37
NERVUS I DAN KELAINANNYA A.PENDAHULUAN Saraf otak (nervus cranialis) adalah saraf perifer yang berpangkal pada batang otak dan otak. Fungsinya sebagai sensorik, motorik dan khusus. Fungsi khusus adalah fungsi yang bersifat panca indera, seperti penghidu, penglihatan, pengecapan, pendengaran dan keseimbangan. Saraf otak terdiri atas 12 pasang, saraf otak pertama langsung berhubungan dengan otak tanpa melalui batang otak, saraf otak kedua sampai keduabelas semuanya berasal dari batang otak. Saraf otak kedua dan ketiga berpangkal di mesensefalon, saraf otak keempat, lima, enam dan tujuh berinduk di pons, dan saraf otak kedelapan sampai keduabelas berasal dari medulla oblongata. (1) Dari sudut pandang evolusi, penciuman merupakan indera yang paling primitive dan paling penting dibandingkan dengan indera lainnya. Alat indera penciuman ini mempunyai kedudukan utama di kepala, yang sesuai sebagai indera yang dimaksudkan untuk menuntun perilaku. Penciuman mempunyai jalur yang lebih langsung ke otak daripada indera-indera lain. Reseptor pada badian atas hidung, dalam olfactory ephitelium setiap rongga hidung dihubungkan langsung tanpa sinapsis ke umbi-umbi olfactory otak, yang terletak di bawah lipatan frontal (frontal lobes). Gangguan penciuman bisa sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau 1

Nervus i Dan Kelainannya

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat bedah

Citation preview

Page 1: Nervus i Dan Kelainannya

NERVUS I DAN KELAINANNYA

A. PENDAHULUAN

Saraf otak (nervus cranialis) adalah saraf perifer yang berpangkal pada batang otak dan

otak. Fungsinya sebagai sensorik, motorik dan khusus. Fungsi khusus adalah fungsi yang bersifat

panca indera, seperti penghidu, penglihatan, pengecapan, pendengaran dan keseimbangan. Saraf

otak terdiri atas 12 pasang, saraf otak pertama langsung berhubungan dengan otak tanpa melalui

batang otak, saraf otak kedua sampai keduabelas semuanya berasal dari batang otak. Saraf otak

kedua dan ketiga berpangkal di mesensefalon, saraf otak keempat, lima, enam dan tujuh berinduk

di pons, dan saraf otak kedelapan sampai keduabelas berasal dari medulla oblongata. (1)

Dari sudut pandang evolusi, penciuman merupakan indera yang paling

primitive dan paling penting dibandingkan dengan indera lainnya. Alat indera

penciuman ini mempunyai kedudukan utama di kepala, yang sesuai sebagai

indera yang dimaksudkan untuk menuntun perilaku. Penciuman mempunyai

jalur yang lebih langsung ke otak daripada indera-indera lain. Reseptor pada

badian atas hidung, dalam olfactory ephitelium setiap rongga hidung

dihubungkan langsung tanpa sinapsis ke umbi-umbi olfactory otak, yang

terletak di bawah lipatan frontal (frontal lobes). Gangguan penciuman bisa

sekunder akibat proses perjalanan penyakit atau bisa juga sebagai keluhan

primer .Daya menghidu yang hilang atau berkurang terjadi pada kira-kira 1%

dari mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan lebih dari 50 % pada

mereka yang berusia lebih dari 60 tahun.(2)

B.ANATOMI

Sistem pembauan manusia dimulai dari reseptor olfaktorius yang terdiri dari mukosa

olfactorius, fila olfaktori, bulbus olfaktorius, traktus olfaktorius, korteks (paleokorteks) unkus

lobus temporalis, dan area subkalosal3.

Mukosa olfaktorius terletak pada atap masing-masing kavitas nasal dan meluas sampai

konkha nasalais superior serta septum nasi. Pada mukosa ini dijumpai epitel olfaktorius, jaringan

1

Page 2: Nervus i Dan Kelainannya

ikat, pembuluh darah, dan kelenjar Bowman.yang memproduksi cairam mucus yang disebut

mucus olfaktorius (berfungsi sebagai pelarut aroma pembauan). Epitel olfaktorius terdiri dari tiga

tipe sel yaitu :

1. Sel olfaktorius

2. Sel penunjang/sel sustentakular

3. Sel basal

Sel olfaktorius adalah neuron-neuron bipolar yang nantinya akan membentuk saraf olfaktorius.

Sel penunjang sebagai penunjang fisik dan metabolic dari sel olfaktorius. Sel basal merupakan

sel punca (stem cell) yang dapat berdiferensiasi sebagai sel olfaktorius atau sel penunjang3.

Prosessus perifer neuron bipolar akan bergabung menjadi suatu fasikulus tak bermielin

yang disebut fila olfaktoria. Pada tiap sisi terdapat sekitar 25 fila yang selanjutnya akan

menembus foramen lamina fibrosa os ethmoid dan bergabung ke dalam bulbus olfaktorius.

Bulbus olfaktorius merupakan tonjolan otak (telesenfalon) yang terdiri dari lima lapisan yaitu :

1. Lapisan glomerular

2. Lapisan pleksiform eksternal

3. Lapisan sel mitral

4. Lapisan pleksiform internal

5. Lapisan sel granuler

Bulbus olfaktorius mengandung sinaps rumit dari sel mitral, sel tufted, dan sel granuler3.

Neuron pertama sistem olfaktorius adalah sel bipolar. Sel mitral dan sel tufted merupakan

neuron kedua sistem olfaktorius. Akson neuron-neuron ini bergabung membentuk traktur

olfaktorius 9masing-masing terletak di sulkus olfaktorius pada permukaan inferior). Traktur

olfaktorius akan pecah menjadi tiga jalur yaitu :

1. Stria lateralis

2. Stria intermediate

3. Stria medialis

Serabut striae lateralis berjalan di atas limen insula menuju garis semilunaris dan ambiens (area

pre-piriformis), serta berakhir di amygdale. Disinilah awal neuron ketiga sistem olfaktorius yang

berikutny akan meluas sampai girus parahipokampus (area Broadmann 28/ entorhinal area), yang

merupakan region proyeksi kortikal primer dan pusat asosiasi sistem olfaktorius. Serabut stria

medialis berlanjut ke area di bawah korpus kallosum (area subkalosal) dan area septal. Disini

2

Page 3: Nervus i Dan Kelainannya

sistem olfaktorius dihubungkan dengan sistem limbik. Striae intermediate berlokasi di bawah

trigonum olfaktorius. Sejumlah serabut diproyeksikan ke area ini dan nampaknya tidak terlalu

penting/ berarti pada manusia3.

Gambar 1. Skema Nervus I3

3

Page 4: Nervus i Dan Kelainannya

Gambar 2. Nervus olfaktorius di nasal cavity4

4

Page 5: Nervus i Dan Kelainannya

Gambar 3. Anatomi Nervus Olfaktorius

5

Page 6: Nervus i Dan Kelainannya

B.FISIOLOGI PENCIUMAN

Sel-sel reseptor untuk sensasi penghidu adalah sel olfaktorius yang pada dasarnya

merupakan sel saraf bipolar yang berasal dari sistem saraf itu sendiri. Bagian sel olfaktorius yang

member respons terhadap rangsangan kimia olfaktorius adalah silia olfaktorius. Substansi yang

berbau yang tercium saat kontak dengan permukaan membrane olfaktorius mula-mula menyebar

secara difus ke dalam mucus yang menutupi silia. Selanjutnya, akan berikatan dengan protein

reseptor di membrane setiap silium. Setiap protein resptor sebenarnya merupakan molekul

panjang yang menyusupkan diri melalui membrane, yang melipat kea rah dalam dan ke arah luar

kira-kira sebanyak tujuh kali. Bau tersebut berikatan dengan bagian protein reseptor yang

melipat ke arah luar. Namun demikian, bagian dalam protein yang melipat akan saling

berpasangan untuk membentuk yang disebut protein G, yang merupakan kombinasi dari tiga

subunit. Pada perangsangan protein reseptor, subunit alfa akan memecahkan diri dari protein-G

dan segera mengaktifasi adenila siklase, yang melekat pada sisi dalam membrane siliar di dekat

badan sel reseptor. Siklase yang teraktifasi kemudian mengubah banyak molekul adenosine

trifosfat intrasel menjadi adenosis monofosfat siklik (cAMP). Akhirnya, cAMP ini mengaktifasi

protein membrane lain di dekatnya, yaitu gerbang kanal ion natrium, yang akan membuka

“gerbangnya”, dan memungkinkan sejumlah besar ion natrium mengalir melewati membrane ke

reseptor di dalam sitoplasma sel. Ion natrium akan meningkatkan potensial listrik dengan arah

positif di sisi dalam membrane sel, sehingga merangsang neuron olfaktorius dan menjalarkan

potensial aksi ke dalam sistem saraf pusat melalui nervus olfaktorius. Untuk merangsang sel-sel

olfaktorius, selain mekanisme kimiawi dasar masih terdapat beberapa factor fisik yang

mepengaruhi derajat perangsangan. Pertama, hanya substansi yang dapat menguap yang dapat

tercium baunya yaitu dapat terhirup ke dalam nostril-nostril. Kedua, substansi yang merangsang

tersebut paling sedikit harus bersifat larut dalam air, sehingga bau tersebut dapat melewati mucus

untuk mencapai silia olfaktorius. Ketiga, silia ini akan sangat membantu bagi bau yang paling

sedikit larut dalam lemak, diduga karena konstituen lipid pada silium itu sendiri merupakan

penghalang yang lemah terhadap bau yang tidak larut dalam lemak5.

Serabut saraf yang kembali dari bulbus disebut nervus kranialis I atau traktus olfaktorius.

Namun demikian, pada kenyataannya kedua traktus dan bulbus merupakan pertumbuhan

jaringan otak dari dasar otak ke arah anterior ; pembesaran yang berbentuk bulat pada ujungnya

disebut bulbus olfaktorius, terletak pada lempeng kribiformis yang memisahkan rongga otak dari

6

Page 7: Nervus i Dan Kelainannya

bagian atas rongga hidung. Lamina kribiformis memiliki banyak lubang kecil yang merupakan

tempat masuknya saraf-saraf kecil dalam jumlah yang sesuai berjalan naik dari membrane

olfaktorius di rongga hidung memasuki bulbus olfaktorius di rongga cranial. Terdapat hubungan

yang erat antara sel-sel olfaktorius di membrane olfaktorius dengan bulbus olfaktorius yang

memperlihatkan bahwa akson-akson pendek dari sel olfaktorius akan berakhir di struktur

globular yang multiple di dalam bulbus olfaktorius yang disebut glomeruli. Setiap glomeruli

merupakan ujung untuk dendrite yang berasal dari sekitar 25 sel-sel mitral yang besar dan sekitar

60 sel-sel berumbai yang lebih kecil, dengan badan sel yang terletak di bulbus olfaktorius pada

bagian superior glomeruli. Dendrite ini menerima sinaps dari sel saraf olfaktorius, sel mitral, dan

sel berumbai yang mengirimkan akson-akson melalui traktur olfaktorius untuk menjalarkan

sinyal-sinyal olfaktorius untuk menjalarkan sinyal-sinyal olfaktorius ke tingkat lebih tinggi di

sitem saraf pusat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa glomeruli yang berbeda akan

memberikan respon bau yang berbeda pula. Kemungkinan bahwa glomeruli tertentu merupakan

petunjuk sebenarnya untuk menganalisis berbagai sinyal bau yang dijalarkan ke dalam sistem

saraf pusat5.

Traktus olfaktorius memasuki otak pada sambungan anterior antara mesensefalon dan

serebrum ; disini traktus akan terbagi menjadi dua jaras, satu berjalan medial menuju area

olfaktori medial, dan yang lain berjalan lateral menuju area olfaktorius lateral. Area olfaktorius

medial mewakili sistem olfaktorius yang paling tua sedangkan area olfaktorius lateral merupakan

input untuk sistem olfaktorius yang tuda dan sistem olfaktorius yang paling baru. Sistem

olfaktorius paling tua/ medial terdiri dari sekelompok nuclei yang terletak di bagian tengah basal

otak tepat di anterior hipotalamus. Sebagian besar bentuk yang mencolok ini adlaha nuklei

septum yang merupakan nuclei di garis tengah yang masuk ke dalam hipotalamus dan bagian

primitive lainnya dalam sistem limbic otak. Sistem ini mencetuskan reflex olfaktorius paling

dasar. Sistem olfaktorius kurang tua/lateral terutama dari korteks piriformis dan korteks

prepiriformis ditambah bagian kortikal niklei amygdaloid. Dari daerah ini, jaras sinyal berjalan

hampir ke semua bagian sistem limbic seperti hipokampups yang tampaknya menjadi hal penting

dalam prose belajar untuk menyukasi atau tidak menyukai makanan tertentu yang bergantung

pada pengalaman seseorang terhadap makanan sehingga sistem ini yang memberikan

pengaturan otomatis tetapi sebagian berasal dari pengendalian mengenai asupan makanan dan

penolakan makanan yang tidak sehat dan beracun. Gambaran penting area olfaktorius lateral

7

Page 8: Nervus i Dan Kelainannya

adalah bahwa sebagian besar jaras sinyal dari area ini langsung masuk ke bagian korteks serebri

yang lebih tua yang disebut paleokorteks dalam bagian anteromedial lobus temporalis. Ini adalah

satu-satunya area dari seluruh korteks serebri yang merupakan tempat sinyal sensorik berjalan

langsung ke korteks tanpa terlebih dahulu melewati thalamus. Sistem yang lebih baru berjalan

melalui thalamus melewati dorsomedial nucleus talamik kemudian ke kuadran lateroposterior

korteks orbitofrontalis. Sitem yang lebih baru yang sebanding dengan sebagian besar sistem

sensorik kortikan lainnya dan digunakan untuk persepsi dan analisis olfaksi secara sadar5. Sistem

olfaktorius memiliki hubungan dengan sistem limbic seperti yang telah dijelaskan di atas. Hal ini

dapat terlihat bahwa penciuman dapat terekam dan memicu suatu respon emosional6.

8

Page 9: Nervus i Dan Kelainannya

Gambar 4. Fisiologi sistem olfaktorius7

C. ETIOLOGI

Disfungsi olfaktorius dapat dikelompokkan dalam tiga kelas yaitu8 :

Gangguan konduktif atau transport

Gangguan sensorineural akibat kerusakan neuroepitel

Gangguan pada central olfaktorius dikarenakan kerusakan sistem saraf pusat

Terdapat beberapa penyebab dari gangguan olfaktorius yaitu :

1. Gangguan Nasal atau Sinus

Gangguan pada cavum nasal digolongkan dalam gangguan konduksi dan sensorineural.

Pada gangguan konduksi, bau tidak dapat kontak dengan epitel olfaktorius sedangkan

gangguan sensorineural bau dapat melakukan kontak dengan epitel olfaktorius namun

tidak mampu mampu diproses untuk menghasilkan impuls yang akan diteruskan ke

sistem yang lebih tinggi. Contoh nya : poliposis intranasal, sinusitis kronik, dan rhinitis

alergi8.

2. Trauma kepala/ post trauma

Pada umumnya, trauma pada lobus frontal dan lobus oksipital dapat menyebabkan

gangguan penciuman. Gangguan olfaktorius sebanding dengan luas serta tingkat

keparahan trauma8.Heywood et al (1990) mencocokkan GCS pasien dengan skore tes

olfaktorius dan menemukan adanya korelasi antara tingkat keparahan dari trauma capitis

dengan disfungsi olfaktorius. Pada cedera ringan (GCS 13-15), 13% pasien mengalami

anosmia total dan 27% menunjukkan perbaikan. Pada cedera sedang, (GCS 9-12), 11%

pasien mengalami anosmia dan 67% mengalami perbaikan. Pada cedera berat, 25%

pasien mengalami anosmia dan 67% mengalami perbaikan. Disfungsi olfaktorius pada

post trauma disebabkan oleh beberapa mekanisme yaitu : (1) perubahan dari traktus

sinonasal (2) robekan dari filament nervus olfaktorius (3) kontusio cerebri dan

hemoragik pada region olfaktorius. Pada trauma kepala, pasien biasanya mengalami

hematom, edema, dan avulse pada olfactory cleft oleh karena trauma pada neuroepitel

olfaktorius. Selain itu didapat kan juga scar dengan formasi sinekia, fraktur os nasal. Hal

ini dapat menghalangi partikel bau untuk sampai ke neuroepitel olfaktorius. Axon dari

reseptor olfaktorius sangat lembut dan masuk melalui foramina kecil dari lamina

kribiformis pada basal cranial dan melakukan sinaps di bulbus olfaktorius. Adanya

9

Page 10: Nervus i Dan Kelainannya

sobekan ataupun gesekan pada axon selama proses trauma dapat menyebabkan disfungsi

olfaktorius. Hal ini dapat terjadi disertai dnegan fraktur region naso-orbita-ethmoid

region, meliputi lamina kribiformis. Trauma kepala menyebabkan suatu contusion atau

perdarahan intraparenkim. Contusion dari bulbus olfaktorius atau lesi cortical pada

region olfaktorius (amygdale, lobus temporal, lobus frontal) dapat menyebablan anosmia

post traumatic. Doty et al (1997) meneliti 66 pasien dengan disfungsi olfaktorius

dikarenakan trauma kepala selama 1 bulan hingga 13 tahun. 36,6% menunjukkan

perbaikan, 18% menjadi semakin buruk, dan 45% tidak mengalami perubahan9.

3. Infeksi saluran nafas atas

Disfungsi olfaktorius yang disebabkan karena infeksi saluran nafas atas terjadi pada 20-

30 % kasus. Dikatakan bahwa gangguan penciuman pada kasus ini sulit untuk ditangani

karena melibatkan kehilangan sensoris dari olfaktorius. Penelitian yang dilakukan oleh

Jafek and Eller pada epite olfaktorius manusia menunjukkan bahwa hilangnya cilia

olfaktorius pada pasien dengan infeksi saluran nafas atas. Biopsi menunjukkan bahwa

cilia hilangdari dendrite olfaktorius dan hanya sedikit neuron olfaktorius serta axonnya

pada pasien infeksi saluran nafas atas. Hal ini sejalan dengan teori bahwa virus influensi

dapat mempengaruhi aktivitas silia pada epitel respiratori9.

4. Gangguan pada sistem saraf pusat

Pada umumnya, CNS disorder dapat memberikan pengaruh pada sistem olfaktorius.

Kehilangan sensitivitas penciuman merupakan gejala pertama pada penyakir Alzheime.

Hal ini merupakan tanda dari terjadinya plaq neural, gangguan pada neurofibrial dan

kehilangan sel pada nucleus olfaktorius anterior. Selain itu, penurunan daya penciuman

terjadi pada pasien ini dikarenakan bulbus olfaktorius memiliki hubungan yang luas

dengan area otak yang mengalami kerusakan dikarenakan Alzheimer Disease. Parkinson

Disease juga dapat member manifestasi gangguan penciuman namun dengan

patomekanisme yang belum jelas9. Tumor yang mencakup lobus temporalis anterior dan

basisnya (tumor intrinsic atau ekstrinsik), yang dapat menghasilkan serangkaian

unsinatus dalam bentuk yang tidak menyenangkan, atau kadang-kadang halusinasi

olfaktorius yang menyenangkan. Serangkaian lobus temporalis dapat dimulai dengan

aura olfaktorius. Giri prepiriformis dan hipokampus (Brodmann 28) mungkin terlibat

dalam persepsi dan pengenalan bau, dan membandingkannya dengan impresi olfaktorius

10

Page 11: Nervus i Dan Kelainannya

sebelumnya, dan dalam menghubungkan impresi tersebut dengan pengalaman pada

situasi yang tidak jelas10. Meningioma di fosa kranii anterior (misalnya olfaktorius

meningioma) akan dapat menimbulkan sindrom dari Foster-Kennedy, yaitu: anosmia di 

sisi tumor, buta dan atrofi papil primer di sisi tumor, dan papil edema di sisi

kontralateral11.

5. Kausa lain

Inhalasi dari limbah industry dapat menyebabkan suatu disfungsi olfaktorius. Paparan

yang kronik dari benzene, butyl asetats, formaldehyde dilaporkan memiliki korelasi

dengan gangguan penciuman. Tumor intranasal (papiloma, hemangioma,

esthesioneuroblastoma) serta tumor intracranial (meningima olfactory groove, tumor

pituitary, tumor lobus frontal) dapat menyebabkan disfungsi olfaktorius. Gangguan

endokrin juga memiliki korelasi dengan gangguan penciuman. Mekanisme dari

kehilangan penciuman ini masih belum jelas. Penyakit endokrin yang dapat

menyebabkan disfungsi olfaktorius yaitu Addison’s disease, Turner syndrome,

Cushing’s syndrome, hypotiroidsm, pseudohipotiroidism, dan Kallman’s syndrome.

Gangguan psikiatrik serta halusinasi kronin juga dpaat bermanisfestasi pada fungsi

penciuman. Faktor malnutrisi berupa defisiensi vitamin dan zinc dikatakan memiliki

peran dalam disfungsi olfaktorius. Namun demikian, terapi zinc pada disfungsi

olfaktorius masih diperdebatkan9.

D. GEJALA KLINIS

Gangguan penciuman dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu12 :

1. Gangguan kuantitatif : kehilangan atau penurunan kemampuan penciuman (anosmia,

parosmia) atau peningkatan kepekaan penciuman (hiperosmia)

2. Gangguan kualitatif : distorsi atau ilusi dari penciuman (dysosmia atau parosmia)

3. Halusinasi penciuman dan delusi dikarenakan gangguan lobus temporal atau gangguan

psikiatrik

4. Kehilangan kemampuan dalam diskriminasi penciuman

Anosmia

11

Page 12: Nervus i Dan Kelainannya

Anosmia adalah hilangnya suatu penciuman yang dapat disebabkan oleh kelainan-

kelainan yaitu agenesis traktus olfaktorius (cacat bawaan), gangguan mukosa olfaktorius

(rhinitis, tumor hidung), robekan fila olfaktori akibat fraktur lamina kribrosa, destruksi bulbus

dan traktur olfaktorius akibat adanya kontusio kontrakoup, trauma region orbita, infeksi

sekitarnya seperti sinusitis ethmoid, dan inflamasi menings, tumor fossa cranial anterior seperto

meningioma fossa ethmoida/olfactory groove (yang menampilkan trias anosmia, sindrom Foster

Kennedy, dan gangguan personal lobus orbital, adenoma pituitary (yang meluas ke rostral)3.

Anosmia unilateral jarang dikeluhkan oleh pasien dan anosmia bilateral biasanya dikeluhkan

oleh pasien sebagai tidak adanya sensasi pengecapan (ageusia). Hal ini menunjukkan bahwa

sensasi pengecapan bergantung pada partikel makanan yang mencapai reseptor olfaktorius

kemudian ke nasofaring dan dipersepsi, ini merupakan kombinasi dari penciuman, pengecapan,

dan sensasi taktil. Gangguan penciuman dapat diidentifikasi dengan tes penciuman dan

menggunakan stimulus bau yang noniritatif. Pertama diletakkan di nostril kemudian di

sebelahnya dan meminta pasien untuk menncium dan mengidentifikasinya. Jika bau dapat

tercium dan dideskripsikan namun tidak dapat diketahui jenisnya maka nervus olfaktorius nya

intak. Namun jika bau tidak dapat tercium maka terjadi gangguan pada nervus olfaktorius.

Ammonia ataupun substansi sejenis tidak dapat digunakan sebagai stimulus pada tes ini karena

tidak menguji penciuman namun mengiritasi mukosa yang berakhir di nervus trigeminus.

Hilangnya penciuman biasanya terjadi di tiga aspek yaitu hidung (bau tidak mencapai reseptor

olfaktorius), neuroepitheil olfaktorius (destruksi dari reseptor atau filament axon), dan central

(lesi di traktur olfaktorius). Hendriks menemukan bahwa infeksi saluran nafas bagian atas,

penyakit sinus paranasalis, dan trauma kepala merupakan kasus yang paling banyak

menyebabkan anosmia. Hiposmia bilateral atau anosmia paling sering disebabkan oleh hipertrofi

atau hiperemi mukosa sehingga stimulus olfaktorius tidak mampu mencapai sel reseptor. Paling

sering didapatkan pada perokok berat, rhinitis atrofi, sinusitis atau alergi, vasomotor, polip nasal,

penggunaan berlebihan dari vasokontriksi topical. Biopsy dari mukosa olfaktorius pada rhinitis

alergi menunjukkan bahwa sel epitel sensori masih ada namun terjadi atrofi dan perbuhan

bentuk. Influenza, herpes simplex, dan virus hepatitis dapat menyebabkan hiposmia atau anosmia

jika terjadi destruksi sel reseptor dan dapat bersifat permanen jika menyerang sel basal.Terdapat

juga kondisi dimana tidak adanya neuron reseptor primer atau hipoplastik dan kurangnya silia,

hal ini terjadi pada sindrom Kallman dan hypogonadotropic hypogonadism. Kelainan ini juga

12

Page 13: Nervus i Dan Kelainannya

terjadi pada sindrom Turner dan albino karena tidak adanya pigmen olfaktorius atau kelainan

struktur congenital12.

Anosmia yang terjadi pada pasien trauma kepala biasanya disebakan karena fraktur

lamina kribiformis. Kerusakan dapat terjadi unilateral atau bilateral. Pembedahan cranium,

perdarahan subarachmoid, dan inflamasi kronik dari meanings juga dapat memberikan efek

anosmia. Namun, sebagian besar kasus anosmia traumatic juga menyebabkan ageusia yang

biasanya pulih setelah beberapa minggu. Lesi bilateral dekat dengan frontal dan region

paralimbik, dimana reseptor olfaktorius dan gustatory berdekatan, mungkin dapat menjelaskan

hal ini namun belum dapat dibuktikan. Penyakit nutrisi dan metabolic seperti defisiensi thiamin,

defisiensi vitamin A, insuffisiensi adrenal dan tiroid, sirosis, dan gagal ginjal kronik dapat

bermanifestasi pada transient anosmia sebagai akibat dari disfungsi sensorineural. Beberapa agen

toksik (benzene, metals, cocaine, corticosterois, methotrexate, antibiotic aminoglycosida,

tertrasiklin, L-dopa) dapat merusak epitel olfaktorius12.

Dilaporkan bahwa terdapat beberapa pasien degenerative pada otak menunjukkan gejala

anosmia atau hiposmia dengan patofisiologi yang belum jelas yaitu Alzheimer, Parkinson,

Huntington, dan Pick Disease. Anosmia juga ditemukan pada pasien dengan epilepsy lobus

temporal dan pasien yang pernah menjalani anterior temporal lobectomy12.

Fungsi penciuman akan menurun dengan bertambahnya usia. Sel reseptor akan menurun

dan jika terjadi di regional, neuroephiteliaum secara lambat akan diganti dengan respiratory

ephitelium. Neuron dari bulbus olfaktorius juga akan menurun sebagai bagian proses penuaan.

Epitel nasal dan nervus olfaktorius dapat terganggu pada Wegener granulomatosis dan

craniopharyngioma. Meningioma di area olfaktorius dapat menginvasi hingga bulbus olfaktorius

dan traktusnya juga dapat meluas hingga posterior sehingga melibatkan nervus optikus, kadang-

kadang dengan atrofi optic, dan jika diikuti dengan papil edema kontralateral, kelainan ini

disebut dengan Foster Kennedy Sindrom. Aneurysma pada anterior cerebral atau anterior

communicate artery dapat memberikan manifestasi yang sama. Anak-anak dengan

meningoenchepaloceles juga dapat menyebabkan anosmia dan CSf rhinorea12.

Kebenaran mengenai suatu hiperosmia hanya merupakan perkiraan saja. Individu

biasanya mengeluh terlalu sensitive terhadap suatu bau tapi tidak ada bukti yang menyatakan

mengenai ambang batas dari persepsi terhadap suatu bau. Selama serangan migraine dari aseptic

meningitis, pasien biasanya tidak hanya sensitive terhadap cahaya tetapi juga terhadao bau.

13

Page 14: Nervus i Dan Kelainannya

Parosmia

Parosmia atau disosmia adalah abnormalitas penciuman dimana seseorang salah persepsi

terhadap sesuatu yang ia cium. Parosmia dapat terjadi pada kasus-kasus skizofrenia, lesi-lesi

unsinatus, dan hysteria3.Parosmia juga dapat terjadi pada gangguan nasopharyngeal seperti

emphyiema sinus nasal dan ozena. Jaringan yang abnormal kemungkinan menjadi sumber bau

yang tidak menyenangkan bagi pasien. Parosmia bisa didapatkan pada pasien di usia muda atau

pertengahan yang memiliki depresi.

Halusinasi olfaktorius

Pasien mengaku dapat mencium bau dimana orang lain tidak mampu menciumnya

disebut dengan phantosmia. Jika pasien mengaku sering mengalami halusinasi dan memberikan

gangguan kepribadian, maka gejala yang dialami diasumsikan sebagai suatu delusi. Gabungan

antara halusinasi olfaktorius dan delusi merupakan suatu gangguan psikiatrik. Pada skizofrenia,

stimulus berasal dari ekstrinsik dan disebabkan oleh seseorang yang menjadi stressor pasien.

Pada depresi, stimulus berasal dari intrinsic dan lebih meluas. Ada beberapa pendapat yang

mempercayai bahwa kelompok amygdale nuclei adalah sumber dari halusinasi. Halusinasi

olfaktorius dan delusi dapat terjadi pada demensia Alzheimer, namun jika hal ini sudah terjadi

diperkirakan sudah terdapat late-life depression12.

Agnosia Olfaktorius

Harus dipertimbangkan kelainan dimana aspek persepsi primer dari penciuman (deteksi

bau, adaptasi bau, dan mengenal kualitas berbeda dari bau yang sama) masih baik namun terjadi

ketidakmampuan untuk membedakan bau dan mengenal kualitas bau. Ketidakmampuan untuk

mengidentifikasi atau mendeskripsikan sensasi disebut agnosia. Untuk mengetahui kelainan ini

dibutuhkan tes yang khusus, seperti mencocokkan sampel, identifikasi, dan memberi nama

berbagai macam bau dan mengelompokkan dimana dua bau identik atau berbeda. Perubahan

fungsi dari olfaktorius merupakan karakteristik pasien dengan Psikosis Korsakoff dengan

alkoholik. Sebagian besar pasien Korsakoff terdapat lesi medial nucleus dorsal dari thalamus.

Beberapa penelitian dilakukan pada hewan yang menggambarkan bahwa nucleus dan

hubungannya dengan korteks orbitofrontal member efek gangguan pada diskriminasi bau.

Eichenbaum dan beberapa peneliti menunjukkan bahwa kelainan penciuman dapat terjadi pada

14

Page 15: Nervus i Dan Kelainannya

pasien yang pernah menjalani reseksi ekstensif lobus temporal medial bilateral. Operasi ini

dipercaya telah menghilangkan aferen olfaktorius ke korteks frontal dan thalamus, namun belum

ada bukti anatomi untuk hal ini12.

E. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Dari anamnesis, didapatkan beberapa keluhan berupa dalah hilangnya daya penghiduan,

kurang tajamnya penciuman, daya penciuman yang terlalu peka, gangguan penciuman

bilamana tercium bau yang tidak sesuai misalnya minyak kayu putih tercium sebagai bau

bawang goring, penciuman yang tidak menyenangkan atau yang memuakan seperti bacin

, pesing dsb, maka digunakan istilah lain yaitu kakosmia, bila tercium suatu modalitas

olfaktorik tanpa adanya perangsangan. Selain itu, harus diketahui gejala lain yang

mendasari misalnya kejang, gangguan memori, tanda-tanda peningkatan intracranial

(mual, muntah, sakit kepala), adanya demam, rhiore, ketajaman penglihatan13,.

2. Pemeriksaan Fisis13

Pemeriksaan fisis untuk menilai letak kelaianan pada gangguan penciuman dapat

dilakukan evaluasi nasal berupa rhinoskopi anterior dan endoscopy. Dengan cara ini,

maka dapat dievaluasi neuroepitel olfaktorius dan mengetahui jika terjadi hambatan udara

pada neuroepitel. Pada pemeriksaan nasal, mukosa nasal dievaluasi warna, struktur,

edema, imflamasi, eksudat, ulserasi, metaplasia epitel, erosi, ataupun atrofi. Jika

didapatkan rhinore purulen pada cavitas nasi, mungkin terjadi suatu rhinitis. Jika rhinore

berasal dari meatus media, maka mungkin terjadi sinusitis maxillaries dan ethmoidalis

anterior. Jika rhinore berasal dari meatus superior atau recessus sphenoethmoidalis maka

kemungkinan terjadi sinusitis ethmoidal posterior atau sphenoid. Adanya massa, polip,

adhesi, ataupun deviasi septum memiliki potensi dalam penurunan aliran udara menuju

epitel olfaktorius. Jika terjadi alergi, maka mukosa akan terlihat pucat dan edem. Paparan

polutan pabrik yang akut ataupun kronik akan memberikan gambaran metaplasia epitel

berupa edem, inflamasi, eksudat, erosi, ataupun ulserasi. Atrori dari lamina propria

menunjukkan suatu rhitnitis atrofi atau rhinitis medikamentosa. Setelah dilakukan

pemeriksaan rhinoskopi anterior, maka dilakukan tes penciuman.

Pemeriksaan sensoris fungsi penciuman dibutuhkan untuk memastikan keluhan

pasien, mengevaluasi kemanjran terapi, dan menentukan derajat gangguan permanen.

15

Page 16: Nervus i Dan Kelainannya

1. Langkah pertama menentukan sensasi kualitatif

Langkah pertama dalam pemeriksaan sensorik adalah menentukan derajat sejauh

mana keberadaan sensasi kualitatif. Beberapa metode sudah tersedia untuk

pemeriksaan penciuman.

a. Tes Odor stix

Tes Odor stix menggunakan sebuah pena ajaib mirip spidol yang

menghasilkan bau-bauan. Pena ini dipegang dalam jarak sekitar 3-6 inci dari

hidung pasien untuk memeriksa persepsi bau oleh pasien secara kasar.

Tes alkohol 12 inci – Satu lagi tes yang memeriksa persepsi kasar terhadap

bau, tes alkohol 12 inci, menggunakan paket alkohol isopropil yang baru saja

dibuka dan dipegang pada jarak sekitar 12 inci dari hidung pasien.

b. Scratch and sniff card

Tersedia scratch and sniff card yang mengandung 3 bau untuk menguji

penciuman secara kasar.

c. The University of Pennyslvania Smeel Identification Test (UPSIT)

Tes yang jauh lebih baik dibanding yang lain adalah UPSIT; ia sangat

dianjurkan untuk pemeriksaan pasien dengan gangguan penciuman. Tes ini

menggunakan 40 item pilihan-ganda yang berisi bau-bauan scratch and sniff

berkapsul mikro. Sebagai contoh, salah satu itemnya berbunyi “Bau ini paling

mirip seperti bau (a) coklat, (b) pisang, (c) bawang putih, atau (d) jus buah,”

dan pasien diharuskan menjawab salah satu dari pilihan jawaban yang ada.

Tes ini sangat reliabel (reliabilitas tes-retes jangka pendek r = 0,95) dan

sensitif terhadap perbedaan usia dan jenis kelamin. Tes ini merupakan

penentuan kuantitatif yang akurat untuk derajat relatif defisit penciuman.

Orang-orang yang kehilangan seluruh fungsi penciumannya akan mencapai

skor pada kisaran 7-19 dari maksimal 40. Skor rata-rata untuk pasien-pasien

anosmia total sedikit lebih tinggi dibanding yang diperkirakan menurut

peluang saja karena dimasukannya sejumlah bau-bauan yang beraksi melalui

rangsangan trigeminal.

2. Langkah ke-dua menentukan ambang deteksi

Setelah dokter menentukan derajat sejauh mana keberadaan sensasi kualitatif,

16

Page 17: Nervus i Dan Kelainannya

langkah kedua pada pemeriksaan sensorik adalah menetapkan ambang deteksi

untuk bau alkohol feniletil. Ambang ini ditetapkan menggunakan rangsangan

bertingkat. Sensitivitas untuk masing-masing lubang hidung ditentukan dengan

ambang deteksi untuk fenil-teil metil etil karbinol. Tahanan hidung juga dapat

diukur dengan rinomanometri anterior untuk masing-masing sisi hidung.

Dalam pemeriksaan fisis, kita juga harus memperhatikan adanya tanda-tanda

demensia (intensi, disfungsi memori, apati, disorientasi) pada pasien dengan gangguan

penciuman. Hal ini dikarenakan penurunan kemampuan penciuman merupakan gejala

pertama yang muncul pada penyakit seperti Alzheimer disease, Huntington corea, multi

infarct dementia, dan Pick Disease. Bukti adanya disorientasi, kejang, dan perubahan

mood dapat meningkatkan dan menurunkan fungsi penciuman pada pasien dengan

epilepsy lobus temporal. Kehilangan kemampuan penciuman dengan ada masalah pada

memori jangka pendek dapat membantu untuk menemukan adanya defisiensi vitamin B1

dan sindrom Wernicke-Korsakoff. Perubahan kognitif (depresi, bingungm halusinasi)

dapat merupakan tanda bagi anemia defisiensi.

Pemeriksaan optikus sebagai tanda peningkatan tekanan intraocular ataupun

intracranial (papil edem) harus dilakukan dikarenakan tumor di olfactory groove atau

sphenoid ridge dapat menyebabkan Foster Kennedy syndrome, dimana dengan gejala

klinis ipsilateral anosmia atau hiposmia, atrofi opric ipsilateral, dan papiledem

kontrallateral. Pasien dengan Korsakoff sindrom, tidak hanya memiki penurunan dalam

memori dan penciuman tetapi juga dalam mendiskriminasi warna dan persepsi auditori.

Adanya ataksia, apraksia pada pergerakan orolingual, kelainan oculomotor,

masalah koordinasi, gangguan cara jalan, tremor, bradikinersia, dan rigiditas, serta

adanya gangguan dari kemampuan penciuman terjadi pada pasien dengan Huntington’s

chorea dan multiple sclerosis. Penurunan sensori berupa suhu, vibrasi, dan nyeri biasanya

terjadi pada pasien dengan neuropati yang mengalami hiposmia. Dalam hal ini, neuropati

dapat terjadi pada diabetes, gagal hati, serta gagal ginjal. Pada pasien dengan hepatitis,

imunidefisiensi, dan infeksi virus, hiposmia dapat terjadi bersamaan dengan polineuropati

tibe Gullain Barre. Adanya demam dan kaku kuduk dapat membantu untuk

mengidentifikasi adanya infeksi serois seperti meningitis yang dapat menyebabkan

disfungsi kemosensoris.

17

Page 18: Nervus i Dan Kelainannya

3. Pemeriksaan Penunjang13

Pemeriksaan laboratorium

Jika penyebab gangguan penciuman tidak jelas, maka pemeriksaan laboratorium

lengkap dapat diindikasikan untuk menemukan suatu proses infeksi, nutrisi, serta

proses hematopoietic. Untuk mengidentifikasi proses autoimun atau inflamasi dapat

dilakukan pemeriksaan sedimen eritrosit.

CT Scan

Sensitivitas dari Computed Tomografi (CT) pada jaringan lunak menjadikan

pemeriksaan ideal pada cavitas sinonasal. Semua cavitas nasal, sinur paranasal,

palatum durum, anterior skull base, orbit, dan nasopharyng dapat terlihat. Potongan

coronal dapat menilai anatomi dari paranasal dan region anterior nasoethmoidal.

Untuk menilai lesi vaskuler, tumor, abses, dan prosessus meningeal dan

parameningeal, CT scan dengan kontras dapat dilakukan.

MRI

MRI lebih baik dari pada CT untuk mengidentifikasi jaringan lunak namun kurang

sensitive untuk kelainan kortikal tulang. MRI dapat mengidentifikasi bulbus

olfaktorius, traktus olfaktorius, dan proses intracranial yang dapat menyebabkan

disfungsi penciuman serta lebih jelas pada potongan coronal.

Neurophisiology test

Adanya keterkaitan antara kehilangan kemampuan penciuman dan demensia pada

pasien Alzheimer’s disease dan multi-infarct dementia, maka neurophysiology test

dilakukan untuk mengidentifikasi adanya demensia. The Mini mental State

Examination adalah alat yang digunakan untuk mengidentifikasi demensia.

Pemeriksaan lain

Pemeriksaan sellular neuroepitel olfaktorius dan biopsy neuroepitel dapat dilakukan.

Pada pemeriksaan ini, jaringan neuroepitel olfakorius diambil di daerah septum

dengan menggunakan forcep atau instrument khusus dan kemudian diperiksa secara

histology. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya metaplasia dari neuroepitel

olfaktorius.

18

Page 19: Nervus i Dan Kelainannya

F. TATA LAKSANA

Pasien dengan keluhan disfungsi olfaktorius harus menjalani berbagai pemeriksaan untuk

mengetahui penyebab dasarnya karena akan diterapi beradasarkan penyebab nya.

1. Penyakit nasal dan sinus.

Ada beberapa consensus yang menyatakan bahwa pasien dengan rhinitis alergi dan polip

nasal dapat diterpai dengan kortikosteroid sistemik dan kortikosteroid intranasak topical.

Kosrtikosteroid sistemik adalah anti inflamasi potensial yang bekerja dengan mengurangi

produksi mucus sehingga partikel bau dapat mencapai neuroepitel olfaktorius. Efek

samping dari pemakaian kortikosteroid sistemik adalah meningkatkan tekanan darah

sehingga hanya dianjurkan untuk pemakaian jangka pendek. Kortikosteroid topical

intranasal merupakan alternative lain. Efek samping dari pemakaian biasanya ringan

yaitu mukaosa kering dan bersin. Golding-Wood et al melakukan studi pada lima belas

pasien dengan hiposmia disertai rhinistis perinnial. Setiap pasien diberikan tiga tetes

betametason setiap hari selama 6 minggu dan dievaluasi dengan UPSIT sebelum dan

setelah terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa semua pasien mengalami perbaikan dalam

score tes setelah terapi. Oleh karena itu steroid topical dianjurkan sebagai terapi yang

efektif untuk polip nasal dan rhinitis perennial. Beberapa factor mempengaruhi dalam

terapi penyakit nasal dan sinus, sebagai contoh angka rekuren pada polip nasal dan

kesulitan dalam terapi local. Sebagai contoh efek steroid topical akan terbatas pada

edema mukosa cavitas nasal dimana akan menghambat penerimaan steroid. Selain itu,

intervensi bedah dapat dilakukan untuk mengurangi obstruksi nasal dan memperbaiki

kemampuan penciuman. Prosedur pembedahan berupa endoscopi ethmoidectomy.

Namun hal ini merupakan pilihan terakhir karena akan memberikan rasa sakit yang hebat

dan tidak menjamin akan sukses9.

2. Trauma kepala/ post trauma

Sistem olfaktorius memiliki kemampuan untu beregenerasi.Namun demikian, pada

beberapa kasus trauma kepala berat, fungsi olfaktorius tidak mengalami perbaikan. Tidak

diketahui secara pasti factor yang dapat menyebabkan hal ini9. Onset regenerasi terjadi

tiga bulan setelah trauma, diatas satu tahun kemungkinan perbaikan sangat tipis.

19

Page 20: Nervus i Dan Kelainannya

Perbaikan yang cepat dpat terjadi contohnya pemisahan bekuan darah dan perbaikan yang

lambat dikarenakan regenerasi pada elemen neural. Perbaiakn secara menyeluruh dapat

berlangsung hingga 5 tahun. Selama penyembuhan, beberapa anosmia dilaporkan

memiliki episode parosmia. Wright (1987) memperkirakan hal ini terjadi karena fungsi

dari sistem olfaktorius sangat minimal. Penyembuan dari sistem olfaktorius pada trauma

kepala bergantung pada tingkat keparahan dari kerusakan bulbus olfaktorius, respon

inflamasi local, dan luas kerusakan jaringan yang terakumulasi antara bulbus olfaktorius

dengan lamina kribiformis. Penelitian yang dilakukan oleh Masayohsi dan Richard

menunjukkan bahwa pemberian dexamethason pada pasien disfungsi olfaktorius post

trauma kepala menunjukkan penurunan luas jaringan yang rusak serta akumulasi dari

makrofag dan astrosit. Hal ini menunjukkan efek dari anti inflamasi memilki fungsi

theraupetic pada olfactory nerve injury. Selain itu, dilaporkan pula bahwa steroid efektif

dalam mengurangi scar formasi jaringan dalam cedera spinal cord. Studiini menunjukkan

bahwa pemberian steroid pada fase akut memnerikan hasil efektif dalam perbaikan sistem

olfaktorius. Oleh karena itu, waktu pemberian steroid meurpakan factor utama dalam dan

akan memberikan hasil yang berbeda pada pemberian steroid yang lambat9.

3. Infeksi saluran nafas atas

Pada kasus ini , tidak ada pengobatan yang spesifik yang dapat dilakukan. Beberapa studi

menjelaskan bahwa terjadi penyembuhan secara spontan dengan mekanisme yang masih

belum jelas. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar mengalami perbaikan pada 6

bulan setelah onset. Penggunaan vitamin A dan zinc masih memberikan kontroversi.

Pasien dengan gangguan penciuman dan pengecapan yang diterapi dengan suplemen zinc

tidak memberikan perbaikan. Terapi dengan vitamin A tidak sepenuhnya dianjurkan.

Studi yang dilakukan oleh Duncan dan Briggs (1962) menunjukkan bahwa pasien dengan

anosmia yang diterapi dengan vitamin A memberikan respon yang baik. Vitamin A

berfungsi dalam regenerasi sel olfaktorius pada mucus dan kelenjar serous9.

4. Gangguan pada sistem saraf pusat

Pada kasus dimana tumor merupakan penyebab primer, maka pengangkatan tumor

dengan tujuan memperbaiki jalur olfaktorius merupakan terapi yang tepat. Terapi pada

meningioma adalah eksisi total, termasuk perlekatan pada dura. Pada tumor di fossa

anterior dilakukan anterior dan anterolateral craniofacial resection (CFR) untuk

20

Page 21: Nervus i Dan Kelainannya

mengeluarkan tumor dari fossa anterior dan medial. Anterior CFR mencakup struktur

anterior-mid line dan paramedian dari basis crania. Sinus ethmoidalis superior, dinding

anterior dari sphenoid posterior, sinus frontal bagian anterior, dan nasofaring bagian

inferior juga termasuk dalam CFR. Indikasi dari CFR ini adalah :

a. reseksi tumor malignan pada sinus paranasal yang mencakup sinus

frontal/ethmoid dengan keterlibatan bagian proksimal dari atas ethmoid atau

lamina kribiformi

b. reseksi dari tumor benigna di sinus paranasal, meanings, dan basis crania yang

melibatkan atau meluas ke seluruh basis crania.

Anterior CFR dapat dilakukan secara bicoronal dan insisi dari facial paranasal diikuti

dengan pembukaan tulang facial, dinding medial dari orbita, identifikasi dan kauterisasi

pembuluh darah ethmoidal anterior dan posterior. Secara anterior, dilakukan pemotongan

dari level fossa lacrimal dingga level nasion dan secara posterior, pada level posterior

dari foramina ethmoidal. Pada keadaan ini, craniotomy bifrontal dilakukan. Insisi

bicoronal dilakukan untuk dapat mencapai secara luas bagian tulang frontal dan

dilakukan untuk memperbaiki defek dari fossa anterior. Bagian bawah dura dapat dlihat

dari lamina kribiformis ke planum sphenoidake (jika dura juga terlibat maka mobilisasi

dilakukan lebih lateral dan dura yang terlibat akan diresesksi bersama tumor. Pemotongan

dilakukan di bagian luar tumor, melewati atap ethmoid/lateral orbit, planum sphenoidal

ke posterior sinus sphenoidale, atap sinus frontal ke anterior sinus ethmoidal. Tumor yang

melekat pada lamina perpendicular dari ethmoid dipisahkan dengan gunting. Massa

dikeluarkan melalui transfacial, dan memisahkan perlekatan dengan mukosa sekitar .

Perawatan post operasi ditujukan untuk meminimalkan terjadinya udem cerebri. Terapi

steroid dapat diberikan dengan tapering dosis. Selain itu juga harus dicegah terjadi hidrasi

yang berlebihan dengan edukasi pasien untuk sering melakukan elevasi pada kepala demi

mencegah aliran balik vena. Resiko tumor mengalami rekuren tergantung dari luasnya

eksisi14.

Pada kasus neuroblastoma olfaktori, dilakukan kombinasi antara permbedahan

dan radioterapi dengan angka survival rate nya 60% untuk 3 tahun dan 40% untuk 5

tahun15. Pada beberapa kasus, kronik disosmia dapat memberikan manifestasi depresi,

nausea, dan penurunan berat badan, maka dalam kondisi ini intervensi bedah dapat

21

Page 22: Nervus i Dan Kelainannya

dilakukan. Jika disosmia terjadi unilateral, maka intervensi bedah unilateral dapat

memperbaiki masalah yang terjadi. Pendekatan bedah, ablasi intranasal dan jaringan dari

epitel olfaktorius pada sisi yang bermasalah lebih konservatif dan kurang invasive

dibandingkan operasi perbaikin bulbus olfaktorius dan traktusnya melalui suatu proses

craniotomy. Terapi pada pasien dengan anosmia diserta gangguan sensorineural

merupakan suatu tantangan. Walaupun ada beberapa pendapat mengenai terapi zink dan

vitamin, namun belum memiliki bukti empiris. Pada pasieng dengan kehilangan

penciuman dalam waktu yang lama dapat mengindikasikan suatu kerusakan neral dan

neuroepitel olfaktorius dan memberikan suatu prognosis yang buruk serta tidak dapat

diterapi13.

Pada pasien psikiatrik, haloperidol dapat mengontrol halusinasi dan parosmia.

Intervensi bedah dapat dilakukan yaitu eksisi dari mukosa olfaktorius pada pasien dengan

unilateral phantosmia. Setelah operasi, pasien tidak memilki kemampuan penciuman tapi

kemudian akan membaik. Disimpulkan bahwa ada dua alasan yang mendasari sehingga

operasi jenis ini dapat berhasil yaitu : (1) neuron yang melakuakn regenerasi dan

menghasilkan bau yang tidak menyenangkan telah diangkat (2) epitel olfaktorius di eksisi

dan dihubungkan dengan bulbus olfaktorius yang tidak benar sehingga

menginterpretasikan sinyal9.

G. PROGNOSIS

Disfungsi olfaktorius yang disebabkan oleh proses inflamasi seperti rhinosinusitis kronik dan

rhinitis alergi dilaporkan memiliki prognosis baik dengan angka penyembuhan 68-86%.

Prognosis dari penyembuhan sistem olfaktorius yang disebabkan oleh trauma kepala lumayan

buruk, hanya 10-38%, dilaporkan hanya 4 dari 17 (24%) pasien anosmia menunjukkan

penyembuahan yang sedikit pada fungsi olfaktorius dengan munggunakan kortikosteroid

sistemik atau topical. Hendrik 91998) menganalisa insidensi dari dsifungsi olfaktorius dari 32

kauss, 8% disebabkan oleh trauma kepala.

22

Page 23: Nervus i Dan Kelainannya

DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar.

Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: hal. 114 – 82.

2. Septinur. Anosmia. Available from :

http://septinur.blogspot.com/2010_01_01_archive.html). Acessed :

13/11/2011.

3. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta .

2010 : hal. 29-31; 111-112

4. Netter, Frank H dkk. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology.

Comtan. USA. 2002

5. Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Penerbit

Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2007 :hal. 697-700.

6. Monkhouse, Stanley. Cranial Nerves Functional Anatomy. Cambridge

university Press. 2006. United States of America. 2006: hal.106-8

7. Barker, Roger dkk. Neuroscience at a Glance. Blackwell Science. United

States of America. 2000 : hal.68

8. Shen Jing. Olfactory Dysfunction and Disorder.Available from :

http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Olfactory-2003-1126/Olfactory-

2003-1126.htm. Acessed : 6/12/2011.

9. Gatchum Helen. Anosmia. Available from : Shen Jing. Olfactory

Dysfunction and Disorder.Available from :

http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Olfactory-2003-1126/Olfactory-

2003-1126.htm. Acessed : 6/12/2011.

10. Lindsay,Kenneth dkk. Neurology and Neurosurgery Illustrated. Third Edition. Churcill

Livingstone. London. 1997: Hal 137

11. Suherti. Parese Nervus Olfaktorius. Available from :

http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/parese -nervus-olfaktorius.html.

Acessed:13/11/2011

23

Page 24: Nervus i Dan Kelainannya

12. Irwandi. Sistem Olfaktorius. Available from :

http://dokterirwandigafima.blogspot.com/2010/07/anatomi-nervus-i.html.

Acessed:13/11/2011

13. Wilkinson Iain. Essential Neurology. Fourth Edition. Blackwell Publishing. USA. 2005:

hal. 112

14. Ropper Alan, Robert. Principles of Neurology. Eight Edition. McGraw-Hill. NewYork:

2005: hal.195-9

15. Goetz Christopher. Textbook of Clinical Neurology. Second Edition. Sauders. United

States of America L :2007. Hal. 104-9

16. Suarez Jose. Critical Care Neurology and Neurosurgery. Humana Press. New Jersey :

2004. Hal. 51-2

17. Moore, Anne. Neurosurgery Principle and Practice. Springer. London : 2005. Hal.270-5.

18. Kobayashi Masayoshi dan Richard M.Cintanzo. Olfactory Nerve Recovery Following

Mild and Severe Injury and The Efficiacy of Dexamethasone Treatment. Available from :

http://chemse.oxfordjournals.org/content/34/7/573.full. Acessed : 6/12/2011.

24