Upload
vonhan
View
237
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA YANG SEJAK MASA AKHIR KANAK-KANAKNYA DIBESARKAN DI PANTI ASUHAN DENGAN REMAJA YANG SEJAK MASA AKHIR
KANAK-KANAKNYA DIBESARKAN DI RUMAH BERSAMA KELUARGA
INDRA KAMARA PATTIMAHU Universitas Gunadarma
ABSTRAKSI SKRIPSI Konsep diri merupakan produk sosial, yang dibentuk melalui proses internalisasi dan
organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan
hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisik dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-
orang penting disekitarnya. Dijelaskan pula bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep
diri seseorang, salah satunya adalah peranan faktor sosial. Dijelaskan bahwa perkembangan konsep
diri tidak terlepas dari pengaruh status sosial. Status sosial dapat diukur dari satu atau lebih indikator,
yang salah satunya ialah tempat tinggal. Dari tempat tinggal inilah, kita dapat melihat status sosial
yang dimiliki seseorang yang juga dapat berperan dalam pembentukan konsep diri.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris perbedaan konsep diri antara
remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan remaja yang pada
masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di rumah bersama keluarga. Hipotesis pada penelitian ini
adalah ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri antara remaja yang pada masa akhir kanak-
kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya
dibesarkan dalam keluarga.
Subjek pada penelitian ini adalah dua kelompok sampel yang secara keseluruhan berjumlah
90 responden dengan perincian 45 remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan dan
tinggal di panti asuhan serta 45 kelompok remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan
dan tinggal di rumah bersama keluarga. Alat ukur yang akan dipakai untuk mengukur konsep diri
dalam penelitian ini adalah Skala Konsep Diri dimana item pernyataannya berpedoman pada Skala
Konsep Diri Tennesse Self Concept Scale.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri
antara remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan remaja
yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan dalam keluarga. Remaja yang pada masa akhir
kanak-kanaknya dibesarkan di panti asuhan memiliki konsep diri yang sama baiknya dengan remaja
yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di rumah bersama keluarga. Berdasarkan analisis
data yang dilakukan dengan menggunakan Uji-t, diketahui bahwa nilai t sebesar -0,358 dengan taraf
signifikansi sebesar 0,721 (p>0,05). Mengenai hasil Uji-t, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada
lampiran.
Kata Kunci : Konsep Diri, Remaja, Tempat tinggal (Rumah dan Panti Asuhan)
PENDAHULUAN Menurut Sarwono (dalam Sulandri,
2001), masa remaja dikenal sebagai masa
yang penuh kesukaran, karena masa remaja
merupakan masa transisi antara masa kanak-
kanak menuju ke masa dewasa. Selama masa
ini seseorang mulai merasakan suatu
perasaan tentang identitasnya sendiri,
perasaan bahwa dirinya adalah manusia unik.
Seseorang mulai menyadari sifat-sifat yang
melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka
kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-
tujuan yang dikejarnya dimasa depan,
kekuatan dan hasrat untuk mengontrol
nasibnya sendiri. Inilah masa dalam
kehidupan ketika seseorang ingin menentukan
siapakah ia pada saat sekarang dan ingin
menjadi apa ia dimasa yang akan datang.
Prinsipnya setiap orang memiliki harapan
terhadap dirinya sendiri (Hall,1993). Harapan
terhadap diri sendiri ini tidak lepas dari
peranan konsep diri, dikarenakan konsep diri
menetukan pengharapan individu. Mc.
Candles (dalam Pudjijogyanti, 1988)
mengatakan bahwa konsep diri merupakan
seperangkat harapan serta penilaian perilaku
yang menunjuk kepada harapan-harapan
tersebut.
Konsep diri adalah gambaran yang
dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri baik
yang bersifat fisik, sosial, maupun psikologis
(Retnaningsih dkk, 1996). Hurlock (1991)
membagi konsep diri menjadi dua macam,
yaitu konsep diri sebenarnya dan aku ideal.
Setiap macam konsep diri ini mencakup citra
fisik maupun citra psikologis. Citra fisik
biasanya berkaitan dengan penampilan fisik,
daya tarik, kesesuaian dengan jenis kelamin.
Sedangkan citra diri psikologis terbentuk atas
dasar pikiran, perasaan, emosi. Citra
psikologis ini terdiri atas kualitas dan
kemampuan yang mempengaruhi
penyesuaian pada kehidupan, seperti sifat
berani, mandiri, serta berbagai jenis aspirasi
dan kemampuannya. Menurut Coulhoun
(1990), konsep diri dapat bersifat positif
maupun negatif. Positif maupun negatifnya
konsep diri ditentukan oleh penilaian individu
sendiri berdasarkan persepsi tentang
bagaimana orang mempersepsikannya.
Seseorang yang merasa dirinya diterima akan
cenderung memiliki konsep diri yang positif
dan sebaliknya, orang yang merasa dirinya
ditolak akan cenderung memiliki konsep diri
yang negatif.
Konsep diri bukan merupakan faktor
yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang
dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman
individu dalam berhubungan dengan orang
lain. Dalam interaksi ini setiap individu akan
menerima tanggapan. Tanggapan tersebut
akan dijadikan cermin bagi individu untuk
menilai dan memandang dirinya sendiri,
terutama didasarkan pada tanggapan orang-
orang yang dianggap penting (Retnaningsih
dkk, 1996).
Menurut Coulhoun (1990), konsep diri
memiliki tiga dimensi, salah satunya ialah
pengetahuan tentang diri sendiri. Biasanya hal
ini menyangkut hal-hal yang bersifat dasar
seperti : usia, jenis kelamin, agama, ras dan
sebagainya, termasuk latar belakang tempat
tinggal. Faktor dasar ini akan menentukan
seseorang dalam kelompok sosial tertentu.
Selain itu setiap orang juga akan
mengidentifikasi kelompok sosial lain yang
dapat menambah informasi lain yang masuk
dalam potret mental orang tersebut. Sebagai
contoh, saya tinggal di panti asuhan, saya
anak orang kaya, dan sebagainya. Melalui
perbandingan dengan orang lain inilah,
seseorang memberikan penilaian kualitas
dirinya. Hal-hal tersebut, ternyata
menunjukkan bahwa konsep diri seseorang
tidak lepas dari faktor-faktor yang
mempengaruhi.
Mead (dalam Retnaningsih dkk, 1996)
menyebutkan bahwa konsep diri merupakan
produk sosial, yang dibentuk melalui proses
internalisasi dan organisasi pengalaman-
pengalaman psikologis. Pengalaman-
pengalaman psikologis ini merupakan hasil
eksplorasi individu terhadap lingkungan fisik
dan refleksi dari dirinya yang diterima dari
orang-orang penting disekitarnya. Dijelaskan
pula bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi konsep diri seseorang, salah
satunya adalah peranan faktor sosial. Adanya
peranan faktor sosial terhadap perkembangan
konsep diri individu juga telah dibuktikan oleh
Rosenberg (dalam Pudjigjogyanti, 1988).
Dijelaskan bahwa perkembangan konsep diri
tidak terlepas dari pengaruh status sosial.
Dikatakan bahwa individu yang berstatus
sosial yang tinggi akan mempunyai konsep diri
yang lebih positif dibandingkan individu yang
berstatus sosial yang rendah.
Menurut Cage dan Berliner (1979),
status sosial dapat diukur dari satu atau lebih
indikator, yang salah satunya ialah tempat
tinggal. Dari tempat tinggal inilah, kita dapat
melihat status sosial yang dimiliki seseorang
yang juga dapat berperan dalam pembentukan
konsep diri. Seseorang yang tinggal ditempat
dimana orang tersebut merasa dirinya diterima
akan cenderung memiliki konsep diri yang
positif dan sebaliknya, orang yang tinggal
ditempat dimana orang tersebut merasa
ditolak akan cenderung memiliki konsep diri
yang negatif (Wiratna, 1997).
Dalam penelitian ini, tempat tinggal
yang dimaksud ada dua, yaitu panti asuhan
dan rumah tinggal. Panti asuhan dan rumah
tinggal adalah dua contoh bentuk tempat
tinggal yang berbeda baik dari segi struktur
maupun peran. Struktur disini dapat dilihat dari
bentuk secara fisik (dari panti asuhan maupun
rumah tinggal) serta juga dapat dilihat dari isi
yang, dalam hal ini adalah anggota atau
orang-orang yang tinggal dalam panti asuhan
maupun rumah tinggal. Sedangkan peran
disini lebih mengacu pada fungsi atau peran
panti asuhan maupun rumah tinggal.
Rumah tinggal secara fisik umumnya
sama dengan rumah tinggal-rumah tinggal
yang ada. Susunannya pun tidak berbeda
dengan apa yang ada pada rumah tinggal-
rumah tinggal pada umumnya. Ada ruang
keluarga, ruang tamu, ruang makan, kamar
tidur, kamar mandi, dan dapur. Justru yang
berbeda hanyalah ukuran, bentuk dan variasi.
Rumah tinggal berkaitan erat dengan
lingkungan keluarga, yang dalam hal ini
adalah keluarga sendiri yang terdiri dari
seorang ayah dan ibu, anak serta saudara-
saudaranya (jika ada). Dapat dikatakan bahwa
anak yang dibesarkan di rumah tinggal, maka
lingkungan pertama yang mula-mula
memberikan pengaruh yang mendalam adalah
lingkungan keluarganya sendiri. Dari anggota
keluarga tersebut yaitu ayah, ibu dan saudara-
saudaranya, anak memperoleh segala
kemampuan dasar, baik intelektual maupun
sosial. Bahkan penyaluran emosi banyak ditiru
dan dipelajarinya dari anggota-anggota
keluarganya. Sikap, pandangan dan pendapat
orang tua atau anggota keluarganya dijadikan
model oleh anak dan ini kemudian menjadi
sebagian dari tingkah laku anak itu sendiri.
Keberadaan figur dan peran orang tua yang
jelas membuat anak merasa adanya
penerimaan yang hangat dari orang tua
berupa pemberian rasa aman dengan
menerima anak, menghargai kegiatannya dan
memberikan patokan yang jelas sehingga
anak dengan sendirinya akan merasa yakin
dengan kemampuannya dan akan lebih
percaya diri.
Hal ini ditegaskan pula oleh penelitian
yang dilakukan Musen (dalam Burns, 1993)
yang mengatakan bahwa kehangatan dan
penerimaan orang tua memiliki korelasi
dengan konsep diri. Dikatakan pula, anak-
anak cenderung memiliki konsep diri yang
positif bila setidaknya salah satu dari orang
tua mereka menunjukkan sikap penerimaan
dan kehangatan. Lagipula ketika masih kecil,
orang penting bagi seorang anak adalah
orangtua dan saudara-saudaranya yang
tinggal serumah. Merekalah yang pertama-
tama menanggapi perilaku anak, sehingga
secara perlahan-lahan terbentuk konsep diri
anak. Segala sanjungan, senyuman, pujian,
penerimaan dan penghargaan yang didapat
dari mereka akan menyebabkan penilaian
positif terhadap diri anak tersebut yang pada
akhirnya membuat ia menjadi individu yang
bisa menerima pujian dengan tanpa rasa
malu. Yakin akan kemampuannya, percaya
diri dan menerima pujian dengan tanpa rasa
malu termasuk konsep diri ke arah yang
positif, sesuai dengan apa yang disebutkan
oleh Brooks dan Emmert (dalam Rahmat,
1985) yang menyebutkan ciri-ciri orang yang
memiliki konsep diri positif diantaranya yakin
akan kemampuan untuk mengatasi suatu
masalah dan bisa menerima pujian dengan
tanpa rasa malu.
Struktur dan peran rumah tinggal yang
dipaparkan diatas berbeda dengan di panti
asuhan. Panti asuhan secara fisik umunya
berbentuk asrama. Di dalam asrama ini
terdapat satu atau lebih petugas yang
bertindak sebagai bapak atau ibu pengasuh.
Selain itu di dalam asrama ini juga terdapat
anak asuh dimana mereka dikelompokkan
dalam jumlah yang besar dan ditempatkan
pada satu ruangan dengan penempatan
sesuai kelompok umur dan dikelompokkan
antara 15 sampai dengan 20 orang. Struktur
seperti ini membuat kurang meratanya
pengawasan dan bimbingan yang diberikan
kepada anak sehingga dapat menghambat
perkembangan konsep diri anak.
Penelitian yang dilakukan oleh
Goldfard (dalam Burns, 1993) menunjukkan
bahwa anak yang dibesarkan dalam suatu
institusi, cenderung mengalami hambatan
dalam perkembangan kepribadiannya,
misalnya cenderung untuk menarik diri dari
lingkungan dan mengalami retardasi fisik atau
mental. Peran panti asuhan sendiri hanyalah
sebagai lembaga yang memberikan pelayanan
pengganti. Dalam hal ini berarti menggantikan
fungsi keluarga. Digantikannya fungsi keluarga
oleh panti asuhan apabila anak memang
sudah tidak mempunyai orang tua lagi atau
anak mempunyai orang tua tetapi orang tua
tersebut belum mampu berfungsi sebagai
satuan keluarga asuh secara wajar. Anak
yang dibesarkan di panti asuhan biasanya sulit
mendapatkan perhatian yang sama dari bapak
atau ibu pengasuh mereka, karena mereka
harus berbagi perhatian dengan begitu banyak
anak asuh lainnya. Selain itu mereka akan
mengalami kekurangan akan kasih sayang,
begitu juga kurangnya perhatian dikarenakan
figur pengasuh yang lebih dan selalu berganti-
ganti. Kadang hal seperti ini membuat anak
asuh cenderung merasa tidak diperhatikan
atau tidak disukai orang lain. Kondisi seperti
ini tentunya akan menghambat perkembangan
konsep diri yang positif. Apalagi hal ini
diperkuat oleh ciri-ciri orang yang memiliki
konsep diri negatif seperti yang disebutkan
oleh Brooks dan Emmert (Dalam Rahmat,
1985) yang salah satunya adalah cenderung
merasa tidak disukai atau diperhatikan.
Namun tidak begitu saja kita
mengartikan bahwa anak yang tinggal di
rumah lebih baik daripada di panti asuhan.
Jusman (1997), meneliti di enam panti asuhan
yang berbeda, dan hasilnya menunjukkan
bahwa kelompok anak yang dibesarkan di
panti asuhan memiliki harga diri dan
keyakinan diri yang lebih baik. Hal ini
dikarenakan, attachment yang terbentuk
antara pengasuh dan anak pada tahun-tahun
awal kehidupan anak lebih baik dibanding
dengan kelompok anak yang dibesarkan di
rumah bersama keluarga. Anak yang tinggal di
rumah, tidak menjamin mereka bisa begitu
saja mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Ada anak yang tidak sempat mendapatkan
pendidikan yang layak karena kurangnya
kasih sayang pada anak tersebut. Ada juga
anak yang tidak sempat atau bahkan tidak
mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya
karena frekuensi kehadiran orang tua yang
sangat sedikit yang disebabkan kesibukan
orang tuanya.
Anak yang tinggal di panti asuhan,
tidak selalu mereka adalah anak-anak yang
kehilangan orang tua ataupun salah satu
orang tuanya, tetapi juga anak-anak yang
terlantar karena sebab-sebab lainnya seperti
keluarga yang retak, anak dari keluarga
terpidana, orang tua yang bercerai sehingga
tidak mampu mengurus anak tersebut atau
mereka yang dititipkan karena orang tua
mereka belum bisa berperan sebagai orang
tua asuh yang baik, sehingga sebab-sebab
keberadaan mereka di panti asuhan dapat
memberikan kesan khusus pada konsep diri.
Berdasarkan hasil penelitian Goldfard
(Burns, 1993) dan Jusman (1997) yang saling
bertentangan tersebut, penulis cenderung
berpendapat sesuai dengan hasil penelitian
Goldfard yang menyatakan bahwa anak yang
dibesarkan dalam suatu institusi, cenderung
mengalami hambatan dalam perkembangan
kepribadiannya. Hasil penelitian Jusman
(1997) yang menunjukkan bahwa anak yang
dibesarkan di panti asuhan memiliki harga diri
dan keyakinan diri yang lebih baik, menurut
penulis bahwa hal ini kemungkinan
disebabkan karena subjek yang tinggal di
rumah bersama keluarga (sebagai
pembanding subjek yang tinggal di panti
asuhan) berasal dari keluarga yang
bermasalah.
Penulis berkeyakinan bahwa apabila
pembandingnya adalah subjek dari keluarga-
keluarga yang tidak bermasalah, dalam arti
interaksi yang terjadi antara orang tua dan
anak sangat baik, maka kemungkinan hasilnya
adalah bahwa anak yang tinggal bersama
keluarga memiliki konsep diri yang lebih
positif. Hal ini disebabkan karena anak dapat
memperoleh segala kemampuan dasar, baik
intelektual maupun sosial dari anggota
keluarganya itu, yaitu ayah, ibu dan saudara-
saudaranya. Bahkan penyaluran emosi
banyak ditiru dan dipelajarinya dari anggota-
anggota keluarganya. Sikap, pandangan dan
pendapat orang tua atau anggota keluarganya
dijadikan model oleh anak dan ini kemudian
menjadi sebagian dari tingkah laku anak itu
sendiri. Segala sanjungan, senyuman, pujian,
penerimaan dan penghargaan yang didapat
dari mereka akan menyebabkan penilaian
positif terhadap diri anak tersebut yang pada
akhirnya membuat ia menjadi individu yang
bisa menerima pujian dengan tanpa rasa
malu. Selain itu keberadaan figur dan peran
orang tua yang jelas membuat anak merasa
adanya penerimaan yang hangat dari orang
tua berupa memberikan rasa aman dengan
menerima anak, menghargai kegiatannya dan
memberikan patokan yang jelas sehingga
anak dengan sendirinya akan merasa yakin
dengan kemampuannya dan akan lebih
percaya diri. Yakin akan kemampuannya,
percaya diri dan menerima pujian dengan
tanpa rasa malu termasuk konsep diri ke arah
yang positif, sesuai dengan apa yang
disebutkan oleh Brooks dan Emmert (dalam
Rahmat, 1985) yang menyebutkan ciri-ciri
orang yang memiliki konsep diri positif
diantaranya yakin akan kemampuan untuk
mengatasi suatu masalah dan bisa menerima
pujian dengan tanpa rasa malu.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian
diatas penulis ingin meneliti apakah ada
perbedaan konsep diri antara remaja yang
sejak masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan
di Panti Asuhan dengan remaja yang sejak
masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di
rumah bersama keluarga ?
Penelitian ini bertujuan untuk
membuktikan secara empiris perbedaan
konsep diri antara remaja yang pada masa
akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti
asuhan dengan remaja yang pada masa akhir
kanak-kanaknya dibesarkan di rumah
bersama keluarga.
TINJAUAN PUSTAKA Istilah konsep diri bermula dari
seorang tokoh yang bernama William James.
Ia merupakan tokoh pertama yang
membedakan dua aspek mendasar dari self,
yaitu “I” dan “Me”. Konsep “I” menunjuk pada
individu sebagai subjek dan “Me” menunjuk
individu sebagai objek (Bracken,1996).
Menurut James (dalam Bracken,1996), “I”
sebagai diri yang mengetahui (knower) dan
“Me” sebagai diri yang diketahui. “Me” inilah
yang selanjutnya disebut sebagai konsep diri.
“I” disebut juga dengan subjective self karena
aspek inilah yang mengorganisasikan dan
menginterpretasikan pengalaman seseorang.
Sedangkan “Me” disebut juga objective self
atau empirical self karena aspek ini
merupakan ciptaan dari “I”.
Konsep diri memegang peranan
penting dalam susunan pola kepribadian. Hal
ini dikemukakan oleh Hurlock (1993) yang
menyatakan bahwa konsep diri memegang
peranan penting dalam kepribadian karena
merupakan salah satu komponen utama
dalam kepribadian individu. Hurlock (1993)
mendefinisikan konsep diri sebagai gambaran
yang dimiliki seseorang mengenai dirinya
sendiri baik berupa karakteristik fisik,
psikologis, sosial dan emosional, aspirasi dan
prestasi sebagai hasil observasi terhadap
dirinya di masa lalu dan pada saat sekarang
ini.
Cooley ( dalam Angel, http : //www.
critical social work. com, 2001 ) salah satu ahli
lain, mengemukakan konsep dari self bahwa
self merupakan suatu konstruk sosial. Artinya,
bahwa self terbentuk melalui interaksi dengan
lingkungan atau orang lain. Ia menilai konsep
diri sebagai “Looking glass self “ (cermin diri)
dimana seakan-akan individu menaruh cermin
didepannya dan selanjutnya individu menilai
bagaimana dirinya dan penilaian ini akan
mempengaruhi prilaku individu yang
bersangkutan.
Brooks (dalam Rakhmat, 1996)
mengatakan bahwa konsep diri merupakan
pandangan individu terhadap seluruh keadaan
dirinya berupa penilaian-penilaian mengenai
kualitas fisik, sosial maupun psikologis yang
diperoleh melalui pengalaman individu dalam
interaksinya dengan orang lain. Taylor (dalam
Rahmat,1996) mendefinisikan konsep diri
sebagai segala sesuatu yang dipikirkan dan
dirasakan tentang dirinya sendiri, yang
mencakup serangkaian keyakinan dan sikap
tentang diri individu itu sendiri.
Menurut Coopersmith (1974), konsep
diri adalah kepercayaan, hipotesa dan asumsi
yang dimiliki individu tentang dirinya.
Sedangkan Burns (1993), mengatakan bahwa
konsep diri adalah total keseluruhan dari
persepsi seseorang tentang dirinya dan
didasarkan pada kepercayaan, evaluasi dan
kecenderungan bertingkah laku.
Ahli konsep diri yang lain, yaitu Fitts
(1971) mengatakan bahwa konsep diri adalah
diri yang dilihat, dipersepsikan dan dialami
oleh individu. Sharelsson (dalam Bracken,
1996), mengatakan bahwa konsep diri adalah
persepsi diri seseorang yang dibentuk melalui
pengalaman dengan atau dan interpretasi
lingkungannya.
Berdasarkan uraian diatas maka
konsep diri dalam hal ini adalah evaluasi
personal dan penilaian atau pandangan
individu terhadap seluruh keadaan dirinya
yang berupa penilaian-penilaian mengenai
kualitas fisik, sosial maupun psikologis atau
penilaian akan penampilan, kekuasaan dan
tingkah lakunya yang diperoleh melalui
pengalaman individu dalam interaksinya
dengan orang lain di masa lalu dan pada saat
sekarang ini sebagai suatu hasil
perkembangan dari perhatian individu tersebut
mengenai bagaimana orang lain bereaksi
terhadap dirinya.
Menurut Fitts (dalam Marcelline,
1997), konsep diri terdiri dari empat aspek
yang merupakan detil yang akan menjelaskan
mengenai diri secara utuh, yaitu :
a. Aspek Kritik Diri
Aspek ini menunjukkan
bagaimana seseorang
menggambarkan dirinya serta
pribadinya, apakah bersifat
defensif/menutupi atau bersikap
terbuka terhadap kekurangan dan
kelemahan diri. Aspek ini juga
menggambarkan bagaimana
seseorang bersikap dalam menerima
umpan balik atau kritik dari orang lain.
Apakah mau menerima dan
mengevaluasi lebih lanjut atau
langsung menutupi diri dan menolak
dengan tegas.
Konsep diri mungkin saja
terbentuk karena penilaian diri yang
tidak tepat, yang bersumber dari sikap
defensif individu, misalnya kurang
terbuka menggambarkan siapa aku
sesungguhnya, kurang adanya
kesesuaian untuk mengakui
kelemahan dan kekurangan pribadi.
b. Aspek Harga Diri
Aspek ini sesungguhnya
merupakan inti dari konsep diri. Fitts
(dalam Marcelline, 1997) menganggap
bahwa aspek ini sebagai komponen
yang dominan dalam konsep diri
seseorang. Pada waktu seseorang
mengamati dirinya, ia pun
mengadakan penilaian seperti suka
atau tidak suka, puas, puas sekali, dll.
Harga diri erat hubungannya dengan
perasaan berhasil dan pemahaman
tentang potensi diri. Harga diri
berkembang dari sejumlah perasaan/
penilaian tentang diri sendiri dan
keyakinan diri.
c. Aspek Integrasi Diri
Aspek ini menunjuk pada
derajat integrasi antara bagian-bagian
diri, yaitu kemampuan seseorang
menyatukan seluruh aspek konsep diri
menjadi satu keseluruhan yang utuh.
Sejauhmana komponen-komponen
tersebut dapat disatukan,
menunjukkan pada sejauhmana
kesesuaian (konsistensi) antara
patokan perilaku & perilaku yang
ditampilkan individu dalam
kenyataannya. Konsistensi tersebut
menunjukkan adanya integrasi yang
cukup baik, dimana semakin
berintegrasi bagian-bagian diri
seseorang, akan semakin baik ia
dalam menjalankan fungsinya.
d. Aspek Keyakinan Diri
Aspek ini berisi tentang
keyakinan individu terhadap nilai-nilai,
tingkah laku dan kemampuan yang
dimilikinya. Aspek ini menunjukkan
seseorang untuk yakin/tidak dalam
menilai dirinya. Keyakinan diri
seseorang berasal dari tingkat
kepuasan terhadap dirinya sendiri.
Semakin besar aspek keyakinan diri
seseorang, ia semakin percaya pada
kemampuan dirinya. Dengan kata lain,
ia semakin yakin dalam menilai dirinya
termasuk kemampuan-kemampuan
yang dimilikinya.
Menurut Fitts (dalam Marcelline,
1997), Keempat aspek konsep diri yang
disebutkan diatas yang dimiliki individu ini
akan mengevaluasi/menilai dan
menggambarkan bagian-bagian diri yang
digolongkan dalam dua dimensi, yaitu internal
dan eksternal. Masing-masing dimensi ini
memiliki komponen yang spesifik, yang
merupakan detil dari bagian-bagian diri.
Adapun kedua dimensi tersebut, yaitu :
a. Dimensi Internal
Dimensi Internal terdiri dari tiga komponen
pokok, yaitu komponen identitas diri,
komponen perilaku dan komponen
penilaian.
1) Komponen Identitas Diri (Identity
Self)
Komponen ini merupakan konsep
paling dasar dari konsep diri yang
merupakan jawaban-jawaban atas
pertanyaan dasar “siapakah saya ?”.
Dalam komponen ini terkumpul segala
macam label, simbol dan julukan yang
berkenaan dengan karakteristik
seseorang. Identitas berkembang sejalan
dengan meluasnya kegiatan sosial
seseorang. Identitas bersumber pada
perilaku karena merupakan hasil penilaian
terhadap dirinya, yang selanjutnya hasil
penilaian akan mewarnai perilaku yang
ditampilkan. Misalnya, “tubuh saya sehat”.
2) Komponen Perilaku (Behavioral
Self)
Komponen ini timbul berdasarkan
umpan balik, baik yang bersifat internal
maupun eksternal, terhadap tingkah laku
yang ditampilkan. Umpan balik atau
respon yang diterima oleh individu atas
tingkah lakunya, akan mempengaruhi
kelanjutan dari tingkah laku tersebut,
apakah tingkah laku tersebut akan
bertahan atau hilang. Bila umpan balik
bersifat positif, maka tingkah laku akan
dipertahankan dan sebaliknya, bila umpan
balik bersifat negatif maka tingkah laku
akan dihilangkan. Tingkah laku yang
dipertahankan, akan mempengaruhi
pembentukkan konsep diri. Misalnya,
“saya merawat tubuh saya sebaik
mungkin”.
3) Komponen Penilaian (Judging
Self)
Komponen ini berfungsi utama
sebagai penilai, disamping sebagai
pengamat, pengatur standar, pembanding
serta penengah antara komponen
identitas dan komponen perilaku.
Komponen ini juga akan mengevaluasi
persepsi individu terhadap perilaku dan
identitas yang dimiliki. Komponen ini pula
yang akan memberi pengaruh paling
besar terhadap aspek harga diri. Misalnya,
“saya suka wajah saya sebagaimana
adanya”.
b. Dimensi Eksternal
Dimensi Eksternal terdiri dari lima
komponen, yaitu komponen fisik,
komponen moral etis, komponen diri
personal, komponen diri keluarga,
komponen diri sosial.
1) Komponen Fisik (Physical Self)
Komponen ini mencakup bagaimana
individu mempersepsikan keberadaan
dirinya baik secara fisik, kesehatan
maupun seksualitas, misalnya bentuk dan
proporsi tubuh. Contoh, “saya rapih
sepanjang waktu”.
2) Komponen Moral Etis (Moral-
Ethical Self)
Komponen ini merupakan komponen
yang menunjukkan persepsi individu
mengenai kerangka acuan moral etika,
nilai-nilai moral, hubungan dengan Tuhan,
perasaan-perasaan sebagai orang
baik/buruk dan rasa puas terhadap
kehidupan. Misalnya, “saya orang yang
berpegang teguh pada prinsip-prinsip
agama”.
3) Komponen Diri Pribadi (Personal
Self)
Perasaan individu terhadap nilai
pribadi, perasaan adekuat sebagai pribadi
dan penilaian individu terhadap
kepribadiannya sendiri terlepas dari
penilaian fisik atau hubungannya dengan
orang lain. Misalnya, “saya orang yang
selalu gembira”.
4) Komponen Diri Keluarga (Family
Self)
Perasaan individu dalam kaitannya
dengan anggota keluarga, teman
sepermainannya serta sejauhmana dirinya
merasa adekuat sebagai anggota keluarga
dan teman terdekatnya tersebut. Misalnya,
“jika saya menghadapi masalah, keluarga
saya siap membantu”.
5) Komponen Diri Sosial (Social Self)
Komponen ini berisi perasaan dan
penilaian diri sendiri dalam
interaksinya dengan orang lain dalam
lingkungan yang lebih luas. Misalnya,
“saya suka berteman”.
Dalam penelitian ini tempat tinggal
terbagi menjadi dua yaitu panti asuhan dan
rumah. Rumah lekat dengan adanya sebuah
keluarga inti yang berada didalamnya.
Keluarga inti terdiri dari orang tua dan anak
(Monk, 2001).
a. Panti Asuhan
1) Pengertian Panti Asuhan
Menurut Departemen Sosial Republik
Indonesia (1989), panti asuhan adalah suatu
lembaga usaha kesejahteraan sosial yang
mempunyai tanggung jawab untuk
memberikan pelayanan kesejahteraan sosial
kepada anak terlantar serta melaksanakan
penyantunan dan pengentasan anak terlantar,
memberikan pelayanan pengganti atau
perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan
fisik, mental dan sosial pada anak asuh
sehingga memperoleh kesempatan yang luas,
tepat dan memadai bagi perkembangan
kepribadiannya sesuai dengan yang
diharapkan sebagai bagian dari generasi
penerus cita-cita bangsa dan sebagai insan
yang akan turut serta aktif didalam bidang
pembangunan nasional.
Panti asuhan yaitu suatu lembaga
untuk mengasuh anak, menjaga dan
memberikan bimbingan dari pimpinan kepada
anak dengan tujuan agar mereka menjadi
manusia yang cakap dan berguna serta
bertanggung jawab atas dirinya dan terhadap
masyarakat dikemudian hari. Panti asuhan
sebagai pengganti orang tua, sehubungan
dengan orang tua anak tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya dalam mendidik dan
mengasuh anak (Sandrianny, 2002).
Panti asuhan juga memberikan
pelayanan pengganti (substitutive service),
yang dalam hal ini berarti menggantikan fungsi
keluarga. Digantikannya fungsi keluarga oleh
panti asuhan apabila anak memang sudah
tidak mempunyai orang tua lagi atau
mempunyai orang tua/keluarga tetapi keluarga
tersebut tidak atau belum mampu berfungsi
sebagai satuan keluarga asuh yang wajar (
Tijpsastra, 1996).
Berdasarkan uraian diatas terkandung
unsur bahwa panti asuhan sebagai suatu
lembaga yang didirikan atas dasar
kesengajaan, formal dan terorganisasi. Panti
asuhan selain sebagai unsur pengganti
keluarga juga merupakan pelayanan
kesejahteraan sosial yang bersifat sementara
dan memungkinkan adanya pemenuhan
kebutuhan anak asuh untuk terpenuhinya
pertumbuhan fisik secara wajar, memperoleh
kesempatan dalam usaha pengembangan
mental dan pikiran sehingga anak asuh dapat
mencapai tingkat kedewasaan yang matang,
melaksanakan peranan-peranan sosialnya
sesuai dengan tuntutan lingkungannya.
2) Tujuan Panti Asuhan
Tujuan panti asuhan menurut
Departemen Sosial Republik Indonesia (1989),
ialah memberikan pelayanan berdasarkan
pada profesi pekerjaan sosial kepada anak
terlantar dengan cara membantu dan
membimbing mereka kearah perkembangan
pribadi yang wajar serta kemampuan
keterampilan kerja, sehingga mereka menjadi
anggota masyarakat yang dapat hidup layak
dan penuh tanggung jawab baik terhadap
dirinya, keluarga maupun masyarakat.
3) Sasaran Garapan Panti Asuhan
Sasaran garapan panti asuhan anak
meliputi :
a) Anak yatim, piatu, yatim piatu terlantar
berusia 0-21 tahun
b) Anak terlantar adalah anak yang
karena suatu sebab anak orang
tuanya melalaikan kewajibannya,
sehingga kebutuhan anak tidak dapat
terpenuhi dengan wajar baik secara
rohani, jasmani maupun social, antara
lain keluarga retak, sehingga tidak ada
relasi social yang harmonis
c) Anak yang tidak mampu adalah anak
yang karena suatu sebab tidak dapat
terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya,
baik secara rohani, jasmani maupun
social dengan wajar antara lain salah
satu orang tua dan atau keduanya
sakit kronis, terpidana dan meninggal
sehingga anak tidak ada yang
merawat
Bagi anak yang tinggal dirumah,
lingkungan terdekat dengan diri anak pada
awal kehidupannya adalah lingkungan
keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat
Monk (2001) yang mengatakan bahwa rumah
lekat dengan adanya sebuah keluarga inti
yang berada didalamnya. Keluarga inti ini
terdiri dari orang tua dan anak.
Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa rumah dalam penelitian ini adalah
tempat tinggal keluarga, yang berarti suatu
tempat untuk tinggal yang didalamnya
terdapat keluarga inti yang terdiri dari suami
(ayah), istri (ibu), dan dengan anak-anak,
dimana mereka saling mencintai dan berbagi.
1) Pengertian Keluarga
Keluarga menurut Pudjigjogyanti
(1988) adalah sekelompok orang yang diikat
oleh perkawinan atau darah, biasanya meliputi
ayah, ibu dan anak. Menurut Yusuf (1982),
keluarga adalah kesatuan masyarakat yang
paling kecil sebagai suatu kesatuan maka
ikatan didasarkan atas perkawinan dimana
tiap anggota mengabdikan dirinya kepada
kepentingan dan tujuan keluarga. Menurut
Meyer F. Nimkoff (dalam Pudjigjogyanti,1988),
keluarga adalah ikatan yang berlangsung lama
antara suami dan istri, dengan atau tanpa
anak.
Keluarga sebagai kelompok sosial
terkecil dalam masyarakat, yang terbentuk
berdasarkan kelompok sosial terkecil dalam
masyarakat yang terbentuk berdasarkan
pernikahan yang terdiri dari seorang suami
(ayah), istri (ibu) dan anak-anak mereka (SC.
Utami Munandar, 1985). Keluarga tetap
merupakan bagian penting bagi anak, sebab
anggota keluarga merupakan lingkungan
pertama anak dan orang yang paling penting
selama tahun awal (Hurlock, 1991).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa keluarga adalah kelompok sosial
terkecil dalam masyarakat yang terbentuk
berdasarkan ikatan yang didasarkan oleh
perkawinan atau darah yang berlangsung
lama antara suami (ayah), istri (ibu), dan
dengan anak-anak mereka dimana tiap
anggota mengabdikan dirinya kepada
kepentingan dan tujuan keluarga.
2) Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga (Pudjigjogyanti,
1988), yaitu :
a) Keluarga berfungsi sebagai tempat
pendidikan informal, tempat dimana
anak memperkembangkan dan
diperkembangkan kemampuan-
kemampuan dasar yang dimilikinya,
sehingga mencapai prestasi sesuai
dengan kemampuan dasar yang
dimiliki dirinya dan memperlihatkan
perubahan perilaku dalam berbagai
aspeknya seperti yang diharapkan
atau direncanakan.
b) Keluarga berfungsi sebagai tempat
untuk menanamkan aspek sosial agar
bisa menjadi anggota masyarakat
yang mampu berinteraksi dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan
sosial.
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini akan digunakan
dua kelompok sampel. Kelompok yang
pertama adalah kelompok remaja yang pada
masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan dan
tinggal di panti asuhan. Sedangkan kelompok
yang kedua merupakan kelompok remaja
yang pada masa akhir kanak-kanaknya
dibesarkan dan tinggal di rumah bersama
keluarga.
Adapun karakteristik sampel dari
kelompok pertama yaitu kelompok remaja
yang sejak masa akhir kanak-kanaknya
dibesarkan di panti asuhan adalah :
1. Berusia 17 – 21 Tahun
Menurut Fitts (1971), konsep diri individu
baru akan relatif stabil pada masa ini.
2. Pendidikan minimal lulus SMP
Karakter ini ditetapkan semata-mata agar
responden dapat memahami pertanyaan
yang diajukan oleh penulis dan dapat
memberi jawaban yang sesuai, karena
Piaget (dalam Gormly & Brodzinsky, 1993)
menyatakan bahwa individu pada usia 12
tahun atau lebih telah mencapai tahap
terakhir (formal operasional) dalam
perkembangan kognitifnya sehingga
sudah dapat berpikir kritis dan instropektif.
3. Mulai tinggal dipanti asuhan sejak usia 6 –
12 Tahun
Menurut Hurlock (1991), batas usia kanak-
kanak akhir adalah 6 tahun sampai
dengan mencapai kematangan
seksualnya, yaitu sebelum mencapai
masa remaja. Menurutnya, pada masa ini
seorang anak akan mengalami perubahan
kepribadian. Perubahan ini akan
mempengaruhi perkembangan sosial
anak, khususnya perkembangan konsep
diri. Selain itu, masih menurut Hurlock
(1991), pada masa ini seorang anak mulai
membentuk konsep diri ideal yang meliputi
sifat-sifat yang dikagumi oleh kelompok
seperti perilaku, prestasi, penampilan fisik
atau hal-hal lain yang dapat terlihat oleh
individu di sekitarnya.
Sedangkan untuk kelompok remaja
yang kedua yaitu kelompok remaja yang sejak
masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di
rumah bersama keluarga, adalah :
1. Berusia 17 – 21 Tahun
Menurut Fitts (1971), konsep diri individu
baru akan relatif stabil pada masa ini.
2. Pendidikan minimal lulus SMP
Karakter ini ditetapkan semata-mata agar
responden dapat memahami pertanyaan
yang diajukan oleh penulis dan dapat
memberi jawaban yang sesuai, karena
menurut Piaget (dalam Gormly &
Brodzinsky, 1993) menyatakan bahwa
individu pada usia 12 tahun atau lebih
telah mencapai tahap terakhir (formal
operasional) dalam perkembangan
kognitifnya sehingga sudah dapat berpikir
kritis dan instropektif.
3. Masih tinggal bersama orang tua atau
anggota keluarga lainnya.
Teknik pengambilan sampel yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah
sampling nonprobabilitas. Yang dimaksud
dengan sampling nonprobabilitas adalah
sampel yang tidak dipilih secara acak. Secara
lebih spesifik, sampel diambil secara
Purposive. Yang dimaksud dengan Sampling
Purposive adalah metode sampling yang
menggunakan sampel dimana peneliti
mempunyai karakteristik tertentu dalam
menetapkan sampel sesuai dengan tujuan
penelitian (Sugiyono, 2005).
Teknik pengumpulan data yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan Angket. Angket adalah teknik
pengumpulan data dengan menyerahkan atau
mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi oleh
responden (Azwar,1992). Angket tersebut
terdiri dari lembar informasi identitas (nama,
usia, pendidikan, jenis kelamin, status tinggal),
dan Skala Konsep Diri.
1. Skala Konsep Diri Alat ukur yang akan dipakai untuk
mengukur konsep diri dalam penelitian ini
adalah Skala Konsep Diri dimana item
pernyataannya diadopsi dari Tjipsastra (1996)
yang berpedoman pada Skala Konsep Diri
yang disusun pertama kali oleh Fitts (1971)
dalam Tennesse Self Concept Scale, dengan
alasan uji validitas dan reliabilitas dahulu
memakai subjek penelitian remaja. Skala ini
bertujuan untuk mengungkapkan seberapa
besar konsep diri seorang remaja yang sejak
masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di
panti asuhan dengan mereka yang dibesarkan
di rumah bersama keluarga.
Skala ini berisi 86 pernyataan yang
terdiri dari 43 pernyataan favourable dan 43
pernyataan unfavourable. Item-item pada
skala ini dibuat berdasarkan dua dimensi
konsep diri dari Fitts (1971) yaitu pertama,
Dimensi Internal yang terdiri dari tiga
komponen pokok, yaitu komponen identitas
diri, komponen perilaku dan komponen
penilaian. Kedua, Dimensi Eksternal yang
terdiri dari lima komponen pokok, yaitu
komponen fisik, komponen moral etis,
komponen diri personal, komponen diri
keluarga, komponen diri sosial.
Model skala yang akan digunakan adalah jenis
Skala Likert. Skala ini terdiri atas 86
pernyataan yang terdiri dari 43 pernyataan
favourable dan 43 pernyataan unfavourable
dengan memakai enam alternatif jawaban,
yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Agak
Sesuai (AS), Agak Tidak Sesuai (ATS), Tidak
Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Cara
menjawab pernyataan-pernyataan tersebut
adalah dengan jalan memilih salah satu
jawaban yang dianggap subjek paling sesuai
dengan keadaan dirinya. Adapun sistem
penilaian yang digunakan baik pada item
favourable dan unfavourable bergerak dari
Sangat Sesuai (SS) sampai dengan Sangat
Tidak Sesuai (STS). Untuk menguji hipotesis mengenai
perbedaan konsep diri antara remaja yang
sejak masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan
dipanti asuhan dengan remaja yang sejak
masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan
dirumah bersama keluarga, digunakan teknik
analisis Uji – t (t-Test) independent sample
karena yang diuji bedakan adalah sampel-
sampel yang berasal dari dua kelompok
subjek yang berbeda yaitu kelompok remaja
yang sejak masa akhir kanak-kanaknya
dibesarkan di panti asuhan dengan kelompok
remaja yang sejak masa akhir kanak-
kanaknya dibesarkan di rumah bersama
keluarga. Analisis data menggunakan bantuan
SPSS Versi 11.5 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini berusaha untuk menguji
adanya perbedaan secara signifikan pada
konsep diri antara remaja yang pada masa
akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti
asuhan dengan remaja yang pada masa akhir
kanak-kanaknya dibesarkan dalam keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa
hipotesis penelitian ini tidak diterima. Hal ini
berarti bahwa tidak ada perbedaan konsep diri
secara signifikan antara remaja yang sejak
masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan
didalam panti asuhan dengan remaja yang
sejak masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan
dirumah bersama keluarga.
Baik di rumah maupun di panti asuhan
memiliki konsep diri yang sama baiknya
dengan remaja yang pada masa akhir kanak-
kanaknya dibesarkan di rumah bersama
keluarga. Hal ini diperkuat dengan keadaan di
Panti Asuhan Mitra Hasanah yang cukup baik
dan setara dengan di rumah. Secara teknis, di
panti asuhan Mitra Hasanah, setiap anak
merasa dirinya diterima keberadaannya baik di
dalam panti maupun di luar panti asuhan. Hal
ini terlihat, setiap anak dapat berbagi masalah
dengan ibu pengasuh di dalam ruang “Empat
Mata”. Ruangan tersebut merupakan ruangan
dimana anak dapat melakukan sharing
dengan ibu pengasuh terhadap berbagai
masalah yang mereka hadapi. Hal inilah yang
mendukung perhatian ibu pengasuh terhadap
anak asuh sehingga mereka merasa dirinya
diterima sepenuhnya di dalam panti asuhan.
Selain itu, mereka juga dapat berinteraksi
dengan orang-orang di luar panti dengan baik
tanpa dirinya merasa diabaikan. Hal ini
dibuktikan dengan sekolah yang didirikan oleh
pihak yayasan panti juga menerima siswa dari
luar panti asuhan. Baik siswa yang berasal
dari luar panti maupun dari dalam panti dapat
berbaur dan berinteraksi tanpa menunjukkan
sikap adanya perbedaan latar belakang.
Di dalam panti, anak merasa adanya
penerimaan yang hangat dari ibu pengasuh,
pembentukan dan penguatan mengenai batas-
batas yang jelas dari tingkah laku anak oleh
ibu pengasuh. Anak-anak diperkenalkan
dengan sejumlah aturan, karena anak asuh
tidak sendiri. Mereka hidup bersama dengan
teman-temannya dan berhubungan pula
dengan ibu pengasuhnya. Hal tersebut berupa
sosialisasi yang merupakan proses belajar
bagi anak untuk melakukan penyesuaian diri
sehingga dapat membentuk sikapnya
terhadap sesuatu. Dalam sosialisasi tersebut
anak dikenalkan kepada aturan-aturan.
Aturan-aturan tersebut membuatnya menjadi
disiplin (Rachmayanti, 1992). Mereka juga
dihadapkan pada konsekuensi-konsekuensi
yang ada. Jika mereka melakukan kesalahan,
pihak panti akan memberikan sanksi.
Demikian juga bila mereka berhasil melakukan
sesuatu, mereka akan mendapatkan pujian.
Di rumah, keberadaan figur dan peran
orang tua sangat jelas yaitu bapak dan ibu.
Selain itu juga dikarenakan adanya
penerimaan yang hangat dari orang tua
berupa memberikan rasa aman dengan
menerima anak, cara orang tua memenuhi
kebutuhan fisik dan psikologis, menghargai
kegiatannya dan memberikan patokan yang
jelas sehingga anak dengan sendirinya akan
merasa yakin dengan kemampuannya dan
akan lebih percaya diri. Walaupun di panti
asuhan, yang ada hanya figur ibu pengasuh,
namun peran dan figurnya juga sangat jelas.
Ibu pengasuh juga memberikan rasa aman
dengan menerima anak, contohnya
keberadaan ruang “Empat Mata”. Ibu
pengasuh juga menghargai kegiatan dan
memberikan patokan yang jelas sehingga
anak merasa yakin dengan kemampuannya
dan lebih percaya diri. Contohnya, setiap
acara-acara khusus seperti yang pada saat itu
sedang berlangsung yaitu acara HUT, baik
pihak panti maupun ibu pengasuh
memberikan kesempatan kepada anak-anak
asuh untuk menyelenggarakan acara tersebut
mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai
dengan evaluasi. Demikian pula dalam
pemenuhan kebutuhan fisik maupun
psikologis anak terpenuhi dengan baik. Dari
segi fisik, anak tidak pernah kekurangan
dalam hal kebutuhan makanan, minuman dan
pakaian. Dari segi psikologis, anak merasa
aman, adanya penerimaan dari lingkungan
sekitar yang menyebabkan adanya penilaian
positif terhadap diri anak tersebut. Selain itu,
setiap hari mereka juga mendapatkan
bimbingan rohani berupa pengajian, ceramah
dan nasihat-nasihat keagamaan, yang secara
tidak langsung memberikan perasaan tenang
secara batiniah.
Kondisi-kondisi seperti diataslah yang
membuat anak menjadi lebih percaya diri dan
yakin akan kemampuan yang dimiliki untuk
mengatasi suatu masalah. Adanya keakraban
diantara sesama penghuni dan ibu pengasuh
juga interaksinya dengan lingkungan sekitar
membuat anak menjadi merasa dirinya
diterima seutuhnya. Hal-hal tersebut bisa
membentuk konsep diri kearah yang positif,
sesuai yang disebutkan oleh Brooks dan
Emmert (dalam Rahmat, 1985) yang
menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki
konsep diri yang positif diantaranya yakin akan
kemampuan untuk mengatasi suatu masalah,
merasa setara dengan orang lain dan
menyadari setiap orang memiliki berbagai
perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak
seluruhnya disetujui oleh masyarakat.
Berdasarkan hasil angket yang telah
disebar sebanyak 90 orang subjek dengan
jumlah remaja yang sejak masa akhir kanak-
kanaknya dibesarkan di panti asuhan 45 orang
dan jumlah remaja yang sejak masa akhir
kanak-kanaknya dibesarkan di rumah
bersama keluarga 45 orang, maka hasil
perhitungan mean hipotetik dan mean empirik
pada skala konsep diri, diketahui lebih besar
dari mean hipotetik.
Berdasarkan hasil perhitungan mean
empirik konsep diri remaja yang sejak masa
akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti
asuhan dan remaja yang sejak masa akhir
kanak-kanaknya dibesarkan dirumah bersama
keluarga adalah tinggi. Hal ini dimungkinkan
kondisi di kedua tempat sudah tidak jauh
berbeda. Panti asuhan pada saat ini, sudah
mulai memperhatikan kesejahteraan dan
perkembangan fisik maupun psikologis anak-
anak asuhnya. Dengan demikian konsep diri
anak juga ikut berkembang dengan baik. Hal
ini selaras dengan tujuan panti asuhan
menurut Departemen Sosial Republik
Indonesia (1989), yaitu memberikan
pelayanan berdasarkan pada profesi
pekerjaan sosial kepada anak terlantar
dengan cara membantu dan membimbing
mereka kearah perkembangan pribadi yang
wajar serta kemampuan keterampilan kerja,
sehingga mereka menjadi anggota
masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh
tanggung jawab baik terhadap dirinya,
keluarga maupun masyarakat.
Kesimpulannya adalah bahwa kedua
kelompok sampel memiliki kategori yang
sama, baik dari dimensi internal maupun
eksternal. Hampir semua komponen-
komponen, baik dari dimensi internal maupun
dimensi eksternal, pada kedua kelompok
tersebut berada pada kategori tinggi. Artinya,
dalam hal ini tidak ada perbedaan yang
mencolok dalam komponen-komponen
tersebut pada masing-masing kelompok.
Dari hasil diatas terlihat bahwa, dilihat
dari dimensi internal, baik di panti asuhan
maupun di keluarga, masing-masing anak
memiliki kemampuan yang sama baiknya
untuk menjawab pertanyaan mengenai siapa
dirinya, memiliki persepsi yang lebih positif
terhadap tingkah lakunya dan memiliki
kemampuan dalam memahami dirinya secara
penuh. Demikian juga dari segi dimensi
eksternal, baik di panti asuhan maupun di
keluarga, masing-masing anak memiliki
kemampuan yang sama baiknya dalam hal
penerimaan terhadap keadaan fisik mereka,
dalam menilai baik-buruknya sesuatu dari segi
moral dan etika, dalam memandang diri
mereka sebagai suatu pribadi, memiliki
perasaan yang lebih kuat terhadap
penerimaan teman dan keluarga atau merasa
cukup dihargai dan memiliki persepsi yang
positif terhadap hubungannya dengan orang
sekitarnya.
Dari beberapa pembahasan diatas,
penulis mengemukakan bahwa ada beberapa
hal yang menyebabkan mengapa konsep diri
remaja yang sejak masa akhir kanak-
kanaknya dibesarkan didalam panti asuhan
sama baiknya dengan konsep diri remaja yang
sejak masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan
di rumah bersama keluarga.
1. Bila dibandingkan antara orang tua
dan pengasuh di panti asuhan, maka
ada kecenderungan bahwa orang tua
di rumah dapat bersikap longgar
terhadap tingkah laku anaknya
dibandingkan sikap pengasuh di panti
asuhan. Hal ini dibuktikan dengan
data pekerjaan orangtua subjek untuk
kelompok di rumah yang menyatakan
bahwa sebagian besar orangtua
mereka bekerja. Yang menarik dari
data ini adalah bahwa sebagian besar
dari ibu mereka adalah orang sibuk
atau bekerja, dengan perincian
wiraswasta 14 orang, pegawai 8
orang, profesional 4 orang. Dengan
aktivitas atau kesibukan mereka
seperti itu yang dapat membuat
kurangnya intensitas interaksi anak
dengan orangtua, maka tidaklah heran
bila ada kecenderungan orangtua di
rumah untuk bersikap longgar. Di
panti asuhan segala tingkah laku anak
memiliki batasan-batasan yang jelas
bila dibandingkan dengan didalam
keluarga. Hasil penelitian Coopersmith
(dalam Burns, 1993) menunjukkan
bahwa ada 3 buah kondisi yang dapat
menunjang tumbuhnya konsep diri
yang positif, yaitu sikap penerimaan
orang tua terhadap anak, adanya
patokan yang jelas sehingga dapat
membatasi tingkah laku anak, dan
adanya penghargaan bagi anak
apabila anak bertingkah laku sesuai
dengan patokan yang ada. Di panti
asuhan sejauh pengamatan penulis,
para pengasuh cukup dapat menerima
anak apa adanya, dan batas-batas
perilaku anak lebih jelas. Di panti
asuhan segala tingkah laku anak ada
patokannya sehingga bila anak
melanggar maka akan ada sanksinya,
dalam arti bahwa bila anak melakukan
kesalahan, maka sanksi yang akan
diterima anak tersebut jelas dan bila
anak tersebut bertingkah laku sesuai
dengan patokan tersebut, maka anak
tersebut akan mendapat penghargaan
yang jelas pula dari ibu pengasuhnya.
Keadaan di dalam panti tersebutlah,
yang mungkin menyebabkan konsep
diri mereka sama baiknya dengan
remaja di rumah bersama keluarga.
2. Mungkin panti asuhan yang diambil
oleh penulis sebagai sampel memang
memiliki kualitas yang sangat baik
seperti pemenuhan kebutuhan anak
baik secara fisik maupun psikologis,
seperti mendapatkan uang saku,
kesempatan untuk bersekolah sampai
Madrasah Aliyah atau setara dengan
SMU, mengelola usaha milik yayasan,
adanya bimbingan rohani setiap hari,
intesitas pertemuan dengan bapak
atau ibu pengasuh selama 7-12 jam
seharinya, sehingga hubungan antara
pengasuh dan anak asuh dapat
terjalin dengan sangat baik pula.
Adanya hubungan dan kondisi yang
baik ini, menyebabkan anak akan
memiliki persepsi yang positif
terhadap lingkungan dimana ia berada
dan persepsi ini akan mempengaruhi
anak dalam membentuk konsep diri
yang positif.
PENUTUP Simpulan
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan konsep diri antara
remaja yang sejak masa akhir kanak-
kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan
remaja yang sejak masa akhir kanak-
kanaknya dibesarkan di rumah bersama
keluarga. Kelompok remaja yang sejak masa
akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti
asuhan memiliki konsep diri yang sama
baiknya dengan kelompok remaja yang sejak
masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di
rumah bersama keluarga.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan, maka saran yang dapat peneliti
berikan adalah sebagai berikut :
1. Bagi orang tua hendaknya dapat
meningkatkan kuantitas dan kualitas
perhatian serta bimbingan dalam
rangka pembentukan konsep diri yang
lebih baik.
2. Bagi ibu pengasuh di panti asuhan,
diharapkan untuk terus dapat
mempertahankan kuantitas dan
kualitas perhatian seperti curahan
kasih sayang, perhatian dan
bimbingan, serta pengawasan kepada
anak-anak. Tetap mempertahankan
hubungan yang hangat terhadap
anak-anak dan agar lebih selalu
memperhatikan mereka yang nantinya
secara tidak langsung mempengaruhi
pembentukan konsep diri kearah yang
lebih baik.
3. Bagi pengelola panti asuhan, agar
tetap mempertahankan perhatiannya
terhadap keadaan anak-anak dengan
memenuhi kebutuhannya, baik fisik
maupun psikologis.
4. Bagi peneliti selanjutnya, penulis
menyarankan untuk mencoba
menggali lebih dalam lagi dalam
faktor-faktor lain yang berpengaruh
terhadap pembentukan konsep diri.
Faktor-faktor tersebut seperti
pendekatan awal kepada anak.
DAFTAR PUSTAKA Ali, L. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Edisi ke 2. Jakarta: Balai Pustaka.
Anastasi, A & Urbina, S. 1997. Tes Psikologi.
Jilid 1. Alih Bahasa: Imam, R.H.
Penyunting Bahasa: Molan, B.
Jakarta: Prenhallindo.
Angle, G.B. 2001. Cultural Resilence In North
American Indian First Nation: The
Story of Little. http://www. criticalsocial
work.co.id.
Azwar, S. 1992. Tes Prestasi. Edisi II.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bracken, B.A. 1996. Handbook of Self-
Concept: Development, Social &
Clinical Consideration. New York:
John Willey & Sons, Inc.
Burns, R.B. 1993. Konsep Diri: Teori,
Pengukuran, Perkembangan &
Perilaku. Alih Bahasa: Eddy. Jakarta:
Arcan.
Cage, N.L & Berliner, D. C. 1979. Educational
Psychology. Chicago: Rand McNally
College Pub. Co.
Coopersmith, S. 1974. The Antecedents of elf-
esteem. San Fransisco: Freeman
Coulhoun, J. F. & Acocella, J. R. 1990.
Psikologi Tentang Penyesuaian dan
Hubungan Kemanusiaan. Alih
Bahasa: Satmoko. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Departemen Sosial Republik Indonesia. 1989.
Petunjuk Teknis Pelaksanaan,
Penyantunan dan Pengentasan Anak
Terlantar Melalui Panti Asuhan Anak.
Jakarta.
Fitts, H.W. 1971. The Self-Concept &
Behaviour: Overview & Suplement.
Monograph VII. USA: Dede Wallance.
Gormly, A.V. & Brodzinsky, D.M. 1993.
Lifespan Human development. Edisi
V. USA: Holt, Rinehart & Winston. Inc.
Gunarsa, S.D. 1995. Psikologi Praktis: Anak,
Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Hall, C.S. & Lindzey, G. 1993. Teori-teori
Psikodinamik (Klinis). Alih Bahasa : A.
Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius.
Hurlock, E.B. 1974. Personality Development.
New York: McGraw Hill Publishing
Company.
Hurlock, E.B. 1991. Psikologi Perkembangan:
Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan. Edisi V. Alih
Bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo.
Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E.B. 1993. Psikologi Perkembangan:
Psikologi Perkembangan Anak. Jilid 2.
Alih Bahasa: Istiwidayanti &
Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E.B. (terj) 1997. Psikologi
Perkembangan: Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi
VII. Alih Bahasa: Istiwidayanti &
Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Jusman, Y.A. 1997. Konsep Diri, Harga Diri
Pada Anak Panti Asuhan dan
Perbedaannya pada Anak yang
Tinggal Dirumah dengan Keluarga.
Skripsi. (Tidak Diterbitkan). Jakarta:
Fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya.
Mappiare, A. 1983. Psikologi Remaja.
Surabaya: Usaha Nasional.
Marcelline, E. 1997. Perbedaan Konsep Diri
Antara Siswa Berinteligensi Tinggi
dengan Siswa Berinteligensi Rendah.
Skripsi. (Tidak Diterbitkan). Jakarta:
Fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P & Haditono, S.R.
1999. Psikologi Perkembangan:
Pengantar Dalam Berbagai
Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Monks, F.J., Knoers, A.M.P & Haditono, S.R.
2001. Psikologi Perkembangan:
Pengantar Dalam Berbagai
Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Munandar, S.C.U. 1985. Emansipasi dan
Peran Ganda Wanita Indonesia: Suatu
Tinjauan Psikologis. Cetakan Kedua.
Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI Press).
Partosuwido, S. R. 1979. Kumpulan Pidato
Pengukuhan Guru Besar Fakultas
Psikologi Universitas Gajah Mada.
(Tidak Diterbitkan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Gajah
Mada.
Pudjijogyanti, C.R. 1988. Konsep Diri Dalam
Pendidikan. Jakarta: Arcan.
Rachmayanti, S. 1992. Penelusuran Tentang
Proses Pemanusiaan Anak. Tesis.
Program Pasca Sarjana. Bandung:
Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan.
Rahayu, S. C. 1999. Penelusuran Prestasi
Belajar Siswa & Perhatian Ibu Ditinjau
dari Kelompok yang Ibunya Bekerja
dan Tidak Bekerja. Skripsi. (Tidak
diterbitkan). Jakarta: Fakultas
Psikologi UNIKA Atmajaya.
Rakhmat, J. 1985. Psikologi Komunikasi. Alih
Bahasa: Tjun Suryaman. Jakarta:
Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, J. 1996. Psikologi Komunikasi. Alih
Bahasa: Tjun Suryaman. Jakarta:
Remaja Rosdakarya.
Ritandiyono & Retnaningsih. 1996. Aktualisasi
Diri (seri diktat kuliah). Jakarta:
Universitas Gunadarma.
Sarlito, S.W. 1988. Psikologi Remaja. Jakarta:
Rajawali Press.
Sandrianny, N. 2002. Perbedaan Harga Diri
Antara Anak yang Tinggal di Panti
Asuhan dengan Yang Tinggal
Bersama Keluarga. Skripsi. (Tidak
Diterbitkan). Jakarta: Fakultas
Psikologi UNIKA Atmajaya.
Sugiyono, 2005. Metode Penelitian
Adsministrasi. Edisi 11. Jakarta:
Alfabeta.
Sulandari, M. 2001. Hubungan antara Tingkat
Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan
dalam Komunikasi Pada Mahasiswa
Psikologi Gunadarma. Skripsi. (Tidak
Diterbitkan). Depok: Fakultas
Psikologi Universitas Gunadarma.
Tijpsastra, T.E. 1996. Hubungan antara
Konsep diri, Motivasi Belajar, Prestasi
Belajar Anak-anak Panti Asuhan dan
Perbedaan dari Anak-anak Yang
Diasuh dalam Keluarga. Tesis. (Tidak
Diterbitkan). Jakarta: Program
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Willis, S.S. 1994. Problem Remaja dan
Permasalahannya. Bandung:
Angkasa.
Wiratna, A. 1997. Konsep Diri.
http://www.mitra.net.id/business/self/ar
t2.htm.
Yusuf, M.A. 1982. Pengantar Ilmu pendidikan.
Jakarta: Ghalia Indonesia.