156
PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NUR ASSA’ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH DI TASIKMALAYA TERHADAP PERINTAH BERJILBAB DALAM QS AL-NŪR (24):31 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Sri Fajri Yanti NIM: 11150340000251 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H/2020 M

PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NUR

ASSA’ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH DI

TASIKMALAYA TERHADAP PERINTAH

BERJILBAB DALAM QS AL-NŪR (24):31

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Sri Fajri Yanti

NIM: 11150340000251

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN

TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2020 M

Page 2: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NUR

ASSA’ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH DI TASIKMALAYA

TERHADAP PERINTAH BERJILBAB DALAM QS AL-

NŪR (24):31

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama

Di Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

Oleh:

Sri Fajri Yanti

NIM: 11150340000251

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF

HIDAYATULLAH

JAKARTA

1441 H/2020 M

Page 3: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

i

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Sri Fajri Yanti

NIM : 11150340000251

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul

PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NUR

ASSA‟ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH DI TASIKMALAYA

TERHADAP PERINTAH BERJILBAB DALAM QS AL-NŪR

(24):31 adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak

melakukan tindakan plagiat dalam penyusunannya. Adapun

kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya

cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia

melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan

perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau

keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 08 Maret 2020

Sri Fajri Yanti

NIM. 11150340000251

Materai

Rp. 6000,-

Page 4: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

ii

Page 5: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

dc

PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NUR ASSA'ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH DI TASIKMALAYA TERHADAP PERINTAH BERJILBAB DALAM QS AL-NŪR (24):31 telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 April 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

Jakarta, 15 Juli 2020

Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Eva Nugraha, M.Ag

Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH NIP. 19710217 199803 1 002 NIP. 19820816 201503 1 004

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Moh. Anwar Syarifuddin, MA

Ala'i Nadjib, MA NIP. 19720518 199803 1 010 NIP. 19711205 200501 2 004

Pembimbing,

Kusmana, MA., Ph.D NIP. 19650424199503 1 001

Page 6: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

iv

PEDOMAN TRANSLITERASI

Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri P Dan K

Nomor: 158 Tahun 1987 – Nomor: 0543 B/U/1987

1. Konsonan

No Arab Latin

No Arab Latin

ṭ ط Tidak Dilambangkan 16 ا 1

ẓ ظ b 17 ب 2

ʻ ع t 18 ت 3

gh غ ṡ 19 ث 4

f ف j 20 ج 5

q ق ḥ 21 ح 6

k ك kh 22 خ 7

l ل d 23 د 8

m م ż 24 ذ 9

n ن r 25 ر 10

w و z 26 ز 11

h ه s 27 س 12

` ء sy 28 ش 13

y ي ṣ 29 ص 14

ḍ ض 15

2. Vokal pendek

kataba كتب a = ـ

su‟ila سئل i = ـ

Page 7: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

v

yażhabu يذهب u = ـ

3. Vokal panjang

ا... = ā قال qāla qīla قيل ī = اي yaqūlu ي قول ū = او

4. Diftong

اي = ai كيف kaifa ḥaula حول au = او

Page 8: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

vi

ABSTRAK

SRI FAJRI YANTI

Pemahaman Komunitas Pesantren Nur Assa’adah dan Ihya

As-Sunnah Di Tasikmalaya Terhadap Perintah Berjilbab

dalam QS al-Nūr (24):31

Sebelum datangnya Islam, jilbab dan cadar merupakan

budaya berpakaian perempuan Arab yang menjadi hiasan,

perlindungan dari debu dan terik matahari bagi mereka sekaligus

sebagai penanda bagi identitas sosialnya dalam masyarakat.

Perempuan yang hanya mengenakan jilbab, menunjukkan

identitasnya sebagai perempuan merdeka. Sementara mereka

yang berjilbab dan bercadar, menunjukkan identitasnya sebagai

keturunan bangsawan. Adapun mereka yang tidak mengenakan

keduanya menunjukkan seorang perempuan budak. Setelah Islam

datang, cadar dan jilbab mengalami perubahan baik dari segi

bentuk maupun fungsinya. Sebagaimana kronologis turunnya QS

al-Nūr (24):31 merupakan respon dari model berpakaian

perempuan Arab saat itu yang mengenakan jilbab menjulur

kebelakang sehingga tidak menutupi leher dan dada mereka.

Model sepeti ini, membuat sebagian dari anggota tubuh

sensualnya dapat terekspos. Karenanya, seorang perempuan harus

berpakaian dengan cara yang bermartabat. Pendapat yang hampir

disepakati oleh kebanyakan ulama tafsir klasik mengindikasikan

bahwa dalam konteks sosio-kultural mereka, membiarkan wajah

dan tangan terbuka dianggap boleh. Dalam penelitian ini, penulis

mengobservasi Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya As-Sunnah di

Tasikmalaya yang keduanya terdapat praktik bercadar. Penulis

tertarik untuk mencari informasi tentang pemahaman mereka

terhadap QS al-Nūr (24):31 yang dipahami oleh mayoritas ulama

sebagai perintah berjilbab. Akan tetapi dalam praktiknya kedua

pesantren tersebut melebihi dari apa yang dipahami mayoritas

ulama. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan

mengumpulkan data dari hasil observasi, wawancara, dan

dokumentasi. Adapun pengolahan data yang digunakan adalah

deskriptif analitik. Penelitian ini menemukan bahwa kedua

Page 9: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

vii

pesantren tersebut memiliki pandangan yang cukup berbeda

dalam memahami QS al-Nūr (24):31. Ma‟had Ihya As-Sunnah

memahami ayat ini sebagai perintah menutupi seluruh tubuh

perempuan tanpa terkecuali. Artinya diharuskan memakai cadar.

Pemahaman ini bersandar kepada para ulama yang bermanhāj

salafi yang seringkali memahami teks keagamaan dengan

mengembalikan pada al-Qur‟an, hadis, dan salaf al-ṣāliḥ.

Sedangkan Pesantren Nur Assa‟adah memaknai ayat ini sebagai

perintah berjilbab. Akan tetapi menurut komunitas ini, aurat

perempuan merupakan seluruh tubuhnya. Sebagaimana yang

banyak disebutkan dalam kitab-kitab fikih bermazhab Syafi‟i.

Sehingga persoalan batas aurat sudah menjadi perdebatan yang

klasik. Dengan demikian, mereka lebih memilih kata anjuran saja

dalam memakai cadar.

Kata kunci: jilbab, cadar, tafsir, ayat, pemahaman, praktik,

Syafi’iyyah, salafi

Page 10: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt., karena

atas nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya penelitian ini dapat

terwujud dengan judul “Pemahaman Komunitas Pesantren Nur

Assa‟adah dan Ihya As-Sunnah Di Tasikmalaya Terhadap

Perintah Berjilbab dalam QS Al-Nūr (24):31”. Skripsi ini

diajukan guna memenuhi syarat dalam penyelesaian pendidikan

pada Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai

pihak yang turut memberi andil, baik secara langsung maupun

tidak langsung. Maka sepatutnya penulis mengucapkan rasa

terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis,

Lc.,MA., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Bapak Dr. Eva Nugraha, MA., selaku Kaprodi Ilmu Al-

Qur‟an dan Tafsir, dan Bapak Fahrizal Mahdi, Lc.,

MIRKH., selaku Sekprodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.

4. Dosen pembimbing skripsi penulis, Bapak Kusmana,

MA., Ph.D., yang senantiasa membimbing, mengarahkan,

dan memberikan motivasi dalam melakukan penelitian

Page 11: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

ix

ini, sehingga penulisan skripsi dapat terselesaikan dengan

baik.

5. Dosen penasehat akademik, Bapak Prof. Dr. H. Said Agil

Husin Al Munawar, MA., yang telah memberikan nasihat

dan ilmu kepada penulis selama studi di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh dosen di Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan

Tafsir yang dengan tulus memberikan ilmu pengetahuan

kepada penulis.

7. Para Staff Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas

Ushuluddin, terima kasih untuk referensi yang ada

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Ayahanda dan ibunda tercinta, Bapak Wasman dan Ibu

Dede Yeni, berkat dukungan, do‟a yang tiada hentinya

mereka panjatkan, kasih sayang dan pengertian yang

begitu luasnya kepada penulis, yang tak akan pernah bisa

tergantikan oleh apapun. Semoga ayahanda dan ibunda

senantiasa diberikan kesehatan dan umur yang panjang.

9. Adik-adik tersayang, Zidan Fauzan, Muhammad Ihsan,

Zulfanul Hakim, dan Alwi Adnan yang selalu menjadi

penyemangat dan penulis rindukan.

10. Bunaya Ihsanul Aziz terkasih, yang setiap kata tidak

sangsi lagi dengan maknanya hingga penulis belajar

banyak hal serta banyak membantu penulis dalam

penelitian ini.

Page 12: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

x

11. Keluarga Pesantren Tahfizh Nurul Hikmah yang telah

mengajarkan banyak hal paling berkesan selama di

Ciputat, khususnya Ummi Nabila, Ka Rani, Teh Pupah,

Ela, Eva, Diana, Ka Led, „Ilma, dan masih banyak yang

lainnya.

12. Semua teman-teman Kelas Bilingual terkasih yang telah

setia menemani proses belajar selama kurang lebih 3

tahun.

13. Ka Awi terasyik, kaka sekaligus teman yang setia

menemani dan penyampai cerita yang baik.

14. Teh Dede Laila Wardah, Teh Naz, dan Krisma, sahabat

yang selalu mendukung dan menguatkan penulis dalam

perjalanan hidup di Ciputat.

15. Keluarga Yayasan Cinta Al-Qur‟an Indonesia, khususnya

kepada Ustadz Zaenal, Ustadz Tarwin, Ustadz Teguh,

Ustadzah Muna, Ustadzah Nur, Ustadzah Lestari, dan

Ustadzah Awi yang senantiasa membimbing penulis dan

bertukar informasi tentang banyak hal.

16. Ma‟had Ihya As-Sunnah Tasikmalaya yang bersedia

menjadi objek penelitian sehingga banyak membantu

penulis dalam mewujudkan penelitian ini, khusunya

kepada Ustadzah Yiyis selaku Wakil Kesiswaan Putri

SMAIT-TQ Ihya As-Sunnah yang setia menemani selama

proses observasi.

17. Para informan Ihya As-Sunnah, Ummu Fatimah, Ustadzah

Jeri, Ustadzah Rania, Difaa‟, Silvia, Suci, dan Fatikhah,

Page 13: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

xi

yang telah bersedia untuk diwawancara sehingga

penelitian terlaksana.

18. Pesantren Nur Assa‟adah Tasikmalaya yang bersedia

menjadi objek penelitian sehingga banyak membantu

penulis dalam mewujudkan penelitian ini, khususnya

kepada Teh Nova Saepina selaku Pengurus Santri Putri

yang membantu proses perizinan penelitian.

19. Para informan Pesantren Nur Assa‟adah, Ustadz Zaky

Alma‟ani, Teh Nova, Tasya, Syifa, Putri, Fira, dan Siska

yang telah bersedia untuk diwawancara sehingga

penelitian terlaksana.

20. Seluruh teman-teman Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir angkatan

2015 yang telah menemani dan banyak membantu dalam

memberikan informasi dengan baik.

Page 14: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

xii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN.............................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING................ ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN................................. iii

PEDOMAN TRANSLITERASI...................................... iv

ABSTRAK......................................................................... vi

KATA PENGANTAR....................................................... viii

DAFTAR ISI....................................................................... xii

DAFTAR GAMBAR......................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah....................................... 1

B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah..... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian............................. 10

D. Tinjauan Pustaka................................................. 11

E. Metodologi Penelitian.......................................... 15

F. Sistematika Penulisan........................................... 17

BAB II CADAR: KONSEP DAN TAFSIR

A. Pengertian Libās, Jilbab, Niqāb, dan Khimār........ 19

B. Sejarah Pakaian dalam Islam................................ 21

C. Cadar: Wacana dan Praktik.................................. 26

D. Tafsir Ayat-Ayat Terkait Cadar............................. 29

Page 15: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

xiii

1. Teks, Terjemah, dan Kata Kunci........................ 29

2. Konteks: Munāsabah dan Asbāb al-Nuzūl........... 31

3. Tafsir.................................................................. 33

3.1 Tafsir Klasik........................................ 34

Jāmi’ al-Bayān............................... 34

al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān........... 38

3.2 Tafsir Modern..................................... 41

Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm.............. 41

Tafsir Al-Mishbāh.......................... 43

BAB III GAMBARAN UMUM PESANTREN NUR

ASSA’ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH

A. Profil Pesantren Nur Assa‟adah............................. 46

1. Sejarah Berdirinya........................................... 48

2. Visi dan Misi................................................... 50

3. Sarana dan Prasarana........................................ 52

B. Profil Ma‟had Ihya As-Sunnah............................. 55

1. Sejarah Berdirinya............................................ 56

2. Visi dan Misi.................................................... 57

3. Sarana dan Prasarana........................................ 60

BAB IV PEMAHAMAN DAN PRAKTIK CADAR DI

PESANTREN NUR ASSA’ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH

TASIKMALAYA

A. Pemahaman Ma‟had Ihya As-Sunnah Tentang Perintah

Berjilbab dalam QS al-Nūr (24):31........................ 68

1. Pemaknaan Ayat الا ما ظهر منها) (........................ 69

Page 16: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

xiv

2. Pemaknaan Ayat ( وليضربه بخمرهها على جيىبهها) ........ 74

B. Pemahaman Pesantren Nur Assa‟adah Tentang Perintah

Berjilbab dalam QS al-Nūr (24):31........................ 76

1. Pemaknaan Ayat منهاالا ما ظهر) (........................ 77

2. Pemaknaan Ayat ( وليضربه بخمرهها على جيىبهها) ....... 80

C. Sumber Rujukan.................................................... 83

1. Ma‟had Ihya As-Sunnah.................................... 83

1.1 Ḥirāsah al-Faḍīlah.................................... 84

1.2 Al-Wajīz fī Fiqh al-Sunnah........................ 84

1.3 Fiqh al-Sunnah li al-Nisā’.......................... 85

1.4 „Abd al-„Azīz ibn Bāz................................ 86

1.5 Ṣāliḥ ibn Fauzān........................................ 87

1.6 Muṣṭafā al-„Adawī..................................... 88

2. Pesantren Nur Assa‟adah.................................... 90

2.1 Safīnah al-Najāh........................................ 91

2.2 Ḥāsyiyah al-Bājūrī..................................... 92

2.3 Tafsīr al-Jalālain......................................... 93

D. Argumentasi Pemakaian Cadar Bagi Pesantren Nur

Assa‟adah dan Ihya As-Sunnah............................ 95

1. Ma‟had Ihya As-Sunnah................................... 95

1.1 Argumentasi Internal................................ 96

1.2 Argumentasi Eksternal.............................. 98

2. Pesantren Nur Assa‟adah................................... 101

2.1 Argumentasi Internal................................. 103

2.2 Argumentasi Eksternal............................... 106

Page 17: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

xv

E. Refleksi dan Praktik Cadar di Pesantren Nur Assa‟adah

dan Ihya As-Sunnah dalam Wacana Cadar Global

Sekarang............................................................... 109

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan............................................................. 114

B. Saran....................................................................... 117

DAFTAR PUSTAKA.......................................................... 118

LAMPIRAN........................................................................ 124

Page 18: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Kamar Mandi Putri....................................... 53

Gambar 3.2 Asrama Putra................................................. 54

Gambar 3.3 Asrama Putri.................................................. 54

Gambar 3.4 Gedung Sekolah Putra................................... 61

Gambar 3.5 Gedung Sekolah Putri.................................... 62

Gambar 3.6 Dapur Putri.................................................. 63

Gambar 3.7 Toko As Sunnah Herbal................................. 64

Gambar 3.8 Majalah Dinding Siswa................................... 65

Page 19: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

1

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab pendahuluan, penulis memaparkan latar belakang

masalah yang menjadi argumen penulis atas pentingnya

penelitian ini, kemudian menguraikan identifikasi, rumusan, dan

pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

A. Latar Belakang Masalah

Pemahaman manusia terhadap baik dan buruk, benar dan

salah, boleh dan tidak boleh dilakukan karena ajaran agama

menentukan sistem kepercayaan sehingga tidak heran lagi apabila

suatu waktu konsep agama turut andil dalam menentukan

perilaku manusia terhadap apa yang mereka lihat dan perbuat.1

Jilbab merupakan fenomena simbolik yang sarat dengan makna.

Diskursus mengenai jilbab, kerudung, cadar dan semacamnya,

sesungguhnya bukan persoalan baru dalam sejarah kaum

perempuan. Yahudi dan kristen, dua agama besar sebelum Islam

juga telah mewajibkan penggunaan kerudung bagi kaum

perempuan. Yang jelas, tradisi penggunaan kerudung, jilbab, dan

cadar sudah ada jauh sebelum ayat-ayat jilbab diturunkan. Hanya

1 Indra Tanra, “Persepsi Masyarakat Tentang Perempuan Bercadar,”

Jurnal Equilibrium, vol.2, no.1 (2016): 118.

Page 20: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

2

saja, diskursus jilbab dalam Islam agak berbeda dengan agama

dan kepercayaan sebelumnya.2 Allah Swt berfirman:

وقل للمؤمنات ي غضضن من أبصارهن ويفظن ف روجهن ول ي بدين زين ت هن إل ها وليضربن بمرهن على جيوبن ..ما ظهر من

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang

beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan

memelihara kemaluannya, dan janganlah

menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali yang

(biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan

kain kerudung ke dadanya...” (QS al-Nūr/24:31).

Quraish Shihab menyebutkan dalam tafsirnya, kata خمر

adalah bentuk jamak dari kata خمار yaitu tutup kepala yang

panjang. Sejak dahulu wanita menggunakan tutup kepala itu,

hanya saja sebagian mereka tidak menggunakannya untuk

menutup tetapi membiarkan melilit punggung mereka.3

Kata جيوب adalah bentuk jamak dari جية yaitu lubang di leher

baju, yang digunakan untuk memasukkan kepala dalam rangka

memakai baju, yang dimaksud ini adalah leher hingga ke dada.

Dari jayb ini sebagian dada tidak jarang dapat nampak. Ayat ini

memerintahkan mereka untuk menutupi dada dengan kerudung

panjang itu. Ini berarti kerudung diletakan di kepala karena

2 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT Serambi

Ilmu Semesta, 2010), 27. 3 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian

Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 9, 327.

Page 21: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

3

memang sejak semula ia berfungsi demikian, lalu dijulurkan ke

bawah sehingga menutup dada.4

Al-Biqā‟ī memperoleh kesan dari penggunaan kata ضرب yang

biasa diartikan memukul atau meletakkan sesuatu secara cepat

dan sungguh-sungguuh. Maksudnya adalah pemakaian kerudung

hendaknya diletakkan dengan sungguh-sungguh untuk tujuan

menutupinya. Bahkan huruf ba’ pada kata تخمرهن dipahami oleh

sementara ulama berfungsi sebagai الإلصاق ”al-ilṣāq” yakni

kesertaan dan ketertempelan. Ini untuk lebih menekankan lagi

agar kerudung tersebut tidak berpisah dari bagian badan yang

harus ditutup. Kandungan penggalan ayat ini berpesan agar dada

ditutup dengan kerudung (penutup kepala).5

Menurut mayoritas ulama, ayat di atas merupakan perintah

memakai jilbab bagi perempuan mukmin. Berkaitan dengan

diperintahkannya jilbab, para ahli tafsir menyatakan bahwa kaum

wanita pada zaman pra Islam, biasa berjalan di depan kaum laki-

laki dengan leher dan dada terbuka serta lengan telanjang.

Mereka biasa meletakkan jilbab mereka di belakang pundak

dengan membiarkan dadanya terbuka. Hal ini acapkali

mendatangkan keinginan dari kaum laki-laki untuk

menggodanya, karena mereka terkesima dengan keindahan tubuh

dan rambutnya. Kemudian Allah memerintahkan kepada

4 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian

Al-Qur’an, 328. 5 M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian

Al-Qur’an, 328.

Page 22: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

4

perempuan untuk menutupkan jilbabnya pada bagian yang biasa

mereka perlihatkan supaya terjaga dari kejahatan laki-laki.6

Nasarudin Umar mengemukakan bahwa ayat khimār di atas

turun untuk menanggapi model pakaian perempuan ketika itu

yang menggunakan penutup kepala (muqani’)7 tetapi tidak

menjangkau bagian dada, sehingga bagian dada dan leher tetap

kelihatan.8 Menurut Imam Ibn Manżūr di dalam kitabnya Lisān

al-‘Arab mengatakan النصيف الخمار للمرأة ”al-khimār li al-mar’ah

al-naṡīf” yang artinya khimār bagi perempuan adalah penutup

kepala. Adapula yang menyatakan khimār adalah kain penutup

yang digunakan wanita untuk menutup kepala hingga mencapai

dada, agar leher dan dadanya tidak nampak.9

Ada dua istilah populer digunakan al-Qur‟an untuk penutup

kepala, yaitu خمر dan جلاتية, keduanya dalam bentuk jamak dan

bersifat generik. Kata khumur (QS al-Nūr/24:31) bentuk jamak

dari khimār, dan kata jalābīb (QS al-Aḥzāb/33:59) bentuk jamak

dari kata jilbāb. Al-Qur‟an dan hadis tidak pernah menyinggung

bentuk pakaian secara khusus mengenai penutup muka, bahkan

6 Ratna Wijayanti, “Jilbab Sebagai Etika Busana Muslimah dalam

Perspektif Al-Qur‟an,” Jurnal Studi Islam, vol.7, no.2, (2017), 157. 7 Jenis pakaian perempuan pada masa Nabi sebagaimana dapat

ditelusuri di dalam sya‟ir-sya‟ir Jahiliah, antara lain burqu’, kain transparan

atau perhiasan perak yang menutupi bagian muka kecuali dua bola mata;

niqāb, kain halus yang menutupi bagian hidung dan mulut; miqna’ah,

kerudung mini yang menutupi kepala; qina’, kerudung lebih lebar; litsam atau

niṣaf, kerudung lebih panjang atau selendang; dan khimar. (Nasaruddin Umar,

Fikih Wanita Untuk Semua, 22) 8 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, 23.

9 Ibn Manżūr, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dār al-Ṣadīr, tt), 257.

Page 23: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

5

dalam hadis10

, muka dengan tegas masuk dalam pengecualian dan

dalam suasana ihram tidak boleh ditutupi.11

Jilbab merupakan bentuk peradaban yang sudah dikenal

beratus-ratus tahun sebelum datangnya Islam, dan memiliki

bentuk yang sangat beragam. Dalam masyarakat Arab pra Islam,

jilbab bukanlah hal baru bagi mereka. Biasanya anak wanita yang

sudah mulai menginjak usia dewasa mengenakan jilbab sebagai

tanda bahwa mereka minta untuk segera dinikahkan dan menjadi

ciri khas yang membedakan antara wanita merdeka dan para

budak atau hamba sahaya.12

Di kalangan masyarakat sering terjadi kesalahpahaman

seolah-olah jilbab sama dengan kerudung, padahal sebenarnya

kerudung tidak identik dengan jilbab karena kerudung hanya

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari jilbab yang harus

dipakai oleh perempuan Islam atau kain selendang yang dibiarkan

menutup kepala (tidak memakai peniti), sedangkan jilbab adalah

penutup kepala (dengan peniti). Sehingga seseorang mengenakan

10

Dalam tafsir Al-Qurṭubī disebutkan hadis tentang kebolehan

menampakkan wajah dan setengah tangan melalui riwayat Qatādah:

الخر إذا عركت أن عن عائشة رضى الله عنها عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: )ل يل لمرأة تؤمن بالله واليوم تظهر إل وجهها ويديها إلى ها هنا( وقبض على نصف الذراع.

“Diterima dari „Āisyah bahwa Nabi bersabda: Tidak diperkenankan

bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya

jika sampai usia baligh untuk menampakkan (anggota badannya)

selain wajah dan kedua tangannya sampai disini (sambil menunjuk

setengah hasta).” 11

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, 29. 12

Wahyu Fahrul Rizki, “Khimar dan Hukum Memakainya Dalam

Pemikiran M Quraish Shihab dan Buya Hamka,” Jurnal Al-Mazāhib, vol.5,

no.1, (2017), 22.

Page 24: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

6

jilbab pasti berkerudung tetapi orang yang berkerudung belum

tentu berjilbab. Masyarakat Indonesia mengenal bahwa khimār

adalah jilbab, yakni kain penutup kepala yang diulurkan hingga

dada.13

Berangkat dari hal tersebut, dalam penelitian ini penulis

memilih kata jilbab sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat

Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara muslim terbesar di

dunia, namun penggunaan jilbab dan lebih utamanya cadar masih

menjadi suatu kontroversi.14

Dari perkembangan budaya, sampai

saat ini jilbab sudah diterima oleh masyarakat. Namun lain halnya

dengan cadar. Cadar merupakan penambah untuk penutup wajah

sehingga hanya terlihat mata saja.15

Bercadar adalah langkah

selanjutnya dalam penggunaan jilbab. Bagi sebagian umat

muslim, bercadar adalah konsekuensi logis dari proses

pembelajaran lebih intens mengenai hakikat perempuan.16

Sebagian besar pengguna cadar beranggapan bahwa seorang

wanita harus menutupi sebagian wajah mereka dan hanya

menyisakan dua bola matanya. Dasar penggunaan cadar adalah

13

Wahyu Fahrul Rizki, “Khimar dan Hukum Memakainya dalam

Pemikiran M Quraish Shihab dan Buya Hamka”, 32. 14

Amalia Sofi Iskandar, “Konstruksi Identitas Muslimah Bercadar,”

Diakses, 02 Februari, 2019,

https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58973/Amalia%20So

fi%20Iskandar.pdf?sequence=1 15

Rizki Nurul Ambia, “Strategi Komunikasi Komunitas Wanita

Indonesia Bercadar (WIB) Dalam Mensosialisasikan Jilbab Bercadar,” (Skripsi

S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016), 3. 16

Lintang Ratri. “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim,”

Diakses, 25 Juli, 2019,

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3155

Page 25: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

7

untuk menjaga perempuan sehingga tidak menjadi fitnah dan

menarik perhatian laki-laki yang bukan mahramya.17

Cadar sudah dikenal oleh sebagian bangsa Arab sebelum

Islam yang merupakan salah satu model pakaian dan perhiasan

wanita. Cadar juga dikenal pada zaman Nabi Muhammad, nenek

moyang di Turki dan Mesir, serta wanita-wanita badui di

Perkampungan Saudi. Namun penyebutan cadar (niqāb) tidak

pernah datang dari lisan Nabi Muhammad melainkan satu kali

saja dalam konteks pelarangan memakai cadar bagi wanita yang

sedang ihram.18

Terdapat keberagaman mengenai hukum penggunaan cadar

menurut sementara ulama. Perdebatan tersebut disebabkan

perbedaan pandangan mereka dalam memahami maksud QS al-

Nūr (24):31 dalam menentukan batas aurat perempuan. Mayoritas

ulama menjelaskan bahwa QS al-Nūr (24):31 adalah perintah

mengulurkan jilbab hingga dada, dengan tanpa menutup wajah.

Fenomena yang terjadi saat ini banyak perempuan muslimah

yang memakai jilbab dengan menambahkan penutup muka

(cadar). Penggunaan cadar tersebut salah satunya

teraktualisasikan di Pesantren Ihya As-Sunnah dan Nur

Assa‟adah Tasikmalaya.

17

Indra Tanra, “Persepsi Masyarakat Tentang Perempuan Bercadar,”

118. 18

Rizki Nurul Ambia, “Strategi Komunikasi Komunitas Wanita

Indonesia Bercadar,” 38.

Page 26: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

8

Pesantren Ihya As-Sunnah merupakan salah satu lembaga

pendidikan Islam (ahl al-sunnah wa al-jama’ah) yang bermanhāj

salaf al-ṣāliḥ. Terdiri dari santri putra dan putri. Pesantren Ihya

As-Sunnah menjadi salah satu tempat menuntut ilmu yang cukup

terkenal di Tasikmalaya sebab terdapat praktik bercadar yang

sangat apik. Di Tasikmalaya, pesantren yang memiliki peraturan

dalam praktik bercadar bagi seluruh santriwatinya terbilang

jarang. Sedangkan Pesantren Nur Assa‟adah yang berlokasi di

Sambongjaya Tasikmalaya merupakan salah satu lembaga

pendidikan Islam yang memiliki kultur Nahdlatul „Ulama, tetapi

tidak berafiliasi dengan ORMAS tersebut. Penulis tertarik dengan

praktik bercadar yang dilakukan oleh sebagian santriwati di

Pesantren Nur Assa‟adah, karena umumnya pesantren yang

berkultur NU tidak ditemukan santriwatinya yang memakai

cadar.

Penulis merasa terpanggil untuk melakukan penelitian di

Pesantren Ihya As-Sunnah yang menerapkan praktik bercadar

pada seluruh santriwatinya dan penggunaan cadar bagi sebagian

santriwati di Pesantren Nur Assa‟adah. Sehingga penulis ingin

mengetahui dan menganalisis pemahaman kedua pesantren

tersebut terhadap makna berjilbab menjadi bercadar dalam QS al-

Nūr (24):31.

Page 27: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

9

B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah

1. Identifikasi

Dari latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa

masalah sebagai berikut:

1.1 Awal mula diwajibkannya menutup aurat dalam Islam. Ini

dapat diteliti sebelum mengkaji pemahaman tentang jilbab

menurut komunitas tertentu;

1.2 Batasan-batasan aurat menurut para ulama;

1.3 Faktor meningkatnya muslimah bercadar di Tasikmalaya;

1.4 Hukum memakai cadar menurut para ulama;

1.5 Pemahaman komunitas Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya

As-Sunnah di Tasikmalaya terhadap perintah berjilbab

dalam QS al-Nūr (24):31;

1.6 Argumentasi memakai cadar bagi komunitas Pesantren

Nur Assa‟adah dan Ihya‟As-Sunnah.

Dari enam poin diatas penulis membatasi hanya pada poin 5

dan 6 yaitu pemahaman komunitas Pesantren Nur Assa‟adah dan

Ihya As-Sunnah di Tasikmalaya terhadap perintah berjilbab

dalam QS al-Nūr (24):31 dan argumentasi pemakaian cadar bagi

kedua pesantren tersebut.

2. Rumusan Masalah

Sebagaimana identifikasi penelitian di atas, maka rumusan

masalah yang akan penulis kaji adalah:

Page 28: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

10

2.1 Bagaimana komunitas Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya

As-Sunnah di Tasikmalaya memahami perintah berjilbab

menjadi bercadar dalam QS al-Nūr (24):31?

3. Pembatasan Masalah

Berdasarkan judul dan latar belakang di atas, penulis

membatasi penelitian ini supaya pembahasan yang dipaparkan

lebih terarah dan jelas. Penulis membatasi tulisan ini hanya pada

pemahaman Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya As-Sunnah di

Tasikmalaya terhadap QS al-Nūr (24):31 dan argumentasi

pemakaian cadar di kedua pesantren tersebut. Dalam penelitian

ini, penulis memfokuskan pemahaman kedua pesantren terhadap

ayat tentang jilbab pada QS al-Nūr (24):31 saja, karena menurut

jumhur ulama ayat ini menjadi perdebatan dalam menentukan

batas aurat perempuan, sehingga berdampak terhadap pemakaian

jilbab dan cadar.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan yang hendak

dicapai melalui penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan menganalisis pemahaman komunitas

muslimah bercadar terhadap QS al-Nūr (24):31

tentang perintah memakai jilbab sehingga menjadi

memakai cadar;

2. Menginformasikan praktik jilbab bercadar dari kasus

yang diangkat di dua pesantren;

Page 29: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

11

3. Mengetahui argumentasi penggunaan cadar pada

perempuan bercadar di dua pesantren.

Adapun manfaat yang diharapkan penulis melalui penelitian

ini adalah mampu memberikan informasi tentang pemahaman

komunitas bercadar di kedua pesantren Tasikmalaya dalam

menafsirkan ayat perintah berjilbab dan pemenuhan tugas dalam

bentuk skripsi bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan

Tafsir, serta memberikan kontribusi keilmuan tentang wacana

pakaian dalam Islam.

D. Tinjauan Pustaka

Adapun sebagai bahan perbandingan bagi penulisan dan

untuk mendukung kevalidan skripsi ini, maka penulis paparkan

beberapa karya yang berhubungan dengan pemahaman terhadap

ayat perintah berjilbab menurut komunitas muslimah bercadar.

Perbedaan skripsi ini berjudul Pemahaman Komunitas Pesantren

Nur Assa’adah dan Ihya As-Sunnah Di Tasikmalaya Terhadap

Perintah Berjilbab dalam QS (24):31. Penelitian skripsi ini

bertujuan untuk menganalisis pemahaman komunitas bercadar

terhadap QS al-Nūr (24):31 dalam memaknai perintah berjilbab

menjadi bercadar di Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya As-

Sunnah, serta mencari argumentasi dan faktor yang menyebabkan

mereka untuk memutuskan memakai cadar. Sedangkan skripsi

orang lain membahas pemahaman wanita berjilbab dari

komunitas yang berbeda dan perspektif lain seperti psikologis,

Page 30: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

12

penafsiran ayat jilbab, dan sosiologis. Berdasarkan hasil

penelusuran kepustakaan, berikut beberapa penelitian terdahulu

yang dilakukan oleh sejumlah sarjana:

1. Adam Haekal Radintya (Skripsi, 2017)19

. Skripsi ini

membahas tentang pemahaman dan pengaplikasian

mahasiswi HIQMA dan LDK di UIN Jakarta terhadap

penggunaan jilbab;

2. Muhammad Zaky Fakhruddin (Skripsi, 2017)20

. Skripsi

ini membahas keberagaman makna pada kata ḍaraba

yang ada dalam al-Qur‟an dan cara menerjemahkannya

versi M Quraish Shihab;

3. Rizki Nurul Ambia (Skripsi, 2016)21

. Penelitian ini

membahas strategi yang dilakukan oleh Komunitas

Wanita Bercadar (WIB) dalam mensosialisasikan jilbab

bercadar dengan pendekatan diri dan peduli dengan

lingkungan sekitar;

4. Ditha Ainur Rizka (Skripsi, 2010)22

. Skripsi ini

membahas persoalan jilbab sebagai tolak ukur berbusana

Islam dengan melakukan perbandingan atas pemikiran

19

Adam Haekal, “Jilbab Antara Pemahaman Ayat dan Aplikasinya

Studi Kasus Mahasiswi Anggota HIQMA dan LDK UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta,” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

2017). 20

Muhammad Zaky Fakhruddin, “Kolokasi Kata Ḍaraba Dalam Al-

Qur‟an: Studi Terjemahan M Qurasih Shihab,” (Skripsi S1., Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017). 21

Rizki Nurul Ambia, “Strategi Komunikasi Komunitas Wanita

Indonesia Bercadar “. 22

Ditha Ainur Rizka, “Jilbab Dalam Tata Busana Kontemporer: Studi

Komparasi Pemikiran al-Uṡaimīn dan M Qurasih Shihab,” (Skripsi S1.,

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010).

Page 31: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

13

dua ulama kontemporer di Arab yakni Muḥammad ibn

Ṣālih al-Uṡaimīn dan di Indonesia yaitu Muhammad

Quraish Shihab. Pendekatan yang digunakan untuk

menemukan perbedaan dan persamaan pendapat kedua

ulama tersebut adalah sosiologis historis;

5. Ade Susanti (Skripsi, 2008).23

Tulisan ini membahas

tentang penyesuaian diri yang dilakukan mahasiswi

bercadar dengan sahabatnya di UIN Jakarta serta cara

berinteraksi sosial dengan lingkungan selain

komunitasnya;

6. Anwar Musaddad (Skripsi, 2008)24

. Skripsi ini

membahas frekuensi beribadah dan berperilaku Islami

terdapat hubungan dengan pemakaian jilbab. Metode yang

digunakan adalah stratified random sampling (mengambil

50 orang siswi Pesantren Madinatunnajah sebagai

sample);

7. Ade Irawan (Skripsi, 2006)25

. Tulisan ini membahas

kontekstualisasi dari hijab, khimār dan jilbab berdasarkan

telaah dari penafsiran Muhammad Said al-Asymawī;

8. Firdaus (Skripsi, 2001)26

. Skripsi ini membahas analisa

penafsiran QS 24:31 dan QS 33:59 tentang kerudung;

23

Ade Susanti, “Gambaran Persahabatan dan Penyesuaian Diri Pada

Mahasiswi UIN Jakarta Yang Mengenakan Cadar,” (Skripsi S1., Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). 24

Anwar Musaddad, “Hubungan Antara Jilbab Dan Perilaku Islami:

Studi Kasus Santriwati Pesantren Madinatunnajah Tangerang,” (Skripsi S1.,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008). 25

Ade Irawan, “Hijab, Khimar dan Jilbab: Usaha Kontekstual

Substantif Telaah Penafsiran Muhammad Said al-Asymawi Atas QS al-Ahzab

(33): 53:59 dan al-Nur (24):31,” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2006).

Page 32: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

14

9. Nasaruddin Umar (Buku, 2010)27

. Buku ini membahas

fikih wanita yang mengulas tuntas tema-tema penting

tentang perempuan dalam hukum Islam, seperti aurat

perempuan, jilbab, khitan, wali nikah, dan lain-lain;

10. M Quraish Shihab (Buku, 2004)28

. Karya ini menguraikan

tentang persoalan hukum memakai jilbab hingga

perdebatan para ulama dalam menentukan batas aurat

perempuan berdasarkan sumber-sumber agama;

11. Fadwa El Gundi (Buku, 2005)29

. Buku ini membahas

seputar wacana dan praktik berbusana dalam Islam;

12. Lisa Aisiyah dan Rosdalina (Jurnal, 2018)30

. Tulisan ini

menjelaskan tentang hukum memakai cadar dalam Islam

dengan mengungkap kehadiran praktik tersebut pada masa

Nabi Muhammad;

13. Nasaruddin Umar (Jurnal, 2006)31

. Jurnal ini menjelaskan

sejarah awal kemunculan praktik pemakaian jilbab dan

cadar sebelum Islam.

26

Firdaus, “Kerudung Dalam Perspektif Al-Qur‟an: Studi Analisis

Surah an-Nur:31 dan al-Ahzab:59,” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001). 27

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: PT Serambi

Ilmu Semesta, 2010). 28

M Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah (Ciputat:

Lentera Hati, 2014). 29

Fadwa El Gundi, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan

Perlawanan (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005). 30

Lisa Aisiyah dan Rosdalina “Problematika Hukum Cadar dalam

Islam: Sebuah Tinjauan Normatif-Historis,” Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah, vol. 16,

no. 1 (2018). 31

Nasaruddin Umar “Menstruasi Kosmetik dan Croissants,” Jurnal

Az-Zikra, no. 17, (2006).

Page 33: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

15

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis adalah

pendekatan penelitian kualitatif yaitu dengan melakukan

penelitian yang menghasilkan data deskriptif dengan pengamatan

langsung dan memaparkan sesuai data yang didapat.32

2. Sumber Data

Dalam teknik pengumpulan data yang akan penulis dapatkan

adalah dari dokumen, literatur-literatur, artikel dan data-data yang

ada sebagai sumber pendukung, sedangkan sumber primernya

penulis akan peroleh dari hasil wawancara, observasi, dan

dokumentasi.

3. Tempat dan Objek Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Pesantren Ihya As-Sunnah

Jl. Terusan BCA No. 11, Tuguraja, Cihideung, Kota Tasikmalaya

dan Pesantren Nur Assa‟adah Kp. Cibeber RT 005 RW 007 Kel.

Sambongjaya Tasikmalaya Jawa Barat. Objek penelitiannya

adalah santriwati bercadar di Pesantren Ihya As-Sunnah dan Nur

Assa‟adah.

32

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2004), 4.

Page 34: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

16

4. Teknik Pengumpulan Data

Ada tiga cara dalam teknik pengumpulan data yang

penulis gunakan dalam penelitian ini:

4.1 Observasi

Dalam hal ini, penulis mencoba mengamati secara langsung

praktek penggunaan jilbab bercadar di Pesantren Ihya As-Sunnah

dan Nur Assa‟adah.

4.2 Wawancara/Interview

Wawancara adalah salah satu cara yang digunakan untuk

mendapatkan informasi dari informan dengan cara bertanya

langsung secara bertatap muka.33

Penulis akan mewawancarai

informan dengan alat elektronik seperti record, handphone, dan

catatan penulis.

4.3 Dokumentasi

Metode ini digunakan penulis untuk mendapatkan data-data

yang berkaitan dengan penelitian, seperti biografi Pesantren Ihya

As-Sunnah dan Nur Assa‟adah, foto kegiatan kedua pesantren,

rekaman, atau majalah pesantren.

5. Metode Analisis Data

Analisis data ini menggunakan metode deskriptif analitik.

Pertama, penulis menggambarkan apa adannya sesuai situasi dan

kejadian. Selain metode deskriptif, penulis juga menganalisis data

terkumpul dengan membaginya ke dalam unit-unit analisis yang

koheren.

33

Bagong Suyanto, Metodologi Penelitian Sosial Berbagai Alternatif

Pendekatan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 69.

Page 35: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

17

F. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara besar dari keseluruhan

tentang permasalahan yang dibahas agar terarah, serta

memudahkan pembaca dalam menelaahnya, maka penulis

membagi skripsi ini dalam lima bab, sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan yang akan memaparkan latar

belakang masalah yang menjadi argumen penulis atas pentingnya

penelitian ini, kemudian menguraikan identifikasi, rumusan, dan

pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua berisi cadar, konsep dan tafsir yang memuat

pengertian libās, jilbāb, niqāb, dan khimār, sejarah pakaian dalam

Islam, wacana dan praktik cadar, dan tafsir ayat-ayat terkait

cadar.

Bab ketiga berisi profil Pesantren Ihya As-Sunnah dan Nur

Assa‟adah yang terdiri dari sejarah berdirinya, kegiatan

pesantren, visi misinya, serta sarana dan prasarananya.

Bab keempat berisi temuan dan analisis data, bab ini

mengungkap pemahaman Pesantren Ihya As-Sunnah dan Nur

Assa‟adah terhadap QS al-Nūr (24):31 tentang perintah memakai

jilbab, argumentasi pemakaian cadar, serta pemahaman dan

praktik cadar di dua pesantren tersebut dengan wacana cadar

global sekarang.

Page 36: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

18

Bab kelima berisi penutup yang berisikan kesimpulan dan saran

yang dilakukan oleh penulis berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan. Kesimpulan ini berisi jawaban pokok terhadap

masalah yang sedang diteliti, kemudian saran yang berisi

rekomendasi-rekomendasi dari penulis.

Page 37: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

19

BAB II

CADAR: KONSEP DAN TAFSIR

Pada bab dua ini, penulis menjelaskan cadar dalam tinjauan

konsep dan tafsir yang memuat pengertian libās, jilbāb, niqāb,

dan khimār, sejarah pakaian dalam Islam, wacana dan praktik

cadar, serta tafsir ayat-ayat terkait cadar.

A. Pengertian Libās, Jilbāb, Niqāb, dan Khimār

Secara umum, umat Islam mengenal kata لثاس “libās” sebagai

pakaian atau sesuatu yang dipakai oleh manusia dan melekat pada

tubuh. Dalam bahasa Arab, kata libās bisa berarti pakaian,

percampuran, menutupi.1 Kata libās ditemukan sebanyak sepuluh

kali dalam al-Qur‟an. Libās pada mulanya berarti penutup,

apapun yang ditutup. Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas.

Tetapi perlu dicatat bahwa ini tidak harus berarti menutup aurat

karena cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libās dan

pemakainya ditunjuk dengan menggunakan akar katanya. Kata

libās digunakan oleh al-Qur‟an untuk menunjukkan pakaian lahir

maupun batin.2

Menurut Fadwa El Guindi ada tiga poin penting tentang libās;

pertama, istilah libās telah digunakan secara luas dalam al-Qur‟an

dan hadis, dan penggunaannya itu untuk pakaian nyata. Kedua,

penggunaannya bukan hanya menjabarkan bentuk-bentuk

1 Adib Bisri dan Munawir A Fatah, Kamus al-Bisri Indonesia-Arab

Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), 652. 2 M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i Atas

Pelbagai Pesoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), 152.

Page 38: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

20

material pakaian dan ornamen laki-laki dan perempuan, tetapi

mencakup bentuk-bentuk yang beraneka ragam dari jilbab dan

berjilbab. Ketiga, kata ini melembagakan kawasan sakral yang

tidak terlihat dan tidak terkatakan, di mana ide-ide kultural terkait

secara relasional.3

Sedangkan jilbab masdar dari fi‟l rubā‟ī mujarrad (kata kerja

yang terdiri dari empat huruf) jalbaba yujalbibu jalbabatan wa

jilbāban artinya pakaian luas yang dipakai di luar baju, seperti

jubah atau baju yang menutupi semua badan wanita. Dalam kitab

al-Mu‟jam al-Wasīṭ, jilbab ialah pakaian yang menutupi baju

wanita yang sedang dipakai sehingga bagaikan selimut. Menurut

al-Biqā‟ī, jilbāb bisa bermakna khimār, yaitu setiap sesuatu yang

menutupi kepala.4 Kata jilbāb merupakan bentuk mufrad dari

jalābīb, yang disebutkan dalam QS al-Aḥzāb (33):59.5

Khimār berasal dari kata khamara yakhmuru khamran artinya

menutupi dan menyimpan sesuatu. Secara macam minuman keras

dikatakan khamr, karena dapat menutupi akal. Sedangkan jamak

dari Khimār adalah khumur-khumr-akhmirah bermakna sesuatu

(kain) yang dapat menutupi kepala. Demikian menurut al-Biqā‟ī

dan Abū Ḥayyām. Akan tetapi, khimār ada dua macam, yaitu

3 Fadwa El Guindi, Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan

Perlawanan (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005), 126. 4 Umar Faruk, “Cadar Wanita Muslimah dalam Perspektif al-Qur‟an,”

(Tesis S2., Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2015), 5. 5 Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua (Jakarta: Serambi

Ilmu Semesta, 2010), 27.

Page 39: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

21

kain penutup kepala tanpa wajah, serta penutup kepala dan

wajah.6

Selain itu, ada beberapa istilah untuk jenis pakaian lain

diantaranya niqāb dan cadar. Kata niqāb dalam Lisān al-„Arab

memiliki beberapa arti, di antaranya (1) warna, contoh: niqāb al-

mar‟ah artinya warna kulit perempuan, karena niqāb bisa

menutupi warna kulit perempuan dengan warna yang sama: (2)

cadar (qinā‟) di atas pucuk hidung adalah penutup hidung dan

wajah perempuan.7

Cadar dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah veil

(sebagaimana varian Eropa lain, misalnya voile dalam bahasa

Perancis) yang biasa dipakai untuk merujuk pada penutup

tradisional kepala, wajah (mata, hidung, atau mulut), atau tubuh

perempuan di Timur Tengah dan Asia Selatan.8 Dalam hal ini

penggunaan kata niqāb sama dengan cadar yakni kain yang

menutupi bagian hidung dan mulut sehingga terlihat kedua mata

saja.

B. Sejarah Pakaian dalam Islam

Sandang atau pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok

manusia. Ia juga merupakan produk budaya sekaligus tuntunan

6 Lisa Aisiyah dan Rosdalina “Problematika Hukum Cadar dalam

Islam: Sebuah Tinjauan Normatif-Historis,” Jurnal Ilmiah Al-Syir‟ah, vol. 16,

no. 1 (2018): 78 . 7 Ibn Manżūr, Lisān al-„Arab, 257.

8 Lintang Ratri. “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim,”

Diakses, 25 Juli, 2019,

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3155

Page 40: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

22

agama dan moral. Dari sini lahir apa yang dinamakan pakaian

tradisional, daerah, nasional dan pakaian resmi untuk perayaan

tertentu atau ibadah. Dalam ajaran Islam, ketika melaksanakan

haji atau umrah ada pakaian-pakaian khusus untuk laki-laki yakni

pakaian tidak berjahit, sedangkan wanita tidak diperkenankan

menutup wajahnya.9

Sebelum Islam datang, orang Arab sebagai satu bangsa yang

mempunyai kultur tersendiri mereka juga mempunyai pakaiannya

sendiri yang sesuai dengan kehidupan di padang pasir,

berkesesuaian dengan cuaca dan udara yang panas terik serta ada

kaitannya dengan apa yang telah mereka warisi dari nenek

moyang mereka. Pada saat itu, sebelum kedatangan Islam mereka

telah memakai jubah, surban, selendang, dan sebagainya.10

Oleh karena itu, sebagian dari tuntunan agama lahir dari

budaya masyarakat, karena agama sangat mempertimbangkan

kondisi masyarakat sehingga menjadikan adat istiadat sebagai

salah satu pertimbangan hukum. Islam mengatur sedemikian rupa

dalam penggunaan pakaian, seperti dalam hal ibadah atau sehari-

hari. Akan tetapi yang terpenting adalah substansi dari pakaian itu

sendiri yang tidak keluar dari syariat. Sehingga apapun bentuk

modelnya seperti pakaian daerah, busana beribadah, atau yang

disesuaikan dengan budaya berpakaian di daerahnya itu tidak

9 M Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan

Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer (Ciputat: Lentera Hati,

2004), 38. 10

Shofian Ahmad dan Lotfiah Zainol Abidin, Aurat: Kod Pakaian

Islam (Utusan Publications, 2004), 13.

Page 41: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

23

menjadi persoalan. al-„Ādah muḥakkimah, demikian rumus yang

dikemukakan oleh pakar-pakar hukum Islam. Menurut sebagian

pakar, tidak mustahil bahwa bentuk pakaian yang ditetapkan atau

dianjurkan oleh suatu agama lahir dari budaya yang berkembang

ketika itu. Namun moral, keindahan, dan sejarah bangsa ikut serta

menciptakan ikatan-ikatan khusus bagi anggota masyarakat yang

melahirkan bentuk pakaian dan warna favorit.11

Memakai pakaian tertutup bukan monopoli dan budaya

masyarakat Arab, bahkan menurut Murtaḍā Muṭahharī, pakaian

penutup seluruh badan wanita telah dikenal di kalangan bangsa-

bangsa kuno dan masyarakat Sassan Iran dibanding yang lain.

Pakar lain menambahkan bahwa orang-orang Arab meniru orang

Persia yang mengikuti agama Zardasyt dan menilai wanita

sebagai makhluk tidak suci, karena itu mereka diharuskan

menutup mulut dan hidung mereka dengan sesuatu agar napas

mereka tidak mengotori api suci yang merupakan sesembahan

agama Persia lama.12

Pada masa Nabi, pakaian wanita adalah busana yang umum

dikenakan mereka pada masa tersebut. Artinya, kaum wanita

menutupi tubuh mereka dengan kain dan kepalanya dengan

kerudung akan tetapi sebagian telinga, leher, dan dadanya

terlihat. Hal tersebut mengundang kekaguman pria, di samping

untuk menampik udara panas yang merupakan iklim umum

11

M Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan

Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, 38. 12

M Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan

Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, 41.

Page 42: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

24

padang pasir. Kemudian al-Qur‟an merespon kejadian tersebut

agar kaum wanita menguraikan kain kerudungnya hingga

menutupi dada.13

Mengingat hal itu, ada peristiwa yang berkaitan dengan

kejadian tersebut. Menurut Asghar Ali Engineer, perempuan di

Madinah pada masa itu diharuskan pergi keluar selama waktu

pagi untuk menghilangkan rasa bosan diri mereka. Beberapa

penggoda malam biasa menunggu mereka dan mengusiknya.

Ketika ditangkap, para penggoda malam mengatakan, “tidak

mengetahui kalau perempuan itu adalah perempuan merdeka

(hurrah)”. Para penggoda mengira bahwa mereka adalah budak

perempuan. Perlu dicatat bahwa beberapa budak perempuan di

Arab pada masa itu biasa terjun ke prostitusi, karena paksaan dari

tuannya sehingga banyak orang yang sering kali menggoda

mereka. Tetapi bagi perempuan merdeka, menghadapi situasi

tersebut pada waktu yang sama sangat memalukan.14

Hal seperti

ini bahkan terjadi di Madinah sehingga Nabi Muhammad harus

mencari solusi agar kebiasaan ini tidak berlanjut. Salah satu

solusi yang ditawarkan al-Qur‟an dari street crime (kejahatan

jalanan) adalah perlindungan terhadap tubuh perempuan beriman

dengan menutupi wajah mereka dengan cadar, agar dapat dikenali

sebagai perempuan merdeka (hurrah) dan tidak akan diganggu.

13

Shofian Ahmad dan Lotfiah Zainol Abidin, Aurat: Kod Pakaian

Islam, 13. 14

Asghar Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, terj-Agus Nuryatno

(Yogyakarta: LKis, 2007), 88.

Page 43: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

25

Pada masanya solusi tersebut ternyata cukup efektif

meminimalisir kejahatan.15

Efektifitas ajaran jilbab yang digunakan untuk melindungi

tubuh perempuan dimaknai sebagai identitas sosial dalam

masyarakat. Hal tersebut disebabkan masyarakat Arab saat itu

menilai bahwa perempuan yang mengenakan jilbab disertai cadar

merupakan identitas mereka dari keturunan bangsawan.

Sementara mereka yang hanya menggunakan jilbab,

menunjukkan identitasnya sebagai perempuan merdeka. Adapun

mereka yang tidak mengenakan keduanya, menunjukkan identitas

seorang perempuan budak.16

Demikian model pakaian tertutup

bagi perempuan bukan hal yang baru. Jauh sebelum Islam, model

jilbab atau sejenisnya telah dikenal dibanyak belahan dunia

lainnya.17

Menurut teori Kefgen dan Touchie Specht, fungsi dan

perilaku pada pakaian akan mendorong dan mengingatkan

pemakainya terhadap peranan seseorang dalam busana yang

dipakainya. Sebab, setiap pakaian merupakan simbol akan

kelompok sosial tertentu. Oleh sebab itu, Jalaluddin Rakhmat

menjelaskan tiga fungsi busana muslimah; (1) diferensiasi, (2)

perilaku, (3) emosi. Dengan busana orang membedakan dirinya

dan kelompoknya dari orang lain. Busana muslimah membedakan

15

Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan

Gender dalam Penafsiran (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), 356. 16

Lisa Aisiyah dan Rosdalina “Problematika Hukum Cadar dalam

Islam: Sebuah Tinjauan Normatif-Historis,” 87. 17

Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan

Gender dalam Penafsiran, 356.

Page 44: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

26

dirinya dari kelompok wanita lain. Busana muslimah mendorong

pemakainya untuk berperilaku yang sesuai dengan citra diri

muslimah, apalagi jika dipakai secara massal akan mendorong

emosi keagamaan yang konstruktif.18

C. Cadar: Wacana dan Praktik

Diskursus mengenai cadar, jilbab, kerudung dan

semacamnya, sesungguhnya bukan persoalan baru dalam sejarah

kaum perempuan.19

Kalangan antropolog berpendapat, darah

kutukan (menstrual taboo) menjadi asal usul penggunaan

kerudung atau cadar.20

Kerudung atau semacamnya bukan

berawal dan diperkenalkan oleh agama Islam dengan mengutip

ayat-ayat jilbab dalam al-Qur‟an dan hadis tentang aurat. Jauh

sebelumnya sudah ada konsep kerudung atau cadar (veil) yang

diperkenalkan dalam Kitab Taurat dan Kitab Injil.21

Penggunaan kerudung atau cadar semula dimaksudkan

sebagai pengganti “gubuk pengasingan” bagi keluarga raja atau

bangsawan. Keluarga tersebut tidak harus lagi mengasingkan diri

18

Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1990), 73. 19

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, 27. 20

Menstrual taboo (darah kutukan) merupakan mitos tentang

perempuan haid dengan memberikan beban berat terhadap mereka yang

seolah-olah tidak dipandang dan diperlakukan sebagai manusia, karena selain

harus diasingkan juga harus melakukan berbagai ritual yang berat.

Kepercayaan menstrual taboo menjadi sumber terciptanya bentuk-bentuk

tradisi ajaran Yahudi yang dilekatkan pada tubuh perempuan, misalnya

perempuan haid harus diberi tanda bahwa ia sedang mengalami menstruasi

dengan memakai kosmetik, alas kaki, cadar hingga diasingkan dari keluarga.

Lihat Nasaruddin Umar, “Menstruasi Kosmetik dan Croissants,” Jurnal Az-

Zikra, no.17, (2006): 65-66. 21

Nasaruddin Umar, “Menstruasi Kosmetik dan Croissants,” Jurnal

Az-Zikra no.17, (2006): 65-66.

Page 45: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

27

di dalam gubuk pengasingan tetapi cukup menggunakan pakaian

khusus yang dapat menutupi anggota badan yang dianggap

sensitif. Di masa lalu, perempuan yang menggunakan cadar jelas

dari keluarga bangsawan atau orang-orang terhormat. Modifikasi

gubuk pengasingan (menstrual hut) menjadi cadar (menstrual

hood) juga dilakukan di New Guinea, British Columbia, Asia dan

Afrika bagian Tengah, Amerika bagian Tengah, dan lain

sebagainya. Cara ini juga pernah dipopulerkan salah seorang

keluarga Ratu di Kepulauan Charlotte.22

Jenis pakaian perempuan pada masa Nabi sebagaimana dapat

ditelusuri dalam syair jahiliah, antara lain burqu‟ )ترق( kain

transparan atau perhiasan perak yang menutupi bagian muka

kecuali dua bola mata, niqāb )نقاب( kain halus yang menutupi

bagian hidung dan mulut, miqna‟ah )هقنعة( kerudung mini yang

menutupi kepala, qinā‟ )قناع( kerudung lebih lebar, liṡām )لثام(

atau niṣāf )نصاف( kerudung lebih panjang atau selendang, dan

khimār.23

Cadar merupakan versi lanjutan dari jilbab. Pengguna cadar

menambahkan penutup wajah sehingga hanya terlihat mata

mereka saja, bahkan telapak tangan pun ditutupi. Jika berjilbab

mensyaratkan penggunaan baju panjang, maka bercadar diikuti

kebiasaan penggunaan gamis, rok panjang dan lebar, dan

biasanya seluruh aksesoris berwarna hitam atau gelap. Namun

jika jilbab bisa masuk ke dalam budaya lokal, maka

22

Nasaruddin Umar, Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminin

(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014), 35-36. 23

Nasaruddin Umar, Fikih Wanita Untuk Semua, 22.

Page 46: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

28

konvensionalisasi cadar belum sepenuhnya diterima oleh

masyarakat Indonesia secara umum, karena pemahaman akan

cadar masih berjarak dengan budaya setempat. Cadar masih

barang asing yang menakutkan. Eksklusivitas dan ketertutupan

komunitas cadar juga menghambat proses sosialisasi. Belum lagi

masyarakat Indonesia yang serba ingin tahu dari pola masyarakat

kolektif, melihat hal-hal yang serba tertutup membuat mereka

enggan untuk berinteraksi lebih jauh. Apa yang menjadi opini

masyarakat adalah cadar belum menjadi budaya muslim

Indonesia dan masih menjadi milik komunitas tertentu yang

mengkhususkan diri mempelajari agama Islam.24

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh Lintang

Ratri, perempuan bercadar memiliki keyakinan bahwa

menggunakan cadar menambahkan atribut baru dalam diri yang

harus diimplementasikan ke dalam aktivitas sehari-hari yaitu

ketakwaan. Hal menarik adalah fakta bahwa perempuan bercadar

cenderung mengidentifikasi diri sebagai istri dan bukan dirinya

karena keengganan mereka memberikan nama asli pemberian

orang tua, mereka lebih nyaman dipanggil nama suaminya. Ini

terkait pula dengan keyakinan bahwa nama adalah aurat. Cadar

selalu dilekatkan pada citra perempuan saleha. Mereka

memfokuskan kehidupannya untuk kehidupan sesudah mati.

Dunia hanya fasilitas menuju akhirat. Perempuan yang

menggunakan cadar tidak lagi berkutat dengan kewajiban-

24

Lintang Ratri. “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim,”

Diakses, 25 Juli, 2019,

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3155

Page 47: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

29

kewajiban sebagai seorang muslim, tapi lebih memperkaya

amalan dari sunnah Rasul. Bagi perempuan bercadar, al-Qur‟an

dan hadis tidak lagi untuk dipertanyakan, namun diyakini dan

dilaksanakan. Hal ini juga menjadikan mereka memiliki karakter

kuat dan ikhlas, karena mereka menyadari tidak mudah bagi

orang lain bahkan yang sesama muslim untuk menerima

keberadaan mereka tanpa pertanyaan-pertanyaan.25

D. Tafsir Ayat Terkait Cadar

Dalam penelitian ini, penulis berusaha menjelaskan

keberadaan jilbab dalam al-Qur‟an. Ada beberapa ayat al-Qur‟an

yang berkaitan dengan jilbab dan cadar. Setidaknya, ada dua ayat

secara khusus yang berkaitan dengan kedua hal tersebut yakni QS

al-Nūr (24):31 dan al-Aḥzāb (33):59.

1. Teks, Terjemah, dan Kata Kunci

Pertama, QS al-Nūr (24):31

وقل للمؤمنت ي غضضن من ابصارىن ويفظن ف روجهن ول ي بدين زي ن ت هن ال ما ول ي بدين زي ن ت هن ال

ها وليضربن بمرىن على جي وبن لب عولتهن او ظهر من هن او اب ناء ب عولتهن او اخوانن او ب ء ب عولتهن او اب ناى هن او اب ى ن اخوانن اب

هن او ما ملكت ايان هن او ا ربة من او بن اخوتن او نساى بعي غي اول ال لتفل الذين ل يظهروا على عورت النساء ول يضربن برجلهن لي علم الرجال او الط

عا ايو المؤ ي ج وت وب و ا ال الل )١٣ (من ون لعلكم ت فلحون ما يفي من زي نتهن

25

Lintang Ratri. “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim,”

Diakses, 25 Juli, 2019,

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/3155.

Page 48: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

30

“Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman,

agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara

kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya

(auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah

mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan

janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali

kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami

mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami

mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-

putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara

perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam)

mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para

pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan

(terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum

mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka

menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang

mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua

kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar

kamu beruntung.” (QS al-Nūr /24:31).

Kedua, QS al-Aḥzāb (33):59

زواجك وب نتك ونساء المؤمني يدني عليهن من جلبيبهن ي ها النب قل ل ي

غفورا رحيما )٩٥(ذلك ادن ان ي عرفن فل ي ؤذين وكان الل“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak

perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah

mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”

Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk

dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah

Maha Pengampun, Maha Penyayang.”S (QS al-

Aḥzāb/33:59).

Kata kunci: walyaḍribna bikhumurihinna, walā yubdīna

zīnatahunna

Page 49: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

31

2. Konteks: Munāsabah dan Asbāb al-Nuzūl

Dalam ruang lingkup ilmu tafsir, terdapat beberapa istilah

yang menempati posisi penting dalam menafsirkan al-Qur‟an,

diantaranya munāsabah dan asbāb al-nuzūl. Menurut Ibn

„Arabiy, munāsabah adalah keterkaitan ayat-ayat al-Qur‟an

antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia

terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapih dan sistematis.26

Adapun pengertian asbāb al-nuzūl adalah suatu peristiwa maupun

pertanyaan, yang terjadi pada waktu atau masa tertentu, dan

menjadi penyebab turunnya al-Qur‟an.27

Mengetahui penyebab

penurunan wahyu bisa membantu mufassir dalam mengungkap

makna yang sebenarnya, hikmah dibalik penetapan sebuah

hukum, serta upaya memahami pesan al-Qur‟an secara

komprehensif dan proporsional.28

Dalam QS al-Nūr (24):30, Allah memerintahkan Nabi

Muhammad agar berpesan kepada mukmin laki-laki untuk

menahan sebagian pandangan mereka, yakni tidak membukanya

lebar-lebar melihat segala sesuatu yang kurang baik apalagi

terlarang oleh agama seperti melihat aurat perempuan (kecuali

istri). Tetapi bukan berarti menutupnya sama sekali sehingga

merepotkan mereka. Disamping itu, mereka diperintahkan untuk

menjaga kemaluannya secara utuh sehingga tidak

26

Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān (Beirut:

Mu‟assasah al-Risālah, 2008), 630. 27

Mannā‟ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥiṡ fī „Ulūm al-Qur‟ān (Beirut:

Mu‟assasah al-Risālah, 1989), 77. 28

Muchlis M Hanafi, Asbābun Nuzūl: Kronologi dan Sebab Turunnya

Wahyu al-Qur‟an (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2015), 8.

Page 50: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

32

menggunakannya pada sesuatu yang dilarang oleh agama Islam.

Kini perintah serupa ditujukan untuk disampaikan kepada

mukmin perempuan agar menahan pandangan, menjaga

kemaluan, mengulurkan jilbab hingga dada dan tidak melakukan

sesuatu yang dapat menarik perhatian laki-laki. Menahan

pandangan dan memelihara kemaluan adalah suci dan terhormat

karena mampu menutup salah satu pintu kejahatan yaitu

perzinaan.29

Terlihat jelas bahwa ayat 31 memiliki hubungan

(munāsabah) dengan ayat 30.

Al-Qurṭūbī menyebutkan dalam kitab tafsirnya, bahwa asbāb

al-nuzūl QS al-Nūr (24):31 adalah ketika kaum perempuan pada

waktu itu menutup kepala mereka dengan kerudung (penutup

kepala), mereka menguraikan kerudung tersebut ke belakang

punggungnya. Al-Naqqāsy juga menambahkan apa yang mereka

lakukan sama seperti yang dilakukan para biarawati. Sehingga

bagian atas dada, leher dan kedua daun telinga tidak tertutup.

Kemudian Allah memerintahkan mereka untuk menutupkan kain

kerudung itu ke dadanya agar tertutup.30

Adapun asbāb al-nuzūl QS al-Aḥzāb (33):59 bahwa

kebiasaan perempuan Arab pada saat itu mengenakan pakaian

yang terbuka sehingga membuat laki-laki bebas mengeksplorasi

pandangan mereka dan menimbulkan pikiran-pikiran kotor yang

tidak senonoh, maka Allah menyuruh Nabi Muhammad untuk

29

M Quraish Shihab Al-Lubāb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari

Surah-Surah Al-Qur‟an (Jakarta: Lentera Hati), vol. 2, 598. 30

Muḥammad ibn Aḥmad al-Qurṭubī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān

jilid 12, terj- Ahmad Khotib (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 580.

Page 51: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

33

memerintahkan perempuan itu memanjangkan penutup kepala

mereka jika hendak keluar dari rumah karena suatu keperluan.

Sebelum ayat ini diturunkan, perempuan mukmin yang tidak

mengenakan penutup kepala seringkali digoda pada saat pergi

membuang hajat, lantaran para pemuda mengira bahwa

perempuan tersebut adalah hamba sahaya. Setelah ayat ini

diturunkan, perempuan merdeka dapat dibedakan dari perempuan

hamba sahaya.31

Menurut Ibn Jarīr, ayat ini merupakan larangan

menyerupai cara berpakaian perempuan-perempuan budak.

Bahkan Umar pernah memukul seorang perempuan budak yang

memakai jilbab. Dari informasi sebab turunnya ayat tersebut

sangatlah jelas bahwa jilbab diperlukan hanya sebagai pembeda

antara perempuan merdeka dari perempuan budak. Ciri tersebut

diletakkan diatas kain kepala yaitu kerudung.32

3. Tafsir

Dalam penelitian ini, penulis membatasi pada QS al-Nūr

(24):31 saja karena ayat tersebut menuai perdebatan para ulama

dalam menentukan batasan aurat perempuan, sehingga

berdampak terhadap pemakaian jilbab dan cadar.33

Hal tersebut

diungkapkan dengan ayat وليضرتن تخورهن على جيىتهن dan

hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan ول

dan janganlah menampakkan يثدين زينتهن ال ها ظهر هنها

31

al-Qurṭubī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān jilid 12, 582. 32

Zaitunah Subhan, Al-Qur‟an dan Perempuan: Menuju Kesetaraan

Gender dalam Penafsiran, 357. 33

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Kedudukan dan Peran

Perempuan: Tafsir Al-Qur‟an Tematik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf

Al-Qur‟an, 2009), 169.

Page 52: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

34

perhiasannya, kecuali yang (biasa) terlihat. Penulis memilih

beberapa kitab tafsir dengan mengelompokkannya berdasarkan

periode, yaitu klasik dan modern. Di antara kitab tafsir pada

periode klasik adalah Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān

karya Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī (w. 923M/310H) dan al-

Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān karya al-Qurṭubī (w. 1272M/671H).

Sedangkan tafsir pada periode modern adalah Tafsīr al-Qur‟ān

al-Karīm karya Muḥammad ibn Ṣāliḥ al-„Uṡaimīn (w.

2001M/1421H) dan Tafsir Al-Misbāh karya M Quraish Shihab

(1944M/1363H).

3.1 Tafsir Klasik

Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay al-Qur’ān ( al-Ṭabarī, w.

310 H )

al-Ṭabarī menjelaskan bahwa maksud ayat ول يثدين زينتهن ال ها

adalah janganlah menampakkan perhiasan mereka kepada ظهر هنها

orang yang bukan mahramnya34

. Ia memahami makna zīnah

sebagai perhiasan yang dibagi menjadi dua bagian:

- Perhiasan yang tidak nampak, seperti: gelang kaki,

gelang, kalung, dan bandul.

34

Mahram adalah orang yang tidak bisa dinikahi karena memiliki

hubungan darah. Diantaranya, suami, ayah, ayah suami, putranya yang laki-

laki, putra suami, saudara, putra dari saudara, putra dari saudari, wanita,

budak, laki-laki yang menyertainya (tapi laki-laki itu tidak mempunyai

kebutuhan lagi kepada wanita), anak kecil yang belum mengetahui aurat

wanita, paman. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Kedudukan dan Peran

Perempuan: Tafsir Al-Qur‟an Tematik, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf

Al-Qur‟an, 2009), 165.

Page 53: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

35

- Perhiasan yang nampak. Terdapat perbedaan pendapat

dalam memaknai ayat ini. Sebagian mengatakan bahwa

maksudnya adalah baju yang nampak. Sebagian yang lain

berpendapat bahwa yang nampak adalah wajah, telapak

tangan, gelang, cincin, dan celak mata.35

Pendapat yang mengatakan bahwa baju adalah perhiasan yang

boleh ditampakkan merujuk pada beberapa hadis sebagai berikut.

حاق، عن حدثنا ابن حميد، قال: ثنا ىارون بن الدغية، عن الحجاج، عن أبي إسأبي الأحوص، عن ابن مسعود، قال: الزينة زينتان: فالظاىرة منها الثياب، وما

خفي: الخلخالن والقرطان والسواران."Ibn Ḥamīd menceritakan kepada kami, ia berkata: Hārūn

ibn al-Mughīrah menceritakan kepada kami dari al-Ḥajjāj,

dari Abū Isḥāq, dari Abū al-Aḥwaṣ, dari Ibn Mas‟ūd, ia

berkata, “Perhiasan dibagi menjadi dua yaitu yang

nampak, misalnya baju, dan yang tersembunyi, misalnya

gelang kaki, bandul, dan gelang.”36

Riwayat yang sama disampaikan dari Ibn Mas‟ūd, Ibrāhīm,

dan al-Ḥasan dengan jalur periwayatan yang berbeda.

حدثنا ابن الدثنى، قال: ثنا محمد بن جعفر، قال: ثنا شعبة، عن أبي إسحاق، عن ها ( قال: أبي الأحوص، عن عبد الله، قال:) ول ي بدين زين ت هن إل ما ظهر من

الثياب.“Ibn al-Muṡannā menceritakan kepada kami, ia berkata:

Muḥammad ibn Ja‟far menceritakan kepada kami, ia

35

Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-

Qur‟ān, terj- Ahsan Askan, dkk, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), vol. 19, 101. 36

al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, 101.

Page 54: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

36

berkata: Syu‟bah menceritakan kepada kami dari Abū

Isḥāq, dari Abū al-Aḥwaṣ, dari „Abdullāh berkata tentang

ayat ر هنهاول يثدين زينتهن إل ها ظه “dan janganlah mereka

menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak

daripadanya.” Ia berkata, maksudnya adalah baju.37

Adapun yang berpendapat bahwa perhiasan yang boleh

diperlihatkan adalah celak mata, cincin, gelang, dan wajah,

merujuk pada beberapa hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbās,

Sa‟īd ibn Jubayr, „Aṭā‟, Qatādah, al-Ḍaḥḥāk, dan al-Awzā‟ī.

حدثنا أبو كريب، قال: ثنا مروان، قال: ثنا مسلم الدلئي، عن سعيد بن جبي، ها ( قا ل: الكحل والخاتمعن ابن عباس:) ول ي بدين زين ت هن إل ما ظهر من

“Abū Kurayb telah menceritakan kepada kami, ia berkata:

Marwān menceritakan kepada kami, ia berkata: Muslim

al-Malā‟ī menceritakan kepada kami dari Sa‟īd ibn

Jubayr, dari Ibn „Abbās tentang ayat ول يثدين زينتهن إل ها

هنهاظهر “dan janganlah mereka menampakkan

perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.”

Ia berkata, maksudnya adalah celak mata dan cincin.38

حدثنا ابن بشار، قال: ثنا أبو عاصم، قال: ثنا سفيان، عن عبد الله بن مسلم ها ( بن ىرمز، عن سعيد بن جبي، في قولو: ) ول ي بدين زين ت هن إل ما ظهر من

قال: الوجو والكف “Ibn Basysyār telah menceritakan kepada kami, ia

berkata: Abū „Āṣim menceritakan kepada kami, ia

berkata: Sufyān menceritakan kepada kami dari „Abdullāh

ibn Muslim ibn Harmuz, dari Sa‟īd ibn Jubayr tentang

firman Allah: ظهر هنهاول يثدين زينتهن إل ها “dan janganlah

mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa)

37

al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, 102. 38

al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, 104.

Page 55: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

37

nampak daripadanya.” Ia berpendapat bahwa maksudnya

wajah dan telapak tangan.39

Dalam menafsirkan ayat وليضرتن تخورهن على جيىتهن, al-Ṭabarī

memaknainya sebagai perintah memanjangkan kerudung

perempuan hingga dada. Lafazh خور merupakan bentuk jamak

dari خوار yang bermakna menutupi rambut, leher dan anting-

anting mereka. al-Ṭabarī juga memaparkan dua hadis yang

diriwayatkan oleh „Āisyah mengenai ayat ini.40

حدثنا ابن وكيع، قال ثنا زيد بن حباب، عن إبراىيم بن نافع، قال: ثنا الحسن بن مسلم بن يناق، عن صفية بنت شيبة، عن عائشة، قالت: لدا نزلت ىذه الآية:) وليضربن بمرىن على جيوبن ( قال شققن الب رد مما يلي الحواشي،

فاختمرن بو.“Ibn Wakī‟ menceritakan kepada kami, ia berata: Zaid ibn

Ḥubayb menceritakan kepadaku dari Ibrāhīm ibn Nāfi‟ ia

berkata al-Ḥasan ibn Muslim ibn Yanāq dari Ṡafiyyah

binti Syaybah, dari Āisyah, ia berkata: Ketika turun ayat (

ى جيىتهن (وليضرتن تخورهن عل mereka menyobek kain mantel

hingga ke sisi sampig dan difungsikan sebagai kerudung.

(HR al-Bukhārī)

حدثن يونس، قال أخبرنا ابن وىب، أن قرة بن عبد الرحمن، أخبره، عن ابن النساء شهاب، عن عروة، عن عائشة زوج النب صلى الله عليه وسلم أنا قالت: يرحم الله

الدهاجرات الأول، لدا أنزل الله:) وليضربن بمرىن على جيوبن ( شققن أكثف .مروطهن، فاختمرن بو

“Yūnus menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibn Wahab

memberitahukan kepada kami, ia berkata: Qurrah ibn

39

al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, 102. 40

al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, 109.

Page 56: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

38

„Abd al-Rahmān memberitahukan kepadaku dari Ibn

Syihāb, dari „Urwah, dari „Āisyah, istri Nabi Muhammad

SAW. dia berkata: Semoga Allah merahmati wanita-

wanita kaum Muhājirīn yang pertama. Ketika ayat ini

diturunkan, ) وليضرتن تخورهن على جيىتهن ( mereka menyobek

kain mereka yang tebal lalu menggunakannya sebagai

kerudung. (HR al-Bukhārī)

Berdasarkan dalil-dalil diatas, al-Ṭabari mengambil

kesimpulan bahwa perhiasan yang boleh diperlihatkan adalah

wajah dan telapak tangan. Baginya hal ini merupakan pendapat

yang paling utama karena sesuai dengan ijma‟ bahwa ketika

shalat seorang perempuan hendaknya membuka wajah dan

telapak tangan.41

al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān ( al-Qurṭūbī, w. 671 H )

Pada ayat ini, al-Qurṭubī memaknai kata zīnah sebagai

perhiasan. Ia membaginya menjadi dua macam, yaitu:

- Zīnah khilqiyyah (perhiasan fisik) misalnya wajah

perempuan. Wajah adalah pokok perhiasan, keindahan

sebuah penciptaan, dan ciri identitas.

- Zīnah muktasabah (perhiasan yang diupayakan) misalnya

pakaian, perhiasan, celak mata, dan pacar.42

Di antara perhiasan itu, ada yang biasa nampak dan

tersembunyi. Penjelasan ini sama halnya dengan apa yang

disebutkan al-Ṭabarī dalam tafsirnya. Perhiasan yang biasa

nampak adalah pakaian. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibn

41

al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīl Ay al-Qur‟ān, 109. 42

al-Qurṭūbī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, 579.

Page 57: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

39

Mas‟ūd. Adapula ulama besar seperti Sa‟īd ibn Jubayr, „Aṭā‟, dan

al-Awzā‟ī berpendapat bahwa yang biasa nampak adalah wajah

wanita, kedua telapak tangan dan busana yang dipakainya.

Sedang sahabat Nabi Ibn „Abbās, Qatādah, dan Miswār ibn

Makhzamah berpendapat bahwa yang boleh termasuk juga celak

mata, gelang, setengah dari tangan yang dalam kebiasaan wanita

Arab dihiasi dengan pacar, anting, cincin, dan semacamnya.

Berbeda dengan Ibn al-„Arabī yang mengatakan bahwa pacar

termasuk perhiasan yang tersembunyi jika dipakai di kedua

telapak kaki.43

Menurut al-Qurṭubī, seorang perempuan tidak boleh

menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa nampak,

yaitu wajah dan telapak tangan. Sehingga perempuan muslimah

berbusana menutupi seluruh tubuhnya dengan wajah dan telapak

tangan yang terbuka. Pernyataan ini berdasarkan pada hadis Nabi

yang menceritakan tentang Asmā‟ putri Abū Bakr yang menemui

Rasulullah dengan mengenakan pakaian tipis.44

عن عائشة رضي الله عنها أن أسماء بنت أبي بكر رضي الله عنهما دخلت على رسول الله ا ثياب رقاق فأعرض عنها رسول الله صلى الله عليو صلى الله عليو و سلم وعليه

عليو وسلم وقال لذا :) ي أسماء إن الدرأة إذا بلغت المحيض ل يصلح أن يرى منها إل ىذا(. وأشار إل وجهو وكفيو. )رواه ابو داود(

“Diriwayatkan dari „Āisyah, bahwa Asmā‟ binti Abū Bakr

pernah menemui Rasulullah saw dengan mengenakan

pakaian tipis. Melihat hal tersebut, Rasulullah berpaling

43

al-Qurṭūbī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, 577. 44

al-Qurṭūbī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, 578.

Page 58: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

40

darinya dan bersabda:”Wahai Asmā‟, apabila seorang

wanita sudah haid, maka tidak pantas terlihat darinya

kecuali ini”. Lalu Nabi mengisyaratkan wajah dan telapak

tangannya.

Terlepas dari hal tersebut, al-Qurṭubī menyebutkan pendapat

Ibn Khuwaizimandād yang merupakan salah satu dari ulamanya,

dengan ungkapan:

“Jika seorang wanita berparas cantik dan dikhawatirkan

terjadinya fitnah dari wajah dan kedua telapak tangannya,

maka dia harus menutupi wajah dan kedua telapak

tangannya. Tapi jika dia sudah lanjut usia atau buruk rupa,

maka dia boleh untuk membuka wajah dan kedua telapak

tangannya.”45

Untuk menentukan batasan aurat perempuan yang harus

ditutupi, al-Qurṭubī memahami ayat وليضرتن تخورهن على جيىتهن

sebagai perintah mengulurkan jilbab sampai kantong baju yang

terletak di dada. Mayoritas ulama membaca sukun pada huruf lam

yang menunjukkan bahwa kata tersebut merupakan bentuk

perintah (amr). Lafaz يضرتن berada dalam posisi jazm karena

merupakan bentuk kata kerja perintah (fi‟l amr). Hanya saja

menurut Imam Sibawayh, lafaz ini dimabnikan pada satu posisi

karena mengikuti bentuk fi‟l māḍī.46

Kata خور adalah bentuk jamak dari خوار yaitu kain yang

digunakan untuk menutup kepala seorang perempuan. Sedangkan

kata جيىب merupakan jamak dari جية yang memiliki arti tempat

potongan baju zirah dari pakaian (saku). Menurut Muqātil

45

al-Qurṭūbī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, 579. 46

al-Qurṭūbī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, 580.

Page 59: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

41

maksud adalah ke dadanya atau ke tempat potongan جيىتهن على

itu. Pada ayat ini terdapat dalil yang menyatakan bahwa kantong

baju itu terdapat di dada. Demikian pula dengan kantong baju

para salaf, sebagaimana yang dibuat oleh kaum perempuan di

Andalusia dan Mesir, baik bagi laki-laki, anak-anak, maupun

lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa maksud perintah

mengulurkan jilbab sampai kantong baju adalah untuk menutupi

bagian dada karena kantong baju pada saat itu terletak di bagian

dada.47

3.2 Tafsir Modern

Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm (Muḥammad ibn Ṣāliḥ al-

‘Uṡaimīn, w. 1421 H)

Dalam Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm, al-„Uṡaimīn

mengatakan bahwa awal ayat QS al-Nūr (24): 31 yakni وقل

لوؤهنت يغضضن هن اتصارهن sama dengan ayat 30 dengan redaksi ل

ىا هن اتصارهن Keduanya memiliki pesan yang sama .قل للوؤهنين يغض

yaitu perintah menundukan pandangan bagi laki-laki maupun

perempuan. al-„Uṡaimīn menyebutkan maksud kata zīnah pada

ayat ini dengan membaginya ke dalam dua pendapat.

- Pendapat pertama, menurut pandangan mufasir adalah

zīnah khilqiyyah (perhiasan bersifat fisik) seperti wajah

dan kedua telapak tangan.

- Pendapat kedua, zīnah khārijiyyah (perhiasan luar)

misalnya pakaian luar. Pakaian luar ini termasuk

47

al-Qurṭūbī, al-Jāmi‟ li Aḥkām al-Qur‟ān, 581.

Page 60: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

42

pengecualian yang biasa nampak. Artinya sesuatu yang

boleh ditampakkan adalah pakaian luar, bukan wajah dan

telapak tangan.48

Bagi al-„Uṡaimīn, pendapat kedua adalah pendapat yang kuat.

Sebagaimana yang telah diumpamakan oleh Ibn Mas‟ūd bahwa

perhiasan yang biasa nampak adalah jilbab, pakaian, selendang,

mantel dan sejenisnya. Berbeda dengan perhiasan gelang, cincin,

dan sejenisnya yang tidak boleh dibiarkan terbuka kecuali kepada

orang-orang tertentu (mahram). Karena perhiasan tersebut masih

bisa untuk disembunyikan.49

Adapun makna ضرب pada ayat ini adalah mengulurkan

disertai dengan menempelkan. Kata خوار dimaknai sebagai

sesuatu yang menutupi kepala perempuan. Pada ayat ini Allah

memerintahkan perempuan muslim untuk mengulurkan jilbab

sampai dada. Namun, apakah maksud mengulurkan jilbab dari

kepala sampai dada itu dengan membiarkan wajah terbuka dan

dada tertutup ataukah melewati wajah sehingga ia tertutup?.

Menurut al-„Uṡaimīn, pendapat yang paling dekat adalah yang

menutupi wajah karena jilbab terurai dari atas kepala sampai

dada. Apabila menutupinya merupakan suatu kewajiban maka

wajah termasuk bagian utama.50

48

Muḥammad ibn Ṣāliḥ al-„Uṡaimīn, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm

(Surah al-Nūr), (Saudi: Mu‟assasah al-Syaikh Muḥammad ibn Ṣāliḥ al-

„Uṡaimīn al-Khairiyah, 1436 H), 166. 49

al-„Uṡaimīn, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm (Surah al-Nūr), 166-167. 50

al-„Uṡaimīn, Tafsīr al-Qur‟ān al-Karīm (Surah al-Nūr), 167.

Page 61: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

43

Tafsir Al-Mishbāh (M Quraish Shihab, 1363 H)

Qurasih Shihab merupakan salah satu pakar tafsir di

Indonesia yang menguraikan beragam penafsiran tentang jilbab,

khususnya QS al-Nūr (24):31. Penulis memilih Tafsir al-Mishbāh

sebab di dalamnya memaparkan penafsiran sejumlah ulama yang

beragam tentang batasan aurat dari pendapat yang dinilai ketat

hingga longgar. Pada ayat ini, ia menjelaskan makna zīnah dan

penggalan ayat ال ها ظهر هنها dengan berbagai pandangan. Kata

memiliki makna sesuatu yang menjadikan lainnya indah dan زينة

baik (perhiasan). Sementara ulama membaginya ke dalam dua

macam. Ada yang bersifat khilqiyyah (fisik yang melekat pada

diri seseorang) dan ada juga yang bersifat muktasabah (dapat

diupayakan). Menurut Ibn „Āsyūr yang bersifat fisik melekat

adalah wajah, telapak tanan, dan setengah dari kedua lengan.

Sedangkan yang diupayakan adalah pakaian indah, perhiasan,

celak mata, dan pacar.51

Penggalan ayat ال ها ظهر هنها diperselisihkan maknanya oleh

para ulama, khususnya makna kata ال. Pemahaman kata tersebut

dipahami oleh para ulama sebagai berikut.

- Pertama, memahami kata illā dalam arti tetapi atau dalam

istilah ilmu bahasa Arab disebut istiṡnā munqaṭi‟ (yang

dikecualikan bukan bagian yang disebut sebelumnya). Hal

ini bisa dipahami: “janganlah mereka menampakkan

hiasan mereka sama sekali, tetapi apa yang nampak

51

M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 330.

Page 62: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

44

(secara terpaksa atau tidak sengaja, seperti ditiup angin)

maka itu dapat dimaafkan.”52

- Kedua, menyisipkan kalimat dalam penggalan ayat. Akan

tetapi kalimat dimaksud menjadikan penggalan ayat ini

mengandung pesan lebih kurang. Sehingga bisa dipahami

seperti berikut: “janganlah mereka (wanita-wanita)

menampakkan hiasan (badan mereka). Mereka berdosa

jika berbuat demikian. Tetapi jika terlihat tanpa disengaja

maka mereka tidak berdosa.”53

Jika penggalan ayat ini dipahami dengan kedua pendapat

diatas, maka hal tersebut tidak menentukan batas bagi hiasan

yang boleh ditampakkan. Sehingga berarti seluruh anggota badan

tidak boleh tampak kecuali dalam keadaan terpaksa. Pemahaman

ini dikuatkan dengan sekian banyak hadis dan salah satu firman

Allah QS al-Aḥzāb (33):53 yang dijadikan dalil oleh penganut

kedua pendapat di atas.

- Ketiga, memahami ال ها ظهر هنها dalam arti apa yang biasa

nampak atau dibutuhkan keterbukaannya. Kebutuhan

yang dimaksud adalah menimbulkan kesulitan bila bagian

badan tersebut ditutup. Mayoritas ulama memahami

penggalan ayat ini dengan makna tersebut. Cukup banyak

hadis yang mendukung pendapat ini. Di antaranya hadis

yang menceritakan tentang Asmā binti Abū Bakr.54

52

M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 329-330. 53

M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 329-330. 54

M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 329-330.

Page 63: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

45

Penggalan ayat selanjutnya adalah وليضرتن تخورهن على جيىتهن.

Quraish Shihab memaknai kata خور sebagai bentuk jamak dari

kata خوار yaitu tutup kepala yang panjang. Sejak dahulu wanita

menggunakan tutup kepala, hanya saja sebagian mereka tidak

menggunakannya untuk menutupi dada tetapi membiarkan melilit

punggung mereka. Ayat ini memerintahkan mereka menutupi

dada mereka dengan kerudung panjang itu.55

Kata بجيى adalah bentuk jamak dari جية yaitu lubang di leher

baju, yang digunakan untuk memasukkan kepala dalam rangka

memakai baju, yang dimaksud adalah leher hingga dada. Dari جية

ini sebagian dada tidak jarang dapat nampak. Al-Biqā‟ī

memperoleh kesan dari penggunaan kata ضرب yang biasa

diartikan memukul atau meletakkan sesuatu secara cepat dan

sungguh-sungguh. Ini dapat diartikan bahwa pemakaian kerudung

hendaknya diletakkan dengan sungguh-sungguh untuk tujuan

menutupinya. Bahkan huruf ba‟ pada kata تخورهن dipahami oleh

sementara ulama berfungsi sebagai الإلصاق yakni kesertaan dan

ketertempelan. Hal ini untuk lebih menekankan lagi agar

kerudung tersebut tidak berpisah dari bagian badan yang harus

ditutupi.56

55

M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 327. 56

M Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbāh, 328.

Page 64: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

46

BAB III

GAMBARAN UMUM PESANTREN NUR ASSA’ADAH

DAN IHYA AS-SUNNAH

Pada bab tiga, penulis memaparkan gambaran umum

Pesantren Nur Assa’adah dan Ihya As-Sunnah, meliputi profil

Pesantren Ihya As-Sunnah dan Nur Assa’adah, sejarah

berdirinya, kegiatan pesantren, visi misinya, serta sarana dan

prasarananya

A. Profil Pesantren Nur Assa’adah

Pondok Pesantren Nur Assa’adah merupakan lembaga

pendidikan yang bermanhāj ahl al-sunnah wa al-jamaah yang

memegang kultur salah satu organisasi masyarakat yaitu

Nahdlatul Ulama’ (NU), tapi tidak berafiliasi dengan organisasi

tersebut. Pesantren ini berlokasi di Kota Tasikmalaya, tepatnya di

Jalan Gubernur Sewaka RT 005 RW 007 Kelurahan

Sambongjaya Kecamatan Mangkubumi.1 Sang Mutiara dari

Priangan Timur, itulah julukan bagi Kota Tasikmalaya,

dikarenakan ia sebagai kota besar yang berkembang pesat dan

memiliki segudang potensi alam, bahkan menjadi tempat wisata.

Tidak kalah menarik, kota ini juga menjadi pusat pendidikan,

budaya, seni dan industri, khususnya industri bordir yang sudah

mendunia. Ia terletak di jalur utama Selatan Pulau Jawa di

wilayah Provinsi Jawa Barat. Kota ini dikenal sebagai Kota

1 Pondok Pesantren Nur Assa’adah, Profil Yayasan Nur Assa’adah al-

Asy’ary, (Akta Notaris, no. 442, 30 Maret 2016).

Page 65: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

47

Santri, khususnya pada abad ke-19, karena hampir di seluruh

wilayah ini tersebar pondok pesantren yang mengajarkan agama

Islam. Hal ini membuktikan bahwa rekam jejak pesantren sangat

bagus dan tidak dipandang sebelah mata.2

Secara faktual, ada beberapa tipe pondok pesantren yang

berkembang di masyarakat;

1) Pondok Pesantren Tradisional, yaitu pesantren yang

masih mempertahankan bentuk aslinya dengan

mengajarkan kitab berbahasa Arab yang ditulis oleh

ulama pada abad ke-15 atau biasa disebut Kitab Kuning.

Pola pengajaran pondok pesantren tradisional

menerapkan sistem halaqah (kelompok) yang

dilaksanakan di mesjid. Sedangkan kurikulum

pembelajaran sepenuhnya diserahkan kepada para kyai

pesantren.

2) Pondok Pesantren Modern, yaitu pesantren yang

cenderung mengadopsi seluruh sistem belajar secara

klasikal dan meninggalkan sistem belajar yang

tradisional. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum

sekolah yang berlaku secara nasional.

3) Pondok Pesantren Komprehensif, yaitu pesantren yang

mengembangkan sistem tradisional dan sistem modern.

2 Asep Rohim, “Penyebaran Pesantren Abad Ke-19 Sampai Awal

Abad ke-20,” Diakses, 11 November, 2019,

www.academia.edu/10985566/Penyebaran_Pesantren_Abad_ke-

19_sampai_awal_abad_ke-20

Page 66: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

48

Disamping menerapkan pengajian kitab salaf dengan

metode sorogan (murid belajar langsung kepada guru

secara individual) dan wetonan (beberapa murid

menyimak penyampaian guru dengan duduk

disekelilingnya), namun secara reguler sistem sekolah

pun terus dikembangkan bahkan pendidikan keterampilan

juga diaplikasikan.3

Berdasarkan temuan Zamakhsyari Dhofier di atas, penulis

mengkategorikan Pesantren Nur Assa’adah ke dalam Pondok

Pesantren Komprehensif. Mengingat ia menerapkan pengajian

kitab salaf juga mengembangkan beberapa lembaga pendidikan

formal dari jenjang Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah

Menengah Atas (SMA). Sebagian santri Nur Assa’adah ada yang

mengikuti pembelajaran pesantren saja. Sehingga ketika proses

pembelajaran sekolah dimulai, kegiatan mereka diisi dengan

mengaji kitab kuning bersama kyainya.

1. Sejarah Berdirinya Pesantren Nur Assa’adah

Pesantren memiliki hubungan tersendiri dengan daerah-

daerah di Nusantara, termasuk Tasikmalaya. Sebagai lembaga

yang khas, ia sudah melekat kuat dalam perjalanan sejarah,

khususnya era sebelum 1980-an. Pada era tersebut, hampir di

seluruh wilayah ini tersebar pondok pesantren, salah satunya

Pondok Pesantren Nur Assa’adah. Ia berdiri pada tahun 1989

3 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan

Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1994), 11.

Page 67: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

49

dibawah pimpinan KH Saepul Asy’ari. Berawal dari berdirinya

mesjid yang menjadi tempat ibadah sekaligus tempat pertama

belajar mengajar baik kalangan remaja maupun dewasa, hingga

mereka menyandang status santri. Seiring berjalannya waktu,

berkembanglah menjadi komunitas pengajian dengan jumlah

santri yang cukup banyak.4

Dalam rangka mewadahi semangat mereka dalam mencari

ilmu, tercetuslah upaya untuk mendirikan sebuah lembaga

pendidikan non formal berbasis agama. Dimulai dengan

membangun kamar-kamar untuk tempat tinggal para santri putra

dan putri. Akan tetapi, adanya keterbatasan dalam fasilitas tidak

membuat mereka putus asa dalam belajar. Keterbatasan ini

mengajarkan mereka tentang kesederhanaan. Berdasarkan

informasi yang didapat bahwa setiap santri yang mondok di

pesantren ini tidak dikenakan biaya pembangunan maupun

pengajaran. Mereka cukup membawa segala kebutuhan makan,

baik berupa rupiah atau makanan, yang kemudian akan

digunakan untuk keperluan bersama. Hal ini menunjukkan

keterbukaan bagi siapa saja yang bertekad menuntut ilmu,

khususnya bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan

ekonomi.5

4 Dikutip dari brosur Yayasan Pondok Pesantren Nur Assa’adah dan

wawancara bersama menantu dari Pimpinan Pesantren sekaligus menjabat

sebagai Kepala Sekolah MA, Zaky Alma’ani di Rumah Pimpinan,

Sambongjaya, Mangkubumi, Kota Tasikmalaya. 5 Zaky Alma’ani (Staf Pengajar Pesantren Nur Assa’adah),

diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus 2019, Jawa Barat.

Page 68: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

50

Seiring berjalannya waktu, Pesantren Nur Assa’adah

mengalami perkembangan yang sangat pesat, hingga terbentuklah

nama Yayasan Nur Assa’adah Al-Asy’ary yang kemudian

menaungi beberapa lembaga pendidikan formal. Diantaranya

diawali dengan berdirinya pendidikan Diniyyah Takmiliyah

Awaliyah (DTA), Taman Kanak-Kanak Al-Qur’an (TKA) dan

Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Pada tahun 2008 pesantren

Nur Assa’adah mendirikan lembaga pendidikan formal jenjang

pertama yaitu Sekolah Menengah Pertama (SMP) Plus Gunung

Jembar. Dengan demikian sampai saat ini terus melakukan

perubahan dengan prinsip “Berinovasi Tiasa Henti”, hingga pada

tahun 2014 SMP Plus Gunung Jembar Terakreditasi “B”.6

Pada tahun 2011, Yayasan Pondok Pesantren Nur Assa’adah

mengembangkan pendidikannya dengan mendirikan Madrasah

Aliyah Terpadu (MAT) Gunung Jembar yang bertujuan untuk

mengintergrasikan dan menyalurkan minat bakat santri untuk

melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sampai

pada tahun 2016, Yayasan Nur Assa’adah telah sah dan tercatat

secara hukum dengan nomor akta notaris No. AHU-

0018353.AHA.01.04 Tahun 2016.7

2. Visi dan Misi Pesantren Nur Assa’adah

VISI; Kokoh dalam Iman dan Taqwa, Unggul dalam berprestasi

6 Zaky Alma’ani, Wawancara.

7 Zaky Alma’ani, Wawancara.

Page 69: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

51

MISI;

1. Kualitas Iman, membina siswa dengan

mengakulturasikan nilai keimanan yang diperoleh

dari ajaran Islam guna mewujudkan generasi yang

berkualitas;

2. Kualitas Pikir, mentransformasikan nilai keimanan

dan ilmu pengetahuan;

3. Kualitas Ilmu, menghasilkan pendidikan yang

berorientasi pada nilai keimanan, ilmu, dan amal;

4. Kualitas Karya, melahirkan karya dan kreatifitas,

berinovasi dan berdaya saing yang ketat;

5. Kualitas Hidup, menghasilkan siswa yang mampu

bersinergi antara Iman ilmu pengetahuan dan amal

untuk kemaslahatan umat.8

Berdasarkan visi misi di atas, Pesantren Nur Assa’adah

memiliki tujuan yang komprehensif. Selain berupaya menguatkan

keimanan dan meningkatkan ibadah para santri, ia juga sangat

memperhatikan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dibuktikan

dengan adanya proses pembelajaran baik di pesantren atau

sekolah. Dengan ilmu, setiap amalan menjadi bernilai, bahkan

menumbuhkan cara berpikir terbuka dan wawasan yang luas.

Disamping mengutamakan iman sebagai pondasi keyakinan hati

dan ilmu untuk memilah sesuatu yang bernilai positif dan negatif,

tak kalah penting untuk menyatukan keduanya sehingga

8 Zaky Alma’ani, Wawancara.

Page 70: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

52

melahirkan perilaku yang baik. Sehingga iman, ilmu, dan amal

menjadi prinsip pokok pesantren dalam membina para santrinya.

3. Sarana dan Prasarana

Setiap satuan pendidikan perlu memiliki sarana yang meliputi

perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan

sumber belajar lainnya yang menunjang proses pembelajaran

yang teratur dan berkelanjutan. Begitu juga prasarana yang

meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan, ruang pendidik,

tempat beribadah dan ruang lainnya yang diperlukan untuk

menunjang proses pembelajaran yang tertib.9

Tabel 3.1 Sarana dan Prasarana

No. Fasilitas Jumlah

1. Luas Tanah 19.800 m2

2. Asrama Putra 2 bangunan

3. Asrama Putri 2 bangunan

4. Mesjid 1 buah

5. Aula 2 ruangan

6. MCK 4 buah

7. Perpustakaan 1buah

Pesantren ini memiliki luas tanah 19.800 m2 yang meliputi

beberapa gedung bangunan diantaranya 1 rumah pimpinan

pesantren yang ditempati oleh keluarga besar pimpinan, 1 mesjid

yang diberi nama Nur Assa’adah Al-Asy’ary, 2 aula untuk

9 Badan Standar Nasional Pendidikan, “Standar Sarana dan

Prasarana,” Diakses, 11 November, 2019, www.bsnp-indonesia.org/standard-

sarana-dan-prasarana/.

Page 71: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

53

pengajian umum bagi masyarakat (Majlis Ta’lim), 1 kantor

sebagai pusat administrasi pesantren dan 4 kamar mandi.

Gambar 3.1 Kamar Mandi Putri

Untuk mewadahi dan menumbuhkan minat baca para santri,

tersedia 1 perpustakaan. Adapun tempat tinggal untuk para santri

terdapat 2 asrama putra dengan jumlah santri 87 orang dan 2

asrama putri bagi 63 santri. Sehingga jumlah keseluruhan santri

Pesantren Nur Assa’adah saat ini adalah 150 orang.10

10

Pondok Pesantren Nur Assa’adah, Profil Yayasan Nur Assa’adah

al-Asy’ary.

Page 72: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

54

Gambar 3.2 Asrama Putra

Gambar 3.3 Asrama Putri

Page 73: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

55

B. Profil Ma’had Ihya As-Sunnah

Ma’had Ihya As-Sunnah (MIAS) merupakan lembaga

pendidikan yang berkedudukan di Kampung Cigaraja, Kelurahan

Tuguraja, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya, Provinsi

Jawa Barat. Secara geografis, posisi pesantren ini sangat strategis

karena berada di jantung Kota Tasikmalaya. Posisi strategis ini

membuka ruang komunikasi dan interaksi Ma’had Ihya As-

Sunnah dengan berbagai masyarakat.11

Ma’had Ihya As-Sunnah (MIAS) juga merupakan lembaga

pendidikan pondok pesantren bermanḥāj ahl al-sunnah wa al-

jama’ah dengan pemahaman salaf al-ṣāliḥ. Ia termasuk salah satu

pesantren di Tasikmalaya yang memberlakukan pemakaian cadar

bagi santri putri sejak berdirinya, yakni tahun 1998. Lembaga ini

bernaung dibawah Yayasan Ihya As-Sunnah yang dirintis oleh

tujuh orang; Abu Rizal Fadillah, Abu Qatadah, Maman Suratman,

Iin Sholihin (alm.), Engkos Kostijo (alm.), Ujang Yusuf, dan

Haryono.12

Jika dikategorikan ke dalam tipe pesantren, Ma’had

Ihya As-Sunnah memiliki tipe pesantren modern yang cenderung

mengadopsi seluruh sistem belajar klasikal dan meninggalkan

sistem belajar tradisional. Namun kurikulum yang dipakai adalah

kurikulum yang dikelola sendiri oleh Ma’had Ihya As-Sunnah.

Yayasan Ihya As-Sunnah tidak hanya menaungi pesantren

atau Ma’had saja, akan tetapi beberapa lembaga pendidikan

11

Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah,

(Tasikmalaya, 2015). 12

Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.

Page 74: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

56

formal lainnya dari jenjang PAUD sampai SMA. Sehingga dalam

sistem belajar antara pesantren dan sekolah tidak dipisahkan.

Kegiatan para santri dari mulai berangkat sekolah sampai

aktivitas belajar di asrama memakai kurikulum yang sama.

Berbeda dengan pesantren tradisional yang memisahkan antara

sistem pembelajaran sekolah dengan pesantren.13

1. Sejarah Berdirinya Ma’had Ihya As-Sunnah

Pada awal berdirinya, Ma’had Ihya As-Sunnah merupakan

lembaga pendidikan non formal yang hanya menerapkan metode

Kulliyatul Muta’allimin al-Islamiyah (KMI)14 pada tahun 1998-

2001 dan Mastery Learning (belajar tuntas atau mulazamah)15

tahun 2001-2003. Awal bulan Juli 2003, Ma’had Ihya As-Sunnah

selain mempertahankan adanya program Mastery Learning juga

membuka program pendidikan setingkat SD atau MI dan program

setingkat SMP atau MTs.16

Berikutnya awal bulan Juli 2006, pesantren ini membuka

program pendidikan setingkat SMA atau MA. Dibukanya

program-program pendidikan tersebut tidak terlepas dari

13

Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah. 14

Kulliyatul Muta’allimin al-Islamiyyah (KMI) adalah persemaian

guru-guru Islam. Metode ini berupaya mendidik para santri untuk menjadi

guru Agama Islam dengan pembekalan memadai dan diharapkan dapat

mengajar anak-anak tingkat SD dan SLTP dalam bidang agama. 15

Mastery Learning adalah salah satu metode pembelajaran yang

didasarkan atas pandangan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk

mencapai prestasi belajar optimal, asalkan diberi waktu belajar sesuai dengan

kebutuhannya. (Diakses melalui www.file.upi.edu pada 13 November 2019

pukul 11.02) 16

Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.

Page 75: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

57

perkembangan dakwah dan penyebarannya. Pada masa kedua ini,

Ma’had Ihya As-Sunnah (MIAS) bekerja sama dengan salah satu

lembaga pendidikan di Kota Tasikmalaya. Hal tersebut untuk

menyelamatkan status peserta didik. Adapun garapan riil kegiatan

Proses Belajar Mengajar (PBM) dan muatan kurikulum dikelola

secara utuh oleh Ma’had Ihya As-Sunnah (MIAS). Setelah

melalui kajian dewan syura’ dan masukan dari beberapa pakar

pendidikan dengan tetap menjaga azas, visi misi dan tujuan asasi

MIAS, maka pada bulan Juli 2010 Yayasan Ihya As-Sunnah

menempuh proses perizinan penyelenggaraan pendidikan tingkat

PAUD, SD, SMP, dan SMA serta lahirlah secara de jure satuan

pendidikan PAUD Ihya As-Sunnah, SDIT-TQ Ihya As-Sunnah,

SMPIT-TQ Ihya As-Sunnah, dan SMAIT-TQ Ihya As-Sunnah.17

2. Visi dan Misi Ma’had Ihya As-Sunnah

Sebagaimana telah disebutkan bahwa Ma’had Ihya As-

Sunnah (MIAS) merupakan lembaga pendidikan pondok

pesantren bermanḥāj ahl al-sunnah wa al-jama’ah dengan

pemahaman salaf al-ṣāliḥ, yang memiliki visi misi dan tujuan

sebagai berikut;

VISI; Menjadi lembaga Islam bermutu dalam membentuk

generasi rabbani dan mewujudkan masyarakat yang islami.

MISI;

a) Menyelenggarakan lembaga pendidikan Islam yang

bermutu;

17

Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.

Page 76: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

58

b) Menyebarluaskan dakwah ahl al-sunnah ke seluruh

lapisan masyarakat;

c) Membangun perekonomian sesuai syari’at Islam.

Tujuan

a) Lurus akidah dan manhājnya;

b) Benar ibadahnya;

c) Memiliki akhlak mulia;

d) Berjihad di jalan Allah;

e) Kuat fisiknya;

f) Bermanfaat bagi yang lain;

g) Sehat akalnya;

h) Memiliki keahlian;

i) Disiplin dan terprogram dalam segala hal;

j) Istiqamah;

k) Mahir berbahasa Indonesia, Arab dan Inggris;

l) Memiliki hafalan al-Qur’an dan hadis;

m) Memiliki budaya belajar;

n) Siap terjun ke lapangan dakwah.18

Menurut hemat penulis, lahirnya visi misi di atas tidak

terlepas dari latar belakang keilmuan dan orientasi pemahaman

para pendiri pesantren ini. Ma’had Ihya As-Sunnah memiliki

sikap tegas dalam menganut kepercayaan beragama. Prinsip yang

paling utama adalah memegang teguh dan menyebarluaskan

manḥāj ahl al-sunnah wa al-jama’ah dengan pemahaman salāf

18

Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.

Page 77: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

59

al-ṣāliḥ. Gerakan dakwah ini seringkali disebut dengan salafiyyah

yang berupaya mengikuti ajaran al-Qur’an dan hadis sesuai

dengan pemahaman ulama salaf.

Sama halnya dengan akidah, dalam setiap aktivitas pun

tetap memegang prinsip syari’ah, baik dalam perekonomian dan

pembelajaran. Hal tersebut tercermin dalam visi dan misinya.

Dalam membangun perekonomian harus dijalankan sesuai

dengan nilai-nilai syari’ah yakni berbisnis tanpa riba, makanan

yang terjamin kehalalannya, bahan pakaian tidak terbuat dari

barang najis dan memilih obat-obat herbal. Sehingga pesantren

ini membuka peluang bisnis untuk mencegah dari perekonomian

yang tidak sesuai syari’ah. Adapun pembelajarannya, mendidik

para santri untuk senantiasa berinteraksi dengan al-Qur’an dan

hadis. Salah satunya adalah menjalankan program target hafalan

al-Qur’an dan hadis. Disamping itu, supaya bisa berkomunikasi

secara luas para santri harus menguasai berbagai bahasa seperti

bahasa Indonesia, Arab, dan Inggris.

Analisa penulis di atas sama halnya dengan apa yang

dijelaskan oleh Zainal Abidin dalam tulisannya yang berjudul

Buku Putih Dakwah Salafiyah bahwa arus pemikiran gerakan

salafiyyah seringkali mengedepankan naṣ syar’iyyah baik secara

metode atau sistem, dan senantiasa komitmen terhadap petunjuk

Nabi juga para sahabat baik secara keilmuan maupun

pengamalan. Mereka menolak berbagai manḥāj yang menyelisihi

Page 78: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

60

petunjuk tersebut, baik dalam persoalan ibadah atau ketetapan

syari’at.19

3. Sarana dan Prasarana

Dalam menunjang keberhasilan pelayanan publik perlu

adanya sarana dan prasarana. Ma’had Ihya As-Sunnah memiliki

fasilitas yang sangat memadai dalam kelangsungan belajar.

Tabel 3.2 Sarana dan Prasarana

No. Fasilitas Putra Putri Jumlah

1. Luas Tanah - - ±20.000 m2

2. Asrama 36 kamar 40 kamar 76 kamar

3. Mesjid 2 buah 1 buah 3 buah

4. Aula 1 buah 1 buah 2 buah

5. Perpustakaan 1 buah 1 buah

6. Lapangan 1 buah - 1 buah

7. Tempat Belajar 1 gedung 1 gedung 2 gedung

8. Ruang Kepala

Sekolah 3 buah - 3 buah

9. Ruang Guru 1 buah 1 buah 2 buah

10. Tata Usaha 3 buah - 3 buah

11. Dapur 1 buah 1 buah 2 buah

12. Kantin 1 buah 1 buah 2 buah

13. Klinik 1 buah 1 buah

14. Mini Market 1 buah 1 buah

15. Toko Herbal 1 buah 1 buah

19

Zainal Abidin bin Syamsudin, Buku Putih Dakwah Salafiyah

(Jakarta: Pustaka Imam Abu Hanifah, 2009), 26.

Page 79: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

61

Pesantren dengan luas tanah ±20.000 m2 memiliki beberapa

gedung bangunan diantaranya 1 gedung keadministrasian sekolah

yang meliputi ruang kepala sekolah, ruang guru ikhwan, ruang

guru akhwat dan ruang tata usaha (TU). Untuk mengelola

perapihan administrasi pesantren terdapat 2 ruang tata usaha

(TU). Adapun tempat proses belajar antara santri putra dan putri

dipisahkan, diantaranya 2 gedung putra untuk tingkat SMP dan

SMA, begitu juga santri putri. Kemudian 1 gedung untuk jenjang

PAUD dan SD. Untuk tempat tinggal santri putra terdapat 36

kamar dan 40 kamar di asrama putri. Masing-masing asrama

memiliki 1 aula yang biasa digunakan untuk acara wisuda tahfizh

dan tempat berkumpul para santri. Di samping itu, pesantren ini

juga menyediakan fasilitas rumah bagi guru yang sudah berumah

tangga dan fasilitas kamar bagi guru yang belum menikah.20

Gambar 3.4 Gedung Sekolah Putra

20

Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.

Page 80: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

62

Gambar 3.5 Gedung Sekolah Putri

Dalam rangka menumbuhkan dan mewadahi minat baca para

santri tersedia 1 perpustakaan utama. Adapun fasilitas beribadah

terdapat 3 mesjid yang meliputi 1 mesjid utama yang biasa

digunakan untuk pengajian umum dengan masyarakat, 1 mesjid

putra, dan 1 mesjid putri. Selain itu, berbagai aktivitas olahraga

bisa dilakukan di lapangan yang cukup luas, baik basket atau

futsal. Ma’had ini juga memiliki 1 klinik untuk menampung dan

mengobati para santri yang sakit. Terdiri dari 3 ruangan; 1 ruang

administrasi klinik dan 2 ruang pasien. Pada masing-masing

Page 81: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

63

asrama tersedia 1 ruang dapur dan 1 kantin. Sehingga

memudahkan para santri dalam memenuhi kebutuhan makan.21

Gambar 3.6 Dapur Putri

Berdasarkan observasi yang penulis lakukan, Yayasan Ihya

As-Sunnah memiliki pengelolaan dalam administrasi, sistem

pembelajaran dan fasilitas yang memadai. Selain mendirikan

lembaga pendidikan formal, yayasan ini juga mengembangkan

perekonomiannya melalui beberapa macam, di antaranya

membuka mini market sebagai tempat perbelanjaan dalam

memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya para santri. Mini

21

Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.

Page 82: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

64

market ini dinamai MIAS Mart. Dalam menjalankan sunnah

Nabi, mereka memilih menggunakan pengobatan herbal. Salah

satunya dengan membuka toko obat herbal yang dinamai As-

Sunnah Herbal, letaknya berdekatan dengan Ma’had.22

Gambar 3.7 Toko As Sunnah Herbal

Demikian juga, lembaga ini memiliki semangat yang tinggi

dalam menyebarluaskan ajaran agama yang mereka pahami.

Selain berdakwah secara langsung melalui majlis ta’lim, mereka

juga aktif di berbagai media sosial seperti website23

, facebook24

,

instagram25

, dan youtube26

. Bahkan bekerja sama dengan salah

satu stasiun tv lokal yaitu Media Gema Islam Televisi (MGI

22

Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah. 23

https://miastasikmalaya.com/ 24

https://www.facebook.com/IhyaAssunahTsm/ 25

https://www.instagram.com/ihya.assunnah.tsm/ 26

https://www.youtube.com/channel/UCMqpX5gc_1_3y_yGFQ2fLbg

Page 83: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

65

TV)27

. Demi mewujudkan dan meningkatkan semangat berkarya

dalam menulis, Ihya As-Sunnah memberikan fasilitas mading

(majalah dinding), cetak majalah dan membuka website28

khusus

yang berisi karya para santri.29

Gambar 3.8 Majalah Dinding Siswa

27

https://mgitv.com/ 28

https://www.smaihyaassunnah.sch.id/artikel-islami/ 29

Ma’had Ihya As-Sunnah, Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.

Page 84: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

66

Selanjutnya penulis mendapatkan info keuangan terkait

biaya masuk Ma’had Ihya As-Sunnah berdasarkan jenjangnya.

Tabel 3.3 Biaya Pendaftaran Ma’had Ihya As-Sunnah

No. Jenjang Biaya Awal

Tahun

1.

Ekstern30

SMPIT-TQ Rp. 18.000.000,-

2. SMAIT-TQ Rp. 18.000.000,-

3. TBAIT-TQ Rp. 18.000.000,-

4. TDIT-TQ dan PGBAIT-

TQ Rp. 3.200.000,-

5. TBAIT-TQ ke TD/PGBA Rp. 10.500.000,-

6. Biaya Pendaftaran Rp. 500.000,-

7.

Intern31

SMPIT-TQ Rp. 11.500.000,-

8. SMAIT-TQ Rp. 11.500.000,-

9. Biaya Pendaftaran Rp. 250.000,-

Untuk sekolah formal diantaranya; Sekolah Menengah

Pertama Islam Terpadu Tahfidzul Qur’an (SMPIT-TQ), dan

Sekolah Menengah Atas Islam Terpadu Tahfidzul Qur’an

(SMAIT-TQ). Sedangkan program non formal meliputi;

Takhosus Bahasa Arab Islam Terpadu Tahfidzul Qur’an (TBAIT-

TQ), Tadribud Du’at Islam Terpadu Tahfidzul Qur’an (TDIT-

TQ), dan Pendidikan Guru Bahasa Arab Islam Terpadu Tahfidzul

Qur’an (PGBAIT-TQ). TBA merupakan program khusus Bahasa

Arab selama 1 tahun dan diperuntukkan bagi calon santri yang

30

Calon santri yang bukan berasal dari SD/SMP/SMA Ihya As-

Sunnah. 31

Santri yang berasal dari SD/SMP/SMA Ihya As-Sunnah.

Page 85: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

67

tidak lulus ketika tes masuk ke jenjang SMA. Adapun TD dan

PGBA adalah program khusus yang mempelajari keagamaan saja.

Page 86: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

68

BAB IV

PEMAHAMAN DAN PRAKTIK CADAR DI PESANTREN

NUR ASSA’ADAH DAN IHYA AS-SUNNAH

TASIKMALAYA

Pada bab ini penulis akan menjelaskan bagaimana santriwati

dan guru Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya As-Sunnah

memahami ayat perintah berjilbab dan praktik bercadar di kedua

pesantren tersebut. Penulis melakukan observasi langsung di

Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya As-Sunnah dan melakukan

wawancara kepada beberapa santriwati. Penulis mengambil 8

sampel pada masing-masing pesantren. Di antaranya 6 orang

santriwati dan 2 orang pengajar di Pesantren Nur Assa‟adah serta

5 orang santriwati dan 3 pengajar di Ma‟had Ihya As-Sunnah.

A. Pemahaman Ma’had Ihya As-Sunnah Tentang Perintah

Berjilbab dalam QS al-Nūr (24):31

Ma‟had Ihya As-Sunnah ini menjadi salah satu objek

penelitian penulis karena menerapkan aturan pemakaian cadar

bagi seluruh santri putri. Penulis melakukan penelitian dengan

mengobservasi dan mewawancarai secara langsung kepada 8

orang di antaranya 3 dari pengajar dan 5 dari santriwati kelas XII.

Beberapa dari pengajar di antaranya Ummu Fatimah, Ustadzah

Jeri, dan Ustadzah Rania. Sedangkan dari santriwati yaitu Difaa‟,

Putri, Suci, Fatikhah dan Silvia. Berdasakan hasil wawancara,

setidaknya penulis mendapatkan 3 poin tentang pemahaman

perintah berjilbab dari beberapa informan tersebut.

Page 87: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

69

1. Pemaknaan Ayat منهاالا ما ظهر) (

Berdasarkan hasil wawancara, penulis menemukan bahwa

apa yang dipahami oleh sebagian komunitas Ihya As-Sunnah

tidak terlepas dari pendapat sementara ulama. Ummu Fatimah

yang merupakan salah satu informan yang mengajar di Ihya As-

Sunnah, mengaku bahwa terdapat perselisihan para ulama dalam

menafsirkan ayat ini. Ia mengemukakan bahwa sesuatu yang

boleh terlihat dari perempuan muslimah adalah pakaian luar saja

karena hal tersebut tidak dimungkinkan untuk disembunyikan.

Berbeda dengan wajah, baginya termasuk perhiasan (zīnah) yang

harus ditutup.

“Surah al-Nūr ayat 31 ini diawali dengan perintah

ghodd al-baṣar atau menjaga pandangan. Ini kan kalo

ayat 30 menjaga pandangan untuk laki-laki dan ayat 31

menjaga pandangan untuk perempuan. Maksudnya di

sini dengan berhijab itu kita bisa membantu menjaga

pandangan laki-laki gitu ya. Kemudian pada ayat walā

yubdīna zīnatahunna illā mā ẓahara minhā berarti

janganlah menampakkan perhiasan, illā mā ẓahara

kecuali yang nampak. Di situ banyak sih yang

menafsirkan yang nampak itu ada yang menafsirkan

hanya pakaian luar saja, ada yang seukuran telapak

tangan. Tapi di sini, kalo saya pribadi lebih memahami

bahwa illā mā ẓahara minhā itu kecuali yang nampak

itu ya baju yang ada di luar saja. Adapun yang

namanya wajah tetep zīnah perhiasan yang harus

ditutup. Tapi di sini kalo untuk meyakini apakah di situ

wajib, kalo saya sendiri tidak mengambil yang wajib,

lebih mengambil ke sunnah yang dianjurkan atau

mu‟akkadah. Kalo sampai wajib itu belum mengambil

Page 88: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

70

yang itu. Karena kan memang di situ hukum memakai

jilbab sendiri terutama cadar kan berbeda ya.”1

Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya,

menurut penulis, pemahaman Ummu Fatimah merujuk pada hadis

riwayat Ibn Mas‟ūd yang diuraikan al-Ṭabarī dalam kitab

tafsirnya dengan mengatakan bahwa pakaian luar adalah

perhiasan yang boleh ditampakkan. Selain itu, seperti wajah,

gelang, dan bandul menjadi perhiasan yang tidak boleh

ditampakkan.2

Hal yang sama diungkapkan oleh Ustadzah Jeri bahwa

seluruh tubuh perempuan muslimah wajib tertutup, termasuk

wajah. Bahkan lebih tegas lagi ia menyebutkan bahwa perhiasan

perempuan seperti gelang, cincin, dan kalung tidak boleh

ditampakkan. Baginya, meskipun wajah tidak secara jelas

disebutkan dalam ayat tersebut, akan tetapi ia termasuk zīnah

(perhiasan) paling besar karena menjadi daya tarik bagi laki-laki.

“Kalo makna zīnah kan ayatnya itu walā yubdīna

zīnatahunna tidak memperlihatkan perhiasan mereka.

Maksudnya memperlihatkan di sini itu misalnya dia

1 Ummu Fatimah (Staf Pengajar Tahfidz Putri Ma‟had Ihya As-

Sunnah), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 22 Agustus 2019,

Jawa Barat. 2 Hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Mas‟ūd:

حدثنا ابن حميد، قال: ثنا هارون بن الدغيرة، عن الحجاج، عن أبي إسحاق، عن أبي الأحوص، عن ابن مسعود، قال: الزينة زينتان: فالظاهرة منها الثياب، وما خفي: الخلخالان والقرطان والسواران.

"Ibn Ḥamīd menceritakan kepada kami, ia berkata: Hārūn ibn al-

Mughīrah menceritakan kepada kami dari al-Ḥajjāj, dari Abū Isḥāq,

dari Abū al-Aḥwaṣ, dari Ibn Mas‟ūd, ia berkata, “Perhiasan dibagi

menjadi dua yaitu yang nampak, misalnya baju, dan yang

tersembunyi, misalnya gelang kaki, bandul, dan gelang.”

Page 89: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

71

punya gelang atau punya kalung, jangan sengaja

menggunakan sesuatu yang memang membuat

perhiasan mereka terlihat. Kalo perhiasan saja tidak

bisa ditampakkan apalagi muka. Memang tidak ada

kata wajah. Nah namanya muka ini kan sebaik-baik

perhiasan. Justru perhiasan paling besar itu ya muka

kita gitu. Orang pertama kali liat kita pasti tertariknya

bukan karena kaki dan jarinya cantik, tapi karena

mukanya cantik. Jadi maksud zīnah yang harus ditutup

di sini adalah semua perhiasan termasuk muka. Illā mā

zahara minhā kecuali yang nampak. Maksudnya yang

nampak di sini itu tampak karena tidak sengaja.

Misalnya lagi lari tersingkap kakinya. Jadi jangan

memperlihatkan perhiasan kecuali tidak sengaja.”3

Bagi penulis, pemahaman Ustadzah Jeri merujuk pada

pendapat al-„Uṡaimīn yang memaknai wajah sebagai sebaik-baik

perhiasan yang harus ditutupi karena dapat menarik perhatian

lawan jenis. Ustadzah Jeri juga mengatakan tentang kewajiban

menutupi wajah, sama halnya dengan pendapat al-„Uṡaimīn. Ini

berarti pemakaian cadar menurutnya merupakan suatu kewajiban.

Berbeda dengan Ustadzah Rania, ia menjelaskan bahwa

pembahasan cadar tidak tertera dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an

hanya menyebutkan tentang perintah berjilbab. Praktik

penggunaan cadar dapat ditemukan di beberapa hadis Nabi dan

cerita sahabat. Oleh karena itu, hukum pemakaian cadar adalah

sunnah.

“Kalo cadar itu ga ada ya kalo di ayat al-Qur‟an.

Kebanyakan itu di hadis. Kalo di al-Qur‟an hanya

3 Ustadzah Jeri (Staf Pengajar Bahasa Arab Putri Ma‟had Ihya As-

Sunnah), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus 2019,

Jawa Barat.

Page 90: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

72

menjelaskan tentang jilbab gitu. Nah dari situ kita bisa

mengambil kesimpulan kalo cadar itu tidak wajib

karena Allah tidak memerintahkan langsung di dalam

al-Qur‟an. Ini berarti sunnah dari kebiasaan dulu

Rasulullah kepada istri-istrinya memerintahkan untuk

bercadar. Kan karena kita mengikuti sunnah Rasul

maka kita mengikuti cara hidup Rasul.”4

Ia juga memahami bahwa perhiasan perempuan adalah

sesuatu yang harus ditutupi olehnya. Misalnya paha, betis, atau

gelang kaki. Adapun perhiasan yang nampak adalah wajah dan

telapak tangan.

“Walā yubdīna zīnatahunna dan janganlah

menampakkan perhiasan kecuali, artinya boleh

menampakkan perhiasan kecuali kepada mahramnya.

Perhiasan itu seperti gelang kaki ya. Intinya sesuatu

yang menurut wanita itu yang harus disembuyiin kalo

kita keluar. Contoh paha atau betis seperti itu. Kalo

dulu zaman Rasul perhiasan itu banyak dipake gelang

kaki contohnya. Kalo apa yang nampak, ada ulama

yang berpendapat telapak tangan dan wajah.”5

Menurut penulis, pemahaman Ustadzah Rania berbeda

dengan penafsiran al-„Uṡaimīn. Pemahamannya mendekati

pendapat ulama tafsir seperti al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī yang

mengecualikan wajah dan telapak tangan. Akan tetapi, Ustadzah

Rania mengemukakan bahwa memakai cadar hukumnya sunnah

karena menjadi tradisi dan kebiasaan para istri Nabi saat itu.

Penulis melihat hal ini sebagai ketidakkonsistenan informan

dalam memaknai penggunaan cadar. Hal ini terlihat ia memilih

4 Ustadzah Rania (Bidang Kesantrian Putri Ma‟had Ihya As-Sunnah),

diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus 2019, Jawa Barat. 5 Ustadzah Rania, Wawancara.

Page 91: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

73

memakai cadar meskipun di satu sisi memiliki pemahaman yang

berbeda dengan al-„Uṡaimīn.

Selain ayat ini, keberadaan cadar mereka kuatkan dengan

beberapa dalil, diantaranya QS al-Aḥzāb (33):32, 53, 59 dan

hadis tentang ḥadīṡ al-ifk (berita kebohongan) yang menyangkut

fitnah „Aisyah.

Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya

bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam menetapkan

batas aurat perempuan bila berhadapan dengan laki-laki bukan

mahramnya adalah disebabkan perbedaan pandangan mereka

dalam memahami maksud firman Allah dalam QS al-Nūr (24):31

pada redaksi الا ما ظهر منها (kecuali yang biasa terlihat). Sebagian

ulama tafsir klasik memahami maksud ayat tersebut dengan

wajah dan telapak tangan yang biasa terlihat. Sehingga perintah

mengulurkan jilbab sampai dada tersebut adalah dengan

membiarkan wajah dan telapak tangan terbuka. Pendapat ini

disebutkan oleh al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī dalam tafsirnya.

Sebagian yang lain memahami ayat tersebut dengan pakaian luar.

Artinya sesuatu yang boleh terlihat hanyalah pakaian luar.

Dengan demikian, wajah, telapak tangan dan perhiasan (cincin,

gelang, kalung) menjadi sesuatu yang harus ditutupi oleh

perempuan muslimah. Pendapat ini dipegang oleh Muḥammad

ibn Ṣāliḥ al-„Uṡaimīn dalam tafsirnya.

Berdasarkan hasil wawancara di atas, penulis menemukan

bahwa apa yang dipahami oleh para informan Ihya As-Sunnah

Page 92: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

74

merupakan bagian dari pendapat sementara ulama yang

mengemukakan bahwa wajah perempuan harus ditutup dengan

memakai cadar. Penulis menilai bahwa pemahaman tersebut

merujuk pada pendapat al-„Uṡaimīn, termasuk Ibn Mas‟ūd yang

menjadi sumber pemahaman tersebut.

2. Pemaknaan Ayat ( وليضربن بخمرهنا على جيىبهنا)

Sebagaimana yang dipahami Ustadzah Jeri, bahwa makna

adalah jilbab yang menutupi kepala. Sedangkan wajah خمار

termasuk bagian dari kepala, sehingga ia harus ditutup. Baginya,

hal tersebut merupakan apa yang dipahami oleh orang Arab pada

saat itu. Kemudian ia memahami kata وليضربن sebagai perintah

kepada perempuan mukmin untuk menguraikan khimārnya.

“Wal yaḍribna bikhumurihinna „ala juyūbihinna

menjulurkan kerudungnya sampai ke dada. Di sini ada

lam „amr, „amr itu kan kata kerja perintah di dalam

bahasa Arab. Jadi, hendaklah mereka. Kemudian

khimār itu kalo kita terjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia kan katanya jilbab. Namanya jilbab kan kita

ga tutup muka. Tapi kalo khimār menurut pemahaman

orang Arab, yang mana al-Qur‟an diturunkan di situ,

nah itu tuh menutupi seluruh kepala. Nah sedangkan

wajah kan bagian dari kepala. Dari situ sudah. Terus

waktu turun ayat hijab itu, „Aisyah sama sahabat yang

lain, mereka langsung menarik kaya sarung gitu

langsung ditutup semua. Nah kenapa mereka tidak

menutup ininya saja kalau memang hijab itu tanpa

muka. Tapi mereka langsung menutup seluruh kepala

beserta muka. Berarti mereka pahamnya hijab itu yang

menutupi seluruh kepala, termasuk muka. Namanya

orang Arab kan al-Qur‟an turun dengan bahasa mereka,

otomatis ketika ada perintah dengan bahasa mereka,

mereka lebih pahamlah gitu. Dan itu diceritakan di

Page 93: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

75

hadis. Kata khimār juga kalo dibaca di tafsir-tafsir pasti

khimār itu tuh ghiṭō al-ra‟s penutup kepala. Muka kan

bagian dari kepala.”6

Berdasarkan uraian di atas, penulis menemukan bahwa

pemahaman para informan Ihya As-Sunnah terhadap QS al-Nūr

(24):31 adalah perintah kepada seluruh perempuan muslim untuk

menutupi seluruh tubuhnya termasuk wajah dan telapak tangan

ketika bertemu atau sekedar berpapasan dengan laki-laki bukan

mahram. Pernyataan ini direfleksikan dalam cara berbusana

mereka dengan memakai cadar. Berdasarkan tinjauan penulis,

pemahaman ini ditemukan dalam salah satu kitab tafsir modern

karya Muḥammad ibn Ṣāliḥ al-„Uṡaimīn yang berjudul Tafsīr al-

Qur‟ān al-Karim. Dalam tafsir ini secara jelas disebutkan bahwa

perempuan muslim wajib memakai khimār. Istilah khimār yang

dimaksud adalah sesuatu yang menutupi kepala sampai dada

sehingga kainnya melewati wajah. Hal ini disebabkan wajah

termasuk pusat keindahan yang dapat menimbulkan fitnah.

Adapun sesuatu yang boleh terlihat hanyalah pakaian luar karena

tidak mungkin untuk disembunyikan.

Akan tetapi penulis menemukan, pendapat seperti ini

tidak disebutkan secara jelas dalam kitab-kitab tafsir klasik.

Bahkan kitab-kitab tersebut menyebutkan pendapat jumhur ulama

bahwa maksud الا ما ظهر منها (kecuali apa yang nampak) adalah

wajah dan telapak tangan. Menurut hemat penulis, pemahaman

cadar Ihya As-Sunnah mengambil riwayat yang sesuai dengan

apa yang mereka pahami dan tidak membandingkan dengan

6 Ustadzah Jeri, Wawancara.

Page 94: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

76

pendapat lain. Mereka banyak merujuk fatwa ulama bermanhāj

salafi, misalnya „Abd al-„Azīz ibn Bāz, Ṣāliḥ ibn Fawzān, dan

Muṣṭafā al-„Adawī yang mana mereka memiliki hubungan guru

dan murid. Begitu juga dengan al-„Uṣaimīn. Penulis berasumsi

bahwa hal tersebut disebabkan cara memahami nash dan

pengambilan hukum (istidlāl) yang berbeda, dimana mereka

melihat teks-teks agama berdasarkan apa yang terjadi di masa

lalu dan kemudian diaplikasikan secara tekstual pada masa kini.

Dengan demikian, pemahaman tentang keharusan bercadar

dianggap pendapat minoritas dalam kitab-kitab tafsir.

B. Pemahaman Pesantren Nur Assa’adah Tentang Perintah

Berjilbab dalam QS al-Nūr (24):31

Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa

Pesantren Nur Assa‟adah merupakan lembaga pendidikan non

formal bermanhāj ahl al-sunnah wa al-jamaah yang memegang

kultur Nahdlatul Ulama‟ (NU), tapi tidak berafiliasi dengan

organisasi tersebut. Berbeda dengan Ma‟had Ihya As-Sunnah,

Pesantren Nur Assa‟adah tidak menerapkan aturan praktik

bercadar bagi santriwatinya. Akan tetapi, ada sejumlah santriwati

yang mengenakan cadar yaitu 8 orang dari 63 santriwati. Penulis

mengobservasi dan mewawancarai 6 orang santri bercadar, 2

santri tidak bercadar, dan 2 orang pengajar. Beberapa santri

bercadar diantaranya Syifa, Tasya, Fira, dan Siska. Kemudian

santri tidak bercadar yakni Putri dan Ulpi. Mereka adalah

santriwati sekaligus siswi yang menduduki bangku Madrasah

„Aliyah (MA). Adapun dalam rangka mengkonfirmasi pernyataan

Page 95: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

77

para santriwati saat dilakukan wawancara, penulis menghadirkan

2 pengajar. Diantaranya Ustadz Zaky Alma‟ani sebagai salah satu

staf pengajar di pesantren dan sekolah, sekaligus menantu

pimpinan pesantren juga Ustadzah Nova Saepina sebagai staf

pengajar dan pengurus santri putri.

1. Pemaknaan Ayat الا ما ظهر منها) (

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis dapatkan,

sebagian santriwati Nur Assa‟adah memahami bahwa aurat

perempuan terbagi menjadi dua macam yaitu ketika di dalam dan

di luar shalat. Aurat perempuan di dalam shalat adalah seluruh

tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Sedangkan di luar

shalat yaitu seluruh tubuh perempuan. Hal ini sebagaimana

tertera dalam kitab Safīnah al-Najāh karya Sālim ibn Sumayr al-

Hadramī. Akan tetapi, Tasya sebagai salah seorang santri yang

mengawali pemakaian cadar sejak bulan Juni 2018, mengakui

bahwa hal tersebut terdapat ikhtilāf di kalangan para ulama. Ada

yang menyatakan wajah serta telapak tangan boleh terbuka dan

tidak boleh terbuka dengan alasan kehati-hatian.

“Da tos jelas dina safinah ge nan dina bab orat,

„awrātunnisā jamī‟u badānihā cenah. Ari orat awewe

teh sakabeh badan. Pami nuju netepan mah terkecuali

wajah sareng telapak tangan dua. Janten aya nu

nafsirkeun oge, kan benten-bentennya, janten wajah ge

nan orat. Pami emang apik pisan nafsirkeunana kitu.”7

7 Tasya (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah

Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 21 Agustus

2019, Jawa Barat.

Page 96: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

78

“Karena sudah jelas di dalam kitab Safīnah bahwa

„awrātunnisā jamī‟u badānihā yaitu aurat perempuan

adalah seluruh badannya. Akan tetapi, wajah dan

telapak tangan dikecualikan ketika shalat. Sebetulnya

dalam penafsiran terdapat perbedaan. Ada yang

menafsirkan wajah termasuk aurat, jika mengambil

pendapat yang ketat.”

Menurut penulis, pemahaman Tasya tentang cadar merujuk

pada pendapat Mazhab Syafi‟i yang mengatakan seluruh tubuh

perempuan adalah aurat.

Hal yang sama dikemukakan oleh Ustadz Zaki Alma‟ani

bahwa terdapat perbedaan penafsiran dalam penggalan ayat ini.

Ustadz Zaky membaginya menjadi 2 macam; pertama, sesuatu

yang biasa nampak adalah wajah dan telapak tangan. Pendapat ini

dinukil dari mazhab Imam Mālik dan salah satu pendapat Mazhab

Syafi‟i. Kedua, wajah dan telapak tangan tidak boleh nampak

karena keduanya dapat menimbulkan fitnah. Ini adalah pendapat

sebagian Mazhab Syafi‟i yang lain. Akan tetapi, pendapat yang

paling kuat menurut Imām al-Jalālain adalah pendapat kedua

karena dengan menutupi wajah dan telapak tangan dapat

menghindari terjadinya fitnah. Penjelasan tersebut diambil dari

kitab Tafsīr al-Jalālain karya Jalāl al-Dīn al-Maḥallī dan Jalāl al-

Dīn al-Suyūṭī, serta Kitab Ḥāsyiyah al-Ṣāwī „alā Tafsīr al-

Jalālain karya Imām al-Ṣāwī.

Melihat perbedaan tersebut, Ustadz Zaki Alma‟ani

mengambil pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa wajah

dan telapak tangan harus tertutup. Meskipun ia lebih memilih

dengan kata anjuran, bukan keharusan.

Page 97: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

79

“Ari ngaluarkeun pendapat pribadi mah abi teu

wantun. Abinya salah satu dewan didieulah kitu, salah

satu mudaris didieu teu pernah ngawajibkeun, boh

wajib secara syar‟i atau wajib secara aturan

pesantren. Ngan pedah menganjurkan. Da naon, da

memang anu nyebatkeun wajah sanes orat oge tetep

sunah kitu, menganjurkan. Nya ieu mah Imam Mazhab.

Sok sanaos nyebatkeun bahwa wajah dan telapak

tangan itu bukan aurat tapi paling tidak sunnah atau

baik. Nya abi teu wantun ngawajibkeun anu teu

wantun. Lamun nganjurkeun iyah. Abi pribadi mah

kitu.”8

“Saya tidak berani jika mengeluarkan pendapat sendiri.

Namun, saya sebagai salah satu dewan pengajar disini

tidak pernah mewajibkan cadar, baik wajib syar‟i atau

wajib secara aturan pesantren. Kenapa? karena yang

berpendapat wajah bukan aurat juga mengatakan

sunnah, menganjurkan (memakai cadar). Menurut

Imam Mazhab. Meskipun tidak disebutkan bahwa

wajah dan telapak tangan itu bukan aurat, tapi paling

tidak sunnah atau baik. Saya tidak berani

mewajibkannya. Tapi jika menganjurkan iya. Itu

menurut saya.”

Bagi penulis, pemahaman Ustadz Zaky merujuk pada

pendapat Mazhab Syafi‟i yang mengatakan seluruh tubuh

perempuan adalah aurat. Ini berarti pemakaian cadar menjadi

keharusan. Akan tetapi dalam praktiknya ia lebih memilih kata

anjuran memakai cadar. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa

pemahaman terhadap cadar masih setengah matang sehingga

dilematis diterapkan.

8 Zaky Alma‟ani (Staf Pengajar Pesantren Nur Assa‟adah

Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 10 Desember

2019, Jawa Barat.

Page 98: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

80

Berdasarkan hasil wawancara di atas, penulis menemukan

bahwa Pesantren Nur Assa‟adah memahami penggalan ayat ini

sama halnya dengan pendapat kebanyakan para ulama yang

mengatakan bahwa perempuan diperintahkan untuk memakai

jilbab tanpa menutupi wajahnya. Pemahaman tersebut penulis

temukan dalam beberapa kitab tafsir yaitu Tafsīr al-Ṭabarī dan

Tafsīr al-Qurṭubī. Sehingga jika ditinjau dari aspek praktik

berjilbab di Pesantren Nur Assa‟adah, ia mengikuti pendapat

mayoritas ulama. Meskipun dalam pemahamannya tentang aurat,

sebagian informan Pesantren Nur Assa‟adah lebih

mempertahankan pendapat sebagian Mazhab Syafi‟i yang

berpandangan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya,

sehingga pemakaian cadar diperlukan.

2. Pemaknaan Ayat ( وليضربن بخمرهنا على جيىبهنا)

Menurut Ustadz Zaki Alma‟ani, penggalan ayat ini serupa

dengan ayat sebelumnya dalam hal batas aurat perempuan. Ayat

ini menjadi perdebatan di kalangan ulama apakah jilbab yang

diulurkan itu melewati wajah atau tidak. Ia juga memahami kata

khimār dengan jilbab yang menutupi kepala, pundak, dan dada.

Adapun yang menyatakan bahwa wajah harus tertutup maka

khimār yang dimaksud adalah jilbab yang terurai dari kepala

hingga melewati wajah. Seperti halnya salah satu pendapat

Mazhab Syafi‟i.

“Justru didinya, ku perbedaan pendapat. Ru‟ūs

didinya teh upami bahasa madzhab anu tadi madzhab

salah satu Imam Syafi‟i mah ru‟ūs didinya teh sareng

Page 99: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

81

wajahna. Kepala teh berikut wajah. Ngan upami

pendapat anu wajah sanes orat, kepala teh ieu

hungkul, henteu termasuk wajah.”9

“Justru di ayat ini terjadinya perbedaan pendapat.

Maksud ru‟ūs disini jika melihat pendapat sebagian

Mazhab Syafi‟i adalah kepala, dan wajah termasuk

bagian dari kepala. Tapi jika yang berpendapat bahwa

wajah bukan aurat, maka kepala itu yang ini saja, tidak

termasuk wajah.”

Sama halnya dengan penggalan ayat sebelumnya, bagi

penulis Ustadz Zaky terlihat mempertahankan pendapat Mazhab

Syafi‟i yang mengemukakan bahwa wajah termasuk bagian yang

harus ditutup.

Begitu juga dengan Siska yang merupakan salah seorang

santri berstatus mahasiswa yang bercadar. Ia mengawali

pemakaian cadar sejak bulan Juli 2019. Baginya, dalam surat al-

Nūr (24):31 ini tidak disebutkan secara jelas batasan aurat

perempuan sehingga memakai cadar bukanlah suatu keharusan.

Pernyataannya terlihat saat menjawab pertanyaan dari penulis.

“Kalo di surat al-Nūr henteu disebatkeun semuanya

(seluruh tubuh), tapi kedah menutupi aurat we. Kalo

bisa mah menutupi sadayana, walaupun masih muka

ge kan kumahanya, upami masih bisa menjaga keneh

mah nya teu nanaon kitu teu ngango cadar oge kitu, da

eta mah sunah. Wajah mah asa tidak mewajibkan

untuk itu. Lamun sepertinya sadayana seorang wanita

itu wajib ngango cadar, panginten sadayana oge

ngango cadar kitu tah. Moal aya nu teu nganggo pami

9 Zaky Alma‟ani, Wawancara.

Page 100: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

82

diwajibkeun mah. Cadar mah kan sunnah. Ibaratkeun

shalat we da kan wajib eta mah.”10

“Di QS al-Nūr itu tidak disebutkan semuanya, cukup

perintah menutup aurat. Tetapi diusahakan untuk

menutupi semuanya, jikapun tidak memakai cadar juga

tidak apa-apa, yang penting masih menjaga. Karena itu

adalah sunnah. Sepertinya wajah itu tidak mewajibkan

untuk itu. Jika semua wanita itu wajib memakai cadar,

mungkin mereka semua juga memakai cadar. Tidak

ada yang tidak pakai jika sudah diwajibkan. Cadar itu

sunnah. Ibarat shalat aja kan itu wajib.”

Menurut analisa penulis, pemahaman Siska mendekati

pendapat ulama tafsir al-Ṭabarī dan al-Qurṭubī yaitu membiarkan

wajah terbuka karena baginya QS al-Nūr (24):31 tidak

menyebutkan batasan aurat perempuan secara jelas. Sehingga ia

memilih pendapat jumhur ulama. Akan tetapi, bagi penulis

pemahaman ini cukup dilematis karena dalam praktiknya Siska

memakai cadar.

Ustadz Zaki Alma‟ani mengemukakan, kebanyakan kitab

fikih yang biasa digunakan di pesantren yang berkultur Nahdlatul

„Ulama (NU) menjelaskan bahwa seluruh tubuh perempuan

ketika di luar shalat adalah aurat tanpa terkecuali. Kitab tersebut

diantaranya Safīnah al-Najāh karya Sālim ibn Sumayr al-

Hadramī, Ḥāsyiyah al-Bājūrī „alā Ibni Qāsim al-Ghozzī karya

Ibrāhīm al-Bājūrī, dan Fatḥ al-Mu‟īn karya Zainuddīn al-

Malībārī, yang ketiganya memiliki warna Mazhab Syafi‟iyyah.

10

Siska (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah

Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 22 Agustus

2019, Jawa Barat.

Page 101: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

83

Dari pernyataan di atas, penulis berkesimpulan bahwa

pemahaman komunitas Pesantren Nur Assa‟adah dipengaruhi

oleh orientasi kemazhaban yaitu Mazhab Syafi‟iyyah. Hal ini

terbukti karena banyaknya merujuk pada kitab-kitab yang

bermazhab Syafi‟i. Komunitas ini banyak mempertahankan

pendapat Mazhab Syafi‟i. Sehingga dalam masalah aurat mereka

mengambil pendapat sebagian Syafi‟iyyah yang mengatakan

bahwa seluruh tubuh perempuan di luar shalat adalah aurat. Akan

tetapi terdapat perdebatan di kalangan Syafi‟iyyah sendiri yaitu

ada sebagian yang lain berpendapat bahwa wajah dan telapak

tangan boleh terbuka. Melihat hal tersebut, komunitas ini menilai

baik jika wajah dan telapak tangan tertutup. Selain itu, penerapan

cadar di Pesantren Nur Assa‟adah dikembalikan pada pribadi

masing-masing khususnya para santriwati, sehingga tidak ada

unsur paksaan dalam memakainya. Dengan demikian, komunitas

Nur Assa‟adah tidak menerapkan aturan memakai cadar bagi

santriwatinya.

C. Sumber Rujukan

1. Ma’had Ihya As-Sunnah

Berdasarkan pemahaman beberapa informan Ma‟had Ihya

As-Sunnah, penulis menemukan sumber rujukan kitab dan ulama

yang dinilai mempengaruhi faham keagamaan mereka, khususnya

praktik bercadar. Beberapa kitab yang menjadi rujukannya

adalah:

Page 102: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

84

1.1 Ḥirāsah al-Faḍīlah

Kitab Ḥirāsah al-Faḍīlah merupakan salah satu karya Bakr

ibn „Abdillāh Abū Zaid11

. Kitab ini berisi tentang menjaga

kehormatan wanita, salah satunya adalah dengan mengenakan

busana yang tertutup. Penulis menemukan kata hijāb dalam kitab

ini sebagai istilah untuk menutupi aurat perempuan. Pembahasan

tentang hijāb yang dimaksud meliputi pemaknaan, cara

pemakaian, dalil-dalil yang mewajibkan penggunaannya, dan

keutamaan memakai hijāb. Pengarang kitab ini menjelaskan

bahwa perempuan muslimah harus menutupi seluruh badannya

tanpa terkecuali, termasuk perhiasan seperti gelang, kalung dan

sejenisnya. Salah satu dalil yang digunakan adalah QS al-Nūr

(24):31. Menurut Bakr ibn „Abdillāh, penggalan ayat الا ما ظهر منها

dipahami sebagai pakaian luar yang biasa nampak, seperti gamis,

jilbab, selendang, dan mantel.12

1.2 al-Wajīz fī Fiqh al-Sunnah wa al-Kitāb al-‘Azīz

Adapun dalam masalah fikih, mereka merujuk kepada kitab

al-Wajīz fī Fiqh al-Sunnah wa al-Kitāb al-„Azīz karya Abd al-

„Aẓīm ibn Badawī yang bermadzhab Ḥanbalī. Pengarang kitab ini

11

Nama lengkapnya adalah Bakr ibn „Abdillāh Abū Zaid ibn

Muḥammad ibn „Abdillāh ibn Bakr ibn „Uṡmān ibn Yaḥyā ibn Ghaihāb ibn

Muḥammad. Silsilah ini berhenti hingga Zaid teratas yakni Zaid ibn Suwayd

ibn Zaid ibn Suwayd ibn Zaid ibn Harām ibn Suwayd ibn Zaid al-Quḍā‟ī dari

kabilah Bani Zaid al-Quḍā‟iyyah yang tersohor di kawasan al-Wasym dan

dataran tinggi Nejd. Disanalah ia dilahirkan pada tahun 1365 H. Sewaktu di

Mekkah, ia pernah belajar kepada „Abd al-„Azīz ibn „Abdullāh ibn Bāz yang

merupakan mantan mufti Kerajaan Arab Saudi. Di Madinah, ia juga belajar

kitab Fatḥ al-Bārī, Bulūgh al-Marām, serta beberapa risalah tentang fikih dan

tauhid kepada Ibn Bāz selama kurang lebih 2 tahun. 12

Bakr ibn „Abdillāh, Ḥirāsah al-Faḍīlah (tp, tt), 12.

Page 103: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

85

merupakan salah satu ulama kontemporer yang dilahirkan di Desa

Syīn Mesir pada tahun 1954 M. Secara aliran mazhab dan akidah,

ia berfaham salafi. Ia juga pernah menjadi Wakil Ketua

Jam‟iyyah Anṣār al-Sunnah al-Muḥammadiyah sebuah organisasi

salafi wahabi konservatif. Dalam kitab ini, Badawī tidak

menyebutkan perbedaan pendapat para ulama. Ia hanya

menyebutkan pendapat yang paling kuat tentang suatu perkara

disertai dalilnya.13

1.3 Fiqh al-Sunnah li al-Nisā’

Kitab ini merupakan salah satu kitab fikih karya Abū Mālik

Kamāl ibn al-Sayyid Sālim. Abū Mālik adalah salah satu ulama

kontemporer sekaligus mantan engineer yang berasal dari Mesir.

Lalu ia meninggalkan profesi tersebut dan beralih menimba ilmu

agama dengan memfokuskannya pada bidang hadis dan fikih. Di

antara gurunya adalah Muṣṭafā al-„Adawī yang dulunya juga

seorang ilmuwan teknik mesin lalu beralih ke dalam bidang

keagamaan.14

Setelah menyebutkan kitab yang menjadi rujukan beberapa

informan, penulis menelusuri siapa saja para ulama yang menjadi

sumber rujukan dan dinilai mempengaruhi pemikiran mereka, di

antaranya:

13

Abd al-„Aẓīm ibn Badawī, al-Wajīz fī Fiqh al-Sunnah wa al-Kitāb

al-„Azīz (Mesir: Dār Ibn Rajab, 2001), 8-12. 14

Muhammad Abduh Tuasikal, “Ilmuwan yang Menjadi Ulama,”

Diakses, 18 Desember, 2019, https://rumaysho.com/2992-ilmuwan-yang-

menjadi-ulama-1.html

Page 104: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

86

1.4 ‘Abd al-‘Azīz ibn Bāz

Nama lengkapnya „Abd al-„Azīz ibn „Abdullāh ibn Bāz. Ia

merupakan seorang ulama kontemporer yang ahli di bidang sains,

hadis, akidah, dan fikih. Ia dilahirkan di Riyadh pada tahun 1909

H/1330 H dan meninggal pada tahun 1999 M/1420 H. Syekh Bin

Bāz pernah menjabat sebagai Mufti Kerajaan Arab Saudi, Rektor

Universitas Islam Madinah, Hay‟ah Kibār al-„Ulamā (semacam

MUI di Arab Saudi), Dewan Riset Ilmu, dan Fatwa al-Lajnah al-

Dā‟imah li al-Buhūṡ al-„Ilmiyyah wa al-Iftā‟. Semasa hidupnya,

Bīn Bāz pernah belajar kepada Muḥammad ibn „Abd al-Laṭīf,

Ḥamīd ibn Fāris, Sa‟d al-Bukhārī dan lainnya. Selain itu, ia juga

memiliki murid yang kemudian menjadi ulama terkenal di

kalangan mereka. Di antara muridnya adalah Muḥammad ibn

Ṣāliḥ al-„Uṡaimīn, Muqbil ibn Hādī al-Wadi‟ī, „Abd al-Muḥsin

ibn Hammād, Ṣāliḥ ibn Fawzān, dan lainnya. 15

Akidah dan manhāj dakwahnya dapat dilihat dari tulisan

maupun karya-karyanya. Misalnya dalam buku al-„Aqīdah al-

Ṣaḥīḥah yang menerangkan akidah ahl al-sunnah wa al-jamā‟ah,

menegakkan tauhid dan memerangi kesyirikan. Bin Bāz sangat

menyandarkan tafsir al-Qur‟an dan syarḥ hadis yang dibawakan

dalam kitab-kitabnya pada pemahaman salaf al-ṣāliḥ serta ulama-

ulama ahli sunnah yang mengikuti mereka. Pembelaannya

terhadap akidah tauhid dan sunnah yang murni pun tertuang

15

Amin Farih, “Analisis Pemikiran Abdullah Bin Baz dan Sayyid

Muhammad Al-Maliky: Mencari Titik Kesepakatan Sunny dan Wahabi

Melalui Metodologi Istinbat Hukum,” (Laporan Penelitian Individual, IAIN

Walisongo, 2014), 83.

Page 105: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

87

dalam banyak karyanya, salah satunya adalah al-Taḥżīr „alā al-

Bidā‟.16

1.5 Ṣāliḥ ibn Fauzān

Nama Ṣāliḥ ibn Fauzān sudah tidak asing lagi bagi dunia

Islam terutama dalam lingkungan ulama-ulama yang mengikuti

manhāj salafi. Ia berasal dari keluarga Fauzān (ālu fawzān) dan

dilahirkan pada tahun 1353 H/1933 M di Asy-Syumaisiyah, Arab

Saudi. Semasa mudanya, Ṣāliḥ ibn Fauzān belajar hadis, tafsir,

dan bahasa Arab kepada para ulama Arab Saudi dan Mesir di

Universitas Al-Azhar. Ia menuntut ilmu pada banyak ulama besar

ahli fikih, diantaranya „Abd al-„Azīz ibn Bāz, „Abdullāh ibn

Humaid, Muḥammad al-Amīn al-Syinqiṭī, dan lainnya.17

Sebagai pemikir muslim, Ṣāliḥ ibn Fauzān banyak

mengeluarkan ide dalam hal ketauhidan. Pemikirannya banyak

terinspirasi dari Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah,

Muḥammad ibn Ṣāliḥ al-„Uṡaimīn, „Abd al-„Azīz ibn Bāz. Ia

menyandarkan dalil al-Qur‟an dan syarḥ hadis yang dibawakan

dalam kitabnya pada pemahaman salaf al-ṣāliḥ serta para ulama

ahlu sunnah yang mengikuti mereka. Pembelaannya terhadap

16

Amin Farih, “Analisis Pemikiran Abdullah Bin Baz dan Sayyid

Muhammad Al-Maliky,” 83. 17

Yulian Purnama, “Biografi Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al

Fauzan,” Diakses, 15 Januari, 2020, https://muslim.or.id/9338-biografi-syaikh-

dr-shalih-bin-fauzan-al-fauzan.html

Page 106: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

88

akidah dan sunnah yang murni tertuang dalam banyak karya,

salah satunya kitab al-Tawḥīd li al-Ṣaff al-Ṡāliṡ al-„Aliy.18

1.6 Muṣṭafā al-‘Adawī

Muṣṭafā al-„Adawī adalah salah seorang ulama ahli sunnah

yang cukup terkenal di dunia Islam dengan latar belakang

pendidikan yang sangat unik. Ia lahir di Desa Maniah Samanūd

Mesir pada tanggal 17 September 1954. Muṣṭafā al-„Adawī

memang sosok anak yang memiliki perhatian dan kecintaan yang

besar terhadap al-Qur‟an. Hal itu terbukti saat masih kanak-

kanak, ia berhasil menghafal al-Qur‟an dan belajar tata bahasa

Arab, hadis, fikih, dan sebagainya. Ia juga telah menyelesaikan

studinya di Jurusan Teknik Mesin Universitas Manshuriyah

Mesir pada tahun 1972 M. Pada masa aktif kuliahnya, Muṣṭafā al-

„Adawī pergi ke Mekkah untuk melaksanakan umrah. Disinilah

awal mula ia mendalami manhāj salafi dan banyak membaca

buku tersebut.19

Setelah melakukan pengembaraan ilmiah selama bertahun-

tahun dan berguru kepada Syekh Muqbil ibn Hādī al-Wādi‟ī

(seorang ulama ahli hadis terkenal pada masa itu) di Yaman,

Muṣṭafā al-„Adawī kembali ke Mesir untuk mengajar kitab hadis

seperti Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ Muslim, tafsir al-Qur‟an, dan

18

Muhammad Lutfi AlFajar, “Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid dalam

Kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-„Aliy Karya Dr. Shalih Bin Fauzan

Bin Abdullah Al-Fauzan,” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Maulana

Malik Ibrahim Malang, 2016), 54. 19

Yufni Faisol, “Konsep Adil dalam Poligami: Telaah Pemikiran

Mushthofa Al-„Adawī dalam Tafsir Al-Tashīl Lita‟wīl Al-Tanzīl,”

International Journal Ihya „Ulum Al-Din, vol.18, no.1, (2016), 27-28.

Page 107: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

89

fikih. Ia juga sangat aktif menulis sehingga beragam karya telah

dihasilkannya dalam beberapa bidang kajian Islam, seperti fikih,

hadis, muṣṭalāh al-ḥadīṡ, dan tafsir. Diantara karyanya di bidang

tafsir adalah al-Tashīl li Ta‟wīl al-Tanzīl.

Sumber yang digunakan dalam tafsirnya adalah al-Qur‟an itu

sendiri yaitu penafsiran ayat dengat ayat. Kemudian hadis Nabi,

aṡar yang diterima dari para salaf al-ṣāliḥ, para sahabat, tabi‟in,

dan tābi‟ al-tābi‟īn. Muṣṭafā al-„Adawī berupaya menjauhkan diri

dari sumber isrā‟īliyāt dan pendapat yang tidak memiliki dasar

yang kuat. Ia cenderung memahami ayat atau hadis yang

dijadikannya argumentasi secara tekstual. Latar belakang

keilmuannya yang lebih banyak bersentuhan dengan ulama hadis,

menjadikan Muṣṭafā al‟Adawī menafsirkan al-Qur‟an dengan

warna riwāyah.20

Berdasarkan uraian di atas, penulis berasumsi bahwa

komunitas Ma‟had Ihya As-Sunnah dalam memahami keagamaan

banyak merujuk kepada ulama yang berpemahaman salafi,

khususnya tentang akidah dan fikih. Dilihat dari kitab-kitab yang

mereka gunakan seperti kitab Ḥirāsah al-Faḍīlah, al-Wajīz fī

Fiqh al-Sunnah wa al-Kitāb al-„Azīz, dan Fiqh al-Sunnah li al-

Nisā‟ serta beberapa ulama fatwa yang menjadikannya sebagai

tolak ukur dalam memahami faham keagamaan. Ulama yang

dimaksud adalah „Abd al-„Azīz ibn Bāz, Muṣṭafā al-„Adawī, dan

Ṣāliḥ ibn Fauzān yang mana ketiganya masih memiliki hubungan

20

Yufni Faisol, “Konsep Adil dalam Poligami: Telaah Pemikiran

Mushthofa Al-„Adawī dalam Tafsir Al-Tashīl Lita‟wīl Al-Tanzīl,” 33.

Page 108: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

90

guru dan murid. Para ulama tersebut sangat terkenal dengan

pemahamannya yang bermanhāj salafi, di mana mereka

memahami dan mempraktikkan suatu nash secara tekstual.

Sehingga dalam praktik bercadar, konteks ayat tidak

dipertimbangkan ke masa kini.

Hal ini terbukti ketika mereka memaknai jilbab pada QS al-

Nūr (24):31 sebagai perintah menutupi seluruh tubuh perempuan

muslimah tanpa terkecuali. Ini disebabkan pemaknaan pada

penggalan ayat ال ما ظهر منها adalah pakaian luar karena tidak

mungkin disembunyikan. Berbeda dengan wajah harus ditutup

karena dianggap sebagai pusat keindahan sehingga dapat

menimbulkan ketertarikan bagi laki-laki. Menurut hemat penulis,

jika memakai cadar bertujuan untuk tidak menarik perhatian laki-

laki maka hal ini dianggap tidak sesuai dengan konteks di

Indonesia. Pemakaian cadar justru mengundang perhatian orang

lain khususnya laki-laki karena berbusana seperti ini dianggap

tidak biasa bagi masyarakat Indonesia. Di samping itu,

pemakaian cadar yang hanya memperlihatkan mata saja

menimbulkan rasa penasaran bagi yang memandangnya.

2. Pesantren Nur Assa’adah

Berdasarkan hasil wawancara di atas, penulis menelusuri

sumber rujukan baik itu kitab atau tokoh ulama yang dinilai

mempengaruhi pemikiran keagamaan Pesantren Nur Assa‟adah.

Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ustadz Zaki bahwa

dalam proses belajar mengajar para santri di Pesantren Nur

Page 109: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

91

Assa‟adah memakai kitab yang biasa digunakan di pesantren

salaf berkultur Nahdlatul „Ulama (NU) juga memiliki orientasi

fikih Mazhab Syafi‟i. Di antara kitab-kitab yang menjadi sumber

rujukan adalah:

2.1 Safīnah al-Najāh

Kitab ini ditulis oleh Sālim ibn Sumair al-Khaḍramī. Ia adalah

seorang hakim yang berkiprah dalam bidang politik dan militer.

Ia lahir di Kampung Dzi Ashbah, daerah Hadhramaut, Yaman.

Pada masa mudanya, ia belajar al-Qur‟an kepada ayahnya sendiri

yaitu Abdullāh ibn Sa‟d ibn Sumair. Di Hadhramaut, Sālim

digelari al-mu‟allim. Gelar ini menjadi istilah khusus di

Hadhramaut untuk menyebut orang yang pakar dalam al-Qur‟an

sehingga berkompeten mengajarkannya. Ia juga pernah

berkunjung ke Jawa tepatnya di Betawi, karena ada persoalan

politik Hadhramaut. Domisili di Jawa inilah yang nampaknya

menjadi salah satu faktor kitab Safīnah al-Najāh populer di

Indonesia, khususnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di

Jawa.21

Kitab Safīnah al-Najāh adalah kitab fikih bermazhab Syafi‟i

yang bentuknya ringkasan (mukhtaṣar) mengenai dasar-dasar

fikih. Kitab ini ditujukan bagi pelajar dan pemula sehingga hanya

berisi kesimpulan hukum fikih tanpa menyertakan dalil dan dasar

pengambilannya dalam penetapan hukum. Pembahasan materi di

dalamnya terdiri dari 6 bab pokok, yaitu tauhid, ṭaharah

21

Muafa, “Mengenal Kitab Safinatu An-Najah,” Diakses, 02 Januari,

2020, http://irtaqi.net/2018/02/26/mengenal-kitab-safinatu-najah/

Page 110: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

92

(bersuci), shalat, jenazah, zakat, dan puasa. Kitab ini populer di

kalangan pondok pesantren Nahdliyyin dan masuk sebagai salah

satu materi kurikulum dasarnya.22

2.2 Ḥāsyiyah al-Bājūrī ‘alā Ibni Qāsim al-Ghozzī

Pengarang kitab ini bernama Ibrāhīm al-Bājūrī al-Miṣrī yang

dilahirkan pada tahun 1197 H. Secara genealogis, kitab ini

berasal dari Matn Abī Syujā‟ yang sangat terkenal di kalangan

Syafi‟iyyah. Kitab Matn Abī Syujā‟ diberi syarah (syarḥ) oleh

Kitab Fatḥ al-Qarīb yang juga banyak dipelajari oleh

masyarakat. Kemudian Kitab Fatḥ al-Qarīb dibuatkan ḥāsyiyah23

oleh al-Bājūrī sehingga karyanya menjadi terkenal dengan nama

Ḥāsyiyah al-Bājūrī „alā Ibni Qāsim al-Ghozzī. 24

Dalam kitabnya, al-Bājūrī banyak membahas isu-isu yang

sering terjadi dan kasus-kasus aktual seperti hukum melihat

wanita, aurat, hukum dokter lelaki mengobati pasien wanita

ajnabiyyah, hukum menunda kehamilan, hukum vasektomi atau

tubektomi, masalah riba, dan lain-lain. Meskipun kitab ini berupa

22

Yasin Munandar, “Studi Analisis Materi Fikih dalam Kitab Safīnat

Al-Najāh Karya Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhromiy dan Relevansinya

dengan Materi Fikih Kelas VII MTs,” (Skripsi S1., Institut Agama Islam

Negeri Ponorogo, 2018), 5. 23

Karya syarah (syarḥ) merupakan karya tulis berupa kitab yang

mengelaborasi karya lain yang lebih orisinal, yang dipandang sebagai matn

(teks inti). Adapun ḥāsyiyah adalah Penjabaran atau elaborasi lebih lanjutnya.

(Nurcholish Majid, “Tradisi Syarḥ dan Ḥasyiyah dalam Fiqih dan Masalah

Stagnasi Pemikiran Islam,” Diakses, 02 Januari, 2020,

http://nurcholishmadjid.org/assets/pdf/buku/1994_06-Tradisi-Syarh-dan-

Hasyiyah-dalam-Fiqih.pdf 24

Muafa, “Mengenal Kitab Hasyiyah Al-Bajuri,” Diakses, 02 Januari,

2020, http://irtaqi.net/2018/03/02/mengenal-kitab-hasyiyah-al-bajuri/

Page 111: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

ḥāsyiyah, namun dilihat dari pendekatan penulisannya cenderung

seperti syarah karena di dalamnya dijelaskan secara rinci dari

mulai kebahasaan (nahwu atau sharaf), fikih dan uṣūl fikih. Al-

Bājūrī juga menjelaskan diantara pendapat yang kuat (rājih) dan

lemah (marjūh).25

2.3 Tafsīr al-Jalālain

Tafsīr al-Jalālain adalah kitab yang dikarang oleh dua

mufasir bernama Jalāl al-Dīn al-Maḥallī dan Jalāl al-Dīn al-

Suyūṭī. Nama asli kitab tersebut adalah Tafsīr al-Qur‟ān al-

„Aẓīm, namun lebih dikenal dengan nama Tafsīr al-Jalālain

sebagai penisbatan kepada kedua pengarangnya. al-Maḥalli lahir

di Kairo dan hidup dalam usia 73 tahun (791H/1389M-

864H/1462). Sedangkan al-Suyūṭī lahir di Mesir pada bulan

Rajab tahun 849 H/1445 M dan meninggal pada 911 H/1505 M.

Kitab ini ditulis pertama kali oleh al-Maḥallī mulai dari surat al-

Kahfi hingga surat al-Nās, kemudian dilanjut ke penafsiran al-

Fātiḥah. Penafsiran ayat-ayat berikutnya diambil alih oleh

muridnya, al-Suyūṭī yang dimulai dari surat al-Baqarah sampai

al-Isrā‟.26

Model paparan ringkas dalam Tafsīr al-Jalālain dikenal

dengan metode ijmālī (global). Secara metodologis, tafsir ini

dapat digolongkan dalam tafsir dengan metode bi al-ra‟yi.

25

Muafa, “Mengenal Kitab Hasyiyah Al-Bajuri,” Diakses, 02 Januari,

2020, http://irtaqi.net/2018/03/02/mengenal-kitab-hasyiyah-al-bajuri/ 26

Kurdi Fadlal, “Studi Tafsīr Jalālain di Pesantren dan Ideologisasi

Aswaja,” Jurnal Nun, vol.2, no.2, (2016), 30-33.

93

Page 112: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

94

Penilaian ini dikemukakan oleh banyak ulama. Hasbi al-Siddiqi

misalnya, pernah menyatakan bahwa diantara 20 karya tafsir

yang pernah ada, Tafsīr al-Jalālain diletakkan pada urutan nomor

satu sebagai tafsir bi al-ra‟yi. Kedua penulis tafsir ini sama-sama

bermazhab Syafi‟iyah dalam bidang fikih dan beraliran

Asy‟āriyah dalam teologi. Mazhab fikih dan teologi ini telah

diperlihatkan dalam penafsiran kedua pengarangnya.27

Berdasarkan hasil wawancara di atas, penulis berasumsi

bahwa Pesanten Nur Assa‟adah banyak merujuk kitab bermazhab

Syafi‟i. Hal ini dapat dibuktikan ketika merespon beberapa

pertanyaan dari penulis dengan bersumber pada kitab-kitab

diatas. Kitab tersebut merupakan kitab yang populer di kalangan

pesantren salaf bermazhab Syafi‟i khususnya NU. Di dalamnya

menyajikan beberapa pendapat Syafi‟iyyah tentang masalah fikih,

khususnya aurat. Karena dalam Madzhab Syafi‟i pun masih

terdapat perdebatan diantara guru dan murid. Melihat hal ini,

komunitas Pesantren Nur Assa‟adah mengambil pendapat yang

dianggap lebih kuat diantara ulama Mazhab tersebut. Dengan

demikian dalam masalah aurat, bagi mereka pendapat yang kuat

adalah pendapat sebagian Syafi‟iyyah yang mengatakan seluruh

tubuh wanita aurat. Maka pemakaian cadar menjadi suatu

keharusan. Akan tetapi, komunitas ini tidak menerapkan aturan

bercadar bagi santriwatinya karena menurut mereka persoalan

tentang cadar dikembalikan pada pribadi masing-masing.

27

Kurdi Fadlal, “Studi Tafsīr Jalālain di Pesantren dan Ideologisasi

Aswaja,” 30-33.

Page 113: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

95

Komunitas Nur Assa‟adah menilai santriwati yang bercadar itu

sebagai suatu kebaikan.

D. Argumentasi Pemakaian Cadar Bagi Pesantren Nur

Assa’adah dan Ihya’ As-Sunnah

Setelah mengetahui pemahaman tentang aurat perempuan

beserta ayat-ayatnya dari sejumlah informan, penulis berupaya

memperoleh argumentasi mereka dalam pemakaian cadar.

Penulis membagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama;

santriwati Ma‟had Ihya As-Sunnah, kelompok kedua; santriwati

Pesantren Nur Assa‟adah.

1. Ma’had Ihya As-Sunnah

Berdasarkan peraturan Ma‟had Ihya As-Sunnah bahwa setiap

santriwati (termasuk pengajar) diharuskan memakai busana yang

longgar misalnya gamis, jilbab yang panjang sampai menutupi

pinggang, memakai kaos kaki, dan memakai cadar. Pemakaian

cadar ini diberlakukan baik di dalam komplek pesantren maupun

di luar, terutama ketika melewati fasilitas umum. Peraturan dan

praktik cadar di pesantren ini, tidak terlepas dari cara memahami

suatu nash. Setelah mengetahui pemahaman mereka terhadap QS

al-Nūr (24):31, penulis berupaya menelusuri argumentasi mereka

dalam memakai cadar. Argumentasi tersebut penulis membaginya

menjadi dua macam, yaitu internal dan eksternal. Berikut

beberapa argumentasi para informan dalam pemakaian cadar:

Page 114: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

96

1.1 Argumentasi Internal

Argumentasi internal merupakan alasan pemakaian cadar

disebabkan faktor dari diri sendiri.

Perlindungan diri

Argumentasi internal yang mendorong para informan untuk

bercadar adalah melindungi diri. Seperti tergambar dalam kutipan

berikut:

“Ya mungkin ingin lebih menjaga diri saja. Karena

biasanya kalo misalnya pakai, beda gitu ketika

sebelum pakai niqāb sama pakai niqāb tuh orang tuh

berbeda sikapnya ke kita. Ya bedanya mereka lebih

menghormati, mereka lebih segan. Jadinya memang,

apa ya, oh bener yang namanya kita berhijab tuh bisa

menjaga kita gitu, menjadikan kita lebih aman dari

godaan.”28

“Waktu itu lebih ke itu aja ya, pertama udah ngerasa

ga nyaman gitu ya. Pas di akademik kan yang ngajar

juga ada ikhwan akhwat gitu. Sebenernya kan untuk

tempat yang ikhtilaṭ seperti itu kan memang amannya

ya udah kita memang menutuplah.”29

Argumentasi melindungi diri muncul karena adanya

pemahaman bahwa memakai cadar akan menghindarkan diri dari

pergaulan sosial yang bebas, khususnya dengan lawan jenis.

Alasan seperti ini menimbulkan rasa nyaman terhadap diri

sendiri. Hal yang sama dirasakan oleh salah satu informan berikut

ini:

28

Ummu Fatimah, Wawancara. 29

Ustadzah Jeri, Wawancara.

Page 115: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

97

“Udah enak aja, soalnya kalo pakai cadar tuh kaya

terjaga, trus lebih tenang aja gitu.”30

Perintah Agama

Di samping itu, pemakaian cadar juga merupakan upaya

untuk menjalankan perintah agama. Tentunya berdasarkan pada

dalil-dalil yang dipahami. Seperti diungkapkan oleh salah satu

informan berikut:

“Kalo kita pelajari lebih dalam ternyata cadar itu

tidak ikhtiāf loh. Sekurang-kurangnya untuk berjaga-

jaga. Jadi misalnya seperti ini, kalo misalnya kita

meyakini cadar itu wajib dan kita pake gitu, dan

ternyata ketika nanti dihisab di hari kiamat dan

hukumnya benar-benar wajib berarti kita kan udah

lepas dari kewajiban ya. Tapi kalo kita masih ragu-

ragu dan kita tetap memakai, tapi ternyata nanti kita

temukan kalo hukumnya sunnah kan kita gapapa.”31

“Ya karena pengen itu, mengikuti sunnah Nabi. Terus

perintah juga kan dari Nabi lebih baik pake cadar.

Disini masih suka ada kaya mang tukang gitu. Jadi

belum bersih dari ikhwan, belum steril.”32

Berdasarkan ungkapan para informan di atas menunjukkan

bahwa alasan internal memakai cadar adalah sebagai bentuk

menjalankan perintah agama dan tidak memberikan peluang yang

dapat menimbulkan godaan dari lawan jenis sehingga

menimbulkan rasa nyaman dalam diri. Dengan demikian,

pemakaian cadar dianggap sebagai bentuk perlindungan diri.

30

Suci (Santri Putri Bercadar Ma‟had Ihya‟ As-Sunnah Tasikmalaya),

diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus 2019, Jawa Barat 31

Ustadzah Jeri, Wawancara. 32

Putri (Santri Putri Bercadar Ma‟had Ihya‟ As-Sunnah

Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus

2019, Jawa Barat

Page 116: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

98

Penulis berasumsi bahwa para informan tersebut memahami

ayat dan hadis yang menggambarkan praktik bercadar pada masa

Nabi sebagai salah satu ajaran Islam yang perlu diikuti, bukan

sebagai suatu model berpakaian pada saat itu. Padahal mayoritas

ulama tafsir klasik dan modern pun tidak mengatakan pemakaian

cadar sebagai perintah bagi seluruh muslimah, dengan

mempertimbangkan konteks ayat tersebut di masa sekarang.

Dengan demikian, pembacaan sejumlah informan Ihya As-

Sunnah terhadap teks keagamaan cenderung mengikuti apa

adanya praktik bercadar yang dilakukan oleh para sahabat.

1.2 Argumentasi Eksternal

Argumentasi lain yang memperkuat keputusan mengenakan

cadar bersumber dari faktor eksternal, yaitu alasan pemakaian

cadar yang disebabkan faktor dari luar.

Mengikuti Model Yang Dikagumi

Sebagian informan mengemukakan bahwa argumentasi

penggunaan cadar adalah karena mengikuti model yang dikagumi

dan teman di lingkungannya. Misalnya ṣaḥābiyyah di masa Nabi

Muhammad dan para pengajar di Ma‟had Ihya As-Sunnah.

Sebagaimana disampaikan sebagian informan:

“Pasti kan berawal dari mendengar cerita para

sahabat gitu ya, para ṣaḥābiyyah. Mereka pake niqāb.

Para ṣaḥābiyyah itu mereka memakai niqāb.

Maksudnya kalo dipikir-pikir gitu ya saat itu, ya

memang dalilnya pasti ada sudah jelas. Hanya saja

kalo dipikir-pikir, saat itu saja para ṣaḥābiyyah saja

Page 117: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

99

pakai dalam keadaan seperti itu. Apalagi hari ini, ya

mungkin lebih baiknya perempuan memakai niqāb.

Kemudian juga mungkin berpikir, kita tidak bisa

mengikuti apa yang, maksudnya amalan kita tidak

seperti amalan mereka loh, gitu. Paling tidak kita

menginginkan ada satu poinlah gitu yang kita bisa

mengikuti apa yang mereka lakukan.”33

“Dari guru-guru juga sih. Kan disini juga kalo

pelajaran ustadz harus memakai niqāb. Kemudian di

kelas juga ada hijab kan, jadi kalo ada pelajaran

ustadz itu hijab ditutup. Nah dari sana ana juga

berpikir, berarti jarak antara yang bukan mahram

benar-benar diperhatikan dalam Islam. Dari guru-

guru juga Ummu Fatimah ya, ana liat Ummu

Fatimah pakai niqāb. Bu Yiyis tadi juga gitu dan

meneladani para ṣaḥābiyyah dulu juga zaman

Rasūlullāh.”34

“Ya lebih ke lingkungan dan ajakan teman sih. Kalo

dulu di LIPIA banyak. Apalagi temen-temen yang

dari, ya memang pondoknya kaya disini. Kaya di Bin

Baz Yogja, Bukhori Solo, nah itu, kalo engga euu

anak-anak yang dari Ibn Taimiyah Bogor. Jadi sudah

banyak orang-orang yang seperti itu.”35

Dari kutipan di atas menunjukkan bahwa argumentasi

eksternal pemakaian cadar bagi para informan adalah setelah

mengamati praktik berpakaian yang dilakukan oleh orang-orang

di lingkungannya sehingga ada ketertarikan untuk menirunya.

Salah satunya meniru praktik bercadar ṣaḥābiyyah melalui buku

bacaan, para pengajar di pesantren, dan teman-temannya.

33

Ummu Fatimah, Wawancara. 34

Ustadzah Rania, Wawancara. 35

Ustadzah Jeri, Wawancara.

Page 118: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

100

Menurut hemat penulis, peniruan tersebut tidak terlepas dari

anggapan informan bahwa praktik bercadar dibenarkan oleh

agama. Apalagi didukung dengan cerita para sahabat yang

mempraktikkan pemakaian cadar, karena mereka melihat para

sahabat sebagai tolak ukur dalam beragama. Hal tersebut

menguatkan asumsi penulis bahwa pemahaman dan praktik

keIslaman mereka meniru apa adanya para salaf al-ṣāliḥ.

Peraturan Pesantren

Selain itu, alasan lain memakai cadar adalah menjalani

peraturan pesantren. Sebagaimana diungkapkan oleh dua

informan berikut ini:

“Saya ga berniqāb. Karena memang pada dasarnya

saya ga pake niqāb yah, jadinya saya ga pake. Disini

cuman kalo lagi keluar doang, kalo lagi ke bagian

putra, kalo di kelas ada ustadz (memakai cadar). Tapi

kalo dijenguk mah engga. Tapi untuk lewatin gerbang

sampingnya itu harusnya pake. Jadi kalo misalkan

ada yang ga pake sebenernya itu ngelanggar.”36

“Memakai niqāb itu formalitas disini saja, di sekitar

lingkungan pesantren aja. Soalnya belum siap dan

keluarga besar belum mendukung.”37

Berdasarkan kutipan di atas menunjukkan bahwa peraturan

pesantren menjadi awal mula pemakaian cadar bagi Difaa‟ dan

Silvia selaku santriwati Ihya As-Sunnah. Hal ini sangatlah

36 Difaa‟ (Santri Putri Bercadar Ma‟had Ihya As-Sunnah

Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus

2019, Jawa Barat. 37

Silvia (Santri Putri Bercadar Ma‟had Ihya‟ As-Sunnah

Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 23 Agustus

2019, Jawa Barat.

Page 119: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

101

menarik karena praktik bercadar tersebut dilakukan hanya di

lingkungan Ihya As-Sunnah dan sekitarnya. Selain formalitas

pesantren, ada ketidaksiapan dalam diri dan lingkungan keluarga

yang tidak mendukung praktik bercadar.

Bagi penulis, kedua informan tersebut lebih memilih untuk

tidak memakai cadar ketika berada di lingkungan rumah. Mereka

menginginkan cara berkomunikasi yang normal, baik dengan

keluarga ataupun masyarakat sekitar. Perempuan bercadar di

lingkungannya seringkali dianggap asing dan dipandang sebelah

mata, karena sebagian masyarakat masih menganggap bahwa

praktik tersebut tidak akan terlepas dari cara memahami teks

keagamaan yang kaku. Dengan demikian, Difaa‟ dan Silvia

memilih untuk berbusana layaknya muslimah pada umumnya.

2. Pesantren Nur Assa’adah

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa cara

berbusana sebagian santriwati di Pesantren Nur Assa‟adah ada

yang memakai cadar. Mengingat hal itu, penulis mengambil 2

informan yang tidak memakai cadar dan 4 informan yang

memakainya sehingga dapat diketahui argumentasi mereka

tentang pemakaian cadar dari perspektif yang berbeda. Kedua

informan yang tidak bercadar memiliki beberapa alasan di

antaranya, belum mendapatkan izin dari keluarga khususnya

orangtua, khawatir tidak konsisten dalam memakai cadar dan

ketidaksiapan menerima respon yang dinilai negatif dari

masyarakat. Seperti diilustrasikan dalam kutipan berikut:

Page 120: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

102

“Kumahanya, kirang didukung ku Bapakna. Saur

bapak mah: ah cenah ieu eta mah, janten cenah keun

we nu penting mah katutupan ieuh, katutupan dada.

Atuh pami ditiung, ditiung ageung, keun we teu

dicadar oge.”38

“Gimana ya, kurang didukung sama Bapak. Kata

Bapak: ah itu mah gitu, jadi katanya biarin aja yang

penting tertutup, menutupi dada. Kalo mau dijilbab,

dijilbab ukuran besar, ga apa-apa ga pake cadar

juga.”

“Abi teh teu acan kuat dina cobaanana kitu. Nya

jadina teh, pami naon teh, batur nyarioskeun tentang

kitu kitu kitu gening. Tah abi teh teu acan siap tina

etanana. Sareng kasieunan bilih teu istiqamah.”39

“Saya belum kuat dari cobaannya gitu. Ya jadinya,

kalo apa ya, orang lain ngomongin ini dan itu. Nah

saya belum siap dari itunya. Dan takut ga bisa

istiqamah.”

Hal ini disebabkan, menurut kedua informan, penggunaan

cadar secara tidak langsung mengesankan kesalehan dalam diri

perempuan dan masih dianggap sebagai identitas faham

radikalisme dan terorisme bagi sebagian masyarakat. Selain itu,

beberapa ulama berbeda pendapat dalam hukum memakai cadar.

Perbedaan itu terjadi karena cara pandang mereka dalam

memahami suatu nash. Di kalangan ulama fiqih terdapat

perdebatan dalam menentukan batas aurat perempuan yang

berkisar antara wajah dan telapak tangan. Misalnya sebagian

38

Ulpi (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah

Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 21 Agustus

2019, Jawa Barat. 39

Putri (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah

Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 21 Agustus

2019, Jawa Barat.

Page 121: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

103

Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa wajah dan telapak tangan

boleh terbuka sedangkan sebagian Mazhab Syafi‟i yang lain

berpandangan sebaliknya. Dengan demikian, tidak adanya

pernyataan jelas dalam nash tentang perintah bercadar

memutuskan mereka untuk memakai jilbab tanpa cadar.

Berbeda dengan 4 informan yang memakai cadar

mengungkapkan beberapa argumentasi dan apa yang

melatarbelakangi mereka dalam bercadar. Pada awalnya keempat

informan ini berbusana layaknya muslimah pada umumnya, yakni

memakai baju lengan panjang, rok, celana, dan jilbab, terhitung

sejak menduduki Sekolah Dasar (SD) pada tahun 2010 sampai

awal masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2018. Di

pertengahan tahun 2019, mereka memutuskan untuk memakai

jilbab disertai cadar. Perubahan ini terjadi setelah beberapa lama

mereka mondok di Pesantren Nur Assa‟adah antara tahun 2017-

2019. Penulis membagi argumentasinya menjadi dua macam

yaitu internal dan eksternal. Beberapa argumetasi internal dan

eksternal para informan adalah sebagai berikut:

2.1 Argumentasi Internal

Argumentasi internal yang mendorong para informan dalam

memakai cadar adalah sebagai berikut:

Mencegah Perilaku Negatif

Pemakaian cadar dianggap dapat mencegah terjadinya

perilaku negatif. Seperti diungkapkan oleh salah satu informan

berikut ini:

Page 122: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

104

“Peupeuriheun akhlak mah teu acan sae, urang teh

coba we menutupi heula aurat urang kitu tah. Sugan

we ku carana urang mun naon dicadar, ke ge akhlak

ge nuturkeun. Jantena teh pami urang bade berbuat

teh kapanan kieu: piraku atuh urang teh bade kieu da

urang teh dicadar, isin kitu tah. Jantena teh urang

teh menutupi heula aurat, janten engke we akhlak

nuturkeun jeung aya pegangan eta.”40

“Dari pada akhlak belum baik, kita mencoba

memperbaikinya dengan menutupi aurat kita.

Barangkali aja kalo kita pake cadar, akhlak

mengikuti. Jadi kalo kita mau melakukan sesuatu itu

gini: masa kita mau seperti ini (berbuat hal negatif),

kan kita pake cadar, malu gitu. Jadinya kita menutup

aurat dulu, nanti juga akhlak mengikuti dan supaya

jadi pegangan.”

Perlindungan Diri

Selain itu, alasan pemakaian cadar adalah sebagai bentuk

perlindungan diri dari lawan jenis yang kemudian muncul rasa

nyaman dalam diri. Sebagaimana kutipan dibawah ini:

“Ningali pas aya ceramah tidieu gening teh, niqāb

teh lebih nyaman kitu. Enya sih bener oge pas abi

ningal. Abi ge ngango kerudung ageung oge kitu

masih keneh diganggu ku pameget. Upami anu

ngango niqāb kitu asa geus sopan kitu. Pami pameget

teh sopan kitu ningali nu ngange niqāb teh.”41

“Liat waktu ada acara ceramah disini ka, niqāb itu

lebih nyaman gitu. Iya sih betul juga waktu aku liat.

Aku juga pake kerudung besar masih diganggu laki-

laki. Kalo yang pake niqāb gitu kaya sopan aja gitu.

Laki-laki tuh sopan gitu kalo liat yang pake niqāb.”

40

Tasya, Wawancara. 41

Siska, Wawancara.

Page 123: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

105

“Pas sore teh abi ngange we. Tidinya teh

alḥamdulillāh gening, plong hate teh tenang. Asalna

teh isinnya, da teu biasa. Janten santri teh nu biasa

sok kumaha kitunya, atuh tiasa wantun nyarios

kumaha, tidinya mah janten asa terhormati ka

urangna. Janten asa urang teh kumahanya di mata

santri teh, janten teu wantunlah santri ngaheureuyan

ka urang teh. Asa terjaga gening alhamdulillahna.

Yang pernting mah hoyong asing di mata lelaki.”42

“Waktu sore aku pake (cadar). Dari situ

alḥamdulillāh hati tuh tenang, plong. Awalnya malu,

karena ga biasa. Jadi santri (putra) yang biasa suka

gimana gitu ya, dari situ (setelah pake cadar) kita

terasa dihormati. Jadi kita itu serasa gimana ya di

mata santri tuh, jadi ga berani santri becandain kita.

Alhamdulillahnya serasa terjaga. Yang penting itu

ingin asing di mata laki-laki.”

Perintah Agama

Di samping untuk menjaga diri, pemakaian cadar bagi

salah satu informan adalah sebagai bentuk melaksanakan perintah

Allah. Sebagaimana kutipan berikut:

“Hoyong43

menutupi aurat yang diperintahkan oleh

Allah.”44

Berdasarkan kutipan di atas, argumentasi utama pemakaian

cadar bagi para informan adalah menimbulkan rasa aman dan

nyaman dalam diri, terutama ketika berhadapan dengan lawan

jenis. Bagi mereka, dengan memakai cadar dapat menyadarkan

42

Syifa (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah

Tasikmalaya), diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 21 Agustus

2019, Jawa Barat 43

Ingin. 44

Syifa, Wawancara.

Page 124: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

106

mereka dalam berbuat sesuatu. Misalnya ketika informan ada

keinginan untuk melakukan sesuatu yang dinilai melanggar

syari‟at, ia seakan langsung menyadari sebagai perempuan

bercadar, karena cadar dianggap sebagai identitas perempuan

saleha. Dengan demikian, pemakaian cadar dianggap dapat

mencegah terjadinya perbuatan negatif.

2.2 Argumentasi Eksternal

Argumentasi lain yang memperkuat para informan dalam

memakai cadar adalah dari faktor eksternal. Diantaranya sebagai

berikut:

Ajakan Guru

Sebagian informan mengungkapkan bahwa seringkali ada

ajakan dari guru. Seperti termuat dalam kutipan berikut:

“Awal mulana dicadar teh kajurung ku Akang

(Pimpinan Pesantren). Saur akang teh cenah, dicadar

cenah naon teh ameh hayang asup surga mah cenah

ceuk akang teh kitu. Hehehe. Saur akang teh:

santriyah cenah sok sok geura dicaladar hoyong ka

surga mah dikaraos kaki.”45

“Awal mulanya bercadar itu didorong oleh Akang

(Pimpinan Pesantren). Kata Akang tuh, bercadar! biar

masuk surga katanya. Kata Akang: santriyah.. ayo

segera bercadar kalo mau masuk surga, pake kaos

kaki.”

“Akang mah nya panginten kitu: santriyah....cenah,

geura dicaladar. Bari heureuy kitu tah. Jantena teh

45

Fira (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah Tasikmalaya),

diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti, Tasikmalaya, 21 Agustus 2019, Jawa Barat.

Page 125: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

107

menyuruh mah henteu, cuman menyadarkan we kitu

tah.”46

“Kata Akang kayanya gitu: santriyah... ayo bercadar.

Sambil bercanda gitu. Jadi tidak menyuruh, tapi

hanya menyadarkan.”

Berdasarkan kutipan kedua informan di atas, mereka

seringkali mendapatkan motivasi di sela-sela pengajian dari

Kyainya (Pimpinan Pesantren) untuk memakai cadar.

Mengikuti Model Yang Dikagumi

Alasan pemakaian cadar yang lainnya juga karena seringkali

mengamati praktik busana Bu Nyai (Istri Kyai) dan beberapa

teman seniornya yang memakai cadar, sehingga para informan

merasa tertarik untuk menirunya. Seperti ungkapan berikut:

“Pas pasantren didieu gening, naon teh pengurus teh

seueur nu dicadar, aya duaan, teh opi sareng teh iip.

Sok tataros kitu teh kunaon dicadar teh?. Da cenah

kedahna kitu saur eta teh. Karena ningal nu

arageung, pengurus ti kelas hiji SMP. Ke we cenah

aliyah, ayeuna mah sok diajar heula cenah.”47

“Waktu pesantren disini, apa ya, pengurus tuh banyak

yang pake cadar, ada dua orang, Ka Opi dan Ka Iip.

Suka bertanya gitu, kenapa pake cadar ka?. Katanya

emang harusnya begitu. Karena liat senior dan

pengurus dari kelas satu SMP. Nanti katanya Aliyah

(SMA), sekarang belajar dulu aja.”

46

Tasya, Wawancara. 47

Fira, Wawancara.

Page 126: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

108

Mengikuti Kajian

Selain itu, salah satu informan seringkali mengikuti kajian

yang diikuti oleh komunitas bercadar. Sebagaimana diilustrasikan

dalam kutipan berikut:

“Ti masuk kampus tos aya niat, pas ngiringan kajian

sareng nu sanesna kitu, aya nu ngange niqāb kitu.

Kajiana biasa aya nu di Mesjid Agung, di RDA

(Rumah Dakwah Abu), di caket Polsek anu bade ka

Indihiang. Pami aya nu ngajak we teh, nu sok aya di

Mesjid AP (Asia Plaza) geningan. Awalna sih ningali

eta we kitu geningan, ningali rerencangan aya nu

sakelas oge nu ngange niqāb.”48

“Dari masuk kampus udah ada niat, pas ikut kajian

sama yang lainnya gitu, ada yang pake niqāb.

Kajiannya ada yang di Mesjid Agung, di RDA

(Rumah Dakwah Abu), dekat Polsek yang mau ke

Indihiang. Kalo ada yang ngajak aja ka, yang suka

ada di Mesjid AP (Asia Plaza). Awalnya sih liat gitu,

liat temen-temen ada yang pake cadar di kelas.”

Menurut hemat penulis, setidaknya ada dua poin penting yang

menjadi alasan para informan Pesantren Nur Assa‟adah untuk

memakai cadar. Pertama, dipengaruhi oleh ajakan Kyainya serta

melihat praktik bercadar yang dilakukan oleh teman-temannya

dan Bu Nyai (Istri Kyai). Kedua, munculnya rasa nyaman dalam

diri sejak memutuskan untuk memakai cadar. Hal tersebut hanya

dapat dirasakan oleh mereka yang bercadar.

Menurut analisa penulis, argumentasi pertama dianggap kuat

dalam mempengaruhi pemakaian cadar. Selain itu, praktik

48

Siska, Wawancara.

Page 127: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

109

tersebut sudah lebih dulu dilakukan oleh Istri Kyai yang

kemudian beberapa santriwati ada yang menirunya. Umumnya di

pesantren yang berkultur NU, keluarga Kyai seringkali menjadi

tolak ukur dalam beragama. Sehingga praktik seperti ini dianggap

sesuatu yang baik dan berbuah pahala.

E. Refleksi dan Praktik Cadar di Pesantren Nur Assa’adah

dan Ihya As-Sunnah dalam Wacana Cadar Global

Sekarang

Secara historis-sosiologis, cadar dan jilbab tidak bisa

dilepaskan dari wacana tubuh sebagai identitas sosial. Tubuh

tidak hanya semata-mata menyandang identitas fisik, namun juga

identitas sosial dan bahkan menciptakan batasan-batasan sosial

tertentu. Jilbab dan cadar merupakan sebuah simbol dan bentuk

komunikasi non verbal yang memberikan tanda secara langsung

mengenai identitas dirinya sebagai seorang perempuan muslim

tanpa harus mengucapkannya melalui kata-kata kepada orang

lain.49

Sebagian umat Islam menganggap cadar sebagai perintah

Allah yang terdapat dalam al-Qur‟an, sementara sebagian muslim

yang lain dan juga umat non-muslim menganggapnya sebagai

praktik yang aneh. Belakangan ini di Indonesia cadar

diidentikkan sebagai pakaian yang berasal dari budaya Arab,

banyak orang beranggapan bahwa pemakaian cadar dinilai

sebagai pakaian yang berlebihan dan orang yang memakainya

49

Lisa Aisiyah dan Rosdalina “Problematika Hukum Cadar dalam

Islam: Sebuah Tinjauan Normatif-Historis,” 79.

Page 128: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

110

dianggap menutup diri dari pergaulan sosial, serta dikhawatirkan

adanya penyalahgunaan cadar untuk kepentingan-kepentingan

bahwa apapun justifikasi terhadap cadar di masa lalu, hal itu tidak

mempunyai relevansi sama sekali dengan zaman modern.

Kalangan umat Islam ortodoks, khususnya ulama, disisi yang lain

menganggap cadar bagi perempuan sebagai kebutuhan yang

absolut dengan penggunaannya menjadi kebiasaan yang biasa

dilakukan.50

Praktik bercadar yang dilakukan di masa lalu, baik itu oleh

para sahabat Nabi atau jauh sebelum itu, ternyata diikuti oleh

sebagian orang di masa kini. Salah satunya teraplikasikan di

Ma‟had Ihya As-Sunnah dan sebagian santriwati Pesantren Nur

Assa‟adah Tasikmalaya. Meskipun kedua pesantren ini terdapat

praktik bercadar, namun keduanya memiliki cara pandang yang

berbeda dalam memahami suatu nash khususnya terkait ayat

jilbab.

Praktik bercadar di Pesantren Nur Assa‟adah nampaknya

menjadi minoritas. Karena dari jumlah 63 santriwati hanya 8

orang yang memakai cadar. Praktik seperti ini mulai terjadi pada

tahun 2003 tepatnya setelah KH Saepul Asy‟ari menunaikan

ibadah haji beserta istrinya. Setelah kepulangannya dari tanah

suci, istrinya merubah cara berbusana muslimah yang hanya

berjilbab menjadi bercadar. Melihat hal tersebut, sebagian

santriwati mulai mengikuti praktik bercadar dari tahun ke tahun

hingga saat ini. Bagi penulis, pemandangan seperti ini tidak

50

Ali Engineer, Pembebasan Perempuan, 83.

Page 129: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

111

terlepas dari bagaimana para santri menjadikan Kyainya sebagai

tolak ukur dalam beragama, salah satunya dengan meniru cara

berbusana „Bu Nyai‟ (Istri Kyai). Karena jika melihat pesantren

lain yang berkultur NU, keumumannya adalah santriwatinya tidak

memakai cadar. Dengan demikian, santriwati bercadar di

Pesantren Nur Assa‟adah dianggap golongan minoritas baik di

kalangan komunitasnya atau diantara pesantren berkultur NU

lainnya.

Secara aturan, Pesantren Nur Assa‟adah tidak menerapkan

santriwatinya untuk memakai cadar, sehingga praktik bercadar

yang ada termasuk golongan minoritas. Meski begitu, praktik

seperti ini tidak menjadikannya sesuatu yang asing bagi para

santri yang lain. Melihat kedua praktik ini yakni santriwati yang

memakai cadar dan tidak memakainya, menunjukkan bahwa

pemahaman keagamaan mereka tidak kaku. Mereka menerima

praktik berbusana yang berbeda antara satu dan lainnya.

Meskipun dalam masalah aurat lebih cenderung mengambil

pendapat sebagian Mazhab Syafi‟i yang menyatakan seluruh

tubuh perempuan aurat, namun mereka melihat penafsiran QS al-

Nūr (24):31 sangat beragam dari mulai pendapat yang dinilai

ketat sampai longgar. Sehingga memakai cadar tidak menjadi

praktik yang diharuskan bagi para santrinya.

Berbeda dengan Ma‟had Ihya As-Sunnah, praktik bercadar

termasuk golongan mayoritas. Karena di pesantren ini

menerapkan peraturan memakai cadar bagi seluruh santriwatinya

baik jenjang SMP atau SMA. Hal tersebut tidak terlepas dari cara

Page 130: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

112

mereka memahami suatu nash, salah satunya QS al-Nūr (24):31.

Berdasarkan hasil wawancara yang didapat, para informan Ihya

As-Sunnah memahami ayat tersebut sebagai perintah menutup

seluruh tubuh perempuan tanpa terkecuali. Sebagaimana

pengakuan salah satu informan bahwa Ma‟had Ihya As-Sunnah

tidak berpegang pada salah satu dari 4 mazhab (tidak bermazhab).

Akan tetapi, jika ada pendapat yang dinilai kuat dari ulama 4

mazhab maka mereka mengambil pendapat tersebut. Oleh karena

itu, penulis mengkategorikan Ihya As-Sunnah sebagai salah satu

komunitas yang memiliki pemahaman salafi, karena berdasarkan

temuan penulis kaum salafi merupakan salah satu komunitas yang

tidak bermazhab atau dengan kata lain anti taqlīd. Penulis

berasumsi, cara pandang seperti ini bisa saja terpengaruh oleh

para ulama yang biasa dijadikan rujukan oleh mereka. Khususnya

para ulama yang memiliki pemahaman yang sama yaitu salafi,

yang sering kali menyuarakan jargon “kembali pada al-Qur‟an,

hadis, dan salaf al-ṣāliḥ”.

Di sisi lain, mereka mengakui adanya perbedaan pendapat

para ulama dalam mengenakan cadar. Namun pendapat yang

dianggap kuat menurut mereka adalah mengenakannya karena

praktik seperti ini sudah ada pada masa Nabi. Hal ini

menunjukkan bahwa cara memahami masalah keagamaan mereka

adalah meniru apa adanya yang dilakukan oleh salaf al-ṣāliḥ.

Praktik bercadar di Ihya As-Sunnah sudah diterapkan sejak

berdirinya pesantren ini. Bagi penulis, praktik tersebut menjadi

identitas Ihya‟As-Sunnah dan minoritas di kalangan masyarakat.

Page 131: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

113

Meski begitu, mereka tidak menutup diri pada masyarakat

yang berbeda faham dengannya. Hal ini bertujuan untuk

memudahkan masyarakat dalam menerima dakwah mereka.

Lembaga ini cukup aktif melakukan dakwah di berbagai media

guna menyebarluaskan pemahaman keagamaan mereka pada

khalayak. Lain halnya dengan Pesantren Nur Assa‟adah yang

berfokus pada pengajian para santri dan m sosial kemasyarakatan.

Selain itu, Yayasan Ihya As-Sunnah juga membuka peluang

bisnis dengan menjual pakaian dan obat herbal yang sesuai

dengan pemahaman mereka. Misalnya menjual jubah dan peci

untuk laki-laki, gamis, jilbab dengan ukuran panjang, dan cadar

untuk perempuan, serta obat herbal yang menurut mereka

terjamin kehalalannya. Oleh sebab itu, hal ini menunjukkan

bahwa mereka sangat berupaya menyebarluaskan pemahamannya

di berbagai bidang.

Page 132: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

114

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis

menyimpulkan pemahaman Pesantren Nur Assa‟adah dan Ihya

As-Sunnah terhadap QS al-Nūr (24):31 mengenai perintah

berjilbab menjadi bercadar dan argumentasi pemakaian cadar

bagi kedua komunitas tersebut.

1. Dalam memahami QS al-Nūr (24):31, sebagian komunitas

Pesantren Nur Assa‟adah mendukung pendapat yang

diambil oleh Imam Jalālain yaitu setiap muslimah harus

menutupi seluruh tubuhnya termasuk wajah, dengan

tujuan menghindari terjadinya fitnah. Selain itu, mereka

merujuk pada kitab-kitab fikih yang bermazhab

Syafi‟iyyah seperti Safīnah al-Najāh dan Ḥāsyiyah al-

Bājūrī yang mengemukakan pendapat serupa. Oleh karena

itu, dalam pemahamannya tentang aurat, Pesantren Nur

Assa‟adah cenderung mempertahankan pendapat sebagian

Mazhab Syafi‟i. Akan tetapi, pemahaman tersebut tidak

dijadikan sebagai peraturan di Pesantren Nur Assa‟adah,

karena persoalan batasan aurat perempuan pada ayat

tersebut masih menjadi perdebatan para ulama hingga saat

ini. Dengan demikian, praktik bercadar yang dilakukan

oleh 8 orang santriwati di Pesantren Nur Assa‟adah

dianggap sebagai golongan

Page 133: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

115

minoritas, karena santriwati di pesantren yang berkultur

NU umumnya tidak memakai cadar. Pemahaman

Pesantren Nur Assa‟adah terhadap QS al-Nūr (24):31

bersifat representatif, artinya mewakili pendapat yang

lainnya di pesantren tersebut.

2. Sebagian komunitas Ma‟had Ihya As-Sunnah memahami

QS al-Nūr (24):31 sebagai perintah menutup seluruh

tubuh perempuan tanpa terkecuali, sehingga pemakaian

cadar menjadi suatu keharusan. Oleh karena itu, Ma‟had

Ihya As-Sunnah menerapkan peraturan memakai cadar

bagi seluruh santri putrinya. Hadirnya pemahaman

tersebut karena komunitas ini banyak mempertahankan

fatwa para ulama salafi dan kitab-kitabnya. Di antara

kitab rujukannya adalah Ḥirāsah al-Faḍīlah, Fiqh al-

Sunnah li al-Nisā’, dan al-Wajīz fī Fiqh al-Sunnah wa al-

Kitāb al-‘Azīz. Adapun ulama salafi yang banyak

dijadikan fatwa rujukan oleh mereka, khususnya tentang

cadar adalah „Abd al-„Azīz ibn Bāz, Ṣāliḥ ibn Fawzān,

dan Muṣṭafā al-„Adawī, yang ketiganya memiliki

hubungan guru dan murid dengan pemahaman yang sama.

Pemahaman komunitas Ihya As-Sunnah terhadap QS al-

Nūr (24):31 tidak bersifat representatif, karena penulis

menemukan pendapat yang berbeda di antara sejumlah

informan. Dengan demikian, pemahaman yang berbeda

lainnya yang tidak terlibat dengan penelitian ini sangatlah

dimungkinkan.

Page 134: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

116

3. Argumentasi atau alasan dasar pemakaian cadar bagi 4

informan Pesantren Nur Assa‟adah terbagi dua macam;

Pertama, argumentasi internal yaitu alasan pemakaian

cadar yang muncul karena faktor dari diri sendiri. Di

antaranya, memakai cadar dapat mencegah terjadinya

perilaku negatif, merasa nyaman dan aman dari lawan

jenis, juga sebagai bentuk ibadah ketika memakainya.

Kedua, argumentasi eksternal yaitu alasan pemakaian

cadar yang muncul karena faktor dari luar. Di antaranya,

ajakan dari Kyai, mengamati praktik bercadar beberapa

temannya serta Bu Nyai (Istri Kyai), dan sering mengikuti

kajian bersama komunitas perempuan bercadar di sekitar

Kota Tasikmalaya seperti RDA (Rumah Dakwah Abu).

4. Adapun argumentasi pemakaian cadar bagi 8 informan

Ma‟had Ihya As-Sunnah terbagi dua macam; Pertama,

argumentasi internal yaitu alasan pemakaian cadar yang

muncul karena faktor dari diri sendiri. Di antaranya, ingin

melindungi diri karena bagi sebagian informan cadar akan

menghindarkan diri dari pergaulan sosial yang bebas,

khususnya dengan lawan jenis, merasa nyaman terhadap

diri sendiri, dan menjalankan ajaran agama. Kedua,

argumentasi eksternal yaitu alasan pemakaian cadar yang

muncul karena faktor dari luar. Di antaranya, mengikuti

model yang dikagumi seperti para sahabat di Masa Nabi

dan teman-teman di lingkungannya, serta menjalani

peraturan pesantren. Keikutsertaan di lingkungan

Page 135: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

117

komunitas bercadar membentuk mereka menjadi

perempuan bercadar yang memiliki pemahaman serupa.

B. Saran

Dari penelitian yang sudah dilakukan, ada beberapa hal yang

sekiranya perlu disampaikan:

1. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan kepada

perempuan muslimah untuk lebih mengetahui dan

memahami maksud QS al-Nūr (24):31 dari berbagai

literatur. Cara memahami ayat tersebut akan

bergantung pada rujukan yang dipakai.

2. Selanjutnya penulis mengharapkan adanya penelitian

lebih lanjut mengenai pemahaman suatu komunitas

terhadap QS al-Nūr (24):31 yang belum ada disini,

dikarenakan penulisan ini masih jauh dari sempurna.

Page 136: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

118

DAFTAR PUSTAKA

„Abdillāh, Bakr ibn. Ḥirāsah al-Faḍīlah. tp, tt.

Abidin, Zainal bin Syamsudin. Buku Putih Dakwah Salafiyah.

Jakarta: Pustaka Imam Abu Hanifah, 2009.

Ahmad, Shofian dan Lotfiah. Aurat: Kod Pakaian Islam. Utusan

Publications, 2004.

Aisyiah, Lisa Aisiyah dan Rosdalina. “Problematika Hukum

Cadar dalam Islam: Sebuah Tinjauan Normatif-Historis.”

Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah. vol. 16, no. 1 (2018): 78.

al-„Uṡaimīn, Muḥammad ibn Ṣāliḥ. Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm

(Surah al-Nūr). Saudi: Mu‟assasah al-Syaikh Muḥammad

ibn Ṣāliḥ al-„Uṡaymīn al-Khairiyah, 1436 H.

AlFajar, Muhammad Lutfi. “Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid dalam

Kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-„Aliy Karya Dr.

Shalih Bin Fauzan Bin Abdullah Al-Fauzan.” Skripsi S1.,

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,

2016.

Alma‟ani, Zaky (Staf Pengajar Pesantren Nur Assa‟adah).

Diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti. Tasikmalaya, 23

Agustus 2019, Jawa Barat.

Al-Qur‟an, Lembaga Pentashihan Mushaf. Kedudukan dan Peran

Perempuan: Tafsir Al-Qur’an Tematik. Jakarta: Lajnah

Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2009.

al-Qurṭubī, Muḥammad ibn Aḥmad. al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān

jilid 12, terj. Ahmad Khotib. Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

al-Suyūṭī, Jalāluddīn. al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut:

Mu‟assasah al-Risālah, 2008. al-Qaṭṭān, Mannā‟ Khalīl.

Mabāḥiṡ fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut: Mu‟assasah al-

Risālah, 1989.

Page 137: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

119

al-Ṭabarī, Muḥammad ibn Jarīr. Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay al-

Qur’ān, terj. Ahsan Askan, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam,

2009. vol. 19.

Ambia, Rizki Nurul. “Strategi Komunikasi Komunitas Wanita

Indonesia Bercadar (WIB) Dalam Mensosialisasikan Jilbab

Bercadar.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2016.

As-Sunnah, Ma‟had Ihya. Profil Yayasan Ihya As-Sunnah.

Tasikmalaya, 2015.

Badawi, Abd al-„Aẓīm ibn. al-Wajīz fī Fiqh al-Sunnah wa al-

Kitāb al-‘Azīz. Mesir: Dār Ibn Rajab, 2001.

Bisri, Adib dan Munawir. Kamus al-Bisri Indonesia-Arab Arab-

Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif, 1999.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren: Studi tentang

Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994.

ElGuindi, Fadwa. Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan

Perlawanan Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005.

Engineer, Asghar Ali. Pembebasan Perempuan, terj. Agus

Nuryatno. Yogyakarta: LKis, 2007.

Fadlal, Kurdi. “Studi Tafsīr Jalālain di Pesantren dan

Ideologisasi Aswaja.” Jurnal Nun. vol.2, no.2 (2016).

Faisol, Yufni. “Konsep Adil dalam Poligami: Telaah Pemikiran

Mushthofa Al-„Adawī dalam Tafsir Al-Tashīl Lita’wīl Al-

Tanzīl.” International Journal Ihya ‘Ulum Al-Din. vol.18,

no.1 (2016): 27-28.

Fakhruddin, Muhammad Zaky. “Kolokasi Kata Ḍaraba Dalam

Al-Qur‟an: Studi Terjemahan M Qurasih Shihab.” Skripsi

S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

2017.

Page 138: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

120

Farih, Amin. “Analisis Pemikiran Abdullah Bin Baz dan Sayyid

Muhammad Al-Maliky: Mencari Titik Kesepakatan Sunny

dan Wahabi Melalui Metodologi Istinbat Hukum.” Laporan

Penelitian Individual, IAIN Walisongo, 2014.

Faruk, Umar. “Cadar Wanita Muslimah dalam Perspektif al-

Qur‟an.” Tesis S2., Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Surabaya, 2015.

Fatimah, Ummu (Staf Pengajar Tahfidz Putri Ma‟had Ihya As-

Sunnah). Diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti. Tasikmalaya,

22 Agustus 2019, Jawa Barat.

Firdaus. “Kerudung Dalam Perspektif Al-Qur‟an: Studi Analisis

Surah an-Nur:31 dan al-Ahzab:59.” Skripsi S1., Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001.

Haekal, Adam. “Jilbab Antara Pemahaman Ayat dan Aplikasinya

Studi Kasus Mahasiswi Anggota HIQMA dan LDK UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.” Skripsi S1., Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.

Hanafi, Muchlis M. Asbābun Nuzūl: Kronologi dan Sebab

Turunnya Wahyu al-Qur’an. Jakarta: Lajnah Pentashihan

Mushaf Al-Qur‟an, 2015.

Irawan, Ade. “Hijab, Khimar dan Jilbab: Usaha Kontekstual

Substantif Telaah Penafsiran Muhammad Said al-Asymawi

Atas QS al-Ahzab (33): 53:59 dan al-Nur (24):31,” Skripsi

S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

2006.

Iskandar, Amalia Sofi. “Konstruksi Identitas Muslimah

Bercadar.” Diakses, 02 Februari, 2019,

https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/58

973/Amalia%20Sofi%20Iskandar.pdf?sequence=1

Jeri, Ustadzah (Staf Pengajar Bahasa Arab Putri Ma‟had Ihya As-

Sunnah). Diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti. Tasikmalaya,

23 Agustus 2019, Jawa Barat.

Page 139: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

Majid, Nurcholish. “Tradisi Syarḥ dan Ḥasyiyah dalam Fiqih dan

Masalah Stagnasi Pemikiran Islam.” Diakses, 02 Januari,

2020, http://nurcholishmadjid.org/assets/pdf/buku/1994_06-

Tradisi-Syarh-dan-Hasyiyah-dalam-Fiqih.pdf

Manẓūr, Ibn. Lisān al-‘Arab. Beirut: Dār al-ṣadīr, tt.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya, 2004.

Muafa. “Mengenal Kitab Hasyiyah Al-Bajuri.” Diakses, 02

Januari, 2020, http://irtaqi.net/2018/03/02/mengenal-kitab-

hasyiyah-al-bajuri/

Muafa. “Mengenal Kitab Safinatu An-Najah.” Diakses, 02

Januari, 2020, http://irtaqi.net/2018/02/26/mengenal-kitab-

safinatu-najah/

Munandar, Yasin. “Studi Analisis Materi Fikih dalam Kitab

Safīnat Al-Najāh Karya Syaikh Salim bin Sumair Al-

Hadhromiy dan Relevansinya dengan Materi Fikih Kelas

VII MTs.” Skripsi S1., Institut Agama Islam Negeri

Ponorogo, 2018.

Musaddad, Anwar. “Hubungan Antara Jilbab Dan Perilaku

Islami: Studi Kasus Santriwati Pesantren Madinatunnajah

Tangerang.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2008.

Nur Assa‟adah, Pondok Pesantren. Profil Yayasan Nur Assa’adah

al-Asy’ary. Akta Notaris, no. 442, 30 Maret 2016.

Pendidikan, Badan Standar Nasional. “Standar Sarana dan

Prasarana.” Diakses, 11 November, 2019, www.bsnp-

indonesia.org/standard-sarana-dan-prasarana/.

Purnama, Yulian. “Biografi Syaikh DR. Shalih bin Fauzan Al

Fauzan.” Diakses, 15 Januari, 2020,

https://muslim.or.id/9338-biografi-syaikh-dr-shalih-bin-

fauzan-al-fauzan.html

121

Page 140: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

122

Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternatif. Bandung: Mizan, 1990.

Rania, Ustadzah (Bidang Kesantrian Putri Ma‟had Ihya As-

Sunnah) Diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti. Tasikmalaya,

23 Agustus 2019, Jawa Barat.

Ratri, Lintang. “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim.”

Diakses, 25 Juli, 2019,

https://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/view/31

55

Rizka, Ditha Ainur. “Jilbab Dalam Tata Busana Kontemporer:

Studi Komparasi Pemikiran al-Uṡaimīn dan M Qurasih

Shihab.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2010.

Rizki, Wahyu Fahrul. “Khimar dan Hukum Memakainya Dalam

Pemikiran M Quraish Shihab dan Buya Hamka.” Jurnal Al-

Mazāhib. vol.5, no.1 (2017): 22.

Rohim, Asep. “Penyebaran Pesantren Abad Ke-19 Sampai Awal

Abad ke-20.” Diakses, 11 November, 2019,

www.academia.edu/10985566/Penyebaran_Pesantren_Aba

d_ke-19_sampai_awal_abad_ke-20

Shihab, M Quraish. Al-Lubāb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran

dari Surah-Surah Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. vol. 2.

Shihab, M Quraish. Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah. Ciputat:

Lentera Hati, 2014.

Shihab, M Quraish. Tafsir Al-Misbāh: Pesan, Kesan dan

Keserasian Al-Qur‟an, jilid 9. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Shihab, M Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas

Pelbagai Pesoalan Umat Bandung: Mizan, 1996.

Siska (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah

Tasikmalaya). Diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti.

Tasikmalaya, 22 Agustus 2019, Jawa Barat.

Page 141: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

123

Subhan, Zaitunah. Al-Qur’an dan Perempuan: Menuju

Kesetaraan Gender dalam Penafsiran. Jakarta:

Prenadamedia Group, 2015.

Susanti, Ade. “Gambaran Persahabatan dan Penyesuaian Diri

Pada Mahasiswi UIN Jakarta Yang Mengenakan Cadar.”

Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2008.

Suyanto, Bagong. Metodologi Penelitian Sosial Berbagai

Alternatif Pendekatan Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2007.

Tanra, Indra Tanra. “Persepsi Masyarakat Tentang Perempuan

Bercadar.” Jurnal Equilibrium. vol.2, no.1 (2016): 118.

Tasya (Santri Putri Bercadar Pesantren Nur Assa‟adah

Tasikmalaya). Diwawancarai oleh Sri Fajri Yanti.

Tasikmalaya, 21 Agustus 2019, Jawa Barat.

Tuasikal, Muhammad Abduh. “Ilmuwan yang Menjadi Ulama.”

Diakses, 18 Desember, 2019, https://rumaysho.com/2992-

ilmuwan-yang-menjadi-ulama-1.html

Umar, Nasaruddin. “Menstruasi Kosmetik dan Croissants.”

Jurnal Az-Zikra. no.17, (2006): 65-66.

Umar, Nasaruddin. Fikih Wanita Untuk Semua. Jakarta: PT

Serambi Ilmu Semesta, 2010.

Umar, Nasaruddin. Mendekati Tuhan dengan Kualitas Feminin.

Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2014.

Wijayanti, Ratna. “Jilbab Sebagai Etika Busana Muslimah dalam

Perspektif Al-Qur‟an.” Jurnal Studi Islam. vol.7, no.2

(2017): 157.

Page 142: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

LAMPIRAN 1

Surat Pemberitahuan Pasca Penelitian

124

Page 143: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

125

Page 144: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

126

Pertanyaan Wawancara

Page 145: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

127

LAMPIRAN 2

Brosur Ma‟had Ihya As-Sunnah

Page 146: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

128

Cover Profil Ihya‟ As-Sunnah

Page 147: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

129

Dokumentasi Ma’had Ihya’ As-Sunnah

Gerbang Depan Santri Putra

Gerbang Belakang Santri Putri

Page 148: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

130

Mesjid Utama Ihya As-Sunnah

Kantin Santri Putri

Page 149: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

131

Mini Market MIAS

Toko Obat Herbal

Page 150: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

132

Wisuda Tahfizh Santri Putri

Majalah Dinding Siswa

Page 151: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

133

Wawancara dengan Informan di Halaman Asrama Putri

Page 152: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

134

LAMPIRAN 3

Brosur Pesantren Nur Assa‟adah

Page 153: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

135

Page 154: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

136

Dokumentasi Pesantren Nur Assa’adah

Gerbang Masuk Pesantren Nur Assa‟adah

Mesjid Nur Assa‟adah

Page 155: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

137

Aktivitas Belajar Bersama di Kamar Putri

Sebagian Santri Putri Nur Assa‟adah

Page 156: PEMAHAMAN KOMUNITAS PESANTREN NURrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789...sri fajri yanti nim: 11150340000251 program studi ilmu al-qur’an dan tafsir fakultas ushuluddin

138

Foto bersama Sebagian Informan di Lantai 2 Asrama Putri