Upload
citra-aditya
View
878
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
PEMBANGUNAN PARTISIPATORIS DALAM PENGELOLAAN DAERAH
ALIRAN SUNGAI (PARTICIPATORY ACTIONS PROGRAM IN
WATERSHED DEVELOPMENT)
Oleh: Apik Karyana
PENDAHULUAN
Pengertian
Pengertian DAS yang banyak dikenal pada bidang kehutanan, adalah wilayah/daerah yang dibatasi
oleh topografi alami yang saling berhubungan sedemikian rupa sehingga semua air yang jatuh pada
daerah tersebut akan keluar dari satu sungai utama. Sedangkan pengelolaan DAS diartikan sebagai
upaya manusia di dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumber daya alam dengan
manusia dan segala aktifitasnya sehingga terjadi keserasian ekosistem serta dapat meningkatkan
kemanfaatan bagi manusia..
Tujuan dari pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada dasarnya adalah pemanfaatan
sumberdaya alam dilakukan dengan terlanjutkan (sustainable) sehingga tidak membahayakan
lingkungan lokal, regional, nasional dan bahkan global. Tujuan ini sangat mulia dan harus
didukung oleh seluruh umat manusia. Oleh karena itu masalahnya bukanlah pada tujuan
pengelolaan DAS, tetapi bagaimana cara mencapai tujuan tersebut.
Konsep Partisipasi
Kenyataan menunjukkan bahwa kalau dipertanyakan “apakah yang dimaksud dengan partisipasi
?”. Jawabanya bisa tidak menentu. Istilah-istilah lain yang merupakan sinonim partisipasi adalah
“keikutsertaan, keterlibatan atau peran serta”. Gordon W. Apport dalam bukunya yang berjudul
The Psychology of Participation (1945), dalam Sastropoetro (1988) menyatakan :
“ The person who participates is ego-involved instead of merely tasks involved”
Pendapat ini dapat diterjemahkan dengan kalimat sebagai berikut:
“Bahwa seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya/egonya yang
sifatnya lebih daripada keterlibatan dirinya dalam pekerjaan atau tugas saja. Artinya keterlibatan
dirinya termasuk keterlibatan pikiran dan perasaannya”.
Ilmuwan Keith Davis dalam bukunya yang berjudul The Human Relation of Work (1962)
mengemukakan sebagai berikut:
“ Participation can be defined as mental and emotional involvement of a person in group situation
which encourages to contribute to group goals and share responsibility in them”.
Di dalam definisi di atas terdapat tiga gagasan yang penting, yaitu : (a) bahwa dalam partisipasi
bukan semata-mata keterlibatan secara jasmaniah, tetapi juga keterlibatan mental dan perasaan,
(b) adanya kesediaan memberi sesuatu sumbangan kepada usaha mencapai tujuan kelompok dan
(c) adanya unsur tanggung jawab.
Dari berbagai pengalaman proyek-proyek pengelolaan DAS, ada indikasi bahwa “partisipasi”
hanya menjadi slogan tanpa makna yang nyata. Partisipasi yang asli harus datang dari inisiatif
masyarakat sendiri. Partisipasi seperti itu merupakan partisipasi sejati yang bersifat swakarsa dan
interaktif, bukan bersifat artificial atau semu. Tuntuan dasar untuk menempatkan azas partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan DAS akhirnya menjadi prioritas.
Bryant (1982) merumuskan partisipasi sebagai fungsi dari manfaat (benefit) yang akan diperoleh,
dikalikan probabilitas atau kemungkinan untuk benar-benar memetik manfaat itu (Probability),
dikurangi dengan dua jenis biaya (cost), yaitu biaya langsung (direct cost) dan biaya oportunitas
(opportunity cost). Semuanya dikalikan dengan besarnya risiko (risks) yang sanggup ditanggung.
Secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut:
P = í ( B X Pr) – (DC + OC)ý R
Dimana :
P = Participation
B = Benefit
Pr = Probability
DC = Direct Cost
OC = Opportunity Cost
R = Risks
Untuk mengkaji lebih jauh bagaimana mengelola partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pengelolaan DAS diperlukan kajian yang mendalam berkaitan dengan kharakteristik DAS
(biofisik), Kharakteristik aturan main (kelembagaan) dan kharakteristik masyarakat (Sosial
ekonomi dan kebudayaan).
HISTORIS
Konsep pengelolaan DAS di Indonesia sebenarnya telah dikenalkan sejak jaman Belanda,
khususnya dalam praktek pengelolaan hutan, dimana pembagian-pembagian daerah hutan diatur
berdasarkan satuan DAS. Pada tahun 1961 diadakan gerakan penghijauan secara massal dalam
bentuk Pekan Penghijauan I di Gunung Mas, Puncak Bogor.
Pada tahun 1973 sampai 1981, FAO dan UNDP telah melakukan berbagai uji coba untuk
memperoleh metoda yang tepat dalam rangka rehabilitasi lahan dan konservasi tanah yang ditinjau
dari aspek fisik maupun sosial ekonomi di DAS Solo. Hasil-hasil pengujian ini antara lain
diterapkan dalam proyek Inpres Penghijauan dan Reboisasi sejak tahun 1976 pada 36 DAS di
Indonesia.
Upaya pengelolaan DAS terpadu yang pertama dilaksanakan di DAS Citanduy pada tahun 1981,
dimana berbagai kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan lintas disiplin dilakukan. Selanjutnya
pengelolaan DAS terpadu dikembangkan di DAS Brantas, Jratun Seluna. Namun proyek-proyek
pengelolaan DAS saat itu lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur fisik kegiatan
konservasi tanah untuk mencegah erosi dan bajir yang hampir seluruhnya dibiayai oleh dana
pemerintah. Baru tahun 1994 konsep partisipasi mulai diterapkan dalam penyelengaraan Inpres
Penghijauan dan Reboisasi, walaupun dalam tarap perencanaan.
Meskipun upaya-upaya pengelolaan DAS di Indonesia telah cukup lama dilaksanakan, namun
karena kompleksitas masalah yang dihadapi hasilnya belum mencapai yang diinginkan, terutama
yang berkaitan dengan pembangunan sumberdaya manusia dan kelembagan masyarakat.
FAKTA DAN PERMASALAHAN
Fakta
Di Indonesia, berdasarkan data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Planologi, Departemen
Kehutanan dan Perkebunan, laju kerusakan hutannya hampir mencapai 1,6 juta ha per tahun. Laju
angka kerusakan ini mengalami peningkatan 3 kali lipat selama kurun waktu 6 tahun.
Tingginya angka laju pengundulan hutan ini terutama disebabkan karena kejadian kebakaran hutan
rutin yang melanda hutan-hutan di kawasan pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
FAO (1985) melaporkan bahwa kerusakan hutan di Indonesia menempati urutan tertinggi
dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Pasifik.
Jika proses degradasi lahan ini terus berlangsung tanpa upaya yang nyata untuk menghentikannya,
produktivitas pertanian akan mengalami penurunan sebesar 15-30 % sampai dengan tahun 2003.
Permasalahan
Permasalahan utama dalam pembangunan pengelolaan DAS adalah belum mantapnya institusi dan
lemahnya sistem perencanaan yang komprehensif. Gejala umum yang timbuk dari kondisi di atas
antara lain: (1) masyarakat dalam DAS masih ditempatkan sebagai objek dan bukan subjek
pembangunan (2) manfaat pembangunan lebih banyak dinikmati oleh elit-elit tertentu dan belum
terdistribusi secara merata (3) masyarakat belum mampu untuk berpartisipasi secara nyata dalam
proses pembangunan (4) masyarakat masih menjadi bagian terpisah (eksternal) dari ekosistem
DAS.
PARADIGMA PEMBANGUNAN PARTISIPATORIS
Agar mencapai hasil-hasil pembangunan yang berkelanjutan, banyak kalangan sepakat diperlukan
pergeseran paradigma di bidang pengelolan DAS yang bersifat partisipatoris. Pendekatan
pembangunan partisipatoris harus mulai dengan orang-orang yang paling mengetahui tentang
sistem kehidupan masyarakat, setempat yaitu masyarakat itu sendiri.
Dalam kontek DAS pendekatan ini memberikan ruang yang cukup bagi masyarakat untuk menilai
dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka untuk mengembangkan diri.
Pendekatan partisipatoris harus disertai perubahan cara pandang terhadap DAS sebagai sistem
hidrologi yang semula merupakan benda fisik menjadi benda ekonomi yang memiliki fungsi sosial.
Perubahan peran pemerintah dari provider menjadi enabler, tata pemerintahan dari sentralistis
menjadi desentralistis, sistem pembangunan dan pengelolaan dari government centris menjadi
public-private community participation, pelayanan dari birokratis-normatif menjadi professional-
responsif dan fleksibel, penentuan kebijakan dari top-down menjadi bottom-up.
Munculnya paradigma pembangunan pengelolaan DAS yang partisipatoris mengindikasikan
adanya dua perspektif.
Pertama : pelibatan masyarakat setempat dalam pemilihan, perancangan, perencanan dan
pelaksanaan proyek/program pengelolaan DAS yang akan mewarnai kehidupan mereka, sehingga
dapat dijamin bahwa persepsi, pola sikap dan pola berpikir serta nilai-nilai dan pengetahuan lokal
ikut dipertimbangkan secara penuh.
Kedua: adanya umpan balik (feed back) yang pada hakekatnya adalah bagian yang tidak
terlepaskan dari kegiatan pembangunan.
METODOGI
Untuk mewujudkan pembangunan pengelolaan DAS yang partisipatoris dibutuhkan pendekatan
partisipasi dalam rangka memobilisasi peran serta dan meningkatkan keefektifannya. Untuk
memperoleh pendekatan yang partisipatoris diperlukan metoda penelitian yang bersifat
partisipatoris pula (studi eksploratoris).
Metoda partisipatoris berguna untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan kunci dalam merumuskan
masalah (Mikkelsen, 1999). Metoda ini sedikit menyimpang dari pendekatan konvensional dimana
para peneliti ahli yang merumuskan masalah. Dengan metoda partisipatoris, maka dalam
merumuskan masalah, menentukan tujuan prioritas dan tidak lanjut yang diperlukan menjadi
upaya bersama dengan masyarakat dan pihak-pihak lain yang terkait.
Kajian Preliminer
Kajian ini diawali dengan serangkaian diskusi tentang kerangka pemikiran serta arah kajian yang
akan dicapai dengan berbagai stakeholders. Pada tahap ini juga digali berbagai sumber data dan
informasi sekunder yang berkaitan dengan kondisi biofisik DAS, kondisi masyarakat serta
berbagai kebijaksanaan yang telah diberlakukan dalam pengelolaan DAS.
Hasil yang diperoleh pada tahap ini adalah dapat dirumuskannya :
1. Kerangka pemikiran dan arah kajian
2. Kebijaksanan umum pengelolaan DAS secara hipotetik
Seluruh rangkaian proses ini merupakan proses belajar bagi semua pihak. Untuk melaksanakan
studi eksploratoris diperlukan teknik-teknik PRA (Participatory Rural Appraisal). Teknik PRA
digunakan untuk memperoleh informasi awal mengenai suatu topik. Gambaran studi eksploratoris
untuk pengelolaan DAS dapat dilihat pada Gamber di bawah ini.
Penetapan Peubah Kunci
Dari hasil kajian preliminer dan penjabaran operasional kerangka pemikiran menghasilkan
permasalahan hipotetik dalam pengelolaan DAS, yaitu :
“ Rendahnya produktifitas dan semakin menurunnya daya dukung DAS (yang dapat diukur dari
dampak off site maupun on site) – adalah akibat dari rendahnya partisipasi masyarakat dan
stakeholders lainnya. Dengan demikian maka perubahan perilaku masyarakat merupakan objek
dan penurunan sistem alami daya dukung DAS sebagai subjek.
Berdasarkan permasalahan hipotetik di atas, harus disusun sejumlah indikator yang dapat
digunakan untuk menentukan ukuran-ukuran partisipasi masyarakat dalam pengelolaan DAS,
seperti :
1. Tingkat adopsi dan inovasi masyarakat
2. Kualitas biofisik DAS
3. Produktifitas masyarakat
4. Keberadaan intitusi lokal sebagai social capital
5. Aksesibilitas dan daya tangkap
Asumsi
Dalam melaksanakan studi eksploratoris diperlukan asumsi-asumsi sebagai berikut :
Partisipasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan program pengelolaan DAS,
tetapi merupakan suatu proses dan oleh sebab itu studi hendaknya dipadukan dengan
kegiatan-kegiatan lain dalam program pengelolaan DAS.
Penyelenggaraan pengelolaan DAS harus didasarkan pada keberadaan organisasi-
organisasi lokal yang ada
partisipasi dihargai secara pragmatis yaitu pelibatan masyarakat dalam tindakan-tindakan
administratif yang memiliki pengaruh langsung terhadap mereka.
DAFTAR BACAAN
Anomim. 1985. Prosiding Lokakarya Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu. Departemen
Kehutanan, Jakarta.
Bryant, C. 1982. Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang. LP3ES.
Mikkelsen, B. 1999. Metoda Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.
Katodihardjo, H., Murtilaksono, K.,Pasaribu. H.S., Sudadi, Untung., Nuryantono. N. 2000. Kajian
Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. K3SB. Bogor.
Sastropoetro, S. 1988. Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan
Nasional. Penerbit Alumsi, Bandung.
Keith, D. 1962. Human Relations at Work. Mc Graw-Hill Book Company Inc., New York.
STRATEGI DAN TINJAUAN KOMPONEN GEOFISIK DI DALAM
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
Oleh: Hikmad Lukman, P23600001/DAS; Email: [email protected]
Sumber: http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/02201/hikmad_lukman.htm
I. PENDAHULUAN
SEJARAH.
Konsep strategi pengelolaan DAS sudah dikenal dibanyak negara maju dan negara berkembang
(Philipina, Cina. Jepang dll). Pengelolaan DAS seperti di Indonesia, negara-negara di Afrika dan
Amerika Latin dan dinegara Asia lainnya, belum dapat diharapkan hasilnya karena belum adanya
kerangka kerja pengelolaan DAS nasional yang benar, sehingga disana-sini timbul masalah
kerusakan DAS. Akibat pengelolaan sumber DAS yang buruk dimasa lalu dan sekarang ternyata
telah mengurangi secara berarti kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan disuatu negara/daerah.
Upaya pengelolaan DAS terpadu pertama kali dilaksanakan di DAS Citanduy (1981) dengan
kegiatan yang bersifat lintas sektoral dan lintas disiplin. Kemudian dikembangkan di DAS Brantas,
Jratun Seluna. Proyek-proyek pengelolaan DAS pada saat itu lebih menekankan pada
pembangunan infrastruktur fisik kegiatan konservasi lahan untuk mencegah banjir dan erosi yang
hampir seluruhnya dibiayai oleh pemerintah dan bantuan asing. Namun walau upaya pengelolaan
DAS yang sudah cukup lama dilakukan, ternyata karena kompleksitas masalah, hasilnya belum
memadai, terutama yang berkaitan dengan pembangunan SDM dan kelembagaan masyarakat.
Selama ini terdapat beberapa kesalahan pembenaran (myth) pengelolaan yang menyebabkan
perbaikan kerusakan DAS seringkali tidak memberikan hasil yang optimum dan malah
memperparah keadaan. Sebab-sebab kerusakan DAS antara lain timbul akibat :
a. Perencanaan bentuk penggunaan lahan dan praktek pengelolaan yang tidak sesuai,
b. Pertambahan jumlah penduduk baik secara alami maupun buatan,
c. Kemiskinan dan kemerosotan ekonomi akibat keterbatasan sumber daya manusia, sumber alam
dan mata pencaharian,
d. Kelembagaan yang ada kurang mendukung pelayanan kepada para petani di hulu / hutan,
e. Kebijakan perlindungan dan peraturan legislatip, tidak membatasi kepemilikan / penggunaan
lahan,
f. Ketidakpastian penggunaan hak atas tanah secara de-fakto pada lahan hutan.
Kerusakan DAS terjadi dibanyak tempat dengan kuantitas yang berbeda sehingga menimbulkan :
a. Penurunan kapasitas produksi sumber lahan akibat erosi tanah dan timbulnya perubahan kondisi
hidrologi, biologi, kimia dan sifat fisik tanh,
b. Pengurangan kualitas dan atau kuantitas air permukaan dan air tanah sehingga menambah resiko
kerusakan akibat banjir di hilir,
c. Pengurangan kualitas dan atau kuantitas sumber biomassa alam dan mengurangi perlindungan
terhadap penutup permukaan lahan oleh tanaman,
d. Penurunan genetik, jenis dan keragaman ekosistim didalam dan diluar DAS,
e. Kerusakan ekosistim terumbu karang di sekitar pesisir pantai.
Untuk membahas dan mempelajari masalah pengelolaan DAS secara berkelanjutan, maka perlu
diketahui mengenai istilah, pengertian dan definisi yang berkaitan dengan pengelolaan DAS tsb,
yaitu :
DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) didefinisikan sebagai suatu daerah yang dibatasi oleh
topografi alami, dimana semua air hujan yang jatuh didalamnya akan mengalir melalui suatu
sungai dan keluar melalui suatu outlet pada sungai tsb, atau merupakan satuan hidrologi yang
menggambarkan dan menggunakan satuan fisik-biologi dan satuan kegiatan sosial ekonomi untuk
perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam.
PENDEKATAN DAS menggunakan pengelolaan DAS untuk perencanaan dan pelaksanaan
kegiatan-kegiatan pembangunan sumber daya alam. Yang ditanamkan dalam pendekatan ini
adalah pengakuan adanya hubungan erat antara lahan dan air dan antara daerah hulu dan hilir, serta
pelaksanaan praktek yang tepat, sesuai dengan sasaran.
PENGERTIAN PENGELOLAAN DAS yaitu merupakan suatu kegiatan menggunakan semua
sumber daya alam/biofisik yang ada, sosial-ekonomi secara rasional untuk menghasilkan produksi
yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (sustainable), menekan bahaya kerusakan
seminimal mungkin dengan hasil akhir kuantitas dan kualitas air yang memenuhi persyaratan (N.
Sinukaban, 2000).
TUJUAN PENGELOLAAN DAS adalah Sustainable Watershed Development dengan
memanfaatkan sumber daya alam didalam DAS secara berkelanjutan dan tidak membahayakan
lingkungan di sekitarnya.
PRAKTEK PENGELOLAAN DAS adalah suatu kegiatan perubahan / upaya pengelolaan dalam
penggunaan lahan, seperti : penutup tanaman dan kegiatan nonstruktur lainnya serta kegiatan
struktur yang dilakukan di dalam DAS untuk mencapai suatu tujuan.
KONSEP DASAR PENGELOLAAN DAS adalah bahwa keberhasilan pengelolaan akan terwujud
bila seluruh pengambil kebijakan seperti : pemerintah, badan pemerintahan negara dan
internasional, lembaga keuangan dan masyarakat sendiri ikut berperanan secara aktip mengelola
DAS untuk memperbaiki kesejahteraan dan sosial ekonomi negara dan manusia. Setiap kegiatan
pengelolaan dilakukan berdasarkan pendekatan secara komprehensif oleh semua pihak terkait
dengan menggali semua kemampuan potensialnya seperti : pendistribusian makanan yang merata,
luas lahan, produksi kayu dan bahan bakar, sistem hidrologi, penyediaan air irigasi, mengurangi
kemungkinan banjir, kekeringan dan bahaya alam lainnya seperti erosi, penggaraman dan
penggurunan. Juga kebutuhan akan infrastruktur (sarana dan prasarana), pemasaran dan proses
perbaikan kondisi masyarakat dan lingkungan sosial-ekonomi seperti : fasilitas kridit, koperasi,
pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau.
CIRI-CIRI PENGELOLAAN YANG BAIK yaitu menghasilkan produktifitas yang tinggi dengan
meningkatnya : pendapatan; jumlah dan distribusi kualitas dan kuantitas yang baik; mempunyai
sifat lentur dan azaz pemerataan.
INDIKATOR PENGELOLAAN DAS YANG BAIK adalah produksi yang berkelanjutan;
kerusakan lahan dan air minimum; distribusi hasil air yang berkualitas dan berkuantitas baik;
teknologi yang dipakai dapat diterima; dan mensejahterakan seluruh masyarakat yang terkait.
Untuk menghasilkan tujuan tsb diperlukan teknologi pengelolaan DAS untuk mengurangi bahaya
banjir dan erosi dimusin hujan dan menaikan debit air sungai pada waktu musim kering. Model-
model simulasi hidrologi digunakan untuk mendapatkan perubahan tsb berdasarkan teknologi
konservasi tanah berupa : cara agronomi; vegetatip; mekanis; dan manajemen. Keberhasilan
pengelolaan DAS bukan hanya semata dari tujuan, namun yang penting adalah bagaimana cara
mencapai tujuan tsb. Untuk itu diperlukan suatu “usaha/strategi pengelolaan DAS secara
berkelanjutan”.
PRINSIP UMUM PENGELOLAAN DAS diidentifikasikan oleh Black (1970), yaitu :
1. Ekologi alami DAS merupakan suatu sistim dan keseimbangan yang dinamis,
2. Mempunyai faktor-faktor yang mempengaruhi run-off,
3. Distribusi air tidak merata dalam siklus hidrologi, sehubungan dengan praktek pengelolaan
DAS.
MONITORING DAN EVALUASI.
MONITORING adalah suatu kegiatan penilaian yang dilakukan secara terus-menerus pada suatu
kegiatan proyek pengelolaan DAS dalam hubungannya dengan rencana kerja pelaksanaan dan
penggunaan masukan proyek berdasarkan target jumlah sehubungan dengan harapan perencanaan,
jadi merupakan kegiatan proyek secara internal dan merupakan bagian penting dari praktek
pengelolaan yang baik, karena itu merupakan bagian terintergrasi dari pengelolaan DAS sehari-
hari (W.B/IFAD/FAO-1987). Monitoring juga merupakan suatu kegiatan pengawasan yang
dilakukan terus menerus atau secara periodik dari suatu pelaksanaan kegiatan pengelolaan dalam
menjamin masukan yang diberikan, rencana kerja, keluaran yang ditargetkan dan kegiatan-
kegiatan yang diperlukan lainnya, jadi monitoring merupakan cara kerja yang sesuai dengan
perencanaan (UN, 1984). Maksud dari monitoring adalah untuk mencapai kinerja proyek
pengelolaan DAS yang efektif berdasarkan ketentuan peninjauan kembali kegiatan pengelolaan
proyek pada semua tingkat agar memungkinkan pengelola memperbaiki perencanaan
operasionalnya menggunakan kegiatan perbaikan secara cepat pada waktunya. Hal ini merupakan
bagian dari sistim informasi managemen yang terintegrasi.
EVALUASI adalah suatu kegiatan penilaian secara periodik terhadap : relevansi, kinerja, efisiensi
dan pengaruhnya terhadap proyek sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapai. Kegiatan ini
umumnya meliputi perbandingan antara informasi yang dibutuhkan dari luar proyek pada suatu
waktu, daerah dan populasi (WB/IFAD/FAO, 1987), atau evaluasi adalah suatu proses untuk
menentukan secara sistimatis dan obyektif tentang : relevansi, efisiensi, efektifitas dan pengaruh
kegiatan sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapai, jadi merupakan proses yang berhubungan
dengan pengorganisasian untuk memperbaiki kegiatan-kegiatan yang masih dalam proses serta
untuk tujuan perencanaan pengelolaan yang akan datang, penyusunan acara dan dalam membuat
suatu keputusan.
GAMBAR: Sistem Prototipe Hidrologi Daerah Aliran Sungai.
II. PANDANGAN PENGELOLAAN DAS.
Di dalam memandang pengelolaan DAS, perlu dipelajari bagaimana hubungan antara pengelolaan
DAS dengan metoda pengelolaan sumberdaya air lainnya dan terjadinya gejala perubahan berskala
besar pada lingkungan alam. Kemudian perlu didalami maksud pendekatan pengelolaan DAS
kedalam pandangan pengelolaan DAS tsb. Sampai pada awal abad 19 telah diselidiki pengaruh
penebangan hutan secara besar-besaran di Amerika Serikat dalam memenuhi kebutuhan
permintaan kayu sebagai akibat revolusi industri yang menyebabkan banjir yang besar dan
terjadinya erosi. Dari hasil penelitian dan penyelidikan mengenai presipitasi dan run-off, diperoleh
bahwa timbulnya banjir bukan akibat penebangan hutan, melainkan bahwa presipitasi yang jatuh
ke permukaan tanah langsung memperbesar run-off permukaan, sedang presipitasinya sendiri
berkurang akibat berkurangnya evapotranspirasi.
PENELITIAN DAN PELAKSANAAN PENDAHULUAN.
Penyelidikan klasik pengaruh penebangan hutan di gunung, lahan penggembalaan dan penanaman
tanaman pada DAS kecil menyebabkan kerugian pada run-off dimana frekuensi dan besarnya
banjir serta sedimen meningkat. Untuk itu para peneliti berusaha merubah praktek perbaikan
dengan menata kembali perlindungan penutup hutan, yaitu dengan melakukan : perbaikan
penggunaan lahan yang tidak tepat; perlindungan sumberdaya alam termasuk tanah dan air; dan
peningkatan (enchancement).
Penyelidikan kemiripan dan keterkaitan pengelolaan DAS dilakukan untuk memperkuat dan
memperluas konsep, tantangan dan kesempatan menggunakan penutup lahan dengan tanaman
untuk mencapai tujuan pengelolaan untuk jangka waktu tertentu. Pengaruh pengelolaan DAS pada
daerah perkotaan dan industri dilakukan dengan melakukan perbaikan disektor pertambangan,
pekerjaan pematangan tanah dan lahan yang berumput. Pengawasan dilakukan dengan mengontrol
temperatur aliran air, habitat binatang, pola run-off tahunan dan prilaku aliran setempat, sehingga
beberapa pembuatan model pengelolaan lahan dilakukan dan persediaan air diperkotaan.
Pengelolaan DAS untuk penyediaan air diperkotaan perlu disusun kembali berdasarkan fungsi
hidrologinya sebagai dasar jaminan kualitas air yang memadai. Penelitian kerusakan kualitas air
akibat penggunaan lahan dan nonpoint polution seperti penyebaran patogen sudah dilakukan.
Adanya pemberian tanggungjawab pengendalian banjir di bagian hilir dan di hulu kepada suatu
badan yang independen merupakan hal yang tepat dalam menjaga dan memberikan tanggungjawab
keberhasilan pengelolaan DAS. Banyak praktek yang direncanakan untuk melindungi dan
meningkatkan sifat pengaliran pada DAS kecil yang dapat diadopsi oleh para petani secara aktip
dalam melaksanakan pengelolaan tanah secara ekonomis dan berwawasan lingkungan. Kegiatan
ini memberikan inspirasi adanya pemberian insentif secara terus menerus kepada petani untuk
mengelola DAS tsb.
TONGGAK SEJARAH PERUNDANG-UNDANGAN.
Penyelesaian masalah kepemilikan lahan dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa tindakan
berupa pembuatan perundang-undangan sebagai landasan kerja dalam melakukan pengelolaan
DAS. Pada tahun 1955 perlindungan DAS dan tindakan pencegahan banjir dengan memberikan
kewenangan untuk mengelola fasilitas lahan-lahan DAS menggunakan konservasi tanah dan air.
Pencegahan banjir di hulu lebih efektif dibanding dengan pencegahan di daerah hilir. Perdebatan
pengendalian banjir merupakan sumber utama friksi antara pengelola tanah yang berwawasan
lingkungan pada satu pihak dan teknik pengelolaan tanah dipihak lain.
Perencanaan DAS dilakukan pada skala basin sungai dan kegiatan perencanaan sumberdaya air
diciptakan oleh suatu badan pengelolaan sumberdaya air. Adanya kegiatan memfasilitasi
pembuatan komisi perencanaan basin sungai dilakukan untuk menyelesaikan semua kegiatan
kasus-kasus besar untuk mencapai tujuan secara terbatas dab mengontrol kualitas air. Kegiatan tsb
perlu dikoordinasikan dengan perencanan dan pemerintah, membuat penjelasan dan penyebar
luasan prinsip dan standar perencanaan pengelolaan air dan sumberdaya lahan.
Hubungan antara penggunaan lahan dan kuantitas air diambil sebagai langkah utama amendemen
pengontrolan polusi air yang sekarang dikenal sebagai kegiatan air bersih. Langkah selanjutnya
mengontrol kualitas air untuk tujuan mengontrol pengelolaan tanah yang diidentifikasikan sebagai
pertanian, perkebunan, pertambangan, konstruksi, peresapan air garam, pembuangan air sisa dan
pembuangan di atas tanah dan di bawah permukaan melalui perencanaan pengelolaan buangan
yang dilakukan secara luas.
Timbulnya gerakan lingkungan sejak tahun 1960 secara terus menerus menghasilkan tuntutan
adanya Pengelolaan Ekosistem yaitu integrasi pengelolaan sumber daya alam lintas kepemilikan
di daerah perkotaan yang sama sengan di desa. Bentuk ini memberikan lingkungan yang tepat
antara unit hydrophere alami, DAS dan kebutuhan seluruh pengelolaan yang berwawasan
lingkungan pada tanah negara dan sumber daya air. Pengelolaan DAS harus tetap fleksibel, sesuai
dengan fisik, kimia dan sifat biologi yang berhubungan dengan air. Dari sisi politik, pengelolaan
DAS harus juga bertanggung jawab terhadap pemberian kesempatan dan tantangan untuk
pencegahan, perbaikan, dan tujuan peningkatan pengolahan terhadap kemerdekaan perseorangan
dan kepada tujuan dari masyarakat yang mempunyai sumber alamnya sendiri dan yang akhirnya
dilola oleh masyarakat itu sendiri.
PENGELOLAAN DAS DAN PERUBAHAN BERSKALA BESAR
Kesadaran adanya perubahan skala besar pada lingkungan bumi dihasilkan oleh teknologi
pengawasan dan modeling seperti timbulnya efek rumah kaca; hujan asam; pengaruh penggunaan
bahan rumah tinggal, industri dan bahan kimia yang diperdagangkan pada penahan lapisan ozon.
Kedua, efek rumah kaca dan hujan asam merupakan sifat lingkungan bumi yang normal dari
kehidupan kita selama ini. Efek rumah kaca mempunyai akibat akhir yang menakutkan yaitu
Peningkatan Efek Global, yaitu menimbulkan:
1. Penambahan kadar CO2 yang ditransfer akibat terbakarnya bahan bakar fosil dan
penurunan komposisi organik yang keduanya menggunakan oksigen,
2. Kerusakan daerah hutan secara luas.
Akibat penambahan CO2, akan membatasi keluarnya radiasi gelombang panjang, pembatasan
bentuk radiasi dan penambahan temperatur menyebabkan bertambahnya evaporasi. Terjadinya
pembakaran fosil akan mengakibatkan bertambahnya evaporasi dan berkurangnya radiasi
gelombang pendek yang datang. Persoalan hujan asam diperdebatkan. Hujan umumnya bersifat
asam, tetapi asam yang berlebih dari pembentukan dan deposisi asam nitrit dan asam sulfur dari
atmosfer, dari air atmosfer akan menimbulkan hujan asam.
METODOLOGI MODIFIKASI LINGKUNGAN SUMBER DAYA AIR
Pengelolaan unit dasar ketersediaan air pada pertemuan udara dan tanah hanya merupakan salah
satu dari beberapa metodologi untuk satu atau lebih komponen keseimbangan air bagi keuntungan
umat manusia. Metoda lainnya termasuk: pengurangan penggaraman, pengurangan evaporasi,
modifikasi cuaca, peredaran dan penguapan air.
1. Teknik pengurangan kadar garam (Desalinization) adalah suatu cara pengurangan secara
lambat laun biaya yang perlu dikeluarkan, namun masih lebih tinggi dari metoda alternatif
penambahan persediaan air.. Hal ini dilakukan bila tidak menyediakan air bersih berbiaya
tinggi atau biaya energi yang murah. Penggunaan tenaga listrik menyebabkan biaya
pengurangan kadar garam menjadi mahal, sementara pengembangan teknologi cenderung
berkurang, karena itu, teknik ini hanya mungkin untuk daerah dengan kondisi air yang
mengandung garam tersebut.
2. Pengurangan evaporasi dengan pembentukan lapisan monomoleculer pada permukaan
tanah mencegah terjadinya penguapan. Dari hasil penelitian diperoleh besarnya
pengurangan evaporasi hanya sekitar 10% akibat kesulitan umtuk memelihara lapisan
dengan kondisi cuaca yang tidak cocok, terutama faktor angin dalam menambah
kehilangan evaporasi. Angin akan mendorong lapisan monomoleculer ke bagian tubuh
reservoir besar dimana kehilangan air yang berkumpul dan menumpuk di sepanjang pantai
memyebabkan pengurangan evaporasi yang kecil.
3. Modifikasi cuaca berupa teknologi memodifikasi lingkungan sumberdaya air banyak
digunakan. Pekerjaan utama yang dilakukan saat ini adalah memodifikasi angin topan dan
memodifikasi pembuatan halilintar untuk menghilangkan panas pada kejadian pembakaran
hutan besar dan untuk menghilangkan hujan es pada daerah dimana kerusakan pada
tanaman tertentu; menambah presipitasi untuk mengurangi musim kemarau sementara
waktu. Metoda ini menunjukan adanya: biaya penambahan presipitasi yang rendah dan
mudah dilakukan; biaya operasi langsung mudah dibayar oleh keuntungan penambahan air
yang tersedia; ada keuntungan lainnya untuk ketersediaan air yang berlebihan , yaitu untuk
menghasilkan listrik, irigasi dan untuk tanaman makanan ternak.
4. Pengalihan, dipraktekkan secara luas sejak jaman dahulu menggunakan ketersediaan air
yang tidak digunakan/berlebihan atau air tersebut sudah digunakan dan secara lokal tidak
tersedia. Pada sebagian daerah panas di USA, teknik pengalihan air memberi peranan
penting keberhasilan pemperkenalkan, penggunaan, dan modifikasi pendekatan doktrin
hak mengenai air (Blach, 1987) yaitu perlunya ijin pengambilan air dari suatu aliran/DAS
dan mengirimkannya ke suatu DAS yang lainnya untuk penggunaan yang bermanfaat,
dimana airnya tidak perlu dikembalikan kepada DAS asalnya. Pengaruhnya adalah
bertambahnya presipitasi, bertambahnya run-off kepada DAS penerima dan akibatnya
mengurangi presipitasi dan run-off pada kedua DAS tersebut, sehingga tentunya berkaitan
dengan perubahan pada besarnya erosi dan sedimentasi serta flora dan fauna air.
5. Penyimpanan merupakan teknik pendekatan yang klasik untuk memecahkan masalah
kekurangan air untuk sementara waktu. Fungsi penyimpanan (strorage) terutama untuk
menyimpan air, tetapi peningkatan pada suatu danau alami yang ada atau basin lahan basah
dan percepatan atau peningkatan kembali penyediaan air tanah, juga termasuk pendekatan
yang dapat diterima. Pembuatan strorage sudah dikenal sebagai kebijakan yang bijaksana
dan teknologi ini menguntungkan secara ekonomi dan lainnya seperti: untuk tempat
rekreasi dan olah raga air, pembangkit tenaga listrik, pelayaran dan pengendali banjir.
III. PELAKSANAAN PENGELOLAAN DAS
Banyak kegiatan yang dilakukan untuk memperbaiki dan menata kembali kerusakan lahan yang
terjadi dan dilain pihak perlu melakukan pencegahan kerusakan dimasa mendatang. Semua tujuan
ini untuk membuat penggunaan lahan menjadi lebih baik akibat keterbatasan lahan dan sumber air
yang ada. Ada sejumlah pelaksanaan pengelolaan DAS dapat digunakan dan dapat dikombinasikan
satu dengan yang lainnya. Ada tiga sasaran umum kegiatan pengelolaan DAS yaitu:
1. REHABILITASI
Memperbaiki lahan pertanian/kehutanan akibat erosi dan sedimen yang berlebihan dan bahan-
bahan yang mudah larut yang tidak diperlukan akibat run-off dll. Metoda rehabilitasi yang
digunakan adalah metoda: tanah hutan, rangeland, tanah pertanian dan saluran aliran. Rehabilitasi
sering dibatasi untuk DAS kecil; pengertian rehabilitasi sering digunakan untuk membatasi fungsi
DAS yang memerlukan penataan kembali.
2. PROTEKSI.
Perlindungan tanah pertanian/kehutanan akibat pengaruh yang membahayakan produksi dan
kelestarian menggunakan metoda: tanah hutan, rangeland, pencegahan kebakaran, pencegahan
terhadap gangguan serangga/hama serta penyakit.
3. PENINGKATAN.
Peningkatan sifat sumber air dilakukan dengan manipulasi ciri-ciri suatu DAS akibat pengaruh
hidrologi atau fungsi kualitas air. Tujuan penungkatan pengelolaan DAS didasarkan pada
pengakuan bahwa sistem tanah-tanaman yang alami tidak memerlukan produksi air yang optimum.
Ketergantungan pada tujuan pengelolaan tanah tertentu, neraca air, cara hidup atau kualitas air
dapat dirubah. Semua praktek dan program peningkatan yang sekarang dilakukan (kuantitas air
dan cara hidup) dan program perlindungan serta perbaikan, bertujuan untuk mengontrol atau
menata kualitas air. Pelaksanaannya antara lain adalah:
Penebangan dan Perubahan Tanaman
Umumnya tanaman perlu ditebang agar: mempertahankan pertemuan permukaan pada
tahun pertama; menghindari gangguan pada proses hidrologi alami pada bidang pertemuan
tanah dan air.
DAS Perkotaan
Untuk menjaga sumber utama air di perkotaan, diperlukan pengelolaan pengaruh run-off
dari DAS sekitar hutan. Pengawasan rutin perlu untuk menjamin jalannya peraturan bahwa
air yang mengalir di saluran/sungai tidak digunakan untuk rekreasi, penggunaan secara
perseorangan, tempat pembuangan air kotor dan limbah industri.
Memperbaiki Aliran
Pembuatan saluran, pemberantasan phreatophyte, kontrol erosi pada tepi sungai, program
jalan masuk aliran, drainase, perlindungan dan penataan kembali terhadap perikanan, serta
program pengalihan air perlu dilakukan. Banyak pekerjaan saluran berjangka pendek
memberikan keuntungan ekonomi kepada organisasi penyalur tenaga kerja untuk
menyalurkan pekerja dalam memelihara saluran yang diperbaiki.
Modifikasi DAS
Modifikasi DAS dapat dilakukan dengan batasan adanya perubahan pada: besarnya
kemiringan tanah, gradient aliran, ukuran dan harus selalu memperhatikan perubahan pada
penutup tanaman yang juga dapat berpengaruh pada perubahan albedo dan berakibat pada
banyaknya pola evaporasi dan run-off.
Adanya perubahan yang terjadi dari ketiga sasaran kegiatan pengelolaan DAS di atas adalah fakta
timbulnya perubahan alam yang umumnya merugikan, akibat air yang selalu bergerak lebih rendah
akan berpengaruh pada kualitas air.
IV. STRATEGI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
KONSEP STRATEGI PENGELOLAAN DAS
Konsep strategi adalah merencanakan dan menggunakan usaha-usaha untuk mencapai pengelolaan
DAS secara berkelanjutan sambil melestarikan dan melindungi DAS dari kerusakan yang terjadi.
Usaha yang utama adalah melindungi dan membentuk hutan lindung dan hutan suaka dalam suatu
DAS dan melindungi kemerosotan mutu tanah dan air yang berkaitan dengan usaha peningkatan
produksi barang dan jasa dalam pengertian ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan. Usaha
tersebut membutuhkan penyediaan sumberdaya alam (air, tanah, lahan) yang cukup terjamin baik
kualitas maupun kuantitasnya.
FILSAFAT STRATEGI PENGELOLAAN DAS.
Filsafat utama strategi pengelolaan DAS adalah untuk memperbaiki pengelolaan DAS yang
merupakan tuntutan kuat dari masyarakat. Filsafat strategi pengelolaan terdiri dari dua komponen
pendekatan pengelolaan DAS yang saling berkaitan:
1. Tuntutan yang didasarkan pada prioritas dan kepentingan nasional masing-masing negara,
2. Pengambil keputusan dapat melaksanakan kepentingannya dan aktif berpartisipasi dalam
melakukan konservasu pada tingkat perencanaan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber
DAS mereka masing-masing secara berkelanjutan.
Kedua komponen tersebut harus memberikan aspek sosial yang optimum, budaya, ekonomi dan
memberikan keuntungan lingkungan yang besar kepada masyarakat khususnya kehidupan di
daerah hilir maupun hulu DAS dengan tetap memelihara kondisi biologi dan budayanya.
DASAR PEMIKIRAN, TUJUAN DAN SASARAN STRATEGI.
1. DASAR PEMIKIRAN: dasar pemikiran untuk strategi pengelolaan DAS adalah
memberikan kerangka kerja nasional untuk mengelola sumber-sumber alm(tanah,
tanaman,air dsb) secara berkelanjutan dalanm seluruh DAS,
2. TUJUAN: ada 2 tujuan yang ingin dicapai dari strategi pengelolaan DAS yaitu:
a. Menggunakan sumber-sumber alam sebanyak mungkin secara berkelanjutan dalam
seluruh kawasan DAS yang berwawasan lingkungan, bernilai ekonomis dan secara sosial
dapat diterima
b. Mencegah kerusakan Das lebih lanjut, mengembalikan produksi dan fungsi
perlindungan dari kondisi kerusakan DAS pada saat ini,
3. SASARAN: sasaran (objek) dari strategi pengelolaan DAS adalah:
a. Membuat kebijakan yang kuat berdasar perundangan yang berlaku, baik tingkat nasional
maupun tingkat setempat,
b. .Mengembangkan investasi jangka panjang dalam program nasional untuk memperbaiki
pengelolaan dan perbaikan sumber-sumber DAS secara nasional,
c. Menciptakan efektivitas inter-intra struktur organisasi lembaga, penguatan kemampuan
kelembagaan dalam mendukung perbaikan pengelolaan sumber DAS,
d. Mengembangkan bentuk-bentuk penggunaan lahan yang cocok berdasar praktek
pengelolaan tanah yang sesuai sehingga memungkinkan sumber alam suatu DAS dapat
digunakan untuk macam-macam tujuan produksi berdasarkan kewajaran dan
keberlanjutan,
e. Mencegah dan menghalangi kerusakan tanah dan deforestation, sambil memperbaiki
kualitas dan kuantitas pengaliran air baik di dalam maupun di luar suatu DAS,
f. Melindungi dan mempertahankan daerah yang penting sebagai persediaan sumber alam
hayati negara,
g. Mengurangi kemiskinan masyarakat-masyarakat di hulu dengan memperluas
kesempatan kehidupan ekonomi secara berkelanjutan di dalam bidang pertanian atau
kegiatan kehutanan dalam suatu DAS,
h. Memfasilitasi secara aktif partisipasi tingkat pengambil keputusan dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan peninjauan kembali kegiatan pengelolaan sumber DAS
secara berkelanjutan,
i. Mendorong melakukan identifikasi dan pemanfaatan secara realistik dan berkelanjutan,
untuk maksud mendapatkan bantuan yang diperlukan dalam memperbaiki pengelolaan
sumber DAS,
j. Menciptakan kebutuhan untuk perbaikan pengelolaan sumber-sumber DAS dengan
mempertinggi kesadaran berlingkungan pada seluruh masyarakat dan pemerintah,
k. Memfasilitasi secara sistematis: pengumpulan, peninjauan kembali dan penyebaran
informasi yang bertujuan menciptakan sistem informasi DAS secara nasional.
USAHA: melakukan upaya peningkatan produksi dengan melakukan pengembangan sistem
pengelolaan yang menggabungkan berbagai teknologi perkotaan, sistem pengelolaan industri,
sistem pengelolaan pertanian/perkebunan dsbnya.
PRINSIP PETUNJUK: Prinsip petunjuk strategi pengelolaan sumber DAS, didasarkan pada
prinsip petunjuk, berupa:
a. Aspek Ekologi yang berkelanjutan,
b. Aspek Sosial dan budaya yang berkelanjutan,
c. Aspek Ekonomi yang berkelanjutan,
d. Aspek Kelembagaan yang berkelanjutan.
KERANGKA KERJA STRATEGI PENGELOLAAN DAS, disusun agar menghasilkan tujuan
atau sasaran yang akan dicapai. Salah satu contoh kerangka strategi yang perlu disusun adalah:
Untuk itu perlu disusun tahapan-tahapan pelaksanan strategi yang saling berkaitan satu sama lain,
yaitu:
1. Jangka Panjang, yaitu pembuatan kebijakan, kelembagaan dan undang-undang, dilakukan
oleh pemerintah pusat,
2. Jangka Menengah, yaitu operasional penjabaran pelaksanaan jangka panjang yang
dilakukan oleh pemerintah tingkat I,
3. Jangka Pendek, yaitu implementasi operasional di tingkat kabupaten dimana masyarakat
aktif berpartisipasi, dimana masyarakat sebagai subyek (sistem top-down).
PARADIGMA BARU PENGELOLAAN DAS
Paradigma lama pengelolaan DAS menekankan pola Top-Down di tingkat kebijakan, operasional
dan pelaksanaan, namun penekanan pada bidang fisik dan ego-sektoral sekarang ini sudah
ditinggalkan akiibat kegagalan-kegagalan usaha perbaikan DAS. Paradigma baru yang sekarang
dilakukan adalah pemberdayaan masyarakat petani didalam usaha pengelolaan DAS ditingkat
opersional dan pelaksanaan, menggunakan sistem Bottom-Up dan program pegelolaan
dilaksanakan secara terpadu oleh para pengambilan keputusan. Ada beberapa hal yang penting
didalam paradigma baru adalah:
1. Pengelolaan dilakukan secara terpadu (lintas sektoral),
2. Peningkatan peran serta masyarat (partisipatif),
3. Peningkatan penyuluhan baik kualitas dan kuantitasnya,
4. Penguatan institusi/kelembagaan,
5. Pemberian insentif kepada petani di kawasan DAS (khususnya yang di hulu).
Sebagai perbandingan antara paradigma lama dan baru pengelolaan DAS dapat di jelaskan pada
tabel berikut ini:
JALAN KELUAR UNTUK MENGATASI KERUSAKAN DAS.
Ada beberapa kunci prasarat untuk mengatasi sebab-sebab kerusakan DAS, yaitu:
a. Merubah kebijakan lingkungan yang ada dengan mengijinkan peningkatan penggunaan
pengelolaan DAS,
b. Memecahkan kebuntuan dengan cara menetapkan garis wilayah hutan secara permanen untuk
menentukan batas spesifik tanahhutan dan taman nasional,
c. Meningkatkan pengetahuan pada tingkat lapangan dan adopsi bentuk penggunaan lahan yang
sesuai dan praktek pengelolaan lahan yang cocok,
d. Memperbesar partisipasi ditingkat masyarakat dan unsur pemerintah setempat dalam
mengidentifikasikan, merumuskan, melaksanakan, monitoring dan evaluasi perencanaan
pengelolaan DAS,
e. Memperluas dan menguatkan kelembagaan dalam mendukung pelayanan untuk perbaikan
pengelolaan DAS pada tingkat nasional dan setempat,
f. Mencari dana untuk kegiatan pengelolaan DAS dari sumber-sumber bukan donor.
BAGIAN-BAGIAN KUNCI STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAS, terdiri dari tiga
aspek, yaitu :
KEBIJAKAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN (tidak dibahas),
KELEMBAGAAN (tidak dibahas),
TEKNOLOGI, yaitu sbb :
1.
1. Penilaian kesesuaian lahan, sebagai dasar untuk memperbaiki macam-macam
penggunaan perencanaan pengelolaan sumber DAS,
2. Teknologi pengelolaan sumber DAS untuk kondisi rumah tangga yang buruk di
hulu, harus sederhana, produktifitas dengan biaya murah, terpelihara, beresiko
rendah, konservasi fleksibel dan efektif, sesuai dengan kondisi ekonomi, sosial dan
norma budaya yang dapat diadopsi,
3. Mempunyai dokumentasi konservasi pertanian di hulu yang sistimatis / teknologi
pengelolaan hutan yang berkelanjutan untuk perbaikan pengelolaan,
4. Mengatur penggunaan kebutuhan air di hilir melalui adopsi praktek konservasi air,
5. Menyiapkan Petunjuk Teknis yang baru dan up-to-date untuk memperbaiki
pengelolaan,
6. Membuat dan menggunakan secara sederhana, mengutamakan kualitas indikator
biofisik : standar nasional yang lebih kaku, untuk memonitor pengaruh lingkungan
dalam campur tangan pengelolaan DAS dan cenderung memperbaiki keadaan
kerusakan suatu DAS.
KESENJANGAN-KESENJANGAN YANG PERLU DITANGGULANGI, untuk mengurangi
kerusakan DAS antara lain terdiri dari 3 aspek, yaitu: Kebijakan dan perundang-undangan;
Kelembagaan; dan Teknologi. Untuk Aspek TEKNOLOGI, yang perlu ditanggulangi antara lain:
a. Perlunya pendokumentasian yang baik tentang konservasi pertanian di hulu yang efektif; praktek
pengelolaan hutan secara sederhana dari hasil penelitian; dan mekanisme efektif penyebaran
informasi kepada penyuluh dan pengguna laha,
b. Perlunya adopsi pendekatan partisipati pembangunan teknologi yang memungkinkan para
penyuluh dan staf peneliti bekerja sama dengan pengguna lahan untuk membangun suatu daerah
dengan teknologi yang mempertemukan komponen biofisik setempat dengan lingkungan sosial
ekonomi,
c. Perlunya pemberian insentif yang memadai bagi masyarakat di hulu dalam memperbaiki kondisi
pertaniannya dan praktek pengelolaan hutan, bila mereka kesulitan dalam menjual produksi yang
berkelanjutan di daerah hulu,
d. Perlunya membuat Petunjuk Teknis untuk memperbaiki kelemahan di lapngan dan bagaimana
masyarakat hulu dapat mengatur hutan alam berbasis ekonomi secara berkelanjutan, sedang
Petunjuk Teknis untuk pengelolaan hutan dilakukan oleh lembaga-lembaga kerjasama dengan data
yang baru,
e. Keterbatasan jumlah penyuluh memerlukan pembuatan metoda inovatif pada inter-intra
kelompok pelatihan; pencangkokan informasi pertanian dan praktek yang baru.
TEKNOLOGI PELAKSANAAN STRATEGI PENGELOLAAN DAS.
Pelaksanaan strategi pengelolaan memerlukan sejumlah perubahan teknologi dan campur tangan
dalam usaha memperbaiki pengelolaan sumber-sumber DAS di lapangan. Kunci teknologi yang
berhubungan dengan bagian-bagian strategi, adalah:
a. Penilaian Teknologi: Kelemahan dalam usulan teknologi pengelolaan sumber DAS tidak dapat
diperloleh selama pelaksanaan proyek. Setiap praktek perbaikan di lapangan yang dikembangkan,
perlu ditinjau ulang secara kritis selama penilaian proyek. Perencanaan dibuat untuk
menyelesaikan setiap ketidakpastian berdasar percobaan di lapangan, disesuaikan dengan hasil
penelitian, atau pilot proyek yang sesuai. Perbaikan teknologi pengelolaan akan sesuai dengan
sassaran bila mengikuti kriteria-kriteria sbb: apakah secara teknis memungkinkan?, apakah secara
praktek memungkinkan,?, apakah produktip?, apakah secara finansial memungkinkan?, apakah
stabil?, apakah berkelanjutan?, apakah dapat digunakan secara umum?, dan apakah secara sosial
dan ekonomi dapat diterima?.
b. Penilaian Kesesuaian Lahan Sebagai Dasar Perencanaan DAS: Sebab utama kerusakan DAS
adalah bentuk ketidakcocokan penggunaan lahan dan penggunaan praktek pengelolaan tanah yang
tidak sesuai. Penggunaan lahan yang tidak sesuai secara biofisik berarti tidak berdasar pada prinsip
keberlanjutan. Praktek pegelolaan lahan yang tidak sesuai dengan acuan penggunaan lahan secara
berkelanjutan perlu ditangani dengan tepat. Sebagai contoh: kesalahan mengadopsi pelaksanaan
konservasi tanah pada lahan yang berlereng, perpindahan pengisian kembali gizi tanah dalam
produksi panen menggunakan praktek penebangan kayu yang merusak atau pengelolaan irigasi
yang buruk,
c. Ketentuan Teknologi yang Tepat untuk Pengguna Sumber DAS di On Site: Bagian strategi ini
adalah penggunaan teknologi yang tepat dengan keikutsertaan masyarakat setempat yang sesuai
dengan kondisi ekonomi, sosial dan budaya dari masyarakat yang terlibat,
d. Membangun Teknik Konservasi untuk para Petani yang Sebenarnya: Bagian strategi ini adalah
pengakuan dan pelaksanaan praktek pengelolaan sumber DAS yang sederhana bagi masyarakat
tradisional di hulu,
e. Pendokumentasian Teknologi Pengelolaan Sumber-sumber DAS dan Pendekatannya: Bagian
strategi ini adalah membuat teknologi dan pendokumentasian menggunakan pendekatan database
dengan informasi sistem DAS secara nasional untuk kemudahan mencari akses sumber informasi
alternatif konservasi pertanian di hulu/ teknologi pengelolaan hutan berkelanjutan dan pembuatan
pendekatan tersebut dilakukan untuk keberhasilan di dalam usaha perbaikan pengelolaan sumber
DAS,
f. Pembatasan Reforestation sebagai Satu-Satunya Alat Pengukur Rehabilitasi DAS: Bagian
strategi ini adalah menyelidiki lebih lanjut alternatif konservasi yang efektif seperti pendekatan
penanaman pada saat ini terhadap penggundulan hutan di DAS,
g. Mengatur Kebutuhan Air untuk Pengguna di Hilir: Bagian kunci ini adalah mengatur kebutuhan
air untuk pengguna di hilir melalui adopsi praktek perbaikan konservasi air,
h. Petunjuk Pengelolaan DAS: Bagian kunci ini adalah penyediaan sumber alam dalam
mempersiapkan petunjuk pada saat ini dan updating yang lama serta petunjuk teknis perbaikan
pengelolaan sumber DAS,
i. Indikasi Pengelolan DAS yang Berlanjut: Bagian kunci ini adalah membuat dan menggunakan
indikator sederhana agar dapat diadopsi oleh situasi setempat untuk memonitoring tuntutan campur
tangan pengelolaan secara khusus dan mengamati kecenderungan kondisi kerusakan suatu DAS,
j. Berusaha Memperoleh Keuntungan Secara Sosial Ekonomi: Bagian kunci ini adalah membuat
dan menggunakan alat-alat monitoring sederhana dalam memperoleh keuntungan secara sosial
ekonomi untuk memperbaiki biaya pengelolaan sumber DAS dan menggamati kecenderungan
terjadinya pengurangan kemiskinan diantara masyarakat akibat kegiatan tersebut,
k. Partisipasi dalam Monotoring dan Evaluasi: Bagian kunci ini adalah melibatkan semua
steakholder dalam partisipasi monotoring dan evaluasi pengaruh kegiatan perbaikan pengelolaan
sumber-sumber DAS,
l. Perbaikan Akses ke Pasar: Bagian kunci ini adalah menyediakan sumber-sumber ke pasar
berdasarkan mekanisme mendorong investasi perorangan dalam memproduksi dan menggunakan
sumber-sumber DAS yang berkelanjutan. Nilai tambah produksi pertanian di hulu/hutan dalam
mendorong proses kemampuan setempat untuk mendukung pembentukan hutan industri berkala
kecil-sedang sebagai alat pendorong investasi perseorang pemilik kecil tanaman pohon dalam
komunitas berdasarkan kesepakatan pengelolaan hutan dan daerah pertentangan dan bahan yang
dibuang,
m. Tingkat Keterlibatan Pengelolaan secara Tepat: Bagian kunci ini adalah keterlibatan teknis
yang khusus diplot pada tingkat sub-DAS dan DAS, sementara perencanaan pada DAS besar dan
tingkat basin sungai harus dipusatkan pada pembangunan sektoral secara luas dan pembagian
daerah penggunaan lahan.
V. TEKNOLOGI KONSERVASI TANAH DAN AIR DALAM SUATU DAS
Teknologi konservasi tanah dan air suatu DAS merupakan suatu alat (tool) yang digunakan untuk
kegiatan pelaksanaan DAS dalam mencapai produksi yang seoptimal mungkin secara
berkelanjutan tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti seperti: banjir, erosi dan penghilangan
nutrisi tanah untuk tanaman. Pengunaan teknologi tidak saja dilakukan pada on-farm (arable land)
juga pada Off-Farm dan hutan (Non-arable Land) sebagai sumber utama keberadaan air. Ada
beberapa cara atau model yang digunakan, namun keberhasilan pengelolaan tetap pada
manusianya sendiri dalam melaksanakan dan memelihara teknologi tersebut, yaitu perlunya
pertisipasi aktif dari seluruh pengambilan keputusan.
1. Pada On-farm (Arable land) dengan menggunakan: Terasering (teras guludan, teras bangku
dsbnya); penutup lahan (mulsa, cover crop dsbnya); Barier Vegetasi (akar wangi, dsbnya);
Strip Cropping; Agroforestry,
2. Pada Off-farm menggunakan: Check Dam; grassed and Permanent Waterways; Bangunan
Pengontrol Gully,
3. Pada hutan (Non-Aramble Land) menggunakan: Silvipastoral; re-forestry; Buffer Zone
(Reparian).
AGROFORESTRY (WANATANI).
Menurut I. Nyoman Yuliarsana (Dehutbun), wanatani adalah sistim pemanfaatan atau penggunaan
lahan dimana pohon-pohon dan semak-semak tumbuh dan ditanam berinterahsi dan/atau
bersinergi secara ekologis dan ekonomis dengan tanaman pertanian, pakan ternak/ikan yang
dilakukan oleh para petani dengan tempat dan waktu/musim yang berbeda. Sebenarnya sistim ini
sudah dilakukan oleh para petani sejak dulu kala dan secara ilmiah nama ini diperkenalkan pada
tahun 1977 oleh ICRAF. Menurut ICRAF, agroforestry adalah “ a collective word for all land use
practices dan systems in which woody perennials are deliberately grown on the same management
unit as annual crops and/or animals “.
Sedang menurut buku Kumpulan Informasi mengenai Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering di
Indonesia (1997), wanatani adalah usaha penanaman dan pengelolaan pepohonan bersama dengan
tanaman pertanian dan/atau ternak yang secara ekologis, sosial, dan ekonomis dapat berkelanjutan.
Atau dengan lebih sederhana: wanatani adalah: usaha meningkatkan produksi/pendapatan petani;
peningkatan pemerataan perolehan manfaat; pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan.
INVENTARISASI TEKNIK PENGHIJAUAN
Penghijauan diarahkan pada terbentuknya tegakan hutan dan pemulihan lahan untuk usahatani
konservasi. Pemilihan jenis tanaman dan teknologi penghijauan diarahkan pada masyarakat
dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang benar, sesuai dan tepat sasaran. Penghijauan pada
tanah milik diserahkan sepenuhnya kepada pemilik lahan, dimana dalam pelaksanaannya
didampingi oleh pemerintah pusat/daerah, LSM dan pihak terkait lainnya.
Teknologi penghijauan yang berskala besar selama ini masih banyak mengadopsi teknologi
berbiaya tinggi yang dikembangkan oleh proyek Solo pada tahun 1970 (Work Bank, 1993).
Metoda konservasi tanah yang menjadi unggulan adalah penterasan lahan. Teras bangku yang
dibangun pada lokasi yang tepat dengan persyaratan teknis merupakan salah satu metoda efektif
untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan. Permasalahan akhir yang timbul adalah
pemeliharaan teras setelah proyek berakhir. Berbagai proyek konservasi tanah berskala besar di
Jawa seperti: Proyek Citanduy II (Harper, 1988), Upland Agriculture and Conservation
Proyect/UACP (Huszar & Pasaribu, 1994), Land Rehabilitation and Agroforestry Development
(Anonymous, 1990), melaporkan bahwa pemeliharaan terus merosot drastis setelah proyek selesai,
karena subsidi berakhir dan masyarakat tidak mampu membiayai pemeliharaan tsb. Investasi besar
tsb ternyata tidak memberikan dampak positip kepada masyarakat banyak.
VI. MONITORING DAN EVALUASI BIOFISIK DAS
Komponen biofisik DAS merupakan suatu sistim alami yang menjadi wadah tempat
berlangsungnya proses-proses biofisik hidrologis maupun kegiatan sosial-ekonomi masyarakat.
Proses fisik hidrologis DAS merupakan proses alami suatu bagian dari daur hidrologi, sedang
kegiatan sosial-ekonomi masyarakat lebih merupakan intervensi manusia terhadap sistim alami
DAS, yaitu berupa pengembangan kawasan budidaya dalam lahan DAS yang tidak terkendali
seringkali menyebabkan kerugian, yaitu berupa peningkatan erosi dan sedimentasi, turunnya
produktivitas lahan dan kerusakan lahan. Hasil akhir perubahan ini tidak hanya nyata secara fisik
berupa meluasnya lahan kritis dengan daya dukung yang merosost, akan tetapi juga secara
ekonomi, yaitu semangkin meningkatnya jumlah masyarakat miskin dan hilangnya kesempatan
untuk berusaha tani.
Kegiatan monitoring dan evaluasi merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya pengelolaan
secara terpadu. Salah satu faktor utama pengelolaan dari suatu DAS adalah komponen biofisik
DAS. Dalam hal ini komponen utama adalah meliputi: iklim dan hidrologi; tanah, erosi dan
sedimentasi; tanaman dan penutup lahan. Dalam hal ini menyangkut evaluasi kondisi DAS dalam
bentuk perhitungan neraca air dan hasil erosi dan sedimentasi di suatu DAS, yang dilakukan
dengan bantuan model-model hidrologi DAS, seperti ANSWERS, TOPMODEL, dan TOPOG,
AGNPS, GUEST dll.
Ciri dari program pengelolaan DAS pada saat ini adalah pendekatan secara “terpadu” dengan skala
proyek yang relatip besar. Untuk itu program monitoring dan evaluasi umumnya menjadi bagian
yang sangat integral dari proyek, walaupun disadari masih banyak hambatan yang dihadapi selama
pelaksanaannya sebagaimana yang diuraikan oleh Lai (1992) dengan istilah: ”misperception or
misdirection and poor guidelines”. Lai menjelaskan bahwa suatu sistem monitoring dan evaluasi
yang efektif harus mencapai hal-hal sbb:
a. Menyediakan secara teratur informasi yang up-to-date kepada pengelola mengenai kondisi
sumberdaya proyek yang meliputi: penggunaan dana; tenaga kerja; dan material dalam upaya
mencapai sasaran proyek,
b. Memberikan umpan balik bagi setiap tingkat pengelola mengenai: relevansi; kecukupan;
kelayakan; serta uptake dari luaran dan jasa proyek serta saran-saran untuk upaya konservasi,
c. Melakukan evaluasi kritis secara berskala terhadap unjuk-kerja proyek dan penilaian ulang
terhadap teknik-teknik pelaksanaan serta usulan perbaikan atau perubahan, khususnya bila terjadi
kendala,
d. Melakukan survei rutin dan khusus, termasuk melengkapi basis data sosial-ekonomi dan
parameter biofisik, untuk memperlancar perencanaan operasional dan menyediakan batu-uji bagi
evaluasi selanjutnya,
e. Memungkinkan dokumentasi dari pengaruh dan dampak proyek, baik yang terencana maupun
tidak untuk menilai tingkat keberhasilan proyek menurut kriteria sosial, ekonomi, lingkungan, dan
pengelolaan.
Dalam hal ini aspek yang dipertimbangkan dalam sistim monitoring dan evaluasi yang diperlukan
dalam kegiatan proyek pengelolaan DAS hanya dibatasi terhadap komponen biofisik DAS. Peran
dan sistim monitoring dan evaluasi adalah menghubungkan hasil yang dicapai proyek dengan
sasaran serta tujuan proyek, dalam hal ini: masukan, saran; pengaruh dan dampak proyek. Teknik
evaluasi keberhasilan pengelolaan DAS berdasarkan komponen biofisik DAS dapat didasarkan
pada tingkat laju erosi, atau pada konsep perhitungan neraca air dan pemodelan hidrologi.
KOMPONEN BIOFISIK
Identifikasi berbagai komponen biofisik DAS merupakan kunci dalam proyek monitoring, yaitu
dalam upaya menghimpun informasi yang diperlukan untuk tujuan evaluasi menjamin tercapainya
sasaran pengelolaan DAS. Pengumpulan data dilakukan secara berskala dengan memanfaatkan
perkembangan teknologi instrumentasi dan komunikasi yang ada, misalnya dengan automatik dan
aquistition system, tele-metering, system, ataupun dengan teknik pengindraan jarak jauh, sedang
untuk pengolahan dan analisis data penyajian hasil dapat memanfaatkan teknologi sistem
informasi geografis (GIS).
a. Iklim dan Hidrologi.
Parameter-parameter iklim dan hidrologi merupakan parameter masukan-keluaran sistem
hidrologi yang umumnya dapat dikendalikan secara langsung. Curah hujan merupakan masukan
utama sistem, sedang aliran permukaan air di sungai merupakan keluaran setelah melalui suatu
proses diddalam sistem. Kondisi iklim wilayah juga dicirikan oleh parameter suhu dan radiasi sinar
matahari yang menentukan tingkat laju evaporasi dan transpirasi, sedang variasi suhu dan radiasi
netto suatu permukaan akan ditentukan oleh sifat penutupan permukaan lahan. Karena debit
berhubungan langsung dengan komponen biofisik, maka merupakan indikator penting dalam
monitoring pengelolaan DAS.
b. Tanah, Erosi dan Sedimentasi.
Sifat penting dari tanah adalah sifat erodibitasnya, baik secara alami maupun akibat ulah manusia.
Akibat pukulan butir hujan dan gaya geser aliran permukaan, tanah dapat tererosi menghasilkan
sedimen disuatu tempat. Oleh karena itu, dalam program monitoring perlu dilakukan survei tanah
untuk mendapatkan informasi status erodibili, erosi dan sedimentasi tanah. Jadi sedimen juga
merupakan salah satu bentuk luaran sistem DAS yang dapat dijadikan indikator untuk menilai
kondisi penutupan permukaan DAS.
c. Tanaman dan Penutupan Lahan.
Tanaman dan penutupan lahan merupakan instrumen utama dan merupakan faktor yang dapat
dikendalikan dalam pengelolaan DAS. Jenis tanaman dan sifat penutupannya merupakan faktor
penting dalam menentukan keluaran DAS, yaitu berupa debit aliran sungai, air tanah maupun
bentuk sedimen. Ada klasifikasi penutupan lahan menurut status produksi dan lingkungan (faktor
P) dan nilai faktor pengelolaan tanaman (faktor C) untuk mengetahui tingkat efektifitas tanaman
untuk menekan tingkat erosi tanah akibat hujan. Karena itu, dalam suatu program monitoring perlu
dicatat dan didokumentasikan secara berkala status tanaman dalam wilayah suatu DAS.
EVALUASI EROSI TANAH.
Ada beberapa teknik konservasi untuk menilai efektifitas suatu tindakan konervasi tanah dan air
yang lazim dilakukan, seperti metoda empirik-rasional USLE (Universal Soil Loss Equation),
didasarkan pada observasi dan eksperimen yang perlu dikalibrasikan dengan kondisi setempat
untuk pertama kalinya. Parameter metoda USLE ini adalah:
E = R.K.L.S.C.P.
Di mana:
E = laju erosi tanah (ton/ha/tahun),
R = indeks erosiviti hujan,
K = indeks eridibiliti tanah,
LS = indeks kemiringan lereng dan panjang lereng,
C = faktor penutupan lahan,
P = faktor tindakan konservasi/pengelolaan.
Departemen Kehutanan tahun 1989 telah membuat pedoman tentang evaluasi erosi berdasarkan
metoda USLE dengan prosedur secara rinci. Evaluasi laju erosi kemudian didasarkan pada tingkat
bahaya erosi yang dikelompokkan menjadi: sanagat ringan bila erosi tanah kurang dari 15
ton/ha/tahun; rinigan bila 16-4- ton/ha/tahun; sedang bila 41-120 ton/ha/tahun; berat bila 121-140
ton/ha/tahun; dan sangat berat bila lebih besar dari 241 ton/ha/tahun.
Dari hasil penelitian telah dibuktikan bahwa rumus USLE ini hanya valid pada percobaan plot,
sedang untuk memprediksi erosi di on-site dan off.site rumus USLE sangat overestimated karen
terjadi oversimplified. Menurut Van Der Poel dan Subagyono (1998), untuk level DAS
penggunaan USLE dapat overestimated s/d. 200%, karena pengaruh filter sedimen tidak
diperhitungkan. Sedang metoda matematik yang lebih realistik adalah berupa model
konseptual/fisik yang mendiskripsikan suatu proses erosi/sedimen berdasarkan teori/hukum-
hukum fisik, seperti model GUEST menurut Rose, dengan persamaan:
Dimana:
c = konsentrasi sedimen,
K = kapasitas tranportasi dari run-off,
Q = besarnya run-off efektif,
ks = faktor tidak berdimensi (5 – 15),
Cs = penutup tanaman,
b = erodibilitas.
NERACA AIR.
Konsep neraca air pada lahan merupakan azaz pokok suatu analisis hidrologi daerah aliran sungai,
dimana hukum Kekekalan Massa diberlakukan. Perhitungan neraca air lahan harus dilakukan
untuk suatu selang waktu tertentu, yaitu harian, mingguan, bulanan dan untuk suatu satuan wilayah
tertentu, seperti petak atau suatu DAS. Pemilihan satuan wilayah analisis serta selang waktu akan
menentukan kelayakan/keakuratan data yang digunakan. Dari hasil analisis ini dapat diperoleh
status kelengasan tanah didalam DAS. Menentukan neraca air untuk suatu petak lahan dapat
ditentukan menurut persamaan:
CH = ETP + S + RO
Di mana:
CH = besarrnya curah hujan,
ETP = evapotranspirasi potensial,
S = perubahan kelengasan tanah,
RO = limpasan permukaan.
Konsep neraca air relatip sederhana ini bila diberlakukan untuk suatu sistim DAS akan
menyangkut teknik pemodelan hidrologi DAS yang telah berkembang, mengikuti perkembangan
teknik komputasi numerik maupun teknologi komputer itu sendiri.
GIS SEBAGAI ALAT PENGELOLAAN LAHAN.
GIS menyediakan cara untuk menganalisis dan menampilkan secara spasial berdasarkan referensi
atribut non-geografi (Johnson, 1990) dalam masalah pengelolaan sumberdaya alam. Informasi
Biofisik dan Ekonomi penting untuk menentukan pengelolaan DAS akibat kerusakan lahan GIS,
sekarang sudah digunakan secara luas karena dapat digunakan sebagai alat menyatukan data untuk
tujuan analisis dan tampilan hasil. Informasi kerusakan lahan, pengelolaan lahan dan atribut
biofisik lainnya untuk penelitian suatu daerah, tersedia dalam bentuk data GIS bermacam-macam
atribut menggunakan skala 1:25.000.
KESIMPULAN
Dalam kajian bidang falsafah sains, kegiatan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dapat
dinayatakan sbb:
1. Aksiologi (nilai kegunaan ilmu), yaitu bahwa: strategi pengelolaan DAS digunakan agar
tujuan “Sustainable Watershed Development “, dapat tercapai dengan memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada secara berkelanjutan. Dengan mempelajari konsep, kriteria,
strategi, pengelolaan suatu kawasan DAS dapat memberi dampak langsung maupun tidak
langsung kepada kesejahteraan umat manusia, terutama kepada para petani, yaitu: hasil
produksi pertanian/kehutanan secara optimal berkelanjutan; kerusakan lahan yang
minimal; kualitas dan kuantitas air yang memenuhi persyaratan, baik pada musim hujan
maupun musim kering; memberi kesejahteraan bagi masyarakat; dan melestarikan
lingkungan alam/biofisik secara berkelanjutan.
2. Epistomologi (cara mendapatkan pengetahuan yang benar), yaitu bahwa: pengetahuan
yang benar secara hakiki sulit diperoleh, namun pengujian yang benar sering dilakukan
mengkaitkan pandangan dan teori pelaksanaan monitoring dan evaluasi geofisik adalah
berkaitan dengan fakta berupa penggunaan lahan, terutama dalam situasi dimana
penggunaan lahan tsb perlu dirubah atau perlu diadopsi. Penggunaan pendekatan DAS
dilakukan untuk perencanaan dan pelaksanaan yang berkaitan dengan kegiatan
pembangunan sumberdaya alam yang ada. Dengan melakukan simulasi-simulasi model
hidrologi, penutupan lahan dan pola penanaman akan memberikan gambaran dan pilihan
dalam melaksanakan keberhasilan tujuan pengelolaan DAS.
3. Ontologi (hakekeat apa yang dikaji), yaitu bahwa tujuan akhir dari pengelolaan DAS
adalah: besarnya erosi dan sedimentasi seminimal mungkin; perubahan/peningkatan hasil
produksi akibat penggunaan teknologi konservasi tanah dan air dengan melakukan
tindakan secara: agronomi, vegetatip, mekanis dan managemen.
4. Hipotesis didalam pengelolaan DAS berkelanjutan adalah: bahwa ciri dan pengelolaan
DAS yang baik adalah menghasilkan produktifitas yang tinggi dengan meningkatnya
pendapatan; jumlah dan distribusi kualitas dan kuantitas air yang baik; mempunyai sifat
lentur dan pemerataan. Dari hasil penelitian dan penyelidikan mengenai presipitasi dan
run-off diperoleh bahwa timbulnya banjir bukan akibat penebangan hutan, melainkan
bahwa presipitasi yang jatuh ke permukaan tanah secara langsaung akan memperbesar run-
off permukaan, sedang presipitasinya sendiri berkurang akibat berkurangnya
evapotranspirasi.
5. Program monitoring dan evaluasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proyek
pengelolaan DAS, walau disadari bahwa dalam pelaksanaannya masih dijumpai banyak
hambatan yang dapat dirumuskan Lai (1992) dengan kalimat “misperception or
misdirection and poor guidelines”.
6. Program monitoring komponen biofisik DAS dapat dikembangkan dengan
mengidentifikasikan parameter-parameter berdasarkan: iklim dan hidrologi; tanah, erosi
dan sedimentasi; dan tanaman dan penutupan lahan. Parameter-parameter tsb. Dapat
bermanfaat untuk program evaluasi pengelolaan DAS dimasa datang.
7. Parameter laju erosi tanah sebagai indikator fisik dapat digunakan sebagai teknik evaluasi
komponen biofisik DAS dan untuk itu telah dikembangkan paket program sebagai alat
evaluasi dalam perencanaan dan pengelolaan lahan hutan.
8. Model-model hidrologi dalam evaluasi pengelolaan DAS sangat potensial dan bermanfaat
untuk memberikan informasi yang meliputi tentang fungsi hidrologi DAS dengan tetap
melakukan kajian kasus-kasus di lapangan.
9. Tujuan strategi pengelolaan DAS dapat tercapai bila seluruh steakholder yang terkait
mempunyai rasa kebersamaan didalam melaksanakan dan mewujudkan keberhasilan dari
tujuan pengelolaan DAS, yaitu kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh umat manusia
secara berkelanjutan dan kelesatarian lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
1. A. Abdulrachman, S. Sukmana, and J.H. French, A Framework for Compilation of Applied
Research Information on Hillslope: Farming, Conservation Policies for Sustainable
Hillslope Farming, 1992.
2. Hidayat Pawitan dan Daniel Murdiyarso, Monitoring dan Evaluasi Komponen Biofisik
DAS, Lokakarya Pembahasan Hasil Penelitian dan Analisis Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai, Garut, 20-24 November 1995.
3. Norman W. Hudson, A Study of The Reasons for Success or Failure of Soil Conservation
Proyect, Soil Resources, Management and Conservation Service, FAO Land and Water
Development Division, Silsoe Agricukture Assosiates ampthill Bellford United Kingdom
FAO Soils Bulletin 64, 1991.
4. I. Nyoman Yuliarsana, Agroforestry Dalam Pengelolaan DAS, Agenda dan Strategi Studi
dan Penelitian, Bahan Kuliah Pascasarjana IPB, Program Studi Pengelolaan DAS, 2000.
5. Tarigan S.D., Bahan Kuliah Teknologi Pengelolaan DAS, Pascasarjana, IPB, 2000.
6. The WRDP-WMIC Studi Team, The Philippines Strategy for Improved Watershed
Resources Management, Forest Management Bureau Departement of Environmental and
Natural Resources, Agust, 1998.
7. ——–, Pengelolaan Sumberdaya Lahan Kering di Indonesia, Kumpulan Informasi, Bogor,
April, 1997.
8. Peter E. Black, Watershed Hidrology, State University of New York, College of
Environmental Science and Forestry, Syracuse, New York, Second Edition.
9. State Ministry for Environment Republic of Indonesia & United Nations Development
Programme, AGENDA 21-INDONESIA, A Nasional Strategy for Sustainable
Development.
10. S.C. Walpole, Integration of Economic and Biophysical Information to Assess The Site-
specific Profitability of Land Management Programmes Using a Geographic Information
Systems, New South Wales, Australia.
DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) SEBAGAI SATUAN UNIT
PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING
BERKELANJUTAN
Oleh : Sitti Marwah, A 236010011, E-mail: [email protected]
Sumber: http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/03112/sitti_marwah.htm
© 2001 Sitti Marwah Posted: 16 November 2001 [rudyct] ; Makalah Falsafah Sains (PPs 702),
Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, November 2001, Dosen: Prof Dr Ir Rudy C
Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
PENDAHULUAN
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan
yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan,
sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik
(outlet). Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang
menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan yang pada dasarnya merupakan usaha-usaha
penggunaan sumberdaya alam disuatu DAS secara rasional untuk mencapai tujuan produksi
pertanian yang optimum dalam waktu yang tidak terbatas (lestari), disertai dengan upaya untuk
menekan kerusakan seminimum mungkin sehingga distribusi aliran merata sepanjang tahun.
Dari definisi di atas, maka dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur
organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya
terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Ekosistem DAS, terutama
DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan
terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air, oleh
karenanya perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu
DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Aktivitas
perubahan tataguna lahan dan atau pembuatan bangunan konservasi yang dilaksanakan di daerah
hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan
transport sedimen serta material terlarut lainnnya atau non-point pollution. Adanya bentuk
keterkaitan daerah hulu – hilir seperti tersebut di atas maka kondisi suatu DAS dapat digunakan
sebagai satuan unit perencanaan sumberdaya alam termasuk pembangunan pertanian
berkelanjutan.
Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk
menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah, dan air. Dalam dekade terakhir
ini permintaan akan sumberdaya tersebut meningkat sangat tajam yang pada kondisi tertentu
menimbulkan dampak negatif bagi pembangunan pertanian berkelanjutan. Meningkatnya
kebutuhan terutama dalam konteks kepentingan pemenuhan kebutuhan penduduk yang sangat
besar (+ 216 juta pada tahun 2000), sangat berdampak kepada pola tekanan terhadap sumberdaya
hutan, tanah, dan air yang berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain (Pasaribu, 1999).
DAS SEBAGAI SATUAN UNIT PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN
SUMBERDAYA
Keberadaan DAS secara yuridis formal tertuang dalam peraturan pemerintah No. 33 tahun 1970
tentang perencanaan hutan. Dalam peraturan pemerintah ini DAS dibatasi sebagai suatu daerah
tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan suatu kesatuan
dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi untuk menampung
air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanannya serta pengalirannya
dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut.
Pengelolaan DAS tidak selalu memberikan penyelesaian yang menyeluruh atas konflik-konflik
yang timbul sebagai konsekuensi percepatan pertumbuhan ekonomi dengan usaha-usaha
perlindungan lingkungan. Akan tetapi dapat memberikan suatu kerangka kerja yang praktis dan
logis serta menunjukkan mekanisme kerja yang jelas untuk penyelesaian permasalahan-
permasalahan kompleks yang timbul oleh adanya kegiatan pembangunan yang menggunakan
sumberdaya alam sebagai input. Dalam pelaksanaannya, pengelolaan DAS akan bertumpu pada
aktivitas-aktivitas yang berdimensi biofisik seperti pengendalian erosi, penghutanan kembali
lahan-lahan kritis, pengelolaan lahan pertanian konservatif, serta berdimensi kelembagaan seperti
insentif dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Dimensi sosial dalam
pengelolaan DAS lebih diarahkan pada pemahaman kondisi sosial-budaya setempat dan
menggunakan kondisi tersebut sebagai petimbangan untuk merencanakan strategi aktivitas
pengelolaan DAS yang berdaya guna tinggi serta efektif. Keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut
masih dalam kerangka kerja yang mengarah pada usaha-usaha tercapainya keseimbangan antara
pemenuhan kebutuhan manusia dengan kemampuan sumberdaya alam untuk mendukung
kebutuhan manusia tersebut secara lestari. Peran daerah hulu dalam menjamin kelangsungan
ekonomi sumberdaya dan konservasi keanekaragaman hayati (bio-diversity) secara telaahan
sistem hidrologi dan ekologi tidak dapat diabaikan. Dengan pertimbangan tersebut, maka menurut
Pasaribu (1999), DAS dapat dimanfaatkan secara penuh dan pengembangan ekosistem daerah hulu
dapat dilaksanakan sesuai dengan kaidah-kaidah preservasi (preservation), reservasi (reservation),
dan konservasi (conservation). Dengan demikian menunjukkan bahwa daerah hulu dan hilir suatu
DAS mempunyai keterkaitan biofisik yang direpresentasikan oleh daur hidrologi dan daur unsur
hara. Adanya keterkaitan biofisik tersebut, DAS dapat dimanfaatkan sebagai satuan perencanaan
dan evaluasi yang logis terhadap pelaksanaan program-pogram pengelolaan DAS. Berdasarkan
rumusan yang dihasilkan dari lokakarya Pengelolaan DAS yang diselenggarakan di Yogyakarta
pada tahun 1995, maka ada 3 hal yang dianggap penting untuk diperhatikan dalam upaya
pengelolaan DAS, yaitu :
1. Bahwa pengelolaan DAS merupakan bagian penting dari kegiatan pembangunan di
Indonesia, khususnya dalam rangka pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah, dan air,
sehubungan dengan perlindungan lingkungan.
2. Pada dasarnya pengelolaan DAS bersifat multidisiplin dan lintas sektoral sehingga
keterpaduan (integrated) mutlak diperlukan agar diperoleh hasil yang maksimal.
3. Dalam pelaksanaan sistem perencanaan pengelolaan DAS terpadu, perlu diterapkan azas
“Integrated Watershed Management Plan”. Untuk itu dalam setiap rencana pemanfaatan
DAS seharusnya diformulasikan dalam bentuk paket perencanaan terpadu dengan
memperhatikan kejelasan keterkaitan antar sektor pada tingkat regional/wilayah dan
nasional serta kesinambungannya.
IMPLIKASI PELAKSANAAN KONSEP PERENCANAAN DAS
Dalam menjabarkan konseptual perencanaan dan pengelolaan DAS pada prinsipnya sama
aplikasinya untuk setiap unit DAS, namun demikian secara substansi dan strateginya, bentuk-
bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu dilakukan karena bentuk DAS
merupakan refleksi kondisi bio-fisik dan merupakan wujud dari proses alamiah yang ada.
Implikasi dari perencanaan dan pengelolaan DAS sebagai suatu sistem hidrologi dan sistem
produksi adalah peluang terjadinya konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan
komponenen-komponen sistem DAS. Secara umum masalah yang timbul dalam perencanaan dan
pelaksanaan pengelolaan DAS adalah pentingnya jaminan ketersediaan air baik kuantitas, kualitas
dan distribusi yang merata sepanjang tahun. Secara institusional, kepentingan DAS digunakan
sebagai unit perencanaan berada pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan Menteri
Negara Pekerjaan Umum, namun orientasi kebijaksanaan terutama kebijakan operasionalnya
masih sangat berbeda. Oleh karena itu operasionalisasi konsep DAS sebagai satuan unit
perencanaan dihubungkan dengan pembangunan pertanian dalam arti luas saat ini hanya terbatas
pada upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan air serta organisasi yang bersifat ad hoc dan
sampai saat ini, kelembagaan yang utuh tentang pengelolaan DAS belum terpola.
Sasaran konservasi tanah dan air diarahkan pada kawasan budidaya (pertanian) karena secara
potensial proses degradasi lebih banyak terjadi pada kawasan ini. Untuk itu agar proses
terpeliharanya sumberdaya tanah (lahan) akan terjamin maka setiap kawasan pertanian atau
budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya kelas
kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya dan tidak
sesuai jenis penggunaannya dapat dihindari.
PEMBANGUNAN PERTANIAN LAHAN KERING BERKELANJUTAN
Usahatani Lahan Kering
Indonesia mempunyai asset nasional berupa pertanian lahan kering sekitar 111,4 juta ha atau
58,5% dari luas seluruh daratan (Notohadiprawiro, 1989). Pertanian lahan kering mempunyai
kondisi fisik dan potensi lahan sangat beragam dengan kondisi sosial ekonomi petani umumnya
kurang mampu dengan sumberdaya lahan pertanian terbatas. Selanjutnya Sudharto et al. (1995
dalam Syam et al. 1996) mengemukakan bahwa lahan kering merupakan sumberdaya pertanian
terbesar ditinjau dari segi luasnya, namun profil usahatani pada agroekosistem ini sebahagian
masih diwarnai oleh rendahnya produksi yang berkaitan erat dengan rendahnya produktivitas
lahan. Di beberapa daerah telah terjadi degradasi lahan karena kurang cermatnya pengelolaan
konvensional dan menyebabkan petani tidak mampu meningkatkan pendapatannya. Berdasarkan
kendala-kendala tersebut, maka untuk menjamin produksi pertanian yang cukup tinggi secara
berkelanjutan diperlukan suatu konsep yang aktual dan perencanaan yang tepat untuk
memanfaatkan sumberdaya lahan khususnya lahan kering.
Pengembangan pertanian lahan kering di daerah hulu DAS, saat ini mendapat perhatian yang
cukup serius. Besarnya perhatian ini tidak hanya menyangkut keberlanjutan usahatani di daerah
tersebut tetapi juga dampak hidrologisnya di daerah hilir, terutama pula adanya ketidak
seimbangan pembangunan dan invenstasi antara lahan kering di daerah hulu dan di daerah hilir.
Usahatani lahan kering, dalam keadaan alamiah memiliki berbagai kondisi yang menghambat
pengembangannya antara lain; keterbatasan air, kesusburan tanah yang rendah, peka terhadap
erosi, topografi bergelombang sampai berbukit, produktivitas lahan rendah, dan ketersediaan
sarana yang kurang memadai serta sulit dalam memasarkan hasil (Haridjaja, 1990). Oleh karena
itu, Sinukaban (1995) menegaskan bahwa di dalam pengelolaan lahan tersebut hendaknya
mencakup lima unsur yaitu : (1) perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya,
(2) tindakan-tindakan khusus konservasi tanah dan air, (3) menyiapkan tanah dalam keadaan olah
yang baik, dan (5) menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi tumbuhan.
Pertanian Berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan adalah pertanian yang dirancang secara sistematis menggunakan akal
sehat dan usaha keras yang berkesinambungan sehingga pertanian itu sangat poduktif secara terus
menerus, merupakan habitat tenaga kerja yang baik untuk jumlah yang besar dan meupakan suatu
usaha yang menguntungkan. Dengan demikian, pertanian semacam ini akan menghasilkan
produksi pertanian yang cukup tinggi dan memberikan penghasilan yang layak bagi petani secara
berkelanjutan, sehingga mereka dapat merancang masa depannya sendiri. Disamping itu, juga
harus menghasilkan spektrum produksi yang luas sehingga dapat menyediakan bahan baku
berbagai agroindustri dan produk-produk eksport secara lestari. Selanjutnya akan mampu
menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dengan pendapatan yang cukup tinggi, dengan
demikian daerah pertanian ini akan menjadi penyerap hasil-hasil industri (Sinukaban, 1995).
Produksi pertanian yang cukup tinggi dapat dipertahankan secara terus menerus apabila erosi lebih
kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan. Hal ini dapat dicapai, jika petani menerapkan sistem
pertanian dan pengelolaannya sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Dengan
demikian diperlukan penerapan teknologi berupa penerapan sistem usahatani konservasi untuk
membangun pertanian menjadi industri yang lestari berdasarkan pengembangan sistem
pengelolaan lahan dan tanaman yang ekonomis dalam jangka pendek dan dapat mempertahankan
produktivitas lahan yang cukup tinggi dalam waktu yang tidak terbatas. Untuk itu menurut
Sinukaban (1995), dalam sistem usahatani konservasi akan diwujudkan ciri-ciri sebagai berikut :
Produksi usahatani cukup tinggi sehingga petani tetap bergairah melanjutkan usahanya
Pendapatan petani yang cukup tinggi sehingga petani dapat mendisain masa depan
keluarganya dari pendapatan usahataninya.
Teknologi yang diterapkan baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi dapat
diterima dengan senang hati dan diterapkan sesuai kemampuan petani sendiri sehingga
sistem usahatani tersebut dapat diteruskan tanpa intervensi dari luar.
Komoditi yang diusahakan cukup beragam, sesuai kondisi biofisik, sosial dan ekonomi
Erosi lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransikan sehingga produksi yang tinggi tetap
dapat dipertahankan atau ditingkatkan dengan fungsi hidrologis tetap terpelihara dengan
baik.
Sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang
dan menggairahkan petani untuk tetap berusahatani.
Perencanaan penggunaan lahan pada dasarnya adalah inventarisasi dan penilaian keadaan, potensi
sumberdaya dan faktor-faktor pembatas dari suatu daerah. Dengan permasalahan yang lebih
kompleks di dalam sistem usahatani lahan kering maka teknologi yang diperlukan tidak dapat
diperlakukan sama pada semua tempat, melainkan dibutuhkan pendekatan yang lebih terencana
sesuai kondisi biofisik dan sosial ekonomi setempat. Aspek teknologi yang perlu dipertimbangkan
adalah teknologi konservasi tanah dan air (ketersediaan teknologi dan tingkat adopsi) serta
teknologi pemantauan kegiatan pengelolaan lahan termasuk pengawasan terhadap perubahan
penggunaan lahan. Mengingat fungsi lahan yang demikian penting, maka berbagai upaya
dilakukan agar penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya. Kemampuan lahan untuk
mendukung pertumbuhan tanaman atau menghasilkan barang/jasa dapat menurun akibat
kerusakan tanah oleh berbagai proses antara lain : kehilangan unsur hara dan bahan organik dari
daerah perakaran, proses salinisasi, terakumulasi unsur atau senyawa yang beracun bagi tanaman,
penjenuhan tanah oleh air, dan erosi. Oleh karena itu dalam pengelolaan pertanian lahan kering
agar diperoleh produksi yang tinggi dan berkelanjutan maka perlu dilakukan langkah-langkah
perencanaan sebagai berikut : (1) Mengkaji kemampuan lahan di wilayah DAS melalui studi
klasifikasi kemampuan lahan; (2) Melakukan prediksi erosi, (3) Melakukan analisis kelembagaan
sosial ekonomi dan (4) Melakukan evaluasi penggunaan lahan.
Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan lahan adalah suatu cara penilaian lahan (komponen-komponen lahan)
secara sistematik dan mengelompokkan ke dalam beberapa kategori berdasarkan sifat-sifat potensi
dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad, 1989). Sistem klasifikasi
kemampuan lahan (land capability) yang dikembangkan oleh USDA (Klingebiel & Montgomery,
1973) sampai saat ini masih digunakan di banyak negara. Dalam sistem ini dikenal tiga kategori
klasifikasi yaitu: kelas, subkelas, dan unit pengelolaan. Penggolongan ke dalam tiga kategori
tersebut berdasarkan atas kemampuan lahan untuk produksi pertanian secara umum tanpa
menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Pada tingkat kelas kemampuan lahan
menunjukkan kesamaan besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam
kelas I – VIII, dimana semakin tinggi kelasnya berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor
penghambat bertambah besar. Tanah kelas I – IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha
pertanian, dan kelas V – VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian atau diperlukan biaya yang sangat
tinggi untuk pengelolaannya. Secara skematik penggunaan lahan secara umum sesuai dengan kelas
kemampuan lahan ditunjukkan pada gambar berikut :
Faktor-faktor yang digunakan dalam kriteria klasifikasi meliputi : tekstur (t), lereng permukaan
(l), drainase (d), kedalaman efektif (k), keadaan erosi (e), kerikil/batuan dan bahaya banjir (b).
Kriteria intensitas faktor-faktor tersebut disajikan pada tabel berikut :
Prediksi Erosi
Di daerah beriklim basah seperti Indonesia, kerusakan lahan oleh erosi terutama disebabkan oleh
hanyutnya tanah terbawa oleh air hujan. Erosi oleh air sangat membahayakan tanah-tanah
pertanian, terutama di daerah yang berkemiringan terjal. Selain iklim dan kemiringan lahan
(topografi), besarnya erosi dipengaruhi pula oleh faktor-faktor vegetasi, pengolahan tanah dan
manusia. Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi tersebut dapat dinyatakan suatu persamaan
deskriptif (Arsyad, 1989) sebagai berikut :
E = f (C, T, V, S, H)
Dimana C = climate, T = topografi, V = vegetation, S = soil, H = human
Di antara kelima faktor di atas, faktor manusia paling menentukan apakah tanah yang diusahakan
akan rusak dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif secara lestari. Dalam kaitannya
dengan kegiatan pertanian yang berkelanjutan, maka erosi yang terjadi perlu dikendalikan sampai
suatu tingkat yang lebih rendah dari pada erosi yang dapat ditoleransikan (tolerable erosion).
Dengan demikian akan tercipta suatu keadaan tanah yang mampu memelihara pertumbuhan
tanaman dengan produktivitas yang tinggi secaa lestari (Wischmeier dan Smith, 1978). Secara
umum ada 3 cara yang dapat digunakan untuk menetapkan nilai tolerable erosion suatu lahan, yaitu
: (1) Metode Hammer (1981), yang menggunakan konsep kedalaman ekivalen (equivalent depth)
dan umur guna tanah (resources life); (2) Metode Thompson (1957, dalam Arsyad, 1989) yang
menggunakan nilai dari pengkajian berbagai sifat dan stratum tanah; (3) Pedoman nilai tolerable
erosion yang dibuat oleh Arsyad khusus tanah-tanah di Indonesia yang didasarkan pada kriteria
sifat dan stratum tanah.
Kelembagaan Sosial Ekonomi
Secara ringkas permasalahan utama dalam pengelolaan DAS dan konservasi tanah berkaitan
dengan masalah kelembagaan berupa : (1) perbedaan sistem nilai (value) masyarakat berkenaan
dengan kelangkaan sumberdaya, sehingga penanganan persoalan di Jawa berbeda dengan di luar
Jawa, (2) orientasi ekonomi yang kuat tidak diimbangi komitmen terhadap perlindungan fungsi
lingkungan yang berimplikasi pada munculnya persoalan dalam implementasi tata ruang, (3)
persoalan laten berkaitan dengan masalah agraria dan (4) kekosongan lembaga/instansi pengontrol
pelaksanaan program. Menurut Asdak, (1999), dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu
DAS, hal-hal tersebut di bawah ini perlu menjadi perhatian :
Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan
biofisik dan sosek dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktivitas pengelolaan di
bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik dan/atau
sosek di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan
DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan
pengelolaan.
Externalities, adalah dampak (positif/negatif) suatu aktivitas/program dan/atau kebijakan
yang dialami/dirasakan di luar daerah dimana program/kebijakan dilaksanakan. Dampak
tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan
bahwa negative externalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan
DAS bagi : (1) mayarakat di luar wilayah kegiatan (spatial externalities), (2) masyarakat
yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir (temporal externalities
), dan (3) kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan
(sectoral externalities).
Menyadari adanya hal yang bersifat “externalities” tersebut maka pengelolaan sumberdaya
alam dapat dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh
adanya kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para aktor
(organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan) yang melaksanakan
kegiatan pengelolaan sumberdaya alam (DAS) dan para aktor yang akan mendapatkan
keuntungan dari adanya kegiatan tersebut.
Peran strategis DAS sebagai unit perencanaan dan pengelolaan sumberdaya semakin nyata pada
saat DAS tidak dapat berfungsi optimal sebagai media pengatur tata air dan penjamin kualitas air
yang dicerminkan dengan terjadinya banjir, kekeringan dan tingkat sedimentasi yang tinggi.
Dalam prosesnya, maka kejadian-kejaadian tersebut merupakan fenomena yang timbul sebagai
akibat dari terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem hidrologi yang melibatkan
kompleksitas proses yang berlaku pada DAS. Salah satu indikator dominan yang menyebabkan
terganggunya fungsi hidrologi DAS adalah terbentuknya lahan kritis. Dari hasil inventarisasi lahan
kritis menunjukkan bahwa terdapat + 14,4 juta Ha di luar kawasan hutan dan + 8,3 juta Ha di
dalam kawasan hutan (Pasaribu, 1999). Prosedure perencanaan pengelolaan/pembangunan
pertanian secara teknis dapat digambarkan sebagai berikut :
KESIMPULAN
1. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai adalah suatu bentuk pengembangan wilayah yang
menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan, dimana daerah bagian hulu dan hilir
mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Oleh karena itu perubahan
penggunaan lahan di daerah hulu memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk
fluktuasi debit air, kualitas air dan transport sedimen serta bahan-bahan terlarut di
dalamnya.
2. Perencanaan dan pengelolaan DAS merupakan aktivitas yang berdimensi biofisik (seperti,
pengendalian erosi, pencegahan dan penanggulangan lahan-lahan kritis, dan pengelolaan
pertanian konservatif); berdimensi kelembagaan (seperti, insentif dan peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan bidang ekonomi); dan berdimensi sosial yang lebih diarahkan pada
kondisi sosial budaya setempat untuk menjadi pertimbangan di dalam perencanaan suatu
aktivitas/teknologi pengelolaan Daerah Aliran Sungai sebagai satuan unit perencanaan
pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
3. Operasionalisai konsep DAS sebagai satuan unit perencanaan dalam pembangunan
pertanian masih terbatas pada upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan air, sedangkan
organisasi masih bersifat ad.hoc, dan kelembagaan yang utuh tentang pengelolaan DAS
belum terpola.
4. Pembangunan pertanian lahan kering melalui pendekatan DAS, agar dapat menjamin
keberlanjutan maka hendaknya perencanaan penggunaan lahan harus sesuai dengan
kemampuan lahannya, erosi yang dihasilkan lebih kecil dari erosi yang dapat
ditoleransikan, teknologi pengelolaan harus dapat dilakukan oleh petani tanpa intervensi
dari pihak luar, produksi yang cukup tinggi, dan pendapatan petani yang layak.
5. Dalam perencanaan pembangunan pertanian lahan kering yang berkelanjutan perlu
dilakukan langkah-langkah perencanaan sebagai berikut : mengkaji kelas kemampuan
lahan melalui studi klasifikasi kemampuan lahan, menelaah potensi erosi, melakukan
analisis kelembagaan sosial – ekonomi setempat dan evaluasi kesesuaian penggunaan
lahan.
REFERENSI
Asdak, C. 1999. Das sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan (air sebagai indikator
sentral). Seminar Sehari PERSAKI “Daerah Aliran Sungai sebagai Satuan Perencanaan Terpadu
Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air”. 21 Desember 1999. Jakarta.
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB (IPB Press). Bogor.
Haridjaja, O. 1990. Pengembangan Pola Usahatani Campuran pada Lahan kering yang
Berwawasan Lingkungan di Kabupaten Sukabumi. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, IPB,
Bogor.
Klingebiel, A. A. And P. M. Montgomery. 1973. Land Capability Classivication Agric. Handbook.
No. 210, USDA-SES. 21h.
Notohadiprawiro. 1989. Pertanian Lahan Kering di Indonesia : Potensi Prospek, Kendala dan
Pengembangannya. Makalah Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija
SFCDP-USAID Bogor. 6-8 Desember 1989. 19 h.
Pasaribu, H. S. 1999. DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu Dalam Kaitannya dengan
Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Sektoral Berbasiskan Konservasi Tanah dan Air.
Seminar Sehari PERSAKI “DAS sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Pengelolaan
Sumberdaya Air”. 21 Desember 1999. Jakarta.
Sinukaban, N. 1995. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Bahan Kuliah pada Program
Pascasarjana, IPB, Bogor.
Syam, A., K. Kariyasa, E. Sujitno dan Z. Zaini. 1996. Prosiding Lokakarya Evaluasi Hasil
Penelitian Usahatani Lahan Kering, 1997. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Wischmeier, W. H. and D. D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses. US. Dept. Agric.
Handbook. No. 537.
AIR SEBAGAI INDIKATOR PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (Studi
Kasus: Pendekatan Daerah Aliran Sungai)
Oleh: Andi Rahmadi, A236010031 / DAS, E-mail: [email protected]
Sumber: http://www.rudyct.com/PPS702-ipb/04212/andi_rahmadi.htm
ã 2002 Andi Rahmadi Posted 25 May 2002; Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702); Program
Pasca Sarjana / S3 – Program Studi DAS, Instutut Pertanian Bogor, Mei 2002; Dosen : Prof Dr.
Ir. Rudy C Tarumingkeng (Penanggung Jawab)
Abstrak
Pembangunan di Indonesia secara umum diterjemahkan dalam kegiatan proyek dimana dapat
didanai oleh pemerintah, swasta atau bantuan/ pinjaman luar negeri. Pada setiap pelaksanaan
pekerjaan umumnya telah pula terdapat mekanisme tersendiri untuk melakukan monitoring dan
evaluasi. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa monitoring dan evaluasi belum dilakukan dan
sejalan dengan tujuan pembangunan nasional yaitu lestari berkelanjutan. Dalam tulisan ini
diuraikan pendekatan perencanaan dan analisis pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), dimana
mempunyai keuntungan pendekatan yang holistik dengan menggunakan komponen integrator tata
air. Selanjutnya diuraikan tata air digunakan sebagai indikator pembangunan berkelanjutan.
Dengan harapan bila kondisi tata air baik, maka pembangunan yang dilakukan di dalam DAS yang
bersangkutan dapat dikatakan berkelanjutan.
Pendahuluan
Pada era otonomi daerah saat ini, pembangunan yang berkelanjutan menjadi suatu yang penting.
Berbagai praktisi menilai pada saat inilah pembangunan berkelanjutan dapat dilakukan, karena
daerah kabupaten sudah mampu melakukan identifikasi, analisis, dan pengambilan keputusan yang
didasarkan atas kondisi daerahnya, sehingga setiap pengambilan keputusan selalu didasarkan atas
kondisi aktual kabupaten yang bersangkutan. Akan tetapi banyak juga praktisi yang berpendapat
bahwa pendekatan pembangunan otonomi kabupaten akan memunculkan permasalahan akan
adanya eksplotasi yang tak tertahankan pada sumberdaya alamnya. Oleh sebab itu diperlukan
pendekatan yang cocok untuk tiap kabupaten, dimana memiliki kondisi yang sangat spesifik.
Pembangunan di Indonesia ini secara umum dijabarkan dalam bentuk proyek, proyek ini bisa
didanai oleh pemerintah, bantuan luar negeri, ataupun oleh swasta. Akan tetapi dari tahun ke tahun
pembangunan ini walaupun memberikan manfaat yang nyata pada saat ini, ternyata masih sulit
untuk mengetahui apakah pembangunan yang dilakukan tersebut memenuhi kaidah lestari dan
berkelanjutan. Oleh sebab itu diperlukan indikator, yang dapat digunakan untuk menilai apakah
pembangunan yang dilakukan adalah lestari dan berkelanjutan.
Pendekatan yang ingin dipaparkan disini adalah pendekatan pengelolaan DAS, dimana
pembangunan dilakukan melalui satuan daerah aliran sungai. Sehingga pendekatan yang dilakukan
merupakan pendekatan pembangunan yang spesifik daerah yang bersangkutan. Keuntungan dari
pendekatan DAS ini adalah adanya indikator biofisik (air) untuk mengetahui kesehatan dari DAS
tersebut, sedangkan kesulitannya adalah pendekatan ini adalah pendekatan yang interdisiplin,
dimana setiap stake-holder melakukan interaksi untuk menentukan pembangunan yang akan
dilakukan (pendekatan partisipatoris), hal ini memicu konflik yang berkepanjangan, sehingga
memelukan fasilitator yang handal.
Peranan pemerintah daerah yang selama ini menjadi aktor utama pelaksana pembangunan harus
berubah menjadi fasilitator pembangunan, dimana aktor utama pelaksana pembanguanan adalah
setiap stake-holder yang ada didalam DAS yang bersangkutan.
Pendekatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Daerah aliran sungai (DAS) menurut definisi adalah suatu daerah yang dibatasi (dikelilingi) oleh
garis ketinggian dimana setiap air yang jatuh di permukaan tanah akan dialirkan melalui satu
outlet. Komponen yang ada di dalam sistem DAS secara umum dapat dibedakan dalam 3
kelompok, yaitu komponen masukan yaitu curah hujan, komponen output yaitu debit aliran dan
polusi / sedimen, dan komponen proses yaitu manusia, vegetasi, tanah, iklim, dan topografi.
Sehingga pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan setiap komponen DAS sehingga dapat
mencapai tujuan yang dimaksud.
Tujuan dari pengelolaan DAS adalah melakukan pengelolaan sumberdaya alam secara rasional
supaya dapat dimanfaatkan secara maksimum lestari dan berkelanjutan sehingga dapat diperoleh
kondisi tata air yang baik. Sedangkan pembangunan berkelanjutan adalah pemanfaatan dan
pengelolaan sumberdaya alam bagi kepentingan umat manusia pada saat sekarang ini dengan
masih menjamin kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk generasi yang akan datang.
Dalam sistem DAS mempunyai arti penting terutama bila hubungan ketergantungan antara hulu
dan hilir. Perubahan komponen DAS di daerah hulu akan sangat mempengaruhi komponen DAS
pada daerah hilirnya, oleh sebab itu perencanaan daerah hulu menjadi sangat penting.
Dalam setiap aktifitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan di dalam sistem DAS, sangat
diperlukan indikator yang mampu digunakan untuk menilai apakah pelaksanaan kegiatan tersebut
telah berjalan sesuai dengan perencanaan atau belum. Indikator yang dimaksud adalah indikator
yang dengan mudah dapat dilihat oleh seluruh masyarakat luas sehingga dapat digunakan
peringatan awal dalam pelaksanaan kegiatan.
Indikator Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Secara umum pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan paling sedikit harus memenuhi
indikator lestari dan berkelanjutan dibawah ini, yaitu:
Pengelolaan yang mampu mendukung produktifitas optimum bagi kepentingan kehidupan
(indikator ekonomi)
Pengelolaan yang mampu memberikan manfaat merata bagi kepentingan kehidupan
(sosial)
Pengelolaan yang mampu mempertahankan kondisi lingkungan untuk tidak terdegradasi
(indikator lingkungan)
Pengelolaan dengan menggunakan teknologi yang mampu dilaksanakan oleh kondisi
penghidupan setempat, sehingga menstimulir tumbuhnya sistem institusi yang mendukung
(indikator teknologi)
Pada pengelolaan DAS indikator paling memungkinkan adalah melihat kondisi tataairnya. Yang
dimaksud indikator tata air kondisi tata air yang meliputi:
Indikator kuantitas air. Kondisi kuantitas air ini sangat berkaitan dengan kondisi tutupan
vegetasi lahan di DAS yang bersangkutan. Bila tutupan vegetasi lahan DAS yang
bersangkutan berkurang dapat dipastikan perubahan kuntitas air akan terjadi. Sehingga
setiap pelaksanaan kegiatan yang bermaksud mengurangi tutupan lahan pada suatu tempat
maka harus diiringi dengan usaha konservasi. Indikator ini dapat dilihat dari besarnya air
limpsan permukaan maupun debit air sungai.
Indikator kualitas air. Kondisi kualitas air disamping dipengaruhi oleh tutupan vegetasi
lahan seperti pada kondisi kuantitas, tetapi juga dipengaruhi oleh buangan domestik,
buangan industri, pengolahan lahan, pola tanam, dll. Dengan demikian bila sistem
pengelolaan limbah, pengolahan lahan, dan pola tanam dapat dengan mudah diketahui
kejanggalannya dengan melihat indikator kualitas air. Kualitas air ini dapat dilihat dari
kondisi kualitas air limpasan, air sungai ataupun air sumur.
Indikator perbandingan debit maksimum dan minimum. Yang dimaksud disini adalah
perbandingan antara debit puncak maksimum dengan debit puncak minimum sungai utama
(di titik outlet DAS). Indikator ini mengisyaratkan kemampuan lahan untuk menyimpan.
Bila kemampuan menyimpan air dari suatu daerah masih bagus maka fluktuasi debit air
pada musim hujan dan kemarau adalah kecil. Kemampuan menyimpan air ini sangat
bergantung pada kondisi permukaan lahan seperti kondisi vegetasi, tanah, dll
Indikator muka air tanah. Indikator ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah di suatu
lahan. Indikator muka air tanah ini mengisyaratkan besarnya air masukan ke dalam tanah
dikurangi dengan pemanfaatan air tanah. Yang mempengaruhi besarnya air masuk kedalam
tanah adalah vegetasi, kelerengan, kondisi tanahnya sendiri, dll. Ketinggian muka air tanah
ini dapat dilihat dari ketinggian muka air tanah dalam (aquifer) ataupun ketinggian air tanah
dangkal (non-aquifer).
Indikator curah hujan. Besarnya curah hujan suatu tempat sangat dipengaruhi oleh kondisi
klimatologi daerah sekitarnya, sedangkan kondisi klimatologi ini diperanguhi perubahan
tutupan lahan, ataupun aktifitas lainnya. Sehingga bila terjadi perubahan secara besar pada
tutupan lahan maka akan mempengaruhi klimatologi dan juga curah hujan yang terjadi.
Dengan demikian dengan mengetahui indikator tata air yang dapat dengan mudah dilihat dengan
pengamatan masyarakat umum diharapkan dengan demikian kontrol pelaksanaan pembangunan
dapat dilakukan dengan lebih terbuka. Sebagai gambaran bahwa suatu daerah aliran sungai dapat
dikatakan masih baik apabila:
Memberikan produksi tinggi bagi keperluan kehidupan dalam DAS yang bersangkutan
Menjamin kelestarian DAS, dimana erosi yang terjadi dibawah erosi yang dapat ditoleransi
Terdapat kelenturan, dimana bila terjadi gangguan pada salah satu bagian, maka bagian
lain mampu memberikan supply / bantuan
Bersifat pemerataan, dimana setiap stake holder yang ada di dalam DAS mampu berperan
sesuai dengan kemampuan yang dipunyai dan mendapatkan imbalan yang sesuai
Sedangkan dari aspek biofisik, suatu DAS dikatakan baik apabila:
Debit sungai konstan dari tahun ke tahun
Kualitas air baik dari tahun ke tahun
Fluktuasi antara debit maksimum dan minimum kecil
Ketinggian muka air tanah konstan dari tahun ke tahun
Kondisi curah hujan tidak mengalami perubahan dalam kurun waktu tertentu
Kesimpulan dan Saran
Dari tinjauan tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Walaupun indikator tata air ini belum banyak diterapkan untuk menilai pelaksanaan
pembangunan, akan tetapi karena indikator yang digunakan mudah dan dapat dilakukan
oleh setiap masyarakat, maka penggunaan indikator ini perlu disosialisasikan
Dalam pemanfataan indikator tata air ini pelaksanaan pembangunan/ kegiatan dalam suatu
DAS harus dilihat secara bersama-sama (holistik) sehingga sangat cocok untuk dipakai
sebagai indikator keberhasilan pembangunan suatu DAS.
Kajian lebih detail akan indikator tata air yang digunakan sangat diperlukan, karena data
yang terkumpul dalam penilaian indikator ini adalah data time series yang harus dicermati
secara detail
DAFTAR PUSTAKA
Sinukaban, Naik, Kuliah Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, Program Studi DAS, Program Pasca
Sarjana IPB, 2001
Asdak, Chay, DAS Sebagai Satuan Monitoring dan Evaluasi Lingkungan (Air Sebagai Indikator
Sentral), Seminar Sehari Persaki “Daerah Aliran Sungai Sebagai Satuan Perencanaan Terpadu
dalam Pengelolaan Sumberdaya Air”, 1999
Pasaribu, Hadi S, DAS Sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam Kaitannya dengan
Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Sektoral Berbasiskan Konservasi Tanah dan Air,
Seminar Sehari Persaki “Daerah Aliran Sungai Sebagai Satuan Perencanaan Terpadu dalam
Pengelolaan Sumberdaya Air”, 1999.