Upload
rizki-armando-putra
View
129
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hjhj
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendidikan Berbasis Kompetensi
Kebijakan pemerintah menggunakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK)
sesuai dengan PP Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan
kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, khususnya bidang pendidikan dan
kebudayaan yang menyatakan bahwa wewenang pemerintah pusat diantaranya
adalah penetapan standar kompetensi peserta didik dan warga belajar serta
pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional serta
pedoman pelaksanaannya, dan penetapan standar materi pelajaran pokok.
Ketentuan ini memberi wewenang pemerintah untuk menetapkan standar
kompetensi untuk semua jenjang pendidikan.
Pemberlakuan peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan
pelaksanaan otonomi pendidikan menuntut adanya upaya pembagian kewenangan
dalam berbagai bidang pemerintahan. Hal tersebut membawa implikasi terhadap
sistem dan penyelenggaraan pendidikan termasuk pengembangan dan
pelaksanaan kurikulum. Dalam hal ini ada tiga hal penting yang perlu mendapat
perhatian, yaitu:
1. Diversifikasi kurikulum yang merupakan proses penyesuaian, perluasan,
pendalaman materi pembelajaran agar dapat melayani keberagaman
kebutuhan dan tingkat kemampuan peserta didik serta kebutuhan daerah
setempat dengan berbagai kompleksitasnya.
2. Penetapan standar kemampuan, dimaksudkan untuk menetapkan ukuran
minimal atau secukupnya mencakup kemampuan, pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang harus dicapai, diketahui, dilakukan, dan
dimahirkan oleh peserta didik pada setiap tingkatan secara maju dan
berkelanjutan sebagai upaya kendali dan jaminan mutu.
3. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan
Provinsi/Kabupaten/Kota sebagai Daerah Otonomi merupakan pijakan utama
untuk lebih memberdayakan daerah dalam penyelenggaraan pendidikan
sesuai dengan potensi daerah yang bersangkutan.
Untuk merespon ketiga hal tersebut di atas, Depdiknas telah melakukan
penyusunan standar nasional untuk seluruh mata pelajaran di SMU, yang mencakup
komponen:
1
1. Standar Kompetensi peserta didik, merupakan ukuran kemampuan minimal
yang mencakup kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
harus dicapai, diketahui, dan mahir dilakukan oleh peserta didik pada setiap
tingkatan dari suatu materi yang diajarkan.
2. Kompetensi dasar, merupakan penjabaran standar kompetensi peserta didik
yang cakupan materinya lebih sempit dibanding dengan standar kompetensi
peserta didik.
3. Standar Materi Pokok, adalah hal yang esensi dalam suatu mata pelajaran,
yang dapat berupa bidang ajar, gugus isi, proses, keterampilan, atau
konteks keilmuan suatu mata pelajaran.
4. Indikator Pencapaian, merupakan indikator pencapaian hasil belajar berupa
kompetensi dasar yang lebih spesifik yang dapat dijadikan ukuran untuk
menilai ketercapaian hasil pembelajaran.
Pendidikan berbasis kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus
dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan. Istilah pendidikan berbasis
kompetensi digunakan di Australia, sedang Amerika Serikat menggunakan istilah
pendidikan berbasis standar. Kedua istilah ini memiliki makna yang sama, yaitu
pendidikan yang menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki lulusan suatu
jenjang pendidikan. Kompetensi lulusan dijabarkan berdasarkan pada tujuan
pendidikan nasional. Pada Bab II Pasal 3 Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kompetensi lulusan suatu jenjang pendidikan sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional mencakup komponen pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, kemandirian,
kreativitas, kesehatan, akhlak, ketaqwaan, dan kewarganegaraan. Semua
komponen pada tujuan pendidikan nasional harus tercermin pada kurikulum dan
sistem pembelajaran pada semua jenjang pendidikan. Sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional, tugas sekolah adalah mengembangkan potensi peserta didik
secara optimal menjadi kemampuan untuk hidup di masyarakat dan ikut
mensejahterakan masyarakat. Lulusan suatu jenjang pendidikan harus memiliki
pengetahuan dan ketrampilan serta berprilaku yang baik. Untuk itu peserta didik
harus mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki
sesuai dengan standar yang ditetapkan.
2
Kompetensi lulusan, yaitu kemampuan yang harus dimiliki peserta didik,
selanjutnya dijabarkan menjadi standar kompetensi peserta didik dalam mata
pelajaran. Acuan yang digunakan untuk menurunkan kemampuan lulusan menjadi
sejumlah standar kompetensi peserta didik dalam mata pelajaran adalah: 1)
kemampuan lulusan, 2) struktur keilmuan mata pelajaran, 3) perkembangan
psikologi peserta didik, 4) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
seni, 5) kebutuhan masyarakat. Jadi lima acuan ini menjadi dasar pengembangan
standar kompetensi peserta didik.
Standar kompetensi peserta didik dikembangkan oleh para pakar bidang studi,
pakar pendidikan bidang studi, serta pakar psikologi perkembangan. Standar
kompetensi yang diperoleh selanjutnya divalidasi oleh pakar dari perguruan tinggi
lain serta para guru-guru dari sejumlah sekolah dengan memperhatikan peringkat
sekolah. Dalam satu mata pelajaran dan dalam satu jenjang pendidikan bisa
terdapat 6 sampai 15 standar kompetensi, tergantung kompleksitas dan luas
cakupan mata pelajaran.
Kompetensi lulusan yang berupa kemampuan yang dimiliki lulusan dicirikan
dengan pengetahuan, ketrampilan, dan prilaku yang dapat ditampilkan. Kompetensi
lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global, karena
persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan sumber daya manusia. Oleh
karena itu, penerapan pendidikan berbasis kompetensi diharapkan akan
menghasilkan lulusan yang mampu berkompetisi di tingkat regional, nasional, dan
global.
Standar kompetensi cakupannya luas dan kata kerja yang digunakan bisa
operasional dan bisa tidak. Untuk memudahkan guru dalam mengembangkan
silabus, standar kompetensi diuraikan menjadi kompentesi dasar. Kompetensi dasar
memiliki cakupan materi yang lebih sempit, dan menggunakan kata kerja
operasional yang mudah diukur. Tiap kompetensi dasar bisa diuraikan menjadi tiga
atau lebih indikator. lndikator ini merupakan acuan dalam menentukan jenis
tagihan, yaitu bisa berupa ulangan, tugas-tugas, kuis, kuesioner, inventori, dan
sebagainya.
Implikasi penerapan pendidikan berbasis kompetensi adalah pengembangan
silabus dan sistem penilaian berbasis kompetensi. Silabus merupakan acuan untuk
merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, sedang sistem penilaian
berbasis kompetensi mencakup jenis tagihan, dan bentuk soal. Jenis tagihan adalah
berbagai bentuk ulangan dan tugas-tugas, tagihan, seperti ulangan atau tugas-
tugas yang harus dikerjakan peserta didik. Bentuk soal terkait dengan jawaban
yang harus dilakukan oleh peserta didik, seperti bentuk isian singkat, pilihan ganda,
uraian, objektif, uraian non objektif, dan sebagainya.
3
Sesuai dengan jiwa otonomi dalam bidang pendidikan seperti pada Peraturan
Pemerintah No. 25 tahun 2000 Bidang Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah
daerah memiliki wewenang dalam menentukan dan mengembangkan silabus dan
sistem penilaiannya berdasarkan standar kompetensi peserta didik yang disusun
pemerintah. Agar penentuan silabus dan sistem penilaiannya dapat dilakukan
dengan baik diperlukan pedoman. Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini
Direktorat Pendidikan Menengah Umum perlu menyiapkan pedoman penyusunan
silabus serta sistem penilaiannya.
Paradigma pendidikan berbasis kompetensi mencakup kurikulum, pedagogi, dan
pengujian, menekankan pada standar atau hasil (Wilson, 2001). Kurikulum berisi
bahan ajar yang diberikan kepada peserta didik melalui proses pembelajaran.
Proses pembelajaran dilaksanakan dengan mengajar, sedangkan tingkat
keberhasilan belajar yang dicapai peserta didik dapat dilihat pada hasil penilaian,
yang mencakup ujian, tugas-tugas, dan pengamatan.
Pengembangan sistem penilaian hasil kegiatan pembelajaran berbasis
kompetensi bersifat hierarkhis, secara berurutan yaitu: standar kompetensi,
kompetensi dasar, indikator, materi pokok, dan instrumen penilaian. Standar
kompetensi dan kompetensi dasar serta materi pokok dikembangkan oleh Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional, sedang indikator dan penentuan instrumen
penilaian dikembangkan oleh masing-masing daerah atau sekolah. Balitbang
Depdiknas hanya memberi beberapa contoh indikator pencapaian. Dengan
demikian diharapkan soal ujian yang digunakan akan menampung keperluan
daerah sesuai dengan karakateristiknya masing-masing. Selain itu sumber daya
manusia di semua daerah akan diberdayakan, sehingga semuanya tidak tergantung
pada Departemen Pendidikan Nasional di pusat.
Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan sekolah dalam
mengelola proses pembelajaran, dan lebih khusus lagi adalah proses pembelajaran
yang terjadi di kelas. Sesuai dengan prinsip otonomi dan manajemen peningkatan
mutu berbasis sekolah, pelaksana pembelajaran dalam hal ini guru harus diberi
keleluasaan dalam menentukan silabus dan memilih strategi pembelajaran dan
sistem penilaiannya. Bagi sekolah yang mampu diharapkan dapat menetapkan
silabus, memilih strategi pembelajaran, serta sistem penilaiannya dengan
disediakan pedoman, sedang bagi yang belum mampu diberi pedoman serta contoh
silabus dan sistem penilainnya. Untuk itu perlu dibuat buku pedoman cara
mengembangkan silabus dan sistem penilaian berbasis kompetensi. Baik pedoman
pengembangan silabus maupun pedoman pengembangan sistem penilaian ada dua
macam, yaitu pedoman umum dan pedoman khusus.
Pedoman umum pengembangan sistem penilaian memberi penjelasan secara
4
umum tentang prosedur dan cara mengembangkan kompetensi dasar menjadi
indikator, dan mengembangkan indikator menjadi berbagai bentuk tagihan.
Pedoman khusus menjelaskan lebih rinci tentang prosedur dan cara
mengembangkan kompetensi dasar menjadi indikator pencapaiannya, dan
mengembangkan indikator menjadi berbagai bentuk tagihan, seperti soal ujian,
tugas-tugas, kuis, kuesioner, inventori, portfolio, dan sebagainya.
Hasil kegiatan belajar peserta didik yang berupa kemampuan kognitif dan
psikomotor ditentukan oleh kondisi afektif peserta didik. Kemampuan kognitif
adalah kemampuan berpikir, yaitu yang menurut taksonomi Bloom (Sax, 1980),
secara hierarkhis terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis,
dan evaluasi. Peserta didik yang tidak berminat dalam suatu mata pelajaran tidak
dapat diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu
tugas guru adalah membangkitkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran.
Pada tingkat pengetahuan, peserta didik menjawab pertanyaan berdasarkan
hapalan saja. Pada tingkat pemahaman, peserta didik dituntut untuk menyatakan
masalah dengan kata-katanya sendiri, memberi contoh suatu prinsip atau konsep.
Pada tingkat aplikasi, peserta didik dituntut untuk menerapkan prinsip dan konsep
dalam suatu sistuasi yang baru. Pada tingkat analisis, peserta didik diminta
untuk menguraikan informasi ke dalam beberapa bagian, menemukan asumsi,
membedakan fakta dan pendapat, dan menemukan hubungan sebab akibat. Pada
tingkat sintesis, peserta didik dituntut menghasilkan suatu cerita, komposisi,
hipotesis, atau teorinya sendiri, dan mensintesiskan pengetahuan. Pada tingkat
evaluasi, peserta didik mengevaluasi informasi, seperti bukti sejarah, editorial,
teori-teori, dan termasuk di dalamnya melakukan judgement terhadap hasil analisis
untuk membuat kebijakan.
Kemampuan psikomotor pada mata pelajaran tertentu di SMA (Sekolah
Menengah Atas) dapat dikembangkan. Kemampuan tersebut misalnya dalam
bentuk gerak adaptif atau gerak terlatih (adaptive movement), baik keterampilan
adaptif sederhana (simple adaptive skill), keterampilan adaptif gabungan
(compound adaptive skill), keterampilan adaptif kompleks (complex adaptive skill),
maupun keterampilan komunikasi berkesinambungan (non-discursive
communication), yaitu baik gerak ekspresif (expressive movement) maupun gerak
interpretatif (interpretative movement) (Harrow, 1972). Keterampilan adaptif
sederhana dapat dilatihkan dalam berbagai mata pelajaran, seperti bentuk
keterampilan pemakaian peralatan laboratorium. Keterampilan adaptif gabungan
dan keterampilan adaptif kompleks, juga keterampilan komunikasi berke-
sinambungan baik gerak ekspresif maupun gerak interpretatif dapat dilatihkan
dalam mata pelajaran Pendidikan Kesenian dan Pendidikan Jasmani.
5
Kondisi afektif peserta didik tidak dapat dideteksi dengan tes, tetapi dapat
diperoleh melalui angket, inventori, atau pengamatan yang sistematik dan
berkelanjutan. Sistematik berarti pengamatan mengikuti suatu prosedur tertentu,
sedang berkelanjutan memiliki arti pengukuran dan penilaian dilakukan secara
terus menerus. Berkelanjutan dalam hal ini berarti pengukuran ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor dilakukan secara serempak serta terus menerus dan
berkesinambungan hingga peserta didik menguasai kompetensi dasar. Jadi sistem
ujian berkelanjutan memiliki makna bahwa ujian yang digunakan mengukur semua
kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik, yaitu yang mencakup ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik, dan dilakukan secara serempak dan
berkelanjutan.
Hasil ujian atau pengamatan harus dianalisis dan ditindaklanjuti melalui
program remedial atau pengayaan. Hasil analisis berupa daftar kompetensi dasar
yang belum dikuasai peserta didik dan yang telah dikuasai peserta didik. Sesuai
dengan ketentuan, pemerintah hanya menentukan kemampuan lulusan, standar
kompetensi, dan kompetensi dasar. Sekolah mengembangkan silabus dan sistem
penilaian dengan mengacu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar. Untuk
itu itu diperlukan pedoman umum dan pedoman khusus untuk mengembangkan
silabus dan sistem penilaiannya.
Jadi ada dua pedoman umum yang diperlukan, yaitu pedoman umum
pengembangan silabus dan pedoman umum pengembangan sistem penilaian. Selain
itu diperlukan pedoman khusus pengembangan silabus dan sistem penilaian untuk
tiap mata pelajaran dalam satu buku.
B. Konsep Penilaian
Ada empat istilah yang terkait dengan konsep pengujian dan yang sering
digunakan untuk mengetahui keberhasilan belajar peserta didik, yaitu pengukuran,
pengujian, penilaian, dan evaluasi. Pengukuran menurut Guilford (1982) adalah proses
penetapan angka terhadap suatu gejala menurut aturan tertentu. Pengukuran
pendidikan berbasis kompetensi dasar berdasarkan pada klasifikasi observasi unjuk
kerja atau kemampuan peserta didik dengan menggunakan suatu standar.
Pengukuran dapat menggunakan tes dan non-tes. Tes adalah seperangkat
pertanyaan yang memiliki jawaban benar atau salah. Non-tes berisi pertanyaan
atau pernyataan yang tidak memiliki jawaban benar atau salah. Instrumen non-tes
bisa berbentuk kuesioner atau inventori. Kuesioner berisi sejumlah pertanyaan atau
pernyataan, peserta didik diminta menjawab atau memberikan pendapat terhadap
pernyataan. Inventori merupakan instrumen yang berisi tentang laporan diri yaitu
keadaan peserta didik, misalnya potensi peserta didik. Pengukuran pendidikan bisa
bersifat kuantitatif atau kualitatif. Kuantitatif hasilnya berupa angka, sedangkan
6
yang kualitatif hasilnya bukan angka tetapi pernyataan kualitatif, yaitu yang berupa
pernyataan sangat baik, baik, cukup, kurang, sangat kurang, dan sebagainya.
Pengukuran, penilaian, dan evaluasi bersifat hierarkhis, maksudnya kegiatan
dilakukan secara berurutan, yaitu dimulai dengan pengukuran, kemudian penilaian,
dan terakhir evaluasi. Pengujian merupakan bagian dari pengukuran yang
dilanjutkan dengan kegiatan penilaian.
Penilaian atau asesmen adalah istilah umum yang mencakup semua metode
yang biasa digunakan untuk menilai unjuk kerja individu peserta didik atau
kelompok. Proses penilaian mencakup pengumpulan bukti untuk menunjukkan
pencapaian belajar peserta didik. Penilaian menurut Griffin & Nix (1991) suatu
pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang
atau sesuatu. Definisi penilaian berhubungan dengan setiap bagian dari proses
pendidikan, bukan hanya keberhasilan belajar saja, tetapi mencakup semua proses
mengajar dan belajar. Kegiatan penilaian oleh karenanya tidak terbatas pada
karakteristik peserta didik saja, tetapi juga mencakup karakteristik metode
mengajar, kurikulum, fasilitas dan administrasi sekolah. Instrumen penilaian bisa
berupa metode atau prosedur formal atau informal, untuk menghasilkan informasi
tentang peserta didik, yaitu: tes tertulis, tes lisan, lembar pengamatan, pedoman
wawancara, tugas rumah, dan sebagainya. Penilaian juga diartikan sebagai
kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran.
Evaluasi adalah penilaian yang sistematik tentang manfaat atau kegunaan suatu
objek (Stufflebeam & Shinkfield, 1985). Dalam melakukan evaluasi di dalamnya ada
kegiatan untuk menentukan nilai suatu program, sehingga ada unsur judgement
tentang nilai suatu program, oleh karenanya terdapat unsur subjektif. Dalam
melakukan judgement diperlukan data hasil pengukuran dan informasi hasil
penilaian. Objek evaluasi adalah program yang hasilnya memiliki banyak dimensi,
seperti kemampuan, kreativitas, sikap, minat, keterampilan, dan sebagainya. Oleh
karena itu, dalam kegiatan evaluasi alat ukur yang digunakan juga bervariasi
tergantung pada jenis data yang ingin diperoleh.
7
BAB 2
PENILAIAN BERBASIS KOMPETENSI
A. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Kompetensi adalah kemampuan yang dapat dilakukan peserta didik yang
mencakup pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Standar adalah arahan atau
acuan bagi pendidik tentang kemampuan dan keterampilan yang menjadi fokus
proses pembelajaran dan penilaian (Harris, Guthrie, Hobart, & Lundberg, 1997). Jadi
standar kompetensi adalah batas dan arah kemampuan yang harus dimiliki dan
dapat dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran suatu mata
pelajaran tertentu. Cakupan materi yang terkandung pada setiap standar
kompetensi cukup luas terkait dengan konsep yang ada dalam suatu mata
pelajaran.
Standar kompetensi dirumuskan dengan menggunakan kata kerja yang
operasional atau yang tidak operasional tergantung dari karakteristik bidang studi
serta cakupan materi. Jumlah standar kompetensi untuk satu mata pelajaran
bervariasi sekitar 6 sampai 15 buah. Kata kerja yang tidak operasional yang
digunakan pada standar kompetensi di antaranya adalah: mengetahui dan
memahami; sedangkan kata kerja yang operasional adalah menafsirkan,
menganalisis, mengevaluasi, membandingkan, mendemonstrasikan, dan
sebagainya.
Standar kompetensi ditinjau dari cakupan materi dan kata kerja yang digunakan
bersifat umum, sehingga perlu dijabarkan menjadi sejumlah kompetensi dasar yang
sering disebut dengan kemampuan minimum. Cakupan materi pada kompetensi
dasar lebih sempit dibanding pada standar kompetensi. Selain itu kata kerja yang
digunakan adalah operasional, di antaranya adalah: menghitung, mengidentifikasi,
membedakan, menafsirkan, menganalisis, menerapkan, merangkum, dan
sebagainya. Selanjutnya kompetensi dasar diuraikan menjadi sejumlah indikator,
yaitu sekitar 3 buah atau lebih. Indikator adalah karakteristik, ciri-ciri, perbuatan, atau
respons yang ditunjukkan atau dilakukan oleh peserta didik berkaitan dengan
kompetensi dasar.
Indikator merupakan acuan dalam menentukan tagihan. Tagihan ini bisa berupa
ujian atau bentuk lain dan harus bisa diukur. Untuk itu kata kerja yang digunakan pada
indikator sepenuhnya harus operasional dan cakupan materinya lebih terfokus, atau
lebih sempit dibanding dengan kata kerja pada kompetensi dasar. Indikator ini
8
menjadi pedoman tentang tingkat pencapaian belajar peserta didik sesuai dengan
kompetensi dasar yang harus dimiliki peserta didik.
Standar kompetensi dan kompetensi dasar nasional menjadi acuan bagi
sekolah-sekolah atau daerah-daerah untuk mengembangkan silabus dan sistem
penilaian. Pihak sekolah atau guru memiliki tugas menentukan indikator pencapaian
kompetensi dasar. Pengembangan kompetensi dasar menjadi sejumlah indikator
dan pengembangan indikator menjadi soal ujian atau instrumen penilaian harus
mengikuti suatu prosedur tertentu.
B. Pengembangan Indikator
Indikator dikembangkan dari kompetensi dasar dengan menggunakan kata kerja
yang operasional dengan tingkat berpikir menengah dan tinggi. Tiap kompetensi
dasar dapat dijabarkan menjadi 3 (tiga) atau lebih indikator. Bila tagihannya dalam
bentuk ulangan, setiap indikator dapat dibuat 3 (tiga) butir soal atau lebih.
Pengembangan indikator dan penentuan soal ujian dilakukan oleh sekolah, dalam
hal ini adalah guru. Dengan demikian guru dituntut agar memiliki kemampuan
untuk mengembangkan kompetensi dasar menjadi sejumlah indikator, dan
mengembangkan indikator menjadi sejumlah tagihan, bisa dalam bentuk soal ujian
soal ujian, tugas-tugas, dan sebagainya.
Seperti dijelaskan sebelumnya indikator adalah karakteristik, ciri-ciri, perbuatan,
atau respons peserta didik. Indikator dinyatakan dengan menggunakan kata kerja
operasional yang dapat diukur dan cakupan materinya sudah terbatas. Kata kerja
operasional yang digunakan pada indikator di antaranya menghitung,
mengidentifikasi, menafsirkan, membandingkan, membedakan, menerapkan,
menganalisis, merangkum, menyimpulkan, merancang, dan sebagainya.
Indikator juga digunakan untuk mengembangkan instrumen nontes, seperti
pengukuran minat, sikap, motivasi, dan sejenisnya. Sebagai contoh, jika kita ingin
mengukur minat seseorang mempelajari mata pelajaran Bahasa Inggris, maka
terlebih dahulu didefinisikan secara operasional apa itu minat. Definisi ini
selanjutnya diuraikan menjadi sejumlah indikator untuk menyatakan ciri-ciri orang
berminat dan tidak berminat dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan. Misalnya
ciri-ciri orang yang berminat adalah memiliki catatan pelajaran lengkap, selalu hadir
di kelas, sering mengajukan pertanyaan, dan sebagainya.
Semua bentuk tagihan lain yang digunakan harus diusahakan agar memberikan
informasi yang sahih dan handal. Bila tagihannya dalam bentuk ujian, hasil ujian
yang sahih berkaitan dengan bahan ajar yang diujikan, yaitu sejauh mana bahan
ujian merupakan kompetensi dasar yang ingin dicapai. Pada sistem penilaian
berbasis kompetensi, semua kompetensi dasar ditagih, sehingga hasil tagihan baik
berupa tes atau tugas-tugas, atau bentuk lain harus menunjuk pada kompetensi
9
dasar yang dinilai. Jadi skor yang diperoleh peserta didik harus menunjukkan
kompetensi dasar yang telah dan yang belum dicapai peserta didik.
Andai berkaitan dengan kesalahan pengukuran, yang sering dinyatakan dengan
indeks keandalan. Tes yang andal memberikan hasil pengukuran yang memiliki
kesalahan sekecil mungkin. Kesalahan pengukuran pada dasarnya ada dua, yaitu
yang bersifat random dan yang bersifat sistematik. Besarnya kesalahan yang
bersifat random dapat ditaksir, sedang yang bersifat sistematik sulit ditaksir kecuali
hanya arahnya, yaitu positif atau negatif. Sistematik berarti skor yang diperoleh
oleh semua peserta didik lebih tinggi atau lebih rendah dari kemampuan yang
sebenarnya. Namun apabila kesalahan pada sebagian siswa positif dan sebagian
lain negatif, maka tes itu dikatakan bias. Hal ini harus dihindari dalam melakukan
pengukuran dan penilaian.
C. Acuan Norma dan Acuan Kriteria
Di lihat dari perencanaan tes dan penafsiran hasil tes, pengukuran dalam bidang
pendidikan bisa berdasarkan acuan norma atau acuan kriteria Kedua acuan ini
menggunakan asumsi yang berbeda tentang kemampuan seseorang. Asumsi yang
berbeda akan menghasilkan informasi yang berbeda. Penafsiran hasil tes antara
kedua acuan ini berbeda sehingga menghasilkan informasi yang berbeda
maknanya. Pemilihan acuan yang tepat ditentukan oleh karakteristik mata
pelajaran yang akan diukur dan tujuan yang akan dicapai.
Tes acuan norma berasumsi bahwa kemampuan orang itu berbeda dan dapat
digambarkan menurut distribusi normal. Perbedaan ini harus ditunjukkan oleh hasil
pengukuran, misalnya setelah mengikuti peserta didik dibandingkan dengan
kelompoknya, sehingga dapat diketahui posisi peserta didik tersebut. Acuan ini juga
digunakan pada tes seleksi, karena sesuai dengan tujuannya tes seleksi adalah
untuk membedakan kemampuan orang, khususnya bila jumlah pendaftar yang
diterima berdasarkan pada kuota atau daya tampung.
Tes acuan kriteria berasumsi bahwa hampir semua orang bisa belajar apa saja
namun waktunya yang berbeda. Konsekuensi acuan ini adalah adanya program
remedi dan pengayaan. Mereka yang belum memiliki kompetensi dasar seperti
disyaratkan harus belajar lagi sampai kemampuannya mencapai kriteria atau
standar yang ditetapkan. Bagi mereka yang telah mencapai standar, diberi
pelajaran tambahan yaitu yang disebut dengan pengayaan. Jadi irama belajar pada
pendidikan berbasis kompetensi adalah individual, yang cepat diberi pengayaan
dan yang lambat diberi remedial.
Penafsiran skor hasil tes selalu dibandingkan dengan kriteria yang telah
ditetapkan lebih dahulu. Hasil tes adalah lulus atau tidak. Lulus berarti telah
memiliki kompetensi dasar, tidak lulus berarti belum memiliki kompetensi dasar.
10
Pada prakteknya batas lulus yang banyak digunakan adalah 75 %. Batas lulus ini
sebenarnya tergantung pada resiko yang ada pada tiap mata pelajaran. Mata
pelajaran dengan resiko tinggi batas lulus tentu tinggi, sedang yang resikonya
rendah batas lulusnya bisa lebih rendah dari 75 %.
Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem penilaian hasil kegiatan pembelajaran
berbasis kompetensi menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa
dilakukan peserta didik setelah peserta didik mengikuti proses pembelajaran, dan
bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
11
BAB 3
KARAKTERISTIK PENILAIAN
A. Sistem Penilaian Berkelanjutan
Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan sistem penilaian
berbasis kompetensi (Harris, Guthrie, Hobart, & Lundber, I995), yaitu:
1. Definisi tentang apa yang dipelajari dan apa yang dinilai.
2. Spesifikasi peringkat unjuk kerja atau standar.
3. Menekankan pada komparasi antara unjuk kerja peserta didik dengan
standar atau kriteria.
Untuk mengetahui seberapa jauh peserta didik telah memiliki kompetensi dasar
perlu dikembangkan suatu sistem penilaian. Sistem penilaian yang dilakukan harus
mencakup seluruh kompetensi dasar dengan menggunakan indikator yang
ditetapkan oleh guru. Sistem penilaian berbasis kompetensi yangdirencanakan
adalah sistem penilaian yang berkelanjutan. Berkelanjutan dalam arti semua
indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar
yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan peserta didik.
Untuk itu digunakan berbagai teknik penilaian dan ujian, yaitu: pertanyaan lisan di
kelas, kuis, ulangan harian, tugas rumah, ulangan praktek, pengamatan, dan
sebagainya yang disesuaikan dengan karakteristik mata pelajarannya. Penentuan
teknik penilaian yang digunakan berdasar pada kompetensi dasar yang ingin dinilai
dan harus ditelaah oleh teman sejawat dalam mata pelajaran yang sama.
Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindakan perbaikan, berupa
program remedi. Apabila peserta didik belum menguasai suatu kompetensi dasar,
ia harus mengikuti proses pembelajaran lagi, sedang bila telah menguasai
kompetensi dasar, ia diberi tugas pengayaan. Peserta didik yang telah menguasai
semua atau hampir semua kompetensi dasar dapat diberi tugas untuk mempelajari
kompetensi dasar berikutnya. Oleh karena itu, dalam sistem penilaian
berkelanjutan, guru harus membuat kisi-kisi penilaian dan rancangan penilaian
secara menyeluruh untuk satu semester dengan menggunakan teknik penilaian
yang tepat.
Pengembangan sistem penilaian berbasis kompetensi dasar mencakup hal–hal
sebagai berikut:
1. Standar kompetensi: kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan dalam
setiap mata pelajaran. Hal ini memiliki implikasi yang signifikan dalam
12
perencanaan, metodologi, dan pengelolaan penilaian.
2. Kompetensi dasar: kemampuan minimal dalam mata pelajaran yang harus
dimiliki lulusan SMU.
3. Rencana penilaian: jadwal kegiatan penilaian dalam satu semester
dikembangkan bersamaan dengan pengembangan silabus.
4. Proses penilaian: pemilihan dan pengembangan teknik penilaian, sistem
pencatatan, dan pengelolaan proses.
5. Proses implementasi: menggunakan berbagai teknik penilaian.
6. Pencatatan dan pelaporan: pengelolaan sistem penilaian dan pembuatan
laporan.
Enam hal ini merupakan karakteristik penelitian berbasis Kompetensi dan oleh
karenanya, setiap guru harus menguasai dan melaksanakannya.
B. Bentuk Tes
Tingkat berpikir yang digunakan dalam mengerjakan tes harus mencakup mulai
yang rendah sampai yang tinggi, dengan proporsi yang sebanding sesuai dengan
jenjang pendidikan. Pada jenjang pendidikan menengah, tingkat berpikir yang
terlibat sebaiknya terbanyak pada tingkat pemahaman, aplikasi, dan analisis.
Namun hal ini tergantung pada karakteristik mata pelajaran.
Bentuk tes yang digunakan di sekolah dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu
tes objektif dan tes non-objektif. Objektif di sini dilihat dari sistem penskorannya,
yaitu siapa saja yang memeriksa lembar jawaban tes akan menghasilkan skor yang
sama. Tes non-objektif adalah tes yang sistem penskorannya dipengaruhi oleh
pemberi skor. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tes objektif adalah tes yang
sistem penskorannya objektif, sedang tes non-objektif sistem penskorannya
dipengaruhi oleh subjektivitas pemberi skor.
Ada beberapa bentuk soal yang dipakai dalam sistem penilaian berbasis
kompetensi dasar. Bentuk soal tes yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
1. Pilihan ganda : Bentuk ini bisa mencakup banyak materi pelajaran,
penskorannya objektif, dan bisa dikoreksi dengan komputer. Namun
membuat butir soal pilihan ganda yang berkualitas baik cukup sulit, dan
kelemahan lain adalah peluang kerja sama peserta antar tes sangat besar.
Oleh karena itu, bentuk ini dipakai untuk ujian yang melibatkan banyak
peserta didik dan waktu untuk koreksi relatif singkat. Penggunaan bentuk ini
menuntut agar pengawas ujian teliti dalam melakukan pengawasan saat
ujian berlangsung. Tingkat berpikir yang diukur bisa tinggi tergantung pada
kemampuan pembuat soal (Ebel, l979).
2. Uraian objektif : Bentuk ini cocok untuk mata pelajaran yang batasnya
13
jelas seperti Matematika dan IPA (Fisika, Kimia, dan Biologi). Agar hasil
penskorannya objektif diperlukan pedoman penskoran Objektif di sini berarti
hasil penilaian terhadap suatu lembar jawaban akan sama walau diperiksa
oleh orang yang berbeda asal memiliki latar belakang pendidikan sesuai
dengan mata ujian. Tingkat berpikir yang diukur bisa sampai pada tingkat
yang tinggi. Penskoran dilakukan secara analitik, yaitu setiap langkah
pengerjaan diberi skor. Misalnya, jika peserta didik menuliskan rumusnya
diberi skor, menghitung hasilnya diberi skor, dan menafsirkan atau
menyimpulkan hasilnya, juga diberi skor. Penskoran bersifat hierarkhis,
sesuai dengan langkah pengerjaan soal. Bobot skor untuk tiap butir soal
ditentukan oleh tingkat kesulitan butir soal, yang sulit bobotnya lebih besar
dibandingkan dengan yang mudah.
3. Uraian non-objektif/uraian bebas : Bentuk ini cocok untuk bidang studi
ilmu-ilmu sosial. Walau hasil penskoran cenderung subjektif, namun bila
disediakan pedoman penskoran yang jelas, hasilnya diharapkan dapat lebih
objektif. Tingkat berpikir yang diukur bisa tinggi. Bentuk ini bisa menggali
informasi kemampuan penalaran, kemampuan berkreasi atau kreativitas
peserta didik, karena kunci jawabannya tidak satu.
4. Jawaban singkat atau isian singkat : Bentuk ini cocok digunakan untuk
mengetahui tingkat pengetahuan dan pemahaman peserta didik jumlah
materi yang diuji bisa banyak, namun tingkat berpikir yang diukur
cenderung rendah.
5. Menjodohkan : Bentuk ini cocok untuk mengetahui pemahaman peserta
didik tentang fakta dan konsep. Cakupan materi bisa banyak, namun tingkat
berpikir yang terlibat cenderung rendah.
6. Performans : Bentuk ini cocok untuk mengukur kemampuan seseorang
dalam melakukan tugas tertentu, seperti praktek di laboratorium. Peserta
tes diminta untuk mendemonstrasikan kemampuan dan keterampilan dalam
bidang tertentu. Penilaian performans menurut Nathan & Cascio (1986)
berdasarkan pada analisis pekerjaan.
7. Portfolio : Bentuk ini cocok untuk mengetahui perkembangan unjuk kerja
peserta didik, dengan menilai kumpulan karya-karya, atau tugas yang
dikerjakan peserta didik. Portfolio berarti kumpulan karya atau tugas-tugas
yang dikerjakan peserta didik (Popham, 1985). Karya-karya ini dipilih
kemudian dinilai, sehingga dapat dilihat perkembangan kemampuan peserta
didik. Cara ini bisa dilakukan dengan baik bila jumlah peserta didik yang
dinilai tidak banyak.
14
C. Jenis Tagihan
Untuk memperoleh data dan informasi sebagai dasar penentuan tingkat
keberhasilan peserta didik dalam penguasaan kompetensi dasar yang diajarkan
diperlukan adanya berbagai jenis tagihan. Jenis tagihan yang dapat dipakai dalam
sistem penilaian berbasis kompetensi dasar dapat berkait dengan ranah kognitif
ataupun psikomotor, antara lain yaitu sebagai berikut.
1. Kuis : Waktu yang diperlukan relatif singkat, kurang lebih 15 menit dan
hanya menanyakan hal-hal yang prinsip saja dan bentuknya berupa isian
singkat. Biasanya kuis diberikan sebelum pelajaran baru dimulai, untuk
mengetahui penguasaan pelajaran yang lalu secara singkat. Namun bisa
juga kuis diberikan setelah pembelajaran selesai, yaitu untuk mengetahui
pemahaman peserta didik terhadap bahan ajar yang baru diajarkan. Bila ada
bagian pelajaran yang belum dikuasai, sebaiknya guru menjelaskan kembali
dengan menggunakan metode pembelajaran yang berbeda.
2. Pertanyaan lisan di kelas : Materi yang ditanyakan berupa pemahaman
terhadap konsep, prinsip, atau teorema. Teknik bertanya yang baik adalah
mengajukan pertanyaan ke kelas, memberi waktu sebentar untuk berpikir,
dan kemudian memilih peserta didik secara acak untuk menjawab. Jawaban
peserta didik benar atau salah selalu diberikan ke peserta didik lain atau
minta pendapatnya terhadap jawaban peserta didik yang pertama.
Kemudian guru menyimpulkan tentang jawaban peserta didik yang benar.
Pertanyaan lisan ini bisa dilakukan di awal pelajaran atau di akhir pelajaran.
3. Ulangan harian : Ulangan harian dilakukan secara periodik misalnya
setelah I (satu) atau 2 (dua) kompetensi dasar selesai diajarkan. Bentuk soal
yang digunakan sebaiknya bentuk uraian objektif atau yang non-objektif.
Tingkat berpikir yang terlibat sebaiknya mencakup pemahaman, aplikasi,
dan analisis.
4. Tugas individu : Tugas individu dapat diberikan setiap minggu dengan
bentuk tugas/soal uraian objektif atau non-objektif. Tingkat berpikir yang
terlibat sebaiknya aplikasi, analisis, bila mungkin sampai sintesis dan
evaluasi. Tugas individu untuk mata pelajaran tertentu dapat terkait dengan
ranah psikomotor, seperti menugasi peserta didik untuk melakukan
observasi lapangan dalam Geografi atau menugasi peserta didik untuk
berlatih tari dan musik pada pelajaran Pendidikan Kesenian.
5. Tugas kelompok : Tugas kelompok digunakan untuk menilai kemampuan
kerja kelompok. Bentuk soal yang digunakan adalah uraian dengan tingkat
berpikir yang tinggi yaitu aplikasi sampai evaluasi. Bila mungkin peserta
didik diminta untuk menggunakan data sungguhan atau melakukan
15
pengamatan terhadap suatu gejala, atau merencanakan sesuatu proyek.
Proyek pada umumnya menggunakan data sesungguhnya dari lapangan.
Seperti halnya tugas individu, tugas kelompok dapat terkait dengan ranah
psikomotor.
6. Ulangan blok : Bentuk soal yang dipakai dalam ulangan blok, bagian dari
semester dapat berupa pilihan ganda, campuran pilihan ganda dan uraian,
atau semuanya bentuk uraian. Materi yang diujikan berdasar kisi-kisi soal.
Tingkat berpikir yang terlibat mulai dari pemahaman sampai dengan
evaluasi.
7. Laporan kerja praktik atau laporan praktikum : Bentuk ini dipakai untuk
mata pelajaran yang ada kegiatan praktikumnya, seperti Fisika, Kimia, dan
Biologi. Peserta didik bisa diminta untuk mengamati suatu gejala dan
melaporkannya.
8. Responsi atau ujian praktik : Bentuk ini dipakai untuk mata pelajaran
yang ada kegiatan praktikumnya, seperti Fisika, Kimia, dan Biologi yaitu
untuk mengetahui penguasaan akhir baik dari ranah kognitif maupun
psikomotor. Ujian responsi bisa dilakukan diawal praktek atau setelah
melakukan praktek. Ujian dilakukan sebelum praktek bertujuan untuk
mengetahui kesiapan peserta didik melakukan praktek di laboratorium,
sedang bila dilakukan setelah praktek, tujuannya untuk mengetahui
kompetensi dasar praktek yang dicapai peserta didik dan yang belum.
Tingkat berpikir peserta didik yang terlibat dalam mengerjakan tugas-tugas
dalam sistem penilaian yang berbasis kompetensi meliputi: tingkat berpikir yang
berkait dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural. Deklaratif
berisi tentang konsep, prinsip, dan fakta-fakta, sedang prosedural mencakup
proses, strategi, aplikasi, dan keterampilan.
D. Kesahihan dan Keandalan Tes
Suatu tes yang baik harus memiliki bukti kesahihan dan keandalan, hasilnya
dapat dibandingkan, dan ekonomis. Kesahihan tes dapat dikategorikan menjadi
tiga, yaitu kesahihan isi, konstruk, dan kriteria. Kesahihan isi dilihat dari bahan yang
diujikan, kesahihan konstruk dilihat dari dimensi yang diukur, dan kesahihan kriteria
dilihat dari daya prediksinya.
Kesahihan isi atau sering disebut pula kesahihan kurikuler dapat dilihat berdasar
kisi-kisi tesnya, yaitu matriks yang menunjukkan bahan tes serta tingkat berpikir
yang terlibat dalam mengerjakan tes. Pada sistem penilaian di sekolah, penekanan
pada kesahihan isi, yaitu menunjukkan seberapa jauh materi ujian sesuai dengan
kompetensi dasar yang hendak diukur.
16
Kesahihan konstruk diperoleh dari hasil analisis faktor, yaitu jumlah faktor yang
diukur suatu tes. Bukti kesahihan konstruk diperoleh dari hasil penggunaan tes,
yaitu data empiris. Pada dasarnya konstruk yang diukur adalah satu, atau dengan
kata lain dimensi alat ukur adalah satu. Apabila yang dinilai adalah kemampuan
matematika, maka yang dinilai adalah kemampuan matematika saja, tidak ada
unsur tulisan atau bahasa yang dinilai.
Kesahihan prediktif merupakan koefsien yang menunjukkan seberapa jauh skor
tes dapat digunakan untuk memprediksi atau meramalkan keberhasilan peserta
didik pada masa mendatang. Misalnya seberapa besar tes masuk SMA dapat
digunakan untuk meramal keberhasilan studi peserta didik belajar di SMA sekiranya
ia diterima di SMA. Koefisien prediktif merupakan korelasi antara tes masuk,
sebagai prediktor, dengan prestasi belajar di SMA, sebagai kriteria. Semakin besar
koefisien ini semakin sahih tes masuk.
Keandalan suatu tes memberikan informasi tentang besarnya kesalahan
pengukuran. Keandalan suatu tes dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu
konsistensi internal, stabilitas, dan antar penilai. Besarnya indeks konsistensi
internal diperoleh dari data hasil tes karena untuk mencari indeks ini cukup
dilakukan satu kali tes. Indeks stabilitas merupakan tingkat kestabilan hasil
pengukuran yang dilakukan paling tidak dua kali untuk orang yang sama dalam
waktu yang berbeda, dengan asumsi tidak ada efek tes. Keandalan antar penilai
diperoleh dari besanya korelasi hasil penskoran dari dua orang terhadap lembar
jawaban tes yang sama. Besarya indeks keandalan ini adalah 0 sampai 1, dan yang
dapat diterima minimum 0,70 (Feldt, 1989). Semakin andal suatu tes berarti
kesalahan pengukurannya semakin kecil.
17
Besarnya indeks keandalan digunakan untuk menghitung besarnya kesalahan
pengukuran. Kesalahan pengukuran ini ada dua, yaitu acak dan sistematik. Acak
berarti kesalahan karena kondisi yang diukur dan yang mengukur bervariasi dan
pemilihan bahan yang diujikan tidak tepat, sedang yang sistematik karena alat
ukurnya atau cara penskoran yang cenderung murah atau mahal untuk semua
peserta didik.
Besarnya kesalahan pengukuran acak dapat dihitung dengan formula berikut ini
(Alien & Yen, 1979):
Se = Sx ( I – rxx1)
Se = besarnya kesalahan pengukuran
SX = simpangan baku skor
RXX1 = indeks keandalan tes
Formula di atas menunjukkan bahwa apabila indeks keandalan tes besar maka
kesalahan pengukuran kecil, dan sebaliknya bila indeks keandalan tes kecil maka
kesalahan pengukuran besar.
E. Indek Sensitivitas
Indeks sensitivitas pada prinsipnya merupakan perbedaan kemampuan peserta
didik antara setelah mengikuti proses pembelajaran dengan sebelum mengikuti
proses pembelajaran. Indeks ini menyatakan tingkat keberhasilan peserta didik
dalam mengikuti porses pembelajaran dan keberhasilan guru dalam melaksanakan
proses pembelajaran. Besarnya indek yang baik adalah positif dan besar.
Indeks ini sering dinyatakan dalam bentuk formula seperti berikut ini:
RA - RB
Is = T
RA = Jumlah peserta didik yang menjawab benar setelah mengikuti proses
pembelajaran
RB = Jumlah peserta didik yang menjawab benar sebelum mengikuti proses
pembelajaran
T = Jumlah peserta didik yang mengikuti ujian
18
BAB 4
PENYUSUNAN INSTRUMEN DAN TEKNIK PENSKORAN
A. Komponen Penyusunan Tes
1. TujuanTes
Tujuan tes yang penting adalah untuk : (a) mengetahui tingkat kemampuan
peserta didik, (b) mengukur pertumbuhan dan perkembangan peserta didik, (c)
mendiagnosis kesulitan belajar peserta didik, (d) mengetahui hasil pengajaran, (e)
mengetahui hasil belajar, (f) mengetahui pencapaian kurikulum, (g) mendorong
peserta didik belajar, dan (h) mendorong guru agar mengajar yang lebih baik.
Seringkali tes digunakan untuk beberapa tujuan, namun tidak akan memiliki
keefektifan yang sama untuk semua tujuan.
Ditinjau dari tujuannya, ada empat macam tes yang banyak digunakan di
lembaga pendidikan, yaitu : (a) tes penempatan, (b) tes diagnostik, (c) tes formatif,
dan (d) tes sumatif (Thorndike & Hagen, 1977). Sistem penilaian berbasis
kompetensi pada umumnya menggunakan tes diagnostik, formatif, dan sumatif.
Tes penempatan dilaksanakan pada awal pelajaran, digunakan untuk
mengetahui tingkat kemampuan yang telah dimiliki peserta didik. Untuk
mempelajari suatu mata pelajaran dibutuhkan pengetahuan pendukung.
Pengetahuan pendukung ini diketahui dengan menelaah hasil tes penempatan,
aApakah seorang peserta didik perlu matrikulasi, tambahan pelajaran atau tidak,
ditentukan dari hasil tes ini.
Tes diagnostik berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi
peserta didik, termasuk kesalahan pemahaman konsep. Tes ini dilakukan apabila
diperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta didik gagal dalam mengikuti
proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu. Hasil tes diagnostik
memberikan informasi tentang konsep-konsep yang belum dipahami dan yang
telah dipahami. Oleh karena itu, tes ini berisi materi yang dirasa sulit oleh peserta
didik, namun tingkat kesulitan tes ini cenderung rendah.
Tes formatif bertujuan untuk memperoleh masukan tentang tingkat
keberhasilan pelaksanaan proses pembelajaran. Masukan ini berguna untuk
memperbaiki strategi mengajar. Tes ini dilakukan secara periodik sepanjang
semester. Materi tes dipilih berdasarkan tujuan pembelajaran tiap pokok bahasan
atau sub pokok materi. Jadi tes ini sebenarnya bukan untuk menentukan
keberhasilan belajar semata, tetapi untuk mengetahui keberhasilan proses
19
pembelajaran.
Tes sumatif diberikan di akhir suatu pelajaran, atau akhir semester. Hasilnya
untuk menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Tingkat keberhasilan ini
dinyatakan dengan skor atau nilai, pemberian sertifikat, dan sejenisnya. Tingkat
kesukaran soal pada tes sumatif bervariasi, sedang materinya harus mewakili
bahan yang telah diajarkan.
2. Langkah Pengembangan Tes
Ada sembilan langkah yang harus ditempuh dalam mengembangkan tes hasil
atau prestasi belajar, yaitu: (a) menyusun spesifikasi tes, (b) menulis soal tes, (c)
menelaah soal tes, (d) melakukan uji coba tes, (e) menganalisis butir soal, (f)
memperbaiki tes, (g) merakit tes, (h) melaksanakan tes, dan (i) menafsirkan hasil
tes. Khusus mengenai uji coba tes, dalam penyusunan tes untuk mengukur prestasi
hasil pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru di kelas seperti ulangan harian,
ulangan umum, dan ulangan kenaikan kelas, tidak harus dilakukan secara
tersendiri. Pembakuan tes dilakukan melalui beberapa kali ujicoba.
Langkah awal dalam mengembangkan tes adalah menetapkan spesifikasi tes,
yaitu berisi uraian yang menunjukkan keseluruhan karakteristik yang harus dimiliki
suatu tes. Spesifikasi yang jelas akan mempermudah dalam menulis soal, dan siapa
saja yang menulis soal akan menghasilkan tingkat kesulitan yang relatif sama.
Penyusunan spesifikasi tes mencakup kegiatan berikut ini: (a) menentukan tujuan
tes, (b) menyusun kisi-kisi tes, (c) memilih bentuk tes, dan (d) menentukan panjang
tes.
a. Kisi-Kisi Tes
Kisi-kisi merupakan matriks yang berisi spesifikasi soal-soal yang akan dibuat.
Kisi-kisi ini merupakan acuan bagi penulis soal, sehingga siapapun yang menulis
soal akan menghasilkan soal yang isi dan tingkat kesulitannya relatif sama. Matriks
kisi-kisi soal terdiri dari dua jalur, yaitu kolom dan baris. Kolom menyatakan standar
kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok, indikator, jenis tagihan, bentuk soal,
dan contoh soal (lihat Lampiran 1).
Ada tiga langkah dalam mengembangkan kisi-kisi tes dalam sistem penilaian
berbasis kompetensi dasar, yaitu:
1) Menulis kompetensi dasar,
2) Menulis materi pokok,
3) Menentukan indikator,
4) Menentukan jumlah soal.
Penentuan indikator-indikator yang dapat diukur digunakan kompetensi dasar
sebagai acuan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi penyimpangan-
20
penyimpangan dalam memilih bahan yang diujikan agar memenuhi persyaratan
kesahihan isi. Hal yang penting dalam menentukan materi tes adalah kompetensi
dasar yang ingin dicapai dan jenis tagihannya. Ada kompetensi dasar yang diukur
melalui tugas rumah, ada yang melalui ulangan harian.
b. Pemilihan Bentuk Tes
Pemilihan bentuk tes yang tepat ditentukan oleh tujuan tes, jumlah peserta tes,
waktu yang tersedia untuk memeriksa lembar jawaban tes, cakupan materi tes, dan
karakteristik mata pelajaran yang diujikan. Bentuk tes objektif pilihan ganda dan
bentuk tes benar salah sangat tepat digunakan bila jumlah peserta tes banyak, waktu
koreksi singkat, dan cakupan materi yang diujikan banyak. Kelebihan tes objektif
bentuk pilihan adalah lembar jawaban dapat diperiksa dengan komputer, sehingga
objektivitas penskoran dapat dijamin. Namun membuat tes objektif yang baik tidak
mudah.
Bentuk tes uraian objektif sering digunakan pada mata pelajaran yang batasnya
jelas, misalnya mata pelajaran Fisika, Matematika, Kimia, Biologi, dan sebagainya.
Soal pada tes ini jawabannya hanya satu, mulai dari memilih rumus yang tepat,
memasukkan angka dalam rumus, menghitung hasil, dan menafsirkan hasilnya.
Pada tes bentuk uraian objektif ini, sistem penskoran dapat dibuat dengan jelas dan
rinci.
c. Panjang Tes
Panjang tes ditentukan oleh waktu yang tersedia untuk melakukan ujian dengan
memperhatikan bahan yang diujikan dan tingkat kelelahan peserta tes. Pada
umumnya tes dilakukan selama 90 menit sampai dengan 120 menit. Untuk tes
bentuk pilihan ganda dengan tingkat kesulitan rata-rata sedang, tiap butir soal
memerlukan waktu pengerjaan sekitar 1 menit. Untuk bentuk uraian banyaknya
butir soal tergantung pada kompleksitas soal. Walau demikian disarankan
menggunakan lebih banyak soal dibanding hanya beberapa soal agar kesahihan isi
tes lebih baik.
Ada tiga hal utama yang harus dipertimbangkan dalam menentukan jumlah soal
yang diujikan, yaitu : bobot masing-masing bagian yang telah ditentukan dalam
kisi-kisi, keandalan yang diinginkan, dan waktu yang tersedia. Bobot skor tiap soal
bisa ditentukan sebelum tes digunakan, yaitu berdasar tingkat kompleksitas atau
kesulitannya, yang komplek atau sulit diberi bobot yang lebih tinggi dibanding
dengan yang lebih mudah.
Pemberian bobot dapat pula dilakukan setelah tes digunakan, yaitu dengan
menghitung simpangan baku tiap butir soal. Penentuan bobot didasarkan pada
besarnya simpangan bakunya, seperti butir yang simpangan baku skornya besar
21
diberi bobot besar. Demikian pula butir yang memiliki simpangan baku kecil diberi
bobot kecil.
Jumlah soal yang diperlukan tiap jenis tes untuk suatu satuan waktu tertentu
harus diperhitungkan dengan tepat. Hal ini untuk menjaga agar waktu yang
disediakan tidak kurang atau berlebih. Bagi guru yang berpengalaman dapat
menentukan jumlah soal dengan tepat.
B. Penyusunan Tes Kognitif dan Teknik Penskorannya
1. Bentuk Tes Kognitif
a. Tes Lisan di Kelas
Pertanyaan lisan dapat digunakan untuk mengetahui taraf serap peserta didik
untuk masalah yang berkaitan dengan kognitif. Pertanyaan lisan yang diajukan ke
kelas harus jelas, dan semua peserta didik harus diberi kesempatan yang sama.
Dalam melakukan pertanyaan di kelas prinsipnya adalah: mengajukan pertanyaan,
memberi waktu untuk berpikir, kemudian menunjuk peserta untuk menjawab
pertanyaan. Baik benar atau salah jawaban peserta didik, jawaban tersebut
ditawarkan lagi ke kelas untuk mengaktifkan kelas. Tingkat berpikir untuk
pertanyaan lisan di kelas cenderung rendah, seperti pengetahuan dan pemahaman.
b. Bentuk Pilihan Ganda
Pedoman utama dalam pembuatan butir soal bentuk pilihan ganda (Ebel, 1977)
adalah :
1) Pokok soal harus jelas.
2) Pilihan jawaban homogen dalam arti isi.
3) Panjang kalimat pilihan jawaban relatif sama.
4) Tidak ada petunjuk jawaban benar.
5) Hindari mengggunakan pilhan jawaban : semua benar atau semua salah.
6) Pilihan jawaban angka diurutkan.
7) Semua pilihan jawaban logis.
8) Jangan menggunakan negatif ganda.
9) Kalimat yang digunakan sesuai dengan tingkat perkembangan peserta tes.
10)Bahasa Indonesia yang digunakan baku.
11)Letak pilihan jawaban benar ditentukan secara acak.
c. Bentuk Uraian Objektif
Bentuk soal uraian objektif sangat tepat digunakan untuk bidang Matematika
dan IPA, karena kunci jawabannya hanya satu. Pengerjaan soal ini melalui suatu
prosedur atau langkah-langkah tertentu. Setiap langkah ada skornya. Objektif di sini
dalam arti apabila diperiksa oleh beberapa guru dalam bidang studi tersebut hasil
22
penskorannya akan sama. Pertanyaan pada bentuk soal ini di antaranya adalah :
hitunglah, tafsirkan, buat kesimpulan dan sebagainya.
d. Bentuk Uraian Non-objektif
Bentuk tes ini dikatakan non-objektif karena penilaian yang dilakukan
cenderung dipengaruhi subjektivitas dari penilai. Bentuk tes ini menuntut
kemampuan peserta didik untuk menyampaikan, memilih, menyusun, dan
memadukan gagasan atau ide yang telah dimilikinya dengan menggunakan kata-
katanya sendiri. Keunggulan bentuk tes ini dapat mengukur tingkat berpikir dari
yang rendah sampai yang tinggi, yaitu mulai dari hapalan sampai dengan evaluasi.
Namun demikian, sebaiknya hindarkan pertanyaan yang mengungkap hafalan
seperti dengan pertanyaan yang dimulai dengan kata : apa, siapa, di mana. Selain
itu bentuk ini relatif mudah membuatnya.
Kelemahan bentuk tes ini adalah : (1) penskoran sering dipengaruhi oleh
subjektivitas penilai, (2) memerlukan waktu yang lama untuk memeriksa lembar
jawaban, dan (3) cakupan materi yang diujikan sangat terbatas, (4) dan adanya
efek bluffing. Untuk menghindari kelemahan tersebut cara yang ditempuh adalah :
(1) jawaban tiap soal tidak panjang, sehingga bisa mencakup materi yang banyak,
(2) tidak melihat nama peserta ujian, (3) memeriksa tiap butir secara keseluruhan
tanpa istirahat,dan (4) menyiapkan pedoman penskoran.
Langkah membuat tes ini adalah sebagai berikut.
1) Menulis soal berdasarkan kisi-kisi pada indikator.
2) Mengedit pertanyaan :
a) Apakah pertanyaan mudah dimengerti?
b) Apakah data yang digunakan benar?
c) Apakah tata letak keseluruhan baik?
d) Apakah pemberian bobot skor sudah tepat?
e) Apakah kunci jawaban sudah benar?
f) Apakah waktu untuk mengerjakan tes cukup?
Kaidah penulisan soal bentukuraian non-objektif :
1) Gunakan kata-kata: mengapa, uraikan, jelaskan, bandingkan, tafsirkan,
hitunglah, buktikan.
2) Hindari penggunakan pertanyaan: siapa, apa, bila.
3) Menggunakan bahasa Indonesia yang baku.
4) Hindari penggunaan kata-kata yang dapat ditafsirkan ganda.
5) Buat petunjuk mengerjakan soal.
6) Buat kunci jawaban.
23
7) Buat pedoman penskoran.
Penskoran bentuk tes ini bisa dilakukan secara analitik atau global. Analitik
berarti penskoran dilakukan bertahap sesuai kunci jawaban, sedang yang global
dibaca secara keseluruhan untuk mengetahui ide pokok dari jawaban soal
kemudian diberi skor.
e. Bentuk jawaban Singkat
Bentuk jawaban singkat ditandai dengan adanya tempat kosong yang
disediakan bagi pengambil tes untuk menuliskan jawabannya sesuai dengan
petunjuk. Ada tiga jenis soal bentuk ini, yaitu: jenis pertanyaan, jenis melengkapi
atau isian, dan jenis identifikasi atau asosiasi. Kaidah-kaidah utama penyusunan
soal bentuk ini adalah sebagai berikut.
1) Soal harus sesuai dengan indikator.
2) Jawaban yang benar hanya satu.
3) Rumusan kalimat soal harus komunikatif.
4) Butir soal menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
f. Bentuk Menjodohkan
Soal bentuk menjodohkan atau memasangkan terdiri dari suatu premis, suatu
daftar kemungkinan jawaban, dan suatu petunjuk untuk menjodohkan masing-
masing premis itu dengan satu kemungkinan jawaban. Biasanya nama,
tanggal/tahun, istilah, frase, pernyataan, bagian dari diagram, dan yang sejenisnya
digunakan sebagai premis. Hal-hal yang sama dapat pula digunakan sebagai
alternatif jawaban. Kaidah-kaidah pokok penulisan soal jenis menjodohkan ini
adalah sebagai berikut.
1) Soal harus sesuai dengan indikator.
2) Jumlah alternatif jawaban lebih banyak dari pada premis.
3) Alternatif jawaban harus "nyambung" atau berhubungan secara logis dengan
premisnya.
4) Rumusan kalimat soal harus komunikatif.
5) Butir soal menggunakan Bahasa Indonesiayang baik dan benar.
g. Unjuk Kerja/Performance
Penilaian unjuk kerja sering disebut dengan penilaian autentik atau penilaian
alternatif yang bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan peserta didik
dalam menyelesaikan masalah-masalah di kehidupan nyata. Penilaian unjuk kerja
berdasarkan pada analisis pekerjaan (Nathan & Cascio, 1986). Penilaian ini
24
menggunakan tes yang juga disebut dengan tes unjuk kerja. Hasil tes ini digunakan
untuk perbaikan proses pembelajaran sehingga kemampuan peserta didik
mencapai pada tingkat yang diinginkan. Tes unjuk kerja lebih banyak digunakan
pada mata pelajaran yang ada prakteknya.
Bentuk tes ini digunakan untuk mengukur status peserta didik berdasarkan hasil
kerja dari suatu tugas. Pertanyaan pada tes unjuk kerja berdasarkan pada tuntutan
dari masyarakat dan lembaga lain yang terkait dengan pengetahuan yang harus
dimiliki peserta didik. Jadi pertanyaan butir soal cenderung pada tingkat aplikasi
suatu prinsip atau konsep pada situasi yang baru. Walau uraian namun batasnya
harus jelas dan ditentukan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Permasalahan yang
diujikan sedapat mungkin sama dengan masalah yang ada di kehidupan nyata.
Inilah yang menjadi ciri utama perbedaan antara tes unjuk kerja dengan bentuk
yang konvensional.
h. Portfolio
Portfolio adalah kumpulan pekerjaan seseorang (Popham, 1999), dalam bidang
pendidikan berarti kumpulan dari tugas-tugas peserta didik. Portfolio merupakan
salah bentuk dari penilaian autentik, yaitu yang menilai keadaan a sesungguhnya,
dari peserta didik. Portfolio cocok digunakan untuk penilaian di kelas, tetapi tidak
cocok untuk penilaian dengan skala yang luas (Marzano & Kendall, 1996). Penilaian
dengan portfolio memerlukan kemampuan membaca yang baik. Hal yang penting
pada penilaian portfolio adalah mampu mengukur kemampuan membaca dan
menulis yang lebih luas, peserta didik menilai kemajuannya sendiri, mewakili
sejumlah karya seseorang.
25
Penilaian porfolio pada dasarnya adalah menilai karya-karya individu untuk
suatu mata pelajaran tertentu. Jadi semua tugas yang dikerjakan peserta didik
dikumpulkan, dan di akhir satu unit program pembelajaran misalnya satu semester.
Kemudian dilakukan diskusi antara peserta didik dan guru untuk menentukan
skornya. Prinsip penilaian portfolio adalah peserta didik dapat melakukan penilaian
sendiri kemudian hasilnya di bahas. Bentuk ujiannya cenderung bentuk uraian, dan
tugas-tugas rumah. Karya yang dinilai meliputi hasil ujian, tugas mengarang atau
mengerjakan soal. Jadi portfolio adalah suatu metode pengukuran dengan
melibatkan peserta didik untuk menilai kemajuannya dalam bidang studi tersebut.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian portfolio
adalah sebagai berikut.
1) Karya yang dikumpulkan adalah benar-benar karya yang bersangkutan.
2) Menentukan contoh pekerjaan mana yang harus dikumpulkan.
3) Mengumpulkan dan menyimpan sampel karya.
4) Menentukan kriteria untuk menilai portfolio.
5) Meminta peserta didik untuk menilai secara terus menerus hasil
portfolionya.
6) Merencanakan pertemuan dengan peserta didik yang dinilai.
7) Dapat melibatkan orang tua dalam menilai portfolio.
Penilaian dengan portfolio memiliki karakteristik tertentu, sehingga
penggunaannya juga harus sesuai dengan tujuan dan substansi yang diukur. Mata
pelajaran yang memiliki banyak tugas dan jumlah peserta didik yang tidak banyak,
penilaian dengan cara portfolio akan lebih cocok.
2. Pedoman Penskoran Tes Kognitif
Pedoman penskoran sangat diperlukan, terutama untuk soal bentuk uraian, agar
subjektivitas korektor dapat diperkecil. Pedoman penskoran ini merupakan petunjuk
yang menjelaskan tentang : batasan atau kata-kata kunci untuk melakukan
penskoran terhadap soal bentuk uraian, dan kriteria jawaban yang digunakan untuk
melakukan penskoran pada soal bentuk uraian non-objektif.
Pedoman pemberian skor untuk setiap butir soal uraian harus disusun segera
setelah perumusan kalimat-kalimat butir soal tersebut.
a. Contoh Penskoran Soal Bentuk Pilihan Ganda
Cara penskoran tes bentuk pilihan ada dua, yaitu: pertama tanpa ada koreksi
terhadap jawaban tebakan, dan yang kedua adalah dengan koreksi terhadap
26
jawaban tebakan.
27
1). Penskoran tanpa koreksi terhadap jawaban tebakan adalah satu untuk tiap
butir yang dijawab benar, sehingga jumlah sekor yang diperoleh peserta
didik adalah banyaknya butir yang dijawab benar.
BSkor = x 100
N
B = banyaknya butir yang dijawab benar
N = adalah banyaknya butir soal
Contohnya adalah sebagai berikut :
Banyaknya soal tes ada 40 butir.
Banyaknya jawaban yang benar ada 20.
Jadi skor yang dicapai seseorang:
20Skor = x 100 = 50
40
2) Penskoran dengan koreksi terhadap jawaban tebakan adalah sebagai
berikut:
SSkor = [(B - )/N] x 100 P - l
B = banyaknya butir soal yang dijawab benar
S = banyaknya butir yang dijawab salah
P = banyaknya pilihan jawaban tiap butir.
N = banyaknya butir soal
Butir soal yang tidak dijawab diberi skor 0.
Contoh :
Soal bentuk pilihan ganda yang terdiri dari 40 butir soal dengan 4 pilihan
tiap butir, dan banyaknya 40 butir. Bila banyaknya butir yang dijawab benar
ada 20, yang dijawab salah ada 12, dan tidak dijawab ada 8, maka skor yang
diperoleh adalah:
12Skor = [(20 - )/40] x 100 = 40
4 - 1
b. Contoh Pedoman Penskoran Soal Uraian Objektif
Indikator : Peserta didik dapat menghitung isi bangun ruang (balok) dan
mengubah satuan ukurannya.
28
29
Pedoman penskoran uraian objektif
Langkah Kunci Jawaban Skor
1 Isi Balok = Panjang x Lebar x Tinggi 1
2 = 150 cm x 80 cm x 75 cm 1
3 = 900.000 cm3
Isi bak mandi dalam liter :
4 900.000
= liter 1000
1
5 = 900 liter 1
Skor Maksimum 5
Butir Soal : Sebuah bak mandi berbentuk balok berukuran panjang
150 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 75 cm. Berapa liter-kah isi
bak mandi tersebut? (untuk menjawabnya, tuliskan langkah-
langkahnya!).
c. Contoh Pedoman Penskoran Soal Uraian Non-objektif :
Indikator : Peserta didik dapat mendeskripsikan alasan warga negara
Indonesia bangga menjadi bangsa Indonesia.
Butir Soal : Tuliskan alasan-alasan yang membuat Anda berbangga
sebagai bangsa Indonesia!
Pedoman Penskoran
Jawaban boleh bermacam-macam namun pada pokok jawaban tadi dapat
dikelompokkan sebagai berikut.
Kriteria Jawaban Rentang Skor
Kebanggaan yang berkaitan dengan kekayaan alam Indonesia
0 – 2
Kebanggaan yang berkaitan dengan keindahan tanah air Indonesia (pemandangan alamnya, geografisnya, dll)
0 – 2
Kebanggaan yang berkaitan dengan keanekaragaman budaya, suku, adat istiadat tetapi tetap bersatu.
0 – 2
Kebanggaan yang berkaitan dengan keramahtamahan masyarakat Indonesia.
0 – 2
Skor maksimum 8
30
31
d. Pembobotan Soal Uraian
Pembobotan soal adalah pemberian bobot kepada suatu soal dengan cara
membandingkannya dengan soal lain dalam suatu perangkat tes yang sama.
Dengan demikian, pembobotan soal uraian hanya dapat dilakukan dalam
penyusunan perangkat tes. Apabila suatu soal uraian berdiri sendiri maka tidak
dapat dihitung atau ditetapkan bobotnya.
Bobot setiap soal ujian yang ada dalam suatu perangkat tes ditentukan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan materi dan karakteristik
soal itu sendiri, seperti luas lingkup materi yang hendak dibuatkan soalnya,
esensialitas dan tingkat kedalaman materi yang ditanyakan.dan tingkat kesukaran
soal tersebut.
Selain faktor-faktor tersebut, hal yang perlu pula dipertimbangkan dalam
pembobotan soal uraian adalah skala penskoran yang hendak digunakan, misalnya
skala 10, atau skala 1OO. Apabila digunakan skala 100 maka jika semua butir soal
dijawab benar, skornya 100; demikian pula bila skala yang digunakan 10. Hal ini
dimaksudkan untuk memudahkan Perhitungan skor.
Skor jadi yang diperoleh peserta didik yang menjawab suatu butir soal uraian
ditetapkan dengan jalan membagi skor mentah yang diperoleh dengan skor
mentah maksimumnya kemudian dikalikan dengan bobot soal tersebut. Rumus
yang dipakai untuk penghitungan skor butir soal (SBS) adalah :
aSBS = x c b
SBS = skor butir soal
a = skor mentah yang diperoleh peserta didik untuk butir soal
b = skor mentah maksimum soal
c = bobot soal
Setelah diperoleh skor butir soal (SBS) maka dapat dihitung total skor butir soal
berbagai skor total peserta didik (STP) untuk serangkaian soal dalam tes yang
bersangkutan, dengan menggunakan rumus :
STP = Σ SBS
Keterangan :
STP = skor total peserta
SBS = skor butir soal
32
Contoh 1. Bobot soal sama, dengan skala 0 sampai dengan 100
No. Soal
Skor Mentah Perolehan
Skor Mentah Maksimum
Bobot Soal
Skor Bobot Soal
(a) (b) (c) (SBS)
01 30 60 20 10,00
02 20 40 30 15,00
03 10 20 30 15,00
04 20 20 20 20,00
Jumlah 80 140 100 60,00(STP)
Contoh 2. Bila STP Total Bobot Soal dan Skala 100
No. Soal
Skor Mentah Perolehan
Skor Mentah Maksimum
Bobot Soal
Skor Bobot Soal
(a) (b) (c) (SBS)
01 30 60 20 10,00
02 40 40 30 30,00
03 20 20 30 30,00
04 10 20 20 10,00
Jumlah 100 140 100 10,00(STP)
Pada dasarnya skor total peserta didik (STP) merupakan penjumlahan skor tiap
butir soal (SBS), botot tiap soal sama semuanya. Contoh ini berlaku untuk soal
uraian objektif dan uraian non-objektif, asalkan bobot semua butir soal sama.
e. Pembobotan Soal Bentuk Campuran
Dalam beberapa situasi bisa digunakan soal bentuk campuran, yaitu bentuk
pilihan danbentuk uraian. Pembobotan soal bagian soal bentuk pilihan ganda dan
bentuk uraian ditentukan oleh cakupan materi dan kompleksitas jawaban atau
tingkat berpikir yang terlibat dalam mengerjakan soal. Pada umumnya cakupan
materi soal bentuk pilihan ganda lebih banyak, sedang tingkat berpikir yang terlibat
dalam mengerjakan soal bentuk uraian biasanya lebih banyak dan lebih tinggi.
Suatu ulangan terdiri dari N1 soal pilihan ganda dan N2 soal uraian. Bobot
untuk soal pilihan ganda adalah w1 dan bobot untuk soal uraian adalah w2. Jika
seorang peserta didik menjawab benar n1 pilihan ganda, dan n2 soal uraian, maka
peserta didik itu mendapat skor:
33
n1 n2
w1x x 100 + w2x x 100 N1 n2
Misalkan suatu ulangan terdiri dari 20 bentuk pilihan ganda dengan 4 pilihan,
dan 4 buah soal bentuk uraian. Soal pilihan ganda bisa dijawab benar 16 dan
dijawab salah 4, sedang bentuk uraian bisa dijawab benar 20 dari skor maksimum
40. Apabila bobot pilihan ganda adalah 0,40 dan bentuk uraian 0,60, maka skor
yang diperoleh dapat dihitung sebagai berikut:
a) Skor pilihan ganda tanpa koreksi jawban dugaan: (16/20) x 100 =
80
b) Skor bentuk uraian adalah: (20/40) x 100 = 50.
c) Skor akhir adalah: 0,4 x (80) + 0,6 x (50) = 62.
C. Penyusunan Instrumen Afektif dan Teknik Penskorannya
1. Penyusunan Instrumen Afektif
Komponen afektif ikut menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Paling
tidak ada dua komponen afektif yang penting untuk diukur, yaitu sikap dan minat
terhadap suatu pelajaran. Sikap peserta didik terhadap pelajaran bisa positif bisa
negatif atau netral. Tentu diharapkan sikap peserta didik terhadap semua mata
pelajaran positif sehingga akan timbul minat untuk belajar atau mempelajarinya.
Peserta didik yang memiliki minat pada pelajaran tertentu bisa diharapkan prestasi
belajarnya akan meningkat secara oprtimal, bagi yang tidak berminat sulit untuk
meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh karena itu, guru memiliki tugas untuk
membangkitkan minat kemudian meningkatkan minat peserta didik terhadap mata
pelajaran yang diampunya. Dengan demikian akan terjadi usaha yang sinergi untuk
meningkatkan kualitias proses pembelajaran.
Langkah pembuatan instrumen afektif termasuk sikap dan minat adalah sebagai
berikut :
a. Pilih ranah afektif yang akan dinilai, misalnya sikap atau minat.
b. Tentukan indikator minat: misalnya kehadiran di kelas, banyak bertanya,
tepat waktu mengumpulkan tugas, catatan di buku rapi, dan sebagainya. Hal
ini selanjutnya ditanyakan pada peserta didik.
c. Pilih tipe skala yang digunakan, misalnya Likert dengan 5 skala: sangat
berminat, berminat, sama saja, kurang berminat, dan tidak berminat.
d. Telaah instrumen oleh sejawat.
e. Perbaiki instrumen.
f. Siapkan kuesioner atau inventori laporan diri.
34
g. Skor inventori.
h. Analisis hasil inventori skala minat dan skala sikap.
35
2. Teknik Penskoran Pengukuran Afektif
Misal dari instrumen untuk mengukur minat peserta didik yang telah berhasil
dibuat ada 10 butir. Jika rentangan yang dipakai adalah 1 sampai 5, maka skor
terendah seorang peserta didik adalah lO, yakni dari 10 x 1 dan skor tertinggi
sebesar 50, yakni dari 10 x 5. Dengan demikian, mediannya adalah (10 + 50)/2
atau sebesar 30. Jika dibagi menjadi 4 kategori, maka skala 10 - 20 termasuk tidak
berminat, 21 sampai 30 kurang berminat, 31 - 40 berminat, dan skala 41 - 50
sangat berminat.
D. Penyusunan Tes Psikomotor dan Teknik Penskorannya
1. Penyusunan Tes Psikomotor
a. Bentuk Tes Psikomotor
Tes untuk mengukur ranah psikomotor adalah tes untuk mengukur penampilan
atau kinerja (performance) yang telah dikuasai peserta didik. Tes tersebut menurut
Lunetta dkk. (1981) dapat berupa tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi,
dan tes unjuk kerja.
1) Tes paper and pencil : walaupun bentuk aktivitasnya seperti tes tulis,
namun yang menjadi sasarannya adalah kemampuan peserta didik dalam
menampilkan karya, misal berupa desain alat, desain grafis, dan
sebagainya.
2) Tes identifikasi : tes ini lebih ditujukan untuk mengukur kemampuan
peserta didik dalam mengidentifikasi sesuatu hal, misal menemukan bagian
yang rusak atau yang tidak berfungsi dari suatu alat.
3) Tes simulasi : tes ini dilakukan jika tidak ada alat yang sesungguhnya yang
dapat dipakai untuk memperagakan penampilan peserta didik, sehingga
dengan simulasi tetap dapat dinilai apakah seseorang sudah menguasai
keterampilan dengan bantuan peralatan tiruan atau berperaga seolah-olah
menggunakan suatu alat.
4) Tes unjuk kerja (work sample) : tes ini dilakukan dengan alat yang
sesungguhnya dan tujuannya untuk mengetahui apakah peserta didik sudah
menguasai/terampil menggunakan alat tersebut.
Tes penampilan/perbuatan, baik berupa tes identifikasi, tes simulasi, ataupun
unjuk kerja, semuanya dapat diperoleh datanya dengan menggunakan daftar cek
(check-list) ataupun skala penilaian (rating scale). Daftar cek maupun skala
penilaian juga dapat dipakai sebagai "lembar penilaian" atau alat untuk observasi
dalam rangka pengukuran yang bebas waktunya, dalam arti tidak dilakukan dalam
suasana ujian secara formal. Misalnya dipakai alat observasi saat peserta didik
mengerjakan praktikum dalam upaya memperoleh data selama peserta didik
36
melakukan proses pembelajaran praktek di laboratorium.
Daftar cek lebih praktis jika digunakan untuk menghadapi subjek dalam jumlah
besar atau jika perbuatan yang dinilai memiliki resiko tinggi, misalnya dalam
kegiatan praktek laboratorium yang mengggunakan peralatan yang mahal, untuk
menilai apakah seseorang sudah mampu menggunakan mikroskop akan lebih tepat
menggunakan daftar cek.
Skala penilaian cocok untuk menghadapi subjek yang sedikit. Perbuatan yang
diukur menggunakan alat ukur berupa skala penilaian terentang dari sangat tidak
sempurna sampai sangat sempurna. Jika Dibuat skala 5, maka skala 1 paling tidak
sempurna dan skala 5 paling sempurna.
b. Penyusunan Butir Soal Bentuk Daftar Cek
Daftar cek berisi seperangkat butir soal yang mencerminkan rangkaian
tindakan/perbuatan yang harus ditampilkan oleh peserta ujian, yang merupakan
indikator-indikator dari keterampilan yang akan diukur. Oleh karena itu dalam
menyusun daftar cek hendaknya: (1) carilah indikator-indikator penguasaan
keterampilan yang diujikan, (2) susunlah indikator-indikator tersebut sesuai dengan
urutan penampilannya. Kemudian dilakukan pengamatan terhadap subjek yang
dinilai untuk melihat pemunculan indikator-indikator yang dimaksud. Jika indikator
tersebut muncul, maka diberi tanda V atau tulis kata "ya" pada tempat yang telah
disediakan.
Misal akan dilakukan pengukuran terhadap keterampilan peserta didik
menggunakan termometer badan. Untuk itu dicari indikator-indikator apa saja yang
menunjukkan peserta didik terampil menggunakan termometer tersebut, misal
indikator-indikatornya sebagai berikut:
1) Cara mengeluarkan termometer dari tempatnya.
2) Cara menurunkan posisi air raksa serendah-rendahnya.
3) Cara memasang termometer pada tubuh orang yang diukur suhunya.
4) Lama waktu pemasangan termometer pada tubuh orang yang diukur
suhunya.
5) Cara mengambil termometer dari tubuh tubuh orang yang diukur suhunya.
6) Cara membaca tinggi air raksa dalam pipa kapiler termometer.
Peserta didik dinyatakan terampil dalam hal tersebut jika ia mampu melakukan
urutan kegiatan berikut dengan benar. Setelah diperoleh indikator-indikatornya,
kemudian disusun butir soalnya dalam bentuk daftar cek sebagai berikut.
Beri tanda V untuk setiap penampilan yang benar dari setiap tindakan
37
yang dilakukan peserta didik seperti yang diuraikan di bawah ini !
.....1) Mengeluarkan termometer dari tempatnya dengan memegang bagian
ujung yang tak berisi air raksa.
.....2) Menurunkan posisi air raksa dalam pipa kapiler termometer serendah -
rendahnya.
.....3) Memasang termometer pada tubuh pasien (di mulut, di ketiak atau di
dubur) sehingga bagian yang berisi air raksa kontak dengan tubuh orang
yang diukur suhunya.
.....4) Menunggu beberapa menit termometer tinggal pada tubuh orang yang
diukur.
.....5) Mengambil termometer dari tubuh orang yang diukur dengan memegang
bagian ujung yang tidak berisi air raksa.
.....6) Membaca tinggi air raksa dalam pipa kapiler termometer dengan posisi
mata tegak lurus.
Jadi, karakteristik butir-butirnya mengandung uraian/pernyataan tentang ranah
perbuatan yang sudah pasti, tinggal perbuatan itu muncul atau tidak.
c. Penyusunan Butir Soal Bentuk Skala Penilaian
Pada prinsipnya penyusunan skala penilaian tidak berbeda dengan penyusunan
daftar cek, yaitu mencari indikator-indikator yang mencerminkan keterampilan yang
akan diukur, yang berbeda adalah cara penyajiannya. Dalam skala penilaian,
setelah diperoleh indikator-indikator keterampilan, selanjutnya ditentukan skala
penilaian untuk setiap indikator. Misal, skala 5 jika suatu indikator dikerjakan
dengan sangat tepat, 4 jika tepat, 3 jika agak tepat, 2 tidak tepat, dan 1 sangat
tidak tepat. Jadi, pada prinsipnya ada tingkat-tingkat penampilan untuk setiap
indikator keterampilan yang akan diukur.
Untuk mengukur keterampilan peserta didik menggunakan termometer
badan disusun skala penilaian sebagai berikut.
Lingkari angka 5 jika sangat tepat, angka 4 jika tepat, angka 3 jika
agak tepat, angka 2 jika tidak tepat dan angka 1 jika sangat tidak tepat
untuk setiap tindakan di bawah ini!
5 4 3 2 1 Cara mengeluarkan termometer dari tempatnya.
5 4 3 2 1 Cara menurunkan posisi air raksa serendah-rendahnya.
5 4 3 2 1 Cara memasang termometer pada tubuh orang yang diukur
38
suhunya.
5 4 3 2 1 Lama waktu pemasangan thermometer pada orang yang diukur
suhunya.
5 4 3 2 1 Cara mengambil termometer dari tubuh orang yang diukur
suhunya.
5 4 3 2 1 Cara membaca tinggi air raksa dalam pipa kapiler
termometer.
Dalam hal ini, akan lebih akurat bila ada kriteria dari tiap butir yang direntang
mulai dari skala 1 sampai 5. Dengan demikian, penilai yang manapun akan dengan
tepat dapat menilai karena sudah ada kriteria bahwa seseorang diberi skala 1 untuk
langkah yang menyangkut cara mengeluarkan termometer dari tempatnya karena
demikian, dan diberi skala 2 karena demikian, dan seterusnya sampai kapan ia
diberi skala 5. Kriteria tiap skala untuk setiap butir/langkah juga harus sudah dihafal
oleh penilai. Jadi jika dilakukan penilaian oleh banyak ada keseragaman antar
penilai.
2. Teknik Penskoran Tes Psikomotor
Dari contoh cara pengukuran suhu badan menggunakan skala penilaian, ada 6
butir soal yang dipakai untuk mengukur kemampuan seorang peserta didik jika
untuk butir 1 peserta didik yang bersangkutan memperoleh skor 5 berarti
sempurna/benar, butir 2 memperoleh skor 4 berarti benar tetapi kurang sempurna,
butir 3 memperoleh skor 4 berarti juga benar tetapi kurang sempurna, butir 4
memperoleh skor 3 berarti kurang benar, butir 5 memperoleh skor 3 berarti kurang
benar, dan butir 6 juga memperoleh skor 3 berarti kurang benar, maka total skor
yang dicapai peserta didik tersebut adalah (5 + 4 + 4 + 3 + 3 +3) atau = 22.
Seorang peserta didik yang gagal akan memperoleh skor 6, dan yang berhasil
melakukan dengan sempurna memperoleh skor 30; maka median skornya adalah (6
+ 30)/2 = 18. Jika dibagi menjadi 4 kategori, maka yang memperoleh skor 6 - 12
dinyatakan gagal, skor 13 - 18 berarti kurang berhasil, skor 19 - 24 dinyatakan
berhasil, dan skor 25 – 30 dinyatakan sangat berhasil. Dengan demikian peserta
didik dengan skor 21 dapat dinyatakan sudah berhasil tetapi belum
sempurna/belum sepenuhnya baik jika sifat keterampilannya adalah absolut, maka
setiap butir harus dicapai dengan sempurna (skala 5). Dengan demikian hanya
peserta didik yang memperoleh skor total 30 yang dinyatakan berhasil dan dengan
kategori sempurna.
Kisi-kisi soal ujian bisa sebagai berikut :
39
No.Standar
KompetensiKompetensi
DasarMateri Pokok
Indikator Jenis Tagihan
Bentuk Soal
Nomor Soal
40
BAB 5
EVALUASI TES DAN EVALUASI HASIL TES
A. Evaluasi Tes
Evaluasi tes dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kualitas butir tes/butir
soal. Butir-butir tes dari suatu tes yang telah disiapkan harus ditelaah dulu sebelum
digunakan. Cara menelaah butir-butir tes tersebut adalah : (1) telaah secara
kualitatif, yakni telaah oleh teman sejawat dalam rumpun keahlian yang sama,
dilakukan sebelum tes diujicoba atau digunakan, (2) telaah secara kuantitatif yakni
analisis berdasar hasil uji coba atau hasil penggunaaan tes, dilakukan setelah tes
diujicoba atau digunakan. Hasil telaah ini merupakan masukan untuk perbaikan tes.
Selanjutnya hasil tes dianalisis untuk mengetahui kompetensi dasar yang telah
dicapai dan yang belum dicapai.
Persyaratan penting untuk dapat menyiapkan butir-butir tes dengan baik adalah
: (1) menguasai materi yang diujikan, dan (2) menguasai teknik penulisan soal, (3)
menguasai penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan yang benar. Untuk itu
diperlukan program pelatihan agar semua guru memiliki tiga kemampuan tersebut.
Telaah butir tes dilakukan terhadap ranah materi, ranah konstruksi, dan ranah
bahasa. Ranah materi berkait dengan substansi keilmuan yang ditanyakan serta
tingkat berpikir yang terlibat. Ranah konstruksi berkaitan dengan teknik penulisan
soal baik bentuk objektif, maupun yang non-objektif. Bentuk objektif ini bisa berupa
tes pilihan dan tes uraian. Pada bidang tertentu, seperti Matematika dan Biologi,
walaupun digunakan bentuk soal uraian namun apabila jawabannya hanya satu,
maka disebut dengan uraian objektif. Ranah bahasa berkait dengan
kekomunikatifan/kejelasan hal yang ditanyakan.
Kualitas butir tes juga dilihat dari tingkat berpikir yang diperlukan dalam
mengerjakaan soal. Apabila digunakan taksonomi ranah kognitif menurut Bloom,
maka sebaiknya soal lebih banyak pada ranah pemahaman, aplikasi, dan analisis.
Untuk membuat soal tingkat ini tidak mudah, karena aplikasi yang dimaksud adalah
yang belum diajarkan, namun konsepnya sudah diajarkan. Oleh karena itu
disarankan penyiapan soal harus dilakukan secara bertahap, misalnya setiap selesai
mengajar disiapkan soal untuk suatu konsep tertentu. Kelemahan yang sering
terjadi adalah lebih banyak soal yang menanyakan tentang hafalan saja. Pengecoh
dalam soal bentuk pilihan ganda sebaiknya merupakan jawaban salah apabila
peserta didik diberi soal bentuk uraian. Selain itu, sering waktu yang disediakan
untuk mengerjakan soal ujian tidak cukup. Perlu diingat bahwa tes yang digunakan
41
pada dasarnya adalah tes kemampuan bukan tes kecepatan.
Butir soal yang memenuhi persyaratan dari ranah materi, konstruksi, dan
bahasa dapat digunakan untuk ujian. Contoh format telaah butir soal ditinjau dari
ranah materi, konstruksi dan bahasa dapat dilihat pada Lampiran 2. Selanjutnya
hasil ujian ini dianalisis lagi untuk mengetahui konsep atau tema yang sulit
dipahami peserta didik, dan kemudian ditindak lanjuti dengan remedial, yaitu
menjelaskan kembali tentang konsep atau teori yang kurang dipahami peserta didik
(lihat contoh analisis dengan program Iteman MicroCat, Lampiran 3).
Ketidaktercapaian dalam penguasan suatu konsep atau tema dalam kompetensi
dasar bisa disebabkan kemampuan peserta didik yang rendah, kemampuan guru
dalam memilih media, termasuk metode rnengajar atau pembelajaran, atau
kemungkinan bahan ajar yang tergolong sulit. Setelah ujian, semua guru harus
memiliki informasi tentang kompetensi dasar yang sulit dicapai peserta didik.
Informasi ini selanjutnya dibicarakan di tingkat sekolah terutama dengan teman
sejawat yang mengajar mata pelajaran yang sama. Bisa saja terjadi suatu mata
pelajaran termasuk sulit karena mata pelajaran pendukung tidak atau kurang
berperan.
Setiap pengukuran selalu mengandung kesalahan. Sumber kesalahan
pengukuran adalah pada penentuan materi ujian, pihak yang diukur, pihak yang
mengukur, dan lingkungan. Variasi kesehatan fisik dan emosi orang selalu
bervariasi dari waktu ke waktu. Untuk mengatasi kesalahan pada pihak yang
diukur, disarankan banyak melakukan pengukuran, sedangkan untuk mengatasi
kesalahan pada pihak yang mengukur, ia harus dilatih agar mampu menyusun alat
ukur dengan baik dan mampu menyelenggarakan pengukuran dengan kondisi yang
standar. Pengukuran dalam bentuk tes ini bisa berupa kuis mingguan, ulangan
mingguan, atau tes blok.
Kesalahan pada subjek yang mengukur sering disebabkan bias atau
subjektivitas dalam melakukan pengukuran dan penilaian. Bias berarti mereka
memiliki kemampuan sama tetapi hasil tes tidak sama. Untuk mengatasi hal
tersebut, soal tes harus benar-benar ditelaah dan dianalis. Selain itu, perlu
disediakan pedoman penyekoran dan penilaian agar hasil penyekoran bisa lebih
objektif.
Kerapian tulisan, disiplin, dan ranah afektif lainnya sering terlibat di dalamnya.
Pada dasarnya pengukuran dilakukan terhadap satu dimensi, ada dimensi kognitif,
dimensi psikomotor, dan dimensi afektif. Pengetesan pada dasarnya mengukur satu
dimensi yaitu kemampuan peserta didik dalam suatu mata pelajaran, sehingga
komponen kerapian tulisan tidak dinilai. Apabila ingin mengukur kemampuan
42
peserta didik dalam beberapa dimensi seperti dimensi kemampuan berpikir,
keterampilan mengerjakan tugas, dan disiplin keuletan, maka ketiga dimensi itu
harus diukur sendiri-sendiri dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk profil peserta
didik dalam tiga dimensi tersebut.
Setelah butir-butir tes/butir-butir soal ditelaah maka langkah selanjutnya dalam
pengembangan tes adalah mengumpulkan data empiris melalui uji coba. Uji coba
dapat dilakukan untuk butir-butir soal yang akan diujikan dalam skala luas, seperti
ujian tingkat regional atau nasional dan hasilnya dimasukkan ke dalam bank soal.
Untuk soal buatan guru yang digunakan di kelas, uji coba tes tidak perlu dilakukan.
Analisis butir soal dapat dilakukan setelah tes digunakan. Apabila hal ini sering
dilakukan, kemampuan guru dalam membuat tes yang baik akan tercapai. Hal-hal
yang harus diperhatikan/dilakukan dalam Evaluasi Tes adalah Analisis Butir Tes/soal
dan Perakitan Tes.
1. Analisis Butir Tes/Soal
Untuk mendapatkan soal yang baik maka perlu dilakukan analisis soal. Secara
garis besar dapat dikatakan bahwa ada dua cara menganalisis soal, yaitu analisis
soal secara teoretik atau kualitatif dan analisis soal secara empiris atau analisis soal
secara kuantitatif.
Analisis soal secara teoretik atau analisis kualitatif sering juga disebut dengan
telaah butir ini dilakukan sebelum dilakukan uji coba sebagaimana telah diuraikan
di atas, yakni dengan cara mencermati butir-butir soal yang telah disusun dilihat
dari: kesesuaian dengan kompetensi dasar dan indikator yang diukur serta
pemenuhan persyaratan baik dari ranah materi, konstruks, dan bahasa.
Ada dua cara untuk melakukan analisis kuantitatif, yaitu analisis cara
klasik/tradisional dan analisis cara modern dengan mendasarkan pada item
response theory (IRT). Analisis butir soal secara klasik dibedakan menjadi dua
macam berdasarkan tujuan penilaian yang dilakukan. Jika menggunakan
pendekatan penilaian acuan kriteria, maka butir soal yang digunakan harus
memenuhi standar butir soal acuan kriteria (criterion referenced test). Demikian
pula jika menggunakan pendekatan penilaian acuan norma, maka butir soal yang
kita miliki harus memenuhi standar sebagai butir soal acuan norma (norm
referenced test). Walaupun demikian beberapa formula dalam analisis butir untuk
tes acuan kriteria dan acuan norma adalah sama, namun penafsirannya berbeda.
a. Analisis Butir Soal Acuan Kriteria
Tujuan penilaian acuan kriteria adalah untuk mengetahui kemampuan
seseorang menurut kriteria tertentu. Jika penilaian yang dimaksud adalah penilaian
43
formatif, maka penilaian acuan kriteria diterapkan untuk mengetahui sejauh mana
kemampuan yang ditargetkan dapat dikuasai oleh peserta didik. Dengan demikian,
syarat pertama yang harus dipenuhi adalah bahwa butir soal yang digunakan harus
mencerminkan indikator kemampuan yang ditargetkan. Selain itu, karena
pembelajaran yang diselenggarakan untuk mengubah kondisi ke arah yang lebih
baik, baik dalam hal kemampuan kognitif, efektif, maupun psikomotor, maka yang
ditargetkan untuk dikuasai adalah kemampuan yang tidak dapat dikuasai peserta
didik sebelum peserta didik mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu, saat
dilakukan pengukuran sebelum proses pembelajaran para peserta didik tidak akan
dapat mengerjakan butir soal yang diujikan.
44
Peserta tes yang menjawab benar terhadap indikator kompetensi dasar yang
bersangkutan, yaitu perbandingan antara jumlah peserta tes yang menjawab benar
dengan jumlah peserta tes seluruhnya.
B P =
T
P = tingkat pencapaian [proportion correct)
B = jumlah peserta tes yang menjawab benar
T = jumlah seluruh peserta tes
Jika semua peserta didik berhasil menguasai suatu indikator kompetensi dasar,
maka P = 1 dan butir soal itu menjadi dinyatakan mudah bagi peserta didik yang
telah berhasil menguasai kompetensi dasar yang bersangkutan. Jika P = 0 berarti
semua peserta didik gagal menguasainya. Bila hasil empiris P = 0 sementara dari
telaah secara kualitatif butir soal sudah memenuhi persyaratan, maka dapat
ditafsirkan bahwa peserta didik belum menguasai kompetensi dasar atau proses
pembelajaran yang telah dilaksanakan belum berhasil mencapai tujuan.
Oleh karena itu, karakteristik utama butir soal acuan kriteria tercermin dari
besarnya harga indeks sensitivitas yang menunjukkan efektivitas proses
pembelajaran. Hal ini dapat diketahui manakala dilakukan tes awal atau pretest
(sebelum pembelajaran) dan tes setelah pembelajaran atau posttest (Gronlund dan
Linn, 1990).
Indeks sensitivitas butir soal memiliki interval -1 sampai dengan 1. Indeks
sentivitas suatu butir soal (Is) ujian formatif:
RA - RB
Ps = T
RA = Banyaknya peserta didik yang berhasil mengerjakan suatu butir soal
sesudah proses pembelajaran.
RB = Banyaknya peserta didik yang berhasil mengerjakan suatu butir soal
sebelum proses pembelajaran
T = Banyaknya peserta didik yang mengikuti ujian
Jika tidak ada tes awal, maka dapat dilihat dari besarnya tingkat pencapaiannya
berdasar hasil tes akhir (posttest). Jika tingkat pencapaian suatu butir kecil (banyak
peserta didik yang gagal) maka proses pembelajaran tidak efektif. Namun demikian
seperti telah dikemukakan di atas, harus diperhatikan pula bagaimana kualitas butir
tersebut secara kualitatif. Jika hasil analisis secara kualitatif menunjukkan bahwa
45
baik dari ranah materi, konstruksi maupun bahasa, tes sudah memenuhi syarat,
dapat diartikan bahwa rendahnya indeks kesukaran menunjukkan tidak efektifnya
proses pembelajarannya.
Pemakaian indeks daya pembeda butir untuk butir soal acuan kriteria tidak
seperti untuk butir pada soal acuan norma. Indeks daya beda pada dasarnya adalah
perbandingan antara banyaknya anggota kelompok yang berhasil (kelompok atas)
dan banyaknya anggota kelompok yang gagal (kelompok bawah).
Daya beda dinyatakan baik untuk butir soal acuan norma jika minimum
besarnya 0,3. Pada butir soal acuan kriteria, jika seluruh peserta didik sudah
berhasil menguasai indikator dari suatu kompetensi dasar, maka indeks daya beda
akan sebesar 0. Namun butir ini tetap Dinyatakan baik dan tetap dapat dipakai
untuk menunjukkan efektivitas proses pembelajaran manakala seluruh peserta
didik sebelum mengalami proses pembelajaran tidak dapat mengerjakan butir soal
yang bersangkutan. Dengan kata lain, jika sebelum pembelajaran peserta didik
belum menguasai indikator kompetensi dasar yang dimaksud, dan setelah
pembelajaran seluruh peserta didik berhasil mengerjakan butir soal yang dijadikan
indikator kompetensi dasar tersebut, maka butir soalnya tetap dinyatakan baik atau
tetap dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan belajar.
Berdasar uaraian di atas, dalam menyiapkan butir soal untuk mengukur
pencapaian kompetensi dasar yang telah berhasil dikuasai peserta didik melalui
proses pembelajaran tetap harus menggunakan analisis butir soal menurut acuan
kriteria, dan tidak menggunakan analisis butir soal acuan norma.
b. Analisis Butir Soal Acuan Norma
Tujuan penilaian acuan norma adalah untuk mengetahui kedudukan peserta
didik dalam kelompoknya (dalam kelas). OIeh karena itu butir-butir soal yang
dipakai dalam ujian tidak boleh terlalu sukar atau terlalu mudah, sehingga kisaran
indeks kesukarannya 0,3 sampai 0,7 dan harus dapat dapat membedakan mana
peserta didik yang pandai dan yang tidak pandai dalam suatu kelas, yang tercermin
dari besarnya harga indeks daya beda minimal 0,3.
Sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis kompetensi, sistem penilaian yang
digunakan adalah berbasis kompetensi dasar, maka acuan dalam mengembangkan,
menganalisis, dan menafsirkan hasil ujian adalah kriteria. Oleh karena itu prinsip
penggunaan acuan norma tidak disajikan pada pedoman ini.
c. Analisis Butir Soal Menurut Teori Respons Butir
Apa yang sudah diuraikan di atas adalah model analisis butir yang klasik,
dengan asumsi bahwa :
46
1) tidak ada korelasi antara skor yang sebenarnya dan skor kesalahan,
2) sepanjang tidak terjadi kesalahan sistematik, maka tidak ada korelasi antara
kesalahan acak pada suatu pengukuran dengan kesalahan acak pada
ulangan pengukuran,
3) besarnya rerata kesalahan acak sama dengan nol.
Penggunaan teori klasik dalam menganalisis butir memiliki beberapa kelemahan
sebagai berikut.
1) Statistik butir tes berupa tingkat kesukaran dan daya beda butir soal, sangat
tergantung kepada karakteristik peserta tes. Jika kemampuan peserta
rendah, maka tingkat kesukaran butir soal akan tinggi (indeks kesukaran
kecil). Besarnya daya beda yang dinyatakan sebagai koefisien korelasi point
biserial sangat tergantung kepada homogenitas kelompok peserta tes.
2) Estimasi kemampuan peserta tergantung kepada butir soal yang diujikan.
Bila indeks kesukaran kecil, estimasi kemampuan seseorang akan tinggi,
demikian pula sebaliknya. Besar kemampuan seseorang tergantung pada
keadaan yang digunakan dalam suatu tes.
3) Estimasi skor kesalahan berlaku untuk semua peserta tes. Kesalahan
untuk tiap peserta tes besarnya sama, yang dinyatakan dalam bentuk
kesalahan baku pengukuran.
4) Tidak ada informasi tentang respons setiap peserta ujian terhadap tiap butir
soal.
5) Estimasi keterandalan alat tes dengan teknik belah dua, teknik belah
tiga, Cronbach alpha, dan sebagainya, menggunakan asumsi paralel yang
sulit dipenuhi.
Karena adanya kelemahan-kelemahan tersebut, maka muncullah apa yang
disebut teori respons butir yang berusaha mengatasi kelemahan tersebut. Menurut
teori respons butir, perilaku seseorang dapat dijelaskan oleh karakteristik orang
yang bersangkutan sampai pada batas-batas tertentu. Karakteristik tersebut
bermacam-macam, seperti kemampuan verbal, kemampuan psikomotor,
kemampuan kognitif, dsb. Karakteristik tersebut disebut trait, dan seseorang dapat
memiliki lebih dari satu trait. Setiap trait, merupakan unjuk kerja dari orang yang
bersangkutan. Setiap trait merupakan dimensi kemampuan seseorang. Suatu tes
yang terdiri dari n butir yang mengukur k trait, jika dikerjakan seseorang akan
mendudukkan orang tersebut pada suatu titik dalam k dimensi ruang. Oleh karena
itu harus ada asumsi bahwa kemampuan yang diukur benar-benar bersifat
unidimensional. Asumsi ini sama dengan asumsi yang digunakan dalam teori klasik.
Unjuk kerja seseorang terhadap suatu butir soal tidak akan mempengaruhi
47
unjuk kerja terhadap butir soal yang lain. Dengan demikian, respons seseorang
terhadap masing-masing butir soal bersifat independen atau tepatnya local-
independent. Oleh karena itu butir-butir tes diharapkan mampu mengukur satu trait
saja agar unidimensi.
Berdasarkan teori respons butir, hubungan antara setiap butir soal akan
mempunyai kurva karakteristik butir yang merupakan kurva regresi non-linier skor
butir terhadap trait atau kemampuan. Fungsi tersebut menggambarkan hubungan
peluang sukses menjawab suatu butir soal dengan kemampuan yang diukur oleh
butir soal.
Kurva karakteristik butir dinyatakan dengan tiga fungsi Matematika yang
menghasilkan model logistik satu parameter, dua parameter, dan tiga parameter.
Model logistik dengan satu parameter merupakan model yang paling sederhana,
yang dikembangkan oleh Rasch tahun 1966 dan kemudian dilanjutkan oleh Wright
(Hambleton dan Swaminathan, 1985). Dalam hal ini, parameter suatu butir
merupakan tingkat kesukaran butir, sedangkan daya pembeda dianggap sama dan
pseudoguessing (coba-terka) dianggap sama dengan nol. Tingkat kemampuan butir
merupakan fungsi kemampuan seseorang.
Model logistik dua parameter menyatakan bahwa kemampuan seseorang
dicerminkan oleh tingkat kesukaran butir dan daya pembeda, sedangkan peluang
pseudoguessing sama dengan nol. Dengan demikian seseorang yang
berkemampuan rendah besarnya peluang menjawab benar juga sama dengan nol.
Model logistik dengan tiga parameter menyatakan bahwa kemampuan
seseorang tercermin dari tingkat kesukaran butir, daya pembeda, dan
pseudoguessing, karena orang tidak asal tebak jika ia tidak tahu. la akan membaca
soalnya dan difikir berulang-ulang sebelum akhirnya ia menentukan tebakannya.
Dengan tiga model tersebut kemudian dikembangkan perhitungan dengan
bantuan komputer bagaimana cara menentukan kualitas suatu butir soal baik
dengan model logistik dengan satu parameter, dua parameter, maupun tiga
parameter.
Kelebihan dari analisis butir soal yang mendasarkan diri pada teori respons butir
yaitu mampu memberikan perhitungan yang akurat terhadap skor akhir yang
diperoleh dua orang testi yang berbeda sebarannya meskipun banyaknya skor yang
benar di antara mereka adalah sama. Misal, jika dari 5 butir soal yang diujikan
berturut-turut dari nomor 1 sampai 5 hasil peserta didik A adalah 1, 0, 1, 0, 1
sedangkan hasil peserta didik B adalah 1, 1, 1, 0, 0 maka skor akhir yang diperoleh kedua
peserta didik tersebut akan berbeda kalau tingkat kesukaran kelima butir soal tersebut
tidak sama.
48
Meskipun pendekatan secara klasik memiliki kelemahan dibandingkan dengan
pendekatan berdasar teori respons butir, namun pendekatan dengan teori respons
butir memerlukan jumlah testi yang besar (minimum 500 orang) untuk uji cobanya.
Jika dilakukan dengan metode konsistensi internal pun (langsung diujikan tanpa
melalui uji coba) banyaknya testi minimal juga harus 500 orang. Dengan demikian
pendekatan teori respons butir hanya dapat diterapkan untuk tes seleksi ataupun
tes prestasi dengan skala yang lebih luas, seperti tes yang bertaraf regional atau
nasional. Oleh karena itu, untuk mengetahui kualitas butir soal/ters buatan guru
untuk keperluan pembelajaran sehari-hari di kelas sampai pada ulangan umum
kenaikan kelas yang bukan dalam bentuk Ulangan Umum Bersama (UUB) tetap
lebih cocok menggunakan pendekatan secara klasik.
Tes untuk kelas sesuai kondisinya menggunakan teori klasik. Tes untuk tingkat
yang lebih luas seperti untuk tingkat regional atau nasional digunakan teori respons
butir. Oleh karena itu, sistem penilaian berbasis kompetensi tetap menggunakan teori
tes klasik karena tes yang dikembangkan banyak digunakan di kelas. Namun untuk
peserta yang banyak sebaiknya digunakan teori repons butir.
2. Perakitan Tes
Setelah seluruh butir tes/butir soal ditelaah dari ranah materi, konstruksi, dan
bahasa, kemudian di kelompokkan menjadi tiga, yaitu : (a) butir-butir tes yang
dianggap baik atau diterima, (b) butir-butir tes yang tidak baik atau ditolak, dan (c)
butir-butir tes yang kurang baik, diperbaiki. Butir-butir tes yang baik (memenuhi
persyaratan yang ditetapkan) kemudian ditataatau dirakit dengan caratertentu.
Dalam merakit tes, butir-butir soal dapat dikelompokkan menurut urutan
kompetensi dasar, taraf kesukaran, dan format (komposisi bentuk soal). Urutan soal
pada tiap kompetensi dasar diurutkan menurut tingkat kesulitannya, mulai dari
yang mudah ke yang sulit. Berdasarkan format, urutan soal dimulai dari bentuk
isian singkat, kemudian pilihan ganda, dan terakhir uraian.
B. Analisis Hasil Tes dan Tindak Lanjutnya
Ujian yang diselenggarakan oleh guru mempunyai banyak kegunaan, baik bagi
fihak peserta didik, sekolah, ataupun bagi guru sendiri. Bagi peserta didik, hasil tes
yang diselenggarakan oleh guru tersebut mempunyai banyak kegunaan, antara lain
adalah
1. dapat mengetahui apakah ia sudah menguasai bahan yang disajikan oleh
guru;
2. dapat mengetahui bagian mana yang belum dikuasainya sehingga ia
berusaha untuk mempelajarinya lagi sebagai upaya perbaikan;
3. dapat menjadi penguatan bagi peserta didik yang sudah memperoleh skor
49
tinggi dan menjadi dorongan untuk belajar lagi;
4. dapat menjadi diagnosis bagi peserta didik.
Agar dapat memanfaatkan hasil ujian secara efektif, perlu dilakukan analisis
terhadap hasil tes/hasil ujian yang telah dicapai oleh para peserta didik. Caranya
yaitu dengan membuat tabel spesifikasi yang mampu menunjukkan
konsep/subkonsep atau tema/subtema kompetensi dasar mana yang belum
dikuasai peserta didik. Hal ini akan dapat terlihat bila butir-butir soal yang diujikan
sudah dikelompokkan sesuai dengan penguasaan konsep/subkonsep atau
tema/subtema dalam tiap indikator dan kompetensi dasar yang hendak diukur.
Berdasar tabel di bawah tampak bahwa Garda masih terbatas menguasai
kemampuan mendeskripsi keterampilan dasar dan keterampilan proses sains dan
gagal menguasai kemampuan untuk mengenal langkah-langkah pemecahan
masalah melalui metode eksperimen (percobaan). Dengan demikian, guru
mengetahui dengan persis dalam hal yang mana garda perlu mendapat bimbingan
melalui program perbaikan/remedi.
50
Contoh table spesifikasi hasil analisis hasil tes untuk mata pelajaran
Biologi
Nama Peserta didik : Budi Kelas 1 1A
Kompetensidasar
Jumlah butir
Jumlah yangBetul
Persen pencapaia
nPenguasan Keterangan
1. Mendeskripsi keterampilan dasar dan keterampilan proses sains
20 15 75 V Menguasai seluruh keterampilan dasar IPA, dan menguasai keterampilanproses IPA berupa mentabulasi data, membuat grafik, dan memaknakantabel/grafik, tetapi belum menguasai proses IPA dalam hal melakukan inferensi, prediksi, dan menentukanvariabel bebas dan variable tergayut
2. Mengenal langkah – langkah pemecahan masalah melalui metode eksperimen (percobaan)
30 15 50 - Hanya menguasai kemampuan merumuskan tujuan dan manfaatpercobaan, menentukan treatment, dan menentukan kelompok kontrol. Belum menguasai kemampuan merumuskan persoalan, memilih hal-hal yang harus dimuat dalam tinjauanpustaka, merumuskan hipotesis, dan menyiapkan tabel hasil percobaan
Standar Keberhasilan: batas penguasaan 75 %
Berdasarkan tabel diatas tampak bahwa Budi masih terbatas menguasai
kemampuan mendiskripsi ketrampilan dasar dan ketrampilan proses sains, dan
gagal menguasai kemampuan untuk mengenal langkah-langkah pemecahan
masalah melalui metode eksperimen. Dengan demikian, guru mengetahui dengan
tepat "bidang apa" yang diperlukan oleh Budi untuk memperoleh bimbingan melalui
program perbaikan/remidial.
Bantuan perbaikan/remedi yang diberikan juga perlu didukung dengan informasi
yang digali guru, tentang apa yang menjadi penyebabnya. Bila kegagalan yang
terjadi dikarenakan faktor akademik, maka dengan langkah di atas diharapkan akan
berhasil. Sebaliknya, bila kegagalan yang terjadi juga disebabkan oleh faktor non-
akademik seperti faktor ketidakharmonisan keluarga, mengisolir diri dari teman,
faktor ekonomi (tidak memiliki buku-buku pegangan peserta didik), faktor internal
(malas), maka perbaikan/remedi yang diberikan selain upaya yang bersifat
akademik juga harus diikuti dengan mengatasi hal-hal yang nonakademik. Agar
guru dapat memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi
51
kegagalan peserta didik dapat diperoleh melalui wawancara dengan peserta didik
yang bersangkutan juga dengan teman serta orang tuanya.
52
BAB 6
PEMANFAATAN DAN
PELAPORAN
A. Prinsip Dasar
Ujian pada dasarnya bertujuan untuk mengetahui perkembangan hasil belajar
peserta didik dan hasil mengajar guru. Informasi hasil belajar atau hasil mengajar
berupa kompetensi dasar yang sudah dipahami dan yang belum dipahami oleh
sebagian besar peserta didik. Hasil belajar peserta didik digunakan untuk memotivasi
peserta didik dan guru agar melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas proses
pembelajaran. Perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran dilakukan dalam
bentuk program remedial dan pengayaan berdasarkan hasil evaluasi hasil ujian.
Apabila dalam satu satuan waktu tertentu sebagian besar peserta didik belum
mencapai kompetensi dasar, maka guru melaksanakan program remedial, sedang
bagi peserta didik yang telah menguasai diberi program pengayaan. Jadi prinsip
dasar kegiatan mengelola hasil ujian adalah pemanfaatan hasil ujian untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran.
Pemanfaatan hasil belajar untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas
pembelajaran harus didukung oleh peserta didik, guru, kepala sekolah, dan orang
tua. Dukungan ini akan diperoleh apabila mereka memperoleh informasi hasil
belajar yang lengkap dan akurat. Untuk itu diperlukan laporan perkembangan hasil
belajar peserta didik untuk guru atau sekolah, untuk peserta didik, dan untuk orang
tua. Bentuk laporan ini disesuaikan dengan tingkat kepentingan guru atau sekolah,
peserta didik, dan orang tua. Dengan demikian dapat diharapkan partisipasi semua
pihak untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Laporan hasil belajar peserta didik berbentuk profil yang mencakup ranah
kognitif, psikomotor, dan afektif. Informasi ranah afektif dan psikomotor diperoleh
dari sistem tagihan yang digunakan untuk mata pelajaran sesuai dengan tuntuan
kompetensi dasar. Tidak semua mata pelajaran memiliki ranah psikomotor, hanya
mata pelajaran tertentu saja yang dinilai ranah psikomotornya, yaitu yang
melakukan kegiatan praktek di laboratorium atau bengkel. Informasi ranah afektif
diperoleh melalui kuesioner atau pengamatan yang sistematik.
Hasil belajar ranah kognitif, psikomotor, dan afektif tidak dijumlahkan, karena
dimensi yang diukur berbeda. Masing-masing dilaporkan sendiri-sendiri dan memiliki
makna yang penting. Ada orang yang memiliki kemampuan kognitif tinggi, kemampuan
psikomotor cukup, dan memiliki minat belajar yang cukupan. Namun ada orang lain
53
yang memiliki kemampuan kogntif cukup, kemampuan psikomotor tinggi. Bila skor
kemampuan kedua orang ini dijumlahkan, bisa terjadi skornya sama, sehingga
kemampuan kedua orang ini tampak sama walau sebenarnya karakteristik
kemampuan mereka berbeda. Apabila skor kemampuan kognitif dan psikomotor
dijumlahkan maka akan berakibat ada informasi yang hilang, yaitu karaktristik
spesifik kemampuan masing-masing individu.
Di dunia ini ada orang yang kemampuan berpikirnya tinggi, tetapi kemampuan
psikomotornya rendah. Agar sukses, orang ini harus bekerja pada bidang pekerjaan
yang membutuhkan kemampuan berpikir tinggi dan tidak dituntut harus melakukan
kegiatan yang membutuhkan kemampuan psikomotor yang tinggi. Oleh karena itu,
laporan hasil belajar harus dinyatakan dalam tiga ranah tersebut.
Informasi pada laporan hasil belajar peserta didik harus akurat, artinya
menunjukkan keadaan yang sebenarnya. Untuk memperoleh hasil pengujian yang
akurat, maka alat ukur yang digunakan untuk memproleh data harus sahih, artinya
mengukur seperti yang ingin diukur. Selain itu alat ukur atau tes yang digunakan
sebagai bagian dari sistem penilaian harus memberi hasil yang andal, yaitu
memberi hasil yang konsisten bila digunakan berkali-kali untuk objek yang sama
asal tidak ada pengaruh dari luar.
B. Pemanfaatan dan Pelaporan Hasil Ujian Bagi Peserta Didik
Informasi hasil belajar peserta didik dapat diperoleh melalui ujian, kuesioner
atau angket, wawancara, atau pengamatan. Informasi ranah kognitif dan
psikomotor diperoleh melalui ujian, sedang ranah afektif diperoleh melalui angket
dan pengamatan di kelas. Informasi hasil ujian dapat dimanfaatkan peserta didik
untuk :
1. Mengetahui kemajuan hasil belajar diri
2. Mengetahui konsep-kosep atau teori-teori yang belum dikuasai.
3. Memotivasi diri untuk belajar lebih baik.
4. Memperbaiki strategi belajar.
Untuk memberi informasi yang akurat agar dapat dimanfaatkan peserta didik
seoptimal mungkin, maka laporan yang diberikan kepada peserta didik harus berisi
tentang :
1. Hasil pencapaian belajar peserta didik yang dinyatakan dalam bentuk
kompetensi dasar yang sudah dicapai dan yang belum dicapai.
2. Kekuatan dan kelemahan peserta didik dalam semua mata pelajaran
3. Minat peserta didik pada masing-masing mata pelajaran.
Selain itu redaksi laporan harus menggunakan bahasa yang dapat memotivasi
peserta didik untuk belajar lebih baik. Hasil ujian menunjukkan pencapaian hasil
54
belajar peserta didik, sehingga dalam format laporan digunakan istilah hasil belajar.
Contoh bentuk laporan hasil belajar peserta didik dapat dilihat pada Lampiran 4.
C. Pemanfaatan dan Pelaporan Hasil Ujian untuk Orang Tua
Informasi hasil ujian dimanfaatkan oleh orangtua untuk memotivasi putranya
untuk belajar yang lebih baik dan untuk mencari strategi dalam membantu anaknya
belajar. Untuk itu diperlukan informasi yang akurat tentang hasil ujian peserta didik
yang meliputi kekuatan dan kelemahan peserta didik dalam ranah kognitif,
psikomotor, dan afektif, kemajuan belajar peserta didik dibandingkan dengan dirinya
sendiri, dibandingkan dengan kompetensi dasar yang harus dimiliki, dan
dibandingkan dengan kelompoknya. Informasi ini digunakan orangtua untuk :
1. Membantu anaknya belajar
2. Memotivasi anaknya belajar
3. Membantu sekolah untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik.
4. Membantu sekolah dalam melengkapi fasilitas belajar.
Untuk memenuhi kebutuhan orang tua dalam meningkatkan proses belajar
mengajar, bentuk laporan hasil ujian harus mencakup tiga ranah, yaitu kognitif,
psikomotor, dan afektif, dan lebih rinci lagi meliputi: kelemahan dan kekuatan
peserta didik putranya, keterampilan peserta didik dalam melakukan tugas, dan
minat peserta didik terhadap mata pelajaran tertentu. Contoh bentuk laporan hasil
ujian peserta didik dapat dilihat pada Lampiran 5.
D. Pemanfaatan dan Pelaporan Hasil Ujian untuk Guru dan Sekolah
Hasil ujian digunakan guru dan sekolah untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan peserta didik dalam satu kelas, dalam satu sekolah dalam semua mata
pelajaran. Hasil ujian harus dapat mendorong guru agar mengajar lebih baik,
membantu guru untuk menentukan strategi mengajar yang lebih tepat, mendorong
sekolah agar memberi fasilitas belajar yang lebih baik.
Laporan hasil ujian untuk guru dan kepala sekolah harus mencakup semua
ranah hasil belajar peserta didik untuk semua pelajaran yang meliputi ranah
kognitif, psikomotor, dan afektif. Informasi yang diperlukan adalah banyak dan jenis
kompetensi dasar yang telah dikuasai dan yang belum oleh peserta didik, jumlah
peserta didik yang dapat mencapai skor 75 atau lebih dari skala 0 sampai 100
untuk semua mata pelajaran, termasuk ranah afektif. Guru memerlukan informasi
yang lebih global untuk masing-masing kelas yang diajar, sedang kepala sekolah
memerlukan informasi global untuk semua kelas dalam satu sekolah, khususnya
tentang hasil belajar. Contoh format laporan hasil belajar peserta didik untuk guru
dan sekolah disajikan pada Lampiran 6.
55
E. Batas Kelulusan
Pertanyaan yang sering muncul adalah penentuan batas kelulusan untuk
peserta didik. Lulus dengan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi memiliki
makna bahwa peserta didik telah menguasai semua mata pelajaran, minimum
memperoleh skor 75 untuk ranah kognitip dan psikomotor, demikian pula untuk
skor angket batas minimumadalah 75. Angket tentang minat sesorang tidak
memiliki jawaban yang benar dan salah. Ada orang yang sangat senang dengan
mata pelajaran bahasa, dan ada yang berminat pada mata pelajaran matematika.
Peserta didik yang tidak senang dengan mata pelajaran bahasa tidak salah, namun
guru harus berusaha membuatnya senang. Karena mereka yang senang atau
berminat pada mata pelajaran tertentu, dan dapat diharapkan prestasi belajarnya
akan meningkat. Oleh karena skor minat peserta didik harus ditafsirkan dalam
bentuk kualitatif, misalnya minatnya tinggi, menengah, atau rendah terhadap
pelajaran tertentu.
Penentuan kelulusan harus memperhatikan dua ranah, yaitu kognitif, dan
psikomotor, sedang untuk ranah afektif merupakan tambahan informasi tentang
kondisi peserta didik yang berkaitan dengan minat, sikap, kerajinan, atau disiplin.
Skor ketiga domian ini tidak bisa dijumlahkan, karena dimensi yang diukur berbeda.
Namun dua ranah, yaitu kognitif dan psikomotor, keduanya menentukan kelulusan
peserta didik. Oleh karena itu penentuan kelulusan berdasarkan masing-masing
skor kognitif dan psikomotor, sedang skor pda ranah afektif sebagai tambahan
informasi. Batas lulus seperti dijelaskan di depan untuk ranah kognitif dan ranah
psikomotor minimum 75.
Semua peserta didik, orang tua, dan guru berharap peserta didik dapat lulus
dengan makna menguasi 75 % dari bahan yang diajarkan.
Untuk mencapai batas skor tersebut, perlu dilaksanakan program remedi.
Program remedi ini yang menjadi ciri khas dari penggunakan kurikulum berbasis
kompetensi.
Laporan hasil belajar peserta didik serta cara pengisiannya dalam bentuk profil
dapat dilihat pada Lampiran 7.
56
DAFTAR PUSTAKA
Allen, M.J., &Yen,W. M. (1979). Introduction to measurement theory. Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Ebel, R. L. (1979). Essentials of education measurement. New Jersey: Prentice Hall.
Feldt, L. S. dan Brennan R. L. (1989). Reliability in Linn (Edit. 1989), Educational measurement. New York: Mac. Millan Publishing Company.
Griffin, P & Nix, P. (1991). Educational assessment and reporting: A new approach. Sydney: Harcourt Brace Jovanovich.
Gronlund, N. E., dan Linn, R. L. (1990). Measurement and evaluation in teaching. New York: McMillian Publishing Company.
Guilford, J. P. (1982). Psychometric methods (2nd.ed.) NewYork: Tata McGraw-Hill Publishing Co.Ltd.
Haris, R., & Guthrie, H., & Hobart, B., & Lundberg, D. (1995). Competency-based education and training. South Yarra, Australia: Macmillan Education.
Harrow, A. J. (1972). A taxonomy of the psychomotor domain: A guided for developing behavioral objective. New York: David McKey Company.
Hambleton, R. K., & Swaminathan, H. (1985). Item respons theory : Principle and application. Boston: Kluwer Nijhoff Publ.
Lunetta, V. N., Hofstein, A., & Gidding, G. (1981). Evaluating science laboratory skill. The Science Teacher, January 1981: 22-25.
Marzano, R. J., & Kendall, J. S. (1996). Designing standards-based districts, schools, and classrooms. Alexanderia, Virginia: ASCD Publication.
Nathan, B. R. & Cascio, W. F. (1986). Technical and legal aspects in Berk, R. A. (edit. 1986). Performance assessment. Baltimore: John Hopkin Univ. Press.
Popham, W. J. (1st ed. 1995). Classroom Asessment: What Teachers Need to Know. Mass: Allyn-Bacon.
Popham, W. J. (2nd ed. 1999). Classroom Asessment: WhatTeachers Need to Know. Mass Allyn-Bacon.
Sax, G. (1984). Principles of educational and psychological measurement and evaluation. 2nd ed. Washington: Wadsworth Publishing Company.
Stufflebeam, D. L., & Shinkfield, A. J. (1985). Sistematic Evaluation. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.
Thorndike, R. L., & Hagen, E. P. (1977). Measurement and evaluation in psychology and education. New York: John Wiley & Sons.
Wilson. (2001). Australian Experience. Makalah disampaikan pada Seminar
57
Nasional di Balitbang Depdiknas, 2001.
GLOSARIUM
adaptif: mudah menyesuaikan diri dengan keadaan, materi tes yang disesuaikan dengan kurikulum sekolah.
afektif: berkenaan dengan perasaan dan atau sikap.
analisis: kajian/telaah terhadap sesuatu hal untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.
analisis butir empiris: analisis kuantitatif butir; analisis butir soal berdasarkan hasil uji coba.
analisis butir teoretis: analisis kualitatif butir; telaah butir; pengkajian terhadap kualitas soal secara teoretis yang mencakup konstruksi, teknik penulisan, dan bahasa yang digunakan.
asesmen: penilaian; penafsiran hasil pengukuran; penentuan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran.
bentuk soal: golongan soal menurut macam jawaban yang harus dilakukan, misalnya: bentuk isian singkat, bentuk pilihan ganda, dan bentuk uraian.
bentuk tes: golongan tes menurut penggolongan menjadi 'tes pilihan ganda,” “tes uraian objektif,” “tes uraian non objektif (“tes uraian bebas”),” “tes jawaban singkat,” “tes menjodohkan,” “tes unjuk kerja” (“tes performansi”),” “portfolio,” dsb.
berkesinambungan: berkelanjutan; tidak berhenti pada suatu saat, tetapi dilanjutkan pada periode-periode berikutnya.
evaluasi: kegiatan untuk menentukan mutu atau nilai suatu program, yang di dalamnya ada unsur “pembuatan keputusan,” sehingga mengandung unsur subjektivitas; kegiatan yang sistematik untuk menentukan kebaikan dan kelemahan suatu program.
gerak adaptif: gerak terlatih
global: mendunia; dunia; menyeluruh.
hipotesis: sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan pendapat, meskipun kebenarannya masih harus diuji; anggapan dasar.
indikator: karakteristik, ciri-ciri, tanda-tanda, perbuatan, atau respons, yang harus dapat dilakukan atau ditampilkan oleh peserta didik, untuk menunjukkan bahwa peserta didik itu telah memiliki kompetensi dasar tertentu.
indikator pencapaian: tanda-tanda bahwa peserta didik telah memiliki kompetensi dasar tertentu, dan merupakan jabaran dari kompetensi dasar tertentu.
jenis tagihan: golongan tagihan menurut klasifikasi menjadi “kuis,” “pertanyaan lisan di kelas/ulangan harian,” “tugas individu,” “tugas kelompok,” “ulangan akhir semester,” “ulangan kenaikan kelas,” “laporan kerja praktik,” “laporan
58
praktikum,” “responsi,” “ujian praktik,” “ujian akhir,” dsb.; jenis kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik untuk menunjukkan hasil belajar yang telah dicapainya.
jenis ujian: jenis tagihan.
judgement: keputusan; pertimbangan;keandalan tes: kemampuan tes memberikan hasil yang ajeg atau konsisten.
kemampuan: kesanggupan; kecakapan; kekuasaan; ketrampilan.
kemampuan afektif: kemampuan yang berkaitan dengan perasaan, emosi, sikap, derajat, penerimaan atau penolakan terhadap suatu objek.
kompetensi dasar: kemampuan minimal dalam mata pelajaran yang harus dimiliki oleh lulusan; kemampuan minimal yang harus dapat dilakukan atau ditampilkan oleh peserta didik dari standar kompetensi untuk suatu mata pelajaran.
kemampuan kognitif: kemampuan berpikir; kemampuan memperoleh pengetahuan; kemampuan yang berkaitan dengan pemerolehan pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, penentuan, dan penalaran.
kemampuan lulusan SMA: kemampuan yang dapat dilakukan atau ditampilkan oleh lulusan SMA, meliputi lulusan dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
kemampuan psikomotor: kemampuan melakukan pekerjaan dengan melibatkan anggota badan; kemampuan yang berkaitan dengan gerak fisik.
kesahihan isi tes: petunjuk sejauh mana isi tes sesuai dengan kompetensi dasar dalam silabus yang hendak diukur.
kesahihan konstruk tes: petunjuk sejauh mana faktor yang diungkap oleh hasil tes itu sesuai dengan faktor yang hendak diukur.
kesahihan prediktif tes: petunjuk sejauh mana hasil tes dapat memprediksi kemampuan yang akan ditunjukkan oleh data empirik.
kesalahan pengukuran: ukuran ketidakcocokan antara hasil pengukuran dan ukuran sebenarnya.
kesalahan pengukuran acak: kesalahan pengukuran yang terjadi karena kondisi yang diukur bervariasi, atau kondisi yang mengukur bervariasi, atau bahan yang diujikan tidak tepat.
kesalahan pengkuran sitematik: kesalahan pengukuran yang terjadi karena alat ukurnya tidak selalu memberikan ukuran yang sebenarnya, atau penskorannya mempunyai tingkat kemurahan atau kemahalan yang bervariasi.
keterandalan alat tes: kemampuan alat ukur memenuhi fungsinya sebagai alat ukur, alat ukur itu mampu mengukur apayang harus diukur.
kompetensi: kemampuan yang dapat dilakukan oleh peserta didik, yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan perilaku.
59
kompetensi lulusan SMA: kemampuan yang dapat dilakukan atau ditampilkan lulusan SMA yang meliputi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.
komposisi: gubahan; karangan.
kuis: ulangan singkat atau ujian singkat, baik lisan maupun tertulis.
materi pembelajaran: bahan ajar minimal yang harus dipelajari peserta didik untuk menguasai kompetensi dasar.
60
materi pokok: pokok bahasan dan sub pokok bahasan dari kompetensi dasar.
paradigma: model dalam teori; kerangka pikir; norma yang dianut oleh sekelompok komunitas.
pedagogi: ilmu pendidikan; ilmu pengajaran.
pengujian: pengukuran yang dilanjutkan dengan penilaian.
pengukuran: proses penetapan angka bagi suatu gejala menurut aturan tertentu.
penilaian: metode yang biasa digunakan untuk menentukan mutu unjuk kerja individu; pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang atau karakteristik sesuatu; penafsiran data hasil pengukuran.
portfolio: kumpulan hasil karya seorang peserta didik; sejumlah hasil karya seorang peserta didik yang sengaja dikumpulkan untuk digunakan sebagai bukti prestasi peserta didik, perkembangan peserta didik itu dalam kemampuan berpikir, pemahaman peserta didik itu atas materi pelajaran, kemampuan peserta didik itu dalam mengungkapkan gagasan, dan mengungkapkan sikap peserta didik itu terhadap mata pelajaran tertentu, laporan singkatyang dibuat seseorang sesudah melaksanakan kegiatan.
proses pengujian: pemilihan dan pengembangan teknik pengujian.
reliabilitas (ajeg): kemampuan alat ukur untuk memberikan hasil pengukuran yang konstan atau ajeg.
sahih: mengukur faktor yang seharusnya diukur.
silabus: susunan teratur materi pembelajaran mata pelajaran tertentu pada kelas/semester tertentu.
sintesis: paduan berbagai pengertian atau hal yang merupakan kesatuan yang selaras.
system: perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan; susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dsb.
sistem ujian berkelanjutan: sistem ujian yang meliputi soal untuk semua indikator kemampuan mata pelajaran yang bersangkutan, yang hasilnya dianalisis dan digunakan untuk menentukan ujian berikutnya.
sistematik: mengikuti suatu prosedur tertentu.
sistem penilaian: uraian keterangan yang teratur sebagai penjelasan tentang prosedur dan cara mengembangkan kompetensi dasar menjadi indikator pencapaian kemampuan itu, dan cara mengembangkan indikator menjadi soal ujian.
soal analisis: soal yang menuntut uraian informasi, penemuan asumsi pembedaan antara fakta dan pendapat, dan penemuan hubungan sebab-akibat.
soal aplikasi: soal yang menuntut penerapan prinsip dan konsep dalam situasi yang belum pernah diberikan.
61
soal evaluasi: soal yang menuntut pcmbuatan keputusan dan kebijakan, dan penentuan "nilai" informasi.
soal pemahaman: soal yang menuntut pembuatan pernyataan masalah dengan kata-kata penjawab sendiri, pemberian contoh prinsip atau contoh konsep.
soal pengetahuan: soal yang menuntut jawaban yang berdasarkan hafalan.
soal sintesis: soal yang menuntut pembuatan cerita, karangan, hipotesis dengan memadukan berbagai pengetahuan atau ilmu.
soal ujian yang sahih: soal ujian yang bahannya mewakili bahan ajar yang ada di dalam silabus.
standar kompetensi: kemampuan yang dapat dilakukan atau ditampilkan untuk suatu mata pelajaran; kompetensi dalam mata pelajaran tertentu yang harus dimiliki oleh peserta didik; kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan dalam suatu mata pelajaran.
tagihan: berbagai bentuk ulangan atau ujian untuk menunjukkan tingkat kemampuan peserta didik dalam mata pelajaran tertentu.
teknik ujian: golongan ujian, yaitu “pertanyaan di kelas,” “Kuis,” “ulangan harian,” “tugas pekerjaan rumah” atau “uIangan akhir semester.”
tes acuan norma: tes yang berdasarkan anggapan bahwa kemampuan penempuh tes itu merupakan variabel yang mengikuti distribusi normal.
tes acuan kriteria: tes yang berdasarkan anggapan bahwa hampir semua orang dapat belajar (menguasai) materi pelajaran apa saja tetapi memerlukan waktu yang mungkin berbeda.
tes non objektif: jenis ujian yang penskorannya dapat dipengaruhi oleh subjektivitas pemberi skor.
tes objektif: jenis ujian yang penskorannya objektif, tidak bergantung pada subjektivitas pemberi skor.
tes pilihan ganda: jenis ujian yang bagi setiap butir soalnya tersedia sejumlah jawaban yang harus dipilih salah satu oleh penempuh tes karena hanya salah satu dari jawaban-jawaban itu yang benar.
ujian: proses kuantifikasi (pemberian angka) kemampuan peserta didik pada ranah kognitif dan psikomotorik.
ujian berkelanjutan: ujian yang hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang sudah dimiliki peserta didik peserta tes dan mengetahui kesulitan peserta didik, yang dilakukan sampai peserta didik menguasai semua kompetensi dasar.
ujian berkesinambungan: ujian yang hasilnya dianalisis (misalnya materi apa yang belum dikuasai oleh peserta didik) dan hasil analisis itu ditindaklanjuti.
validitas: kemampuan alat ukur yang memenuhi fungsinya sebagai alat ukur, alat ukur itu mampu mengukur apa yang harus diukur.
62
63
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
KISI-KISI PENILAIAN BERKELANJUTAN
Nama Mata Pelajaran: Bhs Inggris
Semestaer :
Kelas :
No.
Kompetensi dasar Materi Pokok IndikatorPenilaian
Contoh SoalJenis tagihan
Bentuk Instrumen
1.
64
Lampiran 2
1. Lembar Telaah Butir Soal Bentuk Uraian
JENIS PERSYARATANNOMOR SOAL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A. RANAH MATERI
1. Butir soal sesuai dengan indikator
2. Batasan pertanyaan dan jawaban yang diharapkan jelas
3. Isi materi sesuai dengan tujuan pengukuran
4. Isi materi yang ditanyakan sesuai dengan jenjang, jenis sekolah, dan tingkat kelas
B. RANAH KONSTRUKSI
5. Rumusan kalimat dalam bentuk kalimat tanya atau perintah yang menuntut jawaban terurai.
6. Ada petunjuk yang jelas cara mengerjakan/ menyelesaikan soal
7. Ada pedoman penskorannya
8. Tabel, grafik, diagram, kasus, atau yang sejenisnya bermakna (jelas keterangannya atau ada hubungannya dengan masalah yang ditanyakan
9. Butir soal tidak bergantung pada Butir Soal sebelumnya
C. RANAH BAHASA:
10. Rumusan kalimat komunikatif
11. Kalimat menggunakan bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan jenis bahasanya
12. Rumusan kalimat tidak menimbulkan penafsiran ganda atau salah pengertian.
13. Menggunakan bahasa/kata yang umum (bukan bahasa lokal)
14. Rumusan soal tidak mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan peserta didik.
65
2. LembarTelaah Butir Soal Bentuk Melengkapi
JENIS PERSYARATANNOMOR SOAL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A. RANAH MATERI
1. Butir soal sesuai dengan indikator
2. Batasan pertanyaan dan jawaban yang diharapkan jelas
3. Isi materi sesuai dengan tujuan pengukuran
4. Isi materi yang ditanyakan sesuai dengan jenjang, jenis sekolah, dan tingkat kelas
B. RANAH KONSTRUKSI
5. Rumusan kalimat dalam bentuk kalimat terbuka (yang belum lengkap) yang hanya memerlukan tambahan kata yang merupakan jawaban/kunci.
6. Butir soal tidak bergantung pada butir soal sebelumnya
C. RANAH BAHASA
7. Rumusan kalimat komunikatif
8. Kalimat menggunakan bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan jenis bahasanya
9. Rumusan kalimat tidak menimbulkan penafsiran ganda atau salah pengertian.
10. Menggunakan bahasa/kata yang umum (bukan bahasa lokal)
11. Rumusan soal tidak mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan peserta didik.
66
3. Lembar Telaah Butir Butir Soal Bentuk Pilihan Ganda (Multiple
Choise)
JENIS PERSYARATANNOMOR SOAL
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A. RANAH MATERI
1. Butir soal sesuai dengan indikator
2. Hanya ada satu kunci atau jawaban yang benar
3. Isi materi sesuai dengan tujuan pengukuran
4. Isi materi sesuai dengan jenjang, jenis sekolah dan tingkatan kelas
5. Pilihan/jawaban benar-benar berfungsi, jika pilihan/jawaban merupakan hasil perhitungan, maka pengecoh berupa pilihan yang salah rumus/salah hitung
B. RANAH KONSTRUKSI
6. Pokok soal (stem) dirumuskan dengan jelas
7. Rumusan soal dan pilihan dirumuskan dengan tegas
8. Pokok soal tidak memberi petunjuk/mengarah kepada pilihan jawaban yang benar
9. Pokok soal tidak mengandung pernyataan negatif genda
10. Bila terpaksa menggunakan kata negatif, maka harus digarisbawahi atau dicetak miring
11. Pilihan jawaban homogen
12. Hindari adanya alternatif jawaban : "seluruh jawaban di atas benar" atau "tak satu jawaban di atas yang benar" dan yang sejenisnya
13. Panjang alternatif/pilihan jawaban relatif sama, jangan ada yang sangat panjang dan ada yang sangat pendek
14. Pilihan jawaban dalam bentuk angka/waktu diurutkan.
15. Wacana, gambar, atau grafik benar-benar berfungsi
16. Antar butir soal tidak bergantung satu sama lain
C. RANAH BAHASA
17. Rumusan kalimat komunikatif
18. Kalimat menggunakan bahasa yang baik dan benar, sesuai dengan jenis bahasanya
19. Rumusan kalimat tidak menimbulkan penafsiran ganda atau salah pengertian.
20. Menggunakan bahasa/kata yang umum (bukan
67
bahasa lokal)
21. Rumusan soal tidak mengandung kata-kata yang dapat menyinggung perasaan peserta didik.
68
Lampiran 3
Hasil Analisis MicroCAT System
MicroCAT (tm) Testing System 1984, 1986, 1988 by Assessment. Systems Corporation
Item and Test Analysis Program-ITEMAN (tm) Version 3.00
Item analysis for data from file b: data 1.dat Item Statistics
Page 1
Seq.No.
Scale -Item
Prop.Correct Biser.
PointBiser. Alt.
Prop.Endorsing
Biser.Point Biser. Key
1 0-1 0.964 0.777 0329 1 2 3 4Other
0.9640.0150.0110.0060.004
0.777-0.464-0.962-0.513-0.593
0.329-0.145-0.270-0.110-0.109
*
2 0-2 0.979 0.871 0.305 1 2 3 4Other
0.0110.0060.9790.0040.000
-0.977-0.5130.871
-0.555-9.000
-0.274-0.110
0305-0.102-9.000
*
Dst. sampai nomer/butir soal terakhir.
Hasil analisis butir nomor 1 menunjukkan bahwa indeks kesukaran butir 0,964
(sangat mudah dan diartikan telah dikuasai peserta didik yang telah
berhasil dalam belajarnya), tetapi daya beda butir (nilai point biserial) cukup
baik yakni 0,329. Dari segi pengecoh, ketiganya kurang berfungsi karena kurang
dari 5% test! yang terkecoh, sementara ada 0,4% yang tidak menjawab (other =
0,004). Daya beda dan daya pengecoh hanya diperhatikan jika dipakai
untuk menganalisis butir soal acuan norma. Untuk keperluan remedi
bahwa yang dipakai adalah indeks kesukaran, bukan daya beda. Pada
akhir analisis ITEMAN menunjukkan informasi sbb:
69
MicroCAT (tm) Testing System1984, 1986, 1988 by Assessment. Systems Corporation
Item and Test Analysis Program-ITEMAN (tm) Version 3.00
Item analysis for data from file b:data I.dat Page …There were 30 examines in the data file.
Scala Statistics
Scale 0
N of Items 40N of Examinees 30Mean 17.633Variane 28.766Std. Dev. 5.363Skew 0.515Kurtosis -0.017Minimum 9.000Maximum 31.000Median 17.000Alpha 0.717SEM 2.854Mean P 0.441Mean Item-Tot. 0.284Mean Biserial 0.369
Artinya :
1. Butir soal yang dianalisis sebanyak 40 butir dan jumlah peserta tes sebanyak 30
orang.
2. Keandalan soal cukup tinggi, hal ini ditunjukkan oleh harga koefisien/acron back
alpha sebesar 0,717. Batas terendah yang diterima 0,70.
70
Lampiran 4.
Contoh Laporan Hasil Belajar Peserta didik Untuk Peserta didik
Nama peserta didik :
Nomor induk :
Ranah Kognitif:
No.
Nama Pelajaran
Pencapaian Belajar Keterangan
1. Matematika 60
Tidak lulus Perlu remidi : perkalian matrik
2. Bahasa Inggris 75
Lulus Perlu pengayaan : Reading Comprehension
3. Bahasa Indonesia60
Tidak lulus Perlu remidi : menyusun kalimat dengan berbagai pola kalimat
4. Fisika Dstnya.
40Tidak lulus Perlu remidi : - Struktur zat padat- Tata surya
Ranah Psikomotor
No.
Nama Pelajaran
Pencapaian Belajar Keterangan
1. Fisika 70
Tidak lulus Perlu remidi : merakitkomponen aktif danpasif dalam rangkaianelektronika
2. BiologiDsbnya.
90
Lulus Perlu pengayaan : Praktikum pencangkokanasimilasi
Batas Lulus Ranah Kognitif dan Psikomotor = Minimum 75
71
Contoh Laporan Hasil Belajar Peserta Didik Untuk Peserta didik
Lampiran 4 (Lanjutan)
Ranah Afektif : Minat Peserta didik
No.
Nama Pelajaran
Minat terhadap matapelajaran
1. Matematika Tinggi
2. Bahasa Inggris Tinggi
3. Bahasa Indonesia
Tinggi
4. Fisika Dstnya.
Sedang
Tidak ada Batas Lulus pada Skala Minat, informasi ini digunakan guru
untuk meningkatkan minat peserta didik
72
Lampiran 5.
Contoh Laporan Hasil Belajar Peserta didik Untuk Orangtua
Nama peserta didik :
Nomor induk :
Ranah Kognitif
No.
Nama Pelajaran Pencapaian Belajar
Kompetensi dasar yang belum dan telah
dikuasi
1. Matematika 65Perkalian matrik belum tuntas
2.Bahasa Inggris
75 Memperkenalkan diri dan bertegur sapa
3. Bahasa Indonesia
80 Membuat surat undangan
4. Fisika Dstnya.
65a. Struktur Zat Padatb. Tata Surya
Ranah Psikomotor
No.
Nama Pelajaran
Pencapaian BelajarKompetensi dasar yang telah dikuasi
1. Fisika 68
Merakit komponen aktif dan pasif dalam rangkaian elektroknika
3. Biologi Dstnya.
78
Batas lulus skor ranah kognitif dan psikomotor = 75
73
Untuk Orantua
Lampiran 5 (Lanjutan)
Ranah Afektif : Minat Peserta didik
No.
Nama Pelajaran
Besarnya minat terhadap matapelajaran
1. Matematika Tinggi
2. Bahasa Inggris Tinggi
3. Bahasa Indonesia
Tinggi
4. Fisika Dstnya.
Sedang
74
Lampiran 6.
Contoh Laporan Hasil Belajar Peserta Didik untuk Guru dan Sekolah
Kelas : Jumlah peserta
didik:
Nomor induk : Guru kelas:
Ranah Kognitif :
No.Nama pelajaran
Jumlah peserta didik dengan skor
Kompetensi dasar yang belum dikuasai
sebagian besar peserta didik
Sama ataudi atas 75
Lebih kecildari 75
1. Matematika
2. Bahasa Inggris
3. Bahasa Indonesia
4. Fisika Dstnya.
75
Ranah Psikomotor
No.Nama
pelajaran
Jumlah peserta didik dengan skorKompetensi dasar
yang belum dikuasai Sama ataudi atas 75 *)
Di bawah 75*)
1. Fisika
2. Biologi Dsbnya.
*) Format ini merupakan indikator minat kelas terhadap mata pelajaran,
dinyatakan dengan jumlah dan persen
76
Lampiran 7
MATRIKS SISTEM PENILAIAN BERKELANJUTAN SISWA SMU
Kelas : .................. Semester : ..................
Mata Pelajaran
: .........................................................................
NoKompetensi
DasarPekerjaan
rumahKuis
Ulangan harian
Portofolio
Ujian Blok/Waktu
1 V VUjian blok 1 20 Agustus 2003
2 V V
3 V V
4 V VUjian blok 2 1 Oktober2003
5 V
6 V
7 V Ujian blok 3 30 Oktober 20038 V V
Keterangan:
Tagihan kompetensi dasar bias dalam bentuk ulangan harian, tugas rumah, atau
kuis. Penilaian untuk penentuan pencapaian kompetensi dasar dilakukan melalui
ujian blok :
- Ujian blok 1 mencakup kompetensi dasar I sampai 3
- Ujian blok 2 mencakup kompetensi dasar 4 sampai 6
- Ujian blok 3 mencakup kompetensi dasar 7 sampai 8
Hasil ujian blok ditindaklanjuti dengan program remedial/perbaikan ................
……….
77
Lampiran 8
RANCANGAN SISTEM PENILAIAN
NoKompetensi
Dasar
Juli Agustus September Oktober
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 PR1 Blok 1
2 K1
3
4 PR2 Blok 2
5 K2
6 PR3
7 K3 Blok 3
8 PR4
9
Keterangan :
K1 : Kuis 1
PR1 : Pekerjaan Rumah 1
Blok 1 : Ulangan Blok 1 yang mencakup kompetensi dasar 1, 2, dan 3
78
CONTOH
LAPORAN HASIL BELAJAR SISWA
SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
…………………………………………..
Alamat Sekolah: …………………………………
Nama Sekolah : ………………………………………………….
No. Induk Siswa : ………………………………………………….
79
LAPORAN HASIL BELAJARSISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS (SMA)
Nama Siswa : …………………………………. Nama Sekolah :
………………………………….
Nomor Induk : …………………………………. Th. Pelajaran:
………………………………….
Program : IA/IS/BHS*)
Kelas/Semester : ………………………………….
No Mata Pelajaran
Nilai Hasil Belajar
Kognitif Psikomotor Afektif
Angka Huruf Angka Huruf Huruf
1 Pendidikan Agama
2 Kewarganegaraan
3 Bahasa dan Sastra Indonesia
4 Bahasa Indonesia
5 Bahasa Inggris
6 Matematika
7 Kesenian
8 Pendidikan Jasmani
9 Sejarah
10 Geografi
11 Ekonomi
12 Sosiologi
13 Antropologi
14 Fisika
15 Kimia
16 Biologi
17 Sastra Indonesia
18 Bahasa Asing Lainnya
19 Teknologi Informasi dan KomuniKasi
20 Keterampilan/Bahasa Asing.......................... **)
*) Coret yang tidak perlu**) Diisi sesuai dengan jenis keterampilan atau bahasa asing yang dipilih siswa.
…………….., …………………………..
80
Orang Tua/Wali Siswa
...................
Mengetahui
Kepala Sekolah
...................
Wali Kelas
...................Ketercapaian Kompetensi Siswa
Mata Pelajaran Keterangan
Pendidikan Agama
Kewarganegaraan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
Matematika
Kesenian
Pendidikan Jasmani
Sejarah
Geografi
Ekonomi
Sosiologi
Antropologi
Fisika
Kimia
Biologi
Sastra Indonesia
Bahasa Asing Lainnya
Teknologi Informasi dan Komunikasi
Keterampilan/Bahasa Asing………………………………………….
81
Kegiatan Ekstrakurikuler
No Jenis Kegiatan Keterangan
1
2
3
4
Ketidakhadiran
No Jenis Kegiatan Keterangan
1 Sakit
2 Izin
3 Tanpa keterangan
Kepribadian
No Jenis Kegiatan Keterangan
1 Kelakuan
2 Kerajinan/Kedisiplinan
3 Kerapihan
4 Kebersihan
Catalan Wali Kelas:
…………….., …………………………..
Orang Tua/Wali Siswa
...................
Mengetahui
Kepala Sekolah
...................
Wali Kelas
...................
82
CARA PENGISIAN LAPORAN HASIL BELAJAR
A. Tabel Laporan Hasil Belajar
1. Kolom kognitif diisi dengan nilai rata-rata pencapaian aspek kognitif dari
semua standar kompetensi mata pelajaran per semester yang terkait, dalam
bentuk angka dan huruf.
2. Kolom psikomotor diisi dengan nilai rata-rata aspek psikomotor dari suatu
mata pelajaran, yang dinilai aspek psikomotornya, dalam bentuk angka dan
huruf.
3. Nilai laporan hasil belajar per semester, merupakan nilai kumulatif dari
keseluruhan hasil penilaian yang diperoleh siswa selama mengikuti
pembelajaran pada semester yang terkait (lisan, tertulis, wawancara, kuis,
praktik, tugas-tugas dll.) termasuk hasil remidial.
4. Nilai tertinggi hasil remedial aspek kognitif dan psikomotor tidak melebihi
nilai standar minimum ketuntasan yang ditetapkan oleh sekolah.
5. Kolom afektif diisi dengan nilai mata pelajaran yang dapat dinilai aspek
afektifnya secara kualitatif. Aspek yang dinilai dapat berupa salah satu atau
lebih dari aspek minat, sikap, disiplin, atau aspek lainnya yang dipandang
penting oleh sekolah, dengan klasifikasi predikat: Tinggi, Sedang atau
Rendah. Kriteria klasifikasi predikat dimaksud ditetapkan oleh guru mata
pelajaran, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran terkait.
6. Penilaian aspek kognitif, psikomotor, dan afektif harus dijelaskan kepada
siswa di awal semester, telah dicapai, yang memuat predikat prestasi dan
deskripsi tentang ketercapaian kompetensi tersebut.
7. Klasifikasi predikat prestasi terdiri atas: Amat Baik (AB), Baik (B), Cukup (C),
dan Kurang (K).
83
Contoh : Pengisian Kolom Keterangan (Tabel Pencapaian Kompetensi Siswa)
No/Mata Pelajaran Keterangan
1Pendidikan Agama
Islam
Baik : kompetensi mendeskripsikan sumber ajaran Islam dan kerangka dasar Islam telah mencapai ketuntasan, tetapi kompetensi membaca Al-Qur'an perlu ditingkatkan.
4Bahasa Inggris
Cukup : kompetensi menulis paragraf dan menentukan ide utama telah mencapai ketuntasan, tetapi kompetensi bercakap-cakap masih kurang, dan kompetensi menulis surat perlu ditingkatkan.
6Matematika
Kurang : kompetensi tentang mendefinisikan rumus belum mencapai ketuntasan, penguasaan tentang materi yang berhubungan dengan ruang/dimensi tiga masih perlu ditingkatkan.
8Pendidikan
Jasmani
Baik : pada permainan bola basket untuk kompetesi melempar, menangkap, dan mendribel bola, telah mencapai ketuntasan, tetapi dalam hal teknik memasukkan bola ke dalam jaring masih perlu latihan intensif.
B. Tabel Kegiatan Ekstrakurikuler
Kolom keterangan diisi dengan uraian singkat tentang kompetensi/keterampilan
yang telah dicapai, yang memuat predikat prestasi dan deskripsi tentang
ketercapaian kompetensi/keterampilan tersebut.
Contoh: Pengisian Tabel Ekstrakurikuler
Jenis Kegiatan Keterangan
Olahraga Karate Baik: telah lulus ban kuning
Paskibra Cukup : dalam baris berbaris dan mengibarkan bendera masih perlu latihan kekompakan
UKS Baik : terampil melakukan pernafasan buatan
Seni Musik Gamelan
Cukup : sudah mampu menabuh gong untuk gending Kodok Ngorek
84
C. Tabel Ketidakhadiran
Ketidakhadiran siswa perlu dicatat dan dilaporkan kepada orang tua/wali siswa
dalam Laporan Hasil Belajar. Ketidakhadiran ini bukan hanya disebabkan sakit
atau izin saja, tetapi juga ketidakhadiran yang tidak disertai dengan surat
keterangan orangtua/wali siswa, atau dokter.
Contoh: Pengisian Tabel Ketidakhadiran
Alasan Ketidakhadiran Lama (jam/hari)
Sakit 5 hari
Izin 3 jam
Tanpa Keterangan 7 hari
D. Tabel Kepribadian
1. Kolom keterangan diisi dengan predikat prestasi kepribadian siswa yang
mencakup empat aspek yang dinilai.
2. Klasifikasi predikat prestasi kepribadian: Baik, Cukup, dan Kurang.
3. Siswa yang memperoleh predikat "Cukup" dan "Kurang" perlu diberi
penjelasan.
No.
Aspek yang Dinilai Keterangan
1. Kelakuan Baik
2. Kerajinan/Kedisiplinan Cukup: sering terlambat masuk kelas
3. Kerapihan Baik
4. Kebersihan Baik
85
PANDUAN SISTEM PENILAIAN,PENJURUSAN, KENAIKAN KELAS,
DAN PINDAH SEKOLAH
A. Skala Penilaian
1. Nilai (kognitif dan psikomotor) dinyatakan dalam bentuk angka bulat,
dengan rentang 0 -100, dan huruf.
2. Batas nilai maksimum ketuntasan: 100.
3. Batas nilai minimum ketuntasan per mata pelajaran ditentukan oleh sekolah
dan guru sebelum kegiatan pembelajaran dan penilaian dilakukan, dengan
catatan sekolah dan guru harus merencanakan target dalam waktu tertentu
untuk mencapai nilai ketuntasan maksimum.
B. Rapor Semester
Setiap akhir semester, Laporan Hasil Belajar Siswa disampaikan kepada siswa
dan orangtua/wali siswa.
C. Kenaikan Kelas
1. Dilaksanakan pada setiap akhir tahun pelajaran.
2. Siswa dinyatakan naik kelas, apabila memiliki nilai kurang paling banyak
pada tiga mata pelajaran, yang bukan merupakan mata pelajaran yang
menjadi ciri khas program/jurusan yang akan/sedang diambil/diikuti. Dengan
demikian, mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi ciri khas jurusan
harus mencapai nilai minimum ketuntasan yang ditetapkan oleh sekolah
yang bersangkutan.
D. Penjurusan
1. Dilaksanakan mulai kelas-XI (semester-1 kelas-XI).
2. Kriteria Penjurusan meliputi: minat, nilai akademik, pertimbangan Bimbingan
dan Konseling, dan orang tua/wali siswa.
3. Dalam menentukan jurusan, siswa terlebih dahulu ditanyakan minatnya,
apakah hendak:
a. Melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi (ke universitas),
b. bekerja di masyarakat, atau
c. Ke program studi llmu Alam, llmu Sosial, atau Bahasa, sesuai dengan
minat setelah lulus dari SMA.
Minat siswa dapat diketahui melalui angket/kuesioner dan wawancara. Lebih
baik lagi apabila sekolah dapat mengadakan tes psikologi untuk mendeteksi
86
minat, bakat, kecerdasan, potensi akademik, dan sebagainya.
4. Peran guru Bimbingan dan Konseling sangat berarti dalam menentukan
penjurusan seorang siswa, yang dilakukan baik dengan wawancara maupun
dengan pengisian angket/kuesioner, serta hasil tes psikologi (jika ada/dapat
dilakukan).
5. Siswa yang akan memasuki program llmu-ilmu Alam, llmu-ilmu Sosial, dan
Bahasa dipersyaratkan mencapai ketuntasan dalam mata pelajaran yang
sesuai dengan karakteristik program tersebut.
6. Siswa diberi kesempatan untuk pindah jurusan (multi-entry-multi-exit)
apabila ia tidak cocok pada jurusan semula atau tidak sesuai dengan
kemampuan dan kemajuan belajarnya. Sekolah harus memfasilitasi agar
siswa dapat mengejar standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus
dimiliki di kelas baru. Untuk itu diperlukan sistem administrasi kesiswaan
yang rapih dan akurat.
7. Batas waktu untuk pindah program/jurusan ditentukan oleh sekolah.
E. Pindah Sekolah
1. Sekolah harus memfasilitasi adanya siswa yang pindah Sekolah:
a. antara sekolah pelaksana KBK;
b. antara sekolah pelaksana KBK dengan sekolah bukan pelaksana KBK;
c. antara sekolah bukan pelaksana KBK dengan sekolah pelaksana KBK.
2. Sekolah dapat menentukan persyaratan pindah/mutasi siswa sesuai dengan
prinsip manajemen berbasis sekolah.
87