Upload
ngokien
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
108
BAB IV
ANALISA KEHIDUPAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK YANG
HIDUP LEBIH LAMA DARI PROGNOSIS MEDIS DAN FAKTOR-
FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA.
Setelah mendeskripsikan kehidupan keenam subjek penderita gagal ginjal
kronik yang hidup lebih lama dari prognosis medis maka Bab IV ini, penulis
memfokuskan penulisan ini dengan menganalisa dan menginterpertasikan data
yang sudah dipaparkan dalam Bab III, sesuai dengan Research Questian pada Bab
I. Penulis akan menguraikan sebuah hal penting tentang penemuan makna hidup
pasien gagal ginjal kronik yang hidup lebih lama dari prognosis medis dengan
memakai pisau bedah logoterapi Frankl .
Bagian ini dibagi dalam dua bagian, pertama penemuan makna hidup, dan
yang kedua faktor-faktor yang memengaruhi penemuan makna hidup.
4.1. Analisa Penemuan Makna Hidup Pasien Gagal ginjal Kronik Yang
Hidup Lebih Lama Dari Prognosis Medis Menurut Logoterapi
Frankl.
4.1.1 Kebebasan Untuk Berkehendak (The Freedom of Will)
Kebebasan sifatnya bukan tidak terbatas karena manusia adalah makhluk
serba terbatas. Manusia, sekali pun dianggap sebagai makhluk yang memiliki
berbagai potensi luar biasa, tetapi sekaligus juga memiliki keterbatasan dalam
109
aspek fisik (tenaga, daya tahan tubuh, stamina, usia), aspek kejiwaan
(kemampuan, keterampilan, kemauan, ketekunan, bakat, sifat, dan tanggungjawab
pribadi), aspek sosial (dukungan lingkungan, kesempatan, tanggungjawab sosial,
ketaatan pada norma), aspek spiritual (iman, ketaatan beribadah, cinta kasih).
Kebebasan manusia bukan ”kebebasan dari apa” tetapi “kebebasan untuk apa”.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa Subjek G, T, U, C, S,
dan H, memiliki kebebasan untuk berkehendak. Keenam subjek ini memahami
penyakit gagal ginjal kronik merupakan ujian, takdir, ultimatum, dan cambuk dari
Tuhan. Pemahaman yang berbeda akan menimbulkan sikap yang berbeda dalam
menghadapi atau menyikapi situasi dan kondisi yang dialami.
Tiga orang subjek (G, T, dan S) memahami bahwa penyakit gagal ginjal
yang mereka alami adalah merupakan ujian dari Tuhan. Satu orang subjek (C)
mengatakan bahwa gagal ginjal kronik adalah takdir dari Tuhan. Sedangkan dua
orang subjek (U dan H), merupakan ultimatum dan cambuk dari Tuhan.
Pemahaman yang berbeda akan menimbulkan sikap atau perilaku yang berbeda
pula. Tiga orang subjek (G, T, dan S) memahami penyakit gagal ginjal kronik
sebagai ujian dari Tuhan. Hal ini akan memotivasi ketiga subjek untuk bertahan
dan semangat untuk hidup dalam iman kepada Tuhan, sekaligus berkomitmen
untuk merubah sikap hidup ke arah yang lebih baik, sedangkan satu orang subjek
(C) yang memahami penyakit gagal ginjal kronik sebagai takdir dari Tuhan,
bersikap pasrah dan menerima keadaan dan berkomitmen untuk merubah sikap
hidup ke arah yang lebih baik dari yang sebelumnya. Kemudian dua orang subjek
(U dan H) yang memahami penyakit gagal ginjal sebagai cambuk dan ultimatum
110
dari Tuhan memotivasi mereka untuk berkomitmen menghentikan/meninggalkan
segala perilaku yang buruk yang diperbuat sebelumnya.
Analisa penulis bahwa pemahaman yang berbeda ini dipengaruhi oleh
perbedaan umur dan latar belakang hidup. Bagi subjek yang berusia di atas 44
tahun sampai 56 tahun penyakit gagal ginjal kronik dianggap sebagai ujian dari
Tuhan. Tetapi bagi subjek yang berusia 25 tahun sampai 27 tahun , penyakit gagal
ginjal kronik adalah sebagai cambuk dan ultimatum dari Tuhan, sedangkan subjek
yang berusia 32 tahun mengganggap penyakit gagal ginjal kronik sebagai takdir
dari Tuhan. Dengan demikian umur mempengaruhi kedewasaan untuk berpikir.
Sedangkan dari sudut pandang latar belakang kehidupan, bahwa orang yang pola
hidupnya tidak sehat dan perilaku kurang benar mengatakan bahwa gagal ginjal
kronik sebagai ujian dari Tuhan (Subjek G, T, S). Tetapi subjek yang latar
belakang hidup atau masa lalu yang suram memahami bahwa gagal ginjal kronik
sebagai cambuk dan ultimatum dari Tuhan (Subjek U dan H).
Ungkapan-ungkapan tersebut menjelaskan adanya kesadaran dan
introspeksi diri akan masa lalu yang tidak benar di hadapan Tuhan. Namun satu
hal yang perlu diketahui bahwa ada perbedaan latar belakang hidup/masa lalu
subjek antara subjek penderita gagal ginjal kronik dengan Frankl sebagai pencetus
logoterapi dan penghuni kamp konsentrasi Auschwitzs. Subjek gagal ginjal kronik
yang hidup lebih lama dari prognosis medis G, T, U, C, S, dan H, mengalami
penderitaan karena pola hidup dan perilaku yang tidak benar. Berbeda dengan
Frankl dengan penghuni kamp konsentrasi, mereka mengalami penderitaan bukan
karena perilaku yang tidak benar tetapi akibat kekejaman tentara Nazi yang
dipimpin oleh Hitler yang sangat kejam pada Perang Dunia II.
111
Subjek G, T, dan S, mengalami gagal ginjal kronik dan menjalani
hemodialisa (cuci darah) karena pola makan dan minum yang tidak sehat. Subjek
G terlalu banyak minum jamu dan makan daging babi. Subjek T, terlalu banyak
minum kopi dan merokok. Subjek S terlalu banyak makan mie instan dan minum
teh botol. Kemudian Subjek U disebabkan perilaku hidup yang tidak benar, sering
keluar malam, kurang tidur dan banyak minum alkohol. Subjek C, terlalu banyak
keluar malam yang mengakibatkan kurang tidur dan istirahat. Walaupun latar
belakang subjek berbeda antara pasien gagal ginjal kronik dengan Frankl, tetapi
setiap orang mempunyai kebebasan untuk berkehendak. Frankl mengatakan
bahwa dalam kamp konsentrasi Auschwiz, setiap orang memiliki kebebasan untuk
berkehendak. Dalam kamp konsentrasi ada yang memilih seperti swine (babi) dan
ada yang memilih menjadi saint (orang kudus). Hal ini menjelaskan bahwa dalam
situasi yang sama belum tentu mengambil sikap yang sama pula. Dengan
demikian teori Frankl dapat diterima, sesuai dan berlaku secara universal baik di
dunia Barat maupun di dunia Timur walaupun latar belakang budayanya berbeda.
4.1.2. Kehendak Untuk Bermakna (The Will to Meaning).
Setiap orang berkehendak untuk bermakna. Bermakna bagi diri sendiri,
keluarga, suami, isteri, anak, saudara, lingkungan, dan juga di tempat bekerja.
Keenam subjek (G, T, U, C, S, dan H) mempunyai kehendak untuk bermakna,
walaupun mereka menderita gagal ginjal kronik. Subjek G ingin bermakna kepada
Gereja. Subjek T, berkehendak bermakna kepada suami, anak, dan orang lain.
Subjek U, berkehendak bermakna kepada orang tua dan saudaranya. Subjek C
112
berkehendak bermakna kepada isteri. Subjek S ingin bermakna bagi Tuhan.
Subjek H ingin bermakna bagi orang tua, saudara, dan keluarga.
Analisa penulis bahwa perbedaan objek dalam kehendak untuk bermakna
keenam subjek (G, T, U, C, S, dan H), dipengaruhi oleh siapa yang menopang,
menghargai, memperhatikan, membebaskan, dan mendoakan subjek. Subjek G
berkehendak untuk bermakna kepada gereja. Subjek T berkehendak untuk
bermakna kepada suami, anak, dan orang lain. Subjek C berkehendak untuk
bermakna kepada isteri dan orang tua dan keluarga. Subjek (U dan H)
berkehendak untuk bermakna kepada orang tua dan saudara kandung. Subjek S
berkehendak untuk bermakna kepada Tuhan. Frankl mengatakan bahwa kehendak
untuk bermakna dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan untuk menjadi orang
yang berguna untuk orang lain, apakah itu anak, isteri, suami, dan keluarga dekat.1
Dengan demikian teori Frankl dapat diterapkan namun perlu ditambahkan
dan kembangkan bahwa keinginan untuk bermakna pada objek tertentu juga
dipengaruhi oleh siapa yang menopang, menghargai, memperhatikan,
membebaskan, dan mendoakan subjek, sesuai dengan keadaan pasien gagal ginjal
kronik yang hidup lebih lama dari prognosis medis.
4.1.3. Makna Hidup (Penderitaan, Cinta dan Kerja).
Makna hidup dapat ditemukan oleh siapa pun, kapan pun, dimana pun, dan
dalam situasi apa pun. Makna hidup bukan diciptakan dan dipilih tetapi
ditemukan. Dari hasil penelitian di lapangan ke enam subjek (G, T, U, C, S, dan
H) menemukan makna hidup walaupun menderita gagal ginjal kronik. Penyakit
1 Viktor, E. Frankl , LOGOTERAPI Terapi psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi,
(Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2003), viii
113
gagal ginjal tidak menghalangi keenam subjek (G, T, U, C, S, dan H) untuk
menemukan makna hidup. Penemuan makna hidup pasien gagal ginjal kronik
ditemukan pada saat mereka menerima hidup lebih lama dari batas waktu yang
telah ditentukan oleh medis. Tuhan masih memberikan kesempatan hidup lebih
lama dari prognosis medis. Contoh subjek H, mengatakan saya bersyukur karena
hanya makanan dan minuman yang dibatasi bagaimana jika umur saya yang
dibatasi.2 Kesempatan yang diberikan Tuhan kepada pasien gagal ginjal kronik
memotivasi mereka untuk hidup lebih baik pada masa sekarang dan yang akan
datang dibanding masa sebelumnya. Mereka termotivasi untuk semangat hidup,
meningkatkan spritualitas, pelayanan, dan perbuatan baik.
Hidup lebih lama dari prognosis medis membuat pasien gagal ginjal
kronik, mempunyai tujuan hidup yang jelas. Tujuan hidup merek adalah
memperbaiki segala yang negatif pada masa lalu menjadi positif pada masa
sekarang dan yang akan datang. Hal ini yang dijelaskan oleh Frankl bahwa
makna hidup adalah tujuan hidup yang berorientasi pada masa yang akan datang
(future oriented) bukan kepada masa lalu.3 Contoh subjek S, mengatakan masa
lalu tidak perlu kita sesali tetapi yang penting adalah masa sekarang dan yang
akan datang.4
Makna hidup adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan
didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan
tujuan hidup. Setiap manusia selalu mendambakan hidupnya bermakna dan selalu
2 Wawancara hari kamis,tanggal 17 April 2012, pukul 15.00, Lantai 2, Rumah Sakit
Khusus Ginjal, Bandung. 3 Viktor. E, Frankl, Man’s Search for meaning, (New York: A Touchstone Book; Published
by Simon and Schuster, 1962), 98 4 Wawancara hari Kamis, tanggal 17 April 2012, pukul 12.00. Lantai 2, Rumah Sakit
Ginjal, Bandung.
114
berusaha mencari dan menemukannya. Makna hidup apabila berhasil ditemukan
dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan mereka yang berhasil
menemukan dan mengembangkannya akan merasakan kebahagiaan sebagai
ganjarannya sekaligus terhindar dari keputusasaan. Pasien gagal ginjal kronik
telah berhasil menemukan makna hidupnya maka mereka telah menerima
keadaannya dan bersedia kapan pun dipanggil oleh Tuhan. Contoh subjek C
mengatakan “Saya sudah bersedia kapan pun dipanggil oleh Tuhan”.5
Selanjutnya keenam Subjek (G, T, U, C, S, dan H) juga memaknai
penderitaan setelah hidup lebih lama dari prognosis medis. Subjek G memaknai
penderitaan untuk mengintrospeksi diri dan berkomitment untuk memperbaiki
sehingga hidupnya berguna untuk dirinya sendiri juga untuk orang lain. Hal ini
memotivasi subjek G memperbaiki dan meningkatkan pelayanan di Gereja dan
juga menjaga kesehatan. Penderitaan memotivasi subjek T untuk merubah sikap
dan menjaga pola hidup sehat, penderitaan memotivasi subjek U semakin dekat
dan sayang kepada orang tua dan saudara kandungnya, rajin sholat, dan
menghentikan segala perbuatan yang negatif. Penderitaan mendorong subjek C
mempunyai tujuan hidup semakin jelas, termotivasi untuk berbuat baik, rajin
sholat, dan bersyukur kepada Tuhan. Penderitaan memotivasi subjek S untuk
bersikap lebih sabar dan tabah, dan subjek H, memotivasi untuk berkomitmen
mengubah hidup dari yang jaht kepada yang baik (bertobat). Keenam subjek (G,
T, U, C, S, dan H) dengan latar belakang yang berbeda dari segi umur, sex, jenis
kelamin, agama, status, lama hemodialisa, dan pekerjaan, dan sejarah hidup masa
lalu, “sama” dalam memaknai penderitaan. Jadi kesimpulannya adalah
5 Wawancara hari Selasa, 15 April 2012, pukul 12.00, Lantai 2, Rumah Sakit Khusus
Ginjal, Bandung.
115
Penderitaan menjadikan keenam subjek (G, T, U, C, S, dan H) mengintrospeksi
diri dan bertobat serta berkomitmen memperbaiki hidup dari yang negatif ke
positif sehingga berguna untuk diri sendiri juga untuk orang lain.
Dari keterangan di atas menjelaskan bahwa teori Frankl dapat diterima,
dan teruji kebenarannya. Mengapa? Teori Frankl bukanlah teori hasil dari yang
“dipelajari secara teori” tetapi hasil dari “pengalaman hidup” atau “laboratorium
hidup”, karena itu pantas didengar dan diterapkan. Teori ini mengatakan bahwa
makna hidup dapat ditemukan oleh siapa pun dalam setiap situasi bahkan dalam
penderitaan dan kepedihan sekali pun. Maka teori ini sesuai dengan keadaan
pasien gagal ginjal kronik yang sedang mengalami penderitaan. Pertanyaan adalah
apakah ketika manusia menderita baru menemukan makna hidup. Jawabannya
“TIDAK”. Mengapa? Karena makna hidup menurut teori Frankl dapat ditemukan
dalam situasi bahagia juga dalam penderitaan. Namun secara umum dapat
dijelaskan bahwa makna hidup baru ditemukan ketika penderitaan terjadi atas
kehidupan kita.
Kemudian keenam subjek (G, T, U, C, S, dan H) juga memaknai cinta
setelah hidup lebih lama dari prognosis medis. Keenam subjek (G, T, U, C, S, dan
H) memaknai cinta sebagai motivasi, pemberi semangat untuk hidup, dan
menemukan makna hidup. Subjek G memaknai cinta sebagai pendorong dan
semangat untuk hidup. Cinta isteri, anak, warga jemaat, dan perkumpulan marga
menjadikan hidupnya berarti. Subjek T, cinta suami dan anak menjadikan
hidupnya semangat dan jembatan menemukan makna hidup. Subjek U, cinta
orang tua dan saudara yang tulus dan ikhlas membuat subjek U berguna dan
berarti serta semangat untuk hidup.
116
Subjek C, cinta isteri menjadi pendorong, penopang, dan pemberi semangat dan
menemukan makna hidup. Subjek S, cinta keluarga dan dokter tempatnya bekerja
menjadikan hidupnya berarti, dihargai, dan semangat. Subjek H, cinta yang tulus
dan ikhlas dari orang tua, saudara, dan keluarga menjadikan hidupnya berarti dan
berguna, memberi semangat, dan menemukan makna hidup.
Analisa penulis terhadap keenam subjek (G, T, U, C, S, dan H) adalah
bahwa cinta dari kelompok sosial (keluarga, ibu, ayah, saudara, kumpulan marga,
waga jemaat) sangat menentukan penemuan makna hidup penderita gagal ginjal
kronik. Benar apa yang dikatakan Frankl yang menjelaskan bahwa dalam cinta
terjadi sebuah penerimaan akan keberadaan yang dicintai.6 Cinta merupakan
masuknya dalam hubungan langsung dengan kepribadian yang dicintai dengan
keunikan dan kesatuan orang yang dicintai. Dicintai dan diterima adalah jalan
menuju perasaan yang sehat dan berharga, sebaliknya tanpa cinta menimbulkan
kesia-siaan, kekosongan, dan kemarahan. Erich Fromm seorang pakar
psikoanalisa modern menyebutkan empat unsur dari cinta kasih yang murni, yakni
perhatian (care), tanggung jawab (responsibility), rasa hormat (respect), dan
pengertian (understanding).7 Selanjutnya Carl Rogers mengatakan bahwa cinta
adalah “keadaan dimengerti secara mendalam dan diterima dengan sepenuh hati”.8
Hal ini juga ditemukan keenam subjek penderita gagal ginjal kronik yang
hidup lebih lama dari prognosis medis. Jadi kesimpulannya adalah Cinta dari
keluarga, saudara, isteri, suami, gereja, kumpulan marga menjadikan hidup
mereka berarti dan dihargai. Cinta membuat mereka mempunyai semangat untuk
hidup. Cinta membuat mereka menemukan makna hidup. Cinta membuat mereka
6 Alwisol, Ibid, 245
7 Fromm, Erich, Man For Himself, (New York: Holt Rinehart And Winston, 1964), 103.
8 Frankl , G. Goble, Ibid, 74
117
bertambah sehat. Dari penjelasan di atas maka teori Frankl, benar dan dapat
diterima serta dipergunakan pada pasien gagal ginjal kronik yang hidup lebih lama
dari prognosis medis.
Selanjutnya empat subjek (G, T, S, dan U), memaknai makna kerja sebagai
tanggungjawab dan makna hidup. Kerja merupakan sebagai bukti bahwa gagal
ginjal kronik juga dapat bekerja seperti orang sehat walaupun tidak sesempurna
sebelumnya. Kerja membuat hidup mereka berguna, dan bahagia, sedangkan
subjek C, memaknai kerja hanya biasa saja, hal ini dimungkinkan karena hanya
membantu isteri berjualan di rumah. Sedangkan subjek H, belum bekerja tetapi
masih kuliah. Namun Subjek H memaknai kuliah sebagai tanggungjawab dan
makna hidup. Hal itu membuat subjek H berkomitmen untuk menyelesaikan
kuliahnya yang tertunda sebelumnya.
4.2. Analisa Faktor-faktor Yang Memengaruhi Penemuan Makna Hidup
Pasien Yang Hidup Lebih Lama Dari Prognosis Medis.
Ada 3 (tiga) faktor yang memengaruhi penemuan makna hidup pasien
gagal ginjal kronik yang hidup lebih lama dari prognosis medis sesuai dengan
hasil penelitian di lapangan yang telah dipaparkan di Bab III. Ketiga faktor
tersebut pertama, faktor sosial (keluarga, suami, isteri, saudara, anggota gereja,
perkumpulan marga) kedua faktor religiusitas dan ketiga motivasi diri (semangat
untuk hidup).
Dari ketiga faktor hasil temuan di lapangan yang paling dominan
memengaruhi adalah faktor sosial (keluarga, suami, isteri, saudara, anggota
118
gereja, perkumpulan marga), kemudian faktor religiusitas dan motivasi diri
(semangat hidup). Pertanyaan adalah Mengapa?
Analisa penulis karena keluarga adalah hubungan yang paling dekat,
mengerti, menerima, memahami, dan yang selalu siap membantu baik fisik
maupun psikis dalam menghadapi pergumulan hidup pasien. Keluarga adalah
tempat curahan hati bagi pasien gagal ginjal kronik baik dalam suka maupun
duka. Cinta keluarga memberi semangat dan dorongan bagi pasien gagal ginjal
kronik untuk mampu menghadapi tantangan kehidupan baik dari dalam maupun
dari luar diri pasien gagal ginjal kronik. Akhirnya perhatian keluarga
menimbulkan religiusitas dan motivasi diri (semangat untuk hidup).
Hal ini menjelaskan bahwa sifat orang/masyarakat di Timur adalah
Communal Life (hidup bersama). Kepastian hidup ada dalam kebersamaan.
Kebersamaan merupakan salah satu kenyamanan hidup untuk masyarakat Timur.9
Selain itu masyarakat di Timur adalah interdependence personality (saling
ketergantung antara satu dengan yang lain), bukan independence personality.10
Kepribadian orang/masyarakat Timur dipengaruhi juga oleh orang lain yang dekat
dengan dirinya. Hal ini juga berkaitan dengan apa yang dijelaskan oleh Durkheim
bahwa individu dipengaruhi oleh kelompok sosial/masyarakat dan saling
memengaruhi.
Dengan demikian teori Frankl perlu ditambahkan bahwa dalam penemuan
makna hidup bukan hanya karena kemampuan dan motivasi diri setiap orang
tetapi faktor sosial (keluarga) memegang peranan yang sangat penting dalam
9 Mengutip buah pemikiran.Prof. Pdt. John, A. Titaley,Th.D, hari Sabtu 5 Agustus 2012 di
Asrama UKSW, pukul 17.00. 10
Bahan kuliah Teori Konseling Pastoral tanggal 17 Januari 2012 oleh Totok Wiryasaputra, di Gedung G, Lantai 3.
119
penemuan makna hidup bagi pasien gagal ginjal kronik yang ada di dunia Timur.
Pasien gagal ginjal kronik menemukan makna hidup bukanlah diawali oleh
kemampuan dirinya tetapi karena mendapatkan topangan, dukungan, cinta yang
tulus dan diterima oleh keluarga.
Maka sumbangan kontekstual lokal dari hasil penelitian ini adalah bahwa
dukungan sosial (keluarga) adalah sangat memegang peranan penting dalam
mencapai penemuan makna hidup. Ketika penderita gagal ginjal kronik
merasakan hidup dalam kebersamaan, dihargai, diterima, dan dicintai dengan
tulus ikhlas maka mereka akan bersyukur kepada Tuhan dan mempunyai motivasi
untuk tetap semangat menjalani hidup.
Dengan demikian implikasi pastoral kepada pasien gagal ginjal kronik
yang hidup lebih lama dari prognosis medis adalah jangan mereka dibiarkan
sendirian/kesepian (lonely), sering dikunjungi, ditopang, diterima, dihargai,
dicintai dengan tulus dan akhirnya mereka dapat menerima kematiannya dengan
tulus dan tenang. Selanjutnya konselor juga dapat menantang pasien gagal ginjal
kronik bahwa hidup yang dimiliki sekarang merupakan anugerah dari Tuhan yang
seharusnya tidak diterima. Dengan demikian kesempatan emas yang diberikan
Tuhan dipergunakan sebaik mungkin dan bermakna untuk diri sendiri dan juga
untuk orang lain.
William A. Clebsch dan Charles R. Jeakle dalam ringkasan sumber-
sumber yang mereka buat dari sejarah gereja, mengemukakan empat fungsi
konseling pastoral sepanjang abad:
Menyembuhkan (Healing) “suatu fungsi pastoral yang terarah untuk
mengatasi kerusakan yang dialami orang dengan memperbaiki orang itu
120
menuju keutuhan dan membimbingnya ke arah kemajuan di luar
kondisinya terdahulu”.
Mendukung (Sustaining) “Menolong orang yang sakit (terluka) agar dapat
bertahan dan mengatasi suatu kejadian yang terjadi pada waktu yang
lampau, dimana perbaikan atau penyembuhan atas penyakitnya tidak
mungkin lagi diusahakan atau kemungkinannya sangat tipis sehingga tidak
mungkin lagi diharapkan”.
Membimbing (Guiding) “membantu orang yang berada dalam
kebingungan dalam mengambil pilihan yang pasti (meyakinkan diantara
berbagai pikiran dan tindakan alternative/pilihan), pilihan yang dipandang
mempengaruhi keadan jiwa mereka sekarang dan pada waktu yang akan
datang”.
Memulihkan (Reconciling) ”usaha membangun hubungan-hubungan yang
rusak kembali diantara manusia dan sesama manusia dan diantara manusia
dan Allah”.