Upload
gitabone
View
1.469
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
PENELITIAN ARKEOLOGISITUS MAMPU DESA CABBENG
KECAMATAN DUA BOCCOEKABUPATEN BONE
H. DARMAWA MAS’UD RAHMANMUHAMMAD RAMLI
ALBERTINUS
SUAKA PENINGGALAN SEJARAH DAN PURBAKALASULAWESI SELATAN DAN TENGGARA
1994
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
KATA PENGANTAR
Penelitian terhadap situs-situs arkeologi di Sulawesi Selatan merupakan satu tahap
dalam konteks pemahaman berbagai warisan budaya bangsa. Kemudian dari rasa mengerti
diharapkan timbulnya rasa memiliki untuk mengupayakan adanya rasa tanggung jawab
melestarikan warisan budaya bangsa.
Kegiatan penelitian yang dilakukan di Situs Mampu tidak terlepas dari konteks
memahami dan mengupayakan terciptanya keinginan untuk melestarikan situs Mampu
sebagai salah satu warisan budaya bangsa yang banyak merekam berbagai aspek
kehidupan masyarakat Bone di masa lampau.
Kami yakin, bahwa upaya tersebut tidak akan berhasil tanpa dukungan dari berbagai
pihak, maka pada kesempatan ini saya ingin mengucapakan rasa terima kasih terhadap
teman-teman yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik. Bapak Camat Dua BoccoE,
Kepala Desa Cabbeng dan masyarakat dengan suka cita menerima teman-teman
berpangkalan di rumahnya. Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Kecamatan Dua BoccoE Kabupaten Bone yang telah mengizinkan salah seorang stafnya
menemani Tim dari awal sampai selesai melaksanakan tugasnya
Khusus kepada saudara Drs. Muhammad Ramli dan Drs. Albertinus yang telah
menyusun laporan ini saya ucapkan terima kasih. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
memberikan Rahmatnya kepada kita semua.
Cabbeng, April 1994
Kepala Kantor Suaka PSP Sulselra,
Dr. DARMAWAN MAS’UD RAHMAN, M.Sc.NIP. 130207 910
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
TIM PELAKSANA
A. Kantor Suaka PSP Sulselra
1. Prof. DR. H. Darmawan MR., M.Sc. Penanggung Jawab
2. Drs. Bahru Kallupa Koordinator
3. Drs. Muhammad Ramli Ketua Tim
4. Drs. Albertinus Wakil Ketua
5. Drs. Irwani Rasyid Anggota
6. Karaeng Demmanari Anggota
7. Manjakali Anggota
8. Thomas, S.H. Anggota
9. Mappainga Anggota
10. Muh. Yamin A.P.
B. Mahasiswa Arkeologi UNHAS
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
I. PENDAHULUAN
I. 1. Dasar
Penyelamatan situs cagar budaya merupakan salah satu usaha untuk
melestarikan warisan budaya bangsa sebagai ikhtiar untuk memupuk kebanggaan
nasional demi memperkokoh kesadaran jatidiri bangsa. Selain itu benda cagar budaya
dan situsnya juga merupakan sumber daya budaya yang sangat penting artinya bagi
kepentingan sejarah kebudayaan dan ilmu pengetahuan dalam rangka memajukan
kebudayaan bangsa demi kepentingan nasional.
Melalui perjalan sejarah upaya-upaya penyelamatan benda cagar budaya
beserta situsnya di Indonesia masih menemukan kendala-kendala yang merugikan
kegiatan pelestarian warisan budaya bangsa. Padahal hakikat situs cagar budaya
sebagai sumber daya budaya sangat terbatas dan tidak dapat diperbaharui, karena
terkait langsung dengan lingkungannya. Sehingga apabila tidak segera diambil langkah-
langkah yang terpadu dan tepat untuk penyelematannya, maka dalam waktu yang relatif
singkat kita dapat kehilangan sosok warisan budaya bangsa.
Dalam konteks penyelamatan dan pelestarian benda cagar budaya beserta
situsnya di Sulawesi Selatan dan Tenggara dewasa ini di perhadapakn pada masalah
adanya perbedaan kepentingan dalam penggunaan lahan dimana lokasi Goa Mampu di
Desa Cabbeng Kecamatan Dua BoccoE Kabupaten Bone Sulawesi Seloatan. Terjadi
eksploitasi pada lantai situs untuk kepentingan pupuk guane oleh masyarakat setempat
yang mengakibatkan kerusakan data arkeologis sebagai benda cagar budaya, yang
pada akhirnya bermuara pada hilangnya satu sosok warisan budaya bangsa.
Berdasarkan informasi Drs. Bahru Kallupa, staf Kantor Suaka Peninggalan
Sejarah dan Purbakala Sulselra dan laporan hasil pra survei Drs. Muhammad Ramli dan
Drs. Albertinus staf Suaka PSP Sulselra pada bulan Februari 1994, bahwa mereka
menemukan beberapa data arkeologi berupa artafak dan acofak yang diasumsikan
sebagai peninggalan budaya masa prasejarah. Mereka juga melaporkan adanya adanya
kegiatan eksploitasi pada permukaan lantai Gua secara intensif, sehingga lantai gua
mengalami tingkat kerusakan lebih parah.
Sebagai realisasi Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1992
tentang benda, PP Republik Indonesia nomor 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan UU
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
No. 5 tahun 1992 dan Pedoman Pengelolaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala tahun
1991, maka melalui surat Perintah Kepala Suaka PSP Sulselra bernomor :
756/M.3/U/1994 dan nomor 757/M.3/U/1994 masing-masing bertanggal, 4 April 1994,
Perihal Survei dan Ekskavasi Penyelamatan terhadap situs Gua Mampu mulai tanggal, 7
s.d. 19 April 1994.
I.2 Tujuan
Survei dan ekskavasi penyelamatan terhadap situs Gua Mampu, dilakukan
sebagai berikut :
1. Penyelamatan benda cagar budaya beserta situsnya sebagai warisan budaya
nasional.
2. Inventarisasi dan dokumentasi benda cagar budaya beserta situsnya.
3. Pencatatan bentuk-bentuk data arkeologis, cara-cara hidup dan proses budaya.
4. Mencoba menyususn rekontruksi kronologi, cara-cara hidup dan proses budaya yang
pernah berlangsung pada lapisan-lapisan tertentu dari situs Gua Mampu Kabupaten
Bone
I. 3. Ruang Lingkup
Berdasarkan pada sasaran dan rumusan di atas, pengamatan arkeologi ini,
masih membatasi diri pada tingkat situs sebagai satuan pengumpulan dan pengolahan
datanya. Tujuan pengamatan arkeologi ini terbatas pada upaya untuk memperoleh
gambaran tentang batas situs, pola distribusi artefak dan kronologi situs, fungsi
teknologis dan tipologis baik situs maupun artefaknya. Sehingga penelitian dapat
dikategorikan tipe penelitian penjajakan.
Pengoperasian rumusan di atas, sebagai arah penjajakan, didekati dengan
seperangkat asumsi tertentu. Asumsi pertama adalah luas ruang survei dan ekskavasi
secara horizontal dan vertikal dicerminkan oleh kekerapan (frekuensi) dan kepadatan
tinggalan arkeologi di dalam tanah dan permukaan tanah (situs). Asumsi kedua adalah
bahwa pola permukiman dan jenis-jenis kekuatan masyarakat pendukungnya
dicerminkan oleh variabilitas, kekerapan, kerapatan dan distribusi tinggalan arkeologi di
dalam dan di permukaan tanah.
I.4. Strategi Penelitian
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
Situs Gua Mampu yang berada di kawasan bukit Mampu terdiri atas mulut gua,
antara mulut gua satu dengan mulut gua yang lainnya di hubungkan dengan rongga,
sehingga menggambarkan suatu terowongan yang saling berhubungan. Maka sepintas
merupakan satu buah gua yang besar dan terbagi atas enam ceruk (ventilasi alam).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap keenam mulut ceruk
tersebut, terdapat tiga buah mulut gua yang memungkinkan memperoleh data arkeologis
yang selanjutnya dapat digunakan untuk menyususn rekonstruksi proses budaya yang
pernah berlangsung pada situs ini. Ciri –ciri ketiga mulut gua tersebut yaitu luas ruang di
dalam mulut gua. Jumlah cahaya di dalam mulut gua yang menyinari ruang dan tingkat
kelembaban yang cukup rendah, serta permukaan lantai gua yang cukup datar,
didukung pula dengan temuan arkeologis berupa artefak dan acefak yang tersebar pada
permukaan gua.
a. Metode Pengumpulan Data
Sehubungan dengan pemerian di atas, maka metode eksavasi penyelamatan
ini menggunakan pembedahan tanah terhadap ketiga mulut ceruk tersebut di atas.
Direncanakan membuka kotak uji sebanyak satu buah pada masing-masing ceruk.
Dalam teknik pengumpulan data dengan cara ekskavasi menggunakan sistem
kotak (Box System) berukuran luas 150 cm x 150 cm dengan teknik pendalaman apit
dengan interval 15 cm untuk apit pertama, 10 cm apit selanjutnya. Kemudian masing-
masing kotak yang dibuka menggunakan kode, yaitu nama kabupaten dan situs,
sektor, nomor kotak dan kode kedalaman, contoh : BN.M./ I / 1 / ( 1 )
- BN.M : Kab. Bone. Situs Gua Mampu
- I dstnya : Kode Sektor
- 1 dstnya : Kode Kotak
- (1) dstnya : Kode kedalaman (spit)
Selain dengan cara ekskavasi, pengumpulan data dalam penelitian awal ini
juga diselenggarakan survei sistematis dengan penerapan sistem pencuplikan data
(sampling) terkendali seluas 1.000 m X 500 m terhadap lahan yang ada di atas situs
dan sekitarnya. Sisyem pencuplikan data tersebut diharapkan agar dapat menjawab
masalah yang telah dirumuskan di atas. Hal ini karena adanya kecenderungan, bahwa
masalah-masalah yang diajukan di atas memiliki nafas kuat pada aspek keruangan,
khususnya pengungkapan tentang gradasi kehadiran artefak pada permukaan tanah,
sehingga survei ini diterapkan strategi pencuplikan.
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
Dalam pencuplikan ini seluruh artefak jalur, dijaring melalui melalui
pengelompokan tertentu berdasarkan faktor-faktor yang potensial dalam
menghadirkan artefak ke permukaan tanah. Mengingat ragam, kerapatan, dan
distribusi. Dengan cara ini diharapkan bisa pada perhitungan statistik nantinya dapat
ditekan serendah mungkin. Untuk kepentingan pelaksanaan survei. Bidang – bidang
survei ditandai dengan Kode T1, T2, dst. (T=Tempat) dan pencuplikan diurut secara
acak berlapis.
Setelah cara pencuplikan sample ditentukan, disepakati untuk menerapkan,
bahwa sampling akan dilaksanakan dengan menggunakan batas-batas keruangan
tataguna lahan sebagai unit observasi terkecil. Dengan pertimbangan ini asumsi yang
paling dapat diterima adalah tinggalan-tinggalan arkeologis pada satu lahan yang
sama akan mengalami unit observasi terkecil ini, juga terus akan digunakan hingga
tahap analisis, pencatatan dan penyimpanan temuan sudah sejak awal dilakukan
berdasarkan asal lahannya ( unit observasinya ).
Selain pengumpulan data lapangan juga diupayakan pengumpulan data
tekstual atau tinjauan kepustakaan hasil penelitian arkeologi dalam konteks penelitian
ini sabagai bahan perbandingan.
b. Pengolahan Data
Tahap pengolahan data penelitian awal ini, dipusatkan pada upaya
menganalisis temuan, baik ekskavasi maupun survei yang dikelompokkan kedalam
masing-masing jenis data arkeologi secara umum, seperti : fitur, artefak, dan ecofak
Dalam upaya pengolahan temuam ekskavasi digunakan analisis khusus dan
analisis konteks. Atribut yang diamati dalam analisis khusus meliputi bentuk, bahan,
teknik pembuatan dan jajak pemakaian. Sedang analisis konteks mencari pola
hubungan anatara temuan jenis data yang satu dengan yang lainnya dan anatara
kedudukan dari jenis data temuan yang ada dengan matriksnya.
Selain dilakukan analisis kuantitatif, kualitatif, dan spesial terhadap data
temuam survei di dalam variabel jenis lahan dan variabel jenis temuan.
c. Penafsiran Data
Sebagai langkah terakhir dalam mencapai tujuan dan menjawab
permasalahan-permasalahan dalam kegiatan penelitian awal ini, yaitu tahap
penafsiran data. Dalam tahap ini, pertama-tama yang dilakukan adalah menyususn
tabel-tabel yang berisi data-data jenis temuan, bentuk, jumlah, dan korelasinya..
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
Sedang penyaringan data yang meliputi survei dilengkapi dengan data luas lahan
dan tataguna lahannya. Selanjutnya kegiatan penarikan kesimpulan yang terutama
ditujukan pada penyimpulan fungsi , teknologi, dan tipologi, serta kronologisnya.
Tetapi untuk keperluan ini terlebih dahulu dibuat kesimpulan tentang jenis dan fungsi
artefak.
I.5. Riwayat Penelitian
Penelitian gua-gua di sulawesi selatan dilakukan pertama kali oleh Fritz dan
Paul pada tahun 1902 terhadap Gua-Gua Cakondo I & II, Ululeba, dan Balisao. Hasil
temuan terdiri dari serpih bilah, lancipan bergerigi, dan tulang-tulang manusia. Mereka
menjumpai suku Toala yang pada waktu itu masih tinggal di Gua-Gua dan hutan
sekitarnya. Karena beranggapan bahwa suku Toala adalah pendukung langsung
kehidupan di Gua-Gua. Kemudian mereka menggolongkan temuan-temuan dalam Gua-
Gua sebagai ” Kebudayaan Toala ”
Penelitian berikut dilakukan oleh Van Stein Callensfels pada tahun 1933 untuk
membuktikan kebenaran hasil penelitian Sarasin itu. Kemudian menyusul penelitian
yang dilakukan oleh W.J.A Williams dan F.D Mc Carthy pada tahun 1937, untuk
membuktikan persebaran kebudayaan Toala secara gegrafis. Penelitian ini dilanjutkan
oleh H.R Van Heekeren 1950 yang berhasil menemukan lukisan-lukisan pada dinding
Gua, berupa cap tangan dan babi di Gua Leang-Leang Kabupaten Maros.
Penelitian Gua di Kabupaten Maros ditingkatkan pada tahun 1969 melalui
kerjasama dengan pihak Australia dari Departemen Of Prehistory, Australian National
University Camberra. Yang dipimpin oleh D.J. Mulvaney. Penelitian ini juga bertujuan
untuk menguji kembali hasil-hasil temuan yang pernah diperoleh Van Stein Callenfels
sebelumnya. Dalam penelitian tersebut didapati sejumlah artefak berciri budaya Toala, di
samping karawang polos dan berhias, lancipan bergerigi dari batu yang dianggap unsur
termuda dari budaya Toala dijumpai pula disini. Oleh karena begitu banyaknya artefak
jenis ini ditemukan , maka tim sepakat untuk menamakan tipe lancipan ini, yaitu ”
Lancipan Maros atau Maros Point ”
Pelacakan dan inventarisasi gua-gua prasejarah oleh Kantor Suaka
Peninggalan sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan dan Tenggara, dengan
Mahasiswa Arkeologi Universitas Hasanuddin tetap dilakukan hingga sekarang.
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
Berita tentang Gua Mampu di Desa Cabbeng, Kecamatan Dua BoccoE,
Kabupaten Bone sudah dipublikasikan sebelum 1940-an yang kemudian dikunjungi oleh
James Brooke (kemudian menjadi raja di kerajaan Serawak) untuk membuktikan adanya
laporan tentang patung-patung penganut kepercayaan animisme, yang dikultuskan
sebagai kerabat kerajaan Mampu yang kena kutukan yang berubah menjadi
batu.Sedangkan berita tentang adanya informasi dari Drs. Bahri Kallupe tentang adanya
gejala arkeologis di Gua Mampu, selanjutnya pada tahun 1994 Drs. Muhammad Ramli
dan Drs. Albertinus melaporkan adanya temuan arkeologis berupa artefak dan ecofak di
Gua Mampu. Temuan-temuan permukaan tersebut berupa : alat kerang dan alat batu
dan molusca serta tulang aves.
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
BAB II
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Dalam mempertahankan hidupnya seringkali manusia harus menerima
kebijakan alam lingkungannya yang merupakan bentang ruang aktivitas hidupnya.
Bentuk kebijakan itu ditandai dengan tersedianya berbagai berbagai kapasitas
prasarana dan sarana yang dibutuhkan oleh manusia. Selanjutnya bentuik toleransi
yang diberikan manusia sebagai tanggapan terhadap kebijakan tersebut ditandai dengan
mengadaptasikan dirinya. Oleh karena itu hubungan antara manusia dengan lingkungan
merupakan suatu keterikatan yang sangat mendasar dan tak terpisahkan.
Pada bab II laporan pendahuluan ini akan diungkapkan bagaimana lingkungan
alam mempengaruhi latar belakang sosial budaya manusia pendukung Gua Mampu,
termasuk di dalamnya cerita rakyat tentang Gua Mampu itu sendiri yang berkembang
kemudian.
II.1. Lokasi
Situs Gua Mampu terletak di gugusan bulit gamping Mampu yang memanjang
dari arah timur ke barat pada gugusan ini terdapt ceruk. Situs ini berada pada 100 meter
dari permukaan laut masul wilayah administrasi RK II Desa Cabbeng Kecamatan Dua
BoccoE Kabupaten Bone Provinsi Sulawesi Selatan.
Jarak tempuh sekitar 32 kilometer dari Watampone ibu kota Kabupaten Bone.
Dan sekitar 4 kilometer arah selatan ibu kota Kecamatan Dua BoccoE, melalui jalan
daerah yang sudah dikeraskan.
II.2. Lingkungan
Ekskavasi penyelamatan ini dilaksanakan di dalam perut bukit gamping Mampu
yang terletak di RK II Desa Cabbeng Kecamatan Dua BoccoE Kabupaten Bone.
Walaupun demikian penyaringan data lingkungan menjangkau seluruh lahan lahan yang
berada di sekitar bukit tersebut.
Situs Gua Mampu terbentuk dari satuan batuan gamping dibeberapa bagian
permukaannya tertutupi oleh satuan alluvium, sedang pada bagian di dalam perut Gua
terutama pada lantai Gua tertutupi oleh batuan lanau dan travertin (endapan sinter).
Terbentuknya batuan ini memungkinkan beberapa tanaman yang dapat dikonsumsi oleh
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
manusia maupun binatang. Kemudian oleh penduduk dimamfaatkan lahan ini sebagai
pemukiman dan tegalan yang ditanami kelapa, jambu mente, pisang,asam,kakao,
mangga, kapuk, beringin,jati, pepaya, talas, ubu kayu, nangka, ketapang, jarak,lontar,
rumput,hutan belukar,dan lain-lain.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa situs Gua Mampu terbentuk dari
batuan gampingm sehingga pada bagian perutnya terdapat pintu masuk. Berdasarkan
hasil pengamatan terdapat enam ceruk yang dihubungkan dengan ceruk lainnya. Pada
bagian dalam Gua terdapat travertin yang membentuk stalagmit, stalaktit sehingga
membentuk pilar-pilar alam, Flowstone, rendomstone. Walaupun beberapa terowongan
tertentu terdapat tempat-tempat yang cukup gelap, tetapi pada bagian-bagian mulut Gua
terang karena jumlah sinar matahari yang masuk cukup banyak. Suhu udara terutama
yang terdapat pada mulut Gua berkisar 26-29 derajat Celcius dengan kelembaban
sekitar 80 %. Dengan keadaan ini manusia dapat hidup di dalamnya. Sedankan pada
bagian terowongan yang gelap pada langit-langit Gua ditempati kelelawar dan burung
walet dalam jumlah yang sangat besar. Kemudian penduduk setempat kotoran kelelawar
dan burung walaet diproduksi sebagai Guane. Berdasarkan irisan yang ditemukan pada
salah satu lantai Gua disektor II memberikan petunjuk, bahwa pemamfaatan langit-langit
Gua Mampu oleh kelelawar sudah berlangsung cukup lama dalam kurung waktu yang
panjang dengan adanya deposit tulang belulang setebal 7 cm yang berada 28 cm dari
permukaan tanah.
II.3. Geologi
Batuan pembentuk situs Gua Mampu adalah batuan gamping, tetapi pada
beberapa bagian pada permukaan batuan ini sudah tertutupi oleh lapisan lanau dan
endapan sinter (travertin). Bentangan alam yang merupakan sebuah bukit gamping yang
memmanjang dari arah timur ke barat meliputi batuan karst yang tersingkap di Sumpang
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
Labbu di bagian barat Watampone. Batuan ini juga tersingkap di kawasan karst
CittaKabupaten Soppeng yang membentuk Gua Codong. Kemudian di kawasan
Barrubatuan ini juga tersingkap di Daerah Bulu Dua, oleh karsnya singkapan gamping
yang terdapat di perbukitan Gua Mampu termasuk di dalam formasi Taccipi.
Sejarah geologi formasi Taccipi periode tertier pada kurun Miosen. Sedangkan
topografi daerah penelitian dalam skala sedang membentuk daerah perbukitan yang
terletak pada bagain selatan situs. Daerah ini yang landai sehingga daerah inin
termasuk morfologi bergelombang sedang hingga lemah.
II.4. Cerita Rakyat
Keberadaan Gua Mampu di Dusun Aluppang Desa Cabbeng merupakan
sebuah monumen saksi kehadiran suatu kelompok komunitas dengan segala
aktifitasnya sejak jaman dahulu kala di Mampu.
Menurut sumber lisan yang berkembang secara turun temurun, bahwa setelah
keturunan Dewata sudah tiada, keadaan dimana-mana menjadi kacau balau termasuk
mampu. Waktu itu Mampu terbagi dua, yaitu daerah Malaturu dan daerah Limpo Majang.
Kedua daerah tersebut dipisahkan oleh sungai
Setelah kekacauan dan ketidakstabilan masyarakat berlangsung sekian lama di
Mampu, maka suatu hari setelah didahului oleh peristiwa alam yang menakutkan dan
menimbulkan kekacauan selama tujuh hari tujuh malam, tiba-tiba muncul dua orang
bersaudara di ujung sebelah barat gunung yang tidak diketahui asal-usulnya. Kedua
orang ini bernama Guttu Tallemma, dan yang wanita bernama We Sinra Langi. Tidak
lama setelah kehadiran kedua orang ini, di sebelah timur muncul lagi dua orang
bersaudara seorang pria dan seorang wanita. Kehadiran keempat orang tersebut yang
dikultuskan sebagai ”TO-Manurung”, ternyata menarik simpati masyarakat Mampu dan
bermaksud menjadikannya pemimpin.
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
Kemudian keempat To-Manurung ini terjadi kawin mawin. Setelah perkawinan
kedua pasang ”To-Manurung” hidup makmur dan damai dan pasangan pertama, yaitu
Guttu Tallemma dengan We Sengeng Telaga, melahirkan seorang anak laki-laki
bernama ” Laoddang Patara ” sedangkan pasangan yang lain, yaitu Lapaturungi
dengan We Sinra Langi.
Setelah usia kedua putra putri To-Manurung tersebut mencapai usia dewasa La
Oddang Patara dengan We Lale Uleng sekaligus mengangkat menjadi raja pertama di
Mampu untuk mewujudkan keinginan tersebut, masyarakat mampu mengadakan
musyawarah untuk menetapkan siapa siapa yang akan menghadap To-Manurung.
Setelah tiba waktu yang ditetapkan, maka berangkatlah utusan tersebut menghadap To-
Manurung untuk menyampaikan hasrat rakyat Mampu. Dan sesudah terjadi percakapan
antara To-Manurung dengan utusan masyarakat Mampu tercapailah kata sepakat La
Oddang Patara Sebagai Raja Mampu. Keberadaan Raja Mampu ini menjadikan
Kampung Mampu menjadi kawasan yang disegani karena kemakmuran dan
kesejahteraannya. Hal ini karena La Oddang Patara dalam menjankan roda
pemerintahannya adil dan bijaksana serta sangat merakyat. Akibatnya rakyat yang
merasa terangkat atas kehadirannya dan sebagai ungkapan bakti dan rasa terima kasih
mendirikan sebuah istana di bagian utara Gunung Mampu.
Beberapa waktu kemudian kedua pasang To-Manurung tersebut menghilang
(Mallajangngi). Kejadian ini tidak menyurutkan semangat Raja Mampu La Oddang
Patara dalam memajukan kerajaan dan meningkatkan penghasilan rakyatnya.Hal ini
dimungkinkan karena Raja Mampu I adalah seorang ahli di bidang pertanian.
Setelah empat puluh tahun bertakhta La Oddang Patara yang tumbuh gagah
perkasa dan rupawan , keadaan tersebut menarik minat putra-putri raja La Urek Ruk,
LaturungpangE, We Lette Papi untuk turun menuai padi. Ketika ketiga putra putri raja
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
berada di sawah, maka raja Mampu beserta isterinya dan putri bungsunya yang
bernama We Apung Mangenre, serta sebagian besar harta bendanya menjadi batu
karena kutukan Dewata yang lazim disebut ”Malebboe Ri Mampu”
Kemudian oleh sebahagian masyarakat percaya, bahwa Raja Mampu beserta
keluarganya yang dikutuk oleh dewata sehingga menjadi batu ialah Gua Mampu di Desa
Cabbeng.
Terdapat pula cerita rakyat, bahwa dikerajaan Mampu dahulu kala ada
sepasang pengantin baru yang belum saling mengenal. Pengantin baru perempuan
memiliki kelebihan pandai menenun kain (Mattennung). Pada suatu ketika salah satu
alat tenunnya (anak caropong) jatuh di bawah rumahnya. Maka dengan demikian
pengantin baru perempuan tersebut harus melewati tangga untuk turun mengambil anak
caropongnya yang ada di bawah rumah. Akan tetapi mereka malu untuk turun ke tanah
karena ada suaminya (pengantin baru laki-laki) duduk di tangga, maklumlah keduanya
belum saling mengenal (belum sikacuang). Sehingga mereka mengurungkan niatnya
untuk turun ke tanah. Setelah itu mereka kembali kedalam rumah. Pada saat itu pula
ada seekor anjing (asu) lewat di bawah rumah. Dan selanjutnya mereka meminta tolong
kepada anjing tersebut agar dapat diambilkan alat tenunnya yang jatuh di bawah rumah.
Lalu mengatakan ” Anjing ! Ambilkan anak Caropongku ” dan sampai ketiga kalinya
anjing tersebut langsung menggigit anak caropong tersebut, dan seketika itu anjing dan
seluruh isi kerajaan Mampu termasuk Raja Mampu sendiri berubah menjadi batu
(Malebbo) dikutuk oleh Dewatae.
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
BAB III
PELAKSANAAN PENYARINGAN DATA
III.1. Ekskavasi
III.1.A. Lay Out
Sebagai tahap awal di dalam kegiatan penataan kotak, terlebih dahulu
dilaksanakan pemetaan terhadap ruang-ruang yang terdapat di dalam gua.
Berdasarkan hasil pemetaan yang dilakukan pada ruang-ruang situs dibagi atas tiga
sektor. Penentuan penempatan sektor ini didasarkan atas pertimbangan kapasitas
lingkungan alamnya, yaitu jumlah cahaya yang masuk menyinari suatu ruangan dan
kerapatan sebaran artefak dan ecofak yangterdapat pada permukaan tanahnya.
Selanjutnya sektor I terletak pada rongga kedua gua, berjarak 100 meter dari mulut
utama (pintu masuk/keluar gua). Sektor II terletak pada rongga ke tiga gua berjarak
225 meter arah selatan mulut utama gua, Sedangkan sektor III terletak pada rongga
pertama gua berjaraj 70 meter arah barat laut dari mulut gua utama.
Dalam meletakkan kotak ekskavasi, masing-masing sektor memiliki Datum
Point (DP) sendiri-sendiri. DP Sektor I ditetapkan pada sebuah batu rebah yang dipagar
sekelilingnya. Setelah DP ditetapkan selanjutnya dibuka ko9tak galian sebanyak satu
buah seluas 150 cm x 150 cm dalam posisi tegak pada arah mata angin. Berdasrkan
hasil pengukuran, letak kotak ekskavasi di sektor I ini berada pada ketinggian 2,25
meter dan berjarak 8,53 meter dengan azimuth 80 derajat N-E dari DP. Sedang DP
sektor II ditetapkan pada sebuah batu berukuran 1 x 1 x 1 meter yang berda di tengah
jalan menuju pada sebuah batu rebah yang dikelilingi pagar besi. Setelah ditentukan
Dpnya selanjutnya dibuka kotak galian seluas 150 cm x 150 cm dalam posisi tegak
pada arah mata angin. Berdasarkan hasil pengukuran, letak kotak galian berada pada
ketinggian 1,48 meter dan berjarak 9,45 meter dengan azimuth 62 derajat N-E dari DP.
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
Demikian pula pada sektor III, DP ditetapkan pada sebuah pilar batu yang berada tepat
d itengah sektor III. Setelah DP ditetapkan selanjutnya dibuka kotak galian satu buah
berukuran 150 cm x 150 cm dalam posisi tegak pada arah mata angin. Berdasarkan
hasil pengukuran kotak galian berada pada ketinggian 76 meter dan berjarak 7,50
meter dengan azimuth 21 derajat N-E dari DP.
III. 1.B. Proses Ekskavasi
1. Sektor I
Kotak 1 (BNM/I/1)
Permukaan :
Permukaan tanah kotak galian BNM/I/1 miring dari arah barat ke arah timur,
sehingga masing-masing sudutnya mempunyai ketinggian yang berbeda. Dari hasil
pengukuran menunjukkan titik 0 (nol) cm berada timur laut., sudut tenggara 60 cm. Keadaan
tanah merupakan tanah endapan lanau berwarna coklat hitam.
- Spit (1)
Penggalian tanah BNM/I/1/(1) dilaksanakan diantara kedalaman 0 cm - 15 cm
secara horizontal dari sudut tertinggi kotak gali. Keadaan tanahnya terutama pada bagian
topsoil sedikit gembur berwarna coklat kehitaman, bercampur dengan kulit kerang air
payaudan sedikit potongan arang, gigi taring dan cakar kelelawar. Sedang temuan lainnya
adalah tembikar kasar polos dari pecahan bagaian badan.
-Spit (2)
Penggalian tanah BNM /I/1/(2) dilaksanakan diantara kedalaman 16 cm – 25
cm. Keadaan tanahnya sedikit gembur berwarna coklat dari endapan lanau. Tanah ini
bercampur dengan travertin yang menyebar di dalam beberapa kotak dan beberapa kulit
kerang air tawar serta kulit kerang laut. Dalam penggalian ini ditemukan lapisan konsentrasi
arang dan abu sisa hasil pembakaran seluas 12 x 30 cm setebal 1,7 cm membujur dari
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
utara ketenggara di bagian utara kotak gali. Disini juga ditemukan tulang taring dan cakar
kelelawar, temuan lainnya adalah tembikar kasar polos dari bagian bentuk badan.
- Spit (3)
Penggalian BNM/I/1/(3) dilaksanakan diantara kedalaman 26 cm-35 cm.
Tekstur tanahnya halus berasal dari endapan lanau sehingga tampak gembur berwarna
coklat kekuningan tetapi di bawah konsentrasi arang dan abu tersingkap pada split
sebelumnya ditemukan lapisan tanah berwarna merah yang mungkin terjadi akibat
oksidasi panas yang terjadi di atasnya dalam waktu relatif lama. Lapisan tanah pada split
ini bercampur dengan kulit kerang air tawar dan laut jenis gastrapodae polipodai. Dari
lapisan ini juga ditemukan beberapa tulang gigi dan cakar kelelawar. Sedang temuan
lainnya beberapa tembikar polos bagian tepian dan badan serta sebuah pragmen
tembika halus bagian badan yang mempunyai hiasan gores melingkar.
-Spit (4)
Penggalian BNM/I/1/(4) ini dilaksanakan diantara kedalaman 36 cm sampai
dengan 45cm, tanahnya tanahnya merupakan tanah endapan Lanau dengan tekstur
gembur berwarna coklat kekuningan bercampur dengan pecahan kulit kerang air tawar
dan laut yang tersebar di lapisan tanah spit ini. Di dalam lapisan tanah ini juga
ditemukan potong arang serta konsuntrasi temuan tulang, gigi taring dan cakar burung
kelelawar yang berassosiasi dengan pecahan – pecahan kulit kerang laut dan air tawar
jenis gastrapodae dan pelicypodae, temian lainnya berupa fragmen tembikar kasar dan
halus bagian tepian dan badan yang polos.
-Spit (5)
Penggalian BNM/I/1/(5) ini dilaksanakan diantara kedalaman 46 cm sampai
dengan 55 cm. Keadaan tanahnya gembur berwarna coklat bercampur dengan pecahan
kulit kerang laut dan payau dari jenis gastrapodae dan pelicypodae. Pada bagian lapisan
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
ini juga ditemukan tulang, gigi taring, dan cakar burung kelelawar dalam jumlah yang
cukup besar. Selain itu juga ditemukan beberapa tembikar kasar bagian badan. Temuan
ini yang menarik beberapa keping batu lime atone yang mempunyai kekerasan tinggi
yang diduga sebagai alat. Demikian juga temuan sepotong tulang yang telah mengalami
proses pengerjaan yang lebih lanjut untuk difungsikan sebagai alat penusuk ” Bone
Poin”. Juga kulit kerang jenis gastrapodae dan pelicypodae yang diproses untuk
difungsikan sebagai alat penyerut.
-Spit (6)
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone
Dirilis Oleh Lembaga Seni Budaya Teluk Bone