Upload
lydiamanik
View
21
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Kejadian Malpraktek dalam Tindakan Pembedahan Usus Buntu
Elsinda Eka Sari
102010165
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Pendahuluan
Pada problem based learning (PBL) blok 27 didapatkan skenario: “Dr. A adalah seorang
dokter spesialis bedah umum. Pada suatu ketika ia mendapatkan seorang pasien B yang
menderita radang usus buntu. Dr. A menyarankan agar pasien B segera dioperasi dan pasien B
menyetujui. Setelah 3 hari post operasi, pasien B menderita demam tinggi, kesadarannya
menurun dan pada bekas luka operasinya tampak keluar nanah. Melihat kondisi pasien, keluarga
pasien tidak terima dan berniat menuntut dr. A”. Berdasarkan skenario tersebut, dibuat hipotesa
bahwa dr. A tidak melakukan malpraktek dalam tindakan yang dilakukannya. Untuk
membuktikan kebenaran hipotesa tersebut, maka haruslah terlebih dahulu dibahas mengenai
definisi malpraktek, jenis-jenisnya, dan hukum yang mengaturnya.
PRINSIP ETIKA KEDOKTERAN
Prinsip-prinsip etika profesi :
1. Tanggung jawab
Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada
umumnya.
2. Keadilan untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.
1 | M a l p r a k t e k
3. Otonomi menuntut agar setiap kaum profesional diberi kebebasan menjalankan
profesinya.1
Peranan etika dalam profesi:
1. Suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama
kerana nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja,
tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga
sampai pada suatu bangsa.
2. Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam
pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama
anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian
karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi)
dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.
3. Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para
anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati
bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada
masyarakat profesi tersebut.
HUBUNGAN DOKTER-PASIEN
Hubungan dokter-pasien merupakan tunjang praktek kedokteran dan asas kepada etika
kedokteran. Deklarasi Geneva menyatakan bahwa seorang dokter harus meletakkan
kesehatan pasiennya sebagai perkara yang paling utama. Kode Etik Medis Internasional pula
menyatakan bahwa seorang dokter wajib memberikan pelayanan terbaik sesuai sarana yang
tersedia atas kepercayaan yang telah diberikan pasien kepadanya. Prinsip utama moral
profesi adalah autonomy, beneficence, non maleficence dan justice. Prinsip turunannya pula
adalah veracity (memberikan keterangan yang benar), fidelity (kesetiaan), privacy, dan
confidentiality (menjaga kerahasiaan).
Hubungan dokter-pasien pada awalnya merupakan hubungan paternalistic dengan
memegang prinsip beneficence sebagai prinsip utama. Namun cara ini dikatakan
mengabaikan hak autonomy pasien sehingga sekarang lebih merujuk kepada teori social
contract dengan dokter dan pasien sebagai pihak bebas yang saling menghargai dalam
2 | M a l p r a k t e k
membuat keputusan. Dokter bertanggungjawab atas segala keputusan teknis sedangkan
pasien memegang kendali keputusan penting terutama yang terkait dengan nilai moral dan
gaya hidup pasien.
Hubungan dokter-pasien yang baik memerlukan kepercayaan. Maka, dengan memegang
pada dasar kepercayaan pasien terhadap dokter yang merawatnya, seorang dokter tidak boleh
menjalin hubungan di luar bidang profesinya dengan pasien yang sedang dirawat.1
Definisi Malpraktek
Malpraktek atau malpraktik terdiri dari suku kata mal dan praktik atau praktek. Mal
berasal dari kata Yunani, yang berarti buruk. Praktik, berdasarkan kamus umum bahasa
indonesia berarti menjalankan perbuatan yang tersebut dalam teori atau menjalankan pekerjaan
(profesi).1 Jadi, malpraktik berarti menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak lege
artis, tidak tepat. Malpraktik tidak hanya terdapat dalam bidang kedokteran, tetapi juga dalam
profesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan publik dan wartawan. Black’s Law dictionary
mendefinisikan malpraktik sebagai “malpractice is a professional misconduct or unreasonable
lack of skill or failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and
learning commonly applied under all circumstances in the community by the average prudent
reputable member of the profession with the result of injury, loss, or damage to the recipient of
those services or to those entitled to rely upon them”.1,2
Menurut WHO (1992),” medical malpractice involves the physician’s failure to conform
to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence ini
providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient.” Sedangkan
Longman dictionary of contempory English mendefinisikannya sebagai “failure to carry out
one’s professional duty properly or honestly, often resulting ini injury, loss, or damage to
someone”. Dengan demikian, malpraktik medik dapat diartikan sebagai kelalaian atau kegagalan
seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera menurut ukuran dilingkungan yang
sama.1 Apapun definisi malpraktik medik pada intinya mengandung salah satu unsur berikut:1
3 | M a l p r a k t e k
1. Dokter kurang menguasai ilmu pengetahuan kedokteran dan keterampilan yang sudah
berlaku umum dikalangan profesi kedokteran.
2. Dokter memberikan pelayanan medik di bawah standar (tidak lege artis)
3. Dokter melakukan kelalaian berat atau kurang hati-hati, yang dapat mencakup:
a. Tidak melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya dilakukan, atau
b. Melakukan suatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan
4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum
Dalam praktiknya banyak sekali hal yang dapat diajukan sebagai malpraktik, seperti salah
diagnosis atau terlambat diagnosis karena kurang lengkapnya pemeriksaan, pemberian terapi
yang sudah ketinggalan zaman, kesalahan teknis waktu melakukan pembedahan, salah dosis
obat, salah metode tes atau pengobatan, perawatan yang tidak tepat, kelalaian dalam pemantauan
pasien, kegagalan komunikasi dan kegagalan peralatan.1
Yang dimaksud dengan kelalaian dalam malpraktik medik adalah sikap kurang hati-hati,
yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar,
atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya
dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan keokteran di bawah
standar pelayanan medik.1
Walaupun UU no.6 tahun 1963 tentang tenaga kesehatan sudah dicabut oleh UU no.23
tahun 1992 tentang kesehatan, namun perumusan malpraktik/kelalaian medik yang tercantum
pada pasal 11b masih dapat dipergunakan yaitu: Dengan tidak mengurangi ketentuan di dalam
KUHP dan peraturan perundang-undangan lain, terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan
tindakan administratif dalam hal sebagai berikut.1,3,4
a. Melalaikan kewajiban
b. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga
kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya, maupun mengingat sumpah sebagai
tenaga kesehatan.
Dari 2 butir tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada butir (a) melalaikan kewajiban, yang
berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sedangkan pada butir (b) berarti
melakukan suatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan. Kelalaian bukanlah suatu
4 | M a l p r a k t e k
pelanggaran hukum atau kejahatan jika kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau
cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de
minimis noncurat lex” yang berarti hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.
Akan tetapi, jika kelalaian itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut
nyawa orang lain, diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminil.1
Macam-Macam Malpraktek
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan tugas profesinya
yang menimbulkan kerugian bagi orang lain pada umumnya disebut dengan istilah malpraktik.
Malpraktik medik ditinjau dari segi etika profesi dan hukum dapat dibagi menjadi 2 bentuk, yaitu
1. Malpraktik etika: dikatakan sebagai malpraktik etik yaitu apabila dokter melakukan tindakan
yang bertentangan dengan etika kedokteran sebagaimana yang terdapat pada Kode Etik
Kedokteran Indonesia (Kodeki).4,5
2. Malpraktik yuridis (secara hukum) dibagi menjadi 3 bagian:4
a. Malpraktik perdata: terjadi apabila terdapat ha-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya
isi perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga medis
lainnya. Selain itu terjadinya perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian
terhadap pasien;
b. Malpraktik pidana: terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat, akibat
dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atau kurang cermat dalam
melakukan upaya medis;
c. Malpraktik administratif: terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lainnya melakukan
pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku. Misalnya, menjalankan
praktik dokter tanpa lisensi atau ijin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai
dengan lisensi atau ijinnya, menjalankan praktik dengan ijin yang sudah kadaluarsa, dan
menjalankan praktik tanpa membuat catatan medis.4,5
Pada umumnya, selain pembagian di atas malpraktik juga dapat dibagi berdasarkan Black’s law
dictionary menjadi beberapa macam, yaitu malpraktik yang terjadi karena tindakan yang
disengaja (intensional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun
5 | M a l p r a k t e k
suatu kekurang-mahiran/ketidak-kompetenan yang tidak beralasan.Lack of Skill yaitu seorang
dokter yang melakukan tindakan medis tetapi diluar kompetensinya atau kurang kompetensinya.2
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk
pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana
dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud, “penahanan” pasien,
pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual,
misrepresentasi, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji/diterima,
berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, sengaja melanggar standar, dll. Selain
itu, malpraktik juga dapat terjadi sebagai akibat kelalaian.2,5 Sementara itu ketidak-kompetenan
dapat menuju ke suatu tindakan misconduct ataupun suatu kelalaian. Kelalaian dapat terjadi
dalam tiga bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance,dan nonfeasance.2,5 Malfeasance berarti
melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper),
misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis
tersebut improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi
dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan
medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang
merupakan kewajiban baginya. Bentuk-bentuk kelalaian diatas sejalan dengan bentuk-bentuk
error (mistakes, slips, and lapses).2
Suatu perbuatan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur dibawah
ini, yaitu:2
1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan suatu tindakan medis atau untuk tidak
melakukan suatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang
tertentu.
2. Direction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang
dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang
diberikan oleh pemberi layanan.
6 | M a l p r a k t e k
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang
setidaknya merupakan “proximate cause”.2
Pembuktian dalam Malpraktek
Dalam kasus malpraktek, untuk memastikan apakah benar kesalahan terdapat pada
petugas kesehatan, dan bagaimana sanksinya dll, harus dilakukan pembuktian, yang mencakup
pembuktian adanya kewajiban dan pelanggarannya, serta pembuktian kerugian dan hubungan
kausalnya.2 Pembuktian-pembuktian yang dilakukan dalam malpraktek ini terutama menjadi
bagian dan tanggung jawab dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),
dimana sesuai dengan UU RI No.29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, menyatakan harapan
bahwa setiap orang yang merasa kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dapat
mengadukan kasusnya ke MKDKI secara tertulis, atau lisan jika tidak mampu secara tertulis.
Pengaduan ini tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak
pidana kepada pihak berwenang dan atau menggugat kerugian perdata kepada pengadilan.
Setelah MKDKI memeriksa dan memberi keputusan terdahap pengaduan tersebut, apabila
ditemukan pelanggaran etik, MKDKI akan meneruskan pengaduan kepada Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK) IDI, jika terdapat pelanggaran disiplin, MKDKI dapat memberi sanksi
disiplin, dan jika terdapat bukti-bukti awal adanya dugaan tindak pidana, MKDKI dapat
meneruskan pengaduan tersebut kepada pihak yang berwenang, atau pengadu menggugat
kerugian perdata ke pengadilan.1
Pembuktian adanya kewajiban dan pelanggarannya. Dasar adanya kewajiban dokter
adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang
menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional
bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik
profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban
tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai
perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan. Dalam kaitannya
dengan kelalaian medik, kewajiban tersebut berkaitan dengan kewajiban tenaga medis untuk
7 | M a l p r a k t e k
melakukan suatu tindakan medis tertentu, atau untuk tidak melakukan suatu tindakan tertentu
terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu. Untuk dapat memperoleh
kualifikasi sebagai dokter, setiap orang harys memiliki suatu kompetensi tertentu di bidang
medik dengan tingkat yang tertentu pula, sesuai dengan kompetensi yang harus dicapainya
selama menjalani pendidikan kedokterannya. Tingkat kompetensi tersebut bukanlah tingkat
terendah dan bukan pula tingkat tertinggi dalam kualifikasi tenaga medis yang sama, melainkan
kompetensi yang rata-rata dalam populasi dokter. Selanjutnya, untuk dapat melakukan praktek
medis, dokter tersebut harus memiliki kewenangan medis yang diperoleh dari penguasa di
bidang kesehatan dalam bentuk ijin praktek. 2
Kewenangan formil diperoleh dengan menerima “surat penugasan”, sedangkan
kewenangan materiel diperoleh dengan memperoleh ijin praktek. Seseorang yang memiliki
kewenangan formil dapat melakukan tindakan medis di suatu sarana kesehatan yang sesuai
dengan surat penugasannya di bawah supervise pimpinan sarana kesehatan tersebut. 2
Sikap dan tindakan yang wajib dilaksanakan oleh dokter diatur dalam berbagai standar.
Standar berperilaku diuraikan dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI.
Dalam bertindak di suatu sarana kesehatan tertentu, dokter diberi rambu-rambu sebagaimana
diatur dalam standar prosedur operasi sarana kesehatan tersebut. Sementara itu dalam menilai
kewajiban dalam bentuk suatu standar pelayanan minimal (SPM), haruslah kita tentukan terlebih
dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan, pada situasi seperti apa dan pada kondisi yang
bagaimana. Suatu standar pelayanan minimal umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang
harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar juga melukiskan
apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen).2
Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang situasi dan keadaan yang
“normal” sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan
kondisi yang tertentu. Banyak hal harus diperhitungkan disini, seperti bagaimana keadaan umum
pasien dan faktor-faktor lain yang “memberatkannya”, adakah situasi kedaruratan tertentu,
adakah keterbatasan sarana dan/atau kompetensi institusi, adakah keterbatasan waktu, dll.
Dengan melihat uraian tentang kewajiban tersebut, maka mudah untuk memahami apakah arti
penyimpangan kewajiban. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya golden rule yang menyatakan
8 | M a l p r a k t e k
“what is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any
other in an identical situation”.2
Pembuktian kerugian dan hubungan kausalnya. Pada prinsipnya suatu kerugian
adalah sejumlah uang tertentu yang harus diteruma oleh pasien sebagai kompensasi agar ia dapat
kembali ke keadaan semula seperti sebelum terjadinya sengketa medik. Tetapi hal ini sukar
dicapai pada kerugian yang berbentuk kecederaan atau kematian seseorang. Oleh karena itu
kerugian tersebut harus dihitung sedemikian rupa sehingga tercapai jumlah yang layak
(reasonable atau fair). Suatu kecederaan sukar dihitung dalam bentuk finansial, berapa
sebenarnya kerugian yang telah terjadi, apalagi apabila diperhitungkan pula tentang fungsi yang
hilang atau terhambat dan ada atau tidaknya cedera psikologis. Selanjutnya, sebagaimana telah
diuraikan diatas, kerugian atau damages (cedera) dapat diklasifikasikan sebagai berikut:2
1. Kerugian immaterial (general damages, non pecuniary losses)
2. Kerugian materiel (special damages, pecuniary losses):
a. Kerugian akibat kehilangan kesempatan
b. Kerugian nyata:
i. Biaya yang telah dikeluarkan hingga saat penggugatan
ii. Biaya yang akan dikeluarkan sesudah saat penggugatan
Ditinjau dari segi kompensasinya, kerugian dapat diklasifikasikan sebagai berikut:2
1. Kompensasi untuk kecederaan yang terjadi (compensation for injuries, yaitu kerugian yang
bersifat immateriel).
a. Sakit dan penderitaan
b. Kehilangan kesenangan / kenikmatan
c. Kecederaan fisik dan / atau psikiatris
2. Kompensasi untuk pengeluaran tambahan (compensation for additional expenses, real cost)
a. Pengeluaran untuk perawatan rumah sakit
b. Pengeluaran untuk biaya medis lain
c. Pengeluaran untuk perawatan
3. Kompensasi untuk kerugian lain yang dapat diduga (compensation for other foreseeable loss,
yaitu kerugian akibat kehilangan kesempatan)
9 | M a l p r a k t e k
a. Kehilangan penghasilan
b. Kehilangan kapasitas mencari nafkah
Kerugian-kerugian diatas umumnya ditagihkan satu kali, yaitu pada saat diajukannya
gugatan. Kerugian, meskipun dapat terjadi berkepanjangan, tidak dapat digugatkan berkali-kali.
Oleh karena itu, penggugat haru menghitung secara cermat berapa kerugiannya, kini dan yang
akan datang. Cara pembayarannya dapat saja berupa pembayaran tunai sekaligus, tetapi dapat
pula diangsur hingga satuan waktu tertentu yang disepakati kedua pihak. Pembayaran berjangka
tersebut dapat dibebani dengan bunga. Bunga tidak dapat dibebankan kepada kerugian yang akan
datang, sedangkan kerugian yang sudah terjadi termasuk kerugian yang non pecuniary dapat
diberi bunga yang besarnya reasonable.2
Misalnya pada kasus diamputasinya tungkai kanan seseorang yang diduga sebagai akibat
dari kelalaian dokter dalam menangani patah tulang paha kanannya akibat kecelakaan lalu lintas,
maka kerugian berupa biaya yang digugatkan kepadanya dapat dirinci sebagai berikut: biaya
perawatan medis sejak masuk RS hingga selesainya terapi pasca operasi termasuk biaya non
medis yang terjadi sebagai akibat dari perawatan RS (transport, peralatan khusus, perawat pada
home care, dll); biaya pemulihan fungsi tungkai kanan tersebut yang masih akan dibutuhkan
(fisioterapi, kaki palsu, dll); kerugian akibat kehilangan penghasilan selama ia tidak bisa bekerja,
kerugian sebagai akibat dari kehilangan kapasitas bekerja apabila pekerjaannya “secara umum”
membutuhkan adanya tungkai kanan, serta kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit dan
penderitaannya.2
Semua biaya nyata mudah dihitung, baik yang telah dikeluarkan maupun yang akan
dikeluarkan. Kerugian akibat kehilangan kesempatan agak lebih sulit dihitungnya, karena
kerugian tersebut sebenarnya bersifat “prediktif” dengan tidak pasti atau dengan tingkat
ketepatan yang tidak dapat ditentukan. Selain itu juga tidak dapat diperkirakan sampai berapa
lama kehilangan kesempatan tersebut dapat diperhitungkan (berkaitan dengan panjang usia yang
akan dicapai dan kemampuan bekerjanya secara umum). Lebih sulit lagi dihitungnya adalah
kerugian immateriel.2
Undang-undang hanya memberi rambu-rambu sebagaimana diuraikan dalam pasal 1370
dan 1371 KUHP, yaitu harus mempertimbangkan kedudukan, kemampuan, dan keadaan kedua
10 | M a l p r a k t e k
belah pihak. Penggugat tentu saja akan memperhitungkan kerugian tersebut berdasarkan
kedudukan, kemampuan, dan keadaan sosial-ekonomi penggugat; yang tentu saja belum tentu
sesuai dengan pihak tergugat (dokter). Dalam hal ini tentu akan terjadi semacam tawar-menawar
tentang besarnya ganti rugi. Apabila perkara ini diajukan ke pengadilan perdata, maka hakim
pada akhirnya akan mengambul keputusan jumlah ganti rugi tersebutm dengan
mempertimbangkan kemampuan dan keadaan kedua pihak.2
Tidak semua kerugian yang dialami pasien dapat digugatkan, karena kerugian dapat saja
timbul sebagai akibat dari perjalanan penyakit; atau dapat juga disebabkan oleh resiko atau
komplikasi tindakan medik tersebut yang tak dapat dihindari – namun bukan karena kelalaian,
sehingga tidak dianggap sebagai kesalahan pemberi layanan. Dalam gugatan ganti rugi, besarnya
gugatan yang diajukan ke pengadilan dapat melonjak jauh dari besarnya ganti rugi sebenarnya
yang diminta oleh pasien, hal itu disebabkan adanya legal cost (lawyer’s fee, proceeding’s fee,
other expenses, dan success fee), yang besarnya seringkali jauh lebih besar dari besarnya
kerugian. Legal cost akan banyak berkurang apabila perkara diselesaikan dengan cara di luar
pengadilan.2
Kelalaian medik juga dapat dimasukkan ke dalam domain pidana, dengan memanfaatkan
pasal 359-361 KUHP. Pada dasarnya pembelaan kelalaian medik dilakukan dengan cara
pembuktian yang sama, baik di lingkungan peradilan perdata (ganti rugi) maupun di lingkungan
peradilan pidana. Perbedaannya hanyalah siapa yang dibebani pembuktian dan seberapa tingkat
kepastian yang dibutuhkan untuk membuat putusan. Pada peradilan pidana, beban pembuktian
diletakkan pada jaksa penuntut umum dan terdakwa terbebani untuk membuktikan sebaliknya,
sedangkan pada peradilan perdata beban pembuktian terletak pada penggugat (sesuai KUH
Perdata). Tingkat kepastian yang harus dicapai pada peradilan perdata cukup dengan
preponderance of evidence (bukti yang lebih kuat yang menang, cukup dengan 51 banding 49),
sedangkan pada peradilan pidana harus mencapai kepastian yang mendekati sempurna (kurang
lebih mendekati 95%).1
Sanksi Tindakan Malpraktek
Pada kasus malpraktik, sanksi yang biasa muncul adalah seperti yang sudah dibahas
diatas, yaitu membayar ganti rugi terhadap pasien/keluarga pasien yang mengalami kerugian.
11 | M a l p r a k t e k
Kelalaian medik juga dapat dimasukkan ke dalam domain pidana, yang mengancam terdakwa
dengan sanksi pidana apabila melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan seseorang lain luka,
luka berat atau mati. Ancaman pidana yang lebih berat diberikan kepada orang yang
melakukannya dalam rangka melakukan pekerjaan / pencahariannya. Bahkan orang tersebut
dapat dicabut haknya dalam melakukan aktivitasnya tersebut. Berbagai tindakan medik lain yang
bukan kelalaian medik juga dapat diancam dengan pidana, seperti berpraktek tanpa kompetensi
dan/atau kewenangan, aborsi, menyelenggarakan reproduksi buatan tidak sesuai peraturan,
melakukan tindakan medik tanpa persetujuan, membuat keterangan palsu, euthanasia, membantu
pasien bunuh diri dll.2
Pelanggaran etik tidak menimbulkan sanksi formal bagi pelakunya sehingga terhadap
pelakunya hanya diberikan tuntutan oleh MKEK. Secara maksimal mungkun MKEK memberi
usul ke Kanwil Depkes Provinsi atau Depkes untuk memberikan tindakan administratif, sebagai
langkah pencegahan terhadap kemungkinan pengulangan pelanggaran yang sama di kemudian
hari, atau makin besarnya intensitas pelanggaran tersebut. Sanksi yang diberikan terhadap
pelanggaran etika kedokteran bergantung pada berat ringannya pelanggaran etik tersebut. Yang
terbaik tentulah upaya pencegahan pelanggaran etik, yaitu dengan cara terus menerus
memberikan penyuluhan kepada anggota IDI, tentang etika kedokteran dan hukum kesehatan.
Namun, jika terjadi pelanggaran, sanksi yang diberikan hendaknya bersifat mendidik sehingga
pelanggaran yang sama tidak terjadi lagi di masa depan dan sanksi tersebut menjadi pelajaran
bagi dokter lain. Bentuk sanksi pelanggaran etik dapat berupa:1
1. Teguran atau tuntutan secara lisan atau tulisan
2. Penundaan kenaikan gaji atau pangkat
3. Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah
4. Dicabut izin praktik dokter untuk sementara atau selama-lamanya
5. Pada kasus pelanggaran etikolegal diberikan hukuman sesuai peraturan kepegawaian yang
berlaku dan diproses ke pengadilan.1
Jika ditemukan adanya pelanggaran disiplin, maka pihak MKDKI akan memutuskan dan
memberikan sanksi disiplin kepada dokter yang melakukan malpraktek.1
12 | M a l p r a k t e k
Kesimpulan
Hipotesis belum bisa diterima, karena belum ada bukti lanjut dan keterangan yang
jelas apakah ini merupakan kelalaian dari dokter atau dari pihak pasien sendiri. Sehingga, masih
harus dilakukan penyelidikan lebih lanjut dari kedua belah pihak. Tindakan malpraktek
merupakan hal yang sering terjadi, dan karena itu harus ditanggapi dengan serius. Setiap jenis
malpraktek yang terjadi harus diberikan sanksi yang sesuai, agar ke depannya dokter yang
terlibat tidak lagi mengulang kesalahan yang sama, serta dapat menjadi contoh bagi dokter-
dokter yang lain agar tidak melakukan kesalahan yang sama.
Daftar Pustaka
1. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC;
2009.h.96-182.
2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran: pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007.h.90-110.
3. Bagian kedokteran forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran.
Jakarta:Balai penerbit FKUI; 1994.h.27.
4. Zen APM, Hutagalung D. Panduan bantuan hukum di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia; 2007.h. 85-6.
5. USU. Penyelesaian tindak pidana malpraktek. Diunduh dari http://repository.usu.ac.id, 14
September 2013.
13 | M a l p r a k t e k