Upload
nguyentruc
View
238
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
PENGARUH KEMOTERAPI NEOADJUVANT TERHADAP EKSPRESI LMP1, CD4+, CD8+ DAN RASIO CD4+/CD8+
PADA KARSINOMA NASOFARING JENIS UNDIFFERENTIATED
T E S I S
Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai Derajat Magister
Program Studi Kedokteran Keluarga
Minat Utama : Ilmu Biomedik
OLEH :
SUNARDO BUDI SANTOSO
NIM S500907029
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PENGESAHAN
PENGARUH KEMOTERAPI NEOADJUVANT TERHADAP EKSPRESI LMP1, CD4+, CD8+ DAN RASIO CD4+/CD8+
PADA KARSINOMA NASOFARING JENIS UNDIFFERENTIATED
Disusun oleh :
Sunardo Budi Santoso
S500907029
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Dewan Pembimbing
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Pembimbing I Prof. Em. DR. Muhardjo, DHA, dr.Sp. THT-KL(K) ..................... NIP. 030 124 167
Pembimbing II Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si ...................... NIP. 1967 0215 199403 2 001
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Magister Kedokteran Keluarga
Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK NIP. 19480313 197610 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGARUH KEMOTERAPI NEOADJUVANT TERHADAP EKSPRESI LMP1, CD4+, CD8+ DAN RASIO CD4+/CD8+
PADA KARSINOMA NASOFARING JENIS UNDIFFERENTIATED
Disusun oleh :
Sunardo Budi Santoso
S500907029
Telah disetujui oleh Tim Penguji
Rabu, 27 Juli 2011
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK …………………… NIP. 1948 0313 197610 1 001 Sekretaris Prof. Bhisma Murti, dr. MPH, M.Sc., PhD ................................ NIP. 1955 1021 199412 1 001 Anggota Penguji 1. Prof. Em. DR.Muhardjo, DHA, dr. Sp. THT-KL (K) …………………… NIP. 030 124 167 2. Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si …………………… NIP. 1967 0215 199403 2 001
Mengetahui,
Direktur Ketua Program
Program Pascasarjana Studi Kedokteran Keluarga
Prof. Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK NIP. 19570820 198503 1 004 NIP. 19480313 197610 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Sunardo Budi Santoso
NIM : S500907029
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Pengaruh Kemoterapi
Neoadjuvant terhadap Ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan Rasio CD4+/CD8+
pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated adalah betul - betul karya
sendiri. Hal – hal yang bukan karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi
dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar , maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, April 2011
Yang Membuat Pernyataan
Sunardo Budi Santoso NIM. S500907029
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan Alhamdulillahirobbil’alamin puji syukur kepada
Allah SWT yang Maha kuasa yang telah melimpahkan berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menjalani pendidikan sampai selesainya karya ilmiah akhir
ini, sebagai salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Spesialis I Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher dari Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret / RSUD. dr Moewardi Surakarta dan gelar Magister Kesehatan Program
Studi Kedokteran Keluarga Program Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Dengan segala kerendahan hati disadari bahwa tanpa bimbingan semua
staf pendidik dan bantuan semua pihak yang terlibat, maka karya ilmiah ini tidak
akan bisa diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
yang tidak terhingga kepada yang terhormat:
1. Prof. Emeritus. DR. Muhardjo, dr. DHA, Sp THT-KL (K), selaku
pembimbing utama yang telah memberikan banyak nasihat, dukungan, dan
bimbingan pada penelitian ini.
2. Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si, yang telah membimbing dengan penuh
kesungguhan pada penelitian ini.
3. dr. Made Setiamika, Sp THT-KL sebagai pembimbing Sub. Bagian Ongkologi
dan selaku Kepala Bagian Ilmu Penyakit THT di Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
4. dr. Mochamad Arief TQ, MS, yang telah membimbing dalam bidang statistik
dengan penuh kesungguhan pada penelitian ini.
5. dr. Sarwastuti Hendradewi, Sp.THT-KL. Msi.Med, selaku Ketua Program
Studi Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta .
6. Prof. DR. Didik Tamtomo, dr. MM, M.Kes, PAK, selaku Ketua program Studi
Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
7. Direktur RSUD dr. Moewardi, drg. Basuki. MMR, yang telah memberikan
kesempatan pendidikan dan penelitian pada penulis.
8. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Prof. DR.
Zaenal Arifin Adnan, dr. Sp.PD-KR yang telah memberikan kesempatan
pendidikan kepada penulis.
9. Direktir Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prof.
Drs. Suranto, M.Sc. Ph.D yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
dalam menyelesaikan pendidikan Magister Kedokteran Keluarga.
10. Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis dalam menempuh Program Pendidikan Dokter
Spesialis I Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher
(PPDS I IK. THT-KL) dan program pendidikan Magister kedokteran keluarga.
11. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh staf THT-KL FK UNS
yang kami hormati :
a. dr. Djoko Sindhu Sakti, Sp THT-KL (K), MBA, MARS, Msi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
b. dr. Sudarman, Sp THT-KL (K)
c. dr. Sutomo Sudono, Sp THT-KL (K)
d. Almarhum dr. Chairul Hamzah, SP THT-KL(K)
e. dr. Sudargo, Sp THT
f. dr. Bambang Suratman, Sp THT-KL (K)
g. dr. Hadi Sudrajad, Sp.THT-KL, Msi.Med.
h. dr. Imam Prabowo, Sp.THT-KL
i. dr. Vicky Eko Nurcahyo H, Sp. THT-KL. M.Sc.
j. dr. Putu Wijaya Kandhi, Sp.THT-KL
k. dr. Novi Primadewi, Sp.THT-KL, M.Kes
yang telah berperan besar dalam proses pendidikan penulis dan penyelesaian
penelitian ini.
12. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada seluruh Staf Pengajar Program
Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta
13. Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. DR. Ambar Mudigdo, dr. Sp. PA
(K), selaku Kepala laboratorium Patologi Anatomi dan Laboratorium
Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang
telah mengijinkan peneliti melakukan penelitian di bagian Laboratorium
Biomedik.
14. Ucapan terima kasih penulis kepada Prof. Bhisma Murti, dr. MPH, M.Sc,
PhD, selaku Kepala laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Staf
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
Pengajar Pascasarjana Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta, yang telah membantu menganalisis hasil penelitian.
15. Teman sejawat residen THT, seluruh paramedis RSUD dr.Moewardi dan
semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak
langsung.
16. Kedua orang tua (Bpk. Radiwan dan Ibu Supiyah) / mertua (Bpk H. KRT.
Joko Paryanto dan almarhum Ibu Kusumawati) dan Kakak – Kakakku
(Suwarno, Suwaryo, Suwarni, Surati, Sudiyah, Suciatun dan Wawan) serta
adik-adikku (Sukardiyo dan Eva Dona Susanti) dan seluruh keluarga besar
yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan semangat serta biaya
kepada penulis.
17. Khususnya untuk istri tersayang dan membanggakan (Betti Falentina) dan
anakku tercinta (Bella Sofiyana Kusuma) , terima kasih yang tidak terhingga
atas segala keiklasan, kesabaran, pengertian, dorongan semangat, curahan
kasih sayang dan doa tulusnya untuk penulis sehingga penelitian ini selesai.
Penulis sadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan dan
mohon kiranya dapat mendorong penelitian lebih lanjut agar lebih bermanfaat.
Pada kesempatan ini pula penulis menyampaikan maaf yang setulus-
tulusnya kepada semua dosen, teman sejawat, paramedis dan karyawan di
lingkungan Bagian Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Program
Studi Kedokteran Keluarga Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
Surakarta atas semua kesalahan dan kekhilafan selama menempuh Pendidikan
Dokter Spesialis dan Magister Kesehatan.
Semoga Allah SWT memberkati kita semua, Amien
Surakarta, April 2011
Penulis
Sunardo Budi Santoso
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................... iii
SURAT PERNYATAAN ................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xvi
DAFTAR TABEL .............................................................................. xvii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... xx
DAFTAR SINGKATAN .................................................................. xxi
ABSTRAK .............................................................................................. xxiii-xxiv
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1. Latar Belakang Penelitian ................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................... 6
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................ 6
1.3.1. Tujuan Umum ............................................................ 6
1.3.2. Tujuan Khusus .......................................................... 7
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................. 7
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
2.1.. Karsinoma Nasofaring ...................................................... 8
2.1.1. Anatomi .................................................................. 8
2.1.2. Histologi .................................................................. 9
2.1.3. Epidemiologi ............................................................... 9
2.1.4. Etiologi .................................................................. 11
2.1.4.1. Genetik ..................................................... 11
2.1.4.2. Lingkungan ............................................... 12
2.1.4.3. Virus Epstein Barr .................................... 13
2.1.5. Diagnosis .................................................................. 14
2.1.5.1. Gejala Klinis ............................................ 14
2.1.5.2. Pemeriksaan Nasofaring .......................... 16
2.1.5.3. Radiologi .................................................. 16
2.1.5.4. Serologi ..................................................... 17
2.1.5.5. Pemeriksaan Patologi ............................... 18
2.1.6. Klasifikasi .................................................................. 19
2.1.7. Penentuan Stadium...................................................... 20
2.1.8. Pengobatan .................................................................. 22
2.1.8.1. Radioterapi ............................................... 22
2.1.8.2. Kemoterapi ............................................... 31
2.1.8.3. Kemoterapi neoadjuvant............................ 38
2.2. Virus Epstein-Barr .............................................................. 43
2.2.1. Struktur Genom dan Molekuler EBV .......................... 43
2.2.2. Latent Membrane Protein- 1.......................................... 46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
2.3. Respon Imun terhadap Tumor .......................................... 48
2.3.1. Pertahanan Sistem Imun ............................................... 50
2.3.2. Mekanisme Penghindaran Diri Sel Tumor terhadap
Respon Imun ................................................................. 51
2.3. 3. Antigen Sel Tumor ..................................................... 53
2.3. 4. Respon Imun Seluler Terhadap Tumor ....................... 54
2.3. 5. Respon Imun Humoral Terhadap Tumor .................... 55
2.3. 6. Mekanisme Efektor Melawan Tumor ......................... 55
2.3.6.1. Sel T CD8 + (CTL Cytotoxic T Lymphocytes)... 55
2.3.6.2. Sel T CD4 + ........................................................ 60
2.4. Kerangka Teori ................................................................. 62
2.5. Kerangka Konsep ………………………………………… 66
2.6. Hipotesis Penelitian ............................................................ 66
BAB III. METODE PENELITIAN ..................................................... 67
3.1. Rancangan Penelitian .......................................................... 67
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian .......................................... 67
3.3. Populasi dan Sampel ............................................................ 68
3.3.1. Sampel ................................................................... 68
3.3.2. Besar Sampel ....................................................... 69
3.3.3. Cara Pengambilan Sampel ............................................ 69
3.4. Variabel Penelitian ............................................................... 70
3.5. Defenisi Operasionil ............................................................ 70
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
3.6. Alat Penelitian .................................................................. 72
3.7. Cara Kerja .................................................................. 72
3.8. Teknik Analisis Data ...................................................... 77
BAB IV. HASIL PENELITIAN ........................................................... 78
4.1. Data Dasar Sampel Penelitian .............................................. 79
4.1.1. Data Dasar Umur Sampel Penelitian ............................ 79
4.1.2. Data Dasar Jenis Kelamin Sampel Penelitian .............. 79
4.1.3. Data Dasar Ukuran Tumor Primer Sebelum dan Sesudah
Pengobatan ..................................................................... 80
4.1.4. Data dasar kelenjar Getah Bening Leher sebelum dan
sesudah Pengobatan ....................................................... 80
4.1.5. Hasil Pemeriksaan Kadar Hemoglobin, Leukosit dan Trombosit
Sebelum dan Sesudah Pengobatan Kemoterapi neoadjuvant pada
Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated ............... 81
4.2. Hasil Pemeriksaan ekspresi LMP1, ekspresi CD4+ ,CD8+ dan Rasio
CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada
Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ………………… 83
4.2.1. Hasil Pemeriksaan LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis
Undifferentiated….…………………………………………….. 84
4.2.2. Hasil Pemeriksaan ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah
Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis
Undifferentiated ................................................................... 85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
4.2.3. Hasil Pemeriksaan ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah
Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis
Undifferentiated ................................................................... 87
4.2.4. Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis
Undifferentiated……………………………………………….. 88
4.3. Analisis hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+
pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ........... 90
BAB V. PEMBAHASAN ............................................................................. 93
5.1. Data dasar sampel penelitian ..................................................... 94
5.2. Analisis Ekspresi LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis
Undifferentiated.......................................................................... 97
5.3. Analisis Ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis
Undifferentiated.......................................................................... 100
5.4. Analisis Ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis
Undifferentiated.......................................................................... 102
5.5. Analisis Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis
Undifferentiated........................................................................... 106
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
5.6. Analisis Hubungan antara Ekspresi LMP1 dan Rasio CD4+/CD8+
pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated .................... 109
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 112
6.1. Kesimpulan ................................................................................ 112
6.2. Saran ........................................................................................... 112
DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 114
LAMPIRAN .................................................................. 125
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar Halaman
2.1. Potongan sagital anatomi Nasofaring .......................................... 8
2.2. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring .............................. 9
2.3. Mekanisme kerja kemoterapi pada siklus sel ……………………... 33
2.4. Infeksi EBV pada penderita carrier .......................................... 46
2.5. Induksi respon sel T terhadap tumor .......................................... 49
2.6. Mekanisme Tumor menghindar dari sistem imun ............................ 52
2.7. Struktur kristal dari perforin ............................................................. 57
2.8. Mekanisme sel T CD8+ melalui perforin dan granzime
dalam proses Apoptsis .................................................................. 59
3.1. Rancangan Penelitian one group before and after intervention atau
one group pre and post test design menggunakan satu kelompok .. 67
4.1. Diagram Batang Distribusi subyek penelitian berdasarkan umur ..... 79
4.2. Diagram Batang Distribusi subyek penelitian menurut jenis kelamin 79
4.3. Diagram Batang Distribusi sampel berdasarkan Ukuran tumor Primer (T)
sebelum dan sesudah Pengobatan.. ............................................ 80
4.4. Diagram Batang Distribusi sampel berdasarkan Ukuran kelenjar getah bening
leher (N) sebelum dan sesudah Pengobatan .................................... 80
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
4.5. Boxplot Hasil pemeriksaan kadar Hemoglobin (Hb), Leukosit (AL) dan
Trombosit (AT) selama menjalani Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma
nasofaring jenis undifferentiated ............................................................. 83
4.6. Boxplot hasil ekspresi LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated ............. 85
4.7. Boxplot Hasil ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
Neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated........ 86
4.8. Boxplot Hasil ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
Neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated............ 88
4.9. Boxplot Hasil Rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated ............ 89
4.10. Korelasi antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+ pada Karsinoma
Nasofaring jenis Undifferentiated .................................................... 91
4.11. Resume gambar boxplot expresi LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio
CD4+/CD8+ akibat Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring
jenis Undifferentiated .................................................................... 92
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Halaman
2.1. Formula Digby ................................................................................... 14
2.2. Performance status ........................................................................... 39
3.1. Nilai P (prosentase jumlah sel) .......................................................... 76
3.2. Penilaian Intensitas Warna ................................................................ 76
4.1. Perbedaan kadar hemoglobin (Hb), leukosit (AL) dan trombosit (AT)
sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring
jenis undiffrentiated ........................................................................... 81
4.2. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test LMP1 sebelum dan
sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
undiffrentiated ..................................................................................... 84
4.3. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi CD4+ sebelum
dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
undiffrentiated ...................................................................................... 86
4.4. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi CD8+ sebelum
dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
undiffrentiated ...................................................................................... 87
4.5. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test rasio CD4+/CD8+ sebelum
dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
undiffrentiated ...................................................................................... 89
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xix
4.6. Analisis Model Persamaan linier hubungan antara ekspresi LMP1 dan Rasio
CD4+/CD8+ pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated. ............. 90
4.7. Resume tabel statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi LMP1, CD4+,
CD8+ dan rasio CD4+/CD8+ akibat Kemoterapi neoadjuvant pada
karsinoma nasofaring jenis undifferentiated .................................... 92
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Ethical Clearance .................................................... 1
Lampiran 2. Jadual Penelitian .................................................... 1
Lampiran 3. Surat Pernyataan Persetujuan ................................. 1
Lampiran 4. Status Penelitian ..................................................... 1 – 3
Lampiran 5. Foto Ekspresi LMP1, CD4+ dan CD8+ ................. 1 – 2
Lampiran 6. Data dasar sampel penelitian penderita karsinoma
nasofaring jenis Undifferentiated ………………..
1
Lampiran 7. Hasil pemeriksaan LMP1, staging T dan N, dan
status imunologi sampel penelitian penderita
karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated
sebelum dan sesudah kemoterapi neaodjuvant …..
1
Lampiran 8. Hasil analisis deskriptif dan uji Wilcoxon Signed
Ranks Test dengan α = 0,05 ……………………...
1 – 2
Lampiran 9. Analisis hubungan antara LMP1 dan rasio
CD4+/CD8+ pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated …………………………………..
1 – 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxi
DAFTAR SINGKATAN
AJCC : american joint committee on cancer
APAF-1 : apoptotic protease-activating factor-1
APC : antigen presenting cell
BAX : BCL -2 –assosiated protein
Bcl-2 : B-cell leukemia – 2
BID : BH3-interacting domain death agonist
CAD : caspase-activated dnase
CD : cluster of differentiation
CR : complete response
CT : computerized tomographic
CTL : cytolitic T lymphocyte
CTX : cyclophosphamide
DNA : deoxyribonucleic acid
EA : early antigen
EBNA : epstein-barr nuclear antigen
EBV : epstein-barr virus
ECOG : eastern cooperative oncology group
FNAB : fine nedle aspiration biopsy
Gp : glikoprotein
ICAD : inhibitor caspase-activated Dnase
IFN-γ : interferon – γ
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxii
JAK : janus kinase
KNF : karsinoma nasofaring
LMP1 : laten membran protein 1
MHC : major histocompatibility complex
MRI : magnetic resonance imaging
mRNA : messenger ribonucleic acid
MTX : metotrexate
N : nervus
NF-kB : nuclear factor-kappa B lymphocyte
NR : no response
PA : posterior-anterior
PD : progresive disease
PR : partial response
ROS : reactive oxygen species
TGF : tumor growth factor
TNF-α : tumor necrosis factor – α
UICC : union international contre cancer
VCA : viral capsid antigen
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxiii
ABSTRAK
Sunardo Budi Santoso, S500907029. 2011. Pengaruh Kemoterapi Neoadjuvant terhadap Ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan Rasio CD4+/CD8+ pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated. Pembimbing I : Prof. Em. DR. Muhardjo, dr. DHA, Sp. THT-KL(K), Pembimbing II : Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si. Tesis : Program Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Latar belakang : Epstein-Barr Virus mengekspresikan protein LMP1 dan memacu hadirnya sel-sel imunokompeten (CD4+ dan CD8+). Rasio CD4+/CD8+ menggambarkan potensi eliminasi patogen intrasel dan sel tumor. Kemoterapi neoadjuvant akan menekan siklus sel dan kerusakan sel imunologis yang berefek pada penurunan imun seluler. Tujuan : Mengetahui pengaruh kemoterapi neoadjuvant terhadap tingkat ekspresi LMP1, system imun dan hubungan antara ekspresi LMP-1 dan rasio CD4+ / CD8+ . Metode dan bahan : desain penelitian one group before and after intervention, menggunakan 10 sampel biopsi karsinoma nasofaring undifferentiated sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant dilakukan pemeriksaan imunohistokimia. Antibodi menggunakan mouse antibodi antihuman LMP1, antibodi monoklonal mouse anti human CD4+ dan anti human CD8+. Data penelitian dianalisis dengan Wilcoxon Signed Ranks test, Regresi Linier dan Spearman’s dengan program SPSS. 15.0 under windows. Hasil : Setelah kemoterapi neoadjuvant terjadi penurunan signifikan secara statistik baik ekspresi LMP1 (0,41±0,39 /1,79 ± 0,68) (p=0,007); CD4+ (0,88 ± 0,74/2,06 ± 1,31) (p=0,041) dan CD8+ (0,23 ± 0,26/1,96 ± 0,92) (p=0,005). Rasio CD4+/CD8+ meningkat tidak signifikan secara statistik (p=0,646) (1.06 ± 0,61/1,62 ± 3,25). Hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+ sangat lemah (r = 0,17), memenuhi persamaan garis linier dan tidak sginifikan secara statistik (p=0,646). Kesimpulan: kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis undifferentiated menyebabkan penurunan ekspresi LMP1 dan status imunologi (CD4+ , CD8+) dan peningkatan rasio CD4+/CD8+ . Hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ sangat lemah dan tidak signifikan. Kata kunci: LMP1, rasio CD4+/CD8+, kemoterapi neoadjuvant.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxiv
ABSTRACT Sunardo Budi Santoso, S500907029. 2011. The effect of Neoadjuvant Chemotherapy for LMP1, CD4+, CD8+ Expression Level and CD4+/ CD8+ Ratio in Undifferentiated Nasopharyngeal Carcinoma. Advissor : Prof. Em. DR. Muhardjo, dr. DHA, Sp. THT-KL(K), Co. Advissor : Dra. Dyah Ratna Budiani, M.Si Thesis : Post Graduate Program of Sebelas Maret University Surakarta Background: EBV has been frequently related with nasopharyngeal carcinoma, because of able to expressed LMP1 protein and induced immunocompetence cell respon (CD4+ and CD8+). The ratio of CD4+/CD8+ describes the elimination potency of intracellular pathogen and tumor cell. Neoadjuvant chemotherapy would reduced and destroyed cycle cell and decresed imun system. Aims : Evaluate the effect of neoadjuvant chemotherapy to know the expression of LMP1 , imun system and the correlation between LMP1 expression level and CD4+/CD8+ ratio in undifferentiated nasopharyngeal carcinoma Methode and Material : one group before and after intervention design. Ten sampels were taken from nasopharyngeal carcinoma undifferentiated biopsy tissue, then each sample performed immunohistochemistry examination. Mouse antibody antihuman LMP1 was used in detection of LMP1 expression, CD4+ and CD8+ expression with antibodi monoklonal mouse anti human CD4+ and CD8+. Wilcoxon Signed Ranks test, Linier regression and Spearman’s were used to analized data using SPSS 15.0 underwindows program Result: Expression of LMP1, CD4+ and CD8+ were decresed significanly after neoadjuvant chemotherapy, which (0,41 ± 0,39 /1,79 ± 0,68) value for LMP1 (p=0,007); (0,88 ± 0,74 / 2,06 ± 1,31) value for CD4+ (p=0,041) and (0,23 ± 0,26 /1,96 ± 0,92) value for CD8+ level (p=0,005). CD4+ / CD8+ ratio after treatment was not significan (p=0.646) the highest value (1.06 ± 0.61/1.62 ± 3.25) and there was not significant corelation between LMP1 expression and CD4+ / CD8+ ratio (p=0,468) in undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Conclussion : LMP1, CD4+ and CD8+ expression were decresed significantly and CD4+/CD8+ ratio was highes, but not significant after neoadjuvant chemotherapy. There were no significant corelation between LMP1 expression and CD4+/CD8+ ratio in undifferentiated nasopharyngeal carcinoma. Keywords: LMP-1, CD4+ / CD8+ ratio, Neoadjuvant Chemotherapy
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang termasuk dalam famili
Herpes virus yang menginfeksi lebih dari 90 % populasi manusia di seluruh dunia
dan merupakan penyebab infeksi mononukleosis. Infeksi EBV berasosiasi dengan
beberapa penyakit keganasan jaringan limfoid dan epitel seperti Limfoma Burkitt,
limfoma sel T, Hodgkin disease, karsinoma nasofaring (KNF), karsinoma
mammae dan karsinoma gaster. Karsinoma nasofaring merupakan neoplasma
epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. Infeksi primer pada
umumnya terjadi pada anak-anak dan asymptomatik. Infeksi primer dapat
menyebabkan persistensi virus, dimana virus memasuki periode laten di dalam
limfosit B memori. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode
litik dimana terjadi replikasi Deoxyribonucleic Acid (DNA) EBV, transkripsi dan
translasi genom virus, dilanjutkan dengan pembentukan (assembly) virion baru
dalam jumlah besar sehingga sel pejamu (host) menjadi lisis dan virion dilepaskan
ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik
untuk masing-masing periode infeksi (Soeharso, et al., 2007).
Karsinoma nasofaring (KNF) dewasa ini merupakan tumor ganas kepala dan
leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Angkanya diperkirakan mencapai
60% tumor ganas kepala dan leher. Data dari laboratorium patologi anatomi KNF
berada di peringkat ke lima dari semua keganasan pada tubuh manusia, angka ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
setelah tumor ganas servik uteri, tumor payudara, tumor kelenjar getah bening dan
tumor kulit. (Soetjipto, 1986; Roezin, et al., 2007)
Di Eropa dan Amerika keganasan nasofaring angkanya cukup rendah yaitu
dengan kejadian kurang dari 1 diantara 100.000 penduduk. Sebaliknya di daerah
Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang tinggi. Angka tertinggi
didapatkan di propinsi Cina Tenggara yaitu 40 – 50 kasus KNF diantara 100.000
penduduk (Brennan, 2005; Wei Wi, et al., 1996). Di Indonesia KNF cukup
banyak ditemukan meskipun angka kejadian yang pasti belum diketahui. Di
Indonesia pernah dilaporkan angka prevalensi KNF 6 /100.0000 penduduk
pertahun (Roezin, et al., 2007; Tan, 2010) .
Etiologi penyakit karsinoma nasofaring cukup kompleks seperti faktor
genetik, infeksi virus Epstein-Barr dan bahan karsinogenik ( nitrosamin ) yang ada
di lingkungan. Proses karsinogenesis masih belum dapat diungkapkan dengan
jelas, tetapi secara umum disepakati bahwa prosesnya berlangsung secara
bertahap. Beberapa penelitian telah banyak dilakukan untuk mengidentifikasikan
faktor yang berperan pada karsinogenesis. Berbagai penelitian akhir-akhir ini
telah membuktikan EBV selalu ditemukan pada biopsi KNF, untuk gambaran
patologi anatomi terbanyak adalah jenis Undifferentiated sebesar 86 % dan
karsinoma sel skuamosa berkeratin 14 % (Huang, et al., 1998; Huang, et al.,
1999).
Produk onkogen dari Epstein-Barr Virus (EBV) yang dikenal sebagai Laten
Membran Protein 1 (LMP1) telah terbukti secara in vitro menyebabkan
tranformasi sel epitel maupun limfosit B menjadi bentuk yang immortal,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
proliferasi sel tumor, anti apoptosis dan berperan dalam terjadinya metastase
(Zheng, et al., 2007). Laten Membran Protein 1 merupakan onkogen virus
potensial dan mempunyai peran biologi penting pada karsinogenesis KNF yang
dapat dikenali oleh CTLs dalam konteks Major Histocompatibility Complec satu
(MHC I). (Bosman, 1996; Hu, 1996) .
Dari penelitian terdahulu didapatkan ekspresi LMP1 pada KNF yang
bervariasi yaitu sebesar 60% (Miller, et al., 1995; Gondowiarjo, 1998; Lin,
2003; Zheng, et al., 2007) dan 45 % yang pernah dilaporkan Surono (2006)
(Hariwiyoto, et al., 2006). Murono, et al., (2001) mengatakan bahwa kadar
antibodi spesifik terhadap LMP1 terdapat lebih dari 70 % KNF dan ada korelasi
antara kadar antibodi tersebut dengan stadium KNF dan sangat potensial
membantu menegakkan diagnosis dan faktor prognosis. Lasniroha (2008) dalam
penelitiannya tentang ekspresi LMP1 pada KNF Undifferentiated mendapatkan
angka 11,76 %.
Infeksi virus EBV akan memacu hadirnya sel-sel imunokompeten untuk
mengelimnasi virus dan sel sel yang terinfeksi. Epstein-Barr Virus akan
menginfeksi sel limfosit B dan sel epitel orofaring, sel-sel ini akan dieliminasi
oleh sistem imun baik innate maupun adaptif. Hal yang menarik disini adalah
hadirnya sel T CD8+ CTL yang bertugas melakukan sitotoksisitas terhadap sel
target dalam hal ini epitel orofaring maupun limfosit B yang terinfeksi dan epitel
nasofaring yang telah malignant. Eliminasi sel T CD8+ CTL terhadap sel-sel
tersebut dilakukan dengan menggunakan gramzyme B dan perforin, sehingga sel
target akan mengalami apoptosis. Sel T CD4+ adalah sel yang hadir dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
rangkaian respon immune adaptif yang perannya lebih mengarah ke induksi
respon immune humoral. Sel T CD4+ akan menghasilkan citokin-citokin yang
berperan sebagai inducer pembentukan antibodi untuk mengeliminasi patogen
secara ekstraseluler (Abbas, et al., 2007) .
Karsinoma nasofaring merupakan keganasan yang ditandai adanya tumor –
infiltrating lymphocytes (TILs) termasuk diantaranya adalah Cyttolitic T
Lymphocyte (CTL). Harijadi (2008) dalam penelitian mendapatkan hasil bahwa
banyaknya CTL yang aktif akan mengekspresikan gramzyme B dan merupakan
petanda kuat prognosis buruk penderita KNF. Nilai prognostik ini lebih kuat dan
tidak tergantung dibandingkan petanda prognostik lainnya seperti umur dan status
TNM pada saat diagnosis awal. Prognostik tampak jelas menurun dengan
meningkatnya prosentase CTL yang aktif. Harijadi (2008) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa rerata daya tahan hidup penderita dengan CTL aktif < 25 %
adalah 42 bulan dan akan menurun menjadi 14 bulan pada penderita dengan CTL
aktif > 25 %. Prognostik yang buruk dengan banyaknya infiltrasi CTL yang aktif
diperkirakan terjadi akibat seleksi sel tumor sehingga resisten terhadap apoptosis
yang dipacu oleh CTL, kemoterapi dan atau radioterapi.
Rasio CD4+/CD8+ akan menggambarkan potensi eliminasi patogen intrasel
dan sel tumor. Jiang, et al., (2004) mendapatkan nilai normal rasio CD4+/CD8+
pada orang dewasa sehat di Shanghai adalah 1,49 dengan standar deviasi 0,57
(rentang : 0,92-2,06) hampir sama dengan yang didapatkan oleh Cirino dan
Marcano (2007) yaitu 0,90. Pada kasus keganasan nilai rasio sangat bervariasi,
Heraberg, et al., (1997) dalam penelitiannya pada renal cell carcinoma sebelum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
terapi dengan vinblastin-IFN adalah 1,3 (rentang : 0,56-6,8), selama terapi
vinblastin 1,1 (rentang : 0,33-9,3) dan 1,7 (rentang : 0,60-11,1) dengan terapi
vinblastin-IFN dan Cirino, et al., (2007) dalam penelitiannya tentang tumor paru
mendapatkan 1,74. Angka rasio CD4+/CD8+ yang rendah akan menggambarkan
tingkat prognostik yang lebih baik. Hal ini karena infeksi virus dan kejadian
karsinoma nasofaring lebih efektif bila dieliminasi melalui mekanisme apoptosis
oleh sel T CD8+ dibandingkan dengan respon immune humoral. Karena respon
immune humoral hanya berperan pada saat infeksi primer dan tidak efektif untuk
mengeliminasi sel malignant sebagaimana karsinoma nasofaring. Oleh karenanya
perlu diteliti rasio CD4+/CD8+ pada kasus karsinoma nasofaring (Abbas, et al.,
2007) .
Penatalaksanaan KNF sementara ini dengan menggunakan kemoterapi
dan/atau radioterapi. Terapi radioterapi menurut Vijayakumar (1997), mempunyai
sifat mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa
mendestrukasi sel tumor, memiliki kemampuan untuk mempercepat proses
apoptosis dari sel tumor dan ionisasi yang ditimbulkan oleh radioterapi dapat
mematikan sel tumor. Akan tetapi pemberian radioterapi bersifat lokal dan
regional juga dapat mengakibatkan defek imun secara general. Kemoterapi
neoadjuvant dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum radioterapi.
Pemberian kemoterapi neoadjuvant didasari atas pertimbangan vascular bed
tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik.
Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas
mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvant pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan overall response rate sebesar
80 %- 90 % dan Complete Response (CR) sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvant
yang diberikan sebelum terapi definitif berupa radioterapi dapat mempertahankan
fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ preservation) (Sukardja,
2000).
Penulis bertujuan untuk melakukan penelitian terhadap gambaran ekspresi
LMP1 yang merupakan produk onkogen virus EBV dan status imunologi (CD4+,
CD8+ dan rasio CD4+/CD8+) sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada
karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah ada penurunan tingkat ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ akibat
kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated ?
2. Apakah ada perbedaan rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah
kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated ?
3. Apakah ada hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+
pada pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated ?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat ekspresi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
LMP1 dan status imunologi (CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+) akibat
kemoterapi neoadjuvantt pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengkaji adanya penurunan tingkat ekspresi LMP1, CD4+ dan CD8+
sesudah diberikan kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring
jenis Undifferentiated.
b. Mengkaji adanya pola perubahan Rasio CD4+/CD8+ sesudah diberikan
kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated.
c. Mengkaji adanya pola hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio
CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah diberikan kemoterapi neoadjuvant
pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Dalam bidang akademik
Untuk memperoleh data mengenai tingkat ekspresi LMP1 dan status
imunologi (ekspresi CD4+, CD8+ dan rasio CD+/CD8+) akibat kemoterapi
neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
2. Dalam bidang klinis
Diharapkan dapat digunakan sebagai prediksi terhadap respon terapi,
khususnya pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karsinoma Nasofaring
2.1.1. Anatomi
Secara anatomi Nasofaring merupakan bagian sempit yang terdapat pada
belakang choana. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basis sphenoid,
basis occiput dan vertebra cervikalis pertama. Bagian depan berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachian berada pada dinding
lateral dan pada bagian anterior dan posterior terdapat ruangan berbentuk koma
yang disebut dengan torus tubarius. Bagian superior dan lateral dari torus tubarius
merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller.
Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum (Rusmarjono,
et al.,, 2007).
Gambar 2.1 Potongan sagital anatomi Nasofaring (Dikutip dari : Van De Graaf, 2001. Human Anatomy, Sixth Edition. The McGraw-Hill, p.605)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
2.1.2. Histologi
Epitel bersilia respiratory type merupakan epitel yang melapisi mukosa
nasofaring. Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi
menjadi epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition
zone). Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma nasofaring kaya
akan jaringan limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel
permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan terkadang
merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar seromucinous dapat juga
dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada rongga hidung.
Gambar 2.2. Sel epitel transisional, pelapis nasofaring (Dikutip dari : Respiratory system pre lab (cited 2010 Jan 5).
Available from : http://anatomy.iupui.edu/courses/histo_D502
2.1.3. Epidemiologi
Angka kejadian karsinoma nasofaring di Indonesia cukup tinggi, yaitu 6 per
100.000 penduduk dari total 12.000 kasus baru pertahun(Tan, 2010). Catatan dari
berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa karsinoma nasofaring menduduki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
urutan ke empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit.
Tetapi seluruh bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Indonesia sepakat
mendudukan karsinoma nasofaring pada peringkat pertama penyakit kanker pada
daerah ini. Propinsi Yogyakarta menduduki peringkat tertinggi dengan didominasi
suku Jawa, sedangkan Jakarta pasien karsinoma nasofaring terdiri atas populasi
suku Jawa dan Cina. Pasien karsinoma nasofaring dijumpai lebih banyak pada
pria daripada wanita dengan perbandingan 2-3 orang pria dibandingkan 1 wanita
(Kentjono, 2003). Sedangkan Wei WI (2006) mendapatkan rasio laki-laki
dibanding perempuan adalah 3 : 1.
Di Cina Selatan angka kejadian karsinoma nasofaring 30 kasus per 100.000
orang pertahun, dan merupakan masalah kesehatan yang serius di daerah ini. Pada
Cantonese “boat people” di Cina Selatan memiliki insiden tertinggi untuk
karsinoma nasofaring 54,7 kasus per 100.000 orang pertahun. Angka kejadian
karsinoma nasofaring di Korea dan Jepang sangat rendah, meskipun pada
beberapa di Asia Tenggara, termasuk Filipina, Malaysia dan Singapura, insiden
karsinoma nasofaring relatif tinggi. Angka kejadian karsinoma nasofaring di
Singapura, persentase terbesar mengenai masyarakat keturunan Tionghoa (18,5
per 100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan
terakhir adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000). Angka kejadian
karsinoma nasofaring di negara Eropa atau Amerika Utara 1 per 100.000
penduduk per tahun. (Witte, et al., 2001; Lee , 2003)
Berdasarkan dari beberapa penelitian jenis KNF banyak ditemukan adalah
tipe WHO 2 dan WHO 3. Menurut penelitian di Rumah Sakit Kariadi Semarang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
didapatkan WHO tipe 2 dan WHO tipe 3 sejumlah 112 kasus dari 127 kasus
KNF (Lee, 2003). Pada penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya didapatkan dari 478 kasus terdapat 424 kasus WHO tipe 3, 48 kasus
WHO tipe 2 dan 6 kasus WHO tipe 1 (Witte, et al., 2001). KNF dapat terjadi
pada setiap usia, namun jarang dijumpai pada penderita dibawah usia 20 tahun
dan usia terbanyak antara 45-59 tahun, sedangkan Wei WI (2006) rmendapatkan
rata-rata usia 50 tahun. Laki-laki lebih banyak dari wanita dengan perbandingan
2-3:1 (Witte, et al.,2001; Ballanger,2003 Hariwiyoto, et al., 2006; Wei WI, 2006).
2.1.4. Etiologi
Etiologi karsinoma nasofaring bersifat multifaktorial, akan tetapi banyak
penelitian menunjukkan akan keberadaan virus Epstein Barr sangat dominan,
disamping penyebab lain seperti faktor genetik dan faktor lingkungan (Witte, et
al., 2001).
2.1.4.1. Genetik
Analisis genetik pada populasi endemik berhubungan dengan HLA-A2,
HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki
resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina
dengan keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan
lokus pada regio HLA. Studi dari kelemahan HLA pada orang-orang Cina
menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA A*0207 atau B*4601 tetapi tidak
pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat untuk terkena karsinoma
nasofaring (Witte, et al., 2001; Adham, 2002; Ballanger, 2003; Lee, 2003).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
2.1.4.2. Lingkungan
Paparan dari ikan asin dan makanan yang mengandung volatile nitrosamine
merupakan penyebab karsinoma nasofaring pada Cantonese. Konsumsi ikan asin
selama masa anak-anak berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma
nasofaring pada Cina Timur. Faktor makanan terutama konsumsi ikan asin yang
mengandung nitrosamin, merupakan mediator penting dan dapat menjadi
“alkylating Agent” yang diketahui dapat menginduksi terjadinya karsinoma sel
squamosa, adenokarsinoma dan tumor lain di kavum nasi dan sinus paranasal
atau daerah nasofaring. Hal ini didukung dengan penelitian pada binatang dimana
tikus yang diberikan diet ikan asin akan mendapat karsinoma pada rongga hidung
pada dosis tertentu. Paparan dari formaldehid pada udara dan debu kayu juga
berhubungan dengan peningkatan insiden karsinoma nasofaring. Laporan terakhir,
pada wanita pekerja tekstil di Shanghai, Cina juga memiliki peningkatan insiden
karsinoma nasofaring disebabkan akumulasi dari debu kapas, asam, caustic atau
dyeing process. Merokok juga berhubungan dengan peningkatan resiko karsinoma
nasofaring. Penelitian menunjukkan adanya paparan jangka panjang dari bahan-
bahan polusi memegang peranan dalam patogenesis karsinoma nasofaring. Faktor
lingkungan lain yang dapat meningkatkan resiko karsinoma nasofaring yang
pernah dilaporkan adalah penggunaan herbal china, dijumpainya nikel pada
daerah endemik, penggunaan alkohol dan infeksi jamur pada kavum nasi (Witte,
et al., 2001; Adham, 2002; Lee , 2003; Ballanger, 2003). Seringnya peradangan
didaerah nasofaring menyebabkan mukosa nasofaring menjadi rentan terhadap
karsinogen lingkungan dan memudahkan perubahan mukosa ke arah prekanker
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
serta faktor pendukung seperti lingkungan dan genetik sangat menentukan
timbulnya KNF (Soetjipto, 1986; Miller, et al., 1995; Hu, 1996; Wei Wi, et al.,
1996; Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003; Zheng, et al., 2007).
2.1.4.3. Virus Ebstein Barr
Sampai sekarang meskipun etiologi KNF belumlah jelas benar, akan tetapi
virus Epstein-Barr (EBV) dinyatakan sebagai etiologi utama penyebab KNF.
Virus Ebstein Barr dapat menginfeksi manusia dalam bentuk yang bervariasi.
Virus ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis dan dapat juga menyebabkan
limfoma burkit dan karsinoma nasofaring. virus Epstein-Barr 1 & 2 (EBV1,2)
yang berhubungan dengan karsinoma nasofaring. Sebagian besar kasus karsinoma
nasofaring pada orang-orang di Cina Selatan, Asia Tenggara, Mediteranian,
Afrika dan Amerika Serikat berhubungan dengan infeksi EBV-1. Kasus-kasus
yang mengenai Alaska Innuits hampir seluruhnya berhubungan dengan infeksi
EBV-2 (Witte, et al., 2001).
Virus Epstein-Barr hampir dapat dipastikan sebagai penyebab KNF, namun
pada kenyataannya tidak semua individu yang terinfeksi EBV akan berkembang
menjadi KNF. Virus ini menginfeksi limfosit B dan epitel orofaring. EBV
melakukan replikasi di epitel kelenjar parotis dan saluran nafas bagian atas,
sehingga virus yang infeksius dapat dilepaskan secara intermiten oleh individu
yang terinfeksi EBV. Virus Epstein-Barr mempunyai produk onkogen yang
dikenal sebagai Latent Membran Protein-1 (LMP1) yang terbukti secara in vitro,
menyebabkan transformasi sel epitel maupun limfosit B menjadi bentuk immortal
dan mempunyai peran penting pada karsinogenesis KNF (Bosman, 1996).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
2.1.5. Diagnois
Untuk dapat menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring, maka perlu
dilakukan anamnesa yang teliti, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan
pemeriksaan histopatologi.
2.1.5.1. Gejala klinis
Menurut Formula Digby, setiap simptom atau gejala mempunyai nilai
diagnostik dan berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan diagnosis karsinoma
nasofaring.
Tabel 2.1. Formula Digby (dikutip dalam Lica, 1999; Radiation Therapy)
Gejala Nilai
Massa terlihat pada nasofaring
Gejala khas di hidung
Gejala khas pendengaran
Sakit kepala unilateral / bilateral
Gangguan neurologik syaraf otak
Eksopthalmus
Limfadenopati leher
25
15
15
5
5
5
25
Bila jumlah nilai mencapai 50, maka diagnosis klinik karsinoma nasofaring
dapat dipertanggungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring,
namun tindakan biopsi tumor primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi
diagnosis histopatologi, juga untuk menentukan subtipe histopatologi yang erat
kaitannya dengan pengobatan dan prognosis. Gejala yang paling sering timbul
berupa kelainan pada leher, telinga, hidung dan saraf kranial. Berdasarkan
perkembangan tumornya, gejala KNF dapat dibagi dalam gejala dini dan lanjut.
Gejala dini KNF meliputi gejala hidung dan telinga. Gejala hidung dapat berupa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
epistaksis berulang yang biasanya sedikit dan bercampur ingus, hidung tersumbat
dan suara bindeng. Biasanya disertai pilek kronis dengan ingus yang kental
(Brennan, 2005; Soetjipto, 1986; Dol Cetti, et al., 2002; Adham, 2002; Lin,
2003; Roezin, et al., 2007). Gejala telinga yang sering membawa pasien berobat
ke dokter adalah rasa penuh, tidak enak dan suara mendengung. Keluhan tersebut
kadang disertai tuli akibat oklusi tuba Eustachii atau otitis media serosa. Gejala
telinga otitis media serous pada usia dewasa di Cina dilaporkan 41 % dari 237
pasien yang didiagnosis KNF (Wei WI, et al., 2006).
Gejala lanjut KNF dapat berupa gejala akibat perluasan tumor ke jaringan
sekitarnya. Tumor dapat meluas ke arah superior menuju ke intrakranial dan
menjalar sepanjang fossa kranii media, disebut penjalaran petrosfenoid. Sel tumor
biasanya masuk rongga tengkorak melalui foramen laserum dan menyebabkan
kerusakan atau lesi pada grup anterior saraf otak yaitu N. III, IV, V dan VI.
Menurut Siregar (1979) paling sering terjadi gangguan N.VI (keluhan diplopia)
yang disusul N.V (keluhan neuralgi trigeminal dan parestesi wajah). Gangguan
pada N. III berupa ptosis dan gangguan gerakan bola mata (oftalmoplegia).
Gangguan N.IV mengakibatkan kelumpuhan muskulus obliqus inferior bola mata.
Lesi saraf ini jarang merupakan kelainan yang berdiri sendiri tetapi sering diikuti
kelumpuhan N.III. Penekanan saraf-saraf ini terjadi pada dinding lateral sinus
kavernosus. Gangguan N.VI mengakibatkan kelumpuhan m. rektus bulbi lateral
sehingga timbul keluhan penglihatan dobel dan mata tampak juling (strabismus
konvergen). Keluhan lain akibat perluasan ke intra kranial berupa sakit kepala
yang sering kali hebat. Perluasan tumor kearah anterior menuju rongga hidung,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
sinus paranasal, fossa pterigopalatina dan dapat mencapai apeks orbita. Tumor
yang besar dapat mendesak palatum molle, menimbulkan gejala obstruksi jalan
napas atas dan jalan makanan. Perluasan tumor kearah postero lateral menuju ke
ruang parafaring dan fossa pterigopalatina yang kemudian masuk ke foramen
jugulare. Disini yang terkena adalah grup posterior saraf otak yaitu N. IX sampai
dengan N. XII, serta pleksus simpatikus servikalis yang berjalan menuju fasia
orbitalis. Bila terjadi kelumpuhan N. IX, X, XI dan XII disebut sindroma
retroparotidean (Siregar, 1979).
Metastase tumor ke kelenjar getah bening leher (regional) sering terjadi,
yaitu sekitar 60-97,5 % (Kentjono, 2003; Neel, et al., 1993; Skinner, et al.,
1991; Bambang, 1988). Gejala tumor leher yang besar, lebih sering didapatkan
pada KNF WHO tipe III dibandingkan dengan KNF WHO tipe I. Benjolan di
leher sering kali merupakan gejala pertama yang membawa penderita datang
berobat ke dokter. Harus dicurigai keganasan nasofaring apabila dijumpai trias
gejala yaitu 1) tumor leher, gejala telinga, gejala hidung, 2) gejala intrakranial,
gejala telinga, gejala hidung, dan 3) tumor leher, gejala intrakranial, gejala hidung
atau telinga (Soedijono, 1989).
2.1.5.2. Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara tidak
langsung yaitu rinoskopi posterior, nasoendoskopi dan flexiblelaringoskopi.
2.1.5.3. Radiologi
Digunakan untuk melihat massa tumor nasofaring dan melihat massa tumor
yang menginvasi pada jaringan sekitarnya dengan menggunakan :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
1) Computed Tomografi Scaning (CT Scan), dapat memperlihatkan penyebaran
ke jaringan ikat lunak pada nasofaring dan penyebaran ke ruang
paranasofaring. Sensitif mendeteksi erosi tulang, terutama pada dasar
tengkorak.
2) Magnetic Resonance Imaging (MRI), menunjukkan kemampuan imaging yang
multiplanar dan lebih baik dibandingkan CT dalam membedakan tumor dari
peradangan. MRI juga lebih sensitif dalam mengevaluasi metastase pada
retrofaringeal dan kelenjar limfe yang dalam. MRI dapat mendeteksi infiltrasi
tumor ke sumsum tulang, dimana CT tidak dapat mendeteksinya.
3) Foto thorak posterior/anterior (PA) dilakukan terutama untuk kepentingan
kecurigaan adanya metastasis ke paru.
4) USG abdomen digunakan untuk mengetahui adanya metastase jauh ke organ-
organ intra abdomen.
Pemeriksaan radiologi sebagai pemeriksaan penunjang yang penting untuk
menentukan luas tumor primer, adanya invasi ke organ sekitar, destruksi pada
tulang dasar tengkorak serta metastasis jauh. Pemeriksaan computerized
tomographic scanning (CT scan) dan magnetic resonance imaging (MRI)
merupakan pemeriksaan yang lebih informatif dan akurat mengenai perluasan
tumor. (Adinolodewo, et al., 2003; Adham, 2002; Witte, et al., 2001).
2.1.5.4. Serologi
Pada tumor, DNA Ebstein Barr bersifat homogen dan klonal melalui
pengulangan skuensi. Ekspresi dari spesific viral messenger RNAs atau produk
gen secara konsisten dapat dideteksi pada seluruh sel tumor. Virus dapat dideteksi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
pada tumor dengan pemeriksaan insitu hibridisasi dan tehnik imunohistokimia.
Dapat juga dideteksi dengan tekhnik PCR pada material yang diperoleh dari
asprasi biopsi jarum halus pada metastase kelenjar getah bening leher. Deteksi
dari antibodi Ig G ( yang dijumpai pada masa awal infeksi virus ) dan antibodi
Ig A ( yang dijumpai pada capsid viral antigen ) digunakan di Amerika Serikat
untuk mendukung diagnosis karsinoma nasfaring. Virus Ebstein Barr dapat
dijumpai pada Undifferentiated carcinoma dan non keratinizing squamous cell
carcinoma (Adinolodewo, et al., 2003 ).
2.1.5.5. Pemeriksaan Patologi
1) Biopsi aspirasi jarum halus (FNAB) pada kelenjar getah bening servikalis
Sejumlah kasus karsinoma nasofaring diketahui berdasarkan pemeriksaan
sitologi biopsi aspirasi kelenjar getah being servikalis.
2) Biopsi Histopatologi
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari mulut.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya ( blind
biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri
konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan
dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter
nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada di
dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama dengan ujung kateter
yang dihidung. Demikian juga dengan kateter disebelahnya sehingga
palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah
nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa
tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan
dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%. Pada kasus dengan tidak
dijumpainya lesi secara makroskopis, maka harus dilakukan biopsi yang
multipel dari daerah dinding lateral, superior dan posterior pada pasien
dengan resiko tinggi karsinoma nasofaring
2.1.6. Klasifikasi
Menurut WHO tahun 1987 , KNF dapat dibagi dalam 3 jenis gambaran
histopatologi yaitu ( Wei WI, 2006; Soetjipto, 1993) :
a. Karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi ( WHO tipe I ).
Tipe ini mempunyai sifat pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa
nasofaring. Sel kanker dapat berdiferensiasi baik sampai sedang dan
menghasilkan relatif cukup banyak bahan keratin baik di dalam sitoplasma
maupun di luar sel.
b. Karsinoma sel epidermoid tanpa keratinisasi ( WHO tipe II ).
Tipe ini menunjukkan diferensiasi sedang dan sebagian lainnya dengan
sel yang lebih kearah diferensiasi baik. Sel-sel ganas tersusun stratified atau
berimpitan menyerupai gambaran pada karsinoma sel transisional.
c. Karsinoma tanpa diferensiasi / Undifferentiated (WHO tipe III ).
Tipe ini mempunyai gambaran patologi yang sangat heterogen, sel ganas
berbentuk synctitial dengan batas sel yang tidak jelas.
Di Indonesia paling sering diketemukan jenis WHO tipe III. Soetjipto
(1989) pada penelitiannya di Bagian THT RSCM Jakarta (1980-1984)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
mendapatkan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebanyak 7,8 %, 2,5 %
dan 89,6 % (Soetjipto, 1993). Sedangkan Roezin dan Mahfuzh (1996) ditempat
yang sama mendapatkan angka 9 %, 11,3 % dan 79,5 %. Affandi (1992) pada
penelitiannya di Lab/ UPF THT FK UNPAD / RS. Dr.Hasan Sadikin Bandung,
selama 4 tahun (Januari 1986-Desember1989) mendapatkan KNF jenis poorly
diff.Ca. 14,8 %, well diff.Ca. 10,5 % dan jenis Undifferentiated sebanyak 70,7 %.
Sedangkan hasil penelitian di Poliklinik THT RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun
2000 menemukan jenis WHO tipe I, II dan III berturut-turut sebesar 5,6 %, 8 %
dan 85,6 % (Kentjono, et al., 2000).
2.1.7. Penentuan Stadium
Setelah diagnosis pasti ditegakkan, stadium perlu ditentukan dengan
menggunakan sistem TNM. Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas
kesepakatan antara UICC (union international contre cancer) dan AJCC (american
joint committee on cancer) pada tahun 1986. Pada saat ini telah diterbitkan edisi V
klasifikasi TNM oleh UICC. Untuk KNF pembagian TNM sebagai berikut :
T menggambarkan keadaan tumor primer, besarnya dan perluasannya
Tx : tumor primer tidak dapat dinilai
T0 : tidak ada tumor primer
Tis : karsinoma in situ
Nasofaring :
T1 : tumor terbatas didaerah nasofaring
T2 : tumor meluas ke jaringan lunak daerah orofaring dan atau fossa nasalis
T2a : tanpa perluasan ke daerah parafaring
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
T2b : dengan perluasan ke daerah parafaring
T3 : tumor menginvasi struktur tulang dan atau daerah sinus paranasal
T4 : tumor dengan perluasan ke daerah intra kranial dan atau keterlibatan
saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring atau daerah orbita
N menggambarkan keadaan Kelenjar limf regional ( N ) nasofaring :
Nx : kelenjar limf regional tidak dapat dinilai
N0 : tidak ada metastasis kelenjar limf regional
N1 : adanya metastase kelenjar limf unilateral, dengan ukuran kurang atau
sama dengan 6 cm di atas fossa supraklavikula
N2 : adanya metastasis kelenjar limf bilateral kurang atau sama dengan 6 cm
diatas fosa supraklavikula
N3 : adanya metastasis kelenjar limf
N3a : lebih dari 6 cm
N3b : perluasan kedaerah fossa supraklavikula
M menggambarkan Metastasis jauh ( M )
Mx : metastasis jauh tidak dapat di nilai
M0 : tidak ada metastasis jauh
M1 : adanya metastasis jauh
Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :
Stadium 0 : Tis N0 M0
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium IIA : T2a N0 M0
Stadium IIB : T1 N1 M0
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
T2a N1 M0
T2b N0,N1 M0
Stadium III : T1 N2 M0
T2a,T2b N2 M0
T3 N0,N1,N2 M0
Stadium IV A : T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IV B : T1,2,3,4 N3 M0
Stadium IV C : T1,2,3,4 N0,N1,N2 M1
Penentuan stadium yang lain adalah yang digunakan oleh Ho, di mana hanya ada
T1-3, sedangkan ada stadium V, yakni penderita dengan M1.
2.1.8. Pengobatan
Suwitodiharjo (2002) dan Vijayakumar, et al., (1997) menjelaskan prinsip
pengobatan karsinoma nasofaring pada dasarnya adalah radioterapi, kemoterapi
dan terapi kombinasi.
Pemilihan terapi kanker tidaklah mudah. Menurut Sukardja (2000),
berbagai faktor yang perlu diperhatikan misalnya 1) Jenis kanker, 2)
Kemosensitivitas dan radiosensitivitas kanker, 3) Imunitas Tubuh dan
kemampuan pasien untuk menerima terapi yang diberikan, dan 4) Efek samping
terapi yang bisa terjadi (Sukardja, 2000).
2.1.8.1. Radioterapi
2.1.8.1.1. Definisi Terapi Radioterapi
Menurut Lika (1999) terapi radioterapi adalah terapi sinar menggunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
energi tinggi yang dapat menembus jaringan dalam rangka membunuh sel
neoplasma .
2.1.8.1.2. Persyaratan Terapi Radioterapi
Penyembuhan total terhadap karsinoma nasofaring apabila hanya
menggunakan terapi radioterapi menurut Vijayakumar, et al., (1997) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1 Belum didapatkannya sel tumor di luar area radioterapi
2 Tipe tumor yang radiosensitif
3 Besar tumor yang kira-kira radioterapi mampu mengatasinya
4 Dosis yang optimal.
5 Jangka waktu radioterapi tepat
6 Sebisa-bisanya menyelamatkan sel dan jaringan yang normal dari efek
samping radioterapi.
Dosis radioterapi pada limfonodi leher tergantung pada ukurannya
sebelum kemoterapi diberikan. Suwitodiharjo (2002) menjelaskan pemberian
radioterapi pada limfonodi yang tak teraba diberikan radioterapi sebesar 5000
cGy, < 2 cm diberikan 6600 cGy, antara 2-4 cm diberikan 7000 cGy dan bila lebih
dari 4 cm diberikan dosis 7380 cGy, diberikan dalam 41 fraksi selama 5,5 minggu
(Suwitodiharjo, 2002)
2.1.8.1.3. Sifat Terapi Radioterapi
Terapi radioterapi menurut Vijakumar (1997), mempunyai sifat sebagai
berikut :
1. Merupakan terapi yang sifatnya lokal dan regional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
2. Mematikan sel dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa
mendestrukasi sel tumor
3. Memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor.
4. Ionisasi yang ditimbulkan oleh radioterapi dapat mematikan sel tumor.
5. Memiliki kemampuan mengurangi rasa sakit dengan mengecilkan ukuran
tumor sehingga mengurangi pendesakan di area sekitarnya..
6. Berguna sebagai terapi paliatif untuk pasien dengan perdarahan dari
tumornya.
7. Walaupun pemberian radioterapi bersifat lokal dan regional namun dapat
mengakibatkan defek imun secara general.
2.1.8.1.4. Efek Samping Terapi Radioterapi (Suwitodiharjo, 2002 ) :
1 Radiomukositis, stomatitis, hilangnya indra pengecapan, rasa nyeri dan
ngilu pada gigi.
2 Xerostomia, trismus, otitis media
3 Pendengaran menurun
4 Pigmentasi kulit seperti fibrosis subkutan atau osteoradionekrosis.
5 Pada terapi kombinasi dengan sitostatika dapat timbul depresi sumsum
tulang dan gangguan gastrointestinal.
6 Lhermitte syndrome karena radioterapi myelitis.
7 Hypothyroidism
2.1.8.1.5. Pengaruh Radioterapi pada DNA
Lesi DNA oleh radiasi dapat menghasilkan berbagai akibat biologis,
tergantung pada densitas radiasi atau Linear Energy Transfer (LET), dosis radiasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
interaksi radiasi dengan molekul sasaran, sensitivitas sel atau jaringan yang
terkena radiasi dan lain-lain (Early, et al., 1985)
Radikal bebas, terutama OH- dapat merusak tiga jenis zat (senyawa) yang
penting dalam mempertahankan integritas sel yaitu 1) DNA (perangkat genetik
penyusun gen dan kromosom), berfungsi vital dalam mengendalikan metabolisme
sel, 2) asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid
penyusun membran sel, dan 3) protein (enzim, reseptor dan antibodi) yang
berperan dalam metabolisme sel maupun respons terhadap sinyal. Struktur sel
yang paling peka terhadap radiasi adalah DNA. Gangguan DNA akan
menyebabkan kelainan atau perubahan pengaturan aktivitas sel. Radiasi sinar
pengion yang mengenai DNA dapat menyebabkan berbagai kerusakan antara lain
hidroksilasi (pecahnya basa timin dan sitosin), pembukaan inti purin dan pirimidin
serta putusnya gugus fosfat dari struktur siklisnya (rantai fosfodiester DNA) yang
berakibat perubahan kimia. Kerusakan DNA akan menyebabkan penyimpangan
pengaturan aktivitas seluler. Radikal OH bertanggung jawab atas sebagian besar
kerusakan yang terjadi pada DNA dan membran sel. Kerusakan yang sangat
penting adalah putus (pecahnya) berkas ganda dari DNA single / double strand
break (SSB/DSB), crosslinkage dalam rantai DNA dan perubahan basa-basa
pembentuk DNA. Kerusakan DNA ringan, masih bisa diperbaiki oleh sistem
perbaikan DNA (DNA repair system). Namun bila kerusakan DNA terlalu berat,
proses perbaikan (nucleotide excision repair) tidak dapat dilakukan secara
sempurna sehingga replikasi sel terganggu bahkan terjadi kematian sel. Rusaknya
DNA secara aktif memicu kematian sel terprogram (programmed cell death) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
disebut sebagai apoptosis. Mekanisme kematian sel melalui apoptosis berbeda
dengan nekrosis yang biasanya terjadi pada fase akut setelah terkena radiasi dosis
tinggi (sel langsung mati) (Boag, 1975)
Komponen membran sel yang terpenting ialah fosfolipid dan glikolipid
yang mengandung beberapa asam lemak tak jenuh (asam-asam linoleat, linolenat
dan arakidonat), sangat peka terhadap serangan radikal bebas terutama OH-.
Peroksidasi asam lemak tak jenuh pada membran sel menyebabkan penurunan
fluiditas dan permeabilitas membran sel sehingga integritasnya menurun. Keadaan
ini menyebabkan cairan ekstra seluler memasuki ruang intraseluler (intracellular
fluid droplet) dan terjadi perubahan konsentrasi ion Na, K, dan Ca yang penting
untuk mempertahankan fungsi sel. Hasil akhir peroksidasi lipid adalah
terputusnya rantai asam lemak menjadi senyawa toksik terhadap sel, antara lain
MDA, Etana dan Pentana. Ketiga senyawa ini (terutama MDA) dapat dipakai
sebagai petunjuk terjadinya peristiwa peroksidasi lemak membran sel. Senyawa
toksik ini menimbulkan kerusakan membran yang semakin parah (terjadi lisis).
Proses kematian sel dengan cara ini melalui 5 fase yaitu pre kondensasi,
kondensasi, fragmentasi, fagositosis dan degradasi. Apoptosis diawali oleh
ekspresi gen yang berefek peningkatan kadar kalsium intra sel yang menimbulkan
aktivasi enzim endonuklease sehingga terjadi kondensasi kromatin pada inti sel
(Boag, 1975; Maity, et al., 1994)
Radiasi menyebabkan fosforilasi dan penurunan produksi adenosine
triphosphate (ATP) yang mengakibatkan penurunan sintesis DNA. Hilangnya
fosforilasi, kelainan atau gangguan susunan nukleotida DNA dan oksidasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
merupakan efek primer radiasi yang menginduksi apoptosis. Radiasi ionisasi juga
menyebabkan hambatan proses reproduktif dan berhentinya siklus proliferasi sel
pada fase G1 (G1 arrest or block). Kerusakan membran sel dan DNA akan
mengaktifkan signal transduction pathways yang mengakibatkan siklus sel
berhenti (cell cycle arrest). Proses ini diawali dengan peningkatan ekspresi
Ataxia-Teleangiectasia gene (AT) yang kemudian memicu peningkatan ekspresi
gen p53 melalui transkripsi p21 yang merupakan inhibitor cdk dan menyebabkan
siklus sel berhenti pada fase G1. Keadaan ini menguntungkan karena sel kanker
yang berada dalam siklus pertumbuhan (cell cycle) lebih radiosensitif
dibandingkan sel kanker yang berada pada fase istirahat (G0) (Coleman, 1993;
Joiner, 1997)
Radiasi juga menghasilkan gelombang yang berefek sensitisasi p53 (tumor
suppressor gene) yang memicu apoptosis. Kematian sel melalui mekanisme
apoptosis ini diawali dengan kelainan genetik pada gen bcl2 yang berfungsi
sebagai regulator dalam proses apoptosis. Apoptosis akibat radiasi disebabkan
karena kerusakan atau kelainan susunan nukleotida DNA yang tidak dapat
diperbaiki oleh sistem reparasi DNA. Radiasi dapat mengenai semua sel, baik sel
kanker maupun sel normal. Sel yang terkena radiasi akan mengalami penurunan
sintesis DNA sehingga kegiatan mitosis tertunda (Coleman, 1993; Chang, et al.,
1997)
2.1.8.1.6. Pengaruh Terapi Radioterapi Terhadap Sistem Imun
Balkwill et al., (2001) menjelaskan bahwa segera setelah pemberian
radioterapi terjadi gangguan terhadap sel limfosit T, yang akibatnya memudahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
timbulnya berbagai macam infeksi (Balkwill, et al., 2001). Pasien dengan tumor
primer di leher dimana drainase limfatiknya juga di leher , setelah diberikan
radioterapi mengakibatkan berkurangnya limfosit darah tepi secara signifikan.
Jumlah limfosit T CD4+ menurun lebih bermakna dibandingkan penurunan jumlah
sel limfosit T CD8+. Gangguan akibat radioterapi tidak hanya mempengaruhi
jumlah sel limfosit T namun juga mengakibatkan defek pada fungsi sel T. Adanya
gangguan fungsi dibuktikan dengan sulitnya sel T ini distimulasi pada percobaan
invitro. Apakah defek jumlah dan fungsi limfosit T pada penderita yang diterapi
radioterapi dapat reversibel? Penelitian menunjukkan bahwa ada kecenderungan
normalisasi sel limfosit T CD4+ setelah 3-4 minggu pasca radioterapi (Balkwill, et
al., 2001).
Radioterapi pada KNF meliputi daerah yang cukup luas sehingga dapat
mengenai sel efektor imunologik baik yang beredar di sirkulasi (sistemik) maupun
di jaringan limfoid mukosa hidung, nasofaring dan tenggorok (ring of
Waldeyer’s), yang termasuk dalam sistem imun mukosal. Efek radiasi pada sel
imun dapat menurunkan prognosis penderita. Sel limfosit (white blood cells)
adalah sel yang paling radiosensitif dan pertama kali menghilang dari sirkulasi,
kemudian diikuti granulosit. Radioterapi dapat menyebabkan penurunan jumlah
total limfosit serta kualitasnya. Setelah radioterapi, terjadi penurunan jumlah total
limfosit sebesar 50-60% dibandingkan dengan sebelum radioterapi. Disamping
limfosit T, radioterapi juga menyebabkan penurunan hitung limfosit B dan sel NK
darah tepi. Sel-sel imun ini akan kembali normal pada 13 minggu setelah
radioterapi dan yang paling lambat adalah sel T. Selain itu, sistem imun seluler
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
lokal (sel Tc, NK dan makrofag) pada jaringan tumor KNF juga mengalami
penurunan (Maity, et al., 1994)
Radikal bebas yang terbentuk akibat proses ionisasi air akan menyebabkan
stres (exhaustion stage) pada sel imunokompeten (stress immunocompetent cell)
terutama makrofag yang menyebabkan hambatan atau penurunan aktivitas sel
imunologis yang berperan dalam respons Th1. Penurunan fungsi imunitas seluler
oleh radiasi, dibuktikan dengan tes respons transformasi sel limfosit terhadap
phytohemaglutinin (PHA). Proses penurunan transformasi terjadi sejak radiasi 0,5
Gy sampai titik optimal pada minggu ke 4. Penurunan transformasi sel limfosit
masih terjadi sampai 4 - 6 minggu pasca radioterapi. Setelah penyinaran
berlangsung 6 minggu ternyata tubuh penderita dapat mengadakan perbaikan,
sehingga indeks transformasi dan hitung limfosit mengalami kenaikan. 2 minggu
setelah selesai penyinaran indeks transformasi masih terus meningkat. Indeks
transformasi terendah pada minggu ke empat penyinaran dapat sampai dibawah
normal yaitu 30,7 (normalnya 37,18 -45,26) (Maity, et al., 1994; Kentjono, 2001)
Radioterapi mengakibatkan penurunan fungsi sistem imun lokal pada
jaringan tumor dan juga penurunan respons imun sel makrofag, NK, TCD4, sel T
pemroduksi IL-4, dan IFN-γ (respons Th1). Jadi radiasi mempunyai efek
imunosupresor. Penurunan respons imun (khususnya respons Th1) penderita KNF
pasca radioterapi akan sangat merugikan. Selain meningkatnya risiko terkena
infeksi mikroba (lebih dari 90% penderita meninggal akibat infeksi), penurunan
respons Th1 sebagai cerminan kualitas immune surveillance yang rendah (buruk)
dapat menyebabkan pertumbuhan KNF makin progresif, residif dan metastasis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
(imunitas berperan mengeliminir residu sel KNF pasca radiasi). Beberapa
penelitian yang dilakukan pasca radioterapi pada keganasan jenis karsinoma sel
skuamosa kepala leher (termasuk KNF) menemukan peningkatan yang tinggi
kadar prostaglandin E2 (PGE2) yang berefek imunosupresi (penurunan respons
imun seluler). Selain diproduksi oleh sel kanker, PGE2 juga diproduksi oleh
makrofag yang tersupresi oleh radiasi (Rabben, et al., 1976; Wolf, et al., 1987;
Baxevanis, et al., 1993)
Sebuah penelitian melakukan pengukuran dosis radiasi yang mengenai
kelenjar timus pada pasien KNF yang mendapat radioterapi. Hasil penelitian
membuktikan bahwa kelenjar timus tetap terkena radiasi walaupun dosisnya kecil.
Radioterapi menyebabkan penurunan imunitas seluler pada penderita KNF
karena: (1) besarnya volume darah yang terpapar radiasi, (2) kelenjar timus masih
tetap menerima radiasi sekalipun radiasi yang dipakai hanya 390 rads dan (3)
malnutrisi dan menurunnya berat badan karena mukositis (Rabben, et al., 1976;
Wolf, et al., 1987; Baxevanis, et al., 1993)
2.1.8.1.7. Jenis Pemberian Terapi Radioterapi (Suwitodiharjo, 2002)
Terapi radioterapi pada karsinoma nasofaring bisa diberikan sebagai
radioterapi eksterna dengan berbagai macam teknik fraksinasi dan radioterapi
interna (brachytherapy ) yang bisa berupa permanen implant atau intracavitary
barchytherapy.
(a) Radioterapi eksterna dapat digunakan sebagai :
1. pengobatan efektif pada tumor primer tanpa pembesaran kelenjar getah
bening
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
2. pembesaran tumor primer dengan pembesaran kelenjar getah bening
3. Terapi yang dikombinasi dengan kemoterapi
4. Terapi adjuvan diberikan pre operatif atau post operatif pada neck
dissection
(b) Radioterapi Interna/ brachyterapi bisa digunakan untuk :
1. Menambah kekurangan dosis pada tumor primer dan untuk menghindari
terlalu banyak jaringan sehat yang terkena radioterapi.
2. Sebagai booster bila masih ditemukan residu tumor
3. Pengobatan kasus kambuh.
2.1.8.2. Kemoterapi
2.1.8.2.1. Definisi Kemoterapi
Kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat menghambat
pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat anti kaker ini
dapat digunakan sebagai terapi tunggal (active single agents), tetapi kebanyakan
berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi sitotoksik terhadap sel
kanker. Selain itu sel-sel yang resisten terhadap salah satu obat mungkin sensitif
terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek
samping menurun (Kentjono, 2002)
2.1.8.2.2. Tujuan Kemoterapi
Tujuan kemoterapi adalah untuk menyembuhkan pasien dari penyakit
tumor ganasnya. Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal
dan juga untuk mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh. Secara lokal
dimana vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
menerima kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Dan karsinoma sel skuamosa
biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi ini.
2.1.8.2.3. Obat-Obat Sitostatika yang direkomendasi FDA untuk Kanker
Kepala Leher
Beberapa sitostatika yang mendapat rekomendasi dari FDA (Amerika)
untuk digunakan sebagai terapi keganasan didaerah kepala dan leher yaitu
Cisplatin, Carboplatin, Methotrexate, 5-fluorouracil, Bleomycin, Hydroxyurea,
Doxorubicin, Cyclophosphamide, Doxetaxel, Mitomycin-C, Vincristine dan
Paclitaxel. Akhir-akhir ini dilaporkan penggunaan Gemcitabine untuk keganasan
didaerah kepala dan leher (Sukardja, 2000)
2.1.8.2.4. Sensitivitas Kemoterapi terhadap Karsinoma Nasofaring
Kemoterapi memang lebih sensitif untuk karsinoma nasofaring WHO I
dan sebagian WHO II yang dianggap radioresisten. Secara umum karsinoma
nasofaring WHO-3 memiliki prognosis paling baik sebaliknya karsinoma
nasofaring WHO-1 yang memiliki prognosis paling buruk (Chan et al., 2002).
Adanya perbedaan kecepatan pertumbuhan (growth) dan pembelahan
(division) antara sel kanker dan sel normal yang disebut siklus sel (cell cycle)
merupakan titik tolak dari cara kerja sitostatika. Hampir semua sitostatika
mempengaruhi proses yang berhubungan dengan sel aktif seperti mitosis dan
duplikasi DNA. Sel yang sedang dalam keadaan membelah pada umumnya lebih
sensitif daripada sel dalam keadaan istirahat (Lica, 1999)
Berdasar siklus sel maka kemoterapi ada yang bekerja pada semua siklus
(Cell Cycle non Spesific) artinya bisa pada sel yang dalam siklus pertumbuhan sel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
bahkan dalam keadaan istirahat. Ada juga kemoterapi yang hanya bisa bekerja
pada siklus pertumbuhan tertentu ( Cell Cycle phase spesific ) (Lica, 1999).
Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu pada siklus
sel disebut cell cycle specific. Sedangkan obat yang dapat menghambat
pembelahan sel pada semua fase termasuk fase G0 disebut cell cycle nonspecific.
Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain Metotrexate dan 5-FU,
obat-obat ini merupakan anti metabolit yang bekerja dengan cara menghambat
sintesa DNA pada fase S. Obat antikanker yang tergolong cell cycle nonspecific
antara lain Cisplatin. Cisplatini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA
sehingga mencegah replikasi dan bekerja pada fase G1 dan G2, Doxorubicin pada
fase S1, G2, M, Bleomycin pada fase G2 dan M, sedangkan Vincristine pada fase
S dan M (Lica , 1999)
G1
S
G2
M
Cisplatin
5 FU
Gambar 2.3 : Mekanisme kerja kemoterapi pada siklus sel.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Dapat dimengerti bahwa zat dengan aksi multipel bisa mencegah
timbulnya klonus tumor yang resisten, karena obat-obat ini cara kerjanya tidak
sama. Apabila resiten terhadap agen tertentu kemungkinan sensitif terhadap agen
lain yang diberikan, dikarenakan sasaran kerja pada siklus sel berbeda (Lica,
1999)
2.1.8.2.5. Mekanisme Cara Kerja Kemoterapi
Kebanyakan obat anti neoplasma yang secara klinis bermanfaat, agaknya
bekerja dengan menghambat sintesis enzim maupun bahan esensial untuk sintesis
dan atau fungsi asam nukleat. Berdasarkan mekanisme cara kerja obat, zat yang
berguna pada tumor kepala leher dibagi sebagai berikut (Lica , 1999) :
(a) Antimetabolit
Obat ini menghambat biosintesis purin atau pirimidin. Sebagai contoh MTX,
menghambat pembentukan folat tereduksi, yang dibutuhkan untuk sintesis
timidin.
(b) Obat yang mengganggu struktur atau fungsi molekul DNA.
Zat pengalkil seperti CTX ( Cyclophosphamide) mengubah struktur DNA,
dengan demikian menahan replikasi sel. Di lain pihak, antibiotika seperti
dactinomycin dan doxorubicin mengikat dan menyelip diantara rangkaian
nukleotid molekul DNA dan dengan demikian menghambat produksi mRNA.
(c) Inhibitor mitosis
Obat golongan ini seperti alkaloid vinka contohnya vincristine dan vinblastine,
menahan pembelahan sel dengan mengganggu filamen mikro pada kumparan
mitosis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
2.1.8.2.6. Cara Pemberian Kemoterapi
Secara umum kemoterapi bisa digunakan dengan 4 cara kerja yaitu
(Kentjono, 2002; Chan, 2002) :
a) Sebagai neoadjuvant yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan
dan atau radioterapi.
b) Sebagai concomitant yaitu kemoterapi diberikan bersamaan dengan
radioterapi pada kasus karsinoma stadium lanjut.
c) Sebagai adjuvant yaitu sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau
radioterapi
d) Sebagai terapi utama yaitu digunakan tanpa radioterapi dan pembedahan
terutama pada kasus kasus stadium lanjut dan pada kasus kanker jenis
hematologi (leukemia dan limfoma).
Menurut prioritas indikasinya terapi terapi kanker dapat dibagi menjadi
dua yaitu terapi utama dan terapi adjuvan (tambahan/ komplementer/ profilaksis).
Terapi utama dapat diberikan secara mandiri, namun terapi adjuvan tidak dapat
mandiri, artinya terapi adjuvan tersebut harus meyertai terapi utamanya.
Tujuannya adalah membantu terapi utama agar hasilnya lebih sempurna (Chan, et
al., , 2002; Quinn, et al., 2003)
Menurut Sukardja (2000) bahwa terapi adjuvan tidak dapat diberikan
begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya
yang maksimal ternyata :
1 kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
2 kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
makroskopis.
3 pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
2.1.8.2.7. Efek Samping Kemoterapi
Obat kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal
yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada
traktus gastro intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi
sumsum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro
intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi saluran cerna.
Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut (Chan, et al.,
2002). Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum tulang,
folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika.
Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat
lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada
sel kanker (Cody, et al., 1993).
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas
terhadap jantung, yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru
berupa kronik fibrosis pada paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering
terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan
neurologi juga merupakan salah satu efek samping pemberian kemoterapi (Cody,
et al., 1993)
Untuk menghindari efek samping intolerable, dimana penderita menjadi
tambah sakit sebaiknya dosis obat dihitung secara cermat berdasarkan luas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
permukaan tubuh (m2) atau kadang-kadang menggunakan ukuran berat badan
(kg). Selain itu faktor yang perlu diperhatikan adalah keadaan biologik penderita.
Untuk menentukan keadaan biologik yang perlu diperhatikan adalah keadaan
umum (kurus sekali, tampak kesakitan, lemah sadar baik, koma, asites, sesak, dll),
status penampilan (skala Karnofsky, skala ECOG), status gizi, status hematologis,
faal ginjal, faal hati, kondisi jantung, paru dan lain sebagainya (Sukardja, 2000)
Penderita yang tergolong good risk dapat diberikan dosis yang relatif
tinggi, pada poor risk (apabila didapatkan gangguan berat pada faal organ
penting) maka dosis obat harus dikurangi, atau diberikan obat lain yang efek
samping terhadap organ tersebut lebih minimal. Efek samping kemoterapi
dipengaruhi oleh (Skee, 1987) :
1. Masing-masing agen memiliki toksisitas yang spesifik terhadap organ tubuh
tertentu.
2. Dosis.
3. Jadwal pemberian.
4. Cara pemberian (iv, im, peroral, per drip infus).
5. Faktor individual pasien yang memiliki kecenderungan efek toksisitas pada
organ tertentu.
2.1.8.2.8. Persyaratan Pasien yang Layak diberi Kemoterapi
Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan kelemahan,
yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi untolerable side effect. Sebelum
memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut (Sukardja 2000) :
1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
status penampilan ≤ 2 atau Karnovsky Scale ≥ 70 %
2. Jumlah lekosit ≥ 4500/ml
3. Jumlah trombosit ≥150.0000/ul
4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 12
5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam)
6. Bilirubin <2 mg/dl. , SGOT dan SGPT dalam batas normal.
7. Elektrolit dalam batas normal.
8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia
diatas 70 tahun.
2.1.8.2.9. Status Penampilan Penderita karsinoma ( Performance Status )
Status penampilan ini mengambil indikator kemampuan pasien, dimana
penyait kanker semakin berat pasti akan mempengaruhi penampilan pasien. Hal
ini juga menjadi faktor prognostik dan faktor yang menentukan pilihan terapi yang
tepat pada pasien dengan sesuai status penampilannya. Skala status penampilan
menurut ECOG ( Eastern Cooperative Oncology Group) dan Karnofsky seperti
pada table 2.2.
2.1.8.3. Kemoterapi neoadjuvant
2.1.8.3.1. Definisi Kemoterapi neoadjuvant
Kemoterapi neoadjuvant adalah pemberian kemoterapi yang diberikan
sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi dan radioterapi dalam rangka
mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan survival pasien dengan
cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi. Begitu banyak
variasi agen yang digunakan dalam kemoterapi neoadjuvant ini sehingga sampai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
saat ini belum didapatkan standar kemoterapi neoadjuvant yang definitif
(Kentjono, 2002).
Tabel 2.2. Performance status (dikutip dari Preith, et al., 2000; Cancer Therapy, hal : 291)
ECOG KARNOFSKY
Grade 0 : masih sepenuhnya aktif, tanpa hambatan untuk mengerjakan tugas kerja dan pekerjaan sehari-hari. Grade 1: hambatan pada perkerjaan berat, namun masih mampu bekerja kantor ataupun pekerjaan rumah yang ringan.
Grade 2: hambatan melakukan banyak pekerjaan, 50 % waktunya untuk tiduran dan hanya bisa mengurus perawatan dirinya sendiri, tidak dapat melakukan pekerjaan lain. Grade 3 : Hanya mampu melakukan perawatan diri tertentu, lebih dari 50% waktunya untuk tiduran. Grade 4 : Sepenuhnya tidak bisa melakukan aktifitas apapun, betul-betul hanya di kursi atau tiduran terus.
Index 100 % : aktifitas normal, tidak ada komplain, tidak ada kejadian sakit. Index 90 % : dengan sedikit keluhan dan gejala penyakit, tetapi masih bisa mengejakan aktifitas normal. Index 80 % : dengan beberapa keluhan dan gejala penyakit dan hambatan, ada penurunan untuk melakukan aktifitas. Index 70 % : tidak mampu mengerjakan aktifitas normal atau untuk bekerja, tetapi masih bisa mengurus diri sendiri. Index 60 % : kadang dibutuhkan kehadiran asisten, tetapi masih mampu untuk mengurus beberapa diri sendiri. Index 50 % : dibutuhkan asisten terus menerus untuk perawatan diri sendiri, pengobatan . Index 40 % : tidak mampu, dibutuhkan perawatan khusus dan asisten Index 30 % : tidak mampu secara berat, indikaasi perawatan rumah sakit, sangat diperlukan perawatan diri. Index 20 % : sangat sakit, perawatan rumah sakit, diperlukan pengobatan supportif secara aktif. Index 10 % : morbund
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
2.1.8.3.2. Manfaat Kemoterapi neoadjuvant.
Manfaat Kemoterapi neoadjuvant adalah (Ballenger , 1994) :
a) Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan
memberikan hasil terapi radioterapi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat
tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak
terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula
berkurangnya jumlah sel hipoksia.
b) Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
c) Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radioterapi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten,
memiliki manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang
sudah sempat terpapar radioterapi (Kentjono, 2002).
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor
sebelum radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvant didasari atas
pertimbangan vascular bed tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju
massa tumor masih baik. Disamping itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini
dapat memberantas mikrometastasis sistemik seawal mungkin. Kemoterapi
neoadjuvant pada keganasan kepala leher stadium II – IV dilaporkan overall
response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response ) sekitar 50%.
Kemoterapi neoadjuvant yang diberikan sebelum terapi definitif berupa
radioterapi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor
(organ preservation) (Sukardja, 2000).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi
perbaikan kerusakan DNA akibat induksi radioterapi. Sedangkan Hidroksiurea
dan Paclitaxel dapat memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif
terhadap radioterapi (Kentjono , 2002). Dengan cara ini diharapkan dapat
membunuh sel kanker yang sensitif terhadap kemoterapi dan mengubah sel kanker
yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap radioterapi. Keuntungan
kemoterapi neoadjuvant adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu mencegah
resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat
recovery DNA pada sel kanker yang sublethal.
2.1.8.3.3. Kelemahan Kemoterapi neoadjuvant .
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain
mukositis, leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat
menyebabkan penundaan sementara radioterapi. Toksisitas Kemoterapi
neoadjuvant dapat begitu besar sehingga berakibat fatal (Kentjono, 2002). Untuk
mengurangi efek samping dari kemoterapi neoadjuvant diberikan kemoterapi
tunggal (single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk
meningkatkan sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer).
Sitostatika yang sering digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX
dengan response rate 15%-47% (Sukardja, 2000).
2.1.8.4. Penilaian hasil akhir pengobatan karsinoma
Penilaian hasil pengobatan dengan kemoterapi, baik tunggal maupun
kombinasi dengan pembedahan atau radioterapi, biasanya dilakukan setelah 3-4
minggu. Hasil kemoterapi dapat dilihat dari 2 aspek yaitu respons atau hilangnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
kanker (response rate) dan angka ketahanan hidup penderita (survival rate). Dari
aspek hilangnya kanker hasil kemoterapi dinyatakan dengan istilah-istilah yang
lazim dipakai yaitu (Sukardja 2000; Manfred, 2001) :
1) Sembuh ( cured )
2) Respon komplit ( complete response/ CR ) : semua tumor menghilang untuk
jangka waktu sedikitnya 4 minggu
3) Respons parsial ( partial response/ PR ) : semua tumor mengecil sedikitnya
50 % dan tidak ada tumor baru yang timbul dalam jangka waktu sedikitnya 4
minggu.
4) Tidak ada respons (no response/ NR): tumor mengecil kurang dari 50 % atau
membesar kurang dari 25 %
5) Penyakit Progresif ( progresive disese/PD ) : tumor makin membesar 25 %
atau lebih atau timbul tumor baru yang dulu tidak diketahui adanya.
6) Disamping itu, dikenal suatu periode penderita terbebas dari penyakitnya
(disease free survival ).
Pada beberapa tumor disamping ukuran tumor, perkembangannya dapat
dipantau berdasarkan kadar tumor marker.
2.1.8.5. Pola Regresi Tumor
Terdapat perbedaan pola regresi antara tumor perimer dan kelenjar getah
bening leher. Terjadi Complete Respons (CR) pada akhir dari radioterapi (62%)
dan meningkat menjadi 80 % pada 2 bulan pasca radioterapi, sedangkan pada
kelenjar getah bening leher CR hanya 32 % pada akhir radioterapi dan meningkat
menjadi 76 % pada 2 bulan setelah radioterapi. Jadi biopsi sebaiknya dilakukan 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
bulan setelah radioterapi (Vijayakumar, 1997).
2.2. Virus Epstein-Barr
Virus Epstein-Barr merupakan virus yang digolongkan dalam human herpes
virus. Jika menginfeksi penderita, akan selalu ada sepanjang hidup penderita
dalam bentuk infeksi asimtomatik. EBV merupakan virus DNA yang onkogenik
dan berhubungan dengan beberapa penyakit antara lain karsinoma nasofaring,
limfoma Burkit, penyakit Hodgkin dan mononukleosis infeksiosa (Miller, et al.,
1995; Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003).
2.2.1. Struktur genom dan karakteristik molekuler infeksi EBV
Genom EBV berbentuk linear dengan DNA untai ganda (double-stranded),
panjangnya sekitar 172-kb pasangan basa. Dalam keadaan infeksi pada limfosit B,
DNA EBV ditransport ke dalam inti sebagai genom sirkuler ekstra kromosom
(episome). Disamping itu didapatkan ekspresi gen laten yang memberikan
kontribusi terjadinya perubahan fenotip keganasan. Didapatkan protein ekspresi
gen laten terdiri dari EBNA 1,2,3A,3B,3C, EBNA-LP yang dikontrol oleh p53,
dan tiga protein membran yaitu latent membrane protein-1, 2A, 2B serta dua
Epstein-Barr virus encoded mRNA. Sebagian besar genom virus
ditransformasikan oleh EBV secara in vitro dalam bentuk episom. Karena hal di
atas muncullah teori bahwa EBV mengaktifkan transformasi melalui ekspresi
beberapa gen yang aktif saat infeksi laten. Bentuk infeksi laten EBV pada sel
limfosit B dibedakan menjadi 3 latensi : latensi I, latensi II, latensi III.
Karakteristik ke 3 jenis laten ini di dasarkan atas ekspresi jenis tertentu gen laten.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Pola latensi ini digunakan dalam pengelompokan EBV dalam hubungannya
dengan timbulnya penyakit (Miller, et al., 1995; Gulley, 2000; Macswee, et al.,
2003).
Infeksi EBV pertama dimulai di daerah orofaring. Kemampuan virus
mempertahankan infeksi yang persisten aktif dan litik ini menyebabkan infeksi ini
dapat menetap selama bertahun-tahun pada tingkat tertentu. Infeksi EBV
terbanyak terjadi melalui kontak oral atau penyebaran melalui saliva. Setelah
kontak pertama, EBV melakukan replikasi di epitel kelenjar parotis dan saluran
nafas bagian atas, sehingga virus yang infeksius dapat dilepaskan secara
intermiten oleh individu yang terinfeksi oleh EBV. Setelah virus menetap dalam
sel epitel, virus tersebut dapat menginfeksi sel limfosit B yang bersirkulasi dan
ditemukan dalam jumlah besar di jaringan epitel saluran nafas atas. Limfosit B
yang baru terbentuk juga akan terinfeksi bila melalui daerah tersebut. Beberapa
fakta memperlihatkan bahwa limfosit B merupakan lokasi utama infeksi laten dan
merupakan sumber penyebaran infeksi ke permukaan epitel bagian distal,
termasuk nasofaring. Masuknya EBV ke dalam limfosit B dimungkinkan oleh
adanya ikatan selektif pada komponen cluster of differentiation (CD) 21.
Glikoprotein (Gp) 350/250 merupakan reseptor membran virus yang dapat
mengenali CD 21 (Miller, et al., 1995; Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003).
Pada penderita carrier EBV, Infeksi virus ini menginduksi 2 jenis proses
infeksi dalam sel pejamu. Infeksi litik menginduksi siklus lengkap replikasi virus
termasuk produksi partikel-partikel virus yang infeksius dan dilepaskan setelah
sel mengalami lisis. Pada fase litik ditandai dengan ekspresi berbagai protein
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
transkripsi dan protein virus, termasuk berbagai gen protein awal (BZLF 1 atau
ZEBRA), antigen awal (early antigen = EA), antigen laten (viral capsid antigen =
VCA) dan antigen membran (mambrane antigen = MA). Karena itu bila BZLF 1
tidak diekspresikan menandakan fase laten. Bentuk ini dapat menginfeksi sel dan
orang lain. Bentuk lain yaitu infeksi laten yang hanya menginduksi aktivasi
sejumlah kecil gen virus dan tidak mengakibatkan lisis sel pejamu. EBV bentuk
laten ini dapat menghindar dari respon imun sel pejamu, sehingga infeksi dapat
menetap. Infeksi laten merupakan karakteristik kelompok virus herpes. Pada
keadaan ini genom EBV dalam bentuk episom, sedangkan limfosit B yang
terinfeksi EBV dalam bentuk laten mengekspresikan gen EBNA-1, LMP1 dan
LMP-2 (Miller, et al., 1995; Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003).
Perubahan status laten ke bentuk litik dimulai dengan aktivasi protein yang
disandi onkogen virus pada limfosit B dan sel epitel. Genom EBV, double-
stranded deoxyribonucleic acid (dsDNA) linier dibentuk melalui replikasi cetakan
episom dan dengan perantaraan polimerase DNA virus. Selanjutnya DNA linier
ini menjadi bentuk sirkuler ( lingkaran ) saat proses infeksi EBV - DNA menjadi
virion yang infeksius (Miller, et al., 1995; Gulley, 2000; Macswee, et al., 2003;
Abbas, et al., 2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Gambar 2.4. Infeksi EBV pada penderita carrier . Infeksi primer EBV dimulai di orofaring, setelah kontak pertama EBV melakukan replikasi virus dilepaskan secara intermiten. Virus mempunyai kemampuan infeksi yang persisten-aktif dan litik yang mentebabkan infeksi dapat menetap (dikutip dari Prasad, 1975 ).
2.2.2. Latent Membrane Protein-1
LMP1 merupakan protein membran dengan berat molekul 60– 66 kDa.
LMP1 mempunyai struktur yang menyatu dengan membran protein yang terdiri
dari tiga domain yaitu domain intracytoplasmic nitrogen terminus, hydrofobik
transmembran dan intracytoplasmic Carbon terminus. Domain terminal karbon
sitoplasma dapat diidentifikasi menggunakan antibodi monoklonal S 1 - 2 dan CS
1 - 4 dengan teknik pewarnaan imunohistokimia. Dari penelitian terdahulu
didapatkan ekspresi LMP1 pada KNF yang bervariasi yaitu sebesar 50 % sampai
67 % (Miller, et al., 1995; Gulley, 2000; Lasniroha, 2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
LMP1 merupakan onkogen virus potensial yang mempunyai beberapa
fungsi dan peran biologi penting pada karsinogenesis KNF. Transkripsi dari gen
LMP1 membentuk messenger ribonucleic acid (mRNA) yang merupakan
transkripsi genom virus paling dominan pada sel limfosit B dan ditransformasikan
oleh EBV (Xu, 2000). LMP1 menginduksi transformasi sel B dan perkembangan
tumor dengan jalan meningkatkan regulasi marker sel B yaitu CD23, CD39,
CD40 dan juga molekul adesi CD11a yang disebut juga sebagai lymphocyte
function antigen-1 (LFA-1), CD54, CD58 serta vimentin. LMP1 dapat
menginduksi cyclin D2 dan menghambat efek tumour growth factor (TGF)-a1
pada sel B, mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terkontrol. LMP1
menginduksi sintesis DNA pada proses proliferasi sel. LMP1 mengaktifasi
nuclear factor-kappa B lymphocyte (NF-kB) dan jalur janus kinases (JAK) oleh
aktifasi daerah terminal karbon 1 dan 2 yang menyebabkan proliferasi sel tidak
terkontrol. LMP1 menginduksi ekspresi proto-onkogen seluler B–cell leukemia–2
(bcl-2) yang akan melindungi sel dari proses apoptosis. Selain itu LMP1
menghambat proses diferensiasi sel juga melalui jaras bcl-2. LMP1 dapat
menginduksi aktivasi gen yang mengekspresikan protein A-20 yang dapat
menginaktivasi fungsi p53 sehingga menghambat proses apoptosis sel. Dari
beberapa hal di atas diketahui bahwa ekspresi LMP 1 berperan pada proses
imortalisasi dan merupakan salah satu tahap dalam proses karsinogenesis
KNF (Miller, et al., 1995; Lin, 2003; Macswee, et al., 2003).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
2.3. Respon Imun terhadap Tumor
Penelitian secara in vivo dan in vitro telah memperlihatkan bahwa respons
imun pada manusia terhadap kanker memang ada. Beberapa fakta menunjukkan
bahwa ada beberapa tumor ganas tertentu dapat sembuh spontan seperti melanoma
maligna dan neuroblastoma (Sukardja, 2000). Di samping itu penderita dengan
defisiensi imun ditemukan keganasan 200 kali dari pada yang diperkirakan. Fakta
lain adalah meningkatnya risiko kanker pada penderita yang pengobatan
imunosupresif, meningkatnya insiden keganasan pada periode neonatal dan usia
lanjut, serta banyak sel kanker mengandung infiltrasi sel-sel mononuklear yang
terdiri atas sel T, sel NK dan makrofag (Abbas, et al., 2007).
Adanya antigen tumor dipermukaan sel KNF seperti Epstein-Barr nuclear
antigen (EBNA 1-6) dan latent membrane protein (LMP 1,2) dipastikan
mempunyai efek imunologik yang penting. Namun, pada kenyataannya banyak
tumor ganas yang tetap bisa tumbuh, karena fungsi sistem imun untuk
menghambat atau menghancurkan sel tumor (immune surveillance) relatif tidak
efektif (Kentjono, 2003).
Pertahanan tubuh terhadap infeksi virus maupun antigen asing antara lain
diperankan oleh imunitas alamiah (innate immunity) pada tahap infeksi akut dan
proses selanjutnya diperankan oleh imunitas yang di dapat (adaptive immunity).
Innate immunity terdiri dari mekanisme yang telah ada sebelum terjadi infeksi
virus dan bereaksi dengan jalan yang sama pada infeksi berulang. Berbeda dengan
innate immunity, adaptive immunity memerankan mekanisme pertahanan yang
lebih tinggi distimulasi oleh paparan agen infeksi dan meningkatkan jumlah serta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
kemampuan bertahan setiap kali terkena paparan mikroorganisme (Kuby, et al.,
1997; Baratawidjaja, 2001; Abbaset, et al., 2007).
Respon imun didapat dibedakan menjadi respon imun humoral dan seluler.
Respon imun humoral diperantarai oleh molekul darah yang dihasilkan oleh
limfosit B, sedangkan respon imun seluler diperantarai oleh sel limfosit T. Kedua
respon imun tersebut diperantarai oleh komponen berbeda dan menjalankan fungsi
membunuh mikroorganisme dengan tipe yang berbeda pula (Abbas, et al., 2007).
Sel limfosit T mempunyai beberapa fungsi penting dan terbagi menjadi dua
kategori, yaitu sebagai regulator dan efektor. Fungsi regulator diperankan oleh sel
T helper (Th) yang mengekspresikan protein permukaan berupa CD4+ yang
berperan dalam melawan mikroorganisme (gambar 2.4) . Sedangkan fungsi
efektor diperankan oleh cytotoxic T lymphocytes (CTLs) yang mengekspresikan
protein permukaan CD8+, yang berperan dalam membunuh sel yang terinfeksi
virus dan sel yang terkena tumor (Levinsons, et al., 2003; Abbas, et al., 2007).
Gambar 2.5. Induksi respon sel T terhadap tumor (dikutip dari Abbas et al., 2007)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
2.3.1. Pertahanan Sistem Imun
Konsep immune surveillance atau pertahanan sistem imun dikemukakan
pertama kali oleh Paul Ehrlich pada awal abad ke-20. Konsep ini menyatakan
bahwa sistem imun mempunyai peran mencegah dan membatasi pertumbuhan
tumor. Walaupun hanya sedikit bukti langsung bahwa immune surveillance dapat
melindungi seseorang terhadap pertumbuhan tumor, beberapa hasil penelitian
mendukung teori tersebut. Diantaranya seperti, adanya infiltrasi limfosit dalam
jaringan tumor dan telah terbukti pula bahwa tumor dapat membangkitkan respons
imun seluler spesifik (Kresno, 2001). Di samping itu antigen tumor yang dapat
dikenal oleh sel T-sitotoksik melalui MHC kelas I diidentifikasi sebagai protein
seluler yang diekspresikan secara abnormal atau protein mutan. Penemuan ini
mendukung dugaan bahwa fungsi sel T-sitotoksik adalah surveillance dan
menghancurkan sel yang mengandung gen mutan yang dapat menyebabkan atau
yang diasosiasikan dengan tumor ganas (Sukardja, 2000).
Walaupun tumor ganas mengekspresikan antigen tumor yang bersifat asing
bagi penjamu (host), dan immune surveillance mungkin dapat membatasi
pertumbuhan beberapa jenis tumor, namun belum ada bukti bahwa sistem imun
dapat mencegah pertumbuhan tumor ganas. Hal ini mungkin karena kecepatan
pertumbuhan dan penyebaran tumor ganas melebihi kemampuan mekanisme
efektor respons imun untuk mencegah pertumbuhan itu. Di samping kegagalan
yang disebabkan oleh faktor penjamu (host), banyak tumor yang memiliki
kemampuan untuk mengelak dari respons imun, dan proses pengelakan itu disebut
tumor escape. (Riott, et al., 2001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
2.3.2. Mekanisme Penghindaran Diri Sel Tumor terhadap Respon Imun
Tumor escape atau mekanisme penghindaran diri sel tumor terhadap respon
imun dapat terjadi akibat penurunan ekspresi MHC dan kegagalan pembuatan
antigen (gambar 2.5) . Ekspresi MHC I dan II sering berkurang pada tumor-tumor
tertentu, bahkan ada tumor yang tidak mengekspresikan MHC sehingga tidak
mampu membentuk komplek MHC-peptida yang merupakan persyaratan untuk
dikenal limfosit T sitotoksik (Abbas, et al., 2007). Di samping itu sel-sel tumor
dapat memproduksi substansi yang menekan respons tumor seperti transforming
growth factor (TGF-b) dan IL-10 yang menghambat fungsi makrofag dan
limfosit. Fas Ligan yang diekspresikan sel kanker, berikatan dengan molekul Fas
yang terdapat pada permukaan limfosit akan menyebabkan kematian limfosit
secara apoptosis (Hata, et al., 1998).
Gangguan perlawanan terhadap sel kanker dapat juga disebabkan oleh
karena bahan yang diproduksi sel kanker seperti soluble antigen tumor,
prostaglandin E2 dan TNF-α. Penurunan respons imun terhadap tumor, selain
akibat faktor internal dan penyakit kanker sendiri, dapat juga akibat pembedahan,
radioterapi atau kemoterapi yang diberikan (Kentjono., 2003). Toleransi terhadap
antigen tumor dapat terjadi akibat pemaparan pada masa neonatal atau tumor
mengekspresikan antigen dalam bentuk tolerogenik. Contohnya adalah tumor
yang disebabkan murine mammary tumor virus pada mencit dewasa yang pernah
terpapar pada virus bersangkutan pada masa neonatal karena menyusui (Abbas,
et al., 2007). Disamping itu perubahan fenotipe tumor atau modulasi antigen
permukaan tumor sebagai akibat pengikatan oleh antibodi juga menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
tumor resisten terhadap mekanisme efektor sistem imun (Grenberg , 2001).
Gambar 2.6. Mekanisme Tumor menghindar dari sistem imun. (dikutip dari Abbas, et al., 2007)
Pertumbuhan tumor dapat menghasilkan tumor yang resisten terhadap
mekanisme respons imun sebelum respons imun yang efektif terbentuk. Dugaan
ini muncul pada percobaan di mana transplantasi tumor dalam jumlah kecil sel
tumor akan menyebabkan tumbuhnya tumor letal, sedangkan transplantasi dalam
jumlah besar, maka sel tumor ditolak (Abbas, et al., 2007). Fakta lain
menunjukkan bahwa molekul tertentu seperti sialomucin, yang sering terikat pada
permukaan sel tumor dapat menutupi antigen dan mencegah ikatan dengan
limfosit (Baratawijaya , 2004).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
2.3.3. Antigen Sel Tumor
Mekanisme penolakan jaringan alograf, merupakan contoh tentang cara sel
tubuh melakukan pengawasan imunologik. Sel yang berubah dan berpotensi untuk
menjadi ganas dapat diidentifikasi dan kemudian disingkirkan. Agar supaya
mekanisme ini dapat berlangsung, sel-sel kanker harus menampilkan beberapa
struktur permukaan baru yang dapat dikenal oleh sistem imun (Beverley, 2001).
Jaringan tumor yang sebenarnya berasal dari jaringan tubuh sendiri (self),
pada umumnya mengekspresikan antigen yang dikenal oleh sistem imun sebagai
antigen asing. Keasingan antigen tumor disebabkan oleh adanya mutasi dan
disregulasi gen yang menyebabkan diproduksinya protein baru (neoantigen) yang
tidak pernah diekspresikan dalam keadaan normal, dan protein ini dapat
merangsang respons imun (Macdonal, et al., 2004).
Imunogenitas tumor sangat tergantung pada bagaimana tumor itu terbentuk.
Berbagai percobaan pada hewan menunjukkan bahwa tumor yang terbentuk akibat
karsinogen pada umumnya imunogenik. Spesifitas dan sifat imunogenitasnya juga
bergantung pada potensi karsinogen penyebab transformasi sel dan interaksi
karsinogen dengan sel sasarannya, dan tidak bergantung pada sel dari mana tumor
itu berasal (Robbin, 2002). Tumor yang terbentuk akibat infeksi retrovirus juga
bersifat imunogenik. Sel yang mengalami transformasi akan memunculkan
antigen baru yang terbentuk dari antigen virion dan antigen produk gen virus yang
berinteraksi dengan gen penjamu (host). Tumor yang diinduksi oleh virus yang
sama akan menampilkan antigen permukaan yang sama, dan bereaksi silang,
apapun asal selnya. Sedangkan imunogenitas tumor jaringan yang sama akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
berbeda apabila masing-masing diinduksi oleh virus yang berbeda (Kresno, 2001).
Adanya respons imun tubuh terhadap pertumbuhan kanker pada penderita KNF
secara in vitro dibuktikan dengan ditemukannya circulating antibodies seperti
IgA/G anti EBV VCA, IgA/G anti EBV EA dan IgA/G anti EBNA (Kentjono,
2003).
2.3.4. Respon Imun Seluler Terhadap Tumor
Antigen sel kanker yang ditampilkan bersama MHC kelas I akan dikenal
oleh sel T sitotoksik CD8+. Dalam hal ini sel tumor berperan sebagai APC yang
menyajikan proteinnya sendiri kepada sel T. Tumor yang diinduksi oleh virus
onkogenik biasanya mengandung genom provirus terintegrasi dalam genom sel
tumor dan sering mengekspresikan protein yang disandi oleh genom virus
bersangkutan. Protein yang disintesis secara endogen ini dapat diproses dan
diekspresikan bersama MHC kelas I, sehingga merupakan sasaran untuk aktivitas
sel T sitotoksik CD8+. Contoh virus onkogenik adalah Virus Epstein Barr (EBV)
yang berhubungan dengan KNF dan human papilloma virus (HPV) yang
dihubungkan dengan kanker serviks. Untuk mengatasi infeksi EBV diperlukan
respons imun seluler. Apabila terjadi defisiensi respons imun seluler, dapat
mengakibatkan sel yang terinfeksi EBV secara laten mengalami transformasi
ganas (Grenberg , 2001; Abbas, et al., 2007).
Pengetahuan tentang peran sistem imun spesifik maupun non spesifik dalam
mencegah pertumbuhan tumor dan bagaimana memodulasinya, diduga akan
memegang peranan penting dikemudian hari. Hal ini berguna untuk meningkatkan
surveillance terhadap tumor, menginduksi resistensi terhadap sisa sel ganas dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
kekambuhan tumor, serta menghambat perkembangan tumor selanjutnya. Di
samping itu dapat juga dipakai untuk menentukan jenis pengobatan dan
pengembangan imunoterapi baik secara pasif maupun aktif (Lollinii, et al., 1999;
Sukardja , 2000).
2.3.5. Respon Imun Humoral Terhadap Tumor
Meskipun peran imunitas seluler lebih banyak dibanding imunitas humoral,
namun tubuh juga membentuk antibodi terhadap antigen tumor. Antibodi tersebut
ternyata dapat menghancurkan sel tumor secara langsung atau dengan bantuan
komplemen. Di samping itu dapat juga melalui sel efektor antibodi dependent
cellular cytotoxicity (ADCC) yang memiliki reseptor Fc, misalnya sel NK dan
makrofag dengan cara opsonisasi atau dengan mencegah adhesi sel tumor.
Antibodi diduga lebih berperan terhadap sel kanker yang bebas seperti leukemia
dan metastase tumor dibanding terhadap tumor padat (Tannock, et al., 1992;
Baratawidjaja, 2004).
2.3.6. Mekanisme Efektor Melawan Tumor
Pada beberapa penelitian terungkap bahwa baik respons imun humoral
maupun respons imun seluler terhadap antigen tumor dapat dibangkitkan secara in
vivo, dan berbagai mekanisme efektor terbukti dapat membunuh sel tumor in
vitro. (Kresno, 2001; Abbas, et al., 2007).
2.3.6.1. Sel T CD8+ (Cytotoxic T Lymphocytes)
Pada banyak penelitian terbukti bahwa sebagian besar sel efektor yang
berperan dalam mekanisme anti tumor adalah sel T CD8+ yang secara fenotip dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
fungsional identik dengan sel T sitotoksik yang berperan dalam pembunuhan sel
yang terinfeksi virus. CD8 + T sel limfosit T sitotoksik (CTL s) merupakan sel
yang mengeluarkan molekul yang merusak sel yang telah terikat dengan antigen.
Ini adalah fungsi yang sangat berguna jika sel target terinfeksi virus karena sel
biasanya hancur sebelum dapat merilis produk virus yang dapat menginfeksi sel-
sel lain. Sel CD8+ mempunyai fungsi sitotoksik melalui dua mekanisme sebagai
berikut :
a) Meningkatkan perforin yang mampu merusak membran sel dan menghasilkan
enzim degradatif yang disebut granzymes;
b) Menginduksi kematian sel secara terprogram (apoptosis) (Levinsons, et al.,
2003 ) .
Perforin merupakan mediator cytolytic berupa protein yang diekspresikan
oleh gen PRF1. Perforin dapat ditemukan pada granula sel T CD8+ dan NK sel.
Setelah proses degranulasi sekresi perforin akan tersisipkan pada membran sel dan
membentuk sebuah lubang dengan diameter yang berukuran sampai 20 nm (Liu,
et al., 1995). Bagian perforin yang menancap pada membran tersebut adalah
domain MACPF. Perforin bersinergi dengan membrane-attack complex yang
dilakukan protein komplemen seperti C5a dan C5b (Fink, et al., 1992)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
Gambar 2.7. Struktur kristal dari perforin (dikutip dalam : Fink, et al., 1992)
Sel T sitotoksik dapat melakukan fungsi surveillance dengan mengenal dan
membunuh sel-sel potensial ganas yang mengekspresikan peptida yang berasal
dari protein seluler mutan atau protein virus onkogenik yang dipresentasikan oleh
molekul MHC kelas I. Walaupun respons T sitotoksik mungkin tidak efektif untuk
menghancurkan tumor, namun peningkatan respons sel ini merupakan cara
pendekatan terapi antitumor yang menjanjikan di masa mendatang (Beverley,
2001). Pengikatan antigen melalui reseptor pada limfosit T sitotoksik merupakan
sinyal atau rangsangan awal untuk dikeluarkannya berbagai sitokin. Selanjutnya T
sitotoksik yang teraktivasi akan berubah menjadi cytotoxic T lymphocyte (CTL),
yaitu T sitotoksik yang pernah terpapar dengan antigen tertentu dan diprogram
untuk berproliferasi bila terpapar lagi dengan antigen tersebut. Sel T sitotoksik
tidak akan berfungsi sebagai CTL kalau reseptor selnya tidak terikat pada antigen.
Mekanisme pembunuhan sel kanker oleh CTL merupakan mekanisme
apoptosis melalui jalur granzyme dan perforin. CTL akan melepaskan granul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
sitoplasik yang merusak sel kanker dalam hal ini granzyme dan perforin
(Grenberg, 2001). Di samping itu CTL mengekspresikan Fas yang berinteraksi
dengan Fas ligan yang ada di permukaan sel kanker. Setelah CTL berikatan
dengan sel kanker melalui ikatan Fas-Fas ligan, CTL melepaskan perforin yang
dapat merusak membran sel tumor dengan cara membuat lobang. Dalam granul
CTL terdapat granzyme yang menyerupai protease dan berfungsi membunuh sel
tumor. Granzyme dapat masuk ke dalam sitoplasma sel tumor melalui lobang
yang telah dibuat oleh perforin sebelumnya. Untuk membunuh sel kanker, CTL
harus melakukan kontak yang dekat sekali dengan sel kanker. Kontak langsung
ini dimungkinkan melalui interaksi molekul permukaan CTL dengan molekul
adhesi di permukaan sel tumor seperti leucocyte functional antigen 1 LFA-1)
dengan intercelluler adhesive molecule-1 (ICAM-1), CD8+ dengan MHC kelas I
dan CD2 dengan LFA-3. Kontak CTL dan sel kanker demikian erat sampai kedua
membran saling berhimpit sehingga substansi seperti granzyme, serine protease,
TNF-α dan faktor sitotoksik lainnya dapat dipindahkan kedalam sitoplasma
kanker. Rusaknya membran sel kanker akibat efek perforin dan faktor sitotoksik
serta disintegrasi osmotik menyebabkan sel kanker mati melalui proses nekrosis.
Interaksi Fas (CTL) dengan Fas ligan sel kanker akan memicu aktivasi gen
supresi sehingga terjadi kematian sel secara apoptosis (Dotti, et al., 2005).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
JALUR PERFORIN/GRANSIM
Cytotoxic T cells (CTL)
Perforin
Gransim B
Aktifasi Caspase 10 Komplek SET
Jalur Eksekusi Fraksinasi DNA Aktifasi Caspase 3
Aktivasi Endonuclease à degradasi DNA kromosome Aktivasi Protease à degradasi nuclear dan protein cytoskeletal à reorganisasi cytoskeletal
Terbentuknya Formatin sebagai bentuk apoptotic
Gambar 2.8. Mekanisme sel T CD8+ melalui perforin dan granzime dalam proses Apoptsis (Modifikasi dari : Elmore, 2007; Apoptosis : A Review of Programmed Cell Death, Toxicology Pathology, http://tpx.sagepub.com/content/35/4/495)
Mekanisme sel T CD8+ dalam proses apoptosis melalui jalur granzim dan
perforin, dengan cara langsung melalui aktifasi caspase 3 (Execution Pathway)
dan tidak langsung melalui caspase 10. (gambar 2.6). Aktifnya jalur caspase 3
Perubahan Cytomorphologi : Kondensasi chromatin dan cytoplasmic, fragmentasi nuclear dll
Gransim A Sitoplasma
Inti Sel
Membrane sel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
akan berakibat endonuclease activastion dan terjadi degradasi dari kromosom
DNA. Selain itu protease juga menjadi aktif dan akan terjadi degradasi dari
nuclear dan protein cytoskeletal berakibat terjadi reorganisasi cytoskeletal.
Setelah terjadi aktivasi dari endonuclease dan protease maka tahap selanjutnya
terjadi perubahan bentuk dari cytomorpholocal yang ditandai adanya kondensasi
kromatin dan cytoplasmik, fragmentasi nuclear dan lain-lain. Tahap akhir dari
mekanisme apoptosis jalur perforin / granzyme adalah terbentuknya bentukan
apoptotik bodies.
2.3.6.2. Sel T CD4+
Sel T CD4+ diasosiasikan sebagai sel T helper karena memiliki peranan
sebagai berikut : (1) Membantu perkembangan sel B menjadi antibodi yang
menghasilkan sel plasma; (2) Membantu sel CD8+ menjadi sel T sitotoksik aktif;
(3) Membantu makrofag dalam reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Sel CD4+
dibagi menjadi tiga sub populasi yaitu sel Th1, sel Th2 dan sel Th3. Sel Th1
mensekresi IL-2, IL-12, IFN-γ, TNF-α dan lain-lain. Sel Th2 merangsang
produksi antibodi IgA, IgG, IgE yang akan menginduksi respon imun humoral
(Abbas, et al., 2007; Baratawidjaja, 2001; Kuby, et al., 1997), adapun sel Th3
(CD4+CD25) disebut pula sebagai natural regulatory cell berfungsi sebagai
kontrol yang memiliki peran penghambat dalam respon imun yang berlebihan
(Maggi, et al., 2005).
Sel T CD4+ pada umumnya tidak bersifat sitotoksik bagi tumor, tetapi sel-
sel itu dapat berperan dalam respons anti tumor dengan memproduksi berbagai
sitokin yang diperlukan untuk perkembangan sel-sel CTL menjadi sel efektor. Di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
samping itu sel T CD4+ yang diaktivasi oleh antigen tumor dapat mensekresi
TNF-α dan INF-γ yang mampu meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas I dan
sensitivitas tumor terhadap lisis oleh CTL. Sebagian kecil tumor yang
mengekspresikan MHC kelas II dapat mengaktivasi sel T CD4+ spesifik tumor
secara langsung. Yang lebih sering adalah antigen presenting cell (APC)
profesional yang mengekspresikan molekul MHC kelas II mengfagositosis,
memproses dan menampilkan protein yang berasal dari sel-sel tumor yang mati
kepada sel TCD4+, sehingga terjadi aktivasi sel-sel tersebut (Riott, et al., 2001).
Sel CD4+ mengikat suatu epitop yang terdiri dari fragmen antigen tergeletak
di alur dari kelas II histocompatibility molekul (MHC II). sel T CD4+ mempunyai
kemampuan mengenali antigen yang dipresentasikan oleh Antigen Presenting
Cell (APC) seperti fagositik makrofag dan sel dendritik. Fungsi dari CD4+ ini
adalah memberi tanda dan adhesi ko-resptor pada MHC kelas II yang dibatasi
antigen dan diinduksi oleh aktifasi sel T. Sel T lalu melepaskan lymphokines yang
menarik sel-sel lain ke daerah infeksi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
2.4. KERANGKA TEORI
Keterangan : Memacu Efek samping kemoterapi neoadjuvant Menghambat costimulator
LIMFOSIT B DAN EPITEL NASOFARING
KEMOTERAPI DAN RADIOTERAPI
LMP1
AKTIFASI JALUR MOLEKULER
PROLIFERASI
APC
SEL Th CD4+
SEL T CD8+
TUMOR SPESIFIK CD8+ CTL
GRANZIM A DAN B INHIBISI APOPTOSIS
JALUR CASPASE
EBV
KARSINOMA NASOFARING UNDIFFERENTIATED
Tumor Infiltrating Lymphocyte
NEKROSIS
INFLAMASI
METASTASE
APOPTOSIS JALUR CTL
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Keterangan Kerangka Teori
A. Infeksi EBV dan ongkogenesis
Infeksi virus EBV pada limfosit B dimungkinkan karena adanya ikatan
antara reseptor membran glikoprotein Gp350/220 pada virus dengan CD21 pada
limfosit B sebagai targetnya. Setelah mengkikat reseptor CD21 pada limfosit B,
EBV dalam waktu 1-2 jam akan masuk pada sitoplasma sel pejamu kemudian
terjadi fusi TR (terminal repeat) yang berakibat episom berbentuk sirkuler,
partikel-partikel EBV tersebut selanjutnya akan terurai dan genom-genom EBV
akan masuk kedalam nukleus yang merupakan bentuk EBV infeksi laten, ditandai
dengan proses aktifasi sel dan proliferasi sel tersebut sebagai pengabadian EBV
pada limfosit B (limfosit B immortal). Sebagaian besar genom virus dalam cell
line yang ditransformasikan oleh EBV berada dalam bentuk episom. Di dalam sel
pejamu terjadi 2 fase proses infeksi yaitu infeksi litik dan laten. Infeksi litik
ditandai dengan replikasi virus secara lengkap yang dapat menginfeksi sel dan
menular ke orang lain. Sedangkan fase laten ditandai adanya ekspresi gen tertentu
yang merupakan bagian dari genom dan dapat menghindar dari respon imu
pejamu.
Langkah awal infeksi litik ditandai dengan aktivasi protein ZEBRA yang
disandi oleh BZLF1 yang terdapat di sel epitel dan limfosit B. Pada saat ini
produk beberapa produk yang berbeda-beda dari gen yang mempunyai korelasi
dengan tahapan replikasi litik dapat diidentifikasi dan dikategorikan menjadi early
membrane antigen (EMA), early intra-celuler antigen (EA), viral capsid antigen
(VCA), dan laten membrane antigen (LMA). Pada infeksi laten terjadi ekspresi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
dari beberapa protein yaitu EBNA1,2,3a,3c dan EBNA-LP, LMP dam Ebstein
Barr Encoded mRNA(EBER).
LMP1 dapat menginduksi cyclin D2 dan menghambat efek tumour growth
factor (TGF)-a1 pada sel B, mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terkontrol.
LMP1 menginduksi sintesis DNA pada proses proliferasi sel. LMP1 mengaktifasi
nuclear factor-kappa B lymphocyte (NF-kB) dan jalur janus kinases (JAK) oleh
aktifasi daerah terminal karbon 1 dan 2 yang menyebabkan proliferasi sel tidak
terkontrol. LMP1 menginduksi ekspresi proto-onkogen seluler B–cell leukemia–2
(bcl-2) yang akan melindungi sel dari proses apoptosis. Selain itu LMP1
menghambat proses diferensiasi sel juga melalui jaras bcl-2. LMP1 dapat
menginduksi aktivasi gen yang mengekspresikan protein A-20 yang dapat
menginaktivasi fungsi p53 sehingga menghambat proses apoptosis sel. Dari
beberapa hal di atas diketahui bahwa ekspresi LMP 1 berperan pada proses
imortalisasi dan merupakan salah satu tahap dalam proses karsinogenesis
KNF
B. Karsinoma nasofaring akan mengekspresikan beberapa protein antigen, seperti
EBNA1-6 dan LMP1,2. Protein antigen LMP1 akan mempunyai efek imunologik,
dimana akan dikenali oleh APC yang mempresentasikan sel TH CD4+. Dengan
aktifnya CD4+ akan mengeluarkan beberapa cytokine-cytokine yang akan
mengaktifkan sel T CD8+ dan selanjutnya akan menginduksi tumor spesifik
CD8+ CTL. Mekanisme CD8+ CTL dalam fungsi sitotoksik melalui
mengeluarkan produk perforin yang akan merusak membran sel dan menghasilkan
enzim degradatif yang disebut granzymes. Granzyme akan mempengaruhi proses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
apoptosis dengan cara langsung melalui aktifasi caspase 3 (Execution Pathway)
dan tidak langsung melalui pro caspase 8. Aktifnya jalur caspase 3 akan berakibat
endonuclease activastion dan terjadi degradasi dari kromosom DNA. Selain itu
protease juga menjadi aktif dan akan terjadi degradasi dari nuclear dan protein
cytoskeletal berakibat terjadi reorganisasi cytoskeletal. Setelah terjadi aktivasi
dari endonuclease dan protease maka tahap selanjutnya terjadi perubahan bentuk
dari cytomorpholocal yang ditandai adanya kondensasi kromatin dan cytoplasmik,
fragmentasi nuclear dan lain-lain. Tahap akhir dari mekanisme apoptosis jalur
perforin / granzyme adalah terbentuknya bentukan apoptotik bodies.
C. Pengobatan kemoterapi neoadjuvant akan menghambat proses proliferasi sel
dan meningkatkan differensiasi sel, sehingga akan menghambat progresifitas
KNF. Disisi lain pengobatan kemoterapi neoadjuvant juga menginduksi caspase
3 dan aktif caspase 8. Dengan aktifnya caspase 3 dan caspase 8, maka mekanisme
apoptosis akan terjadi dan proses KNF akan terhambat. Radioterapi mematikan sel
dengan cara merusak DNA yang akibatnya bisa mendestrukasi sel tumor,
memiliki kemampuan untuk mempercepat proses apoptosis dari sel tumor,
ionisasi yang ditimbulkan oleh radioterapi dapat mematikan sel tumor dan
nekrosis jaringan. Disisi lain kemoterapi neoadjuvant menekan sistem imun
akibatnya terjadi penurunan fungsi imun yang ditandai oleh penurunan CD4+ dan
CD8+. Penurunan sistem imun berakibat eliminasi terhadap sel tumor terhambat,
sehingga terjadi progresifitas tumor dan mudah terjadi infeksi sekunder.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
2.5. KERANGKA KONSEP
2.6. Hipotesis Penelitian
1. Ada penurunan tingkat ekspresi LMP1, CD4+ dan CD8+ akibat
kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated.
2. Ada perbedaan Rasio CD4+/CD8+ akibat kemoterapi neoadjuvant
pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
5. Ada hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+ pada
karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
KNF
KEMOTERAPI NEOADJUVANT
LMP1 CD4+/CD8+
LMP1 CD4+/CD8+
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini adalah one group before and after intervention
atau one group pre and post test design menggunakan satu kelompok tanpa
kontrol yang merupakan penelitian eksperimental semu atau kuasi (Arief, 2004).
Observasional dalam penelitian ini untuk mengetahui perbedaan tingkat ekspresi
LMP1 dan Rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi
neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
O1 (X) O2
Gambar 3.1. Rancangan Penelitian one group before and after intervention atau one group pre and post test design menggunakan satu kelompok
Keterangan :
O1 : Pengamatan Tingkat Ekspresi LMP1 sebelum intervensi
Pengamatan Rasio CD4+/CD8+ sebelum intervensi
O2 : Pengamatan Tingkat Ekspresi LMP1 sesudah intervensi
Pengamatan Rasio CD4+/CD8+ sesudah intervensi
(X) : Intervensi berupa Kemoterapi neoadjuvant
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Poliklinik THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta untuk melakukan biopsi
nasofaring
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
2. Ruang perawatan Anggrek II RSUD. Dr. Moewardi Surakarta untuk
melakukan tindakan kemoterapi.
3. Ruang Radioterapi SMF Radiologi RSUD. Dr. Moewardi Surakarta
tempat pasien menjalani program radioterapi.
4. Laboratorium Patologi Anatomi FK-UNS/RSUD Dr. Moewardi untuk
melakukan pewarnaan hematoksilin eosin pada preparat jaringan biopsi
nasofaring dan pembacaan serta memotong sedian parafin blok jaringan.
5. Laboratorium Biomedik FK-UNS untuk pewarnaan imunohistokimia dan
pembacaan ekspresi LMP1 dan CD4+ dan CD8+
Penelitian dilakukan mulai bulan September 2009 sampai besar sample
terpenuhi
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian adalah semua pasien yang datang berobat ke
Poliklinik THT RSUD Dr. Moewardi dengan hasil pemeriksaan biopsi nasofaring
menunjukkan karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
3.3.1. Sampel
Sampel penelitian adalah penderita karsinoma nasofaring yang memenuhi
kriteria penelitian.
Kriteria inklusi (penerimaan) :
1. Pasien baru dengan hasil histopatologi biopsi jaringan nasofaring adalah
KNF jenis Undifferentiated.
2. Memenuhi persyaratan dan bersedia diberikan program pengobatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
kemoterapi neoadjuvant Cisplatin dengan dosis 50 – 100 mg/BSI dan 5-
Fluorourasil dengan dosis 500 – 1000 mg/BSI dan diikuti radiasi Cobalt
60 dengan dosis 66 – 70 Gy yang diberikan dengan dosis Fraksi selama 33
kali.
3. Status kebugaran memenuhi kriteria skala ECOG ≤ 2 atau dengan skala
Karnovsky ≥ 70 %
4. Menjalani pengobatan kemoterapi neoadjuvant dan radioterapi secara
lengkap.
5. Bersedia menjadi subyek penelitian dengan menandatangani formulir
persetujuan setelah mendapat penjelasan (informed consent).
Kriteria Eksklusi (penolakan) :
1. Pernah mendapat pengobatan imunoterapi sebelumnya.
2. Karsinoma nasofaring stadium I
3. Mendapatkan pengobatan yang bersifat immunosupresif
3.3.2. Besar Sampel
Besar sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 10 sampel jaringan
biopsi karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated. Pertimbangan besar sampel
pada penelitian ini adalah :
a. Angka dropaout pengobatan KNF cukup tinggi.
b. Keterbatasan dana.
3.3.3. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik consecutive sampling
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
sampai besar sampel terpenuhi (Sastroasmoro, et al., 1995)
3.4. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas (independent variabel) :
Kemoterapi neoadjuvant
2. Variabel tergantung (dependent variabel) :
a. Tingkat Ekspresi LMP1 , CD4+ dan CD8+
b. Rasio CD4+/CD8+
3.5. Defenisi Operasional
1. Karsinoma Nasofaring (KNF)
Defenisi : Tumor ganas epitel skuamosa yang primernya terletak di nasofaring
Alat ukur : Biopsi tumor primer
Cara ukur : Melihat hasil pemeriksaan patologi anatomi
Hasil ukur : Karsinoma Undifferentiated
2. Kemoterapi neoadjuvant
Definisi : pemberian pengobatan kemoterapi dengan regimen Cisplatin dan 5
Fluorourasil satu seri (3 kali) dan dilanjutkan radioterapi dengan
Cobalt 60.
Cara ukur : dosis kemoterapi Cisplatin 50 – 100 mg/BSI , 5 Fluorourasil 500 –
100 mg/BSI dan Radioterapi 66-70 Gy dengan dosis fraksi selama 33
kali.
Skala pengukuran ordinal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
3. Ekspresi LMP1
Defenisi : Ekspresi protein LMP 1 pada KNF jenis Undiferentiated.
Alat ukur : Imunohistokimia
Cara ukur : Imunoreaktivitas antibodi EBV – LMP CS 1-4 Lab Vision
Hasil ukur : Nilai positif : warna coklat keemasan.
Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam skor histologi. Variabel skala ordinal.
4. Ekspresi CD4+
Definisi : ekspresi protein CD4+ pada KNF jenis Undifferentiated
Alat ukur : imunohistokimia
Cara ukur : Imunoreaktivitas antibodi monoklonal mouse anti human CD4+
Hasil ukur : Nilai positif : warna kecoklatan pada membran sel limfosit T.
Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam skor histologis. Variabel skala ordinal.
5. Ekspresi CD8+
Definisi : ekspresi protein CD8+ pada KNF jenis Undifferentiated
Alat ukur : imunohistokimia
Cara ukur : Imunoreaktivitas antibodi monoklonal mouse anti human CD8+
Hasil ukur : Nilai positif : warna kecoklatan pada membran sel limfosit T.
Hasil yang diperoleh dinyatakan dalam skor histologis. Variabel skala ordinal.
6. Rasio CD4+/CD8+
Rasio CD4+/CD8+ merupakan nilai pengukuran status sistem imun . Rasio limfosit
T yang mengekspresikan antigen CD4+ terhadap ekspresi antigen CD8+. Nilai ini
umumnya dipakai untuk diagnosis dan staging dari penyakit yang
menggambarkan sistem imun termasuk pada infeksi oleh EBV
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
(http://www.monodofacto.com/fact/Dictionary ? measure) . Nilai rasio ekspresi
CD4+/CD+ dinyatakan sebagai skala ordinal .
3.6. Alat Penelitian.
Alat penelitian yang dipakai pada penelitian ini yaitu :
1. Alat pemeriksaan THT Yaitu : lampu kepala, spekulum hidung, spatula lidah,
pinset bayonet, kapas, lidokain efedrin 2 %.
2. Alat dan bahan melakukan biopsi nasofaring : tang biopsi ( blakesley forceps ),
spekulum hidung, pinset bayonet, kapas, kasa, alat nasoendoskopi, xylocain
spray 10%, PBS formalin, botol untuk menyimpan jaringan biopsi.
3. Bahan untuk pewarnaan jaringan nasofaring dengan tehnik imunohistokimia
antara lain antibodi EBV- LMP 1 CS 1-4 Lab Vision, mouse monoclonal
antibody anti human CD4+ dan mouse monoclonal antibody anti human CD8+
4. Alat untuk pengecatan imunohistokimia : Mikrotom, Poly L-Lysine glass slide
(SIGMA), termometer, mounting media (Canada Balsem), microwave oven,
inkubator, pipet mikro, deck glass, stop watch, humidified chamber, ruangan
dalam kondisi kelembaban tinggi.
5. Mikroskop OLYMPUS seri BX 41
3.7. Cara Kerja
Penderita dengan kecurigaan KNF dilakukan biopsi nasofaring dengan
bantuan nasoendoskopi. Jaringan yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam
botol yang berisi PBS formalin. Botol yang berisi jaringan dikirim ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
Laboratorium Patologi Anatomi RSUD Dr. Moewardi Surakarta untuk dilakukan
pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan hematosillin eosin oleh dokter
spesialis Patologi Anatomi.
Preparat dengan hasil bacaan histopatologi KNF jenis Undifferentiated,
selanjutnya blok parafin dilakukan pemotongan setebal 4 mikron. Dari masing-
masing kelompok blok parafin, dipotong menjadi 3 slide dan digunakan untuk
pemeriksaan LMP1 , ekspresi CD4+ dan ekspresi CD8+. Ketiga slide dilakukan
pengecatan imunohistokimia sebagai berikut :
1. Pemotongan blok parafin dengan tebal 4-5 mikron. Diletakkan pada slides
poly-L-lysine selanjutnya dinkubasi pada suhu 37oC selama 1 malam (agar
lebih merekat pada slides).
2. Deparafinisasi :
- Direndam dalam xylol I selama 5 menit
- Direndam dalam xylol II selama 5 menit
- Direndam dalam xylol III selama 5 menit
- Direndam dalam xylol IV selama 5 menit
- Direndam dalam alkohol absolut selama 5 menit
- Direndam dalam alkohol 95% selama 5 menit
- Direndam dalam alkohol 70% selama 5 menit
- Dicuci dengan aquadest selama 5 menit
3. Retrival antigen dilakukan pada microwave oven dengan buffer sitrat pH
6,4 pada suhu sedang selama 2 menit kemudian dilanjutkan pada suhu
rendah selama 1 menit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
4. Cuci dengan PBS selama 2 X 5 menit.
5. Tahapa quencing endogenous peroksidase yaitu dengan memasukkan
slide-slide tersebut ke dalam metanol H2O2 0,3% selama 30 menit.
6. Cuci kembali dengan aquades/PBS selama 2 X 5 menit.
7. Langkah-langkah selanjutnya ini dilakukan dengan humidified chamber :
a. Diberikan blocking reagent, biarkan selama 30 menit dan cuci dengan
aquadest / PBS 2 x 5 menit.
b. Ditambahkan antibodi primer yang telah dilarutkan sebelumnya dalam
antibodi diluent ( 1:50 ), dan ditunggu selama 60 menit atau disimpan
terlebih dahulu dalam kulkas pada suhu 4 0 C selama 18 jam dan
dicuci dengan aquadest / PBS selama 2 x 5 menit.
c. Ditambahkan antibodi sekunder berlabel biotin, ditungu selama 30
menit, pada suhu 30 0 C, lalu dicuci dengan aquadest atau PBS 2 x 5
menit.
d. Ditambahkan substrat DAB (diamino Benzidine), ditunggu selama 5
menit, lalu cuci dengan aquadest / PBS 2 x 5 menit.
e. Dilakukan perwarnaan counterstain dengan hematocylin mayer selama
30 detik, kemudian dicuci dengan air mengalir selama 2 – 5 menit
f. Ditempelkan deck glass pada mounting media
8. Masing-masing sampel diamati dengan mikroskop cahaya dan dievaluasi
pada 9 lapang pandang dengan sebaran yang merata, kemudian dibuat
reratanya.
Tingkat ekspresi LMP1 antibodi yang digunakan adalah mouse-anti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
LMP1, ekspresi CD4+ antibodi yang digunakan adalah mouse monoclonal
antibody anti human CD4+, dan ekspresi CD8+ antibodi yang digunakan adalah
mouse monoclonal antibody Human CD8+ dengan pengenceran 1:100. Sistem
deteksi enzimatis ABC ( Avidin Biotin Complex ) menggunakan enzim
peroksidase dan DAB ( Diamino Benzidin ) sebagai substan enzim. Nilai positif
ditunjukkan dengan warna coklat keemasan hingga tua.
Penilaian makna tingkat ekspresi LMP1, ekspresi CD4+, dan ekspresi
CD8+ secara kuantitatif dinyatakan dalam Intensitas (I) dan Persentase (P) dan
dinyatakan sebagai Skor Histologi ( SH ). Skor histologis dihitung dengan rumus
uji statistik Mann-Whitney dengan rumus sebagai berikut :
(Tan,et. al., 2001)
Keterangan :
SH= Skor Histologis PS= Persentase Positif Sedang
PK = Prosentase Positif Kuat IN = Intensitas Negatif
IK = Intensitas Positif Kuat IS = Intensitas Positif Sedang
IL = Intensitas Positif Lemah PN = Presentase Negatif
SH = (IK x PK) + (IS x PS) + (IL x PL) + (IN x PN)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Tabel 3.1. Nilai P ( prosentasi jumlah sel ).
Kisaran Grade
0 – 25 % 1
26 – 50 % 2
51 – 75 % 3
76 – 100 % 4
Tabel 3.2. Penilaian intensitas warna.
Intensitas Grade Reaksi warna IHC pada Membran Sel Kuat 3 Coklat Tua
Sedang 2 Coklat Muda
Lemah 1 Kuning Keemasan
Negatif 0 Biru - Ungu
(Budiani et al.,., 2006)
Interval nilai skor histologis Makna kualitatif
0,00 – 3,75 : Negatif
3,76 – 7,50 : Positif lemah
7,51 – 11,25 : Positif sedang
11,26 – 15,00 : Positif kuat
Skor histologi ekspresi LMP1, ekspresi CD4+ dan ekspresi CD8+ adalah
kalkulasi grade intensitas dan prosentase.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
Penilaian intensitas dan prosentase dilaksanakan secara manual dengan
mikroskop. Nilai skor histologis yang diperoleh berasal dari sembilan lapang
pandang untuk masing-masing slide dan diambil nilai reratanya.
3.8. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dibandingkan untuk melihat perbedaan tingkat
ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio ekspresi CD4+ / CD8+ pada sediaan KNF
jenis Undifferentiated. Data yang diperoleh selanjutnya di analisis dengan
menggunakan Wilcoxon Signed Ranks test untuk mengetahui perbedaan ekspresi
dan Analisis Regresi Linier dan Spearman’s untuk mengetahui hubungan antara
ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah pengobatan
kemoterapi neoadjuvant dengan menggunakan program SPSS 15 under windows.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan mulai September 2009 sampai dengan Maret 2011
dengan sampel 10 penderita KNF jenis Undifferentiated di Poliklinik THT,
Ruang perawatan Anggrek II dan Ruang Radioterapi RSUD. Dr. Moewardi
Surakarta. Pasien yang memenuhi syarat sebagai sampel dilakukan biopsi jaringan
nasofaring di Poliklinik THT dengan bantuan nasoendoskopi. Selanjutnya
masing-masing parafin blok jaringan KNF jenis Undifferentiated dari semua
penderita dilakukan pemotongan setebal 4 mikron serta diletakkan pada object
glass di Laboratorium Patologi Anatomi RSUD. Dr. Moewardi Surakarta.
Kemudian dikirimkan ke Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta untuk dilakukan pewarnaan dengan teknik
imunohistokimia. Hasil pewarnaan yang diperoleh kemudian dinilai ekspresi
LMP1 , CD4+ dan CD8+. Ekspresi LMP1, CD4+ dan CD8+ dinilai menggunakan
skor histologi. Rasio CD4+/CD8+ merupakan hasil penghitungan antara ekspresi
CD4+ dan CD8+. Untuk menilai adanya perbedaan antara hasil sebelum dan
sesudah terapi Kemoterapi neoadjuvant dianalisis dengan menggunakan Wilcoxon
Signed Ranks test , sedangkan analisis hubungan antara ekspresi LMP1 dengan
rasio CD4+/CD8+ dengan menggunakan Uji Spearman’s dan regresi linier
program SPSS 15.0 underwindows. Hasil penelitian yang diperoleh seperti di
bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
4.1. Data Dasar Sampel Penelitian
Data dasar dalam penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin, stadium KNF,
Kadar Hemoglobin, Kadar Leukosit dan Kadar Trombosit.
4.1.1. Data Dasar Umur sampel Penelitian
2
1
4
3
0
1
2
3
4
30 - 40 41 - 50 51 - 60 61 - 70
KELOMPOK UMUR
Gambar 4.1. Diagram Batang Distribusi subyek penelitian berdasarkan umur.
Berdasarkan gambar 4.1 didapatkan nilai rerata umur 52,6 dengan standar
deviasi 13, 32 th (32 – 70 tahun) dengan kelompok umur terbanyak 50 - 70 tahun
( 60 % )
4.1.2 Data Dasar Jenis Kelamin sampel Penelitian
9
1
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
LAKI-LAKI PEREMPUAN
Gambar 4.2. Diagram Batang Distribusi subyek penelitian menurut jenis kelamin.
Dari gambar 4.2 di dapatkan penderita terbanyak pada penelitian ini adalah
penderita laki-laki 9 (90 %).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
4.1.3. Data Dasar Ukuran Tumor Primer sebelum dan sesudah Pengobatan
4
3 3
2 2
1 1 1
0
3
0
2
4
T4 T3 T2 T1 T0
STAGING T PRE STAGING T POST
Gambar 4.3. Diagram Batang Distribusi sampel berdasarkan Ukuran tumor Primer (T) sebelum dan sesudah Pengobatan.
Dari gambar 4.3 didapatkan bahwa berdasarkan ukuran tumor primer
sebelum pengobatan terbanyak adalah T4 dan T3 sebanyak 70 %, sedangkan T2
dan T1 sebanyak 30 %, dan T0 = 0 %. Setelah pengobatan terjaadi perubahan
untuk ukuran besar tumor primer dimana untuk T4 dan T3 menjadi 50 % dan T2
dan T1 sebanyak 20 % dan T0 sebanyak 30 %.
4.1.4 Data dasar kelenjar Getah Bening Leher sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant.
2
0
4
2
3
1 1
7
0
1
2
3
4
5
6
7
N3 N2 N1 N0
STAGING N PRE STAGING N POST
Gambar 4.4. Distribusi sampel berdasarkan Ukuran Kelenjar Getah Bening Leher sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Dari gambar 4.4 didapatkan bahwa berdasarkan ukuran kelenjar getah
bening leher sebelum pengobatan terbanyak adalah N3 dan N2 sebanyak 60 %,
sedangkan N1 dan N0 sebanyak 40 %. Setelah pengobatan terjaadi perubahan
untuk ukuran kelenjar getah bening leher dimana untuk N3 dan N2 menjadi 20 %,
N1 sebanyak 10 % dan tidak teraba kelenjar getah bening leher (N0) sebanyak
70 %.
4.1.5. Hasil Pemeriksaan Kadar Hemoglobin, Leukosit dan Trombosit Sebelum dan Sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated.
Hasil pemeriksaan kadar hemoglobin, leukosit dan trombosit pada sampel
dibedakan menjadi kadar pre kemoterapi I, post kemoterapi I, post kemoterapi II
dan post kemoterapi III atau sebelum terapi radioterapi (tabel 4.1).
Tabel 4.1. Perbedaan Kadar Hemoglobin (Hb), Leukosit (AL) dan Trombosit (AT) sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated.
Variabel Pre Kemo I Post kemo I Post Kemo
II Post Kemo
III
Kadar Hb 12,42 ±1,41 11,31 ± 0,87 11,72 ± 1,30 11,00 ± 0,87
Kadar Al 8,56 ± 4,05 5,69 ± 1,81 5,31 ± 1,38 6,61 ± 2,40
Kadar AT 304,4±111,98 255,5 ± 77,95 201,6 ± 83,6 174,5 ± 55,6
Hasil kadar hemoglobin yang didapatkan adalah nilai rerata HB pre
kemoterapi I 12,42 ±1,41 (rentang nilai 11,3 – 15,4); nilai rerata HB post
kemoterapi I adalah 11,31 ± 0,87 (rentang nilai 10,5 – 13,2); nilai rerata HB post
kemoterapi II adalah 11,72 ± 1,30 (rentang nilai 10,6 – 14,3) dan nilai rerata HB
post kemoterapi III adalah 11,00 ± 0,87 ( rentang nilai 9,9 – 12,3).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Didapatkan perbedaan secara bermakna anatara kadar Hb sebelum
kemoterapi dengan sesudah kemoterapi I dan III (p<0,05) dan tidak terdapat
perbedaan antara kadar HB sebelum kemoterapi I dengan sesudah kemoterapi II
(p>0,05)
Hasil pemeriksaan kadar leukosit pada sampel dibedakan menjadi kadar
leukosit pre kemoterapi I, post kemoterapi I, post kemoterapi II dan post
kemoterapi III. Hasil yang didapatkan adalah nilai rerata leukosit pre kemoterapi
8,56 ± 4,05 (rentang nilai 4,0 – 13,8); nilai rerata AL post kemoterapi I adalah
5,69 ± 1,81 (rentang nilai 3,2 – 9,7); nilai rerata AL post kemoterapi II adalah
5,31 ± 1,38 (rentang nilai 3,2 – 7,3) dan nilai rerata AL post kemoterapi III adalah
6,61 ± 2,40 (rentang nilai 2,8 – 11,1).
Didapatkan perbedaan secara bermakna anatara kadar leukosit sebelum
kemoterapi dengan sesudah kemoterapi III (p<0,05) dan tidak terdapat perbedaan
antara kadar HB sebelum kemoterapi I dengan sesudah kemoterapi I dan II
(p>0,05)
Hasil pemeriksaan kadar trombosit pada sampel dibedakan menjadi kadar
trombosit pre kemoterapi I, post kemoterapi I, post kemoterapi II dan post
kemoterapi III. Hasil yang didapatkan adalah nilai rerata AT pre kemoterapi I
304,4 ± 111,98 (rentang nilai 165,0 – 480,0); nilai rerata AT post kemoterapi I
adalah 255,5 ± 77,95 (rentang nilai 178,0 – 417,0); nilai rerata AT post
kemoterapi II adalah 201,6 ± 83,6 (rentang nilai 93,0 – 328,0) dan nilai rerata AT
post kemoterapi III adalah 174,5 ± 55,6 (rentang nilai 88,0 – 271,0).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Didapatkan perbedaan secara bermakna anatara kadar trombosit sebelum
kemoterapi dengan sesudah kemoterapi II dan III (p<0,05) dan tidak terdapat
perbedaan antara kadar HB sebelum kemoterapi I dengan sesudah kemoterapi I
(p>0,05)
Gambar 4.5. Boxplot Hasil pemeriksaan kadar Hemoglobin (Hb), Leukosit (AL) dan Trombosit (AT) selama menjalani Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated (α = 0,05)
Berdasarkan grafik boxplot terlihat bahwa rerata kadar hemoglobin,
leukosit dan trombosit mengalami penurunan sesudah terapi kemoterapi.
4.2. Hasil Pemeriksaan ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan Rasio CD4+/CD8+
sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated.
Sepuluh sampel hasil biospi KNF Undifferentiated sebelum dan sesudah
pengobatan kemoterapi neoadjuvant dilakukan pemeriksaan imunohoistokimia.
p=0,048 p=0,264
p=0,014
p=0,207
p=0,056
p=0,014
p=0,264
p=0,048
p=0,027
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Ekspresi LMP1, CD4+ dan CD8+ dibaca dan dihitung skor histologi ekspresinya
sebanyak 9 lapang pandang. Hasil pembacaan dari 9 lapang pandang dihitung
nilai reratanya.
4.2.1. Hasil Pemeriksaan LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated .
Dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik
pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata Ekspresi LMP1 sebelum
pengobatan adalah 1,79 ± 0,68 (rentang nilai 0,67 – 2,78) dan sesudah
pengobatan adalah 0,41 ± 0,39 (rentang nilai 0,00 – 1,00) . Untuk menilai adanya
perbedaan ekspresi LMP1 sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi
neoadjuvant dilakukan dengan menggunakan Wilcoxon test.
Tabel 4.2. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test tingkat ekspresi LMP1 sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated.
Variabel Sebelum terapi
Sesudah terapi
Z
Wilcoxon p
n Mean SD n Mean SD LMP1 10 1,79 0,68 10 0,41 0,39 -2,70 0,007
Didapatkan perbedaan bermakna secara statistic ekspresi LMP1 sebelum
dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated (p = 0,007)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Gambar 4.6. Boxplot Hasil Ekspresi LMP1 sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated (p=0,007).
Berdasarkan gambar boxplot terlihat bahwa rerata ekspresi LMP1 akan
menurun signifikan secara statistic (p = 0,007) pada kelompok sampel sesudah
kemoterapi neoadjuvant.
4.2.2. Hasil Pemeriksaan ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated
Dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik
pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata Ekspresi CD4+ sebelum
pengobatan adalah 2,06 ± 1,31 (rentang nilai 0,33 - 4,00 ) dan sesudah
pengobatan adalah 0,88 ± 0,74 (rentang nilai 0,00 – 2,22 ). Untuk menilai adanya
perbedaan ekspresi CD4+ sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi
neoadjuvant dilakukan dengan menggunakan Wilcoxon test.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Tabel 4.3. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi CD4+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated.
Variabel Sebelum terapi
Sesudah terapi
Z
Wilcoxon p
n Mean SD n Mean SD CD4+ 10 2,06 1,31 10 0,88 0,74 -2,04 0,041
Didapatkan perbedaan bermakna secara statistik ekspresi CD4+ sebelum
dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated (p = 0,041)
Gambar 4.7. Boxplot Hasil ekspresi CD4+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated (α = 0,041).
Berdasarkan gambar 4.7 boxplot terlihat bahwa rerata ekspresi CD4+ akan
menurun signifikan secara statistic (p = 0,041) pada kelompok sampel sesudah
kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
4.2.3. Hasil Pemeriksaan Ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated.
Dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik
pewarnaan imunohistokimia didapatkan nilai rerata Ekspresi CD8+ sebelum
pengobatan adalah 1,96 ± 0,92 (rentang nilai 1,00 – 3,67 ) dan sesudah
pengobatan adalah 0,23 ± 0,26 (rentang nilai 0,00 – 0,67). Untuk menilai adanya
perbedaan ekspresi CD8+ sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi
neoadjuvant dilakukan dengan menggunakan Uji Wilcoxon test.
Tabel 4.4. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test ekspresi CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated.
Variabel Sebelum terapi
Sesudah terapi
Z
Wilcoxon P
n Mean SD n Mean SD CD8+ 10 1,96 0,92 10 0,23 0,26 -2,80 0,005
Didapatkan perbedaan bermakna secara statistik ekspresi CD8+ sebelum
dan sesudah kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma nasofaring jenis
Undifferentiated (p = 0,005)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Gambar 4.8. Boxplot Hasil ekspresi CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring Jenis Undifferentiated (p = 0,005).
Berdasarkan gambar boxplot terlihat bahwa rerata tingkat ekspresi CD8+
menurun secara signifikan (p = 0,005) pada kelompok sampel sesudah kemoterapi
neoadjuvant.
4.2.4. Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant
pada Karsinoma Jenis Undifferentiated .
Dari 10 jaringan KNF jenis Undifferentiated yang dilakukan teknik
pewarnaan imunohistokimia didapatkan rerata rasio CD4+/CD8+ sebelum
pengobatan adalah 1,06 ± 0,61 (rentang nilai rasio 0,33 – 2,07 ) dan sesudah
pengobatan adalah 1,62 ± 3,25 (rentang nilai rasio 0,00 – 10,60) (tabel 4.5) .
Pada penelitian ini di dapatkan bahwa rerata rasio CD+/CD8+ sesudah pengobatan
lebih tinggi bila dibandingkan sebelum pengobatan. Untuk menilai adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
perbedaan rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi
neoadjuvant dilakukan dengan menggunakan Wilcoxon test.
Tabel 4.5. Hasil analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test rasio
CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated .
Variabel Sebelum terapi
Sesudah terapi
Z
Wilcoxon P
n Mean SD n Mean SD Rasio
CD4+/CD8+ 10 1,06 0,61 10 1,62 3.25 -0,46 0,646
Berdasarkan tabel 4.5. diketahui tidak ada perbedaan secara statistik rasio
CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah kemoterapi neoadjuvant (p = 0,646)
Gambar 4.9. Boxplot Hasil Rasio CD4+/CD8+ sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated (p=0.646).
Berdasarkan gambar 4.9. boxplot terlihat bahwa peningkatan rerata rasio
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
CD4+/CD8+ tidak signifikan secara statistik (p = 0,646) pada kelompok sampel
sesudah kemoterapi neoadjuvant.
4.3. Analisis hubungan antara ekspresi LMP1 dengan Rasio CD4+/CD8+
pada Karsinoma Jenis Undifferentiated . .
Model persamaan linier hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio
CD4+/CD8+ menggunakan analisis regresi linier dan kekuatan korelasinya
dengan analisis Spearman’s rho. Variabel ekspresi LMP1 sebagai variabel bebas
yang ingin diketahui sejauh mana berpengaruh terhadap rasio CD4+/CD8+, tanpa
melihat adanya faktor lain.
Tabel 4.6. Analisis Model Persamaan linier hubungan antara ekspresi LMP1
dan Rasio CD4+/CD8+ pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
Confidence Interval
95 %
B t p Batas Bawah
Batas Atas
Konstanta 1,91 2,29 0,035 0,15 3,66 LMP1 - 0,51 - 0,86 0,401 - 1,76 0,74
Dari table 4.6. menunjukkan hubungan terbalik antara ekspresi LMP1 dan
Rasio CD4+/CD8+, tetapi secara statistik tidak bermakna (p=0,401) dan
memenuhi model persamaan linier dengan rumus persamaan :
Y = 1,91 – 0,51 X ; dimana Y = rasio CD4+/CD8+ dan X = Ekspresi LMP1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Gambar 4.10. Korelasi antara ekspresi LMP1 dan Rasio CD4+/CD8+ pada karsinoma nasofaring Undifferentiated (r= 0,17; p=0,468).
Dari gambar 4.10 dapat dilihat hasil analisis Spearman’s menunjukkan
korelasi sangat lemah antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ dan tidak
signifikan (r=0,17 ; p=0,468). Rasio CD4+/CD8+ akan mengalami penurunan
dengan bertambahnya ekspresi LMP1. Penurunan rasio ini hanya mampu
dijelaskan sebesar 4 %, selebihnya sebesar 96 % penurunan rasio CD4+/CD8+
akibat faktor lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
RESUME HASIL Tabel 4.7. Resume tabel analisis statistik Wilcoxon Signed Ranks test
ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+ akibat Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated.
Variabel Sebelum (n=10)
Sesudah (n=10)
Z
Wilcoxon P
Mean SD Mean SD LMP1 1,79 0,68 0,41 0,39 -2,70 0,007 CD4+ 2,06 1,31 0,88 0,74 -2,04 0,041 CD8+ 1,96 0,92 0,23 0,26 -2,80 0,005 Rasio
CD4+/CD8+ 1,06 0,61 1,62 3,25 -0,46 0,646
Gambar 4.11. Resume gambar boxplot ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+ akibat Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Jenis Undifferentiated.
SESUDAH SEBELUM
KEMOTERAPI NEOADJUVANT
7
6
5
4
3
2
1
0 Eks
RASIOCD8CD4LMP1p=0,646
p=0,005 p=0,041
p=0,007
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
BAB V
PEMBAHASAN
Rancangan penelitian ini adalah one group before and after intervention atau
one group pre and post test design menggunakan satu kelompok tanpa kontrol
yang merupakan penelitian eksperimental semu atau kuasi (Arief, 2004). Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui perbedaan tingkat ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ ,
Rasio CD4+/CD8+ dan hubungan antara ekspresi LMP1 dan rasio CD4+/CD8+
sebelum dan sesudah pengobatan kemoterapi neoadjuvant pada karsinoma
nasofaring jenis Undifferentiated.
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian ekspreimental kuasi
karena pengamatan dilakukan terhadap subyek penelitian dengan melakukan
intervensi atau perlakuan kemoterapi neoadjuvant tanpa menggunakan kontrol.
Kelebihan penelitian ini relatif mudah dan murah bila dibandingkan eksperimen
murni apalagi sampel dalam penelitian ini kecil.
Populasi penelitian adalah penderita KNF yang berobat di Bagian Ilmu
Kesehatan THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Seluruh anggota populasi yang
memenuhi kriteria penerimaan diambil sebagai sampel penelitian dengan metode
pengambilan sampel secara consecutive sampling (non probality sampling).
Pada penelitian ini didapatkan data dalam bentuk ordinal pada tiap variabel
yang diteliti. Untuk mengetahui adanya perbedaan antara variabel sebelum dan
sesudah terapi yaitu LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio CD4+/CD8+ maka dilakukan
analisis dengan menggunakan Wilcoxon SignedRanks test dengan α = 0,05.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
Sedangkan hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ dengan
menggunakan Analisis Spearman’s dan regresi linier.
5.1. Data dasar sampel penelitian
Penelitian ini dilakukan pada 10 pendeita KNF jenis Undifferentiated
dengan rerata umur adalah 52,6 tahun dengan standar deviasi 13,327 tahun
(rentang umur 32 – 74 tahun), dengan kelompok usia terbanyak 50 – 70 tahun
(60 %) dan total sampel di atas dekade 4 sebesar 80 % (gambar 4.1). Hal ini
sesuai dengan laporan Mulyarjo (2002) di Poli Onkologi THT RSU Dr. Soetomo
Surabaya tahun 2000 – 2001 didapatkan kelompok umur terbayak pada dekade ke
5 dan penelitian Lasniroha (2008) di poli Ongkologi THT RSUD. Dr. Moewardi
Surakarta sebesar 79,5 %.Yunarti (2007) pada penelitian dengan 40 penderita
KNF mendapatkan rerata umur 40,8 tahun dengan standar deviasi 13,49 (rentang
umur 15 – 60 tahun) dan kelompok penderita terbanyak adalah umur 50-60 tahun.
Keganasan kebanyakan didapatkan pada usia tua (lebih dar 40 tahun) dikarenakan
sistim imunitas dan mekanisme perbaikan DNA yang mengalami mutasi (DNA
repair) sudah kurang berfungsi dengan baik. Mekanisme perbaikan DNA
dibutuhkan guna memperbaiki rangkaian asam amino pada kode genetik DNA
yang mengalami mutasi. Jika mekanisme perbaikan DNA ini mengalami
kegagalan dalam menjalankan fungsinya maka mutasi gen DNA yang sudah
terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali (Abbas, et al., 2007).
Pada penelitian ini didapatkan kebanyakan laki-laki (90 %) dan perempuan
(10 %) (gambar 4.2). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian orang lain seperti
pada penelitian Mulyarjo (2002) terhadap penderita KNF selama tahun 2000-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
2001 yang mendapatkan angka perbandingan jenis kelamin laki-laki dan
perempuan 2:1, dan penelitian Lasniroha (2008) yaitu 2,4 : 1. Gondowiarjo
(1998) melaporkan dengan mengutip dari data Direktorat Jendral Pelayanan
Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1991, melaporkan bahwa
penderita KNF kebanyakan pada pria usia produktif dengan perbandingan antara
laki-laki dengan wanita sebesar 2,2 : 1. Yunarti (2007) mendapatkan
perbandingan laki-laki dan perempuan 67,5 % (2,1) : 13 % (1). Prosentase lebih
tinggi pada laki-laki kemungkinan oleh karena laki-laki lebih sering keluar rumah
sehingga relatif banyak terkena polusi maupun iritasi kronis pada mukosa
nasofaring dan merokok dibandingkan wanita.
Dari gambar 4.3 didapatkan bahwa sebagian besar penderita KNF yang
datang berobat ke RSUD. Dr. Moewardi Surakarta memiliki ukuran tumor primer
T3 dan T4 (70 %) sudah stadium lanjut ( III dan IV ) yaitu sebesar 8 pasien
(80 %). Hal ini sesuai dengan laporan Mulyarjo (2002) pada penelitian di Poli
Onkologi THT RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun 2000 – 2001 dan penelitian
Lasniroha (2008) di Poli Ongkologi THT RSUD. Dr. Moewardi Surakarta
didapatkan sebagian besar penderita KNF datang sudah stadium lanjut yaitu
89,7 %. Kondisi inilah merupakan kendala yang dihadapi dalam penanganan
KNF, bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Semakin
lanjut stadium KNF saat penderita datang berobat maka semakin komplek
penanganannya. KNF merupakan tumor ganas yang berasal dari epitel mukosa
atau jaringan limfoepitelial pada nasofaring. Karena lokasinya yang tersembunyi,
KNF relatif sulit didiagnosis secara dini (Mulyarjo, 2001) . Selain itu, karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
gejala dini KNF hampir sama dengan keradangan di saluran nafas atas pada
umumnya. Hal ini dapat mengurangi perhatian pemeriksa dalam mendiagnosis
kemungkinan adanya KNF. Peralatan yang kurang memadai juga dapat menjadi
kendala dalam mendiagnosis penyakit ini. Faktor penyebab keterlambatan lainnya
yaitu pengetahuan yang kurang, percaya pada pengobatan non medis, takut
berobat ke dokter dan kondisi sosial ekonomi yang lemah dari penderita. Hal di
atas bisa menyebabkan penderita kurang memperhatikan adanya kelainan tentang
penyakit kanker ataupun gejala dini KNF dan baru datang untuk memeriksakan
diri setelah adanya benjolan di leher. Beberapa hal di atas dapat menyebabkan
penderita KNF baru berobat setelah stadium lanjut. Keterlamabatan dalam
mendiagnosis berkorelasi dengan hasil akhir pengobatan. Prognosis penderita
KNF pada umumnya tidak baik. 5 year survival rate untuk stadium I dilaporkan
sebesar 83,7 %, stadium II 67,9 %, stadium III 40,3 % dan stadium IV sebesar
22,3 % (Skinner, et al., 1991).
Pada table 4.1. dapat diketahui kadar hemoglobin pasien KNF yang
menjalani kemoterapi neoadjuvant adalah 12,23 mg/dL dengan standar deviasi
1,21 dengan rentang nilai kadar Hb adalah 11,3 – 15,4 mg/dL. Hasil penelitian ini
tidak jauh berbeda dengan yang dilaporkan oleh Yunarti (2007), yang
mendapatkan kadar Hb rerata adalah 12,90 dengan standar deviasi 1,369 (rentang
nilai Hb : 10,3 g% - 16,0 g%). Kadar Hb prekemoterapi pertama merupakan kadar
Hb baseline. Kadar HB ini mempunyai kecenderungan menurun saat pasien
menjalani kemoterapi dan akan terus mengalami penurunan selama radioterapi.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan Becker, et al., (2000) dalam penelitiannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
terhadap 133 pasien Tumor kepala leher melaporkan bahwa kadar Hb
berhubungan erat dengan kondisi oksigenasi jaringan tumor. Kadar Hb akan terus
menurun selama terapi dan ini sangat erat dengan terjadinya hipoksia jaringan.
Pada penelitian ini juga dilaporkan bahwa kadar HB berhubungan erat dengan
hasil akhir pengobatan.
Kadar leukosit pasien KNF yang menjalani kemoterapi neoadjuvant adalah
7,85 dengan standar deviasi 3,67 dengan rentang nilai kadar AL adalah 4,0 – 13,8.
Kadar trombosit pasien yang menjalani pengobatan adalah pre kemoterapi
I 304,4 ± 111,98 (rentang nilai 165,0 – 480,0); nilai rerata AT post kemoterapi I
adalah 255,5 ± 77,95 (rentang nilai 178,0 – 417,0); nilai rerata AT post
kemoterapi II adalah 201,6 ± 83,6 (rentang nilai 93,0 – 328,0) dan nilai rerata AT
post kemoterapi III adalah 174,5 ± 55,6 (rentang nilai 88,0 – 271,0). Hasil ini
menunjukkan adanya kecenderungan penurunan selama terapi.
5.2. Analisis Ekspresi LMP1 pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated. Infeksi laten merupakan karakteristik kelompok virus herpes. Pada keadaan
ini genom EBV dalam bentuk episom. Limfosit B yang terinfeksi EBV dalam
bentuk laten mengekspresikan gen EBNA1, LMP1 dan 2. Ekspresi gen laten
inilah yang memberikan kontribusi terjadinya perubahan fenotip keganasan (Hu,
et al., 1996).
Pada tabel 4.2. Ekspresi LMP1 sesudah pengobatan adalah 0,41 dengan
standar deviasi 0,39 (rentang nilai 0,00 – 1,00), sedangkan ekspresi LMP1
sebelum pengobatan didapatkan nilai rerata ekspresinya 1,79 dengan standar
deviasi 0,68 (rentang nilai 0,67 – 2,78). Hasil skor histologis ekspresi LMP1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
sesudah pengobatan lebih rendah atau mengalami penurunan bila dibandingkan
sebelum pengobatan secara signifikan (p=0,007). Perhitungan ekspresi LMP1
dengan menggunakan penjumlahan skor antara jumlah protein yang terekspresi
dengan intensitasnya tidak selalu didapatkan bahwa LMP1 selalu terekspresi
positif pada penelitian ini, hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Khabir,
et al., (2008) yang mendapatkan skor antara antara 2 sampai dengan 12 dengan
rerata 7,6 dengan standar deviasi 2,6 dan semua protein LMP1 terekspresi.
Ekspresi LMP1 memang didapatkan hasil yang berbeda-beda, seperti yang
dilaporkan oleh Lasniroha (2008) yang mendapatkan nilai rerata ekspresi LMP1
sebesar 11.76 %, Lin (2003) mendapatkan ekspresi LMP1 pada KNF jenis
Undifferentiated sebesar 65 %, Gondowiarjo (1998) mendapatkan angka 50,61 %
memberikan ekspresi LMP1 yang positif. Kim, et al., (2006) dalam penelitiannya
terhadap 40 pasien KNF (yang terdiri WHO I : 5 pasien, WHO II : 20 pasien dan
15 pasien WHO III/undifferentiad) dengan menggunakan tehnik pengecatan
imunohistokimia monoclonal antibodi untuk LMP1 (DAKO, clones CS1-4, CA,
USA: dilution 1: 400) mendapatkan ekspresi LMP1 positif 12 (30%) pasien (yang
terdiri dari 5 (25 %) pasien dari WHO II dan 7 (22%) pasien WHO III).
Hariwiyanto (2009) yang melakukan penelitian terhadap 56 pasien KNF yang
mendapatkan adanya perbedaan ekspresi LMP1 antara KNF dengan respon
negatif dan KNF respon pengobatan positif secara signifikan (p=0,001). Hasil
ekspresi LMP1 yang dibedakan menjadi kelompok dengan respon negatif
mendapatkan hasil rerata ekspresi LMP1 adalah 9,149 (dengan rentang nilai 4,2 –
11,6) dan nilai rerata ekspresi LMP1 5,5037 (rentang nilai 3,0 – 7,6) pada pasien
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
KNF dengan respon pengobatan positif. Perbedaan ini mungkin disebabkan
pemeriksaan imunohistokimia dan penghitungan ekspresi protein dilakukan
semikuantitatif dengan menghitung jumlah sel yang terekspresi dan intansitas
warnanya, sedangkan pemeriksaan konvensional hanya menghitung jumlah sel
yang terekspresi pada tiap lapang pandang dan tidak dilakukan penghitungan
intensitas warna.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa setelah pengobatan kemoterapi
neoadjuvant masih didapatkan adanya ekspresi LMP1 positif yaitu 7 sampel (70
%) dan sisanya (30 %) tidak menunjukkan ekspresi LMP1. Hal ini membuktikan
bahwa angka keberhasilan terapi pada KNF Undifferentiated stadium lanjut cukup
rendah berkisar 30-40 %, dan sangat mungkin adanya ekspresi LMP1 setelah
terapi berkaitan dengan kemampuan kemoterapi neoadjuvant dalam eradikasi
tumor primer, angka rekurensi dan kesembuhan pada pasien KNF. Kemoterapi
neoadjuvant akan memacu proses apoptosis melalui mekanisme aktifasi terhadap
komplek caspase dan menekan ekspresi LMP1 (Karen, et al.,1999; Weinrib, et al.,
2001; Gerald, et al., 2005). Hariwiyanto (2009) dalam penelitiannya terhadap 56
pasien KNF mendapatkan bahwa adanya ekspresi LMP1 yang rendah < 7,2 (28
orang) maka 2 (6,89%) dan 26 (93,11 %) orang hidup dengan nilai ketahanan
hidupnya mencapai 96 %, sedangkan pada pasien yang menunjukkan ekspresi
LMP1 tinggi (> 7,2) didapatkan 11 orang (40,7 %) meninggal dan hanya 17 orang
(59,30%) hidup dengan nilai ketahanan hidupnya mencapai 60 %.
Ekspresi LMP1 merupakan satu protein membran yang dapat mengaktifasi
faktor transkripsi NFkB dan berakibat terhalangnya proses apoptosis, sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
menyebabkan penurunan nilai ketahanan hidup pasien KNF. Ekspresi LMP1
positif merupakan produk onkogen virus potensial yang mempunyai beberapa
fungsi dan peran biologi penting karsinogenesis dan regulasi sitokin pada KNF
yang ditandai adanya sel-sel inflamasi mononuclear. Transkripsi gen LMP1
membentuk messenger ribonucleic acid (mRNA) yang merupakan transkripsi
genom virus paling dominan pada sel limfosit B dan ditransformasikan oleh EBV
(Miller, et al., 1995; Kentjono, et al., 2000; Murono, et al., 2003; Raab-Traub, et
al., 2005; Zheng, et al., 2007; Weinburg, 2007). LMP1 dapat mengiduksi cyclin
D2 dan menghambat efek tumour growth factor (TGF)-a1 pada sel limfosit B,
mengakibatkan proliferasi sel yang tidak terkontrol. LMP1 menginduksi sintesis
DNA pada proses proliferasi sel. sehingga sel tidak terkontrol (Miller, et al.,
1995).
5.3. Analisis Ekspresi CD4+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi
neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated. Pada tabel 4.3. dapat diketahui Ekspresi CD4+ sebelum pengobatan adalah
2,06 dengan standar deviasi 1,31 (rentang nilai 0,33 – 4,00) dan ekspresi CD4+
sesudah pengobatan adalah 0,88 dengan standar deviasi 0,74 (rentang nilai 0,00 –
2,22 ). Apabila dianalisis maka dapat diketahui bahwa ada perbedaan ekspresi dan
perbedaan ini bersifat penurunan ekspresi CD4+ sesudah pengobatan.secara
signifikan (p=0,041). Hasil ini sesuai dengan penelitian Yunarti (2007) yang
mendapatkan adanya penurunan secara signifikan (p=0,0001) jumlah limfosit dan
monosit antara sebelum dan sesudah radioterapi. Hasil ini berbeda dengan yang
dilaporkan oleh Haryana, et al., (2009) yang mendapatkan hasil ekspresi CD4+
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
5,12 dengan standar deviasi 5,48. Dari 10 sampel penelitian sesudah pengobatan
hanya 8 (80 %) yang menunjukkan adanya ekspresi CD4+, sedangkan 2 sampel
(20 %) ekspresi CD4+ tidak bisa diidentifikasi. Pada penelitian ini terjadi
penurunan ekspresi CD4+ setelah 2 bulan kemoterapi neoadjuvant, hal ini
mungkin disebabkan adanya efek imunosupresif radioterapi belum sepenuhnya
hilang walaupun dalam beberapa kajian disebutkan bahwa efek ini terjadi 4 – 6
minggu setelah radioterapi. Menurut Maity, et al., (1994) penurunan limfosit ini
dapat mencapai 50-60 % dibanding sebelum terapi. Sel-sel ini akan kembali
normal pada 13 minggu setelah terapi. Disamping itu radioterapi menyebabkan
penurunan imunitas seluler pada penderita KNF karena: (1) besarnya volume
darah yang terpapar radiasi, (2) kelenjar timus masih tetap menerima radiasi
sekalipun radiasi yang dipakai hanya 390 rads dan (3) malnutrisi dan menurunnya
berat badan karena mukositis (Rabben, et al., 1976; Wolf, et al., 1987). Penurunan
sel CD4+ sesudah kemoterapi neoadjuvant menunjukkan bahwa sel CD4+ sensitif
terhadap terapi dan proses pemulihannya lambat (Kuss, et al., 2005).
Pada kasus KNF ekspresi CD4+ akan meningkat dan lebih tinggi dari orang
normal dan tidak tergantung pada jenis histopatologi dan stadium KNF, hal ini
menunjukkan bahwa pada keganasan sel T CD4+ mungkin berperan pada
progresifitas KNF. Progresifitas KNF terjadi oleh karena sel T CD4+ akan
diaktifasi mulai dari kondisi premalignant sampai malignant dari infeksi EBV.
(Budiani, et al., 2010). Ekspresi CD4+ yang tinggi sebelum terapi atau pada
keganasan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan sistem imun dalam
mengeliminasi pertumbuhan tumor. Mekanisme imunosupresif dapat disebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
oleh adanya sekresi cytokine supresif (IL-2) yang akan menginduksi tolerogenik
dendric cell (DC), disamping dalam beberapa kasus menyebabkan terjadinya lisis
dari sel T atau APC. Keadaan imunosupresif juga dipicu oleh kemampuan sel
tumor memproduksi TGF-β dan VEGF yang berakibat sel T menjadi Tregs baik
langsung atau tidak langsung (Zou, et al., 2006). Hasil berbeda ditunjukkan oleh
Kuss, et al., (2005) dalam penelitiannya tentang Imbalance in Absolute Counts of
T Lymphocyte Subsets in Patients with Head and Neck Cancer and Its Relation to
Disease mendapatkan adanya perbedaan signifikan (p=0.0001) dan ekspresi
CD4+ lebih rendah pada tumor ganas kepala leher bila dibanding sel normal
(670±412 (44 ±9) dibanding 1.005 ± 360 (47±9) ).
5.4. Analisis Ekspresi CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant pada Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated .
Pada tabel 4.4 dapat diketahui Ekspresi CD8+ sebelum pengobatan adalah
1,96 dengan standar deviasi 0,92 (rentang nilai 1,00 – 3,67 ) dan ekspresi CD8+
sesudah pengobatan yaitu 0,23 dengan standar deviasi 0,26 (rentang nilai 0,00 –
0,67). Ekspresi CD8+ sesudah pengobatan ada perbedaan dengan sebelum
pengobatan dan bersifat mengalami penurunan secara signifikan (p = 0,005).
Hasil ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Haryana et al., (2009) yang
mendapatkan hasil ekspresi CD8+ adalah 16,54 dengan standar deviasi 24,55.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Zhang, et al (2010) mendapatkan angka
ekspresi CD8+ adalah 52,5 dengan standar deviasi 4,97 (rentang nilai 0,080 –
231,3 cell/HPF).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekspresi CD8+ sesudah 2 bulan
pengobatan kemoterapi neoadjuvant lebih rendah bila dibandingkan sebelum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
pengobatan. Beberapa obat kemoterapi dapat meningkatkan sekaligus menekan
antigen-spesifik imun respon yang tergantung akan dosis, waktu pemberian obat
dan paparan protein antigen (Nigam, et al., 1998; Emens, et al., 2001). Peranan
kemoterapi dalam proses lisis sel tumor oleh CTLs melalui mekanisme perubahan
epigenetik, merangsang kembali ekspresi antigen tumor dan molekul yang
berperan dalam prosesing dan presentasi antigen. Radioterapi mempunyai efek
imunosupresif sebab radiasi pengion menyebabkan sindrom hemopoitik yang
ditandai penurunan jumlah dan kualitas sel darah tepi terutama limfosit. Sinar
pengion yang dihasilkan radioterapi menyebabkan pemecahan kovalen antara
hydrogen dan oksigen. Radikal bebas OH– mengoksidasi DNA sehingga rantai
DNA pecah dan menyebabkan kerusakan kromosom sehingga terjadi perubahan
metabolisme dan efek biologi sel pada tingkat mitosis (kerusakan struktur sel
yang memicu apoptosis sel imun) (Syahrun et al., 1984). Reaktifitas radikal
bebas sangat tinggi dengan waktu paruh sangat pendek(10–9 detik) sehingga
dengan cepat merusak molekul didekatnya. Sebuah molekul OH– dapat merusak
ratusan rantai PUFA menjadi lipid hidroperoksida yang akan berubah menjadi
aldehid. Aldehid akan berikatan denga protein, menghancurkan integritas
membran sel, merusak aktifitas transport protein, membuat kolaps ion gradien dan
akhirnya memicu kematian sel. Sebuah penelitian membuktikan adanya hubungan
negatif antara dosis dan lamanya radiasi dengan imunitas seluler penderita KNF.
Semakin besar dosis dan semakin lama paparan radiasi akan semakin menurunkan
sistem imun seluler (Syahrun, 1984).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Sebuah penelitian lain melaporkan bahwa sekitar 75% penderita KNF
mengalami penurunan cell mediated imunity ( CMI ) setelah radioterapi sebab
radioterapi pada KNF meliputi daerah yang cukup luas sehingga dapat mengenai
sel efektor imunologis, baik yang beredar di sirkulasi, jaringan limfoid mukosa
hidung dan nasofaring serta tenggorok (ring of waldeyer’s) (Wolf, et al., 1987).
Sebuah penelitian lain oleh Syahrun (1984) membuktikan bahwa setelah
radioterapi terjadi penurunan jumlah total limfosit sebesar 50 - 60% dibandingkan
dengan sebelum radioterapi. Penurunan sel-sel darah tepi ini karena terhambatnya
produksi sel darah dalam sistem hemopoetik (hambatan mitosis pada sel induk)
(Syahrun, 1984). Sel limfosit yang terpapar sinar pengion akan mengalami
aberasi pada kromosomnya sehingga terjadi perubahan metabolisme dan efek
biologis sel pada tingkat mitosis. Aberasi kromoson dapat terjadi pada sel induk
sumsum tulang maupun sel limfosit matur pada nodus limfatikus dan pembuluh
darah tepi. Sel-sel prekursor di sumsum tulang lebih radiosensitif dibandingkan
sel limfosit matur. Aberasi kromosom ini menyebabkan penurunan jumlah
limfosit, walaupun limfosit mempunyai kemampuan untuk memperbaiki
kerusakan melalui reparasi DNA. Apabila sistem ini gagal maka akan terjadi
penurunan imunitas seluler dalam melawan kanker (Wang, et al., 1994).
Efek radiasi pada dosis 200 cGy yang diberikan 5 kali dalam seminggu pada
daerah nasofaring akan menurunkan jumlah dan indeks transformasi limfosit
dimana hitung limfosit terendah terjadi 4 minggu setelah penyinaran. 2 minggu
setelah penyinaran, indeks transformasi dan hitung limfosit akan mulai meningkat
(Syahrun, 1984)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Monosit juga merupakan sel yang radiosensitif tetapi radiosensitifitasnya
lebih rendah dibandingkan dengan limfosit. Pada dosis radioterapi yang sama,
monosit turun lebih lambat tetapi reparasi lebih cepat dibandingkan dengan
limfosit. Reparasi limfosit terjadi 20 – 30 hari sedangkan monosit 6 hari setelah
radioterapi (Syahrun, 1984; Early, et al., 1985)
Sel T CD8+ akan diaktifasi oleh antigen virus EBV melalui mekanisme
yang tergantung MHC I. Peningkatan sel T CD8 + pada KNF bukan merupakan
sesuatu yang mengejutkan. Sel T CD8+ dari biopsi KNF tidak tergantung pada
jenis histopatologi dan stadium KNF (Budiani, et al., 2010). Jumlah ekspresi sel
T CD8+ pada KNF akan menggambarkan adanya defek pada sel aktifasi atau
fungsinya pada tumor, yang barangkali ada kaitannya dengan konsentrasi IL-10
yang berfungsi menghambat proliferasi dan differensiasi dari sel T pada KNF.
Sel T CD8+ memainkan peran utama dalam mekanisme sistem imun
terhadap sel tumor dan infeksi endogenous termasuk infeksi EBV. Protein virus
endogenous dihasilkan oleh proteosome lumen endoplasmic reticulum oleh TAP
1,2 dan dihasilkan oleh MHC I. Molekul MHC akan mengekspresikan beberapa
peptide terhadap sel T CD8+ yang akan diaktifkan oleh EBV. Sel T CD8+
memainkan peran utama dalam mengeliminasi sel yang terinfeksi virus dan sel
tumor melalui jalur eksositosi granule (granule – exocytosis pathway). Perforin
merupakan protein yang disimpan bersama sama dengan granzyme (serine
protease) pada granule dari sel T CD8+ dan sel NK. Seksostosis granule terjadi
manakala sel TCD8+ dan sel NK mengalami kontak dengan sel target. Dengan
adanya produk granule ini maka terjadi aktifasi jalur apopoptosis dan eliminasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
dari sel target. Mekanisme ini pernah dilakukan uji coba dengan menggunakan
mencit yang mengalami supresi perforin akan mengalami pertumbuhan yang cepat
dari sel tumor. Bahkan perforin dapat mediatori terjhadinya keruskan membrane
dan granzyme penting untuk merangsang terjadinya apoptosis.
5.5. Analisis Rasio CD4+/CD8+ pada sebelum dan sesudah Kemoterapi neoadjuvant diikuti Radioterapi pada karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated Pada tabel 4.5 dapat diketahui bahwa ada perbedaan Rasio CD4+/CD8+ pada
KNF jenis Undifferentiated antara sebelum dan sesudah terapi lengkap kemoterapi
neoadjuvant. Rasio CD4+/CD8+ sebelum terapi adalah 1,06 dengan standar
deviasi 0,62 (dengan rentang nilai rasio 0,33 – 2,07) dan Rasio CD4+/CD8+
sesudah pengobatan adalah 1,63 dengan standar deviasi 3,25 (dengan rentang nilai
rasio 0,30 – 2,67). Peningkatan rasio yang terjadi tidak signifikan (p=0,646).
Angka rasio yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa sebukan sel T CD4+ lebih
tinggi bila dibandingkan sel T CD8+ dan mengindikasikan adanya penurunan
fungsi dari infiltrasi subset sel T (Budiani et al., 2010). Jiang et al., (2004)
mendapatkan nilai normal rasio CD4+/CD8+ pada orang dewasa sehat di Shanghai
adalah 1,49 dengan standar deviasi 0,57 (rentang : 0,92 - 2,06) hampir sama
dengan yang didapatkan oleh Cirino, et al., (2007) yaitu 0,90. Pada kasus
keganasan nilai rasio sangat bervariasi, Heraberg, et al., (1997) dalam
penelitiannya pada renal cell carcinoma sebelum terapi dengan vinblastin-IFN
adalah 1,3 (rentang : 0,56-6,8), selama terapi vinblastin 1,1 (rentang : 0,33-9,3)
dan 1,7 (rentang : 0,60-11,1) dengan terapi vinblastin-IFN., dan Cirino, et al.,
(2007) dalam penelitiannya tentang tumor paru mendapatkan 1,74. Angka rasio
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
CD4+/CD8+ yang rendah akan menggambarkan tingkat prognostik yang lebih
baik. Hal ini karena infeksi virus dan kejadian karsinoma nasofaring lebih efektif
bila dieliminasi melalui mekanisme apoptosis oleh sel T CD8+ dibandingkan
dengan respon immune humoral. Karena respon immune humoral hanya berperan
pada saat infeksi primer dan tidak efektif untuk mengeliminasi sel malignant
sebagaimana karsinoma nasofaring. Oleh karenanya perlu diteliti rasio
CD4+/CD8+ pada kasus karsinoma nasofaring selama dan sesudah kemoterapi
(Abbas, et al., 2007) .
Status imunologi cell mediated immunity (CMI) dilaporkan mempengaruhi
respons KNF terhadap radioterapi. Penderita dengan respons imun seluler rendah
sebelum terapi dan tetap rendah pasca terapi mempunyai prognosis jelek
(Susworo, 1990; Nana, 2001).
Subpopulasi limfosit T, limfosit T-helper dan T- sitotoksik sama-sama
berperan dalam mengeliminasi antigen tumor. Sel yang mengandung antigen
tumor akan mengekspresikan antigennya bersama molekul MHC kelas I yang
kemudian membentuk komplek melalui TCR (T-cell Receptor) dari sel T-
sitotoksik (CD8), mengaktifasi sel T-sitotoksik untuk menghancurkan sel tumor
tersebut. Sebagian kecil dari sel tumor juga mengekspresikan antigen tumor
bersama molekul MHC kelas II, sehingga dapat dikenali dan membentuk komplek
dengan limfosit T-helper (CD4) dan mengaktifasi sel T-helper terutama subset
Th1 untuk mensekresi limfokin IFN-γ dan TNF-α di mana keduanya akan
merangsang sel tumor untuk lebih banyak lagi mengekspresikan molekul MHC
kelas I, sehingga akan lebih mengoptimalkan sitotoksisitas dari sel T (CD8+).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
. Pada banyak penelitian terbukti bahwa sebagian besar sel efektor yang
berperan dalam mekanisme anti tumor adalah sel T CD8+, yang secara fenotip dan
fungsional identik dengan CTL yang berperan dalam pembunuhan sel yang
terinfeksi virus atau sel alogenik. CTL dapat melakukan fungsi survaillance
dengan mengenal dan membunuh sel-sel potensial ganas yang mengekspresikan
peptida yang berasal dari protein seluler mutant atau protein virus onkogenik yang
dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I. Limfosit T yang menginfiltrasi
jaringan tumor (Tumor Infiltrating Lymphocyte = TIL) juga mengandung sel CTL
yang memiliki kemampuan melisiskan sel tumor. Walaupun respon CTL mungkin
tidak efektif untuk menghancurkan tumor, peningkatan respon CTL merupakan
cara pendekatan terapi antitumor yang menjanjikan dimasa mendatang. Sel T
CD4+ pada umumnya tidak bersifat sitotoksik bagi tumor secara langsung, tetapi
sel-sel itu dapat berperan dalam respon antitumor dengan memproduksi berbagai
sitokin misalnya IL-2 yang diperlukan untuk perkembangan sel-sel CTL menjadi
sel efektor. Di samping itu sel T CD4+ yang diaktifasi oleh antigen tumor dapat
mensekresi TNF dan IFNγ yang mampu meningkatkan ekspresi molekul MHC
kelas I dan sensitivitas tumor terhadap lisis oleh sel CTL. Beberapa tumor yang
antigennya diekspresikan bersama dengan MHC kelas II dapat mengaktifasi sel
CD4+ spesifik tumor secara langsung, yang lebih sering terjadi adalah bahwa APC
professional yang mengekspresikan molekul MHC kelas II memfagositosis,
memproses dan menampilkan protein yang berasal dari se-sel tumor yang mati
kepada sel T CD4+, sehingga terjadi aktifasi sel-sel tersebut. Proses sitolitik CTLs
terhadap sel target dengan mengaktifkan penggunaan enzim Perforin dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
Gransim, ada beberapa langkah proses sitolitik CTLs terhadap sel target (Syahrun,
1984; Nana, et al.,1996; Prasad, et al., 2002).
5.6. Analisis hubungan antara ekspresi LMP1 dan rasio CD4+/CD8+ pada
Karsinoma Nasofaring jenis Undifferentiated . Pada gambar 5.11 didapatkan model persamaan linier hubungan antara
ekspresi LMP1 dan Rasio ekspresi CD4+/CD8+ sesudah terapi, didapatkan model
persamaan linier adalah Y = 1,91 - 0,51 X; dimana Y = Rasio CD4+/CD8+ dan
X = Ekspresi LMP1, dengan confidence interval (CI) 95 % maka didapatkan
nilai β terletak 0,15 ≤ α ≤ 3,66 dan nilai α terletak -1,76 ≤ β ≤ 0,73, dengan
demikian setiap pertambahan nilai ekspresi LMP1 sebesar 1 %, maka rasio
CD4+/CD8+ akan berkurang antara -1,76 dan 0,73 dengan α= 0. Setelah
dilakukan uji Spearman’s diperoleh korelasinya sangat lemah dan tidak
signifikan secara statistic antara ekspresi LMP1 dengan rasio ekspresi
CD4+/CD8+ (r = 0,17; p= 0,646). Hal ini juga diperkuat dengan hasil analisis
R 2 = 0,04 yang mengindikasikan bahwa hanya sebesar 4 % seluruh hasil rasio
dapat diterangkan dengan model ini, dan sisanya sebesar 96 % rasio CD4+/CD8+
akibat faktor lain yang tidak diperhitungkan dalam model ini (lampiran 9).
Hasil ini tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan pada penelitian oleh
Haryana et al., (2009) dimana tidak didapatkan hubungan yang signifikan antara
LMP1 dan ekspresi CD4+ dan hubungan yang signifikan hanya antara ekspresi
LMP1 dengan ekspresi CD8+ . Peranan LMP1 dalam respon imun melalui aktifasi
MHC I dan II.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Pada penelitian ini ekspresi LMP1 tidak terbukti dapat menyebabkan
perubahan rasio ekspresi CD4+/CD8+ pada KNF jenis Undifferentiated, sehingga
pertumbuhan tumor semakin progresif. Gondowiarjo (1998) menyimpulkan
bahwa tidak ada hubungan antara ekspresi LMP1 dengan CD8+/CD4+ pada
peningkatan proliferasi sel, meskipun ekspresi LMP1 ini meningkatkan
pertumbuhan sel tumor. Hal ini diduga bahwa LMP1 berpengaruh pada
penghambatan proses apoptosis. Pertumbuhan tumor merupakan hasil akhir
proses proliferasi dan proses apoptosis. Asumsi ini diperkuat oleh Hu (1996)
dengan hasil penelitian secara in vitro pada sel epitel terjadi gangguan proses
apoptosis dengan keberadaan LMP1. Bahkan dijelaskan bahwa gangguan ini tidak
terjadi melalui gangguan pada jaras bcl 2, yaitu jaras yang sering terganggu pada
berbagai proses keganasan. LMP1 mempengaruhi proses keganasan melalui
peningkatan ekspresi protein A-20. Protein A-20 adalah suatu substrat yang dapat
meningkatkan resistensi sel terhadap tumor necrosis factor (TNF). TNF adalah
sistim pro-inflammatory yang mempunyai kemampuan mengaktifkan mekanisme
kemataian sel melalui proses apoptosis. Protein A-20 akan melindungi sel dari
kerja TNF sehingga sel akan terlindung dari proses kematian sel. Jaikumar, et al.,
(2003) menyatakan ada korelasi antara ekspresi LMP1 dengan CTL dan tingginya
respon sel T terhadap ekspresi LMP1 merupakan kunci sukses keberhasilan dalam
mengeliminasi tumor.
Pemeriksaan ekspresi petanda molekuler menggunakan analisis
immunobloting akan mendapatkan hasil yang lebih obyektif dan akurat dibanding
dengan pewarnaan tehnik immunohistokimia. Pemeriksaan dengan pewarnaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
tehnik immunohistokimia standrisasi gat dipengaruhi oleh reagen antibodi
monoklonal yang dipakai, ketrampilan petugas laboratorium dan subyekifitas
pemeriksa histopatologi. Selain itu, stanadarisasi pemeriksaan ekspresi petanda
molekuler sampai saat ini belum ada. Beberapa hal di atas menyebabkan
perbedaan hasil penelitian ini dengan yang dilakukan oleh miller (Miller, et al.,
1995).
Dalam penelitian ini penulis menyadari ada beberapa kelemahan atau
kekurangan disamping tentunya ada beberapa kelebihan. Kelebihan penelitian ini
adalah secara metodologi mudah diterapkan dan lebih murah dalam pembiayaan
dan cocok digunakan pada penelitian dengan sampel angka dropout tinggi, atau
pada populasi dengan angka keberhasilan pengobatan yang rendah. Beberapa
kelemahan yang terjadi dalam penelitian ini diantaranya adalah subyek penelitian
tidak dilakukan randomisasi, yang berakibat pengendalian terhadap faktor-faktor
perancu kurang kuat sehingga sering timbul bias dalam analisa data.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Terdapat penurunan yang signifikan secara statistik ekspresi LMP1
(p=0,007), CD4+ (p=0,041) dan CD8+ (p=0,005) akibat kemoterapi
neoadjuvant pada KNF jenis Undifferentiated.
2. Ada perbedaan berupa peningkatan yang tidak signifikan secara statistik
(p= 0,646) rasio CD4+/CD8+ akibat kemoterapi neoadjuvant pada KNF
jenis Undifferentiated.
3. Hubungan antara ekspresi LMP1 dengan rasio CD4+/CD8+ sangat lemah
dan tidak signifikan secara statistik (r=0,17; p=0,468) pada KNF jenis
Undifferentiated.
6.2. Saran
1. Perlu dipikirkan pemberian asupan dan/atau pengobatan untuk mencegah
terjadinya penurunan sistem imun akibat kemoterapi neoadjuvant pada
karsinoma nasofaring jenis Undifferentiated.
2. Penelitian dengan memeriksa ekspresi LMP1, CD4+, CD8+ dan rasio
CD4+/CD8+ setelah kemoterapi saja perlu dilakukan, sehingga pengaruh
kemoterapi terhadap ekspresi tersebut dapat dianalisis. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi adanya bias yang mungkin terjadi dalam
penelitian.
3. Pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan dengan kontrol, mengingat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
desain eksperimental kuasi pada penelitian ini masih banyak
kelemahannya.