Upload
fitra-purnama
View
172
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
merupakan pembahasan pneumonia et causa imobilisasi dengan komplikasi berupa dekubitus
Citation preview
BAB III
PEMBAHASAN
Pembahasan pada laporan ini berkaitan dengan kasus seorang wanita geriatri usia 80
tahun, tiduran saja sejak 2 minggu, sulit buang air besar dan makan hanya sedikit sejak 5 hari
yang lalu, 3 minggu yang lalu batuk berdahak, tidak berdarah, tidak demam, tidak nyeri dada, 1
hari yang lalu gelisah dan bingung. Pada pemeriksaan fisik didapatkan E3M2V2, TD 120/70
mmHg, RR 30 x/menit, T 36 °C, HR 108 x/menit. Pemeriksaan paru didapatkan ronkhi basah
kasar, suara dasar bronchial, dan fremitus raba meningkat. Tampak luka pada punggung bawah
berukuran 4x5 dengan dasar luka kemerahan. Skor Norton 9. Hasil lab leukosit 7.500. Foto
thorax menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah kanan. Dibawa ke UGD dan
diberika terapi oksigenasi, antibiotik, dan terapi cairan. Dirawat di ruang perawatan geriatrik
dengan medikasi dan kasur dekubitus, direncanakan konsul ke rehabilitasi medik.
Seorang lansia dapat dikatakan dalam keadaan imobilisasi jika hanya menjalani tirah
baring selama 3 hari atau lebih dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan
fungsi fisiologik. Pada skenario ini, pasien tiduran saja sejak 2 minggu, masuk dalam kriteria
imobilisasi. Faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapat menyebabkan imobilisasi pada usia
lanjut. Penyebab imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidak
seimbangan, dan masalah psikologis. Tetapi penyebab utama tirah baring lama adalah adanya
Osteoartritis yang menyebabkan kekakuan pada persendian. Kekhawatiran keluarga yang
berlebihan juga dapat menyebabkan seorang lansia terus menerus berbaring di tempat tidur baik
di rumahmaupun di rumah sakit.
Imobilisasi ini juga dapat menimbulkan beberapa komplikasi, seperti tampak pada kasus
dalam skenario ini. Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin
lama feses tinggal di usus besar, absorpsi cairan akan lebih besar sehingga feses akan menjadi
lebih keras sehingga menyebabkan konstipasi. Immobilisasi juga menyebabkan masalah pada
sistem saluran kemih dan pencernaan karena menyebabkan menurunnya peristaltik usus dan
aliran urin, ditambah konsumsi nutrisi pasien rendah karena pasien hanya makan sedikit
sehingga mempertinggi angka kejadian konstipasi. Pada lansia ini juga terjadi penurunan nafsu
karena imobilisasi. Hal tersebut disebabkan adanya penurunan kecepatan metabolik sehingga
terjadi penurunan rangsang lapar. Rangsang lapar yang menurun menyebabkan pasien makan
hanya sedikit. Saat dirawat dirumah anaknya keadaan pasien yang tampak semakin lemas dan
tidak mau makan sama sekali. Keadaan tidak mau makan ini kemungkinan besar dipengaruhi
oleh faktor psikis pasien terhadap perubahan lingkungan tempat tinggalnya. Kurangnya perhatian
dan kasih sayang juga dapat mengakibatkan keadaan tersebut. Selain itu, keadaan penyakit yang
dideritanya juga berperan terhadap kondisi pasien. Dengan penyakit yang diderita pasien
ditambah dengan keadaan tidak mau makan, asupan gizi pasien menjadi tidak adekuat,
menyebabkan pasien tampak semakin lemas.
Pemeriksaan GCS digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien dengan cara menilai
respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata ,
bicara dan motorik. Pada pasien ini didapatkan hasil E3 menunjukan pasien dapat membuka
mata bila diberikan rangsang nyeri, M2 menunjukan bahwa pasien mengalami extensi abnormal
(tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal dan kaki extensi) saat
diberi rangsang nyeri, sedangkan V2 berarti bahwa pasien mengeluarkan suara tanpa arti
(mengerang) jadi secara keseluruhan hasil GCS 7 menunjukkan terjadinya penurunan kesadaran.
kemungkinan penyebabnya adalah adanya penurunan saturasi O2 yang menyebabkan terjadinya
penurunan kesadaran pada pasien akibat batuk. Penurunan O2 akan dikompensasi tubuh dengan
cara meningkatkan RR dan HR untuk mencukupi kebutuhan O2 tubuh yang semakin menurun
oleh karena itu hasil pemeriksaan HR 108 kali per menit (meningkat) dan RR meningkat 30 kali
per menit.
Luka pada punggung bawah menunjukkan pada pasien terjadi ulkus dekubitus derajat 1,
kulit yang utuh (intak) dengan tanda-tanda impending ulkus. Awalnya berupa eritema yang
mengindikasikan adanya hiperemis reaktif. Ketika jaringan menjadi iskemia untuk sementara,
pembebasan tekanan menyebabkan hiperemis, kemungkinan sebagai mekanisme proteksi dengan
meningkatkan aliran darah untuk meningkatkan oksigenasi jaringan dan melepaskan produk-
produk metabolism berbahaya. Hiperemi reaktif akan menunjukkan perubahan dalam 24 jam
setelah pembebasan tekanan. Indurasi dan kalor mungkin dapat ditemukan. Eritema tersebut
bertahan lebih dari 1 jam setelah tekanan dibebaskan. Ukuran luka biasanya dinilai meliputi
linear pengukuran panjang dan lebar menggunakan kertas pengukuran atau pengukuran 3
dimensi meliputi panjang, lebar, kedalaman menggunakan pengukur luka.
Penyebab dari ulkus dekubitus oleh karena adanya iskemia dan hipoksia yang
mengakibatkan terjadi penurunan asupan maupun distribusi O2 ke jaringan, akibat dari tekanan
konstan dari luar (tekanan eksternal) yang cukup lama yang merusak aliran darah lokal soft
tissue. Tekanan eksternal tersebut harus lebih tinggi dari tekanan intrakapiler arterial dan harus
lebih tinggi dari tekanan kapiler vena. Dalam keadaan normal, tekanan intrakapiler arterial
adalah 32 mmHg dan tekanan ini dapat meningkat mencapai maksimal 60 mmHg yaitu pada
keadaan hiperemia. Tekanan mid kapiler adalah 20 mmHg, sedangkan tekanan pada vena
kapiler adalah 13-15 mmHg. Pada saat tekanan eksternal melebihi tekanan intrakapiler arterial
maupun tekanan vena kapiler, maka tekanan tersebut akan merusak aliran pada jaringan dan
menghambat aliran darah balik, dan jika tekanan tersebut konstan selama 2 jam atau lebih akan
menimbulkan destruksi dan perubahan ireversibel dari jaringan. Pasien posisi supine, tekanan
eksternal 40-60 mmHg merupakan tekanan yang paling berpotensi untuk terbentuk ulkus pada
daerah sacrum, maleolus lateralis, dan oksiput. Sedangkan pada pasien posisi prone, thoraks dan
genu mudah terjadi ulkus pada tekanan 50 mmHg. Pada pasien posisi duduk, mudah terjadi ulkus
bila tekanan berkisar 100 mmHg terutama pada tuberositas Ischii. Tekanan-tekanan tersebut
lebih tinggi dari tekanan kapiler yang mengindikasikan alasan area anatomi tersebut sering
terjadi ulkus dekubitus.
Ronki basah kasar, suara dasar bronkhial, dan peningkatan fremitus raba yang disertai
dengan gejala batuk berdahak menunjukkan gejala serupa pneumonia. Batuk yang di keluhkan
sejak 3 minggu merupakan mekanisme pertahanan untuk membersihkan dan melindungi saluran
napas dari bahan yang tidak diinginkan yang terdapat di saluran napas. Pneumonia adalah
peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup
bronkiolus respiratorius, alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan menimbulkan
gangguan pertukaran gas setempat. Diagnosis ini dapat ditegakkan dengan pemeriksaan radiologi
yang menunjukkan parenkim paru perifer yang semiopak, homogen tipis seperti awan, berbatas
tegas, bagian perifer lebih opak dibanding bagian sentral.
Pada pneumonia terjadi infeksi pada parenkim paru, asinus terisi cairan eksudat, dan
infiltasi sel radang ke dinding alveoli yang menyebabkan konsolidasi pada paru sehingga
fremitus raba meningkat karena penghantaran getaran oleh infiltrat. Suara dasar bronkhial
terdengar nyaring dan keras dengan hembusan lembut. Suara dasar bronkhial terjadi karena
adanya konsolidasi dalam jalan nafas yang menunjukan fase ekspirasi lebih panjang dan jelas
dari inspirasi. Kesuraman homogen paru pada pasien pneumonia disebabkan karena adanya
kerusakan jaringan parenkim paru. Fremitus taktil yang meningkat terjadi karena timbunan
sekret yang menggantikan udara yang mengisi sebagian besar jaringan paru. Adanya sekret
berlebihan juga ditunjukan oleh suara ronkhi basah. Ronkhi basah adalah suara nafas tambahan
berupa vibrasi terputus-putus akibat getaran yang terjadi karena adanya cairan dalam jalan nafas.
Oleh karenanya pasien juga mengeluh batuk dengan berdahak.
Indikasi utama terapi oksigenasi adalah pasien dengan gejala sianosis, hipovolemi,
perdarahan, anemisa berat, keracunan CO, asidosis, selama dan sesudah pembedahan, keadaan
tidak sadar. Bahayanya yaitu depresi ventilasi karena pemberian O2 yang tidak dimonitor dengan
konsentrasi dan aliran yang tepat pada pasien dengan retensi CO2 dapat menekan ventilasi,
bahaya yang lain yaitu keracunan O2 karena diberikan dengan konsentrasi tinggi dalam waktu
relatif lama.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien meliputi terapi preventif, promotif,kuratif,
dan rehabilitatif. Terapi preventif dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi yang lebih
lanjut pada pasien. Untuk mencegah timbulnya dekubitus pada pasien imobilisasi bisa dilakukan
beberapa tindakan antara lain merubah posisi pasien yang tidakdapat bergerak sendiri (minimal
setiap 2 jam sekali) untuk mengurangi tekanan,melindungi bagian tubuh yang tulangnya
menonjol dengan bahan-bahan yang lembut (misalnya bantal, bantalan busa) jika pasien harus
menjalani tirah baring dalam waktu yang lama, bisa digunakan kasur khusus (kasur dekubitus),
yaitu kasur yang diisi dengan air atau udara. Terapi promotif yang dapat diberikan pada pasien
berupa edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya
latihan bertahap dan ambulasi dini untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Sementara itu, untuk
mencegah infeksi pada luka perlu dilakukan edukasi mengenai cara merawat luka yang baik
danbenar serta pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Terapi kuratif diberikan pada
pasien untuk mengatasi gejala yang timbul misal dengan dilakukan terapi oksigenasi, pemberian
antibiotik dan terapi cairan. Terapioksigenasi diberikan untuk menjaga asupan oksigen pada
pasien sehingga tidak timbul hipoksia, terapi cairan diberikan untuk mencegah dehidrasi dan
hipoglikemi, sedangkan pemberian antibiotik dilakukan untuk mengobati infeksi bakterial yang
terjadi pada pasien.Pada tahap awal sebaiknya diberikan antibiotik empirik yang sesuai dengan
lokasi infeksi dengan dosis yang tepat untuk lansia.
Pasien dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi rehabilitasi. Tujuan
terapi rehabilitasi adalah untuk mempertahankan modalitas dan kekuatan otot. Rehabilitasi
medik dilakukan dengan latihan bertahap dan aman bagi pasien. Indikasi diberikan terapi
rehabilitasi medik berupa kemunduran muskuloskeletal, kemunduran kardiovaskuler,
kemunduran respirasi, perubahan-perubahan integument, perubahan-perubahan fungsi urinaria,
perubahan-perubahan gastrointestinal), faktor-faktor lingkungan. Diharapkan dengan terapi ini
dapat menurunkan ketergantungan pasien terhadap orang lain.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pasien mengalami pneumonia et causa imobilisasi dengan komplikasi berupa dekubitus
dan susah buang air besar.
2. Usia lanjut mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kulit
berkaitan dengan bertambahnya usia, disebabkan :
Berkurangnya jaringan lemak subkutan
Berkurangnya jaringan kolagen dan elastin
Menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga kulit menjadi lebih
tipis dan rapuh
B. Saran
1. Edukasi mengenai bahaya tirah baring lama pada pasien dan keluarga serta
seberapa pentingnya menjaga kebersihan diri dan lingkungan juga latihan
bertahap dan ambulasi dini untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.
2. Beberapa hal yang dapat mengurangi luka akibat tirah baring lama :
a. Penggunaan matras yang mereduksi penekanan jaringan.
b. Intervensi dengan melakukan pengangkatan bagian tubuh tertentu dan dengan
perubahan posisi yang rutin dengan interval perubahan posisi setiap dua jam
sekali.
c. Memberikan edukasi pada pasien dan keluarga agar lebih menyadari bahaya
dan mengetahui pencegahan terjadinya luka dekubitus.