Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
104
PENEGAKAN HUKUM DISIPLIN ANGGOTA POLISI REPUBLIK INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF GOOD GOVERNANCE & CLEAN GOVERNMENT
Oleh :
Gusti Ayu Kade Komalasari, SH,MH
Dr. Ni Ketut Wiratny, SH, MH
AA. Gde Putra Arjawa, SH, MH
Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta, Jalan Ken Arok Nomor 12 Denpasar
([email protected], wiratny,@gmail.com, [email protected])
Abstract, The Republic of Indonesia National Police (Polri) as one of the institutions that
carry out the public service function is required to be able to provide the best service to the
community by displaying professional and reliable unity performance in their fields. The
Criminal Procedure Code, gives a role to the National Police of the Republic of Indonesia
to carry out the tasks of investigation and investigation of criminal acts (generally) without
limitation of the power of the nature as long as it is included in the scope of public law.
Based on the descriptions in the background, the problem above, the problems that can be
formulated in this study are: How is the Law Enforcement of Polri's Discipline in Realizing
Good Governance and Clean Governance, What obstacles are faced by Polri's Discipline
Enforcement in realizing Good Governance and clean governance The theory used to
analyze the problems of the Law State Theory, Hirarkhi Theory Legal Norms, Authority
Theory, Law Enforcement Theorem, Government Concepts and Clean Government
This type of research is normative legal research supported by empirical legal
research. The approach used by the author is the Law approach (Statute approach), legal
concept analysis approach (analytical & conseptual approach), comparative approach.
Sources of Primary Legal Materials and secondary legal materials, namely materials that
provide an explanation of primary legal materials, such as the results of seminars or other
scientific meetings, Secondary legal material is the Legal Material Collection Technique
carried out by a card system (collecting system) material both legislation, documents,
library materials and other research results related to the subject matter. Processing
techniques and legal material analysis, carried out qualitatively, legal materials are
collected and analyzed descriptively (in parallel and coherently) in the form of description.
Conceptual law enforcement and law enforcement as a process is realized with an
indicator that the factors that influence the implementation of disciplinary law enforcement
by Polri are guided by: Law enforcement / personal rules, infrastructure facilities that need
to be held for disciplinary law enforcement processes for police members in cultural
factors, Constraints - constraints faced by Polri Discipline Enforcement in realizing Good
Governance and Clean Governance. The police are expected to behave and behave in a
consistent manner with the vision, mission, code of ethics built by the Indonesian National
Police. In its implementation there is still the interference of state officials, the political
elite towards the implementation of Polri's duties so as to influence the disciplinary
members of the National Police.
Keywords: Polri Law and Discipline Enforcement
Abstrak, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai salah satu institusi yang
mengemban fungsi pelayanan publik dituntut untuk mampu memberikan pelayanan yang
terbaik kepada masyarakat dengan menampilkan kinerja kesatuan yang profesional dan
handal di bidangnya. KUHAP, memberikan peran kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
105
(secara umum) tanpa batasan lingkungan kuasa sepanjang masih termasuk dalam
lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberi kewenangan
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana
Berdasarkan uraian-uraian dalam latar belakang, masalah di atas, maka
permasalahan yang dapat di rumuskan dalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah
Penegakan Hukum Disiplin Polri dalam Dalam mewujudkan Good Governance dan clean
Governance, Kendala-kendala apa yang dihadapi Penegakan Disiplin Polri dalam
mewujudkan Good Governance dan clean Governance Adapun teori yang dipakai
menganalisis permasalahan Teori Negara Hukum, Teori Hirarkhi Norma Hukum, Teori
Kewenangan, Teor Penegakkan Hukum, Konsep Goverment dan Clean Goverment
Jenis penelitian yaitu penelitian hukum normatif ditunjang penelitian hukum empiris.,
pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan Undang-undang (Statute
approach), pendekatan analisis konsep hukum (analitical & conseptual approach),
pendekatan perbandingan (comparative approach). Sumber Bahan Hukum Primer dan
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, Bahan hukum sekunder
adalah Teknik Pengumpulan Bahan Hukum dilakukan dengan sistem kartu (card
sistem) yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan baik peraturan Perundang-
undangan,dokumen-dokumen, bahan pustaka dan hasil penelitian lainnya yang terkait
dengan pokok permasalahan. Teknik Pengolahan dan analisis bahan hukum , dilakukan
secara kualitatif,Bahan hukum yang dikumpulkan dan di analisis secara deskriptif
(secararuntun dan runtut) dalam bentuk uraian.
Penegakan hukum secara konsepsional maupun penegakan hukum sebagai suatu
proses terwujud dengan indikator bahwa faktor - faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
penegakan hukum disiplin anggota Polri berpedoman pada : Aturan Penegak
hukum/personal, Sarana prasarana yang perlu diadakan untuk proses penegakan hukum
disiplin anggota Polri factor budaya, Kendala-kendala yang dihadapi Penegakan Disiplin
Polri dalam mewujudkan Good Governance dan clean Governance. Polisi diharapkan
bersikap dan berprilaku yang konsisiten dengan visi, misi, kode etik yang dibangun oleh
Polri Dalam pelaksanaannya masih ada interpensi pejabat negara, elit politik terhadap
pelaksanaan tugas Polri sehingga mempengaruhi penegak hukum disiplin anggota Polri.
Kata Kunci : Penegakan Hukum dan Disiplin Polri
BABI PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum,
hal ini dinyatakan dengan tegas dalam
penjelasan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945
bahwa “Negara Republik Indonesia
berdasar atas hukum “(rechstaat)”, tidak
berdasar atas kekuasaan belaka
(machstaat). Cita-cita yang telah di
rumuskan para pendiri kenegaraan dalam
konsep “Indonesia adalah negara
hukum”, mengandung arti, bahwa dalam
hubungan antara hukum dan kekuasaan,
bahwa kekuasaan tunduk pada hukum
sebagai kunci kestabilan politik dalam
masyarakat. Dalam negara hukum,
hukum merupakan tiang utama dalam
menggerakkan sendi-sendi kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Ciri utama dari suatu negara
hukum terletak pada kecendrunganya
untuk menilai tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh masyarakat dengan dasar
peraturan-peraturan hukum.
Pembicaraan mengenai hukum selalu
berkaitan dengan masalah penegakan
hukum (law enforcement) dalam
pengertian luas juga merupakan
penegakan keadilan. Apabila
dikongkritkan lagi, akan terarah pada
aparat penegak hukum khususnya
105
POLRI mengemban tugas yang luas,
kompleks. Sebagai penegak hukum,
merupakan komandan dalam
melaksanakan amanat undang-undang
dalam menegakkan ketertiban, dan
keamanan masyarakat. Sebagai
pelaksana undang-undang, Polisi
mempunyai fungsi yang unik dan rumit
karena dalam menjalankan tugas di
tengah masyarakat, cenderung mandiri
berbeda dengan Tentara, selalu dalam
kelompok dipimpin komandan sebagai
penanggung jawab dengan medan
tempur yang jelas dan cukup waktu
mengatur strategi.
Dalam era modern, Polisi adalah
suatu pranata sipil yang mengatur tata
tertib (orde) dan hukum, Polisi dalam
lingkungan pengadilan bertugas sebagai
penyidik. Dalam tugasnya dia mencari
keterangan-keterangan dari berbagai
sumber dan keterangan saksi. Tumbuh
dan berkembangnya POLRI tidak lepas
dari sejarah perjuangan kemerdekaan
Republik Indonesia sejak Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, POLRI telah
dihadapkan pada tugas-tugas yang unik
dan kompleks. Selain menata keamanan
dan ketertiban masyarakat di masa
perang, POLRI juga terlibat langsung
dalam pertempuran melawan penjajah
dan berbagai operasi militer bersama-
sama kesatuan bersenjata yang lain.
Keadaan seperti ini dilakukan oleh
POLRI karena POLRI lahir sebagai satu-
satunya kesatuan bersenjata lengkap.
Tugas kepolisiaan Negara Republik
Indonesia yang makin meningkat dan
berorientasi kepada masyarakat yang
dilayaninya secara universal tugas polisi
ada dua, yaitu menegakkan hukum dan
memelihara ketertiban umum.
Tugas pertama mengandung
pengertian represif atau tugas terbatas
yang dibatasi oleh Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), tugas
yang kedua mengandung pengertian
preventif atau tugas mengayomi adalah
tugas yang luas tanpa batas, boleh
melakukan apa saja asal keamanan
terjaga dan tidak melanggar hukum itu
sendiri.
Kepolisian Negara
Republik Indonesia (POLRI) sebagai
salah satu institusi yang mengemban
fungsi pelayanan publik dituntut untuk
mampu memberikan pelayanan yang
terbaik kepada masyarakat dengan
menampilkan kinerja kesatuan yang
profesional dan handal di bidangnya.
Undang-Undang Nomor 2 tahun
2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Pasal 13 disebutkan
bahwa Polri memiliki tugas pokok yaitu
memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum serta
memberikan perlindungan, pengayoman
dan pelayananmasyarakat
Dalam era reformasi tugas Polri
semakin berat sehingga tugas
memberikan pelayanan kepada masyara
kat semakin sulit dilaksanakan. Selain
itu, adanya sikap kritis dari masyarakat
terhadap kinerja Polri, serta tidak kalah
pentingnya perubahan struktural Polri
yang dulunya merupakan bagian
dari institusi militer yang tergabung
dalam ABRI dan sekarang berdiri sendiri
sehingga banyak harapan dari
masyarakat agar Polri mampu
membangun postur yang ideal sebagai
polisi yang berwatak sipil dan mampu
menjadi tulang punggung bangsa dalam
menangani permasalahan kamtibmas.
Sejak resmi memisahkan diri
dari Tentara Nasional Indonesia (TNI)
sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor
2 Tahun 1999 dan TAP MPR Nomor 6
Tahun 2000 tentang pemisahan Polri dari
TNI, yang diperkuat juga oleh TAP MPR
Nomor 7 Tahun 2000 mengenai Peran
TNI dan Polri Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Polri berusaha
membangun image sekaligus paradigma
baru. Image Polri yang semula
militeristik dan cenderung represif
berangsur-angsur mulai berubah dengan
paradigma barunya sebagai pelindung,
pengayom, dan pelayan masyarakat (to
serve and protect). Namun disadari
106
tidaklah mudah melakukan perubahan
terhadap budaya militeristik serta
paradigma alat negara yang sudah
mengakar dalam tubuh Polri. 1
Pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat terkandung dalam tugas-
tugas penegakan hukum yang dilakukan
oleh Polri dalam hal ini dilaksanakan
oleh fungsi Reserse Kriminal. Pasal 14
ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor
2 tahun 2002, di sebutkan bahwa dalam
melaksanakan tugas pokok sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertugas
melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang-undangan
lainnya.
Penegakkan hukum dalam rangka
menciptakan keamanan dan
ketertiban dilakukan secara bersama-
sama dalam suatu Sistem Peradilan
Pidana (SPP) yang merupakan suatu
proses panjang dan melibatkan banyak
unsur di dalamnya. Sistem Peradilan
Pidana sebagai suatu sistem di dalamnya
terkandung beberapa subsistem yang
meliputi subsistem kepolisian (sebagai
penyidik), subsistem kejaksaan sebagai
penuntut umum, subsistem kehakiman
sebagai hakim, dan subsistem lembaga
pemasyarakatan sebagai subsistem
rehabilitasi.
Keempat subsistem di atas baru
bisa berjalan secara baik apabila semua
saling berinteraksi dan bekerjasama
dalam rangka mencapai satu tujuan yaitu
mencari kebenaran dan keadilan materiil
sebagaimana jiwa dan semangat Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Sebagai hukum acara pidana
dalam kerangka penegakan hukum
pidana, KUHAP merupakan acuan
umum yang harus di jadikan pegangan
1 Sancipto Rahardjo, Membangun
Polisi Sipil Perspektif Hukum, Sosial &
Kemasyarakatan, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta, 2007, hal 75
bagi semua yang terlibat dalam proses
bekerjanya Sistem Peradilan Pidana
dalam rangka mencapai satu tujuan
bersama.
Undang-Undang Nomor 8 tahun
1981 tentang KUHAP, memberikan
peran kepada Kepolisian Negara
Republik Indonesia untuk melaksanakan
tugas penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana (secara umum) tanpa
batasan lingkungan kuasa sepanjang
masih termasuk dalam lingkup hukum
publik, sehingga pada dasarnya Polri
oleh KUHAP diberi kewenangan
untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak
pidana, walaupun KUHAP juga
memberikan kewenangan kepada PPNS
tertentu untuk melakukan
penyidikan sesuai dengan wewenang
khusus yang diberikan oleh undang-
undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing.
Indonesia menganut sistem
penegakan hukum terpadu (Integrated
Criminal Justice System) merupakan
legal spirit dari KUHAP. Keterpaduan
tersebut secara filosofis adalah suatu
instrumen untuk mewujudkan tujuan
nasional dari bangsa Indonesia yang telah
dirumuskan oleh The Founding
Father dalam UUD 1945, yaitu
melindungi masyarakat (social
defence) dalam rangka mencapai
kesejahteraan sosial (social
welfare).2
Dalam sistem penegakan hukum
terpadu berdasarkan KUHAP yang kita
miliki selama ini menganut asas division
of function atau sistem kompartemen,
yang memisahkan secara tegas tugas dan
kewenangan penyidikan penuntutan dan
permeriksaan di sidang pengadilan serta
pelaksanaan putusan dan penetapan
pengadilan yang terintegrasi, menuju
2 Romli Atmasasmita, Sistem
Peradilan Pidana ; Perspektif
Eksistensialisme dan Abilisionisme, Cet II
revisi, Bina Cipta, Bandung, 1996, hal 9-10.
107
kepada sistem peradilan pidana terpadu
(integrated criminal justice
system), tetapi di dalam praktek belum
memunculkan sinergi antar institusi
terkait.3
Penegakan hukum di Indonesia,
terutama di mulai dari tahap penyidikan,
mengatur wewenang penyidikan untuk
terjadinya suatu keterpaduan dalam
pelaksanaannya. Akhirnya yang terlihat
adalah saling rebut perkara antara
instansi yang merasa diberi wewenang
oleh undang-undang sehingga
masyarakat sering menjadi korban
sebagai pencari keadilan akibat
kesalahan penegakan hukum dan
mengakibatkakan hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap keberadaan
lembaga peradilan.
Dalam melaksanakan penegakan
hukum, apabila kalangan aparat penegak
hukum tidak mampu memperlihatkan
kemampuannya, maka masyarakat akan
mencari jalan keluar yang lain atau apa
yang disebut Alternative Dispute
Resolution (ADR). Pandangan
masyarakat yang radikal akan
menghakimi masalah yang muncul
sehingga akan terjadi suatu keadaan yang
kacau (chaos) karena tidak melalui suatu
jalur hukum yang sudah ada, hal ini
terjadi karena mereka menganggap
lembaga peradilan sudah tidak dipercaya
lagi.
Proses penyidikan merupakan
tahap yang paling krusial dalam Sistem
Peradilan Pidana, dimana tugas
penyidikan yang di bebankan kepada
Polri sangat kompleks, selain sebagai
penyidik juga sebagai pengawas serta
sebagai koordinator bagi penyidik PPNS.
Kompleksitas tugas penyidik Polri
semakin bertambah seiring dengan
bergulirnya reformasi di segala bidang
kehidupan di Indonesia. Penyidik
dituntut untuk berhasil mengungkap
semua perkara yang terindikasi telah
melanggar hukum yang ditanganinya.
3 Ibid
Disamping itu penyidik juga
dituntut untuk tidak melanggar Hak
Asasi Manusia (HAM) dalam melakukan
penyidikan terhadap seseorang yang di
duga melakukan tindak pidana.
Tantangan lain yang dihadapi oleh
penyidik Polri bukan saja berasal dari
keberhasilan meneruskan suatu perkara
ke pengadilan melalui kejaksaan, tetapi
juga kemungkinan akan dituntut oleh
pihak tersangka dan keluarganya melalui
gugatan pra-peradilan karena kesalahan
penyidik Polri itu sendiri.
Kegiatan penyidikan merupakan
suatu rangkaian kegiatan
penindakan/upaya paksa, pemeriksaan,
penyelesaian dan penyerahan berkas
perkara. Kenyataan dilapangan
berdasarkan penelitian awal (observasi)
oleh penulis terutama di wilayah hukum
Polres Singaraja yang dijadikan wilayah
penelitian dalam penulisan tesis ini,
pelaksanaan penyidikan tersebut tidak
dapat berjalan sebagaimana yang telah di
atur dalam KUHAP sehingga
menimbulkan berbagai macam
permasalahan pada saat proses
penyidikan sedang berlangsung.
Permasalahan-permasalahan yang
timbul dalam proses penyidikan oleh
pihak kepolisian adalah Penyelesaian
perkara (crime clearance) yang
dilaporkan oleh masyarakat dalam
penyelesaian tindak pidana adalah
penyelesaian perkara yang telah
dinyatakan lengkap oleh pihak kejaksaan
(P-21) dan disertai dengan penyerahan
tersangka bersama barang bukti. Hal ini
menunjukan bahwa kinerja aparat
kepolisian khususnya penyidik dalam
penangangan tindak pidana masih perlu
mendapapat perhatian, disamping itu ada
indikasi yang sulit dibuktikan secara
hukum “Budaya 86” yaitu upaya-upaya
penyalahgunaan wewenang penyelidikan
dan penyidikan dengan maksud dan
tujuan tertentu demi
108
kepentingan pribadi penyidik maupun
penyidik pembantu.
Berbagai mekanisme dalam
menjalankan budaya dimaksud secara
turun temurun diperoleh oleh para
penyidik maupun penyidik pembantu
dari penyidik maupun penyidik
pembantu lainnya yang lebih senior
(lebih dahulu berdinas di fungsi
Reskrim). Walaupun terkesan layakny
a sebuah “hidden
curriculum” yang diturunkan dari satu
generasi penyidik
maupun penyidik pembantu ke genera
si penyidik maupun penyidik pembantu
berikutnya. Adanya kasus yang di sidik
oleh polisi tidak di selesaikan
berdasarkan urut-urutan proses yang
berlaku dalam sistem peradilan pidana,
Kasus yang diselesaikan berdasarkan tata
urutan yang telah ditentukan hanyalah
kasus-kasus yang sudah terlanjur
diketahui oleh masyarakat melalui media
masa atau kasus perhatian masyarakat
yang ditunjukan melalui aksi dan reaksi
yang ditandang mendapati dengan suatu
ancaman/tuntutan melalui unjuk rasa
atau demonstrasi. Sebaliknya pada
kasus-kasus yang tidak mendapat
perhatian dari masyarakat sering
diselesaikan oleh polisi dengan jalan
damai atau dengan pembayaran sejumlah
uang sebagai ganti kerugian pada pihak
korban .
Dalam proses damai ini baik polisi
maupun korban masing-masing
mengambil inisiatif untuk menyelesaikan
secara diam-diam, yang akhirnya perkara
tersebut akan dihentikan oleh Penyidik
dalam hal ini untuk menutup suatu
perkara secara damai. Dalam hal
penangguhan penahanan, polisi
menetapkan sejumlah uang sebagai
jaminan atas penangguhan penahanan
yang besarannya di sesuaikan dengan
ketentuan.
Dengan kondisi-kondisi yang
dikemukakan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa proses penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik Polri
menghadapi suatu permasalahan yang
begitu kompleks, sehingga dalam
pelaksanaannya sulit untuk berjalan
dengan baik dan akan menimbulkan
dampak negatif bagi bekerjanya suatu
sistem peradilan pidana dalam
menciptakan proses hukum sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian dalam
latar belakang, masalah di atas, maka
permasalahan yang dapat di rumuskan
dalam penelitian ini adalah
bagaimanakah Penegakan Hukum
Disiplin Polri dalam Dalam mewujudkan
Good Governance dan clean
Governance
1.3 Metode Penelitian
a) Jenis Penelitian, Pada
dasarnya bahwa ilmu hukum
itu mengenal dua jenis
penelitian yaitu penelitian
hukum normatif dan penelitian
hukum empiris. Penelitian
hukum normatif adalah suatu
penelitian dimana sumber atau
bahan utamanya atau bahan
hukum primernya adalah
berupa ketentuan Peraturan
Perundang-undangan, UUD
1945, Undang-Undang No 2
Tahun 2002 Tentang Tentang
Kepolisian, Undang-Undang
No. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme,
KUHAP, Undang-Undang No
8 Tahun 1981 dan Peraturan
Pemerintah dan peraturan
pelaksana lainnya.
b) Pendekatan Masalah,
Pendekatan masalah yang akan
dipergunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan dengan
konsep hukum, pendekatan
ketentuan Peraturan
Perundang-undangan,
peraturan kebijakan yang
109
terkait dengan permasalahan
dan pembahasan khususnya
untuk penelitian hukum, selain
pendekatan yang bersifat
kualitatif, pendekatan yang
digunakan oleh penulis adalah
pendekatan Undang-undang
(Statute approach),
pendekatan analisis konsep
hukum (analitical &
conseptual approach),
pendekatan perbandingan
(comparative approach).
Pendekatan Undang-undang
dilakukan dengan menelaah
semua Undang-Undang dan
regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang
ditangani. Pendekatan analisis
konsep hukum dilakukan
dengan menelusuri tentang
keberadaan hubungan antara
peraturan perundang-undangan
yang terkait antara satu dengan
yang lainnya, sedangkan
pendekatan komparatif
dilakukan dengan
membandingkan Undang-
undang yang berhubungan
penegakan hukum
c) Sumber Bahan Hukum
Sumber hukum dalam
penelitian ini adalah : Bahan
Bahan Hukum Primer, Bahan
hukum sekunder, dan Bahan
Hukum terrsier.
d) Teknik Pengumpulan Bahan
Hukum, Dalam hal ini
dilakukan dengan sistem kartu
(card sistem) yaitu dengan
mengumpulkan bahan-bahan
baik peraturan Perundang-
undangan,dokumen-dokumen,
bahan pustaka dan hasil
penelitian lainnya yang terkait
dengan pokok permasalahan.
4 Muhammad Imaduddin
Abdulrahim dalam tulisannya yang berjudul
e) Teknik Pengolahan dan
Analisis Bahan Hukum.
Analisis Pengolahan dan
analisis bahan hukum,
dilakukan secara kualitatif,
Bahan hukum yang
dikumpulkan dan di analisis
secara deskriptif (secara runtun
dan runtut) dalam bentuk
uraian.berarti usaha
pemecahannya yang dilakukan
dengan upaya yang didasarkan
pada pengukuran yang
memecahkan objek penelitian
ke dalam unsur-unsur tertentu,
untuk kemudian ditarik
BAB II TINJAUAN UMUM
PENEGAKAN HUKUM DISIPLIN
ANGGOTA POLRI
2.1. Pengertian Profesi Kepolisian
Profesi menurut keiser adalah sikap
hidup berupa keadilan untuk
memberikan pelayanan professional
terhadap masyarakat dengan penuh
ketertiban dan keahlian sebagai
pelayanan dalam rangka melaksanakan
tugas berupa kewajiban terhadap
masyarakat Polri adalah ; aparat penegak
hukum yang bertanggung jawab atas
ketertiban umum, keselamatan dan
keamanan masyarakat.
Para ahli belum mempunyai kata
sepakat mengenai definisi profesi sebab
tidak ada suatu standar (yang telah
disepakati) pekerjaan/ tugas yang
bagaimanakah yang disebut sebagai
profesi. Muhammad Imaduddin
Abdulrahim mengemukakan bahwa
profesionalisme biasanya dipahami
sebagai suatu kualitas, yang wajib
dimiliki setiap eksekutif yang baik. Di
dalamnya terkandung beberapa ciri,
yaitu4.
a) Memiliki ketrampilan tinggi
dalam suatu bidang, serta
kemahiran dalam
mempergunakan peralatan
Profesionalisme dalam Islam pada Jurnal
Ulumul Quran No 2, Vol. IV Tahun 1993
110
tertentu yang diperlukan dalam
pelaksanaan tugas yang
bersangkutan dengan bidang
tadi.
b) Memiliki ilmu dan pengalaman
serta kecerdasan dalam
menganalisa suatu masalah dan
peka dalam membaca situasi,
cepat dan tepat serta cermat
dalam mengambil keputusan
terbaik atas dasar kepekaannya
kemampuan mengantisipasi
perkembangan lingkungannya.
c) Memiliki sikap mandiri
berdasarkan keyakinan akan
kemampuan pribadi serta
terbuka menyimak dan
menghargai pendapat orang
lain, namun cermat dalam
memilih yang terbaik bagi diri
kita dan perkembangan
pribadinya.
2.2 Pengertian Disiplin Dalam Profesi
Kepolisian
Pengertian Disiplin berasal dari
bahasa latin Discipline, yang berarti
instruksi. MenurutPeraturan Pemerintah
Nomor 2 tahun 2003, Disiplin adalah
ketaatan dan kepatuhan yangsungguh-
sungguh terhadap peraturandisiplin
anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia5 .Disiplin dapat didefinisikan
sebagai suatu sikap menghormati,
menghargai, patuh dan taat terhadap
peraturan-peraturan yang berlaku, baik
yang tertulis maupun tidak tertulis serta
sanggup menjalankannya dan tidak
mengelak untuk menerima sanksi-
sanksinya apabila ia melanggar tugas dan
wewenang yang diberikan kepadanya6.
Pendapat lain merumuskan bahwa
disiplin adalah kesadaran dan kesediaan
seseorang menaati semua peraturan dan
norma-norma sosial yang berlaku.
5 Peraturan Pemerintah Tentang
Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia. PP. No. 2
Kesadaran adalah sikap seseorang yang
secara sukarela menaati semua peraturan
dan sadar akan tugas dan tanggung
jawabnya, kesediaan adalah suatu sikap,
tingkah laku, dan peraturan perusahaan,
baik yang tertulis maupun tidak.
BAB III PENEGAKAN HUKUM
DISIPLIN ANGGOTA POLRI
DALAM PERSPEKTIF GOOD
GOVERNANCE DAN CLEAN
GOVERNMENT.
3.1 Pelaksanaan dan Dampak
Penjatuhan Sidang Hukuman
Disiplin.
Anggota Polri sebagai objek
dalam penegakan hukum mempunyai
tujuan untuk memperbaiki dan
mendidik anggota Polri yang
melakukan pelanggaran disiplin.
Kegiatan atau usaha yang bertujuan
untuk menciptakan warga masyarakat
termasuk anggota Polri untuk mentaati
peraturan atau hukum. Pelaksanaan
sidang disiplin dapat dikelompokkan :
1. Ankum tidak menepati tengang
waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
diterimanya Berkas Perkara
Pelanggaran Disiplin (BPPD) dari
Provos Polri untuk melaksanakan
sidang disiplin terhadap terperiksa,
sebagimana yang telah diatur dalam
Kep Kapolri No. Pol :
Kep/44/IX/2004 tanggal 30
September 2004 tentang tata cara
sidang disiplin
2. Anggota Polri yang bertindak
sebagai penuntut perkara dalam
sidang disiplin, tidak memiliki
banyak pengetahuan tentang hukum
dan peraturan perundang-undangan
lainya yang terkait dengan perkara
yang sedang diperiksa, sehingga
tidak mampu berbuat banyak dalam
Tahun 2003, 1 Januari 2003, LN No. 2
Pasal. 1 (2) 6 Sastrohadiwiryo,Siswanto,2001,
Manajemen Tenaga Kerja Indonesia. Bumi
Aksara : Jakarta. hal, 291
111
mengajukan pertanyaan, tuntutan
serta pertimbangan kepada
pimpinan sidang disiplin.
3. Anggota Polri yang bertindak
sebagai penunutut perkara dalam
sidang disiplin, tidak banyak
memahami posisi kasus ynag sedang
diperika sehingga tidak mampu
membuktikan dalam sidang disiplin
atas perbuatan terperiksa.
4. Anggota Polri yang bertindak
sebagai pendamping terperiksa telah
memanfaatkan kelemahan-
kelemahan yang ada dalam PP RI
No. Tahun 2003 dan Kep Kapolri
No. Pol: Kep/43/IX/2004 tangal 30
September 2004.
Penjatuhan Sanksi Hukuman Disiplin.
a. Ankum cenderung
menjatuhkan sanksi
hukuman disiplin yang
paling ringan bahkan
membebaskan terperiksa
sehingga tidak memilki efek
jera bagi terperiksa dan daya
cegah bagi anggota Polri
lainya untuk tidak
melakukan pelanggaran
disiplin.
b. Ankum dalam menjatuhkan
sanksi hukum disiplin,
cenderung subyektif karena
disamping terpaksa sebagai
anggota bawahanya yang
mempunyai hubungan
emosional kuat, juga
memungkinkan dilakukan
karena jenis sanksi
hukuman disiplin
sebagaimana yang diatur
dalam pasal 9 PP RI No. 2
tahun 2003 dan pasal 14
Kep Kapolri No. Pol:
Kep/43/IX/2004 tanggal 30
September 2004, tidak
secara tegas menyebutkan
jenis sanksi untuk setiap
bentuk pelanggaran disiplin
yang tercantum dalam pasal
3. Pasal 4, pasal 5, dan pasal
6 PP RI No.2 tahun 2003
tentang peraturan disiplin
nggota Polri.
c. Penjatuhan hukuman oleh
Ankum sering subyektif
saat Terperiksa melakukan
pelanggaran dengan Ankum
saat terperiksa dalam
persiadangan disiplin
sebagai dampak dari
pemutasian anggota Polri
yang belum menuntaskan
perkaranya.
d. Tanpa melaui sidang
disiplin, terhadapa anggota
Polri yang nyata-nyata telah
melakukan pelanggaran
disiplin tertentu yang
sifatnya memberatkan,
meresahkan masyarakat dan
berdampak pada turunya
citra Polri, Ankum
mengambil keputusan yang
berbentuk sanksi hukuman
disiplin sebagaimana
tersebut dala pasal 9 PP RI
No. 2 tahun 2003 dan pasal
14 Kep Kapolri No. Pol :
Kep/43/IX/2004 tanggal 30
September 2004.
e. Terlambatnya pelaporan
atau bahkan tidak
disampaikan tembusan surat
keputusan hukum disiplin
terperiksa kepada pejabat
Polri yang berkepentingan
dalam hal pengembangan
karir anggota Polri yang
bersangkutan.
f. Sanksi hukum disiplin yang
telah dijatuhkan, tidak
diketahui oleh masyarakat
luas terutam pihak korban
karena tidak diberitahukan
secara tertulis,
menimbulkan kesanksian
bagi masyarakat atas proses
penegakan hukum peraturan
disiplin anggota Polri.
112
Dampak Good Governance
dan Clean Government. terhadap
perilaku dan sikap mental anggota Polri
untuk membina, menegakan dan
memelihara tata tertib anggota Polri
sangat diharapkan, dengan indikator :
Dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara :
a. Masih ada yang mencari
keuntungan pribadi denga
merugikan kepentingan negara.
b. Masih ada sebagian anggota
Polri yang kurang mampu
menyimpan rahasia jabatan
dengan sebaik-baiknya.
c. Masih ada yang melangar HAM.
d. Kurang mentaati peraturan
perundang-undangan.
e. Masih ada yang bersikap dan
berprilaku tidak santun
terhadap masyarakat dan
berpakaian tidak rapi dan
pantas.
f. Bertindak sebagai pelindung di
empat perjudian, prostitusi dan
tempat hiburan atau sebagai
penagih hutang.
g. Menjadi makelar perkara
h. Menelantarkan keluarga
i. Masih ada anggota yang mengikuti
aliran yang dapat menimbulkan
perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa
Dalam pelaksanaan tugas :
a. Tidak mentaati sumpah janji
anggota Polri atau sumpah dan
janji jabatan.
b. Melaksanakan tugas kurang
penuh kesadaran dan tanggung
jawab.
c. Kurang respon terhadap laporan
atau pengaduan masyarakat.
d. Kurang memberi contoh dan
teladan terhadap bawahan.
e. Tidak mentaati ketentuan jam
kerja.
f. Menghindarkan tanggung jawab
dinas.
g. Kurang bertindak adil dan
bijaksana terhadap bawahanya.
h. Menguasai barang dinas dan
barang bukti untuk kepentingan
pribadi.
i. Membuat opini negatif tentang
rekan sekerja, pimpinan, dan
atau kesatuan.
j. Diskriminatif dalam pelaksanaan
tugas.
k. Rekayasa dan manipulasi
perkara.
l. Berpihak dalam dalam perkara
pidana yang ditangani.
m. Menyalahgunakan wewenang.
n. Melakukan pungutan tidak sah.
o. Meresahkan dan merugikan
masyarakat
Dampaknya Good Governance
dan clean Goverentment di
Internal Polri
a. Polri sebagai sub sistem dari
pemerintah tentu segala
pelaksanaan tugas pokok
dan fungsinya adalah dalam
rangka menjabarkan dan
mendukung terwujudnya
progam pemerintah
termasuk good governance
dan clean goverentment
yaitu tata kelola pemerintah
yang baik dan pemerintah
yang bersih.
113
b. Dengan melihat dampak
dari kondisi penegakan
hukum disiplin anggota
Polri saat ini dengan wujud
perilaku, sikap mental dan
moral yang masih negatif
tersebut adalah merupakan
suatu hal yang mustahil dan
merupakan bertolak
belakang suatu keadaan
yang kontra produktif bagi
terwujudnya Good
Governance dan clean
Government di Internal
Polri.
c. Oleh karenanya untuk
mewujudkan Good
Governance dan clean
Government di Internal
Polri diperlukan individu-
individu Polri yang disiplin
dalam mengawasi
organisasi Polri agar
memperoleh individu-
individu yang berdisiplin
yaitu individu yang taat dan
patuh secara sungguh-
sungguh terhadap peraturan
disiplin anggota Polri
diperlukan penegakan
hukum disiplin anggota
Polri secara konsisten dan
konsekuen yang pada
ahirnya akan memantapkan
citra Polri sebagaimana
paradigma baru Polri yaitu
polisi yang berwatak sipil
dan dekat dengan
masyarakatnya.
3.2 Penegakan Hukum Disiplin
Anggota Polri Dalam
Mewujudkan Good Governance
dan Clean Government.
Inti dan arti dari penegakan
hukum secara konsepsional terletak
pada kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah - kaidah dan mengejawantah
dalam sikap dan tindak untuk
menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup. Sedangkan untuk penegakan
hukum sebagai suatu proses pada
hakikatnya merupakan penerapan
diskresi menyangkut membuat
keputusan yang tidak secara ketat diatur
oleh kaidah hukum, akan tetapi
mempunyai unsur penilaian pribadi
(Wayne Lafvre 1964). Oleh karena itu
untuk menghasilkan tegaknya hukum
termasuk dalam hal ini tegaknya hukum
disiplin anggota Polri, maka penegakan
hukum secara konsepsional maupun
penegakan hukum sebagai suatu proses
haruslah terwujud dengan indikator
bahwa faktor - faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum
disiplin anggota Polri berpedoman pada
:
a. Aturan Hukum.
Undang-undang atau aturan
hukum merupakan pedoman, pegangan
serta titik awal dari proses penegakan
hukum yang tujuannya adalah agar
aturan hukum tersebut mempunyai
dampak positif haruslah mencakup
beberapa azas seperti tidak berlaku
surut, undang-undang yang dibuat
penguasa lebih tinggi berkedudukan
lebih tinggi, aturan hukum yang bersifat
khusus menyampingkan yang bersifat
umum, aturan hukum yang berlaku
belakangan membatalkan yang
terdahulu, aturan hukum tidak dapat
diganggu gugat dan aturan hukum
merupakan suatu sarana untuk
mencapai kesejahteraan spiritual dan
material bagi masyarakat maupun
pribadi melalui pelestarian ataupun
pembaharuan. Oleh karenanya dalam
penegakan hukum peraturan disiplin
anggota Polri pun aturan hukum
disiplinnya juga harus mencerminkan
azas-azas tersebut di atas dalam arti:
1) Substansi atau materi aturan
hukum disiplin anggota Polri
harus mencerminkan persoalan
secara tepat yaitu dapat dipahami
dengan mudah, tidak boleh ada
114
pertentangan internal antar pasal-
pasal, tidak boleh bertentangan
dengan aturan yang lebih tinggi.
2) Rumusannya secara jelas, tegas
dan pengecualian terhadap
aturan yang lain harus dilakukan
secara terbatas dan proporsional.
3) Harus memuat sanksi yang e q u
i va l e n atau setara dengan
kepentingan hukum yang
dilanggar.
b. Aparat Penegak Hukum Disiplin
Aparat penegak hukum adalah
manusia yang akan menerapkan hukum
disiplin anggota Pori dalam hal ini
Provos Polri sebagai satuan fungsi yang
bertugas membantu Pimpinan untuk
membina dan menegakkan disiplin
serta memelihara tata tertib kehidupan
anggota Polri serta Pimpinan / Ankum
atau atasan yang berhak menghukum
adalah atasan yang karena jabatannya
diberi kewenangan menjatuhkan
hukuman disiplin kepada bawahan
yang dipimpinnya. Faktor aparat dalam
konteks penegakan hukum adalah
sangat penting, seorang ahli hukum
Belanda berucap "beri aku hakim yang
baik, jaksa yang baik, serta polisi yang
baik maka dengan hukum yang buruk
sekalipun akan memperoleh hasil yang
lebih baik". Maka profil aparat yang
dibutuhkan dalam rangka penegakan
hukum disiplin anggota Polri adalah :
1) Aparat yang menguasasi
hukum.
2) Memiliki keterampilan teknis
yuridis.
3) Berintegritas.
4) Profesional.
5) Bersih, memiliki komitmen
pada keadilan, serta berani
dan disipilin.
6) Bahwa aparat penegak
hukum disiplin tersebut di
atas perlu disokong oleh
policy organisasi yang
kondusif seperti : adanya
program peningkatan
keahlian yang terus menerus,
adanya sinkronisasi
penugasan dengan keahlian
sehingga dapat menjalankan
wewenangnya secara tepat,
tidak adanya intervensi
kekuasaan yang dapat
mengganggu tugas yang
sedang dilaksanakan, jaminan
penghasilan yang memadai,
serta tersedianya sistem
monitoring yang efektif untuk
memantau setiap langkah
pelaksanaan tugas.
c. Sarana dan Fasilitas.
Aspek yang tidak kalah
pentingnya dalam penegakan
hukum disiplin anggota Polri adalah
aspek sarana dan fasilitas meliputi
peralatan yang memadai, keuangan
yang cukup, apakah sarana dan
fasilitas yang ada sudah sesuai
dengan yang dibutuhkan dan masih
dapat dipakai, apakah sarana yang
ada telah digunakan secara efektif
dan sarana apa yang perlu diadakan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka
sarana dan fasilitas yang perlu
diadakan untuk proses penegakan
hukum disiplin anggota Polri adalah
:
1) Alat transportasi dan alat
komunikasi.
2) Alat deteksi.
3) Ruang kerja yang kondusif.
4) Peralatan administrasi yang
memadai.
5) Komputer dan internet yang
memiliki program dan
jaringan luas.
6) Sarana pustaka hukum
sebagai bahan referensi bagi
para penyidik Provos.
7) Dana yang cukup seperti
a) Terpenuhinya hak-hak
anggota mulai dari gaji
sampai dengan
tunjangan jabatan atau
pun fungsional.
115
b) Tidak adanya
pembebanan finansial
kepada para penegak
hukum disiplin anggota
Polri.
c) Tersedianya anggaran
yang cukup atau
memadai mulai dari
penyelidikan Provos,
pemeriksaan, Provos
sampai pada kegiatan
penjatuhan hukuman
disiplin oleh Ankum.
d) Faktor Budaya.
Dewasa ini dalam pembangunan
kultur Kepolisian dituntut untuk
melakukan perubahan dan militeristik
menjadi perilaku yang mencerminkan
Polisi Sipil, demokratis, menjunjung
tinggi supremasi hukum dan
menjunjung tinggi HAM. Polisi
dituntut untuk memenuhi harapan
masyarakat, mengaplikasikan arah dan
tujuan demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat secara
proporsional serta membangun,
kemitraan antara polisi dengan
masyarakat sehingga fungsi kepolisian
harus dapat mencerminkan semangat
aparatur negara yang baik, tertib dan
berdisipiin. Sebagaimana paradigma
baru Polri dalam landasan teori selain
itu juga dilandasi dari nilai-nilai
reformasi Polri mulai dari keunggulan,
integritas, akuntabilitas, transparansi
dan berkelanjutan. Oleh karenanya
untuk menghasilkan fungsi Kepolisian
dengan cerminan tersebut di atas tentu
perlu didahului dengan :
1) Pembangunan kultur individu
Kepolisian.
Di kalangan Kepolisian di
berbagai negara telah mencoba
membangun empat lapisan kultur
polisi yaitu
a) Membangun mentalitas
dasar bahwa masyarakat
dengan polisi adalah
mitra, namun tetap tegas
dalam menegakkan
hukum.
b) memadai, serta
tersedianya sistem
monitoring yang efektif
untuk memantau setiap
langkah pelaksanaan
tugas.
2) Pembangunan kultur
organisasi Kepolisian.
Keanekaragaman latar
belakang kultur setiap individu
polisi sebagaimana polisi di
negara Indonesia
mencerminkan adanya
berbagai perbedaan kultur
individu tersebut, hal ini
berdampak pada warna kultur
pluralistik namun harmonisasi
harus dikembangkan sehingga
akan bermuara dalam
pelaksanaan tugas yang efektif.
Demikian juga dalam
pengambilan keputusan yang
berakar dari masing-masing
anggota polisi perlu diarahkan
kepada kultur organisasi polisi
yang mengacu pada visi, dan
misinya. Polisi dan masyarakat
yang demokratis,
pemolisiannya mengacu pada
prinsip-prinsip demokratis,
yaitu antara lain : berdasarkan
supremasi hukum, memberikan
jaminan dan perlindungan hak
asasi manusia, transparan,
bertanggung jawab kepada
publik, berorientasi kepada
masyarakat, serta adanya
pembatasan dan pengawasan
kewenangan polisi. Untuk itu
perlu membangun komitmen
kebersamaan seluruh personel
polisi untuk menegakan
supremasi hukum melalui:
116
a) Keteladanan seluruh
pemimpin dalam
organisasi Kepolisian
secara berjenjang.
b) Membangun rasa
kebanggaan sebagai
anggota Kepolisian
secara terus-menerus
sehingga tumbuh
kasadaran akan
pentingya kebanggaan
terhadap profesi
Kepolisian tersebut.
c) Membangun kemitraan
dengan masyarakat,
tolak ukurnya adalah
bahwa sosok polisi sipil
dan demokratis dalam
menegakan hukum dan
hak asasi manusia telah
dirasakan oleh
masyarakat. Institusi
polisi memiliki
keberanian membuka
diri untuk menerima
masukan dari
masyarakat dan
menindaklanjutinya
demi kepentingan
masyarakat sebagai
stake holders.
d) Sosialisasi kepada
masyarakat tentang
sistem pengawasan
Internal Polri
diantaranya
implementasi penegakan
hukum disiplin anggota
Polri sehingga
masyarakat diharapkan
ikut secara aktif
memonitor, mengawasi
bahkan melaporkan bila
ada pelanggaran disiplin
anggota Polri guna
tegaknya disiplin
anggota Polri.
Dengan terjadinya peningkatan
mulai dari aturan hukumnya, aparat
penegak hukum (Penyidik) sampai
dengan budaya Kepolisian diharapkan
ke depan akan terjadi perubahan,
peningkatan ataupun perbaikan dalam
pelaksanaan penyidikan sebagai berikut
:
1) Kegiatan penyelidikan tidak
lagi dilakukan secara
bersamaan waktunya
dengan kegiatan
pemeriksaan dalam rangka
penyidikan.
2) Pemanggilan terhadap saksi
anggota Polri dapat dihadiri
tepat waktu karena antara
Ankum dengan Provos Polri
saling mendukung.
3) Pemeriksaan terhadap
saksi-saksi tetap dilakukan
terlebih dahulu kemudian
disusul dengan pemeriksaan
terhadap anggota Polri yang
diduga telah melakukan
pelanggaran disiplin
walaupun terhadap kasus
pelanggaran tertentu yang
memerlukan percepatan
pemeriksaan dan pelaporan
kepada pimpinan.
4) Penyidik Provos Polri
memahami dan mengerti PP
RI No. 2 Tahun
2003,Tentang Peraturan
Disiplin Anggota Polri,
sehingga dapat mengetahui
saat kapan pelanggaran
disiplin tersebut terjadi dan
selanjutnya dapat
menerapkan pasal dengan
tepat atas pelanggaran
disiplin tersebut.
5) Penyidik Provos Polri
memiliki banyak referensi
hukum dan perundang-
undangan, baik yang
berlaku umum maupun
yang berlaku khusus di
internal Polri.
6) Diharapkan ada
kewenangan pihak Penyidik
Provos Polri untuk
117
melakukan upaya paksa
dalam rangka penyidikan
perkara pelanggaran
disiplin terhadap terpaksa
yang nyata-nyata telah
melakukan pelanggaran
disiplin tertentu yang
sifatnya memberatkan,
melalui deregulasi PP RI
No. 2 Tahun 2003 maupun
Kep Kapolri No. Pol.:
Kep/43/IX/2004 tanggal 30
September 2004, untuk
kecepatan penuntasan
penyidikan pelanggaran
peraturan disiplin.
7) Para Ankum / Atasan
terperiksa dapat sepenuhnya
memberikan atensi terhadap
pelaksanaan penyidikan
yang dilakukan oleh Provos
Polri, tidak timbul lagi
perbedaan persepsi yang
berujung pada
disharmonisasi hubungan
kerja yang kurang kondusif.
8) Proses penyelesaian
pemeriksaan saksi dan
terperiksa sampai dengan
penyerahan berkas perkara
pelanggaran disiplin
(BPPD) Terperiksa kepada
Ankum dapat berjalan cepat
dan tepat waktu untuk
pelaksanaan sidang disiplin.
9) Tidak lagi terjadi mutasi ke
kesatuan lain terhadap
anggota Polri yang sedang
dalam proses pemeriksaan
penyidik Provos Polri,
sejalan dengan Kep Kapolri
No.Pol. : Kep / 828 / XI /
2004 tanggal 1 November
2004 tentang pedoman
administrasi pemberhentian
sementara dari jabatan dinas
Polri.
10) Perkembangan proses
penyidikan perkara
pelanggaran disiplin,
anggota Polri
dipublikasikan secara luas
kepada masyarakat
terutama kepada pihak
pelapor
Dengan demikian maka dalam
rangka tegaknya hukum disiplin,
diharapkan anggota Polri dapat
berpartisipasi aktif dengan bentuk sikap
dan perilaku :
1. Taat terhadap peraturan dan
perundang-undangan yang
berlaku termasuk terhadap
peraturan hukum disiplin
anggota Polri.
2. Mentaati sumpah janji
anggota Polri atau sumpah
dan janji jabatan.
3. Melaksanakan tugas dengan
penuh kesadaran dan
tanggung jawab.
4. Mampu memberi contoh
dan menjadi teladan
terhadap bawahan.
5. Tidak menyalahgunakan
wewenang yang ada pada
dirinya.
6. Mentaati ketentuan-
ketentuan jam kerja.
7. Bertindak adil dan bijaksana
terhadap bawahannya.
4.3. Kendala-kendala Penegakan
Disiplin Polri dalam
mewujudkan Good Governance
dan clean Governance
Penegak hukum atau aparat
seyogyanya merupakan golongan
panutan dan memberi keteladanan yang
baik dalam masyarakat, dalam hal ini
termasuk anggota Polri sebagai objek
dari hukum disiplin anggota Polri,
tetapi yang terjadi dewasa ini dirasakan
terdapat beberapa kelemahan pada
Provos Polri, Pimpinan ataupun Ankum
sebagai aparat penegak hukum dalam
menerapkan disiplin anggota Polri,
dapat diklasifikasikan antara lain:
118
a.BidangSosialBudaya
1) Krisis kebudayaan yang
bersumber pada longarnya nilai-
nilai dan moralitas,
menimbulkan gejala kerapuhan
tentang persatuan dan kesatuan
bangsa, kebebasan dan
kerukunan umat beragama
berubah drastis yang rentan
terhadap disintegrasi.
2) Tindakan korektif tentang
kebijakan nasional terhadap
pemerintahan yang lalu (Orde
Baru) dilakukan secara sporadis
oleh masyarakat seperti
penduduk tanah-tanah
perkebunan, penjarahan
kekayaan hutan, perlawanan atas
dominasi ekonomi, main hakim
sendiri dan pengerusakan /
pembakaran kantor pemerintah /
Polri telah mewarnai era
reformasi.
3) Kemampuan ilmu pengetahuan
dan teknologi untuk mendukung
modernisasi belum dikuasai
secara merata.
4) Lambannya pemulihan ekonomi
pemerintah berakibat
kesejahteraan anggota Polri
belum dirasakan, memicu
tumbuhnya tindakan hukum
melanggar hukum anggota Polri.
5) Masih ada anggota legislatif
yang skeptif dan vocal
menyuarakan tentang
ketidakmampuan Polri dalam
melaksanakan tugasnya sebagai
penegak hukum, pemelihara
Kamtibmas serta pelindung,
pengayom dan pelayan
masyarakat, karena adanya
kepentingan politik yang
memboncengi.
6) Adanya usaha istansi pemerintah
tertentu yang mengatas namakan
kepentingan masyarakat untuk
menempatkan institusi Polri
dibawah suatu departemen
tertentu
Faktor kebudayaan bersatu padu
dengan faktor masyarakat karena
kebudayaan (sistem) hukum pada
dasarnya mencakup nilai-nilai
mendasari hukum yang berlaku. Nilai-
nilai yang merupakan konsepsi-
konsepsi abstrak mengenai apa yang
dianggap baik (sehingga dianuti), dan
apa yang dianggap buruk (sehingga
dihindari). Rumusan budaya dalam
organisasi Polri seperti yang
terkandung dalam Tribrata ternyata
belum terlalu efektif secara oprasional
dalam kehidupan Polisi sehari-hari,
karena kalimat pendek dan padat
menjadi sekedar rumus matematis yang
abstrak, tanpa pengembangan budaya
secara terarah dan mengakar kepada
kejidupan organsasi. Maka manusia
seperti Polisi tidak dapat diharapkan
bersikap dan berprilaku yang konsisiten
dengan visi, misi, kode etik yang
dibangun oleh Polri. Terlihat masih
adanya sebagian individu- individu
Polri yang bergaya feodal, munafik,
tidak bertanggung jawab dan
sebagainya
Masih banyak pandangan negatif
terhadap Polri dari pejabat negara, elit
politik, pejabat publik maupun
masyarakat sehingga respon kepada
Polri juga negatif walaupun langkah
reformasi telah dilakukan oleh
organisasi Polri. Masih adanya
interpensi pejabat negara, elit politik
terhadap pelaksanaan tugas Polri
mempengaruhi penegak hukum disiplin
anggota Polri.Lembaga Kompolnas
belum sepenuhnya berfungsi dengan
baik karena produk kinerjanya baru
sebatas pemberian saran kepada
Presiden tentang tugas pokok, fungsi
dan peranan Polri. Masih ada LSM
yang bersifat skeptic atas pelaksanaan
tugas Polri khusunya dalam penegakan
hukum.Tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap Polri masih
rendah takut berurusan dengan Polri,
sebagi akibat persepsi masa lampau
119
119
dimana Polri dalam mengahadapi
masyarakat lebih menonjolkan
kekerasan yang pada akhirnya kurang
peduli untuk melakukan pengawasan
dan enggan mengadukan tindakan
negatif anggota Polri, kalaupun
mengadukan akan tetapi enggan
memberikan kesaksian sehingga
kesulitan dalam melakukan
penyidikannya. Pemanfaatan media
masa dalam menyebarluaskan
informasi yang berlebihan dan
menyudutkan masih adanya KKN
dalam tubuh Polri.
b. Hukum dan HAM
1) Peranan politik hukum yang
termuat dalam UUD 1945
masih belum menjadi blue print
dari Pembangunan hukum
nasional, terbukti dengan
munculnya berbagai RUU yang
tumpang tindih, tidak
memperhatikan sinkronisasi
dan harmonisasi dengan
berbagai produk Peraturan
Perundang-undangan yang
telah ada.
2) Kurangnya daya inovatif para
penegak hukum disiplin
anggota Polri seperti perlunya
sosialisasi peraturan disiplin
anggota Polri di kalangan
masayarakat dengan maksud
tumbuhnya partisipasi aktif
masyarakat dalam penegakan
hukum disiplin anggota Polri
juga masih relative rendah.
3) Peraturan perundang-undangan
tentang pelaksanaan penegakan
hukum disiplin Anggota Polri
masih ada aturan hukumnya
yang tidak jelas dan tegas,
multi tafsir sehingga
menimbulkan ketidak pastian
hukum dan keadilan, akibatnya
penerapan hukumnya relatif
sering bersifat subyektif.
4) Masih ada di antara Pimpinan
satuan selaku Ankum yang
belum sepenuhnya
memberikan atensi atas
pelaksanaan tugas penegakan
hukum disiplin anggota Polri
termasuk kepada petugas
Provos Polri.
5) Tingkat pemahaman dan
penerapan aturan hukum oleh
Penyildik Provos Polri dalam
penyidikan perkara
pelanggaran disiplin masih
rendah.
6) Tingkat disiplin, kesadaran dan
kepatuhan Anggota Polri
atasperaturan disiplin yang
mengikat dan berlaku baginya
masih relatif rendah sehingga
pelanggaran disiplin tetap
terjadi.
7) Masih banyak campur tangan,
intervensi dari Para pejabat
Polri dalam pelaksanaan
penegakan hukum disiplin
anggota Polri sehingga hasil
dari penegakan hukum yang
dicapai masih relatif subyektif.
8) Penegakan hukum disiplin
anggota Polri sering terkesan
kurang transparan.
Kendala-kendala lain
yang dihadapi Penegakan
Disiplin Polri dalam
mewujudkan Good
Governance dan clean
Governance. Polisi bersikap
dan berprilaku belum
konsisiten dengan visi, misi,
kode etik yang dibangun oleh
Polri Dalam pelaksanaannya
masih ada interpensi pejabat
negara, elit politik terhadap
pelaksanaan tugas Polri
sehingga mempengaruhi
penegak hukum disiplin
anggota Polri. Lembaga
Kompolnas belum sepenuhnya
berfungsi dengan baik karena
produk kinerjanya baru sebatas
pemberian saran tentang tugas
pokok, fungsi dan peranan
120
120
Polri. Sebagi akibat persepsi
masa lampau Polri dalam
mengahadapi masyarakat lebih
menonjolkan kekerasan yang
pada akhirnya kurang peduli
untuk melakukan pengawasan
dan enggan mengadukan
tindakan negatif anggota Polri.
BAB IV KESIMPULAN
Penegakan hukum secara
konsepsional maupun penegakan
hukum sebagai suatu proses terwujud
dengan indikator bahwa faktor - faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan
penegakan hukum disiplin anggota
Polri berpedoman pada :
a) Aturan Hukum atau materi
aturan hukum disiplin anggota
Polri harus mencerminkan
persoalan secara tepat yaitu
dapat dipahami dengan mudah,
tidak boleh ada pertentangan
internal antar pasal-pasal, tidak
boleh bertentangan dengan
aturan yang lebih
tinggi.Rumusannya secara
jelas, tegas dan pengecualian
terhadap aturan yang lain harus
dilakukan secara terbatas dan
proporsional. Harus memuat
sanksi yang e q u i va l e n atau
setara dengan kepentingan
hukum yang dilanggar.
b) Penegak hukum/personal,
aparat yang dibutuhkan dalam
rangka penegakan hukum
disiplin anggota Polri adalah
:Aparat yang menguasasi
hukum, Memiliki keterampilan
teknis yuridis, berintegritas,
profesional, bersih, memiliki
komitmen pada keadilan, serta
berani dan disipilin.
c) Sarana prasarana yang perlu
diadakan untuk proses
penegakan hukum disiplin
anggota Polri adalah :Alat
transportasi dan alat
komunikasi, Alat deteksi.
Ruang kerja yang kondusif,
Peralatan administrasi yang
memadai, Komputer dan
internet yang memiliki
program dan jaringan luas,
Sarana pustaka hukum sebagai
bahan referensi bagi para
penyidik Provos.
d) factor budaya, polisi yang baik
dengan hukum yang buruk
sekalipun akan memperoleh
hasil yang lebih baik". Maka
profil pembangunan kultur
Kepolisian dituntut untuk
melakukan perubahan yang
mencerminkan Polisi Sipil,
demokratis, menjunjung tinggi
supremasi hukum dan
menjunjung nilai-nilai
reformasi Polri mulai dari
keunggulan, integritas,
akuntabilitas, transparansi .
Daftar pustaka
Agus Wijayanto, 2010. Tesis : Strategi
Penegakan Hukum Disiplin
Anggota Polri guna mewujudkan
Good governance dan Clean
government Di internal polri
Dalam rangka memantapkan
citra Polri. Semarang
Abdul Rohim, 2008, Pengertian
Etika Profesi serta
Profesionalisme, (online) ,
https://csagboyz.wordpress.com,
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori
Hukum (Legal Theory) dan
Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk
Interpretasi Undang-undang
(Legisprudence), Kencana
Prenada Media Group, Jakarta.
Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum
dan Penetitian Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung.
121
121
Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro,
1983, Azas-Azas Hukum
Tata Negara. Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Andreas Fockema, 1983, Kamus Istilah
Hukum Belanda-Indonesia,
Penerjemah Saleh
Adiwinata, Cet. Pertama,
Bina Cipta, Bandung
Budi Rizki Husin,2016, Sistem
Peradilan Pidana di Indonesia, Snar
Grafika.
Bagir Manan, 2000, Arogansi MPR,
dalam Harian Republik, Rabu, 9 April.
Bagir Manan, 2000, Wewenang Provinsi,
Kabupaten dan Kota dalam
Rangka Otonomi Daerah,
makalah pada seminar
nasional, Fakultas Hukum
Unpad, Bandung.
MM Billah, 2007, Membalik Kuasa
Negara Ke Kendali
Rakyat, Pusat Studi
Pengembangan
Kawasan, Jakarta.
Budi Rizki Husin, 2016, Sistem
Peradilan Pidana di
Indonesia, Sinar Grafika, cet.
Peratama.
...................., Politik Hukum Otonomi
Sepanjang Peraturan
Perundang-Undangan
Pemerintah Daerah,
Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta.
Finer Samuel Edward, 1995,Comparing
Constitutions, Clandorn
Press, Oxport
Ganie Rochman, 2000, Good
Governance, Prinsip
Komponen dan
Penerapannya dalam Hak
Asasi Manusia
(Penyelenggaraan Negara
Yang Baik, Penerbit
KOMNAS HAM, Jakarta.
Han Kelsen, 1995, Teori Hukum Murni,
Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif sebagai Ilmu
Hukum Empirik-
Deskriptif, Rimdi Press,
Jakarta,
...................., General Theory of Law and
State, Translate by Anders
Wedberg, Russel & Russel,
New York
Hasibuan,2000, Malayu Manajemen
Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara
:Jakarta
Joko Widodo, 2001, Good Covernance
telaah dan Dimensi
Akuntabilitas Birokrasi
pada Era Desentralisasi
dan Otonomi Daerah
Candikia
Jan Hendrik Rapar, 1996, Pengantar
filsafatYogyakartaPenerbit
Kanisisus
Kunarto,2001, Perilaku Organisasi
Polri, Cipta Manunggal,
Jakarta, 2001
Lalolo Kirana Loina, 2003, Indikator
Alat Ukur Prinsip
Akuntabilitas, Transparansi
dan Partisipasi, Jakarta
badan Perencanaa
Pembangunan Nasional
M. Hadjon, 1997, Tentang Wewenang,
Dalam Yuridika, nomor 5 dan 6
Marjanne Termoshuizen, 2004, The
Concept Rule of Law, dalam
JENDERA, Jurnal Hukum :
122
122
Rule of Law, edisi 3 Tahun
II,
JH Rapar, 1988, Filsafat Politik Plato,
Rajawali Press, Jakarta.
Padmo Wahyono, 1989, Pembangunan
Hukum di Indonesia, Ind-Hill, Jakarta.
Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum
Administrasi Negara,
Cetakan IV, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Philipus M. Hadjon,2005, dkk,
Pengantar Hukum
Administrasi Negara
Indonesia (Introduction to
the Indonesia
Administrative Law), Cet.
I. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta
........................., 1985, Pengertian-
Pengertian Dasar
Tentang Tindak
Pemerintahan (bestuur
handeling)Djumali,
Surabaya.
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem
Peradilan Pidana ;
Perspektif Eksistensialisme
dan Abilisionisme, Cet II
revisi, Bina
Cipta, Bandung,
Sancipto Rahardjo 2007, Membangun
Polisi Sipil Perspektif
Hukum, Sosial &
Kemasyarakatan, Penerbit
Buku Kompas, Jakarta.
Smith Stanley de Brazier, Rodney, 1994,
Constitutional and
Administrative Law,
ad.London Penguin Book.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, 1998,
Ilmu Perundang-Undangan
Dasar dan
Pembentukannya, Kanisius,
Yogyakarta.
Syaukani, et.al., 2002, Otonomi Daerah
Negara Kesatuan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Siti Tananjoel Tarki Soejardjono, 1994,
Onrechtmatige
Vergunning Als
Onrechtmatige Gebruik
van Een Vergunning
zander Als
Onrechtmatigeaaad,dimu
at dalam kumpulan hasil
terjemahan PTUN,
Jakarta,
Sedarmayanti., 2007, Good Governance
dan Good Corporate
Governance. Mandar
Maju, Bandung.
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor
yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, PT
Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji,
1990, Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Press,
Jakarta.
Sastrohadiwiryo,Siswanto,2001,
Manajemen Tenaga Kerja
Indonesia. Bumi Aksara :
Jakarta
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar
Penelitian Hukum,
Universitas Indonesia,
Jakarta
Sidi Gazalba, 1981, Sistematika Filsfat
Buku IV, Jakarta, Bulan
Bintang,
123
123
E. Utrecht, 1980, Pengantar Hukum
Administrasi Negara
Indonesia, cet.IV,
Universitas Padjadjaran,
Bandung.
Wildan Suyuti Mustofa, 2004, Kode Etik,
Etika Profesi dan
Tanggung Hakim,
Jakarta, Mahkamah
Agung RI
Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian
di Indonesia Citra Bakti Jakarta