95
PEMBANGUNAN PENDIDIKAN A. UMUM Pendidikan merupakan kebutuhan dasar dan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 mengamanatkan bahwa salah satu arah kebijakan pembangunan pendidikan adalah mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia. Arah kebijakan peningkatan perluasan dan pemerataan pendidikan dilaksanakan melalui antara lain penyediaan fasilitas layanan pendidikan berupa pembangunan unit sekolah baru; penambahan ruang kelas dan penyediaan fasilitas pendukungnya; penyediaan berbagai pendidikan alternatif bagi masyarakat yang membutuhkan perhatian khusus; serta penyediaan berbagai beasiswa dan bantuan dana operasional sekolah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan peran aktif masyarakat. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang cukup berarti yang antara lain ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata lama sekolah

pembangunan pendidikan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: pembangunan pendidikan

PEMBANGUNAN PENDIDIKAN

A. UMUM

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar dan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik

melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan

datang. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 mengamanatkan bahwa salah

satu arah kebijakan pembangunan pendidikan adalah mengupayakan perluasan dan

pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Arah kebijakan peningkatan perluasan dan pemerataan pendidikan dilaksanakan

melalui antara lain penyediaan fasilitas layanan pendidikan berupa pembangunan unit

sekolah baru; penambahan ruang kelas dan penyediaan fasilitas pendukungnya;

penyediaan berbagai pendidikan alternatif bagi masyarakat yang membutuhkan

perhatian khusus; serta penyediaan berbagai beasiswa dan bantuan dana operasional

sekolah yang dalam pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan peran aktif

masyarakat. Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) mengungkapkan bahwa

tingkat pendidikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan yang cukup berarti

yang antara lain ditunjukkan oleh meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk

berusia 15 tahun keatas yaitu dari 6,7 tahun pada tahun 2000 menjadi 7,1 tahun pada

tahun 2003, dan meningkatnya proporsi penduduk berusia 10 tahun ke atas yang

berpendidikan SMP ke atas menjadi 36,2 persen pada tahun 2003. Sejalan dengan itu

angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas juga mengalami peningkatan dari

89,5 persen pada tahun 2002 menjadi 89,8 persen pada tahun 2003. Membaiknya

tingkat pendidikan penduduk sangat dipengaruhi oleh meningkatnya partisipasi

pendidikan untuk semua kelompok usia sekolah dan untuk semua jenjang pendidikan.

Pada tahun 2003 data Depdiknas dan Depag menunjukkan bahwa angka partisipasi

sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun mencapai 99,29 persen, penduduk usia 13-

15 tahun mencapai 80,43 persen, dan penduduk usia 16-18 tahun mencapai 50,65

Page 2: pembangunan pendidikan

persen. Pada tahun yang sama angka partisipasi kasar (APK) SD/MI/SDLB mencapai

114,53 persen, APK SMP/MTs/SMPLB mencapai 78,43 persen, APK

SMA/SMK/MA/MAK mencapai 48,79 persen dan APK PT mencapai 14,25 persen.

Upaya memperbaiki tingkat pendidikan penduduk telah dilakukan melalui Program

Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang telah berhasil meningkatkan jumlah lulusan

SMP-MTs per tahun secara signifikan dalam lima tahun terakhir yaitu dari 2,78 juta orang

pada tahun 1999/00 menjadi 3,04 juta orang pada tahun 2003/04. Hal tersebut lebih lanjut

berdampak pada meningkatnya jumlah lulusan SMP-MTs yang melanjutkan ke jenjang

menengah. Apabila pada tahun ajaran 1999/2000 jumlah murid baru tingkat SM sebanyak

1,86 juta orang, maka pada tahun 2003/2004 jumlahnya meningkat menjadi 2,2 juta orang.

Penambahan tersebut meningkatkan jumlah seluruh siswa SLTA menjadi 6,2 juta orang,

sehingga APK SLTA juga meningkat dari 41,26 persen menjadi 48,79 persen. APK tersebut

telah melampaui sasaran yang direncanakan dalam Propenas yang akan dicapai pada tahun

2004 yaitu sebesar 42,3 persen.

Pada kurun waktu yang sama jumlah mahasiswa meningkat dari 3,2 juta pada tahun

ajaran 1999/2000 menjadi 3,55 juta pada tahun ajaran 2003/2004. Penambahan jumlah

mahasiswa tersebut berhasil meningkatkan APK pendidikan tinggi dari 12,40 persen menjadi

14,25 persen.

Peningkatan yang cukup berarti tersebut juga disertai dengan upaya meningkatkan

layanan pendidikan melalui jalur pendidikan nonformal yang terus dikembangkan dalam

upaya untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan

formal, dan yang putus sekolah. Pendidikan nonformal antara lain diberikan melalui

Kelompok Belajar (Kejar) Paket A, Paket B, dan Paket C serta kursus-kursus. Kejar Paket A

dan Paket B dilaksanakan baik bagi kelompok penduduk usia sekolah sebagai pendidikan

alternatif terhadap pelaksanaan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun maupun

penduduk usia dewasa sebagai bagian dari pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan

keaksaraan fungsional diberikan bagi penduduk dewasa untuk meningkatkan kemampuan

keaksaraan mereka yang dikaitkan dengan kebutuhan fungsional dalam kehidupan sehari-hari

seperti ketrampilan vokasional. Sementara itu kursus-kursus yang dilakukan ditujukan

terutama untuk memberi ketrampilan bagi warga belajar sehingga memiliki kemampuan yang

memadai untuk bekerja.

Page 3: pembangunan pendidikan

GBHN 1999-2004 juga mengamanatkan agar pembangunan pendidikan diarahkan

pula untuk mengembangkan kualitas sumberdaya manusia sedini mungkin secara terarah,

terpadu dan menyeluruh. Sangat disadari bahwa usia dini merupakan masa perkembangan

dan pertumbuhan yang sangat menentukan bagi perkembangan pada tahap berikutnya.

Dengan demikian pembinaan anak sejak dini dapat memperbaiki prestasi belajar dan

meningkatkan produktivitas kerja di masa dewasa. Stimulasi dini pada masa golden age

sangat diperlukan untuk memberikan rangsangan terhadap seluruh aspek perkembangan anak

yang mencakup penanaman nilai-nilai dasar, pembentukan sikap dan pengembangan

kemampuan dasar. Di Indonesia, pendidikan usia dini dilakukan melalui antara lain

pendidikan di taman kanak-kanak (TK), Kelompok Bermain, dan Raudhatul Atfhal (RA).

Di samping upaya memperluas akses dan pemerataan pendidikan, peningkatan

kualitas pendidikan juga terus mendapat perhatian besar. Kemampuan akademik dan

profesional serta jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan terus ditingkatkan. Pendidikan

lanjutan serta pendidikan dan latihan jangka pendek terus dilaksanakan baik untuk

meningkatkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan maupun untuk meningkatkan

pengetahuan dan kemampuan mengajar menurut bidang studi. Berbagai pendidikan dan

pelatihan yang dilakukan telah meningkatkan jumlah guru yang memenuhi kualifikasi

pendidikan minimal, sehingga pada tahun 2003 proporsi guru SD yang berpendidikan

Diploma-2 ke atas mencapai 48,6 persen dan guru SLTP yang berpendidikan Diploma-3 ke

atas menjadi 62,1 persen. Meskipun demikian, kondisi tersebut belum mencukupi untuk

menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas. Bahkan untuk jenjang pendidikan

SLTP-MTs dan SLTA-MA yang menggunakan sistem guru mata pelajaran, banyak pula

terjadi ketidaksesuaian antara pelajaran yang diajarkan dengan latar belakang pendidikan

guru. Untuk itu diperlukan jumlah dan kualitas pendidikan dan latihan bagi guru dan tenaga

kependidikan lainnya secara lebih memadai sehingga mereka mampu menyelenggarakan

proses belajar mengajar yang lebih berkualitas. Untuk menjawab kurangnya jumlah guru

pada semua jenjang pendidikan, pada tahun 2003 telah dikaryakan sebanyak 194 ribu guru

untuk sekolah umum dan 13,5 ribu guru untuk madrasah dan guru agama pada sekolah

umum. Untuk meningkatkan kesejahteraan guru, pada tahun 2002 tunjangan kependidikan

bagi guru telah pula ditingkatkan sebesar 50 persen. Selain itu telah disediakan pula berbagai

insentif bagi guru sekolah negeri dan swasta seperti tunjangan kelebihan jam mengajar dan

Page 4: pembangunan pendidikan

bantuan khusus guru yang secara keseluruhan diharapkan dapat mendorong guru untuk tetap

berkarya. Meskipun kualitas pendidikan yang masih belum sepenuhnya baik, pada tahun

2002 Indonesia berhasil menjadi salah satu juara Olimpiade Fisika Internasional yang diikuti

oleh 340 peserta dari 72 negara. Pada tahun 2003 Indonesia telah berpartisipasi dalam

Olimpiade IPA dan Matematika baik tingkat nasional maupun tingkat ASEAN yang diikuti

oleh 10 negara, dan meraih 1 medali emas, 1 perak, dan 2 perunggu. Sementara itu pada

tahun 2004 mengikuti Olimpiade Fisika Asia di Thailand, dan kontingen Indonesia berhasil

meraih 6 medali emas.

Arah kebijakan pembangunan pendidikan untuk melakukan pembaharuan sistem

pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani

keragaman peserta didik dan potensi daerah, serta diversifikasi jenis pendidikan secara

profesional telah pula dilaksanakan. Penambahan jam pelajaran untuk muatan lokal ditujukan

untuk mengakomodasi keragaman kebutuhan di setiap wilayah meskipun pelaksanaannya

masih belum optimal dan secara umum baru digunakan untuk pendidikan kesenian lokal dan

bahasa daerah. Kurikulum berbasis kompetensi yang dikembangkan diharapkan dapat

menjawab diversifikasi kebutuhan pembangunan. Reposisi pendidikan kejuruan terus

dilakukan untuk lebih menjamin kesesuaian atau relevansi antara pendidikan dengan

kebutuhan dunia kerja. Bidang studi yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan

pembangunan terus direposisi menjadi bidang studi yang memiliki prospek yang baik dalam

dunia kerja.

Upaya melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional

berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen sebagai arahan

kebijakan pembangunan tahun 2000-2004 telah menjadi agenda utama dalam pembangunan

pendidikan di Indonesia. Pada tahun 2003 telah disahkan Undang-Undang No. 20 tentang

Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) sebagai pengganti UUSPN Nomor 2 Tahun 1989 yang

diikuti dengan penyiapan 14 buah Rancangan Peraturan Pemerintah sebagai operasionalisasi

UU tersebut.

Pembaruan sistem pendidikan nasional sebagaimana amanat Undang Undang Dasar

1945 amandemen ke empat pasal 31, mengatur pemerintah untuk mengaloksikan anggaran

pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN dan APBD. Mengingat keterbatasan kemampuan

keuangan negara, pemenuhan amanat tersebut belum dapat dilakukan. Meskipun demikian

Page 5: pembangunan pendidikan

pemerintah telah meningkatkan alokasi anggaran untuk pembiayaan pendidikan dan secara

bertahap alokasi anggaran diupayakan mencapai 20 persen dari APBN dan APBD.

Dengan dilaksanakannya desentralisasi pendidikan, pemerintah kabupaten/kota

memiliki kewenangan yang lebih luas dalam membangun pendidikan di masing-masing

wilayah sejak dalam penyusunan rencana, penentuan prioritas program serta mobilisasi

sumberdaya untuk merealisasikan rencana yang telah dirumuskan. Sejalan dengan itu,

otonomi pendidikan telah pula dilaksanakan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah

dan otonomi perguruan tinggi yang memberikan wewenang yang lebih luas pada satuan

pendidikan untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki termasuk mengalokasikannya sesuai

dengan prioritas kebutuhan. Hal ini sebagai langkah yang dilakukan agar sekolah lebih

tanggap terhadap kebutuhan setempat. Dana dekonsentrasi telah mulai diberikan langsung

kepada satuan pendidikan dalam bentuk block grant yang diharapkan dapat dikelola oleh

setiap satuan pendidikan dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi

dan partisipatif. Meskipun demikian sampai tahun 2004 sekolah yang melaksanakan

manajemen berbasis sekolah masih sangat terbatas jumlahnya karena belum maksimalnya

pemahaman dan kemampuan sumberdaya manusia pada satuan pendidikan.

Dengan memperhatikan hasil pelaksanaan desentralisasi bidang pendidikan sejak

tahun 2001, upaya untuk menyelaraskan kebijakan dan program antara pemerintah pusat,

provinsi dan kabupaten/kota perlu terus dilakukan. Penetapan peran dan tanggungjawab yang

lebih jelas masing-masing tingkat pemerintahan perlu mendapat prioritas. Standar pelayanan

minimal (SPM) yang lebih operasional perlu disusun untuk menjadi acuan penyediaan

layanan pendidikan pada setiap kabupaten/kota dengan mengacu pada pedoman penyusunan

SPM bagi provinsi yang tercantum dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.

053/U/2001 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan

Persekolahan Bidang Pendidikan Dasar dan Menengah.

Pada jenjang pendidikan tinggi, otonomi pendidikan dilaksanakan melalui pemberian

wewenang yang lebih besar kepada perguruan tingi. Competitive based funding mechanism

yang diterapkan dalam program pendidikan tinggi telah mendorong unit-unit di perguruan

tinggi untuk terus meningkatkan kapasitas institusinya sehingga mampu bersaing dalam

memperoleh berbagai sumber pembiayaan dari pemerintah. Competitive based funding

mechanism yang penerapannya diikuti dengan output based funding mechanism mendorong

Page 6: pembangunan pendidikan

perguruan tinggi menghasilkan output yang sebanding dengan pembiayaan yang diterimanya.

Namun demikian sampai tahun 2003 pendidikan tinggi masih dihadapkan pada belum

optimalnya pelaksanaan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN) karena

perguruan tinggi-perguruan tinggi tersebut belum diberi keleluasaan penuh dalam mengelola

sumberdaya yang dimiliki. Oleh karena itu upaya peningkatan mutu dan relevansi dalam

proses belajar mengajar serta dalam pelaksanaan penelitian dan pengabdian pada masyarakat

sebagai pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi belum dapat secara maksimal dilakukan.

Dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi pendidikan, peran serta masyarakat

terus ditingkatkan. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor: 044/U/2002 tentang

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah telah dikeluarkan sebagai landasan hukum bagi

partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Dengan menggunakan pendekatan

sukarela (voluntary basis) kabupaten/kota didorong untuk membentuk dewan pendidikan

yang dapat berperan sebagai (a) pemberi pertimbangan dalam penentuan dan pelaksanaan

kebijakan pendidikan di tingkat kabupaten/kota; (b) pendukung baik secara finansial,

pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan, (c) pengontrol dalam

penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan pengeluaran

pendidikan, dan (d) mediator antara lembaga eksekutif, legislatif dan masyarakat dalam

pembangunan pendidikan. Sampai tahun 2002 kabupaten/kota yang telah memiliki dewan

pendidikan berjumlah 321 kabupaten/kota. Pada saat yang sama proporsi sekolah yang

memiliki komite sekolah juga terus meningkat.

Peningkatan partisipasi masyarakat yang dilaksanakan di bidang pendidikan telah

meningkatkan keterbukaan, akuntabilitas, dan efisiensi pembiayaan sebagai bagian dari

penerapan good governance bidang pendidikan. Oleh karena itu partisipasi masyarakat perlu

diperluas cakupannya sehingga masyarakat dapat pula mengawasi pembangunan pendidikan

baik dalam proses alokasi, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban sesuai dengan

kaidah-kaidah good governance. Hal tersebut perlu diperkuat dengan tersusunnya berbagai

kerangka peraturan (regulatory framework) yang mengatur secara jelas dan terukur

penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.

Upaya memberdayakan lembaga pendidikan baik sekolah maupun luar sekolah

sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan dilaksanakan melalui penerapan

pendidikan kecakapan hidup (life skill education) yang ditujukan untuk memfungsikan

Page 7: pembangunan pendidikan

pendidikan dalam mengembangkan potensi manusiawi peserta didik melaksanakan

peranannya di masa datang. Kecakapan yang dikembangkan meliputi antara lain mengenal

diri, yang juga sering disebut kemampuan personal, berfikir rasional, akademik, dan

vokasional serta sosial. Melalui pendidikan tersebut peserta didik diharapkan menjadi lebih

beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjadi warga negara dan warga

masyarakat yang membangun, memiliki kemampuan pemecahan masalah yang baik, dan

memiliki kecakapan komunikasi dan empati sebagai dasar dalam menumbuhkan hubungan

yang harmonis dalam lingkungannya. Pada jenjang pendidikan menengah, kecakapan

vokasional atau kejuruan peserta didik ditingkatkan sehingga lulusannya memiliki

ketrampilan untuk bekerja. Dalam pelaksanaannya masih dijumpai pendidikan kecakapan

hidup yang terbatas pada ketrampilan vokasional saja. Pelaksanaan konsep pendidikan

kecakapan hidup perlu terus ditingkatkan agar peserta didik benar-benar memperoleh

kemampuan yang sesuai dengan masa pertumbuhan dan kebutuhan untuk menjalani hidupnya

sehari-hari.

Namun, walaupun telah terjadi berbagai peningkatan yang cukup berarti,

pembangunan pendidikan belum sepenuhnya mampu memberi pelayanan secara lebih

merata, berkualitas dan terjangkau, yang antara lain ditunjukkan oleh masih tingginya

penduduk buta aksara, rendahnya cakupan layanan pendidikan bagi anak usia dini,

serta masih rendahnya partisipasi pendidikan terutama untuk jenjang pendidikan

menengah pertama sampai dengan pendidikan tinggi, dengan kesenjangan yang

masih cukup tinggi antarkelompok masyarakat seperti antara penduduk kaya dan

penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk perempuan, antara

penduduk di perkotaan dan perdesaan, dan antardaerah. Sebagian penduduk tidak

dapat menjangkau biaya pendidikan yang dirasakan masih mahal dan pendidikan juga

dinilai belum sepenuhnya mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat

sehingga pendidikan belum dinilai sebagai bentuk investasi.

Di samping itu fasilitas pelayanan pendidikan khususnya untuk jenjang

pendidikan menengah pertama ke atas belum tersedia secara merata khususnya di

daerah terpencil termasuk pulau-pulau kecil sehingga menyebabkan sulitnya anak-

anak terutama anak perempuan untuk mengakses layanan pendidikan, di samping

Page 8: pembangunan pendidikan

fasilitas pendidikan khusus dan layanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang

mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi

kecerdasan dan bakat istimewa yang juga belum tersedia secara memadai.

Sementara itu kualitas pendidikan juga masih rendah dan belum mampu

memenuhi kebutuhan peserta didik dan pembangunan, yang terutama disebabkan

oleh kurang dan belum meratanya pendidik dan tenaga kependidikan baik secara

kuantitas maupun kualitas, belum memadainya ketersediaan fasilitas belajar terutama

buku pelajaran dan peralatan peraga pendidikan, dan belum berjalannya sistem

kendali mutu dan jaminan kualitas pendidikan, dan belum tersedianya biaya

operasional yang dibutuhkan untuk pelaksanaan proses belajar mengajar secara

bermutu.

Di samping itu sistem pengelolaan pendidikan juga belum sepenuhnya efektif

dan efisien yang antara lain ditunjukkan oleh belum tersedianya informasi pendidikan

yang memungkinkan masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih satuan

pendidikan secara tepat, belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi

pendidikan, belum mampunya Indonesia meningkatkan daya saing institusi

pendidikan dalam menghadapi era global pendidikan, belum berjalannya sistem

pengawasan pendidikan, dan belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam

pembangunan pendidikan termasuk partisipasinya dalam Dewan Pendidikan dan

Komite Sekolah/Madrasah.

Sehubungan dengan hal tersebut, langkah langkah tindak lanjut yang perlu

dilakukan adalah meningkatkan mutu pendidik dan tenaga kependidikan untuk

meningkatkan kualitas, kompetensi dan profesionalismenya baik pada satuan

pendidikan negeri maupun swasta; meningkatkan budaya baca dan mengembangkan

perpustakaan untuk menciptakan masyarakat belajar; meningkatkan penelitian dan

pengembangan pendidikan sebagai dasar kebijakan, program dan kegiatan

pembangunan pendidikan; mengembangkan manajemen pelayanan pendidikan untuk

meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan pendidikan, meningkatkan

kapasitas lembaga-lembaga pengelola pendidikan di pusat dan daerah, mendorong

Page 9: pembangunan pendidikan

penerapan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, partisipatif dan demokratisasi;

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan kedinasan

dalam rangka meningkatkan kemampuan, keterampilan dan profesionalisme pegawai

dan calon pegawai negeri departemen atau lembaga pemerintah non departemen

dalam pelaksanaan tugas kedinasan.

Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) sebagai bagian integral

pembangunan nasional ditujukan untuk turut menciptakan terwujudnya kesejahteraan

masyarakat secara berkelanjutan. Pasal 31 UUD 45 yang telah diamandemen, ayat 5

mengamanatkan bahwa pemerintah memajukan iptek dengan menjunjung tinggi nilai-

nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan

umat manusia. Kemudian ditekankan lagi dalam Tap MPR RI No. IV/MPR/1999

tentang GBHN 1999-2004, bahwa arah kebijakan umum dalam pembangunan iptek

adalah untuk meningkatkan penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan iptek

termasuk teknologi bangsa sendiri dalam dunia usaha, terutama usaha kecil,

menengah, dan koperasi guna meningkatkan daya saing produk yang berbasis

sumberdaya lokal. Amanat ini mencakup pengertian bahwa teknologi harus memiliki

kontribusi dalam peningkatan kemandirian dan daya saing bangsa.

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka peningkatan fokus kegiatan

penelitian adalah dirumuskannya agenda riset tematik sesuai kompetensi inti

lembaga, dilaksanakannya mekanisme seleksi riset secara kompetitif,

disempurnakannya kegiatan riset unggulan dan strategis, dikembangkannya kajian

sosial budaya sebagai masukan kebijakan pemerintah, dan pelaksanaan evaluasi riset

sains dan teknologi untuk pembangunan. Dalam rangka mendorong penguatan hak

atas kekayaan intelektual (HKI) telah dilakukan pemasyarakatan program HKI dan

pembentukan Sentra HKI. Dalam rangka penguatan infrastruktur lembaga litbang

dilakukan melalui program Standarisasi Laboratorium (STANLAB), yang membantu

laboratorium-laboratorium penguji maupun kalibrasi agar memenuhi Standar

Nasional dan Standar Internasional, serta penyusunan kriteria akreditasi pranata

penelitian dan pengembangan di lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi.

Page 10: pembangunan pendidikan

Terselesaikannya UU No. 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian,

Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas P3 Iptek)

telah memberikan landasan hukum bagi perguruan tinggi, badan usaha, pemerintah

dan masyarakat untuk berpartisipasi membentuk jaringan dan bersinergi

mengembangkan dan memperkuat sistem iptek nasional. Dalam rangka keterpaduan

kebijakan iptek nasional terus dikembangkan berbagai model pendekatan terpadu

antara lain melalui pembentukan Forum Perencanaan Pembangunan Iptek,

pengembangan sistem informasi program riptek (riset, ilmu pengetahuan dan

teknologi), peningkatan sinergi pelaksanaan program riset unggulan, penyelarasan

perencanaan program terintegrasi antara pusat, daerah, perguruan tinggi dan lembaga

masyarakat, dan identifikasi penentuan prioritas program penelitian jangka panjang.

Secara umum pembangunan kapasitas iptek nasional dinilai masih belum

memadai. Beberapa faktor penghambat adalah masih rendahnya kualitas penelitian

nasional diukur dari hasil riset yang dimuat dalam jurnal internasional, belum

optimalnya pengembangan riset ilmu-ilmu dasar, rendahnya riset yang berorientasi

kepada pemecahan masalah atau kebutuhan pasar, dan minimnya hasil riset yang

berhasil diterapkan pada kegiatan produktif masyarakat. Di samping itu belum adanya

kebijakan yang terintegrasi mengakibatkan tidak fokusnya kegiatan penelitan dan

pengembangan, serta tidak optimalnya pengembangan sumberdaya litbang.

Akibatnya masih ditemui inefisiensi dalam bentuk tumpang tindih topik penelitian,

inefisiensi pemanfaatan sumberdaya litbang yang ada, serta sulitnya mobilisasi

pemanfaatan fasilitas litbang antar lembaga. Selanjutnya belum adanya suatu

instrumen yang secara reguler dapat menggambarkan tingkat pencapaian

perkembangan iptek nasional secara komprehensif dan kuantitatif, karena berbagai

data dan indikator yang ada saat ini masih bersifat parsial dan lebih pada kebutuhan

internal lembaga litbang yang bersangkutan. Hambatan lain adalah infleksibilitas

dalam pembiayaan kegiatan iptek, khususnya yang bersumber dari dana pemerintah

yang bersifat tahunan dan bersifat swakelola. Masalah lain adalah menyangkut

Page 11: pembangunan pendidikan

insentif peneliti, khususnya terkait dengan unit cost penelitian yang masih dirasa

kurang memadai.

Langkah-langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas

dan kuantitas sumber daya iptek, meningkatkan dayaguna hasil-hasil penelitian di berbagai

bidang pembangunan, memperkuat kompetensi inti lembaga riset, membentuk iklim yang

kondusif bagi pengembangan sumberdaya litbang, serta memperkuat landasan dan arah serta

prioritas pembangunan iptek dalam bentuk penyusunan rencana jangka menengah

pembangunan iptek nasional.

B. PROGRAM-PROGRAM PEMBANGUNAN

1. Program Pendidikan Dasar dan Prasekolah

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program pendidikan dasar dan prasekolah bertujuan untuk: (1) memperluas

jangkauan dan daya tampung SD dan MI, SMP dan MTs dan lembaga pendidikan

prasekolah sehingga menjangkau anak-anak dari seluruh lapisan masyarakat; (2)

meningkatkan kesamaan kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok yang

kurang beruntung, termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dan kumuh

perkotaan, daerah bermasalah, masyarakat miskin, dan anak yang berkelainan; (3)

meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan prasekolah dengan kualitas yang memadai;

dan (4) meningkatkan pelaksanaan manajemen pendidikan dasar dan prasekolah berbasis

pada sekolah dan masyarakat.

Dalam Propenas 2000-2004, sasaran yang direncanakan untuk dicapai Program

Pendidikan Dasar dan Prasekolah sampai dengan tahun 2004 adalah: (1) meningkatkan

APK SD/MI menjadi 120,7 persen dan APK SMP/MTs menjadi 78,9 persen; (2)

terwujudnya organisasi sekolah di setiap kabupaten/kota yang lebih demokratis,

transparan, efisien, terakunkan, dan meningkatnya partisipasi masyarakat, dan (3)

terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat dengan

mengenalkan konsep dan merintis pembentukan Dewan Sekolah di setiap

kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di seluruh SD

dan MI serta SMP dan MTs.

Page 12: pembangunan pendidikan

Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah diuraikan pada bagian

Umum.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Berdasarkan tujuan dan sasaran tersebut di atas, berbagai kegiatan yang

dilakukan selama tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 telah berhasil

meningkatkan APK SD/MI dari 108,26 persen di tahun ajaran 1999/00 menjadi

114,53 persen pada tahun ajaran 2003/04. Meningkatnya APK tersebut disebabkan

oleh meningkatnya jumlah siswa SD/MI hampir 635,8 ribu orang yaitu dari 28,54

juta menjadi 29,17 juta. Pencapaian tersebut masih lebih rendah dibandingkan

dengan sasaran Propenas tahun 2004 yaitu sebesar 120,7 persen. Dari hasil analisis

situasi terungkap bahwa penetapan target tersebut adalah terlalu tinggi karena

sasaran tersebut mendorong meningkatnya jumlah anak usia dibawah 7 tahun dan di

atas 12 tahun untuk sekolah pada jenjang SD/MI. Sementara pada jenjang SMP/MTs

terjadi peningkatan APK dari 74,43 persen pada tahun 1999/00 menjadi 78,43

persen pada tahun 2003/04 dengan penambahan jumlah siswa sebanyak 759,3 ribu

orang dari 9,41 juta orang menjadi 10,16 juta orang pada tahun 2003/04 (termasuk

siswa SMLB sebanyak 5.988 orang).

Selanjutnya data Susenas tahun 2003 menunjukkan bahwa pada jenjang SD/MI

sudah tidak terdapat ketimpangan partisipasi pendidikan yang signifikan

antarkelompok masyarakat seperti dilihat dari wilayah tempat tinggal dan

pengeluaran keluarga. APK SD/MI di perdesaan (106,15 persen) bahkan sedikit

lebih tinggi dibanding di perkotaan (105,31 persen). Berbeda dengan kinerja jenjang

SD/MI, pada jenjang SMP/MTs masih ditemukan perbedaan partisipasi pendidikan

yang signifikan antarkelompok masyarakat, dimana APK di perkotaan (93,65

persen) jauh lebih tinggi dibanding APK di perdesaan (72,89 persen). Sementara

APK penduduk perempuan (82,37 persen) sedikit lebih baik dibandingkan penduduk

laki-laki (79,92 persen). Kesenjangan partisipasi pendidikan juga terjadi secara

signifikan antarkelompok pengeluaran keluarga.

Page 13: pembangunan pendidikan

Pencapaian hasil seperti tersebut di atas didukung oleh berbagai kegiatan pokok

yang dilakukan pada tahun 2003 antara lain melalui penyediaan layanan pendidikan

alternatif seperti SD Kecil, pemberian beasiswa bagi sekitar 5,91 juta orang siswa

SD-MI, 878 orang siswa SDLB, dan 1,83 juta orang untuk siswa SMP-MTs. Selain

itu juga diberikan subsidi/block grant untuk 657 taman kanak-kanak (TK), 103,7

ribu SD, 1,53 ribu SLB, 30.147 SMP, serta 501,53 ribu set alat pendidikan. Di

samping itu, di beberapa SD/MI dan SMP/MTs telah dibentuk Komite

Sekolah/Madrasah yang akan memberikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

dan penyelenggaraan pendidikan yang lebih demokratis, transparan, efisien dan

terakunkan. Di samping itu, juga dilakukan pembangunan 24 unit gedung TK, 15

sekolah TK Percontohan, 30 TK-SD Satu Atap, 42 TK Pembina, dan 250 TK

Perdesaan, serta pembangunan 74 unit gedung SD, 103 unit SLB, 765 unit SMP,

3,17 ribu SMP Terbuka, dan 5,35 ribu USB SD daerah tertinggal serta pembangunan

dan rehabilitasi ruang belajar MI dan MTs sebanyak 6.650 ruang, rehabilitasi 10,99

ribu ruang SD. Untuk membantu sekolah/madrasah dalam penyelenggaraan

pendidikan secara lebih bermutu pada tahun 2003 telah diberikan dana bantuan

operasional (DBO) untuk 104,6 ribu SD-MI dan 18,3 ribu SMP-MTs.

Untuk memberikan dampak yang lebih signifikan terhadap peningkatan

kesejahteraan penduduk, upaya peningkatan akses dan pemerataan pendidikan

ditunjang pula oleh upaya peningkatan mutu pendidikan. Kemampuan akademik dan

profesional serta jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan terus ditingkatkan.

Pendidikan lanjutan serta pendidikan dan latihan jangka pendek terus dilaksanakan

baik untuk meningkatkan kemampuan manajerial dan kepemimpinan maupun untuk

meningkatkan pengetahuan dan kemampuan mengajar menurut bidang studi.

Berbagai pendidikan dan pelatihan yang dilakukan telah meningkatkan jumlah guru

yang memenuhi kualifikasi pendidikan minimal, sehingga sampai dengan tahun

2003/04 proporsi guru SD-MI yang berpendidikan Diploma-2 ke atas menjadi 50,10

persen, meningkat dari dari tahun 2001 yang baru mencapai 40,95 persen.

Sementara di tingkat SMP-MTs, guru yang berpendidikan Diploma-3 ke atas pada

tahun 2003/04 menjadi 66,00 persen, meningkat dari tahun 2001 yang baru

mencapai 48,95 persen. Meskipun demikian, kondisi tersebut belum mencukupi

Page 14: pembangunan pendidikan

untuk menyediakan pelayanan pendidikan yang berkualitas. Jumlah guru juga tidak

mengalami peningkatan secara memadai. Hal ini terutama disebabkan oleh

kebijakan zero growth pengangkatan guru pegawai negeri sipil serta adanya guru

yang telah mendapatkan gelar sarjana pindah mengajar pada jenjang SLTA serta

terjadinya pengisian jabatan non struktural di kantor pemerintah daerah terutama

daerah pengembangan. Permasalahan lain yang dihadapi selain kurangnya jumlah

guru adalah distribusi guru yang belum merata dan lebih terkonsentrasi pada daerah

perkotaan. Untuk menjawab kekurangan jumlah guru, pada tahun 2003 dan 2004

Pemerintah telah mengkaryakan guru bantu sementara sebanyak 136.009 orang guru

untuk jenjang SD dan 60.966 orang guru untuk jenjang SMP.

Guna mendukung peningkatan mutu, selama tahun 2001 sampai dengan 2002

telah diberikan pula insentif bagi 318,3 ribu guru sekolah umum, penyediaan buku

dan alat peraga pendidikan sebanyak 74,4 juta bagi sekolah umum dan 2,6 juta bagi

madrasah, pengembangan kurikulum, serta penyediaan bantuan operasional

manajemen mutu bagi sekolah negeri maupun swasta yang dapat dimanfaatkan

sesuai kebutuhan sekolah. Untuk MI dan MTs pada kurun waktu 2000-2004

diberikan insentif bagi 383.251 guru MI dan 415.131 guru MTs, serta 76.426 guru

RA. Dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi pada tahun 2003 telah

dilaksanakan kegiatan-kegiatan pemberian subsidi operasional untuk 13.853 SD inti,

1.061 SD terpencil, 1.240 imbal swadaya TK, 2.905 orang guru daerah terpencil,

103 unit TK/SD satu atap, dan 104 SD rujukan. Pada tahun 2004 akan direalisasikan

pemberian subsidi bagi guru tidak tetap (negeri dan swasta) sebanyak 608 ribu

orang, dan pemberian kelebihan jam hadir mengajar sebanyak 114,4 jam pelajaran.

Selain itu telah dilaksanakan pemberian bantuan operasional manajemen mutu

(BOMM) di 276 lokasi MI dan 1.295 lokasi MTs. Pada tahun 2004 telah

dikembangkan 2 buah lembaga pendidikan agama bertaraf internasional yang

bekerjasama dengan Universitas Al-Azhar Cairo yaitu MI-MTs Al-Azhar Al-Syarif

yang berlokasi di Jakarta.

Berbagai upaya telah pula dilakukan untuk mencapai sasaran terwujudnya

organisasi sekolah di setiap kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan,

efisien, terakunkan, dan meningkatnya partisipasi masyarakat serta terwujudnya

Page 15: pembangunan pendidikan

manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat dengan mengenalkan

konsep dan merintis pembentukan Dewan Sekolah di setiap kabupaten/kota serta

pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah/Madrasah di seluruh SD dan MI

serta SMP dan MTs.

Sejak dirintis penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) yang memberikan

wewenang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola institusinya terdapat lebih

dari 3.000 sekolah jenjang SMP yang telah menerapkan MBS. Konsep tersebut

dinilai memberikan dampak yang baik terhadap peningkatan mutu pendidikan.

Pada tahun 2001 telah dimulai penyusunan konsep pembentukan Dewan

Pendidikan dan Komite Sekolah yang kemudian diterbitkan melalui Keputusan

Menteri Pendidikan Nasional No. 44 Tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan

Komite Sekolah. Mengingat pembentukan lembaga tersebut bersifat sukarela, maka

kegiatan sosialisasi terus digalakkan untuk memberikan pemahaman bagi semua

stakeholder baik di tingkat pusat, daerah maupun masyarakat umum mengenai

pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan. Sampai dengan

semester 2 tahun ajaran 2002/2003 diperkirakan 60 persen sekolah/madrasah telah

memiliki Komite Sekolah.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang cukup mengemuka pada jenjang SD/MI adalah masih

tingginya jumlah putus sekolah dan jumlah mengulang kelas. Angka putus sekolah

per tahun meningkat terus-menerus selama tiga tahun yaitu sebesar 2,58 persen

dengan jumlah absolut siswa yang putus sekolah sebanyak 736,5 ribu pada tahun

2000/01, 2,67 persen pada tahun 2001/02 dengan jumlah absolut siswa yang putus

sekolah sebanyak 766,7 ribu, dan pada tahun 2002/03 sebesar 2,94 persen dengan

jumlah absolut siswa yang putus sekolah sebanyak 851,2 ribu. Dari data Susenas

2003 mengungkapkan bahwa sekitar 75% anak usia 7-18 tahun yang putus sekolah

disebabkan oleh alasan ekonomi baik karena mereka tidak mampu membayar biaya

sekolah maupun harus bekerja. Angka mengulang yang cukup tinggi menyebabkan

berkurangnya kapasitas sekolah/madrasah untuk menambah jumlah siswa baru.

Angka putus sekolah yang masih tinggi khususnya untuk kelas I s/d III SD/MI dapat

Page 16: pembangunan pendidikan

berpengaruh terhadap bertambahnya penduduk buta aksara karena mereka belum

sepenuhnya mampu mempertahankan kemampuan keaksaraannya. Namun, angka

mengulang kelas terus-menerus turun, pada tahun 2000/01 mencapai 5,91 persen

atau sebanyak 1,68 juta siswa, kemudian menjadi 5,41 persen atau sebanyak 1,55

juta siswa pada tahun 2001/02, dan kemudian turun menjadi 3,79 persen atau

sebanyak 1,10 juta siswa pada tahun 2002/03.

Pada jenjang SMP/MTs meskipun angka mengulang kelas sudah sangat rendah

yaitu 0,47 persen pada tahun ajaran 2000/01, 0,44 persen pada tahun ajaran 2001/02,

dan 0,46 persen pada tahun ajaran 2002/03, namun angka putus sekolah masih

sangat tinggi yaitu sebesar 3,53 persen dengan jumlah absolut sebanyak 332,0 ribu

pada tahun 2000/01, 3,20 persen dengan jumlah absolut sebanyak 306,1 ribu pada

tahun 2001/02, dan menjadi 2,84 persen dengan jumlah absolut sebanyak 277,1 ribu

anak putus sekolah pada tahun 2002/03. Banyaknya siswa putus sekolah pada

jenjang ini akan sangat menghambat penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan

Dasar 9 Tahun.

Permasalahan lain yang masih dihadapi dalam program ini adalah masih belum

maksimalnya angka melanjutkan dari SD/MI atau yang sederajat ke SMP/MTs atau

yang sederajat. Apabila tidak seluruh lulusan SD/MI atau yang sederajat

melanjutkan ke SMP/MTs atau yang sederajat, maka penuntasan Wajib Belajar

Pendidikan Dasar 9 Tahun akan lebih sulit untuk dicapai.

Namun demikian masih terdapat pula tantangan yang dihadapi dalam

pencapaian sasaran peningkatan akses dan pemerataan pendidikan. Faktor pertama

adalah kemampuan ekonomi masyarakat. Data Susenas 2003 secara jelas

mengungkapkan bahwa partisipasi pendidikan khususnya jenjang SMP/MTs

diantara penduduk yang miskin masih jauh lebih rendah dibanding penduduk kaya.

Opportunity cost keluarga miskin untuk menyekolahkan anak relatif jauh lebih besar

dibanding keluarga kaya karena membantu orangtua bekerja dinilai memberikan

manfaat yang lebih besar dibanding belajar di sekolah. Pada beberapa kelompok

masyarakat faktor sosial budaya juga masih menjadi penghambat. Faktor ketiga

adalah geografi yang menyebabkan wilayah-wilayah terpencil, pegunungan dan

kepulauan menjadi wilayah tersulit untuk dijangkau pelayanan pendidikan. Dari sisi

Page 17: pembangunan pendidikan

penduduk yang perlu dilayani pendidikannya, geografi yang sulit menyebabkan

keengganan bagi mereka untuk bersekolah. Di sisi lain pembangunan fasilitas

pendidikan di wilayah tersebut menjadi lebih mahal dengan tidak ada jaminan

pemanfaatannya. Faktor lain yang berpengaruh adalah keamanan. Berbagai konflik

yang terjadi di Indonesia telah menurunkan kinerja pembangunan pendidikan dasar

dan prasekolah. Konflik yang terjadi tidak hanya menyebabkan rusaknya berbagai

fasilitas pendidikan tetapi juga menyebabkan ketakutan pada anak untuk pergi ke

sekolah serta berkurangnya guru dan tenaga kependidikan lainnya di wilayah

tersebut.

Sulitnya pemenuhan jumlah guru terutama guru Pegawai Negeri Sipil (PNS)

yang disebabkan oleh zero growth policy merupakan faktor penghambat upaya

peningkatan mutu pendidikan. Di samping itu sistem remunerasi guru yang dinilai

masih belum cukup baik menjadikan profesi guru menjadi tidak cukup menarik bagi

lulusan-lulusan terbaik perguruan tinggi untuk berkarir sebagai guru.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam usaha menyelesaikan permasalahan

dan tantangan Program Pendidikan Dasar dan Prasekolah akan dilakukan melalui

berbagai kegiatan seperti antara lain (1) menyusun sistem pembiayaan pendidikan

yang berkeadilan pada jenjang pendidikan dasar dan prasekolah dengan berbasis

pada jumlah siswa dengan mempertimbangkan antara lain kinerja pendidikan dasar

dan prasekolah, kemampuan ekonomi masyarakat, kemampuan fiskal daerah, dan

tingkat kesulitan geografi daerah; (2) menyelenggarakan pendidikan layanan khusus

bagi peserta didik di daerah terpencil dan/atau mengalami bencana alam dan

bencana sosial seperti melalui SD Kecil, SD Satu Guru, SD Multi-kelas, SD-SMP

satu atap SMP-MTs Terbuka, SMP-MTs Kelas Jauh/Guru Kunjung sesuai dengan

kondisi dan situasi daerah serta penyediaan trauma konseling bagi siswa-siswa di

daerah konflik; (3) menyelenggarakan pendidikan khusus bagi anak-anak yang

memiliki keunggulan dan yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses

pembelajaran khususnya yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial

dan/atau intelektual; (4) melaksanakan penjaringan anak usia sekolah baik yang

Page 18: pembangunan pendidikan

belum pernah sekolah maupun yang putus sekolah untuk masuk ke dalam sistem

pendidikan; (5) menambah ruang kelas baru dan unit sekolah/madrasah baru

(termasuk melalui dana imbal swadaya) baik negeri maupun swasta termasuk

penyediaan guru secara selektif terutama di daerah-daerah dengan jumlah penduduk

usia jenjang pendidikan dasar dan prasekolah yang masih banyak belum tertampung;

(6) melanjutkan program beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu

termasuk beasiswa untuk menarik anak usia jenjang pendidikan dasar yang berada di

luar sistem sekolah baik yang belum bersekolah maupun yang putus sekolah dengan

tetap memberi perhatian pada keadilan dan kesetaraan gender; (7) menata

pelaksanaan kurikulum nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan prasekolah

yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional; (8) meningkatkan

pelaksanaan manajemen pendidikan dasar dan prasekolah berbasis pada sekolah dan

masyarakat, (9) meningkatkan jumlah, mutu dan kualifikasi guru melalui

rekruitmen, pendidikan dan latihan sesuai kebutuhan dalam rangka meningkatkan

kualitas proses belajar mengajar; (10) melakukan advokasi dan sosialisasi untuk

meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya menyelesaikan

pendidikan sampai jenjang SMP/MTs; dan (11) meningkatkan peran serta

masyarakat dalam membangun pendidikan dasar dan prasekolah.

2. Program Pendidikan Menengah

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program pendidikan menengah adalah: (1) memperluas jangkauan dan daya

tampung sekolah menengah umum (SMA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan

madrasah aliyah (MA) bagi seluruh masyarakat; (2) meningkatkan kesamaan

kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi kelompok yang kurang beruntung,

termasuk mereka yang tinggal di daerah terpencil dan kumuh perkotaan, daerah

bermasalah dan masyarakat miskin, dan anak yang berkelainan; (3) meningkatkan

kualitas pendidikan menengah sebagai landasan bagi peserta didik untuk melanjutkan

pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan kebutuhan dunia kerja; (4)

meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya pendidikan yang tersedia, (5)

meningkatkan keadilan dalam pembiayaan dengan dana publik, (6) meningkatkan

Page 19: pembangunan pendidikan

efektivitas pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, (7) meningkatkan

kinerja personel dan lembaga pendidikan, (8) meningkatkan partisipasi masyarakat untuk

mendukung program pendidikan, dan (9) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas

penyelenggaraan pendidikan.

Sasaran yang akan dicapai program pembinaan pendidikan menengah adalah (1)

meningkatnya Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA, SMK, dan MA; (2) meningkatnya

daya tampung termasuk untuk lulusan SMP dan MTs sebagai hasil penuntasan Wajib

Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun sebanyak 5,6 juta siswa; (3) mewujudkan

organisasi sekolah di setiap kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien,

terakunkan (accountable), serta mendorong partisipasi masyarakat; dan (4) terwujudnya

manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat (school/community based

management) dengan mengenalkan konsep dan merintis pembentukan Dewan Sekolah di

setiap kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di setiap

sekolah.

Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah diuraikan pada bagian

Umum.

b. Pelaksanaan Program

i. Hasil yang Dicapai

Berdasarkan berbagai tujuan dan sasaran tersebut di atas, kegiatan-kegiatan

yang dilakukan selama tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 telah berhasil

meningkatkan APK SLTA dari 41,26 persen di tahun ajaran 1999/00 menjadi 42,78

persen di tahun ajaran 2000/01, 44,73 persen di tahun ajaran 2001/02, 44,73 persen

pada tahun ajaran 2002/03, dan meningkat menjadi 48,79 persen pada tahun ajaran

2003/04. Pencapaian tersebut lebih tinggi dari sasaran Propenas tahun 2004 yaitu

sebesar 42,30 persen. Peningkatan APK terjadi pada semua jalur pendidikan. APK

SMA meningkat dari 22,55 persen pada tahun 1999/00 menjadi 22,94 persen pada

tahun 2000/01, 23,67 persen pada tahun 2001/02, 24,68 persen pada tahun 2002/03,

dan meningkat menjadi 25,93 persen pada tahun 2003/04. Sementara APK SMK

meningkat dari 14.65 persen pada tahun 1999/00 menjadi 15,10 persen pada tahun

2000/01, 15,87 persen pada tahun 2001/02, 16,48 persen pada tahun 2002/03, dan

Page 20: pembangunan pendidikan

meningkat menjadi 17,31 persen pada tahun 2003/04. Sedangkan APK MA

mengalami peningkatan yang relatif kecil, yaitu meningkat dari 4,04 persen pada

tahun 1999/00 menjadi 4,73 persen pada tahun 2000/01, 5,17 persen pada tahun

2001/02, serta menjadi 5,48 persen pada tahun 2002/03, dan meningkat menjadi

5,52 persen pada tahun 2003/04. Pencapaian hasil seperti tersebut di atas didukung

oleh berbagai kegiatan pokok seperti antara lain penyediaan akses memperoleh

pendidikan menengah khususnya untuk menampung luapan lulusan SMP-MTs

sebagai hasil percepatan dari Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.

Kegiatan pokok lainnya adalah pemantapan sistem pengelolaan pendidikan serta

mutu dan relevansi pendidikan. Secara absolut jumlah siswa SLTA meningkat dari

5,30 juta pada tahun 1999/00 menjadi 5,48 juta pada tahun 2000/01, 5,72 juta pada

tahun 2001/02, 5,94 juta pada tahun 2002/03, dan menjadi 6,195 juta pada tahun

2003/04.

Upaya peningkatan akses dan pemerataan pendidikan pada jenjang SMA

sampai dengan tahun 2004 dilakukan melalui antara lain pembangunan 1.369 unit

gedung, rehabilitasi dan pembangunan 2.012 ruang MA, imbal swadaya

pembangunan 4.487 UGB, pembangunan 786 RKB, 872 ruang teori, 612 ruang

praktek, 235 ruang perpustakaan dan 124 ruang laboratorium. Selain itu juga

dilakukan rehabilitasi 8.135 ruang kelas SMA Negeri, pembangunan 802 ruang

perpustakaan SMAN, pengadaan 2.064 unit alat pendidikan, serta pengadaan

6.498.720 eksemplar buku SMA dan 4.305.218 eksemplar buku MA. Pada Sekolah

Menengah Kejuruan (SMK), peningkatan daya tampung dilakukan melalui

pembangunan 94 unit gedung SMK, pembangunan 3.582 RKB SMK, rehabilitasi

125 ruang kelas SMK Negeri, pengadaan 957.600 eksemplar buku SMK, pengadaan

guru bantu sementara untuk jenjang SMA dan SMK sebanyak 24.418 orang guru

dan pemberian subsidi untuk 41.234 sekolah SMK.

Upaya meningkatkan akses juga dilakukan dengan pemberian beasiswa melalui

program bakat prestasi bagi 384.014 siswa SMA dan 183.000 siswa MA dan

partisipasi lembaga swasta bagi 3.000 siswa. Melalui program Jaring Pengaman

Sosial (JPS) juga telah dilakukan pemberian beasiswa dan dana bantuan operasional

Page 21: pembangunan pendidikan

(DBO) untuk SMA, SMK, MA dan sekolah menengah luar biasa (SMLB) negeri

dan swasta.

Meskipun demikian, berdasarkan data Susenas tahun 2003 terungkap bahwa

pada jenjang SLTA masih terdapat ketimpangan partisipasi pendidikan yang

signifikan antarkelompok masyarakat seperti dilihat dari wilayah tempat tinggal

(perdesaan vs. perkotaan), kondisi ekonomi keluarga, dan jenis kelamin. APK SLTA

di perkotaan (70,63 persen) dua kali lipat lebih tinggi dibanding perdesaan (35,82

persen). Selanjutnya, partisipasi pendidikan penduduk laki-laki dan perempuan juga

menunjukkan perbedaan. Pada tahun 2003 APK penduduk laki-laki mencapai 51,32

persen dan APK penduduk perempuan adalah sebesar 50,43 persen. Meskipun

perbedaan persentase tersebut tampak tidak terlalu besar, apabila dianalisis lebih

lanjut terungkap bahwa pada jenjang pendidikan menengah terutama pendidikan

kejuruan terlihat adanya gejala pemisahan gender (gender segregation) dalam

jurusan atau program studi sebagai salah satu bentuk diskriminasi gender secara

sukarela (voluntarily discrimination) ke dalam bidang keahlian. Pemisahan jurusan

bagi anak perempuan lebih dikaitkan dengan fungsi domestik atau

kerumahtanggaan, sementara itu anak laki-laki diharapkan berperan dalam

menopang ekonomi keluarga sehingga harus lebih banyak memilih keahlian-

keahlian ilmu keras, teknologi dan industri. Sebagai contoh pada tahun 2001 siswa

perempuan yang bersekolah di SMK program studi teknologi industri baru mencapai

18,46 persen dan program studi pertanian dan kehutanan 29,74 persen.

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan menengah telah dilakukan

kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi guru dan pengelola sekolah serta pemberian

block grant. Pemberian bantuan operasional manajemen mutu (BOMM) bagi 870

SMA pada tahun 2001 dan 610 SMA pada tahun 2002 serta pada tahun 2003 telah

dilaksanakan BOMM untuk MA di 382 lokasi, pemberian subsidi bagi 142 SMK

(untuk bangunan, perabot, dan peralatan), pengembangan SMK model,

pengembangan sistem informasi manajemen (SIM) dan melakukan rekayasa ulang

(reengineering) SMK, pembinaan dan pengembangan 500 SMK standar nasional

dan 100 SMK standar internasional pada tahun 2001 yang dilanjutkan dengan

pemberian subsidi fasilitas bagi 327 SMK nasional dan internasional pada tahun

Page 22: pembangunan pendidikan

2002. Tahun 2003 telah dibangun SMK berstandar internasional 100 sekolah,

peningkatan pengelolaan manajemen pendidikan 40 sekolah, Diklat teknis

fungsional untuk guru 30.985 orang. Pada tahun yang sama telah disubsidi SMK

41.234 sekolah, uji kompetisi Test of English for International Communication

(TOEIC) 1500 siswa, SMK berstandar nasional 500 sekolah. Pada tahun 2004 akan

diberikan BOMM untuk MA di 392 lokasi. Penanggulangan pendidikan di daerah

kerusuhan dan bencana alam; pengadaan peralatan pendidikan dan buku pelajaran;

serta penyelenggaraan Olimpiade Fisika. Melalui program PKPS-BBM sebagai

akibat karena kesulitan ekonomi telah dilakukan pemberian Bantuan Khusus Murid

(BKM) yang diprogramkan dengan tujuan utama agar siswa SLTA tidak mengalami

putus sekolah. Selain itu, telah dilakukan pula pemberian insentif bagi 18.000 guru

tidak tetap SLTA negeri, dan 164.084 guru SLTA Swasta disamping pemberian

insentif kelebihan jam mengajar bagi guru.

Dalam rangka peningkatan mutu dan relevansi pendidikan dilakukan kegiatan-

kegiatan penyusunan pedoman umum standar operasional prosedur pengembangan

silabus dan pedoman teknis untuk 8 mata pelajaran, penyusunan pola induk sistem

pengujian/penilaian KBM dan sistem evaluasi penilaian 8 mata pelajaran,

penyusunan model-model penyelenggaraan pendidikan di SMA/MA, studi

akreditasi kelembagaan dan kinerja sekolah. Selain itu dilaksanakan studi

standarisasi peralatan dan bahan ajar SMA, model pengembangan sekolah termasuk

kerjasama SMA/MA dengan SMK dalam hal pelaksanaan pendidikan dan

manajemen berbasis sekolah (MPMBS), pengkajian tentang pelaksanaan akreditasi

guru, sekolah, dan standar mutu sarana pendidikan, pelaksanaan needs assessment

(kebutuhan pelatihan) bagi guru, serta pengadaan buku dan peralatan pendidikan.

Berbagai upaya telah pula dilakukan untuk mencapai sasaran terwujudnya

organisasi sekolah di setiap kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan,

efisien, terakunkan, dan meningkatnya partisipasi masyarakat serta terwujudnya

manajemen pendidikan yang berbasis sekolah/masyarakat dengan memberdayakan

atau membentuk Komite Sekolah di seluruh SMA, SMK dan MA. Sampai dengan

semester 2 tahun ajaran 2002/2003 diperkirakan 41,7 persen sekolah/madrasah

aliyah telah memiliki komite sekolah.

Page 23: pembangunan pendidikan

Di samping itu, walaupun jumlah siswa SMK meningkat, jenis dan mutu

pendidikan kejuruan belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pembangunan.

Sehubungan dengan masalah tersebut, sejak tahun 2000 dilakukan reposisi

pendidikan kejuruan dengan kegiatan antara lain sosialisasi kebijakan dan reposisi

pendidikan kejuruan menjelang 2020 dalam kerangka otonomi daerah, pemberian

subsidi jaringan internet bagi 300 SMK dan pengembangan unit produksi sekolah

pada 150 SMK negeri dan swasta. Selain itu ditingkatkan upaya pemanfaatan

potensi lingkungan (out sourcing) untuk kemandirian sekolah, penerapan model

pembelajaran berbasis kompetensi (competency based training), dan pemberlakuan

kurikulum berbasis kompetensi (competency based curriculum). Kegiatan tersebut

didukung dengan penambahan ruang teori, praktik, dan penunjang, pengadaan buku

pelajaran dan bacaan, penyediaan peralatan pendidikan yang sesuai, peningkatan

kualitas tenaga kependidikan, dan peningkatan sistem evaluasi hasil belajar siswa.

Dalam rangka pengembangan madrasah berbasis iptek telah dilakukan

pembinaan terhadap 32 madrasah (MA Insan Cendekia Serpong, MA Insan

Cendekia Gorontalo dan 30 MA yang ada di Pondok Pesantren).

ii. Permasalahan dan Tantangan

Kemampuan ekonomi penduduk merupakan permasalahan yang sangat

dominan dalam peningkatan kinerja pendidikan menengah. Mengingat penduduk

usia 15 tahun secara hukum sudah diperkenankan untuk bekerja, maka pertentangan

antara bekerja dan bersekolah pada jenjang SLTA bagi penduduk miskin menjadi

lebih besar.

Masih rendahnya animo masyarakat untuk memperoleh pendidikan menengah

sebagai akibat belum adanya kejelasan masa depan lulusannya untuk dapat bekerja

dengan renumerasi yang sesuai juga merupakan faktor yang menghambat kinerja

pendidikan menengah. Di samping itu faktor sosial budaya juga sangat menghambat

kinerja pendidikan menengah terutama dalam upaya menurunkan kesenjangan

gender. Stereotipi antara laki-laki dan perempuan sangat menyulitkan upaya

menghilangkan terjadinya pemisahan gender secara sukarela. Faktor lainnya adalah

belum optimalnya kerjasama antara dunia pendidikan dan dunia usaha dan industri

Page 24: pembangunan pendidikan

yang menyebabkan relevansi pendidikan belum dapat dicapai sepenuhnya atau

dengan kata lain demand dan supply belum sepenuhnya bertemu.

Seperti halnya pada jenjang pendidikan dasar dan prasekolah, sulitnya

pemenuhan jumlah guru terutama guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang

disebabkan oleh zero growth policy merupakan faktor penghambat upaya

peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah. Di samping itu sistem

remunerasi guru yang dinilai masih belum cukup baik menjadikan profesi guru

menjadi tidak cukup menarik bagi lulusan-lulusan terbaik perguruan tinggi untuk

berkarir sebagai guru. Masalah tersebut lebih mengemuka pada jenjang pendidikan

menengah khususnya pendidikan kejuruan karena dibutuhkan guru yang memiliki

keterampilan praktis.

Dengan memperhatikan permasalahan tersebut, maka tantangan yang dihadapi

adalah meningkatkan angka partisipasi agar sejajar dengan negara Asia lainnya,

menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa sains dan teknologi, memberdayakan

lembaga pendidikan menengah sebagai pusat pembudayaan nilai sikap dan

kemampuan serta meningkatkan partisipasi keluarga dan masyarakat yang didukung

oleh sarana dan prasarana yang memadai.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam usaha menyelesaikan permasalahan

dan tantangan Program Pendidikan Menengah akan dilakukan berbagai kegiatan

seperti antara lain (1) menyusun sistem pembiayaan pendidikan yang berkeadilan

pada jenjang pendidikan menengah dengan berbasis pada jumlah siswa dan

mempertimbangkan antara lain kinerja pendidikan menengah, kemampuan ekonomi

masyarakat, kemampuan fiskal daerah, dan tingkat kesulitan geografi daerah; (2)

menyelenggarakan pendidikan layanan khusus bagi peserta didik di daerah terpencil

dan/atau mengalami bencana alam dan bencana sosial sesuai dengan kondisi dan

situasi daerah serta penyediaan trauma konseling bagi siswa-siswa di daerah konflik;

(3) menyelenggarakan pendidikan khusus bagi anak-anak yang memiliki

keunggulan dan yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran

khususnya yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau

Page 25: pembangunan pendidikan

intelektual; (4) menambah ruang kelas baru dan unit sekolah/madrasah baru

(termasuk melalui dana imbal swadaya) baik negeri maupun swasta termasuk

penyediaan guru secara selektif terutama di daerah-daerah dengan jumlah penduduk

usia jenjang pendidikan menengah yang masih banyak belum tertampung; (5)

melanjutkan program beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu termasuk

beasiswa dengan tetap memberi perhatian pada keadilan dan kesetaraan gender; (6)

menata pelaksanaan kurikulum nasional untuk jenjang pendidikan menengah yang

disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan nasional; (7) melaksanakan

reengineering dan menyelenggarakan program studi khusus untuk pendidikan

kejuruan yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah setempat; (8) memfasilitasi

sekolah/madrasah untuk melaksanakan pendidikan kecakapan hidup termasuk

keterampilan vokasional bagi siswa yang tidak melanjutkan ke pendidikan tinggi;

(9) meningkatkan kerjasama dengan dunia usaha dan industri dalam rangka

meningkatkan relevansi pendidikan; (10) meningkatkan pelaksanaan manajemen

pendidikan menengah berbasis pada sekolah dan masyarakat, (11) meningkatkan

jumlah, mutu dan kualifikasi guru melalui rekruitmen, pendidikan dan latihan sesuai

kebutuhan dalam rangka meningkatkan kualitas proses belajar mengajar; (12)

meningkatkan peran serta masyarakat dalam membangun pendidikan menengah.

3. Program Pendidikan Tinggi

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan program pendidikan tinggi adalah: (1) melakukan penataan sistem

pendidikan tinggi; (2) meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi dengan

dunia kerja; dan (3) meningkatkan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan

tinggi, khususnya bagi siswa berprestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu.

Sasaran yang akan dicapai adalah: (1) mewujudkan otonomi pengelolaan enam

perguruan tinggi negeri Badan Hukum Milik Negara (BHMN) – yaitu Institut Teknologi

Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), Universitas

Gadjah Mada (UGM), Universitas Sumatera Utara (USU), dan Universitas Pendidikan

Indonesia (UPI) dan merintis penerapannya di beberapa perguruan tinggi negeri lainnya;

Page 26: pembangunan pendidikan

(2) meningkatkan jumlah lulusan menjadi 912.912 mahasiswa, (3) meningkatkan angka

partisipasi kasar (APK) menjadi 14,25 persen dan (4) pada tahun 2004 jumlah

mahasiswa diproyeksikan menjadi 3,55 juta orang.

Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah diuraikan pada bagian

Umum.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Berdasarkan sasaran Propenas 2000-2004, pada tahun 2000 telah

ditetapkan 4 Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN )

melalui PP No. 152/2000 untuk Universitas Indonesia, PP No. 153/2000

untuk Universitas Gadjah Mada, PP 154/2000 untuk Institut Pertanian Bogor

dan PP 155/2000 untuk Institut Teknologi Bandung. Sedangkan pada tahun

2003, Universitas Sumatera Utara (USU) ditetapkan sebagai BHMN melalui

PP No. 56 dan pada tahun 2004 melalui PP No. 6, Universitas Pendidikan

Indonesia (UPI) ditetapkan sebagai BHMN. Secara bertahap masing-masing

perguruan tinggi BHMN telah melaksanakan ketentuan dalam PP tersebut,

seperti dalam pemilihan rektor, pembentukan Majelis Wali Amanat, serta

dalam pengaturan organisasi dan penataan administrasi akademik.

Dalam kurun waktu lima tahun yaitu 2000 sampai dengan 2004, angka

partisipasi pendidikan (APK) meningkat dari 12,40 persen pada tahun 1999/2000

menjadi 14,25 persen pada tahun 2003/2004 atau masih dibawah sasaran propenas

yaitu 15,00 persen. Meskipun demikian kapasitas tampung mahasiswa baru dan

pemberian beasiswa semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Berbagai kegiatan yang dilakukan dalam program ini selama kurun waktu tahun

2000-2004 untuk perluasan dan pemerataan pelayanan pendidikan melalui antara

lain: pemberian beasiswa yang secara keseluruhan berjumlah 1.460.000 beasiswa

meliputi 333.997 beasiswa PPA (peningkatan prestasi akademik), 647.233 beasiswa

Page 27: pembangunan pendidikan

BBM (bantuan belajar mahasiswa), 478.770 beasiswa akibat dampak kerusuhan dan

131.219 beasiswa lainnya. Sedangkan untuk mahasiswa PTA jumlah penerima

beasiswa sebanyak 33.521 orang. Di samping itu juga dilakukan penerapan SPP

(sumbangan pembinaan pendidikan) secara proporsional terutama pada perguruan

tinggi dengan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Jumlah perguruan tinggi secara keseluruhan mengalami peningkatan sejalan

dengan kenaikan jumlah mahasiswa. Kalau pada tahun 2000 jumlah PTN sebanyak

77 unit dan jumlah PTS sebanyak 1.748 unit dengan jumlah mahasiswa sebanyak

3.199.174 orang. Jumlah mahasiswa tersebut termasuk mahasiswa PTA baik yang

ada di IAIN maupun STAIN. Pada tahun 2004 jumlah PTN menjadi sebanyak 81

unit dan PTS sebanyak 2.399 unit dengan jumlah mahasiswa sebanyak 3.671.759

orang. Sementara itu jumlah IAIN dan STAIN pada tahun 2000 berjumlah masing-

masing sebanyak 14 unit dan 32 unit. Pada tahun 2002 jumlah tersebut mengalami

perubahan yaitu menjadi 13 IAIN, 32 STAIN dan 1 UIN, dan pada tahun 2004

menjadi 12 IAIN, 31 STAIN dan 3 UIN.

Pembangunan sarana dan prasarana juga dilakukan dalam kurun waktu

yang sama, antara lain melalui pembangunan ruang kuliah 180.735 m2, ruang

laboratorium 267.120 m2, ruang perpustakaan 334.941 m2, ruang

kantor/administrasi 15.507 m2 dan ruang penunjang 866.682 m2. Di samping

itu juga dilakukan pengadaan peralatan lab/pendidikan 13.582

unit/paket/buah, pengadaan buku 964.396 buah dan 19.727 judul/ paket,

pengadaan jurnal 181.869 buah dan 1.305 judul/paket, pengadaan bahan

kuliah/praktek kerja 327 lembaga serta perbaikan peralatan laboratorium

pendidikan sebanyak 219.800 unit/paket.

Peningkatan mutu dosen dilakukan antara lain melalui pendidikan

lanjutan yang berorientasi pada bidang keahlian dan pengembangan profesi.

Sedangkan untuk peningkatan kualifikasi dosen dilakukan melalui perluasan

kesempatan mengikuti pendidikan pascasarjana, baik di dalam maupun di

luar negeri. Jumlah dosen yang mengikuti pendidikan pasca sarjana S2 dalam

negeri untuk PT umum sebanyak 30.434 orang dan 393 orang di PTA, dosen

Page 28: pembangunan pendidikan

yang mengikuti pendidikan S3 dalam negeri sebanyak 11.500 orang di PT

umum dan 32 orang dosen di PTAI, S2 luar negeri sebanyak 1.004 orang,

dan S3 luar negeri sebanyak 1.344 orang. Untuk pendidikan lanjutan yang

berorientasi pada bidang keahlian dilakukan melalui pendidikan D-IV

sebanyak 818 orang dosen. Di samping itu juga dilakukan

pelatihan/penataran/magang tenaga dosen sebanyak 7.685 orang, serta

workshop/seminar/lokakarya tenaga dosen sebanyak 6.242 orang.

Peningkatan kualifikasi dosen tersebut membawa dampak pada proporsi

jumlah dosen yang berkualifikasi S2 dan S3 terhadap jumlah dosen secara

keseluruhan. Pada tahun 2001 proporsi jumlah dosen yang berkualifikasi S2

dan S3 adalah sebesar 50,13 persen di PTN dan 32,76 persen di PTS.

Proporsi ini mengalami peningkatan sehingga pada tahun 2002 proporsi

dosen yang berkualifikasi S2/S3 di PTN menjadi 52,58 persen dan di PTS

mencapai 34,87persen dan tahun 2003 mencapai 54,96 persen pada PTN dan

36,99 persen pada PTS.

Jumlah dan mutu penelitian ditingkatkan melalui peningkatan kualitas tenaga

peneliti, pemantapan sistem kompetitif berjenjang, seleksi proposal penelitian,

peningkatan penguasaan pengembangan dan pemanfaatan iptek untuk meningkatkan

daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal, serta mengupayakan hasil

penelitian yang memenuhi stándar agar dapat memperoleh hak atas kekayaan

intelektual (HAKI).

Terkait dengan upaya peningkatan kesesuaian program studi di PT terhadap

tuntutan kerja dan kebutuhan pembangunan nasional, pada tahun 2001 dilakukan

antara lain perubahan status 10 IKIP Negeri menjadi universitas negeri dan

menambah proporsi program studi sains (basic sciences) dan teknologi (engineering

sciences). Pada tahun 2002 telah dilakukan perubahan 1 IAIN menjadi Universitas

Islam Negeri yaitu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta

sedangkan pada tahun 2004 telah dilakukan perubahan STAIN Malang menjadi

Universitas Islam Negeri Malang dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penataan program studi

Page 29: pembangunan pendidikan

dilakukan agar terjadi keselarasan antara program studi sains dan keteknikan dengan

program studi sosial dan humaniora. Sehubungan dengan hal tersebut dilakukan

penataan dan pengembangan program studi, peningkatan daya tampung bidang sains

dan teknologi, pengembangan kerja sama dengan industri, pemantapan kurikulum,

pembukaan dan perluasan bidang studi unggulan, serta pemantapan pengelolaan

program program studi baru. Pada tahun 2000 proporsi program studi dan

keteknikan di PTN mencapai 47,9 persen atau 1.116 program studi dari 2.330

program studi yang ada, pada tahun 2004 telah meningkat menjadi 55,15 persen atau

1.623 program studi dari 2.943 program studi yang ada. Proporsi ini berbeda untuk

PTS. Untuk PTS, pada tahun 2001 proporsi program studi sains dan keteknikan

adalah 29,67 persen atau 2.246 program studi dari 7.571 program studi yang ada,

sedangkan pada tahun 2004 proporsi ini tidak mengalami perubahan yaitu 29,67

persen dengan jumlah program studi sebanyak 3.437 dari 9.248 program studi yang

ada. Sulitnya meningkatkan proporsi bidang studi sains dan teknologi di PTS adalah

karena relatif tingginya biaya investasi dibandingkan bidang studi sosial dan

humaniora. Biaya investasi yang tinggi tersebut akan berpengaruh pada

meningkatnya biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh mahasiswa.

Penataan sistem dan kelembagaan akreditasi menjadi suatu lembaga yang

independen dilakukan dengan meningkatkan kualitas pengelolaan akreditasi

program studi yang dilaksanakan secara teratur, efisien dan efektif melalui

peningkatan kinerja proses akreditasi dan perluasan jangkauan pelaksanaan program

studi, peningkatan kesiapan PT yang membutuhkan akreditasi dan tindak lanjut hasil

akreditasi. Pada tahun 2000, BAN-PT melakukan akreditasi sebanyak 1.539

program studi S-1, 70 program studi Diploma dan 275 program studi Pasca Sarjana.

Sedangkan pada tahun 2003 akan dilakukan akreditasi bagi 1.746 program studi S-1,

61 program studi Diploma dan 348 program studi Pasca Sarjana.

Upaya memantapkan penerapan paradigma baru pendidikan tinggi dilakukan

antara lain melalui pemberian kewenangan yang lebih luas kepada perguruan tinggi

dalam merencanakan dan mengelola sumber daya yang dimiliki secara bertanggung

jawab dan terkendali (accountability). Hal tersebut dilaksanakan dengan melakukan

penerapan mekanisme perencanaan program dan penganggaran terpadu melalui

Page 30: pembangunan pendidikan

mekanisme block grant berdasarkan kompetisi berjenjang yang mengacu pada

kualitas (merit based tiered competition) yang didahului dengan evaluasi diri secara

berkelanjutan dengan melibatkan seluruh komponen perguruan tinggi terutama unit

akademik dasar dalam proses perencanaan. Dalam kurun waktu 2000-2004,

dilaksanakan pemberian block grant untuk 1.376 program studi S1 dan 457 program

studi politeknik/diploma. Di samping itu juga diberikan bantuan untuk University

Wide Program (UWP)/ Institutional Support System (ISS) sebanyak 234 unit.

Dalam rangka memanfaatkan sumber daya pendidikan secara terpadu dan

efisien untuk menunjang kelancaran penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan

pengabdian kepada masyarakat dilakukan kerjasama antar perguruan tinggi; antara

perguruan tinggi dengan pemerintah daerah; dan antara perguruan tinggi dengan

dengan lembaga lain. Pada tahun 2000 telah dilakukan 139 kerja sama antar

perguruan tinggi, 76 kerjasama antara perguruan tinggi dengan pemerintah daerah

dan 76 kerjasama antara perguruan tinggi dengan lembaga lain. Sedangkan pada

tahun 2003 dilakukan 140 kerjasama antar perguruan tinggi, 82 kerjasama antara

perguruan tinggi dengan pemerintah daerah dan 85 kerjasama antara perguruan

tinggi dengan lembaga lain. Sementara itu, untuk perguruan tinggi agama telah

dilakukan 146 kerjasama, baik dengan perguruan tinggi, pemerintah daerah maupun

dengan lembaga lain.

Berbagai upaya tersebut, berhasil meningkatkan efisiensi internal perguruan

tinggi yang antara lain ditunjukkan oleh meningkatnya proporsi mahasiswa yang

menyelesaikan program S-1 dalam waktu 5 tahun, pada tahun 2001 sebesar 57,6

persen dan mahasiswa yang menyelesaikan program Diploma dalam waktu 3 tahun

mencapai 49,7 persen; pada tahun 2002 meningkat menjadi 68,75 persen untuk

program S1 dan 63,39 persen untuk program diploma dan pada tahun 2003 menjadi

72,50 persen untuk program S1 dan 68,50 persen untuk program diploma termasuk

politeknik.

Selain itu terjadi pula peningkatan produktivitas perguruan tinggi yang

ditunjukkan melalui angka efisiensi edukasi atau perbandingan jumlah lulusan

dengan jumlah mahasiswa terdaftar (graduates to enrollment ratio). Pada tahun

2001, angka efisiensi untuk program S1 mencapai 57,6 persen dan program diploma

Page 31: pembangunan pendidikan

mencapai 49,70 persen. Pada tahun 2002, angka efisiensi ini mengalami peningkatan

sebesar 11,15 persen yaitu menjadi 68,75 persen. Angka efisiensi edukasi untuk

program diploma/politeknik sebesar 63,39 persn. Sedangkan pada tahun 2003

menjadi 72,50 persen untuk program S1 dan 68,50 persen untuk program diploma.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Pembangunan pendidikan tinggi dituntut untuk meningkatkan mutu pendidikan

dan tetap mempertahankan terlaksananya proses belajar mengajar dan kinerja yang

sesuai dengan tuntutan pembangunan. Namun dalam pelaksanaannya masih

menghadapi berbagai kendala dan tantangan. Salah satu kendala yang dihadapi

adalah masih lemahnya manajemen pendidikan tinggi, belum terwujudnya

kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni di kalangan

akademisi dan belum optimalnya pelaksanaan otonomi perguruan tinggi termasuk

pengelolaan PT BHMN (UGM, UI, ITB, IPB, USU dan UPI) yang masih dalam

tahap transisi karena PT tersebut belum diberi keleluasaan penuh dalam mengelola

sumber daya yang dimiliki. Di samping itu kemampuan tenaga pengelola pendidikan

belum bisa mengikuti peningkatan kemampuan tenaga akademik sehingga kualitas

pelayanan pendidikan belum dapat dilakukan secara optimal.

Upaya untuk meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi juga telah

dilakukan, namun hasilnya masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan hasil

analisis terungkap bahwa mutu lulusan perguruan tinggi masih rendah sehingga

mereka mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan dengan masa tunggu untuk

bekerja (job seeking period) yang masih cukup lama. Terbatasnya ketersediaan

lapangan kerja berpengaruh pada masih rendahnya penyerapan lulusan perguruan

tinggi. Praktik-praktik rekruitmen tenaga kerja yang memprioritaskan tenaga kerja

berpengalaman menyebabkan lulusan baru (fresh graduate) memiliki peluang yang

lebih rendah dalam memperoleh pekerjaan.

Faktor kemampuan ekonomi masyarakat merupakan faktor yang sangat

dominan terhadap rendahnya partisipasi pendidikan tinggi. Biaya pendidikan

tinggi yang mahal menghambat penduduk ekonomi menengah ke bawah

untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Selanjutnya faktor sosial

Page 32: pembangunan pendidikan

budaya sangat menghambat kinerja pendidikan tinggi terutama dalam upaya

menurunkan kesenjangan gender. Stereotipi antara laki-laki dan perempuan

sangat menyulitkan upaya menghilangkan terjadinya pemisahan gender

secara sukarela.

Dengan memperhatikan permasalahan tersebut, maka tantangan yang

masih dihadapi dalam penyelenggaraaan pendidikan tinggi adalah

kesenjangan mutu sumber daya manusia antarperguruan tinggi yang

diakibatkan oleh perbedaan kebijakan para pimpinan PT, arus globalisasi

terutama dalam perkembangan teknologi informasi, dan penataan sistem

manajemen perguruan tinggi.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam usaha menyelesaikan permasalahan

dan tantangan Program Pendidikan Tinggi akan dilakukan berbagai kegiatan antara

lain: (1) menyiapkan naskah akademik dalam rangka penyusunan RUU perguruan

tinggi sebagai Badan Hukum Pendidikan; (2) memantapkan penerapan paradigma

baru pendidikan tinggi melalui aktualisasi asas otonomi, akreditasi, akuntabilitas,

evaluasi diri dan kualitas; (3) melakukan penataan organisasi dan pengembangan

sistem informasi manajemen, serta pengkajian perundang-undangan perguruan

tinggi; (4) meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem akreditasi program studi

untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan tinggi; (5) menerapkan

mekanisme perencanaan program dan penganggaran terpadu melalui mekanisme

block grant berdasarkan kompetisi berjenjang; (6) melakukan penyempurnaan

mekanisme dan sistem evaluasi diri dan sosialisasi pentingnya evaluasi diri sebagai

dasar (“entry point”) dalam perencanaan pengembangan perguruan tinggi; dan (7)

meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pendidikan secara terpadu dan efisien untuk

menunjang penyelenggaraan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada

masyarakat.

Sementara itu untuk peningkatan kualitas pendidikan tinggi telah dilakukan

beberapa kegiatan pokok antara lain: (1) meningkatkan proporsi dosen yang

Page 33: pembangunan pendidikan

berpendidikan pasca sarjana; (2) meningkatkan penyelenggaraan program pasca

sarjana dalam hal pengelolaan dan daya tampung; (3) meningkatkan mutu dan

kapasitas program S-1 dan diploma; (4) mengadakan sarana dan prasarana

penunjang pendidikan; (5) meningkatkan jumlah dan mutu penelitian melalui

peningkatan kualitas tenaga peneliti dan pemantapan sistem kompetitif berjenjang;

(6) mendorong kerjasama penelitian dan pengembangan hasil penelitian

antarperguruan tinggi, antarperguruan tinggi dan lembaga penelitian/dunia usaha

baik nasional maupun internasional, khususnya untuk mendukung sumber daya

lokal; (7) memberdayakan stakeholder pendidikan tinggi dalam mendukung

penyelenggaraan dan evaluasi kualitas pendidikan tinggi; (8) meningkatkan kegiatan

pengabdian pada masyarakat melalui penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi

tepat guna untuk kemaslahatan masyarakat; (9) meningkatkan kualitas kegiatan

kemahasiswaan dan meningkatkan partisipasi mahasiswa dalam kegiatan ekstra

kurikuler; dan (10) meningkatkan kerja antara lembaga pendidikan tenaga

kependidikan (LPTK), sekolah dan instansi terkait lainnya sebagai upaya

penyegaran pengalaman mengajar dan peningkatan kualitas proses pembelajaran.

Dalam rangka meningkatkan perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan

tinggi telah dilakukan upaya antara lain: (1) meningkatkan daya tampung terutama

untuk program studi yang menunjang kemajuan ekonomi, penguasaan sains dan

teknologi, peningkatan kualitas hidup serta mendorong peran PT swasta; (2)

meningkatkan pelaksanaan sistem belajar jarak jauh; (3) melaksanakan pembukaan

program studi baru program S-1 dan program diploma secara terkendali, terutama

bidang sains dan teknologi, dan peningkatan penyebaran program studi prioritas,

sehingga mencerminkan keseimbangan geografis dan kawasan pertumbuhan

ekonomi terpadu; (4) meningkatkan efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan proses

pembelajaran agar mahasiswa dapat menyelesaikan studi tepat waktu dengan tidak

mengurangi kualitas lulusan PT; (5) melanjutkan pemberian beasiswa prestasi dan

beasiswa bantuan belajar kepada mahasiswa yang kurang mampu, serta bantuan

lainnya bagi mahasiswa yang terkena dampak kerusuhan dan bencana alam; dan (6)

meningkatkan pemerataan kapasitas pendidikan tinggi secara geografis untuk

mendukung pembangunan daerah dan memberikan kesempatan bagi kelompok

Page 34: pembangunan pendidikan

masyarakat yang berpenghasilan rendah termasuk kelompok masyarakat dari daerah

yang bermasalah.

4. Program Pendidikan Luar Sekolah

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program pendidikan luar sekolah (PLS) ditujukan untuk menyediakan pelayanan

pendidikan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat memperoleh pendidikan

formal dan putus sekolah untuk dapat mengembangkan diri, sikap, pengetahuan dan

ketrampilan, potensi pribadi dan dapat mengembangkan usaha produktif guna

meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Selain itu program PLS diarahkan pula untuk

memberikan pengetahuan dasar dan keterampilan berusaha secara profesional sehingga

warga belajar mampu mewujudkan lapangan kerja bagi dirinya sendiri dan anggota

keluarganya.

Sasaran yang direncanakan untuk dicapai Program Pendidikan Luar Sekolah

adalah (1) menurunkan angka buta aksara latin, angka buta bahasa Indonesia dan

buta pengetahuan dasar pada penduduk usia 10-44 tahun, (2) menyediakan

pelayanan pendidikan kepada masyarakat yang tidak atau belum sempat

memperoleh pendidikan formal termasuk anak usia dini, serta (3) pendidikan

berkelanjutan yang berorientasi pada peningkatan keterampilan dan kemampuan

kewirausahaan.

Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah diuraikan pada bagian

Umum.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Peningkatan partisipasi pendidikan melalui pendidikan luar sekolah telah

meningkatkan proporsi penduduk melek aksara. Data Susenas tahun 2003

menunjukkan bahwa penduduk usia 15 tahun keatas yang melek aksara sudah

mencapai 89,79 persen. Lebih lanjut terungkap bahwa angka melek aksara

penduduk usia 15 tahun keatas terjadi keragaman antarperdesaan dan perkotaan, dan

antarkelompok laki dan perempuan. Angka melek aksara di perdesaan mencapai

Page 35: pembangunan pendidikan

86,20 persen atau masih jauh lebih rendah dari perkotaan yang sudah mencapai

94,51 persen.

Berbagai kegiatan dilakukan untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi

masyarakat yang tidak atau belum sempat mengikuti pendidikan persekolahan.

Selama kurun waktu 2000 sampai dengan 2004 telah dilakukan pelayanan

pendidikan bagi masyarakat yang tidak atau belum sempat mengikuti pendidikan

formal melalui keaksaraan fungsional, Kejar Paket A Setara SD, Paket B Setara

SMP dan Paket C Setara SMA serta pemberian beasiswa bagi peserta

magang/kursus. Pada tahun 2000 jumlah warga belajar yang mengikuti Keaksaraan

Fungsional sebanyak 12.900 orang, Kejar Paket A sebanyak 50.128 orang, dan

Paket B sebanyak 190.276 orang. Jumlah warga belajar yang dijangkau setiap tahun

mengalami peningkatan. Pada tahun 2003 kegiatan Keaksaraan Fungsional

menjangkau 150.000 orang, Kejar paket A sebanyak 64.900 orang, Paket B

sebanyak 290.800 orang, dan Paket C sebanyak 14.800 orang. Sementara itu

kegiatan kelompok belajar usaha (KBU) bagi warga belajar juga memberikan

dampak positif dalam upaya penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.

Kegiatan tersebut pada tahun 2003 akan menjangkau 23.200 orang di Kelompok

Belajar Usaha. Selain itu juga dilakukan pembinaan 30 Pusat Kegiatan Belajar

Masyarakat (PKBM) dan taman bacaan masyarakat (TBM) 200 lokasi. Untuk

menunjang kegiatan tersebut dilakukan pemberdayaan tenaga kependidikan melalui

diklat teknis/fungsional dan peningkatan kompetensi bagi 15.948 orang serta

pembinaan tenaga lapangan dikmas (TLD) 5.163 orang,

Upaya untuk meningkatkan mutu tenaga pengelola pendidikan luar sekolah juga

telah dilakukan. Hal ini mengingat bahwa berdasarkan hasil identifikasi hampir 70

persen tenaga pengelola PLS di tingkat kabupaten/kota dan provinsi adalah pegawai

baru yang sebagian besar belum memahami tentang substansi PLS. Untuk

menunjang keberhasilan program PLS dan untuk menyatukan persepsi tentang

pentingnya PLS dalam mencerdaskan bangsa, para pengelola tersebut akan

diberikan orientasi yang berkaitan dengan substansi program PLS yakni dalam hal

merencanakan, memprogramkan dan mengevaluasi program-program PLS di

wilayah kerjanya.

Page 36: pembangunan pendidikan

Untuk mendukung kegiatan tersebut, pada tahun 2001, 2002 dan 2003 telah

dilakukan peningkatkan kemampuan fungsional bagi pengelola Pusat Kegiatan

Belajar Masyarakat (PKBM) masing-masing sebanyak 1.157 orang, 2.298 orang dan

2.148 orang. Pada tahun 2004 kegiatan serupa dilakukan melalui 30 lembaga

PKBM. Sementara itu untuk kelancaran pelaksanaan berbagai kegiatan pendidikan

masyarakat juga dilakukan rekruitmen Tenaga Lapangan Dikmas (TLD). Pada tahun

2001 telah direkrut sebanyak 2.874 orang, tahun 2002 sebanyak 2.379 orang, dan

tahun 2003 sebanyak 4.725 orang. Di samping itu dilakukan pula pembinaan tutor

dan pelatihan bagi penilik PLS

Melalui Program Pendidikan Luar Sekolah dilakukan pula pengembangan anak

usia dini (PAUD) dan telah berhasil merumuskan berbagai kebijakan awal serta

mensosialisasikannya kepada pihak-pihak yang terkait. Program ini telah

menjangkau 12 kabupaten/kota pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 16

kabupaten/kota pada tahun 2002 dan pada tahun 2003 telah diperluas menjadi 85

kabupaten/kota. Pendidikan bagi anak dini usia telah mendapat perhatian besar

karena peranannya dalam mempersiapkan anak untuk memasuki bangku sekolah

yang lebih lanjut berdampak pada meningkatkan kinerja pembangunan pendidikan

secara keseluruhan.

Untuk mendukung kegiatan tersebut, dilakukan pembangunan fasilitas PAUD

681 unit, sertifikasi lokasi pembangunan fasilitas PAUD 135 dokumen, pengadaan

bahan belajar 681 set, guru TK kontrak 1.122 orang, bantuan kerja sama

peningkatan kelembagaan 5.462 lembaga, peningkatan tenaga kependidikan PAUD

19.806 kegiatan, mutu petugas dan pembina 4.200 orang, sosialisasi dan

pemasyarakatan PAUD 893 kegiatan.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Faktor-faktor yang paling mempengaruhi kinerja Program Pendidikan Luar

Sekolah adalah faktor sosial budaya, kemampuan ekonomi masyarakat, demografi

dan geografi, ketersediaan pelayanan pendidikan keaksaraan, dan jenis pendidikan

luar sekolah lainnya. Selain itu jumlah dan mutu tenaga kependidikan luar sekolah

Page 37: pembangunan pendidikan

merupakan faktor yang cukup berpengaruh jika dibandingkan dengan jumlah

sasaran dan modul pembelajaran yang akan dikembangkan.

Faktor sosial budaya menyebabkan rendahnya laju penurunan angka buta aksara

khususnya pada penduduk usia tua dan penduduk perempuan. Penurunan jumlah

penduduk buta aksara lebih cepat pada kelompok usia muda dibandingkan

kelompok usia tua. Keadaan tersebut terjadi mengingat kelompok usia tua atau yang

sudah tidak produktif kemampuan keaksaraan kurang berpengaruh terhadap

peningkatan kesejahteraan hidupnya. Berbeda dengan kelompok usia produktif yang

lebih mampu melihat manfaat dari kemampuan keaksaraan sebagai nilai tambah

terutama dalam meningkatkan pendapatan mereka.

Pada saat yang sama laju penurunan angka buta aksara lebih cepat terjadi pada

penduduk laki-laki dibanding penduduk perempuan. Hal ini diduga terjadi karena

faktor sosial budaya juga masih dominan yang meletakkan perempuan untuk lebih

banyak berperan dalam urusan domestik atau yang berkaitan dengan rumah tangga.

Oleh karena itu mereka menjadi tidak dapat melihat manfaat kemampuan

keaksaraan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan keharusan mereka untuk keluar

rumah untuk mengikuti pendidikan keaksaraan yang lokasinya tidak selalu dekat

dengan tempat tinggalnya dan waktu yang juga tidak selalu sesuai dengan pekerjaan

mereka di rumah. Faktor tersebut berpengaruh juga pada kinerja pendidikan

berkelanjutan karena keengganan penduduk perempuan untuk mengikuti pendidikan

luar sekolah.

Faktor internal lain yang berpengaruh adalah kondisi ekonomi penduduk.

Meskipun sebagian besar pendidikan luar sekolah diberikan secara cuma-cuma,

tetapi dalam pelaksanaannya peserta mungkin perlu mengeluarkan biaya yang bukan

hanya biaya tidak langsung misalnya untuk transportasi tetapi juga forgone earning

atau pendapatan yang hilang karena mereka harus meninggalkan pekerjaannya.

Sementara itu faktor eksternal adalah hal-hal yang berasal dari luar individu

antara lain adalah (a) efisiensi pendidikan persekolahan terutama angka putus

sekolah yang masih tinggi khususnya pada kelas I – III SD/MI yang menyebabkan

anak menjadi buta aksara kembali dan (b) efisiensi pendidikan keaksaraan yang

Page 38: pembangunan pendidikan

dipengaruhi secara langsung oleh terbatasnya ketersediaan sarana dan prasarana

belajar termasuk tenaga kependidikan baik jumlah maupun kualitasnya.

Dengan jumlah sasaran PLS sebesar 75 juta orang dengan berbagai program

dan kegiatan yang tersebar di lokasi pembelajaran yang sangat bervariasi, termasuk

di daerah terpencil, daerah tertinggal/miskin, pada saat ini hanya didukung oleh 20

ribu tenaga kependidikan luar sekolah. Selain itu, mutu tenaga kependidikan PLS

yang juga dituntut untuk mampu mengembangkan model pembelajaran secara

kualitatif.

Dengan semakin kecilnya presentase penduduk buta aksara, sebaran tempat

tinggal penduduk buta aksara sangat besar. Hal ini menyebabkan sulitnya pencarian

sasaran untuk pelaksanaan program serta evaluasi dan monitoring hasil pendidikan

keaksaraan fungsional.

iii. Tindak Lanjut

Tindak lanjut yang akan dilakukan dalam mengatasi berbagai permasalahan

pada Program Pendidikan Luar Sekolah akan dilakukan berbagai kegiatan seperti

antara lain (1) memperluas jangkauan layanan PAUD bekerjasama dengan instansi

terkait dan masyarakat; (2) melaksanakan penghapusan buta aksara melalui

Keaksaraan Fungsional untuk mengurangi buta aksara latin dan angka, buta bahasa

Indonesia dan pengetahuan dasar, serta keterampilan; (3) menyelenggarakan

program Paket A setara SD dan Paket B setara SMP dalam rangka mendukung

Wajar Dikdas 9 Tahun dan pendidikan dasar untuk orang dewasa serta Paket C

setara SMA secara berkualitas; (4) meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS

(penilik, tenaga lapangan dikmas, pamong belajar, tutor dan penyelenggara

kelompok belajar, PAUD dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat; (5) melanjutkan

pembinaan dan perluasan pendidikan masyarakat yang diarahkan pada perluasan

lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan melalui Kelompok Belajar Usaha

(KBU), pemberian beasiswa/magang dan pelatihan keterampilan dengan

memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender; (6) memberikan dukungan terhadap

lembaga PAUD melalui sosialisasi dan pelaksanaan program, (7) meningkatkan

perhatian dan dukungan terhadap program dan lembaga UPT PLS seperti Balai

Page 39: pembangunan pendidikan

Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Pusat

Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Taman Bacaan Masyarakat, kursus-kursus

dan lembaga PLS lainnya, (8) melaksanakan kerjasama dengan berbagai

instansi/lembaga terkait dalam pelaksanaan program PLS; dan (9) melaksanakan

supervisi, evaluasi, monitoring dan pelaporan pelaksanaan program serta pemetaan

sasaran dan potensi PLS secara akurat, tepat waktu dan terkini untuk meningkatkan

kualitas perencanaan dan pelaksanaan program PLS.

5. Program Sinkronisasi dan Koordinasi Pembangunan

Pendidikan Nasional

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Tujuan Program Sinkronisasi dan Koordinasi Pembangunan Pendidikan Nasional

adalah untuk meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan,

pengendalian, dan pengawasan program-program pendidikan baik antarjenjang, jalur,

dan jenis maupun antardaerah.

Sasaran yang akan dicapai melalui program sinkronisasi dan koordinasi

adalah mewujudkan sinkronisasi dan koordinasi perencanaan, pelaksanaan,

pengendalian, dan pengawasan program-program pembangunan pendidikan,

antarjenjang, jalur dan jenis maupun antardaerah.

Arah kebijakan yang ditempuh sesuai dengan yang telah diuraikan pada bagian

Umum.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Program Sinkronisasi dan Koordinasi yang baru mulai dilaksanakan pada

tahun 2001 telah memberikan dampak yang positif dalam menyelaraskan

pembangunan pendidikan antarjalur, jenis dan jejang pendidikan serta

antardaerah. Melalui program ini salah satu hasil yang dicapai sampai dengan

tahun 2003 adalah tersusunnya Undang-Undang No: 20 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (UUSPN) sebagai pengganti UUSPN No. 2 Tahun

Page 40: pembangunan pendidikan

1989. Selanjutnya dalam upaya pembangunan pendidikan telah pula

dilaksanakan penyiapan kerangka dasar pembangunan pendidikan yang

memuat antara lain arah kebijakan, strategi, dan sasaran berdasarkan

pentahapan pada setiap tahunnya.

Pada tahun 2004 akan dilakukan penyelesaian 14 Peraturan Pemerintah

sebagai operasionalisasi UUSPN tersebut, yaitu (1) Pendidikan Anak Usia

Dini, (2) Pendidikan Dasar dan Menengah, (3) Pendidikan Tinggi, (4)

Pendidikan Nonformal dan Informal, (5) Pendidikan Khusus dan Layanan

Khusus, (6) Pendidikan Kedinasan, (7) Pendidikan Agama dan Keagamaan,

(8) Pendidikan Jarak Jauh, (9) Pendidikan dan Tenaga Kependidikan, (10)

Pendidikan Kejuruan, Vokasi, dan Profesi, (11) Wajib Belajar, (12) Standar

Nasional Pendidikan, (13) Pendidikan Berbasis Masyarakat, (14) Pengelolaan

dan Dana Pendidikan.

Sejalan dengan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999, berbagai kegiatan

telah dilakukan untuk mempercepat dan memperlancar pelaksanaan otonomi

daerah. Pada tahun 2001, upaya yang dilakukan adalah melakukan

pengkajian dan penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang

kepegawaian khusus untuk tenaga kependidikan dalam rangka otonomi

daerah. Berkaitan dengan hal tersebut antara lain telah disusun pedoman

pembinaan karir jabatan struktural pengelola pendidikan, pedoman

pemberian penghargaan di bidang pendidikan, dan pedoman penilaian

pengangkatan Kepala Sekolah di era otonomi daerah, serta penyusunan dan

pengembangan sistem dan prosedur kerja aparatur di lingkungan Depdiknas.

Sedangkan pada tahun 2002 kegiatan yang dilakukan meliputi antara lain

pendayagunaan dan realokasi PNS akibat restrukturisasi; pengkajian

mengenai pendayagunaan dan pengalihan status pegawai pada PT BHMN;

dan pengkajian kebutuhan widyaiswara pada Pusdiklat, Pusat Pengembangan

Penataran Guru (PPPG), dan Balai Penataran Guru (BPG) yang ditingkatkan

fungsinya menjadi Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP). Pada tahun

Page 41: pembangunan pendidikan

2003 telah dilaksanakan penataan pegawai akibat restrukturisasi dan

kebijakan rasionalisasi, pembinaan PNS yang menjadi pengurus/anggota

parpol/pejabat negara yang diperbantukan/dipekerjakan di departemen lain,

pengkajian dan penyempurnaan sistem pembinaan karier guru,

pengkajian/evaluasi pelaksanaan pemberian penghargaan dan tunjangan

pendidikan bagi guru, pamong, dan penilik.

Di samping itu, dengan dilaksanakannya desentralisasi pendidikan

sebagai pelaksanaan PP No. 25 Tahun 2000, untuk mempercepat dan

memperlancar pelaksanaan desentralisasi tersebut berbagai upaya telah

dilakukan antara lain: pengkajian dan penataan perangkat organisasi

Depdiknas, pengkajian kewenangan bidang pendidikan yang akan

didekonsentrasikan dan pembantuan, pengkajian dan pengembangan sistem

serta prosedur kerja unit instansi pengelola pendidikan, pengkajian dan

pengembangan kriteria penyusunan organisasi PTN berdasarkan beban kerja.

Selain itu, melalui program sinkronisasi dan koordinasi ini, pada tahun

2001 telah dilakukan kegiatan antara lain konsolidasi rencana program dan

anggaran pembangunan pendidikan; penyusunan Rencana Strategis (Renstra)

dan REPETA bidang Pembangunan Pendidikan; serta melakukan sosialisasi

dan advokasi kebijakan Renstra dan REPETA bidang Pembangunan

Pendidikan. Sedangkan pada tahun 2002, telah dilakukan kegiatan antara

lain: sosialiasi program otonomi daerah bagi Dinas Pendidikan di tingkat

provinsi dan Kab/Kota; pengkajian pelaksanaan kebijakan manajemen

berbasis sekolah; penerapan strategi kebijakan lintas sektoral; serta

inventarisasi dan analisis masalah pendidikan di daerah konflik dan bencana

alam. Pada tahun 2003 mulai disosialisasikan Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan implikasinya pada perencanaan

dan pengelolaan keuangan negara pada bidang pendidikan. Selain itu, mulai

tahun 2004 dilakukan penataan proses perencanaan dan penganggaran yang

berbasis pada kinerja instansi pendidikan.

Page 42: pembangunan pendidikan

Kegiatan penelitian dan pengembangan pendidikan telah pula

dilaksanakan dengan menitikberatkan pada upaya peningkatan mutu

pendidikan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan, dan

efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan pada setiap jenis dan

jenjang pendidikan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini difokuskan pada

upaya pelaksanaan otonomi daerah dan reformasi pendidikan (education

reform) di bidang kurikulum dan sistem pengujian serta penilaian kinerja

pembangunan pendidikan.

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi, telah dilakukan

pemberdayaan kemampuan perekayasaan kurikulum di tingkat daerah, serta

diikuti dengan penyusunan kurikulum berbasis kompetensi yang berlaku

secara nasional namun diversifikasinya dilakukan di masing-masing daerah

yang disesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, keberagaman dan minat peserta

didik. Di samping itu pada tahun 2001 telah dilakukan penelitian tentang

kebijakan pengembangan kurikulum sesuai dengan kondisi dan kebutuhan

daerah dan dilakukan pula pengkajian, analisis dan evaluasi terhadap

pelaksanaan kurikulum 1994 untuk penyempurnaan materi yang lebih

akomodatif terhadap perkembangan jaman dan metode pembelajaran.

Selanjutnya pada tahun 2002 dilakukan pengkajian proses belajar mengajar

dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan kurikulum dan pada

tahun 2003 tentang peningkatan mutu pendidikan, pemerataan pendidikan,

relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan serta efisiensi dan

efektivitas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenis dan jenjang

pendidikan. Sejalan dengan itu dilakukan penyempurnaan kurikulum yang

sesuai dengan tuntutan kebutuhan pembangunan baik tingkat lokal, nasional,

dan global.

Dalam rangka meningkatkan pelayanan pendidikan, pada tahun 2001

telah disusun berbagai model pelayanan antara lain: (a) model sistem

pelayanan pendidikan bagi warga masyarakat yang kurang beruntung untuk

Page 43: pembangunan pendidikan

memperoleh pendidikan dasar, (b) pengembangan model sekolah berasrama

untuk daerah yang kurang efisien dengan sistem pendidikan konvensional

dan (c) model kurikulum dan model pelayanan pendidikan sebagai

penjabaran dari UUSPN mengenai pemberian pelayanan khusus bagi peserta

didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa. Selanjutnya pada

tahun 2002 dilakukan penyusunan model alat test psikologi yang dapat

dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain untuk alat diagnosis

kesulitan belajar siswa, penjurusan, penerimaan pegawai dan promosi

karyawan. Pada tahun 2003 dilakukan pengembangan model pendidikan bagi

penyandang masalah sosial pada pendidikan dasar dan menengah,

pengembangan model layanan pendidikan bagi anak jalanan, masyarakat

miskin, berkelainan, terisolir, terasing, termasuk daerah bermasalah. Pada

Tahun 2004 dirintis alternatif pembelajaran melalui Televisi Pendidikan

Nasional dengan menyusun program tayangannya.

Untuk mendukung sinkronisasi dan koordinasi pembangunan pendidikan

maka pengembangan sistem dan informasi manajemen mendapat perhatian

yang besar. Selain disediakan peralatan pendataan, pelatihan intensif juga

diberikan bagi sumberdaya manusia di provinsi dan kabupaten/kota untuk

memberikan kemampuan yang memadai dalam mengelola data dan

informasi. Sejalan dengan itu jaringan dan kapasitas sistem informasi

perencanaan pendidikan juga diperluas dan dilakukan penyusunan program

aplikasi serta optimalisasi pemanfaatan baseline data bagi staf perencana

pendidikan di kabupaten/kota. Di samping itu dilakukan pula pendidikan dan

pelatihan teknis bagi tenaga perencana pendidikan 500 orang dan tenaga

pengelola program sampai tingkat kabupaten/kota.

Berbagai advokasi dan sosialisasi kebijakan pendidikan nasional terus

dilakukan seperti antara lain sosialisasi Rencana Aksi Nasional (RAN) Hak

Asasi Manusia dalam bidang pendidikan, sosialisasi Keputusan Menteri

Pendidikan Nasional No. 44 Tahun 2002 tentang Dewan Pendidikan dan

Page 44: pembangunan pendidikan

Komite Sekolah, sosialisasi pedoman penilaian pelaksanaan pembinaan

karier jabatan struktur pengelola pendidikan tingkat provinsi; sosialisasi

pedoman pelaksanaan pemberian penghargaan pada PNS di bidang

pendidikan; dan pelaksanaan berbagai temu konsultasi antarlembaga yang

bertanggungjawab dalam pembangunan pendidikan nasional.

Kerjasama di bidang pendidikan dengan berbagai lembaga baik di dalam

maupun di luar negeri terus pula dilaksanakan seperti antara lain melalui

pengembangan perpustakaan elektronik dan pengembangan situs regional

Asia Tenggara Global Distance Education Network serta pengembangan

SEAMEO Regional Open Learning Center (SEAMOLEC) di Indonesia.

Selain itu juga dilakukan penyusunan desain pendidikan jarak jauh yang

antara lain meliputi penyusunan silabi, garis-garis besar isi program media

(GBIPM) program audio, GBIPM program video, penulisan naskah program

audio dan program video, serta perintisan pendidikan terbuka jarak jauh

tingkat SMA.

Guna mendukung tercapainya pelaksanaan yang efektif, efisien,

transparansi, dan terakunkan juga telah dilakukan pembinaan sistem

kelembagaan, pengendalian, pengawasan, dan penyerasian hasil-hasil

pendidikan.

Pembangunan pendidikan selama lima tahun terakhir (2000-2004) mendapat

prioritas tertinggi dalam pembangunan nasional yang ditunjukkan oleh penyediaan

anggaran pembangunan dengan porsi terbesar dibandingkan dengan bidang-bidang

pembangunan lainnya. Dengan adanya amandemen UUD 1945 dan ditetapkannya

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan

agar dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan

dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD,

anggaran pendidikan pada tahun 2004 mendapat porsi yang lebih besar lagi.

Anggaran pendidikan pada tahun 2004 mencapai 21,5 persen dari anggaran

pembangunan keseluruhan atau 6,6 persen dari APBN yang dibelanjakan oleh

Page 45: pembangunan pendidikan

pemerintah pusat. Anggaran pendidikan tersebut terdiri dari Pengeluaran Rutin di

luar gaji pendidik dan Pengeluaran Pembangunan diluar anggaran untuk pendidikan

kedinasan. Karena anggaran yang dialokasikan untuk daerah masuk sebagai

penerimaan APBD maka dana perimbangan yang berupa Dana Alokasi Umum

(DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan dana bagi hasil serta dana otonomi

khusus tidak diperhitungkan dalam menghitung 20 persen dari APBN. Proporsi

tersebut masih jauh dari 20 persen tetapi dengan adanya komitmen yang lebih besar

dari pemerintah dan legislatif untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut

maka proporsi anggaran pendidikan terhadap APBN akan terus ditingkatkan secara

bertahap. Pada saat yang sama pemerintah daerah juga didorong untuk secara

bertahap melaksanakan amanat undang-undang tersebut.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Faktor yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan Program Sinkronisasi dan

Koordinasi Pembangunan Pendidikan Nasional antara lain adalah belum meratanya

kapasitas pengelola pembangunan pendidikan dan belum meratanya kesamaan

pandangan mengenai pentingnya pendidikan diantara stakeholders termasuk

pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Pelaksanaan mutasi pegawai yang

cukup sering terutama di kabupaten/kota sangat berpengaruh kurang baik pada

efisiensi dan kesinambungan pelaksanaan pembangunan pendidikan.

Perubahan sistem peraturan perundang-undangan yang tidak lagi menempatkan

Keputusan Menteri sebagai peraturan perundang-undangan yang mengikat bagi

daerah menjadi faktor lain yang turut menghambat pelaksanaan sinkronisasi dan

koordinasi pembangunan pendidikan nasional. Salah satu dampak negatifnya adalah

kurang baiknya pelaksanaan sistem pelaporan, serta arus data dan informasi dari

tingkat kabupaten/kota sampai tingkat nasional.

iii. Tindak Lanjut

Beberapa tindak lanjut yang diperlukan untuk pencapaian sasaran-sasaran yang

telah ditetapkan antara lain: (1) mengembangkan kerangka peraturan (regulatory

framework) yang memungkinkan pelaksanaan pembangunan pendidikan sesuai

Page 46: pembangunan pendidikan

prosedur dan tata cara yang memenuhi kaidah-kaidah good governance (transparan,

terakunkan, dan partisipatif); (2) mengembangkan sistem penghargaan (reward) dan

dorongan (incentive) bagi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota yang

memberikan prioritas tinggi pada pembangunan pendidikan serta penghargaan bagi

pelaku dan pemerhati pendidikan yang berjasa dalam pembangunan pendidikan; (3)

mengintensifkan pelaksanaan sistem informasi dan pendataan untuk semua jalur,

jenis dan jenjang pendidikan, serta daerah; (4) melakukan advokasi dan sosialisasi

UU Sistem Pendidikan Nasional dan kebijakan pendidikan nasional; (5)

meningkatkan mutu sumber daya dan standardisasi sarana dan prasarana pendidikan

untuk mendukung pelayanan pendidikan dan proses belajar-mengajar yang bermutu;

(6) mengembangkan model manajemen pendidikan dalam era otonomi; (7)

melanjutkan pengembangan jaringan kerja sama penelitian kebijakan antara pusat

dan daerah; (8) melakukan pengkajian kebijakan antarjenis, jenjang dan jalur

pendidikan sebagai bahan masukan pengambilan kebijakan pembangunan

pendidikan; (9) menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaan UU

Sistem Pendidikan Nasional termasuk peraturan pemerintah yang mengatur

pembiayaan pendidikan, dan penuntasan penyusunan kebijakan pembangunan

pendidikan nasional yang mendukung sinkronisasi dan koordinasi perencanaan dan

pelaksanaannya; (10) mengembangkan kemitraan secara kelembagaan pusat,

provinsi dan kabupaten/kota yang mendukung sinkronisasi dan koordinasi

perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pembangunan pendidikan

antarjenjang, antarjalur, antarjenis dan antardaerah; dan (11) meningkatkan

efektivitas pelaksanaan pengawasan dan pengendalian pembangunan pendidikan.

6. Program Penelitian, Peningkatan Kapasitas, dan Pengembangan

Kemampuan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

a. Tujuan, Sasaran, dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan mutu hasil penelitian; (2)

meningkatkan kualitas peneliti; (3) meningkatkan kompetensi lembaga-lembaga penelitian

dan pengembangan publik searah dengan tuntutan masyarakat dan percepatan

Page 47: pembangunan pendidikan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (4) membentuk iklim yang kondusif

bagi terbentuknya sumber daya litbang.

Sasaran yang akan dicapai adalah terdayagunakannya ilmu pengetahuan dan teknologi

yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa untuk memecahkan

berbagai masalah pembangunan.

Arah kebijakan dari program ini adalah (1) Pengembangan berbagai tema dan model

riset unggulan yang berdampak strategis; (2) Sinergisme program litbang dengan industri

yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat; (3) Perluasan kerjasama riset

secara efektif baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional; (4) Peningkatan peran

dan pelayanan HKI; (5) pemberdayaan dan pembinaan organisasi profesi ilmiah; serta (6)

pengembangan pranata dan infrastruktur iptek di daerah.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil-hasil yang telah dicapai dalam rangka peningkatan fokus kegiatan

penelitian adalah dirumuskannya agenda riset sesuai kompetensi inti lembaga dalam

bentuk program-program tematis, dilaksanakannya mekanisme seleksi secara

kompetitif dalam penetapan kegiatan riset lembaga, dikembangkan dan

disempurnakannya kegiatan riset unggulan dan strategis, seperti Riset Unggulan

Terpadu (RUT), Riset Unggulan Terpadu Internasional (RUTI), Riset Unggulan

Kemanusiaan (RUKK), ditetapkannya paten sebagai salah satu indikator keluaran,

dikembangkannya kajian sosial budaya sebagai masukan kebijakan pemerintah.

RUT dirancang sebagai instrumen untuk meningkatkan dan menyelaraskan

penguasaan iptek dengan memadukan SDM, dana dan prasarana riset yang tersedia

dalam rangka pembangunan sistem nasional inovasi yang lebih terpadu.

Pelaksanaannya mencakup sepuluh bidang riset, yaitu i) pengembangan sistem

nasional, sektoral dan daerah, ii) pertanian dan pangan, iii) kesehatan, iv) lingkungan,

v) kelautan, kebumian dan kedirgantaraan, vi) transportasi dan logistik, vii) energi,

viii) manufaktur, ix) teknologi informasi dan mikroelektronika, serta x) penemuan

material baru. Selain itu telah dihasilkan Penawaran Teknologi yang merupakan

kumpulan dari kegiatan RUT yang siap untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kebutuhan

Page 48: pembangunan pendidikan

industri. Hasil-hasil yang dicapai dari program RUT masih merupakan hasil antara

dan memerlukan penindaklanjutan oleh para peneliti yang bersangkutan. Untuk itu

telah dirancang program lanjutan yang bisa mengoptimalkan hasil-hasil RUT untuk

ditindaklanjuti menjadi suatu produk komersial dalam bentuk program katalis.

RUTI merupakan progran kerjasama Riptek Indonesia dengan lembaga

penelitian/universitas internasional berdasarkan cost-sharing basis. Program ini

ditujukan untuk mendorong peningkatan peran Riptek nasional dalam dunia

internasional, peningkatan kolaborasi antara lembaga penelitian/universitas di

Indonesia dengan mitra internasional serta melakukan penelitian yang berkualitas

dengan tujuan publikasi internasional dan atau penemuan yang mengarah pada

pemanfaatan teknologi industri (patent).

Kegiatan lain yang dilakukan dalam rangka peningkatan kapasitas dan

kompetensi lembaga litbang adalah dilaksanakannya studi agenda riset nasional,

pelaksanan evaluasi riset sains dan teknologi untuk pembangunan (Periskop), dan

kajian kebijakan Bioprospecting untuk menunjang bidang kedokteran dan kesehatan.

Hasil studi agenda riset nasional merekomendasikan agenda kerja lembaga litbang,

struktur industri terpadu, peran teknologi dalam pembangunan, pengembangan riset-

riset murni dibidang ekonomi serta manajemen akuntasi kegiatan riset. Studi Periskop

telah menemukan ketidakcocokan (mismatched) antara kebutuhan industri dan produk

lembaga riset. Namun demikian dari studi itu juga ditekankan bahwa lembaga riset

adalah faktor utama dalam diseminasi dan transfer teknologi pada dunia usaha.

Dalam bidang kesehatan dan obat-obatan selain kebijakan bioprospecting, telah

berhasil dilakukan karakterisasi virus Hepatitis non-A dan non-C untuk mencegah

penyebarannya. Penelitian lain yang cukup berperan adalah mengenai tingkat

resistensi terhadap obat malaria di daerah endemi malaria yang hasilnya menunjukkan

bahwa tingkat resistensi tersebut sudah memprihatinkan. Selain itu juga dilakukan

penelitian untuk menghambat laju pertambahan penderita Thalassemia dalam hal

peningkatan efisiensi penetapan cacat molekul pada penyakit Thalassemia. Juga telah

dilakukan pengembangan antibody spesifik, diagnosis kelainan hemoglobin di

Indonesia.

Page 49: pembangunan pendidikan

Program RUKK ditujukan sebagai upaya untuk pengembangan ilmu-ilmu

kemasyarakatan dan kemanusiaan. Topik riset diprioritaskan pada pengembangan ide-

ide baru dalam bidang kemasyarakatan, verifikasi teori dan konsep-konsep baru untuk

mengkritisi fenomena kemasyarakatan dan kemanusiaan di Indonesia. Cakupan topik

RUKK meliputi bidang ekonomi, demografi, ketenagakerjaan, filsafat, sastra dan

budaya, politik, hukum, pemerintahan dan komunikasi, sosiologi, antropologi dan

sejarah, serta bidang agama. Hasil yang didapat mengidentifikasikan kurangnya minat

peneliti dalam bidang sosial, khususnya dalam pengembangan teori, konsep dan

metodologi.

Program insentif lainnya dalam rangka penguatan Hak Kekayaan Intelektual

(HKI) adalah pengembangan Sentra HKI. Melalui program Sentra HKI para

intelektual difasilitasi dalam mengurus hak eksklusifnya mulai dari awal hingga akhir

proses. Kegiatan lain adalah insentif Oleh Paten yang merupakan program insentif

untuk membantu peneliti, perekayasa, dan peneliti dan rekayasa (litkayasa) yang

temuannya mempunyai nilai potensial dan kekayaan intelektualnya dapat dilindungi.

Pemasyarakatan HKI juga dilakukan melalui pembentukan tiga kelompok kerja

HKI yaitu Pokja I membidangi Disain Industri, Indikasi Geografis dan Rahasia

Dagang; Pokja II membidangi Paten, Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Merek; serta

Pokja III membidangi Pengetahuan Tradisional dan Hak Cipta. Untuk memberikan

peluang bagi penemu dalam negeri dan membantu para pemilik HKI khususnya hak

paten juga telah dikembangkan insentif Asuransi Teknologi.

Sementara itu dalam rangka penguatan kompetensi lembaga litbang telah disusun

pedoman sistem dan prosedur penyusunan program, diterbitkannya buku keahlian dan

sistem informasi interaktif SDM dan penambahan porsi pakar eksternal dalam

penetapan kegiatan riset. Dalam rangka memperoleh informasi yang rasional dan

obyektif tentang data SDM Iptek Daerah dilakukan studi potensi SDM daerah untuk

pemberdayaan iptek. Hasil studi mengidentifikasikan kecilnya pergeseran tenga kerja

dari sektor pertanian ke sektor industri yang disebabkan kurangnya keterampilan

angkatan kerja pertanian yang dapat dimanfaatkan langsung oleh sektor industri dan

jasa. Dengan demikian hasil temuan dan produknya akan memenuhi keinginan

intelektual dan pasar. Selain itu juga telah dialakukan penyusunan kriteria akreditasi

Page 50: pembangunan pendidikan

pranata penelitian dan pengembangan di lembaga litbang pemerintah dan perguruan

tinggi. Dari program ini telah dihasilkan perangkat kriteria pengukuran untuk

menentukan klasifikasi dan tingkat akreditasi lembaga, melakukan penilaian mutu dan

efisisensi lembaga sebagai dasar penentuan akreditasi dan langkah-langkah

pembinaannya.

Dalam upaya meningkatkan peran kajian iptek dalam pembangunan telah

dilakukan kajian-kajian unggulan sesuai kebutuhan masyarakat. Kajian tersebut

mencakup berbagai bidang ilmu termasuk bidang pangan dan energi serta sosial

budaya dan ekonomi. Dalam bidang energi telah dilakukan pengembangan teknologi

energi alternatif dan daur bahan nuklir serta pengembangan iptek produksi isotop,

radiofarmaka dan bahan baru untuk mendukung pengembangan teknologi nuklir di

industri, serta diperolehnya paket teknologi proses pengelolaan limbah nuklir.

Hal lain yang telah dicapai dalam program ini adalah tersedianya laporan ilmiah

penelitian bidang mitigasi bencana, meningkatnya kemampuan rancang bangun

prototipe wahana dirgantara. Sedangkan dalam rangka penguatan budaya iptek

masyarakat telah dilakukan kajian tentang kebijakan local content, peningkatan

kapabilitas industri daerah untuk adopsi iptek, pengembangan kemitraan dalam adopsi

iptek dan pembudayaan teknologi.

Penelitian dan pengembangan teknologi dirgantara meliputi i) rancang bangun

prototipe sistem wahana dirgantara dan pemanfaatannya untuk keperluan ilmiah dan

pertahanan, ii) rancang bangun teknologi satelit mikro Indonesia, iii) pengembangan

sistem konversi energi angin. Di bidang sains, pengkajian dan informasi dirgantara

dilakukan pengkajian media dirgantara (atmosfer sampai matahari); pemodelan dan

prediksi iklim; serta penelitian ionosfer untuk keperluan komunikasi radio, navigasi

maupun penentuan posisi berbasis satelit.

Dibidang standarisasi telah dilakukan beragam riset terkait, penguatan kapasitas,

serta peningkatan kompetensi lembaga inspeksi dan laboratorium melalui program

Standarisasi Laboratorium (stanlab). Sementara itu kegiatan penelitian di bidang

survei dan pemetaan terus dilakukan melalui penelitian astrogeodesi, geodetik,

geodinamik, termasuk penelitian survei dan pemetaan yang terkait dengan upaya

pencegahan dan penaggulangan bencana alam.

Page 51: pembangunan pendidikan

Dalam bidang pengembangan dan aplikasi riset nuklir, fokus kegiatan dilakukan

untuk bidang pangan melalui penemuan lima varietas unggul padi; bidang kesehatan

melalui pengembangan beberapa jenis radiofarmaka untuk diagnosis dan terapi

penyakit jantung, kanker tulang, penyakit hati, kanker thyroid, dan ginjal, serta

pembuatan Bank Jaringan. Selanjutnya di bidang industri manufaktur melalui

komisioning mesin berkas elektron, aplikasi radiotracer, teknologi isotop alam,

pembuatan renograph dan Distributed Control System untuk sistem produksi.

Dibidang penelitian sumberdaya alam dan energi, telah dilakukan Comprehensive

Assessment of Difference Energy Resources yang menyimpulkan bahwa PLTN secara

ekonomi dan teknologi layak dioperasikan pada tahun 2016. Disamping itu aplikasi

nuklir juga dilakukan untuk turut menjaga keselamatan lingkungan.

Disamping itu juga telah dilakukan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas)

dan penyelenggaraan Widya Karya Pangan dan Gizi sebagai salah satu kegiatan utama

dalam mendukung program Landmark iptek bidang pangan. Kegiatan ini berupaya

memformulasikan model kebijakan pangan di era otonomi daerah. Berbagai program

penelitian, pengembangan dan rekayasa iptek telah dihasilkan antara lain

pengembangan teknologi telemetri pengelolaan sumberdaya air; pengembangan

program kompetitif tematik; pengembangan potensi sumberdaya mineral, otomotif,

telekomunikasi dan informatika; konsep bioregional dan optimalisasi sumberdaya

hayati savana; eksplorasi mikroba endofitik; pengembangan neuro science; dan

prototype mobil listrik ramah lingkungan (marlip).

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan program ini adalah belum

adanya kebijakan yang terintegrasi antara kebijakan iptek dengan sektor produksi

sehingga mengakibatkan tidak fokusnya kegiatan penelitan dan pengembangan yang

dilakukan oleh lembaga litbang serta tidak optimalnya pengembangan sumberdaya

litbang. Akibatnya masih ditemui inefisiensi dalam pelaksanaan penelitian dalam

bentuk tumpang tindih topik penelitian serta inefisiensi dalam pemanfaatan

sumberdaya litbang yang ada serta kedaluarsaan fasilitas litbang. Permasalahan lain

Page 52: pembangunan pendidikan

adalah ketidaktersediaan mekanisme intermediasi yang baik yang mampu

menjembatani antara riset dan inovasi.

Tantangan yang dihadapi adalah cepatnya laju perkembangan iptek yang

mengakibatkan ketergantungan dalam sistem inovasi. Hal ini mendorong perlunya

arah yang jelas terhadap fokus dan kualitas litbang, sesuai dengan keunggulan

komparatif yang dimiliki Hal lain yang menjadi tantangan adalah adanya keterbatasan

anggaran kegiatan iptek. Keterbatasan anggaran ini dinilai dapat mengurangi

terwujudnya peningkatan kompetensi dan kapasitas sumberdaya iptek itu sendiri.

Tantangan selanjutnya adalah rendahnya perhatian masyarakat dan pemerintah daerah

dalam memacu perkembangan, penerapan dan kualitas kegiatan riset iptek di daerah

maupun adopsinya didalam kebijakan pembangunan daerah.

iii. Tindak Lanjut

Langkah-langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan kedepan adalah membentuk

iklim yang kondusif bagi pengembangan sumberdaya litbang melalui (1)

pengembangan kelembagaan iptek untuk mengoptimalkan transaksi produk iptek; (2)

peningkatan sistem manajemen teknologi terpadu; (3) penyempurnaan sistem insentif

iptek; (4) peningkatan keterlibatan organisasi profesi ilmiah dalam perumusan

kebijakan iptek; (5) melindungi hak atas kekayaan intelektual (HKI) atas produk

litbang; (6) memberikan penghargaan inovasi ilmiah; (7) pengembangan pranata iptek

daerah; (8) reorientasi kebijakan makro dan koordinasi dengan mempertimbangkan

tingkat dari unsur-unsur teknologi, modal, informasi dan birokrasi. Selain itu juga

dlakukan upaya peningkatan dayaguna hasil-hasil penelitian diberbagai bidang

pembangunan, dilakukan berbagai penelitian sebagai masukan untuk penyusunan

kebijakan pemerintah di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, hukum dan lain-

lain. Dalam rangka pemfokusan program penelitian dan pengembangan akan

dilakukan (1) penelitian dan pengembangan yang ditekankan pada enam bidang fokus,

yakni bidang pertanian dan pangan, energi, kelautan, kebumian dan dirgantara,

bioteknologi, manufaktur, dan informatika; (2) penelitian dan pengembangan program

tematis unggulan dan strategis dengan mekanisme kompetitif; (3) pengembangan

teknologi proses untuk mendukung peningkatan produksi. Sedangkan untuk

Page 53: pembangunan pendidikan

meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya iptek dilakukan melalui: (1)

optimalisasi dan mobilisai potensi SDM iptek dalam melaksanakan kegiatan litbang;

(2) peningkatan kualitas dan kuantitas penelitian; dan (3) Melakukan pelatihan bagi

para peneliti. Dalam rangka memperkuat kompetensi inti lembaga riset, ilmu

pengetahuan dan teknologi (riptek), dilakukan kegiatan pokok: (1) penyusunan peta

potensi dan kemampuan pusat-pusat penelitian dan pengembangan; (2) peningkatan

jumlah kerjasama lembaga riptek dengan departemen teknis, dunia usaha, dan

lembaga riset luar negeri; serta (3) mendorong kegiatan yang memanfaatkan sarana

dan prasarana iptek secara optimal.

7. Program Peningkatan Kemandirian dan Keunggulan Iptek

a. Tujuan, Sasaran dan Arah Kebijakan

Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pelayanan teknologi lembaga-

lembaga litbang, Metrology, Standardization, Testing and Quality (MSTQ), yang

ditekankan untuk mendukung daya saing dunia usaha dan mendorong pelaksanaan litbang

di dan oleh dunia usaha.

Sasaran yang akan dicapai adalah meningkatnya kemandirian pelayanan teknologi dan

keunggulan inovasi teknologi bangsa sendiri agar dapat meningkatkan daya saing dunia

usaha dan masyarakat.

Arah kebijakan yang telah dilakukan untuk mencapai indikator kinerja yang telah

ditetapkan adalah mengembangkan pranata iptek untuk mendukung sistem manajemen

pelayanan iptek melalui strategi pelayanan iptek yang efektif serta pengembangan sarana

dan prasarana iptek untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya iptek.

b. Pelaksanaan

i. Hasil yang Dicapai

Hasil kegiatan yang telah dicapai adalah ditetapkannya UU No 18/2002 tentang

Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi (Sisnas P3 Iptek). Undang-undang ini sangat fundamental untuk

mendorong keterlibatan semua unsur masyarakat dalam pengembangan kemampuan

iptek serta memberikan landasan bagi pemerintah untuk menstimulasi

Page 54: pembangunan pendidikan

perkembangannya. Pengembangan kemampuan iptek tidak hanya dilakukan oleh

lembaga litbang pemerintah dan lembaga pendidikan, tetapi juga oleh pihak swasta

juga masyarakat, dimana pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator. Peraturan

tersebut tertuang dalam bentuk pasal khusus (lex spesialis) dimana saat ini konsep

Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang menjabarkan undang-undang tersebut

sedang dalam tahap perumusan akhir. Dengan adanya peraturan tersebut

dimungkinkan setiap lembaga litbang dan perguruan tinggi dapat mengelola

pendapatan dari hasil layanan jasa (alih teknologi) serta membentuk unit kerja yang

berfungsi untuk melakukan proses alih teknologi dengan pola manajemen yang lebih

fleksibel.

Hasil lain yang telah dicapai adalah mulai ditetapkannya indikator kegiatan riptek

secara jelas, serta tersusunnya peraturan teknis dan standar mutu lembaga riptek

sebagai basis untuk lebih meningkatkan keberadaan dan kemampuan lembaga litbang

dalam mendorong peningkatan daya saing produk nasional.

Dalam rangka meningkatkan kemitraan dan jaringan kelembagaan iptek dengan

dunia usaha dan masyarakat serta mampu memperkuat proses technology chain dalam

pembentukan keunggulan dan daya saing dilakukan berbagai kegiatan antara lain

pengembangan kerjasama riptek, reposisi Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi (Puspiptek), pengembangan Dewan Riset Daerah (DRD), dan penyusunan

informasi kapabilitas lembaga iptek untuk Agenda Riset Nasional. Pengembangan

kerjasama riptek dilakukan dalam upaya meningkatkan koordinasi dan saling

pemahaman untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas pengembangan dan

pendayagunaan riptek nasional. Pengembangan kerjasama riptek ini dilakukan oleh

lembaga iptek melalui kerjasama dalam negeri dan luar negeri yaitu dengan berbagai

lembaga pemerintah pusat dan daerah, perguruan tinggi dan dunia usaha. Sedangkan

kerjasama luar negeri dalam bentuk kerjasama bilateral maupun multilateral

diantaranya dengan Gerakan Non Blok, Asean COST (Commitee on Science and

Technology), China, India, Rusia, Italia, Australia dan Jerman.

Rencana reposisi Puspiptek merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan

teknologi yang dimiliki oleh pusat-pusat penelitian dan teknologi di lingkungan

Puspiptek sehingga dapat menumbuhkan daya dukung bagi sektor produksi. Melalui

Page 55: pembangunan pendidikan

reposisi ini diharapkan Puspiptek memiliki fungsi kelembagaan yang dapat mengkaji

prospek ekonomi dari hasil-hasil penelitian dan membentuknya ke dalam paket-paket

teknologi produksi yang siap diadopsi oleh pelaku bisnis. Dalam kaitan itu telah

dibentuk Kerangka Kebijakan Reposisi Puspiptek yang mencakup tiga strategi pokok

yaitu: memperkuat keterkaitan dengan sektor produksi, memperkuat kemitraan dengan

lembaga penelitian dan perguruan tinggi, optimalisasi fungsi serta pemanfaatan

kawasan dan prasarana yang ada di Puspiptek untuk memfasilitasi kedua strategi di

atas.

Penyusunan Informasi Kapabilitas Lembaga Iptek untuk Agenda Riset Nasional

(ARN) merupakan analitis dan pemetaan kelembagaan iptek untuk mendukung proses

perumusan ARN. Kegiatan ini diterapkan dalam bentuk program-program kegiatan

yang mendukung tercapainya pemberdayaan SDM yang unggul dan mandiri,

pengembangan kelembagaan Ripteknas, dan pengembangan jaringan kemitraan antar

lembaga dalam pelaksanaan penelitian nasional.

Dalam rangka keterpaduan kebijakan Iptek Nasional telah dikembangkan

berbagai model pendekatan terpadu antara lain pembentukan Forum Perencanaan

Pembangunan Iptek, pengembangan sistem informasi program riptek, peningkatan

sinergi pelaksanaan program riset unggulan, penyelarasan perencanaan program

terintegrasi antara pusat, daerah, perguruan tinggi dan lembaga masyarakat, dan

identifikasi penentuan prioritas program penelitian.

Selain itu dalam rangka kemandirian pelayanan teknologi telah dibentuk Forum

Tekno Bisnis yang diselenggarakan oleh lembaga ristek bekerjasama dengan

Pemerintah Daerah Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Juga telah dilakukan

pemasyarakatan HKI dalam membangun jaringan antara penemu dan industri,

tersedianya rekomendasi serta konsep pengembangan Pusat-pusat Bisnis dan

Teknologi (Business Technology Centre), terselesaikannya konsep pengembangan

SDM Iptek di pedesaan serta kajian relevansi kurikulum sekolah umum terhadap

kebutuhan pengembangan Iptek masa depan serta terlaksananya program insentif yang

ditujukan untuk melakukan pendirian penguatan sentra promosi dan pemasaran iptek

di lembaga-lembaga litbangyasa dalam rangka pembentukan manajemen promosi dan

pemasaran hasil riptek.

Page 56: pembangunan pendidikan

Untuk pembinaan kelembagaan iptek yang mendukung kebijakan dan

pembangunan kedirgantaraan yang berkelanjutan, telah dilakukan pengembangan

kebijakan kedirgantaraan nasional, untuk mendapatkan kepastian hukum dalam

pembangunan kedirgantaraan nasional dan melindungi kepentingan nasional dalam

forum internasional. Dikembangkannya bisnis dirgantara yang arahnya dapat

meningkatkan pertumbuhan industri dan komersialisasi sebagai dampak dari produk

dan jasa kedirgantaraan.

Dalam bidang aplikasi iptek untuk kegiatan survei dan pemetaan telah dilakukan

penentuan jaring kontrol horizontal nasional, jaring kontrol vertikal nasional, jaring

kontrol gaya berat, jaring stasiun pasang surut dan jaring stasiun tetap Global

Positioning System (GPS), pengadaan Citra Landsat dan foto udara untuk seluruh

wilayah Indonesia. Sementara itu terkait dengan kelembagaan iptek berbasis nuklir

telah dihasilkan 5 Peraturan Pemerintah, 6 Keppres yang mengatur pemanfaatan

tenaga nuklir di Indonesia.

ii. Permasalahan dan Tantangan

Permasalahan dalam pelaksanaan program ini adalah belum adanya kebijakan

yang terintegrasi yang mengkaitkan antar berbagai sektor pembangunan sehingga

memungkinkan pelaksanaan program dapat secara simultan dilakukan, dan belum

adanya suatu instrumen yang secara reguler dapat menggambarkan capaian serta

perkembangan iptek nasional dalam bentuk yang komprehensif dan kuantitatif.

Berbagai data dan indikator yang ada saat ini masih bersifat parsial dan lebih pada

kebutuhan internal lembaga litbang yang bersangkutan. Permasalahan lainnya adalah

terkait dengan masalah in-fleksibilitas dalam pembiayaan kegiatan iptek, khususnya

yang bersumber dari dana pemerintah yang bersifat tahunan dan bersifat swakelola.

Penghargaan pemerintah terhadap ara peneliti yang berprestasi dinilai masih belum

memadai.

Tantangan yang dihadapi berupa pesatnya permintaan standarisasi produk-produk

perdagangan, terutama komoditas ekspor. Pada saat ini umumnya usaha kecil

menengah di Indonesia belum memiliki kemampuan teknologi dan manejemen yang

memadai sehingga kesulitan untuk memenuhi persyaratan QCD (Quality, Cost and

Page 57: pembangunan pendidikan

Delivery), untuk itu aktifitas riset dibidang standarisasi produk, penyediaan fasilitas

uji, peningkatan asistensi teknis menjadi tantangan yang perlu terus diantisipasi.

Selain itu tantangan lainnya adalah perlunya pengembangan sistem pranata iptek yang

kondusif dan terpadu, sistem kelembagaan yang efektif dan efisien dalam memacu

peningkatan kualitas kegiatan iptek dan pemanfaatannya bagi masyarakat.

iii. Tindak Lanjut

Langkah-langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan adalah memperkuat landasan

dan arah serta prioritas pembangunan iptek dalam bentuk penyusunan rencana jangka

menengah pembangunan nasional iptek. Langkah lebih lanjut yang dilakukan dalam

program ini adalah penyempurnaan sistem dan pengelolaan riset dalam bentuk (1)

penetapan program prioritas (priority setting), (2) penggunaan mekanisme kompetitif

dalam penetapan kegiatan riset, (3) penentuan satuan target (deliverable) dalam

kegiatan riset sebagai alat ukur pencapaian, (4) pengembangan instrumen analisis

perkembangan teknologi dalam bentuk statistik iptek dan indikator iptek, dan (5)

menyusun peraturan teknis dan standar mutu lembaga (struktur, personil, dan

manajemen) riptek. Hal lain yang akan dilaksanakan adalah penerapan konsep

pembiayaan riset berupa (1) pola pembiayaan riset sistem paket, dengan model

specific block grant, (2) penyempurnaan standar unit cost penelitian, dan (3)

perumusan skema pembiayaan riset multiyears commitment fund.