Upload
truonghuong
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PENGARUH KEMOTERAPI NEOADJUVANT TERHADAP EKSPRESI NFκB DAN C-MYC DAN HUBUNGAN ANTARA EKSPRESI NFκB DAN C-MYC
PADA KARSINOMA NASOFARING JENIS UNDIFFERENTIATED
T E S I S
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai Derajat Magister
Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama : Biomedik THT-KL
OLEH :
FARIDA NURHAYATI
NIM S500907015
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PERNYATAAN
Nama : Farida Nurhayati
NIM : S500907015
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Pengaruh Kemoterapi
Neoadjuvant Terhadap Ekspresi NFκB dan c-myc dan Hubungan Antara
Ekspresi NFκB dan c-myc Pada Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated
adalah betul - betul karya sendiri. Hal – hal yang bukan karya saya, dalam tesis
tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar , maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, April 2011
Yang Membuat Pernyataan
Farida Nurhayati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
RIWAYAT HIDUP SINGKAT
A. Identitas
Nama : Farida Nurhayati
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat/tanggal lahir : Solo, 2 Juli 1970
Agama : Islam
NIM PPDS I IK THT-KL : S9207003
NIM Magister Biomedik : S500907015
B. Riwayat pendidikan
1. SD Al Islam 2 Surakarta, Lulus tahun 1982
2. SMP Al Islam I Surakarta Lulus tahun 1985
3. SMAN 4 Surakarta Lulus tahun 1988
4. FK UNS, Surakarta Lulus tahun 1995
C. Riwayat Pekerjaan
1. Dokter PTT RS Dr Ryacudu Kotabumi Lampung Utara: tahun 1997 –
1999.
2. Dokter PNS Kepala Puskesmas Madukoro Kotabumi Lampung Utara
tahun 2000 – 2003
3. Dokter PNS Kepala Puskesmas Kotabumi II Lampung Utara tahun 2003 -
2007
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
4. Dokter Lembaga Pemasyarakatan Departemen Kehakiman dan HAM
Kotabumi Lampung Utara tahun 2003 – 2007.
5. Dokter Kepolisian Resort Lampung Utara tahun 2003 – 2007.
6. Dosen Akademi Keperawatan Kotabumi Lampung Utara tahun 2002 –
2007.
E. Riwayat keluarga
1. Nama orang tua Ayah : H. Imam Nurhadi
Ibu : Hj. Sri Tumiyati
2. Nama Suami : H. Sofyan Adi Nugroho, SE. MM
3. Nama anak : Fauzan Adhi Rachman
Fahreza Adhi Nurcahya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Alhamdulillahirobbil’alamin puji syukur kepada
Allah SWT yang Maha kuasa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menjalani pendidikan sampai selesainya karya ilmiah akhir
ini, sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Spesialis Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher dari Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret / RSUD. dr Moewardi Surakarta dan gelar Magister Kesehatan Program
Studi Kedokteran Keluarga Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Dengan segala kerendahan hati disadari bahwa tanpa bimbingan semua
staf pendidik dan bantuan semua pihak yang terlibat, maka karya ilmiah ini tidak
akan bisa diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang tidak terhingga kepada yang terhormat:
1. Prof. Emeritus. DR. Muhardjo, dr. DHA, Sp THT-KL (K), selaku
pembimbing utama yang telah memberikan banyak nasihat, dukungan, dan
bimbingan pada penelitian ini.
2. Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si, yang telah membimbing dengan penuh
kesungguhan pada penelitian ini.
3. dr. Made Setiamika, Sp THT-KL sebagai pembimbing Sub. Bagian Onkologi
dan selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit THT di RSUD Dr Moewardi
Surakarata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
4. dr. Mochamad Arief TQ, MS, yang telah membimbing dalam bidang statistik
dengan penuh kesungguhan pada penelitian ini.
5. Prof. dr. Bhisma Murti, MPH. M.Sc, Ph.D yang telah membantu dan
membimbing analisis data dalam penelitian ini.
6. dr. Sarwastuti Hendradewi, Sp.THT-KL, MSi.Med selaku Ketua Program
Studi Ilmu Penyakit THT-KL di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Surakarta .
7. Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK, selaku Ketua program Studi
Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
8. Direktur RSUD dr. Moewardi, drg. Basuki. MMR, yang telah memberikan
kesempatan pendidikan dan penelitian pada penulis.
9. Direktur Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. Dr. Suranto
yang telah memberikan kesempatan pendidikan dan penelitian ini.
10. Dekan Fakultas Kedoteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof.
DR.Zainal Arifin Adnan,dr.Sp.PD-KR-FINASIM, yang telah memberikan
kesempatan pendidikan dan penelitian kepada penulis.
11. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof Dr Ravik Karsidi MS, yang
telah memberikan kesempatan pendidikan dan penelitian kepada penulis.
12. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh staf THT-KL FK UNS
yang kami hormati :
- dr. Djoko SS, Sp THT-KL (K), MBA, MARS, Msi
- dr. Sudarman, Sp THT-KL (K)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
- dr. Sutomo S, Sp THT-KL (K
- Almarhum dr. Chaerul H, SP THT-KL(K)
- dr. Sudargo, Sp THT-KL
- dr. Bambang S, Sp THT-KL (K)
- dr. Hadi Sudrajad, Sp.THT-KL, Msi.Med
- dr. Imam Prabowo, Sp THT KL
- dr. Vicky Eko Nurcahyo, MSc, Sp. THT-KL
- dr. Putu Wijaya Kandi, Sp.THT-KL
- dr. Novi Primadewi Sp THT KL
yang telah berperan besar dalam proses pendidikan penulis dan penyelesaian
penelitian ini.
13. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh Staf Pengajar Program
Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta
14. Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. DR.dr Ambar Mudigdo, Sp. PA (K),
selaku Kepala laboratorium Patologi Anatomi dan Laboratorium Biomedik
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah
mengijinkan saya melakukan penelitian di bagian Laboratorium Biomedik.
15. Teman sejawat residen THT, seluruh paramedis RSUD dr.Moewardi dan
semua pihak yang telah membantu pendidikan dan penelitian ini.
16. Kedua orang tua ( H Imam Nurhadi dan Hj Sri Tumiyati ) dan mertua (H
Badar Mulyodarmono dan Hj Nurtinah ) yang selalu mendoakan dan
memberikan dukungan moril kepada penulis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
17. Khususnya untuk suamiku tercinta Sofyan Adi Nugroho SE, MM, terima
kasih yang tidak terhingga atas segala keiklasan, kesabaran, pengertian,
dorongan semangat, curahan kasih sayang dan iringan doa tulusnya selama
penulis menyelesaikan pendidikan ini.
18. Kedua anakku tercinta, Fauzan Adi Rachman dan Fahreza Adi Nurcahya,
terima kasih untuk pengertian dan doanya selama penulis menyelesaikan
pendidikan ini.
Penulis sadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, dan
mohon kiranya diharapkan akan mendorong penelitian lebih lanjut agar lebih
bermanfaat.
Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan maaf yang setulus-
tulusnya kepada semua guru, teman sejawat, paramedis dan karyawan di
lingkungan Bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung dan Tenggorok Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Program Studi Kedokteran
Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta atas semua
kesalahan dan kekhilafan selama menempuh Pendidikan Dokter Spesialis dan
Magister Kesehatan.
Semoga Allah SWT memberkati kita semua, Amien
Surakarta, April 2011
Penulis
Farida Nurhayati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN i
LEMBAR PERNYATAAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
KATA PENGANTAR
ii
iii
v
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
ABSTRAK
xii
xiv
xv
DAFTAR SINGKATAN xvii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 4
1.3. Tujuan Penelitian 4
1.4. Manfaat Penelitian 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karsinoma Nasofaring 6
2.2. Mekanisme Karsinogenesis 35
2.3. Siklus Sel 39
2.4. Virus Epstein-Barr 41
2.5. Struktur Genom dan Molekuler EBV 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
2.6. NFκB 46
2.7. c-myc 51
2.8. Kerangka Teori
2.9. Kerangka Konsep
54
56
2. 10. Hipotesis Penelitian 57
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian 58
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 59
3.3. Populasi dan Sampel 59
3.4. Variabel Penelitian 60
3.5. Definisi Operasional 61
3.6. Alat Penelitian 62
3.7. Cara Kerja 62
3.8. Tehnik Analisa Data 65
BAB IV. HASIL PENELITIAN
4.1. Data dasar sampel penelitian 66
4.2. Hasil analisis pemeriksaan ekspresi NFκB dan c-myc
4.3. Hasil analisis hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc
70
73
BAB V. PEMBAHASAN
5.1. Data dasar penelitian 75
5.2. Hasil analisis pemeriksaan ekspresi NFκB dan c-myc
5.3. Hasil analisis hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc
78
88
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR GAMBAR
2.1 Karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated
13
2.2 Skema karsinogenesis 37
2.3 Infeksi EBV pada penderita carrier 46
2.4 Aktivasi NFκB 48
2.5 Aktivasi c-myc 52
2.6
2.7
Kerangka Teori
Kerangka Konsep
54
56
3.1 Rancangan Penelitian 58
4.1 Diagram batang distribusi subyek penelitian menurut umur 67
4.2 Diagram batang distribusi subyek penelitian menurut jenis kelamin 67
4.3 Distribusi sampel berdasarkan staging Tumor Primer (T) sebelum
dan sesudah kemoterapin neoadjuvant
68
4.4 Distribusi sampel berdasarkan staging nodul (N) sebelum dan
sesudah kemoterapi neoadjuvant
68
4.5 Hasil pemeriksaan kadar Hemoglobin, Lekosit dan Trombosit
sebelum dan sesudah kemoterapi
69
4.6
Boxplot hasil ekspresi NFκB sebelum dan sesudah kemoterapi
neoadjuvant pada KNF Undifferentiated
Boxplot hasil ekspresi c-myc sebelum dan sesudah kemoterapi
neoadjuvant pada KNF Undifferentiated
Hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc pada karsinoma
nasofaring jenis Undifferentiated
71
72
74
4.7
4.8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
2.1 Status penampilan 33
3.1 Nilai P ( Prosentasi jumlah sel ) 64
3.2 Penilaian Intensitas Warna 64
4.1 Hasil analisis ekspresi NFκB sebelum dan sesudah
kemoterapi neoadjuvant pada KNF jenis Undifferentiated
70
4.2 Hasil analisis ekspresi c-myc sebelum dan sesudah
kemoterapi neoadjuvant pada KNF jenis Undifferentiated
72
4.3 Hasil analisis model persamaan linier hubungan antara ekspresi
NFκB dengan c-myc pada KNF jenis Undifferentiated
73
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Ethical Clearance
Lampiran 2 : Jadwal Penelitian
Lampiran 3 : Pemeriksaan Imunohistokimia
Lampiran 4 : Surat Pernyataan Persetujuan
Lampiran 5 : Status Penelitian
Lampiran 6 : Pemeriksaan Imunohistokimia Ekspresi NFκB dan c-myc
Lampiran 7 : Data Dasar Penelitian
Lampiran 8 : Analisis Statistik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
ABSTRAK Farida Nurhayati, S500907015. 2011. Pengaruh Kemoterapi Neoadjuvant Terhadap Ekspresi NFκB dan c-myc dan Hubungan Antara Ekspresi NFκB dan c-myc pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated. Tesis : Program Pendidikan Magister Kesehatan Program Studi Kedokteran Keluarga Minat Utama : Biomedik THT – KL.
Latar belakang : Patogenesis karsinoma nasofaring banyak dikaitkan dengan infeksi virus Epstein Barr, virus ini menyebabkan jaringan mengekspresikan Nuclear Factor Kappa Beta (NFκB) yang merupakan faktor transkripsi dan c-myc untuk proliferasi jaringan. Adanya ekspresi NFκB dan c-myc merupakan dua faktor penting sebagai penanda terjadinya keganasan. Pemberian kemoterapi neoadjuvant diharapkan dapat menghambat proses proliferasi dan menyebabkan terjadinya apoptosis. Tujuan : Mengetahui pengaruh kemoterapi neoadjuvant terhadap ekspresi NFκB dan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated. Metode dan bahan penelitian : Penelitian eksperimen kuasi dengan rancangan One group before and after intervention. Sebanyak 10 sampel dari jaringan biopsi karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated, masing-masing dilakukan pemeriksaan penentuan ekspresi NFκB dan c-myc sebelum dan sesudah pengobatan menggunakan pemeriksan imunohistokimia dengan sistem Avidin Biotin Complex ( ABC ). Antibodi yang digunakan mouse anti NFκB (Santa Cruz) dan mouse anti c-myc (Santa Cruz). Substrat enzim yang digunakan adalah Diaminobenzidin tetrahidrochloride (DAB). Analisa dengan Uji statistk Wilcoxon signed Ranks test dan Spearman’s menggunakan SPSS 15.0 program underwindow. Hasil penelitian : Setelah kemoterapi neoadjuvant terjadi peningkatan signifikan ( p=0,005 ) terhadap ekspresi NFκB (1,11 ± 1,14 dibanding 4,92 ± 2,79 ) dan terjadi peningkatan signifikan ( p=0.025 ) terhadap ekspresi c –myc (1.15 ± 0,78 dibanding 3,04 ± 1,91 ). Analisis hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated memenuhi garis liniar dan signifikan ( p=0,001 ) .
Kesimpulan : Terdapat peningkatan ekspresi NFκB dan c-myc sesudah kemoterapi neoadjuvant yang signifikan pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated. Terdapat hubungan signifikan antara ekspresi NFκB dengan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
Kata kunci: kemoterapi neoadjuvant, NFκB dan c-myc
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
ABSTRACT
Farida Nurhayati, S500907015. 2011. Effect Neoadjuvant Chemotherapy for Expression NFκB and c-myc and Corelation between Expression NFκB and c-myc In Undifferentiated Nasopharyngeal Carcinoma. Thesis : Magister Kesehatan Program of Kedokteran Keluarga Minat Utama : Biomedik THT – KL. .
Background: Epstein Barr, virus ( EBV ) infection has been frequently related with nasopharyngeal carcinoma, this virus makes the tissue of nasopharyng express Nuclear Factor Kappa Beta (NFκB) and c-myc. NFκB is a transcriptional factor and c-myc for proliferation. NFκB and c-myc are two master transcriptional system for malignancy. The administration of neoadjuvant chemotherapy followed by radiotheraphy may prevent the apoptosis and inhibit the proliferation. Aims : To evaluate the effect of neoadjuvant chemotherapy toward the expression level of NFκB and c-myc in Undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Methode Material : Quasi Experimental research by One group before and after intervention design. 10 sampels were collected from nasopharyngeal carcinoma biopsy tissue which had been diagnosed as Undifferentiated nasopharyngeal carcinoma, then each sample performed immunohistochemistry examination with Avidin Biotin Complex (ABC) system to evaluate the expression of NFκB and c-myc. Mouse antibody anti human NFκB (Santa Cruz) and mouse anti human c-myc (Santa Cruz) was used. Diaminobenzidine tetrahidrochloride (DAB) was utilized as an enzyme substrate. Indepent t and linier regression were used to analized data and we were taken SPSS 15.0 underwindows program. Result: After neoadjuvant chemotherapy there were increase , and significant value ( p=0.005 ) for expression of NFκB (1.11 ± 1.14 / 4.92 ± 2.79) and expression of c-myc (1.15 ± 0,78 / 3.04 ± 1.91). There were significant corelation between expresion of NFκB and c-myc in Undifferentiated nasopharyngeal carcinoma ( p=0.001 ). Conclussion : Expression of NFκB and c-myc were incresed, and significant after neoadjuvant chemotherapy in Undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. There were significant corelation between expresion of NFκB and c-myc in Undifferentiated nasopharyngeal carcinoma Keywords: neoadjuvant chemotherapy, NFκB and c-myc
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR SINGKATAN
Bcl-2 : B-Cell Lymphoma-2
CD : Cluster of Differentiation
Cdk : Cyclin dependent kinase
CAMP : Cyclic aminophosphatase
Cgy : CentiGray
c-myc : Chicken Myelocitosis ( oncogen)
DNA : Deoxyribonucleic acid
EBV : Epstein Barr Virus
EBNA : Epstein Barr Nuclear Antigen
EBER : Epstein Barr virus Encoded mRNA
EA : Early Antigen
Gp : Glikoprotein
HLA : Human Leucocyte Antigen
HPV : Human Papilloma Virus
Ig : Imunoglobulin
IHC : Imunohistochemistry
LMP : Laten Membran Protein
NFκB : Nuclear Factor κ Beta
Mdm : Murine double minute :
mRNA : messenger Ribunucleic Acid
P53 : Protein 53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
pRb : Protein Retinoblastoma
Ras : Rat Sarcoma ( oncogen )
TSGs : Tumor Supressor Genes
TNFR : Tumor Necrosing Factor Receptor
TGF : Tumor Growth Factor
TRAF : TNFR-Assosiated Factor
VCA : Viral Capsid Antigen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas kepala dan leher
yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan
leher merupakan karsinoma nasofaring. Berdasarkan prevalensinya tumor ganas
nasofaring sendiri berada di peringkat ke lima dari semua keganasan pada tubuh
manusia. Di Indonesia pernah dilaporkan angka prevalensi KNF 6 diantara
100.000 penduduk pertahun (Roezin, 2003; Tan, 2010).
Penelitian untuk mengidentifikasi faktor yang berperan pada
karsinogenesis masih terus berlangsung hingga saat ini. Secara umum telah
disepakati proses tersebut telah berlangsung secara bertahap. Berbagai penelitian
akhir-akhir ini telah membuktikan Epstein Barr Virus (EBV) selalu ditemukan
pada biopsi KNF. Gambaran histopatologi terbanyak adalah jenis
Undifferentiated sebesar 86 % dan karsinoma sel skuamosa berkeratin 14 %
(Huang,1999). KNF Undifferentiated di Amerika Utara sebesar 63% dan di Cina
Selatan 95% (Wei, 2006). Di RSUD Moewardi selama tahun 2008-2009 KNF
Undifferentiated sebesar 89,1% ( Sari, 2010).
Onkogen adalah gen yang berkaitan dengan terjadinya tranformasi
neoplastik. Onkogen terjadi melalui mutasi somatik proto-onkogen. Dalam
keadaan normal ekspresi proto-onkogen diperlukan untuk pertumbuhan dan
diferensiasi sel dan tidak mengakibatkan keganasan. Aktivitas proto-onkogen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
menjadi onkogen dapat terjadi melalui perubahan struktural dalam gen,
translokasi kromosom, amplifikasi gen atau mutasi berbagai elemen yang dalam
keadaan normal berfungsi mengontrol ekspresi yang bersangkutan
(Kresno, 2005 ).
Faktor transkripsi yang mempunyai peran penting dalam immortalitas sel
adalah Nuclear Factor kappa Beta ( NFκB ) dan c-myc. Dari berbagai penelitian
dinyatakan 2 protein ini memiliki peran yang sinergis dalam memacu terjadinya
malignansi. Peningkatan ekspresi dari NFκB akan menyebabkan immortalisasi
sel dan proliferasi sel. Peningkatan ekspresi NFκB akan menyebabkan
peningkatan ekspresi c-myc (Nathalie et al, 2009).
NFκB merupakan kompleks protein yang mengendalikan transkripsi gen
dari DNA. Salah satu faktor transkripsi yang penting dalam regulasi ekspresi gen
yang terkait dengan fungsi fungsi biologis seperti halnya respon imun dan
inflamasi, pertumbuhan dan proliferasi sel, serta pertahanan sel terhadap stres
( radikal bebas, radiasi ultraviolet, kerusakan DNA dan infeksi bakteri / virus ).
Sebaliknya, pengaturan yang salah dari NFκB telah dikaitkan dengan proses
keganasan, inflamasi, penyakit autoimun, syok septik, dan infeksi virus.
NFκB merupakan salah satu faktor transkripsi yang menginduksi ekspresi
c-myc. Adanya peningkatan ekspresi NFκB yang diikuti dengan peningkatan
c-myc, IL1, TNF, IL 6 dan Cyclic D1 menandakan terjadinya proses malignansi
(Momoko, 2005).
NFκB merupakan faktor utama yang mengatur transkripsi gen yang
bertanggung jawab atas bawaan atau adaptif respon imun. Setelah aktifasi sel B
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
maupun sel T reseptor, NFκB diaktifkan melalui sinyal yang berbeda. LMP-1
mengaktifasi NF-kB dan jalur janus kinases (JAK) oleh aktifasi daerah terminal
karbon 1 dan 2 yang menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol.
Target transkripsi dari EBV yang lain adalah c-myc. Melalui proses
dimerisasi dengan Maz, c-myc merupakan faktor transkripsional induk yang
meregulasi mekanisme siklus sel. Epstein Barr Nuclear Antigen-2 (EBNA-2)
bekerja sebagai suatu regulator positif dari ekspresi c-myc dalam konteks
promoter P1-P2 asli setelah infeksi pada sel B yang istirahat. Aktivasi NFκB oleh
Latent Membrane Protein -1 (LMP-1) juga dapat meningkatkan ekspresi c-myc
(Zong, 2002).
Salah satu modalitas terapi yang digunakan untuk karsinoma nasofaring
adalah kemoterapi neoadjuvant, yaitu pemberian kemoterapi yang mendahului
modalitas terapi lain. Kemoterapi dengan menggunakan regimen Cisplatin dan
5-Fluorouracil (5 FU) yang diikuti dengan radioterapi Cobalt 60. Cisplatin
memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah replikasi
dengan bekerja pada fase G1 dan G2. Sedangkan 5 FU merupakan anti
metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S (Lica,
1999). Radioterapi dengan menggunakan Cobalt 60 dapat menyebabkan
kerusakan jaringan akibat terjadinya nekrosis sel ( Tjokronegoro, 2001).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kemoterapi
neoadjuvant dengan Cisplatin, 5 FU dan diikuti radiasi Cobalt 60 terhadap
ekspresi NFκB dan c-myc pada pasien KNF jenis Undifferentiated . Selain itu
juga untuk mengetahui hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah ada perubahan tingkat ekspresi NFκB dan c-myc akibat
pemberian kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated ?
2. Apakah ada hubungan antara tingkat ekspresi NFκB dan c-myc pada
karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan tingkat ekspresi
NFκB dan c-myc akibat pemberian kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma
nasofaring jenis Undifferentiated.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mempelajari pola perubahan tingkat ekspresi NFκB akibat pemberian
kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated.
2. Mempelajari pola perubahan tingkat ekspresi c-myc akibat pemberian
kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated.
3. Mempelajari hubungan antara tingkat ekspresi NFκB dan c-myc
pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
1.4. Manfaat Penelitian
1. Membuktikan bahwa pemberian kemoterapi neoadjuvant merupakan
salah satu modalitas terapi yang dapat digunakan pada karsinoma naso-
faring jenis Undifferentiated.
2. Adanya perubahan tingkat ekspresi NFκB dan c-myc sesudah pemberian
kemoterapi neoadjuvant dapat digunakan sebagai prediksi terhadap respon
terapi, khususnya pada kasus karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
3. Diketahuinya ada hubungan antara tingkat ekspresi NFκB dan c-myc,
maka dapat dikembangkan penelitian lain terkait dengan penghambatan
ekspresi NFκB dan hubungannya dengan proliferasi sel, khususnya pada
karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu tumor ganas yang berasal dari
epitel mukosa atau jaringan limfoepitelial pada nasofaring. KNF merupakan
keganasan yang sulit didiagnosa secara dini karena lokasinya yang tersembunyi,
sehingga kebanyakan penderita datang berobat dalam stadium lanjut. Kelainan
yang dapat dijumpai pada KNF seperti penonjolan mukosa (creeping tumor),
tumor eksofitik, infiltratif dan ulseratif. Adanya hubungan infeksi EBV dengan
karsinoma nasofaring pernah diteliti Lin (2003) dan Wei (2006), terutama terdapat
pada jenis Undifferentiated.
2.1.1. Epidemiologi
KNF merupakan keganasan yang relatif sedikit di banyak negara, dengan
insidensi 1 / 100.000. Insidensi KNF lebih banyak di Alaska dan etnis Cina di
bagian Selatan, terutama di propinsi Guang Dong. Baru baru ini dilaporkan
insidensi KNF pada orang Hongkong yang tinggal di propinsi Guang Dong,
dimana laki laki adalah 20 – 30 / 100.000 penduduk dan perempuan 15 – 20 /
100.000 penduduk.
Di Indonesia pernah dilaporkan angka prevalensi KNF 6 diantara 100.000
penduduk pertahun (Roezin, 2003; Tan, 2010 ). Karsinoma nasofaring dapat
mengenai semua usia. Insiden puncak terjadi pada 40 sampai 50 tahun, lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
sering pada laki-laki dibanding perempuan dengan rasio 3,5 : 2 (Huary, 1998;
ICMR Bulletin, 2003; Wei, 2006).
2.1.2. Etiologi
Penyebab dari karsinoma nasofaring bersifat multifaktorial dan belum
seluruhnya dapat diterangkan. Bukti yang dapat menunjang saat ini adalah adanya
hubungan antara lingkungan, makanan, genetika dan infeksi EBV (Huang, 1999;
Huary, 1998; Wei, 2006).
Penelitian untuk mengidentifikasi faktor yang berperan pada
karsinogenesis masih terus berlangsung hingga saat ini. Berbagai penelitian akhir-
akhir ini telah membuktikan EBV selalu ditemukan pada biopsi KNF, untuk
gambaran histopatologi terbanyak adalah jenis Undifferentiated sebesar 86 % dan
karsinoma sel skuamosa berkeratin 14 % (Huang,1999). KNF Undifferentiated di
Amerika Utara sebesar 63%, Cina Selatan 95% (Wei, 2006). Di RSUD
Moewardi selama tahun 2008-2009 KNF jenis Undifferentiated sebesar 89,1%
( Sari, 2010).
EBV sering disebut mempunyai peranan dalam karsinogenesis KNF, sebab
genome EBV sering ditemukan dalam spesimen biopsi KNF. EBV dapat
ditemukan di mana mana di tubuh manusia, sehingga tidak mungkin EBV hanya
satu satunya sebagai penyebab KNF. Adanya EBV dalam tubuh meningkatkan
insidensi KNF 6 kali dibandingkan kelompok kontrol. Ini menyokong pendapat
bahwa faktor genetik juga memegang peranan penting dalam etiologi KNF ( Wei,
2006 ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Faktor genetik yang berhubungan dengan karsinoma nasofaring yaitu
genotip human leucocyte antigen (HLA)-A2 dan HLA-Bsin2 dan adanya delesi
dan translokasi kromosom yang berhubungan dengan gen onkogen dan gen
supresor tumor.
Proses bertahap karsinogenesis meliputi berbagai perubahan pada critical
genes yang terbagi dalam tumor supressor genes (TSGs) dan proto-onkogen.
Gangguan pada proses ini terjadi di berbagai jaras fungsi sel, misalnya proliferasi,
apoptosis, diferensiasi dan perbaikan DNA. Informasi dan pemahaman mendalam
yang baik mengenai karsinogenesis merupakan hal penting yang diperlukan dalam
penyusunan perbaikan strategi pencegahan, diagnosis dan pengobatan kanker.
Infeksi EBV ditemukan secara konsisten pada KNF terutama jenis
Undifferentiated (Lin, 2003).
Infeksi EBV dimulai dengan masuknya virus ini ke dalam sel epitel faring
yang kemudian diikuti dengan replikasi virus. Setelah berada di dalam inti sel
epitel, DNA virus masuk (insersi) ke dalam rangkaian DNA sel inang yang
akhirnya menjadi DNA bermutasi. Mutasi DNA ini mentranskripsikan protein
baru ke permukaan sebagai onkogen. Apabila proses ini tidak dapat diperbaiki
oleh mekanisme kontrol perbaikan DNA sel sehingga terjadi tranformasi sel
menjadi sel ganas.
2.1.3. Gejala klinis
Pasien KNF mempunyai satu atau lebih dari lima gejala, tergantung dari
lokasi tumor primer, infiltrasi ke sekitar nasofaring atau metastasis ke kelenjar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
getah bening (KGB) leher. Gejala dini yang muncul sering meragukan dan tidak
disadari oleh penderita maupun dokter, dan baru jelas setelah tumor membesar
dengan stadium sudah lanjut. Gejala yang ditemukan dapat dibagi dalam 5
kelompok, yaitu gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata, gejala saraf/
kranial, serta metastasis atau gejala di leher ( Wei, 2006 ).
Massa tumor di nasofaring dapat mengakibatkan obstruksi hidung dan
adanya discharge. Pada tumor yang kecil, obstruksi hidung terjadi unilateral, dan
tumor akan membesar sehingga obstruksi menjadi bilateral. Ketika tumor
mengalami ulserasi dapat terjadi epistaksis. Epistaksis biasanya ringan dan
bercampur dengan discharge sebagai post nasal drip, terutama pagi hari ( Wei,
2006 ).
Wei (2006) menyatakan bahwa tumor sebagian besar di nasofaring,
dengan atau tanpa perluasan ke posterolateral, ke paranasofaringeal space, dan
biasanya menyebabkan disfungsi tuba Eustachii. Ini dapat menyebabkan cairan
terkumpul di kavum timpani sehingga pasien dapat mengeluh conduktif hearing
loss unilateral dan gejala otologi lainnya ( misalnya otalgia, tinnitus ). Otitis
media serosa dapat terjadi pada 41% dari 237 pasien dengan KNF. Sehingga
apabila etnis Cina dewasa dengan gejala ini harus dicurigai sebagai KNF.
Gejala mata dan saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma
ini. Gejala yang muncul dapat berupa sindrom petrosfenoidal akibat penjalaran
melalui foramen laserum yang mengenai saraf otak ke III, IV, VI yang
menimbulkan gejala diplopia. Nervus ke II biasanya paling akhir mengalami
gangguan, gejalanya berupa gangguan visus. Nervus ke V dapat pula terkena dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
menimbulkan parestesia dan hipestesia pada sebagian wajah. Apabila semua saraf
( N II – N VI ) terkena, maka akan timbul gejala : neuralgia trigeminal unilateral,
oftalmoplegia unilateral dan gejala nyeri kepala hebat karena penekanan tumor
pada duramater. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf kranial IX, X,
XI, XII karena penjalaran melalui foramen jugulare. Gejala yang muncul berturut-
turut kesulitan menelan, gangguan motorik berupa nyeri daerah laring faring,
dispnea dan hipersalivasi. Gejala selanjutnya berupa atrofi m. Trapezius,
sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle ( Wei, 2006 ).
KNF mempunyai kecenderungan yang tinggi untuk metastasis ke kelenjar
getah bening ( KGB ) leher, dengan gejala yang umum adalah massa yang tidak
nyeri tekan, sering terdapat di leher bagian atas. Seperti massa di nasofaring yang
berada di tengah, biasanya massa di KGB leher bilateral (Ballanger, 1994;
Roezin, 2000; Mulyarjo, 2002; Ahmad, 2002; ).
2.1.4. Diagnosis
Diagnosis KNF terutama ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
klinis, radiologi dan histopatologi. Pemeriksaan histopatologi biopsi nasofaring
sampai saat ini diakui sebagai standar baku emas (gold standard) untuk
menegakkan diagnosis KNF (Roezin, 2003; Wei, 2006).
Diagnosis KNF ditegakkan dengan hasil biopsi yang positif adanya tumor
di nasofaring. Nasofaring dapat secara adekuat dievaluasi menggunakan
endoskop dengan anestesi lokal. Hopkin teleskop rigid, 0º dan 30º dapat
memberikan gambaran nasofaring dengan baik (Wei, 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Endoskop 70º dimasukkan dibelakang palatum molle akan dapat
menggambarkan atap dari nasofaring dan kedua muara tuba Eustachii. Endoskop
rigid tidak mempunyai suction dan jalur untuk biopsi. Adanya darah dan
discharge dibersihkan dahulu dengan suction, sehingga lebih jelas gambaran
kelainannya. Forsep biopsi dimasukkan disisi endoskop sehingga tumor bisa
langsung dilakukan biopsi (Wei, 2006).
Endoskop fleksibel dimasukkan melalui kavum nasi dapat untuk evaluasi
seluruh nasofaring. Alat ini dilengkapi dengan suction dan forcep biopsi yang
dapat dimasukkan untuk biopsi tumor. Meskipun endoskop fleksibel lebih
canggih, tetapi visualisasinya lebih kecil dibanding endoskop rigid dan ukuran
forcep biopsinya lebih kecil, sehingga kurang optimal dalam pengambilan sampel
( Wei, 2006 ).
Pemeriksaan radiologi diperlukan untuk mendapatkan informasi adanya
tumor nasofaring, perluasan dan kekambuhan tumor paska terapi. Pemeriksaan
foto polos tengkorak proyeksi lateral dilakukan untuk mengetahui penebalan
jaringan lunak di dinding posterior, proyeksi basis untuk melihat struktur tulang
dan foramen, proyeksi antero-posterior dan Water`s untuk mengetahui adanya
ekspansi tumor ke rongga hidung, sinus paranasal dan rongga orbita.
Untuk memperoleh gambaran lesi yang lebih jelas, dapat dilakukan
pemeriksaan tomogram atau computerized tomographic scanning (CT Scan)
maupun magnetic resonance imaging (MRI). Melalui CT Scan atau MRI dapat
ditentukan besar dan arah perluasan tumor nasofaring dengan lebih akurat.
Kelebihan lain dari CT Scan yaitu dapat menunjukkan adanya kelainan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
minimal misalnya asimetri fossa Rosenmuller atau pertumbuhan endofitik,
sehingga sangat bermanfaat dalam upaya menemukan diagnosis dini. Tanda
patognomonik keganasan nasofaring adalah bila dijumpai asimetri resesus
lateralis, torus tubarius, dinding posterior dan adanya pembengkakan pada otot-
otot tensor dan levator veli palatini (Soetjipto, 1993; Shanmugaratnam, 1998;
Wei, 2006).
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran akhir-
akhir ini, diagnosis KNF sangat ditunjang oleh beberapa pemeriksaan tambahan
yaitu pemeriksaan serologi misalnya imunoglobulin A anti viral capsid antigen
(Ig anti VCA), Ig G anti early antigen (EA), imunohistokimia, hibridisasi in situ,
polimerase chain reaction (PCR) dan Southern blotting. Diketemukannya virus
Epstein-Barr yang mengandung antigen virus antara lain EBV-VCA, EA, dan
Epstein-Barr nuclear antigen (EBNA) 1-3 sebagai etiologi KNF telah membuka
jalan ke arah upaya diagnosis dini dan menilai perkembangan tumor
(progresivitas) pasca radioterapi atau kemoterapi.
Pemeriksaan antibodi spesifik sebagai tumor marker yang paling
bermanfaat untuk diagnosis KNF adalah Ig A anti VCA dan Ig A atau IgG anti
EA ( Lam, 1999 ; Wei, 2006 ). Wei menyatakan pada penderita KNF yang
ditelitinya didapatkan peningkatan titer Ig A anti VCA sebanyak 93% dan titer Ig
A anti EA meningkat sebanyak 73% (Wei, 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
2.1.5. Histopatologi
Menurut WHO tahun 1987, KNF dapat dibagi dalam 3 jenis gambaran
histopatologi yaitu (Wei, 2006 ) :
a. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi ( WHO tipe I ).
Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa
nasofaring. Sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang dan
menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin baik di dalam sitoplasma
maupun di luar sel.
b. Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi ( WHO tipe II ).
Tipe ini menunjukkan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan sel
yang lebih kearah diferensiasi baik. Sel-sel ganas tersusun stratified atau
berimpitan menyerupai gambaran pada karsinoma sel transisional.
c. Karsinoma tanpa diferensiasi, disebut juga Undifferentiated ( WHO tipe III ).
Tipe ini mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen, sel ganas
berbentuk synctitial dengan batas sel yang tidak jelas.
Gambar 2.1. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring (Dikutip dari : Respiratory system pre lab)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Menurut Soetjipto pada penelitiannya di Bagian THT RSCM Jakarta
(1980-1984), di Indonesia paling sering diketemukan jenis WHO tipe III. WHO
tipe I, II dan III berturut-turut sebanyak 7,8 %, 2,5 % dan 89,6 %. Berdasarkan
penelitian di Poliklinik THT RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2000 menemukan
jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebesar 5,6 %, 8 % dan 85,6 %.
Sedangkan penelitian di Poliklinik THT RS Dr Moewardi tahun 2008-2009
menemukan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebesar 6,9 %, 4% dan
89,1 % ( Sari, 2010 ).
2.1.6. Stadium
Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara Union
Internationale Contre Cancer (UICC) dan American Joint Committee on Cancer
(AJCC) pada tahun 1986. Pembagian TNM untuk KNF sesuai dengan edisi V
klasifikasi TNM oleh UICC seperti yang dikutip oleh Mulyarjo (2003) dan Wei
( 2006 ) adalah sebagai berikut :
T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
T1 : Tumor terbatas pada nasofaring.
T2 : Tumor meluas ke orofaring dan/atau fossa nasal.
T2a : Tanpa perluasan ke parafaring.
T2b : Dengan perluasan ke parafaring.
T3 : Invasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal.
T4 : Tumor meluas ke intra kranial dan/atau mengenai saraf otak, fossa
infratemporal, hipofaring atau orbita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
N menggambarkan keadaan kelenjar limfe regional.
N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar.
N1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cm.
N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm.
N3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm / ekstensi ke supraklavikular.
M menggambarkan metastasis jauh.
M0 : Tidak ada metastasis jauh.
M1 : Terdapat metastasis jauh.
Mx : Adanya metastasis tidak dapat ditentukan.
Berdasarkan klasifikasi TNM tersebut diatas, stadium KNF dapat ditentukan
sebagai berikut
Stadium I : T1 N0 M0.
Stadium IIA : T2a N0 M0.
Stadium IIB : T1 N1 M0, T2a N1 M0, atau T2b N0-1 M0.
Stadium III : T1-2 N2 M0 atau T3 N0-2 M0.
Stadium IVA : T4 N0-2 MO.
Stadium IVB : Tiap T N3 M0.
Stadium IVC : Tiap T Tiap N M1.
2.1.7. Penatalaksanaan
Menurut Vijayakumar (1997) dan Suwitodiharjo (2002) pada prinsipnya
pengobatan untuk karsinoma nasofaring meliputi :
1. Kemoterapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
2. Radioterapi
3. Kombinasi radioterapi dan kemoterapi
4. Operasi
5. Imunoterapi
6. Terapi paliatif
Dari keseluruhan modalitas terapi diatas, pemilihan jenis obat kanker
harus memperhatikan jenis kanker, kemosensitivitas dan radiosensitivitas kanker,
imunitas tubuh dan kemampuan pasien untuk menerima terapi yang kita berikan.
Selain itu juga harus diperhatikan efek samping terapi yang kita berikan
(Sukardja, 2000).
2.1.7.1. Kemoterapi
Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kanker ini
dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan
berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel
kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif
terhadap obat lainnya. Pemberian secara kombinasi juga dapat mengurangi dosis
obat sitostatika sehingga efek samping menurun (Kentjono, 2002).
Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga
untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. Secara lokal dimana
vaskularisasi jaringan tumor masih baik, akan lebih sensitif menerima kemoterapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
sebagai antineoplastik agen. Dan karsinoma sel skuamosa biasanya sangat sensitif
terhadap kemoterapi ini (Brockstein and Vokes, 2006).
Sukardja (2000) menyatakan bahwa obat-obat sitostatika yang
direkomendasi FDA ( Amerika ) untuk digunakan sebagai terapi keganasan
didaerah kanker kepala leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate,
5-Fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide,
Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher.
Lica (1999) menyatakan adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan
(growth) dan pembelahan (division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut
siklus sel (cell cycle) yang merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika.
Hampir semua sitostatika mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel
aktif seperti mitosis dan duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan
membelah pada umumnya lebih sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat.
Berdasar siklus sel, kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus yang
disebut cell cycle non spesific, artinya bisa pada sel yang dalam siklus
pertumbuhan sel bahkan dalam keadaan istirahat (G0). Ada juga kemoterapi yang
hanya bisa bekerja pada siklus pertumbuhan tertentu yang disebut cell cycle
phase spesific (Lica, 1999).
Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan
5 fluorourasil (5-FU), obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan
cara menghambat sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell
cycle nonspecific antara lain Cisplatin (obat ini memiliki mekanisme cross-linking
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2),
Doxorubicin (fase S1, G2, M), Bleomycin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M).
Obat kemoterapi yang efektif harus lebih toksik pada sel tumor daripada
jaringan normal. Obat-obatan kemoterapi klasik dapat dibagi menjadi beberapa
kategori berdasarkan mekanisme aksi utama. Agen alkilasi cross link DNA dan
berkaitan dengan replikasi DNA. Diantara nitrogen mustard ini,
Cyclophosphamide dan Chlorambusil. Cisplatin, Doxorubicin, Bleomycin, dan
Mitomycin C, juga beraksi dengan ikatan pada DNA. Antimetabolik secara aktif
berinterfensi dengan metabolism selular, sering dengan jenis hambatan satu atau
lebih enzim target. Banyak agen dengan aktivitas pada kanker kepala dan leher
yang dimasukkan dalam kelompok ini ,termasuk Methotrexate, 5-Fluorourasil
(5-FU), Hydroxyurea, dan Gemcitabine (Kentjono, 2002; Brockstein and
Vokes, 2006 ).
Agen kemoterapi sering lebih efektif apabila digunakan dengan kombinasi.
Perencanaan pemberian obat disesuaikan dengan kemungkinan adanya interaksi
farmakologis, mekanisme aksi, toksisitas spesifik organ dan tubuh secara umum,
dan spektrum obat (Brockstein and Vokes, 2006).
Kombinasi dari obat dipikirkan lebih baik daripada agen tunggal karena
resistensi sel pada salah satu agen mungkin lebih sensitive pada agen yang lain.
Pada beberapa penelitian penggunaan kombinasi Cisplatin dan 5-FU
menghasilkan tingkat respon yang lebih baik dan secara in vitro dapat
berinteraksi secara sinergis dengan yang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Salah satu regimen kombinasi standar adalah Cisplatin yang diikuti dengan
5-FU selama 4 sampai 5 hari intravena secara kontinyu. Pada pasien dengan
penyakit yang rekuren, didapatkan tingkat respon antara 30% sampai 40%. Pada
pasien dengan penyakit lokal, nonmetastatik, tingkat respon yang mengesankan
sekitar 80%, dengan 10% sampai 40% respon lengkap (Brockstein and Vokes,
2006).
Menurut Skeel R.T (1987), efek samping kemoterapi dipengaruhi oleh
Dosis, jadwal pemberian, Cara pemberian (intra vena, intra muskuler, peroral, per
drip infus), Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas
pada organ tertentu. Selain itu masing-masing agen memiliki toksisitas yang
spesifik terhadap organ tubuh tertentu.
2.1.7.1.1. Cisplatin
Cisplatin atau Cisplatinum atau cis diamminedichloroplatinum (II) adalah
obat kemoterapi kanker yang berbasis logam platinum. Pada dasarnya senyawa
turunan platinum yang menunjukkan antitumor/antikanker telah ribuan yang
disintesis. Tetapi hanya 28 dari mereka yang telah diujicoba secara klinis dan
hanya 2 yang sangat aktif yaitu Cisplatin itu sendiri dan Carboplatin (Brockstein
and Vokes, 2006).
Struktur kimia Cisplatin adalah cis-PtCl2(NH3)2. Senyawa ini pertama kali
ditemukan oleh M. Peyrone (1845) yang berasal dari garam Peyrone dan
strukturnya ditentukan kemudian oleh Alfred Werner (1893). Senyawa Cisplatin
ini disintesis dengan memanfaatkan efek trans antara potassium
tetrachloroplatinate(II), K2PtCl4 dengan ligan amina NH3 (Sutopo, 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Cisplatin merupakan obat antikanker yang tergolong cell cycle non
specific, memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah
replikasi, dengan bekerja pada fase G1 dan G2 ( Lica, 1999).
Rel A ( p56) yang merupakan sub unit dari NFκB mempunyai peranan
penting dalam survival sel dengan menginduksi berbagai macam gen anti
apoptosis. Cisplatin yang merupakan agen cross linking DNA mempunyai
aktivitas transkripsi. Cisplatin bekerja dengan menghambat Rel A sehingga akan
menghambat ekspresi NFκB yang merupakan antiapoptosis. Sehingga dengan
penurunan ekspresi NFκB akan menyebabkan apoptosis, proliferasi sel dan
differensiasi sel dihambat (Kirsteen, 2006).
Dewasa ini Cisplatin secara luas digunakan untuk mengobati berbagai
kanker, terutama sangat efektif untuk kanker testicular dan bila dikombinasi
dengan obat lain akan bekerja sangat efektif dalam mengobati kanker ovarium,
kanker kandung kemih, kanker paru, dan kanker kepala leher. Kombinasi
Cisplatin tersebut dapat meliputi kombinasi dengan radioterapi atau dengan obat
tertentu seperti Pacliataxel, Aphidicolin dan Hydroxyurea atau 5-Fluorouracil
(Sutopo, 2004).
Cisplatin telah menjadi terapi utama dari kanker kepala dan leher.
Aktivitas antitumornya dihasilkan dari pengikatan intraseluler bentuk positif yang
teraktivasi dengan tempat nukleofilik pada DNA untuk membentuk jalur kovalen
yang mempunyai fungsi ganda yang mempengaruhi fungsi normal DNA.
Cisplatin biasanya diberikan dengan 2 sampai 6 jam dosis 60 sampai 120 mg/m2,
dengan kemanjuran yang sama dilaporkan pada semua jarak dosis ini. Toksisitas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
ginjal sering terjadi, termasuk azotemia ringan sampai sedang dan adanya
pengeluaran elektrolit, khususnya magnesium dan kalium. Reaksi toksik lain
termasuk mual dan muntah, neurotoksisitas perifer, ototoksik, dan myelosupresi
jika beberapa siklus obat diberikan. Untuk dosis agen tunggal yang antara 60
sampai 120 mg/m2 yang diberikan setiap 3 sampai 4 minggu , respon parsial
dicapai hampir 15 sampai 30% (Brockstein and Vokes, 2006).
Selain itu efek samping yang lain adalah kerontokan rambut (alopecia),
dan penurunan kekebalan tubuh. Namun untuk kerontokan rambut dan penurunan
kekebalan tubuh umumnya akan kembali normal setelah pengobatan.
2.1.7.1.2. 5-Fluorourasil ( 5-FU )
5 Fluorourasil (5-FU) merupakan obat kemoterapi yang tergolong cell
cycle specific, yaitu obat anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat
sintesa DNA pada fase S.
5-Flourourasil adalah 5 fase dari urasil spesifik analog yang dapat
diaktivasi dengan dua jalur intraseluler utama yaitu : a. fosforilasi sekuensila dan
penggabungan dengan RNA atau (b) aktivasi pada 5-fluorodeoksiuridin
monofosfat, yang menghambat enzim timidilat sintase dan konversi dari uridin
menjadi senyawa timidin. Sel kehabisan timidin dan tidak dapat mensintesis DNA
(Brockstein and Vokes, 2006).
Efek samping yang paling penting adalah myelosupresi, mukositis, diare,
dermatitis, dan toksisitas jantung. Penggunaan sebagai agen tunggal bolus
intravena untuk merawat pasien dengan kanker kepala dan leher, 5-FU
mempunyai aktivitas yang terbatas. Tingkat respon 13% ditemukan pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
percobaan randomisasi yang besar. 5-Florourasil dapat lebih aktif bila diberikan
dalam infus 5 hari secara kontinyu dan secara jelas meningkatkan tingat respon
dari Cisplatin (Brockstein and Vokes, 2006).
2.1.7.1.3. Sensitivitas Kemoterapi Terhadap Karsinoma Nasofaring
Kemoterapi memiliki peran yang penting dalam pengobatan terhadap
kanker nasofaring. Saat ini, kemoterapi pada umumnya dipertimbangkan sebagai
terapi standar untuk hampir segala jenis kasus karsinoma pada stadium awal.
Waktu pemberian dan peran yang optimal dari kemoterapi saat ini masih dalam
tahap pencarian. Pada metastasis, karsinoma berdiferensiasi buruk
(Undiferentiated), atau limfoepitelioma pada nasofaring sangat sensitif terhadap
kemoterapi (Brockstein and Vokes, 2006).
Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO tipe
I dan sebagian WHO tipe II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma
nasofaring WHO tipe III memiliki prognosis paling baik, sebaliknya karsinoma
nasofaring WHO tipe I yang memiliki prognosis paling buruk (Chan and Teo,
2002).
2.1.7.2. Radioterapi
Radioterapi adalah terapi sinar menggunakan energi tinggi yang dapat
menembus jaringan dalam rangka membunuh sel neoplasma ( Lica, 1999 ).
Radioterapi masih merupakan terapi pilihan untuk karsinoma nasofaring oleh
karena masih bersifat responsif ( Wei, 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Persyaratan radioterapi saja untuk penyembuhan total terhadap karsinoma
nasofaring apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut, belum didapatkannya
sel tumor di luar area radiasi, tipe tumor yang radiosensitif, besar tumor yang kira-
kira radioterapi mampu mengatasinya, dosis yang optimal dan jangka waktu
radioterapi tepat. Selain itu sebisa mungkin menyelamatkan sel dan jaringan yang
normal dari efek samping radioterapi ( Vijayakumar, 1997 ).
Dosis radiasi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya sebelum
kemoterapi diberikan. Pada limfonodi yang tak teraba diberikan radiasi sebesar
5000 cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila
lebih dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5
minggu (Suwitodiharjo, 2002; Wei, 2006).
Menurut Vijayakumar (1997), radioterapi merupakan terapi yang sifatnya
lokal dan regional. Radioterapi mematikan sel dengan cara merusak DNA yang
akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor. Memiliki kemampuan untuk
mempercepat proses apoptosis dari sel tumor. Ionisasi yang ditimbulkan oleh
radiasi dapat mematikan sel tumor. Selain itu juga memiliki kemampuan
mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga mengurangi
pendesakan di area sekitarnya. Radioterapi juga berguna sebagai terapi paliatif
untuk pasien dengan perdarahan dari tumornya. Walaupun pemberian radiasi
bersifat lokal dan regional namun dapat mengakibatkan defek imun secara
general.
Efek samping radioterapi pada rongga mulut meliputi radiomukositis,
stomatitis, hilangnya indra pengecapan, rasa nyeri dan ngilu pada gigi. Pada kulit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
bisa menyebabkan pigmentasi kulit seperti fibrosis subkutan atau
osteoradionekrosis. Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi
sumsum tulang dan gangguan gastrointestinal. Efek samping yang lain adalah
xerostomia, trismus, otitis media dan penurunan pendengaran, Lhermitte
syndrome karena radiasi myelitis dan Hypothyroidism (Suwitodiharjo, 2002; Wei,
2006).
2.1.7.2.1. Pengaruh Radioterapi Terhadap Sel Kanker
Radiasi pengion berupa sinar Gamma dan sinar X. Sinar Gamma
merupakan pancaran gelombang elektromagnetik yang berasal dari disintegrasi
inti Cobalt 60 radioaktif. Akibat dari disintegrasi inti tersebut akan terbentuk satu
pancaran energi berupa sinar gamma dan 2 pancaran partikel, yaitu pancaran
elektron disebut sinar beta dan pancaran inti helium disebut sinar alfa. Sinar
gamma digunakan dalam radioterapi, sedangkan sinar alfa dan sinar beta
digunakan dalam terapi radiasi internal. Sinar X atau photon merupakan pancaran
gelombang elektromagnetik yang dikeluarkan oleh pesawat liner akselerator,
digunakan untuk radiasi eksterna ( Tjokronegoro, 2001).
Radiasi pengion bila mengenai sel tumor maligna, akan menimbulkan
ionisasi air dan oksigen ekstraseluller dan intraseluller sehingga menjadi ion H+,
ion OH- dan ion oksigen. Ion ini bersifat tidak stabil dan dapat berubah menjadi
radikal H, radikal OH dan 3 radikal oksigen. Radikal ini akan bereaksi dengan
DNA dan menimbulkan kerusakan DNA dan akhirnya menimbulkan kematian sel
maligna ( Tjokronegoro, 2001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Reaksi yang terjadi antara radiasi pengion dengan sel tumor maligna bisa
berupa reaksi direk dan reaksi indirek. Reaksi direk adalah interaksi yang terjadi
antara radiasi pengion dengan sel tumor maligna, dalam hal ini interaksi langsung
antara radiasi pengion dengan DNA didalam kromosom pada inti. Atom-atom
yang menyusun molekul pada DNA, mengalami ionisasi, akibatnya DNA
kehilangan fungsi-fungsinya sehingga sel-sel tumor mengalami kemandekan
dalam proliferasinya.
Reaksi indirek adalah reaksi terpenting dalam proses interaksi radiasi
pengion dengan sel tumor maligna. Molekul air dan molekul oksigen yang
terdapat intraseluller dan ekstraseluller akan terkena radiasi pengion. Akibatnya
elektron akan terlempar keluar orbit dan akan berubah menjadi ion H+ dan ion
OH- serta ion oksigen. Ion-ion ini bersifat tidak stabil dan akan berubah menjadi
radikal H, radikal OH dan radikal oksigen. Radikal-radikal tersebut secara
kimiawi sangat berbeda dengan molekul asalnya dan mempunyai kecenderungan
besar untuk bereaksi dengan DNA.
Akibat dari reaksi tersebut maka akan terjadi kerusakan DNA yang dapat
berupa putusnya kedua backbone DNA (double strand break), satu backbone
DNA putus (single strand break), kerusakan base (base damage), kerusakan
molekul gula (sugar damage), DNA-DNA crosslink dan DNA protein cross link.
Diantara reaksi yang terjadi didalam sel tumor maligna, selain kerusakan
DNA pada kromosom, akibat reaksi direk dan indirek dari radiasi pengion, juga
terjadi suatu efek sitologis yang disebut abrasi kromosom. Radiasi akan
menghambat proses pembelahan sel. Radiasi yang terjadi pada saat sel tumor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
dalam proses interfase dan mulai membelah, beberapa sel akan mengalami aberasi
kromosom. Akibat aberasi kromosom ini dapat terjadi beberapa kemungkinan: (1)
kematian sel yang segera terjadi (early cell death), (2) aberasi terus menerus
setelah beberapa kali sel membelah. Terdapat beberapa jenis aberasi kromosom:
(1) satu fragmen kromosom akan berpindah tempat ke kromosom lain, (2) satu
fragmen kromosom berpindah tempat pada lengan yang lain pada kromosom yang
sama (3) satu fragmen kromosom berpindah tempat pada lengan yang sama pada
kromosom yang sama.
Jenis Pemberian radioterapi pada karsinoma nasofaring menurut
Suwitodiharjo, (2002) bisa diberikan sebagai radiasi eksterna dengan berbagai
macam teknik fraksinasi dan Radiasi interna ( brachytherapy ) yang bisa berupa
permanen implan atau intracavitary barchytherapy.
Radiasi eksterna dapat digunakan sebagai pengobatan efektif pada tumor
primer tanpa pembesaran kelenjar getah bening, tumor primer dengan pembesaran
kelenjar getah bening, terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi dan terapi
adjuvan yang diberikan pre operatif atau post operatif pada neck dissection
Radiasi Interna / brachyterapi bisa digunakan untuk menambah
kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari terlalu banyak
jaringan sehat yang terkena radiasi. Bisa juga digunakan sebagai booster bila
masih ditemukan residu tumor dan digunakan pada pengobatan kasus yang
kambuh.
Radioterapi menyebabkan efek akut, intermediet, dan kronis pada jaringan.
Efek akut (yang berhubungan dengan hebatnya fraksi radiasi) termasuk penurunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
yang signifikan dari fibroblas, miofibroblas, dan proliferasi sel endotel (yang
menghalangi kontraksi luka) terjadi dalam 3 minggu post radioterapi. Efek
intermediet biasanya bermanifestasi antara 3 minggu sampai 6 bulan setelah
radioterapi. Pada fase ini terjadi inflamasi dan proliferasi jaringan, dimana NFκB
dan c-myc berperan didalamnya. Efek kronis (yang berhubungan dengan dosis
radiasi total) berupa hialinisasi kolagen, ruptur fibril yang elastis, deposit exudat
fibrin, dan induksi fibroblas atipik, kemudian pembuluh darah terhialinisasi dan
sklerotik ( Gourin, G.C and Terris J.D, 2006 ).
2.1.7.3. Kemoradioterapi
Kentjono (2002) menyatakan bahwa kemoradioterapi adalah pemberian
kemoterapi bersamaan dengan radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara
lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker
secara sistemik lewat mikrosirkulasi. Begitu banyak variasi agen yang digunakan
dalam kemoradioterapi ini sehingga sampai saat ini belum didapatkan standar
kemoradioterapi yang definitif.
Penggunaan kemoradioterapi dapat aktif melawan subpopulasi sel tumor
yang berbeda berdasarkan pada siklus sel spesifik, PH dan tersedianya oksigen.
Sel resisten pada satu modalitas terapi dapat dihilangkan dengan terapi yang lain.
Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan
Metotreksat dengan response rate 15%-47% (Sukardja, 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Manfaat Kombinasi kemoradioterapi adalah (Ballenger, 1994; Kentjono,
2002) :
1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan
memberikan hasil radioterapi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat
tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika
tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula
berkurangnya jumlah sel hipoksia.
2. Dapat meningkatkan rekrutmen sel tumor dari G0 ke siklus sel tumor yang
sensitive terhadap terapi radiasi.
3. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
4. Eradikasi awal dari sel tumor mencegah munculnya resistensi obat dan
radiasi.
5. Sinkronisasi siklus sel meningkatkan keefektifan dari kedua terapi.
6. Kemoterapi menghambat perbaikan dari kerusakan radiasi subletal dan
menghambat kesembuhan dari kerusakan radiasi yang mematikan.
7. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
8. Menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar
radiasi.
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi
perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radioterapi. Sedangkan Hidroksiurea
dan Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif
terhadap radioterapi (Kentjono, 2002).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu
mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan
menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal.
Menurut Kentjono (2002); Chan dan Teo,(2002) secara umum cara
pemberian kemoradioterapi dapat dilakukan dengan 4 cara kerja yaitu :
1. Neoadjuvant yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan
radiasi.
2. Terapi konkomitan yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi
pada kasus karsinoma stadium lanjut.
3. Adjuvant yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radiasi.
4. Terapi utama yaitu digunakan tanpa radiasi dan pembedahan terutama
pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis hematologi
(leukemia dan limfoma).
Kemoterapi neoajuvant dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor
sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvant didasari atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju
massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini
dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi
neoadjuvant pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan overall
response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvant yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ
preservation) (Sukardja , 2000).
Kelemahan Kemoradioterapi adalah meningkatkan efek samping antara
lain mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat
menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat
begitu besar sehingga berakibat fatal.
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan
kemoterapi tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan
khusus untuk meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi
(radiosensitizer).
Menurut prioritas indikasinya, terapi kanker dapat dibagi menjadi dua
yaitu terapi utama dan terapi adjuvant (tambahan/ komplementer/ profilaksis).
Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvant tidak dapat
mandiri, artinya terapi adjuvant tersebut harus meyertai terapi utamanya.
Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna (Chan
dan Teo, 2002; Quinn and Ryan, 2003).
Terapi adjuvant tidak dapat diberikan apabila memiliki indikasi, yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata sel kanker masih ada,
dimana dengan biopsi masih positif, kemungkinan besar sel kankernya masih
ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis dan pada tumor dengan derajat
keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh).
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal
yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan sel pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi
sumsum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro
intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna.
Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut (Chan and Teo,
2002).
Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sumsum tulang,
folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika.
Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat
lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada
sel kanker (Cody and Kern, 1993; Brockstein and Vokes, 2006).
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap
jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa
kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi
dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi
juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi (Cody and
Kern,1993; Brockstein and Vokes, 2006).
Menurut Sukardja (2000), untuk menghindari efek samping yang dapat
ditoleransi, dimana penderita menjadi tambah sakit sebaiknya dosis obat dihitung
secara cermat berdasarkan luas permukaan tubuh (m2) atau kadang-kadang
menggunakan ukuran berat badan (kg). Selain itu faktor yang perlu diperhatikan
adalah keadaan biologik penderita. Untuk menentukan keadaan biologik yang
perlu diperhatikan adalah keadaan umum (kurus sekali, tampak kesakitan, lemah
sadar baik, koma, asites, sesak, dll), status penampilan (skala Karnofsky, skala
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
ECOG), status gizi, status hematologis, faal ginjal, faal hati, kondisi jantung, paru
dan lain sebagainya.
Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif
tinggi, pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ
penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain yang efek
samping terhadap organ tersebut lebih minimal.
2.1.7.4.Persyaratan Pasien Yang Layak Diberi Kemoterapi
Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan kelemahan,
yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum
memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut (Sukardja 2000) :
1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu
status penampilan ≤ 2 atau Karnovsky Scale ≥ 70 %
2. Jumlah lekosit ≥ 4500/ml
3. Jumlah trombosit ≥150.0000/ul
4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 12
5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam)
6. Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal.
7. Elektrolit dalam batas normal.
8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia
diatas 70 tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
2.1.7.5.Status Penampilan Penderita kanker ( Performance Status )
Status penampilan ini mengambil indikator kemampuan pasien, dimana
penyait kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal
ini juga menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi
yang tepat pada pasien dengan sesuai status penampilannya.
Tabel 2.1. Skala status penampilan menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group) dan Karnofsky :
ECOG KARNOFSKY
Grade 0 : masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas kerja dan pekerjaan sehari-hari. Grade 1: hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan.
Grade 2: hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk tiduran dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat melakukan pekerjaan lain. Grade 3: Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50% waktunya untuk tiduran. Grade 4 : Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul hanya di kursi atau tiduran terus.
Index 100 % : aktifitas normal, tidak ada komplain, tidak ada kejadian sakit. Index 90 % : dengan sedikit keluhan dan gejala penyakit, tetapi masih bisa mengejakan aktifitas normal. Index 80 % : dengan beberapa keluhan dan gejala penyakit dan hambatan, ada penurunan untuk melakukan aktifitas. Index 70 % : tidak mampu mengerjakan aktifitas normal atau untuk bekerja, tetapi masih bisa mengurus diri sendiri. Index 60 % : kadang dibutuhkan kehadiran asisten, tetapi masih mampu untuk mengurus beberapa kegiatan diri sendiri. Index 50 % : dibutuhkan asisten terus menerus untuk perawatan diri sendiri, pengobatan . Index 40 % : tidak mampu, dibutuhkan perawatan khusus dan asisten Index 30 % : tidak mampu secara berat, indikaasi perawatan rumah sakit, sangat diperlukan perawatan diri. Index 20 % : sangat sakit, perawatan rumah sakit, diperlukan pengobatan supportif secara aktif. Index 10 % : morbund
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
2.1.7.6 . Hasil Akhir Pengobatan Kanker
Penilaian hasil pengobatan dengan kemoterapi, baik tunggal maupun
kombinasi dengan pembedahan atau radioterapi, biasanya dilakukan setelah 3-4
minggu. Hasil kemoterapi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu respons atau hilangnya
kanker (response rate) dan angka ketahanan hidup penderita (survival rate). Dari
aspek hilangnya kanker hasil kemoterapi dinyatakan dengan istilah-istilah yang
lazim dipakai yaitu (Sukardja, 2000; Manfred, 2001) :
1. Sembuh ( cured )
2. Respon komplit ( complete response/ CR ) : semua tumor menghilang
untuk jangka waktu sedikitnya 4 minggu
3. Respons parsial ( partial response/ PR ) : semua tumor mengecil
sedikitnya 50 % dan tidak ada tumor baru yang timbul dalam jangka waktu
sedikitnya 4 minggu.
4. Tidak ada respons (no response/ NR): tumor mengecil kuran dari 50 %
atau membesar kurang dari 25 %
5. Penyakit Progresif ( progresive disese/PD ) : tumor makin membesar 25 %
atau lebih atau timbul tumor baru yang dulu tidak diketahui adanya.
Disamping itu, dikenal suatu periode penderita terbebas dari penyakitnya
(disease free survival ). Pada beberapa tumor disamping ukuran tumor,
perkembangannya dapat dipantau berdasarkan kadar tumor marker.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
2.1.7.7. Pola Regresi Tumor
Menurut Vijayakumar, (1997), terdapat perbedaan pola regresi antara
tumor primer dan kelenjar getah bening leher. Terjadi Complete Respons pada
akhir dari radioterapi (62%) dan meningkat menjadi 80 % pada 2 bulan pasca
radioterapi, sedangkan pada kelenjar getah bening leher hanya CR 32 % pada
akhir radioterapi dan meningkat menjadi 76 % pada 2 bulan setelah radioterapi.
Jadi biopsi sebaiknya dilakukan 2 bulan setelah radioterapi.
2.2. Mekanisme Karsinogenesis
Kanker adalah penyakit dimana sel-sel ganas bermultiplikasi pada
organisme multiseluler sehingga terjadi perubahan yang tidak terkontrol
(Karsono, 2006). Terbentuknya kanker sebagai akibat penyimpangan genetik
disebabkan oleh pengaruh lingkungan sebagai faktor penyebab atau karena
kelainan bawaan. Perubahan materi genetik tersebut mengakibatkan pembelahan
sel yang berlebihan dan tidak terkendali (Tjarta, 2005).
Faktor-faktor lingkungan yang berperan pada terjadinya tumor disebut
karsinogen (Bosman ,1996). Karena kelainan ini bekerja di dalam genom maka
faktor karsinogen tanpa kecuali bersifat mutagen. Ternyata dibutuhkan tidak
hanya satu melainkan beberapa mutasi untuk menimbulkan transformasi suatu sel.
Jadi karsinogenesis adalah proses multi langkah yang berlangsung lama
melibatkan akumulasi gen yang mengalami kelainan sampai tumbuhnya lesi
kanker pada tubuh (Bosman, 1996; Suega, 2006 ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Onkogen adalah gen yang berkaitan dengan terjadinya transformasi
neoplastik. Onkogen terjadi melalui mutasi somatik proto-onkogen. Dalam
keadaan normal ekspresi proto-onkogen diperlukan untuk pertumbuhan dan
diferensiasi sel dan tidak mengakibatkan keganasan, karena aktivitasnya dikontrol
secara ketat. Aktivitas proto-onkogen menjadi onkogen dapat terjadi melalui
perubahan struktural dalam gen, translokasi kromosom, amplifikasi gen atau
mutasi dalam berbagai elemen yang dalam keadaan normal berfungsi untuk
mengontrol ekspresi yang bersangkutan.
Mutasi proto-onkogen relatif sering terjadi dalam sel yang berproliferasi
aktif, namun perubahan ke arah ganas dapat dicegah dengan bantuan ekspresi
berbagai gen supresor (tumor suppressor genes atau anti onkogen) yang berperan
menginduksi terhentinya siklus sel atau menginduksi proses apoptosis.
Apabila fungsi gen-gen yang berperan dalam pengawasan (surveillance)
ini terganggu akibat mutasi atau hilang (deletion), maka sel yang bersangkutan
akan menjadi rentan terhadap transformasi ganas (Kresno, 2005).
Contoh gen supresor tumor adalah pRb, p53, DCC (Deleted in Cell
Colorectal Carcinoma), WT-1 (Willm’s Tumor-1), NF-2 (Neurofibromatosis
Type-2). Kelainan pada gen penekan tumor bersifat resesif, artinya baru akan
menimbulkan tumor apabila kedua alel menunjukkan kelainan (Liotta, 2001).
Perubahan yang dialami proto-onkogen seluler pada aktivasi menjadi
onkogen selalu bersifat mengaktivasi, artinya mereka menstimulasi suatu fungsi
sel yang mengakibatkan pertumbuhan dan difrensiasi sel. Sejauh aktivitas ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
terjadi karena mutasi, maka inilah yang disebut mutasi dominan (Bosman,1996;
Soewoto, 2003 ).
Mutasi onkogenik mengubah kemampuan sandi gen-gen bersangkutan,
sehingga protein yang diproduksinya mengalami berbagai perubahan. Salah satu
perubahan seperti telah diuraikan diatas adalah diekspresikannya gen secara terus
menerus dan protein yang dihasilkan yang disebut secara umum onkoprotein,
kehilangan kemampuan untuk mengatur fosforilasi/defosforilasi. Ekspresi terus
menerus gen-gen yang bersangkutan diinterpretasikan oleh sel sebagai sinyal
untuk terus tumbuh, karena itu onkogen mempunyai dampak dominan positif bagi
pertumbuhan sel dengan menirukan fungsi sinyal mitogenik (Astuti, 2004;
Kresno, 2005 ).
Dari percobaan pada binatang diketahui bahwa proses terjadinya
neoplasma terdapat tahap inisiasi, promosi dan progresi (Tjarta, 1996).
Gambar 2.2. Skema Karsinogenesis (Di kutip dari Mac Donald and Ford, 1997, dengan modifikasi ) .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Pada tahap inisiasi diawali dengan kegagalan mekanisme DNA repair
sehingga paparan inisiator seperti hormon, radiasi, mutasi spontan dan bahan
kimia mutagenik pada sel yang terinisiasi akan terjadi perubahan urutan
nukleotida DNA proto-onkogen sehingga ekspresi gen berubah meskipun jaringan
masih terlihat normal. Tahap inisiasi merupakan proses yang berlangsung cepat
dan bersifat reversibel (Tjarta, 1996; Liotta, 2001; Astuti, 2005 ).
Tahap inisiasi akan berlanjut menjadi tahap promosi apabila sel yang
terinisiasi tadi terpapar oleh promotor seperti faktor pertumbuhan dan infeksi
virus, sehingga sel akan berkembang menjadi sel preneoplasia. Pada sel
preneoplasia akan terjadi transformasi urutan DNA sel sehingga ekspresi protein
yang dikode gen tersebut ikut berubah.
Tahap promosi itu tidak terjadi dalam waktu singkat, selain itu juga harus
ada serangan promotor yang terus menerus. Sebenarnya proses tersebut dapat
dihambat oleh anti onkogen, gen penekan tumor dan faktor diferensiasi, akan
tetapi bila faktor-faktor anti karsinogenik tadi gagal melaksanakan fungsinya
maka sel preneoplasi akan menjadi sel tumor insitu.
Sel tumor insitu jika kembali mendapat paparan inisiator akan berkembang
menjadi sel tumor infiltratif yang merupakan tahap akhir karsinogenesis yaitu
tahap progresi. Proses perkembangan menjadi sel tumor infiltrasi dihambat oleh
mekanisme apoptosis, faktor diferensiasi, penghambat angiogenesis dan sistem
imun tubuh (Bosman, 1996; Tjarta, 1997).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
2.3. Siklus Sel
Setiap siklus sel terdiri dari 4 fase berurutan yang dikendalikan secara
ketat, masing- masing disebut sebagai fase G1 (gap1), Fase S (sintesis DNA), fase
G2 (gap2) dan fase M (mitosis). Replikasi DNA terjadi dalam fase S, pemisahan
kromosom (karyokinesis) dan pembelahan sel terjadi pada fase M, sedangkan
pada fase G1 dan G2 merupakan fase persiapan. Sel yang tidak aktif (tidak sedang
tumbuh) berada dalam fase Go yang merupakan fase istirahat. Faktor-faktor yang
menyebabkan sel ditahan pada fase G0 atau keluar dari fase G0 untuk memasuki
faktor-faktor yang menentukan kecepatan pertumbuhan (Kresno, 2005).
Pengendalian siklus sel mamalia sebagian besar terjadi selama fase G1.
Sinyal eksternal yang diberikan oleh faktor-faktor pertumbuhan diperlukan agar
sel keluar dari fase istirahat (G0), kemudian memasuki fase G1 lalu berlanjut ke
fase S. Karena selama fase G1 setiap sel responsif terhadap dan tergantung pada
berbagai rangsangan ekstraseluler, maka fase G1 dianggap sebagai bagian
terpenting dari sistem pengendalian pertumbuhan (Kastan, 2001; Kresno, 2003).
Proses berurutan dalam satu siklus sel berlangsung melalui mekanisme
tertentu yang dapat dianalogikan dengan alur reaksi biokimia (biochemical
pathway) yang saling berkaitan. Hal yang penting dari proses ini adalah
berlangsungnya setiap tahap reaksi itu seolah diatur oleh suatu petunjuk waktu
internal (internal clock) sehingga selalu berlangsung tepat waktu. Pengaturan
siklus sel (cell cycle clock) yang wujudnya adalah aktifitas periodik kompleks
cyclin-cdk (cyclin/cyclin- dependent kinase), dikendalikan secara ketat pada titik-
titik tertentu dalam siklus (Kastan, 2001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Replikasi DNA serta mitosis harus berlangsung teratur, berurutan dan
sempurna. Setiap sel harus mampu menentukan apakah satu fase dari siklus sel
sudah berlangsung lengkap sebelum berlanjut ke fase berikutnya. Misalnya sel
harus memantau apakah fase S sudah lengkap sebelum mempersiapkan diri untuk
mitosis (fase M). Bila replikasi DNA terganggu, sel normal akan berhenti pada
fase S dan tidak berlanjut ke fase M (Liotta, 2001; Kastan, 2001).
Sistem pengaturan ini melindungi sel agar tidak melipat gandakan sel-sel
yang abnormal, atau bila ada DNA yang rusak siklus sel akan berhenti sementara
untuk memberi kesempatan perbaikan DNA sebelum berlanjut ke fase berikutnya,
atau sel itu akan mengalami kematian terprogram (apoptosis) (Kastan, 2001;
Kresno, 2003).
Dengan demikian, siklus sel mengatur duplikasi informasi genetik dan
pembagian kromosom yang diduplikasi tersebut secara akurat kepada sel-sel
turunannya. Check points adalah istilah saat pause atau berhentinya siklus sel, dan
saat itu dilakukan pemantauan atas ketepatan duplikasi dan susunan kromosom.
Pada Check points ini dilakukan editing atau reparasi informasi genetik apabila
diperlukan agar setiap sel anak keturunannya memperoleh perangkat informasi
genetik lengkap identik dengan sel induknya (Kastan, 2001; Kresno, 2003).
Anti onkogen termasuk gen yang produknya mempunyai fungsi penting
dalam DNA repair atau mengaktifkan Cell Check points (Kastan, 2001; Kresno,
2003).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Cell Check points berfungsi memperpanjang waktu dalam siklus sel untuk
memberi kesempatan perbaikan DNA yang rusak (DNA repair) sebelum ia
dilipatgandakan.
Siklus sel ditingkat molekuler semua prosesnya dikendalikan oleh
pembentukan dan aktifitas sejumlah kompleks protein kinase yang terdiri dari
sub-unit katalitik yang disebut cyclin dependent kinase (cdk) dan sub-unit protein
regulator yang disebut cyclin.Pada saat tertentu dalam siklus sel kompleks cyclin-
cdk diaktifkan, kemudian kompleks ini memfosforilasi molekul-molekul tertentu,
lalu dinonaktifkan.
2.4. Virus Epstein-Barr ( EBV )
Virus Epstein-Barr merupakan virus yang digolongkan dalam human
herpes virus. Virus ini terdistribusi ke seluruh dunia, dimana lebih dari 95% orang
dewasa pernah terinfeksi sekali waktu dalam hidupnya. Jika menginfeksi
penderita, akan selalu ada sepanjang hidup penderita dalam bentuk infeksi
asimtomatik. Sebagian besar kasus infeksi primer EBV asimtomatis, tetapi
sebagian mengalami gejala gejala klinis, menampakkan diri sebagai penyakit
limfoproliferatif ringan yang bersifat self limited ( Wei, 2006 ).
Selama infeksi primer, EBV menginfeksi dan menginduksi proliferasi
yang terus menerus dari sel B yang berada dalam keadaaan istirahat ( resting B
cells ). In vivo, sel sel B yang terinfeksi oleh EBV akan dieliminasi secara aktif
oleh respon imun sitotoksik yang kuat, menyebabkan terjadinya resolusi spontan
dari infeksi primer EBV. Sampai tahap tersebut, EBV akan menetap secara laten
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
pada kompartemen sel B dan mengalami reaktivasi pada keadaan defisiensi sistem
imun / imunodeficiency (Nathalie et al, 2009).
EBV merupakan virus DNA yang onkogenik dan berhubungan dengan
beberapa penyakit antara lain karsinoma nasofaring, limfoma Burkit, penyakit
Hodgkin dan mononukleosis infeksiosa.
2.5. Struktur genom dan karakteristik molekuler infeksi EBV
Genom EBV berbentuk linear dengan DNA untai ganda (double-
stranded), panjangnya sekitar 172.000 pasangan basa. Dalam keadaan infeksi
pada limfosit B, DNA EBV ditransport ke dalam inti sebagai genom sirkuler
ekstra kromosom (episome).
Tiga program latensi telah dijelaskan untuk virus ini baik secara in vitro
maupun in vivo. Dua RNAs nonpolyadenilase yang berukuran kecil ( EBER1 dan
EBER2 ) dan suatu unit transkripsi berukuran besar yang disebut BART ( BamHI-
A righward transcript ) atau CST ( Complementary strand transcript ), yang
menyebabkan kenaikan dari seluruh microRNA, diekspresikan pada semua bentuk
latensi. Latensi I ditandai oleh ekspresi dari EBNA1 yang penting bagi
pemeliharaan episomal dari genom EBV dan ditemukan pada tumor tumor yang
terkait EBV. Latensi II berkaitan dengan ekspresi dari EBNA1, LMP1, LMP2a,
dan LMP2b. LMP1 melalui mekanisme TNF ( Tumor Necrosis Factor )
bertanggung jawab atas terjadinya aktivasi dari NF-κB secara kontinyu
( Nathalie et al, 2009 ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Latensi II merupakan karakteristik dari hampir semua tumor yang terkait
EBV, kecuali tumor Burkitt Limfoma dan PTLD ( post-transplant
lymphoproliferative disorder ). EBV pada Latensi III, biasa disebut juga
proliferasi virus, ditandai oleh ekspresi dari EBNA2 akibat dari adanya ekspresi
EBNA3 serta protein LMP. Latensi keempat, yaitu latensi 0 ditandai dengan
latensi yang sempurna dari virus. Latensi 0 merepresentasikan keadaan virus pada
fase istirahat G0 pada sel B in vivo .
Karakteristik ke 3 jenis laten ini di dasarkan atas ekspresi jenis tertentu gen
laten. Pola latensi ini digunakan dalam pengelompokan virus Ebstein Barr dalam
hubungannya dengan timbulnya penyakit (Gulley, 2001).
Sifat sifat transforming dari tiga latensi EBV yang utama, yaitu EBNA2,
LMP1 dan LMP2a telah diteliti secara luas dan mengacu pada dua jalur seluler
yang diduga diambilalih oleh EBV, yaitu Notch dan NF-κB. Bentuk aktif dari
Notch 1 dapat menyebabkan supresi pertumbuhan sel yang disertai apoptosis dan
penghambatan terhadap siklus sel.
Aktivasi NF-κB terutama disebabkan oleh LMP1 dan hal ini berhubungan
dengan proteksi terhadap apoptosis. Sebagian besar gen yang terekspresi pada
Latensi I atau III dari virus merupakan aktivasi dari LMP1 dan diregulasi oleh
NF-κB. Penelitian mengenai ekspresi gen memastikan bahwa sebagian besar gen
yang diregulasi oleh LMP1 pada sel B adalah tergantung pada NF-κB. Aktivasi
NF-κB ini jelas memiliki kontribusi terhadap proteksi dari sel B yang dibuat
immortal oleh EBV terhadap apoptosis. Overaktivasi NF-κB oleh LMP1 juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
dapat menyebabkan terjadinya apoptosis oleh aktivasi CD95 yang tidak
tergantung ligand ( Nathalie et al, 2009 ).
Target transkripsi dari EBV yang lain adalah c-myc. Melalui proses
dimerisasi dengan Maz, c-myc merupakan faktor transkripsional induk yang
meregulasi mekanisme siklus sel. EBNA2 bekerja sebagai suatu regulator positif
dari ekspresi c-myc dalam konteks promoter P1-P2 asli setelah infeksi pada sel B
yang istirahat. Aktivasi NF-κB oleh LMP1 juga dapat meningkatkan ekspresi
c-myc ( Nathalie et al, 2009 ).
Dengan demikian, gen c-myc tampaknya merupakan target seluler alamiah
yang bertanggung jawab terhadap proliferasi sel B yang dikendalikan EBV.
Overekspresi dari c-myc diketahui dapat menginduksi aktivasi dari kinase serin-
threonin ATM ( ataxia-teleangiectasia mutated ) dan ATR ( ATM-Rad3-related )
yang menyebabkan fosforilasi dan aktivasi dari protein proapoptotik p53 dan
apoptosis sel ( Zong, 2002 ).
Infeksi EBV pertama dimulai di daerah orofaring. Kemampuan virus
mempertahankan infeksi yang persisten aktif dan litik ini menyebabkan infeksi ini
dapat menetap selama bertahun-tahun pada tingkat tertentu. Infeksi EBV
terbanyak terjadi melalui kontak oral atau penyebaran melalui saliva. Setelah
kontak pertama, EBV melakukan replikasi di epitel kelenjar parotis dan saluran
nafas bagian atas, sehingga virus yang infeksius dapat dilepaskan secara
intermiten oleh individu yang terinfeksi oleh EBV.
Setelah virus menetap dalam sel epitel, virus tersebut dapat menginfeksi
sel limfosit B yang bersirkulasi dan ditemukan dalam jumlah besar di jaringan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
epitel saluran nafas atas. Limfosit B yang baru terbentuk juga akan terinfeksi bila
melalui daerah tersebut. Beberapa fakta memperlihatkan bahwa limfosit B
merupakan lokasi utama infeksi laten dan merupakan sumber penyebaran infeksi
ke permukaan epitel bagian distal, termasuk nasofaring. Masuknya EBV ke dalam
limfosit B dimungkinkan oleh adanya ikatan selektif pada komponen cluster of
differentiation (CD) 21. Glikoprotein (Gp) 350/250 merupakan reseptor membran
virus yang dapat mengenali CD 21 ( Macswee, 2003).
Pada penderita carrier EBV, Infeksi virus ini menginduksi 2 jenis proses
infeksi dalam sel pejamu. Infeksi litik menginduksi siklus lengkap replikasi virus
termasuk produksi partikel-partikel virus yang infeksius dan dilepaskan setelah
sel mengalami lisis. Pada fase litik ditandai dengan ekspresi berbagai protein
transkripsi dan protein virus, termasuk berbagai gen protein awal (BZLF 1 atau
ZEBRA), antigen awal (early antigen = EA), antigen laten (viral capsid antigen =
VCA) dan antigen membran (mambrane antigen = MA). Karena itu bila BZLF 1
tidak diekspresikan menandakan fase laten. Bentuk ini dapat menginfeksi sel dan
orang lain. Bentuk lain yaitu infeksi laten yang hanya menginduksi aktivasi
sejumlah kecil gen virus dan tidak mengakibatkan lisis sel pejamu. EBV bentuk
laten ini dapat menghindar dari respon imun sel pejamu, sehingga infeksi dapat
menetap. Infeksi laten merupakan karakteristik kelompok virus herpes. Pada
keadaan ini genom EBV dalam bentuk episom, sedangkan limfosit B yang
terinfeksi EBV dalam bentuk laten mengekspresikan gen EBNA-1, LMP-1 dan
LMP-2 .
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Gambar 2.3. Infeksi EBV pada penderita carrier. Infeksi primer EBV dimulai diorofaring,setelah kontak pertama EBV melakukan replikasi virus dilepaskan secara intermiten. Virus mempunyai kemampuan infeksi yang persisten-aktif dan litik yang menyebabkan infeksi dapat menetap(dikutip dari Prasad, 1975)
Perubahan status laten ke bentuk litik dimulai dengan aktivasi protein
yang disandi onkogen virus pada limfosit B dan sel epitel. Genom EBV, double-
stranded deoxyribonucleic acid (dsDNA) linier dibentuk melalui replikasi cetakan
episom dan dengan perantaraan polimerase DNA virus. Selanjutnya DNA linier
ini menjadi bentuk sirkuler ( lingkaran ) saat proses infeksi EBV - DNA menjadi
virion yang infeksius (Macswee, 2003).
2.6. NFκB ( Nuclear Factor kappa Beta )
NFκB adalah kompleks protein yang mengendalikan transkripsi gen dari
DNA. Merupakan salah satu faktor transkripsi yang penting dalam regulasi
ekspresi gen yang terkait dengan fungsi fungsi biologis seperti halnya respon
imun dan inflamasi, pertumbuhan dan proliferasi sel, serta pertahanan sel terhadap
stress ( radikal bebas, radiasi ultraviolet, kerusakan DNA dan infeksi bakteri atau
virus ). Sebaliknya, pengaturan yang salah dari NFκB telah dikaitkan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
proses keganasan, inflamasi, penyakit autoimun, syok septik, dan infeksi virus
( Gilmore, 2002 ).
NFκB merupakan faktor utama yang mengatur transkripsi gen yang
bertanggung jawab atas bawaan atau adaptif respon imun. Setelah aktifasi sel B
maupun sel T reseptor, NFκB diaktifkan melalui sinyal yang berbeda. LMP-1
mengaktifasi NF-kB dan jalur janus kinases (JAK) oleh aktifasi daerah terminal
karbon 1 dan 2 yang menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol. Setelah ligasi
dari sel T reseptor, molekul adaptor ZAP70 diambil melalui para SH2 domain
kesisi reseptor sitoplasma. ZAP70 membantu merekrut LCK dan PLCγ yang
menyebabkan aktifasi PKC. Melalui fosforilasi, komplek kinase aktif dan NFκB
dapat masuk kedalam inti untuk upregulasi gen yang terlibat dalam perkembangan
sel T, pematangan dan proliferasi ( Tjarta, 1996).
NFκB merupakan dimer yang dapat berupa heterodimer maupun
homodimer yang terbentuk diantara 5 jenis protein, yaitu p50, p52, p56 ( Rel-A ),
Rel-B dan Rel-C. Dimana jalur NFκB digolongkan menjadi 2 jalur utama, yaitu
jalur klasik ( canonical ) dan jalur alternatif ( non canonical ). Pada jalur
klasik, sub unit utama yang berperan adalah Rel-A yang dapat membentuk dimer
dengan p50 maupun p52. Jalur ini diaktivasi dengan cepat dan merupakan respon
akut dari berbagai sinyal. Jalur ini diaktiasi oleh IKKa/ IKKb yang akan
memfosforilasi IkB sehingga NFκB akan terlepas dari ikatannya dengan IkB.
IKKa/ IKKb sendiri akan diaktivasi akibat fosforilasi dan ubiquitinasi dari NEMO
( IKKg ) yang mengikat dimer IKK tersebut ( Bonizzi, 2004 ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
Sedangkan jalur alternatif melibatkan peran utama dari Rel-B dan p52.
Aktivasi jalur ini memerlukan waktu yang lama karena p52 tersedia dalam bentuk
prekusornya ( p100 ) sehingga diperlukan proses tranformasi p100 menjadi p52.
Aktivasi jalur ini hanya melibatkan IKKa saja yang sebelumnya diaktivasi oleh
NIK. Dalam hal ini, respon terhadap keadaan emergensi termasuk diantaranya
pemacuan penghambatan siklus sel pada fase G1/S melibatkan peran IKK/NFκB
jalur klasik ( Rel-A ) ( Bonizzi, 2004 ).
Gambar 2.4. Jalur aktivasi NFκB klasik dan alternatif. Pada aktivasi NFκB klasik, sinyal pencetusnya melalui sinyal TNFR, IL-1R, atau TLR. Media tornya oleh MAP/ERK kinase kinase 3 (MEKK3) dan IKKb, yang akhirnya menghasilkan degradasi dari IkBa dan translokasi dari RelA/p50 homodimer ke dalam nukleus. Pada jalur aktivasi NFκB alternatif, sinyal pencetusnya melalui CD40, LTbR, or BAFF-R dan mediatornya oleh NIK and IKKa, dengan melalui proses p100 dan translokasi dari p52 dimers ke dalam nukleus. ( di kutip dari Momoko, 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
NFκB mempunyai peran dalam aktivasi daur sel untuk pemacuan
proliferasi sel maupun penghambatan apoptosis. Selain itu juga berperan dalam
penghambatan siklus sel. Tetapi inti dari aktivasi jalur NFκB ini adalah untuk
survival cell. NFκB menginduksi ekspresi dari c-myc, IL 1, IL 6, TNF dan Cyclin
D, yang berperan dalam proliferasi sel ( Momoko, 2005 ). Aktivitas ini juga
terkait dengan sistem pertahanan sel agar tetap dapat bertahan hidup sebagai
respon dari stres yang dalam hal ini utamanya adalah kerusakan DNA.
Sel dengan aktivitas proliferasi yang tinggi, misalnya sel fibroblas dan sel
kanker akan selalu memasuki siklus sel. Paparan suatu senyawa yang merusak
DNA akan dapat menginduksi sel untuk mengaktivasi NFκB untuk penghentian
siklus sel. Ini merupakan salah satu respon emergensi dari sel untuk
mempertahankan hidupnya, karena jika sel masih terus melanjutkan siklus selnya
kemungkinan sel akan mati.
Aktivasi NFκB dimulai dari sinyal yang di induksi IkB degradasi protein.
Hal ini terjadi terutama melalui aktivasi kinase yang disebut IkB kinase ( IKK).
IKK ini terdiri dari sebuah heterodimer dari katalitik IKK alfa dan subunit beta
dan peran penting yang disebut protein regulator Nemo ( NFκB essensial
modulator ) atau IKK gamma. Ketika diaktifkan oleh sinyal, yang biasanya
berasal dari luar sel, IkB kinase phosporylates dua residu serin terletak di domain
IkB. Ketika serine tersebut terfosforilasi ( misal serine 32 dan 36 dalam IkB
manusia ), maka molekul inhibitor IkB dimodifikasi oleh proses yang disebut
ubiquitination, yang membuatnya direndahkan oleh struktur sel yang disebut
proteasome ( Nelson, 2004 ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Dengan degradasi IkB inhibitor, NFκB kemudian dibebaskan dan masuk
ke inti untuk ekspresi gen gen tertentu. Ekspresi gen ini merupakan respon
fisiologis yang berupa reaksi peradangan atau respon imun, respon survival sel
atau proliferasi seluler.
NFκB secara luas digunakan oleh sel eukariotik sebagai pengatur gen yang
mengontrol proliferasi sel dan survival sel. Dengan demikian berbagai jenis tumor
manusia memiliki misregulated NFκB, yaitu NFκB yang selalu aktif. NFκB aktif
akan mengekspresikan gen yang menyebabkan proliferasi sel dan menjaga dari
apoptosis.
Dalam sel tumor, NFκB aktif baik karena mutasi pada gen encoding faktor
transkripsi NFκB atau pada gen yang mengontrol aktivitas NFκB ( gen IkB ).
Disamping itu beberapa sel tumor mensekresi faktor faktor yang menyebabkan
NFκB menjadi aktif. Memblokir NFκB dapat menyebabkan sel tumor berhenti
berproliferasi, mati atau lebih sensitif terhadap aktivitas gen anti tumor. Sehingga
penelitian mengenai NFκB adalah penting sebagai target untuk terapi anti kanker
( Garg, 2002).
NFκB juga merupakan faktor transkripsi yang dapat digunakan untuk
mengetahui prognosis dari pasien KNF. Ekspresi NFκB yang positif pada pasien
KNF berhubungan dengan peningkatan potensi kekambuhan, free desease
survival dan overall survival yang rendah. Dalam beberapa penelitian dinyatakan
bahwa NFκB dapat digunakan sebagai marker secara biologi molekuler untuk
prediksi prognosis buruk pada pasien KNF. Sehingga penting untuk mengetahui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
NFκB dalam rangka mencari pengobatan yang paling baik untuk KNF
( Zhang, 2010 ).
2.7. c-myc
c-myc adalah onkogen yang mempunyai peranan dalam proliferasi
maupun apoptosis. Ekspresi c-myc dihubungkan dengan rangsangan mitogenik
dan diperlukan secara cukup untuk mengakibatkan sel dalam fase G0 masuk ke
dalam siklus sel. Tetapi pada sel yang terus berproliferasi, ekspresi c-myc juga
dapat dijumpai pada fase G1. Walaupun c-myc berperan dalam proliferasi sel, ia
sekaligus juga berperan dalam apoptosis. Model peran gen yang bertentangan ini
dijelaskan dengan model sinyal ganda, dimana c-myc merangsang proliferasi
sekaligus jalur apoptosis. Dalam model ini, sementara mitogen mengaktifkan jalur
proliferasi, jalur apoptosis secara aktif dihambat oleh faktor anti apoptotik,
misalnya dari kelompok gen bcl2 ( Zong, 2002 ).
Dalam fungsinya myc membentuk heterodimer dengan protein max.
Komplek onkoprotein myc-max meningkatkan apoptosis apabila sel kehilangan
faktor pertumbuhan, atau apabila ada intervensi farmakologis. Dimerisasi myc-
max diperlukan untuk proliferasi maupun apoptosis. Walaupun demikian, myc
dan max masing masing memodulasi jalur apoptotik yang berbeda. Hal ini
dibuktikan dengan adanya suatu penelitian yang menyatakan bahwa bcl-xL
menghambat apoptosis sel yang mengekspresikan max berlebihan tetapi tidak
pada sel sel yang mengekspresikan c-myc berlebihan ( Zong, 2002 ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Perubahan proto-onkogen menjadi onkogen pada c-myc menyebabkan sel
mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan sel menjadi ganas. Berbagai
proses dapat merusak gen yang bertanggung jawab atas perubahan ini,
diantaranya adalah aktivasi akibat reduplikasi, tranduksi, translokasi dan
penyisipan virus ( insertional mutagenesis ).
Gambar 2.5. Aktivasi c-myc yang terjadi melalui reduplikasi DNA secara abnormal, translokasi c-myc ke lokasi kromosom lain, penyisipan DNA virus dan tranduksi retrovirus ( dikutip dari Sudoyo, 2005). Pada gambar diatas tampak bahwa gen c-myc dapat diaktivasi apabila
terjadi reduplikasi DNA secara abnormal atau ampifikasi (kiri atas ) atau apabila
terjadi translokasi c-myc ke lokasi di kromosom lain yang berdekatan dengan gen
yang mempunyai kemampuan meningkatkan fungsi, misalnya translokasi c-myc
dari kromoson 8 ke kromosom 14 dekat lokasi gen Ig yang berfungsi
meningkatkan aktivitas c-myc ( kanan atas ) (Sudoyo, 2005 ).
Peningkatan aktivitas c-myc juga dapat akibat penyisipan DNA virus,
misalnya dalam contoh DNA-ALV ( kiri bawah ), atau akibat transduksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
retrovirus ( kanan bawah ). Penyisipan dan transduksi menyebabkan perubahan
fungsi proto-onkogen yang letaknya berdekatan sehingga menjadi onkogenik.
Transduksi retrovirus dapat mengubah proto-onkogen c-myc menjadi
onkogen melalui sedikitnya 3 cara, yaitu 1) apabila ekspresi gen yang
bersangkutan dikendalikan oleh genom virus, 2) melalui fusi sebagian atau
seluruh gen dengan genom virus dan menghasilkan gen hibrid dan produk protein
hibrid, 3) menyebabkan kerusakan DNA setempat, misalnya point mutation atau
deletion pada domain sandi gen yang bersangkutan ( coding domain ).
Fenomena pertama dan kedua merupakan konsekuensi rekombinasi awal
yang menanamkan proto-onkogen ke dalam genom virus. Fenomena yang ketiga
terjadi akibat perubahan yang disebabkan proses transduksi itu sendiri dan
mutagenesis yang terjadi selama perkembangan virus yang seringkali mengalami
kesalahan sehingga berakibat mutagenesis pada berbagai bagian gen virus
termasuk pada proto-onkogen yang ditransduksinya (Sudoyo, 2005 ).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
2.8. Kerangka Teori
Gambar 2.6. Kerangka Teori
Keterangan gambar :
: memacu
: menghambat
: post kemoterapi neoadjuvant
: hubungan ekspresi NFκB dan c-myc
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Keterangan Kerangka Teori :
Populasi pada sampel ini adalah pasien baru KNF jenis Undifferentiated.
Sampelnya adalah pasien baru KNF jenis Undifferentiated stadium II,III atau IV
yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
Pada KNF jenis Undifferentiated terjadi adanya peningkatan ekspresi
NF-kB dan c-myc akan menyebabkan proliferasi sel tidak terkontrol, menurunnya
differensiasi sel dan menghambat terjadinya apoptosis akibat dihambatnya p53.
Kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya proses keganasan di nasofaring.
Keganasan pada nasofaring yang disebabkan oleh EBV paling banyak ditemukan
pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
Pemberian kemoterapi neoadjuvan dengan Cisplatin, 5 FU dan radioterapi
Cobalt 60 pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated, diharapkan dapat
menurunkan ekspresi NF-kB dan ekspresi c-myc.
Pemberian kemoterapi akan menghambat NF-kB melalui penghambatan
Rel A ( jalur klasik). Penghambatan terhadap Rel A akan menyebabkan
penurunan ekspresi NF-kB dan c myc. Penurunan ekspresi NF-kB dan c-myc
akan menyebabkan proses proliferasi yang terhambat, diferensiasi sel yang
meningkat dan meningkatnya apoptosis. Apoptosis juga disebabkan melalui
aktivasi p 53 dengan pemberian Cisplatin, 5-FU. Sehingga kemoterapi akan
menghambat karsinoma nasofaring melalui proses apoptosis.
Radioterapi Cobalt 60 merupakan energi tinggi yang dapat menembus
jaringan dan menyebabkan terjadinya nekrosis sel. Nekrosis yang terjadi dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
menghambat pertumbuhan sel kanker pada nasofaring. Setelah terjadi nekrosis,
sel akan mengalami inflamasi yang merupakan salah satu tahap penyembuhan.
Faktor faktor luar yang bisa menjadi perancu dalam penelitian ini
adalah faktor radikal bebas dan faktor inflamasi akibat radioterapi. Hal tersebut
bisa mempengaruhi ekspresi NFκB dan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated.
2.9. Kerangka konsep
Gambar 2.7. Kerangka Konsep
Keterangan Kerangka konsep :
Pasien KNF Undifferentiated stadium II, III atau IV dilakukan pemeriksaan
ekspresi NFκB dan c-myc. Setelah itu dilakukan pemberian kemoterapi
neoadjuvant dengan Cisplatin dan 5 FU sebanyak 3 kali dilanjutkan pemberian
radioterapi sebanyak 33 kali. Dua bulan setelah kemoterapi neoadjuvant pasien
diperiksa kembali ekspresi NFκB dan c-myc.
KNF
Undifferentiated
Ekspresi
NFκB dan c-myc
Kemoterapi
Neoadjuvant Ekspresi
NFκB dan c-myc
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Hasil ekspresi NFκB dan c-myc dianalisa dengan Uji statistk Wilcoxon
signed Ranks test & Spearman’s untuk mengetahui perbedaan ekspresi sebelum
dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant .
2.10. Hipotesis Penelitian
1. Ada penurunan tingkat ekspresi NFκB sesudah pemberian kemoterapi
neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
2. Ada penurunan tingkat ekspresi c-myc sesudah pemberian kemoterapi
neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
3. Ada hubungan antara tingkat ekspresi NFκB dan c-myc pada karsinoma
nasofaring jenis Undifferentiated.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah one group before and after intervention
atau one group pre and post test design menggunakan satu kelompok yang
merupakan penelitian eksperimental semu atau kuasi (Arief, 2004).
Eksperimen dalam penelitian ini untuk mengetahui adanya perubahan tingkat
ekspresi NFκB dan c-myc akibat pemberian kemoterapi neoadjuvant pada
karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Selain itu juga untuk mengetahui
hubungan antara tingkat ekspresi NFκB dan c-myc pada karsinoma nasofaring
jenis Undifferentiated.
X Sampel O1 O2
Keterangan :
Sampel : Pasien karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated stadium II,
III atau IV.
O1 : Tingkat ekspresi NFκB dan c myc sebelum pemberian paparan.
O2 : Tingkat ekspresi NFκB dan c myc sesudah pemberian paparan.
X : Pemberian pengobatan kemoterapi neoadjuvant .
Gambar 3.1. Rancangan Penelitian one group before and after intervention atau one group pre and post test design menggunakan satu kelompok (Arief, 2004)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Poliklinik THT RSUD Dr Moewardi Surakarta
2. Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Dr Moewardi Surakarta.
3. Laboratorium Patologi Anatomi FK-UNS.
4. Bangsal Anggrek 2 RSUD Dr Moewardi Surakarta.
5. Ruang Radioterapi RSUD Dr Moewardi Surakarta.
Penelitian dilakukan mulai bulan September 2009 sampai bulan Maret 2011.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian adalah semua pasien yang datang berobat ke
Poliklinik THT RSUD Dr Moewardi dengan hasil pemeriksaan histopatologi pada
biopsi nasofaring menunjukkan karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
3.3.1. Sampel
Sampel penelitian adalah penderita KNF yang memenuhi kriteria
penelitian.
Kriteria inklusi (penerimaan) :
1. Pasien baru dengan hasil histopatologi biopsi jaringan nasofaring adalah
KNF Jenis Undifferentiated dengan stadium II, III atau IV.
2. Bersedia mendapat kemoterapi neoadjuvan.
3. Memenuhi persyaratan untuk diberikan program kemoterapi neoadjuvant.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
4. Status kebugaran memenuhi kriteria ECOC ≤ 2 atau dengan Karnofsky ≥
70.
5. Menjalani kemoterapi neoadjuvant secara lengkap.
Kriteria Eksklusi (penolakan) :
1. Pernah mendapat pengobatan radioterapi dan atau kemoterapi
sebelumnya.
3.3.2. Besar Sampel
Besar sampel adalah 10 pasien yang menderita karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated stadium II, III atau IV yang memenuhi kriteria inklusi.
Pertimbangan jumlah sampel diatas adalah tingginya angka drop out pengobatan
karsinoma nasofaring dan adanya keterbatasan biaya, karena penelitian ini
dilakukan dengan biaya mandiri.
3.3.2. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik purposive sampling selama
bulan September 2009 sampai Maret 2011.
3.4. Variabel Penelitian
Variabel yang diteliti :
Variabel bebas ( independen variable ) : Kemoterapi neoadjuvant.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Variabel tergantung ( dependent variable ) : Ekspresi NFκB
Ekspresi c-myc
3.5. Definisi Operasionil
1. Karsinoma Nasofaring (KNF)
Definisi : Tumor ganas epitel skuamosa yang primernya terletak di nasofaring
Alat ukur : Biopsi tumor primer
Cara ukur : Melihat hasil pemeriksaan patologi anatomi
Hasil ukur : Karsinoma jenis Undifferentiated.
2. Kemoterapi neoadjuvant .
Definisi : pemberian kemoterapi dengan menggunakan regimen Cisplatin,
5-FU satu seri (3 kali ) dilanjutkan radioterapi dengan Cobalt 60.
Alat ukur : dosis kemoterapi Cisplatin 50 mg/BSI dan 5-FU dengan dosis
500 mg/BSI dan radiasi Cobalt 60 dengan dosis 66 Gy yang dibe
rikan dengan dosis Fraksi selama 33 kali.
3. Ekspresi NFκB
Definisi : Ekspresi protein NFκB pada KNF jenis Undifferentiated.
Alat ukur : Imunohistokimia
Cara ukur : Imunoreaktifitas anti Human NFκB Santa Cruz.
Hasil ukur : Nilai positif : warna coklat keemasan. Hasil yang diperoleh
dinyatakan dalam skor histologi. Variabel skala ordinal.
4. Ekspresi c-myc
Definisi : Ekspresi c-myc pada KNF jenis Undifferentiated.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Alat ukur : Imunohistokimia
Cara ukur : Imunoreaktifitas antibodi c-myc Santa Cruz.
Hasil ukur : Nilai positif : warna coklat keemasan. Hasil yang diperoleh
dinyatakan dalam skor histologi. Variabel skala ordinal.
3.6. Alat Penelitian
Alat penelitian yang dipakai pada penelitian ini yaitu :
1. Alat pemeriksaan THT : lampu kepala, spekulum hidung, spatula lidah, pinset
bayonet, kapas, lidokain efedrin 2 %.
2. Alat dan bahan melakukan biopsi nasofaring : tang biopsi ( blakesley forceps ),
spekulum hidung, pinset bayonet, kapas, kasa, alat nasoendoskopi, xylocain
spray 10%, PBS formalin, botol untuk menyimpan jaringan biopsi.
3. Bahan untuk pewarnaan jaringan nasofaring dengan tehnik imunohistokimia
antara lain anti Human NFκB Santa Cruz dan antibodi c-myc Santa Cruz.
4. Alat untuk pengecatan imunohistokimia : Mikrotom, Poly L-Lysine glass slide
(SIGMA), termometer, mounting media (Canada Balsem), microwave oven,
inkubator, pipet mikro,deck glass, stop watch, humidified chamber, ruangan
dalam kondisi kelembaban tinggi.
5. Mikroskop OLYMPUS seri BX 41.
3.7. Cara Kerja
Cara kerja pada penelitian ini adalah penderita dengan kecurigaan KNF
dilakukan biopsi nasofaring dengan bantuan nasoendoskopi. Jaringan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam botol yang berisi PBS formalin. Botol
yang berisi jaringan dikirim ke Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Dr
Moewardi Surakarta untuk dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan
pewarnaan hematosillin eosin oleh dokter spesialis Patologi Anatomi.
Preparat dengan hasil bacaan histopatologi didapatkan KNF jenis
Undifferentiated kemudian dilakukan stagging. KNF dengan stagging II, III dan
IV diambil sebagai sampel penelitian. Pada paraffin blok preparat tersebut
dilakukan pemotongan setebal 4 mikron dan dibuat sebanyak 2 slide. Satu slide
untuk untuk pemeriksaan tingkat ekspresi NFκB dan slide satunya untuk
pemeriksaan tingkat ekspresi c-myc.
Antibodi yang digunakan dalam deteksi tingkat NFκB adalah anti Human
NFκB Santa Cruz dengan pengenceran 1:50. Dengan sistem yang digunakan
dalam imunohistokimia adalah ultravision plus detection system antipolyvalent-
HRP (Santa Cruz). Untuk tingkat ekspresi c-myc antibodi yang digunakan adalah,
c-myc Santa Cruz dengan pengenceran 1:100. Sistem deteksi enzimatis ABC (
Avidin Biotin Complex ) menggunakan enzim peroksidase dan DAB ( Diamino
Benzidin ) sebagai substan enzim. Nilai positif ditunjukkan dengan warna coklat
keemasan hingga tua.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Penilaian makna tingkat ekspresi dan tingkat ekspresi NFκB dan c-myc
yang dinyatakan sebagai Skor Histologi ( SH ) dilaksakan berdasarkan rumus
sebagai berikut :
(Tan, et al 2001)
Keterangan : P = Prosentase I = Intensitas K = Intensitas positif kuat L = Intensitas positif lemah S = Intensitas positif sedang N = Intensitas Negatif Tabel 3.1. Nilai P ( prosentasi jumlah sel ) Kisaran Grade
0 – 25 % 1
26 – 50 % 2
51 – 75 % 3
76 – 100 % 4
Tabel 3.2. Penilaian intensitas warna
Intensitas Grade warna inti
Kuat 3 coklat tua
Sedang 2 coklat
Lemah 1 coklat muda
Negatif 0 kuning kecoklatan
(Budiani et al, 2006)
Skor histologi ekspresi NFκB dan ekspresi c-myc adalah kalkulasi grade
intensitas dan prosentase. Penilaian intensitas dan prosentase dilaksanakan dengan
SH = (IK x PK) + (IS x PS) + (IL x PL) + (IN x PN)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
secara manual. Nilai skor histologis yang diperoleh berasal dari sembilan lapang
pandang untuk masing-masing slide dan diambil nilai reratanya.
Pasien selanjutnya menjalani kemoterapi neoadjuvan dengan Cisplatin, 5
FU dan dilanjutkan dengan radiasi Cobalt 60 sebanyak 33 kali. Dua bulan
setelah kemoradioterapi lengkap, pasien dilakukan biopsi nasofaring kembali dan
dilakukan pemeriksaan tingkat ekspresi NFκB dan c-myc.
3.8. Teknik Analisa Data
Data yang diperoleh dibandingkan untuk melihat perbedaan jumlah
ekspresi NFκB dan c-myc sebelum dan sesudah pemberian kemoterapi
neoadjuvant pada sediaan KNF jenis Undifferentiated. Data yang diperoleh
selanjutnya di analisa dengan menggunakan Uji statistk Wilcoxon signed Ranks
test & Spearman’s untuk mengetahui perbedaan ekspresi sebelum dan sesudah
pengobatan kemoterapi neoadjuvant dengan menggunakan program SPSS 15
under windows.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2009 sampai dengan Maret
2011. Tempat penelitian adalah Laboratorium Patologi Anatomi FK UNS
Surakarta, Poliklinik THT, Laboratorium Patologi, Ruang Radioterapi dan
Bangsal Rawat Inap Anggrek 2 di RSUD Dr Moewardi Surakarta. Didapatkan
data sekunder dari 10 pasien KNF jenis Undifferentiated yang dipilih dengan cara
yang telah ditentukan dan memenuhi kriteria inklusi. Hasil penelitian yang
diperoleh seperti di bawah ini.
4.1. Data Dasar Sampel Penelitian
Data dasar dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin dan umur. Data
dasar mengenai staging T, staging N, kadar Hemoglobin, Lekosit, Trombosit
diperiksa sebelum dan sesudah pengobatan.
Selanjutnya sesuai dengan tujuan penelitian, dilakukan pemeriksaan untuk
mengetahui ekspresi NFκB dan ekspresi c-myc sebelum dan sesudah pengobatan
kemoterapi neoadjuvant pada jaringan biopsi karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Gambar 4.1. Diagram Batang distribusi subyek penelitian menurut umur Berdasarkan gambar 4.1 didapatkan nilai rerata umur adalah 52,6 dengan
standar deviasi 13, 327 th (32 – 74 tahun) dengan kelompok umur terbanyak 50 -
70 tahun yaitu sebanyak ( 70 % ).
Gambar 4.2. Diagram Batang distribusi subyek penelitian menurut jenis kelamin
Dari gambar 4.2 di dapatkan penderita terbanyak pada penelitian ini
adalah penderita laki-laki, sebanyak 9 orang (90 %).
0
1
2
3
4
30-40 40-50 50-60 60-70
umur
30-40
40-50
50-60
60-70
2 1
4
3
0
2
4
6
8
10
laki laki perempuan
jenis kelamin
laki laki
perempuan
9
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Gambar4.3. Diagram Batang distribusi sampel berdasarkan Staging
Tumor Primer (T) sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant.
Dari gambar 4.3 didapatkan bahwa berdasarkan staging tumor primer
sebelum pengobatan terbanyak adalah T4 sebanyak 40 %, sedangkan T3, T2 dan
T1 sebanyak 30 %, 20%, 10% dan T0 sebanyak 0 %. Setelah pengobatan terjadi
perubahan untuk staging tumor primer dimana untuk T4 menjadi 30 % dan T3,
T2 dan T1 sebanyak 20 % , 10%, 10% dan T0 sebanyak 30 %.
Gambar 4.4. Diagram Batang distribusi sampel berdasarkan staging Nodul
(N) sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant .
Dari gambar 4.4 didapatkan bahwa berdasarkan ukuran kelenjar getah
bening leher sebelum pengobatan terbanyak adalah N2 sebanyak 40 %,
sedangkan N3, N1 dan N0 sebanyak 20 %, 30% dan 10%. Setelah pengobatan
0
1
2
3
4
5
6
7
N3 N2 N1 N0
PRE TERAPI
POST TERAPI
0
1
2
3
4
T4 T3 T2 T1 T0
PRE TERAPI
POST TERAPI
2
4
2 0
3
1 1
7
4
3 3
2 2
1 1 1
3
0
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
terjaadi perubahan untuk ukuran kelenjar getah bening leher dimana untuk N3
menjadi 0 %, N2, N1 dan N0 sebanyak 20%, 10 % dan 70 %.
Gambar 4.5. Diagram Batang hasil pemeriksaan kadar Hemoglobin, Lekosit dan Trombosit sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant. Dari gambar 4.5 didapatkan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin, lekosit
dan trombosit pada sampel dibedakan menjadi kadar pre kemoterapi , post
kemoterapi I, post kemoterapi II dan post kemoterapi III. Hasil Hemoglobin yang
didapatkan adalah nilai rerata pre kemoterapi 12,23, post kemoterapi I adalah
11,1; post kemoterapi II adalah 11,7 dan post kemoterapi III adalah 11,04.
Nilai rerata kadar Lekosit pre kemoterapi 7,85; post kemoterapi I adalah
5,65 ; post kemoterapi II adalah 5,16 dan post kemoterapi III adalah 6,43.
Hasil nilai rerata Trombosit pre kemoterapi 304,4 ; post kemoterapi I
adalah 255,5; post kemoterapi II adalah 201,6 dan post kemoterapi III adalah
174,5.
0
50
100
150
200
250
300
350
PRE KEMO POST KEMO 1 POST KEMO 2 POST KEMO 3
HEMOGLOBIN
LEKOSIT
TROMBOSIT
12 7,8
11 5,6
11 5,1
11 6,4
304 255
201 174
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
4.2. Hasil Analisis Pemeriksaan Ekspresi NFκB dan c-myc Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Neoadjuvant.
Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap seluruh sampel dengan
menggunakan mikroskop Olympus seri BX 41, didapatkan 10 data skor histologi
NFκB dan 10 data skor histologi c-myc sebelum kemoterapi neoadjuvant. Dan 10
data skor histologi NFκB dan 10 data skor histologi c-myc sesudah kemoterapi
neoadjuvant.
4.2.1. Hasil Analisis Pemeriksaan NFκB Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Neoadjuvant.
Dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik
pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata Ekspresi NFκB sebelum
pengobatan adalah 1,11 ± 1,14 dan sesudah pengobatan adalah 4,92 ± 2,79 .
Untuk menilai adanya perbedaan ekspresi NFκB sebelum dan sesudah pengobatan
kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi dilakukan dengan menggunakan Uji
statistk Wilcoxon signed Ranks test.
Tabel 4.1 Hasil analisis ekspresi NFκB sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada KNF jenis Undifferentiated (α=0,05).
Variabel
Sebelum terapi
Sesudah terapi
Dot
Z
Wilcoxon
P
n Mean SD n Mean SD
NFkB 10 1,11 1,14 10 4,92 2,79 -.2,803 0,005
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Didapatkan perbedaan bermakna pada tingkat ekspresi NFκB sebelum dan
sesudah kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi (p =0,005).
Gambar 4.6. Boxplot hasil ekspresi NFκB sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada jaringan KNF Undifferentiated (p = 0,005).
Berdasarkan gambar 4.6. terlihat bahwa rerata tingkat ekspresi NFκB
akan meningkat pada kelompok sampel sesudah kemoterapi neoadjuvant.
4.2.2. Hasil Analisis Pemeriksaan c-myc Sebelum dan Sesudah Kemoterapi Neoadjuvant .
Dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik
pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata ekspresi c-myc sebelum
pengobatan adalah 1,15 ± 0,78 dan sesudah pengobatan adalah 3,04 ± 1,91 .
Untuk menilai adanya perbedaan ekspresi c-myc sebelum dan sesudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
pengobatan kemoterapi neoadjuvant dilakukan dengan menggunakan Uji statistk
Wilcoxon signed Ranks test.
Tabel 4.2. Hasil analisis ekspresi c-myc sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada KNF jenis Undifferentiated (α=0,05).
Variabel
Sebelum terapi
Sesudah terapi
Dot
Z
Wilcoxon
P
n Mean SD n Mean SD
c-myc 10 1,15 0,78 10 3,04 1,91 -.2,24 0,025
Didapatkan perbedaan bermakna pada tingkat ekspresi c-myc sebelum dan
sesudah kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi (p = 0,025).
Gambar 4.7. Boxplot hasil ekspresi c-myc sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada jaringan KNF Undifferentiated (p = 0,025).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Berdasarkan gambar 4.7. terlihat bahwa rerata tingkat ekspresi c-myc akan
meningkat pada kelompok sampel sesudah kemoterapi neoadjuvant.
4.3. Hasil Analisis Hubungan Antara Ekspresi NFκB dengan c-myc Pada Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated. Analisa hubungan antara ekspresi NFκB dengan ekspresi c-myc
menggunakan analisa Spearman’s . Variabel ekspresi NFκB sebagai variabel
bebas yang ingin diketahui sejauh mana berpengaruh terhadap ekspresi c-myc
tanpa melihat adanya faktor lain.
Tabel 4.3. Hasil Analisa model persamaan linier hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc pada KNF jenis Undifferentiated.
Koef.
Konfiden interval Koefisien Unstadarisasi Standar
B std kesalahan B T sig Batas Bawah
Batas Atas
Konstanta 0,897 0,438 2.049 ,021 ,160 1,506 NFκB 0,398 0,107 0.660 3,725 ,036 -,054 ,805
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa model persamaan linier hubungan antara
ekspresi NFκB dengan c-myc memenuhi rumus persamaan :
Y = 0,897 + 0,398 X ; dimana Y = ekspresi c-myc dan X = Ekspresi NFκB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Gambar 4.8. Hubungan antara ekspresi NFκB dengan c-myc pada KNF jenis Undifferentiated ( p=0,001).
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa Ekspresi c-myc akan mengalami
peningkatan dengan bertambahnya ekspresi NFkB. Peningkatan ekspresi c-myc
ini signifikan (p=0,001) dan hubungan ini mampu dijelaskan sebesar 43,5 %,
selebihnya sebesar 56,5 % peningkatan ekspresi c-myc akibat faktor lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan ekspresi
NFκB dan c-myc akibat pemberian kemoterapi neoadjuvant dan hubungan
antara ekspresi NFκB dan c-myc pada sediaan biopsi karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated. Dilakukan penelitian pada 10 sampel jaringan biopsi nasofaring.
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan metode pengambilan sampel
secara purposive sampling.
5.1. Data Dasar Penelitian
Pada Penelitian ini didapatkan 10 penderita KNF jenis Undifferentiated
dengan umur termuda 30 - 40 tahun sedangkan umur tertua adalah 60-70 tahun.
Dari gambar 4.1 didapatkan jumlah penderita pada umur diatas 40 tahun sebesar
80%.
Berdasarkan penelitian para ahli, diantaranya Bosman (1996)
disimpulkan bahwa suatu karsinogenesis merupakan proses yang berlangsung
sangat lama, karena dibutuhkan sejumlah banyak pembelahan sel untuk menjadi
suatu tumor. Tergantung dari frekuensi pembelahannya hal ini dapat berlangsung
5 – 10 tahun. Juga proses transformasi sel sendiri dapat berlangsung lama, karena
di dalam sel kanker harus berakumulasi banyak mutasi. Hal ini berarti tumor-
tumor tersebut telah ada jauh sebelum kita dapat mendiagnosisnya, sehingga
umumnya puncak timbulnya KNF pada usia 30 – 50 tahun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Dari gambar 4.3 dan 4.4 didapatkan bahwa sebagian besar penderita
KNF yang datang berobat ke RSUD Dr. Moewardi Surakarta sudah stadium lanjut
( III dan IV ) yaitu sebesar 8 orang (80 %). Hal ini sesuai dengan laporan
Mulyarjo (2003) pada penelitian di Poli Onkologi THT RSU Dr. Soetomo
Surabaya tahun 2000 – 2001 didapatkan sebagian besar penderita KNF datang
sudah stadium lanjut.
Kondisi inilah merupakan kendala yang dihadapi dalam penanganan
KNF, bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Semakin
lanjut stadium KNF saat penderita datang berobat maka semakin komplek
penanganannya.
KNF merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa atau
jaringan limfoepitelial pada nasofaring. Karena lokasinya yang tersembunyi, KNF
relatif sulit didiagnosis secara dini. Selain itu, karena gejala dini KNF mirip
dengan peradangan di saluran nafas atas pada umumnya.
Peralatan yang kurang memadai juga dapat menjadi kendala dalam
mendiagnosis penyakit ini. Faktor penyebab keterlambatan lainnya yaitu
pengetahuan yang kurang, percaya pada pengobatan non medis, takut berobat ke
dokter dan kondisi sosial ekonomi yang lemah dari penderita.
Hal di atas bisa menyebabkan penderita kurang memperhatikan adanya
kelainan tentang penyakit kanker ataupun gejala dini KNF dan baru datang untuk
memeriksakan diri setelah adanya benjolan di leher. Beberapa hal di atas dapat
menyebabkan penderita KNF baru berobat setelah stadium lanjut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Lin pada tahun 2003 menyatakan bahwa prognosis penderita KNF pada
umumnya tidak baik. 5 year survival rate untuk stadium I dilaporkan sebesar 83,7
%, stadium II 67,9 %, stadium III 40,3 % dan stadium IV sebesar 22,3 %.
Pada penelitian ini 90% pasien KNF adalah laki laki (gambar 4.2 ). Hasil
ini agak berbeda dengan penelitian Mulyarjo ( 2002 ) selama tahun 2000-2001
dimana angka perbandingan antara laki laki dan perempuan adalah 2:1. Pada
penelitian Lasniroha (2008 ), angka perbandingannnya adalah 2,4 : 1. Sari pada
penelitiannya terhadap penderita KNF di RSUD Dr Moewardi Surakarta tahun
2009 didapatkan perbandingan antara laki laki dan perempuan adalah 2,26 : 1.
Prosentase laki laki dan perempuan pada penelitian ini tidak dapat
menggambarkan insidensi KNF di RS Dr Moewardi Surakarta karena terbatasnya
jumlah sampel.
Prosentase yang lebih tinggi pada laki laki disebabkan karena laki laki
lebih sering keluar rumah, seingga lebih sering terkena polusi atau iritasi kronis
pada mukosa nasofaring. Selain itu adanya kebiasaan merokok pada laki laki yang
lebih banyak dibanding perempuan.
Dari gambar 4.3 didapatkan perubahan staging T pada penderita KNF
jenis Undifferentiated sesudah mendapatkan kemoterapi neoadjuvant diikuti
radioterapi. Sesudah mendapatkan terapi tersebut jumlah pasien dengan T4, T3,
T2 mengalami penurunan. T1 jumlahnya tetap dan T0 mengalami peningkatan
dari 0% menjadi 30%. Hal ini menunjukkan adanya pengecilan dari tumor primer
dengan pemberian terapi tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Pada gambar 4.4 juga terlihat adanya perubahan staging N sesudah pasien
mendapatkan terapi tersebut. Sesudah pemberian terapi jumlah pasien dengan N3
dari 20% menjadi 0%, dan N0 dari 10% menjadi 70%. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan pemberian terapi tersebut terdapat pengecilan dari lokoregional
tumor.
Adanya perubahan staging T dan N pada penelitian ini membuktikan
bahwa pada KNF jenis Undifferentiated dengan pemberian radioterapi dan
kemoterapi kombinasi cisplatin dengan 5 FU mampu menghambat pertumbuhan
sel sel tumor.
Hal ini sesuai dengan Wei (2006) bahwa pemberian kemoterapi dan
radioterapi adalah pengobatan yang sesuai untuk karsinoma nasofaring stadium
II – IV. Sedangkan menurut Brockstein and Vokes (2006) bahwa pada kasus
dengan metastasis, karsinoma berdiferensiasi buruk (Undiferentiated), atau
limfoepitelioma pada nasofaring sangat sensitif terhadap kemoterapi.
Dari gambar 4.5 didapatkan kadar Hemoglobin, Lekosit dan Trombosit
yang diperiksa sebelum dan sesudah pemberian kemoterapi juga terlihat
mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan Brockstein and Vokes (2006 ) yang
menyatakan bahwa kemoterapi mempunyai efek samping depresi sum sum
tulang.
5.2. Hasil Analisis Pemeriksaan Ekspresi NFκB dan c-myc Sebelum dan Sesudah kemoterapi neoadjuvant.
Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan terhadap tingkat ekspresi dari
NFκB dan c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Hal ini sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
dengan yang dikemukakan oleh Nathalie et al dalam penelitiannya c-myc and
Rel/NFκB Are Two Master Transcriptional Systems Activated in Latency III
Program of Epstein Barr Virus Immortalized B Cells pada tahun 2009, bahwa
NFκB dan c-myc itu merupakan dua faktor transkripsi induk yang mempunyai
peran penting dalam immortalisasi EBV.
NFκB adalah kompleks protein yang mengendalikan transkripsi gen dari
DNA. merupakan salah satu faktor transkripsi yang penting dalam regulasi
ekspresi gen yang terkait dengan fungsi fungsi biologis. Mempunyai peran dalam
aktivasi daur sel untuk pemacuan proliferasi sel maupun penghambatan apoptosis.
Selain itu juga berperan dalam penghambatan siklus sel. Tetapi inti dari aktivasi
jalur NFκB ini adalah untuk survival cell. Aktivitas ini juga terkait dengan sistem
pertahanan sel agar tetap dapat bertahan hidup sebagai respon dari stres yang
dalam hal ini utamanya adalah kerusakan DNA.
Sel dengan aktivitas proliferasi yang tinggi, misalnya sel fibroblas dan sel
kanker akan selalu memasuki siklus sel. Paparan suatu senyawa yang merusak
DNA akan dapat menginduksi sel untuk mengaktivasi NFκB untuk penghentian
siklus sel. Ini merupakan salah satu respon emergensi dari sel untuk
mempertahankan hidupnya, karena jika sel masih terus melanjutkan siklus selnya
kemungkinan sel akan mati.
NFκB secara luas juga digunakan oleh sel eukariotik sebagai pengatur gen
yang mengontrol proliferasi sel dan survival sel. Dengan demikian berbagai jenis
tumor manusia memiliki misregulated NFκB, yaitu NFκB yang selalu aktif. NFκB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
aktif akan mengekspresikan gen yang menyebabkan proliferasi sel dan menjaga
dari apoptosis.
Dalam sel tumor, NFκB aktif baik karena mutasi pada gen encoding faktor
transkripsi NFκB atau pada gen yang mengontrol aktivitas NFκB ( gen IkB ).
Disamping itu beberapa sel tumor mensekresi faktor faktor yang menyebabkan
NFκB menjadi aktif.
Dengan memblokir NFκB dapat menyebabkan sel tumor berhenti
berproliferasi, mati atau lebih sensitif terhadap aktivitas gen anti tumor. Sehingga
penelitian mengenai NFκB adalah penting sebagai target untuk terapi anti kanker.
Hal ini sesuai dengan A. Gag and B B Aggarwal dalam Nuclear Transcription
Factor-κB as a Target for Cancer Drug Development.
Dalam penelitiannya, Nathalie et al ( 2009 ) juga mengemukakan bahwa
target transkripsi dari EBV yang lain adalah c-myc. Melalui proses dimerisasi
dengan Maz, c-myc merupakan faktor transkripsional induk yang meregulasi
mekanisme siklus sel. EBNA2 bekerja sebagai suatu regulator positif dari ekspresi
c-myc dalam konteks promoter P1-P2 asli setelah infeksi pada sel B yang
istirahat.
Aktivasi NF-κB oleh LMP1 juga dapat meningkatkan ekspresi c-myc .
Dengan demikian, gen c-myc tampaknya merupakan target seluler alamiah yang
bertanggung jawab terhadap proliferasi sel B yang dikendalikan EBV.
Overekspresi dari c-myc diketahui dapat menginduksi aktivasi dari kinase serin-
threonin ATM ( ataxia-teleangiectasia mutated ) dan ATR ( ATM-Rad3-related )
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
yang menyebabkan fosforilasi dan aktivasi dari protein proapoptotik p53 dan
apoptosis sel, seperti yang dikemukakan Zon Bing You pada tahun 2002 .
Pada penelitian ini didapatkan nilai rerata skor histologi NFκB. Sebelum
kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi adalah 1,11 ± 1,14 dan sesudah
pengobatan adalah 4,92 ± 2,79. Ini sesuai dengan Thompson ( 2004 ) dan Nathalie
et al ( 2009 ) yang menyatakan bahwa adanya ekspresi NFκB yang positif ini
disebabkan oleh EBV pada karsinoma nasofaring yang akan menyebabkan
terjadinya ekspresi dari LMP1. Selanjutnya LMP 1 melalui mekanisme TNF
( Tumor Necrosis Factor ) bertanggung jawab atas terjadinya aktivasi dari NF-κB
secara kontinyu. Hal ini menggambarkan bahwa pada KNF Undifferentiated
sangat berasosiasi kuat dengan infeksi EBV.
Murdani pada tahun 2009 melakukan penelitian mengenai peran NFκB
dan COX-2 pada karsinoma kolorektal. Di dapatkan adanya ekspresi positif NFκB
sebesar 73,5% dan ekspresi COX-2 sebesar 49,0%. Dimana hasil tersebut secara
bermakna lebih tinggi pada jaringan kanker dibanding jaringan bebas kanker. Hal
ini menunjukkan bahwa pada malignansi akan terdapat peningkatan ekspresi dari
NF-κB.
Sedangkan nilai rerata skor histologis untuk c-myc pada penelitian ini
sebelum kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi adalah 1,15 ± 0,78 dan
sesudah pengobatan adalah 3,04 ± 1,91. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan ekspresi c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
Sehingga dalam penelitian ini didapatkan adanya peningkatan ekspresi NF-κB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
dan peningkatan ekspresi c-myc. Nathalie et al pada tahun 2009 menyatakan
bahwa aktivasi NF-κB oleh LMP1 juga dapat meningkatkan ekspresi c-Myc.
Mabel P Duyao dalam penelitiannya yang berjudul Interaction of an
NFκB- like factor with a site upstream of the c-myc promoter pada tahun 1990
juga menyatakan bahwa adanya faktor faktor yang menyerupai NF-κB dalam
regulasi dari transkripsi c-myc. Dimana NFκB ini akan dapat meningkatkan
kecepatan transkripsi c-myc.
Adanya peningkatan ekspresi c-myc dalam proses malignansi, juga
dikemukakan pada penelitian Prayitno, et al dalam The expression of p53, Rb
and c-myc protein in cervical cancer by immunohistochemistry stain pada tahun
2005 dengan hasil ekspresi c-myc yang tinggi. Adanya ekspresi c-myc yang tinggi
menunjukkan bahwa siklus sel sedang berlangsung, karena fungsi c-myc adalah
sebagai protein pemicu terjadinya transkripsi sel.
Sesuai dengan penelitian Rahayu pada tahun 2008 di RS Dr Soetomo
Surabaya mengenai ekspresi c-myc dan Bcl2 pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated dan hubungannya dengan T-stage dan N-stage. Meskipun tidak
didapatkan adanya hubungan antara ekspresi c-myc dan Bcl2 dengan T-stage dan
N-stage, tetapi didapatkan adanya ekspresi c-myc 38,5% dengan tingkat ekspresi
+1 dan +3. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini, adanya peningkatan ekspresi
c-myc pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
Penatalaksanaan KNF pada penelitian ini dengan kemoradioterapi.
Karena menurut Wei ( 2006 ), bahwa pemberian kemoterapi dan radioterapi
adalah pengobatan yang sesuai untuk karsinoma nasofaring stadium II – IV. Dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
menurut Brockstein and Vokes (2006) bahwa pada kasus dengan metastasis,
karsinoma berdiferensiasi buruk (Undiferentiated), atau limfoepitelioma pada
nasofaring sangat sensitif terhadap kemoterapi.
Sedangkan pemberian kemoterapi secara neoadjuvant dipilih karena untuk
mengurangi besarnya tumor sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi
neoadjuvant juga didasari atas pertimbangan vascular bed tumor masih intak
sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping itu,
kemoterapi yang diberikan sejak dini diharapkan dapat memberantas
mikrometastasis sistemik seawal mungkin.
Menurut Sukardja ( 2000 ), kemoterapi neoadjuvant pada keganasan
kepala leher stadium II – IV dilaporkan mempunyai overall response rate sebesar
80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvant
yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radiasi dapat mempertahankan
fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation).
Kemoterapi yang digunakan adalah kombinasi Cisplatin dan 5 FU.
Karena dengan pemberian kombinasi ini dapat lebih meningkatkan potensi
sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu
obat mungkin sensitif terhadap obat lainnya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Kentjono (2002), bahwa pemberian
kemoterapi neoadjuvant yang diikuti dengan radioterapi secara sinergi,
diharapkan Cisplatin mampu menghalangi perbaikan kerusakan DNA akibat
induksi radioterapi. Selain itu kemoradioterapi dapat bekerja sinergistik yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan
menghambat recovery DNA pada sel kanker yang sublethal.
Sukardja (2000) juga menyatakan bahwa obat-obat sitostatika yang
direkomendasi FDA ( Amerika ) untuk digunakan sebagai terapi keganasan
didaerah kanker kepala leher yaitu Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-
fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea, Doxorubicin, Cyclophosphamide,
Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan Gemcitabine untuk keganasan didaerah kepala dan leher.
Menurut Kentjono (2002 ), Pemberian secara kombinasi juga dapat
mengurangi dosis obat sitostatika sehingga efek samping menurun. Sedangkan
kombinasi pemberian Cisplatin dan 5 FU mempunyai response rate 15%-47%
(Sukardja, 2000).
Kirsteen (2006) menyatakan bahwa Cisplatin merupakan obat antikanker
yang tergolong cell cycle nonspecific. obat ini memiliki mekanisme cross-linking
terhadap DNA sehingga mencegah replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2.
Cisplatin juga bekerja dengan menghambat Rel A sehingga akan menghambat
ekspresi NFκB yang merupakan antiapoptosis. Sehingga dengan penurunan
ekspresi NFκB akan menyebabkan apoptosis, dan proliferasi sel juga differensiasi
sel dihambat.
Sedangkan Lica (1999) menyatakan bahwa 5 Fluorourasil (5-FU)
merupakan obat yang tergolong cell cycle specific. Obat ini merupakan anti
metabolit yang bekerja dengan cara menghambat sintesa DNA pada fase S.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Setelah pemberian kemoterapi neoadjuvant, pasien selanjutnya diberikan
radioterapi. Hal ini sesuai dengan Wei ( 2006), yang menyatakan bahwa saat ini
radioterapi masih merupakan terapi pilihan untuk karsinoma nasofaring oleh
karena masih bersifat responsif. Radioterapi merupakan terapi sinar
menggunakan energi tinggi yang dapat menembus jaringan dalam rangka
membunuh sel neoplasma ( Lica, 1999 ).
Tujuan pemberian radioterapi adalah untuk mematikan sel dengan cara
merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor. Memiliki
kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor. Ionisasi yang
ditimbulkan oleh radiasi dapat mematikan sel tumor. Selain itu juga memiliki
kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran tumor sehingga
mengurangi pendesakan di area sekitarnya.
Sehingga dengan pengobatan kemoterapi menggunakan kombinasi
Cisplatin dan 5 FU secara neoadjuvant yang dilanjutkan dengan radioterapi
diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal untuk penderita KNF. Meskipun
hasil pengobatan dapat dipengaruhi oleh multi faktor, yaitu faktor klinis, stadium,
umur dan kondisi dari pasien itu sendiri ( Liu et al, 2003 ).
Dengan pengobatan yang optimal diharapkan pada hasil evaluasi terjadi
respon komplit dan proses malignansi tidak ada lagi. Dan setelah 2 bulan
dilakukan biopsi dan pemeriksaan ekspresi NF-κB dan c-myc akan didapatkan
adanya penurunan ekspresi.
Secara statistik dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang
dilakukan teknik pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata ekspresi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
NFκB sebelum kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi adalah 1,11 ± 1,14
dan sesudah pengobatan adalah 4,92 ± 2,79. Nilai rerata ekspresi NFκB sesudah
terapi menunjukkan adanya peningkatan. Untuk menilai adanya perbedaan
ekspresi NFκB sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant diikuti
radioterapi dilakukan dengan menggunakan Uji statistk Wilcoxon signed Ranks
test dan didapatkan ada perbedaan yang signifikan dengan nilai (p = 0,005)
Secara statistik dari 10 jaringan KNF jenis undifferentiated yang
dilakukan teknik pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata ekspresi
c-myc sebelum kemoterapi neoadjuvant diikuti radioterapi adalah 1,15 ± 0,78
dan sesudah pengobatan adalah 3,04 ± 1,91 . Nilai rerata ekspresi c-myc sesudah
pengobatan menunjukkan adanya peningkatan. Untuk menilai adanya perbedaan
ekspresi c-myc sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant diikuti
radioterapi dilakukan dengan menggunakan Uji statistk Wilcoxon signed Ranks
test dan didapatkan perbedaan yang signifikan dengan nilai (p = 0,025).
Hasil dari penelitian ini didapatkan perubahan tingkat ekspresi NF-κB dan
c-myc sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant pada biopsi
KNF jenis Undifferentiated. Dimana terjadi peningkatan rerata dari tingkat
ekspresi NF-κB maupun c-myc.
Adanya peningkatan ekspresi NF-κB dan c-myc ini dimungkinkan karena
adanya beberapa hal, yaitu respon terapi yang komplit tidak didapatkan. Sehingga
sebenarnya proses malignansi masih berlangsung. Hal ini sesuai dengan penelitian
Sari ( 2010 ), bahwa hasil evaluasi post kemoradioterapi dari 101 pasien KNF di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Rumah Sakit Dr Moewardi Surakarta pada tahun 2009 yang mempunyai respon
komplit hanya 4,95 % .
Respon komplit yang gagal didapatkan, bisa juga disebabkan radioterapi
yang digunakan adalah radioterapi konvensional, bukan radioterapi
hiperfraksinasi. Menurut Dana et al ( 2004 ) KNF yang diterapi dengan
radioterapi konvensional yang mengalami respon komplit hanya 46%, sedangkan
dengan radioterapi hiperfraksinasi 73,3% akan didapatkan respon komplit. Selain
itu bisa juga karena angka kekambuhan post radioterapi yang masih cukup tinggi,
yaitu antara 18% - 45%. ( Cen C, 2002; Chang et al, 2004 ). Adanya faktor
resistensi terhadap obat obat kemoterapi juga bisa berperan.
Selain itu 80 % pasien dalam penelitian ini adalah stadium III dan IV.
Dimana kemungkinan sudah terjadi metastase lebih besar, sehingga angka
keberhasilan terapinya memang rendah. Menurut Lee (2000) apabila sudah
terdapat metastase jauh 85% pasien KNF akan meninggal dalam tahun pertama.
Dan menurut Lin (2003), 5 year survival rate untuk stadium IV adalah sebesar
22,3%.
Kegagalan terapi KNF yang terbanyak menurut Fandi et al ( 2000 ) dan
Farias et al ( 2003 ) adalah terjadinya kekambuhan baik pada tumor primer
maupun pada kelenjar limfe regional post radioterapi.
Selain itu ekspresi NF-κB dan c-myc yang masih tinggi juga
berhubungan dengan pertahanan sel agar tetap dapat bertahan hidup sebagai
respon dari stres yang dalam hal ini utamanya adalah kerusakan DNA karena
radioterapi. Pengambilan biopsi yang dilakukan 2 bulan sesudah radioterapi, ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
sesuai dengan fase intermediet post radioterapi yang berlangsung antara 3
minggu – 6 bulan. Fase dimana terjadi proses inflamasi dan proliferasi jaringan
akibat efek radioterapi ( Gourin, G.C and Terris J.D, 2006 ).
Pada radioterapi akan terjadi reaksi indirek yang merupakan proses
interaksi radiasi pengion dengan sel tumor maligna. Molekul air dan molekul
oksigen yang terdapat intraseluller dan ekstraseluller akan terkena radiasi pengion.
Akibatnya elektron akan terlempar keluar orbit dan akan berubah menjadi ion H+
dan ion OH- serta ion oksigen. Ion-ion ini bersifat tidak stabil dan akan berubah
menjadi radikal H, radikal OH dan radikal oksigen. Radikal bebas yang terbentuk
bisa meningkatkan ekspresi NFκB sebagai pertahanan sel terhadap stres.
Sehingga adanya radikal bebas dan proses inflamasi akibat pemberian
radioterapi bisa merupakan faktor perancu yang bisa meningkatkan ekspresi
NFκB yang pada akhirnya juga akan meningkatkan ekspresi c-myc.
Untuk mengetahui apakah peningkatan ekspresi NFκB dan c-myc post
kemoterapi neoadjuvant di sebabkan oleh karena proses inflamasi, maka dapat
dilakukan pemeriksaan biomolekuler lain seperti chemokines. Apabila terdapat
peningkatan ekspresi pada hasil pemeriksaan tersebut, maka peningkatan ekspresi
NFκB dan c-myc yang terjadi pada penelitian ini adalah karena proses inflamasi
setelah radioterapi ( Momoko, 2005 ).
Sedangkan untuk mengetahui apakah peningkatan yang terjadi adalah
karena proses keganasannya yang bersifat progresif, maka dapat dilakukan
pemeriksaan biomolekuler lain seperti IL-1, IL-6, TNF dan cyclin D1. Adanya
peningkatan ekspresi pada hasil pemeriksaan tersebut menandakan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
peningkatan yang terjadi adalah karena proses proliferasi sel yang masih
berlangsung ( Momoko, 2005 ).
5.3. Hasil Analisis Hubungan Antara Ekspresi NFκB dengan c-myc Pada Jaringan Biopsi Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated Pada model persamaan linier hubungan antara ekspresi NFkB dan ekspresi
c-myc sebelum terapi, didapatkan model persamaan linier ; Y = 0,897 + 0,398 X ;
dimana Y = ekspresi c-myc dan X = Ekspresi NFκB, dan hubungan antara
NFκB dengan c-myc sangat kuat dan signifikan (r= 0,69; p=0,001). Hal ini juga
diperkuat dengan hasil analisa R 2 = 0,435 yang mengindikasikan bahwa sebesar
43.5 % seluruh hasil ekspresi c-myc yang dapat diterangkan dengan model ini,
dan sisanya sebesar 56,5 % kenaikan ekspresi c-myc akibat faktor lain yang tidak
diperhitungkan dalam model ini.
Hasil analisis adanya hubungan antara ekspresi NFκB dengan ekspresi
c-myc pada penelitian ini ini sesuai dengan penelitian Nathalie et al yang
menyatakan bahwa pada proses malignansi, adanya peningkatan ekspresi c-myc di
sebabkan oleh peningkatan ekspresi NFκB.
Menurut Gourin, G.C and Terris J.D (2006), faktor lain yang tidak
diperhitungkan dalam model ini termasuk adanya ekspresi NFκB yang disebabkan
adanya proses inflamasi dan reaksi jaringan akibat stress pada DNA sebagai
reaksi sesudah pemberian radioterapi. Ekspresi c-myc yang masih ada bisa
disebabkan adanya proliferasi sesudah pemberian radioterapi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Terdapat peningkatan ekspresi NFκB yang signifikan akibat kemoterapi
neoadjuvant ( p = 0,005 ). Hal ini bisa disebabkan karena proses keganasan
pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated memang masih terjadi atau
karena reaksi inflamasi sesudah radioterapi.
2. Terdapat peningkatan ekspresi c-myc yang signifikan akibat kemoterapi
neoadjuvant ( p = 0,025). Peningkatan ekspresi c-myc menyebabkan proses
proliferasi yang berlebihan ini bisa disebabkan karena proses keganasan pada
karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated yang masih terjadi dan bersifat
progresif maupun proliferasi sel untuk regenerasi akibat nekrosis sesudah
radioterapi.
3. Terdapat hubungan positif yang signifikan antara ekspresi NFκB dan c- myc
pada karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ( p=0,001). Hal ini membuk
tikan bahwa pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated, peningkatan
ekspresi c-myc yang menyebabkan terjadinya proliferasi sel yang berlebihan
adalah akibat adanya peningkatan ekspresi NFκB.
6.2. Saran
1. Perlu dilakukan penelitian pengaruh kemoterapi neoadjuvant terhadap ekspresi
NFκB dan c-myc pada karsinoma nasofaring dengan jumlah sampel yang lebih
banyak untuk menghindari bias secara statistik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
2. Perlu dilakukan penelitian ekspresi NFκB dan c-myc sesudah pemberian
kemoterapi neodjuvant, sebelum pemberian radioterapi pada karsinoma
nasofaring jenis Undifferentiated. Hal ini diperlukan untuk mengetahui
pengaruh kemoterapi neoadjuvant terhadap ekspresi NFκB dan c-myc tanpa
pengaruh radioterapi.
3. Perlu dilakukan penelitian ekspresi NFκB dan ekspresi c-myc pada pasien
karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated sesudah pemberian kemoterapi
neoadjuvant dilakukan sampai 6 bulan kemudian, untuk menghilangkan
efek inflamasi jaringan akibat radioterapi.
4. Perlunya dilakukan pemeriksaan biomolekuler lain seperti chemokines dan
IL-1, IL-6, TNF dan cyclin D1 untuk mengetahui apakah peningkatan
ekspresi NFκB dan c-myc setelah kemoterapi neoadjuvant pada
penelitian ini disebabkan adanya proses inflamasi atau karena progresifitas
dari karsinoma nasofaring.