Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
OPTIMALISASI KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MELALUI
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH
DI KELAS VII SMP NEGERI 5 TEBING TINGGI
TAHUN PELAJARAN 2016/2017
Lilis Melinda Sari1, Sukasno
2, & Yufitri Yanto
3
STKIP-PGRI Lubuklinggau
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Optimalisasi Kemampuan Pemecahan Masalah Melalui Penerapan
Model Pembelajaran Berbasis Masalah di Kelas VII SMP Negeri 5 Tebing Tinggi
Tahun Pelajaran 2016/2017”. Rumusan masalah penelitian ini adalah “Apakah rata-rata
skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5
Tebing Tinggi Tahun Pelajaran 2016/2017 setelah penerapan pembelajaran berbasis
masalah minimal berkriteria baik?”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5 Tebing
Tinggi Tahun Pelajaran 2016/2017 setelah diterapkan model pembelajaran berbasis
masalah. Penelitian ini berbentuk eksperimen semu. Populasinya seluruh siswa kelas
VII SMP Negeri 5 Tebing Tinggi tahun pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 154 siswa
dan sebagai sampel adalah kelas VII.B yang diambil secara acak. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik tes. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan uji-t pada
taraf signifikan α = 0,05. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5Tebing
Tinggi setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah secara signifikan
berkriteria baik rata-rata skor kemampuan pemecahan pada tes akhir sebesar 6,59
termasuk dalam kategori baik. Presentase jumlah siswa yang bekategori minimal baik
mencapai 53,85%.
Kata Kunci : Pemecahan Masalah, Pembelajaran Berbasis Masalah
PENDAHULUAN
Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan ilmu lainnya
serta perkembangan teknologi. Simbol-simbol yang ada dalam matematika juga bersifat
universal artinya bisa dikenal oleh semua orang di dunia.Hal ini berguna agar siswa
mampu dan terbiasa untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya, karena tidak
dapat dipungkiri bahwa matematika juga merupakan media untuk memecahkan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana terdapat dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 22 BSNP (2006) yang
menyebutkan bahwa tujuan mata pelajaran matematika adalah agar siswa mempunyai
1) Alumni STKIP-PGRI Lubuklinggau
2,3) Dosen Prodi Matematika STKIP-PGRI Lubuklinggau
2
kemampuan sebagai berikut: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau logaritma, secara luwes,
akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada
pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3)
memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang
model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4)
mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk
keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, yaitu memiliki keingintahuan, perhatian dan minat dalam mempelajari
matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan tujuan di atas, kemampuan pemecahan masalah merupakan bagian
terpenting dalam matematika agar siswa mampu memahami proses menyelesaikan
masalah, menjadi terampil dalam memilih dan merumuskan rencana penyelesaian serta
mampu mengorganisasikan keterampilan yang dimiliki sehingga dalam menyelesaikan
masalah yang mengharuskan siswa untuk memahami konsep sebelumnya.
Turmudi (dalam Husna, dkk, 2013:84) mengemukakan bahwa pemecahan masalah
adalah proses melibatkan suatu tugas yang metode pemecahannya belum diketahui lebih
dahulu, untuk mengetahui penyelesaiannya siswa hendaknya memetakan pengetahuan
mereka, dan melalui proses ini mereka sering mengembangkan pengetahuan baru
tentang matematika, sehingga pemecahan masalah merupakan bagian tak terpisahkan
dalam semua bagian pembelajaran matematika, dan juga tidak harus diajarkan secara
terisolasi dari pembelajaran matematika.
Berdasarkan observasi dan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti pada salah
satu guru matematika di SMP Negeri 5 Tebing Tinggi diperoleh data bahwa umumnya
guru masih model pembelajaran konvensional dimana kegiatan pembelajaran hanya
berlangsung satu arah atau hanya dari guru kepada siswa.Terlihat bahwa siswa
mengalami kesulitan ketika diberikan pertanyaan yang tidak rutin. Siswakurang mampu
mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah dan hanya beberapa siswa
yang mampu menyelesaikan soal yang diberikan. Itu terjadi karena siswa belum terbiasa
menyelesaikan yang membutuhkan pemahaman, perencanaan, penyelesaian dan
menemukan hasil.
3
Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti melalui hasil tes
kemampuan pemecahan masalah matematika dengan memberikan 5 soal kepada siswa
kelas VIII.F SMP Negeri 5 Tebing Tinggi, dari 29 siswa hanya 3 siswa yang mampu
menyelesaikan 1 soal dari 5 soal yang diberikan oleh peneliti secara tepat, sedangkan
untuk 4 soal lainnya tidak terdapat siswa yang menjawab secara tepat untuk
memenuhi pedoman pemberian skor pemecahan masalah yang diinginkan, dilihat dari
pedoman pemberian skor pemecahan masalah rnasih banyak siswa merasa bingung
sehingga keliru dalam menyelesaikan soal padahal sebelumnya guru telah
memberikan penjelasan tentang materi tersebut. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa
siswa masih sulit untuk menyelesaikan soal karena kurang paharn terhadap soal materi
yang diberikan.
Melihat permasalahan masih rendahnya kemampuan siswa dalam pemecahan
masalah matematika, maka perlu diterapkan suatu model pembelajaran yang diharapkan
mampu mengajak siswa untuk berpikir menemukan masalah dari satu peristiwa dan
berusaha memecahkan masalah tersebut untuk secara aktif ikut terlibat dalam
pengalaman belajarnya. Salah satu alternatif model pembelajaran yang memungkinkan
dikembangkannya keterampilan berpikir siswa (penalaran, komunikasi, dan koneksi)
dalam memecahkan masalah adalah Pembelajaran Berbasis Masalah.
Menurut Tan (dalam Rusman, 2014:229) Pembelajaran Berbasis Masalah
merupakan inovasi dalam pembelajaran karena dalam PBM kemampuan berpikir siswa
betul-betul dioptimalkan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis,
sehingga siswa dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan
kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka permasalahan penelitian ini
adalah: “Apakah rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
kelas VII SMP Negeri 5 Tebing Tinggi Tahun Pelajaran 2016/2017 setelah penerapan
pembelajaran berbasis masalah minimal berkriteria baik?”
LANDASAN TEORI
Kemampuan Pemecahan Masalah
Kemampuan pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar yang harus
dikuasai oleh siswa. Turmudi (dalam Husna, dkk, 2013:84) pemecahan masalah adalah
4
proses melibatkan suatu tugas yang metode pemecahannya belum diketahui lebih
dahulu, untuk mengetahui penyelesaiannya siswa hendaknya memetakan pengetahuan
mereka, dan melalui proses ini mereka sering mengembangkan pengetahuan baru
tentang matematika, sehingga pemecahan masalah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dalam semua bagian pembelajaran matematika, dan tidak harus diajarkan
secara terisolasi dari pembelajaran matematika. Senada dengan langkah-langkah
pemecahan masalah menurut Polya (dalam Sundawan, 2002:130) sebagai berikut:
memahami masalah, merencanakan pemecahan, melakukan perhitungan dan
memeriksa kembali hasil yang diperoleh. Branca (dalam Husna, dkk, 2013:84)
mengemukakan bahwa pemecahan masalah memiliki tiga interpretasi yaitu:
pemecahan masalah (a) sebagai suatu tujuan utama; (b) sebagai sebuah proses; (c)
sebagai keterampilan dasar. Ketiga hal itu mempunyai implikasi dalam pembelajaran
matematika.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah matematika
merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh siswa dalam suatu proses dari
penyelesaian masalah yang belum diketahui sebelumnya, sehingga dalam penyelesaian
belajar matematika siswa perlu mengembangkan kemampuan atau potensi yang ada di
dalam dirinya.
Untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis diperlukan
beberapa indikator. Adapun indikator tersebut menurut Sumarmo (dalam Husna, dkk,
2013:84) sebagai berikut: 1) mengidentifikasi unsur yang diketahui,ditanyakan, dan
kecukupan unsur; 2) membuat model matematika; 3) menerapkan strategi
menyelesaikan masalah dalam/di luar matematika; 4) menjelaskan/menginter-
pretasikan hasil; 5) menyelesaikan model matematika dan masalah nyata; 6)
menggunakan matematika secara bermakna.Untuk mengetahui hasil kemampuan
pemecahan masalah siswa terdapat instrumen untuk mengukur kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa. Adapun pemberian skor dalam pemecahan masalah
memperlihatkan bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah.
Pemberian skor pemecahan masalah dalam penelitian ini diadopsi dari pedoman
penskoran pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Schoen dan Ochmke (dalam
Sundawan, 2002:132), seperti pada tabel 1:
5
Tabel 1
Pedoman Pemberian Skor Pemecahan Masalah
Skor
Memahami
Masalah
Membuat Rencana
Pemecahan
Masalah
Melakukan
Perhitungan
Memeriksa
Kembali Hasil
0 Salah Mengin-
terpretasikan/
salah sama
sekali
Tidak ada rencana,
membuat rencana
yang tidak relevan
Tidak melakukan
Perhitungan
Tidak ada
pemeriksaan atau
tidak ada
keterangan lain
1 Salah Mengin-
terpretasikan
sebagian soal/
mengabaikan
soal
Membuat rencana
yang tidak dapat
diselesaikan.
Melakukan
prosedur yang
benar dan mungkin
menghasilkan
jawaban benar
tetapi salah
perhitungan
Ada pemeriksaan
tetapi tidak tuntas
2 Memahami
masalah soal
selengkapnya
Membuat rencana
yang benar tetapi
salah dalam hasil,
tidak ada hasil
Melakukan proses
yang benar dan
mendapatkan hasil
yang benar
Pemeriksaan
dilaksanakan
untuk melihat
kebenaran
proses
3 Membuat rencana
yang benar tetapi
belum lengkap
4 Membuat rencana
sesuai dengan
prosedur dan
mengarahkan pada
solusi yang benar
Skor
Maksimal 2 Skor
Maksimal 4
Skor
Maksimal 2
Skor
Maksimal 2
(Sundawan, 2002:132)
Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Model pembelajaran berbasis masalah dikembangkan berdasarkan konsep-
konsep yang dicetuskan oleh Jerome Bruner (dalam Suprijono, 2009:68). Menurut
Utomo (2014:6) Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) merupakan salah satu model
pembelajaran pembelajaran yang menuntut aktivitas mental siswa untuk memahami
suatu konsep pembelajaran melalui situasi dan masalah yang disajikan pada awal
pembelajaran dengan tujuan untuk melatih siswa menyelesaikan masalah dengan
menggunakan pendekatan pemecahan masalah. Sedangkan menurut Eggen dan
Kauchak (2012:354) Pembelajaran Berbasis Masalah adalah satu model pengajaran
yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan
pemecahan masalah, materi (konten), dan pengendalian diri.
6
Ciri-ciri Pembelajaran Berbasis Masalah
Menurut Sanjaya (Usman, 2013:67) menjelaskan bahwa PBM memiliki 3 ciri
utama, yakni: (a) PBM merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya kegiatan
yang harus dilakukan siswa; (b) Aktivitas pembelajaran diarahkan untuk
menyelesaikan masalah, artinya tanpa masalah maka tak mungkin ada proses
pembelajan atau masalah merupakan kata kunci dari proses pembelajaran; dan (c)
Pemecahan masalah di lakukan dengan menggunakan pendekatan berpikir ilmiah.
Berdasarkan dari berbagai pendapat ahli, maka dapat dirangkum langkah-
langkah kegiatanpembelajaran dengan model Pembelajaran Berbasis Masalah yang
diterapkan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Guru mereview atau mengulang kembali pengetahuan yang dibutuhkan untuk
memecahkan masalah
2. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran
3. Membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang heterogen
4. Guru memberikan siswa masalah spesifik dan konkret untuk dipecahkan mengenai
materi persamaan linear satu variabel
5. Siswa menganalisis masalah
6. Siswa merumuskan hipotesis dan mengumpulkan data yang diperlukan
7. Siswa menguji kebenaran hipotesisnya
8. Guru memilih dan mengevaluasi salah satu siswa untuk mempresentasikan hasil
kerja.
9. Guru bersama siswa membuat kesimpulan.
Wee dan Kek (dalam Amir, 2014:32) mengemukakan beberapa kelebihan
Pembelajaran Berbasis Masalah, sebagai berikut: 1) Punya kesahihan seperti di dunia
kerja; 2) Dibangun dengan memperhitungkan pengetahuan sebelumnya; 3) Membangun
pemikiran yang metakognitif san konstruktif; 4) Meningkatkan minat dan motivasi
dalam pembelajaran.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen semu (quasi
eksperimen) dengan desain eksperimen berbentuk group pretest dan postest design)
yang memiliki pola :
7
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 5 Tebing
Tinggi tahun pelajaran 2016/2017 yang berjumlah 154 orang dan sebagai sampelnya
kelas VII.B SMP Negeri 5 Tebing Tinggi yang diambil secara acak. Pengumpulan data
dilakukan dengan teknik tes. Teknik tes digunakan untuk mengumpulkan data tentang
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Tes yang digunakan dalam
penelitian ini berbentuk uraian (essay) sebanyak lima soal dengan materi persamaan
linear satu variabel.
Teknik analisis data yang digunakan untuk menguji hipotesis menggunakan uji-
t satu sampel pada taraf kepercayaan α = 0,05. Teknik analisis data hasil tes akhir (pos-
test) tentang kemampuan pemecahan masalah matematika dengan menggunakan model
pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan menggunakan percentages
correction. Adapun kriteria penggolongan kemampuan pemecahan masalah penelitian
untuk menentukan kriteria tinggi rendahnya penggolongan persentase data hasil
kemampuan akhir (pos-test) pemecahan masalah matematika siswa bias dilihat dari
tabel 2:
Tabel 2
Kriteria Penggolongan Kemampuan Pemecahan Masalah Rentangan Skor Kriteria
0,00 – 2,00 Sangat Kurang
2,01 – 4,00 Kurang
4,01 – 6,00 Cukup
6,01 – 8,00 Baik
8,01 – 10,00 Sangat Baik Dimodifikasi dari Redhana (2013:79)
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 5 Tebing Tinggi dimulai
dari tanggal 9 November sampai dengan 9 Desember2016 di kelas VII SMP Negeri 5
Tebing Tinggi tahun pelajaran 2016/2017. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan
sebanyak lima kali pertemuan yaitu dengan rincian satu kali melakukan tes awal (pre-
test) pada awal penelitian, tiga kali mengadakan pembelajaran atau pemberian
perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBM), dan satu
kali melakukan tes akhir (post-test) di akhir pembelajaran.
8
Berdasarkan hasil data pre-test, rata-rata skor pemecahan masalah yang diperoleh
siswa adalah 2,46 termasuk dalam kategori kurang. Dari 39 siswa, jumlah siswa yang
kategori sangat kurang sebanyak 17 orang (43,59 %), jumlah siswa yang kategori
kurang dan cukup sebanyak 22 orang (56,41 %) dalam menyelesaikan soal pemecahan
masalah yang diberikan.
Berdasarkan hasil post-test,rata-rata skor pemecahan masalah yang diperoleh
siswa adalah 6,59 termasuk dalam kategori baik. Siswa yang termasuk kategori cukup
sebanyak 18 orang, siswa yang termasuk kategori baik dan sangat baik terdapat 21
orang (53,85%), serta terjadi peningkatan rata-rata sebesar 4,13. Dari hasil penelitian
dan analisis uji-t dari hasil tes akhir diperoleh thitung = 3,63 dengan derajat kebebasan dk
= n-1 = 39 – 1 = 38, = 0,05 diperoleh ttabel = 1,68 sehingga thitung > ttabel yaitu 3,63 >
1,68 maka Ha diterima dan H0 ditolak. Sehingga hipotesis diterima artinya pelajaran
materi persamaan linear satu variabel dengan model pembelajaran berbasis masalah
berkriteria baik.
Hasil kemampuan pemecahan masalah pos-test untuk setiap tahapan mengalami
peningkatan dalam soal memahami masalah diperoleh rentang skor mencapai 9,7
berkriteria sangat baik dengan peningkatan sebesar 1,6. Untuk soal membuat rencana
pemecahan masalah diperoleh rentang skor mencapai 7,5 memiliki kriteria
penggolongan baik dengan peningkatan sebesar 5,6. Untuk soal melakukan perhitungan
diperoleh rentang skor mencapai 6,2 berkriteria baik dengan peningkatan sebesar 6,15.
Sedangkan untuk memeriksa kembali hasil diperoleh rentang skor mencapai 1,8
berkriteria sangat kurang dengan peningkatan sebesar 1,8.
Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah dilakukan analisa pada hasil pre-
test dan post-test maka dapat diketahui bahwa kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa mengalami peningkatan setelah dilaksanakan pembelajaran dengan
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBM). Di dalam penelitian ini
hanya meneliti materi persamaan linear satu variabel pada ranah kognitifnya yaitu
dalam bentuk tes yang berisi pertanyaan untuk mengukur kemampuan pengetahuan,
intelegensi, dan kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Model PBM menekankan siswa
untuk lebih berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran dengan mengoptimalkan
9
kemampuan berpikir siswa melalui proses kerja kelompok yang sistematis, sehingga
siswa dapat memperdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan
berpikirnya secara berkesinambungan (Tan dalam Rusman, 2010:229). Pelaksanaan
penelitian ini dilakukan sebanyak lima kali pertemuan dengan rincian satu kali Pre-Test
di awal pertemuan, tiga kali proses pembelajaran dengan model PBM, dan satu kali
Post-test di akhir pertemuan.
Pada pertemuan pertama yang dilakukan peneliti yang di mulai pada tanggal 12
November 2016 di kelas VII.B yang merupakan sampel penelitian, peneliti
dipersilahkan untuk masuk ke kelas oleh guru matematika ibu Titik Setiyani, A.Md.Pd
untuk melaksanakan penelitian, peneliti berjalan ke kelas dengan di iringi oleh ketua
kelas VII.B, sebelum peneliti mengadakan pre-test peneliti mengawali dengan salam
dan memperkenalkan diri kepada semua siswa kelas VII.B kemudian peneliti
melakukan absen siswa dengan suara yang keras agar siswa dapat mendengarkan
terutama siswa yang duduk paling belakang. Setelah selesai maka pelaksanaan pre-test
pun dilakukan namun sebelum dibagikan lembar soal dan lembar jawaban, peneliti
memberikan arahan kepada siswa kelas VII.B dimana mereka akan diberi lima soal
dengan materi persamaan linear satu variabel yang berbentuk uraian dan mereka harus
menjawab soal tersebut sesuai dengan kemampuan masing-masing tanpa mencontek
maupun berkerja sama, kemudian peneliti membagi lembar soal dan lembar jawaban
pre-test kepada setiap siswa. Setelah memastikan semua siswa telah mendapatkan
lembar soal peneliti mempersilahkan kepada siswa untuk menjawab soal pre-test dalam
waktu 80 menit. Selama siswa mengerjakan soal-soal pre-test yang diberikan, peneliti
mengawasi dengan tujuan untuk memastikan siswa tidak mencontek atau berbuat
curang dalam mengerjakan soal tersebut. Saat waktu 80 menit telah berakhir semua
lembar jawaban beserta lembar soal dikumpulkan.Peneliti mengucapkan terima kasih
kepada siswa VII.B karena telah mengikuti pre-test dengan tertib dan baik. Sebelum
mengakhiri pertemuan, peneliti menyampaikan kepada para siswa bahwa pada
pertemuan selanjutnya peneliti akan memberikan pembelajaran sebanyak 3 kali
pertemuan dengan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBM) dengan
materi persamaan linear satu variabel.
Pada pertemuan kedua atau hari pertama penerapan model PBM yang dilakukan
pada tanggal 15 November 2016 peneliti mengawali pembelajaran dengan mengabsen
45
43
10
siswa kemudian menyampaikan tujuan pembelajaran lalu peneliti menanyakan kepada
siswa apa hubungan materi yang akan dipelajari dengan kehidupannya dalam sehari-
hari. Melihat semua siswa tidak ada yang mengetahui maka kemudian peneliti
menyampaikan apersepsi berkenaan dengan materi PLSV. Kemudian peneliti membagi
siswa kedalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5-6 orang dengan
mengurutkan absen. Setelah selesai terbentuknya kelompok belajar lalu peneliti
membagikan LKS kepada setiap masing-masing kelompok dengan satu butir soal
berikut dengan kolom tempat penyelesaian soal. Masing-masing kelompok di wajibkan
mempunyai catatan dari hasil kerja kelompok atau hasil penyelesaian soal untuk di
presentasikan kepada kelompok lainnya. Pada kegiatan evaluasi peneliti beserta siswa
melihat kembali cara, metode atau proses yang digunakan dalam penyelesaian soal yang
kemudian membuat kesimpulan terhadap pembelajaran yang telah dilaksanakan.
Sebelum peneliti menutup pembelajaran, peneliti memberikan pekerjaan rumah.
Dalam pembelajaran di hari pertama ini pada awalnya siswa mengalami banyak
hambatan, hal ini dikarenakan para siswa belum terbiasa dengan pembelajaran yang
dilakukan. Para siswa sangat terbiasa dengan cara guru menerangkan di depan kelas
sementara siswa hanya melihat, mendengar, dan menulis serta sedikit siswa yang
memiliki buku pelajaran. Namun dengan pembelajaran secara berkelompok ini
membantu peneliti untuk mencakup semua siswa dalam membimbing dan
merencanakan penyelesaian soal terhadap masalah yang diberikan.
Pada pertemuan ketiga di hari kedua penerapan model PBM pada tanggal 19
November 2016, pelaksanaan pembelajaran dilakukan sama seperti pembelajaran pada
pertemuan sebelumnya yang disesuaikan dengan langkah-langkah pembelajaran model
PBM. Pada pertemuan kali ini peneliti menghadirkan masalah yang berhubungan dunia
nyata atau peneliti membagikan LKS kepada masing-masing kelompok, terlihat banyak
siswa yang mampu medefinisikan masalah, dan aktif dalam mengumpulkan informasi
atau pembahasan yang relevan terhadap masalah yang dihadirkan peneliti. Siswa saling
membantu dan berkerja sama dalam kelompoknya guna untuk menjawab soal-soal
dalam bentuk lembar kerja siswa (LKS), ketika ada kelompok yang masih kesulitan
dalam mendefinisikan dan mencari solusi penyelesaian maka peneliti membantu dan
membimbingnya.
11
Pada pertemuan ke empat di hari ketiga penerapan model PBM pada tanggal 22
November 2016, siswa sudah bisa mengikuti dan tertarik dengan proses pembelajaran
menggunakan model PBM, proses pembelajaran sudah cukup berjalan dengan baik, saat
siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas/ penyelidikan untuk
menyelesaikan permasalahan, membuat model matematika dari masalah dunia nyata,
berusaha memperoleh informasi yang tepat, melaksanakan penyelidikan dan mencari
penjelasan solusi, serta merencanakan penyajian dari hasil kerja kelompok tidak lagi
mengalami kesulitan.
Setelah selesai diberi perlakuan pembelajaran sebanyak tiga kali dengan
menggunakan model pembelajaran berbasis masalah. Pada pertemuan ke lima pada
tanggal 28 November 2016, kelas VII.B diberikan tes akhir (post-test) untuk
mengetahui hasil belajar matematika siswa setelah mengikuti proses pembelajaran
dengan menggunakan model PBM.
Berdasarkan hasil post-test nilai rata-rata skor pemecahan masalah yang
diperoleh siswa adalah 6,59. Siswa yang termasuk kategori cukup sebanyak 18 orang,
siswa yang termasuk kategori baik dan sangat baik terdapat 21 orang (53,85%) , serta
terjadi peningkatan rata-rata sebesar 4,13. Dari hasil penelitian dan analisis uji-t dari
hasil tes akhir diperoleh thitung = 3,63 dengan derajat kebebasan dk = n-1 = 39 – 1 = 38, 𝛼
= 0,05 diperoleh ttabel = 1,68 sehingga thitung > ttabel yaitu 3,63 > 1,68 maka Ha diterima
dan H0 ditolak. Sehingga hipotesis diterima artinya pelajaran materi persamaan linear
satu variabel dengan model pembelajaran berbasis masalah berkriteria baik. Hasil
kemampuan pemecahan masalah pos-test untuk setiap tahapan mengalami peningkatan
(data terlampir) dalam soal memahami masalah diperoleh rentang skor mencapai 9,7
berkriteria sangat baik dengan peningkatan sebesar 1,6. Untuk soal membuat rencana
pemecahan masalah diperoleh rentang skor mencapai 7,5 memiliki kriteria
penggolongan baik dengan peningkatan sebesar 5,6. Untuk soal melakukan perhitungan
diperoleh rentang skor mencapai 6,2 berkriteria baik dengan peningkatan sebesar 6,15.
Sedangkan untuk memeriksa kembali hasil diperoleh rentang skor mencapai 1,8
berkriteria sangat kurang dengan peningkatan sebesar 1,8
Rata-rata skor total dari pos-test untuk setiap tahapan mengalami peningkatan
ketika dibandingkan dengan hasil pre-test. Peningkatan ketercapaian kemampuan
pemecahan masalah matematika sesuai dengan tahapannya dapat dilihat dalam tabel 3.
12
Tabel 3
Peningkatan Rata-rata Skor Kemampuan Pemecahan Masalah Tahapan Pemecahan Masalah Pre-test Pos-test Peningkatan
Memahami Masalah 8,1 9,7 1,6
Membuat Rencana 1,9 7,5 5,6
Melakukan Perhitungan 0,05 6,2 6,15
Memeriksa Kembali Hasil 0 1,8 1,8
Peningkatan rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika paling
rendah terletak pada tahapan memahami masalah. Hal ini terjadi karena pada tahapan
tersebut membutuhkan kemampuan pemahaman terhadap soal yang diberikan sebelum
mengerjakan langkah-langkah selanjutnya. Sedangkan peningkatan tertinggi pada
tahapan kemampuan melakukan perhitungan, dimana pada tahapan ini menginginkan
kemampuan berhitung dalam memecahkan masalah pada materi yang diberikan.
Hal tersebut disebabkan karena pembelajaran matematika dengan menggunakan
model PBM membuat siswa lebih aktif, mandiri, kompak dalam kelompok, berani
mengimplementasikan pengetahuannya, berpikir kritis dalam menyelesaikan dan
memiliki keterampilan pemecahan masalah, serta mudah untuk memperoleh
pengetahuan dan konsep yang dipelajarinya.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 5Tebing
Tinggi setelah penerapan model pembelajaran berbasis masalah secara signifikan
berkriteria baik.Rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika sebesar
6,59 yang termasuk dalam kategori baik. Presentase jumlah siswa dengan tingkat
kemampuan pemecahan masalah yang berkategori minimal baik mencapai 53,85 %.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Taufik. 2014. Inovasi Pendidikan melalui Problem Based Learning. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Eggen, Paul dan Kauchak, Don. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran Mengajarkan
Konten dan Keterampilan Berpikir. Jakarta Barat: Indeks
Husna, dkk. 2013. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Komunikasi
Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Think-Pair-Share (TPS). Jurnal Peluang, 1(2), 81-92
13
Redhana, I Wayan. 2013. Model Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan
Keterampilan Pemecahan Masalah dan Berpikir Kritis. Jurnal Pendidikan dan
Pengajaran, 46(1), 76-86.
Rusman. 2014. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru.
Jakarta: Rajawali Pers
Sulastri, Rini, dkk. 2014. Kemampuan Mahasiswa Program Studi Pendidikan
Matematika FKIP Unsyiah Menyelesaikan Soal PISA Most Difficult Level. Jurnal
Didaktik Matematika, 1(1), 13-21.
Sundawan, Mohammad Dadan. 2002. Pengaruh Penggunaan Model Pembelajaran
Konstruktivisme terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik
Siswa.Jurnal Euclid. 1(2), 60-136.
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta:
Pustaka Belajar
Usman. 2013. Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Melalui Pendekatan
Inkuiri Terbimbing dalam Pencapaian Kecakapan Ilmiah Mahasiswa Tingkat
Pertama Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Muhammadiyah Makassar.
Jurnal Sainsmat, 2(1), 65-78.
Utomo, Budi, dkk. 2014. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem
Based Learning) Terhadap Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa (Siswa Kelas VIII
Semester Gasal SMPN 1 Sumbermalang Kabupaten Situbondo Tahun Ajaran
2012/2013).Jurnal Edukasi UNEJ, 1 (1), 5-9.