Upload
cynthia-anggraini-putri
View
36
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
PEMICU 1
1. Secara garis besar, faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya celah palatum dibagi dalam 2 kelompok, yaitu:
Herediter
Faktor herediter dianggap sebagai faktor yang sudah dapat dipastikan sebagai penyebab terjadinya celah bibir. Brophy (1971) mencatat beberapa kasus anggota keluarga yang mempunyai kelainan wajah dan palatal yang terdapat pada beberapa generasi. Kelainan ini tidak selalu serupa, tetapi bervariasi antara celah bibir unilateral dan bilateral. Pada beberapa contoh, tampaknya mengikuti hukum Mendel dan pada kasus lainnya distribusi kelainan itu tidak beraturan. Schroder mengatakan bahwa 75% dari faktor keturunan yang menimbulkan celah bibir adalah resesif dan hanya 25% bersifat dominan.
Patten menyatakan bahwa pola penurunan herediter adalah sebagai berikut:
Mutasi gen
Ditemukan sejumlah sindroma/gejala yang diturunkan menurut hukum Mendel, baik secara otosomal dominan, resesif, maupun X-linked. Pada otosomal dominan, orangtua yang mempunyai kelainan ini menghasilkan anak dengan kelainan yang sama, sedangkan pada otosomal resesif kedua orangtua normal, tetapi sebagai pembawa gen abnormal. Pada kasus terkait X (X-linked), wanita dengan gen abnormal tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan sedangkan pada pria dengan gen abnormal menunjukkan kelainan ini (Albery, 1986).
Kelainan kromosom
Celah bibir terjadi sebagai suatu ekspresi bermacam-macam sindroma akibat penyimpangan dari kromosom, misalnya Trisomi 18 dan Trisomi 13 (Siggers, 1978).
Faktor lingkungan
Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan embrio antara lain:
Faktor usia ibu
Menurut Siggers, dengan bertambahnya usia ibu waktu hamil, bertambah pula risiko dari ketidaksempurnaan pembelahan meiosis yang akan menyebabkan bayi dengan kelainan trisomi. Peningkatan risiko ini diduga sebagai akibat bertambahnya umur sel telur yang dibuahi. Wanita dilahirkan dengan kira-kira 400.000 gamet dan tidak memproduksi gamet-gamet baru selama hidupnya. Oleh karena itu, jika seorang wanita berumur 35 tahun maka sel-sel telurnya juga berusia 35 tahun (Pai, 1987). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh tim dari Kanada mengatakan bahwa risiko mengandung anak dengan cacat bawaan tidak bertambah besar sesuai dengan bertambahnya usia ibu (Margretta, 1991).
Obat-obatan
Pemberian obat pada wanita hamil menimbulkan persoalan bagi seorang dokter. Meskipun obat yang digunakan selama kehamilan terutama untuk mengobati penyakit ibu, tetapi hampir selalu janin yang tumbuh akan menjadi penerima obat (Santoso, 1985). Menurut Schardein (1985), penggunaan asetosal atau aspirin sebagai obat analgetik pada masa kehamilan
trimeseter pertama dapat menyebabkan terjadinya celah bibir. Beberapa obat yang sebaiknya tidak dikonsumsi selama kehamilan adalah rifampisin, fenasetin, sulfonamid, aminoglikosid, indometasin, asam flufetamat, ibuprofen, dan penisilamin (Santoso, 1985).
Beberapa obat antihistamin yang digunakan sebagai anti emetik selama kehamilan dapat menyebabkan terjadinya celah langit-langit (Soekandar, 1990). Obat-obat antineoplastik terbukti menyebabkan cacat ini pada binatang. Walaupun pada manusia belum terbukti, sebaiknya obat-obat ini tidak diberikan pada kehamilan (Gan S, 1987).
Nutrisi
Insidensi kasus celah bibir dan celah langit-langit lebih tinggi pada masyarakat golongan ekonomi lemah. Penyebabnya diduga adalah kekurangan nutrisi (Sastrawinata, 1990).
Daya pembentukan embrio yang menurun
Celah bibir sering ditemukan pada anak-anak yang dilahirkan oleh ibu yang mempunyai anak banyak
Penyakit infeksi
Beberapa ahli menyatakan bahwa penyakit sifilis dan virus rubella dapat menyebabkan terjadinya celah bibir dan langit-langit.
Radiasi
Efek teratogenik sinar pengion telah diketahui dan diakui dapat mengakibatkan timbulnya celah bibir dan celah langit-langit. Efek genetik yaitu efek yang mengenai alat-alat reproduksi yang akibatnya diturunkan pada generasi selanjutnya, dapat terjadi bila dosis penyinaran tidak menyebabkan kemandulan. Efek genetik tidak mengenal ambang dosis. Dosis yang kecil pun dapat menimbulkan mutasi gen. Makin tinggi dosis makin besar kemungkinannya.
Stres emosional
Pada keadaan tersebut, korteks adrenal menghasilkan hidrokortison yang berlebihan. Pada binatang percobaan, telah dibuktikan bahwa pemberian hidrokortison yang tinggi pada keadaan hamil menyebabkan celah bibir atau celah langit-langit.
Trauma, terutama pada kehamilan trimester pertama
TAMBAHAN
ETIOLOGI
Pada tahun 1963, Falconer mengemukakan suatu teori bahwa etiologi palatoschisis bersifat multifaktorial dimana pembentukan celah pada palatum berhubungan dengan faktor herediter dan faktor lingkungan yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan processus.4
1. Faktor herediter
Sekitar 25% pasien yang menderita palatoschisis memiliki riwayat keluarga yang menderita penyakit yang sama. Orang tua dengan palatoschisis mempunyai resiko lebih tinggi untuk memiliki anak dengan palatoschisis. Jika hanya salah satu orang tua yang menderita palatoschisis, maka kemungkinan anaknya menderita palatoschisis adalah sekitar 4%. Jika kedua orangtuanya tidak menderita palatoschisis, tetapi memiliki anak tunggal dengan
palatoschisis maka resiko generasi berikutnya menderita penyakit yang sama juga sekitar 4%. Dugaan mengenai hal ini ditunjang kenyataan, telah berhasil diisolasi suatu X-linked gen, yaitu Xq13-21 pada lokus 6p24.3 pada pasien sumbing bibir dan langitan. Kenyataan lain yang menunjang, bahwa demikian banyak kelainan / sindrom disertai celah bibir dan langitan (khususnya jenis bilateral), melibatkan anomali skeletal, maupun defek lahir lainnya.
2. Faktor lingkungan
Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan, seperti fenitoin, retinoid (golongan vitamin A), dan steroid beresiko menimbulkan palatoschisis pada bayi. Infeksi selama kehamilan semester pertama seperti infeksi rubella dan cytomegalovirus, dihubungkan dengan terbentuknya celah. Alkohol, keadaan yang menyebabkan hipoksia, merokok, dan defisiensi makanan (seperti defisiensi asam folat) dapat menyebabkan palatoschisis.3,4,10
PATOFISIOLOGI
Pasien dengan palatoschisis mengalami gangguan perkembangan wajah, inkompetensi velopharyngeal, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan fungsi tuba eustachi. Kesemuanya memberikan gejala patologis mencakup kesulitan dalam intake makanan dan nutrisi, infeksi telinga tengah yang rekuren, ketulian, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan pada pertumbuhan wajah. Adanya hubungan antara rongga mulut dan hidung menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengisap pada bayi.3
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga yang rekuren telah dihubungkan dengan timbulnya ketulian yang memperburuk cara bicara pada pasien dengan palatoschisis. Mekanisme velopharyngeal yang utuh penting dalam menghasilkan suara non nasal dan sebagai modulator aliran udara dalam pembentukan fonem lainnya yang membutuhkan nasal coupling. (Manipulasi anatomi yang kompleks dan sulit dari mekanisme ini, jika tidak sukses dilakukan pada awal perkembangan bicara, dapat menyebabkan berkurangnya pengucapan normal).3
b. Celah Palatum
Disebabkan karena pertumbuhan lapisan palatum yang tidak adekuat, peninggian lapisan palatum yang tidak tepat, kepala janin yang sangat lebar, kegagalan fusi lapisan palatum, atau dapat juga terjadi rupture setelah fusi.
2. Palatoschisis dapat berbentuk sebagai palatoschisis tanpa labioschisis atau disertai dengan labioschisis. Palatoschisis sendiri dapat diklasifikasikan lebih jauh sebagai celah hanya pada palatum molle, atau hanya berupa celah pada submukosa. Celah pada keseluruhan palatum terbagi atas dua yaitu komplit (total), yang mencakup palatum durum dan palatum molle, dimulai dari foramen insisivum ke posterior, dan inkomplit (subtotal). Palatoschisis juga dapat bersifat unilateral atau bilateral.
Kelainan celah palatum dibagi dua:
1. Complete cleft palate, yaitu celah langit-langit lengkap dimana kelainan yang terdapat pada langit-langit juga linggir alveolar dan bibir terkena baik unilateral maupun bilateral.
2. Incomplete cleft palate, yaitu celah langit-langit tidak lengkap. Kelainan bentuk hanya terjadi pada palatum durum maupun palatum mole.
3.
4.
5. bayi dengan celah bibir/palatum dan bayi dengan celah palatum tersendiri biasanya memiliki masalah. Celah pada atap mulut membuat bayi kesulitan menghisap cukup susu melalui puting. Beberapa bayi juga memiliki masalah dengan tersumbat, tercekik atau susu keluar dari hidung ketika diberi makan. Bayi dengan celah palatum kecil masih bisa menyusu, tapi jika belahannya besar maka akan sulit menghisap dengan lidah dan tidak bisa menjaga puting tetap berada di rongga mulut . Akibatnya ASI akan mengalir keluar, masuk ke hidung dan telinga. Selain itu bayi tersebut sering tersedak karena terbukanya respiratory tract. 4,5
KOMPLIKASI
Anak dengan palatoschisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli, gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan gangguan psikososial. 13
Komplikasi post operatif yang biasa timbul yakni:
a. Obstruksi jalan nafas
Seperti disebutkan sebelumnya, obstruksi jalan nafas post operatif merupakan komplikasi yang paling penting pada periode segera setelah dilakukan operasi. Keadaan ini timbul sebagai hasil dari prolaps dari lidah ke orofaring saat pasien masih ditidurkan oleh ahli anastesi. Penempatan Intraoperatif dari traksi sutura lidah membantu dalam menangani kondisi ini. Obstruksi jalan nafas bisa juga menjadi masalah yang berlarut-larut karena perubahan pada dinamika jalan nafas, terutama pada anak-anak dengan madibula yang kecil. Pada beberapa instansi, pembuatan dan pemliharaan dari trakeotomi perlu sampai perbaikan palatum telah sempurna
b. Perdarahan
Perdarahan intraoperatif merupakan komplikasi yang potensil terjadi. Karena kayanya darah yang diberikan pada paltum, Intraoperative hemorrhage is a potential complication. Because of the rich blood supply to the palate, perdarahan yang berarti mengharukan untuk dilakukannya transfuse. Hal ini bisa berbahaya pada bayi, yakni pada meraka yang total volume darahnya rendah. Penilaian preoperative dari jumlah hemoglobin dan hitung trombosit sangat penting. Injeksi epinefrin sebelum di lakukan insisi dan penggunaa intraoperatif dari oxymetazoline hydrochloride capat mengurangi kehilangan darah yang bisa terjadi. Untuk menjaga dari kehilangan darah post operatif, area palatum yang mengandung mucosa seharusnya diberikan avitene atau agen hemostatik lainnya.
c. Fistel palatum
Fistel palatum bisa timbul sebagai komplikasi pada periode segera setelah dilakukan operasi, atau hal tersebut dapat menjadi permasalahan yang tertunda. Suatu fistel pada palatum dapat timbul dimanapun sepanjang sisi cleft. Insidennya telah dilapornya cukup tinggi yakni sebanyak 34%, dan berat-ringannya cleft telah dikemukanan bahwa hal tersebut berhubungan dengan resiko timbulnya fistula. Fistel cleft palate post operatif bisa ditangani dengan dua cara. Pada pasien yang tanpa disertai dengan gejala, prosthesis gigi bisa digunakan untuk
menutup defek yang ada dengan hasil yang baik. Pasien dengan gejala diharuskan untuk terapi pembedahan. Sedikitnya supply darah, terutama supply ke anterior merupakan alasan utama gagalnya penutupan dari fistula. Oleh karena itu, penutupan fistula anterior maupun posterior yang persisten seharusnya di coba tidak lebih dari 6-12 bulan setelah operasi, ketika supply darah telah memiliki kesempatan untuk mengstabilkan dirinya. Saat ini, banyak centre menunggu sampai pasien menjadi lebih tua (paling tidak 10 tahun) sebelum mencoba untuk memperbaiki fistula. Jika metode penutupan sederhana gagal, flap jaringan seperti flap lidah anterior bisa dibutuhkan untuk melakukan penutupan.
d. Midface abnormalities
Penanganan Cleft palate pada beberapa instansi telah fokus pada intervensi pembedahan terlebih dahulu. Salah satu efek negatifnya adalah retriksi dari pertumbuhan maksilla pada beberapa persen pasien. Palatum yang diperbaiki pada usia dini bisa menyebabkan berkurangnya demensi anterior dan posteriornya, yakni penyempitan batang gigi, atau tingginya yang abnormal. Kontrofersi yang cukup besar ada pada topik ini karena penyebab dari hipoplasia, apakah hal tersebut merupakan perbaikan ataupun efek dari cleft tersebut pada pertumbuhan primer dan sekunder pada wajah, ini tidak jelas. Sebanyak 25% pasien dengan cleft palate unilateral yang telah dilakukan perbaikan bisa membutuhkan bedah orthognathic. LeFort I osteotomies dapat digunakan untuk memperbaiki hipoplasia midface yang menghasilkan suatu maloklusi dan deformitas dagu.3
e. Wound expansion
Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih. Bila hal ini terjadi, anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari rekonstruksi langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan jaringan parut dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.
f. Wound infection
Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena wajah memiliki pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat kontaminasi pascaoperasi, trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pascaoperasi, dan inflamasi lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.
g. Malposisi Premaksilar
Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat terjadi setelah operasi.
h. Whistle deformity
Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin berhubungan dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat dihindari dengan penggunaan total dari segmen lateral otot orbikularis.
i. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir
Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari jarak anatomis yang penting lengkung.3
6.
7.
8. Usia optimal dan syarat untuk rekonstruksi labioplasti:
Waktu pembedahan yang optimum, menurut Wilhemsen & Musgrave (1977), mengacu
pada "The Rule of Tens", yaitu berat badan bayi mencapai 10 pound (4,5 kg), jumlah
lekosit di bawah 10.000 per milimeter kubik, HB di atas 10 gr%, dan umur di atas 10
minggu. Sedangkan menurut Peterson et.al (1993), rekonstruksi celah bibir dikerjakan
sedini mungkin.
Dalam hal persiapan operasi, bayi / anak akan dievaluasi untuk menilai kemampuan dan
daya tahan tubuhnya terhadap tindakan operasi.
Prasyarat yang lazim digunakan untuk menyatakan kesiapan atau kelayakan seorang bayi /
anak boleh dioperasi adalah Ralph Millard’s rule of ten : yaitu berat badan anak lebih dari
10 pounds atau sekitar 5 kg atau usia bayi / anak lebih dari 10 minggu, kadar Hemoglobin
darah lebih dari 10 gr % menunjukkan kemampuan oksigenasi anak baik, serta
hitung jumlah sel darah putih kurang dari 10.000 per mL menunjukkan anak dalam daya
tahan tubuh baik. Bilamana prasyarat ini terpenuhi, maka anak akan terjamin suatu operasi
yang aman, dengan risiko pembiusan dan risiko pembedahan yang minimal serta prediksi
kesembuhan yang baik.
9. Resiko yg terjadi jika pembedahan dilakukan sebelum atau sesudah usia optimal:
Pada labioplasti jika dilakukan dibawah usia optimal maka akan beresiko tinggi, karena
dibawah 10 minggu masih terlalu rentan jika dilakukan anastesi dan pembedahan. Dan jika
dilakukan diatas usia optimal maka skar bekas operasi akan tampak lebih jelas. Jika koreksi
anatomi bibir sudah sempurna pada usia 6 bulan, pengucapan huruf bibir B, F, M, P, V, W
tidak terganggu, kalau melewati usia 2 tahun maka resiko pengucapan akan terganggu.
Pembedahan palatoplasti jika dilakukan dibawah usia optimal akan menyebabkan
pertumbuhan rahang terganggu, yaitu pada fossa canina. Dan juga dapat merusak benih gigi.
Selain itu jika dilakukan diatas usia optimal, waktu anak mulai berbicara pada usia 2 tahun
atau lebih sehingga dapat menyebabkan tidak terjadi perubahan suara karena anak sudah
terbiasa dengan nada suara sengau sehingga dibutuhkan speech therapist yang lebih sulit. Dan
jika masih terdapat celah sisa pada operasi sebelumnya dapat dilakukan operasi kembali
sebelum usia anak mencapai 2 tahun.
10.
TAMBAHAN
PENATALAKSANAAN
Penanganan kecacatan pada celah bibir dan celah langit-langit tidaklah sederhana,
melibatkan berbagai unsur antara lain, ahli Bedah Plastik, ahli ortodonti, ahli THT untuk
mencegah menangani timbulnya otitis media dan kontrol pendengaran, dan anestesiologis.
Speech therapist untuk fungsi bicara. Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpang-
tindih tapi saling saling melengkapi dalam menangani penderita CLP secara paripurna. 16
1. Terapi Non-bedah
Palatoschisis merupakan suatu masalah pembedahan, sehingga tidak ada terapi medis
khusus untuk keadaan ini. Akan tetapi, komplikasi dari palatoschisis yakni permasalahan
dari intake makanan, obstruksi jalan nafas, dan otitis media membutuhkan penanganan
medis terlebih dahulu sebelum diperbaiki.3
Perawatan Umum Pada Cleft Palatum
Pada periode neonatal beberapa hal yang ditekankan dalam pengobatan pada bayi dengan
cleft palate yakni:
1. Intake makanan
Intake makanan pada anak-anak dengan cleft palate biasanya mengalami kesulitan karena
ketidakmampuan untuk menghisap, meskipun bayi tersebut dapat melakukan gerakan
menghisap. Kemampuan menelan seharusnya tidak berpengaruh, nutrisi yang adekuat
mungkin bisa diberikan bila susu dan makanan lunak jika lewat bagian posterior dari
cavum oris. pada bayi yang masih disusui, sebaiknya susu diberikan melalui alat lain/ dot
khusus yang tidak perlu dihisap oleh bayi, dimana ketika dibalik susu dapat memancar
keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat
pasien menjadi tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan nutrisi menjadi tidak
cukup. Botol susu dibuatkan lubang yang besar sehingga susu dapat mengalir ke dalam
bagian belakang mulut dan mencegah regurgitasi ke hidung. Pada usia 1-2 minggu dapat
dipasangkan obturator untuk menutup celah pada palatum, agar dapat menghisap susu,
atau dengan sendok dengan posisi setengah duduk untuk mencegah susu melewati langit-
langit yang terbelah atau memakai dot lubang kearah bawah ataupun dengan memakai dot
yang memiliki selang yang panjang untuk mencegah aspirasi. (5)
2. Pemeliharaan jalan nafas
Pernafasan dapat menjadi masalah anak dengan cleft, terutama jika dagu dengan retroposisi
(dagu pendek, mikrognatik, rahang rendah (undershot jaw), fungsi muskulus genioglossus
hilang dan lidah jatuh kebelakang, sehingga menyebabkan obstruksi parsial atau total saat
inspirasi (The Pierre Robin Sindrom)
3. Gangguan telinga tengah
Otitis media merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada cleft palate dan sering terjadi
pada anak-anak yang tidak dioperasi, sehingga otitis supuratif rekuren sering menjadi
masalah. Komplikasi primer dari efusi telinga tengah yang menetap adalah hilangnya
pendengaran. Masalah ini harus mendapat perhatian yang serius sehingga komplikasi
hilangnya pendengaran tidak terjadi, terutama pada anak yang mempunyai resiko
mengalami gangguan bicara karena cleft palatum. Pengobatan yang paling utama adalah
insisi untuk ventilasi dari telinga tengah sehingga masalah gangguan bicara karena tuli
konduktif dapat dicegah.(5)
2. Terapi bedah
Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus emergensi,
dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan memberikan hasil fungsi
bicara yang optimal karena memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang
pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian
soft palate dapat berfungsi dengan baik.
Ada beberapa teknik dasar pembedahan yang bisa digunakan untuk memperbaiki celah
palatum, yaitu:
1. Teknik von Langenbeck
Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh von Langenbeck yang merupakan teknik
operasi tertua yang masih digunakan sampai saat ini. Teknik ini menggunakan teknik flap
bipedikel mukoperiosteal pada palatum durum dan palatum molle. Untuk memperbaiki
kelainan yang ada, dasar flap ini disebelah anterior dan posterior diperluas ke medial
untuk menutup celah palatum.
2. Teknik V-Y push-back
Teknik V-Y push-back mencakup dua flap unipedikel dengan satu atau dua flap palatum
unipedikel dengan dasarnya disebelah anterior. Flap anterior dimajukan dan diputar ke
medial sedangkan flap posterior dipindahkan ke belakang dengan teknik V to Y akan
menambah panjang palatum yang diperbaiki.
3. Teknik double opposing Z-plasty
Teknik ini diperkenalkan oleh Furlow untuk memperpanjang palatum molle dan membuat
suatu fungsi dari m.levator.
4. Teknik Schweckendiek
Teknik ini diperkenalkan oleh Schweckendiek pada tahun 1950, pada teknik ini, palatum
molle ditutup (pada umur 4 bulan) dan di ikuti dengan penutupan palatum durum ketika si
anak mendekati usia 18 bulan.
5. Teknik palatoplasty two-flap
Diperkenalkan oleh Bardach dan Salyer (1984). Teknik ini mencakup pembuatan dua flap
pedikel dengan dasarnya di posterior yang meluas sampai keseluruh bagian alveolar. Flap
ini kemudian diputar dan dimajukan ke medial untuk memperbaiki kelainan yang ada.
Speech terapi mulai diperlukan setelah operasi palatoplasty yakni pada usia 2-4 tahun untuk
melatih bicara benar dan miminimalkan timbulnya suara sengau karena setelah operasi suara
sengau masih dapat terjadi suara sengau karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang
salah, sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila
setelah palatoplasty dan speech terapi masih didapatkan suara sengau maka dilakukan
pharyngoplasty untuk memperkecil suara nasal (nasal escape) biasanya dilakukan pada usia
4-6 tahun. Pada usia anak 8-9 tahun ahli ortodonti memperbaiki lengkung alveolus sebagai
persiapan tindakan alveolar bone graft dan usia 9-10 tahun spesialis bedah plastic melakukan
operasi bone graft pada celah tulang alveolus seiring pertumbuhan gigi caninus.16
Perawatan setelah dilakukan operasi, segera setelah sadar penderita diperbolehkan minum
dan makanan cair sampai tiga minggu dan selanjutnya dianjurkan makan makanan biasa.
Jaga hygiene oral bila anak sudah mengerti. Bila anak yang masih kecil, biasakan setelah
makan makanan cair dilanjutkan dengan minum air putih. Berikan antibiotik selama tiga
hari. Pada orangtua pasien juga bisa diberikan edukasi berupa, posisi tidur pasien harusnya
dimiringkan/tengkurap untuk mencegah aspirasi bila terjadi perdarahan, tidak boleh
makan/minum yang terlalu panas ataupun terlalu dingin yang akan menyebabkan
vasodilatasi dan tidak boleh menghisap /menyedot selama satu bulan post operasi untuk
menghindari jebolnya daerah post operasi.16