosedur bedah

dengan tetap memelihara keutuhan nervus fasialis, memperlihatkan angka

rekurensi yang sama yaitu berkisar antara 0% sampai 8 %. Prosedur parotidektomi

konservatif tidak menjamin lengkapnya tindakan eksisi, dibuktikan dengan

rekonstruksi tiga-dimensi potongan organ utuh hasil operasi yang

memperlihatkan penonjolan APP yang tidak rata dari permukaan, dengan kapsul

dan penutup parenkhim yang tidak lengkap. Komplikasi bedah APP yang sering

terjadi adalah sindroma Frey / “gustatory sweating”, dan kerusakan permanen atau

sementara cabang nervus fasialis khususnya cabang marginal n.mandibularis.

Terapi pilihan APP rekuren adalah parotidektomi totalis disertai diseksi jaringan

parut, dengan tetap memelihara keutuhan nervus fasialis. Prosedur radioterapi

merupakan kontra-indikasi terapi APP primer, meskipun beberapa peneliti

menemukan ia bermanfaat untuk APP rekuren yang selektif.

47

Page 48: Naskah APP pustaka Final

GEN-GEN TERKAIT TUMOR DAN PRODUK PROTEINNYA

Salah satu aspek telaah tumorigenesis yang menarik adalah telaah onkogenesis,

yang berhubungan dengan aksi tunggal atau gabungan faktor-faktor kimiawi,

fisika, biologi, atau genetik yang merugikan sel.

Faktor-faktor diatas menimbulkan perubahan-perubahan genetik yang akan

menye-babkan pertumbuhan sel menjadi tidak terbatas, mampu menginvasi

jaringan sekitar, bahkan mampu bermetastasis.

Perubahan-perubahan genetik tersebut banyak yang bersifat dapatan, tetapi

beberapa diantaranya bersifat diturunkan sebagai mutasi garis-benih (“germline

mutations”) yang cenderung meningkatkan resiko perkembangan kanker.

Gangguan genetik penyebab transformasi keganasan bisa berbentuk abnormalitas

struktur kromosom yang nyata seperti translokasi-kromosom, atau alterasi gen

yang tidak nyata seperti mutasi noktah (“point mutations”) substitusi satu basa

DNA. Seiring mutasi genetik terinisiasilah rentetan kejadian ekspresi abnormal

serangkaian gen, sehingga proliferasi sel menjadi tidak terkendali.

Gen-gen yang berhubungan dengan onkogenesis (gen terkait-tumor) bisa

dikelompokkan berdasarkan katagori dari fungsi yang dimilikinya menjadi:7

(a) Gen pertumbuhan dan proliferasi : termasuk kedalamnya adalah proto-

onkogen / onkogen stimulator pertumbuhan dan proliferasi.

(b) Gen penekan tumor / anti-onkogen : mutasi yang mengenainya akan

menyebab-kan hilangnya mekanisme pengaturan siklus sel.

48

Page 49: Naskah APP pustaka Final

(c) Gen anti-apoptosis : menyebabkan sel terindung dari program kematian yang

fisiologis non-nekrosis (apoptosis).

(d) Gen anti-metastasis : mutasi terhadap katagori gen ini akan menyebabkan

peningkatan insidensi metastasis.

(e) Gen resistensi multi-obat : berhubungan dengan sifat resistensi tumor terhadap

bahan-bahan kemoterapi.

Gen-gen terkait-tumor melaksanakan fungsinya dengan jalan mengekspresikan

gen yang disandinya menjadi protein-protein terkait tumor yang bisa dideteksi

keberadaannya di dalam sel dan jaringan tumor.

Selain bermanfaat sebagai alat bantu diagnosis tumor, maka deteksi gen-gen

terkait-tumor beserta produk proteinnya di dalam sel dan jaringan memungkinkan

untuk mengidentifikasi faktor predisposisi neoplastik yang diwariskan pada

individu.

Ekspresi berlebih beberapa produk gen-gen terkait-tumor berperan sebagai

petanda perilaku biologi tumor yang potensial, serta berperan pula sebagai

prediktor tampilan terapi dan responnya.7

Produk gen-terkait-tumor yang berperan sebagai petanda prediktif perilaku

biologi tumor bisa dideteksi dengan beragam teknik khusus patologi anatomi,

seperti : prosedur teknik dan metode imunohistokimia, sitometri-alir (“flow

cytometry”), dan teknik-teknik genetik molekuler berdasarkan teknik hibridisasi

asam nukleat serta ”polymerase chain reaction”/ PCR.7

49

Page 50: Naskah APP pustaka Final

Teknik genetik molekuler yang dimaksud meliputi prosedur hibridisasi asam

nukleat insitu (“insitu hybridisation” / ISH; atau “fluorescent labelled probes-

ISH” / FISH); PCR insitu (“PCR-single strand conformational polymorphism

analysis”/PCR-SSCP, atau “PCR-denaturing gradient gel electrophoresis”/PCR-

DGGE); disamping teknik-teknik sitogenetika konvensional dan “blotting”

(Southern/Northern/Westhern blot).

Gen Pertumbuhan Dan Proliferasi (Proto-onkogen/Onkogen)7

Dahulu proto-onkogen didefinisikan sebagai gen-gen normal yang strukturnya

me-nyerupai beberapa virus-retro penyebab kanker, sedangkan onkogen

didefinisikan se-bagai gen-gen abnormal yang berasal dari proto-onkogen.

Protein yang dihasilkan proto-onkogen berperan penting pada pertumbuhan dan

diferensiasi normal sel, tetapi jika gen-nya berubah karena mutasi maka produk

protein mutannya akan menyebabkan terjadinya kanker.

Protoonkogen yang telah berubah dan mampu menimbulkan kanker disebut

onkogen yang merupakan gen-gen yang memiliki aksi dominan serta akan

mengobarkan/ “promotes” proses transformasi seluler. Sehingga proto-onkogen

dan onkogen memiliki andil yang besar didalam proses tumorigenesis, sedangkan

perkembangan tumor dan perilakunya tampaknya lebih berkaitan dengan aksi

gen-terkait-tumor lainnya seperti gen penekan tumor/gen anti-onkogen, gen anti-

apoptosis, atau gen anti-metastasis.Lebih dari 50 onkogen yang telah

50

Page 51: Naskah APP pustaka Final

diidentifikasi berhasil diklasifikasikan berdasarkan lokalisasi aksinya di dalam sel

dan berdasarkan aktifitas biologis produk proteinnya.

Aktivasi atau alterasi protein onkogen terjadi melalui:

(a) Perubahan abnormalitas ekspresi protein produk gen akibat amplifikasi gen,

“rearrangement” gen, mutagenesis insersional, atau karena mutasi-noktah

(“point mutation”).

(b) Perubahan daerah pengkode (“coding region”) sehingga dihasilkan produk

protein yang memiliki sifat biokimiawi abnormal dan mengganggu fungsi sel.

Pertumbuhan sel dipengaruhi oleh molekul ekstrasel (hormon, faktor

pertumbuhan) yang berinteraksi dengan sel melalui reseptor yang sangat spesifik.

Reseptor sel tersebut biasanya berbentuk molekul besar yang kompleks, dan

memiliki struktur yang tripartit. Mereka memiliki domain eksternal yang akan

berinteraksi dengan faktor pertumbuhan, domain transmembran yang larut dalam

lemak, serta dengan domain intrasitoplasmik yang mengandung enzim tirosin

kinase. Enzim tirosin kinase akan meneruskan sinyal-sinyal intraseluler setelah

diaktivasi oleh ligan yang berikatan dengan domain eksternal, dan proses aktivasi

tersebut akan menganggu keadaan fungsionalnya, dan dipercaya berperan penting

pada proses pengaturan proliferasi sel.

Beberapa protein sitoplasma berperan membawa sinyal-sinyal mitogenik ke

dalam inti sel, setelah sebelumnya mengalami reaksi fosforilasi di dekat membran

sel. Contoh dari jalur-aktivasi diatas adalah respon sel terhadap EGF/ “epidermal

growth factor”. Reseptor EGF terletak pada membran sel, memiliki domain

51

Page 52: Naskah APP pustaka Final

eksternal pengikat EGF dan domain tirosin internal spesifik terhadap protein

kinase.

Pengikatan molekul EGF pada reseptornya akan mengubah konformasi reseptor,

dan mengaktivasi enzim tirosin kinase spesifik dari domain intraseluler. Jalur

penerusan sinyal intrasel oleh enzim tirosin kinase merupakan salah-satu dari 3

jalur utama penerusan sinyal intra sel.

Ketiga jalur pengaturan sinyal intaraseluler utama tersebut adalah :

(1) Jalur reseptor enzim tirosin kinase

(2) Jalur cAMP (“cyclic adenosine monophosphate-dependent pathways”)

(3) Jalur fosfatidilinositol.

Onkogen yang memiliki fungsi pada inti:7,8

Produk protein beberapa onkogen seperti produk onkogen myc, fos, myb,

ditemukan hanya terdapat di dalam inti sel, dan hanya diekspresikan selama

proses proliferasi sel yang normal. Karena produknya hanya ditemukan di dalam

inti sel dan beberapa diantaranya ber-ikatan dengan DNA, diduga mereka

berinteraksi dengan gen-gen pengatur mitosis. Diketahui pula bahwa gen-gen

tersebut mengkode protein inti yang akan mengikat daerah DNA regulator

pengatur transkripsi gen-gen seluler. Protein-protein inti sel yang dihasilkan

onkogen nuklear ini diduga memiliki fungsi mengekalkan sel menjadi

imortal.Data penelitian terhadap produk gen fos menunjukkan bahwa ia berperan

sebagai sensor untuk sinyal-sinyal pendek yang masuk yang kemudian

dikonversikan menjadi respon-respon yang tahan lama melalui pengaturan

ekspresi gen sasaran tertentu.

52

Page 53: Naskah APP pustaka Final

Onkogen yang memiliki fungsi pada sitoplasma:7,11-3

Beberapa onkogen seperti famili gen ras mengkode protein yang berlokalisasi

pada sisi dalam membran plasma, yang akan mengikat guanin (GTP dan GDP)

serta memiliki aktifitas serupa dengan GTP-ase.

Karena kemiripannya dengan protein-G diduga ia berperan pada transduksi sinyal

eksternal dan permukaan sel (yang sebelumnya telah di-inisiasi oleh faktor

pertumbuhan, hormon, atau transmiter saraf) menuju ke efektor seluler seperti

adenilat siklase dan fosfolipase-C. Protein G memiliki fungsi meneruskan sinyal

melewati membran plasma.

Onkoprotein RasP-21 produk gen rasP-21

53

Sumber: http/www

Sumber: arsip pribadi

Page 54: Naskah APP pustaka Final

Famili onkogen ras berasal dari famili proto-onkogen ras yang terdiri dari gen H-

ras, K-ras, dan N-ras pengkode protein 21-kDA yang terletak pada sisi dalam

membran-plasma, dengan fungsi yang diduga terlibat dengan transduksi sinyal.

Mutasi noktah tunggal (“single point mutation”) pada kodon proto-onkogen ras

tertentu (“hotspots”) bisa pada kodon 12, 13, atau 61, menyebabkan sifatnya

berubah menjadi onkogen aktif yang menghasilkan protein rasP-21 abnormal.

Protein rasP-21 merupakan bentuk mutan dari protein 21-kDA yang mengalami

substitusi asam amino tunggal di daerah pengikatan nukleotida guanin.

Walaupun anggota famili onkogen ras banyak ditemukan mengalami mutasi pada

kebanyakan tumor, namun dari sedikit penelitian terhadap tumor leher dan kepala

dila-porkan bahwa gen H-ras (17) dan K-ras (21) teramati pada karsinoma mulut.

Mutasi pada gen K-ras ( Kirsten ras ) yang teramati pada karsinoma rongga mulut

terjadi pada kodon 13 berupa “silent mutations” akibat transversi CGGCGA.

Peneliti lain melaporkan terdapatnya mutasi onkogen H-ras pada tumor adenoma

pleomorfik jinak kelenjar liur, dan mutasinya terjadi pada basa pertama kodon 12

lengan pendek kromosom nomor 12 akibat transversi nukleotida GC.

Sehingga diduga gen H-ras berperan pada perkembangan tumor jinak mulut.12,13

Onkogen yang memiliki fungsi pada membran:7,14-5

54

Page 55: Naskah APP pustaka Final

Termasuk ke dalam kelompok ini adalah proto-onkogen c-erbB-2 manusia,

pengkode glikoprotein 185-kDA reseptor faktor pertumbuhan putatif

transmembran yang memiliki domain ekstraseluler.

Produk gen c-erbB-2 berperan sebagai reseptor faktor pertumbuhan dengan

aktivitas tirosin kinase sitoplasma, dianggap famili reseptor faktor pertumbuhan

epidermal. Berperan sebagai “ligand” bagi reseptor faktor pertumbuhan putativ

tersebut adalah glikoprotein 30-kDA / “factor gp30. Aktivitas reseptor faktor

pertumbuhan seperti diperlihatkan oleh produk gen c-erbB-2 yang merupakan

versi “truncated” reseptor faktor pertumbuhan epidermal / EGFR, terlihat

berhubungan dengan aktivitas enzim tirosin kinase.

Protein C-erbB-2 produk gen erb-B2

Produk gen v-erbB-2 salah satu varian awal gen erbB-2 teramati tidak berikatan

dengan “ligand”, sehingga diduga ia bekerja intraselluler tanpa dibantu “ligand”.

Proto-onkogen c-erbB-2 manusia disebut juga sebagai Neu, karena awalnya ia di-

temukan teraktivasi oleh mutasi noktah pada tumor neuroblastoma tikus.

55

Sumber: arsip pribadi

Page 56: Naskah APP pustaka Final

Gen tersebut homolog tetapi berbeda dengan dengan gen EGFR (“epidermal

growth factor receptor”), dan dikenal pula sebagai gen terkait-erbB (virus avian

eritroblas-tosis), atau disebut juga sebagai Her2.

Proto-onkogen c-erbB-2 terdapat pada kromosom manusia nomor 17 (17q21), dan

teraktivasi menjadi onkogen penyebab neoplasma jika gennya teramplifikasi

sehingga produknya menjadi terakumulasi dan diekspresikan secara berlebih

(“overexpression”).

Peneliti terdahulu melaporkan terdapat 30 “fold” amplifikasi gen c-erbB-2 pada

satu kasus adenomakarsinoma kelenjar liur yang ditelitinya, sehingga diduga

onkogen c-erbB-2 dan onkoproteinnya berperan penting pada patogenesis tumor

kelenjar liur. Tumor-tumor ganas kelenjar liur yang positif terhadap onkogen c-

erbB-2 terlihat lebih besar, lebih agresif, dan kerap berasosiasi dengan metastasis

KGB.

Peneliti lain melaporkan teramatinya amplifikasi c-erbB-2 pada tumor payudara

dan tumor ovarium yang agresif.

Pada tumor payudara amplifikasi dan ekspresi berlebih produk gen c-erbB-2

berkaitan dengan prognosis yang buruk, dan kejadiannya berasosiasi dengan

ekspresi berlebih produk gen p53.

Gen Penekan Kanker / Anti-onkogen7,10-1,16-20

Gen-gen penekan kanker (“cancer supressor genes”) ditemukan dari penelitian

pada tumor retinoblastoma.

56

Page 57: Naskah APP pustaka Final

Enampuluh persen kasus retinoblastoma terjadi secara sporadis, sedangkan 40%

lagi bersifat diturunkan dalam bentuk autosomal dominan. Mutasi yang

diperlukan agar retinoblastoma terjadi melibatkan gen Rb yang berlokasi pada

kromosom 13q14, yang kadang-kadang terlihat sebagai delesi gen. Kedua alele

normal dari lokus Rb akan terinaktivasi pada kejadian retinoblastoma yang

sporadik, sedangkan pada kasus retinoblastoma yang diwariskan, turunannya akan

lahir dengan membawa 1 kopi gen normal dan 1 kopi gen Rb yang defektif.

Diajukan hipotesis “two hits” untuk menjelaskan kejadian retinoblastoma

sporadik, yaitu mutasi genetik yang diwariskan orang tua (“first hit”) akan

tersebar diseluruh sel-sel somatik tubuh turunannya, kemudian akan menjadi

retinoblastoma sporadik jika terjadi mutasi pada sel-sel retinal (“second hit”) yang

telah membawa gen-gen mutan akibat mutasi yang diwariskan orang tuanya.Kopi

gen utuh dalam retinoblast bisa menghilang akibat mutasi somatik, sehingga anak-

anak yang memiliki lokus gen Rb heterozigot akan terkena kanker jika alele

mutan dalam retinoblast berubah menjadi homozigot. Karena gen Rb berasosiasi

dengan kejadian kanker jika ke-dua kopi gen normalnya menghilang, tampaknya

aktivitas gen ini mengarah sebagai gen-gen kanker yang resesif / “recessive

cancer genes”.Mutasi garis-benih gen penekan-kanker bertanggung-jawab

terhadap pewarisan keadaan predisposisi terkena kanker.

Contoh lain dari gen penekan kanker yang kini banyak ditelaah karena berkaitan

dengan kejadian keganasan pada manusia adalah gen p53.

57

Page 58: Naskah APP pustaka Final

Onkoprotein P-53 produk gen p-53

Alterasi terhadap gen penekan kanker p53 dipercaya memerankan peran yang

kritis dalam perkembangan dan progresi kebanyakan keganasan pada manusia.

Gen p53 berlokasi pada lengan pendek kromosom 17 (17p13), berukuran 20 kB

yang tersusun oleh 11 ekson dan 10 intron.

Transkrip gen p53 menghasilkan RNA-pembawa-pesan (“messenger-RNA/m-

RNA”) berukuran 2,2 sampai 2,5 kB, yang mengkode fosfoprotein inti P-53

berukuran 393 asam amino (25) dengan berat molekul 53 kD.

Lima untaian (“sequens”) asam amino fosfoprotein produk gen p53 berhubungan /

saling komplemen dengan kodon m-RNA 13-19, 120-143, 172-182, 238-259, dan

dengan kodon 271-290; yang diberi nama sebagai “conserved regions I-V”.

Konservasi / pengawetan untaian-untaian DNA dengan cara diatas dimaksudkan

agar struktur dan fungsi khusus onkoprotein P-53 tetap terpelihara.

Fosfoprotein P-53 memiliki 3 “domains” dengan fungsi yang berbeda yaitu:

58

Sumber: arsip pribadi

Page 59: Naskah APP pustaka Final

(a) Ujung residu 75 asam amino, mengandung domain “region” aktivasi

transkripsio-nal yang berfungsi mengobarkan (“promotes”) proses transkripsi

gen.

(b) Bagian tengah fosfoprotein P-53 mengandung domain spesifik pengikat DNA,

yang nantinya akan berinteraksi dengan elemen pengenal p53.

(c) Ujung karboksil mengandung domain lokalisasi sinyal inti dan “sites”

fosforilasi, yang berfungsi mengobarkan pembentukan larutan tetramer-

oligomer serta ber-fungsi mengenali “sites” DNA yang rusak.

Protein (fosfoprotein) P-53 yang fungsional memberikan pengaruh kepada sel

melalui perannya sebagai faktor transkripsi gen.

P-53 tipe “wild” berfungsi mengatur transkripsi genom dengan jalan berikatan

dengan untaian gen spesifik, atau berinteraksi dengan faktor transkripsi lain.

P-53 tipe “wild” akan meningkatkan transkripsi gen yang memiliki elemen

responsif spesifik terhadap p-53, dan sebaliknya menghambat transkripsi gen lain

yang kurang memiliki elemen responsif atau gen yang memiliki sequens TATA.

Sementara bentuk P-53 mutan tidak bisa berikatan dengan untaian DNA genom

spesifik, sehingga tidak memiliki aktivitas regulasi transkripsi gen.

Sel-sel yang normal hanya mengandung sedikit sekali konsentrasi P-53 tipe

“wild”, menggambarkan bahwa “half life” fosfoprotein P-53 di dalam sel sangat

pendek.

Dalam kondisi normal P-53 tipe “wild” terletak dan beraksi di dalam inti sel.

59

Page 60: Naskah APP pustaka Final

Fungsi utama P-53 adalah mengatur siklus sel beserta respon seluler terhadap

kerusakan DNA, inisiasi replikasi dan perbaikan DNA, induksi apoptosis, dan

promosi diferensiasi seluler.

Peninggian tingkat konsentrasi P-53 akan menghambat sel yang berada dalam

fase G1 memasuki fase S dari siklus sel.

Tampaknya P-53 tipe “wild” ini akan menginduksi ekspresi suatu inhibitor siklus-

sel (WAF1/Cip1) penghambat fungsi enzim “cyclin-dependent” kinase sehingga

pertumbuhan sel akan terhambat.

Mekanisme “checkpoint” saat akan memasuki siklus-sel akan mencegah duplikasi

dan replikasi DNA-DNA yang rusak atau tidak normal.

P-53 juga mampu menginduksi kerja enzim yang berfungsi memperbaiki DNA,

sehingga ia terlibat pada stimulasi mekanisme perbaikan DNA.

Ujung (“terminus”) karboksil dari fosfoprotein P-53 memiliki kemampuan untuk

mengenali daerah-daerah DNA yang rusak, serta akan membentuk kompleks

dengan “sites” DNA yang rusak sehingga memudahkan proses perbaikan DNA.

Jika kerusakan DNA tidak bisa diperbaiki maka sel akan diarahkan oleh P-53

untuk mengalami kematian sel terprogram melalui jalur apoptosis.

Mengingat fungsi gen p-53 sebagai gen penekan-tumor (“tumor supressor genes”)

maka hilangnya fungsi p-53 sebagai even kritis pada karsinogenesis merupakan

model dari tumorigenesis oleh gen p-53.

60

Page 61: Naskah APP pustaka Final

Protein P-53 tipe “wild” telah diketahui berfungsi menghambat transformasi-

transformasi neoplastik, menghambat pertumbuhan sel-sel tumor invitro,

memblokir transformasi keganasan kultur sel yang diaktivasi oleh onkogen lain,

serta mencegah pembentukan tumor pada binatang.

Protein P-53 mutan ditemukan dari pengamatan terhadap tumor-tumor yang tidak

memperlihatkan sifat-sifat diatas.

Protein P-53 tipe “wild” memberikan efek perlindungan terhadap perkembangan

keganasan melalui aksi pengaturan (“orchestration”) respon seluler terhadap

kerusakan DNA, aksi pengaturan silus sel, aksi pemeliharaan stabilitas genom dan

reparasi gen, aksi stabilisasi diferensiasi sel, aksi apoptosis, serta melalui

perannya sebagai pelindung genom dari bahan-bahan perusak.

Peran gen p-53 yang menginisiasi penyelenggaraan proses perbaikan DNA yang

rusak dan jika tidak bisa diperbaiki dituntun untuk dihilangkan melalui proses

apoptosis, merupakan mekanisme yang sangat efektif untuk mencegah timbulnya

populasi sel-sel yang memiliki materi genetik abnormal.

Hilangnya mekanisme regulasi “checkpoint” siklus sel dan reparasi DNA,

menyebabkan terselenggaranya replikasi DNA-DNA yang rusak dan ketidak-

stabilan genom, yang kejadiannya melibatkan onkogen lain, sehingga terjadi

peningkatan aksi gen p-53.

Kontribusi lain gen p-53 terhadap tumorigenesis adalah melalui mekanisme

penghambatan proses apoptosis.

61

Page 62: Naskah APP pustaka Final

Kegagalan eliminasi sel yang memiliki kerusakan DNA melalui jalur apoptosis,

bisa menimbulkan proliferasi dan seleksi sel-sel transforman.20-1 Inaktivasi fungsi

gen p-53 terjadi akibat beberapa kejadian seluler seperti : mutasi gen, ikatan

protein virus atau protein lainnya dengan protein P-53, atau keluarnya protein P-

53 dari nukleus ke dalam sitoplasma.20

Bentuk mutasi yang sering mengenai gen p-53 adalah “missense mutation”

meliputi satu-basa, yang menghasilkan protein dengan struktur dan fungsi yang

abnormal. Mayoritas mutasi gen p-53 terhampar diantara ekson 5 dan 8 pada

region “conserved” I sampai V di daerah kodon 120 – 290 (24), dan “hot spots”

mutasi gen p-53 terletak pada region “conserved” I – V, meliputi kodon 175, 248,

273, dan 281.

Bentuk mutasi lain selain “missense mutation” yang kadang mengenai gen p-53

adalah delesi atau insersi, mutasi “nonsense” atau “frame shift”, dan mutasi

“neutral” yang tidak menghasilkan perubahan asam amino.

Mutasi yang mengenai “conserved region” gen p-53 tipe “wild” menyebabkan

berubahnya konformasi protein sehingga fungsinya menjadi terganggu.10,20

Protein P-53 mutan bisa mengganggu fungsi protein P-53 tipe “wild”, karena

protein P-53 mutan mampu membentuk kompleks tetrameriks dengan protein P-

53 “wild”, sehingga terjadi inaktivasi fungsi protein P-53 tipe “wild”(tidak bisa

berikatan dengan DNA dan tidak mampu mengaktivasi transkripsi gen).

Protein P-53 mutan tidak menekan pertumbuhan sel-sel tumor, tidak menghambat

transformasi kearah keganasan, serta akan menghambat proses apoptosis.

62

Page 63: Naskah APP pustaka Final

Sel-sel yang mengekspresikan protein P-53 mutan atau kekurangan protein P-53

tipe “wild”, memperlihatkan kegagalan dalam penghentian progresi siklus sel.

Pada tumorigenesis kelenjar liur ekspresi gen p-53 mutan berasosiasi dengan

transformasi keganasan dan agresifitas tumor secara klinis.

Menyertai mutasi yang mengenai gen p-53 adalah delesi alel p-53 yang akan

menyebabkan kedua alel p-53 tipe “wild” menghilang. Mutasi “missense”,

hilangnya alel, dan delesi homozigot kedua alel p-53 akan menyebabkan

hilangnya fungsi / kemampuan gen p-53 “wild” menekan pertumbuhan kanker.

Mutasi gen p-53 pada garis-benih (“germ line”) bertanggung-jawab terhadap

bentuk-bentuk kanker herediter, sebab jika salah satu alel sel-sel benih yang

heterozigot baik untuk p-53 “wild” maupun mutan terinaktivasi, akan berperan

sebagai faktor predisposisi perkembangan keganasan.

Mutasi galur-benih hanya memerlukan satu mutasi somatik pada satu alel normal

yang tersisa, sehingga fungsi penekan-kanker akan menghilang, dan biasanya

berasosiasi dengan terjadinya sindroma kanker familial Li-Fraumeni.

Gen Anti-Apoptosis7,9,20

Prototipe gen anti-apoptosis adalah gen bcl-2 yang ditemukan terlibat dalam

translokasi kromosom t(14,18) pada limfoma folikuler dan limfoma sel-B. Protein

Bcl-2 produk gen bcl-2 berkaitan dengan penghambatan program kematian sel

yang fisiologis / apoptosis (8,14), baik pada sel epitel maupun sel limfoid. Gen

63

Page 64: Naskah APP pustaka Final

bcl-2 bekerja-sama dengan onkogen c-myc pada prekursor sel-sel limfosit B,

sehingga beberapa prekursor sel tersebut bersifat tumorigenik. Protein Bcl-2 akan

memanjangkan “survival” sel melalui fungsionalisasinya pada jalur anti-oksidan,

namun ia tidak memiliki sifat tumorigenisitas.

Protein Bcl-2 produk gen bcl-2

Gen Anti-Metastasis7

Famili gen anti-metastasis nm23 pertama-kali diidentifikasikan pada galur sel

mieloma tikus yang sifat metastasisnya sangat rendah. Homolog gen tersebut pada

manusia adalah gen nm23 H1 yang teramati pada membran sitoplasma,

sitoplasma, dan inti sel. Hilangnya fungsi anti-metastasis akibat delesi alel

somatik gen nm23 H1 berkorelasi dengan fenotipik potensi-metastasis pada

beberapa tumor manusia. Menurunnya konsentrasi nm23 H1 mencerminkan

tingkatan dediferensiasi tumor.

64

Sumber: http/www

Page 65: Naskah APP pustaka Final

Protein NM23H1 produk gen nm23H1

Gen Resistensi Multi Obat (“MDRG genes”)7

Resistensi tumor terhadap obat-obatan/multi obat berasosiasi dengan ekspresi

berlebih protein 170kD, dan dikenal sebagai glikoprotein-P produk dari gen mdr1.

Glikoprotein-P adalah protein transmembran pengatur “transport” molekul

(bergan-tung-ATP), dan dikenal pula sebagai “drugs efflux pumps” karena

ekspresi berlebih glikoprotein-P berhubungan dengan penurunan konsentrasi obat

di dalam sel.

65

Sumber: http/www

Page 66: Naskah APP pustaka Final

TELAAH PROSES APOPTOSIS DAN PATOGENESIS TUMOR

Pengertian Umum:1,5,9,10,17,21-2

Apoptosis adalah bentuk kematian sel yang tertentu / khusus, dan secara

morfologi berbeda dari nekrosis dimana ia ditandai oleh kondensasi kromatin

yang khas disertai fragmentasi DNA dengan mekanisme yang lebih teregulasi.

Mekanisme regulasi kematian sel / apoptosis tampaknya bergantung kepada

energi (“energy dependent”), melalui jalur transduksi sinyal terprogram yang

diinisiasi oleh beragam stimulus (kerusakan DNA, infeksi virus, kortikosteroid,

limfosit T sitotoksik, dan lain lain).

66

Skematis Proses Apoptosis Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?q=apoptosis+wikipedia+indonesia

Page 67: Naskah APP pustaka Final

Proses apoptosis ditentukan secara genetik dan memiliki makna biologis yang

sangat berarti karena ia merupakan proses aktif dengan peran yang berlawanan

dengan mitosis didalam mengatur ukuran jaringan.

Proses apoptosis dirancang normal untuk mengeliminasi populasi sel-sel yang

tidak diinginkan selama periode embriogenesis, serta bertanggung-jawab pula

pada eliminasi sel-sel yang tidak diinginkan pada proses fisiologis dan patologis

tertentu.

Selama morfogenesis jaringan mamalia apoptosis akan membentuk organ dan

menghilangkan sel-sel yang secara imunologi autoreaktif terhadap ‘unsur-diri’,

sel-sel yang terinfeksi, atau sel-sel yang rusak secara genetik, sehingga tidak

membahayakan inangnya.

Mekanisme apoptosis yang telah diketahui melibatkan kejadian

(a) Aktivasi enzim endonuklease yang diinduksi oleh peninggian ion kalsium

sitosolik, akan menyebabkan terjadinya fragmentasi DNA.

(b) Aktivasi enzim transglutaminase, akan menyebabkan perubahan volume dan

bentuk sel (sel terlihat mengkerut).

(c) Fagositosis badan-badan apoptotik (fragmen-fragmen sel yang telah

mengalami proses apoptosis), terselenggara melalui mekanisme “receptor-

mediated”.

Gambaran perubahan morfologi khas sel-sel yang mengalami apoptosis

ditemukan melalui telaah ultrastruktur dengan mikroskop elektron, berupa:

67

Page 68: Naskah APP pustaka Final

(a) Pengkerutan sel : ukuran sel terlihat mengecil, sitoplasmanya memadat, dan

organel-organel sel walaupun terlihat relatif normal namun lebih padat.

(b) Kondensasi kromatin : merupakan gambaran khas apoptosis yang banyak

ditemukan, kromatin terlihat mengumpul ke perifer didaerah membran inti

berupa massa padat yang berbatas tegas dengan ukuran dan bentuk bervariasi;

sementara inti sel akan pecah menjadi 2 fragmen atau lebih.

(c) Pembentukan tonjolan-tonjolan sitoplasma (“budding”) dan badan-apoptotik :

sel-sel yang apoptotik akan membentuk tonjolan-tonjolan sitoplasma,

kemudian mengalami fragmentasi menjadi badan-badan apoptotik yang

dilingkari membran. Badan-badan apoptotik hasil fragmentasi “budding”

sitoplasma biasanya mengandung sitoplasma, organel-organel sel yang

memadat, dan kadang-kadang bisa mengandung fragmen-fragmen inti atau

tidak.

(d) Fagositosis sel-sel apoptotik dan badan-badan apoptotik: sel-sel dan badan-

badan apoptotik akan difagositosis oleh sel-sel sehat disekitarnya bisa oleh

sel-sel parenkim atau oleh sel makrofag, kemudian dihancurkan di dalam

lisosom.

68

Page 69: Naskah APP pustaka Final

69

Skema Kejadian Biokimia dengan perubahan Morfologi pada Proses Apoptosis Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?q=apoptosis+wikipedia+indonesia

Page 70: Naskah APP pustaka Final

Morfologi Histologi:1

Secara histologi sel-sel yang telah mengalami proses apoptosis (“apoptotic

bodies”) terlihat sebagai masa sitoplasmik eosinofilik berbentuk bundar atau oval,

bisa mengandung atau tidak mengandung fragmen-fragmen materi kromatin inti

basofilik yang padat.

Kebanyakan sel-sel yang apoptotik terlihat eosinofilik, tetapi sel apoptotik berasal

dari jaringan yang kaya dengan ribosom seperti sel-sel asiner kelenjar pankreas

akan terwarna basofilik dengan pulasan HE.

Ukuran sel-sel apoptotik sangat beragam, bisa sangat kecil sehingga tidak terlihat

dengan mikroskop cahaya dan mengandung sedikit materi basofilik. Sel-sel /

badan-badan apoptotik (“apoptotic bodies”) secara cepat akan difagos-itosis oleh

sel-sel sehat disekitarnya, oleh sel parenkhim atau oleh makrofag. Berlawanan

70

Gambaran Mikroskopis Sel yang mengalami Apoptosis, terlihat eosinofilik Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?

Page 71: Naskah APP pustaka Final

dengan proses fagositosis sel-sel nekrosis yang menimbulkan reaksi inflamasi,

maka proses fagositosis sel-sel apoptotik tidak menginduksi makrofag untuk

membangkitkan respon inflamasi.

Mengingat kecilnya ukuran “apoptotic bodies”, pendeknya umur (“half life”)

“apoptotic bodies”, serta cepatnya ia difagositosis oleh sel sehat disekitarnya de-

ngan tidak menimbulkan respon reaksi inflamasi, merupakan penyulit untuk

menga-mati sel-sel / badan-badan apoptotik secara histologi dibawah mikroskop

cahaya.

Regulasi Genetik Apoptosis:1,7,10,22

Hingga sekarang regulasi genetik proses apoptosis belum diketahui dengan

lengkap, namun mulai terungkap keterlibatan beberapa gen yang sebelumnya

telah diketahui berperan pada perkembangan kanker.

Produk gen terkait tumor yang diduga terlibat pada jalur kematian sel (“cell death

pathways”) dari tahun ketahun jumlahnya makin meningkat.

71

Penyulit pengamatan mikroskopis Proses Apoptosis Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?q=apoptosis+wikipedia+indonesia

Page 72: Naskah APP pustaka Final

Salah satu gen dan produknya yang pertama-kali diketahui terlibat dengan

pengendalian jalur kematian sel adalah gen bcl-2.

Gen bcl –2 ditemukan pertama-kali terlibat pada tumorigenesis limfoma folikuler

sebagai translokasi gen t(14;18), dan ekspresi berlebih produk proteinnya

menghambat program kematian sel fisiologis (anti-apoptosis) sel limfoid dan

epitel, sehingga terjadi pemanjangan waktu “survival” sel.

Lokasi gen bcl-2 di dalam sel terletak pada membran dalam mitokondria,

pembungkus inti, dan pada retikulum endoplasmik. Gen bcl-2 menghambat jalur

apoptosis dengan jalan meregulasi jalur anti-oksidan (“antioxidant pathways”),

karena kebanyakan kasus apoptosis teramati disebabkan oleh jejas letal spesies

oksigen reaktif.

Tidak teramati hubungan antara ekspresi Gen bcl-2 dengan perkembangan kanker

sehingga disepakati gen bcl-2 tidak bersifat tumorigenik.

Namun sel-sel yang mengekspresikan protein Bcl-2 yang terdeteksi secara

imunohistokimia menunjukkan perilaku yang resisten terhadap apoptosis.

Penemuan gen bcl-2 sebagai gen anti-apoptosis menimbulkan pertanyaan apakah

terdapat katagori gen lain yang memiliki peran berlawanan, atau tepatnya apakah

terdapat ‘gen-gen kematian sel’ yang akan merangsang terjadinya proses

apoptosis. Jawaban sementara yang dapat diajukan terhadap pertanyaan di atas

terkuak melalui temuan mutakhir yang mengungkapkan fungsi lain dari onkogen

c-myc dan gen penekan tumor p-53.

72

Page 73: Naskah APP pustaka Final

Onkogen c-myc diketahui berperan sebagai aktivator transkripsi seluler yang akan

mengobarkan (“promotes”) proses pertumbuhan sel.

Penelitian mutakhir terhadap sel-sel yang dipacu dengan onkogen c-myc yang

overaktif, memperlihatkan bahwa sel-sel akan mengalami proses apoptosis jika

lingkungan sel tidak mengandung faktor pertumbuhan yang memadai.

Sehingga kemungkinan merupakan salah satu fungsi normal dari onkogen c-myc

(selain mengobarkan proses proliferasi dan diferensiasi seluler) adalah

menginduksi terselenggaranya proses apoptosis.

Fungsi normal induksi apoptosis seluler oleh onkogen c-myc pada penelitian di

atas tampaknya bisa disupresi oleh aksi faktor-faktor pertumbuhan.

Sehingga faktor pertumbuhanpun kemungkinan memiliki potensi menghambat

proses apoptosis, mungkin dengan jalan mengacaukan sinyal-sinyal siklus sel

menjadi saling bertentangan sehingga terjadi ketidak-tepatan regulasi siklus sel.

Tampaknya faktor pertumbuhan berperan menyelamatkan sel-sel dari jalur

kematian sel yang terprogram, melalui perannya sebagai ‘faktor-survival’ seluler.

Penelitian mutakhir mengungkapkan pula bahwa gen penekan tumor p-53 (bentuk

mutannya banyak terdapat pada kejadian keganasan) memiliki kemampuan

menginduksi proses apoptosis pada sel-sel yang DNA-nya rusak akibat radiasi.

Mengikuti irradiasi ionisasi akan terjadi peninggian tingkat protein P-53 di dalam

sel, dan siklus sel akan ditahan sehingga tersedia waktu untuk memperbaiki DNA

yang rusak; tetapi jika perbaikan DNA tidak mungkin dilakukan,sel-sel yang

73

Page 74: Naskah APP pustaka Final

mengandung DNA abnormal di-inisiasi oleh P-53 memasuki jalur apoptosis untuk

dieliminasi.

Jalur apoptosis akibat kerusakan DNA karena radiasi, inisiasinya bergantung

kepada ekspresi protein P-53 tipe “wild”; tetapi proses apoptosis akibat

glukokortikoid atau penuaan, inisiasinya tidak sepenuhnya bergantung kepada

ekspresi P-53.

Sangat mungkin peran gen p-53 sebagai gen penekan tumor (“tumor suppressor

genes”) terselenggara melalui perannya pada jalur kematian sel yang terprogram.

Kerja-sama antara gen p-53 tipe “wild” dengan faktor pertumbuhan akan

menentukan terjadi atau tidaknya induksi inisiasi jalur kematian sel yang

terprogram (apoptosis).

Asumsi di atas diajukan berdasarkan pengamatan invitro terhadap galur-sel

hemato-poetik murin yang bergantung kepada faktor pertumbuhan.

Galur sel hematopoetik akan cepat mengalami apoptosis setelah diberi perlakuan

dengan iradiasi, jika faktor pertumbuhan di dalam medium kultur dihilangkan.

Tetapi jika terdapat faktor pertumbuhan di dalam medium kultur sel hematopoetik

murin yang bergantung kepada faktor pertumbuhan tersebut, apoptosis tidak

terjadi.

74

Page 75: Naskah APP pustaka Final

Penghambatan Proses Apoptosis: 1,9,10,21-2

Telah diketahui sejak lama bahwa kanker merupakan penyakit gangguan

pengaturan (“dysregulation”) pertumbuhan sel.

Perhatian utama penelitian kanker mutakhir tertuju pada karakterisasi

abnormalitas gen dan produknya penyebab gangguan pengaturan pertumbuhan

sel.

Telaah ditujukan kepada ekspresi berlebih produk gen yang akan memacu

proliferasi seluler, atau tertuju pada hilangnya ekspresi produk gen yang

seharusnya menghambat proliferasi seluler.

Proliferasi seluler bergantung kepada dua kondisi yang berlawanan yaitu

kecepatan pembelahan sel dan kecepatan kematian sel.

Tumor seringkali memperlihatkan penurunan kematian sel sebagai mekanisme

utama didalam meningkatkan proliferasi selulernya.

Perubahan genetik yang mengakibatkan hilangnya jalur kematian sel yang

terprog-ram (apoptosis) sangat mungkin merupakan salah satu komponen kritis

dan langkah penting proses tumorigenesis, mengakibatkan tumor berkembang

dengan cepat.

Terhambatnya atau hilangnya jalur apoptosis akibat mutasi gen penekan tumor p-

53 dan ekspresi abnormal gen anti–apoptosis bcl-2, atau bisa pula akibat

mutasi dan ekspresi berlebih produk onkogen c-erbB-2 (reseptor faktor

pertumbuhan) dan onkogen ras (transduksi sinyal intraseluler) memberikan

75

Page 76: Naskah APP pustaka Final

kontribusi yang sangat penting terhadap perkembangan tumor karena

menyebabkan terjadinya peningkatan ketahanan hidup dan proliferasi seluler.

Hingga sekarang akumulasi data yang mendukung peran hilangnya kemampuan

apoptosis sebagai kejadian kritis proses tumorigenesis terjadi dengan cepat.

Bukti-bukti invivo dan invitro menunjukkan bahwa jalur apoptosis yang

bergantung kepada gen p-53 merupakan regulator penting proses tumorigenesis.

Abnormalitas fungsi gen p-53 sebagai regulator kritis proses tumorigenesis

mungkin terselenggara melalui 2 model berikut :

(1) Hilangnya fungsi gen p-53 tipe “wild” dan hilangnya fungsi penahanan siklus

G-1 (“G-1 arrest”) mengakibatkan direplikasikannya cetakan (“template”)

DNA yang rusak, atau mengakibatkan perkembangan pembentukan

perubahan-perubahan genetik yang diwariskan pada sel-sel induk.

(2) Mutasi gen p-53 membentuk gen p-53 mutan yang tidak memiliki sinyal

penahan fase G-1 (fase reparasi DNA) dan tidak menginduksi proses

apoptosis, sehingga kerusakan DNA tetap ada tidak dieliminasi, dan replikasi

cetakan (“template”) DNA yang rusak terus berlangsung.

Jika kedua mekanisme diatas bekerja-sama setelah terjadinya kerusakan DNA,

mungkin bertanggung-jawab terhadap ketidak-stabilan genetik sel jaringan

manusia. Saat meregulasi tumorigenesis melalui jalur apoptopsis, kelihatannya

gen p-53 tidak bekerja sendirian tetapi dibantu oleh onkogen-onkogen yang

berhubungan dengan faktor pertumbuhan.

76

Page 77: Naskah APP pustaka Final

77

Skematis Ilustrasi Regulasi genetik Penghambatan Proses Apoptosis Sumber: http://www.google.co.id/imglanding?

Page 78: Naskah APP pustaka Final

MEKANISME AKSI ONKOPROTEIN RasP-21, C-erbB-2, dan P-53

PADA PERKEMBANGAN SIFAT BORDERLINE MALIGNANCY

TUMOR APP

1.Kajian Teori Molekuler11-20

Billroth pada tahun 1859 yang pertama kali melaporkan bahwa tumor adenoma

pleomorfik kelenjar liur manusia memiliki gambaran histopatologis dan klinis

yang beragam tersusun oleh empat macam jaringan berbeda, yaitu jaringan

penyambung, kartilagenosa, mukus, serta sel-sel polihedral yang terbungkus

rapat.

Minssen pada tahun 1874 pertama-kali memperkenalkan terminologi tumor-

campur (“mixed tumor”) untuk kelompok tumor tersebut karena ia mengamati

terdapatnya substansi kartilago atau kondroid di daerah yang secara normal tidak

memilikinya. Willis pada tahun 1948 menyebut tumor campur kelenjar liur

dengan terminologi adenoma pleomorfik untuk menggambarkan diversitas

histologis tumor, karena tumor campur kelenjar liur memperlihatkan variabilitas

gambaran mikroskopis yaitu tersusun oleh komponen epitelial dan mesenkimal

dalam kualitas serta kuantitas yang heterogen.

Keaneka-ragaman pola histologis tumor adenoma pleomorfik kelenjar liur

menimbulkan permasalahan sukarnya menetapkan klasifikasi tumor; serta

perilaku biologinya juga sukar untuk diprediksi seperti cenderung rekuren, bisa

berubah menjadi ganas, dan kadang-kadang mampu melakukan metastasis lokal

78

Page 79: Naskah APP pustaka Final

dan jauh ke organ lain walaupun gambaran histologis tumor tampak jinak;

sehingga fenomena tersebut khususnya pada tumor APP merujuk kepada sifat

biologis yang “borderline malignancy”. Oleh karenanya kriteria gambaran

keganasan morfologi histopatologi berupa: atipia sel, mitosis, pertumbuhan

infiltratif, nekrosis, perdarahan, hialinisasi, kalsifikasi; tidak bisa dipergunakan

sebagai acuan indikator derajat keganasan dalam keperluan memprediksi potensi

keganasan tumor APP.

Sampai sekarang landasan teori yang secara definitif mampu menjelaskan dasar

molekuler keberagaman perilaku biologi tumor APP ternyata belum terdapat.

79

Sumber : Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17: Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996. Washington D.C.

Page 80: Naskah APP pustaka Final

Hal ini penting bagi ketepatan efektifitas dan efisiensi diagnosis histopatologis

dan pengelolaan klinis penderitanya, mengingat terapi APP yang baik selain

didasarkan kepada sifat kliniknya juga didasarkan kepada ketepatan diagnosis

patologi anatomi yang memerlukan dukungan piranti indikator untuk

memprediksi potensi keganasan yang simpel, akurat, namun andal.

Meskipun demikian kenyataannya seiring dengan pesatnya penelitian-penelitian

patolog/patobiologi molekuler yang memanfaatkan aplikasi teknik dan metode

bioteknologi, banyak pakar patologi/patobiologi yang berupaya mencari wawasan

baru guna mengungkapkan cakrawala biologi molekuler tumorigenesis. Namun

demikian masih sedikit informasi biologi molekuler yang tersedia untuk

keganasan yang berasal dari kelenjar liur, disebabkan karena rendahnya insidensi

keganasan kelenjar liur yang hanya mencapai 7% tumor daerah leher dan kepala.

Sembilan puluh persennya berupa neoplasma jinak dan ganas kelenjar parotis,

yang ditandai oleh bermacam-macam subtipe histologi dengan perilaku biologi

dan prognosis yang masing-masing berbeda.

Disebabkan karena jarangnya kasus tumor kelenjar liur serta beragamnya perangai

penyakit, maka mekanisme molekuler yang terlibat dalam tumorigenesis kelenjar

liur masih banyak yang belum terungkap.

Penelitian yang menelaah aspek biologi molekuler tumorigenesis APP memakai

metode imunohistokimia mengkorelasikan tingkat imunoekspresi beberapa

protein produk gen-terkait-tumor, diantaranya onkoprotein rasP-21, onkoprotein

CerbB-2, dan protein (fosfoprotein) penekan tumor P-53 mutan pada sel-sel

80

Page 81: Naskah APP pustaka Final

jaringan tumor dengan prognosis dan sifat agresifitas tumor.10-30 Gen-gen terkait

tumor memiliki perilaku yang dominan, serta mampu mengobarkan (“promotes”)

proses transformasi keganasan. Famili onkogen ras (K-ras, N-ras, H-ras) yang

meng-hasilkan onkoprotein rasP-21 pengikat GTP/GDP akan mengganggu fungsi

regulasi proliferasi dan diferensiasi sel yang normal dengan jalan mentransduksi

sinyal pertumbuhan dari luar sel tanpa henti sehingga terjadi agresifitas

perkembangan neoplasma. Onkogen ras dilaporkan mengalami mutasi noktah

dan produknya diekspresikan secara berlebih pada tumor APP, namun perannya di

dalam tumorigenesis APP belum jelas terungkap. Proto-onkogen c-erbB-2 (Her-

2 / Neu) yang mengkode dan menghasilkan reseptor transmembran (p185) faktor

pertumbuhan putatif dari famili tirosin kinase, dilaporkan diamplifikasi dan

diekspresikan secara berlebih pada tumor APP. Proto-onkogen c-erbB-2 jika

mengalami mutasi akan berubah menjadi onkogen yang diamplifikasikan, dan

produknya berupa glikoprotein transmembran yang berfungsi sebagai reseptor

faktor pertumbuhan dari luar sel akan diekspresikan secara berlebihan dan sel

mudah tersensitasi oleh faktor pertumbuhan, bahkan dalam jumlah faktor

pertumbuhan yang sedikit karena jumlah reseptornya bertambah banyak.

Dampaknya berupa pertumbuhan neoplastik yang agresif, tumor lebih besar,

metastasis ke kelenjar getah bening, dan memburuknya prognosis. Walaupun ada

penelitian menyatakan bahwa ekspresi berlebih C-erbB-2 merupakan indikator

agresifitas APP, namun peneliti lain menyatakan bahwa amplifikasi dan ekspresi

berlebih onkoprotein tersebut secara statistik tidak berasosiasi dengan prognosis

tumor, hanya cenderung berasosiasi dengan metastasis tumor pada kelenjar getah

81

Page 82: Naskah APP pustaka Final

bening regional. Kehilangan fungsi gen-penekan-tumor p-53 (pengatur proliferasi

sel yang normal) yang berlokasi pada kromosom 17p13 pengkode

“Phosphoprotein” BM 53KD, dilaporkan terlibat dalam tumorigenesis kelenjar

liur. Produk gen-penekan-tumor p-53 yang mengalami mutasi, atau tidak bisa

berfungsi karena sebab-sebab non-mutasi, akan menyebabkan tidak terkendalinya

proses proliferasi sel, serta proses transformasi tidak bisa dihambat, sehingga sel

akan berubah menjadi ganas dan imortal. Ekspresi sedang dan tinggi onkoprotein

P-53 mutan merupakan indikator agresifitas klinis yang independen pada

penderita karsinoma parotis.

Informasi molekuler temuan peneliti terdahulu di atas bersifat fragmenter dari

sudut telaah imunoekspresi protein-terkait-tumor tertentu dengan peran dan fungsi

tumorigenesis yang berlainan, juga belum mengungkapkan signifikansi

ekspresinya yang mendasari keberagaman perilaku biologi tumor APP.

Pengkajian komprehensif tingkat imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan P-53

pada tumor APP kiranya akan bermanfaat untuk keperluan menetapkan potensi

keganasan tumor APP dalam menjawab ketidak-jelasan signifikansi ekspresinya,

sekaligus menetapkan dasar telaah teoretis penghambatan apoptosis sebagai

komponen penting perkembangan sifat borderline malignancy tumor APP.5

82

Page 83: Naskah APP pustaka Final

2. Pengaruh Ekspresi Onkoprotein RasP-21, C-erbB-2, dan P-53 terhadap

Perkembangan Sifat Borderline Malignancy Tumor APP.5

Imunoekspresi protein terkait tumor rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang

berhubungan dengan parameter perkembangan sifat borderline malignancy tumor

APP masing-masing merupakan produk dari gen dengan kategori dan fungsi yang

berlainan.

Onkoprotein rasP-21 dan C-erbB-2 merupakan produk dari kategori gen-gen

pertumbuhan dan proliferasi. Kategori gen pertumbuhan dan proliferasi mencakup

beberapa protoonkogen/onkogen stimulator pertumbuhan dan proliferasi,

sehingga perannya sangat besar dalam perkembangan proses tumorigenesis.

Mutasi noktah pada protoonkogen ras (H-ras, N-ras, K-ras) mengubah sifatnya

menjadi onkogen ras aktif yang menghasilkan onkoprotein rasP-21 mutan dan

berlokasi pada sisi dalam membran plasma, ia berperan mentransduksi sinyal

ekstrasel dan permukaan sel menuju ke efektor intraseluler adenilat-siklase atau

fosfolipase-C. Onkoprotein rasP-21 mutan bersifat meneruskan transduksi sinyal

ekstraseluler tanpa henti, sehingga regulasi proses pertumbuhan sel menjadi

terganggu. Mutasi dan amplifikasi protoonkogen c-erbB-2 akan menyebabkan ia

teraktivasi menjadi onkogen penyebab neoplasma, karena produknya

(onkoprotein C-erbB-2) akan terakumulasi dan diekspresikan secara berlebih.

Onkoprotein C-erbB-2 merupakan suatu glikoprotein transmembran yang

berfungsi sebagai reseptor bagi faktor pertumbuhan ekstraseluler. Akumulasi dan

ekspresi berlebih onkoprotein C-erbB-2 menyebabkan sel menjadi mudah

tersensitasi oleh faktor pertumbuhan karena jumlah reseptor menjadi bertambah

83

Page 84: Naskah APP pustaka Final

banyak, bahkan dalam kondisi jumlah faktor pertumbuhan ekstraseluler yang

sedikit. Protein/fosfoprotein-inti P-53 merupakan produk dari gen p-53 yang

termasuk ke dalam kategori antionkogen/gen penekan kanker (“cancer supressor

genes”). Fungsi utama protein / fosfoprotein inti P-53 tipe “wild” adalah

meregulasi progresi siklus-sel dan respon-respon seluler terhadap kerusakan

DNA, menginisiasi proses replikasi dan perbaikan DNA, serta menginduksi

terselenggaranya proses apoptosis. Transformasi keganasan dan pembentukan

tumor akan dihambat oleh aksi P-53 tipe “wild” yang memiliki kemampuan

menginduksi ekspresi gen inhibitor siklus sel. Timbulnya populasi sel-sel yang

memiliki materi genetik abnormal akan dicegah oleh aksi P-53 tipe “wild” melalui

jalur perbaikan DNA dalam fase G1-S dari siklus-sel. Bila materi genetik

abnormal tidak bisa diperbaiki maka sel akan diinisiasi oleh P-53 tipe “wild”

memasuki jalur apoptosis untuk dihilangkan. P-53 tipe “wild” berfungsi

meregulasi perkembangan siklus-sel melalui mekanisme “check point” dalam fase

G1-S. Kegagalan eliminasi populasi sel-sel yang memiliki materi genetik

abnormal melalui jalur apoptosis menimbulkan proliferasi klon sel transforman

yang mengandung materi genetik abnormal sehingga mampu membentuk klon sel

neoplastik dengan sifat borderline malignancy pada tumor APP jinak. Hilangnya

fungsi P-53 tipe “wild” menekan pertumbuhan neoplastik bisa terjadi karena

berbagai kejadian seluler seperti mutasi gen, pengikatan P-53 oleh protein seluler

lain, atau keluarnya P-53 dari kompartemen inti sel ke sitoplasma sel. Sel-sel yang

mengekspresikan P-53 tipe mutan atau kekurangan P-53 tipe “wild”, tidak

memiliki kemampuan untuk menghentikan perkembangan siklus-sel. Protein P-

84

Page 85: Naskah APP pustaka Final

53 tipe mutan tidak memiliki kemampuan menekan pertumbuhan sel-sel tumor,

tidak memiliki kemampuan menghambat proses transformasi kearah keganasan

dan akan menghambat proses apoptosis. Kemampuan menghambat proses

apoptosis merupakan salah satu sifat karakteristik dari gen p-53 abnormal.

Abnormalitas gen p-53 bisa terjadi karena karena mutasi atau penyebab non-

mutasi. Fosfoprotein P-53 mutan produk dari gen p-53 abnormal tidak mampu

menekan pertumbuhan dan transformasi neoplastik, karena ia tidak mengenali

serta tidak mampu mengikat daerah DNA yang rusak untuk dieliminasi lewat jalur

apoptosis. Dari uraian pembahasan mengenai katagorial gen penekan

pertumbuhan tumor (“cancer supressor genes”) ini, terlihat bahwa gen p-53

penghasil fosfoprotein-inti P-53 tipe “wild” memiliki peran sangat penting dalam

menginisiasi terselenggaranya proses fisiologis kematian sel yang terprogram

(apoptosis).

Telaah regulasi genetik proses apoptosis mutakhir berhasil mengungkapkan

keterlibatan beberapa produk onkogen lain selain gen p-53 dalam proses

pengaturan inisiasi apoptosis. Onkogen yang dimaksud adalah onkogen c-myc

yang fungsi onkogeniknya terselenggara melalui aksinya sebagai aktivator

transkripsi seluler guna mengobarkan proses pertumbuhan sel. Dahulu onkogen c-

myc dianggap bertanggung-jawab terhadap proliferasi neoplastik dan diferensiasi

seluler. Penelitian terhadap sel-sel yang dipacu dengan onkogen c-myc overaktif,

ternyata akan mengalami apoptosis jika lingkungan sel tidak memiliki faktor

pertumbuhan dalam jumlah yang memadai. Fenomena tersebut menunjukkan

bahwa secara normal onkogen c-myc memiliki dua peran yang berlawanan, yaitu

85

Page 86: Naskah APP pustaka Final

selain berfungsi mengobarkan pertumbuhan juga berfungsi menginduksi

penyelenggaraan proses apoptosis. Penelitian terhadap sel-sel yang dipacu dengan

onkogen c-myc overaktif ini, selain berhasil mengungkapkan peran ganda dari

onkogen c-myc juga memberikan informasi lain yang berharga, bahwa faktor-

faktor pertumbuhan ternyata memiliki kemampuan untuk menghambat proses

apoptosis. Tampaknya faktor pertumbuhan mempunyai kemampuan untuk

menyelamatkan sel-sel dari program kematian sel yang fisiologis (apoptosis),

melalui perannya sebagai faktor “survival” sel. Penelitian lain terhadap galur sel

hematopoetik murin yang diiradiasi, menunjukkan aksi kerja-sama antara faktor

pertumbuhan dengan fosfoprotein penekan tumor P-53 dalam menentukan

terselenggara atau tidaknya proses apoptosis. Teramati jika faktor pertumbuhan di

dalam medium kultur dihilangkan maka sel akan cepat mengalami proses

apoptosis, tetapi jika terdapat faktor pertumbuhan di dalam medium kultur dalam

jumlah yang cukup maka proses apoptosis tidak terjadi. Telah diketahui bahwa P-

53 tipe “wild” berfungsi menginisiasi proses apoptosis sel yang mengalami

alterasi DNA oleh radiasi.

Berdasarkan model penelitian di atas terlihat bahwa jika terdapat faktor

pertumbuhan yang cukup di dalam lingkungan sel, maka proses apoptosis yang

seyogyanya diinisiasi oleh P-53 tipe “wild” ternyata tidak terselenggara. Dengan

demikian faktor pertumbuhan memiliki kemampuan untuk menghambat

terselenggaranya proses apoptosis, melalui perannya sebagai faktor “survival”

seluler yang akan menghambat proses transkripsi gen-gen penghenti siklus-sel.

Mekanisme pemanjangan waktu “survival” sel oleh faktor pertumbuhan akan

86

Page 87: Naskah APP pustaka Final

mengekalkan sifat pertumbuhan sel, yang kejadiannya memberi peluang untuk

berkembangnya klon sel-sel neoplastik. Onkoprotein C-erbB-2 mutan dan rasP-

21 mutan yang teramati behubungan dengan parameter klinis dan histopatologis

terkait tumorigenesis serta bermakna prognostik terhadap tumor APP pada

kepustakaan memiliki mekanisme aksi yang serupa dengan faktor pertumbuhan.

Konformasi onkoprotein C-erbB-2 berupa glikoprotein transmembran yang

letaknya menjangkau dan melewati membran plasma berfungsi sebagai reseptor

bagi faktor pertumbuhan dari luar sel. Akumulasi dan ekspresi berlebih

onkoprotein C-erbB-2 akan meningkatkan jumlah reseptor, sehingga sel menjadi

mudah tersensitasi oleh faktor pertumbuhan bahkan dalam keadaan faktor

pertumbuhan ekstraseluler yang sangat sedikit. Akibatnya kecepatan

pertumbuhan sel akan meningkat dengan pesat, sedangkan kecepatan kematian sel

akan menurun. Kondisi akselerasi pertumbuhan sel dengan penurunan kematian

sel berperan mengarahkan perkembangan tumor kearah pertumbuhan neoplastik

yang agresif. Demikian pula dengan onkoprotein rasP-21 mutan yang berlokasi

pada sisi dalam membran plasma, akan meneruskan transduksi sinyal

ekstraseluler tanpa henti, sehingga regulasi proses pertumbuhan sel menjadi

terganggu. Penelaahan kepustakaan terakhir menyatakan bahwa terhambatnya

proses apoptosis merupakan tahapan proses tumorigenesis yang kritis.

Penghambatan proses apoptosis kemungkinan besar terjadi akibat hilangnya

sinyal-sinyal apoptotik / kematian sel fisiologis yang diperlukan. Hal tersebut

bisa terjadi akibat gangguan genetik spesifik yang didapat selama perkembangan

tumor, atau akibat ekspresi abnormal protein protein terkait tumor tertentu yang

87

Page 88: Naskah APP pustaka Final

memiliki fungsi meregulasi progresi siklus sel. Pada kasus tumor APP borderline

malignancy tampaknya imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang berlebih

serempak mengacaukan regulasi perkembangan siklus sel, sehingga mengganggu

pengaturan terhadap sinyal-sinyal yang diperlukan agar proses apoptosis dapat

berlangsung. Kekacauan pengaturan perkembangan siklus sel berperan sebagai

momen penting dalam rangkaian proses apoptosis, karena memberikan situasi

kondisional yang tepat untuk terselenggaranya proses penghambatan proses

apoptosis. Tampaknya antara proses pengendalian perkembangan siklus sel

dengan kecenderungan kejadian apoptosis terdapat hubungan yang erat, dan

keduanya merupakan kesatuan proses yang tidak terpisahkan. Hal tersebut

mengandung makna bahwa produk gen terkait tumor yang berfungsi

mengendalikan perkembangan siklus sel melalui mekanisme “check point” pada

fase G1-S, juga terlibat dalam pengendalian perkembangan proses apoptosis.

Mekanisme “check point” siklus sel akan berfungsi sebagai alat pengawas untuk

mendeteksi kerusakan DNA serta jalur transduksi sinyal yang akan meneruskan

dan memperkuat sinyal-sinyal mekanisme replikasi dan segregasi DNA, serta

sinyal aktivitas reparasi seluler. Hilangnya mekanisme pengendalian “check

point” siklus sel dan mekanisme perkaikan DNA, menyebabkan replikasikasi

DNA rusak serta menyebabkan ketidak-stabilan genom.

Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan beberapa peran dari ekspresi

berlebih rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 pada perkembangan sifat borderline

malignancy tumor APP sebagai berikut: ekspresi berlebih rasP-21, C-erbB-2, dan

P-53 akan menyebabkan ketidak-tepatan regulasi perkembangan siklus sel,

88

Page 89: Naskah APP pustaka Final

akibatnya terjadi kekacauan pengaturan sinyal-sinyal inisiator apoptosis, sehingga

perkembangan apoptosis menjadi terhambat dan terjadi perkembangan klon-klon

sel APP neoplastik yang membawa sifat borderline malignancy.

Penghambatan apoptosis terselenggara melalui beberapa tahap mekanisme aksi.

Perkembangan awal sifat borderline malignancy tumor APP APP melibatkan dua

kategori protein terkait tumor yang memiliki fungsi berbeda, yaitu

protein(fosfoprotein) penekan tumor P-53 dan onkoprotein rasP-21. Protein-

penekan-tumor P-53 yang terlibat pada pengobaran sifat borderline malignancy

tumor APP yang diteliti adalah P-53 tipe mutan dan P-53 tipe “wild” yang

terakumulasi secara berlebihan dalam inti dan sitoplasma sel. Peninggian level

protein P-53 tipe “wild” di dalam inti atau sitoplasma sel timbul akibat

modifikasi/perubahan konformasi protein P-53 pascatranslasi yang akan

menyebabkan proses stabilisasi protein, terjadi peningkatan “half life” protein P-

53 tipe “wild” sehingga terakumulasikan secara berlebih. Kehilangan fungsi

normal protein P-53 tipe “wild” dapat terjadi karena penyebab mutasi dan non-

mutasi. Penyebab mutasi terbanyak berupa “missense point mutation”

konformasi domain sentral strutur gen p-53, menyebabkan dihasilkannya protein

P-53 mutan yang tidak memiliki fungsi aktivitas anti-proliferasi karena tidak bisa

mengendalikan progresi siklus sel dan menghambat proses apoptosis. Penyebab

nonmutasi kehilangan fungsi protein P-53 tipe “wild” antara lain adalah karena ia

berikatan dengan protein seluler lainnya (protein E-6 atau MDM2) yang akan

mengubah konformasi struktur protein P-53 tipe “wild” sehingga ia tidak bisa

menempati lokasi “P-53 binding site” pada genom, akibatnya proses aktivasi dan

89

Page 90: Naskah APP pustaka Final

transkripsi gen-gen penghambat pertumbuhan yang seharusnya diinduksi oleh

level protein P-53 tipe “wild” tidak terlaksana; atau terjadi modifikasi dan

stabilisasi pasca translasi protein P-53 yang diikuti oleh

sekuesterisasi/pengeluaran protein P-53 tipe “wild” dari dalam inti ke sitoplasma,

sehingga protein P-53 tipe “wild” tidak bisa melaksanakan fungsi normalnya yaitu

menghambat pertumbuhan. Protein(Fosfoprotein) P-53 mutan dan tipe “wild”

yang tidak berfungsi normal tidak memiliki kemampuan untuk membangkitkan

pembentukan sinyal-sinyal penghenti siklus sel pada fase G1 (“G1 arrest”).

Malahan mereka akan menginduksi pengelakkan dari mekanisme “check point”

saat memasuki siklus sel, serta akan menghambat proses eliminasi kerusakan

DNA pada genom melalui jalur apoptosis (kematian sel fisiologis yang

terprogram). Selain itu mereka juga akan meningkatkan ketidak-stabilan genom

dan mengobarkan amplifikasi gen yang abnormal.

Selain hal-hal di atas, P-53 tipe mutan dan tipe “wild” yang tidak berfungsi

normal kehilangan kemampuan sebagai sensor molekuler mendeteksi kelainan

genetik/ DNA yang terdapat pada genom sel. Seperti telah dibahas bahwa P-53

mutan dan “wild” tidak bisa berikatan dengan “binding site”-nya mereka

90

Ekspresi berlebih P-53 Sumber: arsip pribadi

Page 91: Naskah APP pustaka Final

kehilangan kemampuan mekanisme “check point”. Demikian pula dengan

onkoprotein rasP-21 mutan mengobarkan sifat borderline malignancy tumor APP

melalui mekanisme yang serupa. Onkoprotein rasP-21 mutan memiliki sifat

meneruskan transduksi sinyal-sinyal dari luar sel, terutama sinyal-sinyal

pertumbuhan ekstrasel menuju ke efektornya dalam inti sel. Onkoprotein rasP-21

mutan akan mengobarkan proses tumorigenesis melalui kemampuan yang

dimilikinya meneruskan transduksi sinyal-sinyal pertumbuhan ekstraseluler secara

terus-menerus tanpa henti.

Mekanisme transduksi sinyal pertumbuhan tanpa henti oleh onkoprotein rasP-21

mutan akhirnya akan mengganggu kerja normal dari protein-penekan-tumor P-53

tipe “wild” untuk menghentikan progresi siklus sel. Akibatnya adalah

terhambatnya penyelenggaraan proses apoptosis yang ditujukan untuk

menghilangkan materi genetik abnormal. Tampaknya kelangsungan mekanisme

aksi pengobaran tumo-rigenesis dan sifat borderline malignancy tumor APP oleh

onkoprotein rasP-21 mutan adalah melengkapi aksi P-53 mutan dalam

menghambat proses apoptosis, yaitu memperberat aksi dengan mentransduksi

91

Ekspresi berlebih RasP-21 Sumber: arsip pribadi

Page 92: Naskah APP pustaka Final

sinyal pertumbuhan tanpa henti. Aksi sinergistik protein(fosfoprotein) P-53 tipe

mutan, P-53 tipe “wild” yang tidak berfungsi normal, onkoprotein rasP-21 mutan

dalam menghambat perkembangan proses apoptosis, bertanggung-jawab terhadap

proses awal pengobaran sifat borderline malignancy tumor APP. Karena

mekanisme apoptosis telah terhambat maka dampak langsungnya adalah

peningkatan drastis proliferasi seluler. Selain itu, jika selama perkembangan

pembentukan tumor terjadi keabnormalan genetik pada klon sel-sel APP tertentu,

maka terhambatnya proses apoptosis akan menyelamatkan kerusakan yang

terdapat dalam genom klon sel dan terjadi replikasi cetakan DNA (Templates) sel-

sel APP yang mengandung untaian DNA abnormal.

Perkembangan lanjut sifat borderline malignancy tumor APP melibatkan P-53 tipe

mutan dan melibatkan onkogen C-erbB-2 mutan.

Pada hewan coba teramati jika proto-onkogen c-erbB-2 mengalami mutasi noktah

(“single point muations”) ia berubah menjadi onkogen c-erbB-2 aktif yang

menye-babkan ekspresi berlebih onkoprotein C-erbB-2 mutan. Pada manusia

ekspresi berlebih onkoprotein C-erbB-2 mutan terjadi bukan karena mutasi noktah

92

Ekspresi berlebih protein C-erbB-2

Sumber: arsip pribadi

Page 93: Naskah APP pustaka Final

yang diikuti amplifikasi produk onkoprotein pascatranslasi. Pada tumor payudara

dan tumor APP jinak dan ganas, positifitas pulasan imnohistokimia C-erbB-2

berkorelasi dengan amplifikasi gen penyandi dan jenis mutasinya. Onkoprotein

C-erbB-2 mutan berperan sebagai reseptor faktor pertumbuhan dan memiliki

aktifitas tirosin kinase. Akumulasi dan ekspresi berlebih C-erbB-2 mutan akan

meningkatkan jumlah reseptor sehingga sel mudah tersensitasi oleh faktor

pertumbuhan, bahkan dalam kondisi faktor pertumbuhan ekstraseluler yang

sedikit. Amplifikasi onkoprotein C-erbB-2 mutan mengacaukan regulasi

sinyal-sinyal siklus sel dan menghambat sinyal apoptotik P-53 tipe “wild”

menyebabkan proses apoptosis tidak berjalan. Sebagai reseptor faktor

pertumbuhan, C-erbB-2 mutan memacu perkembangan siklus sel dibantu “ligand”

protein gp30/EGF dan TGF-. Kecepatan pertumbuhan sel tumor yang

meningkat dengan pesat tanpa dikuti kematian sel tumor mengarahkan

perkembangan progresifitas tumor APP kearah borderline malignancy dan

resisten terhadap terapi (kemoterapi dan radioterapi).

Syawqie mengamati korelasi tingkat, sifat, dan pola ekspresi rasP-21, C-erbB-2,

dan P-53 dengan tahapan tumorigenesis APP, dan menemukan fakta berikut:5

Tingkat imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang fokal

menggambarkan keterlibatan awal protein-terkait-tumor dalam tahapan proses

tumorigenesis karena melibatkan positifitas < 20 % populasi sel tumor APP;

sedangkan tingkat imunoekspresi berlebih rasP-21, C-erbB-2, P-53 yang

heterogen dan difus menggambarkan keterlibatan lanjut tahapan proses

93

Page 94: Naskah APP pustaka Final

tumorigenesis APP karena melibatkan > 20 % populasi sel tumor APP yang

mengekspresikannya.

Sifat pulasan rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang granuler berhubungan dengan

keterlibatan awal dalam rangkaian tahapan proses tumorigenesis APP, karena

menggambarkan tahap awal akumulasi kandungan protein terkait tumor; se-

dangkan sifat pulasan rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 yang homogen

berhubungan dengan keterlibatan lanjut dalam rangkaian tahapan proses

tumorigenesis APP karena memperlihatkan banyaknya akumulasi kandungan

protein yang proses akumulasinya berjalan seiring waktu dan mutasi yang

terjadi.

Teramatinya pola-pulasan P-53 pada inti dan sitoplasma sel-sel tumor APP

jinak menggambarkan intensitas keterlibatan P-53, karena ia bekerja ganda

melalui dua kompartemen aksi yang berbeda yaitu inti sel dan sitoplasma.

.

94

Lokalisasi ekspresi berlebih P-53 pada Inti & Sitoplasma sel Tumor APP

Sumber: arsip pribadi

Page 95: Naskah APP pustaka Final

Teramati lokasi pulasan imunohistikimia C-erbB-2 pada apikal sel

berhubungan dengan agresifitas klinis tumor APP seperti tingginya proliferasi,

progresif, lokal ekspansif, metastasis ke KGB regional; yang secara

keseluruhan merupakan bukti keterlibatan lanjut C-erbB-2 dalam

perkembangan sifat borderline malignancy tumor APP.

Ekspresi berlebih rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 teramati pada sub tipe histologi

komponen jaringan tumor APP jinak dengan perilaku biologi heterogen (rekuren

menjadi ganas, lokal invasif, metastasis), sehingga Syawqie menyatakan ekspresi-

berlebih rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 mutan merupakan komponen penting proses

perkembangan sifat bordeline malignancy dalam tumorigenesis tumor APP.5

95

Lokasi Ekspresi-berlebih C-erbB-2 pada apeks (apikal) Sel tumor APP

Sumber: arsip pribadi

Page 96: Naskah APP pustaka Final

96

Ekspresi-berlebih RasP-21 Mutan: >20% populasi sel-sel tumor APP mengekspresi-kan onkoprotein RasP-21 mutan di dalam sitoplasma selnya.

Ekspresi berlebih C-erbB-2 Mutan: >20% populasi sel tumor APP mengekspresikan onkoprotein C-erbB-2 mutan di membran dan sitoplasma sel. Sumber: arsip pribadi.

Ekspresi-berlebih P-53 Mutan dan wild type: >20% populasi sel tumor APP meng-ekspresikan onkoprotein P-53 mutan dan wild type di dalam inti dan beberapa di sitoplasma sel. Sumber:

Page 97: Naskah APP pustaka Final

RANGKUMAN

Adenoma pleomorfik adalah tumor jinak yang umum terjadi pada kelenjar liur,

sering mengenai kelenjar liur mayor parotis wanita dekade umur ke-IV, serta laki-

laki muda dan lanjut usia. Kapsul pembungkus yang membatasi tumor APP (APP)

tampak jelas dan tegas, tetapi terdapat kecenderungan perluasan massa tumor

menonjol ke jaringan kelenjar liur normal disekitar massa tumor. Adakalanya pola

histologi tumor APP sangat seluler, dan massa tumor terlihat sering menembus

kapsul, sehingga tumor jinak ini kadang salah didiagnosis secara histopatologi

sebagai karsinoma.

Semenjak tumor adenoma pleomorfik diperkenalkan pertama kali oleh Billroth

pada tahun 1859 sebagai suatu tumor yang mengandung 4 macam jaringan

berbeda, klinisi dan ahli patologi hingga sekarang kerap dibingungkan oleh

perilaku biologi tumor yang beragam terutama pada tumor-tumor yang mengenai

kelenjar liur mayor parotis (APP). Selain APP sering rekuren setelah dioperasi

(rekurensi multipel), bisa berubah menjadi ganas, juga kadang-kadang mampu

melakukan metastasis lokal ke KGB atau jauh ke organ lain, walaupun gambaran

histologi tumor tampak jinak. Karena keunikan perilaku biologinya tersebut,

terapi bedah APP biasanya berupa bedah radikal, yang menimbulkan dampak

berkurangnya sensasi fasial, menurunnya produksi saliva, gangguan kosmetik,

serta terjadinya sindroma Frey.

Variabilitas manifestasi klinik dan histopatologi APP, menimbulkan permasalahan

sukarnya menentukan klasifikasi tumor serta meramalkan perilaku biologi tumor.

97

Page 98: Naskah APP pustaka Final

Kriteria gambaran keganasan / atipia morfologi histopatologi tidak bisa dipakai

sebagai acuan parameter prediksi potensi keganasan APP yang tampaknya

memiliki sifat “borderline malignancy”. Sehingga untuk menegakkan diagnosis

patologi anatomi yang tepat sebagai dasar untuk pengelolaan klinik yang efektif

dan efisien diperlukan dukungan piranti lain, selain parameter prediksi potensi

keganasan berdasarkan gambaran keganasan / atipia morfologi histopatologi.

Laporan penelitian terakhir mengkorelasikan tumorigenesis APP dengan aktivasi

atau tingkat-ekspresi onkogen myc, ras, c-erbB-2, gen anti-apoptosis bcl-2, atau

dengan gen penekan-tumor p-53. Ekspresi gen-gen terkait-tumor tersebut dalam

bidang kegiatan diagnostik patologi anatomi diperiksa dengan metode

imunohistokimia yang bersifat sensitif, spesifik, cepat pengerjaannya, serta dapat

dilakukan bersamaan dengan prosedur diagnosis PA rutin sehari-hari terhadap

jaringan tumor yang dipendam dalam parafin. Famili onkogen ras penghasil rasP-

21 regulator transduksi sinyal ekstraseluler, diekspresikan secara berlebih pada

tumor APP, namun perannya belum jelas terungkap. Onkogen c-erbB-2 pengkode

reseptor faktor pertumbuhan transmembran famili tirosinkinase dilaporkan

diamplifikasikan dan diekspresikan berlebih pada karsinoma parotis. Gen

penekan-tumor p-53 yang bekerja di dalam inti sel dan mutasi yang mengenainya

bertanggung-jawab terhadap tidak terkendalinya proliferasi sel dan transformasi

ke-ganasan, dilaporkan terlibat pada onkogenesis tumor kelenjar liur, dan ekspresi

onko-proteinnya berperan sebagai indikator agresifitas klinis penderita karsinoma

parotis.

98

Page 99: Naskah APP pustaka Final

Informasi molekuler mengenai tumorigenesis dan agresifitas/keganasan tumor

APP diatas bersifat fragmenter dari sudut telaah imunoekspresi onkoprotein

tertentu dengan peran dan fungsi tumorigenesis berlainan, serta belum

mengungkap kemaknaan ekspresi yang menjadi dasar dari keberagaman perilaku

biologi tumor. Masalah yang belum terjawab adalah apakah ekspresi-berlebih

RasP-21, C-erbB-2, dan P-53 berhubungan dengan perkembangan perilaku

biologis tumor APP yang bersifat “borderline malignancy”, sukar diprediksi sifat

dan potensi keganasannya.

Secara empiris terungkap rangkaian tingkat imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan

P-53 secara keseluruhan merupakan komponen kritis tumorigenesis dan

perkembangan sifat borderline malignancy tumor APP akibat terhambatnya

proses apoptosis penyebab timbulnya keberagaman perilaku biologi tumor.

Timbul dugaan bahwa rasP-21 lebih berperan pada tahap awal perkembangan sifat

borderline maalignancy tumor APP. Tahap lanjut perkembangan borderline

malignancy tumor APP dikobarkan oleh protein rasp-21. Tetapi dengan

mempertimbangkan peran langsung P-53 sebagai inisiator penghambat proses

apoptosis, tampaknya P-53 memiliki peran yang besar dalam tahap awal

pengobaran proses tumorigenesis APP bersama-sama dengan rasP-21.

Tampaknya keberagaman perilaku biologi APP yang tercermin dengan sukarnya

menetapkan sifat keganasan tumor sangat kuat disebabkan oleh tingkat ekspresi

P-53, C-erbB-2, dan rasP-21 yang berlebih pada komponen epitel basal

tubuloduktal, jalinan sel-sel ovoid-basaloid-spindel jaringan kelenjar liur, serta

99

Page 100: Naskah APP pustaka Final

sel-sel epitelial komponen miksokondroid tumor APP jinak, yang masing-masing

merupakan sub-sub-tipe histologi yang kemungkinan memiliki perilaku biologi

yang berbeda. Positifitas P-53 dan C-erbB-2 diperlihatkan oleh komponen-

komponen epitelial, sehingga ekspresi kedua onkoprotein tampaknya berperan

selama evolusi klonal APP yang kemungkinan besar berasal dari sel-sel epitel

tubuloduktal.

Tidak dapat dipergunakannya kriteria gambaran morfologi histopatologi sebagai

indikator peramal keberagaman perilaku biologi tercermin melalui temuan-

temuan histopatologi APP pada penelitian Syawqie. Hampir semua tumor APP

jinak yang diamatinya memperlihatkan gambaran susunan campuran jaringan

epitelial dan mesenkimal dengan proporsi yang bervariasi. Pada beberapa kasus

ditemukan terdapatnya pulau-pulau sel skuamosa yang berdiferensiasi baik,

mengandung rongga kistik berisi keratin, dan tampak dikelilingi oleh jaringan

miksoid. Pada kasus lain teramati adanya struktur sel-sel luminal yang

dikelilingi oleh sel-sel jernih yang mengingatkan kepada gambaran dari

karsinoma epitelial-mioepitelial. Salah satu kasus APP seluler yang tersusun oleh

sel-sel spindel, memperlihatkan susunan inti berbentuk palisade yang dikelilingi

oleh material amorf eosinofilik, sehingga mengingatkan kepada gambaran

Schwannoma. Kebanyakan kasus APP jinak yang diamati memiliki daerah-daerah

miksokondroid yang terdiri dari anyaman pita sel epitelial (kumpulan sel epitelial

berbentuk pita) terletak pada matriks kondroid yang mengandung duktus-duktus

kecil. Banyak pula teramati kasus APP yang mengandung deposit-deposit

material hialin, baik dalam jumlah sedikit di daerah interseluler maupun dalam

100

Page 101: Naskah APP pustaka Final

jumlah yang banyak memenuhi hampir seluruh jaringan tumor berupa massa

fibrotik. Seluruh kasus APP jinak yang ditelaah pada penelitian Syawqie tidak

satupun memperlihatkan terdapatnya tanda-tanda keganasan. Pada kasus APP

yang sangat/hiperseluler tidak memperlihatkan gambaran sitomorfologi abnormal

seperti mitosis yang abnormal. Terdapatnya massa tumor di daerah kapsul (salah

satu kriteria keganasan tumor) teramati pada satu kasus penelitian syawqie,

namun massa tumornya tidak memperlihatkan gambaran atipia sitomorfologi,

intinya tidak membesar, tidak hiperkromatik, dan mitosis abnormal tidak

ditemukan. Sehingga petanda hiperselularitas dan invasi kapsuler bukan

merupakan petanda keganasan APP jinak, karena seperti terungkap pada beberapa

kasus yang diteliti tidak memperlihatkan tanda-tanda gambaran sitomorfologi

yang atipik. Mengingat ekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 kasus APP memiliki

tingkat imunoekspresi negatif sampai difus yang diketahui berkaitan dengan

tumorigenesis dan agresifitas tumor, maka terbukti bahwa kriteria morfologi

histopatologi tidak bisa dipakai untuk meramalkan potensi keganasan tumor APP.

Temuan Syawqie ini memberikan peringatan bahwa kasus APP yang

histopatologi dan kliniknya jinak tetapi dengan tingkat ekspresi rasP-21, C-erbB-

2, dan P-53 berlebih, memiliki potensi yang besar untuk berkembang sifat

“borderline malignancy”-nya.

Dampak positif dari deteksi awal potensi keganasan tumor APP yang terlihat jinak

secara histologi dan klinik adalah pengelolaan terapi tumor menjadi lebih tepat

dengan dampak yang minimal, sehingga dengan tercapainya ketepatan terapi

maka diharapkan prognosis tumor akan menjadi lebih baik.

101

Page 102: Naskah APP pustaka Final

PENUTUP

Tumorigenesis, perkembangan sifat borderline malignancy, dan keberagaman

perilaku biologi tumor adenoma pleomorfik kelenjar liur parotis timbul karena

rangkaian ekspresi berlebih RasP-21, C-erbB-2, dan P-53 menghambat

terselenggaranya proses apoptosis, melalui mekanisme pengacauan regulasi sinyal

siklus sel dan inisiasi apoptosis, sehingga penekanan pertumbuhan neoplastik

tidak berjalan dan timbul keberagaman perilaku biologi tumor.

Tahap awal tumorigenesis perkembangan borderline malignancy, dan

keberagaman perilaku biologis tumor adenoma pleomorfik kelenjar parotis

dikobarkan oleh eks-presi-berlebih RasP-21 dan P-53; sedangkan perkembangan

lanjut tumorigenesis, perkembangan borderline malignancy, dan keberagaman

perilaku biologis tumor dikobarkan oleh P-53 dan C-erbB-2.

Pemeriksaan imunoekspresi berlebih RasP-21, C-erbB-2, dan P-53 andal berperan

sebagai indikator prediksi potensi keganasan tumor adenoma pleomorfik kelenjar

liur parotis yang bersifat “borderline malignancy”, serta dapat meramalkan

peningkatan peluang resiko keganasan tumor adenoma pleomorfik kelenjar liur

parotis yang terjadi seiring peninggian tingkat imunoekspresi RasP-21, C-erbB-2,

dan P-53.

Selayaknya Klinisi dan Ahli Patologi melaksanakan prosedur pemeriksaan

imunohistokimia terhadap ekspresi RasP-21, C-erbB-2, dan P-53 bersamaan

dengan pemeriksaan histopatologi secara rutin untuk kasus-kasus tumor adenoma

pleomorfik kelenjar liur parotis yang dicurigai bersifat “borderline malignancy”,

102

Page 103: Naskah APP pustaka Final

sehingga probabilitas diagnosis klinis dan histopatologis dalam menetapkan

potensi keganasan tumor APP menjadi meningkat.

Menyarankan klinisi menghindari pemakaian kemoterapi dan radioterapi terhadap

kasus tumor adenoma pleomorfik kelenjar liur parotis yang memperlihatkan hasil

pemeriksaan tingkat imunoekspresi P-53, C-erbB-2, dan rasP-21 yang berlebih

(“overexpression”), karena selain tumor tersebut bersifat resisten juga kemoterapi

dan radioterapi akan memperberat alterasi genetik keganasan yang terdapat.

Menggugah minat Klinisi Bedah untuk mengembangkan dan mengevaluasi

kemanjuran suatu teknik operasi tumor adenoma pleomorfik kelenjar liur parotis

konserpatif yang bersifat mampu meminimalkan rekurensi tumor, kerusakan

nervus fasialis, dan insidensi sindroma Frey pasca operasi.

Meneliti lebih jauh korelasi ekspresi berlebih RasP-21, C-erbB-2, dan P-53

dengan mutasi genetik yang mendasarinya memakai teknik genetika mutakhir

dalam rangka menggali konfirmasi dasar telaah molekuler penyebab timbulnya

keberagaman perilaku biologi tumor APP secara lebih valid.

103

Page 104: Naskah APP pustaka Final

DAFTAR PUSTAKA

1. Rosai,J. Ackerman’s Surgical Pathology. Vol.1. 7thed. 1989. The CV Mosby

Co. St. Louis,Toronto,Washington DC. pp.642-7.

2. Ellis GL dan Auclair PL. Atlas of tumor pathology. 3rd series. Fasicles 17:

Tumors of the salivary glands. Armed forces Institute Of Pathology.1996.

Washington D.C. pp.1-57,228-51.

3. Sunardhi-Widyaputra,S. Immunohistochemical studies on pleomorphic

adenoma of the salivary gland. Thesis. 1995. Katholieke Universiteit Leuven.

Belgium.

4. Thackray AC, Lucas RB. Tumors of the major salivary glands. Atlas of tumor

Pathology. 2nd series. Fasicle 10. 1974.Washington D.C.: Armed Forces

Institute of Pathology. Hal125-6.

5. Syawqie A. Kaitan tingkat imunoekspresi rasP-21, C-erbB-2, dan p-53 dengan

patogenesis dan potensi keganasan tumor adenoma pleomorfik kelenjar

parotis. Disertasi. PPS UNPAD.1998. Bandung. Hal:14-62.

6. Martinez-Madrigal F, Micheau C. Histology of the major salivary glands.

Am.J.Surg.Pathol.1989. 13(10):879 – 899.

7. Leong,AS-Y, Robbins P, Spagnolo DV. Relevance and detection system of

tumor genes and their proteins in cytologic and surgical specimens. Jakarta

international cancer conference. 1995.

8. Evan GI, Wyllie AH, Gilbert CS. Induction of apoptosis in fibroblast by c-

myc protein. Cell1992. 69:119-28.

104

Page 105: Naskah APP pustaka Final

9. Sentman CL, Shutter JR, Hockenberry D, Kanagawa O, Korsmeyer SJ. bcl-2

inhibits multiple forms of apoptosis but not negative selection in thymocytes.

Cell.1994. 67: 879-88.

10. Kastan MB, Canman CE, Leonard CJ. P53, cell cycle control and apoptosis:

implication for cancer. Cancer and Metastatic Review. 1995. 14: 3-15.

11. Matsuda H, Konishi N, Hiasa Y. Alterations of p16/CDKN2, p53 and ras

genes in oral squamous cell carcinomas and premalignant lessions.

J.OralPathol.Med.1996. 25: 232 – 8.

12. Okutsu S, Takeda A, Suzuki T. Expression of rasP-21 and ras gene alteration

in pleomorphic adenomas. J.Nihon univ.Sch.Dent.1993. 35: 200-3.

13. Milasin J, Pujic N, Dedovic N. H-ras gene mutations in salivary gland

pleomorphic adenomas. Int.J.OralMaxillofac.1993. 22: 359 - 61.

14. Muller S, Vigneswaran N, Gansler T, Gramlich T, deRose PB, Cohen C. c-

erbB-2 oncoprotein expression and amplification in pelomorphic adenoma and

carcinoma ex-pleomorphic adenoma: a relationship to prognosis. Modern

Pathology.1994. 7(6): 628-31.

15. SuganoS, Mukai K, Tsuda H. Immunohistochemical study of c-erbB-2

oncoprotein expression in human major salivary gland carcinoma: an indicator

of aggresiveness. Laryngoscope.1992. Aug. 102: 923-7.

16. Montenarth M. Biochemical, immunological, and functional aspects of the

growth-suppressor/oncoprotein p53. Crit.Rev.Oncogenesis.1992. 3:233 – 56.

17. Levine AJ, Chang A, Dittmer D. The p-53 tumor supressor gene.

J.Lab.Clin.Med.1994. 123: 817–23.

105

Page 106: Naskah APP pustaka Final

18. Robbins P. p-53 and breast cancer. Int.J.Surg.Pathol.1996. 4(2): 93-110.

19. Gallo O, Franchi A, Bianchi S, Boddi V, Giannelli E, Alajmo E. p53

oncoprotein expression in parotid gland carcinoma is associated with clinical

outcome. Cancer.75. 1995: 2037-44.

20. Zambetti GP, Bargonetti J, Walker K, Prives C, Levine AJ. Wildtype p-53

mediates positive regulation of gene expression through a spesific DNA

sequence element. Genes.Dev.1992. 6:1143–52.

21. Cummings MC, Winterford CM, Walker NI. Apoptosis.

Am.J.Surg.Pathol.1997. 2(1):88-101.

22. Majno G, Joris I. Apoptosis, oncosis, and necrosis. An overview of cell death.

Am.J.Pathol.1995. 146(1):3–15.

106

Page 107: Naskah APP pustaka Final

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama Lengkap : Prof. Dr. Achmad S.Y. Mukawi, Drg., M.S.

Tempat dan Tanggal Lahir : Bandung, 7 Desember 1959.

Alamat Tempat Tinggal : Jln. Cigadung Asri Raya No. 2, Komplek UNPAD Cigadung Asri, Rancakendal, Cigadung Raya Barat, Bandung-40132.

Jenis Kelamin : Pria.

Agama : Islam.Isteri : Mira Miradewi, Drg.Anak :

1. Mirsya Muhammad Rizky (21 tahun).2. Mirsya Muhammad Ibrahim (16 tahun).3. Zahra Cintana (14 tahun).

Riwayat Pendidikan :

1. Doktor dalam Ilmu Kedokteran (Program Pascasarjana UNPAD – Kobe University, 1998).2. Magister Sain Ilmu Kedokteran Dasar, BKU Patobiologi (Prog.Pascasarjana UNPAD,

1992). 3. Ijazah Dokter Gigi (Fakultas Kedokteran Gigi UNPAD, 1986).4. Ijazah Sarjana Kedokteran Gigi (Fakultas Kedokteran Gigi UNPAD, 1984).

Pendidikan Tambahan :

1. Sertifikat, Kursus Polymerase Chain Reaction (Lab. Bioteknologi R.S. Rajawali, Bandung 1995).

2. Sertifikat, Kursus Komputasi Statistika Deskriptif (Unit Penelitian F.K. UNPAD, Bandung 1992).

3. Sertifikat, Kursus Singkat Genetic Engineering (PAU Bioteknologi ITB, Bandung 1989).4. Sertifikat, Pelatihan Microtome and Tissue Processor (World Bank – DEPKES, Bandung,

1989).5. Sertifikat, Kursus Mikrofotografi Medik (Bagian P.A. F.K. UNPAD, Bandung, 1989). 6. Sertifikat, Kursus Singkat Tissue Culture (PAU Bioteknologi UGM, Yogyakarta,1988).

Riwayat Pekerjaan :

A. Riwayat Kepangkatan :1. Guru Besar, Pembina Utama, IV/e, dalam proses pengusulan di UNPAD sejak April

2010.2. Guru Besar, Pembina Utama Madya, IV/d, Keputusan Presiden No 83/K 2007, 11 Juni

2007.3. GuruBesar, Pembina Utama Muda, IV/c, Keputusan Pres.No.119/K2005, 5 September

2005. 4. Guru Besar, Pembina Tk.I, IV/b, SK Mendiknas No.36645/A2.7/KP/ 2004, 1 Oktober

2004.

107

Page 108: Naskah APP pustaka Final

5. Lektor Kepala, Pembina Tk.I, IV/b, SK Mendiknas No: 26513/A2.7/KP/20003, 1 April 2003.

6. Lektor Kepala, Pembina, IV/a, SK Mendiknas No : 70628/ A2.III1/KP/ 2001, 1 Januari 2001.

7. Lektor Kepala Madya, Penata Tk.I, III/d, SK Mendiknas No: 70627/A2.III.1/KP/2001, 1 Agst 97.

8. Lektor Muda, Penata, III/c, SK Mendikbud No: 225/J06/ Kep/KP/97, 1 Juni 1994.9. Asisten Ahli, Penata Muda Tk.I, III/b, SK Mendikbud No: 736/ PT 06.H15/ C / 92, 1

Okt.1991.10. Asisten Ahli Madya, Penata Muda, III/a, SK Mendikbud No: 784/PT06.H/C/89, 1

Des.1989.

B. Riwayat Jabatan :1. Ketua, Ikatan Spesialis Patologi Mulut dan Maksilofasial Indonesia, 2008 – sekarang.2. Reviewer, Indian Journal of Maxillofacial & Oral surgery, India, 2007 – 2010.3. PLH Ketua, Yayasan Bina Dharma Padjadjaran – UNPAD. 2006 .4. Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi, Bagian Patologi Anatomi FKUP/R.S.

Perjan dr.Hasan Sadikin dan Bagian Biologi Oral FKGUP/R.S. Gigi&Mulut, sejak 2004.

5. Pembantu Dekan III, Bidang Kemahasiswaan, FKG UNPAD, 1 April 2003 – 1 Mei 2007.

6. Pembantu Dekan III, Bidang Kemahasiswaan, FKG UNPAD, 1997 – 2003.

7. Bendahara, UPT Layanan Informasi dan Pengembangan Teknologi UNPAD, 2003 – 2005.8. Kepala Instalasi, Laboratorium Klinik, Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM), FKG UNPAD, 2003–

2006.9. Ka.Div. Tri-Dharma Perguruan Tinggi, Perkumpulan Bina Dharma Padjadjaran UNPAD, 2002- 2005.10. Liason Officer, Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL), 2001 –

2004.11. Koordinator S2, Ilmu Kedokteran Dasar / BKU Patobiologi, Bag. P.A. F.K. UNPAD, 2000 – 2006.12. Kepala Laboratorium Ekotoksikologi, PPSDAL UNPAD, 1998 –

2001.13. Ka.Bid. Penunjang Medis, UPT Pelayanan Kesehatan UNPAD,1997-

2000.14. Kepala Bidang Pengadaan, Rumah Sakit ASSADYRA-UNPAD, 1997-

1998.

C. Keanggotaan dalam Organisasi :1. Organisasi Sosial Kemasyarakatan : Korps Pegawai Republik Indonesia.2. Organisasi Profesi :

(1) Persatuan Dokter Gigi Indonersia (PDGI).

(2) Ikatan Akhli Patologi Indonesia (IAPI).

(3) Asian Association of Oral and Maxillofacial Surgeons / AOMS.

(4) Ikatan Spesialis Patologi Mulut dan Maksilofasial Indonesia (ISPaMMI).

D. Pengalaman dalam Organisasi :1. Ketua Umum Ikatan Spesialis Patologi Mulut dan Maksilofasial Indonesia, 2008 –

sekarang.

108

Page 109: Naskah APP pustaka Final

2. Koordinator Pengabdian Pada Masyarakat IKA UNPAD, 2001-2003.3. Ketua I, Persatuan Dokter Gigi Indonesia Cabang Bandung, 1999-2001.4. Koordinator-Sektor, UMPTN 1997/1998 s/d 2001/2002, Rayon A Lokal

Bandung.5. Tim Satgas Pembebasan Aset UNPAD di Kota Bandung yang di ruislag.

Piagam Penghargaan :

1. Satya Karya Bhakti Kelas 2 Universitas Padjadjaran/UNPAD (2004).2. Pengabdian kepada Universitas Padjadjaran sebagai PD III (2003).3. Dosen Teladan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1998).4. Dosen Teladan Universitas Padjadjaran (1998).5. Karya Ilmiah Terbaik Universitas Padjadjaran (1998).6. Finalis Nasional “Peneliti Muda Indonesia” (Menristek–LIPI–TVRI, 1993).

Kegiatan Lain-Lain :

Mengikuti seminar, kongres, simposium, dan lokakarya pada forum nasional, regional, dan internasional sejak 1988 – sekarang.

Mata Kuliah dan Praktikum yang diampu :

1. Pada starata pendidikan Sarjana : (1) Patologi Umum; (2) Patologi Mulut dan Maksilofasial; (3) Biologi Oral; (4) Dental Science Program IV.

2. Pada strata pendidikan Magister dan Spesialis : (1) Patologi Umum; (2) Sitopato-logi dan Imunopatologi Dasar; (3) Sitopatologi dan Imunopatologi Terapan; (4) Sistem Imun Jaringan Periodontal; (5) Kesehatan Lingkungan dan Keselamatan Kerja; serta (6) Rehabilitasi kelainan kongenital dan cacat bawaan.

3. Pada strata pendidikan Doktor : (1) Dasar-dasar Patobiologi Molekuler; (2) Patobiologi untuk Kedokteran Gigi; (3) Imunohistokimia Kedokteran Gigi.

Jumlah Publikasi Karya Ilmiah dan Buku :

20 Makalah laporan Penelitian dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Nasional 1 Makalah Laporan Penelitian dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Internasional 2 Buku Ajar : Diktat Patologi Umum dan Patologi Mulut. 2 Buku Penuntun Praktikum : “Penuntun Praktikum Patologi Umum” dan “Labb

Skill for General Pathology”. 1 Buku Ilmiah (program Pasca Sarjana UNPAD), dan 1 Buku teks Adenoma Pleomorfik untuk rencana diterbitkan tahun 2011.

Jumlah Karya Ilmiah yang tidak dipublikasikan :

37 makalah Tinjauan Pustaka dan 2 makalah Laporan Penelitian.

109

Page 110: Naskah APP pustaka Final

Daftar Karya Ilmiah yang dipublikasikan pada Jurnal Nasional dan Internasional :

1. Kultur Jaringan (Tissue culture) : Jurnal Kedokteran Gigi Persatuan Dokter Gigi Indonesia

(PDGI), Nomor 56, Halaman 50 - 5, Jakarta, Desember, 1989.

2. Isolasi dan purifikasi DNA sel bakteri pada rekayasa genetika, Jurnal Kedokteran Gigi

Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Padjadjaran (UNPAD), Vol.II, Nomor 2,

Halaman 34 - 6, Bandung, Desember 1990.

3. Prosedur fusi sel guna pembuatan antibodi monoklonal, Jurnal Kedokteran Gigi, Persatuan

Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Nomor 3, Tahun ke-III, Halaman 22-6, Jakarta, Desember

1990.

4. Penelitian pendahuluan terhadap pertumbuhan kultur jaringan eksplan usus embrio ayam

umur 10 hari, Jurnal Kedokteran Gigi, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Nomor 2,

Tahun 41, Halaman 17 - 9, Jakarta, Agustus 1992.

5. Reaksi imunologis dalam tindakan dokter gigi, Jurnal Kedokteran Gigi, Persatuan Dokter

Gigi Indonesia (PDGI), No.3 Thn 41, Hal. 32-5, Jakarta, Desember 1992.

6. Efek stimulasi vitamin A terhadap pertumbuhan eksplan jaringan kulit embrio ayam yang

dikultur invitro, Jurnal Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) UNPAD,Vol. V,

Nomor 1, Halaman 27 - 37, Bandung, November 1993.

7. Pertumbuhan tunas kultur eksplan jaringan kulit embrio ayam umur 10 hari yang dikultur

pada bekuan medium kultur alami mengandung vitamin A, Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI), Jakarta, Januari 1994.

8. Onkogenesis virus-virus onkogenik pada hewan dan manusia, Jurnal Kedokteran Gigi,

Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Nomor 2, Tahun ke-43, Halaman 36 - 9, Jakarta,

Agustus 1994.

9. Studi kemaknaan ekspresi imunohistokimia P-53 dan C-erbB-2 yang berlebih sebagai

indikator keganasan tumor adenoma pleomorfik kelenjar liur mayor parotis, Jurnal Ilmiah

Universitas Padjadjaran, Vol.10, No.2, 1998.

10. Penghambatan proses apoptosis sebagai komponen kritis tumorigenesis penyakit keganasan,

Jurnal Universitas Padjadjaran, Vol.16, No.4, 1999.

11. Imunoekspresi p53 sbg penentu gradasi astrositoma, Majalah Kedokteran Bandung (MKB),

Vol.31, No.1, hal:1-13, Bandung, 1999.

110

Page 111: Naskah APP pustaka Final

12. Kajian Imunohistokimia Ekspresi Berlebih P-53 pada Agresivitas Klinik Tumor Adenoma

Pleomorfik Parotis, Jurnal Kedokteran Gigi, FKG UNPAD, Vol. 15, No. 1, hal 145-150,

Januari 2003.

13. Metoda Pulasan Imunohistokimia Sebagai Pemeriksaan Penunjang Diagnosis

Histopatologis, Majalah Persatuan Ahli Bedah Mulut Indonesia, No. 2, Tahun VII, hal 79-

87, Juni 2003.

14. Perkembangan Sifat Borderline Malignancy Tumor Adenoma Pleomorfik Parotis oleh

Ekspresi Berlebih rasP-21, c-erbB-2 dan P-53, Jurnal Kedokteran Gigi, FKG UNPAD, Vol.

15, No. 3, hal 261-4, Juli 2003.

15. Penyimpangan Pola Pulasan Imunohistokimia C-erbB-2 dan P-53 sebagai Petanda

Proliferasi dan Transformasi Keganasan Tumor Adenoma Pleomorfik Parotis, Jurnal

Kedokteran Gigi, FKG UNPAD, Vol. 15, No. 4, hal 290-3, Oktober 2003.

16. ras P-21, c-erbB-2 and P-53 Imunoractivity as a malignancy predictor of the pleomorphic

parotid gland adenoma’s., Jurnal Kedokteran Gigi, FKG UI, Vol.10, / Edisi khusus/ I/ 2003 :

8-11, hal 272-8, Oktober 2003.

17. Expression of ras P-21, c-erbB-2 and P-53 and implication on biological beha-viour of

parotid pleomorphic adenoma, Asian Journal of Oral and Maxillofacial Surgery

(AJOMS),Vol. 15, No. 4, pp.261-7, Scientific Publication International, Hongkong-United

Kingdom, Desember 2003.

18. Peran apoptosis dalam perkembangan keganasan tumor adenoma pleomorfik parotis,

Majalah Kedokteran Bandung, 2004.

19. Aspek patologi dari protesa biomaterial kedokteran gigi, Jurnal Kedokteran Gigi FKG

UNPAD, Vol 18, Edisi khusus Juni 2006, Jurnal Nasional Terakreditasi Dirjen Dikti.

20. Penurunan imunoekspresi p63 pada mioepitel DCIS payudara sbg prediktor infiltrasi tumor,

Majalah Kedokteran Bandung/MKB Fakultas Kedokteran UNPAD, Vol.XLI,No.1, 2009,

Jurnal Nas.Terakreditasi Dirj.DIKTI.

21. Ekspresi reseptor estrogen pada adenoma pleomorfik parotis. Majalah kedokteran

Bandung/FK-UNPAD. Des.-2010. Dalam proses penerbitan. Jurnas terakreditasi.

22. Pengaruh ekspresi onkoprotein rasP-21, C-erbB-2, dan P-53 pada perubahan perilaku biologi

tumor adenoma pleomorfik parotis. Majalah kedokteran Bandung/FK-UNPAD. Maret

2011. Dalam proses penerbitan. Jurnas terakreditasi.

111

Page 112: Naskah APP pustaka Final

Daftar Karya Ilmiah tidak dipublikasikan dan disimpan di Perpustakaan FKG UNPAD :

1. Pulasan Khusus / Special Staining (1991).

2. Onkogenesis oleh virus-virus onkogenik (1991).

3. Proses terjadinya penyakit (1991).

4. Gangguan fungsi sirkulasi darah dan cairan tubuh (1991).

5. Gambaran histopatologi beberapa tumor ganas rongga-mulut (1992).

6. Heterogenitas sel pada neoplasma ganas (1992).

7. Mekanisme terjadinya penyakit otoimun (1993).

8. Aspek sitologi pada biopsi aspirasi kelenjar getah bening (1993).

9. Gambaran sitologi radang vagina dan serviks (1993).

10. Pembuatan sediaan dengan teknik potong-beku (1993).

11. Aspek histologi kelenjar liur parotis (1994).

12. Proses inflamasi dan pemulihannya (1994).

13. Makromolekul dalam genetika molekuler (1994).

14. Genetika mikrobiologi (1995).

15. Rekayasa-genetika dan bioteknologi (1995).

16. Gen-gen tumor dan produk proteinnya (1995).

17. Aspek klinik, organisasi, dan dampak ekonomi dari infeksi nosokomial (1995).

18. Metode deteksi gen-gen tumor dan protein-tumor di dalam sel dan jaringan

(1995).

19. Infeksi bakteri melalui tanah (1996).

20. Penyakit infeksi saluran pernafasan oleh bakteri (1998).

21. Infeksi bakteri endogenik (1998).

22. Virus-virus neurotropik penyerang sistem saraf (1998).

23. Sindroma klinik infeksi virus-virus viserotropik (1998).

24. Infeksi saluran pernafasan oleh virus-virus pneumotropik (1998).

25. Penyakit infeksi bakteri yang diperentarai melalui makanan dan minuman (1998).

26. Infeksi bakteri melalui vektor dan tindakan medis (1998).

27. Bakteri-bakteri penyebab infeksi-kontak (1998).

28. Histokimia : metode diagnosis-terapan ilmu patologi anatomi (1998).

29. Infeksi virus seksual dan virus tumorigenik (1999).

30. Tinjauan telaah penyakit-penyakit pada lingkup patologi lingkungan di Indonesia

(2003).

112

Page 113: Naskah APP pustaka Final

31. Laporan Penelitian : Dampak Mangan terhadap kesehatan neurologis (2004).

32. Orasi Ilmiah GB : Kajian Patobiologi Terhadap ‘Gen Pengobar Tumor' Guna

Pengembangan Ilmu Patologi Anatomi, Serta Perannya Pada Penanganan

Kanker. (2005).

33. Pengaruh Konsentrasi Mangan Dalam Darah Dan Udara Terha dap Status

Kesehatan Neurologis. (2005)

34. Penyakit Akibat Kemajuan Peradaban Manusia. (2005)

35. Ekspresi Reseptor-Estrogen Pada Sel-Sel Tumor Adenoma Pleomorfik Parotis.

(2006)

36. Dampak Kesehatan dari Bahan Kimia.(2006)

37. Dampak Lingkungan Dari Bahan Kimia. (2007)

38. Regulasi Paparan Bahan Kimia. (2008)

39. Pemadaman Api dan Pengendalian Kecelakaan oleh Bahan Kimia. (2009).

Bandung, 2 Pebruari 2011

Prof.Dr.Achmad SY.Mukawi,Drg.,MS.

NIP. 19591207 198810 1 001.

113

Page 114: Naskah APP pustaka Final

114