Upload
others
View
25
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERAN PEMUDA DUSUN NGANDONG KECAMATAN TURI
DALAM SOSIALISASI MITIGASI BENCANA GUNUNG
MERAPILaporan Praktikum Lapangan Mata Kuliah Metode Penelitian Kualitatif 1
Kelompok 12:
Ahmad Rafi Amrulloh (18/428292/SP/28501)
Muhammad Hafizh Rashin (18/428305/SP/28514)
Pitaloka Ainun Yasmin (18/428311/SP/28520)
Septia Witriani Kusumawati (18/430848/SP/28692)
Shaquille Kito Najib (18/428316/SP/28525)
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2019
KATA PENGANTAR
Bencana merupakan hal yang tidak diinginkan oleh setiap orang. Kedatangannya
banyak memakan korban baik jiwa maupun harta benda. Lalu muncullah berbagai macam
cara untuk dapat bertahan, baik dengan cara melakukan persiapan sebelum bencana, maupun
pemulihan setelah bencana. Fenomena tersebut sangat menarik untuk diteliti mengingat hal
semacam ini cenderung jarang dikaji dalam sudut pandang sosiologis. Hal menarik terutama
nampak pada bencana Gunung Merapi 9 tahun silam, ketika mitigasi dan recovery
melibatkan pemuda, di mana posisi pemuda merupakan anggota masyarakat yang memiliki
pergerakan cepat dan revolusioner. Berangkat dari keunikan tersebut, peneliti tergerak untuk
meneliti fenomena pelibatan pemuda dalam gerakan sosial kebencanaan di Dusun Ngandong
yang dekat dengan Merapi, untuk kemudian diharapkan dapat menjadi referensi bagi pihak-
pihak yang memiliki kepentingan terkait. Selain itu, laporan hasil penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bacaan yang dapat diambil hikmah dibaliknya.
Atas tersusunnya laporan ini, kami panjatkan puji syukur pada Allah SWT karena atas
rahmat-Nya peneliti dapat lancar dalam melakukan penelitian dan menyelesaikan laporan
hasil penelitian ini. Tak lupa kami juga mengucapkan terimakasih pada Bapak Prof.
Tadjuddin Noor Efendi, Bapak Dr. Suharko, dan Mas Fuji Riang Prastowo, S.Sos., M.Sc.
yang telah membimbing kami dalam mata kuliah Kualitatif 1. Begitu pula segenap civitas
akademika dan teman-teman, yang tidak mungkin kami sebut namanya satu persatu yang
telah mendukung jalannya penelitian ini. Rasa terimakasih juga kami ucapkan kepada karang
taruna Dusun Ngandong yang bersedia kami wawancarai guna kepentingan penelitian
kualitatif dan melengkapi kewajiban kami sebagai mahasiswa.
Kami menyadari, laporan pasca penelitian ini memiliki banyak kekurangan mengingat
terbatasanya pengetahuan kami karena kami masih duduk di semester dua. Oleh karena itu,
kami menerima kritik dan saran demi kemajuan karya kami selanjutnya.
Dengan Hormat,
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Metodologi Penelitian
1.6 Studi Pustaka
1.7 Kerangka Berpikir
2. DESKRIPSI WILAYAH
2.1 Deskripsi Desa Girikerto
2.2 Deskripsi Dusun Ngandong
3. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1 Karang Taruna
3.2 Bolo Tetulung
3.3 Mitigasi
3.4 Keadaan Saat Bencana
3.5 Recovery
4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Keterbatasan Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang
Kecamatan Turi merupakan salah satu dari tiga kecamatan yang paling dekat dengan
Gunung Merapi. Jarak pusat kecamatannya yang relatif dekat dengan puncak Merapi
yaitu 11,6 kilometer menjadikan Turi sebagai salah satu kecamatan yang pertama
terdampak letusan Gunung Merapi. Pada letusan Gunun Merapi yang terjadi tahun 2010
lalu, Pemerintah Kabupaten Sleman mencatat sebanyak 11.941 warga mengungsi.
Gunung Merapi tidak selalu meletus dalam skala besar dan menghentikan aktivitas
warganya secara total, bahkan aktivitas guguran lava yang kerap kali diluncurkan akhir-
akhir ini tidak mengusik aktivitas masyakarat sekitar.
Kegiatan ekonomi masyarakat yang terus berlanjut terlepas dari aktivitas Gunung
Merapi memberitahu kita betapa pahamnya mereka tentang situasi Gunung Merapi saat
ini. Terbiasanya masyarakat melalui lamanya tinggal di tempat yang relatif dekat dengan
Gunung Merapi menjadi salah satu faktor bagaimana mereka dapat terus beraktivitas.
Faktor lain yang turut hadir adalah mitigasi bencana.
Mitigasi bencana ada karena munculnya kekhawatiran terhadap aktivitas alam yang
dinilai dapat membahayakan masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir mitigasi
bencana tidak hanya menjadi kegiatan yang dilaksakan pemerintah saja, pemuda juga
mulai ikut terlibat dalam kegiatan ini. Mereka memanfaatkan organisasi mereka untuk
mensosialisasikan bahaya dari aktivitas alam tertentu, dalam hal ini aktivitas Gunung
Merapi. Hal tersebut dapat kita lihat dari Karang Taruna Girikerto yang berlokasi di
Girikerto, Kecamatan Turi.
Karang taruna sebagai organisasi kepemudaan merupakan wadah untuk
mengembangkan kesadaran dan nilai-nilai sosial individu melalui beragam kegiatan yang
dilakukan di tengah masyarakat pada tingkat desa. Kegiatan-kegiatan tersebut diadakan
untuk membina masyarakat sekitar terutama pemuda, agar menjadi bagian dari
masyarakat yang memiliki kesadaran dan nilai-nilai sosial yang tinggi, serta jauh dari
hal-hal yang masyarakat anggap buruk. Salah satu kegiatan karang taruna adalah
sosialiasi mitigasi bencana.
Munculnya partisipasi karang taruna terutama dalam mitigasi bencana merupakan
hal positif. Karang Taruna yang anggotanya adalah pemuda memiliki waktu dan energi
yang relatif lebih banyak bila dibandingkan dengan orangtua maupun anak-anak,
ditambah pengalaman mereka yang belum banyak memudahkan pengetahuan
kebencanaan, baik mitigasi maupun restorasi setelah bencana untuk mudah diterima dan
diingat.
Peran mereka dalam melakukan mitigasi bencana memudahkan akses informasi
pengetahuan kebencanaan untuk masuk ke telinga masyarakat. Terlebih mereka
merupakan bagian dari masyarakat secara langsung, tidak seperti pemerintah, sehingga
penyaluran pengetahuan kebencanaan dapat dilakukan melalui kegiatan sehari-hari.
Selain itu, dengan banyaknya informasi yang mengalir di berbagai jenis media, terutama
media sosial menjadikan pemuda sebagai peran kunci untuk dapat membedakan dan
mengklasifikasikan informasi palsu dari informasi asli. Keberadaaan informasi palsu
terutama informasi bencana dapat menimbulkan berbagai hal yang tidak diinginkan.
Hal ini memberitahu kita betapa pentingnya peran pemuda terutama Karang Taruna
di tengah masyarakat. Oleh karena itu, merupakan suatu urgensi untuk memahami peran
karang taruna dalam mitigasi bencana dan keterlibatannya pasca-bencana. Harapan dari
penelitian ini adalah pemerintah dapat memahami lebih jauh lagi pentingnya partisipasi
pemuda melalui organisasi seperti karang taruna dalam mensosialisasikan kepentingan
umum. Sehingga pelaksanaan mitigasi bencana dapat berjalan dengan lebih baik.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana gerakan sosial yang dilakukan pemuda Dusun Ngandong dalam
melakukan mitigasi terhadap bencana alam yang disebabkan oleh Gunung Merapi?
2. Bagaimana keterlibatan pemuda Dusun Ngandong dalam pemulihan pasca-bencana
Gunung Merapi?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui kepedulian pemuda setempat terhadap bencana yang terjadi di sekitarnya.
2. Menggambarkan seberapa tahu mereka tentang mitigasi bencana.
3. Menggambarkan upaya – upaya yang dilakukan pemuda setempat dalam pengurangan
resiko bencana.
4. Memetakan proses program atau kegiatan gerakan sosial yang dilakukan pemuda
setempat dalam mitigasi bencana.
5. Menjelaskan peran pemuda setempat dalam pemulihan pasca-bencana.
6. Menggambarkan keterlibatan pemuda setempat dalam upaya pemulihan pasca-
bencana.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Membertikan sumbangan ilmu pengetahuan sosial terkait peran dan gerakan
pemuda dalam mitigasi bencana dan proses pemulihan pasca-bencana.
1.4.2 Manfaat Praktis
1. Mengembangkan gerakan sosial yang dilakukan pemuda setempat sebagai sarana
program sosialisasi mitigasi bencana kepada masyarakat sekitar..
2. Rekomendasi kepada lembaga pemerintah setempat, terutama kepada lembaga
penanggulangan bencana agar pemuda setempat mendapat pelatihan terkait
mitigasi bencana dan pemulihan pasca-bencana.
3. Mengintensifkan gerakan sosial yang dilakukan pemuda setempat menjadi suatu
program rutin dan tertata untuk dalam mitigasi dan pemulihan pasca-bencana
4. Tercipta kolaborasi antara pemerintah dan pemuda dalam mitigasi dan pemulihan
pasca-bencana untuk mengurangi resiko bencana.
1.5 Metodologi Penelitian
1.5.1 Tahapan Penelitian
1.5.2 Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif secara deskriptif. Pengumpulan
data dilakukan melalui wawancara semi terstruktur dengan narasumber yaitu lima pemuda
Dusun Ngandong. Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan dengan
mendokumentasikan hasil temuan di lapangan. Pengumpulan data dengan wawancara
merupakan salah satu cara memperoleh data penelitian yang lebih mendalam. Dalam
upaya memperoleh data wawancara yang baik, peneliti akan membangun kondisi yang
nyaman agar narasumber dapat menjawab setiap pertanyaan secara terbuka, tetapi peneliti
tetap mempertimbangkan keobjektifan sikap dan informasi yang disampaikan
narasumber.
1.5.3 Teknik Analisis Data
Analisis data berupaya untuk mengatur secara sistematis bahan hasil wawancara dan
observasi, menafsirkannya agar memperoleh hasil temuan suatu pemikiran, teori atau
gagasan yang baru. Analisis data akan dilakukan peneliti pada penelitian ini yaitu melalui
reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan
pemilihan data yang sesuai dengan jenis dan alur sistematis, lalu melakukan pengkodean
terhadap data-data yang diperoleh dari lapangan serta berupaya melengkapi data lapangan
yang masih dianggap kurang. Kemudian, kata dikategorikan ke dalam bagian-bagian yang
memiliki kesamaan. Data yang ada perlu dikiritisi dan dikaji ulang antara hubungan data
dengan konsep. Lalu, peneliti melakukan pemaknaan data dengan mengembangkan konsep
atau teori sesuai kode dan data yang ada untuk menemukan teori substantif.
1.6 Studi Pustaka
Studi sebelumnya telah banyak mengidentifikasi mengenai peran pemuda dalam
proses mitigasi dan pemulihan pasca-bencana. Studi Kumoro yang meneliti mengenai
lava tour, gerakan sosial yang dilakukan pemuda, untuk memberi asupan ekonomi rumah
tangga pasca-bencana dengan mengubah pola ekonomi yang awalnya berbasis pertanian
menjadi berbasis kepariwisataan. Kumoro memasukkan pemuda ke dalam golongan
produktif karena modal energi yang termanifestasikan dalam organisasi pemuda
(Kumoro, 2019). Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan
Ni’am di Ende, disana pemuda membentuk gerakan sosial yang berperan dalam proses
rancang-bangun sistem siaga bencana (Ni'am & Ardyanto, 2019). Berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Novenanto,dkk di Besuki Timur (2019), dimana gerakan
sosial digunakan untuk berfungsi sebagai wadah yang berfungsi untuk mengatasi krisis
psikis dan krisis sosial para pemuda Besuki Timur sebagai akibat dari bencana lumpur
Lapindo. Dari ketiga penelitian tersebut dapat dilihat bahwa pemuda memiliki gagasan
untuk membuat gerakan baru dan memberikan berbagai manfaat bagi lingkungan
sekitarnya.
Melalui deklarasi hyogo atau dikenal dengan Hyogo Framwork for Action (HFA),
ada lima prioritas aksi penanggulangan bencana: 1) Make Disaster Risk Reduction as
Priority; 2) Know The Risk and Take Action; 3)Build Understanding and Awareness; 4)
Reduce Risk; 5) Be Prepared and Ready to Act. Kemudian dilanjutkan dengan Deklarasi
Sendai yang menghasilkan kerangka kerja Sendai untuk pengurangan risiko bencana
(2015-2030) dengan 4 prioritas aksi antara lain: 1) Memahami risiko bencana; 2)
Penguatan tata kelola risiko; 3) Investasi PRB untuk Resiliensi; 4) Meningkatkan
manajemen risiko (Rahman, 2016).
Banyak hal yang sebenarnya dapat dilakukan pemuda saat mitigasi bencana. Dalam
upaya respon saat bencana pemuda dapat melakukan pemantauan terhadap tanda-tanda
bahaya, saling berkomunikasi, serta lapor terhadap komunitas terkait sehingga pemuda
dapat saling berkolaborasi bukan dalam tafsiran menghindari bencana melainkan hidup
selaras dengan bencana (Pradika, Giyarsih & Hartono, 2018), selain rehabilitasi pemuda
juga dapat melibatkan diri dalam proses rekonstruksi bencana, salah satu contoh terkait
hal ini adalah kemunculan pokdarwis (kelompok sadar wisata) yang terdapat di Gunung
Kidul (Fatchurrohman, 2019).
Studi lainnya juga mengidentifikasi dampak bencana bagi kondisi pemuda. Heath
(2009) dalam studinya mengenai bencana di gempa bumi RRC tahun 2008 mengatakan,
bencana dapat mengakibatkan negara kehilangan generasi pemuda dalam skala besar
yang berdampak pada keamanan dan kemakmuran di masa mendatang. Hal menarik
justru ditemui pada riset yang dilakukan oleh Nelson (2008) yang meneliti mengenai
psikologi remaja yang menjadi korban badai Katrina. Riset tersebut menemukan bahwa
pemuda memiliki kemampuan untuk mempertahankan sifat positif, meminta dan
menerima bantuan, menyelesaikan masalah, serta merasa tenang dan nyaman bersama
korban lainnya saat terjadi bencana, dari sanalah tercipta kesadaran pemuda terhadap
bencana. Dari kesadaran yang tercipta mendorong mereka untuk melakukan pencegahan
dan penurunan resiko bencana, serta tindakan pemulihan pasca-bencana.
1.7 Kerangka Berpikir
BAB II
DESKRIPSI WILAYAH
2.1 Deskripsi Desa Girikerto
Desa Girikerto merupakan salah satu desa di Kecamatan Turi. Kecamatan ini
terletak di bagian utara provinsi DIY dan berdekatan dengan gunung Merapi. Karena
letaknya yang berdekatan itulah, Desa Girikerto turut terkena letusan abu vulkanik ketika
gunung ini sedang erupsi. Tetapi ketebalan abu vulkanik berbeda-beda di tiap tempat
mengingat jarak dengan kawah dan arah angin yang bervariasi. Desa ini terletak di
dataran tinggi sehingga banyak penduduknya yang berprofesi sebagai petani salak
dengan memanfaatkan lahan subur hasil muntahan gunung, serta bekerja di sektor
ekowisata. Komoditas utama Desa Girikerto adalah buah salak dan susu sapi, namun
belakangan dikembangkan pula susu kambing karena keuntungannya yang lebih
menjanjikan dan masih jarang diternakkan.
Berdasarkan data BPS tahun 2018, jumlah penduduk Girikerto adalah sebanyak
7.582 jiwa dengan 3.773 penduduk laki-laki dan 3.809 penduduk perempuan.
Kebanyakan penduduk Desa Girikerto memiliki kebun salak yang diwariskan turun
temurun. Kebun tersebut jarang dialihungsikan menjadi bangunan atau lainnya, sehingga
meskipun pewaris kebun tidak bekerja di sektor pertanian, tetap saja tanah tersebut
menjadi kebun salak.
Remaja Desa Girikerto memiliki karang taruna yang terkoordinir dengan baik
hingga lingkup padukuhan. Hal ini dibuktikan dengan mudahnya mencari informasi
mengenai antar karang taruna walaupun berbeda dusun serta adanya kumpul antar
anggota karang taruna dalam 1 desa.
2.2 Deskripsi Dusun Ngandong
Dusun Ngandong merupakan padukuhan yang terletak di bagian paling utara Desa
Girikerto. Dusun Ngandong berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Merapi
(TNGM) di bagian utara, kemudian dusun Nangsri di bagian selatan, serta Kecamatan
Pakem di bagian timur. Dusun ini juga berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa
Tengah di barat. Dusun ini berjarak kira-kira 7 km dari kawah Gunung Merapi dan
termasuk kedalam zona rawan 4 (zona terdepan), namun dusun ini tidak menerima
dampak yang terlalu massif dari Gunung Merapi karena letaknya yang jauh dari sungai
sehingga terhindar dari aliran lahar panas maupun lahar dingin.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN3.1 Karang Taruna
Karang taruna merupakan suatu organisasi di suatu masyarakat dengan basis
kepemudaan yang berada di wilayah desa/kelurahan. Salah satu fungsi dari karang taruna
sendiri yaitu karang taruna merupakan wadah yang digunakan oleh pemuda setempat
untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam diri mereka dan juga meningkatkan
hubungan antar pemuda di masyarakat. Sebagai suatu organisasi dengan basis
kepemudaan, di dalam karang taruna sendiri juga mengajarkan hal mengenai cara
mengurangi resiko ketika terjadi bencana.
Penelitian kelompok kami yang bertempat di Dusun Ngandong, Girikerto, Turi,
Sleman yaitu mengenai “Peran Pemuda Desa Girikerto Kecamatan Turi dalam
Sosialisasi Mitigasi Bencana Gunung Merapi” menemukan berbagai informasi. Dimana
dari hasil penelitian itu kelompok kami mendapatkan informasi dari berbagai narasumber
yang merupakan pemuda dari dusun Ngandong yang terlibat di dalam organisasi
kepemudaan setempat.
Berdasarkan informasi yang kami dapat dari hasil wawancara dengan beberapa
informan, kami menemukan informasi bahwa kebanyakan anggota dari karang taruna di
Dusun Ngandong yaitu masih merupakan siswa sekolah, baik itu siswa Sekolah
Menengah Pertama (SMP), dan juga Sekolah Menengah Atas (SMA). Seperti hasil
wawancara salah satu anggota kelompok kami dengan informan pada tanggal 28 April
2018,
“Iya masih, tapi ya sekarang yang besar - besar cuma tinggal saya, mas
Dwi sama mas Feri itu yang lainnya ya itu masih SMP SMA sekolah-
sekolah…” (Ponijo, Informan)
Menurut informasi yang disampaikan oleh informan tersebut, anggota dari karang
taruna setempat yang bukan merupakan siswa sekolah atau bisa disebut sebagai pekerja
hanya tersisa tiga orang (Ponijo, Dwi, Feri) dan anggota karang taruna yang lain
merupakan pelajar dari SMP hingga SMA.
Mengenai keaktifan dari karang taruna di dusun tersebut, informan kami
memberikan informasi bahwa karang taruna di dusun Ngandong masih bisa terbilang
aktif dalam berkegiatan. Informasi mengenai keaktifan dari karang taruna ini kami dapat
dari informan yang telah diwawancarai oleh anggota kelompok kami. Berikut merupakan
kutipan hasil informasi dari informan yang merupakan anggota karang taruna,
“he.eh (iya), di tiap Rt juga ada kumpul - kumpulannya. Kalau di Rt.2 mah
seminggu dua kali eh he.eh (iya), satu bulan dua kali. Kalau di Rt ku untuk
muda mudinya tiap satu bulan sekali (sungai) tiap malam tanggal 15 itu,
itu untuk kumpulan Rw cuma sekali, selapan dina pisan (35 hari sekali).”
(Ponijo, 28 April 2019)
Selaras dengan perkataan dari Ponijo, informan lain yang diwawancarai oleh
anggota kelompok kami juga mengatakan bahwa karang taruna di Ngandong selalu
mengadakan rapat sebagai agenda rutin mereka. “Setiap malam minggu pahing itu ada
rapat rutin” begitu kata Siam yang merupakan salah satu informan kami. Dia
mengatakan bahwa karang taruna di tempatnya mengadakan agenda rutin yang berupa
rapat pada setiap malam minggu pahing.
Lokasi yang dekat dengan puncak gunung Merapi mengharuskan warga di dusun
tersebut untuk setidaknya mengetahui langkah – langkah mitigasi apabila terjadi letusan
pada gunung Merapi. Terkait dengan hal tersebut, karang taruna sewajarnya memiliki
sebuah program khusus mengenai hal yang berhubungan dengan mitigasi bencana.
Namun, berdasarkan informasi yang kami dapat dari informan disini yaitu bahwa karang
taruna di dusun Ngandong tersebut justru tidak memiliki program khusus yang berkaitan
dengan mitigasi bencana khususnya ketika gunung Merapi meletus. Salah satu anggota
kelompok kami berhasil mendapatkan informasi tersebut dari informan yang bernama
Jannah. Ketika anggota kelompok kami menanyakan mengenai adakah program khusus
karang taruna di Ngandong yang berkaitan dengan mitigasi bencana, informan tersebut
dengan singkat menjawab tidak.
Hafizh: Hehe.. Lha kalau karang taruna sendiri ada kasarannya
kayak, ee, acara khusus gitu ngga, Mbak? Terhadap isu kayak ini
apa namanya pencegahan, evakuasi.. Ngga ada program khusus?
Jannah: Ngga
Meskipun karang taruna di dusun Ngandong tidak memiliki program khusus terkait
mitigasi bencana khususnya ketika gunung Merapi meletus, tetapi ada juga segelintir
pemuda di sana yang terlibat di dalam kelompok relawan khusus bencana. Berdasarkan
informasi yang diperoleh dari informan yang bernama Jannah, terdapat pemuda di dusun
setempat yang menjadi relawan untuk mitigasi. Informan berpendapat secara singkat
bahwa ada pemuda di dusun setempat yang menjadi relawan untuk melakukan mitigasi,
bersama dengan Mas Dwi dan Mas Ijut. Meski demikian, informan tidak mengetahui
secara detail perihal tim relawan tersebut, salah satunya mengenai jumlah anggota yang
ada. Berikut ini merupakan hasil percakapan informan saat diwawancarai oleh anggota
kelompok kami,
Hafizh: Mas Ijut kan bilang, ee, dari relawan katanya malah banyak anak mudanya
gitu. Dari sini banyak yang jadi relawan untuk itu? Untuk…
Jannah: Ya, ada.
Hafizh: Tapi, kalau banyak atau nggak? Nggak tahu?
Jannah: Nggak tahu, hehe.
Hafizh: Ketuanya Mas Ijut. Ee, tapi kalo terkait bencana, dibantu sama Mas Dwi? Itu
kasarannya bener-bener sukarela gitu ya, memang?
Jannah: Ya.
Meskipun informasi di atas menyebutkan bahwa terdapat pemuda dusun tersebut
yang menjadi relawan kebencanaan, tetapi informan juga menyebutkan bahwa tidak
semua pemuda di dusun Ngandong tersebut memiliki ketertarikan untuk menjadi relawan
mitigasi. Informan berpendapat secara singkat bahwa pemuda di dusun setempat tidak
terlalu berminat untuk menjadi relawan, tetapi ketika informan ditanyai seberapa banyak
jumlah pastinya dia menjawab tidak mengetahui secara pasti. Berikut merupakan
percakapan antara pewawancara dan informan yang dilakukan pada tanggal 28 April
2019,
Hafizh: Hmm.. Kalau pemuda sendiri, mereka emang sangat minat untuk, apa
namanya, jadi relawan gitu, atau bagaimana?
Jannah: Kurang deh kayaknya
Hafizh: Oo, malah kurang untuk jadi relawan? Lha itu, kurangnya…
Jannnah: Soalnya kan…
Hafizh: …kenapa, Mbak?
Jannah: Gimana ya, susah njelasinnya.
Akan tetapi ketika informan ditanyai mengenai maksud kekurangan yang dikatakan
oleh informan sendiri, dia kesulitan untuk menjelaskannya kepada pewawancara.
3.2 Bolo Tetulung
Penelitian berjudul Peran Pemuda Dusun Ngandong Kecamatan Turi dalam
Sosialisasi Mitigasi Bencana Gunung Merapi ini dilaksanakan di Padukuhan Ngandong,
Desa Girikerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman pada tanggal 28 April 2019
Padukuhan Ngandong merupakan salah satu padukuhan yang letaknya dekat dengan
Gunung Merapi, yaitu sejauh 7 km. oleh karena itu, wajar bila padukuhan ini terkena
dampak letusan Merapi baik secara langsung maupun tidak langsung. Peneliti
menemukan endapan debu yang terdapat di atap rumah penduduk setempat, selain itu,
hal ini nampak pula pada sebagian rumah yang tidak ditempati di mana atapnya
berlubang-lubang. Fenomena semacam ini sejalan dengan apa yang dikatakan informan
mengenai letusan merapi tahun 2006 dan 2010. Terjadi hujan abu yang menutupi seluruh
padukuhan serta hujan diikuti lumpur panas yang membuat atap rumah berlubang-
lubang. Padukuhan ini memiliki keunikan, yaitu meskipun letaknya sangat dekat dengan
gunung merapi namun tidak berdampak parah pada penduduk. Meskipun begitu
penduduk setempat tetap harus mengungsi ke tempat yang lebih aman untuk
menghindari kemungkinan yang tidak diinginkan. Salah satu relawan lokal yang
membantu jalannya proses pengungsian adalah kelompok relawan Bolo Tetulung. Oleh
karena itu, peneliti ingin mengetahui bagaimana profil kelompok relawan lokal ini.
Bolo Tetulung merupakan kelompok relawan lokal yang berada di Desa Girikerto.
Nama Bolo Tetulung berasal dari kata Bolo yang artinya teman dan tetulung yang artinya
menolong, sehingga secara harfiah Bolo Tetulung berarti menolong teman. Sejarah Bolo
Tetulung bermula ketika tahun 2006 seusai letusan besar Merapi, terdapat seseorang
yang berasal dari luar Desa Girikerto ingin membentuk kelompok relawan yang
beranggotakan pemuda, maka sejak saat itu terbentuklah kelompok relawan setempat
yang membantu tim SAR mencari korban bencana Merapi. Lambat laun kelompok
relawan tersebut memiliki anggota yang banyak dan sudah memiliki struktur organisasi
yang memudahkan pembagian tugas antar anggota
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
kepedulian pemuda setempat terhadap bencana yang terjadi di sekitarnya serta
Menggambarkan upaya – upaya yang dilakukan pemuda setempat dalam pengurangan
resiko bencana. Pada bagian ini pertama-tama peneliti akan memaparkan hasil
wawancara bersama 2 informan dan observasi Dukuh Ngandong serta analisisnya.
Setelah itu, peneliti akan menjelaskan secara singkat mengenai bagaimana Bolo Tetulung
menjadi wadah pemuda setempat dalam memahami bencana dan risikonya, terutama di
Padukuhan Ngandong.
Informasi mengenai Bolo Tetulung ini didapat peneliti melalui wawancara pada
humas karang taruna padukuhan Girikerto atau yang kerap dipanggil Mas Dwi. Mas Dwi
sendiri berusia 26 tahun sehingga ia masih remaja saat letusan 2010 terjadi. Hal yang
sama juga diutarakan oleh ketua karang taruna padukuhan Girikerto atau yang biasa
dipanggil Mas Ponijo. Bolo Tetulung bekerja sama pula dengan tim SAR dan BNPB.
Para anggota Bolo Tetulung kebanyakan pemuda Girikerto yang mengungsi dan turut
membantu orang lain mengungsi di Cangkringan, sehingga melahirkan pernyataan emic
di kalangan mereka, “sambil mengungsi membantu pengungsi”. Terdapat cerita menarik
sewaktu mereka menjadi relawan di Cangkringan. Menurut Mas Dwi, hal menarik
tersebut adalah ketika menemukan benda-benda ditengah abu. Seperti, motor yang sudah
tinggal besinya saja, batu besar didepan rumah salah satu warga (padahal sebelumnya
batu tersebut masih belum ada), kemudian ternak seperti sapi yang sudah matang
terbakar. Selain itu, wawancara juga dilakukan bersma Mas Ponijo, Mas Ponijo
merupakan ketua karang taruna Padukuhan Ngandong.
Bolo Tetulung ini dibentuk oleh orang dari luar Girikerto, namun lambat laun
kebanyakan anggotanya adalah pemuda Girikerto dan Pancoh. Kelompok relawan ini
mengajarkan ilmu pengetahuan mengenai bencana kepada para pemuda serta bagaimana
cara melakukan evakuasi pada korban bencana. Kegiatan evakuasi yang dilakukan
kelompok relawan ini tidak hanya seputar merapi saja, melainkan pada semua bencana di
wilayah Yogyakarta. Sebagai contoh, Bolo Tetulung ikut membantu proses evakuasi
bencana banjir dan tanah longsor di Bantul. Selain itu, Bolo Tetulung juga turut
memantau aktivitas Gunung Merapi dan memberi informasi pada warga bila suatu saat
terjadi bencana, sehingga warga dapat waspada sebelumnya. Tugas Bolo Tetulung
lainnya adalah menyisir kawasan sekitar Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM), hal
ini bertujuan untuk mengawasi lingkungan alam di sekitar gunung. Bukan hanya korban
jiwa dan harta benda, tak jarang Bolo Tetulung menyelamatkan hewan-hewan (terutama
ternak) dari bencana. Terdapat hal menarik ketika proses evakuasi penduduk saat letusan
Merapi, yaitu bebrapa pemuda menolak untuk dievakuasi, salah satunya Mas Ponijo.
Beliau menolak mengungsi dan lebih memilih berdiam diri di rumah meskipun di luar
sedang hujan abu dan hujan lumpur.
Pada awalnya sosialisasi antar anggota pada kelompok Bolo Tetulung dilakukan saat
mereka berkumpul rapat saja, namun lambat laun seiring berjalannya sosial media di
kalangan anggota Bolo Tetulung, mereka juga memanfaatkan grup Whatsapp dan HT.
Namun mengingat kondisi setempat yang susah sinyal, mereka cenderung memanfaatkan
grup Whatsapp saat keadaan tidak genting, seperti memberi informasi harian seputar
Gunung Merapi dan memanfaatkan HT saat kondisi sangat genting, seperti saat evakuasi
korban letusan Gunung Merapi.
Story box 1
Berdasarkan Story box 1 diatas, kelompok relawan lokal Bolo Tetulung dapat
dikatakan sebagai sistem sosial karena menurut teori Sibenertika Parson, sistem sosial
terdiri dari sub sistem yang saling bersinergi (Anonim, 2019). Bolo Tetulung sendiri
merupakan gabungan sub sistem yang saling berhubungan sehingga memenuhi syarat
sebagai sistem sosial. Proses perkembangan Bolo Tetulung dapat dianalisis
menggunakan teori struktural fungsional yang dikatakan Talcott Parson. Dalam teori
tersebut Parson menyebutkan bila terdapat 4 komponen dasar Struktural Fungsional atau
yang lebih dikenal sebagai AGIL, yaitu:
Pada awalnya Bolo Tetulung dibentuk oleh orang luar Desa Girikerto
(informan tidak mengetahui namanya), sebelumnya anggotanya masih
sedikit, kemudian bertambah banyak seiring berjalannya waktu. Pada
awalnya kelompok relawan ini hanya berfokus pada evakuasi korban gunung
Merapi, namun lambat laun kelompok relawan ini turut membantu evakuasi
bencana lain, seperti Banjir dan Tanah Longsor di Bantul.
1. Adaptation. Yang dimaksud adaptation adalah ketika sistem sosial selalu mengalami
perubahan sehingga dapat terus menyesuaikan diri dengan perubahan, baik perubahan
internal maupun perubahan eksternal.
2. Goal Attainment. Yang dimaksud goal attaintment adalah ketika sistem sosial
memiliki tujuan yang hendak dicapai.
3. Integration. Yang dimaksud integration yaitu, sistem sosial terintegrasi satu sama
lain, tidak terpisah-pisah
4. Latency. Yang dimaksud Latency yaitu, meskipun memiliki kemampuan untuk
beradaptasi dengan perubahan, tetapi sistem sosial selalu mempertahankan bentuk
interaksi yang statis sehingga setiap perilaku menyimpang diakomodasi melalui
kesepakatan yang terus menerus diperbarui (Parsons dalam Wijayati, 2017)
Menurut Teori Struktural Fungsional, masyarakat merupakan keseluruhan sistem
yang bekerja untuk mencapai stabilitas sosial (Anonim, 2019). Selain untuk mencapai
stabilitas, masyarakat merupakan sistem kompleks yang bertujuan untuk mencapai
solidaritas dan memiliki pola yang relatif stabil (Moffit, 2018). Hal ini tercermin dalam
kehidupan masyarakat Padukuhan Ngandong yang saling melengkapi satu sama lain,
membentuk suatu sistem berpola relatif stabil dan memiliki solidaritas yang mekanis.
Kelompok arisan ibu-ibu, pemuda, kepala dukuh dan jajarannya saling membantu satu
sama lain sebelum bencana, saat bencana, dan setelah bencana. Bahkan salah satu titik
kumpul sengaja dibangun di dekat rumah pak kepala dukuh. Hal ini membuktikan bila
warga Ngandong sudah sadar akan bahaya bencana dan apa yang harus dilakukan ketika
bencana.
Pembentukan kelompok relawan lokal Bolo Tetulung telah memenuhi keempat
komponen tersebut, hal ini dibuktikan dengan adanya perubahan struktur yang
menyesuaikan kondisi sosial di sekitar Bolo Tetulung. Pada awalnya Bolo Tetulung
memiliki anggota yang sedikit, lambat laun memiliki anggota yang banyak seiring
bertambahnya waktu, dilengkapi dengan adanya strukur keanggotaan serta rapat rutin
dan grup Whatshapp. Dari fakta-fakta tersebut, dapat diketahui bila kelompok relawan
lokal Bolo Tetulung ini telah mengalami Adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitarnya. Hal ini dilakukan agar kelompok tersebut tetap eksis di kalangan
anggotanya dan tidak sepi peminat.
Bolo Tetulung tidak hanya membantu penduduk Girikerto ketika terjadi
letusan tahun 2010, Bolo Tetulung juga ikut membantu menyelamatkan
harta benda di Cangkringan, selain itu Bolo Tetulung juga ikut dalam
evakuasi banjir di Bantul. Bolo Tetulung tidak bekerja sendiri. Mereka juga
berhubungan baik dengan tim SAR dan BPBD. Antar anggota pun memiliki
hubungan yang kuat meskipun tidak berasal dari 1 desa yang sama. Sebagai
suatu organisasi, Bolo Tetulung juga memiliki aturan yang wajib ditaati
anggotanya
Story Box 2
Berdasarkan Story Box 2 terlihat bila Bolo Tetulung memiliki tujuan tertentu sejak
dibentuk, yaitu membantu melakukan evakuasi bencana, baik membantu mengungsi
maupun menyelamatkan harta benda pasca bencana. Hal ini sesuai dengan komponen
dasar teori struktural fungsional yang kedua, yaitu Goal Attainment. Selain itu, diketahui
Bolo Tetulung ini juga terintegrasi satu sama lain, baik internal maupun eksternal.
Sedangkan pada komponen yang terakhir yakni Latency, tersirat dalam aturan yang
dimiliki Bolo Tetulung, karena didalam aturan terdapat anjuran dan larangan yang
membatasi ruang gerak anggotanya. Bagi pelanggar aturan, akan dikenai sanksi sesuai
aturan tersebut. Aturan yang sudah kadaluarsa akan digantikan dengan aturan baru yang
relevan dengan keadaan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bila kelompok relawan lokal Bolo Tetulung ini
telah berhasil memberikan edukasi kepada pemuda Girikerto, khususnya Padukuhan
Ngandong. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara bersama Mas Dwi dan Mas Ponijo.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa keberadaan Bolo Tetulung memberikan manfaat
yang sangat besar terutama bagi Pemuda Padukuhan Ngandong dalam memahami
bencana di sekeliling mereka serta rasa kepekaan sosial terhadap korban bencana alam.
3.3 Mitigasi dan Pemuda Desa Ngandong
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 6 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, mitigasi adalah serangkaian upaya untuk
mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Dalam subbbab ini kami akan
membahas berbagai bentuk mitigasi yang dilakukan pemuda Desa Ngandong menjadi
dua menurut Adnan, dkk (2015) berupa mitigasi struktural (structural mitigation)
maupun aktivitas non-struktural (non-structural activities) dari pihak lain yang bekerja
sama dengan pemuda Desa Ngandong. Bentuk mitigasi yang dilakukan tidak terbatas
pada kasus yang berkaitan dengan erupsi Gunung Merapi 2010 saja, namun didasarkan
pada data yang kami dapat dalam wawancara bersama narasumber yang mungkin
menceritakan pengalamanannya baik sebelum maupun sesudah erupsi tersebut.
Mitigasi sendiri tidak dapat berjalan hanya dengan kerja sama antara satu pihak
dengan pihak lainnya, respon dan kesiapan masyarakat dalam mengatasi masalah yang
akan muncul saat bencana terjadi dapat berubah sewaktu-waktu akibat perubahan dan
pembaharuan informasi mengenai bencana tersebut. Dijelaskan oleh Adnan, dkk (2015)
“a community’s ability to mitigate against and prepare for a disaster is tremendously
improve by embracing development”. Oleh karena itu kerja sama yang dilakukan
antarpihak bukan saja harus menghadirkan masyarakat di dalamnya, tetapi ikut
melibatkan mereka dalam proses dari awal mitigasi hingga akhir.
Pertimbangan tersebut sesuai dengan konsep teori aksi sosial dimana tindakan
seseorang terjadi setelah mempertimbangkan orang lain, selanjutnya oleh Trueman
(2015) “To Weber, a ‘social action’ was an action carried out by an individual to which
an individual attached a meaning. Therefore, an action that a person does not think about
cannot be a social action”. Aksi sosial sendiri dapat dipahami melalui dua metode, yaitu
aktuelles verstehen dan erklärendes verstehen yang pertama merupakan pemahaman
melalui observasi secara langsung, sedangkan yang kedua membutuhkan pemahaman
berdasar perspektif subjek yang diobservasi oleh peneliti.
Teori aksi sosial menjadi unit analisis yang penting untuk memahami berbagai
kegiatan sosial yang berada di tengah masyarakat terutama dalam kasus ini di Desa
Ngandong. Alasannya adalah teori aksi sosial menekankan aspek ‘mempertimbangkan’
dari setiap kegiatan yang akan dilakukan individu atau bahkan pada tingkat birokrasi.
Dalam konteks Desa Ngandong sendiri, mitigasi melibatkan seluruh tingkatan
masyarakat dari berbagai pihak, serta memiliki dampak yang luas pada setiap kebijakan
yang dibuat.
3.3.1 Fasilitas, Sarana, dan Prasarana Desa Ngandong
A. Titik Kumpul, Masjid, dan Pak Dukuh
Banyak dari fasilitas di Desa Ngandong terletak pada posisis yang
strategis (mudah dicapai, terlihat, dan berada di tengah desa) dan merupakan
jenis fasilitas yang sering digunakan masyarakat untuk berkegiatan sehari-hari,
bukan bangunan khusus yang didesain untuk situasi khusus, sehingga apa yang
kita lihat disana merupakan pemanfaatan fasilitas yang telah ada untuk
kemudian dikembangkan dan digunakan sesuai kondisi alam dimana mereka
tinggal.
Dari kelima informan yang berhasil diwawancarai, kami berhasil
mendapatkan beragam informasi mengenai berbagai fasilitas, sarana, dan
prasarana di Desa Ngandong baik dalam keadaan baik maupun sudah rusak.
Berdasarkan wawancara yang saya lakukan bersama Parry sendiri, didapati
bahwa lokasi rumah, ukuran halaman rumah, serta tanggung jawab sebagai
Pak Dukuh sendiri yang rumahnya berada di tengah desa dan dekat dengan
akses keluar-masuk desa menjadi pusat perhatian daripada fasilitas mitigasi
maupun berkegiatan yang berhubungan dengan mitigasi kebencanaan.
“Kalo 2010 itu apa– Ada ini, sirine, di tempat Pak Dukuh itu
sama diumumin juga di masjid gitu … Yang opo (apa, ya
biasanya Pak Dukuh kalo enggak Pak RW gitu (memberi
peringatan melalui masjid) … nggih (iya) yang sebelah utara di
tempat Pak Dukuh kalo yang selatan ada lagi … Terus
sekarang kalo ada kegiatan-kegiatan apa, kumpul-kumpul gitu
di tempat Bapak Dukuh” Parry (25), 28 April 2019.
Beberapa fasilitas yang dimaksud – yang berhubungan erat dengan Pak
Dukuh, baik secara tanggung jawab maupun tempat tinggalnya – adalah titik
kumpul dan masjid, selain itu juga rumah Pak Dukuh digunakan sebagai
tempat mengadakan sosialisasi mitigasi bencana yang akan kita bahas pada
bagian komunikasi. Titik kumpul pertama berada di bagian utara tepatnya
halaman rumah Pak Dukuh yang kini telah dilengkapi sistem sirine pasca
letusan Merapi 2010 (sebelumnya mengandalkan sirine dari desa lain) dan
selatan, beberapa meter dari lokasi rumah Pak Dukuh. Titik kumpul tersebut
digunakan untuk mengumpulkan warga saat becana terjadi dan kemudian
dengan teratur mengarahkan mereka untuk keluar ke pos-pos terdekat, sirine
yang berbunyi selain sebagai peringatan juga penanda lokasi titik kumpul,
terutama yang berada di halaman rumah Pak Dukuh.
Fasilitas lain yang berfungsi serupa dengan sirine adalah masjid, pengeras
surara masjid digunakan sebagai alat peringatan apabila bencana terjadi dan
menurut Parry pengeras suara tersebut disuarakan oleh Pak Dukuh atau Pak
RW. Di sepanjang desa juga terlihat dengan jelas berbagai rambu-rambu
peringatan ‘jalur evakuasi’ dan ‘lokasi titik kumpul’ sebagai penanda arah dan
lokasi tempat yang dituju.
Masyarakat Desa Ngandong memanfaatkan masjid dan titik kumpul
sebagai fasilitas dengan baik. Masjid dimanfaatkan karena sebelum 2010 Desa
Ngandong tidak memiliki sirine, mereka mengandalkan sirine dari desa
sebelah. Sehingga speaker masjid digunakan untuk menjangkau bagian Desa
Ngandong yang tidak dapat mendengar bunyi sirine, digunakanlah speaker
masjid yang berada di Desa Ngandong. Begitu pula dengan titik kumpul,
masyarakat Desa Ngandong yang memiliki halaman luas dan terbuka dengan
lokasi strategis memanfaatkannya sebagai titik kumpul, sehingga akses
fasilitas mitigasi dapat secara merata dicapai oleh masyarakat Desa Ngandong.
Peran Pak Dukuh terkait fasilitas mitigasi juga tidak kalah penting. Ia memiliki
tanggung jawab untuk mendahulukan keamanan masyarakatnya sebelum Ia
sendiri dapat menyelamatkan diri, Ia bertugas untuk memberikan peringatan
melalui speaker masjid dan memfasilitasi titik kumpul dengan halaman
rumahnya. Ia juga menggunakan rumahnya sebagai tempat untuk melakukan
sosialisasi mitigasi bencana.
Dari sini kita dapat melihat bahwa keselamatan masyarakat saat terjadi
bencana merupakan prioritas mereka, sehingga banyak fasilitas mitigasi
bencana di Desa Ngandong berasal dari bangunan yang fungsinya
mengadaptasi sesuai lingkungan desa mereka. Dari kelima informan yang kita
tanya, nampak tidak ada permasalahan yang muncul akibat memanfaatkan
lahan/bangunan milik kelompok tertentu di Desa Ngandong. Pertimbangan
keselamatan masyarakat desa menjadi prioritas utama dalam memanfaatkan
fasilitas di desa. Mereka memiliki nilai ikatan antar sesama yang sangat erat.
B. Pos Ronda dan Masyarakat
Di titik terluar desa terdapat sebuah pos ronda sebagai tempat untuk
menjaga dan mengawasi setiap orang dan informasi yang masuk dan keluar
desa, lokasi pos ronda tersebut sangat strategis karena posisinya yang berada
di seberang satu-satunya jalan masuk keluar Desa Ngandong. Informan juga
turut mengatakan bahwa pos ronda ini kerap dimanfaatkan apabila aktivitas
Gunung Merapi patut untuk diawasi. Mengutip perkataan Ponijo (27) saat
diwawancarai oleh salah satu anggota dari tim kami, “Ya campur kog mbak,
misalnya ya kalau yang tua dua yang pemuda juga dua” memberitahu kami
bahwa pada proses pengawasan terkadang terdapat pola jumlah pemuda dan
orang tua yang sama, guna berbagi pengalaman dan ilmu selagi kegiatan
pengawasan dilakukan. Hal ini berguna untuk meneruskan kebiasaan yang
telah dilakukan oleh generasi yang lebih tua.
“… malem kan pada tidur semua kok opo (apa), gununge eee ada
suara gludak gluduk gitu nggih (iya) … Kadang beberapa orang-
orang tertentu gitu yang biasanya opo (apa), ronda gitu, dicari,
"ojo turu sikek", gitu, jaga dulu” Parry (25), 28 April 2019
Baik pada kegiatan ronda malam rutin maupun mengawasi aktivitas
Merapi, warga yang datang ke ronda biasanya merupakan wajah yang familiar
saja, tidak semua orang dengan sukarela bergabung untuk mengikuti aktivitas
tersebut. Informan menambahkan bahwa ronda di desa mereka tidak memiliki
sistem denda untuk setiap anggota warga yang tidak mengikuti ronda,
memmberikan interpretasi bahwa ronda hanya dilakukan oleh orang yang
sukarela saja. Namun bukan berarti warga yang mengikuti ronda hanya itu-itu
saja, karena setiap satu-dua minggu terdapat orang yang hadir untuk sekadar
‘setor muka’.
Kegiatan menjaga dan mengawasi di pos ronda tetap berlanjut bahkan saat
desa sudah dikosongkan, saat desa sudah menjadi berbahaya untuk tetap
ditinggali. Beberapa dari mereka tetap tinggal karena pertimbangan lain yang
menurut mereka lebih penting seperti mengurus hewan ternak yang menjadi
tumpuan ekonomi sebagian masyarakat Desa Ngandong. Beberapa pemuda
yang memberanikan diri untuk tetap tinggal secara naluri berusaha untuk
mengurangi dampak bencana bersama tim relawan seperti Basarnas.
“ada pos ronda … tapi kalau pemuda sebagian masih jaga - jaga di
pos, apalagi kalau warga udah kosonglah banyak yang ngungsi …
dari dulu itu ya intinya ya meskipun diharuskan tapi juga yang
berani aja intinya punya nyali, ya kalau memang takut ya lebih
dianjurkan untuk ikut ngungsi aja” Ponijo (27), 28 April 2019
Pos ronda telah menjadi fasilitas yang sangat penting dari melakukan
ronda sebagai rutinitas malam warga sampai menjaga ternak tetangga saat desa
telah dikosongkan. Sebagaimana data wawancara yang telah kami kumpulkan
pemuda Ngandong sebagai kelompok masyarakat yang masih memiliki tenaga
lebih dari kelompok yang lebih muda/tua mengerahkan kemampuannya untuk
membantu relawan menjaga dan mengawasi desa mereka. Mereka memahami
posisi mereka sebagai pemuda desa adalah roda penggerak desa mereka,
sehingga mereka merasa wajar apabila pemuda tinggal di desa sedangkan
anggota keluarga lainnya mengamankan diri di pos pengungsian. Hal ini
sejalan dengan visi yang terdapat dalam beberapa jurnal penelitian yang
disampaikan oleh Mitchell, dkk (2008) “These small, but significant initiatives
suggest that institutions and agencies beyond those focused on children and
youth alone, are beginning to see that young people may have the capacity to
bring about change in their own lives.” Alasan lain mereka untuk tetap tinggal
di desa adalah perihal kenyamanan, sebagaimana dikatakan Ponijo (27), “…
emang saya kalau dipengungsian nggak betah mbak saya lebih betah disini
(desa).”
Kesadaran mereka untuk memberanikan diri tinggal di desa merupakan
contoh konkrit dari teori aksi sosial. Mereka memahami bahwa posisi mereka
sebagai pemuda bukanlah untuk disia-siakan, tetapi mereka juga sadar bahwa
hal tersebut bukan merupakan tuntutan bagi seluruh pemuda untuk tetap
tinggal di desa mereka. Informan yang kami wawancarai termasuk kelompok
pemuda yang tetap tinggal di desa. Dari hasil wawancara kami dapat
ditemukan bahwa aksi yang mereka lakukan selalu mempertimbangkan hasil
kedepannya, hal tersebut dapat kita lihat dari kegiatan mereka mengurus ternak
milik tetangga agar tidak mati kelaparan, mereka menanggung resiko dari
tinggal di desa dengan jaminan kondisi fisik mereka yang masih fit.
C. Komunikasi dan Sosialisasi Bencana
Aliran informasi kebencanaan tidak boleh putus, di Desa Ngandong
aktivitas Merapi tidak dapat dipantau secara langsung karena kondisi alam
yang menutupi jarak pandang, terlebih tidak adanya sinyal telepon genggam
membuat informasi menjadi semakin sulit masuk ke desa. Itulah saat
masyarakat mengadaptasi HT atau handy-talky, perangkat ini memiliki saluran
sinyal sendiri yang berbeda dengan telepon genggam, sehingga dapat
digunakan di Desa Ngandong tanpa masalah.
Cepat beradaptasi, sudah banyak masyarakat yang memegang HT di
tangan mereka sejak sebelum erupsi Merapi tahun 2006, frekuensi HT
memungkinkan informasi kegiatan Gunung Merapi dapat dilacak dengan cepat
karena sudah disesuaikan dengan frekuensi komunitas Merapi yang bertugas
memantau aktivitas dan keadaan Gunung Merapi. Meskipun demikian tidak
menutup kemungkinan untuk melakukan pemantauan melalui telepon
genggam. Informasi dari bawah tidak hanya disalurkan melalui gawai saja,
tetapi juga melalui kegiatan sosialisasi.
“… sering kog mbak (sosialisasi) … Ditempat pak dukuh kalau
sharing biasanya … Intinya bentuknya kalau terjadi apa - apa
mau mengungsi kemana terus ee intinya dimintain data
penduduknya jadi ketika terjadi apa - apa itu tempat
pengungsiannya juga harus diukur mampu menampung berapa
orang … dulu kan cuma langsung kesana tapi kalau sekarang
kan udah punya arahan misalnya desa ini kemana” Ponijo (27),
28 April 2019
Kegiatan sosialisasi sendiri berasal dari berbagai pihak yang bekerja sama
dengan masyarakat Desa Ngandong, baik dari pemerintah, relawan,
komunitas, hingga mahasiswa. Kegiatan sosialisasi ini kerap dilakukan di
rumah Pak Dukuh, dan seperti kutipan diatas kegiatan sosialisasi tidak terbatas
pada berbagi ilmu dan informasi terkait Gunung Merapi, tetapi juga pendataan
guna merencanakan wilayah penampungan saat bencana terjadi. Menurut
informan yang saya wawancarai partisipasi sosialisasi di desa cukup merata
antara kelompok muda dan tua, mereka mengetahui informasi tentang kegiatan
tersebut melalui undangan yang diberikan.
Dari informasi di atas kita menangkap bahwa masyarakat Desa Ngandong
sangat terbuka dan terus melakukan kerja sama dengan berbagai pihak dalam
melakukan penanganan informasi kebencanaan. Mereka mengandalkan diri
mereka sendiri sebagai pembawa HT yang dapat menyalurkan informasi
kepada sesama anggota masyarakat Desa Ngandong, dan mengandalkan orang
lain sebagai sumber informasi lain. Banyak dari anggota masyarakat desa yang
memiliki HT karena mereka sadar akan kebutuhan mereka dan keluarga
mereka untuk tetap mendapatkan informasi secara berkala. Meskipun
digunakan untuk pribadi, namun kepemilikan HT merupakan bukti kesadaran
mereka akan perlunya bertukar informasi baik dengan sesama anggota
masyarakat desa maupun dengan pengawas aktivitas Merapi, perilaku ini
didukung oleh argumen Mitchell, dkk (2008) “When the community trusts the
messenger, delivery of services and formal authority, they will become more
active in responding to preparedness planning, relief and recovery, particularly
if they can foresee the benefits in participating in these risk counter-measures.”
Begitu pula dengan sosialisasi yang dilakukan di rumah Pak Dukuh,
jumlah partisipan yang merata antara kelompok muda dan tua menunjukkan
tingkat kepedulian di kedua kelompok. Keduanya saling memahami peran
masing-masing sebagai kelompok muda dan tua serta terdapat bentuk
‘regenerasi’ dari partisipan sosialiasi, artinya pemuda di Desa Ngandong
sangat memperhatikan kondisi di Desa Mereka, tidak hanya menganggap
sebagai rumah yang ditinggalkan ketika bencana terjadi.
Peneliti menginterpretasikan pemuda Desa Ngandong sebagai pemuda
yang memiliki kepribadian sosial, mereka tanggap teknologi, inisiatif, serta
memanfaatkan fisik dan pikiran mereka untuk memberikan kontribusi positif
bagi desa mereka. Pemanfaatan fasilitas di desa mereka agar adaptif bagi
kondisi lingkungan mereka merupakan salah satu buktinya, hal ini diiringi
dengan kerja sama komunikasi dengan berbagai pihak untuk memaksimalkan
potensi mitigasi di desa mereka. Struktur dan aktivitas gerakan kepemudaan
mereka perlu untuk diteliti lebih dalam lagi, hal ini guna menemukan potensi
mereka sebagai roda penggerak desa.
3.4 Keadaan Saat Bencana
Melalui informasi yang didapat dari kelima narasumber selaku pemuda Dusun
Ngandong, peneliti mengetahui bahwa setidaknya pemuda Dusun Ngandong pernah
menghadapi erupsi pada tahun 2006, 2010, dan 2018. Di antara ketiganya, erupsi tahun
2010 dinilai sebagai erupsi yang paling besar sebagaimana yang dituturkan oleh Ponijo:
“Ehh setau saya yang paling besar sejak saya lahir itu ya yang 2010 kemaren”. Adapun
untuk erupsi tahun 2006 sebagian informan tidak terlalu mengingatnya karena masih
berusia anak-anak atau belum menginjak masa remaja.
A. Erupsi Merapi 2006
Kronologi terjadinya erupsi Merapi pada tahun 2006 tidak diinformasikan secara
mendalam oleh informan. Sebagian informan sama sekali tidak memberikan informasi
dikarenakan tidak ditanyakan oleh peneliti ataupun tidak ingat secara rinci, dan
sebagian yang lain memberikan informasi berdasar pengalaman yang masih
diingatnya sewaktu kanak-kanak. Salah satu informan yaitu Siam menuturkan bahwa
erupsi Merapi tahun 2006 terjadi pada pagi hari saat ia sedang bersekolah di sebuah
taman kanak-kanak, sebagaimana dijelaskannya:
“Iya masih TK…. Dulu tuh nganu mas, baru, baru sekolah trus tuh baru
apa baru sekolah baru nggambar gitu trus ada emm pemberitahuan
kalo gunung merapi meletus, langsung pada pergi. Ada trek (truk)
langsung dibawa ke rumah Pak Dukuh.” (Wawancara April 2019)
Pada pagi hari tersebut, Siam menambahkan bahwa ia langsung dievakuasi secara
massal dalam keadaan psikis yang panik sambil menangis. Siam dievakuasi dengan
menggunakan truk menuju pengungsian. Sesampainya di pengungsian, Siam baru bisa
bertemu dengan keluarganya.
Informan lain yaitu Jannah mengaku bahwa ia juga mengalami kejadian pada
Erupsi Merapi tahun 2006. Namun, ia tidak terlalu ingat karena masih duduk di
bangku SD. Sementara itu, salah satu informan yaitu Dwi mengaku bahwa ia sedang
berada di Jakarta saat erupsi Merapi 2006 berlangsung. Sebagaimana dituturkannya:
“Ketika Merapi meletus tahun 2006 posisi Mas Dwi sedang berada di Jakarta”.
Adapun informan lain seperti Ponijo, dan Parry tidak dimintai ataupun memberi
informasi apapun seputar erupsi Merapi 2006. Sehingga, peneliti tidak bisa
menyimpulkan pengalaman apapun dari sudut pandang ketiga orang yang berusia
lebih tua dari Jannah dan Siam tersebut. Peneliti hanya bisa menginterpretasikan
bahwa sebagian pemuda di Dusun Ngandong mengalami kejadian erupsi Merapi 2006
saat belum berusia remaja dan tidak mengingat terkait dengan peranan atau andil yang
dilakukannya dalam melakukan mitigasi pada saat itu.
B. Erupsi Merapi 2010
Berbeda dengan tahun 2006, peneliti mendapatkan informasi yang lebih banyak
terkait erupsi Merapi tahun 2010. Sebagaimana telah disampaikan di atas, erupsi
Merapi tahun 2010 diakui oleh salah satu informan yaitu Ponijo sebagai erupsi
terbesar yang pernah dialaminya. Selain sebagai yang terbesar, Ponijo mengatakan
bahwa erupsi Merapi 2010 merupakan salah satu yang tak terduga. Sebagaimana
Ponijo menerangkan:
“Intinya dikeluarin sedikit - sedikit kan mudah daripada langsung
banyak kan dulu emang pernah gitu tapi nggak terjadi apa - apa.
Daripada ee 2010 kan itu kan dikeluarin sekali (sungai)an hehe
awalnya nggak kenap – kenapa, tiba - tiba keluar banyak lha kui kalau
kayak sekarang ini kan dikeluarin dikit – dikit (lava dan lahar)”
(Wawancara April 2019)
Erupsi Merapi 2010 dimulai dengan terjadinya letusan pada Jumat sore di bulan
Oktober. Sebagaimana dijelaskan Siam: “Itu tuh kan meletus tuh Oktober kayaknya
yang 2010, itu tuh Desember dah boleh naik lagi” dan Dwi: “Ketika Merapi meletus
kembali tahun 2010 posisi Mas Dwi sedang berada di Dusun Ngandong. Meletusnya
merapi terjadi saat sore sekitar setelah maghrib….”. Lebih lanjut Siam menerangkan:
“Emm kalo disini tuh dulu tuh emm saya kan pulang sekolah toh mas
baru SD, masih SD toh masih kecil. Trus pulang sekolah, dirumah jalan
tuh apa pada ngomongin ini loh merapi kalo gini gini. Trus sampe
rumah persiapan kayak gitu, itu jam berapa ya isya apa maghrib itu
dapet kabar kalo merapi meletus langsung ngungsi di kelurahan.”
(Wawancara April 2019)
Erupsi kian menguat pada malam harinya, sehingga warga Dusun Ngandong segera
mengevakuasi diri sebagaimana diterangkan Siam di atas. Siam juga menjelaskan
bahwa evakuasi dilakukan ke berbagai area, dan ia mendapati bahwa dirinya
dievakuasi ke Kelurahan Girikerto terlebih dahulu sebelum kemudian dipindahkan
turun ke Gedung Olahraga (GOR) Pangukan. Ponijo menambahkan, evakuasi saat itu
harus dilakukan secara cepat karena kondisi yang kian parah dilihat dari abu di
lingkungan sekitar yang kian menebal serta terjadinya hujan kerikil saat puncak erupsi
terjadi. Ponijo menjelaskan:
“ya itu yang 2010 yang pas puncaknya malam jumat apa itu emang
saya sama temen temen lari mbak karna emang diharuskan lari soalnya
disini juga abunya udah tebel banget.” (Wawancara April 2019)
Sedari sebelum hingga sesampainya di pengungsian, seluruh informan mengamati
banyaknya kerusakan yang terjadi dan kerugian yang ditimbulkan dari erupsi Merapi
2010. Berbagai kerusakan maupun kerugian tersebut diantaranya abu yang tebal
menutupi seluruh padukuhan, berbagai bangunan rusak, akses jalan terhalangi abut
maupun kabut, serta berbagai tanaman dan ternak mati. Seperti penjelasan Ponijo:
“kayak dusun mati itu mbak nggak ada penghuni semuanya rusak pohonnya pada
tumbang warnanya putih semua”. Bahkan, Dwi mengatakan ada kejadian tabrak lari,
sebagaimana ia jelaskan: “Terlalu panik dapat membahayakan mengingat pernah ada
kejadian relawan yang meninggal tertabrak truk”. Ponijo mengatakan bahwa abu
menutupi seluruh dusun dengan ketebalan sekitar setengah sentimeter. Meski
demikian, Ponijo menjelaskan bahwa ia mensyukuri salah satu dampak positif dari
erupsi Merapi 2010 yaitu suburnya tanaman yang hidup saat ini oleh abu Merapi
2010. Lalu, kondisi Dusun Ngandong saat terjadi erupsi Merapi 2010 tersebut juga
dinilai aman dari lava sebagaimana dijelaskan Ponijo:
“ya nggak ada yang kesini soalnya kan nggak ada kali (sungai) to
mbak jauh dari kali (sungai) kan lava itu mengikuti jalur kali (sungai)
jadi ya disni aman kalau dari lava ya cuma kabut abu itu aja.”
(Wawancara April 2019)
Pengalaman lain yaitu mengenai kondisi di pengungsian dituturkan oleh Jannah,
yang saat erupsi Merapi 2010 masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Erupsi terjadi saat jadwal sekolahnya hendak memasuki masa ujian. Adapun
sebelum terjadinya erupsi, informan telah terlebih dahulu ikut mobilisasi menuju titik
kumpul terdekat dari rumahnya. Ia pergi ke titik kumpul dengan membawa sebagian
barang penting dari rumahnya, dan tidak melakukan foto-foto sebagaimana sebagian
orang melakukan saat di titik kumpul tersebut.
C. Erupsi Merapi 2018
Sebagaimana pada tahun 2006, peneliti juga tidak mendapatkan informasi yang
mendalam mengenai erupsi Merapi tahun 2018 karena tidak menanyakannya maupun
diberikan oleh informan. Salah satu informan yaitu Jannah berada di rumah bersama
dengan adik kandungnya saat erupsi Merapi 2018 terjadi. Saat itu, orang tuanya
sedang pergi ke hutan atas dan sempat terjatuh. Jannah berpendapat bahwa ia tidak
terlalu banyak mendapat kerugian akibat Erupsi Merapi 2018, kecuali abu yang
merata di dusunnya. Sehingga, abu tersebut harus dibersihkan dengan berbagai cara
yang dirasa ribet untuk dijelaskan saat wawancara. Ketika terjadi erupsi, informan
tidak terlalu memikirkan kondisi neneknya yang tinggal di daerah Kaliurang. Meski
demikian, di tempat tinggal neneknya tersebut juga ada petugas kebencanaan.
Informan fokus untuk menyelamatkan diri.
3.6 Pemuda dalam Recovery Pasca-Erupsi Merapi 2010
Pemuda, mitigasi dan bencana sudah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya. Pada sub-
bab ini akan dipaparkan tentang pemulihan, jenis kegiatan yang dapat dilakukan saat
pemulihan, jenis kegiatan pemulihan yang dilakukan di dusun Ngandong, dan partisipasi
pemuda dalam pemulihan pascabencana erupsi Gunung Merapi. Dalam pemaparan sub-
bab ini, kami mengambil informasi yang diberikan oleh lima informan pemuda dusun
Ngandong. Informasi yang kami peroleh kebanyakan terkait kejadian erupsi Gunung
Merapi 2010, karena peristiwa tersebut merupakan salah satu erupsi besar Gunung
Merapi yang masih jelas teringat dibenak para informan. Meskipun sekarang Gunung
Merapi masih berada pada status siaga dua, tapi aktivitas vulkanik yang terjadi tidak
begitu eksplosif dan berlangsung lambat, serta sedikit- sedikit jadi tidak terlalu
berdampak di dusun Ngandong.
A. Jenis Kegiatan Pemulihan dan Perbaikan Pascabencana
Kegiatan pemulihan dilakukan pascabencana sebagai upaya perbaikan sarana
prasarana untuk normalisasi semua aspek kehidupan masyarakat pada daerah
terdampak bencana. Kegiatan ini juga tetap memperhatikan kondisi sosial, adat
istiadat, budaya dan ekonomi masyarakat setempat (BNPB, 2008). Menurut Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (2008), pemilihan dapat dilakukan melalui
kegiatan (a) perbaikan lingkungan daerah bencana; (b) perbaikan prasarana dan sarana
umum; (c) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; (d) pemulihan sosial
psikologis; (e) pelayanan kesehatan; (f) rekonsiliasi dan resolusi konflik; (g) pemuliha
sosial ekonomi budaya; (h) pemulihan keamanan dan ketertiban; (i) pemulihan fungsi
pemerintahan; dan (j) pemulihan fungsi pelayanan publik. Kegiatan – kegiatan
tersebut dapat dilakukan pada daerah terdampak bencana, disesuaikan dengan
kebutuhan, adat istiadat, kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakatnya.
Perbaikan lingkungan daerah bencana dapat berupa kegiatan fisik dalam
pemulihan lingkungan alam. Dapat berupa menanam kembali pohon yang tumbang
atau terbakar lahar panas, membersihkan lingkungan pemukiman dan perkebunan dari
abu vulkanik dan/atau tumpukan material vulkanik (Nurhadi dkk., 2018). Perbaikan
prasarana dan sarana umum dapat berupa kegiatan memperbaiki infrastruktur dan
fasilitas umum. Pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat ditujukan untuk
masyarakat yang mengalami kerusakan bahkan kehilangan rumah akibat dari erupsi
yang terjadi. Bantuan dapat berupa uang tunai atau bahan material komponen rumah
yang diberikan langsung kepada warga.
Gambar 3.5.1 Rumah Rusak dan Terbengkalai Pasca-Erupsi
Pemulihan sosial psikologis ditujukan untuk korban yang mempunyai trauma dari
bencana yang terjadi, sehingga korban dapat kembali kekeadaan normal sebelum
bencana. Hal ini juga berlaku pada kehidupan sosial masyarakat. Bantuan yang dapat
diberikan dapat meliputi konseling dan konsultasi, kegiatan psikososial,
pendampingan dan pelatihan. Pelayanan kesehatan juga diperlukan untuk kondisi
kesehatan masyarakat yang terkena dampak bencana.
“meningalnya ya memang gara - gara ini mungkin dari stres kepikiran kan orang jadi drop jadi sakit – sakitan, kemungkinan bisa juga dari sesak nafas...” Dwi (26), 28 April 2019
Dari pernyataan informan, pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan perawatan
diperlukan untuk menghindari kematian dan penyakit akibat dari erupsi, bisa karena
abu vulkanik atau material vulkanik yang mengganggu sistem pernafasan, terutama
pada balita dan lansia. Pengobatan secara psikologis juga dapat dilakukan untuk
mengobati stres dan kecemasan yang di alami korban sewaktu atau pascabencana
erupsi Gunung Merapi.
Rekonsiliasi dan resolusi konflik dilakukan untuk mencegah ketegangan kondisi
sosial masyarakat yang mungkin timbul. Konflik yang bisa timbul pascabencana
erupsi Gunung Merapi dapat berupa sengketa hak milik material vulkanik seperti pasir
dan batu kerikil. Adanya konflik tentang pembangunan dan kegiatan depo pasir
(tempat pengolahan pasir). Konflik terkait jalan umum yang rusak dan berlubang
karena menjadi akses lalu-lalang truk pengangkut pasir. Pemulihan fungsi pemerintah
dan pelayanan publik bertujuan untuk mengembalikan sistem demokrasi dan
administrasi negara. Hal ini juga bertujuan mempermudah koordinasi pendataan
terkait kerusakan yang terjadi, penyaluran bantuan dan pemulihan fungsi pelayanan
kepada masyarakat.
B. Bentuk Pemulihan di Dusun Ngandong
Pemulihan pascabencana dilakukan warga dusun Ngandong seusai pulang dari
mengungsi akibat erupsi Gunung Merapi 2010. Dari lima informan yang kami
wawancarai, pemulihan pascabencana yang mereka lakukan dalam bentuk gotong –
royong perbaikan lingkungan daerah bencana dan perbaikan sarana prasarana.
“Untuk membuka jalan itu, akses itu alhamdulillah banyak yang membantu, sekitar satu minggu sudah bisa dilalui aksesnya, tapi paling parah akses air, soalnya jauh juga to. Itu gotong – royongnya hampir setengah tahun baru airnya bisa ngalir lagi. Soalnya kan area patoknya itu rusak parah jadi harus dibuat jembatan, hampir setengah tahun, pakai alat berat juga (proses perbaikan akses air)” Ponijo (27), 28 April 2019
Seperti yang dikatakan Ponijo, bentuk pemulihan yang dilakukan seusai erupsi
Gunung Merapi 2010 berupa gotong – royong yang dilakukan dalam perbaikan akses
air dan akses jalan. Tidak hanya perbaikan infrastruktur, upaya pemulihan juga
dilakukan pada lingkungan. Dwi juga menuturkan bahwa kegiatan gotong – royong
bersih – bersih dusun juga dilakukan oleh warga.
“Bersih – bersih oleh bapak – bapak dan pemuda, bersih – bersih rumah sendiri diutamakan, baru bersih – bersih sekitar rumah dan kebun.” Dwi (26), 28 April 2019
Sama halnya dengan yang dikatakan Ponijo dan Dwi, informan kami yang
bernama Feri juga mengatakan bahwa pemuihan pascabencana dilakukan dengan
sistem gotong – royong. Warga bersama – sama gotong – royong membersihkan
lingkungan dari abu vulkanik dan tanaman yang tumbang. Selain itu perbaikan
infrastruktur dilakukan pada akses jalan dan akses air.
Teori solidaritas sosial Emile Durhkeim terlihat pada sisterm kegiatan gotong –
royong yang dilakukan warga dan pemuda dusun Ngandong, serta dusun sekitarnya.
Solidaritas mekanik yang mereka lakukan didasarkan pada kesadaran kolektif yang
kuat pada masyarakat untuk gotong - royong demi kepentingan bersama (Johnson,
1986). Solidaritas mekanik ini juga didorong oleh adanya hukum represif yang
dominan, dimana Ponijo menyatakan, dusun yang tidak ikut serta dalam perbaikan
akses air tidak diperkenankan untuk mengambil air dari akses tersebut. Konsekuensi
inilah yang menjadi dorongan para warga dan pemuda untuk bahu – membahu secara
kolektif untuk memperbaiki akses air yang rusak. Durhkeim juga menyatakan bahwa
solidaritas mekanik ini terjadi pada lingkungan masyarakat pedesaan yang tingkat
homogenitasnya tinggi dan minimnya pembagian kerja (Johnson, 1986).
Solidaritas mekanik tidak hanya terlihat pada perbaikan akses air, tetapi pada
kegiatan gotong – royong rutin yang sering warga dan pemuda dusun Ngandong
lakukan.
“Terus gotong – royong kebersihan jalan itu di bagi – bagi per-RT. Kalau misalnya rumput – rumput di pinggir jalan udah mulai tinggi itu gotong - royong mbak (membersihkan rumput pada akses jalan)” Ponijo (27), 28 April 2019
Story Box
Ponijo sedang membersihkan tangan dan kakinya saat saya temui di rumahnya dan kemudian saya wawancarai. Kala itu ia seusai menjalankan gotong – royong memperbaiki jalan yang ada di dusun Ngandong. Ponijo merupakan ketua karang taruna dusun Ngandong yang sudah menjabat selama dua tahun. Saat saya bertanya terkait pemulihan pascabencana erupsi Gunung Merapi 2010, ia menyatakan bahwa pada saat itu yang mengalami kerusakan paling parah adalah akses air. Gotong – royong memperbaiki akses air dilakukan selama kurun waktu setengah tahun, dan dilakukan bukan hanya warga dan pemuda dari dusun Ngandong saja, tetapi warga dan pemuda dusun lain yang juga mengambil air dari akses tersebut. Gotong – royong dilakukan setiap hari dan mengandalkan bantuan material dari warga sekitar serta pemerintah. Gabungan dari dusun – dusun tersebut saling bahu membahu untuk memperbaiki akses air untuk kepentingan bersama. Ponijo juga berkata bahwa dusun yang tidak ikut serta dalam perbaikan tidak diperkenankan untuk menganbil air dari akses tersebut.
Gotong – royong menjadi budaya di dusun Ngandong. Pembagian kerja yang
minim terlihat pada pembagian jatah membersihkan jalan yang dibagi dalam kawasan
per-RT, dimana hanya ada empat RT di dusun Ngandong terebut. Pembagian kerja
yang minim inilah yang membuat kesadaran kolektif mereka kuat, serta sifat saling
ketergantungan yang rendah.
C. Partisipasi Pemuda
Kesadaran pemuda terhadap bencana dan peran mereka dalam pemulihan
pascabencana menjadikan pemuda sebagai agen-agen perubahan. Kumoro (2013),
dalam penelitiannya mengenai pemuda lereng Gunung Merapi, memasukkan pemuda
kedalam golongan yang produktif karena memiliki modal energi yang
membedakannya dengan kelompok masyarakat lain. Energi sosial ini
termanifestasikan pada organisasi pemuda atau karang taruna (Kumoro, 2013).
Pemuda yang dimaksud dalam konteks ini adalah mereka yang berada pada kisaran
usia 16 – 30 tahun. Dimana pada usia tersebut kemampuan fisik dan pikiran mereka
jauh lebih prima daripada orang tua dan sudah lebih matang daripada anak – anak.
Jadi pemuda bisa secara maksimal dalam berkontribusi pada pemulihan pascabencana,
sehingga pemulihan dapat berjalan lebih optimal, cepat dan efisien. Selain itu pemuda
juga dapat menghasilkan sesuatu yang menguntungkan untuk masyarakat, baik dari
indivudu, atau organisasi yang mereka ikuti (Fernandez and Shaw, 2013).
Partisipasi pemuda itu penting karena ketika mereka berpartisipasi, mereka dapat membentuk atau mengasah keahlian mereka, partisipasi juga memungkinkan mereka untuk belajar menggunakan hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara, dan berkontribusi pada masyarakat yang lebih demokratis. Partisipasi tersebut juga dapat sebagai pengembangan diri mereka, dan memberikan mereka pengetahuan substantif dan keterampilan praktis (Checkoway, 2011).
Dengan adanya partisipasi pemuda dalam usaha pemulihan pascabencana erupsi
Gunung Merapi 2010, perbaikan dan pemulihan akan berjalan cepat dan efektif,
karena kolaborasi antara warga dan pemuda yang harmonis. Dengan bimbingan dan
arahan orangtua, pemuda dapat mengembangkan diri mereka dan mendapatkan
pengetahuan substantif tentang usaha pemulihan pascabencana. Gotong – royong
perbaikan yang dilakukan di dusun Ngandong juga akan berjalan dengan cepat dan
kehidupan sosial masyarakat akan dapat kembali seperti semula sebelum bencana
terjadi. Selain itu, pemuda juga dapat menggunakan tenaga dan pengalaman yang
telah ia dapat untuk membantu dan bekerja sama dengan dusun lain yang memerlukan
bantuan pemulihan pascabencana.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Dari pembahasan hasil penelitian di atas, peneliti menarik dua poin simpulan yaitu:
1. Pemuda Dusun Ngandong mengupayakan mitigasi setempat melalui kerja sama
antara Giri Taruna Bakti sebagai karang taruna Dusun Ngandong dengan berbagai
pihak yaitu Bolo Tetulung sebagai kelompok relawan mitigasi Desa Girikerto,
pemerintah daerah, BNPB, dan BASARNAS.
2. Pemuda Dusun Ngandong membantu proses pemulihan dusun setempat pasca
erups Merapi dengan terlebih dahulu membantu memperbaiki keadaan rumah
masing-masing pemuda sebelum turut memperbaiki berbagai fasilitas umum
setempat yang rusak.
4.2 Keterbatasan Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memiliki kendala utama pada keterbatasan
waktu yang dialokasikan untuk mengumpulkan data secara mendalam. Dengan
wawancara yang dilakukan selama dua hari, terdapat data yang dikumpulkan oleh
peneliti belum dirasa cukup kaya untuk menjawab rumusan masalah. Selain itu, dengan
durasi dua hari tersebut peneliti belum cukup untuk membangun relasi yang intens
dengan informan, tidak bisa mengobservasi kehidupan sehari-hari terkait dengan
mitigasi, dan informan yang seadanya.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, A., Ramli, M. & Abdul Razak, S., 2019. Disaster Management and Mitigation for
Earthquakes: Are We Ready?. Engineering Seismology and Earthquake Engineering
Research (e-SEER), pp. 1-11.
Anonim. http://staffnew.uny.ac.id. (2019). Sistem Sosial. [online] Available at:
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132318574/pendidikan/Sistem+Sosial.pdf [Accessed
16 Jun. 2019].
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 2011. Pedoman Rehabilitasi dan
Rekontruksi Pascabencana. Jakarta: BNPB Nasional
BPS (2018). Kecamatan Turi dalam Angka. [online] Slemankab.bps.go.id. Available at:
https://slemankab.bps.go.id/publication/2018/09/26/cb6cfd73532dc5953180edf9/
kecamatan-turi-dalam-angka-2018.html [Accessed 12 Jun. 2019].
Checkoway, B., 2011. What is youth participation? Child. Youth Serv. Rev. 33, 340–345.
https://doi.org/10.1016/j.childyouth.2010.09.017
Fatchurrohman, L. (2019). Institutional EntrepreneurshipPemuda dalam Mengembangkan
Pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran. Jurnal Studi Pemuda, 4(2), 293. doi:
10.22146/studipemudaugm.36813
Fernandez, G., Shaw, R., 2013. Youth Council participation in disaster risk reduction in
Infanta and Makati, Philippines: A policy review. Int. J. Disaster Risk Sci. 4, 126–136.
https://doi.org/10.1007/s13753-013-0014-x
Johnson, Doyle P., 1986, Teori Sosiologi Klasik & Modern Jilid I, Jakarta : PT. Gramedia.
Heath, M., Nickerson, A., Annandale, N., Kemple, A. and Dean, B. (2009). Strengthening
cultural sensitivity in children’s disaster mental health services. School Psychology
International, 30(4),347-373. DOI:10.1177/0143034309106944
Kumoro, N., 2013. Pemuda lereng Merapi: Agensi perubahan yang tak terlihat. Jurnal Studi
Pemud@, 2(1), 18. Diakses dari
https://jurnal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/view/32053/19377
Kumoro, N. (2019). Pemuda Lereng Merapi:Agensi Perubahan yang Tak Terlihat. Jurnal
Studi Pemuda, 2(1), 15. Retrieved from
https://jurnal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/view/32053/19377
Mitchell, T. et al., 2008. The Roles of Children and Youth in Communicating Disaster Risk.
Children, Youth and Environments, 18(1), pp. 254-279.
Moffit, K. (2018). https://study.com/academy/lesson/structural-functional-theory-in-
sociology-definition-examples-quiz.html. [online] Study.com. Available at:
https://study.com/academy/lesson/structural-functional-theory-in-sociology-definition-
examples-quiz.html [Accessed 17 Jun. 2019].
Nelson, L. (2008). A resiliency profile of hurricane Katrina adolescents. Canadian Journal
School Psychology, 23(1), 57-69. DOI:10.1177/0829573508316593
Ni'am, L., & Ardyanto, H. (2019). JURNAL STUDI PEMUDA • Vol. 2, No. 1, Mei 20131
Kolaborasi Menuju Resiliensi:Pengalaman Pemuda Ende dalam Pengurangan Risiko
Bencana. Jurnal Studi Pemuda, 2(1), 2. DOI:
ttps://doi.org/10.22146/studipemudaugm.32052
Novenanto, A., Amiruddin, L., & Ilma, D. (2019). Pemanfaatan Sanggar Alfaz Sebagai
Strategi Pemuda Besuki Timur Mengatasi Bencana Industri Lumpur Lapindo. Jurnal
Studi Pemuda, 2(1), 39. doi: 10.22146/studipemudaugm.32054
Nurhadi, N., Suparmini, S., Ashari, A., 2018. Strategi Penghidupan Masyarakat Pasca Erupsi
2010 Kaitannya Dengan Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Berikutnya. Maj. Geogr.
Indones. 32, 59. https://doi.org/10.22146/mgi.29129
Pradika, M., Giyarsih, S., & Hartono, H. (2018). Peran Pemuda Dalam Pengurangan Risiko
Bencana Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Wilayah Desa Kepuharjo, Kecamatan
Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ketahanan
Nasional, 24(2), 261. doi: 10.22146/jkn.35311
Rahman, A. (2019). PERAN TARUNA SIAGA BENCANA DALAM MITIGASI
BENCANA DI KABUPATEN SERANG DAN SUKABUMI. Sosio Konsepsia, 6(01),
59. Retrieved from https://media.neliti.com/media/publications/52970-ID-peran-taruna-
siaga-bencana-dalam-mitigas.pdf
Trueman, C., 2019. Social Action Theory. [Online]
Tersedia di: https://www.historylearningsite.co.uk/sociology/theories-in-sociology/
social-action-theory/
[Diakses pada 13 Juni 2019].
Wijayati, H. (2017). 3 Teori Utama Sosiologi | Portal-Ilmu.com. [online] Portal-Ilmu.com.
Available at: https://portal-ilmu.com/teori-utama-sosiologi/ [Accessed 15 Jun. 2019].
LAMPIRANDaftar Pertanyaaan
Daftar pertanyaan ini merupakan instrumen untuk membantu peneliti dalam melakukan
wawancara terhadap narasumber. Daftar pertanyaan memuat substansi yang diperlukan untuk
menjawab rumusan masalah yang terdapat pada penelitian ini. Daftar pertanyaan disusun dan
digunakan secara semi terstruktur, yaitu pertanyaan diajukan secara runtut sembari mengikuti
alur informasi yang diberikan oleh narasumber. Secara urut, poin-poin dalam daftar
pertanyaan ini adalah perihal karang taruna, mitigasi bencana, dan pasca merapi.
1. Karang Taruna
a. Bagaimana pendapat karang taruna terhadap bencana Gunung Merapi?
b. Bagaimana pengetahuan karang taruna terhadap perihal mitigasi?
c. Apa saja program karang taruna yang berhubungan dengan mitigasi bencana?
2. Mitigasi Bencana
a. Bagaimana Karang Taruna Girikerto memberikan informasi seputar bencana
alam kepada warga setempat, terutama yang disebabkan oleh Gunung Merapi?
b. Bagaimana Karang Taruna Girikerto mensosialisasikan perihal mitigasi
bencana kepada warga setempat?
c. Bagaimana Karang Taruna Girikerto berusaha memahami pentingnya mitigasi
untuk mengantisipasi bencana yang dapat ditimbulkan oleh Gunung Merapi?
d. Bagaimana keberlangsungan gerakan-gerakan sosial yang dilakukan oleh
karang taruna terkait dengan mitigasi bencana?
3. Pasca Merapi
a. Bagaimana kondisi Desa Girikerto saat terjadinya erupsi Gunung Merapi pada
tahun 2010?
b. Apa saja tindakan yang dilakukan oleh Karang Taruna Girikerto dalam rangka
membantu warga setempat menghadapi erupsi?
c. Apakah Karang Taruna Girikerto telah paham perihal mitigasi saat erupsi
Gunung Merapi 2010 berlangsung?
d. Bagaimana program mitigasi mampu membantu pemulihan Desa Girikerto
pasca erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010?
DESKRIPSI PEMBAGIAN KERJAPembagian Tugas Antar Individu
No Nama Jatah Analisis
Subbab (individu)
Uraian Tugas (di luar analisis subbab
individu)
1. Ahmad Rafi
Amrulloh
Karang Taruna Membantu pendesainan poster dan
mengurusi pengumpulan
administrasi berwujud hardcopy.
2. Muhammad
Hafizh Rashin
Keadaan Saat
Bencana
Mengkoordinasi kegiatan
perencanaan langkah riset.
Melakukan error checking
terhadap hasil analisis data
individu dan penulisan laporan.
3, Pitaloka Ainun
Yasmin
Bolo Tetulung Mengarsipkan dan menyaring
berkas yang diperlukan untuk
dilampirkan pada laporan
penelitian.
4. Septia Witriani
Kusumawati
Recovery Mengompilasikan visualisasi
kerangka berpikir kelompok.
5. Shaquille Kito
Najib
Mitigasi Menjadi inisiator desain poster
penelitian.
Jadwal Penyusunan Laporan
No Jenis Kegiatan
Bulan
Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4
1 Perencanaan
Langkah Riset
2 Analisis Data
Individu
3 Evaluasi Kinerja
Kelompok
4 Kompilasi
Analisis Individu
5 Rancangan
Desain Poster
6 Penyelesaian
Laporan
7 Desain Akhir
Poster
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 1.1. Salah satu penunjuk untuk mengarahkan jalur evakuasi saat terjadi bencana
Gambar 1.2. Salah satu rumah penduduk yang di atapnya terdapat endapan abu
Gambar 1.3. Salah satu rumah penduduk yang atapnya berlubang karena terkena dampak
hujan lumpur panas.
Gambar 1.4. Rumah informan terdampak letusan Merapi 2006 dan 2010
MIND MAP
Mind Map Individu
1. Pitaloka Ainun Yasmin
2. M. Hafizh Rashin
3. Septia Witriani Kusumawati
4. Shaquille Kito Najib
5. Ahmad Rafi Amrulloh