15
PENCARIAN ASPEK POLITIK DALAM LINGKARAN KEBUDAYAAN (Telaah Pendekatan Dalam Antropologi Politik) Oleh: Andi Yusuf 1 Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupannya senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lainnya dalam upaya mencapai aspek-aspek kebutuhan hidupnya. Secara mendasar kebutuhan manusia tidak hanya persoalan makan, minum, biologis dan sebagainya. Lebih dari itu manusia menciptakan dirinya sendiri dalam mengakomodasi kebutuhannya atas bentuk lain yang memberikannya pengakuan eksistensi diri, status sebagai anggota masyarakat, posisi yang menguntungkan dalam ranah-ranah sosial bahkan sampai bentuk- bentuk lainnya seperti penghargaan dari dan kepada orang lain dalam bentuk pujian. Kehidupan manusia di dalam bermasyarakat setidaknya dalam era modern ini selalu berada dalam rangkaian pengaruh sistem politik dan bernegara. Sebagai salah satu bentuk peran dan pemenuhan kebutuhan berorganisasi dan pembagian kekuasaan dalam pranata-pranata yang ada di dalam kehidupan masyarakat adalah pranata politik itu sendiri. Dalam konteks era saat ini, setidaknya setiap warga masyarakat dalam bernegara selalu bersentuhan dengan politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik yang terjadi dalam realitas sosial-budaya. Jika secara tidak langsung, hal ini memberikan gambaran bahwa individu atau kelompok tersebut sebatas mendengar informasi, atau berita- berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Apabila secara langsung, berarti individu atau kelompok tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu. 1 Mahasiswa pada Jurusan Antropologi FISIP UNHAS (2005)

Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

revisi dari tulisan sebelumnya yang belum lengkap, yang masih merupakan hasil review dari buku Arthur Tuden

Citation preview

Page 1: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

PENCARIAN ASPEK POLITIK DALAM LINGKARAN KEBUDAYAAN

(Telaah Pendekatan Dalam Antropologi Politik)

Oleh: Andi Yusuf1

Manusia sebagai mahluk sosial dalam kehidupannya senantiasa akan

berinteraksi dengan manusia lainnya dalam upaya mencapai aspek-aspek

kebutuhan hidupnya. Secara mendasar kebutuhan manusia tidak hanya persoalan

makan, minum, biologis dan sebagainya. Lebih dari itu manusia menciptakan

dirinya sendiri dalam mengakomodasi kebutuhannya atas bentuk lain yang

memberikannya pengakuan eksistensi diri, status sebagai anggota masyarakat,

posisi yang menguntungkan dalam ranah-ranah sosial bahkan sampai bentuk-

bentuk lainnya seperti penghargaan dari dan kepada orang lain dalam bentuk

pujian.

Kehidupan manusia di dalam bermasyarakat setidaknya dalam era modern

ini selalu berada dalam rangkaian pengaruh sistem politik dan bernegara. Sebagai

salah satu bentuk peran dan pemenuhan kebutuhan berorganisasi dan pembagian

kekuasaan dalam pranata-pranata yang ada di dalam kehidupan masyarakat adalah

pranata politik itu sendiri. Dalam konteks era saat ini, setidaknya setiap warga

masyarakat dalam bernegara selalu bersentuhan dengan politik praktis baik yang

bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara

langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik yang terjadi dalam

realitas sosial-budaya. Jika secara tidak langsung, hal ini memberikan gambaran

bahwa individu atau kelompok tersebut sebatas mendengar informasi, atau berita-

berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Apabila secara langsung, berarti

individu atau kelompok tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.

1 Mahasiswa pada Jurusan Antropologi FISIP UNHAS (2005)

Page 2: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

Almond dan Verba (1984)2 menyatakan pendapatnya mengenai budaya

dalam kaitannya dengan politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari suatu

masyarakat terhadap sistem politik. Budaya politik adalah salah aspek dari nilai-

nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos dalam suatu

populasi tertentu. Kesemuanya dikenal dan diakui sebagian besar masyarakat yang

memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima nilai-nilai atau norma lain.

Sehingga bisa dikatakan bahwa politik juga telah menelusuk kedunia agama,

kegiatan ekonomi, sosial; kehidupan pribadi dan sosial secara luas dan memberikan

corak suatu masyarakat dalam mengoperasionalisasikan caranya dalam menghadapi

suatu masalah-masalah politik, semisal masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan,

proses pembuatan kebijakan pemerintah, dinamika partai politik, perilaku aparat

negara serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.

Ilmu politik pada umumnya lebih menekankan perspektif politik pada salah

satu unsur yang ada dari berbagai unsur-unsur dalam kebudayaan. Unsur-unsur

tersebut dalam kenyataannya saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya

secara terpisah, atau hanya sebagian saja dalam pranata masyarakat yang

berimplikasi pada pemahaman sempit terkait masalah perilaku politik.

Masalah politik bahkan kemudian cenderung untuk dilihat terpisah sebagai

induk dalam pemahaman realitas sosial seperti bagian dalam pranata politik yakni

sistem pemerintahan dan administrasi birokrasi dalam masyarakat bernegara yang

justru kemudian membiaskan suatu konsep dimana masyarakat dan individu

dikonsepsikan sebagai subjek yang memiliki orientasi pemahaman terhadap

negara sesuai dengan subjektifitas budayanya atau malah sepertinya tak bernegara

sama sekali seperti dalam masyarakat tradisional. Dampak lainnya dari

pemahaman ini adalah justru melahirkan suatu kondisi dimana kelihatannya

2 Tulisan Gabriel Almond yang mengaitkan beberapa tingkah laku politik di 5 negara dengan aspek budaya lokal dinegara-negara tersebut, Op.cit, Hal. 146

Page 3: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

suatu kelompok masyarakat dilihat tidak berperilaku politik tapi justru

dikendalikan oleh suatu sistem yang bernama “politik”3.

Pentingnya aspek politik dalam pengkajian suatu kebudayaan adalah bahwa

aspek politik adalah bagian penting untuk dijadikan salah satu sudut pendekatan

bagi studi kebudayaan mengingat keterkaitannya dengan aspek-aspek yang

nampaknya tak memiliki relevansi dalam kacamata ilmu politik, seperti masalah

simbolisasi dan ritual keterkaitan unsur seperti pranta-pranata dalam korelasinya

dengan konteks politik. Dalam banyak hal, suatu kebudayaan merupakan suatu

keseluruhan yang utuh, terbentuk dari berbagai unsur dan aspek budaya yang

saling berhubungan serta saling mempengaruhi. Perubahan yang terjadi pada satu

unsur atau aspek dapat berakibat pula terhadap unsur atau aspek lainnya.

Demikian pula pemahaman terhadap salah satu unsur atau aspek tidak mungkin

dapat dicapai tanpa memahami unsur-unsur lainnya.

Dibeberapa literatur, budaya selalu diperbicangkan sebagai bentuk yang

dikonstruksikan dan merupakan arena relasi antara sebuah struktur dan

kesadaran subyektif individu, sehingga dengan asumsi ini berimplikasi pada

pemikiran tentang tema perubahan budaya yang menjadi agenda utama untuk

mengkonstruksi budaya baru. Dalam studinya mengenai antropologi politik,

Edmund Leach4 memberikan gambaran bahwa setiap perubahan sosial dan

kultural merupakan pencarian kekuasaan. Baginya dalam melihat kekuasaan yang

beroperasi bukanlah dilihat dalam suatu wilayah melainkan salah satu bentuk dan

kondisi dalam keterkaitan relasi diantara manusia. Oleh karenanya, cara

mamahami sepenuhnya dan menganalisis kompleksitas kekuasaan adalah dengan

menemukan di mana dimensi-dimensi material, psikologis, dan sosial kekuasaan

3 Lihat George Balandier “Antropologi Politik” .1986.CV . Rajawali. Jakarta. Hal vi

4 Lihat McGlyyn & Arthur Tuden “Pendekatan Antropologi Pada Perilaku Politik”, Op.cit, Hal. 3

Page 4: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

politik beroperasi, dan secara sosial berada, dan apakah serta dengan cara

bagaimana dimensi-dimensi ini memproduksi diri di rumah atau tempat-tempat

lain. Kajian politik dengan menggunakan pendekatan antropologi berupaya

menelisik kekuasaan dalam konteks sosial-kultural. Karenanya kekuasaan bersifat

inklusif yang harus mengkaji bidang-bidang dan hirarki-hirarki kekuasaan dalam

setiap masyarakat.

Terinspirasi oleh pendekatan struktural-fungsional A.R. Radcliffe-Brown

yang juga kala itu menjadi bagian dasar setiap penelitian setelahnya, Evans-

Pritchard dan Fortes kemudian memberikan jalan baru dalam kajian sub-

antropologi terkait masalah-masalah politik5 (Dalam McGlynn dan Arthur Tuden

2000: 14) secara terpisah membahas hasil penelitiannya di Afrika yang mengkaji

perilaku politik dan secara spesifik mengajukan tese tentang pemahaman

antropologi dalam konteks politik, seperti yang ia katakan bahwa konsep politik

dalam antropologi sebagai “… struktur atau hubungan yang memelihara atau

menegakkan ketertiban sosial di dalam kerangka teritorial, dengan

menyelenggarakan latihan atau kekuasaan kekerasan melalui penggunaan, atau

kemungkinan penggunaan kekuatan fisik”6. Pendapat ini kemudian memberikan

beberapa pemahaman tentang bagaimana politik sebenarnya (dalam pendekatan

antropologi) dalam suatu kelompok masyarakat yang kemudian dijadikan model

perintisan kajian antropologi politik pada penelitian-penelitian selanjutnya7.

Dalam pendekatan struktural-fungsional, struktur sosial (dalam kaitannya

dengan hubungan-hubungan yang bersifat pertarungan kekuasaan dan politik)

5 Sub-disiplin antropologi lahir sebagai spesialisme baru didalam disiplin antropologi pada tahun 1940, padasaat terbitnya buku yang diedit bersama oleh E.E. Evans-Pritchard dan Meyer Fortes yang berjudul “AfricanPolitical System”. The Nuer yang juga berbicara mengenai aspek politik orang Nuer di Uganda dan Kenya,Afrika. (Balandier 1986:14)

6 Kutipan McGlynn dan Arhtur Tuden dalam buku yang di suntingnya “Pendekatan Antropologi PadaPerilaku Politik” terjemahan yang diterbitkan UI Press 2000. Op.cit Hal 14

7 Pada bagian awal bukunya George Balandier (1986) menegaskan tentang penelitian-penelitian selanjutnyayang mengkaji masalah politik di Afrika. Hal 14.

Page 5: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

dilihat sebagai jaringan hubungan dari relasi-relasi yang nyata antar individu atau

antar kelompok dalam masyarakat8. Hal itu berarti bahwa termasuk juga dalam

hal ini adalah relasi-relasi yang didasarkan atas peranan dan kedudukan yang

berbeda, misalnya relasi antara pemimpin dan pengikut. Dalam hubungannya

dengan praktik politik, pendapat demikian memberikan kecenderungan untuk

mengarahkan pemahaman tentang tingkah laku politik yang merupakan satu

aspek dari tingkah laku sosial yang ditentukan oleh hubungan-hubungan

kekuasaan sehingga dengan demikian tingkah laku politik tidak lain adalah bagian

dari struktur dalam masyarakat. Pendapat seperti ini, juga berorientasi pada

pemahaman tentang fenomena politik tidak lain dari upaya pemahaman terhadap

mekanisme tertib sosial seperti definisi yang telah diajukan sebelumnya tentang

mekanisme tertib sosial atau kondisi dimana memungkinkan terwujudnya tertib

sosial, bentuk atau model tertib sosial, pranata-pranata sosial dan kebiasaan-

kebiasaan yang saling berkaitan sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh.

Dalam kaitannya dengan politik, juga menjadi pertanyaan tentang fungsi

organisasi politik, Malinowski seperti yang diulas oleh Claessen9 memberikan

pendapat tentang adanya tiga fungsi utama dari organisasi politik: (1) Upaya

mempertahankan keadaan ekuilibrium antara golongan-golongan atau kelompok-

kelompok, lembaga-lembaga dan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda

dalam masyarakat dengan menggunakan kekuasaan; (2) Menjamin dan

melaksanakan hukum dan ketertiban dalam masyarakat; (3) melakukan

pertahanan dan atau agresi. Dengan menggunakan pemikiran struktural-

fungsional seperti ini, dapat dikatakan memiliki tujuan dalam upayanya

memperlihatkan bagaimana struktur-struktur dalam hal ini hubungan-hubungan

8 Lihat kesimpulan K oentjaraningrat mengenai konsep struktur sosial yang dikemukakan A. Radcliffe-Brown dalam Sejarah Teori Antropologi. UI Press. 1987, op cit, hal. 181

9 Dalam Balandier (1986: 42)

Page 6: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

sosial politik saling menjalin satu sama lain dan bagaimana berfungsi dalam

rangka penegakan tertib sosial.

Dari tese yang digagas Evans-Pritchard dan Fortes mengandung beberapa

pemahaman mengenai aspek politik meski pada dasarnya sangat bersifat

strukutural yang pada masa itu memang telah banyak terinspirasi oleh gaya

pendekatan yang digagas Radcliffe-Brown. Namun secara nyata kita dapat

mendapati beberapa pokok gagasan tentang pendekatan antropologi yang

cenderung mengarahkan aspek politik pada wilayah tingkah laku sosial secara

umum, melihat seluruh bagian yang terkait dalam ranah struktur yang terkesan

terikat pada wilayah-wilayah sosial itu berlaku dan dalam kurun periode tertentu

kelompok masyarakat tersebut hidup. Dalam masyarakat-masyarakat tertentu

apalagi dalam masyarakat tradisional, membutuhkan perhatian pada hubungan

antara berbagai pranata. Pranata politik misalnya tak dapat dipisahkan dengan

pranata kekerabatan, agama, perkumpulan-perkumpulan usia, marga dan

sebagainya. Implikasi pada sisi tertentu dari tese yang diajukan Evans-Pritchard

dan Fortes bisa dianggap lebih luas dibandingkan pengertian pada ilmu politik

sendiri yang terkesan kaku pada satu pandangan saja dalam melihat bagaimana

tingkah laku suatu kelompok masyarakat dioperasionalisasikan dalam konteks

tatanan politik. Konsep yang pada umumnya lebih banyak diartikan dan

dihubungkan dengan institusi-institusi formal dan mengakar pada konteks politik

negara.

Pemahaman lain tentang pendapat yang diajukan antropolog seperti yang

dibahas diatas, dalam kajian masalah politik adalah bentuk dari suatu tatanan

yang menciptakan tertib sosial di dalam wilayah teritorial tertentu.

Konsekuensinya kemudian menjadikan pendekatan ini terlihat statis melihat

fenomena yang terjadi dalam suatu masyarakat seperti sifat dari pendekatan

Page 7: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

struktural pada umumnya yang mengarahkan perhatiannya pada unit-unit sosial,

fungsi politik dilihat pada saling pengaruh kepentingan dan proses timbal balik

dalam antara pranata dalam masyarakat tak bernegara seperti di Afrika. Arahnya

kemudian tak jauh dari orientasi konsep yang melahirkan klasifikasi tipe-tipe

masyarakat dalam kaitannya perilaku politik atas dasar hubungan-hubungan

sosial, seperti pada apa yang di uraikan Evans-Pritchard sendiri dalam

karangannya10. Kecenderungannya sangat mengabaikan ke-dalaman historitas dan

terlebih lagi topik mengenai perubahan sosial kemudian dibiaskan pada konteks

dimana situasi politik itu berlaku.

Pada hasil penelitian selanjutnya, banyak kritik yang dilontarkan terhadap

tujuan asli para ahli antropologi berjalan lebih jauh daripada perselisihan

mengenai varian-varian yang mungkin dari ketiga tipe dasar sistem politik.

Tujuan para ahli antropologi sosial menyoal klasifikasi sistem-sistem politik

atas`dasar satuan-satuan sosial semata, telah banyak diserang. Bahkan Lloyd

(1954) juga dalam buku yang disunting McGlynn dan Arthur Tuden11 menyarankan

bahwa, untuk memahami perilaku politik, suatu studi tentang komponen-

komponen struktural tidaklah cukup, dan dia berpendapat bahwa klasifikasi tipe-

tipe tidaklah dipandang sebagai tujuan utama penelitian mengingat faktor-faktor

lain dan konsep-konsep yang lebih bersifat umum seperti kewenangan,

pembentukan badan-badan pembuat keputusan dan dasar kewenangan serta

kepemimpinan juga muncul secara mencolok. Sebenarnya, setelah banyak

memeperhatikan satuan-satuan sosial tersebut di mana struktur serupa terjadi,

pembentukan perilaku politik dapat benar-benar berbeda.

10 McGlynn dan Arthur Tuden (2000) yang juga memberikan ulasan mengenai kecnederungan kelemahan analisisstruktural-fungsional, Hal. 16

11 Ibid, Hal. 17

Page 8: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

Selain kurangnya perhatian struktural-fungsional terhadap bentuk

pengoperasian suatu unit sosial atau dalam hal ini kita bahasakan sebagai pranata

politik yang hanya mengarahkan pada hubungan-hubungan atau relasi disetiap

unsur yang tetapi tidak terlalu memperhatikan tentang bagaimana suatu capaian

dalam proses dimana gejala politik itu muncul. Hal ini kemudian memunculkan

berbagai kajian yang mengarahkan pada dimana proses-proses persaingan yang

terwujud di antara individu-individu atau di antara kelompok-kelompok yang

saling merebut kepentingan umum serta strategi-strategi yang digunakan untuk

mencapai maksud tersebut12.

Konsep proses yang kemudian pada fase lanjutan dalam memahami

fenomena perilaku politik dijadikan salah satu kunci dalam pendekatan

antropologi politik. Analisis tentang fenomena politik terarah pada rentetan

aktifitas yang berkaitan dengan perebutan kekuasaan antar orang-orang atau antar

kelompok-kelompok dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya atau hasil

dari proses tersebut seperti penyusunan kembali hubungan-hubungan kekuasaan,

munculnya kelompok-kelompok elit baru, terdapatnya sumber-sumber baru dalam

ranah politik. Leach (1954)13 bahkan secara lebih luas menyatakan semua

perubahan sosial dan kebudayaan bersumber dari orang-orang-orang yang

berusaha mencari kekuasaan. Jadi studi tentang aspek politik harus dilakukan

dalam konteks diakronis. Itu berarti bahwa dalam pendekatan proses perhatian

beralih dari perspektif ekuilibrium kepada perspektif perubahan. Selain itu, gejala

politik berhubungan dengan proses-proses umum, jadi perhatian harus diberikan

kepada perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam hubungan-hubungan

kekuasaan yang terkait dengan kepentingan umum. Dalam pengaturan

12 Ibid, Hal. 23

13 Dalam McGlynn & Arthur Tuden (2000), op.cit, hal. 23.

Page 9: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

kepentingan umum dalam pemahaman prosesual, bahwa diperlukan support atau

dukungan. Alat dukungan yang paling penting, menurut para penganut

pendekatan proses, adalah legitimacy14 atau keabsahan yang diperoleh melalui

persetujuan. Pola pendekatan yang seperti ini kemudian cenderung untuk

menelisik masalah dasar-dasar yang muncul dalam aspek kekuasaan15.

Konsep mengenai kekuasaan juga diajukan oleh M. G. Smith16 yang di-

klasifikasikannya kedalam dua bentuk kekuasaan, yaitu: (1) kekuasaan konsensus,

adalah bentuk kekuasaan yang dilaksanakan atas dasar persetujuan bersama

antara pemimpin dan pengikut. Hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran

bahwa apa yang dianjurkan atau diperintahkan oleh pemimpin baik dan berguna

untuk kepentingan bersama. Kesadaran demikian biasanya dimantapkan oleh

tindakan para pemimpin yang rela berkorban demi kepentingan warganya. Bentuk

kekuasaan ini tidak menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai kemauan para

pemimpin. Biasanya nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang bermanifestasi

dalam mitologi, agama atau pernyataan-pernyataan yang dikeramatkan dijadikan

ideologi, menjadi sumber peng-absahan kekuasaan. Berbeda dengan (2) kekuasaan

paksaan yang berdasarkan kekuatan fisik adalah bentuk kekuasaan yang

menggunakan kekerasan fisik untuk mencapai tujuan tertentu. Kekerasan fisik itu

dapat berupa hukuman badaniah atau hukuman material. Perlu di tegaskan disini

bahwa dua bentuk kekuasaan tersebut tidak perlu dipertentangkan perbedaannya

14 Legitimasi dalam penngertian tulisan ini adalah pengakuan bersama oleh pemimpin dan pengikut terhadapkekuasaan yang ada. Akibat dari pengakuan bersama itu ialah semua perintah dalam bentuk aturan-aturan(tertulis maupun bersifat lisan) yang berasal dari pemimpim dianggap benar dan oleh karena itu diterima dandilaksanakan oleh para pengikut (Claessen (1970:310)

15 McGlynn & Arthur Tuden (2000), op.cit, hal. 23.

16 Dalam Balandier (1986) Op.cit, hal 44

Page 10: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

melainkan harus dilihat sebagai dua pola ekstrem pada satu kontinum17. Claessen

merinci kontinum kekuasaan dalam bentuk model seperti berikut: ”… konsep

kekuasaan merupakan suatu payung yang dibawahnya bernaung berbagai bentuk

kekuasaan yang secara berangsur-angsur dari satu bentuk ke bentuk yang lain.

Pada satu ujung garis kontinum terdapat bentuk kekuasaan paksaan yang

didasarkan atas kekerasan, beralih pada bentuk ancaman dan kemudian beralih

pada bentuk manipulasi. Selanjutnya dari bentuk manipulasi beralih kepada

bentuk kemampuan meyakinkan orang lain dan berakhir pada bentuk legitimasi di

ujung lain dari garis kontinum tersebut.”

Pandangan lain mengenai kekuasaan ketika diasumsikan sebagai ajang

kompetisi dimana fungsi kekuasaan18 dilihat dalam rangka mempertahankan

kelemahan-kelemahan sebuah masyarakat, menjaga “tata aturan” yang baik dan

jika perlu, demikian perlu dilakukan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan

yang tidak bertentangan dengan apa-apa yang menjadi prinsip dasarnya.

Akhirnya, begitu hubungan-hubungan kekerabatan maka kompetisi dapat dilihat

terbangun di antara kelompok-kelompok dan individu-individu, masing-masing

mencoba mempengaruhi keputusan-keputusan yang lahir dari kesepakatan

konsensus sesuai dengan kepentingan-kepentingan khusus mereka sendiri atau

masyarakat itu. Sebagai konsekuensinya, kekuasaan politik pun muncul sebagai

hasil dari kompetisi dan sebagai wadah kompetisi itu.

Satu kesimpulan bisa ditarik dari catatan awal ini, bahwa kekuasaan politik

adalah inheren dalam setiap masyarakat. Ia menumbuhkan penghormatan bagi

aturan-aturan yang menjadi landasannya, suatu bentuk kekuasaan juga mampu

17 Menurut Claessen, sifat kontinum dari dua bentuk kekuasaan itu dapat dilihat pada gejala makinmeningkatnya penggunaan kekerasan fisik pada saat makin melemahnya pengakuan terhadapkepemimpinan yang ada (Claessen dalam Claessen 1974: 40).

18 Lihat Balandier (1986), op.cit, Hal. 45.

Page 11: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

mempertahankan masyarakat dari hal yang tidak melengkapi dari tatanannya dan

akibat-akibat dari kompetisi individu-individu dan kelompok-kelompok.

Selain konsep-konsep analisis yang sudah dibicarakan di atas, dalam

pendekatan proses juga memiliki alat analisis lain dalam mengkaji fenomena

politik, yakni konsep field dan arena19. Konsep field dapat kita terjemahkan

dengan kata medan sebagai suatu kumpulan dari semua orang yang terlibat dalam

kejadian-kejadian politik sepanjang waktu. Sedangkan konsep arena diartikan

sebagai ruang lingkup sosial dan budaya dari medan politik. Kedua konsep akan

menjadi pendekatan yang akan banyak penulis gunakan untuk melihat realitas

lapangan tidak hanya pada posisi dimana relasi dari kekuasaan berlaku tetapi juga

penggambaran digunakan untuk menjelaskan tentang bentuk pertarungan dalam

setiap proses tersebut membentuk polanya. Strategi dalam pola tersebut dimaknai

tidak semata-mata statis tetapi juga pergerakan, dimensi pengaruh-pengaruh yang

menyebabkan adanya bentuk yang tidak berada pada polanya.

Kedua pendekatan yang telah dikemukakan diatas memang berbeda dilihat

dari konsep-konsep analisis yang digunakan serta tujuan yang ingin dicapai dalam

pengkajian masing-masing. Jika pada pendekatan struktural-fungsional konsep-

konsep struktur, fungsi, ekuilibrium merupakan konsep-konsep kunci, maka pada

pendekatan proses, konsep-konsep proses, dukungan, legitimasi, kekuasaan

medan dan arena adalah konsep-konsep kuncinya. Lebih lanjut, tujuan yang ingin

dicapai oleh pendekatan struktural fungsional adalah pengkajian terhadap

organisasi politik dan bentuk-bentuk dari sistem politik, sedangkan perhatian

utama dari pendekatan proses adalah cara bekerjanya suatu sistem politik

tertentu.

19 Metode yang serupa digunakan Swartz, Turner dan Tuden (1966) yang diulas dalam McGlynn &Arthur Tuden(2000) op.cit. hal 33.

Page 12: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

Pada saat muncul pertanyaan pendekatan mana yang lebih baik untuk

pengkajian politik, Claessen20 berpendapat: “…Sungguhpun pendekatan struktural

fungsional dan pendekatan proses dipertentangkan sebagai pendekatan-

pendekatan yang berbeda, namun jelas bahwa dua pendekatan tersebut tidak

bertentangan. Kehadiran struktur-struktur tidak mengesampingkan proses-proses

politik, sebab proses-proses politik semata-mata berlangsung dalam struktur-

struktur politik atau menjembatani struktur-struktur yang berbeda”. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa setiap pendekatan mempunyai segi kelemahan

pada satu dimensi dan kekuatan pada dimensi lainnya. Masing-masing

memberikan sumbangan penting bagi pemahaman fenomena atau dengan kata

lain saling melengkapi.

Dari pengertian yang telah diutarakan diatas, penulis mengupayakan

kombinasi pemahaman dalam menggambarkan struktur masyarakat di kabupaten

Wajo yang diarahakan pada langkah penelitian pemetaan bentuk stratifikasi sosial

kelompok-kelompok ataupun individu-individu, tatanan yang terbangun dari

kekerabatan dan bentuk jaringan yang terdapat didalamnya. Tetapi tidak hanya

pada batasan dimana struktur itu terbentuk, penulis juga menggambarkan

bagaimana struktur itu bekerja melalui individu atau kelompok begitupun

sebaliknya. Dengan mengasumsikan upaya menjembatani dikotomi individu

dengan objek dengan tidak memisahan perilaku beserta sifat-sifat subjektifitas

individu yang menyertai didalamnya dengan jaringan struktur yang membangun

pola objektifitasnya dalam tatanan sosial. Dengan pengertian ini, memudahkan

penulis untuk menggambarkan bentuk proses yang tidak terputus dari sumbernya

atau berkesinambungan dengan melakukan penafsiran terhadap beberapa catatan

tentang bentuk-bentuk dan cara masyarakat dalam kondisi sosial yang ada

20 Claessen (1987), op.cit, Hal. 28

Page 13: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

sebelumnya untuk menemukan bagiamana perubahan berlaku tetapi tetap

memperhatikan bentuk yang sebenarnya tidak hanya menyesuaikan tetapi juga

nampak seperti “ selalu lahir” di setiap kondisi sosial budaya dalam periode

sejarah tertentu.

Manakala terjadi semacam keterkaitan masyarakat antara satu sama lainnya

dalam satuan yang meluas semisal dalam tingkatan nasional maupun regional,

dapat kita indikasikan bahwa telah terjadi interaksi dalam jaringan relasi sosial

dalam ranah lokal dan relasi lainnya yang lebih luas. Adanya konstalasi sosial tidak

terjadi begitu saja secara internal, namun pada kajian politik dan kekuasaan justru

menekankan tentang isi dan bentuk dari kekuasaan yang tercipta dan terwujud

dalam ranah sosial budaya yang berpadu dengan ranah sosial yang lebih luas dan

berasal dari luar. Dipertegas oleh Rudiansyah dalam tulisannya bahwa

konfigurasi21 tersebut menjadi sangat menentukan.

Dalam bentuk pemerintahan di daerah, institusi-institusi politik yang

digunakan individu dalam menjalankan tugasnya mempunyai fungsi memilih dan

menyeleksi; pengawasan dan pengendalian; pembuatan peraturan daerah; debat

dan fungsi representasi serta mempunyai hak-hak menyangkut anggaran,

mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota; meminta keterangan;

mengadakan perubahan dan mengajukan pernyataan pendapat.

Terkait masalah kebijakan-kebijakan dalam arena politik termasuk dalam

ruang institusi politik, Gabriel Almond22 mengajukan tese bahwa sebelum

kebijaksanaan dan tujuan ditetapkan, individu-individu atau kelompok-kelompok

masyarakat, harus menentukan apa yang menjadi kepentingan mereka, yaitu apa

21 Istilah yang digunakan Rudiansyah dalam upayanya menggambarkan bentuk-bentuk dan model yang terciptadalam kekuasaan.

22Dalam “Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara” (1986), Op.cit hal. 86

Page 14: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

yang ingin mereka dapatkan dari politik. Kepentingan dan tuntutan-tuntutan ini

kemudian digabungkan dengan menjadikan alternatif-alternatif kebijaksanaan

selanjutnya dipertimbangkan untuk ditentukan sebagai pilihan.

Page 15: Pendekatan Antropologi Dalam Studi Politik (Antropologi Politik)

Daftar Pustaka

Almond, Gabriel & Sidney Verba. 1984. Budaya Politik: Tingkah Laku Politik danDemokrasi di 5 Negara. terjemahan Drs. Sahat Simamora. Bina Aksara:Jakarta.

Balandier, Georges. 1986. Antropologi Politik, cet. ke-1, C.V. Rajawali: Jakarta.

Budihardjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik, cetakan ke-8,: Gramedia:Jakarta

Claessen, H.J.M. 1987. Antropologi Politik, Suatu Orientasi. cet. ke-1, Erlangga:Jakarta.

Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi . Aksara Baru: Jakarta.

___________ . 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas IndonesiaPress: Jakarta.

___________ . 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Penerbit UniversitasIndonesia Press: Jakarta.

Mattulada. 1995. Latoa: Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik OrangBugis. Hasanuddin University Press: Ujung Pandang.

McGlynn, Frank & Arthur Tuden (editor). 2000. Pendekatan Antropologi padaPerilaku Politik. UI Press: Jakarta

Rudiansyah, Tony. 2009. Kekuasaan, Sejarah dan Tindakan: Sebuah KajianTentang Lanskap Budaya. PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta.

Rudy, T. May, 2007. Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran danKegunannya, edisi revisi. Refika Aditama: Jakarta.

Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atasNegara, Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Yayasan Obor: Jakarta.