Upload
gee-dragon
View
379
Download
26
Embed Size (px)
Citation preview
GEOLOGI , STUDI MIKROFASIES DAN FASE DIAGENESIS FORMASI JONGGRANGAN KECAMATAN
SAMIGALUH, KECAMTAN KALIBAWANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN KULON PROGO
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Oleh :
FERY ANDIKA CAHYO
111 070 134
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2011
GEOLOGI , STUDI MIKROFASIES DAN FASE DIAGENESIS FORMASI JONGGRANGAN KECAMATAN
SAMIGALUH, KECAMTAN KALIBAWANG DAN SEKITARNYA, KABUPATEN KULON PROGO
PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Oleh :
FERY ANDIKA CAHYO
111 070 134
Disusun Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Geologi
Yogyakarta, September 2011
Menyetujui,
Pembimbing 1
Ir. Sugeng Widada, M.Sc NIP. 19631002 199103 1 001
Pembimbing 2
Dr. Ir. Premonowati, M.T NIP. 19610218 198703 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan
Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T NIP. 19581208 199203 1 001
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Allah Bapa, Tuhan Yesus Kristus, dan Roh Kudus, aku tidak tahu
jawaban atas segala pertanyaan hidup ini tapi aku tahu Siapa yang
memegang jawabannya, terima kasih Tuhan.
2. Bapakku tercinta, atas segala jerih payah dan pengorbanannya, suatu
hari nanti aku akan membuatmu bangga.
3. Ibuku terkasih, atas segala perhatian, tenaga, dan kasih sayangnya,
suatu hari nanti aku akan membuatmu bangga.
4. Kakakku Prita, kakakku Hagni, dan adikku Sagara, atas dukungan,
canda tawa, kasih, yang membuatku tetap semangat dalam
pengerjaan skripsi ini.
5. Saudara-saudariku Michael Hadylaya, Nata Anggoro, Stephanie
Hadylaya, Debie Naomi, Adhyaksa Bagaskara, dan Bayu Aji, kalian
pelipur lara di saat hidup terasa perih, terima kasih atas kebersamaan
dan kehangatannya.
6. Sedimentology brotherhood terdiri atas Iqbal Fardyansyah, Oktavika
Malda, Ardy Suryadi, Reiner Freidrick, Adrean Novadhani, Sutrio
Wibowo, Graniko Rezza, Syamsi Maslamah, Anita, Arif Swastika,
Angga Beny, Saddam, Rezza, Farah, dan Hargi, untuk inspirasi,
pelajaran, kekeluargaan, dan persahabatannya. Kalian mengguratkan
warna yang unik dalam kisah hidupku.
7. Geopangea research team terdiri atas bapak Dr. Ir. C. Prasetyadi,
MT., Zaenal Fanani, Aldis, Iis, Gilang, Hanif, Harmin, Ryan, Popo,
Yuda, Daniar, atas waktu berkualitas yang kita luangkan bersama.
8. Sahabat-sahabatku Ninez, Rani, Puput, Sales, Pose, Vian, Maruli,
Ewa, Jose, Ardo, kalian semua luar biasa, senang mengenal kalian.
9. Adinda Marsita Putri, kamu datang di saat yang tepat, terima kasih
untuk semua pelajaran hidup, terima kasih untuk seberkas cahaya
yang akan selalu menghangatkan jiwa, memang tidak ada yang
namanya kebetulan.
iv
HALAMAN MOTO
“Tuhan itu baik”
“ There’s nothing you can do that can’t be done. There’s nothing you
can sing that can’t be sung. There’s nothing you can make that can’t be
made. No one you can save that can’t be saved. There’s nothing you can
know that isn’t known. Nothing you can see that isn’t shown. Nowhere
you can be that isn’t where you are meant to be.
All you need is love….”
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas segala berkat
dan penyertaan-Nya sehingga penulisan skripsi dengan judul “Geologi, Studi
Mikrofasies Dan Fase Diagenesis Formasi Jonggrangan Kecamatan Samigaluh,
Kecamatan Kalibawang dan Sekitarnya Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta“ dapat diselesaikan dengan baik.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari peran serta orang-orang yang
telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Ir. Sugeng Rahardjo, M.T, selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi, yang
memberikan kemudahan dalam pengurusan administrasi di Jurusan.
2. Bapak Ir. Sugeng Widada, M.Sc selaku dosen pembimbing 1 dan Ibu
Dr. Ir. Premonowati, M.T. selaku dosen pembimbing 2 yang telah banyak
memberikan masukan, kritik, dan saran-saran dalam penulisan skripsi.
3. Bapak, Ibu, kedua Kakak dan Adik penulis yang telah memberikan banyak
dukungan selama pengerjaan skripsi hingga selesai.
4. Saudara-saudara teknik geologi, Iqbal Fardyansah, Octavika Malda, Zaenal
Fanani, Francisco Carmo Da Costa Tilman, Sutrio Wibowo, Adrean Novadhani,
Jose Sarmento, Edward Ontorael, Graniko Reza Pratama, Anita, Rahmad Indra,
Gilang, Isnianto, Adi Pulung yang telah membantu pemetaan, analisis
laboraterium dan memberi inspirasi penulis untuk menyelesaikan skripsi.
5. Semua pihak yang telah banyak membantu.
Kesempurnaan dan kebenaran hanyalah milik Tuhan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan skripsi ini.
Semoga skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.
Yogyakarta, September 2011
Penulis
vi
SARI
GEOLOGI, STUDI MIKROFASIES & FASE DIAGENESIS FORMASI JONGGRANGAN, KECAMATAN SAMIGALUH, KECAMATAN
KALIBAWANG & SEKITARNYA, KABUPATEN KULON PROGO, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Oleh: Fery Andika Cahyo
111.070.134
Daerah penelitian meliputi wilayah Kecamatan Kalibawang, Kabupaten Kulon
Progo, Propinsi D.I Yogyakarta. Daerah penelitian Secara Geografis terletak pada koordinat
411660– 416760 dan 9147625 – 9152625 UTM Zona 49. Aspek geologi, mikrofasies, dan
fase diagenesis akan menjadi objek telitian yang diangkat pada skripsi ini.Geomorfologi
daearah penelitian dibedakan menjadi dua satuan bentuk asal, yaitu bentuk asal fluvial
dengan bentuk lahan berupa dataran aluvial (F1), dan tubuh sungai(F2) serta bentuk asal
struktural dengan bentuk lahan berupa perbukitan homoklin (S1), dan lembah homoklin(S2).
Stratigrafi yang ada di daerah penelitian dibagi menjadi enam satuan batuan dengan urutan
dari yang paling tua adalah Satuan breksi-monomik Kaligesing(Oligosen akhir Miosen-
awal), Satuan breksi-polimik Dukuh(Oliogesen akhir-Miosen awal), Satuan batugamping-
terumbu Jonggrangan(Miosen tengah), Satuan batugamping-pasiran Sentolo(Miosen tengah,
dan Satuan endapan alluvial(Holosen). Terdapat juga satuan litodem andesit intrusi-Tetes.
Berdasarkan analisis mikrofasies terhadap satuan batugamping-terumbu Jonggrangan jenis
mikrofasies yang muncul di daerah telitian adalah coral floatstone with microspar dominated
matrix, wackestone with micirite and microspar matrix 1, Boundstone 1, lepidocyclina
wackestone to packstone with micirite matrix, Boundstone 2(Coral framestone with
wackestone matrix), dan wackestone with micirite and microspar matrix 2. Perkembangan
Fase diagenesis berupa fase eogenesis, mesogenesis, dan telogenesis terekam dalam
kenampakan mikrofasies yang ada sehingga dapat diintrepertasikan perkembangannya.
Intensitas dari proses diagenesis ini dikontrol oleh beberapa faktor salah satunya adalah
aspek fasies.
Kata kunci: Jonggrangan, Mikrofasies, Fase Diagenesis
vii
ABSTRACT
GEOLOGY, MICROFACIES & DIAGENETIC PHASE OF JONGGRANGAN FORMATION, SAMIGALUH & KALIBAWANG SUB-DISTRICT, KULON PROGO REGENCY, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PROVINCE
By:
Fery Andika Cahyo
111.070.134
The studied area encompasses the region of Samigaluh and Kalibawang district,
Kulon Progo residence, Daerah Istimewa Yogyakarta Province. It’s precisely located on
X:411660– 416760 and Y: 9147625 – 9152625 coordinate based on UTM 49 Zone. The
thesis emphasizes the effort to understanding geological aspect, microfacies aspect,
diagenetic phase aspect of the object which become the main concern of it.Based on
geomorphic consideration the studied are is distinguished into two basic form, the fluvial
basic form which is subdivided into alluvial plain(F1) and the river body(F2), and the
structural basic form which is subdivided into homoclinal ridges(S1), and homoclinal
valley(S2).The stratigraphy of the studied area is subdivided litostratigraphically into five
different rock units based on litology similiarity supported by comparing its against previous
research which conducted on the same area. From oldest to youngest respectively are
Satuan breksi-monomik Kaligesing(Late Oligocene-Early Miocene), Satuan breksi-polimik
Dukuh(Late Oligocene-Early Miocene), Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan(Middle
Miocene), Satuan batugamping-pasiran Sentolo(Middle Miocene), and finally Satuan
endapan alluvial(Holocene). Litodemic andesite intrusion unit occurred as well.Based on
micofacies analysis on Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan this area is typified by the
occurrence of coral floatstone with microspar dominated matrix, wackestone with micirite
and microspar matrix 1, Boundstone 1( consist of coral framestone with packstone matrix ,
platy coral bindstone 1, coraline framestone with diverse organism packstone, algae
bindstone, dasycladaceae algae bafflestone, coral framestone with red algae packstone, dan
platy coral bindstone 2), lepidocyclina wackestone to packstone with micirite matrix,
Boundstone 2(Coral framestone with wackestone matrix), and wackestone with micirite and
microspar matrix 2.The diagenetic phase of on Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan is
merely complex and depict the relict of eogenetic phase, mesogenetic phase, and telogenetic
phase. Probably it is controlled by several aspect, just to mention the facies.
Key word: Jonggrangan, Microfacies, Diagenetic
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. ii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ iii
HALAMAN MOTO .............................................................................................. iv
UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................................. v
SARI....................................................................................................................... vi
ABSTRACT............................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
DAFTAR FOTO .................................................................................................. xviii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xxiv
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Penelitian .............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3. Batasan Masalah ............................................................................................ 2
1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian ...................................................................... 2
1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................................ 2
1.6. Hasil Yang Diharapkan ……………………………………………………. 3
1.7. Manfaat Penelitian ………………………………………………………… 3
BAB 2. METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………. 5
2.1. Tahap Pendahuluan ………………………………………………………... 5
2.1.1. Penyusunan Proposal dan Kelengkapan Administrasi …………….. 5
2.1.2. Kajian Pustaka ……………………………………………………... 5
2.2. Bahan dan Alat …………………………………………………………….. 6
2.3. Tahap Pelaksanaan …………………………………………………............ 7
2.3.1. Observasi Lapangan ……………………………………………….. 8
2.3.2. Pemetaan Lintasan ………………………………………………… 8
2.3.3. Pembuatan Penampang Stratigrafi Terukur ……………………….. 8
ix
2.3.4. Pengambilan Sampel Batuan dan Dokumentasi Lapangan ……….. 8
2.4. Tahap Analisis ……………………………………………………………... 8
2.4.1. Petrografi Batuan ………………………………………………...... 8
2.4.2. Analisa Geomorfologi ……………………………………………... 9
2.4.3. Analisa Struktur …………………………………………………… 9
2.4.4. Analisa Sayatan Tipis ……………………………………………… 9
2.4.5. Analisa Kalsimetri ………………………………………………… 9
2.4.6. Analisa Etsa (Etching Method) ……………………………………. 10
2.4.7. Analisa Mikropaleontologi ………………………………………... 10
2.4.8. Analisa Studio ……………………………………………………... 10
2.5. Penyusunan Laporan ………………………………………………………. 10
BAB 3. DASAR TEORI ……………………………………………………….. 12
3.1. Pengertian Batuan Karbonat ………………………………………………. 12
3.2. Klasifikasi Batuan Karbonat ………………………………………………. 12
3.2.1. Klasifikasi Batuan Karbonat Menurut Folk (1959) ……………….. 12
3.2.1.1. Tipe I (Sparry Allochemical Rock) …………………………. 12
3.2.1.2. Tipe II (Microcrystalline Allochemical Rock) ……………… 13
3.2.1.3. Tipe III (Microcrystalline Rock) …………………………….. 13
3.2.1.4. Tipe IV ………………………………………………………. 14
3.2.2. Klasifikasi Batuan Karbonat Menurut Dunham (1962) …………… 15
3.2.2.1. Butiran didukung oleh lumpur ………………………………. 15
3.2.2.2. Butiran saling menyangga …………………………………… 15
3.2.2.3. Komponen yang saling terikat pada waktu pengendapan, dicirikan
dengan adanya struktur tumbuh ……………………………... 15
3.2.2.4. Tekstur pengendapan yang tidak teramati dengan jelas karena
rekristalisasi sangat lanjut …………………………………… 15
3.3. Lingkungan Pengendapan ………………………………………………..... 16
3.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengendapan batuan karbonat ... 16
3.3.1.1. Pengaruh sedimen klastik asal darat…………………………. 16
3.3.1.2. Pengaruh iklim dan suhu………………….…………………. 17
3.3.1.3. Pengaruh kedalaman…………………………………………. 17
3.3.1.4. Faktor mekanik….…………………………………………… 17
x
3.4. Model Pengendapan Patch Reef............…………………………………..... 18
3.4.1. Fase stabilization................................................................................. 19
3.4.2. Fase colonization ............................................................................... 19
3.4.3. Fase diversification ........................................................................... 19
3.4.4. Fase domination ................................................................................. 19
3.5. Studi Fase Diagenesis Batuan Karbonat...………………………………..... 22
3.5.1. Proses diagenesis batuan karbonat.................................................... 22
3.5.2. Lingkungan diagenesis dari lingkungan modifikasi porositas.......... 24
3.5.2.1. Lingkungan laut…………………...…………………………. 25
3.5.2.2. Lingkungan meteorik…..………………….…………………. 25
3.5.2.3. Lingkungan bawah permukaan………………………………. 26
3.5.2.4. Diagenesis meteorik…………………..……………………… 27
3.5.2.5. Lingkungan zona campuran dan zona vadose laut...………… 28
3.5.2.6. Diagenesis laut…………………………………......………… 29
3.5.2.7. Diagenesis penimbunan…………………………......………… 29
3.5.3. Petrografi morfologi semen................................................................ 34
3.6. Intrepertasi lingkungan pengendapan dengan analisis litofasies................... 37
BAB 4. GEOLOGI REGIONAL ....................................................................... 40
4.1. Fisiografi Regional ....................................................................................... 40
4.2. Stratigrafi Regional ...................................................................................... 41
4.3. Struktur Geologi Regional ........................................................................... 48
4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma) .................... 49
4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)…………............ 51
4.3.3. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma)…............... 52
BAB 5. GEOLOGI DAERAH PENELITIAN ................................................. 54
5.1. Geomorfologi Daerah Penelitian ................................................................. 54
5.1.1. Bentuk Asal Fluvial ......................................................................... 56
5.1.1.1. Dataran Aluvial (F1) ............................................................... 56
5.1.1.2. Tubuh Sungai (F2) .................................................................. 57
5.1.2. Bentuk Asal Struktural .................................................................... 58
5.1.2.1. Perbukitan Homoklin (S1) ...................................................... 58
xi
5.1.2.2. Lembah Homoklin (S2) ...................................................... 59
5.1.3. Pola Pengaliran ................................................................................. 60
5.1.3.1. Pola pengaliran daerah penelitian ........................................... 62
5.2. Stratigrafi Daerah Penelitian ......................................................................... 63
5.2.1. Satuan breksi-monomik Kaligesing.................................................. 63
5.2.1.1. Litologi penyusun .................................................................... 64
5.2.1.2. Penyebaran dan ketebalan ....................................................... 66
5.2.1.3. Lingkungan pengendapan dan umur ...................................... 67
5.2.1.4. Hubungan stratigrafis .............................................................. 76
5.2.2. Satuan breksi-polimik Dukuh ........................................................... 77
5.2.2.1. Litologi penyusun .................................................................... 77
5.2.2.2. Penyebaran dan ketebalan ....................................................... 78
5.2.2.3. Lingkungan pengendapan dan umur ....................................... 78
5.2.2.4. Hubungan stratigrafis .............................................................. 84
5.2.3. Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan...................................... 85
5.2.2.1. Litologi penyusun .................................................................... 85
5.2.2.2. Penyebaran dan ketebalan ....................................................... 86
5.2.2.3. Lingkungan pengendapan dan umur ....................................... 86
5.2.2.4. Hubungan stratigrafis .............................................................. 88
5.2.4. Satuan batugamping-pasiran Sentolo................................................ 90
5.2.4.1. Litologi penyusun .................................................................... 90
5.2.4.2. Penyebaran dan ketebalan ....................................................... 90
5.2.4.3. Lingkungan pengendapan dan umur ....................................... 91
5.2.4.4. Hubungan stratigrafis .............................................................. 92
5.2.5. Satuan Endapan Aluvial ................................................................. 93
5.2.5.1. Litologi penyusun .................................................................... 93
5.2.5.2. Penyebaran dan ketebalan ....................................................... 94
5.2.5.3. Umur dan Lingkungan pengendapan ...................................... 94
5.2.5.4. Hubungan stratigrafis .............................................................. 94
5.2.6. Satuan litodemik intrusi andesit........................................................ 95
5.2.6.1. Litologi penyusun .................................................................... 95
xii
5.2.5.2. Penyebaran ............................................................................... 96
5.2.5.3. Umur dan jenis intrusi ............................................................... 96
5.2.5.4. Hubungan stratigrafis ................................................................ 96
5.3. Struktur Geologi Daerah Penelitian .............................................................. 98
5.3.1. Sesar mendatar Tetes.......................................................................... 98
5.3.2. Sesar mendatar Ngaren...................................................................... 100
5.4. Sejarah Geologi ......................................................................................... 102
BAB 6. Studi Mikrofasies & Fase Diagenesis Formasi Jonggrangan................ 102
6.1. Studi Mikrofasies Formasi Jonggrangan...................................................... 104
6.1.1. Mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix....... 100
6.1.2. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix........... 100
6.1.3. Asosiasi mikrofasies Boundstone 1................................................... 107
6.1.3.1. Mikrofasies coral framestone with packstone matrix of
Boundstone 1........................................................................... 108
6.1.3.2. Mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1.............. 109
6.1.3.3. Mikrofasies coraline framestone with diverse organism
packstone of boundstone 1....................................................... 110
6.1.3.4. Mikrofasies algae bindstone of boundstone 1......................... 111
6.1.3.5. Mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone
of boundstone 1........................................................................ 112
6.1.3.6. Mikrofasies coral framestone with red algae
packstone of boundstone 1....................................................... 114
6.1.3.7. Mikrofasies platy coral bindstone 2
of boundstone 1........................................................................ 115
6.1.4. Mikrofasies lepidocyclina wackestone to packstone with
micirite matrix................................................................................... 117
6.1.5. Mikrofasies Boundstone 2(Coral framestone
with wackestone matrix)...................................................................... 118
6.1.6. Mikrofasies wackestone with micirite and
microspar matrix 2……....................................................................... 120
6.2. Studi fase diagenesis Formasi Jonggrangan................................................. 121
xiii
6.2.1. Fase diagenesis mikrofasies coral floatstone with
microspar dominated matrix……..................................................... 121
6.2.1.1. Sampel LP 8A.................................................................... 121
6.2.2. Fase diagenesis mikrofasies wackestone with
micirite and microspar matrix…........................................................ 122
6.2.2.1. Sampel LP 8B..................................................................... 123
6.2.3. Fase diagenesis mikrofasies coral framestone
with packstone matrix of boundstone 1…........................................... 124
6.2.3.1. Sampel LP 8C..................................................................... 124
6.2.4. Fase diagenesis mikrofasies platy coral
bindstone 1 of boundstone 1............................................................... 125
6.2.4.1. Sampel LP 8D..................................................................... 125
6.2.4.2. Sampel LP 8E..................................................................... 126
6.2.5. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coraline framestone
with diverse organism packstone of boundstone 1............................. 127
6.2.5.1. Sampel LP 10A................................................................... 128
6.2.6. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies algae
bindstone of boundstone 1.................................................................. 129
6.2.6.1. Sampel LP 10B................................................................... 128
6.2.7. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies dasycladaceae
algae bafflestone of boundstone 1...................................................... 130
6.2.7.1. Sampel LP 10C................................................................... 130
6.2.8. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coral framestone
with red algae packstone of boundstone 1.......................................... 131
6.2.8.1. Sampel LP 10D................................................................... 132
6.2.9. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies platy coral
bindstone 2 of boundstone 1.............................................................. 132
6.2.8.1. Sampel LP 13A................................................................... 133
BAB 7. POTENSI GEOLOGI ............................................................................ 134
7.1. Potensi Geologi Bersifat Positif..................................................................... 132
7.1.1. Batugamping pasiran.......................................................................... 134
7.1.2. Objek wisata gua…............................................................................. 135
xiv
7.1. Potensi Geologi Bersifat Negatif……........................................................... 136
7.2.1. Longsor………..…............................................................................. 136
BAB 8. KESIMPULAN ...................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 138
LAMPIRAN ........................................................................................................... 140
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Karakteristik Lingkungan Pengendapan………………………….... 21
Tabel 3.2. Lingkungan diagenesa beserta proses yang berperan………………….. 24
Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi...................................... 31
Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi...................................... 31
Tabel 5.1. Pembagian unit relief (Van Zuidam, 1983) ........................................ 56
Tabel 5.2. Satuan geomorfik daerah penelitian .................................................. 60
Tabel 5.3. Intrepertasi litofasies penampang stratigrafi Dusun Ngaren............ 68 Tabel 5.4. Intrepertasi litofasies penampang stratigrafi di dekat Dusun Dukuh. 79
Tabel 5.5. Intrepertasi litofasies batugamping-terumbu Jonggrangan………….. 87
Tabel 5.6. Stratigrafi daerah telitian(penulis,2011)............................................... 97
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Karakteristik Lingkungan Pengendapan………………………….... 21
Tabel 3.2. Lingkungan diagenesa beserta proses yang berperan………………….. 24
Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi...................................... 31
Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi...................................... 31
Tabel 5.1. Pembagian unit relief (Van Zuidam, 1983) ........................................ 56
Tabel 5.2. Satuan geomorfik daerah penelitian .................................................. 60
Tabel 5.3. Intrepertasi litofasies penampang stratigrafi Dusun Ngaren............ 68 Tabel 5.4. Intrepertasi litofasies penampang stratigrafi di dekat Dusun Dukuh. 79
Tabel 5.5. Intrepertasi litofasies batugamping-terumbu Jonggrangan………….. 87
Tabel 5.6. Stratigrafi daerah telitian(penulis,2011)............................................... 97
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Lokasi penelitian ........................................................................... 3
Gambar 2.1. Diagram alir penelitian ................................................................ 11
Gambar 3.1. Klasifikasi batuan karbonat (Folk, 1959) .................................... 14
Gambar 3.2. Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan tekstur pengendapannya
(Dunham, 1962) ............................................................................ 15
Gambar 3.3. Klasifikasi batugamping terumbu berdasarkan bentuk dan lokasi
pengendapan(Tucker, 2003)........................................................... 18
Gambar 3.4. Model suksesi biologis dari suatu patch reef(James, 1984b, vide
Tucker,2003)................................................................................... 20
Gambar 3.5. Lingkungan diagenesa utama (Flugel, 2004).................................. 27
Gambar 3.6. Hubungan antara lingkungan diagenesa utama pada area bawah
permukaan dangkal dari suatu tubuh pasir karbonat dengan
permeabilitas ideal (Flugel,2004(modifikasi Longman, 1980))..... 28
Gambar 3.7. Morfologi dari kristal kalsit yang dikontrol oleh Mg-poisoning(Folk,
1974)................................................................................................. 35
Gambar 3.8. Sifat pertumbuhan kristal kalsit sebagai fungsi rasio Mg/Ca............ 35
Gambar 3.9. Diagram skematik yang menunjukkan perkiraan sifat pertumbuhan
dari semen kalsit pengisi pori pada lingkungan diagenesis. Sifat ini
dikontrol rasio kation aktif permukaan(SAC) terhadap anion aktif
permukaan(SAA).............................................................................. 37
Gambar 3.10. Kode Litofasies menurut Maurice Tucker(2003).............................. 39
Gambar 4.1. Pembagian fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949) modifikasi
oleh penulis ................................................................................... 40
Gambar 4.2. Stratigrafi pegunungan Kulon Progo (Pringgoprawiro dan Riyanto,
1987) .............................................................................................. 44
Gambar 4.3. Stratigrafi pegunungan Kulon Progo menurut beberapa peneliti .. 48
Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang
digambarkan Van Bemmelen (1945, hal.596) .............................. 49
xvii
Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5
M.A. (Prasetyadi, 2003)................................................................. 49
Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik
selama 35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003).......................................... 51
Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan
tektonik(Prasetyadi, 2003).............................................................. 51
Gambar 5.1. Diagram alur klasifikasi geomorfologi (Van Zuidam, 1983) ....... 55
Gambar 5.2. Klasifikasi pola dasar pengaliaran oleh (A.D. Howard,1967) ..... 61
Gambar 5.3. Peta pola pengaliran daerah penelitian ………..………………… 62
Gambar 5.4. Analisis stereonet dari sesar Tetes, bidang sesar memilki kedudukan
N 1650E/650 dan gores garis 210, N 1750 E, rake= 220, berdasarkan
analisis dan klasifkasi sesar ini termasuk kategori normal right slip
fault(Rickard, 1972)......................................................................... 94
Gambar 5.5. Diagram kontur kedudukan umum gash fracture Sesar Ngaren..... 95
Gambar 5.6. Analisis stereonet dari sesar Ngaren................................................ 96
Gambar 5.7. Aktivitas vulkanisme dimulai.......................................................... 97
Gambar 5.8. Pasokan sedimen mengisi cekungan................................................ 98
Gambar 5.9. Pembentukan Satuan breksi monomik Kaligesing dan Satuan breksi-
polimik Dukuh................................................................................. 98
Gambar 5.10. Terjadi intrusi dan kenaikan sea level kemudian terbentuk Satuan
batugamping-terumbu Jonggrangan............................................... 99
Gambar 5.11. Terjadi intrusi dan kenaikan sea level kemudian terbentuk Satuan
batugamping-terumbu Jonggrangan. Hasil rework Jonggrangan
membentuk Satuan batugamping-pasiran Sentolo. Terbentuk sesar
mendatar kanan.............................................................................. 100
Gambar 5.11. Pembentukan Satuan endapan alluvial ........................................ 101
xviii
DAFTAR FOTO
Foto 5.1. Kenampakan bentuk lahan tubuh sungai dan dataran alluvial pada daerah
telitian. Gambar diambil dari LP 7 kamera menghadap ke N
1950E................................................................................................... 57
Foto 5.2. Kenampakan bentuk lahan perbukitan homoklin dan dataran alluvial pada
daerah telitian. kamera menghadap ke N 0820E................................. 58
Foto 5.3. Kenampakan bentuk lahan perbukitan homoklin dan lembah homoklin
pada bagian utara daerah telitian. kamera menghadap ke N 0110E..... 59
Foto 5.4. Singkapan breksi laharik yang sangat tebal. Terletak pada LP 76 dengan
arah kamera N 2650 E......................................................................... 64
Foto 5.5. Singkapan breksi dengan sisipan batupasir tuffan, breksi pada bagian
bawah menunjukkan struktur graded bedding, batupasir tuffan sebagai
sisipan menunjukkan struktur laminasi sejajar, sedangkan breksi di
bagian atas menggerus bagian bawah . sehingga menunjukkan struktur
flutecast. Terletak pada LP 21 dengan arah kamera N 0650 E....... 65
Foto 5.6. Singkapan sisipan breksi gampingan pada satuan breksi-monomik Dukuh
yang menunjukkan struktur sedimen slump. pada inset (A) dapat terlihat
kenampakan breksi polimik dengan fragmen pecahan andesit dan pecahan
coral. Pada inset (B) dapat terlihat kenampakan batupasir kerikilan
gampingan yang mengandung mineral galukonit. Terletak pada LP 72
dengan arah kamera N 3500 E……………………………………….. 66
Foto 5.7. Kenampakan struktur sedimen syn-sedimentary fault dan syn-sedimentary
fold. Terletak pada LP 74 dengan arah kamera N 3560 E………........ 71
Foto 5.8. Kenampakan kontak beda fasies antara satuan breksi monomik
Kaligesing dan satuan breksi polimik Dukuh. Terletak pada LP 3 dengan
arah kamera N 0320 E………………………………………………… 76
Foto 5.9. Kenampakan kontak tidak selaras antara satuan breksi-monomik
Kaligesing dan satuan batugamping-terumbu Jonggrangan. Terletak pada
LP 6 dengan arah kamera N 1020 E…………………………………. 77
xix
Foto 5.10. Kenampakan struktur sedimen bioturbasi vertical(skolithos). Terletak
pada LP 2 dengan arah kamera N 0320 E……………………………. 83
Foto 5.11. Kenampakan struktur sedimen hummocky cross bedding . Kehadiran
gutter cast pada bagian bawah mengindikasikan penggerusan oleh
mekanisme strom(strorm scouring)Terletak pada LP 2 dengan arah
kamera N 0340 E……………………………………………………… 84
Foto 5.12. Hubungan selaras satuan breksi-polimik Dukuh dengan satuan
batugamping-terumbu Jonggrangan. Pada inset (A) terlihat struktur
geopetal . Pada inset (B) terlihat kenampakan floatstone. Terletak pada
LP 5 dengan arah kamera N 0120 E………………………………….. 85
Foto 5.13. Kenampakan struktur mega cross bedding pada litologi batugamping
pasiran Sentolo.Terletak pada LP 100 dengan arah kamera N 1460 E... 92
Foto 5.14. Kenampakan kontak tidak selaras satuan batugamping-pasiran Sentolo
dengan satuan breksi-monomik Kaligesing.Terletak pada LP 103 dengan
arah kamera N 1420 E………………………………………………. 93
Foto 5.15. Endapan Alluvial di tepi sungai.Terletak pada LP 78 dengan arah
kamera N 3460 E……………………………………………………………. 94
Foto 5.16. Kenampakan intrusi andesit yang menunjukkan struktur columnar joint.
Pada inset (A) dapat dilihat kenampakan baking effect dari intrusi ini.
Pada inset (B) dapat dilihat ciri intrusi berupa pembentukan kristal yang
semakin sempurna ke bagian dalam dari batuan. Terletak pada LP 55
dengan arah kamera N 043 E………………………………………. 95
Foto 5.17. a. Kenampakan bidang sesar Tetes dengan kedudukan N165oE/65o Azimuth foto N192oE b. Gores garis pada hanging wall dengan kedudukan 21o, N335oE rake 22o. c. Kenampakan Step Gash pada hanging wall yang menunjukkan pergerakan kekanan. Diambil dari foto LP 41 arah kamera N210oE……………………... 95 Foto 5.18. Kenampakan bidang sesar Ngaren.Terletak pada LP 75 dengan arah
kamera N 1120 E................................................................................ 100
Foto 6.1. (A)Kenampakan bioclast coral yang telah termikritisasi (B)Kenampakan tekstur wackestone ditunjukkan dengan butir
karbonat(dilingkar merah) yang mengambang pada masa dasar, (C)Kenampakan microspardiambil dari
xx
foto sayatan tipis LP 8A tanpa skala....................................................... 106
Foto 6.2. (A) Kenampakan bioclast yang telah termikritisasi. (B) Kenampakan tekstur wackestone dicirikan oleh mud supported. (C) Kenampakan porositas fracture. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8B tanpa skala.............................. 107 Foto6.3. Kenampakan matriks pengisi mikrofasies coral framestone berupa
packstone yang terdiri atas bioclast(algae?) yang telah terneomorfisme. Foto berasal dari sayatan tipis sampel LP 8C...................................... 109
Foto 6.4. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah tergantikan oleh sparit berbentuk blocky.
(B) Kenampakan porositas vuggy. (C) Kenampakan fracture yang telah diisi oleh sparite. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8D tanpa skala............................... 110 Foto 6.5. (A) Kenampakan benthic foram yang dikelilingi oleh sparite berbentuk
bladed. (B) kenampakan bryozoa yang struktur dalamnya sudah agak sulit
dikenali. (C) Kenampakan red algae yang diseklilingnya juga terdapat sparite
berbentuk bladed. (D) Kenampakan dari terumbu yang membentuk struktur framework. (E) Kenampakan porositas intraparticle. (F) Kenampakan bioclast jenis molusca. Diambil dari foto sayatan tipis LP 10A tanpa skala............................ 111 Foto 6.6. (A)Kenampakan porositas vuggy,
(B) kenampakan jalinan algae yang mengikat lumpur karbonat,
(C) kenampakan dari lumpur karbonat yang diikat oleh algae sebagian
telah mengalami neomorfisme,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10B tanpa skala............................. 112
Foto 6.7. (A)Kenampakan dasycladaceae algae dapat terlihat juga porositas
intraparticle,
(B)kenampakan bioclast yang telah mengalami inversi pada matriks
pengisi bafflestone,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10C tanpa skala............................. 114
Foto 6.8. (A)Kenampakan bioclast jenis lepidocyclina yang sebagian telah
mengalami inversi,
(B)kenampakan bioclast jenis red algae,
keduanya merupakan matriks pengisi framestone, diambil dari foto
sayatan tipis LP 10D tanpa skala........................................................ 115
xxi
Foto 6.9. (A)Kenampakan kerangka dari platy coral yang telah mengalami
mikritisasi,
(B)kenampakan material sedimen yang diikat oleh bindstone berupa
lumpur karbonat,
(C)kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah mengalami
neomorfisme,
diambil dari foto sayatan tipis LP 13A tanpa skala........................... 116
Foto 6.10 (A)Kenampakan bioclast jenis bryozoa,
(B)kenampakan bioclast jenis lepidocyclina,
diambil dari foto sayatan tipis LP 49A tanpa skala............................ 118
Foto 6.11 Kenampakan singkapan batugamping terumbu framestone pada LP 53
arah kamera N240E......................................................................... 119
Foto 6.12 (A)Kenampakan kerangka koral yang diisi oleh sparite berbentuk drusy,
(B)kenampakan cangkang Lepidocyclina yang sebagian telah
terneomorfisme menjadi sparite pada matriks pengisi framestone,
diambil dari foto sayatan LP 47A.................................................... 120
Foto 6.13 (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami
mikritisasi pada fase eogenesis,
(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat
fase mesogenesis hingga telogenesis,
(C)kenampakan porositas vuggy akibat pelarutan pada fase telogenesis,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8A .............................................. 122
Foto 6.14 (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami
mikritisasi pada fase eogenesis, bagian tepi dari bioclast berbentuk
sutured akibat kompaksi pada fase mesogenesis,
(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat
fase mesogenesis hingga telogenesis,
(C)kenampakan porositas channel akibat pelarutan pada fase
telogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 8B ............................ 123
Foto 6.15 (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi pada
fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi
rongga antar kerangka coral(garis putus-putus merah),
xxii
(B)terlihat juga porositas growth framework yang telah tereduksi akibat
proses presipitasi spar ini(garis putus-putus hijau),
diambil dari foto sayatan tipis LP 8C................................................. 124
Foto 6.16 (A) Kenampakan kerangka platy coral yang memiliki micrite envelope
pada bagian tepi,
(B) terbentuk pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy
mosaic yang mengisi rongga hasil pelarutan kerangka platy coral,
(C) kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada
fase telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8D ................................................. 126
Foto 6.17 (A)Kenampakan kerangka platy coral yang telah termikritisasi dan
sebagian mengalami neomorfisme parsial, terbnetuk pada fase eogenesis,
(B)kekar akibat pengaruh kompaksi yang kemudian terisi oleh spar
berbentuk drusy mosaic, terjadi fase mesogenesis,
(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada
fase telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8E................................................... 127
Foto 6.18 (A) Kenampakan sparite dengan bentuk fibrous pada bagian tepi red
algae, terbentuk pada fase eogenesis,
(B) foraminifera yang termikritisasi pada fase eogenesis(garis putus-
putus merah), kemudian terbentuk sparite bladed rims pada fase
mesogenesis(garis putus-putus hijau), kemudian pada fase telogenesis
terpresipitasi spar dengan bentuk blocky(garis putus-putus kuning),
(C) kenampakan porositas intraparticle yang telah tereduksi akibat
presipitasi spar pada fase telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10A ............................................... 129
Foto 6.19 (A)Kenampakan kerangka algae yang telah termikritisasi sebagian
terbentuk pada fase eogenesis,
(B) kenampakan microspar hasil neomorfisme agrading coalescive,
terjadi fase mesogenesis,
(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada
fase telogenesis ,
xxiii
diambil dari foto sayatan tipis LP 10B................................................ 130
Foto 6.20 Kenampakan kerangka dasycladaceae algae yang mengalami boring
oleh organisme endolithic pada fase eogenesis, kenampakan kerangka
dasycladaceae algae ini juga telah tedeformasi akibat kompaksi pada
fase mesogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 10C................... 131
Foto 6.21 (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi
akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,
(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada
fase mesogenesis, porositas growth framework yang telah tereduksi
akibat presipitasi spar pada rongga antar kerangka coral,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10D ............................................... 132
Foto 6.22 (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat
aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,
(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada
fase mesogenesis, neomorfisme agrading coalescive bersifat parsial pada
kerangka coral yang telah termikritisasi, terjadi pada fase mesogenesis,
diambil dari foto sayatan tipis LP 13A................................................ 133
Foto 7.1. Lokasi tambang batugamping pasiran yang dikelola oleh masyarakat
sekitar. Foto diambil di dekat LP 99 dengan arah kamera N 0560 E......135
Foto 7.2. Lokasi Gua Sriti yang dijadikan objek wisata oleh warga setempat. Foto
diambil pada LP 22 dengan arah kamera N 0500 E............................... 136
Foto 7.3. kenampakan pergerakan tanah berupa rock fall di pinggir jalan. Foto
diambil pada LP 35 dengan arah kamera N 0780 E............................... 137
xxiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.1. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.A ................................... 141
Lampiran 1.2. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.B .................................... 142
Lampiran 1.3. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.C .................................... 143
Lampiran 1.4. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.D .................................... 144
Lampiran 1.5. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 8.E .................................... 145
Lampiran 1.6. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10A .................................. 146
Lampiran 1.7. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10B.................................... 147
Lampiran 1.8. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10C .................................. 148
Lampiran 1.9. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10D .................................. 149
Lampiran 1.10. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 10E.................................. 150
Lampiran 1.11. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 17 ............................... 151
Lampiran 1.12. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 25 .................................... 152
Lampiran 1.13. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 30.................................. 153
Lampiran 1.14. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 49A .................................. 154
Lampiran 1.15. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 49B ................................... 155
Lampiran 1.16. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 101 .................................... 156
Lampiran 1.17. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 47A................................... 157
Lampiran 1.18. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 47B................................... 158
Lampiran 1.19. Hasil Analisa Sayatan Tipis pada LP 55...................................... 159
Lampiran 2.1. Hasil Analisa Etsa LP 10D.......................................................... 160
Lampiran 2.2. Hasil Analisa Etsa LP 8D........................................................... 161
Lampiran 3.1. Hasil Analisa Kalsimetri LP 100 ............................................... 162
Lampiran 4.1. Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan
Lampiran 4.2. Peta Geomorfologi
Lampiran 4.3. Peta Geologi
Lampiran 4.4. Peta Mikrofasies
Lampiran 5.1. Profil Banjarsari
Lampiran 5.2. MS Kedungrong
xxv
Lampiran 5.3. Profil Ngaren
Lampiran 5.4. MS Puthuk
Lampiran 6.1. Hasil Analisa Porositas pada LP 8A .......................................... 163
Lampiran 6.2. Hasil Analisa Porositas pada LP 8B .......................................... 164
Lampiran 6.3. Hasil Analisa Porositas pada LP 8C .......................................... 165
Lampiran 6.4. Hasil Analisa Porositas pada LP 8D(1)...................................... 166
Lampiran 6.5. Hasil Analisa Porositas pada LP 8D(2)...................................... 167
Lampiran 6.6. Hasil Analisa Porositas pada LP 10A........................................ . 168
Lampiran 6.7. Hasil Analisa Porositas pada LP 10B.......................................... 169
Lampiran 6.8. Hasil Analisa Porositas pada LP 10C......................................... 170
Lampiran 6.9. Hasil Analisa Porositas pada LP 10D......................................... 171
Lampiran 7.1. Hasil Analisa Mikropaleontologi D21 ....................................... 172
Lampiran 7.2. Hasil Analisa Mikropaleontologi D3 ......................................... 173
Lampiran 7.3. Hasil Analisa Mikropaleontologi S23 ........................................ 174
Lampiran 7.4. Hasil Analisa Mikropaleontologi S27 ........................................ 175
Lampiran 7.5. Hasil Analisa Mikropaleontologi S23 ........................................ 176
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Formasi Jonggrangan merupakan salah satu Formasi yang tersingkap dengan
cukup baik di sekitar wilayah Yogyakarta dan menarik untuk diteliti. Para peneliti
sebelumnya menggambarkan Formasi Jonggrangan sebagai suatu formasi berumur
Miosen Tengah yang disusun oleh litologi konglomerat yang ditumpangi oleh napal
tuffan, batupasir gampingan dengan sisipan lignit, lalu bagian atas dari Formasi ini
didominasi oleh kehadiran batugamping koral(Wartono Rahardjo, dkk,1977).
Keberadaan litologi batuan karbonat berupa batugamping koral merupakan suatu
fenomena geologi yang khas dan menarik sehingga dijadikan sebagai objek
penelitian dalam tugas akhir ini. Perkembangan batugamping koral yang sangat
sensitif terhadap perubahan keadaan geologi akan memberikan informasi yang sangat
baik mengenai sejarah geologi yang terjadi di kubah Kulon Progo.
Penyebaran fasies dari suatu batuan karbonat akan memberikan gambaran
mengenai keadaan paleogeografi dari suatu wilayah. Data fasies karbonat ini akan
semakin detil dan informatif jika didukung oleh pengamatan mikroskopis dari fasies
tersebut sehingga sering disebut sebagai mikrofasies. Pemetaan yang mendetil
mengenai penyebaran fasies batugamping dari Formasi Jonggrangan akan
memberikan wawasan baru sekaligus melengkapi data penelitian yang telah
dilakukan oleh beberapa peniliti sebelumnya.
Selain aspek keilmuan batugamping juga menarik untuk diteliti aspek
ekonomisnya. Aspek ekonomis ini berhubungan erat dengan keberadaan pori dari
batuan karbonat yang memungkinkan terakumulasinya hidrokarbon di dalamnya.
Keberadaan dari pori ini sangat dikontrol oleh proses-proses sekunder seperti
diagenesis. Dengan mempelajari fase diagenesis dari batugamping yang menyusun
Formasi Jonggrangan ini dan penyebarannya maka dapat dibuat suatu analog model
reservoir batuan karbonat yang dapat dimanfaatkan untuk eksplorasi hidrokarbon ke
depannya.
2
1.2. Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas adalah penyebaran batugamping pada
daerah telitian, mengetahui jenis dan pola penyebaran fasies batugamping pada
daerah telitian, mengetahui lingkungan pengendapan batugamping, dan fase
diagenesis batugamping pada daerah telitian dengan cara memetakan daerah telitian
secara detil dan lebih terperinci. Permasalahan geologi lain yang akan dibahas adalah
kondisi geologi daerah telitian karena selama ini informasi yang digunakan adalah
informasi yang sifatnya regional.
1.3. Batasan Masalah
Penelitian mengenai mikrofasies dan fase diagenesis akan dibatasi hanya
pada Formasi Jonggrangan, kendari terdapat formasi lain yang disusun oleh batuan
karbonat yaitu Formasi Sentolo yang juga tersingkap pada daerah telitian. Secara
lebih detail aspek fase diagenesis hanya akan difokuskan pada singkapan batuan
karbonat yang menunjukkan suksesi perubahan fasies karbonat yang paling baik.
1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian tugas akhir ini adalah untuk mengaplikasikan teori
dan materi yang didapatkan di bangku perkuliahan pada aplikasi di lapangan maupun
di dunia kerja. Penelitian bertujuan untuk mengetahui penyebaran batugamping pada
daerah telitian, mengetahui jenis dan pola penyebaran fasies batugamping pada
daerah telitian serta untuk mengetahui fase diagenesis dari fasies Formasi
Jonggrangan yang tersingkap di daerah telitian
1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian
Daerah penelitian meliputi wilayah Kecamatan Kalibawang dan Kecamatan
Samigaluh Kabupaten Kulon Progo, Propinsi D.I Yogyakarta. Daerah penelitian
Secara Geografis terletak pada koordinat 411660– 416760 dan 9147625 – 9152625
UTM Zona 49. Luas daerah penelitian adalah kurang lebih 25km2 dengan panjang
dari selatan ke utara 5 km dan lebar dari arah barat ke timur kurang lebih 5 km.
Lokasi daerah penelitian berada pada Propinsi D.I Yogyakarta bagian barat, berjarak
sekitar ± 3 km dari Jalan Godean (jalur utama), dapat dicapai dengan kendaraan roda
3
dua dan roda empat melalui jalan beraspal, dan jalan bersemen. Untuk mencapai
lokasi pengamatan dan melakukan pengambilan contoh batuan, pada beberapa lokasi
harus berjalan kaki melalui jalan setapak. Peta lokasi daerah penelitian dapat dilihat
pada gambar 1.1.
Adapun waktu penelitian (pengambilan data di lokasi penelitian) yaitu selama
satu setengah bulan yang dilakukan mulai pada pertengahan bulan April 2011 hingga
akhir bulan Mei 2011. Selanjutnya melakukan tahap analisa laboratorium dan
melengkapi data selama 1 bulan (Juni 2011). Sedangkan tahap pengerjaan peta,
penempang stratigrafi, draft dan konsultasi memakan waktu ± 1 bulan (Juli 2011).
Gambar 1.1. Lokasi Penelitian (Sumber Peta Geologi Regional Lembar Yogyakarta)
1.6. Hasil Yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan berupa diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang
keilmuan khususnya geologi dan dapat menjadi bahan masukan bagi eksplorasi
Sumber Daya Alam dalam bentuk laporan tugas akhir atau skripsi berupa :
Peta lintasan dan lokasi pengamatan
Peta geomorfologi atau bentuk lahan
Peta geologi dan penampang geologi lokal
Peta penyebaran fasies karbonat
Penampang stratigrafi terukur
3
dua dan roda empat melalui jalan beraspal, dan jalan bersemen. Untuk mencapai
lokasi pengamatan dan melakukan pengambilan contoh batuan, pada beberapa lokasi
harus berjalan kaki melalui jalan setapak. Peta lokasi daerah penelitian dapat dilihat
pada gambar 1.1.
Adapun waktu penelitian (pengambilan data di lokasi penelitian) yaitu selama
satu setengah bulan yang dilakukan mulai pada pertengahan bulan April 2011 hingga
akhir bulan Mei 2011. Selanjutnya melakukan tahap analisa laboratorium dan
melengkapi data selama 1 bulan (Juni 2011). Sedangkan tahap pengerjaan peta,
penempang stratigrafi, draft dan konsultasi memakan waktu ± 1 bulan (Juli 2011).
Gambar 1.1. Lokasi Penelitian (Sumber Peta Geologi Regional Lembar Yogyakarta)
1.6. Hasil Yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan berupa diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang
keilmuan khususnya geologi dan dapat menjadi bahan masukan bagi eksplorasi
Sumber Daya Alam dalam bentuk laporan tugas akhir atau skripsi berupa :
Peta lintasan dan lokasi pengamatan
Peta geomorfologi atau bentuk lahan
Peta geologi dan penampang geologi lokal
Peta penyebaran fasies karbonat
Penampang stratigrafi terukur
3
dua dan roda empat melalui jalan beraspal, dan jalan bersemen. Untuk mencapai
lokasi pengamatan dan melakukan pengambilan contoh batuan, pada beberapa lokasi
harus berjalan kaki melalui jalan setapak. Peta lokasi daerah penelitian dapat dilihat
pada gambar 1.1.
Adapun waktu penelitian (pengambilan data di lokasi penelitian) yaitu selama
satu setengah bulan yang dilakukan mulai pada pertengahan bulan April 2011 hingga
akhir bulan Mei 2011. Selanjutnya melakukan tahap analisa laboratorium dan
melengkapi data selama 1 bulan (Juni 2011). Sedangkan tahap pengerjaan peta,
penempang stratigrafi, draft dan konsultasi memakan waktu ± 1 bulan (Juli 2011).
Gambar 1.1. Lokasi Penelitian (Sumber Peta Geologi Regional Lembar Yogyakarta)
1.6. Hasil Yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan berupa diharapkan dapat bermanfaat bagi bidang
keilmuan khususnya geologi dan dapat menjadi bahan masukan bagi eksplorasi
Sumber Daya Alam dalam bentuk laporan tugas akhir atau skripsi berupa :
Peta lintasan dan lokasi pengamatan
Peta geomorfologi atau bentuk lahan
Peta geologi dan penampang geologi lokal
Peta penyebaran fasies karbonat
Penampang stratigrafi terukur
4
Draft / laporan
1.7. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan dari penelitian, dapat diketahui manfaat dari penelitian
ini, antara lain :
Bagi Keilmuan :
Penelitian ini merupakan hasil koleksi data, hasil analisis, dan sintesa khususnya
tentang fasies karbonat dan pengaplikasiannya tentang perubahan muka air laut.
Bagi Penulis :
Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam melakukan pemetaan geologi
detil.
Meningkatkan pengetahuan dalam bidang fasies karbonat terutama dalam
menyusun paleogeografi suatu daerah karbonat.
Sebagai skripsi untuk menyelesaikan program strata satu (S1) dan memperoleh
gelar sarjana teknik.
5
BAB 2
METODOLOGI PENELITIAN
Pemetaan geologi yang dilakukan bersifat pemetaan permukaan melalui
observasi lapangan yang menggunakan jalur lintasan tertentu. Observasi yang
dilakukan di lapangan meliputi orientasi medan, pengamatan morfologi, pengamatan
singkapan dan batuan, pengukuran, dan pengambilan sampel batuan.
Sebelum melakukan observasi ke lapangan, terlebih dahulu melakukan
analisis data sekunder yang didapatkan dari pustaka dan sumber yang lain yang dapat
digunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum melakukan observasi lapangan
secara detil. Dalam mencapai tujuan yang diharapkan, penelitian ini dilakukan
melalui beberapa tahapan (Gambar 2.1) yaitu :
2.1. Tahap Pendahuluan
Pada tahap ini dilakukan persiapan berupa kelengkapan administrasi, studi
pustaka, pemilihan judul dan diskusi dengan dosen pembimbing. Tahap ini dilakukan
di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Yogyakarta.
2.1.1. Penyusunan Proposal Penelitian dan Kelengkapan Administrasi
Tahap ini dilakukan untuk menguji kelayakan proposal di depan dosen
pembimbing dan mengurus surat ijin jalan dan penelitian dari Jurusan Teknik
Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran” Yogyakarta kepada pemerintah daerah setempat di lokasi penelitian
lapangan. Ini dilakukan sebelum berangkat ke daerah Kedungrong, Kecamatan
Kalibawang, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi D.I.Y.
2.1.2. Kajian Pustaka
Kajian pustaka dilakukan guna menunjang penelitian mengenai geologi
daerah penelitian dan Regional Lembar Yogyakarta. Kajian pustaka ini nantinya
diharapkan dapat membantu kelancaran penelitian yaitu dapat digunakan sebagai
6
bahan acuan guna untuk mempelajari geologi daerah penelitian baik geologi
regional, stratigrafi regional, fisiografi regional dan struktur geologi pada daerah
penelitian.
Kajian pustaka dilakukan untuk menggali beberapa informasi dari
beberapa referensi yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu di daerah yang
sama. Kajian pustaka juga dilakukan pada beberapa referensi yang mendukung
penelitian ini secara keilmuan sehingga dalam pembahasannya akan ditunjang
dengan latar belakang serta teori yang kuat. Kajian pustaka pada daerah
penelitian dilakukan secara regional dan secara lokal meliputi regional
Yogyakarta bagian selatan dan lingkungan pengendapan pada daerah penelitian,
maupun teori-teori dasar geologi lainnya.
2.2. Bahan dan Alat
Beberapa peralatan dan bahan yang dipergunakan untuk kelancaran penelitian
geologi ini adalah sebagai berikut :
Peta topografi skala 1 : 25.000
Digunakan sebagai peta dasar untuk melakukan orientasi medan dan pengeplotan
titik pengamatan di lapangan.
Peta geologi lembar Yogyakarta, Jawa. Berskala 1 : 100.000 (Pusat Penelitian
dan Pengembangan Geologi, 1995).
Palu geologi
Digunakan untuk mengambil sampel batuan yang ada di titik pengamatan.
Lup
Digunakan untuk mengamati sampel batuan yang diambil serta untuk mengamati
komposisi penyusun batuan tersebut.
Kompartor–komparator litologi, ukuran butir serta klasifikasi penamaan batuan.
Kantong sampel
Digunakan sebagai tempat sampel untuk digunakan pada saat analisa
laboratorium dan dilapangan.
7
Kompas geologi
Digunakan untuk melakukan orientasi medan/pengeplotan titik pengamatan,
mengukur kelerengan morfologi dan untuk mengukur data struktur baik struktur
primer maupun sekunder.
Buku catatan lapangan
Digunakan untuk mencatat data-data yang ada pada saat melakukan observasi
lapangan. Serta kertas milimeter untuk membuat profil di lapangan.
Clipboard
Digunakan untuk tempat alas peta topografi dan sebagai alat Bantu dalam
melakukan pengukuran data-data di lapangan.
Alat tulis
Digunakan sebagai alat untuk tulis-menulis di lapangan.
Penggaris dalam berbagai bentuk
Digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan.
Busur derajat
Digunakan untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan pada peta topografi
dan untuk mengukur besar sudut data struktur yang ada di lapangan.
Kamera
Digunakan untuk mengambil data berupa gambar yang ada di lapangan.
HCl 0,1 M
Digunakan untuk mengetes ada tidaknya kandungan karbonat dalam suatu batuan
Tas/ransel/backpack.
Digunakan sebagai tempat untuk menyimpan semua peralatan yang digunakan di
lapangan.
2.3. Tahap Pelaksanaan
Tahap pelaksanaan ini merupakan langkah kerja pengambilan data lapangan
pada lokasi penelitian sebagai data utama, penunjang, dan pelengkap data yang sudah
ada.
8
2.3.1. Observasi Lapangan
Dilakukan untuk mengenal kondisi lapangan pada daerah penelitian dan
untuk mengetahui gambaran dari bentuk geomorfologi dan keadaan geologi
secara umum, guna menentukan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
penelitian selanjutnya.
2.3.2. Pemetaan Lintasan
Tujuannya untuk mengetahui penyebaran litologi secara horisontal
maupun vertikal dari setiap satuan batuan dan mengetahui keadaan geomorfologi,
dimana hasil pengamatan direkam dalam buku, kamera dan peta topografi.
Adapun isi dari peta lintasan adalah semua hasil yang kita peroleh selama
melakukan pengamatan lapangan, baik berupa lokasi pengamatan, penyebaran
batuan dan struktur geologi.
2.3.3. Pembuatan Penampang Stratigrafi Terukur
Pembuatan penampang stratigrafi terukur berguna untuk memudahkan
dalam pemerian litologi dilihat dari tekstur maupun komposisi penyusun lainnya,
penentuan pengambilan contoh batuan yang berguna untuk keperluan analisis,
penentuan batas setiap satuan batuan dan pada akhirnya dapat menentukan satuan
litostratigrafi secara urut dari tua ke muda.
2.3.4. Pengambilan Sampel Batuan dan Dokumentasi Lapangan
Pengambilan sampel dilakukan pada beberapa titik lokasi pengamatan
yang kemudian akan dilakukan analisis petrografi, analisis kalsimetri, analisis
etsa, analisa mikropaleontologi.
Dalam pencatatan semua data yang terdapat di lapangan seperti posisi
lokasi pengamatan, struktur sedimen yang berkembang, struktur geologi serta
pengambilan foto lapangan yang bersifat informatif di daerah telitian.
2.4. Tahap Analisis
Tahap analisa dan interpretasi melewati beberapa tahapan untuk dapat
mencapai tujuan penelitian yang meliputi beberapa hal yaitu :
9
2.4.1. Petrografi Batuan
Secara megaskopis dilakukan melalui pengamatan secara langsung di
lapangan untuk mengetahui jenis litologi yang menyusun daerah penelitian,
mengetahui penyebaran batuannya serta untuk pengambilan contoh batuan untuk
analisa petrografi dan geokimia batuan.
Secara mikroskopis dilakukan dengan pengamatan sayatan tipis batuan,
sehingga dapat diketahui komposisi penyusun batuan dan nama batuan.
2.4.2. Analisis Geomorfologi
Analisa geomorfologi ini menurut klasifikasi Van Zuidam (1979 dan
1983), didapatkan melalui pengamatan secara visual di lapangan dan didukung
dengan cara mengkaji peta topografi berdasarkan pola pengaliran, pola kontur,
sehingga dapat diinterpretasikan bentuk geomorfologi pada daerah penelitian.
Pembagian bentuk lahan dalam analisa geomorfologi lebih didasarkan pada
kelerengan dan proses yang bekerja secara lebih dominan pada daerah penelitian.
2.4.3. Analisis Struktur
Analisa struktur dilakukan dengan mengkaji data struktur geologi yang
diperoleh di lapangan seperti perlapisan batuan, kekar-kekar, dan sesar.
2.4.4. Analisis Sayatan Tipis
Analisa ini menurut klasifikasi Dunham (1954) yang bertujuan untuk
dapat mengetahui nama batuan dan diagenesanya dari prosentase fosil yang
terkandung dalam contoh batuan maupun jenis butirannya di dalam massa dasar.
Contoh batuan diamati di bawah mikroskop polarisator dengan mewakili tekstur
batuan secara keseluruhan (komposisi butiran serta lumpur, hubungan antar
butir).
2.4.5. Analisis Kalsimetri
Analisa ini menurut klasifikasi campuran lempung – gamping. Pettijohn
(1975) yang bertujuan untuk memperlihatkan kandungan prosentase CaCO3.
10
2.4.6. Analisis Etsa (Etching Method)
Analisa ini menurut beberapa klasifikasi yaitu porositas menurut
Choquette dan Pray (1970), indeks energi menurut Plumley (1962) dan nama
batuan menurut Dunham (1962) dan Folk (1959), untuk meneliti dan
mempelajari tekstur pada batuan karbonat serta kandungan fosil dan tujuannya
untuk mengetahui lingkungan pengendapan dan penampang batuan menurut
beberapa klasifikasi. Contoh batuan yang telah dibersihkan dan sudah diuji
kandungan kalsium karbonat dengan larutan asam chloride (HCl) seingga
komponen pengotor terlarutkan lalu diamati di bawah mikroskop binokuler.
2.4.7. Analisa Mikropaleontologi
Analisa ini menurut klasifikasi Blow (1969) bertujuan untuk penentuan
umur batuan dan menurut klasifikasi Barker (1960) untuk penentuan lingkungan
bathimetri.
2.4.8. Analisa Studio
Hasil analisis dan interpretasi data dari setiap tahapan dievaluasi lagi untuk
mendapatkan hasil akhir yang maksimum.
2.5. Penyusunan Laporan
Dari hasil analisa yang diperoleh, kemudian hasil tersebut disajikan dalam
bentuk laporan skripsi. Hasil analisa yang telah dituangkan dalam bentuk tulisan
tersebut kemudian dipresentasikan dalam bentuk kolokium dan sidang sarjana.
11
Gambar 2.1. Diagram alir penelitian
Tahap Pendahuluan
Studi pustaka, persiapan peta topografi, perijinan tempat, persiapan perlengkapan lapangan
Tahap Penelitian
Observasi Lapangan, pemetaan lintasan, pemerian litologi, pengambilan contoh dan foto batuan, identifikasi struktur geologi, pengukuran penampang Stratigrafi
Analisa Laboratorium : Sayatan Tipis, Kalsimetri, Etsa, Mikropaleontologi
Analisa Studio : Struktur Geologi, Pembuatan Peta, Pembuatan Penampang Stratigrafi Terukur (MS), Klasifikasi Fasies Karbonat.
Hasil Yang diharapkan : Peta Lintasan, Peta Geomorfologi, Peta Geologi, Penampang Stratigrafi Terukur (MS), Peta Fasies Karbonat
Penyusunan Laporan
12
BAB 3
DASAR TEORI
3.1. Pengertian Batuan Karbonat
Batuan karbonat adalah batuan sedimen yang berkomposisi mineral
karbonatnya sangat dominan yaitu lebih dari 50%. Proses pembentukannya dapat
terjadi secara insitu, yang berasal dari larutan yang mengalami proses kimiawi
maupun biokimia, dimana dalam proses tersebut organisme laut berperan dan dapat
pula terjadi dari butiran rombakan yang telah mengalami transportasi secara mekanik
yang kemudian diendapkan pada tempat lain.
Selain itu pembentukannya dapat pula terjadi akibat proses dari batuan
karbonat yang lain (sebagai contoh yang sangat umum adalah proses dolominitasi,
dimana kalsit berubah menjadi dolomite.
Proses pembentukan batuan karbonat ini terjadi pada lingkungan laut yang
dipengaruhi oleh beberapa faktor penting antara lain pengaruh sedimen klastik asal
darat, pengaruh iklim dan suhu serta pengaruh kedalaman dan faktor mekanik.
3.2. Klasifikasi Batuan Karbonat
Untuk menunjang penelitian penulis menggunakan klasifikasi batuan
karbonat menurut Folk (1959) dan Dunham (1962).
3.2.1. Klasifikasi batuan barbonat menurut Folk (1959)
Klasifikasi batuan karbonat yang dikemukakan oleh Folk didasarkan pada
tiga komponen utama penyusun batuan karbonat, yaitu butiran (allochems),
sparite, dan micrite.
Allochems,
Merupakan butiran karbonat yang berukuran pasir – kerikil, yang berasal dari
sedimen klastik. Termasuk di dalamnya adalah oolit, pisolit, onkolit, pellet,
Fosil, dan lain-lain.
13
Microcrystalline calcite ooze atau micrite
Merupakan agregat halus yang berukuran 1 – 4 mikron, sebagai pembentuk
mineral kalsit, terjadi secara biokimia dari presipitasi air laut, terbentuk
dalam lingkungan pengendapan dan menunjukkan sedikit atau tidak adanya
transportasi yang berarti. Hal ini dinyatakan bahwa mikrit (sensu Folk) adalah
tidak sama dengan lumpur karbonat (sensu Dunham). Folk memberikan
penamaan secara deskriptif untuk penyusunan batuan, sedangkan Dunham
lebih menjurus pada untuk menafsirkan penyusun batuan itu.
Sparry calcite cements atau sparite
Merupakan semen yang mengisi ruang antar butir dan rekahan, berukuran
butir halus (0,02 – 1mm). Dapat terbentuk langsung dari sedmien secara
insitu ataupun dari rekristalisasi mikrit.
Dengan didasarkan pada ketiga komponen utama tersebut, penamaan
batuan karbonat dapat dibagi menjadi beberapa tipe utama.
3.2.1.1. Tipe I (sparry allochemical rock)
Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe ini sebagian besar
konstitusi allochem yang disemen oleh sparit. Tipe ini pada umumnya
terbentuk pada daerah-daerah yang berenergi gelombang yang rendah tanpa
dipengaruhi oleh adanya lumpur karbonat (mikrit). Jenis batuan karbonat ini
adalah Oosparit, Biosparit, dan Pelsparit.
3.2.1.2. Tipe II ( microcrystalline allochemical rock)
Batuan karbonat yang termasuk ke dalan tipe ini, sebagian besar
terdiri dari konstitusi Allochem dan Microcrystalin Calcite Ooze sebagai
matrik nya. Terbentuk pada lingkungan pengendapan yang berenergi
gelombang lemah. Jenis batuan karbonat ini adalah Intramikrit, Oomikrit,
Biomikrit, dan Pelmikrit.
3.2.1.3. Tipe III ( microcystalline rock)
Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe III ini, merupakan
kebalikan dari tipe I, dimana hampir seluruhnya terdiri dari mikrit dan
14
terbentuk pada lingkungan pengendapan yang mempunyai kondisi air laut
yang tenang. Jenis batuan karbonatnya adalah Mikrit dan Dismikrit.
3.2.1.4. Tipe IV(biolithite)
Batuan karbonat yang termasuk ke dalam tipe IV ini merupakan
pembagian khusus, karena mengingat proses atau cara pembentkannya yang
sangat khas. Batugamping ini terdiri dari struktur organik yang terbentuk
pada tempat dimana ia tumbuh di daerah asalnya (insitu). Struktur organiknya
bersifat saling mengikat dan resisten dalam pertumbuhannya. Batuan
karbonat ini disebut Biolitit.
Gambar 3.1. Klasifikasi batuan karbonat (Folk, 1959)
15
3.2.2. Klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham (1962)
Klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham (1962) adalah dengan
berdasarkan pada tekstur pengendapannya.
3.2.2.1. Butiran didukung oleh lumpur
Jika jumlah butiran kurang dari 10% : Mudstone
Jika jumlah butiran lebih banyak dari 10% : Wackstone
3.2.2.2. Butiran saling menyangga
Dengan matriks : Packstone
Sedikit atau tanpa matriks : Grainstone
3.2.2.3. Komponen yang Saling Terikat Pada Waktu Pengendapan,
Dicirikan dengan Adanya Struktur Tumbuh
Boundstone
3.2.2.4. Tekstur Pengendapan yang Tidak Teramati dengan Jelas Karena
Rekristalisasi Sangat Lanjut
Batugamping kristalin
Gambar 3.2. Klasifikasi batuan karbonat berdasarkan tekstur pengendapannya
(Dunham, 1962)
16
3.3. Lingkungan Pengendapan
Lingkungan pengendapan dan perkembangan batuan karbonat dikontrol oleh
cekungan dan aspek-aspek cekungannya, yang meliputi kondisi cekungan,
pertumbuhan organisme penyusunnya, ukuran dan bentuk cekungan tersebut.
Pembagian dan penentuan lingkungan pengendapan batuan karbonat sangat
tergantung pada lokasi dan aspek-aspeknya, yang antara lain aspek-aspek tersebut
meliputi tingkat pertumbuhan dari organisme penyusunnya, ukuran, dan kondisi dari
lingkungan tempat batuan karbonat tersebut diendapkan. Dengan demikian beberapa
ahli dalam memberikan penamaan model lingkungan pengendapan batuan karbonat
sering mempergunakan istilah-istilah yang berbeda.
3.3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengendapan batuan karbonat
Sistem pengendapan batuan karbonat berbeda dengan sistem pengendapan
sedimen klastik lainnya. Pada proses pengendapan batuan karbonat diperlukan
suatu kondisi lingkungan tertentu yang memenuhi persyaratan untuk proses
pertumbuhan dan perkembangan kehidupan organisme dengan baik.
Berikut ini merupakan beberapa faktor yang penting, yang sangat
mempengaruhi pengendapan batuan karbonat, yaitu :
3.3.1.1. Pengaruh sedimen klastik asal darat
Pengendapan karbonat memerlukan lingkungan yang praktis bebas
dari sedimen klastik asal darat. Adanya partikel-partikel lempung dan lanau
(asal darat), akan menyebabkan terhalangnya proses fotosintesis, sehingga hal
ini akan menghalangi pertumbuhan ganggang gampingan, dimana ganggang
gampingan ini merupakan pembentuk CaCO3, sehingga pembentukan CaCO3
terhambat. Dengan terhambatnya pembentukan CaCO3, maka secara tidak
langsung akan menghambat mekanisme kehidupan dan pertumbuhan
binatang-binatang bentonik, yang mana cangkang-cangkang binatang
bentonik ini kebanyakan terbentuk dari unsure CaCO3.
Sehingga untuk dapat terjadinya pengendapan karbonat dengan
cepat, maka dibutuhkan kondisi aliran air yang jernih, daerah yang relatif
stabil dan daratan sekitarnya yang hampir datar. Bila pada suatu daerah
17
terjadi sedimentasi asal darat, maka akan membentuk napal atau batupasir
gampingan.
3.3.1.2. Pengaruh iklim dan suhu
Pada proses pengendapan batuan karbonat, diperlukan suatu kondisi
lingkungan geografis tertentu yang memenuhi persyaratan untuk proses
pertumbuhan perkembangan kehidupan organisme. Lingkungan geografis
yang baik untuk proses pertumbuhan dan perkembangan organisme adalah
lingkungan yang beriklim tropis sampai subtropics, dimana pada daerah-
daerah tersebut akan cukup mendapat sinar matahari dengan baik, sehingga
dapat memperlancar proses fotosintesis dan akan mempunyai kondisi
lingkungan yang bertemperatur hangat. Sehingga untuk lingkungan-
lingkungan yang berada pada garis lintang di atas 400 tidak akan dijumpai
pengendapan batuan karbonat yang melimpah kecuali terbatas pada daerah-
daerah yang beraliran air hangat, seperti pengendapan karbonat pada Gulf
Stream.
3.3.1.3. Pengaruh kedalaman
Pengendapan karbonat memerlukan penguapan yang kelewat jenuh
dari air laut di daerah yang mempunyai kandungan unsur CaCO3, dimana
pada keadaan yang demikian ini hanya dijumpai pada lingkungan laut yang
dangkal.
Apabila pada lingkungan laut yang dalam maka akan menyebabkan
sebagian tekanan CO2 akan sangat tinggi, dimana pada keadaan yang
demikian menyebabkan unsur CaCO3 akan terlarut kembali.
3.3.1.4. Faktor mekanik
Faktor mekanik yang mempengaruhi kecepatan pengendapan
karbonat antara lain adalah adanya aliran laut yang bertekanan tinggi menuju
ke daerah-daerah yang bertekanan rendah, adanya percampuran air dengan
kandungan CaCO3 yang berkadar tinggi, penguraian oleh bakteri, proses
pembuatan organik pada larutan, serta adanya kenaikan pH air laut sehingga
18
pada kondisi yang demikian dapat menyebabkan penambahan konsentrasi
karbonat.
3.4. Model Pengendapan Patch Reef
Berdasarkan atas locus pengendapan dan aspek lain seperti morfologi dan
organisme yang berperan suatu batugamping terumbu dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis. Fringing reef, faro reef, patch reef, barrier reef, knoll, atoll dan table
adalah jenis-jenis batugamping terumbu yang dikenal berdasarkan aspek klasifikasi
yang telah dijabarkan sebelumnya(lihat gambar). Patch reef sendiri memiliki ciri
terisolasi pada daerah shelves dengan pelamparan vertikal baik, namun secara
horizontal tidak begitu luas dibandingkan dengan barrier reef. Kenampakan fasies
karbonat dari patch reef seringkali menyerupai kenampakan yang dijumpai pada
barrier reef.
Gambar 3.3. Klasifikasi batugamping terumbu berdasarkan bentuk dan lokasi
pengendapan(Tucker, 2003)
Model pengendapan dari suatu patch reef dapat dianalisis dengan melihat
perkembangan zonasi biologis dari patch reef tersebut. Saat pengaruh gradien fisika
terjadi suatu zonasi biologis yang signifikan dapat terjadi. Zonasi ini merefleksikan
perbedaan morfologi coral, keanekaragaman, dan komposisi organisme. 4 fase
pertumbuhan yang menunjukkan zonasi biologis ini telah dikenal.
18
pada kondisi yang demikian dapat menyebabkan penambahan konsentrasi
karbonat.
3.4. Model Pengendapan Patch Reef
Berdasarkan atas locus pengendapan dan aspek lain seperti morfologi dan
organisme yang berperan suatu batugamping terumbu dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis. Fringing reef, faro reef, patch reef, barrier reef, knoll, atoll dan table
adalah jenis-jenis batugamping terumbu yang dikenal berdasarkan aspek klasifikasi
yang telah dijabarkan sebelumnya(lihat gambar). Patch reef sendiri memiliki ciri
terisolasi pada daerah shelves dengan pelamparan vertikal baik, namun secara
horizontal tidak begitu luas dibandingkan dengan barrier reef. Kenampakan fasies
karbonat dari patch reef seringkali menyerupai kenampakan yang dijumpai pada
barrier reef.
Gambar 3.3. Klasifikasi batugamping terumbu berdasarkan bentuk dan lokasi
pengendapan(Tucker, 2003)
Model pengendapan dari suatu patch reef dapat dianalisis dengan melihat
perkembangan zonasi biologis dari patch reef tersebut. Saat pengaruh gradien fisika
terjadi suatu zonasi biologis yang signifikan dapat terjadi. Zonasi ini merefleksikan
perbedaan morfologi coral, keanekaragaman, dan komposisi organisme. 4 fase
pertumbuhan yang menunjukkan zonasi biologis ini telah dikenal.
18
pada kondisi yang demikian dapat menyebabkan penambahan konsentrasi
karbonat.
3.4. Model Pengendapan Patch Reef
Berdasarkan atas locus pengendapan dan aspek lain seperti morfologi dan
organisme yang berperan suatu batugamping terumbu dapat dibedakan menjadi
beberapa jenis. Fringing reef, faro reef, patch reef, barrier reef, knoll, atoll dan table
adalah jenis-jenis batugamping terumbu yang dikenal berdasarkan aspek klasifikasi
yang telah dijabarkan sebelumnya(lihat gambar). Patch reef sendiri memiliki ciri
terisolasi pada daerah shelves dengan pelamparan vertikal baik, namun secara
horizontal tidak begitu luas dibandingkan dengan barrier reef. Kenampakan fasies
karbonat dari patch reef seringkali menyerupai kenampakan yang dijumpai pada
barrier reef.
Gambar 3.3. Klasifikasi batugamping terumbu berdasarkan bentuk dan lokasi
pengendapan(Tucker, 2003)
Model pengendapan dari suatu patch reef dapat dianalisis dengan melihat
perkembangan zonasi biologis dari patch reef tersebut. Saat pengaruh gradien fisika
terjadi suatu zonasi biologis yang signifikan dapat terjadi. Zonasi ini merefleksikan
perbedaan morfologi coral, keanekaragaman, dan komposisi organisme. 4 fase
pertumbuhan yang menunjukkan zonasi biologis ini telah dikenal.
19
3.4.1. Fase stabilization
Fase ini dicirikan oleh pengendapan akumulasi skeletal atau sering juga
disebut endapan shoal. Pada masa Paleozoikum organisme crinoid berperan
sebagai organisme pembentuk shoal sama halnya dengan green algae di masa
Kenozoikum. Secara keseluruhan asosiasi organismenya dapat mencakup sponge,
coral, bryozoan, dan red algae. Fase ini juga dikenal sebagai fase reef-mound.
3.4.2. Fase colonization
Fase ini dicirikan oleh kemunculan metazoa yang berperan sebagai reef-
builder, namun diversitas organisme masih cenderung rendah. Bentuk struktur
tumbuh mencakup branching dan encrusting. Fase ini cenderung berlangsung
lebih singkat daripada fase lain sehingga endapannyapun relatif lebih tipis.
3.4.2. Fase diversification
Fase ini dicirikan dengan meningkatnya diversitas organisme, yang
mengindikasikan keadaan dimana keadaan lingkungan pengendapan telah
mendukung pembentukan batugamping terumbu. Fase ini biasanya
direpresentasikan oleh endapan yang tebal.
3.4.2. Fase domination
Fase ini merupakan fase klimaks dari perkembangan suatu batugamping
terumbu dan dicirikan oleh bentuk struktur tumbuh lamellar(encruster). Fasies
bindstone atau framestone akan dominan dan berada di bagian puncak dari
batugamping terumbu. Diversitas organisme menjadi rendah kembali karena
organisme-organisme tertentu menjadi dominan dan menjadi predator bagi
organisme lain.
20
Gambar 3.4. Model suksesi biologis dari suatu patch reef(James, 1984b, vide
Tucker,2003)
Pada penelitian ini untuk membantu intrepertasi lingkungan pengendapan
dari patch reef dipakai model pendekatan berdasarkan beberapa aspek. Patch reef
dapat tumbuh mulai dari daerah lagoon hingga open marine yang berdekatan dengan
shelve margin. Dalam kondisi tertentu bahkan patch reef juga dapat tumbuh di
daerah laut dalam, terutama pada daerah dengan kondisi iklim dingin. Perbedaan
lokasi pengendapan ini direfleksikan oleh perbedaan jenis organisme, struktur
sedimen, jenis fasies, dll. Model karakteristik lingkungan pengendapan
karbonat(Friedman dan Rieekman, 1985) dirasa merupakan model yang paling dapat
mengakomodasi intrepertasi lingkungan pengendapan dari patch reef. Model ini
dapat dilihat pada tabel 3.1.
20
Gambar 3.4. Model suksesi biologis dari suatu patch reef(James, 1984b, vide
Tucker,2003)
Pada penelitian ini untuk membantu intrepertasi lingkungan pengendapan
dari patch reef dipakai model pendekatan berdasarkan beberapa aspek. Patch reef
dapat tumbuh mulai dari daerah lagoon hingga open marine yang berdekatan dengan
shelve margin. Dalam kondisi tertentu bahkan patch reef juga dapat tumbuh di
daerah laut dalam, terutama pada daerah dengan kondisi iklim dingin. Perbedaan
lokasi pengendapan ini direfleksikan oleh perbedaan jenis organisme, struktur
sedimen, jenis fasies, dll. Model karakteristik lingkungan pengendapan
karbonat(Friedman dan Rieekman, 1985) dirasa merupakan model yang paling dapat
mengakomodasi intrepertasi lingkungan pengendapan dari patch reef. Model ini
dapat dilihat pada tabel 3.1.
20
Gambar 3.4. Model suksesi biologis dari suatu patch reef(James, 1984b, vide
Tucker,2003)
Pada penelitian ini untuk membantu intrepertasi lingkungan pengendapan
dari patch reef dipakai model pendekatan berdasarkan beberapa aspek. Patch reef
dapat tumbuh mulai dari daerah lagoon hingga open marine yang berdekatan dengan
shelve margin. Dalam kondisi tertentu bahkan patch reef juga dapat tumbuh di
daerah laut dalam, terutama pada daerah dengan kondisi iklim dingin. Perbedaan
lokasi pengendapan ini direfleksikan oleh perbedaan jenis organisme, struktur
sedimen, jenis fasies, dll. Model karakteristik lingkungan pengendapan
karbonat(Friedman dan Rieekman, 1985) dirasa merupakan model yang paling dapat
mengakomodasi intrepertasi lingkungan pengendapan dari patch reef. Model ini
dapat dilihat pada tabel 3.1.
21
Tabel 3.1. Karakteristik lingkungan pengendapan karbonat(Friedman dan Reeckmann, 1982)
21
Tabel 3.1. Karakteristik lingkungan pengendapan karbonat(Friedman dan Reeckmann, 1982)
21
Tabel 3.1. Karakteristik lingkungan pengendapan karbonat(Friedman dan Reeckmann, 1982)
22
3.5. Studi Fase Diagenesis Batuan Karbonat
Diagenesis merupakan keseluruhan proses kolektif yang menyebabkan
perubahan pada sedimen selama proses penimbunan dan litifikasi berlangsung.
Diagenesa berlangsung pada keadaan temperatur dan tekanan yang ada di atas
keadaan lingkungan pelapukan namun berada di bawah keadaan lingkungan dimana
metamorfisme terjadi. Fase diagenesa memainkan peran yang penting dalam
menentukan karakteristik final dari suatu batuan sedimen, tak terkecuali batuan
karbonat. Selain itu dengan mempelajari fase diagenesa pada batuan karbonat maka
dapat memberikan pendekatan terhadap studi mengenai porositas yang bermanfaat
dalam berbagai bidang.
3.5.1. Proses diagenesis batuan karbonat
Proses-proses diagenesa utama yang mempengaruhi batuan karbonat
adalah mikritisasi, dissolusi dan sementasi, kompaksi, neomorfisme, dolomitisasi
dan penggantian dari matriks dan butiran karbonat oleh mineral non-karbonat.
Dissolusi merupakan proses pelarutan fluida pori batuan karbonat sehingga
menyebabkan peluruhan butiran dan semen karbonat yang bersifat tidak stabil.
Proses dissolusi pada umumnya efektif pada lingkungan air meteorik yang dekat
dengan permukaan, di lingkungan penimbunan dalam dengan kehadiran air
bersuhu rendah(Steinsund dan Hald, 1994), dan juga di laut dalam(Berelson dkk.,
1994), dimana air laut menjadi bersifat tidak jenuh terhadap aragonite dan Mg-
Kalsit. Efek disolusi dapat dihitung berdasarkan pengamatan terhadap fosil yang
terkandung dalam batuan. Banyak fosil(Moluska, koral, dan ganggang
gampingan) memiliki mineralogi cangkang dan struktur mikro yang memberikan
indikasi proses dissolusi. Dengan mengamati alterasi atau perubahan dari kriteria-
kriteria tersebut maka tingkat proses dissolusi dapat diungkapkan.
Kompaksi terdiri dari berbagai proses yang menyebabkan presipitasi
mineral di dalam pori primer dan sekunder dan membutuhkan keadaan fluida pori
yang sangat jenuh. Kompaksi dan tekanan solusi(stilolisasi) merujuk pada proses
kimia dan fisika, yang dipicu oleh meningkatnya pembebanan sedimen
selama penimbunan dan meningkatnya kondisi temperatur serta tekanan.
23
Neomorfisme(Folk, 1965) adalah terminologi yang memiliki pengertian seluruh
transformasi yang terjadi dalam pengaruh kehadiran air melaui proses dissolusi-
represipitasi antara mineral satu dengan yang lain atau dengan mineral
polimorfnya. Rekristalisasi merujuk pada proses perubahan ukuran kristal, bentuk
kristal, dan orientasi kisi Kristal tanpa adanya perubahan dalam aspek mineralogi.
Dolomitisasi adalah proses dimana batugamping atau material sedimen
sebelumnya secara sepenuhnya atau sebagian berubah menjadi dolomite melalui
penggantian CaCO3 oleh magenesium karbonat, melalui asosiasi dengan air
pembawa magnesium.
Kontrol utama dalam diagenesa batuan karbonat adalah mineralogi dan
sifat kimia Kristal, sifat kimia dari air pori, pergerakan air, tingkat dissolusi dan
presipitasi, ukuran butir, dan interaksi dengan substansi organik. Perkembangan
dan arah reaksi diagenesa ditentukan oleh stabilitas thermodinamik dari mineral
karbonat yang mengalami pelarutan atau presipitasi(MacInnys dan Brantley,
1992), keadaan saturasi fluida diagenetik dan kesediaan area permukaan untuk
memungkinkan terjadinya reaksi. Berdasarkan hasil eksperimen menunjukkan
perbedaan area permukaan(berkorespondensi dengan struktur mikro dari butiran
sedimen) kelihatannya lebih signifikan dalam mengontrol tingkat dissolusi
dibandingkan stabilitas mineralogi(Walter, 1985). Efek dari parameter-parameter
yang dijelaskan barusan tergantung pada fase saturasi dan tingkat aliran dari
fluida diagenetik(Gonzales dkk. 1992; Lighty 1985).
24
Tabel 3.2. Lingkungan diagenesa beserta proses yang berperan(Flugel,2004).
3.5.2. Lingkungan diagenesa dari modifikasi porositas
Terdapat tiga lingkungan diagenetik utama dimana porositas terbentuk
atau termodifikasi. Tiga lingkungan itu adalah: meteoric, marine, dan bawah
permukaan. Dua lingkungan yang termasuk lingkungan permukaan atau dekat
permukaan, meteorik dan marin(zona eogentik dan telogenetik berdasarkan
klasifikasi Choquette dan Pray, 1970), ditandai oleh kehadiran fluida pori yang
berbeda satu sama lain. Lingkungan diagenesa bawah permukaan dicirikan oleh
Lingkungan
Diagenesa
Lokasi Pengisian
Pori
Proses Waktu yang
diperlukan
Lingkungan vadose
meteorik
Di atas water table, diantara permukaan dan zona phreatic
meteorik
Pori diisi oleh air tawar
dan/atau udara
Zona solusi: solusi dengan intensitas tinggi, pelepasan
aragonite, pembentukan vug.
Zona presipitasi: sementasi minor
103-105 tahun
Lingkungan phreatic meteorik
Di bawa water table hingga 100 m ke
bawah
Pori diisi oleh air tawar
Zona solusi: solusi, pembentukan mold dan vug. Zona aktif(bagian
atas): dissolusi aragonite dan kalsit, sementasi tinggi, presipitasi
kalsit, pembentukan mold dan vug. Zona stagnan(bagian lebih dalam dan biasanya pada iklim
kering): sedikit sementasi, stabilisai aragonite dan kalsit
103-105 tahun sampai 106-107 tahun
Lingkungan phreatic laut
Pada laut dangkal atau lantai bawah
samudera
Pori diisi oleh air
laut
Lingkungan laut dangkal: air sangat jenuh CaCO3, sementasi aragonite dan kalsit intensitas tinggi, jenis semen beragam.
Lingkungan laut dalam: air dengan kadar CaCO3 rendah, disolusi
aragonite dan kalsit pada dua level dissolusi
101-104 tahun
Lingkungan penimbunan
Bawah permukaan dibawah area yang dapat dicapai oleh proses permukaan , sampai area dengan
metamorfisme tingkat rendah. Dapat mencapat
kedalaman 1000 m ke bawah.
Pori diisi oleh air
asin dengan salinitas beragam,
dari payau hingga
alkalinitas tinggi.
Penimbunan dangkal(beberapa meter hingga puluhan meter) dan
penimbunan dalam(beban sedimen hingga ratusan bahkan ribuan
meter): kompaksi fisikal, kompaksi kimia(solusi tekanan),
sementasi, reduksi porositas
106-108 tahun
25
campuran air meteorik dan marin atau air asin dari cekungan yang bersifat
kompleks.
3.5.2.1. Lingkungan laut
Lingkungan marin yang dimana hampir semua sedimen karbonat
berasal dicirikan oleh fluida pori normal atau termodifikasi. Fluida pori ini
bersifat supersaturasi terhadap hampir semua spesies mineral
karbonat(Bathurst 1975, vide C.H. Moore 1989 hal. 44). Oleh karena itu
lingkungan diagenesa marin potensial sebagai area destrukturisasi porositas
oleh semen laut. Lingkungan ini mempunyai potensi yang kecil untuk
pembentukan porositas sekunder oleh pelarutan, kecuali pada lingkungan laut
dalam dimana air permukaan yang bersifat supersaturasi menjadi semakin
berkurang sifat supersaturasinya seiring dengan perubahan kedalaman.
Distribusi sementasi marin secara umum dikontrol oleh tingkat pergerakan
fluida melalui sistem pori sedimen. Oleh karena itu hal ini secara dramatis
dipengaruhi oleh kondisu pengendapan seperti level energi, porositas dan
permeabilitas sedimen, dan tingkat sedimentasi. Sementasi, oleh karena itu,
tidak begitu banyak dijumpai pada lingkungan marin, namun hadir pada
beberapa area yang memunngkinkan. Area ini antara lain shelf margin reef
dan zona intertidal.
Perkembangan porositas sekunder melalui proses dolomitisasi umum
dijumpai pada asosiasi dengan air laut bersifat evaporatif. Hal ini juga dapat
terjadi saat air marin nornal mengalir melalui sekuen batugamping oleh
proses konveksi termal.
3.5.2.2. Lingkungan meteorik
Lingkungan meteorik dicirikan oleh proses penyingkapan pada
kondisi permukaan dan kehadiran air yang relatif encer yang menunjukkan
sifat saturasi yang beragam(mulai dari tidak tersaturasi sampai supersaturasi).
Sifat supersaturasi merujuk pada spesies mineral karbonat yang bersifat
stabil, kalsit dan dolomit. Pada kenyataannya air meteorik secara umum
bersifat sangat tidak jenuh terhadapa mineral karbonat yang bersifat
26
metastabil (aragonit dan magnesian kalsit). Ketersediaan tanah yang
mengandung karbon dioksida dan fluida meteorik pada zona vadose memberi
pengaruh yang sangat besar pada tingkat kejenuhan dari air ini relatif
terhadap fase mineral karbonat. Lingkungan meteorik, oleh karena itu,
memiliki potensi besar sebagai lingkungan dimana porositas sekunder dapat
terjadi melalui adanya pelarutan. Pengurangan porositas juga dapat terjadi
melalui sementasi pasif. Potensi untuk terjadinya modifikasi porositas pada
lingkungan meteorik sering kali diperbesar oleh aliran fluida bersifat rapid
yang mengalir melalui sistem zona phreatic(Hanshaw, 1971,vide C.H. More,
1989 ).
3.5.2.3. Lingkungan bawah permukaan
Lingkungan bawah permukaan dicirikan oleh fluida pori yang dapat
berupa campuran dari air meteorik dan air laut, atau air asin dengan
komposisi kimia kompleks yang dihasilkan oleh interaksi batuan-air dalam
keadaan temperatur dan suhu tinggi jangka panjang. Karena interaksi yang
bersifat intensif ini, fluida tersebut secara umum bersifat sangat jenuh
terhadap spesies mineral karbonat yang paling stabil yaitu kalsit dan dolomit.
Kendati demikian dalam keadaan tempeatur dan suhu tinggi di bawah
permukaan, pressure solution merupakan proses pemusnah porositas yang
sangat penting. Proses ini sering kali disertai oleh proses presipitasi semen
pada pori yang berdampingan dikarenakan oleh sifat sangat jenuh dari fluida
pori. Area lokal bersifat tidak jenuh yang berhubungan dengan degradasi
termal hidrokarbon dapat menghasilkan porositas sekunder oleh proses
pelarutan.
Kebanyakan proses diagenesis berlangsung secara lambat di
lingkungan bawah permukaan dikarenakan oleh pergerakan fluida yang
lambat pada keadaan deep burial(Choquette dan James, 1987, vide C.H.
More, 1989). Proses ini, kendati demikian, memiliki jangka waktu geologi
yang panjang untuk dapat mencapai proses yang dapat terjadi.
27
Gambar 3.5. Lingkungan diagenesa utama (Flugel, 2004)
3.5.2.4. Diagenesis meteorik
Meteorik merupakan kata dalam bahasa Yunani yang memiliki arti
air tawar yang berasal dari atmosfer bumi. Diagenesa air tawar terjadi pada
area continental, disepanjang margin paparan, di atas platform daratan, dan
pada atol atau platform terisolir dimana sedimen terakumulasi di atas muka
air laut. Banyak pengetahuan mengenai diagenesa meteorik karbonat
didasarkan atas studi batugamping plistosen yang telah tersingkap
Diagenesa air tawar terjadi pada zona vadose meteorik dan zona
phreatic meteorik yang dicirikan oleh proses pencampuran air tawar dan air
laut. Pada zona vadose air terkonsentrasi pada kapilaritas kontak antar butir,
pada zona phreatic air memenuhi semua pori. Kedua zona terdiri dari sub-
lingkungan yang dibedakan oleh perbedaan pada pergerakan air(sirkulasi
aktif atau kondisi stagnan), proses solusi dan presipitasi dan jenis semen dan
porositas yang dihasilkan(Longman, 1980).
28
Gambar 3.6. Hubungan antara lingkungan diagenesa utama pada area bawah permukaan
dangkal dari suatu tubuh pasir karbonat dengan permeabilitas ideal (Flugel,2004(modifikasi Longman, 1980))
3.5.2.5. Lingkungan zona campuran dan zona vadose laut
Pencampuran air dengan kandungan unsur kimia yang berbeda
memiliki kemungkinan untuk terjadinya proses-proses geokimia. Keadaan
diagenesa spesifik yang dicirikan oleh pencampuran air tawar dan air laut
dapat terjadi pada area bawah permukaan dangkal yang dekat dengan tatanan
daerah pesisir, dan pada area pantai(khususnya foreshore), dicirikan oleh
perubahan kondisi secara terus menerus. Proses pencampran air pada zona
campuran memiliki peranan dalam proses presipitasi semen aragonit dan
dolomit di dalan vug, dolomitisasi, dan chertifikasi. Pencampuran air tawar
dan air laut berkontribusi dalam proses disolusi batuan karbonat pada daerah
pesisir. Kriteria diagenetik dari zona vadose laut hampir sama dengan zona
vadose meteorik, namun sementasi yang terjadi lebih tinggi intensitasnya.
Jenis batuan yang terbentuk pada tatanan seperti ini sering disebut sebagai
beachrock.
29
3.5.2.6. Diagenesis laut
Diagenesis phreatic laut biasa terjadi pada lantai samudra dangkal
dan dalam, dan juga pada dataran pasang surut(tidal flat). Tekanan hidrostatik
yang tinggi, temperature air yang rendah, dan tekanan CO2 parsial yang tinggi
pada laut dalam menyebabkan disolusi dan perbedaan signifikan pada
tingkat preservasi dari kalsium karbonat dari sedimen laut dalam. Perbedaan
ini digunakan sebagai dasar untuk membedakan dua level disolusi yaitu
lisoklin dan CCD(calcite compensation depth).
3.5.2.7. Diagenesa penimbunan
Batuan karbonat yang telah mengalami diagenesa akibat penimbunan
dapat diidentifikasi oleh kenampakan kriteria-kriteria mikrofasies berupa
jenis spesifik semen dan tekstur diagenetik. Studi mengenai diagenesa
penimbunan bersifat signifikan dalam rekonstruksi sejarah batuan dan
evaluasi propert dan porositas batuan. Pembahasan mengenai diagenesa
penimbunan telah dipublikasikan oleh Wanless(1983) dan Hutcheon(1989).
Lingkungan penimbunan secara konvensional dibagi menjadi
penimbunan dangkal dan penimbunan dalam, namun batasan antara keduanya
tidak begitu jelas didefinisikan. Zona penimbunan dangkal mencakup
beberapa meter hingga puluhan meter di bawah permukaan. Diagenesa di
dekat permukaan akibat penimbunan dangkal dipengaruhi oleh perubahan
keadaan kimia air pori pada zona campuran, temperature dan proses tekanan.
Diagenesa pada zona penimbunan dalam dikontrol oleh beberapa aspek.
Komposisi air pori pada lingkungan penimbunan dalam berbeda secara
substansial dengan yang ada pada zona penimbunan dangkal, dimana
sementasi biasanya terjadi pada air meteorik encer yang bersifat oxsik dan
sedikit bersifat reduksi. Air pori yang ada di zona penimbunan dalam
memiliki salinitas tinggi dan bersifat reduksi. Sebagai konsekuensinya elemen
yang memiliki sifat redoks sensitive termobilisasikan dan unsure Mn dan Fe
cenderung berinkorporasi dengam semen kalsit atau dolomite. Semen-semen
ini ditandai oleh bentuk-bentuk morfologi tertentu.
Proses-proses yang terjadi pada lingkungan penimbunan dalam mencakup:
30
Kompaksi fisika yang diakibatkan overbureden sedimen: dapat
mengurangi ketebalan, porositas, permeabilitas dan mengakibatkan
perombakan butiran yang terdistorsi dan menghasilkan kemas yang tertekan.
Kompaksi kimia: dimulai pada kedalaman tertentu dari
overburden(umumnya ratusan hingga ribuan meter), meyebabkan
berkurangnya ketebalan, porositas, dan permeabilitas. Menghasilkan struktur
stilolit dan tekanan solusi.
Sementasi: menghasilkan semen kalsit spar kasar. Semen ini kaya
akan unsure mangan dan besi, namun miskin akan unsure stronsium. Inklusi
fluida banyak dijumpai. Morfologi yang dijumpai berupa kalsit poikilotopik,
drusi, dll.
Solusi porositas minor: disebabkan oleh disolusi dari karbonat dan
kalsium sulfat mineral.
Dolomitisasi penimbunan: menghasilkan kemas Kristal anhedral, dan
cenderung berukuran kasar.
31
Tabel 3.3. Morfologi semen karbonat serta intrepertasi yang bisa diambil dari kehadirannya(Flugel,2004).
Morfologi Semen Sparit Keterangan
Acicular: Kristal berbentuk jarum, tumbuh secara normal pada substrat. Kristal berbentuk elongate dan pararel terhadap axis-c, menunjukkan pemadaman lurus. Terminasi ditunjukkan berupa bentuk seperti chisel. Lebar < 10 μm, panjang sekitar 100μm atau lebih. Pada umumnya berupa aragonite, namun tidak menutup kemungkinan Mg-kalsit. Mengindikasikan zona phreatic laut.
Fibrous: Kristal fibrous, tumbuh normal pada substrat. Kristal menunjukkan elongasi panjang yang signifikan, biasanya pararel terhadap sumbu-c. bentuk Kristal seperti jarum atau kolumnar(rasio panjang dan lebar > 6:1, lebar > 10μm). Ukurannya pada umumnya halus sampai sedang. Sering dijumpai pada pori inter-partikel dan intra-partikel. Aragonit atau high-Mg-kalsit. Pada umumnya terbentuk pada zona phreatic laut, namun terkadang dijumpai pada zona vadose meteorik dan laut(berbentuk lebih kolumnar).
Botryoidal:semen pengisi pori yang dibentuk oleh mamelon yang saling menyatu dan menunjukkan horizon yang tidak kontiniu. Semen ini terdiri atas kipas individual maupun berkelompok, yang akhirnya menyebabkan karakteristik pemadaman sweeping pada nikol silang. Aragonit. Pada umumnya terbentuk di laut(umum dijumpai di gua pada terumbu dan slope terjal ke arah laut), namun kadang juga dijumpai pada lingkungan penimbunan. Disebut juga spherulitik
Radiaxial fibrous:berukuran besar, keruh dan kadang turbid, banyak dijumpai inklusi Kristal kalsit dengan pemadaman bergelombang. Ukuran kritalnya antara sedang hingga kasar. Terkadang memanjang hingga beberapa millimeter, biasanya hingga 30μm-300μm. Rasio panjang/lebar 1:3 -1:10. Kristal menunjukkan pola unit subkristal. Terbentuk pada zona phreatic laut atau zona
32
penimbunan.
Dog tooth:Kristal kalsit yang menajam pada satu titik dengan bentuk scalenohedral atau rhombohedral, tumbuh secara normal dan subnormal pada substrat.sering dijumpai pada zona meteorik dan penimbunan dangkal namun juga dijumpai pada zona phreatic laut dan hidrotermal.
Bladed: Kristal yang non-equidimensional dan non-fibrous. Berkorespodensi dengan Kristal elongate yang lebih lebar dari Kristal fibrous(rasio panjang/lebar 1.5:1-6:1) menunjukkan terminasi seperti pyramid. Ukuran Kristal mencapai lebih dari 10μm untuk lebar dan panjang kurang dari 20μm hingga 100μm. Kristal bertambanh lebar seiring dengan bertambahnya panjang. Berupa high-Mg-kalsit namun juga aragonite. Terbentuk pada zona phreatic(banyak ditemukan pada laut dangkal) laut dan vadose laut.
Dripstone: semen yang dicirikan perbedaan tebal dari crust semen di bawah butir atau di bawah atap dari void intergranular.pada umumnya berupa kalsit. Terbentuk di bawah zona kapilaritas dan di atas water table di dalam zona vadose meteorik(sering berasosiasi dengan semen meniscus), namun juga pada zona phreatic meteorik dan secara sporadic pada zona vadose laut diagenentik.
Meniscus: semen kalsit yang terpresipitasi dengan pola meniscus pada atau dekat kontak antar butir dalam pori yang mengandung baik udara dan air. Menunjukkan permukaan seperti kurva di bawah butir. Menghasilkan pori intergranular yang memiliki kenampakan membundar akibat efek meniscus. Biasa terbentuk pada zona vadose meteorik namun juga hadir pada zona phreatic meteorik dan vadose laut.
33
Drusy: semen pengisi pori pada pori intergranular dan interkristal, mold dan kekar, dicirikan oleh bentuk equan sampai elongate, anhedral hingga subhedral Kristal kalsit non-feroan. Ukurannya >10μm. Ukuran bertambah kea rah pusat pori. Terbentuk di dekat permukaan meteorik dan juga lingkungan penimbunan.
Granular: semen kalsit terdiri dari Kristal-kristal kecil equidimensional yang mengisi pori. Umum dijumpai pada pori interpartikel, pada umumnya tanpa kontrol substrat. Terbentuk pada zona vadose meteorik, phreatic meteorik dan lingkungan penimbunan. Dapat juga terbentuk sebagai hasil reksristalisasi dari semen yang ada sebelumnya.
Blocky: Semen kalsit yang terdiri dari Kristal sedang hingga kasar tanpa menunjukkan adanya orientasi tertentu. Dicirikan oleh ukuran Kristal yang bervariasi(puluhan micron hingga beberapa millimeter), sering menunjukkan perbedaan bentuk batas Kristal. Berupa high-Mg kalsit dan low-Mg kalsit. Pada umumnya terbentuk pada zona meteorik(vadose dan phreatic) dan lingkungan penimbunan, sangat jarang ditemui di terumbu. Terpresipitasi setelah disolusi semen aragonite atau butiran karbonat. Dapat juga terbentuk sebagai hasil rekristlaisasi semen yang sudah ada sebelumnya.
Syntaxial calcite overgrowth: pertumbuhan Kristal yang dikontrol oleh substrat di sekitar butiran induk oleh satu Kristal(biasanya fragmen echinoderm bersifat high-Mg kalsit). Perbedaan warna antara butiran skeletal dan semen overgrowth terkadang sulit diidentifikasikan. Semen overgrowth yang biasa terbentuk di dekat permukaan laut kaya akan inklusi dan keabu-abuan, kontras dengan semen overgrowth yang terbentuk pada lingkungan penimbunan dalam.
34
Peloidal microcrystalline: Dicirikan oleh kemas peloidal yang terdiri dari peloid-peloid mini(ukuran <100μm) di dalam matrix mikrokristalin. Terbentuk di laut dangkal. Diintrepertasikan sebagai presipitasi akibat aktivitas kimia atau mikrobial
Microcrystaline: kristal rhombic dengan ukuran micron. Membentuk semacam selimut tipis di sekitar butir, mengisi pori secara penuh atau membangun semacam jembatan antar butir(berkontribusi dalam pembentukan semen meniscus). Mg-kalsit. Seringkali berasosiasi dengan semen peloidal.
3.5.3. Petrografi morfologi semen
Beberapa penulis telah memberikan komentarnya masing-masing pada
keberagaman morfologi dari kalsit dan aragonit sebagai semen pengisi pori. Para
penulis tersebut telah mencoba untuk menghubungkan morfologi kristal dengan
lingkungan kimia presipitasi(Lippmann, 1973; Folk, 1974; Lahann, 1978; Lahan
dan Seibert, 1982; Given dan Wilkinson, 1985, vide C.H. More, 1989).
Pengetahuan konvensional pada tahun 1960-1970 adalah hampir semua semen
kalsit air tawar cenderung berbentuk equant, sementara semen kalsit dan aragonit
air laut cenderung berbentuk fibrous. Folk(1974) mengembangkan model yang
menghubungkan secara langsung morfologi semen kalsit dengan rasio Mg/Ca dari
fluida presipitasi. Model Folk didasarkan pada konsep sidewise poisoining dari
pertumbuhan kristal kalsit oleh penggantian ion Mg dengan Ca. Radius ion Mg
yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan ion Ca, menyebabkan distorsi bidang
pada bagian tepi kristal yang bertumbuh. Ini menyebabkan berhentinya
pertumbuhan pada bagian tepi, dan akhirnya menyebabkan elongation kristal pada
arah sumbu C(lihat gambar). Berdasarkan skema Folk ini, air meteorik yang
35
memiliki rasio Mg/Ca rendah, akan cenderung membentuk bentuk kristal equant,
sementara air laut yang memiliki rasio Mg/Ca akan menghasilkan kristal kalsit
berbentuk elongate.
Gambar 3.7. Morfologi dari kristal kalsit yang dikontrol oleh Mg-poisoning(Folk, 1974). (A) Sebuah ion Mg ditambahkan pada bagian akhir dari kristal yang tumbuh maka
kehadirannya dapat dengan mudah di overstepped oleh lapisan CO3 selanjutnya tanpa mengganggu pertumbuhan kristal.
(B) Mg ion yang kecil ditambahkan pada bagian tepi dari kristal, lapisan CO3 yang berdampingan akan terdistorsi untuk mengakomodasi bidang kristal, menghalangi pertumbuhan bagian tepi selanjutnya, menghasilkan kristal fibrous.
Gambar 3.8. Sifat pertumbuhan kristal kalsit sebagai fungsi rasio Mg/Ca.
Lahann(1978), sementara setuju dengan pendapat Folk bahwa ion Mg
dapat menghambat pertumbuhan kalsit akibat distorsi bidang, berpendapat bahwa
efek poisoning dari Mg tidak dapat dipakai untuk menjelaskan perbedaan
morfologi pada kristal kalsit, karena proses poisoning Mg seharusnya akan
mempengaruhi semua bidang termasuk arah sumbu C. Lahann berpendapat
perbedaan potensi permukaan yang berkembang pada bagian muka kristal kalsit
akibat kristalografi kalsit merupakan penyebab perbedaan morfologi yang dapat
36
diamati pada pembentukan kalsit alami. Sebagai contoh, bagian tepi yang pararel
dengan sumbu C akan mengekspos baik Ca dan CO3 terhadap fluida yang
terpresipitasi, sementara bagian muka yang tumbuh normal terhadap sumbu C
akan mengekspos Ca atau CO3 terhadap fluida yang terpresipitasi, namun tidak
dalam waktu yang bersamaan. Pada air laut, dimana terdapat ekses besar atas
kation permukaan-aktif dibandingkan dengan anion permukaan-aktif, bagian
muka sumbu C akan secara normal dijenuhi oleh kation, menimbulkan potensial
positif yang lebih kuat pada bagian muka sumbu C, dimana ini lebih besar
dibandingkan bagian tepi yang pararel dengan sumbu C, karena baik CO3 dan Ca
akan terekspos terhadap fluida. Potensial positif ini akan memastikan
pengkonsentrasian ion CO3 pada bagian muka sumbu C yang lebih besar. Ini
menyebabkan elongation dari kristal kalsit pararel terhadap sumbu C dalam
keadaan kondisi laut normal.
Model Lahann ini dapat secara memuaskan menjelaskan kehadiran dari
kristal kalsit equant pada kondisi air meteorik. Pada kasus ini, baik CO3 dan Ca
memiliki konsentrasi rendah, saturasi terhadap hampir semua fase karbonat ada
pada keadaan seimbang atau tidak jenuh. Perbedaan potensial antar bagian muka
kristal juga minimal, menghasilkan morfologi kalsit equant. Pengecualian utama
terjadi pada zona vadose meteorik dimana outgassing CO2 yang berlangsung
cepat akan menyebabkan meningkatnya kondisi saturasi. Hal ini dapat
menyebabkan presipitasi kristal kalsit elongate seperti yang umum ditemukan di
speleothem, dan semen kristal berbentuk whisker pada zona soil(Given dan
Wilkinson, 1985, vide C.H. More, 1989).
Hampir semua semen kalsit di lingkungan bawah permukaan juga
berbentuk equant, dan sementara konsentrasi ion Ca dapat menjadi rendah,
ketersediaan CO3 yang rendah menghasilkan pertumbuhan krital equant yang
lambat. Situasi yang pararel terjadi pada lingkungan laut dalam, dengan dengan
lysocline kalsit, dimana konsentrasi ion Ca mendekati keadaan di air permukaan.
Ketersediaan CO3 juga terbatas, oleh karenanya kalsit yang terbentuk memiliki
morfologi equant(Schlager dan James, 1978; Given dan Wilkinson, 1985, C.H.
More, 1989).
37
Gambar 3.9. Diagram skematik yang menunjukkan perkiraan sifat pertumbuhan dari
semen kalsit pengisi pori pada lingkungan diagenesis. Sifat ini dikontrol rasio kation aktif permukaan(SAC) terhadap anion aktif permukaan(SAA).
3.6. Intrepertasi lingkungan pengendapan dengan analisis litofasies
Lingkungan pengendapan didefinisikan sebagai lokasi pengendapan dan
kondisi fisika, kimia, dan biologinya yang memberikan karakteristik khusus dari
tatanan pengendapan(Gould,1972, vide Sam Boggs Jr, 1987). Dalam melakukan
analisa lingkungan pengendapan dapat diasumsikan bahwa suatu lingkungan
pengendapan dengan keadaan fisika, kimia, dan biologinya yang spesifik akan
menghasilkan endapan sedimen yang berbeda dengan lingkungan pengendapan lain.
Endapan sedimen yang berbeda ini diwujudkan dalam asosiasi fasies yang
memberikan gambaran dari situasi saat suatu endapan sedimen diendapkan. Karena
satu fasies pengendapan tidak dapat menjadi indikator dari suatu lingkungan
pengendapan maka analisa asosiasi fasies dilakukan untuk mengetahui lingkungan
pengendapan dari satuan breksi monomik Kaligesing ini. Dalam penelitian ini aspek
fasies yang lebih ditonjolkan adalah litofasies yang merupakan aspek fisika dan
kimia dari sautu tubuh batuan sedimen.
Dalam penelitian ini penulis memakai penamaan litofasies menurut Maurice
Tucker(2003) untuk memberikan penamaan litofasies yang sistematik. Kode
litofasies yang dikembangkan oleh Maurice Tucker teridiri dari 3 bagian yaitu
38
Lithologies, Qualifiers, dan Prefixes(lihat gambar 5.3). Lithologies untuk kode
litofasies batuan sedimen silisiklastik memberikan penjelasan mengenai ukuran butir
fragmen yang menyusun batuan(misal S untuk sand), sedangkan untuk kode
litofasies batuan sedimen karbonat Lithologies menjelaskan penamaan batuan
menurut Dunham(1962) atau Embry & Klovan(1971). Kode untuk Lithologies ditulis
dengan huruf besar. Qualifiers memberikan penjelasan mengenai struktur sedimen
baik untuk batuan sedimen silisiklastik dan karbonat. Kode untuk Qualifiers ditulis
dengan huruf kecil. Prefixes memberikan penjelasan mengenai sifat kimia, sifat
minor dari batuan namun cukup signifikan, atau memberikan penjelasan lebih lanjut
mengenai ukuran butir. Penulisan kode untuk Prefixes juga dengan huruf kecil. Jadi
semisal terdapat kode litofasies tmSs maka litofasies yang dimaksuda adalah
stratified tuffaceous medium Sandstone.
39
(a)
(b) Gambar 3.10. (a) Kode Litofasies menurut Maurice Tucker(2003) untuk batuan sedimen silisiklastik (b) Kode Litofasies menurut Maurice Tucker(2003) untuk batuan sedimen karbonat.
Setelah melakukan penamaan litofasies menurut Maurice Tucker(2003) maka
akan dilakukan intrepertasi mengenai proses yang membentuk litofasies yang
dimaksud. Setelah itu hasil intrepertasi akan dibandingkan dengan model fasies yang
paling sesuai. Model fasies sendiri didefinisikan sebagai suatu gambaran asosiasi
fasies ideal yang dihasilkan dari ekstraksi kenampakan asosiasi-asosiasi fasies baik
dari batuan sedimen yang bersifat ancient maupun yang modern(Walker, 1984).
Dengan membandingkan kenampakan litofasies daerah telitian dengan model fasies
yang telah banyak diterima maka diharapkan dapat menghasilkan intrepertasi
lingkungan pengendapan yang tepat.
40
BAB 4
GEOLOGI REGIONAL
4.1. Fisiografi Regional
Secara fisiografi Jawa Tengah oleh Van Bemmelen (1949), membagi Jawa
Tengah menjadi 4 (empat) jalur fisiografi dari utara ke selatan, yaitu :
1. Dataran Pantai Utara Jawa,
2. Jalur Pegunungan Serayu Utara.
3. Jalur Pegunungan Serayu Selatan,
4. Jalur Pegunungan Selatan
Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Jalur Pegunungan Selatan.
Pegunungan Selatan ini secara umum disusun oleh dua kelompok besar batuan yaitu
batuan vulkanok dan batuan karbonat, dengan jurus perlapisan relatif barat – timur
dengan kemiringan ke selatan (lihat gambar 4.1).
Gambar 4.1. Pembagian Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)
41
4.2. Stratigrafi Regional
Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo sudah seringkali diteliti oleh para ahli
geologi, dimana masing-masing secara umum mempunyai argumentasi yang
berbeda-beda tetapi saling melengkapi mengenai stratigrafinya (gambar 4.2 dan 4.3).
Beberapa ahli tersebut antara lain :
- Bemmelen (1949), dengan urutan stratigrafinya dari tua ke muda : Eosen of
Nanggulan, Old Andesite Formation yang berfasies volkanik, tidak selaras
diatasnya diendapkan Djonggrangan Beds pada Miosen Awal dan Sentolo Beds
pada Miosen Akhir.
- Marks (1957), mengusulkan perubahan “Beds” menjadi “Formasi” pada
Djonggrangan Beds dan Sentolo Beds menjadi Formasi Djonggrangan dan
Formasi Sentolo, dimana kedua formasi tersebut tidak selaras terhadap Formasi
Andesit Tua.
- Sujanto dan Roskamil (1975), dengan urutan Formasi Nanggulan berumur
Eosen, tidak selaras diatasnya Formasi Andesit Tua berumur Oligosen Akhir,
menerus diendapkan Formasi Sentolo pada Miosen – Pliosen dan Formasi
Sambipitu pada Miosen Awal, tidak selaras Formasi Jonggrangan pada Miosen
Awal – Miosen Akhir. Diatas Formasi Sentolo tidak selaras diendapkan
Formasi Wonosari pada Pliosen dan termuda berupa Endapan Volkanik Muda.
- Pringgoprawiro dan Purnamaningsih (1981), menambahkan Anggota Seputih
pada Formasi Nanggulan yang disusun napal berumur Eosen Akhir – Oligosen
Akhir, Formasi Andesit Tua tidak selaras diatasnya. Diatas Formasi Andesit
Tua tidak selaras diendapkan Formasi Sentolo yang bersilang-jari dengan
Formasi Jonggrangan.
- Kadar (1986), mengsulkan pada Formasi Sentolo dibagi menjadi tiga anggota,
yaitu Anggota Kanyar-anyar, Anggota Genung, dan Anggota Tanjunggunung
yang selaras diatas Formasi Andesit Tua.
- Pringgoprawiro dan Riyanto (1987), melakukan revisi Formasi Andeit Tua
menjadi dua formasi baru, yaitu Formasi Kaligesing berfasies darat dan
Formasi Dukuh berfasies laut dalam, umur Oligosen Akhir – Miosen Awal.
Formasi Kaligesing disusun oleh perselingan breksi volkanik, lava, batupasir
tufaan, dan endapan lahar, sedang Formasi Dukuh disusun oleh perselingan
42
breksi volkanik, lava, batupasir tufaan, batulempung dan sisipan karbonat,
dimana hubungan keduanya saling menjari atau kontak sesar.
Uraian tentang stratigrafi daerah telitian, penulis menggunakan acuan dari
stratigrafi yang dikemukakan oleh Pringgoprawiro dan Riyanto (1987). Adapun urut-
urutan stratigrafi Pegunungan Kulon Progo menurut Pringgoprawiro dan Riyanto
(1987) dari tua ke muda sebagai berikut :
a) Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan bagian bawah tersusun atas batupasir kuarsa dengan
sisipan lignit, mengandung fosil Axinea dengan lingkungan pengendapannya
litoral, bagian tengah disusun oleh napal pasiran selang-seling dengan batupasir
dan batulempung, dijumpai fosil Nummulites djojakartae dengan lingkungan
pengendapan litoral – sublitoral pinggir, sedang bagian atas disusun oleh napal
dan batugamping berselingan denganbatupasir, fosil Discocylina omphalus
dengan lingkungan pengendapan sublitoral pinggir. Umurnya Eosen Tengah –
Eosen Akhir, tebal ± 400 meter. Bagian atasnya merupakan Anggota Seputih
dengan litologi napal pelagis, mengandung fosil foram yaitu Gt.opima,
Gt.cerroazualensis, dan Gt.mexicana yang menunjukkan umur Eosen Akhir –
Oligosen Akhir, diendapkan dilingkungan pengendapan sublitoral- laut terbuka,
tebal ± 100 m (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987).
Penyusun batuan dari Formasi Nanggulan menurut Wartono Raharjo
dkk (1977) terdiri dari batupasir dengan sisipan lignit, napal pasiran,
Batulempung dengan konkresi limonit, sisipan napal dan batugamping,
batupasir dan tuff serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska.
Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter.
Marks (1957, hal.101) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi
yang dilakukan olh Martin (1915 dan 31 ), Douville (1912), Oppernorth &
Gerth (1928), maka Formasi Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara
strtigrafis dari bawah ke atas adalah sebagai berikut :
Anggota (“Axinea Berds”), marupakan bagian yang paling bawah dari
formasi Nanggulan. Ini terdiri dari batupasir dengan interkalasi lignit,
kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung fosil
43
Pelcypoda, dengan Axineadunkeri boetgetter yang dominan. Ketebalan
anggota Axinea ini mencapai 40 m.
Anggota Djogjakartae (“Djokjakarta”). Batuan penyususn dari bagian ini
adalah napal pasiran, batuan dan lempung dengan banyak konkresi yang
bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera
besar dan Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae
MARTIN, bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m.
Anggota Discocyclina (“Discocylina Beds”), Batuan penyususn dari
bagian ini adalah napal pasiran, batupasir arkose sebagi sisipan yang
semakin ke atas sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil
penciri dari bagian ini. Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 m.
Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan
mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas
(Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).
b) Formasi Kaligesing atau Formasi Andesit Tua
Formasi ini dicirikan oleh adanya batuan volkanik klastik tebal, yang
teridiri dari breksi volkanik (laharik), dengan sisipan lava andesit dan batupasir
tuffan. Lokasi tipenya di Desa Ulusobo, Kaligesing, ± 10 km timur Kota
Purworejo dengan koordinatnya 110o05’ BT dan 7o44’10’ LS.
Bagian bawah dicirikan perselingan breksi andesit dan lava andesit,
tebal 275 m, bagian tengah berupa brekasi andesit dengan sisipan batupasir
tuffan, tebal 2 – 20 m, bagian atas tersusun oleh breksi andesit pirosen sisipan
batupasir kerikilan, tebal 2,5 – 18 dan 0,5 – 2,5 m, sedang tebal keseluruhan
mencapai 830 meter.
Umur formasi ini ditentukan berdasarkan atas hubungan stratigrafi
dengan dua satua batuan yang mengapitnya, karena tidak mengandung fosil
penunjuk umur, sehingga diperkirakan berumur Oligosen Akhir – Miosen
Awal, diendapkan pada lingkungan darat, berupa endapan lahar yang terpilah
buruk dalam matrik relatif halus dan kadang-kadang nampak perlapisan
berangsur dan perlapisan sejajar.
44
Gambar 4.2. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987)
Menurut Van Bemmelen (1949) formasi ini disebut Formasi Andesit
Tua dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai kedudukan yang tidak
selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari
kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di
daerah Pegunungan Kulon Progo yang disebut sebagai Gunung Api Andesit
Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah
pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di bagian
LINGKUNGANPENGENDAPAN
VolkanikKuater
Laut terbuka
Formasi dangkal
Sentolo tidak <
1100 m Laut terbukadalam
Formasi 150 m Litoral
Jonggrangan
Perselingan breksi Laut
Formasi pasir kerikilan, terbuka
Dukuh gampingan dgn
Breksi darat, lempung Darat +lahar, Gs. Primordius Kegiatanbreksi berselingan Ga. Dissimilis > 660 m volkanik
Formasi dengan lava
Kaligesing Endapan kipas
bawah laut KipasGa. Sellii lautGa. Tripartita dalam
Laut terbuka
Anggota SeputihFormasi ± 100 m
Nanggulan Sublitoral luar
Sublitoralpinggir
FormasiNanggulan 400 m
Litoral
KRONOTEBALLITOSTRATIGRAFI
Bagian atas dominan batulempung
PLEISTOSEN
PLIOSEN
STRATIGRAFI
darat
DISKRIPSI
Breksi, lava, lahar
Bagian bawah dominan napal
Batugamping terumbu Coral,
?
pelagis sisipan batugamping
moluska, foraminifera besar,
& sisipan napal tipis
Napal pelagis
Ga. Opima
Ga. Mexicana
Gr. Cerroazullensis
Napal dan batugamping
Nummulites djogjakarta
AxineaBatupasir kuarsa dgn sisipan Lignit
berselingan dengan batupasirDiscocyclina omphalus
Napal pasir selang-seling
dengan batupasir dan batulempung
AKHI
TENGA
HA
W A
L
M I
O S
E N
O L
I G
O S
E N
A W
A L
A K
H I
R
E O
S
E N
TENGA
HA
K H
I R
PENAMPANG STRATIGRAFI KULON PROGO (Pringgoprawiro & Riyanto, 1987)
45
utara Pegunungan Kulon Progo. Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah
mengahsilkan aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic.
Aktivitas ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon
Progo, yang menghasilkan andesit piroksen basaltic, kemudian andesit augit
hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi dasit. Setelah denudasi
yang kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara,
Gunung Menoreh ini menghasilkan batuan breksi andesit augithornblende,
yang disusul oleh intrusi dasit dan trakhiandesit.
Purnamaningsih (1974, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977)
menyebutkan telah menemukan kepingan tuff napalan yang merupakan
fragmen Breksi. Kepingan tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan
lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki Gunung Mujil. Dari hasil penelitian,
kepingan Tuff itu merupakan fosil Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai
Globigerina ciperoensis BOLLI, Globigerina geguaensis WEINZREL; dan
applin serta Globigerina praebulloides BLOW. Fosil-fosil ini menunjukkan
umur Oligosen Atas.
Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi
Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975, hal.2)
menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian terhadap
Foraminifera plantonik adalah berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen.
Formasi Nanggulan, yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai
kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide
Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi
Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen Bawah.
Menurut Purbaningsih (1974, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur
Formasi Andesit Tua ini adalah Oligosen.
c) Formasi Dukuh
Formasi Dukuh disusun oleh selang-seling batugamping bioklastik,
batupasir sedang sampai kerikilan, batulempung, breksi dan konglomerat,
mengandung banyak koral, bryozoa, pelecypoda, gastropoda, dan foraminifera.
46
Lokasi tipe berada di Desa Dukuh, Samigaluh, Kulon Progo, ± 17 km
ke Utara dari Sentolo dengan koordinat 110o10’22” BT dan 7o40’36” LS,
dimana ketebalan pada stratotipenya mencapai ± 535 meter. Umur dari formasi
ini Oligosen Akhir bagian atas (N3) dengan hadirnya fosil Ga.selli, Ga.senilis,
Ga.nana, Ga.tripartita, dan Miosen Awal Bagian Bawah (N4 – N5) dan
dijumpainya fosil Ga.binaensis, Grt.dissimillis, Gs.primordius, Gt.kugleri.
Lingkungan pengendapannya adalah kipas bawah laut dalam, hal ditunjukkan
dengan dijumpainya fosil laut, glaukonit, struktur sedimen graded bedding,
stratifikasi sejajar, diselingi batuan pelitik yang memperihatkan laminasi
sejajar.
Formasi ini selaras di atas Anggota Seputih Formasi Nanggulan,
bersilang jari atau kontak sesar dengan formasi selaras diatasnya Formasi
Jonggrangan dan Formasi Sentolo.
d) Formasi Jonggrangan
Lokasi tipe formasi berada di desa Jonggrangan, dicirikan oleh
batugamping terumbu dengan hadirnya koral, moluska, foram besar,
batugamping klastik dan sisipan napal tipis yang mengandung foram plankton
dan bentos, ketebalan ± 150 meter, berumur Miosen Awal – Miosen Tengah
dan diendapkan pada lingkungan litoral. Formasi ini tidak selaras dengan
Formasi Kaligesing/ Formasi Andesit Tua, selaras dengan Formasi Dukuh, dan
bersilang jari dengan Formasi Sentolo.
Bagian bawah dari Formasi Jonggrangan ini terdiri dari konglomerat
yang ditumpangi oleh napal tufan dan batupasir gampingan dengan sisipan
Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral
(Wartono Rahardjo, dkk, 1977).
Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi
Kaligesing/Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini
mencapai sekitar 250 meter (van Bemmelen, 1949, hal.598). Koolhoven (vide
van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa Formasi Jonggrangan dan
Formasi Sentolo keduanya merupakan Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”)
ini diduga berumur Miosen Tengah.
47
e) Formasi Sentolo
Formasi ini pada bagian bawah berupa napal pelagis dan sisipan
batugamping, sedang bagian atas dominan batulempung banyak mengandung
foram plankton, bentos, dan foram besar, berumur Miosen Awal – Pliosen dan
merupakan endapan laut dangkal hingga laut terbuka dalam.
Lokasi tipe dari formasi ini di daerah Sentolo dan sekitarnya dengan
ketebalan ± 1100 meter. Formasi ini mempunyai hubungan tidak selaras
dengan Formasi Kaligesing, selaras dengan Formasi Dukuh, dan bersilang jari
dengan Formasi Jonggrangan.
Menurut Harsono Pringgoprawiro litologi penyusun Formasi Sentolo ini
di bagian bawah, terdiri dari aglomerat dan napal, semakin ke atas berubah
menjadi batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral
dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan Formasi
Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih
muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).
Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin Kadar
(1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta
CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi
Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono
Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen
bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini
berdasarkan penelitian terhadap fosil foraminifera plantonik, adalah berkisar
antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini
mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( Wartono Rahardjo, dkk, 1977).
f) Endapan Volkanik Kuarter
Satuan ini tersusun atas tufa, abu, breksi, aglomerat dan lelehan lava
tak terpisahkan yang berumur Pleistosen – Holosen dan merupakan endapan
darat, Raharjo (1974) menamakan Formasi Yogyakarta yang disusun oleh
endapan volkanik Merapi, terletak tidak selaras diatas semua formasi yang
lebih tua, dan penyebaran pada sisi timur Kubah Kulon Progo mempunyai
ketebalan lebih dari 20 meter.
48
Gambar 4.3. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo menurut beberapa peneliti
Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon
Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara formasi, maupun
perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan oleh adanya
perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan umur, karena sebagian
ahli mempergunakan fosil moluska dan foraminifera besar sebagai dasar
penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan foraminifera kecil plantonik
sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya
perbedaan tersebut.
4.3. Struktur Geologi Regional
Pegunungan Kulon Progo oleh Van Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan
sebagai kubah besar memanjang ke arah barat daya-timur laut, sepanjang 32 km, dan
melebar kearah ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada kaki-kaki pegunungan
di sekekliling kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang membentuk pola
radial.
PURNAMANINGSIH &PRINGGOPRAWIRO SUYANTO & PRINGGOPRAWIRO PRINGGOPRAWIRO
1968 ROSKAMIL (1975) 1981 & RIYANTO (1987)
Wonosari Fm
Sentolo Fm Wonosari Fm Sentolo Fm Sentolo Fm
Sentolo Fm. Sentolo
Sentolo Fm Ang.Tanjunggunung Fm
Angg. Genung
Jong- Jong-
Jonggrangan Jong- grangan grangan Angg. Kanyar- Jonggrangan
Beds grangan Fm Fm anyar Fm
Fm Sambi Jong-
pitu grangan Fm Kaligesing
Fm Fm
Old Andesite Fm Dukuh
Old Andesite Fm Old Andesite Fm Fm
Old Andesite Fm Old Andesite Fm
Anggota Seputih Anggota
Seputih
Nanggulan Nanggulan Group Anggota Nanggulan Fm
Group Nanggulan Seputih
Nanggulan Fm
KADAR (1986)MARKS (1957)UMUR
AWAL
KUARTER
PLIOSEN
AKHIR
AKHIR
TENGAH
Gunungapi Kuarter Gunungapi KuarterAlluvial ?Alluvial
TENGAH
AWAL
AKHIR
MIO
SEN
OLI
GOSEN
EOSEN
STRATIGRAFI KULON PROGO MENURUT BEBERAPA PENELITI
?
49
Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan
Van Bemmelen (1945, hal.596) Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah
sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung
ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat
dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang.
Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.
4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng
Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda
Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran
selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk.
Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut
Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan.
Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian
terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana
(kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah
Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik
sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.
Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super
benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah
subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara
telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta
49
Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan
Van Bemmelen (1945, hal.596) Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah
sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung
ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat
dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang.
Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.
4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng
Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda
Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran
selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk.
Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut
Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan.
Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian
terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana
(kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah
Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik
sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.
Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super
benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah
subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara
telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta
49
Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan
Van Bemmelen (1945, hal.596) Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah
sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung
ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat
dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang.
Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.
4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng
Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda
Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran
selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk.
Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut
Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan.
Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian
terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana
(kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah
Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik
sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.
Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super
benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah
subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara
telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta
50
pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang
telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen
mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.
Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5
M.A. (Prasetyadi, 2003)
50
pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang
telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen
mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.
Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5
M.A. (Prasetyadi, 2003)
50
pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang
telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen
mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.
Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5
M.A. (Prasetyadi, 2003)
51
4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)
Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan
pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm /
tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi
diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang
jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2).
Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng
Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra
dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip
Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran
lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar
pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa
menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan
Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).
Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama
35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)
51
4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)
Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan
pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm /
tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi
diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang
jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2).
Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng
Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra
dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip
Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran
lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar
pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa
menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan
Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).
Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama
35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)
51
4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)
Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan
pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm /
tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi
diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang
jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2).
Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng
Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra
dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip
Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran
lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar
pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa
menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan
Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).
Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama
35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)
52
4.3.3. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma)
Pergerakan ke arah Selatan dari lempeng Hindia – Australia mengambil
alih, seiring dengan berkembangnya aktivitas magmatisme yang melingkupi
hampir di seluruh dataran pulau Jawa. Pada bagian Utara, berkembang cekungan
belakang busur, yang dibagi lagi menjadi beberapa sub – sub cekungan, dan
dipisahkan oleh tinsggian basement, dikontrol oleh blok – blok sesar pada
basement.
Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme
transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit
dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling Timur
Jawa Timur, basement dominan berarah Timur - Barat, sebagaimana dapat
diamati dengan baik yang mengontrol Palung Kendeng dan juga Palung
Madura. Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan bagian dari
fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari Selatan dan
bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur).
Tektonik kompresi yang diakibatkan subduksi ke arah Utara telah mengubah
sesar basement Barat – Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam
periode yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994).
Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan
sedimen klastik didaerah rendahan, dan carbonate build up pada tinggian yang
membatasi.
Kompresi kedua mulai selama Akhir-Awal Miosen, terbentuk hingga
puncak pada Awal-Tengah Miosen. Tegangan menjadi lebih kuat selama
peristiwa ini, menghasilkan inversi graben-graben Paleogen. Pengangkatan dari
tinggian yang mengapit meningkatkan pasokan sedimen klastik berasal dari inti
basement, dengan pasokannya yang menutup sembulan karbonat reef. Efek
penurunan muka air laut eustasi selama Miosen Tengah hingga Akhir
meningkatkan erosi dan pasokan rombakan klastika asal darat menjadi tersebar
luas di seluruh Laut Jawa Timur.
Pada Miosen Akhir rift yang awalnya berarah Barat-Timur mengalami rotasi
menjadi orientasi Timurlaut – Baratdaya sebagai sesar mendatar, oleh adanya
53
pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi
Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan
tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang
ada sekarang ini (Gambar 3.4).
Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)
Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan
tektonik(Prasetyadi, 2003)
53
pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi
Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan
tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang
ada sekarang ini (Gambar 3.4).
Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)
Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan
tektonik(Prasetyadi, 2003)
53
pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi
Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan
tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang
ada sekarang ini (Gambar 3.4).
Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)
Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan
tektonik(Prasetyadi, 2003)
40
BAB 4
GEOLOGI REGIONAL
4.1. Fisiografi Regional
Secara fisiografi Jawa Tengah oleh Van Bemmelen (1949), membagi Jawa
Tengah menjadi 4 (empat) jalur fisiografi dari utara ke selatan, yaitu :
1. Dataran Pantai Utara Jawa,
2. Jalur Pegunungan Serayu Utara.
3. Jalur Pegunungan Serayu Selatan,
4. Jalur Pegunungan Selatan
Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Jalur Pegunungan Selatan.
Pegunungan Selatan ini secara umum disusun oleh dua kelompok besar batuan yaitu
batuan vulkanok dan batuan karbonat, dengan jurus perlapisan relatif barat – timur
dengan kemiringan ke selatan (lihat gambar 4.1).
Gambar 4.1. Pembagian Fisiografi Jawa Tengah (Van Bemmelen, 1949)
41
4.2. Stratigrafi Regional
Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo sudah seringkali diteliti oleh para ahli
geologi, dimana masing-masing secara umum mempunyai argumentasi yang
berbeda-beda tetapi saling melengkapi mengenai stratigrafinya (gambar 4.2 dan 4.3).
Beberapa ahli tersebut antara lain :
- Bemmelen (1949), dengan urutan stratigrafinya dari tua ke muda : Eosen of
Nanggulan, Old Andesite Formation yang berfasies volkanik, tidak selaras
diatasnya diendapkan Djonggrangan Beds pada Miosen Awal dan Sentolo Beds
pada Miosen Akhir.
- Marks (1957), mengusulkan perubahan “Beds” menjadi “Formasi” pada
Djonggrangan Beds dan Sentolo Beds menjadi Formasi Djonggrangan dan
Formasi Sentolo, dimana kedua formasi tersebut tidak selaras terhadap Formasi
Andesit Tua.
- Sujanto dan Roskamil (1975), dengan urutan Formasi Nanggulan berumur
Eosen, tidak selaras diatasnya Formasi Andesit Tua berumur Oligosen Akhir,
menerus diendapkan Formasi Sentolo pada Miosen – Pliosen dan Formasi
Sambipitu pada Miosen Awal, tidak selaras Formasi Jonggrangan pada Miosen
Awal – Miosen Akhir. Diatas Formasi Sentolo tidak selaras diendapkan
Formasi Wonosari pada Pliosen dan termuda berupa Endapan Volkanik Muda.
- Pringgoprawiro dan Purnamaningsih (1981), menambahkan Anggota Seputih
pada Formasi Nanggulan yang disusun napal berumur Eosen Akhir – Oligosen
Akhir, Formasi Andesit Tua tidak selaras diatasnya. Diatas Formasi Andesit
Tua tidak selaras diendapkan Formasi Sentolo yang bersilang-jari dengan
Formasi Jonggrangan.
- Kadar (1986), mengsulkan pada Formasi Sentolo dibagi menjadi tiga anggota,
yaitu Anggota Kanyar-anyar, Anggota Genung, dan Anggota Tanjunggunung
yang selaras diatas Formasi Andesit Tua.
- Pringgoprawiro dan Riyanto (1987), melakukan revisi Formasi Andeit Tua
menjadi dua formasi baru, yaitu Formasi Kaligesing berfasies darat dan
Formasi Dukuh berfasies laut dalam, umur Oligosen Akhir – Miosen Awal.
Formasi Kaligesing disusun oleh perselingan breksi volkanik, lava, batupasir
tufaan, dan endapan lahar, sedang Formasi Dukuh disusun oleh perselingan
42
breksi volkanik, lava, batupasir tufaan, batulempung dan sisipan karbonat,
dimana hubungan keduanya saling menjari atau kontak sesar.
Uraian tentang stratigrafi daerah telitian, penulis menggunakan acuan dari
stratigrafi yang dikemukakan oleh Pringgoprawiro dan Riyanto (1987). Adapun urut-
urutan stratigrafi Pegunungan Kulon Progo menurut Pringgoprawiro dan Riyanto
(1987) dari tua ke muda sebagai berikut :
a) Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan bagian bawah tersusun atas batupasir kuarsa dengan
sisipan lignit, mengandung fosil Axinea dengan lingkungan pengendapannya
litoral, bagian tengah disusun oleh napal pasiran selang-seling dengan batupasir
dan batulempung, dijumpai fosil Nummulites djojakartae dengan lingkungan
pengendapan litoral – sublitoral pinggir, sedang bagian atas disusun oleh napal
dan batugamping berselingan denganbatupasir, fosil Discocylina omphalus
dengan lingkungan pengendapan sublitoral pinggir. Umurnya Eosen Tengah –
Eosen Akhir, tebal ± 400 meter. Bagian atasnya merupakan Anggota Seputih
dengan litologi napal pelagis, mengandung fosil foram yaitu Gt.opima,
Gt.cerroazualensis, dan Gt.mexicana yang menunjukkan umur Eosen Akhir –
Oligosen Akhir, diendapkan dilingkungan pengendapan sublitoral- laut terbuka,
tebal ± 100 m (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987).
Penyusun batuan dari Formasi Nanggulan menurut Wartono Raharjo
dkk (1977) terdiri dari batupasir dengan sisipan lignit, napal pasiran,
Batulempung dengan konkresi limonit, sisipan napal dan batugamping,
batupasir dan tuff serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska.
Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter.
Marks (1957, hal.101) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi
yang dilakukan olh Martin (1915 dan 31 ), Douville (1912), Oppernorth &
Gerth (1928), maka Formasi Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara
strtigrafis dari bawah ke atas adalah sebagai berikut :
Anggota (“Axinea Berds”), marupakan bagian yang paling bawah dari
formasi Nanggulan. Ini terdiri dari batupasir dengan interkalasi lignit,
kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung fosil
43
Pelcypoda, dengan Axineadunkeri boetgetter yang dominan. Ketebalan
anggota Axinea ini mencapai 40 m.
Anggota Djogjakartae (“Djokjakarta”). Batuan penyususn dari bagian ini
adalah napal pasiran, batuan dan lempung dengan banyak konkresi yang
bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera
besar dan Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae
MARTIN, bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m.
Anggota Discocyclina (“Discocylina Beds”), Batuan penyususn dari
bagian ini adalah napal pasiran, batupasir arkose sebagi sisipan yang
semakin ke atas sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil
penciri dari bagian ini. Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 m.
Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan
mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas
(Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).
b) Formasi Kaligesing atau Formasi Andesit Tua
Formasi ini dicirikan oleh adanya batuan volkanik klastik tebal, yang
teridiri dari breksi volkanik (laharik), dengan sisipan lava andesit dan batupasir
tuffan. Lokasi tipenya di Desa Ulusobo, Kaligesing, ± 10 km timur Kota
Purworejo dengan koordinatnya 110o05’ BT dan 7o44’10’ LS.
Bagian bawah dicirikan perselingan breksi andesit dan lava andesit,
tebal 275 m, bagian tengah berupa brekasi andesit dengan sisipan batupasir
tuffan, tebal 2 – 20 m, bagian atas tersusun oleh breksi andesit pirosen sisipan
batupasir kerikilan, tebal 2,5 – 18 dan 0,5 – 2,5 m, sedang tebal keseluruhan
mencapai 830 meter.
Umur formasi ini ditentukan berdasarkan atas hubungan stratigrafi
dengan dua satua batuan yang mengapitnya, karena tidak mengandung fosil
penunjuk umur, sehingga diperkirakan berumur Oligosen Akhir – Miosen
Awal, diendapkan pada lingkungan darat, berupa endapan lahar yang terpilah
buruk dalam matrik relatif halus dan kadang-kadang nampak perlapisan
berangsur dan perlapisan sejajar.
44
Gambar 4.2. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo (Pringgoprawiro dan Riyanto, 1987)
Menurut Van Bemmelen (1949) formasi ini disebut Formasi Andesit
Tua dengan ketebalan mencapai 500 meter mempunyai kedudukan yang tidak
selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan penyusun formasi ini berasal dari
kegiatan vulaknisme di daerah tersebut, yaitu dari beberapa gunung api tua di
daerah Pegunungan Kulon Progo yang disebut sebagai Gunung Api Andesit
Tua. Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah
pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di bagian
LINGKUNGANPENGENDAPAN
VolkanikKuater
Laut terbuka
Formasi dangkal
Sentolo tidak <
1100 m Laut terbukadalam
Formasi 150 m Litoral
Jonggrangan
Perselingan breksi Laut
Formasi pasir kerikilan, terbuka
Dukuh gampingan dgn
Breksi darat, lempung Darat +lahar, Gs. Primordius Kegiatanbreksi berselingan Ga. Dissimilis > 660 m volkanik
Formasi dengan lava
Kaligesing Endapan kipas
bawah laut KipasGa. Sellii lautGa. Tripartita dalam
Laut terbuka
Anggota SeputihFormasi ± 100 m
Nanggulan Sublitoral luar
Sublitoralpinggir
FormasiNanggulan 400 m
Litoral
KRONOTEBALLITOSTRATIGRAFI
Bagian atas dominan batulempung
PLEISTOSEN
PLIOSEN
STRATIGRAFI
darat
DISKRIPSI
Breksi, lava, lahar
Bagian bawah dominan napal
Batugamping terumbu Coral,
?
pelagis sisipan batugamping
moluska, foraminifera besar,
& sisipan napal tipis
Napal pelagis
Ga. Opima
Ga. Mexicana
Gr. Cerroazullensis
Napal dan batugamping
Nummulites djogjakarta
AxineaBatupasir kuarsa dgn sisipan Lignit
berselingan dengan batupasirDiscocyclina omphalus
Napal pasir selang-seling
dengan batupasir dan batulempung
AKHI
TENGA
HA
W A
L
M I
O S
E N
O L
I G
O S
E N
A W
A L
A K
H I
R
E O
S
E N
TENGA
HA
K H
I R
PENAMPANG STRATIGRAFI KULON PROGO (Pringgoprawiro & Riyanto, 1987)
45
utara Pegunungan Kulon Progo. Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah
mengahsilkan aliran-aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic.
Aktivitas ini kemudian diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon
Progo, yang menghasilkan andesit piroksen basaltic, kemudian andesit augit
hornblende dan kegiatan paling akhir adalah intrusi dasit. Setelah denudasi
yang kuat, sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara,
Gunung Menoreh ini menghasilkan batuan breksi andesit augithornblende,
yang disusul oleh intrusi dasit dan trakhiandesit.
Purnamaningsih (1974, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977)
menyebutkan telah menemukan kepingan tuff napalan yang merupakan
fragmen Breksi. Kepingan tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan
lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki Gunung Mujil. Dari hasil penelitian,
kepingan Tuff itu merupakan fosil Foraminifera plantonik yang dikenal sebagai
Globigerina ciperoensis BOLLI, Globigerina geguaensis WEINZREL; dan
applin serta Globigerina praebulloides BLOW. Fosil-fosil ini menunjukkan
umur Oligosen Atas.
Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi
Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975, hal.2)
menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian terhadap
Foraminifera plantonik adalah berkisar antara Awal Meiosen sampai Pliosen.
Formasi Nanggulan, yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua mempunyai
kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (Hartono, 1969, vide
Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka Formasi
Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen Bawah.
Menurut Purbaningsih (1974, vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977) umur
Formasi Andesit Tua ini adalah Oligosen.
c) Formasi Dukuh
Formasi Dukuh disusun oleh selang-seling batugamping bioklastik,
batupasir sedang sampai kerikilan, batulempung, breksi dan konglomerat,
mengandung banyak koral, bryozoa, pelecypoda, gastropoda, dan foraminifera.
46
Lokasi tipe berada di Desa Dukuh, Samigaluh, Kulon Progo, ± 17 km
ke Utara dari Sentolo dengan koordinat 110o10’22” BT dan 7o40’36” LS,
dimana ketebalan pada stratotipenya mencapai ± 535 meter. Umur dari formasi
ini Oligosen Akhir bagian atas (N3) dengan hadirnya fosil Ga.selli, Ga.senilis,
Ga.nana, Ga.tripartita, dan Miosen Awal Bagian Bawah (N4 – N5) dan
dijumpainya fosil Ga.binaensis, Grt.dissimillis, Gs.primordius, Gt.kugleri.
Lingkungan pengendapannya adalah kipas bawah laut dalam, hal ditunjukkan
dengan dijumpainya fosil laut, glaukonit, struktur sedimen graded bedding,
stratifikasi sejajar, diselingi batuan pelitik yang memperihatkan laminasi
sejajar.
Formasi ini selaras di atas Anggota Seputih Formasi Nanggulan,
bersilang jari atau kontak sesar dengan formasi selaras diatasnya Formasi
Jonggrangan dan Formasi Sentolo.
d) Formasi Jonggrangan
Lokasi tipe formasi berada di desa Jonggrangan, dicirikan oleh
batugamping terumbu dengan hadirnya koral, moluska, foram besar,
batugamping klastik dan sisipan napal tipis yang mengandung foram plankton
dan bentos, ketebalan ± 150 meter, berumur Miosen Awal – Miosen Tengah
dan diendapkan pada lingkungan litoral. Formasi ini tidak selaras dengan
Formasi Kaligesing/ Formasi Andesit Tua, selaras dengan Formasi Dukuh, dan
bersilang jari dengan Formasi Sentolo.
Bagian bawah dari Formasi Jonggrangan ini terdiri dari konglomerat
yang ditumpangi oleh napal tufan dan batupasir gampingan dengan sisipan
Lignit. Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral
(Wartono Rahardjo, dkk, 1977).
Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi
Kaligesing/Formasi Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini
mencapai sekitar 250 meter (van Bemmelen, 1949, hal.598). Koolhoven (vide
van Bemmelen, 1949, hal.598) menyebutkan bahwa Formasi Jonggrangan dan
Formasi Sentolo keduanya merupakan Formasi Kulon Progo (“Westopo Beds”)
ini diduga berumur Miosen Tengah.
47
e) Formasi Sentolo
Formasi ini pada bagian bawah berupa napal pelagis dan sisipan
batugamping, sedang bagian atas dominan batulempung banyak mengandung
foram plankton, bentos, dan foram besar, berumur Miosen Awal – Pliosen dan
merupakan endapan laut dangkal hingga laut terbuka dalam.
Lokasi tipe dari formasi ini di daerah Sentolo dan sekitarnya dengan
ketebalan ± 1100 meter. Formasi ini mempunyai hubungan tidak selaras
dengan Formasi Kaligesing, selaras dengan Formasi Dukuh, dan bersilang jari
dengan Formasi Jonggrangan.
Menurut Harsono Pringgoprawiro litologi penyusun Formasi Sentolo ini
di bagian bawah, terdiri dari aglomerat dan napal, semakin ke atas berubah
menjadi batugamping berlapis dengan fasies neritik. Batugamping koral
dijumpai secara lokal, menunjukkan umur yang sama dengan Formasi
Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur Formasi Sentolo adalah lebih
muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).
Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin Kadar
(1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina insueta
CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari Formasi
Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide Wartono
Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur Miosen
bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi Sentolo ini
berdasarkan penelitian terhadap fosil foraminifera plantonik, adalah berkisar
antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga N21). Formasi Sentolo ini
mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( Wartono Rahardjo, dkk, 1977).
f) Endapan Volkanik Kuarter
Satuan ini tersusun atas tufa, abu, breksi, aglomerat dan lelehan lava
tak terpisahkan yang berumur Pleistosen – Holosen dan merupakan endapan
darat, Raharjo (1974) menamakan Formasi Yogyakarta yang disusun oleh
endapan volkanik Merapi, terletak tidak selaras diatas semua formasi yang
lebih tua, dan penyebaran pada sisi timur Kubah Kulon Progo mempunyai
ketebalan lebih dari 20 meter.
48
Gambar 4.3. Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo menurut beberapa peneliti
Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon
Progo, baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara formasi, maupun
perbedaan umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan oleh adanya
perbedaan data fosil yang digunakan untuk penentuan umur, karena sebagian
ahli mempergunakan fosil moluska dan foraminifera besar sebagai dasar
penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan foraminifera kecil plantonik
sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama adanya
perbedaan tersebut.
4.3. Struktur Geologi Regional
Pegunungan Kulon Progo oleh Van Bemmelen (1949, hal.596) dilukiskan
sebagai kubah besar memanjang ke arah barat daya-timur laut, sepanjang 32 km, dan
melebar kearah ternggara-barat laut, selebar 15-20 km. Pada kaki-kaki pegunungan
di sekekliling kubah tersebut banyak dijumpai sesar-sesar yang membentuk pola
radial.
PURNAMANINGSIH &PRINGGOPRAWIRO SUYANTO & PRINGGOPRAWIRO PRINGGOPRAWIRO
1968 ROSKAMIL (1975) 1981 & RIYANTO (1987)
Wonosari Fm
Sentolo Fm Wonosari Fm Sentolo Fm Sentolo Fm
Sentolo Fm. Sentolo
Sentolo Fm Ang.Tanjunggunung Fm
Angg. Genung
Jong- Jong-
Jonggrangan Jong- grangan grangan Angg. Kanyar- Jonggrangan
Beds grangan Fm Fm anyar Fm
Fm Sambi Jong-
pitu grangan Fm Kaligesing
Fm Fm
Old Andesite Fm Dukuh
Old Andesite Fm Old Andesite Fm Fm
Old Andesite Fm Old Andesite Fm
Anggota Seputih Anggota
Seputih
Nanggulan Nanggulan Group Anggota Nanggulan Fm
Group Nanggulan Seputih
Nanggulan Fm
KADAR (1986)MARKS (1957)UMUR
AWAL
KUARTER
PLIOSEN
AKHIR
AKHIR
TENGAH
Gunungapi Kuarter Gunungapi KuarterAlluvial ?Alluvial
TENGAH
AWAL
AKHIR
MIO
SEN
OLI
GOSEN
EOSEN
STRATIGRAFI KULON PROGO MENURUT BEBERAPA PENELITI
?
49
Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan
Van Bemmelen (1945, hal.596) Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah
sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung
ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat
dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang.
Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.
4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng
Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda
Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran
selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk.
Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut
Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan.
Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian
terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana
(kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah
Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik
sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.
Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super
benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah
subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara
telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta
49
Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan
Van Bemmelen (1945, hal.596) Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah
sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung
ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat
dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang.
Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.
4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng
Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda
Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran
selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk.
Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut
Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan.
Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian
terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana
(kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah
Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik
sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.
Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super
benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah
subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara
telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta
49
Gambar 4.4. Skema blok diagram dome pegunungan Kulon Progo, yang digambarkan
Van Bemmelen (1945, hal.596) Pada kaki selatan gunung Menoreh dijumpai adanya sinklinal dan sebuah
sesar dengan arah barat-timur, yang memisahkan gunung Menoreh dengan gunung
ijo serta pada sekitar zona sesar. Keadaan struktur yang telah dijabarkan sangat
dipengaruhi oleh sejarah tektonik Jawa mulai dari Zaman Kapur hingga sekarang.
Berikut akan dijelaskan perkembangan tektonik tersebut.
4.3.1. Periode Akhir Kapur – Awal Tersier (70 – 35 Ma)
Fase tektonik awal terjadi pada Mesozoikum ketika pergerakan lempeng
Australia kearah Timurlaut yang menghasilkan subduksi dibawah Sunda
Microplate sepanjang suture Jawa - Meratus, dan diikuti oleh fase pemekaran
selama Paleogen ketika serangkaian horst dan graben kemudian terbentuk.
Proses magmatisme yang terjadi pada akhir Kapur dapat dikenali dari Timurlaut
Sumatra melalui Jawa hingga bagian Tenggara pada Kalimantan.
Studi batuan asal dan penentuan umur dari zircon memberikan pengertian
terhadap karakter basement dan menyatakan bahwa kerak benua Gondwana
(kemungkinan Barat Australia) asli berada dibagian bawah dari daerah
Pegunungan Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa Sundaland pada Kenozoik
sedikit sekali menyediakan, jika ada, material terigenous ke Jawa Timur.
Kapur Atas – Eosen Awal, fragmen benua, yang dilepaskan dari super
benua Gondwana di selatan, mengapung ke arah timurlaut mendekati daerah
subduksi. Kehadiran allochthonous microcontinents di wilayah Asia Tenggara
telah diamati dan dilaporkan oleh banyak penulis. Dimulainya Rifting serta
50
pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang
telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen
mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.
Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5
M.A. (Prasetyadi, 2003)
50
pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang
telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen
mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.
Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5
M.A. (Prasetyadi, 2003)
50
pelamparannya berasosiasi dengan pergerakan sepanjang sesar regional yang
telah ada sebelumnya dalam fragmen kontinental. Bagian basement kontinen
mempengaruhi arah cekungan di Sumatra dan Jawa.
Gambar 4.5. Kerangka tektonik dari South – East Asia sebelum 70 M.A hingga 5
M.A. (Prasetyadi, 2003)
51
4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)
Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan
pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm /
tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi
diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang
jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2).
Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng
Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra
dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip
Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran
lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar
pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa
menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan
Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).
Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama
35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)
51
4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)
Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan
pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm /
tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi
diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang
jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2).
Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng
Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra
dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip
Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran
lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar
pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa
menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan
Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).
Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama
35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)
51
4.3.2. Periode Oligosen – Miosen Awal (35 – 20 Ma)
Pada Awal Oligosen sudut kemiringan subduksi bertambah menyebabkan
pengurangan kecepatan lempeng Australia ke Utara, diperlambat dari 18 cm /
tahun hingga hanya 3 cm (Hall, 2002), dan secara umum pengangkatan terjadi
diseluruh Daratan Sunda bagian Tenggara. Erosi dan amblasan lokal sepanjang
jejak sesar yang ada menghasilkan endapan terrestrial dan transisi (Gambar 3.2).
Selama periode ini, inversi cekungan terjadi karena konvergensi Lempeng
Hindia menghasilkan rezim tektonik kompresi di daerah “ depan busur” Sumatra
dan Jawa. Sebaliknya, busur belakang merupakan subjek pergerakan strike-slip
Utara - Selatan yang dominan sepanjang sesar utara-selatan yang telah ada. Selama periode ini, Laut Cina Selatan telah mengalami proses pemekaran
lantai samudra. Konvergensi dari lempeng Hindia ke arah Utara dapat terlihar
pada rezim tektonik kompresi pada wilayah depan busur Sumatra dan Jawa
menyebabkan inversi cekungan. Pergerakan Lempeng Hindia dengan
Mikrokontinen Sunda telah menjadi stabil pada 5 – 6 cm / tahun (Hall,2002).
Gambar 4.6. Kerangka tektonik pulau Jawa dan penampang elemen tektonik selama
35 - 20 Ma. (Prasetyadi, 2003)
52
4.3.3. Periode Miosen Tengah – Miosen Akhir (20 – 5 Ma)
Pergerakan ke arah Selatan dari lempeng Hindia – Australia mengambil
alih, seiring dengan berkembangnya aktivitas magmatisme yang melingkupi
hampir di seluruh dataran pulau Jawa. Pada bagian Utara, berkembang cekungan
belakang busur, yang dibagi lagi menjadi beberapa sub – sub cekungan, dan
dipisahkan oleh tinsggian basement, dikontrol oleh blok – blok sesar pada
basement.
Pengaktifan kembali sepanjang sesar tersebut menghasilkan mekanisme
transtension dan transpression yang berasosiasi dengan sedimentasi turbidit
dibagian yang mengalami penurunan. Namun demikian, di bagian paling Timur
Jawa Timur, basement dominan berarah Timur - Barat, sebagaimana dapat
diamati dengan baik yang mengontrol Palung Kendeng dan juga Palung
Madura. Bagian basement berarah Timur – Barat merupakan bagian dari
fragmen benua yang mengalasi dan sebelumnya tertransport dari Selatan dan
bertubrukan dengan Sundaland sepanjang Suture Meratus (NE-SW struktur).
Tektonik kompresi yang diakibatkan subduksi ke arah Utara telah mengubah
sesar basement Barat – Timur menjadi pergerakan sesar mendatar, dalam
periode yang tidak terlalu lama (Manur dan Barraclough, 1994).
Kenaikan muka air laut selama periode ini, menghasilkan pengendapan
sedimen klastik didaerah rendahan, dan carbonate build up pada tinggian yang
membatasi.
Kompresi kedua mulai selama Akhir-Awal Miosen, terbentuk hingga
puncak pada Awal-Tengah Miosen. Tegangan menjadi lebih kuat selama
peristiwa ini, menghasilkan inversi graben-graben Paleogen. Pengangkatan dari
tinggian yang mengapit meningkatkan pasokan sedimen klastik berasal dari inti
basement, dengan pasokannya yang menutup sembulan karbonat reef. Efek
penurunan muka air laut eustasi selama Miosen Tengah hingga Akhir
meningkatkan erosi dan pasokan rombakan klastika asal darat menjadi tersebar
luas di seluruh Laut Jawa Timur.
Pada Miosen Akhir rift yang awalnya berarah Barat-Timur mengalami rotasi
menjadi orientasi Timurlaut – Baratdaya sebagai sesar mendatar, oleh adanya
53
pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi
Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan
tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang
ada sekarang ini (Gambar 3.4).
Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)
Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan
tektonik(Prasetyadi, 2003)
53
pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi
Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan
tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang
ada sekarang ini (Gambar 3.4).
Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)
Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan
tektonik(Prasetyadi, 2003)
53
pengaruh kompresi berarah Utara-Timurlaut yang disebabkan oleh subduksi
Lempeng Wharton ke bawah Lempeng Sunda di bawah Jawa. Fase pergerakan
tektonik ini menghasilkan struktur-struktur di Cekungan Jawa Timur Utara yang
ada sekarang ini (Gambar 3.4).
Gambar 3.4 Kerangka tektonik pulau Jawa selama 20 - 5 Ma (Sribudiyani, 2003)
Gambar 4.7. Pola struktur Jawa secara keseluruhan akibat pengaruh perkembangan
tektonik(Prasetyadi, 2003)
102
BAB 6
STUDI MIKROFASIES & FASE DIAGENESIS
FORMASI JONGGRANGAN
6.1. Studi Mikrofasies Formasi Jonggrangan
Mikrofasies didefinisikan sebagai keseluruhan aspek sedimentologi dan
paleontologi yang dapat dideskripsikan dan diklasifikasikan dari sayatan tipis, peels,
etsa atau sampel batuan(Flugel, 2004). Dalam mendeskripsikan suatu tipe
mikrofasies maka dilakukan kompilasi aspek-aspek mikrofasies. Aspek-aspek yang
dimaksud adalah aspek yang memberikan informasi paling signifikan dibandingkan
aspek mikrofasies lainnya. Pemilihan aspek yang tepat akan memberikan gambaran
yang paling jelas mengenai lingkungan pengendapan dan aspek diagenesis dari
fasies karbonat yang berkembang di suatu daerah telitian.
Aspek mikrofasies yang diperhatikan tergantung pada jenis batuan karbonat
itu sendiri. Flugel(2004) telah menyusun aspek-aspek mikrofasies baik untuk batuan
karbonat allochthonous dan autochthonous. Aspek mikrofasies yang penting dalam
mendeskripsikan batuan karbonat allochthonous antara lain adalah tekstur
pengendapan, jenis matriks(micrite, microspar, calcsiltite), jenis butiran karbonat
penyusun, jenis organisme dari bioclast(jika mendominasi), biofabric, dll. Batuan
karbonat autochthonous khususnya batugamping terumbu dibedakan berdasarkan
tipe fosil yang membangun struktur terumbu, tekstur pengendapan(framestone,
bafflestone, bindstone atau boundstone), dan tipe matriks yang mengisi rongga dalam
batugamping terumbu tersebut.
6.1.1. Mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian selatan daerah telitian tersingkap
dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran
lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 1,09 meter. Penamaan
mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk
intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis
organisme penyusun bioclast, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan
103
aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya
diidentifikasikan sebagai coral floatstone with microspar dominated matrix.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki
karakteristik bewarna kuning terang, mud suppoted, pemilahan buruk, susunan
butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh allochem
bioclast berupa koral dengan persentase 21%, matriks terdiri atas micrite 30%
dan microspar 49%(berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut
Folk(1959,1962) biomicirite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) coral
wackestone, menurut Embry dan Klovan(1971) floatstone. Porositas yang
dijumapi adalah vuggy dan channel.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang
diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di
zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase
tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization.
Fase ini menandakan mulai aktifnya carbonate factory yang bisa diakibatkan
oleh berkurangnya pasokan sedimen, sehingga terjadi transgresi yang
mendukung organisme-organisme untuk tumbuh dan berkembang. Pada zona
subtidal keaadan seperti ini mendukung tumbuhnya patch reef yang memiliki
geomoteri dengan pelamparan horizontal tidak luar namun secara vertikal
cukup tebal. Hal ini didukung dengan kehadiran bioclast yang telah mengalami
mikritisasi(lihat foto 6.1) dan berkembangnya microspar sebagai matriks yang
mendominasi.
104
(A) (B) (C)
Foto 6.1. (A) Kenampakan bioclast coral yang telah termikritisasi (B) Kenampakan tekstur wackestone ditunjukkan dengan butir karbonat(dilingkar merah)
yang mengambang pada masa dasar, (C) Kenampakan microspardiambil dari foto sayatan tipis LP 8A tanpa skala(lihat lampiran 1.1).
6.1.2. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap
dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran
lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan
mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk
intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis
allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan
aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya
diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud suppoted, pemilahan buruk,
susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh
allochem bioclast yang tidak jelas jenisnya akibat telah mengalami mikritisasi
sebesar 30%, matriks terdiri atas micrite 30% dan microspar 38%(berbentuk
blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicirite(Tipe 2),
menurut Dunham(1962) wackestone. Porositas yang dijumapi adalah vuggy
dan fracture.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang
diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di
zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase
tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization.
104
(A) (B) (C)
Foto 6.1. (A) Kenampakan bioclast coral yang telah termikritisasi (B) Kenampakan tekstur wackestone ditunjukkan dengan butir karbonat(dilingkar merah)
yang mengambang pada masa dasar, (C) Kenampakan microspardiambil dari foto sayatan tipis LP 8A tanpa skala(lihat lampiran 1.1).
6.1.2. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap
dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran
lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan
mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk
intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis
allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan
aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya
diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud suppoted, pemilahan buruk,
susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh
allochem bioclast yang tidak jelas jenisnya akibat telah mengalami mikritisasi
sebesar 30%, matriks terdiri atas micrite 30% dan microspar 38%(berbentuk
blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicirite(Tipe 2),
menurut Dunham(1962) wackestone. Porositas yang dijumapi adalah vuggy
dan fracture.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang
diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di
zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase
tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization.
104
(A) (B) (C)
Foto 6.1. (A) Kenampakan bioclast coral yang telah termikritisasi (B) Kenampakan tekstur wackestone ditunjukkan dengan butir karbonat(dilingkar merah)
yang mengambang pada masa dasar, (C) Kenampakan microspardiambil dari foto sayatan tipis LP 8A tanpa skala(lihat lampiran 1.1).
6.1.2. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap
dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran
lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan
mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk
intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis
allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan
aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya
diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud suppoted, pemilahan buruk,
susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh
allochem bioclast yang tidak jelas jenisnya akibat telah mengalami mikritisasi
sebesar 30%, matriks terdiri atas micrite 30% dan microspar 38%(berbentuk
blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicirite(Tipe 2),
menurut Dunham(1962) wackestone. Porositas yang dijumapi adalah vuggy
dan fracture.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang
diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di
zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase
tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization.
105
Mikrofasies ini merupakan perkembangan dari fase stabilization yang telah
dimulai saat mikrofasies sebelumnya mulai diendapkan. Bioclast juga telah
mengalami mikritisasi dan mengalami diagenesis ditunjukkan dengan micrite
envelope yang bentuknya menjadi irregular(lihat foto 6.2). Faktor-faktor ini
menyulitkan identifikasi jenis organisme dari bioclast ini. Lingkungan
pengendapan dari mikrofasies ini diintrepertasi tidak jauh berbeda dengan
mikrofasies sebelumnya karena masih memiliki terkstur yang serupa dan ciri-
ciri yang serupa.
(A) (B) (C) Foto 6.2. (A) Kenampakan bioclast yang telah termikritisasi. (B) Kenampakan tekstur wackestone dicirikan oleh mud supported. (C) Kenampakan porositas fracture. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8B tanpa skala(lihat lampiran 1.2).
6.1.3. Asosiasi Mikrofasies Boundstone 1
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian mulai dari
Dusun Dukuh memanjang sampai Dusun Bangunrejo. Asosiasi mikrofasies ini
disusun oleh beberapa mikrofasies yang saling berhubungan secara genetis
dengan total ketebalan mencapai 21,38 meter. Batuan karbonat yang menyusun
asosiasi mikrofasies Boundstone 1 ini merupakan batuan karbonat
autochthonous yaitu batugamping terumbu. Didukung oleh fakta ini maka
aspek mikrofasies yang dipilih untuk menyusun suatu penamaan mikrofasies
yang memiliki makna adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur
terumbu, tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau
boundstone), dan tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping
105
Mikrofasies ini merupakan perkembangan dari fase stabilization yang telah
dimulai saat mikrofasies sebelumnya mulai diendapkan. Bioclast juga telah
mengalami mikritisasi dan mengalami diagenesis ditunjukkan dengan micrite
envelope yang bentuknya menjadi irregular(lihat foto 6.2). Faktor-faktor ini
menyulitkan identifikasi jenis organisme dari bioclast ini. Lingkungan
pengendapan dari mikrofasies ini diintrepertasi tidak jauh berbeda dengan
mikrofasies sebelumnya karena masih memiliki terkstur yang serupa dan ciri-
ciri yang serupa.
(A) (B) (C) Foto 6.2. (A) Kenampakan bioclast yang telah termikritisasi. (B) Kenampakan tekstur wackestone dicirikan oleh mud supported. (C) Kenampakan porositas fracture. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8B tanpa skala(lihat lampiran 1.2).
6.1.3. Asosiasi Mikrofasies Boundstone 1
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian mulai dari
Dusun Dukuh memanjang sampai Dusun Bangunrejo. Asosiasi mikrofasies ini
disusun oleh beberapa mikrofasies yang saling berhubungan secara genetis
dengan total ketebalan mencapai 21,38 meter. Batuan karbonat yang menyusun
asosiasi mikrofasies Boundstone 1 ini merupakan batuan karbonat
autochthonous yaitu batugamping terumbu. Didukung oleh fakta ini maka
aspek mikrofasies yang dipilih untuk menyusun suatu penamaan mikrofasies
yang memiliki makna adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur
terumbu, tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau
boundstone), dan tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping
105
Mikrofasies ini merupakan perkembangan dari fase stabilization yang telah
dimulai saat mikrofasies sebelumnya mulai diendapkan. Bioclast juga telah
mengalami mikritisasi dan mengalami diagenesis ditunjukkan dengan micrite
envelope yang bentuknya menjadi irregular(lihat foto 6.2). Faktor-faktor ini
menyulitkan identifikasi jenis organisme dari bioclast ini. Lingkungan
pengendapan dari mikrofasies ini diintrepertasi tidak jauh berbeda dengan
mikrofasies sebelumnya karena masih memiliki terkstur yang serupa dan ciri-
ciri yang serupa.
(A) (B) (C) Foto 6.2. (A) Kenampakan bioclast yang telah termikritisasi. (B) Kenampakan tekstur wackestone dicirikan oleh mud supported. (C) Kenampakan porositas fracture. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8B tanpa skala(lihat lampiran 1.2).
6.1.3. Asosiasi Mikrofasies Boundstone 1
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian mulai dari
Dusun Dukuh memanjang sampai Dusun Bangunrejo. Asosiasi mikrofasies ini
disusun oleh beberapa mikrofasies yang saling berhubungan secara genetis
dengan total ketebalan mencapai 21,38 meter. Batuan karbonat yang menyusun
asosiasi mikrofasies Boundstone 1 ini merupakan batuan karbonat
autochthonous yaitu batugamping terumbu. Didukung oleh fakta ini maka
aspek mikrofasies yang dipilih untuk menyusun suatu penamaan mikrofasies
yang memiliki makna adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur
terumbu, tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau
boundstone), dan tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping
106
terumbu tersebut. Selanjutnya akan dijelaskan mikrofasies yang menyusun
asosiasi mikrofasies boundstone 1 ini.
6.1.3.1.Mikrofasies coral framestone with packstone matrix of boundstone
1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka koral,
tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat sedimen
sekitar saat membentuk struktur framework. Struktur framework ini diisi
oleh matriks berupa packstone yang memiliki karakteristik bewarna
kuning terang, grain suppoted, pemilahan buruk, susunan butir tidak
teratur, keadaan butir 100% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast
koral dengan persentase 56%, matriks terdiri atas micrite 26% dan
microspar 18%(berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut
Folk(1959,1962) biomicirite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) packstone.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Kemunculan mikrofasies ini mengindikasikan
bahwa fase stabilization telah berakhir dan masuk ke fase colonization. Ini
ditandai dengan munculnya coral framestone dengan keanekaragaman
organisme rendah baik itu dari kerangka penyusun batugamping terumbu,
maupun matriks pengisinya. Kegiatan encrusting oleh organisme
ditunjukkan dengan terjadinya mikritisasi pada bioclast juga
mengindikasikan fase colonization di zona sub-tidal.
107
Foto 6.3. Kenampakan matriks pengisi mikrofasies coral framestone berupa packstone yang
terdiri atas bioclast(algae?) yang telah terneomorfisme. Foto berasal dari sayatan tipis sampel LP 8C(lihat lampiran 1.3).
6.1.3.2. Mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy
coral, tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat
sedimen sekitar saat melakukan aktivitas traping dan binding. Berdasarkan
analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut
Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut
Embry dan Klovan(1971). Pada mikrofasies ini platy coral melakukan
aktivitas binding terhadap lumpur yang bersifat non karbonat maupun
terhadapa material sedimen rombakan yang bersifat karbonat. Sebagian
besar kerangka platy coral pada mikrofasies ini telah mengalami pelarutan
dan pengisian kembali oleh sparite yang berbentuk blocky mosaic. Tipe
porositas yang berkembang adalah intraparticle, dan vuggy.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih berada
pada fase colonization dari suatu patch reef. Hal ini dapat dilihat dari jenis
mikrofasiesnya dan masih belum terlalu tingginya tingkat diversifikasi dari
organisme. Kehadiran lumpur non karbonat yang diikat oleh platy coral
mengindikasikan bahwa masih ada pasokan sedimen asal darat bersifat
silisiklastik yang masih sedikit menghambat perkembangan organisme-
organisme lain selain platy coral. Untuk melihat kenampakan dari
mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.4.
107
Foto 6.3. Kenampakan matriks pengisi mikrofasies coral framestone berupa packstone yang
terdiri atas bioclast(algae?) yang telah terneomorfisme. Foto berasal dari sayatan tipis sampel LP 8C(lihat lampiran 1.3).
6.1.3.2. Mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy
coral, tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat
sedimen sekitar saat melakukan aktivitas traping dan binding. Berdasarkan
analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut
Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut
Embry dan Klovan(1971). Pada mikrofasies ini platy coral melakukan
aktivitas binding terhadap lumpur yang bersifat non karbonat maupun
terhadapa material sedimen rombakan yang bersifat karbonat. Sebagian
besar kerangka platy coral pada mikrofasies ini telah mengalami pelarutan
dan pengisian kembali oleh sparite yang berbentuk blocky mosaic. Tipe
porositas yang berkembang adalah intraparticle, dan vuggy.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih berada
pada fase colonization dari suatu patch reef. Hal ini dapat dilihat dari jenis
mikrofasiesnya dan masih belum terlalu tingginya tingkat diversifikasi dari
organisme. Kehadiran lumpur non karbonat yang diikat oleh platy coral
mengindikasikan bahwa masih ada pasokan sedimen asal darat bersifat
silisiklastik yang masih sedikit menghambat perkembangan organisme-
organisme lain selain platy coral. Untuk melihat kenampakan dari
mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.4.
107
Foto 6.3. Kenampakan matriks pengisi mikrofasies coral framestone berupa packstone yang
terdiri atas bioclast(algae?) yang telah terneomorfisme. Foto berasal dari sayatan tipis sampel LP 8C(lihat lampiran 1.3).
6.1.3.2. Mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy
coral, tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat
sedimen sekitar saat melakukan aktivitas traping dan binding. Berdasarkan
analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut
Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut
Embry dan Klovan(1971). Pada mikrofasies ini platy coral melakukan
aktivitas binding terhadap lumpur yang bersifat non karbonat maupun
terhadapa material sedimen rombakan yang bersifat karbonat. Sebagian
besar kerangka platy coral pada mikrofasies ini telah mengalami pelarutan
dan pengisian kembali oleh sparite yang berbentuk blocky mosaic. Tipe
porositas yang berkembang adalah intraparticle, dan vuggy.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih berada
pada fase colonization dari suatu patch reef. Hal ini dapat dilihat dari jenis
mikrofasiesnya dan masih belum terlalu tingginya tingkat diversifikasi dari
organisme. Kehadiran lumpur non karbonat yang diikat oleh platy coral
mengindikasikan bahwa masih ada pasokan sedimen asal darat bersifat
silisiklastik yang masih sedikit menghambat perkembangan organisme-
organisme lain selain platy coral. Untuk melihat kenampakan dari
mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.4.
108
(A) (B) (C)
Foto 6.4. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah tergantikan oleh sparit berbentuk blocky.
(B) Kenampakan porositas vuggy. (C) Kenampakan fracture yang telah diisi oleh sparite. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8D tanpa skala(lihat lampiran 1.4).
6.1.3.3. Mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone
of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral,
tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat sedimen
sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap
sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite,
menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971)
framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa packstone
yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang, grain suppoted,
pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak
utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=8%, algae=3%, benthic
foraminifera=15%, moluska= 9%, bryozoa=5%) dengan persentase 40%,
allochem intraclast dengan persentase 30%, allochem pellet dengan
persentase 10%, sparite dengan persentase 15%(berbentuk bladed),
micrite dengan persentase 2%, dan microspar dengan persentase 3%
(berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)
biosparite(Tipe 1), menurut Dunham(1962) grainstone.porositas yang
berkembang adalah biomoldic, dan intrapaticle.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase
108
(A) (B) (C)
Foto 6.4. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah tergantikan oleh sparit berbentuk blocky.
(B) Kenampakan porositas vuggy. (C) Kenampakan fracture yang telah diisi oleh sparite. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8D tanpa skala(lihat lampiran 1.4).
6.1.3.3. Mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone
of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral,
tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat sedimen
sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap
sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite,
menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971)
framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa packstone
yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang, grain suppoted,
pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak
utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=8%, algae=3%, benthic
foraminifera=15%, moluska= 9%, bryozoa=5%) dengan persentase 40%,
allochem intraclast dengan persentase 30%, allochem pellet dengan
persentase 10%, sparite dengan persentase 15%(berbentuk bladed),
micrite dengan persentase 2%, dan microspar dengan persentase 3%
(berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)
biosparite(Tipe 1), menurut Dunham(1962) grainstone.porositas yang
berkembang adalah biomoldic, dan intrapaticle.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase
108
(A) (B) (C)
Foto 6.4. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah tergantikan oleh sparit berbentuk blocky.
(B) Kenampakan porositas vuggy. (C) Kenampakan fracture yang telah diisi oleh sparite. Diambil dari foto sayatan tipis LP 8D tanpa skala(lihat lampiran 1.4).
6.1.3.3. Mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone
of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral,
tekstur pengendapan berupa organisme koral yang mengikat sedimen
sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap
sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite,
menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971)
framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa packstone
yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang, grain suppoted,
pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 100% tidak
utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=8%, algae=3%, benthic
foraminifera=15%, moluska= 9%, bryozoa=5%) dengan persentase 40%,
allochem intraclast dengan persentase 30%, allochem pellet dengan
persentase 10%, sparite dengan persentase 15%(berbentuk bladed),
micrite dengan persentase 2%, dan microspar dengan persentase 3%
(berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)
biosparite(Tipe 1), menurut Dunham(1962) grainstone.porositas yang
berkembang adalah biomoldic, dan intrapaticle.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase
109
diversification yang merupakan fase selanjutnya setelah fase colonization.
Hal ini dapat dilihat dari matriks pengisi rongga framestone yang terdiri
atas berbagai macam organisme berbeda dengan mikrofasies sebelumnya.
Ini menandakan lingkungan dimana mikrofasies ini diendapkan telah
cukup ideal bagi perkembangan organisme baik itu dari segi salinitas,
intensitas cahaya matahari, kekeruhan air, kekuatan arus, dll. Kenampakan
dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.5.
(A) (B) (C)
(D) (E) (F)
Foto 6.5. (A) Kenampakan benthic foram yang dikelilingi oleh sparite berbentuk bladed. (B) kenampakan bryozoa yang struktur dalamnya sudah agak sulit dikenali. (C) Kenampakan red algae yang diseklilingnya juga terdapat sparite berbentuk bladed. (D) Kenampakan dari terumbu yang membentuk struktur framework. (E) Kenampakan porositas intraparticle. (F) Kenampakan bioclast jenis molusca. Diambil dari foto sayatan tipis LP 10A tanpa skala(lihat lampiran 1.5).
6.1.3.4. Mikrofasies algae bindstone of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka
dasycladaceae algae , tekstur pengendapan berupa organisme algae yang
mengikat sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding.
Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan
109
diversification yang merupakan fase selanjutnya setelah fase colonization.
Hal ini dapat dilihat dari matriks pengisi rongga framestone yang terdiri
atas berbagai macam organisme berbeda dengan mikrofasies sebelumnya.
Ini menandakan lingkungan dimana mikrofasies ini diendapkan telah
cukup ideal bagi perkembangan organisme baik itu dari segi salinitas,
intensitas cahaya matahari, kekeruhan air, kekuatan arus, dll. Kenampakan
dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.5.
(A) (B) (C)
(D) (E) (F)
Foto 6.5. (A) Kenampakan benthic foram yang dikelilingi oleh sparite berbentuk bladed. (B) kenampakan bryozoa yang struktur dalamnya sudah agak sulit dikenali. (C) Kenampakan red algae yang diseklilingnya juga terdapat sparite berbentuk bladed. (D) Kenampakan dari terumbu yang membentuk struktur framework. (E) Kenampakan porositas intraparticle. (F) Kenampakan bioclast jenis molusca. Diambil dari foto sayatan tipis LP 10A tanpa skala(lihat lampiran 1.5).
6.1.3.4. Mikrofasies algae bindstone of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka
dasycladaceae algae , tekstur pengendapan berupa organisme algae yang
mengikat sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding.
Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan
109
diversification yang merupakan fase selanjutnya setelah fase colonization.
Hal ini dapat dilihat dari matriks pengisi rongga framestone yang terdiri
atas berbagai macam organisme berbeda dengan mikrofasies sebelumnya.
Ini menandakan lingkungan dimana mikrofasies ini diendapkan telah
cukup ideal bagi perkembangan organisme baik itu dari segi salinitas,
intensitas cahaya matahari, kekeruhan air, kekuatan arus, dll. Kenampakan
dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.5.
(A) (B) (C)
(D) (E) (F)
Foto 6.5. (A) Kenampakan benthic foram yang dikelilingi oleh sparite berbentuk bladed. (B) kenampakan bryozoa yang struktur dalamnya sudah agak sulit dikenali. (C) Kenampakan red algae yang diseklilingnya juga terdapat sparite berbentuk bladed. (D) Kenampakan dari terumbu yang membentuk struktur framework. (E) Kenampakan porositas intraparticle. (F) Kenampakan bioclast jenis molusca. Diambil dari foto sayatan tipis LP 10A tanpa skala(lihat lampiran 1.5).
6.1.3.4. Mikrofasies algae bindstone of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka
dasycladaceae algae , tekstur pengendapan berupa organisme algae yang
mengikat sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding.
Berdasarkan analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan
110
menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone,
menurut Embry dan Klovan(1971) bindstone. Algae ini mengikat material
halus seperti lumpur karbonat karena bertujuan untuk mencari nutrisi dan
proses metabolisme. Setelah satu set algae mengikat material sedimen
berukuran halus dan mati maka di atas material sedimen halus itu akan
tumbuh algae baru yang akan melakukan aktivitas serupa sehingga
membentuk satu kesatuan bindstone.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih sebagai
fase diversification . perubahan dari framestone menjadi bindstone
mengindikasikan bahwa terjadi sedikit perubahan sea level menjadi lebih
dangkal sehingga terjadi perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan ini
mendukung pertumbuhan algar yang membentuk bindstone ini.
Kenampakan dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.6.
Foto 6.6. (A)Kenampakan porositas vuggy,
(B) kenampakan jalinan algae yang mengikat lumpur karbonat,
(C) kenampakan dari lumpur karbonat yang diikat oleh algae sebagian telah
mengalami neomorfisme,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10B tanpa skala(lihat lampiran 1.6).
6.1.3.5. Mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka
110
menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone,
menurut Embry dan Klovan(1971) bindstone. Algae ini mengikat material
halus seperti lumpur karbonat karena bertujuan untuk mencari nutrisi dan
proses metabolisme. Setelah satu set algae mengikat material sedimen
berukuran halus dan mati maka di atas material sedimen halus itu akan
tumbuh algae baru yang akan melakukan aktivitas serupa sehingga
membentuk satu kesatuan bindstone.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih sebagai
fase diversification . perubahan dari framestone menjadi bindstone
mengindikasikan bahwa terjadi sedikit perubahan sea level menjadi lebih
dangkal sehingga terjadi perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan ini
mendukung pertumbuhan algar yang membentuk bindstone ini.
Kenampakan dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.6.
Foto 6.6. (A)Kenampakan porositas vuggy,
(B) kenampakan jalinan algae yang mengikat lumpur karbonat,
(C) kenampakan dari lumpur karbonat yang diikat oleh algae sebagian telah
mengalami neomorfisme,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10B tanpa skala(lihat lampiran 1.6).
6.1.3.5. Mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka
110
menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone,
menurut Embry dan Klovan(1971) bindstone. Algae ini mengikat material
halus seperti lumpur karbonat karena bertujuan untuk mencari nutrisi dan
proses metabolisme. Setelah satu set algae mengikat material sedimen
berukuran halus dan mati maka di atas material sedimen halus itu akan
tumbuh algae baru yang akan melakukan aktivitas serupa sehingga
membentuk satu kesatuan bindstone.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan masih sebagai
fase diversification . perubahan dari framestone menjadi bindstone
mengindikasikan bahwa terjadi sedikit perubahan sea level menjadi lebih
dangkal sehingga terjadi perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan ini
mendukung pertumbuhan algar yang membentuk bindstone ini.
Kenampakan dari mikrofasies ini dapat dilihat pada foto 6.6.
Foto 6.6. (A)Kenampakan porositas vuggy,
(B) kenampakan jalinan algae yang mengikat lumpur karbonat,
(C) kenampakan dari lumpur karbonat yang diikat oleh algae sebagian telah
mengalami neomorfisme,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10B tanpa skala(lihat lampiran 1.6).
6.1.3.5. Mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka
111
dasycladaceae algae , tekstur pengendapan berupa organisme
dasycladaceae algae yang mengikat sedimen yang ada sekitar saat
melakukan aktivitas baffling. Berdasarkan analisis terhadap sampel yang
telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut
Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971)
bafflestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa wackestone
yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported,
pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 74,1% tidak
utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=13%, algae=5%, benthic
foraminifera=5%) dengan persentase 23%, allochem pellet dengan
persentase 8%, micrite dengan persentase 65%, dan microspar dengan
persentase 4% (berbentuk blocky mosaic), penamaan menurut
Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962)
wackestone.porositas yang berkembang adalah vugy, dan intrapaticle.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase
diversification kelanjutan sebelumnya. Perubahan dari framestone menjadi
bafflestone mengindikasikan 2 hal yang cukup signifikan. Pertama terjadi
perubahan keadaan hidrodinamika pada lingkungan dimana patch reef ini
diendapkan dari keadaan dengan arus sedang menjadi sedikit lebih tenang,
karena lingkungan dimana bafflestone dapat berkembang ada di bawah
zona dimana framestone bisa berkembang. Keberadaan matriks pengisi
berupa wackestone juga menguatkan intrepertasi ini. Yang kedua adalah
munculnya bafflestone menunjukkan diversifikasi dari jenis batugamping
terumbu pada fase diversification. Kenampakan dari mikrofasies ini dapat
dilihat pada foto 6.7.
112
(A) (B)
Foto 6.7. (A)Kenampakan dasycladaceae algae dapat terlihat juga porositas intraparticle, (B)kenampakan bioclast yang telah mengalami inversi pada matriks pengisi bafflestone,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10C tanpa skala(lihat lampiran 1.7).
6.1.3.6. Mikrofasies coral framestone with red algae packstone of
boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral,
tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang
ada sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis
terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962)
biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan
Klovan(1971) framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks
berupa packstone yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang,
grain supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan
butir93,5% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=10%, red
algae=25%, benthic foraminifera=10%, lepidocyclina=13%) dengan
persentase 58%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan
persentase 20%, dan microspar dengan persentase 13% (berbentuk blocky
mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut
Dunham(1962) packstone.porositas yang berkembang adalah vugy, dan
fracture.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase
diversification dalam tahap terakhir sebelum menuju fase domination.
Kehadiran matriks pengisi batugamping terumbu yang memiliki
112
(A) (B)
Foto 6.7. (A)Kenampakan dasycladaceae algae dapat terlihat juga porositas intraparticle, (B)kenampakan bioclast yang telah mengalami inversi pada matriks pengisi bafflestone,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10C tanpa skala(lihat lampiran 1.7).
6.1.3.6. Mikrofasies coral framestone with red algae packstone of
boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral,
tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang
ada sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis
terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962)
biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan
Klovan(1971) framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks
berupa packstone yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang,
grain supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan
butir93,5% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=10%, red
algae=25%, benthic foraminifera=10%, lepidocyclina=13%) dengan
persentase 58%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan
persentase 20%, dan microspar dengan persentase 13% (berbentuk blocky
mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut
Dunham(1962) packstone.porositas yang berkembang adalah vugy, dan
fracture.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase
diversification dalam tahap terakhir sebelum menuju fase domination.
Kehadiran matriks pengisi batugamping terumbu yang memiliki
112
(A) (B)
Foto 6.7. (A)Kenampakan dasycladaceae algae dapat terlihat juga porositas intraparticle, (B)kenampakan bioclast yang telah mengalami inversi pada matriks pengisi bafflestone,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10C tanpa skala(lihat lampiran 1.7).
6.1.3.6. Mikrofasies coral framestone with red algae packstone of
boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral,
tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang
ada sekitar saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis
terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962)
biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan
Klovan(1971) framestone. Struktur framework ini diisi oleh matriks
berupa packstone yang memiliki karakteristik bewarna kuning terang,
grain supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan
butir93,5% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast(coral=10%, red
algae=25%, benthic foraminifera=10%, lepidocyclina=13%) dengan
persentase 58%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan
persentase 20%, dan microspar dengan persentase 13% (berbentuk blocky
mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut
Dunham(1962) packstone.porositas yang berkembang adalah vugy, dan
fracture.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase
diversification dalam tahap terakhir sebelum menuju fase domination.
Kehadiran matriks pengisi batugamping terumbu yang memiliki
113
keanekaragaman organisme yang cukup tinggi mengindikasikan hal ini.
Kehadiran red algae mengindikasikan bahwa simbiosis antara coral
dengan organisme lain berjalan baik, karena red algae ini hidup dari hasil
metabolism coral, sebaliknya kehadiran red algae juga menguntungkan
bagi coral karena red algae selain memberikan nutrisi juga menjaga
kestabilan bioekologi di sekitar coral. Kenampakan dari mikrofasies ini
dapat dilihat pada foto 6.8.
(A) (B) Foto 6.8. (A)Kenampakan bioclast jenis lepidocyclina yang sebagian telah mengalami
inversi, (B)kenampakan bioclast jenis red algae, keduanya merupakan matriks pengisi framestone, diambil dari foto sayatan tipis
LP 10D tanpa skala(lihat lampiran 1.8).
6.1.3.7. Mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy
coral, tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat
sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding. Berdasarkan
analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut
Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut
Embry dan Klovan(1971) bindstone. Platy coral ini mengikat material
sedimen berupa lumpur karbonat.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase
domination dari suatu patch reef. hal ini dapat dilihat dari tebalnya
pelamparan vertikal dari mikrofasies ini hingga mencapai 14,98 meter. Ini
menandakan bahwa pertumbuhan dari batugamping terumbu telah
mencapai puncaknya sehingga dapat benar-benar mengikuti perubahan
113
keanekaragaman organisme yang cukup tinggi mengindikasikan hal ini.
Kehadiran red algae mengindikasikan bahwa simbiosis antara coral
dengan organisme lain berjalan baik, karena red algae ini hidup dari hasil
metabolism coral, sebaliknya kehadiran red algae juga menguntungkan
bagi coral karena red algae selain memberikan nutrisi juga menjaga
kestabilan bioekologi di sekitar coral. Kenampakan dari mikrofasies ini
dapat dilihat pada foto 6.8.
(A) (B) Foto 6.8. (A)Kenampakan bioclast jenis lepidocyclina yang sebagian telah mengalami
inversi, (B)kenampakan bioclast jenis red algae, keduanya merupakan matriks pengisi framestone, diambil dari foto sayatan tipis
LP 10D tanpa skala(lihat lampiran 1.8).
6.1.3.7. Mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy
coral, tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat
sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding. Berdasarkan
analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut
Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut
Embry dan Klovan(1971) bindstone. Platy coral ini mengikat material
sedimen berupa lumpur karbonat.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase
domination dari suatu patch reef. hal ini dapat dilihat dari tebalnya
pelamparan vertikal dari mikrofasies ini hingga mencapai 14,98 meter. Ini
menandakan bahwa pertumbuhan dari batugamping terumbu telah
mencapai puncaknya sehingga dapat benar-benar mengikuti perubahan
113
keanekaragaman organisme yang cukup tinggi mengindikasikan hal ini.
Kehadiran red algae mengindikasikan bahwa simbiosis antara coral
dengan organisme lain berjalan baik, karena red algae ini hidup dari hasil
metabolism coral, sebaliknya kehadiran red algae juga menguntungkan
bagi coral karena red algae selain memberikan nutrisi juga menjaga
kestabilan bioekologi di sekitar coral. Kenampakan dari mikrofasies ini
dapat dilihat pada foto 6.8.
(A) (B) Foto 6.8. (A)Kenampakan bioclast jenis lepidocyclina yang sebagian telah mengalami
inversi, (B)kenampakan bioclast jenis red algae, keduanya merupakan matriks pengisi framestone, diambil dari foto sayatan tipis
LP 10D tanpa skala(lihat lampiran 1.8).
6.1.3.7. Mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka platy
coral, tekstur pengendapan berupa organisme coral yang mengikat
sedimen yang ada sekitar saat melakukan aktivitas binding. Berdasarkan
analisis terhadap sampel yang telah diambil penamaan menurut
Folk(1959,1962) biolithite, menurut Dunham(1962) boundstone, menurut
Embry dan Klovan(1971) bindstone. Platy coral ini mengikat material
sedimen berupa lumpur karbonat.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan patch reef yang
tumbuh di zona sub-tidal. Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai fase
domination dari suatu patch reef. hal ini dapat dilihat dari tebalnya
pelamparan vertikal dari mikrofasies ini hingga mencapai 14,98 meter. Ini
menandakan bahwa pertumbuhan dari batugamping terumbu telah
mencapai puncaknya sehingga dapat benar-benar mengikuti perubahan
114
muka air laut(keep up). Ketidakhadiran mikrofasies lain menandakan
bahwa pada fase ini keadaan lingkungan dimana batugamping terumbu
sudah sangat stabil sehingga organisme yang tidak dapat beradaptasi
benar-benar tidak dapat hidup lagi di sini. Berbeda dengan mikrofasies
bindstone yang muncul sebelumnya, mikrofasies ini murni mengikat
material sedimen karbonat. Hal ini juga menandakan bahwa pasokan
sedimen asal darat sedang dalam internsitas rendah. Kenampakan dari
mikrofasies ini dapat dilihat dari foto 6.9.
(A) (B) (C)
Foto 6.9. (A)Kenampakan kerangka dari platy coral yang telah mengalami mikritisasi, (B)kenampakan material sedimen yang diikat oleh bindstone berupa lumpur karbonat,
©kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah mengalami neomorfisme, diambil dari foto sayatan tipis LP 13A tanpa skala(lihat lampiran1.9).
Secara keseluruhan asosiasi mikrofasies boundstone 1 ini
menunjukkan suatu perkembangan suksesi biologis dari suatu patch
reef(lihat model Tucker, 2003, pada gambar 6.1). dimulai dengan fase
stabilization dimana carbonate factory baru saja mulai aktif yang diwakili
oleh mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan
Wackestone with micirite and microspar matrix. Setelah itu dilanjutkan
dengan fase colonization dimana organisme coral yang akan berperan
sangat penting dalam pembentukan batugamping terumbu mulai dapat
berkembang yang diwakili oleh mikrofasies coral framestone with
packstone matrix of boundstone 1 dan platy coral bindstone 1 of
boundstone 1. Setelah fase ini selesai dilanjutkan dengan fase
diversification dimana berbagai macam organisme dapat hidup dan
berkembang dengan baik karena dapat saling melakukan simbiosis satu
114
muka air laut(keep up). Ketidakhadiran mikrofasies lain menandakan
bahwa pada fase ini keadaan lingkungan dimana batugamping terumbu
sudah sangat stabil sehingga organisme yang tidak dapat beradaptasi
benar-benar tidak dapat hidup lagi di sini. Berbeda dengan mikrofasies
bindstone yang muncul sebelumnya, mikrofasies ini murni mengikat
material sedimen karbonat. Hal ini juga menandakan bahwa pasokan
sedimen asal darat sedang dalam internsitas rendah. Kenampakan dari
mikrofasies ini dapat dilihat dari foto 6.9.
(A) (B) (C)
Foto 6.9. (A)Kenampakan kerangka dari platy coral yang telah mengalami mikritisasi, (B)kenampakan material sedimen yang diikat oleh bindstone berupa lumpur karbonat,
©kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah mengalami neomorfisme, diambil dari foto sayatan tipis LP 13A tanpa skala(lihat lampiran1.9).
Secara keseluruhan asosiasi mikrofasies boundstone 1 ini
menunjukkan suatu perkembangan suksesi biologis dari suatu patch
reef(lihat model Tucker, 2003, pada gambar 6.1). dimulai dengan fase
stabilization dimana carbonate factory baru saja mulai aktif yang diwakili
oleh mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan
Wackestone with micirite and microspar matrix. Setelah itu dilanjutkan
dengan fase colonization dimana organisme coral yang akan berperan
sangat penting dalam pembentukan batugamping terumbu mulai dapat
berkembang yang diwakili oleh mikrofasies coral framestone with
packstone matrix of boundstone 1 dan platy coral bindstone 1 of
boundstone 1. Setelah fase ini selesai dilanjutkan dengan fase
diversification dimana berbagai macam organisme dapat hidup dan
berkembang dengan baik karena dapat saling melakukan simbiosis satu
114
muka air laut(keep up). Ketidakhadiran mikrofasies lain menandakan
bahwa pada fase ini keadaan lingkungan dimana batugamping terumbu
sudah sangat stabil sehingga organisme yang tidak dapat beradaptasi
benar-benar tidak dapat hidup lagi di sini. Berbeda dengan mikrofasies
bindstone yang muncul sebelumnya, mikrofasies ini murni mengikat
material sedimen karbonat. Hal ini juga menandakan bahwa pasokan
sedimen asal darat sedang dalam internsitas rendah. Kenampakan dari
mikrofasies ini dapat dilihat dari foto 6.9.
(A) (B) (C)
Foto 6.9. (A)Kenampakan kerangka dari platy coral yang telah mengalami mikritisasi, (B)kenampakan material sedimen yang diikat oleh bindstone berupa lumpur karbonat,
©kenampakan kerangka platy coral yang sebagian telah mengalami neomorfisme, diambil dari foto sayatan tipis LP 13A tanpa skala(lihat lampiran1.9).
Secara keseluruhan asosiasi mikrofasies boundstone 1 ini
menunjukkan suatu perkembangan suksesi biologis dari suatu patch
reef(lihat model Tucker, 2003, pada gambar 6.1). dimulai dengan fase
stabilization dimana carbonate factory baru saja mulai aktif yang diwakili
oleh mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan
Wackestone with micirite and microspar matrix. Setelah itu dilanjutkan
dengan fase colonization dimana organisme coral yang akan berperan
sangat penting dalam pembentukan batugamping terumbu mulai dapat
berkembang yang diwakili oleh mikrofasies coral framestone with
packstone matrix of boundstone 1 dan platy coral bindstone 1 of
boundstone 1. Setelah fase ini selesai dilanjutkan dengan fase
diversification dimana berbagai macam organisme dapat hidup dan
berkembang dengan baik karena dapat saling melakukan simbiosis satu
115
sama lain diwakili oleh mikrofasies corraline framestone with diverse
organism packstone of boundstone 1, algae bindstone of boundstone 1,
dasycladaceae algae bafflestone of boundstone 1, dan coral framestone
with red algae packstone of boundstone 1. Setelah itu sempat terjadi
pasokan sedimen asal darat yang cukup intensif sehingga dijumpai sisipan
konglomerat dan batupasir tuffan, namun karena patch reef telah
berkembang sampai fase diversification hal ini tidak mengganggu
perkembangan batugamping terumbu selanjutnya. Di fase akhir dijumpai
mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone 1 dengan pelamparan
vertikal tebal yang merupakan fase domination.
6.1.4. Mikrofasies lepidocyclina wackestone to packstone with micirite matrix
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap
dengan baik di dekat Dusun Munggang Wetan, Kecamatan Samigaluh.
Penyebaran lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,5 meter.
Penamaan mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting
untuk intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan,
jenis allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi.
Berdasarkan aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka
mikrofasiesnya diidentifikasikan sebagai lepidocyclina packstone with micrite
matrix.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported, pemilahan
buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 95,7% tidak utuh, disusun oleh
allochem bioclast(lepidocyclina=15%, algae=5%) dengan persentase 20%,
allochem pellet dengan persentase 23%,matriks terdiri atas micrite 45% dan
microspar 12%(berbentuk drusy mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)
pelmicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) wackestone. Porositas yang
dijumapi adalah vuggy. Pada sayatan lain yang diambil di tempat yang sama
dengan sayatan pertama didapatkan ciri-ciri bewarna abu-abu kekuningan,
grain supported, pemilahan buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir
95% tidak utuh, disusun oleh allochem bioclast (Lepidocyclina=32%,
116
Foraminifera= 20%, red algae=10%, Bryzoa=5%) dengan persentase 67%,
allochem pellet dengan persentase 3%, masa dasar berupa sparite(berbentuk
drusy), micrite dengan persentase 20%, dan microspar dengan persentase 5%,
penamaan berdasarkan Folk(1959,1962) adalah packed biomicrite(Tipe 2),
sedangkan penamaan berdasarkan Dunham(1962) adalah packstone.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang
diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di
zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase
tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization
menyerupai mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan
wackestone with micirite and microspar matrix. Packstone dan wackestone
cenderung diendapkan pada daerah dengan kondisi arus tenang sehingga
lumpur karbonat bisa dendapkan bersamaan dengan allochem, sedangkan
sparite tidak begitu berkembang. Keberadaan mikrofasies ini menandakan
mulai aktifnya carbonate factory yang dapat disebabkan oleh berkurangnya
pasokan sedimen asal darat, salinitas yang mendukung, dll.
(A) (B)
Foto 6.10. (A)Kenampakan bioclast jenis bryozoa, (B)kenampakan bioclast jenis lepidocyclina, diambil dari foto sayatan tipis LP 49A tanpa skala(lihat lampiran 1.10).
6.1.5. Mikrofasies Boundstone 2(Coral framestone with wackestone matrix)
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian di dekat
Dusun Munggang Wetan, Kecamatan Samigaluh. Keadaan singkapan sudah
agak lapuk(lihat foto 6.8) diakibatkan proses pelapukan oleh cuaca, dll. Tebal
dari mikrofasies ini adalah 4 meter. Aspek mikrofasies yang dipertimbangkan
116
Foraminifera= 20%, red algae=10%, Bryzoa=5%) dengan persentase 67%,
allochem pellet dengan persentase 3%, masa dasar berupa sparite(berbentuk
drusy), micrite dengan persentase 20%, dan microspar dengan persentase 5%,
penamaan berdasarkan Folk(1959,1962) adalah packed biomicrite(Tipe 2),
sedangkan penamaan berdasarkan Dunham(1962) adalah packstone.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang
diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di
zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase
tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization
menyerupai mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan
wackestone with micirite and microspar matrix. Packstone dan wackestone
cenderung diendapkan pada daerah dengan kondisi arus tenang sehingga
lumpur karbonat bisa dendapkan bersamaan dengan allochem, sedangkan
sparite tidak begitu berkembang. Keberadaan mikrofasies ini menandakan
mulai aktifnya carbonate factory yang dapat disebabkan oleh berkurangnya
pasokan sedimen asal darat, salinitas yang mendukung, dll.
(A) (B)
Foto 6.10. (A)Kenampakan bioclast jenis bryozoa, (B)kenampakan bioclast jenis lepidocyclina, diambil dari foto sayatan tipis LP 49A tanpa skala(lihat lampiran 1.10).
6.1.5. Mikrofasies Boundstone 2(Coral framestone with wackestone matrix)
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian di dekat
Dusun Munggang Wetan, Kecamatan Samigaluh. Keadaan singkapan sudah
agak lapuk(lihat foto 6.8) diakibatkan proses pelapukan oleh cuaca, dll. Tebal
dari mikrofasies ini adalah 4 meter. Aspek mikrofasies yang dipertimbangkan
116
Foraminifera= 20%, red algae=10%, Bryzoa=5%) dengan persentase 67%,
allochem pellet dengan persentase 3%, masa dasar berupa sparite(berbentuk
drusy), micrite dengan persentase 20%, dan microspar dengan persentase 5%,
penamaan berdasarkan Folk(1959,1962) adalah packed biomicrite(Tipe 2),
sedangkan penamaan berdasarkan Dunham(1962) adalah packstone.
Mikrofasies ini diintrepertasikan sebagai endapan mud mound yang
diendapkan pada daerah dengan arus sedang di bawah garis low tide atau di
zona sub tidal. Keadaan arus yang sedang dan terkadang terdapat jeda fase
tenang saat storm tidak terjadi memungkinkan dimulainya fase stabilization
menyerupai mikrofasies coral floatstone with microspar dominated matrix dan
wackestone with micirite and microspar matrix. Packstone dan wackestone
cenderung diendapkan pada daerah dengan kondisi arus tenang sehingga
lumpur karbonat bisa dendapkan bersamaan dengan allochem, sedangkan
sparite tidak begitu berkembang. Keberadaan mikrofasies ini menandakan
mulai aktifnya carbonate factory yang dapat disebabkan oleh berkurangnya
pasokan sedimen asal darat, salinitas yang mendukung, dll.
(A) (B)
Foto 6.10. (A)Kenampakan bioclast jenis bryozoa, (B)kenampakan bioclast jenis lepidocyclina, diambil dari foto sayatan tipis LP 49A tanpa skala(lihat lampiran 1.10).
6.1.5. Mikrofasies Boundstone 2(Coral framestone with wackestone matrix)
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian di dekat
Dusun Munggang Wetan, Kecamatan Samigaluh. Keadaan singkapan sudah
agak lapuk(lihat foto 6.8) diakibatkan proses pelapukan oleh cuaca, dll. Tebal
dari mikrofasies ini adalah 4 meter. Aspek mikrofasies yang dipertimbangkan
117
untuk penamaan adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur terumbu,
tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau boundstone), dan
tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping terumbu tersebut.
Foto 6.11. Kenampakan singkapan batugamping terumbu framestone pada LP 53 arah
kamera N240E.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki
karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral, tekstur
pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang ada sekitar
saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap sampel
yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut
Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971) framestone.
Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa wackestone yang memiliki
karakteristik bewarna kuning abu-abu kekuningan, mud supported, pemilahan
buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 89% tidak utuh, disusun oleh
allochem bioclast(red algae=11%, Lepidocyclina=22%) dengan persentase
33%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan persentase 55%,
dan microspar dengan persentase 8% (berbentuk drusy mosaic), penamaan
menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) sparse
wackestone. Porositas yang berkembang adalah vuggy. Kenampakan aspek
mikrofasies dari coral framestone with wackestone matrix of boundstone 2 ini
dapat dilihat pada foto 6.12.
117
untuk penamaan adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur terumbu,
tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau boundstone), dan
tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping terumbu tersebut.
Foto 6.11. Kenampakan singkapan batugamping terumbu framestone pada LP 53 arah
kamera N240E.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki
karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral, tekstur
pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang ada sekitar
saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap sampel
yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut
Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971) framestone.
Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa wackestone yang memiliki
karakteristik bewarna kuning abu-abu kekuningan, mud supported, pemilahan
buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 89% tidak utuh, disusun oleh
allochem bioclast(red algae=11%, Lepidocyclina=22%) dengan persentase
33%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan persentase 55%,
dan microspar dengan persentase 8% (berbentuk drusy mosaic), penamaan
menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) sparse
wackestone. Porositas yang berkembang adalah vuggy. Kenampakan aspek
mikrofasies dari coral framestone with wackestone matrix of boundstone 2 ini
dapat dilihat pada foto 6.12.
117
untuk penamaan adalah aspek tipe fosil yang membangun struktur terumbu,
tekstur pengendapan(framestone, bafflestone, bindstone atau boundstone), dan
tipe matriks yang mengisi rongga dalam batugamping terumbu tersebut.
Foto 6.11. Kenampakan singkapan batugamping terumbu framestone pada LP 53 arah
kamera N240E.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini memiliki
karakteristik bewarna abu-abu kekuningan, jenis kerangka coral, tekstur
pengendapan berupa organisme coral yang mengikat sedimen yang ada sekitar
saat membentuk struktur framework. Berdasarkan analisis terhadap sampel
yang telah diambil penamaan menurut Folk(1959,1962) biolithite, menurut
Dunham(1962) boundstone, menurut Embry dan Klovan(1971) framestone.
Struktur framework ini diisi oleh matriks berupa wackestone yang memiliki
karakteristik bewarna kuning abu-abu kekuningan, mud supported, pemilahan
buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 89% tidak utuh, disusun oleh
allochem bioclast(red algae=11%, Lepidocyclina=22%) dengan persentase
33%, allochem pellet dengan persentase 4%, micrite dengan persentase 55%,
dan microspar dengan persentase 8% (berbentuk drusy mosaic), penamaan
menurut Folk(1959,1962) biomicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) sparse
wackestone. Porositas yang berkembang adalah vuggy. Kenampakan aspek
mikrofasies dari coral framestone with wackestone matrix of boundstone 2 ini
dapat dilihat pada foto 6.12.
118
(A) (B)
Foto 6.12. (A)Kenampakan kerangka koral yang diisi oleh sparite berbentuk drusy,
(B)kenampakan cangkang Lepidocyclina yang sebagian telah terneomorfisme
menjadi sparite pada matriks pengisi framestone,
diambil dari foto sayatan LP 47A(lihat lampiran 1.11).
6.1.6. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix 2
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap
dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran
lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan
mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk
intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis
allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan
aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya
diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported, pemilahan
buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 95,7% tidak utuh, disusun oleh
allochem bioclast(lepidocyclina=23%, algae=8%) dengan persentase 31%,
allochem pellet dengan persentase 10%,matriks terdiri atas micrite 50% dan
microspar 9%(berbentuk drusy mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)
biolmicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) wackestone.
118
(A) (B)
Foto 6.12. (A)Kenampakan kerangka koral yang diisi oleh sparite berbentuk drusy,
(B)kenampakan cangkang Lepidocyclina yang sebagian telah terneomorfisme
menjadi sparite pada matriks pengisi framestone,
diambil dari foto sayatan LP 47A(lihat lampiran 1.11).
6.1.6. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix 2
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap
dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran
lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan
mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk
intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis
allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan
aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya
diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported, pemilahan
buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 95,7% tidak utuh, disusun oleh
allochem bioclast(lepidocyclina=23%, algae=8%) dengan persentase 31%,
allochem pellet dengan persentase 10%,matriks terdiri atas micrite 50% dan
microspar 9%(berbentuk drusy mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)
biolmicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) wackestone.
118
(A) (B)
Foto 6.12. (A)Kenampakan kerangka koral yang diisi oleh sparite berbentuk drusy,
(B)kenampakan cangkang Lepidocyclina yang sebagian telah terneomorfisme
menjadi sparite pada matriks pengisi framestone,
diambil dari foto sayatan LP 47A(lihat lampiran 1.11).
6.1.6. Mikrofasies wackestone with micirite and microspar matrix 2
Mikrofasies ini didapatkan pada bagian utara daerah telitian tersingkap
dengan baik di dekat Dusun Dukuh, Kecamatan Samigaluh. Penyebaran
lateralnya cukup baik sedangkan ketebalannya adalah 0,3 meter. Penamaan
mikrofasies ini didasarkan pada aspek mikrofasies yang penting untuk
intrepertasi lebih lanjut. Aspek yang dipilih adalah tekstur pengendapan, jenis
allochem yang paling dominan, jenis matriks yang mendominasi. Berdasarkan
aspek-aspek yang telah disebutkan sebelumnya maka mikrofasiesnya
diidentifikasikan sebagai Wackestone with micrite and microspar matrix.
Hasil analisa sayatan tipis menunjukkan bahwa mikrofasies ini
memiliki karakteristik bewarna kuning terang, mud supported, pemilahan
buruk, susunan butir tidak teratur, keadaan butir 95,7% tidak utuh, disusun oleh
allochem bioclast(lepidocyclina=23%, algae=8%) dengan persentase 31%,
allochem pellet dengan persentase 10%,matriks terdiri atas micrite 50% dan
microspar 9%(berbentuk drusy mosaic), penamaan menurut Folk(1959,1962)
biolmicrite(Tipe 2), menurut Dunham(1962) wackestone.
119
6.2. Studi fase diagenesis Formasi Jonggrangan
Studi fase diagenesis yang dilakukan akan difokuskan pada patch reef yang
tersingkap paling baik di daerah dusun Dukuh yang terdiri dari mikrofasies coral
floatstone with microspar dominated matrix, wackestone with micirite and microspar
matrix, dan Boundstone 1 (terdiri dari asosiasi coral framestone with packstone
matrix, platy coral bindstone 1, corraline framestone with diverse organism
packstone, algae bindstone, dasycladaceae algae bafflestone, coral framestone with
red algae packstone, dan platy coral bindstone 2). Hal ini dilakukan untuk
memfokuskan pembahasan dan juga dikarenankan mikrofasies-mikrofasies tersebut
merupakan mikrofasies yang didukung oleh data sampel yang paling mendukung.
Ketebalan dan variasi mikrofasies yang ada juga dapat memberikan gambaran
perkembangan fase diagenesis batuan karbonat yang menjadi objek studi khusus ini.
Berikut akan dijelaskan fase diagenesis dari masing-masing mikrofasies yang
menyusun patch reef dusun Dukuh ini mulai dari yang paling tua ke muda.
6.2.1 Fase diagenesis mikrofasies coral floatstone with microspar dominated
matrix
Mikrofasies ini dicirikan oleh dominasi allochem coral yang mengambang
pada masa dasar lumpur karbonat. Untuk menjelaskan fase diagenesis dari
mikrofasies ini dilakukan analisa terhadap 2 sampel. Berikut akan dijelaskan
perkembangan fase diagenesis dari 2 sampel terebut mulai dari yang paling tua.
6.2.1.1.Sampel LP 8A
Pada sayatan tipis sampel LP 8 A ini dapat dilihat kenampakan
allochem bioclast berupa coral yang telah mengalami mikritisasi. Ini
merupakan indikasi bahwa batuan karbonat ini sempat menglami fase
eogenesis dimana terjadi modifikasi tekstur akibat aktivitas organisme.
Aktivitas ini berupa aktivitas boring yang sangat intensif oleh endolithic
organism pada lingkungan dimana batuan karbonat ini awalnya
diendapkan yaitu marine. Setelah itu pada fase mesogenesis marine terjadi
perubahan diagenetik berupa pembentukan microspar dan pseudospar
yang merupakan hasil neomorfisme agrading coalescive dari lumpur
120
karbonat atau micrite. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang
menjadi masa dasar padahal lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara
rongga butir sebagai semen. Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan
yang diakibatkan oleh berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan
batuan karbonat yang ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas
vuggy. Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas
sebesar 6,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan
di atas dapat dilihat pada foto 6.13.
(A) (B) (C)
Foto 6.13. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi
pada fase eogenesis,
(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase
mesogenesis hingga telogenesis,
(C)kenampakan porositas vuggy akibat pelarutan pada fase telogenesis,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8A(lihat lampiran 1.1).
6.2.2. Fase diagenesis mikrofasies wackestone with micirite and microspar
matrix
Mikrofasies ini dicirikan oleh allochem bioclast yang tidak begitu jelas
yang mengambang pada masa dasar berupa micrite dan microspar. Fase
diagenesis dari mikrofasies dapat dilihat pada sayatan sampel 8B.
6.2.2.1. Sampel LP 8B
Pada sayatan tipis sampel LP 8 B ini dapat dilihat kenampakan
allochem bioclast yang telah mengalami mikritisasi. Ini merupakan
120
karbonat atau micrite. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang
menjadi masa dasar padahal lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara
rongga butir sebagai semen. Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan
yang diakibatkan oleh berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan
batuan karbonat yang ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas
vuggy. Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas
sebesar 6,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan
di atas dapat dilihat pada foto 6.13.
(A) (B) (C)
Foto 6.13. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi
pada fase eogenesis,
(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase
mesogenesis hingga telogenesis,
(C)kenampakan porositas vuggy akibat pelarutan pada fase telogenesis,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8A(lihat lampiran 1.1).
6.2.2. Fase diagenesis mikrofasies wackestone with micirite and microspar
matrix
Mikrofasies ini dicirikan oleh allochem bioclast yang tidak begitu jelas
yang mengambang pada masa dasar berupa micrite dan microspar. Fase
diagenesis dari mikrofasies dapat dilihat pada sayatan sampel 8B.
6.2.2.1. Sampel LP 8B
Pada sayatan tipis sampel LP 8 B ini dapat dilihat kenampakan
allochem bioclast yang telah mengalami mikritisasi. Ini merupakan
120
karbonat atau micrite. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang
menjadi masa dasar padahal lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara
rongga butir sebagai semen. Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan
yang diakibatkan oleh berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan
batuan karbonat yang ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas
vuggy. Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas
sebesar 6,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan
di atas dapat dilihat pada foto 6.13.
(A) (B) (C)
Foto 6.13. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi
pada fase eogenesis,
(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase
mesogenesis hingga telogenesis,
(C)kenampakan porositas vuggy akibat pelarutan pada fase telogenesis,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8A(lihat lampiran 1.1).
6.2.2. Fase diagenesis mikrofasies wackestone with micirite and microspar
matrix
Mikrofasies ini dicirikan oleh allochem bioclast yang tidak begitu jelas
yang mengambang pada masa dasar berupa micrite dan microspar. Fase
diagenesis dari mikrofasies dapat dilihat pada sayatan sampel 8B.
6.2.2.1. Sampel LP 8B
Pada sayatan tipis sampel LP 8 B ini dapat dilihat kenampakan
allochem bioclast yang telah mengalami mikritisasi. Ini merupakan
121
indikasi bahwa batuan karbonat ini sempat menglami fase eogenesis
dimana terjadi modifikasi tekstur akibat aktivitas organisme sama halnya
dengan sampel LP 8A. Namun pada sampel ini jenis bioclast yang ada
sulit diidentifikasi akibat pengaruh kompaksi yang terjadi pada fase
mesogenesis marine. Ini dapat dilihat dari bentuk tepi bioclast yang
berbentuk sutured. Perubahan diagenetik berupa pembentukan microspar
dan pseudospar yang merupakan hasil neomorfisme agrading coalescive
dari lumpur karbonat atau micrite juga terjadi pada fase mesogenesis. Hal
ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang menjadi masa dasar padahal
lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara rongga butir sebagai semen.
Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan yang diakibatkan oleh
berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan batuan karbonat yang
ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas vuggy dan channel.
Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas sebesar
13,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas
dapat dilihat pada foto 6.14.
(A) (B) (C)
Foto 6.14. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi
pada fase eogenesis, bagian tepi dari bioclast berbentuk sutured akibat kompaksi
pada fase mesogenesis,
(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase
mesogenesis hingga telogenesis,
(C)kenampakan porositas channel akibat pelarutan pada fase telogenesis,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8B(lihat lampiran 1.2).
121
indikasi bahwa batuan karbonat ini sempat menglami fase eogenesis
dimana terjadi modifikasi tekstur akibat aktivitas organisme sama halnya
dengan sampel LP 8A. Namun pada sampel ini jenis bioclast yang ada
sulit diidentifikasi akibat pengaruh kompaksi yang terjadi pada fase
mesogenesis marine. Ini dapat dilihat dari bentuk tepi bioclast yang
berbentuk sutured. Perubahan diagenetik berupa pembentukan microspar
dan pseudospar yang merupakan hasil neomorfisme agrading coalescive
dari lumpur karbonat atau micrite juga terjadi pada fase mesogenesis. Hal
ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang menjadi masa dasar padahal
lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara rongga butir sebagai semen.
Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan yang diakibatkan oleh
berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan batuan karbonat yang
ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas vuggy dan channel.
Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas sebesar
13,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas
dapat dilihat pada foto 6.14.
(A) (B) (C)
Foto 6.14. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi
pada fase eogenesis, bagian tepi dari bioclast berbentuk sutured akibat kompaksi
pada fase mesogenesis,
(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase
mesogenesis hingga telogenesis,
(C)kenampakan porositas channel akibat pelarutan pada fase telogenesis,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8B(lihat lampiran 1.2).
121
indikasi bahwa batuan karbonat ini sempat menglami fase eogenesis
dimana terjadi modifikasi tekstur akibat aktivitas organisme sama halnya
dengan sampel LP 8A. Namun pada sampel ini jenis bioclast yang ada
sulit diidentifikasi akibat pengaruh kompaksi yang terjadi pada fase
mesogenesis marine. Ini dapat dilihat dari bentuk tepi bioclast yang
berbentuk sutured. Perubahan diagenetik berupa pembentukan microspar
dan pseudospar yang merupakan hasil neomorfisme agrading coalescive
dari lumpur karbonat atau micrite juga terjadi pada fase mesogenesis. Hal
ini dapat dilihat dari keberadaan spar yang menjadi masa dasar padahal
lazimnya spar hanya dapat terbentuk diantara rongga butir sebagai semen.
Lalu pada fase telogenesis terjadi pelarutan yang diakibatkan oleh
berubahnya komposisi air yang berinteraksi dengan batuan karbonat yang
ada. Hal ini menyebabkan berkembangnya porositas vuggy dan channel.
Dari perhitungan kualitatif terhadap porositas didapatkan porositas sebesar
13,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas
dapat dilihat pada foto 6.14.
(A) (B) (C)
Foto 6.14. (A)Kenampakan kerangka dari allochem coral yang telah mengalami mikritisasi
pada fase eogenesis, bagian tepi dari bioclast berbentuk sutured akibat kompaksi
pada fase mesogenesis,
(B)kenampakan pseudospar neomorfisme dari micrite yang terjadi saat fase
mesogenesis hingga telogenesis,
(C)kenampakan porositas channel akibat pelarutan pada fase telogenesis,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8B(lihat lampiran 1.2).
122
6.2.3. Fase diagenesis mikrofasies coral framestone with packstone matrix of
boundstone 1
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang
membentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat
material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis
terhadap sampel LP 8C akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase
diagenesis mikrofasies ini.
6.2.3.1. Sampel LP 8C
Pada sampel ini dapat dilihat kenampakan kerangka coral yang
mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic. Ini
mencirikan fase diagenesis eogenesis marine dimana biodegradasi terjadi
akibat pengaruh aktivitas organisme. Setelah itu pada saat fase
mesogenesis berupa marine burial terjadi pelarutan dan represipitasi kalsit
terhadap kerangka coral yang tidak mengalami mikritisasi. Ini dapat
dilihat dari kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi
rongga bekas pelarutan kerangka coral. Pada saat fase telogenesis terjadi
pelarutan mulai dari zona fresh phreatic hingga fresh vadose. Hal ini
menyebabkan terbentuknya porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa
kualitatif didapatkan porositas sebesar 11%. Kenampakan dari efek fase
diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.15.
(A) (B)
Foto 6.15. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga antar kerangka coral(garis putus-putus merah),
122
6.2.3. Fase diagenesis mikrofasies coral framestone with packstone matrix of
boundstone 1
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang
membentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat
material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis
terhadap sampel LP 8C akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase
diagenesis mikrofasies ini.
6.2.3.1. Sampel LP 8C
Pada sampel ini dapat dilihat kenampakan kerangka coral yang
mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic. Ini
mencirikan fase diagenesis eogenesis marine dimana biodegradasi terjadi
akibat pengaruh aktivitas organisme. Setelah itu pada saat fase
mesogenesis berupa marine burial terjadi pelarutan dan represipitasi kalsit
terhadap kerangka coral yang tidak mengalami mikritisasi. Ini dapat
dilihat dari kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi
rongga bekas pelarutan kerangka coral. Pada saat fase telogenesis terjadi
pelarutan mulai dari zona fresh phreatic hingga fresh vadose. Hal ini
menyebabkan terbentuknya porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa
kualitatif didapatkan porositas sebesar 11%. Kenampakan dari efek fase
diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.15.
(A) (B)
Foto 6.15. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga antar kerangka coral(garis putus-putus merah),
122
6.2.3. Fase diagenesis mikrofasies coral framestone with packstone matrix of
boundstone 1
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang
membentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat
material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis
terhadap sampel LP 8C akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase
diagenesis mikrofasies ini.
6.2.3.1. Sampel LP 8C
Pada sampel ini dapat dilihat kenampakan kerangka coral yang
mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic. Ini
mencirikan fase diagenesis eogenesis marine dimana biodegradasi terjadi
akibat pengaruh aktivitas organisme. Setelah itu pada saat fase
mesogenesis berupa marine burial terjadi pelarutan dan represipitasi kalsit
terhadap kerangka coral yang tidak mengalami mikritisasi. Ini dapat
dilihat dari kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi
rongga bekas pelarutan kerangka coral. Pada saat fase telogenesis terjadi
pelarutan mulai dari zona fresh phreatic hingga fresh vadose. Hal ini
menyebabkan terbentuknya porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa
kualitatif didapatkan porositas sebesar 11%. Kenampakan dari efek fase
diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.15.
(A) (B)
Foto 6.15. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga antar kerangka coral(garis putus-putus merah),
123
(B)terlihat juga porositas growth framework yang telah tereduksi akibat proses presipitasi spar ini(garis putus-putus hijau),
diambil dari foto sayatan tipis LP 8C(lihat lampiran 1.3).
6.2.4. Fase diagenesis mikrofasies platy coral bindstone 1 of boundstone 1
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan platy coral yang
mengikat atau melakukan aktivitas binding terhadap material sedimen
bersamaan dengan proses pengendapan. Untuk menjelaskan fase diagenesis dari
mikrofasies ini dilakukan analisa terhadap 2 sampel. Berikut akan dijelaskan
perkembangan fase diagenesis dari 2 sampel terebut mulai dari yang paling tua.
6.2.4.1. Sampel LP 8D
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis terjadi aktivitas organisme
endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast.
Perkembangan dari aktivitas organisme ini kemudian membentuk micrite
envelope. Selanjutnya pada fase mesogenesis terjadi kompaksi sehingga
kerangka dari platy coral mulai terdeformasi. Pelarutan juga mulai terjadi
pada kerangka organisme dan juga lumpur karbonat. Hasil pelarutan ini
kemudain terpresipitasi kembali sehingga membentuk microspar atau
sering juga disebut sebagai proses neomorfisme agrading coalescive.
Pelarutan terhadap kerangka terus terjadi hingga fase telogenesis, kendati
demikian micrite envelope bisa tetap terpreservasi akibat mineraloginya
yang cenderung lebih stabil. Pada fase telogenesis yaitu pada zona
phreatic terjadi presipitasi sparite pada rongga hasil pelarutan terhadap
kerangka organisme platy coral. Hal ini dapat dilihat dari bentuk sparite
yang berbentuk blocky dan berukuran relatif besar. Ini mencirikan Kristal
kalsit yang dipresipitasikan oleh air tawar yang memiliki rasio Mg/Ca
rendah. Lalu pada zona vadose terjadi pelarutan akibat interaksi dengan air
yang kaya dengan CO2 sehingga membentuk porositas vuggy.
Berdasarkan hasil analisa kuantitatif didapatkan nilai porositas sebesar
5,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas
dapat dilihat pada foto 6.16.
124
(A) (B) (C)
Foto 6.16. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang memiliki micrite envelope pada bagian tepi,
(B) terbentuk pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga hasil pelarutan kerangka platy coral,
(C) kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8D(lihat lampiran 1.4).
6.2.4.2. Sampel LP 8E
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis terjadi aktivitas organisme
endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast.
Perkembangan dari aktivitas organisme ini kemudian membentuk micrite
envelope. Pada kebanyakan kerangka bahkan akitivitas boring ini sangat
intensif sehingga seluruh tubuh kerangka digantikan oleh micrite.
Selanjutnya pada fase mesogenesis terjadi kompaksi sehingga kerangka
dari platy coral mulai terdeformasi. Hal ini dapat dilihat dari kenampakan
fracture pada sayatan. Fracture ini kemudian terisi oleh sparite yang
dipresipitasikan masih pada fase mesogenesis. Pelarutan juga mulai terjadi
pada kerangka organisme dan juga lumpur karbonat. Hasil pelarutan ini
kemudain terpresipitasi kembali sehingga membentuk microspar atau
sering juga disebut sebagai proses neomorfisme agrading coalescive.
Pelarutan terhadap kerangka terus terjadi hingga fase telogenesis, kendati
demikian micrite envelope bisa tetap terpreservasi akibat mineraloginya
yang cenderung lebih stabil. Sedangkan kerangka yang sepenuhnya
mengalami mikritisasi mengalami pelarutan parsial. Pada fase telogenesis
yaitu pada zona phreatic terjadi presipitasi sparite pada rongga hasil
124
(A) (B) (C)
Foto 6.16. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang memiliki micrite envelope pada bagian tepi,
(B) terbentuk pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga hasil pelarutan kerangka platy coral,
(C) kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8D(lihat lampiran 1.4).
6.2.4.2. Sampel LP 8E
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis terjadi aktivitas organisme
endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast.
Perkembangan dari aktivitas organisme ini kemudian membentuk micrite
envelope. Pada kebanyakan kerangka bahkan akitivitas boring ini sangat
intensif sehingga seluruh tubuh kerangka digantikan oleh micrite.
Selanjutnya pada fase mesogenesis terjadi kompaksi sehingga kerangka
dari platy coral mulai terdeformasi. Hal ini dapat dilihat dari kenampakan
fracture pada sayatan. Fracture ini kemudian terisi oleh sparite yang
dipresipitasikan masih pada fase mesogenesis. Pelarutan juga mulai terjadi
pada kerangka organisme dan juga lumpur karbonat. Hasil pelarutan ini
kemudain terpresipitasi kembali sehingga membentuk microspar atau
sering juga disebut sebagai proses neomorfisme agrading coalescive.
Pelarutan terhadap kerangka terus terjadi hingga fase telogenesis, kendati
demikian micrite envelope bisa tetap terpreservasi akibat mineraloginya
yang cenderung lebih stabil. Sedangkan kerangka yang sepenuhnya
mengalami mikritisasi mengalami pelarutan parsial. Pada fase telogenesis
yaitu pada zona phreatic terjadi presipitasi sparite pada rongga hasil
124
(A) (B) (C)
Foto 6.16. (A) Kenampakan kerangka platy coral yang memiliki micrite envelope pada bagian tepi,
(B) terbentuk pada fase eogenesis, kenampakan spar berbentuk drusy mosaic yang mengisi rongga hasil pelarutan kerangka platy coral,
(C) kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8D(lihat lampiran 1.4).
6.2.4.2. Sampel LP 8E
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis terjadi aktivitas organisme
endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari bioclast.
Perkembangan dari aktivitas organisme ini kemudian membentuk micrite
envelope. Pada kebanyakan kerangka bahkan akitivitas boring ini sangat
intensif sehingga seluruh tubuh kerangka digantikan oleh micrite.
Selanjutnya pada fase mesogenesis terjadi kompaksi sehingga kerangka
dari platy coral mulai terdeformasi. Hal ini dapat dilihat dari kenampakan
fracture pada sayatan. Fracture ini kemudian terisi oleh sparite yang
dipresipitasikan masih pada fase mesogenesis. Pelarutan juga mulai terjadi
pada kerangka organisme dan juga lumpur karbonat. Hasil pelarutan ini
kemudain terpresipitasi kembali sehingga membentuk microspar atau
sering juga disebut sebagai proses neomorfisme agrading coalescive.
Pelarutan terhadap kerangka terus terjadi hingga fase telogenesis, kendati
demikian micrite envelope bisa tetap terpreservasi akibat mineraloginya
yang cenderung lebih stabil. Sedangkan kerangka yang sepenuhnya
mengalami mikritisasi mengalami pelarutan parsial. Pada fase telogenesis
yaitu pada zona phreatic terjadi presipitasi sparite pada rongga hasil
125
pelarutan terhadap kerangka organisme platy coral. Hal ini dapat dilihat
dari bentuk sparite yang berbentuk blocky dan berukuran relatif besar. Ini
mencirikan Kristal kalsit yang dipresipitasikan oleh air tawar yang
memiliki rasio Mg/Ca rendah. Lalu pada zona vadose terjadi pelarutan
akibat interaksi dengan air yang kaya dengan CO2 sehingga membentuk
porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa kuantitatif didapatkan nilai
porositas sebesar 8,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah
dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.17.
Foto 6.17. (A)Kenampakan kerangka platy coral yang telah termikritisasi dan sebagian
mengalami neomorfisme parsial, terbnetuk pada fase eogenesis,
(B)kekar akibat pengaruh kompaksi yang kemudian terisi oleh spar berbentuk
drusy mosaic, terjadi fase mesogenesis,
(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase
telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8E(lihat lampiran 1.5).
6.2.5. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coraline framestone with diverse
organism packstone of boundstone 1.
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang
memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat
material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis
terhadap sampel LP 11A akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase
diagenesis mikrofasies ini.
125
pelarutan terhadap kerangka organisme platy coral. Hal ini dapat dilihat
dari bentuk sparite yang berbentuk blocky dan berukuran relatif besar. Ini
mencirikan Kristal kalsit yang dipresipitasikan oleh air tawar yang
memiliki rasio Mg/Ca rendah. Lalu pada zona vadose terjadi pelarutan
akibat interaksi dengan air yang kaya dengan CO2 sehingga membentuk
porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa kuantitatif didapatkan nilai
porositas sebesar 8,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah
dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.17.
Foto 6.17. (A)Kenampakan kerangka platy coral yang telah termikritisasi dan sebagian
mengalami neomorfisme parsial, terbnetuk pada fase eogenesis,
(B)kekar akibat pengaruh kompaksi yang kemudian terisi oleh spar berbentuk
drusy mosaic, terjadi fase mesogenesis,
(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase
telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8E(lihat lampiran 1.5).
6.2.5. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coraline framestone with diverse
organism packstone of boundstone 1.
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang
memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat
material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis
terhadap sampel LP 11A akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase
diagenesis mikrofasies ini.
125
pelarutan terhadap kerangka organisme platy coral. Hal ini dapat dilihat
dari bentuk sparite yang berbentuk blocky dan berukuran relatif besar. Ini
mencirikan Kristal kalsit yang dipresipitasikan oleh air tawar yang
memiliki rasio Mg/Ca rendah. Lalu pada zona vadose terjadi pelarutan
akibat interaksi dengan air yang kaya dengan CO2 sehingga membentuk
porositas vuggy. Berdasarkan hasil analisa kuantitatif didapatkan nilai
porositas sebesar 8,8%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah
dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.17.
Foto 6.17. (A)Kenampakan kerangka platy coral yang telah termikritisasi dan sebagian
mengalami neomorfisme parsial, terbnetuk pada fase eogenesis,
(B)kekar akibat pengaruh kompaksi yang kemudian terisi oleh spar berbentuk
drusy mosaic, terjadi fase mesogenesis,
(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase
telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 8E(lihat lampiran 1.5).
6.2.5. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coraline framestone with diverse
organism packstone of boundstone 1.
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang
memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat
material sedimen karboant bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis
terhadap sampel LP 11A akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase
diagenesis mikrofasies ini.
126
6.2.5.1. Sampel LP 10A
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi
dari bioclast. Akibat aktivitas organisme ini terbentuk micritic envelope
yang nantinya akan bersifat resistan terhadap pelarutan. Pada saat fase
mesogenesis berupa burial terjadi kompaksi dan presipitasi sparite
berbentuk drusy mosaic pada rongga kerangka coral. Hal ini menyebabkan
berkurang bahkan hilangnya porositas growth framework dari batuan ini.
Pada saat fase telogenesis pada zona fresh vadose zone terjadi pelarutan
dan represipitasi kalsit sehingga kerangka coral digantikan oleh kalsit
yang berbentuk blocky mosaic.
Pada sayatan dari sampel yang diambil dari matriks pengisi coral
framestone yaitu berupa red algae packstone sejarah perkembangan
diagenesis juga dapat teramati dengan cukup baik. Pada fase eogenesis
marine terjadi mikritisasi terhadap allochem bioclast seperti foraminifera
akibat pengaruh aktivitas organisme endolithic. Selain itu juga terjadi
pembentukan sparite dengan morfologi fibrous rims yang dapat diamati
pada beberapa bioclast algae. Setelah itu pada fase mesogenesis berupa
marine burial terjadi kompaksi sehingga beberapa butiran karbonat
terdeformasi dan tidak utuh lagi. Selain itu terjadi juga pembentukan
sparite berbentuk bladed rims yang dapat diamati dengan baik pada
bioclast foraminifera. Pada fase ini proses neomorfisme juga mulai terjadi
sehingga sebagian micrite terubahkan menjadi microspar. Pada fase
telogenesis yaitu pada zona phreatic dan zona vadose terjadi pelarutan
sehingga terbentuk porositas vuggy. Dari perhitungan kualitatif didapatkan
porositas sebesar 31,2%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah
dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.18
127
Foto 6.18. (A) Kenampakan sparite dengan bentuk fibrous pada bagian tepi red algae,
terbentuk pada fase eogenesis,
(B) foraminifera yang termikritisasi pada fase eogenesis(garis putus-putus
merah), kemudian terbentuk sparite bladed rims pada fase mesogenesis(garis
putus-putus hijau), kemudian pada fase telogenesis terpresipitasi spar dengan
bentuk blocky(garis putus-putus kuning),
(C) kenampakan porositas intraparticle yang telah tereduksi akibat presipitasi
spar pada fase telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10A(lihat lampiran 1.6)
6.2.6. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies algae bindstone of boundstone 1
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan algae yang
melakukan aktivitas binding terhadap lumpur karbonat secara terus menerus.
Analisis terhadap sampel LP 10B akan dilakukan untuk menjelaskan
perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.
6.2.6.1. Sampel LP 10B
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi
dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme yang intensif ini terjadi
mikritisasi terhadap kerangka algae. Selanjutnya pada fase mesogenesis
akibat perubahan keadaan kimia fluida air yang berinteraksi dengan batuan
karbonat maka memicu terjadinya neomorfisme agrading coalescive.
Proses ini menyebabkan lumpur karbonat sebagian terubahkan menjadi
microspar. Kemudian pada saat fase telogenesis pada zona fresh phreatic
127
Foto 6.18. (A) Kenampakan sparite dengan bentuk fibrous pada bagian tepi red algae,
terbentuk pada fase eogenesis,
(B) foraminifera yang termikritisasi pada fase eogenesis(garis putus-putus
merah), kemudian terbentuk sparite bladed rims pada fase mesogenesis(garis
putus-putus hijau), kemudian pada fase telogenesis terpresipitasi spar dengan
bentuk blocky(garis putus-putus kuning),
(C) kenampakan porositas intraparticle yang telah tereduksi akibat presipitasi
spar pada fase telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10A(lihat lampiran 1.6)
6.2.6. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies algae bindstone of boundstone 1
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan algae yang
melakukan aktivitas binding terhadap lumpur karbonat secara terus menerus.
Analisis terhadap sampel LP 10B akan dilakukan untuk menjelaskan
perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.
6.2.6.1. Sampel LP 10B
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi
dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme yang intensif ini terjadi
mikritisasi terhadap kerangka algae. Selanjutnya pada fase mesogenesis
akibat perubahan keadaan kimia fluida air yang berinteraksi dengan batuan
karbonat maka memicu terjadinya neomorfisme agrading coalescive.
Proses ini menyebabkan lumpur karbonat sebagian terubahkan menjadi
microspar. Kemudian pada saat fase telogenesis pada zona fresh phreatic
127
Foto 6.18. (A) Kenampakan sparite dengan bentuk fibrous pada bagian tepi red algae,
terbentuk pada fase eogenesis,
(B) foraminifera yang termikritisasi pada fase eogenesis(garis putus-putus
merah), kemudian terbentuk sparite bladed rims pada fase mesogenesis(garis
putus-putus hijau), kemudian pada fase telogenesis terpresipitasi spar dengan
bentuk blocky(garis putus-putus kuning),
(C) kenampakan porositas intraparticle yang telah tereduksi akibat presipitasi
spar pada fase telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10A(lihat lampiran 1.6)
6.2.6. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies algae bindstone of boundstone 1
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan algae yang
melakukan aktivitas binding terhadap lumpur karbonat secara terus menerus.
Analisis terhadap sampel LP 10B akan dilakukan untuk menjelaskan
perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.
6.2.6.1. Sampel LP 10B
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi
dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme yang intensif ini terjadi
mikritisasi terhadap kerangka algae. Selanjutnya pada fase mesogenesis
akibat perubahan keadaan kimia fluida air yang berinteraksi dengan batuan
karbonat maka memicu terjadinya neomorfisme agrading coalescive.
Proses ini menyebabkan lumpur karbonat sebagian terubahkan menjadi
microspar. Kemudian pada saat fase telogenesis pada zona fresh phreatic
128
dan fresh vadose terjadi pelarutan sehingga terbentuk porositas vuggy.
Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar
14,2%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas
dapat dilihat pada foto 6.19.
Foto 6.19. (A)Kenampakan kerangka algae yang telah termikritisasi sebagian terbentuk pada fase eogenesis,
(B) kenampakan microspar hasil neomorfisme agrading coalescive, terjadi fase mesogenesis,
(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10B(lihat lampiran 1.6).
6.2.7.Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone
of boundstone 1.
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan dasycladaceae algae yang
melakukan aktivitas baffling sehingga material sedimen berupa lumpur karbonat
di traping dan terendapkan secara bersamaan. Analisis terhadap sampel LP 10C
akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies
ini.
6.2.7.1. Sampel LP 10C
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi
dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme ini terbentuk micritic
envelope di sekitar bagian tepi dari pecahan cangkang organisme.
128
dan fresh vadose terjadi pelarutan sehingga terbentuk porositas vuggy.
Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar
14,2%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas
dapat dilihat pada foto 6.19.
Foto 6.19. (A)Kenampakan kerangka algae yang telah termikritisasi sebagian terbentuk pada fase eogenesis,
(B) kenampakan microspar hasil neomorfisme agrading coalescive, terjadi fase mesogenesis,
(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10B(lihat lampiran 1.6).
6.2.7.Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone
of boundstone 1.
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan dasycladaceae algae yang
melakukan aktivitas baffling sehingga material sedimen berupa lumpur karbonat
di traping dan terendapkan secara bersamaan. Analisis terhadap sampel LP 10C
akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies
ini.
6.2.7.1. Sampel LP 10C
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi
dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme ini terbentuk micritic
envelope di sekitar bagian tepi dari pecahan cangkang organisme.
128
dan fresh vadose terjadi pelarutan sehingga terbentuk porositas vuggy.
Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar
14,2%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas
dapat dilihat pada foto 6.19.
Foto 6.19. (A)Kenampakan kerangka algae yang telah termikritisasi sebagian terbentuk pada fase eogenesis,
(B) kenampakan microspar hasil neomorfisme agrading coalescive, terjadi fase mesogenesis,
(C)kenampakan porositas vuggy yang terbentuk akibat pelarutan pada fase telogenesis ,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10B(lihat lampiran 1.6).
6.2.7.Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies dasycladaceae algae bafflestone
of boundstone 1.
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan dasycladaceae algae yang
melakukan aktivitas baffling sehingga material sedimen berupa lumpur karbonat
di traping dan terendapkan secara bersamaan. Analisis terhadap sampel LP 10C
akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies
ini.
6.2.7.1. Sampel LP 10C
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi
dari bioclast. Akibat dari aktivitas organisme ini terbentuk micritic
envelope di sekitar bagian tepi dari pecahan cangkang organisme.
129
Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial terjadi kompaksi
sehingga kerangka dari algae mengalami deformasi bahkan sampai ada
yang terkekarkan. Pada fase ini juga terjadi pelarutan dari beberapa
kerangka organisme yang bersifat tidak resistan dan dilanjutkan oleh
presipitasi spar berbentuk drusy mosaic. Kemudian pada fase telogenesis
baik di zona fresh vadose dan fresh phreatic terjadi pelarutan sehingga
terbentuk porositas vuggy. Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan
nilai porositas sebesar 8,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang
telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.20.
Foto 6.20. Kenampakan kerangka dasycladaceae algae yang mengalami boring oleh
organisme endolithic pada fase eogenesis, kenampakan kerangka dasycladaceae algae ini juga telah tedeformasi akibat kompaksi pada fase mesogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 10C(lihat lampiran 1.7).
6.2.8. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coral framestone with red algae
packstone of boundstone 1.
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang
memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat
material sedimen karbonat bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis
terhadap sampel LP 10D akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase
diagenesis mikrofasies ini.
129
Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial terjadi kompaksi
sehingga kerangka dari algae mengalami deformasi bahkan sampai ada
yang terkekarkan. Pada fase ini juga terjadi pelarutan dari beberapa
kerangka organisme yang bersifat tidak resistan dan dilanjutkan oleh
presipitasi spar berbentuk drusy mosaic. Kemudian pada fase telogenesis
baik di zona fresh vadose dan fresh phreatic terjadi pelarutan sehingga
terbentuk porositas vuggy. Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan
nilai porositas sebesar 8,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang
telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.20.
Foto 6.20. Kenampakan kerangka dasycladaceae algae yang mengalami boring oleh
organisme endolithic pada fase eogenesis, kenampakan kerangka dasycladaceae algae ini juga telah tedeformasi akibat kompaksi pada fase mesogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 10C(lihat lampiran 1.7).
6.2.8. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coral framestone with red algae
packstone of boundstone 1.
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang
memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat
material sedimen karbonat bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis
terhadap sampel LP 10D akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase
diagenesis mikrofasies ini.
129
Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial terjadi kompaksi
sehingga kerangka dari algae mengalami deformasi bahkan sampai ada
yang terkekarkan. Pada fase ini juga terjadi pelarutan dari beberapa
kerangka organisme yang bersifat tidak resistan dan dilanjutkan oleh
presipitasi spar berbentuk drusy mosaic. Kemudian pada fase telogenesis
baik di zona fresh vadose dan fresh phreatic terjadi pelarutan sehingga
terbentuk porositas vuggy. Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan
nilai porositas sebesar 8,6%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang
telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto 6.20.
Foto 6.20. Kenampakan kerangka dasycladaceae algae yang mengalami boring oleh
organisme endolithic pada fase eogenesis, kenampakan kerangka dasycladaceae algae ini juga telah tedeformasi akibat kompaksi pada fase mesogenesis, diambil dari foto sayatan tipis LP 10C(lihat lampiran 1.7).
6.2.8. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies coral framestone with red algae
packstone of boundstone 1.
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan massive head coral yang
memebentuk struktur framework yang tahan gelombang dan kemudian mengikat
material sedimen karbonat bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis
terhadap sampel LP 10D akan dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase
diagenesis mikrofasies ini.
130
6.2.8.1. Sampel LP 10D
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari
bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan
terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka coral yang
terlihat pada sayatan. Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial
proses presipitasi spar berbentuk drusy mosaic pada rongga coral. Hingga
fase telogenesis proses presipitasi ini terus berlangsung didukung oleh
pelarutan dan represipitasi dari fluida hasil pelarutan. Akibatnya selain spar
berbentuk drusy juga ditemukan spar berbentuk blocky. Berdasarkan
perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 7,8%. Kenampakan
dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto
6.21.
(A) (B)
Foto 6.21. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,
(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, porositas growth framework yang telah tereduksi akibat presipitasi spar pada rongga antar kerangka coral,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10D(lihat lampiran 1.8).
6.2.9. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies platy coral bindstone 2 of
boundstone 1.
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan platy coral yang
mengikat atau melakukan aktivitas binding terhadap material sedimen
130
6.2.8.1. Sampel LP 10D
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari
bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan
terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka coral yang
terlihat pada sayatan. Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial
proses presipitasi spar berbentuk drusy mosaic pada rongga coral. Hingga
fase telogenesis proses presipitasi ini terus berlangsung didukung oleh
pelarutan dan represipitasi dari fluida hasil pelarutan. Akibatnya selain spar
berbentuk drusy juga ditemukan spar berbentuk blocky. Berdasarkan
perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 7,8%. Kenampakan
dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto
6.21.
(A) (B)
Foto 6.21. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,
(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, porositas growth framework yang telah tereduksi akibat presipitasi spar pada rongga antar kerangka coral,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10D(lihat lampiran 1.8).
6.2.9. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies platy coral bindstone 2 of
boundstone 1.
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan platy coral yang
mengikat atau melakukan aktivitas binding terhadap material sedimen
130
6.2.8.1. Sampel LP 10D
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari
bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan
terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka coral yang
terlihat pada sayatan. Kemudian fase mesogenesis marine berupa burial
proses presipitasi spar berbentuk drusy mosaic pada rongga coral. Hingga
fase telogenesis proses presipitasi ini terus berlangsung didukung oleh
pelarutan dan represipitasi dari fluida hasil pelarutan. Akibatnya selain spar
berbentuk drusy juga ditemukan spar berbentuk blocky. Berdasarkan
perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 7,8%. Kenampakan
dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat dilihat pada foto
6.21.
(A) (B)
Foto 6.21. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,
(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, porositas growth framework yang telah tereduksi akibat presipitasi spar pada rongga antar kerangka coral,
diambil dari foto sayatan tipis LP 10D(lihat lampiran 1.8).
6.2.9. Fase diagenesis mikrofasies mikrofasies platy coral bindstone 2 of
boundstone 1.
Mikrofasies ini dicirikan oleh kenampakan jalinan platy coral yang
mengikat atau melakukan aktivitas binding terhadap material sedimen
131
bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis terhadap sampel LP 13A akan
dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.
6.2.9.1. Sampel LP 13A
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari
bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan
terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka platy coral.
Pada saat fase mesogenesis berupa marine burial terjadi presipitasi spar
berbentuk drusy mosaic. Kerangka coral yang tidak sepenuhnya
termikritisasi mengalami neomorfisme agrading coalescive. Pada saat fase
telogenesis baik pada zona fresh vadose dan fresh phreatic presipitasi spar
terus berlangsung sehingga dijumpai spar dengan morfologi blocky mosaic.
Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 11,4
%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat
dilihat pada foto 6.22.
Foto 6.22. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,
(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, neomorfisme agrading coalescive bersifat parsial pada kerangka coral yang telah termikritisasi, terjadi pada fase mesogenesis,
diambil dari foto sayatan tipis LP 13A(lihat lampiran 1.9).
131
bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis terhadap sampel LP 13A akan
dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.
6.2.9.1. Sampel LP 13A
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari
bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan
terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka platy coral.
Pada saat fase mesogenesis berupa marine burial terjadi presipitasi spar
berbentuk drusy mosaic. Kerangka coral yang tidak sepenuhnya
termikritisasi mengalami neomorfisme agrading coalescive. Pada saat fase
telogenesis baik pada zona fresh vadose dan fresh phreatic presipitasi spar
terus berlangsung sehingga dijumpai spar dengan morfologi blocky mosaic.
Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 11,4
%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat
dilihat pada foto 6.22.
Foto 6.22. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,
(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, neomorfisme agrading coalescive bersifat parsial pada kerangka coral yang telah termikritisasi, terjadi pada fase mesogenesis,
diambil dari foto sayatan tipis LP 13A(lihat lampiran 1.9).
131
bersamaan dengan proses pengendapan. Analisis terhadap sampel LP 13A akan
dilakukan untuk menjelaskan perkembangan fase diagenesis mikrofasies ini.
6.2.9.1. Sampel LP 13A
Pada sampel ini perkembangan fase diagenesis dapat teramati
dengan cukup baik. Pada saat fase eogenesis marine terjadi aktivitas
organisme endolithic yang melakukan aktivitas boring pada bagian tepi dari
bioclast. Aktivitas boring yang dilakukan terus menerus ini mengakibatkan
terjadinya mikritisasi pada hampir sebagian besar kerangka platy coral.
Pada saat fase mesogenesis berupa marine burial terjadi presipitasi spar
berbentuk drusy mosaic. Kerangka coral yang tidak sepenuhnya
termikritisasi mengalami neomorfisme agrading coalescive. Pada saat fase
telogenesis baik pada zona fresh vadose dan fresh phreatic presipitasi spar
terus berlangsung sehingga dijumpai spar dengan morfologi blocky mosaic.
Berdasarkan perhitungan kualitatif didapatkan nilai porositas sebesar 11,4
%. Kenampakan dari efek fase diagenesis yang telah dijelaskan di atas dapat
dilihat pada foto 6.22.
Foto 6.22. (A)Kenampakan kerangka coral yang telah mengalami mikritisasi akibat aktivitas organisme endolithic pada fase eogenesis,
(B)dapat terlihat juga spar berbentuk drusy mosaic yang terbentuk pada fase mesogenesis, neomorfisme agrading coalescive bersifat parsial pada kerangka coral yang telah termikritisasi, terjadi pada fase mesogenesis,
diambil dari foto sayatan tipis LP 13A(lihat lampiran 1.9).
132
BAB 7
POTENSI GEOLOGI
Potensi Geologi yang ditemukan di daerah telitian mencakup potensi positif
dan potensi negatif. Potensi geologi bersifat positif memiliki pengertian segala
bentuk manfaat dari produk hasil proses-proses geologi yang dijumpai di alam.
Potensi geologi bersifat negatif sendiri memiliki pengertian segala bentuk
permasalahan yang ditimbulkan oleh segala bentuk gejala atau proses geologi yang
dijumpai di alam. Penjabaran potensi geologi positif dan negatif ini bertujuan untuk
memberikan wawasan kepada masyarakat sehingga dapat mengantisipasi sekaligus
memanfaatkan aspek-aspek di alam yang merupakan hasil dari suatu rangkaian
proses geologi.
7.1. Potensi Geologi Bersifat Positif
7.1.1. Batugamping pasiran
Bahan galian batugamping pasiran ini mempunyai penyebaran yang cukup
luas mencapai 11% dari seluruh luas daerah penelitian yang merupakan salah satu
jenis batugamping pada Formasi Sentolo. Batugamping pasiran ini dapat
digunakan sebagai bahan pondasi rumah, alas rumah, bahan pengganti batubata
dan juga perabotan rumah tangga.
Secara ekonomis bahan galian tersebut kurang menguntungkan sehingga
tidak dijumpai penambangan dalam skala besar, tetapi merupakan penambangan
rakyat dalam skala industri rumah tangga.
133
Foto 7.1. Lokasi tambang batugamping pasiran yang dikelola oleh masyarakat sekitar.
Foto diambil di dekat LP 99 dengan arah kamera N 0560 E
7.1.2. Objek wisata gua
Gua memiliki pengertian ruang bawah tanah bersifat alamiah yang memiliki
ukuran cukup besar sehingga dapat dimasuki oleh manusia. Keberadaan gua di
daerah telitian berkaitan erat dengan proses-proses geologi. Gua yang terdapat di
daerah telitian dinamakan Gua Sriti oleh warga setempat. Gua ini memiliki
panorama yang indah dank has dengan keberadaan stalaktit, stalakmit, dan pilar di
dalam gua. Gua ini sendiri terbentuk proses geologi berupa pelarutan pada batu
gamping akibat pengaruh berubahnya lingkungan diagenesis dari suatu batu
gamping. Proses pelarutan yang dapat menghasilkan ruang begitu besar ini
biasanya didukun oleh proses-proses geologi lain seperti pengkekaran. Di dalam
gua saat terjadi sirkulasi air yang baik maka akan terjadi presipitasi karbonat
berupa travertin yang membentuk stalaktit, stalakmit, dan pilar.
134
Foto 7.2. Lokasi Gua Sriti yang dijadikan objek wisata oleh warga setempat. Foto diambil
pada LP 22 dengan arah kamera N 0500 E.
7.2. Potensi Geologi Bersifat Negatif
7.2.1. Longsor
Longsor merupakan pertistiwa yang terjadi saat pergerakan masa batuan
atau tanah berimplikasi pada kerusakan atau kerugian bagi manusia yang ada di
sekitarnya. Mass transport process dapat dibagi berdasarkan sifat mekanikal dari
material yang tertransport dan mekanisme transport serta material sedimen
pendukung. Material dengan sifat mekanikal elastik cenderung akan mengalami
rock fall, glide, atau slump. Pada LP 36 dijumpai longsor dengan tipe pergerakan
masa rock fall dimana material yang mengalami rock fall adalah breksi monomik.
Dominasi material berukuran kasar dan tidak hadirnya indikasi bidang gelincir
menguatkan intrepertasi bahwa gerakan masa batuannya bertipe rock fall.
Diperkirakan hal ini disebabkan oleh faktor iklim dengan curah hujan tinggi
sehingga menyebabkan daya kohesivitas matriks yang mengikat fragmen-fragmen
batuan menjadi berkurang sehingaa memicu terjadinya rock fall.
134
Foto 7.2. Lokasi Gua Sriti yang dijadikan objek wisata oleh warga setempat. Foto diambil
pada LP 22 dengan arah kamera N 0500 E.
7.2. Potensi Geologi Bersifat Negatif
7.2.1. Longsor
Longsor merupakan pertistiwa yang terjadi saat pergerakan masa batuan
atau tanah berimplikasi pada kerusakan atau kerugian bagi manusia yang ada di
sekitarnya. Mass transport process dapat dibagi berdasarkan sifat mekanikal dari
material yang tertransport dan mekanisme transport serta material sedimen
pendukung. Material dengan sifat mekanikal elastik cenderung akan mengalami
rock fall, glide, atau slump. Pada LP 36 dijumpai longsor dengan tipe pergerakan
masa rock fall dimana material yang mengalami rock fall adalah breksi monomik.
Dominasi material berukuran kasar dan tidak hadirnya indikasi bidang gelincir
menguatkan intrepertasi bahwa gerakan masa batuannya bertipe rock fall.
Diperkirakan hal ini disebabkan oleh faktor iklim dengan curah hujan tinggi
sehingga menyebabkan daya kohesivitas matriks yang mengikat fragmen-fragmen
batuan menjadi berkurang sehingaa memicu terjadinya rock fall.
134
Foto 7.2. Lokasi Gua Sriti yang dijadikan objek wisata oleh warga setempat. Foto diambil
pada LP 22 dengan arah kamera N 0500 E.
7.2. Potensi Geologi Bersifat Negatif
7.2.1. Longsor
Longsor merupakan pertistiwa yang terjadi saat pergerakan masa batuan
atau tanah berimplikasi pada kerusakan atau kerugian bagi manusia yang ada di
sekitarnya. Mass transport process dapat dibagi berdasarkan sifat mekanikal dari
material yang tertransport dan mekanisme transport serta material sedimen
pendukung. Material dengan sifat mekanikal elastik cenderung akan mengalami
rock fall, glide, atau slump. Pada LP 36 dijumpai longsor dengan tipe pergerakan
masa rock fall dimana material yang mengalami rock fall adalah breksi monomik.
Dominasi material berukuran kasar dan tidak hadirnya indikasi bidang gelincir
menguatkan intrepertasi bahwa gerakan masa batuannya bertipe rock fall.
Diperkirakan hal ini disebabkan oleh faktor iklim dengan curah hujan tinggi
sehingga menyebabkan daya kohesivitas matriks yang mengikat fragmen-fragmen
batuan menjadi berkurang sehingaa memicu terjadinya rock fall.
135
Foto 7.2. kenampakan pergerakan tanah berupa rock fall di pinggir jalan. Foto diambil pada
LP 35 dengan arah kamera N 0780 E.
135
Foto 7.2. kenampakan pergerakan tanah berupa rock fall di pinggir jalan. Foto diambil pada
LP 35 dengan arah kamera N 0780 E.
135
Foto 7.2. kenampakan pergerakan tanah berupa rock fall di pinggir jalan. Foto diambil pada
LP 35 dengan arah kamera N 0780 E.
136
BAB 8
KESIMPULAN
1) Geomorfologi daearah penelitian dibedakan menjadi dua satuan bentuk asal,
yaitu bentuk asal fluvial dengan bentuk lahan berupa dataran aluvial (F1), dan
tubuh sungai(F2) serta bentuk asal struktural dengan bentuk lahan berupa
perbukitan homoklin (S1), dan lembah homoklin(S2).
2) Stratigrafi yang ada di daerah penelitian dibagi menjadi lima satuan batuan
berdasarkan kesamaan ciri fisik batuan penyusun dan umur, serta dalam
penamaannya di sebandingkan berdasarkan peneliti terdahulu, dengan urutan dari
yang paling tua adalah Satuan breksi-monomik Kaligesing, Satuan breksi-
polimik Dukuh, Satuan batugamping-terumbu Jonggrangan, Satuan
batugamping-pasiran Sentolo, dan Satuan endapan alluvial. Juga terdapat satu
satuan litodemik berupa Satuan litodemik andesit intrusi-Tetes.
3) Struktur geologi yang dijumpai di daerah telitian adalah sesar mendatar kanan
dengan nama normal right slip fault(Rickard, 1972). Selain itu juga dijumpai
kekar-kekar..
4) Berdasarkan analisis mikrofasies terhadap satuan batugamping-terumbu
Jonggrangan jenis mikrofasies yang muncul di daerah telitian adalah coral
floatstone with microspar dominated matrix, wackestone with micirite and
microspar matrix 1, Boundstone 1( terdiri atas coral framestone with packstone
matrix , platy coral bindstone 1, coraline framestone with diverse organism
packstone, algae bindstone, dasycladaceae algae bafflestone, coral framestone
with red algae packstone, dan platy coral bindstone 2), lepidocyclina wackestone
to packstone with micirite matrix, Boundstone 2(Coral framestone with
wackestone matrix), dan wackestone with micirite and microspar matrix 2.
5) Fase Stabilization diwakili oleh mikrofasies coral floatstone with microspar
dominated matrix, wackestone with micirite and microspar matrix 1. Fase
Colonization diwakili oleh mikrofasies coral framestone with packstone matrix of
boundstone 1 , platy coral bindstone 1 of boundstone 1. Fase Diversification
diwakili oleh mikrofasies coraline framestone with diverse organism packstone
137
of boundstone 1, algae bindstone, dasycladaceae algae bafflestone of boundstone
1, dan coral framestone with red algae packstone of boundstone 1. Sedangkan
fase Domination diwakili oleh mikrofasies platy coral bindstone 2 of boundstone
1.
6) Fase diagenesis dari satuan batugamping-terumbu Jonggrangan cukup kompleks
dan mencakup fase eogenesis, mesogenesis, dan telogenesis. Intensitas dari
proses diagenesis ini dikontrol oleh beberapa faktor salah satunya adalah aspek
fasies.
7) Potensi geologi daerah telitian yang bersifat yaitu berupa bahan galian golongan
C, berupa batugamping pasiran yang biasa digunakan oleh masyarakat sebagai
bahan pondasi rumah, alas rumah, bahan pengganti batubata dan juga perabotan
rumah tangga. Selain itu potensi positif juga dapat dijumpai melalui pemanfaatan
gua hasil pelarutan batugamping sebagai objek wisata. Sedangkan potensi
geologi bersifat negatif adalah dijumpainya gerakan tanah berupa rock fall.
138
DAFTAR PUSTAKA
Boggs Jr., S., 2006, “Principle of Sedimentology and Stratigraphy 4th edition”,
Pearson Education, Inc, New Jersey, 335-342
Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent Planctonic Foraminifera
Biostratigraphy, Proc.First Int. Conf. Planctonic Micro Fossilles, E.J. Brill-
Leiden.
Flugel, E., 2004, “Microfacies of Carbonate Rock”, Springer, inc, New York, 575-
583
Friedman, G. M., Reeckmann, A.(1982), “Exploration for Carbonate Reservoir”,
John Wiley & Sons, New York, 85-89
Koesoemadinata, R. P, 1981, “Prinsip-prinsip Sedimentasi” Departemen Teknik
Geologi, ITB, Bandung, 65-100
Lobeck, A.K,. 1939. Geomorphologi. New York : Grw Hill. Disadur dari blog
derizkadewantoro, 28 Agustus 2011.
Moore, C.H., 1997, “Carbonate Diagenesis and Porosity”, El Sevier, Amsterdam,
161-175
Raharjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, H.M.D., 1995, Peta Geologi Lembar
Yogyakarta, Jawa, skala 1 : 100.000, Puslitbang Geologi. Laporan Terbuka.
Rickard, M.J., 1972, “Fault classification” -- discussion: Geological Society of
America Bulletin, v. 83, 2545-2546.
Sasangka, A., 2003 (Wartono Rahardjo dkk, 1977), Geologi Regional Kulon Progo,
ITB (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9), http://rovicky.wordpress.com
Schole, P. A., Schole-Umer, D.S., 2003, “A Color Guide to the Petrography of
Carbonate Rock: Grains, Texture, Porosity, and Diagenesis”, AAPG Memoir
77, Tulsa, 303-308
Shanmugam, G., 2004, “Deepwater Process and Facies Model”, El Sevier,
Amsterdam, 283
Tipsword, H.I., 1966, Interpretation of Depositional Environment in Gulf Coast
Pteroleum Exploration From Paleoecology and Related Stratigraphy, Gulf
Coast Assoc. Geo. Soc. Trans., V.16.
139
Tucker, M.E., 2003, “Sedimentary Rock In the Field 3rd edition”, John Willey & Son,
New York, 16
Tucker, M.E., Wright, V.P., & Dickson, J.A., 2003, “Carbonate Sedimentology”.
Blackwell Publishing Company, UK, 214-216
Walker, R.G., James, N.P., 1992, “Facies Model Response to Sea Level Change”,
Geological Association of Canada, 239-251
140
LAMPIRAN