25
Neurotransmiter Otak, Gangguan Perilaku dan Gangguan Psikiatrik Dalam berbagai tinjauan penelitian berbasis imunoneuropatobiologis menunjukkan bahwa Neurotransmiter berperanan sangat penting dalam gangguan perilaku dan gangguan psikiatrik. Neurotransmiter yang berpengaruh pada terjadinya gangguan perilaku dan pskiatrik diantaranya adalah dopamin, norepinefrin, serotonin, GABA, glutamat dan asetilkolin. Selain itu, penelitian-penelitian juga menunjukksan adanya kelompok neurotransmiter lain yang berperan penting pada timbulnya mania, yaitu golongan neuropeptida, termasuk endorfin, somatostatin, vasopresin dan oksitosin. Diketahui bahwa neurotransmiter- neurotransmiter ini, dalam beberapa cara, tidak seimbang (unbalanced) pada otak individu mania dibanding otak individu normal. GABA diketahui menurun kadarnya dalam darah dan cairan spinal pada pasien mania. Norepinefrin meningkat kadarnya pada celah sinaptik, tapi dengan serotonin normal. Dopamin juga meningkat kadarnya pada celah sinaptik, menimbulkan hiperaktivitas dan asgresivitas mania, seperti juga pada skizofrenia. Antidepresan trisiklik dan MAO inhibitor yang meningkatkan epinefrin bisa merangsang timbulnya mania, dan antipsikotik yang mem-blok reseptor dopamin yang menurunkan kadar dopamin bisa memperbaiki mania, seperti juga pada skizofrenia. Otak menggunakan sejumlah senyawa neurokimiawi sebagai pembawa pesan untuk komunikasi berbagai beagian di otak dan sistem syaraf. Senyawa neurokimiawi ini, dikenal sebagai neurotransmiter, sangat esensial bagi semua fungsi otak. Sebagai pembawa pesan, mereka datang dari satu tempat dan pergi ke tempat lain untuk menyampaikan pesan-pesannya. Bila satu sel syaraf (neuron) berakhir, di dekatnya ada neuron lainnya. Satu neuron mengirimkan pesan dengan mengeluarkan neurotrasmiter menuju ke dendrit neuron di dekatnya melalui celah sinaptik, ditangkap reseptor-reseptor pada celah sinaptik tersebut. Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus membawa sinyal di antara neuron. Neurotransmiter terbungkus oleh vesikel sinapsis, sebelum dilepaskan bertepatan dengan datangnya

Neurotransmiter Otak

  • Upload
    zul090

  • View
    196

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

okeeee

Citation preview

Page 1: Neurotransmiter Otak

Neurotransmiter Otak, Gangguan Perilaku dan Gangguan Psikiatrik

Dalam berbagai tinjauan penelitian berbasis imunoneuropatobiologis menunjukkan bahwa Neurotransmiter berperanan sangat penting dalam gangguan perilaku dan gangguan psikiatrik. Neurotransmiter yang berpengaruh pada terjadinya gangguan perilaku dan pskiatrik diantaranya adalah dopamin, norepinefrin, serotonin, GABA, glutamat dan asetilkolin. Selain itu, penelitian-penelitian juga menunjukksan adanya kelompok neurotransmiter lain yang berperan penting pada timbulnya mania, yaitu golongan neuropeptida, termasuk endorfin, somatostatin, vasopresin dan oksitosin. Diketahui bahwa neurotransmiter-neurotransmiter ini, dalam beberapa cara, tidak seimbang (unbalanced) pada otak individu mania dibanding otak individu normal. GABA diketahui menurun kadarnya dalam darah dan cairan spinal pada pasien mania. Norepinefrin meningkat kadarnya pada celah sinaptik, tapi dengan serotonin normal. Dopamin juga meningkat kadarnya pada celah sinaptik, menimbulkan hiperaktivitas dan asgresivitas mania, seperti juga pada skizofrenia. Antidepresan trisiklik dan MAO inhibitor yang meningkatkan epinefrin bisa merangsang timbulnya mania, dan antipsikotik yang mem-blok reseptor dopamin yang menurunkan kadar dopamin bisa memperbaiki mania, seperti juga pada skizofrenia.

Otak menggunakan sejumlah senyawa neurokimiawi sebagai pembawa pesan untuk komunikasi berbagai beagian di otak dan sistem syaraf. Senyawa neurokimiawi ini, dikenal sebagai neurotransmiter, sangat esensial bagi semua fungsi otak. Sebagai pembawa pesan, mereka datang dari satu tempat dan pergi ke tempat lain untuk menyampaikan pesan-pesannya. Bila satu sel syaraf (neuron) berakhir, di dekatnya ada neuron lainnya. Satu neuron mengirimkan pesan dengan mengeluarkan neurotrasmiter menuju ke dendrit neuron di dekatnya melalui celah sinaptik, ditangkap reseptor-reseptor pada celah sinaptik tersebut.

Neurotransmiter adalah senyawa organik endogenus membawa sinyal di antara neuron. Neurotransmiter terbungkus oleh vesikel sinapsis, sebelum dilepaskan bertepatan dengan datangnya potensial aksi. Neurotransmitter dalam bentuk zat kimia bekerja sebagai penghubung antara otak ke seluruh jaringan saraf dan pengendalian fungsi tubuh. Secara sederhana, dapat dikatakan neurotransmiter merupakan bahasa yang digunakan neuron di otak dalam berkomunikasi. Neurotransmiter muncul ketika ada pesan yang harus di sampaikan ke bagian-bagian lain.

Seluruh aktivitas kehidupan manusia yang berkenaan dengan otak di atur melalui tiga cara, yaitu sinyal listrik pada neuron, zat kimiawi yang di sebut neurotransmitter dan hormon yang dilepaskan ke dalam darah. Hampir seluruh aktivitas di otak memanfaatkan neurotransmitter.

Beberapa neurotransmiter utama, antara lain:

Asam amino: asam glutamat, asam aspartat, serina, GABA, glisina Monoamina: dopamin, adrenalin, noradrenalin, histamin, serotonin, melatonin Bentuk lain: asetilkolina, adenosina, anandamida, dll.

Page 2: Neurotransmiter Otak

Puluhan jenis neurotransmiter yang telah teridentifikasi di bentuk melalui asupan yang berbeda. Bahan dasar pembentuk neurotransmiter adalah asam amino.Asam amino merupakan salah satu nutrisi otak terpenting, yang berfungsi meningkatkan kewaspadaan, mengurangi kesalahan, dan memacu kegesitan pikiran.

Jaringan otak terdiri atas berjuta-juta sel otak yang disebut neuron. Sel ini terdiri atas badan sel, ujung axon dan dendrit. Antara ujung sel neuron satu dengan yang lain terdapat celah yang disebut celah sinaptik atau sinapsis. Satu neuron menerima berbagai macam informasi yang datang, mengolah atau mengintegrasikan informasi tersebut, lalu mengeluarkan responsnya yang dibawa suatu senyawa neurokimiawi yang disebut neurotransmiter. Terjadi potensial aksi dalam membran sel neuron yang memungkinkan dilepaskannya molekul neurotransmiter dari axon terminalnya (prasinaptik) ke celah sinaptik lalu ditangkap reseptor di membran sel dendrit dari neuron berikutnya. Terjadilah loncatan listrik dan komunikasi neurokimiawi antar dua neuron. Pada reseptor bisa terjadi “supersensitivitas” dan “subsensitivitas”. Supersensitivitas berarti respon reseptor lebih tinggi dari biasanya, yang menyebabkan neurotransmiter yang ditarik ke celah sinaptik lebih banyak jumlahnya yang berakibat naiknya kadar neurotransmiter di celah sinaptik tersebut. Subsensitivitas reseptor adalah bila terjadi sebaliknya. Bila reseptor di blok oleh obat tertentu maka kemampuannya menerima neurotransmiter akan hilang dan neurotransmiter yang ditarik ke celah sinaptik akan berkurang yang menyebabkan menurunnya kadar (jumlah) neurotransmiter tertentu di celah sinaptik.

Suatu kelompok neurotransmiter adalah amin biogenik, yang terdiri atas enam neurotransmiter yaitu dopamin, norepinefrin, epinefrin, serotonin, asetilkholin dan histamin. Dopamin, norepinefrin, dan epinefrin disintesis dari asam amino yang sama, tirosin, dan diklasifikasikan dalam satu kelompok sebagai katekolamin. Serotonin disintesis dari asam amino triptofan dan merupakan satu-satunya indolamin dalam kelompok itu. Serotonin juga dikenal sebagai 5-hidroksitriptamin (5-HT).

Selain kelompok amin biogenik, ada neurotransmiter lain dari asam amino. Asam amino dikenal sebagai pembangun blok protein. Dua neurotransmiter utama dari asam amino ini adalah gamma-aminobutyric acid (GABA) dan glutamate. GABA adalah asam amino inhibitor (penghambat), sedang glutamate adalah asam amino eksitator. Kadang cara sederhana untuk melihat kerja otak adalah dengan melihat keseimbangan dari kedua neurotransmiter tersebut.

Bila oleh karena suatu hal, misalnya subsensitivitas reseptor-reseptor pada membran sel paskasinaptik, neurotransmiter epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin menurun kadarnya pada celah sinaptik, terjadilah sindrom depresi. Demikian pula bila terjadi disregulasi asetilkholin yang menyebabkan menurunnya kadar neurotransmiter asetilkolin di celah sinaptik, terjadilah gejala depresi.

Monoamin dan Depresi

Penelitian menunjukkan bahwa zat-zat yang menyebabkan berkurangnya monoamin, seperti reserpin, dapat menyebabkan depresi.Akibatnya timbul teori yang menyatakan bahwa berkurangnya ketersediaan neurotransmiter monoamin, terutama NE dan serotonin, dapat menyebabkan depresi. Teori ini diperkuat dengan ditemukannya obat

Page 3: Neurotransmiter Otak

antidepresan trisiklik dan monoamin oksidase inhibitor yang bekerja meningkatkan monoamin di sinap. Peningkatan monoamin dapat memperbaiki depresi.

Serotonin

Neuron serotonergik berproyeksi dari nukleus rafe dorsalis batang otak ke korteks serebri, hipotalamus, talamus, ganglia basalis, septum, dan hipokampus. Proyeksi ke tempat-tempat ini mendasari keterlibatannya dalam gangguan-gangguan psikiatrik. Ada sekitar 14 reseptor serotonin, 5-HT1A dst yang terletak di lokasi yang berbeda di susunan syaraf pusat.

Serotonin berfungsi sebagai pengatur tidur, selera makan, dan libido. Sistem serotonin yang berproyeksi ke nukleus suprakiasma hipotalamus berfungsi mengatur ritmik sirkadian (siklus tidur-bangun, temperatur tubuh, dan fungsi axis HPA). Serotonin bersama-sama dengan norepinefrin dan dopamin memfasilitasi gerak motorik yang terarah dan bertujuan. Serotonin menghambat perilaku agresif pada mamalia dan reptilia.

Kelainan Serotonin (5HT) berimplikasi terhadap beberapa jenis gangguan jiwa yang mencakup ansietas, depresi, psikosis, migren, gangguan fungsi seksual, tidur, kognitif, dan gangguan makan.

Banyak tindakan dalam perawatan gangguan jiwa adalah dengan jalan mempengaruhi sistem serotonin tersebut.

Fungsi Utama dari Serotonin (5HT) adalah dalam pengaturan tidur, persepsi nyeri, mengatur status mood dan temperatur tubuh serta berperan dalam perilaku aggresi atau marah dan libido.

Gejala Defisit : Irritabilitas & Agresif, Depresi & Ansietas, Psikosis, Migren, Gangguan fungsi seksual, Gangguan tidur & Gangguan kognitif, Gangguan makan. Obsessive compulsive disorder (OCD)

Gejala Berlebihan : Sedasi, Penurunan sifat dan fungsi aggresi Pada kasus yang jarang: halusinasi

Neurotransmiter serotonin terganggu pada depresi. Dari penelitian dengan alat pencitraan otak terdapat penurunan jumlah reseptor pos-sinap 5-HT1A dan 5-HT2A pada pasien dengan depresi berat. Adanya gangguan serotonin dapat menjadi tanda kerentanan terhadap kekambuhan depresi.

Dari penelitian lain dilaporkan bahwa respon serotonin menurun di daerah prefrontal dan temporoparietal pada penderita depresi yang tidak mendapat pengobatan. Kadar serotonin rendah pada penderita depresi yang agresif dan bunuh diri.

Triptofan merupakan prekursor serotonin. Triptofan juga menurun pada pasien depresi. Penurunan kadar triptofan juga dapat menurunkan mood pada pasien depresi yang remisi dan individu yang mempunyai riwayat keluarga menderita depresi. Memori, atensi, dan fungsi eksekutif juga dipengaruhi oleh kekurangan triptofan. Neurotisisme dikaitkan dengan gangguan mood, tapi tidak melalui serotonin. Ia dikaitkan dengan fungsi kognitif yang terjadi sekunder akibat berkurangnya triptofan.

Hasil metabolisme serotonin adalah 5-HIAA (hidroxyindolaceticacid). Terdapat penurunan 5-HIAA di cairan serebrospinal pada penderita depresi. Penurunan ini sering terjadi pada penderita depresi dengan usaha-usaha bunuh diri.

Penurunan serotonin pada depresi juga dilihat dari penelitian EEG tidur dan HPA aksis. Hipofontalitas aliran darah otak dan penurunan metabolisme glukosa otak sesuai dengan

Page 4: Neurotransmiter Otak

penurunan serotonin. Pada penderita depresi mayor didapatkan penumpulan respon serotonin prefrontal dan temporoparietal. Ini menunjukkan bahw adanya gangguan serotonin pada depresi.

Pada penderita bulimia nervosa (BN), dan terkait pesta-purge sindrom, faktor serotonin pusat (5-hydroxytryptamine, 5-HT)  berkontribusi tidak hanya untuk disregulasi appetitive tetapi juga untuk manifestasi temperamental dan kepribadian. Pada temuan dari studi neurobiologis, molekul-genetik, dan otak-pencitraan, telah diungkapkan model integratif peran 5-HT fungsi dalam sindrom bulimia.

Asetilkolin

Neuron kolinergik mengandung setilkolin yang terdistribusi difus di korteks serebri dan mempunyai hubungan timbal balik dengan sistem monoamin. Abnormal kadar kolin (prekursor asetilkolin) terdapat di otak pasien depresi. Obat yang bersifat agonis kolinergik dapat menyebabkan letargi, anergi, dan retardasi psikomotor pada orang normal. Selain itu, ia juga dapat mengeksaserbasi simptom-simptom depresi dan mengurangi simptom mania.

Hipotesis kolinergik mengklaim bahwa penurunan fungsi kognitif pada demensia terutama terkait dengan penurunan neurotransmisi kolinergik. Hipotesis ini telah menyebabkan minat yang besar dalam keterlibatan putatif dari neurotransmisi kolinergik dalam proses pembelajaran dan memori.

Fungsi asetilkolin antara lain mempengaruhi kesiagaan, kewaspadaan, danpemusatan perhatian. Berperan pula pada proses penyimpanan dan pemanggilankembali ingatan, atensi dan respon individu. Di otak, asetilkolin ditemukan padacerebral cortex, hippocampus (terlibat dalam fungís ingatan), bangsal ganglia(terlbat dalam fungís motoris), dan cerebrlum (koordinasi bicara dan motoris).Ach merupakan neurotransmitter yang tidak diproduksi didalam neuron. Iaditransportasikan ke otak dan ditemukan pada seluruh bagaian otak. AcH memilikikonsentrasi tinggi di basal ganglia dan cortex motorik.

Fungsi Utama Acetylcholine (ACh) adalah mengatur atensi, memori, rasa haus, pengaturan mood, tidur REM, memfasilitasi perilaku sexual dan tonus otot.

Gejala Defisit: Kurangnya inhibisi, Berkurangnya fungsi memori, Euphoria, Antisosial, Penurunan fungsi bicara

Gejala Berlebihan: Over-inhibisi, Anxietas & Depresi dan Keluhan Somatic Asetilkolin merupakan neurotransmiter hasil sintesa dari bahan utama berupa kolin. Saat

ini, sangat cukup banyak penelitian yang mengkaji peranan kolin dalam pembelajaran. Peran asetilkolin (Ach) dalam fungsi kognitif diselidiki. Keterlibatan AcH dalam proses

pembelajaran dan memori. Terutama, penggunaan skopolamin sebagai alat farmakologis dikritik. Dalam bidang perilaku neuroscience racun kolinergik yang sangat spesifik telah dikembangkan. Tampaknya bahwa kerusakan yang lebih besar dan lebih spesifik kolinergik, efek sedikit dapat diamati pada tingkat perilaku. Korelasi antara penurunan penanda kolinergik dan penurunan kognitif pada demensia mungkin tidak tebang habis seperti yang telah diasumsikan. Keterlibatan sistem neurotransmitter lain dalam fungsi kognitif secara singkat dibahas. Dengan mempertimbangkan hasil dari berbagai bidang penelitian, gagasan bahwa AcH memainkan peran penting dalam belajar dan proses memori tampaknya dilebih-lebihkan. Bahkan ketika peran sistem neurotransmitter

Page 5: Neurotransmiter Otak

lainnya dalam belajar dan memori dipertimbangkan, tidak mungkin bahwa AcH memiliki peran tertentu dalam proses ini. Atas dasar data yang tersedia, AcH tampaknya lebih khusus terlibat dalam proses attentional dibandingkan dalam proses pembelajaran dan memori

Noradrenergik atau Norepinefrin

Norepinephrine memiliki konsentrasi tinggi di dalam locus ceruleus serta dalam konsentrasi sekunder dalam hippocampus, amygdala, dan kortex cerebral. Selain itu ditemukan juga dalam konsentrasi tinggi di saraf simpatis.

Norepinephrine dipindahkan dari celah synaptic dan kembali ke penyimpanan melalui proses reuptake aktif.

Fungsi Utama adalah mengatur fungsi kesiagaan, pusat perhatian dan orientasi; mengatur “fight-flight”dan proses pembelajaran dan memory.

Gejala Defisit : Ketumpulan. Kurang energi (Fatique), Depresi Gejala Berlebihan : Anxietas. kesiagaan berlebih. Penurunan rasa awas, Paranoia, Kurang

napsu makan. dan Paranoid Badan sel neuron adrenergik yang menghasilkan norepinefrin terletak di locus

ceruleus(LC) batang otak dan berproyeksi ke korteks serebri, sistem limbik, basal ganglia, hipotalamus dan talamus. Ia berperan dalam mulai dan mempertahankan keterjagaan (proyeksi ke limbiks dan korteks). Proyeksi noradrenergik ke hipokampus terlibat dalam sensitisasi perilaku terhadap stressor dan pemanjangan aktivasi locus ceruleus dan juga berkontribusi terhadap rasa ketidakberdayaan yang dipelajari. Locus ceruleus juga tempat neuron-neuron yang berproyeksi ke medula adrenal dan sumber utama sekresi norepinefrin ke dalam sirkulasi darah perifer.

Stresor akut dapat meningkatkan aktivitas LC. Selama terjadi aktivasi fungsi LC, fungsi vegetatif seperti makan dan tidur menurun. Persepsi terhadap stressor ditangkap oleh korteks yang sesuai dan melalui talamus diteruskan ke LC, selanjutnya ke komponen simpatoadrenalsebagai respon terhadap stressor akut tsb. Porses kognitif dapat memperbesar atau memperkecil respon simpatoadrenal terhadap stressor akut tersebut.

Rangsangan terhadap bundel forebrain (jaras norepinefrin penting di otak) meningkat pada perilaku yang mencari rasa senang dan perilaku yang bertujuan. Stressor yang menetap dapat menurunkan kadar norepinefrin di forbrain medial. Penurunan ini dapat menyebabkan anergia, anhedonia, dan penurunan libido pada depresi.

Hasil metabolisme norepinefrin adalah 3-methoxy-4-hydroxyphenilglycol (MHPG). Penurunan aktivitas norepinefrin sentral dapat dilihat berdasarkan penurunan ekskresi MHPG. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MHPG mengalami defisiensi pada penderita depresi. Kadar MHPG yang keluar di urin meningkat kadarnya pada penderita depresi yang di ECT (terapi kejang listrik).

Dopamin

Berbagai penelitian menunjukkan dopamin juga makin mendekatkan pada kesimpulan bahwa neurotransmiter jenis ini mempengaruhi proses pengingatan. Melalui mekanisme kompensasi yang di munculkan oleh dopamin, maka hubungan zat kimia ini dalam proses belajar dan ingatan dapat terlihat jelas.

Page 6: Neurotransmiter Otak

Dopamin di produksi pada inti-inti sel yang terletak dekat dengan sistem aktivasi retikuler. Dopamin di bentuk dari asam amino tirosin, yang berfungsi membantu otak mengatasi depresi, meningkatkan ingatan dan meningkatkan kewaspadaan mental.

Walaupun dopamin di produksi oleh otak, individu tetap membutuhkan asupan tirosin yang cukup guna memproduksi dopamin. Tirosin di temukan pada makanan berprotein seperti : daging, produk-produk susu (sperti keju), ikan , kacang panjang, kacang-kacangan dan produk kedelai. Dengan 3-4 ons protein sehari, energi kita akan lebih terjaga.

Fungsi Dopamin sebagai neururotransmiter kerja cepat disekresikan oleh neuron-neuron yang berasal dari substansia nigra, neuron-neuron ini terutama berakhir pada regio striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya sebagai inhibisi

Dopamin bersifat inhibisi pada beberapa area tapi juga eksitasi pada beberapa area. Sistem norepinefrin yang bersifat eksitasi menyebar ke setiap area otak, sementara serotonin dan dopamin terutama ke regio ganglia basalis dan sistem serotonin ke struktur garis tengah (midline)

Ada empat jaras dopamin di otak, yaitu tuberoinfundobulair, nigrostriatal, mesolimbik, mesokorteks-mesolimbik. Sistem ini berfungsi untuk mengatur motivasi, konsentrasi, memulai aktivitas yang bertujuan, terarah dan kompleks, serta tugas-tugas fungsi eksekutif. Penurunan aktivitas dopamin pada sistem ini dikaitkan dengan gangguan kognitif, motorik, dan anhedonia yang merupakan manifestasi simptom depresi.

Glutamate

Asam amino glutamat dan glisisn merupakan neurotransmiter utama di SSP, yang terdistribusi hampir di seluruh otak. Ada 5 reseptor glutamat, yaitu NMDA, kainat, L-AP4, dan ACPD. Bila berlebihan, glutamat bisa menyebabkan neurotoksik. Obat-obat yang antagonis terhadap NMDA mempunyai efek antidepresan.

Glutamat merupakan neurotransmitter excitatory utama pada otak dimana hampir tiap area otak berisi glutamate. Glutamat memiliki konsentrasi tinggi di corticostriatal dan di dalam sel cerebellar. Gangguan pada neurotrasmitter ini akan berakibat gangguan atau penyakit bipolar afektif dan epilepsi.

Fungsi Utama Glutamat adalah pengaturan kemampuan memori dan memelihara ufngsi automatic.

Gejala Defisit : Gangguan memori, Low energy, Distractibilitas. Schizophrenia Gejala Berlebihan : Kindling, Seizures dan Bipolar affective disorder.

GABA

GABA merupakan neurotransmitter yang memegang peranan penting dalam gejala-gejala pada gangguan jiwa. Hampir tiap-tiap area otak berisi neuron-neuron GABA.

GABA (gamma-aminobutyric acid) memiliki efek inhibisi terhadap monoamin, terutama pada sistem mesokorteks dan mesolimbik.

Pada penderita depresi terdapat penurunan GABA. Stressor khronik dapat mengurangi kadar GABA dan antidepresor dapat meningkatkan regulasi reseptor GABA.Banyak pathway di otak menggunakan GABA dan merupakan Neurotransmitter utama untuk sel Purkinje. GABA dipindahkan dari synaps melalui katabolism oleh GABA transaminase

Page 7: Neurotransmiter Otak

Fungsi Utama adalah menurunkan arousal dan mengurangi agresi, kecemasan dan aktif dalam fungsi eksitasi.

Gejala Defisit : Irritabilitas, Hostilitas, Tension and worry, Anxietas, Seizure. Gejala Berlebihan : Mengurangi rangsang selular, Sedasi dan Gangguan memori

HPA aksis (Hypothalamic-Pituitary-Adrenal)

Bila pengalaman yang berbentuk stressor dalam kehidupan sehari-hari kita tercatat dalam korteks serebri dan sistem limbik sebagai stresor atau emosi yang mengganggu, bagian dari otak ini akan mengirim pesan ke tubuh. Tubuh meningkatkan kewaspadaan untuk mengatasi stressor tersebut. Target adalah kelenjar adrenal. Adrenal akan mengeluarkan hormon kortisol untuk mempertahankan kehidupan. Kortisol memegang peranan penting dalam mengatur tidur, nafsu makan, fungsi ginjal, sistem imun, dan semua faktor penting kehidupan. Peningkatan aktivitas glukokortikoid (kortizol) merupakan respon utama terhadap stressor. Kadar kortisol yang meningkat menyebabkan “umpan balik”, yaitu hipotalamus menekan sekresi cortikotropik-releasing hormone (CRH), kemudian mengirimkan pesan ini ke hipofisis sehingga hipofisi juga menurunkan produksi adrenocortictropin hormon (ACTH). Akhirnya pesan ini juga diteruskan kembali ke adrenal untuk mengurangi produksi kortisol.

Pengalaman buruk seperti penganiayaan pada masa anak atau penelantaran pada awal perkembangan merupakan faktor yang bermakna untuk terjadinya gangguan mood pada masa dewasa.

Sistem CRH merupakan sistem yang paling terpengaruh oleh stressor yang dialami seseorang pada awal kehidupannya. Stressor yang berulang menyebabkan peningkatan sekresi CRH, dan penurunan sensitivitas reseptor CRH adenohipofisis. Stressor pada awal masa perkembangan ini dapat menyebabkan perubahan yang menetap pada sistem neurobiologik atau dapat membuat jejak pada sistem syaraf yang berfungsi merespon respon tersebut. Akibatnya, seseorang menjadi rentan terhadap stressor dan resiko terhadap penyakit-penyakit yang berkaitan dengan stressor meningkat, seperti terjadinya depresi setelah dewasa.

Stressor pada awal kehidupan seperti perpisahan dengan ibu, pola pengasuhan buruk, menyebabkan hiperaktivitas sistem neuron CRH sepanjang kehidupannya. Selain itu , setelah dewasa, reaktivitas aksis HPA sangat berlebihan terhadap stressor.

Adanya faktor genetik yang disertai dengan stressor di awal kehidupan, mengakibatkan hiperaktivitas dan sensitivitas yang menetap pada sistem syaraf. Keadaan ini menjadi dasar kerentanan seseorang terhadap depresi setelah dewasa. Depresi dapat dicetuskan hanya oleh stressor yang derajatnya sangat ringan.

Peneliti lain melaporkan bahwa respons sistem otonom dan hipofisis-adrenal terhadap stressor psikososial pada wanita dengan depresi yang mempunyai riwayat penyiksaan fisik dan seksual ketika masa anak lebih tinggi dibanding kontrol.

Stressor berat di awal kehidupan menyebabkan kerentanan biologik seseorang terhadap stressor. Kerentanan ini menyebabkan sekresi CRH sangat tinngi bila orang tersebut menghadapi stressor. Sekresi tinggi CRH ini akan berpengaruh pula pada tempat di luar hipotalamus, misalnya di hipokampus. Akibatnya, mekanisme “umpan balik” semakin terganggu. Ini menyebabkan ketidakmampuan kortisol menekan sekresi CRH sehingga

Page 8: Neurotransmiter Otak

pelepasan CRH semakin tinggi. Hal ini mempermudah seseorang mengalami depresi mayor, bila berhadapan dengan stressor.

Peningkatan aktivitas aksis HPA meningkatkan kadar kortisol. Bila peningkatan kadar kortisol berlangsung lama, kerusakan hipokampus dapat terjadi. Kerusakan ini menjadi prediposisi depresi. Simptom gangguan kognitif pada depresi dikaitkan dengan gangguan hipokampus

Hiperaktivitas aksis HPA merupakan penemuan yang hampir selalu konsisten pada gangguan depresi mayor. Gangguan aksis HPA pada depresi dapat ditunjukkan dengan adanya hiperkolesterolemia, resistennya sekresi kortisol terhadap supresi deksametason, tidak adanya respon ACTH terhadap pemberian CRH, dan peningkatan konsentrasi CRH di cairan serebrospinal. Gangguan aksis HPA, pada keadaan depresi, terjadi akibat tidak berfungsinya sistem otoregulasi atau fungsi inhibisi umpan balik. Hal ini dapat diketahui dengan test DST (dexamethasone supression test).

Endorphin

Endorphin adalah suatu bahan-kimia diproduksi di dalam otak dan spinal cord yangmengurangi rasa nyeri dan meningkatkan mood. Dalam keadaan defisit adalahKeluhan Somatic.

Referensi

 

Steiger H, Bruce KR, Groleau P. Neural circuits, neurotransmitters, and behavior: serotonin and temperament in bulimic syndromes. Curr Top Behav Neurosci. 2011;6:125-38.

Andreasen,NC. Mood disorders.2001. Dalam : Brave new brain. Conquering mental illness in t6he era of the genome. Oxford University Press 215-240.

Bhagwagar, ZB., Whale, R., Cowen, PJ. 2002. State and trait abnormalities in serotonin function in major depression. Br.J. Psycchiatry. 181:242-247.

Bonaventura, P., Voom,P., Luyten, WHML, Jurzak M, . 1999. Detailed mapping of serotonin 5-HT1B and 5-HT-1D reseptor messenger RNA and ligand binding sites in guinea-pig brain and trigeminal ganlion:clues for fungtion. Neuroscience. 82: 469-484.

Joseph, R. Hippocampus. 1996. Dalam: Neuropsychiatry, Neuropsychology and Clinical Neuroscience. Emotion, Evolution, Cognition, Language, Memory, Brain Damage, and Abnormal Behaviour. Second ed. Williams & Wilkins, 193-216.

Post, RM., Gordon, EK, Goodween, FK. Bunney,WE. 1973. Central norepinephrine metabolism in affective illness: MHPG in the cerebrospinal fluid. Science 1973; 179: 1002-1003

Blokland A. Acetylcholine: a neurotransmitter for learning and memory. Brain Res Brain Res Rev. 1995 Nov;21(3):285-300.

Page 9: Neurotransmiter Otak

Pendahuluan

       Stres kronik juga dapat meningkatkan sintesis autoreseptor 5 HTIA di nukleus rafe dorsalis

yang selanjutnya menurunkan transmisi serotonin. Dalam keadaan stres kronik, glukokortikoid

akan meningkat dan cenderung meningkatkan fungsi serotonin, Depresi merupakan salah satu

gangguan psikiatrik yang lazim terdapat dalam populasi. Insidensi depresi terdapat sekitar 5 %

dari populasi. Hanya sepertiga orang dengan gangguan depresi yang berobat, hal ini dikarenakan

selain tidak terdeteksi oleh petugas kesehatan juga dikarenakan gangguan ini dianggap suatu

defisiensi moral yang dirasa memalukan dan harus disembunyikan. Depresi merupakan satu

bentuk gangguan mood  (gangguan afektif) dan lebih bersifat sindrom, yang terdiri dari

sekumpulan gejala. Kumpulan gejala depresi adalah 1. gangguan vegetatif seperti tidur, nafsu

makan, berat badan dan dorongan seksual; 2. gambaran kognitif, seperti  perhatian, toleransi

terhadap frustrasi, memori, distorsi negatif;  3. kontrol impuls misalnya pembunuhan, bunuh diri;

4. gambaran perilaku, misalnya motivasi, perasaan senang, minat, kelelahan dan 5. gambaran

fisik (somatik) misalnya nyeri kepala, nyeri perut dan tegang otot. (1,2).

          Beberapa faktor risiko terjadinya gangguan depresi berat diantaranya wanita dua kali

dibanding pria, usia awitan 20-40 tahun, riwayat keluarga positif depresi berisiko 1,5 – 3 kali,

status marital misalnya pasangan yang berpisah atau cerai, wanita yang kawin , pria yang tidak

kawin dan wanita post partum (1)

            Pasien depresi yang tidak diobati memiliki konsekwensi biaya tersembunyi (hidden cost),

misalnya bunuh diri, kecelakaan fatal akibat gangguan konsentrasi, kematian dikarenakan

penyakit akibat penyalahgunaan alkohol, kehilangan pekerjaan, gagal melanjutkan sekolah,

penyalahgunaan obat, disharmoni keluarga, penurunan produktivitas, kecelakaan akibat kerja dan

sebagainya. (1)

Faktor biologik

            Terjadinya gangguan depresi dapat diakibatkan oleh beberapa faktor ialah  faktor

biologik, genetik, faktor psikososial dan faktor lingkungan. (3,4)

            Beberapa studi faktor biologik melaporkan adanya kelainan metabolit amin biogenik,

misalnya 5 hydroxy indol acetic acid (5-HIAA), homovanilic acid (HVA) dan 5-hydroxy-4-

hydroxyphenyl-glycol (MHPG) dalam darah, urine dan cairan serebrospinal  pada pasien

gangguan mood. Dari laporan data tersebut sangat konsisten dengan hipotesis, bahwa gangguan

Page 10: Neurotransmiter Otak

mood berkaitan dengan disregulasi heterogen amin biogenik. Di antara amin biogenik tersebut

norepinefrin dan serotonin merupakan neurotransmiter yang paling terlibat pada patofisiologi

gangguan mood. Tapi ada juga hipotesis yang mengatakan bahwa dopamin terlibat pada

gangguan tersebut. Selain amin biogenik, terdapat teori yang mengatakan keterlibatan regulasi

endokrin dan faktor-faktor neurokimiawi lainnya misalnya asetilkolin, gama amino butyric acid

(GABA), melatonin, glisin, histamin, tiroid, hormon adrenal dan neuropeptid (3,4,5)

Norepinefrin

            Diduga, bahwa sistem noradrenergik terlibat pada gangguan depresi. Hal ini berdasarkan

studi ilmu dasar yang mengkaitkan adanya  down regulation reseptor β adrenergik dengan respon

klinik terhadap antidepresan. Neuron noradrenergik mempunyai badan sel (cell body) sebagian

besar di batang otak yang disebut locus ceruleus. Fungsi utama locus ceruleus adalah

menentukan apakah perhatian bisa terfokus pada lingkungan eksternal dan memantau lingkungan

internal tubuh. Norepinefrin dan locus ceruleus  diduga memberi input penting pada kontrol

sistem saraf pusat, misalnya fungsi kognisi , mood, emosi, gerakan dan tekanan darah. Malfungsi

locus ceruleus diduga mendasari gangguan mood dan kognisi seperti depresi, cemas, gangguan

perhatian dan pemrosesan informasi. Sindroma defisiensi norepinefrin secara teoritis ditandai

dengan hendaya perhatian, gangguan konsentrasi, gangguan working memory, gangguan

pemrosesan informasi, retardasi psikomotor, kelelahan, apatis dan penurunan libido. Gejala-

gejala tersebut sering menyertai depresi seperti juga menyertai gangguan perhatian, kognisi,

skizofrenia dan sebagainya (1,6). Bukti lain menunjukkan, bahwa pada depresi terjadi aktivasi

terhadap reseptor presinaptik β2 yang menyebabkan menurunnya pelepasan norepinefrin. Peran

norepinefrin ini didukung dengan efektifnya, paling tidak untuk beberapa gejala, obat yang

bekerja pada sistem norepinefrin misalnya venlafaxin (3)

Serotonin

            Dengan makin maraknya SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor) untuk mengobati

depresi, serotonin menjadi satu neurotransmiter penting berkaitan dengan gangguan ini. Selain

SSRI dan serotonergik antidepresan efektif, data lain menunjukkan, bahwa serotonin terlibat

dalam patofisiologi depresi. Kekurangan serotonin dapat mempresipitasi depresi dan pasien

dengan impulsivitas bunuh diri memiliki kadar metabolit serotonin rendah (1,3).

Page 11: Neurotransmiter Otak

            Markas besar badan sel neuron serotonergik berada di batang otak pada area yang

dinamakan rafe nukleus. Dari rafe nukleus banyak terdapat proyeksi neuron ke bagian lain otak

dan di luar otak. Proyeksi ke korteks frontalis diduga penting dalam pengaturan mood. Proyeksi

ke basal ganglia berperan pada gerakan seperti obsesi dan kompulsi. Proyeksi ke daerah limbik

terlibat pada keadaan cemas dan panik. Proyeksi ke hipotalamus mengatur selera serta perilaku

makan. Neuron serotonergik di pusat tidur batang otak mengatur tidur terutama tidur stadium 3

dan 4 (slow wave sleep). Proyeksi serotonergik ke bawah ke medula spinalis diduga bertanggung

jawab terhadap refleks spinalis, bagian dari reseptor seksual seperti orgasme dan ejakulasi.

Terdapat zona “pacuan” di batang otak yang dapat memediasi muntah. Juga terdapat reseptor

perifer di sistem gastrointestinal yang mengatur fungsi gastrointestinal misalnya gerakan usus.

Defisiensi serotonin mengakibatkan satu sindrom yang meliputi mood depresi, anxietas, panik,

fobia, obsesi-kompulsi dan bulimia. (1)

            Terdapat bukti, bahwa neurotransmisi serotonin sebagian dipengaruhi atau dikontrol

faktor genetik. Tonus serotonin berfluktuasi. Dalam keadaan stres akut terjadi peningkatan

serotonin sementara, dalam keadaan stres kronik menyebabkan penurunan aktivitas serotonin

dan penyimpanan serotonin. sehingga mempunyai efek kompensasi yang bermakna. (1,6)

Dopamin

            Meskipun kebanyakan teori terjadinya depresi melibatkan serotonin dan norepinefrin,

namun dopamin juga diduga mempunyai peran pada gangguan ini. Data menunjukkan, bahwa

dopamin menurun pada depresi sedangkan pada mania meningkat. Obat-obat yang menurunkan

kadar dopamin, misalnya reserpin dan penyakit dengan penurunan dopamin, misalnya Parkinson,

berkaitan dengan gejala depresi. Sebaliknya obat-obat yang meningkatkan kadar dopamin,

misalnya tirosin, amfetamin mengurangi gejala depresi. Teori saat ini mengenai dopamin dan

depresi mengatakan bahwa lintasan dopamin mesolimbik mengalami disfungsi, dan reseptor

dopamin tipe D1 mengalami hipoaktif pada depresi. Penurunan aktivitas lintasan mesolimbik dan

mesokorteks pada depresi menggangu fungsi kognitif, motorik dan hedonia (3,6)

Faktor neurokimiawi lain

            Walaupun belum merupakan suatu kesimpulan, neurotransmiter asam amino (terutama

gamma-amino butyric acid – GABA) dan peptida neuroaktif (terutama vasopressin dan opiat

Page 12: Neurotransmiter Otak

endogen) dikatakan berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Beberapa peneliti berpendapat

bahwa sistem second messenger seperti adenylate cyclase, phosphotidylinositol dan kalsium

dapat terlibat secara kausal. Asam amino glutamat dan glisin, yang merupakan neurotransmiter

eksitatori utama dalam susunan saraf pusat terikat pada sisi yang berkaitan dengan N-methyl–D–

aspartate (NMDA), dalam keadaan berlebihan mempunyai efek toksik. Hipokampus memiliki

banyak (konsentrasi tinggi) reseptor NMDA, sehingga dalam keadaan dimana orang mengalami

stres kronik akan terjadi efek neurokognitif, karena dimediasi oleh hiperkortisolemia. Terdapat

bukti juga, bahwa obat yang bekerja antagonis terhadap NMDA reseptor memiliki efek anti

depresan. (3)

Regulasi neuroendokrin

            Salah satu organ penting dalam otak, yaitu hipotalamus merupakan pusat regulasi aksis

neuroendokrin. Ia memperoleh input neuronal yang melibatkan neurotransmiter amin biogenik.

Berbagai gangguan neuroendokrin telah dilaporkan pada pasien-pasien gangguan mood , dan

gangguan regulasi aksis neuroendokrin dapat diakibatkan oleh fungsi abnormal neuron-neuron

yang mengandung amin biogenik. Aksis neuroendokrin utama yang terlibat di sini adalah aksis

hormon adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan. (3)

Aksis adrenal

Peran kortisol. Seperti sudah kita ketahui, teori lama mengatakan bahwa terdapat hubungan

antara hipersekresi kortisol dengan depresi. Sekitar 50 % penderita depresi memiliki peningkatan

kadar kortisol. Neuron dalam nukleus paraventrikuler (PVN) hipotalamus melepaskan

corticotropin – releasing hormon (CRH); hormon ini merangsang pelepasan

adrenocorticotrophic hormon (ACTH) dari hipofisis anterior. ACTH dilepas bersama dengan β –

endorphin dan β–lipotropin, dua peptida yang disintesis dari prekursor protein yang sama dengan

sintesisnya ACTH. ACTH merangsang pelepasan kortisol korteks adrenal. Mekanisme balik

kortisol bekerja dengan cara paling tidak melalui 2 mekanisme. Mekanisme balik cepat : sensitif

terhadap peningkatan kadar kortisol, bekerja melalui reseptor kortisol hipokampus dan

menurunkan pelepasan ACTH. Mekanisme lambat : sensitif terhadap kadar stabil kortisol,

mekanismenya diduga lewat reseptor hipofisis dan adrenal. (3)

Aksis tiroid

Page 13: Neurotransmiter Otak

      Gangguan tiroid ditemukan pada sekitar 5 – 10 % pasien depresi. Implikasi klinis dari kaitan

ini adalah pentingnya penentuan status tiroid pada pasien depresi. Sekitar sepertiga pasien

gangguan depresi berat memperlihatkan pelepasan lambat (tumpul) tirotropin  (TSH) terhadap

infus protirelin (suatu thyrotropin releasing hormone). Tapi abnormalitas ini terdapat juga pada

gangguan psikiatrik lain, sehingga kemanfaatan diagnostiknya terbatas.(3)

Hormon pertumbuhan

      Beberapa studi menunjukkan perbedaan statistik antara pasien depresi dengan lainnya dalam

hal pelepasan hormon pertumbuhan. Somatostatin menghambat GABA, ACTH dan TSH. Kadar

somatostatin lebih rendah pada cairan serebrospinal orang depresi dibandingkan dengan orang

skizofrenia atau orang normal, dan kadarnya meningkat pada orang dengan mania. Pelepasan

prolaktin dari hipofisis dirangsang oleh serotonin dan dihambat oleh dopamin. Pada depresi tidak

ditemukan abnormalitas bermakna sekresi prolaktin. (3)

Abnormalitas tidur

            Masalah tidur – initial and terminal insomnia, sering terbangun, hipersomnia- merupakan

gejala klasik depresi. Telah lama diketahui, bahwa gambaran EEG tidur orang depresi

memperlihatkan abnormalitas, yang lazim adalah delayed sleep onset, pemendekan latensi REM

(rapid eyes movement) , periode REM pertama memanjang, tidur delta abnormal. EEG tidur ini

sering dipakai oleh para peneliti dalam asesmen diagnostik pasien dengan gangguan mood (3)

Neurofisiologi

            Gejala-gejala gangguan mood dan studi biologik menunjukkan, bahwa pada gangguan

mood terdapat gangguan pada sistem limbik, hipotalamus dan basal ganglia. Orang yang

mengalami gangguan neurologik basal ganglia dan sistem limbik tampaknya mengalami gejala-

gejala depresi. Sistem limbik dan basal ganglia merupakan dua organ yang saling terkait erat.

Sistem limbik mempunyai peran penting pada munculnya emosi. Adanya disfungsi hipotalamus

pada depresi ditunjukkan dengan adanya perubahan tidur, napsu makan, perilaku seksual,

perubahan-perubahan endokrin dan immunologik. Gejala lain depresi, seperti postur bungkuk,

perlambatan motorik dan hendaya kognitif minor mirip dengan tanda orang dengan gangguan

basal ganglia, misalnya Parkinson. (3)

Page 14: Neurotransmiter Otak

Hipotesis monoamin ekspresi gen

Walaupun teori defisiensi monoamin sudah begitu sering dikemukakan berkaiatan

terjadinya depresi, namun sebenarnya hingga sejauh ini belum ada bukti yang jelas dan

meyakinkan bahwa defisiensi monoamin bertanggung jawab terhadap depresi, dalam arti tidak

ada defisit monoamin yang nyata. Tidak ada bukti yang benar-benar nyata, bahwa kelebihan atau

defisiensi reseptor monoamin mengakibatkan depresi. Sebaliknya berkembang bukti, bahwa

walaupun kadar monoamin dan reseptornya normal tapi sistem tersebut tidak berespon secara

normal misalnya penelitian terhadap reseptor monoaminergik dengan obat yang menstimulir

sistem ini akan mengakibatkan penurunan output hormon neuroendokrin, dan menyebabkan

perubahan defisit pada neuronal firing rates seperti diperlihatkan pada positron emission

tomography (PET). Pemikiran ini memunculkan suatu ide bahwa depresi dapat merupakan

defisiensi pseudomonoamin akibat defisiensi transduksi sinyal dari neurotransmiter monoamin

ke neuron post sinaptik dimana jumlah neurotransmiter dan reseptornya normal. Apabila terdapat

defisiensi proses molekuler dimulai dari okupansi reseptor oleh neurotransmiter dapat

menyebabkan defisiensi respon seluler sehingga terjadi yang disebut defisiensi

pseudomonoamin, misalnya reseptor dan neurotransmiter normal tapi transduksi sinyal dari

neurotransmiter ke reseptornya kacau. (1).

            Keadaan yang mirip mungkin terjadi dari hipotesis adanya problem peristiwa molekuler

distal dari reseptor. Sistem pembawa pesan ke dua (second messenger system) yang

mengakibatkan pembentukan faktor transkripsi intra seluler yang mengatur gen dapat merupakan

sisi defisiensi fungsi sistem monoamin. Ini merupakan tantangan riset saat ini yang berbasis

molekuler pada gangguan afektif. Hipotesis ini mengatakan bahwa defisiensi secara molekuler

terjadi pada monoamin yang berada distal terhadap neuron monoamin dan reseptornya, meskipun

tampak jumlah monoamin dan reseptornya normal (1)

Satu kemungkinan mekanisme gangguan transduksi sinyal dari reseptor monoamine

adalah target gen bagi BDNF (brain derived neurotrophic factor).  Secara normal BDNF

berfungsi mempertahankan kehidupan neuron otak. Dalam keadaan stres, gen untuk BDNF

tertekan mengakibatkan atrofi atau apoptosis neuron-neuron hipokampus yang vulnerable bila

BDNF mengalami kerusakan. Keadaan ini bisa menyebabkan depresi dan konsekwensi

terjadinya episode berulang, artinya bisa muncul berkali-kali episode berulang dan kurang

Page 15: Neurotransmiter Otak

responsif terhadap pengobatan. Kemungkinan turunnya jumlah neuron dan hendaya fungsi

neuron-neuron di hipokampus selama depresi didukung oleh studi imaging  klinis yang

memperlihatkan penurunan volume otak (struktur yang terkait). Hipotesis molekuler dan seluler

ini sesuai dengan mekanisme distal reseptor dan melibatkan ekspresi gen. Dengan demikian

stress induced vulnerability menurunkan ekspresi gen, dan hal ini membuat faktor neurotropik

seperti BDNF menjadi hal yang penting bagi kehidupan dan fungsi neuron. Hipotesis ini

berkonsekuensi logis, bahwa obat anti depresan mengatasi kondisi ini dengan teraktivasinya gen

bagi faktor neurotropik. (1)

Penutup

Terdapat beberapa faktor seperti neurofisiologi, sistem neurotransmiter, neuroendokrin

dan hipotesis ekspresi gen. Diharapkan untuk waktu mendatang lebih banyak lagi bukti-bukti

secara neurobiologi mengungkap proses atau mekanisme gangguan psikiatri khususnya

gangguan depresi.

Page 16: Neurotransmiter Otak

DAFTAR PUSTAKA

1.      Stahl,S.M. 2002, Essential Psychopharmacology-Neuroscientific Basic and Practical Applications,2nd Ed,Canbridge University Press,Canbridge.

2.      Neal,M.Z, 1993,Medical Pharmacology at a Glance, 2nd , Black Well Scientific Publications, London.

3.      Sadock B.J. and Sadock V.A., eds, 2003, Kaplan and Sadock’s Synopsis of  Psychiatry, Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 9thed, Lippincott Williams and Wilkins, New York

4.      Loosen,P.T, 2000, Mood Disorder dalam Ebert,M.H,at.al,ed, Current Diagnosis & Treatment in psychiatry, Mc Graw-Hill International editions, New York, 290 -327.

5.      Hyman,S.E, 1993, The Molecular Foundation of Psychiatry, American Psychiatric Press, Inc.1st

ed, Washington.

6.      Thase,M.E, 2005, Mood Disorder : Neurobiology dalam Sadock .B.Y. and Sadok,V.A,eds : Comprehensive Textbook of Psychiatry, vol 1 B, 8th ed. Lippincott Williams and Wilkins, New York, 1594 – 1603.