Upload
dewi-sinaga
View
768
Download
15
Embed Size (px)
Citation preview
PENATALAKSANAAN ABSES SUBMANDIBULA PADA
DIABETES MELITUS
Abstrak
Ada beberapa keadaan yang dapat dihubungkan dengan meningkatnya resiko terbentuknya abses
leher dalam, salah satunya adalah diabetes mellitus. Pada penderita abses leher dalam dengan
faktor penyulit ini, penatalaksanaannya harus dilakukan lebih hati-hati. Dilaporkan satu kasus
abses submandibula dengan diabetes mellitus yang tidak terkontrol, pada laki-laki berumur 50
tahun yang dalam perjalanan penyakitnya mengalami gangguan penyembuhan luka.
Penatalaksanaan bedah pada pasien ini ditunda sampai gula darahnya terkontrol, untuk mencegah
terjadinya ketoasidosis.
Abstract
There are some situations that could connected to the increase risk factor of deep neck abscess,
such as diabetes mellitus. In patient with deep neck abscess the therapy must be done carefully. 1
case of submandibula abscess with uncontrolled diabetes mellitus in 50 years old man that had
difficulty in wound healing was reported. Surgery therapy was cancelled until the blood glucose
controlled to prevent ketoacidosis.
Key words : submandibula abscess, diabetes mellitus, wound healing deformation, ketoacidosis.
Pendahuluan
Sebelum antibiotik dipakai secara luas, 70% infeksi ruang leher dalam diakibatkan oleh
penjalaran infeksi tonsil dan laring. Sekarang tonsilits, masih merupakan penyebab utama abses
leher dalam pada anak, namun secara keseluruhan penyebab tersring adalah infeksi gigi.1,2,3
beberapa keadaan dapat turut berperan pada insiden dan perjalanan penyakit abses leher dalam
salah satunya adalah Diabetes mellitus (DM).
Pada pasien DM yang kadar gulanya tidak terkontrol dapat terjadi penurunan fungsi
respons imun yang dapat mengakibatkan lebih mudahnya timbul berbagai macam infeksi.5
Pada penderita DM juga terjadi komplikasi pada semua tingkat sel dan semua tingkatan
anatomik, salah satunya adalah timbulnya proses angiopati dan penurunan fungsi endotel.6,7
resiko terjadinya gangguan pembuluh darah ini pada penderita DM 2-3 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi pada umumnya. Keadaan ini ditemukan pada 15% penderita
yang telah didiagnosis selama 10 tahun dan 45% setelah 20 tahun. Keadaan ini sangat berperan
pada faktor terlambatnya proses penyembuhan luka.7
Penatalaksanaan abses leher pada kasus DM tidak terkontrol harus dilakukan dengan
hati-hati, akrena tindakan invasif tanpa pengendalian gula darah dapat berakibat fatal.8 Perawatan
luka jugan membutuhkan perhatian besar, karena sekecil apapun luka yang mengawalinya dapat
bertambah parah setiap saat.
Anatomi
Secara anatomi leher terdiri dari beberapa fasia dan ruang potensial.1,2,9 Fasia servikal
terdiri dari fasia servikal superfisial dan fasia servikal profunda yang dipisahkan oleh m.
platisma. Fasia servikal superfisial terletak di bawah kulit leher. Sedangkan fasia servikal
profunda menjadi 3 bagian yaitu lapisan luar, tengah dan dalam.2,9
Ruang potensial di leher dibagi menjadi (1) ruang yang melibatkan seluruh panjang leher
yang terdiri dari ruang retrofaring, ruang bahaya (danger space) dan ruang prevertebra, (2) ruang
diatas tulang hiod terdiri dari submandibula, ruang parafaring, ruang parotis, ruang mastikator,
ruang peritonsil dan ruang temporalis dan (3) ruang dibawah tulang hiod mencakaup ruang
visera anterior.
Ruang submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual, submental dan submaksila. Ruang
submental dan submaksila dibawah m.milohiod dan ruang sublingual dan submental bersama-
sama disebut ruang submandibula. Ruang sublingual dibatasi oleh mandibula dibagian anterior
dan lateral. Lidah merupakan batas inferior. Di dalam ruang sublingual terdapat kelenjar liur
sublingual beserta duktusnya.
Ruang submental. Batas lateral ruang ini dibentuk oleh venter anterior m. digastrikus,
batas inferior oleh garis melalui tulang hiod bagian atas oleh m. milohiod dan sebagian dasar
oleh fasia selubung dan kulit dagu.
Di dalam ruang submaksila terdapat kelenjar submaksila atau submandibula beserta
duktusnya yang berjalan ke posterior melalui tepi posterior muskulus milohiod kemudian masuk
ke ruang sublingual. Batas superior ruang submaksila adalah muskulus milohiod dan muskulus
hipoglosus. Di sebelah inferior berbatasan dengan lapisan anterior fasia leher dalam, kulit leher
dan dagu. Batas medial ruang submaksila adalah muskulus digastrikus dan batas posterior adalah
muskulus stilohiod serta muskulus digastrikus posterior.1,2,9
KEKERAPAN
Tom an Rice 10 melaporkan pada Maret 1981-Februari 1987 terdapat 51 abses leher
sebagai berikut : abses segitiga anterior 28%, abses submandibula 26%, abses segitiga posterior
24%, abses faringomaksilaris 18%, abses karotis 12%, abses masticator 10%, abses parotis 2%
dan abses mediastinum 2%.
Parhiscar dan Hae-El (2001),11 melakukan penelititan retrospektif pada 210 kausu abses
leher dalam dari tahun 1991-1998. Berdasarkan hasil penelitian tersebut didapatkan jumlah kasus
abses parafaring menempati urutan pertama (43%) diikuti abses submandibula (28%), Ludwig’s
Angina (17%) dan abses retrofaring (12%).
Fachruddin,12 melaporkan 33 kasus abses leher dalam selama Januari 1991-Desember
1993 di bagian THT FK-UI?RSUPN-CM, usia berkisar antara 15-35 tahun terdiri dari 20 pasien
laki-laki dan 13 wanita. Sethi13 pada tahun 1989 melaporkan bahwa dari 55 kasus infeksi leher
dalam, 5 pasien mempunyai penyakit sistemik, 4 dengan diabetes dan satu pasien dengan
limfoma. Lee 14 melaporkan pada tahun 1984-1989, dari 73 pasien dengan infeksi leher dalam
terdapat 4 pasien dengan diabetes mellitus.
Di Polikilinik Subbagian Laring Faring FKUI/RSUPN-CM, periode 1 Agustus 2003-15
Oktober 2003 terdapat 8 kasus abses leher dalam dan 2 kasus diantaranya dengan penyulit
diabetes melitus.
ETIOLOGI
Sebelum ditemukan antibiotika, tujuh puluh persen dari kasus abses dalam disebabkan
oleh penyebaran infeksi yang berasal dari faring dan tonsil. Setelah ditemukan antibiotika,
infeksi gigi merupakan sumber terbanyak yang menyebabkan abses leher dalam. Pada 20-50%
kasus tidak ditemukan sumber infeksinya.4
PATOGENESIS
Infeksi yang bersumber dari gigi dapat menyebar ke jaringan sekitar dan membentuk abses
sublingual, submental, submandibula, masticator atau parafaring. Dari gigi anterior sampai M1
bawah biasanya yang mula-mula terlibat adalah ruang sublingual dan submental. Bila infeksi
dari M2 dan M3 bawah, ruang yang terlibat dulu adalah submandibula. Hal ini disebakan posisi
akar gigi M2 dan M3 berada di abwah garis perlekatan m.milohiod pada mandibula sedang gigi
anterior dan M1 berada diatas garis perlekatan tersebut.2,4
BAKTERIOLOGI
Berdasarkan bakteri penyebab sebagian besar abses leher dalam disebabkan oleh
campuran berbagai jenis kuman baik aerob maupun anaerob. Dari golongan aerob penyebab
terbanyak adalah kuman Steptokokus, Staphilokokus, Diptheroides dan Neisseria. Sedangkan
dari golongan anaerob penyebab tersering adalah Bakteroides, Peptostretokokus, Eubakterium,
Fusobakterium dan Psedomonas.1,3,15
Sethi 13 pada penelitiannya melaporkan dari 4 pasien infeksi leher dalam dengan penyakit
diabetes, terdapat kuman Klebsiela Pneumonia pada 2 kasus. Lee14 pada penelitianya melaporkan
dari 4 pasien infeksi leher dalam dengan penyakit diabetes, terdapat kuman Klebsiella
pneumonia pada 2 kasus.
DIAGNOSIS
Diagnosis abses submandibula ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat, gejala
klini, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostic
yang penting.1,2,9 pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut dapat
diperoleh gambaran diviasi trakea, udara di daerah sub kutis, cairan di dalam jaringan lunak dan
pembengkakan daerah jaringan lunak leher.
Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat membedakan antara
selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto thoraks dapat digunakan untuk mendiagnosis
adanya edema paru, pneumothoraks, pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah hilus.
Pemerikasaan Tomografi Komputer (computed tomography scanning/CT-Scan) dapat
membantu mengganbarkan lokasi dan perluasan abses. Pada gambaran CT-Scan dapat
ditemukan adanya daerah densitas rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan
edema jaringan lunak disekitar abses.2
Pemeriksaan kultur dan tes resistensi dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan
pemberian anitbiotika yang sesuai.1,2,16
ABSES SUBMANDIBULA
Pada abses submandibula pembengkakannya terdapat dibawah rahang, baik unilateral
atau bilateral, dapat berfluktuasi atau tidak. Mungkin juga terdapat trismus.1,2,3,4 Pemeriksaan foto
polos leher terdapat gambaran penebalan jaringan leher.1,2,3,4
KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi dapat terjadi sebagai akibat keterlambatan diagnosis,
penatalaksanan yang tidak tepat dan tidak adekuat. Komplikasi yang sering terjadi adlah
penjalran infeksi ke ruang leher dalam lain dan mediastinum, sumbatan napas dan sepsis.2,3
PENATALAKSANAAN
Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa dan drainese.1-4
Barakate dkk2 (2001) secara lebih terinci mengatakan bahwa penatalaksanaan yang adekuat suatu
abses leher dalam tergantung pada pengenalan proses sedini mungkin, mencegah dan mengatasi
sumbatan saluran nafas dan perawatan yang intensif.
Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik untuk kuman aerob maupun
kuman anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta gejala klinik yang timbul.1-4
Pemberian antibiotika
Antibiotika parenteral diberikan terhadap kuman aerob dan anaerob. Penentuan
antibiotika apa yang digunakan tergantung hasil biakan kuman dan tes kepekaan terhadap bakteri
penyebab infeksi. Menurut Abdulrachman15 yang menjadi persoalan adalah lamanya menunggu
hasil pemeriksaan laboratorium sementara pengobatan harus segera dilakukan. Demikian juga
persoalan mengenai isolasi kuman anaerob dimana penting cara mendapatkan bahan
pemeriksaan yang baik dan cara mengirimkan bahan tersebut dalam kondisi baik supaya kuman
tidak mati.16
Sementara menunggu hasil kultur dapat diberikan ampisilin sulbaktam, amoksisilin asam
klavulanat, klindamisin atau sefalosporin generasi kedua atau ketiga. Untuk mengatasi kuman
anaerob diberikan metronidazol. Penggantian antibiotika dilakukan bila tidak ada perbaikan
klinis dalam waktu 2-3 hari dan antibiotika dihentikan sesudah 2-3 hari gejala dan tanda klinik
reda.4 di sub-bagian laring faring FKUI/RSUP-CM antibiotika harus diberikan dalam dosis
adekuat secara parenteral.
Drainese abses
Sebagian besar abses leher dalam perlu dilakukan drainese untuk penyembuhan dan
mencegah komplikasi. Pada abses yang tidak terlalu besar dengan keadaan umum pasien masih
baik tanpa komplikasi dan faktor resiko, tindakan drainese dapat ditunda 24-48 jam asalkan dalam
perawatan dan observasi yang ketak.1,4
Insisi abses submandibula dilakukan tergantung seberapa banyak ruang yang terlibat, jika
hanya ruang submandibula, insisi dilakukan didepan m.sternokleidomastoideus sejaajr
mandibula kurang lebih 2-3 cm dibawahnya. Setelah tindakan dipasang salir.4
DIABETES MELITUS
Diabetes mellitus adalah sebuah sindrom yang ditandai dengan hiperglikemi kronik dan
gangguan metabolism karbohodrat, lemak, dan protein yang berhubungan dengan kekurangan
sekresi dan atau kerja insulin yang relative atau absolute.17,18
Klarifikasi Diabetes Mellitus dan Glukosa Intolerens menurut WHO.17,18
A. Klas Klinis :
Diabetes Melitus:
Diabetes Melitus tergantung Insulin
Diabetes Melitus tidak tergantung Insulin
a). Tidak gemuk
b) Gemuk
Diabetes Meilitus yang berhubungan dengan Malnutrisi
Diabetes tipe lain :
1)Penyakit insulin,
2) Penyakit dengan etiologi hormonal,
3) kondisi dinduksi oleh obat atau bahan kimia,
4) kelaianan insulin atau gangguan reseptornya,
5) kelainan genetika
Toleransi Glokosa terganggu
a) Tidak gemuk
b) Gemuk
c) Berhubungan dengan kondisi dan sindrom tertentu
Diabetes meilitus Gestational
B. Kelompok resiko statistik (toleransi glukosa normal tapi secara substansial resiko terjadi
diabetes meningkat)
1) Riwayat toleransi glukosa abnormal
2) Toleransi glukosa potensial abnormal
Infeksi dan Diabetes
Pada penderita diabetes dengan kadar gula darah tidak terkontrok rentan terhadap infeksi.
Hal ini disebabkan terjadi penurunan fungsi respons imun tubuh, sehingga menyebabkan
gangguan fungsi neutrofil termasuk kemotaksis, fagositosis dan aktifitas bakteriasidal dan
gangguan kerja komplemen. Dari suatu penelitian mengenai respons imun pada pasien DM
dengan ulkus, didapatkan adanya penurunan fungsi respons imun selular dan hormonal, yang
dinyatakan dengan menurunya persentase sel limfosit B dan T.5,8
Krteria Diagnosa
Kategori
Kadar gula darah (mg%)
Whole blood Plasma
vena cap vena Cap
Diabetes mellitus
GDP
GD-SM (2jam PP)
>/=120
>/=180
>/=120
>/=200
>/=140
>/=200
>/=140
>/=220
Toleransi glukosa
terganngu
GDP
GD-SM (2jam PP)
<120
120-180
<120
140-200
<140
140-200
<140
160-200
(sumber:WHO technical report series 844,1995)
Komplikasi Diabetes
Kompliaksi akut Komplikasi kronis
Koma hiperglikemia
Koma ketoasidosis
Koma hiperosmolar non ketotik
Koma laktik asidosis
Hipoglikemia
Makroangiopati
Penyakit pembuluh darah
Penyakit pembuluh darah koroner
Penyakit pembuluh darah otak
Mikroangiopati
Retinopasti diabetes
Nefropati diabetes
Neurpati diabetes
Periodontitis
Kombinasi stress operasi dan kekurangan insulin pada pasien diabetes dapat memicu
terjadinya ketoasidosis. Salah satu komplikasi menahun pada penderita diabetes adah terjadinya
proses angiopati pada pembuluh adarah. Proses tersebut terjadi akibat penumpukan lemak,
kolesterol, kalsium, sel otot polos dan trombosit di dinding pembuluh darah. Keadaan
hiperglikemi yang terus menerus mempunyai dampak berkurangnya kemapuan pembuluh darah
untuk berkontraksi dan relaksasi. Hal ini mengakibatkan sirkulasi darah tubuh menurun dan
menyebabkan terjadinya gangguan penyembuhan luka.5,8
Fase Penyembuhan Luka.
Respon penyembuhan luka dibagi dalam 3 fase yang terjadi hamper bersamaan yaiut:
1) Hemostasis dan inflamasi
2) Proliferasi
3) Maturasi atau remodeling
Kendala Penyembuhan Luka.
Luka kronik akan segera senbuh akalu berbagai factor yang menghambat kesembuhan
luka dapat dicari dan ditentukan. Pada ulkus pada penderita diabetes, berbagai factor yang
menghambat kesembuhan luka antara lain adalh hipoksia, infeksi sisa jaringan rusak dan
nekrotik (debris) dan nutrisi buruk.
a. Hipoksia
Keadaan hipoksia ringan merupakan pemicu yang kuat untuk proliferasi fibroblast dan
angiogenesis. Adanya kelainan jantung, paru, infeksi kronik dan merokok merupaka factor yang
harus diperhatikan. Pemberian oksigen lewat kanula atau pemberian oksigen hiperbarik dapar
membantu memperbaiki keadaan hipoksia ini.
b. Infeksi
Infeksi akut maupun kronik mengahmbat proses peneymbuhan. Sebelum proses inflamasi
selesai, proses penyembuhan berikutnya akan terhambat. Kuman akan mengeluarkan
berbagai enzim dan dapat mengahncurkan fibrin dan factor lain yang penting dalam
proses penyembuhan.
c. Pengobatan topical
Pengobatan topical dengan betadine pekat atau H2O2 pekat dengan tujuan membunuh
kuman justru dapat menghambat kesembuhan dengan cara merusak jaringan granulasi.
d. Nutrisi
Status gizi yang buruk dapat menghamabt kesembuhan luka. Kadar albumin yang kurang
akan menghambat semua fase normal penyembuhan luka. Vitamin dan mineral
merupakan kofaktor penting untuk terbentunknya kolagen.
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki, berumur 50 thaun dating ke IGD RSCM pada tanggal 24-8-
2003 jam 9.00 dengan keluhan utama bengkak dan nyeri di leher atas kiri. 1 bulan
sebelum masuk rumash sakit pasien mengalami bengkak didaerah gusi bagian bawah,
bengkak di ikuti rasa nyeri dan goyang pada gigi. Pasien tidak ke dokter gigi tapi hanya
mengobati dengn obat penghilang sakit. 2 minggu kemudian timbul bengkak di daerah
rahang kiri. Pada awalnya bengkak tersebut tidak begitu besar tapi lama kelamaan
bengkak bertambah besar dan memerah, 5 hari sebelum ke rumah sakit, bengkak tersebut
pecah dan keluar nanah. Tapi setelah bengkak tersebut pecah pasien merasa nyeri di gusi
dan rahangnya berkurang sehingga pasien tidak pergi ke dokter juga. 2 hari kemudian
pasien mengeluh demam yang tidak begiu tinggi dan bengkak serta nyeri di rahangnya
bertambah sehingga pasien akhirnya berobat ke klinik Depok dan kemudian di rujuk ke
RSCM. Riwayat kesulitan membuka mulut, nyeri emnelan dan perubahan suara tidak
ada.
Pasien mempunyai riwayat sakit gula sejak 10 tahun yang lalu, lima tahun
pertama pasien berobat teratur dengan memakai Daonil, tpai 5 tahun terakhir pasien tidak
control lagi. Pasien juga mempunyai keluhan sring lapar, haus dan buang air kecil.
Riwayat penyakit lain tidak ada.
Pemeriksaan fisik ketika dating, keadaan umum sedang, kompos mentis, tidak
sesah napas, tidak ada strodor, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 90x/m, suhu 36,5 C,
P=22x/m.Jantung, paru dan abdomen tidak ditemukan kelainan.
Pemeriksaaan THT, telinga dan hidung tidak ditemukan kelainan. Tenggorok=
trismus tidak ada, arcus faring simetris, uvula di tengah, T1-T1 tenang, penonjolan
dinding lateral faring tidak ada, penonjolan dinding faring posterior tidak ada.
Pada region submandibula kiri tampak pembengkakan dengan ukuran 15 x 8 x 5
cm, hiperemis, fluktuasi, terdapat perforasi di tepi submandibula kiri. Lidah tidak
terangakat dan angulus mandibula tidak menghilang. Pemerikasaan gigi geligi karies
tidak ada.
Pemerikasaan laboratorium. Hb=12,49%, leukosit=17000/UL, Trombosit 311000,
GDS=419, AGD=alkalosis respiratorik.
Foto jaringan lunak leher. Tampak penebalan pada jaringan lunak di daerah
submandibula kiri. Foto dada tidak ditemukan adanya kelainan.
Diagnose kerja pada pasien ini adalah abses submandibula dengan diabetes
mellitus.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pemberian antibiotic cefriaxon 1 x 2 gr,
metronidazol 3 x 500mg. IVFD NaCL, insisi abses untuk melebarkan perforasi yang
sudah ada dan konsul ke Bagian Penyakit Dalam untuk toleransi operasi dan
penatalaksanaan diabetesnya. Hasil konsul penyakit dalam, apsien didiagnosis sebagai
DM tipe 2 NW dengan gula darah tidak terkontrol. Tatalaksana dari penyakit dalam
adalah rehidrasi dengan NaCl, cek asrton darah dan ulang cek gula darah pasca rehidrasi
setelah 1 jam. Hasil pemeriksaaan didapat kadar gula darah 356 dan aseton +, lalu diebri
terapi Actrapid 20 unit, drip insulin 6 unit/6 jam dan sliding scale/6 jam. Toleransi
operasi jika gula darah dibawah 200. Setelah jam 22.00 gula darah 192, baru dilakukan
pungsi aspirasi, didapat pus 3cc dan dilanjutkan dengan insisi dan keluar pus sebanyak 50
cc, warna kuning kehijauan, bau busuk. Dilakukan pemeriksaan kultur dan resistensi
terhadap kuman aerob. Pasien dirawat bersama IW selama 2 hari. Setelah cek ulang
aseton darah dan hasilnya negative diberikan insulin 3 x 10 unit dan kemudian pindah ke
ruangan THT rawat bersama bagian penyakit dalam.
Pada perjalanan penyakitnya, dalam tiga hari pengoabatan tidak ada perbaikan
klinis, luka insisi bertambah lebar dan membentuk ulkus dengan banyak pus dan jaringan
nekrotik. Antibiotic diganti engan ceftazidim 2x1 gram sambil menunggu hasil kultur.
Ulkus setiap ahri dirawat dengan compress H202 + betadine dan pembuangan jaringan
nektorik sampai mendapat jaringan yang sehat.(nekrotomi)
Pemeriksaan kultur dan sensitifitasnya diperoleh pada hari ke tujuh. Jenis kuman
yang tumbuh adalah Klebsiella pneumonia. Kuman tersebut sensitive terhadap
cefotaxime, ceftriaxone, cefpime, cefpirom dan meropenem. Tes resistensi terhadap obat
ceftazidine tidak dilakukan tetapi karena ada perbaikan kilinis terhadap lukanya yang
ditandai dengan berkurangnya pus, rasa nyeri dan kemerahan serta pemeriksaan
laboratorium leukosit 8000 maka obat tersebut diteruskan.
Walaupun tanda radang sudah berkurang jaringan nektrotik tetap banyak sehingga
nekrotomi terus dilanjutkan. Dilakukan pemerikasaan albumin dengan hasil 3,7 g/dl.
Pemeriksaan dan pengendalian gula darah sesuai protokol penyakit dalam. Kadar
gula darah pasien mulai terkontrol pada perawatan hari ke 22 bersamaan dengan
perbaikan luka.
Pasien dikonsulkan ke bagian Gigi Mulut dengan hasil oral hygien buruk terhadap
gingivitis dan kalkulus sub dan supra ginggiva gigi bawah dan gigi goyang di gigi bawah
ke 1,2,4,5,6 kiri yang dapat merusak jaringan periondantal sehingga dapat menjadi focus
infeksi dan dianjurkan untuk perawatn gigi.
Sampai perwatan hari ke 24 luka pasien membaik, jaringan nekrotik tidak ada lagi
tetapi defek masih ada dengan ukuran 5x5 cm, maka diputuskan untuk konsul ke
subbagian plastic untuk dilakukan rekonstruksi luka. Pasien dilakukan operasi setelah
mendapat toleransi operasi dari penyakit dalam. Tujuh hari pasca operasi luka operasi
baik, graft tumbuh baik, ksdar gula terkontrol dan pasien diizinkan pulang.
DISKUSI
Pada kasus ini pasien laki-laki berumur 50 tahun dengan diagnosis abses submandibula
dan diabetes mellitus yang tidak terkontrol.
Perjalan penyakit ini diawali dengan bengkak di gusi dan nyeri di gigi bagian bawah yang
diikuti dengan pembengakakn didaerah rahang kiri. Pasien juga mempunyai riwayat DM sejak
10 tahun yang lalu dengan pngobatan tidak terkontrol. Faktor inilah yang memperberat penyakit
pada pasien ini karena pada penderita DM dengan gula darah yg tidak terkontrol sangat rentan
terhadap infeksi yang diakibatkan adanya penurunan fungsi respons imun.
Pasien didiagnosa sebagai abses submandibula tanpa keterlibatan ruang lain berdasarkan
anamnesa, gejala klinik dan pemeriksaan fisik dan penunjang.
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi pengobatan terhadap infeksinya dimana
sebelum ada hasil kultur, diberikan ceftriaxon yang memiliki aktifitas anti bakteri gram negative
aerob dan kokus gran positif serta Metronidazol yang memiliki aktifitas anti bakteri anaerob.20
walaupun pada pasien ini tidak dilakukan kultur terhadap kuman anaerob karena pasien ini
dating pada hari libur tetapi pemberian anti bakteri terhadap kuman anaerob tetap ahrus
diebrikan mengingat kuman tersebut merupakan penyebab infeksi pada ulkus yang dalam dan
berdasarkan prevelansi kuman anaerob akan ditmeukan pada 90% biakan.
Pemberian cephalosporin generasi ke 3, ceftriaxone pada kasus ini kurang memberikan
hasil yang baik sebaliknya dengan pemberian cephalosporin generasi ke tiga lainnya secara
klinis. Hali ini mungkin terjadi karena pada saat pemberian ceftriaxon perawatn luka belum
adekuat sehingga kerja antibiotik tidak optimal di tempat infeksi atau telah terjadi nosokomial.
Tindakan invasive berupa insisi maupun eksplorasi pada pasien DM harus hati-hati.
Tindakan drainese dapat ditunda pada pasien dengan keadaan umum baik dan yanpa kompliaksi.
Pada kasus ini karena ada factor infeksi dan ada rencana untuk dilakukan tindakan bedah maka
pemberian insulin merupakan indikasi. Tindakan dilakukan setelah gula darah dibawah 200
karena pada keadaan strees kadar gula darah dapat meningkat sehingga dapat terjadi komplikasi
yang berbahaya yaitu ketoasidosis.8
Penatalaksanaan secara umum yaitu berupa kontrol metabolik diberikan Reguler Insulin
(RI) 3x10 unit dan ditingkatkan secara bertahap. Glukosa darah mulai terkontrol pada pemberian
insulin 3x18 unit. Untuk nutrisi diberikan diet 1900 kal perhari. Pengendalian kadar glukosa
darah berhubungan dengan faktor pertumbuhan, aktivitas, fibrolas dan perubahan metabolism
kolagen. Keadaan hiperglikemi menghambat migrasi leukosit menggangu fagositosis dan
aktivitas bakterisidal.
Pada pasien ini terjadi gangguan penyembuhan luka dimana setelah 1 minggu pengobatan
jaringan nekrotik tetap banyak, walaupun pus dan udem sudah berkurang. Hal ini berkaitan
dengan salah satu komplikasi kronis diabetes terhadap pembuluh darah yang menyebabkan
terjadinya gangguan sirkulasi darah, hal ini berkaitan dengan proses penyembuhan luka.5,19
Berkaitan dengan hal diatas maka perwaatan luka pada kasus ini juga memegang peranan
penting. Nekrotomi harus dilakukan dengan benar, mengingat jaringan nekrotik merupakan
media pertumbuhan kuman. Nektrotomi dilakukan hingga ke jaringan sehat dan darah merembes
dari tepi luka. Setelah 3 minggu perawatan, luka membaik, jaringan nekrotik tidak ada lagi dan
jaringan granulasi tumbuh. Defek kurang lebih 5x5 cm. hasil dari konsultasi bagian Laring
Faring untuk mempercepat masa perawatan dan mencegah timbulnya infeksi baru maka
diputuskan dilakukan penutupan oleh bagian plastic rekonstruksi THT. Pasca operasi graft
tumbuh baik dan pasien diperbolehkan pulang 1 minggu kemudian.
Pada kasus ini sumber infeksi berasal dari gigi akibat adanya kalkulus sub-supra gingival yang
dapat merudak jaringan periodontal dan mengakibatkan infeksi di periodontal. Penyakit infeksi
dentogen ini juga merupakan salah satu komplikasi kronis Diabetes mellitus.17
Pengobatan awal dari infeksi gigi meliputi pemberian antibiotik yang tepat dan drainese
abese. Setelah gigi yang terinfeksi ditemukan, dapat dilakukan pencabutan atau pengobatan
saluran akar tergantung dari kerusakannya.20
Pada pasien ini dilakukan perawatan terhadap infeksi giginya setelah gula darahnya
terkontrol. Edukasi pada pasien ini adalah hal yang snagnt penting karena pasien selama ini
mengaanggap bahwa bengkak yang timbul adalah bisul biasa yang akan sembuh dalam waktu
singkat dan pasien tidak mengetahui bahwa keluhan tersebut ada kaitannya dengan DM nya
sehingga luka semakin parah dengan kadar gula yang semakin meningkat yang mengakibatkan
perluasan dari infeksinya maupun kompliaksi dari diabetnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Scott BA, Steinberg CM, Deep Neck space infection In: Bailey BJ, Johnson JT, Kohuut
et al editors head and Neck surgery-otolaryngology. Philadelphia: JB Lippin Cott
company,1993;2:738-53
2. Shumrick KA, Sheft SA. Depp infecyin in: Paparella MM, Shumrick DA, Gluckmann JL,
Meyehoff WL, editors. Otolaryngology. Philadelpia:WB Sauders 1991:2545-62
3. Fachruddin DR; Abses leher dalam. Dalam : Iskandar M, Soepardi Ae editor, BUKU ajar
ilmu penyakit telinga tenggorok. Edisi ke 5. Jakarta: Balai penerbit FK-UI 2001;185-188.
4. Fachruddin DR: Penanganan abses leher dalam. Dalam penanganan mutakhir kasus
telinga hidung tenggorok. Satelit symposium Jakarta;2003
5. Waspadji S: Aspek Imunologi Kaki Diabetes. Dalam Naskah lengkap Penyakit Dalam.
Dalam Naskhah Lengkap Penyakit Dalam, PIT 2000. Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian IPD FKUI 2000:121-140.
6. Waspadji S: komplikasi Vaskular pada Diabetes Melitus. Dalam Acta Medica Indonesiaa.
Vol XXXV, Juli 2003.64-69.
7. Krolwski AS, et al: epidemiology of late complications of Diabetes. In Joslin’s Diabetes
Melitus. 13th ed. Lea & Febiger. Pennysylvenia. 1994.193-257.
8. Palmisano JJ. Surgery dan Diabetes. In Jonlin’s Diabetes Meilitus. 13th ed. Lea &
febriger. Pennsylvenia.1994:955-60.
9. Ballenger JJ. Infection of the facial space of neck and floor of the mouth. In: Ballenger JJ
editors. Diseases of the nose, throat and ear, head and neck. 14 th ed. Philadelphia,
London: lea & Febiger.1991:234-41.
10. Tom MB, Rive DH. Presentation and management of neck abscess; A retrospective
analysis. Laryngoscope 1988;98:877-80.
11. Parhiscar. A, Har el, G. deep neck abscess; a restrospective review of 210 cases, ann.
Otol. Rhinol. Laryngol 110:2001:1051-1054.
12. Fachruddin DR, Helmi. Penatalaksanaan infeksi leher dalam. Update 1995. Prinsip dasar
penatalaksanaan penyakit infeksi leher dalam rangka Dies Natalis FK UI ke 46:1995
13. Sehti DS, Stanley RE. Parapharyngeal abscess. The journal of laryngology 1991:105-
1025-1030.
14. Lee KC, Tami TA. Deep neck infection in oatients at risk for acquiered
immunodeficiency syndrome. In laryngoscope 100; Sept 1990:915-919.
15. Abdulrachman H, Roesmajono, Munir M, hermani B, Infeksi kuman anaerob pada abses
leher dalam kongres Perhati VIII, Medan, 1980.
16. Rahim A: Dasar Pemeriksaan kuman-kuman aerob, Mikroarofilik dan Anaerob. Dalam
buku ajar Mikrobiology kedokteran Edisi REvisi Binapura Aksara. 1993,52-57.
17. Sutanegara D: komplikasi dan dasar-dasar penatalaksanaan penderita diabetis. Dalam
Bulleti PERSADA BALI Vol 6, no4. 1996.12-23.
18. Fosters. DW: Diabetes Meilitus. In Horrison’s Principles of Internal medicine. Tenth
edition Mcgra-hill International Book Company 1984:661-82
19. Young SR: wound healing. In Scott-brown’s otolaryngology. Sixth edition. Butterworth
Heinemann. 1997:1-17
20. Lawson W: Odontogenic infection. In :Bailey BJ, Johnson JT, Kohuut RI et al editors
head and neck surgery-otolarynglogy. Philadelpia: JB lippin Cott company. 1993:671-
681.