17

Click here to load reader

Perbedaan Kecepatan Waktu Transpor

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tms

Citation preview

Page 1: Perbedaan Kecepatan Waktu Transpor

Perbedaan kecepatan waktu transpor mukosilia hidung pekerja pengolah batu gamping dibanding non-pekerja

Anton Budhi Darmawan, Rizki Aprilia, Qodri SantosaBagian Telinga Hidung Tengggorok Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan

Universitas Jenderal Soedirman/Rumah Sakit Dr. Margono SoekarjoPurwokerto - Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Sistem transpor mukosilia merupakan sebuah mekanisme

pertahanan yang penting dalam sistem pernapasan. Hal ini tergantung pada interaksi silia

dan mukus. Paparan debu di tempat keja, asap, zat iritan, polusi udara, kekeringan,

kelembaban yang tinggi, suhu udara yang ekstrim serta infeksi dapat menyebabkan

kerusakan sistem transpor mukosilia. Tujuan: Untuk menentukan perbedaan kecepatan

waktu transpor mukosilia hidung pada pekerja pengolah batu gamping dibanding non-

pekerja pengolah batu gamping. Metode: Penelitian yang dilakukan adalah penelitian

epidemiologi analitik non-eksperimental dengan rancangan cross sectional. Teknik

pengambilan sampel dengan quota sampling sebanyak 80 orang, yaitu 40 orang adalah para

pekerja pengolah batu gamping yang mengalami paparan debu aktif, sedangkan 40 orang

tidak mengalami paparan. Analisis data yang digunakan adalah uji Mann-Whitney. Hasil:

Terdapat perbedaan yang signifikan terhadap rerata waktu transpor mukosilia hidung antara

para pekerja batu gamping dibanding non-pekerja (568,05 detik vs 435,2 detik; p=0,003).

Kesimpulan: Terdapat perbedaan kecepatan waktu transpor mukosilia hidung antara

pekerja batu gamping dibanding non-pekerja.

Kata kunci: sistem transpor mukosilia, kecepatan transpor mukosilia, rinitis akibat kerja,

pengolahan batu gamping

ABSTRACT

Background: The mucocilliary transport system is an important defence mechanism

of the respiratory tract. It depends on the interaction between cilia and mucus. The

destructive agent such as dust exposurein working place, smoking, irritative agents, air

pollutant, drying, high humidity, an extreme air temperature and infection cause the

damage of the mucociliary transport system. Purpose: To determine the difference between

Laporan Penelitian

Page 2: Perbedaan Kecepatan Waktu Transpor

nasal mucociliary transport time at the limestone processing workers and non-limestone

processing workers. Methods: The study is observational, cross sectional study. It uses the

quota sampling method. Eighty respondents, of which 40 worked in limestone processing,

were actively exposed to dust, whereas 40 others were unexposed control respondents.

Mann-Whitney test was employed to analyze the data. Results: There was significantly

difference in average nasal mucociliary transport time between limestone processing

workers and the non-limestone processing workers respondents (568.05 seconds vs 435.2

seconds; p=0.003). Conclusion: There was nasal mucocilliary transport time

differenciation between limestone processing workers and non-limestone processing

workers.

Key words: mucociliary transport system, nasal mucociliary transport time, occupational

rhinitis, limestone processing

Alamat korespondensi: Anton Budhi Darmawan, Bagian THT FK Universitas Jenderal

Soedirman, Purwokerto. E-mail: [email protected]

PENDAHULUAN

Lingkungan kerja meliputi

lingkungan fisik, kimia, biologis dan

psikososial yang dapat menyebabkan

berbagai jenis penyakit akibat kerja

(PAK). Jenis pekerjaan atau beban

kerja dengan berbagai lingkungan

kerja dapat merupakan faktor risiko

terjadinya gangguan kesehatan.1

Studi epidemiologi mengenai

PAK masih terbatas, hal ini

disebabkan berbagai hal, seperti

definisi PAK yang belum jelas,

praktik higiene industri dan cara-cara

laporan yang berbeda, tidak ada studi

kontrol, sulit menentukan gejala

minimal serta banyak karyawan yang

tidak melapor. Hal tersebut terlihat

dari sedikitnya laporan PAK di

Indonesia.2

Penyakit-penyakit akibat

pajanan di lingkungan kerja dapat

berupa toksik, infeksi, kanker,

gangguan hati, saraf, alat reproduksi,

kardiovaskuler, kulit dan saluran

napas. Penyakit akibat kerja yang

sering mengenai saluran napas, yaitu

asma dan rinitis.2 Data dari ILO tahun

1999 menyebutkan bahwa 21%

kematian disebabkan karena penyakit

saluran napas akibat kerja. Laporan

ILO tahun 1991 tentang penyakit

saluran napas akibat kerja,

memperkirakan insiden rata-rata

Page 3: Perbedaan Kecepatan Waktu Transpor

penyakit saluran napas akibat kerja

adalah satu kasus per 1000 pekerja

setiap tahun.3 Di Indonesia, belum

terdapat data pasti tentang penyakit

saluran napas akibat kerja, akan tetapi

bila angka-angka persentase di atas

dikonversikan ke jumlah penduduk

Indonesia, serta mengingat

industrialisasi di Indonesia yang terus

meningkat, maka dapat diperkirakan

bahwa jumlah penderita penyakit

saluran napas akibat kerja di

Indonesia cukup tinggi.4

Pengolahan batu gamping

termasuk dalam lingkungan kimia

yang dapat menyebabkan PAK.

Dalam setiap tahap pada proses

tersebut akan selalu timbul debu

gamping. Debu gamping merupakan

debu yang bersifat basa. Debu ini

digolongkan dalam alkali tanah yang

mempunyai pH 9,4. Debu gamping

yang disebabkan oleh proses tersebut

akan berada di lingkungan kerja. Hal

ini berakibat tenaga kerja terpapar

debu gamping, baik dalam konsentrasi

maupun ukuran debu yang berbeda-

beda. Hal tersebut sangat berperan

penting dalam menyebabkan penyakit

akibat kerja.1,5

Efek yang dapat ditimbulkan

bila paparan debu terjadi terus-

menerus adalah gangguan

penglihatan, alergi, gangguan saluran

napas (asma dan rinitis), serta iritasi

kulit.6 Debu yang terhirup melalui

hidung akan disaring oleh silia yang

ada dalam mukosa hidung.7 Sistem

mukosa hidung dapat mengalami

kerusakan dari zat-zat yang merusak,

seperti paparan debu, tembakau, asap,

polusi udara, perubahan temperatur

yang ekstrim, kekeringan atau

kelembapan yang tinggi, serta infeksi

bakteri maupun virus.8 Daya bersihan

mukosilia bertanggung jawab untuk

memelihara kesehatan dan pertahanan

hidung yang dapat mencegah

terjadinya infeksi dalam rongga

hidung.7 Untuk mengetahui daya

bersihan mukosilia hidung, dapat

dinilai dengan mengukur waktu

transpor mukosilia dengan

menggunakan tes sakarin. Waktu

transpor mukosilia adalah waktu yang

diperlukan selimut mukus untuk

mencapai dinding nasofaring.8

Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk menentukan perbedaan

kecepatan waktu transpor mukosilia

hidung pada pekerja pengolah batu

gamping di Ajibarang dibanding

kontrol.

Page 4: Perbedaan Kecepatan Waktu Transpor

METODE Penelitian yang dilakukan

merupakan penelitian observasional

analitik dengan rancangan cross

sectional. Populasi terjangkau

penelitian ini adalah para pekerja

pengolah batu gamping di Ajibarang,

Banyumas sebanyak 275 orang.

Subjek penelitian adalah populasi

terjangkau yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi

pekerja pengolah batu gamping, yaitu

usia kurang dari 40 tahun sudah

bekerja sebagai pengolah batu

gamping minimal satu tahun dan

bersedia mengikuti penelitian dengan

menandatangani lembar persetujuan,

sedangkan kriteria inklusi non-pekerja

batu gamping yaitu berusia kurang

dari 40 tahun, tidak mengalami

paparan batu gamping dan bersedia

mengikuti penelitian dengan

menandatangani lembar persetujuan.

Kriteria eksklusi penelitian ini adalah

pekerja pengolah batu gamping dan

non-pekerja yang menderita ISPA saat

dilakukan penelitian.

Teknik pengambilan sampel

yang digunakan adalah quota

sampling. Besar subjek penelitian

dihitung berdasarkan rumus untuk uji

hipotesis perbedaan dua rerata

didapatkan jumlah sampel masing-

masing kelompok adalah 32 orang.

Data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data primer yang

diambil dengan tes sakarin dan form

penelitian. Tes sakarin dilakukan

dengan cara meletakkan partikel

sakarin yang diberi biru metilen,

dengan ukuran kurang lebih 0,5x0,5

mm di permukaan atas konka inferior,

1 cm dari ujung depan rongga hidung

secara atraumatis dengan sendok

serumen. Setelah sakarin diletakkan

dengan baik, segera waktu dicatat.

Penderita diminta untuk menelan

ludah setiap setengah menit sekali dan

saat penderita merasakan manis di

tenggorok dinyatakan sebagai akhir

pengukuran transpor mukosilia.

Selama pemeriksaan, penderita tidak

boleh bersin atau membuang ingus.

Waktu transpor mukosilia adalah

waktu yang dibutuhkan mulai saat

partikel sakarin diletakkan sampai

penderita merasakan manis di

tenggorok saat menelan.8

Penelitian ini dilaksanakan

selama bulan November 2008–Maret

2009. Penelitian berlokasi di tempat

pengolahan batu gamping di

Ajibarang Banyumas, dan kampus

Page 5: Perbedaan Kecepatan Waktu Transpor

jurusan kedokteran FKIK Unsoed,

Purwokerto.

HASIL

1. Karakteristik umum subjek

penelitian

Data demografi dan karakteristik

umum subjek penelitian dapat dilihat

pada tabel 1. Usia subjek dalam

penelitian dibagi menjadi tiga

kategori, frekuensi terbesar adalah

20–30 tahun, yaitu 77,5% pada

kelompok tidak tepapar dan usia 31–

40 tahun, yaitu 70% pada kelompok

terpapar. Dengan menggunakan uji X2,

menunjukkan terdapat perbedaan

bermakna pada masing-masing

kategori umur antara kelompok

terpapar dan kelompok tidak terpapar

p=0,000 (p<0,05).

Sebanyak 77,5% subjek

penelitian tidak memiliki riwayat

rinitis alergi dan asma dalam keluarga.

Dengan menggunakan uji X2,

menunjukkan tidak terdapat

perbedaan bermakna pada masing-

masing kategori antara kelompok

terpapar dan kelompok tidak terpapar.

Subjek penelitian yang merokok

menunjukkan frekuensi yang cukup

besar terutama untuk kelompok

terpapar (seperti terlihat pada tabel 1),

yaitu 36 (90%) dan di antara kedua

kelompok ditemukan perbedaan

bermakna (p<0,05).

Pada penelitian ini, didapatkan

sebanyak 49 (61,3%) subjek

penelitian mempunyai riwayat

menderita penyakit saluran napas

dalam jangka waktu yang lama, dan

sebanyak 31 (38,8%) tidak memiliki

riwayat tersebut. Di antara kedua

kelompok ditemukan perbedaan

bermakna dengan p=0,000.

Sebagian besar subjek

penelitian, yaitu 33 (82,5%) memiliki

riwayat menderita penyakit saluran

napas dalam jangka waktu yang lama

setelah mereka bekerja di tempat

pengolahan batu gamping. Lama

waktu paparan dengan debu gamping

dibagi menjadi empat kategori dengan

frekuensi terbesar, yaitu 1-5 tahun

sebanyak 21 (52,5%). Seluruh subjek

penelitian kelompok terpapar, yaitu

sebanyak 40 (100%) memiliki

kebiasaan tidak menggunakan masker

saat bekerja.

Page 6: Perbedaan Kecepatan Waktu Transpor

Tabel 1. Data karakteristik umum subjek penelitian

Karakteristik Kelompok terpapar n (%)

Kelompok tidak terpapar n (%)

Total n (%)

P

Subjek penelitian 80 40 40

Usia < 20 tahun20-30 tahun31-40 tahun

1 (2,5%)11 (27,5%)28 (70%)

8 (20%)31 (77,5%)1 (2,5%)

9 (11,3%)42 (52,5%)29 (36,3%)

0,000a

Riwayat rinitis alergi dan asma dalam keluarga

Tidak adaAda

30 (75%)10 (25%)

32 (80%)8 (20%)

62 (77,5%)18 (22,5%)

0,592b

Status merokok Tidak merokokMerokok

4 (10%)36 (90%)

26 (65%)14 (35%)

30 (37,5%)50 (62,5%)

0,000b

Riwayat menderita penyakit saluran napas dalam jangka waktu yang lama

Tidak pernahPernah

3 (7,5%)37 (92,5%)

28 (70%)12 (30%)

31 (38,8%)49 (61,3%)

0,000b

Waktu timbulnya penyakit saluan napas

Sebelum bekerja di pabrik pengolahan batu gampingSesudah bekerja di pabrik pengolahan batu gamping

4 (10%)

33 (82,5%)

-

-

4 (10%)

33 (82,5%)

Lama waktu paparan 1-5 tahun6-10 tahun11-15 tahun16-20 tahun

21 (52,5%)15 (37,5%)3 (7,5%)1 (2,5%)

----

21 (52,5%)15 (37,5%)3 (7,5 %)1 (2,5%)

Kebiasaan menggunakan masker saat bekerja

TidakYa

40 (100%)0 (0%)

--

40 (100%)0 (0%)

a Kolmogorov-Smirnov testb Chi square test

2. Nilai rerata waktu transpor

mukosilia hidung

Tabel 2. Nilai rerata waktu transpor

mukosilia hidung pada kelompok

pekerja pengolah batu gamping dan

non-pekerja pengolah batu gamping

(detik)

Rerata

waktu

Standar

deviasi

p*

transpor

Mukosilia

a. Kelompok

pekerja

b. Kelompok

non-pekerja

568,05

435,2

223.2

204

0,003

* Mann-Whitney test

Setelah dilakukan normalitas

data dan hasil yang diperoleh sebaran

Page 7: Perbedaan Kecepatan Waktu Transpor

data tidak terdistribusi normal, maka

digunakan uji non-parametrik Mann-

Whitney test. Rerata waktu transpor

mukosilia kelompok terpapar dan

kelompok tidak terpapar menunjukkan

perbedaan bermakna (568,05 vs 435,2,

p=0,003), yang berarti bahwa terdapat

perbedaan waktu transpor mukosilia

antara dua kelompok, yaitu waktu

transpor mukosilia para pekerja

pengolah batu gamping di Ajibarang

Banyumas, lebih lambat dibanding

waktu transpor mukosilia non-pekerja

batu gamping.

3. Pengaruh variabel bebas

terhadap rerata waktu transpor

mukosilia hidung

Berdasarkan analisis statistik

regresi linier, variabel yang paling

berpengaruh terhadap rerata waktu

transpor mukosilia hidung pada subjek

penelitian adalah kelompok subjek,

koefisien regresi () sebesar -0,467

dengan p=0,001, sedangkan variabel

lainnya tidak terdapat perbedaan

bermakna seperti terlihat pada tabel 3.

Tabel 3. Hasil regresi linier hubungan

variabel bebas terhadap waktu

transpor mukosilia

Variabel Beta B p*

Kelompok subjek

(terpapar vs Tidak

-0,467 -206,634 0,001

terpapar)

Usia

Status merokok

Riwayat menderita

penyakit saluran

napas dalam jangka

waktu yang lama

0,151

0,077

0,260

52,039

35,000

118,054

0,291

0,567

0,065

* Linear regression

DISKUSI

Hasil penelitian terhadap rerata

selisih waktu transpor mukosilia

hidung pada pekerja pengolah batu

gamping di Ajibarang Banyumas,

lebih lambat dibanding non-pekerja

pengolah batu gamping. Hasil

penelitian ini sesuai dengan penelitian

sebelumnya, bahwa waktu transpor

mukosilia hidung pada pekerja yang

terpapar debu gamping lebih lambat

dibanding non-pekerja.9

Hal yang paling berpengaruh

terhadap waktu transpor mukosilia

hidung pada penelitian ini adalah

kelompok subjek. Melambatnya

kecepatan waktu transpor mukosilia

hidung pada pekerja pengolah batu

gamping disebabkan karena adanya

paparan debu gamping yang diterima

setiap hari, karena debu gamping

sebagai polutan lingkungan tersebut

dapat memberikan pengaruh negatif

Page 8: Perbedaan Kecepatan Waktu Transpor

terhadap kecepatan waktu transpor

mukosilia hidung dan dipengaruhi

oleh beberapa faktor, seperti

konsentrasi debu dan lama paparan.10

Menurut penelitian Black et al,11

bahwa kecepatan waktu transpor

mukosilia hidung dapat menjadi

sangat lambat, jika telah mengalami

paparan lebih dari 10 tahun.

Para pekerja pengolah batu

gamping diduga menghirup udara

yang lembap dan panas hampir setiap

hari. Keduanya berasal dari

pengolahan kapur tohor menjadi kapur

padam melalui penambahan air dan

reaksinya menghasilkan kalori. Kalori

yang dihasilkan dari reaksi ini sangat

besar dan menghasilkan panas, serta

mengangkat partikel debu gamping ke

udara.1 Menurut Knottnerus,12 debu

gamping merupakan bahan iritan yang

bersifat korosif dan dapat

menyebabkan hilangnya cairan

mukosa hidung. Kerusakan utama

yang disebabkan oleh debu gamping

adalah pada hidung dan tenggorokan.

Semua hal di atas dapat

mengakibatkan melambatnya

kecepatan waktu transpor mukosilia

hidung. Pernyataan tersebut sesuai

dengan penelitian Salah et al,13 yang

menyatakan bahwa kecepatan waktu

transpor mukosilia hidung orang yang

menghirup udara kering lebih lambat

dibanding kontrol. Udara yang kering

dapat menghilangkan cairan mukosa

hidung yang memperlambat atau

menurunkan kecepatan waktu transpor

mukosilia.

Sesuai dengan penelitian Corbo

et al,14 riwayat menderita penyakit

saluran napas dalam jangka waktu

yang lama tidak memberikan

pengaruh yang bermakna terhadap

nilai rerata waktu transpor mukosilia

hidung. Sebagian besar subjek

penelitian kelompok terpapar

memiliki riwayat menderita penyakit

saluran napas dalam jangka waktu

yang lama dan riwayat tersebut

diperoleh setelah mereka bekerja di

tempat pengolahan batu gamping.

Usia tidak memberikan

pengaruh yang bermakna terhadap

nilai rerata waktu transpor mukosilia

hidung. Menurut Ho et al,15 fungsi

silia akan menurun pada usia di atas

40 tahun. Penurunan fungsi silia

terjadi karena proses penuaan,

sehingga menyebabkan peningkatan

anomali ultrastruktur silia yang

mengakibatkan waktu transpor

mukosilia menjadi lambat dan

mempermudah terjadinya infeksi.

Page 9: Perbedaan Kecepatan Waktu Transpor

Hasil yang tidak bermakna pada

penelitian ini dapat disebabkan karena

seluruh subjek penelitian berusia <40

tahun, sehingga belum terjadi

perubahan struktur silia karena proses

penuaan.

Dari hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan kecepatan waktu transpor

mukosilia hidung pada pekerja

pengolah batu gamping di Ajibarang

Banyumas (568,05 detik), dibanding

dengan kecepatan waktu transpor

mukosilia non-pekerja batu gamping

(435,2 detik) yang berarti bahwa

kecepatan waktu transpor mukosilia

hidung pada pekerja pengolah batu

gamping di Ajibarang Banyumas,

lebih lambat dibanding non-pekerja,

dan ditemukan perbedaan bermakna

antara keduanya (p=0,003). Hal yang

paling berpengaruh terhadap

kecepatan waktu transpor mukosilia

hidung adalah kelompok yang

terpapar debu gamping dengan p=0,07

dibandingkan dengan status merokok,

usia, serta riwayat menderita penyakit

saluran napas dalam jangka waktu

yang lama.

DAFTAR PUSTAKA

1. Muryani S. Paparan debu

gamping dan gangguan penglihatan

tenaga kerja pada industri

pembakaran batu gamping di

kabupaten Sleman. Tesis.

Yogyakarta: Program Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada; 2000. h.

65.

2. Bratawidjaja, Karnen. Alergi dan

imunologi pada penyakit akibat kerja.

Cermin Dunia Kedokteran 2004;

142:8-9.

3. Buchari. Penyakit akibat kerja

dan penyakit terkait kerja. Medan:

USU Repository; 2007.

4. Antaruddin. Pengaruh debu padi

pada faal paru pekerja kilang padi

yang merokok dan tidak merokok.

Tesis. Medan: Program Pendidikan

Dokter Spesialis Paru FK USU; 2003.

5. WHO. Hazard prevention and

control in the work environment:

airborne dust. Occupational and

Environmental Health, Department of

Protection of Human Environment.

Geneva: WHO; 1999.

6. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Debu sebagai pencemar

yang membahayakan kesehatan kerja.

Pusat Kesehatan Kerja Departemen

Kesehatan. Jakarta. 2002.

7. Jang YJ, Myong NH, Park KH,

Koo TW, Kim HG. Mucociliary

transport and histologic characteristic

of the mucosa of deviated nasal

Page 10: Perbedaan Kecepatan Waktu Transpor

septum. Arch Otolaryngol Head Neck

Surg 2002; 128:421-4.

8. Winarti S. Hasil guna larutan

ringer laktat semprot hidung

dibandingkan salin isotonik pada

rinitis kronik di samping terapi

standar. Tesis. Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada; 2004.

9. Toren K, Brisman J, Haaberg S,

Karlsson G. Improved nasal clearance

among pulp mill workers after the

reduction of lime dust. Scand J Work

Environ Health 1996; 22(2):102-7.

10. Houtmeyers ER, Gosselink G,

Bayan-ramirez M, Decramer.

Regulation of mucociliary clearance

in health and disease. Eur Respir J

1999; 13:1177-88.

11. Black AJC, Evans, Esme HHRG,

Macbeth A, Morgan M, Walsh.

Impairment of nasal mucociliary

clearance in woodworkers in the

furniture industry. Br J Ind Med

1974; 31:10-7.

12. Knottnerus JA. Calcium oxide.

Health Council of Netherlands. 2006.

p. 19-21.

13. Salah BAT, Dinh Xuan JL,

Fouiladieu A, Lockhart J, Regnard.

Nasal mucociliary transport in

healthy subjects is slower when

breathing dry air. Eur Respir J 1988;

1:852-5.

14. Corbo GM, Foresi A, Bonfitto P,

Mugrano A, Agabiti N, Cole PJ.

Measurement of nasal mucociliary

clearance. Arch Dis Child 1989;

64:546-50.

15. Ho JC, Chan KN, Hu WH, Lam

WK, Zheng L, Tipoe GL, et al. The

effect of aging on nasal mucociliary

clearence, beat frequency and

ultrastructure of respiratory cilia. Am

J Respir Crit Care Med 2001; 163:1-

6.