Upload
shannaz-yudono
View
311
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah blok 26
Citation preview
Program puskesmas dalam
menanggulangi Penyakit Diare
Shannaz
10 2008 038
Kelompok 5
email : [email protected]
Program Sarjana Pendidikan Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara,No.6, Jakarta Barat
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki angka kejadian diare yang cukup tinggi.
Tahun 2006 angka kesakitan meningkat sebesar 423/1.000 penduduk pada semua umur. Dari
keseluruhan angka morbiditas hampir 60 persen didominasi anak anak. Berdasarkan hasil
penelitian terbaru dari riset kesehatan dasar tahun 2008, diare merupakan penyumbang kematian
terbesar di Indonesia, yaitu mencapai 31,4 persen dari total kematian bayi. Diare juga penyebab
kematian terbesar balita. Tercatat 25,2 persen kematian balita di tanah air disebabkan oleh
penyakit diare. Hal ini tentu patut menjadi perhatian utama karena terdapat peningkatan angka
morbiditas dan mortalitas diare di Indonesia dari tahun ke tahun
1
Epidemiologi
Angka kematian diare pada semua umur selama dasawarsa terakhir dapat diturunkan dari 110,1
per 100.000 penduduk (1985) rnenjadi 56 per 100.000 penduduk( 1995). Sedangkan kematian
karena diare pada kelompok balita diturunkan dari 5,7 per seribu balita menjadi 2,5 per seribu
balita pada episode yang sama. (Dep. Kes.RI,1998)
Bedasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang ditetapkan bahwa
pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi seiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan
dengan pendekatan pemeliharaan kesehatan yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan.
Diare dapat timbul dalam bentuk KLB dengan jumlah penderita dan kematian yang besar.
Fasilitas kasus (CFR) terjadi penurunan yang cukup bermakna dari 35 %(awal Repelita I)
menjadi dibawah 3 % pada akhir Repelita VI. Penurunan CFR yang nyata dikarenakan makin
meningkatnya manajemen penanggulangan KLB. (Dep.Kes. RI, 1998).
Menurut hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 proporsi penyakit
infeksi dan parasit sebagai penyebab kematian adalah 22,7%. Kematian bayi dibawah umur 1
tahun 33,5% disebabkan oleh gangguan prenatal dan 32,1% oleh penyakit sistem pernapasan.
Diare sebagai bagian dari kelompok penyakit infeksi dan parasit, proporsinya sebesar 9,6 %
sebagai penyebab kematian pada bayi dibawah 1 tahun.
Pada kematian anak balita golongan umur 1-4 tahun, proporsi penyebab kematian paling
tinggi adalah penyakit sistem pernapasan yaitu sebesar 38,8%, kemudian penyakit diare serta
infeksi/parasit lain masing-masing sebesar 14,3%.
Kematian anak pada kelompok umur 1-4 tahun terutama disebabkan oleh penyakit infeksi
dan parasit dengan proporsi sebesar 44,7%, pernapasan 13%. Sedangkan pada kelompok umur
15-34 tahun, penyakit infeksi dan parasit menduduki peringkat pertama sebagai penyebab
kematian yaitu sebesar 36,5%, berturut-turut infeksi dan parasit lain 16,8%, kemudian TBC
13,9%.
Tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu antara lain kesehatan lingkungan yang belum memadai, keadaan gizi, kependudukan,
pendidikan, faktor musim dan geografi daerah, keadaan sosial pencegahan pemberantasan
2
penyakit diare tidak akan berhasil baik tanpa adanya kesadaran yang tinggi dari masyarakat
untuk ikut berpartisipasi didalamnya serta kesiapan petugas kesehatan dilapangan. yang ditandai
oleh penduduknya hidup
dalam lingkungan perilaku
skenario
program puskesmas
wilayah kerja puskesmas kedondong terletak di pedalaman , populasi 300 KK dengan 1550 jiwa.
Pada laporan surveillance bulan juli terjadi peningkatan kasus diare yang signifikan dari periode
yang lalu. Kejadian ini selalu terulang setiap tahun terutama pada musim kemarau. Puskesmas
sedang menyusun suatu program terpadu untuk menangani hal tersebut. Uraikanlah bagaimana
seharusnya program ini berjalan.
Perumusan Masalah
Peningkatan kasus diare yang signifikan yang terulang pada setiap tahun
Tujuan
Tujuan Umum
Dipahaminya program pencegahan dan penanggulangan Diare di puskesmas secara menyeluruh.
Tujuan khusus
1. Diketahuinya pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan Diare di Puskesmas
Kedondong
2. Diketahuinya masalah dalam pelaksanaan Program Pencegahan dan Penanggulangan
Diare di Puskesmas Kedondong
3. Diketahuinya kemungkinan penyebab masalah dalam pelaksanaan Program Pencegahan
dan Penanggulangan Diare di Puskesmas Kedondong
4. Dirumuskannya alternatif penyelesaian masalah bagi pelaksanaan Program Pencegahan
dan Penanggulangan Diare di Puskesmas Kedondong
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Diare
Definisi Diare
Diare adalah buang air besar (defekasi) yang mengalami perubahan pada konsistensi dan atau
frekuensi. Perubahan konsistensi yang dimaksud adalah peningkatan kandungan air dalam feses,
yaitu lebih dari 10 ml/kgBB/hari2 (pada anak) atau lebih dari 200 ml/hari1 (pada dewasa).
Perubahan frekuensi yang dimaksud adalah lebih dari tiga kali sehari. Pada bayi yang masih
mendapat ASI tidak jarang frekuensi defekasinya lebih dari 3-4 kali sehari.3 keadaan ini tidak
dapat disebut diare, melainkan masih bersifat fisiologis atau normal.
Klasifikasi Diare 4
Berdasarkan batasan waktu, diare diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (1) diare akut, apabila
berlangsung kurang dari 14 hari, (2) diare persisten, yaitu diare akut yang melanjut menjadi lebih
dari 14 hari hingga 30 hari, dan (3) diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 30
hari.1,3 Pada literatur lain, diare persisten disamakan dengan diare kronik, yaitu diare yang
berlangsung lebih dari 14 hari. Pengertian ini juga berlaku di Indonesia agar para tenaga
kesehatan tidak lengah dan dapat lebih cepat menginvestigasi penyebab diare dengan lebih tepat.
Berdasarkan mekanisme patofisiologis yang terjadi, diare diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
(1) diare sekretorik, yang biasanya disebabkan oleh infeksi, misalnya infeksi Rotavirus, dan
(2) diare osmotik, yang biasanya disebabkan oleh malabsorbsi laktosa.
Berdasarkan penyebab, diare diklasifikasikan menjadi
(1) diare organik, yaitu bila ditemukan penyebab yang bersifat anatomik, bakteriologik,
hormonal, atau toksikologik, dan
(2) diare fungsional, yaitu bila tidak ditemukan penyebab organik. Di dalam kelompok diare
organik juga terdapat diare infektif, yaitu diare yang disebabkan oleh infeksi.
4
Selain itu, dikenal pula istilah disentri, yaitu kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri dari
diare disertai darah, lendir, dan tenesmus ani.
Epidemiologi
Diare adalah penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara berkembang. Pada
tahun 2003, diperkirakan 1,87 juta anak dibawah usia 5 tahun meninggal karena diare. Hal ini
menempatkan diare pada peringkat kedua penyebab kematian kedua tersering setelah infeksi
pernapasan. Delapan dari sepuluh kematian akibat diare berlangsung pada dua tahun pertama
kehidupan. Rata-rata anak berusia dibawah 3 tahun di negara berkembang mengalami 3 episode
diare setiap tahunnya. Angka kejadian diare di Indonesia hingga saat ini masih tinggi, yaitu 423
per 1000 penduduk untuk semua umur pada tahun 2006 (hasil Subdit Diare, Ditjen PP-PL,
Depkes RI), dimana angka ini meningkat dari tahun ke tahun.1,4,6
Penyebaran kuman yang menyebabkan diare
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fekal – oral, yaitu melalui makanan atau
minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa
perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya
diare. Perilaku tersebut antara lain:
- Tidak memberikan air susu ibu (ASI) secara penuh pada 4 hingga 6 bulan pertama
kehidupan. Pada bayi yang tidak diberi ASI terjadi peningkatan risiko menderita diare
dan kemungkinan menderita dehidrasi yang lebih berat.
- Menggunakan botol susu yang higienenya kurang terjaga.
- Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, sehingga dalam beberapa jam
akan tercemar oleh kuman yang mudah berkembang biak.
- Menggunakan air minum yang tercemar.
- Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak,
sebelum makan, dan sebelum menyuapi anak.
- Tidak membuang tinja (termasuk tinja bayi dan tinja binatang) dengan benar.
Faktor pejamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare
5
Faktor-faktor tersebut adalah:
- Tidak memberikan ASI sampai 2 tahun, sehingga anak kekurangan antibodi yang
penting untuk melindungi tubuh dari berbagai bakteri, misalnya Shigella sp. atau V.
cholera.
- Status gizi kurang dan gizi buruk.
- Campak, di mana terjadi penurunan imunitas tubuh sehingga lebih rentan
terhadap diare dan disentri.
- Kondisi imunodefisiensi atau imunosupresi, misalnya pada pasien dengan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome).
- Secara proporsional, diare lebih banyak (55%) terjadi pada golongan balita.
Faktor lingkungan
Dua faktor yang dominan adalah tidak cukup tersedianya sarana air bersih dan tidak
ada/kurangnya sarana MCK (mandi,cuci,kakus). Kedua faktor ini saling berinteraksi dengan
perilaku manusia.1
Etiopatogenesis
Penggolongan penyebab diare : Infeksi Enteral dan Parenteral
Enteral
Dari golongan bakteri dapat disebabkan oleh Shigella sp, E. coli patogen, Salmonella sp,
Klebsiella, Proteus sp, Pseudomonas aeruginosa. Dari golongan virus dapat disebabkan oleh
Rotavirus, Norwalk virus, HIV, Cytomegalovirus, dll. Parasit yang dapat menyebabkan diare
adalah Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia, Ballantidium coli, Cryptosporum parvum.
Cacing seperti Ascaris lumbricoides, cacing tambang, Tricuris trichiura, S. Stercoralis. Jamur
yang dapat menyebabkan diare adalah Candida sp.Tabel 1 . Jasad patogen yang paling sering ditemukan pada anak diare di negara berkembang
Jenis Patogen Spesies Patogen Persentase
Kasus
Virus Rotavirus 15-25
Bakteri Eschericia coli enterotoksigenik 10-20
Shigella 5-15
6
Campylobacter jejuni 10-15
Vibrio cholerae 01 5-10
Salmonella (non-typhi) 1-5
Escherichia coli enteropatogenik 1-5
Protozoa Cryptosporidium 5-15
Tidak terdapat patogen 20-30
(Sumber: Buku ajar diare. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare. Jakarta : Direktorat
Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman.
1999)
Parenteral
Disebabkan oleh Otitis media akut, pneumonia, traveler’s diarrhea, E. coli, Giardia lamblia,
Shigella sp, Entamoeba hystolitica, dan intoksikasi makanan. Intoksikasi tersebut dapat berupa
makanan beracun atau mengandung logam berat, makanan mengandung toksin Clostridium
perfringens, Bacillus cereus, dll. Dapat pula karena intleransi laktosa, malabsorbsi atau
maldigesti karbohidrat, lemak trigliserida rantai panjang, asam amino tertentu, malabsorbsi
gluten.
Secara umum diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih patofisiologi seperti dibawah ini.
1. Peningkatan osmolaritas intra lumen usus. Hal ini menyebabkan masa intra lumen
menarik atau menahan cairan intra lumen dan terjadi diare. Penyebab diare osmotik di
antaranya adalah MgSO4, Mg(OH)2, malabsorbsi umum dan defek absorbsi mukosa usus
seperti defisiensi disakaridase, malabsorbsi glukosa atau galaktosa.
2. Sekresi cairan dan elektrolit terganggu. Pada keadaan ini sekresi air dan elektrolit
meningkat, reabsorbsi menurun. Sehingga masa dalam lumen akan menjadi lebih cair,
dan terjadi diare. Ciri dari diare tipe ini adalah jumlahnya yang banyak sekali. Diare tipe
ini tetap berlangsung walaupun pasien puasa. Penyebabnya umumnya toksin bakteri
seperti Vibrio cholerae, E. coli, reseksi ileum.
3. Malabsorbsi asam empedu dan lemak. Hal ini dapat terjadi pada pasien dengan
gangguan fungsi hepatobilier. Lemak yang tetap berada dalam lumen usus akan
meningkatkan tekanan osmotik intra lumen.
7
4. Defek pertukaran atau transport ion elektrolit aktif pada enterosit. Terganggunya
pomapa Na+ K+ATP-ase di enterosit menyebabkan absorbsi Na+ abnormal. Na+ tetap
berada dalam lumen usus dan menahan cairan.
5. Motilitas dan waktu transit usus yang abnormal. Terlalu tingginya motilitas usus,
motilitas iregular, dan singkatnya waktu transit dalam usus menyebabkan pencernaan
belum sempurna dan banyak cairan yang tidak sempat direabsorbsi. Kondisi ini
ditemukan pada pasien diabetes melitus, hipertiroid, dan pasien pasca vagotomi.
6. Gangguan permeabilitas usus. Terdapat kelainan morfologi sel enterosit. Hal ini
menyebabkan penyerapan zat makanan teganggu.
7. Inflamasi dinding usus. Terdapat kerusakan mukosa usus sehingga terjadi proses
inflamasi. Proses inflamasi ini menyebabkan produksi mukus berlebihan dan eksudasi air
dan elektrolit ke dalam lumen usus, disertai gangguan absorbsi. Keadaan ini
menyebabkan diare inflamatorik, seperti pada diare Shigella, kolitis ulseratif, dan
penyakit Crohn.
8. Infeksi dinding usus. Merupakan keadaan yang mendasari diare infektif. Tipe
diere ini adalah tipe yang paling sering terjadi. Infeksi mikroorganisme tersebut secara
garis besar dibedakan menjadi dua, non invasif dan invasif. Pada tipe non invasif,
mikroorganisme tersebut mngeluarkan toksin yang menyebabkan diare, sehingga diare
yang timbul disebut diare toksikogenik. Contohnya pada diare yang disebabkan Vibrio
cholerae, kuman meproduksi toksin yang meningkatkan produksi cAMP. Tingginya
cAMP akan menyebabkan sekresi aktif ion klorida yang diikuti air, Na+, K+, dan
bikarbonat. Toksin kolera ini tidak mempengaruhi absorbsi natrium.2,5,9
Patogenesis diare akibat infeksi bakteri atau parasit.
1. Diare karena bakteri non invasif (enterotoksikogenik)
Bakteri yang tidak merusak mukosa usus seperti V. Cholerae eltor, Enterotoksigenik
E.colli (ETEC), dan E. perfringen, V. cholerae eltor mengeluarkan toksin kolera dengan
efek yang telah dijelaskan sebelumnya.
2. Diare karena bakteri atau parasit invasif (enteroinvasif)
Contoh bakteri golongan ini adalah Enteroinvasif E. colli (EIEC), Salmonella, Shigella,
Yersinia, dan Clostridium perfringens tipe C. Parasit yang sering menyebabkan diare tipe
8
ini adalah E. hystolitica dan Giardia lamblia. Diare disebabkan oleh kerusakan dinding
usus, nekrosis dan ulserasi. Diare bersifat eksudatif, dapat bercampur lendir maupun
darah.
Patogenesis diare akibat virus adalah seperti di bawah ini.
1. Virus merusak vili usus secara langsung, menurunkan luas permukaan usus
sehingga sekresi cairan tidak dapat terimbangi.
2. Rotavirus kemudian memperoduksi enterotoxin yang meningkatkan sekresi cairan
usus. Kedua mekanisme ini menyebabkan terjadinya diare pada infeksi virus.2,5
Tanda dan Gejala Klinis Diare
Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada diare terjadi perubahan konsistensi tinja menjadi lebih
cair dan terjadi peningkatan frekuensi buang air. Pada bayi dan neonatus, diare didefinisikan
sebagai keluarnya massa tinja lebih dari 10 ml/kgBB/24 jam dan pada anak dan dewasa berarti
keluarnya massa tinja lebih dari 200 g. Karakteristik dari diare, meliputi konsistensi, warna,
volume dan frekuensi buang air, dapat menjadi petunjuk berharga dalam menentukan sumber
diare. Secara ringkas, karakteristik ini diperlihatkan pada Tabel 2 :Tabel 2. Hubungan Karakteristik Tinja dengan Sumber Diare
Karakter Feses Usus Halus Usus Besar
Keadaan umum Cair Berdarah/ mukoid
Volume Besar Kecil
Darah Biasanya positif tapi
tak kasat mata
Biasanya terlihat secara kasat
mata
Keasaman <5,5 >5,5
Tes reduksi Dapat positif Negatif
Sel darah putih <5/lapang pandang
besar
>10/ lapang pandang besar
Sel darah putih
Serum
Normal Dapat leukositosis
Organisme Virus:
Rotavirus
Bakteri Invasif:
E.Coli(enteroinvasif,enterohemo
9
Adenovirus
Calicivirus
Astrovirus
Norwalk virus
Bakteri Enterotoksik:
E.coli
Clostridium
perfringens
Cholera
Vibrio
Parasit:
Giardia
Cryptosporidium
rrhagic)
Shigella species
Salmonella species
Campylobacter species
Yersinia species
Aeromonas species
Bakteri Toksik:
Clostridium difficile
Parasit:
Entamoeba organisms
(Sumber : Frye RE, Tamer MA. Diarrhea. Diunduh dari : http://www.emedicine.com pada 6
September 2009)
Pemeriksaan fisik harus memperhatikan : keadaan umum dan aktivitas pasien, tanda -tanda
vital (nadi, pernapasan, suhu, tekanan darah), berat badan aktual, tanda-tanda dehidrasi, terutama
pada anak: rewel (restlessness or irritability), letargi/penurunan kesadaran, Sunken eyes (mata
cekung secara mendadak), ubun-ubun besar cekung (sunken fontanel), mukosa bibir dan
orofaring kering, penurunan turgor kulit , terlihat kehausan atau sulit minum atau tidak bisa
minum, anoreksia, takikardia (fast weak pulse), oliguria, darah dalam tinja, tanda-tanda
malnutrisi berat, massa abdominal, distensi abdomen.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk diare yang berlangsung lebih dari beberapa hari atau diare dengan dehidrasi perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang seperti dibawah ini.
1. Pameriksaan darah tepi: kadar hemoglobin, hematokrit, hitung leukosit, hitung
diferensial leukosit. Penting untuk mengetahui berat ringannya hemokonsentrasi darah,
10
dan respon leukosit. Contohnya pada diare karena Salmonella dapat terjadi neutropenia.
Pada diare karena kuman yang bersifat invasif dapat terjadi shift to the left leukosit.
2. Elektrolit darah. Diperlukan untuk mengobservasi dampak diare terhadap kadar
elektrolit darah.
3. Ureum dan kreatinin. Diperlukan untuk memonitor adanya gagal ginjal akut.
4. Pemeriksaan tinja untuk mencari penyebab diare. Pada infeksi bakteri, ditemukan
leukosit pada tinja. Dapat pula ditemukan telur cacing maupun parasit dewasa. Dapat
pula dilakukan pengukuran toksin Closstridium difficile pada pasien yang telah
mendapatkan terapi antibiotik dalam jangka waktu tiga bulan terakhir. Tinja dengan pH
≤5,5 menunjukkan adanya intoleransi karbohidrat yang umumnya terjadi sekunder akibat
infeksi virus. Pada infeksi oleh organisme enteroinvasif, leukosit feses yang ditemukan
umumnya berupa neutrofil. Tidak ditemukannya netrofil tidak mengeliminasi
kemungkinan infeksi enteroinvasif, tetapi ditemukannya neutrofil feses mengeliminasi
kemungkinan infeksi organisme enterotoksin dan virus.
5. Apabila ditemukan leukosit pada feses, lakukan kultur feses untuk menentukan
apakah penyebab diare adalah Salmonella, Shigella, Campylobacter, atau Yersenia.
6. Pemeriksaan serologis untuk mencari amoeba.
7. Foto roentgen abdomen. Untuk melihat morfologi usus yang dapat membantu
diagnosis.
8. Rektoskopi, sigmoideoskopi, dapat dipertimbangkan pada pasien dengan diare
berdarah, pasien diare akut persisten. Pada pasien AIDS, kolonoskopi dipertimbangkan
karena ada kemungkinan diare disebabkan oleh infeksi atau limfoma di area kolon kanan.
Biopsy mukosa sebaiknya dilakukan bila dalam pemeriksaan tampak inflamasi berat pada
mukosa.
9. Biopsi usus. Dilakukan pada diare kronik, atau untuk mencari etiologi diare pada
AIDS.
11
Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada diare akut adalah dehidrasi (dengan berbagai
derajat dari ringan hingga berat / syok), asidosis metabolik, hipokalemia, hiponatermia, dan
hipoglikemia.
Derajat dehidrasi dapat dinilai berdasarkan beberapa tanda dan gejala, seperti ditampilkan pada
Tabel 3 :
Tabel 3. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO (1980)
Tanda dan
Gejala
Dehidrasi
Ringan
Dehidrasi
Sedang
Dehidrasi Berat
Keadaan umum
dan kondisi: bayi
dan anak kecil
Anak lebih besar
dan dewasa
Haus, sadar,
gelisah
Haus, sadar,
gelisah
Haus, gelisah,
atau letargi
tetapi iritabel
Haus, sadar,
merasa pusing
pada perubahan
posisi
Mengantuk, lemas,
ekstremitas dingin,
berkeringat, sianotik,
mungkin koma
Biasanya sadar, gelisah,
ekstremitas dingin,
berkeringat dan sianotik
kulit dan jari tangan dan
kaki keriput, kejang otot.
Nadi radialis (1) Frekuensi dan isi
nadi normal
Cepat dan
lemah
Cepat, halus, kadang-
kadang tak teraba
Pernafasan Normal Dalam,
mungkin cepat
Dalam dan cepat
Ubun-ubun besar*
(2)
Normal Cekung Sangat cekung
Elastisitas kulit*
(3)
Kembali segera
pada pencubitan
Lambat Sangat lambat (>2 detik)
Mata* Normal Cekung Sangat cekung
Air mata Ada Kering Sangat kering
Selaput lendir (4) Lembab Kering Sangat kering
Pengeluaran urin Normal Berkurang dan Tidak ada urin untuk
12
(5) warna tua beberapa jam, kandung
kencing kosong.
Tekanan darah
sistolik (6)
Normal Normal-rendah <80 mmHg, mungkin tak
terukur
Persentase
kehilangan BB
4-5% 6-9% 10% atau lebih
Perkiraan
kehilangan cairan
40-50mL/kg 60-90mL/kg 100-110mL/kg
(World Health Organization dan United Nations Children Foundation. Clinical management
on acute diarrhoea. Geneva : World Health Organization and United Nations joint statement;
2007. Diunduh dari : http://whqlibdoc.who.int/hq/2004/WHO_FCH_CAH_04.7.pdf pada 14
Novemeber 2009)
Keterangan tabel 3 :
* terutama berguna pada bayi-bayi untuk menilai dehidrasi dan memantau rehidrasi
1. Bila nadi radialis tidak teraba, dicatat frekuensi denyut jantung dengan stetoskop
2. Berguna pada bayi-bayi sampai ubun-ubun menutup pada 6-18 bulan. Setelah penutupan,
pada beberapa anak terdapat sedikit penekanan.
3. Tidak berguna pada malnutrisi marasmik atau obesitas.
4. Kekeringan mulut dapat diraba dengan jari yang bersih. Mulut dapat kering pada anak
yang bernafas dengan mulut. Mulut dapat basah pada pasien rehidrasi karena muntah atau
minum.
5. Bayi yang marasmik atau mendapat cairan hipotonik mengeluarkan jumlah urin yang
cukup pada keadaan dehidrasi
6. Sukar dinilai pada bayi-bayi
Untuk dehidrasi ringan atau sedang biasanya anak kehilangan cairan 50-100mL/kgBB2,4,6,12
Prinsip Tatalaksana Diare
13
Prinsip tatalaksana diare akut terdiri atas 4 hal, yaitu:
Mencegah terjadinya dehidrasi
Mencegah dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah dengan memberikan lebih banyak cairan
(minum). Macam cairan yang diberikan tergantung pada kebiasaan setempat dalam mengobati
diare, tersedianya cairan sari makanan yang cocok, jangkauan pelayanan kesehatan, dan
tersedianya oralit.2
Mengatasi dehidrasi
Pengobatan diare dilakukan melalui beberapa langkah yang disebutkan satu persatu
dibawah ini.
a. Tetapkan derajat dehidrasi penderita, apakah tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi
sedang, atau dehidrasi berat. Klasifikasinya dapat dilihat pada Tabel 4
b. Tetapkan rencana pengobatan sesuai derajat dehidrasi penderita :
i. Rencana terapi A untuk pasien tanpa dehidrasi
ii. Rencana terapi B untuk pasien dengan dehidrasi ringan dan dehidrasi sedang
iii. Rencana terapi C untuk pasien dengan dehidrasi berat.
Tabel 4 Penentuan Derajat Dehidrasi berdasarkan Tanda dan Gejala
(Sumber : Buku ajar diare. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare. Jakarta : Direktorat Jenderal
14
Klasifikasi Gejala/Tanda
Dehidrasi berat Dua atau lebih tanda-tanda berikut:
▪ Letargi/tidak sadar
▪ Sunken eyes
▪ Tidak dapat minum atau sulit minum
▪ Skin pinch sangat lambat kembali (>2 detik)
Dehidrasi sedang Dua atau lebih tanda-tanda berikut:
▪ Rewel
▪ Sunken eyes
▪ Terlihat kehausan
Skin pinch lambat kembali
Dehidrasi ringan Tidak cukup tanda-tanda untuk mengklasifikasikannya
sebagai dehidrasi sedang atau berat
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999)
Pada rencana terapi A, pemberian oralit hanya pada saat setiap kali pasien buang air besar
saja. Banyaknya pemberian cairan setiap buang air besar dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Rencana Terapi A untuk Diare Tanpa Dehidrasi
Usia Jumlah Cairan yang Diberikan Setiap Buang
Air Besar
< 1 tahun 50-100 ml
1-5 tahun 100-200 ml
> 5 tahun 200-300 ml
Dewasa 300-400 ml
(Sumber : Standar penanggulangan penyakit diare. Volume 7 Edisi 1, Jakarta: Depkes RI;1999)
Pada rencana terapi B, jumlah oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama disesuaikan dengan
berat badan. Oralit yang diberikan dihitung dengan mengalikan berat badan pasien (kg) dengan
75 ml. Bila berat badan tidak diketahui dan atau memudahkan penggunaan di lapangan, maka
banyaknya pemberian oralit dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Rencana Terapi B untuk Penderita Diare Ringan dan Diare Sedang
Usia Jumlah Oralit
< 1 tahun 300 ml
1-5 tahun 600 ml
> 5 tahun 1200 ml
Dewasa 2400 ml
Sumber : Standar penanggulangan penyakit diare. Volume 7 Edisi 1, Jakarta: Depkes RI;1999
Untuk rencana terapi C, hal paling pertama yang harus dilakukan adalah menentukan
bagaimana cairan akan diberikan, yaitu dengan jalur oral atau dengan jalur intravena. Jalur
pilihan pada pasien dengan dehidrasi berat sebenarnya adalah jalur intravena, karena
membutuhkan waktu rehidrasi yang cepat. Cairan yang paling baik adalah Ringer Laktat
(Hartmann’s Solution for Injection). Jika tidak ada, maka dapat digantikan dengan NaCl 0,9%.
15
Larutan dekstrosa 5% tunggal tidak efektif dan tidak boleh digunakan. Bila pada pasien tidak
bisa diberikan cairan secara intravena, segera berikan per oral dengan pipa nasogastrik sejumlah
20 ml/kgBB/jam selama 6 jam. Jumlah dan lama cairan yang diberikan pada pasien dengan
dehidrasi berat dapat dilihat pada Tabel 7.1,5
Tabel 7 Rencana Terapi C untuk Penderita Diare dengan Dehidrasi Berat.
Umur Pemberian 30 ml/kgBB
dalam
Pemberian 70 ml/kg BB
dalam
Bayi < 12 bulan 1 jam 5 jam
Anak > 1 tahun 1 jam 3 jam
(Sumber : Standar penanggulangan penyakit diare. Volume 7 Edisi 1, Jakarta: Depkes RI;1999)
Jika pasien bisa minum, boleh diberikan cairan rehidrasi oral (CRO) sebanyak 5 ml/kgBB/
jam sambil diberikan cairan secara intravena selama 3-4 jam. Setelah 6 jam, pasang pipa
nasogastrik dan berikan cairan sebanyak 20 ml/kgBB/jam selama 6 jam. Setelah itu dilakukan
penilaian ulang derajat dehidrasi.1
Cairan rehidrasi oral yang tersedia di pasaran tersedia dalam bentuk oralit dan dikemas
dalam bentuk serbuk. Terdapat dua jenis kemasan serbuk oralit, yaitu serbuk yang membutuhkan
pengenceran dengan larutan 200 cc dan yang lainnya dengan 1 liter. Apabila cairan oralit tidak
tersedia, dapat diberikan pengganti oralit yang dikenal dengan nama cairan rumah tangga. Cairan
rumah tangga dapat berupa air tajin, sup, dan larutan gula dan garam. Namun, takaran yang
diberikan harus sesuai agar tidak menyebabkan keadaan hiperosmolar plasma yang
memperburuk dehidrasi.1
Prinsip pemberian CRO.7
a. Untuk rehidrasi: mengoreksi kehilangan cairan dan elektrolit yang sedang terjadi.
b. Untuk maintenance: menggantikan kehilangan cairan dan elektrolit yang masih terjadi.
c. Menyediakan kebutuhan cairan elektrolit selama fase rehidrasi dan maintenance.
d. Melanjutkan pemberian nutrisi yang sesuai selama terapi rehidrasi.
WHO mengeluarkan jenis CRO terbaru yang komposisinya berbeda dengan oralit yang
selama ini dikenal. CRO ini memiliki kandungan glukosa dan garam yang lebih rendah dari
oralit biasa. Gabungan antara CRO baru ini dan suplementasi zinc yang adekuat terbukti
menurunkan mortalitas bayi akibat diare, dan komposisinya dapat dilihat di Tabel 8 .7
16
Tabel 8. Komposisi CRO WHO 2006 7
Kandungan Gram/ liter % Kandungan Mmol/liter
Sodium Klorida 2,6 12,683 Sodium 75
Glukosa 13,5 65,854 Klorida 65
Potasium Klorida 1,5 7,317 Glukosa 75
Trisodium sitrat
dihidrat
2,9 14,146 Potasium 20
Sitrat 10
Total 20,5 100,00 Osmolaritas
total
245
(Sumber : WHO and Unicef. . Clinical management on acute diarrhoea; 2007. Diunduh dari :
http://whqlibdoc.who.int/hq/2004/WHO_FCH_CAH_04.7.pdf pada 7 September 2009).
Program pemberian oralit pada pasien diare . Pemerintah menyediakan dua macam kemasan
oralit yaitu:
a. bungkusan 1 liter (20% dari sediaan) digunakan untuk rumah-sakit atau kejadian luar
biasa (KLB) dan diberikan atau dilarutkan di sarana kesehatan
b. bungkusan 200 ml (80% dari sediaan) tersedia di Posyandu yang dapat diberikan atau
dibawa pulang oleh masyarakat
Dosis oralit disesuaikan dengan umur dan keadaan diare atau dehidrasinya. Dosis acuan yang
harus diingat oleh petugas kesehatan dapat dilihat di Tabel 9.
Tabel 9. Dosis acuan oralit sesuai umur
No. Umur Dosis Acuan
1. Di bawah 1 tahun 3 jam pertama 1,5 gelas kemudian 0,5 gelas setiap mencret
2. Antara 1-5 tahun 3 jam pertama 3 gelas kemudian 1 gelas setiap mencret
3. Antara 5-12 tahun 3 jam pertama 6 gelas kemudian 1,5 gelas setiap mencret
4. Di atas 12 tahun 3 jam pertama 12 gelas kemudian 2 gelas setiap mencret
Sumber : Departemen Kesehatan RI. Buku Ajar Diare: Pendidikan Medik Pemberantasan
Diare (PMPD). Jakarta:Depkes RI Direktorat Jenderal PPM&PL, 1999. h.3-14
17
Memberi makanan atau ASI
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan nutrisi yang cukup pada
penderita sehingga status gizi dapat dipertahankan baik, menstimulasi perbaikan usus, serta
mengurangi derajat dan lamanya penyakit. Pada bayi dan anak, rekomendasi ini dikenal sebagai
pemberian makanan secepatnya (early refeeding) dan terutama menekankan pada meneruskan
pemberian ASI dan makanan sehari-hari. Pemberian ASI dilakukan sejak awal terapi dan
diberikan sesuai keinginan bayi.9
Mengobati penyebab atau masalah lain yang menyertai
Pemberian obat yang rasional pada penderita diare meliputi pengobatan simptomatik dan kausal.
Pengobatan simptomatik yang biasa diberikan adalah anti diare, anti emetik, dan anti piretik.
Penggunaanya masing-masing harus mempertimbangkan risk and benefit secara matang, karena
penggunaan obat simtomatik seringkali mempengaruhi lama dan perjalanan penyakit. Bahkan,
saat ini pengobatan simtomatik seringkali tidak digunakan karena manfaatnya diragukan. Obat-
obat ini tidak boleh diberikan pada anak dibawah 5 tahun.
Obat simtomatik anti diare yang masih dianjurkan pada orang dewasa adalah derifat opioid
berupa loperamid, difenoksilat-atropin, dan tinktur atropine. Loperamid dipilih karena tidak
menyebabkan adiksi dan efek samping minimal. Bismuth subsalisilat dapat dipilih, tetapi pada
pasien AIDS penggunaannya dapat menyebabkan ensefalopati bismuth. Pemberian obat anti
diare pada pasien yang panas harus berhati-hati, karena bila tidak diikuti pemberian anti mikroba
maka penyembuhan penyakit menjadi terlambat. Selain derifat opioid, obat yang mengeraskan
konsistensi tinja dapat dipilih. Attapulgite diberikan 4 kali sehari, masing-masing dua tablet.
Smectite diberikan tiga kali sehari, masing-masing satu sachet setiap pasien diare sampai diare
berhenti.
Pengobatan kausal dapat diberikan dengan pertimbangan 50-70% pasien diare di Indonesia
diakibatkan oleh infeksi. Pemeriksaan leukosit tinja secara praktis dapat digunakan untuk melihat
kemungkinan infeksi enteral sebagai penyebab diare. Jika pemeriksaan leukosit tinja
menunjukkan jumlah leukosit > 10 / lapang pandang, dapat dianggap penyebab diare adalah
infeksi enteral. Untuk itu, terapi antibiotika dapat dilakukan. Mempertimbangkan hal ini, maka
antibiotik hanya dapat diberikan apabila : ditemukan darah pada tinja, secara klinis terdapat
tanda-tanda yang menyokong adanya infeksi enteral, pada pasien di daerah endemik kolera, serta
pada pasien neonatus dengan dugaan terjadi infeksi nosokomial.
18
Siprofloksasin sangat efektif untuk mengatasi infeksi Campilobacter, Shigella, Salmonella,
Yersinia, dan Aeromonas. Siprofloksasin 500 mg diberikan dua kali sehari selama lima sampai
tujuh hariSebagai alternatif dapat diberikan kotrimoksazol (trimetoprim 160 mg dan
sulfametoksazol 800 mg) dua kali sehari. Dapat pula diberikan eritromisin 250-500mg empat
kali sehari. Pemberian metronidazol 250mg tiga kali sehari selama tujuh hari dilakukan bila ada
kecurigaan infeksi Giardia. Patogen spesifik yang harus diterapi dengan antibiotik adalah Vibrio
cholerae dan Clostridium difficile. Untuk mengobati Clostridium difficile diberikan metronidazol
per oral 250-500 mg empat kali sehari selama tujuh sampai sepuluh hari. Sebagai alternatif dapat
diberikan vankomisin, tetapi lebih mahal.1,2,6
Diare Bermasalah
Disentri Berat
Disentri adalah suatu sindrom yang terdiri atas diare dengan feses bercampur darah dan lendir
mukopurulen, serta adanya kram usus, demam, tenesmus ani.2 Sindrom ini dapat disebabkan oleh
berbagai penyebab, seperti infeksi (tersering) baik oleh virus, bakteri, maupun parasit, intoleransi
laktosa, dan alergi protein susu sapi. Penularannya terjadi secara fekal – oral, kontak dari orang
ke orang, atau kontak dengan alat rumah tangga. Infeksi menyebar melalui makanan dan air yang
terkontaminasi dan biasanya terjadi pada daerah dengan sanitasi dan higiene perorangan yang
buruk. Di Indonesia, disentri terutama disebabkan oleh Shigella, Salmonella, Campylobacter
jejuni, Escherichia coli, dan Entamoeba histolytica. Disentri berat umumnya disebabkan oleh
Shigella dysenteriae, dan kadang disebabkan pula oleh Shigella flexneri, Salmonella, dan
Esherichia coli yang enteroinvasif (EIEC).2
Angka kejadian disentri di Indonesia berdasarkan hasil survei evaluasi tahun 1989 – 1990
adalah sebesar 15%. Dari laporan surveilans terpadu tahun 1989 didapatkan jumlah kasus
disentri di Puskesmas sebesar 13,3%, di bagian rawat inap rumah sakit sebesar 0,45%, dan
bagian rawat jalan rumah sakit sebesar 0,05%. Proporsi penderita diare dengan disentri di
seluruh Indonesia yang dilaporkan berkisar antara 5 – 15%. Proporsi disentri yang menjadi
disentri berat belum jelas.10
Faktor-faktor risiko yang mempengaruhi beratnya disentri, antara lain (1) faktor pejamu, yaitu
kurangnya imunitas akibat gizi kurang, usia sangat muda, tidak mendapat ASI, menderita
19
campak dalam 6 bulan terakhir, mengalami dehidrasi, atau kelompok sosial ekonomi rendah, (2)
faktor agen, yaitu infeksi bakteri, misalnya Shigella, dan (3) faktor lingkungan, yaitu lingkungan
dengan higiene yang buruk.2
Diare pada disentri umumnya diawali oleh diare cair, lalu pada hari kedua dan ketiga muncul
darah, dengan atau tanpa lendir, sakit perut, tenesmus ani, hilangnya nafsu makan, dan badan
terasa lemah. Sebagian besar penderita mengalami penurunan volume diare saat timbul
tenesmus. Gejala infeksi saluran napas akut dapat menyertai disentri.
Komplikasi yang dapat timbul dari disentri dapat bersifat lokal atau sistemik. Komplikasi lokal,
antara lain perforasi, prolaps rektum, dan megakolon toksik. Komplikasi sistemik dapat berupa
hipoglikemia, hiponatremia, sepsis, kejang, ensefalopati, sindrom uremik hemolitik, pneumonia,
dan kurang energi protein (KEP).4
Secara umum, penatalaksanaan disentri hampir sama dengan kasus diare lain sesuai dengan
acuan tatalaksana diare akut. Aspek khusus dari tatalaksana disentri adalah:2
Semua kasus disentri pada tahap awal diberi antibiotik.
Penderita dipesan untuk kontrol kembali jika:
- Tidak membaik atau bertambah berat pada hari ketiga setelah pengobatan.
- Tidak sembuh pada hari kelima setelah pengobatan.
- Muncul tanda-tanda komplikasi yang mencakup panas tinggi, kejang, penurunan
kesadaran, tidak mau makan, dan menjadi lemah.
Pada kunjungan ulang, penderita yang tidak membaik pada hari ketiga atau belum sembuh
pada hari kelima setelah pengobatan awal, dinilai kembali apakah disentri betul-betul disebabkan
oleh Shigella atau bakteri sejenis yang invasif.7
Pencegahan Diare
Tujuan pencegahan adalah tercapainya penurunan angka kesakitan. Hasil penelitian terakhir
menunjukkan bahwa cara pencegahan yang benar dan efektif yang dapat dilakukan meliputi
tujuh langkah yaitu (1) pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 4 hingga 6 bulan, (2)
memperbaiki makanan pendamping ASI, (3) menggunakan air bersih yang cukup, (4) kebiasaan
20
mencuci tangan, (5) menggunakan jamban, (6) membuang tinja bayi dengan benar, dan (7)
memberikan imunisasi campak.2
PUSKESMAS
Pengertian
Suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan
masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara
menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.
Dengan lain perkataan Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung-jawab atas pemeliharaan
kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya.
1. Wilayah Puskesmas
Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan. Faktor
kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan infrastruktur lainnya
merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas. Puskesmas
merupakan perangkat pemerintah Daerah Tingkat II sehingga pembagian wilayah kerja
Puskesmas ditetapkan oleh Bupati KDH, dengan saran teknis dari Kepala Kantor
Departemen Kesehatan Kabupaten/Kodya yang telah disetujui oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi. Sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah
Puskesmas rata-rata 30.000 penduduk setiap Puskesmas. Untuk perluasan jangkauan
pelayanan kesehatan maka Puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan
yang lebih sederhana yang disebut Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling.
Khusus untuk Kota Besar dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih, wilayah kerja
Puskesmas bisa meliputi satu Kelurahan. Puskesmas di ibukota kecamatan dengan jumlah
penduduk 150 000 jiwa atau lebih, merupakan "Puskesmas Pembina" yang berfungsi
sebagai pusat rujukan bagi Puskesmas kelurahan dan juga mempunyai fungsi koordinasi.
2. Pelayanan Kesehatan Menyeluruh Pelayanan Kesehatan yang diberikan di Puskesmas
ialah pelayanan kesehatan yang meliputi pelayanan:
- kuratif (pengobatan)
21
- preventif (upaya pencegahan)
- promotif (peningkatan kesehatan)
- rehabilitatif (pemulihan kesehatan) yang ditujukan kepada semua penduduk dan tidak
dibedakan jenis kelamin dan golongan umur, sejak pembuahan dalam kandungan sampai
tutup usia.
3. Pelayanan Kesehatan Integrasi (terpadu)Sebelum ada Puskesmas, pelayanan kesehatan di
dalam satu Kecamatan terdiri dari Balai Pengobatan, Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak,
Usaha Hygiene Sanitasi Lingkungan,Pemberantasan Penyakit Menular dan lain
sebagainya. Usaha-usaha tersebut masing-masing bekerja sendiri dan langsung melapor
kepadaKepali Dinas Kesehatan Dati II. Petugas Balai Pengobatan tidak tahu menahu apa
yang terjadi di BKIA, begitu juga petuga BKIA tidak mengetahui apa yang dilakukan
oleh Petugas Hygiene Sanitasi dan sebaliknya. Dengan adanya sistem pelayanan
kesehatan melalui Pusat Kesehatan Masyarakat(Puska mas), maka berbagai kegiatan
pokok Puskesmas dilaksanakan bersama di bawah satu koordina dan satu pimpinan.
Kegiatan Pokok Puskesmas
Sesuai dengan kemampuan tenaga maupun fasilitas yang berbeda-beda, makakegiatan pokok
yang dapat dilaksanakan oleh sebuah Puskesmas akan berbeda pula. Namun demikian kegiatan
pokok Puskesmas yang seharusnya dilaksanakan adalah sebagai berikut
1. KIA
2. Keluarga Berencana
3. Usaha Peningkatan Gizi
4. Kesehatan Lingkungan
5. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular
6. Pengobatan termasuk Pelayanan Darurat Karena Kecelakaan
7. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
22
8. Kesehatan Sekolah
9. Kesehatan Olah Raga
10. Perawatan Kesehatan Masyarakat
11. Kesehatan Kerja
12. Kesehatan Gigi dan Mulut
13. Kesehatan Jiwa
14.Kesehatan Mata
15. Laboratorium Sederhana
16. Pencatatan dan Pelaporan dalam rangka Sistem Informasi Kesehatan
17. Kesehatan Usia Lanjut
18. Pembinaan Pengobatan Tradisional
Pelaksanaan kegiatan pokok Puskesmas diarahkan kepada keluarga sebagai satuan masyarakat
terkecil dengan lain perkataan kegiatan pokok Puskesmas ditujukan untuk kepentingan kesehatan
keluarga sebagai bagian dari masyarakat wilayah kerjanya. Setiap kegiatan pokok Puskesmas
dilaksanakan dengan pendekatan Pembangunan KesehatanMasyarakat Desa.
Fungsi Puskesmas
1. Sebagai Pusat Pembangunan Kesehatan Masyarakat di wilayah kerjanya.
2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkankemampuan
untuk hidup sehat.
3.Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepadamasyarakat wilayah
kerjanya
Proses dalam melaksanakan fungsinya, dilaksanakan dengan cara:
a. Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka
menolong dirinya sendiri.
23
b. Memberikan petunjuk kepada masyarakat tentang bagaimana menggali dan menggunakan
sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien.
c. Memberi bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan rujukan medis maupun rujukan
kesehatan kepada masyarakat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak menimbulkan
ketergantungan.
d. Memberi pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat.
e. Bekerjasama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan program
Puskesmas.
Azaz Penyelenggaraan Puskesmas
Penyelenggaraan upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan harusmenerapkan
azas penyelenggaraan puskesmas secara terpadu. Azas penyelenggaraan puskesmas tersebut
dikembangkan dari ketiga fungsi puskesmas. Dasar pemikirannya adalah pentingnya menerapkan
prinsip dasar dari setiap fungsi puskesmas dalam menyelenggarakansetiap upaya puskesmas,
baik upaya kesehatan wajib maupun upaya kesehatan pengembangan. Azas penyelenggaraan
puskesmas yang dimaksud adalah:
Azas Pertanggungjawaban Wilayah
Puskesmas bertanggungjawab meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang bertempat
tinggal di wilayah kerjanya. Untuk ini puskesmas harus melaksanakankegiatan, antara lain
sebagai berikut:
• Menggerakan pembangunan berbagai sector tingkat kecamatan sehingga berwawasan
kesehatan.
• Memantau dampak berbagai uapaya pembangunan terhadap kesehatanmasyarakat di
wilayah kerjanya.
• Membina setiap upaya kesehatan strata pertama yang diselenggarakan olehmasyarakat
dan dunia usaha di wilayah kerjanya
24
• Menyelengarakan upaya kesehatan strata pertama (primer) secara merata danterjangkau
di wilayah kerjanya
Azas Pemberdayaan Masyarakat
Puskesmas wajib memberdayakan perorangan, keluarga masyarakat, agar berperanaktif dalam
penyelenggaraan setiap upaya puskesmas. Untuk itu berbagai potensimasyarakat perlu dihimpun
melalui Pembentukan Badan Penyatuan Puskesmas(BPP). Beberapa kegiatan yang dilaksanakan
oleh puskesmas dalam rangka pemberdayaan masyarakat antara lain:
• Upaya kesehatan ibu dan anaka: Posyandu, Polindes, Bina Keluarga Balita(BKB)
• Upaya Pengobatan : Posyandu, Posa Obat Desa (POD)
• Upaya Perbaikan Gizi : Posyandu, Panti Pemulihan Gizi, Keluarga Sadar Gizi(Kadarzi).
• Upaya Kesehatan Sekolah : Dokter Kecil, Penyetaraan guru dan orangtua/wali murid,
Sakti Bakti Husada, Pos Kesehatan Pesantren
• Upaya Kesehatan Lingkungan : Kelompok Pemakai Air (Pokmair), DesaPercontohan
Kesehatan Lingkungan (DPKL)
• Upaya Kesehatan Usia Lanjut : Posyandu Usila, Panti Wedra
• Upaya Kesehatan Kerja : Pos Upaya Kesehatan Kerja ( Pos UKK)
• Upaya Kesehatan Jiwa : Posyandu, Tim Pelaksana Kesehatan JiwaMasyarakat (TPKJM)
• Upaya Pembinaan Pengobatan Tradisional : Taman Obat Keluarga (TOGA),Pembinaan
Pengobatan Tradisional (Battra)
• Upaya Pembinaan dan Jasmanan Kesehatan (inovatif) : dana sehat, TabunganIbu Bersalin
(Tabulin), mobilisasi dana kegamaan
Azas Keterpaduan
Untuk mengatasi keterbatasan sumberdaya serta diperolehnya hasil yang optimal,
penyelenggaraan setiap upaya puskesmas harus diselenggarakan secara terpadu, jika mungkin
sejak tahap perencanaan, ada dua macam keterpaduan yang perlu diperhatikan yakni:
25
a. Keterpaduan Lintas Program Upaya memadukan penyelenggaraan berbagai upaya
kesehatan yang menjadi tanggung jawab puskesmas. Contoh keterpaduan lintas program
antara lain:
• Manajemen Terpad Balita Sakit (MTBS) : ketrpaduan KIA dengan P2M,Gizi, Promosi
Kesehatan Pengobatan.
• Upaya Kesehatan Sekolah : ketrpaduan kesehatan lingkungan dengan promosi kesehatan,
pengobatan, kesehatan gizi, kesehatan reproduksiremaja dan kesehatan jiwa.
• Puskesma keliling: keterpaduan pengobatan dengan KIA/KB, gizi, promosi kesehatan,
kesehatan gizi. Keterpaduan KIA dengan KB, Gizi,P2M, kesehatan jiwa, promosi
kesehatan.
b. Keterpaduan lintas sektoralUpaya memadukan penyelenggaraan upaya puskesmas (wajib,
pengembangandan inovasi) dengan berbagai program dari sector terkait tingkat
kecamatan,termasuk organisasi kemasyarakatan dan dunia usaha. Contoh ketrpaduan
lintassektoral antara lain:
• Upaya kesehatan sekolah : keterpadua sector kesehatan dengan camat,lurah/kepala desa,
pendidikan, agama.
• Upaya promosi kesehatan: keterpadua sector kesehatan dengan camat,lurah/kepala desa,
pendidikan, agama dan kesehatan.
• Upaya kesehatan ibu dan anak : keterpaduan sector kesehatan dengancamat, lurah/kepala
desa, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan,PKK,PLKB.
• Upaya perbaikan gizi : keterpaduan sector kesehatan dengan camat,lurah/kepala desa,
pertanian, pendidikan, agama, koperasi, dunia usaha,PKK, PLKB.
• Upaya pembiayaan dan jaminan kesehatan : keterpaduan sector kesehatandengan camat,
lurah/kepala desa. Tenaga kerja, koperasi, dunia usahaorganisasi masyarakat.
• Upaya kesehatan kerja : keterpaduan sector kesehatan dengan camat/lurahkepala desa,
tenaga kerja, dunia usaha
Azas Rujukan
26
Sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama, kemampuan yang dimiliki oleh puskesmas
terbatas. Padahal puskesmas berhadapan langsung dengan masyarakat dengan berbagai
permasalahan kesehatannya. Untuk membantu puskesmasmenyelesaikan masalah dan juga untuk
meningkatkan efisiensi, maka penyelenggaraan setiap upaya Puskesmas harus ditopang oleh azas
rujukan.Rujukan adalah pelimpahan wewenang dan tanggungjawab atas kasus penyakit
ataumasalah kesehatan yang diselenggarakan timbale balik, baik secara vertical dalamarti dari
satu strata sarana pelayanan kesehatan ke strata pelayanan kesehatan lainnya,maupun secara
horizontal dalam arti antara strata sarana pelayanan kesehatan yangsama. Sesuai dengan jenis
upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmasada dua macam rujukan yang dikenal
yakni:
a. Rujukan upaya kesehatan perorangan :Cakupan rujukan pelayanan kesehatan perorangan
adalah kasus penyakit.Apabila puskesmas tidak mampu mananggulangi suatu kasusu
penyakit tertentu,maka puskesmas tersebut wajib merujuknya ke sarana pelayanan
kesehatan yanglebih mampu. Sabaliknya pasien pasca rawat inap yang hanya
memerlukan rawat jalan sederhan dirujuk ke puskesmas.
Rujukan upaya kesehatn perorangandibedakan menjadi tiga macam:
• Rujukan kasus untuk keperluan diagnostic, pengobatan, tindakan medic(misal: operasi)
• Rujukan bahan pemeriksaan (specimen) untuk pemeriksaan laboratorium
• Rujukan ilmu pengetahuan antara lain mendatangkan tenaga yang lebihkompoten untuk
melakukan bimbingan tentang puskesmas dan atau punmenyelenggarakan pelayanan
medic di puskesmas.
b. Rujukan upaya kesehatan masyarakat Cakupan rujukan pelayanan kesehatan masyarakat
adalah masalah kesehatanmisalnya kejadian luar biasa, pencemaran lingkungan dan
bencana.Rjukan pelayan kesehatan masyarakat juga dilakukan apabila satu puskesmas
tidak mampu menyelenggarakan upaya kesehatan wajib dan pengembangan, padahal
upaya kesehatan masyarakat telah menjadi kebutuhan masyarakat. Apabila puskesmas
tidak ,mampu menyelenggarakan upaya kesehatan, puskesmas wajib merujuknya ke
dinas kesehatan kabupaten/kota.Rujukan upaya kesehatan dibagi menjadi tiga macam:
• Rujukan sarana dan logistic : peminjaman alat laboratorium, peminjamanalat audiovisual,
bantuan obat, vaksin, bahan-bahan habis pakai dan bahanmakanan.
27
• Rujukan tenaga : dukungan ahli untuk penyelidikan KLB, bantuan penyelesaian masalah
hukum kesehatan, penanggulangan masalahkesehatan karena bancana alam.
• Rujukan operasional : menyerahkan sepenuhnya kewenangan dantanggung jawab
penyelesaian masalah kesehatan masyarakat atau penyelenggara upaya kesehatan
masyarakat ( antara lain : UKS, UKK,UKJ, pemeriksaan contoh air bersih) kepada Dinas
KesehatanKabupatan/Kota.13,14,15
Peranan dokter puskesmas
1. Dokter Kepala Puskesmas sebagai seorang dokter
Pendapat umum mengenai seorang dokter biasanya ialah seorang yang berilmu untuk
menyembuhkan orang sakit. Demikian pula masyarakat mengharapkan seorang dokter Kepala
Puskesmas untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan orang sakit. Namun demikian, dalam
kenyataan tanggung-jawab seorang dokter Kepala Puskesmas tidak hanya mengobati orang sakit
saja akan tetapi jauh lebih besar, yaitu memelihara dan meningkatkan kesehatan dari masyarakat
di dalam wilayah kerjanya. Disamping itu ia berfungsi juga sebagai seorang pemimpin dan
seorang manager pula.Oleh karenanya dalam kegiatan pemeriksaan dan pengobatan penderita
sehari-hari pada waktu- waktu tertentu, dimana dokter Puskesmas sedang melakukan tugas-
tugasmanajemen Puskesmas dan tugas-tugas kemasyarakatannya, ia dapat mendelegasikan
wewenangnya kepada seorang Perawat dan seorang Bidan. Dokter Puskesmas memeriksa dan
mengobati penderita rujukan (referral dari Perawat atau Bidan) saja Akan tetapi masyarakat
biasanya kurang puas bila hanya diperiksa dan diobati seorang Perawat bila di Puskesmas
adaseorang Dokter. Oleh karena itu kiranya waktunya diatur sedemikian rupa sehingga
masyarakat puas dan pekerjaan lain dapat terlaksana dengan baik. Misalnya pemeriksaan
olehdokter dilakukan pada hari-hari tertentu saja dalam satu minggu, sedangkan pada hari-
harilain dokter hanya memeriksa rujukan, sehingga masih ada waktu untuk melakukan tugas-
tugas lain. Hal ini perlu diumumkan kepada masyarakat secara jelas sehingga tidak terjadi salah
faham.Penting kiranya seorang dokter Puskesmas dalam melakukan pemeriksaan dan
pengobatan penderita, pandangan dan cara berfikir dalam menentukan diagnosa dan
28
pengobatan tidak semata-mata ditujukan kepada penderita sebagai individu, akan tetapi
pandangan ditujukan kepada keluarga penderita dan dihubungkan pula dengan masyarakat
lingkungan penderita tersebut. Dalam melaksanakan pemeriksaan dan tindakan pengobatan
pergunakanlah semuanfasilitas yang ada dan kemampuan yang dimiliki sebaik-baiknya. Hal ini
sangat penting untuk memupuk kepercayaan masyarakat dan para pejabat di lingkungan
kecamatan kepada dokter Puskesmas yang bersangkutan. Bilamana ada penderita yang tidak
dapat diatasi dengan fasilitas dan kemampuan yang ada, maka penderita perlu dikirim kepada
Rumah Sakit yang diperkirakan memiliki kemampuan untuk mengatasi penderita tersebut,
tentunya dengan persetujuan penderitasetelah cukup diberi motivasi.Ilmu pengetahuan terus
berkembang, maka perlu kiranya diusahakan kesempatanuntuk mengikuti ceramah klinik yang
diselenggarakan oleh I.D.I. bila ada, atau membacamajalah-majalah bidang klinik maupun dalam
bidang kesehatan masyarakat. Bila masih adakesempatan untuk melakukan praktek di luar jam
kerja tentunya bisa dilakukan tanpamengabaikan tugas.
2. Dokter kepala puskesmas sebagai seorang manager
a. Organisasi dan tatalaksana Puskesmas mempunyai wilayah kerja satu kecamatan atau sebagian
dari kecamatan yang langsung bertanggung-jawab dalam bidang tehnis kesehatan maupun
administratif kepada Kepala Dinas Kesehatan Tingkat II (Dokabu). Puskesmas Pembantu dan
Bidan di Desa di dalam wilayah kerja Puskesmas merupakan bagian integral dari Puskesmas.
Puskesmas Pembantu melaksanakan sebagian tugas-tugas Puskesmas sesuai dengan kemampuan
tenaga dan fasilitas yang ada dalam wilayah kerja tertentu yang merupakan sebagian dari
wilayah kerja Puskesmas. Jenis dan jumlah tenaga Puskesmas yang sebenarnya tidak perlu sama
untuk setiap Puskesmas, tetapidisesuaikan dengan jumlah penduduk dan luas daerah yang
dicakup serta keadaan geografis dan perhubungan di wilayah kerjanya. Namun demikian jumlah
tenaga yang tersedia belum dapat memenuhi kebutuhan pada waktu sekarang, maka untuk
sementara diadakan pola tenaga yang seragam bagi setiap Puskesmas INPRES. Yang penting
tenaga tersebut bekerja dalam suatu Team, berarti pekerjaan tenaga yang satu mengisi
kekurangan dari tenaga yang lain dan sebaliknya.Walaupun pekerjaan yang dilakukan berbeda-
beda akan tetapi semuanya dengan satu tujuan,
29
ialah meningkatkan kesehatan dari masyarakat di wilayah kerja Puskesmas dan di bawah satu
pimpinan, ialah Kepala Puskesmas. Tidak ada pengkotakan struktur dalam Puskesmas.Kepala
Puskesmas perlu melakukan pembagian tugas bersama-sama stafnya disesuaikan dengan jenis
dan jumlah tenaga serta kegiatan yang perlu dilakukan. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan
pula lokasi pekerjaan dan waktu pekerjaan, sehingga bisa diadakan pembagian tugas dan giliran
kerja yang merata di antara tenaga-tenaga Puskesmas yang adadan pekerjaan dapat dilaksanakan
dengan baik. Pertemuan berkala antara Kepala Puskesmas dengan segenap stafnya (termasuk
Puskesmas Pembantu dan Bidan di Desa) perlu dilakukan secara teratur paling sedikitsebulan
sekali. Buku Pedoman Mini Lokakarya Puskesmas dengan lampirannya merupakan pedoman
untuk penyelenggaraan pertemuan berkala tersebut.
Tujuan pertemuan berkala itu antara lain adalah:
• Menampung masalah/hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari
untuk dipecahkan bersama.
• Merencanakan bersama kegiatan yang perlu dilakukan dalam bulan berikutnya
atauminggu yang akan datang.
• Menilai hasil-hasil pekerjaan yang telah dilakukan dalam bulan yang lalu.
• Meneruskan Informasi/instruksi/petunjuk dari atasan untuk diketahui dan dilaksanakan
bersama.
b. Bimbingan teknis dan supervisi Selain pertemuan berkala dengan segenap staf Puskesmas
yang dilakukan di Puskesmas,Kepala Puskesmas perlu juga datang untuk melihat dan memberi
bimbingan kepada staf Puskesmas secara berkala di tempat mereka bekerja, di Puskesmas, di
Puskesmas Pembantu, dilapangan maupun di rumah penduduk dalam rangka kunjungan rumah.
Hal ini penting sekali dilakukan secara teratur untuk memelihara disiplin kerja staf Puskesmas
Dalam kunjungan ini dimanfaatkan pula untuk meningkatkan sistem rujukan (referral
system)dimana konsultasi dari staf Puskesmas dapat dilakukan di tempat mereka bekerja,
disamping melimpahkan pengetahuan dan ketrampilan kepada staf Puskesmas yang
bersangkutan.
30
c. Hubungan kerja antara instansi kecamatan Camat merupakan koordinator dari semua
instansi/dinas tingkat Kecamatan. Kepala Puskesmas bertanggung-jawab secara tehnis kesehatan
dan administratif kepada Dokabu. Hubungan dengan Camat merupakan hubungan koordinasi,
namun demikian tanggung-jawabsecara moril dari Kepala Puskesmas terhadap Camat tetap ada.
Hubungan kerjasama yang baik perlu dipupuk antara Puskesmas dengan semua instansi di
tingkat kecamatan. Kepala Puskesmas harus secara aktif mencari hubungan kerjasama dengan
instansi-instansi di tingkat kecamatan. Usaha kesehatan tidak dapat berjalan sendiri dan perlu
kerjasama dengan instansi-instansi lain. Pertemuan berkala antar instansi tingkat Kecamatan
perlu diadakan di bawah koordinasi pak Camat.
d. Dokter kepala puskesmas sebagai penggerak pembangunan di wilayah kerjanya Disamping
hubungan langsung antara dokter Kepala Puskesmas dan staf dengananggota masyarakat sebagai
pengunjung Puskesmas dalam rangka pemeriksaan, pengobatandan penyuluhan kesehatan, perlu
pula dilakukan hubungan kerjasama dengan masyarakatdalam rangka membantu masyarakat
menolong mereka sendiri dalam bidang kesehatan Khususnya dengan para pemuka masyarakat
dalam rangka memperbaiki nasib mereka baik dalam mang lingkup kesehatan maupun dalam
hal-hal yang berhubungan dengan kesehatansesuai dengan kebutuhan masyarakat.Seringkali
masyarakat belum dapat mengenal masalâh yang mereka hadapi, dan belum bisamenentukan
prioritas masalah yang perlu ditanggulangi. Kepala Puskesmas beserta segenapstafnya
bekerjasama dengan instansi-instansi lain di tingkat kecamatan, perlu memberi bimbingan
kepada masyarakat untuk mengenal masalahnya dan menentukan priorita smasalah yang perlu
ditanggulangi sesuai dengan kemampuan swadaya mereka sendiri.Untuk itu perlu dilakukan
pertemuan-pertemuan baik secara individu dengan pemuka masyarakat, maupun secara
kelompok. Pertemuan ini biasanya dilakukan di luar jam kerja,sore atau malam. Bilamana
diperlukan latihan, maka Kepala Puskesmas dan segenap stafnyaharus dapat melayaninya.
Dokter Kepala Puskesmas sebagai tenaga ahli dan pendamping Camat
Program pemerintah pada saat ini baru bisa menempatkan dokter Puskesmas sebagaiseorang
sarjana secara merata di kecamatan-kecamatan. Dengan sendirinya harapan dariseluruh
31
masyarakat kecamatan adalah untuk mendapatkan manfaat dari keahliannya dalam bidang
kesehatan masyarakat maupun pandangan dan cara berfikir yang luas dan kreatif dariseorang
sarjana. Maka peranan dokter Puskesmas di kecamatan disamping sebagai pemimpinPuskesmas,
juga merupakan tenaga ahli dan pendamping Camat14
Pelatihan kader puskesmas
Tujuan diadakan pelatihan ini adalah untuk mengembangkan keterampilan kader dalam rangka
melaksanakan tugasnya baik di posyandu maupun di lingkungan masyarakat dengan misi
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara umum serta kesehatan Ibu dan Anak secara
khusus.
Materi yang disampaikan meliputi program pokok posyandu secara umum dan Informasi terbaru
dari masing-masing program seperti :
1. Program Perbaikan Gizi Masyarakat dengan Materi, Posgiat dan 12 pesan Gizi Masyarakat
2. Program KIA, cara menggunakan Buku KIA di posyandu
3. P2P, semua program tentang penanggulangan pnyakit seperti TB-Paru, Diare, Malaria/DBD
dan lain-lain
4. Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) tentang hasil mukernas VII di Pokja IV
5. Promosi Kesehatan tentang Desa Siaga dan Teknik penyuluhan
6. Praktek Administrasi Posyandu seperti, Pengisian KMS Terbaru yang membadakan Jenis
Kelamin,penentuan usia balita, dan lain-lain.
Tugas dokter puskesmas dalam program diare:
• Memberikan bimbingan dan supervisi kepada petugas paramedis, baik pada saat bertugas
memberikan pelayanan di puskesmas maupun pada saat memberikan bimbingan dan
supervisi kader posyandu serta saat melakukan kunjungan keluarga.
Materi diare untuk pembinaan kader adalah:
• mengenal tanda bahaya diare
• memberi penyuluhan kepada ibu tentang pengobatan diare di rumah dan upaya rujukan
32
• jumlah oralit yang harus diberikan sesuai umur
• cara membuat larutan oralit
• cara memberikan larutan oralit
• cara melakukan pencatatan penderita
• penanganan bila tidak ada oralit
• segera melapor bila terjadi peningkatan penderita diare di masyarakat linkungannya
• cara melakukan pencegahan diare
kunjungan keluarga penderita diare dilakukan oleh tenaga paramedis puskesmas khususnya
perawat kesehatan masyarakat yang berperan dalam kegiatan penemuan dan penyuluhan pada
kunjungan keluarga.
Program Pemberantasan Penyakit Diare (P2D)
Program Pemberantasan Penyakit Diare adalah salah satu usaha pokok di Puskesmas.
Kebijaksanaan Program P2D ini adalah menurunkan angka kesakitan, kematian, dan
penanggulangan KLB karena diare yang akan terus dilaksanakan dengan mengintensifkan
peningkatan mutu pelayanan (quality assurance), meningkatkan kerja sama lintas program dan
sektoral terkait serta mengikutsertakan partisipasi aktif masyarakat secara luas, antara lain
dengan organisasi profesi dan LSM di pusat maupun daerah.1
Target atau cakupan yang ditetapkan sebagai indikator keberhasilan dalam pemberantasan
penyakit diare di propinsi DKI Jakarta meliputi:
100% Rumah Sakit, Puskesmas, dan swasta melaporkan kasus diare tepat waktu (tanggal 10
setiap bulannya),
Angka kematian 0%,
Kejadian luar biasa (KLB) diare 0%,
100% masyarakat terlayani air bersih,
100% Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan mampu melakukan rehidrasi
intravena,
Angka kesakitan < 1% (50 / 1000 penduduk tahun 2005),
100% kader terlatih tentang penanganan penderita diare,
100% penderita diare tertangani,
33
100% oralit tersedia di kader minimal 10 sacchet (@ 200 ml),
100% tenaga medis dan paramedis melakukan tatalaksana diare (MTBS),
100% ketepatan diagnosis,
100% cakupan imunisasi campak,
100% Puskesmas mempunyai protap tatalaksana diare,
100% penderita diare diobati dan mendapat oralit,
100% PDAM bebas kuman,
100% Puskesmas Kecamatan dan Puskesmas Kelurahan mempunyai pojok oralit,
100% Puskesmas Kecamatan mempunyai klinik sanitasi, dan
100% masyarakat menggunakan jamban pada daerah kumuh.
Program P2D dilakukan dengan berfokus pada pelanggan, yaitu menjalankan segala kegiatan
yang dapat memuaskan pelanggan dengan pelayanan yang profesional, sarana dan prasaran yang
memadai, dan informasi yang mudah didapat. Hal ini meliputi:
Semua penderita diare didiagnosis dan diberikan pengobatan sesuai dengan tatalaksana atau
dengan menggunakan pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).
Pengambilan anal swab dilakukan bila penderita dicurigai kolera dan bila terjadi kejadian
luar biasa.
Pengobatan penderita dengan memberikan oralit tanpa obat anti diare atau antibiotik, kecuali
pada kasus disentri atau kolera.
Pelayanan prima bagi penderita diare meliputi:
- Waktu tunggu 5 menit
- Waktu tunggu gawat darurat 1 menit
- Petugas harus ramah
- Petugas menguasai standar operasional prosedur pelayanan
Lokasi pelayanan mudah dijangkau.
Informasi tentang diare mudah dimengerti oleh masyarakat.
Penderita diare mendapatkan pelayanan yang sama di semua unit pelayanan kesehatan, baik
Puskesmas maupun Rumah Sakit.
Masyarakat menginginkan pelayanan cepat, tepat / akurat, murah, mudah dijangkau, dilayani
secara manusiawi dengan pengobatan sesuai standar dan mendapat informasi yang jelas
tentang cara-cara penanggulangan diare.
34
Pelatihan bagi kader untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dilengkapi buku
pedoman penanggulangan diare.
Pelatihan bagi petugas kesehatan untuk peningkatan ketrampilan.
Petugas kesehatan menginginkan prosedur kerja sederhana, tersedianya sarana pengobatan
yang memadai, serta website diare.
Pengorganisasian program P2D di Puskesmas kelurahan meliputi (1) penyediaan pelayanan
pemeriksaan, pengobatan, dan rujukan ke Puskesmas kecamatan dan rumah sakit serta (2)
koordinasi dengan Puskesmas kecamatan bila terjadi peningkatan kasus di wilayah kerjanya.
Sumber daya yang diperlukan untuk menjalankan program P2D di Puskesmas kelurahan
adalah dokter umum sebagai pemeriksa dan perawat sebagai wasor program diare dan petugas
perawatan kesehatan masyarakat. Dokter umum harus memiliki kompetensi untuk melaksanakan
penanggulangan diare sesuai dengan standar. Perawat / wasor harus mampu menganalisis data
dalam rangka sistem kewaspadaan dini serta mampu memberikan penyuluhan (KIE –
komunikasi, informasi, dan edukasi) dan pemeriksaan di Posyandu. Selain itu, pada kegiatan
Posyandu diperlukan kader / toma yang membantu perawat atau bidan dalam memberikan
penyuluhan. Untuk memperlengkapi petugas dengan kompetensi dan ketrampilan tersebut,
dibutuhkan beberapa pelatihan tentang
(1) program pemberantasan diare (P2D) yang meliputi aspek manajemen, aspek klinik, aspek
epidemiologi, dan aspek laboratorium,
(2) peningkatan peran serta masyarakat bagi kader kesehatan di Posyandu,
(3) tatalaksana diare bagi petugas Puskesmas, dan
(4) tatalaksana diare dengan pendekatan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) bagi petugas
kesehatan di Puskesmas.
Selain kompetensi tersebut, petugas juga perlu memiliki sikap dan perilaku tertentu, yaitu dokter
umum harus memiliki sikap peduli, cepat, dan tanggap dalam menangani penderita diare,
perawat / wasor harus mempunyai sikap peduli, cepat, dan tanggap dalam melaksanakan
perawatan kesehatan masyarakat, dan kader harus mampu memotivasi dan menggerakkan
masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.
Secara umum, pembiayaan program P2D bersumber dari APBN, APBD tingkat I dan II,
BLN, LSM, dan swadana masyarakat. Pembiayaan ini digunakan untuk pengadaan sarana dan
prasarana, dan menunjang kegiatan operasional. Ketentuan yang berlaku adalah (1) 100%
35
sumber anggaran pengadaan obat dan oralit bersifat swadaya Puskesmas, (2) 100% pembiayaan
operasional manajemen P2D di Sudinkesmas berasal dari anggaran APBD tingkat II, dan (3)
biaya operasional pengobatan berasal swadana Puskesmas.
Sarana dan prasarana yang diperlukan di Puskesmas kelurahan untuk mendukung
terlaksananya program P2D adalah (1) ruang periksa dengan ukuran 4 x 5 m2, cukup
pencahayaan dan ventilasi, dan bertemperatur maksimum 23o Celcius, (2) ruang tunggu pasien
yang terbuka dan cukup pencahayaan, serta (3) pojok oralit sebagai tempat konsultasi tentang
diare.
Pada Posyandu, sarana dan prasarana yang diperlukan adalah (1) oralit untuk rehidrasi oral bagi
penderita diare dan (2) lembar penyuluhan.
Secara umum, program P2D meliputi:
Penemuan kasus dini
Proses inti dari program pemberantasan diare adalah penemuan kasus diare secara dini baik oleh
petugas ataupun masyarakat. Penemuan kasus ini dilakukan secara pasif, yaitu kasus ditemukan
saat penderita datang berobat ke Puskesmas, Posyandu, atau rumah sakit. Tujuan dari penemuan
kasus dini adalah untuk mengobati penderita diare sedini mungkin untuk mencegah penularan,
menurunkan angka kesakitan dan kematian terutama pada balita, serta mencegah terjadinya
KLB.
Diagnosis
Penemuan kasus diare dilanjutkan dengan diagnosis yang tepat kemudian tatalaksana yang cepat
dan akurat. Diagnosis diare dan penilaian tingkat dehidrasi penderita dapat dilakukan oleh
dokter, paramedis, dan kader yang sudah terlatih tentang diare.
Pengobatan
Pengobatan yang dimaksud adalah statu proses penanganan penderita diare sedini mungkin dari
masyarakat sampai sarana kesehatan sesuai dengan tatalaksana penderita dan sistem rujukan
sejak diagnosis ditegakkan.
Tatalaksana pasien diare di sarana kesehatan
a. rehidrasi oral dengan oralit
36
b. pemberian cairan intravena dengan ringer laktat untuk pasien diare dehidrasi berat dan
tidak bisa minum
c. penggunaan antibiotika secara rasional
d. nasihat tentang meneruskan pemberian makanan, rujukan, dan pencegahan
Surveilans
Surveilans adalah suatu proses pengamatan penyakit diare dalam rangka kewaspadaan terhadap
timbulnya KLB dan penyebaran penyakit diare serta faktor-faktor yang mempengaruhi pada
masyarakat yang kegiatannya dilakukan secara terus menerus, cepat dan tepat, melalui pemetaan
data epidemiologi. Penerapan dari hal ini adalah dilakukannya pengumpulan data epidemiologi
diare secara terus menerus dan analisis secara langsung untuk menemukan cara penyelesaian
secara tepat dan cepat. Puskesmas harus membuat laporan rutin mingguan (W2) yang berisi
pencatatan harian penderita diare yang datang ke saran kesehatan, posyandu, atau kader. Selain
itu, terdapat pula laporan KLB / wabah (W1) yang harus dibuat dalam periode 24 jam.
Penyediaan air bersih
Penyediaan air bersih yang dimaksud adalah proses penyediaan air yang memenuhi syarat
kesehatan baik fisik, nimia, bakteriologis, maupun radioaktif di masyarakat. Penerapan dari hal
ini adalah inspeksi sarana penyediaan air bersih, pemeriksaan contoh air dan analisis
laboratorium (bakteri dan kimia), rehabilitasi sarana yang telah rusak, dan pemberian bahan
kimia (kaporisasi).
Distribusi logistik
Distribusi logistik adalah suatu rangkaian kegiatan pendistribusian oralit dan ringer laktat (RL)
dalam rangka penyediaan cairan rehidrasi di unit pelayanan kesehatan. Penerapan dari hal ini
adalah tersedianya oralit di kader-kader kesehatan, Posyandu, dan Puskesmas, serta tersedianya
antibiotik dan ringer laktat (RL) di Puskesmas. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mencegah
kematian pada balita dan dehidrasi berat pada semua golongan umur penderita diare. Ketentuan
yang ditetapkan adalah terpenuhinya kebutuhan oralit pada setiap penderita sebanyak 6 bungkus
37
oralit 200 ml serta pengadaan oralit / RL oleh Puskesmas dan didistribusikan ke Puskesmas
kelurahan dan Posyandu di wilayah kerjanya masing-masing.
Komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE)
KIE meliputi serangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsip-prinsip belajar untuk mencapai
suatu keadaan di mana individu, keluarga, dan masyarakat mendapat informasi dengan cepat dan
benar tentang penanggulangan penyakit diare. Penerapan dari hal ini adalah penyuluhan baik
perorangan maupun kelompok yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dan
pelatihan petugas serta kader. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan,
ketrampilan, kesadaran, kemauan, dan praktik mengenai penanggulangan penyakit diare.
Sasaran utama KIE adalah masyarakat.
e. Tatalaksana pasien diare di rumah
i. Meningkatkan pemberian cairan rumah tangga seperti kuah sayur, air tajin,
larutan gula garam, atau oralit terutama untuk dehidrasi
ii. Meneruskan pemberian makanan yang lunak dan tidak merangsang serta
makanan ekstra sesudah diare
iii. Membawa pasien diare ke sarana kesehatan, bila dalam 3 hari tidak membaik
atau ada salah-satu tanda berikut: berak cair berkali-kali, muntah berulang-ulang,
rasa haus yang nyata, makan atau minum sedikit, demam, tinja berdarah
f. Pencegahan penyakit
i. Meningkatkan pemberian Air Susu Ibu (ASI)
ii. Memperbaiki pemberian makanan pendamping ASI
iii. Menggunakan air bersih yang cukup
iv. Mencuci tangan dengan sabun
v. Menggunakan jamban dan membuang tinja bayi dengan benar
vi. Imunisasi campak
Laboratorium
38
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui jenis diare yang terjadi di masyarakat
dan hanya dilakukan pada kasus-kasus diare yang dicurigai kolera atau apabila terjadi
peningkatan kasus 3 kali lebih besar daripada waktu sebelumnya.
Kemitraan
Kemitraan yang dimaksud adalah proses kerjasama yang melibatkan berbagai pihak dan sektor
dalam masyarakat, termasuk kalangan swasta, organisasi profesi, dan organisasi sosial
masyarakat, serta LSM, dalam rangka sosialisasi dan advokasi program untuk memperoleh
dukungan dalam rangka penanggulangan penyakit diare. Kemitraan dilaksanakan secara setara,
sukarela, terbuka, dan saling menguntungkan. Tujuan dari hal ini adalah meningkatkan
kesadaran masyarakat dan atau instansi / sektor lain bahwa penanggulangan penyakit, khususnya
diare, tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan saja serta meningkatkan kinerja,
efisiensi, dan efektivitas pemberantasan diare.
Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan merupakan elemen yang sangat penting dalam sistem pemberantasan
diare. Pencatatan dan pelaporan dilakukan berdasarkan golongan umur dan dilakukan berjenjang
dalam kurun waktu harian, bulanan, triwulanan, semesteran, dan tahunan. Tujuan dari kegiatan
ini adalah untuk mencatat, menilai, dan melaporkan hasil kegiatan penanggulangan diare yang
telah dilakukan serta sebagai acuan dalam penyusunan rencana kegiatan tahun berikutnya.
Form laporan program P2D adalah formulir pencatatan pelaporan diare yang diisi oleh
koordinator diare di Puskesmas dan direkapitulasi di Sudinkesmas dan kemudian dilaporkan ke
Dinas Kesehatan Propinsi. Form ini meliputi jumlah penderita di Puskesmas dan Posyandu
menurut kelompok umur, jumlah penderita yang diberi oralit, jumlah oralit yang diberikan, dan
pemeriksaan laboratorium bagi yang tersangka kolera.
Form laporan sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas adalah formulir pencatatan
dan pelaporan yang diisi oleh satuan kerja Puskesmas yang mencatat seluruh jenis penyakit yang
diobati di Puskesmas.14-16
a) Sesuai dengan ketentuan/sistim pelaporan yang berlaku, pelaporan penderita Diare
menggunakan formulir:
• W1/laporan KLB (wabah)
39
• W2/laporan mingguan wabah
• SP2TP: LB Viaporan bulanan data kesakitan
LB2/laporan bulanan data kematian.
Sedangkan untuk pelaporan kegiatan menggunakan formulir LB3/laporan bulanan kegiatan
Puskesmas (SP2TP).
b) Penderita penyakit Diare perlu diambil specimen darahnya(akut dan konvalesens)auntuk
pemeriksaan serologis. Specimen dikirim bersama-sama ke Balai Laboratorium Kesehatan
(BLK) melalui Dinas Kesehatan Dati II setempat.15
BAB III
kesimpulan dan saran
Simpulan
1) Penyebab masalah yang mungkin antara lain:
a. Kurangnya tenaga pelaksana program sehingga program P2D kurang dapat berjalan
dengan baik.
b. Tidak tersedianya sarana dan prasarana yang memadai untuk membantu program
P2D.
c. Tidak adanya pelatihan kader setempat dan penyuluhan mengenai program P2D
dimasyarakat maupun puskesmas
2) Prioritas pemecahan masalah yang dapat dilaksanakan adalah :
a. menambah tenaga pelaksana program yang tidak merangkap program lain
(kader/petugas kesehatan)
b. Pelatihan para kader untuk melakukan penyuluhan kelompok pada masyarakat
c. Melakukan pencatatan dan pelaporan yang lengkap termasuk data kasus dari
kesehatan lain di luar Puskesmas
d. melakukan evaluasi program P2D secara berkala
Saran
Bagi Puskesmas Kedondong
1. Melakukan pelatihan bagi para kader sehingga program pelaksanaan P2D dapat
terlaksana dan kegiatan-kegiatan penyuluhan dapat dilakukan lebih baik
40
2. Membuat pencatatan dan pelaporan yang baik dan lengkap, sehingga program yang
diusulkan dapat terlaksana dengan baik dan memungkinkan evaluasi setiap tahun.
3. Dengan dilakukannya evaluasi tiap tahun, data tersebut dapat jadikan dasar
keberhasilan suatu program dan digabungkan dengan instasi kesehatan lainnya.
4. Peningkatan pelatihan penyuluhan kader secara berkala yang terintegrasi agar dapat
dilakukan penyampaian informasi secara menarik dan efektif kepada masyarakat.
5. Menambah jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas sehingga seluruh programnya
dapat berjalan dengan baik.
Bagi Kader dan Masyarakat
1. Lebih turut berperan serta secara aktif dalam setiap kegiatan yang dilakukan Puskesmas
termasuk penyuluhan diare sehingga dapat menurunkan angka kesakitan akibat diare.
2. Lebih aktif dalam melaporkan kasus diare kepada kader setempat ataupun petugas
Puskesmas.
3. Fasilitas kesehatan diluar Puskesmas sebaiknya melakukan pelaporan dan pencatatan
kasus diare yang ditangani ke Puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku ajar diare. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare. Jakarta :
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999.
2. Diare akut. Dalam : Sudoyo AW, dkk (ed). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI;
2006.
3. Ghishan FK. Chronic diarrhea. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson textbook of
pediatrics 17th ed. Philadelphia: Saunders; 2004. p.1276-1281.
4. World Health Organization. Pocket book of hospital care for children, guidelines for the management of
common illnesses with limited resources. Geneva: World Health Organization; 2005.
5. Frye RE, Tamer MA. Diarrhea. Diunduh dari : http://www.emedicine.com pada 13 Novemeber 2009
41
6. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Angka kejadian diare masih tinggi.
Diunduh dari :http://www.depkes.go.id. Diakses pada tanggal 13 November 2009.
7. World Health Organization dan United Nations Children Foundation. Clinical management on acute diarrhoea.
Geneva : World Health Organization and United Nations joint statement; 2007. Diunduh dari :
http://whqlibdoc.who.int/hq/2004/WHO_FCH_CAH_04.7.pdf pada 14 Novemeber 2009
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Program pedoman kerja puskesmas jilid II. 1999
9. Departemen Kesehatan RI. Buku Ajar Diare: Pendidikan Medik Pemberantasan Diare (PMPD). Jakarta:Depkes
RI Direktorat Jenderal PPM&PL, 1999. h.3-14
10. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulangan Penyakit Diare. Volume 7 Edisi 1,
Jakarta:Depkes RI,1999. h.1-88.
11. Azwar A. Sistem Kesehatan. Dalam: Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi 3. Jakarta:Bina Rupa Aksara,
1998. h30-34.
12. Departemen Kesehatan RI. Kepmenkes RI No. 1216/ MENKES/ SK/ XI/ 2001 Tentang Pedoman
Pemberantasan Penyakit Diare. Edisi ke-4, Jakarta:Depkes RI,2005.
13. Kanwil Departemen Kesehatan DKI Jakarta. Stratafikasi Puskesmas 2003.Jakarta : 2003
14. Revisi Buku Pedoman Kerja Puskesmas Tim. Kesehatan Lingkungan Pemukiman.Pedoman Kerja Puskesmas.
Jilid 3. Jakarta: Departeman Kesehatan RI, 1991.h.G1-807
15. Revisi Buku Pedoman Kerja Puskesmas Tim. Puskesmas. Pedoman Kerja Puskesmas.Jilid I. Jakarta:
Departeman Kesehatan RI, 1991.h.G1-80
16. Azwar Azrul. Management Puskesmas. Keputusan Mentri Kesehatan Repuplik Indonesia tantang Kebijakan
Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta: DepartemanKesehatan RI, 2004.h. 20-3
42