Upload
juhan-arieska-setiawan
View
599
Download
131
Embed Size (px)
DESCRIPTION
osteosarcoma
Citation preview
Presentasi Kasus
OSTEOSARCOMA
Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip
Di RSUD dr. ISKAK Tulungagung
Pembimbing :
dr. Wisnu, Sp.OT
Pendamping :
dr. Yulita Wahyu Winarni
dr. Heru Dwi Cahyono
Disusun oleh:
dr. Rizka Ayu Safitri
RSUD dr. ISKAK TULUNGAGUNG
KABUPATEN TULUNGAGUNG
2014
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
OSTEOSARCOMA
Laporan kasus ini diajukan dalam rangka praktek dokter internsip sekaligus
sebagai bagian persyaratan menyelesaikan program internsip
Di RSUD “dr. ISKAK” Tulungagung
Telah diperiksa dan disetujui
Pada tanggal :
Oleh :
Dokter Pembimbing
dr. Wisnu SpOT,
2
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, shalawat
serta salam terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga dan para
sahabatnya. Syukur Alhamdulillah, penulis telah berhasil menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “OSTEOSARCOMA”.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang tak terhingga kepada yaitu :
1. dr.Wisnu Sp.OT selaku dokter pembimbing
2. dr.Yulita Wahyu Winarni selaku dokter pendamping .
3. dr. Heru Dwi Cahyono selaku dokter pendamping
4. Seluruh dokter spesialis dan dokter umum yang bekerja di instalasi
rawat inap RSUD “dr. Iskak” Tulungagung
5. Serta paramedis yang selalu membimbing dan membantu penulis.
Laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan kerendahan hati
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharapkan saran dan kritik
yang membangun.Semoga laporan kasus ini dapat menambah wawasan dan
bermanfaat bagi semua pihak.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Tulungagung, Februari 2015
Penulis
3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iv
BAB I ILUSTRASI KASUS........................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 20
BAB III PEMBAHASAN.................................................................................. 52
BAB IV KESIMPULAN .................................................................................. 61
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 62
4
BAB I
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS
• Nama : An. N.H
• Umur : 10 tahun
• Jenis kelamin : Perempuan
• Nama Ayah : Tn. M.
• Umur : 50 tahun
• Pekerjaan Ayah : Swasta
• Nama Ibu : Ny. P
• Umur : 37 Tahun
• Agama : Islam
• Bangsa / Suku : Indonesia / Jawa
• Alamat : Muara Joloi Seribu Riam Kalimantan
Tengah
• No. Register : 710697
• Masuk IGD : 12 Januari 2015, pukul 11.42 WIB
5
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Benjolan pada lutut kiri
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSUD dr iskak Tulungagung pada tanggal 12 Januari 2015
pukul 11.42, dengan keluhan muncul benjolan pada lutut kiri. Benjolan dirasakan
sejak 7 bulan yang lalu. Awalnya benjolan hanya sebesar telur puyuh. Lama
kelamaan benjolan dirasa semakin membesar. Benjolan lutut kiri terasa nyeri,
nyeri dirasakan terus menerus, ketika nyeri pasien biasanya hanya menggosok2
lutut dengan tangan. Sejak 2 bulan ini pasien mengeluh sudah tidak bisa berjalan
dan hanya menghabiskan waktu di tempat tidur.
Riwayat Penyakit Dahulu :
sebelumnya pasien belum pernah sakit seperti ini. Ibu pasien mengatakan sejak
kecil pasien belum pernah diimunisasi karena rumahnya di Kalimantan terletak di
pedesaan dan jauh dari fasilitas kesehatan.
Riwayat Penyakit Keluarga:
Keluarga tidak ada yang sakit seperti ini
Riwayat Pengobatan :
Sebelumnya sejak muncul benjolan pasien dibawa oleh ibunya berobat ke dukun
dan diberi ramuan yang dioleskan pada benjolan. Namun keluhan dirasa tetap.
Kemudian pada bulan desember 2014 pasien berobat ke RS di banjarmasin
kemudian oleh dokter didiagnosis Obs Primary Bone Tumor ec Susp
Osteosarcoma proximal tibia fibula sinistra. Kemudian keluarga pasien meminta
rujukan ke RSUD dr iskak Tulungagung karena ayah pasien berasal dari
Tulungagung.
PEMERIKSAAN FISIK
Berat Badan : 22 kg
Tanda Vital :
6
N : 116 x/mnt
TD : 90/50 mmHg
RR : 20 x/mnt
t : 36,5˚C
Pemeriksaan Generalis :
Kepala : A/I/C/D +/-/-/-, pembesaran KGB colli (-)
Thorax : simetris +/+, retraksi -/-, vesikuler, rh -/-, wh -/-, S1S2
tunggal, murmur (-), Gallop (-), pembesaran KGB axilla (-)
Abdomen : supel, BU (+)
Ekstremitas : akral hangat +/+ , odem -/-
Genitalia : dalam batas normal, pembesaran KGB inguinal (-).
Status Lokalis:
Pada Regio Cruris Sinistra terdapat massa berukuran 30x20x20cm
teraba padat keras, fixed, vena
7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab Darah Lengkap (saat di UGD yellow zone tanggal 12 januari 2015 jam 13.51
WIB)
Hb : 5,8 (g/dl)
RBC : 2.68 (10^6/uL)
HCT : 19,8 (%)
WBC : 10.26 (10^3/uL)
PLT : 257 (10^3/uL)
Lab SE, FH, SGOT/SGPT, Ureum/Creatinin:
SGOT : 23,4 U/l
SGPT : 6,2 U/l
Alkali Phospatase : 1011 U/l
BUN : 9,6 mg/dl
Creatinin : 0,22 mg/dl
Natrium : 137 mmol/l
Kalium : 4,18 mmol/l
Chlorida : 101,1 mmol/l
Calcium : 9,0 mg/dl
8
Foto Cruris AP lateral sinistra tampak 2 sendi:
RESUME
Pasien datang ke UGD RSUD dr iskak Tulungagung pada tanggal 12 Januari 2015
pukul 11.42, dengan keluhan muncul benjolan pada lutut kiri. Benjolan dirasakan
sejak 7 bulan yang lalu. Awalnya benjolan hanya sebesar telur puyuh. Lama
kelamaan benjolan dirasa semakin membesar. Benjolan lutut kiri terasa nyeri,
nyeri dirasakan terus menerus, ketika nyeri pasien biasanya hanya menggosok2
lutut dengan tangan. Sejak 2 bulan ini pasien mengeluh sudah tidak bisa berjalan
dan hanya menghabiskan waktu di tempat tidur. sejak kecil pasien belum pernah
diimunisasi. bulan desember 2014 pasien berobat ke RS di banjarmasin kemudian
oleh dokter didiagnosis Obs Primary Bone Tumor ec Susp Osteosarcoma
proximal tibia fibula sinistra. Pasien tampak anemis. Dari hasil lab dl didapatkan
WBC : 10.26 (10^3/uL) Alkali Phospatase : 1011 U/l
9
DIAGNOSIS KLINIS
: Primary bone tumor ec susp osteosarcoma
TATALAKSANA
Saat di UGD
-IVFD RL 1500 cc/24 jam
-inj cefotaxim 3x500 mg
-inj Ranitidin 2x25 mg
-inj Santagesik 3x500 mg
-Konsul Bedah (PPDS)
Diagnosis bedah : Primary bone tumor ec susp osteosarcoma
Pemeriksaan penunjang :
-Foto cruris AP/Lateral sinistra tampak 2 sendi
- cek DL, SE, FH, SGOT/SGPT, Ureum/ Creatinin
- konsul dr. Wisnu SpOT MRS
SOAP
Tanggal
Jam
S O A P
13
Januari
2015
Benjolan di lutut
kiri sejak 7
bulan yll
KU : CM
GCS 4-5-6
K/L :
A/I/C/D
+/-/-/-,
Thorax :
simetris
retraksi (-).
Cor: m(-), g
(-), S1 S2
Primary
Malignant
Bone Tumor
susp
Osteosarcoma
Transfusi PRC s/d
Hb ≥10 g/dl
Pro Amputasi
above knee bila
KU baik
KIE amputasi
10
normal,
Pulmo : Rh
-/- Wh -/-.
Abdomen :
supel.
Metorismus
(-), BU (+),
hepar lien
ttb.
Extremitas :
Akral
hangat.
Status
Lokalis :
Massa
berukuran
30x20x20
cm, padat,
keras,
fixed, vena
ekstasis,
teraba
hangat
Foto cruris
AP lateral :
-lesi litik &
blastik
- sun ray
appearance
-destruksi
permealit
11
14
Januari
2015
-nyeri pada
benjolan di lutut
KU: CM
K/L :
A/I/C/D
-/-/-/-
Thorax:
simetris
Pulmo:
vesikular,
Wh -/- Rh
-/-
Abd: supel,
BU + N,
Hepar lien
Ttb. Akral
hangat.
Hasil Lab
Hb
Hb : 9,1
Primary
Malignant
Bone Tumor
susp
Osteosarcoma
KIE
keluarga
untuk
amputasi
above knee
Inj
santagesik
3x1/2 amp iv
Transfusi
PRC s/d
Hb≥10 g/dl
15
Januari
2014
- Nyeri
pada
benjolan
di lutut
kiri
KU: cukup
K/L:
A/I/C/D
-/-/-/-
Thorax:
simetris
retraksi –
Pulmo:
vesikular,
Wh -/-
Rh-/-
Abd: supel,
BU + ,
Akral
Primary
Malignant
Bone Tumor
susp
Osteosarcoma
- Inj santagesic
3x ½ amp iv
- Keluarga
menolak
amputasi
dengan alasan
ketakutan dan
belum siap
- Pasien pulang
paksa
12
hangat +/+,
Edema -/-
Hasil lab
DL :
Hb : 10.2
RBC : 4,24
HCT : 33,0
WBC : 8,66
PLT : 204
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PENDAHULUAN
Osteosarkoma disebut juga osteogenik sarkoma adalah suatu neoplasma
ganas yang berasal dari sel primitif (poorly differentiated cells) di daerah metafise
tulang panjang pada anak-anak. Disebut osteogenik oleh karena perkembangannya
berasal dari seri osteoblastik sel mesenkim primitif. Osteosarkoma merupakan
neoplasma primer dari tulang yang paling sering terjadi. Meskipun tumor ini
dahulu biasanya fatal, kemajuan dalam pengobatan telah secara dramatis
memperbaiki prognosis untuk neoplasma ini.1,3
Kasus osteosarcoma paling banyak terjad pada ianak remaja dan mereka
yang baru menginjak masa dewasa, tetapi dapat juga menyerang pasien penyakit
paget yang berusia lebih dari 50 tahun. Dalam klasifikasi sederhana, dapat dibagi
menjadi bentuk primer dan bentuk sekunder. Laki-laki lebih sering terkena
daripada perempuan.3,4,5
2.2 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat insiden pada usia kurang dari 20 tahun adalah 4.8
kasus per satu juta populasi. Insiden dari osteosarkoma konvensional paling tinggi
pada usia 10-20 tahun, Setidaknya 75% dari kasus osteosarkoma adalah
osteosarkoma konvensional. Observasi ini berhubungan dengan periode maksimal
dari pertumbuhan skeletal. Namun terdapat juga insiden osteosarkoma sekunder
yang rendah pada usia 60 tahun, yang biasanya berhubungan dengan penyakit
paget.3,4,6
Kebanyakan osteosarkoma varian juga menunjukkan distribusi usia yang
sama dengan osteosarkoma konvensional, terkecuali osteosarkoma
intraosseous low-grade, gnathic, dan parosteal yang menunjukkan insiden tinggi
pada usia dekade ketiga.Osteosarkoma konvensional muncul pada semua ras dan
etnis, tetapi lebih sering pada afrika amerika daripada kaukasian.Osteosarkoma
14
konvensional lebih sering terjadi pada pria, dengan rasio 3:2 terhadap wanita.
Perbedaaan ini dikarenakan periode pertumbuhan skeletal yang lebih lama pada
pria. 2,5,6,7.
2.3 ANATOMI
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada daerah intra-seluler. Tulang
berasal dari embryonic hyaline cartilage yang mana melalui proses osteogenesis
menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut osteoblast. Proses
mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.9
Tulang dalam garis besarnya dibagi atas :9
1. Tulang panjang
Yang termasuk tulang panjang misalnya femur, tibia,fibula, ulna dan
humerus,dimana daerah batas disebut diafisis dan daerah yang berdekatan dengan
garis epifisis disebut metafisis. Daerah ini merupakan daerah yang sangat sering
ditemukan adanya kelainan atau penyakit, oleh karena daerah ini merupakan
daerah metabolik yang aktif dan banyak mengandung pembuluh darah. Kerusakan
atau kelainan perkembangan pada daerah lempeng epifisis akan menyebabkan
kelainan pertumbuhan tulang.
2. Tulang pendek
Contoh dari tulang pendek antara lain tulang vertebra dan tulang-tulang karpal.
3. Tulang pipih
Yang termasuk tulang pipih antara lain tulang iga, tulang scapula dan tulang
pelvis.
15
Gambar 1. Tulang panjang (humerus) Dikutip dari kepustakaan 10
2.4 HISTOLOGI
Berdasarkan histologinya, maka dikenal :9
Tulang imatur (non-lamellar bone, woven bone, fiber bone)
Tulang ini pertama tama terbentuk dari osifikasi endokondral pada
perkembangan embrional dan kemudian secara perlahan-lahan menjadi tulang
yang matur dan pada umur satu tahun tulang imatur tidak terlihat lagi. Tulang
imatur ini mengandung jaringan kolagen dengan substansi semen dan mineral
yang lebih sedikit dibanding dengan tulang matur
Tulang matur (mature bone, lamellar bone)
Tulang kortikal
Tulang trabekuler
Secara histologik, perbedaan tulang matur dan imatur terutama dalam jumlah
sel, jaringan kolagen, dan mukopolisakarida.Tulang matur ditandai dengan sistem
Haversian atau osteon yang memberikan kemudahan sirkulasi darah melalui
korteks yang tebal. Tulang matur kurang mengandung sel dan lebih banyak
substansi semen dan mineral dibanding dengan tulang matur.9
16
FAAL
2.5 FISIOLOGI
Tulang adalah jaringan yang terstruktur dengan baik dan mempunyai lima
fungsi utama, yaitu:9
1. Membentuk rangka badan
2. Sebagai pengumpil dan tempat melekat tot
3. Sebagai bagian dari tubuh untuk melindungi dan mempertahankan alat-alat
dalam seperti otak, sumsum tulang belakang, jantung, dan paru-paru.
4. Sebagai tempat deposit kalsium, fosfor, magnesium, dan garam.
5. Sebagai organ yang berfungsi sebagai jaringan hemopoetik untuk
memproduksi sel-sel darah merah, sel-sel darah putih, dan trombosit.
17
Gambar 2. A. jaringan tulang kompakta, B. Osteon dalam diafisis pada tulang, C. Osteon, D. Osteosit dalam lacunaDikutip dari kepustakaan 10
Pertumbuhan tulang dibagi atas:9
1. Pertumbuhan memanjang tulang
Pertumbuhan interstisial tidak dapat terjadi di dalam tulang,Oleh karena itu
pertumbuhan interstisial terjadi melalui proses osifikasi endokondral pada
tulang rawan. Ada dua lokasi pertumbuhan tulang rawan pada tulang panjang,
yaitu:9
a. Tulang rawan artikuler
Pertumbuhan tulang panjang terjadi pada daerah tulang rawan artikuler
dan merupakan tempat satu-satunya bagi tulang untuk bertumbuh pada
daerah epifisis.Pada tulang pendek, pertumbuhan tulang dapat terjadi
pada seluruh daerah tulang.
b. Tulang rawan lempeng epifisis
Tulang rawan lempeng epifisis memberikan kemungkinan metafisis dan
diafisis untuk bertumbuh memanjang.Lempeng epifisis adalah tulang
rawan yang berbentuk diskus (piringan) yang terletak antara epifisis dan
metafisis.Lempeng epifisis merupakan bagian tulang yang bertanggung
jawab dalam perkembangan dan pertumbuhan memanjang pada tulang
matur. Terdapat beberapa tempat osifikasi dalam tubuh yaitu pusat
osifikasi primer,yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan tulang-
tulang kecil seperti tulang lunatum, navikular, talus; pada tulang panjang
dikenal adanya osifikasi sekunder atau epifisis tekanan,misalnya caput
femur dan sendi lutut; dikenal pula adanya epifisis traksi atau apofisis
pada daerah trokanter mayor, trokanter minor, tuberkulum mayus humeri,
sehingga perkembangan dan pertumbuhan tulang pada tempat-tempat
tersebut dapat terjadi melalui tekanan atau tarikan yang sesuai dengan
hokum Wolff. Proses pertumbuhan ini terus-menerus pada manusia
selama hidupnya.
Perkembangan dan pertumbuhan sistem muskuloskeletal merupakan
suatu proses yang berkelanjutan dimana terjadi pembentukan, maturasi
serta perombakan dari jaringan mesenkim, pembentukan tulang rawan
kemudian terjadi perombakan kembali menjadi tulang.
18
Vaskularisasi lempeng epifisis berasal dari arteri metafisis dan arteri
epifisis.Epifisis dan lempeng epifisis mempunyai vaskularisasi yang
unik.Permukaan epifisis ditutupi oleh tulang rawan artikuler. Pembuluh
darah epifisis juga bertanggung jawab terhadap vaskularisasi sel-sel
lempeng epifisis sehingga bila terjadi iskemi pada epifisis maka akan
terjadi kerusakan lempeng epifisis yang menimbulkan gangguan dalam
pertumbuhan memanjang tulang. Pertumbuhan memanjang tulang berasal
dari lempeng epifisis dimana epifisis berkembang dalam tiga dimensi
dari zona tulang rawan sendi yang dalam.
Lempeng epifisis tersusun atas tiga lapisan, yaitu :
1) Zona pertumbuhan
Germinal
Proliferasi
Palisade
2) Zona transformasi tulang rawan
Hipertrofi
Kalsifikasi
Degenerasi
3) Zona osifikasi
Vascular entry
Osteogenesis
19
2. Pertumbuhan melebar tulang
Pertumbuhan melebar terjadi akibat pertumbuhan aposisi osteoblas pada
lapisan dalam periosteum dan merupakan suatu jenis osifikasi intramembran.
3. Remodelling tulang
Selama pertumbuhan memanjang tulang maka daerah metafisis mengalami
remodelling (pembentukan) dan pada saat yang bersamaan epifisis menjauhi
batang tulang secara progresif.
2.6 ETIOPATOGENESIS
2.6.1 Faktor Resiko
Penyebab pasti dari osteosarkoma tidak diketahui, namun terdapat
berbagai faktor resiko untuk terjadinya osteosarkoma yaitu:1
20
Gambar 3.Photomicrograph dari lempeng epifisis
Dikutip dari kepustakaan 10
a. Pertumbuhan tulang yang cepat : pertumbuhan tulang yang cepat terlihat
sebagai predisposisi osteosarkoma, seperti yang terlihat bahwa insidennya
meningkat pada saat pertumbuhan remaja. Lokasi osteosarkoma paling
sering pada metafisis, dimana area ini merupakan area pertumbuhan dari
tulang panjang.
b. Faktor lingkungan: satu satunya faktor lingkungan yang diketahui adalah
paparan terhadap radiasi.
c. Predisposisi genetik: displasia tulang, termasuk penyakit paget, fibrous
dysplasia, enchondromatosis, dan hereditary multiple exostoses and
retinoblastoma (germ-line form). Kombinasi dari mutasiRBgene (germline
retinoblastoma) dan terapi radiasi berhubungan dengan resiko tinggi untuk
osteosarkoma, Li-Fraumeni syndrome (germline p53 mutation), dan
Rothmund-Thomson syndrome (autosomal resesif yang berhubungan
dengan defek tulang kongenital, displasia rambut dan tulang,
hypogonadism, dan katarak).
2.7 Patogenesis
Salah satu perubahan genetik yang terjadi pada osteosarcoma adalah
hilangnya heterozigositas dari gen (RB) retinoblastoma. Produk dari gen ini
adalah protein yang bertindak untuk menekan pertumbuhan sel dengan DNA yang
rusak (supresor tumor). Hilangnya fungsi gen ini memungkinkan sel untuk
tumbuh tidak diatur, yang mengarah ke pembentukan kanker tertentu, termasuk
osteosarcoma. Kehadiran mutasi ini telah dikaitkan dengan tingkat kelangsungan
hidup menurun pada pasien dengan osteosarcoma.. Mutasi dari gen p53 yaitu
supresor tumor, juga terkait dengan osteosarcoma, dan beberapa inaktivasi
gabungan Rb dan p53 ditemukan dalam osteosarcoma.
Faktor pertumbuhan epidermal reseptor manusia (HER-2 atau ERB-2) merupakan
perubahan molekuler yang berhubungan dengan osteosarcoma.7
2.8 KLASIFIKASI
Klasifikasi dari osteosarkoma merupakan hal yang kompleks, namun 75%
dari osteosarkoma masuk kedalam kategori “klasik” atau konvensional, yang
21
termasuk osteosarkoma osteoblastic, chondroblastic, dan fibroblastic. Sedangkan
sisanya sebesar 25% diklasifikasikan sebagai “varian” berdasarkan: 2,7
(1) karakteristik klinik seperti pada kasus osteosarkoma rahang, osteosarkoma
postradiasi, atau osteosarkoma paget;
(2) karakteristik morfologi, seperti pada osteosarkoma telangiectatic,
osteosarkoma small-cell, atau osteosarkoma epithelioid; dan
(3) lokasi, seperti pada osteosarkoma parosteal dan periosteal.
Osteosarkoma konvensional muncul paling sering pada metafisis tulang
panjang, terutama pada distal femur (52%), proximal tibia (20%) dimana
pertumbuhan tulang tinggi. Tempat lainnya yang juga sering adalah pada
metafisis humerus proximal (9%). Penyakit ini biasanya menyebar dari metafisis
ke diafisis atau epifisis.1 Kebanyakan dari osteosarkoma varian juga menunjukkan
predileksi yang sama, terkecuali lesi gnathic pada mandibula dan maksila, lesi
intrakortikal, lesi periosteal dan osteosarkoma sekunder karena penyakit paget
yang biasanya muncul pada pelvis dan femur proximal.2,5,7,8
Stadium konvensional yang biasa digunakan untuk tumor keras lainnya
tidak tepat untuk digunakan pada tumor skeletal, karena tumor ini sangat jarang
untuk bermetastase ke kelenjar limfa. Pada tahun 1980 Enneking
memperkenalkan sistem stadium berdasarkan derajat, penyebaran
ekstrakompartemen, dan ada tidaknya metastase. Sistem ini dapat digunakan pada
semua tumor muskuloskeletal (tumor tulang dan jaringan lunak). Komponen
utama dari sistem stadium berdasarkan derajat histologi (derajat tinggi atau
rendah), lokasi anatomi dari tumor (intrakompartemen dan ekstrakompartemen),
dan adanya metastase.1,8
22
Untuk menjadi intra kompartemen, osteosarkoma harus berada diantara
periosteum. Lesi tersebut mempunyai derajat IIA pada sistem Enneking. Jika
osteosarkoma telah menyebar keluar dari periosteum maka derajatnya menjadi
IIB. Untuk kepentingan secara praktis maka pasien digolongkan menjadi dua
yaitu pasien tanpa metastase (localized osteosarkoma) dan pasien dengan
metastase (metastatic osteosarkoma).8
2.9 MANIFESTASI KLINIS
Gejala biasanya telah ada selama beberapa minggu atau bulan sebelum
pasien didiagnosa. Gejala yang paling sering terdapat adalah nyeri, terutama nyeri
pada saat aktifitas dan massa atau pembengkakan. Tidak jarang terdapat riwayat
trauma, meskipun peran trauma pada osteosarkoma tidaklah jelas. Fraktur
patologis sangat jarang terjadi, terkecuali pada osteosarkoma telangiectatic yang
lebih sering terjadi fraktur patologis.2,6,7
Nyeri pada ekstrimitas dapat menyebabkan kekakuan. Riwayat
pembengkakan dapat ada atau tidak, tergantung dari lokasi dan besar dari lesi.
Gejala sistemik, seperti demam atau keringat malam sangat jarang. Penyebaran
tumor pada paru-paru sangat jarang menyebabkan gejala respiratorik dan biasanya
menandakan keterlibatan paru yang luas.1,5
23
Dikutip dari kepustakaan 7
Gambar 4: Pasien dengan osteosarkoma di femur distal
Penemuan pada pemeriksaan fisik biasanya terbatas pada tempat utama
tumor. Massa yang dapat dipalpasi dapat ada atau tidak, dapat nyeri tekan dan
hangat pada palpasi, meskipun gejala ini sukar dibedakan dengan osteomielitis.
Pada inspeksi dapat terlihat peningkatan vaskularitas pada kulit. Penurunan range
of motion pada sendi yang sakit dapat diperhatikan pada pemeriksaan
fisik.Lymphadenopathy merupakan hal yang sangat jarang terjadi.1
2.10 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Kebanyakan pemeriksaan laboratorium yang digunakan berhubungan
dengan penggunaan kemoterapi. Sangat penting untuk mengetahui fungsi organ
sebelum pemberian kemoterapi dan untuk memonitor fungsi organ setelah
kemoterapi. Pemeriksaan darah untuk kepentingan prognosa adalah lactic
dehydrogenase (LDH) dan alkaline phosphatase (ALP). Pasien dengan
peningkatan nilai ALP pada saat diagnosis mempunyai kemungkinan lebih besar
untuk mempunyai metastase pada paru. Pada pasien tanpa metastase, yang
mempunyai peningkatan nilai LDH kurang dapat menyembuh bila dibandingkan
dengan pasien yang mempunyai nilai LDH normal.1
Beberapa pemeriksaan laboratorium yang penting termasuk:1
LDH
ALP (kepentingan prognostik)
Hitung darah lengkap
24
Dikutip dari kepustakaan 7
Tes fungsi hati: Aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase
(ALT), bilirubin, dan albumin.
Elektrolit : Sodium, potassium, chloride, bicarbonate, calcium, magnesium,
phosphorus.
Tes fungsi ginjal: blood urea nitrogen (BUN), creatinine
2.11 PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan X-ray merupakan modalitas utama yang digunakan untuk
investigasi. Ketika dicurigai adanya osteosarkoma, MRI digunakan untuk
menentukan distribusi tumor pada tulang dan penyebaran pada jaringan lunak
sekitarnya. CT kurang sensitf bila dibandingkan dengan MRI untuk evaluasi lokal
dari tumor namun dapat digunakan untuk menentukan metastase pada paru-paru.
Isotopic bone scanning secara umum digunakan untuk mendeteksi metastase pada
tulang atau tumor synchronous, tetapi MRI seluruh tubuh dapat menggantikan
bone scan.6,7
1.X-ray
Foto polos merupakan hal yang esensial dalam evaluasi pertama dari lesi
tulang karena hasilnya dapat memprediksi diagnosis dan penentuan pemeriksaan
lebih jauh yang tepat. Gambaran foto polos dapat bervariasi, tetapi kebanyakan
menunjukkan campuran antara area litik dan sklerotik.11,12
Gambar 5: Foto polos dari osteosarkoma dengan gambaran Codman triangle
(arrow) dan difus, mineralisasi osteoid diantara jaringan lunak. Perubahan
25
periosteal berupa Codman triangles (white arrow) dan masa jaringan lunak yang
luas (black arrow).
Dikutip dari kepustakaan 7
Lesi terlihat agresif, dapat berupa moth eaten dengan tepi tidak jelas atau
kadangkala terdapat lubang kortikal multipel yang kecil. Setelah kemoterapi,
tulang disekelilingnya dapat membentuk tepi dengan batas jelas disekitar tumor.
Penyebaran pada jaringan lunak sering terlihat sebagai massa jaringan lunak.
Dekat dengan persendian, penyebaran ini biasanya sulit dibedakan dengan efusi.
Area seperti awan karena sclerosis dikarenakan produksi osteoid yang maligna
dan kalsifikasi dapat terlihat pada massa. Reaksi periosteal seringkali terdapat
ketika tumor telah menembus kortek. Berbagai spektrum perubahan dapat
muncul, termasuk Codman triangles dan multilaminated, spiculated, dan reaksi
sunburst, yang semuanya mengindikasikan proses yang agresif.2,5,6,11,13
Gambar 6: Sunburst appearance pada osteosarkoma di femur distal
Gambar 7: gambaran sklerotik dan litik pada
proximal humerus kanan
Dikutip dari kepustakaan 15
26
Dikutip dari kepustakaan 7
2. CT Scan
CT dapat berguna secara lokal ketika gambaran foto polos
membingungkan, terutama pada area dengan anatomi yang kompleks (contohnya
pada perubahan di mandibula dan maksila pada osteosarkoma gnathic dan pada
pelvis yang berhubungan dengan osteosarkoma sekunder). Gambaran cross-
sectional memberikan gambaran yang lebih jelas dari destruksi tulang dan
penyebaran pada jaringan lunak sekitarnya daripada foto polos. CT dapat
memperlihatkan matriks mineralisasi dalam jumlah kecil yang tidak terlihat pada
gambaran foto polos. CT terutama sangat membantu ketika perubahan periosteal
pada tulang pipih sulit untuk diinterpretasikan. CT jarang digunakan untuk
evaluasi tumor pada tulang panjang, namun merupakan modalitas yang sangat
berguna untuk menentukan metastasis pada paru.6
CT sangat berguna dalam evaluasi berbagai osteosarkoma varian. Pada
osteosarkoma telangiectatic dapat memperlihatkan fluid level, dan jika digunakan
bersama kontras dapat membedakan dengan lesi pada aneurysmal bone cyst
dimana setelah kontras diberikan maka akan terlihat peningkatan gambaran
nodular disekitar ruang kistik.7
3. MRI
MRI merupakan modalitas untuk mengevaluasi penyebaran lokal dari
tumor karena kemampuan yang baik dalam interpretasi sumsum tulang dan
jaringan lunak. MRI merupakan tehnik pencitraan yang paling akurat untuk
menentuan stadium dari osteosarkoma dan membantu dalam menentukan
manajemen pembedahan yang tepat. Untuk tujuan stadium dari tumor, penilaian
hubungan antara tumor dan kompartemen pada tempat asalnya merupakan hal
yang penting. Tulang, sendi dan jaringan lunak yang tertutupi fascia merupakan
bagian dari kompartemen.6,7
27
Gambar 8: Gambaran MRI menunjukkan kortikal destruksi danadanya massa jaringan lunak.Dikutip dari kepustakaan 7
4.Bone Scintigraphy
Osteosarcoma secara umum menunjukkan peningkatan ambilan dari
radioisotop pada bone scan yang menggunakan technetium-99m methylene
diphosphonate (MDP). Bone scan sangat berguna untuk mengeksklusikan
penyakit multifokal. skip lesion dan metastase paru-paru dapat juga dideteksi,
namun skip lesion paling konsisten jika menggunakan MRI. Karena osteosarkoma
menunjukkan peningkatan ambilan dari radioisotop maka bone scan bersifat
sensitif namun tidak spesifik. 6,7
28
Gambar 9: Bone Scan yang membandingkan bagian bahu dengan oseosarcoma
dan yang sehat
2.12 DIAGNOSIS BANDING
Beberapa kelainan yang menimbulkan bentukan massa pada tulang sering
sulit dibedakan dengan osteosarkoma, baik secara klinis maupun dengan
pemeriksaan pencitraan. Adapun kelainan-kelainan tersebut antara lain:6,15
1. Ewing’s sarcoma
2. Osteomyelitis
3. Osteoblastoma
4. Giant cell tumor
2.13 PENATALAKSANAAN
Preoperatif kemoterapi diikuti dengan pembedahan limb-sparing (dapat
dilakukan pada 80% pasien) dan diikuti dengan postoperatif kemoterapi
merupakan standar manajemen. Osteosarkoma merupakan tumor yang
radioresisten, sehingga radioterapi tidak mempunyai peranan dalam manajemen
rutin.2,14
a) Kemoterapi
Sebelum penggunaan kemoterapi (dimulai tahun 1970), osteosarkoma
ditangani secara primer hanya dengan pembedahan (biasanya amputasi).
Meskipun dapat mengontrol tumor secara lokal dengan baik, lebih dari 80%
pasien menderita rekurensi tumor yang biasanya berada pada paru-paru.
Tingginya tingkat rekurensi mengindikasikan bahwa pada saat diagnosis pasien
mempunyai mikrometastase. Oleh karena hal tersebut maka penggunaan adjuvant
kemoterapi sangat penting pada penanganan pasien dengan osteosarkoma.1
Kemoterapi merupakan pengobatan yang sangat vital pada osteosarkoma,
terbukti dalam 30 tahun belakangan ini dengan kemoterapi dapat mempermudah
melakuan prosedur operasi penyelamatan ekstremitas (limb salvage procedure)
dan meningkatkan survival rate dari penderita. Kemoterapi juga mengurangi
29
Dikutip dari kepustakaan 7
metastase ke paru-paru dan sekalipun ada, mempermudah melakukan eksisi pada
metastase tersebut.14,15
Regimen standar kemoterapi yang dipergunakan dalam pengobatan
osteosarkoma adalah kemoterapi preoperatif (preoperative chemotherapy) yang
disebut juga dengan induction chemotherapy atau neoadjuvant chemotherapy dan
kemoterapi postoperatif (postoperative chemotherapy) yang disebut juga dengan
adjuvant chemotherapy.2,4,15
Kemoterapi preoperatif merangsang terjadinya nekrosis pada tumor
primernya, sehingga tumor akan mengecil. Selain itu akan memberikan
pengobatan secara dini terhadap terjadinya mikro-metastase. Keadaan ini akan
membantu mempermudah melakukan operasi reseksi secara luas dari tumor dan
sekaligus masih dapat mempertahankan ekstremitasnya. Pemberian kemoterapi
postoperatif paling baik dilakukan secepat mungkin sebelum 3 minggu setelah
operasi.14,15
b) Pembedahan
Tujuan utama dari reseksi adalah keselamatan pasien. Reseksi harus sampai
batas bebas tumor. Semua pasien dengan osteosarkoma harus menjalani
pembedahan jika memungkinkan reseksi dari tumor primer. Tipe dari
pembedahan yang diperlukan tergantung dari beberapa faktor yang harus
dievaluasi dari pasien secara individual. Batas radikal, didefinisikan sebagai
pengangkatan seluruh kompartemen yang terlibat (tulang, sendi, otot) biasanya
tidak diperlukan. Hasil dari kombinasi kemoterapi dengan reseksi terlihat lebih
baik jika dibandingkan dengan amputasi radikal tanpa terapi adjuvant, dengan
tingkat 5-year survival rates sebesar 50-70% dan sebesar 20% pada penanganan
dengan hanya radikal amputasi.1
Fraktur patologis, dengan kontaminasi semua kompartemen dapat
mengeksklusikan penggunaan terapi pembedahan limb salvage, namun jika dapat
dilakukan pembedahan dengan reseksi batas bebas tumor maka pembedahan limb
salvage dapat dilakukan. Pada beberapa keadaan amputasi mungkin merupakan
pilihan terapi, namun lebih dari 80% pasien dengan osteosarkoma pada eksrimitas
30
dapat ditangani dengan pembedahan limb salvage dan tidak membutuhkan
amputasi. 1,8,15
2.14 PROGNOSIS
Faktor yang mempengaruhi prognosis termasuk lokasi dan besar dari
tumor, adanya metastase, reseksi yang adekuat, dan derajat nekrosis yang dinilai
setelah kemoterapi.8
a) Lokasi tumor
Lokasi tumor mempunyai faktor prognostik yang signifikan pada tumor
yang terlokalisasi. Diantara tumor yang berada pada ekstrimitas, lokasi yang lebih
distal mempunyai nilai prognosa yang lebih baik daripada tumor yang berlokasi
lebih proksimal. Tumor yang berada pada tulang belakang mempunyai resiko
yang paling besar untuk progresifitas dan kematian. Osteosarkoma yang berada
pada pelvis sekitar 7-9% dari semua osteosarkoma, dengan tingkat survival
sebesar 20% – 47%.8
b) Ukuran tumor
Tumor yang berukuran besar menunjukkan prognosa yang lebih buruk
dibandingkan tumor yang lebih kecil. Ukuran tumor dihitung berdasarkan ukuran
paling panjang yang dapat terukur berdasarkan dari dimensi area cross-
sectional.1,8
c) Metastase
Pasien dengan tumor yang terlokalisasi mempunyai prognosa yang lebih
baik daripada yang mempunyai metastase. Sekitar 20% pasien akan mempunyai
metastase pada saat didiagnosa, dengan paru-paru merupakan tempat tersering
lokasi metastase. Prognosa pasien dengan metastase bergantung pada lokasi
metastase, jumlah metastase, dan resectability dari metasstase. Pasien yang
menjalani pengangkatan lengkap dari tumor primer dan metastase setelah
kemoterapi mungkin dapat bertahan dalam jangka panjang, meskipun secara
keseluruhan prediksi bebas tumor hanya sebesar 20% sampai 30% untuk pasien
dengan metastase saat diagnosis.8
Prognosis juga terlihat lebih baik pada pasien dengan nodul pulmoner
yang sedikit dan unilateral, bila dibandingkan dengan nodul yang bilateral, namun
31
bagaimanapun juga adanya nodul yang terdeteksi bukan berarti metastase. Derajat
nekrosis dari tumor setelah kemoterapi tetap merupakan faktor prognostik. Pasien
dengan skip metastase dan osteosarkoma multifokal terlihat mempunyai prognosa
yang lebih buruk.8
d) Reseksi tumor
Kemampuan untuk direseksi dari tumor mempunyai faktor prognosa
karena osteosarkoma relatif resisten terhadap radioterapi. Reseksi yang lengkap
dari tumor sampai batas bebas tumor penting untuk kesembuhan. 8
e) Nekrosis tumor setelah induksi kemoterapi
Kebanyakan protokol untuk osteosarkoma merupakan penggunaan dari
kemoterapi sebelum dilakukan reseksi tumor primer, atau reseksi metastase pada
pasien dengan metastase. Derajat nekrosis yang lebih besar atau sama dengan
90% dari tumor primer setelah induksi dari kemoterapi mempunyai prognosa yang
lebih baik daripada derajat nekrosis yang kurang dari 90%, dimana pasien ini
mempunyai derajat rekurensi 2 tahun yang lebih tinggi. Tingkat kesembuhan
pasien dengan nekrosis yang sedikit atau sama sekali tidak ada, lebih tinggi bila
dibandingkan dengan tingkat kesembuhan pasien tanpa kemoterapi.1,8
32
BAB III
PEMBAHASAN
A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesis& Pemeriksaan Fisik Teori
Anamnesis
Keluhan Utama :
Panas Badan
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang pada tanggal 11 November 2014
pukul 12.10 WIB ke IGD. Pasien merupakan
pasien rujukan dari Klinik rawat inap medik
dasar “SM” . di klinik tersebut pasien dirawat
selama 4 hari. Saat dirujuk ke IGD pasien
dalam keadaan panas badan hari ke 7 (+) ,
panas dirasakan naik turun, sudah diberi obat
penurun panas namun panas lagi. Pasien juga
mengeluh mual namun tidak muntah. Badan
terasa lemas (+), keringat dingin (+), Pusing
(-), Batuk (-), Pilek (-), mimisan (-), gusi
berdarah (-). Nafsu makan menurun dan BAB
cair hitam 1x.
Riwayat Penyakit Dahulu : -
Riwayat Penyakit Kelua rga : -
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis
DBD ditegakkan apabila didapatkan :
1. Demam atau riwayat demam akut, antara
2-7 hari, biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi
perdarahan berikut :
Uji tourniquet positif.
Ptechie, ekimosis atau purpura.
Perdarahan mukosa (tersering
epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.
Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia (jumlah trombosit
<100.000/ul)
4. Terdapat minimal satu tanda plasma
leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut :
Peningkatan hematokrit >20%
dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin.
Penurunan hematokrit >20% setelah
mendapatkan terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit
sebelumnya
Tanda kebocoran plasma seperti : efusi
pleura, asites atau hipoproteinemia.
33
Pemeriksaan Fisik
Berat Badan : 49 kg
Tanda Vital :
N : 114 x/mnt
TD : 79/32 mmHg
RR : 20 x/mnt
t : 37,1˚C
Pemeriksaan Generalis :
Kepala : A/I/C/D -/-/-/-,
pembesaran KGB colli (-)
Thorax : simetris +/+, retraksi
-/-, vesikuler, rh -/-, wh -/-, S1S2
tunggal, pembesaran KGB axilla
(-)
Abdomen : supel, BU (+)
Ekstremitas : akral hangat +/+,
odem -/- (pada saat akan dirujuk di
klinik akral dingin)
Genitalia : dalam batas normal,
pembesaran KGB inguinal (-).
Dua kriteria pertama ditambah trombositopenia
dan hemokonsentrasi atau peningkatan
hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis
klinis demam berdarah dengue. Sedangkan
menurut WHO 2009, berdasarkan riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik dan atau darah
lengkap dan hematokrit, diagnosis DHF
ditegakkan dengan melihat fase penyakit febris,
kritis atau penyembuhan, menentukan adanya
warning signs, hidrasi, dan status hemodinamik
pasien serta apakah memerlukan rawat.
34
B. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Penunjang Teori
Darah Lengkap (saat akan dirujuk dari
klinik ke IGD) tanggal 11 november
2014 jam 10.45 WIB
: Hb : 9 gr/dl
Eritrosit : 4,12
Leukosit : 11. 82
Trombosit : 43.000
HCT : 34,71
Darah lengkap (Saat di Red Zone IGD)
tanggal 11 november 2014 jam 20.04
WIB
Hb : 11,3 g/dl
RBC 4,45
HCT 35,7
WBC 23, 28
PLT 57
SE :
Albumin 2.31
Kalium 3.45
Calcium 7.7
Imunologi/Serologi :
IgG Dengue (Negatif)
IgM Dengue (Positif)
Foto thorax RLD+PA
Cor : Besar dan bentuk normal
Pulmo : Exudative proses paru kiri+kanan
Kesimpulan : Pneumonia
Pemeriksaan Penunjang
Kelainan utama pada DBD adalah adanya
kebocoran plasma yang ditandai dengan adanya
hemokonsentrasi yang didefinisikan sebagai HCT >
20% antara masa akut dan konvalesen. Adanya
penumpukan cairan ekstravaskuler tercermin pula
dalam efusi pleura dan cairan ascites atau cairan
peri/para organ dalam perut, meliputi hepar, lien,
kandung empedu, dan pankreas. Bila terdapat
keraguan dalam menegakkan diagnosis maka untuk
menentukan adanya kebocoran plasma dapat
dilakukan pemeriksaan pencitraan radiologik atau
USG.
Pemeriksaan radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura,
terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi pembesaran plasma hebat,
efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada
sebaiknya dilakukan dalam
posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi
badan sebelah kanan). Asites
dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan
pemeriksaan USG.
Diagnosis laboratorium
Diagnosis definitif infeksi virus dengue
hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan cara,
isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam
serum atau jaringan tubuh, dan deteksi antibodi
35
spesifik dalam serum pasien.
Deteksi Antibodi
Sebagai diagnosis infeksi virus dengue uji
diagnostik yang sering digunakan adalah
Hemagglutination Inhibition (HI test), capture
IgM/IgG ELISA, serta antigen coated indirect
IgM/IgG ELISA. HI digunakan untuk menentukan
infeksi primer dan sekunder, tes ini mudah, sensitif
dan reproducable. Dikatakan infeksi virus dengue
sekundr bila titer tes HI ≥ 1:2560 dan primer bila
<1;2560. Tes HI sudah jarang digunakan dan
digantikan oleh capture IgM dan IgG ELISA oleh
karena mudah, dan memiliki sensitivitas serta
spesifitas tinggi. Pada infeksi virus dengue primer
antibodi IgM timbul cepat dalam 3-5 hari pada 50%
penderita, mencapai puncak dalam 2 minggu
kemudian menurun sampai tidak terdeteksi dalam
2-3 bulan. IgG antivirus timbul belakangan. Pada
infeksi sekunder kadar IgM rendah, mencapai
puncaknya dalam 2 minggu kemudian menurun.
Namun pada 30% masih terdeteksi dalam 2 bulan
setelah sakit. IgG yang cross-reactive timbul lebih
dini, mendahului atau bersamaan dengan IgM.
36
C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Teori
Saat di Klinik rawat inap (08.00 wib)
• Inj cefotaxime 1gr
• Inj ranitidin 1 amp
• Inj Ondancentron 1 amp
• Inj Antrain 1 amp
Pukul 09.00 wib
• Inf RL loading 1000 cc
Pukul 10.30 wib
• Inj omeprazole 80 mg
Saat di IGD
• Infus HES loading
• O2 masker 10 lpm
• Inf paracetamol 3x1 g
• Inj Ranitidin 2x1
• Inj ondancentron 3x4 mg
• Inj cefotaxim 1 g
Pukul 14.00 WIB
• MAP 53 mmHg
• Up RED zone
• Pasien sesak (+), TD 75/43, HR
110x.mnt, RR 35x/mnt. Akral hangat
+/+. RT : TSA (+) adekuat, mucosa
(+). Massa (-), feses (+), Kuning (+),
darah (-), Melena (-). Planning : cek
IgG/IgM dengue. Terapi lain lanjut.
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda
dengan tatalaksana DD, bersifat simptomatik dan
suportif yaitu pemberian cairan oral untuk
mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat
diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah
atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan
intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik
kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan
bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama
demam pada DBD. Parasetamol direkomendasikan
untuk mempertahankan suhu di bawah 39 C dengan⁰
dosis 10-15 mg/kgBB/kali.
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian
shock yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah
waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya
hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar
hematokrit berkala merupakan pemeriksaan
laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil
pengobatan yaitu menggambarkan derajat
kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan
intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi
sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan
tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal
satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal
kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak
tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat digunakan
sebagai alternatif walaupun tidak sensitive
Dasar pathogenesis DBD adalah perembesan
plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu,
37
• O2 masker 10 lpm
• Inf paracetamol 3x1 g
• Inj Ranitidin 2x1
• Inj ondancentron 3x4 mg
• Inj cefotaxim 1 g
• Infus NS 500 cc
Jam -
- Infus NS 500 cc
Jam –
- Infus NS 500 cc
Pukul 17.30 WIB
Konsul dr Bobi Sp EM
• Cek Hb jika turun transfusi PRC
• Cek IVC
• Pasang kateter
• Konsul dr. SpA
Pukul 18.00 WIB
Konsul dr. Herlin SpA
• DL serial tiap 6 jam
• Cek IgG/IgM dengue
• Cek SE
• Foto thorax RLD+PA
• Albumin
• Inf RD5 2000 cc/24 jam
• Ranitidin2x1 amp
• As. Folat 1x1 tab
• Dehaf sachet 2x1
• Sanmol 3x500 mg (k/p)
maka dasar pengobatannya adalah penggantian
volume plasma yang hilang. Walaupun demikian,
penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal
dihitung untuk 2 atau 3 jam pertama, sedangkan
pada kasus shock lebih sering yaitu setiap 30-60
menit. Tetesan dalam 24 -48 jam berikutnya harus
selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit, dan jumlah volume urin. Penggantian
volume yang dibutuhkan adalah jumlah cairan
rumatan tambahan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan,(1) apabila anak terus
menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi
sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga
mempercepat terjadi shock. (2) nilai hematokrit
cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
Jenis Cairan (rekomendasi WHO)
(1) Kristaloid
Ringer Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer
Laktat
5% Dekstrose di dalam larutan Ringer
Ashering
5% Dekstrose di dalam larutan setengah
normal garam fisiologi (faali),dan
5% Dekstrose di dalam larutan normal
garam fisiologi (faali)
(2) Koloidal
Plasma expander dengan berat molekul
rendah (Dekstran 40)
Plasma
38
Pukul 21.00
AP dr Herlin SpA
• IVFD RD5 1500 cc/24 jam
• Inj cefotaxime 3x1 gr iv
• Inj Ranitidin 2x1 amp iv
• Sanmol 3x500 mg iv (k/p)
• Dehaf sach 2x1
• As folat 1x1 tab
• Ca gluconas 50 cc drip dlm pz 500 cc
(habis dalam 6 jam)
• Cek DL serial
• Cek SE
• KIE makan minum manis
• GDA : 70 mg/dl, UT : 500 cc (dibuang)
Tanggal 12 November 2014
S : -panas hari ke VIII
- sesak (+)
-bengkak (-)
O : KU : CM
GCS 4-5-6
TD : 96/31
Nadi : 141x/menit
RR : 70x/menit
SatO2 : 60%
Temp : 37
K/L : A/I/C/D -/-/-/+, PCH +/+ MC -/-
Thorax : simetris retraksi subcostal (+). Cor:
m(-), g (-), S1 S2 normal, Pulmo : Rh +/+ Wh
+/+.
Abdomen : supel. Metorismus (-), BU (+),
hepar lien ttb. Extremitas : Akral dingin.
Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan
tergantung dari umur dan berat badan pasien serta
derajat kehilangan plasma sesuai dengan derajat
hemokonsentrasi yang terjadi. Pada anak gemuk,
kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan
ideal untuk anak umur yang sama.
Perlu mendapat perhatian bahwa
penggantian volume yang berlebihan dan terus
menerus setelah perembesan plasma berhenti akan
mengakibatkan distress pernapasan sebagai akibat
udem paru. Demikian pula pada saat konvalessen
terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular, akan
menyebabkan edema paru dan distress pernapasan
apabila cairan intravena tetap diberikan.
Pasien harus segera dirawat dan segera
diobati bila dijumpai tanda-tanda shock yaitu
gelisah, letargi/lemah, ekstremitas dingin, sianosis,
oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit
(20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, dan
peningkatan mendadak kadar hematokrit atau kadar
hematokrit yang meningkat terus-menerus walaupun
telah diberi cairan intravena. (1,3),4
Tanda dan gejala klinik overload cairan yaitu
(5):
1). Distress nafas, dyspnea dan tachypnea
2). Abdomen yang distended, karena banyak ascites.
3). Nadi yang cepat, tetapi volumenya cukup.
4). Tekanan darah yang meningkat, disertai tekanan
nadi yang melebar, pada tahap lebih lanjut terjadi
penurunan tekanan nadi.
5). Terdengarnya crepitasi, ronkhi atau wheezing
pada kedua lapangan paru.
39
A: DHF grade III + Edema Paru (volume
overload)
P:
inf RD 5 1000 cc/24 jam
lasix 2x1 amp iv
ceftriaxone 1x1 gram iv
MP 25-25-0 mg iv
O2 2 l/m
6). CRT>3 detik, yang segera disusul dengan
impending respiratory failure.
Ada prinsip dasar yang harus dipegang dokter yang
merawat penderita infeksi virus dengue:
1). Pada periode febris, pemberian cairan intravena
harus benar indikasi dan jenis cairannya
2). Pada periode afebris/kritis prinsip pemberian
cairan seminimal mungkin, tetapi dapat
mempertahankan fungsi sirkulasi harus dipegang.
3). Jangan memakai cairan hypotonic
4). Saat memasuki periode confalescence, dosis dan
jenis cairan harus betul, dan saat menghentikan
infus cairan tidak boleh ditunda.
5). Pada indikasi pemberian koloid, cairannya harus
ada.
6). Pada saat harus memberi transfusi darah,
barangnya harus ada.
7). Pemakaian cairan infus harus direncanakan,
dilaksanakan dan dievaluasi dari waktu ke waktu
dengan seksama.
Penanganan penderita dengan overload cairan.
1). Tetapkan terlebih dahulu apakah masih ada
kebocoran plasma atau sudah berhenti. Dimensi
waktu sakit dan dimensi waktu terjadinya kebocoran
plasma.
2). Pemberian cairan dapat dihentikan, diganti
dengan cairan rumatan (dosis holliday-segar) ,
diganti dengan colloid selang seling dengan d5 in
RL/ D5 in RA
3). Berikan furosemide IV, dan dapat diulang segera
apabila tanda-tanda kesulitan bernafas penderita
masih prominen.
40
4). Monitoring input dan output cairan
5). Kalau semua tindakan tidak diatas tidak
membantu pikirkan untuk melakukan pernapasan
bantuan dengan ventilator.
6). Apabila ventilator juga tidak membantu maka
dapat dilakukan tindakan “ tapping” cairan pleura
dn ascites. Walaupun tindakan ini dapat
menimbulkan kegawatan baru berupa perdarahan
yang massif.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Demam berdarah dengue (DBD) ialah penyakit infeksi akut yang
ditularkan oleh serangga (arthropoda) dan disebabkan oleh virus dengue
yang digolongkan arthropode borne virus (arbovirus), memiliki empat
serotype, yaitu (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4).
2. Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes Aegypti.
41
3. Kriteria diagnosis terdiri dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua
kriteria klinis ditambah trombositopenia dan peningkatan hematokrit
cukup untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue.
4. Penatalaksanaan demam berdarah dengue bersifat simtomatis yaitu
mengobati gejala penyerta dan suportif dengan mengganti cairan yang
hilang.
5. Ada prinsip dasar yang harus dipegang dokter yang merawat penderita
infeksi virus dengue:
1). Pada periode febris, pemberian cairan intravena harus benar
indikasi dan jenis cairannya
2). Pada periode afebris/kritis prinsip pemberian cairan seminimal
mungkin, tetapi dapat mempertahankan fungsi sirkulasi harus
dipegang.
3). Jangan memakai cairan hypotonic
4). Saat memasuki periode confalescence, dosis dan jenis cairan
harus betul, dan saat menghentikan infus cairan tidak boleh
ditunda.
5). Pada indikasi pemberian koloid, cairannya harus ada.
6). Pada saat harus memberi transfusi darah, barangnya harus ada.
7). Pemakaian cairan infus harus direncanakan, dilaksanakan dan
dievaluasi dari waktu ke waktu dengan seksama.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djunaedi D, 2006, Demam Berdarah Dengue. Epidemiologi,
imunopatologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaannya, UPT
penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, Malang.
2. Ester, Monica. 1999, Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, pengobatan,
pencegahan dan pengendalian (WHO) Edisi 2, EGC, Jakarta.
42
3. Harikushartono, et al, 2002, Demam Berdarah Dengue Dalam : Ilmu
Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan, Penerbit Salemba Medika,
Jakarta.
4. Infeksi Virus Dengue Dalam : Pedoman Diagnostik Dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak Edisi III, 2010, FK Unair, Surabaya pp : 102-110.
5. Ismoedijanto,et al. 2010, Applied Management Of Dengue Viral Infection
In children, IDAI cabang Jawa Timur komisariat jatim IV dan IDI Kediri,
Kediri.
6. Pudjiadi, Antonius, et al. 2010, Infeksi Virus Dengue Dalam : Pedoman
Pelayanan Medis Jilid I. Ikatan Dokter Anak Indonesia, pp 141-149.
7. Soedarmo, SP. 1999, Masalah Demam Berdarah di Indonesia Dalam :
Demam Berdarah Dengue, Balai Penerbit FKUI, Jakarta pp : 1-11.
8. Soegijanto, Soegeng, 2008, Demam Berdarah Dengue Edisi 2, Airlangga
University Press, Surabaya.
9. Sudoyo, Aru, et al. 2007. Demam Berdarah Dengue Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV, Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI, Jakarta pp : 1709-1713.
43