Upload
others
View
18
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 17, Nomor 2, Mei 2021 : 95 - 105
Naskah masuk : 20 Januari 2021, revisi pertama : 27 Januari 2021, revisi kedua : 12 Maret 2021, revisi terakhir : 29 April 2021. 95 DOI: 10.30556/jtmb.Vol17.No2.2021.1163
Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC (http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0/)
PEMANFAATAN Typha angustifolia DAN
FUNGI MIKORIZA ARBUSKULAR UNTUK
FITOREMEDIASI AIR ASAM TAMBANG
Utilization of Typha angustifolia and Arbuscular Mycorrhiza Fungi
for Acid Mine Drainage Phytoremediation
AKHMAD HABIBULLAH*, NOOR KHAMIDAH** dan RIZA A. SAPUTRA**
Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat
Jalan Jend. Achmad Yani km. 36 Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 70714
e-mail : [email protected]
* Kontributor utama, ** Kontributor anggota
ABSTRAK
Air asam tambang (AAT) adalah air berasal dari tambang atau batuan yang mengandung mineral sulfida yang
tersingkap dan teroksidasi akibat dari kegiatan penambangan terbuka. Kandungan sulfat dan logam yang tinggi di
dalam air asam tambang mengakibatkan kerusakan lingkungan sehingga diperlukan penanganan khusus.
Fitoremediasi dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan tersebut sehingga sesuai dengan baku mutu
lingkungan air asam tambang. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh dosis aplikasi fungi mikoriza
arbuskular (FMA) terhadap pertumbuhan dan serapan logam tanaman akumulator Typha angustifolia pada air asam
tambang. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan yaitu mo (0 g FMA/ember), m1
(10 g FMA/ember), m2 (12 g FMA/ember), m3 (14 g FMA/ember) dan 4 ulangan, sehingga diperoleh 16 satuan
percobaan. Pengamatan yang dilakukan meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, Fe-akar, Mn-akar, Fe-larut, Mn-
larut, pH AAT dan hubungan antar peubah pengamatan. Dosis terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan T.
angustifolia adalah perlakuan m3 (14 g FMA/ember), sedangkan terhadap serapan Fe dan Mn, perlakuan m2 (12 g
FMA/ember) dengan nilai indeks fitoremediasi (IFR) Mn dan Fe 98,94% dan 57,93% memenuhi standar baku mutu
lingkungan.
Kata kunci: fitoremediasi, Typha angustifolia, fungi mikoriza arbuskular, air asam tambang.
ABSTRACT
Acid mine drainage is water originating from mines or rocks containing sulfide minerals which are exposed and
oxidized as a result of open-pit mining activities. The high content of sulfates and metals in acid mine drainage
causes environmental damage, so special handling is required. Phytoremediation can be used to overcome
these problems so that it is in accordance with the environmental quality standards for acid mine drainage. The
purpose of this study was to determine the effect of the application dose of arbuscular mycorrhizal fungi (AMF)
on the growth and metal uptake of Typha angustifolia accumulator plants in acid mine drainage. This study
used a completely randomized design with 4 treatments, namely m0 (0 g AMF/bucket), m1 (10 g AMF/bucket),
m2 (12 g AMF/bucket), m3 (14 g AMF/bucket) and 4 replications, so that obtained 16 experimental units. The
plant height, number of tillers, root-Fe, root-Mn, soluble-Fe, soluble-Mn, AAT pH and the relationship between
variables were observed. The best dose to increase the growth of T. angustifolia was m3 treatment (14 g
AMF/bucket), whereas for Fe and Mn absorption was m2 treatment (12 g AMF/bucket) with index fitoremediation
(IFR) Mn and Fe of 98.94% and 57.93% have met environmental quality standards.
Keywords: phytoremediation, Typha angustifolia, arbuscular mycorrhiza fungi, acid mine drainage.
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 17, Nomor 2, Mei 2021 : 95 - 105
96
PENDAHULUAN
Penambangan batubara di Indonesia
kebanyakan dilakukan dengan sistem tambang
terbuka (open pit). Sistem penambangan ini
menyebabkan batuan yang ada pada lokasi
penambangan tersingkap ke permukaan,
sehingga akan mudah bereaksi dengan udara
dan air secara langsung (Kasmiani, Widodo
dan Bakri, 2018).
Penambangan dengan menggunakan metode
open mining tersebut menghilangkan permukaan
tanah dan bahan organik tanah. Hasilnya lapisan
batuan yang mengandung sulfur terbuka dan
bereaksi dengan air atau oksigen sehingga
melepaskan sulfat ke lingkungan (Wahyudin,
Widodo dan Nurwaskito, 2018). Reaksi tersebut
menyebabkan kemasaman pada tanah dan air.
Fenomena ini dikenal juga dengan istilah air
asam tambang (AAT) atau acid mine drainage
(AMD) (Wahyudin, Widodo dan Nurwaskito,
2018). Mineral sulfida yang teroksidasi akan
mengubah sifat kimia secara drastis, seperti
rendahnya pH air (<4,5) dan meningkatnya
konsentrasi logam-logam terlarut (Al, Fe, Mn, Cd,
Cu, Sn, Zn, As dan Hg) yang dapat
membahayakan lingkungan pada konsentrasi
tertentu (Yunus dan Prihatini, 2018). Diperkuat
oleh Patang (2018) bahwa daya racun logam
berat akan sangat ditentukan oleh pH yang tinggi
karena logam berat membentuk senyawa
kompleks yang mengendap dalam air. Dampak
yang dapat ditimbulkan oleh air asam tambang
adalah mengurangi kesuburan tanah,
mengganggu kesehatan masyarakat sekitar dan
dapat mengakibatkan korosi pada peralatan
tambang (Hidayat, 2017).
Salah satu teknik rehabilitasi lingkungan
tercemar AAT adalah fitoremediasi. Penggunaan
tumbuhan untuk mengurangi, menghilangkan,
menurunkan, atau melumpuhkan racun
lingkungan bertujuan memulihkan suatu situs ke
kondisi yang dapat digunakan lagi (Henny, Satria
dan Susanti, 2010). Beberapa jenis tanaman
yang berpotensi sebagai hiperakumulator karena
mampu menyerap kontaminan adalah eceng
gondok, kiambang, dan Typha latifolia (Irhamni
dkk., 2018).
Typha angustifolia merupakan kerabat dari
Typha latifolia; tumbuhan air yang mampu
meremediasi tanah dan air terkontaminasi.
Sulthoni dkk. (2014) melaporkan bahwa
tanaman T. latifolia dapat mengakumulasi besi
(Fe) dari AAT di dalam reaktor di rumah kaca.
Typha latifolia memiliki kemampuan dalam
penyerapan logam berat Cr, Hg, dan Pb lebih
banyak daripada eceng gondok dan kiambang
karena memiliki berat kering lebih besar
(Irhamni dkk., 2018).
Tanaman T. latifolia juga memiliki banyak bulu
akar sehingga luas permukaan akar akan
semakin besar dan daya jelajah akar lebih luas
(Passioura, 2002; Djazuli, 2016). Upaya yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan serapan
oleh tanaman pada fitoremediasi adalah
menggunakan fungi yang bersimbiosis dengan
akar tanaman yaitu fungi mikoriza arbuscular
(FMA) (Talanca, 2010).
Peran simbiosis FMA terhadap efektivitas
fitoremediasi logam berat cukup signifikan.
Keberadaan FMA mampu meningkatkan
penyerapan logam berat dan berkontribusi pada
fitostabilisasi logam berat dalam tanah (Gaur
dan Adholeya, 2004; Khan, 2005). Mikoriza
juga berperan dalam bioremediasi lahan basah
tercemar limbah industri. Contohnya, inokulasi
FMA pada tanaman semi akuatik Phragmites
australis menurunkan konsentrasi sedimen
polutan organik (Oliveira, Dodd dan Castro,
2001). Dawile (2016) juga melaporkan bahwa
tanaman fitoremediasi jenis sorgum (Sorghum
bicolor L.) yang diinokulasi FMA mampu
meningkatkan pertumbuhan panjang akar dan
panjang pucuk pada kondisi cekaman Cr6+.
Berdasarkan kemampuan tanaman famili
Typhaceae (cattails) dan FMA dalam
menstabilisasi zat kontaminan, maka dalam
penelitian ini perlu digabungkan kemampuan
keduanya dalam meremediasi lahan
pascatambang agar lebih efektif. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui dosis aplikasi
FMA terbaik terhadap pertumbuhan dan
serapan logam T. angustifolia pada AAT.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan
dari Februari sampai April 2020. Bertempat di
Rumah Kaca Jurusan Agroekoteknologi dan
Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi
Industri Banjarbaru, Kalimantan Selatan.
Bahan yang digunakan pada penelitian ini
adalah tanah mineral kering (pH 7,98; BD 1,29
Pemanfaatan Typha angustifolia dan Fungi Mikoriza Arbuskular untuk … Akhmad Habibullah dkk.
97
g/cm3), Typha angustifolia yang diambil dari
lahan rawa di Kecamatan Pengaron Kabupaten
Banjar Kalimantan Selatan, air asam tambang
(pH 4,40; Fe 1,70 ppm; dan Mn 13,62 ppm),
Mychorrhiza powder (FMA label Mycovir)
yang mengandung FMA Acaulospora,
Gigaspora, Glomus, dan Scutrllospora.
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah
ember berukuran 23 x 19 cm, cangkul, jerigen,
pH meter Thermo Scientific Orion Star A221,
Spektrofotometer Thermo Scientific Genesys
20, neraca analitik, dan hot plate.
Metode Penelitian
Percobaan ini menggunakan rancangan acak
lengkap yang menguji dosis FMA yang terdiri
dari 4 taraf:
m0 = 0 g FMA/ember (kontrol)
m1 = 10 g FMA/ember
m2 = 12 g FMA/ember
m3 = 14 g FMA/ember
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4
kali.
Pelaksanaan Penelitian
Air asam tambang diambil sebanyak 175 L
dengan cara mengambil langsung AAT dari
void tambang batubara di PT. Kadya Caraka
Mulia, Desa Pengaron, Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan menggunakan jerigen
kapasitas 25 L sejumlah 7 buah.
Air asam tambang yang telah diambil dari void
tambang batubara dilakukan pengukuran Fe-
larut (metode spektrofotometer), Mn-larut
(metode spektrofotometer), dan pH AAT (pH
meter elektroda) di laboratorium. Hasil
pengukuran ini dijadikan sebagai informasi
awal karakteristik kimia AAT (Tabel 1).
Bibit T. angustifolia yang digunakan terlebih
dahulu diseleksi berdasarkan keseragaman
tumbuh (tinggi tanaman antara 30-35 cm),
kemudian diaklimatisasi pada media subur
selama dua minggu dan ditempatkan di rumah
kaca. Media untuk aklimatisasi ditempatkan ke
dalam ember berukuran 60 L sebanyak 2 buah,
kemudian T. angustifolia dipindah tanam
masing-masing 10 tanaman ke dalam 1 ember
yang sudah diisi media untuk aklimatisasi.
Tanah mineral kering untuk media tumbuh T.
angustifolia diaduk hingga homogen,
kemudian ditimbang seberat 5 kg setiap ember.
Tanah yang sudah ditimbang, dimasukkan ke
dalam ember percobaan berukuran 19 x 23
cm. Setelah itu, ember disusun di dalam rumah
kaca sesuai dengan bagan tata letak penelitian.
Ember yang sudah diisi media tanah kemudian
diberi lubang tanam di bagian tengah ember.
Setelah itu, diaplikasikan FMA pada lubang
tanam dengan 3 perlakuan (m0 = 0 g FMA/ember
(kontrol); m1 = 10 g FMA/ember; m2 = 15 g
FMA/ember; dan m3 = 20 g FMA/ember,
kemudian T. angustifolia dipindah tanam dari
ember aklimatisasi masing-masing 1 batang
untuk setiap ember. Penanaman T. angustifolia
dilakukan sore hari untuk menghindari panas
sinar matahari pada waktu siang hari.
Media tumbuh yang sudah ditanami T.
angustifolia dan diaplikasikan FMA kemudian
diberi AAT masing-masing 2 L untuk setiap
ember pada hari pertama, kemudian
ditambahkan 2 L AAT setiap 6 hari pada masing-
masing tanaman sampai minggu keempat.
Desain percobaan fitoremediasi AAT
menggunakan T. angustifolia yang diaplikasikan
FMA dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Desain percobaan fitoremediasi AAT
menggunakan T. angustifolia yang diaplikasikan FMA
Pengamatan
Pengamatan terbagi menjadi empat kelompok
yaitu pengamatan pertumbuhan T. angustifolia,
pengamatan Fe, Mn, pH AAT, pengamatan Fe
dan Mn akar, dan hubungan antar peubah
pengamatan.
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 17, Nomor 2, Mei 2021 : 95 - 105
98
1. Pengamatan pertumbuhan T. angustifolia
a. Pertambahan tinggi tanaman.
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan
pada hari pertama dan minggu keempat
setelah tanam (MST) dengan cara
mengukur tanaman menggunakan
penggaris dari pangkal batang sampai
ujung daun T. angustifolia. Selisih antara
tinggi tanaman minggu keempat dan hari
pertama adalah pertambahan tinggi
tanaman T. angustifolia.
b. Jumlah anakan. Pengukuran jumlah
anakan dilakukan pada minggu keempat
setelah tanam (MST) dengan cara
mengukur jumlah anakan yang tumbuh
pada setiap ember.
2. Pengamatan Fe, Mn, dan pH AAT
a. Pengukuran Fe-larut. Pengukuran Fe-
larut AAT pada setiap perlakuan
dilakukan pada minggu keempat setelah
tanam (MST) dengan menggunakan
metode spektrofotometer.
b. Pengukuran Mn-larut. Pengukuran Mn-
larut AAT pada setiap perlakuan
dilakukan pada minggu keempat setelah
tanam (MST) dengan menggunakan
metode spektrofotometer.
c. Perhitungan Indeks Fitoremediasi (IFR).
Hasil pengukuran konsentrasi Fe-larut
dan Mn-larut yang terkandung pada AAT
dikonversi menjadi nilai indeks
fitoremediasi (IFR). IFR adalah persentase
penurunan konsentrasi parameter awal
dibandingkan dengan parameter pada
effluent. IFR dihitung dengan rumus
berikut (Yunus dan Prihatini, 2018):
IFR(%)=[awal] - [akhir]
[awal] x100% ............. (1)
d. Pengukuran pH AAT. Pengukuran pH
AAT dilakukan setelah aplikasi pada
minggu keempat setelah tanam (MST)
menggunakan pH meter elektroda.
3. Pengamatan Fe dan Mn akar
a. Pengukuran Fe akar. Pengukuran Fe akar
T. angustifolia dilakukan pada minggu
keempat setelah tanam (MST)
menggunakan metode spektrofoto-meter.
b. Pengukuran Mn akar. Pengukuran Mn
akar T. angustifolia dilakukan pada
minggu keempat setelah tanam (MST)
menggunakan metode spektrofoto-meter.
4. Hubungan antar peubah pengamatan,
didapat dengan cara menghitung
menggunakan korelasi, sehingga didapatkan
persamaan koefisien korelasi (r).
Rumus korelasi (Muhidin dan Abdurahman,
2017):
r = (n × ∑ XY) - (X)(Y)
√{(n × ∑ X)- (∑ X)2}× {(n × ∑ Y) - (∑ Y)2}
........... (2)
Keterangan: n = jumlah; X = parameter (1);
Y = parameter (2)
Analisis Statistik
Homogenitas data hasil pengukuran diuji
menggunakan uji Bartlett. Data yang tidak
homogen ditransformasi menggunakan
transformasi logaritma sebelum dilakukan
analisis ragam menggunakan uji F. Apabila hasil
analisis ragam berpengaruh nyata atau sangat
nyata, maka dilanjutkan dengan uji beda nilai
tengah menggunakan LSD p<0,05 (David dan
Djamaris, 2018).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Karakteristik Kimia Air Asam Tambang
Sebelum percobaan, AAT mengandung besi
(Fe), mangan (Mn) dan kemasaman (pH)
masing-masing 1,70 ppm; 13,62 ppm dan,
4,40 (Tabel 1). Kandungan Mn dan pH tidak
berada dalam batas toleransi baku mutu
lingkungan, sehingga harus melalui proses
remediasi untuk mencapai batas toleransi
sesuai dengan peraturan.
Tabel 1. Hasil uji awal kandungan besi (Fe),
mangan (Mn), dan pH air asam tambang
(AAT)
No. Parameter Uji Satuan Hasil Uji
1. Besi (Fe) ppm 1,70
2. Mangan (Mn) ppm 13,62
3. pH AAT - 4,40
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan
Selatan No. 36 Tahun 2008 tentang Baku Mutu
Limbah Cair batas toleransi kandungan Fe <7
ppm, Mn <4 ppm dan pH AAT 6-9 adalah batas
aman kandungan logam di AAT.
Pemanfaatan Typha angustifolia dan Fungi Mikoriza Arbuskular untuk … Akhmad Habibullah dkk.
99
Pertumbuhan T. angustifolia
Pertambahan Tinggi Tanaman
Hasil analisis ragam menunjukkan pemberian
FMA berpengaruh terhadap pertambahan tinggi
tanaman T. angustifolia umur 4 MST. Pemberian
FMA pada perlakuan m2 (12 g) dan m3 (14 g)
menghasilkan tinggi tanaman yang lebih tinggi
bila dibandingkan dengan perlakuan m1 (10 g),
namun tidak berbeda dengan perlakuan m0 (0 g)
(Gambar 2).
Jumlah Anakan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
pemberian FMA tidak memberikan pengaruh
terhadap pertambahan jumlah anakan T.
angustifolia. Rerata jumlah anakan T.
angustifolia pada perlakuan m0 (kontrol) 1,50
anakan; m1 = 10 g FMA 1,75 anakan; m2 = 12
g FMA 2,25 anakan; dan m3 = 2,25 anakan
(Gambar 3).
Besi (Fe), Mangan (Mn), dan pH AAT
Fe-larut
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
pemberian FMA tidak berpengaruh terhadap Fe-
larut AAT pada umur tanaman 4 MST. Rerata
konsentrasi Fe-larut AAT pada perlakuan m0
(kontrol) 0,98 ppm; m1 = 10 g FMA 0,95 ppm;
m2 = 12 g FMA 0,72 ppm; dan m3 = 14 g FMA
1,01 ppm. Rerata Fe-larut AAT disajikan pada
Gambar 4.
Keterangan: m0 = 0 g FMA/ember (kontrol); m1 = 10 g
FMA/ember; m2 = 12 g FMA/ember; m3 = 14
g FMA/ember
Gambar 2. Pertambahan tinggi tanaman T.
angustifolia saat umur 4 MST yang diaplikasikan
FMA
Keterangan: m0 = 0 g FMA/ember (kontrol); m1 = 10 g
FMA/ember; m2 = 12 g FMA/ember; m3 = 14
g FMA/ember
Gambar 3. Jumlah anakan T. angustifolia saat umur
4 MST yang diaplikasikan FMA
Keterangan: m0 = 0 g FMA/ember (kontrol); m1 = 10 g
FMA/ember; m2 = 12 g FMA/ember; m3 = 14
g FMA/ember
Gambar 4. Fe-larut AAT saat umur tanaman 4 MST
yang diaplikasikan FMA
* Garis di atas diagram batang merupakan standard
error dari perlakuan (n=4). Huruf yang sama di
atas garis menunjukkan bahwa perlakuan
memberikan pengaruh yang tidak berbeda
berdasarkan LSD p<0,05.
Mn-larut
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
pemberian FMA tidak berpengaruh terhadap
Mn-larut AAT pada umur tanaman 4 MST.
Rerata konsentrasi Mn-larut AAT pada
perlakuan m0 (kontrol) 0,16 ppm; m1 = 10 g
FMA 0,22 ppm; m2 = 12 g FMA 0,14 ppm; dan
m3 = 14 g FMA 0,15 ppm. Rerata kadar Mn-
larut AAT disajikan pada Gambar 5.
a a
bb
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
5.00
m0 m1 m2 m3Pert
am
bahan t
inggi
tanam
an (
cm
)
Perlakuan
aa
a a
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
m0 m1 m2 m3
Jum
lah a
nakan
(anakan)
Perlakuan
a aa
a
0.00
0.50
1.00
1.50
m0 m1 m2 m3
Fe-l
aru
t (p
pm
)
Perlakuan
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 17, Nomor 2, Mei 2021 : 95 - 105
100
Keterangan: m0 = 0 g FMA/ember (kontrol); m1 = 10 g
FMA/ember; m2 = 12 g FMA/ember; m3 = 14
g FMA/ember
Gambar 5. Mn-larut AAT saat umur tanaman 4 MST
yang diaplikasikan FMA
pH AAT
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
pemberian FMA tidak berpengaruh terhadap
kenaikan pH AAT pada umur tanaman 4 MST.
Rerata nilai pH AAT pada perlakuan m0
(kontrol) 7,29; m1 = 10 g FMA 7,67; m2 = 12 g
FMA 7,59; dan m3 = 14 g FMA 7,45. Rerata
nilai pH AAT disajikan pada Gambar 6.
Keterangan: m0 = 0 g FMA/ember (kontrol); m1 = 10 g
FMA/ember; m2 = 12 g FMA/ember; m3 =
14 g FMA/ember
Gambar 6. Nilai pH AAT saat umur tanaman 4
MST yang diaplikasikan FMA
Besi (Fe) dan Mangan (Mn) Akar
Fe-akar
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
pemberian FMA berpengaruh terhadap Fe-akar
pada umur tanaman 4 MST. Perlakuan m3 (14 g)
berbeda nyata terhadap m0 (kontrol), sedangkan
perlakuan m1 (10 g) dan m2 (12 g) tidak berbeda
terhadap kontrol. Pada perlakuan m0, m1, dan
m2 memiliki serapan lebih tinggi daripada m3.
Rerata kadar Fe-akar disajikan pada Gambar 7.
Keterangan: m0 = 0 g FMA/ember (kontrol); m1 = 10 g
FMA/ember; m2 = 12 g FMA/ember; m3 = 14
g FMA/ember
Gambar 7. Fe-akar saat umur tanaman 4 MST yang
diaplikasikan FMA
Mn-akar
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
pemberian FMA berpengaruh terhadap Mn-akar
pada umur tanaman 4 MST. Perlakuan m1 (10 g)
dan m3 (14 g) berbeda nyata terhadap kontrol
(m0), sedangkan pada perlakuan m2 (12 g) tidak
berbeda nyata terhadap m0, m1, dan m3.
Perlakuan m0 dan m2 memiliki serapan Mn akar
yang lebih tinggi daripada m1 dan m3. Rerata
kadar Mn-akar disajikan pada Gambar 8.
Keterangan: m0 = 0 g FMA/ember (kontrol); m1 = 10 g
FMA/ember; m2 = 12 g FMA/ember; m3 = 14
g FMA/ember
Gambar 8. Mn-akar saat umur tanaman 4 MST
yang diaplikasikan FMA
* Garis di atas diagram batang merupakan standard
error dari perlakuan (n=4). Huruf yang sama di
atas garis menunjukkan bahwa perlakuan
memberikan pengaruh yang tidak berbeda
berdasarkan LSD p<0,05.
Indeks Fitoremediasi
Indeks fitoremediasi diperoleh dari hasil
perhitungan konsentrasi Fe-larut dan Mn-larut,
dan persentase penurunan konsentrasi
aa
a a
0.00
0.10
0.20
0.30
m0 m1 m2 m3
Mn -
laru
t (p
pm
)
Perlakuan
a a a a
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
m0 m1 m2 m3
pH
AA
T
Perlakuan
a a ab
0.00
0.05
0.10
0.15
m0 m1 m2 m3
Fe-a
kar
(%)
Perlakuan
b
aab
a
0.00
0.20
0.40
0.60
0.80
m0 m1 m2 m3
Mn-a
kar
(%)
Perlakuan
Pemanfaatan Typha angustifolia dan Fungi Mikoriza Arbuskular untuk … Akhmad Habibullah dkk.
101
parameter awal dibandingkan dengan parameter
pada effluent, dapat dilihat pada Gambar 9-10.
Keterangan: m0 = 0 g FMA/ember (kontrol); m1 = 10 g
FMA/ember; m2 = 12 g FMA/ember; m3 = 14
g FMA/ember
Gambar 9. Indeks fitoremediasi Fe saat umur
tanaman 4 MST yang diaplikasikan FMA
Keterangan: m0 = 0 g FMA/ember (kontrol); m1 = 10 g
FMA/ember; m2 = 12 g FMA/ember; m3 = 14
g FMA/ember
Gambar 10. Indeks fitoremediasi Mn saat umur
tanaman 4 MST yang diaplikasikan FMA
* Garis di atas diagram batang merupakan standard
error dari perlakuan (n=4). Huruf yang sama di
atas garis menunjukkan bahwa perlakuan
memberikan pengaruh yang tidak berbeda
berdasarkan LSD p<0,05.
Hubungan Antar Peubah Pengamatan
Penentuan tingkat keeratan antar peubah
pengamatan dilakukan menggunakan uji korelasi
untuk mengetahui hubungan antar variabel
bersifat independen antara satu dengan yang
lainnya (berdiri sendiri dan tidak bergantung satu
sama lain) atau memiliki hubungan antar dua
variabel. Hasil perhitungan korelasi antar peubah
pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 menunjukkan hubungan antara peubah
pengamatan dengan nilai koefisien korelasi
positif (korelasi searah) berturut-turut yaitu Fe
akar dengan Mn-akar (korelasi sangat kuat),
jumlah anakan dengan tinggi tanaman (kolerasi
cukup), jumlah anakan dengan Fe-larut (korelasi
cukup), jumlah anakan dengan IFR Mn-larut
(korelasi cukup), jumlah anakan dengan Fe-akar
(korelasi cukup), jumlah anakan dengan Mn-akar
(korelasi cukup), Fe-larut dengan Mn-larut
(korelasi cukup), Fe-larut dengan pH AAT
(korelasi cukup), IFR Fe-larut dengan IFR Mn-larut
(korelasi cukup), IFR Fe-larut dengan Fe-akar
(korelasi cukup), IFR Fe-larut dengan Mn-akar
(korelasi cukup), tinggi tanaman dengan Fe-larut
(korelasi sangat lemah), tinggi tanaman dengan
IFR M-larut korelasi sagat lemah), Mn-larut
dengan Fe-akar (korelasi sangat lemah), dan IFR
Mn-larut dengan Mn-akar (korelasi sangat lemah).
Tabel 2. Hubungan antar peubah pengamatan
Pertambahan
tinggi tanaman
Jumlah
anakan Fe-larut
Mn-
larut pH AAT IFR Fe IFR Mn Fe-akar
Mn-
akar
Pertambahan
tinggi tanaman
Jumlah anakan 0,398
Fe-larut 0,199 0,300
Mn-larut -0,008 -0,285 0,487
pH AAT -0,562 -0,260 0,268 0,416
IFR Fe -0,199 -0,300 -1,000 -0,487 -0,268
IFR Mn 0,008 0,285 -0,487 -1,000 -0,416 0,487
Fe-akar -0,497 -0,427 -0,366 0,144 0,342 0,366 -0,114
Mn-akar -0,394 -0,452 -0,411 -0,060 0,299 0,411 0,060 0,776
Keterangan: Jika nilai koefisien korelasi (r) positif, maka hubungan kedua variabel erat. Sebaliknya jika nilai koefisien korelasi
(r) negatif, maka hubungan kedua variabel tidak erat. Kriteria nilai keeratan hubungan (Sarwono, 2006) terbagi
atas: 0 = tidak ada korelasi antar dua variabel; >0 - 0,25 = korelasi sangat lemah; >0,25 – 0,5 = korelasi cukup;
>0,5 – 0,75 = korelasi kuat; >0,75 – 0,99 = korelasi sangat kuat; dan 1 = korelasi sempurna.
aa
a
a
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
m0 m1 m2 m3
IFR
Fe (
%)
Perlakuan
a a a a
0.00
50.00
100.00
150.00
m0 m1 m2 m3
IFR
Mn (
%)
Perlakuan
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 17, Nomor 2, Mei 2021 : 95 - 105
102
Hubungan antara peubah pengamatan dengan
nilai koefisien korelasi negatif (korelasi tidak
erat) berturut-turut yaitu tinggi tanaman dengan
Fe-akar, tinggi tanaman dengan Mn-akar,
jumlah anakan dengan Mn-larut, jumlah
anakan dengan pH AAT, jumlah anakan
dengan IFR Fe-larut, tinggi tanaman dengan
Mn-larut, tinggi tanaman dengan IFR Fe-larut,
Mn-larut dengan Mn-akar, IFR Mn-larut dengan
Fe-akar, tinggi tanaman dengan pH AAT, dan
Fe-larut dengan IFR Fe-larut (Tabel 2).
PEMBAHASAN
Pertumbuhan T. angustifolia
Perlakuan FMA berpengaruh terhadap tinggi
tanaman (Gambar 2). Pemberian FMA lebih
meningkatkan tinggi tanaman dibandingkan
tanpa pemberian FMA. Hal ini diduga karena
FMA dapat memperbanyak bulu akar, sehingga
akar semakin mampu menyerap unsur hara.
Dewi (2007) menyatakan peran mikoriza
adalah membantu penyerapan unsur hara
tanaman, peningkatan pertumbuhan dan hasil
produk tanaman. Selain itu, FMA juga mampu
membantu tanaman dalam menstabilisasi pada
kondisi tercekam atau tercemar sehingga
tanaman yang diberikan FMA lebih tinggi
daripada kontrol. Hal ini sesuai dengan Smith
dan Read (2008) serta Garg dan Chandel
(2010) yang menyatakan mikoriza mampu
membantu mempertahankan stabilitas
pertumbuhan tanaman pada kondisi tercemar.
Tidak berpengaruhnya perlakuan FMA
terhadap jumlah anakan (Gambar 3) diduga
karena akar tanaman T. angustifolia mampu
beradaptasi dengan lingkungan, sehingga akar
tanaman tetap mampu menyerap unsur hara di
dalam tanah meskipun dalam keadaan
tercekam. Diperkuat oleh Rungkat (2009),
yang menyatakan tanaman yang bermikoriza
biasanya tumbuh lebih baik daripada tanaman
yang tidak bermikoriza. Mikoriza memiliki
peranan bagi pertumbuhan dan produksi
tanaman sebagai berikut: a) meningkatkan
penyerapan unsur hara, b) melindungi
tanaman inang dari pengaruh luar yang
merusak, c) cepat beradaptasi dalam kondisi
tanah yang terkontaminan, d) melindungi
tanaman dari patogen akar, e) memperbaiki
produktivitas tanah.
Besi (Fe), Mangan (Mn), dan pH AAT
Perlakuan FMA tidak berpengaruh terhadap
kadar Fe-larut dan Mn-larut (Gambar 4 dan 5).
Tidak berpengaruhnya perlakuan FMA
terhadap kadar Fe dan Mn-larut karena
penelitian ini hanya dilakukan selama 4
minggu. Sependapat dengan Madaniyah
(2016) yang menyatakan bahwa penurunan Fe
dan Mn-larut yang paling signifikan mulai
terlihat pada 29 hari setelah tanam. Lamanya
genangan air mengakibatkan lingkungan di
bawah tanaman menjadi anaerob, sehingga
konsentrasi CO2 air juga memengaruhi nilai
pH, Fe, dan Mn-larut.
Tidak berpengaruhnya perlakuan FMA
terhadap kadar Fe-larut juga diduga oleh
adanya peran mikroba lain selain FMA yang
terdapat di dalam tanah. Mikroba ini
berpengaruh terhadap nilai pH dan berkorelasi
terhadap kandungan Fe-larut pada air.
Diperkuat oleh Chang, Shin dan Kim (2000)
dan Gibert dkk. (2005) yang menyatakan
bahwa pada sistem wetland anaerobik,
komposisi matrik yang digunakan seperti
kompos yang ditambahkan dan lumpur aktif
dari sewage dapat menstimulasi pertumbuhan
mikroba, sehingga nilai pH AAT pada semua
perlakuan menjadi meningkat (Gambar 6)
dibandingkan sebelum diberi perlakuan FMA
(Tabel 1). Hal ini menyebabkan berkorelasinya
nilai pH dengan konsentrasi Fe-larut.
Sependapat dengan Madaniyah (2016) yang
menyatakan fenomena meningkatnya kembali
konsentrasi Fe dan Mn pada bagian permukaan
lahan basah disebabkan oleh proses oksidasi
biotik, abiotik, maupun foto-oksidasi logam
sulfida yang telah terbentuk pada permukaan
lahan basah tersebut, sehingga nilai pH AAT
menjadi meningkat.
Madaniyah (2016) juga melaporkan terjadinya
kenaikan dan penurunan logam Fe dan Mn
terlarut pada sistem wetland dapat disebabkan
oleh beberapa kemungkinan, yaitu: interaksi
antara sulfida yang dihasilkan pada proses
reduksi sulfat dengan logam bervalensi 2
(seperti Fe2+ dan Mn2+) membentuk logam
sulfida yang mengendap; proses absorpsi
logam oleh jaringan tanaman; proses adsorpsi
logam oleh bahan organik; dan proses
biosorpsi logam oleh mikroorganisme yang
terdapat pada lingkungan lahan basah.
Pemanfaatan Typha angustifolia dan Fungi Mikoriza Arbuskular untuk … Akhmad Habibullah dkk.
103
Perlakuan FMA tidak menurunkan konsentrasi
Fe dan Mn-larut dibandingkan dengan kontrol,
tetapi perlakuan m2 (12g FMA/ember)
berpotensi menurunkan konsentrasi Fe dan
Mn-larut (Gambar 4 dan 5). Penurunan ini
sejalan dengan Chen dkk. (2007) yang
menyatakan bahwa tanaman tanpa aplikasi
mikoriza mengimobilisasi logam berat lebih
rendah dibandingkan tanaman dengan aplikasi
mikoriza.
Hasil analisis ragam perlakuan FMA tidak
berpengaruh terhadap nilai pH AAT (Gambar
6). Tidak berpengaruhnya perlakuan FMA
terhadap nilai pH AAT diduga karena adanya
faktor lain selain FMA, berupa lingkungan dan
pengaruh biologis, yang meliputi pengaruh
dari media tanam, lingkungan yang tergenang
(anaerob) dan pengaruh biologis (mikroba)
pada lingkungan, sehingga nilai pH AAT dapat
meningkat. Sejalan dengan Chang, Shin dan
Kim (2000) dan Gibert dkk. (2005) yang
menyatakan bahwa komposisi matrik yang
digunakan seperti pupuk organik yang
ditambahkan dan lumpur aktif dari sewage
pada sistem wetland anaerobik, mampu
menstimulasi pertumbuhan mikroba pereduksi
sulfat dan mikroba ini mampu menaikkan
alkalinitas yang dapat meningkatkan pH AAT.
Sependapat dengan Henny, Satria dan Susanti
(2010) yang menyatakan bahwa peningkatan
pH pada perlakuan dikarenakan proses biologi
yang terjadi pada interaksi tanaman dengan
lingkungannya. Kenaikan pH AAT juga
dipengaruhi oleh pH media tanam yang
digunakan pada penelitian ini, yaitu pH tanah
tergolong agak alkalis dengan nilai pH 7,98.
Walaupun perlakuan FMA tidak berpengaruh
terhadap nilai pH AAT, namun nilai pH pada
setiap perlakuan mengalami kenaikan (>7)
dan nilai pH AAT semua perlakuan cenderung
meningkat dibandingkan pH awal AAT
sebelum perlakuan yaitu 4,40 (Tabel 1). Hal ini
sejalan dengan Widyatmoko (2011) yang
menyatakan semakin tinggi pH, semakin
menurun mobilitas logam berat. Amalina,
Salimin dan Sudarno (2015) juga
mengungkapkan bahwa meningkatnya pH
larutan menjadi basa dapat menurunkan
konsentrasi logam berat. Ketika dilakukan
penambahan kaustik pada air limbah yang
mengandung logam berat, maka logam berat
akan bereaksi dengan ion hidroksida sehingga
membentuk padatan logam hidroksida.
Besi (Fe) dan Mangan (Mn) Akar
Perlakuan FMA berpengaruh terhadap kadar
Fe-akar dan Mn-akar (Gambar 7 dan 8).
Perlakuan FMA dengan dosis 14 g FMA/ember
(m3) mampu menurunkan serapan Fe-akar,
sedangkan penurunan Mn-akar terdapat pada
perlakuan 10 g FMA/ember (m1). Hal ini
diduga karena FMA mampu menahan
kontaminan pada akar agar tidak terserap oleh
tumbuhan. Besi (Fe) dan Mn pada tanaman
fitoremediasi mungkin ditranslokasikan ke
bagian atas batang. FMA dapat menahan
kontaminan (adsorpsi) dengan cara menjerap
kontaminan pada permukaan akar tanaman
membentuk suatu lapisan tipis atau film pada
permukaannya (Khan, 2005). Hal ini juga
sejalan dengan pendapat Gaur dan Adholeya
(2004) serta Khan (2005) yang mengamati
bahwa FMA mampu meningkatkan
penyerapan logam berat dan mampu
berkontribusi pada imobilisasi logam berat
dalam tanah (fitostabilisasi). Fitostabilisasi
adalah kemampuan dalam mengekresikan
(mengeluarkan) suatu zat kontaminan tertentu
untuk mengimobilisasi logam berat di area
rizosfer (perakaran), sehingga kontaminan
menempel erat pada area perakaran dan sangat
sukar terserap ke dalam tanaman (Ghosh dan
Singh, 2005).
Indeks Fitoremediasi
Hasil pengukuran konsentrasi Fe-larut dan Mn-
larut yang terkandung pada AAT dikonversi
menjadi nilai indeks fitoremediasi (IFR), yaitu
persentase penurunan konsentrasi awal logam
dibandingkan dengan konsentrasi logam pada
effluent.
Perlakuan FMA tidak berpengaruh terhadap
IFR Fe dan Mn (Gambar 9 dan 10). Namun,
persentase penurunan konsentrasi Fe-larut
parameter awal dibandingkan dengan
parameter pada effluent pada perlakuan m2
(57,93%) lebih tinggi daripada kontrol m1
(50,54%). Persentase penurunan konsentrasi
Mn-larut parameter awal dibandingkan dengan
parameter pada effluent memiliki nilai >90%
pada masing-masing perlakuan. Perlakuan
yang memiliki persentase IFR Mn-larut tertinggi
adalah 12 g FMA/ember (98,94%) dan 14 g
FMA/ember (98,92%) sedikit lebih besar
daripada kontrol/ 0 g FMA/ember (98,84%).
Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara Volume 17, Nomor 2, Mei 2021 : 95 - 105
104
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Aplikasi FMA dengan dosis 12 g/ember (m2)
bermanfaat memperbaiki pertumbuhan tinggi
tanaman T. angustifolia sebesar 52,28%
dibandingkan dengan perlakuan kontrol (m0),
dan menyerap logam berat yang dibuktikan
oleh serapan Mn-akar sebesar 46,51% dan Fe-
akar sebesar 22,22% dibandingkan dengan
perlakuan 14 g/ember (m3), sehingga
mempunyai potensi yang cukup baik untuk
diaplikasikan di lahan tambang dalam
mengelola air asam tambang.
Saran
Sebaiknya untuk penelitian selanjutnya perlu
dilakukan analisis kandungan Fe dan Mn
jaringan selain akar, mengukur tinggi
genangan, dan memodifikasi lingkungan
dalam kondisi yang mengalir.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Balai Riset
dan Standardisasi Industri Banjarbaru,
Kalimantan Selatan yang telah mengizinkan
penulis untuk melakukan penelitian di
Laboratorium Baristand.
DAFTAR PUSTAKA
Amalina, Y. N., Salimin, Z. dan Sudarno (2015)
“Pengaruh pH dan waktu proses dalam
penyisihan logam berat dalam air limbah
industri elektroplating dengan proses oksidasi
biokimia,” Teknik Lingkungan, 4(3), hal. 1–9.
Chang, I., Shin, P. K. dan Kim, B. H. (2000)
“Biological treatment of acid mine drainage
under sulphate-reducing conditions with solid
waste materials as substrate,” Water Research,
34(4), hal. 1269–1277. doi: 10.1016/S0043-
1354(99)00268-7.
Chen, B. D., Zhu, Y.-G., Duan, J., Xiao, X. Y. dan
Smith, S. E. (2007) “Effects of the arbuscular
mycorrhizal fungus Glomus mosseae on
growth and metal uptake by four plant species
in copper mine tailings,” Environmental
Pollution, 147(2), hal. 374–380.
doi: 10.1016/j.envpol.2006.04.027.
David, W. dan Djamaris, A. R. (2018) Metode
statistik untuk ilmu dan teknologi pangan. First
Edit. Jakarta: Penerbitan Universitas Bakrie.
Dawile, F. (2016) Pengaruh pemberian mikoriza
Glomus mossae terhadap perkecambahan biji
Sorgum (Sorgum bicolor (L.) Moench) kultivar
UPCA pada kondisi cekaman krom
heksavalen. Universitas Kristen Satya Wacana.
Tersedia pada:
http://repository.uksw.edu/handle/123456789
/10323.
Dewi, I. R. (2007) Peran, prospek dan kendala
dalam pemanfaatan endomikoriza. Bandung.
Djazuli, M. (2016) “Pengaruh cekaman kekeringan
terhadap pertumbuhan dan beberapa karakter
morfo-fisiologis tanaman nilam,” Buletin
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, 21(1),
hal. 8–17.
doi: 10.21082/bullittro.v21n1.2010.%p.
Garg, N. dan Chandel, S. (2010) “Arbuscular
mycorrhizal networks: process and functions.
A review,” Agronomy for Sustainable
Development, 30(3), hal. 581–599.
doi: 10.1051/agro/2009054.
Gaur, A. dan Adholeya, A. (2004) “Prospects of
arbuscular mycorrhizal fungi in
phytoremediation of heavy metal
contaminated soils,” Current Science, 86(4),
hal. 528–534.
Ghosh, M. dan Singh, S. P. (2005) “A review on
phytoremediation of heavy metals and
utilization of its byproducts,” Applied Ecology
and Environmental Research, 3(1), hal. 1–18.
doi: 10.15666/aeer/0301_001018.
Gibert, O., de Pablo, J., Cortina, J. L. dan Ayora, C.
(2005) “Municipal compost-based mixture for
acid mine drainage bioremediation: Metal
retention mechanisms,” Applied
Geochemistry, 20(9), hal. 1648–1657.
doi: 10.1016/j.apgeochem.2005.04.012.
Henny, C., Satria, G. A. dan Susanti, E. (2010)
“Pengolahan air asam tambang menggunakan
sistem ‘passive treatment,’” in Seminar
Nasional Limnologi V. Bogor: LIPI, hal. 331–
343.
Hidayat, L. (2017) “Pengelolaan lingkungan areal
tambang batubara (Studi kasus pengelolaan air
asam tambang (acid mining drainage) di PT.
Bhumi Rantau Energi Kabupaten Tapin
Kalimantan Selatan),” Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Ilmu Administrasi dan
Humaniora, 7(1), hal. 44–52.
Pemanfaatan Typha angustifolia dan Fungi Mikoriza Arbuskular untuk … Akhmad Habibullah dkk.
105
Irhamni, Pandia, S., Purba, E. dan Hasan, W. (2018)
“Analisis limbah tumbuhan fitoremediasi
(Typha latifolia, eceng gondok, Kiambang)
dalam menyerap logam berat,” Jurnal Serambi
Engineering, 3(2), hal. 344–351.
Kasmiani, Widodo, S. dan Bakri, H. (2018) “Analisis
potensi air asam tambang pada batuan
pengapit batubara di Salopuru berdasarkan
karakteristik geokimia,” Jurnal Geomine, 6(3),
hal. 138–143.
Khan, A. G. (2005) “Role of soil microbes in the
rhizospheres of plants growing on trace metal
contaminated soils in phytoremediation,”
Journal of Trace Elements in Medicine and
Biology, 18(4), hal. 355–364.
doi: 10.1016/j.jtemb.2005.02.006.
Madaniyah (2016) Efektivitas tanaman air dalam
pembersihan logam berat pada air asam
tambang. Institut Pertanian Bogor. Tersedia
pada:
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789
/80097?show=full.
Muhidin, S. A. dan Abdurahman, M. (2017) Analisis
korelasi, regresi, dan jalur dalam penelitian.
3rd Ed. Bandung: Pustaka Setia.
Oliveira, R. S., Dodd, J. C. dan Castro, P. M. L.
(2001) “The mycorrhizal status of phragmites
australis in several polluted soils and
sediments of an industrialised region of
Northern Portugal,” Mycorrhiza, 10(5), hal.
241–247. doi: 10.1007/s005720000087.
Passioura, J. B. (2002) “Soil conditions and plant
growth,” Plant, Cell & Environment, 25(2), hal.
311–318. doi: 10.1046/j.0016-
8025.2001.00802.x.
Patang (2018) Dampak logam berat kadmium dan
timbal pada perairan. Makassar: Badan
Penerbit Universitas Negeri Makassar.
Rungkat, J. A. (2009) “Peranan MVA dalam
meningkatkan pertumbuhan dan produksi
tanaman,” Jurnal Formas, 2(4), hal. 270–276.
Sarwono, J. (2006) Metode penelitian kuantitatif
dan kualitatif. First Edit. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Smith, S. dan Read, D. (2008) Mycorrhizal
symbiosis. Third Edit, Mycorrhizal Symbiosis.
Third Edit. New York: Academic Press.
doi: 10.1016/B978-0-12-370526-6.X5001-6.
Sulthoni, M., Badruzsaufari, Yusran, F. dan
Pujawati, Eni, D. (2014) “Kemampuan
tanaman ekor kucing (Typha latifolia) dan
purun tikus (Eleocharis dulcis) dalam
penurunan konsentrasi Fe dan Mn dari air
limbah PIT Barat Pamapersada Nusantara
Distrik KCMB Kabupaten Banjar,”
EnviroScienteae, 10(2), hal. 80–87.
Talanca, A. H. (2010) “Status cendawan mikoriza
vesikular-arbuskular (MVA) pada tanaman,” in
Prosiding Pekan Serelia Nasional, hal. 353–357.
Wahyudin, I., Widodo, S. dan Nurwaskito, A. (2018)
“Analisis penanganan air asam tambang
batubara,” Jurnal Geomine, 6(2), hal. 85–89.
Widyatmoko, H. (2011) “Akurasi pH sebagai
parameter tingkat pencemaran logam berat
dalam tanah,” Indonesian Journal of Urban and
Environmental Technology, 5(5), hal. 173–178.
doi: 10.25105/urbanenvirotech.v5i5.689.
Yunus, R. dan Prihatini, N. S. (2018) “Fitoremediasi
Fe dan Mn air asam tambang batubara dengan
eceng gondok (Eichornia crassipes) dan purun
tikus (Eleocharis dulcis) pada sistem LBB di PT.
JBG Kalimantan Selatan,” Sainsmat : Jurnal
Ilmiah Ilmu Pengetahuan Alam, 7(1), hal. 73–
85.
106