107
i Kewenangan mahkamah konstitusi dalam pengujian peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Daniek Okvita K. NIM E.0006097 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum (Skripsi)... · v Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendasar mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menerima, memproses, dan memutus

Embed Size (px)

Citation preview

i

Kewenangan mahkamah konstitusi dalam pengujian peraturan pemerintah

pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar negara

Republik Indonesia Tahun 1945

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh

Daniek Okvita K.

NIM E.0006097

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

PERSETUJUAN PEMBIMBING

ii

Penulisan Hukum (Skripsi)

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM

PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-

UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Oleh

DANIEK OKVITA K.

NIM. E0006097

Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum

(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 09 Juli 2010

Dosen Pembimbing

Aminah, S.H., M.H.

NIP. 195105131981032001

Co. Pembimbing

Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H.

NIP. 197006212006042001

PENGESAHAN PENGUJI

iii

Penulisan Hukum (Skripsi)

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Oleh

DANIEK OKVITA K

NIM. E0006097

Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)

Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

pada :

Hari : Senin

Tanggal : 26 Juli 2010

DEWAN PENGUJI

1. Sunarno Danusastro, S.H.,M.H. : ………………………

NIP. 194712311975031001 Ketua Penguji

2. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H. : ……………………….

NIP. 197006212006042001 Penguji I

3. Aminah, S.H.,M.H. : ……………………….

NIP. 195105131981032001 Penguji II

Mengetahui

Dekan,

Mohammad Jamin, S.H, M.Hum.

NIP. 196109301986011001 PERNYATAAN

iv

Nama : Daniek Okvita K.

NIM : E0006097

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya

saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan

dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak

benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan

penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum

(skripsi) ini.

Surakarta, 10 Juli 2010

yang membuat pernyataan

Daniek Okvita K NIM. E0006097

ABSTRAK

v

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendasar mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menerima, memproses, dan memutus perkara mengenai pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya dalam hal dasar konstitusionalitas dan pertimbangan hukum para Hakim Mahkamah Konstitusi menguji pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum dalam konsep hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto, maka penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif, yang bersifat penelitian terhadap sistematik hukum dan penelitian terhadap perbandingan hukum. Bentuk penelitian ini ialah penelitian preskriptif dan terapan, yang mendapatkan saran guna mengatasi masalah. Pendekatan penelitian yang digunakan meliputi pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan perbandingan. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa studi dokumen dan bahan pustaka melalui dokumen resmi (putusan), buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, serta pengumpulan data melalui media elektronik yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif, yaitu dari pegajuan premis major (pernyataan bersifat umum) kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan.

Berdasarkan pembahasan dihasilkan simpulan, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga negara yang berhak menafsirkan konstitusi telah menetapkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, meskipun hal itu itu tidak ada landasan secara yuridisnya. Sebagai dasar hukumnya hanyalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mendudukkan Perpu itu sejajar dengan undang-undang, dengan didukung alasan-alasan hukum lain diantaranya penafsiran sosiologis yaitu akan kebutuhan masyarakat dan kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi melakukan langkah progresif untuk mengamankan hukum dari potensi penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang objek pengujiannya berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang, kemudian pada perkara yang sama putusan tersebut dijadikan yurisprudensi dalam Putusan Perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan Terhadap Undang-Undang Dasar.

vi

Indonesia sudah seharusnya mengadopsi pula bahwa peradilan untuk segala peraturan perundang-undangan di Indonesia dijadikan satu atap di Mahkamah Konstitusi.

Kata kunci: Mahkamah Konstitusi, Pengujian Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

ABSTRACT Daniek Okvita Kusumaningrum, E0006097. 2010. THE CONSTITUTIONAL COURT’S AUTHORITY IN REVIEW THE ACT-ALTERNATE GOVERNMENTAL REGULATION AGAINST INDONESIAN

vii

REPUBLIC’S 1945 CONSTITUTION. Law Faculty of Surakarta Sebelas Maret University.

This research has a purpose to know deeper about the authority of constitution court in receiving, processing, and determining lawsuit of act-alternate governmental regulation against Indonesian Republic’s 1945 Constitution, particularly in the term of constitutional foundation and legal deliberation of the Constitutional Court’s Judges in Review act-alternate governmental regulation against Indonesian Republic’s 1945 Constitution.

This research belongs to a law research type in the law concept what is determined by a judge in concreto, thus this research involves to normative law research—study both of systematic law and appealing law. The type of this research is prescriptive and applied methods to overcome the research problem. The research approaches cover law approach, case approach, and applied approach. The used data type is secondary data. The sources of the secondary data come from primary, secondary, and tertiary of law material. The data collecting technique is document study such as legitimate document, literature books, the written legislation and moreover, the data gathering technique comes from electronic media relating to the research. The data analyzing technique uses deductive logic which is started from major premise submission (general expression) and then cone to minor premise (particularity), then a conclusion is got from the both premises.

Based on the discussion, there is a conclusion of the reseach that is Constitutional Court as the only state institution that has the right to construe t constitution has a power to do that the Constitutional Court is authorized to review the act-alternate governmental regulation against Indonesian Republic’s 1945 Constitution, even though that matter has no base juridically. As the legal foundation there is Act Number 10 of 2004 about legislation formation setting up the legislation equal with the law which is supported by the other argumentations including sociology interpretation about the society need and legal certainty. The Constitutional Court commited progressive step to secure the law from authority manipulation potension. This matter has been proven by the presence of Constitutional court decision No 138/PUU-VII/2009 about the Review of Act-Alternate Governmental Regulation Number 4 of 2009 about the Amendment of Act Number 30 of 2002 about concerning corruprion eradication committee about testing law surrogate of government regulation. Then at the same case that decision become jurisprudence in the court decision No 145/PUU-VII/2009 over about the Review of Act-Alternate Governmental Regulation Number 4 of 2008 about financial system safety net toward the constitutional. Indonesia shloud make any legislation justice under the umbrella of constitutional court. Keywords: Constitutional Court, Judicial Review, Act-Alternate Governmental Regulation.

viii

MOTTO

ix

“... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan

boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah

maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

(QS Al Baqaroh: 216)

Nabi Muhammad SAW bersabda : “Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu

lau dirahasiakannya, maka dia akan datang pada hari kiamat dengan

kendali (di mulutnya) dari api neraka.”

(HR. Abu Dawud)

Sepanjang hidup aku akan mengalami kemenangan dan kekalahan. Tapi aku

tidak akan pernah menyesal, karena aku tahu bahwa telah menjadikan setiap

saat dalam hidupku berarti. Terkadang kita harus mengalami kekalahan dulu

untuk mencapai kemenangan.

(Beth Wiliams)

Aku selalu siap untuk belajar; tapi aku tidak selalu suka untuk diajari.

(Winston Churchil)

PERSEMBAHAN

x

Karya kecil ini penulis persembahkan :

· Allah SWT, Tiada Tuhan selain Engkau

dan tiada sekutu bagi-Nya;

· Rasul-ku Muhammad SAW, suri

tauladan yang terbaik;

· Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa

tak pernah lelah mendo’akan dan

mendukung mengapai cita-cita,

kesuksesan dan kebahagiaanku;

· Kakakku di surga, kau adalah inspirasi,

dan adikku, kau adalah motivasi;

· Keluarga besarku yang selalu

mendoakanku;

· Almamaterku, Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

· Semua guru dan dosenku yang telah

mendidikku;

· Semua orang-orang yang telah dengan

tulus menyayangiku dengan caranya

masing-masing;

KATA PENGANTAR

xi

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan

Maha Penyayang atas limpahan nikmat-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) dengan judul: “KEWENANGAN

MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN PERATURAN

PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TERHADAP

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN

1945”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi tugas akhir sebagai

syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya laporan penulisan hukum

atau skripsi ini tidak lepas dari bantuan serta dukungan, baik materiil maupun

moril yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini

dengan rendah hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya

kepada :

1. ALLAH SWT yang telah menciptakanku dan memberikan limpahan nikmat

kepada penulis.

2. Nabi Besar Muhammad SAW, junjunganku dan juga suri tauladan yang

terbaik.

3. Keluarga kecilku yang selalu menemani setiap detik hidupku, Ayahku tercinta

Sutatmo, Bundaku tercinta, Sri Sulastri, Kakakku di surga, Danang Yanuar,

Adikku Asa, terima kasih untuk yang selalu membahagiakanku. Tak bisa

banyak ku kan memberi, namun lihatlah itu adalah sebagai ketulusan yang

murni dari dasar hati ini.

4. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

5. Ibu Aminah, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang telah

membantu dalam penunjukan dosen pembimbing skripsi sekaligus juga selaku

Pembimbing Skripsi ini yang tidak lelah berbagi ilmu dan memberi masukan.

6. Ibu Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H selaku Pembimbing Skripsi yang di

dalam kesibukan beliau telah bersedia meluangkan waktu serta pikirannya

untuk memberikan bimbingan bagi tersusunnya skripsi ini.

xii

7. Sunarno Danusastro, S.H.,M.H., selaku Ketua Penguji, terima kasih atas

banyak masukan dan sarannya.

8. Ibu Diana Tantri C, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik terimakasih

atas bimbingan, cerita, petuah hidup dan nasihatnya selama penulis menuntut

ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

9. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis sehingga

dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini dan semoga kedepannya

dapat penulis amalkan.

10. Pengelola Penulisan Hukum (PPH) yang telah membantu dalam mengurus

prosedur-prosedur skripsi mulai dari pengajuan judul skripsi, pelaksanaan

seminar proposal sampai dengan pendaftaran ujian skripsi.

11. Segenap staf Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret atas

bantuannya yang memudahkan penulis mencari bahan-bahan referensi untuk

penulisan penelitian ini.

12. Segenap staff dan karyawan Fakultas Hukum UNS yang selama ini telah

memberikan pelayanan dan menjalin hubungan yang baik dengan penulis.

13. Keluarga besarku tercinta yang selalu mendoakan dan mendukungku.

14. Gadis-gadis tersayangku yang kan selalu ku nikmati detil keindahan dan canda

tawa yang menyemarakkan dunia ini, untuk : Andryana Damayanti, Sheila

Kusumah, Arifiati Dian, Erlina Hapsari, Arunda Fatetani, Isnana Ratnamurti,

Kunthi Utami, Nino Bernyoman, dan Nunkie Hernawati. Kami tumbuh

dewasa bersama dan saling membagi suka duka.

15. Rekan-rekan seperjuanganku yang telah berjuang bersama, Mutmaini, Anin,

Andri, Agus, Farit, Amel, Ulin, mbak Fitri, mbak Nana, mbak Nunik, mbak

Putri, mbak Atika, mas Rosyid, mas Tri Rahmat, mas Hendri, Nana, Pipin,

Wisnu, Adel, Chandra, Angga, Dhaniar, Gilang, Afian, Mas Ibnu. Mari kita

buat lembaran kehidupan yang lebih bermakna unutk dikenang di kemudian

hari. Terima kasih atas dukungan dan segalanya, Mamox, Irson Argo, Sudadi,

Irawan, David, Rio, Fajri, Doni.

xiii

16. Sobat-sobat, Angkatan 2006, tali silahturahmi itu akan selalu terjalin kawan.

Tanpa aku lupakan banyak hal dari Fakultas Hukum dari seluruh angkatan.

Kaliyan menyenangkan.

17. BEM FH UNS dan KSP Principium tempat penulis menempa diri, mengabdi

dan wadah bagi penulis untuk mengaktualisasikan diri selama menjadi

mahasiswa, organisasi yang begitu berharga bagi penulis yang memberikan

banyak pengalaman, persahabatan, kasih sayang, tanggung jawab dan banyak

kisah yang tidak mungkin terlupakan.

18. Seluruh Guru serta teman-teman TK, SD, SMP, dan SMU yang telah menjadi

bagian hidup penulis.

19. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan

penulisan hukum ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini terdapat banyak

kekurangan, untuk itu penulis dengan besar hati menerima kritik dan saran yang

membangun, sehingga dapat memperkaya penulisan hukum ini. Semoga sebuah

karya kecil ini mampu memberikan manfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Surakarta, 10 Juli 2010

Penulis,

Daniek Okvita K.

E0006097

DAFTAR ISI

Halaman

xiv

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ....................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... viii

KATA PENGANTAR .................................................................................... ix

DAFTAR ISI ................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Rumusan masalah ................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian .................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian .................................................................. 7

E. Metode Penelitian ................................................................... 8

F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................ 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori……………………………………………..... 17

1. Tinjauan Umum Tentang Konstitusi……….…………….. 17

a. Istilah Konstitusi........................................................... 17

b. Pergertian Konstitusi.................................................... 17

c. Sifat Konstitusi............................................................. 18

d. Substansi Konstitusi...................................................... 19

e. Fungsi Konstitusi.......................................................... 20

f. Perubahan Konstitusi..................................................... 21

g. Penafsiran Konstitusi.................................................... 22

2. Tinjauan Tentang Umum Tentang Mahkamah Konstitusi.. 25

a. Riwayat Pembentukan Mahkamah Konstitusi di

Indonesia....................................................................... 25

b. Kedudukan, Tugas, Fungsi, Visi dan Misi Mahkamah

Konstitusi...................................................................... 26

xv

c. Kewenagan Mahkamah Konstitusi............................... 27

d. Pelaksanaan Kewenangan Mahkamah Konstitusi secara

Rinci, khususnya Kewenangan Pengujian Undang-

Undang......................................................................... 28

e. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.......................... 29

1) Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.... 29

2) Hukum Acara Umum.............................................. 30

3) Hukum Acara Khusus : Pengujian Undang-Undang 36

3. Tinjauan Umum Tentang Pengujian Undang-Undang........ 40

a. Pengertian Pengujian Undang-Undang........................ 40

b. Tiga Model Utama Pengujian Undang-Undang........... 43

4. Tinjauan Umum Tentang Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang.................................................................. 45

a. Pengertian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang......................................................................... 45

b. Pengertian Undang-Undang......................................... 47

c. Pembandingan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang dengan Undang-Undang................... 48

B. Kerangka Pemikiran................................................................ 51

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Konstitusionalitas Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945……..……………………………….. 53

1. Amanat Konstitusi terhadap Kewenangan oleh Mahkamah 53

2. Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi Menguji Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945... 61

a. Pengujian Undang-Undang Secara Materiil................ 65

b. Pengujian Undang-Undang Secara Formil................... 67

c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Sebagai

xvi

Objek Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi..... 70

B. Pertimbangan-Pertimbangan Hukum Kewenangan Mahkamah

Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945....... ………………………. 81

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................ 86

B. Saran....................................................................................... 87

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ ... 90

xvii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada Prinsipnya setiap negara harus berlandaskan pada sebuah sistem

ketatanegaraan yang baik yaitu dalam penyelenggaraan pelaksanaan

kehidupan ketatanegaraannya. Sistem ketatanegaraan antara negara yang satu

dengan negara yang lain tentulah tidak sama persis karena setiap bangsa dan

negara memiliki ciri khas dan karakter sendiri-sendiri. Sistem ketatanegaraan

tersebut diantaranya meliputi sistem pemerintahan, bentuk negara, bentuk

pemerintahan, sistem politik, dan lain-lain yang berhubungan dengan

berjalannya suatu negara. Terdapatnya ciri khas dan karakter tiap-tiap negara

mendorong negara tersebut untuk mengkombinasikan beberapa sistem

ketatanegaraan sehingga didapatkan sistem ketatanegaraan yang dirasa sesuai

dengan kondisi negara tersebut. Hal ini boleh-boleh saja karena memang tidak

ada standar baku yang harus diikuti, yang ada adalah standar/ norma-norma

umum yang boleh dimodifikasi sesuai kebutuhan dan kepentingan rakyatnya.

Begitupula Indonesia, menganut sistem ketatanegaraan sendiri yang tentunya

telah disesuaikan dengan kepribadian dan karakteristik Indonesia sebagai

negara berdaulat yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, kultur

masyarakat, budaya, beragam etnis, serta terdiri dari ribuan pulau. Dalam

rangka mencari sistem ideal yang menampung beragam kepentingan dan

unsur-unsur keberagaman Indonesia tersebut, sistem ketatanegaraan kita telah

mengalami banyak perubahan fundamental dari masa ke masa.

Indonesia dalam sepanjang sejarahnya mengalami berbagai perubahan

dalam hal sistem ketatanegaraan namun tetap mempunyai pedoman yang

kokoh, yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Pancasila dan Pembukaan UUD

1945 tidak akan mengalami perubahan, karena jikalau menglami perubahan

adalah sama dengan membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pancasila ialah sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di

xviii

Indonesia. Sedangkan UUD 1945 ialah sebagai pedoman tertinggi pelaksanaan

penyelenggaraan negara, atau yang disebut Konstitusi (dalam arti sempit).

Indonesia juga menganut asas pembagian kekuasaan yaitu kekuasaan

eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Ketiganya memiliki

fungsi dan tugas masing-masing yang jelas dan terang diatur dalam Konstitusi.

Kekuasaan eksekutif yaitu Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan seluruh

yang disebut pemerintah yang menjalankan pemerintahan. Kekuasaan

legislatif ialah kekuasaan yang membuat legislasi atau undang-undang, yaitu

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan yudikatif di Indonesia ada pada

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung adalah

kekuasaaan yudikatif yang membawahi peradilan umum, peradilan tata usaha

negara, peradilan militer, dan peradilan agama. Sedangkan Mahkamah

Konstitusi, sering disebut sebagai pengawal konstitusi (guardian of

constitution) yaitu mengawal tetap tegaknya pelaksanaan konstitusi secara

benar dan lurus.

Mulanya perdebatan mengenai pengujian produk hukum berupa undang-

undang itu menjadi kewenangan siapa yang akhirnya memunculkan gagasan

perlu adanya lembaga baru untuk menanganinya. Mahkamah Agung adalah

satu-satunya lembaga kekuasaan yudikatif tertinggi yang ada di Indonesia,

sebelum adanya Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung hanya berwenang

untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Undang-undang adalah produk hukum dari dua lembaga tinggi negara, yaitu

Presiden dan DPR, sehingga ada yang berpendapat tidak mungkin

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Kalaupun undang-undang bisa

diuji, hanya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang boleh mengujinya,

yang merupakan lembaga tertinggi negara pada saat itu. Pertimbangan lain,

bahwa undang-undang yang dikeluarkan oleh dua lembaga tinggi negara tidak

boleh diuji oleh lembaga tinggi negara yang setingkat. Maka dalam perubahan

UUD 1945 ketiga dibentuklah sebuah lembaga tinggi negara di bidang

yudikatif yang bertugas menangani hal tersebut yaitu Mahkamah Konstitusi.

Selain itu MPR juga diposisikan sebagai lembaga tinggi negara biasa yang

xix

setingkat dengan lembaga negara lainnya dan bukan lagi sebagai lembaga

tertinggi negara. Lalu dengan adanya perubahan Konstitusi tersebut berarti

sedikit banyak telah mengubah sistem ketatanegaraan yang ada. Salah satu

perubahannya adalah tidak ada lagi lembaga tertinggi negara dan lahirnya

Mahkamah Konstitusi sebagai tambahan kekuasaan yudikatif.

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga tinggi negara yang terbentuk

atas perubahan Konstitusi ketiga pada tahun 2001. Kata “Mahkamah

Konstitusi” telah disebutkan pada Pasal 24 UUD 1945, dan dijabarkan

kemudian pada Pasal 24C. Pasal 24C ayat (1) berbunyi, “Mahkamah

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran

partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.” Pada ayat (2)-nya

menyatakan tentang satu kewajiban dari Mahkamah Konstitusi yaitu

memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden, atau yang biasa disebut impeachment.

Dilihat dari namanya sudah terdapat kata “Konstitusi” maka kewenangan dan

kewajibannya keseluruhan berhubungan dan diatur dengan Konstitusi.

Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 berbunyi, “Mahkamah Konstitusi

dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk

segala kewengannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.” Selanjutnya atas

amanat Konstitusi tersebut, berbagai proses dilaksanakan untuk membentuk

suatu lembaga baru tersebut. Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan

Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, kemudian disepakati oleh

Pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13

Agustus 2003. Pada hari itu pula, Undang-Undang tentang Mahkamah

Konstitusi ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan

dimuat dalam Lembaran Negara, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi.

Dari ketentuan tersebut maka dikenallah kemudian satu lagi lembaga

xx

tinggi negara, yaitu Mahkamah Konstitusi. “Mahkamah Konstitusi sebagai

lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang salah satu kewenangannya

adalah menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dalam rangka mewujudkan negara demokrasi yang berdasarkan

hukum sebagaimana termaksud dalam Pasal 1 UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.” (Muhammad Bahrul Ulum dan Dizar Al Farizi,

2009:84).

Mahkamah Konstitusi sangat dikenal dengan salah satu kewenangannya,

yang memang menjadi dasar awal pembentukannya, yaitu pengujian undang-

undang (PUU) terhadap UUD. Gagasan mengenai PUU ini adalah guna

perlindungan terhadap hak asasi manusia, khususnya perlindungan terhadap

hak konstitusional warga negara yang merasa dirugikan dengan adanya norma

pada undang-undang. Oleh karena itu, secara awam Mahkamah Konstitusi

dikatakan adalah lembaga yang hanya untuk menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar walaupun sebenarnya Mahkamah Konstitusi masih

punya kewenangan yang lain sebagaimana diamanatkan dalam Konstitusi

yaitu memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, membubarkan

partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta

satu kewajibannya untuk memberikan putusan atas pendapat DPR tentang

impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sesuai Pasal 4 Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, permohonan pengujian undang-

undang itu dapat berupa pengujian materiil dan pengujian formil.

Perkembangannya pengujian undang-undang ini ternyata tidak sebatas

pada permasalahan umum seperti kedudukan hukum (legal standing)

pemohon ataupun implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi. Adanya

pengujian peraturan pemerintah pengganti undang-undang terhadap UUD

1945 oleh Mahkamah Konstitusi menjadi sorotan menarik. Bahwasannya

secara yuridis hal ini tidak diatur tetapi ada dalam prakteknya. Kewenangan

Mahkamah Konstitusi pada Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya

menyebutkan menguji undang-undang, tidak ada tambahan frasa “atau

xxi

peraturan yang setingkat”. Praktek ketatanegaraan ini dapat saja terjadi, hal ini

juga diungkapkan Thomas Poole, ”Judicial review has become normal or

normalized, then, a basic accoutrement of the rule of law within a

constitutional democracy. (This does not mean that it has become

uncontroversial. Public law being a form of politics, it could hardly be so).

But a competing, anti-normalizing tendency is fast becoming a defining theme

of 21st century politics.” (Thomas Poole: 2010)

Pengujian Perpu terhadap UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi juga

memunculkan analisis mengenai perbandingan Perpu dibandingkan undang-

undang. Karena sesuai Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mendudukkan

Perpu itu sejajar dengan undang-undang, bahwa Perpu itu satu nafas dengan

undang-undang. Maka analisis berikutnya ialah mencari persamaan serta

perbedaan diantara Perpu dan undang-undang baik secara materiil dan formil,

yang menjadi salah satu dasar Mahkamah Konstitusi dapat menguji Perpu.

Pengujian Perpu juga dapat diajukan untuk pengujian materiil dan pengujian

formil, karena notabene-nya pengujian Perpu adalah sama dengan pengujian

undang-undang biasa.

Dengan alasan tersebut maka Mahkamah Konstitusi telah menerima,

memproses, hingga memutus Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 mengenai

Pengujian Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada pro dan

kontra dibalik pengujian Perpu ini oleh Mahkamah Konstitusi, bahwa apakah

memang Mahkamah Konstitusi itu benar-benar berwenang dalam pengujian

undang-undang yang objeknya berupa Perpu. Dengan adanya praktek

pengujian Perpu melalui Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 menandakan

seakan-akan Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan yang baru yaitu

pengujian terhadap objek berbentuk Perpu. Mahkamah Konstitusi dipandang

menyalahi secara yuridis, namun dibenarkan dengan unsur sosiologis yaitu

kebutuhan masyarakat dan kepastian hukum. Maka sebagai pembenaran pula,

xxii

putusan Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 akan menjadi yurisprudensi pada

perkara yang sama nantinya oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dibuktikan

pada Putusan Perkara Nomor 145/PUU-VII/2009 mengenai Pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008

Tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan Terhadap Undang-Undang Dasar

yang menggunakan yurisprudensi dari Putusan Perkara Nomor 138/PUU-

VII/2009.

Pengujian Perpu terhadap UUD 1945 telah terjadi pada prakteknya diuji

oleh Mahkamah Konstitusi. Terdapat hal-hal penting dan menarik berkaitan

kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Perpu terhadap UUD

1945 yang kemudian telah menginspirasi Penulis untuk menganalisis lebih

mendalam dan secara yuridis melalui penelitian yang berjudul “Kewenangan

Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945”.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah terurai di atas maka secara spesifikasi, dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apa dasar konstitusionalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam

pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

2. Apa pertimbangan-pertimbangan hukum kewenangan Mahkamah Konstitusi

dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian pada prinsipnya harus memiliki suatu tujuan tertentu yang

ingin dicapai. Tujuan penelitian harus jelas sehingga dapat memberikan arah

yang tepat dalam pelaksanaan penelitian. Oleh karena itu, tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

xxiii

1. Tujuan Objektif

a. untuk mengetahui yang menjadi dasar secara konstitusionalitas

mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. untuk mengetahui hal-hal yang menjadi pertimbangan-pertimbangan

hukum bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang dalam pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Tujuan Subjektif

a. menambah dan mengembangkan pengetahuan, wawasan, serta

kemampuan penulis dalam mengkaji permasalahan yang berada pada

lingkup bidang hukum tata negara, khususnya mengenai kewenangan

Mahkamah Konstitusi dalam hal pengujian Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan

dalam program studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret.

c. menerapkan ilmu dan teori yang telah didapat serta dipelajari selama

masa perkuliahan.

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya suatu penelitian diharapkan memberikan manfaat dan

kegunaan, sehingga memberikan nilai dan daya guna pada hasil penulisan

hukum ini. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penulis mengharapkan adanya

manfaat dari penulisan hukum ini ialah:

1. Manfaat Teoritis

xxiv

a. hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dan informasi bagi pengembangan ilmu hukum pada

umumnya seta bidang ilmu hukum tata negara pada khususnya.

b. hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan

literatur dalam kepustakaan mengenai Mahkamah Konstitusi tertuama

dalam hal pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perpu) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

c. hasil penelitian ini nantinya dapat dipakai sebagai acuan bagi

penelitian-penelitian yang sejenis dan berkaitan.

2. Manfaat Praktis

a. memberikan jawaban dan penjelasan atas permasalahan yang diteliti.

b. menjadi sarana bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan

penalaran serta membentuk pola pikir ilmiah.

E. Metode Penelitian

Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini dapat diuraikan

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, konsep hukum itu ada lima yaitu

(1) Hukum adalah asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati

dan berlaku universal (law as what ought to be). Tipe kajiannya adalah

filsafat hukum, metode penelitian logika-deduksi, berpangkal pada premis

normatif. (2) Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem

perundang-undangan hukum nasional. Tipe kajiannya ajaran hukum murni

yang mengkaji law as it is written in the books, metode penelitian

doktrinal, logika deduksi dan berorientasi positif. (3) Hukum adalah apa

yang diputuskan oleh hakim in concreto, tersistematisasi sebagai judge

made law. Mengkaji law as it is decides by judges through judicial

xxv

processed, metode penelitian doktrinal, non doktrinal, logika induktif. (4)

Hukum adalah pola perilaku sosial yang terlembaga eksis sebagai variabel

sosial yang empiris. Tipe kajiannya sosiologi hukum, mengkaji law as it is

in society, metode penelitian non doktrinal, penelitinya menggunakan

sosiolog orientasi struktural. (5) Hukum adalah manifestasi makna-makna

simbolik para perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi antar

mereka. Tipe kajian sosiologi atau antropologi hukum, mengkaji law is it

is in (human) action, non-doktrinal. Pada angka (1), (2), dan (3)

merupakan penelitian hukum normatif (norma), sedangkan angka (4) dan

(5) merupakan penelitian hukum empirik (sosial).

Penelitian hukum ini termasuk jenis penelitian hukum dalam konsep

hukum yang ketiga, yaitu hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim

in concreto, tersistematisasi sebagai judge made law. Karena pada

dasarnya hal yang akan diteliti adalah suatu peristiwa hukum yang tidak

diatur yuridis namun ada dalam prakteknya dan itu hasil dari yang

diputuskan hakim. Penelitian ini masuk dalam angka (3) sehingga

penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif.

2. Sifat Penelitian

Sesuai pandangan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang

dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, dapat

dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan.

Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup (Soerjono

Soekanto, 2001: 3-14):

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum

2. Penelitian terhadap sistematik hukum

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal

4. Penelitian terhadap perbandingan hukum

5. Penelitian terhadap sejarah hukum.

Menurut uraian tersebut, penelitian ini termasuk dalam penelitian

hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yang mempunyai sifat

xxvi

penelitian terhadap sistematik hukum dan perbandingan hukum. Penelitian

terhadap sistematik hukum yaitu kedudukan sederajat Perpu dan UU

sesuai UU Nomor 10 Tahun 2004. Penelitian terhadap perbandingan

hukum yaitu dalam hal ini membandingkan analisis formil dan analisis

materiil terhadap Perpu dan UU.

3. Bentuk Penelitian

Berdasarkan teori Soetiono (Makalah S2: Macam-Macam Penelitian),

yakni bentuk penelitian itu terdiri dari diagnostik, preskiptif, dan evaluatif.

Bentuk penelitian yang sesuai dengan penelitian hukum ini adalah

penelitian preskriptif atau terapan, yaitu penelitian untuk mendapatkan

saran guna mengatasi masalah. Begitu pula dengan pendapat Peter

Mahmud Marzuki bahwa ilmu hukum mempunyai karateristik sebagai

ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009:

22).

Penelitian ini diawali mencari sebab yang diakhiri dengan mencari

saran atas masalah yang ada. Sebab sebagai permulaan ialah dengan

diterima, diproses, dan diputusnya pengujian Perpu terhadap UUD oleh

Mahkamah Konstitusi. Kemudian menjadi pro dan kontra terhadap

kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu, oleh karena itu

akan dibahas saran dan teori tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi

dalam menguji Perpu tersebut.

4. Pendekatan Penelitian

Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap legal

issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach)

yang digunakan. Jika cara pendekatan tidak tepat, maka bobot penelitian

tidak akurat dan kebenarannya pun dapat digugurkan (Jhonny Ibrahim,

2007: 299).

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian hukum

terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan

xxvii

(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach),

dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud

Marzuki, 2005: 93). Sedangkan menurut Jhonny Ibrahim dari kelima

pendekatan tersebut ditambah dengan pendekatan analitis (analytical

approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach) berikut

(Jhonny Ibrahim, 2005: 246).

Penelitian hukum ini menurut beberapa pendekatan di atas yang paling

relevan adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan

kasus (case approach), dan pendekatan perbandingan (comparative

approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan

dengan mendekati masalah yang akan diteliti dengan menggunakan sifat

hukum yang normatif, karena dalam penelitian hukum ini hukum

dikonsepkan sebagai norma tertulis yang dibuat oleh lembaga atau pejabat

yang berwenang. Pengkajian dilakukan hanya terbatas pada peraturan

tertulis terkait pokok dari permasalahan yang diangkat. Pendekatan

undang-undang (statute approach) itu didasarkan pada empat undang-

undang dan satu putusan yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta Putusan

Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009. Untuk

pendekatan kasus (case approach), diambil dari isi Putusan Mahkamah

Konstitusi Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009, terutama pada pendapat

berbeda (dissenting opinion) dan alasan berbeda (concurring opinion) para

hakim yang terdapat pada lampiran putusan. Pendekatan perbandingan

(comparative approach) yaitu membandingkan kewenangan Mahkamah

Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang secara analisis materiil dan analisis formil yang meliputi

xxviii

perbandingan kewenagan judicial review dengan negara lain,

perbandingan UU dan Perpu, serta pembedaan uji materiil dan uji formil.

5. Jenis Data Penelitian

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini adalah data

sekunder, yaitu data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku referensi, jurnal, makalah, artikel intenet, dan sebagainya yang

berkaitan serta mendukung pokok bahasan yang dikaji.

6. Sumber Data Penelitian

Sumber data yang diambil sesuai dengan penelitian hukum ini ialah

sumber data sekunder. Sebagaimana data sekunder mencakup (Soerjono

Soekanto, 2006: 52):

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam

penelitian hukum ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari

norma atau kaedah dasar, ialah Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, peraturan perundang-undangan

seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta Putusan

Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 dan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai obyek

penelitiannya.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa semua

publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen

resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku referensi terkait

kasus yang diteliti, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan

xxix

hukum, jurnal hukum, makalah hukum dan media cetak (koran,

majalah).

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

dapat berupa artikel internet, ensiklopedia, maupun kamus.

7. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian hukum ini didasarkan pada teknik pengumpulan data berupa

studi dokumen atau bahan pustaka. Studi dokumen atau bahan pustaka ini

meliputi usaha-usaha pengumpulan data dengan cara mendatangi

perpustakaan, dengan membaca, mengkaji, dan mempelajari dokumen-

dokumen resmi bahan penelitian, buku-buku referensi, karangan ilmiah

terutama di bidang hukum, artikel hukum, makalah, dan sebagainya yang

berkaitan pokok bahasan yang akan dibahas dan dikaji.

8. Teknik Analisis Data

Pada teknik analisis data, penelitian hukum ini menggunakan teknik

analisis dengan logika deduktif. Jhonny Ibrahim yang mengutip pendapat

Bernand Areif Shiharta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk

menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang

individual (Jhonny Ibrahim, 2006: 249).

Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat philiphus M. Hadjon

menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh

Aristoteles. Penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan major

(pernyataan bersifat umum), kemudian diajukan premis minor (bersifat

khusus). Dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau

conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2007: 47).

Jadi yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan cara

deduktif ialah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang bersifat umum,

kemudian mengerucut pada bagian yang lebih khusus, selanjutnya menarik

kesimpulan dari hal yang lebih spesifik tersebut. Sehingga pada hal yang

xxx

umum ialah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-

undang, hal yang khususnya terjadi praktek pengujian terhadap peraturan

pemerintah pengganti undang-undang yang diatur secara formil.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika

pemulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman berkaitan seluruh isi

penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan hukum

ini yang terdiri dari empat bab.

Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini terdiri dari subbab-subbab yaitu latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. Bab pertama

ini merupakan awal yang menjadi dasar, bahan pertimbangan, serta

patokan dari karya ini. Berupa pijakan perkembangan kewenangan

Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang yang

objeknya ialah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

yang secara formil tidak diatur.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab II ini mengenai Tinjaun Pustaka berisi subbab Kerangka Teori

dan subbab Kerangka Pemikiran. Pada Kerangka Teori memuat

berbagai pengertian yang mendukung dari judul yang ada hingga

memudahkan para pembacanya. Dimulai dari tinjaun mengenai

Konstitusi, Negara Hukum, Mahkamah Konstitusi, Pengujian

Undnag-Undang (Judicial Review), dan Peraturan Pengganti

Undang-Undang (serta pembandingannya dengan Undang-

Undang). Pada subbab Kerangka Pemikiran, dibuat sebuah bagan

untuk menyederhanakan pola pikir serta alur arah dari tulisan ini.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

xxxi

Bab ini merupakan bab inti dan paling penting. Memaparkan dan

menjabarkan hasil penelitian yang kemudian dengan analisis

menghasilkan pembahasan atas pokok permasalahan yang dituju.

1. Dasar konstitusionalitas kewenangan Mahkamah Konstitusi

dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang terhadap UUD 1945. Mencakup landasan

pembentukan Mahkamah Konstitusi terutama dalam

kewenangannya pengujian undang-undang. Analisis pula

mengenai pembandingan antara UU dan Perpu. Dari hal

tersebut, didapat hasil bahwasannya substansi Perpu ialah sama

dengan UU sehingga kedudukan Perpu sederajat dengan UU.

Dibandingkan pula dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi

di negara-negara lain. Maka dari hal-hal tersebut terdapat dasar

mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian

Perpu.

2. Pertimbangan-pertimbangan hukum kewenangan Mahkamah

Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang terhadap UUD 1945. Dalam hal ini, penulis

menggunakan salah satunya studi kasus pada Perkara Nomor

138/PUU-VII/2009 mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari putusannya

didapat data mengenai berbagai pertimbangan Hakim

Konstitusi dalam menguji Perpu (adanya concerring opinion

dan dissenting opinion). Serta didukung berbagai teori yang

kuat guna mendukung kedudukan atas kewenangan Mahkamah

Konstitusi dalam pengujian Perpu.

BAB IV : PENUTUP

xxxii

Bab Penutup adalah bab terakhir, yang memuat kesimpulan dan

saran. Kesimpulan tetap harus merujuk pada pokok rumusan

masalah yang ditarik intinya dari hasil analisis pada pembahasan.

Untuk saran, lebih bersifat universal yang memunculkan ide untuk

menciptakan keadaan lebih baik terutama dalam kaitannya dengan

inti dari penulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kerangka Teori

a. Tinjauan Umum tentang Konstitusi

a. Istilah Konstitusi

Istilah konstitusi telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, hanya

saja konstitusi itu masih diartikan materiil karena konstitusi itu belum

diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis. Hal Ini terbukti faham

Aristoteles yang membedakan istilah politea dan nomoi. Politea

diartikan sebagai konstitusi, sedangkan nomoi adalah Undang-Undang

biasa. Perbedaan di antara dua istilah tersebut yaitu bahwa politea

mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena

politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi

kekuasaan itu tidak ada. Istilah konstitusi itu sendiri pada mulanya

berasal dari perkataan bahasa Latin, constitution yang berkaitan

dengan kata jus atau ius yang berarti hukum atau prinsip (Jimly

Asshiddiqie, 2006:119).

b. Pengertian Konstitusi

Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja

yaitu “constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah

negara, dengan demikian konstitusi mengandung makna awal

xxxiii

(permulaan) dari segala peraturan perundang-undangan tentang negara.

Belanda menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-

undang yang menjadi dasar (ground) dari segala hukum. Indonesia

menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.

Undang Undang Dasar (Konstitusi) adalah aturan-aturan dasar yang

timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara, baik

tertulis maupun tidak tertulis. Pembatasan ini adalah kutipan dari

alinea pertama Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

“Undang undang Dasar suatu negara hanya sebagian dari hukum

dasar negara itu. Undang Undang Dasar ialah hukum dasar yang

tertulis sedang disamping Undang-Undang Dasar itu berlaku juga

hukum dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek

penyelenggraan negara, meskipun tidak tertulis”.

Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam

penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum tertulis

yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak

tertulis. (Jimly Asshiddiqie, 2006:35). Sedangkan C.S.T Kansil

mengartikan UUD 1945 adalah peraturan negara yang tertinggi dalam

negara, yang memuat ketentuan-ketentuan pokok dan menjadi salah

satu sumber dari pada Peraturan Perundangan lainnya yang kemudian

dikeluarkan oleh negara itu (Indonesia). (C.S.T Kansil, 1984: 59).

Konstitusi di satu pihak (a) menentukan pembatasan terhadap

kekuasaan sebagai satu fungsi konstitusionalisme, tetapi di pihak lain,

(b) memberikan legitimasi terhadap kekuasaan pemerintahan.

Konstitusi juga (c) berfungsi sebagai instrument untuk mengalihkan

kewenangan dari pemegang kekuasaan asal (baik rakyat dalam sistem

demokrasi atau raja dalam sistem monarki) (Jimly Asshiddiqie,

2006:24).

c. Sifat Konstitusi

xxxiv

Dalam teori ilmu hukum, konstitusi dikenal memiliki sifat yang

flexible (luwes) atau rigid (kaku), tertulis dan tidak tertulis.

1) Flexible dan rigid

Sifat konstitusi yang flexible atau rigid ditentukan dengan

dua kriteria, yaitu:

a) Dari cara merubah/ perubahan konstitusi.

Suatu konstitusi dikatakan bersifat flexible (luwes), apabila

prosedur atau cara perubahannya tidak diperlukan cara-cara

yang istimewa, yakni cukup dilakukan badan pembuat

Undang-Undang biasa. Sebaliknya suatu konstitusi dikatakan

rigid (kaku) perubahannya mensyaratkan dengan cara yang

istimewa, misalnya dilakukan oleh rakyat melalui suatu

referendum.

b) Apakah konstitusi itu mudah ataukah sulit untuk mengikuti

perkembangan zaman.

Konstitusi yang bersifat flexible adalah konstitusi yang

dengan mudah mengikuti perkembangan zaman, dan

sebaliknya konstitusi yang rigid adalah konstitusi yang sulit

untuk mengikuti perkemangan zaman.

2) Konstitusi tertulis dan tidak tertulis

Suatu konstitusi disebut tertulis apabila ia ditulis dalam satu

atau beberapa naskah, sedangkan yang disebut dengan konstitusi

tidak tertulis adalah ketentuan-ketentuan tidak tertulis dalam suatu

naskah tertentu yang mengatur suatu pemerintahan, akan tetapi

dalam banyak hal diatur dalam konvensi (kebiasaan) atau undang-

undang biasa, yang tingkatnya lebih rendah dari konstitusi itu

sendiri. Satu-satunya negara yang mempunyai konstitusi yang tidak

tertulis hanyalah Inggris, namun prinsip-prinsip yang dicantumkan

dalam konstitusi di Inggris dicantumkan dalam Undang-Undang

biasa, seperti misalnya Bill Of Right.

xxxv

d. Substansi Konstitusi

Dengan demikian substansi konstitusi antara lain menyangkut (B.

Hestu Cipto Handoyo, 2003:41-42):

1) terjaminnya perlindungan hak asasi manusia yang meliputi hak

asasi manusia daspek individu (klasik) maupun aspek sosial politik

(HAM modern).

2) pemisahan kekuasaan. Untuk mempertegas unsur ini, maka

mekanisme hubungan antar lembaga tinggi negara harus

dimasukkan di dalam konstitusi.

3) legalitas pemerintahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa

pemerintahan (dalam arti luas) berdasarkan rambu-rambu hukum

sangat dibutuhkan untuk membatasi pelaksanaan kekuasaan yang

ada.

4) peradilan yang bebas. Konstitusi harus mengakomodasi persoalan

ini, khususnya dalam rangka menegakkan supremasi hukum dalam

tataran implementasi. Tidak retorika politik semata.

e. Fungsi Konstitusi

Dengan demikian, menurut penulis, fungsi-fungsi konstitusi

dapat dirinci sebagai berikut (Jimly Asshiddiqie, 2006:27-28):

1) fungsi penentu dan pembatas kekuasaan organ negara.

2) fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara.

3) fungsi pengatur hubungan kekuasaan antar organ negara dengan

warga negara.

4) fungsi pemberi atau sumber legitimasi terhadap kekuasaan negara

ataupun kegiatan penyelenggaraan kekuasaan negara.

5) fungsi penyalur atau pengalih kewenangan dari sumber kekuasaan

yang asli (yang dalam sistem demokrasi adalah rakyat) kepada

organ negara.

6) funsi simbolik sebagai pemersatu (symbol of unity).

xxxvi

7) fungsi simbolik sebagai rujukan identitas dan keagungan

kebangsaan (identity of nation).

8) fungsi simbolik sebagai pusat upacara (center of ceremony).

9) fungsi sebagai sarana pengendalian masyarakat (social control),

baik dalam arti sempit hanya di bidang politik maupun dalam arti

luas mencakup bidang social dan ekonomi.

10) fungsi sebagai sarana perekayasaan dan pembaruan masyarakat

(social engineering atau social reform), baik dalam arti sempit

maupun dalam arti luas.

f. Perubahan Konstitusi

Perubahan itu dirasa perlu, seperti halnya dalam UUD 1945 yang

diatur dalam Pasal 37. Manakala salah satu atau beberapa pasalnya

tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan sudah dirasa

tidak mampu lagi memberikan jaminan kepastian hukum yang adil

bagi masyarakat. Tetapi bicara kapan seharusnya suatu konstitusi itu

perlu dirubah, maka persoalannya lebih terletak dalam bidang politik

ketimbang hukum tata negara. Karena itu betapapun sukarnya suatu

konstitusi untuk dirubah, kalau kekuatan politik yang berkuasa

menghendaki, maka perubahan itu dapat diwujudkan. Sebaliknya

batapapun mudahnya suatu konstitusi itu untuk dirubah, kalau

kekuatan politik yang berkuasa tidak menghendaki perubahan, maka

konstitusi itu tidak akan pernah dirubah.

Untuk merubah suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar itu

tergantung pada bunyi pasal perubahan dalam konstitusi/ Undang-

Undang Dasar tersebut. Sesuai dengan pembagian konstitusi flexible

dan rigid, maka sudah tentu bagi konstitusi yang tergolong flexible

jauh lebih mudah untuk dirubahnya, sehingga K.C. Wheare

mengatakan perubahan perubahnnya cukup dengan “the ordinary

legislative process” seperti di New Zealand. Sedangkan untuk

konstitusi yang tergolong rigid, menurut Sri Soemantri yang

xxxvii

berpedoman kepada pendapat C.F. Strong, maka perubahannya dapat

digolongkan sebagai berikut:

1) oleh kekuasaan legislatif, tetapi dengan pembatasan-pembatasan

tertentu.

2) oleh rakyat melalui suatu referendum.

3) oleh sejumlah negara bagian, khusus untuk negara serikat.

4) dengan kebiasaan ketatanegaraan, atau oleh suatu lembaga negara

yang khusus dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.

Begitu juga dengan Ismail Suny mengemukakan dalam sebuah

karangannya, bahwa proses perubahan konstitusi dapat terjadi dengan

beberapa cara, yaitu:

1) perubahan resmi.

2) penafsiran hakim.

3) kebiasaan ketatanegaraan/ konvensi.

Dalam praktek ketatanegaraan, kebiasaan ketatanegaraan sering

berfungsi merubah ketentuan yang telah ada, meskipun sebenarnya

kebiasaan ketatanegaraan itu secara formal tidak merubah ketentuan

tersebut, tetapi dalam praktek karena berlakunya kebiasaan

ketatanegaraan, maka ketentuan tersebut menjadi huruf mati atau tidak

diikuti. Tapi bukan tidak mungkin ketentuan tersebut akan berlaku

kembali, manakala kebiasaan ketatanegaraan itu ditinggalkan.

g. Penafsiran Konstitusi

Jon Roland, salah seorang senator Amerika Serikat yang

memiliki intensi yang tinggi terhadap hukum konstitusi telah

mengemukakan prinsip-prinsip mengenai penafsiran konstitusi

(Principles of Constitutional Interpretation) dibedakan 7 (tujuh)

prinsip, yaitu (http://yancearizona.files.wordpress.com/2008/11/

penafsiran-mk-terhadap-pasal-33-uud-1945.pdf):

1) Textual

xxxviii

Penafsiran tekstual didasarkan pada kata-kata yang aktual dari

hukum tertulis, jika makna dari kata-kata tersebut tidak ambigu.

Penafsiran tekstual adalah penafsiran yang tidak lari dari teks atau

naskah hukum tertulis. Penafsiran ini bersifat restriktif karena

membatasi penafsiran pada ketentuan yang telah ada dari teks

tertulis yang akan ditafsirkan. Disamping penafsiran restriktif,

penafsiran letterlijk/ harafiah, arti kata atau istilah, penafsiran

gramatikal, bahkan penafsiran otentik dapat dimasukkan sebagai

bagian dari penafsiran tekstual.

2) Historical

Dalam Penafsiran Historis atau Historical Interpretation,

keputusan sedikit sekali didasarkan pada kata-kata yang aktual

dalam undang-undang, melainkan lebih didasarkan kepada

pemahaman yang diungkapkan dari sejarah naskah dan pengesahan

undang-undang tersebut, demikian juga terhadap konstitusi atau

aturan dasar. Kadang-kadang penafsiran ini disebut sebagai sejarah

legislasi, dan untuk putusan pengadilan disebut sejarah kasus.

Suatu analisa tekstual dari kata-kata yang diartikan bersentuhan

dengan analisa sejarah.

3) Functional

Functional interpretation melihat hukum sebagai suatu sistem

yang harmonis. Harmonisasi hukum itu dapat berupa keterkaitan

secara horizontal, sesama undang-undang, maupun yang bersifat

vertikal. Disamping meninjau keterkaitan antara norma hukum,

functional interpretation juga mempertimbangkan bagaimana

kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam operasionalisasi

suatu undang-undang.

4) Doctrinal

Doctrinal interpretation melakukan penafsiran berdasarkan

sumber-sumber hukum, yaitu dari sesuatu yang dianggap sebagai

sebuah doktrin. Doktrin-doktrin tersebut lahir pada masa lalu,

xxxix

didasarkan kepada praktik yang berlaku atau pendapat hukum dari

ahli hukum, terutama legislatif, eksekutif, atau yurisprudensi

pengadilan. Namun hal tersebut harus dibedakan dengan penafsiran

berdasarkan sejarah (historical interpretation), karena doktrin

dimaknai kaidah-kaidahnya yang berlaku lama.

5) Prudential

Keputusan berdasar pada faktor di luar hukum atau

kepentingan para pihak (masyarakat) dalam perkara, seperti

memberi batas waktu yang harus dipenuhi pejabat publik, efisiensi

kinerja pemerintah, menghindarkan dari pengaruh banyak hal, atau

dari tekanan politis, seperti satu pertimbangan, menghindari

mengganggu suatu kegiatan suatu lembaga, juga motivasi yang

utama untuk metoda yang berkenaan dengan doktrin. juga meliputi

seperti pertimbangan apakah suatu kasus adalah "siap" diputuskan,

atau apakah perbaikan yang administratif menjelang diambil

keputusan.

Beberapa putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

dapat dikategorikan menggunakan metode penafsiran prudensial,

antara lain putusan pengujian Undang-undang APBN berkaitan

prioritas alokasi anggaran pendidikan sedikitnya sebesar 20% dari

total APBN. Undang-undang APBN yang tidak secara eksplisit

memprioritaskan anggaran pendidikan sebesar 20% adalah

bertentangan dengan Undang Undang Dasar, tetapi Mahkamah

Konstitusi tidak serta-merta membatalkan ketentuan Undang-

undang APBN yang belum meletakkan 20% dari total APBN untuk

anggaran pendidikan, karena bila ketentuan itu dibatalkan, maka

akan diberlakukan Undang-undang APBN tahun lalu yang lebih

sedikit persentasenya untuk anggaran pendidikan.

6) Equitable

Penafsiran Ekuitabel atau Equitable Interpretationa bisa juga

disebut penafsiran etis. Dimana keputusan didasarkan pada

xl

perasaan keadilan, keseimbangan kepentingan dari para pihak, dan

apa yang baik dan buruk, tanpa memperhatikan apa hukum

(tertulis). Sering kali ditempatkan pada kasus di mana fakta tidak

cukup untuk mengantisipasi atau memadai dari pembuat undang-

undang. Ciri pokok dari equitable interpretation adalah adanya dua

atau lebih variabel yang dipertimbangkan oleh hakim.

7) Natural

Dalam Penafsiran Natural, Keputusan didasarkan pada apa

yang diwajibkan atau anjuran dari hukum yang alamiah, atau

barang kali dari sifat-sifat dasar manusia, dan pada apa yang

bersifat jasmaniah atau secara ekonomis mungkin atau dapat

dilakukan, atau pikiran yang bersifat aktual. Penafsiran yang

bersifat natural ini dapat dilihat dari putusan-putusan hakim yang

memaparkan benda-benda secara alamiah, baik itu perilaku

manusia maupun kejadian alam.

b. Tinjauan Umum tentang Mahkamah Konstitusi

a. Riwayat Pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia

Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia dan gerakan reformasi

yang membahwa kejatuhan pemerintahan orde baru di tahun 1998,

terjadi perubahan yang sangat drastis dalam kehidupan sosial, politik,

dan hukum di Indonesia. Diawali dengan perubahan pertama UUD

1945 pada tahun 1999, yang membatasi masa jabatan Presiden hanya

untuk dua kali masa jabatan, dan penguatan DPR yang memegang

kekuasaan membentuk undang-undang, telah disusul dengan

perubahan kedua yang telah mengamandir UUD 1945 lebih jauh lagi.

Perubahan kedua meliputi banyak hal, tetapi yang paling

menonjol adalah dimasukkannya Hak Asasi Manusia dalam Bab XA.

Perubahan ketiga telah membawa perubahan lebih jauh dengan

diperintahkannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu

pasangan secara langsung oleh rakyat, dan dapat diberhentikan dalam

xli

masa jabatannya karena diduga telah melakukan pelanggaran hukum

dengan tidak hanya melalui proses politik, tetapi harus terlebih dahulu

melalui proses hukum dalam pemeriksaan dan putusan MK yang

menyatakan kesalahannya atas pelanggaran hukum yang dituduhkan.

Jatuh bangunnya pimpinan pemerintahan (Presiden) pada waktu itu,

yang tidak pernah terjadi secara mulus melalui proses konstitusional

yang baik, merupakan kondisi sosial politik yang telah mendorong

lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Perubahan ketiga UUD

1945 juga mengadopsi pembentukan MK sebagai lembaga yang

berdiri sendiri disamping MA dengan kewenangan yang diuraikan

dalam Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 memerintahkan

dibentuknya MK selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003.

Sebelum dibentuk, segala kewenangan MK dilakukan oleh MA.

Tanggal 13 Agustus 2003 UU MK disahkan, kemudian tanggal 16

Agustus 2003 para hakim konstitusi dilantik, dan mulai bekerja secara

efektif pada tanggal 19 Agustus 2003 (Maruarar Siahaan, 2006:8-10).

b. Kedudukan, Tugas, Fungsi, Visi dan Misi Mahkamah Konstitusi

Mengenai kedudukan, tugas, fungsi, visi dan misi Mahkamah

Konstitusi, penulis mengutip pada buku karangan Abdul Mukhtie

Fadjar yang berjudul “Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi”,

yaitu sebagai berikut (Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:118-120):

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945

juncto Pasal 2 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, kedudukan MK adalah:

a) merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan

kehakiman;

b) merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka; dan

c) sebagai penegak hukum dan keadilan.

xlii

Sedangkan tugas dan fungsi MK berdasarkan Penjelasan Umum

UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah

menangani perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi tertentu

dalam rangka menjaga konstitusi (UUD 1945) agar dilaksanakan

secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita

demokrasi. Keberadaan MK sekaligus untuk menjaga terselenggaranya

pemerintahan negara yang stabil, dan juga merupakan koreksi terhadap

pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan

oleh tafsir ganda terhadap konstitusi. Oleh karena itu, selain sebagai

penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK juga

merupakan penafsir tertinggi konstitusi (the sole interpreter of

constitution).

Atas dasar kedudukan, tugas, dan fungsi MK tersebut, maka visi

dan misi MK dirumuskan dalam Blue Print MK sebagai berikut:

a) Visi MK: Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita

negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan

kenegaraan yang bermartabat.

b) Misi MK:

Ø Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu

kekuasaan kehakiman yang terpercaya.

Ø Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar

berkonstitusi.

c. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Untuk mengawal konstitusi, MK mempunyai kewenangan

menangani perkara-perkara konstitusi/ketatanegaraan tertentu

sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD

1945 sebagai berikut:

a) menguji undang-undang terhadap UUD 1945;

b) memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara;

c) memutus pembubaran partai politik;

xliii

d) memutus perselisihan hasil pemilihan umum;

e) memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden (selanjutnya disebut

impeachment).

Dengan demikian, perkara-perkara ketatanegaraan lainnya,

seperti pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-

undang terhadap undang-undang, perselisihan hasil pemilihan kepala

daerah, dan impeachment DPRD terhadap kepala daerah dan/atau

wakil kepala daerah, tidak termasuk dalam kewenangan MK,

melainkan menjadi kewenangan MA, sebagaimana tercantum dalam

Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:120).

d. Pelaksanaan Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi

secara Rinci, khususnya Kewenangan Pengujian Undang-Undang.

Pelaksanaan kewenangan konstitusional MK secara rinci adalah

sebagai berikut (Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:120-121):

Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945:

a) Diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 60 UU MK dan telah

dilengkapi dengan PMK Nomor 06/PMK/2005;

b) Subyek hukum yang dapat menjadi pemohon adalah: i) perorangan

WNI, termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan

sama; ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI

yang diatur dalam undang-undang; iii) badan hukum publik atau

privat; atau iv) lembaga negara, yang menganggap hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya dirugikan, yaitu hak/ kewenangan

yang diberikan oleh UUD 1945;

c) Obyek permohonan adalah konstitusionalitas sebuah undang-

undang yang meliputi pengujian secara formil, yaitu pengujian

mengenai apakah pembentukan dan bentuk undang-undang sesuai

xliv

atau tidak dengan ketentuan UUD 1945, dan pengujian secara

materiil, yaitu pengujian mengenai apakah materi muatan dalam

ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan

UUD 1945;

Dalam kurun waktu dua tahun usia MK telah dilakukan

pengujian tidak kurang dari 65 undang-undang, dengan putusan

ada yang dikabulkan seluruhnya, dikabulkan sebagian, tidak

diterima, dan ada yang ditolak.

e. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

1) Asas-Asas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Menurut mantan Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan, asas-

asas dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi itu ialah sebagai

berikut (Maruarar Siahaan, 2006:63-78):

a) Persidangan Terbuka untuk Umum

Pasal 40 ayat (1) UU MK menentukan secara khusus

bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali Rapat

Permusyawaratan Hakim (RPH). Keterbukaan sidang ini

merupakan salah satu bentuk social control dan juga bentuk

akuntabilitas hakim.

b) Independen dan Imparsial

Independensi atau kemandirian tersebut sangat berkaitan

erat dengan sikap imparsial atau tidak memihak hakim baik

dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.

c) Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana, dan

Murah

Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman menentukan

bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya

ringan. Penjelasan atas ayat (2) tersebut menyatakan bahwa

yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan

xlv

penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan

efektif. Biaya perkara yang dibebankan pada pemohon atau

termohon tidak dikenal dalam acara MK. Semua biaya yang

menyangkut persidangan di MK dibebankan pada biaya negara.

d) Hak untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram

Partem)

Dalam perkara yang diperiksa dan diadili di peradilan

biasa, baik penggugat maupun tergugat, atau penuntut umum

maupun terdakwa mempunyai hak yang sama untuk didengar

keterangannya secara berimbang dan masing-masing pihak

mempunyai kesempatan yang sama mengajukan pembuktian

untuk mendukung dalil masing-masing.

e) Hakim Aktif dan Juga Pasif dalam Proses Persidangan

Mekanisme constitutional control harus digerakkan

pemohon dengan satu permohonan dan dalam hal demikian

hakim bersikap pasif dan tidak boleh secara aktif melakukan

inisiatif untuk menggerakkan mekanisme MK memeriksa tanpa

diajukan dengan satu permohonan.

f) Ius Curia Novit

Dengan kata lain bahwa pengadilan dianggap mengetahui

hukum yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara yang

diajukan kepadanya sehingga pengadilan tidak boleh menolak

perkara karena berpendapat hukumnya tidak jelas.

2) Hukum Acara Umum

Hukum Acara Umum MK yang dimuat dalam Pasal 28 s.d.

Pasal 49 UUMK mencakup pengaturan hal-hal sebagai berikut

(Abdul Mukhtie Fadjar, 2006:129-138):

a) Susunan hakim dan sifat persidangan (Pasal 28 UUMK):

1) Dalam keadaan biasa, MK memeriksa, mengadili, dan

memutus dalam Sidang Pleno MK dengan 9 (sembilan)

xlvi

orang hakim, kecuali dalam keadaan luar biasa Sidang

Pleno MK dengan 7 (tujuh) orang hakim.

2) Sidang Pleno MK dipimpin oleh Ketua MK, kecuali apabila

Ketua MK berhalangan. Apabila Ketua dan Wakil Ketua

MK berhalangan pada waktu bersamaan, Sidang Pleno

dipimpin oleh ketua sementara yang dipilih dari dan oleh

Anggota MK (ayat 3).

3) Sifat persidangan MK terbuka untuk umum, kecuali rapat

permusyawaratan hakim (RPH) yang sifatnya tertutup dan

rahasia [Pasal 40 ayat (1)]. Bahkan apabila persidangan MK

tersebut untuk pembacaan/ pengucapan putusan, jika sifat

terbuka untuk umum tidak terpenuhi berakibat putusan MK

tidak mempunyai kekuatan hukum [Pasal 28 ayat (5) dan

(6)].

4) Panel Hakim: Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (4) UU

MK, sebelum sidang pleno, MK dapat membentuk Panel

Hakim yang anggotanya minimal 3 (tiga) orang hakim

Konstitusi untuk memeriksa yang hasilnya dibahas dalam

sidang pleno untuk diambil putusan.

b). Pengajuan Permohonan (Pasal 29 s.d. Pasal 31 UUMK):

1) Semua perkara yang diajukan ke MK dilakukan secara

tertulis dalam bentuk permohonan, bukan gugatan. Selain

itu, yang secara eksplisit disebutkan ada pihak Termohon

hanyalah untuk sengketa kewenangan konstitusional

lembaga Negara, sedangkan untuk pembubaran partai,

perselisihan hasil pemilu, dan impeachment adanya pihak

Termohon bersifat implisit, dan bahkan untuk pengujian

konstitusionalitas undang-undang tidak ada pihak

Termohon, DPR dan Pemerintah (Presiden) hanya pemberi

keterangan sebagai pembentuk undang-undang.

xlvii

2) Permohonan harus dalam bahasa Indonesia, dibuat dalam

rangkap 12 (dua belas), dan ditanda tangani oleh Pemohon

atau kuasanya.

3) Permohonan wajib menguraikan dengan jelas mengenai

perkara apa yang dimohonkan.

4) Permohonan minimal harus memuat identitas Pemohon,

uraian tentang dasar/alasan permohonan (posita) terkait

perkara Konstitusi tersebut Pasal 30, dan hal yang diminta

untuk diputus (petitum), serta didukung alat bukti (Pasal

31). Alat bukti surat/dokumen cukup fotocopy yang sudah

dilegalisasi (oleh notaris atau Panitera MK/Peradilan

Umum) dan dibubuhi materai secukupnya sesuai ketentuan

perundang-undangan.

c). Pendaftaran Permohonan dan Penjadwalan Sidang (Pasal

32 sd. 35 UUMK):

1) Panitera MK memeriksa kelengkapan permohonan, bagi

yang belum memenuhi ketentuan Pasal 29 dan Pasal 31 ayat

(1) huruf a dan ayat (2) UUMK wajib melengkapi dalam

jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak

pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima

pemohon, sedangkan bagi yang telah lengkap dicatat dalam

Buku Registrasi Perkara Konstitusi (Pasal 32 UUMK).

2) Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) memuat antara

lain catatan tentang kelengkapan administrasi disertai

pencantuman nomor perkara, tanggal penerimaan berkas

permohonan, nama pemohon, dan pokok perkara (Pasal 33

UUMK).

3) Setelah permohonan diregistrasi dalam BRPK, dalam

jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja, MK

menetapkan hari sidang pertama (Pasal 34).

xlviii

4) Permohonan dapat ditarik kembali oleh pemohon, sebelum

atau selama masih dalam pemeriksaan MK yang berakibat

permohonan tidak dapat diajukan kembali oleh Pemohon

(Pasal 35).

d). Alat Bukti (Pasal 36 sd 38 UUMK) :

1. Macam-macam alat bukti yang dapat diajukan oleh para

pihak ialah : a) surat atau tulisan; b) keterangan saksi; c)

keterangan ahli; d) keterangan para pihak; e) petunjuk; dan

f) alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,

dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik

dengan alat optik atau yang serupa dengan itu [Pasal 36 ayat

(1) UUMK].

2. Alat bukti huruf a harus dapat dipertanggungjawabkan

perolehannya secara hukum, jika tidak, maka alat bukti

tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti yang sah yang

ditentukan oleh MK dalam forum perisidangan MK [Pasal

36 ayat (2), (3), dan (4)].

3. Alat bukti yang diajukan ke persidangan dinilai oleh MK

dengan memperhatikan kesesuaian alat bukti yang satu

dengan yang lain (Pasal 37). Menurut Penjelasan Pasal 37

yang dimaksudkan alat bukti di sini adalah alat bukti berupa

petunjuk.

4. Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi panggilan

MK [Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2)].

5. Para pihak yang merupakan lembaga Negara dapat diwakili

oleh pejabat yang ditunjuk atau kuasanya berdasarkan

peraturan perundang-undangan (Pasal 38 ayat 3).

6. Saksi yang telah dipanggil secara patut menurut hukum

tidak hadir tanpa alasan yang sah, dapat dihadirkan secara

paksa oleh MK dengan bantuan polisi.

xlix

e). Pemeriksaan Pendahuluan (Pasal 39 UUMK)

Sebelum pemeriksaan pokok perkara, melalui Panel

Hakim (khususnya untuk perkara pengujian konstitusionalitas

undang-undang dan perselisihan hasil Pemilu), MK

mengadakan sidang Pemeriksaan Pendahuluan untuk

memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan,

serta wajib memberi nasihat kepada Pemohon untuk

melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka

waktu paling lambat 14 (empat belas) hari. Pemeriksaan

Pendahuluan terbuka untuk umum.

f). Pemeriksaan Persidangan (Pasal 40 s.d. Pasal 44 UUMK)

1. Persidangan MK terbuka untuk umum [Pasal 40 ayat (1)].

2. Dalam persidangan, hakim Konstitusi memeriksa

permohonan, alat-alat bukti, para pihak yang berperkara,

keterangan pihak terkait (ad informandum), dan keterangan

lisan dan/atau tertulis lembaga Negara yang terkait dengan

permohonan yang wajib menyampaikan penjelasan paling

lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permintaan hakim

Konstitusi diterima (Pasal 41 UUMK).

3. Saksi dan ahli yang dipanggil wajib hadir untuk

memberikan keterangan (Pasal 42);

4. Pemohon dan/atau Termohon dapat didampingi atau

diwakili oleh kuasanya berdasarkan surat kuasa khusus

untuk itu (Pasal 43), apabila didampingi bukan oleh

kuasanya, harus ada surat keterangan khusus yang

diserahkan kepada hakim Konstitusi dalam persidangan

(Pasal 44).

g). Putusan (Pasal 45 s.d. Pasal 49 UUMK)

l

1) Prosedur pembuatan putusan (Pasal 45) sbb. :

a) MK memutus berdasarkan UUD 1945, sesuai alat bukti

dan keyakinan hakim;

b) Putusan MK yang mengabulkan minimal didasarkan 2

(dua) alat bukti;

c) Putusan MK wajib memuat fakta yang terungkap dalam

persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi

dasar putusan;

d) Putusan diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim

(RPH) secara musyawarah untuk mufakat;

e) Dalam RPH setiap hakim wajib menyampaikan

pendapat hukum (legal opinion);

f) Dalam hal musywarah RPH tidak mencapai mufakat,

diadakan RPH berikutnya;

g) Dalam hal RPH setelah berusaha sungguh-sungguh tetap

tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil

dengan suara terbanyak;

h) Apabila pengambilan putusan dengan suara terbanyak

tidak tercapai, suara terakhir ketua sidang RPH

menentukan;

i) Putusan MK dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari

lain yang harus diberitahukan kepada para pihak;

j) Dalam hal putusan tidak tercapai dengan mufakat bulat,

pendapat hakim yang berbeda dimuat dalam putusan

(dissenting opinion).

3) Putusan MK ditandatangani oleh hakim yang memeriksa,

mengadili, dan memutus, dan panitera (Pasal 46).

4) Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak

selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum

(Pasal 47).

li

5) MK memberi putusan “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”.

6) Struktur putusan MK harus memuat (Pasal 48 ayat 2):

a) kepala putusan berbunyi: “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA

ESA”;

b) identitas pihak;

c) ringkasan permohonan;

d) pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam

persidangan;

e) pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;

f) amar putusan; dan

g) hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan

panitera.

7) MK wajib mengirimkan salinan putusan kepada para pihak

dalam tenggat 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan

(Pasal 49).

3) Hukum Acara Khusus : Pengujian Undang-Undang

Dalam hal ini karena hanya akan dikhususkan pada

kewenangan pengujian undang-undang, maka hukum acara khusus

yang akan dipaparkan juga hanya sebatas hukum acara khusus

mengenai pengujian undang-undang yaitu sebagai berikut (Abdul

Mukhtie Fadjar, 2006:138-144):

Prosedur pengujian konstitusionalitas undang-undang (Pasal

50 s.d. 60).

Prosedur pengujian konstitsionalitas undang-undang

mencakup hal-hal sebagai berikut:

a) Undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian/

Wewenang MK (Pasal 50):

lii

Pasal 50 UU MK telah membatasi undang-undang yang dapat

dimohonkan untuk diuji MK, yaitu undang-undang yang

diundangkan setelah perubahan UUD 1945; menurut Penjelasan

Pasal 50 yang dimaksud “setelah perubahan UUD 1945” adalah

setelah Perubahan Pertama, yaitu tanggal 19 Oktober 1999.

Namun setelah diucapkannya Putusan Perkara No. 066/PUU-

II/2004 pada tanggal 12 April 2005, MK berwenang menguji

semua undang-undang yang dimohonkan ke MK.

b) Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon [Pasal 51 ayat

(1) UUMK]:

Pasal 51 ayat (1) UUMK telah menentukan tentang siapa

subyek hukum yang memiliki legal standing untuk dapat

mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap

UUD 1945, yaitu: 1) perorangan warga negara Indonesia (WNI)

termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;

atau 2) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip

NKRI; atau 3) badan hukum publik atau privat; atau 4)

lembaga negara, yang menganggap hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya (menurut Penjelasan, “hak konstitusional

adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”) dirugikan oleh

berlakunya undang-undang. Pemohon wajib menguraikan

dengan jelas tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional

yang dianggap dirugikan tersebut dalam permohonannya [Pasal

51 ayat (2) UUMK].

c) Jenis pengujian undang-undang: Ada 2 (dua) jenis

pengujian undang-undang yang dapat dimohonkan

pengujian, yaitu:

liii

1) Pengujian formal (formele toetsings), yaitu pengujian

mengenai apakah pembentukan sebuah undang-undang

tidak memenuhi ketentuan UUD 1945;

2) Pengujian materiil (materiele toetsings), yaitu pengujian

apakah materi muatan dalam pasal, ayat, dan/atau bagian

dari undang-undang (termasuk Penjelasannya) bertentangan

dengan UUD 1945 (Pasal 51 ayat 3 huruf b).

Pemohon harus menguraikan dengan jelas tentang jenis

pengujian undang-undang yang dimohonkan; jika pengujian

formal yang dimohonkan, petitumnya menyebut keseluruhan

undang-undang yang dimohonkan pengujian dibatalkan, tetapi

jika yang dimohonkan pengujian materiil, maka hanya pasal,

ayat, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap

bertentangan dengan pasal-pasal tertentu UUD 1945 yang

dalam petitum dimohonkan dinyatakan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat. Selain itu, harus diuraikan dengan

jelas pula posita atau alasan/ argumentasi hukumnya.

d) Proses pengujian:

1) Permohonan yang telah diregistrasi dalam BRPK

disampaikan kepada DPR dan Presiden dalam jangka waktu

paling lambat 7 (tujuh) hari kerja diregistrasi (Pasal 52).

Mengapa disampaikan kepada DPR dan Presiden, karena

menurut UUD 1945, DPR dan Presiden adalah pembentuk

undang-undang yang perlu mengetahui bahwa undang-

undang bentukannya sedang diuji di MK dan perlu didengar

keterangannya (Pasal 54), tetapi tidak berstatus sebagai

Termohon.

2) MK juga memberitahu MA tentang adanya undang-undang

yang dimohonkan pengujian dalam jangka waktu paling

lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diregistrasi dalam

liv

BRPK (Pasal 53), karena ada kemungkinan undang-undang

yang sedang diuji tersebut adalah undang-undang yang

menjadi batu uji sebuah peraturan perundang-undangan di

bawah undang-undang yang dimohonkan pengujian di MA

[vide Pasal 24A ayat (1) UUD 1945];

3) Selain DPR dan Presiden (Pemerintah), MPR juga dapat

didengar keterangannya terutama terkait dengan risalah

rapat mengenai maksud perubahan pasal dalam UUD.

Keterangan MPR, DPR, dan Presiden berupa keterangan

tertulis dan lisan, serta dapat dilengkapi alat bukti tulis/surat

dan keterangan saksi dan ahli (Pasal 54 UU MK);

4) dalam praktek juga dapat didengar keterangan pihak terkait

(ad informandum) dan bahkan pihak terkait tersebut juga

dapat mengajukan saksi dan ahli;

5) Pemohon, DPR, Pemerintah, dan pihak terkait juga diberi

kesempatan mengajukan kesimpulan akhir.

e) Putusan:

1) Amar putusan terhadap permohonan yang tidak memenuhi

syarat kewenangan MK dan legal standing menyatakan

“permohonan tidak dapat diterima (niet onvanvankelijk

verklaard)” [Pasal 56 ayat (1) UUMK].

2) Amar putusan terhadap permohonan yang beralasan

menyatakan “permohonan dikabulkan” [Pasal 56 ayat (2)

UUMK], dan MK menyatakan dengan tegas materi muatan

pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang yang

dimohonkan pengujian bertentangan dengan UUD 1945

[Pasal 56 ayat (3) UUMK], serta menyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat [Pasal 57 ayat (1)

UUMK].

lv

3) Amar putusan terhadap permohonan pengujian formal yang

terbukti pembentukan undang-undang tidak memenuhi

ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD 1945

menyatakan “permohonan dikabulkan [Pasal 56 ayat (4)

UUMK]” dan menyatakan bahwa undang-undang dimaksud

tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat [Pasal 57 ayat

(2) UUMK].

4) Amar putusan terhadap permohonan pengujian undang-

undang yang baik pembentukan (uji formal) maupun materi

muatannya (uji materiil) yang tidak terbukti bertentangan

dengan UUD 1945 menyatakan “permohonan ditolak [Pasal

56 ayat (5) UUMK]”.

5) Putusan MK yang mengabulkan permohonan wajib dimuat

dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30

(tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan [Pasal 57 ayat (3)

UUMK].

6) Putusan MK mengenai pengujian konstitusionalitas undang-

undang disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan MA

(Pasal 59 UUMK).

f) Lain-lain:

1) Undang-undang yang sedang diuji oleh MK tetap berlaku

sebelum ada putusan yang menyatakan undang-undang

tersebut bertentangan dengan UUD 1945 (Pasal 58 UUMK),

jadi dalam hal ini tidak dikenal putusan sela.

2) Berlaku asas “nebis in idem”, yaitu bahwa materi muatan

pasal, ayat, dan/atau bagian dari undang-undang yang telah

diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (Pasal 60

UUMK).

c. Tinjauan Umum tentang Pengujian Undang-Undang

lvi

a. Pengertian Pengujian Undang-Undang

Dari beberapa buku yang saya baca, tidak ada secara detail

mendefinisikan tentang pengujian undang-undang (judicial review).

Namun yang banyak dibahas ialah mengenai peristilahannya. Karena

masih diperdebatkan dan menuai pro-kontra mengenai istilah yng

sebaiknya dipakai, yaitu antara istilah pengujian konstitusional

(constitutional review) dan hak uji (judicial review). Meskipun di

Indonesia, istilah yang digunakan yaitu pengujian undang-undang

(judicial review).

‘Judicial review’ lebih luas dari dari ‘constitutional review’

karena objek yang diujinya tidak hanya mengenai produk hukum

berbentuk undang-undang, tetapi mencakup pula peraturan

perundang-undangan. Tetapi, ‘judicial review’ dapat pula mencakup

pengertian yang lebih sempit, karena subjek yang mengujinya hanya

hakim atau lembaga judicial, sedangkan ‘constitutional review’ bisa

lebih luas tergantung lembaga mana yang diberi kewenangan oleh

Undang-Undang Dasar suatu negara (Jimly Asshiddiqie, 2005:4).

Istilah ‘judicial review’ jelas tidak sama dengan ‘constitutional

review’, dan berbeda pula dengan pengertian ‘judicial preview’ seperti

dalam sistem Perancis. Kalau orang berbicara mengenai hak atau

kewenangan untuk menguji, maka baru kita dapat menggunakan

istilah hak untuk menguji atau hak uji, yang dalam bahasa Belandanya

disebut ‘toetsingsrecht’. Jika hak uji (toetsingsrecht) itu diberikan

kepada hakim, maka namanya ‘judicial review’ atau review oleh

lembaga peradilan. Jika kewenangan untuk menguji itu diberikan

kepada lembaga legislatif, maka namanya bukan ‘judicial review’

melainkan ‘legislative review’. Jika yang melakukan pengujian itu

adalah pemerintah, maka namanya tidak lain dari ‘executive review’,

bukan ‘judicial review’ (Jimly Asshiddiqie, 2005:6).

Dari pendapat Prof. Jimly tersebut, dapat disimpulkan bahwa

pengujian undang-undang yang ada di Indonesia diistilahkan ‘judicial

lvii

revew’. Karena dilakukan oleh lembaga peradilan, yaitu Mahkamah

Konstitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Sedangkan objek dari pengujiannya ialah undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar.

Pengertian dari hak menguji lebih banyak ditemukan. Meskipun

dalam hal ini hak menguji itu kemudian dibedakan menjadi hak

menguji materiil dan hak menguji formil, dengan pengertian masing-

masing. Istilah hak menguji (toetsingsrecht) dan judicial review

terlebih dahulu dikemukakan untuk menghindari silang pendapat yang

berkaitan dengan penggunaan kedua istilah ini. Istilah toetsingsrecht

berasal dari bahasa Belanda, yang berarti hak menguji, sedangkan

judicial review berasal dari bahasa Inggris, yang berarti peninjauan

oleh lembaga peradilan. Pada dasarnya, kedua istilah ini mengandung

arti yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau

(Iriyanto A. Baso Ence, 2008:102-103). Sedangkan pada literatur lain,

arti hak menguji (judicial review) adalah hak untuk menguji apakah

suatu peraturan perundangan itu bertentangan dengan peraturan

perundangan yang tingkatannya lebih tinggi (Muh. Ridhwan Indra,

1987:133).

Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan istilah tetapi maksud

dan tujuannya adalah sama yaitu kekuasaan untuk menguji suatu

ketentuan undang-undang apakah bertentangan dengan ketentuan

hukum yang lebih tinggi. Serta adanya perlindungan terhadap hak-hak

konstitusional warga negara dan penghargaan terhadap konstitusi

sebagai norma dasar.

Baik di dalam kepustakaan maupun dalam praktek dikenal

adanya dua macam hak menguji, yaitu:

1) hak menguji formal (formale toetsingsrecht)

2) hak menguji material (materiele toetsingsrecht)

Yang dimaksud dengan hak menguji formal ini adalah

wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti

lviii

undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)

sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang berlaku atau tidak. Sedang, hak menguji material

adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai,

apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta

apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak

mengeluarkan suatu peraturan tertentu (Sri Soemantri, 1982:5-8).

Definisi dari Sri Soemantri sangat menjadi pedoman bagi adanya

wacana hak menguji, sehingga banyak tulisan-tulisan yang

mendasarkan pada pengertian beliau. Pengertian tersebut masih

bersifat umum, yang oleh Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH

dititkberatkan kepada masalah apakah Undang-Undang itu

bertentangan atau tidak dengan Undang-Undang Dasar, sedangkan

Moh. Kusnardi dan Bintan R. Siragih, SH menambahkan nilai

rohaniah terhadap suatu peraturan perundangan apakah peraturan itu

sudah logis atau bermanfaat sehingga dapat dipertanggungjawabkan

(Samsul Wahidin, 1984:6-7).

Sebagaimana pula pengertian dari Sri Soemantri di atas yang

kemudian dikemukakan oleh Suripto dalam suatu tulisannya di artikel

internet. Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji

material tersebut, maka dapat diartikan bahwa (Suripto,

http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=116&id=518&option=com

_content&task=view):

1) hak menguji merupakan kewenangan untuk menilai peraturan

perundang-undangan terhadap UUD.

2) hak menguji terhadap peraturan perundang-undangan tidak hanya

dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh lembaga negara lain yang diberi

kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Selain hak menguji yang dimiliki hakim, juga terdapat hak menguji

yang dimiliki legislatif dan hak menguji yang dimiliki eksekutif.

lix

b. Tiga Model Utama Pengujian Undang-Undang

Sampai dengan sekarang, setidaknya sudah lebih dari 100-an

negara di dunia yang telah mengadopsikan sistem pengujian

kostitusional (constitutional review). 78 negara diantaranya

membentuk lembaga khusus untuk menjalankan fungsi pengujian itu,

sementara di negara-negara lainnya dilakukan oleh Mahkamah Agung

yang sudah ada sejak sebelumnya. Dari beberapa model pengujian

yang ada di dunia terdapat tiga model yang dapat disebut paling

penting yaitu Model Amerika Serikat (Supreme Court), Model Austria

(Bunderverfassungsgerichtshof), dan Model Perancis (Coensil

Constitutionnel). Berikut penjabaran masing-masing model tersebut

(Jimly Asshiddiqie, 2005:93-147):

a) Model Amerika Serikat

Model “Judical Review” menurut tradisi Amerika Serikat

didasarkan atas pengalaman Mahkamah Agung Amerika Serikat

memutus perkara Marbury versus Madison pada tahun 1803.

Dalam model ini, pengujian konstitusionalitas (constitutional

review) dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung dengan

status sebagai the Guardian of the Constitution. Karena itu,

penerapan sistem ‘judicial review’ atau ‘constitutional review’itu

tidak memerlukan lembaga baru, melainkan cukup dikaitkan

dengan fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada.

b) Model Austria

Proses pengujian konstitusionalitas dalam model ini

dikehendaki adanya pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri

dengan hakim-hakimnya yang mempunyai keahlian khusus di

bidang ini. Lembaga Mahkamah Konstitusi ini dibentuk sebagai

satu-satunya organ yang berwenang menjalangkan ‘constitusional

lx

review’ dengan kedudukan yang tersendiri di luar Mahkamah

Konstitusi dan di luar lembaga-lembaga dalam cabang-cabang

kekuasaan lainnya yang menjalankan otoritas politik.

Model inilah yang dianut oleh Indonesia, dengan membentuk

lembaga baru dalam rangka menjalankan kewenangan menguji

undang-undang terhadap UUD 1945. Di kebanyakan negara

dengan sistem hukum civil law memang menggunakan model ini

dengan berlandaskan pada centralized system.

c) Model Perancis

UUD Perancis tahun 1958 menentukan adanya lembaga baru

yang disebut ‘Conseil Constitutinnel’, melengkapi lembaga

peradilan tertinggi di bidang hukum administrasi yang sudah ada

sejak sebelumnya, yaitu “Conseil d’Etat”. Sejak dibentuk,

lembaga inilah yang sering dikaitkan dengan ‘Mahkamah

Konstitusi’ Perancis, meskipun sebutannya adalah ‘dewan’

(conseil), bukan ‘mahkamah’ (cour).

d. Tinjauan Umum tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perpu)

a. Pengertian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perpu)

Definisi awal mengenai peraturan pemerintah pengganti undang-

undang (Perpu) didapatkan dari berbagai peraturan perundangan

tertulis. Dalam UUD 1945 dapat dijadikan sumber adalah pada Pasal 5

ayat (2) dan Pasal 22 ayat (1). Pasal 5 ayat (2) berbunyi, “Presiden

menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang

sebagaimana mestinya.”

Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan:

(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

lxi

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Sedangkan dalam Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 sebelum

amandemen menyatakan, "Pasal ini mengenai

noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu

diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh

pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah

untuk bertindak lekas dan tepat.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 22 UUD 1945 tersebut, Peraturan

Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang, ditetapkan oleh

Presiden tanpa mendapat persetujuan dari DPR terlebih dahulu.

Persetujuan DPR diberikan setelah Perpu ditetapkan, yaitu “dalam

persidangan berikut ”meskipun dari sini masih disangsikan atas dua

hal yaitu apa yang dimaksud dengan “keadaan kegentingan yang

memaksa” dan kapan jangka waktu dari “persidangan berikutnya”

yang harus merujuk pada Peraturan Tata Tertib DPR (Rosjidi

Ranggawidjaja, 1998:71).

Definisi kedua terdapat Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 4

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan berbunyi, “Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-undang adalah Peraturan Perundang-undangan

yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang

memaksa.”

Di samping Undang-Undang yang merupakan peraturan

perundang-undangan yang tertinggi di Indonesia, dikenal pula adanya

peraturan yang mempunyai hierarkhi setungkat dengan Undang-

Undang yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 1945 (Maria Farida Indrati S.,

2007:191).

lxii

Untuk memudahkan, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti

Undang-Undang ini biasanya disingkat “Perpu”. Dalam Konstitusi

RIS 1949 dan UUDS 1950, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti

Undang-Undang disebut dengan istilah “undang-undang darurat”.

Kecuali terhadap sebutannya yang berlainan, tidak ada perbedaan

yang prinsipil antara Perpu menurut UUD 1945 dan undang-undang

darurat menurut Konstitusi RIS dan UUDS 1950 itu (Jimly

Asshiddiqie, 2006:209).

b. Pengertian Undang-Undang (UU)

Sebagaimana pada definisi Perpu, definisi UU terdapat pada

peraturan perundangan, yaitu terdapat Bab I Ketentuan Umum Pasal 1

angka 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi, “Undang-

undang adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.”

Dalam bukunya, Maria Farida Indrati memberikan pengertian

Undang-Undang sebagai berikut: “Undang-Undang adalah peraturan

perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia,

yang di dalam pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu

Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden seperti

ditetapkan dalam Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 UUD 1945.”

Pasal 5 ayat (1) berbunyi, “Presiden berhak mengajukan

rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”

Sedangkan, pada Pasal 20:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

lxiii

(3) Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

(4) Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.

Sebagai suatu peraturan yang dibentuk oleh lembaga legislatif

(Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden) Undang-

Undang merupakan peraturan perundangan tertinggi, yang di

dalamnya telah dapat dicantumkan sanksi pidana dan sanksi pemaksa,

serta merupakan peraturan yang sudah dapat langsung berlaku dan

mengikat umum (Maria Farida Indrati S., 2007:186).

Undang-undang itu selalu berisi segala sesuatu yang

menyangkut kebijaksanaan kenegaraan untuk melaksanakan amanat

Undang-Undang Dasar di bidang-bidang tertentu yang memerlukan

persetujuan bersama antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Produk undang-undang ini merupakan bentuk hukum peraturan yang

paling tinggi statusnya di bawah Undang-Undang Dasar (Jimly

Asshiddiqie, 2006:204-205).

c. Pembandingan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perpu) dengan Undang-Undang (UU)

Dalam hal membandingkan antara UU dan Perpu ini yang

menjadi dasar hukum ialah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sesuai tata

urutannya bahwa kedudukan UU dan Perpu ini adalah sederajat, satu

nafas, jelas tercantum pada jenis dan hierarkhi pada Pasal 7 ayat (1)

yang menyebutkan, Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan

adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

lxiv

2) Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

3) Peraturan Pemerintah;

4) Peraturan Presiden;

5) Peraturan Daerah.

Pertimbangan kedua pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu

pada materi muatannya, yang tercantum pada Bab III. Pasal 9

berbunyi, ”Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang.”

Ketentuan tersebut sinkron pula pada Penjelasan Pasal 22 UUD

1945 (sebelum amandemen) diuraikan, bahwa Perpu merupakan

implementasi “hak untuk membentuk peraturan darurat”

(noodverordeningsrecht) dari Presiden. Hal ini dimaksudkan sebagai

suatu “exeption”, dengan harapan agar keselamatan negara dapat

dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa

pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Jadi pengecualiannya

hanya pada proses atau tata cara pembentukan, bukan pada substansi.

Oleh karena Perpu tersebut harus mendapat persetujuan dari DPR

pada persidangan berikutnya, ini menunjukkan bahwa substansi Perpu

adalah sama dengan substansi Undang-Undang. Oleh sebab itu pula

kedudukan Perpu sama atau sederajat dengan Undang-Undang

(Rosjidi Ranggawidjaja, 1998:72).

Dari ketentuan Pasal 22 UUD 1945 tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perpu) sebenarnya merupakan suatu Peraturan Pemerintah yang

bertindak sebagai suatu Undang-Undang atau dengan perkataan lain

Perpu adalah Peraturan Pemerintah yang diberi kewenangan sama

dengan Undang-Undang (Maria Farida Indrati S., 2007:191).

Dasar yang lain dalam pembandingan UU dan Perpu ialah

mengenai fungsinya, sebagaimana ditulis Maria Farida Indrati. Perpu

lxv

merupakan peraturan perundang-undangan yang mempunyai

kedudukan setingkat dengan undang-undang. Berdasarkan alasan

tersebut, maka fungsi Perpu adalah sama dengan fungsi UU, yaitu

(Maria Farida Indrati S., 2007:215-221):

1) menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam

Undang-Undang Dasar 1945, yang tegas-tegas menyebutnya.

Sebagai contoh : Pasal 2 (1) tentang susunan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Pasal 6 (2) tentang syarat-syarat untuk

menjadi Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 6A (5) tentang tata

cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

2) Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam

Batang Tubuh UUD 1945.

Fungsi ini dirumuskan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 alinea

IV.

3) Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Ketetapan MPR yang

tegas-tegas menyebutnya.

4) Pengaturan di bidang materi konstitusi, seperti:

a) organisasi, tugas dan susunan lembaga (tinggi) negara

b) tata hubungan antara negara dan warga negara dan antara warga

negara/ penduduk timbal balik.

lxvi

2. Kerangka Pemikiran

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

KEWENANGAN

UUD 1945 Pasal 24C ayat (1)

UU MK Nomor 24 Tahun 2003

Pasal 10 ayat (1) huruf a

UU KK Nomor 48 Tahun 2009

Pasal 29 ayat (1) huruf a

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

PENGUJIAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU)

PERBANDINGAN PERPU DAN UU (UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)

KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGUJI PERPU

Analisis Materiil

Analisis Formil

lxvii

Keterangan:

Berdasarkan bagan di atas dapat menggambarkan lebih jelas alur

berprosesnya penelitian ini. Pada kata umumnya ialah mengenai Mahkamah

Konstitusi, berada pada kotak paling atas, karena penelitian pada dasarnya akan

menganalisis tentang Mahkamah Konstitusi. Hal apa yang akan dianalisis lebih

lanjut ialah kewenangan Mahkamah Konstitusi. Ada empat kewenangan dan satu

kewajiban dari Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum pada Pasal 24C

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1)

huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,

dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Namun hanya terkait kewenangan pengujian undang-

undang (judicial review) yang menjadi pokok pembahasan. Karena kewenangan

Mahkamah Konstitusi pengujian undang-undang ini telah mengalami

perkembangan, yaitu munculnya pengujian terhadap objek berbentuk Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Hal ini terbukti dengan diterimanya dan

diprosesnya Perkara 138/PUU-VII/2009 mengenai permohonan pengujian

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

dalam pengujian Peraturan Pengganti Undang-Undang ini tidak diatur secara

formil namun ternyata ada prakteknya. Berdasarkan hal tersebut, analisis dimulai

dari pembandingan UU dan Perpu. UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum atas

pembandingan UU dan Perpu tersebut. Dari situlah disimpulkan bahwa

kedudukan UU dan Perpu itu adalah sederajat, substansi dari Perpu ialah sama

dengan UU. Analisis terdiri dari analisis materiil dan analisis formil, yang dalam

hal ini mencakup pula pengujian Perpu ini dilihat dari uji materiil dan uji formil

Mahkamah Konstitusi. Analisis semakin diperkuat dengan pembandingan dengan

lxviii

sistem peradilan peraturan perundnag-undangan di negara-negara lain.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Peraturan Pengganti

Undang-Undang menjadi pro dan kontra dalam pelaksanaannya, berbagai alasan

menjadi dasarnya. Keadaan inilah yang menjadi titik fokus penulisan ini yang

akan memaparkan, apa yang menjadi dasar konstitusional kewenangan serta

pertimbangan hukumnya Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Konstitusionalitas Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam

Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

1. Amanat Konstitusi terhadap Kewenangan oleh Mahkamah Konstitusi

Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu wujud

nyata dari perlunya keseimbangan dan kontrol diantara lembaga-lembaga

negara. Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan penegasan

terhadap prinsip negara hukum dan perlunya perlindungan hak asasi (hak

konstitusional) yang telah dijamin konstitusi. Selain itu, pembentukan

Mahkamah Konstitusi dimaksudkan sebagai sarana penyelesaian beberapa

problem yang terjadi dalam praktik ketatanegaraan yang sebelumnya tidak

ditentukan. Dalam konteks dunia, keberadaan Mahkamah Konstitusi

merupakan salah satu hasil perkembangan pemikiran hukum dan

kenegaraan modern yang muncul pada abad ke-20.

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi kemudian dirumuskan dalam

ketentuan Pasal 24 (2) dan Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945 yang

disahkan dalam Sidang Tahunan MPR 9 November 2001. Permasalahan

yang diatur adalah soal kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusi

serta beberapa hal mengenai hakim konstitusi. Pengaturan lebih lanjut

lxix

mengenai Mahkamah Konstitusi dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) dan pemerintah, dan telah disetujui dalam bentuk Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. UU

Mahkamah Konstitusi yaitu menyangkut masalah pengangkatan dan

pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya

tentang Mahkamah Konstitusi.

Sebagai sebuah lembaga negara yang telah ditentukan oleh UUD,

kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diberikan dan diatur dalam UUD.

Kewenangan yang mengeksklusifkan dan membedakan Mahkamah

Konstitusi dari lembaga-lembaga negara lainnya. Berdasarkan ketentuan

Pasal 24 (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi diletakkan sebagai bagian

dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama Mahkamah Agung.

Sedangkan Pasal 24C (1 & 2) mengatur bahwa Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus

sengketa kewenangan antarlembagaa negara yang kewenangannya

diberikan oleh UUD, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus

pembubaran politik. Selain itu, wajib memberikan putusan atas pendapat

DPR mengenai dugaan pelanggran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

menurut UUD.

Menegaskan kembali kedudukan Mahkamah Konstitusi, Pasal 2

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

menyatakan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara

yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menengakkan hukum dan keadilan.

Pasal 3 menentukan Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibu kota

negara Republik Indonesia.

Pada hakikatnya fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah

mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of

constitution) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (interpreter of

constitution). Dengan fungsi dan wewenang tersebut, keberadaan

lxx

Mahkamah Konstitusi memiliki arti penting dan peranan strategis dalam

perkembangan ketatanegaraan dewasa ini karena segala ketentuan atau

kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur dalam hal

konstitusional atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian,

setiap penyelenggaraan pemerintahan selalu terbangun oleh dan

berlandaskan pada prinsip-prinsip dan ketentuan konstitusi.

Dengan konsekuensi itu juga Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai

penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution).

Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan negara

berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah

melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi. Begitu pula

yang dikatakan Mariangela Benedetti pada jurnalnya yang berjudul Global

Judicial Review: A Remedy Against Fragmentation?, “This protection

concerns the subsequent moment to the accomplishment of the discretion

power. It has judicial power because it is carried out in front of specific

bodies, which have the power to review the legitimacy of the measure, or

the behavior, taken by the public administration.” Oleh karenanya

Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the

guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara

(the protector of the citizen’s constitutional rights) dan pelindung HAM

(the protector of human rights).

Pembentukan Mahkamah Konstitusi Indonesia dilatarbelakangi

adanya kehendak untuk membangun pemerintahan yang demokratis

dengan checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan,

mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan

melindungi hak-hak asasi manusia. Upaya pembentukan Mahkamah

Konstitusi bukan sesuatu yang mudah terimplementasi dalam realitas

kehidupan ketatanegaraan Indonesia.

Pada tingkat internasional, perkembangan politik di negara yang

tengah mengalami proses transisi politik pada periode 1990-an seperti

Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Ceko, telah mengakomodasi

lxxi

pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam konstitusinya dan pada sistem

kekuasaannya. Alasan utama berbagai negara itu membentuk Mahkamah

Konstitusi dapat dijamin konsistensinya dan adanya mekanisme yang

memungkinkan terjadinya kontrol terhadap kekuasaan agar tidak

mengingkari nilai dasar yang diatur dalam konstitusi. Dalam

perkembangan nasional, setidaknya ada 3 (tiga) hal penting yang menjadi

dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu (Iriyanto A. Baso Ence.

2008:113):

a. ada lack of authority, karena dalam sistem hukum di Indonesia belum

ada mekanisme yang mengatur limitatif soal hak uji materiil (undang-

undang terhadap konstitusi). Oleh karena itu, berbagai undang-undang

yang bertentangan dengan konstitusi tidak pernah dipersoalkan;

b. ada fakta politik terjadinya kelembagaan antara lembaga kepresidenan

dan DPR, yaitu pemberhentian dan pengangkatan Kapolri dan

pengangkatan Ketua Mahkamah Agung;

c. adanya pandangan bahwa Mahkamah Agung tidak sepenuhnya mampu

menjalankan berbagai kewenangan yang melekat pada dirinya,

sehingga diperlukan lembaga lainnya untuk menangani berbagai soal

ketatanegaraan lainnya di luar Mahkamah Agung.

Beberapa faktor pemicu pembentukan Mahkamah Konstitusi secara

teoritis atau praktis dapat dipahami dan cukup rasional. Terbatasnya hak

uji materiil Mahkamah Agung tersebut sesungguhnya belum dilandasi oleh

pertimbangan filosofis dan sosiologis, tetapi lebih mengedepankan aspek

yuridis dan politisnya. Dilihat dari segi yuridis, terbatasnya kewenangan

hak uji materiil oleh Mahkamah Agung karena adanya komitmen membagi

kekuasaan semata. Namun faktor ketiadaan mekanisme yang mengatur hak

uji materiil undang-undang terhadap konstitusi dan faktor keberadaan

Mahkamah Agung yang belum sepenuhnya menjalankan kewenangannya

menjadi dasar kuat membentuk Mahkamah Konstitusi dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia.

lxxii

Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian Undang-

Undang

UUD telah meletakkan bahwa dalam sistem hukum di Indonesia

terdapat dua institusi yang berwenang melakukan pengujian peraturan

perundang-undangan (judicial review). Kewenangan untuk menguji

undang-undang terhadap UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi

(Pasal 24C ayat 1 UUD 1945), sedangkan pengujian peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang menjadi

kewenangan Mahkamah Agung (Pasal 24A ayat 1 UUD 1945).

Wewenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD merupakan

suatu hal yang sudah lama diinginkan dalam konteks pelaksanaan

kekuasaan kehakiman sebagai bagian dari cita-cita terwujudnya negara

hukum dan demokrasi. Dengan adanya kewenangan dan mekanisme

pengujian konstitusionalitas undang-undang, cita-cita negara hukum dan

demokrasi telah mendapatkan penengasannya. Ada 3 (tiga) pendekatan

yang berkaitan dengan keberadaan pengujian undang-undang (judicial

review) terhadap undang-undang (Iriyanto A. Baso Ence. 2008:138):

1) pendekatan yuridis, sesuai asas lex superiori derogat lex inferiori,

bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan

peraturan yang lebih rendah, maka suatu undang-undang tidak boleh

bertentangan dengan UUD;

2) pendekatan politis, bahwa kebutuhan akan judicial review sangat

diperlukan agar visi dan misi serta materi muatan suatu undang-undang

tidak bertentangan dengan UUD, karena pada hakikatnya suatu undang-

undang dibuat untuk melaksanakan UUD;

3) pendekatan pragmatis, bahwa kebutuhan terhadap judicial review

sangat diperlukan untuk mencegah praktek penyelenggaraan

pemerintahan negara yang tidak sesuai atau menyimpang dari UUD.

Tanpa judicial review kiranya sulit menegakkan UUD 1945.

Pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi sesuai amanat

UUD 1945 memberikan prospek yang baik pada penyelenggaraan

lxxiii

kekuasaan kehakiman di Indonesia. Artinya, pengujian undang-undang

sebagai upaya mengidentifikasi, menyelidiki lebih komprehensif, dan

kemudian menilai secara objektif, akan menghindarkan atau mencegah

undang-undang menyalahi atau menyimpang dari Undang-Undang Dasar.

Filosofi yang dikenal dan dipahami negara-negara hukum modern, bahwa

pengujian undang-undang (judicial review) sebagai kontrol antar lembaga-

lembaga negara untuk terwujudnya cita negara hukum yang demokratis.

Tegasnya, pengujian undang-undang adalah persoalan fundamental dalam

kehidupan sebuah negara hukum.

Pemberian wewenang menguji undang-undang kepada Mahkamah

Konstitusi dianggap cukup tepat menurut Fatkhurohman, dkk,

sebagaimana dituliskan dalam buku ”Negara Hukum dan Hak Uji

Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi”, dengan alasan: Pertama,

menurut paham konstitusionalisme, kedudukan UUD adalah sebagai

bentuk peraturan yang tertinggi, sehingga hakim harus memiliki wewenang

untuk membatalkan setiap tindakan Presiden dan juga setiap undang-

undang yang bertentangan dengan UUD.

Kedua, asumsi bahwa undang-undang merupakan produk politik yang

seringkali mengedepankan kepentingan politik suara mayoritas dan

cenderung mengabaikan aspek kebenaran dalam proses pengambilan

keputusan, sehingga perlu dikontrol. Dengan diberikannya wewenang

menguji kepada Mahkamah Konstitusi, hal itu mendorong mekanisme

checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.

Ketiga, berdasarkan hasil amandemen UUD 1945, kekuasaan

kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi (bifurcation system),

yaitu kekuasaan kehakiman terbagi dalam cabang peradilan biasa (ordinary

court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan

konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Menyerahkan

kewenangan menguji kepada peradilan biasa hanya akan mengundang

kecurigaan dan ketidakpercayaan publik terhadap proses dan hasilnya,

karena peradilan di bawah Mahkamah Agung selama ini tenggelam dan

lxxiv

mengabdi kepada kekuasaan. Selain itu, peradilan biasa, terutama para

hakimnya belum berpengalaman dalam menguji konstitusi.

Pengujian UU bersifat konstitusionalitas namun tidak hanya merujuk

UUD saja, termasuk juga asas-asas umum konstitusi atau asas-asas yang

terkandung dalam UUD. Dalam praktek bisa berupa kebiasaan

ketatanegaraan maupun putusan pengadilan. Menyangkut asas-asas umum

konstitusi, misalkan Penjelasan Umum UUD 1945 menegaskan prinsip

negara hukum dan sistem konstitusional, maka pada dasarnya

mencerminkan prinsip pembatasan kekuasaan dan tercipta mekanisme

untuk mencegah dilampauinya batas-batas itu. Selanjutnya kedua prinsip

ini mengkehendaki sebuah tertib hukum dimana jika terjadi pertentangan

hukum harus bisa dibatalkan dan masalah wewenang menguji adalah

persoalan hukum dan semestinya yang berwenang adalah kekuasaan

kehakiman.

Dalam menjalankan kewenangan ini khususnya pengujian UU,

Mahkamah Konstitusi menegaskan diri tidak hanya bersandarkan legalitas

formal UU dalam mengadili, akan tetapi juga memiliki tanggung jawab

mewujudkan tujuan norma hukum itu sendiri, yakni keadilan, kepastian

dan kemanfaatan. Keadilan Mahkamah Konstitusi yang ingin dicapai tidak

semata-mata sebuah keadilan prosedural, yakni keadilan sebagaimana

sesuai rumusan bunyi UU, namun di sisi lain mengabaikan keadilan dan

kepastian hukum. Berdasarkan Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan

MPR, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman itu bertugas menegakkan

hukum dan keadilan yang ditempatkan dalam posisi sama yang satu tidak

lebih diutamakan dari yang lain. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan

kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ”hukum” dan ”keadilan”.

Selain itu, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juga menegaskan, setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan ”kepastian hukum

yang adil”.

Kepastian hukum tidak jarang mengalahkan pencari keadilan di

lxxv

sebuah lembaga peradilan yang seharusnya memberikan keadilan. UU

sendiri meski ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR dengan cara

demokratis, akan tetapi belum tentu hasilnya mencerminkan nilai-nilai dari

cita hukum dan nilai-nilai konstitusi. Pengalaman masa lalu membuktikan

sebuah undang-undang tidak serta merta mencerminkan karakter yang

responsif dan sesuai kepentingan rakyat dan menjadi cerminan nilai yang

terkandung dalam cita-cita negara hukum yang demokratis. Prinsip

penegakan keadilan dalam proses peradilan itulah yang saat ini digali

sedalam-dalamnya untuk merasakan keadilan substantif (substantive

justice) di masyarakat dan tidak terbelenggu dengan apa yang ditetapkan

undang-undang (procedural justice).

Dalam mengadili perkara dengan mandat konstitusi, Mahkamah

Konstitusi tidak hanya terpaku kepada bunyi UU yang terkadang justru

bertentangan dan mengabaikan kepastian hukum dan keadilan. Mahkamah

Konstitusi diharuskan mencari keadilan substantif yang oleh UUD 1945,

UU, prinsip-prinsip umum konstitusi dan peradilan diakui keberadaannya.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sendiri juga menegaskan, ”Mahkamah Konstitusi memutus perkara

berdasar Undang UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat

bukti dan keyakinan hakim.” Bukti dan keyakinan hakim menjadi dasar

putusan untuk menegakkan keadilan substantif. Upaya tidak terpaku

kepada bunyi UU, maka dikenal antara lain putusan konstitusional

bersyarat (conditionally constitutional), inkonstitusional bersyarat

(conditionally unconstitutional), putusan sela dalam pengujian UU,

putusan yang berlaku surut dan lain sebagainya.

Selanjutnya, UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa pengujian

konstitusionalitas suatu undang-undang dimungkinkan bisa dilakukan

secara formil dan materiil (Pasal 50 ayat 3). Pengujian secara formal

menelaah apakah cara-cara pembentukan undang-undang telah memenuhi

prosedur pembentukan berdasarkan ketentuan dan yang diatur oleh UUD

1945. Sedangkan pengujian undang-undang secara materiil ialah untuk

lxxvi

memeriksa, menyelidiki kemudian menilai, apakah muatan dalam ayat,

pasal, dan/atau bagian dari undang-undang dianggap bertentangan dengan

UUD 1945, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan

suatu peraturan tertentu.

Berdasarkan makna hak menguji materiil tersebut, dapat

digarisbawahi bahwa pada dasarnya hak menguji materiil bertujuan

menyelediki, menguji, dan menilai apakah isi suatu peraturan perundang-

undangan sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi derajat atau tingkatannya. Berkenaan dengan hak menguji

materiil yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, secara teoritis dapat

dikemukakan bahwa hak menguji materiil cenderung menilai dan

menyatakan suatu undang-undang bertentangan atau tidak bertentangan

dengan UUD 1945.

Kedua pengujian ini menggunakan dasar pengujian yang sama yaitu

UUD. Dua pengujian, secara materiil maupun formil ini menunjukkan

adanya kebutuhan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-

undangan, dalam hal ini adalah undang-undang, harus memperhatikan dua

aspek yaitu materi dan proses. Salah satu aspek tersebut tidak dapat

diabaikan begitu saja.

2. Dasar Hukum Mahkamah Konstitusi Menguji Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

Untuk pertama kalinya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, ada

lembaga yang wenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD, serta

berfungsi sebagai penafsir UUD (the interpreter of constitution). Sebagai

permulaan, kewenangan ini diberikan kepada MPR, sambil menunggu

terbentuknya sebuah lembaga Mahkamah Konstitusi (constitutional court).

Ketentuan ini sebagaiamana diatur dalam Pasal 5 Tap MPR Nomor

III/MPR/2000, yang menyebutkan:

lxxvii

(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(2) Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

(3) Pengujian dimaksud ayat (2) bersifat aktif dan dapat dilaksanakan tanpa melalui proses peradilan kasasi.

(4) Keputusan Mahkamah Agung mengenai pengujian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan ayat (3) bersifat mengikat.

Kewenangan uji konstitusionalitas pada lembaga MPR tidak

diperpanjang, sebab hal ini dirasa tidaklah tepat, sebagaimana disebutkan

dalam Naskah Akemik RUU Mahkamah Konstitusi, dalam naskah

akademik tersebut disebutkan bahwa penyerahan kewenangan uji

konstitusionalitas kepada MPR tidaklah tepat, karena:

(1) Kewenangan ini merupakan kewenangan yang berkaitan erat dengan permasalahan hukum, konstitusi, dan ketatanegaraan, sehingga memerlukan keahlian tersendiri. Sementara keanggotaan di dalam MPR terdiri dari berbagai macam latar belakang yang semuanya berorientasi pada kepentingan politik, karena merupakan wakil partai;

(2) Keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR, sementara DPR merupakan lembaga yang mempunyai kewenangan membentuk undang-undang, sehingga agak janggal apabila pihak yang membuat undang-undang menguji sendiri produknya.

(3) Pengujian terhadap undang-undang merupakan sebuah kewenangan khusus yang memerlukan waktu dan tenaga, sehingga akan tidak efektif apabila dilakukan oleh anggota MPR yang mempunyai jadwal yang padat dan mekanisme kerja tersendiri.

Amandemen Ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk

mereview UU ada di Mahkamah Konstitusi sedangkan kewenangan

mereview peraturan perundang-undangan di bawah UU diserahkan ke MA.

Implementasi atas amandemen UUD 1945 telah ditentukan dalam UU

Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14

tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pasal 31 ayat (1), Mahkamah

Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di

bawah Undang-undang terhadap Undang-undang. Tentang kewenangan

Mahkamah Konstitusi telah ditentukan dalam UU Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat (1) huruf a, Mahkamah

lxxviii

Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang

putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam naskah akademik RUU Mahkamah Konstitusi disebutkan

salah satu alasan mengapa perlu ada perubahan terhadap UUD 1945 adalah

sebagai berikut:

UUD 1945 sangat singkat karena hanya terdiri dari 37 pasal. Oleh penyusunnya, UUD 1945 diharapkan dapat disempurnakan pada masa berikutnya. Sejarah ketatanegaraan bangsa Indonesia menunjukkan bahwa dinamika kehidupan bernegara berkembang dengan pesat, sementara sifat UUD 1945 yang singkat dan supel tersebut tetap dipertahankan. Pada akhirnya muncul permasalahan, karena masing-masing pihak memberikan penafsiran terhadap UUD 1945 berdasarkan pemahaman dan kepentingannya masing-masing. Hal ini tidak jarang menimbulkan konflik ketatanegaraan antara lembaga negara dalam interaksi dan interelasinya ketika menjalankan kewenangannya.

Salah satu point penting dari hasil amandemen konstitusi adalah

lahirnya Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,

sebagai lembaga yang berwenang untuk melaksanakan fungsi uji

konstitusionalitas. Sedangkan Mahkamah Agung yang telah dikenal

sebelumnya hanya diberikan hak sebatas pengujian legalitas. Artinya

menurut Prof. Dr. Jimly Assidiqy, bahwa pengujian yang dilakukan oleh

Mahkamah Agung itu adalah pengujian legalitas berdasarkan undang-

undang. Memperhatikan kondisi factual yang terjadi pasca terjadinya

beberapa konflik ketetanegaraan, gagasan pembentukan Mahkamah

Konstitusi setidaknya di dorong oleh tiga alasan:

a. bertambahnya jumlah lembaga negara dan bertambahnya ketentuan

sebagai akibat perubahan UUD 1945, menyebabkan potensi sengketa

antar lemabaganegara menjadi semakin banyak. Sementara itu telah

terjadi perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada supremasi

konstitusi, sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang

supremasi kekuasaan yang berwenang menyelesaikan sengketa

lxxix

antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang netaral

untuk menyelesaikan sengketa tersebut;

b. sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratios

yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukan bahwa suatu

keputusan yang demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan hukum

yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang

berwenang menguji konstitusioonalitas UU terhadap UUD;

c. ada kasus aktual yang terjadi di Indonesia pada saat itu, yaitu

pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurahman Wahid dari kursi

kepresidenannya oleh MPR pada siding istimewa MPR tahun 2001.

Kasus ini mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari cara agar

ada mekanisme hukum yang membingkai proses pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak didasarkan atas alasan

politis semata. Untuk itu, disepakati keperluan akan adanya suatu

lembaga yang berkewajiban menailai pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang dapat

mentebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan

sebelum habis masa jabatannya.

Pada awalnya telah terjadi perdebatan yang sengit untuk merubah

tentang judicial review, tentang siapa yang berwenang untuk menguji atas

ketentuan hukum yang bertentangan dengan UUD 1945. Yaitu pada waktu

UUD 1945 dilakukan amandemen dalam bagian judicial review

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.

PAH II BP MPR pada bulan Mei 2002 menyusun rancangan

perubahan Peraturan Tata Tertib MPR dimana jika disetujui dalam ST

2001, BP MPR akan memiliki kewenangan melakukan uji materiel atas

UU, TAP MPR, dan UUD. Walaupun mengakui Mahkamah Konstitusi

yang seharusnya berwenang sebelum terbentuk BP sesuai TAP

MPR/III/2000, BP MPR yang melaksanakannya. Kalaupun pandangan ini

dapat dibenarkan, maka pengujian oleh Lembaga MPR ini tidaklah dapat

dikatagorikan sebagai judicial review, karena sama sekali tidak dilakukan

lxxx

oleh hakim, melainkan oleh legislator. Namun demikian ketentuan

demikian ini sangatlah keliru karena memberikan wewenang kepada

lembaga yang tidak tepat. Tim ahli MPR menentangnya dengan dengan

alasan kewenangan itu adalah milik lembaga peradilan dan MA dapat

membentuk kompartemen baru. Meskipun TAP MPR Nomor

III/MPR/2000 adalah sah adanya, tetapi dalam penerapannya, ketentuan

mengenai legislative review yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut

tidak akan mungkin dapat dilaksanakan karena memang isinya keliru total.

Fungsi pengujian Undang-undang adalah fungsi yang bersifat permanen

dan rutin, sedangkan forum MPR tidak bersifat tetap atau tidak rutin.

Ketua MA mendukung pendapat itu, pertentangan aturan adalah persoalan

hukum dan bukan politik sehingga yang memutus perkara adalah badan

peradilan, bukan badan politik seperti DPR atau MPR.

a. Pengujian Undang-Undang Secara Materiil

Dalam teori tentang pengujian (toetsing), dibedakan antara

materrile toetsing dan formeele toetsing. Pembedaan tersebut biasanya

dikaitkan dengan pembedaan pengertian antara wet in materiile zin

(undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formeele zin (undang-

undang dalam arti formal). Kedua bentuk penguian tersebut oleh UU

Mahkamah Konstitusi dibedakan dengan istilah pembentukan undang-

undang dan materi muatan undang-undang adalah pengujia materiil,

sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formal.

Pasal 51 ayat (3) UU Mahkamah Konstitusi ditentukan bahwa

dalam permohonannya, pemohon wajib menguraikan dengan jelas

bahwa (a) pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

dan/atau (b) materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-

undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. artinya, objek pengujian atas suatu

lxxxi

undang-undang sebagai produk hukum (by product) tidak selalu terkait

dengan materi undang-undang, melainkan dapat pula terkait dengan

proses pembentukan undang-undang itu.

Jika pengujian undang-undang dilakukan atas materinya, maka

pengujian demikian disebut pengujian materiil yang dapat

berakibatkan dibatalkannya sebagian materi undang-undang yang

bersangkutan. Pada umumnya, Mahkamah Konstitusi hanya

membatalkan bagian-bagian saja dari materi muatan suatu undang-

undang yang diuji itu yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat. Sedangkan selebihnya tetap berlaku sebagaimana

adanya. Yang dimaksud dengan materi muatan undang-undang itu, isi

ayat, pasal, frasa, dan/atau bagian-bagian tertentu dari suatu undang-

undang. Dapat terjadi bahwa yang dianggap bertentangan dengan

UUD hanyalah satu anak kalimat dalam satu ayat, atau satu kata dalam

suatu kalimat. Bahkan lebih ekstrim lagi, secara teoritis, dapat saja

yang dinilai bertentangan dengan UUD hanyalah satu koma atau satu

titik atau pun karena satu huruf yang seharusnya ditulis dengan huruf

besar diketik dengan huruf kecil.

Sebaliknya, yang dimaksud dengan bagian dari undang-undang itu

dapat pula berupa keseluruhan dari suatu bagian atau keseluruhan dari

suatu bab undang-undang yang bersangkutan. Jiak keseluruhan suatu

bab undang-undang itu dinyatakan bertentangan dengan UUD, maka

keseluruhan bab itu harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat. Sedangkan bagian-bagian lain dari undang-

undang itu yang tidak dianggap bertentangan tetap mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat dan wajib dilaksanakan sebagaimana

mestinya.

Soal lain yang juga penting ialah soal isi konsideran

”menimbang” atau pun ”mengingat” dalam suatu undang-undang. Jika

terdapat kesalahan, kekurangan, atau kelebihan dalam rumusan

konsideran, apakah hal itu dapat dinilai oleh Mahkamah Konstitusi dan

lxxxii

penilaian semacam itu dapat disebut sebagai pengujian materiil pula.

Lazim dipahami bahwa yang dimaksud dengan isi atau materi undang-

undang adalah pasal-pasal dan termasuk penjelasan undang-undang itu

sendiri sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal undang-

undang tersebut dan karenanya bersifat mengikat pula secara hukum.

Akan tetapi, jika yang diuji adalah rumusan konsideran yang dianggap

bertentangan dengan UUD, maka bukankah hal itu dapat

mengakibatkan keseluruhan undang-undang itu menjadi tidak

mengikat juga, karena dibatalkannya isi konsideran itu.

Berkenaan dengan hal ini, sebenarnya tergantung kepada

penilaian hakim konstitusi sendiri untuk memutuskannya. Jika dilihat

dari segi materiil, berarti hal-hal yang dipersoalkan itu dilihat sebagai

materi muatan undang-undang yang seharusnya tidak boleh

bertentangan dengan UUD 1945. Namun pada sisi lain, jika dilihat

sebagai pengujian formil, berarti yang dipersoalkan adalah segi-segi

form, format, dan formulasi serta proses pembentukannya undang-

undang itu yang tidak mengikat prosedur-prosedur konstitusional yang

seharusnya.

Terlepas dari kedua kemungkinan pilihan tersebut, yang jelas,

dikabulkannya permohonan mengenai hal-hal seperti ini dapat

mengakibatkan bahwa keseluruhan undang-undang itu dinyatakan

tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebagaimana dalam

pengujian formil. Karena itu, meskipun dikelompokkan sebagai

pengujian materiil sekalipun, akibat hukum putusannya sama saja

dengan pengujian formil, yaitu keseluruhan undang-undang itu dapat

dinyatakan tetap berlaku mengikat atau dinyatakan tidak lagi

mempunyai kekuatan hukum mengikat.

b. Pengujian Undang-Undang Secara Formil

Secara umum, yang dapat disebut sebagai pengujian formil

(formeele toetsing) itu adalah pengujian atas suatu produk hukum,

lxxxiii

bukan dari segi materinya. Bentuk suatu undang-undang, memang

bukanlah menyangkut isinya, akan tetapi pengujian formil itu sendiri

tidak identik dengan pengujian atas undang-undang, meskipun

pengujian atas bentuk dapat saja disebut sebagai salah satu pengujian

formil. Pengujian atas proses pembentukan undang-undang memang

dapat digolongkan sebagai pengujian formil, karena bukan

menyangkut isi undang-undang. Tetapi pengujian formil tersebut tidak

hanya menyangkut proses pembentukan undang-undang dalam arti

sempit, melainkan mencakup pengertian yang lebih luas. Pengujian

formil itu mencakup juga pengujian mengenai aspek bentuk undang-

undang itu, dan bahkan mengenai pemberlakuan undang-undang, yang

tidak lagi tergolong sebagai bagian dari proses pembentukan undang-

undang.

Oleh karena itu, pengertian yang dapat dikembangkan dalam

rangka pemahaman terhadap konsepsi pengujian formil itu bersifat

sangat kompleks. Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk

menilai konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formalnya

adalah sejauh mana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang

tepat, oleh institusi yang tepat, dan menurut prosedur yang tepat. Jika

dijabarkan, dari ketiga kriteria ini, pengujian formil itu dapat

mencakup:

1) pengujian atas pelakasanaan tata cara atau prosedur pembentukan

undang-undang, baik dalam pembahasan maupun dalam

pengambilan keputusan atas rancangan suatu undang-undang

menjadi undang-undang;

2) pengujian atas bentuk, format, atau struktur undang-undang;

3) pengujian yang berkenaan dengan keberwenangan lembaga yang

mengambil keputusan dalam proses pembentukan undang-undang;

dan

4) pengujian atas hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.

lxxxiv

Mengenai prosedur atau tata cara pembentukan suatu undang-

undang, pada pokoknya telah diatur dalam UUD 1945. akan tetapi

rincian pengaturan mengenai hal itu, ditentukan lebih lanjut dalam

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Ukuran yang dipakai untuk menilai

pelaksanaan prosedur pembentukan undang-undang itu tentu adalah

UUD 1945. Akan tetapi, karena prosedur rinciannya terdapat dalam

undang-undang, maka sepanjang menyangkut hal-hal yang tidak

bertentangan dengan UUD 1945, materi yang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan itu juga harus dipandang sebagai bagian yang

tidak terpisahkan dari hukum konstitusi.

Hal demikian juga berlaku di berbagai negara seperti Jerman,

Austria, dan sebagainya. Kita tidak boleh memahami persoalan hukum

konstitusi itu hanya terbatas pada teks konstitusi, tetapi apa yang diatur

dalam undang-undang sebagai elaborasi normatif yang berasal dari

norma konstitusi itu harus pula diperlakukan sebagai bagian yang

terpisahkan dari hukum konstitusi itu sendiri. Oleh karena itu, alat

pengukur untuk menilai konstitusinalitas pembentukan suatu undang-

undang serta hal-hal lain di luar materi undang-undang, di samping

UUD adalah juga UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Bukankah undang-undang ini memang dibentuk khusus

untuk mengatur hal-hal yang berkenaan dengan proses pembentukan

dan hal-hal lain yang tidak termasuk dalam pengertian materi undang-

undang.

Mengenai format atau bentuk undang-undang, lembaga yang

mengambil keputusan dalam proses pembentukannya, serta hal-hal

lain, juga dinilai dengan menggunakan ukuran UUD beserta UU

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana

dimaksud di atas. Jika misalnya, suatu rancangan undang-undang yang

ditetapkan bukan oleh DPR, melainkan oleh DPD, tentu tidak boleh

lxxxv

disahkan oleh Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945.

Karena DPD bukanlah lembaga yang berwenang untuk menentukan

telah dicapainya persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah atas

sesuatu rancangan undang-undang. Atau, jika suatu rancangan undang-

undang inisiatif DPD telah mendapat persetujuan DPR, jika

pembahasannya tidak melibatkan Pemerintah, maka tentunya

rancangan undang-undang itu tidak dapat disahkan oleh Presiden

sesuai UUD 1945. Semua ini berkenaan dengan soal yang apabila

suatu undang-undang diuji maka pengujiannya itu disebut sebagai

pengujian formil (formeele toetsing).

Keempat kategori pengujian formil tersebut di atas, dapat

disederhanakan menjadi dua kelompok, yaitu pengujian atas proses

pembentukan undang-undang dan atas pengujian atas hal-hal lain yang

tidak termasuk pengujian materiil. Dalam Peraturan Mahkamah

Konstitusi Nomor 06/PMK/2005, pengertian demikian diwadahi dalam

Pasal 4 ayat (3) dengan menyatakan bahwa ”pengujian formil adalah

pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan

undang-undang dan hal-hal yang tidak termasuk pengujian materiil”.

Dengan demikian, hal-hal yang berkaitan dengan bentuk tepat, institusi

yang tepat, atau prosedur yang tepat seperti yang dimaksud di atas,

atau yang berkaitan dengan keempat kemungkinan tersebut di atas,

dapat disebut pengujian formil atas suatu undang-undang.

c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Sebagai Objek

Judicial review oleh Mahkamah Konstitusi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

memang diakui sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-

undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang

menentukan bahwa: (1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,

Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti

lxxxvi

undang-undang; (2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang

berikut, dan (3) jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan

Pemerintah itu harus dicabut. Ketentuan tersebut dipertegas di dalam

Pasal 1 angka (4) dan Pasal 25 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat kita simpulkan

bahwa syarat utama penetapan sebuah Perpu oleh Presiden yaitu

adanya suatu keadaan ”kegentingan yang memaksa”. Namun hingga

saat ini belum ada ukuran yang jelas dan terukur tentang apa yang

dimaksud dengan hal ihwal ”kegentingan yang memaksa” yang dapat

menjadi alasan keluarnya Perpu. Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal

22 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan, memberikan penjelasan

bahwa pasal tersebut mengenai noodverordeningsrecht Presiden,

dimana aturan tersebut diadakan supaya keselamatan negara dapat

dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa

pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.

Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari

pengawasan DPR. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam Pasal

22 dimaksud, yang kekuatannya sama dengan UU, harus disahkan pula

oleh DPR. Maka dari itu, persepsi yang timbul di sebagian masyarakat

bahwa hal ihwal ”kegentingan yang memaksa” yaitu suatu keadaan

dimana negara dalam keadaan darurat untuk segera dilakukan

penyelamatan, sehingga sedikit banyak harus merujuk pada Undang-

Undang (Prp) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Namun demikian, hal ihwal ”kegentingan yang memaksa” yang

dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memang merupakan hak

subyektif Presiden yang kemudian akan menjadi obyektif jika disetujui

oleh DPR untuk ditetapkan sebagai undang-undang. Keterangan

tersebut tertuang secara jelas dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

sebagai the interpreter of constitution terhadap perkara Nomor

lxxxvii

003/PUU-III/2005 mengenai perkara Judicial review UU Nomor 19

Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun

2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang.

Terlebih lagi, dalam praktik ketetanegaraan selama ini, dari

berbagai Perpu yang pernah dikeluarkan oleh Presiden menunjukkan

adanya kecenderungan penafsiran hal ihwal ”kegentingan yang

memaksa” sebagai keadaan mendesak yang perlu diatur dengan

peraturan setingkat undang-undang. Sehingga kemudian, Mahkamah

memberikan rambu-rambu agar hal ihwal ”kegentingan yang

memaksa” dalam sebuah Perpu yang selanjutnya akan dikeluarkan

oleh Presiden, agar lebih didasarkan pada kondisi obyektif bangsa dan

negara yang tercermin dalam konsideran ”Menimbang” dari Perpu

yang bersangkutan

Mengenai materi muatan Perpu, dijelaskan dalam Pasal 9 UU

Nomor 10 Tahun 2004 bahwa materi muatan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-

Undang. Kembali kepada Pasal 8, dalam undang-undang yang sama

disebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-

Undang berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

(1) hak-hak asasi manusia; (2) hak dan kewajiban warga negara; (3)

pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian

kekuasaan negara; (4) wilayah negara dan pembagian daerah; (5)

kewarganegaraan dan kependudukan; (6) keuangan negara; dan

diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan

Undang-Undang.

Untuk tata cara penetapan Perpu menjadi UU diatur dalam Pasal

25 UU Nomor 10 Tahun 2004 yang menyebutkan: (1) Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan

Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; (2) Pengajuan

lxxxviii

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan rancangan

undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti

undang-undang menjadi undang-undang; (3) Dalam hal Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan

Rakyat, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

tersebut tidak berlaku; (4) Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Presiden

mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan

pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur

pula segala akibat dari penolakan tersebut.

Terhadap Perpu tersebut kemungkinan dapat terjadi 2 (dua)

proses pengujian yang melibatkan lembaga yang berhak untuk

melakukan pengujian (toetsingsrecht), yaitu legislative review yang

dilakukan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai

legislator, dan judicial review pada Mahkamah Konstitusi sebagai

lembaga peradilan. Legislative review adalah ketika produk Perpu

untuk ditetapkan menjadi UU harus melalui lembaga DPR guna

memperoleh persetujuan, apakah Perpu tersebut layak untuk ditetapkan

menjadi undang-undang. Kemudian pengujian lainnya dapat juga

dilakukan di hadapan Mahkamah Konstitusi.

Saat ini memang masih terjadi perdebatan tersendiri mengenai

dapat-tidaknya suatu Perpu dijadikan obyek judicial review ke hadapan

Mahkamah Konstitusi, karena UUD 1945 dan UU Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya mengatakan bahwa judicial

review dapat dilakukan atas suatu UU terhadap UUD. Namun, produk

Perpu pun sebenarnya dapat juga dijadikan obyek pengujian terhadap

UUD, dengan alasan: (1) Materi muatan yang terkandung di dalam UU

maupun Perpu adalah sama; (2) Antara UU dan Perpu mempunyai

kedudukan yang setara atau sejajar di dalam hierarki peraturan

perundang-undangan, sehingga jika Mahkamah Konstitusi tidak

lxxxix

berwenang maka tidak ada satupun lembaga yang dapat melakukan

pengujian terhadap sebuah Perpu, termasuk Mahkamah Agung

sekalipun, karena kewenangan Mahkamah Agung hanyalah melakukan

pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah UU

terhadap UU di atasnya; (3) Seandainya Perpu tidak dapat dijadikan

obyek judicial review oleh lembaga judisial manapun, maka besar

kemungkinan Perpu yang dikeluarkan oleh Presiden akan berpotensi

untuk menjelma menjadi hukum otoriter, represif, sewenang-wenang,

dan bergerak sesuai kehendak penguasa dengan libido kekuasaan

belaka, meskipun hal tersebut hanya terjadi beberapa saat (hingga DPR

melaksanakan sidang) namun dapat menimbulkan korban yang meluas,

karena dapat dilakukan secara berulang-ulang tanpa batasan atau

koridor-koridor konstitusional. Meskipun berbagai ketentuan yuridis

menetapkan, Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji undang-

undang terhadap UUD 1945, objek pengujiannya adalah produk

hukum berupa undang-undang.

Ditinjau dari segi bentuknya, Perpu itu adalah peraturan di bawah

undang-undang dan karena itu seharusnya dapat diuji oleh Mahkamah

Agung. Dari segi namanya saja, yaitu Peraturan Pemerintah dimana

sudah jelas bahwa Perpu itu bukanlah undang-undang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Ditinjau dari segi

isinya, Perpu itu sesungguhnya adalah undang-undang, dan karena itu

dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan bukanlah diuji oleh

Mahkamah Agung. 2 (dua) hal tersebut dapat dikaitkan pada dua jenis

pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Sehingga dalam

hal pengujian materiil dapat dikatakan Mahkamah Konstitusi

berwenang menguji Perpu, karena substansi Perpu adalah sama dengan

undang-undang. Namun, Perpu itu tidak dapat diuji secara formil,

karena proses pembentukannya sangat berbeda dibanding undang-

undang.

xc

Namun yang perlu digarisbawahi, pun seandainya Mahkamah

Konstitusi menyatakan tidak berwenang memeriksa judicial review

atas suatu Perpu, logika sederhananya adalah kita hanya tinggal

menunggu waktu saja ketika Perpu tersebut disahkan untuk menjadi

sebuah produk UU maka kemudian dapat diajukan sebagai

permohonan judicial review kembali. Bila semua proses pembentukan

Perpu menjadi sebuah UU berjalan dengan lancar, dan jikalau ada

permohonan judicial review atas peraturan perundang-undangan

tersebut ternyata juga tidak dikabulkan, maka tidak akan terjadi

permasalahan atau akibat negatif apapun, karena notabene-nya telah

terbukti secara hukum keabsahan dari lahirnya peraturan perundang-

undangan tersebut.

Pada posisi diantara pro dan kontra itu, untuk mengajukan

persoalan Perpu ini menjadi perkara pengujian baik ke Mahkamah

Konstitusi maupun ke Mahkamah Agung dapat dianggap tidak tepat.

Perkara pengujian terhadapnya baru dapat diajukan ke Mahkamah

Konstitusi apabila Perpu tersebut telah resmi mendapat persetujuan

DPR dan disahkan menjadi Undang-Undang. Karena begitulah apa

yang tertuang dan diamanatkan sesuai UUD dan UU Mahkamah

Konstitusi. Pada di sisi lain, untuk diajukan ke Mahkamah Agung juga

tidak tepat, mengingat batu ujinya di Mahkamah Agung adalah

Undang-Undang. Jika Perpu diuji oleh Mahkamah Agung, sudah pasti

norma hukum yang terkandung di dalamnya dapat dinilai bertentangan

dengan ketentuan undang-undang yang sudah ada sebelumnya.

Kewenangan Mahkamah Agung itu sebatas pengujian legalitas

undang-undang, sehingga tidak relevan Perpu itu diuji pada

Mahkamah Agung. Hal lain bahwa sesuai jenis dan hierarki peraturan

perundang-undangan di Indonesia menempatkan Perpu itu sejajar

dengan UU, maka menjadi tidak logis ketika objek pengujian dan batu

ujinya berada satu tingkat.

xci

Perdebatan antara pro dan kontra ini tentu sah-sah saja sepanjang

sama-sama mempunyai dasar dan untuk kepentingan bangsa dan

negara. Selanjutnya peristiwa ini dibandingkan dengan yang terjadi di

negara-negara lain, mengenai pelaksanaan kewenangan pengujian

undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Beberapa

negara memberikan kewenangan judicial review termasuk didalamnya

pengujian konstitusionalitas, hanya kepada suatu pengadilan

konstitusionalitas khusus atau tingkat pengadilan tertentu atau dalam

bentuk lain, bukan kepada setiap hakim pada sistem pengadilan biasa.

Tidak setiap hakim di semua tingkat pengadilan dapat melakukan

pengujian konstitusionalitas, sehingga kedudukannya tersendiri di luar

Mahkamah Agung. Inilah yang disebut dengan centralized system.

Centralized System adalah sistem pengujian konstitusionalitas

yang kewenangannya diberikan kepada pengadilan konstitusionalitas

khusus, bukan kepada sistem pengadilan biasa. Model ini sering

disebut pula sebagai ”The Keselnian Model”, yang biasanya diterapkan

di negara-negara dengan sistem hukum civil law. Sebagai

perbandingan dalam hal fungsi Mahkamah Konstitusi dalam

menjalankan kewenagan pengujian undang-undang serta bagaimana

peradilan peraturan perundnag-undangan itu maka dapat melihat dari

keberadaan Mahkamah Konstitusi di Austria, Mahkamah Konstitusi

Federal Jerman, Mahkamah Konstitusi di Thailand, dan Mahkamah

Konstitusi di Afrika Selatan.

Pertama, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Austria untuk

menguji undang-undang tercatat sebagai kewenangan yang paling

pokok. Yang diuji adalah norma umum dan abstrak yang terkandung

baik dalam bentuk undang-undang Federal (Federal Statutes) maupun

konstitusi negara bagian (Gestze). Permohonan uji dapat diajukan oleh

lembaga negara dan/atau individu negara yang mengalami kerugian

akibat sebuah perundang-undangan yang diberlakukan pemerintah.

Berdasarkan Pasal 139 Konstitusi Austria Tahun 1920, mengenai

xcii

pengujian legalitas peraturan di bawah UU, peraturan yang ditetapkan

oleh Pemerintah Federal ataupun negara bagian dapat dinyatakan tidak

sah oleh Mahkamah Konstitusi atas permintaan lembaga atau

perorangan warga negara. Bahkan berdasarkan Pasal 140 A Konstitusi

Austri tahun 1920, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan menguji

legalitas atau konstitusionalitas perjanjian internasional sesuai dengan

derajatnya dalam hierarki norma hukum.

Kedua, Keberadaan Jerman sebagai negara federal menyebabkan

memiliki mekanisme yang berbeda dalam penegakan konstitusi.

Mahkamah Konstitusi Jerman terbagi dalam dua bagian yang disebut

senat (Act, 1993). Senat pertama berwenang menyelesaikan masalah

yang berhubungan dengan hak asasi manusia. Sedangkan senat kedua

berwenang menyelesaikan yang berkaitan dengan lembaga negara.

Judicial review di Jerman meliputi pengujian norma hukum secara

konkrit (concrete norm control) dan pengujian undang-undang secara

umum (abstract norm control). Pada pengujian norma abstrak inilah,

bentuk perundang-undangan yang diuji berupa undang-undang (laws),

keputusan (decrees), dan peraturan perundangan yang ditetapkan oleh

Pemerintah Federal atau negara bagian (federal state).

Secara khusus mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi

Federal Jerman pengujian peraturan perundang-undangan diatur lebih

lanjut dalam Pasal 100 sebagai berikut: Pertama, jika pengadilan

memutuskan bahwa suatu peraturan perundang-undangan bertentangan

dengan konstitusi suatu negara bagian, keputusan dari sengketa negara

bagian atau dengan konstitusi negara federal, harus dimintakan

keputusan terlebih dahulu dari Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga

berlaku jika peraturan hukum negara bagian bertentangan dengan

konstitusi negara federal atau jika peraturan hukum negara bagian

bertentangan dengan peraturan hukum federal. Kedua, jika di dalam

sengketa hukum terdapat keraguan suatu aturan dalam hukum adat

mengenai hak dan kewajiban warga bertentangan dengan peraturan

xciii

hukum negara federal pengadilan. Semua bentuk pelanggaran

konstitusi apakah konstitusi negara federal atau negara bagian

keputusannya berasal dari Mahkamah Konstitusi negara federal.

Pengadilan negara bagian dapat memeriksa dan menguji sengketa

peraturan hukum negara yang bertentangan dengan UUD negara

bagian tetapi keputusannya harus dimintakan kepada Mahkamah

Konstitusi Federal Jerman.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi di Thailand merupakan salah satu

lembaga baru dalam konstitusi sebagai lembaga kekuasaan kehakiman

di samping Mahkamah Agung, Mahkamah Administrasi, dan

Mahkamah Militer. Pengujian undang-undang terhadap UUD oleh

Mahkamah Konstitusi di Thailand agak berbeda. Pokok sengketa

dalam Mahkamah Konstitusi adalah petisi dimana suatu aturan hukum

sesuai atau bertentangan dengan konstitusi. Untuk mengajukan

gugatan harus melalui dua tahap yakni melalui ombudsman kemudian

diseleksi untuk menentukan yang layak diajukan di sidang Mahkamah

Konstitusi. Suatu petisi masyarakat tidak dapat langsung diajukan ke

Mahkamah Konstitusi melainkan harus melewati seleksi ombudsman.

Keempat, Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang

diatur dalam konstitusi Afrika Selatan menempatkan posisi Mahkamah

Konstitusi sebagai mahkamah tertinggi untuk semua persoalan yang

menyangkut Undang-Undang Dasar. Setiap warga negara, institusi-

institusi publik ataupun badan-badan swasta dapat mengajukan

permohonan perkara yang menyangkut masalah-masalah konstitusi

harus dimulai dengan mengajukannya ke Pengadilan Tinggi, jadi tidak

langsung kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi

memutus final konstitusionalitas undang-undang yang diproduksi oleh

Parlemen (Act of Parliament), termasuk untuk membatalkan peraturan

perundang-undangan yang ditetapkan oleh parlemen pusat dan daerah

(provincial or parliamentary legislation), ataupun tindakan dari

Presiden. Di samping itu, Mahkamah memberi jawaban definitif atas

xciv

permintaan pembatalan suatu ketentuan hukum yang dimohonkan oleh

Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, atau pengadilan lainnya.

Dalam konteks di Indonesia, sudah ada 2 (dua) permohonan dan

telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi yang objek pengujiannya

berupa Perpu, yaitu Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 dan kemudian

menjadikannya yurisprudensi pada Perkara Nomor 145/PUU-

VII/2009. Dalam hal ini, alasan-alasan hukum lebih diutamakan

dibanding dasar hukumnya. Karena pada dasarnya, kewenangan

Mahkamah Konstitusi dalam pengujian Perpu terhadap UUD tidak

mempunyai dasar hukum secara yuridis yang kuat. Hanya ketentuan

pada Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2004 yang dapat dijadikan

dasaran paling yuridis menyatakan bahwa kedudukan Perpu itu sejajar

dengan UU.

Dasar lain yang paling penting yaitu memberikan kewenangan

pada MK untuk menguji perpu adalah lebih kepada pertimbangan

sosiologis/ kebutuhan masyarakat dan perkembangan kehidupan

ketatanegaraan yang ada saat ini. Mahkamah Konstitusi melakukan

langkah progresif untuk mengamankan hukum dari potensi

penyalahgunaan kekuasaan. Mahkamah Konstitusi harus mengambil

peran karena kalau tidak, akan terjadi peluang penyalahgunaan

kekuasaan dan permainan politik yang dapat menghancurkan dunia

hukum kita kalau Mahkamah Konstitusi menutup pintu terhadap

pengujian perpu.

Mahkamah Konstitusi harus menguji Perpu karena muncul fakta

baru yang menjadi polemik masyarakat terkait dengan penerbitan

Perpu oleh Presiden. Hal ini pula yang terjadi pada 2 (dua) Perpu yang

diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Terutama polemik Perpu Nomor 4

Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK),

Dalam Sidang Paripurna DPR RI pada tanggal 18 Desember 2008,

DPR RI telah membuat keputusan bahwa Perpu Nomor 4 Tahun 2008

tidak diterima. Dengan demikian, maka Perpu Nomor 4 Tahun 2008

xcv

telah terbukti ditolak dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum

mengikat dan harus dicabut. Namun faktanya, Pemerintah tetap

menganggap Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tidak atau belum pernah

ditolak oleh DPR RI, dengan alasan bahwa DPR RI tidak secara nyata

menyatakan menolak, karena sebagian fraksi ada yang menyatakan

menolak, sebagian yang lain menyatakan menerima, bahkan ada fraksi

yang menyatakan belum menerima. Hal ini menyebabkan timbulnya

ketidakpastian hukum, sehingga Mahkamah Konstitusi dengan

kewenangannya sebagai pengawal dan penafsir tertinggi terhadap

konstitusi (The guardian and the interpreter of the constitution),

seyogyanya dapat memberikan putusan demi kepastian hukum,

sebagaimana amanat Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

xcvi

B. Pertimbangan-Pertimbangan Hukum Kewenangan Mahkamah

Konstitusi Dalam Pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

Bahwa ketika permasalahan mengenai Mahkamah Konstitusi itu

berwenang atau tidak untuk menguji Perpu, sebenarnya didasarkan pada

diterima, diproses, dan diputusnya Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009

tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor

4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh

Mahkamah Konstitusi yang disitu jelas objeknya berupa Perpu. Hingga

pada lampiran putusannya dinyatakan adanya concuring opinion dan

dissenting opinion antara para hakim yang memperdebatkan kewenangan

Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu. Meskipun akhirnya ketujuh

hakim menyatakan berwenang sehingga perkara itu pun hingga pada tahap

putusan. Namun tidak ada salahnya ketika hal itu kemudian harus dilihat

dari dua sisi mengenai pro dan kontranya Mahkamah Konstitusi menguji

Perpu.

Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak bisa melakukan judicial

review atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu)

terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Sebab menurut Pasal 24C ayat (1)

UUD 1945 Mahkamah hanya menguji Undang-Undang terhadap Undang-

Undang Dasar, tanpa menyebut Perpu maupun peraturan yang setingkat.

Maka ketika Mahkamah Konstitusi memproses pengujian Perpu terlebih

xcvii

dahulu menelaah mengenai kewenangannya dalam pengujian Perpu,

meskipun sebenarnya prosesnya sama seperti pengujian undang-undang

biasa. Kemudian, mempertimbangkan mengenai kedudukan Perpu yang

sama dengan Undang-Undang dalam tata urutan perundang-undangan di

Indonesia sehingga dapat diuji di Mahkamah.

Dari sudut isi sebuah Perpu itu mengatur materi muatan Undang-

Undang. Artinya isi Perpu itu sebenarnya adalah Undang-Undang yang

dibuat dalam kegentingan yang memaksa yang alasan-alasannya

merupakan hak subjektif Presiden. Dalam kasus tertentu dimana

kebutuhan akan Undang-Undang sangatlah mendesak untuk

menyelesaikan persoalan kenegaraan yang sangat penting yang dirasakan

oleh seluruh bangsa, hak Presiden untuk menetapkan Perpu bahkan dapat

menjadi amanat kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai upaya

untuk menyelesaikan persoalan bangsa dan negara.

Perpu melahirkan norma hukum dan sebagai norma hukum baru

akan dapat menimbulkan: (a) status hukum baru, (b) hubungan hukum

baru, dan (c) akibat hukum baru. Norma hukum tersebut lahir sejak Perpu

disahkan dan nasib dari norma hukum tersebut tergantung kepada

persetujuan DPR untuk menerima atau menolak norma hukum Perpu,

namun demikian sebelum adanya pendapat DPR untuk menolak atau

menyetujui Perpu, norma hukum tersebut adalah sah dan berlaku seperti

Undang-Undang. Oleh karena dapat menimbulkan norma hukum yang

kekuatan mengikatnya sama dengan Undang-Undang maka terhadap

norma yang terdapat dalam Perpu tersebut Mahkamah dapat menguji

apakah bertentangan secara materiil dengan UUD 1945. Dengan

demikian Mahkamah berwenang untuk menguji Perpu terhadap UUD

1945 sebelum adanya penolakan atau persetujuan oleh DPR, dan setelah

adanya persetujuan DPR karena Perpu tersebut telah menjadi Undang-

Undang.

Bahwa pengujian Perpu oleh lembaga yudisial (judicial review) atau

oleh lembaga lain merupakan “perampasan” atas hak dan kewenangan

xcviii

konstitusional DPR yang diberikan oleh UUD 1945. Sebab Pasal 22 UUD

1945 memberi hak kepada DPR untuk menilai sebuah Perpu pada

persidangan berikutnya, apakah Perpu itu akan disetujui sebagai Undang-

Undang ataukah tidak. Kesamaan isi antara Undang-Undang dan Perpu

tetap tidak dapat dijadikan alasan bagi lembaga selain DPR untuk menguji

konstitusionalitas Perpu terhadap UUD 1945; apalagi kalau kesamaan isi

itu hanya karena Perpu diartikan sebagai “undang-undang dalam arti

materiil,” sebab di dalam hukum tata negara semua jenis peraturan

perundang-undangan, mulai dari UUD sampai Peraturan Desa, adalah

undang-undang dalam arti materiil.

Namun akhir-akhir ini ada perkembangan penting dalam

ketatanegaraan kita Perpu dapat diuji konstitusionalitasnya oleh

Mahkamah Konstitusi terutama melalui titik tekan dalam penafsiran

konstitusi. Dalam kaitan antara perkembangan ketatanegaraan dan

pengujian Perpu ini melihat perlunya penafsiran atas isi UUD 1945 tidak

hanya bertumpu pada original intent, tafsir historik, dan tafsir gramatik

melainkan harus menekankan pada penafsiran sosiologis dan teleologis

yaitu akan kebutuhan masyarakat. Sehingga alasan-alasan hukum lebih

kuat dan menonjol dalam hal Hakim Mahkamah Konstitusi

mempertimbangkan kewenangannya menguji Perpu.

Dalam Putusan Perkara Nomor 138/PUU-VII/2009 dijelaskan bahwa

ada dissenting opinion yang menjadi alasan untuk menyetujui

dilakukannya judicial review terhadap Perpu oleh Mahkamah Konstitusi

adalah hal-hal sebagai berikut:

1. Penilaian untuk memberi persetujuan atau tidak atas Perpu oleh DPR

dilakukan pada masa sidang berikutnya sesuai Penjelasan Pasal 25 ayat

(1) UU Nomor 10 tahun 2004 disebutkan “Yang dimaksud dengan

"persidangan yang berikut" adalah masa persidangan Dewan

Perwakilan Rakyat yang hanya diantarai satu masa reses.” Ini berarti

bahwa setelah hal ihwal kegentingan yang memaksa itu berakhir maka,

xcix

Perpu itu harus diajukan ke DPR dalam bentuk RUU pada masa sidang

berikutnya.

Dalam kenyataannya Perpu yang dimohonkan pengujian dalam

perkara a quo baru dibahas oleh DPR setelah melampaui masa sidang

pertama sejak Perpu ini dikeluarkan. Seperti diketahui Perpu a quo

diundangkan pada tanggal 22 September 2009, sedangkan masa sidang

DPR berikutnya (DPR baru, hasil Pemilu 2009) adalah tanggal 1

Oktober sampai dengan tanggal 4 Desember 2009, tetapi Perpu a quo

tidak dibahas pada masa sidang pertama tersebut. Kalau Perpu tidak

dapat diuji oleh Mahkamah maka sangat mungkin suatu saat ada Perpu

yang dikeluarkan tetapi DPR tidak membahasnya dengan cepat dan

mengulur-ulur waktu dengan berbagai alasan, padahal Perpu tersebut

mengandung hal-hal yang bertentangan dengan konstitusi. Oleh sebab

itu menjadi beralasan, demi konstitusi, Perpu harus dapat diuji

konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi agar segera ada

kepastian dapat atau tidak dapat terus berlakunya sebuah Perpu.

2. Timbul juga polemik tentang adanya Perpu yang dipersoalkan

keabsahan hukumnya karena tidak nyata-nyata disetujui dan tidak

nyata-nyata ditolak oleh DPR. Dalam kasus ini DPR hanya meminta

agar Pemerintah segera mengajukan RUU baru sebagai pengganti

Perpu. Masalah mendasar dalam kasus ini adalah bagaimana

kedudukan hukum sebuah Perpu yang tidak disetujui tetapi tidak

ditolak secara nyata tersebut. Secara gramatik, jika memperhatikan

bunyi Pasal 22 UUD 1945, sebuah Perpu yang tidak secara tegas

mendapat persetujuan dari DPR “mestinya” tidak dapat dijadikan

Undang-Undang atau tidak dapat diteruskan pemberlakuannya sebagai

Perpu, tetapi secara politis ada fakta yang berkembang sekarang ini

bahwa “kesemestian” tersebut masih dipersoalkan, sehingga sebuah

Perpu yang tidak disetujui oleh DPR (meski tidak ditolak secara

nyata) masih terus diberlakukan sampai dipersoalkan keabsahan

hukumnya karena dikaitkan dengan satu kasus. Dalam keadaan ini

c

menjadi wajar jika Mahkamah diberi kewenangan untuk melakukan

pengujian terhadap Perpu.

3. Terkait dengan tidak disetujuinya sebuah Perpu oleh DPR ada juga

pertanyaan, sampai berapa lama atau kapan sebuah Perpu yang tidak

mendapat persetujuan DPR harus diganti dengan Undang-Undang

Pencabutan atau Undang-Undang Pengganti. Karena tidak ada

kejelasan batas atau titik waktu maka dalam pengalaman sekarang ini

ada Perpu yang tidak mendapat persetujuan DPR tetapi RUU

penggantinya atau pencabutannya baru diajukan setelah timbul kasus

yang berkaitan dengannya. Oleh sebab itu menjadi wajar pula, demi

tegaknya konstitusi, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan untuk

melakukan pengujian terhadap Perpu.

4. Dapat terjadi suatu saat Perpu dibuat secara sepihak oleh Presiden

tetapi secara politik DPR tidak dapat bersidang untuk membahasnya

karena situasi tertentu, baik karena keadaan yang sedang tidak normal

maupun karena sengaja dihambat dengan kekuatan politik tertentu agar

DPR tidak dapat bersidang. Bahkan dapat juga dalam keadaan seperti

itu ada Perpu yang melumpuhkan lembaga-lembaga negara tertentu

secara sepihak dengan alasan kegentingan yang memaksa sehingga ada

Perpu yang terus dipaksakan berlakunya sementara persidangan-

persidangan DPR tidak dapat diselenggarakan. Dengan memperhatikan

kemungkinan itu menjadi wajar apabila Mahkamah diberi kewenangan

untuk melakukan pengujian atas Perpu.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka Hakim menetapkan Perpu dapat

diuji oleh Mahkamah Konstitusi melalui penekanan pada penafsiran

sosiologis dan teleologis, sekaligus bahwa Putusan ini akan diajdikan

yurisprudensi. Penekanan pilihan atas penafsiran yang demikian memang

agak mengesampingkan penafsiran historis dan gramatik, bahkan keluar

dari original intent ketentuan tentang Perpu sebagaimana diatur di dalam

Pasal 22 UUD 1945. Hal ini perlu dilakukan justru untuk melindungi

kepentingan original intent pasal-pasal dan prinsip-prinsip lain yang juga

ci

ada di dalam UUD 1945. Pilihan pandangan ini semata-mata didasarkan

pada prinsip dalam menjaga tegaknya konstitusi yakni “tidak boleh satu

detik pun ada peraturan perundang-undangan yang berpotensi melanggar

konstitusi tanpa bisa diluruskan atau diuji melalui pengujian yudisial.”

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mahkamah Konstitusi dalam pelaksanaan kewenangan pengujian undang-

undang mengalami beberapa problematika. Salah satunya ialah mengenai

kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian yang objeknya Perpu. Hal

ini terbukti dengan diterima, diproses, dan diputusnya Perkara Nomor

138/PUU-VII/2009 tentang Pengujian Peraturan Pemerintah Penganti Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pengujian Perpu oleh Mahkamah Konstitusi yang secara yuridis tidak diatur,

namun seakan dipaksakan dengan dasar untuk menjaga kepastian hukum,

kemudian dibenarkan dengan jalan Mahkamah Konstitusi membuat

yurisprudensi alias acuan bagi kasus serupa di masa mendatang.

Oleh karena itu, berbagai analisis telah dilakukan penulis yang

memaparkannya melalui dua sisi yaitu baik sisi yang pro dan kontra mengenai

hal kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji Perpu. Ketentuan yang

membagi kewenangan pengujian undang-undang itu menjadi pengujian

materiil dan pengujian formil. Sehingga dalam hal pengujian Perpu ini, jika

dilihat dari pengujian materiil menyatakan Perpu ini dapat diuji materiil oleh

Mahkamah Konstitusi. Karena materi muatan Perpu dan UU itu sama, sesuai

dengan hierarkinya yang sejajar. Sedangkan pengujian formil memfokuskan

pada proses pembentukannya sehingga secara formil ini Perpu tidak dapat

diuji oleh Mahkamah Konstitusi. Kewenangan Mahkamah untuk menguji

cii

perpu yang memang bermaterikan undang-undang itu hanya dapat dilakukan

apabila sudah diuji, dinilai, dibahas, atau apa pun namanya dalam forum

politik di DPR dan DPR menyetujuinya menjadi undang-undang.

Berbagai alasan Mahkamah Konstitusi memang berwenang menguji

Perpu, yang salah satu alasan kuat yaitu karena perkembangan dalam

ketatanegaraan Indonesia sehingga tidak boleh ada satu detik pun ada hukum

yang bertentangan dengan konstitusi. Perpu dapat diuji konstitusionalitasnya

oleh Mahkamah Konstitusi terutama melalui titik tekan dalam penafsiran

konstitusi. Bahwa Perpu akan diuji karena isinya memang undang-undang.

Pengujian Perpu oleh Mahkamah Konstitusi, sekaligus mengantisipasi

ketidakseriusan DPR untuk membahas perpu guna menyatakan pendapat

ditolak atau tidak. Kewenangan pengujian perpu ini juga dimaksudkan untuk

mendesak DPR lebih tertib hukum.

ciii

B. Saran

Sebagai saran akan dipaparkan secara umum, terutama dalam rangka

peningkatan kualitas keseluruhan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu

lembaga negara. Karena pada fokus pembahasan penulisan yaitu berkaitan

dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sehingga untuk memberikan

rekomendasi harus melalui proses amandemen UUD 1945. Banyak wacana

bergulir di sekitar kiprahnya Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan

konstitusi, namun karena Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang

diamanatkan oleh Konstitusi maka satu-satunya cara ialah melalui amandemen

UUD 1945.

Pengujian konstitusionalitas undang-undang yang dilakukan oleh

Mahkamah Konstitusi dalam negara hukum yang demokratis seperti

Indonesia, adalah hal urgensial dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu,

Mahkamah Konstitusi perlu memperhatikan pula aspek perlindungan hak asasi

warga negara dan keadilan hukum bagi seluruh masyarakat tercermin dalam

putusannya. Pertimbangan-pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi selain

tekstual, perlu pula memperhatikan atau mengkritisi kondisi konstekstual,

sehingga lebih realistis dan objektif memberikan putusannya dalam pengujian

undang-undang.

Kekuasaan hak menguji undang-undang, judicial review seharusnya

diletakkan pada satu lembaga saja yaitu Mahkamah Konstitusi, agar pengujian

konstitusional dan legalitas dapat dilaksanakan secara maksimal. Sehingga

sebagai rekomendasinya, kewenangan pengujian semua jenis produk hukum

(mulai dari pengujian undang-undang hingga pada pengujian peraturan daerah

serta putusan yang dibuat oleh hakim pada peradilan biasa) ada di tangan

Mahkamah Konstitusi, beserta kewenangan peradilan impeachment, dan

civ

penyelesaian sengketa antar lembaga negara, sedangkan seluruh peradilan

administrasi berada pada Mahkamah Agung termasuk kewenangan

penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum.

Rekomendasi lain yang sifatnya non yuridis, bahwa untuk kelancaran

kerja Mahkamah Konstitusi dibuthkan pula pengawasan. Pengawasan ini baik

dari internal maupun secara eksternal untuk mencegah timbulnya

penyimpangan-penyimpangan yang menghambat kinerja dari Mahkamah

Konstitusi. Pengawasan ini diperlukan untuk menjaga intgritas dan

memertahankan performa kelembagaan yang lebih baik. Pengawasan secara

terpadu, yaitu dengan dengan pendekatan kelembagaan (institutional

approach) yang dilakukan oleh internal kelembagaan Mahkamah Konstitusi

dan pendekatan sistem (system approach) yang meletakkan unsur eksternal

dan masyarakat luas sebagai bagian penting dalam sistem pengawasan.

Pengawasan oleh masyarakat ini, dapat dilakukan melalui DPR, media massa,

teoritisi dan praktisi hukum, perguruan tinggi, maupun lmebaga swadaya

masyarakat. Pengawasan dilakukan guna menegakkan hukum dan keadilan

khususnya dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang, karena

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang tengah sangat dipercaya satu-

satunya sebagai penafsir konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mukhtie Fadjar. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

cv

B. Hestu Cipto Handoyo. 2003. Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di Indonesia). Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

C.S.T Kansil. 1984. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Fatkhurohman, dkk. 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Iriyanto A. Baso Ence. 2008. Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi. Bandung: Alumni.

Jimly Asshiddiqie. 2004. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer”. Makalah. Disampaikan pada Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, pada tanggal 23 Maret 2004.

Jimly Asshiddiqie. 2006. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

_______________. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta: Konstitusi Press.

_______________. 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press.

_______________. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta: Konstitusi Press.

Johny Ibrahim. 2005. Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia.

____________. 2006. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia.

____________. 2007. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyumedia.

Leonard W. Levy. 2005. Judicial Review. Sejarah Kelahiran, Wewenang dan Fungsinya Dalam Negara Demokrasi. Bandung: Nusamedia.

Maruarar Siahaan. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

cvi

Mariangela Benedetti. “Global Judicial Review: A Remedy Against Fragmentation?”. PhD Candidate in Administrative Law Faculty of Law, University of Rome “La Sapienza”.

Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi Muatan). Yogyakarta: Kanisius.

Muhammad Bahrul dan Dizar Al Farizi. 2009. “Implementasi dan Implikasi Putusan MK Terhadap Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia”. Jurnal Konstitusi. Vol. 6, No. 3. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Muh. Ridhwan Indra. 1987. Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara & Hak Menguji Menurut UUD. Jakarta: Sinar Grafika.

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Pan Mohamad Faiz Kusumawijaya. 2005. Gonjang-Ganjing Perpu Tentang Penyeleksian Ulang Hakim Agung. http://jurnalhukum.blogspot.com. Diakses tanggal 16 Mei 2010.

Peter Mahmud Marzuki. 2006. “Penelitian Hukum”. Jakarta: Sinar Garafika.

Rosjidi Ranggawidjaja. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Samsul Wahidin. 1984. Hak Menguji Materiil Menurut UUD 1945. Jakarta: Cendana Press.

Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Press.

Soetandyo Wignjosoebroto. Konsep Hukum dalam Materi Perkuliahan Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Hukum.

Soetiono. Macam-Macam Penelitian. Makalah S2.

Sri Soemantri. 1982. Hak Menguji Material di Indonesia. Bandung: Alumni.

Suripto. 2007. Wewenang Mahkamah Konstitusi Menguji Undang-Undang (Judicial Review). http://www.setneg.go.id/index.php?Itemid=116 &id=518&option=com_content&task=view. Diakses tanggal 20 Maret 2010.

Tim Penyusun. 2004. Cetak Biru Membangun Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

cvii

Thomas Poole. 2010. ”Judicial Review at the Margins: Law, Power, and Prerogative”. LSE Law, Society and Economy Working Papers 5/2010 London School of Economics and Political Science Law Department.

Yance Arizona. 2007. Penafsiran Mahkamah Konstitusi Terhadap Pasal 33 Undnag-Undnag Dasar Negara Republik Tahun 1945.http://yancearizona.files.wordpress.com/2008/11/penafsiran-mk-terhadap-pasal-33-uud-1945.pdf. Diakses tanggal 21 April 2010.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076.