Upload
indra-yuda
View
15
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
penyakit akbat kerja
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Perkembangan dunia usaha di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang dengan
sangat pesat. Perkembangan ini memberikan dampak positif dan negatif, di satu sisi perkembangan
dunia usaha membuka lapangan kerja baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
namun disisi yang lain, tempat kerja dalam dunia industri juga dapat menjadi ladang sumber penyakit
bagi para pekerja yang ada di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh tempat kerja memiliki karakteristik
hazard yang berbeda tergantung dari bidang usahanya. Potensi hazard yang umumnya terdapat di
tempat kerja adalah kebisingan, getaran, suhu, kelembaban, tekanan, debu, bahan-bahan kimia
berbahaya dan juga hazard biologi. Hazard-hazard tersebut dapat menimbulkan penyakit pada
pekerja. Setiap tahun angka kejadian penyakit akibat kerja terus mengalami peningkatan, menurut
International Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh
penyakit atau yang din sebabkan oleh pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta
kecelakaan dan sisanyaadalah kematian karena penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160
juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya (Bucharii, 2007).
Menurut Keputusan Presiden Republic Indonesia No. 22 Tahun 1993 yang dimaksud dengan
Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau
lingkungan kerja. Dalam Keputusan Presiden Republic Indonesia No. 22 Tahun 1993 juga disebutkan
bahwa terdapat 31 jenis penyakit akibat kerja yang mungkin dialami oleh pekerja tergantung dari
bidang usaha tempat mereka bekerja. Mengacu pada hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tempat
kerja merupakan tempat yang sangat mengancam kesehatan pekerja, untuk itu maka diperlukan
penerapan sistem manajemen K3 yang tepat untuk mengandalikan potensi-potensi hazard di tempat
kerja untuk memperkecil kemungkinan penyakit yang dapat ditimbulkan di tempat kerja. Namun
untuk mengendalikan penyakit akibat kerja bukanlah hal yang mudah dilakukan, karena sangat sulit
untuk membedakan penyakit tersebut diperoleh selama pekerjaan dilakukan atau di luar lingkungan
tempat kerja. Untuk itu maka diperlukan pengidentifikasin penyakit akibat kerja yang menyangkut
definisi, cara mendiagnosa, gejala, factor risiko dan upaya pengendalian, hal ini bertujuan untuk
memudahkan dalam menentukan penyakit akibat kerja. Berkaitan dengan keterbatasn yang dimiliki
oleh penulis, maka dalam paper ini akan dibahas 4 penyakit akibat hubungan pekerjaan yaitu
bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak.
1
1.2 Rumusan masalah
1. Bagaimanakah cara mendianosa penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak yang
disebabkan oleh pekerjaan?
2. Apakah hazard yang menyebabkan penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak
yang disebabkan oleh pekerjaan?
3. Pekerjaan apakah yang berpotensi untuk terpajan penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis
dan katarak yang disebabkan oleh pekerjaan?
4. Bagaiamankah upaya penanggulangan penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan
katarak ditempat kerja?
5. Peraturan apakah yang menjelaskan mengenai penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis
dan katarak yang disebabkan oleh pekerjaan?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengtahui cara mendianosa penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak
yang disebabkan oleh pekerjaan?
2 Untuk mngetahui hazard yang menyebabkan penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan
katarak yang disebabkan oleh pekerjaan?
3 Untuk mengetahui pekerjaan yang berpotensi untuk terpajan penyakit bisinosis, heat stress,
pneumoconiosis dan katarak yang disebabkan oleh pekerjaan?
4 Untuk mengetahui upaya penanggulangan penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan
katarak ditempat kerja?
5 Untuk mengetahui peraturan yang menjelaskan mengenai penyakit bisinosis, heat stress,
pneumoconiosis dan katarak yang disebabkan oleh pekerjaan?
1.4 Manfaat
1. Menambah pengetahuan penulis mengenai penyakit-penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan.
2. Menambah pengetahun pembaca khususnya para pekerja, sehingga dapat lebih waspada dengan
potensi hazard yang ada lingkungan kerja mereka.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bisinosis
2.1.1 Definisi dan identifiksasi Bisinosis
a. Definisi
Bisinosis atau brown lung disease adalah salah satu penyakit kelainan pada paru-paru yang
disebabkan oleh paparan debu organic seperti kapas yang kemudian terhisap ke dalam paru-
paru (Susanto, 2011). Paparan debu kapas dapat menimbulkan obtruksi saluran napas atau
bisinosis. Bisinosis disebut juga dengan Monday fever, hal ini disebabkan karena penyakit
ini memiliki ciri yang khas yaitu secara psikis setiap hari Senin pekerja yang menderita
penyakit bisinosis merasakan beban berat pada dada serta sesak nafas. Reaksi alergi akibat
adanya kapas yang masuk ke dalam saluran pernapasan juga merupakan gejala awal bisinosis.
Pada bisinosis yang sudah lanjut atau berat, penyakit tersebut biasanya juga diikuti dengan
penyakit bronchitis kronis dan mungkin juga disertai dengan emphysema. Patogenesis
bisinosis belum sepenuhnya jelas, beberapa bukti menunjukan bahwa suatu zat toksik yang
melepaskan histmamin menyebabkan gejala khas bisinosis, yaitu sesak napas pada hari
pertama setelah liburan akhir minggu. Secara luas diyakini bahwa pelepasan histamine ini di
sebabkan oleh senyawa molekuler kecil yang larut air dan tahan terhadap panas yang berasal
dari bulu tanaman kapas, disamping pelepasan histamine, paparan debu kapas juga
menyebabkan iritasi saluran napas bagian atas dan bronkus. Setelah paparan yang lama
perlahan-lahan berlanjut menjadi penyakit paru obtruktif kronik. Gejala dari bisinosis dibagi
kedalam 4 drajat yaitu:
Tabel 1. Gejala bisisnosis dibagi dalam 4 drajat
3
b. Identifikasi bisinosis
Diagnosa bisinosis dilakukan dengan menanyakan keluhan pasien, seperti adakah sesak
napas, nyeri dada,batuk, demam, apakah membaik jika pekerja berlibur dan kambuh jika
pasien kembali bekerja, dan menanyakan tempet kerja dari pasien. Untuk memperkuat
penegakan diagnosa maka pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengukuran tekanan
darah, frekuensi nadi, frekuensi napas, dan suhu. Pasien yang menderita bisinosis akan
mengalami penurunan frekuensi nafas dan peningkatan suhu, sedangkan nadi dan tekanan
darah dalam batas normal kecuali terdapat penyakit penyerta lainnya. Didapatkan keluhan
iritasi saluran napas bagian atas seperti : bersin-bersin, iritasi pada mata, hidung, stridor.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengujian
terhadap fungsi Paru dengan melakukan pemeriksaan spirometri. Pemeriksaan spirometri
merupakan pemeriksaan terhadap fungsi ventilasi dengan menggunakan alat spriometer
yang mengukur arus udara dalam satuan isi dan waktu. Spirometer dapat digunakan untuk
berbagai macam uji tetapi yang paling bermanfaat di lapangan adalah volume ekspirasi
paksa 1 detik (VEPI) dan kapasitas vital palsa (KVP). Dengan spirometri, dapat diketahui
uji fungsi paru dasar yang meliputi Vital Capacity (VC), Force Vital Capacity (FVC) dan
Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1). Vital Capacity adalah jumlah udara
maksimal yang dapat diekspirasi sesudah inspirasi maksimal sedang Force Vital Capacity
adalah pengukuran kapuritas vital yang di dapat pada ekspirasi dengan dilakukan secepat
4
dan sekuat mungkin. Forced Expiratory Volume One Second adalah volume udara yang
dapat diekspirasi dalam waktu satu detik selama tindakan FVC kedua pembacaan tersebut
dapat dibuat dari usaha ekspirasi yang sama. Pembacaan akhir pada kedua hal tersebut
adalah rata-rata tiga tarikan napas yang di dahului oleh dua tarikan napas latihan. Pada tes
fungsi paru, tes dibagi dalam dua kategori yaitu tes yang berhubungan dengan fungsi
ventilasi paru-paru dan dinding dada serta tes yang berhubungan dengan pertukaran gas.
Pemeriksaan dengan spirometri ini adalah tes yang berhubungan dengan fungsi ventilasi
paru-paru dan dinding dada. Hasil dari tes fungsi paru ini tidak dapat untuk mendiagnosa
suatu penyakit paru-paru tapi hanya memberikan gambaran gangguan fungsi paru yang
dapat dibedakan atas kelainan ventilasi obstruktif dan restriktif. Kelainan obstruktif adalah
setiap keadaan hambatan aliran udara karena adanya sumbatan atau penyempitan saluran
nafas. Sedangkan gangguan restriktif adalah gangguan pada paru yang menyebabkan
kekakuan paru sehingga membatasi pengembangan paru-paru. Pada kasus bisinosis
pemeriksaan dilakukan pada hari pertama bekerja, dilakukan sebelum dan sesudah pajanan
selama 6 jam, dapat menghasilkan penurunan FEV I. Gambaran penurunan FEV I yang
bermakna (10% atau lebih) , derajat perbaikan penyumbatan jalan napas dapat dikaji
dengan tes FEV I sebelum giliran tugas dilakukan setelah dua hari tidak terpajan.
2.1.2 Hazard dan pekerja berisiko
Hazard yang birisiko sebagai penyebab bisinosis adalah debu kapas. Debu kapas atau serat kapas
ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan
kapas serta pabrik atau bekerja lain yang menggunakan kapas atau tekstil; seperti tempat
pembuatan kasur, pembuatan jok kursi dan lain sebagainya. Risiko untuk terkena bisinosis
sangat ditentukan oleh lamanya paparan dan jumlah debu kapas yang masuk kedalam paru-paru.
Menurut peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per. 13/Men/X/2011 Tahun
2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, ditetapkan
NAB debu kapas adalah 0,2 mg/m3 dengan lama kerja sehari-hari tidak lebih dari 8 jam atau 40
jam seminggu.
2.1.3 Kasus
Beberapa penelian menunjukan kejadian bisinosis terjadi di tempat kerja. Penelitian yang
dilakukan oleh Hendarta (2005) menunjukan bahwa Prevalensi bisinosis pada responden yang
bekerja di bagian spinning di perusahaan X sebesar 11,1 % (9 dari 81 pekerja ). Penelitian lain
yang dilakukan oleh Wahab (2001) memperoleh hasil pervalensi bisinosis pada karyawan pabrik
5
tekstil X di Semarang sebesar 26.2 %. Kedua penelitian tersebut menunjukan bahwa debu kapas
merupakans salah satu hazard di tempat kerja yang dapat menyebabkan bisinosis.
2.1.4Cara penanggulangan
Tindakan penanggulangan bisinosis dapat dilakukan dengan:
a. Penggunaan masker filter
Masker filter merupakan salah satu alat pelindung diri yang dapat digunakan untuk sebagai
upaya pencehagan untuk mengirup debu kapas. Alat ini efektif untuk diguanakan apabila
filtrasi dari masker tersebut diperiksa secara teratur.
b. Ventilasi
Ventilasi adalah tempat keluar masuk dan pertukaran udara yang digunakan untuk
memelihara dan juga mengatur udara sesuai kebutuhan dan kenyamanan. Prinsip kerja
ventilasi ini adalah membuat suatu proses pertukaran udara yang terjadi karena perbedaan
tekanan. Udara akan bergerak dari tempat yang bertekanan tinggi menuju tempat yang
bertekanan rendah. Ventilasi dapat berupa pintu, jendela, lubang angin, ventilasi sistem
pengendali suhu dan kelembaban, ventilasi sistem pengeluaran udara (exhaust system) dan
pemasukan udara (supply system), atau juga bisa dibantu menggunakan kipas angin (fan).
Untuk upaya pengendalian debu kapas, maka jenis ventilasi yang dapat digunakan adalah
sistem pengeluaran udara (exhaust system). Hal ini karena dengan sistem ini, udara kotor
tidak lagi mengalir di sepanjang bukaan, melainkan terhisap masuk ke duct (pipa/saluran
ventilasi).
c. Isolasi
Isolasi adalah salah satu upaya memisahkan atau menjauhkan tempat-tempat yang memiliki
potensi hazard yang berbahaya. Isolasi yang dapat dilakukan untuk mencegah bisinosis
ditempat kerja adalah menutup tempat-tempat dalam proses kerja yang menghasilkan debu
kapas.
d. Pemerikasaan kesehatan pra kerja dan berkala
Pemerikasaan kesehatan bertujuan untuk mengetahui kesehatan pekerja sebelum dan sesudah
bekerja untuk memastikan bahwa pekerja dalam kondisi sehat. Pemerikasaan kesehatan juga
bertujuan untuk memastikan bahwa penyakit akibat kerja dalam hal ini bisinosis yang diderita
oleh pekerja benar-benar disebabkan karena pekerja bersebut bekerja di tempat kerta tertentu.
6
Pemeriksaan kesehatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan diagnose bisinosis
sesuai dengan identifikasi bisinosis yang disebutkan pada bagian sebelumnya.
2.2 Heat stress
2.2.1 Definisi heat stress
Heat stress merupakan reaksi fisik dan fisiologis pekerja terhadap suhu yang berada diluar
kenyamanan bekerja. Suhu yang dimaksud yaitu suhu panas yang dihasilkan tubuh baik secara
internal pada penggunaan otot atau secara eksternal oleh lingkungan. Suhu panas ini biasanya
didapatkan dari lingkungan kerja yang terus terpapar selama waktu kerja berlangsung sehingga
tubuh akan terus melakukan penyesuaian derajat panas yang konstan dan tepat. Heat Stress
timbul dari bermacam – macam kondisi di mana tubuh mendapat paparan dari suhu panas yang
berlebih. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi heat stress antara lain :
a. Suhu
b. Kelembaban udara
c. Suhu radiasi dari lingkungan
d. Gerak aliran udara
e. Pakaian yang dikenakan
f. Keaktifan fisik ( metabolisme tubuh )
Penyakit akibat kerja yang ditimbulkan dari suhu panas seperti heat stress akan menimbulkan
gejala apabila tubuh sudah tidak mampu menseimbangkan suhu tubuh normal karena besarnya
beban panas dari luar. Jika tubuh terpapar panas, maka sistem yang ada didalam tubuh akan
menpertahankan suhu tubuh internal agar tetap pada suhu normal (36-38 C) dengan cara
mengalirkan darah lebih banyak kekulit dan mengeluarkan cairan atau keringat. Hal tersebut
akan menganggu pekerja dalam bekerja sehingga produktifitas diri dalam bekerja pun menurun.
Tanda dan gejala dari pekerja yang menderita heat stress yaitu
a. Kenaikan suhu, sampai 40°C atau lebih
b. Tidak berkeringat. Jika heat stroke disebabkan oleh karena suhu lingkungan yang sangat
panas, maka kulit cenderung terasa panas dan kering
c. Kemerahan pada kulit
d. Nafas menjadi cepat dan terasa berat
e. Denyut jantung semakin cepat
f. Sakit kepala seperti ditusuk-tusuk
g. Gejala saraf lain, misalnya kejang, tidak sadar, halusinasi
7
h. Otot bisa terasa kram, lalu selanjutnya terasa lumpuh
Heat sroke akan menimbulkan gejalanya melalui paparan secara kontinu. Berikut merupakan
tahapan Heat Stroke yang terjadi apabila suhu panas dilingkungan kerja tidak dapat diterima
oleh tubuh yang merupakan gabungan dari 2 kondisi serius yang berhubungan dengan suhu:
a. Kondisi pertama adalah heat cramp/ kram akibat kenaikan suhu tubuh, dimana terjadi karena
paparan suhu yang sangat tinggi. Biasanya ditandai dengan keringat berlebihan, kelelahan,
haus, kram otot
b. Kondisi yang lain adalah heat exhaustion/ kelelahan akibat kenaikan suhu tubuh. Heat
exhaustion muncul jika anda tidak mempedulikan gejala dari ‘heat cramp’ yang muncul
gejalanya termasuk sakit kepala, pusing, kepala terasa ringan, mual, kulit dingin dan terasa
lembab, kram otot.
Toleransi suhu tubuh berada pada daerah yang sempit, 36 - 37,5 ⁰C. Peningkatan di dalam suhu
tubuh dari lebih dari 1 derajat berarti tubuh itu mempunyai kesulitan berhadapan dengan panas
di lingkungan. Respon tubuh terhadap panas antara lain :
a. Peningkatan suhu tubuh
b. Peningkatan denyut jantung / nadi
c. Peningkatan aliran darah
d. Peningkatan kebutuhan oksigen
e. Peningkatan asam laktat dalam otot dapat mempercepat kelelahan
f. Berkeringat dan terjadi pengeluaran elektrolit mengakibatkan dehidrasi
Jika faktor-faktor di atas terus berlanjut maka akan menyebabkan : heat stroke (sengatan panas),
heat exhaustion (kelelahan karena panas), heat cramp (kejang panas), heat collapse(fainting),
heat rashes, heat fatigue dan heat burn (luka bakar).
2.2.2 Potensi tempat kerja
Tempat kerja yang dapat menimbulkan heat stress adalah industri pupuk, industri ayam broiler,
pengerajin pandai besi, pabrik tambang, konstruksi bangunan, perkebunan, pabrik aluminium,
perusahaan pembuat botol kaca dll.
2.2.3 Potenzi hazard
Heat Stress merupakan penyakit akibat kerja yang diderita oleh pekerja dengan suhu
lingkungan yang rendah yaitu dengan suhu panas yang lebih dari 40⁰C. Bekerja di area panas
dapat meningkatkan potensi terjadinya kecelakaan, misalnya karena telapak tangan licin akibat
8
berkeringat, pusing, fogging dari kaca mata safety dan luka bakar jika tersentuh benda panas.
Selain dari bahaya ini jelas, frekuensi kecelakaan, secara umum tampaknya lebih tinggi di
lingkungan yang panas daripada di kondisi lingkungan yang lebih moderat. Salah satu
alasannya adalah bahwa bekerja di lingkungan yang panas menurunkan kewaspadaan mental
dan kinerja fisik individu. Peningkatan suhu tubuh dan ketidaknyamanan fisik dapat
meningkatkan emosi, kemarahan, dan kondisi emosional lainnya yang kadang-kadang
menyebabkan pekerja mengabaikan prosedur keselamatan atau kurang hati-hati terhadap
bahaya ditempat kerja.
2.2.4 Kebijakan Pengendalian
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. PER.
13/Men/X/2011 tentang Nilai Ambang Faktor Fisika dan Faktor Kimia di tempat Kerja, nilai
ambang batas iklim kerja indeks suhu basah dan bola (ISBB) yang diperkenankan terdapat pada
tabel dibawah ini.
Pengaturan Waktu Kerja
Setiap Jam
ISBB (⁰C)
Beban Kerja
Ringan Sedang Berat
75% - 100% 31,0 28,0 -
50% - 75% 31,0 29,0 27,5
25% - 50% 32,0 30,0 29,0
0% - 25% 32,2 31,1 30,5
Catatan :
- Beban kerja ringan membutuhkan kalori sampai dengan 200 kilo kalori/jam.
- Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih dari 200 sampai dengan kurang dari 350 kilo
kalori/jam
- Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih dari 350 sampai dengan kurang dari 500 kilo
kalori/jam
Pengukuran suhu di lingkungan industri sangatlah penting. Pengukuran suhu dapat dilakukan
untuk suhu basah dan suhu kering. Pengukuran suhu basah dan kering menggunakan peralatan
yang sama yaitu termometer suhu udara, perbedaannya terletak pada pemasangan kain katun
9
pada bola (bulb) termometer tersebut. Suhu basah menunjukkan keadaan uap air dan angin di
udara.
Suhu bola atau suhu radiasi merupakan pengukuran suhu akibat adanya radiasi panas di
lingkungan. Radiasi panas bisa berasal dari sinar matahari, proses produksi ataupun proses
metabolisme tubuh. Kelembaban udara mengukur banyaknya uap air yang berada di udara
sedangkan kecepatan gerakan udara atau angin merupakan pengukuran terhadap gerakan udara.
Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di luar ruangan dengan panas radiasi :
ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,2 Suhu bola + 0,1 Suhu kering
Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di dalam atau di luar ruangan tanpa panas radiasi :
ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,3 suhu bola
2.2.5 Upaya pengendalian
Menurut Suma’mur (1996), suhu nikmat bagi orang-orang Indonesia adalah sekitar 24-26 ⁰C.
Untuk mengurangi gangguan fisiologis selama bekerja maka pekerja harus diatur untuk
istirahat sejenak, minum dan mengganti kehilangan elektrolit, di mana pekerja harus
membiasakan diri mengganti kehilangan cairan secara sistematis, karena bila tidak diganti
akan menyebabkan gangguan kesehatan. Penyediaan air putih dan garam harus dilakukan agar
pekerja dapat memperoleh masukan cairan sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang.
Temperatur air minum harus dijaga pada suhu 10-15⁰C, dan ditempatkan pada tempat yang
mudah dijangkau oleh pekerja tanpa meninggalkan pekerjaannya (Megasari dan Juniani,
2005).
Teknik Pengendalian Lingkungan Kerja Panas di bagi menjadi tiga yaitu : pengendalian secara
teknik, administratif dan penggunaan alat pelindung diri.
a. Pengendalian secara Teknik
Pengukuran suhu bola atau suhu radiasi di dapatkan dari tempat kerja dapat dilihat dari alat
monitoring heat stress yang kemudian di analisa, secara teknik pengedalian Lingkungan
kerja panas dapat dilakukan dengan Pengadaan ventilasi umum diharapkan panas yang
menyebar secara radiasi, konduksi dan konveksi ke seluruh ruang kerja dapat mengalir
keluar dimana suhu udaranya lebih rendah. Tetapi panas yang terjadi secara terus menerus
dan kontinyu, sehingga pengadaan ventilasi umum dirasakan kurang. Sebaiknya perusahaan
mem buat exhaust fan, dimana panas dari lingkungan kerja ditarik keluar ke lingkungan
dengan suhu yang lebih rendah. Sehingga pengendalian secara teknik yang perlu dilakukan
adalah penambahan ventilasi umum, memperlebar ventilasi umum, Penggunaan penyekat
10
( shielding ) terutama untuk mengurangi panas radiasi. Isolasi perubahan tempat perubahan
desain atau substitusi peralatan atau proses untuk menurunkan panas. Pemasangan exhaust
fan dan pemasangan dust collector. Selain itu perusahaan sebaiknya mengontrol panas yang
dihasilkan oleh mesin dan menyediakan pendingin u dara seperti AC.
b. Pengendalian secara Administratif
Lingkungan kerja yang panas membutuhkan tenaga kerja yang fit, kesegaran jasmani baik,
status kesehatan baik dan status gizi baik. Berdasar data yang didapat bahwa tenaga kerja
yang bekerja tidak di periksa kesehatannya saat baru masuk kerja. Sebaiknya pemeriksaan
kesehatan awal diberikan terhadap tenaga kerja yang baru masuk agar tenaga kerja sesuai
dengan pekerjaannya (the right man on the right job). Organisasi ketenagakerjaan di
perusahaan tersebut telah terbentuk yaitu P2K3 (Panitia Pembina Kese lamatan Dan
Kesehatan Kerja) dan SPSI. Organisasi ini dibentuk berdasarkan komitmen direktur
terhadap tenaga kerjanya . P2K3 diketuai oleh direktur dengan anggota para tenaga kerja.
Dengan adanya organisasi ini diharapkan masalah yang berhubungan dengan K3 dapat
diatasi. Selain itu perusahaan juga sebaiknya menyediakan air minum dingin dekat pekerja
dan mengingatkan mereka untuk minum secangkir setiap 20 menit, menetapkan pekerja
tambahan atau memperlambat kecepatan kerja, memberikan pengetahuan untuk mengenali
tanda-tanda heat stress dan pertolongan pertama responden harus tersedia dan rencana
tanggap darurat harus ditempat yang rentan akan penyakit yang berhubungan dengan panas.
c. Pengadaan alat pelindung diri (APD)
Pengadaan alat pelindung diri (APD) dirasakan kurang. Helm sebaiknya harus diberi bila
ada kerusakan, tidak hanya diberi 1 saja selam tenaga kerja bekerja di perusahaan tersebut.
Masker penutup hidung dan mulut sebaiknya diberi setiap hari. Masker yang terbuat dari
kain serap akan cepat lusuh dan rusak bila dipakai seharian apalagi perusahaan tersebut
menghasilkan debu. Demikian pula dengan sepatu dan pakaian kerja. Khususnya sepatu
kerja sebaiknya diberi saat tenaga kerja tersebut mengeluh sepatunya rusak akibat adanya
letikan api dari peleburan metal. Pemberian APD hendaknya diberi konsisten dan
konsekuen agar tenaga kerja terhindar dari bahaya di tempat kerja. Pemberian pakaian kerja
setiap enam bulan sekali.
Apabila heat stress sudah terjadi pada tubuh, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam
mekanisme pengontrolan agar tidak terjadi heat stress yang lebih parah dan dapat
berdampak buruk bagi kesehatan yaitu :
1. Kondisi Lingkungan (suhu, kelembaban, tingkat radiasi, dan tingkat konveksi)
2. Karakteristik individu
11
Bentuk tubuh (hubungan antara fisik (jasmani) dengan toleransi terhadap panas
tergantung pada apakah suhu lingkungan di bawah atau di atas suhu kulit, pada suhu
panas ekstrim orang dengan rasio luas permukaan tubuh per massa tubuhnya lebih
besar akan membentuk panas yang lebih sedikit dari pada yang mempunyai ratio
yang lebih kecil, tetapi kehilangan keuntungannya oleh karena ia akan menerima
panas lebih besar melalui radiasi, konduksi dan konveksi)
Komposisi tubuh (toleransi rendah pada orang gemuk)
Umur (toleransi rendah pada orang tua, toleransi rendah dapat mengakibatkan dampak
yang lebih berbahaya)
Gender (laki-laki dan wanita mempunyai tingkat aerobic power yang ekuivalen yang
menunjukkan perbedaan yang sangat kecil dalam hal toleransi terhadap kerja di
tempat panas (Drinkwater 1977; Paulone et al. 1977)).
3. Penggantian cairan tubuh (volume cairan, suhu cairan, dan kandungan cairan)
4. Turunkan suhu inti (internal) sampal dengan 39°C
5. Gunakan pakaian dingin dan handuk
6. Taruh es pada kulit sambil menyemprot dengan air biasa.
7. Gunakan Selimut Pendingin
8. Posisikan kipas angin listrik sehiugga menghembus pada pasien
9. Pantau secara konstan suhu, dan tanda tanda vital
10. Berikan oksigen dan pasang infus bila ada
11. Segera bawa ke unit pelayanan kesehatan terdekat
2.2.6 Contoh kasus
Desa Hadipolo merupakan salah satu desa di Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus, merupakan
desa sentral kerajinan pandai besi yang sudah turun temurun. Setiap rumah penduduk
mempunyai dapur atau lahan untuk mengerjakan kerajinan pandai besi dengan tenaga kerja
rata-rata 2 orang sampai dengan 50 orang tiap rumah industri. Data yang diperoleh dari
Puskesmas Tanjung Rejo Kecamatan Jeculo,diketahui bahwa ada 110 home industri dengan
jumlah tenaga kerja 412 orang. (41) Hasil survei pendahuluan terhadap kondisi lingkungan
kerja pada tanggal 20 September 2011 dan tanggal 17 Februari 2012, menunjukan bahwa
kondisi lingkungan kerja dikatakan mempunyai resiko yang sangat besar terhadap terjadinya
penyakit akibat kerja. Dimana suhu pada lingkungan kerja berkisar antara 30℃ –35 ℃,
sedangkan suhu yang optimal untuk kerja orang Indonesia berkisar antara 24℃ -26℃. (2)
Selain itu masih ada pekerja yang bekerja lebih dari 8 jam per hari (jam kerja:07.00-17.00
12
WIB) dan tidak mengenakan pakaian saat bekerja dengan paparan panas yang terus menerus
dari tungku pembakar.
Iklim kerja seperti diatas maka hasil pemeriksaan tekanan darah dan denyut nadi terhadap 85
pekerja pandai besi dengan umur yang bervariasi,diambil dari 10 industri pandai besi
menunjukan bahwa pekerja yang mengalami tekanan darah tinggi atau hipertensi sebanyak
31,9%, hipotensi atau tekanan darah rendah sebanyak 44,3% dan tekanan darah normal
sebanyak 23,8%. Sedangkan untuk denyut nadi dari 85 orang pekerja yang diperiksa
menunjukan denyut nadi terendah adalah dengan detak 60 kali/menit dan yang tertinggi 90
kali/menit.
2.3 Pneumokoniosis
Setiap tempat kerja terdapat berbagai potensi bahaya yang dapatmempengaruhi kesehatan tenaga
kerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja, debu adalah partikel yang merupakan
salah satu faktor kimia yang ada di tempat kerja (Meita 2012). Debu adalah partikel-partikel zat padat
yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis dari bahan-bahan organik maupun
anorganik. Akibat penumpukan debu yang tinggi di paru-paru dapat menyebabkan kelainan dan
kerusakan paru. Penyakit akibat penumpukan debu pada paru disebut pneumokoniosis.
Pneumokoniosis merupakan kelompok penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu di
daerah tambang. International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai
suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu di dalam paru yang menyebabkan reaksi
jaringan terhadap debu tersebut. Bentuk kelainan yang terjadi biasanya berupa peradangan dan
pembentukan jaringan fibrosis. Debu yang berukuran 0.1 – 10 mikron adalah yang gampang terhirup
pada saat kita bernapas, yang berukuran lebih dari 5 mikron akan mengendap disaluran napas bagian
atas. Debu berukuran 3-5 mikron akan menempel disalurun napas bronkiolus, sedangkan yang
berukuran 1-3 mikron akan sampai ke alveoli. Debu-debu tersebut masuk ke dalam paru, dan akan
terdistribusikan di saluran napas dan menimbulkan reaksi sistem pertahanan tubuh sebagai respon
terhadap debu tersebut. Reaksi yang ditimbulkan juga bergantung terhadap komposisi kimia, sifat
fisik, dosis dan lama pajanan yang menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis.
Timbulnya reaksi debu terhadap jaringan membutuhkan waktu yang cukup lama, pada beberapa
penelitian didapatkan sekitar 15 – 20 tahun. Berdasarkan penyebabnya pneumokoniosis dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu yang disebabkan oleh debu organik (bisinosis), anorganik (silika, asbes
13
dan timah) dan pekerjaan (pneumokoniosis penambang batubara / Coal Worker’s Pneumoconiosis )
atau yang lebih dikenal dengan paru-paru hitam.
2.3.1 Definisi
Pneumokoniosis adalah sekumpulan penyakit yang disebabkan oleh penimbunan debu-debu di
dalam jaringan paru-paru. Biasanya berupa debu mineral, tergantung dari jenis debu mineral
yang ditimbun, nama penyakit nyapun berbeda-beda, tergantung dari derajat dan banyaknya
debu yang ditimbum didalam paru-paru. Ketika bernafas udara yang mengandung debu masuk
kedalam paru-paru , tidak semua debu dapat menimbun didalam jaringan paru-paru , karena
tergantung dari besar ukuran tersebutSecara umum gejala – gejalanya antara lain batuk – batuk
kering saat nafas , kelelahan umum , berat badan berkurang dan lain-lain Gambaran Rontgen
menunjukkan adanya kelainan dalam paru – paru , namun pemeriksaan ditempat kerja harus
menunjukkan adanya debu yang diduga sebagai penyebab pneumokoniosis. Pekerja yang
paling rentan terkena pneumokoniosis adalah penambang batubara.
2.3.2 Diagnosa
Diagnosa penyakit pneumokoniosis didasarkan dari gejala-gejala yang ada dan hasil
pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan rontgen atau CT scan dada bisa ditemukan adanya bintik-
bintik yang khas di daerah paru pada orang dengan riwayat terpapar debu batubara untuk waktu
yang lama, biasanya orang yang telah bekerja di tambang batubara setidaknya selama 10 tahun.
Selain itu, bisa dilakukan tes fungsi paru-paru.
2.3.3 Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit ini, pengobatan akan diberikan untuk mengatasi
gejala-gejala yang ada dan komplikasinya ( misalnya gagal jantung atau tuberkulosis paru).
Penambang batubara biasanya dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan foto rontgen dada rutin
setiap tahun sehingga penyakit bisa dideteksi pada tahap yang relatif awal. Jika penyakit
terdeteksi, maka pekerja harus dipindahkan ke tempat dimana kadar debu batubara rendah,
sehingga membantu mencegah terjangkitnya penyakit pneumokoniosis akut.
2.3.4 Pencegahan
Pneumokoniosis bisa dicegah dengan cara menghindari atau menekan paparan debu batubara di
tempat kerja, misalnya dengan menggunakan sistem ventilasi yang baik dan memakai masker
wajah yang dapat menyaring udara. Pekerja batubara yang paling rentan terkena penyakit
14
pneumokoniosis adalah pekerja yang merokok. Oleh karena itu, pekerja batubara yang merokok
didorong untuk berhenti merokok supaya tidak terkena penyakit pneumokoniosis.
2.3.5 Hazard
Sumber hazard penyakit akibat kerja pneumokoniosis adalah debu, mineral dan batubara.
Jumlahnya bervariasi dengan debu terhirup jenis batubara. Faktor faktor yang dapat
meningkatkan resiko pneumokoniosis pada pekerja batubara antara lain;
Tipe debu; debu yang mengandung silika dapat memperberat terjadinya pneumokoniosis
pada pekerja batubara, usia juga dapat menentukan resiko terjadinya pneumokoniosis pada
pekerja batubara
Usia pekerja saat paparan debu pertama kali
Lama berada di tempat kerja
Merokok
Ukuran debu
Jenis pekerjaan, pekerja yang bertugas sebagai pemotong batu bara secara langsung memiliki
resiko yang lebih tinggi dibandingkan pekerja lainnya.
15
2.3.6 Contoh kasus
Jumat, 24 Agustus 2012 | 09:22
Pekerja Tambang di China Terkena Sakit Paru Hitam
Para pekerja tambang batu bara di China. (sumber: AFP)
Sekitar 6 juta pekerja tambang diperkirakan terkena pneumoconiosis akibat menghirup debu batu bara.
Pemerintah China berencana menyelidiki sebagian tambang milik negara untuk mencegah penyebaran penyakit paru-paru hitam (pneumoconiosis).
Demikian yang dikemukakan oleh Dinas Keselamatan Tambang Batu Bara Negara, Kamis (23/8). Love Save Pneumoconiosis, sebuah yayasan amal yang didirikan untuk membantu merawat pekerja pendatang yang terserang penyakit itu, memperkirakan sebanyak enam juta petani terserang penyakit tersebut.
Beranjak dari fakta itulah dinas kesehatan tersebut telah meminta Perhimpunan Kesehatan dan Keselamatan Kerja China, untuk melakukan penyelidikan tentang penyebaran pneumoconiosis dan pemantauan debu di beberapa tambang milik negara mulai Agustus sampai Desember.
"Lembaga itu akan meneliti catatan kesehatan pekerja tambang dan memantau tingkat debu di lokasi kerja mereka, " demikian isi pernyataan yang disiarkan oleh lembaga tersebut.
Penelitian tersebut, menurut dinas kesehatan China, akan dilandasi atas data statistik yang dikumpulkan dari hari tambang itu mulai beroperasi sampai 31 Desember 2011.
Ditambahkannya, penelitian tersebut dimaksudkan untuk membantu pembuatan peraturan bagi standard pemantauan dan tingkat debu.
Perlu diketahui, pneumoconiosis adalah penyakit paru-paru yang disebabkan orang menghirup debu batu bara. Penyakit ini merupakan penyakit utama yang berkaitan dengan pekerjaan di China
16
2.4 Katarak
2.4.1 Definisi
Katarak adalah suatu ukelainan pada mata yang berupa kekeruhan pada lensa yang
disebabkan oleh pemecahan protein atau bahan lainnya oleh proses oxidase dan foto oksidasi.
Katarak merupakan penyebab kebutaan yang paling besar (0,78%) di antara penyebab
kebutaan lainnya.Risiko Terkena Katarak yakni gangguan penglihatan dari derajat yang
ringat sampai berat bahkan bisa sampai buta.
2.4.2 Gejala
Katarak mungkin terjadi tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan
mata.kadang-kadang tidak menimbulkan rasa sakit tetapi mengganggu penglihatan seperti
penglihatan menjadi kabur, penglihatan bagian sentral hilang sampai menjadi buta.
Apabila terjadi penurunan penglihatan secara perlahan-lahan tanpa rasa sakit pada orang usia
tua maka pada umumnya dicurigai menderita penyakit katarak walaupun perlu dilakukan
diagnosis lebih lanjut dan perlu memperhatikan keadaan lain seperti glaucoma kronik,
perubahan macular pada diabetes mellitus dan degenerasi macular senilis.
Salah satu kelihan dini pada katarak adalah keluhan silau atau tidak tahan terhadap cahaya
terang seperti sinar mataharilangsung atau sinar lampu kendaraan bermotor dari arah depan.
Keluhan silau bervariasi tergantung lokasi dan besarnya kekeruhan pada lensa. Kekeruhan
kecil yang terjadi di daerah pupil akan dirasakan sangat mengganggu. Apabila kekeruhan
lensa menjadi semakin parah maka penglihatan jarak jauh dan dekat mulai terganggu.
Keluhan lain dapat berupa penglihatan berkabut, penglihatan warna menjadi tumpul dan
penglihatan ganda.
2.4.3 Diagnosis
Sebagian besar katarak tidak dapat diolihat oleh pengamat awam sampai kekeruhan cukup
padat yaitu pada tingkat matur atau hipermatur yang menyebabkan kebutaan. Secara klinis
tingkatan katarak ditentukan oleh tajam penglihatan, dengan asumsi tidak ada penyakit lain.
Selain pemerikaan tajam penglihatan dilakukan juga pemeriksaan dengan oftalmoskop, lup
atau lampu celah dengan pupil yang dilebarkan. Pemeriksaan proyeksi cahaya pada mata
sangat penting dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab penyakit mata lain
17
atau kerusakan pada retina. Pada pemeriksaan rutin, katarak tingkat dini mungkin didapatkan
penglihatan yang normal. Tajam penglihatan umunya turun secara langsung sebanding
dengan kepadatan katarak. Pupil pada mata dengan katarak biasanya bereaksi normal
terhadap cahaya yang merupakan tanda klinik penting untuk menandai retina sehat dan
nervus opticus berfungsi baik. Adanya penurunan tajam penglihatan disertai tidak adanya
reflek fundus mengarah kepada diagnosis katarak walaupun perlu memperhatikan kelainan
pada kornea atau pada vitreous body karena penyebab lain. Pada katarak mature/matang,
penglihatan mungkin menurun sehingga hanya dapat melihat gerakan tangan pada jarak
dekan atau bahkan hanya dapat melihat cahaya. Semakin parah kekerusahan lensa semakin
sukar memantau fundus okuli sampai akhirnya reflex fundus negative.
2.4.4 Faktor risiko
Faktor risiko dapat berupa faktor instrinsik yang berasal dari dalam tubuh sendiri atau faktor
ekstrinsik yakni faktor yang berasal dari luar tubuh. Berikut pembagian faktor intrinsic dan
faktor ekstrinsik :
- Faktor intrinsic
1. Usia : hubungan katarak dengan proses ketuaan sudah diketahui sejak dulu. Biasanya
usia diatas 55 tahun berisiko terkena katarak.
2. Jenis kelamin : walaupun penelitian di beberapa Negara melaporkan bahwa katarak
lebih banyak terjadi pada wanita namun hal ini mungkin berhubungan dengan faktor
lain. Faktor lain tersebut adalah relative kurang baiknya secara umum akses kesehatan
terhadap wanita di suatu Negara. Selain itu perlu juga memperhitungkan angka
harapan hidup yang lebih tinggi pada wanita di beberapa Negara.
3. Riwayat atau menderita DM : Adanya peningkatan metabolism glucose dalam lensa
menyebabkan penimbunan sorbitol yang dianggap berhubungan dengan perubahan
osmotic dan akhirnya menyebabkan kekeruhan lensa.
4. Etnik : suatu penelitian melaporkan bahwa berkembangnya gejala katarak pada
kelompok populasi Amerika-Afrika cenderung 4 kali lebih tinggi dibandingkan
kelompok kaukasia. Hal ini mungkin berhubungan dengan faktor lain misalnya,
pengobatan penderita kataran dan glaucoma kurang baik.
- Faktor Ektrinsic
1. Nutrisi : nutrisi dicurigai sebagai salah satu diantara banyak faktor yang menyebabkan
perubahan kepekaan pada protein lensa. Penilitian Robertson dkk mengatakan bahwa
18
adanya hubungan katarak dengan asupan vitamin. Asupan vitamin C dan E lebih
banyak secara bermakna maka terjadi pengurangan risiko katarak sedikitnya 50%.
Asupan vitamin C menunjukan konsentrasi vitamin C dalam cairan bola mata dan di
dalam lensa yang memiliki efek antioksidan sehingga mengurangi stress oksidatif
yang dapat menimbulkan pembentukan katarak.
2. Radiasi sinar pengion : radiasi sinar pengion ada 2 jenis yaitu jenis elektromagnetik
dan partikel. Yang termasuk jenis elektromagnetik adalah sinar X dan sinar gamma
sedangkan jenis partikel adalah electron, proton, neutron, partikel alfa dan lainya.
Sinar pengion menimbulkan efek stochastic dan stochastic pada tubuh. Efek stochastic
meliputi efek mutagen, efek karsinogen dan efek teratogen. Efek nonstochastic
meliputi efek eritem kulit dan katarak pada lensa. Efek radiasi sinar pengion pada
lensa dapat mengakibatkan terbentuknya kekeruhan lensa setelah beberapa bulan
sampai beberapa tahun kemudian. Frekuensi, keparahan, dan waktu terjadinya
kekeruhan lensa terjadinya kekeruhan lensa tergantung kepada dosis dan penyebaran
sinar dalam waktu dan tempat. Ambang terjadinya kekeruhan lensa diperkirakan
antara 2-3 Sv ( Sievert unit Sv= 100 rem) pada pajanan tunggal yang singkat, sampai
5,5-14 Sv pada pajanan berulang dengan periode waktu bulanan.
3. Radiasi sinar bukan pengion : radiasi bukan pengion yang dapat menimbulkan katarak
adalah sinar ultraviolet dan infra merah. Radiasi UV ditimbulkan oleh gelombang
panas yang berasal dari energy yang mengeluarkan cahaya yang berasal dari alam dan
buatan. Sumber utama UV adalah sinar matahari yang difiltrasi oleh lapisan ozon pada
atmosfir. Pajanan UV akut mempunyai efek pada kulit, kornea dan lensa mata.
Pajanan kronis UVB ddengan tingkat yang bermakna dan waktu yang berlebihan akan
menyebabkan hilangnya elastisitas pada kulit atau penuaan kulit dan risiko terjadinya
kanker kulit dan kekeruhan lensa mata. Pajanan terhadap sinar matahari selama rata-
rata 12 jam menimbulkan katarak 3,8 kali lebih banyak dibandingkan hanya terpajan 7
jam sehari. Selain sinar UV, sinar infra merah juga dapat menyebabkan terjadinya
katarak. Radiasi IR dianggap sebagai sinar elektromagnetik atau sinar penghasil
panas.
4. Merokok : perokok dengan jumlah lebih 20 batang sehari akan meningkatkan risiko
menjadi katarak hamper 2 kali lipat lebih tinggi dan mempunyai risiko khusus
19
terbentuknya jenis katarak yang berlokasi di bagian tengah lensa, yang mengakibatkan
pandangan menjadi terbatas dan sangat parah dibandingkan katarak di lokasi lain pada
lensa.
5. Trauma : Jenis trauma yang paling sering dijumpai menimbulkan katarak adalah
cedera tumpul pada bola mata akibat terkena peluru senapan angina , anak panah ,
batu, benturan, dan terkena obyek yang berterbangan. Obyek yang bertebangan dapat
berupa serpihan logam atau batu, benda tajam atau pasir/krikil dari proses
penggurindaan (gringidng). Penyebab trauma lain adalah trauma karena terpajan panas
terlalu lama (pada glass blower), sinar X, dan bahan-bahan radioaktif.
6. Penyakit di dalam mata : katarak dapat terjadi secara primer dan sekunder karena
penyakit. Penyakit di dalam mata yang mempengaruhi fisiologi lensa misalnya uveitis
berat kambuhan yang biasanya mulai di daerah subkapsuler dan akhirnya mengenai
seluruh mata. Penyakit mata lain yang bisa menyebabkan katarak adalah uvetis
menahun, glaucoma, retinitis pigmentossa dan ablasi retina.
7. Obat-obatan : Beberapa obat yang diabsorpsi secara oral dan topical dapat merangsang
pembentukan katarak. Pada tahun 1930 banyak terjadi kasus katarak toksik sebagai
akibat pemakaian dinitirfenol sebagai obat menekan nafsu makan. Kesalahan
pemakaian obat lain seperti triparanol, kortikosteroid jangka panjang dan ekotiofat
iodide yang merupakan obat miotik kuat pada pengobatan glaucoma.
2.4.5 Pekerja yang berisiko terkena Katarak
Pekerja yang berisiko katarak adalah pekerjaa yang terpajan oleh faktor-faktor yang
merupakan risiko katarak di lingkungan kerjanya. Adapun pekerjaan yang berisiko terkena
penyakit katarak dibagi menjadi 2 jenis yakni pekerja dengan radiasi sinar pengion dan
pekerja dengan radiasi tanpa sinar pengion.
- Radiasi sinar pengion
Pekerja bidang energy atom
Awak pesawat terbang
Operator electron mikroskop
Operator fluoroskopi
Perbaikan televise voltase tinggi
Industri radiografi
20
Dokter gigi
Pembantu dokter gigi
Ahli radiologi
Pekerja laboratorium radium
Teknisi sinar X
Pembuat tabung sinar X
Pekerja tambang uranium
Pekerja tambang minyak
- Radiasi sinar bukan pengion
Pekerja di luar gedung dan terpajan radiasi UVB dari sinar matahari
Pekerja yang terpajan UV dengan intensitas tinggi
Pekerja yang terpajan sinar IR
2.4.6 Penanggulangan dan Pencegahan
Pencegahan kebutaan karena katarak melalui tindakan operasi. Upaya untuk menurunkan
prevalensi katarak perlu dilakukan terutama mencegah kebutaan pada usia produktif. Untuk
memperlambat terjadinya katarak dibutuhkan upaya mengurangi pajanan terhadap faktor
perusak antara lain faktor-faktor ekstrinsik seperti faktor lingkungan, cahaya UV, trauma,
merokok dan nutrisi. Beberapa anjuran untuk pencegahan katarak melalui nutrisi antara lain
dengan mengkonsumsi buah dan sayuran lebih dari 3,5 porsi sehari, makan lebih banyak
makanan yang mengandung tinggi asam amino sulfur ( lebih banyak biji-bijian dan legumes)
dan menggunakan banyak bumbu, tumerik dan curcumin.
Khusus pada pekerja
Pada pencegahan terhadap trauma langsung di lingkungan kerja maka pengusaha dan
pekerja perlu memperhatikan keselamatan kerja. Perlindungan mata dan wajah
diperlukan pada pekerjaan dengan kemungkinan bermacam-macam bahaya termasuk
obyek yang melayang ( serpihan logam atau batu, pasir atau kerikil dari proses
penggurindaan), semburan cairan korosif. Logam cair, debu, dan radiasi.
Tim kesehatan kerja mengevaluasi dan memellihara kesehatan mata dan penglihatan
dengan menilai kebutuhan penglihatan dalam melakukan tugas dengan aman dan
adekuat, menilai akses terhadap pertolongan medis dan system untuk pertolongan
pertama dan pelayanan yang ada bila terjadi kecelakaan. Pajanan radiasi pada pekerja
21
dikurangi tanpa terlalu menakutkan efisiensi pekerja, melalui perencanaan tempat kerja
dan prosedur kerja yang teliti, pelatihan dan pengawasan pekerja, penerapan program
perlindungan radiasi yang telag tersedia, pemberian label pada semua sumber radiasi dan
daerah yang repajan radiasi, perlindungan yang berlapis-lapis dalam mencegah terkena
radiasi karena tidak berhati-hati, dan membuat peringatan lainnya. Pekerja yang terpaksa
harus bekerja pada pukul 10-14 siang di luar bangunan maka sebaiknya bekerja dengan
perlindungan tabir matahari atau bekerja di tempat teduh atau menggunakan topi yang
mempunyai pinggiran lebar dan kaca mata dengan lensa yang dapat mengasborpsi UVB
untuk melindungi mata dari sinar UV. Bagi orang yang berada di dalam ruangan dan di
dalam kendaraan, pajanan terhadap sinar UVB matahari dapat ditekan sangat rendah
dengan asbsopsi UVB oleh kaca jendela baik di ruangan maupun pada kendaraan yang
dilapisi oleh filter penghambat UV.
Pekerja yang bekerja di dlaam ruangan tetapi harus berhubungan dengan UV pada
pekerjaannya perlu melakukan pencegahan dengan cara mengisolasi sumber radiasi UV
intensitas tinggi, memakai peralatan pelindung diri yang sesuai untuk melindungi mata
seperti memakai goggles/pelindung lain dengan filter yang sesuai. Kaca mata yang
dipakai adalah kaca mata yang dapat mengabsoprsi UV dan bila mungkin sesuai dengan
standard Australia AS 1076.
2.4.7 Aturan Kebijakan
a. Peraturan pemerintah RI No. 11 Tahun 1975 Tentang Keselamatan Kerja
Terhadap Radiasi
Dalam peraturan ini diatur nilai ambang batas yang diizinkan. Selanjutnya ketentuan
nilai ambang batas yang diizinkan, diatur lebih lanjut oleh instansi yang berwenang.
Pengaturan mengenai petugas dan ahli proteksi radiasi, pemeriksaan kesehatan calon
pekerja dan pekerja radiasi, kartu kesehatan, pertukaran tugas pekerjaan, ketentuan-
ketentuan kerja dengan zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya, pembagian
daerah kerja dan pengelolaan limbah radioaktif, kecelakaan dan ketentuan pidana.
Rangkuman isi peraturan sebagai berikut :
1. Instalasi atom harus mempunyai petugas dan ahli proteksi radiasi dimana petugas
proteksi mempunyai tugas menyusun pedoman dan instruksi kerja, sedangkan ahli
proteksi mempunyai tugas mengawasi ditaatinya peraturan keselamatan kerja
terhadap radiasi.
2. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada pekerja radiasi adalah:
22
- calon pekerja radiasi
- berkala setiap satu tahun
- pekerja radiasi yang akan putus hubungan kerja.
3. Pekerja radiasi wajib mempunyai kartu kesehatan dan petugas proteksi radiasi
wajib mencatat dalam kartu khusus banyaknya dosis pajanan radiasi yang
diterimamasing-masing pekerja.
4. Apabila pekerja menerima dosis radiasi melebihi nilai ambang batas yang
diizinkan, maka pekerja tersebut harus dipindahkan tempat kerjanya ketempat lain
yang tidak terpajan radiasi.
5. Perlu adanya pembagian daerah kerja sesuai dengan tingkat bahaya radiasi dan
pengelolaan limbah radioaktif.
6. Perlu ada tindakan dan pengamanan untuk keadan darurat apabila terjadi
kecelakaan radiasi.
7. Pelanggaran ketentuan ini diancam pidana denda Rp. 100.000,- (seratus ribu
rupiah)
b. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1975 Tentang Izin pemakaian Zat Radioaktif
atau sumber Radiasi lainnya
Dalam peraturan ini diatur tentang pemakaian zat radioaktif dan atau sumber radiasi
lainnya, syarat dan cara memperoleh izin, kewajiban dan tanggung jawab pemegang izin
serta pemeriksaan dan ketentuan pidana.
c. Keputusan Presiden RI No. 22 Tahun1993 Tentang Penyakit Yang Timbul karena
Hubungan Kerja
Dalam peraturan ini diatur hak pekerja kalau menderita penyakit yang timbul karena
hubungan kerja, pekerja tersebut mempunyai hak untuk mendapat jaminan kecelakaan
kerja baik pada saat masih dalam hubungan kerja maupun setelah hubungan kerja
berakhir (paling lama 3 tahun sejak hubungan kerja berakhir)
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
1. Bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak merupakan 4 dari sekian banyak
penyakit yang dapat disebabkan oleh pajanan hazard yang terdapat di tempat kerja.
2. Bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak disebabkan oleh pajanan hazard yang
berbeda-beda, bisinosis disebabkan oleh pajanan debu kapas, heat stress disebabkan oleh
pajanan suhu panas, pneumoconiosis disebabkan oleh multikausal salah satunya adalah
debu batubara dan katarak juga disebabkan oleh multikausal salah satunya yang berkaitan
dengan pekerjaan adalah paparan sinar radiasi.
3. Upaya penanggulangan bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak dilakukan
dengan cara yang berbeda-beda, salah satunya yang dapat dilakukan adalah dengan
munggunakan alat pelindung diri yang tepat.
4. Terdapat banyak peraturan yang mengatur tentang bisinosis, heat stress, pneumoconiosis
dan katarak, salah satunya adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.
Per. 13/Men/X/2011 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor
Kimia di Tempat Kerja
3.2 Saran
1. Sebaiknya para pekerja lebih tanggap dengan kondisi lingkungan pekerjaannya, dan
bekerja dengan standar yang berlaku untuk meminimalisir kejadian penyakit di tempat
kerja.
2. Sebaiknya para pemberi kerja menerapkan sistem manajemen K3 untuk meminimalisir
timbulnya penyakit di tempat kerja.
3. Sebaiknya pemerintah mengawasi pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja di setiap
bidang usaha dan memberikan sanksi terhadap para pemberi kerja yang tidak
memperhatiakan kesehatan dan keselamatan kerja pekerjanya.
24