20
PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA YANG SEJAK MASA AKHIR KANAK- KANAKNYA DIBESARKAN DI PANTI ASUHAN DENGAN REMAJA YANG SEJAK MASA AKHIR KANAK-KANAKNYA DIBESARKAN DI RUMAH BERSAMA KELUARGA INDRA KAMARA PATTIMAHU Universitas Gunadarma ABSTRAKSI SKRIPSI Konsep diri merupakan produk sosial, yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisik dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang- orang penting disekitarnya. Dijelaskan pula bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang, salah satunya adalah peranan faktor sosial. Dijelaskan bahwa perkembangan konsep diri tidak terlepas dari pengaruh status sosial. Status sosial dapat diukur dari satu atau lebih indikator, yang salah satunya ialah tempat tinggal. Dari tempat tinggal inilah, kita dapat melihat status sosial yang dimiliki seseorang yang juga dapat berperan dalam pembentukan konsep diri. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris perbedaan konsep diri antara remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di rumah bersama keluarga. Hipotesis pada penelitian ini adalah ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri antara remaja yang pada masa akhir kanak- kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan dalam keluarga. Subjek pada penelitian ini adalah dua kelompok sampel yang secara keseluruhan berjumlah 90 responden dengan perincian 45 remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan dan tinggal di panti asuhan serta 45 kelompok remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan dan tinggal di rumah bersama keluarga. Alat ukur yang akan dipakai untuk mengukur konsep diri dalam penelitian ini adalah Skala Konsep Diri dimana item pernyataannya berpedoman pada Skala Konsep Diri Tennesse Self Concept Scale. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri antara remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan dalam keluarga. Remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti asuhan memiliki konsep diri yang sama baiknya dengan remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di rumah bersama keluarga. Berdasarkan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan Uji-t, diketahui bahwa nilai t sebesar -0,358 dengan taraf signifikansi sebesar 0,721 (p>0,05). Mengenai hasil Uji-t, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada lampiran. Kata Kunci : Konsep Diri, Remaja, Tempat tinggal (Rumah dan Panti Asuhan)

perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

  • Upload
    vonhan

  • View
    237

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

PERBEDAAN KONSEP DIRI ANTARA REMAJA YANG SEJAK MASA AKHIR KANAK-KANAKNYA DIBESARKAN DI PANTI ASUHAN DENGAN REMAJA YANG SEJAK MASA AKHIR

KANAK-KANAKNYA DIBESARKAN DI RUMAH BERSAMA KELUARGA

INDRA KAMARA PATTIMAHU Universitas Gunadarma

ABSTRAKSI SKRIPSI Konsep diri merupakan produk sosial, yang dibentuk melalui proses internalisasi dan

organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. Pengalaman-pengalaman psikologis ini merupakan

hasil eksplorasi individu terhadap lingkungan fisik dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang-

orang penting disekitarnya. Dijelaskan pula bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep

diri seseorang, salah satunya adalah peranan faktor sosial. Dijelaskan bahwa perkembangan konsep

diri tidak terlepas dari pengaruh status sosial. Status sosial dapat diukur dari satu atau lebih indikator,

yang salah satunya ialah tempat tinggal. Dari tempat tinggal inilah, kita dapat melihat status sosial

yang dimiliki seseorang yang juga dapat berperan dalam pembentukan konsep diri.

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris perbedaan konsep diri antara

remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan remaja yang pada

masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di rumah bersama keluarga. Hipotesis pada penelitian ini

adalah ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri antara remaja yang pada masa akhir kanak-

kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya

dibesarkan dalam keluarga.

Subjek pada penelitian ini adalah dua kelompok sampel yang secara keseluruhan berjumlah

90 responden dengan perincian 45 remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan dan

tinggal di panti asuhan serta 45 kelompok remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan

dan tinggal di rumah bersama keluarga. Alat ukur yang akan dipakai untuk mengukur konsep diri

dalam penelitian ini adalah Skala Konsep Diri dimana item pernyataannya berpedoman pada Skala

Konsep Diri Tennesse Self Concept Scale.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada konsep diri

antara remaja yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan remaja

yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan dalam keluarga. Remaja yang pada masa akhir

kanak-kanaknya dibesarkan di panti asuhan memiliki konsep diri yang sama baiknya dengan remaja

yang pada masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di rumah bersama keluarga. Berdasarkan analisis

data yang dilakukan dengan menggunakan Uji-t, diketahui bahwa nilai t sebesar -0,358 dengan taraf

signifikansi sebesar 0,721 (p>0,05). Mengenai hasil Uji-t, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada

lampiran.

Kata Kunci : Konsep Diri, Remaja, Tempat tinggal (Rumah dan Panti Asuhan)

Page 2: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

PENDAHULUAN Menurut Sarwono (dalam Sulandri,

2001), masa remaja dikenal sebagai masa

yang penuh kesukaran, karena masa remaja

merupakan masa transisi antara masa kanak-

kanak menuju ke masa dewasa. Selama masa

ini seseorang mulai merasakan suatu

perasaan tentang identitasnya sendiri,

perasaan bahwa dirinya adalah manusia unik.

Seseorang mulai menyadari sifat-sifat yang

melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka

kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan-

tujuan yang dikejarnya dimasa depan,

kekuatan dan hasrat untuk mengontrol

nasibnya sendiri. Inilah masa dalam

kehidupan ketika seseorang ingin menentukan

siapakah ia pada saat sekarang dan ingin

menjadi apa ia dimasa yang akan datang.

Prinsipnya setiap orang memiliki harapan

terhadap dirinya sendiri (Hall,1993). Harapan

terhadap diri sendiri ini tidak lepas dari

peranan konsep diri, dikarenakan konsep diri

menetukan pengharapan individu. Mc.

Candles (dalam Pudjijogyanti, 1988)

mengatakan bahwa konsep diri merupakan

seperangkat harapan serta penilaian perilaku

yang menunjuk kepada harapan-harapan

tersebut.

Konsep diri adalah gambaran yang

dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri baik

yang bersifat fisik, sosial, maupun psikologis

(Retnaningsih dkk, 1996). Hurlock (1991)

membagi konsep diri menjadi dua macam,

yaitu konsep diri sebenarnya dan aku ideal.

Setiap macam konsep diri ini mencakup citra

fisik maupun citra psikologis. Citra fisik

biasanya berkaitan dengan penampilan fisik,

daya tarik, kesesuaian dengan jenis kelamin.

Sedangkan citra diri psikologis terbentuk atas

dasar pikiran, perasaan, emosi. Citra

psikologis ini terdiri atas kualitas dan

kemampuan yang mempengaruhi

penyesuaian pada kehidupan, seperti sifat

berani, mandiri, serta berbagai jenis aspirasi

dan kemampuannya. Menurut Coulhoun

(1990), konsep diri dapat bersifat positif

maupun negatif. Positif maupun negatifnya

konsep diri ditentukan oleh penilaian individu

sendiri berdasarkan persepsi tentang

bagaimana orang mempersepsikannya.

Seseorang yang merasa dirinya diterima akan

cenderung memiliki konsep diri yang positif

dan sebaliknya, orang yang merasa dirinya

ditolak akan cenderung memiliki konsep diri

yang negatif.

Konsep diri bukan merupakan faktor

yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang

dipelajari dan terbentuk melalui pengalaman

individu dalam berhubungan dengan orang

lain. Dalam interaksi ini setiap individu akan

menerima tanggapan. Tanggapan tersebut

akan dijadikan cermin bagi individu untuk

menilai dan memandang dirinya sendiri,

terutama didasarkan pada tanggapan orang-

orang yang dianggap penting (Retnaningsih

dkk, 1996).

Menurut Coulhoun (1990), konsep diri

memiliki tiga dimensi, salah satunya ialah

pengetahuan tentang diri sendiri. Biasanya hal

ini menyangkut hal-hal yang bersifat dasar

seperti : usia, jenis kelamin, agama, ras dan

sebagainya, termasuk latar belakang tempat

tinggal. Faktor dasar ini akan menentukan

seseorang dalam kelompok sosial tertentu.

Selain itu setiap orang juga akan

mengidentifikasi kelompok sosial lain yang

dapat menambah informasi lain yang masuk

dalam potret mental orang tersebut. Sebagai

contoh, saya tinggal di panti asuhan, saya

anak orang kaya, dan sebagainya. Melalui

Page 3: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

perbandingan dengan orang lain inilah,

seseorang memberikan penilaian kualitas

dirinya. Hal-hal tersebut, ternyata

menunjukkan bahwa konsep diri seseorang

tidak lepas dari faktor-faktor yang

mempengaruhi.

Mead (dalam Retnaningsih dkk, 1996)

menyebutkan bahwa konsep diri merupakan

produk sosial, yang dibentuk melalui proses

internalisasi dan organisasi pengalaman-

pengalaman psikologis. Pengalaman-

pengalaman psikologis ini merupakan hasil

eksplorasi individu terhadap lingkungan fisik

dan refleksi dari dirinya yang diterima dari

orang-orang penting disekitarnya. Dijelaskan

pula bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi konsep diri seseorang, salah

satunya adalah peranan faktor sosial. Adanya

peranan faktor sosial terhadap perkembangan

konsep diri individu juga telah dibuktikan oleh

Rosenberg (dalam Pudjigjogyanti, 1988).

Dijelaskan bahwa perkembangan konsep diri

tidak terlepas dari pengaruh status sosial.

Dikatakan bahwa individu yang berstatus

sosial yang tinggi akan mempunyai konsep diri

yang lebih positif dibandingkan individu yang

berstatus sosial yang rendah.

Menurut Cage dan Berliner (1979),

status sosial dapat diukur dari satu atau lebih

indikator, yang salah satunya ialah tempat

tinggal. Dari tempat tinggal inilah, kita dapat

melihat status sosial yang dimiliki seseorang

yang juga dapat berperan dalam pembentukan

konsep diri. Seseorang yang tinggal ditempat

dimana orang tersebut merasa dirinya diterima

akan cenderung memiliki konsep diri yang

positif dan sebaliknya, orang yang tinggal

ditempat dimana orang tersebut merasa

ditolak akan cenderung memiliki konsep diri

yang negatif (Wiratna, 1997).

Dalam penelitian ini, tempat tinggal

yang dimaksud ada dua, yaitu panti asuhan

dan rumah tinggal. Panti asuhan dan rumah

tinggal adalah dua contoh bentuk tempat

tinggal yang berbeda baik dari segi struktur

maupun peran. Struktur disini dapat dilihat dari

bentuk secara fisik (dari panti asuhan maupun

rumah tinggal) serta juga dapat dilihat dari isi

yang, dalam hal ini adalah anggota atau

orang-orang yang tinggal dalam panti asuhan

maupun rumah tinggal. Sedangkan peran

disini lebih mengacu pada fungsi atau peran

panti asuhan maupun rumah tinggal.

Rumah tinggal secara fisik umumnya

sama dengan rumah tinggal-rumah tinggal

yang ada. Susunannya pun tidak berbeda

dengan apa yang ada pada rumah tinggal-

rumah tinggal pada umumnya. Ada ruang

keluarga, ruang tamu, ruang makan, kamar

tidur, kamar mandi, dan dapur. Justru yang

berbeda hanyalah ukuran, bentuk dan variasi.

Rumah tinggal berkaitan erat dengan

lingkungan keluarga, yang dalam hal ini

adalah keluarga sendiri yang terdiri dari

seorang ayah dan ibu, anak serta saudara-

saudaranya (jika ada). Dapat dikatakan bahwa

anak yang dibesarkan di rumah tinggal, maka

lingkungan pertama yang mula-mula

memberikan pengaruh yang mendalam adalah

lingkungan keluarganya sendiri. Dari anggota

keluarga tersebut yaitu ayah, ibu dan saudara-

saudaranya, anak memperoleh segala

kemampuan dasar, baik intelektual maupun

sosial. Bahkan penyaluran emosi banyak ditiru

dan dipelajarinya dari anggota-anggota

keluarganya. Sikap, pandangan dan pendapat

orang tua atau anggota keluarganya dijadikan

model oleh anak dan ini kemudian menjadi

sebagian dari tingkah laku anak itu sendiri.

Keberadaan figur dan peran orang tua yang

Page 4: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

jelas membuat anak merasa adanya

penerimaan yang hangat dari orang tua

berupa pemberian rasa aman dengan

menerima anak, menghargai kegiatannya dan

memberikan patokan yang jelas sehingga

anak dengan sendirinya akan merasa yakin

dengan kemampuannya dan akan lebih

percaya diri.

Hal ini ditegaskan pula oleh penelitian

yang dilakukan Musen (dalam Burns, 1993)

yang mengatakan bahwa kehangatan dan

penerimaan orang tua memiliki korelasi

dengan konsep diri. Dikatakan pula, anak-

anak cenderung memiliki konsep diri yang

positif bila setidaknya salah satu dari orang

tua mereka menunjukkan sikap penerimaan

dan kehangatan. Lagipula ketika masih kecil,

orang penting bagi seorang anak adalah

orangtua dan saudara-saudaranya yang

tinggal serumah. Merekalah yang pertama-

tama menanggapi perilaku anak, sehingga

secara perlahan-lahan terbentuk konsep diri

anak. Segala sanjungan, senyuman, pujian,

penerimaan dan penghargaan yang didapat

dari mereka akan menyebabkan penilaian

positif terhadap diri anak tersebut yang pada

akhirnya membuat ia menjadi individu yang

bisa menerima pujian dengan tanpa rasa

malu. Yakin akan kemampuannya, percaya

diri dan menerima pujian dengan tanpa rasa

malu termasuk konsep diri ke arah yang

positif, sesuai dengan apa yang disebutkan

oleh Brooks dan Emmert (dalam Rahmat,

1985) yang menyebutkan ciri-ciri orang yang

memiliki konsep diri positif diantaranya yakin

akan kemampuan untuk mengatasi suatu

masalah dan bisa menerima pujian dengan

tanpa rasa malu.

Struktur dan peran rumah tinggal yang

dipaparkan diatas berbeda dengan di panti

asuhan. Panti asuhan secara fisik umunya

berbentuk asrama. Di dalam asrama ini

terdapat satu atau lebih petugas yang

bertindak sebagai bapak atau ibu pengasuh.

Selain itu di dalam asrama ini juga terdapat

anak asuh dimana mereka dikelompokkan

dalam jumlah yang besar dan ditempatkan

pada satu ruangan dengan penempatan

sesuai kelompok umur dan dikelompokkan

antara 15 sampai dengan 20 orang. Struktur

seperti ini membuat kurang meratanya

pengawasan dan bimbingan yang diberikan

kepada anak sehingga dapat menghambat

perkembangan konsep diri anak.

Penelitian yang dilakukan oleh

Goldfard (dalam Burns, 1993) menunjukkan

bahwa anak yang dibesarkan dalam suatu

institusi, cenderung mengalami hambatan

dalam perkembangan kepribadiannya,

misalnya cenderung untuk menarik diri dari

lingkungan dan mengalami retardasi fisik atau

mental. Peran panti asuhan sendiri hanyalah

sebagai lembaga yang memberikan pelayanan

pengganti. Dalam hal ini berarti menggantikan

fungsi keluarga. Digantikannya fungsi keluarga

oleh panti asuhan apabila anak memang

sudah tidak mempunyai orang tua lagi atau

anak mempunyai orang tua tetapi orang tua

tersebut belum mampu berfungsi sebagai

satuan keluarga asuh secara wajar. Anak

yang dibesarkan di panti asuhan biasanya sulit

mendapatkan perhatian yang sama dari bapak

atau ibu pengasuh mereka, karena mereka

harus berbagi perhatian dengan begitu banyak

anak asuh lainnya. Selain itu mereka akan

mengalami kekurangan akan kasih sayang,

begitu juga kurangnya perhatian dikarenakan

figur pengasuh yang lebih dan selalu berganti-

ganti. Kadang hal seperti ini membuat anak

asuh cenderung merasa tidak diperhatikan

Page 5: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

atau tidak disukai orang lain. Kondisi seperti

ini tentunya akan menghambat perkembangan

konsep diri yang positif. Apalagi hal ini

diperkuat oleh ciri-ciri orang yang memiliki

konsep diri negatif seperti yang disebutkan

oleh Brooks dan Emmert (Dalam Rahmat,

1985) yang salah satunya adalah cenderung

merasa tidak disukai atau diperhatikan.

Namun tidak begitu saja kita

mengartikan bahwa anak yang tinggal di

rumah lebih baik daripada di panti asuhan.

Jusman (1997), meneliti di enam panti asuhan

yang berbeda, dan hasilnya menunjukkan

bahwa kelompok anak yang dibesarkan di

panti asuhan memiliki harga diri dan

keyakinan diri yang lebih baik. Hal ini

dikarenakan, attachment yang terbentuk

antara pengasuh dan anak pada tahun-tahun

awal kehidupan anak lebih baik dibanding

dengan kelompok anak yang dibesarkan di

rumah bersama keluarga. Anak yang tinggal di

rumah, tidak menjamin mereka bisa begitu

saja mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Ada anak yang tidak sempat mendapatkan

pendidikan yang layak karena kurangnya

kasih sayang pada anak tersebut. Ada juga

anak yang tidak sempat atau bahkan tidak

mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya

karena frekuensi kehadiran orang tua yang

sangat sedikit yang disebabkan kesibukan

orang tuanya.

Anak yang tinggal di panti asuhan,

tidak selalu mereka adalah anak-anak yang

kehilangan orang tua ataupun salah satu

orang tuanya, tetapi juga anak-anak yang

terlantar karena sebab-sebab lainnya seperti

keluarga yang retak, anak dari keluarga

terpidana, orang tua yang bercerai sehingga

tidak mampu mengurus anak tersebut atau

mereka yang dititipkan karena orang tua

mereka belum bisa berperan sebagai orang

tua asuh yang baik, sehingga sebab-sebab

keberadaan mereka di panti asuhan dapat

memberikan kesan khusus pada konsep diri.

Berdasarkan hasil penelitian Goldfard

(Burns, 1993) dan Jusman (1997) yang saling

bertentangan tersebut, penulis cenderung

berpendapat sesuai dengan hasil penelitian

Goldfard yang menyatakan bahwa anak yang

dibesarkan dalam suatu institusi, cenderung

mengalami hambatan dalam perkembangan

kepribadiannya. Hasil penelitian Jusman

(1997) yang menunjukkan bahwa anak yang

dibesarkan di panti asuhan memiliki harga diri

dan keyakinan diri yang lebih baik, menurut

penulis bahwa hal ini kemungkinan

disebabkan karena subjek yang tinggal di

rumah bersama keluarga (sebagai

pembanding subjek yang tinggal di panti

asuhan) berasal dari keluarga yang

bermasalah.

Penulis berkeyakinan bahwa apabila

pembandingnya adalah subjek dari keluarga-

keluarga yang tidak bermasalah, dalam arti

interaksi yang terjadi antara orang tua dan

anak sangat baik, maka kemungkinan hasilnya

adalah bahwa anak yang tinggal bersama

keluarga memiliki konsep diri yang lebih

positif. Hal ini disebabkan karena anak dapat

memperoleh segala kemampuan dasar, baik

intelektual maupun sosial dari anggota

keluarganya itu, yaitu ayah, ibu dan saudara-

saudaranya. Bahkan penyaluran emosi

banyak ditiru dan dipelajarinya dari anggota-

anggota keluarganya. Sikap, pandangan dan

pendapat orang tua atau anggota keluarganya

dijadikan model oleh anak dan ini kemudian

menjadi sebagian dari tingkah laku anak itu

sendiri. Segala sanjungan, senyuman, pujian,

penerimaan dan penghargaan yang didapat

Page 6: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

dari mereka akan menyebabkan penilaian

positif terhadap diri anak tersebut yang pada

akhirnya membuat ia menjadi individu yang

bisa menerima pujian dengan tanpa rasa

malu. Selain itu keberadaan figur dan peran

orang tua yang jelas membuat anak merasa

adanya penerimaan yang hangat dari orang

tua berupa memberikan rasa aman dengan

menerima anak, menghargai kegiatannya dan

memberikan patokan yang jelas sehingga

anak dengan sendirinya akan merasa yakin

dengan kemampuannya dan akan lebih

percaya diri. Yakin akan kemampuannya,

percaya diri dan menerima pujian dengan

tanpa rasa malu termasuk konsep diri ke arah

yang positif, sesuai dengan apa yang

disebutkan oleh Brooks dan Emmert (dalam

Rahmat, 1985) yang menyebutkan ciri-ciri

orang yang memiliki konsep diri positif

diantaranya yakin akan kemampuan untuk

mengatasi suatu masalah dan bisa menerima

pujian dengan tanpa rasa malu.

Oleh karena itu, berdasarkan uraian

diatas penulis ingin meneliti apakah ada

perbedaan konsep diri antara remaja yang

sejak masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan

di Panti Asuhan dengan remaja yang sejak

masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di

rumah bersama keluarga ?

Penelitian ini bertujuan untuk

membuktikan secara empiris perbedaan

konsep diri antara remaja yang pada masa

akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti

asuhan dengan remaja yang pada masa akhir

kanak-kanaknya dibesarkan di rumah

bersama keluarga.

TINJAUAN PUSTAKA Istilah konsep diri bermula dari

seorang tokoh yang bernama William James.

Ia merupakan tokoh pertama yang

membedakan dua aspek mendasar dari self,

yaitu “I” dan “Me”. Konsep “I” menunjuk pada

individu sebagai subjek dan “Me” menunjuk

individu sebagai objek (Bracken,1996).

Menurut James (dalam Bracken,1996), “I”

sebagai diri yang mengetahui (knower) dan

“Me” sebagai diri yang diketahui. “Me” inilah

yang selanjutnya disebut sebagai konsep diri.

“I” disebut juga dengan subjective self karena

aspek inilah yang mengorganisasikan dan

menginterpretasikan pengalaman seseorang.

Sedangkan “Me” disebut juga objective self

atau empirical self karena aspek ini

merupakan ciptaan dari “I”.

Konsep diri memegang peranan

penting dalam susunan pola kepribadian. Hal

ini dikemukakan oleh Hurlock (1993) yang

menyatakan bahwa konsep diri memegang

peranan penting dalam kepribadian karena

merupakan salah satu komponen utama

dalam kepribadian individu. Hurlock (1993)

mendefinisikan konsep diri sebagai gambaran

yang dimiliki seseorang mengenai dirinya

sendiri baik berupa karakteristik fisik,

psikologis, sosial dan emosional, aspirasi dan

prestasi sebagai hasil observasi terhadap

dirinya di masa lalu dan pada saat sekarang

ini.

Cooley ( dalam Angel, http : //www.

critical social work. com, 2001 ) salah satu ahli

lain, mengemukakan konsep dari self bahwa

self merupakan suatu konstruk sosial. Artinya,

bahwa self terbentuk melalui interaksi dengan

lingkungan atau orang lain. Ia menilai konsep

diri sebagai “Looking glass self “ (cermin diri)

dimana seakan-akan individu menaruh cermin

didepannya dan selanjutnya individu menilai

bagaimana dirinya dan penilaian ini akan

Page 7: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

mempengaruhi prilaku individu yang

bersangkutan.

Brooks (dalam Rakhmat, 1996)

mengatakan bahwa konsep diri merupakan

pandangan individu terhadap seluruh keadaan

dirinya berupa penilaian-penilaian mengenai

kualitas fisik, sosial maupun psikologis yang

diperoleh melalui pengalaman individu dalam

interaksinya dengan orang lain. Taylor (dalam

Rahmat,1996) mendefinisikan konsep diri

sebagai segala sesuatu yang dipikirkan dan

dirasakan tentang dirinya sendiri, yang

mencakup serangkaian keyakinan dan sikap

tentang diri individu itu sendiri.

Menurut Coopersmith (1974), konsep

diri adalah kepercayaan, hipotesa dan asumsi

yang dimiliki individu tentang dirinya.

Sedangkan Burns (1993), mengatakan bahwa

konsep diri adalah total keseluruhan dari

persepsi seseorang tentang dirinya dan

didasarkan pada kepercayaan, evaluasi dan

kecenderungan bertingkah laku.

Ahli konsep diri yang lain, yaitu Fitts

(1971) mengatakan bahwa konsep diri adalah

diri yang dilihat, dipersepsikan dan dialami

oleh individu. Sharelsson (dalam Bracken,

1996), mengatakan bahwa konsep diri adalah

persepsi diri seseorang yang dibentuk melalui

pengalaman dengan atau dan interpretasi

lingkungannya.

Berdasarkan uraian diatas maka

konsep diri dalam hal ini adalah evaluasi

personal dan penilaian atau pandangan

individu terhadap seluruh keadaan dirinya

yang berupa penilaian-penilaian mengenai

kualitas fisik, sosial maupun psikologis atau

penilaian akan penampilan, kekuasaan dan

tingkah lakunya yang diperoleh melalui

pengalaman individu dalam interaksinya

dengan orang lain di masa lalu dan pada saat

sekarang ini sebagai suatu hasil

perkembangan dari perhatian individu tersebut

mengenai bagaimana orang lain bereaksi

terhadap dirinya.

Menurut Fitts (dalam Marcelline,

1997), konsep diri terdiri dari empat aspek

yang merupakan detil yang akan menjelaskan

mengenai diri secara utuh, yaitu :

a. Aspek Kritik Diri

Aspek ini menunjukkan

bagaimana seseorang

menggambarkan dirinya serta

pribadinya, apakah bersifat

defensif/menutupi atau bersikap

terbuka terhadap kekurangan dan

kelemahan diri. Aspek ini juga

menggambarkan bagaimana

seseorang bersikap dalam menerima

umpan balik atau kritik dari orang lain.

Apakah mau menerima dan

mengevaluasi lebih lanjut atau

langsung menutupi diri dan menolak

dengan tegas.

Konsep diri mungkin saja

terbentuk karena penilaian diri yang

tidak tepat, yang bersumber dari sikap

defensif individu, misalnya kurang

terbuka menggambarkan siapa aku

sesungguhnya, kurang adanya

kesesuaian untuk mengakui

kelemahan dan kekurangan pribadi.

b. Aspek Harga Diri

Aspek ini sesungguhnya

merupakan inti dari konsep diri. Fitts

(dalam Marcelline, 1997) menganggap

bahwa aspek ini sebagai komponen

yang dominan dalam konsep diri

seseorang. Pada waktu seseorang

mengamati dirinya, ia pun

mengadakan penilaian seperti suka

Page 8: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

atau tidak suka, puas, puas sekali, dll.

Harga diri erat hubungannya dengan

perasaan berhasil dan pemahaman

tentang potensi diri. Harga diri

berkembang dari sejumlah perasaan/

penilaian tentang diri sendiri dan

keyakinan diri.

c. Aspek Integrasi Diri

Aspek ini menunjuk pada

derajat integrasi antara bagian-bagian

diri, yaitu kemampuan seseorang

menyatukan seluruh aspek konsep diri

menjadi satu keseluruhan yang utuh.

Sejauhmana komponen-komponen

tersebut dapat disatukan,

menunjukkan pada sejauhmana

kesesuaian (konsistensi) antara

patokan perilaku & perilaku yang

ditampilkan individu dalam

kenyataannya. Konsistensi tersebut

menunjukkan adanya integrasi yang

cukup baik, dimana semakin

berintegrasi bagian-bagian diri

seseorang, akan semakin baik ia

dalam menjalankan fungsinya.

d. Aspek Keyakinan Diri

Aspek ini berisi tentang

keyakinan individu terhadap nilai-nilai,

tingkah laku dan kemampuan yang

dimilikinya. Aspek ini menunjukkan

seseorang untuk yakin/tidak dalam

menilai dirinya. Keyakinan diri

seseorang berasal dari tingkat

kepuasan terhadap dirinya sendiri.

Semakin besar aspek keyakinan diri

seseorang, ia semakin percaya pada

kemampuan dirinya. Dengan kata lain,

ia semakin yakin dalam menilai dirinya

termasuk kemampuan-kemampuan

yang dimilikinya.

Menurut Fitts (dalam Marcelline,

1997), Keempat aspek konsep diri yang

disebutkan diatas yang dimiliki individu ini

akan mengevaluasi/menilai dan

menggambarkan bagian-bagian diri yang

digolongkan dalam dua dimensi, yaitu internal

dan eksternal. Masing-masing dimensi ini

memiliki komponen yang spesifik, yang

merupakan detil dari bagian-bagian diri.

Adapun kedua dimensi tersebut, yaitu :

a. Dimensi Internal

Dimensi Internal terdiri dari tiga komponen

pokok, yaitu komponen identitas diri,

komponen perilaku dan komponen

penilaian.

1) Komponen Identitas Diri (Identity

Self)

Komponen ini merupakan konsep

paling dasar dari konsep diri yang

merupakan jawaban-jawaban atas

pertanyaan dasar “siapakah saya ?”.

Dalam komponen ini terkumpul segala

macam label, simbol dan julukan yang

berkenaan dengan karakteristik

seseorang. Identitas berkembang sejalan

dengan meluasnya kegiatan sosial

seseorang. Identitas bersumber pada

perilaku karena merupakan hasil penilaian

terhadap dirinya, yang selanjutnya hasil

penilaian akan mewarnai perilaku yang

ditampilkan. Misalnya, “tubuh saya sehat”.

2) Komponen Perilaku (Behavioral

Self)

Komponen ini timbul berdasarkan

umpan balik, baik yang bersifat internal

maupun eksternal, terhadap tingkah laku

yang ditampilkan. Umpan balik atau

respon yang diterima oleh individu atas

tingkah lakunya, akan mempengaruhi

Page 9: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

kelanjutan dari tingkah laku tersebut,

apakah tingkah laku tersebut akan

bertahan atau hilang. Bila umpan balik

bersifat positif, maka tingkah laku akan

dipertahankan dan sebaliknya, bila umpan

balik bersifat negatif maka tingkah laku

akan dihilangkan. Tingkah laku yang

dipertahankan, akan mempengaruhi

pembentukkan konsep diri. Misalnya,

“saya merawat tubuh saya sebaik

mungkin”.

3) Komponen Penilaian (Judging

Self)

Komponen ini berfungsi utama

sebagai penilai, disamping sebagai

pengamat, pengatur standar, pembanding

serta penengah antara komponen

identitas dan komponen perilaku.

Komponen ini juga akan mengevaluasi

persepsi individu terhadap perilaku dan

identitas yang dimiliki. Komponen ini pula

yang akan memberi pengaruh paling

besar terhadap aspek harga diri. Misalnya,

“saya suka wajah saya sebagaimana

adanya”.

b. Dimensi Eksternal

Dimensi Eksternal terdiri dari lima

komponen, yaitu komponen fisik,

komponen moral etis, komponen diri

personal, komponen diri keluarga,

komponen diri sosial.

1) Komponen Fisik (Physical Self)

Komponen ini mencakup bagaimana

individu mempersepsikan keberadaan

dirinya baik secara fisik, kesehatan

maupun seksualitas, misalnya bentuk dan

proporsi tubuh. Contoh, “saya rapih

sepanjang waktu”.

2) Komponen Moral Etis (Moral-

Ethical Self)

Komponen ini merupakan komponen

yang menunjukkan persepsi individu

mengenai kerangka acuan moral etika,

nilai-nilai moral, hubungan dengan Tuhan,

perasaan-perasaan sebagai orang

baik/buruk dan rasa puas terhadap

kehidupan. Misalnya, “saya orang yang

berpegang teguh pada prinsip-prinsip

agama”.

3) Komponen Diri Pribadi (Personal

Self)

Perasaan individu terhadap nilai

pribadi, perasaan adekuat sebagai pribadi

dan penilaian individu terhadap

kepribadiannya sendiri terlepas dari

penilaian fisik atau hubungannya dengan

orang lain. Misalnya, “saya orang yang

selalu gembira”.

4) Komponen Diri Keluarga (Family

Self)

Perasaan individu dalam kaitannya

dengan anggota keluarga, teman

sepermainannya serta sejauhmana dirinya

merasa adekuat sebagai anggota keluarga

dan teman terdekatnya tersebut. Misalnya,

“jika saya menghadapi masalah, keluarga

saya siap membantu”.

5) Komponen Diri Sosial (Social Self)

Komponen ini berisi perasaan dan

penilaian diri sendiri dalam

interaksinya dengan orang lain dalam

lingkungan yang lebih luas. Misalnya,

“saya suka berteman”.

Dalam penelitian ini tempat tinggal

terbagi menjadi dua yaitu panti asuhan dan

rumah. Rumah lekat dengan adanya sebuah

keluarga inti yang berada didalamnya.

Page 10: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

Keluarga inti terdiri dari orang tua dan anak

(Monk, 2001).

a. Panti Asuhan

1) Pengertian Panti Asuhan

Menurut Departemen Sosial Republik

Indonesia (1989), panti asuhan adalah suatu

lembaga usaha kesejahteraan sosial yang

mempunyai tanggung jawab untuk

memberikan pelayanan kesejahteraan sosial

kepada anak terlantar serta melaksanakan

penyantunan dan pengentasan anak terlantar,

memberikan pelayanan pengganti atau

perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan

fisik, mental dan sosial pada anak asuh

sehingga memperoleh kesempatan yang luas,

tepat dan memadai bagi perkembangan

kepribadiannya sesuai dengan yang

diharapkan sebagai bagian dari generasi

penerus cita-cita bangsa dan sebagai insan

yang akan turut serta aktif didalam bidang

pembangunan nasional.

Panti asuhan yaitu suatu lembaga

untuk mengasuh anak, menjaga dan

memberikan bimbingan dari pimpinan kepada

anak dengan tujuan agar mereka menjadi

manusia yang cakap dan berguna serta

bertanggung jawab atas dirinya dan terhadap

masyarakat dikemudian hari. Panti asuhan

sebagai pengganti orang tua, sehubungan

dengan orang tua anak tidak dapat berfungsi

sebagaimana mestinya dalam mendidik dan

mengasuh anak (Sandrianny, 2002).

Panti asuhan juga memberikan

pelayanan pengganti (substitutive service),

yang dalam hal ini berarti menggantikan fungsi

keluarga. Digantikannya fungsi keluarga oleh

panti asuhan apabila anak memang sudah

tidak mempunyai orang tua lagi atau

mempunyai orang tua/keluarga tetapi keluarga

tersebut tidak atau belum mampu berfungsi

sebagai satuan keluarga asuh yang wajar (

Tijpsastra, 1996).

Berdasarkan uraian diatas terkandung

unsur bahwa panti asuhan sebagai suatu

lembaga yang didirikan atas dasar

kesengajaan, formal dan terorganisasi. Panti

asuhan selain sebagai unsur pengganti

keluarga juga merupakan pelayanan

kesejahteraan sosial yang bersifat sementara

dan memungkinkan adanya pemenuhan

kebutuhan anak asuh untuk terpenuhinya

pertumbuhan fisik secara wajar, memperoleh

kesempatan dalam usaha pengembangan

mental dan pikiran sehingga anak asuh dapat

mencapai tingkat kedewasaan yang matang,

melaksanakan peranan-peranan sosialnya

sesuai dengan tuntutan lingkungannya.

2) Tujuan Panti Asuhan

Tujuan panti asuhan menurut

Departemen Sosial Republik Indonesia (1989),

ialah memberikan pelayanan berdasarkan

pada profesi pekerjaan sosial kepada anak

terlantar dengan cara membantu dan

membimbing mereka kearah perkembangan

pribadi yang wajar serta kemampuan

keterampilan kerja, sehingga mereka menjadi

anggota masyarakat yang dapat hidup layak

dan penuh tanggung jawab baik terhadap

dirinya, keluarga maupun masyarakat.

3) Sasaran Garapan Panti Asuhan

Sasaran garapan panti asuhan anak

meliputi :

a) Anak yatim, piatu, yatim piatu terlantar

berusia 0-21 tahun

b) Anak terlantar adalah anak yang

karena suatu sebab anak orang

tuanya melalaikan kewajibannya,

sehingga kebutuhan anak tidak dapat

terpenuhi dengan wajar baik secara

rohani, jasmani maupun social, antara

Page 11: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

lain keluarga retak, sehingga tidak ada

relasi social yang harmonis

c) Anak yang tidak mampu adalah anak

yang karena suatu sebab tidak dapat

terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya,

baik secara rohani, jasmani maupun

social dengan wajar antara lain salah

satu orang tua dan atau keduanya

sakit kronis, terpidana dan meninggal

sehingga anak tidak ada yang

merawat

Bagi anak yang tinggal dirumah,

lingkungan terdekat dengan diri anak pada

awal kehidupannya adalah lingkungan

keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat

Monk (2001) yang mengatakan bahwa rumah

lekat dengan adanya sebuah keluarga inti

yang berada didalamnya. Keluarga inti ini

terdiri dari orang tua dan anak.

Oleh karena itu dapat dikatakan

bahwa rumah dalam penelitian ini adalah

tempat tinggal keluarga, yang berarti suatu

tempat untuk tinggal yang didalamnya

terdapat keluarga inti yang terdiri dari suami

(ayah), istri (ibu), dan dengan anak-anak,

dimana mereka saling mencintai dan berbagi.

1) Pengertian Keluarga

Keluarga menurut Pudjigjogyanti

(1988) adalah sekelompok orang yang diikat

oleh perkawinan atau darah, biasanya meliputi

ayah, ibu dan anak. Menurut Yusuf (1982),

keluarga adalah kesatuan masyarakat yang

paling kecil sebagai suatu kesatuan maka

ikatan didasarkan atas perkawinan dimana

tiap anggota mengabdikan dirinya kepada

kepentingan dan tujuan keluarga. Menurut

Meyer F. Nimkoff (dalam Pudjigjogyanti,1988),

keluarga adalah ikatan yang berlangsung lama

antara suami dan istri, dengan atau tanpa

anak.

Keluarga sebagai kelompok sosial

terkecil dalam masyarakat, yang terbentuk

berdasarkan kelompok sosial terkecil dalam

masyarakat yang terbentuk berdasarkan

pernikahan yang terdiri dari seorang suami

(ayah), istri (ibu) dan anak-anak mereka (SC.

Utami Munandar, 1985). Keluarga tetap

merupakan bagian penting bagi anak, sebab

anggota keluarga merupakan lingkungan

pertama anak dan orang yang paling penting

selama tahun awal (Hurlock, 1991).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan

bahwa keluarga adalah kelompok sosial

terkecil dalam masyarakat yang terbentuk

berdasarkan ikatan yang didasarkan oleh

perkawinan atau darah yang berlangsung

lama antara suami (ayah), istri (ibu), dan

dengan anak-anak mereka dimana tiap

anggota mengabdikan dirinya kepada

kepentingan dan tujuan keluarga.

2) Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga (Pudjigjogyanti,

1988), yaitu :

a) Keluarga berfungsi sebagai tempat

pendidikan informal, tempat dimana

anak memperkembangkan dan

diperkembangkan kemampuan-

kemampuan dasar yang dimilikinya,

sehingga mencapai prestasi sesuai

dengan kemampuan dasar yang

dimiliki dirinya dan memperlihatkan

perubahan perilaku dalam berbagai

aspeknya seperti yang diharapkan

atau direncanakan.

b) Keluarga berfungsi sebagai tempat

untuk menanamkan aspek sosial agar

bisa menjadi anggota masyarakat

yang mampu berinteraksi dan

menyesuaikan diri dengan lingkungan

sosial.

Page 12: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini akan digunakan

dua kelompok sampel. Kelompok yang

pertama adalah kelompok remaja yang pada

masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan dan

tinggal di panti asuhan. Sedangkan kelompok

yang kedua merupakan kelompok remaja

yang pada masa akhir kanak-kanaknya

dibesarkan dan tinggal di rumah bersama

keluarga.

Adapun karakteristik sampel dari

kelompok pertama yaitu kelompok remaja

yang sejak masa akhir kanak-kanaknya

dibesarkan di panti asuhan adalah :

1. Berusia 17 – 21 Tahun

Menurut Fitts (1971), konsep diri individu

baru akan relatif stabil pada masa ini.

2. Pendidikan minimal lulus SMP

Karakter ini ditetapkan semata-mata agar

responden dapat memahami pertanyaan

yang diajukan oleh penulis dan dapat

memberi jawaban yang sesuai, karena

Piaget (dalam Gormly & Brodzinsky, 1993)

menyatakan bahwa individu pada usia 12

tahun atau lebih telah mencapai tahap

terakhir (formal operasional) dalam

perkembangan kognitifnya sehingga

sudah dapat berpikir kritis dan instropektif.

3. Mulai tinggal dipanti asuhan sejak usia 6 –

12 Tahun

Menurut Hurlock (1991), batas usia kanak-

kanak akhir adalah 6 tahun sampai

dengan mencapai kematangan

seksualnya, yaitu sebelum mencapai

masa remaja. Menurutnya, pada masa ini

seorang anak akan mengalami perubahan

kepribadian. Perubahan ini akan

mempengaruhi perkembangan sosial

anak, khususnya perkembangan konsep

diri. Selain itu, masih menurut Hurlock

(1991), pada masa ini seorang anak mulai

membentuk konsep diri ideal yang meliputi

sifat-sifat yang dikagumi oleh kelompok

seperti perilaku, prestasi, penampilan fisik

atau hal-hal lain yang dapat terlihat oleh

individu di sekitarnya.

Sedangkan untuk kelompok remaja

yang kedua yaitu kelompok remaja yang sejak

masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di

rumah bersama keluarga, adalah :

1. Berusia 17 – 21 Tahun

Menurut Fitts (1971), konsep diri individu

baru akan relatif stabil pada masa ini.

2. Pendidikan minimal lulus SMP

Karakter ini ditetapkan semata-mata agar

responden dapat memahami pertanyaan

yang diajukan oleh penulis dan dapat

memberi jawaban yang sesuai, karena

menurut Piaget (dalam Gormly &

Brodzinsky, 1993) menyatakan bahwa

individu pada usia 12 tahun atau lebih

telah mencapai tahap terakhir (formal

operasional) dalam perkembangan

kognitifnya sehingga sudah dapat berpikir

kritis dan instropektif.

3. Masih tinggal bersama orang tua atau

anggota keluarga lainnya.

Teknik pengambilan sampel yang

akan digunakan dalam penelitian ini adalah

sampling nonprobabilitas. Yang dimaksud

dengan sampling nonprobabilitas adalah

sampel yang tidak dipilih secara acak. Secara

lebih spesifik, sampel diambil secara

Purposive. Yang dimaksud dengan Sampling

Purposive adalah metode sampling yang

menggunakan sampel dimana peneliti

mempunyai karakteristik tertentu dalam

menetapkan sampel sesuai dengan tujuan

penelitian (Sugiyono, 2005).

Page 13: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

Teknik pengumpulan data yang akan

digunakan dalam penelitian ini adalah

menggunakan Angket. Angket adalah teknik

pengumpulan data dengan menyerahkan atau

mengirimkan daftar pertanyaan untuk diisi oleh

responden (Azwar,1992). Angket tersebut

terdiri dari lembar informasi identitas (nama,

usia, pendidikan, jenis kelamin, status tinggal),

dan Skala Konsep Diri.

1. Skala Konsep Diri Alat ukur yang akan dipakai untuk

mengukur konsep diri dalam penelitian ini

adalah Skala Konsep Diri dimana item

pernyataannya diadopsi dari Tjipsastra (1996)

yang berpedoman pada Skala Konsep Diri

yang disusun pertama kali oleh Fitts (1971)

dalam Tennesse Self Concept Scale, dengan

alasan uji validitas dan reliabilitas dahulu

memakai subjek penelitian remaja. Skala ini

bertujuan untuk mengungkapkan seberapa

besar konsep diri seorang remaja yang sejak

masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di

panti asuhan dengan mereka yang dibesarkan

di rumah bersama keluarga.

Skala ini berisi 86 pernyataan yang

terdiri dari 43 pernyataan favourable dan 43

pernyataan unfavourable. Item-item pada

skala ini dibuat berdasarkan dua dimensi

konsep diri dari Fitts (1971) yaitu pertama,

Dimensi Internal yang terdiri dari tiga

komponen pokok, yaitu komponen identitas

diri, komponen perilaku dan komponen

penilaian. Kedua, Dimensi Eksternal yang

terdiri dari lima komponen pokok, yaitu

komponen fisik, komponen moral etis,

komponen diri personal, komponen diri

keluarga, komponen diri sosial.

Model skala yang akan digunakan adalah jenis

Skala Likert. Skala ini terdiri atas 86

pernyataan yang terdiri dari 43 pernyataan

favourable dan 43 pernyataan unfavourable

dengan memakai enam alternatif jawaban,

yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Agak

Sesuai (AS), Agak Tidak Sesuai (ATS), Tidak

Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Cara

menjawab pernyataan-pernyataan tersebut

adalah dengan jalan memilih salah satu

jawaban yang dianggap subjek paling sesuai

dengan keadaan dirinya. Adapun sistem

penilaian yang digunakan baik pada item

favourable dan unfavourable bergerak dari

Sangat Sesuai (SS) sampai dengan Sangat

Tidak Sesuai (STS). Untuk menguji hipotesis mengenai

perbedaan konsep diri antara remaja yang

sejak masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan

dipanti asuhan dengan remaja yang sejak

masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan

dirumah bersama keluarga, digunakan teknik

analisis Uji – t (t-Test) independent sample

karena yang diuji bedakan adalah sampel-

sampel yang berasal dari dua kelompok

subjek yang berbeda yaitu kelompok remaja

yang sejak masa akhir kanak-kanaknya

dibesarkan di panti asuhan dengan kelompok

remaja yang sejak masa akhir kanak-

kanaknya dibesarkan di rumah bersama

keluarga. Analisis data menggunakan bantuan

SPSS Versi 11.5 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini berusaha untuk menguji

adanya perbedaan secara signifikan pada

konsep diri antara remaja yang pada masa

akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti

asuhan dengan remaja yang pada masa akhir

kanak-kanaknya dibesarkan dalam keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa

hipotesis penelitian ini tidak diterima. Hal ini

berarti bahwa tidak ada perbedaan konsep diri

Page 14: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

secara signifikan antara remaja yang sejak

masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan

didalam panti asuhan dengan remaja yang

sejak masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan

dirumah bersama keluarga.

Baik di rumah maupun di panti asuhan

memiliki konsep diri yang sama baiknya

dengan remaja yang pada masa akhir kanak-

kanaknya dibesarkan di rumah bersama

keluarga. Hal ini diperkuat dengan keadaan di

Panti Asuhan Mitra Hasanah yang cukup baik

dan setara dengan di rumah. Secara teknis, di

panti asuhan Mitra Hasanah, setiap anak

merasa dirinya diterima keberadaannya baik di

dalam panti maupun di luar panti asuhan. Hal

ini terlihat, setiap anak dapat berbagi masalah

dengan ibu pengasuh di dalam ruang “Empat

Mata”. Ruangan tersebut merupakan ruangan

dimana anak dapat melakukan sharing

dengan ibu pengasuh terhadap berbagai

masalah yang mereka hadapi. Hal inilah yang

mendukung perhatian ibu pengasuh terhadap

anak asuh sehingga mereka merasa dirinya

diterima sepenuhnya di dalam panti asuhan.

Selain itu, mereka juga dapat berinteraksi

dengan orang-orang di luar panti dengan baik

tanpa dirinya merasa diabaikan. Hal ini

dibuktikan dengan sekolah yang didirikan oleh

pihak yayasan panti juga menerima siswa dari

luar panti asuhan. Baik siswa yang berasal

dari luar panti maupun dari dalam panti dapat

berbaur dan berinteraksi tanpa menunjukkan

sikap adanya perbedaan latar belakang.

Di dalam panti, anak merasa adanya

penerimaan yang hangat dari ibu pengasuh,

pembentukan dan penguatan mengenai batas-

batas yang jelas dari tingkah laku anak oleh

ibu pengasuh. Anak-anak diperkenalkan

dengan sejumlah aturan, karena anak asuh

tidak sendiri. Mereka hidup bersama dengan

teman-temannya dan berhubungan pula

dengan ibu pengasuhnya. Hal tersebut berupa

sosialisasi yang merupakan proses belajar

bagi anak untuk melakukan penyesuaian diri

sehingga dapat membentuk sikapnya

terhadap sesuatu. Dalam sosialisasi tersebut

anak dikenalkan kepada aturan-aturan.

Aturan-aturan tersebut membuatnya menjadi

disiplin (Rachmayanti, 1992). Mereka juga

dihadapkan pada konsekuensi-konsekuensi

yang ada. Jika mereka melakukan kesalahan,

pihak panti akan memberikan sanksi.

Demikian juga bila mereka berhasil melakukan

sesuatu, mereka akan mendapatkan pujian.

Di rumah, keberadaan figur dan peran

orang tua sangat jelas yaitu bapak dan ibu.

Selain itu juga dikarenakan adanya

penerimaan yang hangat dari orang tua

berupa memberikan rasa aman dengan

menerima anak, cara orang tua memenuhi

kebutuhan fisik dan psikologis, menghargai

kegiatannya dan memberikan patokan yang

jelas sehingga anak dengan sendirinya akan

merasa yakin dengan kemampuannya dan

akan lebih percaya diri. Walaupun di panti

asuhan, yang ada hanya figur ibu pengasuh,

namun peran dan figurnya juga sangat jelas.

Ibu pengasuh juga memberikan rasa aman

dengan menerima anak, contohnya

keberadaan ruang “Empat Mata”. Ibu

pengasuh juga menghargai kegiatan dan

memberikan patokan yang jelas sehingga

anak merasa yakin dengan kemampuannya

dan lebih percaya diri. Contohnya, setiap

acara-acara khusus seperti yang pada saat itu

sedang berlangsung yaitu acara HUT, baik

pihak panti maupun ibu pengasuh

memberikan kesempatan kepada anak-anak

asuh untuk menyelenggarakan acara tersebut

mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai

Page 15: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

dengan evaluasi. Demikian pula dalam

pemenuhan kebutuhan fisik maupun

psikologis anak terpenuhi dengan baik. Dari

segi fisik, anak tidak pernah kekurangan

dalam hal kebutuhan makanan, minuman dan

pakaian. Dari segi psikologis, anak merasa

aman, adanya penerimaan dari lingkungan

sekitar yang menyebabkan adanya penilaian

positif terhadap diri anak tersebut. Selain itu,

setiap hari mereka juga mendapatkan

bimbingan rohani berupa pengajian, ceramah

dan nasihat-nasihat keagamaan, yang secara

tidak langsung memberikan perasaan tenang

secara batiniah.

Kondisi-kondisi seperti diataslah yang

membuat anak menjadi lebih percaya diri dan

yakin akan kemampuan yang dimiliki untuk

mengatasi suatu masalah. Adanya keakraban

diantara sesama penghuni dan ibu pengasuh

juga interaksinya dengan lingkungan sekitar

membuat anak menjadi merasa dirinya

diterima seutuhnya. Hal-hal tersebut bisa

membentuk konsep diri kearah yang positif,

sesuai yang disebutkan oleh Brooks dan

Emmert (dalam Rahmat, 1985) yang

menyebutkan ciri-ciri orang yang memiliki

konsep diri yang positif diantaranya yakin akan

kemampuan untuk mengatasi suatu masalah,

merasa setara dengan orang lain dan

menyadari setiap orang memiliki berbagai

perasaan, keinginan, dan perilaku yang tidak

seluruhnya disetujui oleh masyarakat.

Berdasarkan hasil angket yang telah

disebar sebanyak 90 orang subjek dengan

jumlah remaja yang sejak masa akhir kanak-

kanaknya dibesarkan di panti asuhan 45 orang

dan jumlah remaja yang sejak masa akhir

kanak-kanaknya dibesarkan di rumah

bersama keluarga 45 orang, maka hasil

perhitungan mean hipotetik dan mean empirik

pada skala konsep diri, diketahui lebih besar

dari mean hipotetik.

Berdasarkan hasil perhitungan mean

empirik konsep diri remaja yang sejak masa

akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti

asuhan dan remaja yang sejak masa akhir

kanak-kanaknya dibesarkan dirumah bersama

keluarga adalah tinggi. Hal ini dimungkinkan

kondisi di kedua tempat sudah tidak jauh

berbeda. Panti asuhan pada saat ini, sudah

mulai memperhatikan kesejahteraan dan

perkembangan fisik maupun psikologis anak-

anak asuhnya. Dengan demikian konsep diri

anak juga ikut berkembang dengan baik. Hal

ini selaras dengan tujuan panti asuhan

menurut Departemen Sosial Republik

Indonesia (1989), yaitu memberikan

pelayanan berdasarkan pada profesi

pekerjaan sosial kepada anak terlantar

dengan cara membantu dan membimbing

mereka kearah perkembangan pribadi yang

wajar serta kemampuan keterampilan kerja,

sehingga mereka menjadi anggota

masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh

tanggung jawab baik terhadap dirinya,

keluarga maupun masyarakat.

Kesimpulannya adalah bahwa kedua

kelompok sampel memiliki kategori yang

sama, baik dari dimensi internal maupun

eksternal. Hampir semua komponen-

komponen, baik dari dimensi internal maupun

dimensi eksternal, pada kedua kelompok

tersebut berada pada kategori tinggi. Artinya,

dalam hal ini tidak ada perbedaan yang

mencolok dalam komponen-komponen

tersebut pada masing-masing kelompok.

Dari hasil diatas terlihat bahwa, dilihat

dari dimensi internal, baik di panti asuhan

maupun di keluarga, masing-masing anak

memiliki kemampuan yang sama baiknya

Page 16: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

untuk menjawab pertanyaan mengenai siapa

dirinya, memiliki persepsi yang lebih positif

terhadap tingkah lakunya dan memiliki

kemampuan dalam memahami dirinya secara

penuh. Demikian juga dari segi dimensi

eksternal, baik di panti asuhan maupun di

keluarga, masing-masing anak memiliki

kemampuan yang sama baiknya dalam hal

penerimaan terhadap keadaan fisik mereka,

dalam menilai baik-buruknya sesuatu dari segi

moral dan etika, dalam memandang diri

mereka sebagai suatu pribadi, memiliki

perasaan yang lebih kuat terhadap

penerimaan teman dan keluarga atau merasa

cukup dihargai dan memiliki persepsi yang

positif terhadap hubungannya dengan orang

sekitarnya.

Dari beberapa pembahasan diatas,

penulis mengemukakan bahwa ada beberapa

hal yang menyebabkan mengapa konsep diri

remaja yang sejak masa akhir kanak-

kanaknya dibesarkan didalam panti asuhan

sama baiknya dengan konsep diri remaja yang

sejak masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan

di rumah bersama keluarga.

1. Bila dibandingkan antara orang tua

dan pengasuh di panti asuhan, maka

ada kecenderungan bahwa orang tua

di rumah dapat bersikap longgar

terhadap tingkah laku anaknya

dibandingkan sikap pengasuh di panti

asuhan. Hal ini dibuktikan dengan

data pekerjaan orangtua subjek untuk

kelompok di rumah yang menyatakan

bahwa sebagian besar orangtua

mereka bekerja. Yang menarik dari

data ini adalah bahwa sebagian besar

dari ibu mereka adalah orang sibuk

atau bekerja, dengan perincian

wiraswasta 14 orang, pegawai 8

orang, profesional 4 orang. Dengan

aktivitas atau kesibukan mereka

seperti itu yang dapat membuat

kurangnya intensitas interaksi anak

dengan orangtua, maka tidaklah heran

bila ada kecenderungan orangtua di

rumah untuk bersikap longgar. Di

panti asuhan segala tingkah laku anak

memiliki batasan-batasan yang jelas

bila dibandingkan dengan didalam

keluarga. Hasil penelitian Coopersmith

(dalam Burns, 1993) menunjukkan

bahwa ada 3 buah kondisi yang dapat

menunjang tumbuhnya konsep diri

yang positif, yaitu sikap penerimaan

orang tua terhadap anak, adanya

patokan yang jelas sehingga dapat

membatasi tingkah laku anak, dan

adanya penghargaan bagi anak

apabila anak bertingkah laku sesuai

dengan patokan yang ada. Di panti

asuhan sejauh pengamatan penulis,

para pengasuh cukup dapat menerima

anak apa adanya, dan batas-batas

perilaku anak lebih jelas. Di panti

asuhan segala tingkah laku anak ada

patokannya sehingga bila anak

melanggar maka akan ada sanksinya,

dalam arti bahwa bila anak melakukan

kesalahan, maka sanksi yang akan

diterima anak tersebut jelas dan bila

anak tersebut bertingkah laku sesuai

dengan patokan tersebut, maka anak

tersebut akan mendapat penghargaan

yang jelas pula dari ibu pengasuhnya.

Keadaan di dalam panti tersebutlah,

yang mungkin menyebabkan konsep

diri mereka sama baiknya dengan

remaja di rumah bersama keluarga.

Page 17: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

2. Mungkin panti asuhan yang diambil

oleh penulis sebagai sampel memang

memiliki kualitas yang sangat baik

seperti pemenuhan kebutuhan anak

baik secara fisik maupun psikologis,

seperti mendapatkan uang saku,

kesempatan untuk bersekolah sampai

Madrasah Aliyah atau setara dengan

SMU, mengelola usaha milik yayasan,

adanya bimbingan rohani setiap hari,

intesitas pertemuan dengan bapak

atau ibu pengasuh selama 7-12 jam

seharinya, sehingga hubungan antara

pengasuh dan anak asuh dapat

terjalin dengan sangat baik pula.

Adanya hubungan dan kondisi yang

baik ini, menyebabkan anak akan

memiliki persepsi yang positif

terhadap lingkungan dimana ia berada

dan persepsi ini akan mempengaruhi

anak dalam membentuk konsep diri

yang positif.

PENUTUP Simpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan konsep diri antara

remaja yang sejak masa akhir kanak-

kanaknya dibesarkan di panti asuhan dengan

remaja yang sejak masa akhir kanak-

kanaknya dibesarkan di rumah bersama

keluarga. Kelompok remaja yang sejak masa

akhir kanak-kanaknya dibesarkan di panti

asuhan memiliki konsep diri yang sama

baiknya dengan kelompok remaja yang sejak

masa akhir kanak-kanaknya dibesarkan di

rumah bersama keluarga.

Saran Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan, maka saran yang dapat peneliti

berikan adalah sebagai berikut :

1. Bagi orang tua hendaknya dapat

meningkatkan kuantitas dan kualitas

perhatian serta bimbingan dalam

rangka pembentukan konsep diri yang

lebih baik.

2. Bagi ibu pengasuh di panti asuhan,

diharapkan untuk terus dapat

mempertahankan kuantitas dan

kualitas perhatian seperti curahan

kasih sayang, perhatian dan

bimbingan, serta pengawasan kepada

anak-anak. Tetap mempertahankan

hubungan yang hangat terhadap

anak-anak dan agar lebih selalu

memperhatikan mereka yang nantinya

secara tidak langsung mempengaruhi

pembentukan konsep diri kearah yang

lebih baik.

3. Bagi pengelola panti asuhan, agar

tetap mempertahankan perhatiannya

terhadap keadaan anak-anak dengan

memenuhi kebutuhannya, baik fisik

maupun psikologis.

4. Bagi peneliti selanjutnya, penulis

menyarankan untuk mencoba

menggali lebih dalam lagi dalam

faktor-faktor lain yang berpengaruh

terhadap pembentukan konsep diri.

Faktor-faktor tersebut seperti

pendekatan awal kepada anak.

DAFTAR PUSTAKA Ali, L. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Edisi ke 2. Jakarta: Balai Pustaka.

Anastasi, A & Urbina, S. 1997. Tes Psikologi.

Jilid 1. Alih Bahasa: Imam, R.H.

Page 18: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

Penyunting Bahasa: Molan, B.

Jakarta: Prenhallindo.

Angle, G.B. 2001. Cultural Resilence In North

American Indian First Nation: The

Story of Little. http://www. criticalsocial

work.co.id.

Azwar, S. 1992. Tes Prestasi. Edisi II.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bracken, B.A. 1996. Handbook of Self-

Concept: Development, Social &

Clinical Consideration. New York:

John Willey & Sons, Inc.

Burns, R.B. 1993. Konsep Diri: Teori,

Pengukuran, Perkembangan &

Perilaku. Alih Bahasa: Eddy. Jakarta:

Arcan.

Cage, N.L & Berliner, D. C. 1979. Educational

Psychology. Chicago: Rand McNally

College Pub. Co.

Coopersmith, S. 1974. The Antecedents of elf-

esteem. San Fransisco: Freeman

Coulhoun, J. F. & Acocella, J. R. 1990.

Psikologi Tentang Penyesuaian dan

Hubungan Kemanusiaan. Alih

Bahasa: Satmoko. Semarang: IKIP

Semarang Press.

Departemen Sosial Republik Indonesia. 1989.

Petunjuk Teknis Pelaksanaan,

Penyantunan dan Pengentasan Anak

Terlantar Melalui Panti Asuhan Anak.

Jakarta.

Fitts, H.W. 1971. The Self-Concept &

Behaviour: Overview & Suplement.

Monograph VII. USA: Dede Wallance.

Gormly, A.V. & Brodzinsky, D.M. 1993.

Lifespan Human development. Edisi

V. USA: Holt, Rinehart & Winston. Inc.

Gunarsa, S.D. 1995. Psikologi Praktis: Anak,

Remaja dan Keluarga. Jakarta: BPK

Gunung Mulia.

Hall, C.S. & Lindzey, G. 1993. Teori-teori

Psikodinamik (Klinis). Alih Bahasa : A.

Supratiknya. Yogyakarta: Kanisius.

Hurlock, E.B. 1974. Personality Development.

New York: McGraw Hill Publishing

Company.

Hurlock, E.B. 1991. Psikologi Perkembangan:

Suatu Pendekatan Sepanjang

Rentang Kehidupan. Edisi V. Alih

Bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo.

Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E.B. 1993. Psikologi Perkembangan:

Psikologi Perkembangan Anak. Jilid 2.

Alih Bahasa: Istiwidayanti &

Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E.B. (terj) 1997. Psikologi

Perkembangan: Suatu Pendekatan

Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi

VII. Alih Bahasa: Istiwidayanti &

Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Jusman, Y.A. 1997. Konsep Diri, Harga Diri

Pada Anak Panti Asuhan dan

Perbedaannya pada Anak yang

Tinggal Dirumah dengan Keluarga.

Skripsi. (Tidak Diterbitkan). Jakarta:

Fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya.

Mappiare, A. 1983. Psikologi Remaja.

Surabaya: Usaha Nasional.

Marcelline, E. 1997. Perbedaan Konsep Diri

Antara Siswa Berinteligensi Tinggi

dengan Siswa Berinteligensi Rendah.

Skripsi. (Tidak Diterbitkan). Jakarta:

Fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya.

Monks, F.J., Knoers, A.M.P & Haditono, S.R.

1999. Psikologi Perkembangan:

Pengantar Dalam Berbagai

Page 19: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak

Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Monks, F.J., Knoers, A.M.P & Haditono, S.R.

2001. Psikologi Perkembangan:

Pengantar Dalam Berbagai

Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Munandar, S.C.U. 1985. Emansipasi dan

Peran Ganda Wanita Indonesia: Suatu

Tinjauan Psikologis. Cetakan Kedua.

Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia (UI Press).

Partosuwido, S. R. 1979. Kumpulan Pidato

Pengukuhan Guru Besar Fakultas

Psikologi Universitas Gajah Mada.

(Tidak Diterbitkan). Yogyakarta:

Fakultas Psikologi Universitas Gajah

Mada.

Pudjijogyanti, C.R. 1988. Konsep Diri Dalam

Pendidikan. Jakarta: Arcan.

Rachmayanti, S. 1992. Penelusuran Tentang

Proses Pemanusiaan Anak. Tesis.

Program Pasca Sarjana. Bandung:

Institut Keguruan dan Ilmu

Pendidikan.

Rahayu, S. C. 1999. Penelusuran Prestasi

Belajar Siswa & Perhatian Ibu Ditinjau

dari Kelompok yang Ibunya Bekerja

dan Tidak Bekerja. Skripsi. (Tidak

diterbitkan). Jakarta: Fakultas

Psikologi UNIKA Atmajaya.

Rakhmat, J. 1985. Psikologi Komunikasi. Alih

Bahasa: Tjun Suryaman. Jakarta:

Remaja Rosdakarya.

Rakhmat, J. 1996. Psikologi Komunikasi. Alih

Bahasa: Tjun Suryaman. Jakarta:

Remaja Rosdakarya.

Ritandiyono & Retnaningsih. 1996. Aktualisasi

Diri (seri diktat kuliah). Jakarta:

Universitas Gunadarma.

Sarlito, S.W. 1988. Psikologi Remaja. Jakarta:

Rajawali Press.

Sandrianny, N. 2002. Perbedaan Harga Diri

Antara Anak yang Tinggal di Panti

Asuhan dengan Yang Tinggal

Bersama Keluarga. Skripsi. (Tidak

Diterbitkan). Jakarta: Fakultas

Psikologi UNIKA Atmajaya.

Sugiyono, 2005. Metode Penelitian

Adsministrasi. Edisi 11. Jakarta:

Alfabeta.

Sulandari, M. 2001. Hubungan antara Tingkat

Kepercayaan Diri Dengan Kecemasan

dalam Komunikasi Pada Mahasiswa

Psikologi Gunadarma. Skripsi. (Tidak

Diterbitkan). Depok: Fakultas

Psikologi Universitas Gunadarma.

Tijpsastra, T.E. 1996. Hubungan antara

Konsep diri, Motivasi Belajar, Prestasi

Belajar Anak-anak Panti Asuhan dan

Perbedaan dari Anak-anak Yang

Diasuh dalam Keluarga. Tesis. (Tidak

Diterbitkan). Jakarta: Program

Pascasarjana Universitas Indonesia.

Willis, S.S. 1994. Problem Remaja dan

Permasalahannya. Bandung:

Angkasa.

Wiratna, A. 1997. Konsep Diri.

http://www.mitra.net.id/business/self/ar

t2.htm.

Yusuf, M.A. 1982. Pengantar Ilmu pendidikan.

Jakarta: Ghalia Indonesia.

Page 20: perbedaan konsep diri antara remaja yang sejak masa akhir kanak