Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
Perbandingan Pola Spasial Hujan Ekstrem berdasarkan Metode Fix Threshold dan Metode Site Specific Threshold di Kabupaten Kebumen
Azzahra1, Sobirin2, dan Astrid Damayanti3
1Mahasiswi Departemen Geografi. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia
2,3Dosen Departemen Geografi. Fakultas MIPA, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Kabupaten Kebumen merupakan kabupaten dengan curah hujan tinggi dan berpotensi sering mengalami kejadian hujan ekstrem. Frekuensi kejadian hujan ekstrem dihitung dari data 31 stasiun penakar curah hujan selama periode 1981-2015. Untuk melihat pola spasial frekuensi hujan ekstrem di Kabupaten Kebumen digunakan Metode Fix Threshold (MFT) dan Metode Site Specific Threshold (MSST). Perbandingan kedua metode tersebut bertujuan mengetahui metode terbaik untuk memprediksi hujan ekstrem yang memicu kejadian longsor. Pola spasial dianalisis berdasarkan wilayah ketinggian dan jarak dari garis pantai, kemudian divalidasi dengan wilayah kejadian longsor. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa MFT merupakan metode terbaik dalam menggambarkan kejadian hujan ekstrem di Kabupaten Kebumen. Kejadian hujan ekstrem sebesar 50 mm sudah cukup untuk memicu terjadinya longsor di Kabupaten Kebumen.
Spatial Pattern Comparison of Extreme Rainfall Based on Fix Threshold Method and Site Specific Threshold Method in Kebumen Regency
Abstract
Kebumen Regency is attributed with high rainfall rate that cause high potential to extreme rainfall events. The frequency of extreme rainfall events calculated from 31 rain stations during the 1981-2015 period. The Fix Threshold Method (FTM) and Site Specific Threshold Method (SSTM) are used to see the spatial pattern of frequency of extreme rainfall in Kebumen Regency. Comparison between the two methods aims to predict and minimize of the landslide event which triggered by extreme rainfall. Spatial pattern has been analyzed based on region altitude and distance from the coastline, and validated by landslide occurances. The result showed that FTM is the best method to describe extreme rainfall event in Kebumen Regency. Extreme rainfall event around 50 mm is enough to trigger landslide in Kebumen Regency. Keywords: extreme rainfall frequency, fix threshold method, site specific threshold method, region of landslide occurance, Kebumen Regency. Pendahuluan
Isu perubahan iklim merupakan tantangan multidimensi paling kompleks yang dihadapi
umat manusia selama dekade terakhir. IPCC pada tahun 2007 telah menyatakan bahwa
aktivitas perubahan iklim telah mempengaruhi kelangsungan dinamika atmosfer di seluruh
wilayah dunia (IPCC, 2007 : 30). Perubahan iklim di Indonesia khususnya di Pulau Jawa dan
Bali ditandai dengan adanya pergeseran musim. Pola pergeseran ini akan terus berlanjut
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
2
hingga di masa yang akan datang. Musim hujan akan berlangsung lebih pendek dengan
intensitas yang sama, dengan kata lain kecenderungan hujan ekstremnya akan semakin
meningkat (gambar 1).
Gambar 1 – Prediksi Pola Hujan di Jawa dan Bali di masa yang akan datang (Sumber: Naylor et al, 2007 dalam UNDP, 2007 : 6)
Perubahan iklim global meningkatkan kejadian ekstrem, salah satunya yaitu kejadian
curah hujan ekstrem (Frich, et al., 2002 : 193). Curah hujan merupakan unsur iklim yang
paling sering diamati di Indonesia,dikarenakan letak Indonesia yang berada di wilayah tropis
yang mengakibatkan variasi curah hujan antar musim yang satu dengan yang lain tinggi
(Sandy, 1996 : 3&29). Hujan ekstrem adalah kondisi curah hujan kumulatif 24 jam di suatu
wilayah yang telah melebihi ambang batas tertentu (Fakhrudin & Handoko, 2010 : 387).
Kejadian hujan ekstrem sering kali memicu bencana alam seperti tanah longsor. Bencana
longsor dipicu oleh adanya curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan tanah di daerah yang
miring tersebut jenuh air dan berakibat longsor (Triutomo, 2004 : 8). Bencana longsor
sifatnya merusak dan membahayakan kehidupan manusia serta dapat menimbulkan kerugian
yang signifikan. Untuk itu, kajian mengenai hujan ekstrem dinilai sangat penting agar
manusia dapat mengantisipasi dan mengelola dampak yang mungkin akan ditimbulkan dari
kejadian hujan ekstrem.
Kabupaten Kebumen merupakan kabupaten yang memiliki jumlah kejadian longsor yang
cukup tinggi tiap tahunnya yang terjadi di musim hujan. Hal ini berkaitan dengan kondisi
curah hujan di kabupaten ini yang mengalami peningkatan hingga beberapa tahun terakhir dan
menyebabkan terjadinya hujan ekstrem. Kejadian hujan ekstrem di Kabupaten Kebumen
didukung oleh keberagaman topografi wilayahnya yang mencirikan adanya proses-proses
hujan konvektif dan orografik. Pergerakan angin diatas lereng yang menghadap dan
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
3
membelakangi arah datangnya angin juga memiliki peranan yang penting untuk melihat
proses-proses klimatologi yang mendukung terjadinya hujan ekstrem di Kabupaten Kebumen.
Adanya laut yang menjadi sumber penguapan juga mempengaruhi kejadian hujan ekstrem
sehingga wilayah yang jaraknya dekat dari garis pantai akan memiliki intensitas hujan yang
tinggi.
Terdapat dua metode untuk menentukan kejadian hujan ekstrem, yaitu metode fix
threshold (MFT) dan metode site specific threshold (MSST). MFT dipilih karena sesuai
dengan kriteria yang dikembangkan BMKG dengan ambang batas hujan ekstrem sebesar ≥50
mm yang diterapkan di seluruh wilayah, sedangkan MSST dipilih karena lebih detail dalam
menganalisis kejadian hujan ekstrem di masing-masing stasiun penakar curah hujan yang
menghasilkan besaran ambang batas yang berbeda-beda. Melalui dua metode ini akan dilihat
bagaimana pola spasial hujan ekstrem di Kabupaten Kebumen dari tahun 1981-2015, serta
bagaimana perbedaan pola spasial hujan ekstrem berdasarkan kedua metode tersebut dan
kaitannya dengan kejadian longsor pada tahun 2011-2015. Melalui penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan acuan mengenai kejadian hujan ekstrem di masa yang akan datang.
Metodologi
Penelitian ini menganalisis perbedaan pola spasial hujan ekstrem di Kabupaten Kebumen
dengan menggunakan MFT dan MSST. Variabel utama yang digunakan adalah curah hujan
harian di 31 titik stasiun penakar curah hujan di Kabupaten Kebumen tahun 1980-2015. Data
curah hujan diolah dengan MFT dan MSST untuk mendapatkan frekuensi hujan ekstrem.
Hasil frekuensi hujan ekstrem dari dua metode tersebut akan diklasifikasi dan dilakukan
interpolasi menggunakan teknik spline yang akan menghasilkan pola hujan ekstrem. Pola
hujan ekstrem yang dihasilkan akan dibuat penampang melintang dengan wilayah ketinggian
dan jarak dari garis pantai untuk melihat bagaimana pola spasial hujan ekstremnya. Hasil pola
spasial hujan ekstrem dari kedua metode akan dibandingkan untuk melihat bagaimana
perbandingan pola spasial hujan ekstrem di Kabupaten Kebumen tahun 1980-2015
menggunakan MFT dan MSST. Setelah dianalisis secara spasial, kejadian hujan ekstrem akan
divalidasi menggunakan data kejadian longsor, untuk mengetahui metode penentuan ambang
batas hujan ekstrem mana yang lebih sesuai untuk digunakan dalam hal kaitannya dengan
kejadian longsor. Validasi ini akan memperkuat analisis dalam penentuan metode terpilih.
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
4
Pengolahan data spasial dilakukan menggunakan software ArcGIS 10.1.Pengolahan data
tabular dan statistik dilakukan menggunakan software Microsoft Excel dan EasyFit. Tahapan
pengolahan datanya adalah sebagai berikut:
1. Pengisian data curah hujan yang kosong menggunakan metode reciprocal method
(Triatmodjo : 41). Rumus perhitungan data hujan yang hilang:
Px : Data hujan yang hilang di stasiun X
Pi : Data hujan di stasiun sekitarnya pada periode yang sama
Li : Jarak antar stasiun
2. Penghitungan frekuensi hari hujan tahunan MFT, yaitu curah hujan ≥50 mm per hari.
3. Pengolahan data curah hujan harian menggunakan software EasyFit untuk mendapatkan
nilai bentuk (k), skala (σ), dan lokasi (µ) dari masing-masing stasiun penakar curah hujan.
Nilai k, σ, dan µ selanjutnya dimasukkan ke dalam rumus untuk menentukan threshold
MSST (Coles, 2001 dalam Supari, 2012 : 36) untuk dihitung frekuensi hari hujan tahunan
yang melebihi nilai threshold. Rumus perhitungan nilai threshold:
X : Nilai threshold
T : Periode pengulangan hujan ekstrem (25 tahun)
k, σ, µ : nilai bentuk, skala, dan lokasi
4. Perhitungan jumlah kejadian longsor dilakukan dengan mengurutkan data berdasarkan
tanggal kejadian, dan dibagi berdasarkan desa dan kecamatannya.
Gambaran Umum Daerah Penelitian
Kabupaten Kebumen merupakan kabupaten yang terletak di bagian selatan Provinsi Jawa
Tengah. Secara geografis Kabupaten Kebumen terletak diantara 109o 22’ – 109o 50’ Bujur
Timur dan 7o 27’ – 7o 50’ Lintang Selatan. Kabupaten Kebumen berbatasan langsung dengan
Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara di sebelah utara, Kabupaten Purworejo di
sebelah timur, Samudera Hindia di sebelah selatan, dan Kabupaten Cilacap dan Kabupaten
Banyumas di sebelah barat. Kabupaten Kebumen memiliki luas wilayah sebesar 132.981
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
5
hektar atau sebesar 1.329,81 km² (BPS Kabupaten Kebumen, 2015 : 3). Secara administratif
Kabupaten Kebumen terdiri atas 26 kecamatan, 11 kelurahan dan 448 desa.
Topografi Kabupaten Kebumen terbagi menjadi tiga wilayah topografi, yaitu wilayah
pantai (pesisir) sebelah selatan, wilayah dataran rendah, dan wilayah perbukitan dan
pegunungan di sebelah utara. Kabupaten Kebumen memiliki 35 stasiun penakar curah hujan
yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten, namun hanya 31 stasiun yang dapat berfungsi
dengan baik. Berdasarkan ketinggian dan persebaran stasiun penakar curah hujannya,
keseluruhannya dapat mewakili karakteristik wilayah Kabupaten Kebumen yang memiliki
variasi topografi yang beragam (gambar 2).
Gambar 2. Peta Persebaran Stasiun Penakar Curah Hujan Berdasarkan Ketinggian Kabupaten Kebumen
Secara klimatologis, pola hujan di Kabupaten Kebumen termasuk ke dalam pola monson,
dengan puncak musim hujan umumnya terjadi di Bulan Januari. Pada periode Bulan
November-Januari curah hujan di Kabupaten Kebumen relatif tinggi yang kemudian disebut
sebagai periode musim hujan. Sebaliknya, pada periode Bulan Juni-Agustus curah hujan
relatif rendah yang kemudian disebut sebagai periode musim kemarau. Sementara enam bulan
lainnya yaitu Bulan Maret-Mei dan September-November merupakan periode peralihan (tiga
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
6
bulan peralihan musim hujan ke musim kemarau dan tiga bulan peralihan musim kemarau ke
musim hujan).Dalam kurun waktu 35 tahun terakhir, selama 10 tahun Kabupaten Kebumen
memiliki jumlah curah hujan tahunan yang tinggi yaitu >3.000 mm/tahun. Rata-rata curah
hujan tertinggi selama 35 tahun terjadi pada tahun 1984, yaitu mencapai angka 4.000
mm/tahun. Sebaliknya, rata-rata curah hujan terendah terjadi pada tahun 1997, yaitu sebesar
1.025 mm/tahun. Hujan ekstrem juga kerap melanda wilayah ini, sehingga wilayah ini
menjadi salah satu potensi kejadian longsor yang tinggi.
Kabupaten Kebumen merupakan salah satu wilayah yang rawan kejadian longsor. Dari 26
kecamatan yang ada, 16 kecamatan diantaranya merupakan daerah rawan longsor (BPBD
Kab. Kebumen, 2015 : 3). Hal ini dikarenakan keberadaan faktor pedologi Kabupaten
Kebumen yang didominasi oleh tanah latosol dan tanah kapur yang memiliki kerentanan
tinggi terhadap fenomena bencana longsor.
Hasil dan Pembahasan A. Distribusi Curah Hujan dan Hari Hujan di Kabupaten Kebumen
Secara klimatologis, pola hujan di Kabupaten Kebumen termasuk ke dalam pola monson
yang dicirikan dengan satu puncak musim hujan (unimodal), dan wilayah Kabupaten
Kebumen termasuk wilayah iklim pesisir barat daya. Dari grafik distribusi jumlah hujan
bulanan (gambar 3) diketahui bahwa puncak musim hujan umumnya terjadi di Bulan
November dengan rata-rata jumlah curah hujan sebesar 383 mm, sedangkan puncak musim
kemarau terjadi pada Bulan Agustus dengan rata-rata jumlah curah hujan sebesar 36 mm.
Secara temporal dapat dikatakan bahwa Kabupaten Kebumen memiliki kecenderungan
terjadinya fenomena hujan ekstrem pada Bulan November-Maret. Jumlah curah hujan dan
hari hujan pada bulan-bulan tersebut cukup tinggi dibanding dengan bulan lainnya.
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
7
Gambar 3. Grafik Distribusi Jumlah (kiri) dan Hari Hujan Bulanan (kanan) Kabupaten Kebumen Tahun 1981-2015
Jumlah curah hujan tahunan rata-rata selama 35 tahun terakhir di masing-masing wilayah
kecamatan di Kabupaten Kebumen berkisar ≤3.500 mm/tahun. Distribusi spasial jumlah curah
hujan tahunannya yaitu: (1) ≤1.500 mm/tahun terdistribusi di sebagian kecil wilayah di timur
Kabupaten; (2) 1.500-2.500 mm/tahun terdistribusi di bagian selatan hingga ke utara Kabupaten; (3)
2.500-3.000 mm/tahun terdistribusi di bagian tengah hingga ke utara, yang pada umumnya relief datar
dan perbukitan; (4) >3.000 mm/tahun berada di wilayah bagian utara dengan topografi pegunungan. Dari distrubusi spasial ini menunjukkan bahwa semakin ke arah utara menuju wilayah
perbukitan dan semakin jauh jaraknya dari garis pantai maka jumlah curah hujan cenderung
akan meningkat (gambar 4).
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
8
Gambar 4. Peta Distribusi Jumlah Curah Hujan Tahun 1981-2015 B. Perbandingan Pola Spasial Hujan Ekstrem Berdasarkan MFT dan MSST
Fenomena hujan ekstrem di Kabupaten Kebumen pada tahun 1981-2015 ditinjau dengan
menggunakan MFTdan MSST menghasilkan hasil berupa frekuensi hari hujan yang melebihi
ambang batas tiap metode. Pada MFT ambang batas yang diterapkan di seluruh titik adalah
sama, yaitu sebesar 50 mm. Pada MSST ambang batas yang digunakan berbeda di tiap titik
stasiun penakar curah hujan, besarannya berkisar antara 55-97 mm, dengan rata-rata ambang
batasnya di Kabupaten Kebumen adalah sebesar 72 mm. Nilai ambang batas ini dipengaruhi
oleh faktor lokasi yang memiliki karakteristik fisik berbeda satu sama lain. Semakin tinggi
dan semakin jauh jaraknya dari garis pantai, maka nilai ambang batasnya cenderung semakin
tinggi pula. Selisih nilai ambang batas antara MFT dan MSST cenderung akan semakin besar
di stasiun yang semakin tinggi dan semakin jauh jaraknya dari garis pantai (gambar 5).
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
9
0
50
100
150
200
250
300
350
400
Prem
bun
Ters
obo
Kuw
aras
anK
aran
gany
arPu
ring
Gom
bong
Adi
mul
yoR
ante
wrin
gin
Klo
posa
wit
Row
okel
eK
liron
gPo
dour
ipK
utow
inan
gun
Peta
naha
nM
erde
nR
owok
awuk
Kre
tek
Aya
hK
ebum
enPe
suce
nB
edeg
olan
Rem
bes
Alia
nK
alig
endi
ngK
edun
gwrin
gin
Ked
ungs
amak
Kar
angg
ayam
Sika
yuSa
mpa
ngSo
mag
ede
Kar
angs
ambu
ng
Perbandingan Ambang Batas Hujan Ekstrem MFT dan MSST berdasarkan Wilayah Ketinggian
Ketinggian (mdpl)
Ambang Batas Metode FT(mm/hari)
Ambang Batas Metode SST(mm/hari)
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 4 4 4 5 8 8 10 11 11 11 12 12 13 13 14 14 15 16 17 17 17 18 19 20 21 21 23 25 27 28
Perbandingan Ambang Batas Hujan Ekstrem MFT dan MSST berdasarkan Jarak dari Garis Pantai
Ambang Batas Metode FT (mm/hari)
Ambang Batas Metode SST (mm/hari)
Gambar 5. Grafik Perbandingan Ambang Batas MFT dan MSST Berdasarkan (a) Ketinggian dan (b) Jarak dari
Garis Pantai
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
10
Gambar 6. Grafik Perbandingan Frekuensi MFT dan MSST Berdasarkan (a) Ketinggian dan (b) Jarak dari Garis
Pantai
Frekuensi kejadian hujan ekstrem yang didapatkan kemudian diinterpolasi spline dan
diklasifikasi kedalam empat klasifikasi untuk mendapatkan pola frekuensi hujan ekstrem
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
11
(gambar 8). Klasifikasi untuk frekuensi MFT yaitu klasifikasi rendah (<10), sedang (10-15),
tinggi (16-20), dan sangat tinggi (>20); dan untuk frekuensi MSST diklasifikasikan menjadi
klasifikasi rendah (<4), sedang (4-5), tinggi (6-7), dan sangat tinggi (>7). Pada grafik MFT
menunjukkan bahwa semakin tinggi titik stasiun penakar curah hujan dan semakin jauh
jaraknya dari garis pantai maka jumlah frekuensi hujan ekstrem yang terjadi akan semakin
tinggi. Namun pada grafik MSST terjadi sebaliknya, semakin tinggi titik stasiun penakar
curah hujan dan semakin jauh jaraknya dari garis pantai, maka jumlah frekuensi hujan
ekstrem yang terjadi cenderung semakin kecil (gambar 6).
Kaitan antara pola spasial frekuensi hujan ekstrem dengan wilayah ketinggian dan jarak
dari garis pantai dilakukan dengan menarik garis lurus (garis AB) berdasarkan pola aliran
sungai terbesar di Kabupaten Kebumen yaitu Sungai Luk Ulo (gambar 8). Penarikan garis AB
dilakukan berdasarkan pola aliran sungai karena untuk dapat merepresentasikan wilayah
ketinggian yang ada. Penarikan garis AB bertujuan untuk membuat penampang melintang
berdasarkan wilayah ketinggian, jarak dari garis pantai, dan frekuensi kejadian hujan ekstrem
MFT dan MSST (gambar 7).
Gambar 7. Penampang Melintang Ketinggian, Jarak dari Garis Pantai, dan Frekuensi Hujan Ekstrem MFT (atas) dan MSST (bawah)
Dari gambar 7 dapat diketahui hubungan antara ketinggian dengan frekuensi hujan
ekstrem yang dihitung menggunakan MFT dan MSST. Pada MFT semakin ke arah wilayah
perbukitan dan pegunungan frekuensi hujan ekstrem cenderung meningkat. Atau dapat
dikatakan bahwa ketinggian berbanding lurus dengan frekuensi kejadian hujan ekstrem MFT.
Ket
ingg
ian
(mdp
l)
Frek
uens
i MFT
Jarak dari Garis Pantai (km)
Ket
ingg
ian
(mdp
l)
Jarak dari Garis Pantai (km)
Frek
uens
i MSS
T
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
12
Indikasi yang dapat diambil dari hal tersebut adalah kejadian hujan ekstrem di Kabupaten
Kebumen lebih dipengaruhi oleh proses orografik dibanding proses konvektif, atau lebih
sering terjadi dalam bentuk fenomena hujan relief atau hujan pada wilayah pegunungan.
Namun sebaliknya, pada MSST semakin ke arah wilayah perbukitan dan pegunungan
frekuensi hujan ekstrem cenderung menurun. Atau dapat dikatakan bahwa ketinggian
berbanding terbalik dengan frekuensi kejadian hujan ekstrem MSST.
Dari gambar 7 dapat diketahui pula hubungan antara jarak dari garis pantai dengan
frekuensi kejadian hujan ekstrem MFT. Polanya yaitu semakin ke arah utara menjauhi garis
pantai frekuensi hujan ekstrem cenderung meningkat. Dapat dikatakan bahwa jarak dari garis
pantai berbanding lurus dengan frekuensi kejadian hujan ekstrem MFT.Hal ini dikarenakan
keberadaan angin yang berhembus diatas wilayah Kabupaten Kebumen. Angin yang
berhembus diatas Kabupaten Kebumen mengarah ke barat laut dan ke utara, oleh karena itu
hujan yang seharusnya meningkat di daerah pesisir terbawa angin menuju ke arah barat laut
dan utara yaitu ke wilayah perbukitan dan pegunungan. Dengan demikian, proses hujan
konvektif hanya sampai pada jarak ±27 km dari garis pantai. Semakin jauh dari jarak tersebut,
proses hujan yang lebih dominan terjadi adalah proses orografik.
Pada MSST terjadi sebaliknya, semakin ke arah utara menjauhi garis pantai frekuensi
hujan ekstrem cenderung semakin berkurang. Atau dapat dikatakan bahwa jarak dari garis
pantai berbanding terbalik dengan frekuensi kejadian hujan ekstrem.Berdasarkan kaitan antara
frekuensi hujan ekstrem MSST dengan ketinggian dan jarak dari garis pantai diketahui bahwa
hubungan antara keduanya merupakan hubungan yang berbanding terbalik. Hal ini dapat
dijelaskan melalui teori proses hujan front. Peristiwa yang terjadi di Kabupaten Kebumen
berdasarkan MSST adalah terjadinya hujan front dan hujan konvektif di wilayah dataran
rendah yang berada dekat pantai. Gabungan antara kedua proses hujan tersebut lebih tinggi
peranannya dalam fenomena hujan ekstrem di wilayah pesisir hingga dataran rendah. Namun
di wilayah perbukitan dan pegunungan, hujan ekstrem tetap terjadi tetapi frekuensinya
menurun, dikarenakan proses hujan yang terjadi hanya proses hujan orografik.
Sehubungan dengan angin, arah hadapan lereng juga mempengaruhi banyak sedikitnya
jumlah hujan yang jatuh diatas wilayah tersebut. Lereng yang arahnya menghadap ke arah
datangnya angin pembawa hujan akan memperoleh hujan lebih banyak dibanding lereng yang
menghadap ke arah yang berlawanan (Sandy, 1987 : 29). Hubungan antara frekuensi hujan
ekstrem MFT dengan arah hadapan lereng dilihat dari hasil proses overlay antara arah
hadapan lereng dengan frekuensi hujan ekstrem MFT. Berdasarkan arah angin yang
berhembus diatas Kabupaten Kebumen, lereng yang menghadap ke arah Tenggara dan ke
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
13
Selatan akan memperoleh hujan yang lebih banyak jumlahnya dibanding lereng yang
menghadap arah lainnya. Dari gambar 8 diketahui bahwa pada jarak ±29-32 km dari garis
pantai wilayah ketinggiannya semakin rendah tetapi hujan ekstremnya meningkat, seharusnya
hal yang sebaliknya terjadi karena lereng tersebut berada di daerah bayangan hujan. Hal ini
disebabkan angin yang bergerak membawa uap air berasal dari arah barat laut dan utara
sehingga hujan akan jatuh lebih banyak jumlahnya pada daerah tersebut. Pola spasial
hubungan antara arah angin, arah hadapan lereng dan frekuensi hujan ekstrem MFT adalah
semakin ke tempat dimana arah hadapan lerengnya menghadap ke arah datangnya angin,
maka frekuensi hujan ekstrem berdasarkan MFT akan semakin tinggi pula.
Pola spasial frekuensi hujan ekstrem yang dihasilkan berdasarkan MFT dan MSST
kemudian dibandingkan. Kedua pola spasial ini dibandingkan berdasarkan karakteristik
wilayahnya, yaitu berdasarkan wilayah ketinggian, jarak dari garis pantai, dan arah hadapan
lereng. Perbandingan kedua pola spasial ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
karakteristik wilayah frekuensi hujan ekstrem yang memiliki persamaan dan perbedaan antara
kedua metode tersebut. Berdasarkan gambar 7, pola spasial frekuensi hujan ekstrem
berdasarkan MFT dan MSST cenderung sangat berbeda. Perbedaan dalam perbandingan pola
spasial hujan ekstrem berdasarkan MFT dan MSST terletak pada wilayah ketinggian 0-100
mdpl dan >250 mdpl, dan pola spasialnya memiliki kesamaan pada wilayah ketinggian antara
100-250 mdpl. Dilihat berdasarkan jarak dari garis pantainya, perbandingan pola spasial hujan
ekstrem berdasarkan kedua metode tersebut memiliki perbedaan pada jarak 0-18 km dan >27
km dari garis pantai, dan memiliki kesamaan pada jarak antara 18-27 km dari garis pantai.
Perbedaan pola spasial hujan ekstrem antara MFT dan MSST dapat dilihat pada frekuensi
hujan ekstrem yang saling berkebalikan.
C. Kaitan Frekuensi Hujan Ekstrem dengan Wilayah Longsor
Fenomena hujan ekstrem yang terjadi di Kabupaten Kebumen seringkali memicu kejadian
longsor. Selama 5 tahun terakhir terdapat 142 kejadian longsor di Kabupaten Kebumen yang
tersebar di Kecamatan Ayah, Buayan, Petanahan, Klirong, Buluspesantren, Prembun,
Padureso, Alian, Poncowarno, Pejagoan, Sruweng, Rowokele, Sempor, Karanganyar,
Karanggayam, Karangsambung, dan Sadang. Titik-titik kejadian longsor di Kabupaten
Kebumen di-overlay dengan pola spasial hujan ekstrem MFT dan MSST (gambar 8). Dari
gambar 8 diketahui bahwa pola spasial hujan ekstrem MFT semakin ke arah utara maka
frekuensinya semakin besar, diikuti dengan kejadian longsor yang semakin besar di bagian
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
14
utara. Berbeda sebaliknya dengan pola spasial frekuensi hujan ekstrem MSST dimana
semakin ke arah utara maka frekuensinya cenderung semakin rendah. Untuk memperkuat
hasil overlay, dilakukan uji statistik metode chi-squareantara frekuensi hujan ekstrem dengan
kejadian longsor. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara hujan
ekstrem MFT dengan kejadian longsor. Akan tetapi tidak ada hubungan antara hujan ekstrem
MSST dengan kejadian longsor.
Gambar 8. Pola Spasial Frekuensi Hujan Ekstrem MFT dan MSSTdengan Kejadian Longsor
Berdasarkan hasil validasi antara kejadian hujan ekstrem dan kejadian longsor yang
diperoleh melalui survei lapang, kejadian hujan ekstrem yang umumnya sebesar 50-60 mm
sudah dapat memicu kejadian longsor. Contohnya Gambar 9 (a) menunjukkan lokasi longsor
di Desa Kedungwaru, Kec. Prembun pada tanggal 18 Desember 2015, bersamaan dengan
kejadian hujan ekstrem sebesar 69 mm. Gambar 9 (b) lokasi longsor berada di Desa Totogan,
Kec. Karangsambung pada tanggal 14 Maret 2015 terjadi longsor yang bersamaan dengan
kejadian hujan ekstrem sebesar 55 mm. Gambar 9 (c) memperlihatkan lokasi longsor berada
di Desa Kalibangkang, Kec. Ayah pada tanggal 20 November 2015 terjadi longsor yang
dipicu hujan ekstrem sebesar 81 mm. Gambar 9 (d) lokasi longsor berada di Desa
Pengempon, Kec. Sruweng pada tangal 15 Desember 2015 terjadi longsor yang bersamaan
A A
B B
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
15
dengan kejadian hujan ekstrem sebesar 64 mm. Dengan demikian, ambang batas (threshold)
MSST rata-rata di Kabupaten Kebumen sebesar 72 mm, nilainya terlalu tinggi untuk dapat
memicu longsor di Kabupaten Kebumen.
(a) Desa Kedungwaru, Kec. Prembun (b) Desa Totogan, Kec. Karangsambung
(c) Desa Kalibangkang, Kec. Ayah (d) Desa Pengempon, Kec. Sruweng
Gambar 9. Dokumentasi Kejadian Longsor
Kesimpulan
Setiap metode penentuan hujan ekstrem menggunakan ambang batas yang berbeda-beda.
MFT menggunakan ambang batas 50 mm sebagai penentu kejadian hujan ekstrem di setiap
titik stasiun penakar curah hujan. MSST menggunakan ambang batas yang berbeda di masing-
masing stasiun penakar dengan besaran nilai antara 55-97 mm, dengan rata-rata nilai ambang
batas untuk Kabupaten Kebumen yaitu sebesar 72 mm. Frekuensi hujan ekstrem yang
dihasilkan berdasarkan MFT sebanyak 7-24 kejadian per tahun, sedangkan frekuensi
berdasarkan MSST adalah sebanyak 2-10 kejadian per tahun.
Pola spasial frekuensi hujan ekstrem berdasarkan MFT berbanding lurus dengan wilayah
ketinggian dan jarak dari garis pantai, serta berfrekuensi tinggi di lereng yang menghadap
arah datangnya angin. Polanya yaitu semakin ke arah utara dan menjauhi garis pantai,
frekuensinya akan semakin tinggi. Namun pola spasial frekuensi hujan ekstrem berdasarkan
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016
16
MSST terjadi sebaliknya. Perbedaan pola spasial antara kedua metode ini berada di wilayah
ketinggian <50 mdpl dan >100 mdpl, serta pada jarak <18 km dan >27 km dari garis pantai.
Hasil perbandingan menunjukkan bahwa pola spasial frekuensi berdasarkan MFT lebih tepat
untuk menggambarkan kejadian hujan ekstrem di Kabupaten Kebumen.
Perbandingan pola spasial hujan ekstrem berdasarkan MFT dan MSST dalam penelitian
ini bertujuan untuk memprediksi kejadian longsor yang dipicu oleh kejadian hujan ekstrem,
sehingga pemerintah dan masyarakat setempat dapat melakukan tindakan yang tepat untuk
meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari bencana longsor tersebut. Dalam kaitannya
dengan tanah longsor, pola spasial frekuensi hujan ekstrem yang dihasilkan dari perhitungan
MFT cenderung tinggi di wilayah yang kejadian longsornya tinggi pula. Polanya yaitu
semakin ke arah utara frekuensi hujan ekstrem akan semakin besar dan wilayah kejadian
longsor semakin tinggi di sebelah utara. Dengan demikian, hujan ekstrem yang nilainya
sebesar 50 mm sudah cukup untuk dapat memicu kejadian longsor di Kabupaten Kebumen.
Daftar Referensi BPBD Kab. Kebumen. (2015). Desa Rawan Longsor.
BPS Kabupaten Kebumen. (2015). Kebumen Dalam Angka 2015. Diambil kembali dari Badan Pusat Statitsik Kabupaten Kebumen: http://kebumenkab.bps.go.id/
Fakhrudin, M., & Handoko, U. (2010). Identifikasi Curah Hujan Untuk Antisipasi Perubahan Iklim Global: Studi Kasus DAS Di Jabodetabek. Prosiding Seminar Nasional Limnologi V (hal. 386-396). Pusat Penelitian Limnologi LIPI.
Frich, P., Alexander, L. V., Della-Marta, P., Gleason, B., Haylock, M., Tank, A. M., & Peterson, T. (2002). Observed Coherent Changes In Climatic Extremes. Climate Research 19 No. 3, 193-212.
IPCC. (2007). Synthesis Report. USA: Cambridge University Press.
Sandy. (1987). Iklim Regional Indonesia. Depok: Jurusan Geografi FMIPA Universitas Indonesia.
Supari. (2012). Spatiotemporal Charateristics Of Extreme Rainfall Events Over Java Island, Indonesia. Netherland: Tesis The Graduate School Gadjah Mada University and Faculty of Geo-Information Science and Earth Observation, University of Twente.
Triatmodjo, B. (t.thn.). Hidrologi Terapan. Beta Offset.
Triutomo, S. (2004). Kebijakan dan Manajemen Bencana di Indonesia, Khususnya Penanggulangan Bencana Longsor. Dalam S. P. Heru Sri Naryanto, Permasalahan, Kebijakan dan Penanggulangan Bencana Tanah Longsor di Indonesia (hal. 1 - 8). Jakarta: P3-TPSLK BPPT dan HSF.
Perbandingan Pola ..., Azzahra, FMIPA UI, 2016