75
2. Penokohan dan Tema Dasar Penokohan dalam pakeliran padat berkaitan erat dengan tema dasar. Kaitan ini bersifat timbal balik, artinya penokohan harus dapat mencerminkan tema dasar yang telah ditentukan, sebaliknya tema dasar menjad pengarah atau pemandu penokohan. Penyusun pakeliran padat mempunyai kebebasan mengembangkan sikap batin serta tindakan-tindakan tokohnya tetapi harus selalu berpayung bahwa sikap batin dan tindakan tokoh-tokoh itu dapat mewujudkan apa yang tersurat dalam tema dasar. Dengan demikian meskipun penyusun mempunyai kebebasan tetapi dia tetap harus selalu berorientasi pada tema dasar. Untuk mewujudkan tema dasar dalam penokohan seniman atau penyusun pakeliran padat dapat bercita- cita atau bercitra. Hal ini berarti perwujudan penokohan itu merupakan visualisasi cita-cita seniman terhadap tokoh yang digarapnya. Tokoh A digarap demikian, berarti si seniman mencita-citakan agar tokoh A mempunyai sikap seperti itu. Karena berupa cita-cita, tentu saja kebanyakan merupakan sesuatu yang belum ada di dalam kenyataan hidup. Realisasi dari cita-cita ini hanya tampak melalui garapan tokoh yang terbeber dalam lakon. Seniman terhadap cita-

PAKELIRAN PADAT

Embed Size (px)

DESCRIPTION

a

Citation preview

2. Penokohan dan Tema DasarPenokohan dalam pakeliran padat berkaitan erat dengan tema dasar. Kaitan ini bersifat timbal balik, artinya penokohan harus dapat mencerminkan tema dasar yang telah ditentukan, sebaliknya tema dasar menjad pengarah atau pemandu penokohan. Penyusun pakeliran padat mempunyai kebebasan mengembangkan sikap batin serta tindakan-tindakan tokohnya tetapi harus selalu berpayung bahwa sikap batin dan tindakan tokoh-tokoh itu dapat mewujudkan apa yang tersurat dalam tema dasar. Dengan demikian meskipun penyusun mempunyai kebebasan tetapi dia tetap harus selalu berorientasi pada tema dasar.Untuk mewujudkan tema dasar dalam penokohan seniman atau penyusun pakeliran padat dapat bercita-cita atau bercitra. Hal ini berarti perwujudan penokohan itu merupakan visualisasi cita-cita seniman terhadap tokoh yang digarapnya. Tokoh A digarap demikian, berarti si seniman mencita-citakan agar tokoh A mempunyai sikap seperti itu. Karena berupa cita-cita, tentu saja kebanyakan merupakan sesuatu yang belum ada di dalam kenyataan hidup. Realisasi dari cita-cita ini hanya tampak melalui garapan tokoh yang terbeber dalam lakon. Seniman terhadap cita-citanyanya ini dapat ditangkap oleh penghayatnya, sehingga penghayat mendapat tambahan pengalaman jiwa. Dari proses ini cita-cita seninan itu akan bermakna dalam kehidupan.Teknik penokohan yang digambarkan di atas memerlukan suatu kejelian serta kemampuan dalam menyelami masalah-masalah kehidupan. Seniman penggarap harus mampu menjadikan dirinya sebagai tokoh-tokoh dalam lakon yang sedang digarapnya. Tokoh-tokoh itu harus hadir dengan berbagai bentuk karakter yang berbeda-beda, sejumlah banyaknya tokoh yang hadir dalam lakon itu. Agar tokoh-tokohnya hidup dan berperan aktif, satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah kedalaman interpretasi. Interpretasi ini akan diikuti perkembangan sikap, tindakan, atau pengambilan keputusan tertentu. Untuk sampai pada interpretasi demikian ini si seniman penggarap harus setiap kali mengandaikan dirinya sebagai tokoh yang bersangkutan. Contoh pengandaian ini sebagai berikut:Seandainya saya (penggarap pakeliran padat) sebagai KArna saya mengetahui bahwa Kurawa adalah pihak yang salah, tetapi saya hidup dibesarkan dalam linbgkungannya serta mendapat kehormatan dari Kurawa, maka apa yang harus saya lakukan jika terjadi perang antara Kurawa dan PAndana yang saya ketahui bahwa Pandhawa saudara saya dan pihak yang benar.Pengandaian seperti itu tidak hanya berlaku pada satu tokoh tetapi untuk semua tokoh yang diperankan dalam lakonnya. Selain itu juga tidak hanya dalam suatu wujud global suatu lakon, tetapi dapat juga dalam satu saat atau satu peristiwa lakon tertentu. Dengan pengandaian-pengandaian seperti ini serta dilandasi cita-cita seniman terhadap masing-masing tokohnya akan terbentuklah penokohan dalam keseluruhan lakon. Akan tetapi karena berupa interpretasi dan cita-cita sehingga penokohan sangat bersifat subjektif, yang tidak akan sama dengan cita-cita atau interpretasi seniman lainnya. JUga tidak akan selalu sama dengan kenyataan-kenyataan hidup sehari-hari.

3. Penokohan dan Garap LakonPenokohan juga berkaitan dengan garap lakon. Telah disinggung dalam pembicaraan garap lakon bahwa sebagai kerangka garis besar lakon yang tampak dalam garap lakon adalah penekanan proses peristiwa yang akan dialami oleh tokoh-tokohnya atau yang ditunjuk oleh judul lakon. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh-tokoh yang hadir dalam lakon itu akan mengalami berbagai peristiwa yang secara garis besar terbeber dalam garap lakon. Dalam setiap peristiwa akan melibatkan beberapa tokoh yang kehadirannya sekaligus akan melibatkan beberapa tokoh yang kehadirannya sekaligfus akan mencerminkan sikap, perkembangan sikap, gejolak hati, perasaan, serta penampilan lahir dalam bentuk tutur kata dan tindakan. Dari satu peristiwa ke peristiwa lain harus mencerminkan adanya perkembangan atau perubahan sikap tokoh-tokoh yang hadir dalam lakon itu. Tentu saja karena keterbatasan, pada umumnya minat penyusun pakeliran padat hanya tertumpah pada tokoh utama dan beberapa tokoh penting lainnya. Seperti dalam contoh lakon Sumantri Ngenger (lihal hal 89-90) tampak jelas gambaran secara garis garis besar perkembangan kejiwaan tokoh Sumantri sebagai berikut:a. Sumantri memutuskan diri mengabdi (Jawa: ngenger) ke Maespatib. Harus memisahkan diri dengan adik yang dicintainyac. Harus menjadi utusan Prabu Harjunasasra ke Magadad. Harus berhadapan dengan raja seribu negarae. Harus berperang dengan Prabu Harjunasasraf. Sampai dengan ia harus menjadi penyebab kematian Sukrasana adiknya

Pada setiap peristiwa-peristiwa yang digambarkan itu tokoh Sumantri akan hadir dengan berbagai nuansa kejiwaannya. Untuk sampai pada keputusan ke Maespati, tokoh Sumantri akan mengalami berbagai gejolak. Antara cita-cita yang menggebu-gebu dan cinta kasihnya terhadap orang tua serta Sukrasana adiknya, akan menimbulkan benturan dalam dirinya. Demikian juga kehadiran tokoh Sumantri pada peristiwa-peristiwa berikutnya. Rentetan benturan-benturan persoalan yang menyebabkan berbagai gejolak jiwa itu menyebabkan terungkapnya perkembangan sikap batin yang terwujud dalam tindakan lahir dari tokoh Sumantri. Perkembangan sikap batin dan realisasinya ini tertuang melalui peristiwa-peristiwa yang mengandung permasalahan-permasalahan lakon. Meskipun pada umumnya perhatian penyusunan pakeliran padat hanya tertumpah pada tokoh utama, tetapi tidak dapat semena-mena mengabaikan tokoh yang lain. Tokoh-tokoh ini juga harus mendapat sentuhan agar kehadiran tokoh utama di antara tokoh-tokoh lain itu menjadi proporsional, tidak sangat menonjol, tidak sangat super, serta tidak sangat dominan. Dengan demikian terjadilah kewajaran antara tokoh antara tokoh satu dengan tokoh lain dalam satu peristiwa serta peristiwa yang lain.

4. Teknik PenokohanTeknik penokohan dalam pakeliran padat dapat dibentuk melalui garap pakeliran, yakni catur, sabet, dan iringan. Penyusunan pakeliran padat dapat memanfaatkan kekuatan ketiga unsur itu untuk menggarap tokoh-tokohnya. Yang harus dipertimbangkan adalah memanfaatkan ketiga unsur itu secara seimbang sesuai dengan sifat dan karakteristiknya masing-masing. Unsur catur bersifat auditif, unsur sabet bersifat visual, sedangkan iringan bersifat auditif. Sifat auditif dalam catur berbeda dengan sifat auditif unsur iringan. Unsur catur membutuhkan kejelasan pengertian verbal, sedangkan unsur iringan lebih menonjolkan kejelasan rasa. Di antara ketiga unsur ini unsur catur mempunyai kemungkinan terluas untuk mendeskripsikan segala perubahan sikap batin, gejolak jiwa, turut kata, dan tindakan seorang tokoh. Untuk menerjemahkan perkembangan sikap batin tokoh, unsur sabet dimungkinkan lebih sedikit daripada catur. Unsur sabet ini lebih tepat untuk menerjemahkan tindakan lahir seorang tokoh. Adapun unsur iringan sesuai dengan karakteristiknya dapat dimanfaatkan untuk mendukung dan atau mengungkapkan suasana hati tokoh. Dengan memahami karakteristik masing-masing unsur serta kemampuannya, penyusunan pakeliran padat dapat memanfaatkan unsur-unsur pakeliran tersebut untuk menggarap tokoh-tokohnya. Seperti dikemukakan dalam pembicaraan tentang konsep pakeliran padat yang antara lain menghindari pengulangan yang tidak relevan, maka dalam penggarapan tokoh juga harus memperhatikan hal itu. Seniman penggarap harus betul-betul mempertimbangkan hal-hal apa dari aspek penokohan yang lebih efisien diungkapkan melalui catur, hal-hal apa yang lebih tepat diungkapkan melalui sabet, serta hal-hal apa dari penokohan yang lebih terasa diungkapkan melalui iringan. Dengan berbagai pertimbangan ini setidak-tidaknya akan mengurangi pengulangan yang tidak bermanfaat. Hal-hal tersebut yang berkaitan dengan penokohan dalam pakeliran padat merupakan petunjuk abstrak. Penokohan dalam pakeliran padat pada dasarnya sangat bergantung pada kemampuan pribadi seseorang. Demikian juga gambaran teknik penokohan bukan merupakan jaminan bahwa dengan mengikuti teknik ini akan dapat dicapai penokohan yang baik. Semua ini bergantung pada kepekaan si seniman di dalam menyelami sifat dan karakteristik unsur-unsur garap, serta kemampuan dalam menerjemahkan ide-idenya melalui unsur-unsur garap itu. Denbgan kata lain penokohan juga sangat bergantung pada kemampuan kesenimanan seseorang.

Garap CaturTelah disinggung di depan (Hal. 61) bahwa konsep pakeliran padat yang berkaitan dengan catur juga ingin menyampaikan isi secara padat melalui medium ungkap bahasa. Untuk mencapai kalimat yang padat pada umumnya penggarap menempuh dengan berbagai jalan antara lain (1) menyingkiri catur klise, (2) menghindari pengulangan, dan (3) memadatkan kalimat.1. Menyingkiri Catur KliseCatur klise adalah susunan bahasa baik berbentuk narasi, dialog, maupun monolog yang telah mengkristal berupa perbendaharaan jadi, sehjingga seniman dhalang tinggal memilih mana yang akan digunakan. Catur jenis ini pada umumnya mempunyai struktur isi dan pola yang telah membeku. Yang termasuk jenis catur ini antara lain:a. Bentuk narasi seperti janturan jejer, janturan gapuran, janturan kedhaton, pocapan gajah, dan pocapan kereta.b. Bentuk dialog seperti bage-binage, bantah, dan wejangan.Bentuk-bentuk catur seperti yang dikemukakan itu di dalam penyusunan pakeliran padat diusahakan untuk dihindari. Hal ini karena yang ditonjolkan di dalam pakeliran padat adalah kreatifnya. Dengan hanya menggunakan vokabuler-vokabuler klise yang telah ada berarti penyusun tidak kreatif. Di samping itu karena caturnya sudah terpola, sehingga sering terjadi tidak sesuai dengan suasana apapun, janturannya tetap sama, yang berbeda hanya nama raja dan tempat/kerajaannya. Dengan menghindari catur klise, penyusun pakeliran padat ditantang untuk selalu berusaha sendiri baik narasi maupun dialognya.Khususnya dalam narasi (Jawa: janturan dan pocapan) yang bersifat klise\ bisanya bentuknya terlalu besar (Jawa: rowa), sedangkan isinya relatif sedikit. Selain itu juga banyak dijumpai kata-kata anarkis yang tidak diketahui secara jelas artinya. Berdasarkan pertimbangan ini, maka penyusun pakeliran padat dianjurkan untuk sejauh mungkin menghindari catur klise.Catur klise adalah klise dalam struktur dan isi. Contoh yang paling menonjol adalah janturan jejer. Janturan ini mempunyai struktur bentuk yang telah membeku, seperti selalu dmulai dengan pembukaan, dilanjutkan dengan deskripsi tempat, tokoh, suasana, dan persoalan. Struktur ini hampir selalu digunakan dalam setiap janturan pakeliran bentuk semalam. Untuk janturan pakeliran padat pola-pola tradisi seperti itu tidak harus selalu diikuti. Penyusun pakeliran padat bebas menentukan urutan dengan mempertimbangkan hal-hal yang akan diungkapkan secara menonjol. Jika yang dipentingkan suasana, suasanalah yang dikemukakan lebih menonjol, sedangkan yang lain dikemukakan sebagai pendukung dan lebih tipis. Sebagai contoh di bawah ini dikemukakan janturan jejer pertama Negara Astina dalam pakeliran padat lakon Bisma Gugur

Rep sidhem premanem swasananing pasewakan agung Praja Ngastina. Kang samya sumewa mengeng tan micara, labet kaprabawan sungkawaning nata. Temahan hening, bebasan hanglangut tanpa tepi. Sakedhap-sakedhap kawistara pangunjal hsuswane Mahaprabu Kurupati. Mracihnani lamun sang buminata Ngastina nedheng ginilut ing rudatin. Runtaging tyas muhung menggalih para senapati myang sesepuh ing praja kang dereng gumolong ing karsa, denira arsa ngukuhi Praja Ngastina. Katitik maksih samya cengkah ing panemu. Mangka prang ageng sampun badhe tumapak, mila sang nata dahat sungkaweng kalbu. Nadyan ing panangkilan maksih pepak anggenggeng para sesepuh, senapati, mantri myang bupati, Maharsi Bisma, Narpati Salya, Begawan Druna, Sang Suryatmaja, myang Mahapatih Harya Sangkuni, parandene sang nata dereng karsa ngandika.

Terjemahan bebas:Hening suasana di paseban Negara Ngastina. Yang sedang menghadap tiada berbicara, karena terpengaruh kesusahan raja. Oleh karena itu hening seperti tidak ada batasnya. Sebentar-bentar kelihatan desah sang Prabu Kurpati, sebagai tanda kalau sang Raja sedang dalam keadaan sedih. Keprihatinan itu karena memikirkan para senapati dan pemuka kerajaan yang belum ada kesepakatan dalam mempertahankan Negara Astina. Hal ini tampak melalui adanya perbedaan pendapat. Padahal perang besar akan dimulai, maka sang raja sangat prihatin. Walaupun di paseban masih lengkap para sesepuh, senapati, mantri, bupati, maharesi Bisma, Narpati Salya, Begawan Druna, Sang Suryatmaja, Patih Sangkuni, tetapi sang raja belum mau berbicara.

Dari contoh di atas yang ditonjolkan adalah suasana yang sedang melanda di pihak Kurawa. Baik suasana fisik maupun suasana psikis lebih menonjol daripada kehadiran tokoh-tokoph maupun tempat persidangkan itu berlangsung. Pemberian tekanan dan penonjolan ini sangat erat kaitannya dengan persoalan-persoalan penting yang dihadapi oleh tokoh utama dalam adegan. Persoalan ini menyebabkan tokoh utama yaknik Kurupati mengalami konflik batin tertentu yang akhirnya menjadi petunjuk penyusunan janturan atau narasi adegan itu. Dengan kata lain janturan berkaitan langsung dengan suasana hari tokoh yang berperan.Bentuk catur klise lainnya juga terdapat dalam dialog, biasanya dalam dialog jenis ini secara susun bahasa terasa indah tetapi terlalu banyak basa-basi yang sebetulnya kurang relevan. Contoh dialog klise ini di antaranya dialog basa-basi. Prabu Puntadewa ketika menerima kedatangan Prabu Kresna sebagai berikut:Puntadewa:Dhuh Kaka Prabu, ing wekdal samangke ing Ngamarta candranipun kadi wanci bangun kasaputing lebu, katinggal peteng dhedhet lelimengan. Sareng kaka prabu rawuh kados wonten palimarmane jawata dhatengipun maruta ingkang saged ambengkas saliring pepeteng. Candranipun ri Paduka para Pandhawa kadya tetuwuhan ingkang anggagrak aking labet kekirangan toya. Sareng Kaka Prabu rawuh kados siniram ing tirta jawah, temahan tetuwuhan ingkang aking kalawau katingal ngrembaka. Kresna:Dhuh Yayi Samiaji kadanging pun kakang, Raka para muhung dhapur sarana. Sadaya wau sayekti kapurba purbaning Hyang Wisesa. Saha sampun paduka hanggung anglingga murda dhateng rakanta.

Terjemahan bebas:Puntadewa:Kakang Prabu, sekarang Amarta seperti waktu pagi banyak debunya, kelihatan kelabu. Sesudah Kakang Prabu datang seperti anugerah dewa datangnya angin yang dapat membersihkan berbagai kegelapan. Para Pandhawa bagaikan tanaman kering karena kekurangan air. Setelah Kakang Prabu datang seperti disiram air hujan, sehingga tanaman yang kering tadi kelihatan hidup.Kresna:Dinda, saudaraku. Saya hanya sebagai sarana. Semua adalah kehendak dewa. Serta dinda jangan terlalu tinggi menghormati saya.

Contoh dialog di atas mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan Prabu Puntadewa kepada Sri Kresna atas kedatangannya di Negara Amarta. Demikian tinggi sanjungan Prabu Puntadewa kepada Sri Kresna. Sebaliknya Kresna menghindari dengan menyatakan bahwa semua itu kehendak dewa. Bagi kehidupan sekarang tampaknya sanjungan seperti itu sudah tidak relevan lagi, karena justru akan membuat orang yang disanjung menjadi tersipu-sipu malu.Hadirnya bentuk-bentuk sanjungan dalam dialog klise seperti itu tampaknya berkaitan dengan pandangan Jawam bahwa orang Jawa jika dipangku akan mati. Menyanjung orang lain berarti memangku orang lain, sehingga orang tersebut tidak akan berkutik. Di samping itu dari sisi lain dapat dilihat adanya sikap merendah diri dan si penyanjung yang menganggap dirinya tidak akan berarti tanpa bantuan orang lain. Hal ini pun juga berkaitan dengan pandangan orang Jawa bahkan orang harus bersikap merendah (Jawa: andhap asor). Kedua pandangan yang telah dikemukakan di atas tampaknya terasa mengada-ada. Sikap memuji dan merendah itu tidak selalu muncul secara bersih, tetapi seringkaloi ada maksud-maksud tertentu. Mengingat bahwa salah satu ciri pakeliran padat adalah mengindonesia, artinya mengikuti napas dan budaya Indonesia sekarang,p maka dua sikap yang dicontohkan di atas perlu dihindari, di samping juga perlu dihindari bentuk-bentuk catur klise yang biasanya tidak mengungkapkan isi secara padat. Ketidakpadatan contoh dialog di atas terletak pada ketidaksesuaian antara isi dan bentuknya. Pernyataan Puntadewa yang terdiri atas dua belas baris itu sebetulnya cukup terwakili dengan kalimat sbegaia berikut:

Puntadewa:Dhuh Kaka Prabu, rawuh Paduka tuhu saged amberat rentenging wardayaTerjemahan bebasPuntadewa:Kakang Prabu, kedatangan Kanda sungguh dapat menghilangkan semua kesusahan

Penghadapan antara kalimat klise dan kalimat padat ini tidak mengandung pretensi bahwa yang padat lebih baik daripada yang klise. Di dalam pakeliran bentuk semalam catur-catur klise itu masih dirasa mantap di dalam konteks pertunjukan selamal. Hal ini terjadi karena adanya kaitan yang erat antara lama waktu pertunjukkan dengan kebutuhan caturnya. Pada umumnya dhalang yang menyajikan pakeliran bentuk semalam harus mempunyai perbendaharaan catur yang banyak serta lengkap. Jika tidak demikian ia akan kehabisan bahan (Jawa: kebogelan). Selain itu bentuk susunan catur klise juga masih dirasakan mantap oleh para pendukung pakeliran bentuk semalam. Bentuk yang menurut ukuran pakeliran padat dianggap rowa, di dalam pakeliran bentuk semalam dianggap biasa bahkan dari kerowaan itu dapat kekuatan estesis tertentu.

2. Menghindari Pengulangan Mengulangi dalam pekaliran semalam dapat terjadi tidak hanya di dalam catur tetapi juga di dalam sabet dan iringan. Pengulangan dapat terjadi silang, yakni: sudah dikemukakan melalui catur diulang melalui sabet atau sebaliknya: telah dikemukakan melalui sabet diulangi melalui iringan atau sebaliknya; serta telah dikemukakan melalui catur diulangi melalui iringan dan sebaliknya. Pengulangan-pengulangan seperti ini merupakan salah satu penyebab pakelirani menjadi tidak padat, sehingga dapat dalam pakeliran padat diusahakan untuk dihindari. Hal ini tidak berarti menutup kemungkinan adanya pengulangan yang relevan dengan maksud untuk memperkuat, memberi tekanan, dan memperjelas sesuatu. Berbeda dengan pakeliran bentuk semalam, pengulangan di dalamnya tidak begitu menjadi masalah, karena justru memberi kesempatan penonton yang datang kemudian dapat mengetahui secara utuh keseluruhan lakon. Misalnya orang ingin melihat pakeliran bentuk semalam datang tepat pada adegan paseban jawi, berarti ia tidak mengetahui penyajian adegan-adegan sebelumnya. Ia tetap akan mengetahui lakon itu secara lengkap karena isi pembicaraan pada adegan sebelumnya biasanya diulangi lagi pada adegan paseban jawi. Hal demikian ini dalam pakeliran padat dianggap kurang relevan, sehingga pengulangan-pengulangan ini dicoba untuk dihindari.Pengulangan dalam bentuk catur dapat terjadi baik dalam janturan, pocapan, maupun dialog. Pengulangan yang disingkiri tidak terbatas pengulangan dalam hal isi tetapi dalam hal kosakata. Pengulangan dalam hal isi yakni pengulangan pengungkapan satu masalah atau deskripsi sesuatu. Misalnya narasi yang berisi deskripsi tentang perang yang sebetulnya perang itu telah diungkapkan melalui sabet, atau dalam bentuk dialog dapat berupa dialog tokoh mengutarakan suatu masalah tertejntu kemudian diulangi oleh tokoh lain baik langsung maupun tidak langsung. Di samping itu, kata-kata yang dipilih pun harus diusahakan menghindari pengulangan. Dengan berulang kali menggunakan kosa kata yang sama, meskipun tidak mempengaruhi isi tetapi akan menjenuhkan.Menghindari pengulangan diperlukan kepekaan untuk memahami sifat dan karakteristik unsur-unsur pakeliran yang ada. Dengan pemahaman ini seorang penyusun pakeliran padat sudah harus dapat membayangkan, bahwa agar tidak terjadi pengulangan maka pembeberan alur ceritanya harus betul-betul diperhitungkan secara tepat, mana yang harus diungkapkan melalui catur, sabet, maupun iringan. Khusus dalam hal catur dibutuhkan kekayaan perbendaharaan bahasa yang seluas-luasnya, sehingga pada saat mengungkapkan sesuatu yang sama dapat melalui kosa kata yang bervariasi.Dalam hal dialog penyusunan harus betul-betul mempertimbangkan apakah tujuan atau keputusan yang akan dicapai melalui dialog itu. Liku-liku mencapai tujuan atau kesimpulan ini dapat ditempat dengan lebih dahulu menentukan desainnya. Pembuatan desain dengan pertimbangan berapa jumlah tokoh dan soapa saja yang hadir. Untuk menghindari pengulangan, dalam memberi peran kepada masing-masing tokoh harus dengan mempertimbangkan karakteristik masing-masing tokoh. Dengan demikian tidak akan terjadi pembicaraan yang berulang-ulang, pembicaraan hanya satu arah, dan pembicaraan yang datar. Sebagai contoh, dialog jejer Astina lakon Bisma Gugur dapat dilihat adanya desain sebagai berikut:a. Dialog pengantarb. Dialog penganalan masalahc. Dialog pemecahan masalah, yang terdiri atas alternatif-alternatif pemecahan masalah dan konflik-konflik karena alternatif yang berbenturand. Dialog peleraiane. Dialog pengambilan/keputusanf. Dialog penutup

Dengan penyusunan desain terlebih dahulu, maka peran-peran tokohnya jelas dan tidak akan terjadi pengulangan, karena jalur pembicaraan masing-masing tokoh berbeda-beda. Di samping itu adegan akan menjadi lebih dramatis.

3. Memadatkan KalimatCatur pakeliran padat juga dapat disusun melalui catur pakeliran semalam yang dipadatkan. Catur pakeliran bentuk semalam yang pada umumnya menggunakan kalimat-kalimat panjang, dapat diperas sehingga tinggal yang bernas. Dalam hal ini penyusunan pakeliran padat harus betul-betul memahami bahasa dan astra pedhalangan baik secara teoritis maupun praktis. Pemahaman ecara teoritis dipakai acuan sebagai bingkai penentu arah, sedangkan pemahaman praktis merupakan pendukung keterampilan pemilihan kosa kata, ungkapan-ungkapan, dan penyusunan kalimat. Satu hal yabng biasa menjadi penghalang adalah kemampuan interpretasi masing-masing dalam menentukan padat tidaknya kalimat yang telah disusun. Kriteria tentang hal itu sangat sulit ditentukan, sehingga biasanya harus melalui beberapa perenungan agar dapat dicapai hasil yang maksimal.Pemadatan kalimat tidak selalu berati sudah ada kalimat panjang kemudian tinggal memadatkan, tetapi juga dapat berarti pemadatan bentuk atau pemadatan materi yang dipilih. Catur pakeliran padat tidak selalu menghindari bentuk-bentuk tradisi, seperti dialog bage-binage dan tantangan masih sering juga menggunakan vokabuler tradisi. Meskipun demikian catur tradisi ini tidak begitu saja diambul terus diterapkan, akan tetapi melalui proses penggarapan agar menjadi mentes atau tidak terlalu rowa. Sebagai contoh satu bentuk dialog tantangan dalam pakeliran bentuk semalam sebagai berikut.

Otota kawat balunga wesi sungsuma gegala kendhita mimang kadanga dewa, kekejera kaya manuk branjangan kopat-kapita kaya buntute ula tapak angin, waton dak sawang ora rupa sewu, dak remet klakon dadi klalaring tanganku.

Terjemahan bebas:

Meskipun berotot kawat, bertulang besi, bersungsum obat mestu, bersabuk mimang, bersaudara dewa, bergetar bagaikan burung branjangan, berkelok-kelok bagaikan ekor ular tapak angin, asal saya lihat tidak berubah menjadi seribu, kuremas akan menjadi dekil tanganku.

Ungkapan kalimat di atas untuk dijadikan kalimat yang padat terlebih dahulu harus diselami maknanya. Dengan menemukan makna, selanjutnya dibuat susunan ungkapan baru antara lain seperti : Nadyan sekti mandraguna dak remet dadi klalaring tanganku (Walaupun sangat sakti kuremas jadi dekil tanganku. Contoh pertama dapat dipadatkan menjadi contoh kedua. Makna kalimat kedua tidak jauh berbeda dengan kalimat pertama.Teknik penceritaan menurut pakeliran tradisi adalah menceritakan secara detail sesuatu sasaran yang mengenai wujud fisik dan/atau psikisnya. Seperti jika mendeskripsikan wanita canti pada umumnya seluruh anggota tubu dideskripsikan semua tanpa ada penekanan dan penonjolan. Masing-masing bagian mulai dari ujung rambut sampai kaki diungkapkan seluruhnya dengan kriteria tertentu untuk menunjukkan bahwa setiap bangun itu indah dan mempesona menurut ukuran tradisi. Teknik menceritakan demikian ini kurang tepat untuk pakeliran padat, sehingga dicari jalan untuk memadatkan materi. Dalam proses ini penyusunan pakeliran padart terlebih dahulu harus menyeleksi untuk menemukan bagian-bagian apa di antara seluruh tubuh wanita itu yang dapat dikembangkan menjadi suatu deskripsi. Dengan asumsi bahwa bagian-bagian (materi) yang dipilih itu sudah dapat mewakili. Yang juga perlu dipertimbangkan pada saat proses ini adalah kemampuan pribadi penyusun lakon mengembangkan materi itu. Pada saat menyeleksi materi si penyusun harus dapat membayangkan bahwa materi yang dipilih itu jika disusun dalam bentuk ungkapan akan mampu menimbulkan kesan tertentu di hati penghayatnya. Ubntuk contoh mendeskripsikan kecantikan wanita, penyusun dapat memilih apakah raut mukanya, atau bodinya atau aspek kejiwaannya yang dapat dikembangkan sebagai gambaran kecantikan wanita tersebut. Pemilihan ini tentu saja dilandasi oleh persepsi pribadi masing-masing penyusunnya.Teknik pemilihan materi untuk narasi seperti itu berlaku dalam janturan dan pocapan. Selain dengan teknik memilih materi, penyusun juga dapat sama sekali mengabaikan materi yang ada. Ia dapat membentuk simbol-simbol perumpamaan yang secara tidak langsung dapat menggantikan objek yang dideskripsikan. Misalnya untuk melukiskan wanita cantik, seniman tidak mendeskripsikan bagian-bagian tubuh tetapi dengan mendeskripsikan bunga yang secara tidak lansung sebagai simbol wanita tersebut. Di bawah ini dikemukakan sebuah contoh narasi yang mengandung makna simbolis.

Yek ta kembang-kembang melathi, angambar gandanya wangi. Dhasar wanita seta tan luntur dening owahing swasana. Nadyan dumunung aneng papan nistha prandene datan kapegatan ganda. Puguh angambar arum, marma ora mokal lamun dadya onjating kekidungan. Keh sadpada kekiter angideri kaya-kaya ngujiwat lir anjawat. Santosaning tekad sang kusuma yekti tan kerut ing memanis.

Terjemahan bebas:

Kalau bunga-bunga melati, semerbak baunya wangi. Dasar berwarna putih tidak hilang akan perubahan keadaan. Walaupun berada di tempat yang jelek tetapi tidak kehabisan bau. Tetap semerbak harum, maka tidak aneh kalau menjadi berita menarik. Banyak serangga mengelilingi seperti menggoda. Keteguhan hatinya tidak terpancing oleh kata-kata manis.

Dari contoh itu tampak bahwa yang dimaksud dengan kembang melati adalah seorang wanita cantik, tidak hanya dari wujud fisik tetapi juga kepribadiannya. Deskripsi ini sama sekali tidak menyinggung secara langsung wujud fisik dan kejiwaan wanita yang digambarkan. Meskipun demikian melalui ungkapan kalimat itu penghayat dapat menangkap maknanya dengan mudah.

Garap SabetSeperti telah disinggung pada Bab II (Hal. 61) bahwa orientasi gerak wayang atau sabet dalam pakeliran padat adalah menampilkan gerak yang sepadat-padatnya, dengan tetap mempertimbangkan terpenuhinya kesan hayatan yang ingin dicapai. Dalam sabet padat yang dipentingkan adalah tercapainya kesan atau isi yang dimaksud melalui ungkapan gerak-gerak wayang. Agar maksud ungkapan tercapai, gerak tokoh wayangnya harus merasa mantap. Tujuan ini hanya dapat terwujud melalui penugasan terhadap teknik serta kemampuan berkreasi. Penguasaan teknik menyebabkan si seniman menjadi terampil dalam menggerakkan wayang. Adapun kemampuan berkreasi akan memberi peluang seniman untuk menyusun suatu komposisi gerak baik yang berpangkal pada gerak-gerak tradisi maupun gerak-gerak baru.Penyusun sabet pakeliran padat harus selalu mempertimbangkan konsep yang melandasinya, yang diantaranya adalah menyampaikan sesuatu secara padat. Dalam hal sabet, gerak wayang merupakan bahasa ungkap yang dapat dimanfaatkan oleh seniman dhalang untuk mengungkapkan kesan tertentu. Sehubungan dengan konsep yang dikemukakan di dalam hal menyusun gerak harus mempertimbangkan sudah atau belum tercapainya kesan yang diharapkan. Parameter untuk hal ini memang sulit, tetapi pada umumnya setiap dhalang sudah mempunyai kepekaan, sehingga hal ini tidak menjadi masalah baginya.Permasalahan justru muncul karena kebiasaan menggunakan waktu yang longgar. Seperti yang biasa berlaku pada pakeliran bentuk semalam, waktu untuk penampilan sabet sangat longgar, sehingga untuk mengisinya dhalang terpaksa harus mengulangi gerak-gerak yang sudah ditampilkan serta memperbanyak jumlah tokoh yang tampak. Misalnya di dalam gerak perang, perbendaharaan-perbendaharaan gerak seperti ancap-ancapan, tubrukan, prapatan, anteman, bantingan, dugangan, membuang, dan sebagainya selalu diulang-ulang, tidak hanya oleh satu pihak tetapi oleh kedua pihak yang berperang. Pertama-tama yang melakukan tokoh di sebelah kiri kemudian diulangi oleh tokoh pihak kanan. Dalam gerak kiprahan yang sedikitnya terdiri atas tujuh jenis sekaran: (1) ogekan pacak gulu, (2) ogekan tawing, (3) trap jamang, (4) ngudhal rikma, (5) nimbang, (6) tumpang tali, dan (7) nebak bumi, semuanya ditampilkan dengan mengulang-ulang masing-masing sekaran. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pakeliran bentuk semalam pamer kekayaan vokabuler merupakan salah satu unsur yang dominan. Untuk sabet pakeliran padat hal demikian ini perlu dihindari karena sabet bukan untuk pamer kekayaan vokabuler. Dari sekian jenis vokabuler yang ada, dipilih vokabuler yang diharapkan mampu menampilkan kesan tertentu sesuai dengan karakteristik tokoh.Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Kesan selalu harus dikaitkan dengan karakter tokoh. Misalnya untuk menggambarkan kesan sedih sabet, seorang tokoh menggunakan vokabuler berbeda dengan tokoh lainnya, mengingat masing-masing mempunyai karakter yang berbeda. Kiprahan Klana dalam lakon: Panji-Angreni, naskah susunan Bambang Suwarno, tidak semua sekaran kiprah ditampilkan, tetapi dipilih yang cocok dengan suasana adegan itu yakni suasana gandrung. Misalnya yang dipilih sekaran nimbang dan tumpang tali, itu pun masih dipadatkan lagi. Tiap-tiap sekaran yang biasanya dimainkan tiga kali ulang cukup dilakukan satu kali saja. Selain itu juga dipertimbangkan agar tidak terjadi pengulangan-pengulangan vokabuler gerak, baik vokabuler gerak tokoh satu diulangi oleh tokoh lain maupun vokabuler gerak seorang tokoh yang berulang-ulang. Menghindari pengulangan vokabuler gerak artinya tidak menampilkan kembali vokabuler-vokabuler gerak yang sudah ditampilkan jika tidak menambah kemantapan. Contoh dalam lakon Dewaruci naskah susunan Bambang Suwarno, perang antara Rukmuka belawan Bima vokabuler geraknya tidak sama denganperang antara Rukmakala melawan Bima. Sabet adalah gerak wayang dari awal pertunjukkan sampai akhir, termasuk perhatian dhalang terhadap bayangan pada kelir (layar), serta pengaturan wayang dari luar kelir. Dengan demikian seorang dhalang dituntut harus terampil memagang, memainkan, mengatur wayang supaya wayang tidak tertimbun, serta bagaimana bayangan di kelir tetap pada posisi yang dikehendaki sehingga menampilkan sabet yang hidup dan bersih. Sabet dalam pakeliran padat tidak perlu berlebihan atau bersifat akrobatik. Yang penting, penampilan sabet harus dapat mewadahi isi atau pesan yang dimaksud, misalnya rasa gagah, trenyuh, senang, gandrung, sedih, dan sebagainya. Dhalang pakeliran padat diharapkan dapat menggarap gerak-gerak wayang seperti berbicara menyampaikan kesan-kesan rasa tertentu, kemantapan sabet tidak bergantung pada ruwetnya gerak, tetapi terungkapnya rasa gerak. Sebagai misal gambaran api berkobar, peristiwanya adalah kebakaran. Dhalang harus mampu melukiskan suasana itu dengan kedua kayon (gunungan) supaya nampak api berkobar (Jawa: mbulat-mbulat) sehingga rasa hidup dan berkesan kebakaran. Contoh lain menghantam bagaimana cara dan sikap yang saling memukul itu sehingga kesan pukulannya terasa mantap serta yang dipukul tampak merasakan beratnya pukulan. Dengan demikian sabet pakeliran padat yang dipentingkan adalah perwujudannya, bukan peristiwanya.Unutk menggambarkan peperangan, satu hal yang harus ditentukan terlebih dahulu adalah kesan apakah yang diharapkan terungkap melalui peperangan itu. Jika yang diharapkan riwut (kacau), maka dhalang harus mampu menafsir unsur apakah yang diperlukan untuk mengungkapkan kesan kacau seperti itu. Seperti diketahui bahwa di dalam sabet perang, unsur-unsur yang terlibat adalah: (1) banyaknya tokoh yang tampil, (2) berulangnya peristiwa peperangan; (3) lama terjadinya peristiwa perang, dan (4) beragamnya model-model perang. Dari unsur-unsur ini dapat diketahui yang dominan menimbulkan kesan kacau adalah banyaknya tokoh-tokoh yang tampil, berulangkalinya peristiwa peperangan, dan beragamnya model-model perang. Dengan mengetahui unsur ini dhalang dapat menyusun suatu sabet perang agar menimbulkan kesan kacau yakni dengan memanfaatkan ketiga unsur tersebut. Cara ini sekaligus untuk menghindari terjadinya pengulangan vokabuler gerak tokoh satu oleh tokoh lain. Di samping itu juga vokabuler-vokabuler gerak perangnya dapat divariasi.Gambaran yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa penggarap atau dhakang pakeliran padat harus betul-betul berhati-hati. Dalam hal sabet setiap gerak serta unsur-unsurnya seperti volume, tekanan, ritme, dan tempo harus diperhitungkan secermat-cermatnya sehingga betul-betul ada maknanya. Unsur-unsur gerak yang dikemukakan itu harus juga disesuaikan dengan perwatakan masing-masing tokoh. Volume gerak tokoh gagah dalam suasana sedih berbeda dengan tokoh gagah dalam suasana gembira,marah atau murdika. Demikian juga dalam penggarapan tekanan, ritme, dan tempo gerak. Sehubungan dengan unsur-unsur gerak tersebut, untuk menentukan karakter juga harus dibedakan antara tokoh satu dengan tokoh yang laini meskipun dalam kelompok jenis yang sama. Misalnya sama-sama dalam suasana gembira, volume gerak tokoh Gathutkaca tidak sama dengan tokoh Boma meskipun keduanya termasuk tokoh gagah. Demikian juga untuk unsur-unsur gerak yang lain. Penentuan perbedaan unsur-unsur gerak seperti itu merupakan suatu usaha untuk menghidupkan karakter tokoh wayang melalui sabet. Tentu saja di samping perbedaan unsur-unsur gerak ini juga ditunjang dengan pemilihan vokabuler gerak yang tepat.

Garap IringanSebagaimana dalam pakeliran bentuk semalam, iringan yang digunakan dalam pakeliran padat juga berupa gendhing, sulukan, dhodhogan/keprakan, tembang, dan sindhenan. Demikian juga fungsinya yakni untuk mendukung suasana dan/atau membuat suasana tertentu. Perbedaannya adalah kedudukan iringan dalam pakeliran padat lebih menonjol fungsinya daripada iringan pada pakeliran bentuk semalam. Hal ini tampak melalui wujud garapan pakeliran secara utuh. Iringan sebagai salah satu unsur garap dalam pakeliran padat menyatu dengan unsur-unsur lain, yakni catur dan sabet. Kesatuan seperti ini kurang menonjol dalam pakeliran bentuk semalam, sehingga ada kesan bahwa iringan dalam pakeliran semalam hanya sebagai medium bantu. Garap iringan yang dimaksud dalam pembicaraan ini adalah segala tafsir yang dilakukan oleh penyusun iringan pakeliran padat dalam rangka mendukung sajian. Tafsir ini antara lain meliputi pemilihan vokabuler iringan dan penentuan perangkat gamelan atau ricikan yang digunakan. Selanjutnya masing-masing unsur akan dibicarakan sebagai berikut.

1. Pemilihan Vokabuler Iringan Seperti telah disinggung dalam konsep pakeliran padat bahwa vokabuler iringan yang digunakan tidak selalu harus vokabuler yang telah ada serta tidak juga harus mengikuti waton-waton iringan yang berlaku dalam pakeliran bentuk semalam (lihat, 49 50). Ini berarti bahwa seniman atau penyusun pakeliran padat mempunyai kebebasan menentukan iringan yang akan digunakan. Dasar penenduan iringan ini adalah kesesuaian antara suasana adegan dan kesan rasa iringannya. Hal ini seperti yang telah disinggung dalam konsep pakeliran padat (hal 50) bahwa kebebasan menggunakan vokabuler tradisi tidak terbatas pada satu gaya tertentu. Seniman juga bebas memanfaatkan unsur-unsur iringan dari gaya-gaya pakeliran lain. Pakeliran gaya Sala tidak ditabukan memanfaatkan iringan gaya Mataraman, Banyumas, Jawa Timuran, dan sebagainya. Meskipun pemanfaatan iringan gaya lain ini telah dimulai oleh dhalang-dhalang pakeliran bentuk semalam angkatan terdahulu yang dipopulerkan oleh Ki Narto Sabdo tetapi orientasinya berbeda. Dhalang-dhalang dahulu termasuk Ki Narto Sabdo lebih sebagai variasi untuk menunjukkan bahwa ia menguasai juga unsur iringan gaya lain. Adapun pakeliran padat memanfaatkanini dengan orientasi kesesuaian kesan rasa iringan dengan karakter tokoh dan suasana adegan atau peristiwa. Sehubungan dengan hal ini Humardani menekankan bahwa unsur-unsur iringan berbagai gaya itu merupakan kekayaanbudaya bangsa, sehingga dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin demi keberhasilan pertunjukkan pakeliran padat. Dengan demikian sebetulnya tersirat suatu keinginan bahwa pakeliran padat tidak terikat oleh satu gaya tertentu. Inilah yang menyebabkan pakeliran padat mengarah pada pakeliran yang mengindonesia. Adapun contoh-contoh penggunaan unsur gaya lain adalah sebagai berikut.a. Suluk Pencung Jugag gaya Yogyakarta digunakan untuk mengiringi keberangkatan Begawan Wisrawa ke Alengka melamar Dewi Sukeksi. b. Sampak kebumen untuk mengiringi perang Bisma melawan Srikandhi dengan menggunakan senjata panah.c. Ayak-ayakan Sanga Mataraman untuk mengiringi Salya menjelang naik kereta. d. Sampak Jek Dong (Jawa Timuran) digunakan untuk mengiringi perkelahian prajurit Astina melawan Pandhawa yang digambarkan rampongan perang dengan rampongan.e. Pancer Lima (Yogyakarta) untuk mengiringi larinya Puntadewa ketika melihat kedua adiknya yakni Nakula dan Sadewa dikejar Candhabirawa.f. Galong (Yogyakarta) untuk mengiringi Candhabirawa melawan Puntadewa.g. Ada-ada Sanga Klathenan untuk mengiringi kedatangan Gagarmayang dan Lenglengmandhanu ketika akan menggoda Ciptaning.

Di samping itu juga mempertimbangkan tokoh dan kadar suasana adegan yang didukungnya. Seperti halnya berlaku dalam sabet, pertimbangan tokoh ini berkaitan dengan karakteristik tokoh. Perbedaan karakter tokoh menyebabkan dalam suasana yang sama akibat peristiwa yang sama pula, masing-masing tokoh mempunyai kadar suasana yang berbeda. Misalnya antara tokoh Arjuna dan tokoh Kurupati, keduanya mengalami peristiwa sama yakni anaknya gugur. Kurupati sedih karena Lesmana Mandrakumara meninggal, sedangkan Arjuna sedih karena Abimanyu meninggal (dalam lakon Baratayuda). Akan tetapi karena karakter Arjuna berbeda dengan Kurupati, maka suasana kesedihan yang diungkapkan pun berbeda. Demikian juga dalam suasana marah, kadar kemarahan Bima akan berbeda dengan kemarahan Baladewa, Kurupati, atau tokoh yang lain. Karena pertimbangan inilah, maka pemilihan iringannya pun dibedakan pula. Dari pengamatan terhadap pakeliran padat yang telah ada, diketahui bahwa penggunaan iringan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu iringan dengan vokabuler tradisi yang ada, dan iringan dengan vokabuler baru. a. Iringan dengan Vokabuler Tradisi (Lama)Penggunaan iringan vokabuler tradisi (lama) yakni dengan memanfaatkan gendhing-gendhing, sulukan, dhodhokan/keprakan, sindhenan, serta tembang vokabuler tradisi yang telah ada yang biasa digunakan dalam pakeliran bentuk semalam. Pemilihan jenis iringan ini dengan mempertimbangkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas yakni karaktrer tokoh dan suasana adegan. Dengan pertimbangan ini teknik penyajiannya ada kalanya sama dengan teknik lama dan ada kalanya mengalami perubahan baik bentuk, fungsi, maupun garap.

1) Perubahan Bentuk Wujud perubahan bentuk iringan lama yang digunakan dalam pakeliran padat antara lain mengubah bentuk gendhing agar lebih sesuai dengan suasana adegan atau peristiwa yang didukungnya. Misalnya gendhing Wirangrong yang semula berbentuk ladrang kemudian diubah menjadi lancaran, digunakan untuk mengiringi Bratasena merusak hutan mencari Banyu Suci Perwitasari dalam lakon Dewaruci. Contoh lain adalah Gendhing Genes Kethuk Loro Kerep diubah menjadi Ketawang Gendhing. Inggah-nya yang semula kethuk papat diubah menjadi ladrang. Gendhing ini untuk mengiringi adegan Anggraihini di Taman Sokalima ketika menerima kedatangan Aswatama dalam lakon Palguna-Palgunadi.Perubahan bentuk dalam sulukan yakni dengan hanya menyajikan sebagian dari keseluruhan sulukan, yaitu diambil bagian awal atau akhir atau sebagian awal dan sebagian akhir. Hal ini dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini.a) Sulukan Plencung Jugag

3 3 3 3 Gya lu-meng-ser, O..

6 6 6 6 5 6 5..3Du-ta-ne sri na ra na ta

6 6 6 6 5 5 6 3 5 5 Te-kap-ing pa-se-wan tan-dya, O.3 3 3 3 3 3 35 3..232Tu-ma-duk sang yun ma ngar sa

1 1 1 1 2 3 2. 1 Tan a na ku-ci wa ra ras

Dalam lakon Gandamana Tundhung pada saat kepergian Gandamana ke Pringgadani untuk mengemban perintah Prabu Pandhu digunakan laku sulukan ini. Akan tetapi hanya disajikan tiga baris, yakni baris pertama, kedua, dan ketiga mulai dari cakepan: gya lumengser, sampai dengan tekaping pasewan tandya.

b) Sendhon Pananggalan 6 6 6 6 6 6.5 5Si-yang pan-ta ra ra tri2 2 2 2 2 2 1 1 6 5.356A-mung cip-ta pu-ku lun, O..2 2 2 2 2 1 2 3 5.6 35 3.2Tan-na lyan ka-ek- si mi la ka tur2.35 2.35 2 2 1 6.5 3 3 3 35 3.2Kang cun dha ma nik pra sa sat re geng3 5.6 3 5 53.2 2 2.35 2.35 2 2 2U lun kang su-mem-bah mung-gwing pa dan ta2 . 16 . 1 . 65 6 6 6 6 6 6 56Pra-bu myang ka-gung-an ta sing-sim3.2 2 2 2 2 12, 3 5 5.6 5 5 5.32 2Sak-sat sam-pun prang-ti, ka-ton as ta pu ku lun2.35 2.35 2 2 2 2.1 6.5 3 .Wu lat en na ra pa ti, O.. (ompak gender)2 2 2 2 2.1 1.2.16 1.Ra-ma de wa ning sun, O.. (ompak gender)

Dalam lakon Rama baris terakhir sulukan ini yakni cakepan Rama dewaningsun digunakan untuk mengiringi kedatangan Rama dan Laksmana menemui Jathayu yang sedang menderita karena terkena pusaka Rahwana.

c) Pathet Nem Jugag 6 6 6 6 6 6 6 6Han-jrah ing kang pus pi ta rum612 2 2 2 2 2 2 2 12 6.165Ka si lir ing sa mi ra na mrik, O..35.32 2 2 12. 2.35 2.35 2 21 6.165 6..Se kar ga dhung ko ngas gan da nya, O..6.12 2 2 2 2 2 2 2 12 1.. 2.16.53Ma weh ra ras re na ning dri ya, O.. O..

Lagu sulukan di atas dalam lakon Alap-alapan Sukeksi hanya digunakan baris pertama, kedua, dan ompak terakhir dengan cakepan lain sebagai berikut: Lir siniram tirta marta, tumus tumanem ing kalbu, O. O. Suluk ini untuk memantapkan suasana hati Begawan Wisrawa setelah Danapati mengutarakan keinginanannya mempersunting Dewi Sukeksi.

Perubahan seperti yang dikemukakan di atas bertujuan untuk mencapai kesan suasana yang diharapkan. Ini tidak berarti perbuatan yang semena-mena karena sebetulnya perubahan seperti ini pun telah dilakukan oleh dhalang-dhalang pakeliran bentuk semalam. Seperti: Gendhing Rondhon Cilik berbentuk kethuk loro kerep minggah papat laras slendro pathet sanga merupakan perubahan dari Gendhing Rondhon berbentuk kethuk papat arang minggah wolu laras slendro pathet sanga. Di dalam suluk yakni pathetan ada Pathet Nem Ageng, Pathet Nem Wantah, dan Pathet Nem Jugag, sedangkan pada ada-ada juga ada wetah, jugag, dan cekak. Khususnya dalam perubahan gendhing ini orientasinya adalah teknik yakni kaitan panjang pendeknya lagu gendhing dengan penampilan jumlah tokoh yang hadir dalam adegan. Pertimbangan demikian ini dalam pakeliran padhat bukan merupakan pertimbangan yang utama, karena yang dipentingkan adalah kesesuaian kesan rasa gendhingnya dengan adegan. Demikian juga kalau ada perubahan sulukan dalam pakeliran padat.

2) Perubahan Fungsi Iringan vokabuler lama yang digunakan dalam pakeliran padat seringkali juga mengalami perubahan fungsi. Seperti telah disinggung dalam pembicaraan konsep pakeliran padat (Hal 49) bahwa setiap gendhing atau sulukan atau unsur iringan yang lain dalam pakeliran bentuk semalam telah mempunyai fungsi masing-masing, yakni fungsi kaitannya dengan struktur dramatik lakon. Untuk pakeliran padat karena yang diutamakan adalah kesesuaian antara rasa iringan dengan karakter tokoh, suasana adegan atau peristiwa, maka gendhing, sulukan, atau unsur-unsur iringan lainnya seringkali dalam fungsi yang berbeda dengan penggunaannya dalam pakeliran bentuk semalam. Seperti Sendhon Pananggalan pada pakeliran bentuk semalam digunakan dalam jejer pertama sewaktu raja mengalami rasa emeng. Dalam pakeliran padat laon Bisma Gugur Sendhon Kloloran yang dalam pakeliran bentuk semalam digunakan untuk mengiringi bedhol adegan kedhatonan, dalam pakeliran padat lakon Ciptaning digunakan untuk mengirigi pertemuan Dewi Supraba dengan Niwatakaca. Jenis-jenis palaran seperti Durma, Sinom, dan Pangkur, yang dalam pakeliran bentuk semalam biasanya digunakan untuk istirahat saat perang (Jawa: sigeg perang), dalam pakeliran padat justru digunakan untuk mengiringi perang. Ada-ada Wrekudara Mlumpat yang dalam pakeliran bentuk semalam digunakan untuk mengiringi tanceban wokoh Wrekudara ketika akan melompat, dalam pakeliran padat lakon Ciptaning digunakan untuk mengiringi perang Arjuna melawan Keratarupa.Perubahan fungsi tersebut di satu pihak dapat dikatakan sebagai penjebolan terhadap waton-waton penggunaan iringan tradisi, pada pihak lain dapat dipandang sebagai pemanfaatan kekuatan ungkap yang maksimal. Untuk dapat memanfaatkan kekuatan ungkap, penyusunan pakeliran atau penyusunan iringan padat dituntut kepekaaan dan keterlibatannya dalam hal iringan. Ini tidak dapat sekedar memfungsikan iringan sebagaimana biasanya dalam pakeliran bentuk semalam, tetapi betul-betul harus memahami rasa iringan serta kesesuaiannya dengan karakter tokoh, suasana adegan atau peristiwa yang ditampilkan. Dengan demikian perubahan fungsi ini tidak sekedar asal mengubah, tetapi dengan landasan motivasi yang kuat serta didukung keyakinan bahwa perubahan fungsi ini memang tepat dan lebih memantapkan.

3) Perubahan GarapVokavuler iringan pakeliran semalam yang digunakan dalam pakeliran padat ada kalanya mengalami perubahan garap antara lain meliputi: penghilangan atau pengurangan sebagian, penggabungan, garap laya dan irama, serta penegasan unsur-unsur suara.a) Penghilangan atau Pengurangan Sebagian Penghilangan atau pengurangan sebagian vokabuler iringan lama tampak menonjol pada gendhing-gendhing. Seperti diketahui bahwa dalam gendhing biasanya mempunyai unsur antara lain: buka, merong, inggah, dan suwuk. Dalam merong atau inggah biasanya terdiri atas beberapa satuan kalimat lagu yang terwujud melalui kenongan. Penghilangan atau pengurangan gendhing dalam pakeliran padat ini antara lain berupa pengurangan sebagian buka, penghilangan buka, pengurangan kenongan, pengurangan cengkok, perpindahan iringan dengan tiba-tiba, penggabungan, perubahan laya dan irama, penekanan volume, dan pekenakan kualitas suara.

Pengurangan sebagian bukaBuka gendhing biasanya terdiri atas beberapa gatra (satu gatra terdiri atas empat nada). Dalam situasi tertentu jika buka ini disajikan seluruhnya akan terjadi kekosongan. Untuk menghindari hal tersebut ditempuh dengan jalan mengurangi beberapa gatra buka pada bagian depan. Dengan demikian yang disajikan hanya beberapa gatra bagian belakang sampai jatuh gong buka (Jawa: dhawah gong buka). Pengurangan seperti ini dengan pertimbangan bahwa bagian buka yang disajikan itu kesan rasanya telah mewakili seluruh buka. Contoh pengurangan sebagian buka dapat dilihat pada buka Gendhing Renyep berbentuk kethuk loro kerep laras slendro padthet sanga sebagai berikut:5 5 6 1 6 5 6 . . 5 1 5 3 2 1 6 5 5 6 1 (2)Yang ditampilkan hanya5 1 5 3 2 1 6 5 5 6 1 (2)Selain itu juga dilihat pada buka Gendhing Larawudhu berbentuk kethuk loro kerep laras slendro patet sanga sebagai berikut:5 5 6 i 6 5 6 6 i i 6 5 2 6 i 2 1 1 2 (1)Yang ditampilkan6 i i 6 5 2 6 i 2 1 1 2 (1) Penghilangan buka. Seperti halnya pengurangan buka, tujuan menghilangkan buka untuk menghindari kekosongan. Selain itu didasarkan suatu anggapan bahwa buka itu kurang ada relevansinya dengan perpindahan dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain, sehingga buka dapat dihilangkan. Penghilangan buka ini biasanya dilakukan dari gendhing satu yang digunakan untuk mengiringi adegan atau peristiwa-peristiwa tertentu dilanjutkan ke gendhing lain untuk adegan atau peristiwa berikutnya, atau dari sulukan atau vokal untuk suasana tertentu dilanjutkan ke gendhing untuk adegan berikutnya. Contoh penghilangan buka terdapat dalam peristiwa-peristiwa sebagai berikut.1) Peralihan peristiwa kematian Mamangdana di tangan Arjuna ke adegan pertemuan Bathara Guru dengan Arjuna dalam lakon Ciptaning terdapat penghilangan buka. Pada saat Mamangdana mati dengan iringan sampak kemudian berganti iringan menjadi Gendhing Boyong Basuki berbentuk ketawang gendhing kethuk loro kerep laras slendro pathet manyura untuk adegan pertemuan Bathara Guru dengan Arjuna tanpa diawali buka.2) Pada lakon Dewaruci yakni dalam adegan Bratasena melompat diiringi Sekar Pangkur Palaran, setelah sampai di Hutan Tikbrasara iringan berubah menjadi Ladrang Wirangrong laras slendro pathet nem tanpa diawali dengan buka.

Pengurangan KenonganGendhing-gendhing vokabuler tradisi yang digunakan dalam pakeliran padat seperti Gendhing Guntur berbentuk kethuk loro kerep laras slendro pathet nem, Gendhing Renyep berbentuk kethuk loro krep laras slendro pathet sang, Ladrang Wirangrong laras slendro pathet nem, dan Ladrang Sumirat laras slendro pathet manyura, dalam masing-masing gendhing terdapat susunan nada yang sama pada beberapa kenongan. Susunan nada ini menyebabkan timbulnya kesan kosong (Jawa: kemba) karena adanya kesamaan rasa lagu dalam beberapa kenongan yang sama itu. Untuk menghindari kesan ini ditempuh dengan jalan menghilangkan atau mengurangi beberapa kenongan yang sama itu. Dengan mengurangi ini dirasa suasana yang diharapkan dapat tercapai. Contoh-contoh pengurangan kenongan ini antara lain:1) Merong Gendhing Guntur berbentuk kethuk loro kerep minggaj papat laras slendro pathet nem, mempunyai dua kenong sama, yaitu kenong pertama dan kedua. Untuk mengiringi adegan Manimantaka, gendhing ini dikurangi satu kenongan yakni kenong pertama.2) Gendhing Renyep berbentuk kethuk loro kerep laras slendro pathet sanga, mempunyai dua kenongan sama pada kenongan pertama dan kedua. Untuk mengiringi adegan Alengka dalam lakon Alap-alapan Sukeksi dikurangi satu kenongan yakni kenongan pertama.Pengurangan kenongan dalam penyajian satu gendhing seperti yang dibicarakan di atas juga telah berlaku di dalam pakeliran bentuk semalam. Seperti Gendhing Damarkeli berbentuk kethuk papat kerep laras slendro pathet nem yang biasa digunakan untuk mengiringi Kedhatonan Astina dalam pakeliran bentuk semalam pada bagian merong mempunai tiga kenongan yang susunan nadanya sama. Dalam penyajian pakeliran bentuk semalam biasanya tiga kenongan yang sama itu disajikan satu kenongan saja. Hal ini diulangi sampai dua gongan, baru setelah sirep, gendhing ini disajikan secara utuj. Pengurangan kenongan ini dengan orientasi teknis, yakni agar penampilan tokoh Limbuk dan Cangik tidak terlalu lama, sehingga ditempuh dengan jalan mengurangi dua kenongan.

Pengurangan cengkokGendhing-gendhing vokabuler tradisi baik pada bagian merong maupun bagian inggah (inggah gendhing atau ladrang) adakalanya terdiri dari beberapa cengkok. Cengkok satu dengan cengkok yang lain seringkali mempunyai kesan rasa yang berbeda, sehingga adakalanya dari cengkok-cengkok itu hanya sebagian yang kesan rasanya sesuai dengan adegan yang diiringi. Untuk menghindari kesan rasa yang tidak sesuai ini ditempuh dengan jalan menghilangkan cengkok tertentu yang dirasa tidak sesuai dengan suasana adegan. Contoh penghilangan cengkok antara lain:1) Merong Gendhing Lagudhempel berbentuk ketawang gendhing kethuk loro kerep minggah ladrang terdiri atas empat cengkok, sedangkan inggahnya terdiri atas lima cengkok. Untuk mengiringi adegan Madukara dalam lakon Srikandi Maguru Manah merongnya hanya disajikan tiga cengkok atau dikurangi satu cengkok yakni cengkok keempat. Adapun inggahnya dikurangi empat cengkok yakni cengkok pertama, kedua, ketiga, dan keempat.2) Gendhing Kabor berbentuk ketawang gendhing kethuk loro kerep minggah ladrang sekarlesah, pada bagian ladrang terdiri atas lima cengkok. Untuk mengiringi adgean Lokapala dalam lakon Alap-alapan Sukeksi, inggah ladrang ini hanya disajikan dua cengkok yakni cengkok keempat dan kelima.

Perpindahan dengan ada-adaUnsur-unsur iringan yang digunakan dalam pakeliran padat seperti gendhing, sulukan, dan tembang adakalanya tidak selalu digunakan secara utuh. Artinya, karena kebutuhan tertentu yakni kebutuhan perubahan suasana atau penekanan suasana, seringkali dengan tiba-tiba iringan diputus dan beralih ke bentuk iringan yang lain. Dengan demikian pemutusan atau peralihan dengan tiba-tiba ini menyebabkan unsur iringan pertama tidak disajikan seluruhnya. Dalam hal gendhing adakalanya tidak disajikan sampai dengan suwuk. Pada saat habis janturan dengan tiba-tiba gendhing yang bersangkutan diputus dan beralih ke sulukan tertentu. Misalnya:1) Gendhing Kabor berbentuk ketawang gendhing kethuk loro kerep laras slendro pathet nem dalam lakon Bisma Gugur, tidak disajikan secara utuh. Pada saat selesai janturan Astina dengan tiba-tiba diputus dan diganti dengan Sendhon Pananggalan. Maksud perubahan ini adalah untuk perpindahan suasana dari suasana regu ke emeng. Kedua-duanya merupakan suasana pokok untuk adegan yang bersangkutan.2) Gendhing Larawudhu berbentuk kethuk loro kerep laras slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan Pertapan Sokalima dalam lakon Palguna-Palgunadi. Gending ini bersuasana emeng suasana dengan adegan Pertapan Sokalima saat itu, yakni saat Anggrahini menanti berita Prabu Palgunadi yang berlatih perang. Setelah janturan adegan selesai dengan tiba-tiba gendhing ini beralih menjadi suluk Pathet Sendhon Abimanyu yang bersuasana berurutan yang terdapat dalam adegan tersebut. Perpindahan dengan tiba-tiba dari gendhing ke bentuk sulukan juga terdapat dalam adegan Mandaraka pada lakon Narasoma-Pujawati, dan adagen Hupalawiya dalam lakon Gathutkaca Gugur.3) Dalam lakon Wibasana Suwita pada adegan Pasanggrahan Pancawati digunakan iringan Gendhing Bandhilori berbentuk kethuk loro kerep minggah Ladrang Eling-eling laras slendro pathet sanga, tiba-tiba diputus dan berubah menjadi sampak sanga untuk mengiringi kedatangan Anoman.

Selain yang telah dibicarakan di atas, juga terdapat perpindahan dengan tiba-tiba dalam betuk sulukan ke gendhing, antara lain:1) Pada adegan Arjuna dan Semar dalam lakon Harjunapati setelah Arjuna mendapatkan keterangan dari Semar bahwa kebaikan tidak tentu dibatas dengan kebaikan, ia berbalik berjalan ke kiri dengan diiringi Ada-ada Manyura. Pada waktu Arjuna masuk ke kiri iringan berubah secara tiba-tiba menjadi Sampak Manyura.2) Lagon Plencung Jugag untuk mengiringi keberangkatan Gandamana ke Pringgadani melaksanakan perintah Prabu Pandhu. Pada saat Gandamana masuk ke kiri iringan ditimpali Srepeg Nem. 3) Adegan perang Dhestharata melawan Gandamana dalam lakon Gandamana Tundhung, Gandamana mengeluarkan kesaktian berupa angin dengan diiringi Ada-ada Wrekudara Mlumpat, dan iringan ini berubah secara mendadak menjadi Sampak Manyura ketika Dhestarasta tersapu oleh angin.

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa ada tiga macam perpindahan iringan dengan tiba-tiba yang telah dilakukan, yaitu:1) Perpindahan dengan tiba-tiba dari bentuk gendhing ke sulukan2) Perpindahan dengan tiba-tiba dari bentuk gendhing ke gendhing lain3) Perpindahan dengan tiba-tiba dari bentuk sulukan ke gendhing.

b) Penggabungan Yang dimaksud penggabungan di sini adalah penggunaan dua bentuk iringan secara bersama-sama adalam satu peristiwa tertentu. Maksud penggabungan ini adalah untuk menampilkan dua suasana berbeda secara bersamaan dalam suatu peristiwa. Kedua suasana ini tidak mungkin dapat dijangkau dengan satu bentuk iringan saja, sehingga diperlukan bentuk iringan lain yang dapat memenuhi suasana yang diinginkan. Penggabunganini sedikitnya mepunyai dua bentuk garap, yakni garap sejajar dan garap selang-seling.

Penggabungan garap sejajarYang dimaksud penggabungan garap sejajar adalah penggabungan dari dua unsur iringan, baik gendhing dengan gendhing, gendhing dengan vokal, maupun vokal dengan vokal yang disajikan secara bersama-sama dengan volume sejajar. Contoh bentuk penggabungan ini antara lain:1) Penggabungan gendhing dengan gendhing ternyata tidak banyak dilakukan. Di antara pakeliran padat yang ada ditemukan satu kali yakni dalam lakon Gathutkaca Gugur pada bagian adegan Bedhol Kayon. Adegan ini semula diirngi dengan bentuk gendhing klenengan. Setelah menginjak kenong kedua digabung dengan Lancaran Giyak.2) Penggabungan gendhing dengan vokal antara lain terdapat dalam lakon Narasoma-Pujawati yakni Srepeg Manyura digabung dengan Dhandhanggula Malatsih, untuk mengiringi adegan Begawan Bagaswati bersamadi. Dalam lakon Salyo Gugur, Srepeg Tlutur laras slendro pathet manyura dalam garap sirep digabung dengan Kinanthi Madhenda tipis untuk mengiringi konflik batin Salya di medan laga. Juga dalam lakon Wisanggeni Lahir, Srepeg Gambuh laras slendro pathet manyura digabung dengan Sekar Asmaradana, untuk mengiringi kepergian Bathari Durga dari hadapan Bathara Guru.3) Penggabungan vokal dengan vokal. Jenis penggabungan ini diantaranya terdapat dalam lakon Kangsa Lena. Pada saat adegan Bathara Brama memberi bisikan (Jawa: misik) kepada Kakrasana digunakan iringan Sekar Lambita digabung dengan Sekar Linglih.

Penggabungan garap selang-selingPenggabungan bentuk ini adalah penggabungan antara sulukan dengan tembang. Adapun garapnya adalah berselang-seling, sebagian sulukan dilanjutkan sebagian tembang, demikian seterusnya sampai adegan yang diiringi selesai. Contoh penggabungan bentuk ini terdapat dalam lakon Ciptaning. Pada adegan pertemuan Bathari Supraba dengan Niwatakawaca digunakan iringan selang-seling antara Sendhon Kloloran dengan Sekar Ageng Kasultarini. Peristiwa yang diiringi adalah Niwatakawaca bertemu dengan Bathari Supraba, Niwatakawaca merayu Supraba, Arjuna bersiap-siap melepaskan panah, Niwatakawaca masih dalam keadaan merayu, dan Arjuna membidikkan panah. Peristiwa tersebut disajikan secara berurutan. Karena suasana pertemuan Niwatakawaca dengan Supraba berbeda dengan suasana Arjuna bersiap-siap untuk memanah, maka iringannya pun dibuat berselang-seling.

c) Garap Laya dan Irama Garap yang dimaksud adalah segala kemungkinan tafsir yang dapat mendukung suasana di dalam sajian pakeliran padat. Yang dimaksud laya adalah cepat lambatnya tempat di dalam karawitan. Adapun yang dimaksud irama adalah tingkatan pengisian di dalam gatra satu gatra terdiri atas empat nada mulai dari tiap gatra berisi empat titik yang berarti satu slag balungan berisi satu titik, meningkat menjadi kelipatan-kelipatannya, sehingga satu slag balungan dapat berisi enam belas titik. Garap laya dalam pakeliran padat terutama sekali dalam gendhing berbeda dengan garap laya dalam iringan pakeliran bentuk semalam. Pada pakeliran bentuk semalam seperti halnya karawitan Jawa pada umumnya laya digarap runtut tidak patah, sedangkan dalam pakeliran padat di sampai runrut juga dapat patah, sangat tamban, agak seseg, dan seseg sekali. Penggarapan laya ini disesuaikan dengan kebutuhan. Munculnya laya patah biasanya disebabkan oleh perubahan irama secara tiba-tiba, tanpa melalui laya peralihan. Perubahan irama dengan tiba-tiba ini tidak biasa digunakan dalam pakeliran bentuk semalam, karena setiap perubahan irama dalam pakeliran semalam pada umumnya selalu melalui laya peralihan (Jawa: rambatan). Adanya laya inilah menyebabkan iringan pakeliran bentuk semalam terasa runtut tidak patah. Penggunaan laya dalam pakeliran padat memang disengaja untuk menimbulkan kesan seseg. Contoh-contoh laya patah dalam pakeliran padat antara lain:1) Laya patah dari irama lancar ke irama dadi. Dalam lakon Alap-alapan Sukeksi pada adegan Lokapala kedua, iringan gendhing Ladrang Sumirat laras slendro pathet manyura dalam irama lancar. Setelah Prabu Danapati tampil, bersamaan gong iringan sirep dengan tiba-tiba berubah ke irama dadi.2) Laya patah dari irama dadi ke irama lancar. Dalam lakon Ciptaning yakni pada adegan terakhir dari Gendhing Boyong Basuki berbentuk ketawang gendhing kethuk loro kerep laras slendro pathet manyura dalam irama dadi berubah dengan tiba-tiba ke sampak manyura.3) Laya patah dari irama dadi ke irama gropak. Pada umumnya laya ini digunakan untuk gendhing-gendhing ladrangan yang mengandung suasana greget gagah. Gendhing-gendhing jenis ini berakhir (Jawa: Suwuk) dalam irama gropak. Dalam paliran bentuk semalam untuk menunjuk suwuk gropak dari irama dadi selalu melalui irama rambatan yakni irama peralihan (Jawa: ngampat seseg). Akan tetapi untuk iringan pakeliran padat tanpa melalui irama peralihan, sehingga dari irama dadi langsung ke irama gropak. Dengan perpindahan langsung ini berakibat gendhing ladrangan yang disajikan menjadi lebih pendek satu gongan. Misalnya: ladrang moncer laras slendro pathet manyura untuk mengiringi adegan Alengka dalam lakon Wibisana Suwita, Ladrang Kandha-manyura untuk mengiringi adegan Pesanggarahan Wukir Mahendra dalam lakon Rama. Ladrang Diradameta laras slendro pathet nem untuk mengiringi adegan Alengka dalam lakon Alap-alapan Sukeksi.

d) Penegasan Unsur-unsur SuaraPenegasan unsur-unsur suara dapat terjadi karena penekanan volume dan/atau penekanan kualitas suara. Penekanan VolumeKeras lirih atau volume suara iringan dalam pakeliran bentuk semalam biasanya secara langsung mengikuti garap gendhing. Hal demikianj ini tidak selalu disadari oleh senimannya, baik dhalang maupun pengrawit. Penyajian gendhing dalam pakeliran bentuk semalam biasanya: (a) bermula dengan volume suara sedang, (b) setelah sirep dengan volume suara lirih, (c) pada saat udhar dengan volume suara sedang, (d) pada saat suwuk gropak dengan volume suara keras. Penggarapan volume suara dalam pakeliran bentuk semalam seperti ini seolah-olah sudah menjadi suatu aturan baku tanpa disadari, secara otomatis diikuti oleh para pengrawit.Dalam pakeliran padat penggarapan volume suara memang disadari dan ditentukan, dengan harapan agar dapat mencapai suasana yang dikehendaki. Di samping itu volume suara tidak terpancang aturan seperti yang dikemukakan di atas, sehingga selain hal-hal yang telah disebut, juga dapat terjadi kemungkinan-kemungkinan lain sebagai berikut:1) Volume suara lebih lirih daripada volume suara dalam pakeliran bentuk semalam. Misalnya pada gendhing Ladrang Pangkur Dudhakasmaran laras slendro pathet sanga yang digunakan untuk mengiringi adegan Taman Suko dalam lakon Anoman Obong. Pada saat sirep volume suara seperti dalam sirep pakeliran bentuk semalam, kemudian makin lirih dan akhirnya hilang.2) Volume suara lebih keras daripada pakeliran bentuk semalam. Misalnya pada sirep srepeg atau sampak yang digunakan untuk mengiringi sabet tanpa ada dialog atau narasinya.3) Volume suara keras sekali. Biasanya untuk mengiringi ungkapan suasana marah atau terkejut dalam saat yang sangat singkat. Misalnya gendhing Sampak untuk mengiringi adegan Rahwana pada saat akan membunuh Dewi Sinta, hanya terdiri atas delapan sabetan balungan dengan garap volume keras sekali.

Penekanan kualitas suaraDhalang, pesinden, wiraswara, dan pengrawit dalam pakeliran bentuk semalam mempunyai tugas yang berbeda-beda. Menurut aturan tradisi tugas masing-masing tidak akan dilaksanakan oleh orang lain yang bukan petugasnya. Seperti suluk harus dilakukan oleh dhalang. Bahkan dianggap cacat apabila seorang dhalang melakukan suluk dengan cengkok pesinden. Seandainya dhalang melagukan tembang tertentu yang seharusnya dilakukan oleh wiraswara, tujuannya adalah untuk memamerkan kepada penonton bahwa dhalang itu juga mampu dalam hal tembang. Pada akhir ketenaran Ki Nartosabdo keparakan pakelirannya dilakukan oleh orang lain. Situasi ini terjadi karena Ki Nartosabdo dalam keadaan sakit, sehingga tidak mungkin mengeprak sendiri. Penggantian tugas yang dicontohkan ini semata-mata bukan berdasarkan alasan kesenian untuk mencari kemantapan.Berbeda dengan yang telah dikemukakan di atas, di dalam pakeliran padat justru penggantian tugas itu dimungkinkan dengan tujuan untuk mencari kemantapan. Kemantapan itu diusahakan dengan memanfaatkan kualitas suara yang dirasa lebih mendukung. Misalnya untuk melagukan sulukan tertentu, karena kualitas suara dhalang dirasa tidak mendukung, maka suluk itu dilagukan oleh orang lain seperti pesindhen atau wiraswara atau pengrawit yang kualitas suaranya lebih sesuai. Misalnya:1) Sendhon Kloloran dilakukan oleh pesindhen, untuk mengiringi adegan Niwatakawaca merayu Bathari Supraba dalam lakon Ciptaning.2) Sendhon Tlutur dilakukan oleh pengrawit, untuk mengiringi suasana hati Dewi Kunthi setelah mendapat berita bahwa ia akan disayembarakan, dalam lakon Kunthi Pilih.3) Suluh Plencung Jugag dilakukan oleh pengrawit untuk mengiringi suasana hati Resi Druwasa atas pernyataan Basudewa tentang kehamilan Dewi Kunthi, dalam lakon Kunthi Pinilih. Demikian juga ketika terdapat tembang yang harus dilagukan, penentuan siapa yang harus melakukan dengan mempertimbangkan kesesuaian kualitas suara dan rasa tembang yang disajikan, sehingga tidak harus selalu wiraswara atau pesindhen tetapi ada kalanya dilagukan oleh pengrawit. Misalnya Sekar Ageng Kilayunedheng dilagukan oleh pengrawit secara bersama-sama, untuk mengiringi adegan Basudewa memberi nama anak Dewi Kunthi yakni Basukarna dalam lakon Kunthi Pilih. Khusus dalam gendhing, untuk mencari kualitas suara tertentu yang sesuai antara lain ditempuh dengan jalan sebagai berikut:1) Memukul pada bagian ricikan yang tidak bisa dipukul. Misalnya ricikan gong yang dipukul pada bagian muka (Jawa: rai) bukan di bagian pencon sebagaimana biasanya, untuk mengiringi suasana di hutan pada lakon Haswatama Nglandhak.2) Menggunakan pemukul yang tidak lazim. Misalnya memukul gender dengan tabuh yang dilepas pembalutnya. Sebagai contoh tabuhan gender dalam Ada-ada Ngrentah untuk mengiringi adegan Kakrasana dalam keadaan bingung kemudian bertemu dengan Bathara Brama dalam lakon Kresna Lena. Juga pada adegan Ajurna dan Punakawan masuk ke gawang kiri dan Aswatama keluar bersama kayon dalam lakon Haswatama Nglandak, diiringi Ada-ada Jawa Timuran dengan sajian gender yang tabuhnya dilepas pembalutnya. 3) Menambah ricikan tertentu. Misalnya sendhon di dalam pakeliran tradisi tanpa diiringi rebab, tetapi di dalam pakeliran padat selain tanpa rebab sering juga menggunakan rebab. Contoh: Sendhon Tlutur untuk mengiringi adegan Anggrahini memeluk kaki Palgunadi dalam lakon Palguna-Palgunadi dan Sendhon Abimanyu untuk mengiringi suasana hati Resi Padya dan Ciptaning pada waktu bertemu dan saling berpelukan dalam lakon Ciptaning keduanya menggunakan iringan rebab.4) Menghilangkan vokal, yakni suluk tanpa vokal, hanya dengan iringan (instrumental). Sebagai contoh: sulukan Sendhon Sastradatan untuk mengiringi suasana hati Prabu Kunthiboja setelah mendengar berita dari Dewi Kunthi bahwa Dewi Kunthi belum dapat berpisah dengan Basukarna, dalam lakon Kunthi Pilih, serta Sendhon Tlutur untuk mengiringi kedatangan Banowati pada adegan Palagan dalam lakon Menakjingga Lena.5) Mengurangi ricikan tertentu. Hal ini dapat dilihat misalnya pada Sendhon Sasradatan yang hanya diiringi dengan gender. Dalam pakeliran tradisi selain diiringi dengan gender, juga gambang, gong, dan suling. Sendhon Sasradatan yang hanya diiringi dengan gender ini dapat dilihat pada adegan Arjuna bertemu dengan Citrahoyi dalam lakon Harjunapati.

b. Iringan dengan Vokabuler Baru Iringan dengan vokabuler baru yang dimaksud di sini adalah bentuk-bentuk iringan, baik yang berupa gendhing, rembang, sulukan, maupun bentuk lain yang belum ada di dalam vokabuler tradisi. Munculnya bentuk-bentuk ini antara lain disebabkan keinginan para penyusun pakeliran atau iringan padat untuk mendapatkan bentuk-bentuk lain. Di samping itu juga karena faktor kemampuan kesenimanan masing-masing. Tentu saja hal ini sedikit banyak akan dilatarbelakangi motivasi untuk menunjukkan bahwa dirinya mempunyai kemampuan. Dengan demikian baik secara langsung maupun tidak langsung tersirat harapan mendapatkan pengakuan dari masyarakat pemerhati pakeliran padat. Faktor lain yang mendorong adalah konsep pakeliran padat yang memberi kelonggaran untuk keluar dari pola-pola tradisi. Hal inilah yang sering ditafsirkan bahwa karena pakeliran padat maka bentuk iringannya harus baru. Dari pengamatan terhadap pakeliran padat diketahui bahwa iringan dengan vokabuler baru paling sedikit mempunyai dua ragam bentuk iringan yakni iringan baru dengan bentuk lama dan iringan baru dengan bentuk baru.Dari pengamatan terhadap pakeliran padat diketahui bahwa iringan dengan vokabuler baru paling sedikit mempunyai dua ragam bentuk iringan yakni iringan baru dengan bentuk lama dan iringan baru dengan bentuk baru.1) Iringan baru dengan bentuk lamaYang dimaksud iringan baru dengan bentuk lama adalah susunan-susunan iringan baik yang berupa sulukan, gendhing, maupun tembang yang masih berpola pada bentuk-bentuk tradisi. Dalam hal ini tidak termasuk bentuk-bentuk tradisi yang hanya diganti syairnya (jawa: cakepan). Iringan vokabuler baru dengan bentuk tradisi antara lain berwujud:a) Ketawang gendhing, misalnya Ketawang Gendhing Milunglung laras slendro pathet nem untuk mengiringi adegan Madukara dalam lakon Kangsa Lena.b) Ladrangan, misalnya(1) Ladrang rudrah laras slendro pathet sanga untuk mengiringi adegan Kakrasana di hutan dalam keadaan bingung dalam lakon Kangsa Lena.(2) Ladrang Suman laras slendro pathet nem untuk mengiringi adegan Gajahoya dalam lakon Gandamana Tundhung.c) Ketawang, misalnya Ketawang Rongeh laras slendro pathet manyura untuk mengiringi suasana hati Kangsa setelah melihat kecantikan Raraireng, dalam lakon Kasang Lena.d) Lancaran, misalnya:(1) Lancaran Dhagdhag laras slendro pathet nem, untuk mengiringi adegan Kangsa dalam lakon Kangsa Lena.(2) Lancaran Ngraca laras slendro pathet sanga, untuk mengirinjgi perang antara Kakrasana melawan ular, dalam lakon Kangsa Lena.(3) Lancaran Gagahan laras slendro pathet sanga, untuk mengiringi adegan pambuka dalam lakon Kunthi Pilih.e) Sampak, misalnya:(1) Sampak Ramba laras slendro pathet manyura, untuk mengiringi perang antara Kakrasana melawan Kangsa, dalam lakon Kangsa Lena(2) Sampak Nggrejuk laras slendro pathet manyura, untuk mengiringi perang antara Narayana melawan Kangsa, dalam lakon Kangsa Lena.(3) Sampak Rangsang laras slendro pathet nem, untuk mengiringi kepergian Kakrasana mencari ilmu, dalam lakon Kangsa Lena,f) Srepeg, misalnya:(1) Srepeg Gagat laras slendro pathet manyura, untuk mengiringi suasana terpikatnya hati Kangsa kepada Raraireng dalam lakon Kangsa Lena.(2) Srepeg Renggut Laras Slendro Pathet Sanga, untuk mengiringi adegan Sulanjari, Sagopi, dan Raraireng dalam lakon Kangsa Lena(3) Srepeg Renyep laras slendro pathet sanga, untuk mengiringi Gendara mengejar Pujawati dan Madrim, dalam lakon Kunthi Pilih.g) Ayak-ayakan, misalnya Ayak-ayakan Rengu untuk mengiringi bedhol jejer pertama dalam lakon Kangsa Lena.h) Titir, misalnya titir untuk mengiringi perang antara prajurit Pandhawa melawan Kurawa dalam lakon Bisma Gugur.

Bentuk-bentuk vokabuler iringan baru yang dicontohkan di atas merupakan bentuk-bentuk tradisi. Adapun kebaruannya antara lain terletak pada susunan nada. Khususnya pada bentuk titir, meskipun bentuk ini tidak terdapat pada khazanah karawitan Jawa, tetapi tetap dianggap bentuk tradisi karena aplikasi dari teknik tabuhan kenthongan tradisi.

2) Iringan baru dengan bentuk baru Iringan baru dengan bentuk baru dalam pakeliran padat tidak menggunakan bentuk-bentuk seperti yang telah dicontohkan di atas. Dengan demikian jenis iringan ini secara bentuk tidak mengikuti aturan-aturan tradisi. Wujud iringan bentuk baru ini juga dapat berupa gendhing, tembang, sulukan, serta wujud lain yang tidak termasuk dalam wujud-wujud ini. Meskipun istilah yang digunakan sama seperti yang diterapkan dalam tradisi, tetapi tidak terikat pola-pola seperti:a) Untuk gendhing, jumlah kenongan tiap gongan, jumlah sabetan tiap kenongan, dan kalimat lagu. Adapun contoh gendhing baru antara lain:1) Lagu Thuk Brul untuk mengiringi adegan di hutan, dalam lakon Haswatama Nglandak.2) Lagu Gelen untuk mengiringi adegan Haswatama melarikan diri dalam lakon Haswatama Nglandak.3) Lagu Big untuk mengiringi adegan Kartamarma bertapa, dalam lakon Haswatama Nglandak.4) Lagu Geter untuk mengiringi adegan Haswatama melepas cundhamanik dalam lakon dalam lakon Haswatama Nglandak.5) Lagu Slentho untuk mengiringi adegan Banowati bertemu dengan Arjuna, dalam lakon Haswatama Nglandak.6) Lagu Hastin untuk mengiringi adegan Negara Hastina, dalam lakon Haswatama Nglandak.

b) Untuk sulukan meskipun istilahnya juga sama yakni pathetan, tetapi tidak berarti lagunya sama dengan pathetan tradisi. Contoh pathetat vokabuler baru:(1) Pathetan Emeng untuk mengiringi suasana hati Basudewa, dalam lakon Kangsa Lena.(2) Pathet Jugag dengan lagu baru mengiringi suasana hati Prabu Duryudana dalam memutuskan jadi atau tidaknya perang Bratatuda, dalam lakon Bisma Gugur.(3) Pathet Mangu Jugag untuk mengiringi suasana hati Gandamana setelah mengetahui isi surat bahwa Prabu Tremboko akan menjajah Kerajaan Astina, dalam lakon Gandamana Tundhung.c) Untuk sekar juga tidak terikat aturan-aturan seperti jumlah suku kata setiap baris, persajakan setiap baris, dan jumlah baris setiap syair. Contoh jenis ini antara lain:1) Sekar Gugur untuk mengiringi kematian Gathutkaca, dalam lakon Gathutkaca Gugur.2) Sekar Lambita dan Linglih untuk mengiringi Brama memberi bisikan kepada Kakrasana, dalam lakon Kangsa Lena.3) Lagu vokal Gancang untuk mengiringi adegan Banowati dan Arjuna bergandengan tangan, dalam lakon Haswatama Nglandak.4) Lagu vokal Pasrah untuk mengiringi adegan terakhir yakni Haswatama menyerahkan diri kepada Arjuna, dalam lakon Haswatama Nglandhak

Vokabuler baru dengan bentuk baru yang dikemukakan di atas meskipun ada unsur ingin meninggalkan pola dan aturan tradisi tetapi pada umumnya kesan rasa yang ditimbulkan masih kuat sekali berbau tradisi. Hal demikian ini dimungkinkan mengingat penyusun iringan pakeliran padat seperti B. Subono, Sukardi Sm, dan Suratno semuanya berlatar belakang kesenian tradisi khususnya karawitan.Wujud lain iringan baru dengan vokabuler baru di samping disebut dengan istilah gendhing, sulukan, dan sekar adalah: