27
SALIMIYA: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam Volume 2, Nomor 3, September 2021 e-ISSN: 2721-7078 https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/salimiya Accepted: April 2021 Revised: Juli 2021 Published: Septemnber 2021 Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis terhadap Kewenangan Pengadilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama) Sapri Ali Institut Agama Islam Faqih Asyari Kediri, Indonesia Email : [email protected] Abstract istilhaq" or it can also be called iqraru bi an-nasb, which means the voluntary recognition of a man to a child, that he has a blood relation with the child, either the child is out of wedlock or the child is unknown of origin. Which becomes actual to be discussed because it is closely related to the absolute competence of the religious judicial body on the settlement of the origin of the child and the adoption of children formulated with the birth of Law No. 3 of 2006 on Amendments to Law No. 7 of 1989 on Religious Justice.The problem of istilhaq is closely related to the position of extramarital children. In Law No. 1 of 1974 article 43 paragraphs (1) and (2) mentioned, that children born outside of marriage only have a civil relationship with their mother, and their mother's family, while the position of the extramarital child will be regulated in a government regulation, but until now the government regulation has not yet come down / issued, related to the issuance of government regulations in question, Such a thing will cause legal uncertainty and injustice, especially felt by the child and the mother who gave birth to it, while the impregnated man seems less responsible for his actions that have led to the birth of a child called an extramarital child. Keywords: Istilhaq, Law No. 3 of 2006, Islamic law.

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

SALIMIYA: Jurnal Studi Ilmu Keagamaan Islam Volume 2, Nomor 3, September 2021

e-ISSN: 2721-7078

https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/salimiya

Accepted:

April 2021

Revised:

Juli 2021

Published:

Septemnber 2021

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith

dalam Perspektif Hukum Islam

(Studi Analisis terhadap Kewenangan Pengadilan Agama

Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Peradilan Agama)

Sapri Ali

Institut Agama Islam Faqih Asy’ari Kediri, Indonesia

Email : [email protected]

Abstract

istilhaq" or it can also be called iqraru bi an-nasb, which means the voluntary

recognition of a man to a child, that he has a blood relation with the child,

either the child is out of wedlock or the child is unknown of origin. Which

becomes actual to be discussed because it is closely related to the absolute

competence of the religious judicial body on the settlement of the origin of the

child and the adoption of children formulated with the birth of Law No. 3 of

2006 on Amendments to Law No. 7 of 1989 on Religious Justice.The problem of

istilhaq is closely related to the position of extramarital children. In Law No. 1

of 1974 article 43 paragraphs (1) and (2) mentioned, that children born outside

of marriage only have a civil relationship with their mother, and their mother's

family, while the position of the extramarital child will be regulated in a

government regulation, but until now the government regulation has not yet

come down / issued, related to the issuance of government regulations in

question, Such a thing will cause legal uncertainty and injustice, especially felt

by the child and the mother who gave birth to it, while the impregnated man

seems less responsible for his actions that have led to the birth of a child called

an extramarital child.

Keywords: Istilhaq, Law No. 3 of 2006, Islamic law.

Page 2: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

79

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

Abstrak

Istilhaq atau bisa juga disebut iqraru bi an-nasb, yang berarti pengakuan

seorang laki-laki secara sukarela terhadap seorang anak, bahwa ia mempunyai

hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut berstatus di luar nikah

atau anak tersebut tidak diketahui asal usulnya. Yang menjadi aktual untuk

dibahas karena berkaitan erat dengan kewenangan mutlak (absolute

competence) badan peradilan agama tentang penyelesaian asal usul anak dan

pengangkatan anak yang terformulasikan dengan lahirnya Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Permasalahan istilhaq erat kaitannya dengan

kedudukan anak luar nikah. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal

43 ayat (1) dan (2) disebutkan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, dan keluarga ibunya, sedangkan

kedudukan anak luar nikah tersebut akan diatur dalam suatu peraturan

pemerintah, namun sampai saat ini peraturan pemerintah tersebut belum juga

turun/terbit, berkaitan dengan belum terbitnya peraturan pemerintah dimaksud,

hal seperti itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan,

terutama dirasakan pihak anak dan ibu yang melahirkannya, sedangkan lelaki

yang menghamili terkesan kurang mendapat akibat tanggung jawab atas

perbuatannya yang telah menyebabkan kelahiran seorang anak yang disebut

anak luar nikah.

Kata Kunci: Istilhaq, UU No. 3 Tahun 2006, Islamic law

Pendahuluan

Penerjemahan ajaran Islam terutama aspek hukumnya dalam konteks

kekinian dan kemodernan dewasa ini merupakan keharusan yang tidak bisa

dihindari. Kompleksitas problematika kehidupan umat manusia yang

memerlukan solusi hukum Islam secara efektif, sejalan dengan perkembangan

dan kemajuan dunia modern, semakin rumit. Elastisitas dan fleksibilitas hukum

Islam yang sering dikumandangkan oleh para ahli hukum, (baca: ulama’) makin

dituntut pembuktiannya secara kongkrit. Karena itu, kajian Fiqh Islam

mengenai berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat modern

merupakan kajian menarik, aktual dan perlu terus dilakukan untuk lebih

membuktikan bahwa syari’at Islam adalah betul-betul mampu menjawab setiap

permasalahan hidup dan senantiasa peka zaman.

Syari’at Islam atau Hukum Islam adalah sebuah solusi tepat dari

persoalan kehidupan manusia, syari’at tersebut terformulasikan secara harfiah

dalam al-Qur’an dan teks hadits. Namun, aturan hukum yang ditetapkan Allah

secara harfiah jumlahnya sangat terbatas, pada umumnya menjawab

Page 3: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

80 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

permasalahan yang timbul sewaktu al-Qur’an masih diturunkan, begitu juga

dengan hadits, membahas persoalan yang kala itu terjadi dan langsung

ditanyakan pada Rasulullah. Sedangkan permasalahan baru yang semakin

beragam meminta untuk tetap diselesaikan, disinilah peran para mujtahid dan

para hakim untuk mengisi kekosongan hukum tersebut dengan berijtihad.

Dalil-dalil syar’i yang dipakai untuk berijtihad mengacu pada 2 (dua)

sumber yaitu naqli dan ‘aqli.

Menurut Prof. Hasbie As-Siddiqie dalil naqli adalah al-Qur’an, sunnah

dan ijma’ mazhab shahabi (menurut sebagian ulama ushul). Sedangkan dalil

‘aqli, termasuk diantaranya adalah qiyas, istidlal dan yang dihubungkan dengan

keduanya, seperti istihsan, maslahat mursalat, syadz az-zari’ah dan sebagainya.

Aspek yang dituju dalam maqasid at-tasyri’ adalah mewujudkan

kemaslahatan yaitu kebaikan dan kesejahteraan yang meliputi tiga maslahat,

yaitu maslahat daruriyat (kemaslahatan utama), maslahat hajjiyat dan maslahat

tahsiniyat. Menurut pendapat Al-Syathibi, maslahat daruriyat adalah

kemaslahatan terhadap segala urusan yang menjadi kebutuhan pokok dan sendi

kehidupan manusia, yang mencakup lima hal, yakni: memelihara agama (hifz

addien), memelihara jiwa (hifz an-nafs), memelihara akal (hifz al ‘aqli),

memelihara keturunan (hifz an-nasl) dan memelihara harta (hifz al-mal).

Kelima hal tersebut adalah sumber pokok maqasid at-tasyri’.

Kemaslahatan yang kedua, yaitu maslahat hajjiyat adalah kemaslahatan

terhadap segala urusan yang memudahkan dan meringankan serta

menghilangkan kesukaran bagi manusia dalam menanggung beban hukum

(taklif). Jika tujuan ini tidak terwujud, tidak akan merusak tatanan masyarakat

secara luas, dan tidak akan terjadi meratanya kerusakan. Sedangkan maslahat

tahsiniyat adalah hal-hal yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan

dan keseragaman hidup bagi perorangan dan masyarakat. Jika kemaslahatan ini

tidak terwujud, maka tidak akan membawa kerusakan dalam kehidupan

masyarakat, melainkan hanya akan menimbulkan kesukaran kepada manusia

secara pribadi semata.

Kiranya perlu digaris bawahi, bahwa pemberlakuan syari’at pada

manusia, disadari atau tidak semua kembali pada kemaslahatan manusia itu

sendiri, baik dalam jangka waktu yang sementara, lama maupun selamanya.

Meminjam kata ahli hikmah, bahwa setiap syari’at hukum Islam dipastikan

mengandung nilai hikmah. Selain mengandung nilai maslahat untuk manusia

Page 4: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

81

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

syari’at juga berisi menolak dan mencegah adanya kesulitan untuk manusia itu

sendiri.

Akhir-akhir ini sering penulis mendengar dan melihat pemberitaan baik

melalui media elektronika dan cetak tentang kasus-kasus anak yang dibuang di

depan rumah orang, di tempat sampah, ditinggalkan di rumah sakit begitu saja

oleh yang melahirkan dan lain-lain cara, semuanya berintikan melepaskan

tanggung jawab terhadap anak yang mereka lahirkan dari darah daging mereka

sendiri, apa penyebabnya? Mungkin tidak pada tempatnya, disini penulis

bicarakan. Di sisi lain ada pula kasus-kasus anak yang hilang karena di culik

atau terpisah dari orang tuanya, atau bahkan sengaja disembunyikan/dipisahkan

oleh salah satu dari orang tuanya agar terpisah dari orang tuanya pula (karena

suami-isteri tersebut bercerai dan anak menjadi rebutan mereka). Anak-anak

seperti itu, yang terpisah dengan orang tuanya, hidup sendirian tanpa ada

sandaran, walau dengan sebab-sebab yang beragam, pada terma besar termasuk

di bawah pengertian anak laqith (anak terlantar/anak pungut/ anak temuan).

Sesungguhnya kasus-kasus di atas, jika mau ditelaah dan dikaji menurut

hukum Islam masuk dalam tataran maqasid at-tasyrie’ perihal hifz an-nasl

(pemeliharaan keturunan). Menurut Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, nasab adalah

salah satu dari hak anak yang ada lima: yaitu: nasab, radha’ (susuan), hadanah

(pemeliharaan), walayah (perwalian/perlindungan) dan nafkah.

Sejalan dengan pendapat Wahbah yang mewakili urgensi perlindungan

anak dari arah hukum Islam, Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang

Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak. Pelaksanaannya

menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga, dan masyarakat

serta pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak,

karena dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris

dan sekaligus sebagai potret masa depan bangsa di masa datang, generasi

penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Al-Qur’an sendiri juga telah menunjukkan hal itu sebagai tindakan sosial

dengan urgensi pertolongan dan perlindungan pada sesama, hal itu terdapat

dalam penggalan ayat dalam al-Qur’an yang berbunyi:

ي عا ا أحيا النماس ج ومن أحياها فكأنم

Page 5: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

82 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka

seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”

Terkait dengan fenomena tentang kondisi seorang anak di atas, dalam

kajian hukum Islam terdapat pokok bahasan yang bertema “istilhaq” atau bisa

juga disebut iqraru bi an-nasb, yang berarti pengakuan seorang laki-laki secara

sukarela terhadap seorang anak, bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan

anak tersebut, baik anak tersebut berstatus di luar nikah atau anak tersebut tidak

diketahui asal usulnya. Yang menjadi aktual untuk dibahas karena berkaitan

erat dengan kewenangan mutlak (absolute competence) badan peradilan agama

tentang penyelesaian asal usul anak dan pengangkatan anak yang

terformulasikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. Di samping itu, secara sosiologis, walaupun belum pernah ada

penelitian ilmiah, dirasakan banyaknya anak-anak yang lahir di luar suatu

perkawinan yang sah, yang kemudian antara lain ditelantarkan begitu saja atau

bukan karena sebab seperti itu, kenyataan seperti ini suatu saat besar

kemungkinan akan menjadi kasus yang akan diajukan ke pengadilan agama

untuk diselesaikan dalam bentuk penetapan asal usul/pengakuan anak atau

diajukan dalam bentuk pengangkatan anak.

Permasalahan istilhaq erat kaitannya dengan kedudukan anak luar nikah.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 43 ayat (1) dan (2)

disebutkan, bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya, dan keluarga ibunya, sedangkan kedudukan

anak luar nikah tersebut akan diatur dalam suatu peraturan pemerintah, namun

sampai saat ini peraturan pemerintah tersebut belum juga turun/terbit, berkaitan

dengan belum terbitnya peraturan pemerintah dimaksud, hal seperti itu akan

menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, terutama dirasakan

pihak anak dan ibu yang melahirkannya, sedangkan lelaki yang menghamili

terkesan kurang mendapat akibat tanggung jawab atas perbuatannya yang telah

menyebabkan kelahiran seorang anak yang disebut anak luar nikah.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 pasal 49 disebutkan:

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama orang-orang yang beragama Islam di

bidang: Perkawinan, Waris; Wasiat; Hibah; Wakaf; Zakat; Infaq; Shadaqah;

dan Ekonomi syari’ah. Dalam penjelasannya menyebutkan, bahwa: Pasal 49:

Page 6: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

83

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah,

melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya. Yang dimaksud dengan

“antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan

hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada

hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama

sesuai dengan ketentuan Pasal ini.

Huruf a: Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur

dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku

yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain: Izin beristri lebih dari seorang;

dan Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua

puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada

perbedaan pendapat;

1. Dispensasi kawin;

2. Pencegahan perkawinan;

3. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;

4. Pembatalan perkawinan

5. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;

6. Perceraian karena talak;

7. Gugatan perceraian;

8. Penyelesaian harta bersama;

9. Penguasaan anak-anak;

10. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana

bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak mematuhinya;

11. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada

bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;

12. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;

13. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;

14. Pencabutan kekuasaan wali;

15. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan

seorang wali dicabut;

16. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur

18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;

17. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di

bawah kekuasaanya;

18. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak

berdasarkan hukum Islam;

Page 7: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

84 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

19. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan

perkawinan campuran;

20. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut

peraturan yang lain.

Dalam hal ini yang penulis kaji adalah perihal penetapan asal-usul

anak/biasa disebut pengakuan anak, karena masih jarang yang menjangkau

pembahasan ini, sedangkan perihal pengangkatan anak sudah jama’ dibahas,

baik dalam kajian ilmiah maupun seminar, selain itu yurisprudensi

pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam juga sudah banyak ditemukan,

sedangkan yurisprudensi penetapan asal-usul anak sepengetahuan kami belum

pernah ada.

Dengan asumsi, diharapkan kajian ini dapat menjadi bahan bagi Badan

Peradilan Agama dalam melaksanakan kewenangan barunya berdasarkan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 pasal 49 point (a) No. 20 dengan baik

sesuai yurisprudensi yang seharusnya

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif yaitu

menggambarkan atau melukiskan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang

tampak atau sebagaimana adanya dengan mengambil data dari rangkaian

literatur berupa kumpulan peraturan perundangan dan peraturan lain di

bawahnya terutama yang berkaitan dengan OJK, pendapat para ahli yang

tertuang dalam buku maupun publikasi jurnal ilmiah

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Pengertian Anak Istilhaq

Sebenarnya belum pernah ditemukan dalam sebuah literatur yang secara

tersendiri menjelaskan tentang pengertian anak istilhaq, kecuali pengertian yang

terdapat dalam kamus, bahwa istilhaq adalah terkait dengan sebuah prosedur

penasaban seorang anak yaitu:

ب الوالد إل ن فسه است لحق نس “Menyambungkan atau mendakwakan nasab seorang anak pada dirinya (si

pendakwa tersebut)”

Page 8: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

85

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

Dilihat dari pengertian tersebut, bisa dipahami bahwa istilhaq

mengandung persamaan dengan pengertian ikrar bi an-nasb. Sehingga dapat

diambil pengertian bahwa anak istilhaq adalah anak yang didapat dengan proses

pendakwaan/pengikraran, baik karena anak tersebut hilang atau ada tindakan

dari pihak lain untuk menggelapkan status anak tersebut.

Membahas anak istilhaq tidak bisa dipisahkan dengan pembahasan nasab,

karena sasaran istilhaq adalah membuktikan adanya pertalian nasab antara si

pendakwa dengan si anak, baik yang membuktikan tersebut adalah pihak yang

berkepentingan langsung, maupun orang lain yang masih punya pertalian

dengannya.

Penetapan Nasab Anak

1. Pengertian Nasab

Nasab secara etimologis berasal dari Bahasa Arab “an-nasab”_ yang

berarti “keturunan, kerabat” ulama fiqh mengatakan bahwa nasab

merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membina suatu kehidupan

rumah tangga yang bisa mengikat antar pribadi. Berdasarkan kesatuan darah.

Secara terminologis, terma nasab adalah keturunan atau ikatan

keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan darah ke atas

(bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya) atau ke bawah (saudara, paman

dan lain-lain).

Allah mengungkap nasab sebagai salah satu nikmat paling besar dalam

firman-Nya:

وهو المذي خلق من المآء بشرا فجعله نسبا وصهرا، وكان ربك قدي را“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan

manusia itu (punya) keturunan dan musaharan dan adalah Tuhanmu Maha

Kuasa”.

2. Cara Menetapkan Nasab

Anak adalah rahasia orang tua dan pemegang keistimewaannya, waktu

orang tua masih hidup anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua pulang

ke rahmatullah, anak sebagai pelanjut dan lambang keabadian. Oleh karena

itu, Allah mengharamkan zina dan mewajibkan pernikahan demi melindungi

nasab, sehingga anak bisa dikenal siapa ayahnya, dan ayah bisa dikenal siapa

anaknya.

Page 9: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

86 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

Dengan perkawinan,seorang istri menjadi hak milik khusus suami dan

dilarang berkhianat, sehingga setiap anak yang dilahirkan dari perkawinan

itu, mutlak milik suami. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw yang artinya:

“Anak adalah milik yang seranjang, dan bagi yang berbuat zina adalah

dilempari batu”.

Dari sini seorang suami tidak boleh mengingkari anak yang dilahirkan

oleh istri yang seranjang dengannya dalam perkawinan yang sah, baik karena

suatu keraguan, dengan atau karena berita yang belum tentu benar.

Adapun apabila seorang istri menghianati suami dengan bukti dan

qarinah (tanda) yang tidak dapat ditolak, maka syariat Islam tidak

membiarkan seorang ayah harus memelihara seorang anak yang menurut

keyakinannya bukan darah dagingnya. Untuk memecahkan problema ini

dalam ilmu fiqh dikenal prosedur Li’an.

Namun ada baiknya sebelum dilakukan proses li’an karena akibat

hukum dari li’an yang begitu berat, atau karena hal lain yang disengketakan

berkaitan dengan pembuktian nasab. Imam Syafi’ie berpendapat, untuk

melakukan penelitian usia minimal dan maksimal kandungan terlebih

dahulu, karena batas usia minimal dan maksimal sangat mempengaruhi

keabsahan seorang anak. Beliau berpendapat, bahwa usia minimal

kandungan adalah enam bulan, hal ini juga telah menjadi kesepakatan para

ulama. Dasar pengambilan ketentuan tersebut adalah pemahaman dari dua

ayat al-Qur’an yakni ayat yang menerangkan tentang jumlah waktu yang

digunakan untuk wanita hamil dan menyusui, yaitu 30 bulan, sebagaimana

firman Allah:

هراووصمي نا الإنسان بوالديه إحسان حلته أمه كرها ووضعته كرها وحله وفصاله ثل ث ون “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua

orang tuanya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan

melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai

menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”

Sedangkan dalam ayat lain, Allah menjelaskan bahwa hendaknya

penyapihan anak dilakukan setelah anak tersebut berusia 2 tahun,

sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

Page 10: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

87

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

كرل ولوالديك ووصمي نا الإنسان بوالديه حلته أمه وهنا على وهن وفصاله ف عامي أن ا وإلم المصي

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua

orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang

bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah

kepada-Ku dan kepada ibu bapakmu, dan hanya kepada-Ku kembalimu.”

Secara matematis dapat dipahami, jika secara keseluruhan jumlah

waktu yang digunakan untuk mengandung dan menyusui adalah 30 bulan.

Jumlah tersebut sama dengan waktu 2 tahun lebih 6 bulan. Sedangkan waktu

untuk menyapih anak adalah pada usia 2 tahun, maka tinggal 6 bulan, maka

secara tidak langsung dapat ditarik kesimpulan dari pemahaman 2 (dua) ayat

di atas, bahwasannya waktu yang digunakan untuk mengandung minimal

adalah 6 (enam) bulan. Sedangkan usia maksimal kandungan menurut Imam

Syafi’ie adalah 4 (empat) tahun, hal ini didasarkan pada kejadian di

masyarakat yang beliau teliti, yaitu wanita-wanita bani ‘Ajlan yang banyak

diantara mereka mengandung selama 4 (empat) tahun.

Sedangkan Hanafiah memberi batasan dua tahun, Muhammad bin

Hakam berpendapat satu tahun qomariah, adapula yang berpendapat bahwa

batasan maksimal kehamilan adalah sembilan bulan. Terlepas dari

perbedaan pendapat di atas, kenyataan umum saat ini masa kehamilan paling

lama adalah 9 bulan sampai 1 tahun. Jika ternyata ada yang lebih, hanyalah

sebuah pengecualian. Hal ini juga sama dengan ketentuan yang diberlakukan

oleh Mahkamah Syariah Mesir yang memutuskan: bahwa batas maksimal

kehamilan hanyalah satu tahun.

Dengan demikian, dapat dikatakan, bahwa apabila seorang istri

melahirkan anaknya kurang dari 6 bulan kehamilan,maka suami bisa

mengajukan keberatan atas anak yang dilahirkan itu dan secara yuridis bukan

merupakan anak sah. Begitu pula jika seorang wanita yang telah dicerai atau

ditinggal mati suaminya, tidak kawin lagi dengan laki-laki lain kemudian

melahirkan seorang anak dengan batas waktu lebih dari 4 tahun menurut

Syafi’ie, 2 tahun menurut Hanafi, 1 tahun qomariah menurut yang lain,

ataupun lebih dari 9 bulan menurut Zahiriah, maka bisa dikatakan anak itu

bukan anak dari mantan suami yang mencerainya/yang meninggal dunia.

Sementara menurut keumuman saat ini, kelahiran anak lebih dari 9 bulan

Page 11: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

88 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

sampai satu tahun setelah perceraian tanpa menikah lagi setelah itu, maka

nasab anak tidak bisa disambungkan dengan suaminya yang dulu.

Selain dengan penelitian batas usia minimal dan maksimal kandungan,

penetapan nasab dapat dilaksanakan dengan cara pengakuan, dimana

terdapat dugaan bahwa anak yang diakui adalah bernasab pada si “ayah”_

yang diduga tersebut, namun pengakuan disini bisa dilakukan baik oleh si

isteri (ibu si anak) maupun si suami (ayah si anak).

Wahbah Zuhayli menyatakan ada tiga cara penetapan nasab, baik

karena anaknya hilang atau karena ada tindakan kesengajaan penggelapan

status anak tersebut, yaitu:

a. Membuktikan adanya perkawinan yang sah atau adanya perkawinan yang

fasid.

b. Mengajukan istilhaq / iqrar bi an-nasab

c. Pengajuan alat-alat bukti lain, seperti : saksi (proses ini dijalankan atau

diproses di hadapan majelis hakim) termasuk dalam hal ini keterangan

ahli qiyafah. Ahli qiyafah/Qoif bisa dikategorikan sebagai saksi ahli

yang mana untuk zaman sekarang perlu dipertimbangkan adanya bukti

selain saksi yaitu hasil pemeriksaan darah dan pemeriksaan DNA

(Deoxyribo Nucleic Acid) yang memerlukan adanya saksi ahli.

Prosedur Istilhaq atau Iqrar bi an-Nasab Terhadap Anak

Ketika ada kerancuan seorang anak bernasab pada siapa, karena berbagai

kemungkinan dan peristiwa atau ketika seseorang yakin bahwa seorang anak itu

bernasab kepadanya atau sebaliknya seorang anak yakin bahwa seseorang

sebagai bapaknya. Jika ketentuan pertama yaitu membuktikan adanya

perkawinan yang sah atau fasid dengan si ibu anak tersebut sulit dilakukan,

karena banyak sebab. Maka demi kejelasan statusnya, Iqrar bi an-nasab atau

istilhaq layak diajukan sebagai solusinya. Namun dalam hal ini yang boleh

mengajukan hanya dua orang :

1. Pengakuan oleh yang berkepentingan

Pengakuan anak disini bersifat langsung ( على نفس المقر ) baik oleh

ayah maupun si anak yang mengajukan, hal ini jika seseorang menyatakan

bahwa anak ini adalah anaknya atau orang lain adalah ayahnya. Ditemukan

keterangan dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu bahwa syarat-syarat

diterimanya pengakuan (ikrar) oleh pihak yang berkepentingan adalah:

Page 12: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

89

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

1. Anak yang diakui tidak diketahui nasabnya. Jika diketahui nasabnya maka

pengakuan itu batal.

2. Pengakuan anak tersebut adalah pengakuan yang logis seperti perbedaan

umur yang wajar bagi hubungan ayah dan anak, dan tidak bertentangan

dengan pengakuan orang.

3. Anak yang diakui mensetujui atau tidak membantah. Jika anak yang diakui

sudah cukup umur untuk membenarkan atau menolak, hal ini menurut

ulama jumhur, tetapi menurut madzhab Maliki, syarat ini tidak

diberlakukan, karena nasab adalah hak anak kepada ayahnya.

4. Pada anak tersebut belum ada hubungan nasab dengan orang lain, artinya

jika pengakuan anak itu diajukan oleh seorang istri /atau seorang

perempuan beriddah, maka disyaratkan adanya persetujuan dari suaminya

tentang pengakuan tersebut.

Dalam literatur lain, ditemukan syarat selanjutnya, yaitu

Pengakuan anak tersebut bukan hasil perbuatan zina, artinya

pengakuan akan diterima sepanjang pengakuan tersebut adalah anak hasil

nikah sah. karena diterimanya penetapan nasab adalah merupakan nikmat

Allah, dan tidak mungkin nikmat akan diberikan dari proses yang

melanggar hukum-hukum Allah. Namun Ibnu Taimiyah termasuk ulama

fiqih yang membolehkan anak zina diakui melalui pengakuan istilhaq

mengingat di masyarakat justru kebanyakan terdapat anak zina daripada

anak li’an dan anak syubhat.

2. Pengakuan oleh orang lain

Pengakuan ini tidak diajukan oleh ayah atau anak yang bersangkutan,

tapi diajukan dan diikrarkan oleh orang lain. Yang disebut ( إقرار محمول على

,pengakuan ini seperti jika seseorang menyatakan ini saudaraku (غير المقر

ini pamanku dan sebagainya. Pengakuan seperti itu dapat diterima

sepanjang memenuhi empat persyaratan sebagaimana pengakuan anak oleh

diri sendiri ditambah syarat kelima : yakni harus ada pembenaran dari

orang lain. Menurut madzhab Hanafi, jika seseorang menyatakan bahwa

orang ini adalah saudaranya, maka pengakuan itu bisa diterima jika

dibenarkan oleh ayahnya, atau harus dikuatkan dengan pembuktian, atau

jika ayah tersebut sudah meninggal, dikuatkan oleh dua orang ahli

warisnya. Jika syarat-syarat tersebut tidak bisa dipenuhi, maka pengakuan

hanya berlaku terbatas untuk dirinya sendiri.

Page 13: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

90 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

Menurut Ahmad Husni sebagaimana yang dikutip oleh Abdul

Manan:”apabila syarat-syarat pengakuan anak baik oleh diri sendiri

maupun untuk kepentingan orang lain sudah terpenuhi, maka sahlah

pengakuan/ikrar terebut secara hukum dan berlakulah seluruh aspek

keperdataan yang nyata baik dibidang kewarisan maupun perkawinan dan

seluruh aspek keperdataan yang lain”.

Pengajuan iqrar bin an-nasab atau istilhaq termasuk dalam prosedur

penetapan asal-usul anak yang dalam wilayah hukum perdata termasuk

dalam perkara Volunteer, namun ada kalanya perkara penetapan nasab atau

asal usul anak menjadi perkara contentious jika pihak-pihak yang terlibat

dalam pengakuan tersebut tidak terima, sehingga pemeriksaan pembuktian

dilaksanakan dengan cara pemeriksaan lengkap (Istbat nasab bil bayyinah).

Prosedur seperti itu terekam dalam prosedur beracara pemeriksaan perkara

di Pengadilan Agama yang akan diuraikan dalam bab selanjutnya.

Anak Laqith (temuan) dan Statusnya

Menurut Sayyid Sabiq dalam fiqhus sunnahnya yang dimaksud dengan

anak temuan adalah:

الطمريق ولا ي عرف نسبه الملقيط هو الطفل غي ر البالغ المذى ي وجد ف الشمارع أو ضال “Ialah anak kecil yang belum baligh yang ditemukan di jalan atau tersesat

di jalan, dan tidak diketahui keluarganya”.

Terkadang anak laqith dinamakan pula dengan redaksi malquth dan

manbudz, disebut manbudz karena adalah anak yang dibuang oleh ibu

bapaknya. Dari definisi dan pengertian di atas secara sederhana dapat dipahami

bahwa al-laqith adalah seorang anak yang hidup, yang dibuang keluarganya

karena merasa takut akan kemiskinan atau untuk lari dari tuduhan. Pengertian

seperti ini dilihat dari sebab anak itu dibuang, atau bukan karena sengaja

dibuang, tapi anak tersebut nestapa tanpa orang tua, karena keberadaan orang

tuanya yang tidak jelas, antara dia dan orang tuanya terpisah jauh tanpa jejak,

disebabkan musibah bencana alam, seperti banjir, longsor, tsunami, maupun

gunung meletus yang tidak dapat dideteksi apakah orang tuanya masih hidup

atau tidak, ataupun karena sebab berkecamuknya peperangan yang membawa

banyak korban penduduk sipil.

Page 14: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

91

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

Orang yang pertama kali menemukan al-laqith berhak mengambilnya

dengan pertimbangan untuk menolong dan memberi kemaslahatan anak

tersebut berdasarkan firman Allah.

وت عاونوا على البر والت مقوى“Dan saling tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan”.

Rukun dalam al-laqith ada tiga, yaitu التقاط (mengambil anak yang

dibuang) لقيط (anak yang dibuang) dan ملتقط (orang yang mengambil anak

tersebut).

Syarat orang yang menemukan adalah, merdeka, adil, dapat dipercaya dan

dewasa, dia wajib mendidik dan mengajarkannya. Sedangkan dalam pendapat

yang lain, ada lima syarat bagi seseorang yang menemukan laqith dan berhak

menjadi pemegang hadanah. Pertama, mukallaf, dapat bertindak hukum, kedua,

merdeka bukan budak, ketiga, muslim, untuk anak laqith yang ditemukan di

negeri berpenduduk muslim, keempat; adil dan amanah, lima, bukan orang

yang hidup mubadzir berfoya-foya atau dinyatakan di bawah pengampunan

pengadilan.

Selain hal-hal di atas, masih ada hal lain yang terkait dengan anak laqith

antara lain :

1. Nafkah anak laqith, apabila ditemukan bersamanya (laqith) harta yang bisa

untuk memenuhi kebutuhannya, maka pemeliharaan diambilkan dari harta

itu. Namun jika tidak ada sama sekali, pemeliharaan ditanggung oleh Bait

Al- mal, dan jika kas negara tersebut kosong atau untuk hal lain, nafkah

diserahkan pada orang yang mengetahui hal ihwal anak laqith.

2. Persaksian dalam memelihara anak laqith, memungut anak laqith dengan

tujuan merawat yang sebaik-baiknya juga menjaga kemerdekaan dan

nasabnya wajib dengan dipersaksikan, karena ditakutkan jika tanpa

persaksian justru anak laqith akan di ikrarkan sebagai anak kandungnya,

sebagaimana keterangan dalam mu’jam al-wasith bahwa wajib isyhad

(persaksian) atas laqith bagi pemungutnya, adapun orang yang punya

wewenang memberikan persaksian adalah hakim. Hal ini tentunya setelah

diumumkan dan ternyata tidak ada keluarga yang mengambil anak temuan

tersebut.

3. Warisan anak temuan, antara anak temuan (laqith) dan penemunya ketika

salah satu meninggal, tidak bisa ditetapkan hubungan saling mewaris. Jika

anak temuan meninggal, harta yang bersamanya menjadi milik Bait al- Mal,

Page 15: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

92 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

namun untuk konteks sekarang perlu dipertimbangkan solusi wasiat wajibah,

karena disadari atau tidak antara laqith dan multaqith (penemu) bisa

dipastikan telah timbul hubungan psikologis kekeluargaan, yang tidak

mudah dipupuskan, karena interaksi pergaulan yang sudah terbina dan

terbiasa dalam kehidupan sehari-hari, dimana wasiat wajibah diberlakukan

pada keluarga yang secara syari’at bukan termasuk ahli waris yang berhak

mendapat warisan, dan anak temuan (laqith) yang sudah diasuh dan dirawat

sekian lama, bisa dikategorikan pada klasifikasi ahli waris yang seperti itu.

4. Pengakuan keluarga. Apabila anak temuan itu tiba-tiba diakui oleh seseorang

sebagai anggota keluarganya (sebagai anaknya yang telah hilang), maka

diserahkan dan dinasabkanlah anak itu kepadanya, sepanjang pengakuan itu

adalah pengakuan yang wajar. Namun jika yang mengajukan pengakuan

adalah lebih dari satu orang maka hubungan nasab diberikan kepada pihak

yang dapat menguatkan gugatan dengan proses qodlo’iy (peradilan) di

Pengadilan Agama. Anak temuan yang diakui dan diajukan sebagai anak

yang bernasab pada seseorang yang menemukannya dalam kajian hukum

Islam juga diistilahkan dengan anak istilhaq melalui proses Al-Iqrar bi an-

nasab yang pembahasannya akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

Penetapan Status Anak Istilhaq Terhadap Anak Laqith Sebagai Kewenangan

Pengadilan Agama dalam Perspektif Hukum Islam

1. Analisis Penetapan Anak Istilhaq pada Anak Laqith

Setelah sebelumnya memaparkan bagaimana hukum acara dari

perkara istilhaq pada anak laqith, selanjutnya penulis menganalisa

bagaimana hukum materiil perkara permohonan tersebut dalam kacamata

hukum Islam yang akan menjadi acuan majelis hakim dalam memeriksa

perkara permohonan istilhaq pada anak laqith.

Selama ini istilhaq hanya dikenal dan diketahui sebagai proses atau

cara pengakuan nasab pada seorang anak yang diduga terdapat hubungan

darah antara si anak dengan yang mengakui atau sebaliknya, sehingga

dalam prosesnya perlu adanya pembuktian, baik berupa saksi maupun

berupa akta otentik, dan yang paling terbaru sekarang dapat dibuktikan

dengan pemeriksaan golongan darah serta test DNA.

Namun pada kenyataannya objek permasalahan istilhaq dapat

diterapkan pada anak laqith yaitu anak temuan atau anak yang tidak

Page 16: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

93

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

diketahui nasabnya. Karena setelah diteliti lebih lanjut, ternyata terdapat

celah yang dapat dimasuki oleh anak laqith untuk dimasukkan dalam kajian

anak istilhaq. Hal itu berdasarkan alur penelusuran dasar hukum, antara

lain firman Allah

ي عا ا أحيا النماس ج نم ومن أحياها فكاDan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka

seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”

Berdasarkan ayat di atas, maka jika seseorang menemukan anak

malang baik yang tersesat maupun sengaja dibuang adalah wajib untuk

menyelamatkannya dari malapetaka yang dikhawatirkan akan menimpanya.

Setelah itu berlakulah semua ketentuan hukum bagi anak laqith, baik dari

arah nafkah pemeliharaan, waris, nasab dan sebagainya sebagaimana yang

tertuang dalam kitab-kitab fiqih.

Terkecuali bagi anak laqith yang sudah diupayakan untuk ditelusuri

asal-usulnya, kemudian tetap saja menemui titik kebuntuan yang seakan

sudah tertutup jalan menuju terbukanya rahasia dari mana 搒i anak laqith _

berasal, maka demi penegasan nasab yang termasuk hifz an-nasl, karena

petunjuk identitas seseorang merupakan hak asasi setiap manusia

sebagaimana di amanatkan oleh pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 27 (1): Bahwa identitas diri setiap

anak harus diberikan sejak kelahirannya”

Seseorang yang menemukan anak tersebut menurut penulis, boleh

saja mengajukan pengangkatan anak sekaligus berpeluang untuk meng

istilhaqkan anak, sejalan dengan Undang-Undang tersebut, Kompilasi

Hukum Islam seakan juga melegitimasi tindakan perlindungan pada anak

dengan jalan pengangkatan anak, hal itu terbaca dalam KHI pasal 171

huruf B

Bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk

hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung

jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan

keputusan pengadilan.

Kajian penulis dalam Tulisan ini terfokus pada pengangkatan anak

laqith yang sekaligus dapat dimungkinkan untuk ditetapkan menjadi anak

istilhaq. Terkhusus keinginan menjadikan anak laqith sebagai anak angkat

Page 17: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

94 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

yang sekaligus diistilhaqkan, dari arah hukum Islam berhadapan dengan

dalil nash yang Qath’i, yaitu :

الله فإن لم ت علموأ اب ب ل ادعوهم ين ومواليكم ف الدر ءهم فإخوانكم ئهم هو أقسط عند Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama

bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu

tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai)

saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa

atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya)

apa yang disengaja oleh hatimu.”

Juga uraian hadits Nabi:

ث نا ثن يي بن حدم الله بن ب ريدة حدم أبو معمر حدمث نا عبد الوارث عن السي عن عبد الله الله عنه أنمه سع النمبم صلمى ثه عن أب ذرر رضي ئلى حدم وسلمم يه عل ي عمر أنم أب الاسود الد

عى لغي أبيه وهو ي علمه الام كفر ومن ادمعى ق وما ليس له فهم نسب ي قول ليس من رجل ادر ف لي ت ب ومأ مقعده من النمار

Periwayatkan pada kita Abu Ma’mar, meriwayatkan pada kita Abdul

Warits dari Husain dari Abdillah bin Buraidah meriwayatkan kepadaku

Yahya bin Ya’mar bahwa sesungguhnya Abu Aswad Ad-duali

meriwayatkan kepadanya dari Abi Dzarr ra. Bahwasannya dia mendengar

Nabi Saw bersabda 揟idaklah seseorang itu mengaku kepada selain

ayahnya sedang dia mengetahuinya (itu bukan ayahnya) kecuali dia kafir

dan barang siapa yang mengaku kepada suatu kaum, sedang di kalangan

mereka tidak ada nasab kepadanya, maka hendaklah dia menempati tempat

duduknya di neraka_.

Dari kedua sumber hukum nash tersebut, kita perlu meneliti bahwa

Asbab an-Nuzul ayat tersebut adalah berkaitan dengan sirrah nabi yang

dulu pernah mengangkat seorang anak bernama Zaid yang ayahnya

bernama Haritsah. Pada waktu mengangkatnya, Rasulullah mengumumkan

di depan khalayak bahwa mulai saat itu Zaid bin Haritsah berganti nama

menjadi Zaid bin Muhammad, kemudian praktek seperti itu dibatalkan oleh

Allah dengan di turunkan ayat ke-5 surat Al Ahzab tersebut.

Page 18: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

95

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

Dalam hal penasaban anak yang orang tuanya tidak diketahui sama

sekali, dan sulit untuk dilacak, kiranya layak kita telaah deTulisan Imam Al

Qurtubie dalam mengkomentari ayat tersebut di atas.

, النحاس : هذه الية نسخة لما كانوا عليه من الت مبنر, وهو من نسخ السنمة بلقرآن وقال عروف, فإن ل يكن له أب معروف نسبوه إل ولائ

, فإن ه فأمر ان يدعوا من دعوا إل أبيه الم

ا المؤم الله تعال "إنم ين, قال ن ون إخوة ل يكن له ولاء معروف قال له ي أخى, ي عن ف الدر " Berkata An Nuhas, ayat ini menasabkan akibat hukum tabaniy

dimasa lampau, yakni penasaban sunnah oleh Al Qur’an. Selanjutnya ayat

tersebut menyuruh agar seseorang dipanggil sesuai dengan nama bapaknya.

Jika bapaknya tidak dikenal, maka ia dinasabkan kepada walinya. Apabila

walinya tidak diketahui, katakan kepadanya hai saudaraku yakni saudara

seagama.”

Dari deskripsi penafsiran al Qurtubie di atas dapat diperoleh

pengertian bahwa dalam kasus anak yang tidak diketahui nasabnya,

penggilannya dapat menggunakan nama ayah angkatnya, karena ayah

angkat (orang yang menemukan) bisa disebut wali.

Keterangan bahwa ayah angkat bisa menjadi wali dapat ditemukan

dalam fiqih as sunnah.

يدا, وعليه أن ي قوم بت ربيته والمذى عدلا أمينا ر ده هو الول بضانة إذا كان حررا يي له قال: وجدت ملقوطا ف وت عليمه, روى سعيد بن منصور ف أت يت سننه أنم سني ابن ج

به عمر بن الخطماب, ف قال: عريفى ي أمي ر المؤمني إنمه رجل صالح ف قال عمر أكذلك ر ولك ولاؤه هو؟ قال: ن عم، قال: إذهب به, وهو ح

"Orang yang menemukan laqith lebih berhak untuk merawatnya jika

dia merdeka, adil, dipercaya dan bijaksana, wajin baginya untuk mendidik

dan mengajar laqith meriwayatkan Said bin Mansur dalam kitab

sunnahnya, meriwayatkan ; bahwa Sinin bin Jamilah berkata : Aku pernah

menemukan anak tersesat di jalan, kemudian aku bawa kepada Umar bin

Al Khattab ia lalu berkata kenalanku wahai amirul mukminin,

sesungguhnya dia adalah orang saleh_ Umar lalu berkata, Apakah

demikian dia, dia merdeka dan kau boleh menjadi wali dan pengasuhnya.

Page 19: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

96 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

Kondisi anak angkat baik itu anak laqith maupun bukan, dengan

dipanggil sebagai anak dari ayah yang mengangkatnya sebenarnya telah

terjadi sejak zaman sahabat, diceritakan bahwa Miqdad bin Umar lebih

populer dipanggil dengan Miqdad bin Aswad, padahal Aswad bin Abdul

Yaguts mengambilnya sebagai anak angkat pada masa jahiliyah, setelah

turun surat Al-Ahzab: 4 tersebut dia mengumumkan 揝aya putra Umar_

namun demikian, dia tetap populer dengan Miqdad bin Aswad.

¬Implisit dari acuan-acuan tersebut, bahwa yang prinsip dilarang

adalah pemalsuan nasab, kalau yang secara jelas masih punya ayah nasab

saja tetap boleh dipanggil dengan ayah angkatnya, apalagi yang identitas

ayah dan keberadaannya tidak diketahui sama sekali? Jadi idealnya, dalam

kondisi apapun, seseorang harus tetap mempunyai nasab yang jelas, karena

nasab merupakan bagian dari identitas diri.

Sewaktu membahas hadits Rasulullah Saw tentang penegasan nasab

menurut syari’at bahwa nasab anak kepada bapaknya yaitu laki-laki yang

memiliki tempat tidur ibunya, Ash Shan’ani memberi komentar dalam

subul al Salam sebagai berikut:

الديث دليل على أنم لغي الب أن يست لحق الولد فإنم عبد بن زمعة إست لحق أخاه وف قه الورثة, ف بق راره سودة ل إنم بنم الفراش لبيه, وظاهر الررواية أنم ذلك يصح وإن ل يصدر

ق ولان: يذكر من ها تصديق ولا إنكار إلام أن ي قال سكوت ها قائم مقام الاق رار, وف المسئ لة الد ولا وارث ت لحق الومل أنمه إذا كان المست لحق غي ر الب ولا وارث غي ره وذلك كأن يس

صدق سواه صحم إق راره وث بت نسب المقرمبه, وكذلك إن كان المست لحق ب عض الورثة و .الباق ون

Sesungguhnya hadits ini menjadi dalil bahwa seseorang yang bukan

menjadi bapak boleh untuk mengistilhaqkan seorang anak. Sesungguhnya

Abd bin Zam’ah telah mengakui seseorang sebagai saudaranya dengan

alasan bapaknya yang memiliki tempat tidur ibu saudaranya itu, dalam

kenyataannya adalah sah hal itu walaupun ahli waris yang lain tidak

membenarkannya. Karena dalam masalah itu Saudah tidak menyebutkan

bahwa dia membenarkan atau menolak, maka diamnya itu diartikan sudah

iqrar, mengenai masalah ini terdapat dua Qoul, yang pertama jika yang

Page 20: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

97

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

mengakui bukan bapak seperti jika yang mengakui adalah kakek dan tidak

ada ahli waris selain dia, maka Sahlah ikrar tersebut dan dinasabkan pihak

yang diakui kepada yang mengakui, begitu juga hukumnya, jika pihak yang

mengakui adalah sebagian ahli waris maka harus dibenarkan oleh ahli

waris lain_.

Jadi, dari uraian as-Shan’ani tadi dapat ditangkap adanya signal

bahwa Rasulullah memang menetapkan nasab berdasar فراش (yang

mempunyai tempat tidur) walaupun ada indikasi kemiripan bahwa anak

tersebut justru milik orang lain, walaupun dengan jalan zina. Karena

menurut Abu Hanifah, walaupun secara hukum anak zina adalah ajnabi,

namun pada hakikatnya ia tetap darah dagingnya, sehingga tetap haram

untuk dinikah.

Hal ini menjadi indikasi terang, kebolehan menasabkan anak pada

orang lain, selain ayahnya, tentunya dengan adanya penyebab yang

dibenarkan.

Jika anak hasil zina tetap dilindungi hak penasabannya maka menurut

penulis apalagi anak laqith yang keberadaannya yang terlantar itu bukan

karena kesalahan dia, bahkan mungkin juga bukan karena kesalahan orang

tuanya, jika terlantarnya dia karena musibah bencana alam, alangkah

baiknya kita menempatkan dia dalam posisi aman dengan memberi

perlindungan sebagai empati kemanusiaan dalam sebuah keluarga yang

jelas nasabnya. Bukankah Allah telah berfirman :

وازرة وزر أخرى ولاتزر Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”

Ketentuan seperti ini bukan dengan asal-asalan diterapkan, tetap

harus ada kehati-hatian, yakni selama telah diupayakan melacak

keberadaan keluarganya, baik kedua orang tua maupun seluruh kerabatnya

dan cara-cara selain itu yang untuk saat ini mudah sekali ditempuh dengan

menggunakan kecanggihan teknologi dan informasi, baru ketika ada

keyakinan bahwa anak tersebut benar-benar terasing (arab:majhul an-nasb)

maka upaya istilhaq pada anak laqith bisa diajukan.

Dari penjelasan Wahbah Zuhaili tentang persyaratan Iqrar bi an-

Nasab atau Istilhaq pada bab II, titik temu sangat kuat untuk menjadikan

anak laqith dapat di istilhaqkan adalah pada persyaratan pertama yaitu anak

tersebut benar-benar tidak diketahui nasabnya, sekaligus paradigma

Page 21: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

98 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

sebagian golongan Hanafiah dalam definisi Majhul an Nasab_ yaitu anak

yang nasabnya tidak diketahui sama sekali, dan dari negara mana dia dan

keluarganya berasal juga tidak diketahui.

Ketika keempat syarat dirasa telah terpenuhi, maka sahlah

ikrar/pengajuan istilhaq tersebut, sehingga seluruh akibat dan hubungan

keperdataan antara anak dan bapak tersebut menjadi sah pula.

Dalam titik singgung pembahasan hubungan keperdataan ketika anak

laqith telah diistilhaqkan, menuai banyak pro kontra, sebagian pendapat

yang ekstrim mengatakan bahwa setelah diistilhaqkan oleh Pengadilan

Agama itu artinya segala akibat hukum keperdataan antara si anak dan

yang mengistilhaqkan menjadi sah pula, seperti yang dikatakan oleh

Wahbah Zuhaili dalam Fiqh al-Islamnya, hal itu diperkuat dengan

keterangan, mengenai kewarisan, yaitu:

أن ثى الق به مت كان وجوده منه مكنا، لما فيه من مصلحة ادمعى نسبه من ذكر أو ومن اللمقيط دون ضرر ي لحق بغيه وحي نئذ ي ث بت نسبه وإرثه لمدعيه

Jika ada orang baik laki-laki maupun perempuan, yang mengakui

bahwa anak temuan itu adalah anaknya, maka dinasabkanlah (ulhiqo) anak

itu padanya, sepanjang pengakuan itu adalah pengakuan yang wajar. Hal

ini adalah untuk kemaslahatan anak tersebut, bukan untuk

kemadharatannya, dengan pengakuan itu, maka ditetapkanlah hubungan

nasab anak itu kepada orang yang mengakuinya, begitu juga hak

kewarisannya.”

Menurut pendapat kelompok lain, yang bersikeras tidak hanya

melarang akibat keperdataan anak laqith yang diistilhaqkan, namun secara

tegas melarang praktek istilhaq pada anak laqith, mereka beralibi bahwa

bagaimanapun kondisi anak laqith dilihat dari arah psikologis, sosiologis

dan lainnya dia tetap tidak berhak untuk dinasabkan pada orang tua

angkatnya. Hal ini untuk menjaga kehati-hatian.

Namun menurut penulis, menyikapi permasalahan anak laqith tidak

bisa dikatakan/diputuskan hukumnya dengan hitam atau putih, perlu

dianalisa dan dipetakan kondisi yang menyertai dan melingkupinya, juga

tidak boleh ceroboh untuk serta merta mengistilhaqkan tiap anak laqith

dengan seluruh aspek keperdataannya.

Page 22: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

99

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

Penulis mengambil contoh dalam perihal waris, karena untuk

memaparkan seluruh aspek keperdataan, diperlukan pembahasan yang

lebih panjang dan tidak mencukupi untuk dibahas disini (baca: Tulisan).

Dalam perihal waris, perlu kehati-hatian karena perkara waris betul-

betul ditentukan karena hubungan darah, sedangkan pada anak laqith, jelas

tidak ada keterkaitan darah sama sekali, maka ketentuan waris dapat

berlaku pada anak laqith dalam keadaan seperti yang digambarkan oleh

Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya:

ي ث بت أق رم الميرت بلنمسب على غيه استحقم المقرله التركة إذا كان مهول النمسب ول إذاحيا وقت قرملهل ان يكون الم نسبه من الغي ول ي رجع المقر عن إق راره ويشرط ف هذا الا

موت المقرر أو وقت الكم بعتباره Apabila si mayit mengikrarkan nasab kepada orang lain, maka orang

yang diikrari itu berhak mendapatkan harta peninggalannya selama dia

memang tidak diketahui nasabnya dan dia tidak mempunyai/menetapkan

nasabnya pada orang lain dan yang ikrar tidak menarik ikrarnya,

disyaratkan disini agar orang yang di ikrar masih hidup ketika orang yang

mengikrarkannya telah mati_..

Maka ketika posisi anak angkat (laqith) tersebut tidak benar-benar

sendiri, masih ada yang lebih berhak sebagai ahli waris sesuai aturan fiqih,

maka perkara waris untuknya dapat diselesaikan dengan wasiat wajibah.

Dari keseluruhan penelusuran hukum yang telah penulis paparkan,

kalau dicarikan dasar pijakan pisau analisisnya, maka yang paling relevan

adalah maslahah mursalah, karena sebagaimana yang penulis tahu, bahwa

teori maslahat akan dipakai jika masih tetap pada koridor maqosid at

Tasyri’ dan tidak bertentangan dengan nash, sebagaimana pendapat Abu

Zahroh.

ليل قاصد الشمارع, ومن جنس ما أق رم الدمه من الثمان: أنم المصلحة إذا كانت ملئممة الم

, وإهال مصالح فإنم الخذ فيما يكون موافقا لمقاصده, وإهالا يكون إهالا لمقاصدهالشمارع بطل ف ذاته ف يجب الخذ بلمصلحة على أساس أن مها أصل قائم بذانه, مقاصد

.وهو ليس خارجا على الصول, بل هو متلق معها, غي ر منافر لا

Page 23: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

100 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

Bahwa adanya maslahat sesuai dengan maqosid at-tasyri (tujuan

syariat),artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan

merealisasikan maqosid at-tasyri, sebaliknya mengesampimgkan maslahat

berarti mengesampingkan maqosid asy-syari’. Sedangkan

mengesampingkan maqosid asy-syari’ adalah batal. Oleh karena itu adalah

wajib menggunakan dalil maslahat atas dasar bahwa ia adalah sumber

hukum pokok (ashal) yang berdiri sendiri,sumber hukum ini tidak dari

ushul (sumber pokok) bahkan terjasi sinkronisasi antara maslahat dan

maqosid at-tasyri_.

Praktek istilhaq pada anak laqith menurut penulis telah memenuhi

maqosid at tasyri’, karena dengan mengangkat anak sekaligus menasabkan

pada si pengangkat adalah termasuk hifz an- nasl sekaligus hifz ad-Dien,

karena jika tidak, anak-anak bernasib malang seperti itu akan rentan

terkena bahaya seperti pengeksplotasian anak yang sekarang makin marak

terutama yang paling berbahaya adalah pendangkalan aqidah yang

digencarkan oleh gerakan-gerakan misionaris agama lain. Sedangkan

dalam hal tidak bertentangan dengan nash, walaupun dzahirnya secara

sekilas jelas bertentangan, namun menurut hemat penulis, hal itu bukanlah

menafi-kan dalil nash, tapi sebuah bentuk Reaktualisasi penafsiran ulang

suatu ajaran agama yang justru menunjukkan vitalitas dan validitas nilai

normatif ajaran Islam. Karena pada hakekatnya yang dilarang dalam surat

Al-Ahzab : 5 adalah pemalsuan identitas dari orang tua /nasab yang masih

jelas, dan menjadikan anak orang lain, menjadi anak kandungnya dengan

segala akibat hukumnya, seperti praktek Tabanni masa jahiliyah, akan

sangat berbeda jika memang nasab dan keluarganya sudah sangat sulit dan

tidak mungkin untuk dilacak, karena itu bagaimanapun kondisinya untuk

mengistilhaqkan anak laqith harus memang pada waktu sangat darurat dan

telah diupayakan banyak cara,. karena masalah nasab adalah masalah

sangat urgent berkaitan dengan kesucian gen seseorang manusia. Karena

itu kebolehan dan legitimasi mengistilhaqkan anak laqith masih pada

tataran istilhaq khusus bukan istilhaq sempurna yang membawa efek

keperdataan secara menyeluruh seperti anak kandung. Sehingga dapat

dikatakan, upaya istilhaq pada anak laqith pada dasarnya adalah hadanah

plus dalam arti, semua beban pemeliharaan, mulai dari nafkah, pendidikan,

tanggung jawab keselamatan lahir batin sepenuhnya dimiliki oleh multaqith

Page 24: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

101

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

atau mustalhiq (yang menemukan/yang mengangkat) disertai kebolehan

untuk memanggilnya (multaqith) oleh laqith dengan panggilan ayah

sebagaimana lazimnya tanpa keragu-raguan atau ketakutan dengan

ancaman neraka seperti diterangkan dalam hadits. Istilhaq anak laqith

merupakan yurisprudensi baru walaupun sebelumnya telah ada

yurisprudensi pengangkatan anak (adopsi) menurut Hukum Islam, karena

subyek hukum yang berbeda.

Penetapan Istilhaq pada Anak Laqith sebagai Kewenangan Pengadilan

Agama

Pengadilan agama sebagai lembaga bagi pencari keadilan dan lembaga

pemutus suatu permasalahan atas perkara yang termasuk wilayah kompetensi

absolutnya, bersifat pasif dan menunggu atas perkara yang diajukan,

sebagaimana yang disampaikan Mudzakir Shoelsap, tidak ada perkara, tidak

ada acara.

Dalam hal perkara pengajuan anak angkat yang sekaligus dinasabkan

pada pemohon, Pengadilan Agama harus menerima perkara permohonan

tersebut, sesuai yang diamanatkan dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989.

Pasal 56

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang

jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.

Perlu diperhatikan bahwa lembaga peradilan menurut definisi klasik

adalah.

ن يا إظهر الكم الشمرعير على وجه خاص ممن له الولاية فيما ي قع فيه الن مزاع )المصالح الدلتمداعى وقطعا للخصم ب ي النم( وذلك على سبيل الإلزام ختما ل

Bemunculan putusan hukum yang sah (menurut Islam), secara khusus

dari orang yang memiliki kekuasaan untuk itu, tentang sengketa yang terjadi

mengenai kepentingan-kepentingan dunia di kalangan manusia yang bersifat

mengikat, untuk mengakhiri dakwaan dan memutus perkara.

Terdapat penegasan bahwa:

يع القوق سواء أكانت حقوقا لله أم حقوقا للآدميري والقضاء يكون ف ج

Page 25: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

102 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

Obyek peradilan itu menyangkut semua hak, baik itu hak Allah atau pun

hak anak Adam (hubungan antar individu).”

Dan hakim tidak boleh ragu-ragu ketika akan memutuskan produk hukum

dari perkara permohonan penetapan anak istilhaq terhadap anak laqith

berdasarkan hasil pemeriksaan pada persidangan, harus jelas apakah ditolak

ataukah diterima dan yakin sepenuhnya dengan keputusan tersebut dan

menggantungkan kebenaran hanya pada Allah, dasar pijakan hakim ketika

memutuskan perkara dengan tanpa ragu-ragu adalah berdasar hadits:

ث نا الله بن يزيد المقرئ المكير حدم الله بن عبد ثن يزيد بن عبد ريح حدم ث نا حب وه بن حدم اص،الاد مممد بن إب راهيم بن الرث عن بسر بن سعيد عن أب ق يس مول عمرو بن الع

الله الله عليه وسلم ي قول: إذا حكم الاكم عن عمروا بن العاص انمه سع رسول صلى ثت بذا فاجت هد ثم أصاب ف له أجران وإذا حكم فاجت هد ثم أخطاء ف له أجر قال فحدم

أب و سلمة بن عبد الرمحن عن هري رة بن عمر بن حزم ف قال هكذا حدمثن كر الديث أب ب Menceritakan kepada kami Abdullah bin Yazid al-Makky, menceritakan

Habwah bin Syuraih, menceritakan padaku Yazid bin Abdullah al-Hadi

Muhammad bin Ibrahim bin Al-Harits dari Busrin bin Sa’id bin Abi Qais

maulanya Amr bin ‘Ash dari ‘Amr bin ‘Ash bahwasannya dia mendengar

Rasulullah Saw. bersabda: jika hakim memutuskan perkara dan telah berijtihad

berusaha dengan sungguh-sungguh dan ternyata benar, maka baginya dua

pahala dan jika memutuskan perkara setelah berijtihad tapi ternyata salah, maka

baginya satu pahala (karena) telah berijtihad Aku ceritakan hadits ini kepada

Abu Bakar bin Umar bin Hazm dia berkata: hadits ini telah diceritakan padaku

oleh Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah.”

Menurut penulis, berdasarkan alur penelusuran hukum, penetapan anak

istilhaq bagi anak laqith dalam koridor Hukum Islam di atas, ditambah dengan

pengertian dan kewenangan Pengadilan Agama baik dalam kacamata Hukum

Islam dan Undang-Undang, maka Pengadilan Agama sangat berwenang untuk

menyelesaikan perkara atau kasus semacam ini, hakim sebagai individu paling

berperan dalam memberikan putusan dituntut untuk menciptakan putusan yang

berbobot dengan pertimbangan hukum yang kuat, karena itu hakim dituntut

untuk menguasai semua metode penerapan hukum seperti metode penafsiran,

konstruksi, penghalusan hukum dan sebagainya. khusus terhadap perkara

Page 26: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam Perspektif Hukum Islam

103

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

penetapan anak istilhaq pada anak laqith hakim perlu memperhatikan ijtihad

tathbiqy. Dengan metodologi muqoronah li madzahib dan Talfiq supaya

prodak putusan yang dihasilkan benar-benar mempertimbangan semua hierarki

hukum dan kemaslahatan semu

Penutup

Setelah penulis menguraikan tentang konsep nasab dalam hukum Islam

dan kewenangan Pengadilan Agama, lalu dilanjutkan analisis pada nasab anak

laqith yang diistilhaqkan kemudian diajukan permohonan Pengadilan Agama,

maka penulis dapat menyimpulkan :

1. Pengadilan Agama berwenang memeriksa permohonan pengajuan penetapan

anak istilhaq terhadap anak laqith karena perkara tersebut masih termasuk

absolute competence Pengadilan Agama sesuai dengan Pasal 49 Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan prosedur beracara pada

perkara istilhaq anak laqith tetap mengacu pada Pasal 54 Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama seperti halnya perkara-

perkara lainnya.

2. Bahwa sangat dimungkinkan bagi anak laqith (terlantar) ketika kondisi yang

sangat darurat dan telah diupayakan pencarian kedua orang tua dan

kerabatnya yang kemudian menemui jalan buntu, untuk dijadikan anak

istilhaq khusus. Dan hal itu bukan berarti melanggar teks sumber hukum

nash, karena yang terjadi bukanlah upaya pemalsuan nasab asli, namun

sebuah bentuk perlindungan atas hak asasi seorang anak yang ternyata

sejalan dengan muqosid at-Tasyri’

Daftar Pustaka

Al-Shiddieqy Hasbi, Pengantar Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980),

Haq Hamka, Al-Syathibi: Aspek Teologis Konsep Maslahat dalam Kitab al-

Muwafaqat, (Jakarta: Erlangga, 2007),

Zuhaily Wahbah az-, Ushul al Fiqh Al Islamy, cet ke 3 (Damaskus: Dar al-Fikr,

2001)

--------------, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, jilid VII, (Damaskus: Darul Fikr,

1989, cet. Ke III),

Page 27: Penetapan Status Anak Istilhaq terhadap Anak Laqith dalam

104 Sapri Ali

Salimiya, Vol. 2, No. 3, September 2021

Mahkamah Agung RI, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama.

Lisan al-‘Arabi, Ibnu Manzhur, Jilid VI (Meir: Dar al-Ma’arif, t.t.).

Ensiklopedi Indonesia, Jilid IV, Cet. I (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994),

Sabiq Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Jilid III (Kairo : Dar Al Fath Lil ‘ilam Al-

Araby, 2000)

Abdillah Abu Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, “Bab Tafsir

al-Musyabbahat”_, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 5, Hadits Nomor:

1008.

Qordhowi M. Yusuf, Al Halalu wa Al-Haram fi al-Islami Alih bahasa

Mu’ammal Hamidy, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya : PT. Bina

Ilmu, 2007).

Mughniyyah M. Jawad, al-Fiqh Ala Madzhabi al-Khomsah, diterjemahkan

oleh: Masykur AB dkk, judul : Fiqh Lima Madzhab, cet IV edisi lengkap

(Jakarta : Lentera, 2000), 388.

Rahman Djamil Fathur, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya,

dalam Chuzaimah T-Yanggo, Hafidz Anshary (editor), Problematika

Hukum Islam Kontemporer, cet. IV (Jakarta: LSIK, 2002).

Al-Bujairimi Sulaiman, Bujairimi ‘ala Al-Khotib, juz III (Beirut : Dar al-Fikr,

1981)

As-Shobuniy Ali, Rowai’ul Bayan Tafsir Ayat Ahkam min Al Qur’an. Juz II

(Beirut : Dar Al Kitab Al Islamiyah,tt ).

Abdillah Abu Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubie. Al Jami’li ahkam Al

Qur’an, Jilid XIII (Kairo : Dar al Kitab, 1967).

Zahroh Abu, Ushul Al Fiqh (Lebanon : Dar al- Fikr al-‘arobi, tt).

Copyright © 2021 Journal Salimiya: Vol. 2, No. 3, September 2021, e-ISSN; 2721-7078

Copyright rests with the authors

Copyright of Jurnal Salimiya is the property of Jurnal Salimiya and its content may not be

copied or emailed to multiple sites or posted to a listserv without the copyright holder's express

written permission. However, users may print, download, or email articles for individual use.

https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/salimiya