Upload
vantram
View
213
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1734 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi PertanianBanjarbaru, 20 Juli 2016
Peran Perempuan Tani dalam Mendukung Ketahanan Pangan RumahTangga Melalui Program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari
di Desa Rawan Pangan Kabupaten Gunung Kidul
Kurnianita Triwidyastuti dan SubagiyoBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta
Jl. Stadion Maguwoharjo no. 22, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, YogyakartaE-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran perempuan tani dalam mendukung ketahananpangan rumah tangga melalui program Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL).Penelitian dilaksanakan pada bulan Pebruari – Nopember 2013, di Desa Pundungsari KecamatanSemin, salah satu Desa Rawan Pangan yang merupakan lokasi pelaksanaan MKRPL KabupatenGunungkidul. Metode penelitian yang digunakan adalah survey dengan melibatkan 22 oranganggota kelompok wanita tani (KWT) Menur. Data yang dikumpulkan berupa data primer dansekunder, dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita tani mampuberperan aktif dalam pelaksanaan Program MKRPL, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,pemanfaatan hasil, sampai pada monitoring dan evaluasi. Selain itu, wanita tani mampuberkontribusi dalam peningkatan gizi keluarga dan peningkatan pendapatan, sebagai salah satuupaya pengentasan desa rawan pangan.
Kata kunci : Peran, perempuan tani, program MKRPL
Pendahuluan
Indonesia adalah salah satu negara yang menempatkan pemantapan ketahananan pangan
sebagai prioritas utama pembangunan. Sebagai salah satu negara yang mempunyai komitmen
dalam menurunkan kemiskinan sesuai kesepakatan MDG’s, maka berbagai upaya dilakukan untukmenurunkan tingkat kerawanan pangan.
Kerawanan pangan menurut Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan
(BP2KP) Kabupaten Gunugkidul (2012), didefinisikan kondisi ketidakcukupan pangan yang
dialami daerah, masyarakat atau rumah tangga, pada waktu tertentu untuk memenuhi standar
kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat. Kondisi ini adalah kondisi
kebalikan dari ketahanan pangan, yang sering diperhalus dengan istilah terjadi penurunan
ketahanan pangan, meskipun pada dasarnya dengan pengertiannya sama (Purwantini, 2014).
Saat ini, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih terdapat 20 Desa yang masih
tergolong rawan pangan, diantaranya 7 desa rawan pangan terdapat di Kabupaten Gunungkidul.
Kriteria rawan pangan didasarkan pada tiga aspek yaitu ketersedian pangan lokal, akses kesehatan
dan tingginya tingkat kemiskinan. Jumlah ini sudah jauh berkurang dari tahun 2013, sejumlah 24
desa. Menurut Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Gunungkidul, berkurangnya
desa rawan pangan tersebut tidak terlepas dari upaya pemerintah untuk melakukan berbagai
perbaikan dibidang pangan, kesehatan, pendidikan, dan lain lain (www.jogjatribunnews.com).
Di bidang pangan, salah satu upaya pemerintah untuk mengentaskan desa rawan pangan
adalah melalui pemanfaatan sumberdaya yang tersedia melalui pemanfaatan lahan pekarangan
yang dikelola oleh rumah tangga. Selama ini pekarangan belum dimanfaatkan secara optimal.
Komitmen pemerintah untuk melibatkan rumah tangga dalam mewujudkan kemandirian pangan
dapat diaktualisasikan dengan menggerakkan kembali budaya menanam di lahan pekarangan, baik
di perkotaan maupun di perdesaan.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 1735Banjarbaru, 20 Juli 2016
Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (MKRPL) adalah salah satu program
Kementerian Pertanian yang menitikberatkan pada pemanfaatan pekarangan. MKRPL dirancang
untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, diversifikasi pangan berbasis sumberdaya
lokal, pelestarian tanaman pangan untuk masa depan, serta peningkatan pendapatan yang pada
akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Sebagai kelompok sasaran diutamakan untuk
kelompok perempuan, antara lain melalui kelompok wanita tani.
Keberhasilan MKRPL salah satunya ditentukan oleh peran aktif perempuan. Suradisastra
(1998) dalam Triwidyastuti et.al (2005) menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam
kegiatan produktif pertanian memungkinkan mereka untuk meningkatkan kekuatan perannya
sebagai anggota keluarga yang dapat memberikan sumbangan yang dapat diukur dalam bentuk
peningkatan pendapatan keluarga. Peran perempuan yang identik dengan sektor domestik, mampu
menjadikan perempuan mampu berperan aktif terutama dalam upaya memenuhi subsistensi
keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana peran wanita tani dalam program
MKRPL di Desa Rawan Pangan Kabupaten Gunungkidul, terutama dalam mendukung ketahanan
pangan rumah tangga.
Metodologi
Penelitian dilaksanakan di Desa Pundungsari Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul
dengan pertimbangan bahwa desa tersebut merupakan salah satu desa rawan pangan dan sebagai
pelaksana kegiatan M-KRPL Penelitian ini melibatkan responden sebanyak 22 orang yang
tergabung dalam kelmpok wanita tani “Menur“. Waktu pelaksanaan penelitian dilaksanakan padabulan Pebruari sampai dengan Nopember 201 dengan menggunakan metode survai. Data yang
dikulumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder, selanjutnya data yang terkumpul
dianalisis secara deskriptif.
Hasil dan Pembahasan
1. Karakteristik Lokasi
Desa Pundungsari merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Semin,
Kabupaten Gunungkidul dengan luas wilayah sebesar 728,2255 ha. Secara geografis, Desa
Pundungsari berada di ketinggian 500 mdpl, dengan topografi dataran rendah dan berbukit. Curah
hujan rata-rata 1.200 mm/th. Desa Pundungsari berjarak 1 km dari ibukota kecamatan, 25 km dari
ibukota Kabupaten dan 64 km dari Ibukota Provinsi.
Dari data Monografi desa Pundungsari tahun 2011, jumlah penduduk desa sebanyak
4.134 orang, terdiri dari penduduk laki-laki 2.015 orang (48,74%) dan penduduk perempuan 2.119
orang (51,26%), dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1.171 orang. Mayoritas penduduknya
bermata pencaharian sebagai petani, baik sebagai pemilik, penggarap maupun buruh tani.
Saat ini, Desa Pundungsari termasuk sebagai salah satu Desa Rawan Pangan di DIY.
Desa Rawan pangan adalah kondisi suatu daerah yang tingkat ketersediaan, akses dan atau
keamanan pangan sebagian masyarakat dan rumah tangganya tidak cukup untuk memenuhi standar
kebutuhan fisiologi bagi pertumbuhan dan kesehatan suatu desa dengan jumlah KK miskin > 30%
(Badan Ketahanan Pangan, 2012). Berdasarkan SK Gubernur No. 434/KEP/2012, tanggal 28
Desember 2012, Desa Pundungsari menjadi salah satu dari 8 Desa Percontohan Pengurangan
Kemiskinan dan Kerawanan Pangan di DIY.
1736 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi PertanianBanjarbaru, 20 Juli 2016
Sesuai dengan topografinya yang mayoritas daerah perbukitan kering, lahan pertanian di
Desa Pundungsari mayoritas adalah lahan kering bukan sawah (57%). Luas lahan Desa
Pundungsari dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1. Luas Lahan Pertanian di Desa Pundungsari Kecamatan Semin, 2011.
Jenis Lahan Luas (Ha)
1. Lahan Sawah 271,9181a. Irigasi setengah teknis 89,685b. Tadah hujan 182,2231
2. Lahan Bukan Sawah 356,8174a. Pekarangan/bangunan 132,397b. Tegalan/kebun 224,4204c. Ladang 21,000
Sumber : Data Monografi tahun 2011 Semester II Desa Pundungsari Kecamatan Semin KabupatenGunungkidul
Komoditas pertanian yang banyak diusahakan adalah padi palawija yaitu padi, jagung,
ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai; sayur-sayuran yaitu kubis, sawi, tomat, kacang
panjang, terong, lombok, bawang merah, mentimun; buah-buahan yaitu pisang, pepaya, jeruk,
mangga, jambu mete, jambu air, rambutan, sirsat, klengkeng, kedondong, dan lain-lain. Sedangkan
tanaman perkebunan yang ada di Desa Pundungsari antara lain cengkeh dan pala. Ternak juga
banyak diusahakan oleh masyarakat Pundungsari, baik ternak besar maupun ternak kecil,
mayoritas adalah ayam kampung. Selain itu, masyarakat juga banyak yang beternak kambing dan
sapi.
2. Karakteristik responden
Deskripsi karakteristik petani responden merupakan informasi umum yang terkait dengan
keadaan petani yang meliputi informasi mengenai umur, tingkat pendidikan, jumlah anggota
rumah tangga, serta pekerjaan utama dan pekerjaan sampingan.
KWT Menur, yang menjadi sasaran MKRPL, merupakan KWT yang sudah dibentuk
sejak tahun 2010, beranggotakan 22 orang. Aktivitas kelompok ini lebih pada pengolahan pangan
yaitu empon-empon. Sampai saat ini, kelompok tersebut masih aktif dengan membuat olahan jahe.
Pertemuan kelompok rutin diadakan setiap hari Minggu Kliwon. Kegiatan rutin adalah arisan,
simpan pinjam, pembuatan jahe instan, sirup jahe. Dengan adanya kegiatan M-KRPL, kelompok
bertambah kegiatannya yaitu mengelola KBD dan mengembangkannya di masing-masing RPL.
Umur merupakan salah satu tolok ukur bagi keberhasilan pelaksanaan kegiatan usahatani,
khususnya dalam menjalankan berbagai kegiatan yang memerlukan kemampuan fisik, seperti
pengolahan lahan, tanam, pemeliharaan pertanaman, pengairan, pengendalian hama dan penyakit,
panen dan pasca panen. Secara tidak langsung kadang-kadang umur juga menggambarkan
pengalaman dalam kegiatan usahatani. Berdasarkan kriteria umur petani responden KWT Menur,
umur termuda 33 th dan tertua 75 th, dengan rata-rata umur 47 th. Gambar 1, terlihat bahwa
mayoritas responden termasuk kriteria umur produktif (86,36%). Dengan demikian, secara fisik
responden mempunyai kemampuan melaksanakan kegiatan dengan baik.
Berdasarkan latar belakang pendidikan, responden memiliki tingkat pendidikan yang
beragam (gambar 1). Dari gambar tersebut, terlihat bahwa dari pendidikan, mayoritas pendidikan
anggota KWT adalah SD (72,73%). Lainnya SLTP (22,73%) dan SLTA (4,55%). Dengan
pendidikan formal yang rendah, masih perlu adanya pendidikan nonformal lainnya seperti kursus
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 1737Banjarbaru, 20 Juli 2016
atau pelatihan-pelatihan untuk menambah pengetahuan dan wawasan petani. Pendidikan yang
rendah ini kemungkinan karena anggota KWT berada di lokasi Desa rawan pangan yang sangat
dekat dengan kemiskinan. Prioritas alokasi pendapatan keluarga tidak pada pendidikan tetapi lebih
kepada pemenuhan pangan. Luas kepemilikan pekarangan, mayoritas (45,45%) berada pada strata
sedang (120-400 m2).
Gambar 1. Sebaran umur responden, tingkat pendidikan dan luas kepemilikan lahan pekarangan
di KWT Menur.Karakteristik petani memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap tingkat
partisipasi kegiatan yang berbeda. Secara umum pendidikan sangat mempengaruhi pola pikir dan
pengetahuan petani. Hasil penelitian Baba dkk (2011) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan,
umur, tingkat kosompolit berpengaruh negatif terhadap partisipasi petani terhadap penyuluhan
tentang sapi perah di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Sementara dalam penelitian yang
lain yang dilakukan oleh Hidayat dkk (2009), faktor sosial ekonomi seperti umur, pendidikan dan
luas lahan tidak berpengaruh terhadap tingkat partisipasi petani dalam SLPHT di Kabupaten
Sukorejo, Blitar . Hal ini disebabkan karena masih ada faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi tingkat partisipasi petani, misalnya adanya faktor penyuluhan, budaya, dan lain-
lain.
3. Peran Wanita Tani pada Kegiatan MKRPL
Pada dasarnya, masyarakat di Gunungkidul, terutama di Desa Pundungsari Semin sudah
memanfaatkan pekarangannya untuk berbagai hal. Berbagai macam program pemanfaatan
pekarangan pun sudah pernah digulirkan oleh pemerintah. Hanya saja, selama itu pekarangan
belum optimal dimanfaatkan untuk pemenuhan gizi keluarga. Mayoritas masyarakat menanami
pekarangannya dengan tanaman ubi kayu dan jagung.
MKRPL adalah program yang menitikberatkan pemanfaatan lahan pekarangan secara
optimal. Lahan pekarangan dapat dimanfaatkan dengan berbagai macam tanaman dan ternak,
untuk meningkatkan kemandirian pangan rumah tangga, terutama dalam hal peningkatan gizi
keluarga dan juga dapat meningkatkan pendapatan.
1738 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi PertanianBanjarbaru, 20 Juli 2016
Peran aktif perempuan anggota KWT meningkat dari sebelumnya, yang pada awal
pembentukannya, KWT Menur hanya aktif dalam pengolahan pangan. Peran aktif tersebut tampak
pada partisipasi anggota KWT dalam berbagai kegiatan seperti terlihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Partisipasi pelaksana M-KRPL
No Tahapan kegiatanPartisipasi (%)
Laki-laki Perempuan1 2 4 5A Sosialisasi 31,25 68,75
Tk. Kabupaten 60 40Tk. Desa – Pundungsari 25 75
B Pembentukan dan dinamika kelompok sasaran 25,00 75,00Identifikasi awal 40,00 60,00Pertemuan rutin 10,00 90,00
C Pelatihan 10,00 90,001. Budidaya tanaman 10,00 90,002. Pembuatan pupuk organik 10,00 90,003. Pembuatan pestisida 20,00 80,004. Budidaya ikan 20,00 80,005. Administrasi kelompok 0 100,006. Pengolahan umbi garut 5 95,007. Pengemasan dan pelabelan 5 95,00
D Pelaksanaan 25,56 74,441. Pembangunan KBD 75,00 25,002. Penyiapan media tanam 35,00 65,003. Penyemaian 20,00 80,004. Pembumbunan 20,00 80,005. Penanaman langsung 10,00 90,006. Pemeliharaan 30,00 70,007. Panen 20,00 80,008. Pengolahan hasil 10,00 90,009. Pemasaran 10,00 90,00
E Pendampingan 30,00 70,001. Pengelolaan KBD 40,00 60,002. Implementasi RPL 30,00 70,00
F Monitoring 25,00 75,00G Evaluasi 40,00 60,00
Dari Tabel diatas, dapat dilihat bahwa perempuan dan laki-laki terlibat dalam pelaksanaan M-
KRPL di Gunungkidul. Laki-laki dan perempuan bekerjasama mulai dari tahap sosialisasi sampai
pada pelaksanaan dan monitoring evaluasi. Namun, sebagian besar kegiatan didominasi oleh ibu-
ibu dengan proporsi keterlibatan laki-laki 26,56% dan perempuan 88,82%.
Pada tahap sosialisasi, perempuan berpartisipasi sebesar 68,75% sedangkan laki-laki
31,25%. Peran laki-laki dalam tahap ini masih cukup besar karena pada tahap ini banyak petugas
dari kabupaten, Kecamatan, Desa, para penyuluh, baik dari BPP maupun BPTP serta peneliti laki-
laki, beberapa petani yang turut hadir. Kehadiran para petugas tersebut memang sangat diharapkan
mengingat bahwa tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menyampaikan maksud dan tujuan dari
kegiatan yang akan dilaksanakan, sehingga akan menjadi lebih baik apabila semakin luas cakupan
peserta yang mengetahui dan memahami adanya kegiatan M-KRPL, sebagai model dari KRPL
yang akan dikembangkan lebih lanjut.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 1739Banjarbaru, 20 Juli 2016
Pada tahap pelatihan, mayoritas yang terlibat adalah perempuan (90,00%). Hal ini
disebabkan karena pelatihan lebih dititikberatkan langsung pada kelompok sasaran (KWT). Dalam
hal ini, tidak saja KWT yang mendapatkan pendampingan tetapi juga KWT lain yang letaknya
berdekatan. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa teknologi yang diberikan dapat langsung
diterapkan oleh masyarakat sekitar dimulai dari anggota kelompok yang hadir dan menularkan
kepada anggota atau masyarakat yang lain.
Besarnya peran aktif perempuan dalam KRPL tersebut membuktikan pula bahwa KRPL
merupakan salah satu bentuk dukungan Kementrian Pertanian dalam Pengarusutamaan Gender,
sesuai dengan yang diamanatkan dalam Inpres no 9 tahun 2000. Kementerian pertanian sangatlah
menyadari bahwa terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender di bidang pertanian akan dapat
meningkatkan produktivitas dunia kerja pertanian, mulai dari aparat hingga pelaku di bidang
pertanian (Badan Litbang Pertanian, 2013). Local champion perempuan diharapkan dapat menjadi
leader dalam keberlangsungan dan keberlanjutan KRPL.
4. Manfaat Kegiatan MKRPL
Program M-KRPL adalah salah satu program yang bertujuan untuk meningkatkan pola
konsumsi pangan masyarakat. Dari hasil kajian, diketahui bahwa tingkat konsumsi energi anggota
KWT Menur peserta M-KRPL berkisar antara 1.632,12 – 2.178,68 kkal/kapita/hari, dengan rata-
rata tingkat konsumsi energi sebesar 1.883,69 kkal/kapita/hari. Skor PPH meningkat dari 62,09
menjadi 65,69. Dari angka tersebut, terlihat adanya peningkatan PPH sebesar 5,79%. Meskipun
angka PPH ini masih jauh lebih rendah dari harapan yaitu 100, namun adanya peningkatan skor
menunjukkan adanya peningkatan keragaman gizi yang dikonsumsi.
Berbagai tanaman yang diusahakan baik di KBD maupun di RPL mampu menghemat
pengeluaran rumah tangga bahkan menambah pendapatan. Beberapa responden menyatakan
bahwa hasil panen di pekarangan mampu menghemat pengeluaran rumah tangga berkisar antara
Rp 60.000 – Rp 300.000 dalam sebulan. Dari hasil penjualan bibit dan tanaman dalam polibag
dapat pula menambah pendapatan dengan harga yang bervariasi, Rp 5.000 – Rp 10.000, tergantung
jenis dan umur tanaman.
Dari hasil pelatihan, anggota KWT sudah mampu mengolah berbagai pengolahan pangan
yaitu emping garut, sirup jahe dan jahe instan. Dengan pembelian bahan emping garut seharga Rp
54.000 diperoleh hasil sebesar Rp 275.000, sehingga diperoleh keuntungan sekitar Rp 221.000.
Dari pembelian bahan untuk pembuatan sirup jahe sebesar Rp 65.000 dapat menghasilkan sirup
sebanyak 4-5 botol seharga Rp 25.000/botol. Dengan analisa usaha sederhana, dapat diperoleh
keuntungan sebesar Rp 35.000 - Rp. 60.000. Pada pembuatan jahe instan, dari pembelian bahan
sebesar Rp 141.000 dapat menjadi 199 sachet jahe instan seharga @Rp 1000, sehingga diperoleh
keuntungan kelompok sebesar Rp 58.000. Keuntungan ini tentunya tidak stabil, tergantung pada
ketersediaan bahan baku dan harga jual. Pada saat ketersediaan bahan baku berlimpah, biasanya
harga menjadi murah sehingga keuntungan yang diperoleh cukup banyak. Keuntungan ini
terhitung masih sangat kecil, karena selama ini KWT masih mengelola pengolahan pangan dengan
omset yang masih rendah dengan tenaga kerja yang terbatas. KWT masih terkendala dengan harga
bahan baku dan kesibukan anggota yang cukup banyak. Dengan peningkatan manajemen yang
baik, diharapkan akan diperoleh hasil yang lebih baik dan dapat meningkatkan pendapatan
kelompok.
1740 Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi PertanianBanjarbaru, 20 Juli 2016
Selain tanaman, ternak lele di pekarangan mampu menambah gizi keluarga. Meskipun
mengalami keterbatasan air, lele dalam kolam pekarangan seluas 12 m2 dapat diperoleh hasil ± 50
kg. Panen tersebut masih untuk kebutuhan sendiri untuk menambah gizi keluarga.
5. Kendala Pengembangan MKRPL
Pemanfaatan pekarangan untuk usahatani bukanlah hal yang pokok bagi masyarakat
secara umum, termasuk bagi pelaksana M-KRPL. Usahatani di lahan pekarangan merupakan usaha
sampingan yang pada mulanya tidak diperhitungkan sebagai sumber pendapatan dan menambah
kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Hal ini menyebabkan waktu yang dicurahkan lebih banyak
untuk berusahatani di sawah atau tegalan sebagai pekerjaan utamanya, terutama apabila bersamaan
dengan kegiatan tanam maupun panen padi. Pada saat itulah tenaga kerja pertanian terakumulasi di
lahan sawah, sehingga berakibat kurang terawatnya tanaman di pekarangan serta ketersediaan bibit
di KBD mengalami kekosongan. Dengan demikian diperlukan manajemen kelompok yang lebih
baik dalam hal pengaturan waktu anggota (piket).
Sosial budaya masyarakat di satu sisi memberikan dukungan positif terhadap pelaksanaan
M-KRPL. Budaya gotong royong masih kuat mengakar di masyarakat Gunungkidul, sehingga
terlihat partisipasi secara fisik cukup tinggi. Di sisi lain, budaya dan kegiatan sosial seperti
sambatan, rewangan, upacara tradisional masih berlaku. Pelaksana M-KRPL yang mayoritas ibu-
ibu, juga banyak disibukkan dengan aktivitas tersebut, sehingga waktu untuk mengelola KBD dan
KRPL harus menyesuaikan dengan aktivitas sosial tersebut.
Hambatan yang lain karena masih rendahnya pengetahuan dan teknologi yang dikuasai
oleh petani pelaksana. Sekalipun pengalaman cukup lama dalam bertani tetapi teknologi hanya
sebatas pada komoditas yang biasa diusahakan, sedangkan M-KRPL mengharapkan adanya
usahatani dengan berbagai komoditas. Komoditas yang beragam membutuhkan pengetahuan yang
komplek dan pengelolaan yang baik. Penguatan kelembagaan kelompok baik pelatihan,
pertemuan-pertemuan kelompok, penyuluhan, dan pendampingan masih terus dibutuhkan.
Kendala yang lain adalah terbatasnya ketersediaan air. Pada musim hujan, petani banyak
disibukkan di sawah/tegalan, tetapi di musim kemarau, air terbatas. Petani tentunya lebih
mengutamakan penggunaan air untuk kebutuhan sehari-hari daripada untuk pelaksaan M-KRPL.
Di lokasi KBD sudah dipasang PAM atau pemasangan pipa dari sumur bur dari tempat lain.
Namun pada musim kemarau, kondisi airnya juga sedikit sehingga tidak mencukupi untuk
kebutuhan KBD secara keseluruhan.
Kesimpulan
- Wanita tani mampu berperan aktif dalam pelaksanaan program MKRPL, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, sampai pada pemanfaatan hasil.
- Kendala dalam implementasi MKRPL bagi wanita tani adalah pada faktor sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan sosial budaya.
Daftar Pustaka
Arifin HS, Munandar A, Schultin KG., Kaswanto, 2012. The Role and Impacts of Small-scale,Homestead Agriforestry System (“Pekarangan”) on Household Prosperity: an Analysis ofAro-ecological Zones of Java, Indonesia. International Journals of Agriscience Vol.2(1):896-914, October 2012.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian 1741Banjarbaru, 20 Juli 2016
Baba, S., Isbandi, T. Mardikanto, dan Waridin. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi TingkatPartisipasi Peternak Sapi Perah dalam Penyuluhan di Kabupaten Enrekang. Jurnal IlmuTernak, Juni 2011. Vol. 11, No 1.
Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Gunungkidul. 2012. Peta PotensiKerawanan Pangan dan Gizi.
Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 2012. PengembanganKawasan Rumah Pangan lestari (KRPL).
Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian. 2013. PetunjukPelaksanaan Pengembangan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari dan Sinergi ProgramTA. 2013.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gunungkidul. 2012. Statistik Daerah Kabupaten Gunungkidul2012.
Hidayat, H., k. Sukesi., dan I. Kusumawarni. 2009. Hubungan faktor Sosial Ekonomi denganTingkat Partisipasi dalam Program Sekolah lapangan Pengendalian Hama Terpadu(SLPHT) Padi. AGRISE vol IX, no 1, Januari 2009.
Purwantini, Tri Bastuti. 2014. Pendekatan rawan pangan dan Gizi: Besaran, Karakteristik, danpenyebabnya. Forum Penelitian Agro Ekonomi, Volume 32 No 1, Juli 2014. Pusat SosialEkonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Surat Keputusan Gubernur selaku Ketua DKP DIY Nomor : 434/KEP/2012, 28 Desember 2012tentang : Penunjukkan desa – desa sebagai lokasi percontohan. Pemerintah DaerahIstimewa Yogyakarta.
Triwidyastuti, K., Soeharsono dan Hano Hanafi. 2005. Kajian Analisis Gender dalam SistemUsahatani Integrasi Tanaman-ternak di Kecamatan Playen Gunungkidul DIY. ProsidingSeminar Nasional Implementasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Pertanian untukPeningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Pusat Penelitian dan Pengembangan SosialEkonomi Pertanian Departemen Pertanian bekerjasama dengan Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia. Jakarta.
http://jogja.tribunnews.com/2016/02/15/20-desa-di-diy-disebut-masih-rawan-pangan. 20 Desa diDIY disebut Masih Rawan Pangan. Diunduh tgl 17 Maret 2016.