Upload
andykayayansetiawan
View
98
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kanker laring
Citation preview
Peran Refluks Laringofaring sebagai faktor resiko pada kanker laring: Laporan
pendahuluan
Tujuan. Untuk mengevaluasi signifikansi laryngopharyngeal reflux (LPR) sebagai
faktor resiko pada kanker laring.
Metode. Kita melakukan penelitian kontrol-kasus dengan 29 pasien kanker laring
yang menjalani pemonitoran pH double 24 jam dari tahun 2003 sampai 2006.
Kelompok kontrol meliputi 300 pasien yang menjalani monitoring pH double 24 jam
akibat gejala yang berhubungan dengan LPR. Kita menganalisa prevalensi LPR dan
sejumlah parameter dari monitoring pH double 24 jam pada pasien kanker laring dan
kelompok kontrol. LPR patologis didefinisikan bila lebih dari tiga episode LPR yang
terjadi dalam 24 jam.
Hasil. Prevalensi LPR patologis secara signifikan lebih tinggi pada kelompok kanker
laring daripada kelompok kontrol (P=0,049). Jumlah refluks probe atas secara
signifikan lebih tinggi pada kelompok kanker laring (P < 0,001). Tapi efek LPR
patologis pada resiko kanker laring tidak tampak setelah penyesuaian untuk merokok
dan kosumsi alcohol pada multivariable logistic regression.
Kesimpulan. LPR patologis dapat menjadi faktor resiko pada perkembangan kanker
laring. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan peran tepat LPR pada
kanker laring.
PENDAHULUAN
Kanker laring merupakan 26-30% dari semua tumor ganas kepala dan leher.
Keadaan ini sangat umum pada laki-laki dan terutama terjadi antara usia 40 dan 70
tahun, tapi tingkat frekuensinya tertinggi antara usia 50 dan 60 tahun. Faktor etiologi
kanker laring yang telah diketahui meliputi merokok, alcohol, human papilla virus
dan radiasi. Hal ini telah dilaporkan bahwa tingkat kejaidan meningkat sampai 20 kali
lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok, tapi patogenesa
penyakit yang tepat masih tidak diketahui.
Hipotesa bahwa refluks asam lambung memainkan peran pada
perkembangan squamous cell carcinoma laring pertama kali ditunjukkan oleh Gabriel
dan Jones pada tahun 1960, dan juga ditunjukkan bahwa stimulasi kronis oleh refluks
asam menyebabkan perubahan keganasan pada mukosa laringofaring. Sejak
pertengahan tahun 80an, frekuensi refluks asam yang tinggi telah dilaporkan pada
pasien kanker laring yang tidak minum alcohol atau merokok tembakau, dan ini
menyebabkan peningkatan ketertarikan pada hubungan antara kanker laring dan
refluks asam. Dan juga, telah sangat diketahui bahwa gastroesophageal reflux (GER)
memainkan peran pada perkembangan kanker esophagus bawah, menunjukkan bahwa
laryngopharyngeal reflux (LPR) juga dapat berperan pada perkembangan kanker
laring. Tapi, masih terdapat kontroversi mengenai signifikansi dan peran LPR.
Oleh karena itu, kita melakukan penelitian ini untuk mengkorfimasi
signifikansi LPR sebagai faktor etiolgi kanker laring dengan mengukur frekuensi dan
keparahan LPR dengan monitoring pH double probe 24 jam pada pasien dengan
kanker laring dan kelompok kontrol.
BAHAN DAN METODE
Dari bulan April tahun 2003 sampai Agustus 2006, kita meneliti 29 pasien
kanker laring yang menjalani monitoring pH double probe 24 jam. Kita
mengikutsertakan semua pasien kanker laring yang tidak menjalani monitoring pH.
Semua dari kelompok kanker laring baru didiagnosa dan tidak mendapatkan
perawatan sebelumnya. Informed consent diperoleh dari setiap pasien, dan
Institutional Review Board of Hanyang university Hospital menyetujui protokol
penelitian.
Semua kanker laring adalah karsinoma sel skuamosa. Usia rata-rata
kelompok kanker laring adalah 62,0±9,45, dan terdapat 27 laki-laki (93,1%) dan 2
perempuan (6,9%). Tempat kanker laring adalah glottis pada 24 kasus (82,8%0 dan
supraglottis pada 5 kasus (17,2%).
Kelompok kontrol mencakup 300 pasien yang menjalani monitoring pH
double probe 24 jam akibat gejala yang berhubungan dengan LPR seperti batuk
kronis, sensasi globus, serak dan membersihkan tenggorokan selama periode yang
sama. Kelompok kontrol tidak menunjukkan temuan spesifik lesi prakanker seperti
leukoplakia atau tumor ganas laring atau faring. Usia rata-rata kelompok kontrol
adalah 47,7±12,20, dan terdapat 129 laki-laki (43,0%) dan 171 perempuan (57,0%).
Dua puluh empat jam monitoring pH double probe dilakukan untuk mengevaluasi
LPR. Dibawah endoskopi laringofaring, kita memasukkan kateter Zinetics 24 double-
probe secara transnasal, dan menempatkan probe atas sedikit diatas otot
cricopharyngeus, dan probe bawah 15 cm dibawah probe atas. Semua temuan dicatat
selama 24 jam menggunakan Digittraper pH recorder (Medtronic Inc., Shoreview,
MN, UA). Analisa dilakukan menggunakan Polygram 98 Diagnostic Workstation
(versi 2,2,02558).
Kejadian LPR didefinisikan sebagai penurunan tiba-tiba pada pH dibawah 4
pada probe atas, dengan disertai atau didahului penurunan pH dibawah 4 pada probe
bawah, kecuali pada saat makan makanan. LPR patologis didefinisikan bila lebih dari
tiga episode LPR yang terjadi.
Kita menganalisa apakah terdapat atau tidak perbedaan antara kelompok
pada frekuensi LPR patologis dan pada parameter yang diukur selama monitoring pH
double-probe 24 jam, mencakup episode total refluks, waktu persen dimana pH jatuh
dibawah 4 pada posisi telentang, berdiri tegak , dan posisi total, dan DeMeester
Score. DeMeester Score ditentukan dengan menghitung nilai enam komponen yang
diukur: 1) waktu persen total pH kurang dari 4,0, 2) waktu persen pH kurang dari 4,0
pada posisi berdiri tegak, 3) waktu persen pH kurang dari 4,0 pada posisi terlentang,
4) jumlah total episode refluks, 5) jumlah total episode refluks lebih dari 5 menit, dan
6) durasi episode refluks terpanjang. Skor secara otomatis dihitung dan dilaporkan
dengan program software Poligram 98 Diagnostic Workstation (ver 2.2.0.2258).
SPSS ver.12,0 (SPSS Inc., Chicago IL, USA) digunakan untuk analisa
statistic, Pearson’s chi-square tes digunakan untuk perbandingan frekuensi LPR dan
metode one-way ANOVA digunakan untuk perbandingan parameter yang diukur
selama monitoring pH double probe 24 jam. Model multivariable logistic regression
digunakan untuk menyesuaikan dengan usia, jenis kelamin dan faktor resiko yang
telah diketahui seperti merokok tembakau dan konsumsi alkkohol. P<0,05 dianggap
signifikan.
HASIL
Kelompok kanker laring menunjukkan frekuensi LPR patologis yang lebih
tinggi (86,2%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (703%, P=0.049) (Tabel 1).
Diantara 29 kasus kanker laring, terdapat 15 kasus (51,7%) pada tahap I, 9
kasus (31,0%) pada tahap II, 2 kasus (6,9%) pada tahap III, dan 3 (10,4%) kasus pada
tahap IV. Tidak terdapat korelasi statistic antara frekuensi LPR patologis dan tahap
penyakit.
Jumlah rata-rata episode total LPR yang ditemukan pada kelompok kanker
laring adalah 10,86±8,57, dimana secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
5,37±5,42 pada kelompok kontrol (P<0,001). Dari probe atas, tidak terdapat
perbedaan signfiikan yang ditemukan antara dua kelompok untuk waktu persen untuk
pH yang jatuh dibawah 4 pada posisi telentang, berdiri tegak, dan posisi total dan
DeMeester Score (Tabel2).
Untuk menghilangkan pengaruh merokok dan konsumsi alcohol pada
evaluasi LPR dan resiko kanker laring, kita melakukan uji multivariable logistic
regression untuk penyesuaian merokok dan konsumsi alcohol. Perokok secara
signfikan lebih tinggi pada kelompok kanker laring (26/29, 89,7%) daripada
kelompok kontrol (137/300, 45,6%; P<0,001). Peminum alkohol adalah 17/29
(58,2%) pada kelompok kanker laring dan 142/300 (47,3%) pada kelompok kontrol.
Peminum alcohol tidak berbeda jauh antara dua kelompok (P=0,224). Odds ratio dan
95% confidence interval LPR patologis, merokok dan meminum alcohol adalah 2,77
(95% confidence interval (CI), 0,57 hingga 13,40), 6,86 (95% CI, 1,79 hingga 26,29)
dan 1,12 (95% CI, 0,71 hingga 1,85) berturut-turut (Tabel 3). Analisa menunjukkan
bahwa hanya perokok tembakau yang secara signfiikan berhubungan dengan resiko
kanker laring (P=0,005). Efek LPR patologis pada resiko kanker laring hilang setelah
regresi logistic multivariable.
PEMBAHASAN
LPR merupakan penyakit dimana aliran balik isi lambung melalui sphincter
esophagus menyebabkan gejala laringofaring seperti rasa sakit tenggorokan batuk,
serak, dan sensasi globus. Ini ditemukan pada 10-30% dari semua pasien yang
mengunjungi klinik otolaringngologi, dan lebih dari separuh pasien memiliki masalah
suara atau gangguan laring yaitu dalam beberapa hal, berhubungan dengan LPR. LPR
menyebabkan sejumlah gangguan laring kronis seperti contact granuloma dan ulser,
laryngitis kronis, subglottic stenosis, polip vocal, spasme laring, dysphonia dan pada
scenario kasus yang terburuk, kanker laring.
Teori yang sebagian besar didukung untuk peran penyebab antara LPR dan
kanker laring adalah bahwa stimulasi kimia kronis dan berulang refluks asam
lambung menyebabkan kerusakan dan perubahan mukosa lambung. Teori ini
khususnya didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa mukosa laring adalah
jauh lebih rentan untuk asam lambung daripada mukosa esophagus. Kanker laring
pada umumnya berkembang di bagian anterior vocal cord dan jarang pada bagian
posterior laring, dimana anhidrase karbonik dihasilkan dan menetralisir asam, oleh
karena itu melindungi bagian posterior laring dari asam lambung. Sebagai hasilnya,
bagian anterior laring relative rentan terhadap kanker laring karena tidak terlindungi
dari asam lambung. Ini merupakan bukti tidak langsung bahwa asam lambung
menyebabkan kanker laring. Hal ini juga diketahui bahwa empedu, dimana termasuk
dalam isi lambung, pengeluaran COX-2 yang berlebiihan, dimana dapat
menyebabkan kanker esophagus. Ini menunjukkan bahwa hal tersebut juga berperan
untuk perkembangan kanker laring. Teori ini juga didukung oleh artikel yang
melaporkan bahwa pasien achlorhydric yang menjalani gastrektomi total mempunyai
insidensi kanker laring yang lebih tinggi daripada pasien dengan gangguan
pencernaan sederhana.
Terdapat penelitian yang berkembang saat ini untuk mengetahui apakah
berhubungan atau tidak refluks asam lambung dengan kanker laring, tapi peran yang
tepat refluks asam lambung pada perkembangan kanker laring masih tidak diketahui.
Salah satu penelitian menunjukkan korelasi antara GER dan kanker laring
berdasarkan penelitian 5 kasus, dan terdapat laporan kasus bukan perokok dengan
granuloma yang berkembanga menjadi kanker laring, dimana didukung kemungkinan
bahwa LPR memiliki peran pada perkembangan kanker laring. Untuk mengevaluasi
hubungan antara LPR dan GER dengan kanker laring,, tingkat prevalensi pada pasien
kanker laring dan pada kelompok kontrol perlu dibandingkan. Tapi, perbedaan pada
tingkat prevalensi antara LPR dan GER pada kanker laring adalah signifikan pada
peneltiian tertentu tapi tidak pada penelitian yang lain. Beberapa peneltiian
melaporkan bahwa GER terjadi pada 25-67% pasien kanker laring dan insidensinya
lebih tinggi pada kelompok kanker laring dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Cooper dkk., melaporkan tingkat kejadian LPR 62% dan 67% tingkat kejadian GER
patologis pada pasien kanker laring dan faring. Ozlugedik dkk., melaporkan 62%
tingkat kejadian LPR dan 45% tingkat kejadian GER patologis pada pasien kanker
laring, walaupun tidak terdapat perbedaan signifikan bila dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Pada penelitian ini, insidensi LPR patologis adalah 86,2% pada
kelompok kanker laring, dimana jauh lebih tinggi daripada pada kelompok kontrol
(70,3% ; P = 0,049). Dan juga, jumlah total episode refluks yang tercatat pada probe
atas pada kelompok kanker laring adalah 10,86, dimana dua kali lebih tinggi daripada
pada kelompok kontrol (P<0,001). Pada penelitian ini, frekuensi LPR pada kelompok
pasien dan kelompok kontrol relative lebih tinggi dibandingkan dengan pada
penelitian sebelumnya dimana sensitivitas alat dan perbedaan pada kriteria digunakan
dalam perhitungan.
Kriteria untuk LPR patologi belum ditetapkan, walaupun Ozlugedick dkk.,
mendefinisikan LPR patologis sebagai mempunyai hanya satu episode refluks pada
probe atas dan Cooper dkk., mendefinisikan LPR patologi bila presentase waktu
dimana pH jatuh dibawah 4 adalah lebih dari 0,1% dari waktu total, dan atau lebih
dari 0,2% dari waktu pada posisi berdiri tegak, dan atau lebih dari 0% dari waktu
pada posisi telentang. Pada penelitian ini, kita menggunakan kriteria terbatas untuk
mendefinisikan LPR patolgois karena lebih dari 3 episode refluks dalam 24 jam
seperti peneltiian sebelumnya sehingga kita dapat mengevaluasi peran tepatnya dalam
perkembangan kanker laring.
Kita dapat mengkonfirmasi bahwa frekuensi dan derajat LPR patologis
adalah jauh lebih parah pada kelompok kanker laring dariada pada kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil tersebut, dapat menunjukkan bahwa LPR patologis dapat berperan
pada perkembangan kanker laring. Tapi efek patologis LPR pada resiko kanker laring
hilang setelah penyesuaian untuk merokok dan konsumsi alcohol pada regresi logistic
multivariable. Analisa menunjukkan bahwa hanya merokok tembakau yang secara
signifikan berhubungan dengan resiko kanker laring dan efek LPR patologis hilang.
Oleh karena itu, hal ini jelas bahwa LPR patologis merupakan faktor penyebab nyata
atau pengacau pada perkembangan kanker laring. Untuk mengatasi keterbatasan
penelitian ini, penelitian lebih lanjut dengan ukuran sampel yang lebih besar
diperlukan untuk membandingkan dengan kelompok kontrol normal yang tidak
mempunyai gejala LPR.
Untuk mengevaluasi peran tepat LPR pada perkemabangan kanker laring,
individu normal dengan tanpa tanda gejala laring dapat dipilih untuk kelompok
kontrol. Tapi, melakukan monitoring pH double probe 24 jam pada individu normal
dengan tanpa gejala laring adalah sangat sulit. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Bacciu dkk., berdasarkan pasien kanker laring dengan tanpa riwayat merokok atau
minum alcohol dan kelompok kontrol normal terdiri dari individu dengan tanpa
temuan laring abnormal, GER tercatat pada 27,75 pada kelompok kanker laring dan
4,8% pada kelompok kontrol. Pada penelitian kita, kelompok kontrol terdiri dari
pasien dengan gejala yang berhubungan dengan LPR pada pasien yang mengeluhkan
gejala LPR adalah lebih tinggi daripada mereka pada kelompok kontrol normal. Oleh
karena itu, kita percaya bahwa jika kejadian LPR sangat lebih tinggi pada kelompok
kanker laring daripada kelompok kontrol dengan gejala yang berhubungan dengan
LPR, hasil akan secara signifikan lebih tinggi bila membandingkan pasien kanker
laring dengan kelompok kontrol individu normal.
Kesimpulannya, prevalensi dan keparahan LPR secara signifikan lebih tinggi
pada pasien kanker laring daripada pada kelompok kontrol dengan gejala yang
berhubungan dengan LPR. Oleh karena itu, hasil kita mendukung bahwa LPR
patologis dapat menjadi kemungkinan faktor resiko pada perkembangna kanker laring
walaupun efek LPR patologis pada resiko kanker laring tidak tampak setelah
penyesuaian untuk merokok dan konsumsi alcohol. Penelitian lebih lanjut dengan
ukuran sampel yang lebih besar harus diperlukan untuk menjelaskan peran LPR yang
tepat sebagai faktor resiko pada kanker laring.