63
J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014. 1 Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada Budidaya Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt.) di Lahan Kering. Utilization of Biomulch Arachis pintoi in Production of Sweet Corn (Zea mays saccharata Strut.) at Upland Condition. Fariidah Silmi 1 dan M.A. Chozin 1* Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014 ABSTARCT The objective of the research was to determine the effect legume cover crop Arachis pintoi as biomulch on yield of sweet corn (Zea mays saccharata Strut.) as compared to Centrosema pubescens, Calopogonium mucunoides, no weeding, manual weeding, and plastic mulch. The research was conducted at Cikabayan Experimental Field, Bogor in February - September 2013. Experiment used randomized complete blocked design (RKLT), with single factor and three replications. The factor was difference type of mulch consisting of control (manual weeding), nature of vegetation (without weeding), plastic mulch, Arachis pintoi, Centrosema pubescens, and Calopogonium mucunoides. Biomulches influenced change of weeds compositions at research land. The treatment of A. pintoi biomulch suppressed growth of weeds lower than C. pubescens and C. mucunoides biomulch. The result revealed that different mulch had no significant effect on all of sweet corn variables except on cob length and cob circumference. A. pintoi, biomulch led was not significantly different compared to C. pubescens, and C. mucunoides. Plastic mulch increased sweet corn production component and production better than other treatments. Keywords : biomulch, legume cover crop, weed, yield, yield component , sweet corn ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efek tanaman penutup tanah (Legume Cover Crop) Arachis pintoi sebagai biomulsa dan pengaruhnya terhadap produksi tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Strut.) dibandingkan dengan Calopogonium mucunoides, Centrosema pubescens, tanpa penyiangan (vegetasi alami), penyiangan manual, dan mulsa plastik hitam perak. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, Bogor pada bulan Februari-September 2013. Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan satu faktor dan tiga ulangan. Faktor perlakuan tersebut adalah perbedaan jenis mulsa yang terdiri atas kontrol (dengan penyiangan manual), vegetasi alami (tanpa penyiangan), mulsa plastik hitam perak, Arachis pintoi, Centrosema pubescens, dan Calopogonium mucunoides. Penggunaan biomulsa mempengaruhi pergeseran jenis gulma yang tumbuh di lahan penelitian. Perlakuan biomulsa A. pintoi lebih rendah menekan pertumbuhan gulma dibandingkan dengan perlakuan biomulsa C. pubescens dan C. mucunoides . Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis mulsa berpengaruh nyata terhadap semua peubah jagung manis yang diamati kecuali pada panjang tongkol dan lingkar tongkol. Hasil dan komponen hasil jagung manis tidak berbeda nyata antara perlakuan biomulsa A. pintoi, C. pubescens, dan C. mucunoides . Perlakuan mulsa plastik hitam perak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya dalam meningkatkan hasil dan komponen hasil jagung manis. Kata kunci: biomulsa, gulma, hasil, komponen hasil, jagung manis, RKLT, tanaman penutup tanah 1 Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia Telp. & Faks. 62-251-8629353 *e-mail untuk korespondensi: [email protected]

Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.

Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 1

Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada

Budidaya Jagung Manis (Zea mays saccharata Sturt.) di

Lahan Kering.

Utilization of Biomulch Arachis pintoi in Production of Sweet Corn

(Zea mays saccharata Strut.) at Upland Condition.

Fariidah Silmi1 dan M.A. Chozin1*

Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014

ABSTARCT

The objective of the research was to determine the effect legume cover crop Arachis pintoi as

biomulch on yield of sweet corn (Zea mays saccharata Strut.) as compared to Centrosema pubescens, Calopogonium mucunoides, no weeding, manual weeding, and plastic mulch. The

research was conducted at Cikabayan Experimental Field, Bogor in February - September 2013. Experiment used randomized complete blocked design (RKLT), with single factor and three

replications. The factor was difference type of mulch consisting of control (manual weeding), nature

of vegetation (without weeding), plastic mulch, Arachis pintoi, Centrosema pubescens, and Calopogonium mucunoides. Biomulches influenced change of weeds compositions at research land. The treatment

of A. pintoi biomulch suppressed growth of weeds lower than C. pubescens and C. mucunoides

biomulch. The result revealed that different mulch had no significant effect on all of sweet corn variables except on cob length and cob circumference. A. pintoi, biomulch led was not significantly

different compared to C. pubescens, and C. mucunoides. Plastic mulch increased sweet corn

production component and production better than other treatments.

Keywords : biomulch, legume cover crop, weed, yield, yield component , sweet corn

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efek tanaman penutup tanah (Legume Cover Crop)

Arachis pintoi sebagai biomulsa dan pengaruhnya terhadap produksi tanaman jagung manis (Zea mays saccharata Strut.) dibandingkan dengan Calopogonium mucunoides, Centrosema pubescens,

tanpa penyiangan (vegetasi alami), penyiangan manual, dan mulsa plastik hitam perak.

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, Bogor pada bulan Februari-September

2013. Percobaan menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan satu faktor

dan tiga ulangan. Faktor perlakuan tersebut adalah perbedaan jenis mulsa yang terdiri atas kontrol

(dengan penyiangan manual), vegetasi alami (tanpa penyiangan), mulsa plastik hitam perak, Arachis

pintoi, Centrosema pubescens, dan Calopogonium mucunoides. Penggunaan biomulsa

mempengaruhi pergeseran jenis gulma yang tumbuh di lahan penelitian. Perlakuan biomulsa A. pintoi lebih rendah menekan pertumbuhan gulma dibandingkan dengan perlakuan biomulsa C.

pubescens dan C. mucunoides. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis mulsa

berpengaruh nyata terhadap semua peubah jagung manis yang diamati kecuali pada panjang tongkol

dan lingkar tongkol. Hasil dan komponen hasil jagung manis tidak berbeda nyata antara perlakuan

biomulsa A. pintoi, C. pubescens, dan C. mucunoides. Perlakuan mulsa plastik hitam perak

berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya dalam meningkatkan hasil dan komponen

hasil jagung manis.

Kata kunci: biomulsa, gulma, hasil, komponen hasil, jagung manis, RKLT, tanaman penutup tanah

1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Telp. & Faks. 62-251-8629353 *e-mail untuk korespondensi: [email protected]

Page 2: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.

2 Fariidah Silmi dan M.A. Chozin

PENDAHULUAN

Jagung manis (Zea mays saccharata

Sturt) merupakan jenis jagung yang memiliki

rasa manis yang melebihi jagung biasa. Selain

itu, masa produksinya yang relatif lebih

singkat (genjah) membuat nilai ekonomis

jagung manis relatif lebih tinggi di pasaran.

Marliah et al. (2010) menyatakan bahwa

jagung manis memiliki peranan yang cukup

besar untuk meningkatkan produksi pangan

dalam negeri, namun produktivitasnya masih

rendah. Peng-gunaan benih dan teknologi serta

budidaya yang kurang intensif di kalangan

petani menyebabkan rendahnya hasil jagung

manis (Rahayu, 2011).

Usaha peningkatan produksi jagung

manis dapat dilakukan dengan meningkatkan

produktivitas atau yang sering dikenal dengan

istilah intensifikasi (Marliah, 2010). Mayadewi

(2007) menambahkan pengembangan jagung

manis secara intensif hanya dapat dilakukan

oleh petani yang memiliki modal besar. Selain

itu, masalah yang sering dihadapi petani

adalah adanya kelangkaan pupuk yang meng-

akibatkan mahalnya harga pupuk di pasaran.

Kebutuhan akan unsur hara yang dapat

diperoleh dari pemberian pupuk serta interaksi

tanaman dengan lingkungan tempat tumbuh

akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan

vegetatif dan produksi tanaman jagung manis.

Menurut Sintia (2011) faktor tersebut merupakan

faktor penting yang dapat menghambat atau

mendorong pertumbuhan serta produksi tanaman,

sehingga pengaturan keadaan lingkungan perlu

diupayakan.

Pemberian mulsa merupakan salah satu

alternatif pengaturan keadaan lingkungan

sebagai tempat tumbuh tanaman. Secara fisik

mulsa mampu menjaga suhu tanah lebih stabil

dan dapat mempertahankan kelembaban sekitar

perakaran (Hamdani, 2008). Mulsa dapat

bersumber dari bahan-bahan organik yang

telah mati ataupun masih hidup yang sering

disebut dengan biomulsa. Selain itu, juga

terdapat mulsa yang berasal dari plastik.

Bahan plastik yang saat ini sering digunakan

adalah plastik transparan, plastik hitam, plastik

perak, dan plastik hitam perak.

Tanaman penutup tanah (Legum cover

crop) merupakan salah satu jenis biomulsa.

Jenis tanaman penutup tanah yang sering

digunakan adalah campuran dari Pueraria javanica, Calopogonium mucunoides, dan

Centrosema pubescens (Karyudi dan Siagian,

2006). Arachis pintoi atau yang sering disebut

dengan kacang hias juga merupakan salah satu

tanaman penutup tanah yang dapat tumbuh

dengan baik di daerah tropika, baik di dataran

rendah maupun dataran tinggi (Balittan, 2004).

Fungsi tanaman penutup tanah sebagai biomulsa

dapat mengurangi erosi permukaan tanah,

merombak bahan organik dan cadangan unsur

hara, menekan perkembangan gulma, menekan

gangguan serangga, dan menjaga kelembapan

tanah serta memperbaiki aerasi (Risza, 1995).

Baharrudin (2010) menambahkan bahwa

upaya peningkatan produksi tanaman juga

dapat dilakukan dengan cara menghilangkan

atau mengurangi faktor-faktor yang dapat

merugikan pertumbuhan tanaman. Gulma

merupakan salah satu faktor yang dapat

berperan sebagai pengganggu pertumbuhan

tanaman. Keberadaan gulma dapat menyaingi

tanaman utama dalam memperoleh nutrisi

dalam tanah. Kehadiran gulma pada tanaman

jagung manis merupakan penyebab rendahnya

hasil jagung manis tersebut. Pengaruh gulma

terhadap tanaman dapat terjadi secara langsung,

yaitu dalam hal bersaing untuk mendapatkan

unsur hara, air, cahaya, dan ruang tumbuh.

Secara langsung sejumlah gulma merupakan

inang dari hama dan penyakit. Gulma yang

dibiarkan tumbuh pada tanaman jagung manis

dapat menurunkan hasil 20% - 80% (Bilman,

2010). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui

pengaruh penggunaan tanaman penutup tanah

A. pintoi sebagai biomulsa pada pertanaman

jagung manis dibandingkan C. pubescens dan

C. mucunoides.

BAHAN DAN METODE

Percobaan ini dilaksanakan di Kebun

Percobaan Cikabayan Bawah, Kampus IPB

Dramaga Bogor, mulai bulan Februari-

September 2013. Bahan yang digunakan pada

penelitian ini adalah tiga macam tanaman

penutup tanah yang terdiri atas stek batang A.

pintoi, benih C. pubescens, C. mucunoides dan

benih jagung manis varietas Bimmo. Pupuk

yang digunakan berupa pupuk kandang

kambing 20 ton ha-1, kapur 1 ton ha-1, dan

NPK Mutiara. Bahan-bahan lain adalah Decis

yang berperan sebagai insektisida, Rooton-F

sebagai hormon pemicu pertumbuhan akar,

serta furadan 3G untuk mencegah dari

Page 3: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.

Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 3

serangan serangga tanah saat penanaman

benih jagung manis.

Percobaan dilakukan dengan menggunakan

rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT)

satu faktor, yaitu dengan perlakuan perbedaan

jenis mulsa berupa B0 = Vegetasi alami tanpa

penyiangan, B1 = Kontrol (vegetasi alami

dengan penyiangan), B2 = Mulsa Plastik

Hitam Perak (MPHP), B3 = Biomulsa Arachis pintoi, B4 = Biomulsa Centrosema pubescens,

serta B5 = Biomulsa Calopogonium mucunoides.

Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali

sehingga terdapat 18 satuan percobaan. Satu

satuan percobaan ialah petak dengan ukuran 5

m x 4 m. Uji F digunakan untuk menganalisis

pengaruh perlakuan. Bila perlakuan berpengaruh

nyata diuji lanjut menggunakan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 5%.

Pengujian dilakukan dengan menggunakan

aplikasi SAS.

Pelaksanaan penelitian meliputi peng-

olahan lahan dengan menggunakan traktor dan

bajak. Setelah diolah, lahan dibuat petakan

dengan ukuran 5 m x 4 m dengan jarak antar

bedengan 50 cm dan tinggi bedengan 10 cm.

Petakan lahan kemudian diberi aplikasi pupuk

kandang kambing 20 ton ha-1 dan kapur 1 ton

ha-1. Lahan dibiarkan dua minggu sebelum

ditanami tanaman penutup tanah. Bahan tanam

tanaman penutup tanah A. pintoi berupa stek

batang dengan panjang 4-5 buku setiap stek.

Setelah dipotong-potong dengan ukuran

tersebut kemudian stek direndam dalam

larutan rooton-F dengan konsentrasi 1 g l-1 air

selama satu malam sebelum ditanam. Bahan

tanam tanaman penutup tanah C. pubescens

dan C. mucunoides yang digunakan berupa

benih. Ketiga tanaman penutup tanah ditanam

secara bersama-sama pada masing-masing

petakan dengan jarak tanam yang digunakan

adalah 10 cm x 10 cm.

Penanaman benih jagung manis di-

lakukan setelah penutupan tanaman penutup

tanah mencapai 80%. Benih jagung manis

ditanam dengan cara membuat alur tanam di

setiap petak yang berselang dengan tanaman

penutup tanah. Lebar alur tanam yang dibuat

seluas 50 cm di sepanjang petakan. Pemberian

perlakuan mulsa plastik hitam perak dilakukan

3 hari sebelum penanaman benih jagung manis

dengan membuat lubang berdiameter 10 cm.

Benih jagung manis ditanam pada lubang

tanam dengan jarak tanam 80 cm x 40 cm

pada masing-masing petakan.

Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan

setelah penanaman tanaman penutup tanah

hingga penanaman benih jagung manis meliputi

penyiraman, pemupukan, penyiangan gulma,

pengendalian hama dan penyakit, serta pem-

bumbunan pada tanaman jagung manis yang

dilakukan bersamaan dengan penyiangan gulma.

Penyiangan gulma dilakukan secara manual

sesuai dengan kebutuhan. Pemupukan dilakukan

dua kali yaitu pada awal penanaman benih

jagung manis dan saat tanaman jagung manis

berumur 4 minggu setelah tanam (MST).

Pemupukan dilakukan dengan cara menaburkan

pupuk NPK ke dalam lubang yang telah dibuat

di samping lubang tanam jagung manis dengan

dosis 65.7 g tanaman-1. Penyemprotan pestisida

dilakukan satu kali saat tanaman jagung manis

berumur 5 MST.

Pengamatan dilakukan terhadap tanaman

contoh yang dipilih secara acak disetiap

petakan. Peubah yang diamati adalah pada

fase vegetatif meliputi tinggi tanaman (cm),

jumlah daun (helai), diameter batang (mm),

lingkar batang (cm), dan saat muncul bunga

jantan/ tassel dengan satuan hari setelah tanam

(HST). Saat fase generatif, peubah yang diamati

meliputi jumlah tongkol tanaman-1 (tongkol),

panjang tongkol (cm), lingkar tongkol (cm),

dan jumlah baris biji tongkol-1 (baris).

Komponen produksi jagung manis yang

diamati meliputi bobot jagung dengan klobot

(g), bobot jagung tanpa klobot (g), bobot

brangkasan basah (g), dan bobot brangkasan

kering (g). Pergeseran dan perubahan jenis

gulma akibat perlakuan diamati berdasarkan

analisis vegetasi yang dilakukan di setiap

petak percobaan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Hasil analisis tanah yang dilakukan di

Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan

Sumberdaya Lahan menunjukkan bahwa kondisi

awal tanah penelitian mengandung pH (4.8),

C-organik (1.6%), N-Total (0.14%), P2O5

Bray (62.40 ppm), dan K2O (94.53 ppm).

Menurut Alloway (1995) hasil analisis tanah

awal pada penelitian ini menunjukkan tanah

bersifat masam serta kandungan P2O5 yang

sangat tinggi yaitu 62.40 ppm, namun

kandungan C-organik, N-Total, dan K termasuk

Page 4: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.

4 Fariidah Silmi dan M.A. Chozin

rendah. Hal ini menunjukkan bahwa tanah

masih membutuhkan lebih banyak bahan

organik.

Pertumbuhan biomulsa A. pintoi me-

ngalami kendala pada awal fase pertumbuhan

seperti kekeringan akibat kekurangan air.

Cuaca panas membuat stek batang A. pintoi

mudah kering dan layu sehingga menghambat

pertumbuhan akar dan tunas. Penanaman

biomulsa C. pubescens dan C. mucunoides

tidak mengalami kendala yang berarti saat

awal penanaman. Pertumbuhan yang cepat

pada kedua biomulsa ini membuat tanaman

cepat merambat dan menutupi permukaan

tanah.

Setelah penanaman jagung manis,

pertumbuhan C. pubescens dan C. mucunoides

yang merambat mengganggu tanaman jagung

manis karena melilit batang jagung. Cara

mengendalikannya yaitu dengan memangkas

secara manual pada C. pubescens dan C.

mucunoides yang melilit batang jagung manis.

Kondisi seperti ini tidak dijumpai pada

biomulsa A. pintoi. Hal ini merupakan salah

satu keunggulan A. pintoi sebagai biomulsa

dibandingkan C. pubescens dan C. mucunoides.

Pertumbuhan gulma terjadi pada semua

petak perlakuan, termasuk pada perlakuan

MPHP. Pertumbuhan gulma pada perlakuan

MPHP terjadi di area lubang tanam. Secara

umum setelah perlakuan biomulsa, pertumbuhan

gulma lebih sedikit dibandingkan dengan

sebelum perlakuan. Pertumbuhan dan per-

kembangan tanaman jagung manis secara

umum lebih baik pada perlakuan MPHP

dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Serangan hama dan penyakit merupakan

salah satu faktor yang menghambat pada

penelitian ini. Hama yang menyerang per-

tanaman jagung manis pada penelitian ini

berupa belalang (Valanga sp.), ulat bulu

(Spodoptera sp.), semut tanah, dan penggerek

tongkol jagung (Helicoverpa armigera Hubner).

Penyakit yang teridentifikasi menyerang

tanaman jagung manis pada penelitian ini

adalah penyakit bulai (Downy mildews).

Intensitas serangan dari hama dan penyakit

relatif rendah, sehingga masih dapat di-

kendalikan. Pengendalian pada hama dilakukan

dengan menyemprotkan insektisida saat terjadi

serangan hama. Pengendalian pada penyakit

bulai dilakukan secara manual yaitu dengan

mencabut dan menjauhkannya dari lahan

pertanaman.

Pengaruh Perlakuan Biomulsa terhadap

Pergeseran Jenis Gulma

Hasil analisis vegetasi yang dilakukan

sebelum perlakuan dan setelah perlakuan

biomulsa (4 MST setelah tanam jagung manis)

disajikan pada Tabel 1. Data menunjukkan

bahwa sebelum perlakuan, teridentifikasi 9

jenis gulma golongan rumput dan 5 jenis gulma

golongan daun lebar, namun tidak ditemukan

gulma dari golongan teki. Berdasarkan nilai

jumlah dominasi (NJD), gulma golongan

rumput (80.53%) lebih dominan dibandingkan

dengan gulma golongan daun lebar (19.47%).

Pengamatan yang dilakukan saat tanaman

jagung manis berumur 4 MST menunjukkan

bahwa perlakuan biomulsa mempengaruhi

pergeseran jenis gulma.

Hasil pengamatan setelah perlakuan

menunjukkan adanya pergeseran jenis gulma

yang berbeda antar perlakuan. Perlakuan

biomulsa A. pintoi mempengaruhi pergeseran

jenis gulma golongan rumput dari 9 jenis

menjadi 6 jenis, begitu juga dengan gulma

golongan daun lebar mengalami pergeseran

jenis. Berdasarkan NJD, gulma golongan daun

lebar (53.22%) pada perlakuan biomulsa A.

pintoi lebih dominan dibandingkan gulma

golongan rumput (46.78%). Hal ini berbeda

dengan perlakuan biomulsa C. pubescens dan

C. mucunoides yang menghasilkan NJD gulma

golongan rumput (90.75%) dan (89.75%) lebih

dominan dibandingkan gulma golongan daun

lebar (9.25%) dan (10.25%). Data tersebut

menunjukkan bahwa ketiga jenis biomulsa (A.

pintoi, C. pubescens, dan C. mucunoides) kurang

efektif menekan gulma golongan rumput.

Meskipun demikian berdasarkan NJD, biomulsa

A. pintoi relatif lebih efektif menekan gulma

golongan rumput dibandingkan dengan C.

pubescens, dan C. mucunoides.

Perlakuan biomulsa juga mempengaruhi

munculnya jenis gulma baru, baik dari

golongan rumput maupun golongan daun

lebar. Terdapat jenis gulma baru yang muncul

pada perlakuan A. pintoi yaitu A. compresus,

C. dactylon, D. adcendens, dan I. cylindrica

untuk gulma golongan rumput, sedangkan

untuk jenis gulma golongan daun lebar

terdapat B. latifolia, M. pudica, dan M. nudiflora

(Tabel 1). Perlakuan vegetasi alami juga

menurunkan jumlah jenis gulma rumput dari 9

jenis menjadi 3 jenis, dan gulma golongan

daun lebar dari 5 jenis menjadi 4 jenis. Hasil

Page 5: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.

Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 5

NJD menunjukkan bahwa gulma golongan

daun lebar (52.23%) lebih dominan dibanding

dengan gulma golongan rumput (47.77%)

pada perlakuan vegetasi alami. Selain itu,

terdapat jenis gulma baru yang muncul pada

perlakuan vegetasi alami yaitu I. cylindrica

dan R. cochicinensis untuk gulma golongan

rumput serta B. laevis, C. pubescens, dan M.

pygra untuk gulma golongan daun lebar.

Beberapa penelitian melaporkan bahwa

penggunaan LCC kurang efektif untuk menekan

gulma golongan rumput (Baharuddin, 2010;

Febrianto, 2012; Kartikawati et al., 2011).

Penelitian Kartikawati et al. (2011) me-

nyebutkan bahwa C. dactilon dan I. cylindrica

dapat mendominasi pada pertumbuhan jagung

yang diberi perlakuan tanaman penutup tanah

Crotalaria juncea L. Hal ini karena gulma

golongan rumput tersebut tumbuh tegak ke

atas sehingga memperoleh faktor tumbuh yang

cukup dan dapat mengimbangi pertumbuhan

tanaman jagung dan tanaman penutup tanah C.

juncea L.

Tabel 1. Jenis gulma rumput yang tumbuh pada awal lahan percobaan sebelum olah tanah dan saat

tanaman jagung manis berumur 4 MST

No Jenis

4 MST Jagung manis

Awal B0 B1 B2 B3 B4 B5

Rumput (R)

1. Axonopus compresus - - - - v v -

2. Brachiaria distasia v v - - - - v

3. Cynodon dactylon - - - - v - -

4. Digitaria adcendens - - v v v - -

5. Digitaria ciliaris v - - v v - v

6. Digitaria nuda v - - - - - -

7. Digitaria sanguinalis v - - - - - -

8. Imperata cylindrica - v - - v - -

9. Ottochloa nodosa v - - - v v -

10. Panicum repens v - - - - - -

11. Paspalum comersonii v - - - - v -

12. Paspalum conjugatum v - - - - v -

13. Penisetum polystation v - - - - v -

14. Roetbolia cochicinensis - v - - - v v

Daun Lebar (DL)

1. Ageratum conyzoides - - - - - v -

2. Asystasia gangetica v - - - - - -

3. Asystasia intrusa v - - - - - -

4. Boreria alata v - v v - v -

5. Boreria laevis - v - - - - -

6. Boreria latifolia - - - v v - -

7. Calopogonium mucunoides v v - - v - -

8. Cleome rutidosperma v - - v v - v

9. Centrosema pubescens - v - - - - -

10. Mimosa pudica - - - - v - -

11. Mimosa pygra - v - - - - -

12. Murdania nudiflora - - - - v - -

13. Phylanthus urinaria - - v - - - -

Jumlah Jenis

(NJD%)

R 9

(80.53%)

3

(47.77%)

1

(48.73%)

2

(27.29%)

6

(46.78%)

6

(90.75%)

3

(89.75%)

DL 5

(19.47%)

4

(52.23%)

2

(51.27%)

3

(72.71%)

5

(53.22%)

2

(9.25%)

1

(10.25%)

Keterangan : B0= vegetasi alami, B1= kontrol, B2= MPHP, B3= A. pintoi, B4= C. pubescens, B5= C. Mucunoides

R= rumput-rumputan, DL= daun lebar, NJD= nilai jumlah dominasi.

Page 6: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.

6 Fariidah Silmi dan M.A. Chozin

Hasil lain yang menarik adalah hasil

pengamatan yang menunjukkan bahwa per-

lakuan biomulsa A. pintoi dapat menekan

secara efektif pertumbuhan gulma golongan

rumput R. cochicinensis, gulma penting yang

keberadaannya dapat mendominasi area per-

tanaman. Berdasarkan Tabel 1, gulma R.

cochicinensis dapat tumbuh pada perlakuan

biomulsa C. pubescens dan C. mucunoides, namun

tidak ditemukan pada perlakuan biomulsa A.

pintoi. Penelitian Febrianto (2012) menyebutkan

bahwa keberadaan gulma R. exaltata merupakan

salah satu gulma yang mendominasi saat lahan

belum dilakukan pengolahan. Saat awal

penanaman A. pintoi, gulma yang men-

dominasi dalam penelitiannya adalah jenis

daun lebar dan saat penutupan A. pintoi hampir 100% gulma yang mendominasi

adalah Axonopus compresus yang merupakan

gulma golongan rumput. Gulma R. exaltata

tidak teridentifikasi setelah aplikasi perlakuan

biomulsa A. pintoi.

Pengaruh Perlakuan Biomulsa terhadap

Pertumbuhan dan Produksi Jagung Manis

Hasil analisis ragam menunjukkan

perbedaan jenis mulsa berpengaruh nyata

terhadap semua peubah pengamatan kecuali

pada panjang tongkol dan lingkar tongkol

menunjukkan pengaruh tidak nyata (Tabel 2).

Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Jagung

Manis

Berdasarkan hasil pada Tabel 3, tinggi

tanaman pada perlakuan biomulsa A. pintoi (96.19 cm) lebih rendah dan berbeda nyata

dengan perlakuan MPHP (171.40 cm), tetapi

tidak berbeda nyata dengan perlakuan

biomulsa C. pubescens (85.75 cm) dan C.

mucunoides (96.52 cm) serta perlakuan

lainnya. Perlakuan biomulsa A. pintoi

memiliki kecenderungan meningkatkan tinggi

tanaman jagung manis dibandingkan

perlakuan biomulsa C. pubescens. Hasil

percobaan ini berbeda dengan percobaan

Subaedah et al. (2011) yang menyatakan

bahwa penanaman jagung dengan perlakuan

tanaman penutup tanah (TPT) C. pubescens menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi

dibandingkan perlakuan tanaman penutup

tanah (TPT) C. mucunoides. Hal ini terjadi

karena pertumbuhan biomulsa C. pubescens

pada percobaan ini lebih cepat bila

dibandingkan biomulsa C. mucunoides,

sehingga biomulsa C. pubescens melilit batang

jagung manis dan menghambat pertumbuhan.

Jumlah daun pada perlakuan biomulsa

A. pintoi (6.9) tidak berbeda nyata dengan

perlakuan biomulsa C. pubescens (6.2), C.

mucunoides (7.4) dan perlakuan vegetasi alami

(7.0). Perlakuan biomulsa A. pintoi meng-

hasilkan jumlah daun yang lebih sedikit (6.9)

serta berbeda nyata dengan perlakuan kontrol

(8.4) dan perlakuan MPHP (9.8). Jumlah daun

terbanyak diperoleh pada perlakuan MPHP

(Tabel 3). Perlakuan MPHP sebagai mulsa

menghasilkan kelembaban yang tepat,

sehingga mempengaruhi suhu tanah menjadi

rendah. Menurut Mc Williams et al. (1999)

suhu tanah yang rendah akan meningkatkan

jumlah daun pada jagung manis.

Tabel 2. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh

perlakuan perbedaan jenis mulsa

terhadap parameter pengamatan

Karakter F hitung KK (%)

Tinggi tanaman (cm) 25.16** 9.61

Jumlah daun (daun) 10.88** 8.91

Diameter batang (mm) 3.58* 19.31

Lingkar batang (cm) 11.49** 11.09

Muncul bunga (HST) 185.8** 1.16

Jumlah tongkol/tanaman

(tongkol) 37.73** 5.09

Panjang tongkol (cm) 5.34tn 11.12

Lingkar tongkol (cm) 2.57tn 12.37

Jumlah baris/tongkol

(baris) 5.90** 13.12

Bobot jagung dengan

klobot (g) 20.35** 30.22

Bobot jagung tanpa

klobot (g) 21.89** 25.05

Bobot brangkasan basah

(g) 17.51** 25.25

Bobot brangkasan kering

(g) 12** 31.62

Keterangan: ** berbeda nyata pada taraf 1 %, *berbeda

nyata pada taraf 5 %, tn tidak berbeda

nyata

Page 7: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.

Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 7

Tabel 3. Pengaruh perbedaan jenis biomulsa terhadap pertumbuhan vegetatif dan umur berbunga

jagung manis

Perlakuan Biomulsa

Tinggi

Tanaman

(cm) x

Jumlah

Daun

(helai) x

Diameter

batang

(mm) x

Lingkar

Batang

(cm) x

Umur Berbunga

(HST) x

Tanpa penyiangan

(Vegetasi alami) 102.54bc 6.9c 9.29abc 4.07bc 59c

Penyiangan manual

(Kontrol) 116.33b 8.4b 11.04ab 4.56b 60c

MPHP 171.40a 9.8a 12.65a 6.41a 51d

A. pintoi 96.19bc 6.9c 8.72bc 4.27bc 64b

C. pubescens 85.75c 6.2c 6.64c 3.58c 66a

C. mucunoides 96.52bc 7.3bc 10.03abc 4.21bc 65ab

Keterangan: x Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf uji

5%. MPHP = mulsa plastik hitam perak

Rata-rata diameter batang yang di-

hasilkan pada perlakuan biomulsa A. pintoi

(8.72 mm) lebih rendah dan berbeda nyata

dengan perlakuan MPHP (12.65 mm), sedangkan

pada perlakuan biomulsa C. mucunoides

(10.03 mm) lebih rendah namun tidak berbeda

nyata dengan perlakuan MPHP. Begitu juga

pada peubah lingkar batang, perlakuan

biomulsa A. pintoi (4.27 cm) lebih rendah dan

berbeda nyata dengan perlakuan MPHP

(6.41cm), namun tidak berbeda nyata dengan

perlakuan lainnya.

Umur berbunga pada perlakuan A.

pintoi (64 HST) lebih cepat dan berbeda nyata

dengan perlakuan biomulsa C. pubescens (66

HST), namun lebih lambat dan berbeda nyata

dengan perlakuan MPHP (51 HST). Umur

berbunga pada perlakuan MPHP merupakan

umur yang paling cepat dibandingkan dengan

perlakuan lainnya (Tabel 2). Hal ini sejalan

dengan penelitian Subekti et al. (2010), yang

me-nyatakan bahwa fase tasseling biasa terjadi

saat umur tanaman jagung manis berkisar 45-

52 HST.

Komponen Hasil Produksi Jagung Manis

Komponen hasil produksi jagung manis

sangat dipengaruhi oleh fase pertumbuhan

(vegetatif). Pertumbuhan vegetatif yang baik

pada jagung manis mempengaruhi per-

tumbuhan generatif yang dihasilkan juga baik

(Marliah et al., 2010). Subekti et al. (2010)

dalam penelitiannya menambahkan bahwa

hasil dan bobot biomas jagung yang tinggi

akan diperoleh jika pertumbuhan tanaman

optimal. Rekapitulasi sidik ragam pada Tabel

1 menunjukkan penggunaan berbagi jenis

mulsa berpengaruh nyata terhadap komponen

jagung manis.

Berdasarkan Tabel 4, rata-rata jumlah

tongkol untuk setiap tanaman jagung manis

pada perlakuan biomulsa A. pintoi adalah satu

tongkol. Hal ini sama dan tidak berbeda nyata

dengan perlakuan lainnya, namun lebih rendah

dan berbeda nyata dengan perlakuan MPHP

(1.5 buah). Panjang tongkol pada perlakuan

biomulsa A. pintoi (13.40 cm) lebih rendah

namun tidak berbeda nyata dengan kontrol

(14.76 cm), sedangkan jika dibandingkan

dengan perlakuan MPHP (17.15 cm), panjang

tegak pada perlakuan biomulsa A. pintoi lebih

rendah dan berbeda nyata.

Peubah lingkar tongkol pada perlakuan

biomulsa A. pintoi tidak berbeda nyata dengan

perlakuan lainnya (Tabel 4), sedangkan

lingkar batang pada perlakuan biomulsa C.

pubescens (9.94 cm) dan C. mucunoides (9.95

cm) lebih rendah dan berbeda nyata dengan

perlakuan MPHP (12.98 cm). Berdasarkan

Tabel 4, rata-rata jumlah baris setiap tongkol

pada perlakuan A. pintoi (9.6 baris) lebih

sedikit dan berbeda nyata dengan kontrol (12.3

baris) dan perlakuan MPHP (13.5 baris),

namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan

lainnya.

Page 8: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.

8 Fariidah Silmi dan M.A. Chozin

Tabel 4. Pengaruh perlakuan biomulsa pada komponen hasil jagung manis

Perlakuan

Jumlah Tongkol/

Tanaman

(tongkol)x

Panjang

Tongkol

(cm) x

Lingkar

Tongkol (cm)

x

Jumlah Baris/ Tongkol

(baris)x

VegetasiAlami 1.0b 14.17bc 11.78ab 12.1ab

Kontrol 1.0b 14.76ab 12.44ab 12.3a

MPHP 1.5a 17.15a 12.98a 13.5a

A. pintoi 1.0b 13.40bc 10.73ab 9.6bc

C. pubescens 1.0b 12.09bc 9.94b 8.5c

C. mucunoides 1.0b 11.41c 9.95b 9.3c

Keterangan: x Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf uji 5%

Tabel 5. Pengaruh perlakuan biomulsa terhadap rata-rata hasil jagung manis

Perlakuan

Bobot Jagung

Berkelobot (g)

x

Bobot Jagung

Tanpa Klobot

(g)x

Brangkasan Basah

(per tanaman

contoh (g)x)

Brangkasan kering

(per tanaman contoh

(g)x)

Vegetasi Alami 90b 66bc 104c 21.84c

Kontrol 133b 96b 184b 59.39b

MPHP 338a 189a 350a 104.27a

A. pintoi 85b 54c 108bc 37.51bc

C. pubescens 67b 43c 107bc 33.91bc

C. mucunoides 69b 45c 109bc 30.59bc

Keterangan: x Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf uji 5%.

Peubah bobot jagung berkelobot pada

perlakuan biomulsa A. pintoi (85 g) lebih

rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan

MPHP (338 g), namun tidak berbeda nyata

dengan perlakuan lainnya (Tabel 5). Rata-rata

bobot jagung tanpa klobot setiap tanaman pada

perlakuan biomulsa A. pintoi (54 g) lebih

rendah dan berbeda nyata dengan kontrol (96

g) dan perlakuan MPHP (189 g).

Rata-rata bobot brangkasan basah dan

brangkasan kering jagung manis dapat dilihat

pada Tabel 5 Bobot brangkasan basah pada

perlakuan biomulsa A. pintoi (108 g) lebih

rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan

MPHP (350 g), namun tidak berbeda nyata

dengan perlakuan lainnya (Tabel 5). Begitu

juga bobot brangkasan kering, pada perlakuan

A. pintoi (37.51 g) lebih rendah dan berbeda

nyata dengan perlakuan MPHP (104.27 g).

Bobot brangkasan kering pada perlakuan

MPHP paling tinggi dan berbeda nyata dengan

perlakuan lainnya.

KESIMPULAN

Penggunaan biomulsa mempengaruhi

pergeseran jenis gulma. Biomulsa A. pintoi

lebih baik dalam menekan gulma golongan

rumput dibandingkan dengan C. pubescens

dan C. mucunoides. Pertumbuhan komponen

hasil dan hasil jagung manis tidak berbeda

nyata antara perlakuan biomulsa A. pintoi, C.

pubescens, dan C. mucunoides. Perlakuan

terbaik dalam mendukung komponen hasil dan

hasil ialah mulsa plastic hitam pekat.

DAFTAR PUSTAKA

Baharuddin, R. 2010. Penggunaan kacang hias

(Arachis pintoi) sebagai biomulsa pada

budidaya tomat (Lycopersicon esculentum

M.) skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Balittan. 2004. Kacang hias (Arachis pintoi) pada usaha tani lahan. http://balittanah.

litbang.deptan.go.id.html.[14 November

2012].

Page 9: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):1-9. April 2014.

Kajian Agronomi Pemanfaatan Biomulsa….. 9

Bilman, W.S. 2010. Analisis pertumbuhan

tanaman jagung manis (Zea mays

saccharata), pergeseran komposisi gulma

pada beberapa jarak tanam jagung dan

beberapa frekuensi pengolahan tanah. J.

Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. 3(1):

25-30.

Febrianto, Y. 2012. Pengaruh jarak tanam dan

jenis stek terhadap kecepatan penutupan

Arachis pintoi Krap. & Greg. sebagai

biomulsa pada pertanaman tomat

(Lycopersicon esculentum M.) skripsi.

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hamdani, J.S. 2008. Pengaruh jenis mulsa

terhadap pertumbuhan dan hasil tiga

kultivar kentang (Solanum tuberosum

L.) yang ditanam di dataran medium. J.

Agron. Indonesia. 37(1): 14-19.

Kartikawati, L.D., S. Titin, T.S. Husni. 2011.

Pengaruh aplikasi pupuk kandang dan

tanaman sela (Crotalaria juncea L) pada

gulma dan pertanaman jagung (Zea mays L) skripsi. Universitas Brawijaya.

Malang.

Marliah, A., Jumini, Jamilah. 2010. Pengaruh

jarak tanam antar barisan pada sistem

tumpangsari beberapa varietas jagung

manis dengan kacang merah terhadap

pertumbuhan dan hasil. Bul. Agrista.

14(1): 30-38.

Mayadewi, N.N.A. 2007. Pengaruh jenis

pupuk kandang dan jarak tanam

terhadap pertumbuhan gulma dan hasil

jagung manis. Bul. Agritrop. 26(4):

153-159.

Mc Williams, D.A., D.R. Benglund, G.J.

Endres. 1999. Corn growth and

management quick guide. www.ag.

ndsu.edu/pubs/plantsci/rowcrops/a1173/a

1173.pdf. [diunduh 23 November 2013].

Rahayu, S. 2011. Tanaman penutup tanah

[Internet]. Tersedia pada: http://www.

worldagroforestry.org/index.php?id=20

[12 Maret 2012].

Risza, R. 1995. Budidaya Kelapa Sawit. AAK.

Kanisisus. Yogyakarta.

Karyudi, Siagian N. 2006. Peluang dan

kendala dalam pengusahaan tanaman

penutup tanah di perkebunan karet. hlm

25-33. Prosiding Lokakarya Nasional

Tanaman Pakan Ternak. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

Sintia, M. 2011. Pengaruh beberapa dosis

kompos jerami padi dan pupuk nitrogen

terhadap pertumbuhan dan hasil jagung

manis (Zea mays saccharata Sturt.). J.

Tanaman Pangan. 1-7.

Subaedah, S., N.A. Jalal, Suriyanti, B.

Ibrahim. 2011. Perbaikan hasil tanaman

jagung di lahan kering dengan penge-

lolaan tanaman penutup tanah. J.

Agrivigor. 10(2): 122-129.

Subekti, N.A., Syarifuddin, R. Efendi, S.

Sunarti. 2007. Morfologi Tanaman dan

Fase Pertumbuhan Jagung [internet].

Tersedia pada: www.pustaka.litbang.

deptan.go.id/bbps/lengkab/bpp10232.pdf.

2007. [16 November 2013].

Page 10: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.

10 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi

Perubahan Warna Kulit Buah Tiga Varietas Jeruk Keprok

dengan Perlakuan Degreening dan Suhu Penyimpanan

Skin Color Changes on Three Varieties of Tangerines with Degreening and Storage Temperature

Treatments

Hanifah Muthmainnah1, Roedhy Poerwanto1* dan Darda Efendi1

Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014

ABSTRACT

Color is the main quality that determines the level of demand for citrus. Consumer prefers orange citrus, where as green citrus have high productivity in Indonesia. It causes local citrus can

not compete with imported citrus. One way that can make local citrus compete with import citrus is

by improving of colour quality through degreening. This research was conducted to study the effect of degreening and storage temperature on color changes of tangerine peel. Research was conducted

from June until July 2013 at the Laboratory of Center for Tropical Horticulture Studies, IPB. This research used a randomized complete factorial design group 2 factors with 3 replications. The first

factor is degreening temperature (18 0C and room temperature), second factor is storage

temperature (18 0C and room temperature). The results showed that interaction of degreening and storage temperature significantly affected skin coloration. Degreening treatment 18 0C and room

temperature storage on all three varieties of tangerines have the highest Citrus Colour Index (CCI)

value at 15 HSP. The higher value of Citrus Colour Index, the higher orange skin coloration produced.

Key words : degreening temperature, orange, storage temperature, value of Citrus Color Index.

ABSTRAK

Warna merupakan kualitas utama yang menentukan tingkat permintaan konsumen terhadap

buah jeruk. Konsumen lebih menyukai jeruk berwarna jingga, padahal di Indonesia jeruk yang tinggi

produktivitasnya adalah jeruk berwarna hijau. Hal ini menyebabkan jeruk lokal kalah bersaing

dengan jeruk impor. Salah satu cara supaya jeruk lokal dapat bersaing dengan jeruk impor adalah

dengan melakukan degreening. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari efek degreening dan

suhu penyimpanan terhadap perubahan warna kulit jeruk keprok. Penelitian dilaksanakan dari bulan

Juni hingga Juli 2013 di Laboratorium Pusat Kajian Hortikultura Tropika, IPB. Penelitian ini

menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) Faktorial dengan dua faktor dan tiga

ulangan. Faktor pertama adalah suhu degreening (18 0C dan suhu ruang), faktor kedua adalah suhu

simpan (18 0C dan suhu ruang). Hasil penelitian menunjukkan interaksi suhu degreening dan suhu

simpan nyata pada perubahan warna. Perlakuan degreening suhu 18 0C dan penyimpanan suhu ruang

pada ketiga varietas jeruk keprok memiliki nilai Citrus Colour Index (CCI) tertinggi dibandingkan

perlakuan lainnya pada 15 HSP. Semakin tinggi nilai CCI, maka warna kulit jeruk yang dihasilkan

semakin jingga.

Kata kunci: jingga, nilai Citrus Color Index, suhu degreening, suhu penyimpanan.

PENDAHULUAN

Jeruk mempunyai nilai ekonomi dan

mengandung gizi yang cukup tinggi. Jeruk

dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun

olahan. Permintaan konsumen terhadap buah

jeruk semakin meningkat disebabkan oleh

peningkatan jumlah penduduk, pendapatan

1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

(Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Telp. & Faks. 62-251-8629353 *e-mail untuk korespondensi: [email protected]

Page 11: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.

Perubahan Warna Kulit Buah….. 11

dan kesadaran masyarakat terhadap nilai gizi.

Data BPS (2012) produksi jeruk lokal mencapai

1 611 juta ton. Deptan (2013) pada bulan Juli

2013 volume impor jeruk mencapai 2 230 ton

sedangkan ekspor jeruk hanya 73 ton. Standar

konsumsi buah yang ditetapkan Food and Agriculture Organization (FAO) sebesar 65.75

kg per kapita per tahun, jika 10% dari jumlah

standar FAO tersebut adalah buah jeruk maka

dengan jumlah penduduk 237 juta jiwa (BPS,

2010) akan dibutuhkan 1 422 juta ton per

tahun (Balitjestro, 2010). Hal ini menunjukkan

seharusnya produksi jeruk nasional dapat

memenuhi kebutuhan konsumsi jeruk dalam

negeri. Di Indonesia jeruk yang tinggi produk-

tivitasnya ialah jeruk berwarna hijau. Warna

jeruk yang tetap hijau disebabkan kandungan

pigmen klorofil yang tinggi, dan perombakan

klorofil berjalan lambat. Warna hijau pada

jeruk merupakan hal yang tidak dikehendaki

konsumen karena mengurangi daya tarik

konsumen. Hal ini disebabkan oleh anggapan

masyarakat bahwa jeruk berwarna hijau mem-

punyai citarasa yang kurang baik dan memberi

kesan bahwa jeruk belum matang.

Warna jeruk merupakan salah satu

kualitas utama yang terdiri atas akumulasi

karotenoid dan derivatif C30 apocarotenoids.

Pembentukan warna jingga pada kulit jeruk

disebabkan oleh dua zat warna, yaitu β-citraurin

dan criptoxanthin. β-citraurin membuat warna

kulit jeruk menjadi kemerahan, sedangkan

criptoxanthin membuat warna kulit jeruk

menjadi kuning. Degreening pada suhu ruang

28-29 0C zat warna yang terbentuk hanya

criptoxanthin sehingga seringkali jeruk yang

dihasilkan berwarna kuning. Degreening pada

suhu rendah 18-20 0C menyebabkan β-citraurin dan criptoxanthin terbentuk secara bersamaan

sehingga warna jingga kemerahan dapat di-

hasilkan (Stewart and Wheaton, 1971).

Riyanti (2005) menyatakan bahwa semakin

kuning atau jingga warna kulit jeruk, maka

permintaan semakin meningkat. Hal ini di-

buktikan oleh banyaknya konsumen yang lebih

memilih mengkonsumsi jeruk impor karena

memiliki penampilan yang lebih menarik yakni

berkulit jingga. Para produsen atau distributor

jeruk perlu mengubah warna jeruk yang akan

dipasarkan menjadi jingga untuk memenuhi

permintaan konsumen, salah satu caranya

dengan melakukan degreening pada jeruk

dengan menggunakan etilen/ethepon, sehingga

warna hijau berubah menjadi jingga.

Penyimpanan suhu rendah dapat meng-

hambat kerusakan fisiologis, memperlambat

transpirasi dan respirasi, mengurangi kehilangan

air, serta menghambat aktivitas mikroorganisme

pengganggu sehingga mutu buah sampai ke

tangan konsumen masih tetap terjaga dengan

baik (Safaryani et al., 2007). Penyimpanan suhu

rendah juga dapat memperpanjang mutu fisik

(warna dan penampilan/kesegaran, tekstur dan

citarasa) dan nilai gizi. Penelitian ini bertujuan

untuk membuktikan pengaruh suhu degreening

dan suhu penyimpanan terhadap perubahan

warna kulit tiga varietas jeruk keprok.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Labora-

torium Pusat Kajian Hortikultura IPB.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni

sampai dengan bulan Juli 2013. Bahan yang

digunakan pada penelitian ini adalah tiga

varietas jeruk keprok (Chokun, Fremont, Batu

55), larutan etephon konsentrasi 120 ppm,

indikator pp, larutan NaOH 0.1N, dan aquades.

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah

lemari pendingin, colour reader, pH meter,

hand refractometer, hand penetrometer,

timbangan analitik, buret, erlenmeyer, labu

takar, gelas ukur, pipet volume, pipet tetes,

orange juicer, dan pisau.

Penelitian ini mengunakan Rancangan

Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) Faktorial 2

faktor, yaitu: suhu degreening (suhu 18 0C dan

suhu ruang) dan suhu simpan (suhu 18 0C dan

suhu ruang). Terdapat 12 perlakuan yang

diamati, setiap perlakuan diulang sebanyak 3

kali, sehingga terdapat 36 satuan percobaan.

Setiap perlakuan diamati 35-40 jeruk dengan 3

jeruk sampel pengamatan warna. Data yang

diperoleh diuji menggunakan uji F (ANOVA)

taraf 5% dan data skoring warna diuji meng-

gunakan uji Friedman kemudian dilanjutkan

dengan uji lanjut Duncan Multiple Range Test

(DMRT) pada taraf 5%.

Ketiga varietas jeruk yang digunakan

dalam penelitian ini dipanen dari perkebunan

jeruk di daerah Tapos, Ciawi, Bogor. Grading

dilakukan setelah panen, buah jeruk dipilih

yang memiliki ukuran sama dan warna seragam.

Jeruk yang terpilih kemudian dicuci, setelah

itu dikeringkan dengan tissue. Jeruk yang telah

dicuci kemudian dimasukkan ke dalam

keranjang, setelah itu dilakukan proses

Page 12: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.

12 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi

degreening. Degreening dilakukan pada suhu

ruang dengan konsentrasi 120 ppm. Jeruk

disemprot satu per satu dengan larutan etephon

secara merata, didiamkan beberapa menit.

Jeruk yang telah disemprot larutan ethephon

kemudian disimpan sebagian pada suhu 18 0C

± 1 0C dan sebagian pada suhu ruang 28 0C ± 1 0C selama 15 jam. Jeruk perlakuan degreening

suhu 18 0C sebagian disimpan pada suhu 18 0C

dan sebagian disimpan pada suhu ruang, jeruk

perlakuan degreening suhu ruang sebagian

disimpan pada suhu 18 0C dan sebagian disimpan

pada suhu ruang. Penyimpanan dilakukan

selama 30 hari. Pengamatan selama penyimpanan

dilakukan setiap hari dan seminggu sekali.

Pengamatan setiap hari, meliputi: nilai Citrus

Color Index (CCI), skoring warna, susut bobot

dan masa simpan. Pengamatan seminggu sekali,

meliputi: kekerasan buah, Padatan Terlarut

Total (PTT), Asam Tertitrasi Total (ATT),

rasio PTT/ATT (Brix: Acid Ratio) dan pH.

Perubahan warna kulit jeruk diamati

setiap hari menggunakan Color Reader selama

30 HSP (Hari Setelah Perlakuan). Menurut

Cuesta et al. (1981), warna kulit jeruk atau

Citrus Color Index (CCI) didapatkan dengan

rumus =1000.a

L.b, dengan L (Luminosity) =

kecerahan, a = perubahan warna hijau ke

merah, b = perubahan warna biru ke kuning.

Nilai CCI<=-5 (hijau gelap), -5<CCI<=0

(hijau), 0<CCI<=3 (hijau kekuningan), 3<

CCI<=5 (kuning kehijauan), 5<CCI<=7 (jingga

kekuningan), 7<CCI<=10 (jingga), CCI>10

(jingga gelap). Perubahan warna kulit pada

ketiga varietas jeruk keprok diamati pada tiga

titik yang mulai beubah warna, yaitu: ujung

buah, ekuator, dan pangkal buah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam

seluruh peubah pada Chokun disajikan pada

Tabel 1. Suhu degreening berpengaruh nyata

hanya pada susut bobot dan pH. Suhu simpan

tidak berpengaruh nyata pada semua peubah.

Interaksi antara suhu degreening dan suhu

simpan nyata hanya pada PTT.

Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam

seluruh peubah pada Fremont disajikan pada

Tabel 2. Suhu degreening berpengaruh nyata

pada warna ekuator, warna pangkal buah, dan

susut bobot. Suhu simpan berpengaruh nyata

pada warna ekuator, warna pangkal buah,

susut bobot, PTT dan pH. Interaksi antara

suhu degreening dan suhu simpan nyata pada

semua peubah yang diamati kecuali warna

ujung buah, kekerasan buah, dan ATT.

Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam

seluruh peubah pada Batu 55 disajikan pada

Tabel 3. Suhu degreening berpengaruh nyata

hanya pada warna ujung buah dan pH. Suhu

simpan berpengaruh nyata pada warna ekuator,

susut bobot, dan pH. Interaksi antara suhu

degreening dan suhu simpan nyata hanya pada

warna ujung buah dan susut bobot.

Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam

semua peubah pada Chokun

Peubah D S D X S KK (%)

Warna Ujung

Buah tn tn tn 5.46

Warna Ekuator tn tn tn 10.11

Warna Pangkal

Buah tn tn tn 10.11

Susut Bobot (%) * tn tn 5.61

Kekerasan Buah

(kg detik-1) tn tn tn 39.30

PTT (oBrix) tn tn ** 5.75

ATT (%) tn tn tn 31.66

pH ** tn tn 3.18

Keterangan: tn= tidak berbeda nyata, *= berbeda nyata

pada taraf 5%, **= berbeda nyata pada taraf

1%, D= Suhu degreening, S= Suhu simpan,

PTT= Padatan terlarut total, ATT= Asam

tertitrasi total

Tabel 2. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam

semua peubah pada Fremont

Peubah D S D X S KK (%)

Warna Ujung

Buah tn tn tn 19.88

Warna Ekuator ** ** ** 7.79

Warna Pangkal

Buah ** ** ** 10.49

Susut Bobot (%) * ** ** 3.24

Kekerasan Buah

(kg detik-1) tn tn tn 25.32

PTT (oBrix) tn ** ** 4.54

ATT (%) tn tn tn 7.58

pH tn ** * 7.74

Keterangan: tn= tidak berbeda nyata, *= berbeda nyata

pada taraf 5%, **= berbeda nyata pada

taraf 1%, D= Suhu degreening, S= Suhu

simpan, PTT= Padatan terlarut total, ATT=

Asam tertitrasi total

Page 13: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.

Perubahan Warna Kulit Buah….. 13

Tabel 3. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam

semua peubah pada Batu 55

Peubah D S D X S KK

(%)

Warna Ujung

Buah * tn ** 6.51

Warna Ekuator tn * tn 7.48

Warna Pangkal

Buah tn tn tn 6.87

Susut Bobot (%) tn ** * 10.29

Kekerasan Buah

(kg detik-1) tn tn tn 50.97

PTT (oBrix) tn tn tn 9.25

ATT (%) tn tn tn 9.59

pH * ** tn 1.89

Keterangan: tn= tidak berbeda nyata, *= berbeda nyata

pada taraf 5%, **= berbeda nyata pada taraf

1%, D= Suhu Degreening, S= Suhu

simpan, PTT= Padatan terlarut total, ATT=

Asam tertitrasi total

Perubahan Warna Kulit

Warna Ujung Buah

Gambar 1 menunjukkan nilai CCI pada

ujung buah. Perlakuan degreening suhu 18 0C

dan penyimpanan suhu ruang pada ketiga

varietas jeruk keprok memiliki nilai CCI yang

paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan

lainnya pada 15 HSP. Pada Chokun semua

perlakuan berubah menjadi warna jingga pada

20 HSP. Pada Chokun perlakuan penyimpanan

suhu ruang menunjukkan perubahan warna

menjadi jingga lebih cepat dibandingkan

dengan penyimpanan suhu 18 0C. Pada Fremont

perlakuan degreening dan penyimpanan suhu

18 0C berubah warna menjadi jingga pada 25

HSP.

Pada Fremont perlakuan degreening suhu

18 0C dan penyimpanan suhu ruang berubah

warna menjadi jingga pada 15 HSP. Pada

Fremont perlakuan degreening dan penyimpanan

suhu ruang berubah warna menjadi jingga pada

20 HSP. Pada Fremont perlakuan degreening suhu

ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah

warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada

Fremont perlakuan penyimpanan suhu ruang

menunjukkan perubahan warna menjadi jingga

lebih cepat dibandingkan dengan penyimpanan

suhu 18 0C.

Pada Batu 55 perlakuan degreening dan

penyimpanan suhu 18 0C berubah warna

menjadi jingga pada 10 HSP. Pada Batu 55

perlakuan degreening suhu 18 0C dan pe-

nyimpanan suhu ruang berubah warna menjadi

jingga pada 5 HSP. Pada Batu 55 perlakuan

degreening dan penyimpanan suhu ruang

berubah warna menjadi jingga pada 15 HSP.

Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu ruang

dan penyimpanan suhu 18 0C berubah warna

menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Batu 55

perlakuan penyimpanan suhu ruang menunjukkan

perubahan warna menjadi jingga lebih cepat

dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.

Gambar 1. Nilai CCI pada ujung buah. A)

Chokun, B) Fremont, C) Batu 55

perlakuan [degreening dan penyim-

panan suhu 18 0C ( ), degreening suhu 18 0C dan penyimpanan

suhu ruang ( ), degreening dan

penyim-panan suhu ruang ( ),

degreening suhu ruang dan

penyimpanan suhu 18 0C ( X ), dan

( ) standar jingga.

Page 14: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.

14 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi

Warna Ekuator

Gambar 2 menunjukkan nilai CCI pada

ekuator. Perlakuan degreening suhu 18 0C dan

penyimpanan suhu ruang pada ketiga varietas

jeruk keprok memiliki nilai CCI yang paling

tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya

pada 15 HSP. Pada Chokun semua perlakuan

berubah warna menjadi jingga pada 20 HSP.

Pada Chokun penyimpanan suhu ruang

menunjukkan perubahan warna menjadi jingga

lebih cepat dibandingkan dengan penyimpanan

suhu 18 0C. Pada Fremont perlakuan degreening

dan penyimpanan suhu 18 0C berubah warna

menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Fremont

penyimpanan suhu ruang berubah warna

menjadi jingga pada 15 HSP. Pada Fremont

perlakuan degreening suhu ruang dan

penyimpanan suhu 18 0C berubah warna

menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Fremont

penyimpanan suhu ruang menunjukkan

perubahan warna menjadi jingga lebih cepat

dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C. Pada Batu 55 penyimpanan suhu 18 0C

berubah warna menjadi jingga pada 10 HSP.

Pada Batu 55 penyimpanan suhu ruang berubah

warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Batu

55 penyimpanan suhu ruang menunjukkan

perubahan warna menjadi jingga lebih cepat

dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.

Gambar 2. Nilai CCI pada ujung buah. A)

Chokun, B) Fremont, C) Batu 55

perlakuan [degreening dan penyim-

panan suhu 18 0C ( ), degreening

suhu 18 0C dan penyimpanan suhu

ruang ( ), degreening dan penyim-

panan suhu ruang ( ), degreening

suhu ruang dan penyimpanan suhu

18 0C ( X ), dan ( ) standar jingga.

Warna Pangkal Buah

Gambar 3 menunjukkan nilai CCI pada

ujung tangkai. Perlakuan degreening suhu 18 0C dan penyimpanan suhu ruang pada ketiga

varietas memiliki nilai CCI yang lebih tinggi

dibandingkan dengan perlakuan lainnya pada

10 HSP. Pada Chokun semua perlakuan berubah

warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada

Chokun perlakuan penyimpanan suhu ruang

lebih cepat perubahan warnanya menjadi jingga

dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.

Pada Fremont perlakuan degreening dan

penyimpanan suhu 18 0C berubah warna

menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Fremont

perlakuan degreening suhu 18 0C dan pe-

nyimpanan suhu ruang berubah warna menjadi

jingga pada 10 HSP. Pada Fremont perlakuan

degreening dan penyimpanan suhu ruang

berubah warna menjadi jingga pada 15 HSP.

Pada Fremont perlakuan degreening suhu

ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah

warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada

Fremont perlakuan penyimpanan suhu ruang

lebih cepat perubahan warnanya menjadi jingga

dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.

Pada Batu 55 perlakuan degreening dan

penyimpanan suhu 18 0C berubah warna

menjadi jingga pada 15 HSP. Pada Batu 55

perlakuan degreening suhu 18 0C dan pe-

nyimpanan suhu ruang berubah warna menjadi

jingga pada 10 HSP. Pada Batu 55 perlakuan

degreening dan penyimpanan suhu ruang

berubah warna menjadi jingga pada 10 HSP.

Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu

Page 15: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.

Perubahan Warna Kulit Buah….. 15

ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah

warna menjadi jingga pada 15 HSP. Pada Batu

55 perlakuan penyimpanan suhu ruang lebih

cepat perubahan warnanya menjadi jingga

dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.

Gambar 3. Nilai CCI pada ujung buah. A)

Chokun, B) Fremont, C) Batu 55

perlakuan [degreening dan penyim-

panan suhu 18 0C ( ), degreening

suhu 18 0C dan penyimpanan suhu

ruang ( ), degreening dan penyim-

panan suhu ruang ( ), degreening

suhu ruang dan penyimpanan suhu

18 0C ( X ), dan ( ) standar jingga.

Warna Rataan Ujung, Ekuator dan Pangkal

Buah Jeruk

Gambar 4 menunjukkan nilai CCI dari

rataan ujung, ekuator dan pangkal buah jeruk.

Pada Chokun semua perlakuan berubah warna

menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Chokun

perlakuan penyimpanan suhu ruang lebih

cepat perubahan warnanya menjadi jingga

dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C. Pada Fremont perlakuan degreening dan

penyimpanan suhu 18 0C berubah warna

menjadi jingga pada 20 HSP. Pada Fremont

perlakuan degreening suhu 18 0C dan pe-

nyimpanan suhu ruang berubah warna menjadi

jingga pada 15 HSP. Pada Fremont perlakuan

degreening dan penyimpanan suhu ruang

berubah warna menjadi jingga pada 15 HSP.

Gambar 4. Nilai CCI pada ujung buah. A)

Chokun, B) Fremont, C) Batu 55

perlakuan [degreening dan penyim-

panan suhu 18 0C ( ), degreening

suhu 18 0C dan penyimpanan suhu

ruang ( ), degreening dan penyim-

panan suhu ruang ( ), degreening

suhu ruang dan penyimpanan suhu

18 0C ( X ), dan ( ) standar jingga.

Page 16: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.

16 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi

Pada Fremont perlakuan degreening suhu

ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah

warna menjadi jingga pada 20 HSP. Pada

Fremont perlakuan penyimpanan suhu ruang

lebih cepat perubahan warnanya menjadi

jingga dibandingkan dengan penyimpanan

suhu 18 0C. Pada Batu 55 perlakuan

degreening dan penyimpanan suhu 18 0C

berubah warna menjadi jingga pada 15 HSP.

Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu 18 0C dan penyimpanan suhu ruang berubah warna

menjadi jingga pada 10 HSP. Pada Batu 55

perlakuan degreening dan penyimpanan suhu

ruang berubah menjadi jingga pada 10 HSP.

Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu

ruang dan penyimpanan suhu 18 0C berubah

warna menjadi jingga pada 15 HSP. Pada Batu

55 perlakuan penyimpanan suhu ruang lebih

cepat perubahan warnanya menjadi jingga

dibandingkan dengan penyimpanan suhu 18 0C.

Skor Warna Kulit Ketiga Varietas Jeruk

Keprok

Perubahan warna kulit dilihat dari

pengamatan skor warna kulit, semakin jingga

warna kulit semakin tinggi skornya (Tabel 4).

Pengamatan warna CCI menggunakan color

reader pada ketiga titik yang diamati memiliki

nilai yang berbeda dengan pengamatan warna

menggunakan skoring. Hal ini disebabkan

pada pengamatan warna CCI menggunakan

color reader warna yang diamati adalah warna

yang telah berubah menjadi jingga, sedangkan

pengamatan warna menggunakan skoring warna

diamati secara keseluruhan.

Pada Chokun perlakuan penyimpanan

suhu 18 0C masing-masing menunjukkan skor

4 (30 HSP), berwarna jingga kekuningan. Pada

Chokun perlakuan degreening suhu 18 0C dan

penyimpanan suhu ruang menunjukkan skor 3

(30 HSP), berwarna kuning kehijauan. Pada

Chokun perlakuan degreening suhu ruang dan

penyimpanan suhu ruang menunjukkan skor

0.0 (30 HSP), hal ini disebabkan pada

perlakuan ini hanya memiliki satu sampel

berwarna kuning (30 HSP), hal ini disebabkan

pada perlakuan ini hanya memiliki satu sampel

berwarna kuning kehijauan, sedangkan kedua

sampel lainnya telah membusuk.

Pada Fremont perlakuan penyimpanan

suhu ruang masing-masing menunjukkan skor

6.0 (30 HSP), berwarna jingga. Pada Fremon

perlakuan degreening suhu ruang dan pe-

nyimpanan suhu 18 0C menunjukkan skor 6.0

(30 HSP), berwarna jingga. Pada Fremont

perlakuan degreening suhu 18 0C dan

penyimpanan suhu 18 0C pada 30 HSP ketiga

sampelnya membusuk, pada 25 HSP menunjukkan

skor 0.8 karena hanya memiliki satu sampel

yang berwarna kuning kehijauan. Pada Batu

55 perlakuan degreening suhu ruang masing-

masing menunjukkan skor 5 (30 HSP),

berwarna jingga.

Pada Batu 55 perlakuan degreening

suhu 18 0C dan penyimpanan suhu 18 0C

menunjukkan skor 3.0 (30 HSP), hal ini di-

sebabkan pada perlakuan ini hanya memiliki dua

sampel berwarna jingga, sedangkan satu sampel

lainnya telah membusuk. Pada Batu 55 per-

lakuan degreening suhu 18 0C dan penyimpanan

suhu ruang pada 30 HSP ketiga sampelnya

telah membusuk, pada 25 HSP kedua sampel

menunjukkan skor 5, berwarna jingga.

Persentase Susut Bobot selama Masa

Penyimpanan 25 HSP

Pengaruh suhu degreening dan suhu

simpan terhadap persentase susut bobot buah

jeruk disajikan pada Tabel 5. Jeruk yang

penyimpanan suhu 18 0C menunjukkan

persentase susut bobot yang lebih rendah

dibandingkan dengan jeruk penyimpanan pada

suhu ruang. Hal ini disebabkan jeruk pe-

nyimpanan suhu 18 0C lebih dapat memper-

tahankan bobot buah serta mengalami transpirasi

dan respirasi yang dibandingkan dengan pe-

nyimpanan suhu ruang. Pada Chokun persen-

tase susut bobot tertinggi terdapat pada perlakuan

degreening suhu 18 0C dan penyimpanan suhu

ruang, sedangkan persentase susut bobot terendah

terdapat pada perlakuan degreening suhu ruang

dan penyimpanan suhu 18 0C. Pada Fremont

persentase susut bobot tertinggi terdapat pada

perlakuan degreening dan penyimpanan suhu

ruang, sedangkan persentase susut bobot

terendah terdapat pada perlakuan degreening suhu ruang dan penyimpanan suhu 18 0C. Pada

Batu 55 persentase susut bobot tertinggi

terdapat pada pada perlakuan degreening dan

penyimpanan suhu ruang, sedangkan persentase

susut bobot terendah terdapat pada perlakuan

degreening suhu ruang dan penyimpanan suhu

18 0C.

Page 17: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.

Perubahan Warna Kulit Buah….. 17

Tabel 4. Skor warna kulit buah jeruk dari semua kombinasi perlakuan

Perlakuan 5 HSP 15 HSP 25 HSP 30 HSP

Skor Pt Skor Pt Skor Pt Skor Pt

Chokun

18 0C, 18 0C 2.0 5.0b 3.0 7.5 3.0 8.5a 4.0 9.5

18 0C, ruang 3.0 11.0a 3.0 7.5 3.0 8.5a 3.0 5.0

ruang, ruang 3.0 9.0ab 3.3 7.5 0.0 4.5b 0.0 6.0

ruang, 18 0C 2.0 5.0b 3.0 7.5 3.0 8.5a 4.0 9.5

Fremont

18 0C, 18 0C 1.3 5.0b 2.6 4.0b 0.8 4.0b - -

18 0C, ruang 3.0 11.5a 5.9 11.0a 6.0 10.0a 6.0 8.5

ruang, ruang 2.0 7.0ab 4.9 9.0ab 5.3 8.0ab 6.0 8.5

ruang, 18 0C 1.8 6.5ab 3.1 9.0b 6.0 8.0ab 6.0 8.5

Batu 55

18 0C, 18 0C 2.3 6.5ab 4.4 10.0 3.0 5.0 3.0 6.5

18 0C, ruang 3.0 10.5a 3.1 6.0 5.0 9.5 - -

ruang, ruang 2.8 8.5ab 3.9 8.0 5.0 9.5 5.0 10.0

ruang, 18 0C 2.0 4.5b 3.1 6.0 3.0 6.0 5.0 10.0

Keterangan: aAngka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak berbeda pada taraf uji 5% (uji selang

berganda Duncan). -adalah buah yang telah membusuk. Skor 1: hijau, 2: hijau kekuningan, 3: kuning

kehijauan, 4: kuning, 5: jingga, skor 6: jingga gelap, Pt: peringkat

Tabel 5. Persentase susut bobot selama penyimpanan 25 HSP

Kombinasi Susut Bobot (%)

5 HSP 10 HSP 15 HSP 20 HSP 25 HSP

Chokun

18 0C, 18 0C 6.5 12.6a 18.6ab 24.5ab 30.6

18 0C, ruang 6.9 12.7a 19.4a 25.5a 32.4

ruang, ruang 7.3 12.7a 18.7ab 24.1ab 29.2

ruang, 18 0C 5.1 8.9b 14.9b 21.3b 27.9

Fremont

18 0C, 18 0C 6.5b 12.7ab 20.0ab 26.9a 33.6ab

18 0C, ruang 7.4ab 13.2ab 19.6ab 25.3ab 31.5b

ruang, ruang 10.3a 16.6a 22.7a 29.1a 36.9a

ruang, 18 0C 4.6b 9.1b 13.4b 18.5b 23.6c

Batu 55

18 0C, 18 0C 4.4c 8.4c 13.4bc 20.3bc 26.3bc

18 0C, ruang 6.7b 12.1b 17.6b 23.1ab 29.2ab

ruang, ruang 8.6a 16.2a 22.5a 28.1a 34.2a

ruang, 18 0C 3.6c 8.5c 12.6c 17.3c 22.3c

Keterangan: aAngka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak berbeda pada taraf uji DMRT 5%

A

Page 18: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.

18 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi

Kekerasan Buah dan Analisis Kimiawi

Kekerasan buah dan analisis kimiawi

diamati selama seminggu sekali. Tabel 6

menunjukkan kekerasan buah dan analisis

kimiawi pada penyimpanan 2 MSP (Minggu

Setelah Perlakuan).

Tabel 6. Kekerasan Buah dan Analisis Kimiawi

Perlakuan Kekerasan Buah (kg

detik-1) ATT (%) PTT (°Brix)

Rasio

PTT/ATT pH

Chokun

18 0C, 18 0C 0.91a 0.47 11.77 25.11 4.07b

18 0C, ruang 0.56b 0.46 11.83 25.65 5.07a

ruang, ruang 0.76ab 0.53 12.27 23.21 4.99a

ruang, 18 0C 0.87ab 0.47 11.97 25.32 4.87a

Fremont

18 0C, 18 0C 1.41a 0.50 10.37 20.80 4.48

18 0C, ruang 0.87b 0.70 11.40 16.29 5.01

ruang, ruang 0.85b 0.70 10.13 14.43 4.99

ruang, 18 0C 1.06b 0.69 10.27 14.93 4.98

Batu 55

18 0C, 18 0C 0.89 0.47 9.33 19.79 4.68b

18 0C, ruang 0.69 0.41 9.97 24.15 5.13a

ruang,ruang 0.79 0.49 10.17 20.82 5.21a

ruang, 18 0C 0.74 0.40 9.27 23.25 4.62b

Keterangan: aAngka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom sama tidak berbeda pada taraf uji 5% (uji selang

berganda Duncan), PTT= Padatan terlarut total, ATT= Asam tertitrasi total.

Masa Simpan Buah

Mutu jeruk mengalami kemunduran

selama penyimpanan 30 HSP. Mutu simpan

buah sangat erat kaitannya dengan proses

respirasi dan transpirasi. Hal ini disebabkan

susut pascapanen, seperti susut fisik yang

diukur dengan bobot, susut kualitas karena

perubahan wujud (penampilan), cita rasa, warna

atau tekstur yang menyebabkan bahan pangan

kurang disukai konsumen, dan susut nilai gizi

yang berpengaruh terhadap kualitas buah.

Penyimpanan suhu rendah dapat memper-

tahankan kualitas buah, karena mutu simpan

buah akan bertahan lama jika laju respirasi

rendah dan transpirasi dapat dicegah dengan

cara meningkatkan kelembaban relatif dan

menurunkan suhu udara. Utama et al. (2011)

melaporkan penggunaan suhu dingin (12±1.5 0C) mampu mengendalikan laju metabolisme

dan memperpanjang masa simpan buah

manga arumanis. Hal serupa disampaikan

Julianti et al. (2013) komposisi perpaduan gas

yang terbaik untuk mempertahankan mutu

rambutan binjai adalah 4-6% O2, 2-4% CO2

pada suhu 10 0C. Penyimpanan suhu ruang

menunjukkan adanya penurunan kualitas pada

buah jeruk hal ini disebabkan oleh transpirasi

yang berlebihan karena adanya perbedaan

kadar air antara bahan dengan lingkungan

tempat penyimpanan. Transpirasi menyebabkan

penampilan buah menjadi kurang menarik,

susut bobot, keriput, dan kehilangan kesegaran

yang akan mengakibatkan penurunan mutu

komoditi tersebut (Pantastico, 1973). Penyim-

panan suhu ruang juga terdapat cendawan

yang menyerang buah jeruk. Golan (2001)

menyatakan bahwa keunggulan suhu rendah

adalah menurunkan aktivitas enzim-enzim

respirasi dengan enzim lain pada jaringan

tumbuhan tingkat tinggi, bakteri, dan

cendawan. Cendawan yang terdapat pada

penelitian ini adalah antraknosa (Colleto-

trichum gloeosporioides), busuk alternaria

(Alternaria citri) dan Phytophthora brown rot

(Phytophthora sp.).

Buah jeruk yang digunakan untuk

sampel pengamatan warna beberapa diantaranya

membusuk. Jumlah buah busuk selama pe-

nyimpanan 18 HSP sampai 30 HSP sebanyak

12 buah. Pada Chokun perlakuan degreening

dan penyimpanan suhu ruang sebanyak 2

buah sampel membusuk masing-masing pada

18 HSP dan 23 HSP. Pada Fremont perlakuan

Page 19: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.

Perubahan Warna Kulit Buah….. 19

degreening dan penyimpanan suhu 18 0C

sebanyak 3 buah sampel membusuk pada 23

HSP. Pada Fremont perlakuan degreening

suhu 18 0C dan penyimpanan suhu ruang

sebanyak 1 buah sampel membusuk pada 28

HSP. Pada Fremont perlakuan degreening dan

penyimpanan suhu ruang sebanyak 1 sampel

membusuk 23 HSP. Pada Fremont perlakuan

degreening suhu ruang dan penyimpanan

suhu 18 0C sebanyak 1 sampel membusuk

pada 29 HSP. Pada Batu 55 perlakuan

degreening dan penyimpanan suhu 18 0C

sebanyak 1 buah sampel membusuk pada 28

HSP. Pada Batu 55 perlakuan degreening suhu

18 0C dan penyimpanan suhu ruang sebanyak

3 buah sampel yang membusuk dengan 1

sampel membusuk pada 26 HSP dan 2 sampel

membusuk pada 30 HSP. Masa simpan terlama

dimiliki oleh varietas Chokun, semakin banyak

buah yang busuk maka semakin rendah masa

simpannya dan sebaliknya.

KESIMPULAN

Perlakuan degreening suhu 18 0C dan

penyimpanan suhu ruang pada ketiga varietas

menunjukkan perubahan warna menjadi

jingga yang lebih cepat dibandingkan dengan

perlakuan lainnya. Pada Chokun interaksi

antara suhu degreening dan suhu simpan

nyata hanya pada PTT. Pada Fremont interaksi

antara suhu degreening dan suhu simpan nyata

pada semua peubah yang diamati kecuali

warna ujung buah, kekerasan buah, dan ATT.

Pada Batu 55 Interaksi antara suhu degreening

dan suhu simpan nyata hanya pada warna

ujung buah dan susut bobot.

SARAN

Penelitian menggunakan ethephon

sebaiknya dengan konsentrasi diantara 2-5 ml

l-1 air atau 500-1000 ppm. Degreening sebaiknya

dilakukan selama 2-3 hari. Konsentrasi dan

lama waktu degreening tersebut disarankan

karena ethephon pada konsentrasi tersebut

menghasilkan etilen yang lebih tinggi sehingga

lebih cepat menghasilkan warna jingga pada

jeruk. Hal ini akan menyebabkan perubahan

warna yang dihasilkan lebih baik dan dalam

waktu yang lebih singkat.

DAFTAR PUSTAKA

[Balitjestro] Badan Penelitian Tanaman Jeruk

dan Buah Subtropika. 2008. Trend

Jeruk Impor dan Posisi Indonesia

sebagai Produsen Jeruk Dunia.

http//balitjestro.litbang.deptan.go.id. [7

November 2013].

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi

Buah-buahan di Indonesia 1995-2012.

http//www.bps.go.id. [7 November 2013].

Cuesta, M.J., J. Cuquerella, J.M. Javaga.

1981. Determination of Color Index for

Citrus Fruit Degreening. Proceeding

International Society Citriculture Vol

2: 750-753.

[Deptan] Departemen Pertanian. 2013. Buletin

Bulanan Indikator Makro Sektor

Pertanian (Oktober 2013). http//pusdatin.

deptan.go.id. [7 November 2013].

Dixon, W.J., F.J. Massey. 1991. Pengantar

Analisis Statistik. Edisi Ke-4. Samiyoyono

S.K., penerjemah. Soejoeti Z., editor.

UGM Pr. Yogyakarta.

Golan, R.B. 2001. Postharvest Disease of

Fruit and Vegetables Development and

Control. Elsevier Science B.V. Amsterdam.

Gomez, K.A., A.A. Gomez. 2007. Prosedur

Statistik untuk Penelitian Pertanian.

Edisi Ke-2. Penerjemah E. Sjamsuddin,

J.S. Baharsjah, penerjemah. UI Pr.

Jakarta.

Julianti, E. Ridwansyah, E. Yusraini, I. Suhaidi.

2013. Pengaruh penyimpanan dengan

atmosfir terkendali terhadap mutu buah

rambutan varietas Binjai. J. Hort.

Indonesia. 4(2): 95-98.

Mitra, S.K. 1997. Postharvest Physiology and

Storage of Tropical and Subtropical

Fruits. CABI Publishing. London.

Pantastisco, R.B. 1973. Fisiologi Pascapanen

(penanganan dan pemanfaatan buah-

buahan dan sayur-sayuran tropika dan

subtropika). UGM Pr. Yogyakarta.

Page 20: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):10-20. April 2014.

20 Hanifah Muthmainnah, Roedhy Poerwanto dan Darda Efendi

Riyanti. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi

permintaan konsumen terhadap buah

jeruk. Skripsi. Universitas Mercu Buana.

Jakarta.

Safaryani, N., S. Haryanti, E.D. Hastuti. 2007.

Pengaruh suhu dan lama penyimpanan

terhadap penurunan kadar vitamin c

brokoli (Brassica oleracea). Buletin

Anatomi dan Fisiologi 15(2): 39-46.

Stewart, I., T.A. Wheaton. 1971. Effect of

ethylene and temperature on carotenoid

pigmentation of Citrus peel. Florida

Agricultural Experiment Station Journal.

4151: 264-266.

Sumiasih, I.H. 2011. Studi perubahan kualitas

pascapanen buah manggis (Garcinia

mangostana L.) pada beberapa stadia

kematangan dan suhu simpan. Tesis.

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Utama, I.M.S., Y. Setio, I.A.R.P. Puja, N.S.

Antara. 2011. Kajian atmosfir terkendali

untuk memperlambat penurunan mutu

buah mangga Arumanis selama penyim-

panan. J. Hort. Indonesia. 2(1): 27-33.

Page 21: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.

Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro….. 21

Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro Jeruk Besar (Citrus

maxima (Burm.) Merr.) cv. Nambangan terhadap Osmotikum

dan Retardan

In Vitro Growth Response of Pummelo (Citrus maxima (Burm.) Merr.) cv.

Nambangan to Osmoticum and Retardant

Iswari S. Dewi1*, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko2, dan M. Sabda1

Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014

ABSTRACT

In vitro conservation has been applied to many species. However, the suppression of explant growth is essential for extending the duration of conservation. The objective of the research was to

study in vitro growth response of pummelo cv. Nambangan to conservation medium containing osmotically active compound (osmoticum) or growth suppressant (retardant). Two sets of

experiments were conducted using randomized complete design and replicated three times. In vitro

shoot with four leaves from pummelo, namely cultivar Nambangan, were used as the plant materials. The treatment in the first experiment was MS + osmoticum (mannitol 0, 20, 40, and 60 g L-1) and in

the second experiment was MS + retardant (paclobutrazol 0, 1, 3 and 5 mg L-1). The results

indicated that senescence of the leaf was induced by 20, 40, and 60 g L-1 of mannitol. The best media in inhibition of growth for pummelo cv. Nambangan was MS + paclobutrazol 1 mg L-1. With this

media, plant was inhibited but grew normally with green leaf and root.

Keywords: mannitol, minimal growth, paclobutrazol, pummelo

ABSTRAK

Konservasi in vitro sudah banyak dilakukan pada berbagai spesies. Penghambatan pertumbuhan

sangat penting bagi lamanya tanaman dapat disimpan. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari

respon pertumbuhan in vitro pamelo cv. Nambangan terhadap media konservasi mengandung

osmotikum atau penghambat pertumbuhan (retardan). Dua percobaan dilakukan terpisah meng-

gunakan rancangan acak lengkap dan diulang 3 kali. Tunas hasil perbanyakan in vitro dengan 4

daun, digunakan sebagai eksplan. Perlakuan pada percobaan pertama adalah MS + osmotikum

(mannitol 0, 20, 40, 60 g L-1) dan pada percobaan kedua adalah MS + retardan (paclobutrazol 0, 1, 3,

5 mg L-1). Hasil menunjukkan bahwa daun mengalami senesen oleh perlakuan mannitol. Media yang

direkomendasikan untuk konservasi pamelo cv. Nambangan adalah MS + paclobutrazol 1 mg L-1.

Dengan media tersebut pertumbuhan dihambat, tetapi tetap normal, berakar dengan daun tetap hijau.

Kata kunci: mannitol, pertumbuhan minimal, paclobutrazol, pamelo

PENDAHULUAN

Genus citrus berasal dari daerah tropikal

dan subtropikal, namun jeruk besar Citrus

maxima (Burm.) Merr.) atau pamelo, yaitu

satu-satunya jenis jeruk dengan buah yang

ukurannya sangat besar, dan diketahui pusat

keragamannya ada di Asia Tenggara, yaitu di

Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia

(Paudyal and Haq, 2008, Niyomdham, 2003).

Rahayu et al. (2012) melalui perbandingan

pita isoenzim MDH dan ACP dapat membagi

aksesi plasma nutfah pamelo di Indonesia

menjadi pamelo berbiji dan tidak berbiji. Salah

satu jeruk pamelo yang popular adalah

Kultivar Nambangan yang berkembang

1) Balai Besar Litbang Bioteknologi dan SDG Pertanian, Bogor 2) Departemen Agronomi dan Hortikultura, FAPERTA, IPB Bogor

E-mail: [email protected] (*penulis korespondensi)

Page 22: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.

22 Iswari S. Dewi, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko, dan M. Sabda

terutama di Kabupaten Magetan, Indonesia.

Bebebrapa penelitian mulai dilakukan

mengenal potensi dan mempelajari teknik budi

daya terbaik untuk meningkatkan produksi

(Susanto et al., 2010; Rahayu et al., 2012;

Susilowati, 2013)

Salah satu jeruk pamelo yang paling

popular adalah kultivar Nambangan yang

berkembang terutama di Kabupaten Magetan,

Indonesia. Beberapa penelitian mulai dilakukan

bertujuan mengenal potensi dan mempelajari

teknik budidaya terbaik untuk meningkatkan

produksi (Susanto et al., 2010; Susilowati,

2013; Rahayu et al., 2012). Di Indonesia, jeruk

besar biasa dijumpai di pekarangan atau

ditanam dalam skala komersial di kebun petani

dan hanya sebagian kecil yang sudah dikon-

servasi ex-situ. Ditinjau dari segi konservasi,

hal tersebut sangat riskan karena tentu

tanaman di lapangan rentan terhadap hama dan

penyakit, selain juga bencana alam (Rao,

2004). Konservasi in vitro merupakan salah

satu alternatif dari konservasi ex-situ. Strategi

konservasi in vitro dapat diterapkan untuk

penyimpanan plasma nutfah dalam jangka

pendek, menengah dan panjang dalam kondisi

steril (Keller et al., 2006; Pérez, 2000).

Konservasi jangka pendek dan menengah

secara in vitro memberikan beberapa keuntungan

dibandingkan konservasi di lapangan karena

sistem aseptik menjamin stok tanaman yang

bebas patogen, menghemat ruang, mengurangi

erosi genetik karena pemeliharaan optimal,

mengurangi biaya pemeliharaan, mudah di-

perbanyak secara masal jika mendadak

diperlukan, dan mempermudah pertukaran

plasma nutfah (Ahmed dan Anjum, 2010;

Engelmann, 1991).

Berbagai metode untuk konservasi in

vitro telah tersedia, namun tergantung dari

situasinya, teknik pertumbuhan minimal

(minimal growth) sangat penting untuk mem-

perpanjang lamanya siklus subkultur

(Malaurie et al., 1998). Siklus subkultur akan

berpengaruh terhadap lama penyimpanan dan

biaya peme-liharaan yang diperlukan dalam

konservasi plasma nutfah in vitro (West et al.,

2006). Semakin sering suatu tanaman di

subkultur maka biaya yang dibutuhkan juga

akan semakin besar.

Teknik minimal growth sesuai untuk

konservasi tanaman berbiji rekalsitran yang

bijinya hanya viabel dalam waktu singkat dan

tidak dapat didesikasi atau untuk tanaman

yang selalu diperbanyak secara vegetatif (Rao

dan Mal, 2002), seperti pamelo (Dewi et al.,

2010). Zat yang bersifat pengendali osmotik

(osmotikum) dan penghambat pertumbuhan

(retardan) dapat digunakan untuk meminimal-

kan pertumbuhan tanaman in vitro. Gula alkohol

seperti mannitol merupakan karbohidrat ter-

hidrogenasi yang mempunyai peranan dalam

mengendalikan tekanan osmotik yang akan

mempengaruhi translokasi karbohidrat (Deguchi

et al., 2004), sedangkan paclobutrazol adalah

senyawa triazole yang sering digunakan sebagai

retardan penghambat pertumbuhan vegetatif

pada tanaman angiosperma (Rademacher,

2000). Tujuan penelitian ini adalah untuk

mempelajari pengaruh media mengandung

beberapa taraf konsentrasi osmotikum atau

retardan terhadap pertumbuhan pamelo yang

akan dikonservasi secara in vitro.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan dengan dua

percobaan terpisah. Eksplan yang digunakan

adalah tunas dengan empat daun yang berasal

dari perbanyakan pamelo berbiji yaitu kultivar

Nambangan (Rahayu et al., 2012), secara in

vitro. Masing-masing percobaan disusun dalam

Rancangan Acak Lengkap dengan perlakuan

jenis zat pengatur tumbuh pada media

konservasi sebagai faktor tunggal. Percobaan

pertama terdiri atas perlakuan osmotikum

mannitol (M) dengan taraf 0, 20, 40, 60 g L-1.

dan percobaan kedua terdiri atas perlakuan

retardan paklobutrazol (P) dengan taraf 0, 1, 3,

5 mg L-1. Masing-masing perlakuan pada

setiap percobaan diulang sebanyak 3 kali,

sehingga setiap percobaan terdiri atas 12

satuan percobaan. Setiap satuan percobaan

terdiri atas 3 eksplan.

Media yang digunakan adalah media

MS yang diberi myoinositol 100 mg L-1,

thiamine-HCl 10 mg L-1, pyridoxine 10 mg L-1,

nicotinic acid 1 mg L-1 dan sukrosa 30 g L-1.

Osmoregulator dan retardan diberikan sesuai

dengan perlakuan. Sebelum penambahan agar

8 g L-1, pH medium ditetapkan 5.8. Media

diotoklaf pada 18-20 Psi dengan suhu 120 0C

selama 20 menit. Medium diisikan sebanyak

40 ml (aliquots) kedalam botol kultur. Kultur

diinkubasi dibawah pencahayaan 16 jam dengan

sumber cahaya lampu TL. Suhu ruang kultur

26 + 2 0C.

Page 23: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.

Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro….. 23

Kultur diamati dua minggu sekali

selama enam bulan. Peubah yang diamati

adalah tinggi tunas, jumlah daun, jumlah

tunas, jumlah akar, sedangkan penampilan

plantlet secara fisik difoto dengan kamera

digital. Data dengan interval empat minggu

yang meliputi peubah tinggi tanaman, jumlah

daun, jumlah tunas, dan jumlah akar diolah

secara statistik. Untuk hasil sidik ragam,

jumlah daun percobaan mannitol dan

paclobutrazol serta jumlah tunas dan jumlah

akar semua percobaan, data ditransformasi

dengan (x + 0.5)1/2 untuk memperkecil koefisien

keragaman sehingga data lebih normal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa

perlakuan mannitol pada berbagai taraf me-

nunjukkan pengaruh yang nyata sampai sangat

nyata terhadap peubah tinggi tunas, dan

jumlah daun. Namun perlakuan paclobutrazol

tidak berpengaruh terhadap semua peubah

yang diamati (Tabel 1).

Tinggi Tunas

Pengaruh mannitol dan paclobutrazol

terhadap peubah tinggi tunas pada berbagai

taraf disajikan pada Tabel 2 dan 3. Per-

tumbuhan eksplan pada perlakuan dengan

mannitol tampak mengalami penghambatan.

Pengaruh pemberian mannitol sudah tampak

pada perlakuan mannitol 20 g L-1. Tampak

tinggi tunas pada perlakuan mannitol (20, 40

dan 60 g L-1) selalu lebih rendah dibandingkan

dengan perlakuan tanpa mannitol.

Umumnya, semakin tinggi konsentrasi

mannitol yang diberikan akan semakin besar

pengurangan tinggi tunas. Penelitian Charoensub

dan Phansiri (2004) pada Plumbago indica me-

nunjukkan perlakuan mannitol 20-60 g L-1

sangat berpengaruh pada pengurangan tinggi

ekplan sampai 93,3%. Pada penelitian ini

pengurangan tinggi tunas jeruk besar dengan

konsentrasi mannitol yang sama berkisar antara

39.6 - 63.8%.

Pada saat pengamatan 24 MST tanaman

sudah banyak yang mati pada perlakuan

mannitol 60 g L-1. Osmotikum secara perlahan

meningkatkan tekanan osmotik medium dan

mengurangi ketersediaan air bagi biakan yang

sedang tumbuh. Semakin tinggi konsentrasi

mannitol, tentu akan semakin terbatas pasokan

air dan nutrisi ke biakan dan hal ini

menyebabkan viabilitas biakan terus menurun.

Pada dasarnya akumulasi osmoregulator yang

berlebihan akan menurunkan aktivitas enzim,

konsentrasi ni hampir serupa dengan yang

dilaporkan Sarkar dan Naik (1998) bahwa

pada media konservasi kentang in vitro yang

merupakan kombinasi sukrosa dan mannitol,

perlakuan konsentrasi mannitol 20 atau 40 g L-1

dapat meningkatkan daya hidup, tetapi pada

konsentrasi 60 g L-1 plantlet kentang sangat

tercekam dan mengalami kematian. Dari

penelitian terdahulu, mannitol pada kisaran

konsentrasi 15-40 g L-1 paling banyak digunakan

untuk konservasi plasmanutfah tanaman

jangka menengah antara lain pada dioscorea

(Borges et al., 2004), tebu (Sarwar dan Siddiqui,

2004), dan ubi jalar (Purwoko et al., 2000).

Pada umumnya tinggi tunas antar per-

lakuan paclobutrazol tidak berbeda nyata

kecuali pada pengamatan 12 MST dan 16

MST (Tabel 1 dan 3). Tinggi tunas cenderung

meningkat pada perlakuan tanpa paclobutrazol

maupun dengan paclobutrazol (Tabel 3).

Namun demikian, seperti pada perlakuan

mannitol, tinggi tunas pada perlakuan

paclobutrazol 1, 3, dan 5 mg. L-1 juga selalu

lebih pendek dibandingkan kontrol tanpa

paclobutrazol (P0). Hal ini disebabkan paclo-

butrazol merupakan senyawa yang bersifat anti

giberelin dimana senyawa ini menghambat

pembentukan enzim yang mengkatalis oksi-

dasi ent-kaurene menjadi asam ent-kaurenoat

dalam proses biosintesis giberelin (GA).

Tabel 1. Hasil sidik ragam pengaruh perlakuan

mannitol atau paclobutrazol terhadap

pertumbuhan kultur in vitro jeruk

besar cv. Nambangan

Waktu

Pengamatan

(MST)

T(cm) PD JT JA

M P M P M P M P

4 * tn ** tn tn tn tn tn

8 * tn ** tn tn tn tn tn

12 ** tn ** tn tn tn tn tn

16 ** tn ** tn tn tn tn tn

20 ** tn ** tn tn tn tn tn

24 * tn ** tn tn tn tn tn Keterangan: T= Tinggi, PD= Pertambahan Daun, JT=

Jumlah Tunas, JA= Jumlah Akar, M=

Mannitol, P= Paclobutrazol, **= berbeda

nyata pada uji DMRT dengan taraf nyata 1%,

*= berbeda nyata pada uji DMRT dengan

taraf nyata 5%, tn= tidak berbeda nyata pada

uji DMRT dengan taraf nyata 5%.

Page 24: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.

24 Iswari S. Dewi, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko, dan M. Sabda

Tabel 2. Pengaruh perlakuan mannitol terhadap tinggi tunas (cm) jeruk besar cv. Nambangan in vitro

Perlakuan Umur (MST)

4 8 12 16 20 24

M0 1.20a 1.13a 1.19a 1.32a 1.44a 1.49a

M1 0.48b 0.50b 0.50b 0.50b 0.54b 0.65b

M2 0.48b 0.48b 0.48b 0.48b 0.48b 0.54b

M3 0.60b 0.61b 0.61b 0.64b 0.64b 0.90b

Keterangan: Mannitol (M): 0 g L-1 (M0), 20 g L-1 (M1), 40 g L-1 (M2), 60 g L-1 (M3); angka-angka yang diikuti huruf

yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.

Tabel 3. Pengaruh perlakuan paclobutrazol terhadap tinggi tunas (cm) jeruk besar cv. Nambangan in vitro

Perlakuan Umur (MST)

4 8 12 16 20 24

P0 1.00 1.03 1.11b 1.14ab 1.15 0.85

P1 1.17 1.28 1.42a 1.59a 1.65 1.90

P2 0.79 0.86 0.89b 0.89b 0.92 0.96

P3 1.00 1.12 1.05ab 0.98ab 1.02 0.81 Keterangan: Paclobutrazol (P): 0 mg L-1 (P0), 1 mg L-1 (P1), 3 mg L-1 (P2), 5 mg L-1 (P3); angka-angka yang diikuti

huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.

Ketika biosintesis GA dihambat, pem-

belahan sel masih terjadi, tetapi pemanjangan

sel tidak terjadi, sehingga tunas dan buku

menjadi lebih pendek (Buchanan et al., 2006;

Keatmetha et al., 2006). Penelitian Sunarlim et al. (2004) pada tanaman gembili menunjukkan

pemberian paclobutrazol sampai dengan kon-

sentrasi 5 mg L-1 berpengaruh nyata terhadap

peubah tinggi tanaman pada pengamatan tiga

dan enam bulan, sehingga dapat digunakan

sebagai media konservasi.

Pertambahan Daun

Pada pengamatan terhadap pertambahan

daun, hanya perlakuan kontrol atau tanpa

mannitol (M0) yang mengalami pertambahan

daun (Tabel 4). Aliran nutrisi yang terhambat

akibat cekaman osmotik tampak belum cukup

untuk menginduksi pembentukan daun. Hal ini

ditunjukkan oleh perlakuan mannitol 20, 40 dan

60 g L-1 yang sama sekali tidak meningkatkan

jumlah daun. Namun, pada saat pengamatan 24

MST jumlah daun pada perlakuan kontrol juga

mengalami penurunan akibat daun mengalami

kerontokan.

Berlawanan dengan perlakuan mannitol,

pada perlakuan paclobutrazol pertambahan daun

tidak berbeda nyata (Tabel 1). Hal ini me-

nunjukkan bahwa paclobutrazol tidak mem-

pengaruhi pembentukan daun. Pada perlakuan

paclobutrazol 1 dan 3 mg L-1 jumlah daun

terus meningkat, sementara pada perlakuan

paclobutrazol 5 mg L-1 pertambahan jumlah

daun hanya terjadi pada 4 MST yang se-

lanjutnya menurun. Yelnititis dan Bermawie

(2001) menemukan hal serupa, yaitu pemberian

paclobutrazol 5 mg L-1 pada media konservasi

lada menurunkan jumlah daun. Pada penelitian

ini saat pengamatan 24 MST semua daun bahkan

sudah gugur pada perlakuan paclobutrazol 5

mg L-1 (Gambar 1).

Tabel 4. Nilai rataan pertambahan jumlah daun kultivar Nambangan pada media mengandung

mannitol (M)

Perlakuan Pertambahan Jumlah Daun

4 MST 8 MST 12 MST 16 MST 20 MST 24 MST

M0 2.00a 1.99a 2.22a 2.44a 2.89a 2.66a

M1 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b

M2 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b

M3 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b 0.00b Keterangan: Mannitol (M): 0 g L-1 (M0), 20 g L-1 (M1), 40 g L-1 (M2), 60 g L-1 (M3); angka-angka yang diikuti huruf

yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.

Page 25: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.

Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro….. 25

Keterangan: P0= tanpa paclobutrazol, P1= 1 mg L-1,

P2= 3 mg L-1, P3= 5 mg L-1

Gambar 1. Pengaruh paclobutrazol terhadap

pertambahan daun jeruk besar cv.

Nambangan in vitro

Multiplikasi Tunas

Percobaan perlakuan mannitol atau

paclobutrazol pada berbagai taraf konsentrasi

tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata

terhadap peubah jumlah tunas (Tabel 1). Tunas

baru hanya muncul pada perlakuan mannitol

40 mg L-1 saja (Tabel 5). Charoensub dan

Phansiri (2004) mendapatkan bahwa perlakuan

mannitol pada konsentrasi 40 dan 60 g L-1

cenderung menurunkan multiplikasi tunas pada

biakan Plumbago indica.

Pada perlakuan paclobutrazol 1 mg L-1

tunas muncul pada 20 MST sementara pada

perlakuan paclobutrazol 3 mg L-1 dan paclo-

butrazol 5 mg L-1 tunas muncul berturut-turut

pada saat 8 MST dan 12 MST (Tabel 5). Pada

24 MST, walaupun tidak berbeda nyata dengan

perlakuan lainnya, tunas terbanyak dihasilkan

oleh perlakuan paclobutrazol 1 mg L-1. Syahid

(2007) mendapatkan pada kultur temulawak

perlakuan paclobutrazol 5 mg L-1 nyata me-

nurunkan pertambahan tunas dibandingkan

dengan tanpa paclobutrazol. Namun demikian,

pada penelitian Jala dan Bodhipadma (2012)

dengan konsentrasi paclobutrazol yang sangat

rendah (0.01 mg L-1) ternyata malah menginduksi

multiplikasi tunas dan pembentukan planlet

pada tanaman hias Curcuma species var.

Chattip.

Pertumbuhan Akar

Pada Tabel 1 diperlihatkan bahwa perlakuan

mannitol atau paclobutrazol tidak menunjukkan

adanya pengaruh yang nyata terhadap peubah

jumlah akar. Tampaknya konsentrasi mannitol

(20-60 g L-1) dan paclobutrazol (3-5 mg L-1)

menekan pertumbuhan akar.

Tidak ada akar yang tumbuh pada

perlakuan mannitol, kecuali pada kontrolnya

(M0) saat 16 MST. Perlakuan paclobutrazol

menunjukkan bahwa akar hanya muncul di

media yang diberi paclobutrazol 1 mg L-1,

yaitu pada 8 MST. Namun pada perlakuan

paclobutrazol 1 mg L-1 tersebut juga tidak

terjadi peningkatan jumlah akar sampai akhir

pengamatan pada 24 MST (Tabel 6).

Tabel 5. Nilai rataan pertambahan jumlah tunas kultivar Nambangan pada media mengandung

mannitol (M) atau paclobutrazol (P)

Perlakuan Pertambahan Jumlah Tunas

4 MST 8 MST 12 MST 16 MST 20 MST 24 MST

M0 0.0 0.0 0.0 0.7 1.2 1.2

M1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

M2 0.0 0.0 0.0 0.3 0.7 0.7

M3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

P0 0.3 0.3 0.4 0.7 0.7 0.8

P1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.3 0.5

P2 0.0 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3

P3 0.0 0.0 0.3 0.3 0.3 0.3

Keterangan: Mannitol (M): 0 g L-1 (M0), 20 g L-1 (M1), 40 g L-1 (M2), 60 g L-1 (M3); Paclobutrazol (P): 0 mg L-1

(P0), 1 mg L-1 (P1), 3 mg L-1 (P2), 5 mg L-1 (P3); angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada

kolom yang sama di setiap percobaan yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

4 MST 8 MST 12 MST 16 MST 20 MST 24 MST

Pert

am

bah

an

dau

n

P0

P1

P2

P3

Page 26: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.

26 Iswari S. Dewi, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko, dan M. Sabda

Tabel 6. Nilai rataan jumlah akar plantlet kultivar Nambangan pada berbagai media perlakuan

mengandung mannitol (M) atau paclobutrazol (P).

Perlakuan Jumlah Akar

4 MST 8 MST 12 MST 16 MST 20 MST 24 MST

M0 0.0 0.0 0.0 0.3 0.3 0.3

M1 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

M2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

M3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

P0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

P1 0.0 1.0 1.0 1.0 1.0 1.0

P2 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

P3 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0

Keterangan: Mannitol (M): 0 g L-1 (M0), 20 g L-1 (M1), 40 g L-1 (M2), 60 g L-1 (M3); Paclobutrazol (P): 0 mg L-1

(P0), 1 mg L-1 (P1), 3 mg L-1 (P2), 5 mg L-1 (P3); angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada

kolom yang sama di setiap percobaan yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.

Penampilan Biakan pada 24 MST

Penampilan biakan kultivar jeruk besar

cv. Nambangan in vitro merupakan peubah

yang diamati secara visual. Perlakuan mannitol

pada taraf 20, 40 dan 60 g L-1 menunjukkan

ukuran tanaman dan daun yang tidak tampak

berbeda, namun pada saat pengamatan 20

MST daun pada perlakuan mannitol 20, 40 dan

60 g. L-1 sudah menguning, bahkan beberapa

ada yang gugur.

Mannitol dan polyol lainnya, seperti

sorbitol, merupakan gula alkohol yaitu senyawa

berkarbon enam (C6H14O6) yang juga ber-

fungsi sebagai pengendali osmotik atau osmo-

regulator (Buchanan et al., 2006). Konsentrasi

tertentu dari osmotikum tersebut di media in

vitro akan meningkatkan osmolaritas media

dan menyebabkan aliran nutrisi ke dalam

jaringan tanaman terhambat dan menurunkan

laju pembelahan sel (Dewietal, 2010). Peng-

hambatan pertumbuhan akibat perlakuan mannitol

pada penelitian ini ditunjukkan oleh rendahnya

tanaman (Tabel 2) serta tidak munculnya daun

(Tabel 4) dan akar (Tabel 6).

Dengan demikian, plantlet jeruk besar

cv. Nambangan yang hanya dapat bertahan

kurang dari 20 MST (5 bulan) di media

konservasi mengandung mannitol harus di-

subkultur sebelum daun menguning. Hasil

penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa

penambahan mannitol dengan konsentrasi

rendah 2.5 g L-1 pada biakan tanaman buah

pear dapat memperpanjang periode subkultur

lebih dari 3 bulan (Ahmed dan Anjum, 2010).

Berbeda dengan penampilan biakan

dalam percobaan menggunakan mannitol, pada

pengamatan 24 MST penampilan biakan pada

percobaan dengan paclobutrazol tampak lebih

vigor dengan daun-daun yang hijau. Namun

jika dibandingkan dengan kontrol tampak

adanya perbedaan ukuran plantlet dan ukuran

daun dengan perlakuan paclobutrazol 3 dan 5

mg L-1. Ukuran daun pada kedua konsentrasi

tersebut tampak lebih kecil dibandingkan

dengan kontrol yang merupakan media tanpa

paclobutrazol. Selain itu warna daun tampak

semakin hijau seiring dengan peningkatan taraf

konsentrasi yang diberikan. Hal ini berbeda

dengan yang dilaporkan oleh Keatmetha et al.

(2006) dimana biakan tunas manggis sudah

mengalami pencoklatan (browning) pada per-

lakuan paclobutrazol 2.0 mg L-1.

Retardan memang telah lama diketahui

memperlambat terjadinya senesen atau gugur

pada daun tetapi mengurangi ukuran daun

(Rademacher, 2000). Paclobutrazol memang

menghambat pertumbuhan, namun tidak me-

nyebabkan pertumbuhan abnormal, sehingga

walaupun ukuran daun mengecil tetapi tetap

pertumbuhan daun normal. Yang terjadi pada

perlakuan paclobutrazol adalah bertambahnya

ketebalan daun akibat terbentuknya lapisan

parenkima palisade tambahan, sehingga walau-

pun ukuran sel-sel mesophyl daun memendek

dan diameter mengecil tetapi daun menjadi

Page 27: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.

Respon Pertumbuhan Kultur In Vitro….. 27

lebih padat dan tampak semakin hijau

(Nazaruddin et al., 2007). Menurut Keller et

al. (2006) pada prinsipnya konservasi dengan

pertumbuhan minimal menampilkan biakan

yang tetap hidup normal, namun dengan ukuran

organ yang lebih kecil karena pertumbuhan

yang dihambat (retarded). Konservasi jangka

menengah melalui penghambatan pertumbuhan

in vitro pada tanaman buah-buahan, seperti

tanaman pear, akan berhasil ketika periode

subkultur dapat dilakukan minimal dalam 3

bulan (Ahmed dan Anjum, 2010). Hal ini

selain menghemat biaya dan mengurangi laju

kontaminasi juga akan menghindarkan terjadi-

nya mutasi pada plasma nutfah yang disimpan

(Malaurie et al., 1998; Keatmetha et al., 2006).

Oleh karena itu, berdasarkan pengamatan pada

24 MST (6 bulan) terhadap tinggi tunas, per-

tambahan tunas dan daun, ketegaran biakan

secara visual dan munculnya akar, maka per-

lakuan paclobutrazol 1 mg L-1 lebih direkomen-

dasikan dibandingkan perlakuan mannitol untuk

digunakan sebagai media konservasi jeruk

pamelo cv. Nambangan.

KESIMPULAN

Jeruk besar kultivar Nambangan dapat

dikonservasi secara in vitro dengan meng-

induksi pertumbuhan minimal melalui pemberian

paclobutrazol dan mannitol. Namun, pemberian

mannitol tidak direkomendasikan pada media

konservasi walaupun mampu untuk menghambat

laju pertumbuhan tanaman, karena tanaman

cepat mengalami senescence. Berdasarkan tinggi

tunas, pertambahan tunas dan daun, munculnya

akar, serta vigor dan penampilan biakan secara

visual, perlakuan paclobutrazol 1 mg L-1 lebih

direkomendasikan dibandingkan perlakuan

mannitol untuk digunakan sebagai media

konservasi jeruk pamelo cv. Nambangan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, M., M.A. Anjum. 2010. In vitro storage

of some pear genotypes with the minimal

growth technique. Turk J. Agric. For. 34:

25-32.

Borges, M., W. Ceiro, S. Meneses, N. Aguilera,

J. V´azquez, Z. Infante, M. Fonseca. 2004.

Regeneration and multiplication of

Dioscorea alata germplasm maintained

in vitro. J. Plant Cell, Tissue and Organ

Culture 76: 87-90.

Buchanan, B.B., W. Gruisem, R.L. Jones. 2006.

Biochemistry and Molecular Biology of

Plants. American Society of Plant Physio-

logists. Maryland, USA.

Chaorensub, R., S. Phansiri. 2004. In vitro

conservation of rose coloured leadwort:

Effect of mannitol on growth of plantlets.

Kasetsart J. Nat. Sci. 38: 97-102.

Deguchi, M., Y. Koshita, M. Gao, R. Tao, T.

Tetsumura, S. Yamaki, Y. Kanayama. 2004.

Engineered sorbitol accumulation induces

dwarfism in Japanese persimmon. J. Plant

Physiol. 161: 1177-1184.

Dewi, I.S., G. Jawak, I.R. Tambunan, M.

Sabda, B.S. Purwoko, W.H. Adil. 2010.

Konservasi in vitro tanaman jeruk besar

(Citrus maxima) cv. Srinyonya

menggunakan osmotikum dan retardan

J. Agrobiogen. 6(2): 84-90.

Engelmann, F. 1991. In vitro conservation of

tropical plant germplasm - a review.

Euphytica. 57: 227-243.

Grout, B.W.W. 1990. In vitro conservation of

germplasm, p. 394-411. In: S.S. Bhojwani

(Ed). Plant Tissue Culture. Elsevier Science

Publishing Company Inc. New York.

Jala, A., K. Bodhipadma. 2012. Low concen-

tration of paclobutrazol induced multiple

shoot and plantlet formation in amethyst

curcuma. J. KMUTNB. 22(3): 505-510.

Keatmetha, W., P. Suksa-Ard, M. Mekanawakul,

S. Te-Chato. 2006. In vitro germplasm

conservation of Garcinia mangostana L.

and Lansium domesticum Corr. Walailak J.

Sci. & Tech. 3(1): 33-50.

Keller, E.R.J., A. Senula, S. Leunufna, M.

Grübe. 2006. Slow growth storage and

cryopreservation-tools to facilitate germplasm

maintenance of vegetatively propagated

crops in living plant collections. Internat.

J. Refrigeration 29: 411-417.

Page 28: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):21-28. April 2014.

28 Iswari S. Dewi, Gani S. Jawak, Bambang S. Purwoko, dan M. Sabda

Malaurie, B., M.F. Trouslot, J. Berthaud, M.

Bousalem, A. Pinel, J. Dubern. 1998.

Medium-term and long-term in vitro

conservation and safe international exchange

of yam (Dioscorea spp.) germplasm. E-

Journal of Biotechnology (EJB). 1(3).

Nazaruddin, M.R.A., R.M. Fauzi, F.Y. Tsan.

2007. Effects of paclobutrazol on the

growth and anatomy of stems and leaves

of Syzigium campanulatum. J. Trop. For.

Sci. 19(2): 86-91.

Niyomdham, C., 2003. Citrus maxima (Burm.)

Merr. In Edible Fruits and Nuts, p.128-

131. E.W.M. Verheij, R.E. Coronel (Eds.).

PROSEA (Plant Resources of South-East

Asia) Foundation, Bogor, Indonesia. http://

www.proseanet.org. [May 19, 2004].

Paudyal, K.P., N. Haq. 2008. Variation of

pummelo (Citrus grandis (L.) Osbeck)

in Nepal and participatory selection of

strains for further improvement. Agroforest

Syst. 72: 195-204.

Pérez, R.M. 2000. Cryostorage of citrus embryo-

genic cultures. p. 687-705. In: Somatic

Embryogenesis in Woody Plants. Vol. 6.

S.M. Jain, P.K. Gupta, R.J. Newton (eds),

Kluwer Acad. Publ., The Netherlands.

Purwoko, B.S., I.S. Dewi, N. Susilawati. 2000.

Konservasi in vitro plasmanutfah ubijalar

(Ipomoea batatas L.) dengan osmotikum

dan retardan. J. Tan. Tropika 3(2): 68-79.

Rademacher, E. 2000. Growth retardants:

Effects on gibberellin biosynthesis and

other metabolic pathway. Ann. Rev. Plant

Physiol. Mol. Biol. 51: 501-531.

Rahayu, A., S. Susanto, B.S. Purwoko, I.S. Dewi.

2012. Perbandingan pola pita isoenzim 15

aksesi pamelo (Citrus maxima (Burm.)

Merr.) berbiji dan tidak berbiji dan

hubungan kekerabatannya. J. Hort.

Indonesia 3(1): 42-48.

Rao, V.R., B. Mal. 2002. Tropical Fruit Species

in Asia: Diversity and Conservation

Strategies. In: R Drew (ed). Proceedings

of The International Symposium on Tropical

and Subtropical Fruits. ISHS Acta Horti-

culturae. p. 179-90. Cairns, Australia.

Rao, N.K. 2004. Plant genetic resources:

Advancing conservation and use through

biotechnology. African J. Biotech 3:

136-145.

Sarkar, D., P.S. Naik. 1998. Factors affecting

minimal growth conservation of potato

microplants in vitro. Euphytica 102(2):

275-280.

Sarwar, M., S.U. Siddiqui. 2004. In vitro

conservation of sugarcane (Saccharum

officinarum l.) germplasm. Pak. J. Bot.

36(3): 549-556.

Syahid, S.F. 2007. Pengaruh retardan paclo-

butrazol terhadap terhadap pertumbuhan

temulawak (Curcuma xanthorrhiza) selama

konservasi in vitro. Jurnal Litri 13(3):

93-97.

Sunarlim, N,. A.V. Novianti, I. Rostika. T. 2004.

Penyimpanan in vitro gembili melalui

pertumbuhan minimal. Balai Pusat Penelitian

Tanaman Pangan Bogor. hal 267-275.

Bogor.

Susanto, S., H. Sugeru, S. Minten. 2010. Per-

tumbuhan vegetatif dan generatif batang

atas jeruk pamelo ‘Nambangan’ pada empat

jenis interstock. J. Hort. Indonesia. 1(2):

53-58.

Susilowati, Y.P.C. 2013. Perbaikan keragaan

bibit jeruk pamelo (Citrus maxima (Burm.)

Merr.). Skripsi. Departemen Agronomi

dan Hortikultura. Fakultas Pertanian.

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

West, T.P., M.B. Ravindra, J.E. Preece. 2006.

Encapsulation, cold storage, and growth

of Hibiscus moscheutos nodal segments.

J. Plant Cell Tissue and Org. Cult. 87,

223-231.

Yelnititis, N. Bermawie, 2001. Konservasi

tanaman lada (Piper nigrum L.) secara

in vitro. Jurnal Littri 7(3): 88-92.

Page 29: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):29-35. April 2014.

Karakterisasi Morfologi Anggrek Phalaenopsis….. 29

Karakterisasi Morfologi Anggrek Phalaenopsis Hibrida

Morphological Characterization of Phalaenopsis Hybrid

Fajar Pangestu1, Sandra Arifin Aziz1*, dan Dewi Sukma1

Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014

ABSTRACT

Orchid is one of ornamental plants that has high aesthetic value and Phalaenopsis hybrid is

one of orchid type famous in Indonesia. Characterization of Phalaenopsis hybrid should be made to

determine similarity or diversity between hybrids and as a basic information on plant breeding

activities. The purpose of this study was to study the morphological character and relationship of five accessions of Phalaenopsis hybrid i.e, four white accessions flowering hybrid, one accession

yellow flowering hybrids and Phalaenopsis amabilis ‘Cidaun’ ecotype. Based on the morphology of

leaves and flowers, two of the four accessions white flowering hybrid have similarity coefficient 1.00. Every Phalaenopsis hybrid clustered together on the similarity coefficient 0.729, but one of

three replications yellow flowering hybrids have similarity coefficient 0.435 with main differences in

leaf shape and flowering types. Phalaenopsis amabilis’ Cidaun’ ecotype have similarity coefficient 0.528 with main differences with Phalaenopsis hybrid in flowers shape and flowering types.

Keywords: Coefficient similarity, flowers, leaves, morphological character, Phalaenopsis hybrid

ABSTRAK

Anggrek merupakan tanaman hias yang memiliki nilai estetika tinggi dan Phalaenopsis hibrida merupakan salah satu jenis anggrek yang terkenal di Indonesia. Keragaman Phalaenopsis

hibrida yang cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan karakterisasi untuk mengetahui kemiripan

ataupun keragaman antar Phalaenopsis hibrida maupun dengan Phalaenopsis spesies asli sebagai

informasi dasar dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mempelajari karakter morfologi dan kekerabatan antara lima aksesi Phalaenopsis hibrida yaitu

empat aksesi hibrida berbunga putih, satu aksesi hibrida berbunga kuning dan Phalaenopsis amabilis

ekotipe ‘Cidaun’. Berdasarkan morfologi daun dan bunga, dua dari empat aksesi hibrida berbunga

putih memiliki koefisien kemiripan 1.00. Semua Phalaenopsis hibrida berkelompok menjadi satu

pada koefisien kemiripan 0.729, sementara satu ulangan dari hibrida berbunga kuning memiliki

koefisien kemiripan 0.435 dengan perbedaan utama pada bentuk daun dan tipe pembungaan.

Phalaenopsis amabilis ekotipe ‘Cidaun’ memiliki koefisien kemiripan 0.528 dengan Phalaenopsis hibrida, perbedaan utama pada bentuk bunga dan tipe pembungaan.

Kata kunci: Koefisien kemiripan, Bunga, daun, karakter morfologi, Phalaenopsis hibrida

PENDAHULUAN

Tanaman hias memiliki arti penting

sepanjang sejarah peradaban manusia. Salah

satu jenis tanaman hias penting di dunia adalah

anggrek. Anggrek dari famili Orchidaceae

merupakan salah satu tumbuhan berbunga

yang banyak tersebar dan beraneka ragam di

dunia. Jenis anggrek yang terdapat di seluruh

dunia berkisar antara 17 000-35 000. Kontri-

busi anggrek Indonesia dalam khasanah anggrek

dunia cukup besar. Sebanyak 20 000 spesies

anggrek yang tersebar di seluruh dunia, 6 000

di antaranya berada di hutan Indonesia

(Widiastoety et al., 1998; Sandra, 2005).

Anggrek merupakan tanaman hias yang

mempunyai nilai estetika tinggi. Bentuk dan

warna bunga serta karakteristik lainnya yang

1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Bogor Agricultural University), Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

Telp. & Faks. 62-251-8629353 *e-mail untuk korespondensi: [email protected]

Page 30: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):29-35 April 2014

30 Fajar Pangestu, Sandra Arifin Aziz, dan Dewi Sukma

unik menjadi daya tarik tersendiri dari spesies

tanaman hias ini sehingga banyak diminati

oleh konsumen, baik di dalam maupun luar

negeri. Anggrek yang disukai adalah dalam

bentuk bunga potong dan tanaman pot.

Keragaman anggrek yang cukup tinggi

di Indonesia, sehingga dibutuhkan suatu

penelitian mengenai karakterisasi anggrek

sehingga dapat mengetahui kekerabatan dalam

famili Orchidaceae. Pada Phalaenopsis hibrida,

karakterisasi digunakan untuk mengidenti-

fikasi kedekatan hubungan dari anggrek

tersebut ataupun dengan spesies asli. Informasi

kedekatan hubungan secara morfologi men-

cirikan adanya kedekatan hubungan secara

genetik yang merupakan informasi dasar yang

diperlukan untuk kegiatan pemuliaaan tanaman.

Hubungan kekerabatan dari suatu populasi

organisme dapat dipelajari dengan meng-

gunakan karakter morfologi sebagai acuan

untuk melakukan karakterisasi (Young et al.,

2001). Pada anggrek, karakter morfologi daun

dan bunga merupakan karakter yang digunakan

sebagai penanda untuk membedakan antar

kelompok tanaman. Bunga merupakan penanda

dalam membedakan spesies anggrek dalam

satu genus, karena variasi morfologi terdapat

pada bunga (Purwantoro et al., 2005).

Phalaenopsis hibrida sudah banyak di-

pasarkan di pasar anggrek atau tempat-tempat

penjualan anggrek, namun tidak semua

tanaman yang dijual diberi label nama

varietas. Dalam upaya koleksi plasma nutfah

anggrek ditemukan beberapa tipe hibrida yang

banyak dipasarkan yaitu hibrida berbunga

putih, bunga kuning atau bunga merah muda

hingga merah tua. Penelitian ini bertujuan

untuk mengidentifikasi ciri morfologi 5 aksesi

Phalaenopsis hibrida dan P. amabilis ekotipe

‘Cidaun’ dan mengetahui kekerabatan antar

aksesi tersebut.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Screen house

Gunung Batu Bogor dan Micro Technique

Laboratory Departemen Agronomi dan Horti-

kultura, IPB pada bulan Januari-Juni 2013.

Bahan tanaman yang digunakan dalam

penelitian ini adalah 5 aksesi Phalaenopsis hibrida yang banyak dipasarkan oleh pedagang

anggrek yaitu Phalaenopsis hibrida bunga

putih 1, Phalaenopsis hibrida bunga putih 2,

Phalaenopsis hibrida bunga putih 3, Phalae-nopsis hibrida bunga putih 4, Phalaenopsis

hibrida bunga kuning 1, dan P. amabilis ekotipe

‘Cidaun’ sebagai pembanding. Phalaenopsis

hibrida tersebut diperoleh dari sentra pemasaran

anggrek Ragunan dan Taman Anggrek

Indonesia Permai. Setiap aksesi terdiri dari 3

tanaman, sehingga total terdapat 18 tanaman

yang diamati. Alat yang digunakan pada

penelitian ini adalah benang, penggaris, jangka

sorong, meteran dan mikroskop dan kamera.

Parameter yang diamati terbagi menjadi

kuantitatif dan kualitatif. Parameter kuantitatif

yang diamati antara lain panjang dan lebar

daun, panjang dan lebar bunga, panjang dan

lebar petal, panjang dan lebar sepal lateral, dan

panjang dan lebar sepal dorsal. Parameter

kualitatif yang diamati yaitu penampang

melintang daun, tipe tonjolan kalus pada bibir,

posisi pembungaan, bentuk daun, bentuk ujung

daun, susunan daun, bentuk tepi daun, tekstur

permukaan daun, simetri daun, tipe pem-

bungaan, bentuk bunga, bentuk sepal dorsal

dan lateral, bentuk petal, bentuk ujung petal,

bentuk ujung sepal dorsal dan lateral, penampang

melintang sepal dan petal, penampang me-

lintang bibir, susunan petal, bentuk keping

tengah, tipe keping bawah dan tipe penampang

keping sisi. Karakterisasi dilakukan mengikuti

pandauan karakterisasi anggrek (Balithi, 2007).

Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis

menggunakan uji t-dunnet dengan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’ sebagai kontrol. Data kualitatif

dianalisis dengan menggunakan analisis gerombol

untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar

spesies dengan menggunakan software NTSYS-

PC yang selanjutnya tersaji dalam bentuk

dendrogram berdasarkan karakter morfologi

daun dan bunga.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data Kuantitatif Panjang daun dan lebar

daun

Data kuantitatif karakter morfologi daun

terdiri dari jumlah daun, panjang daun dan

lebar daun. Hasil uji t-dunnett dengan Phalae-nopsis amabilis ekotipe ‘Cidaun’ sebagai

kontrol disajikan pada Tabel 1. Hasil uji

t-dunnet menunjukkan bahwa pengamatan

yang dilakukan terhadap 6 aksesi terlihat

bahwa panjang daun dan lebar daun dari

Page 31: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):29-35. April 2014.

Karakterisasi Morfologi Anggrek Phalaenopsis….. 31

Phalaenopsis hibrida yang diamati tidak

berbeda nyata dengan kontrol. Panjang dan

lebar daun tanaman dipengaruhi oleh bentuk

daun. Hibrida bunga putih 2, hibrida bunga

putih 3, hibrida bunga putih 1, hibrida bunga

putih 4, dan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’

memiliki bentuk daun yang sama yaitu lanset

terbalik, sedangkan hibrida bunga kuning 1

memiliki bentuk daun yang berbeda yaitu bulat

telur terbalik.

Panjang dan Lebar Bunga, Sepal dan Petal

Data kuantitatif karakter morfologi

bunga terdiri dari panjang dan lebar bunga,

petal, sepal dorsal, sepal lateral. Hasil uji t-Dunnett dengan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’

sebagai kontrol disajikan pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 2)

menunjukkan bahwa bunga terpanjang dan

bunga terlebar terdapat pada hibrida bunga

putih 1 dengan panjang 11.03 cm dan lebar

10.10 cm. Hasil uji t-dunnet menunjukkan

bahwa panjang bunga dari 5 aksesi yang

diamati berbeda nyata dengan kontrol. Lebar

bunga seluruh aksesi tidak berbeda nyata

dengan kontrol.

Hibrida bunga putih 1 memiliki petal

terpanjang dan terlebar pada semua aksesi

dengan panjang 6.77 cm dan lebar 5.33 cm.

Hasil uji statistik menunjukkan panjang petal

dari 5 aksesi yang diamati menunjukkan hasil

hibrida bunga putih 1, hibrida bunga putih 2,

dan hibrida bunga putih 3 berbeda nyata

dengan kontrol. Lebar petal menunjukkan bahwa

seluruh aksesi yang diamati menunjukkan

hasil yang tidak berbeda nyata dengan kontrol.

Panjang sepal dorsal dari 5 aksesi yang

diamati tidak berbeda nyata dengan kontrol

dan lebar sepal dorsal seluruh aksesi berbeda

nyata dengan kontrol. Sepal dorsal terpanjang

terdapat pada hibrida bunga kuning 1 sepanjang

4.07 cm. Sepal dorsal terlebar terdapat pada

hibrida bunga putih 1 dengan lebar 5.33 cm.

Panjang dan lebar sepal lateral yang diamati

menunjukkan bahwa seluruh aksesi berbeda

nyata dengan kontrol. Sepal lateral terpanjang

terdapat pada hibrida bunga putih 1 dengan

panjang 5.47 cm dan sepal lateral terlebar

terdapat pada hibrida bunga kuning 1 dengan

lebar 3.17 cm. Hasil pengamatan menunjukkan

bahwa Phalaenopsis hibrida (bunga putih 2,

bunga putih 3, bunga kuning 1, bunga putih 1,

bunga putih 4) memiliki bunga yang berukuran

lebih besar dibandingkan P. amabilis ekotipe

‘Cidaun’. Phalaenopsis hibrida memiliki bentuk

bunga bulat, sedangkan P. amabilis ekotipe

‘Cidaun’ memiliki bentuk bunga bintang.

Tabel 1. Rata-rata jumlah daun, panjang daun

dan lebar daun beberapa aksesi

anggrek Phalaenopsis hibrida dan P.

amabilis ekotipe ‘Cidaun’

Aksesi Panjang

Daun (cm)

Lebar

Daun (cm)

Bunga putih 2 27.13a 7.07a

Bunga putih 3 23.13a 6.70a

Bunga kuning 1 27.70a 7.00a

Bunga putih 1 25.77a 7.10a

Bunga putih 4 24.67a 7.80a

P. amabilis Cidaun 26.33a 6.60a Keterangan: a Angka-angka pada kolom yang sama yang

diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan

hasil tidak berbeda nyata dengan kontrol pada

uji t-dunnett taraf α = 5%

Tabel 2. Rata-rata panjang dan lebar bunga, sepal dan petal beberapa aksesi anggrek Phalaenopsis

hibrida dan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’

Aksesi Bunga

Petal

Sepal Dorsal

Sepal Lateral

Panjang Lebar

Panjang Lebar

Panjang Lebar

Panjang Lebar

(cm)

Bunga putih 2 10.13 9.62a 6.63 5.20 3.53a 4.70 5.03 2.96

Bunga putih 3 9.50 9.30a

5.97 4.83

3.63a 4.00

4.43 2.83

Bunga kuning 1 8.83 7.63a

4.77a 4.50

4.07a 4.13

4.77 3.17

Bunga putih 1 11.03 10.10a

6.77 5.33

3.57a 5.33

5.47 3.10

Bunga putih 4 8.80 8.10a

4.82a 4.27

3.63a 4.13

4.57 3.00

Ph. amabilis Cidaun 5.70a 7.40a

3.70a 3.10a

3.10a 1.30a

3.20a 1.40a

Keterangan: a Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil tidak

berbeda nyata dengan kontrol pada uji t-dunnett taraf α = 5%

Page 32: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):29-35 April 2014

32 Fajar Pangestu, Sandra Arifin Aziz, dan Dewi Sukma

Data Kualitatif

Data kualitatif diamati untuk me-

ngetahui keragaman karakter morfologi daun

dan karakter morfologi bunga 5 aksesi Phalae-nopsis hibrida dan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’

serta melakukan pendugaan hubungan ke-

kerabatannya. Karakterisasi pada anggrek

penting untuk membedakan dan menggambarkan

perubahan pada karakter yang disukai (Okuno

dan Fukuoka, 2002). Persamaan antar aksesi

Phalaenopsis hibrida disebabkan oleh ke-

samaan sifat genetik pada masing-masing

aksesi, karena terdapat pada satu genus yang

sama, yaitu genus Phalaenopsis, sedangkan

perbedaan pada sifat-sifat tanaman dipengaruhi

oleh perubahan lingkungan seperti, nutrisi,

suhu, kelembaban, dan iklim (Hardiyanto et al., 2007).

Berdasarkan data karakter morfologi

daun, 6 aksesi yang diamati memiliki ke-

ragaman pada bentuk daun, bentuk ujung

daun, susunan daun, tekstur permukaan daun,

tipe pembungaan, bentuk bunga, bentuk sepal

dorsal, bentuk sepal lateral, bentuk petal,

bentuk ujung sepal, bentuk ujung petal,

penampang melintang sepal, penampang

melintang petal, penampang melintang bibir,

susunan petal, ada atau tidaknya whisker, tipe

keping sisi, penampang keping sisi, tipe

tonjolan pada bibir, dan bentuk keping tengah.

Kemiripan pada 6 aksesi yang diamati terdapat

pada karakter morfologi daun, yaitu penam-

pang melintang daun, bentuk tepi daun, dan

simetri daun. Pengamatan terhadap warna

bunga tidak diamati, karena pada satu bunga

terdapat beragam warna, sehingga sulit untuk

dibuat skoring.

Kemiripan berdasarkan morfologi daun dan

bunga

Analisis kemiripan dilakukan pada 15

tanaman dari 5 aksesi Phalaenopsis hibrida

dan 3 tanaman spesies asli P. amabilis ekotipe

‘Cidaun’. Tingkat kemiripan masing-masing

individu ditunjukkan pada koefisien kemiripan

dengan skala dari 0.00 sampai 1.00. Enam

aksesi Phalaenopsis yang diamati menunjuk-

kan kemiripan pada morfologi daun yaitu pada

penampang melintang daun dan simetri daun,

sedangkan untuk morfologi bunga masing-

masing aksesi menunjukkan karakter yang

berbeda. Berdasarkan pengamatan pada

morfologi daun dan bunga membentuk 3

kelompok yaitu hibrida bunga kuning 1.1 pada

koefisien kemiripan sebesar 0.435, kelompok

P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’ pada koefisien

kemiripan sebesar 0.528, dan kelompok

Phalaenopsis hibrida pada koefisien kemiripan

sebesar 0.729.

Keragaman tinggi yang dapat dianalisis

melalui karakter kualitatif. Hibrida bunga

kuning 1.1 tidak mengelompok dalam kelompok

Phalaenopsis hibrida karena memiliki per-

bedaan utama pada bentuk daun dengan

bentuk daun bulat telur terbalik, sedangkan

aksesi lainnya memiliki bentuk daun lanset

terbalik. Perbedaan lainnya terdapat pada tipe

pembungaan, dengan hibrida bunga kuning 1.1

memiliki tipe pembungaan tunggal, sedangkan

aksesi lainnya memiliki tipe pem-bungaan

tandan. Bentuk keping tengah, tipe keping sisi,

ada atau tidaknya whisker, dan penampang

melintang bibir merupakan juga faktor-faktor

utama hibrida bunga kuning 1.1 tidak

berkelompok dengan Phalaenopsis hibrida

lainnya.

Faktor-faktor yang membedakan antara

P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’ dan Phalae-nopsis hibrida antara lain susunan daun, tipe

pembungaan, bentuk bunga, bentuk sepal

dorsal, bentuk petal, dan penampang melintang

petal. Perbedaan utama terdapat pada bentuk

bunga dan tipe pembungaan. P. amabilis

ekotipe ‘Cidaun’ memiliki bentuk bunga

bintang, sedangkan pada kelompok Phalae-nopsis hibrida memiliki bentuk bunga bulat.

Tipe pembungaan pada P. amabilis ekotipe

‘Cidaun’ merupakan malai, sedangkan pada

kelompok Phalaenopsis hibrida memiliki tipe

pembungaan tandan.

Kelompok Phalaenopsis hibrida menge-

lompok berdasarkan kemiripan bentuk daun,

bentuk tepi daun, simetri daun, sususan daun,

tipe pembungaan, bentuk bunga, bentuk

keping tengah, tipe tonjolan pada bibir, tipe

keping sisi, penampang keping sisi, ada

penampang melintang bibir, dan ada atau

tidaknya whisker. Kelompok Phalaenopsis

hibrida membentuk 3 kelompok yaitu hibrida

bunga putih 3.3 pada koefisien kemiripan

0.729, hibrida bunga putih 3.1 pada koefisien

kemiripan 0.753 dan kelompok A dan B yang

bertemu pada koefisien kemiripan 0.779.

Kelompok A dan B memiliki kemiripan pada

penampang melintang daun, bentuk daun,

bentuk tepi daun, simetri daun, tipe pem-

bungaan, bentuk keping tengah, tipe keping

Page 33: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):29-35. April 2014.

Karakterisasi Morfologi Anggrek Phalaenopsis….. 33

sisi, tipe tonjolan bibir, ada atau tidaknya

whisker dan penampang melintang bibir.

Gambar 1. Dendrogram 18 tanaman anggrek

Phalaenopsis spesies berdasarkan

karakter morfologi pada daun dan

bunga

Kelompok A berkelompok berdasarkan

kemiripan pada penampang melintang daun,

bentuk daun, bentuk tepi daun, simetri daun,

susunan daun, tipe pembungaan, bentuk

bunga, tipe tonjolan pada bibir, tipe keping,

penampang melintang bibir, dan ada atau

tidaknya whisker. Kelompok A terbagi

menjadi 3 yaitu hibrida bunga putih 3.2 pada

koefisien kemiripan 0.798, kelompok A1 dan

A2 pada koefisien kemiripan 0.823. Kelompok

A1 dan A2 terdapat pada kelompok yang

terpisah karena masing-masing aksesi dalam

kelompok tersebut memiliki perbedaan pada

bentuk ujung daun, tekstur permukaan daun,

bentuk sepal dorsal, bentuk sepal lateral,

bentuk petal, susunan petal, penampang

melintang petal, penampang keping sisi,

bentuk ujung sepal, dan bentuk ujung petal.

Hibrida bunga putih 2.1, hibrida bunga

putih 2.3, dan hibrida bunga putih 4.2 terdapat

pada koefisien kemiripan 0.913 dan menge-

lompok dengan hibrida bunga putih 4.3 pada

koefisien kemiripan 0.899 yang membentuk

kelompok A1. Kelompok A2 terdiri dari

hibrida bunga putih 1.1 dan hibrida bunga

putih 4.1 dengan koefisien kemiripan 1.00

yang mengelompok dengan hibrida bunga

putih 1.2 dengan koefisien kemiripan 0.957,

dan kemudian mengelompok kembali dengan

hibrida bunga putih 1.3 dengan koefisien

kemiripan 0.883.

Aksesi pada kelompok B mengelompok

berdasarkan kemiripan pada penampang me-

lintang daun, bentuk daun, bentuk ujung daun,

bentuk tepi daun, simetri daun, susunan daun,

tipe pembungaan, bentuk bunga, bentuk sepal

lateral, bentuk petal, bentuk keping tengah,

tipe tonjolan pada bibir, tipe keping sisi, bentuk

ujung petal, penampang melintang bibir, dan

ada atau tidaknya whisker. Hibrida bunga

kuning 1.2 dan hibrida bunga kuning 1.3

terdapat pada koefisien kemiripan 0.957 dan

kemudian mengelompok dengan hibrida bunga

putih 2.2 pada koefisien kemiripan 0.804.

Perbandingan Data Kuantitatif dan Kualitatif

Hasil pengelompokan Phalaenopsis

secara kuantitatif berdasarkan morfologi daun

selaras dengan pengelompokan secara kualitatif.

Secara kualitatif bentuk daun dari setiap aksesi

Phalaenopsis sebagian besar memiliki bentuk

daun yang sama yaitu lanset terbalik, selaras

dengan pengelompokan secara kuantitatif

dimana masing-masing aksesi Phalaenopsis

memiliki panjang dan lebar daun yang tidak

berbeda nyata.

Secara kuantitatif, karakter-karakter yang

membedakan Phalaenopsis hibrida dengan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’ adalah panjang

bunga, lebar petal, lebar sepal dorsal, dan

panjang lebar lateral berbeda nyata. Panjang

bunga dipengaruhi oleh bentuk bunga, Phalae-

nopsis hibrida memiliki bentuk bunga bulat,

hal ini menyebabkan Phalaenopsis hibrida

memiliki panjang bunga berbeda nyata dengan

kontrol. Lebar petal dipengaruhi oleh bentuk

petal, lebar petal Phalaenopsis hibrida secara

kuantitatif berbeda nyata dengan kontrol hal

ini disebabkan bentuk petal Phalaenopsis

hibrida memiliki bentuk petal yang berbeda

dengan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’.

Bentuk sepal dorsal Phalaenopsis hibrida

memiliki bentuk yang berbeda dengan P.

amabilis ekotipe ‘Cidaun’, secara kuantitatif

lebar sepal dorsal Phalaenopsis hibrida berbeda

nyata dengan kontrol, karena lebar sepal dorsal

dipengaruhi oleh bentuk sepal dorsal. Panjang

dan lebar sepal lateral Phalaenopsis hibrida

secara kuantitatif berbeda nyata dengan P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’, karena secara

kualitatif bentuk sepal lateral Phalaenopsis hibrida berbeda dengan P. amabilis ekotipe

‘Cidaun’. Sepal lateral P. amabilis ekotipe

‘Cidaun’ berbentuk oval sedangkan Phalae-nopsis hibrida memiliki bentuk sepal lateral

yang bervariasi.

Perbandingan data kuantitatif dan

kualitatif untuk bentuk daun hibrida bunga

kuning 1.1 tidak dapat dilakukan, karena untuk

Page 34: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):29-35 April 2014

34 Fajar Pangestu, Sandra Arifin Aziz, dan Dewi Sukma

kuantitatif data bentuk daun dari 3 ulangan

hibrida bunga kuning 1 dirata-rata, sedangkan

secara kualitatif bentuk dain dari hibrida

bunga kuning 1.1 memiliki bentuk daun yang

berbeda dibandingkan dengan ulangan yang

lainnya.

Analisis Stomata

Analisis stomata bertujuan untuk me-

ngetahui kerapatan dan ukuran stomata pada

daun dari Phalaenopsis hibrida. Pengamatan

dilakukan pada aksesi hibrida bunga putih 1,

hibrida bunga putih 3, hibrida bunga putih 4,

dan hibrida bunga kuning 1. Hibrida bunga

putih 2 tidak teramati karena keterbatasan

bahan tanaman.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan

dibawah mikroskop, stomata pada Phalae-

nopsis berbentuk ginjal dan tidak teratur

letaknya. Menurut Rompas et al. (2011),

susunan stomata P. amabilis tidak beraturan

letaknya, serta berbentuk ginjal dan tipe

anomistik yaitu dimana sel sel penjaga tidak

beraturan letaknya dan tidak dapat dibedakan

dari sel-sel epidermis lainnya. Stomata di-

kelilingi oleh 4-5 sel tetangga dan dua sel

tetangga masing-masing terdapat di samping

sebuah sel penutup yang merupakan ciri

tumbuhan monokotil (Hidayat, 1995). Panjang

dan lebar stomata diukur untuk menentukan

ukuran stomata. Aksesi dengan ukuran

stomata terbesar adalah hibrida bunga putih 3

karena memiliki nilai panjang dan lebar

tertinggi, sedangkan hibrida bunga kuning 1

memiliki ukuran stomata terkecil karena

panjang dan lebar stomata terkecil.

Tabel 3. Rata-rata panjang, lebar dan kerapatan

stomata anggrek Phalaenopsis hibrida

Aksesi Panjang

(nm)

Lebar

(nm)

Kerapatan

(mm-2)

Hibrida bunga

putih 3 36576.74 32503.59 13.5

Hibrida bunga

putih 1 36446.83 30875.96 11.8

Hibrida bunga

putih 4 35150.81 26590.55 13.5

Hibrida bunga

kuning 1 29555.53 25895.70 13.5

Kerapatan stomata dari empat aksesi

(Tabel 3) memiliki nilai rata-rata yang relatif

sama sebesar 13.5 mm-2, sedangkan hibrida

bunga putih 4 memiliki nilai kerapatan yang

sebesar 11.8 mm-2. Jumlah stomata berkurang

dengan menurunnya intensitas cahaya. Hal ini

sangat berhubungan dengan habitat dari

tanaman anggrek bulan yang hidup di bawah

naungan yang tidak mendapat sinar matahari

langsung (Yano, 2008). Menurut Rompas

(2011) kerapatan stomata sangat bergantung

pada konsentrasi CO2, yaitu bila CO2 naik

jumlah stomata per satuan luas lebih sedikit.

Menurut Poespodarsono (1988), per-

bedaan tingkat ploidi menunjukkan perbedaan

ukuran sel dan stomata. Hal ini sejalan dengan

hasil penelitian Damayanti (2007) yang

menyatakan bahwa pisang aksesi AK8P

dengan tingkat ploidi triploid yang memiliki

ukuran sel epidermis dan stomata yang lebih

besar dibanding aksesi lainnya yang memiliki

tingkat ploidi diploid.

KESIMPULAN

Karakter kuantitatif pada daun dan

bunga Phalaenopsis hibrida dan P. amabilis

ekotipe ‘Cidaun’ menunjukkan nilai yang

beragam. Hasil analisis statistik dengan uji t-dunnet menunjukkan beberapa parameter tidak

berbeda nyata dengan P. amabilis ekotipe

‘Cidaun’ sebagai kontrol adalah panjang daun,

lebar daun, lebar bunga, panjang sepal dorsa,

lebar, dan panjang petal hibrida 1 bunga

kuning dan hibrida bunga putih 4.

Kekerabatan masing-masing aksesi

Phalaenopsis hibrida cukup beragam dan yang

memiliki koefisien kemiripan senilai 1.00

adalah hibrida bunga putih 1.1 dan hibrida

bunga putih 4.1. Phalaenopsis hibrida dengan

P. amabilis ekotipe ‘Cidaun’ memiliki

koefisien kemiripan sebesar 0.528 kecuali

hibrida bunga kuning 1.1 yang membentuk

kelompok sendiri pada koefisien kemiripan

0.435 akibat perbedaan utama bentuk daun dan

tipe pembungaan.

DAFTAR PUSTAKA

[BALITHI] Balai Penelitian Tanaman Hias.

2007. Panduan Karakterisasi Tanaman

Anggrek. Pusat penelitian dan pengem-

Page 35: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):29-35. April 2014.

Karakterisasi Morfologi Anggrek Phalaenopsis….. 35

bangan hortikultura, Badan penelitian

dan pengembangan pertanian. Jakarta.

Damayanti, F. 2007. Analisis jumlah kromosom

dan anatomi stomata pada beberapa

plasma nutfah pisang (musa sp.) asal

Kalimantan Timur. Bioscientiae 4(2):

53-61.

Hardiyanto, E. Mujiarto, E.S. Sulasmi. 2007.

Kekerabatan genetic beberapa spesies

jeruk berdasarkan taksonometri. J Hort.

17(3): 203-216.

Hidayat, E.B., T.S. Suradinata. 1990 Penuntun

praktikum anatomi tumbuhan. F-MIPA

ITB. Bandung.

Okuno, F., S. Fukuoka. 2002. An enhancement

strategy for rice germplasm: DNA marker-

assisted in identification of beneficial

QTL resistance to rice blast, In JMM

Engels, VR Rao, AHD Brown and MT

Jackson, eds. Managing Plant Genetic

Diversity. CABI Publishing. p 301-306.

Rome.

Poespodarsono, S. 1988. Dasar-Dasar Ilmu

Pemuliaan Tanaman. IPB. Bogor.

Purwantoro, A., E. Ambarwati, F. Setyaningsih.

2005. Kekerabatan antar anggrek spesies

berdasarkan sifat morfologi tanaman

dan bunga. Ilmu Pertanian. 12(1): 1-11.

Rompas, Y., R.L. Henry, J.M. Rumondor. 2011.

Struktur sel epidermis dan stomata daun

beberapa tumbuhan suku Orchidaceae.

J. Bioslog. 1(1): 13-19.

Sandra, E. 2005. Membuat Anggrek Rajin

Berbunga. Penebar Swadaya. Jakarta.

Widiastoety, D., N. Solvia, Syafni. 1998. Kultur

embrio pada anggrek Dendrobium. J

Hort. 7(4): 860-868.

Young, P.S., H.N. Murthy, P.K. Yeuep. 2001.

Mass multiplication of protocorm-like

bodies using bioreactor system and

subsequent plant regeneration in

Phalaenopsis. Plant Cell, Tissue and Organ Cult. 63: 67-72.

Yano, S., I. Terashima. 2008. Determination

mechanisms of leaf anatomy and

chloroplast characteristics in sun and

shade leaves. Department of Biology

Graduate School of Science Osaka

University. Toyonaka.

Page 36: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.

36 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila

Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan Hara sebagai

Pengganti AB Mix pada Budidaya Sayuran Daun secara

Hidroponik

Application Frequency and Nutrient Sources as AB Mix Substitution for

Hydroponics Leafy Vegetables

Fita Lita Ramadiani 1* dan Anas D. Susila 1

Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014

ABSTRACT

This study was aimed to determine the frequency and source of nutrient applications on growth and yield of spinach (Ipomoea sp.), caisin (Brassica juncea), and kailan (Brassica oleraceae

var. acephala) in hydroponics. The experiment were arranged in a RCBD (Randomized Completely

Block Design) with two factors, first factor source of nutrient (AB Mix, NPK 15:15:15, and NPK 12:14:12), and second factor is time of application (one time and two time) with four replications so

there are 24 experimental units. The result showed NPK 15:15:15 had similar effect with AB Mix in spinach, caisin, and kailan. With one time frequency of application, the best source of fertilizer is

NPK 15:15:15, while with two time application is AB Mix.

Keywords: compound fertilizer, NPK 12:14:12, NPK 15:15:15, nutrient solution.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi aplikasi dan jenis sumber hara pada

pertumbuhan dan produksi kangkung (Ipomoea sp.), caisin (Brassica juncea), dan kailan (Brassica

oleraceae var. acephala) secara hidroponik. Rancangan percobaan yang digunakan adalah

Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dua faktor. Faktor pertama yaitu jenis sumber hara

(AB Mix, NPK 15:15:15, dan NPK 12:14:12) dan faktor kedua frekuensi aplikasi (satu kali dan dua

kali). Setiap perlakuan diulang empat kali sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Secara umum

perlakuan NPK 15:15:15 menghasilkan tanaman yang tidak berbeda dengan AB Mix, sedangkan

NPK 12:14:12 menghasilkan tanaman dengan kualitas yang paling rendah. Baik frekuensi aplikasi

satu kali maupun dua kali menghasilkan tanaman yang sama. Terdapat interaksi antara jenis larutan

hara NPK 15:15:15 dengan frekuensi aplikasi satu kali dan jenis hara AB Mix dengan frekuensi

aplikasi dua kali.

Kata kunci: larutan hara, NPK 12:14:12, NPK 15:15:15, pupuk majemuk

PENDAHULUAN

Produksi sayuran nasional mengalami

peningkatan pada tahun 2012 sebesar 0.15%

dari produksi sebelumnya pada tahun 2011,

namun konsumsi perkapita hanya sebesar 47.3

kg masih jauh dari standar konsumsi yang

direkomendasikan oleh Food and Agriculture

Organization (FAO) yaitu 73 kg per kapita per

tahun (BPS, 2013). Menurut Marwan (2008)

peningkatan jumlah konsumsi harus diiringi

dengan jumlah produksi untuk mengimbangi

permintaan sayuran yang menuntut adanya

pengadaan sayuran bermutu.

Hidroponik merupakan salah satu cara

alternatif budidaya untuk peningkatan kualitas

sayuran yang dihasilkan. Menurut Resh (1999)

budidaya hidroponik mempunyai beberapa

keuntungan dibandingkan dengan budidaya

ditanah, yaitu hara tanaman lebih homogen

1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faktultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Jl. Meranti, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680, Indonesia

*email penulis untuk korespondensi: [email protected]

Page 37: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.

Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan….. 37

dan dapat dikendalikan, tidak dibatasi oleh

ketersediaan unsur hara dalam tanah, tidak

memerlukan pengolahan tanah, penggunaan

pupuk lebih efisien, media tanam lebih

permanen karena dapat digunakan untuk jangka

waktu yang lama, dan hama penyakit

cenderung berkurang.

Penelitian Kusumawardhani dan Widodo

(2003) dengan menggunakan pupuk majemuk

yaitu NPK (20:20:20) dan NPK (8:10:13)

dengan penyetaraan unsur N, memberikan

hasil yang tidak berbeda nyata dengan larutan

hara AB Mix pada budidaya tomat secara

hidroponik. Ditambahkan oleh Iqbal (2006)

dan Masriah (2006) bahwa pada budidaya

bayam dan kangkung secara hidroponik meng-

gunakan pupuk majemuk NPK (20:20:20) dan

NPK (16:20:0) dengan konsentrasi N yang

telah disetarakan dengan larutan hara AB Mix

memiliki hasil yang lebih tinggi dibanding

tanaman yang diberi larutan AB Mix. Menurut

Noor (2006) air dan hara yang diaplikasikan

dalam fertigasi sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Penelitian-penelitian sebelumnya telah

menunjukkan bahwa pupuk majemuk cukup

baik untuk tanaman sayuran yang ditanam

secara hidroponik, namun harganya masih

terlalu mahal untuk budidaya sayuran daun

secara komersil. Perlu dilakukan penelitian

dengan menggunakan jenis pupuk yang

harganya lebih terjangkau. Penelitian ini ber-

tujuan untuk mengetahui frekuensi aplikasi dan

jenis sumber hara dengan penyetaraan unsur N

sebagai alternatif pengganti larutan hara AB

Mix pada budidaya kangkung (Ipomoea sp.),

caisin (Brassica juncea), dan kailan (Brassica

oleraceae Var. Acephala) secara hidroponik.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada Maret

sampai Mei 2013. Penanaman kangkung,

caisin, dan kailan dilakukan di Greenhouse

Unit Lapangan Cikabayan, University Farm

IPB pada ketinggian 250 m dpl dengan titik

koordinat 6033’5.68” LS dan 106042’51.33”

BT. Dilanjutkan dengan perhitungan bobot di

Laboratorium Pasca Panen Departemen Agro-

nomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor. Bahan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah benih kangkung

varietas Walet, benih caisin varietas Tosakan,

benih kailan varietas Nova, pupuk AB Mix,

pupuk NPK (15:15:15), NPK (12:14:12),

Carbofuran, Deltametrin, dan arang sekam.

Peralatan yang digunakan adalah polybag

ukuran 40 cm x 40 cm, gelas ukur 100 ml,

timbangan digital, sprayer, kontainer 120 liter,

penggaris, kamera, Bagan Warna Daun, EC

meter, pH meter, jangka sorong, dan tray semai.

Rancangan Percobaan yang digunakan

adalah Rancangan Kelompok Lengkap Teracak

(RKLT) Faktorial dengan dua faktor. Faktor

pertama yaitu jenis sumber hara yang terdiri

atas pupuk AB Mix (P0), NPK 15:15:15 (P1),

dan NPK 12:14:12 (P2). Faktor kedua

merupakan frekuensi pemupukan yang terdiri

dari 2 perlakuan yaitu: satu kali penyiraman

dengan 300 ml dan dua kali penyiraman

masing-masing 150 ml.

Setiap perlakuan diulang sebanyak 4

ulangan sehingga terdapat 24 satuan percobaan.

Setiap satuan percobaan terdiri dari 3 polybag,

setiap polybag terdiri dari 4 tanaman, sehingga

total tanaman yang ditanam sebanyak 288

untuk masing-masing komoditas. Pengamatan

dipilih secara acak 3 tanaman contoh dalam

setiap ulangan, total tanaman sampel sebanyak

72 tanaman untuk setiap komoditas yang

ditanam. Apabila analisis ragam dengan uji F

pada taraf nyata 5% untuk perlakuan pemu-

pukan dan frekuensi aplikasi menunjukkan

pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji lanjut

dengan uji jarak berganda Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf nyata 5%.

Penelitian akan dilakukan secara terpisah

antara masing-masing komoditas. Benih caisin,

kangkung, dan kailan akan disemai dalam tray

dengan media berupa cascing. Setelah berumur

2-3 minggu, bibit akan dipindah-tanamkan di

greenhouse. Pindah tanam setelah penyemaian

dilakukan kedalam polybag ukuran 40 cm x 40

cm dengan media arang sekam. Penyiraman

dan pemupukan untuk pupuk AB Mix, NPK

(15:15:15), dan NPK (12:14:12) dilakukan

secara bersamaan dengan sistem fertigasi

manual. Larutan pupuk majemuk NPK

(15:15:15) dan NPK (12:14:12) disetarakan

kandungan N-nya dengan kandungan N pada

larutan hara AB Mix (180 mg l-1 N). Setelah

disetarakan akan didapatkan pupuk NPK

(15:15:15) sebanyak 1.2 g l-1 dan NPK (12:14:12)

sebanyak 1.5 g l-1. Pupuk AB Mix dilarutkan

dalam kontainer A dan kontainer B dengan

volume masing-masing 90 liter. Sebanyak 250

ml masing-masing larutan stok diencerken

Page 38: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.

38 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila

pada kontainer berukuran 120 liter. Perlakuan

pertama diaplikasikan 1 kali sehari sebanyak

300 ml sedangkan perlakuan kedua diaplikasi-

kan 2 kali pada pagi dan sore hari masing-

masing 150 ml dengan menggunakan gelas

ukur. Pemeliharaan tanaman meliputi pe-

ngendalian hama dan penyakit. Kangkung,

caisin, dan kailan dapat dipanen pada umur 3-

4 MST.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Suhu rata-rata di dalam rumah kaca

selama penelitian cukup tinggi yaitu berkisar

antara 26-40 0C. Suhu tersebut mengakibatkan

tanaman mengalami layu tidak permanen.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan

jenis hara berpengaruh nyata terhadap

keseluruhan parameter pengamatan, baik

pengamatan vegetatif maupun panen.

Perlakuan frekuensi aplikasi tidak berpengaruh

nyata terhadap seluruh parameter pengamatan.

Kangkung Periode I

Jenis hara berpengaruh nyata pada

diameter batang 2-3 MST, lebar daun 1-3

MST, panjang daun 2-3 MST, dan jumlah

daun 1-3 MST (Tabel 1 dan 2). Jenis hara AB

Mix, NPK 15:15:15, dan NPK 12:14:12 meng-

hasilkan tinggi tanaman yang tidak berbeda

nyata hingga akhir penelitian. NPK 15:15:15

menghasilkan lebar daun, panjang daun, dan

jumlah daun yang lebih tinggi dibandingkan

AB Mix dan NPK 12:14:12. Diameter batang

pada 1-3 MST dengan jenis hara AB Mix tidak

berbeda dengan NPK 15:15:15. Sementara itu,

NPK 12:14:12 menghasilkan tanaman yang

paling rendah.

Tabel 1. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap tinggi tanaman, diameter batang, dan lebar

daun kangkung

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (cm) Lebar Daun (cm)

1 MST 2 MST 3 MST 1 MST 2 MST 3 MST 1 MST 2 MST 3 MST

Hara

AB Mix 11.09 17.73 27.09 0.25 0.33ab 0.40a 1.03b 1.44b 1.63b

NPK 15:15:15 12.15 19.07 28.32 0.25 0.34a 0.42a 1.20a 1.79a 2.18a

NPK 12:14:12 12.39 18.69 26.13 0.25 0.32b 0.36b 1.11ab 1.50b 1.73b

P-value tn tn tn tn * ** * ** **

Frekuensi

1 kali 11.97 18.62 27.39 0.25 0.33 0.39 1.09 1.58 1.86

2 kali 11.78 18.38 26.96 0.25 0.33 0.39 1.14 1.57 1.83

P-value tn tn tn tn tn tn tn tn tn

Interaksi

P-value tn tn tn tn tn tn tn tn tn

CV 11.76 7.05 9.62 6.26 4.95 7.54 10.93 12.30 11.28

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Tabel 2. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap panjang daun dan jumlah daun kangkung

Perlakuan Panjang Daun (cm) Jumlah Daun (helai)

1 MST 2 MST 3 MST 1 MST 2 MST 3 MST

Hara

AB Mix 5.73 7.68b 8.59b 2.83b 6.83ab 8.75b

NPK 15:15:15 6.08 8.49a 9.85a 3.29a 7.29a 9.79a

NPK 12:14:12 5.73 7.74b 8.53b 2.58b 6.29b 9.08b

P-value tn * * ** ** **

Frekuensi

1 kali 5.83 8.01 9.11 2.94a 6.83a 9.25a

2 kali 6.04 7.93 8.87 2.86a 6.78a 9.17a

P-value tn tn tn tn tn tn

Interaksi

P-value tn tn tn tn tn tn

CV 7.02 7.87 10.76 13.13 7.48 5.71

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Page 39: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.

Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan….. 39

Hal ini diduga karena NPK 12:14:12

hanya mengandung unsur hara makro N, P, K,

dan Mg serta hara mikro yaitu Mn, B, Cu, Co,

dan Zn. Sedangkan NPK 15:15:15 mengandung

hara makro N, P, K, Mg, dan S yang hampir

setara dengan AB Mix. Menurut Salisbury dan

Ross (1995), jika tanaman kekurangan salah

satu dari unsur yang dibutuhkan maka tanaman

tidak akan dapat menyelesaikan siklus hidup-

nya karena unsur tersebut berperan langsung

dalam kehidupan tanaman dan kedudukannya

tidak dapat digantikan oleh unsur lain.

Perlakuan jenis hara berpengaruh sangat

nyata terhadap bobot tanaman-1, bobot 4

tanaman-1, bobot daun, bobot batang, bobot

akar, panjang akar, bobot total, dan warna

daun (Tabel 3 dan 4). Jenis hara berpengaruh

nyata terhadap bobot layak pasar, tetapi tidak

berpengaruh nyata terhadap bobot tidak layak

pasar (Tabel 3 dan 4). Bobot tanaman-1, bobot

4 tanaman-1, bobot/total, bobot layak pasar,

bobot daun, bobot batang, dan bobot akar yang

dihasilkan pada jenis hara NPK 15:15:15 lebih

tinggi dibandingkan AB Mix dan NPK

12:14:12. Sementara pada panjang akar dan

warna daun yang dihasilkan jenis hara NPK

15:15:15 tidak berbeda dengan AB Mix. NPK

12:14:12 menghasilkan tanaman yang rendah

kualitas-nya. NPK 12:14:12 memiliki warna

daun yang agak kekuning-kuningan. Hal ini

diduga tanaman kangkung kekurangan unsur

sulfur. Gejala-gejala tanaman yang kekurangan

unsur sulfur menurut Munawar (2011) yaitu

daun-daun muda berwarna kuning pucat,

sementara daun-daun tua masih berwarna

hijau.

Tabel 3. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot tanaman-1, bobot 4 tanaman-1, bobot

layak pasar, bobot tidak layak pasar, dan bobot/total kangkung

Perlakuan

Bobot

Tanaman-1

(g)

Bobot 4

Tanaman-1 (g)

Bobot 96 Tanaman (g)

Bobot Layak

Pasar

Bobot Tidak Layak

Pasar Bobot Total

Hara

AB Mix 6.12b 22.58b 2.91b 64.83 67.74b

NPK 15:15:15 9.21a 33.64a 24.93a 76.03 100.96a

NPK 12:14:12 5.68b 22.16b 0.00b 66.51 66.51b

P-value ** ** * tn **

Frekuensi

1 kali 7.04 25.03 6.22 68.85 75.07

2 kali 6.97 27.23 12.34 69.39 81.73

P-value tn tn tn tn tn

Interaksi

P-value tn tn tn tn tn

CV 19.59 18.51 170.14 17.90 18.52

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Tabel 4. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot daun, bobot batang, bobot akar, panjang

akar, dan warna daun kangkung

Perlakuan Bobot Tanaman-1 (g) Panjang Akar

(cm) Warna Daun

Daun Batang Akar

Hara

AB Mix 2.28b 2.92b 1.05b 14.51a 3.00a

NPK 15:15:15 3.80a 3.69a 1.54a 14.85a 3.00a

NPK 12:14:12 2.05b 2.49b 0.76c 12.64b 2.54b

P-value ** ** ** ** **

Frekuensi

1 kali 2.70 3.02 1.12 14.38 2.81

2 kali 2.72 3.04 1.12 13.63 2.89

P-value tn tn tn tn tn

Interaksi

P-value tn tn tn tn tn

CV 25.82 14.28 20.40 11.86 9.13

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Page 40: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.

40 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila

Hal ini dikarenakan dalam hara NPK

12:14:12 tidak mengandung unsur sulfur seperti

NPK 15:15:15 dan AB Mix. Frekuensi aplikasi

tidak berpengaruh nyata terhadap seluruh

parameter pengamatan baik pada pertumbuhan

vegetatif maupun panen. Tidak terdapat interaksi

diantara kedua perlakuan terhadap seluruh

parameter pengamatan vegetatif dan panen.

Caisin

Perlakuan jenis hara berpengaruh sangat

nyata terhadap diameter batang 1-4 MST, dan

jumlah daun 3-4 MST, serta berpengaruh nyata

pada jumlah daun 1 MST (Tabel 5 dan 6).

Jenis hara tidak berpengaruh nyata terhadap

tinggi tanaman, lebar daun, dan panjang daun.

Jenis hara AB Mix pada diameter batang

merupakan yang tertinggi, NPK 15:15:15

merupakan kedua tertinggi, dan NPK 12:14:12

yang terendah. Secara umum, pada pertumbuhan

vegetatif dengan perlakuan NPK 15:15:15

menghasilkan tanaman yang tidak berbeda

nyata dengan AB Mix. Hal ini selaras dengan

penelitian Iqbal (2006) yang menyatakan bahwa

tanaman bayam yang diberi larutan hara yang

berasal dari pupuk majemuk memiliki tinggi,

diameter, dan bobot tajuk yang sama dengan

AB Mix.

Tabel 5. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap tinggi tanaman, diameter batang, dan lebar

daun caisin

Perlakuan

Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (cm) Lebar Daun

(cm)

1

MST

2

MST

3

MST

4

MST

1

MST

2

MST

3

MST

4

MST

1

MST

2

MST

3

MST

4

MST

Hara

AB Mix 2.41 2.80 3.03 3.39 0.27 0.37a 0.43a 0.56a 3.38 4.38 4.75 4.90

NPK 15:15:15 2.29 2.62 2.83 3.17 0.26 0.36a 0.40b 0.49b 3.40 4.37 4.91 5.08

NPK12:14:12 2.68 3.03 3.38 3.80 0.25 0.34b 0.36c 0.44c 3.33 4.03 4.36 4.48

P-value tn tn tn tn tn ** ** ** tn tn tn tn

Frekuensi

1 kali 2.46 2.83 3.15 3.44 0.26 0.36 0.40 0.50 3.27 4.19 4.55 4.69

2 kali 2.46 2.80 3.01 3.47 0.26 0.36 0.40 0.49 3.47 4.33 4.79 4.94

P-value tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn

Interaksi

P-value tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn

CV 15.24 17.86 16.32 17.32 9.96 5.57 4.86 6.54 9.22 11.56 10.53 10.57

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Tabel 6. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap panjang daun dan jumlah daun caisin

Perlakuan Panjang Daun (cm) Jumlah Daun (helai)

1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST

Hara

AB Mix 10.48 11.73 12.49 12.77 4.46ab 6.08 7.33a 8.75a

NPK 15:15:15 10.45 11.70 12.56 12.90 4.75a 6.38 7.13a 8.33a

NPK 12:14:12 9.46 10.72 11.37 11.54 4.21b 5.92 6.50b 7.00b

P-value tn tn tn tn * tn ** **

Frekuensi

1 kali 10.08 11.33 12.05 12.29 4.53 5.97 6.89 7.94

2 kali 10.18 11.43 12.23 12.52 4.42 6.28 7.08 8.11

P-value tn tn tn tn tn tn tn tn

Interaksi

P-value tn tn tn tn tn tn tn tn

CV 11.98 10.70 9.85 9.79 8.78 7.21 6.49 7.69

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Page 41: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.

Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan….. 41

Jenis hara berpengaruh sangat nyata

terhadap bobot total, bobot 4 tanaman-1, bobot

daun, dan panjang akar (Tabel 7 dan 8).

Perlakuan jenis hara berpengaruh nyata pada

bobot tanaman-1 dan bobot batang, tetapi tidak

berpengaruh nyata pada bobot layak pasar,

bobot tidak layak pasar, bobot akar, dan warna

daun. Rata-rata perlakuan NPK 15:15:15

menghasilkan panen yang tidak berbeda nyata

dengan AB Mix, kecuali pada bobot batang

NPK 15:15:15 lebih rendah dibanding AB

Mix. Sementara itu, NPK 12:14:12 menghasilkan

panen terendah dibandingkan jenis hara lain.

Frekuensi palikasi tidak berpengaruh nyata

terhadap seluruh parameter pengamatan. Interaksi

antara jenis hara dan frekuensi aplikasi

memiliki pengaruh yang tidak nyata terhadap

seluruh parameter pengamatan caisin.

Tabel 7. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot tanaman-1, bobot 4 tanaman-1, bobot

layak pasar, bobot tidak layak pasar, dan bobot total caisin

Perlakuan Bobot

Tanaman-1 (g)

Bobot 4

Tanaman-1 (g)

Bobot 96 tanaman (g)

Bobot Layak

Pasar

Bobot Tidak Layak

Pasar

Bobot

Total

Hara

AB Mix 31.82a 105.36a 184.81 131.28 316.09a

NPK 15:15:15 24.05ab 100.04a 122.79 177.34 300.13a

NPK 12:14:12 19.82b 62.39b 54.98 132.19 187.17b

P-value * ** tn tn **

Frekuensi

1 kali 23.15 88.94 106.48 53.67 160.15

2 kali 27.31 89.59 135.24 44.51 179.75

P-value tn tn tn tn tn

interaksi

P-value tn tn tn tn tn

CV 33.65 25.38 82.87 38.04 25.38

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Tabel 8. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot daun, bobot batang, bobot akar, panjang

akar, dan warna daun caisin

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Perlakuan Bobot Tanaman-1 (g)

Panjang Akar (cm) Warna Daun Daun Batang Akar

Hara

AB Mix 27.21a 1.12a 2.79 14.40a 3.00

NPK 15:15:15 25.07a 0.84b 2.05 15.61a 3.00

NPK 12:14:12 16.44b 0.78b 1.57 10.25b 3.25

P-value ** * tn ** tn

Frekuensi

1 kali 22.26 0.94 1.92 14.00 3.08

2 kali 23.56 0.89 2.36 12.84 3.08

P-value tn tn tn tn tn

Interaksi

P-value tn tn tn tn tn

CV 25.67 27.08 44.61 17.99 8.68

Page 42: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.

42 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila

Kailan

Perlakuan jenis hara memiliki pengaruh

yang sangat nyata terhadap diameter batang 4

MST, lebar daun 1-4 MST, panjang daun 2-4

MST, dan jumlah daun 2-3 MST (Tabel 9 dan

10). Jenis hara berpengaruh nyata terhadap

tinggi tanaman 4 MST, diameter batang 1 dan

3 MST, panjang daun 1 MST, serta jumlah

daun 1 dan 4 MST, sedangkan pada tinggi

tanaman 1-3 MST dan diameter batang 2 MST

perlakuan jenis hara tidak berpengaruh nyata

(Tabel 9 dan 10). Tinggi tanaman, diameter

batang, dan jumlah daun yang dihasilkan jenis

hara NPK 15:15:15 tidak berbeda nyata dengan

AB Mix, sedangkan pada lebar daun dan

panjang daun perlakuan NPK 15:15:15 lebih

tinggi dibandingkan AB Mix.

Berdasarkan tabel 10 jumlah daun

dengan perlakuan NPK 15:15:15 pada akhir

pengamatan memiliki jumlah daun yang paling

sedikit dibandingkan jenis hara lain. Hal ini

disebabkan pada minggu keempat terjadi

serangan hama kutu kebul (Bemisia tabacii).

Kutu kebul biasa menyerang tanaman kubis-

kubisan. Gejala yang ditimbulkan yaitu daun

menguning secara perlahan hampir keseluruh

helaian hingga akhirnya daun menguning dan

mati. Kutu kebul banyak ditemukan di green-

house (Capinera, 2001).

Tabel 9. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap tinggi tanaman, diameter batang, dan lebar

daun kailan

Perlakuan

Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (cm) Lebar Daun (cm)

1

MST

2

MST

3

MST

4

MST

1

MST

2

MST

3

MST

4

MST

1

MST

2

MST

3

MST

4

MST

Hara

AB Mix 3.83 5.29ab 7.40 8.75a 0.22ab 0.25ab 0.28ab 0.36a 3.12b 3.69b 3.82b 3.95b

NPK

15:15:15 3.89 5.61a 7.29

8.33a 0.23a 0.26a 0.29a 0.35a 3.59a 4.45a 4.66a 5.27a

NPK

12:14:12 3.52 4.98b 6.86

7.00b 0.21b 0.24b 0.27b 0.31b 3.02b 3.58b 3.67b 3.75b

P-value tn tn tn * * tn * ** ** ** ** **

Frekuensi

1 kali 3.69 5.09 7.01 7.94 0.23 0.25 0.28 0.35 3.20 3.83 3.99 4.19

2 kali 3.81 5.50 7.36 8.11 0.22 0.25 0.28 0.34 3.28 3.98 4.11 4.46

P-value tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn tn

Interaksi

P-value tn * tn * tn tn tn * tn tn tn tn

CV 10.90 9.01 10.67 10.69 4.10 7.12 7.11 6.05 7.99 8.91 1.06 12.93

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Tabel 10. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap panjang daun dan jumlah daun kailan

Perlakuan Panjang Daun (cm) Jumlah Daun (helai)

1 MST 2 MST 3 MST 4 MST 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST

Hara

AB Mix 3.74b 4.26b 4.42b 4.56b 3.38a 5.17b 6.67a 8.29a

NPK 15:15:15 4.26a 4.81a 5.13a 5.68a 3.50a 5.58a 6.75a 7.5b

NPK 12:14:12 3.55b 3.96b 4.13b 4.21b 3.08b 4.83b 5.96b 7.63b

P-value * ** ** ** * ** ** *

Frekuensi

1 kali 3.70 4.28 4.53 4.73 3.33 5.25 6.39 7.78

2 kali 3.99 4.41 4.60 4.90 3.31 5.14 6.53 7.83

P-value tn tn tn tn tn tn tn tn

Interaksi

P-value tn tn tn tn tn tn tn tn

CV 11.89 8.98 9.51 11.55 7.84 6.12 6.22 7.70

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Page 43: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.

Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan….. 43

Jenis hara berpengaruh sangat nyata

terhadap bobot total, bobot polybag-1, bobot

tanaman-1, bobot layak pasar, bobot daun,

bobot batang, dan panjang akar (Tabel 11 dan

12). Parameter bobot total, bobot polybag-1,

bobot layak pasar, bobot akar, dan panjang

akar menunjukkan bahwa AB Mix lebih tinggi

dibandingkan dengan NPK 15:15:15 dan NPK

12:14:12. Sementara pada bobot tanaman-1,

bobot daun, bobot akar, dan warna daun NPK

15:15: tidak berbeda nyata dengan AB Mix.

Frekuensi aplikasi tidak berpengaruh

nyata terhadap seluruh parameter pengamatan.

Interaksi terjadi pada parameter bobot tanaman-1,

bobot layak pasar, bobot tidak layak pasar, dan

bobot daun. Interaksi terbaik antara jenis hara

dan frekuensi aplikasi untuk parameter tinggi

tanaman, diameter batang, bobot daun, bobot

tanaman-1, dan bobot layak pasar terjadi antara

jenis hara AB Mix dan frekuensi aplikasi 2

kali, meskipun berdasarkan statistik tidak

berbeda dengan NPK 15:15:15 dan frekuensi

aplikasi 1 kali.

Tabel 11. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot total, bobot polybag-1, bobot

tanaman-1, bobot layak pasar, dan bobot tidak layak pasar.

Perlakuan Bobot

Tanaman-1 (g)

Bobot 4

Tanaman-1

(g)

Bobot 96 Tanaman (g)

Bobot Layak

Pasar

Bobot Tidak Layak

Pasar

Bobot

Total

Hara

AB Mix 20.02a 69.26a 205.29a 2.50b 207.79a

NPK 15:15:15 19.09a 57.23b 130.69b 41.01a 171.70b

NPK 12:14:12 14.40b 47.15c 119.38b 22.09ab 141.47c

P-value ** ** ** * **

Frekuensi

1 kali 17.16 57.87 161.02 12.59 173.61

2 kali 18.51 57.90 142.55 31.14 173.69

P-value tn tn tn tn tn

Interaksi

P-value ** tn * * tn

CV 13.13 15.78 24.77 101.54 15.78

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Tabel 12. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot daun, bobot batang, bobot akar,

panjangakar, dan warna daun kailan

Perlakuan Bobot Tanaman-1 (g) Panjang Akar

(cm) Warna Daun

Daun Batang Akar

Hara

AB Mix 14.50a 3.49a 1.58a 13.22a 2.96b

NPK 15:15:15 14.98a 2.20b 1.41ab 11.39b 2.96b

NPK12:14:12 10.84b 2.07b 1.14b 10.39b 3.12a

P-value ** ** tn ** tn

Frekuensi

1 kali 12.96 2.42 1.34 11.75 3.03

2 kali 13.91 2.75 1.41 11.58 3.00

P-value tn tn tn tn tn

Interaksi

P-value * tn tn tn tn

CV 16.11 20.26 23.98 11.18 4.77

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Page 44: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.

44 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila

Tabel 13. Pengaruh interaksi antara jenis hara dan frekuensi aplikasi terhadap tinggi tanaman kailan

2 MST dan 4 MST, diameter batang 4 MST, serta bobot daun

Jenis hara

Tinggi Tanaman 2

MST (cm)

Tinggi Tanaman 4

MST (cm)

Diameter Batang 4

MST (cm) Bobot Daun (g)

Frekuensi Aplikasi

(kali)

Frekuensi Aplikasi

(kali)

Frekuensi Aplikasi

(kali)

Frekuensi

Aplikasi (kali)

1 2 1 2 1 2 1 2

AB Mix 4.68 5.91a 9.38 11.59a 0.36 0.34 12.43ab 16.57a

NPK 15:15:15 5.61 5.61a 9.24 8.95b 0.37 0.31 16.22a 13.75b

NPK 12:14:12 4.98 4.98b 9.67 8.68b 0.37 0.32 10.25b 11.43b

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Tabel 14. Pengaruh interaksi antara jenis hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot tanaman-1,

bobot layak pasar, dan bobot tidak layak pasar

Jenis hara

Bobot Tanaman-1 (g) Bobot Layak Pasar (g) Bobot Tidak Layak Pasar

(g)

Frekuensi Aplikasi (kali) Frekuensi Aplikasi (kali) Frekuensi Aplikasi (kali)

1 2 1 2 1 2

AB Mix 17.18ab 22.85a 64.93a 71.93a 0.97 0.70b

NPK 15:15:15 20.55a 17.63b 57.01a 30.12b 4.03 23.32a

NPK 12:14:12 13.76b 15.05b 39.08b 40.89b 7.60 7.13b

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Kangkung periode II

Tabel 15 dan tabel 16 menunjukkan

bahwa perlakuan jenis hara berpengaruh nyata

pada tinggi tanaman 2 MST, diameter batang

2 MST dan 3 MST, lebar daun 1-3 MST, dan

jumlah daun 2 dan 3 MST. Perlakuan NPK

15:15:15 memiliki tinggi tanaman, diameter

batang, dan lebar daun yang tidak berbeda

nyata dengan AB Mix, tetapi berbeda nyata

dengan NPK 12:14:12. Jumlah daun terbanyak

yaitu perlakuan NPK 15:15:15, sedangkan

AB Mix dan NPK 12:14:12 memiliki jumlah

daun yang tidak berbeda nyata. Berdasarkan

tabel 17 perlakuan jenis hara NPK 15:15:15

memiliki bobot tanaman-1, bobot/4 tanaman,

bobot layak pasar tertinggi, dan warna daun

yang lebih hijau dibandingkan AB Mix dan

NPK 12:14:12.

Tabel 15. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap panjang daun dan jumlah daun kangkung II

Perlakuan Tinggi Tanaman (cm) Diameter Batang (cm)

1 MST 2 MST 3 MST 1 MST 2 MST 3 MST

Hara

AB Mix 16.62 28.38a 34.92 0.35 0.47a 0.51a

NPK 15:15:15 16.50 29.35a 34.85 0.36 0.45a 0.49a

NPK 12:14:12 15.39 25.84b 29.88 0.34 0.42b 0.45b

P-value tn * tn tn ** *

Frekuensi

1 kali 15.30b 26.79b 33.15 0.35 0.44 0.48

2 kali 17.04a 28.92a 33.28 0.35 0.45 0.48

P-value ** * tn tn tn tn

Interaksi

P-value tn tn tn tn tn tn

CV 6.82 8.51 15.52 5.47 5.92 7.74 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%

Page 45: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.

Sumber dan Frekuensi Aplikasi Larutan….. 45

Tabel 16. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap panjang daun dan jumlah daun kangkung II

Perlakuan Lebar Daun (cm) Jumlah Daun (helai)

1 MST 2 MST 3 MST 1 MST 2 MST 3 MST

Hara

AB Mix 1.60ab 1.88ab 1.97ab 8.25 12.13b 14.88b

NPK 15:15:15 1.71a 2.06a 2.10a 8.38 14.96a 19.88a

NPK 12:14:12 1.51b 1.72b 1.80b 8.17 11.46b 13.79b

P-value * ** * tn ** **

Frekuensi

1 kali 1.58 1.87 1.93 8.06 12.44 15.36b

2 kali 1.64 1.91 1.98 8.47 13.25 17.00a

P-value tn tn tn tn tn *

Interaksi

P-value tn tn tn tn tn tn

CV 9.12 9.70 8.85 7.60 8.31 11.56 Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Tabel 17. Pengaruh hara dan frekuensi aplikasi terhadap bobot daun, bobot batang, bobot akar,

panjang akar, dan warna daun kangkung II

Perlakuan

Bobot

Tanaman-1

(g)

Bobot 4

Tanaman-1

(g)

Bobot 96 Tanaman (g)

Warna

Daun Bobot

Layak

Pasar

Bobot tidak

Layak Pasar

Bobot

Total

Hara

AB Mix 9.74b 32.20b 27.58b 69.02 96.60b 2.83b

NPK 15:15:15 12.87a 41.05a 53.57a 69.59 123.16a 3.29a

NPK 12:14:12 7.01c 24.26c 2.70c 70.07 72.77c 2.58b

P-value ** ** ** tn ** **

Frekuensi

1 kali 9.61 31.79 25.41 69.95 95.36 2.94

2 kali 10.14 33.22 30.49 69.17 99.66 2.86

P-value tn tn tn tn tn tn

Interaksi

P-value tn tn tn tn tn tn

CV 15.82 13.32 55.75 16.90 13.30 13.13

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT 5%.

Perlakuan jenis hara tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap bobot tidak

layak pasar kangkung. Perlakuan jenis hara

NPK 12:14:12 untuk parameter bobot tanaman-1,

bobot 4 tanaman-1, dan bobot layak pasar yang

terkecil diantara NPK 15:15:15 dan AB Mix,

namun warna daun dengan perlakuan NPK

12:14:12 tidak berbeda nyata dengan AB Mix.

KESIMPULAN

Pupuk majemuk NPK 15:15:15 dengan

konsentrasi N yang telah disetarakan dengan

larutan hara AB Mix dapat digunakan sebagai

sumber hara pada budidaya kangkung, caisin,

dan kailan secara hidroponik. Tanaman kangkung

periode I dan periode II yang diberi perlakuan

hara NPK 15:15:15 memiliki pertumbuhan

vegetatif dan hasil panen yang sama dengan

tanaman dengan perlakuan AB Mix. Sama

halnya dengan kangkung, pertumbuhan vege-

tatif dan hasil panen caisin yang diberi

perlakuan NPK 15:15:15 tidak berbeda nyata

dengan AB Mix. Lain halnya dengan kailan,

walaupun pertumbuhan vegetatif dengan per-

lakuan NPK 15:15:15 tidak berbeda dengan

AB Mix, namun untuk hasil panen cenderung

Page 46: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):36-46. April 2014.

46 Fita Lita Ramadiani dan Anas D. Susila

lebih rendah dibanding AB Mix. Hal tersebut

dikarenakan pada saat menjelang panen, tanaman

kailan mendapatkan serangan kutu kebul.

Berdasarkan analisis usaha tani, biaya produksi

NPK 15:15:15 lebih murah dibandingkan AB

Mix dan dari segi kemudahan NPK 15:15:15

lebih mudah didapatkan dibandingkan hara

AB Mix. Pupuk majemuk NPK 12:14:12 tidak

dapat menggantikan AB Mix karena meng-

hasilkan tanaman dengan kualitas yang paling

rendah serta biaya produksi yang lebih mahal.

Frekuensi aplikasi 2 kali menghasilkan tanaman

yang lebih baik dibandingkan frekuensi aplikasi

1 kali, walaupun berdasarkan nilai statistik

tidak berbeda nyata antara frekuensi aplikasi 1

kali dengan frekuensi aplikasi 2 kali. Kom-

binasi perlakuan larutan hara AB Mix dengan

frekuensi aplikasi 2 kali menghasilkan tinggi

tanaman 11.59 cm, bobot tanaman-1 22.85 gram,

bobot layak pasar 71.93 gram, dan bobot daun

tertinggi sebesar 16.57 gram.

SARAN

Perlu penelitian lebih lanjut dengan

frekuensi aplikasi yang lebih beragam. Selain

itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk

mencari kombinasi pupuk majemuk dengan

kandungan NPK mendekati AB Mix.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Sayuran

Indonesia Tahun 2010-2011. Badan Pusat

Statistik. Jakarta.

Capinera, J.L. 2001. Handbook of Vegetable

Pests. Academic Press. Orlando. US.

Kusumawardhani, A., W.D. Widodo. 2003.

Pemanfaatan pupuk majemuk sebagai

sumber hara budidaya tomat secara

hidroponik. Bul. Agron. 31(1): 15-20.

Iqbal, M. 2006. Penggunaan pupuk majemuk

sebagai sumber hara pada budidaya

bayam secara hidroponik dengan tiga

cara fertigasi. Skripsi. Program Studi

Agronomi. Fakultas Pertanian. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Marwan, M. 2008. Kajian permasalahan

penerapan manajemen mutu terpadu

(Kasus: CV. Putri Segar Lembang, Jawa

Barat). Skripsi. Program Sarjana Mana-

jemen Agribisnis. Fakultas Pertanian.

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Masriah, N. 2006. Penggunaan pupuk majemuk

sebagai sumber hara pada budidaya

kangkung (Ipomoea reptans Poir) secara

hidroponik dengan tiga cara fertigasi.

Skripsi. Departemen Agronomi dan

Hortikultura. Fakultas Pertanian. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Munawar, A. 2011. Kesuburan Tanah dan

Nutrisi Tanaman: IPB Press. Bogor.

Noor, Z. 2006. Pengaruh frekuensi penyiraman

nutrisi terhadap produktivitas dan mutu

hasil panen paprika. Disertasi. Depar-

temen Budidaya Pertanian. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Resh, H.M. 2004. Hydroponic Food

Production: A Definitive Guidebook of

Soiless Food-Growing Methods. 6th Ed.

Newconcept Pr, Inc. New Jersey. US.

Salisbury, F.B., C.W. Ross. 1995. Fisiologi

Tumbuhan Dasar Jilid I. Penerbit ITB.

Bandung.

Susila, A.D. 2006. Fertigasi pada Budidaya

Tanaman Sayuran di dalam Greenhouse.

Direktorat Jenderal Hortikultura. Bandung.

Page 47: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.

Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung….. 47

Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung

(Sonchus arvensis L.) dengan Komposisi Media Tanam yang

Berbeda

Growth dan Production of Sowthistle (Sonchus arvensis L.) in Different Media

Composition

Denti Dewi Gatari1* dan Maya Melati1

Diterima 15 November 2013/Disetujui 14 Januari 2014

ABSTRACT

Sowthistle is one of wild medicinal plants. Sowthistle can be planted in the pot, polybag or

land with mix of organic material or sand with lime. The objective of this research was to determine

the effect of media composition on the growth and production of sowthistle (Sonchus arvensis L.). The experiment was arranged in a randomized complete block design with one factor, three

treatments and three replications. The treatments were 8 kg soil, 7.5 kg soil + 0.5 kg cow manure, 7

kg soil + 0.5 kg cow manure + 0.5 kg rice hull charcoal polybag-1. The three treatments used lime with the rate of 10 g polybag-1. Media composition as control was 7 kg soil + 0.5 kg cow manure +

0.5 kg rice hull charcoal without lime. Every treatment consisted of 10 plants. The results of

experiment showed that unaffected by composition did not the growth and yield component of

sowthistle media. Compared to treatment without lime, fresh weight of root at 5 MST with the

application of cow manure was significantly smaller.

Keywords: cow manure, lime, rice hull charcoal

ABSTRAK

Tempuyung merupakan salah satu tanaman obat yang tumbuh liar. Budi daya tempuyung

dapat dilakukan di dalam pot, polybag, atau lahan dengan menggunakan bahan organik yang

dicampur dengan puing bangunan atau pasir serta batu yang diberi banyak kapur. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui pengaruh komposisi media tanam terhadap pertumbuhan dan produksi

tanaman tempuyung (Sonchus arvensis L.). Percobaan ini menggunakan rancangan kelompok

lengkap teracak (RKLT) faktor tunggal, tiga taraf dan tiga perlakuan yaitu 8 kg tanah, 7.5 kg tanah +

0.5 kg pupuk kandang sapi, 7 kg tanah + 0.5 kg pupuk kandang sapi + 0.5 kg arang sekam polybag-1.

Ketiga perlakuan menggunakan dosis kapur 10 g polybag-1. Komposisi media tanam sebagai

pembanding adalah 7 kg tanah + 0.5 kg pupuk kandang sapi + 0.5 kg arang sekam tanpa kapur.

Setiap perlakuan terdiri atas 10 tanaman dan diulang sebanyak tiga kali. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa komposisi media tanam tidak mempengaruhi peubah vegetatif dan komponen

hasil tanaman tempuyung. Bobot basah akar pada umur 5 MST dengan penambahan pupuk kandang

sapi nyata lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan tanpa kapur.

Kata kunci: arang sekam, kapur, pupuk kandang sapi

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki keanekaragaman

hayati yang dapat dimanfaatkan dalam semua

aspek kehidupan manusia. Tanaman obat

digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu

alternatif pengobatan, baik untuk pencegahan

penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif),

pemulihan kesehatan (rehabilitatif) serta pe-

ningkatan kesehatan (promotif) (Hernani dan

1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680, Indonesia

*Penulis untuk korespondensi: [email protected]

Page 48: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.

48 Denti Dewi Gatari dan Maya Melati

Nudjanah, 2009). Tempuyung sebagai salah satu

jenis tanaman obat potensial yang menggunakan

bagian daunnya untuk pengobatan (Siswanto

et al., 2004). Permintaan simplisia rata-rata

sebesar 4 789 kg pada tahun 1993. Dugaan

permintaan simplisia rata-rata pada tahun 2000

sebesar 24 404 kg (Muhammad et al., 1993).

Permintaan daun pada tanaman ini cukup

tinggi namun usaha budi daya tempuyung belum

intensif untuk memenuhi permintaan tersebut.

Tempuyung tumbuh liar di tempat

terbuka yang terkena sinar matahari atau

sedikit terlindung dan pada tanah yang agak

lembab, seperti pinggir parit, pinggir jalan,

sela-sela batu, tebing dan tembok miring

(Djauhariya dan Hernani, 2004; Dalimartha,

2005). Tanaman ini dapat tumbuh di media

tanah. Penelitian Wahyuningsih (2005) me-

nunjukkan bahwa media tanam yang digunakan

dalam budi daya tempuyung adalah campuran

tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan

1:1 dan pupuk anorganik. Komposisi media

tanam yang lain perlu dicari dengan mem-

pertimbangkan lingkungan tumbuh tempuyung

pada umumnya. Campuran media yang dapat

digunakan adalah pupuk kandang atau arang

sekam yang merupakan limbah pertanian.

Pupuk merupakan masukan yang penting

dalam produksi tanaman (Harahap, 2005). Pupuk

kandang adalah salah satu bahan untuk mem-

perbaiki sifat kimia tanah terutama dapat me-

ningkatkan ketersediaan unsur hara makro (N,

P, K, Ca, Mg, dan S) dan mikro (Fe, Zn, Mn, B,

Cu, dan Mo) (Chairani, 2006). Kualitas pupuk

kandang sangat tergantung pada jenis ternak

dan kualitas pakan (Hadid dan Laude, 2007).

Arang sekam yang diberikan pada media tanam

dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman,

menambah hara tanah dan memperbaiki sifat-

sifat tanah terutama sifat fisik. Hasil penelitian

Saleh (2010) menunjukkan bahwa penggunaan

arang sekam sebagai media tanam dapat me-

ningkatkan ketersediaan N dan K2O.

Budi daya tempuyung dapat dilakukan

di dalam pot, polybag, atau lahan dengan meng-

gunakan bahan organik yang dicampur dengan

puing bangunan atau pasir. Kajian tentang

komposisi media tanam untuk tempuyung masih

terbatas. Penelitian ini mempelajari kesesuaian

berbagai jenis komposisi media tanam untuk

pertumbuhan tempuyung. Menurut Foragri

(2011), media tanam tempuyung harus material

yang basa. Lahan bekas reruntuhan bangunan

yang memiliki banyak zat kapur sangat cocok

untuk media tanam tempuyung. Oleh karena

itu, sebagai tambahan kajian juga akan mem-

pelajari pengaruh kapur dalam media.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Februari sampai Mei 2013 di Kebun Percobaan

Cikarawang IPB, Dramaga Bogor. Analisis

tanah dilaksanakan di Laboratorium Departemen

Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Bogor. Bahan tanaman yang digunakan adalah

anakan tempuyung yang berumur ± 4 minggu

atau yang memiliki 1-2 daun. Bahan-bahan

lainnya adalah tanah, pupuk kandang, arang

sekam, kapur, paranet, amplop coklat, koran

dan polybag berukuran 40 cm x 50 cm. Alat-

alat yang digunakan adalah alat budi daya

pertanian, timbangan analitik dan oven dengan

pengaturan suhu 80 0C selama 2 hari.

Percobaan ini menggunakan Rancangan

Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) faktor

tunggal yang terdiri atas tiga taraf yaitu: M1 =

8 kg tanah + kapur 10 g polybag-1. M2 = 7.5

kg tanah + 0.5 kg pupuk kandang sapi + kapur

10 g polybag-1. M3 = 7 kg tanah + 0.5 kg

pupuk kandang sapi + 0.5 kg arang sekam +

kapur 10 g polybag-1. Sebagai pembanding

adalah = 7 kg tanah + 0.5 kg pupuk kandang

sapi + 0.5 kg arang sekam.

Setiap perlakuan terdiri atas 10 tanaman

dengan 3 ulangan, sehingga total tanaman ada

120 tanaman. Data pengamatan yang diperoleh

dianalisis menggunakan sidik ragam (uji F)

taraf 5%. Hasil pengamatan yang berbeda nyata

diuji lanjut dengan Duncan Multiple Range

Test (DMRT) taraf 5% sedangkan untuk mem-

bandingkan dengan perlakuan tanpa kapur

menggunakan uji lanjut t-dunnett. Data diolah

menggunakan software SAS.

Percobaan diawali dengan persiapan

lahan dan media tanam. Media tanam diper-

siapkan 1 minggu sebelum tanam. Tanah diayak

terlebih dahulu agar akar tanaman mudah

menembus tanah dan aerasi tanah baik. Setiap

polybag berisi media tanam yang berbeda

sesuai dengan perlakuan. Bobot media per

polybag sebesar 8 kg. Anakan tempuyung yang

digunakan telah berumur 4 minggu atau yang

sudah memiliki 2 daun dipindahkan ke dalam

poybag yang sudah dipersiapkan terlebih

dahulu. Kapur diberikan secara melingkar

dengan dosis 10 g polybag-1. Jarak tanam antar

Page 49: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.

Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung….. 49

polybag adalah 50 cm × 50 cm. Lahan diberi

naungan berupa paranet dengan intensitas cahaya

matahari 40% selama 4 minggu agar tanaman

yang baru dipindahkan tidak mati.

Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan

penyulaman, penyiraman, penyiangan gulma

serta pengendalian hama dan penyakit tanaman.

Penyulaman dilakukan pada umur 1 MST dengan

cara mengganti tanaman yang mati dengan tanaman

baru yang umurnya relatif sama dan seragam.

Pemanenan secara destruktif yaitu me-

ngambil seluruh bagian tanaman. Tanaman

yang telah dipanen, dicuci kemudian dikering-

anginkan terlebih dahulu selama beberapa menit

agar kadar airnya berkurang. Bagian daun dan

akar dipisah kemudian masing-masing ditimbang

untuk memperoleh data bobot basah, indeks

luas daun dan bobot kering tanaman.

Peubah vegetatif yang diamati setiap

minggu antara lain diameter tajuk terlebar,

panjang daun terpanjang, jumlah daun dihitung

pada daun tempuyung yang sudah membuka

secara penuh dan jumlah anakan. Bobot basah

dan kering daun dan akar dilakukan pada umur

5, 8 dan 11 MST.

Laju tumbuh relatif (LTR) tanaman

tempuyung dapat diketahui dari data bobot

kering dan waktu. Laju tumbuh relatif ini

menunjukkan peningkatan bobot kering dalam

interval waktu. Cara menghitung laju tumbuh

relatif (LTR) yaitu:

Laju tumbuh relatif = ln 𝑊2−ln 𝑊1

𝑇2−𝑇1

Keterangan: W1= Bobot kering pada waktu T1 (g),

W2= Bobot kering pada waktu T2 (g),

T1= Waktu pengamatan awal (minggu),

T2= Waktu pengamatan akhir (minggu)

Perhitungan Indeks Luas Daun dilakukan

pada setiap tanaman panen. Cara menghitung

Indeks Luas Daun (ILD) yaitu:

ILD =

bobot kertas replika x luas kertas 20 cm x 20 cm

bobot kertas 20 cm x 20 cm

× luas lahan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Suhu rata-rata harian tiap bulan berkisar

antara 25.8-26.4 0C dengan rata-rata suhu

bulanan selama percobaan yaitu 26.2 0C.

Curah hujan harian tiap bulan berkisar antara

216-406 mm dengan rata-rata curah hujan

bulanan selama percobaan yaitu 307.5 mm.

Intensitas penyinaran matahari tiap bulan ber-

kisar antara 283-330 Cal cm-2 dengan rata rata

intensitas penyinaran matahari selama per-

cobaan yaitu 305.3 Cal cm-2.

Hama yang terdapat selama penelitian

berlangsung adalah kutu daun dan belalang.

Kutu daun mulai menyerang saat tanaman

berumur 3 MST dan terdapat di bagian bawah

daun. Beberapa tanaman tempuyung mengalami

busuk pangkal batang yang terjadi pada 10

MST pada suhu rata-rata harian tiap bulan

23.7 0C dan curah hujan rata-rata harian tiap

bulan yaitu 399 mm. Busuk pangkal batang

disebabkan oleh cendawan Rhizoctonia solani. Peubah vegetatif rata-rata memiliki nilai

yang optimum pada umur 8 MST dan menurun

pada umur 9 MST yang diikuti dengan masuk-

nya fase generatif. Tanaman tempuyung mulai

muncul bunga pada umur 8 MST setelah trans-planting. Penelitian Wahyuningsih (2005) me-

nunjukkan bahwa tanaman tempuyung mulai

berbunga saat 35-60 hari setelah transplanting

karena keragaman tanaman yang tinggi dan

respon tanaman terhadap cekaman.

Hasil analisis tanah pada awal percobaan

menunjukkan pH masam 4.9. Menurut Foragri

(2011), tanaman tempuyung menyukai tempat

yang memiliki pH basa. Kandungan N-Total

tanah tergolong rendah hanya 0.13%.

Pengaruh Media Tanam terhadap Peubah

Diameter Tajuk, Panjang Daun, Jumlah

daun dan Jumlah Anakan

Komposisi media tanam tidak menye-

babkan perbedaan nyata pada peubah diameter

tajuk, panjang daun, jumlah daun dan jumlah

anakan. Pengaruh ketiga perlakuan (dengan

kapur) juga tidak berbeda nyata dengan pem-

banding tanpa kapur (Tabel 1, 2, 3 dan 4).

Perlakuan penambahan pupuk kandang

maupun arang sekam meskipun tidak nyata

cenderung menyebabkan nilai peubah vegetatif

tanaman lebih tinggi dibandingkan dengan

media tanah dan kapur saja. Penelitian Husnan

(2000) menunjukkan bahwa pemberian pupuk

kandang sapi dengan dosis 0.5 kg per tanaman

berpengaruh pada peningkatan peubah vegetatif

tanaman tempuyung. Tanpa penambahan pupuk

kandang dan arang sekam diduga menyebabkan

kurang tersedianya hara tanaman.

Page 50: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.

50 Denti Dewi Gatari dan Maya Melati

Perlakuan tanpa penambahan pupuk

kandang dan arang sekam mencapai diameter

tajuk maksimum pada umur 7 MST, sedangkan

dengan penambahan pupuk kandang dan arang

sekam serta pembanding tanpa kapur diameter

tajuk maksimum tercapai pada umur 8 MST

(Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa per-

tumbuhan tempuyung tanpa penambahan pupuk

kandang cenderung lebih terhambat dibandingkan

dengan yang lain. Serupa dengan hasil

penelitian Baskoro dan Santoso (2011) yang

menyimpulkan pertumbuhan bibit binahong

pada media yang ditambahkan bahan organik

(kompos, pupuk kandang sapi pupuk kandang

ayam) lebih baik (komponen bobot basah dan

kering akar, batang, daun, dan total tanaman)

dibandingkan tanpa perlakuan pupuk organik.

Penambahan pupuk kandang maupun

arang sekam menyebabkan ukuran dan jumlah

daun mencapai maksimum pada umur 8-9

MST sedangkan tanpa penambahan pupuk

kandang menyebabkan kedua peubah tersebut

mencapai nilai maksimum pada waktu lebih

awal (Tabel 2 dan 3). Pupuk kandang dapat

memperbaiki sifat fisik tanah (Hartatik dan

Widowati 2009) dan karakteristik arang sekam

yang bersifat poros menyebabkan aerasi dan

drainase menjadi baik (Waryuningsih dan

Darliah, 1994). Percobaan mengenai penambahan

pupuk kandang dan arang sekam perlu dikaji

lebih lanjut untuk melihat respon tanaman

terhadap jenis dan dosis pupuk kandang serta

arang sekam. Penambahan pupuk kandang dan

tanpa penambahan pupuk kandang terjadi pe-

nurunan panjang daun pada umur ± 9 MST

(Tabel 2) sedangkan penurunan jumlah daun

terjadi pada umur ± 10 MST (Tabel 3). Jumlah

daun menurun dapat disebabkan oleh gugurnya

daun tua.

Tabel 1. Rata-rata diameter tajuk tanaman tempuyung

Diameter

tajuk pada

minggu ke-

Perlakuan Pembanding

KK 8 kg

tanah+kapur

7.5 kg

tanah+0.5 kg

pukan+kapur

7 kg tanah+0.5 kg

pukan+0.5 kg arang

sekam+kapur

7 kg tanah+0.5

kg pukan+0.5

kg arang sekam

1 12.29 12.22 11.56 11.72 7.27

2 14.61 15.36 14.72 14.21 9.85

3 19.32 20.50 20.11 17.61 9.03

4 25.15 28.48 29.22 26.91 10.38

5 27.68 31.07 32.19 29.33 10.55

6 29.06 34.66 35.11 33.13 9.78

7 29.54 35.62 35.39 34.56 9.91

8 29.23 36.20 35.70 37.26 10.91

9 28.77 35.89 35.67 35.43 10.81

10 26.64 33.13 35.17 36.08 17.56

11 27.74 35.08 35.38 22.95 21.21

Tabel 2. Rata-rata panjang daun terpanjang tanaman tempuyung

Panjang

daun pada

minggu ke-

Perlakuan Pembanding

KK 8 kg

tanah+kapur

7.5 kg

tanah+0.5 kg

pukan+kapur

7 kg tanah+0.5 kg

pukan+0.5 kg arang

sekam+kapur

7 kg tanah+0.5

kg pukan+0.5 kg

arang sekam

1 7.61 7.84 7.47 7.55 6.41

2 8.75 9.24 9.13 8.63 5.39

3 11.89 11.98 12.59 11.18 8.37

4 14.72 15.72 16.40 14.92 9.78

5 15.52 16.44 17.15 16.21 10.39

6 15.56 18.07 17.93 17.90 9.54

7 15.55 18.95 18.54 18.05 9.84

8 15.79 19.53 18.98 19.79 9.22

9 15.63 18.98 19.01 18.94 10.43

10 14.88 17.84 18.27 19.07 12.65

11 15.15 17.90 17.86 11.74 16.95

Page 51: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.

Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung….. 51

Tabel 3. Rata-rata jumlah daun tanaman tempuyung

Jumlah

daun pada

minggu ke-

Perlakuan Pembanding

KK 8 kg

tanah+kapur

7.5 kg

tanah+0.5 kg

pukan+kapur

7 kg tanah+0.5 kg

pukan+0.5 kg arang

sekam+kapur

7 kg tanah+0.5

kg pukan+0.5

kg arang sekam

1 2.3 2.3 2.3 2.1 11.34

2 3.2 2.9 3.1 2.9 9.24

3 4.5 4.8 4.8 4.3 9.63

4 7.2 7.8 7.3 7.1 10.81

5 8.1 9.4 8.7 8.5 12.76

6 9.4 11.6 10.9 11.4 17.11

7 9.8 12.0 15.7 12.6 22.82

8 11.1 15.7 11.1 15.7 20.85

9 11.2 17.4 15.0 16.2 23.14

10 9.5 16.7 16.7 16.7 24.12

11 11.5 15.8 17.7 18.6 24.30

Tabel 4. Rata-rata jumlah anakan tanaman tempuyung

Jumlah

anakan pada

minggu ke-

Perlakuan Pembanding

8 kg

tanah+kapur

7.5 kg

tanah+0.5 kg

pukan+kapur

7 kg tanah+0.5 kg

pukan+0.5 kg arang

sekam+kapur

7 kg tanah+0.5 kg

pukan+0.5 kg

arang sekam

3 0.3 0.7 0.7 0.7

4 0.3 0.7 0.7 0.8

5 0.3 0.8 1.0 0.8

6 0.3 0.9 1.0 1.3

7 1.0 0.9 1.0 1.3

8 1.3 1.4 1.1 1.4

9 0.3 1.4 1.9 1.2

10 1.0 1.5 1.0 1.2

Secara umum terjadi pembentukan anakan

yang lebih intensif pada umur 7 atau 8 MST

(Tabel 4). Data jumlah anakan ini tidak diana-

lisis secara statistik karena keragaman pada

setiap ulangan sangat tinggi. Keempat peubah

di atas menunjukkan keterkaitan bahwa per-

tumbuhan vegetatif maksimum tercapai pada ±

7-8 MST yang diikuti dengan pembentukan

anakan yang lebih intensif. Penurunan per-

tumbuhan vegetatif dapat disebabkan oleh

masuknya fase generatif yang ditandai dengan

munculnya bunga.

Pengaruh Media Tanam terhadap Peubah

Bobot Basah dan Kering Daun dan Akar

Komposisi media tanam tidak menye-

babkan perbedaan nyata pada peubah bobot

basah dan kering daun, dan bobot kering akar

tanaman. Pengaruh ketiga perlakuan (dengan

kapur) juga tidak berbeda nyata dengan

pembanding tanpa kapur (Tabel 5 dan 6),

tetapi berbeda nyata lebih kecil dengan

pembanding tanpa kapur pada peubah bobot

basah akar dengan perlakuan penambahan

pupuk kandang dan arang sekam pada umur 5

MST (Tabel 6).

Bobot basah dan kering daun dan akar

diukur pada umur 5, 8 dan 11 MST. Rata-rata

bobot basah dan kering daun optimal pada

umur 8 MST (Tabel 5) sedangkan bobot basah

dan kering akar meningkat di setiap selang

tiga minggu (Tabel 6). Bobot basah dan kering

daun dan akar tanaman dengan penambahan

pupuk kandang maupun arang sekam cenderung

lebih baik.

Page 52: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.

52 Denti Dewi Gatari dan Maya Melati

Tabel 5. Rata-rata bobot basah dan kering daun tanaman tempuyung

Umur

tanaman

(MST)

Perlakuan Pembanding

KK

8 kg

tanah+kapur

7.5 kg tanah+0.5

kg pukan+kapur

7 kg tanah+0.5 kg

pukan+0.5 kg arang

sekam+kapur

7 kg tanah+0.5 kg

pukan+0.5 kg arang

sekam

…….…….....Bobot basah daun (g)…………..….

5 MST 5.28 6.02 5.00 6.16 11.33

8 MST 37.59 27.53 38.24 42.82 14.15

11 MST 17.67 48.10 34.53 37.75 11.73

……………Bobot kering daun (g)………………

5 MST 0.64 0.76 0.64 0.67 5.65

8 MST 7.25 3.65 4.31 5.01 21.17

11 MST 2.11 4.90 3.76 4.15 13.00

Keterangan: Analisis statistika ditransformasi (x+1/2)1/2.

Tabel 6. Rata-rata bobot basah dan kering akar tanaman tempuyung

Umur

tanaman

(MST)

Perlakuan Pembanding

KK 8 kg

tanah+kapur

7.5 kg tanah+0.5

kg pukan+kapur

7 kg tanah+0.5 kg

pukan+0.5 kg arang

sekam+kapur

7 kg tanah+0.5 kg

pukan+0.5 kg

arang sekam

………………….Bobot basah akar (g)……….……..

5 MST 1.79 2.73 1.53 *** 2.44 6.10

8 MST 27.92 25.09 30.20

33.87 19.21

11 MST 27.46 56.28 55.74

54.57 10.37

……………….…..Bobot kering akar (g)………………..

5 MST 0.28 0.42 0.33

0.36 4.69

8 MST 4.32 5.68 6.60

6.80 13.58

11 MST 6.34 13.34 10.82

9.93 11.65

Keterangan: Analisis statistika ditransformasi (x+1/2)1/2. *** menunjukkan nilai berbeda nyata pada t-dunnett

dibandingkan dengan kontrol.

Rata-rata bobot basah daun berkisar 34-

42 g dan bobot kering daun berkisar 3-5 g pada

umur 8 dan 11 MST (Tabel 5). Rata-rata bobot

basah akar berkisar 25-56 g dan bobot kering

akar berkisar 4-13 g (Tabel 6). Berbeda halnya

dengan penelitian Wahyuningsih (2005), bobot

basah daun berkisar 120-125 g, bobot kering

daun 14-15 g, bobot basah akar berkisar 102-

109 g dan bobot kering akar 30-32 g. Hal ini

diduga karena perbedaan cara panen yaitu

dengan adanya pemangkasan tangkai bunga.

Percobaan yang dilakukan saat ini tidak mem-

biarkan terbentuknya tangkai bunga, namun

memanen ketika mulai terbentuk bakal tangkai

bunga. Oleh karena itu, bobot tanaman lebih

rendah dibandingkan dengan hasil penelitian

Wahyuningsih (2005).

Laju tumbuh relatif

Komposisi media tanam tidak menye-

babkan perbedaan nyata pada peubah laju

tumbuh relatif. Pengaruh ketiga perlakuan (dengan

kapur) juga tidak berbeda nyata dengan pem-

banding tanpa kapur (Tabel 7). Laju tumbuh

relatif (LTR) daun dan akar tempuyung menurun

pada umur 8-11 MST. Hal ini disebabkan oleh

gugurnya daun tua. Perlakuan penambahan

pupuk kandang dan arang sekam memiliki

LTR daun tertinggi pada umur 5-8 MST

sedangkan pembanding tanpa kapur memiliki

LTR akar tertinggi pada umur 5-8 MST dan 8-

11 MST (Tabel 7). Hal ini diduga karena

karakteristik arang sekam yang porus sehingga

memudahkan akar untuk menembus tanah.

Page 53: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.

Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung….. 53

Tabel 7. Laju tumbuh relatif tanaman tempuyung

Umur

tanaman

(MST)

Perlakuan Pembanding

KK 8 kg

tanah+kapur

7.5 kg

tanah+0.5 kg

pukan+kapur

7 kg tanah+0.5 kg

pukan+0.5 kg arang

sekam+kapur

7 kg tanah+0.5

kg pukan+0.5

kg arang sekam

……..…………..Laju tumbuh relatif daun (g hari-1) ………………….

5-8 MST 1.34 1.56 1.92 1.33 8.25

8-11 MST - 0.17 0.09 - 0.06 0.11 30.97

………………..Laju tumbuh relatif akar (g cm-2 hari-1) ………………..

5-8 MST 0.84 0.86 1.01 1.04 3.70

8-11 MST 0.33 0.28 0.17 0.34 20.65

Keterangan: Analisis statistika ditransformasi (x+1/2)1/2.

Kadar Air Daun dan Akar Tanaman

Komposisi media tanam tidak menye-

babkan perbedaan nyata pada peubah kadar air

daun dan akar tanaman. Pengaruh ketiga per-

lakuan (dengan kapur) juga tidak berbeda nyata

dengan pembanding tanpa kapur tetapi berbeda

nyata lebih kecil dengan pembanding tanpa

kapur pada peubah kadar air akar dengan per-

lakuan penambahan pupuk kandang pada

umur 11 MST (Tabel 8).

Kadar air daun berkisar 87-89%

sedangkan kadar air akar berkisar 76-81%.

Siemonsa dan Pileuk (1994) menyatakan bahwa

kadar air daun sebesar 88%. Persentase kadar

air yang tinggi menunjukkan daun tidak dapat

disimpan lama dalam keadaan segar sehingga

langsung dikeringkan agar daun tidak busuk

dan rusak. Kadar air daun tertinggi berbeda-

beda di selang tiga minggu sedangkan kadar

air akar pembanding tanpa kapur memiliki

nilai tertinggi pada umur 5 dan 11 MST.

Perlakuan tanpa penambahan pupuk kandang

dan arang sekam memiliki kadar air akar

tertinggi pada umur 8 MST (Tabel 8).

Tabel 8. Rata-rata kadar air daun dan akar tanaman tempuyung

Umur

tanaman

(MST)

Perlakuan Pembanding

KK 8 kg

tanah+kapur

7.5 kg tanah+0.5

kg pukan+kapur

7 kg tanah+0.5 kg

pukan+0.5 kg arang

sekam+kapur

7 kg tanah+0.5

kg pukan+0.5

kg arang sekam

…..…………………..Kadar air daun (%)…………………..…

5 MST 87.70 87.45

87.21 89.02 1.33

8 MST 82.84 86.79

88.66 88.32 2.70

11 MST 88.07 89.47

89.00 89.16 1.95

………………………Kadar air akar (%)………………………

5 MST 83.62 84.52

78.74 85.21 3.37

8 MST 80.73 76.38

78.44 79.92 3.78

11 MST 76.89 76.19 *** 81.20 81.98 2.19

Keterangan: *** menunjukkan nilai berbeda nyata pada t-dunnett dibandingkan dengan kontrol.

Page 54: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.

54 Denti Dewi Gatari dan Maya Melati

Indeks Luas Daun

Komposisi media tanam tidak menye-

babkan perbedaan nyata pada peubah indeks

luas daun (ILD). Pengaruh ketiga perlakuan

(dengan kapur) juga tidak berbeda nyata dengan

pembanding tanpa kapur.

Tabel 9. Rata-rata indeks luas daun tanaman tempuyung

Umur

tanaman

(MST)

Perlakuan Pembanding

KK 8 kg

tanah+kapur

7.5 kg

tanah+0.5 kg

pukan+kapur

7 kg tanah+0.5 kg

pukan+0.5 kg arang

sekam+kapur

7 kg tanah+0.5

kg pukan+0.5 kg

arang sekam

…………………………Indeks luas dauntn………………………….

8 MST 0.32 0.26

0.31 0.40 2.74

9 MST 0.24 0.08 1 0.29 0.26 2.16

10 MST 0.22 0.28

0.36 0.36 7.52

11 MST 0.16 0.18

0.25 0.34 4.16

Keterangan: Analisis statistika ditransformasi (x+1/2)1/2. 1 menunjukkan bahwa tidak diuji secara statistik karena

hanya 1 ulangan yang diuji dengan pembanding.

Pembanding tanpa kapur memiliki nilai

ILD tertinggi pada umur 8, 10, dan 11 MST.

Perlakuan penambahan pupuk kandang dan

arang sekam memiliki nilai ILD tertinggi pada

umur 9 MST (Tabel 9).

KESIMPULAN

Komposisi media tanam tidak mem-

pengaruhi peubah vegetatif dan komponen hasil

tanaman tempuyung secara nyata namun ada

kecenderungan bahwa penambahan pupuk

kandang sapi maupun arang sekam menyebabkan

pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Bobot

basah akar pada umur 5 MST dengan pe-

nambahan pupuk kandang nyata lebih kecil

dibandingkan dengan perlakuan tanpa kapur.

DAFTAR PUSTAKA

Baskoro, D., B.S. Purwoko. 2011. Pengaruh

bahan perbanyakan tanaman dan jenis

pupuk organik terhadap pertumbuhan

tanaman binahong (Anredera cordifolia

(Ten.) Steenis). J. Hort. Indonesia. 2(1):

6-13.

Chairani. 2006. Pengaruh fosfor dan pupuk

kandang kotoran sapi terhadap sifat

kimia tanah dan pertumbuhan padi

(Oryza sativa) pada lahan sawah tadah

hujan di Langkat, Sumatera Utara.

Jurnal Penelitian Pertanian. 25(1): 8-14.

Dalimartha, S. 2005. Tanaman Obat di Ling-

kungan Sekitar. Cet. 1. Puspa Swara.

Jakarta.

Djauhariya, E., Hernani. 2004. Gulma Ber-

khasiat Obat. Cet. 1. Penebar Swadaya.

Jakarta.

Foragri. 2011. Budi daya tempuyung [Internet].

Waktu unduh https://foragri.wordpress.

com/2011/12/20/budi-daya-tempuyung.

[9 Maret 2012].

Hadid, A., S. Laude. 2007. Pengaruh konsentrasi

pupuk organik cair lengkap dan dosis pupuk

kandang ayam terhadap pertumbuhan dan

hasil tanaman bawang merah. Jurnal

Agroland. 14(4): 260-264.

Harahap, K.A. 2005. Pengaruh pupuk terhadap

pertumbuhan jagung yang ditanam di

antara tanaman cendana (Santalum album

L.). Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Agroland.

12(1): 1-6.

Hartatik, W., L.R. Widowati. 2009. Pupuk

kandang. http://balittanah.litbang.

pertanian.go.id/ind/dokumentasi/buku/b

uku%20pupuk%20hayatipupuk%20orga

nik/04pukan_wiwik.pdf [18 Maret

2012].

Page 55: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):47-55. April 2014.

Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Tempuyung….. 55

Husnan. 2000. Multiplikasi dan pengakaran in

vitro tempuyung (Sonchus arvensis L.)

serta pertumbuhan bibit pasca aklimatisasi

Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Bogor. Bogor.

Hernani, R., Nudjanah. 2009. Aspek pe-

ngeringan dalam mempertahankan

kandungan metabolit sekunder pada

tanaman obat. Perkembangan Teknologi

TRO. 21(2): 33-39.

Muhammad, H., M. Januwati, M. Iskandar.

1993. Pengaruh jarak tanam terhadap

produksi daun tempuyung. Warta Tanaman

Obat Indonesia. 2(3): 13-14.

Saleh, I. 2010. Pengaruh metode pemupukan

dan kombinasi komposisi media tanam

dengan pengapuran terhadap pertumbuhan

cabe jawa (Piper retrofractum Vahl.).

Skripsi. Program Studi Agronomi dan

Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

Siemonsma, Pileuk. 1994. Di dalam: Husnan.

Multiplikasi dan pengakaran in vitro

tempuyung (Sonchus arvensis L.) serta

pertumbuhan bibit pasca aklimatisasi.

Skripsi. Bogor, Indonesia. Departemen

Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor, hlm

17. Bogor.

Siswanto, U., E.I. Sukarjo, Risnaily. 2004.

Respon tanaman tempuyung (Sonchus

arvensis L.) pada berbagai takaran dan

aplikasi vermikompos. Jurnal Ilmu-ilmu

Pertanian. 6(2): 83-90.

Wahyuningsih, A.P.S. 2005. Pengaruh kombinasi

aplikasi pupuk N dan waktu pemangkasan

tangkai bunga terhadap pertumbuhan

dan produksi tanaman tempuyung (Sonchus

arvensis L.). Skripsi. Program Studi

Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Bogor.

Wuryaningsih, Darliah. 1994. Di dalam: Safitry

M.R. Pengaruh Media Tanam Organik

terhadap Pertumbuhan dan Produksi

Buncis Tegak (Phaseolus vulgaris L.) [skripsi]; Bogor, Indonesia. Departemen

Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor, hlm

21. Bogor.

Page 56: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.

56 Wida W. Khumaero, Darda Efendi, Willy B. Suwarno, dan Sobir

Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe Melon

(Cucumis melo L.) Pusat Kajian Hortikultura Tropika IPB

Evaluation of Horticultural Characteristics of Four Melon Genotypes (Cucumis melo L.)

from Centre Tropical Horticulture Study IPB

Wida W. Khumaero1, Darda Efendi

1.2*, Willy B. Suwarno

1.2, dan Sobir

1.2

Diterima 21 Januari 2014/Disetujui 12 Maret 2014

ABSTRACT

Center for Tropical Horticulture Studies (CTHS) have conducted melon breeding to meet the

need of the expanding melon production in Indonesia. Four melon genotypes of IPB Meta 3, IPB

Meta 4, IPB Meta 6, IPB Meta 8H exhibit superior performance during selection. Prior to release or

to register, these melon genotypes need to be evaluated for their main characteristics. Four potential genotypes along with two control varieties of Action 434 and Sky Sweet were evaluated under a

single factor Randomized Complete Block Design (RCBD) with four replications. The results revelaed that CTHS melon genotypes exhibited good performance. IPB Meta 4 has larger stem

diameter and leaf size compared to Action 434 and Sky Sweet, subsequently flesh color of IPB Meta

3, IPB Meta 6, and IPB Meta 8H are oranges, where as both control varieties are green. These results indicated that melon genotypes developed in CTHS have unique characteristics, which could

be developed for speciality market.

Keywords: fruit quality, melon, morphological characteristics

ABSTRAK

Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT) telah melakukan penelitian pemuliaan tanaman

untuk mengetahui kebutuhan pengembangan produksi melon di Indonesia. Empat genotipe melon

yakni IPB Meta 3, IPB Meta 4, IPB Meta 6, IPB Meta 8H menunjukkan penampilan baik pada

percobaan sebelumnya. Sebelum dilepas atau didaftarkan, diperlukan evaluasi karakteristik utama

dari empat genotipe tersebut. Pengujian keempat genotipe potensial dengan dua varietas pembanding

yakni Action 434 dan Sky Sweet disusun berdasarkan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak

(RKLT) dengan 4 ulangan. Hasilnya menunjukkan bahwa genotipe melon IPB Meta 4 memiliki

diameter batang dan ukuran daun yang lebih besar dibandingkan Action 434 dan Sky Sweet. Selain

itu, daging buah melon genotipe IPB Meta 3, IPB Meta 6, dan IPB Meta 8H berwarna jingga,

dimana kedua varietas pembanding berwarna hijau. Hasil ini menunjukkan bahwa genotipe-genotipe

melon yang dikembangkan di PKHT memiliki karakteristik yang unik, dimana dapat berpotensi bagi

segmen pasar khusus.

Kata kunci: karakteristik morfologi, kualitas buah, melon

PENDAHULUAN

Melon (Cucumis melo L.) merupakan

salah satu komoditas buah-buahan yang banyak

digemari oleh masyarakat karena melon memiliki

berbagai keunggulan berupa rasa yang manis

dan warna daging buah yang bervariasi. Selain

itu melon memiliki nilai ekonomi dan prospek

yang menjanjikan dalam aspek pemasaran

(Sudiyarto, 2011).

Agribisnis melon memiliki peluang besar

karena harganya yang cukup tinggi (Prajnanta,

2004). Melon dikenal juga sebagai buah yang

menyehatkan karena mengandung berbagai

vitamin dan mineral yang diperlukan tubuh

manusia. Kandungan kalori, lemak, karbohidrat,

1Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor 2Pusat Kajian Hortikultura Tropika, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor *Email: untuk korespondensi. [email protected]

Page 57: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.

Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe….. 57

vitamin, dan mineral buah melon banyak

dimanfaatkan untuk terapi kesehatan. Menurut

Samadi (2007) melon mempunyai khasiat bagi

tubuh yaitu untuk mencegah penyakit sariawan,

luka pada tepi mulut, penyakit mata, radang

saraf, sebagai anti kanker, menurunkan resiko

stroke dan kanker. Kesadaran masyarakat

mengenai pola hidup sehat menyebabkan ke-

butuhan dan permintaan buah melon terus

meningkat (Sukmaningtyas dan Hartoyo,

2013).

Menurut data dari Pusat Kajian Horti-

kultura Tropika (PKHT) (2014), konsumsi

buah melon pada tahun 2008 adalah 0.16 kg/

kapita/tahun. Terjadi peningkatan pada tahun

2011, konsumsi melon masyarakat Indonesia

mencapai 0.72 kg/kapita/tahun. Peningkatan

konsumsi ini harus diimbangi dengan keter-

sediaan buah melon yang berarti perlu di-

lakukannya peningkatan produksi. Produksi

buah melon mengalami penurunan pada kurun

waktu 2011-2012 yaitu 103 840 ton menjadi

70 583 ton (Ditjenhorti, 2014). Penurunan

produksi melon ini menyebabkan perlu di-

lakukannya peningkatan penyediaan benih

melon agar produktivitas melon dapat optimal.

Ketersediaan benih melon hingga saat

ini menjadi salah satu kendala dalam mem-

produksi melon. Hampir semua benih yang

ditanam oleh petani melon merupakan benih

impor. Harga benih yang tinggi menyebabkan

usaha tani melon tidak efisien secara ekonomi

(Yekti, 2005). Data impor benih melon pada

tahun 2012 adalah mencapai US$ 69 240 atau

setara dengan 800 juta rupiah (Ditjenhorti,

2014). Hal ini menjadi penyebab perlunya

tindakan untuk memproduksi benih melon

dalam negeri. Jika ini terjadi maka petani dapat

dengan mudah mendapatkan benih melon

dengan harga yang lebih murah.

PKHT melakukan serangkaian kegiatan

pemuliaan tanaman melon untuk menghasilkan

melon yang unggul. Hingga saat ini PKHT

telah memperoleh beberapa genotipe melon

yang siap dievaluasi yang kemudian direncanakan

untuk didaftarkan di Pusat Perlindungan Varietas

Tanaman atau dilepas sebagai varietas baru.

Program evaluasi dalam penelitian ini men-

cakup sejumlah karakter penting pada melon,

meliputi penampilan tanaman, kualitas buah

(aroma, rasa), dan ketahanan terhadap penyakit

utama.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Kebun Per-

cobaan Pusat Kajian Hortikultura Tropika

Tajur II Bogor pada bulan September sampai

Desember 2013. Bahan yang digunakan pada

penelitian ini adalah empat genotipe melon

yaitu IPB Meta 3, IPB Meta 4, IPB Meta 6,

IPB Meta 8H, dan dua varietas pembanding

yaitu Action 434 dan Sky Sweet. Sarana

produksi yang digunakan adalah pupuk kandang,

pupuk majemuk NPK (16-16-16), pupuk tunggal

(Urea, KCl, dan SP36), KNO3, beberapa jenis

pestisida, ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) berupa

giberelin (GA-3), bak semai, media semai, ajir,

tali, serta mulsa Plastik Hitam Perak (PHP)

dengan lebar 100-125 cm.

Penelitian dilakukan dengan menggunakan

Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT)

faktor tunggal dengan empat ulangan. Pe-

laksanaan percobaan diawali dengan merendam

benih dalam air hangat (suhu ± 40 0

C) me-

ngandung giberelin (GA-3) dengan konsentrasi

0.2 mg l-1

selama 4 jam. Kemudian benih di-

tiriskan dan diletakkan di atas kertas koran

selama 1 hari 2 malam (36 jam). Selanjutnya

benih disemaikan ke dalam bak semai yang

berisi campuran tanah dan pupuk kandang

dengan perbandingan 1:1.

Pembibitan ini dilakukan selama 14

hari. Persiapan lahan dilakukan sesuai rancangan

percobaan, yaitu menggunakan 8 bedeng dengan

masing-masing bedeng memiliki panjang 23 m

dan lebar 1 m. Tanah diolah sampai kedalaman

20-30 cm, diberi pupuk kandang dengan dosis

2 kg tanaman-1

, SP-36 30 g tanaman-1

, Urea 20

g tanaman-1

, KCl 20 g tanaman-1

. Pengolahan

tanah ini dilakukan pada 12 hari sebelum tanam,

sedangkan pemasangan mulsa dilakukan pada

10 hari sebelum tanam. Selanjutnya, dibuat

lubang tanam dengan jarak 50 cm x 50 cm.

Pemindahan bibit dilakukan pada 14

hari setelah semai. Penanaman dilakukan pada

pagi hari. Kegiatan selanjutnya adalah peme-

liharaan yang meliputi: penyulaman, pengajiran,

pemupukan susulan, pengikatan, penyemprotan

pestisida, pemangkasan, dan pemeliharaan buah.

Seluruh kegiatan pemeliharaan disesuaikan

dengan Standard Operational Procedure (SOP)

penanaman melon yang berlaku.

Pengamatan terhadap karakter kuantitatif

genotipe-genotipe melon yang dievaluasi meliputi

diameter batang, panjang daun, lebar daun,

umur berbunga hermafrodit, serangan penyakit

Page 58: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.

58 Wida W. Khumaero, Darda Efendi, Willy B. Suwarno, dan Sobir

embun bulu, serangan penyakit embun tepung,

umur panen, bobot buah, ketebalan daging buah,

daya simpan, kandungan air buah, kadar gula,

kandungan vitamin C, dan bobot 100 butir

benih. Adapun pengamatan kualitatif terdiri atas

bentuk penampang batang, warna batang, bentuk

daun, warna daun, perkembangan cuping daun,

panjang cuping terminal, bentuk buah, tipe

kulit buah, warna daging buah, aroma buah,

posisi dari lebar buah maksimum, bentuk irisan

buah membujur, tingkat kekeriputan permukaan

buah, lebar maksimum irisan melintang lapisan

luar buah, bentuk biji, dan warna biji.

Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis

menggunakan uji F, dan apabila terdapat

pengaruh nyata genotipe, maka analisis di-

lanjutkan dengan uji perbedaan nilai tengah

terhadap varietas pembanding dengan metode

Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. Data

kualitatif dihitung modusnya untuk tiap geno-

tipe dan tiap karakter, kemudian ditampilkan

dalam bentuk deskripsi. Sejumlah karakter

yang diamati berpedoman pada deskriptor

IPGRI (2003). Koefisien korelasi fenotipik

Pearson (r) dihitung untuk mengetahui keeratan

hubungan antar peubah. Analisis gerombol

genotipe melon dilakukan untuk mengetahui

kemiripan antar genotipe melon yang diuji

menggunakan metode Gower. Sidik ragam, uji

lanjut, dan analisis korelasi dilakukan meng-

gunakan perangkat lunak SAS, sedangkan

analisis gerombol menggunakan R.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama masa persemaian, benih tumbuh

dengan baik dengan daya berkecambah 97%

hingga 100%. Pertumbuhan yang baik ini di-

dukung oleh suplai air yang baik. Hal ini

dilakukan untuk mengurangi kekurangan air

yang dapat menyebabkan ukuran tanaman

yang lebih kecil dibandingkan dengan

tanaman yang tumbuh normal (Kurniasari et

al., 2010). Kekurangan air pada tanaman

menyebabkan penurunan hasil yang sangat

signifikan dan berpotensi menjadi penyebab

kematian pada tanaman (Salisbury dan Ross,

1992).

Evaluasi terhadap Karakter Kuantitatif

Tanaman

Menurut Gomez dan Gomez (1995) nilai

koefisien keragaman (KK) merupakan suatu

nilai yang menggambarkan keterandalan per-

cobaan. Hasil analisis ragam pada Tabel 1

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

sangat nyata antar genotipe pada karakter

diameter batang, panjang daun, lebar daun, umur

berbunga hermafrodit, bobot buah, ketebalan

daging buah, daya simpan, kadar gula dan bobot

100 butir benih. Di sisi lain, pengaruh genotipe

tidak nyata pada karakter serangan penyakit

embun bulu dan embun tepung, umur panen,

kandungan air buah dan kandungan vitamin C.

Perbedaan antar ulangan terlihat nyata

pada karakter lebar daun, serangan penyakit

embun bulu, umur panen, daya simpan,

kandungan air buah, kadar gula, dan bobot 100

butir benih, namun pengaruh ulangan tidak

nyata pada karakter diameter batang, panjang

daun, umur berbunga, serangan penyakit embun

tepung, bobot buah, ketebalan daging buah,

dan kandungan vitamin C. Adanya pengaruh

ulangan yang nyata di sejumlah peubah me-

nunjukkan bahwa penggunaan RKLT dalam

penelitian ini dinilai tepat.

Hasil uji perbandingan BNJ (Tabel 2)

menunjukkan bahwa diameter batang pada

genotipe IPB Meta 4 nyata lebih besar di-

bandingkan varietas Action 434 dan Sky Sweet.

IPB Meta 3 dan Meta 4 memiliki ukuran daun

yang nyata lebih besar dibandingkan Sky Sweet.

Dengan daun yang besar diharapkan fotosintesis

berjalan dengan baik, dimana fotosintesis diketahui

merupakan proses penting untuk mempertahankan

pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Secara umum umur berbunga yang di-

harapkan adalah umur berbunga yang cepat.

Genotipe IPB Meta 4 dan IPB Meta 8H memiliki

umur berbunga hermafrodit yang nyata lebih

lambat dibandingkan varietas pembanding,

Action 434 dan Sky Sweet. Umur berbunga

secara umum dipengaruhi oleh faktor intern

yakni genetik tanaman dan faktor lingkungan

(Badrudin et al., 2009). Berdasarkan nilai

koefisien keragaman (0.9%), pengaruh faktor

lingkungan terhadap umur berbunga relatif

kecil dibandingkan faktor genetik.

Hasil pengamatan pada serangan penyakit

embun bulu dan embun tepung menunjukkan

bahwa perbedaan antar genotipe yang tidak

signifikan. Tingginya koefisien keragaman untuk

peubah serangan embun tepung menandakan

adanya perbedaan respon yang besar di dalam

genotipe yang sama, sekalipun pengaruh ulangan

sudah diperhitungkan.

Page 59: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.

Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe….. 59

Tabel 1. Rekapitulasi sidik ragam peubah kuantitatif genotipe melon

Peubaha KT Ulangan KT Genotipe KK (%)

Diameter batang 0.00 tn 0.01

** 3.3

Panjang daun 2.62 tn 8.79

** 4.3

Lebar daun 5.61**

7.54 **

3.5

Umur berbunga hermafrodit 2.89 tn 22.67

** 3.8

Serangan penyakit embun bulu+ 6.30

** 1.27

tn 12.9

Serangan penyakit embun tepung+ 19.24

tn 6.83

tn 38.2

Umur panen 3.04**

1.14 tn 0.9

Bobot buah 27 158.33 tn 477 098.25

** 10.2

Ketebalan daging buah 0.02tn 0.66

** 6.9

Daya simpan 6.94 * 20.17

** 11.1

Kandungan air buah 1.43 * 0.55

tn 0.6

Kadar gula 1.35**

1.24**

6.1

Kandungan Vitamin C+ 0.03

tn 0.12

tn 16.1

Bobot 100 butir benih 0.27 * 0.34

** 10.2

Keterangan: aKT = Kuadrat tengah, KK = Koefisien keragaman; *, ** = Berpengaruh nyata pada taraf 5% dan 1%.

tn = Tidak berpengaruh nyata; + = Data ditransformasi ke sebelum dianalisis.

Tabel 2. Nilai tengah peubah diameter batang, panjang daun, lebar daun, umur berbunga herma-

frodit, serta serangan penyakit embun bulu dan embun tepung

Genotipea

Diameter

Batang

Panjang

Daun

Lebar

Daun

Umur Berbunga

Hermafrodit

Serangan

Embun Bulu

Serangan

Embun Tepung

--------------cm------------ ---HST--- -----------%-----------

IPB Meta 3 1.00 22.5b 23.2

b 29 57.5 82.5

IPB Meta 4 1.09ab

21.7 23.5b 34

ab 75.0 52.5

IPB Meta 6 0.94 18.2a 19.8

a 28 77.5 62.5

IPB Meta 8H 1.07a 21.5 22.4 32

ab 70.0 70.0

Action 434 0.99 20.8 21.8 28 57.5 82.5

Sky Sweet 1.02 20.3 21.2 28 75.0 40.0 Keterangan: a a = berbeda nyata terhadap varietas Action 434; b = berbeda nyata terhadap varietas Sky Sweet

berdasarkan uji BNJ pada taraf uji 5%.

Tabel 3. Nilai tengah peubah umur panen, bobot buah, ketebalan daging buah, daya simpan, dan

bobot 100 butir benih

Genotipea

Umur Panen Bobot Buah Ketebalan

Daging buah

Daya

Simpan

Bobot 100

Butir benih

---HST--- ----gram--- ----cm--- ---hari-- ---gram---

IPB Meta 3 64 837.1ab

2.2ab

8ab

2.67

IPB Meta 4 64 653.3ab

2.3ab

10ab

2.13b

IPB Meta 6 64 926.5ab

2.2ab

11 2.94

IPB Meta 8H 65 756.5ab

2.4ab

11 2.37

Action 434 65 1 375.8 2.9 14 2.53

Sky Sweet 65 1 494.1 3.2 14 2.78 Keterangan: a a = berbeda nyata terhadap varietas Action 434; b = berbeda nyata terhadap varietas Sky Sweet

berdasarkan uji BNJ pada taraf uji 5%.

Umur panen yang diharapkan adalah

umur panen yang lebih cepat dibandingkan

kedua varietas pembanding. Umur panen pada

keempat genotipe yang dievaluasi tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap

Action 434 dan Sky Sweet (Tabel 3). Keempat

genotipe yang diuji memiliki ketebalan daging

buah yang nyata lebih tipis dibandingkan

Action 434 dan Sky Sweet. Menurut

Anggraito (2004) ketebalan daging buah melon

sangat menentukan produksi tanaman.

Page 60: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.

60 Wida W. Khumaero, Darda Efendi, Willy B. Suwarno, dan Sobir

Tabel 4. Nilai tengah pada peubah kandungan

air buah, kadar gula, kandungan

vitamin C

Genotipea

Kandungan

Air Buah

----%----

Kadar

Gula

-oBrix-

Kandungan

Vitamin C

---mg---

IPB Meta 3 94.5 5.2 4.4

IPB Meta 4 95.3 4.2ab

4.4

IPB Meta 6 96.2 5.3 6.8

IPB Meta 8H 95.1 5.1a 5.1

Action 434 94.9 5.8 5.2

Sky Sweet 94.7 5.6 5.3

Keterangan: a a = berbeda nyata terhadap varietas

Action 434; b = berbeda nyata terhadap

varietas Sky Sweet berdasarkan uji BNJ

pada taraf uji 5%.

Hasil pada pengamatan karakter bobot

buah menunjukkan bahwa keempat genotipe

yang diuji nyata lebih kecil dibandingkan Sky

Sweet dan Action 434. Nilai bobot buah yang

lebih kecil ini tidak selalu berarti sebuah ke-

kurangan, meskipun pada umumnya petani

maupun konsumen mengharapkan ukuran dan

bobot buah melon yang besar (Wagiono dan

Hamrah, 2007). Varietas melon berukuran kecil

sudah dipasarkan di negara lain seperti di

Taiwan yang ditujukan untuk konsumsi pribadi

dan dapat dihabiskan dalam satu atau dua

kesempatan (Bezirganoglu et al., 2013). Daya

hasil per hektar dari melon tipe kecil di-

harapkan dapat diimbangi dengan produksi

dua sampai tiga buah per tanaman, dimana

penelitian lebih lanjut diperlukan untuk hal ini.

Daya simpan pada genotipe IPB Meta 3

dan IPB Meta 4 memiliki nilai yang lebih

rendah dibandingkan kedua varietas pembanding

Namun demikian, daya simpan buah (8-10 hari)

tidak terlalu jauh berbeda dengan varietas pem-

banding (14 hari), dan diperkirakan akan dapat

memenuhi aspek praktis dalam komersialisasi.

Bobot 100 butir benih benih genotipe IPB Meta

4 nyata lebih rendah dibandingkan Sky Sweet,

menandakan bahwa ukuran benih genotipe ini

relatif lebih kecil. Ketiga genotipe IPB lainnya

tidak berbeda bobot 100 butir benih benihnya

dengan kedua varietas pembanding.

Kandungan air buah dan kandungan

vitamin C (Tabel 4) pada melon yang diuji tidak

berbeda nyata dengan varietas pembanding.

Kandungan gula pada genotipe IPB Meta 4

(4.2 Brix) nyata lebih rendah dibandingkan

Action 434 (5.8 Brix) dan Sky Sweet (5.6 Brix),

namun perbedaan rasa buah untuk kisaran

kandungan gula tersebut dinilai tidak terlalu

berarti. Kandungan gula yang umumnya relatif

rendah diduga sebagai akibat dari teknik aplikasi

pupuk KNO3 yang kurang optimal. Peng-

aplikasian di lapangan pemberian pupuk KNO3

dilakukan dengan disemprotkan pada seluruh

bagian tanaman, namun diperkirakan metode

yang lebih baik adalah aplikasi di lubang

tanam.

Evaluasi terhadap Karakter Kualitatif

Tanaman

Tabel 5 menunjukkan bahwa genotipe IPB

Meta 3, Meta 4, dan Meta 8H memiliki warna

daun hijau, sedangkan genotipe IPB Meta 6,

Action 434 dan Sky Sweet berwarna hijau tua.

IPB Meta 3 dan Meta 6 memiliki perkembangan

cuping daun lemah, sedangkan IPB Meta 4,

Meta 8H, Action 434 dan Sky Sweet memiliki

perkembangan cuping daun sedang. Cuping

terminal yang relatif panjang terdapat pada

genotipe IPB Meta 4, Meta 8, dan varietas

Action 434, sedangkan cuping terminal yang

berukuran relatif lebih pendek terdapat pada

genotipe IPB Meta 3, Meta 6, dan varietas Sky

Sweet.

Tabel 5. Rekapitulasi hasil pengamatan peubah

kualitatif daun

Genotipe Warna

Daun

Perkem-

bangan

Cuping

Daun

Panjang

Cuping

Terminal

IPB Meta 3 Hijau Lemah Sedang

IPB Meta 4 Hijau Sedang Panjang

IPB Meta 6 Hijau tua Lemah Sedang

IPB Meta 8H Hijau Sedang Panjang

Action 434 Hijau tua Sedang Panjang

Sky Sweet Hijau tua Sedang Sedang

Page 61: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.

Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe….. 61

Tabel 6. Rekapitulasi hasil pengamatan peubah kualitatif buah

Genotipe Bentuk

Buah

Warna

Daging

Buah

Bentuk

Irisan Buah

Membujur

Tingkat

Kekeriputan

Permukaan Buah

Lebar Maksimum

Irisan Melintang

Lapisan Luar Buah

IPB Meta 3 Lonjong Jingga Lonjong Kuat Sedang

IPB Meta 4 Bulat Hijau muda Bundar Kuat Sedang

IPB Meta 6 Oblate Jingga Oblate Lemah Tebal

IPB Meta 8H Bulat Jingga Bundar Kuat Sedang

Action 434 Bulat Hijau muda Bundar Sedang Tebal

Sky Sweet Bulat Hijau muda Bundar Kuat Sedang

Keempat genotipe melon yang diuji

memiliki keragaman dalam karakter bentuk

buah, dimana IPB Meta 3 berbentuk lonjong,

IPB Meta 6 oblate, dan IPB Meta 4 dan IPB

Meta 8H bulat (Tabel 6). Genotipe IPB Meta

6 merupakan genotipe yang memiliki bentuk

buah yang cukup beragam mulai dari oblat,

bulat hingga lonjong, sedangkan kedua varietas

pembanding memiliki bentuk buah yang bulat.

Warna kulit buah melon yang diuji adalah

hijau, namun pada IPB Meta 8 memiliki warna

kulit buah hijau pucat. Warna daging buah

yang beragam merupakan salah satu faktor

ketertarikan masyarakat terhadap buah melon.

Varietas melon yang banyak dipasarkan di

Indonesia adalah melon dengan daging buah

berwarna hijau muda, sedangkan varietas yang

berwarna jingga lebih sedikit. Tabel 6

menunjukkan bahwa genotipe IPB Meta 3, IPB

Meta 6 dan IPB Meta 8H memiliki daging buah

berwarna jingga, menandakan adanya peluang

bagi ketiga genotipe tersebut untuk

dikembangkan lebih lanjut.

Keempat genotipe melon yang diuji

memiliki keragaman dalam bentuk irisan

buah membujur, terutama disebabkan karena

bentuk buah yang berbeda-beda. Kekeriputan

buah pada IPB Meta 6 sangat lemah, berbeda

dengan Sky Sweet yang memiliki tingkat

kekeriputan kulit yang kuat. Lebar maksimum

irisan melintang lapisan luar buah pada IPB

Meta 3, IPB Meta 4, IPB Meta 8H dan Sky

Sweet adalah relatif sedang, sedangkan pada

IPB Meta 6 dan Action 434 relatif tebal.

Semua genotipe yang diuji dan dua

varietas pembanding memiliki keseragaman

pada karakter bentuk penampang batang

(persegi lima), warna batang (hijau muda) dan

bentuk daun (pentalobate). Tipe kulit buah

(berjala), aroma buah (wangi) dan posisi dari

lebar maksimum yang berada di tengah buah.

Bentuk biji oval dan biji berwarna krem.

Korelasi antar Karakter Kuantitatif

Berdasarkan Tabel 7, karakter panjang

daun berkorelasi positif terhadap lebar daun,

dimana keduanya berkontribusi terhadap luas

daun.

Tabel 7. Korelasi linear antar karakter kuantitatif melon

Peubaha DB PD LD UB EB ET UP BB KDB DS

PD 0.663 -

LD 0.752 0.956** -

UB 0.879* 0.497 0.683 -

EB 0.146 -0.569 -0.414 0.270 -

ET -0.280 0.325 0.227 -0.173 -0.843* -

UP 0.166 0.024 -0.147 -0.214 -0.151 -0.054 -

BB -0.406 -0.316 -0.474 -0.745 -0.155 -0.183 -0.639 -

KDB -0.006 -0.108 -0.237 -0.423 -0.040 -0.369 0.786 0.914* -

DS -0.151 -0.433 -0.504 -0.423 0.118 -0.317 0.781 0.850* 0.887* -

SB -0.888* -0.656 -0.798 -0.893* 0.066 -0.025 -0.038 0.489 0.161 0.190

Keterangan: a *, ** = Berbeda nyata terhadap r= 0 masing masing pada taraf 5% dan 1%; DB= Diameter batang;

PD= Panjang daun; LD= Lebar daun; UB= Umur berbunga hermafrodit; EB= Serangan penyakit embun

bulu; ET= Serangan penyakit embun tepung; UP= Umur panen; BB= Bobot buah; KDB= Ketebalan

daging buah; DS; Daya simpan; SB= Bobot 100 butir benih.

Page 62: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.

62 Wida W. Khumaero, Darda Efendi, Willy B. Suwarno, dan Sobir

Karakter tebal daging buah berkorelasi

positif terhadap bobot buah, dan keduanya

juga berkorelasi positif terhadap daya simpan

buah. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe

yang memiliki daging buah tebal dan bobot

buah besar cenderung memiliki daya simpan

yang relatif lama. Karakter serangan penyakit

embun bulu berkorelasi negatif dengan serangan

embun tepung, mengindikasikan bahwa kedua

gejala penyakit tersebut tidak muncul pada

waktu yang bersamaan.

Pengelompokan Genotipe

Pengelompokan genotipe melon me-

nunjukkan bahwa genotipe melon IPB Meta 6

berbeda pada tingkat 62% dengan kelima

genotipe melon lainnya (Gambar 1), yang

dicirikan oleh karakter bobot 100 butir benih,

kandungan air buah, kandungan vitamin C,

dan bentuk buah.

Gambar 1. Dendrogram Pengelompokan Enam

Genotipe Melon dari Data Kuantitatif

dan Kualitatif

Genotipe IPB Meta 6 memiliki bobot

100 butir benih yang lebih berat dibandingkan

genotipe lain. Kandungan air buah pada IPB

Meta 6 memiliki persentase yang paling tinggi

(96.2%) dibandingkan genotipe lain. Kandungan

vitamin C pada IPB Meta 6 adalah 6.8 mg,

sedangkan genotipe lainnya berkisar antara 4-

5 mg. Bentuk buah IPB Meta 6 adalah oblate,

sedangkan genotipe lainnya memiliki bentuk

buah bulat dan lonjong. Disamping itu, IPB

Meta 3 berbeda pada tingkat 52% dengan

genotipe IPB Meta 4, IPB Meta 8H, Action

434 dan Sky Sweet. Perbedaan tersebut terdapat

dalam karakter panjang daun, daya simpan

buah, dan bentuk buah. IPB Meta 3 memiliki

panjang daun 22.5 cm, sedangkan IPB Meta 4,

IPB Meta 8H, Action 434 dan Sky Sweet

memiliki panjang daun berkisar antara 20-21

cm. IPB Meta 3 tahan disimpan dalam waktu 8

hari, sedangkan keempat genotipe lainnya

dapat disimpan 10-14 hari. Bentuk buah IPB

Meta 3 adalah lonjong, sedangkan keempat

genotipe yang lainnya adalah bulat.

KESIMPULAN

IPB Meta 4 memiliki diameter batang

dan ukuran daun yang lebih besar diban-

dingkan Action 434 dan Sky Sweet. Genotipe

IPB Meta 3, IPB Meta 6 dan IPB Meta 8H

memiliki warna daging buah melon yang

berwarna jingga, dimana kedua varietas pem-

banding berwarna hijau. Ukuran buah melon

IPB yang relatif kecil dapat menambah koleksi

genotipe hasil pemuliaan IPB untuk segmen

pasar khusus, yang diharapkan dapat meng-

antisipasi perubahan preferensi konsumen di

masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraito, Y.U. 2004. Identifikasi berat,

diameter, dan tebal daging buah melon

(Cucumis melo L.) kultivar action 434

tetraploid akibat perlakuan kolkisin. J.

Berk. Penel. Hayati. 10: (37-42).

Badrudin, U., B. Suryotomo, Wahidin. 2009.

Uji daya hasil dan pertumbuhan beberapa

genotipe melon (Cucumis melo L.) hibrida

di Kabupaten Pekalongan. Skripsi.

Fakultas Pertanian Universitas Pekalongan.

Pekalongan.

Bezirganoglu, I., S.Y. Hwang, T.J. Fang,

Shaw F.J. 2013. Transgenic lines of

melon (Cucumis melo L. var. makuwa cv.

‘Silver Light’) expressing antifungal

protein and chitinase genes exhibit

enhaced resistance to fungal pathogens.

PCTOC Journal of Plant Biotechnology.

112: 227-237.

[Ditjenhorti] Direktorat Jenderal Hortikultura.

2014. Nilai ekspor impor benih buah

2009-2012. http//hortikultura.pertanian.

go.id/index.php?option=com_content&

view=article&id=377&Itemid=712. [20

Mei 2014].

Page 63: Pemanfaatan Biomulsa Kacang Hias (Arachis pintoi) pada ... · tanam tanaman penutup tanah C. pubescens dan C. mucunoides yang digunakan berupa benih. Ketiga tanaman penutup tanah

J. Hort. Indonesia 5(1):56-63. April 2014.

Evaluasi Karakteristik Hortikultura Empat Genotipe….. 63

[Ditjenhorti] Direktorat Jenderal Hortikultura.

2014. Nilai produksi buah 2009-2012.

http://hortikultura.pertanian.go.id/index.

php?option=com_content&view=article

&id=315&Itemid=915. [20 Mei 2014].

Gomez, K.A., A.A. Gomez. 1995. Prosedur

Statistik untuk Penelitian Pertanian. Edisi

Kedua. Universitas Indonesia (UI Press).

Jakarta.

[IPGRI] International Plant Genetic Resources

Institute. 2003. Descriptors for Melon

(Cucumis melo L). International Plant

Genetic Resources Institute. Rome.

Kurniasari, A.M., Adisyahputra, R. Rosman.

2010. Pengaruh kekeringan pada tanah

bergaram NaCl terhadap pertumbuhan

tanaman nilam. Skripsi. Jurusan Biologi

FMIPA UI. Jakarta.

[PKHT] Pusat Kajian Hortikultura Tropika.

2014. Konsumsi buah perkapita horti-

kultura. http://pkht.or.id/datastatistik/kon-

sumsi-buah-dan-sayur. [20 Mei 2014].

Prajnanta, F. 2004. Melon, Pemeliharaan Secara

Intensif dan Kiat Sukses Beragribisnis.

Cetakan ke-6. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rubatzky, V., Yamaguchi. 1999. Sayuran Dunia:

Prinsip, Produksi dan Gizi. H. Catur,

penerjemah: N. Sofia, Terjemahan: ITB

Press. Bandung.

Salisbury, F.B., C.W. Ross. 1992. Plant Phy-

siology. 4rd Ed. Wadsworth Publishing

Company. California. US.

Samadi B. 2007. Melon, Usaha Tani dan Pena-

nganan Pascapanen. Kanisius. Yogyakarta.

Saptana, S. Masdjidan, W. Sri, K.D. Saktyany,

A. Ening, D. Valeriana. 2005. Pemantapan

Model Pengembangan Kawasan Agribisnis

Sayuran Sumatera (KASS). Puslitbang

Deptan. Bogor.

Sari, D.P., C.G. Yohanes, P. Darwin. 2013.

Pengaruh konsentrasi kalsium terhadap

pertumbuhan dan produksi dua varietas

tanaman melon (Cucumis melo L.) pada

sistem hidroponik media padat. J. Agro-

tropika. 18(1): 29-33.

Sudiyarto. 2011. Strategi pemasaran buah

lokal Jawa Timur. J-SEP. 5(1): 65-73.

Sukmaningtyas, A., Hartoyo. 2013. Pengaruh

nilai dan gaya hidup terhadap preferensi

dan perilaku pembelian buah-buahan

impor. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen.

6(1): 39-48.

Supriyono, J.K. Sutopo, W. Heri, M. Sih.

2011. Penyususnan prosedur operasional

buku budidaya melon di Kabupaten

Grobogan. J. of Rural and Development.

2(1): 1-8.

[UPOV] Union Internationale pour la

Protection des Obtentions Vegelate. 2006.

Cucumis melo L. International Union

For the Protection of New Varieties of

Plant. Geneva.

Wagiono, Y., K., Hamrah. 2007. Metode quality

function deployment (QFD) untuk informasi

penyempurnaan perakitan varietas melon.

J. Agribisnis dan Ekonomi Pertanian.

1(2): 48-57.

Yekti, A. 2005. Efisiensi ekonomi usaha tani

melon di Kecamatan Wedi, Kabupaten

Klaten. J. Ilmu-ilmu Pertanian. 1(1): 50-60.