Upload
others
View
23
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Jurnal Ilmu Ekonomi ISSN 2302-0172
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala 14 Pages pp. 40- 53
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 40
PENGARUH UPAH MINIMUM TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DI
INDONESIA
Sari Nurmalisa Sungkar1, Nazamuddin
2, Muhammad Nasir
3
1) Magister Ilmu Ekonomi Pasca Sarjana Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
2,3) Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Abstract: Minimum wage has been believed as an effective tool to reduce income inequality. As an institutional policy it does not only provide general wage floor, but also affcet wages well up the income ladder and have an important impact on reducing poverty and income inequality. This study attempts to show the relationship and the impact of minimum wage on income inequality in Indonesia by using Ordinary Least Square (OLS) and autoregressive methods. The result show that both variables siginificanly have positive corelation, wich means that increasing on minimum wage will lead to agreater income inequality or a worse situation of income gap.
Keywords : minimum wage, income inequality, etc
Abstrak: Upah minimum telah diyakini sebagai alat yang efektif untuk menekan kesenjangan
pendapatan. Sebagai sebuah kebijakan lembaga, upah minimum tidak hanya menjadi batas minimum
upah secara umum, tetapi juga mempengaruhi kenaikan pendapatan dan memiliki dampak penting
dalam mengurangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Penelitian ini berupaya untuk
menunjukkan hubungan dan pengaruh upah minimum terhadap kesenjangan pendapatan di Indonesia
dengan menggunakan metode Ordinary Least Square dan autoregressive. Hasilnya menunjukkan
bahwa kedua variabel dalam penelitian ini secara signifikan memiliki hubungan yang positip, yang
atinya peningkatan upah minimum akan menaikkan angka kesenjangan pendapatan atau memperbesar
kesenjangan pendapatan.
Kata kunci : upah minimum, kesenjangan pendapatan,
PENDAHULUAN
Upah minimum merupakan kebijakan yang
bermanfaaat untuk memastikan pekerja
mendapatkan upah yang wajar sekaligus mencegah
kemiskinan dikalangan pekerja yang mencakup
pemenuhan standart kebutuhan hidup buruh. Lebih
jauh, pendistribusian kembali penghasilan pekerja
pada skala gaji terendah menurunkan dispersi upah
dan kemungkinan akan meningkatkan permintaan
agregat melalui efek multiplier. Di banyak negara
upah minimum adalah hal utama dalam penetapan
upah nasional. Mereka tidak hanya menyediakan
batasan upah secara umum, tetapi juga
mempengaruhi upah, menaikkan tingkat
pendapatan dan memiliki dampak penting pada
dispersi upah keseluruhan. Mereka yang bekerja di
sektor formal adalah target kebijakan upah
minimum. Mereka tidak menerima upah di bawah
upah minimum karena peraturan tersebut. Ini
menjadi suatu keharusan bagi perusahaan untuk
mematuhi peraturan jika tidak akan dikenakan
denda. Oleh karena itu, upah minimum tidak hanya
alat untuk melindungi pekerja di bagian bawah
skala upah tetapi sering menjadi "isu-kelas
menengah" (Levin-Waldman dan Whalen, 2007)
Pada saat yang sama, upah minimum harus
digunakan dengan hati-hati sebagai instrumen anti-
kemiskinan karena dampaknya tergantung pada
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 41
distribusi lapangan kerja ditingkat rumah tangga.
Akibatnya, mereka tidak dapat digunakan untuk
mengukur tingkat upah pada target grup tertentu.
Keseimbangan harus dipastikan ketika menetapkan
upah minimum. Jika ditetapkan terlalu rendah,
mungkin kehilangan targetnya. Ketika itu terlalu
tinggi dari nilai upah rata-rata, mungkin mencegah
perusahaan mempekerjakan pekerja
berketerampilan rendah atau mendorong
mempekerjakan mereka secara informal (ILO,
2011).
Upah minimum di Indonesia ditentukan oleh
pemerintah provinsi dan kabupaten, yang bervariasi
menurut propinsi, kabupaten, dan sektor. Upah
minimum Indonesia bervariasi dari angka tertinggi
yaitu Rp. 1.720.000 Rp per bulan di Papua Barat
hingga level terendah yaitu Rp. 830,000 per bulan
di Jawa Tengah (Statistik Indonesia, 2013).
Yang menarik adalah fakta bahwa indeks
pertumbuhan upah dan ketimpangan pendapatan
minimum rata-rata di Indonesia telah menunjukkan
kecenderungan yang sama, khususnya antara tahun
2010-2013,
Sumber : BPS 2005,2006,2009,2010, 2013
Angka ini menunjukkan bahwa kenaikan upah
minimum diikuti oleh tren peningkatan
ketimpangan pendapatan di Indonesia. Pada tahun
2010 rata-rata upah minimum mulai tumbuh. Dari
Rp. 908,000 pada tahun 2010, meningkat setiap
tahun dan mencapai Rp. 1.280.000 pada tahun
2013. Di sisi lain indeks ketimpangan pendapatan
telah tumbuh dari 30% di tahun 2010 menjadi 41%
pada tahun 2013, yang berarti bahwa ketimpangan
pendapatan di Indonesia mengalami penurunan atau
menjadi kurang merata. Kenyataan bahwa kedua
data memiliki kecenderungan yang sama membawa
kita pada hipotesis sederhana bahwa variabel-
variabel terkait memiliki hubungan yang positif.
KAJIAN PUSTAKA
Teori Pasar Tenaga Kerja
Pasar tenaga kerja adalah pasar di mana
pekerja menemukan pekerjaan yang berbayar,
pengusaha menemukan pekerja yang bersedia, dan
tingkat upah ditentukan. Pasar tenaga kerja bisa
berskala lokal atau nasional (bahkan internasional)
dalam lingkup mereka dan terdiri dari interaksi
pasar tenaga kerja yang lebih kecil untuk kualifikasi,
keterampilan dan lokasi geografis yang berbeda.
Mereka bergantung pada pertukaran informasi
antara pengusaha dan pencari kerja tentang tingkat
upah, kondisi kerja, tingkat persaingan, dan lokasi
pekerjaan.
Upah Minimum
Secara teoritis, efek dari upah minimum
bervariasi tergantung pada model pasar tenaga kerja
yang paling mewakili kondisi sebenarnya. Jika
upah dan pekerjaan tetap, maka dalam pasar tenaga
kerja yang kompetitif, jika upah minimal (WM)
diatur di atas batas upah pasar (W *) maka akan
menghasilkan pengurangan jumlah lapangan
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
IQ 31 32 32 33 32 32 36 36 36 35 37 38 41 41 41
MW 17,95 21,37 28,61 36,27 41,45 45,85 50,77 60,27 67,25 67,33 84,15 90,88 98,88 108,8 128,8
0
20
40
60
80
100
120
140
Ketimpangan Pendapatan dan Rata-rata Upah MInimum di Indonesia (Rp. 10.000
Tahun 1999 - 2013
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 42
pekerjaan, besarnya tergantung pada kenaikan upah
yang sebenarnya (WM-W *) dan pada elastisitas
permintaan tenaga kerja.
Competitive Labor Market
Sumber: Islam and Nazara, 2000
Penegakan upah minimum, yang diatur di atas
batas upah pasar (W *), akan mengakibatkan
penurunan permintaan atau kelebihan pasokan
tenaga kerja. Asumsikan bahwa upah minimum
ditetapkan pada tingkat Wm pada grafik diatas. Hal
ini akan mengakibatkan kelebihan pasokan Lb-La,
dan pekerjaan akan menurun ke La dari tingkat
kompetitif kerja Le. Oleh karena itu, upah
minimum di pasar tenaga kerja yang kompetitif
adalah negatif sebagaimana terlihat di panel kanan.
Semakin tinggi upah minimum diatur di atas batas
upah pasar, semakin menurun tingkat pekerja.
Tipe lain dari pasar tenaga kerja adalah pasar
tenaga kerja monopsonistik. Dalam pasar tenaga
kerja monopsonistik, permintaan tenaga kerja masih
identik dengan margin produksi tenaga kerja, tetapi
kurva penawaran yang relevan menggambarkannya
adalah kurva biaya marjinal yang berlawanan
dengan pengusaha. Dalam pasar tenaga kerja ini,
pekerja dibayar di bawah marjin produksi mereka.
Perbedaan antara kedua jenis pasar tenaga kerja
tersebut adalah pada tingkat eksploitasi di pasar
tenaga kerja yang monopsonistis. Hal ini
mencerminkan situasi di mana kontribusi pekerja
untuk perusahaan tidak tepat diakui.
Labor Market with Employer Power
Sumber: Islam and Nazara, 2000
Tingkat keuntungan maksimum dari tenaga
kerja adalah Lc di mana biaya marjinal sama
dengan permintaan tenaga kerja. Mekanisme
tersebut menghasilkan tingkat upah yang
memaksimalkan keuntungan di titik Wp, sementara
upah monopsoni hanyalah pada titik Wq. Oleh
karena itu jelas bahwa upah minimum yang
ditetapkan diantara tingkat upak monopsoni (Wq)
dan tingkat upah kompetitif (W*) akan
menghasilkan penyerapan tenaga kerja yang lebih
tinggi. Harus pemerintah menetapkan upah
minimum lebih tinggi dari tingkat kompetitif W *,
kebijakan tersebut akan menghasilkan pengurangan
tenaga kerja sebagaimana terjadi pada pasar tenaga
kerja yang kompetitif.
Dalam model kompetitif yang paling
sederhana di pasar tenaga kerja, efek dari upah
minimum sangat bergantung pada serangkaian
variabel institusional, termasuk tingkat kepatuhan,
penegakan hukum, hukuman untuk
ketidakkepatuhan, dan keberadaan (dan ukuran)
dari sektor-sektor tertentu. Tentunya, masalah ini
jauh lebih mungkin terjadi di negara-negara
berkembang.
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 43
Yang pasti, jika penegakan hukum tidak
efektif atau jika hukuman untuk membayar upah di
bawah upah minimum cukup ringan, sangat sulit
untuk mengharapkan kepatuhan dan efektivitas
penetapan upah minimum.
Kesenjangan Pendapatan
Kesenjangan pendapatan adalah distribusi
yang tidak merata daripendapatan rumah tangga
atau pendapatan individu dalam suatu
perekonomian. Kesenjangan pendapatan sering
disajikan sebagai persentase dari total pendapatan
dibagikan total populasi. Misalnya, statistik
menunjukkan bahwa 70% dari pendapatan suatu
negara dikendalikan oleh 20% penduduk negara itu.
Hal ini sering dikaitkan dengan ide "keadilan"
pendapatan. Pada umumnya dianggap "tidak adil"
jika orang kaya memiliki porsi proporsional lebih
besar dari pendapatan suatu negara dibandingkan
dengan populasi mereka.
Salah satu indikator kesenjangan pendapatan
adalah Index GINI. Index GINI adalah pengukuran
distribusi pendapatan penduduk suatu negara.
Nilainya berkisar antara 0 dan 1 dan didasarkan
pada penghasilan bersih masyarakat dan dapat
membantu menentukan kesenjangan antara kaya
dan miskin, dengan nilai 0 mewakili kesetaraan
sempurna dan nilai 1 mewakili ketidaksetaraan
sempurna.
Upah Minimum dan Kesenjangan
Pendapatan
Secara teori, teori ekonomi neoklasik
berpendapat bahwa upah minimum akan
meningkatkan kesenjangan pendapatan ketimbang
menguranginya. Upah minimum menyebabkan,
non-pasar, berperan menentukan batas minimum
upah di pasar tenaga kerja, yang meningkatkan
harga tenaga kerja. Dengan meningkatnya harga
tenaga kerja, upah minimum menghasilkan
pengurangan permintaan tenaga kerja dan
sebahagian pekerja akan menjadi pengangguran.
Di sisi lain, institusional ekonom berpendapat
bahwa upah minimum mengurangi ketimpangan.
Upah minimum meredistribusi pendapatan dengan
menurunkan keuntungan perusahaan dan
meningkatkan upah pekerja terendah (Levitan &
Belous, 1979; Volscho, 2005). Dengan demikian,
dengan menetapkan upah minimum maka standar
upah akan lebih tinggi dan menciptakan distribusi
upah dan pendapatan yang lebih adil (Bluestone &
Harrison, 2001).
Secara empiris, beberapa studi telah secara
eksplisit mencoba meneliti efek dari upah minimum
terhadap ketimpangan. Dalam konteks Indonesia,
Islam dan Nazara (2000) mengambil pendekatan
tidak langsung untuk mengklaim bahwa upah
minimum di Indonesia bukanlah kebijakan yang
buruk dari segi profitabilitas perusahaan. Mereka
menemukan bahwa kebijakan upah minimum
tersebut tidak menyebabkan pengurangan
profitabilitas bisnis bahkan setelah mengontrol
faktor endogenitas upah minimum. Cun dan Khor
(2010) menemukan bahwa perubahan dalam
undang-undang upah minimum merupakan faktor
penting dan relevan memberikan kontribusi untuk
memperlambat ketimpangan upah antara bagian
atas dan bawah dari distribusi upah dan pendapatan
di Indonesia.
Rama (2001) melakukan penelitiannya dengan
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 44
memperlakukan kenaikan upah minimum sebagai
variabel eksogen dan pada analisis tingkat provinsi,
ia menemukan bahwa kebijakan upah minimum
memiliki efek menaikkan upah rata-rata kurang dari
15% dan penurunan lapangan kerja maksimal 5% ,
sehingga mengarah pada kesimpulan bahwa pada
umumnya upah minimum bermanfaat bagi pekerja
sektor formal, tetapi efek tersebut ditemukan secara
tidak proporsional pada perusahaan-perusahaan
kecil yang sangat bergantung pada tenaga kerja
berketerampilan rendah dan cenderung untuk
berinvestasi dalam teknologi.
Tapi penelitian pendahulu yang dilakukan oleh
Volscho (2005) dengan menggunakan data negara
bagian selama sepuluh tahun (1960-2000) untuk
menguji hipotesis, menyatakan bahwa negara
dengan upah minimum yang lebih tinggi memiliki
level ketimpangan pendapatan keluarga yang lebih
rendah dan bahwa upah minimum negara
mengurangi ketimpangan pendapatan keluarga..
Kajian Empiris Sebelumnya
Dengan menggunakan koefisien Gini, Muller
dan Steiner (2013) menemukan bahwa upah
minimal € 5,00/jam tidak akan secara signifikan
mengurangi ketimpangan. Menetapkan minimum
upah pada di € 8.00 atau bahkan € 10,00/jam
menghasilkan nilai Gini yang lebih kecil secara
signifikan; ketidaksetaraan akan menurun sekitar
6% atau 14% masing-masing. Upah minimal €
5,00/jam tidak bisa secara signifikan menurunkan
ketimpangan upah minimum dan hanya
mengurangi ketimpangan sekitar 15% dan 25%
masing-masing. Upah minimum yang ditetapkan
pada tingkat yang lebih tinggi akan menurunkan
ketimpangan upah secara substansial, dengan
asumsi dilakukan untuk menahan laju ketimpangan.
Flinn (2010), menjelaskan bahwa dalam
keadaan kesetimbangan parsial, peningkatan
substansial dalam tingkat upah minimum
menguntungan kesejahteraan sosial, tp hal ini tidak
terjadi ketika nilai kontrak dijadikan faktor endogen.
Populasi pekerjaan sebenarnya sedikit meningkat
dengan kenaikan upah minimum $8 dolar/jam,
setelah itu mulai menurun relatif cepat. Dengan
menetapkan margin partisipasi, Flinn menemukan
bahwa perubahan upah minimum $ 8 dolar/jam,
membawa efek baik bagi angka pengangguran dan
jumlah lapangan kerja.
Bird dan Manning (2008) menelitii bagaimana
upah minimum dapat mempengaruhi rumah tangga
dalam sistem tertutup di mana mereka tidak hanya
secara langsung terkena dampak di pasar tenaga
kerja oleh undang-undang upah minimum, tetapi
juga dipengaruhi oleh kenaikan harga barang yang
diproduksi oleh perusahaan yang tunduk pada
hukum upah minimum. Dengan asumsi tidak ada
pengurangan lapangan pekerjaan, mereka
menemukan bahwa upah minimum akan
meningkatkan pendapatan rumah tangga untuk
21% dari populasi, tetapi menyebabkan 79% dari
populasi berada pada kondisi yang lebih buruk
karena kenaikan harga. Hal ini mengarah pada
kesimpulan bahwa upah minimum tidak selalu
menjadi alat anti kemiskinan yang baik di negara-
negara berkembang.
Volscho (2005) menemukan bahwa upah
minimum negara mengurangi ketimpangan
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 45
pendapatan keluarga. Hubungan antara upah
minimum dan ketimpangan pendapatan ditemukan
non-linear. Upah minimum negara tidak efektif
untuk mengurangi ketidaksetaraan kecuali
ditetapkan pada nilai-nilai yang lebih besar dari
$ 4,00. Dia menyarankan bahwa ketika upah
minimum terkikis oleh inflasi itu dapat
berkontribusi untuk meningkatkan ketimpangan
pendapatan.
Rama (2001) menggunakan data Sakernas
untuk mendokumentasikan dampak dari kenaikan
substansial dalam upah minimum riil pada paruh
pertama tahun 1990-an, pada upah dan pekerja
formal penuh waktu dengan memperlakukan
kenaikan upah minimum sebagai eksogen. Dia
menemukan bahwa upah minimum memiliki efek
menaikkan upah rata-rata kurang dari 15% dan
penurunan lapangan kerja oleh paling banyak 5%,
sehingga mengarah pada kesimpulan bahwa rata-
rata, upah minimum yang bermanfaat bagi pekerja
sektor formal, tetapi efek ini k menjadi tidak
proporsional pada perusahaan kecil yang sangat
bergantung pada tenaga kerja berketerampilan
rendah dan cenderung untuk berinvestasi dalam
teknologi.
Suryahadi et al. (2003) menemukan efek yang
lebih besar pada penelitiannya. Dengan
mengendalikan faktor-faktor lain yang mungkin
mempengaruhi pekerjaan, ia memperkirakan bahwa
kenaikan 100% upah minimum akan menyebabkan
11,2% penurunan lapangan kerja bagi pekerja
perkotaan. Salah satu alasan untuk menjelaskan
perbedaan ini adalah bahwa upah minimum telah
semakin mengikat selama bertahun-tahun. Namun,
elastisitas lapangan kerja dengan upah minimum
bervariasi di seluruh kelompok
Chun dan Khor (2010) penelitian yang
berdasarkan SUSENAS 1993-2008 menemukan
bahwa upah minimum merupakan penentu
signifikan kenaikan upah bulanan untuk penduduk
yang memiliki upah di bawah garis upah minimum
di sektor formal, tetapi tidak sektor informal.
Hipothesis
Berdasarkan hasil dari kajian literatur dan
penelitian sebelumnya atas penelitian ini ditetapkan
hipotesis berikut:
• Upah minimum berkorelasi positif dengan
ketimpangan pendapatan.
METODE PENELITIAN
Ruang Lingkup Penelitiaan
Ruang lingkup penelitian ini akan difokuskan
pada dampak upah minimum pada ketimpangan
pendapatan di Indonesia selama tahun 1999 - 2013.
Khusus untuk penelitian ini, akan
memfokuskan pada upah minimum Indonesia
sebagai variabel independen dan ketimpangan
pendapatan sebagai variabel dependen dalam kurun
waktu yang sama.
Data
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah
data sekunder dari publikasi Biro Pusat Statistik.
Sebagian besar data diperoleh Buku Data Statistik
Indonesia dan Data Strategis dan Indikator
Ekonomi Penting (2004, 2005, 2008, 2010, 2011,
2013)
Terdapat 2 (dua) jenis data ;
1. Data Gini Index yang menggambarkan
Ketimpangan Pendapatan.
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 46
NIlai Gini Index berada diantara 0 dan 1
bedasarkan pendapatan bersih populasi, dan
dapat menunjukkan jarak antara pendapatan
masyarakat miskin dan masyarakat kaya,
dengan nilai 0 yang berarti kesetaraan
sempurna dan 1 berarti ketimpangan
sempurna.
2. Data dari Indonesia Rata-rata Upah
Minimum.
Upah minimum di Indonesia didirikan oleh
pemerintah provinsi dan kabupaten, yang
bervariasi menurut propinsi, kabupaten, dan
sektor. Upah Minimum Nasional dihitung
sebagai rata-rata jumlah total upah minimum
provinsi dari seluruh provinsi di Indonesia.
Perhitungan ini mengikuti persamaan ini:
MWt = Σ𝑃𝑀𝑊 𝑡
Σ𝑃𝑡
Dimana :
MWt = Upah Minimum pada tahun t
ΣPMWt = Total Upah Minimum pada
tahun t
ΣPt = Total Provinsi pada tahun t
Semua data yang diamati adalah dari tahun
1999 hingga 2013 dan akan disajikan sebagai data
time series dari Indonesia.
Metode Analisa
Dalam penelitian ini akan digunakan 2(dua)
metode analisa yaitu :
1. Analisa Deskriptif
Penggunaan metode ini untuk
menggambarkan kondisi pekerja, upah
minimum dan ketimpangan pendapatan di
Indonesia berdasarkan data-data sekunder.
2. Analisa Statistik
Penggunaan metode ini untuk menjelaskan
hasil regresi dari variable-variabel penelitian
dengan menggunakan Program E-Views.
Pemilihan Model
Langkah pertama adalah mengidentifikasi
pengaruh upah minimum terhadap ketimpangan
pendapatan di Indonesia, untuk itu akan digunakan
rumus OLS (Ordinary Least Square). Volscho, Jr.
(2005) juga menggunakan rumus yang sama untuk
langkah pertama dalam estimasinya dengan
variable yang sama.
Sebuah regresi linear digunakan untuk
memperkirakan hubungan anatara upah minimum
terhadap ketimpangan pendapatan sebagaimana
rumus berikut :
II = f(MW, lag II) (1)
Dimana :
II : Ketimpangan Pendapatan
MW : Upah Minimum
ϵ : Error term
Karena data penelitian ini adalah data time
series, menjadi penting untuk memastikan data
yang akan digunakan sudah bersifat stasioner.
Dengan menggunakan korrelogram dan statistik
korrelogram parsial di E Views, diketahui bahwa
ada autokorelasi pada lag pertama dan kedua.
Autokorelasi dapat timbul karena beberapa alasan,
seperti inersia atau kelesuan ekonomi pada waktu
seri, spesifikasi bias bisa terjadi karena tidak
memasukkan variabel penting dari model atau
menggunakan form yang tidak fungsional,
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 47
fenomena sarang laba-laba, pesan data, dan
transformasi data (Gujarati, 2009). Oleh karena itu
perlu untuk membedakan antara autokorelasi murni
dan autokorelasi yang diinduksi sebelum
mengambil kesimpulan. Mekanisme umum
diasumsikan adalah skema autoregressive Markov
orde pertama, yang mengasumsikan bahwa
gangguan pada periode berjalan linier yang terkait
dengan istilah gangguan pada periode sebelumnya,
di mana koefisien autokorelasi ρ memberikan
tingkat saling ketergantungan tersebut. Mekanisme
ini dikenal sebagai AR (1) skema. Jika AR (1)
skema valid dan koefisien autokorelasi diketahui,
masalah korelasi serial dapat dengan mudah
diselesaikan dengan mengubah data mengikuti
prosedur perbedaan umum. AR (1) skema dapat
dengan mudah digeneralisasi untuk AR (p).
Langkah kedua adalah modifikasi dari
persamaan regresi menggunakan metode
autoregressive untuk membuatnya sedekat mungkin
untuk distribusi normal. Modifikasi rumus regresi
akan melibatkan semua lag untuk mendapatkan
hasil yang terbaik.
Hasil proses modifikasi akan merubah rumus
(1) sebagai berikut ;
IIt=α+β1MWt+β2IIt-1+β3IIt-2....+βnIIt-n+εt (2)
Dimana:
IIt : Ketimpangan Pendapatan pada tahun t
MWt : Upah Minimum pada tahun t
IIt-n : Ketimpangan Pendapatan pada tahun t-n
βn : Koefisien ketimpangan pendapatan pada
tahun sebelum n
ϵt : Error term
Model terbaik akan muncul setelah
membandingkan semua model-model dengan
mempertimbangkan beberapa kriteria. Gujarati
(2009) menentukan beberapa kriteria untuk
memilih model autoregressive terbaik yang: (1) R2,
(2) addjusted R2 (= R2), (3) kriteria informasi
Akaike (AIC), (4) kriteria Schwarz Information
(SIC) , (5) Mallows Cp kriteria, dan (6) perkiraan
χ2 (chi-square). Penelitian ini akan
mempertimbangkan tiga dari lima kriteria yaitu: (1)
R2, (2) AIC dan (3) SIC.
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
Upah Minimum di Indonesia
Kebijakan upah minimum diterapkan pertama
secara hukum di Indonesia pada tahun 1989. Sistem
baru ini mengharuskan upah minimum ditetapkan
dengan mengacu pada kebutuhan fisik minimum,
biaya hidup dan kondisi pasar tenaga kerja. Dengan
kondisi tersebut pemerintah ingin membawa upah
minimum sesuai dengan kriteria biaya konsumsi
atau KFM (Kebutuhan Fisik Minimum) pada tahun
1994. Kriteria terakhir bernama KHL (Kebutuhan
Minimum Basic) ditetapkan oleh Peraturan Menteri
Tenaga Kerja Nomor: Per-17 / Men / 2005 dengan
komponen hidup yang lebih luas mengandung 46
komponen kebutuhan pekerja yang belum menikah
hidup dan telah direvisi oleh Departemen Tenaga
Kerja dan Peraturan Nomor 13/2012 ke
Transmigrasi 60 komponen kebutuhan hidup. Dan
kriteria terakhir ini menjadi dasar dari proses
kebijakan upah minimum sejak 2013 hingga saat ini.
Ketika kriteria KHL yang digunakan sama
untuk setiap provinsi di Indonesia, tingkat upah
minimum bervariasi menurut provinsi ketika
undang-undang baru diperkenalkan. Undang-
undang memungkinkan pemerintah tingkat provinsi
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 48
untuk mengusulkan upah minimum mereka sendiri
dan menerapkannya diwilayah otoritas mereka.
Saat ini upah minimum di Indonesia ditetapkan
oleh pemerintah provinsi dan kabupaten, yang
bervariasi menurut propinsi, kabupaten, dan sektor.
Upah minimum terbesar adalah di Papua Barat
dengan Rp. 1.720.000 per bulan, dan terendah di
Jawa Tengah dengan Rp. 830.000 per bulan
(Statistik Indonesia, 2013).
Miranti R. et al (2013) mencatat bahwa
kenaikan upah minimum tahunan rata-rata sekitar
6,5 persen per tahun dalam upah minimum bulanan
selama periode antara tahun 2000 dan 2010. tingkat
upah minimum telah hampir dua kali lipat dalam
satu dekade, dari sekitar Rp. 400.000 pada tahun
2000 menjadi Rp. 750.000 pada tahun 2010.
Sebuah gambaran yang lebih luas dari kenaikan
upah minimum hadir dalam gambar ini,
Sumber : Central Statistic Bureau, 2005,2006,2008,2013
Grafik menunjukkan bahwa nilai Upah
Minimum Nasional telah meningkat setiap tahun
sejak tahun 1999-2013. Namun bisa terjadi salah
tafsir untuk menganalisis peningkatan ini sebagai
sebuah prestasi. Tentu sebagai efek dari defisit
ekonomi dan penggunaan Minimum Kebutuhan
Dasar (KHL) sebagai dasar menentukan, nilai upah
minimum rata-rata akan meningkat setiap tahun
tetapi nilai sebenarnya tidak. Kondisi terakhir tidak
jauh dari satu dekade terakhir. Membandingkan
nilai upah minimum nasional menggunakan kurs
USD pada gambar berikutnya, kita akan
menemukan bahwa nilai riil pertumbuhan upah
minimum nasional adalah datar.
Sumber: Central Statistic Bureau, 2005,2006,2008,2013
Angka tersebut menunjukkan bahwa upah
minimum nasional tidak selalu meningkat. Alih-alih
tumbuh, dalam beberapa tahun pertumbuhan
tertekan oleh melanda krisis ekonomi pada awal
tahun 1998. Upah minimum telah tumbuh secara
signifikan sebagai kondisi ekonomi membaik
hingga tahun 2003. Miranti. R et al, (2013)
menjelaskan bahwa penyesuaian pasar tenaga kerja
mendorong fluktuasi pada upah minimum selama
beberapa tahun dan tumbuh lagi setelah 2010. Pada
penelitiannya, Miranti menemukan bahwa pada
tahun 2000 rata-rata upah minimum provinsi
diwakili sekitar 40 persen dari rata-rata keseluruhan
upah dan 45 persen dari upah buruh industri. Pada
tahun 2010, upah minimum telah meningkat
menjadi 64 persen dari upah rata-rata secara
keseluruhan dan 70 persen dari upah buruh industri.
Distribusi upah, dan tingkat (dan kepatuhan)
upah minimum provinsi, keduanya memiliki
0,0
500,0
1000,0
1500,0
19
99
20
00
20
01
20
02
20
03
20
04
20
05
20
06
20
07
20
08
20
09
20
10
20
11
20
12
20
13
Rp
.100
0
Upah Minimum Nasional
MW
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
MWG 16,58 19,03 33,88 26,77 14,28 10,62 10,73 18,71 11,58 0,12 24,98 8,00 8,80 10,12 18,32
MWG (USD) 0 1,19 1,34 1,27 1,14 1,11 1,11 1,19 0,89 1,00 1,25 1,08 1,09 1,10 1,08
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
PER
SEN
TASE
(%
)
Pertumbuhan Upah MInimum Nasional
(IRD)
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 49
pengaruh langsung pada ketidaksetaraan yang ada
melalui penghasilan pekerja. Meskipun demikian,
peningkatan upah minimum tampaknya hanya
memberikan manfaat yang terbatas untuk pekerja,
khususnya kelompok pekerja yang berada pada
tingkat upah terendah dalam distribusi. Gambaran
yang lebih rumit terjadi di negara-negara
berkembang yang kadang-kadang terdapat
sejumlah standart upah minimum yang bervariasi di
berbagai jenis pekerjaan, industri, dan / atau
wilayah geografis. Selain itu, inflasi yang tinggi dan
tidak stabil menyebabkan fluktuasi besar dalam
nilai riil upah minimum di negara berkembang.
Pekerja sektor formal di Indonesia tumbuh
setiap tahun dan mereka terdampak peraturan upah
minimum karena upah minimum efektif diterapkan
hanya untuk sektor formal .
Angkatan Kerja di Indonesia
Menurut Publikasi Statistik Formal dari Biro
Pusat Statistik Indonesia, November 2013 (Tabel
4.4) jumlah penduduk yang aktif secara ekonomi,
disebut angkatan kerja di Indonesia sebesar 118,19
juta orang, di mana 110,80 juta diantaranya bekerja
dan 7,38 juta orang menganggur. Publikasi juga
melaporkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja (TPAK) di Indonesia mencapai 66,9 persen
pada Agustus 2013, yang berarti mengalami
penurunan 2,1 persen dibandingkan dengan
Agustus 2012. Di sisi lain, tingkat pengangguran
menunjukkan tren meningkat dari 6,1 persen pada
Agustus 2012 menjadi 6,25 persen pada Agustus
2013.
Untuk satu tahun terakhir (Agustus 2012-
Agustus 2013), jumlah orang yang bekerja di sektor
formal naik sekitar 620 000 orang atau secara
persentase meningkat 39,86 poin menjadi 40,42%
pada Agustus lalu.
Indonesia memiliki sistem pasar tenaga kerja
dualistik dengan sektor tradisional (informal) dan
sektor lainnya yang kurang modern. Secara umum,
Pasar Tenaga Kerja Indonesia memiliki pasokan
surplus, tingkat pengangguran yang tinggi dan
tenaga kerja kurang terampil. Di Indonesia,
perusahaan harus membayar karyawan mereka di
atas atau sesuai dengan upah minimum, jika tidak
perusahaan akan mendapatkan hukuman. Namun
dalam kasus-kasus khusus, perusahaan bisa
mengusulkan penangguhan kenaikan upah
sementara, sambil menunggu harga produk baru
Batas-batas antara pekerja formal dan informal
sering sekali kabur, Maloney (2004). Sampai-
sampai jika ada yang tertarik meneliti efek
keseluruhan kebijakan, keberadaan sektor yang
tidak tercakup mempersulit analisis. Model
kompetitif dengan sektor yang terkena dampak (di
mana upah minimum berlaku) dan tidak terkena
dampak (di mana upah minimum tidak berlaku),
memprediksi bahwa mengikat upah minimum di
sektor yang terdampak (formal) akan melemahkan
daya beli pekerja yang marjinal produknya dibawah
batas upah. Pekerja yang terlantar akan mengalir ke
sektor yang tidak terdampak (non formal) , di mana
tingkat upah ekuilibrium akan jatuh dan titik
kesetimbangan pekerja akan naik. Jika hal ini
terjadi, upah minimum dapat menyebabkan
pengurangan gaji untuk pekerja yang bayar
terendah dalam perekonomian, dan peningkatan
ketimpangan pendapatan. Tentu saja, saling
ketergantungan antar sektor bisa menjadi lebih
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 50
rumit dari itu.
Ketimpangan Pendapatan di Indonesia
Keberhasilan suatu pembangunan ekonomi
tidak bisa diukur hanya dari segi tingkat
pertumbuhan output atau pendapatan baik secara
agregat atau per kapita, tetapi hal-hal yang lebih
penting untuk dipertimbangkan adalah pola
distribusi pendapatan di semua anggota masyarakat.
Selain pertumbuhan ekonomi, perbaikan
ketimpangan juga memainkan peran penting
Indonesia telah mengalami beberapa fase
perkembangan yang berbeda sejak pemerintahan di
bawah era Orde Baru berakhir pada tahun 1998.
Pada akhir tahun 1990-an, krisis keuangan berat
melanda banyak negara di Asia, termasuk
Indonesia, sehingga berujung pada krisis sosial-
ekonomi. Nilai tukar terus menurun pada tahun
1998. Masalahnya kemudian menjadi krisis
keuangan dengan runtuhnya pasar saham,
kebangkrutan perusahaan lokal, dan masalah serius
yang dihadapi oleh bank Indonesia (Soesastro dan
Basri, 1998; Miranti, R. et al . 2013). Hal ini
menyebabkan krisis sosial dan politik ditandai
dengan pengunduran diri Presiden Soeharto pada
Mei 1998, setelah memimpin negara selama 32
tahun. Alih-alih meminimalkan krisis, ada beberapa
konflik meluas setelah pengunduran diri Soeharto
sebagai akibat dari pemerintah pusat yang lemah.
Hal itu dibuktikan dengan beberapa aksi unjuk rasa,
demonstrasi dan kerusuhan. Pada periode itu juga
banyak dari provinsi kaya mineral seperti Aceh,
Riau dan Papua berusaha untuk memiliki
kemandirian, terutama setelah referendum
kemerdekaan disahkan di Timor Timur pada
Agustus 1999. Hal ini menyebabkan Indonesia
memasuki fase perkembangan baru, yang melihat
tidak hanya jatuhnya Soeharto dan "Orde Baru"
pemerintah tetapi juga kebijakan yang sangat
terpusat dan kekuasaan bergeser ke proses
desentralisasi (Miranti et al., 2013).
Tapi setelah 2004, berdasarkan data statistik
yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS),
Indeks Gini Indonesia yang menunjukkan
ketimpangan pendapatan di Indonesia telah
meningkat secara bermakna. Mulai dari 0,32 pada
tahun 2004 NIlai Gini Indeks mencapai 0,41 pada
tahun 2013 (Data Strategis Indonesia, 2013). Ini
berarti bahwa kondisi ketimpangan di Indonesia
telah pindah ke situasi yang kurang lebih sama
dengan 33% (0,9 poin) peningkatan pada dekade
terakhir.
Untuk meningkatkan kesejahteraan penerima
upah rendah, banyak negara mewajibkan
pengusaha harus membayar pekerja mereka diatas
upah minimum negara. Apakah kebijakan tersebut
benar-benar mencapai hasil yang diharapkan telah
menjadi kontroversi yang besar selama beberapa
dekade. Prediksi teoritis dari efek upah minimum
bervariasi, dan bukti empiris sejauh ini telah
menghasilkan hasil yang bertentangan, tergantung
pada negara, sumber variasi upah minimum,
metode analisis, dan asumsi yang dibutuhkan untuk
setiap kerangka ekonometrik tertentu.
Pengaruh Upah Minimum terhadap
Ketimpangan Pendapatan
Pengaruh upah dan pendapatan minimum
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 51
ketimpangan diidentifikasi oleh waktu analisis data
seri dengan persamaan model regresi linier (1).
Dengan asumsi bahwa Upah Minimum ditetapkan
pada awal tahun dan akan mempengaruhi indeks
kesetaraan tahun depan, model persamaan
ditetapkan sebagai persamaan (2). Metode untuk
mengukur persamaan adalah Ordinary Least Square
(OLS). Setelah memperkirakan persamaan (2)
dengan metode efek yang umum, hasilnya sebagai
berikut:
Hasil Regresi
Dependent Variable: II
Method: Least Squares
Date: 03/24/14 Time: 16:26
Sample(adjusted): 2001 2013
Included observations: 13 after adjusting endpoints
Convergence achieved after 4 iterations
Variable Coeffi
cient
Std.
Error
t-
Statistic
Prob
.
C 28.798
71
0.450
052
63.98
977
0.00
00
MW 0.0105
97
0.000
644
16.46
425
0.00
00
AR(2) -
0.595452
0.277
079
-
2.149037
0.05
72
R-squared 0.923781 Mean dependent var 36.15385
Adjusted R-squared 0.908538 S.D. dependent var 3.387382
S.E. of regression 1.024437 Akaike info criterion 3.085337
Sum squared resid 10.49470 Schwarz criterion 3.215710
Log likelihood -17.05469 F-statistic 60.60087
Durbin-Watson stat 2.272963 Prob(F-statistic) 0.000003
Berdasarkan hasil ini kita dapat menulis ulang
model persamaan sebagai berikut:
IIt = 28,79871+0,010597 MWt-0,595452(AR(2))
Upah minimum memiliki efek signifikan
positif terhadap ketimpangan pendapatan di ρ = 0.
Setiap Rp. 1000 kenaikan upah minimum di
mengarah ke 0,0106 titik peningkatan indeks
ketimpangan pendapatan. Ini berarti menggunakan
upah minimum di jangka pendek, sebagai alat
strategis untuk mengurangi ketimpangan
pendapatan tidak berguna. Alih-alih mengurangi
ketimpangan pendapatan, malahan menjadi pemicu
kenaikan indeks ketimpangan pendapatan yang
berarti distribusi pendapatan menjadi lebih tidak
merata. Bird dan Manning (2005) menjelaskan
situasi ini sebagai konsekuensi dari struktur tenaga
kerja di Indonesia, di mana terutama yang bekerja
di sektor pertanian atau sektor informal tidak
langsung dipengaruhi oleh kenaikan upah minimum.
Mereka terpengaruh terutama sebagai konsumen
dan menderita efek kenaikan harga. Mereka juga
menemukan bahwa tahun 2002-2003, proporsi
yang lebih tinggi dari semua pekerja (dan terutama
pekerja yang dipekerjakan di luar pertanian) tidak
dalam posisi untuk mendapatkan keuntungan
langsung dari upah minimum, dibandingkan
dengan sebelum krisis. Konsisten dengan penelitian
tersebut, Chun dan Khor (2010) menemukan bahwa
kenaikan upah minimum disertai dengan
peningkatan yang signifikan dan substansial dalam
jumlah jam kerja per minggu dan penurunan
probabilitas kerja di sektor formal.
AR (2) atau autoregressive lag ke dua dari
urutan ketimpangan pendapatan menjelaskan
bahwa nilai perkiraan ketimpangan pendapatan
pada waktu t adalah proporsi nilai pada waktu t-2.
Dengan kata lain nilai pendapatan di kesetaraan di
tahun t tergantung pada nilai dalam dua tahun
sebelumnya. Hasil regresi menunjukkan bahwa
setiap kenaikan nilai ketimpangan pendapatan tahun
t-2 secara signifikan pada ρ = 10% memepengaruhi
indeks ketimpangan pendapatan pada tahun t.
Ketimpangan pendapatan dari dua tahun
sebelumnya akan mengurangi nilai akhir dari
ketimpangan pendapatan di tahun t sebanyak 0.595
poin.
Ketimpangan pendapatan dari dua tahun
sebelumnya memberi pengaruh lebih besar dari
upah minimum di ketimpangan pendapatan.
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 52
Pengaruh upah minimum pada ketimpangan
pendapatan di tahun tertentu terlalu kecil, sementara
periode dua tahun terakhir mengambil proporsi
yang lebih besar dari perkiraan nilai akhir
ketimpangan pendapatan. Oleh karena itu
pemerintah pada proses pembuatan kebijakan harus
memberikan perhatian lebih terhadap nilai indeks
ketimpangan pendapatan dua tahun sebelumnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Penelitian ini menggunakan data dari tiga puluh
tiga provinsi di Indonesia mulai tahun 1999-2013,
kesimpulan yang diambil dari itu adalah:
1. Perubahan upah minimum memiliki efek
positif pada nilai ketimpangan pendapatan
di periode 1999-2013 di Indonesia.
Kenaikan upah minimum diikuti oleh
relatif perubahan kecil dalam rasio Gini
yang berarti bahwa kondisi pendapatan di
Indonesia menjadi lebih tidak merata
2. Pengaruh upah minimum pada analisis
ketimpangan pendapatan menunjukkan
bahwa upah minimum telah menjadi alat
yang tidak efisien. Selain itu, kenaikan
upah minimum disertai dengan penurunan
probabilitas kerja di sektor formal. Efek
berpotensi negatif ini dapat bekerja untuk
mengurangi manfaat keseluruhan yang
mungkin diperoleh dari kenaikan upah
minimum
3. Jika penegakan hukum tidak ketat atau jika
hukuman untuk membayar upah di bawah
minimum terlalu kecil, sangat sulit untuk
mengharapkan kepatuhan dan efektifitas
upah minimum.
Saran
1. Untuk mengurangi ketimpangan
pendapatan melalui kebijakan upah
minimum tersebut, pemerintah harus
menetapkan standar baku yang baru sedekat
mungkin dengan kebutuhan dasar manusia
dengan mempertimbangkan setiap sektor
kebutuhan hidup.
2. Upah minimum ditetapkan, tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi
juga harus menjadi insentif yang
mendorong tenaga kerja untuk beralih ke
kelompok karyawan (sektor formal).
3. Legislator harus mempersiapkan
seperangkat regulasi sistem kontrol untuk
menjalankan peraturan upah minimum
secara efektif di setiap sektor termasuk
sektor formal dan informal.
REFERENCES
Bourguignon, F. (2004). “The Poverty-Growth-
Inequality Triangle”, Paper Presented at
The Conferences “Poverty, Inequality
andf Growth” , Agence Francaise
Development/EU Development
Networks.
BPS Indonesia. 2012.“Statistic Indonesia
2011/2012”, Jakarta 2013.
BPS. Indonesia. 2010. “TRENDS OF THE
SELECTED SOCIO-ECONOMIC
INDICATORS OF INDONESIA AUGUST
2010”, Available WWW. BPS.GO.ID.
BPS. Indonesia. 2012. “BPS Strategic Data
Jurnal Ilmu Ekonomi
Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Volume 3, No. 2, Mei 2015 - 53
2012”, Available WWW. BPS.GO.ID .
ILO. (2011). “Global Wage Report 2010/11”,
Gerneva, ILO.
Islam, I., and S. Nazara. (2000). “Minimum
Wages and the Welfare of Indonesian
Workers”, ILO Working Paper.
Kuznets, S. (1955). “ Economic Growth and
Income Inequality”, The American.
Miranti. (2013). “Trends in Poverty and
Inequality in Decentralising Indonesia”,
OECD Social, Employment and
Migration Working Papers, No. 148,
OECD Publishing.
Natalie, C., and Niny, K. (2010). “Minimum
Wages and Changing Wage Inequality In
Indonesia”, ADB Economic Working
paper Series No. 196.
Nell, P. (2006). “The Return of Inequality of
Otago”, ECINEQ 2006-44, Available at
www.ecineq.org.
OECD. (2011). “Special Fucos: Inequality in
Emerging Economies (Ees)”, Available at
www.oecd.org/els/social/inequality.
OECD. (2010). OECD Economic Surveys:
Indonesia, OECD Publishing, Paris.
Perotti, R. (1996).“Growth, Income
Distribution, and Democracy: What the
Data Say”, Journal of Economic Growth,
1(2).
Rama, M. (2001). “The Consequences of
Doubling the Minimum Wage”, Industrial
and Labour Relations Review, Vol. 54,
No. 4.
Stigler, G. 1946. “ The Economics Of Minimum
Wage Legislation”, in American
Economic Review, Vol. 36, pp. 358-65.
Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Pewira, and S.
Sumarto. (2003), “Minimum Wage
Policy and Its Impact on Employment in
the Urban Formal Sector”, Bulletin of