Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 1
Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada
Budidaya Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt.) di
Lahan Kering.
Utilization of Biomulch Arachis pintoi in Production of Sweet Corn
(Zea mays saccharata Strut.) at Upland Condition.
Fariidah Silmi1 dan M.A. Chozin1*
Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014
ABSTARCT
The objective of the research was to determine the effect legume cover crop Arachis pintoi as
biomulch on yield of sweet corn (Zea mays saccharata Strut.) as compared to Centrosema pubescens, Calopogonium mucunoides, no weeding, manual weeding, and plastic mulch. The
research was conducted at Cikabayan Experimental Field, Bogor in February - September 2013. Experiment used randomized complete blocked design (RKLT), with single factor and three
replications. The factor was difference type of mulch consisting of control (manual weeding), nature
of vegetation (without weeding), plastic mulch, Arachis pintoi, Centrosema pubescens, and Calopogonium mucunoides. Biomulches influenced change of weeds compositions at research land. The treatment
of A. pintoi biomulch suppressed growth of weeds lower than C. pubescens and C. mucunoides
biomulch. The result revealed that different mulch had no significant effect on all of sweet corn variables except on cob length and cob circumference. A. pintoi, biomulch led was not significantly
different compared to C. pubescens, and C. mucunoides. Plastic mulch increased sweet corn
production component and production better than other treatments.
Keywords : biomulch, legume cover crop, weed, yield, yield component , sweet corn
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efek tanaman penutup tanah (Legume Cover Crop)
Arachis pintoi sebagai biomulsa dan pengaruhnya terhadap produksi tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Strut.) dibandingkan dengan Calopogonium mucunoides, Centrosema pubescens,
tanpa penyiangan (vegetasi alami), penyiangan manual, dan mulsa plastik hitam perak.
Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, Bogor pada bulan Februari-September
2013. Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan satu faktor
dan tiga ulangan. Faktor perlakuan tersebut adalah perbedaan jenis mulsa yang terdiri atas kontrol
(dengan penyiangan manual), vegetasi alami (tanpa penyiangan), mulsa plastik hitam perak, Arachis
pintoi, Centrosema pubescens, dan Calopogonium mucunoides. Penggunaan biomulsa
mempengaruhi pergeseran jenis gulma yang tumbuh di lahan penelitian. Perlakuan biomulsa A. pintoi lebih rendah menekan pertumbuhan gulma dibandingkan dengan perlakuan biomulsa C.
pubescens dan C. mucunoides. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis mulsa
berpengaruh nyata terhadap semua peubah jagung manis yang diamati kecuali pada panjang tongkol
dan lingkar tongkol. Hasil dan komponen hasil jagung manis tidak berbeda nyata antara perlakuan
biomulsa A. pintoi, C. pubescens, dan C. mucunoides. Perlakuan mulsa plastik hitam perak
berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya dalam meningkatkan hasil dan komponen
hasil jagung manis.
Kata kunci: biomulsa, gulma, hasil, komponen hasil, jagung manis, RKLT, tanaman penutup tanah
1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
Telp. & Faks. 62-251-8629353 *e-mail untuk korespondensi: [email protected]
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
2 Fariidah Silmi dan M.A. Chozin
PENDAHULUAN
Jagung manis (Zea mays saccharata
Sturt) merupakan jenis jagung yang memiliki
rasa manis yang melebihi jagung biasa. Selain
itu, masa produksinya yang relatif lebih
singkat (genjah) membuat nilai ekonomis
jagung manis relatif lebih tinggi di pasaran.
Marliah et al. (2010) menyatakan bahwa
jagung manis memiliki peranan yang cukup
besar untuk meningkatkan produksi pangan
dalam negeri, namun produktivitasnya masih
rendah. Peng-gunaan benih dan teknologi serta
budidaya yang kurang intensif di kalangan
petani menyebabkan rendahnya hasil jagung
manis (Rahayu, 2011).
Usaha peningkatan produksi jagung
manis dapat dilakukan dengan meningkatkan
produktivitas atau yang sering dikenal dengan
istilah intensifikasi (Marliah, 2010). Mayadewi
(2007) menambahkan pengembangan jagung
manis secara intensif hanya dapat dilakukan
oleh petani yang memiliki modal besar. Selain
itu, masalah yang sering dihadapi petani
adalah adanya kelangkaan pupuk yang meng-
akibatkan mahalnya harga pupuk di pasaran.
Kebutuhan akan unsur hara yang dapat
diperoleh dari pemberian pupuk serta interaksi
tanaman dengan lingkungan tempat tumbuh
akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
vegetatif dan produksi tanaman jagung manis.
Menurut Sintia (2011) faktor tersebut merupakan
faktor penting yang dapat menghambat atau
mendorong pertumbuhan serta produksi tanaman,
sehingga pengaturan keadaan lingkungan perlu
diupayakan.
Pemberian mulsa merupakan salah satu
alternatif pengaturan keadaan lingkungan
sebagai tempat tumbuh tanaman. Secara fisik
mulsa mampu menjaga suhu tanah lebih stabil
dan dapat mempertahankan kelembaban sekitar
perakaran (Hamdani, 2008). Mulsa dapat
bersumber dari bahan-bahan organik yang
telah mati ataupun masih hidup yang sering
disebut dengan biomulsa. Selain itu, juga
terdapat mulsa yang berasal dari plastik.
Bahan plastik yang saat ini sering digunakan
adalah plastik transparan, plastik hitam, plastik
perak, dan plastik hitam perak.
Tanaman penutup tanah (Legum cover
crop) merupakan salah satu jenis biomulsa.
Jenis tanaman penutup tanah yang sering
digunakan adalah campuran dari Pueraria javanica, Calopogonium mucunoides, dan
Centrosema pubescens (Karyudi dan Siagian,
2006). Arachis pintoi atau yang sering disebut
dengan kacang hias juga merupakan salah satu
tanaman penutup tanah yang dapat tumbuh
dengan baik di daerah tropika, baik di dataran
rendah maupun dataran tinggi (Balittan, 2004).
Fungsi tanaman penutup tanah sebagai biomulsa
dapat mengurangi erosi permukaan tanah,
merombak bahan organik dan cadangan unsur
hara, menekan perkembangan gulma, menekan
gangguan serangga, dan menjaga kelembapan
tanah serta memperbaiki aerasi (Risza, 1995).
Baharrudin (2010) menambahkan bahwa
upaya peningkatan produksi tanaman juga
dapat dilakukan dengan cara menghilangkan
atau mengurangi faktor-faktor yang dapat
merugikan pertumbuhan tanaman. Gulma
merupakan salah satu faktor yang dapat
berperan sebagai pengganggu pertumbuhan
tanaman. Keberadaan gulma dapat menyaingi
tanaman utama dalam memperoleh nutrisi
dalam tanah. Kehadiran gulma pada tanaman
jagung manis merupakan penyebab rendahnya
hasil jagung manis tersebut. Pengaruh gulma
terhadap tanaman dapat terjadi secara langsung,
yaitu dalam hal bersaing untuk mendapatkan
unsur hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh.
Secara langsung sejumlah gulma merupakan
inang dari hama dan penyakit. Gulma yang
dibiarkan tumbuh pada tanaman jagung manis
dapat menurunkan hasil 20% - 80% (Bilman,
2010). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
pengaruh penggunaan tanaman penutup tanah
A. pintoi sebagai biomulsa pada pertanaman
jagung manis dibandingkan C. pubescens dan
C. mucunoides.
BAHAN DAN METODE
Percobaan ini dilaksanakan di Kebun
Percobaan Cikabayan Bawah, Kampus IPB
Dramaga Bogor, mulai bulan Februari-
September 2013. Bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah tiga macam tanaman
penutup tanah yang terdiri atas stek batang A.
pintoi, benih C. pubescens, C. mucunoides dan
benih jagung manis varietas Bimmo. Pupuk
yang digunakan berupa pupuk kandang
kambing 20 ton ha-1, kapur 1 ton ha-1, dan
NPK Mutiara. Bahan-bahan lain adalah Decis
yang berperan sebagai insektisida, Rooton-F
sebagai hormon pemicu pertumbuhan akar,
serta furadan 3G untuk mencegah dari
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 3
serangan serangga tanah saat penanaman
benih jagung manis.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan
rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT)
satu faktor, yaitu dengan perlakuan perbedaan
jenis mulsa berupa B0 = Vegetasi alami tanpa
penyiangan, B1 = Kontrol (vegetasi alami
dengan penyiangan), B2 = Mulsa Plastik
Hitam Perak (MPHP), B3 = Biomulsa Arachis pintoi, B4 = Biomulsa Centrosema pubescens,
serta B5 = Biomulsa Calopogonium mucunoides.
Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali
sehingga terdapat 18 satuan percobaan. Satu
satuan percobaan ialah petak dengan ukuran 5
m x 4 m. Uji F digunakan untuk menganalisis
pengaruh perlakuan. Bila perlakuan berpengaruh
nyata diuji lanjut menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.
Pengujian dilakukan dengan menggunakan
aplikasi SAS.
Pelaksanaan penelitian meliputi peng-
olahan lahan dengan menggunakan traktor dan
bajak. Setelah diolah, lahan dibuat petakan
dengan ukuran 5 m x 4 m dengan jarak antar
bedengan 50 cm dan tinggi bedengan 10 cm.
Petakan lahan kemudian diberi aplikasi pupuk
kandang kambing 20 ton ha-1 dan kapur 1 ton
ha-1. Lahan dibiarkan dua minggu sebelum
ditanami tanaman penutup tanah. Bahan tanam
tanaman penutup tanah A. pintoi berupa stek
batang dengan panjang 4-5 buku setiap stek.
Setelah dipotong-potong dengan ukuran
tersebut kemudian stek direndam dalam
larutan rooton-F dengan konsentrasi 1 g l-1 air
selama satu malam sebelum ditanam. Bahan
tanam tanaman penutup tanah C. pubescens
dan C. mucunoides yang digunakan berupa
benih. Ketiga tanaman penutup tanah ditanam
secara bersama-sama pada masing-masing
petakan dengan jarak tanam yang digunakan
adalah 10 cm x 10 cm.
Penanaman benih jagung manis di-
lakukan setelah penutupan tanaman penutup
tanah mencapai 80%. Benih jagung manis
ditanam dengan cara membuat alur tanam di
setiap petak yang berselang dengan tanaman
penutup tanah. Lebar alur tanam yang dibuat
seluas 50 cm di sepanjang petakan. Pemberian
perlakuan mulsa plastik hitam perak dilakukan
3 hari sebelum penanaman benih jagung manis
dengan membuat lubang berdiameter 10 cm.
Benih jagung manis ditanam pada lubang
tanam dengan jarak tanam 80 cm x 40 cm
pada masing-masing petakan.
Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan
setelah penanaman tanaman penutup tanah
hingga penanaman benih jagung manis meliputi
penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma,
pengendalian hama dan penyakit, serta pem-
bumbunan pada tanaman jagung manis yang
dilakukan bersamaan dengan penyiangan gulma.
Penyiangan gulma dilakukan secara manual
sesuai dengan kebutuhan. Pemupukan dilakukan
dua kali yaitu pada awal penanaman benih
jagung manis dan saat tanaman jagung manis
berumur 4 minggu setelah tanam (MST).
Pemupukan dilakukan dengan cara menaburkan
pupuk NPK ke dalam lubang yang telah dibuat
di samping lubang tanam jagung manis dengan
dosis 65.7 g tanaman-1. Penyemprotan pestisida
dilakukan satu kali saat tanaman jagung manis
berumur 5 MST.
Pengamatan dilakukan terhadap tanaman
contoh yang dipilih secara acak disetiap
petakan. Peubah yang diamati adalah pada
fase vegetatif meliputi tinggi tanaman (cm),
jumlah daun (helai), diameter batang (mm),
lingkar batang (cm), dan saat muncul bunga
jantan/ tassel dengan satuan hari setelah tanam
(HST). Saat fase generatif, peubah yang diamati
meliputi jumlah tongkol tanaman-1 (tongkol),
panjang tongkol (cm), lingkar tongkol (cm),
dan jumlah baris biji tongkol-1 (baris).
Komponen produksi jagung manis yang
diamati meliputi bobot jagung dengan klobot
(g), bobot jagung tanpa klobot (g), bobot
brangkasan basah (g), dan bobot brangkasan
kering (g). Pergeseran dan perubahan jenis
gulma akibat perlakuan diamati berdasarkan
analisis vegetasi yang dilakukan di setiap
petak percobaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Hasil analisis tanah yang dilakukan di
Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan menunjukkan bahwa kondisi
awal tanah penelitian mengandung pH (4.8),
C-organik (1.6%), N-Total (0.14%), P2O5
Bray (62.40 ppm), dan K2O (94.53 ppm).
Menurut Alloway (1995) hasil analisis tanah
awal pada penelitian ini menunjukkan tanah
bersifat masam serta kandungan P2O5 yang
sangat tinggi yaitu 62.40 ppm, namun
kandungan C-organik, N-Total, dan K termasuk
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
4 Fariidah Silmi dan M.A. Chozin
rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tanah
masih membutuhkan lebih banyak bahan
organik.
Pertumbuhan biomulsa A. pintoi me-
ngalami kendala pada awal fase pertumbuhan
seperti kekeringan akibat kekurangan air.
Cuaca panas membuat stek batang A. pintoi
mudah kering dan layu sehingga menghambat
pertumbuhan akar dan tunas. Penanaman
biomulsa C. pubescens dan C. mucunoides
tidak mengalami kendala yang berarti saat
awal penanaman. Pertumbuhan yang cepat
pada kedua biomulsa ini membuat tanaman
cepat merambat dan menutupi permukaan
tanah.
Setelah penanaman jagung manis,
pertumbuhan C. pubescens dan C. mucunoides
yang merambat mengganggu tanaman jagung
manis karena melilit batang jagung. Cara
mengendalikannya yaitu dengan memangkas
secara manual pada C. pubescens dan C.
mucunoides yang melilit batang jagung manis.
Kondisi seperti ini tidak dijumpai pada
biomulsa A. pintoi. Hal ini merupakan salah
satu keunggulan A. pintoi sebagai biomulsa
dibandingkan C. pubescens dan C. mucunoides.
Pertumbuhan gulma terjadi pada semua
petak perlakuan, termasuk pada perlakuan
MPHP. Pertumbuhan gulma pada perlakuan
MPHP terjadi di area lubang tanam. Secara
umum setelah perlakuan biomulsa, pertumbuhan
gulma lebih sedikit dibandingkan dengan
sebelum perlakuan. Pertumbuhan dan per-
kembangan tanaman jagung manis secara
umum lebih baik pada perlakuan MPHP
dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Serangan hama dan penyakit merupakan
salah satu faktor yang menghambat pada
penelitian ini. Hama yang menyerang per-
tanaman jagung manis pada penelitian ini
berupa belalang (Valanga sp.), ulat bulu
(Spodoptera sp.), semut tanah, dan penggerek
tongkol jagung (Helicoverpa armigera Hubner).
Penyakit yang teridentifikasi menyerang
tanaman jagung manis pada penelitian ini
adalah penyakit bulai (Downy mildews).
Intensitas serangan dari hama dan penyakit
relatif rendah, sehingga masih dapat di-
kendalikan. Pengendalian pada hama dilakukan
dengan menyemprotkan insektisida saat terjadi
serangan hama. Pengendalian pada penyakit
bulai dilakukan secara manual yaitu dengan
mencabut dan menjauhkannya dari lahan
pertanaman.
Pengaruh Perlakuan Biomulsa terhadap
Pergeseran Jenis Gulma
Hasil analisis vegetasi yang dilakukan
sebelum perlakuan dan setelah perlakuan
biomulsa (4 MST setelah tanam jagung manis)
disajikan pada Tabel 1. Data menunjukkan
bahwa sebelum perlakuan, teridentifikasi 9
jenis gulma golongan rumput dan 5 jenis gulma
golongan daun lebar, namun tidak ditemukan
gulma dari golongan teki. Berdasarkan nilai
jumlah dominasi (NJD), gulma golongan
rumput (80.53%) lebih dominan dibandingkan
dengan gulma golongan daun lebar (19.47%).
Pengamatan yang dilakukan saat tanaman
jagung manis berumur 4 MST menunjukkan
bahwa perlakuan biomulsa mempengaruhi
pergeseran jenis gulma.
Hasil pengamatan setelah perlakuan
menunjukkan adanya pergeseran jenis gulma
yang berbeda antar perlakuan. Perlakuan
biomulsa A. pintoi mempengaruhi pergeseran
jenis gulma golongan rumput dari 9 jenis
menjadi 6 jenis, begitu juga dengan gulma
golongan daun lebar mengalami pergeseran
jenis. Berdasarkan NJD, gulma golongan daun
lebar (53.22%) pada perlakuan biomulsa A.
pintoi lebih dominan dibandingkan gulma
golongan rumput (46.78%). Hal ini berbeda
dengan perlakuan biomulsa C. pubescens dan
C. mucunoides yang menghasilkan NJD gulma
golongan rumput (90.75%) dan (89.75%) lebih
dominan dibandingkan gulma golongan daun
lebar (9.25%) dan (10.25%). Data tersebut
menunjukkan bahwa ketiga jenis biomulsa (A.
pintoi, C. pubescens, dan C. mucunoides) kurang
efektif menekan gulma golongan rumput.
Meskipun demikian berdasarkan NJD, biomulsa
A. pintoi relatif lebih efektif menekan gulma
golongan rumput dibandingkan dengan C.
pubescens, dan C. mucunoides.
Perlakuan biomulsa juga mempengaruhi
munculnya jenis gulma baru, baik dari
golongan rumput maupun golongan daun
lebar. Terdapat jenis gulma baru yang muncul
pada perlakuan A. pintoi yaitu A. compresus,
C. dactylon, D. adcendens, dan I. cylindrica
untuk gulma golongan rumput, sedangkan
untuk jenis gulma golongan daun lebar
terdapat B. latifolia, M. pudica, dan M. nudiflora
(Tabel 1). Perlakuan vegetasi alami juga
menurunkan jumlah jenis gulma rumput dari 9
jenis menjadi 3 jenis, dan gulma golongan
daun lebar dari 5 jenis menjadi 4 jenis. Hasil
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 5
NJD menunjukkan bahwa gulma golongan
daun lebar (52.23%) lebih dominan dibanding
dengan gulma golongan rumput (47.77%)
pada perlakuan vegetasi alami. Selain itu,
terdapat jenis gulma baru yang muncul pada
perlakuan vegetasi alami yaitu I. cylindrica
dan R. cochicinensis untuk gulma golongan
rumput serta B. laevis, C. pubescens, dan M.
pygra untuk gulma golongan daun lebar.
Beberapa penelitian melaporkan bahwa
penggunaan LCC kurang efektif untuk menekan
gulma golongan rumput (Baharuddin, 2010;
Febrianto, 2012; Kartikawati et al., 2011).
Penelitian Kartikawati et al. (2011) me-
nyebutkan bahwa C. dactilon dan I. cylindrica
dapat mendominasi pada pertumbuhan jagung
yang diberi perlakuan tanaman penutup tanah
Crotalaria juncea L. Hal ini karena gulma
golongan rumput tersebut tumbuh tegak ke
atas sehingga memperoleh faktor tumbuh yang
cukup dan dapat mengimbangi pertumbuhan
tanaman jagung dan tanaman penutup tanah C.
juncea L.
Tabel 1. Jenis gulma rumput yang tumbuh pada awal lahan percobaan sebelum olah tanah dan saat
tanaman jagung manis berumur 4 MST
No Jenis
4 MST Jagung manis
Awal B0 B1 B2 B3 B4 B5
Rumput (R)
1. Axonopus compresus - - - - v v -
2. Brachiaria distasia v v - - - - v
3. Cynodon dactylon - - - - v - -
4. Digitaria adcendens - - v v v - -
5. Digitaria ciliaris v - - v v - v
6. Digitaria nuda v - - - - - -
7. Digitaria sanguinalis v - - - - - -
8. Imperata cylindrica - v - - v - -
9. Ottochloa nodosa v - - - v v -
10. Panicum repens v - - - - - -
11. Paspalum comersonii v - - - - v -
12. Paspalum conjugatum v - - - - v -
13. Penisetum polystation v - - - - v -
14. Roetbolia cochicinensis - v - - - v v
Daun Lebar (DL)
1. Ageratum conyzoides - - - - - v -
2. Asystasia gangetica v - - - - - -
3. Asystasia intrusa v - - - - - -
4. Boreria alata v - v v - v -
5. Boreria laevis - v - - - - -
6. Boreria latifolia - - - v v - -
7. Calopogonium mucunoides v v - - v - -
8. Cleome rutidosperma v - - v v - v
9. Centrosema pubescens - v - - - - -
10. Mimosa pudica - - - - v - -
11. Mimosa pygra - v - - - - -
12. Murdania nudiflora - - - - v - -
13. Phylanthus urinaria - - v - - - -
Jumlah Jenis
(NJD%)
R 9
(80.53%)
3
(47.77%)
1
(48.73%)
2
(27.29%)
6
(46.78%)
6
(90.75%)
3
(89.75%)
DL 5
(19.47%)
4
(52.23%)
2
(51.27%)
3
(72.71%)
5
(53.22%)
2
(9.25%)
1
(10.25%)
Keterangan : B0= vegetasi alami, B1= kontrol, B2= MPHP, B3= A. pintoi, B4= C. pubescens, B5= C. Mucunoides
R= rumput-rumputan, DL= daun lebar, NJD= nilai jumlah dominasi.
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
6 Fariidah Silmi dan M.A. Chozin
Hasil lain yang menarik adalah hasil
pengamatan yang menunjukkan bahwa per-
lakuan biomulsa A. pintoi dapat menekan
secara efektif pertumbuhan gulma golongan
rumput R. cochicinensis, gulma penting yang
keberadaannya dapat mendominasi area per-
tanaman. Berdasarkan Tabel 1, gulma R.
cochicinensis dapat tumbuh pada perlakuan
biomulsa C. pubescens dan C. mucunoides, namun
tidak ditemukan pada perlakuan biomulsa A.
pintoi. Penelitian Febrianto (2012) menyebutkan
bahwa keberadaan gulma R. exaltata merupakan
salah satu gulma yang mendominasi saat lahan
belum dilakukan pengolahan. Saat awal
penanaman A. pintoi, gulma yang men-
dominasi dalam penelitiannya adalah jenis
daun lebar dan saat penutupan A. pintoi hampir 100% gulma yang mendominasi
adalah Axonopus compresus yang merupakan
gulma golongan rumput. Gulma R. exaltata
tidak teridentifikasi setelah aplikasi perlakuan
biomulsa A. pintoi.
Pengaruh Perlakuan Biomulsa terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Jagung Manis
Hasil analisis ragam menunjukkan
perbedaan jenis mulsa berpengaruh nyata
terhadap semua peubah pengamatan kecuali
pada panjang tongkol dan lingkar tongkol
menunjukkan pengaruh tidak nyata (Tabel 2).
Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung
Manis
Berdasarkan hasil pada Tabel 3, tinggi
tanaman pada perlakuan biomulsa A. pintoi (96.19 cm) lebih rendah dan berbeda nyata
dengan perlakuan MPHP (171.40 cm), tetapi
tidak berbeda nyata dengan perlakuan
biomulsa C. pubescens (85.75 cm) dan C.
mucunoides (96.52 cm) serta perlakuan
lainnya. Perlakuan biomulsa A. pintoi
memiliki kecenderungan meningkatkan tinggi
tanaman jagung manis dibandingkan
perlakuan biomulsa C. pubescens. Hasil
percobaan ini berbeda dengan percobaan
Subaedah et al. (2011) yang menyatakan
bahwa penanaman jagung dengan perlakuan
tanaman penutup tanah (TPT) C. pubescens menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi
dibandingkan perlakuan tanaman penutup
tanah (TPT) C. mucunoides. Hal ini terjadi
karena pertumbuhan biomulsa C. pubescens
pada percobaan ini lebih cepat bila
dibandingkan biomulsa C. mucunoides,
sehingga biomulsa C. pubescens melilit batang
jagung manis dan menghambat pertumbuhan.
Jumlah daun pada perlakuan biomulsa
A. pintoi (6.9) tidak berbeda nyata dengan
perlakuan biomulsa C. pubescens (6.2), C.
mucunoides (7.4) dan perlakuan vegetasi alami
(7.0). Perlakuan biomulsa A. pintoi meng-
hasilkan jumlah daun yang lebih sedikit (6.9)
serta berbeda nyata dengan perlakuan kontrol
(8.4) dan perlakuan MPHP (9.8). Jumlah daun
terbanyak diperoleh pada perlakuan MPHP
(Tabel 3). Perlakuan MPHP sebagai mulsa
menghasilkan kelembaban yang tepat,
sehingga mempengaruhi suhu tanah menjadi
rendah. Menurut Mc Williams et al. (1999)
suhu tanah yang rendah akan meningkatkan
jumlah daun pada jagung manis.
Tabel 2. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh
perlakuan perbedaan jenis mulsa
terhadap parameter pengamatan
Karakter F hitung KK (%)
Tinggi tanaman (cm) 25.16** 9.61
Jumlah daun (daun) 10.88** 8.91
Diameter batang (mm) 3.58* 19.31
Lingkar batang (cm) 11.49** 11.09
Muncul bunga (HST) 185.8** 1.16
Jumlah tongkol/tanaman
(tongkol) 37.73** 5.09
Panjang tongkol (cm) 5.34tn 11.12
Lingkar tongkol (cm) 2.57tn 12.37
Jumlah baris/tongkol
(baris) 5.90** 13.12
Bobot jagung dengan
klobot (g) 20.35** 30.22
Bobot jagung tanpa
klobot (g) 21.89** 25.05
Bobot brangkasan basah
(g) 17.51** 25.25
Bobot brangkasan kering
(g) 12** 31.62
Keterangan: ** berbeda nyata pada taraf 1 %, *berbeda
nyata pada taraf 5 %, tn tidak berbeda
nyata
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 7
Tabel 3. Pengaruh perbedaan jenis biomulsa terhadap pertumbuhan vegetatif dan umur berbunga
jagung manis
Perlakuan Biomulsa
Tinggi
Tanaman
(cm) x
Jumlah
Daun
(helai) x
Diameter
batang
(mm) x
Lingkar
Batang
(cm) x
Umur Berbunga
(HST) x
Tanpa penyiangan
(Vegetasi alami) 102.54bc 6.9c 9.29abc 4.07bc 59c
Penyiangan manual
(Kontrol) 116.33b 8.4b 11.04ab 4.56b 60c
MPHP 171.40a 9.8a 12.65a 6.41a 51d
A. pintoi 96.19bc 6.9c 8.72bc 4.27bc 64b
C. pubescens 85.75c 6.2c 6.64c 3.58c 66a
C. mucunoides 96.52bc 7.3bc 10.03abc 4.21bc 65ab
Keterangan: x Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf uji
5%. MPHP = mulsa plastik hitam perak
Rata-rata diameter batang yang di-
hasilkan pada perlakuan biomulsa A. pintoi
(8.72 mm) lebih rendah dan berbeda nyata
dengan perlakuan MPHP (12.65 mm), sedangkan
pada perlakuan biomulsa C. mucunoides
(10.03 mm) lebih rendah namun tidak berbeda
nyata dengan perlakuan MPHP. Begitu juga
pada peubah lingkar batang, perlakuan
biomulsa A. pintoi (4.27 cm) lebih rendah dan
berbeda nyata dengan perlakuan MPHP
(6.41cm), namun tidak berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya.
Umur berbunga pada perlakuan A.
pintoi (64 HST) lebih cepat dan berbeda nyata
dengan perlakuan biomulsa C. pubescens (66
HST), namun lebih lambat dan berbeda nyata
dengan perlakuan MPHP (51 HST). Umur
berbunga pada perlakuan MPHP merupakan
umur yang paling cepat dibandingkan dengan
perlakuan lainnya (Tabel 2). Hal ini sejalan
dengan penelitian Subekti et al. (2010), yang
me-nyatakan bahwa fase tasseling biasa terjadi
saat umur tanaman jagung manis berkisar 45-
52 HST.
Komponen Hasil Produksi Jagung Manis
Komponen hasil produksi jagung manis
sangat dipengaruhi oleh fase pertumbuhan
(vegetatif). Pertumbuhan vegetatif yang baik
pada jagung manis mempengaruhi per-
tumbuhan generatif yang dihasilkan juga baik
(Marliah et al., 2010). Subekti et al. (2010)
dalam penelitiannya menambahkan bahwa
hasil dan bobot biomas jagung yang tinggi
akan diperoleh jika pertumbuhan tanaman
optimal. Rekapitulasi sidik ragam pada Tabel
1 menunjukkan penggunaan berbagi jenis
mulsa berpengaruh nyata terhadap komponen
jagung manis.
Berdasarkan Tabel 4, rata-rata jumlah
tongkol untuk setiap tanaman jagung manis
pada perlakuan biomulsa A. pintoi adalah satu
tongkol. Hal ini sama dan tidak berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya, namun lebih rendah
dan berbeda nyata dengan perlakuan MPHP
(1.5 buah). Panjang tongkol pada perlakuan
biomulsa A. pintoi (13.40 cm) lebih rendah
namun tidak berbeda nyata dengan kontrol
(14.76 cm), sedangkan jika dibandingkan
dengan perlakuan MPHP (17.15 cm), panjang
tegak pada perlakuan biomulsa A. pintoi lebih
rendah dan berbeda nyata.
Peubah lingkar tongkol pada perlakuan
biomulsa A. pintoi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya (Tabel 4), sedangkan
lingkar batang pada perlakuan biomulsa C.
pubescens (9.94 cm) dan C. mucunoides (9.95
cm) lebih rendah dan berbeda nyata dengan
perlakuan MPHP (12.98 cm). Berdasarkan
Tabel 4, rata-rata jumlah baris setiap tongkol
pada perlakuan A. pintoi (9.6 baris) lebih
sedikit dan berbeda nyata dengan kontrol (12.3
baris) dan perlakuan MPHP (13.5 baris),
namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan
lainnya.
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
8 Fariidah Silmi dan M.A. Chozin
Tabel 4. Pengaruh perlakuan biomulsa pada komponen hasil jagung manis
Perlakuan
Jumlah Tongkol/
Tanaman
(tongkol)x
Panjang
Tongkol
(cm) x
Lingkar
Tongkol (cm)
x
Jumlah Baris/ Tongkol
(baris)x
VegetasiAlami 1.0b 14.17bc 11.78ab 12.1ab
Kontrol 1.0b 14.76ab 12.44ab 12.3a
MPHP 1.5a 17.15a 12.98a 13.5a
A. pintoi 1.0b 13.40bc 10.73ab 9.6bc
C. pubescens 1.0b 12.09bc 9.94b 8.5c
C. mucunoides 1.0b 11.41c 9.95b 9.3c
Keterangan: x Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf uji 5%
Tabel 5. Pengaruh perlakuan biomulsa terhadap rata-rata hasil jagung manis
Perlakuan
Bobot Jagung
Berkelobot (g)
x
Bobot Jagung
Tanpa Klobot
(g)x
Brangkasan Basah
(per tanaman
contoh (g)x)
Brangkasan kering
(per tanaman contoh
(g)x)
Vegetasi Alami 90b 66bc 104c 21.84c
Kontrol 133b 96b 184b 59.39b
MPHP 338a 189a 350a 104.27a
A. pintoi 85b 54c 108bc 37.51bc
C. pubescens 67b 43c 107bc 33.91bc
C. mucunoides 69b 45c 109bc 30.59bc
Keterangan: x Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf uji 5%.
Peubah bobot jagung berkelobot pada
perlakuan biomulsa A. pintoi (85 g) lebih
rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan
MPHP (338 g), namun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya (Tabel 5). Rata-rata
bobot jagung tanpa klobot setiap tanaman pada
perlakuan biomulsa A. pintoi (54 g) lebih
rendah dan berbeda nyata dengan kontrol (96
g) dan perlakuan MPHP (189 g).
Rata-rata bobot brangkasan basah dan
brangkasan kering jagung manis dapat dilihat
pada Tabel 5 Bobot brangkasan basah pada
perlakuan biomulsa A. pintoi (108 g) lebih
rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan
MPHP (350 g), namun tidak berbeda nyata
dengan perlakuan lainnya (Tabel 5). Begitu
juga bobot brangkasan kering, pada perlakuan
A. pintoi (37.51 g) lebih rendah dan berbeda
nyata dengan perlakuan MPHP (104.27 g).
Bobot brangkasan kering pada perlakuan
MPHP paling tinggi dan berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya.
KESIMPULAN
Penggunaan biomulsa mempengaruhi
pergeseran jenis gulma. Biomulsa A. pintoi
lebih baik dalam menekan gulma golongan
rumput dibandingkan dengan C. pubescens
dan C. mucunoides. Pertumbuhan komponen
hasil dan hasil jagung manis tidak berbeda
nyata antara perlakuan biomulsa A. pintoi, C.
pubescens, dan C. mucunoides. Perlakuan
terbaik dalam mendukung komponen hasil dan
hasil ialah mulsa plastic hitam pekat.
DAFTAR PUSTAKA
Baharuddin, R. 2010. Penggunaan kacang hias
(Arachis pintoi) sebagai biomulsa pada
budidaya tomat (Lycopersicon esculentum
M.) skripsi. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Balittan. 2004. Kacang hias (Arachis pintoi) pada usaha tani lahan. http://balittanah.
litbang.deptan.go.id.html.[14 November
2012].
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.
Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 9
Bilman, W.S. 2010. Analisis pertumbuhan
tanaman jagung manis (Zea mays
saccharata), pergeseran komposisi gulma
pada beberapa jarak tanam jagung dan
beberapa frekuensi pengolahan tanah. J.
Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 3(1):
25-30.
Febrianto, Y. 2012. Pengaruh jarak tanam dan
jenis stek terhadap kecepatan penutupan
Arachis pintoi Krap. & Greg. sebagai
biomulsa pada pertanaman tomat
(Lycopersicon esculentum M.) skripsi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hamdani, J.S. 2008. Pengaruh jenis mulsa
terhadap pertumbuhan dan hasil tiga
kultivar kentang (Solanum tuberosum
L.) yang ditanam di dataran medium. J.
Agron. Indonesia. 37(1): 14-19.
Kartikawati, L.D., S. Titin, T.S. Husni. 2011.
Pengaruh aplikasi pupuk kandang dan
tanaman sela (Crotalaria juncea L) pada
gulma dan pertanaman jagung (Zea mays L) skripsi. Universitas Brawijaya.
Malang.
Marliah, A., Jumini, Jamilah. 2010. Pengaruh
jarak tanam antar barisan pada sistem
tumpangsari beberapa varietas jagung
manis dengan kacang merah terhadap
pertumbuhan dan hasil. Bul. Agrista.
14(1): 30-38.
Mayadewi, N.N.A. 2007. Pengaruh jenis
pupuk kandang dan jarak tanam
terhadap pertumbuhan gulma dan hasil
jagung manis. Bul. Agritrop. 26(4):
153-159.
Mc Williams, D.A., D.R. Benglund, G.J.
Endres. 1999. Corn growth and
management quick guide. www.ag.
ndsu.edu/pubs/plantsci/rowcrops/a1173/a
1173.pdf. [diunduh 23 November 2013].
Rahayu, S. 2011. Tanaman penutup tanah
[Internet]. Tersedia pada: http://www.
worldagroforestry.org/index.php?id=20
[12 Maret 2012].
Risza, R. 1995. Budidaya Kelapa Sawit. AAK.
Kanisisus. Yogyakarta.
Karyudi, Siagian N. 2006. Peluang dan
kendala dalam pengusahaan tanaman
penutup tanah di perkebunan karet. hlm
25-33. Prosiding Lokakarya Nasional
Tanaman Pakan Ternak. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan. Bogor.
Sintia, M. 2011. Pengaruh beberapa dosis
kompos jerami padi dan pupuk nitrogen
terhadap pertumbuhan dan hasil jagung
manis (Zea mays saccharata Sturt.). J.
Tanaman Pangan. 1-7.
Subaedah, S., N.A. Jalal, Suriyanti, B.
Ibrahim. 2011. Perbaikan hasil tanaman
jagung di lahan kering dengan penge-
lolaan tanaman penutup tanah. J.
Agrivigor. 10(2): 122-129.
Subekti, N.A., Syarifuddin, R. Efendi, S.
Sunarti. 2007. Morfologi Tanaman dan
Fase Pertumbuhan Jagung [internet].
Tersedia pada: www.pustaka.litbang.
deptan.go.id/bbps/lengkab/bpp10232.pdf.
2007. [16 November 2013].
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
10 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi
Perubahan Warna Kulit Buah Tiga Varietas Jeruk Keprok
dengan Perlakuan Degreening dan Suhu Penyimpanan
Skin Color Changes on Three Varieties of Tangerines with Degreening and Storage Temperature
Treatments
Hanifah Muthmainnah1, Roedhy Poerwanto1* dan Darda Efendi1
Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014
ABSTRACT
Color is the main quality that determines the level of demand for citrus. Consumer prefers orange citrus, where as green citrus have high productivity in Indonesia. It causes local citrus can
not compete with imported citrus. One way that can make local citrus compete with import citrus is
by improving of colour quality through degreening. This research was conducted to study the effect of degreening and storage temperature on color changes of tangerine peel. Research was conducted
from June until July 2013 at the Laboratory of Center for Tropical Horticulture Studies, IPB. This research used a randomized complete factorial design group 2 factors with 3 replications. The first
factor is degreening temperature (18 0C and room temperature), second factor is storage
temperature (18 0C and room temperature). The results showed that interaction of degreening and storage temperature significantly affected skin coloration. Degreening treatment 18 0C and room
temperature storage on all three varieties of tangerines have the highest Citrus Colour Index (CCI)
value at 15 HSP. The higher value of Citrus Colour Index, the higher orange skin coloration produced.
Key words : degreening temperature, orange, storage temperature, value of Citrus Color Index.
ABSTRAK
Warna merupakan kualitas utama yang menentukan tingkat permintaan konsumen terhadap
buah jeruk. Konsumen lebih menyukai jeruk berwarna jingga, padahal di Indonesia jeruk yang tinggi
produktivitasnya adalah jeruk berwarna hijau. Hal ini menyebabkan jeruk lokal kalah bersaing
dengan jeruk impor. Salah satu cara supaya jeruk lokal dapat bersaing dengan jeruk impor adalah
dengan melakukan degreening. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efek degreening dan
suhu penyimpanan terhadap perubahan warna kulit jeruk keprok. Penelitian dilaksanakan dari bulan
Juni hingga Juli 2013 di Laboratorium Pusat Kajian Hortikultura Tropika, IPB. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) Faktorial dengan dua faktor dan tiga
ulangan. Faktor pertama adalah suhu degreening (18 0C dan suhu ruang), faktor kedua adalah suhu
simpan (18 0C dan suhu ruang). Hasil penelitian menunjukkan interaksi suhu degreening dan suhu
simpan nyata pada perubahan warna. Perlakuan degreening suhu 18 0C dan penyimpanan suhu ruang
pada ketiga varietas jeruk keprok memiliki nilai Citrus Colour Index (CCI) tertinggi dibandingkan
perlakuan lainnya pada 15 HSP. Semakin tinggi nilai CCI, maka warna kulit jeruk yang dihasilkan
semakin jingga.
Kata kunci: jingga, nilai Citrus Color Index, suhu degreening, suhu penyimpanan.
PENDAHULUAN
Jeruk mempunyai nilai ekonomi dan
mengandung gizi yang cukup tinggi. Jeruk
dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun
olahan. Permintaan konsumen terhadap buah
jeruk semakin meningkat disebabkan oleh
peningkatan jumlah penduduk, pendapatan
1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
(Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
Telp. & Faks. 62-251-8629353 *e-mail untuk korespondensi: [email protected]
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
Perubahan Warna Kulit Buah….. 11
dan kesadaran masyarakat terhadap nilai gizi.
Data BPS (2012) produksi jeruk lokal mencapai
1 611 juta ton. Deptan (2013) pada bulan Juli
2013 volume impor jeruk mencapai 2 230 ton
sedangkan ekspor jeruk hanya 73 ton. Standar
konsumsi buah yang ditetapkan Food and Agriculture Organization (FAO) sebesar 65.75
kg per kapita per tahun, jika 10% dari jumlah
standar FAO tersebut adalah buah jeruk maka
dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa (BPS,
2010) akan dibutuhkan 1 422 juta ton per
tahun (Balitjestro, 2010). Hal ini menunjukkan
seharusnya produksi jeruk nasional dapat
memenuhi kebutuhan konsumsi jeruk dalam
negeri. Di Indonesia jeruk yang tinggi produk-
tivitasnya ialah jeruk berwarna hijau. Warna
jeruk yang tetap hijau disebabkan kandungan
pigmen klorofil yang tinggi, dan perombakan
klorofil berjalan lambat. Warna hijau pada
jeruk merupakan hal yang tidak dikehendaki
konsumen karena mengurangi daya tarik
konsumen. Hal ini disebabkan oleh anggapan
masyarakat bahwa jeruk berwarna hijau mem-
punyai citarasa yang kurang baik dan memberi
kesan bahwa jeruk belum matang.
Warna jeruk merupakan salah satu
kualitas utama yang terdiri atas akumulasi
karotenoid dan derivatif C30 apocarotenoids.
Pembentukan warna jingga pada kulit jeruk
disebabkan oleh dua zat warna, yaitu β-citraurin
dan criptoxanthin. β-citraurin membuat warna
kulit jeruk menjadi kemerahan, sedangkan
criptoxanthin membuat warna kulit jeruk
menjadi kuning. Degreening pada suhu ruang
28-29 0C zat warna yang terbentuk hanya
criptoxanthin sehingga seringkali jeruk yang
dihasilkan berwarna kuning. Degreening pada
suhu rendah 18-20 0C menyebabkan β-citraurin dan criptoxanthin terbentuk secara bersamaan
sehingga warna jingga kemerahan dapat di-
hasilkan (Stewart and Wheaton, 1971).
Riyanti (2005) menyatakan bahwa semakin
kuning atau jingga warna kulit jeruk, maka
permintaan semakin meningkat. Hal ini di-
buktikan oleh banyaknya konsumen yang lebih
memilih mengkonsumsi jeruk impor karena
memiliki penampilan yang lebih menarik yakni
berkulit jingga. Para produsen atau distributor
jeruk perlu mengubah warna jeruk yang akan
dipasarkan menjadi jingga untuk memenuhi
permintaan konsumen, salah satu caranya
dengan melakukan degreening pada jeruk
dengan menggunakan etilen/ethepon, sehingga
warna hijau berubah menjadi jingga.
Penyimpanan suhu rendah dapat meng-
hambat kerusakan fisiologis, memperlambat
transpirasi dan respirasi, mengurangi kehilangan
air, serta menghambat aktivitas mikroorganisme
pengganggu sehingga mutu buah sampai ke
tangan konsumen masih tetap terjaga dengan
baik (Safaryani et al., 2007). Penyimpanan suhu
rendah juga dapat memperpanjang mutu fisik
(warna dan penampilan/kesegaran, tekstur dan
citarasa) dan nilai gizi. Penelitian ini bertujuan
untuk membuktikan pengaruh suhu degreening
dan suhu penyimpanan terhadap perubahan
warna kulit tiga varietas jeruk keprok.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Labora-
torium Pusat Kajian Hortikultura IPB.
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni
sampai dengan bulan Juli 2013. Bahan yang
digunakan pada penelitian ini adalah tiga
varietas jeruk keprok (Chokun, Fremont, Batu
55), larutan etephon konsentrasi 120 ppm,
indikator pp, larutan NaOH 0.1N, dan aquades.
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah
lemari pendingin, colour reader, pH meter,
hand refractometer, hand penetrometer,
timbangan analitik, buret, erlenmeyer, labu
takar, gelas ukur, pipet volume, pipet tetes,
orange juicer, dan pisau.
Penelitian ini mengunakan Rancangan
Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) Faktorial 2
faktor, yaitu: suhu degreening (suhu 18 0C dan
suhu ruang) dan suhu simpan (suhu 18 0C dan
suhu ruang). Terdapat 12 perlakuan yang
diamati, setiap perlakuan diulang sebanyak 3
kali, sehingga terdapat 36 satuan percobaan.
Setiap perlakuan diamati 35-40 jeruk dengan 3
jeruk sampel pengamatan warna. Data yang
diperoleh diuji menggunakan uji F (ANOVA)
taraf 5% dan data skoring warna diuji meng-
gunakan uji Friedman kemudian dilanjutkan
dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test
(DMRT) pada taraf 5%.
Ketiga varietas jeruk yang digunakan
dalam penelitian ini dipanen dari perkebunan
jeruk di daerah Tapos, Ciawi, Bogor. Grading
dilakukan setelah panen, buah jeruk dipilih
yang memiliki ukuran sama dan warna seragam.
Jeruk yang terpilih kemudian dicuci, setelah
itu dikeringkan dengan tissue. Jeruk yang telah
dicuci kemudian dimasukkan ke dalam
keranjang, setelah itu dilakukan proses
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
12 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi
degreening. Degreening dilakukan pada suhu
ruang dengan konsentrasi 120 ppm. Jeruk
disemprot satu per satu dengan larutan etephon
secara merata, didiamkan beberapa menit.
Jeruk yang telah disemprot larutan ethephon
kemudian disimpan sebagian pada suhu 18 0C
± 1 0C dan sebagian pada suhu ruang 28 0C ± 1 0C selama 15 jam. Jeruk perlakuan degreening
suhu 18 0C sebagian disimpan pada suhu 18 0C
dan sebagian disimpan pada suhu ruang, jeruk
perlakuan degreening suhu ruang sebagian
disimpan pada suhu 18 0C dan sebagian disimpan
pada suhu ruang. Penyimpanan dilakukan
selama 30 hari. Pengamatan selama penyimpanan
dilakukan setiap hari dan seminggu sekali.
Pengamatan setiap hari, meliputi: nilai Citrus
Color Index (CCI), skoring warna, susut bobot
dan masa simpan. Pengamatan seminggu sekali,
meliputi: kekerasan buah, Padatan Terlarut
Total (PTT), Asam Tertitrasi Total (ATT),
rasio PTT/ATT (Brix: Acid Ratio) dan pH.
Perubahan warna kulit jeruk diamati
setiap hari menggunakan Color Reader selama
30 HSP (Hari Setelah Perlakuan). Menurut
Cuesta et al. (1981), warna kulit jeruk atau
Citrus Color Index (CCI) didapatkan dengan
rumus =1000.a
L.b, dengan L (Luminosity) =
kecerahan, a = perubahan warna hijau ke
merah, b = perubahan warna biru ke kuning.
Nilai CCI<=-5 (hijau gelap), -5<CCI<=0
(hijau), 0<CCI<=3 (hijau kekuningan), 3<
CCI<=5 (kuning kehijauan), 5<CCI<=7 (jingga
kekuningan), 7<CCI<=10 (jingga), CCI>10
(jingga gelap). Perubahan warna kulit pada
ketiga varietas jeruk keprok diamati pada tiga
titik yang mulai beubah warna, yaitu: ujung
buah, ekuator, dan pangkal buah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam
seluruh peubah pada Chokun disajikan pada
Tabel 1. Suhu degreening berpengaruh nyata
hanya pada susut bobot dan pH. Suhu simpan
tidak berpengaruh nyata pada semua peubah.
Interaksi antara suhu degreening dan suhu
simpan nyata hanya pada PTT.
Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam
seluruh peubah pada Fremont disajikan pada
Tabel 2. Suhu degreening berpengaruh nyata
pada warna ekuator, warna pangkal buah, dan
susut bobot. Suhu simpan berpengaruh nyata
pada warna ekuator, warna pangkal buah,
susut bobot, PTT dan pH. Interaksi antara
suhu degreening dan suhu simpan nyata pada
semua peubah yang diamati kecuali warna
ujung buah, kekerasan buah, dan ATT.
Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam
seluruh peubah pada Batu 55 disajikan pada
Tabel 3. Suhu degreening berpengaruh nyata
hanya pada warna ujung buah dan pH. Suhu
simpan berpengaruh nyata pada warna ekuator,
susut bobot, dan pH. Interaksi antara suhu
degreening dan suhu simpan nyata hanya pada
warna ujung buah dan susut bobot.
Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam
semua peubah pada Chokun
Peubah D S D X S KK (%)
Warna Ujung
Buah tn tn tn 5.46
Warna Ekuator tn tn tn 10.11
Warna Pangkal
Buah tn tn tn 10.11
Susut Bobot (%) * tn tn 5.61
Kekerasan Buah
(kg detik-1) tn tn tn 39.30
PTT (oBrix) tn tn ** 5.75
ATT (%) tn tn tn 31.66
pH ** tn tn 3.18
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata, *= berbeda nyata
pada taraf 5%, **= berbeda nyata pada taraf
1%, D= Suhu degreening, S= Suhu simpan,
PTT= Padatan terlarut total, ATT= Asam
tertitrasi total
Tabel 2. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam
semua peubah pada Fremont
Peubah D S D X S KK (%)
Warna Ujung
Buah tn tn tn 19.88
Warna Ekuator ** ** ** 7.79
Warna Pangkal
Buah ** ** ** 10.49
Susut Bobot (%) * ** ** 3.24
Kekerasan Buah
(kg detik-1) tn tn tn 25.32
PTT (oBrix) tn ** ** 4.54
ATT (%) tn tn tn 7.58
pH tn ** * 7.74
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata, *= berbeda nyata
pada taraf 5%, **= berbeda nyata pada
taraf 1%, D= Suhu degreening, S= Suhu
simpan, PTT= Padatan terlarut total, ATT=
Asam tertitrasi total
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
Perubahan Warna Kulit Buah….. 13
Tabel 3. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam
semua peubah pada Batu 55
Peubah D S D X S KK
(%)
Warna Ujung
Buah * tn ** 6.51
Warna Ekuator tn * tn 7.48
Warna Pangkal
Buah tn tn tn 6.87
Susut Bobot (%) tn ** * 10.29
Kekerasan Buah
(kg detik-1) tn tn tn 50.97
PTT (oBrix) tn tn tn 9.25
ATT (%) tn tn tn 9.59
pH * ** tn 1.89
Keterangan: tn= tidak berbeda nyata, *= berbeda nyata
pada taraf 5%, **= berbeda nyata pada taraf
1%, D= Suhu Degreening, S= Suhu
simpan, PTT= Padatan terlarut total, ATT=
Asam tertitrasi total
Perubahan Warna Kulit
Warna Ujung Buah
Gambar 1 menunjukkan nilai CCI pada
ujung buah. Perlakuan degreening suhu 18 0C
dan penyimpanan suhu ruang pada ketiga
varietas jeruk keprok memiliki nilai CCI yang
paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan
lainnya pada 15 HSP. Pada Chokun semua
perlakuan berubah menjadi warna jingga pada
20 HSP. Pada Chokun perlakuan penyimpanan
suhu ruang menunjukkan perubahan warna
menjadi jingga lebih cepat dibandingkan
dengan penyimpanan suhu 18 0C. Pada Fremont
perlakuan degreening dan penyimpanan suhu
18 0C berubah warna menjadi jingga pada 25
HSP.
Pada Fremont perlakuan degreening suhu
18 0C dan penyimpanan suhu ruang berubah
warna menjadi jingga pada 15 HSP. Pada
Fremont perlakuan degreening dan penyimpanan
suhu ruang berubah warna menjadi jingga pada
20 HSP. Pada Fremont perlakuan degreening suhu
ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah
warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada
Fremont perlakuan penyimpanan suhu ruang
menunjukkan perubahan warna menjadi jingga
lebih cepat dibandingkan dengan penyimpanan
suhu 18 0C.
Pada Batu 55 perlakuan degreening dan
penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 10 HSP. Pada Batu 55
perlakuan degreening suhu 18 0C dan pe-
nyimpanan suhu ruang berubah warna menjadi
jingga pada 5 HSP. Pada Batu 55 perlakuan
degreening dan penyimpanan suhu ruang
berubah warna menjadi jingga pada 15 HSP.
Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu ruang
dan penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Batu 55
perlakuan penyimpanan suhu ruang menunjukkan
perubahan warna menjadi jingga lebih cepat
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.
Gambar 1. Nilai CCI pada ujung buah. A)
Chokun, B) Fremont, C) Batu 55
perlakuan [degreening dan penyim-
panan suhu 18 0C ( ), degreening suhu 18 0C dan penyimpanan
suhu ruang ( ), degreening dan
penyim-panan suhu ruang ( ),
degreening suhu ruang dan
penyimpanan suhu 18 0C ( X ), dan
( ) standar jingga.
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
14 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi
Warna Ekuator
Gambar 2 menunjukkan nilai CCI pada
ekuator. Perlakuan degreening suhu 18 0C dan
penyimpanan suhu ruang pada ketiga varietas
jeruk keprok memiliki nilai CCI yang paling
tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya
pada 15 HSP. Pada Chokun semua perlakuan
berubah warna menjadi jingga pada 20 HSP.
Pada Chokun penyimpanan suhu ruang
menunjukkan perubahan warna menjadi jingga
lebih cepat dibandingkan dengan penyimpanan
suhu 18 0C. Pada Fremont perlakuan degreening
dan penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Fremont
penyimpanan suhu ruang berubah warna
menjadi jingga pada 15 HSP. Pada Fremont
perlakuan degreening suhu ruang dan
penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Fremont
penyimpanan suhu ruang menunjukkan
perubahan warna menjadi jingga lebih cepat
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C. Pada Batu 55 penyimpanan suhu 18 0C
berubah warna menjadi jingga pada 10 HSP.
Pada Batu 55 penyimpanan suhu ruang berubah
warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Batu
55 penyimpanan suhu ruang menunjukkan
perubahan warna menjadi jingga lebih cepat
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.
Gambar 2. Nilai CCI pada ujung buah. A)
Chokun, B) Fremont, C) Batu 55
perlakuan [degreening dan penyim-
panan suhu 18 0C ( ), degreening
suhu 18 0C dan penyimpanan suhu
ruang ( ), degreening dan penyim-
panan suhu ruang ( ), degreening
suhu ruang dan penyimpanan suhu
18 0C ( X ), dan ( ) standar jingga.
Warna Pangkal Buah
Gambar 3 menunjukkan nilai CCI pada
ujung tangkai. Perlakuan degreening suhu 18 0C dan penyimpanan suhu ruang pada ketiga
varietas memiliki nilai CCI yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada
10 HSP. Pada Chokun semua perlakuan berubah
warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada
Chokun perlakuan penyimpanan suhu ruang
lebih cepat perubahan warnanya menjadi jingga
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.
Pada Fremont perlakuan degreening dan
penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Fremont
perlakuan degreening suhu 18 0C dan pe-
nyimpanan suhu ruang berubah warna menjadi
jingga pada 10 HSP. Pada Fremont perlakuan
degreening dan penyimpanan suhu ruang
berubah warna menjadi jingga pada 15 HSP.
Pada Fremont perlakuan degreening suhu
ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah
warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada
Fremont perlakuan penyimpanan suhu ruang
lebih cepat perubahan warnanya menjadi jingga
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.
Pada Batu 55 perlakuan degreening dan
penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 15 HSP. Pada Batu 55
perlakuan degreening suhu 18 0C dan pe-
nyimpanan suhu ruang berubah warna menjadi
jingga pada 10 HSP. Pada Batu 55 perlakuan
degreening dan penyimpanan suhu ruang
berubah warna menjadi jingga pada 10 HSP.
Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
Perubahan Warna Kulit Buah….. 15
ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah
warna menjadi jingga pada 15 HSP. Pada Batu
55 perlakuan penyimpanan suhu ruang lebih
cepat perubahan warnanya menjadi jingga
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.
Gambar 3. Nilai CCI pada ujung buah. A)
Chokun, B) Fremont, C) Batu 55
perlakuan [degreening dan penyim-
panan suhu 18 0C ( ), degreening
suhu 18 0C dan penyimpanan suhu
ruang ( ), degreening dan penyim-
panan suhu ruang ( ), degreening
suhu ruang dan penyimpanan suhu
18 0C ( X ), dan ( ) standar jingga.
Warna Rataan Ujung, Ekuator dan Pangkal
Buah Jeruk
Gambar 4 menunjukkan nilai CCI dari
rataan ujung, ekuator dan pangkal buah jeruk.
Pada Chokun semua perlakuan berubah warna
menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Chokun
perlakuan penyimpanan suhu ruang lebih
cepat perubahan warnanya menjadi jingga
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C. Pada Fremont perlakuan degreening dan
penyimpanan suhu 18 0C berubah warna
menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Fremont
perlakuan degreening suhu 18 0C dan pe-
nyimpanan suhu ruang berubah warna menjadi
jingga pada 15 HSP. Pada Fremont perlakuan
degreening dan penyimpanan suhu ruang
berubah warna menjadi jingga pada 15 HSP.
Gambar 4. Nilai CCI pada ujung buah. A)
Chokun, B) Fremont, C) Batu 55
perlakuan [degreening dan penyim-
panan suhu 18 0C ( ), degreening
suhu 18 0C dan penyimpanan suhu
ruang ( ), degreening dan penyim-
panan suhu ruang ( ), degreening
suhu ruang dan penyimpanan suhu
18 0C ( X ), dan ( ) standar jingga.
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
16 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi
Pada Fremont perlakuan degreening suhu
ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah
warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada
Fremont perlakuan penyimpanan suhu ruang
lebih cepat perubahan warnanya menjadi
jingga dibandingkan dengan penyimpanan
suhu 18 0C. Pada Batu 55 perlakuan
degreening dan penyimpanan suhu 18 0C
berubah warna menjadi jingga pada 15 HSP.
Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu 18 0C dan penyimpanan suhu ruang berubah warna
menjadi jingga pada 10 HSP. Pada Batu 55
perlakuan degreening dan penyimpanan suhu
ruang berubah menjadi jingga pada 10 HSP.
Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu
ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah
warna menjadi jingga pada 15 HSP. Pada Batu
55 perlakuan penyimpanan suhu ruang lebih
cepat perubahan warnanya menjadi jingga
dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.
Skor Warna Kulit Ketiga Varietas Jeruk
Keprok
Perubahan warna kulit dilihat dari
pengamatan skor warna kulit, semakin jingga
warna kulit semakin tinggi skornya (Tabel 4).
Pengamatan warna CCI menggunakan color
reader pada ketiga titik yang diamati memiliki
nilai yang berbeda dengan pengamatan warna
menggunakan skoring. Hal ini disebabkan
pada pengamatan warna CCI menggunakan
color reader warna yang diamati adalah warna
yang telah berubah menjadi jingga, sedangkan
pengamatan warna menggunakan skoring warna
diamati secara keseluruhan.
Pada Chokun perlakuan penyimpanan
suhu 18 0C masing-masing menunjukkan skor
4 (30 HSP), berwarna jingga kekuningan. Pada
Chokun perlakuan degreening suhu 18 0C dan
penyimpanan suhu ruang menunjukkan skor 3
(30 HSP), berwarna kuning kehijauan. Pada
Chokun perlakuan degreening suhu ruang dan
penyimpanan suhu ruang menunjukkan skor
0.0 (30 HSP), hal ini disebabkan pada
perlakuan ini hanya memiliki satu sampel
berwarna kuning (30 HSP), hal ini disebabkan
pada perlakuan ini hanya memiliki satu sampel
berwarna kuning kehijauan, sedangkan kedua
sampel lainnya telah membusuk.
Pada Fremont perlakuan penyimpanan
suhu ruang masing-masing menunjukkan skor
6.0 (30 HSP), berwarna jingga. Pada Fremon
perlakuan degreening suhu ruang dan pe-
nyimpanan suhu 18 0C menunjukkan skor 6.0
(30 HSP), berwarna jingga. Pada Fremont
perlakuan degreening suhu 18 0C dan
penyimpanan suhu 18 0C pada 30 HSP ketiga
sampelnya membusuk, pada 25 HSP menunjukkan
skor 0.8 karena hanya memiliki satu sampel
yang berwarna kuning kehijauan. Pada Batu
55 perlakuan degreening suhu ruang masing-
masing menunjukkan skor 5 (30 HSP),
berwarna jingga.
Pada Batu 55 perlakuan degreening
suhu 18 0C dan penyimpanan suhu 18 0C
menunjukkan skor 3.0 (30 HSP), hal ini di-
sebabkan pada perlakuan ini hanya memiliki dua
sampel berwarna jingga, sedangkan satu sampel
lainnya telah membusuk. Pada Batu 55 per-
lakuan degreening suhu 18 0C dan penyimpanan
suhu ruang pada 30 HSP ketiga sampelnya
telah membusuk, pada 25 HSP kedua sampel
menunjukkan skor 5, berwarna jingga.
Persentase Susut Bobot selama Masa
Penyimpanan 25 HSP
Pengaruh suhu degreening dan suhu
simpan terhadap persentase susut bobot buah
jeruk disajikan pada Tabel 5. Jeruk yang
penyimpanan suhu 18 0C menunjukkan
persentase susut bobot yang lebih rendah
dibandingkan dengan jeruk penyimpanan pada
suhu ruang. Hal ini disebabkan jeruk pe-
nyimpanan suhu 18 0C lebih dapat memper-
tahankan bobot buah serta mengalami transpirasi
dan respirasi yang dibandingkan dengan pe-
nyimpanan suhu ruang. Pada Chokun persen-
tase susut bobot tertinggi terdapat pada perlakuan
degreening suhu 18 0C dan penyimpanan suhu
ruang, sedangkan persentase susut bobot terendah
terdapat pada perlakuan degreening suhu ruang
dan penyimpanan suhu 18 0C. Pada Fremont
persentase susut bobot tertinggi terdapat pada
perlakuan degreening dan penyimpanan suhu
ruang, sedangkan persentase susut bobot
terendah terdapat pada perlakuan degreening suhu ruang dan penyimpanan suhu 18 0C. Pada
Batu 55 persentase susut bobot tertinggi
terdapat pada pada perlakuan degreening dan
penyimpanan suhu ruang, sedangkan persentase
susut bobot terendah terdapat pada perlakuan
degreening suhu ruang dan penyimpanan suhu
18 0C.
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
Perubahan Warna Kulit Buah….. 17
Tabel 4. Skor warna kulit buah jeruk dari semua kombinasi perlakuan
Perlakuan 5 HSP 15 HSP 25 HSP 30 HSP
Skor Pt Skor Pt Skor Pt Skor Pt
Chokun
18 0C, 18 0C 2.0 5.0b 3.0 7.5 3.0 8.5a 4.0 9.5
18 0C, ruang 3.0 11.0a 3.0 7.5 3.0 8.5a 3.0 5.0
ruang, ruang 3.0 9.0ab 3.3 7.5 0.0 4.5b 0.0 6.0
ruang, 18 0C 2.0 5.0b 3.0 7.5 3.0 8.5a 4.0 9.5
Fremont
18 0C, 18 0C 1.3 5.0b 2.6 4.0b 0.8 4.0b - -
18 0C, ruang 3.0 11.5a 5.9 11.0a 6.0 10.0a 6.0 8.5
ruang, ruang 2.0 7.0ab 4.9 9.0ab 5.3 8.0ab 6.0 8.5
ruang, 18 0C 1.8 6.5ab 3.1 9.0b 6.0 8.0ab 6.0 8.5
Batu 55
18 0C, 18 0C 2.3 6.5ab 4.4 10.0 3.0 5.0 3.0 6.5
18 0C, ruang 3.0 10.5a 3.1 6.0 5.0 9.5 - -
ruang, ruang 2.8 8.5ab 3.9 8.0 5.0 9.5 5.0 10.0
ruang, 18 0C 2.0 4.5b 3.1 6.0 3.0 6.0 5.0 10.0
Keterangan: aAngka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak berbeda pada taraf uji 5% (uji selang
berganda Duncan). -adalah buah yang telah membusuk. Skor 1: hijau, 2: hijau kekuningan, 3: kuning
kehijauan, 4: kuning, 5: jingga, skor 6: jingga gelap, Pt: peringkat
Tabel 5. Persentase susut bobot selama penyimpanan 25 HSP
Kombinasi Susut Bobot (%)
5 HSP 10 HSP 15 HSP 20 HSP 25 HSP
Chokun
18 0C, 18 0C 6.5 12.6a 18.6ab 24.5ab 30.6
18 0C, ruang 6.9 12.7a 19.4a 25.5a 32.4
ruang, ruang 7.3 12.7a 18.7ab 24.1ab 29.2
ruang, 18 0C 5.1 8.9b 14.9b 21.3b 27.9
Fremont
18 0C, 18 0C 6.5b 12.7ab 20.0ab 26.9a 33.6ab
18 0C, ruang 7.4ab 13.2ab 19.6ab 25.3ab 31.5b
ruang, ruang 10.3a 16.6a 22.7a 29.1a 36.9a
ruang, 18 0C 4.6b 9.1b 13.4b 18.5b 23.6c
Batu 55
18 0C, 18 0C 4.4c 8.4c 13.4bc 20.3bc 26.3bc
18 0C, ruang 6.7b 12.1b 17.6b 23.1ab 29.2ab
ruang, ruang 8.6a 16.2a 22.5a 28.1a 34.2a
ruang, 18 0C 3.6c 8.5c 12.6c 17.3c 22.3c
Keterangan: aAngka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak berbeda pada taraf uji DMRT 5%
A
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
18 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi
Kekerasan Buah dan Analisis Kimiawi
Kekerasan buah dan analisis kimiawi
diamati selama seminggu sekali. Tabel 6
menunjukkan kekerasan buah dan analisis
kimiawi pada penyimpanan 2 MSP (Minggu
Setelah Perlakuan).
Tabel 6. Kekerasan Buah dan Analisis Kimiawi
Perlakuan Kekerasan Buah (kg
detik-1) ATT (%) PTT (°Brix)
Rasio
PTT/ATT pH
Chokun
18 0C, 18 0C 0.91a 0.47 11.77 25.11 4.07b
18 0C, ruang 0.56b 0.46 11.83 25.65 5.07a
ruang, ruang 0.76ab 0.53 12.27 23.21 4.99a
ruang, 18 0C 0.87ab 0.47 11.97 25.32 4.87a
Fremont
18 0C, 18 0C 1.41a 0.50 10.37 20.80 4.48
18 0C, ruang 0.87b 0.70 11.40 16.29 5.01
ruang, ruang 0.85b 0.70 10.13 14.43 4.99
ruang, 18 0C 1.06b 0.69 10.27 14.93 4.98
Batu 55
18 0C, 18 0C 0.89 0.47 9.33 19.79 4.68b
18 0C, ruang 0.69 0.41 9.97 24.15 5.13a
ruang,ruang 0.79 0.49 10.17 20.82 5.21a
ruang, 18 0C 0.74 0.40 9.27 23.25 4.62b
Keterangan: aAngka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak berbeda pada taraf uji 5% (uji selang
berganda Duncan), PTT= Padatan terlarut total, ATT= Asam tertitrasi total.
Masa Simpan Buah
Mutu jeruk mengalami kemunduran
selama penyimpanan 30 HSP. Mutu simpan
buah sangat erat kaitannya dengan proses
respirasi dan transpirasi. Hal ini disebabkan
susut pascapanen, seperti susut fisik yang
diukur dengan bobot, susut kualitas karena
perubahan wujud (penampilan), cita rasa, warna
atau tekstur yang menyebabkan bahan pangan
kurang disukai konsumen, dan susut nilai gizi
yang berpengaruh terhadap kualitas buah.
Penyimpanan suhu rendah dapat memper-
tahankan kualitas buah, karena mutu simpan
buah akan bertahan lama jika laju respirasi
rendah dan transpirasi dapat dicegah dengan
cara meningkatkan kelembaban relatif dan
menurunkan suhu udara. Utama et al. (2011)
melaporkan penggunaan suhu dingin (12±1.5 0C) mampu mengendalikan laju metabolisme
dan memperpanjang masa simpan buah
manga arumanis. Hal serupa disampaikan
Julianti et al. (2013) komposisi perpaduan gas
yang terbaik untuk mempertahankan mutu
rambutan binjai adalah 4-6% O2, 2-4% CO2
pada suhu 10 0C. Penyimpanan suhu ruang
menunjukkan adanya penurunan kualitas pada
buah jeruk hal ini disebabkan oleh transpirasi
yang berlebihan karena adanya perbedaan
kadar air antara bahan dengan lingkungan
tempat penyimpanan. Transpirasi menyebabkan
penampilan buah menjadi kurang menarik,
susut bobot, keriput, dan kehilangan kesegaran
yang akan mengakibatkan penurunan mutu
komoditi tersebut (Pantastico, 1973). Penyim-
panan suhu ruang juga terdapat cendawan
yang menyerang buah jeruk. Golan (2001)
menyatakan bahwa keunggulan suhu rendah
adalah menurunkan aktivitas enzim-enzim
respirasi dengan enzim lain pada jaringan
tumbuhan tingkat tinggi, bakteri, dan
cendawan. Cendawan yang terdapat pada
penelitian ini adalah antraknosa (Colleto-
trichum gloeosporioides), busuk alternaria
(Alternaria citri) dan Phytophthora brown rot
(Phytophthora sp.).
Buah jeruk yang digunakan untuk
sampel pengamatan warna beberapa diantaranya
membusuk. Jumlah buah busuk selama pe-
nyimpanan 18 HSP sampai 30 HSP sebanyak
12 buah. Pada Chokun perlakuan degreening
dan penyimpanan suhu ruang sebanyak 2
buah sampel membusuk masing-masing pada
18 HSP dan 23 HSP. Pada Fremont perlakuan
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
Perubahan Warna Kulit Buah….. 19
degreening dan penyimpanan suhu 18 0C
sebanyak 3 buah sampel membusuk pada 23
HSP. Pada Fremont perlakuan degreening
suhu 18 0C dan penyimpanan suhu ruang
sebanyak 1 buah sampel membusuk pada 28
HSP. Pada Fremont perlakuan degreening dan
penyimpanan suhu ruang sebanyak 1 sampel
membusuk 23 HSP. Pada Fremont perlakuan
degreening suhu ruang dan penyimpanan
suhu 18 0C sebanyak 1 sampel membusuk
pada 29 HSP. Pada Batu 55 perlakuan
degreening dan penyimpanan suhu 18 0C
sebanyak 1 buah sampel membusuk pada 28
HSP. Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu
18 0C dan penyimpanan suhu ruang sebanyak
3 buah sampel yang membusuk dengan 1
sampel membusuk pada 26 HSP dan 2 sampel
membusuk pada 30 HSP. Masa simpan terlama
dimiliki oleh varietas Chokun, semakin banyak
buah yang busuk maka semakin rendah masa
simpannya dan sebaliknya.
KESIMPULAN
Perlakuan degreening suhu 18 0C dan
penyimpanan suhu ruang pada ketiga varietas
menunjukkan perubahan warna menjadi
jingga yang lebih cepat dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Pada Chokun interaksi
antara suhu degreening dan suhu simpan
nyata hanya pada PTT. Pada Fremont interaksi
antara suhu degreening dan suhu simpan nyata
pada semua peubah yang diamati kecuali
warna ujung buah, kekerasan buah, dan ATT.
Pada Batu 55 Interaksi antara suhu degreening
dan suhu simpan nyata hanya pada warna
ujung buah dan susut bobot.
SARAN
Penelitian menggunakan ethephon
sebaiknya dengan konsentrasi diantara 2-5 ml
l-1 air atau 500-1000 ppm. Degreening sebaiknya
dilakukan selama 2-3 hari. Konsentrasi dan
lama waktu degreening tersebut disarankan
karena ethephon pada konsentrasi tersebut
menghasilkan etilen yang lebih tinggi sehingga
lebih cepat menghasilkan warna jingga pada
jeruk. Hal ini akan menyebabkan perubahan
warna yang dihasilkan lebih baik dan dalam
waktu yang lebih singkat.
DAFTAR PUSTAKA
[Balitjestro] Badan Penelitian Tanaman Jeruk
dan Buah Subtropika. 2008. Trend
Jeruk Impor dan Posisi Indonesia
sebagai Produsen Jeruk Dunia.
http//balitjestro.litbang.deptan.go.id. [7
November 2013].
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi
Buah-buahan di Indonesia 1995-2012.
http//www.bps.go.id. [7 November 2013].
Cuesta, M.J., J. Cuquerella, J.M. Javaga.
1981. Determination of Color Index for
Citrus Fruit Degreening. Proceeding
International Society Citriculture Vol
2: 750-753.
[Deptan] Departemen Pertanian. 2013. Buletin
Bulanan Indikator Makro Sektor
Pertanian (Oktober 2013). http//pusdatin.
deptan.go.id. [7 November 2013].
Dixon, W.J., F.J. Massey. 1991. Pengantar
Analisis Statistik. Edisi Ke-4. Samiyoyono
S.K., penerjemah. Soejoeti Z., editor.
UGM Pr. Yogyakarta.
Golan, R.B. 2001. Postharvest Disease of
Fruit and Vegetables Development and
Control. Elsevier Science B.V. Amsterdam.
Gomez, K.A., A.A. Gomez. 2007. Prosedur
Statistik untuk Penelitian Pertanian.
Edisi Ke-2. Penerjemah E. Sjamsuddin,
J.S. Baharsjah, penerjemah. UI Pr.
Jakarta.
Julianti, E. Ridwansyah, E. Yusraini, I. Suhaidi.
2013. Pengaruh penyimpanan dengan
atmosfir terkendali terhadap mutu buah
rambutan varietas Binjai. J. Hort.
Indonesia. 4(2): 95-98.
Mitra, S.K. 1997. Postharvest Physiology and
Storage of Tropical and Subtropical
Fruits. CABI Publishing. London.
Pantastisco, R.B. 1973. Fisiologi Pascapanen
(penanganan dan pemanfaatan buah-
buahan dan sayur-sayuran tropika dan
subtropika). UGM Pr. Yogyakarta.
J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.
20 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi
Riyanti. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan konsumen terhadap buah
jeruk. Skripsi. Universitas Mercu Buana.
Jakarta.
Safaryani, N., S. Haryanti, E.D. Hastuti. 2007.
Pengaruh suhu dan lama penyimpanan
terhadap penurunan kadar vitamin c
brokoli (Brassica oleracea). Buletin
Anatomi dan Fisiologi 15(2): 39-46.
Stewart, I., T.A. Wheaton. 1971. Effect of
ethylene and temperature on carotenoid
pigmentation of Citrus peel. Florida
Agricultural Experiment Station Journal.
4151: 264-266.
Sumiasih, I.H. 2011. Studi perubahan kualitas
pascapanen buah manggis (Garcinia
mangostana L.) pada beberapa stadia
kematangan dan suhu simpan. Tesis.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Utama, I.M.S., Y. Setio, I.A.R.P. Puja, N.S.
Antara. 2011. Kajian atmosfir terkendali
untuk memperlambat penurunan mutu
buah mangga Arumanis selama penyim-
panan. J. Hort. Indonesia. 2(1): 27-33.
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro….. 21
Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro Jeruk Besar (Citrus
maxima (Burm.) Merr.) cv. Nambangan terhadap Osmotikum
dan Retardan
In Vitro Growth Response of Pummelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.) cv.
Nambangan to Osmoticum and Retardant
Iswari S. Dewi1*, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko2, dan M. Sabda1
Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014
ABSTRACT
In vitro conservation has been applied to many species. However, the suppression of explant growth is essential for extending the duration of conservation. The objective of the research was to
study in vitro growth response of pummelo cv. Nambangan to conservation medium containing osmotically active compound (osmoticum) or growth suppressant (retardant). Two sets of
experiments were conducted using randomized complete design and replicated three times. In vitro
shoot with four leaves from pummelo, namely cultivar Nambangan, were used as the plant materials. The treatment in the first experiment was MS + osmoticum (mannitol 0, 20, 40, and 60 g L-1) and in
the second experiment was MS + retardant (paclobutrazol 0, 1, 3 and 5 mg L-1). The results
indicated that senescence of the leaf was induced by 20, 40, and 60 g L-1 of mannitol. The best media in inhibition of growth for pummelo cv. Nambangan was MS + paclobutrazol 1 mg L-1. With this
media, plant was inhibited but grew normally with green leaf and root.
Keywords: mannitol, minimal growth, paclobutrazol, pummelo
ABSTRAK
Konservasi in vitro sudah banyak dilakukan pada berbagai spesies. Penghambatan pertumbuhan
sangat penting bagi lamanya tanaman dapat disimpan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari
respon pertumbuhan in vitro pamelo cv. Nambangan terhadap media konservasi mengandung
osmotikum atau penghambat pertumbuhan (retardan). Dua percobaan dilakukan terpisah meng-
gunakan rancangan acak lengkap dan diulang 3 kali. Tunas hasil perbanyakan in vitro dengan 4
daun, digunakan sebagai eksplan. Perlakuan pada percobaan pertama adalah MS + osmotikum
(mannitol 0, 20, 40, 60 g L-1) dan pada percobaan kedua adalah MS + retardan (paclobutrazol 0, 1, 3,
5 mg L-1). Hasil menunjukkan bahwa daun mengalami senesen oleh perlakuan mannitol. Media yang
direkomendasikan untuk konservasi pamelo cv. Nambangan adalah MS + paclobutrazol 1 mg L-1.
Dengan media tersebut pertumbuhan dihambat, tetapi tetap normal, berakar dengan daun tetap hijau.
Kata kunci: mannitol, pertumbuhan minimal, paclobutrazol, pamelo
PENDAHULUAN
Genus citrus berasal dari daerah tropikal
dan subtropikal, namun jeruk besar Citrus
maxima (Burm.) Merr.) atau pamelo, yaitu
satu-satunya jenis jeruk dengan buah yang
ukurannya sangat besar, dan diketahui pusat
keragamannya ada di Asia Tenggara, yaitu di
Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia
(Paudyal and Haq, 2008, Niyomdham, 2003).
Rahayu et al. (2012) melalui perbandingan
pita isoenzim MDH dan ACP dapat membagi
aksesi plasma nutfah pamelo di Indonesia
menjadi pamelo berbiji dan tidak berbiji. Salah
satu jeruk pamelo yang popular adalah
Kultivar Nambangan yang berkembang
1) Balai Besar Litbang Bioteknologi dan SDG Pertanian, Bogor 2) Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAPERTA, IPB Bogor
E-mail: [email protected] (*penulis korespondensi)
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
22 Iswari S. Dewi, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko, dan M. Sabda
terutama di Kabupaten Magetan, Indonesia.
Bebebrapa penelitian mulai dilakukan
mengenal potensi dan mempelajari teknik budi
daya terbaik untuk meningkatkan produksi
(Susanto et al., 2010; Rahayu et al., 2012;
Susilowati, 2013)
Salah satu jeruk pamelo yang paling
popular adalah kultivar Nambangan yang
berkembang terutama di Kabupaten Magetan,
Indonesia. Beberapa penelitian mulai dilakukan
bertujuan mengenal potensi dan mempelajari
teknik budidaya terbaik untuk meningkatkan
produksi (Susanto et al., 2010; Susilowati,
2013; Rahayu et al., 2012). Di Indonesia, jeruk
besar biasa dijumpai di pekarangan atau
ditanam dalam skala komersial di kebun petani
dan hanya sebagian kecil yang sudah dikon-
servasi ex-situ. Ditinjau dari segi konservasi,
hal tersebut sangat riskan karena tentu
tanaman di lapangan rentan terhadap hama dan
penyakit, selain juga bencana alam (Rao,
2004). Konservasi in vitro merupakan salah
satu alternatif dari konservasi ex-situ. Strategi
konservasi in vitro dapat diterapkan untuk
penyimpanan plasma nutfah dalam jangka
pendek, menengah dan panjang dalam kondisi
steril (Keller et al., 2006; Pérez, 2000).
Konservasi jangka pendek dan menengah
secara in vitro memberikan beberapa keuntungan
dibandingkan konservasi di lapangan karena
sistem aseptik menjamin stok tanaman yang
bebas patogen, menghemat ruang, mengurangi
erosi genetik karena pemeliharaan optimal,
mengurangi biaya pemeliharaan, mudah di-
perbanyak secara masal jika mendadak
diperlukan, dan mempermudah pertukaran
plasma nutfah (Ahmed dan Anjum, 2010;
Engelmann, 1991).
Berbagai metode untuk konservasi in
vitro telah tersedia, namun tergantung dari
situasinya, teknik pertumbuhan minimal
(minimal growth) sangat penting untuk mem-
perpanjang lamanya siklus subkultur
(Malaurie et al., 1998). Siklus subkultur akan
berpengaruh terhadap lama penyimpanan dan
biaya peme-liharaan yang diperlukan dalam
konservasi plasma nutfah in vitro (West et al.,
2006). Semakin sering suatu tanaman di
subkultur maka biaya yang dibutuhkan juga
akan semakin besar.
Teknik minimal growth sesuai untuk
konservasi tanaman berbiji rekalsitran yang
bijinya hanya viabel dalam waktu singkat dan
tidak dapat didesikasi atau untuk tanaman
yang selalu diperbanyak secara vegetatif (Rao
dan Mal, 2002), seperti pamelo (Dewi et al.,
2010). Zat yang bersifat pengendali osmotik
(osmotikum) dan penghambat pertumbuhan
(retardan) dapat digunakan untuk meminimal-
kan pertumbuhan tanaman in vitro. Gula alkohol
seperti mannitol merupakan karbohidrat ter-
hidrogenasi yang mempunyai peranan dalam
mengendalikan tekanan osmotik yang akan
mempengaruhi translokasi karbohidrat (Deguchi
et al., 2004), sedangkan paclobutrazol adalah
senyawa triazole yang sering digunakan sebagai
retardan penghambat pertumbuhan vegetatif
pada tanaman angiosperma (Rademacher,
2000). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mempelajari pengaruh media mengandung
beberapa taraf konsentrasi osmotikum atau
retardan terhadap pertumbuhan pamelo yang
akan dikonservasi secara in vitro.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dengan dua
percobaan terpisah. Eksplan yang digunakan
adalah tunas dengan empat daun yang berasal
dari perbanyakan pamelo berbiji yaitu kultivar
Nambangan (Rahayu et al., 2012), secara in
vitro. Masing-masing percobaan disusun dalam
Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan
jenis zat pengatur tumbuh pada media
konservasi sebagai faktor tunggal. Percobaan
pertama terdiri atas perlakuan osmotikum
mannitol (M) dengan taraf 0, 20, 40, 60 g L-1.
dan percobaan kedua terdiri atas perlakuan
retardan paklobutrazol (P) dengan taraf 0, 1, 3,
5 mg L-1. Masing-masing perlakuan pada
setiap percobaan diulang sebanyak 3 kali,
sehingga setiap percobaan terdiri atas 12
satuan percobaan. Setiap satuan percobaan
terdiri atas 3 eksplan.
Media yang digunakan adalah media
MS yang diberi myoinositol 100 mg L-1,
thiamine-HCl 10 mg L-1, pyridoxine 10 mg L-1,
nicotinic acid 1 mg L-1 dan sukrosa 30 g L-1.
Osmoregulator dan retardan diberikan sesuai
dengan perlakuan. Sebelum penambahan agar
8 g L-1, pH medium ditetapkan 5.8. Media
diotoklaf pada 18-20 Psi dengan suhu 120 0C
selama 20 menit. Medium diisikan sebanyak
40 ml (aliquots) kedalam botol kultur. Kultur
diinkubasi dibawah pencahayaan 16 jam dengan
sumber cahaya lampu TL. Suhu ruang kultur
26 + 2 0C.
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro….. 23
Kultur diamati dua minggu sekali
selama enam bulan. Peubah yang diamati
adalah tinggi tunas, jumlah daun, jumlah
tunas, jumlah akar, sedangkan penampilan
plantlet secara fisik difoto dengan kamera
digital. Data dengan interval empat minggu
yang meliputi peubah tinggi tanaman, jumlah
daun, jumlah tunas, dan jumlah akar diolah
secara statistik. Untuk hasil sidik ragam,
jumlah daun percobaan mannitol dan
paclobutrazol serta jumlah tunas dan jumlah
akar semua percobaan, data ditransformasi
dengan (x + 0.5)1/2 untuk memperkecil koefisien
keragaman sehingga data lebih normal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
perlakuan mannitol pada berbagai taraf me-
nunjukkan pengaruh yang nyata sampai sangat
nyata terhadap peubah tinggi tunas, dan
jumlah daun. Namun perlakuan paclobutrazol
tidak berpengaruh terhadap semua peubah
yang diamati (Tabel 1).
Tinggi Tunas
Pengaruh mannitol dan paclobutrazol
terhadap peubah tinggi tunas pada berbagai
taraf disajikan pada Tabel 2 dan 3. Per-
tumbuhan eksplan pada perlakuan dengan
mannitol tampak mengalami penghambatan.
Pengaruh pemberian mannitol sudah tampak
pada perlakuan mannitol 20 g L-1. Tampak
tinggi tunas pada perlakuan mannitol (20, 40
dan 60 g L-1) selalu lebih rendah dibandingkan
dengan perlakuan tanpa mannitol.
Umumnya, semakin tinggi konsentrasi
mannitol yang diberikan akan semakin besar
pengurangan tinggi tunas. Penelitian Charoensub
dan Phansiri (2004) pada Plumbago indica me-
nunjukkan perlakuan mannitol 20-60 g L-1
sangat berpengaruh pada pengurangan tinggi
ekplan sampai 93,3%. Pada penelitian ini
pengurangan tinggi tunas jeruk besar dengan
konsentrasi mannitol yang sama berkisar antara
39.6 - 63.8%.
Pada saat pengamatan 24 MST tanaman
sudah banyak yang mati pada perlakuan
mannitol 60 g L-1. Osmotikum secara perlahan
meningkatkan tekanan osmotik medium dan
mengurangi ketersediaan air bagi biakan yang
sedang tumbuh. Semakin tinggi konsentrasi
mannitol, tentu akan semakin terbatas pasokan
air dan nutrisi ke biakan dan hal ini
menyebabkan viabilitas biakan terus menurun.
Pada dasarnya akumulasi osmoregulator yang
berlebihan akan menurunkan aktivitas enzim,
konsentrasi ni hampir serupa dengan yang
dilaporkan Sarkar dan Naik (1998) bahwa
pada media konservasi kentang in vitro yang
merupakan kombinasi sukrosa dan mannitol,
perlakuan konsentrasi mannitol 20 atau 40 g L-1
dapat meningkatkan daya hidup, tetapi pada
konsentrasi 60 g L-1 plantlet kentang sangat
tercekam dan mengalami kematian. Dari
penelitian terdahulu, mannitol pada kisaran
konsentrasi 15-40 g L-1 paling banyak digunakan
untuk konservasi plasmanutfah tanaman
jangka menengah antara lain pada dioscorea
(Borges et al., 2004), tebu (Sarwar dan Siddiqui,
2004), dan ubi jalar (Purwoko et al., 2000).
Pada umumnya tinggi tunas antar per-
lakuan paclobutrazol tidak berbeda nyata
kecuali pada pengamatan 12 MST dan 16
MST (Tabel 1 dan 3). Tinggi tunas cenderung
meningkat pada perlakuan tanpa paclobutrazol
maupun dengan paclobutrazol (Tabel 3).
Namun demikian, seperti pada perlakuan
mannitol, tinggi tunas pada perlakuan
paclobutrazol 1, 3, dan 5 mg. L-1 juga selalu
lebih pendek dibandingkan kontrol tanpa
paclobutrazol (P0). Hal ini disebabkan paclo-
butrazol merupakan senyawa yang bersifat anti
giberelin dimana senyawa ini menghambat
pembentukan enzim yang mengkatalis oksi-
dasi ent-kaurene menjadi asam ent-kaurenoat
dalam proses biosintesis giberelin (GA).
Tabel 1. Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan
mannitol atau paclobutrazol terhadap
pertumbuhan kultur in vitro jeruk
besar cv. Nambangan
Waktu
Pengamatan
(MST)
T(cm) PD JT JA
M P M P M P M P
4 * tn ** tn tn tn tn tn
8 * tn ** tn tn tn tn tn
12 ** tn ** tn tn tn tn tn
16 ** tn ** tn tn tn tn tn
20 ** tn ** tn tn tn tn tn
24 * tn ** tn tn tn tn tn Keterangan: T= Tinggi, PD= Pertambahan Daun, JT=
Jumlah Tunas, JA= Jumlah Akar, M=
Mannitol, P= Paclobutrazol, **= berbeda
nyata pada uji DMRT dengan taraf nyata 1%,
*= berbeda nyata pada uji DMRT dengan
taraf nyata 5%, tn= tidak berbeda nyata pada
uji DMRT dengan taraf nyata 5%.
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
24 Iswari S. Dewi, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko, dan M. Sabda
Tabel 2. Pengaruh perlakuan mannitol terhadap tinggi tunas (cm) jeruk besar cv. Nambangan in vitro
Perlakuan Umur (MST)
4 8 12 16 20 24
M0 1.20a 1.13a 1.19a 1.32a 1.44a 1.49a
M1 0.48b 0.50b 0.50b 0.50b 0.54b 0.65b
M2 0.48b 0.48b 0.48b 0.48b 0.48b 0.54b
M3 0.60b 0.61b 0.61b 0.64b 0.64b 0.90b
Keterangan: Mannitol (M): 0 g L-1 (M0), 20 g L-1 (M1), 40 g L-1 (M2), 60 g L-1 (M3); angka-angka yang diikuti huruf
yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Tabel 3. Pengaruh perlakuan paclobutrazol terhadap tinggi tunas (cm) jeruk besar cv. Nambangan in vitro
Perlakuan Umur (MST)
4 8 12 16 20 24
P0 1.00 1.03 1.11b 1.14ab 1.15 0.85
P1 1.17 1.28 1.42a 1.59a 1.65 1.90
P2 0.79 0.86 0.89b 0.89b 0.92 0.96
P3 1.00 1.12 1.05ab 0.98ab 1.02 0.81 Keterangan: Paclobutrazol (P): 0 mg L-1 (P0), 1 mg L-1 (P1), 3 mg L-1 (P2), 5 mg L-1 (P3); angka-angka yang diikuti
huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Ketika biosintesis GA dihambat, pem-
belahan sel masih terjadi, tetapi pemanjangan
sel tidak terjadi, sehingga tunas dan buku
menjadi lebih pendek (Buchanan et al., 2006;
Keatmetha et al., 2006). Penelitian Sunarlim et al. (2004) pada tanaman gembili menunjukkan
pemberian paclobutrazol sampai dengan kon-
sentrasi 5 mg L-1 berpengaruh nyata terhadap
peubah tinggi tanaman pada pengamatan tiga
dan enam bulan, sehingga dapat digunakan
sebagai media konservasi.
Pertambahan Daun
Pada pengamatan terhadap pertambahan
daun, hanya perlakuan kontrol atau tanpa
mannitol (M0) yang mengalami pertambahan
daun (Tabel 4). Aliran nutrisi yang terhambat
akibat cekaman osmotik tampak belum cukup
untuk menginduksi pembentukan daun. Hal ini
ditunjukkan oleh perlakuan mannitol 20, 40 dan
60 g L-1 yang sama sekali tidak meningkatkan
jumlah daun. Namun, pada saat pengamatan 24
MST jumlah daun pada perlakuan kontrol juga
mengalami penurunan akibat daun mengalami
kerontokan.
Berlawanan dengan perlakuan mannitol,
pada perlakuan paclobutrazol pertambahan daun
tidak berbeda nyata (Tabel 1). Hal ini me-
nunjukkan bahwa paclobutrazol tidak mem-
pengaruhi pembentukan daun. Pada perlakuan
paclobutrazol 1 dan 3 mg L-1 jumlah daun
terus meningkat, sementara pada perlakuan
paclobutrazol 5 mg L-1 pertambahan jumlah
daun hanya terjadi pada 4 MST yang se-
lanjutnya menurun. Yelnititis dan Bermawie
(2001) menemukan hal serupa, yaitu pemberian
paclobutrazol 5 mg L-1 pada media konservasi
lada menurunkan jumlah daun. Pada penelitian
ini saat pengamatan 24 MST semua daun bahkan
sudah gugur pada perlakuan paclobutrazol 5
mg L-1 (Gambar 1).
Tabel 4. Nilai rataan pertambahan jumlah daun kultivar Nambangan pada media mengandung
mannitol (M)
Perlakuan Pertambahan Jumlah Daun
4 MST 8 MST 12 MST 16 MST 20 MST 24 MST
M0 2.00a 1.99a 2.22a 2.44a 2.89a 2.66a
M1 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b
M2 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b
M3 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b Keterangan: Mannitol (M): 0 g L-1 (M0), 20 g L-1 (M1), 40 g L-1 (M2), 60 g L-1 (M3); angka-angka yang diikuti huruf
yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro….. 25
Keterangan: P0= tanpa paclobutrazol, P1= 1 mg L-1,
P2= 3 mg L-1, P3= 5 mg L-1
Gambar 1. Pengaruh paclobutrazol terhadap
pertambahan daun jeruk besar cv.
Nambangan in vitro
Multiplikasi Tunas
Percobaan perlakuan mannitol atau
paclobutrazol pada berbagai taraf konsentrasi
tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata
terhadap peubah jumlah tunas (Tabel 1). Tunas
baru hanya muncul pada perlakuan mannitol
40 mg L-1 saja (Tabel 5). Charoensub dan
Phansiri (2004) mendapatkan bahwa perlakuan
mannitol pada konsentrasi 40 dan 60 g L-1
cenderung menurunkan multiplikasi tunas pada
biakan Plumbago indica.
Pada perlakuan paclobutrazol 1 mg L-1
tunas muncul pada 20 MST sementara pada
perlakuan paclobutrazol 3 mg L-1 dan paclo-
butrazol 5 mg L-1 tunas muncul berturut-turut
pada saat 8 MST dan 12 MST (Tabel 5). Pada
24 MST, walaupun tidak berbeda nyata dengan
perlakuan lainnya, tunas terbanyak dihasilkan
oleh perlakuan paclobutrazol 1 mg L-1. Syahid
(2007) mendapatkan pada kultur temulawak
perlakuan paclobutrazol 5 mg L-1 nyata me-
nurunkan pertambahan tunas dibandingkan
dengan tanpa paclobutrazol. Namun demikian,
pada penelitian Jala dan Bodhipadma (2012)
dengan konsentrasi paclobutrazol yang sangat
rendah (0.01 mg L-1) ternyata malah menginduksi
multiplikasi tunas dan pembentukan planlet
pada tanaman hias Curcuma species var.
Chattip.
Pertumbuhan Akar
Pada Tabel 1 diperlihatkan bahwa perlakuan
mannitol atau paclobutrazol tidak menunjukkan
adanya pengaruh yang nyata terhadap peubah
jumlah akar. Tampaknya konsentrasi mannitol
(20-60 g L-1) dan paclobutrazol (3-5 mg L-1)
menekan pertumbuhan akar.
Tidak ada akar yang tumbuh pada
perlakuan mannitol, kecuali pada kontrolnya
(M0) saat 16 MST. Perlakuan paclobutrazol
menunjukkan bahwa akar hanya muncul di
media yang diberi paclobutrazol 1 mg L-1,
yaitu pada 8 MST. Namun pada perlakuan
paclobutrazol 1 mg L-1 tersebut juga tidak
terjadi peningkatan jumlah akar sampai akhir
pengamatan pada 24 MST (Tabel 6).
Tabel 5. Nilai rataan pertambahan jumlah tunas kultivar Nambangan pada media mengandung
mannitol (M) atau paclobutrazol (P)
Perlakuan Pertambahan Jumlah Tunas
4 MST 8 MST 12 MST 16 MST 20 MST 24 MST
M0 0.0 0.0 0.0 0.7 1.2 1.2
M1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
M2 0.0 0.0 0.0 0.3 0.7 0.7
M3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
P0 0.3 0.3 0.4 0.7 0.7 0.8
P1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.3 0.5
P2 0.0 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3
P3 0.0 0.0 0.3 0.3 0.3 0.3
Keterangan: Mannitol (M): 0 g L-1 (M0), 20 g L-1 (M1), 40 g L-1 (M2), 60 g L-1 (M3); Paclobutrazol (P): 0 mg L-1
(P0), 1 mg L-1 (P1), 3 mg L-1 (P2), 5 mg L-1 (P3); angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada
kolom yang sama di setiap percobaan yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
4 MST 8 MST 12 MST 16 MST 20 MST 24 MST
Pert
am
bah
an
dau
n
P0
P1
P2
P3
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
26 Iswari S. Dewi, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko, dan M. Sabda
Tabel 6. Nilai rataan jumlah akar plantlet kultivar Nambangan pada berbagai media perlakuan
mengandung mannitol (M) atau paclobutrazol (P).
Perlakuan Jumlah Akar
4 MST 8 MST 12 MST 16 MST 20 MST 24 MST
M0 0.0 0.0 0.0 0.3 0.3 0.3
M1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
M2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
M3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
P0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
P1 0.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0
P2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
P3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Keterangan: Mannitol (M): 0 g L-1 (M0), 20 g L-1 (M1), 40 g L-1 (M2), 60 g L-1 (M3); Paclobutrazol (P): 0 mg L-1
(P0), 1 mg L-1 (P1), 3 mg L-1 (P2), 5 mg L-1 (P3); angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada
kolom yang sama di setiap percobaan yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.
Penampilan Biakan pada 24 MST
Penampilan biakan kultivar jeruk besar
cv. Nambangan in vitro merupakan peubah
yang diamati secara visual. Perlakuan mannitol
pada taraf 20, 40 dan 60 g L-1 menunjukkan
ukuran tanaman dan daun yang tidak tampak
berbeda, namun pada saat pengamatan 20
MST daun pada perlakuan mannitol 20, 40 dan
60 g. L-1 sudah menguning, bahkan beberapa
ada yang gugur.
Mannitol dan polyol lainnya, seperti
sorbitol, merupakan gula alkohol yaitu senyawa
berkarbon enam (C6H14O6) yang juga ber-
fungsi sebagai pengendali osmotik atau osmo-
regulator (Buchanan et al., 2006). Konsentrasi
tertentu dari osmotikum tersebut di media in
vitro akan meningkatkan osmolaritas media
dan menyebabkan aliran nutrisi ke dalam
jaringan tanaman terhambat dan menurunkan
laju pembelahan sel (Dewietal, 2010). Peng-
hambatan pertumbuhan akibat perlakuan mannitol
pada penelitian ini ditunjukkan oleh rendahnya
tanaman (Tabel 2) serta tidak munculnya daun
(Tabel 4) dan akar (Tabel 6).
Dengan demikian, plantlet jeruk besar
cv. Nambangan yang hanya dapat bertahan
kurang dari 20 MST (5 bulan) di media
konservasi mengandung mannitol harus di-
subkultur sebelum daun menguning. Hasil
penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa
penambahan mannitol dengan konsentrasi
rendah 2.5 g L-1 pada biakan tanaman buah
pear dapat memperpanjang periode subkultur
lebih dari 3 bulan (Ahmed dan Anjum, 2010).
Berbeda dengan penampilan biakan
dalam percobaan menggunakan mannitol, pada
pengamatan 24 MST penampilan biakan pada
percobaan dengan paclobutrazol tampak lebih
vigor dengan daun-daun yang hijau. Namun
jika dibandingkan dengan kontrol tampak
adanya perbedaan ukuran plantlet dan ukuran
daun dengan perlakuan paclobutrazol 3 dan 5
mg L-1. Ukuran daun pada kedua konsentrasi
tersebut tampak lebih kecil dibandingkan
dengan kontrol yang merupakan media tanpa
paclobutrazol. Selain itu warna daun tampak
semakin hijau seiring dengan peningkatan taraf
konsentrasi yang diberikan. Hal ini berbeda
dengan yang dilaporkan oleh Keatmetha et al.
(2006) dimana biakan tunas manggis sudah
mengalami pencoklatan (browning) pada per-
lakuan paclobutrazol 2.0 mg L-1.
Retardan memang telah lama diketahui
memperlambat terjadinya senesen atau gugur
pada daun tetapi mengurangi ukuran daun
(Rademacher, 2000). Paclobutrazol memang
menghambat pertumbuhan, namun tidak me-
nyebabkan pertumbuhan abnormal, sehingga
walaupun ukuran daun mengecil tetapi tetap
pertumbuhan daun normal. Yang terjadi pada
perlakuan paclobutrazol adalah bertambahnya
ketebalan daun akibat terbentuknya lapisan
parenkima palisade tambahan, sehingga walau-
pun ukuran sel-sel mesophyl daun memendek
dan diameter mengecil tetapi daun menjadi
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro….. 27
lebih padat dan tampak semakin hijau
(Nazaruddin et al., 2007). Menurut Keller et
al. (2006) pada prinsipnya konservasi dengan
pertumbuhan minimal menampilkan biakan
yang tetap hidup normal, namun dengan ukuran
organ yang lebih kecil karena pertumbuhan
yang dihambat (retarded). Konservasi jangka
menengah melalui penghambatan pertumbuhan
in vitro pada tanaman buah-buahan, seperti
tanaman pear, akan berhasil ketika periode
subkultur dapat dilakukan minimal dalam 3
bulan (Ahmed dan Anjum, 2010). Hal ini
selain menghemat biaya dan mengurangi laju
kontaminasi juga akan menghindarkan terjadi-
nya mutasi pada plasma nutfah yang disimpan
(Malaurie et al., 1998; Keatmetha et al., 2006).
Oleh karena itu, berdasarkan pengamatan pada
24 MST (6 bulan) terhadap tinggi tunas, per-
tambahan tunas dan daun, ketegaran biakan
secara visual dan munculnya akar, maka per-
lakuan paclobutrazol 1 mg L-1 lebih direkomen-
dasikan dibandingkan perlakuan mannitol untuk
digunakan sebagai media konservasi jeruk
pamelo cv. Nambangan.
KESIMPULAN
Jeruk besar kultivar Nambangan dapat
dikonservasi secara in vitro dengan meng-
induksi pertumbuhan minimal melalui pemberian
paclobutrazol dan mannitol. Namun, pemberian
mannitol tidak direkomendasikan pada media
konservasi walaupun mampu untuk menghambat
laju pertumbuhan tanaman, karena tanaman
cepat mengalami senescence. Berdasarkan tinggi
tunas, pertambahan tunas dan daun, munculnya
akar, serta vigor dan penampilan biakan secara
visual, perlakuan paclobutrazol 1 mg L-1 lebih
direkomendasikan dibandingkan perlakuan
mannitol untuk digunakan sebagai media
konservasi jeruk pamelo cv. Nambangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, M., M.A. Anjum. 2010. In vitro storage
of some pear genotypes with the minimal
growth technique. Turk J. Agric. For. 34:
25-32.
Borges, M., W. Ceiro, S. Meneses, N. Aguilera,
J. V´azquez, Z. Infante, M. Fonseca. 2004.
Regeneration and multiplication of
Dioscorea alata germplasm maintained
in vitro. J. Plant Cell, Tissue and Organ
Culture 76: 87-90.
Buchanan, B.B., W. Gruisem, R.L. Jones. 2006.
Biochemistry and Molecular Biology of
Plants. American Society of Plant Physio-
logists. Maryland, USA.
Chaorensub, R., S. Phansiri. 2004. In vitro
conservation of rose coloured leadwort:
Effect of mannitol on growth of plantlets.
Kasetsart J. Nat. Sci. 38: 97-102.
Deguchi, M., Y. Koshita, M. Gao, R. Tao, T.
Tetsumura, S. Yamaki, Y. Kanayama. 2004.
Engineered sorbitol accumulation induces
dwarfism in Japanese persimmon. J. Plant
Physiol. 161: 1177-1184.
Dewi, I.S., G. Jawak, I.R. Tambunan, M.
Sabda, B.S. Purwoko, W.H. Adil. 2010.
Konservasi in vitro tanaman jeruk besar
(Citrus maxima) cv. Srinyonya
menggunakan osmotikum dan retardan
J. Agrobiogen. 6(2): 84-90.
Engelmann, F. 1991. In vitro conservation of
tropical plant germplasm - a review.
Euphytica. 57: 227-243.
Grout, B.W.W. 1990. In vitro conservation of
germplasm, p. 394-411. In: S.S. Bhojwani
(Ed). Plant Tissue Culture. Elsevier Science
Publishing Company Inc. New York.
Jala, A., K. Bodhipadma. 2012. Low concen-
tration of paclobutrazol induced multiple
shoot and plantlet formation in amethyst
curcuma. J. KMUTNB. 22(3): 505-510.
Keatmetha, W., P. Suksa-Ard, M. Mekanawakul,
S. Te-Chato. 2006. In vitro germplasm
conservation of Garcinia mangostana L.
and Lansium domesticum Corr. Walailak J.
Sci. & Tech. 3(1): 33-50.
Keller, E.R.J., A. Senula, S. Leunufna, M.
Grübe. 2006. Slow growth storage and
cryopreservation-tools to facilitate germplasm
maintenance of vegetatively propagated
crops in living plant collections. Internat.
J. Refrigeration 29: 411-417.
J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.
28 Iswari S. Dewi, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko, dan M. Sabda
Malaurie, B., M.F. Trouslot, J. Berthaud, M.
Bousalem, A. Pinel, J. Dubern. 1998.
Medium-term and long-term in vitro
conservation and safe international exchange
of yam (Dioscorea spp.) germplasm. E-
Journal of Biotechnology (EJB). 1(3).
Nazaruddin, M.R.A., R.M. Fauzi, F.Y. Tsan.
2007. Effects of paclobutrazol on the
growth and anatomy of stems and leaves
of Syzigium campanulatum. J. Trop. For.
Sci. 19(2): 86-91.
Niyomdham, C., 2003. Citrus maxima (Burm.)
Merr. In Edible Fruits and Nuts, p.128-
131. E.W.M. Verheij, R.E. Coronel (Eds.).
PROSEA (Plant Resources of South-East
Asia) Foundation, Bogor, Indonesia. http://
www.proseanet.org. [May 19, 2004].
Paudyal, K.P., N. Haq. 2008. Variation of
pummelo (Citrus grandis (L.) Osbeck)
in Nepal and participatory selection of
strains for further improvement. Agroforest
Syst. 72: 195-204.
Pérez, R.M. 2000. Cryostorage of citrus embryo-
genic cultures. p. 687-705. In: Somatic
Embryogenesis in Woody Plants. Vol. 6.
S.M. Jain, P.K. Gupta, R.J. Newton (eds),
Kluwer Acad. Publ., The Netherlands.
Purwoko, B.S., I.S. Dewi, N. Susilawati. 2000.
Konservasi in vitro plasmanutfah ubijalar
(Ipomoea batatas L.) dengan osmotikum
dan retardan. J. Tan. Tropika 3(2): 68-79.
Rademacher, E. 2000. Growth retardants:
Effects on gibberellin biosynthesis and
other metabolic pathway. Ann. Rev. Plant
Physiol. Mol. Biol. 51: 501-531.
Rahayu, A., S. Susanto, B.S. Purwoko, I.S. Dewi.
2012. Perbandingan pola pita isoenzim 15
aksesi pamelo (Citrus maxima (Burm.)
Merr.) berbiji dan tidak berbiji dan
hubungan kekerabatannya. J. Hort.
Indonesia 3(1): 42-48.
Rao, V.R., B. Mal. 2002. Tropical Fruit Species
in Asia: Diversity and Conservation
Strategies. In: R Drew (ed). Proceedings
of The International Symposium on Tropical
and Subtropical Fruits. ISHS Acta Horti-
culturae. p. 179-90. Cairns, Australia.
Rao, N.K. 2004. Plant genetic resources:
Advancing conservation and use through
biotechnology. African J. Biotech 3:
136-145.
Sarkar, D., P.S. Naik. 1998. Factors affecting
minimal growth conservation of potato
microplants in vitro. Euphytica 102(2):
275-280.
Sarwar, M., S.U. Siddiqui. 2004. In vitro
conservation of sugarcane (Saccharum
officinarum l.) germplasm. Pak. J. Bot.
36(3): 549-556.
Syahid, S.F. 2007. Pengaruh retardan paclo-
butrazol terhadap terhadap pertumbuhan
temulawak (Curcuma xanthorrhiza) selama
konservasi in vitro. Jurnal Litri 13(3):
93-97.
Sunarlim, N,. A.V. Novianti, I. Rostika. T. 2004.
Penyimpanan in vitro gembili melalui
pertumbuhan minimal. Balai Pusat Penelitian
Tanaman Pangan Bogor. hal 267-275.
Bogor.
Susanto, S., H. Sugeru, S. Minten. 2010. Per-
tumbuhan vegetatif dan generatif batang
atas jeruk pamelo ‘Nambangan’ pada empat
jenis interstock. J. Hort. Indonesia. 1(2):
53-58.
Susilowati, Y.P.C. 2013. Perbaikan keragaan
bibit jeruk pamelo (Citrus maxima (Burm.)
Merr.). Skripsi. Departemen Agronomi
dan Hortikultura. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
West, T.P., M.B. Ravindra, J.E. Preece. 2006.
Encapsulation, cold storage, and growth
of Hibiscus moscheutos nodal segments.
J. Plant Cell Tissue and Org. Cult. 87,
223-231.
Yelnititis, N. Bermawie, 2001. Konservasi
tanaman lada (Piper nigrum L.) secara
in vitro. Jurnal Littri 7(3): 88-92.
J. Hort. Indonesia 5(1):29-35. April 2014.
Karakterisasi Morfologi Anggrek Phalaenopsis….. 29
Karakterisasi Morfologi Anggrek Phalaenopsis Hibrida
Morphological Characterization of Phalaenopsis Hybrid
Fajar Pangestu1, Sandra Arifin Aziz1*, dan Dewi Sukma1
Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014
ABSTRACT
Orchid is one of ornamental plants that has high aesthetic value and Phalaenopsis hybrid is
one of orchid type famous in Indonesia. Characterization of Phalaenopsis hybrid should be made to
determine similarity or diversity between hybrids and as a basic information on plant breeding
activities. The purpose of this study was to study the morphological character and relationship of five accessions of Phalaenopsis hybrid i.e, four white accessions flowering hybrid, one accession
yellow flowering hybrids and Phalaenopsis amabilis ‘Cidaun’ ecotype. Based on the morphology of
leaves and flowers, two of the four accessions white flowering hybrid have similarity coefficient 1.00. Every Phalaenopsis hybrid clustered together on the similarity coefficient 0.729, but one of
three replications yellow flowering hybrids have similarity coefficient 0.435 with main differences in
leaf shape and flowering types. Phalaenopsis amabilis’ Cidaun’ ecotype have similarity coefficient 0.528 with main differences with Phalaenopsis hybrid in flowers shape and flowering types.
Keywords: Coefficient similarity, flowers, leaves, morphological character, Phalaenopsis hybrid
ABSTRAK
Anggrek merupakan tanaman hias yang memiliki nilai estetika tinggi dan Phalaenopsis hibrida merupakan salah satu jenis anggrek yang terkenal di Indonesia. Keragaman Phalaenopsis
hibrida yang cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan karakterisasi untuk mengetahui kemiripan
ataupun keragaman antar Phalaenopsis hibrida maupun dengan Phalaenopsis spesies asli sebagai
informasi dasar dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari karakter morfologi dan kekerabatan antara lima aksesi Phalaenopsis hibrida yaitu
empat aksesi hibrida berbunga putih, satu aksesi hibrida berbunga kuning dan Phalaenopsis amabilis
ekotipe ‘Cidaun’. Berdasarkan morfologi daun dan bunga, dua dari empat aksesi hibrida berbunga
putih memiliki koefisien kemiripan 1.00. Semua Phalaenopsis hibrida berkelompok menjadi satu
pada koefisien kemiripan 0.729, sementara satu ulangan dari hibrida berbunga kuning memiliki
koefisien kemiripan 0.435 dengan perbedaan utama pada bentuk daun dan tipe pembungaan.
Phalaenopsis amabilis ekotipe ‘Cidaun’ memiliki koefisien kemiripan 0.528 dengan Phalaenopsis hibrida, perbedaan utama pada bentuk bunga dan tipe pembungaan.
Kata kunci: Koefisien kemiripan, Bunga, daun, karakter morfologi, Phalaenopsis hibrida
PENDAHULUAN
Tanaman hias memiliki arti penting
sepanjang sejarah peradaban manusia. Salah
satu jenis tanaman hias penting di dunia adalah
anggrek. Anggrek dari famili Orchidaceae
merupakan salah satu tumbuhan berbunga
yang banyak tersebar dan beraneka ragam di
dunia. Jenis anggrek yang terdapat di seluruh
dunia berkisar antara 17 000-35 000. Kontri-
busi anggrek Indonesia dalam khasanah anggrek
dunia cukup besar. Sebanyak 20 000 spesies
anggrek yang tersebar di seluruh dunia, 6 000
di antaranya berada di hutan Indonesia
(Widiastoety et al., 1998; Sandra, 2005).
Anggrek merupakan tanaman hias yang
mempunyai nilai estetika tinggi. Bentuk dan
warna bunga serta karakteristik lainnya yang
1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
Telp. & Faks. 62-251-8629353 *e-mail untuk korespondensi: [email protected]
J. Hort. Indonesia 5(1):29-35 April 2014
30 Fajar Pangestu, Sandra Arifin Aziz, dan Dewi Sukma
unik menjadi daya tarik tersendiri dari spesies
tanaman hias ini sehingga banyak diminati
oleh konsumen, baik di dalam maupun luar
negeri. Anggrek yang disukai adalah dalam
bentuk bunga potong dan tanaman pot.
Keragaman anggrek yang cukup tinggi
di Indonesia, sehingga dibutuhkan suatu
penelitian mengenai karakterisasi anggrek
sehingga dapat mengetahui kekerabatan dalam
famili Orchidaceae. Pada Phalaenopsis hibrida,
karakterisasi digunakan untuk mengidenti-
fikasi kedekatan hubungan dari anggrek
tersebut ataupun dengan spesies asli. Informasi
kedekatan hubungan secara morfologi men-
cirikan adanya kedekatan hubungan secara
genetik yang merupakan informasi dasar yang
diperlukan untuk kegiatan pemuliaaan tanaman.
Hubungan kekerabatan dari suatu populasi
organisme dapat dipelajari dengan meng-
gunakan karakter morfologi sebagai acuan
untuk melakukan karakterisasi (Young et al.,
2001). Pada anggrek, karakter morfologi daun
dan bunga merupakan karakter yang digunakan
sebagai penanda untuk membedakan antar
kelompok tanaman. Bunga merupakan penanda
dalam membedakan spesies anggrek dalam
satu genus, karena variasi morfologi terdapat
pada bunga (Purwantoro et al., 2005).
Phalaenopsis hibrida sudah banyak di-
pasarkan di pasar anggrek atau tempat-tempat
penjualan anggrek, namun tidak semua
tanaman yang dijual diberi label nama
varietas. Dalam upaya koleksi plasma nutfah
anggrek ditemukan beberapa tipe hibrida yang
banyak dipasarkan yaitu hibrida berbunga
putih, bunga kuning atau bunga merah muda
hingga merah tua. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi ciri morfologi 5 aksesi
Phalaenopsis hibrida dan P. amabilis ekotipe
‘Cidaun’ dan mengetahui kekerabatan antar
aksesi tersebut.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Screen house
Gunung Batu Bogor dan Micro Technique
Laboratory Departemen Agronomi dan Horti-
kultura, IPB pada bulan Januari-Juni 2013.
Bahan tanaman yang digunakan dalam
penelitian ini adalah 5 aksesi Phalaenopsis hibrida yang banyak dipasarkan oleh pedagang
anggrek yaitu Phalaenopsis hibrida bunga
putih 1, Phalaenopsis hibrida bunga putih 2,
Phalaenopsis hibrida bunga putih 3, Phalae-nopsis hibrida bunga putih 4, Phalaenopsis
hibrida bunga kuning 1, dan P. amabilis ekotipe
‘Cidaun’ sebagai pembanding. Phalaenopsis
hibrida tersebut diperoleh dari sentra pemasaran
anggrek Ragunan dan Taman Anggrek
Indonesia Permai. Setiap aksesi terdiri dari 3
tanaman, sehingga total terdapat 18 tanaman
yang diamati. Alat yang digunakan pada
penelitian ini adalah benang, penggaris, jangka
sorong, meteran dan mikroskop dan kamera.
Parameter yang diamati terbagi menjadi
kuantitatif dan kualitatif. Parameter kuantitatif
yang diamati antara lain panjang dan lebar
daun, panjang dan lebar bunga, panjang dan
lebar petal, panjang dan lebar sepal lateral, dan
panjang dan lebar sepal dorsal. Parameter
kualitatif yang diamati yaitu penampang
melintang daun, tipe tonjolan kalus pada bibir,
posisi pembungaan, bentuk daun, bentuk ujung
daun, susunan daun, bentuk tepi daun, tekstur
permukaan daun, simetri daun, tipe pem-
bungaan, bentuk bunga, bentuk sepal dorsal
dan lateral, bentuk petal, bentuk ujung petal,
bentuk ujung sepal dorsal dan lateral, penampang
melintang sepal dan petal, penampang me-
lintang bibir, susunan petal, bentuk keping
tengah, tipe keping bawah dan tipe penampang
keping sisi. Karakterisasi dilakukan mengikuti
pandauan karakterisasi anggrek (Balithi, 2007).
Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis
menggunakan uji t-dunnet dengan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’ sebagai kontrol. Data kualitatif
dianalisis dengan menggunakan analisis gerombol
untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar
spesies dengan menggunakan software NTSYS-
PC yang selanjutnya tersaji dalam bentuk
dendrogram berdasarkan karakter morfologi
daun dan bunga.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data Kuantitatif Panjang daun dan lebar
daun
Data kuantitatif karakter morfologi daun
terdiri dari jumlah daun, panjang daun dan
lebar daun. Hasil uji t-dunnett dengan Phalae-nopsis amabilis ekotipe ‘Cidaun’ sebagai
kontrol disajikan pada Tabel 1. Hasil uji
t-dunnet menunjukkan bahwa pengamatan
yang dilakukan terhadap 6 aksesi terlihat
bahwa panjang daun dan lebar daun dari
J. Hort. Indonesia 5(1):29-35. April 2014.
Karakterisasi Morfologi Anggrek Phalaenopsis….. 31
Phalaenopsis hibrida yang diamati tidak
berbeda nyata dengan kontrol. Panjang dan
lebar daun tanaman dipengaruhi oleh bentuk
daun. Hibrida bunga putih 2, hibrida bunga
putih 3, hibrida bunga putih 1, hibrida bunga
putih 4, dan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’
memiliki bentuk daun yang sama yaitu lanset
terbalik, sedangkan hibrida bunga kuning 1
memiliki bentuk daun yang berbeda yaitu bulat
telur terbalik.
Panjang dan Lebar Bunga, Sepal dan Petal
Data kuantitatif karakter morfologi
bunga terdiri dari panjang dan lebar bunga,
petal, sepal dorsal, sepal lateral. Hasil uji t-Dunnett dengan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’
sebagai kontrol disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 2)
menunjukkan bahwa bunga terpanjang dan
bunga terlebar terdapat pada hibrida bunga
putih 1 dengan panjang 11.03 cm dan lebar
10.10 cm. Hasil uji t-dunnet menunjukkan
bahwa panjang bunga dari 5 aksesi yang
diamati berbeda nyata dengan kontrol. Lebar
bunga seluruh aksesi tidak berbeda nyata
dengan kontrol.
Hibrida bunga putih 1 memiliki petal
terpanjang dan terlebar pada semua aksesi
dengan panjang 6.77 cm dan lebar 5.33 cm.
Hasil uji statistik menunjukkan panjang petal
dari 5 aksesi yang diamati menunjukkan hasil
hibrida bunga putih 1, hibrida bunga putih 2,
dan hibrida bunga putih 3 berbeda nyata
dengan kontrol. Lebar petal menunjukkan bahwa
seluruh aksesi yang diamati menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Panjang sepal dorsal dari 5 aksesi yang
diamati tidak berbeda nyata dengan kontrol
dan lebar sepal dorsal seluruh aksesi berbeda
nyata dengan kontrol. Sepal dorsal terpanjang
terdapat pada hibrida bunga kuning 1 sepanjang
4.07 cm. Sepal dorsal terlebar terdapat pada
hibrida bunga putih 1 dengan lebar 5.33 cm.
Panjang dan lebar sepal lateral yang diamati
menunjukkan bahwa seluruh aksesi berbeda
nyata dengan kontrol. Sepal lateral terpanjang
terdapat pada hibrida bunga putih 1 dengan
panjang 5.47 cm dan sepal lateral terlebar
terdapat pada hibrida bunga kuning 1 dengan
lebar 3.17 cm. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa Phalaenopsis hibrida (bunga putih 2,
bunga putih 3, bunga kuning 1, bunga putih 1,
bunga putih 4) memiliki bunga yang berukuran
lebih besar dibandingkan P. amabilis ekotipe
‘Cidaun’. Phalaenopsis hibrida memiliki bentuk
bunga bulat, sedangkan P. amabilis ekotipe
‘Cidaun’ memiliki bentuk bunga bintang.
Tabel 1. Rata-rata jumlah daun, panjang daun
dan lebar daun beberapa aksesi
anggrek Phalaenopsis hibrida dan P.
amabilis ekotipe ‘Cidaun’
Aksesi Panjang
Daun (cm)
Lebar
Daun (cm)
Bunga putih 2 27.13a 7.07a
Bunga putih 3 23.13a 6.70a
Bunga kuning 1 27.70a 7.00a
Bunga putih 1 25.77a 7.10a
Bunga putih 4 24.67a 7.80a
P. amabilis Cidaun 26.33a 6.60a Keterangan: a Angka-angka pada kolom yang sama yang
diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan
hasil tidak berbeda nyata dengan kontrol pada
uji t-dunnett taraf α = 5%
Tabel 2. Rata-rata panjang dan lebar bunga, sepal dan petal beberapa aksesi anggrek Phalaenopsis
hibrida dan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’
Aksesi Bunga
Petal
Sepal Dorsal
Sepal Lateral
Panjang Lebar
Panjang Lebar
Panjang Lebar
Panjang Lebar
(cm)
Bunga putih 2 10.13 9.62a 6.63 5.20 3.53a 4.70 5.03 2.96
Bunga putih 3 9.50 9.30a
5.97 4.83
3.63a 4.00
4.43 2.83
Bunga kuning 1 8.83 7.63a
4.77a 4.50
4.07a 4.13
4.77 3.17
Bunga putih 1 11.03 10.10a
6.77 5.33
3.57a 5.33
5.47 3.10
Bunga putih 4 8.80 8.10a
4.82a 4.27
3.63a 4.13
4.57 3.00
Ph. amabilis Cidaun 5.70a 7.40a
3.70a 3.10a
3.10a 1.30a
3.20a 1.40a
Keterangan: a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil tidak
berbeda nyata dengan kontrol pada uji t-dunnett taraf α = 5%
J. Hort. Indonesia 5(1):29-35 April 2014
32 Fajar Pangestu, Sandra Arifin Aziz, dan Dewi Sukma
Data Kualitatif
Data kualitatif diamati untuk me-
ngetahui keragaman karakter morfologi daun
dan karakter morfologi bunga 5 aksesi Phalae-nopsis hibrida dan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’
serta melakukan pendugaan hubungan ke-
kerabatannya. Karakterisasi pada anggrek
penting untuk membedakan dan menggambarkan
perubahan pada karakter yang disukai (Okuno
dan Fukuoka, 2002). Persamaan antar aksesi
Phalaenopsis hibrida disebabkan oleh ke-
samaan sifat genetik pada masing-masing
aksesi, karena terdapat pada satu genus yang
sama, yaitu genus Phalaenopsis, sedangkan
perbedaan pada sifat-sifat tanaman dipengaruhi
oleh perubahan lingkungan seperti, nutrisi,
suhu, kelembaban, dan iklim (Hardiyanto et al., 2007).
Berdasarkan data karakter morfologi
daun, 6 aksesi yang diamati memiliki ke-
ragaman pada bentuk daun, bentuk ujung
daun, susunan daun, tekstur permukaan daun,
tipe pembungaan, bentuk bunga, bentuk sepal
dorsal, bentuk sepal lateral, bentuk petal,
bentuk ujung sepal, bentuk ujung petal,
penampang melintang sepal, penampang
melintang petal, penampang melintang bibir,
susunan petal, ada atau tidaknya whisker, tipe
keping sisi, penampang keping sisi, tipe
tonjolan pada bibir, dan bentuk keping tengah.
Kemiripan pada 6 aksesi yang diamati terdapat
pada karakter morfologi daun, yaitu penam-
pang melintang daun, bentuk tepi daun, dan
simetri daun. Pengamatan terhadap warna
bunga tidak diamati, karena pada satu bunga
terdapat beragam warna, sehingga sulit untuk
dibuat skoring.
Kemiripan berdasarkan morfologi daun dan
bunga
Analisis kemiripan dilakukan pada 15
tanaman dari 5 aksesi Phalaenopsis hibrida
dan 3 tanaman spesies asli P. amabilis ekotipe
‘Cidaun’. Tingkat kemiripan masing-masing
individu ditunjukkan pada koefisien kemiripan
dengan skala dari 0.00 sampai 1.00. Enam
aksesi Phalaenopsis yang diamati menunjuk-
kan kemiripan pada morfologi daun yaitu pada
penampang melintang daun dan simetri daun,
sedangkan untuk morfologi bunga masing-
masing aksesi menunjukkan karakter yang
berbeda. Berdasarkan pengamatan pada
morfologi daun dan bunga membentuk 3
kelompok yaitu hibrida bunga kuning 1.1 pada
koefisien kemiripan sebesar 0.435, kelompok
P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’ pada koefisien
kemiripan sebesar 0.528, dan kelompok
Phalaenopsis hibrida pada koefisien kemiripan
sebesar 0.729.
Keragaman tinggi yang dapat dianalisis
melalui karakter kualitatif. Hibrida bunga
kuning 1.1 tidak mengelompok dalam kelompok
Phalaenopsis hibrida karena memiliki per-
bedaan utama pada bentuk daun dengan
bentuk daun bulat telur terbalik, sedangkan
aksesi lainnya memiliki bentuk daun lanset
terbalik. Perbedaan lainnya terdapat pada tipe
pembungaan, dengan hibrida bunga kuning 1.1
memiliki tipe pembungaan tunggal, sedangkan
aksesi lainnya memiliki tipe pem-bungaan
tandan. Bentuk keping tengah, tipe keping sisi,
ada atau tidaknya whisker, dan penampang
melintang bibir merupakan juga faktor-faktor
utama hibrida bunga kuning 1.1 tidak
berkelompok dengan Phalaenopsis hibrida
lainnya.
Faktor-faktor yang membedakan antara
P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’ dan Phalae-nopsis hibrida antara lain susunan daun, tipe
pembungaan, bentuk bunga, bentuk sepal
dorsal, bentuk petal, dan penampang melintang
petal. Perbedaan utama terdapat pada bentuk
bunga dan tipe pembungaan. P. amabilis
ekotipe ‘Cidaun’ memiliki bentuk bunga
bintang, sedangkan pada kelompok Phalae-nopsis hibrida memiliki bentuk bunga bulat.
Tipe pembungaan pada P. amabilis ekotipe
‘Cidaun’ merupakan malai, sedangkan pada
kelompok Phalaenopsis hibrida memiliki tipe
pembungaan tandan.
Kelompok Phalaenopsis hibrida menge-
lompok berdasarkan kemiripan bentuk daun,
bentuk tepi daun, simetri daun, sususan daun,
tipe pembungaan, bentuk bunga, bentuk
keping tengah, tipe tonjolan pada bibir, tipe
keping sisi, penampang keping sisi, ada
penampang melintang bibir, dan ada atau
tidaknya whisker. Kelompok Phalaenopsis
hibrida membentuk 3 kelompok yaitu hibrida
bunga putih 3.3 pada koefisien kemiripan
0.729, hibrida bunga putih 3.1 pada koefisien
kemiripan 0.753 dan kelompok A dan B yang
bertemu pada koefisien kemiripan 0.779.
Kelompok A dan B memiliki kemiripan pada
penampang melintang daun, bentuk daun,
bentuk tepi daun, simetri daun, tipe pem-
bungaan, bentuk keping tengah, tipe keping
J. Hort. Indonesia 5(1):29-35. April 2014.
Karakterisasi Morfologi Anggrek Phalaenopsis….. 33
sisi, tipe tonjolan bibir, ada atau tidaknya
whisker dan penampang melintang bibir.
Gambar 1. Dendrogram 18 tanaman anggrek
Phalaenopsis spesies berdasarkan
karakter morfologi pada daun dan
bunga
Kelompok A berkelompok berdasarkan
kemiripan pada penampang melintang daun,
bentuk daun, bentuk tepi daun, simetri daun,
susunan daun, tipe pembungaan, bentuk
bunga, tipe tonjolan pada bibir, tipe keping,
penampang melintang bibir, dan ada atau
tidaknya whisker. Kelompok A terbagi
menjadi 3 yaitu hibrida bunga putih 3.2 pada
koefisien kemiripan 0.798, kelompok A1 dan
A2 pada koefisien kemiripan 0.823. Kelompok
A1 dan A2 terdapat pada kelompok yang
terpisah karena masing-masing aksesi dalam
kelompok tersebut memiliki perbedaan pada
bentuk ujung daun, tekstur permukaan daun,
bentuk sepal dorsal, bentuk sepal lateral,
bentuk petal, susunan petal, penampang
melintang petal, penampang keping sisi,
bentuk ujung sepal, dan bentuk ujung petal.
Hibrida bunga putih 2.1, hibrida bunga
putih 2.3, dan hibrida bunga putih 4.2 terdapat
pada koefisien kemiripan 0.913 dan menge-
lompok dengan hibrida bunga putih 4.3 pada
koefisien kemiripan 0.899 yang membentuk
kelompok A1. Kelompok A2 terdiri dari
hibrida bunga putih 1.1 dan hibrida bunga
putih 4.1 dengan koefisien kemiripan 1.00
yang mengelompok dengan hibrida bunga
putih 1.2 dengan koefisien kemiripan 0.957,
dan kemudian mengelompok kembali dengan
hibrida bunga putih 1.3 dengan koefisien
kemiripan 0.883.
Aksesi pada kelompok B mengelompok
berdasarkan kemiripan pada penampang me-
lintang daun, bentuk daun, bentuk ujung daun,
bentuk tepi daun, simetri daun, susunan daun,
tipe pembungaan, bentuk bunga, bentuk sepal
lateral, bentuk petal, bentuk keping tengah,
tipe tonjolan pada bibir, tipe keping sisi, bentuk
ujung petal, penampang melintang bibir, dan
ada atau tidaknya whisker. Hibrida bunga
kuning 1.2 dan hibrida bunga kuning 1.3
terdapat pada koefisien kemiripan 0.957 dan
kemudian mengelompok dengan hibrida bunga
putih 2.2 pada koefisien kemiripan 0.804.
Perbandingan Data Kuantitatif dan Kualitatif
Hasil pengelompokan Phalaenopsis
secara kuantitatif berdasarkan morfologi daun
selaras dengan pengelompokan secara kualitatif.
Secara kualitatif bentuk daun dari setiap aksesi
Phalaenopsis sebagian besar memiliki bentuk
daun yang sama yaitu lanset terbalik, selaras
dengan pengelompokan secara kuantitatif
dimana masing-masing aksesi Phalaenopsis
memiliki panjang dan lebar daun yang tidak
berbeda nyata.
Secara kuantitatif, karakter-karakter yang
membedakan Phalaenopsis hibrida dengan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’ adalah panjang
bunga, lebar petal, lebar sepal dorsal, dan
panjang lebar lateral berbeda nyata. Panjang
bunga dipengaruhi oleh bentuk bunga, Phalae-
nopsis hibrida memiliki bentuk bunga bulat,
hal ini menyebabkan Phalaenopsis hibrida
memiliki panjang bunga berbeda nyata dengan
kontrol. Lebar petal dipengaruhi oleh bentuk
petal, lebar petal Phalaenopsis hibrida secara
kuantitatif berbeda nyata dengan kontrol hal
ini disebabkan bentuk petal Phalaenopsis
hibrida memiliki bentuk petal yang berbeda
dengan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’.
Bentuk sepal dorsal Phalaenopsis hibrida
memiliki bentuk yang berbeda dengan P.
amabilis ekotipe ‘Cidaun’, secara kuantitatif
lebar sepal dorsal Phalaenopsis hibrida berbeda
nyata dengan kontrol, karena lebar sepal dorsal
dipengaruhi oleh bentuk sepal dorsal. Panjang
dan lebar sepal lateral Phalaenopsis hibrida
secara kuantitatif berbeda nyata dengan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’, karena secara
kualitatif bentuk sepal lateral Phalaenopsis hibrida berbeda dengan P. amabilis ekotipe
‘Cidaun’. Sepal lateral P. amabilis ekotipe
‘Cidaun’ berbentuk oval sedangkan Phalae-nopsis hibrida memiliki bentuk sepal lateral
yang bervariasi.
Perbandingan data kuantitatif dan
kualitatif untuk bentuk daun hibrida bunga
kuning 1.1 tidak dapat dilakukan, karena untuk
J. Hort. Indonesia 5(1):29-35 April 2014
34 Fajar Pangestu, Sandra Arifin Aziz, dan Dewi Sukma
kuantitatif data bentuk daun dari 3 ulangan
hibrida bunga kuning 1 dirata-rata, sedangkan
secara kualitatif bentuk dain dari hibrida
bunga kuning 1.1 memiliki bentuk daun yang
berbeda dibandingkan dengan ulangan yang
lainnya.
Analisis Stomata
Analisis stomata bertujuan untuk me-
ngetahui kerapatan dan ukuran stomata pada
daun dari Phalaenopsis hibrida. Pengamatan
dilakukan pada aksesi hibrida bunga putih 1,
hibrida bunga putih 3, hibrida bunga putih 4,
dan hibrida bunga kuning 1. Hibrida bunga
putih 2 tidak teramati karena keterbatasan
bahan tanaman.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
dibawah mikroskop, stomata pada Phalae-
nopsis berbentuk ginjal dan tidak teratur
letaknya. Menurut Rompas et al. (2011),
susunan stomata P. amabilis tidak beraturan
letaknya, serta berbentuk ginjal dan tipe
anomistik yaitu dimana sel sel penjaga tidak
beraturan letaknya dan tidak dapat dibedakan
dari sel-sel epidermis lainnya. Stomata di-
kelilingi oleh 4-5 sel tetangga dan dua sel
tetangga masing-masing terdapat di samping
sebuah sel penutup yang merupakan ciri
tumbuhan monokotil (Hidayat, 1995). Panjang
dan lebar stomata diukur untuk menentukan
ukuran stomata. Aksesi dengan ukuran
stomata terbesar adalah hibrida bunga putih 3
karena memiliki nilai panjang dan lebar
tertinggi, sedangkan hibrida bunga kuning 1
memiliki ukuran stomata terkecil karena
panjang dan lebar stomata terkecil.
Tabel 3. Rata-rata panjang, lebar dan kerapatan
stomata anggrek Phalaenopsis hibrida
Aksesi Panjang
(nm)
Lebar
(nm)
Kerapatan
(mm-2)
Hibrida bunga
putih 3 36576.74 32503.59 13.5
Hibrida bunga
putih 1 36446.83 30875.96 11.8
Hibrida bunga
putih 4 35150.81 26590.55 13.5
Hibrida bunga
kuning 1 29555.53 25895.70 13.5
Kerapatan stomata dari empat aksesi
(Tabel 3) memiliki nilai rata-rata yang relatif
sama sebesar 13.5 mm-2, sedangkan hibrida
bunga putih 4 memiliki nilai kerapatan yang
sebesar 11.8 mm-2. Jumlah stomata berkurang
dengan menurunnya intensitas cahaya. Hal ini
sangat berhubungan dengan habitat dari
tanaman anggrek bulan yang hidup di bawah
naungan yang tidak mendapat sinar matahari
langsung (Yano, 2008). Menurut Rompas
(2011) kerapatan stomata sangat bergantung
pada konsentrasi CO2, yaitu bila CO2 naik
jumlah stomata per satuan luas lebih sedikit.
Menurut Poespodarsono (1988), per-
bedaan tingkat ploidi menunjukkan perbedaan
ukuran sel dan stomata. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Damayanti (2007) yang
menyatakan bahwa pisang aksesi AK8P
dengan tingkat ploidi triploid yang memiliki
ukuran sel epidermis dan stomata yang lebih
besar dibanding aksesi lainnya yang memiliki
tingkat ploidi diploid.
KESIMPULAN
Karakter kuantitatif pada daun dan
bunga Phalaenopsis hibrida dan P. amabilis
ekotipe ‘Cidaun’ menunjukkan nilai yang
beragam. Hasil analisis statistik dengan uji t-dunnet menunjukkan beberapa parameter tidak
berbeda nyata dengan P. amabilis ekotipe
‘Cidaun’ sebagai kontrol adalah panjang daun,
lebar daun, lebar bunga, panjang sepal dorsa,
lebar, dan panjang petal hibrida 1 bunga
kuning dan hibrida bunga putih 4.
Kekerabatan masing-masing aksesi
Phalaenopsis hibrida cukup beragam dan yang
memiliki koefisien kemiripan senilai 1.00
adalah hibrida bunga putih 1.1 dan hibrida
bunga putih 4.1. Phalaenopsis hibrida dengan
P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’ memiliki
koefisien kemiripan sebesar 0.528 kecuali
hibrida bunga kuning 1.1 yang membentuk
kelompok sendiri pada koefisien kemiripan
0.435 akibat perbedaan utama bentuk daun dan
tipe pembungaan.
DAFTAR PUSTAKA
[BALITHI] Balai Penelitian Tanaman Hias.
2007. Panduan Karakterisasi Tanaman
Anggrek. Pusat penelitian dan pengem-
J. Hort. Indonesia 5(1):29-35. April 2014.
Karakterisasi Morfologi Anggrek Phalaenopsis….. 35
bangan hortikultura, Badan penelitian
dan pengembangan pertanian. Jakarta.
Damayanti, F. 2007. Analisis jumlah kromosom
dan anatomi stomata pada beberapa
plasma nutfah pisang (musa sp.) asal
Kalimantan Timur. Bioscientiae 4(2):
53-61.
Hardiyanto, E. Mujiarto, E.S. Sulasmi. 2007.
Kekerabatan genetic beberapa spesies
jeruk berdasarkan taksonometri. J Hort.
17(3): 203-216.
Hidayat, E.B., T.S. Suradinata. 1990 Penuntun
praktikum anatomi tumbuhan. F-MIPA
ITB. Bandung.
Okuno, F., S. Fukuoka. 2002. An enhancement
strategy for rice germplasm: DNA marker-
assisted in identification of beneficial
QTL resistance to rice blast, In JMM
Engels, VR Rao, AHD Brown and MT
Jackson, eds. Managing Plant Genetic
Diversity. CABI Publishing. p 301-306.
Rome.
Poespodarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu
Pemuliaan Tanaman. IPB. Bogor.
Purwantoro, A., E. Ambarwati, F. Setyaningsih.
2005. Kekerabatan antar anggrek spesies
berdasarkan sifat morfologi tanaman
dan bunga. Ilmu Pertanian. 12(1): 1-11.
Rompas, Y., R.L. Henry, J.M. Rumondor. 2011.
Struktur sel epidermis dan stomata daun
beberapa tumbuhan suku Orchidaceae.
J. Bioslog. 1(1): 13-19.
Sandra, E. 2005. Membuat Anggrek Rajin
Berbunga. Penebar Swadaya. Jakarta.
Widiastoety, D., N. Solvia, Syafni. 1998. Kultur
embrio pada anggrek Dendrobium. J
Hort. 7(4): 860-868.
Young, P.S., H.N. Murthy, P.K. Yeuep. 2001.
Mass multiplication of protocorm-like
bodies using bioreactor system and
subsequent plant regeneration in
Phalaenopsis. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 63: 67-72.
Yano, S., I. Terashima. 2008. Determination
mechanisms of leaf anatomy and
chloroplast characteristics in sun and
shade leaves. Department of Biology
Graduate School of Science Osaka
University. Toyonaka.
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
36 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila
Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan Hara sebagai
Pengganti AB Mix pada Budidaya Sayuran Daun secara
Hidroponik
Application Frequency and Nutrient Sources as AB Mix Substitution for
Hydroponics Leafy Vegetables
Fita Lita Ramadiani 1* dan Anas D. Susila 1
Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014
ABSTRACT
This study was aimed to determine the frequency and source of nutrient applications on growth and yield of spinach (Ipomoea sp.), caisin (Brassica juncea), and kailan (Brassica oleraceae
var. acephala) in hydroponics. The experiment were arranged in a RCBD (Randomized Completely
Block Design) with two factors, first factor source of nutrient (AB Mix, NPK 15:15:15, and NPK 12:14:12), and second factor is time of application (one time and two time) with four replications so
there are 24 experimental units. The result showed NPK 15:15:15 had similar effect with AB Mix in spinach, caisin, and kailan. With one time frequency of application, the best source of fertilizer is
NPK 15:15:15, while with two time application is AB Mix.
Keywords: compound fertilizer, NPK 12:14:12, NPK 15:15:15, nutrient solution.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi aplikasi dan jenis sumber hara pada
pertumbuhan dan produksi kangkung (Ipomoea sp.), caisin (Brassica juncea), dan kailan (Brassica
oleraceae var. acephala) secara hidroponik. Rancangan percobaan yang digunakan adalah
Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dua faktor. Faktor pertama yaitu jenis sumber hara
(AB Mix, NPK 15:15:15, dan NPK 12:14:12) dan faktor kedua frekuensi aplikasi (satu kali dan dua
kali). Setiap perlakuan diulang empat kali sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Secara umum
perlakuan NPK 15:15:15 menghasilkan tanaman yang tidak berbeda dengan AB Mix, sedangkan
NPK 12:14:12 menghasilkan tanaman dengan kualitas yang paling rendah. Baik frekuensi aplikasi
satu kali maupun dua kali menghasilkan tanaman yang sama. Terdapat interaksi antara jenis larutan
hara NPK 15:15:15 dengan frekuensi aplikasi satu kali dan jenis hara AB Mix dengan frekuensi
aplikasi dua kali.
Kata kunci: larutan hara, NPK 12:14:12, NPK 15:15:15, pupuk majemuk
PENDAHULUAN
Produksi sayuran nasional mengalami
peningkatan pada tahun 2012 sebesar 0.15%
dari produksi sebelumnya pada tahun 2011,
namun konsumsi perkapita hanya sebesar 47.3
kg masih jauh dari standar konsumsi yang
direkomendasikan oleh Food and Agriculture
Organization (FAO) yaitu 73 kg per kapita per
tahun (BPS, 2013). Menurut Marwan (2008)
peningkatan jumlah konsumsi harus diiringi
dengan jumlah produksi untuk mengimbangi
permintaan sayuran yang menuntut adanya
pengadaan sayuran bermutu.
Hidroponik merupakan salah satu cara
alternatif budidaya untuk peningkatan kualitas
sayuran yang dihasilkan. Menurut Resh (1999)
budidaya hidroponik mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan dengan budidaya
ditanah, yaitu hara tanaman lebih homogen
1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faktultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia
*email penulis untuk korespondensi: [email protected]
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan….. 37
dan dapat dikendalikan, tidak dibatasi oleh
ketersediaan unsur hara dalam tanah, tidak
memerlukan pengolahan tanah, penggunaan
pupuk lebih efisien, media tanam lebih
permanen karena dapat digunakan untuk jangka
waktu yang lama, dan hama penyakit
cenderung berkurang.
Penelitian Kusumawardhani dan Widodo
(2003) dengan menggunakan pupuk majemuk
yaitu NPK (20:20:20) dan NPK (8:10:13)
dengan penyetaraan unsur N, memberikan
hasil yang tidak berbeda nyata dengan larutan
hara AB Mix pada budidaya tomat secara
hidroponik. Ditambahkan oleh Iqbal (2006)
dan Masriah (2006) bahwa pada budidaya
bayam dan kangkung secara hidroponik meng-
gunakan pupuk majemuk NPK (20:20:20) dan
NPK (16:20:0) dengan konsentrasi N yang
telah disetarakan dengan larutan hara AB Mix
memiliki hasil yang lebih tinggi dibanding
tanaman yang diberi larutan AB Mix. Menurut
Noor (2006) air dan hara yang diaplikasikan
dalam fertigasi sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Penelitian-penelitian sebelumnya telah
menunjukkan bahwa pupuk majemuk cukup
baik untuk tanaman sayuran yang ditanam
secara hidroponik, namun harganya masih
terlalu mahal untuk budidaya sayuran daun
secara komersil. Perlu dilakukan penelitian
dengan menggunakan jenis pupuk yang
harganya lebih terjangkau. Penelitian ini ber-
tujuan untuk mengetahui frekuensi aplikasi dan
jenis sumber hara dengan penyetaraan unsur N
sebagai alternatif pengganti larutan hara AB
Mix pada budidaya kangkung (Ipomoea sp.),
caisin (Brassica juncea), dan kailan (Brassica
oleraceae Var. Acephala) secara hidroponik.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada Maret
sampai Mei 2013. Penanaman kangkung,
caisin, dan kailan dilakukan di Greenhouse
Unit Lapangan Cikabayan, University Farm
IPB pada ketinggian 250 m dpl dengan titik
koordinat 6033’5.68” LS dan 106042’51.33”
BT. Dilanjutkan dengan perhitungan bobot di
Laboratorium Pasca Panen Departemen Agro-
nomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah benih kangkung
varietas Walet, benih caisin varietas Tosakan,
benih kailan varietas Nova, pupuk AB Mix,
pupuk NPK (15:15:15), NPK (12:14:12),
Carbofuran, Deltametrin, dan arang sekam.
Peralatan yang digunakan adalah polybag
ukuran 40 cm x 40 cm, gelas ukur 100 ml,
timbangan digital, sprayer, kontainer 120 liter,
penggaris, kamera, Bagan Warna Daun, EC
meter, pH meter, jangka sorong, dan tray semai.
Rancangan Percobaan yang digunakan
adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(RKLT) Faktorial dengan dua faktor. Faktor
pertama yaitu jenis sumber hara yang terdiri
atas pupuk AB Mix (P0), NPK 15:15:15 (P1),
dan NPK 12:14:12 (P2). Faktor kedua
merupakan frekuensi pemupukan yang terdiri
dari 2 perlakuan yaitu: satu kali penyiraman
dengan 300 ml dan dua kali penyiraman
masing-masing 150 ml.
Setiap perlakuan diulang sebanyak 4
ulangan sehingga terdapat 24 satuan percobaan.
Setiap satuan percobaan terdiri dari 3 polybag,
setiap polybag terdiri dari 4 tanaman, sehingga
total tanaman yang ditanam sebanyak 288
untuk masing-masing komoditas. Pengamatan
dipilih secara acak 3 tanaman contoh dalam
setiap ulangan, total tanaman sampel sebanyak
72 tanaman untuk setiap komoditas yang
ditanam. Apabila analisis ragam dengan uji F
pada taraf nyata 5% untuk perlakuan pemu-
pukan dan frekuensi aplikasi menunjukkan
pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji lanjut
dengan uji jarak berganda Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5%.
Penelitian akan dilakukan secara terpisah
antara masing-masing komoditas. Benih caisin,
kangkung, dan kailan akan disemai dalam tray
dengan media berupa cascing. Setelah berumur
2-3 minggu, bibit akan dipindah-tanamkan di
greenhouse. Pindah tanam setelah penyemaian
dilakukan kedalam polybag ukuran 40 cm x 40
cm dengan media arang sekam. Penyiraman
dan pemupukan untuk pupuk AB Mix, NPK
(15:15:15), dan NPK (12:14:12) dilakukan
secara bersamaan dengan sistem fertigasi
manual. Larutan pupuk majemuk NPK
(15:15:15) dan NPK (12:14:12) disetarakan
kandungan N-nya dengan kandungan N pada
larutan hara AB Mix (180 mg l-1 N). Setelah
disetarakan akan didapatkan pupuk NPK
(15:15:15) sebanyak 1.2 g l-1 dan NPK (12:14:12)
sebanyak 1.5 g l-1. Pupuk AB Mix dilarutkan
dalam kontainer A dan kontainer B dengan
volume masing-masing 90 liter. Sebanyak 250
ml masing-masing larutan stok diencerken
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
38 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila
pada kontainer berukuran 120 liter. Perlakuan
pertama diaplikasikan 1 kali sehari sebanyak
300 ml sedangkan perlakuan kedua diaplikasi-
kan 2 kali pada pagi dan sore hari masing-
masing 150 ml dengan menggunakan gelas
ukur. Pemeliharaan tanaman meliputi pe-
ngendalian hama dan penyakit. Kangkung,
caisin, dan kailan dapat dipanen pada umur 3-
4 MST.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu rata-rata di dalam rumah kaca
selama penelitian cukup tinggi yaitu berkisar
antara 26-40 0C. Suhu tersebut mengakibatkan
tanaman mengalami layu tidak permanen.
Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan
jenis hara berpengaruh nyata terhadap
keseluruhan parameter pengamatan, baik
pengamatan vegetatif maupun panen.
Perlakuan frekuensi aplikasi tidak berpengaruh
nyata terhadap seluruh parameter pengamatan.
Kangkung Periode I
Jenis hara berpengaruh nyata pada
diameter batang 2-3 MST, lebar daun 1-3
MST, panjang daun 2-3 MST, dan jumlah
daun 1-3 MST (Tabel 1 dan 2). Jenis hara AB
Mix, NPK 15:15:15, dan NPK 12:14:12 meng-
hasilkan tinggi tanaman yang tidak berbeda
nyata hingga akhir penelitian. NPK 15:15:15
menghasilkan lebar daun, panjang daun, dan
jumlah daun yang lebih tinggi dibandingkan
AB Mix dan NPK 12:14:12. Diameter batang
pada 1-3 MST dengan jenis hara AB Mix tidak
berbeda dengan NPK 15:15:15. Sementara itu,
NPK 12:14:12 menghasilkan tanaman yang
paling rendah.
Tabel 1. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap tinggi tanaman, diameter batang, dan lebar
daun kangkung
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (cm) Lebar Daun (cm)
1 MST 2 MST 3 MST 1 MST 2 MST 3 MST 1 MST 2 MST 3 MST
Hara
AB Mix 11.09 17.73 27.09 0.25 0.33ab 0.40a 1.03b 1.44b 1.63b
NPK 15:15:15 12.15 19.07 28.32 0.25 0.34a 0.42a 1.20a 1.79a 2.18a
NPK 12:14:12 12.39 18.69 26.13 0.25 0.32b 0.36b 1.11ab 1.50b 1.73b
P-value tn tn tn tn * ** * ** **
Frekuensi
1 kali 11.97 18.62 27.39 0.25 0.33 0.39 1.09 1.58 1.86
2 kali 11.78 18.38 26.96 0.25 0.33 0.39 1.14 1.57 1.83
P-value tn tn tn tn tn tn tn tn tn
Interaksi
P-value tn tn tn tn tn tn tn tn tn
CV 11.76 7.05 9.62 6.26 4.95 7.54 10.93 12.30 11.28
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
Tabel 2. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap panjang daun dan jumlah daun kangkung
Perlakuan Panjang Daun (cm) Jumlah Daun (helai)
1 MST 2 MST 3 MST 1 MST 2 MST 3 MST
Hara
AB Mix 5.73 7.68b 8.59b 2.83b 6.83ab 8.75b
NPK 15:15:15 6.08 8.49a 9.85a 3.29a 7.29a 9.79a
NPK 12:14:12 5.73 7.74b 8.53b 2.58b 6.29b 9.08b
P-value tn * * ** ** **
Frekuensi
1 kali 5.83 8.01 9.11 2.94a 6.83a 9.25a
2 kali 6.04 7.93 8.87 2.86a 6.78a 9.17a
P-value tn tn tn tn tn tn
Interaksi
P-value tn tn tn tn tn tn
CV 7.02 7.87 10.76 13.13 7.48 5.71
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan….. 39
Hal ini diduga karena NPK 12:14:12
hanya mengandung unsur hara makro N, P, K,
dan Mg serta hara mikro yaitu Mn, B, Cu, Co,
dan Zn. Sedangkan NPK 15:15:15 mengandung
hara makro N, P, K, Mg, dan S yang hampir
setara dengan AB Mix. Menurut Salisbury dan
Ross (1995), jika tanaman kekurangan salah
satu dari unsur yang dibutuhkan maka tanaman
tidak akan dapat menyelesaikan siklus hidup-
nya karena unsur tersebut berperan langsung
dalam kehidupan tanaman dan kedudukannya
tidak dapat digantikan oleh unsur lain.
Perlakuan jenis hara berpengaruh sangat
nyata terhadap bobot tanaman-1, bobot 4
tanaman-1, bobot daun, bobot batang, bobot
akar, panjang akar, bobot total, dan warna
daun (Tabel 3 dan 4). Jenis hara berpengaruh
nyata terhadap bobot layak pasar, tetapi tidak
berpengaruh nyata terhadap bobot tidak layak
pasar (Tabel 3 dan 4). Bobot tanaman-1, bobot
4 tanaman-1, bobot/total, bobot layak pasar,
bobot daun, bobot batang, dan bobot akar yang
dihasilkan pada jenis hara NPK 15:15:15 lebih
tinggi dibandingkan AB Mix dan NPK
12:14:12. Sementara pada panjang akar dan
warna daun yang dihasilkan jenis hara NPK
15:15:15 tidak berbeda dengan AB Mix. NPK
12:14:12 menghasilkan tanaman yang rendah
kualitas-nya. NPK 12:14:12 memiliki warna
daun yang agak kekuning-kuningan. Hal ini
diduga tanaman kangkung kekurangan unsur
sulfur. Gejala-gejala tanaman yang kekurangan
unsur sulfur menurut Munawar (2011) yaitu
daun-daun muda berwarna kuning pucat,
sementara daun-daun tua masih berwarna
hijau.
Tabel 3. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot tanaman-1, bobot 4 tanaman-1, bobot
layak pasar, bobot tidak layak pasar, dan bobot/total kangkung
Perlakuan
Bobot
Tanaman-1
(g)
Bobot 4
Tanaman-1 (g)
Bobot 96 Tanaman (g)
Bobot Layak
Pasar
Bobot Tidak Layak
Pasar Bobot Total
Hara
AB Mix 6.12b 22.58b 2.91b 64.83 67.74b
NPK 15:15:15 9.21a 33.64a 24.93a 76.03 100.96a
NPK 12:14:12 5.68b 22.16b 0.00b 66.51 66.51b
P-value ** ** * tn **
Frekuensi
1 kali 7.04 25.03 6.22 68.85 75.07
2 kali 6.97 27.23 12.34 69.39 81.73
P-value tn tn tn tn tn
Interaksi
P-value tn tn tn tn tn
CV 19.59 18.51 170.14 17.90 18.52
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
Tabel 4. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot daun, bobot batang, bobot akar, panjang
akar, dan warna daun kangkung
Perlakuan Bobot Tanaman-1 (g) Panjang Akar
(cm) Warna Daun
Daun Batang Akar
Hara
AB Mix 2.28b 2.92b 1.05b 14.51a 3.00a
NPK 15:15:15 3.80a 3.69a 1.54a 14.85a 3.00a
NPK 12:14:12 2.05b 2.49b 0.76c 12.64b 2.54b
P-value ** ** ** ** **
Frekuensi
1 kali 2.70 3.02 1.12 14.38 2.81
2 kali 2.72 3.04 1.12 13.63 2.89
P-value tn tn tn tn tn
Interaksi
P-value tn tn tn tn tn
CV 25.82 14.28 20.40 11.86 9.13
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
40 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila
Hal ini dikarenakan dalam hara NPK
12:14:12 tidak mengandung unsur sulfur seperti
NPK 15:15:15 dan AB Mix. Frekuensi aplikasi
tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh
parameter pengamatan baik pada pertumbuhan
vegetatif maupun panen. Tidak terdapat interaksi
diantara kedua perlakuan terhadap seluruh
parameter pengamatan vegetatif dan panen.
Caisin
Perlakuan jenis hara berpengaruh sangat
nyata terhadap diameter batang 1-4 MST, dan
jumlah daun 3-4 MST, serta berpengaruh nyata
pada jumlah daun 1 MST (Tabel 5 dan 6).
Jenis hara tidak berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman, lebar daun, dan panjang daun.
Jenis hara AB Mix pada diameter batang
merupakan yang tertinggi, NPK 15:15:15
merupakan kedua tertinggi, dan NPK 12:14:12
yang terendah. Secara umum, pada pertumbuhan
vegetatif dengan perlakuan NPK 15:15:15
menghasilkan tanaman yang tidak berbeda
nyata dengan AB Mix. Hal ini selaras dengan
penelitian Iqbal (2006) yang menyatakan bahwa
tanaman bayam yang diberi larutan hara yang
berasal dari pupuk majemuk memiliki tinggi,
diameter, dan bobot tajuk yang sama dengan
AB Mix.
Tabel 5. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap tinggi tanaman, diameter batang, dan lebar
daun caisin
Perlakuan
Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (cm) Lebar Daun
(cm)
1
MST
2
MST
3
MST
4
MST
1
MST
2
MST
3
MST
4
MST
1
MST
2
MST
3
MST
4
MST
Hara
AB Mix 2.41 2.80 3.03 3.39 0.27 0.37a 0.43a 0.56a 3.38 4.38 4.75 4.90
NPK 15:15:15 2.29 2.62 2.83 3.17 0.26 0.36a 0.40b 0.49b 3.40 4.37 4.91 5.08
NPK12:14:12 2.68 3.03 3.38 3.80 0.25 0.34b 0.36c 0.44c 3.33 4.03 4.36 4.48
P-value tn tn tn tn tn ** ** ** tn tn tn tn
Frekuensi
1 kali 2.46 2.83 3.15 3.44 0.26 0.36 0.40 0.50 3.27 4.19 4.55 4.69
2 kali 2.46 2.80 3.01 3.47 0.26 0.36 0.40 0.49 3.47 4.33 4.79 4.94
P-value tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
Interaksi
P-value tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
CV 15.24 17.86 16.32 17.32 9.96 5.57 4.86 6.54 9.22 11.56 10.53 10.57
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
Tabel 6. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap panjang daun dan jumlah daun caisin
Perlakuan Panjang Daun (cm) Jumlah Daun (helai)
1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST
Hara
AB Mix 10.48 11.73 12.49 12.77 4.46ab 6.08 7.33a 8.75a
NPK 15:15:15 10.45 11.70 12.56 12.90 4.75a 6.38 7.13a 8.33a
NPK 12:14:12 9.46 10.72 11.37 11.54 4.21b 5.92 6.50b 7.00b
P-value tn tn tn tn * tn ** **
Frekuensi
1 kali 10.08 11.33 12.05 12.29 4.53 5.97 6.89 7.94
2 kali 10.18 11.43 12.23 12.52 4.42 6.28 7.08 8.11
P-value tn tn tn tn tn tn tn tn
Interaksi
P-value tn tn tn tn tn tn tn tn
CV 11.98 10.70 9.85 9.79 8.78 7.21 6.49 7.69
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan….. 41
Jenis hara berpengaruh sangat nyata
terhadap bobot total, bobot 4 tanaman-1, bobot
daun, dan panjang akar (Tabel 7 dan 8).
Perlakuan jenis hara berpengaruh nyata pada
bobot tanaman-1 dan bobot batang, tetapi tidak
berpengaruh nyata pada bobot layak pasar,
bobot tidak layak pasar, bobot akar, dan warna
daun. Rata-rata perlakuan NPK 15:15:15
menghasilkan panen yang tidak berbeda nyata
dengan AB Mix, kecuali pada bobot batang
NPK 15:15:15 lebih rendah dibanding AB
Mix. Sementara itu, NPK 12:14:12 menghasilkan
panen terendah dibandingkan jenis hara lain.
Frekuensi palikasi tidak berpengaruh nyata
terhadap seluruh parameter pengamatan. Interaksi
antara jenis hara dan frekuensi aplikasi
memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap
seluruh parameter pengamatan caisin.
Tabel 7. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot tanaman-1, bobot 4 tanaman-1, bobot
layak pasar, bobot tidak layak pasar, dan bobot total caisin
Perlakuan Bobot
Tanaman-1 (g)
Bobot 4
Tanaman-1 (g)
Bobot 96 tanaman (g)
Bobot Layak
Pasar
Bobot Tidak Layak
Pasar
Bobot
Total
Hara
AB Mix 31.82a 105.36a 184.81 131.28 316.09a
NPK 15:15:15 24.05ab 100.04a 122.79 177.34 300.13a
NPK 12:14:12 19.82b 62.39b 54.98 132.19 187.17b
P-value * ** tn tn **
Frekuensi
1 kali 23.15 88.94 106.48 53.67 160.15
2 kali 27.31 89.59 135.24 44.51 179.75
P-value tn tn tn tn tn
interaksi
P-value tn tn tn tn tn
CV 33.65 25.38 82.87 38.04 25.38
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
Tabel 8. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot daun, bobot batang, bobot akar, panjang
akar, dan warna daun caisin
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
Perlakuan Bobot Tanaman-1 (g)
Panjang Akar (cm) Warna Daun Daun Batang Akar
Hara
AB Mix 27.21a 1.12a 2.79 14.40a 3.00
NPK 15:15:15 25.07a 0.84b 2.05 15.61a 3.00
NPK 12:14:12 16.44b 0.78b 1.57 10.25b 3.25
P-value ** * tn ** tn
Frekuensi
1 kali 22.26 0.94 1.92 14.00 3.08
2 kali 23.56 0.89 2.36 12.84 3.08
P-value tn tn tn tn tn
Interaksi
P-value tn tn tn tn tn
CV 25.67 27.08 44.61 17.99 8.68
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
42 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila
Kailan
Perlakuan jenis hara memiliki pengaruh
yang sangat nyata terhadap diameter batang 4
MST, lebar daun 1-4 MST, panjang daun 2-4
MST, dan jumlah daun 2-3 MST (Tabel 9 dan
10). Jenis hara berpengaruh nyata terhadap
tinggi tanaman 4 MST, diameter batang 1 dan
3 MST, panjang daun 1 MST, serta jumlah
daun 1 dan 4 MST, sedangkan pada tinggi
tanaman 1-3 MST dan diameter batang 2 MST
perlakuan jenis hara tidak berpengaruh nyata
(Tabel 9 dan 10). Tinggi tanaman, diameter
batang, dan jumlah daun yang dihasilkan jenis
hara NPK 15:15:15 tidak berbeda nyata dengan
AB Mix, sedangkan pada lebar daun dan
panjang daun perlakuan NPK 15:15:15 lebih
tinggi dibandingkan AB Mix.
Berdasarkan tabel 10 jumlah daun
dengan perlakuan NPK 15:15:15 pada akhir
pengamatan memiliki jumlah daun yang paling
sedikit dibandingkan jenis hara lain. Hal ini
disebabkan pada minggu keempat terjadi
serangan hama kutu kebul (Bemisia tabacii).
Kutu kebul biasa menyerang tanaman kubis-
kubisan. Gejala yang ditimbulkan yaitu daun
menguning secara perlahan hampir keseluruh
helaian hingga akhirnya daun menguning dan
mati. Kutu kebul banyak ditemukan di green-
house (Capinera, 2001).
Tabel 9. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap tinggi tanaman, diameter batang, dan lebar
daun kailan
Perlakuan
Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (cm) Lebar Daun (cm)
1
MST
2
MST
3
MST
4
MST
1
MST
2
MST
3
MST
4
MST
1
MST
2
MST
3
MST
4
MST
Hara
AB Mix 3.83 5.29ab 7.40 8.75a 0.22ab 0.25ab 0.28ab 0.36a 3.12b 3.69b 3.82b 3.95b
NPK
15:15:15 3.89 5.61a 7.29
8.33a 0.23a 0.26a 0.29a 0.35a 3.59a 4.45a 4.66a 5.27a
NPK
12:14:12 3.52 4.98b 6.86
7.00b 0.21b 0.24b 0.27b 0.31b 3.02b 3.58b 3.67b 3.75b
P-value tn tn tn * * tn * ** ** ** ** **
Frekuensi
1 kali 3.69 5.09 7.01 7.94 0.23 0.25 0.28 0.35 3.20 3.83 3.99 4.19
2 kali 3.81 5.50 7.36 8.11 0.22 0.25 0.28 0.34 3.28 3.98 4.11 4.46
P-value tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn
Interaksi
P-value tn * tn * tn tn tn * tn tn tn tn
CV 10.90 9.01 10.67 10.69 4.10 7.12 7.11 6.05 7.99 8.91 1.06 12.93
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
Tabel 10. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap panjang daun dan jumlah daun kailan
Perlakuan Panjang Daun (cm) Jumlah Daun (helai)
1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST
Hara
AB Mix 3.74b 4.26b 4.42b 4.56b 3.38a 5.17b 6.67a 8.29a
NPK 15:15:15 4.26a 4.81a 5.13a 5.68a 3.50a 5.58a 6.75a 7.5b
NPK 12:14:12 3.55b 3.96b 4.13b 4.21b 3.08b 4.83b 5.96b 7.63b
P-value * ** ** ** * ** ** *
Frekuensi
1 kali 3.70 4.28 4.53 4.73 3.33 5.25 6.39 7.78
2 kali 3.99 4.41 4.60 4.90 3.31 5.14 6.53 7.83
P-value tn tn tn tn tn tn tn tn
Interaksi
P-value tn tn tn tn tn tn tn tn
CV 11.89 8.98 9.51 11.55 7.84 6.12 6.22 7.70
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan….. 43
Jenis hara berpengaruh sangat nyata
terhadap bobot total, bobot polybag-1, bobot
tanaman-1, bobot layak pasar, bobot daun,
bobot batang, dan panjang akar (Tabel 11 dan
12). Parameter bobot total, bobot polybag-1,
bobot layak pasar, bobot akar, dan panjang
akar menunjukkan bahwa AB Mix lebih tinggi
dibandingkan dengan NPK 15:15:15 dan NPK
12:14:12. Sementara pada bobot tanaman-1,
bobot daun, bobot akar, dan warna daun NPK
15:15: tidak berbeda nyata dengan AB Mix.
Frekuensi aplikasi tidak berpengaruh
nyata terhadap seluruh parameter pengamatan.
Interaksi terjadi pada parameter bobot tanaman-1,
bobot layak pasar, bobot tidak layak pasar, dan
bobot daun. Interaksi terbaik antara jenis hara
dan frekuensi aplikasi untuk parameter tinggi
tanaman, diameter batang, bobot daun, bobot
tanaman-1, dan bobot layak pasar terjadi antara
jenis hara AB Mix dan frekuensi aplikasi 2
kali, meskipun berdasarkan statistik tidak
berbeda dengan NPK 15:15:15 dan frekuensi
aplikasi 1 kali.
Tabel 11. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot total, bobot polybag-1, bobot
tanaman-1, bobot layak pasar, dan bobot tidak layak pasar.
Perlakuan Bobot
Tanaman-1 (g)
Bobot 4
Tanaman-1
(g)
Bobot 96 Tanaman (g)
Bobot Layak
Pasar
Bobot Tidak Layak
Pasar
Bobot
Total
Hara
AB Mix 20.02a 69.26a 205.29a 2.50b 207.79a
NPK 15:15:15 19.09a 57.23b 130.69b 41.01a 171.70b
NPK 12:14:12 14.40b 47.15c 119.38b 22.09ab 141.47c
P-value ** ** ** * **
Frekuensi
1 kali 17.16 57.87 161.02 12.59 173.61
2 kali 18.51 57.90 142.55 31.14 173.69
P-value tn tn tn tn tn
Interaksi
P-value ** tn * * tn
CV 13.13 15.78 24.77 101.54 15.78
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
Tabel 12. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot daun, bobot batang, bobot akar,
panjangakar, dan warna daun kailan
Perlakuan Bobot Tanaman-1 (g) Panjang Akar
(cm) Warna Daun
Daun Batang Akar
Hara
AB Mix 14.50a 3.49a 1.58a 13.22a 2.96b
NPK 15:15:15 14.98a 2.20b 1.41ab 11.39b 2.96b
NPK12:14:12 10.84b 2.07b 1.14b 10.39b 3.12a
P-value ** ** tn ** tn
Frekuensi
1 kali 12.96 2.42 1.34 11.75 3.03
2 kali 13.91 2.75 1.41 11.58 3.00
P-value tn tn tn tn tn
Interaksi
P-value * tn tn tn tn
CV 16.11 20.26 23.98 11.18 4.77
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
44 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila
Tabel 13. Pengaruh interaksi antara jenis hara dan frekuensi aplikasi terhadap tinggi tanaman kailan
2 MST dan 4 MST, diameter batang 4 MST, serta bobot daun
Jenis hara
Tinggi Tanaman 2
MST (cm)
Tinggi Tanaman 4
MST (cm)
Diameter Batang 4
MST (cm) Bobot Daun (g)
Frekuensi Aplikasi
(kali)
Frekuensi Aplikasi
(kali)
Frekuensi Aplikasi
(kali)
Frekuensi
Aplikasi (kali)
1 2 1 2 1 2 1 2
AB Mix 4.68 5.91a 9.38 11.59a 0.36 0.34 12.43ab 16.57a
NPK 15:15:15 5.61 5.61a 9.24 8.95b 0.37 0.31 16.22a 13.75b
NPK 12:14:12 4.98 4.98b 9.67 8.68b 0.37 0.32 10.25b 11.43b
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
Tabel 14. Pengaruh interaksi antara jenis hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot tanaman-1,
bobot layak pasar, dan bobot tidak layak pasar
Jenis hara
Bobot Tanaman-1 (g) Bobot Layak Pasar (g) Bobot Tidak Layak Pasar
(g)
Frekuensi Aplikasi (kali) Frekuensi Aplikasi (kali) Frekuensi Aplikasi (kali)
1 2 1 2 1 2
AB Mix 17.18ab 22.85a 64.93a 71.93a 0.97 0.70b
NPK 15:15:15 20.55a 17.63b 57.01a 30.12b 4.03 23.32a
NPK 12:14:12 13.76b 15.05b 39.08b 40.89b 7.60 7.13b
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
Kangkung periode II
Tabel 15 dan tabel 16 menunjukkan
bahwa perlakuan jenis hara berpengaruh nyata
pada tinggi tanaman 2 MST, diameter batang
2 MST dan 3 MST, lebar daun 1-3 MST, dan
jumlah daun 2 dan 3 MST. Perlakuan NPK
15:15:15 memiliki tinggi tanaman, diameter
batang, dan lebar daun yang tidak berbeda
nyata dengan AB Mix, tetapi berbeda nyata
dengan NPK 12:14:12. Jumlah daun terbanyak
yaitu perlakuan NPK 15:15:15, sedangkan
AB Mix dan NPK 12:14:12 memiliki jumlah
daun yang tidak berbeda nyata. Berdasarkan
tabel 17 perlakuan jenis hara NPK 15:15:15
memiliki bobot tanaman-1, bobot/4 tanaman,
bobot layak pasar tertinggi, dan warna daun
yang lebih hijau dibandingkan AB Mix dan
NPK 12:14:12.
Tabel 15. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap panjang daun dan jumlah daun kangkung II
Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (cm)
1 MST 2 MST 3 MST 1 MST 2 MST 3 MST
Hara
AB Mix 16.62 28.38a 34.92 0.35 0.47a 0.51a
NPK 15:15:15 16.50 29.35a 34.85 0.36 0.45a 0.49a
NPK 12:14:12 15.39 25.84b 29.88 0.34 0.42b 0.45b
P-value tn * tn tn ** *
Frekuensi
1 kali 15.30b 26.79b 33.15 0.35 0.44 0.48
2 kali 17.04a 28.92a 33.28 0.35 0.45 0.48
P-value ** * tn tn tn tn
Interaksi
P-value tn tn tn tn tn tn
CV 6.82 8.51 15.52 5.47 5.92 7.74 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan….. 45
Tabel 16. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap panjang daun dan jumlah daun kangkung II
Perlakuan Lebar Daun (cm) Jumlah Daun (helai)
1 MST 2 MST 3 MST 1 MST 2 MST 3 MST
Hara
AB Mix 1.60ab 1.88ab 1.97ab 8.25 12.13b 14.88b
NPK 15:15:15 1.71a 2.06a 2.10a 8.38 14.96a 19.88a
NPK 12:14:12 1.51b 1.72b 1.80b 8.17 11.46b 13.79b
P-value * ** * tn ** **
Frekuensi
1 kali 1.58 1.87 1.93 8.06 12.44 15.36b
2 kali 1.64 1.91 1.98 8.47 13.25 17.00a
P-value tn tn tn tn tn *
Interaksi
P-value tn tn tn tn tn tn
CV 9.12 9.70 8.85 7.60 8.31 11.56 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Tabel 17. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot daun, bobot batang, bobot akar,
panjang akar, dan warna daun kangkung II
Perlakuan
Bobot
Tanaman-1
(g)
Bobot 4
Tanaman-1
(g)
Bobot 96 Tanaman (g)
Warna
Daun Bobot
Layak
Pasar
Bobot tidak
Layak Pasar
Bobot
Total
Hara
AB Mix 9.74b 32.20b 27.58b 69.02 96.60b 2.83b
NPK 15:15:15 12.87a 41.05a 53.57a 69.59 123.16a 3.29a
NPK 12:14:12 7.01c 24.26c 2.70c 70.07 72.77c 2.58b
P-value ** ** ** tn ** **
Frekuensi
1 kali 9.61 31.79 25.41 69.95 95.36 2.94
2 kali 10.14 33.22 30.49 69.17 99.66 2.86
P-value tn tn tn tn tn tn
Interaksi
P-value tn tn tn tn tn tn
CV 15.82 13.32 55.75 16.90 13.30 13.13
Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.
Perlakuan jenis hara tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap bobot tidak
layak pasar kangkung. Perlakuan jenis hara
NPK 12:14:12 untuk parameter bobot tanaman-1,
bobot 4 tanaman-1, dan bobot layak pasar yang
terkecil diantara NPK 15:15:15 dan AB Mix,
namun warna daun dengan perlakuan NPK
12:14:12 tidak berbeda nyata dengan AB Mix.
KESIMPULAN
Pupuk majemuk NPK 15:15:15 dengan
konsentrasi N yang telah disetarakan dengan
larutan hara AB Mix dapat digunakan sebagai
sumber hara pada budidaya kangkung, caisin,
dan kailan secara hidroponik. Tanaman kangkung
periode I dan periode II yang diberi perlakuan
hara NPK 15:15:15 memiliki pertumbuhan
vegetatif dan hasil panen yang sama dengan
tanaman dengan perlakuan AB Mix. Sama
halnya dengan kangkung, pertumbuhan vege-
tatif dan hasil panen caisin yang diberi
perlakuan NPK 15:15:15 tidak berbeda nyata
dengan AB Mix. Lain halnya dengan kailan,
walaupun pertumbuhan vegetatif dengan per-
lakuan NPK 15:15:15 tidak berbeda dengan
AB Mix, namun untuk hasil panen cenderung
J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.
46 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila
lebih rendah dibanding AB Mix. Hal tersebut
dikarenakan pada saat menjelang panen, tanaman
kailan mendapatkan serangan kutu kebul.
Berdasarkan analisis usaha tani, biaya produksi
NPK 15:15:15 lebih murah dibandingkan AB
Mix dan dari segi kemudahan NPK 15:15:15
lebih mudah didapatkan dibandingkan hara
AB Mix. Pupuk majemuk NPK 12:14:12 tidak
dapat menggantikan AB Mix karena meng-
hasilkan tanaman dengan kualitas yang paling
rendah serta biaya produksi yang lebih mahal.
Frekuensi aplikasi 2 kali menghasilkan tanaman
yang lebih baik dibandingkan frekuensi aplikasi
1 kali, walaupun berdasarkan nilai statistik
tidak berbeda nyata antara frekuensi aplikasi 1
kali dengan frekuensi aplikasi 2 kali. Kom-
binasi perlakuan larutan hara AB Mix dengan
frekuensi aplikasi 2 kali menghasilkan tinggi
tanaman 11.59 cm, bobot tanaman-1 22.85 gram,
bobot layak pasar 71.93 gram, dan bobot daun
tertinggi sebesar 16.57 gram.
SARAN
Perlu penelitian lebih lanjut dengan
frekuensi aplikasi yang lebih beragam. Selain
itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk
mencari kombinasi pupuk majemuk dengan
kandungan NPK mendekati AB Mix.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Sayuran
Indonesia Tahun 2010-2011. Badan Pusat
Statistik. Jakarta.
Capinera, J.L. 2001. Handbook of Vegetable
Pests. Academic Press. Orlando. US.
Kusumawardhani, A., W.D. Widodo. 2003.
Pemanfaatan pupuk majemuk sebagai
sumber hara budidaya tomat secara
hidroponik. Bul. Agron. 31(1): 15-20.
Iqbal, M. 2006. Penggunaan pupuk majemuk
sebagai sumber hara pada budidaya
bayam secara hidroponik dengan tiga
cara fertigasi. Skripsi. Program Studi
Agronomi. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Marwan, M. 2008. Kajian permasalahan
penerapan manajemen mutu terpadu
(Kasus: CV. Putri Segar Lembang, Jawa
Barat). Skripsi. Program Sarjana Mana-
jemen Agribisnis. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Masriah, N. 2006. Penggunaan pupuk majemuk
sebagai sumber hara pada budidaya
kangkung (Ipomoea reptans Poir) secara
hidroponik dengan tiga cara fertigasi.
Skripsi. Departemen Agronomi dan
Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan
Nutrisi Tanaman: IPB Press. Bogor.
Noor, Z. 2006. Pengaruh frekuensi penyiraman
nutrisi terhadap produktivitas dan mutu
hasil panen paprika. Disertasi. Depar-
temen Budidaya Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Resh, H.M. 2004. Hydroponic Food
Production: A Definitive Guidebook of
Soiless Food-Growing Methods. 6th Ed.
Newconcept Pr, Inc. New Jersey. US.
Salisbury, F.B., C.W. Ross. 1995. Fisiologi
Tumbuhan Dasar Jilid I. Penerbit ITB.
Bandung.
Susila, A.D. 2006. Fertigasi pada Budidaya
Tanaman Sayuran di dalam Greenhouse.
Direktorat Jenderal Hortikultura. Bandung.
J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung….. 47
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung
(Sonchus arvensis L.) dengan Komposisi Media Tanam yang
Berbeda
Growth dan Production of Sowthistle (Sonchus arvensis L.) in Different Media
Composition
Denti Dewi Gatari1* dan Maya Melati1
Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014
ABSTRACT
Sowthistle is one of wild medicinal plants. Sowthistle can be planted in the pot, polybag or
land with mix of organic material or sand with lime. The objective of this research was to determine
the effect of media composition on the growth and production of sowthistle (Sonchus arvensis L.). The experiment was arranged in a randomized complete block design with one factor, three
treatments and three replications. The treatments were 8 kg soil, 7.5 kg soil + 0.5 kg cow manure, 7
kg soil + 0.5 kg cow manure + 0.5 kg rice hull charcoal polybag-1. The three treatments used lime with the rate of 10 g polybag-1. Media composition as control was 7 kg soil + 0.5 kg cow manure +
0.5 kg rice hull charcoal without lime. Every treatment consisted of 10 plants. The results of
experiment showed that unaffected by composition did not the growth and yield component of
sowthistle media. Compared to treatment without lime, fresh weight of root at 5 MST with the
application of cow manure was significantly smaller.
Keywords: cow manure, lime, rice hull charcoal
ABSTRAK
Tempuyung merupakan salah satu tanaman obat yang tumbuh liar. Budi daya tempuyung
dapat dilakukan di dalam pot, polybag, atau lahan dengan menggunakan bahan organik yang
dicampur dengan puing bangunan atau pasir serta batu yang diberi banyak kapur. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui pengaruh komposisi media tanam terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman tempuyung (Sonchus arvensis L.). Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok
lengkap teracak (RKLT) faktor tunggal, tiga taraf dan tiga perlakuan yaitu 8 kg tanah, 7.5 kg tanah +
0.5 kg pupuk kandang sapi, 7 kg tanah + 0.5 kg pupuk kandang sapi + 0.5 kg arang sekam polybag-1.
Ketiga perlakuan menggunakan dosis kapur 10 g polybag-1. Komposisi media tanam sebagai
pembanding adalah 7 kg tanah + 0.5 kg pupuk kandang sapi + 0.5 kg arang sekam tanpa kapur.
Setiap perlakuan terdiri atas 10 tanaman dan diulang sebanyak tiga kali. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa komposisi media tanam tidak mempengaruhi peubah vegetatif dan komponen
hasil tanaman tempuyung. Bobot basah akar pada umur 5 MST dengan penambahan pupuk kandang
sapi nyata lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan tanpa kapur.
Kata kunci: arang sekam, kapur, pupuk kandang sapi
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki keanekaragaman
hayati yang dapat dimanfaatkan dalam semua
aspek kehidupan manusia. Tanaman obat
digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu
alternatif pengobatan, baik untuk pencegahan
penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif),
pemulihan kesehatan (rehabilitatif) serta pe-
ningkatan kesehatan (promotif) (Hernani dan
1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia
*Penulis untuk korespondensi: [email protected]
J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.
48 Denti Dewi Gatari dan Maya Melati
Nudjanah, 2009). Tempuyung sebagai salah satu
jenis tanaman obat potensial yang menggunakan
bagian daunnya untuk pengobatan (Siswanto
et al., 2004). Permintaan simplisia rata-rata
sebesar 4 789 kg pada tahun 1993. Dugaan
permintaan simplisia rata-rata pada tahun 2000
sebesar 24 404 kg (Muhammad et al., 1993).
Permintaan daun pada tanaman ini cukup
tinggi namun usaha budi daya tempuyung belum
intensif untuk memenuhi permintaan tersebut.
Tempuyung tumbuh liar di tempat
terbuka yang terkena sinar matahari atau
sedikit terlindung dan pada tanah yang agak
lembab, seperti pinggir parit, pinggir jalan,
sela-sela batu, tebing dan tembok miring
(Djauhariya dan Hernani, 2004; Dalimartha,
2005). Tanaman ini dapat tumbuh di media
tanah. Penelitian Wahyuningsih (2005) me-
nunjukkan bahwa media tanam yang digunakan
dalam budi daya tempuyung adalah campuran
tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan
1:1 dan pupuk anorganik. Komposisi media
tanam yang lain perlu dicari dengan mem-
pertimbangkan lingkungan tumbuh tempuyung
pada umumnya. Campuran media yang dapat
digunakan adalah pupuk kandang atau arang
sekam yang merupakan limbah pertanian.
Pupuk merupakan masukan yang penting
dalam produksi tanaman (Harahap, 2005). Pupuk
kandang adalah salah satu bahan untuk mem-
perbaiki sifat kimia tanah terutama dapat me-
ningkatkan ketersediaan unsur hara makro (N,
P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro (Fe, Zn, Mn, B,
Cu, dan Mo) (Chairani, 2006). Kualitas pupuk
kandang sangat tergantung pada jenis ternak
dan kualitas pakan (Hadid dan Laude, 2007).
Arang sekam yang diberikan pada media tanam
dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman,
menambah hara tanah dan memperbaiki sifat-
sifat tanah terutama sifat fisik. Hasil penelitian
Saleh (2010) menunjukkan bahwa penggunaan
arang sekam sebagai media tanam dapat me-
ningkatkan ketersediaan N dan K2O.
Budi daya tempuyung dapat dilakukan
di dalam pot, polybag, atau lahan dengan meng-
gunakan bahan organik yang dicampur dengan
puing bangunan atau pasir. Kajian tentang
komposisi media tanam untuk tempuyung masih
terbatas. Penelitian ini mempelajari kesesuaian
berbagai jenis komposisi media tanam untuk
pertumbuhan tempuyung. Menurut Foragri
(2011), media tanam tempuyung harus material
yang basa. Lahan bekas reruntuhan bangunan
yang memiliki banyak zat kapur sangat cocok
untuk media tanam tempuyung. Oleh karena
itu, sebagai tambahan kajian juga akan mem-
pelajari pengaruh kapur dalam media.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
Februari sampai Mei 2013 di Kebun Percobaan
Cikarawang IPB, Dramaga Bogor. Analisis
tanah dilaksanakan di Laboratorium Departemen
Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Bahan tanaman yang digunakan adalah
anakan tempuyung yang berumur ± 4 minggu
atau yang memiliki 1-2 daun. Bahan-bahan
lainnya adalah tanah, pupuk kandang, arang
sekam, kapur, paranet, amplop coklat, koran
dan polybag berukuran 40 cm x 50 cm. Alat-
alat yang digunakan adalah alat budi daya
pertanian, timbangan analitik dan oven dengan
pengaturan suhu 80 0C selama 2 hari.
Percobaan ini menggunakan Rancangan
Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor
tunggal yang terdiri atas tiga taraf yaitu: M1 =
8 kg tanah + kapur 10 g polybag-1. M2 = 7.5
kg tanah + 0.5 kg pupuk kandang sapi + kapur
10 g polybag-1. M3 = 7 kg tanah + 0.5 kg
pupuk kandang sapi + 0.5 kg arang sekam +
kapur 10 g polybag-1. Sebagai pembanding
adalah = 7 kg tanah + 0.5 kg pupuk kandang
sapi + 0.5 kg arang sekam.
Setiap perlakuan terdiri atas 10 tanaman
dengan 3 ulangan, sehingga total tanaman ada
120 tanaman. Data pengamatan yang diperoleh
dianalisis menggunakan sidik ragam (uji F)
taraf 5%. Hasil pengamatan yang berbeda nyata
diuji lanjut dengan Duncan Multiple Range
Test (DMRT) taraf 5% sedangkan untuk mem-
bandingkan dengan perlakuan tanpa kapur
menggunakan uji lanjut t-dunnett. Data diolah
menggunakan software SAS.
Percobaan diawali dengan persiapan
lahan dan media tanam. Media tanam diper-
siapkan 1 minggu sebelum tanam. Tanah diayak
terlebih dahulu agar akar tanaman mudah
menembus tanah dan aerasi tanah baik. Setiap
polybag berisi media tanam yang berbeda
sesuai dengan perlakuan. Bobot media per
polybag sebesar 8 kg. Anakan tempuyung yang
digunakan telah berumur 4 minggu atau yang
sudah memiliki 2 daun dipindahkan ke dalam
poybag yang sudah dipersiapkan terlebih
dahulu. Kapur diberikan secara melingkar
dengan dosis 10 g polybag-1. Jarak tanam antar
J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung….. 49
polybag adalah 50 cm × 50 cm. Lahan diberi
naungan berupa paranet dengan intensitas cahaya
matahari 40% selama 4 minggu agar tanaman
yang baru dipindahkan tidak mati.
Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan
penyulaman, penyiraman, penyiangan gulma
serta pengendalian hama dan penyakit tanaman.
Penyulaman dilakukan pada umur 1 MST dengan
cara mengganti tanaman yang mati dengan tanaman
baru yang umurnya relatif sama dan seragam.
Pemanenan secara destruktif yaitu me-
ngambil seluruh bagian tanaman. Tanaman
yang telah dipanen, dicuci kemudian dikering-
anginkan terlebih dahulu selama beberapa menit
agar kadar airnya berkurang. Bagian daun dan
akar dipisah kemudian masing-masing ditimbang
untuk memperoleh data bobot basah, indeks
luas daun dan bobot kering tanaman.
Peubah vegetatif yang diamati setiap
minggu antara lain diameter tajuk terlebar,
panjang daun terpanjang, jumlah daun dihitung
pada daun tempuyung yang sudah membuka
secara penuh dan jumlah anakan. Bobot basah
dan kering daun dan akar dilakukan pada umur
5, 8 dan 11 MST.
Laju tumbuh relatif (LTR) tanaman
tempuyung dapat diketahui dari data bobot
kering dan waktu. Laju tumbuh relatif ini
menunjukkan peningkatan bobot kering dalam
interval waktu. Cara menghitung laju tumbuh
relatif (LTR) yaitu:
Laju tumbuh relatif = ln 𝑊2−ln 𝑊1
𝑇2−𝑇1
Keterangan: W1= Bobot kering pada waktu T1 (g),
W2= Bobot kering pada waktu T2 (g),
T1= Waktu pengamatan awal (minggu),
T2= Waktu pengamatan akhir (minggu)
Perhitungan Indeks Luas Daun dilakukan
pada setiap tanaman panen. Cara menghitung
Indeks Luas Daun (ILD) yaitu:
ILD =
bobot kertas replika x luas kertas 20 cm x 20 cm
bobot kertas 20 cm x 20 cm
× luas lahan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Suhu rata-rata harian tiap bulan berkisar
antara 25.8-26.4 0C dengan rata-rata suhu
bulanan selama percobaan yaitu 26.2 0C.
Curah hujan harian tiap bulan berkisar antara
216-406 mm dengan rata-rata curah hujan
bulanan selama percobaan yaitu 307.5 mm.
Intensitas penyinaran matahari tiap bulan ber-
kisar antara 283-330 Cal cm-2 dengan rata rata
intensitas penyinaran matahari selama per-
cobaan yaitu 305.3 Cal cm-2.
Hama yang terdapat selama penelitian
berlangsung adalah kutu daun dan belalang.
Kutu daun mulai menyerang saat tanaman
berumur 3 MST dan terdapat di bagian bawah
daun. Beberapa tanaman tempuyung mengalami
busuk pangkal batang yang terjadi pada 10
MST pada suhu rata-rata harian tiap bulan
23.7 0C dan curah hujan rata-rata harian tiap
bulan yaitu 399 mm. Busuk pangkal batang
disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solani. Peubah vegetatif rata-rata memiliki nilai
yang optimum pada umur 8 MST dan menurun
pada umur 9 MST yang diikuti dengan masuk-
nya fase generatif. Tanaman tempuyung mulai
muncul bunga pada umur 8 MST setelah trans-planting. Penelitian Wahyuningsih (2005) me-
nunjukkan bahwa tanaman tempuyung mulai
berbunga saat 35-60 hari setelah transplanting
karena keragaman tanaman yang tinggi dan
respon tanaman terhadap cekaman.
Hasil analisis tanah pada awal percobaan
menunjukkan pH masam 4.9. Menurut Foragri
(2011), tanaman tempuyung menyukai tempat
yang memiliki pH basa. Kandungan N-Total
tanah tergolong rendah hanya 0.13%.
Pengaruh Media Tanam terhadap Peubah
Diameter Tajuk, Panjang Daun, Jumlah
daun dan Jumlah Anakan
Komposisi media tanam tidak menye-
babkan perbedaan nyata pada peubah diameter
tajuk, panjang daun, jumlah daun dan jumlah
anakan. Pengaruh ketiga perlakuan (dengan
kapur) juga tidak berbeda nyata dengan pem-
banding tanpa kapur (Tabel 1, 2, 3 dan 4).
Perlakuan penambahan pupuk kandang
maupun arang sekam meskipun tidak nyata
cenderung menyebabkan nilai peubah vegetatif
tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan
media tanah dan kapur saja. Penelitian Husnan
(2000) menunjukkan bahwa pemberian pupuk
kandang sapi dengan dosis 0.5 kg per tanaman
berpengaruh pada peningkatan peubah vegetatif
tanaman tempuyung. Tanpa penambahan pupuk
kandang dan arang sekam diduga menyebabkan
kurang tersedianya hara tanaman.
J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.
50 Denti Dewi Gatari dan Maya Melati
Perlakuan tanpa penambahan pupuk
kandang dan arang sekam mencapai diameter
tajuk maksimum pada umur 7 MST, sedangkan
dengan penambahan pupuk kandang dan arang
sekam serta pembanding tanpa kapur diameter
tajuk maksimum tercapai pada umur 8 MST
(Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa per-
tumbuhan tempuyung tanpa penambahan pupuk
kandang cenderung lebih terhambat dibandingkan
dengan yang lain. Serupa dengan hasil
penelitian Baskoro dan Santoso (2011) yang
menyimpulkan pertumbuhan bibit binahong
pada media yang ditambahkan bahan organik
(kompos, pupuk kandang sapi pupuk kandang
ayam) lebih baik (komponen bobot basah dan
kering akar, batang, daun, dan total tanaman)
dibandingkan tanpa perlakuan pupuk organik.
Penambahan pupuk kandang maupun
arang sekam menyebabkan ukuran dan jumlah
daun mencapai maksimum pada umur 8-9
MST sedangkan tanpa penambahan pupuk
kandang menyebabkan kedua peubah tersebut
mencapai nilai maksimum pada waktu lebih
awal (Tabel 2 dan 3). Pupuk kandang dapat
memperbaiki sifat fisik tanah (Hartatik dan
Widowati 2009) dan karakteristik arang sekam
yang bersifat poros menyebabkan aerasi dan
drainase menjadi baik (Waryuningsih dan
Darliah, 1994). Percobaan mengenai penambahan
pupuk kandang dan arang sekam perlu dikaji
lebih lanjut untuk melihat respon tanaman
terhadap jenis dan dosis pupuk kandang serta
arang sekam. Penambahan pupuk kandang dan
tanpa penambahan pupuk kandang terjadi pe-
nurunan panjang daun pada umur ± 9 MST
(Tabel 2) sedangkan penurunan jumlah daun
terjadi pada umur ± 10 MST (Tabel 3). Jumlah
daun menurun dapat disebabkan oleh gugurnya
daun tua.
Tabel 1. Rata-rata diameter tajuk tanaman tempuyung
Diameter
tajuk pada
minggu ke-
Perlakuan Pembanding
KK 8 kg
tanah+kapur
7.5 kg
tanah+0.5 kg
pukan+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg arang
sekam+kapur
7 kg tanah+0.5
kg pukan+0.5
kg arang sekam
1 12.29 12.22 11.56 11.72 7.27
2 14.61 15.36 14.72 14.21 9.85
3 19.32 20.50 20.11 17.61 9.03
4 25.15 28.48 29.22 26.91 10.38
5 27.68 31.07 32.19 29.33 10.55
6 29.06 34.66 35.11 33.13 9.78
7 29.54 35.62 35.39 34.56 9.91
8 29.23 36.20 35.70 37.26 10.91
9 28.77 35.89 35.67 35.43 10.81
10 26.64 33.13 35.17 36.08 17.56
11 27.74 35.08 35.38 22.95 21.21
Tabel 2. Rata-rata panjang daun terpanjang tanaman tempuyung
Panjang
daun pada
minggu ke-
Perlakuan Pembanding
KK 8 kg
tanah+kapur
7.5 kg
tanah+0.5 kg
pukan+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg arang
sekam+kapur
7 kg tanah+0.5
kg pukan+0.5 kg
arang sekam
1 7.61 7.84 7.47 7.55 6.41
2 8.75 9.24 9.13 8.63 5.39
3 11.89 11.98 12.59 11.18 8.37
4 14.72 15.72 16.40 14.92 9.78
5 15.52 16.44 17.15 16.21 10.39
6 15.56 18.07 17.93 17.90 9.54
7 15.55 18.95 18.54 18.05 9.84
8 15.79 19.53 18.98 19.79 9.22
9 15.63 18.98 19.01 18.94 10.43
10 14.88 17.84 18.27 19.07 12.65
11 15.15 17.90 17.86 11.74 16.95
J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung….. 51
Tabel 3. Rata-rata jumlah daun tanaman tempuyung
Jumlah
daun pada
minggu ke-
Perlakuan Pembanding
KK 8 kg
tanah+kapur
7.5 kg
tanah+0.5 kg
pukan+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg arang
sekam+kapur
7 kg tanah+0.5
kg pukan+0.5
kg arang sekam
1 2.3 2.3 2.3 2.1 11.34
2 3.2 2.9 3.1 2.9 9.24
3 4.5 4.8 4.8 4.3 9.63
4 7.2 7.8 7.3 7.1 10.81
5 8.1 9.4 8.7 8.5 12.76
6 9.4 11.6 10.9 11.4 17.11
7 9.8 12.0 15.7 12.6 22.82
8 11.1 15.7 11.1 15.7 20.85
9 11.2 17.4 15.0 16.2 23.14
10 9.5 16.7 16.7 16.7 24.12
11 11.5 15.8 17.7 18.6 24.30
Tabel 4. Rata-rata jumlah anakan tanaman tempuyung
Jumlah
anakan pada
minggu ke-
Perlakuan Pembanding
8 kg
tanah+kapur
7.5 kg
tanah+0.5 kg
pukan+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg arang
sekam+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg
arang sekam
3 0.3 0.7 0.7 0.7
4 0.3 0.7 0.7 0.8
5 0.3 0.8 1.0 0.8
6 0.3 0.9 1.0 1.3
7 1.0 0.9 1.0 1.3
8 1.3 1.4 1.1 1.4
9 0.3 1.4 1.9 1.2
10 1.0 1.5 1.0 1.2
Secara umum terjadi pembentukan anakan
yang lebih intensif pada umur 7 atau 8 MST
(Tabel 4). Data jumlah anakan ini tidak diana-
lisis secara statistik karena keragaman pada
setiap ulangan sangat tinggi. Keempat peubah
di atas menunjukkan keterkaitan bahwa per-
tumbuhan vegetatif maksimum tercapai pada ±
7-8 MST yang diikuti dengan pembentukan
anakan yang lebih intensif. Penurunan per-
tumbuhan vegetatif dapat disebabkan oleh
masuknya fase generatif yang ditandai dengan
munculnya bunga.
Pengaruh Media Tanam terhadap Peubah
Bobot Basah dan Kering Daun dan Akar
Komposisi media tanam tidak menye-
babkan perbedaan nyata pada peubah bobot
basah dan kering daun, dan bobot kering akar
tanaman. Pengaruh ketiga perlakuan (dengan
kapur) juga tidak berbeda nyata dengan
pembanding tanpa kapur (Tabel 5 dan 6),
tetapi berbeda nyata lebih kecil dengan
pembanding tanpa kapur pada peubah bobot
basah akar dengan perlakuan penambahan
pupuk kandang dan arang sekam pada umur 5
MST (Tabel 6).
Bobot basah dan kering daun dan akar
diukur pada umur 5, 8 dan 11 MST. Rata-rata
bobot basah dan kering daun optimal pada
umur 8 MST (Tabel 5) sedangkan bobot basah
dan kering akar meningkat di setiap selang
tiga minggu (Tabel 6). Bobot basah dan kering
daun dan akar tanaman dengan penambahan
pupuk kandang maupun arang sekam cenderung
lebih baik.
J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.
52 Denti Dewi Gatari dan Maya Melati
Tabel 5. Rata-rata bobot basah dan kering daun tanaman tempuyung
Umur
tanaman
(MST)
Perlakuan Pembanding
KK
8 kg
tanah+kapur
7.5 kg tanah+0.5
kg pukan+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg arang
sekam+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg arang
sekam
…….…….....Bobot basah daun (g)…………..….
5 MST 5.28 6.02 5.00 6.16 11.33
8 MST 37.59 27.53 38.24 42.82 14.15
11 MST 17.67 48.10 34.53 37.75 11.73
……………Bobot kering daun (g)………………
5 MST 0.64 0.76 0.64 0.67 5.65
8 MST 7.25 3.65 4.31 5.01 21.17
11 MST 2.11 4.90 3.76 4.15 13.00
Keterangan: Analisis statistika ditransformasi (x+1/2)1/2.
Tabel 6. Rata-rata bobot basah dan kering akar tanaman tempuyung
Umur
tanaman
(MST)
Perlakuan Pembanding
KK 8 kg
tanah+kapur
7.5 kg tanah+0.5
kg pukan+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg arang
sekam+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg
arang sekam
………………….Bobot basah akar (g)……….……..
5 MST 1.79 2.73 1.53 *** 2.44 6.10
8 MST 27.92 25.09 30.20
33.87 19.21
11 MST 27.46 56.28 55.74
54.57 10.37
……………….…..Bobot kering akar (g)………………..
5 MST 0.28 0.42 0.33
0.36 4.69
8 MST 4.32 5.68 6.60
6.80 13.58
11 MST 6.34 13.34 10.82
9.93 11.65
Keterangan: Analisis statistika ditransformasi (x+1/2)1/2. *** menunjukkan nilai berbeda nyata pada t-dunnett
dibandingkan dengan kontrol.
Rata-rata bobot basah daun berkisar 34-
42 g dan bobot kering daun berkisar 3-5 g pada
umur 8 dan 11 MST (Tabel 5). Rata-rata bobot
basah akar berkisar 25-56 g dan bobot kering
akar berkisar 4-13 g (Tabel 6). Berbeda halnya
dengan penelitian Wahyuningsih (2005), bobot
basah daun berkisar 120-125 g, bobot kering
daun 14-15 g, bobot basah akar berkisar 102-
109 g dan bobot kering akar 30-32 g. Hal ini
diduga karena perbedaan cara panen yaitu
dengan adanya pemangkasan tangkai bunga.
Percobaan yang dilakukan saat ini tidak mem-
biarkan terbentuknya tangkai bunga, namun
memanen ketika mulai terbentuk bakal tangkai
bunga. Oleh karena itu, bobot tanaman lebih
rendah dibandingkan dengan hasil penelitian
Wahyuningsih (2005).
Laju tumbuh relatif
Komposisi media tanam tidak menye-
babkan perbedaan nyata pada peubah laju
tumbuh relatif. Pengaruh ketiga perlakuan (dengan
kapur) juga tidak berbeda nyata dengan pem-
banding tanpa kapur (Tabel 7). Laju tumbuh
relatif (LTR) daun dan akar tempuyung menurun
pada umur 8-11 MST. Hal ini disebabkan oleh
gugurnya daun tua. Perlakuan penambahan
pupuk kandang dan arang sekam memiliki
LTR daun tertinggi pada umur 5-8 MST
sedangkan pembanding tanpa kapur memiliki
LTR akar tertinggi pada umur 5-8 MST dan 8-
11 MST (Tabel 7). Hal ini diduga karena
karakteristik arang sekam yang porus sehingga
memudahkan akar untuk menembus tanah.
J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung….. 53
Tabel 7. Laju tumbuh relatif tanaman tempuyung
Umur
tanaman
(MST)
Perlakuan Pembanding
KK 8 kg
tanah+kapur
7.5 kg
tanah+0.5 kg
pukan+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg arang
sekam+kapur
7 kg tanah+0.5
kg pukan+0.5
kg arang sekam
……..…………..Laju tumbuh relatif daun (g hari-1) ………………….
5-8 MST 1.34 1.56 1.92 1.33 8.25
8-11 MST - 0.17 0.09 - 0.06 0.11 30.97
………………..Laju tumbuh relatif akar (g cm-2 hari-1) ………………..
5-8 MST 0.84 0.86 1.01 1.04 3.70
8-11 MST 0.33 0.28 0.17 0.34 20.65
Keterangan: Analisis statistika ditransformasi (x+1/2)1/2.
Kadar Air Daun dan Akar Tanaman
Komposisi media tanam tidak menye-
babkan perbedaan nyata pada peubah kadar air
daun dan akar tanaman. Pengaruh ketiga per-
lakuan (dengan kapur) juga tidak berbeda nyata
dengan pembanding tanpa kapur tetapi berbeda
nyata lebih kecil dengan pembanding tanpa
kapur pada peubah kadar air akar dengan per-
lakuan penambahan pupuk kandang pada
umur 11 MST (Tabel 8).
Kadar air daun berkisar 87-89%
sedangkan kadar air akar berkisar 76-81%.
Siemonsa dan Pileuk (1994) menyatakan bahwa
kadar air daun sebesar 88%. Persentase kadar
air yang tinggi menunjukkan daun tidak dapat
disimpan lama dalam keadaan segar sehingga
langsung dikeringkan agar daun tidak busuk
dan rusak. Kadar air daun tertinggi berbeda-
beda di selang tiga minggu sedangkan kadar
air akar pembanding tanpa kapur memiliki
nilai tertinggi pada umur 5 dan 11 MST.
Perlakuan tanpa penambahan pupuk kandang
dan arang sekam memiliki kadar air akar
tertinggi pada umur 8 MST (Tabel 8).
Tabel 8. Rata-rata kadar air daun dan akar tanaman tempuyung
Umur
tanaman
(MST)
Perlakuan Pembanding
KK 8 kg
tanah+kapur
7.5 kg tanah+0.5
kg pukan+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg arang
sekam+kapur
7 kg tanah+0.5
kg pukan+0.5
kg arang sekam
…..…………………..Kadar air daun (%)…………………..…
5 MST 87.70 87.45
87.21 89.02 1.33
8 MST 82.84 86.79
88.66 88.32 2.70
11 MST 88.07 89.47
89.00 89.16 1.95
………………………Kadar air akar (%)………………………
5 MST 83.62 84.52
78.74 85.21 3.37
8 MST 80.73 76.38
78.44 79.92 3.78
11 MST 76.89 76.19 *** 81.20 81.98 2.19
Keterangan: *** menunjukkan nilai berbeda nyata pada t-dunnett dibandingkan dengan kontrol.
J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.
54 Denti Dewi Gatari dan Maya Melati
Indeks Luas Daun
Komposisi media tanam tidak menye-
babkan perbedaan nyata pada peubah indeks
luas daun (ILD). Pengaruh ketiga perlakuan
(dengan kapur) juga tidak berbeda nyata dengan
pembanding tanpa kapur.
Tabel 9. Rata-rata indeks luas daun tanaman tempuyung
Umur
tanaman
(MST)
Perlakuan Pembanding
KK 8 kg
tanah+kapur
7.5 kg
tanah+0.5 kg
pukan+kapur
7 kg tanah+0.5 kg
pukan+0.5 kg arang
sekam+kapur
7 kg tanah+0.5
kg pukan+0.5 kg
arang sekam
…………………………Indeks luas dauntn………………………….
8 MST 0.32 0.26
0.31 0.40 2.74
9 MST 0.24 0.08 1 0.29 0.26 2.16
10 MST 0.22 0.28
0.36 0.36 7.52
11 MST 0.16 0.18
0.25 0.34 4.16
Keterangan: Analisis statistika ditransformasi (x+1/2)1/2. 1 menunjukkan bahwa tidak diuji secara statistik karena
hanya 1 ulangan yang diuji dengan pembanding.
Pembanding tanpa kapur memiliki nilai
ILD tertinggi pada umur 8, 10, dan 11 MST.
Perlakuan penambahan pupuk kandang dan
arang sekam memiliki nilai ILD tertinggi pada
umur 9 MST (Tabel 9).
KESIMPULAN
Komposisi media tanam tidak mem-
pengaruhi peubah vegetatif dan komponen hasil
tanaman tempuyung secara nyata namun ada
kecenderungan bahwa penambahan pupuk
kandang sapi maupun arang sekam menyebabkan
pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Bobot
basah akar pada umur 5 MST dengan pe-
nambahan pupuk kandang nyata lebih kecil
dibandingkan dengan perlakuan tanpa kapur.
DAFTAR PUSTAKA
Baskoro, D., B.S. Purwoko. 2011. Pengaruh
bahan perbanyakan tanaman dan jenis
pupuk organik terhadap pertumbuhan
tanaman binahong (Anredera cordifolia
(Ten.) Steenis). J. Hort. Indonesia. 2(1):
6-13.
Chairani. 2006. Pengaruh fosfor dan pupuk
kandang kotoran sapi terhadap sifat
kimia tanah dan pertumbuhan padi
(Oryza sativa) pada lahan sawah tadah
hujan di Langkat, Sumatera Utara.
Jurnal Penelitian Pertanian. 25(1): 8-14.
Dalimartha, S. 2005. Tanaman Obat di Ling-
kungan Sekitar. Cet. 1. Puspa Swara.
Jakarta.
Djauhariya, E., Hernani. 2004. Gulma Ber-
khasiat Obat. Cet. 1. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Foragri. 2011. Budi daya tempuyung [Internet].
Waktu unduh https://foragri.wordpress.
com/2011/12/20/budi-daya-tempuyung.
[9 Maret 2012].
Hadid, A., S. Laude. 2007. Pengaruh konsentrasi
pupuk organik cair lengkap dan dosis pupuk
kandang ayam terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman bawang merah. Jurnal
Agroland. 14(4): 260-264.
Harahap, K.A. 2005. Pengaruh pupuk terhadap
pertumbuhan jagung yang ditanam di
antara tanaman cendana (Santalum album
L.). Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Agroland.
12(1): 1-6.
Hartatik, W., L.R. Widowati. 2009. Pupuk
kandang. http://balittanah.litbang.
pertanian.go.id/ind/dokumentasi/buku/b
uku%20pupuk%20hayatipupuk%20orga
nik/04pukan_wiwik.pdf [18 Maret
2012].
J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.
Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung….. 55
Husnan. 2000. Multiplikasi dan pengakaran in
vitro tempuyung (Sonchus arvensis L.)
serta pertumbuhan bibit pasca aklimatisasi
Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Hernani, R., Nudjanah. 2009. Aspek pe-
ngeringan dalam mempertahankan
kandungan metabolit sekunder pada
tanaman obat. Perkembangan Teknologi
TRO. 21(2): 33-39.
Muhammad, H., M. Januwati, M. Iskandar.
1993. Pengaruh jarak tanam terhadap
produksi daun tempuyung. Warta Tanaman
Obat Indonesia. 2(3): 13-14.
Saleh, I. 2010. Pengaruh metode pemupukan
dan kombinasi komposisi media tanam
dengan pengapuran terhadap pertumbuhan
cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.).
Skripsi. Program Studi Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Siemonsma, Pileuk. 1994. Di dalam: Husnan.
Multiplikasi dan pengakaran in vitro
tempuyung (Sonchus arvensis L.) serta
pertumbuhan bibit pasca aklimatisasi.
Skripsi. Bogor, Indonesia. Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, hlm
17. Bogor.
Siswanto, U., E.I. Sukarjo, Risnaily. 2004.
Respon tanaman tempuyung (Sonchus
arvensis L.) pada berbagai takaran dan
aplikasi vermikompos. Jurnal Ilmu-ilmu
Pertanian. 6(2): 83-90.
Wahyuningsih, A.P.S. 2005. Pengaruh kombinasi
aplikasi pupuk N dan waktu pemangkasan
tangkai bunga terhadap pertumbuhan
dan produksi tanaman tempuyung (Sonchus
arvensis L.). Skripsi. Program Studi
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Wuryaningsih, Darliah. 1994. Di dalam: Safitry
M.R. Pengaruh Media Tanam Organik
terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Buncis Tegak (Phaseolus vulgaris L.) [skripsi]; Bogor, Indonesia. Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, hlm
21. Bogor.
J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.
56 Wida W. Khumaero, Darda Efendi, Willy B. Suwarno, dan Sobir
Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe Melon
(Cucumis melo L.) Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB
Evaluation of Horticultural Characteristics of Four Melon Genotypes (Cucumis melo L.)
from Centre Tropical Horticulture Study IPB
Wida W. Khumaero1, Darda Efendi
1.2*, Willy B. Suwarno
1.2, dan Sobir
1.2
Diterima 21 Januari 2014/Disetujui 12 Maret 2014
ABSTRACT
Center for Tropical Horticulture Studies (CTHS) have conducted melon breeding to meet the
need of the expanding melon production in Indonesia. Four melon genotypes of IPB Meta 3, IPB
Meta 4, IPB Meta 6, IPB Meta 8H exhibit superior performance during selection. Prior to release or
to register, these melon genotypes need to be evaluated for their main characteristics. Four potential genotypes along with two control varieties of Action 434 and Sky Sweet were evaluated under a
single factor Randomized Complete Block Design (RCBD) with four replications. The results revelaed that CTHS melon genotypes exhibited good performance. IPB Meta 4 has larger stem
diameter and leaf size compared to Action 434 and Sky Sweet, subsequently flesh color of IPB Meta
3, IPB Meta 6, and IPB Meta 8H are oranges, where as both control varieties are green. These results indicated that melon genotypes developed in CTHS have unique characteristics, which could
be developed for speciality market.
Keywords: fruit quality, melon, morphological characteristics
ABSTRAK
Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) telah melakukan penelitian pemuliaan tanaman
untuk mengetahui kebutuhan pengembangan produksi melon di Indonesia. Empat genotipe melon
yakni IPB Meta 3, IPB Meta 4, IPB Meta 6, IPB Meta 8H menunjukkan penampilan baik pada
percobaan sebelumnya. Sebelum dilepas atau didaftarkan, diperlukan evaluasi karakteristik utama
dari empat genotipe tersebut. Pengujian keempat genotipe potensial dengan dua varietas pembanding
yakni Action 434 dan Sky Sweet disusun berdasarkan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak
(RKLT) dengan 4 ulangan. Hasilnya menunjukkan bahwa genotipe melon IPB Meta 4 memiliki
diameter batang dan ukuran daun yang lebih besar dibandingkan Action 434 dan Sky Sweet. Selain
itu, daging buah melon genotipe IPB Meta 3, IPB Meta 6, dan IPB Meta 8H berwarna jingga,
dimana kedua varietas pembanding berwarna hijau. Hasil ini menunjukkan bahwa genotipe-genotipe
melon yang dikembangkan di PKHT memiliki karakteristik yang unik, dimana dapat berpotensi bagi
segmen pasar khusus.
Kata kunci: karakteristik morfologi, kualitas buah, melon
PENDAHULUAN
Melon (Cucumis melo L.) merupakan
salah satu komoditas buah-buahan yang banyak
digemari oleh masyarakat karena melon memiliki
berbagai keunggulan berupa rasa yang manis
dan warna daging buah yang bervariasi. Selain
itu melon memiliki nilai ekonomi dan prospek
yang menjanjikan dalam aspek pemasaran
(Sudiyarto, 2011).
Agribisnis melon memiliki peluang besar
karena harganya yang cukup tinggi (Prajnanta,
2004). Melon dikenal juga sebagai buah yang
menyehatkan karena mengandung berbagai
vitamin dan mineral yang diperlukan tubuh
manusia. Kandungan kalori, lemak, karbohidrat,
1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor 2Pusat Kajian Hortikultura Tropika, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor *Email: untuk korespondensi. [email protected]
J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.
Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe….. 57
vitamin, dan mineral buah melon banyak
dimanfaatkan untuk terapi kesehatan. Menurut
Samadi (2007) melon mempunyai khasiat bagi
tubuh yaitu untuk mencegah penyakit sariawan,
luka pada tepi mulut, penyakit mata, radang
saraf, sebagai anti kanker, menurunkan resiko
stroke dan kanker. Kesadaran masyarakat
mengenai pola hidup sehat menyebabkan ke-
butuhan dan permintaan buah melon terus
meningkat (Sukmaningtyas dan Hartoyo,
2013).
Menurut data dari Pusat Kajian Horti-
kultura Tropika (PKHT) (2014), konsumsi
buah melon pada tahun 2008 adalah 0.16 kg/
kapita/tahun. Terjadi peningkatan pada tahun
2011, konsumsi melon masyarakat Indonesia
mencapai 0.72 kg/kapita/tahun. Peningkatan
konsumsi ini harus diimbangi dengan keter-
sediaan buah melon yang berarti perlu di-
lakukannya peningkatan produksi. Produksi
buah melon mengalami penurunan pada kurun
waktu 2011-2012 yaitu 103 840 ton menjadi
70 583 ton (Ditjenhorti, 2014). Penurunan
produksi melon ini menyebabkan perlu di-
lakukannya peningkatan penyediaan benih
melon agar produktivitas melon dapat optimal.
Ketersediaan benih melon hingga saat
ini menjadi salah satu kendala dalam mem-
produksi melon. Hampir semua benih yang
ditanam oleh petani melon merupakan benih
impor. Harga benih yang tinggi menyebabkan
usaha tani melon tidak efisien secara ekonomi
(Yekti, 2005). Data impor benih melon pada
tahun 2012 adalah mencapai US$ 69 240 atau
setara dengan 800 juta rupiah (Ditjenhorti,
2014). Hal ini menjadi penyebab perlunya
tindakan untuk memproduksi benih melon
dalam negeri. Jika ini terjadi maka petani dapat
dengan mudah mendapatkan benih melon
dengan harga yang lebih murah.
PKHT melakukan serangkaian kegiatan
pemuliaan tanaman melon untuk menghasilkan
melon yang unggul. Hingga saat ini PKHT
telah memperoleh beberapa genotipe melon
yang siap dievaluasi yang kemudian direncanakan
untuk didaftarkan di Pusat Perlindungan Varietas
Tanaman atau dilepas sebagai varietas baru.
Program evaluasi dalam penelitian ini men-
cakup sejumlah karakter penting pada melon,
meliputi penampilan tanaman, kualitas buah
(aroma, rasa), dan ketahanan terhadap penyakit
utama.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Kebun Per-
cobaan Pusat Kajian Hortikultura Tropika
Tajur II Bogor pada bulan September sampai
Desember 2013. Bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah empat genotipe melon
yaitu IPB Meta 3, IPB Meta 4, IPB Meta 6,
IPB Meta 8H, dan dua varietas pembanding
yaitu Action 434 dan Sky Sweet. Sarana
produksi yang digunakan adalah pupuk kandang,
pupuk majemuk NPK (16-16-16), pupuk tunggal
(Urea, KCl, dan SP36), KNO3, beberapa jenis
pestisida, ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) berupa
giberelin (GA-3), bak semai, media semai, ajir,
tali, serta mulsa Plastik Hitam Perak (PHP)
dengan lebar 100-125 cm.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan
Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)
faktor tunggal dengan empat ulangan. Pe-
laksanaan percobaan diawali dengan merendam
benih dalam air hangat (suhu ± 40 0
C) me-
ngandung giberelin (GA-3) dengan konsentrasi
0.2 mg l-1
selama 4 jam. Kemudian benih di-
tiriskan dan diletakkan di atas kertas koran
selama 1 hari 2 malam (36 jam). Selanjutnya
benih disemaikan ke dalam bak semai yang
berisi campuran tanah dan pupuk kandang
dengan perbandingan 1:1.
Pembibitan ini dilakukan selama 14
hari. Persiapan lahan dilakukan sesuai rancangan
percobaan, yaitu menggunakan 8 bedeng dengan
masing-masing bedeng memiliki panjang 23 m
dan lebar 1 m. Tanah diolah sampai kedalaman
20-30 cm, diberi pupuk kandang dengan dosis
2 kg tanaman-1
, SP-36 30 g tanaman-1
, Urea 20
g tanaman-1
, KCl 20 g tanaman-1
. Pengolahan
tanah ini dilakukan pada 12 hari sebelum tanam,
sedangkan pemasangan mulsa dilakukan pada
10 hari sebelum tanam. Selanjutnya, dibuat
lubang tanam dengan jarak 50 cm x 50 cm.
Pemindahan bibit dilakukan pada 14
hari setelah semai. Penanaman dilakukan pada
pagi hari. Kegiatan selanjutnya adalah peme-
liharaan yang meliputi: penyulaman, pengajiran,
pemupukan susulan, pengikatan, penyemprotan
pestisida, pemangkasan, dan pemeliharaan buah.
Seluruh kegiatan pemeliharaan disesuaikan
dengan Standard Operational Procedure (SOP)
penanaman melon yang berlaku.
Pengamatan terhadap karakter kuantitatif
genotipe-genotipe melon yang dievaluasi meliputi
diameter batang, panjang daun, lebar daun,
umur berbunga hermafrodit, serangan penyakit
J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.
58 Wida W. Khumaero, Darda Efendi, Willy B. Suwarno, dan Sobir
embun bulu, serangan penyakit embun tepung,
umur panen, bobot buah, ketebalan daging buah,
daya simpan, kandungan air buah, kadar gula,
kandungan vitamin C, dan bobot 100 butir
benih. Adapun pengamatan kualitatif terdiri atas
bentuk penampang batang, warna batang, bentuk
daun, warna daun, perkembangan cuping daun,
panjang cuping terminal, bentuk buah, tipe
kulit buah, warna daging buah, aroma buah,
posisi dari lebar buah maksimum, bentuk irisan
buah membujur, tingkat kekeriputan permukaan
buah, lebar maksimum irisan melintang lapisan
luar buah, bentuk biji, dan warna biji.
Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis
menggunakan uji F, dan apabila terdapat
pengaruh nyata genotipe, maka analisis di-
lanjutkan dengan uji perbedaan nilai tengah
terhadap varietas pembanding dengan metode
Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. Data
kualitatif dihitung modusnya untuk tiap geno-
tipe dan tiap karakter, kemudian ditampilkan
dalam bentuk deskripsi. Sejumlah karakter
yang diamati berpedoman pada deskriptor
IPGRI (2003). Koefisien korelasi fenotipik
Pearson (r) dihitung untuk mengetahui keeratan
hubungan antar peubah. Analisis gerombol
genotipe melon dilakukan untuk mengetahui
kemiripan antar genotipe melon yang diuji
menggunakan metode Gower. Sidik ragam, uji
lanjut, dan analisis korelasi dilakukan meng-
gunakan perangkat lunak SAS, sedangkan
analisis gerombol menggunakan R.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama masa persemaian, benih tumbuh
dengan baik dengan daya berkecambah 97%
hingga 100%. Pertumbuhan yang baik ini di-
dukung oleh suplai air yang baik. Hal ini
dilakukan untuk mengurangi kekurangan air
yang dapat menyebabkan ukuran tanaman
yang lebih kecil dibandingkan dengan
tanaman yang tumbuh normal (Kurniasari et
al., 2010). Kekurangan air pada tanaman
menyebabkan penurunan hasil yang sangat
signifikan dan berpotensi menjadi penyebab
kematian pada tanaman (Salisbury dan Ross,
1992).
Evaluasi terhadap Karakter Kuantitatif
Tanaman
Menurut Gomez dan Gomez (1995) nilai
koefisien keragaman (KK) merupakan suatu
nilai yang menggambarkan keterandalan per-
cobaan. Hasil analisis ragam pada Tabel 1
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
sangat nyata antar genotipe pada karakter
diameter batang, panjang daun, lebar daun, umur
berbunga hermafrodit, bobot buah, ketebalan
daging buah, daya simpan, kadar gula dan bobot
100 butir benih. Di sisi lain, pengaruh genotipe
tidak nyata pada karakter serangan penyakit
embun bulu dan embun tepung, umur panen,
kandungan air buah dan kandungan vitamin C.
Perbedaan antar ulangan terlihat nyata
pada karakter lebar daun, serangan penyakit
embun bulu, umur panen, daya simpan,
kandungan air buah, kadar gula, dan bobot 100
butir benih, namun pengaruh ulangan tidak
nyata pada karakter diameter batang, panjang
daun, umur berbunga, serangan penyakit embun
tepung, bobot buah, ketebalan daging buah,
dan kandungan vitamin C. Adanya pengaruh
ulangan yang nyata di sejumlah peubah me-
nunjukkan bahwa penggunaan RKLT dalam
penelitian ini dinilai tepat.
Hasil uji perbandingan BNJ (Tabel 2)
menunjukkan bahwa diameter batang pada
genotipe IPB Meta 4 nyata lebih besar di-
bandingkan varietas Action 434 dan Sky Sweet.
IPB Meta 3 dan Meta 4 memiliki ukuran daun
yang nyata lebih besar dibandingkan Sky Sweet.
Dengan daun yang besar diharapkan fotosintesis
berjalan dengan baik, dimana fotosintesis diketahui
merupakan proses penting untuk mempertahankan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Secara umum umur berbunga yang di-
harapkan adalah umur berbunga yang cepat.
Genotipe IPB Meta 4 dan IPB Meta 8H memiliki
umur berbunga hermafrodit yang nyata lebih
lambat dibandingkan varietas pembanding,
Action 434 dan Sky Sweet. Umur berbunga
secara umum dipengaruhi oleh faktor intern
yakni genetik tanaman dan faktor lingkungan
(Badrudin et al., 2009). Berdasarkan nilai
koefisien keragaman (0.9%), pengaruh faktor
lingkungan terhadap umur berbunga relatif
kecil dibandingkan faktor genetik.
Hasil pengamatan pada serangan penyakit
embun bulu dan embun tepung menunjukkan
bahwa perbedaan antar genotipe yang tidak
signifikan. Tingginya koefisien keragaman untuk
peubah serangan embun tepung menandakan
adanya perbedaan respon yang besar di dalam
genotipe yang sama, sekalipun pengaruh ulangan
sudah diperhitungkan.
J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.
Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe….. 59
Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam peubah kuantitatif genotipe melon
Peubaha KT Ulangan KT Genotipe KK (%)
Diameter batang 0.00 tn 0.01
** 3.3
Panjang daun 2.62 tn 8.79
** 4.3
Lebar daun 5.61**
7.54 **
3.5
Umur berbunga hermafrodit 2.89 tn 22.67
** 3.8
Serangan penyakit embun bulu+ 6.30
** 1.27
tn 12.9
Serangan penyakit embun tepung+ 19.24
tn 6.83
tn 38.2
Umur panen 3.04**
1.14 tn 0.9
Bobot buah 27 158.33 tn 477 098.25
** 10.2
Ketebalan daging buah 0.02tn 0.66
** 6.9
Daya simpan 6.94 * 20.17
** 11.1
Kandungan air buah 1.43 * 0.55
tn 0.6
Kadar gula 1.35**
1.24**
6.1
Kandungan Vitamin C+ 0.03
tn 0.12
tn 16.1
Bobot 100 butir benih 0.27 * 0.34
** 10.2
Keterangan: aKT = Kuadrat tengah, KK = Koefisien keragaman; *, ** = Berpengaruh nyata pada taraf 5% dan 1%.
tn = Tidak berpengaruh nyata; + = Data ditransformasi ke sebelum dianalisis.
Tabel 2. Nilai tengah peubah diameter batang, panjang daun, lebar daun, umur berbunga herma-
frodit, serta serangan penyakit embun bulu dan embun tepung
Genotipea
Diameter
Batang
Panjang
Daun
Lebar
Daun
Umur Berbunga
Hermafrodit
Serangan
Embun Bulu
Serangan
Embun Tepung
--------------cm------------ ---HST--- -----------%-----------
IPB Meta 3 1.00 22.5b 23.2
b 29 57.5 82.5
IPB Meta 4 1.09ab
21.7 23.5b 34
ab 75.0 52.5
IPB Meta 6 0.94 18.2a 19.8
a 28 77.5 62.5
IPB Meta 8H 1.07a 21.5 22.4 32
ab 70.0 70.0
Action 434 0.99 20.8 21.8 28 57.5 82.5
Sky Sweet 1.02 20.3 21.2 28 75.0 40.0 Keterangan: a a = berbeda nyata terhadap varietas Action 434; b = berbeda nyata terhadap varietas Sky Sweet
berdasarkan uji BNJ pada taraf uji 5%.
Tabel 3. Nilai tengah peubah umur panen, bobot buah, ketebalan daging buah, daya simpan, dan
bobot 100 butir benih
Genotipea
Umur Panen Bobot Buah Ketebalan
Daging buah
Daya
Simpan
Bobot 100
Butir benih
---HST--- ----gram--- ----cm--- ---hari-- ---gram---
IPB Meta 3 64 837.1ab
2.2ab
8ab
2.67
IPB Meta 4 64 653.3ab
2.3ab
10ab
2.13b
IPB Meta 6 64 926.5ab
2.2ab
11 2.94
IPB Meta 8H 65 756.5ab
2.4ab
11 2.37
Action 434 65 1 375.8 2.9 14 2.53
Sky Sweet 65 1 494.1 3.2 14 2.78 Keterangan: a a = berbeda nyata terhadap varietas Action 434; b = berbeda nyata terhadap varietas Sky Sweet
berdasarkan uji BNJ pada taraf uji 5%.
Umur panen yang diharapkan adalah
umur panen yang lebih cepat dibandingkan
kedua varietas pembanding. Umur panen pada
keempat genotipe yang dievaluasi tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap
Action 434 dan Sky Sweet (Tabel 3). Keempat
genotipe yang diuji memiliki ketebalan daging
buah yang nyata lebih tipis dibandingkan
Action 434 dan Sky Sweet. Menurut
Anggraito (2004) ketebalan daging buah melon
sangat menentukan produksi tanaman.
J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.
60 Wida W. Khumaero, Darda Efendi, Willy B. Suwarno, dan Sobir
Tabel 4. Nilai tengah pada peubah kandungan
air buah, kadar gula, kandungan
vitamin C
Genotipea
Kandungan
Air Buah
----%----
Kadar
Gula
-oBrix-
Kandungan
Vitamin C
---mg---
IPB Meta 3 94.5 5.2 4.4
IPB Meta 4 95.3 4.2ab
4.4
IPB Meta 6 96.2 5.3 6.8
IPB Meta 8H 95.1 5.1a 5.1
Action 434 94.9 5.8 5.2
Sky Sweet 94.7 5.6 5.3
Keterangan: a a = berbeda nyata terhadap varietas
Action 434; b = berbeda nyata terhadap
varietas Sky Sweet berdasarkan uji BNJ
pada taraf uji 5%.
Hasil pada pengamatan karakter bobot
buah menunjukkan bahwa keempat genotipe
yang diuji nyata lebih kecil dibandingkan Sky
Sweet dan Action 434. Nilai bobot buah yang
lebih kecil ini tidak selalu berarti sebuah ke-
kurangan, meskipun pada umumnya petani
maupun konsumen mengharapkan ukuran dan
bobot buah melon yang besar (Wagiono dan
Hamrah, 2007). Varietas melon berukuran kecil
sudah dipasarkan di negara lain seperti di
Taiwan yang ditujukan untuk konsumsi pribadi
dan dapat dihabiskan dalam satu atau dua
kesempatan (Bezirganoglu et al., 2013). Daya
hasil per hektar dari melon tipe kecil di-
harapkan dapat diimbangi dengan produksi
dua sampai tiga buah per tanaman, dimana
penelitian lebih lanjut diperlukan untuk hal ini.
Daya simpan pada genotipe IPB Meta 3
dan IPB Meta 4 memiliki nilai yang lebih
rendah dibandingkan kedua varietas pembanding
Namun demikian, daya simpan buah (8-10 hari)
tidak terlalu jauh berbeda dengan varietas pem-
banding (14 hari), dan diperkirakan akan dapat
memenuhi aspek praktis dalam komersialisasi.
Bobot 100 butir benih benih genotipe IPB Meta
4 nyata lebih rendah dibandingkan Sky Sweet,
menandakan bahwa ukuran benih genotipe ini
relatif lebih kecil. Ketiga genotipe IPB lainnya
tidak berbeda bobot 100 butir benih benihnya
dengan kedua varietas pembanding.
Kandungan air buah dan kandungan
vitamin C (Tabel 4) pada melon yang diuji tidak
berbeda nyata dengan varietas pembanding.
Kandungan gula pada genotipe IPB Meta 4
(4.2 Brix) nyata lebih rendah dibandingkan
Action 434 (5.8 Brix) dan Sky Sweet (5.6 Brix),
namun perbedaan rasa buah untuk kisaran
kandungan gula tersebut dinilai tidak terlalu
berarti. Kandungan gula yang umumnya relatif
rendah diduga sebagai akibat dari teknik aplikasi
pupuk KNO3 yang kurang optimal. Peng-
aplikasian di lapangan pemberian pupuk KNO3
dilakukan dengan disemprotkan pada seluruh
bagian tanaman, namun diperkirakan metode
yang lebih baik adalah aplikasi di lubang
tanam.
Evaluasi terhadap Karakter Kualitatif
Tanaman
Tabel 5 menunjukkan bahwa genotipe IPB
Meta 3, Meta 4, dan Meta 8H memiliki warna
daun hijau, sedangkan genotipe IPB Meta 6,
Action 434 dan Sky Sweet berwarna hijau tua.
IPB Meta 3 dan Meta 6 memiliki perkembangan
cuping daun lemah, sedangkan IPB Meta 4,
Meta 8H, Action 434 dan Sky Sweet memiliki
perkembangan cuping daun sedang. Cuping
terminal yang relatif panjang terdapat pada
genotipe IPB Meta 4, Meta 8, dan varietas
Action 434, sedangkan cuping terminal yang
berukuran relatif lebih pendek terdapat pada
genotipe IPB Meta 3, Meta 6, dan varietas Sky
Sweet.
Tabel 5. Rekapitulasi hasil pengamatan peubah
kualitatif daun
Genotipe Warna
Daun
Perkem-
bangan
Cuping
Daun
Panjang
Cuping
Terminal
IPB Meta 3 Hijau Lemah Sedang
IPB Meta 4 Hijau Sedang Panjang
IPB Meta 6 Hijau tua Lemah Sedang
IPB Meta 8H Hijau Sedang Panjang
Action 434 Hijau tua Sedang Panjang
Sky Sweet Hijau tua Sedang Sedang
J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.
Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe….. 61
Tabel 6. Rekapitulasi hasil pengamatan peubah kualitatif buah
Genotipe Bentuk
Buah
Warna
Daging
Buah
Bentuk
Irisan Buah
Membujur
Tingkat
Kekeriputan
Permukaan Buah
Lebar Maksimum
Irisan Melintang
Lapisan Luar Buah
IPB Meta 3 Lonjong Jingga Lonjong Kuat Sedang
IPB Meta 4 Bulat Hijau muda Bundar Kuat Sedang
IPB Meta 6 Oblate Jingga Oblate Lemah Tebal
IPB Meta 8H Bulat Jingga Bundar Kuat Sedang
Action 434 Bulat Hijau muda Bundar Sedang Tebal
Sky Sweet Bulat Hijau muda Bundar Kuat Sedang
Keempat genotipe melon yang diuji
memiliki keragaman dalam karakter bentuk
buah, dimana IPB Meta 3 berbentuk lonjong,
IPB Meta 6 oblate, dan IPB Meta 4 dan IPB
Meta 8H bulat (Tabel 6). Genotipe IPB Meta
6 merupakan genotipe yang memiliki bentuk
buah yang cukup beragam mulai dari oblat,
bulat hingga lonjong, sedangkan kedua varietas
pembanding memiliki bentuk buah yang bulat.
Warna kulit buah melon yang diuji adalah
hijau, namun pada IPB Meta 8 memiliki warna
kulit buah hijau pucat. Warna daging buah
yang beragam merupakan salah satu faktor
ketertarikan masyarakat terhadap buah melon.
Varietas melon yang banyak dipasarkan di
Indonesia adalah melon dengan daging buah
berwarna hijau muda, sedangkan varietas yang
berwarna jingga lebih sedikit. Tabel 6
menunjukkan bahwa genotipe IPB Meta 3, IPB
Meta 6 dan IPB Meta 8H memiliki daging buah
berwarna jingga, menandakan adanya peluang
bagi ketiga genotipe tersebut untuk
dikembangkan lebih lanjut.
Keempat genotipe melon yang diuji
memiliki keragaman dalam bentuk irisan
buah membujur, terutama disebabkan karena
bentuk buah yang berbeda-beda. Kekeriputan
buah pada IPB Meta 6 sangat lemah, berbeda
dengan Sky Sweet yang memiliki tingkat
kekeriputan kulit yang kuat. Lebar maksimum
irisan melintang lapisan luar buah pada IPB
Meta 3, IPB Meta 4, IPB Meta 8H dan Sky
Sweet adalah relatif sedang, sedangkan pada
IPB Meta 6 dan Action 434 relatif tebal.
Semua genotipe yang diuji dan dua
varietas pembanding memiliki keseragaman
pada karakter bentuk penampang batang
(persegi lima), warna batang (hijau muda) dan
bentuk daun (pentalobate). Tipe kulit buah
(berjala), aroma buah (wangi) dan posisi dari
lebar maksimum yang berada di tengah buah.
Bentuk biji oval dan biji berwarna krem.
Korelasi antar Karakter Kuantitatif
Berdasarkan Tabel 7, karakter panjang
daun berkorelasi positif terhadap lebar daun,
dimana keduanya berkontribusi terhadap luas
daun.
Tabel 7. Korelasi linear antar karakter kuantitatif melon
Peubaha DB PD LD UB EB ET UP BB KDB DS
PD 0.663 -
LD 0.752 0.956** -
UB 0.879* 0.497 0.683 -
EB 0.146 -0.569 -0.414 0.270 -
ET -0.280 0.325 0.227 -0.173 -0.843* -
UP 0.166 0.024 -0.147 -0.214 -0.151 -0.054 -
BB -0.406 -0.316 -0.474 -0.745 -0.155 -0.183 -0.639 -
KDB -0.006 -0.108 -0.237 -0.423 -0.040 -0.369 0.786 0.914* -
DS -0.151 -0.433 -0.504 -0.423 0.118 -0.317 0.781 0.850* 0.887* -
SB -0.888* -0.656 -0.798 -0.893* 0.066 -0.025 -0.038 0.489 0.161 0.190
Keterangan: a *, ** = Berbeda nyata terhadap r= 0 masing masing pada taraf 5% dan 1%; DB= Diameter batang;
PD= Panjang daun; LD= Lebar daun; UB= Umur berbunga hermafrodit; EB= Serangan penyakit embun
bulu; ET= Serangan penyakit embun tepung; UP= Umur panen; BB= Bobot buah; KDB= Ketebalan
daging buah; DS; Daya simpan; SB= Bobot 100 butir benih.
J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.
62 Wida W. Khumaero, Darda Efendi, Willy B. Suwarno, dan Sobir
Karakter tebal daging buah berkorelasi
positif terhadap bobot buah, dan keduanya
juga berkorelasi positif terhadap daya simpan
buah. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe
yang memiliki daging buah tebal dan bobot
buah besar cenderung memiliki daya simpan
yang relatif lama. Karakter serangan penyakit
embun bulu berkorelasi negatif dengan serangan
embun tepung, mengindikasikan bahwa kedua
gejala penyakit tersebut tidak muncul pada
waktu yang bersamaan.
Pengelompokan Genotipe
Pengelompokan genotipe melon me-
nunjukkan bahwa genotipe melon IPB Meta 6
berbeda pada tingkat 62% dengan kelima
genotipe melon lainnya (Gambar 1), yang
dicirikan oleh karakter bobot 100 butir benih,
kandungan air buah, kandungan vitamin C,
dan bentuk buah.
Gambar 1. Dendrogram Pengelompokan Enam
Genotipe Melon dari Data Kuantitatif
dan Kualitatif
Genotipe IPB Meta 6 memiliki bobot
100 butir benih yang lebih berat dibandingkan
genotipe lain. Kandungan air buah pada IPB
Meta 6 memiliki persentase yang paling tinggi
(96.2%) dibandingkan genotipe lain. Kandungan
vitamin C pada IPB Meta 6 adalah 6.8 mg,
sedangkan genotipe lainnya berkisar antara 4-
5 mg. Bentuk buah IPB Meta 6 adalah oblate,
sedangkan genotipe lainnya memiliki bentuk
buah bulat dan lonjong. Disamping itu, IPB
Meta 3 berbeda pada tingkat 52% dengan
genotipe IPB Meta 4, IPB Meta 8H, Action
434 dan Sky Sweet. Perbedaan tersebut terdapat
dalam karakter panjang daun, daya simpan
buah, dan bentuk buah. IPB Meta 3 memiliki
panjang daun 22.5 cm, sedangkan IPB Meta 4,
IPB Meta 8H, Action 434 dan Sky Sweet
memiliki panjang daun berkisar antara 20-21
cm. IPB Meta 3 tahan disimpan dalam waktu 8
hari, sedangkan keempat genotipe lainnya
dapat disimpan 10-14 hari. Bentuk buah IPB
Meta 3 adalah lonjong, sedangkan keempat
genotipe yang lainnya adalah bulat.
KESIMPULAN
IPB Meta 4 memiliki diameter batang
dan ukuran daun yang lebih besar diban-
dingkan Action 434 dan Sky Sweet. Genotipe
IPB Meta 3, IPB Meta 6 dan IPB Meta 8H
memiliki warna daging buah melon yang
berwarna jingga, dimana kedua varietas pem-
banding berwarna hijau. Ukuran buah melon
IPB yang relatif kecil dapat menambah koleksi
genotipe hasil pemuliaan IPB untuk segmen
pasar khusus, yang diharapkan dapat meng-
antisipasi perubahan preferensi konsumen di
masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraito, Y.U. 2004. Identifikasi berat,
diameter, dan tebal daging buah melon
(Cucumis melo L.) kultivar action 434
tetraploid akibat perlakuan kolkisin. J.
Berk. Penel. Hayati. 10: (37-42).
Badrudin, U., B. Suryotomo, Wahidin. 2009.
Uji daya hasil dan pertumbuhan beberapa
genotipe melon (Cucumis melo L.) hibrida
di Kabupaten Pekalongan. Skripsi.
Fakultas Pertanian Universitas Pekalongan.
Pekalongan.
Bezirganoglu, I., S.Y. Hwang, T.J. Fang,
Shaw F.J. 2013. Transgenic lines of
melon (Cucumis melo L. var. makuwa cv.
‘Silver Light’) expressing antifungal
protein and chitinase genes exhibit
enhaced resistance to fungal pathogens.
PCTOC Journal of Plant Biotechnology.
112: 227-237.
[Ditjenhorti] Direktorat Jenderal Hortikultura.
2014. Nilai ekspor impor benih buah
2009-2012. http//hortikultura.pertanian.
go.id/index.php?option=com_content&
view=article&id=377&Itemid=712. [20
Mei 2014].
J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.
Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe….. 63
[Ditjenhorti] Direktorat Jenderal Hortikultura.
2014. Nilai produksi buah 2009-2012.
http://hortikultura.pertanian.go.id/index.
php?option=com_content&view=article
&id=315&Itemid=915. [20 Mei 2014].
Gomez, K.A., A.A. Gomez. 1995. Prosedur
Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi
Kedua. Universitas Indonesia (UI Press).
Jakarta.
[IPGRI] International Plant Genetic Resources
Institute. 2003. Descriptors for Melon
(Cucumis melo L). International Plant
Genetic Resources Institute. Rome.
Kurniasari, A.M., Adisyahputra, R. Rosman.
2010. Pengaruh kekeringan pada tanah
bergaram NaCl terhadap pertumbuhan
tanaman nilam. Skripsi. Jurusan Biologi
FMIPA UI. Jakarta.
[PKHT] Pusat Kajian Hortikultura Tropika.
2014. Konsumsi buah perkapita horti-
kultura. http://pkht.or.id/datastatistik/kon-
sumsi-buah-dan-sayur. [20 Mei 2014].
Prajnanta, F. 2004. Melon, Pemeliharaan Secara
Intensif dan Kiat Sukses Beragribisnis.
Cetakan ke-6. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rubatzky, V., Yamaguchi. 1999. Sayuran Dunia:
Prinsip, Produksi dan Gizi. H. Catur,
penerjemah: N. Sofia, Terjemahan: ITB
Press. Bandung.
Salisbury, F.B., C.W. Ross. 1992. Plant Phy-
siology. 4rd Ed. Wadsworth Publishing
Company. California. US.
Samadi B. 2007. Melon, Usaha Tani dan Pena-
nganan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta.
Saptana, S. Masdjidan, W. Sri, K.D. Saktyany,
A. Ening, D. Valeriana. 2005. Pemantapan
Model Pengembangan Kawasan Agribisnis
Sayuran Sumatera (KASS). Puslitbang
Deptan. Bogor.
Sari, D.P., C.G. Yohanes, P. Darwin. 2013.
Pengaruh konsentrasi kalsium terhadap
pertumbuhan dan produksi dua varietas
tanaman melon (Cucumis melo L.) pada
sistem hidroponik media padat. J. Agro-
tropika. 18(1): 29-33.
Sudiyarto. 2011. Strategi pemasaran buah
lokal Jawa Timur. J-SEP. 5(1): 65-73.
Sukmaningtyas, A., Hartoyo. 2013. Pengaruh
nilai dan gaya hidup terhadap preferensi
dan perilaku pembelian buah-buahan
impor. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen.
6(1): 39-48.
Supriyono, J.K. Sutopo, W. Heri, M. Sih.
2011. Penyususnan prosedur operasional
buku budidaya melon di Kabupaten
Grobogan. J. of Rural and Development.
2(1): 1-8.
[UPOV] Union Internationale pour la
Protection des Obtentions Vegelate. 2006.
Cucumis melo L. International Union
For the Protection of New Varieties of
Plant. Geneva.
Wagiono, Y., K., Hamrah. 2007. Metode quality
function deployment (QFD) untuk informasi
penyempurnaan perakitan varietas melon.
J. Agribisnis dan Ekonomi Pertanian.
1(2): 48-57.
Yekti, A. 2005. Efisiensi ekonomi usaha tani
melon di Kecamatan Wedi, Kabupaten
Klaten. J. Ilmu-ilmu Pertanian. 1(1): 50-60.