Upload
dinhcong
View
239
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
PERENCANAAN PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS KOMUNITAS DI KAWASAN WISATA TANGKAHAN
KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA
TESIS
OLEH : HARIS SUTAN LUBIS
037024034/SP
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2006
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
PERENCANAAN PENGEMBANGAN
EKOWISATA BERBASIS KOMUNITAS DI KAWASAN WISATA TANGKAHAN
KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : Haris Sutan Lubis Nomor Induk Mahasiswa : 037024034 Program Magister : Studi Pembangunan
Menyetujui, Komisi Pembimbing:
Anggota, Ketua, (Drs.Goestanto, M.Hum.) (Drs.R.Hamdani Harahap,M.Si) Ketua Program Studi, Direktur SPs USU, (Drs.Subhilhar, MA) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc) NIP.131754528 NIP. 130535852 Tanggal Lulus : 26 Agustus 2006
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
PERNYATAAN
PERENCANAAN PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS KOMUNITAS DI KAWASAN WISATA TANGKAHAN
KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA
T E S I S Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleg orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 7 September 2006
(Haris Sutan Lubis)
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Haris Sutan Lubis
Tempat/Tgl.Lahir : Padangsidempuan / 07 September 1959
Agama : Islam
Alamat : Jl. PWS Gg. Dewi No. 45 F Medan 20118
Pendidikan :
1. SDN 42 : Umum : Medan : 1967 / 1972
2. SMPN I : Umum : Medan : 1973 / 1975
3. SMAN II : IPA : Medan : 1976 / 1979
4. Fakultas Sastra USU : Sastra Indonesia : Medan : 1979 / 1985 5. SPs USU : Magister Studi Pembangunan : Medan : 2003 / 2006
Pekerjaan :
1. 1986 – 2002 : Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia FS. USU
2. 2003 – Sekarang : Staf Pengajar D3 Pariwisata FS.USU
3. 1989 – 1999 : Staf Pengajar Akademik Kesehatan YBS Medan
4. 1995 – Sekarang : Anggota / Pengurus HISKI Komda Sumut
5. 1989 - 1998 : Anggota Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI)
6. 1989 : Kursus Metodologi Survey untuk penelitian pembangunan pedesaan . PAU-UGM, Yogyakarta. 7. 2003 : Lokakarya pemberdayaan masyarakat kawasan TNGL se- Sumut dan NAD. UML – USU, Medan 8. 2006 : Pelatihan bagi pengelola ekowisata. DEPSENIBUD. Medan.
Status : Kawin
Istri : Hotnida Siagian
Anak : 1. Gading Hidayat Malaon Lubis
2. Gerry Aulia Palaon Lubis
3. Galih Muhammad Soaloon Lubis
4. Givanie Singgarniari Lubis
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis perencanaan pengembangan ekowisata di kawasan wisata Tangkahan, Kabupaten Langkat Suimatera Utara secara komprehensif melalui proses partisipatif, dengan memperhatikan sensitifitas ekosistem, potensi sumberdaya alam dan optimalisasi peranserta masyarakat.
Pendekatan yang digunakan adalah analisis deskriptif secara kualitatif terhadap data primer yang diperoleh melalui diskusi kelompok (focusing group discussion) serta wawancara yang dilakukan dengan masyarakat setempat. Teknik analisis deskriptif ini dimaksudkan agar data dapat diinterpretasikan sesuai dengan persepsi dan keinginan masyarakat berdasarkan masukan dari bawah ke atas (bottom-up),sesuai dengan Teori Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas yang kemudian diadopsi untuk pembangunan kepariwisataan yang mengisyaratkan pentingnya hubungan yang hormonis antara masyarakat lokal, sumberdaya dan wisatawan, sebagi kunci utama keberhasilan pembangunan.
Berdasarkan data yang diperoleh, ditetapkan kesepakatan bahwa kawasan Tangkahan layak dikembangkan sebagai kawasan ekowista yang menawarkan berbagai produk/atraksi wisata sesuai dengan konsep pengembangan ekowisata, yakni : bersadarkan konservasi, partisipasi/pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesadaran dan apresiasi pengetahuan, bermanfaat secara ekonomi, mengedepankan aspek legalitas, serta dibangun dengan pola kemitraan.
Pengembangan kawasan disepakati harus menggunakan konsep perencanaan tata ruang dengan menetapkan fungsi utama kawasan, dan pembagian zonasi kawasan, yang terdiri dari zona intensif, zona semi intensif, zona ekstensif primer dan zona ekstensif sekunder. Sementara kegiatan wisata yang disesuaikan dengan arahan pengembangan di setiap zonasi adalah : wisata pendidikan / konservasi, jelajah hutan, bersepeda, petualangan dan pengamatan satwa liar, wisata perkebunan, wisata tirta, wisata budaya, berkemah, rekreasi keluarga dengan beberapa atraksi alam/buatan, serta wisata goa, di samping pengembangan fasilitas penunjang yang diharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat lokal sebagai bagian dari proses pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itulah kawasan ekowisata Tangkahan harus dikelola secara bersama (co-managenet) antara pihak-pihak yang terkait, agar pada saat yang tepat Tangkahan akan menjadi kawasan ekowisata yang eksotik dan handal. Kata kunci: Perencanaan, Ekowisata, Tangkahan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
ABSTRACT
This research provides an analysis of ecotourism development plan in tourism sphere of Tangkahan, Langkat Regency of North Sumatra Province. The analysis covers a comprehensive participation process that includes ecosystem sensitivity, potential of natural resource and the optimum of community participation.
The approach applied in analyzing the data is qualitatively descriptive analysis. They have been collected from the group discussion and interview with the local community. Thus, the analysis is meant to interpret the data in accordance with the community’s will and perception which represent the bottom-up input. In reference to the adopted theory of human resource based community management, the tourism development is closely connected with the creation of harmony among local community, resource and tourist as primary key-success of development.
It is reasonable, from the collected data, that Tangkahan sphere can be developed as ecotourism region through offering various products in the sense of tourism attractions. These must be related to the ecotourism development concept which covers conservation, community participation and empower, consciousness upgrade, knowledge appreciation over tourism advantage economically and legality aspect propose which are all constructed with partnership pattern.
The sphere development has been agreed to apply the space arrangement concept by determining sphere primary function and division of zones. They consist of intensive, semi intensive, primary extensive, and secondary extensive zones. Meanwhile, the tourism activity is adjusted with development instruction to each zone i.e. educational tourism or conservations, forest cruise, bicycle, adventure and wild animal monitor, plantation, water, cave and culture tourism, family creation and the creation of artificial nature attractions. Besides, the development of supporting facility is expected to give contribution as part of empowering process of the community. By so doing, the Tangkahan sphere must be managed entirely (co-management) by interrelated parties in order to make it be exotic and top ecotourism sphere. Key words: Plan, Ecotourism, Tangkahan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……………………………………………………………………………… i KATA PENGANTAR ………………………………………………………………...... iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP …………………………………………………………. vi DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… vii DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………… ix DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………… x BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….. 1 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………. 1 1.2 Perumusan masalah ………………………………………………………. 22 1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………………. 23 1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………… 26 2.1 Pariwisata Alternatif dan Ekowisata ……………………………………… 26 2.2 Prinsip dan Kriteria Pembangunan Ekowisata ............................................ 44 2.3 Ekowisata Berkelanjutan ............................................................................. 51 2.4 Teori Pengelolaan sumberdaya Berbasis Komunitas …………………….. 63 BAB III METODOLOGI ………………………………………………………………. 68 3.1 Penentuan Lokasi Penelitian ........................................................................ 68 3.2 Desain Penelitian …………………………………………………………. 71 3.3 Data dan Sumber Data ................................................................................. 71 3.4 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………….. 72 3.5 Teknik Analisis dan Interpretasi Data ......................................................... 72 BAB IV GAMBARAN UMUM KAWASAN ................................................................ 76 4.1 Gambaran umum Kabupaten Langkat ……………………………………. 76 4.2 Kawasan Tangkahan ……………………………………………………… 81
a. Geografi ………………………………………………………………… 81 b. Kependudukan …………………………………………………………. 83 c. Sarana dan Prasarana …………………………………………………… 87 d. Potensi Kepariwisataan ………………………………………………… 91 e. Kearifan Tradisional ……………………………………………………. 96 f. Kelambagaan dan SDM ............................................................................ 107 BAB V ANALISIS PENGEMBANGAN DAN PAKET WISATA BERBASIS KOMUNITAS ………………………………………………………………… 110 5.1 Kebijakan Pemkab Langkat ………………………………………………. 115 5.2 Analisis Lingkungan Internal dan Ekstenal ………………………………. 117 5.3 Analisis Kawasan …………………………………………………………. 124 a. Fungsi Kawasan ………………………………………………………… 124 b. Zonasi Kawasan ………………………………………………………… 126
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
5.4 Ekowisata Berbasis Komunitas …………………………………………… 140 5.4.1 Paket / Produk Wisata …………………………………………………… 143 5.4.2 Pemberdayaan / Pelibatan Masyarakat ………………………………….. 150 5.4.3 Bentuk Pengelolaan ……………………………………………………... 151 BAB VI PENUTUP ……………………………………………………………………. 154 6.1 Kesimpulan ………………………………………………………………. 154 6.2 Rekomendasi / Saran ……………………………………………………… 157 DAFTAR PUSTAKA
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pertumbuhan Pariwisata Internasional ………………………………………………. 2 Table 2 Objek Wisata di Kabupaten Langkat ………………………………………………..76 Tabel 3 Penggunaan Lahan di Kabupaten Langkat …………………………………………..77 Tabel 4 Daftar Objek wisata di Tangkahan …………………………………………………. 93
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Plang Selamat Datang …………………………………………………………… 25 Gambar 2 Elemen Kunci Penegembanagan Pariwisata ………………………………………29 Gambar 3 Model untuk Sustainable Tourisem Devolepmen …………………………………35 Gambar 4 Tipe Pariwisata dan Ragamnya ……………………………………………………38 Gambar 5 Visi Misi dan Perencanaan Nasional Pengembangan Ekowisata ………………....42 Gambar 6 Atraksi Gajah …………………………………………………………………….. 43 Gamabr 7 Kawasan Tangkahan dari atas……………………………………………………...43 Gabmar 8 Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat ………………………………….. 67 Gambar 9 Peta Kawasan Ekowista Tangkahan ………………………………………………81 Gambar 11 Akomodasi Pemondokan di Tangkahan …………………………………………88 Gambar 10 Peta Potensi SDA Tangkahan ……………………………………………………94 Gambar 12 Sungai Hijau Tangkahan ………………………………………………………..116 Gambar 13 Peta Zonasi Kawasan ………………………………………………………….. 127 Gambar 14 Zona Ekstensif …..…………………………………………………………….. 128 Gambar 15 Zona Semi Intensif …………………………………………………………….. 129 Gambar 16 Zona Ekstensif Primer …………………………………………………………. 130 Gambar 17 Zona Esktensif Sekunder ……………………………………………………… 131 Gambar 18 Peta Pengaturan Arus Wisatawan …………………………………………….. 132 Gambar 19 Keindahan Sumberdaya Alam Tangkahan ……………………………………. 149
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telaah pustaka mengenai sejarah pariwisata mengungkapkan adanya tulisan tentang awal
perniagaan internasional di zaman “Phoenisia”, bahkan ada yang berpendapat bahwa penemuan roda
adalah awal kegiatan pariwisata. Tulisan yang lain merujuk pada perjalanan ibadah, tentu saja dalam hal
ini termasuk yang menyangkut objek wisata terkenal di dunia, seperti yang terdapat di Indonesia
semisal Candi Borobudur dan Prambanan. Namun, apabila kita menggali akar-akar pariwisata masa
modern, barangkali lebih berkait bila merujuk kepada penemuan mesin uap sebagai saat atau peristiwa
yang menentukan. Mesin uap tidak hanya membawa kita berkenalan dengan bentuk sarana angkutan
bermesin yang dapat mengangkut lebih banyak orang dan dapat menempuh jarak yang lebih jauh dalam
waktu yang lebih cepat bila dibandingkan dengan sarana angkutan yang lain sebelumnya; namun juga
mendorong munculnya masyarakat kota yang industrial (dan kemudian pasca-industrial) dan modern.
Masyarakat kota yang industrial tersebut juga mendorong perkembangan ilmu dan teknologi
sampai terciptanya sarana angkutan yang lebih cepat daripada sarana yang didayai mesin uap. Mula-
mula kita mengenal mobil yang lebih luwes yang memungkinkan orang bergerak ke mana-mana,
sehingga meningkatkan perjalanan wisata domestik, dan pada tahap selanjutnya penemuan pesawat jet
untuk angkutan penumpanglah yang memicu perkembangan pesat pariwisata internasional.
Perkiraan World Tourism International (WTO) pada tahun 2001 jumlah wisatawan dunia
mencapai 661 juta dan 15,28% diserap oleh kawasan Asia Timur dimana Indonesia berada. Apabila kita
melihat catatan lebih jauh lagi, tingkat perjalanan internasional meningkat enam kali lipat dalam
periode dua puluh tahun sejak 1950-1970, dan kemudian tiga kali lipat dalam masa 20 tahun
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
selanjutnya. Proyeksi tingkat pertumbuhan sebesar 50 persen selama dekade ini memperlihatkan jumlah
pokok yang lebih besar dalam periode berikutnya.
Tabel 1
Pertumbuhan Pariwisata Internasional 1950-2001
Tahun Jumlah Pergerakan
Wisatawan Internasional (juta)
1950
1970
1991
2001
2011
25
160
450
661
?
Sumber: WTO
Memang harus diakui pasang-surut perkembangan sektor pariwisata sebagai salah satu industri
terbesar abad 21 ini sangat mempengaruhi jumlah devisa yang bisa diraih Indonesia yang menempatkan
pariwisata sebahai penghasil devisa terbesar di luar migas. Sejak tahun 1998, kemerosotan jumlah
wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia terus berlangsung mengiringi tragedi-tragedi
eksternal dan internal yang sangat mempengaruhi kinerja kepariwisataan. Kalau pada tahun 1997
tercatat jumlah 5,2 juta orang dengan penghasilan devisa sebesar 5,3 juta dollar, maka tiga tahun
berikutnya berubah menjadi 4,6 juta, 4,7 juta, dan 5,0 juta (Ardika, 2003).
Sementara itu untuk wilayah Sumatera Utara sebagai salah satu daerah tujuan wisata juga
mengalami kondisi yang cukup memprihatinkan. Hanya dalam waktu lebih kurang tiga tahun telah
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
terjadi penurunan jumlah wisatawan mancanegara sebesar 65 persen. Berbagai hal diperkirakan menjadi
penyebab terjadinya stagnasi perkembangan pariwisata di Sumatera Utara tersebut, baik hal yang
berhubungan dengan persoalan-persoalan mikro maupun persoalan kondisi objektif produk wisata,
semisal kualitas infrastruktur yang sangat menentukan aksesibilitas.
Ketidakmemadaian infrastuktur serta produk wisata yang relatif homogen menjadikan salah satu
kelemahan Sumatera Utara sebagai daerah tujuan wisata. Atraksi-atraksi wisata yang disuguhkan sangat
tidak menarik, karena nilai otentisitas, originilitas, dan keunikannya tidak begitu menonjol. Masing-
masing daerah menawarkan produk wisata yang relatif sama, dan atraksi buatan yang disuguhkan relatif
tidak unik. Oleh karena itulah, kinerja pariwisata ini sangat beralasan untuk dibenahi, karena
pengalaman yang tidak nyaman akan meninggalkan kesan buruk terhadap produk wisata (Weiler,
1992).
Salah satu terobosan yang potensial sebenarnya ialah dengan mengembangkan pariwisata
alternatif, maupun pengembangan pasar wisatawan domestik sebagai basis pengembangan pariwisata
nasional, sekaligus dalam rangka menumbuhkan masyarakat wisata. Para perencana pembangunan
kepariwisataan seharusnya dapat menyusun kebijakan-kebijakan yang tidak saja mendorong
peningkatan arus perjalanan penduduk di dalam negeri, tetapi juga memperkuat basis industri
pariwisata nasional.
Sementara itu di sisi lain pengembangan industri kepariwisataan sebaiknya didasarkan pada
permintaan riel pasar wisatawan. Riset pasar yang dilakukan oleh Australian Tourist Commission
misalnya, menunjukkan bahwa ciri-ciri alam Australia seperti hutan hujan, terumbu karang, pantai dan
daerah pedalaman akan terus dimanfaatkan untuk menarik wisatawan dalam jumlah besar. Riset ini juga
mencatat bahwa pemandangan yang indah, keluasan daerah, keajaiban alam, kehidupan liar dan pantai
yang bagus sebagai sifat-sifat utama dalam peringkat pariwisata internasional (Pitts, dalam Gunawan,
1997).
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Berbagai isu yang dikaitkan dengan munculnya konsep ekowisata yang mutakhir termasuk
meningkatnya kesadaran akan lingkungan di masyarakat, publik yang semakin cerdas, dalam hal selera
dan dambaan mereka akan pengalaman wisata di luar rumah, yaitu yang berbasis alam. Masyarakat
yang semakin pandai ini juga memperlihatkan penghargaan atas kepekaan yang meningkat terhadap
bentang alam biofisik dan budaya.
Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif, yang mencakup perjalanan ke daerah
alami yang masih belum cemar dengan tujuan khusus hendak mempelajari, mengagumi, dan menikmati
pemandangan alam serta flora, fauna dan hidupan liarnya. Ekowisata dikembangkan berdasar prinsip
hendak melestarikan lingkungan alam dan budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang
menjadi tuan rumahnya. Pengembangan pariwisata alternatif ini dilakukan dengan pendekatan yang
memperhatikan perubahan persepsi tentang pariwisata, kriteria pengembangan pariwisata, pelestarian
lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Sektor pariwisata yang berorientasi pada pengembangan pariwisata berbasis komunitas,
merupakan salah satu alternatif yang mendapatkan perhatian, terutama dalam konsep pengembangan
pariwisata jangka panjang. Dengan mencermati berbagai kondisi alam wilayah yang dimiliki Indonesia,
diversitas budaya, serta komunitas yang berkualitas, pengembangan sektor pariwisata berbasis
komunitas dianggap sangat potensial untuk ditingkatkan mutunya agar dapat menjadi sektor andalan
devisa di luar migas. Dengan demikian diharapkan sektor pariwisata yang dikembangkan melalui
konsep pariwisata berbasis komunitas dapat menjadi salah satu lokomotif penggerak perekonomian
nasional. Sebab pengembangan sektor pariwisata memiliki keterkaitan yang erat dengan banyak sektor
lainnya, serta memberikan dampak ekonomi yang menjangkau banyak elemen, baik pemerintah,
swasta, maupun masyarakat.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Di sisi lain, potensi pariwisata memang masih belum tergali secara optimal, padahal telah
disadari bahwa sektor ini cenderung menghasilkan sangat banyak keuntungan, baik dari pasar domestik,
dan terutama pasar internasional.
Seiring dengan keadaan tersebut dan dengan menyadari multiplier effect ekonomi yang
demikian besar, maka Pemerintah pun telah mengagendakan pengembangan sektor pariwisata yang
berbasis komunitas sejak Repelita VI dengan orientasi pengembangan pariwisata yang berwawasan
wilayah pada setiap propinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Pengembangan sektor pariwisata di daerah pastilah diarahkan untuk dapat memantapkan
sumbangan ekonominya pada pendapatan daerah guna meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi
daerah, dan peningkatan pendapatan masyarakat maupun sebagai sarana promosi daerah di kancah
kepariwisataan nasional dan bahkan internasional (global tourism).
Investasi kepariwisataan diharapkan dapat memberikan lapangan kerja dan kegiatan usaha bagi
masyarakat luas, mulai dari yang bergerak dalam bisnis transportasi, hotel dan bentuk-bentuk
penginapan lain, rumah makan dan restoran, bahkan usaha-usaha sistem paket acara tour sampai
kepenyediaan barang-barang kerajinan industri rumah tangga milik masyarakat setempat (souvenir) dan
jasa-jasa kepariwisataan lainnya (tourism services).
Disamping itu, pengembangan sektor pariwisata seperti pariwisata alternatif --
ekowisata-- diharapkan juga untuk sekaligus menumbuhkan proses-proses pembelajaran program
konservasi bagi pemeliharaan dan pelestarian kawasan hijau Indonesia guna menjaga keharmonisan
ekosistem bagi kelangsungan hidup manusia.
Sehubungan dengan pengembangan pariwisata berbasis komunitas, maka hal terpenting yang
tidak dapat dilepaskan dari sektor ini ialah pendekatan perencanaan kepariwisataan yang meliputi
pendekatan kemasyarakatan sebagai daya dukung utama pada sektor pariwisata ini. Hal ini sejalan
dengan pendapat tentang pentingnya suatu pendekatan dalam menunjang strategi perencanaan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
pembangunan dan pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas sebagaimana pernah diungkapkan
oleh Inskeep (1991), bahwa:
“Commnunity approach – There is maximum involvement of the local community in the planning and decision making process of tourism and to the extent feasible and desirable, there is maximum community participation in the actual development and management of tourism and it’s socioeconomic benefits”
Berdasarkan konsep tersebut, haruslah diakui bahwa pada umumnya untuk mengembangkan
kepariwisataan diperlukan pendekatan komunitas dalam rangka mendukung pembangunan dan
kemandirian daerah di Indonesia yang melibatkan partisipasi masyarakat secara aktual agar dapat
memberikan keuntungan sosio-ekonomis. Meskipun harus diakui bahwa pengembangan dan bahkan
pelaksanaan konsep pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas belum sepenuhnya
direncanakan dan dilaksanakan secara profesional, sehingga kerapkali memunculkan pertanyaan,
apakah memang Pemerintah dan termasuk juga Pemerintah Daerah benar-benar sungguh-sungguh atau
tidak dalam menjalankan kebijakan tentang pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang
sebenarnya telah pernah ditetapkan dalam Repelita yang lalu?
Pertanyaan lain yang mungkin pula muncul ialah sudah sejauh mana Pemerintah Daerah telah
melaksanakan kebijakan pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang menuju kepada hal-hal
yang bisa menopang ekosistem dan kegiatan ekonomi masyarakat untuk jangka waktu yang lama dan
untuk selalu berkesinambungan. Karena suatu kegiatan ekonomi dari sektor pariwisata yang ingin
bertahan lama, tentunya tidak bisa hanya mengandalkan infrastruktur aksesibilitas, semisal jalan raya,
pelabuhan laut dan lapangan udara yang skalanya terbatas, melainkan secara terpadu dilakukan bersama
dengan pengembangan kualitas individu pelaku kepariwisataan dan respons positif komunitas di
sekitarnya.
Pengembangan sektor pariwisata yang berbasis komunitas, harus pula ditentukan berdasarkan
perhitungan yang matang, dan kini harus pula sesuai dengan konsep otonomi daerah, yakni mengacu
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
kepada kemampuan masyarakat, dan skalanya lebih besar dalam kapasitas spesifikasi daerah yang
bersangkutan.
Pentingnya pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas dalam perspektif otonomi daerah,
pernah dinyatakan oleh Djamhur (1999), bahwa:
“Dari sisi pariwisata, otonomi daerah mengarah pada pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Tujuannya memaksimalkan sumberdaya lokal dan kemampuan masyarakat setempat. Ini paradigma baru. Untuk itu ada beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan dalam penerapannya, yaitu: 1) Produk; 2) Promosi; 3) Sumberdaya Manusia (SDM); 4) Pemberdayaan Masyarakat Setempat; 5) Investasi. Dalam hal pemberdayaan masyarakat setempat, pariwisata perlu menggalakkan program Community Tourism Development (CTD), yakni kegiatan pariwisata berdasarkan kemampuan masyarakat setempat. Dari, oleh, dan untuk masyarakat. Konsep CTD atau ekonomi rakyat ini mampu menciptakan produk wisata lokal dan ketahanan serta kestabilan kondisi sosioekonomi masyarakat. CTD menumbuhkan rasa saling membutuhkan dan bahkan memberdayakan semua pihak terkait. Masyarakat dapat langsung berpartisipasi dan menikmati keuntungan. Contohnya Desa Wisata”
Secara tegas dikatakan pula bahwa pemberdayaan masyarakat setempat akan pula turut
menentukan keberhasilan pengembangan sektor pariwisata dalam mendukung pelaksanaan program
otonomi daerah dengan segala dinamikanya.
Memang secara terus-menerus masalah untung-rugi pngembangan pariwisata berbasis
komunitas di setiap daerah menurut konsep otonomi daerah masih terus dikaji dan merupakan suatu
perbincangan yang panjang di antara para pakar pembangunan daerah dan perencana kepariwisataan,
namun tampaknya pola pengembangan pariwisata berbasis komunitas cenderung lebih memberikan
manfaat bagi kepentingan pariwisata, dan hal ini pun sejalan dengan pandangan Djamhur (1999) yang
menyatakan bahwa:
“Keuntungannya daerah dididik mandiri (mengatur, mengembang-kan, dan mengawasi daerahnya sendiri). Pemerintah Daerah diberi kesempatan untuk membuka diri (masuknya investasi asing ke daerah
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
tersebut), pemberdayaan masyarakat (dari, oleh dan untuk rakyat), discover the unknown (menggali potensi wisata yang terpendam). Sedangkan kerugiannya, mungkin timbul arogansi Pemerintah Daerah, sementara di sisi lain Pemerintah Pusat masih akan ikut menanggung kerugian akibat mismanagement, kesenjangan pembangunan antara daerah maju dan daerah terbelakang”
Oleh karena itulah dampak krisis ekonomi moneter dan politik yang dialami bangsa Indonesia
sejak tahun 1997 yang menghembuskan angin segar bagi proses reformasi di semua aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara, baik pada tataran sosial, ekonomi, hukum maupun politik haruslah dapat
dicermati dan disiasati maknanya demi mencapai cita-cita kehidupan yang lebih realistis. Walaupun
mungkin hasil dari proses reformasi itu belum memuaskan atau belum mencapai pada tahap
sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh komponen bangsa.
Pembangunan kepariwisataan berbasis komunitas dalam perspektif otonomi daerah ini perlu
kian dicermati dengan arif, karena dengan terbitnya undang-undang UU No. 22 tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah, dan UU No, 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah, diharapkan untuk dapat membangun muara pada kemampuan
meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang berada di kawasan nusantara ini.
Konsep desentralisasi kemudian menunjukkan bahwa otonomi menjadi hal yang sangat penting
bagi daerah-daerah dalam proses pembangunan. Otonomi berarti penyelenggaraan Pemerintahan
sebagai suatu urusan rumah tangga yang berdiri sendiri, yang meliputi tahapan perencanaan
pembangunan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap hasil-hasilnya. Konsekuensi logis dari penerapan asas
desentralisasi ini adalah kesiapan Pemerintah Daerah untuk menata keseluruhan perangkat organisasi
dan manajemen serta kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap perkembangan dan perubahan
lingkungan eksternal agar mampu melaksanakan amanat yang diberikan rakyat kepadanya. Fleksibilitas
terhadap perubahan lingkungan ini merupakan prasyarat bagi kemampuan Pemerintah Pusat maupun
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Daerah untuk sukses dalam melaksanakan program-program pembangunan yang tepat sasaran maupun
tepat guna.
Dalam lingkungan ekonomi dan politik pasca reformasi, industri pariwisata sebagai salah satu
anasir segmen ekonomi, sangat memungkinkan untuk meraih kesempatan dan membuka peluang sukses
sebesar-besarnya. Prospek pariwisata dalam artian yang seluas-luasnya dapat lebih mendorong
pengertian antarbangsa menuju perdamaian dunia, di samping memberi peluang kesempatan kerja,
meningkatkan devisa dan taraf kehidupan ekonomi (rakyat) melebihi kekuatan segmen ekonomi yang
lain.
Di sisi lain, pengembangan pariwisata melalui pendekatan pariwisata berbasis komunitas
diyakini merupakan salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu disadari
bahwa Pemerintah Daerah setempat semestinya juga memperhatikan secara serius masalah infrastuktur
fisik yang tentu saja penting bagi kelangsungan pertumbuhan dunia usaha dan industri pariwisata yang
berbasis komunitas, dalam artian bahwa Pemerintah Daerah semestinya dapat menyediakan jasa atau
fasilitas khusus untuk memenuhi keinginan dunia usaha atau industri pariwisata, khususnya yang
menunjang pemberdayaan masyarakat.
Memang, melalui kerangka berfikir ekonomi politik, tidaklah sulit untuk menunjukkan bahwa
pariwisata (terutama internasional) sangat meyakinkan untuk dapat menjadi pasport pembangunan bagi
kebanyakan negara berkembang meskipun pada sisi lain tidak hanya gagal berfungsi sebagai motor
penggerak pembangunan, tetapi bahkan dengan mudah berubah menjadi penyebab tidak
berkembangnya banyak dunia ketiga. Contoh sederhana, perusahaan penerbangan asing dan rantai
perhotelan amat berpengaruh dalam menentukan tempat tujuan wisata, dan sering mendiktekan kondisi
yang harus diciptakan di daerah wisata yang akan dikembangkan. Dalam situasi seperti ini, subsidi
Pemerintah dalam bentuk kebijaksanaan keringanan pajak mendorong kepariwisataan internasional
yang merugikan kebutuhan setempat (Britton, dalam Nasikun 1997). Yang lebih penting lagi ialah,
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
pariwisata internasional juga menghabiskan modal perekonomian negara dunia ketiga, memperkuat
ekonomi monokultur yang didasarkan kepada perolehan dari hotel, menyebabkan defisit neraca
pembayaran yang kronis, dan gagal untuk merangsang pertumbuhan industri kerajinan setempat (Perez,
dalam Nasikun 1997), dan pada saat yang sama, sering mengakibatkan rusaknya lingkungan dan sosial
budaya masyarakatnya.
Bertolak dari dinamika pembangunan kepariwisataan yang mengacu pada pelibatan dan
pemberdayaan masyarakat, maka penulis berketetapan untuk meneliti tentang “Perencanaan
Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat
Sumatera Utara”.
Alasan yang dibangun dalam rangka penelitian tentang perumusan Perencanaan Pengembangan
Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat Sumatera Utara
ialah:
1. Dalam satu dekade terakhir telah terjadi perubahan kecenderungan wisatawan dalam memilih objek
atau lokasi wisata. Wisatawan tidak lagi ingin sekedar datang untuk melihat objek wisata tertentu
saja, tetapi telah meningkatkan keinginan ke arah wisata yang dapat memberikan tambahan
wawasan, pengalaman dan pengetahuan baru, dan model wisata alternatif seperti ini dikenal dengan
istilah ecotourism, yang dalam bahasa Indonesia disebut ekowisata.
2. Sebagai bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), Tangkahan merupakan kawasan yang
didominasi oleh hutan dipterocarpaceae dataran rendah, yang memiliki vegetasi dengan ciri-ciri
pohon yang tinggi, dengan lebar kanopi 40-50 meter, kaya akan berjenis-jenis tumbuhan berbunga
yang akan mempengaruhi jenis dan komposisi satwa yang hidup di dalamnya, dan paling kaya akan
keanekaragaman fauna. Hampir 65% jumlah mamalia yang tercatat hidup di kawasan Sumatera
terdapat di dalam KEL. Tercatat 205 jenis mamalia besar dan kecil. Oleh karena itu, dipandang dari
sudut pengembangan ekowisata, KEL memiliki potensi sumberdaya alam yang luar biasa.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
3. Ekowisata akan mampu membangkitkan ekonomi masyarakat setempat dalam bentuk keuntungan
sosial dan juga partisipasi masyarakat dalam menentukan jenis kegiatan wisata dan jumlah fasilitas
yang akan dibangun, disamping sebagai promosi nyata terhadap kepentingan konservasi dan
pengembangan berkelanjutan KEL kepada masyarakat Indonesia dan internasional.
4. Melalui perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas yang dilakukan secara tepat dan
jitu oleh Pemerintah Daerah bersama masyarakat setempat dan unsur-unsur swasta, diharapkan akan
memberikan dampak positif setidaknya bagi peningkatan kunjungan wisatawan, baik wisatawan
domestik, maupun wisatawan mancanegara.
Pengembangan Pariwisata dengan pendekatan kemasyarakatan merupakan konsep alternatif
yang berbeda dengan konsep pembangunan kapariwisataan secara konvensional yang berlangsung
selama ini dengan pendekatan teknokratik-sentralistik. Konsep alternatif ini digunakan sebagai reaksi
atas kegagalan model modernisasi yang diterapkan selama ini di negara-negara berkembang. Konsep
dengan model top-down dirasakan telah melupakan konsep dasar pembangunan itu sendiri, sehingga
rakyat bukannya semakin meningkat kualitas hidupnya tetapi malah dirugikan dan bahkan
termarginalisasi di lingkungan miliknya sendiri (Pitana, 1999). Dalam perkembangan selanjutnya, trend
pariwisata dunia telah mengalami perubahan drastis. Pada beberapa negara/daerah, masyarakat
setempat (local community) turut pula dilibatkan dalam aktifitas kepariwisataan guna menunjang
keberhasilan pengembangan pariwisata. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila pada dasawarsa
belakangan ini, kemajuan industri pariwisata yang tergolong cukup pesat ini dikarenakan peningkatan
secara luas, keterlibatan masyarakat lokal (community based-tourism), waktu senggang (leisure time),
peningkatan pendapatan, kemajuan dalam teknologi informatika dan penerbangan --memungkinkan
biaya transportasi yang murah, mudah dan cepat--. Selain itu, pergerakan yang cepat di bidang
telekomunikasi dan informasi menstimulir gairah manusia untuk mengunjungi tempat/negeri asing dan
adat-istiadat yang unik dan orisinal.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Memang harus diakui bahwa sampai saat ini, memperkenalkan, mempopulerkan dan
memasarkan suatu produk wisata terutama ekowisata, bukanlah suatu hal yang mudah. Berbagai
tantangan harus dihadapi, terutama bila tidak didukung oleh keterlibatan masyarakat untuk memberikan
respon positif bagi pengembangan objek wisata tersebut. Oleh karena itulah, faktor utama bagi
pengembangan pariwisata berbasis komunitas adalah keseimbangan dan harmonisasi antara lingkungan
hidup, sumberdaya dan kepuasan wisatawan, yang diciptakan atas inisiatif masyarakat lokal, dan
kesemua aspek tersebut akan mencerminkan keberlanjutan sistem sosial, budaya dan ekonomi, yang
memang merupakan prioritas yang mesti didahulukan.
Pada tingkatan konseptual Pemerintah telah melakukan langkah-langkah untuk mendorong
pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Langkah ini dilakukan karena pariwisata berbasis
komunitas mempunyai potensi besar dan dapat menjadi tulang punggung penggerak perekonomian
masyarakat.
Selain dapat meningkatkan devisa, pariwisata juga diyakini dapat menyerap tenaga kerja dengan
tuntutan kualitas yang tidak terlalu tinggi. Pengembangan pariwisata berbasis komunitas dapat
melahirkan pemerataan, karena di daerah-daerah yang memiliki potensi kepariwisataan, masyarakat
setempat dapat dilibatkan sebagai tenaga kerja, pengelola warisan-warisan budaya dan pengrajin
industri sebagai aset wisata setempat. Oleh karenanya untuk mendukung pembangunan pariwisata
berbasis komunitas, Pemerintah telah menerapkan sejumlah kebijakan sebagai pemandu dalam setiap
perencanaan pembangunan dan pengembangan kepariwisataan sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan khususnya pada Pasal 2, Pasal 3
huruf (d), dan Pasal 30.
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
3. Peraturan Pemerintah RO Nomor 67 Tahun 1996 Tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan;
khususnya pada Pasal 2, 105, 106, dan 107.
4. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.5/UM.209/MPPT-89 Tanggal
18 Januari 1989 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sapta Pesona; khususnya pada Pasal 3, 4, 5,
dan 7.
5. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.98/PW.102/MPPT-87
Tanggal 23 Desember 1987 Tentang Ketentuan Usaha Obyek Wisata.
6. Keputusan Direktur Jenderal Pariwisata Nomor KEP-18/U/II/88 Tanggal 25 Pebruari 1990 Tentang
Pelaksanaan Ketentuan Usaha Objek Wisata.
7. Instruksi Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor IM.16/KS.001/MPPT-88 Tanggal 17
September 1988 Tentang Peningkatan Kerjasama Antar Instansi Pusat di Bidang Pengembangan
dan Pemanfaatan Objek Wisata Alam dan Objek Wi�ata Budaya.
8. Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal Pariwisata dan Direktur Jenderal Pembinaan dan
Penempatan Tenaga Kerja Nomor 07/Edr/II/88 dan Nomor SE.02/M/BP/88 Tanggal 26 Pebruari
1988 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
di Bidang Usaha Hotel, Restoren, Usaha Perjalanan, Wisata Tirta, dan Objek Wisata.
9. Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Pariwisata dan Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi
Nomor KEP.67/U/VI/88 dan Nomor 205/SKB/BUK/VII/88 Tanggal 27 Juli 1988 Tentang
Pengembangan Usaha Koperasi di Bidang Usaha Biro Perjalanan Umum dan Agen Perjalanan.
10. Instruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 1987 Tanggal 23 Desember 1987 Tentang Penyederhanaan
Perizinan dan Retribusi di Bidang Usaha Pariwisata.
11. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 1987 Tanggal 23 Desember 1987 Tentang
Penyederhanaan Perizinan dan Retribusi di Bidang Usaha Pariwisata.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
12. Surat Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan RI Nomor
177/DAGRI/VII/86 Tanggal 15 Juli 1986 Perihal Pembebasan Memiliki SIUP Bagi Usaha Jasa
Pelayanan di Bidang Pariwisata.
13. Keputusan Menteri pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.52/HM.601/MPPT-89
Tanggal 17 April 1989 Tentang Penyelenggaraan Kampanye Nasional Sadar Wisata.
14. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.59/PW.002/MPPT-85
Tanggal 23 Juli 1985 Tentang Peraturan Kawasan Pariwisata.
15. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.70/PW.105/MPPT-85
Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum.
16. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.71/PW.105/MPPT-85
Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha dan Penggolongan Perkemahan.
17. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.72/PW.105/MPPT-85
Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Mandala Wisata.
18. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.73/PW.105/MPPT-85
Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha Rumah Makan.
19. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.74/PW.105/MPPT-85
Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha Pondok Wisata.
Pembangunan Kepariwisataan berbasis komunitas secara nasional sudah dilakukan oleh
Pemerintah sejak tahun 1990, dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang
Kepariwisataan; Bab II Azas dan Tujuan, serta Bab V, Peran Serta Masyarakat yang menyatakan:
“Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan azas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, asli dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri. Penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan: a) memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan objek dan daya tarik wisata; b) memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa; c) memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja; d) meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; dan e) mendorong pendayagunaan produksi nasional. --Peran Serta Masyarakat-- yakni: 1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. 2) Dalam rangka proses pengambilan keputusan, Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) melalui penyampaian saran, pendapat, dan pertimbangan. Pariwisata secara universal harus mampu menghadapi kompetisi global serta memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Oleh karena itu peran Pemerintah sebagai pelaku dan sekaligus fasilitator sangatlah besar dan sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya pembangunan dan pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan, dengan mengikutsertakan dan mengoptimalisasikan para pelaku pembangunan di sektor pariwisata, yakni: Pemerintah/Pemda, masyarakat lokal, swasta/investor. Peran tersebut dapat diwujudkan dalam Kebijaksanaan Umum Pengembangan Pariwisata, yaitu kebijakan untuk menjaga keseimbangan antara peran serta Pemerintah, swasta, dan masyarakat” (Suwantoro, 1997).
Pembangunan pariwisata berbasis komunitas jelas-jelas memiliki potensi yang baik yang
bersifat positif maupun negatif, sebagaimana dikemukakan oleh Karyono (1997):
“…Potensi positif pembangunan pariwisata berbasis komunitas meliputi: 1) Makin luasnya kesempatan usaha; 2) Makin luasnya lapangan kerja; 3) Meningkatnya pendapatan masyarakat dan Pemerintah; 4) Mendorong pelestarian budaya dan penggalan sejarah; 5) Mendorong terpeliharanya lingkungan hidup; 6) Terpeliharanya keamanan dan ketertiban; 7) Mendorong peningkatan dan pertumbuhan di bidang pembangunan sektor lainnya; dan 8) Memperluas Wawasan Nusantara, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta menumbuhkan cinta tanah air. Di sisi lain, terdapat pula potensi negatif pembangunan pariwisata berbasis komunitas, yakni: 1) Harga di daerah yang menjadi tujuan pariwisata makin tinggi; 2) Terjadinya pencemaran lingkungan alam dan lingkungan hidup; 3) Terjadinya sifat ikut-ikutan oleh masyarakat setempat; 4) Tumbuhnya sikap mental materialistis; 5) Timbulnya pedagang asongan;6) Tumbuhnya sikap meniru wisatawan; dan 7) Meningkatnya tindak pidana”
Pada sisi lain, bisa dilihat beberapa ciri-ciri atau karakteristik pengembangan pariwisata berbasis
komunitas sebagaimana dimaksudkan oleh Nasikun (dalam Fandeli, 2000), yakni :
a. Berskala kecil (small scale), sehingga lebih mudah diorganisasikan. Jadi jenis pariwisata yang
dikembangkan dengan menggunakan konsep tersebut pada dasarnya adalah pariwisata yang
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkkan banyak dampak
negatif.
b. Lebih berpeluang untuk dikembangkan dan diterima oleh masyarakat lokal.
c. Lebih memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dari proses perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, maupun penerimaan manfaat dan keuntungan.
d. Selain menekankan partisipasi masyarakat, pembangunan berwawasan kerakyatan juga sangat
mementingkan keberlanjutan kultural (cultural sustainability), dan secara keseluruhan berupaya
untuk membangkitkan “rasa hormat” dan “penghargaan” wisatawan terhadap kebudayaan lokal.
Dengan karakteristik tersebut, pengembangan suatu kawasan atau objek wisata yang
memanfaatkan pendekatan pembangunan berbasis komunitas, akan lebih memberdayakan dan
menguntungkan masyarakat, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, untuk kemudian
keseimbangan dan keberlanjutan potensi atau modal dasar kepariwisataan di kawasan objek wisata
tersebut akan tetap terjaga dan terpelihara. Sebenarnyalah pembangunan merupakan sebuah social-
learning yang menuntut adanya partisipasi masyarakat lokal dalam berbagai tahap pembangunan,
sehingga pengelolaan pembangunan benar-benar dilakukan oleh mereka yang hidup dan kehidupannya
paling dipengaruhi oleh pembangunan tersebut, sebagaimana dikatakan Korten (dalam Pitana, 1999).
Masih menurut Korten, ada tiga alasan dasar yang menjelaskan mengapa konsep tersebut
penting untuk dilaksanakan, yaitu pertama: variasi antar daerah (local variety) sehingga setiap daerah
tidak dapat diberikan perlakuan yang sama. Setiap daerah memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berbeda satu
dengan yang lainnya, karena itu sistem pengelolaannya juga harus berbeda, dan masyarakat lokal
sebagai pemilik daerah adalah pihak yang paling mengenal dan paling akrab dengan situasi daerahnya.
Kedua, adanya sumberdaya lokal (local resources), yang secara tradisional dikuasai oleh masyarakat
lokal tersebut, karena pengalaman itu sudah dilaksanakanan beberapa generasi. Ketiga, tanggung jawab
lokal (local accountabily), bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal biasanya lebih
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
bertanggung jawab, karena kegiatan tersebut secara langsung akan mempengaruhi hidup mereka. Hal
ini berarti masyarakat lokal umumnya selalu memiliki moral dan tanggung jawab yang lebih tinggi
daripada pengelola yang berasal dari luar daerah tersebut.
Model pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang mengikuti perubahan global dan
perkembangan dunia kepariwisataan, merupakan unsur pendukung kepariwisataan dengan cara
melibatkan secara langsung masyarakat di sekitar objek kawasan wisata. Keterlibatan masyarakat ini
juga sampai pada pelayanan informasi, pelayanan telekomunikasi, pelayanan angkutan, maupun
pelayanan administrasi untuk keperluan bisnis, hotel dan restoran, tour & travel, transportasi, souvenir,
serta bidang pendidikan kepariwisataan. Sementara itu, usaha-usaha pariwisata yang masih bisa
dikelola oleh Pemda bersama dengan masyarakat setempat ialah penginapan, penggunaan ruang
pertemuan, penggunaan fasilitas jasa layanan masuk tempat rekreasi, pelabuhan udara dan dermaga,
maupun money changer. Pelaksanaan aktivitas berbagai usaha kepariwisataan ini harus didukung
sepenuhnya oleh para pramuwisata atau seseorang yang telah mendapat izin (license) dari Pemerintah
Daerah untuk bertugas memberikan bimbingan, penerangan, dan petunjuk tentang objek wisata serta
membantu segala sesuatu yang diperlukan wisatawan.
Keterlibatan lain dari masyarakat juga dapat dilihat dari berbagai fungsi ketenagakerjaan, baik
yang bersifat positif, maupun negatif, yakni sebagai tenaga kerja pada usaha pariwisata seperti
pramuwisata (guide), peramu minuman, penerima tamu (receptionist), pramusaji, juru masak, operator
telepon, satpam, dan lain-lain.
Semakin maraknya aktivitas pariwisata alternatif yang mengarah pada konsep kesinambungan
pariwisata, melahirkan partisipasi masyarakat dari berbagai jasa kepariwisataan dapat dilakukan di
kawasan Daerah Tujuan Wisata.
Konsep Tourism Based Community Development memang telah menjadi fokus bisnis pariwisata
dunia, apalagi mengingat bisnis wisatawan mancanegara yang melayani semua kebutuhan wisatawan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
sejak dari negara asal sampai kembali lagi ke negerinya, merupakan peluang strategis bagi manajemen
untuk melakukan diversifikasi usaha kepariwisataan (tourism business). Hal itu ditambah lagi dengan
arus pergerakan wisatawan nusantara yang turut memberikan kontribusi bagi upaya pemberdayaan
ekonomi masyarakat di Daerah Tujuan Wisata, serta dalam rangka peningkatan pendapatan daerah.
Oleh karena itu, pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang dilaksanakan di berbagai
daerah semakin penting, tidak saja dalam rangka meningkatkan penerimaan devisa negara, melainkan
juga dapat memperluas kesempatan berusaha, di samping memberikan lapangan pekerjaan baru bagi
masyarakat serta untuk mengurangi pengangguran. Oleh karena itu pulalah pembangunan dan
pengembangan pariwisata berbasis komunitas pada suatu daerah tujuan wisata sangat erat kaitannya
dengan pembangunan perekonomian terutama bagi distribusi pendapatan masyarakat di daerah. Hal itu
memberi pengertian bahwa pengembangan kepariwisataan yang mengacu pada pembangunan
pariwisata berbasis komunitas harus selalu memperhitungkan keuntungan dan manfaatnya bagi
masyarakat, yaitu dari sisi meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan laju pertumbuhan
perekonomian daerah, dan pada gilirannya nanti untuk meningkatkan devisa negara.
Menurut Yoeti (1997) industri pariwisata akan menyumbangkan devisa melalui:
1) Penerimaan visa-fee sewaktu wisatawan akan berangkat ke Indonesia pada kedutaan/perwakilan
Indonesia di luar negeri;
2) Hasil penjualan tiket pesawat udara atau kapal laut (bila pesawat udara atau kapal laut yang
digunakan adalah pesawat atau kapal yang merupakan milik bangsa Indonesia);
3) Biaya taxi/coach bus untuk transfer dari lapangan udara ke hotel dan sebaliknya;
4) Sewa kamar hotel selama menginap pada beberapa kota yang dikunjungi;
5) Biaya makanan dan minuman pada Bar dan Restoran, dalam maupun di luar hotel;
6) Biaya tours dan sight seeing serta excursion pada kota-kota yang dikunjungi;
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
7) Biaya taxi untuk transportasi lokal untuk keperluan berbelanja (shopping) dan keperluan pribadi
lainnya;
8) Pengeluaran untuk membeli barang-barang souvenir serta barang-barang lainnya, yang dibeli pada
beberapa kota yang dikunjunginya; dan
9) Fee perpanjangan visa di tempat atau kota yang dikunjunginya (bila diperlukan).
Pada sisi lain, pengembangan sektor pariwisata harus pula diarahkan bagi terwujudnya tahapan
pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (sustainability of tourism development), yang
mensyaratkan:
1) Prinsip pengembangan yang berpijak pada keseimbangan aspek pelestarian dan pengembangan
serta berorientasi ke depan (jangka panjang);
2) Penekanan pada nilai manfaat yang besar bagi bagi masyarakat setempat;
3) Prinsip pengelolaan assets/sumberdaya yang tidak merusak namun berkelanjutan untuk jangka
panjang baik secara sosial, budaya, dan ekonomi;
4) Adanya keselarasan sinergis antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup dan masyarakat lokal.
Antisipasi dan monitoring terhadap proses perubahan yang terjadi akibat kegiatan pengembangan
pariwisata;
5) Pengembangan pariwisata harus mampu mengembangkan apresiasi yang lebih peka dari masyarakat
terhadap warisan budaya dan lingkungan hidup.
Oleh karena itulah, keberadaan suatu kawasan objek wisata perlu untuk selalu dipelihara,
dirawat, diperbaiki, ataupun dikembangkan sehingga tetap menarik untuk dikunjungi, karena bila suatu
kawasan kepariwisataan telah dirasakan masyarakat setempat sebagai miliknya sendiri dan berfungsi
dalam kehidupannya, maka keberlanjutan kepariwisataan di daerah tersebut akan tetap dipelihara dan
dijaga oleh masyarakat setempat. Hal ini mutlak harus dilakukan mengingat potensi pengembangan
pariwisata di Indonesia yang sangat luar biasa yang meliputi warisan budaya bangsa yang kaya sebagai
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
aset kunci, seperti sejarah keagamaan, seni, kerajinan, musik dan tari, dan gaya hidup tradisional di
berbagai daerah; bentangan alam yang indah, meliputi gunung berapi dan daerah pegunungan, pulau-
pulau dan lingkungan bahari, pantai maupun hutan hujan; letaknya yang dekat dengan pasar-pasar
pertumbuhan di Asia, seperti Singapura, Jepang, Hongkong, Korea dan Cina untuk jangka panjang;
penduduk yang sangat besar jumlahnya dan semakin kaya, akan membentuk pasar domestik yang
menunjang perkembangan pariwisata; serta tenaga kerja yang besar dan relatif murah, dan dengan
demikian dapat menghasilkan produk dengan harga yang dapat bersaing (Faulkner, 1997).
1.2 Perumusan Masalah
Sektor pariwisata merupakan sektor unggulan yang dapat memberikan kontribusi besar bagi
penerimaan daerah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peran aktif dan pelibatan
masyarakat bersama Pemerintah Daerah dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya pariwisata daerah
secara terpadu dan berkesinambungan, sekaligus mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah dan
pemberdayaan masyarakat.
Disamping itu, dengan memberikan kesempatan dan peluang yang sebesar-besarnya kepada
masyarakat dalam mengelola jasa wisata alam diharapkan mampu meningkatkan manfaat objek dan
daya tarik wisata alam, sehingga kegiatan pariwisata alam dapat membantu menunjang program
pengentasan kemiskinan melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam rangka menjadikan pariwisata sebagai motor penggerak perekonomian daerah, sangat
dibutuhkan campur tangan Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat setempat dan pihak swasta
untuk mengembangkannya. Perencanaan yang layak bagi pembangunan pariwisata saat ini sudah
saatnya untuk dimulai mengingat banyak negara telah mengenali pariwisata sebagai komponen utama
untuk melanjutkan pembangunan ekonomi, dan mereka mencari jalan untuk meningkatkan keuntungan
yang dapat diharapkan dari pariwisata.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Dengan menyadari kekuatan potensi kepariwisataan Indonesia pada umumnya dan potensi
daerah khususnya, maka sangat diperlukan terobosan bagi upaya pengembangan sektor pariwisata
untuk dapat menggerakkan para pelaku kepariwisataan di daerah khususnya, yakni antara Pemerintah
Daerah, masyarakat setempat dan pihak swasta.
Bertolak dari alur pemaparan yang disampaikan, maka lebih khusus lagi dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut: “Bagaimana perencanaan yang harus dilakukan dalam rangka
Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat
Sumatera Utara?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah:
1. Mengetahui kebijakan Pembangunan Pariwisata yang telah dilakukan Pemerintah Daerah
Kabupaten Langkat, terrutama terhadap kawasan Tangkahan,
2. Menganalisis pengembangan ekowisata berbasis komunitas, agar dapat diidentifikasi adanya isu-isu
strategis yang perlu direspon melalui perumusan Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis
Komunitas di Kawasan Tangkahan Kabupaten Langkat secara komprehensif melalui proses
partisipatif, dengan memperhatikan sensitifitas ekosistem, potensi sumberdaya alam, optimalisasi
peran serta masyarakat.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil studi ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembacanya, memberikan
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kepariwisataan,
pemberdayaan masyarakat, setidaknya mereka yang tertarik untuk mengamati dan mempelajarinya
secara lebih mendalam masalah pariwisata alternatif--ekowisata.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Hasil studi ini juga diharapkan bermanfat dan dapat menjadi informasi (input) bagi para
perencana dan pengambil keputusan strategis dalam menata kebijakan pengembangan ekowisata
berbasis komunitas, bagi Pemerintah dan bagi masyarakat setempat sebagai pemilik daerah objek
wisata tersebut.
Dengan perencanaan yang baik serta strategi pengembangan yang terarah dan jitu, maka
kawasan objek wisata yang memiliki potensi-potensi kepariwisataan seperti lingkungan alam, budaya
dan tradisi kehidupan masyarakat setempat dapat berjalan harmonis berkelanjutan dengan kualitas yang
dapat diandalkan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat dalam kancah kepariwisataan baik
di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gamabar 1 : Palang Selamat Datang Kawasan Ekowisata Tangkahan ( dok. Pribadi)
BAB II
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pariwisata Alternatif dan Ekowisata
Masalah perencanaan yang layak bagi pembagunan pariwisata saat ini memiliki matra yang
bersifat nasional dan internasional. Pada tingkat nasional, banyak negara di dunia ini telah mengenali
pariwisata sebagai komponen utama untuk melanjutkan pembangunan ekonomi Negara dan mereka
mencari jalan untuk meningkatkan keuntungan yang tampaknya dapat diharapkan dari pariwisata.
Pada tingkat internasional, aliran pariwisata antar Negara merupakan bagian terbesar dari
kegiatan pariwisata, sebagai contoh misalnya, Indonesia dan Australia merupakan Negara yang giat
membangun industri pariwisatanya atas nama pembangunan ekonomi nasional, dan perlu diketahui
bahwa kegiatan pariwisata di kedua Negara tersebut sangat bergantung kepada daya tarik sumberdaya
alamnya yang unik, namun di banyak tempat sumberdaya alam tersebut terancam oleh wisatawan yang
besar jumlahnya yang datang mengunjunginya secara massal.
Oleh karena itulah sangat dibutuhkan penyusunan kebijaksanaan mengenai perencanaan
perluasan pariwisata di masa yang akan datang, semisal mengenai cara yang terbaik untuk
menyeimbangkan pembangunan pariwisata dengan sumberdaya alam dalam pembangunan
perekonomian nasional. Dalam kekhawatiran itu pulalah muncul berbagai isyu kebijakan dalam
perencanaan pembangunan pariwisata yaitu bagaimana dapat direncanakan suatu pembangunan
pariwisata yang berkelanjutan, dan kegiatan yang bergerak ke arah pariwisata alternatif.
Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan usaha menjamin
agar sumberdaya alam, sosial dan budaya yang kita manfaatkan untuk pembangunan pariwisata dalam
generasi ini dilestarikan untuk generasi yang akan datang.
Sementara hal ini cenderung menjadi bahan perbincangan utama mengenai isu pembangunan
pariwisata yang berkelanjutan, keberlanjutan kegiatan pariwisata di suatu daerah ternyata juga
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
tergantung kepada kelangsungan hidup dunia perdagangannya. Dengan perkataan lain, boleh dikatakan
bahwa tak ada manfaatnya segala upaya menetralkan dampak yang negatif terhadap lingkungan alam,
sosial dan budaya dari kegiatan pariwisata apabila kita kehilangan wawasan akan perlunya kegiatan ini
menghasilkan manfaat ekonomi, dan yang lebih penting lagi, manfaat itu harus disebarkan secara
merata di antara penduduk kawasan.
Dalam pengembangan pariwisata alternatif, konsep pembangunan berkelanjutan merupakan
konsep alternatif yang mencakup usaha untuk mempertahankan integritas dan diversifikasi ekologis,
memenuhi kebutuhan dasar manusia, terbukanya pilihan bagi generasi mendatang, pengurangan
ketidakadilan dan peningkatan penentuan nasib sendiri bagi masyarakat setempat.
Menurut Schouten (1992), hal yang melatarbelakangi munculnya konsep pembanguan
berkelanjutan adalah sebagai “the central concept behind sustainable development is that”. Lingkungan
kebudayaan (cultural enveiroment) kini mengalami tekanan yang sangat berat, sama halnya dengan
yang dialami oleh lingkungan alam (natural environment). Warisan budaya manusia kini berada di
posisi yang cukup berbahaya dan memprihatinkan, dan semua tekanan yang dialami ini bukan semata–
mata disebabkan oleh pesatnya industri pariwisata saja, melainkan juga disebabkan oleh berbagai faktor
seperti urbanisasi, peningkatan pertumbuhan penduduk dunia yang begitu pesat, masuknya industri
teknologi yang berada di luar kontrol (uncontrolled), maupun karena perubahan infrastruktur yang
begitu cepat terjadi dibanyak Negara di dunia ini.
Menghadapi kenyataan ini, para cendikiawan, pencinta lingkungan, tokoh masyarakat dan
banyak pihak lain, mencoba memberi jalan keluar yang dapat mencegah atau meminimalkan dampak
negatif pembangunan yang telah berlangsung, pembangunan yang kurang memperhatikan semua
warisan sumberdaya alam dan budaya manusia, yang hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi
semata. Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan bertujuan untuk menghentikan disintegrasi,
mengupayakan dan menyediakan pilihan budaya sebanyak–banyaknya bagi generasi yang akan datang.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Namun begitu, pendekatan pembangunan yang berkelanjutan tidak bermaksud untuk menghentikan
pembangunan dan inovasi yang ada di dalam masyarakat. Pendekatan pembangunan yang
berkelanjutan hanya berupaya untuk mengawasi pembangunan agar lebih memperhatikan
kemungkinan– kemungkinan yang harus dihadapi generasi yang akan datang dengan bercermin ke masa
lalu (Schouten 1992).
Masih menurut Schouten, dalam pendekatan pembangunan yang berkelanjutan, tiga elemen
kunci yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pengembangan pariwisata yakni :
1. Quality of the experience ( outtomers )
2. Quality of the resources ( culture and natural envirament )
3. Quality of life ( for local people ).
Keserasian dan keharmonisan ketiga elemen tersebut mencerminkan apa yang menjadi dasar
dari falsafah pembangunan yang berkelanjutan, sebagaimana digambarkan Schouten (1992).
Quality of life
-Integration in society -Economi viability -Social imoact
Quality of experience Quality of the resources -Uniquueness - Integrity -Curiousity - Capacity -Imagination - Preservation
Gambar 2 : Elemen Kunci pengembangan Pariwisata (Schouten, 1992)
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pengembangan pariwisata alternatif memang harus menggunakan pendekatan pembangunan yang
berkelanjutan, karena sumberdaya alam, lingkungan dan budaya yang terpelihara dan terjaga
kualitasnya merupakan potensi dan modal utama yang dapat menarik wisatawan.
Dengan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan, diharapkan hubungan ketiga elemen
pariwisata yaitu masyarakat setempat, wisatawan dan sumber daya alam dapat berjalan seimbang dan
harmonis serta terjaga kualitasnya.
World Commission on Environment and Development (WCED 1987 dalam: Nash 1996)
mengatakan bahwa, “Sustainable development is development that meets the needs of the present
without compromising the ability of the future generation to meet their own needs“.
Secara lebih jelas prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang dituliskan dalam laporan
World Tourism Organization ( WTO, 1993 ) adalah sebagai berikut :
1. Ecological sustainability ensures that development is compatible with the maintenance of essential
ecological process, biological diversity and biological resources.
2. Social & cultural sustainability, ensures that development increases people’s control over their
lives, is compatible with the culure and valves of people affected by it, and maintans and
strengthens community indentity.
3. Economic sustainability, ensores that development is economically efficient and that resources are
managed so that they can support future generations.
Konsep pembangunan berkelanjutan memang sangat mewarnai pembangunan kepariwisataan
yang dikenal sebagai pembangunan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourisun
development), dan selalu pula disamakan dengan pariwisata alternatif. Eadington dan Smith
memberikan defenisi “form of tourism that are consistent with natural, social and worth while
interaction and shared experiences“ (dalam Pitana 2001).
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan pada perinsipnya selalu menjaga keberlanjutan
kualitas pengalaman wisatawan, kualitas hidup masyarakat lokal dan juga kualitas lingkungan
sumberdaya alam. Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan menekankan tujuan dan kerjasama
antara wisatawan, masyarakat setempat dan daerah tujuan wisata, untuk saling melengkapi satu sama
lain. Kontinuitas sumberdaya alam dan budaya masyarakat setempat dapat berjalan seiring dengan
kepuasan wisatawan dan keharmonisan di antara industri pariwisata, pecinta lingkungan dan
masyarakat lokal.
Dalam pariwisata yang berkelanjutan, kebutuhan masyarakat setempat adalah hal yang utama
untuk diperhatikan, baik dalam perencanaan maupun manajemen kepariwisataan. Dampak negatif
kepariwisataan harus diupayakan agar tidak merusak tatanan kehidupan sosial dan budaya masyarakat
lokal, karena kualitas pengalaman wisatawan juga sangat tergantung pada kehidupan sosial dan budaya
yang terdapat pada kawasan objek wisata tersebut.
World Taurism Organization (1999) menyarankan prinsip pokok pariwisata berkelanjutan yang
sebaiknya diperhatikan dalam pengembangan pariwisata altrnatif yakni :
1. Tourism planning, development and operation should be part of conservation or sustainable
depelopment strategies for a region, a province (state) or nation. Tourism planning, development
and operation shouldbe crossectoral and intergrated, involving government agencies, private
corporations, citizens groups and individual thus providing the widest possible benefits.
2. Tourism should be planned and managed in a sustainable manner, with due regard for the
protection and appropriate economic uses of the natural and human environment in host areas.
3. Tourism should be undertaken with equity in mind to distribute fairly benefits and costs among
tourism promoters and host people and areas.
4. Good information, research and communication on the nature of tourism and its effects on the
human and cultural environment should be available prior to and during development, especially
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
for the local people, so that they can participate in and influence the direction of development and
its effects as much as possible, in the individual and collective interest.
5. Local people should be encouraged and expected to undertake leadership roles in planning, and
development with the assistance of government, bussines, financial and other interests.
6. Intergrated environmental, social and economic planning analysis should be undertaken prior to
the commencement of any mayor projects, with careful consideration given to different types of
tourism development and the ways in which they might link with existing uses, ways of life and
environmental considerations.
7. Throughout all stages of tourism development and operation, a careful assessment monitoring and
mediation program should be conducted in order to allow local people and others to take
advantage of opportunities or to respond to changes.
Secara teoritis, pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat tercapai kalau pemanfaatan
sumberdaya tidak melampaui kemampuan regenerasi sumberdaya tersebut, dan keterlibatan
masyarakat lokal dianggap sebagai prasyarat multak untuk tercapainya pembangunan berkelanjutan
(Woodley 1993, dalam Pitana , 2001).
Konsep-konsep pembangunan yang berkelanjutan, pariwisata alternatif maupun pengembangan
pariwisata yang berbasis masyarakat, selalu menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal
secara penuh, mulai dari perencanaan, pengelolahan, pengawasan dan pemanfaatan keuntungan
ekonomi yang diperoleh dari keberadaan pariwisata di daerahnya, disamping skalanya yang kecil dan
tidak melebihi daya tampung (carriying capacity) kawasan tersebut.
Pengembangan ekowisata yang mensejahterakan masyarakat, yang menempatkan masyarakat
sebagai subjek pembangunan merupakan pengembangan kepariwisataan yang relevan diprioritaskan
saat ini, sehingga masyarakat tidak hanya belajar ketrampilan untuk pengelolaan berbagai usaha
pariwisata, tapi juga lebih memahami tentang lingkungan. Dengan demikian pembangunan pariwisata
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
yang dilakukan tidak hanya memberikan keuntungan dan kemajuan bagi kepariwisataan itu saja, tetapi
lebih jauh masyarakat juga akan lebih memahami dan menyadari tentang lingkungan dan beragam
budaya manusia yang berbeda antara satu dengan yang lainya. Dengan demikian pembanguan
pariwisata yang dilakukan tidak hanya akan memberikan keuntungan dan kemajuan bagi
kepariwisataan itu saja, tapi juga untuk mencapai berbagai tujuan lainnya (Ardika , 2001)
International Union for the Conservation of Nature. (IUCN), United Nations Enviroment
Programme ( UNEP ), dan World Wildlife Fund (WWF) pada tahun 1980 mengeluarkan sebuah strategi
konservasi dunia ( world conservation strategy) untuk mencapai tiga tujuan pokok , yaitu :
1. Mempertahankan proses-proses ekologi yang esensial dan system pendukungnya
2. memelihara keanekaragaman genetik
3. menjamin kegunaan ekosistem dan spesiesnya secara berkelanjutan.
Pada tahun 1987, Komisi Sedunia Tentang Lingkungan Hidup dan Pembanguan (World
Commission on Enviroment and Development) yang banyak dikenal sebagai komisi Brundlandt,
menyatakan argumentasinya bahwa linkungan dan pembagunan masa kini yang terjadi tidak
berkelanjutan dan bahwa diperlukan tindakan-tindakan baru yang menjamin berkelanjutan dunia untuk
masa mendatang.
Sebagai tema sentral, komisi Brunlandt mendefinisikan istilah Sustainable Development sebagai
“pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi
yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka“ (Soemarwoto, 2001)
Kritik-kritik terhadap definisi Sustainable Development ini lebih menyangkut pada ketepatan
interpretasi dari pengertian tersebut. Eckholm (1982) menyatakan : “Sustainable Development may
beson as economis growth that is ecologically sustainable and satisfies the essential needs of the
Underclass”. Kontrakdisi dalam istilah sustainable development yang memadukan kata “kebelanjutan“
(sustainable) dan “pembangunan“ (development) membuat ini bisa jadi hanya sebagai slogan saja.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Menurut Grundy (1993) konsep Sustainable Development merupakan “ a new Set of valdes,
beliefs and assumptions” Bagi Grundy, paradigma yang dimunculkan ini melihat masalah kemanusiaan
dan lingkungan alam bukan sebagai dua hal yang terpisah. Sebagai hasilnya, Sustainable Development
dapat meningkatkan status sosial dan tetap menjamin berkelanjutan lingkungan untuk generasi
mendatang. Secara spesifik Grundy menyebutkan bahwa konsep Sustainable Development terdiri dari
tiga elemen system yang menyangkut:
1. Keberlanjutan ekologi
2. Keberlajutan sosial , dan
3. Keberlajutan ekonomi.
Konsep Sustainable Development kemudian oleh Burns dan Holden (1997) diadaptasi untuk bidang
pariwisata sebagi sebuah model yang mengintergrasikan lingkungan fisik (place) linkungan budaya (
host community) dan wisatawan (visitor)
Gambar 3 : Model untuk Sustainable Tourism Development ( Sumber : Burns & Holden , 1997 )
Adapun prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam Sustainable Tourism Development ini menurut
Burns & Holden terdiri dari :
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
1. Lingkungan memiliki nilai hakiki yang juga bisa sebagai asset pariwisata. Pemanfaatannya bukan
hanya untuk kepentingan pendek, namun juga untuk kenpentingan generasi mendatang.
2. Pariwisata harus diperkenalkan sebagai aktifitas yang positif dengan memberikan keuntungan
bersama kepada masyarakat, lingkungan dan wisatawan itu sendiri.
3. Hubungan antara pariwisata dan lingkungan harus dikelola sehingga lingkungan tersebut
berkelanjutan untuk jangka panjang. Pariwisata harus tidak merusak sumberdaya, masih dapat
dinikmati oleh generasi mendatang atau membawa dampak yang dapat diterima.
4. Aktifitas pariwisata dan pembangunan harus peduli terhadap skala/ ukuran alam dan karakter
tempat kegiatan tersebut dilakukan.
5. Pada lokasi lainnya, keharmonisan harus dibangun antara kebutuhan-kebutuhan wisatawan, tempat/
lingkungan , dan masyarakat lokal.
6. Dalam dunia yang dinamis dan penuh dengan perubahan, dapat selalu memberikan keuntungan .
Adaptasi terhadap perubahan, bagaimanapun juga, jangan sampai keluar dari prinsip-prinsip ini.
7. Industri pariwisata, pemerintah lokal dan lembaga swadaya masyarakat, pemerhati lingkungan,
semuanya memiliki tugas untuk peduli pada prinsip-prinsip tersebut di atas dan kekerja bersama
untuk merealisasikannya.
Bentuk pariwisata seperti yang biasa dikenal hingga saaat ini --- yang sering disebut pariwisata
modern --- bermula dari suatu bentuk kegiatan wisata yang dipelopori oleh Thomas Cook yang
menyelengarakan suatu inclusive tour pada tahun 1841, dan diikuti oleh 570 orang peserta berkat upaya
promosi yang dilakukan melalui iklan.
Keberhasilan Thomas Cook ini kemudian ditiru oleh orang-orang lain dengan mendirikan
perusahaan-perusahaan perjalanan (tour operator), yang menyelengarakan berbagai paket wisata
(packaged tours) dan berkembang menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia, dan Thomas
Cook dijuluki sebagai Bapak atau Arsitek Pariwisata Modern. Namun, dengan munculnya bentuk-
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
bentuk pariwisata alternatif, pariwisata modern yang telah berusia lebih dari satu setengah abad itu
kemudian disebut pariwisata konvensional.
Pada dekade belakangan ini industri pariwisata (konvensional) ternyata telah mulai berubah
secara radikal. Perubahan yang terjadi berasal dari karakteristik wisatawan yang berpergian ke daerah
tujuan wisata yang sudah berkembang atau yang baru, maupun oleh karakteristik peristiwa budaya,
kawasan dan hal-hal lain sebagai komponen penyediaan dalam upaya menarik wisatawan.
Perbedaan antara pariwisata lama dan pariwisata baru seperti yang dinyatakan oleh Poon (dlm.
Faulkner, 1997) terletak pada karakteristik konsumennya, cara pengelolaanya saat ini, teknologi yang
diterapkan, dan proses produksi yang membuat pariwisata lama menjadi bentuk yang dikemas secara
baku dan kaku, sementara pariwisata baru mengarah ke kelompok yang lebih kecil, lebih luwes dan
lebih mandiri.
Perubahan pariwisata yang lain ialah pola ruangnya, arus wisatawan ke Negara berkembang
maningkat lebih pesat dari sebelumnya dan juga lebih cepat dari perubahan arus wisatawan ke negara
maju. Arus dari negara maju ke negara maju telah menurun secara proporsional pada sepuluh tahun
terakhir ini, karena semakin kuatnya minat wisatawan akan budaya asli daa alam yang murni.
Perubahan bentuk pariwisata yang dimksud adalah munculnya pariwisata alternatif yang oleh Edington
dan Smith diberi batasan sebagai ”Bentuk pariwisata yang konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan
masyarakat yang memungkinkan baik tuan rumah maupun pengunjung untuk menikmati interaksi yang
positif dan berarti dan saling membagikan pengalamannya” (Gunawan, 1997).
Pariwisata alternatif merupakan bentuk oposisi dari pariwisata konvensional/ masal. Menurut
Wearing dan Neil (2000) pariwisata alternatif didefenisikan sebagai bentuk-bentuk pariwisata yang
menaruh perhatian dan konsisten terhadap alam, sosial dan nilai-nilai kemasyarakatan, dan memberikan
kesempatan wisatawan dan penduduk lokal untuk berinteraksi dan menikmatinya secara positif dan
saling tukar pengalaman.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 4: Tipe Pariwisata & Ragamnya ( Wearing dan Neil , 2000 )
Dari karakteristik yang digambarkan di atas dapat dilihat bahwa ekowisata adalah salah satu
bentuk dari pariwisata alternatif. Dalam istilah yang paling sederhana, ekowisata dapat digambarkan
sebagai kegiatan wisata dengan dampak yang minimal, koservasi, bertanggung jawab dan apresiatif
terhadap lingkungan dan budaya masyarakat yang dikunjungi.
Sementara itu para pemerhati/pakar lingkungan mulai menyadari bahwa upaya-upaya menjaga
kelestarian lingkungan tidak akan efektif jika tidak didukung oleh masyarakat luas, khususnya
penduduk setempat, dan penduduk setempat akan mendukungnya jika mereka juga dapat memperoleh
manfaat dari lingkungan yang lestari tadi, sehingga kesejahteraan hidup mereka bisa meningkat.
Sehubungan dengan itu pada tahun 1993, The Ecotourism Society memberi rumusan defenisi
yang bersifat pro-aktif tentang pengertian ecotourism, yaitu ecotourism is responsible travel to natural
areas which conserves the environment and improves the welfare of local people. Selanjutnya The
Ecotourism Society menetapkan delapan prinsip pengembangan ekowisata, yaitu:
1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya,
pencegahan dan penamggulangan disesuaikan dengan sifat karakter alam dan budaya setempat.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan
pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam.
3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata
dan manajemen pengelolaan kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau
pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk
membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam.
4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan
pengembangan ekowisata. Demikian pula didalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan
ikut secara aktif.
5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan
ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam.
6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan, termasuk pengembangan
fasilitas dan ulititas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam, mengkonservasi flora dan
fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat.
7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang
lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat
banyak, tetapi daya dukunganlah yang membatasi.
8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian
dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-
besranya, dan dinikmati oleh Negara atau Negara bagian atau pemerintah daerah setempat.
Dalam pekembangannya bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh
wisatawan.Wisatawan ingin berkunjung ke area yang alami, yang dapat menyiptakan kegiatan bisnis.
Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai bentuk baru dari perjalanan bertanggung jawab dan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
berpetualang ke area alami, yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999). Sementara
itu Kodhyat , (1997) mengatakan bahwa :
“Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif yang mencakup perjalan ke daerah alami yang masih belum cemar dengan tujuan khusus hendak mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan alam serta flora, fauna dan hidupan lainnya. Ekowisata dikembangkan berdasarkan prisip hendak melestarikan lingkungan alam dan budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tuan rumahnya”
Pengembangan pariwisata alterantif seperti ekowisata semestinya dilakukan dengan pendekatan
yang memperhatikan perubahan persepsi tentang pariwisata, kriteria pengembangan pariwisata,
pelestarian lingkungan, pembangunan yang berkelanjutan, serta mengindahkan amanat yang tercantum
dalam GBHN 1993.
Konservasi sebagai azas ekowisata merupakan prinsip yang penting dalam visi ekowisata,
ditambah dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan pengembangan untuk merumuskan misi.
Sementara misi ekowisata yang dapat dijabarkan yakni melestarikan alam dengan mengkonservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, penciptaan lapangan kerja setempat, pengembangan
ekonomi kerakyatan, meningkatkan pendapatan lokal , regional dan nasional secara berkeadilan.
Strategi bagi pengembang ekowisata ditentukan berdasarkan ekosistem dan kesatuan
pengelolaan, serta mengupayakan pengembangan berkesinambungan antara ekosistem daratan dan
perairan dalam menciptakan kelestariannya. Muara dari strategi ini adalah menetapkan program
pembangunan ekowisata yang berazaskan keterpaduan dalam pelestarian dan pemanfaatan,
berkeadilan, perberdayaan masyarakat lokal, keharmonisan dan berwawasan lingkungan.
Penjabarannya yang lebih lanjut ialah dengan menetapkan proyek pembangunan yang berbasis pada
komunitas.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
MISI PENGEMBANGAN EKOWISATA
- Konservasi alam - Pemberdayaan masyarakat dalam lapangan usaha kerja dan
ekonomi kerakyatan - Penghasilan nasional, regional, lokal secara berkeadilan
STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA
- Strukturisasi kewilayahan berdasarkan ekosistem dan kesatuan pengelolaan
- Pengembangan berkesinambungan ekosistem daratan dan perairan - Meningkatkan kualitas dan fungsi pelestarian dalam kawasan hutan
PROGRAM PENGEMBANGAN EKOWISATA
- Keterpaduan pelestarian dan pemanfaatan kawasan hutan sebagai produk ekowisata
- Pengembangan ekowisata berkeadilan skala local, regional, nasional
- Pemberdayaan masyarakat lokal - Keharmonisan masyarakat dan lingkungan - Pengembangan pemasaran terpadu
VISI PENGEMBANGAN EKOWISATA
- Konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya - Pemberdayaan masyarakat lokal
Gambar 5: Visi,Misi dan Perencanaan Nasional Pengembangan Ekowisata
(Sumber: Fandeli,2000)
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 6 : Atraksi Gajah di Kawasan Ekowisata Tangkahan (Sumber : LPT)
Gambar 7 : Tangkahan dari atas (Sumber LPT)
2.2 PRINSIP DAN KRITERIA PENGEMBANGAN EKOWISATA
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Konsep ekowisata dinilai cocok utuk dikembangan di Indonesia, dengan beberapa alasan yang
melandasinya, pertama; Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati dan ekowisata bertumpu pada
sumberdaya alam dan budaya sebagai atraksi. Kedua; menitikberatkan pada pelibatan masyarakat,
karena sesuai dengan karakter Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar.
Dalam konteks ekowisata maka sumberdaya alam dipandang sebagai aset yang memiliki nilai,
baik secara ekonomi maupun ekologi, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilahirkan akan bersifat
nonekstraktif. Pendekatan yang kemudian muncul dan harus digunakan para pengembang adalah yang
bersifat simbiotik, dimana para pelaku berinteraksi positif dengan kawasan yang dikelolanya dan bukan
bersifat parasitik, seperti yang banyak terlihat pada pengelolaan kawasan parawisata di Indonesia.
Berikut dikemukakan juga prinsip pengembangan ekowisata dan kriteria ekowisata yang
disusun oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia bekerjasama dengan
Indonesian Ecotourism Network (INDECON), yang secara konseptual menekankan tiga prinsip dasar,
yaitu:
A. Prinsip Konservasi: Pengembangan ekowisata harus mampu memelihara, melindungi atau
berkontribusi untuk memperbaiki sumberdaya alam.
B. Prinsip Partisipasi Masyarakat: Pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan
persetujuan masyarakat setempat serta peka dan menghormati nilai-nilai sosal-budaya dan
tradisi keagamaan yang dianut masyarakat di sekitar kawasan.
C. Prinsip Ekonomi: Pengembangan ekowisata harus mampu memberikan manfaat untuk
masyarakat, khususnya setempat, dan menjadi pengerak pembangunan ekonomi di wilayahnya
untuk memastikan bahwa daerah yang bangunan yang seimbang (balanced development) antara
kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak.
Dalam penerapannya juga sebaiknya dapat mencerminkan dua prinsip lainnya, yaitu:
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
D. Prinsip Edukasi: Pengembangan ekowisata harus mengadung unsur pendidikan untuk mengubah
perilaku atau sikap seseorang menjadi memiliki keperdulian, tanggung jawab dan komitmen
terhadap pelestarian lingkungan dan budaya.
E. Prinsip Wisata: Pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan memberikan
pengalaman yang orisinil kepada pengunjung, serta memastikan usaha ekowisata dapat
berkelanjutan.
A. Prinsip Konservasi
Memiliki kepedulian tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan (alam dan
budaya), serta melaksanakan usaha yang bertanggung jawab dan secara ekonomi berkelanjutan.
a. Prinsip Konservasi Alam
Prinsip konservasi alam diartikan sebagai memiliki keperdulian, tanggung jawab dan komitmen
terhadap pelestarian alam serta pengembangan harus mengikuti kaidah ekologis.
a) Kriteria Konservasi Alam
Konservasi Alam memiliki tujuh kriteria, yakni :
1. Memperhatikan kualitas daya dukung lingkungan daerah tujuan ekowisata (DTE) ,
melalui pelasanaan pemintakatan ( Zonasi)
2. Mengelolah dan menciptakan kegiatan wisata yang berdampak rendah dan ramah
lingkungan.
3. Menyisihkan hasil keuntungan untuk kegiatan konservasi DTE dan meningkatkan
kapasitas sumberdaya manusia setempat.
4. Menjaga kualitas lingkungan DTE melalui pengelolaan pengunjung, sarana dan
fasilitas.
5. Mengembangkan kegiatan interpretasi untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi
para pelaku dan pengunjung terhadap lingkungan alam dan budaya.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
6. Melakukan monitoring kegiatan untuk meminimumkan dampak negatif yang
ditimbulkan.
7. Mengelola usaha secara sehat.
b. Prinsip Konservasi Budaya
Konservasi Budaya memiliki prinsip peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi
keagamaan masyarakat setempat.
b) Kriteria Konservasi Budaya
Konservasi Budaya memiliki tiga kriteria, yakni :
1. Melakukan penelitian dan mengenakan aspek-aspek sosia-budaya masyarakat
setempat sebagai bagian terpadu dalam proses perencanaan dan pengelolaan
ekowisata.
2. Melakukan pendekatan, meminta saran-saran dan mencari masukan dari
tokoh/pemuka masyarakat setempat pada tingkat paling awal sebelum memulai
langkah-langkah dalam proses pengembangan ekowisata.
3. Menerapkan kode etik ekowisata bagi wisatawan, pengelola dan pelaku usaha
ekowisata, yang sesuai dengan nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi setempat.
B. Prinsip Partisipasi Masyarakat
Perencanaan dan pengembangan harus melibatkan masyarakat secara optimal melalui
musyawarah dan mufakat masyarakat setempat.
a. Kriteria
Partisivasi Masyarakat memiliki enam kriteria, yakni :
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
1. Melibatkan masyarakat setempat dan pihak-pihak terkait lain dalam proses perencanaan
dan pengembangan ekowisata
2. Membuka kesempatan dan mengoptimalkan peluang bagi masyarakat untuk mendapat
keuntungan dan berperan aktif dalam kegiatan ekowisata.
3. Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat untuk melakukan
pengawasan dan pencegahan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan.
4. Meningkatkan ketrampilan masyarakat setempat dalam bidang-bidang yang berkaitan
dan menunjang pengembangan ekowisata.
5. Mengutamakan peningkatan ekonomi lokal dan menekan tingkat kebocoran pendapatan
(leakage) serendah-rendahnya.
6. Meningkatan pendapatan masyarakat.
C. Prinsip Ekonomi
Memberikan manfaat yang optimal kepada masyarakat setempat dan berkelanjutan.
a. Kriteria:
Prinsip Ekonomi menetapkan dua kriteria, yakni :
1. Membuka kesempatan kepada masyarakat setempat untuk berusaha dan menjadi peleku-
pelaku ekonomi kegiatan ekowisata baik secara aktif maupun pasif.
2. Memberdayakan masyarakat dalam upaya meningkatan usaha ekowisata untuk
kesejahteraan penduduk setempat.
D. Prinsip Edukasi
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan
budaya, serta memberikan nilai tambah dan pengetahuan bagi pengunjung, masyarakat lokal
dan para pihak yang terkait.
a. Kriteria.
Pengembangan dan produk ekowisata secara edukasi harus memiliki kriteria, sebagai berikut
:
1. Mengoptimalkan keunikan dan kekhasan daerah sebagai daya tarik wisata.
2. Memanfaatkan dan mengoptimalkan pengetahuan tradisionl yang berbasis pelestarian
alam dan budaya serta nilai-nilai yang dikandung dalam kehidupan masyarakat sehari-
hari sebagai nilai tambah.
3. Mengoptimalkan peran masyarakat sebagai interpreter lokal dari produk ekowisata.
4. Memberikan pengalaman yang berkualitas dan bernilai bagi pengunjung.
5. Dikemas dalam bentuk dan teknik penyampaian yang komunikatif dan inovatif.
E. Prinsip Wisata
Menciptakan rasa aman, nyaman dan memberikan kepuasan serta menambah pengalaman
bagi pengunjung.
a. Kriteria
Kriteria untuk prinsip wisata ialah :
1. Membuat Standart Prosedur Operasi (SPO) untuk melaksanakan kegiatan kesehatan
keamanan dan keselamatan di lapangan.
2. Menyediakan pasilitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan pengunjung, kondisi
setempat dan mengoptimalkan kandungan material lokal.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
3. Memprioritaskan kebersihan dan kesehatan dalam segala bentuk pelayanan, baik fasilitas
maupun jasa.
4. Memberikan kemudahan pelayanan jasa dan informasi yang benar.
5. Memprioritaskan keramahan dalam sikap pelayanan.
F. ASPEK LEGALITAS
Selain lima prinsip tersebut dalam penerapan pengembangan ekowisata, juga
diharuskan bagi para pelaku dan pengelola untuk memperhatikan aspek legalitas di tingkat
lokal, regional, nasional dan internasional, serta mengembangkan pola kemitraan para
pihak.
a. Kriteria
Aspek legalitas memiliki kriteria memperhatikan:
1. Peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat setempat maupun peraturan adat.
2. Peraturan-peraturan tentang tata ruang di tingat daerah propinsi dan nasional.
3. Peraturan-peratuan/undang-undang kepariwisatan yang berlaku di tingkat daerah,
propinsi dan nasional.
4. GBHN Pariwisata
5. Dokumen-dokumen internasional yang mengikat (agenda 21 sektor pariwisata,
sustainable tourism, dsb)
6. Sanksi atas pelangaran dan secara konsenkuen melaksanakanya sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
G. ASPEK KEMITRAAN
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Konsep ekowisata pada dasarnya mendorong adanya kerjasama antara pihak-pihak yang
berkentingan. Kerjasama yang lebih sinergi, adaptif antara pelaku ekowisata merupakan hal yang
esensial untuk mendorong keberhasilan pengembangan ekowisata di Indonesia.
Sebenarnya telah ada beberapa contoh kasus kemitraan yang langsung menyangkut pengelolaan
ekowisata, dan umumnya kawasan yang dikelola adalah kawasan konservasi. Hal ini disebabkan karena
upaya pengelolaan kolaboratif oleh kalangan konservasionis dianggap lebih efektif membantu
pelestarian dan pemanfaatan kawasan, sehingga banyak organisasi dan institusi Taman Nasional yang
melakukan ujicoba.
2.3 EKOWISATA BERKELANJUTAN
Pengembangan ekowisata secara terpadu diperlukan untuk membangun ekowisata yang
berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Pengembangan ini melibatkan adanya sistem perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi yang mampu mengintegrasikan semua kepentingan stakeholders
seperti pemerintah, masyarakat lokal, pelaku bisnis, peneliti, akademisi, wisatawan maupun LSM.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan secara fisik adalah ketersediaan
sarana pendukung dan aksesibilitas di lokasi wisata. Perencanaan terpadu berupa Master Plan untuk
membangun eco-destination berisi kerangka kerja, stakeholders yang terkait (lokal, regional, nasional)
dan tanggung jawab masing-masing stakeholders untuk kegiatan konservasi lingkungan, peningkatan
ekonomi lokal dan apresiasi budaya lokal.
Menurut Wood (2002) beberapa karakteristik dari eco-destination adalah sebagai berikut:
1. Keaslian alam terpelihara dengan pemanfaatan yang terjaga
2. Pembangunan landscape tidak mendominasi
3. Pemanfaatan bisnis lokal dalam skala kecil, termasuk warung makanan atau kerajinan tangan
4. Pembuatan zonasi untuk kegiatan rekreasi seperti jalur untuk sepeda, untuk pejalan kaki yang bisa
dimanfaatkan oleh penduduk lokal dan wisatawan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
5. Pengembangan berbagai events dan atraksi yang menampilkan budaya lokal
6. Pembangunan fasilitas publik yang bersih dan terjaga baik seperti fasilitas mandi-cuci-kakus
(MCK) yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk lokal maupun wisatawan
7. Interakasi bersahabat antara pengunjung dan penduduk lokal di lokasi wisata.
Tanggung jawab masing-masing stakeholders bervariasi. Pemerintah bertanggung jawab dalam
koordinasi pembuatan perencanaan, pembuatan kebijakan-peraturan, zonasi dan pembangunan lokasi
ckowisata tersebut. Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab untuk membangun infrastruktur
seperti jalan, sarana tetkomunikasi, sarana air bersih dan sistem pembuangan sampah. Stakeholders
yang lain juga memiliki tanggung jawab masing-masing yang sesuai dengan prinsip bahwa perencanaan
harus juga memperhatikan keuntungan dampak negatif yang mungkin timbul dari kegiatan ekowisata,
baik secara ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Selain itu perencanaan juga harus dapat
memberikan rambu-rambu agar manfaat kegiatan ekowisata dapat dinikmati secara oftimal oleh semua
pihak dan dampak negatif dapat diminimalkan.
Dari aspek ekologi, perencanaan pengukuran daya dukung lingkungan sangat penting sebelum
lokasi dikembangkan menjadi kawasan ekowisata. Daya dukung lingkngan akan merepresentasikan
kemampuan lingkungan untuk mendukung kegiatan ekowisata seperti penyediaan air bersih, penataan
lahan dan keanekaragaman hayati yang dimiliki daerah ekowisata. Daya dukung lingkunagan untuk
pariwisata akan berkaitan dengan jumlah wisatawan yang dapat berkunjung ke lokasi ekowisata
tersebut, fasilitas ekowisata yang dapat dibangun dan masalah sampah yang muncul dari kegiatan
ekowisata. Selain itu bahan material yang dipergunakan dalam pembangunan fasilitas wisata
merupakan produk lokal dan tidak dalam intensitas yang sangat besar.
Secara ekonomis, suatau perencanaan pengembangan ekowisata harus memasukkan perhitungan
biaya dan manfaat dari pengembangan ekowisata. Dalam perhitungan biaya dan manfaat (Cost Benefit
Analysis) tidak hanya dijelaskan keuntungan ekonomis yang akan diterima oleh pihak terkait namun
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
juga biaya yang harus ditanggung seperti biaya konservasi atau preservasi lingkungan. Tentu saja
jangka waktu yang diperhitungkan dalam perhitungan dapat bervariasi sesuai dengan kesepakatan
semua stakeholders yang terkait.
Sedangkan secara sosial budaya, perencanaan harus memasukkan kondisi sosial dan budaya
lokal masyarakat yang dapat dikembangkan dalam kegiatan ini serta kemungkinan dampak negatif yang
akan diterima dan cara mengatasinya.
Keberhasilan ekowisata tergantung pada beberapa hal yang dapat dibagi menjadi tiga faktor
utama yaitu faktor internal, eksternal dan struktural. Faktor internal dapat diklasifikasikan seperti
potensi daerah untuk pengembangan ekowisata, pengetahuan operator ekowisata tentang pelestarian
lingkungan dan pertisipasi penduduk lokal. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor kunci yang
berasal dari luar lokasi ekowisata tersebut, seperti kesadaran wisatawan akan kelestarian lingkungan,
kegiatan penelitian/pendidikan di wilayah ekowisata untuk kepentingan kelestarian lingkungan dan
masyarakat lokal. Sedangkan faktor struktural adalah faktor yang berhubungan dengan kelembagaan,
kebijakan dan regulasi pengelolaan kawasan ekowisata (tingkat lokal, daerah, nasional dan
internasional).
Untuk melaksanakan ekowisata diperlukan adanya operator wisata yang menurut Wood
bertanggung jawab dalam :
1. Menyediakan informasi sebelum perjalanan berkaitan dengan budaya dan lingkungan lokasi
ekowisata (misal pakaian dan perilaku yang sopan)
2. Melakukan briefing yang mendalam pada saat kedatangan termasuk informasi tentang kondisi
geografis, sosial, politik dan beberapa kendala/tantangannya
3. Menyediakan guide lokal yang terlatih
4. Memberikan kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan penduduk lokal
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
5. Membangun pengertian atas kehidupan sehari-hari dan tradisi penduduk lokal dan berbagai isu
yang cocok untuk didiskusikan dalam interaksi dengan penduduk lokal
6. Membuka kesempatan bagi LSM yang ingin berpartisipasi
7. Mengatur agar semua tiket masuk harus dibayar penuh
8. Menyediakan akomodasi yang ramah lingkungan (site-sensitive)
Sesuai karekteristiknya, operator wisata selain berfungsi sebagai pemandu wisata yang
menyediakan informasi yang dibutuhkan wisatawan juga mempersiapkan akomodasi yang ramah
lingkungan (eco-lodge) sebagai akomodasi yang cocok bagi ekowisata.
Akomodasi ramah lingkungan dianggap merefleksikan inisiatif lokal dengan menerapkan desain
lokal dan pemakaian bahan lokal. Akomodasi khusus yang dibangun ini mampu menghindari tekanan
yang terlalu banyak bagi lingkungan dan relatif mudah dalam perawatannya. Selain itu, wisatawan akan
lebih terkesan dengan suasana eksotik yang muncul dari akomodasi semacam ini. Wood (2002)
mengemukakan karakteristik eco-lodge sebagai berikut:
1. Melindungi lingkungan alam dan budaya
2. Memperkecil dampak negatid dalam pembangunannya
3. Dibangun sesuai dengan budaya lokal seperti bentuk dan warna
4. Mempergunakan air dengan efisien (mampu mengurangi pemakaian air)
5. Memilki penanganan limbah
6. Memakai energi yang ramah lingkungan
7. Membuka peluang bagi masyarakat lokal untuk berinteraksi
8. Menawarkan program pendidikan bagi operator wisatawan maupun penduduk lokal tentang
lingkungan alam dan budaya
9. Berkontribusi pada pembangunan lokal yang berkelanjutan lewat program riset.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Selain itu, salah satu faktor penting lain yang termasuk dalam pengelola wisata adalah upaya
pemberdayaan masyarakat. Hal ini penting agar masyarakat lokal dapat terlibat dalam kegiatan
ekowisata dan memberi perbaikan tingkat kesejahteraan tanpa mengabaikan nilai-nilai sosial budaya
setempat. Usaha pemberdayaan masyarakat lebih diarahkan agar masyarakat mampu membuat
keputusan sendiri agar dalam pegembangan ekowista mampu mempresentasikan inisiatifnya dalam
hubungan dengan stakeholders lain.
Kegiatan yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan peran serta masyarakat di antaranya
adalah usaha peningkatan kualitas sumberdaya manusia (capacity building). Uapaya ini biasa dilakukan
dalam bentuk pelatihan, penyuluhan – sosialisasi tentang konsep ekowisata, pembuatan usaha kecil,
pemandu wisata maupun pengelolaan akomodasi (eco-lodge). Selain itu, usaha pemberdayaan
masyarakat juga dapat dilakukan dalam bentuk pemberian kredit bagi masyarakat lokal agar dapat
memulai usaha seperti membuka warung/cafe, pembuatan cendera mata, toko cendera mata maupun
fasilitas ekowisata lain seperti penyewaan alat selam dan sepeda.
Dalam upaya pemberdayaan masyarakat penting untuk disosialisasikan bahwa kegiatan
ekowisata selain memberi manfaat bagi masyarakat lokal juga harus memberi kontribusi langsung bagi
kegiatan konservasi. Hal ini penting agar dalam mengembangkan usahanya mereka memiliki rambu-
rambu konservasi yang harus dijaga. Hubungan dengan stakeholders yang lain juga dapat saling bahu-
membahu untuk melaksanakan konservasi.
Dari sisi wisatawan, terdapat tiga hal yang harus dilaksanakan dalam kegiatan ekowisata yaitu
pemasaran, pengelolaan wisatawan dan perilaku wisatawan. Pemasaran ekowisata dapat dilakukan
dengan cara konvensional maupun modern. Cara konvesional yang masih dapat dilakukan adalah
dengan penyebarluasan informasi dengan brosur atau leaflet maupun dari kantor-kantor pariwisata yang
ada. Oleh karena itu penting untuk membangun kantor-kantor informasi pariwisata yang mudah diakses
dan dapat memberikan keterangan yang benar tentang ekowisata yang dikembangkan. Selain itu sistem
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
pemasaran global juga dapat dipergunakan yaitu dengan memanfaatkan teknologi canggih seperti
internet sehingga informasi tentang objek tersebut dapat diakses dengan mudah oleh para pelancong
dari manapun mereka berada
Dalam hal pengelolaan wisatawan perlu untuk mengetahui pola kunjungan wisatawan yang
biasanya bersifat musiman (seasonal). Pemahaman ini penting sehingga dalam mengalokasikan
sumberdaya lokal dapat dilakukan dengan efisien. Sebagai contoh, pada liburan (peak season) dapat
disediakan atraksi budaya lebih sering daripada saat sepi pengunjung, sehingga penduduk lokal yang
terlibat dapat berusaha disektor lain selain pariwisata.
Selain itu, jumlah maksimal wisatawan yang dapat masuk ke lokasi ekowisata seharusnya dapat
diketahui. Hal ini berkaitan dengan daya dukung lokasi ekowisata karena menyangkut pemenuhan air
bersih, maupun sumber bahan makanan yang akan disajikan untuk pengunjung. Sebagaian peneliti dan
praktisi pariwisata yakin bahwa makin tinggi jumlah wisatawan yang masuk makin besar tekanan
secara fisik bagi lokasi ekowisata tersebut. Namun demikian, sebagian peneliti dan praktisi lainnya
menganggap bahwa yang lebih penting adalah perilaku wisatawan daripada jumlah wisatawan yang
datang. Pendapat kedua ini masih mendapat kritikan tajam, karena perilaku wisatawan merupakan
variabel yang jauh lebih sulit dikontrol daripada jumlah wisatawan.
Dalam mengelola wisatawan perlu pula untuk menekankan bahwa kegiatan wisata yang dapat
dilakukan hanya kegiatan yang telah ditentukan dalam eco-tour, sebagai satu paket kegiatan ekowisata
yang mencintai dan melindungi serta memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal.
Hal terakhir yang terdapat dalam kerangka kerja ekowisata adalah perilaku wisatawan. Hal ini
sejalan dengan asumsi bahwa seorang eco-tourist memiliki lebih banyak pengetahuan tentang
lingkungan dibanding dengan turis biasa. Menurut Lindberg (1991) terdapat empat tipe eco-tourist
berdasar ekspektasi turis. Mereka adalah : (1) Hard-core nature tourist yang terdiri dari peneliti atau
anggota paket tur yang memang didesain untuk kepentingan pendidikan maupun riset; (2) Dedicated
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
nature tourist yaitu mereka yang melakukan perjalanan terutama untuk melihat lokasi lindung
(protected areas) dan mereka yang ingin mengetahui keindahan alam dan sejarah budaya lokal; (3)
Mainstream nature tourist adalah mereka yang menginginkan mendapat pengalaman yang lain daripada
yang lain seperti mengunjungi Taman Gorila Rwanda atau pergi ke Amazone; (4) Castual nature
tourist ialah mereka yang menginginkan pengalaman menikmati alam sebagai bagian dari perjalanan
yang lebih besar.
Perilaku postif wisatawan pada lingkungan juga akan berpengaruh positif pada pemahaman
penduduk lokal. Hal ini terjadi mengingat terdapat interaksi dengan penduduk lokal dalam kegiatan
ekowisata yang dapat dipergunakan sebagai ajang untuk mensosialisasikan pemahamnan ini.
Untuk mencapai ekowisata yang berkelanjutan diperlukan monitoring dan evaluasi dari
pelaksanaan ekowisata yang dilakukan secara internal dan eksternal. Secara internal, monitoring ke
dalam dilakukan oleh pengelola sendiri, sedang secara eksternal dilakukan oleh pihak luar seperti
masyarakat, LSM dan lembaga independen lainnya.
Usaha pengembangan ekowisata di Indonesia masih dalam tarap wacana. Hal ini diindikasikan
bahwa belum diterbitkannya secara tersendiri peraturan perundang-undangan untuk pengembangan
ekowisata. Pengembangan ekowisata masih mengacu pada peraturan perundangan yang berkaitan
dengan wisata alam dan konservasi, seperti dalam hal pembangunan sarana-prasarana yang mengikuti
ketentuan untuk wisata alam yaitu: (1) sarana-prasarana dibangun di zona pemanfaatan dan tidak boleh
melebihi 10% dari luas zona; (2) tidak merubah bentang alam; (3) menggunakan arsitektur setempat,
dan (4) tinggi bangunan tidak melebihi tinggi tajuk. Selain itu, dalam pengelolaan wisata alam
diperbolehkan adanya penanaman modal oleh swasta dalam bentuk perusahaan dengan badan hukum
Indonesia, tetapi pembelian saham oleh warga negara asing tidak dapat dimungkinkan. Namun
demikian, untuk operator wisata yang dianggap sebagai hal strategis harus ditangani oleh bangsa
Indonesia (Hidayati dkk, 2003).
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Selanjutnya Hidayati dkk., menyarankan bahwa untuk menciptakan ekowisata yang
berkelanjutan dibutuhkan strategi tersendiri mengingat karakteristik ekowisata yang agak berbeda
dengan wisata alam. Mungkin untuk pengaturan hal-hal bersifat fisik seperti sarana-prasarana dapat
mengacu pada peraturan perundangan wisata alam, namun butuh penegasan-penegasan lain sesuai
dengan prinsip dasar ekowisata seperti peraturan yang mengatur kaitan ekowisata dengan keterlibatan
masyarakat, pendidikan lingkungan maupun penelitian. Selain itu juga perlu disebutkan pentingnya
sertifikasi dalam kegiatan ekowisata.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perencanaan diartikan sebagai proses, perbuatan, cara
merencanakan (merancangkan).
Dalam konteks pembangunan misalnya dapat dicontohkan sebagai berikut : perencanaan kota
adalah upaya pemikiran dan perencanaan pengembangan kota agar tercapai pertumbuhan yang efisien
dan teratur. Conyer (dlm. Moeljarto, 1993) menyatakan bahwa perencanaan meliputi pengambilan
keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan tentang bagaimana sebaiknya memanfaatkan sumber-sumber
yang tersedia untuk meraih tujuan-tujuan tertentu, yaitu tujuan pembangunan pada suatu waktu dimasa
depan. Perencanaan merupakan salah satu tahap pengelolaan yang dilakukan agar dapat berhasil
mencapai sasaran yang dikehendaki.
Pengembangan dapat diartikan sebagai memajukan dan memperbaiki, atau meningkatkan
sesuatu yang telah ada. Yoeti (1997) mengatakan bahwa pengembangan suatu produk pariwisata, baik
berupa obyek wisata ataupun daya tarik wisata adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan berencana
untuk memperbaiki produk atau obyek wisata yang sedang berjalan atau menambah jenis produk atau
obyek wisata yang dihasilkan ataupun yang akan dipasarkan. Selajutnya dikatakan bahwa,
pengemabngan produk dalam industri pariwisata secara mikro adalah :
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
1. travel agents
2. touris transportation
3. hotel
4. bar and restaurant
5. tour operator
6. tourist object
Masih menurut Yoeti, bahwa pengembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata
memiliki tiga tujuan, yaitu:
a. Pembangunan perekonomian daerah tersebut dalam arti pengembangan kepariwisataan pada suatu
daerah tujuan wisata selalu akan diperhitungkan dengan keuntungan dan manfaat bagi rakyat
banyak.
b. Pengembangan Pariwisata juga bersifat nonekonomis. Dengan majunya pengembangan Pariwisata
di suatu daerah tujuan wisata, maka hasrat dan keinginan masyarakat setempat untuk memelihara
semua asset wisata yang ada di daerah itu akan meningkat. Dengan demikian, suasana yang
nyaman, bersih dan aman, serta lingkungan yang terpelihara akan memberikan kesenangan dan
kepuasan bagi wisatawan yang datang mengunjungi daerah tersebut.
c. Pengembangan Pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata juga bertujuan untuk menghilangkan
kepicikan berpikir, mengurangi salah pengertian, mengenal sikap dan budaya orang lain. Dengan
kata lain, adanya interaksi antara masyarakat setempat dengan wisatawan akan membuka mata
masyarakat sekitarnya dalam banyak hal.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengembangan berarti proses atau cara, atau
perbuatan mengembangkan. Dalam konteks pembangunan, misalnya dapat disebutkan sebagai cara atau
proses mengembangkan pembangunan secara bertahap dan teratur yang menjurus ke sasaran yang
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
dikehendaki. Dalam konteks kemasyarakatan misalnya dapat disebut pengembangan masyarakat, yakni
proses kegiatan bersama yang dilakukan oleh penghuni suatu daerah untuk memenuhi kebutuhannya.
Dalam kerangka pengembangan kawasan Pariwisata sangat dibutuhkan perencanaan dan strategi
yang tepat dan efektif, juga dibutuhkan penelitian awal terhadap semua aspek yang berkaitan dengan
kepariwisataan itu, mulai dari potensi, kebiasaan masyarakat setempat, kepercayaan yang dianut, dan
juga tingkah laku atau kebiasaan wisatawan.
Dengan perencanaan dan strategi pengembangan yang tepat maka diharapkan manfaat dan
keuntungan yang maksimal akan dapat dicapai, sementara dampak-dampak negative dapat dihindari,
setidaknya diminimalisir. Chamberlain (1992) dalam salah satu makalahnya mengingatkan pentingnya
proses pengembangan ditangani secara cermat dan professional, agar kehidupan pedesaan tidak
mengalami kehancuran, mengingat perkembangan minat wisatawan untuk melakukan perjalanan ke
desa-desa ini semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya minat dan kepedulian akan
lingkungan dan kegiatan wisata di alam terbuka (outdoor activity) dan juga minat pada warisan budaya.
Sementara itu Ketetapan MPR-RI No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999 menguraikan
bahwa untuk mengembangkan Pariwisata harus melalui sistem yang utuh dan terpadu bersifat
interdisipliner, partisipatori. Menggukana kriteria ekonomis, teknis sosial budaya hemat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kawasan diartikan sebagai daerah tertentu yang
mempunyai ciri tertentu.
Kawasan pariwisata adalah kawasan pengembangan sarana dan prasarana pariwisata, termasuk
pelestarian alam yang terdiri dari atas zona inti, dan zona-zona lain yang dimanfaatkan untuk tujuan
pariwisata, rekreasi dan pendidikan, serta sekaligus berfungsi sebagai daerah penyangga (Fandeli,
1995).
Konsep pembangunan berwawasan kemasyarakatan adalah konsep yang dewasa ini
mendominasi wacana pembangunan kepariwisataan, termasuk juga mengembangkan ekowisata.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Konsep yang dikenal sebagai Community-Based Tourism Development ini merupakan konsep yang
berlawanan dengan konsep pembangunan kepariwisataan yang berlangsung selama ini.yaitu
pembangunan dengan sistem top-down yang dianggap telah melupakan konsep dasar pembangunan itu
sendiri sehinga rakyat bukannya semakin meningkat kualitas hidupnya tetapi malah dirugikan dan
bahkan termarginalisasi di lingkungan miliknya sendiri, sebagaimana dikatakan Pitana (1999).
Konsep pembangunan berwawasan masyarakat ini sangat menekankan pembangunan yang
dimulai dari bawah --- bottom-up ----, pembangunan sebagai sosial learning, yang menunutut adanya
partisipasi masyarakat lokal dalam berbagai tahap pembangunan, sehingga pengelolahan pembangunan
benar-benar dilakukan oleh mereka yang hidup dan kehidupannya paling dipengaruhi oleh
pembangunan tersebut atau apa yang dikenal dengan Community Management ( Korten, 1986).
Pembanguan pariwisata berdimensi kerakyatan mengacu kepada pembangunan pariwisata yang
berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pendekatan ini pada dasarnya juga merupakan model
pemberdayaan masyarakat yang menberikan lebih banyak peluang kepada masyarakat lokal untuk
berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Hal ini berarti memberi wewenang
atau kekuasaan kepada masyarakat lokal untuk memobilisasi kemampuan mereka sendiri dalam
mengelolah sumberdaya setempat.
Kedudukan mereka adalah sebagai pemeran utama dalam membuat keputusan dan melakukan
kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya. Pendekatan ini melibatkan
masyarakat sebagai proses pengembangan ini melibatkan masyarakat sebagai upaya proses
pengembangan dirinya. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan pewaris (beneficiary approach)
dimana masyarakat hanya menerima keuntungan tetapi tidak diberi wewenang (Cernes, 1991).
Sementara itu Natori (2001) mendefenisikan pembangunan pariwiasata berbasis masyarakat
(Community-Based Tourism Development) sebagai aktifitas-aktifitas masyarakat lokal untuk
mempromosikan keunggulan daerahnya dan menciptakan sebuah komunitif yang dipenuhi kekuatan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
memanfaatkan secara penuh sumberdaya alam, budaya, sejarah, industri, orang-orang berbakat, dan
sumber-sumberdaya lokal lainnya.
2.4 Teori Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas
Masyarakat sebagai salah satu stakeholder haruslah dilibatkan dalam pengelolaan berbagai
sumberdaya yang terdapat di daerah/wilayah mereka. Masyarakat lokal memilih hak–hak azasi manusia
untuk menginterprestasikan, memelihara dan mengelola sumberdaya yang mereka miliki.
Net Faulkner ( dalam Pujaastawa , 2005 ) mengemukakan konsep yang disebutnya ”Democratic
Archaeology from Below ”, yang pada dasarnya mengedepankan partisipasi masyarakat pada semua
jenis dan tingkat pekerjaan. Kearifan lokal maupun lembaga tradisional yang berkembang dimasyarakat
bersangkutan dalam pengelolaan sumberdaya budaya harus tetap dipelihara dan dilibatkan. Pemerintah
maupun instansi yang berwenang berperan sebagai fasilisator dalam pengelolaan sumberdaya yang
bersangkutan.
Menurut Moeljarto (1993) pengelolaan sumber yang bertumpu pada komunitas merupakan
pendekatan yang dikemukakan oleh David Korten. Adapun ciri–ciri pendekatan ini adalah sebagai
berikut :
1. Prakarsa dari proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tahap demi
tahap harus diletakkan pada masyarakat sendiri.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
2. Fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan
memobilisasi sumber–sumber yang terdapat dikomunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka.
3. Mentoleransi variasi lokal dan karenanya sifatnya amat fleksibel menyesuaikan dengan kondisi
lokal.
4. Didalam melaksanakan pembangunan, menekankan pada social learning yang didalamnya
terdapat interaksi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan
mendasarkan diri pada saling belajar.
5. Proses pembentukan jaringan (Net Working) antara birokrat dan lembaga swadaya masyarakat,
satuan – satuan organisasi tradisional yang mandiri, merupakan bagian interral dari pendekatan
ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengindentifikasi dan mengelola berbagai
sumber maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal dan horizontal. Melalui
proses net working ini diharpkan terjadi simbosis antara struktur – struktur pembangunan
ditingkat lokal .
David Korten (dalam Pitana, 1992 ) juga memberikan tiga pembenar pentingnya community-based
resources management ini dilaksanakan sebagai ancangan dasar dalam pembangunan. Ketiga ancangan
tersebut ialah :
1. Variasi kehidupan setempat (local variety), maksudnya kehidupan yang berbeda menurut sistem
pengelolaan yang berbeda dan masyarakat lokallah yang paling akrab dengan situasi setempat.
2. Sumberdaya lokal (local resource), artinya sumberdaya lokal secara tradisional dikuasai dan
dikelola oleh masyarakat lokal.
3. Tanggung jawab lokal (local accountability), yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat
setempat biasanya lebih bertanggung jawab karena kegiatan yang dilakukan secara langsung akan
mempengaruhi hidup mereka.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pendekatan sumber yang bertumpu pada masyarakat terhadap pembangunan sosial mencakup
partisipasi timbal balik dan otonom yang mengakibatkan reorientasi birokrasi pemerintah secara
mendasar kearah keterkaitan yang lebih efektif dengan komunitas klien, juga reorientasi fundamental
komunitas klien itu sendiri. Beberapa alasan pembenar tentang arti penting partisipasi masyarakat
dalam pembangunan sebagaimana disampaikan Moeljarto (1993) adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat adalah fokus sentral dan tujuan terakhir pembangunan, partisipasi adalah akibat logis
dari dalil tersebut.
2. Partisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut seta dalam
keputusan penting yang menyangkut masyarakat.
3. Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi,
kebutuhan dan kondisi darah yang tampa keberadaannya akan tidak terungkap, pembangunan
dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari mana masyarakat itu berada dan dari apa yang mereka
miliki.
4. Partisipasi memperluas zona (kawasan) penerimaan proyek pembangunan.
5. Ia akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh masyarakat.
6. Partisipasi menopang pembangunan.
7. Partisipasi menyediakan lingkungan yang kondusif bagi baik aktualisasi potensi manusia maupun
pertumbuhan manusia.
8. Merupakan cara efektif untuk membangun kemampuan masyarakat untuk mengelola pembangunan,
guna memenuhi kebutuhan khas daerah.
9. Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak–hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam
pembangunan mereka sendiri ”.
Oleh karena itulah dalam konteks ini perlu dikemukakan pandangan Natori (2001) tentang
pembangunan pariwisata berbasis masyarakat yang menyebutkan bahwa hubungan yang harmonis antar
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
masyarakat lokal, sumberdaya, dan wisatawan merupakan kunci utama keberhasilan pembangunan
seperti dapat dilihat pada skema berikut:
Berdasarkan uraian–uraian tersebutlah kiranya teori Community-Based Resources Management
dapat digunakan untuk menganalisis peran masyarakat lokal khususnya masyarakat di dua desa yang
mengapit kawasan wisata Tangkahan, Kabupaten Langkat.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
BAB III
METODOLOGI
3.1 Penentuan Lokasi Penelitian
Pada dasarnya Sumatera Utara sangat kaya akan potensi kepariwisataan. Setiap daerah tingkat
dua Kabupaten/Kota di Sumatera Utara memiliki obyek-obyek wiasata yang sebenarnya sangat
memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kawasan pariwisata, baik kawasan pariwisata
konvensional maupun kawasan wisata-wisata alternatif yang pada dekade belakangan ini menjadi
fokus/perhatian para perencana pembangunan kepariwisataan, baik ditingkat nasional maupun
internasional.
Pengembangan kepariwisataan di Sumatera Utara selama ini sangat disayangkan karena hanya
berkonsentarsi pada sedikit daerah tertentu saja, lagi pula sangat monoton karena hanya mengandalkan
keindahan panorama alam pegunungan dan danau sebagai daya tarik utamanya. Oleh karena itulah
penelitian ini mencoba mengangkat dan menggali potensi kepariwisataan yang berasal dari sumberdaya
alam utamanya, sumberdaya manusia, dan sumberdaya budaya secara seimbang untuk harmonis
melalui perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan, Kabupaten
Langkat, Propinsi Sumatera Utara.
Dipilihnya kawasan Tangkahan, Kabupaten Langkat sebagai lokasi penelitian didasari oleh
pertimbangan profesional, dan dapat ditelusuri secara akademik, yaitu :
1. Tangkahan merupakan sebuah kawasan yang berada di perbatasan Taman Nasional Gunung Leuser
di sisi Sumatera Utara, yang secara administratif masih termasuk ke dalam Wilayah Kecamatan
Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Proipinsi Sumatera Utara.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Sebagaimana diketahui, pariwisata berbasis alam telah lama berkembang di kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser, seperti jelajah hutan (trekking), arung jeram dan pengamatan satwa liar.
Beberapa lokasi yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) telah lama berkembang
menjadi pusat wisata, seperti Kawasan Bukit Lawang-Bahorok, Gunung Sibayak-Berastagi,
Ketambe Lawe Gurah-Kuta Cane, dan Pulau Banyak di Singkil. Oleh karena itu, tiba saatnya
sekarang Tangkahan harus dikembangkan pula sebagai salah satu kawasan obyek wisata --wisata
alternatif--.
2. Kawasan Tangkahan sangat tepat di jadikan sebagai media pengenalan ekosistem Leuser, serta
wahana pendidikan lingkungan dan konservasi bagi masyarakat setempat, wisatawan domestik
maupun mancanegara.
Sebagaimana diketahui Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan suatu kawasan pelestarian
yang memiliki sumberdaya alam yang kaya dan terdiri dari beberapa ekosistem yang relatif masih
utuh dan asli. Sebagai contoh beberapa ekosistem yang masih dalam kawasan KEL seperti :
ekosistem hutan rawa air tawar, ekosistem hutan hijau dataran rendah, ekosistem perbukitan,
ekosistem hutan pegunungan renah dan ekosistem hutan pegunungan tinggi dengan puncak Leuser
pada ketinggian 3119 m di atas permukaan laut. Sementara kawasan Tangkahan yang direncanakan
sebagai kawasan pengembangan ekowisata berada pada ketinggian sekitar 200 m di atas permukaan
laut dan termasuk dalam kawasan yang di dominasi oleh hutan dipterocarpaceae dataran rendah yang
menurut telaah pustaka kawasan hutan hijau dataran rendah ini sangat kaya akan jenis-jenis
tumbuhan berbunga, yang pada gilirannya akan mempengaruhi jenis dan komposisi satwa yang
hidup di dalamnya. Kawasan Tangkahan sebagai bagiandari KEL dikenal sebagai kawasan yang
sangat potensial dari berbagai aspek, kaya dengan keberagaman flora dan fauna, disamping juga
memiliki hutan-hutan alami, perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, jeruk manis, pedesaan dan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
alamnya yang asri, sungai-sungai, bukit, tebing dan lembah-lembah yang merupakan aset kawasan
yang sangat dapat diandalkan.
3. Kawasan Tangkahan sebagai bagian dari KEL memiliki potensi daya tarik obyek wisata yang
sangat menggiurkan seperti tiga belas obyek air terjun, dua lokasi gua, tiga obyek air panas, serta
letaknya yang indah mempesona dipertemuan dua sungai yaitu sungai Buluh dan sungai Batang
Serangan yang kemudian bertemu dengan sungai Musam. Kesemua potensi ini apabila dipadu akan
menjadi sumberdaya unggulan yang diyakini mampu mengundang decak kagum wisatawan di
antara kemilau jernih air sungai yang mengalir.
4. Kawasan Tangkahan sebagai kawasan ekowisata merupakan kawasan ekosistem Leuser di luar
Taman Nasional Gunung Leuser, yang masuk ke dalam wilayah dua desa yaitu desa Namo Sialang
dengan jumlah penduduk 5037 jiwa, dan desa Sei Serdang dengan jumlah penduduk 3120 jiwa,
yang mayoritas merupakan suku Karo, ditambah suku Batak, Melayu dan Jawa.
Potensi kultural yang dimiliki masyarakat setempat melahirkan suasana di kawasan Tangkahan
sangat kondusif dan stabil, karena kehidupan beragama antara Islam, Kristen dan Katolik sangat
toleran, ditambah ikatan kekeluargaan yang merupakan mata rantai yang tidak terputuskan dalam
kehidupan sosial mereka.
Gambaran kerukunan hidup dengan prinsip saling tolong-menolong, aktifitas kesenian tradisional,
makanan khas tradisional dan pengobatan tradisional, masih dapat dijumpai dikawasan Tangkahan,
sangat bisa dijadikan sebagai daya tarik atraksi budaya bagi pengembangan ekowisata.
3.2 Desain Penelitian
Penelitian mengenai perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas ini
menggunakan metode deskriptif dengan teknik analisis data secara kualitatif. Metode deskriptif-
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
kualitatif ini digunakan agar terkumpulkan data dan informasi tentang situasi dan kondisi setempat
berdasarkan fakta yang akurat.
Penelitian deskriptif (Narbuko, 1997) merupakan penelitian yang berusaha untuk menuturkan
pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data, jadi ia juga menyajikan data, menganalisis,
dan menginterpretasi. Semetara Supranto (1997) berpendapat bahwa penggunaan desain atau metode
deskriptif-kualitatif adalah untuk mencari fakta dengan interpretasi yang tepat, dengan tujuan untuk
mencari gambaran yang sistematis disertai fakta yang akurat.
3.3 Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh secara langsung dari sumber pertama yang ada di lokasi penelitian, yang dikumpulkan secara
khusus untuk menjawab pertanyaan penelitian, baik melalui pengajaran pertanyaan kepada beberapa
untuk kemudian menganalisis jawaban, maupun melalui diskusi kelompok. Data primer ini akan
diperoleh melalui sumber : Masyarakat setempat, Dinas Pariwisata dan Instansi terkait lainnya baik
Pemerintah maupun Swasta, Camat Kecamatan dan perangkat Desa setempat, Lembaga Pariwisata
Tangkahan, Pemandu Wisata.
Sementara data sekunder yang diperoleh dari kepustakaan maupun dokumen-dokumen berupa
buku, hasil penelitian, jurnal dan bentuk-bentuk lain yang berhubungan dan relevan dengan kebutuhan,
akan digunakan untuk mengisi kebutuhan akan rujukan khusus pada beberapa hal.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik-teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a. Focusing Group Discussion (FGD)
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan diskusi kelompok dengan masyarakat
setempat, untuk melihat dan mengetahui aspirasi ataupun keinginan mereka sehubungan dengan
pengembangan kawasan. Kegiatan diskusi ini tentu saja bagian dari usaha pengumpulan data primer
melalui wakil-wakil masyarakat/tokoh-tokoh masyarakat.
Diskusi dilakukan melalui kelompok-kelompok kecil untuk mencari masukan tetang berbagai hal
seperti:
- bentuk-bentuk/jenis-jenis wisata yang mereka inginkan dilakukan dikawasan tersebut,
- penentuan tata ruang pariwisata yang dihubungkan dengan daya tampung wisatawan,
tingkat kebisingan, tingkat pencemaran dan sebagainya,
- penentuan lokasi dan bentuk akomodasi (penginapan) bagi wisatawan,
- penetuan pengembangan fasilitas penunjang, baik yang berhubungan dengan produk
wisata, maupun yang behubungan dengan sarana dan prasarana,
- penetuan bentuk-bentuk keterlibatan masyarakat lokal dalam aktivitas kepariwisataan.
b. Dokumentasi
Teknik dokumentasi adalah teknik mengumpulkan data sekunder melalui kepustakaan, dan dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu :
- Secara manual (manual search) yaitu, menghimpun informasi dari berbagai buku/literature,
laporan/dokumen, jurnal, serta publikasi resmi pemerintah.
- Secara komputerisasi (computerized search), dengan cara mengakses data melalui fasilitas
internet.
c. Wawancara
teknik wawancara dilakukan dalam upaya pengumpulan data dan merupakan salah satu cara
memahami persepsi dari stakeholders yang antara lain dilakukan dengan :
- pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Langkat,
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
- masyarakat lokal dan LPT dan lembaga-lembaga sosial setingkat desa,
-pihak PTPN II, pihak LSM.
Masukan-masukan yang diperoleh dari hasil wawancara dimanfaatkan untuk mendukung hasil
diskusi maupun untuk mendukung (crosschek) terhadap data sekunder yang diperoleh melalui beberapa
sumber. Beberapa hal yang dieksplorasi melalui wawancara misalnya persepsi stakeholders terhadap
upaya pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan ekowisata, pemahaman masyarakat tentang
ekowisata, kebijakan pemkab terhadap pengembangan ekowisata, bentuk pengelolaan
kemitraan/kolaborasi, pengamatan kondisi kawasan dan lain-lain.
3.5 Teknik Analisis dan Interpretasi Data
Analisis yang dilakukan secara kualitatif dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang jelas
mengenai status kawasan Tangkahan dan rencana pengembangan kawasan tersebut sebagai daerah
tujuan wisata. Data-data dan informasi yang diperoleh terutama di lapangan, maupun Medan, Stabat
dan sekitarnya, kemudian dideskripsikan untuk selanjutnya di interpretasikan sesuai dengan persepsi
para pihak tentang hal-hal yang berkaitan dan relevan dengan perencanaan pengembangan kawasan.
Berdasarkan kondisi obyektif di lapangan, pengkajian dan pengembangan dilakukan pula
melalui analisis lingkungan internal dan eksternal untuk melihat dan mengetahui kekuatan maupun
kelemahan kawasan di samping mengantisipasi peluang dan ancaman yang mungkin dapat
mempengaruhi perencanaan program-program pengembangan meskipun disadari bahwa analisis
lingkungan yang menggambarkan keadaan daerah penelitian tidak bersifat permanen. Hal ini
dikarenakan adanya pengaruh dari berbagai faktor seperti situasi perekonomian, sosial-politik, stabilitas
keamanan, dan lainnya.
Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui perencanaan yang diarahkan berdasarkan masukan-
masukan dari bawah ke atas (bottom-up) secara partisipatif, untuk kemudian berorientasi pada proses
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
yang berkembang. Perncanaan pengembangan diarahkan pula dengan memperhitungkan nilai-nilai
ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat serta untuk pertimbangan fungsi-fungsi ekologi
kawasan.
Pengkajian-pengkajian persepsi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, serta persepsi dari para
pihak stakeholder, dilakukan juga guna menguatkan landasan perencanaan pengembangan.
Hasil pengumpulan data dari berbagai informasi, persepsi dan perencanaan masyarakat
kemudian dianalisis. Berdasarkan diskusi-diskusi kelompok akan diperoleh kesepakatan-kesepakatan
mengenai apa dan bagaimanakegiatan kepariwisataan yang diinginkan dilakukan di kawasan
Tangkahan.
Berdasarkan diskusi-diskusi dengan masyarakat setempat dan masukan dari para pihak
stakeholder, maka dilakukanlah penyusunan suatu strategi perencanaan pengembangan ekowisata, yang
nantinya juga didukung oleh data-data sekunder sebagai penunjang. Kesemuaan ini dilakukan dalam
rangka menyatukan aspirasi dari masyrakat setempat dan dari pihak-pihak lain dalam menciptakan
suatu perencanaan pengembangan kawasan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
BAB IV
GAMBARAN UMUM KAWASAN
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Langkat
a. Geografi
Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah tingkat dua di Propinsi Sumatera Utara.
Kabupaten Langkat menurut sejarahnya ditetapkan pada tangga 17 Januari 1750. dan saat ini beribu
Kota Stabat, memiliki luas wilayah 6.263,29 Km2.
Secara geografis Kabupaten Langkat terletak pada koordinat antara 3014’ – 4013’ Lu dan 97052 -
98045 BT, berada pada ketinggian rata-rata 0-3000 m diatas permukaan laut.
Kabupaten Langkat terdiri dari dua puluh kecamatan, 215 desa, dengan struktur penduduk yang
terdiri dari berbagai etnis seperti etnis Melayu, etnis Karo, etnis Jawa, etnis Batak Toba, etnis
Mandailing, dan beberapa etnis lainnya.
Secara administrasi Kabupaten Langkat berbatasan dengan beberapa wilayah yakni :
→ Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang,
→ Sebelah Barat : berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara / Tanah Alas
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
→ Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Karo,
→ Sebelah Utara : berbatasan dengan Selat Sumatera.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Langkat merupakan daerah pertanian seperti pertanian padi,
kedelai, jagung, palawija dan lainnya, disamping perkebunan kelapa sawit, karet, coklat, tebu, jeruk,
tanaman perkebunan lainnya. Kabupaten Langkat juga memiliki tambang minyak yang terdapat di
daerah Pangkalan Susu. Potensi pertanian, perkebunan dan pertambangan ini juga turut mendukung
kegiatan kepariwisataan di Kabupaten Langkat yang sesuai dengan konsep ekowisata, dan dapat
dikemas dalam wisata agro, wisata tirta, wisata sejarah, maupun wisata religius/keagamaan.
Beberapa obyek wisata yang terdapat di Kabupaten Langkat adalah sebagai berikut :
NO NAMA OBYEK WISATA LOKASI
1. Bukit Lawang & Pusat Rehabilitasi Orang Hutan KEC. BAHAOROK
2. Gua Batu Rizal KEC. BAHAOROK
3. Gua Kampret KEC. BAHAOROK
4. Gua & Air Terjun Marike KEC. SALAPIAN
5. Pemandian Pantai Biru KEC. SALAPIAN
6. Pemandian Pangkal KEC. SEI BINGAI
7. Pemandian Namu Ukur Utara KEC. SEI BINGAI
9. Pamah Semelir KEC. SEI BINGAI
10. Masjid Azizi KEC. TJG. PURA
11. Pantai Kuala Serapuh KEC. TJG. PURA
12. Museum Derah Kabupaten Langkat KEC. TJG. PURA
13. Makam Pahlawan T. Amir Hamzah KEC. TJG. PURA
14. Tangkahan KEC. BTG. SERANGAN
15. Pantai Tanjung Kerang KEC. PKL. SUSU
16. Pantai Pulai Sembilan KEC. PKL. SUSU
17. Pusat TARikat Naqsyabandi KEC. PDG. TUALANG
18. Pantai Sekunder Indah KEC. BESITANG
19. Kampung Bali KEC. WAMPU
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
20. Arung Jeram Sei Wampu KEC. SALAPIAN
21. Dusun Pantai Buaya KEC. BESITANG
22. Dusun Aras Napal KEC. BESITANG
21. Dusun Pantai Buaya KEC. BESITANG
22. Dusun Aras Napal KEC. BESITANG
Tabel 2 : Objek wisata di Kabupaten Langkat
b. Topografi
Topografi wilayah Kabupaten Langkat dapat digolongkan atas tiga bagian :
a. Wilayah Pesisir pantai dengan ketinggian 0 – 4 m dpl
b. Wilayah dataran rendah dengan ketinggian 4 – 30 m dpl
c. Wilayah dataran tinggi dengan ketinggian 30 – 1200 m dpl
c. Geologi
Jenis dan struktur tanah :
a. Daerah pantai terdiri dari tanah alluvial
b. Dataran rendah terdiri dari tanah jenis Gleihumus rendah, Hidromofil Kelabu dan Plarosal
c. Dataran tinggi
d. Perbukitan terdiri dari tanah Podsolid merah kuning
No. Penggunaan Luas (Ha) % Keterangan
1. Hutan 239328.4 38.38 Besitang, S.Lepan, S.Seberang, B.Serangan Bahorok, Selapian, Sei Bingai, Kuala
2. Hutan Bakau 21090 3.38 Sebelah Utara Langkat
3. Kebun 188707.3 30.25 Utama : K-Sawit, karet, lainnya: kelapa, coklat, kopi, tebu.
4. Kebun Campuran/Pemukiman 114436.1 18.35 Terbesar
5. Pemukiman Padat 127.7 0.02 Binjai, Selesai
6. Sawah 38273.7 6.14 Terbesar : kecuali Sw. Seberang dan Bahorok
7. Tegelan 2633.8 0.42 Sayuran, kacang, buah-buahan Binjai, Stabat 8. Rawa 79.2 0.01 Brandan Barat
9. Tambak 7215.8 1.16 Ikan, Udang : P. Susu, B. Barat, Babalan, Gebang, T. Pura dan Secanggang
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
10. Lahan Terbuka 3066.1 0.49 Lahan terbuka = Lahan tandus Pemukiman 11. Sungai 11370.9 1.4
Jumlah 626329 Tabel 3 : Penggunaan Tanah/Lahan di Kabupaten Langkat
d. Potensi Sumberdaya Alam
Kabupaten Langkat sangat kaya dengan sumberdaya alam berupa hutan tropis dan keanekaragaman
hayatinya ; areal pertanian tanaman pangan, peternakan dan perkebunan ; sungai ; laut ; pariwisata ;
dan bahan tambang seperti mintak bumi dan gas bumi.
Setiap Kecamatan di Kabupaten Langkat, mempunyai potensi ekonomi dan peluang investasi
terutama disektor pertanian, industri dan pariwisata. Bila ditelusuri hampir semua kecamatan
memiliki komoditi unggulan yang dapat dipasarkan ke Medan bahkan ke negara-negara tetangga
khususnya dalam kawasan segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand yang dikenal dengan
IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle). Seperti disektor pertanian siapa tak kenal
dengan rambutan Brahrang, Jeruk Pantai Buaya, Durian Bahorok. Begitu juga di sub sektor
perkebunan, Langkat berperan dalam menghasilkan devisa negara terutama untuk komoditas kelapa
sawit, karet, kakao, kelapa. Di sub sektor peternakan potensi terutama domba dan ayam petelur. Di
sub sektor perikanan dan kelautan potensi terutama komoditi udang, kerapu dan kepiting. Di sub
sektor kehutanan potensi terutama kayu bakau dan hasil hutan seperti damar dan kayu. Sedangkan
pada sektor industri terutama industri kecil dan rumah tangga seperti pengolahan hasil perikanan,
udang beku, terasi, kerupuk ikan, industri anyaman purun, gula aren, sulaman bordir dan lain-lain.
e. Potensi Sumberdaya Manusia
Jumlah penduduk Kabupaten langkat sesuai hasil sensus penduduk tahun 2000 adalah 902086 jiwa,
dimana jumlah laki-laki sebanyak 456964 jiwa dan perempuan sebanyak 446022 jiwa. Dan
persentase tingkat Pendidikan dan Angkatan Kerja penduduk Kabupaten Langkat adalah sebagai
berikut :
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Usia 5 tahun ke atas yang tidak menamatkan pendidikannya atau tidak bersekolah sebesar 30,77%,
sementara yang menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) 36,77%; menyelesaikan SLTP 17,33%;
menyelesaikan SLTA 13,78%; dan menyelesaikan Pendidikan Diploma hingga Perguruan Tinggi
1,35%.
f. Sarana dan Praasarana Fisik
Prasarana jalan yang menghubungkan Ibukota Kecamatan dengan Ibukota Kabupaten, antar desa
dengan desa diKabupaten Langkat pada umumnya relatif baik. Untuk beberapa Kecamatan terutama
di desa-desa pantai terdapat juga angkutan sungai, sedangkan angkutan laut hanya menghubungkan
Pangkalan Susu-Pulau Kampai-Pulau Sembilan. Fasilitas umum seperti jaringan listrik saat ini telah
menjangkau semua desa, sedangkan telepon telah menjangkau delapan Kecamatan. Air minum yang
dikelola oleh PDAM telah menjangkau delapan belas Kecamatan, tujuh pasar induk dan pusat
pertokohan sekitar lima belas. Sarana pendidikan dan kesehatan juga telah menjangkau seluruh
lapisan masyarakat.
Penduduk Kabupaten Langkat dinilai sangat heterogen dapat dilihat dari keadaan jumlah penduduk
berdasarkan komposisi suku bangsa: Jawa 56,87%; Melayu 14,93%; Karo 10,22%; Toba 4,50%;
Madina 2,54%; Aceh 2,29%; Minang 1,29%; Cina 0,88%; Pakpak 0,16%; Nias 0,12%; Simalungun
0,10%; lainnya 6,10%.
Dari sudut pemeluk agama yang dianut, penduduk Kabupaten Langkat terdiri dari : Islam 90%;
Protestan 7,56%; Katolik 1,06%; Budha 0,95%; Hindu 0,09%; lainnya 0,34%
4.2 Kawasan Tangkahan
a. Geografi
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Kawasan Tangkahan secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan Batang Serangan,
Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara. Kawasan Tangkahan yang dimaksudkan akan
dikembangkan sebagai kawasan ekowisata merupakan kawasan ekosistem Leuser, namun berada di luar
Taman Nasional Gunung Leuser, yang berada di dalam dua desa yaitu Desa Namo Sialang, dan Desa
Sei Serdang.
Wilayah-wilayah yang membatasi kawasan Tangkahan secara geografis dapat disebut sebagai
berikut :
- Sebelah Timur : Desa Kuala Buluh
- Sebelah Selatan : Perkebunan Kelapa Sawit milik PT. Garuda Permana
- Sebelah Barat : Taman Nasional Gunung Leuser
- Sebelah Utara : Perkebunan Kelapa Sawit Milik PTP N II
Secara geografis kawasan Tangkahan berada pada koordinat “03041” Lu, 9804,28,2” BT, dan berada
pada ketinggian 130 – 200 m di atas permukaan laut.
Kawasan Tangkahan memiliki jenis tanah yang terdiri dari podsolik dan litosol. Podsolik
diartikan termasuk jenis tanah yang telah mengalami tingkat perkembangan agak lanjut, umumnya
terbentuk dari batu liat (serpih), dari batu pasir, atau pada beberapa bagian telah tercampur dengan
bahan vulkanis. Penampang tanah dengan kedalaman sedang, mempunyai sifat kurang baik dan peka
terhadap erosi meskipun tingkat kesuburannya rendah, namun cukup baik untuk tanaman-tanaman
seperti karet dengan memperhatikan segi-segi keerosian tanah serta ketersediaan air.
Litosol diartikan sebagai jenis tanah tanpa perkembangan profil merupakan batuan kukuh
dengan lapisan tanah sangat tipis di atasnya. Pada wilayah yang curam terdapat batuan tanpa lapisan
tanah. Dari segi topografi, Tangkahan merupakan kawasan landai, berbukit dengan kemiringan yang
bervariasi antara 45-900. Suhu udara rata-rata di kawasan Tangkahan berkisar antara 21,10C – 27,5 0C,
dengan kelembaban nisbi berkisar antara 80 – 100 %.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Kawasan Tangkahan dicurahi musim hujan yang berlangsung marata sepanjang tahun tanpa
musim kemarau berarti, dan diperkirakan curah hujan rata-rata 2000-3200 mm pertahun. Keadaan ini
sangat memberi keuntungan dalam ketersedian air bagi kawasan Tangkahan yang rata-rata masih
tertutup oleh hutan. Oleh karena itu kebutuhan air masyarakat kawasan ini sangat mudah diperoleh dari
sumur tanah dan sungai. Limpahan air hujan pun dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber air.
Gambar 9 : Peta Kawasan Ekowisata Tangkahan (Sumber LPT)
b. Kependudukan
Kawasan Tangkahan dan sekitarnya didiami oleh penduduk yang terdiri dari beberapa etnis.
Etnis Karo merupakan mayoritas penduduk yang mendiami perkampungan-perkampungan di sekitar
hutan, ditambah dengan etnis Jawa, Etnis Batak, dan Etnis Malayu yang tinggal sebagai pekerja
perkebunan kelapa sawit dan karet.
Desa Namo Sialang memiliki penduduk berjumlah 5037 jiwa yang terdiri dari 2477 laki-laki
dan 2560 perempuan. Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah pekerja perkebunan, pegawai
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
negeri, dan sebagian lagi ada yang melakukan aktivitas pertanian, berternak dan mengusahakan
perikanan.
Desa Sei Serdang memiliki jumlah penduduk 3120 jiwa yang terdiri dari 1531 laki-laki dan
1589 perempuan. Hampir sama dengan penduduk di desa Namo Sialang, mata pencaharian penduduk
Desa Sei Serdang adalah pekerja perkebunan (baik kebun milik pribadi maupun milik swasta, berupa
kebun jeruk manis, kebun karet atau pun kelapa sawit), pegawai negeri, bertani dan berternak.
Aktivitas kehidupan masyarakat di kedua desa tersebut terasa sangat kondusif. Ikatan
kekeluargaan merupakan rantai yang tidak terputus dalam kehidupan sosial di kawasan Tangkahan dan
sekitarnya. Demikian pula halnya dengan kehidupan beragama terasa sangat toleran antara Islam,
Khatolik dan Prostestan yang sama-sama menganjurkan manusia untuk saling tolong menolong dan hal
ini merupakan sebuah kekuatan kultural di kawasan Tangkahan, sehingga suasana tetap kondusif dan
stabil.
Dalam diskusi-diskusi maupun dialog yang dilakukan dengan masyarakat lokal dikawasan
Tangkahan beberapa pembuktian-pembuktian data sekunder terasa mengalir tanpa ada yang
mengaturnya. Prinsip saling menghargai dan menghormati antar sesama pemeluk agama yang berbeda
misalnya tanpa terasa berlangsung sangat nyaman tanpa gesekan-gesekan, dan membuktikan
kondusifnya suasana kehidupan yang terbangun selama ini. Diskusi-diskusi tetap berjalan sangat
femiliar meskipun misalnya beberapa anggota diskusi tersebut melakukan aktifitas peribadatan saat
acara sedang berlangsung. Rasa kekeluargaan yang hadir kadang terasa melebihi rasa persaudaraan
yang sebenarnya, baik dalam pergaulan/aktifitas sehari-hari maupun dalam acara-acara yang sengaja
dibangun dengan suasana formal.
Diskusi-diskusi maupun dialog yang dibangun dengan konsep-konsep tertentu dengan berbagai
tawaran-tawaran gagasan ataupun penekanan-penekanan tema yang berhubungan dengan perencanaan
pengembangan kawasan selalu disambut dengan antusiasme yang tinggi yang menyiratkan aspirasi
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
maupun ekspresi masyarakat lokal akan harapan-harapan kehidupan untuk masa depannya. Aspirasi
maupun ekspresi yang selalu muncul dan mengalir jernih itu cukup memberi gambaran kepada kita
betapa masyarakat setempat sangat berkeinginan untuk selalu dan tetap diakui (eksis) sebagai
masyarakat pemilik langsung dan merupakan orang-orang yang paling tahu kondisi Tangkahan yang
sebenarnya; meskipun di sisi lain kita dapat pula menangkap pengakuan-pengakuan mereka yang sangat
sadar akan kelemahan-kelemahansumberdaya manusianya untuk mampu mengelola aktifitas ekowisata
sebagai wujud pengembangan kawasan objek wisata alternatif tersebut. Pengakuan-pengakuan tersebut
justru merupakan gambaran kerendahan hati dan kesadaran masyarakat setempat untuk tetap mendapat
kepedulian pihak pemerintah Kabupaten dalam hal pembinaan dan dorongan-dorongan insentif lainnya
bagi upaya pengembangan dan pemanfaatan kawasan Tangkahan secara benar.
Pesona budaya tampak pula pada acara-acara sakral seperti perkawinan, ritual tolak bala, dan
rutinitas lainnya. Kesenian tradisional, makanan khas, dan pengobatan tradisional masih terdapat di
kawasan ini, dan dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi pengembangan ekowisata.
Terlepas dari potensi sumberdaya alam dan kondusifnya kehidupan masyarakat di kawasan
Tangkahan, aspek pendidikan masih merupakan kelemahan bagi penduduk di kedua desa tersebut.
Kelemahan pendidikan ini disebabkan oleh kurangnya pendapatan serta insfrastruktur pendidikan,
sehingga masyarakat tidak dapat menemukan atau mendapatkan pendapatan (hasil usaha) diluar usaha
pertanian yang cenderung diwariskan oleh orang tua mereka. Disamping terbatasnya lahan dan tekanan
demografi yang telah merusak pendapatan, pendidikan masih dilihat sebagai bentuk pengeluaran yang
membebankan kebutuhan keluarga. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh langsung bagi kebutuhan
sumberdaya manusia dalam upaya pengembangan ekowisata di kawasan tersebut kelak.
Perspektif edukasi yang tersa lemah ini tentu saja menjadi bagian kekhawatiran masyarakat
lokal yang secara psikilogis akan mempengaruhi kinerja pola kemitraan yang selama ini terjalin.
Kekhawatiran ekses negatif terekspresikan dari jawaban maupun cara pandang masyrakat lokal
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
manakala harapan kedatangan sosok wisatawan mancanegara menjadi sebuah dilema tersendiri. Di satu
sisi masyarakat lokal sangat antusias untuk menyambut kedatangan turis-turis macanegara khususnya,
namun di sisi lain mereka juga mempunyai kekhawatiran manakala putra-putri mereka kelak tidak
mampu menghempang pengaruh perilaku dan pola pikir turis mancanegara dengan sistem budaya
bangsanya. Dari kekhawatiran itu sebenarnya tersirat keinginan dan harapan masyarakat agar pihak
pemerintah hendaknya memberi perhatian yang serius terhadap peningkatan aspek pendidikan sebagai
salah satu sarana formal peningkatan pengetahuan masyarakat, di samping kegiatan-kegiatan
penyuluhan maupun pembekalan dan pelatihan dari aspek sosial kebudayaan dan pengetahuan
kepariwisataan.
Masalah konservasi dan lingkungan hidup yang pada saatnya nanti merupakan bagian dari
pertarungan global sebenarnya kita sadari bukanlah merupakan bagian pemikiran masyarakat setempat
saat ini. Karena memang kesederhanaan dan kebersahajaan kehidupan masyarakat lokal hanya sebatas
keinginan memiliki pekerjaan dengan tujuan penambahan pendapatan/penghasilan ekonomi, serta
keinginan berpartisipasi aktif dalam program-program pembangunan yang selalu disosialisasikan
tersebut. Komersialisasi dan politisasi kawasan penyangga maupun program-program konservasi dan
pemberdayaan masyarakat lokal secara tersembunyi yang selalu terjadi hendaknya jangan sempat
meracuni kebersahajaan masyarakat hanya karena kekurangpedulian pihak pemerintah Kabupaten
membekali masyarakat lokal melalui aspek pendidikan.
Sesuai data yang terhimpun sebenarnya sejak tahun 1970-an perkebunan kelapa sawit telah
berkembang di kawasan tersebut dan banyak penduduk yang telah menjual tanahnya kepada pihak
perkebunan. Kegiatan pertanian yang mereka lakukan telah terjepit di antara perkebunan kelapa sawit
dan Taman Nasional Gunung Leuser. Akibatnya penduduk semakin kekurangan lahan untuk
menampung pertambahan populasi dan kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu adanya alternatif
ekonomi yang lain yang tidak bertumpu pada pemakaian atau pemanfaatan lahan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
c. Sarana dan Prasarana
Kawasan Tangkahan yang berada di antara dua desa yaitu Desa Namo Sialang dan Desa Sei
Serdang, Kecamatan Batang Serangan berjarak lebih kurang 124 km dari Kota Medan, apabila jalan
melalui Tanjung Pura, sementara jika jalan pintas melalui Stabat dan Simpang Sidodadi, jaraknya lebih
pendek menjadi 95 km.
Disamping itu jalur jalan melalui Medan-Stabat-Tanjung Pura yang lebih jauh, kondisinya lebih
memadai dibanding jalur pintas memotong melalui Stabat-Simpang Sidodadi. Hampir sepanjang 50 km
jalan di jalur pintas memotong ini mengalami rusak yang cukup parah, terutama jalur di perkebunan
karet. Walaupun mungkin saja kondisi ini perlu juga untuk tetap dibiarkan mengingat kawasan
Tangkahan memang direncanakan sebagai kawasan ekowisata. Hanya saja mungkin perlu dibenahi
sedikit untuk mengantisipasi keamanan dan menambah eksotiknya suasana perjalanan menuju kawasan
Tangkahan yang sangat menarik.
Akan halnya kondisi jalanan yang sangat cukup memprihatinkan ini, terungkap juga keresahan
maupun keluhan dari masyarakat lokal terutama komunitas yang tergabung di dalam Lembaga
Pariwisata Tangkahan (LPT) yang secara sabar dan tekun terus berupaya mengelola dan
mempopulerkan kawasan ekowisata Tangkahan keluar bahkan ke mancanegara. Masyarakat di kawasan
Tangkahan sebenarnya telah lama mengeluhkan kondisi jalan yang tidak memadai ini kepada
pemerintah Kabupaten. Keluhan ini sebenarnya bukan hanya mereka kaitkan dengan keberadaan daerah
tujuan ekowisata, namun lebih banyak disebabkan karena memang kebutuhan mereka terhadap
kelancaran hubungan keluar-masuk penduduk dari desa ke desa maupun antar Kecamatan. Masyarakat
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
setempat sangat tidak merasakan perhatian serius dari pemerintah Kabupaten terhadap keluhan yang
mereka sampaikan dari tahun ke tahun sampai saat ini.
Hal senada juga dikemukakan oleh komunitas Lembaga Pariwisata Tangkahan, bahwa mereka
pada akhirnya sangat pesimis kalau pihak pemerintah Kabupaten memang tidak akan memberi
perhatian bagi pengembangan sarana dan prasarana bagi asksesibilitas menuju kawasan ekowisata
Tangkahan.
Dari wawancara maupun diskusi yang dilakukan terungkap pula sikap arogan aparat
pemerintahan Kabupaten terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh LPT. Pernah aparat Kabupaten
tanpa pendekatan maupun pemberitahuan/musyawarah melakukan pemancangan papan pengumuman
mengenai peraturan-peraturan daerah yang berhubungan dengan daerah tujuan wisata. Peraturan-
peraturan tertulis yang dipancangkan di jalan depan gerbang menuju lokasi kawasan wisata tersebut
semuanya bermuara pada masalah yang berhubungan dengan pengutipan retrebusi. Malah kepada
pengurus LPT pihak aparat pemerintah Kabupaten memberi perintah untuk setiap tahunnya membayar
uang sewa pengelolaan kawasan sebesar yang ditentukan sepihak oleh pemerintah Kabupaten. Memang
sampai saat ini semua perintah berdasarkan PERDA tersebut tidak dapat terlaksana mengingat LPT
memang tidak memiliki dana sebagaimana diharuskan pihak pemerintah Kabupaten. Sisi negatif dari
keadaan ini menurut masyarakat pada akhirnya pun pihak pemerintah Kabupaten tidak bersedia
memberi perhatian bagi upaya pengembangan kawasan wisata tersebut. Ironisnya pula, masyarakat dan
komunitas Lembaga Pariwisata Tangkahan sampai-sampai merasakan bahwa mereka sekarang lebih
nyaman berada di bawah binaan dan perlindungan berbagai LSM lokal maupun asing yang memang
kerap memberi pencerahan bagi aktifitas kehidupan mereka sehari-hari.
Sarana transportasi umum menuju Tangkahan selama ini masih dilayani oleh satu perusahaan
bus umum yakni Pembangunan Semesta, yang memang membuka trayek Medan-Tangkahan setiap hari.
Namun trayek ini hanya sampai di Dusun Titi Mangga, Desa Namo Sialang, selanjutnya perjalanan ke
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Tangkahan harus menggunakan ojek, dan jalur jalan yang ditempuh masih berupa jalan batu/krikil
(pengerasan).
Transportasi lain yang terdapat di kawasan untuk menjangkau Tangkahan ialah dengan cara
menyebrangi sungai Batang Serangan. Sarana trasnportasi ini dinilai sangat terbatas, dan biasanya
dilakukan dengan getek/rakit yang terbuat dari bambu, atau juga perahu yang sangat sederhana dan
terlihat sudah berumur. Apabila sungai Batang Serangan banjir maka penyeberangan tidak dapat
dilakukan.
Akomodasi (penginapan) di kawasan Tangkahan juga masih terasa sangat terbatas. Baru
terdapat dua penginapan yakni : Bamboo River, dengan kapasitas enam kamar double, dengan fasilitas
kamar mandi di dalam, serta Alex’s House dengan kapasitas delapan kamar. Di penginapan Bamboo
River Lodge yang dinilai lebih baik dibanding Alex’s House, juga terdapat sebuah restoran. Kedua
penginapan tersebut berada di lokasi seberang sungai dan jika sungai dalam keadaan sedang banjir
maka alternatif penginapan berpindah ke rumah penduduk di Dusun Kuala Buluh.
Gambar 11 : Salah satu Akomodasi Pemondokan di Tangkahan (Sumber : LPT)
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Salah satu sarana yang dinilai tidak memadai adalah telekomunikasi. Padahal sarana ini
merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi wisatawan. Oleh karena itu aspek ini sangat perlu
mendapat perhatian serius.
Sebagaimana kenyataan di lapangan, sarana telekomunikasi terdekat dengan kawasan wisata
terdapat di desa dengan menggunakan jasa peneydia saluran telepon dari TELKOM dengan
menggunakan sistem telepon satelit. Jarak yang harus ditempuh dari kawasan wisata ke desa tempat
Wartel Telkom adalah lebih kurang lima puluh menit perjalanan berkendaraan.
Akan halnya pengunaan telepon genggam dari berbagai pengelola saluran, maka sinyal terakhir
hanya didapatkan di daerah Tanjung Pura atau Stabat. Di luar kedua daerah ini dan menuju ke kawasan
Tangkahan sinyal telepon genggam tidak akan pernah ada.
Sarana kesehatan yang sebenarnya merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan
suatu kawasan obyek wisata Tangkahan sampai saat ini dinilai juga masih sangat tidak memadai. Desa
Namo Sialang hanya memiliki satu Puskesmas, satu orang mantri dan dua toko obat, sementara Desa
Sei Serdang hanya memiliki dua Puskesmas dan satu orang mantri.
Keadaan ini menyebabakan masyarakat belum mendapatkan fasilitas yang lebih baik bagi
peningkatan kesehatan. Sebuah rumah sakit memang dimiliki oleh Swasta yakni rumah sakit PTP N II
yang harus ditempuh dalam waktu lebih satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor apabila sangat
dibutuhkan.
Sarana kesehatan yang sangat tidak memadahi ini kiranya perlu mendapatkan perhatian yang
lebih serius, sebagai antisipasi mencegah terjadinya hal-hal yang berhubungan dengan tindakan/usaha
pertolongan pertama. Harapan adanya perhatian yang serius terhadap peningkatan sarana dan prasarana
kesehatan lebih jauh sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
kepada masyarakat agar dapat terwujud masyarakat yang sehat jasmani dan rohani dalam rangka
meningkatkan produktivitas kerja untuk mengisi pembangunan nantinya.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
d. Potensi Kepariwisataan
Bumi Tangkahan memang merupakan salah satu anugrah Tuhan Yang Mahapencipta yang
menitipkannya kepada bangsa Indonesia untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan
umat manusia. Harmonisasi kehidupan makhluk ciptaanNya dapat dilihat dan dirasakan apabila kita
memasuki kawasan ini dengan perasaan yang ikhlas sebagai manusia insan ciptaanNya yang paling
mulia. Melihat dan menapakkan kaki di bumi Tangkahan memberi kesadaran kepada kita betapa
Mahabesarnya Allah SWT yang menjadikan seisi alam ini dengan keanekaragaman ciptaanNya yang
mampu melahirkan decak kagum yang tidak berkesudahan.
Bumi Tangkahan hanyalah salah satu dari bukti kebesaran dan kekuasaan Yang Mahapencipta.
Bumi Tangkahan hanyalah sebagian dari harta kekayaan yang dilimpakan kepada bangsa Indonesia
untuk dijaga, dikembangkan dan dimanfaatkan bagi kelangsungan kehidupan yang harmonis antar
sesama makhluk hidup untuk saling berdampingan dan harga-menghargai. Oleh karena itulah
pemnfaatan dengan perhitungan dan perencanaan yang cermat dan benar sangat dituntut bagi
pengembangan kawasan Tangkahan sebagai kawasan objek ekowisata, agar kekayaan yang dimiliki
bumi Tangkahan dapat pula menjadi kekayaan filisofis kehidupan umat manusia di manapun berada.
Kawasan Tangkahan terletak pada pertemuan dua sungai yaitu sungai Buluh dan sungai Batang
Serangan, yang bergerak mengalirke hilir dan bertemu dengan dengan Sungai Musam. Sungai Batang
Seranganlah yang mengalir membelah kota Tanjung Pura sebelum sampai di Pantai Timur Sumatera.
Kawasan Tangkahan pada bagian Taman Nasional Gunung Leuser, memiliki keanekaragaman
flora dan fauna yang sangat kaya. Sebagian besar kawasan Tangkahan merupakan hutan hujan tropis,
mulai dari hutan primer Dipterocarpaceae dan hutan primer campuran. Oleh sebab itu kawasan ini
secara umum didominasi oleh tumbuhan dari family Dipterocarpaceae, Meliaceae, Burceraceae,
Euphorbiaceae dan Myrtaceae. Pohon-pohon besar dengan diameter di atas satu meter seperti pohon
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
kayu jenis damar, meranti, raja dan cendana masih dapat disaksikan pada jalur-jalur yang relatif mudah
dicapai di dalam kawasan hutan yang asri, sehingga sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai
daya tarik bagi kegiatan kepariwisataan.
Demikian juga halnya dengan hutan-hutan di Taman Nasional Gunung Leuser di kawasan
Tangkahan terdapat enam spesiesprimata seperti Orang Utan Sumatera (pong pygmaeus abelii),
Siamang (hylobates syndactilus), Owa (Hylobates lar), Kedih (presbytis sp), Monyet ekor panjang
(macaca fascicularis), dan beruk (macaca namestrina). Sementara jenis fauna lainnya juga terdapat di
kawasan ini adalah Tupai kecil (tupaia minor), Burung Rangkong (buceros Rhinoceros), Srigunting
Batu (dicrurus paradiceus), Elang (haliastur sp), yang dengan mudah dapat dilihat diselurh kawasan
dan didalam hutan. Orang hutan dan Ku (phasianidae) dapat dilihat pada waktu-waktu tertentu saja.
Selain keanekaragaman flora dan fauna, bentang alam di kawasan Tangkahan baik yang berada
di dalam maupun di luar Taman Nasional Gunung Leuser merupakan pula sumberdaya yang dapat
dijadikan aset bagi pengembangan kepariwisataan. Hutan yang alami dan asri, perkebunan kelapa sawit
dan karet yang menghijau serta perkebuanan jeruk manis yang indah ditambah suasana pedesaan yang
sejuk dan tenang, merupakan sumberdaya alam yang sangat dapat diunggulkan, disamping sungai-
sungai yang mengalir jernih, bukit dan tebing, goa-goa alam, lembah, air terjun dan air panas sebagai
bagian dari sumberdaya alam yang akan melahirkan inspirasibagi wisatawan dan tentunya merupakan
daya tarik tersendiri bagi pengunjung kelak.
Kawasan Tangkahan memang memiliki bentuka-bentukan alami yang dapat menjadi potensi
kepariwisataan khususnya ekowisata. Beberapa potensi andalan seperti sumber mata air panas di Sei
Beluh, Sei Sekucip, dan Sei Glugur, Air Terjun Umang, Air Terjun Gambir, Gua dan Tebing
merupakan daya tarik tersendiri yang sangat dapat diandalkan bagi pengembangan kawasan Tangkahan
sebagai kawasan wisata nantinya. Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) pernah mengidentifikasi
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
obyek wisata alam dan wisata minat khusus lainnya di kawasan Tangkahan yang berjumlah tujuh belas
buah obyek wisata yaitu :
No. Nama Objek wisata 1. Air Terjun Sungai Buluh
2. Air Panas Sungai Buluh
3. Air Terjun Sungai Garut
4. Air Terjun Sungai Umang
5. Air Terjun Tala-Tala
6. Air Terjun Grogoh Kiri
7. Air Terjun Batak
8. Air Terjun Cengke-Cengke
9. Air Terjun Murbe
10. Air Terjun Alor Grogoh Kanan
11. Air Terjun Sungai Gambir
12. Air Terjun Alur Simpang Kanan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
13. Air Terjun Alur Simpang Kiri
14. Goa Kalong
15. Goa Sungai Putih
16. Air Panas Sekucip
17. Air Panas Sungai Glugur.
Tabel 4 : Sumber LPT
Sumberdaya alam yang luar biasa ini diyakini dapat dikembangkan menjadi obyek wisata alam
dan ekowisata yang potensial, meskipun mungkin tidak secara keseluruhan dalam waktu yang
bersamaan, mengingat dan mempertimbangkan sarana dan prasarana pendukung dari setiap kawasan
obyek tersebut berada disamping prioritas pengembangan obyek-obyek tersebut harus pula disesuaikan
dengan prioritas pengembangan kawasan.
Melihat kekayaan sumberdaya alamnya yang sangat tinggi dan partisipasi masyarakat yang
sangat sadar akan potensi tersebut, wajarlah kiranya kawasan Tangkahan direncanakan sebagai salah
satu kawasan tujuan wisata baik bagi wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 10 : Peta Potensi SDA Tangkahan (Sumber LPT)
e. Kearifan Tradisional dan Peranannya
Pada dekade belakangan ini banyak negara berkembang termasuk Indonesia dihadapkan pada
berbagai masalah yang sulit dalam mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan
memerlukan suplai sumberdaya, sementara pada saat yang sama harus mengupayakan kelestarian
lingkungan, baik yang dapat diperbaharui (renewable resources) maupun sumberdaya yang tidak dapat
diperbaharui (non renewable resources). Memang kalau kita ingat, sejak tahun 1965 – 1967 saatnya
kejatuhan pemerintahan Soeharto dan bergulirnya era reformasi, Indonesia sempat mampu mewujudkan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi yakni rata-rata tujuh persen pertahun, namun tujuan yang lainnya
seperti pemerataan distribusi pendapatan, baik antargolongan penduduk maupun antardaerah belum
menunjukkan hasil yang diinginkan. Kondisi ini menimbulkan sinyalemen di antara para pakar
ekonomi pembangunan yang mengatakan adanya ketidakmampuan pendekatan pembangunan yang
konvensional, yaitu konsep pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
konsep trickling down effect (efek pertumbuhan yang menetes ke bawah) yang gagal mewujudkan
pemerataan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pertumbuhan terjadi sesuai harapan namun sebagian besar dinikmati oleh yang memang sudah
kuat perekonomiannya, sedangkan yang lemah tetap lemah, yang miskin tetap miskin dan malah
bertambah miskin, karena adanya persaingan antara yang kuat dan yang lemah, di samping lahirnya
masyarakat-masyarakat yang termaginalisasi.
Menyadari adanya kelemahan yang mewarnai pendekatan pembangunan yang menekankan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini muncullah berbagai konsep pembangunan alternatif seperti
ecodevelopment dan sustainanble development. Pendekatan pembangunan ekologi –ecodevelopment-
adalah konsep yang memandang keberlanjutan pembangunan dari sudut sejarah kebudayaan masyarakat
tertentu, keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat biasa, ethno-ecology, dan keadaan alam yang
mewarnai ekosistem setempat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia yang tinggal dalam
lingkungan tersebut. Konsep pembangunan ini tidak menolak kehadiran sumberdaya dari luar
masyarakat tertentu, namun bagaimana sumberdaya yang berasal dari luar dimanfaatkan sedemikian
rupa agar tidak mengarah pada penyalahgunaan lingkungan setempat, dan pendekatan pembangunan ini
sejalan dengan perekonomian indigenous yang aktifitas kesehariannya berdasarkan kepada kearifan
lokal. Sementara disisi lain konsep pembangunan yang berkelanjutan berarti pembangunan yang dapat
mendukung keberlanjutan kehidupan manusia dan proses untuk mencapai keberlanjutan pada suatu
tempat tertentu, pada saat ini, untuk generasi sekarang dan generasi dimasa yang akan datang. Konsep
ini mendekati pembangunan dari sudut masyarakat dan ekologi serta lingkungan fisik, dan konsep ini
menggarisbawahi pentingnya kearifan lokal dan ekonomi indigenous sebagai acuan dasar dalam
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu penemuan, penggalian dan pemahaman
kearifan lokal dengan sistemnya yang terkait dengan masa lampau merupakan hal yang penting untuk
membantu terwujudnya berbagai kebijakkan yang terkait dengan perencanaan untuk mencapai masa
depan yang lebih menjanjikan. Memang sebagaimana disampaikan Todaro (2000), para ahli ekonomi
masih menekankan tujuan ekonomi dan pembangunan pada pertumbuhan yang tinggi, namun mereka
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
pun telah sepakat untuk menyempurnakan pendekatan perhitungan Gross National Product (GNP)
dalam menilai keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara agar mencerminkan keadaan yang
sebenarnya, seperti dalam perhitungan GNP dan penilaian kemerosotan kualitas lingkungan yang
selama ini belum diperhitungkan akan dipertimbangkan sebagai biaya yang harus dihitung dalam
perhitungan GNP.
Pembangunan tidak dapat dikatakan berkelanjutan apabila pembangunan tersebut tidak
memperhitungkan nilai-nilai budaya yang dipercaya dan dijadikan landasan dan pegangan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat dimana pembangunan tersebut dilaksanakan. Pembangunan
hendaknya harus memperhitungkan nilai budaya masyarakat serta dapat melestarikan nilai-nilai budaya
yang dianut oleh masyarakat yang dapat diwujutkan sebagai suatu kompleks gagasan, konsep dan
pikiran manusia; sebagai suatu kompleks aktivitas, dan sebagai suatu wujud fisik atau benda yang
menurut Koentjaraningrat (1992) ada tujuh unsur kebudayaan secara universal yakni : bahasa, sistem
teknologi, sistem matapencaharian atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan
kesenian.
Dalam konteks pengembangan ekowisata pada tataran konsep pembangunan yang berkelanjutan
maka sasaran pencapaian pertumbuhuan ekonomi menjadi sangat penting dalam upaya memenuhi
kebutuhan dasar manusia. Pencapaian tujuan ekonomi tersebut sedapat mungkin diusahakan merata
keseluruh lapisan masyarakat atau stakeholder yang mendukung pembangunan tersebut sesuai dengan
kontribusinya masing-masing yang berpartisipasi dalam setiap proses pembangunan. Di samping itu
konsep ekowisata yang mengedepankan prinsip konservasi perlu dilakukan secara terintegrasi agar
pembangunan ekonomi dapat berlangsung secara berkesinambungan. Lingkungan fisik merupakan
sumber bahan baku yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi, dan berkelanjutan pertumbuhan
ekonomi akan terwujud apabila suplai bahan baku yang bersumber dari alam/lingkungan tetap terjamin
kelestariannya, dalam pengertian bahwa sumberdaya alam yang diperbaharui (renewable resources)
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
hendaknya dipakai sebanyak kemampuan untuk memperbaharuinya, dan sumberdaya yang tidak dapat
diperbaharui (non renewable resources) hendaknya dipakai sehemat mungkin.
Pada sisi lain, tanggung jawab upaya pelestarian kebudayaan sangat perlu dipertimbangkan agar
pencapaian tujuan pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan dapat berlangsung secara
berkelanjutan dalam jangka panjang. Kebudayaan masyarakat yang sedang membangun atau dibangun
dengan pendekatan penggalangan pelibatan masyarakat harus dipertimbangkan keberlanjutannya
terlebih dalam sektor perekonomian seperti industri kecil, kepariwisataan, maupun pertanian. Karena
tanpa adanya keberlanjutan budaya, maka sektor-sektor tersebut mustahil pula terjamin
keberlanjutannya.
Sebagaimana kita ketahui, sektor-sektor tersebut akan sulit berkembang tanpa adanya
kepercayaan dan inspirasi yang sangat kuat dan tajam dari segi agama maupun tradisi setempat. Dalam
pembangunan dan pengembangan berbagai sektor perekonomian daerah,peran lembaga-lembaga
sosial/adat masyarakat setempat sebenarnya sangat dominan. Dalam pengembangan kepariwisataan
misalnya, hasil kebudayaan dan kehidupan masyarakat dapat dijadikan sebagai modal dasar, yang
berfungsi sebagai daya tarik wisata. Salah satu penelitian yang pernah dilakukan di Bali (Tjatera, 2000)
misalnya menyimpulkan bahwa lembaga adat seperti Subak, Banjar dan Sekeke, sangat berperan dalam
usaha melestarikan lingkungan, dan budaya dalam berbagai kegiatan pembangunan pertanian dan
pariwisata yang ada di lingkungan desanya. Lembaga-lembaga adat dalam berbagai kegiatan
pembangunan akan berperan sebagai pemantau pelanggaran norma dan tradisi yang berlaku di
lingkungan desa. Lembaga adat yang kaya dengan kearifan tradisional dan yang relevan dengan
lingkungan sekitarnya patut dilibatkan dalam proses penyusunan perencanaan, pelaksanaan rencana,
sampai kepada pemamntauan pelaksanaan pembangunan, serta penikmatan hasilnya sesuai dengan
kontribusi yang disumbangkan dalam rangkaian kegitan tersebut.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pembangunan dimana pun memang akan melahirkan perubahan-perubahan, termasuk perubahan
yang terjadi pada aspek kebudayaan. Oleh karena itu perlu pula disosialisasikan kepada masyarakat
setempat bahwa setiap pembangunan akan mengakibatkan perubahan dan masyarakat tersebut harus
dapat sepakat untuk menerima perubahan tersebut. Hanya saja masyarakat hendaknya harus dapat
mengendalikan perubahan tersebut, sehingga dampak negatif yang cenderung muncul dapat ditekan
seminimal mungkin, karena memang pada dasarnya kebudayaan akan tetap dinamis, berubah dan
berkembang. Dalam konteks ini maka, pengembangan pariwisata yang membungkus aktifitas pertanian
maupun industri kerajinan serta segala aspek yang berhubungan dengan kepariwisataan harus tetap
infrastruktur berlandaskan budaya masyarakat setempat yang sarat dengan kemasan kearifan tradisional
tetap tidak akan terdapat dari berbagai pengaruh negatif. Namun demikian , gejala ketercemaran ini
harus disikapi secara arif dan bijaksana, dengan tetap mengacu pada kearifan tradisional, serta tetap
mempertimbangkan partisipasi masyarakat dan lembaga adat sebagai pengusung kearifan tradisional
dalam proses perencanaan pengembangan ekowisata di Tangkahan, Langkat. Agar sasaran dan tujuan
pembangunan dapat dicapai dengan baik, sesuai dengan aspirasi masyarakat dan program pemerintah,
maka organisasi terbawah di desa dan di pihak pemerintahan harus memiliki akses yang seimbang
dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan rencana pembangunan untuk mencapai dan
mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Kelembagaan tradisional yang langsung melayani
kebutuhan masyarakat serta memberikan tempat bagi aspirasi yang dimilikinya sudah waktunya untuk
dipertimbangkan ke dalam proses perencanaan pembangunan pedesaan, dalam hal ini pengembangan
objek ekowisata. Apabila hal ini dapat diwujudkan dan dapat dilaksanakan, maka pengembangan
ekowisata yang berkelanjutan akan dapat terwujud pada tingkat nasional dengan bertindak sesuai
dengan kearifan tradisional. Apabila suatu rencana dirumuskan dari bawah dan diintegrasikan ke dalam
proses perumusan rencana ke tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi atau ke tingkat nasional,
maka pada saatnya akan dapat mewujudkan rencana yang realistik di tingkat yang lebih tinggi.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pendekatan partisipatif dalam proses perencanaan memang telah diterima secara luas dibanyak
negara berkembang maupun negara maju, dan di Indonesia pun sebetulnya konsep partisipatif ini sudah
lama berjalan meskipun mungkin kadang seolah tertatih-tatih dan ragu-ragu seperti yang ditunjukkan
lembaga-lembaga nasional di tingkat desa-desa yang selama ini kita ketahui cukup berperan
memberhasilkan berbagai program pemerintah.
Perencanaan pembangunan perlu menekankan pentingnya pelibatan masyarakat setempat, mulai
dari perumusan rencana sampai pengawasan pelaksanaannya, dan untuk pelaksanaan pembangunan
yang berkelanjutan perlu pula dilakukan pendelegasian kewenangan kepada kelembagaan yang paling
bawah di desa, termasuk lembaga adat. Pendelegasian kewenangan akan dapat memberikan kebebasan
kepada lembaga terbawah untuk merencakan dan melaksanakan rencana, program dan kegiatan
pembangunan; karena lembaga adat memiliki jarak yang terdekat dengan anggota masyarakat.
Pendekatan proses perencanaan dari bawah akan dapat memberi jalan kepada masyarakat
setempat dalam merencanakan pemenuhan kebutuhannya atas dasar ketersediaan sumberdaya di
lingkungannya. Perencanaan dari bawah memungkinkan suatu rencana yang mendekati kenyataan,
realistik, layak, tidak terlalu mahal, mudah dilaksanakan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Disamping itu, secara berkelanjutan lembaga dengan kebudayaanya tetap hidup karena bermakna dan
berfungsi dalam kehidupan sehari-hari anggota masyarakatnya. Karena sebagaimana diketahui bahwa
keikutsertaan/keterlibatan, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan merupakan
tradisi yang populer, yang menjiwai kegiatan lembaga tradisional. Partisipasi anggota masyarakat
dalam kegiatan lembaga sesuai denga proses yang telah disepakati sesuai dengan budaya, dan berdasar
kepada hak masing-masing. Fenomena ini ternyata sesuai dan setara untuk mendukung konsep
pembangunan berkelanjutan bagi perbaikan kehidupan manusia yang dikeluarkan oleh Komisi PBB
untuk Lingkungan dan Pembangunan --World Commision on Enviroment and Development (WCED)
melalui Our Common Future (1987) yang berisi konsep dan karangka berpikir mengenai pembangunan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
yang berkelanjutan, yang juga mempertegas pentingnya pelibatan/partisipasi masyarakat melalui
lembaga tradisional sebagai pengusung kearifan tradisional (indigenous knowledge) dalam proses
perencanaan dari bawah ke atas, sebagai prasyarat terwujudnya perencanaan pembangunan yang
berkelanjutan.
Uraian ini memberikan gambaran bagaimana seharusnya eksistensi dan peran dan dapat
dilakukan oleh kearifan tradisional dalam proses pembangunan di daerah. Kearifan tradisional memang
harus tetap digali, dipelajari dan diakomodir meskipun eraglobalisasi menghantam semua aspek dalam
proses pembangunan. Pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan akan berhasil apabila perencana
mampu mengembangkan pengetahuan yang berdasarkan pada prioritas masyarakat lokal serta
menciptakan teknologi yang mensinergikan pendekatan tradisional dengan teknologi modern dalam
pemecahan suatu masalah. Oleh karena itu kearifan tradisional perlu untuk ditelusuri kembali karena
bermanfaat dalam proses perencanaan pembangunan dari bawah ke atas sebagai pendekatan alternatif
untuk mewujudkan perencanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, mensinergikan budaya dan
kearifan tradisional --indigenous knowledge-- ke dalam perencanaan pengembangan ekowisata berbasis
komunitas di kawasan Tangkahan, Langkat untuk mewujudkan pembangunan berkualitas yang tidak
hanya mengejar keuntungan materi semata.
Pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan merupakan salah satu
jawaban atas perubahan trend kepariwisataan dunia, di samping itu kerentanan kualitas sumberdaya
manusia, adanya kekhawatiran bergesernya nilai-nilai budaya semisal bentuk-bentuk kesenian
tradisional, kerajinan, seperti pengobatan dan obat-obat tradisional serta berbagai pengetahuan
tradisonal masyarakat lokal lainnya.
Pengkonsentrasian ekowisata di kawasan Tangkahan sangat beralasan mengingat kegiatan
ekowisata memang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip konservasi dan pemberdayaan masyarakat.
Oleh karena itulah pengembangan ekowisata berbasis komunitas salah satunya bertujuan untuk
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan kawasan karena bagaimanapun
masyarakat lokal lebih memiliki tanggung jawab dan kearifan tradisonal dalam mengolah sumberdaya
yang ada di tempat mereka hidup. Hal ini juga didasari oleh asumsi bahwa kesiapan masyarakat lokal
merupakan faktor utama yang dapat menjadi landasan dan fondasi yang cukup kuat dalam
mengembangkan suatu objek kepariwisataan. Masyarakat lokal adalah pihak yang paling tahu kondisi
wilayahnya dan mereka adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas semua sumberdaya yang ada
di daerahnya. Sumberdaya pedesaan berkaitan secara langsung dengan kehidupan mereka, dan apabila
sumberdaya tersebut rusak merekalah pihak yang paling terganggu dan generasi mendatang pun tidak
akan dapat lagi menikmati kehidupannya dengan baik lagi. Oleh karena itulah aspirasi masyarakat lokal
harus di dengarkan karena mereka adalah pihak yang sudah memiliki pengetahuan dan kebiasaan dalam
mengolah sumberdaya alam di daerahnya. Pengetahuan dan kebiasaan ini diperoleh berdasarkan tradisi
yang dilakukan secara turun-temurun, dan atas dasar pengetahuan dan pengalaman itu pulalah
masyarakat lebih sangat memiliki kesadaran untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi
daerahnya dengan prinsip ramah lingkungan yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial, budaya
dan religius.
Kearifan tradisional masyarakat merupakan proses adaptasi yang harus dipertimbangkan dan
diangkat dalam proses pengembangan ekowisata. Kearifan tradisional adalah bagian dari kekayaan
budaya bangsa yang perlu untuk tetap dilestarikan dan dikembangkan untuk dapat memberikan manfaat
dan keuntungan sebesar-besarnya bagi kehidupan umat manusia saat ini maupun untuk generasi
mendatang.
Bagi masyarakat Tangkahan, harmonisasi kehidupan yang mereka jalani selama ini pun
sebenarnya merupakan hasil dari pengejawantahan pola hidup yang selalu dilandasi oleh elemen-
elemen kearifan tradisional yang mereka miliki. Kehidupan mereka yang jauh dari aktivitas modernisasi
perkotaan membentuk hubungan mereka dengan alam dan budayanya menyatu dan saling meleingkapi.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pemenuhan kebutuhan kehidupan mereka sehari-hari yang sebagainnya mereka dapatkan dari
lingkungan alamnya seperti ikan dari sungai atau pun sayuran dan buah dari kesuburan tanah tempat
mereka tinggal bukanlah merupakan sebuah bentuk kegiatan yang berlebihan yang dapat merusak
tatanan ekosistem secara ekologis, namun tak lebih daripada aktivitas keseharian yang berlangsung
normal dan wajar tanpa adanya pretense negatif dan arogansi sebagai pemilik kawasan potensial.
Pemanfaat hasil sungai seperti penangkapan ikan misalnya selalu mereka lakukan dalam batas-batas
kebutuhan sehari-hari dan dengan perilaku sebagaimana yang diajarkan secara turun-temurun tanpa
merusak tatanan ekosistem sesame makhluk hidup. Perilaku dan kebersahajaan terpuji ini sangat dapat
menyentuh nurani kita sebagai bagian dari masyarakat kota yang cenderung individualis--kurang peduli
pada keterkaitan dan hubungan antar sesame makhluk untuk hidup berdampingan dengan aman dan
damai. Sebagai contoh misalnya, betapapun mereka sangat membutuhkan ikan untuk dikonsumsi
namun tidak dengan serta merta mereka menyerbu lubuk-lubuk di sungai yang menawarkan beragam
ikan. Masyarakat lokal sangat mengenal pola hidup ikan-ikan yang akan mereka tangkap tanpa
mengusik dan merusak habitatnya sesuai dengan prinsip keberlanjutan yang didengung-dengungkan
para pakar pembangunan saat ini. Antusiasme eksploitasi sama sekali tidak terpancar dari wajah dan
gerak-gerik mereka meskipun puluhan jurung bersileweran di hadapan mereka, begitu juga dengan
cericit dan siulan burung-burung yang setiapo pagi menghiasi pendengaran mereka tidaklah membuat
masyarakat lokal serta merta bersiap-siap memasuki pinggir sugai dan hutan dengan senapan atau
ketapel yang melumpuhkan. Semua berjalan sangat wajar dan seadanya.
Kearifan tradisional sebenarnya merupakan salah satu elemen budaya masyarakat lokal yang sangat
dapat diandalkan sebagai bagian dari upaya pengembangan kawasan objek wisata Tangkahan. Tradisi
pengobatan yang dilakukan oleh seorang dukun kampung juga masih dapat disaksikan dan dialami oleh
wisatawan yang berkunjung di kawasan tersebut.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Banyak sebenarnya bentuk-bentuk kearifan tradisonal yang dimilki oleh masyarakat Tangkahan
yang dapat dijadikan sebagai objek daya tarik ekowisata dalam rangka pengembangan kawasan
tersebut. Kegiatan metar sebagai tradisi menangkap ikan di sungai merupakan pula salah satu kearifan
tradisional yang dimiliki masyarakat setempat yang tanpa mereka sadari sebenarnya merupakan salah
satu contoh pemanfaatan sumberdaya alam yang secara lestari tetap melindungi ekosistem sebagaimana
disuarakan para aktifis lingkungan sekarang. Secara filosofis kegiatan metar mengandung upaya
pemanfaatan sumberdaya alam bagi kebutuhan saat ini tanpa merusak habitatnya untuk dapat
dimanfaatkan bagi generasi yang akan dating secara berkelanjutan. Pengenalan mereka terhadap
perilkau dan pola hidup ikan yang mereka buru di sungai benar-benar menunjukkan tanggungjawab
mereka terhadap keberlanjutan kehidupan dan tatanan ekosistem yang sudah mendarahdaging sejak
lama.
Di samping tradisi metar, masyarakat Tangkahan yang mengelola kawasan ekowisata sudah
pula mulai menerapkan tradisi “lubuk larangan” dalam upaya menunjang pengembangan peternakan
ikan dengan prinsip konservasi dan system budaya yang berlaku di tempat tersebut, sebagaimana
layaknya kita lihat di daerah Tapanuli Selatan ataupun Mandailing. Pengembangan “lubuk larangan”
dilakukan untuk terus mendidik masyarakat setempat dalam hal pemberdayaan masyarkat serta
pemanfaatan sumberdaya bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat secara harmonis.
Pada sisi lain hutan-hutan Tangkahan dengan pohon-pohon besar yang siap menghasilkan
balok-balok berharga yang selalu menjadi intipan pembalak-pembalak hutan, serta pohon-pohon kecil
semisal berbagai jenis bunga maupun tumbuhan penghasil rempah tidaklah membuat masyarakat
setempat tergiur untuk mengeksploitasinya. Bahkan di satu sisi masyrakat setempat sangat menjaga dan
melindungi sumberdaya alam untuk pelestarian ekosistem dengan kesadaran yang tinggi. Kesadaran
dan komitmen masyarakat terhadap upaya pelestarian ini tidak terlepas dari peranan aktifis-aktifis
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
lingkungan yang membentuk Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) yang kemudian mengelola
kawasan sebagai objek wisata.
f. Kelembagaan dan SDM
Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) adalah sebuah lembaga masyarakat lokal yang dibentuk
berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat desa Namo Sialang dan masyarakat Sei Serdang,
Kecamatan Batang Serangan.
Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) dibentuk atas dasar kesadaran masyarakat untuk bisa
memperoleh kegiatan yang bermanfaat sebagai salah satu solusi alternatif peningkatan sektor ekonomi
keluarga. Sebagaimana diketahui sebelum tahun 2000 sebenarnya kegiatan perburuan dan penebangan
kayu secara liar juaga terjadi di kawasan Tangkahan dan Taman Nasional Gunung Leuser. Melihat
keadaan kegiatan liar ini beberapa aktifis lingkungan mempelopori pendekatan kepada masyarakat
serta memberi motifasi agar perburuan dan penebangan kayu secara liar ini dihentikan. Masyarakat
malahan diajak untuk sama-sama menjaga kawasan dari intervensi pihak luar bagi kegiatan
pembalakkan yang dapat menimbulkan bencana dan malapetaka sembari mengajak masyarakat
memikirkan dan memusyawarahkan alternatif kegiatan. Oleh karena itulah pada tanggal 20 April 2001
masyarakat dan aktifis-aktifis lingkungan sepakat membentuk Lembaga Pariwisata Tangkahan yang
bertujuan untuk merencanakan dan mengelola kawasan Tangkahan sebagai objek ekowista.
Gerakan alternatif ini mereka harapkan untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan
memberi solusi bagi permasalahan yang ada, yakni di satu sisi sebagai upaya pelestarian hutan dan
Taman Nasional Gunung Leuser, dan di sisi lain dalam rangka pemberdayaan dan penguatan
perekonomian masyarakat lokal.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) menetapkan pengembangan Tangkahan sebagai objek
ekowisata karena mereka berkeyakinan bahwa kegiatan ekowisata akan mampu mengajak dan
melibatkan semua pihak untuk bekerja sama, mengedepankan sisi kemanusiaan, memelihara dan
meningkatkan aspek sosial dan budaya masyarakat.
Sejak tahun 2001 semakin nyatalah peran Lembaga Pariwisata Tangkahan ini dalam upaya
pengembangan kawasan tersebut sebagai objek ekowisata di samping upaya pengkonservasian. Mereka
kemudian membentuk beberapa divisi untuk operasional kegiatan, serta mendirikan sekretariat yang
salah satu fungsinya untuk mendokumentasikan segala kegiatan yang pernah dilakukan yang
berhubungan dengan Tangkahan. Di samping itu LPT juga mendidik anggotanya sebagai pemandu-
pemandu wisata maupun tim penyelamat (SAR) yang siap membantu dan mengawasi segala kegiatan
yang berhungan dengan aktivitas ekowisata, dan juga menjalin hubungan kemitraan dengan LSM lokal
maupun internasional, serta upaya promosi melalui pameran, kegiatan seminar, promosi melalui media
cetak dan televisi maupun melalui internet yang dapat diakses secara luas.
Lembaga Pariwisata Tangkahan yang setiap tahunnya mengadakan kongres rakyat di kawasan
tersebut juga terus melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga lain yang ada di tingkat desa seperti
dengan ormas-ormas lokal, organisasi kepemudaan lokal, kerukunan warga-warga adat Karo,
kerukunan adat Jawa, persatuan gereja, persatuan remaja mesjid, perwiritan, maupun lembaga
pemberdayaan masyarakat desa, dengan ibu-ibu PKK dan Badan Penasihat Desa. Perlu pula
diinformasikan pada tahun 2006 ini Lembaga Pariwisata Tangkahan melakukan kerja sama dengan
pihak INDECON untuk mendidik dan melatih masyarakat setempat dalam kegiatan industri rumah
tangga pembuatan kerajinan/souvenir sebagai salah satu upaya pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat. Pelatihan yang dipandu oleh instruktur kerajinan dari daerah Yogyakarta ini khusus
didatangkan kekawasan Tangkahan untuk memahami kondisi sosial-budaya masyarakat sebagai upaya
apresiasi untuk membangun inspirasi masyarakat mengekspresikan gagasan dan ide-idenya melalui seni
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
kerajinan/souvenir untuk meningkatkan daya tarik kawasan. LPT tidak menutup kemungkinan untuk
bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang telah ada di desa untuk bersama-sama meningkatkan
kapasitas masyarakat dan juga kesejahteraan.
BAB V
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
ANALISIS PENGEMBANGAN DAN PAKET WISATA BERBASIS KOMUNITAS
Pariwisata merupakan industri tercepat dan terbesar yang mengalami pertumbuhan. Menurut
data yang dihimpun oleh Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata Repiblik Indonesia, tercetat
pengeluaran dibidang pariwisata pada tahun 2000 mencapai 4,2 triliun dollar Amerika . Pariwisata juga
merupakan salah satu industri terbesar yang menyediakan lapangan pekerjaan yaitu sekitar 10% dari
seluruh pekerjaan ditingkat global (Mc. Loren , dalam Rethiaking Tourism and Ectroravel, 1998), dan
WTO juga memperhitungkan wisata alam berkembang hingga 7% dari seluruh perjalanan wisata
internasional.(Linberg dalam : Ecotourism : A Guide for Planner and Manager , Vol 2 , 1997)
The World Resources Institute (1990) menyatakan ketika perkembangan pariwisata secara
umum tumbuh hingga 4%, wisata alam tumbuh 10-30 % pertahunnya. Data penunjang mengenai
tingkat pertumbuhan ini diperoleh dari survei mengenai tour operator di wilayah Asia Pasifik yang
mengalami tingkat pertumbuhan (pertahun) 10-25% dalan tahun-tahun terakhir ini.
WTO dalam Yearbook of Tourism Statistic (1998) menyatakan bahwa ekowisata dan semua
kegiatan wisata yang berhubungan dengan alam diperkirakan tumbuh sekitar 20% dari total perjalanan
internasional. Jumlah ini belum termasuk wisatawan domestik yang melakukan perjalanan ke alam.
Para ekotouris berdasarkan hasil survey di negara-negara beriklim tropis seperti di negara kita,
menunjukkan bahawa mereka adalah orang-orang berpendidikan (82%), 50% melakukan perjalanan
antara 8-14 hari, bersedia membayar tinggi untuk memuaskan keingintahukan tentang alam, satwa,
tumbuhan maupun budaya serta mendapatkan pengalaman yang orisinal.
Melihat profil ekotouris dan jenis kegiatan yang diinginkan, maka pangsa pasar ekowisata
Indonesia sangat terbuka dan memiliki peluang besar untuk bersaing di tingkat regional. Indoneia
merupakan negara “ Megadiversity” yang memiliki keanekaragaman hayati dan tingkat endemisitas
yang tinggi, memiliki potensi pariwisata yang sangat besar.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Dalam rangka memanfaatkan seluruh potensi tersebut secara optimal sebagai daya tarik utama
pariwisata, maka perlulah dilakukan perencanaan-perencanaan pengembangan kepariwisataan dengan
lebih terarah.
Yoeti (1997) mengemukakan bahwa perencanaan pariwisata hendaknya harus sejalan dengan
sasaran yang hendak dicapai. Keputusan pertama yang harus diambil oleh suatu daerah ialah apakah
sudah ada kesepakatan antar pemukan/pejabat setempat bahwa daerah itu akan dikembangkan menjadi
suatu obyek wisata atau suatu daerah tujuan wisata. Kalau demikian halnya, apakah manfaat dan
keuntungan langsung bagi penduduk si sekitarnya sehingga pengembangan pariwisata selanjutnga akan
mendapat dukungan dari masyarakat banyak.
Menurut Nasikun (1999) dalam pembangunan pariwisata berbasis komunitas, keterlibatan
komunitas di dalam perencanaan dan pengedalian pelaksanaan pembangunan pariwisata merupakan
syarat yang paling esensial. Sementara Pitana (1999) menyatakan bahwa agar masyarakat dapat secara
langsung berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan kepariwisataan maka jenis kepariwisataan
yang harus dikembangkan adalah pariwisata kerakyatan. Partisipasi harus diartikan sebagai keterlibatan
secara aktif dalam setiap proses, mulai dari perencanaan, penetuan rancangan, pelaksanaan sampai
dengan pengawasan dan penikmatan hasilnya.
Kebijakan pembangunan kepariwisataan pada masa-masa yang lalu yang mengacu kepada
pendekatan advocancy yaitu pendekatan yang lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi, telah
memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa pariwisata tidak saja membawa berkah, tetapi juga
musibah. Kenikmatan meraup dollar bagi semua pihak/insan pariwisata kerap juga disertai dengan
kerugian-kerugian sosial budaya, bahkan juga lingkungan. Oleh karena itulah perencanaan
pengembangan pariwisata ke depan haruslah dilandasi oleh tiga aspek pokok yang paling mendasar
yakni aspek lingkungan (eco), aspek manusia atau masyarakat (socio), dan aspek budaya (cultural).
Ketiga aspek tersebut haruslah merupakan suatu kesatuan integral dan memiliki hubungan timbak balik
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
yang saling mempengaruhi. Berdasarkan ketiga aspek pokok itu pulalah maka potensi yang dapat
dikembangkan dalam rangka pengembangan ekowisata di kawasan Tangkahan, Kabupaten Langkat
meliputi berbagai jenis potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusaia dan sumberdaya budaya.
Disamping itu, masyarakat setempat di kawasan Tangkahan merupakan pemegang hak
atas kekayaan sumberdaya alam dan budaya setempat merupakan pula pemegang peran sentral dalam
pegembangan dan pengelolaan kepariwisataan. Oleh karena itu diperlukan hubungan kerjasama dengan
pihak-pihak pengusaha pariwisata yang berperan sebagai mitra usaha, serta peran fasilisator sekaligus
kontrol dari lembaga-lembaga pemerintah. Dengan demikian pengembangan diharapkan mampu
memberikan manfaat bagi pemberdayaan masyarakat khususnya dalam hal pengelolaan sektor
kepariwisataan, peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat, keberlanjutan konservasi
bagi keberadaan potensi ekologis dan kelestarian keberadaan sistem sosial-budaya masyarakat
setempat.
Pengembangan ekowisata pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hubungan
manusia, meningkatkan kualitas hidup penduduk setempat serta juga untuk meningkatkan kualitas
lingkungan hidup. Dalam konteks pengembangan ekowisata di suatu kawasan maka kawasan tersebut
mutlak harus memiliki sumberdaya kepariwisataan, karena seluruh sumberdaya tersebut merupakan
potensi yang menjadi modal utama bagi pelaksanaan proses pengembangan objek wisata, dan
sebaliknya pula berbagai sumberdaya tersebut hendaknya dapat pula diberdayakan agar memberikan
manfaat bagi masyarakat setempat khususnya. Oleh karena itulah beberapa kriteria dalam
pengembangan wisata alternatif harus menjadi perhatian utama, sebagaimana disampaikan O’Crady
(dalam Kodyat, 1997) :
a. Decision making about the from of tourism in any place must be made in consultation with the local
people and be acceptable to them.
b. A reasonalble share of profits derived from tourism must return to the people
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
c. Tourism must be based on found enviromemtal and ecological principles, be sensitive to local
culture and religious traditions and should not place any members of the host community in a
position of inferioity.
d. The mmbers of tourists visitins any area should not be such thay overwhelm the local population
and dery the possibility of genuine human resource.
Dalam paradigma pengembangan wisata alternatif masyarakat setempat harus dilibatkan
sehingga kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, sekaligus lingkungan alam
dan budayanya akan lebih terjaga serta terpelihara kelestarian dan keberlanjutannya. Dengan
pemberdayaan berbagai sumber budaya/wisatayang ada di daerahnya tersebut, maka pengembangan
objek wisata diharapkan dapat memberi bentuk kepariwisataan yang lebih berkualitas, memberi
kepuasan dan pengalaman serta memberi keuntungan kepada pihak-pihak yang terlibat. Oleh karena
itulah diperlukan suatu perencanaan yang tepat dan akurat yang diharapkan untuk dapat menciptakan
produk kepariwisataan yang berkualitas.
Dalam pengembangan ekowisata pada suatu kawasan harus pula dipahami kondisi internal
kawasan tersebut yang dapat diidentifikasi melalui data-data baik primer maupun sekunder, seperti
kondisi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya budaya, yang merupakan tiga aspek
modal utama pengembangan kawasan kepariwisataan, terutama bila dikaitkan dengan upaya
pemberdayaan/pengembangan masyarakat.
Ekowisata sebagai salah satu bentuk pariwisata alternatif membutuhkan strategi yang tepat
dalam perencanaannya agar sumberdaya alam dan sumberdaya budaya yang ada dapat dimanfaatkan
dan diberdayakan secara seimbang. Sementara keterlibatan masyarakat setempat akan dapat dilakukan
secara langsung dan aktif apalagi potensi masyarakat dengan segala kearifan tradisionalnya (traditional
knowledge) dapat digali dimanfaatkan secara bijaksana. Kearifan tradisional sebagai bagian dari budaya
masyarakat setempat sungguh dapat dijadikan sebagai pendukung dan daya tarik objek wisata di
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Kawasan Tangkahan. Hal ini tentu sejalan dengan kemauan kita bahwa pariwisata dan budaya harus
dapat berjalan seiring secara harmonis sebagai salah satu upaya penggalian tradisi sebagai sumberdaya
yang dapat diandalkan sesuai dengan pandangan kaum Struktural Fungsional bahwa kebudayaan dapat
berlangsung secara kontiniu apabila masyarakat pendukung kebudayaan tersebut masih merasakan
fungsi dari kebudayaan tersebut.
Perencanaan yang strategis dalam rangka pengembangan ekowisata di kawasan Tangkahan
haruslah memandang dua sisi yang saling terkait sebagai bentuk program pembangunannya yaitu
pembangunan yang bersifat fisik dan nonfisik yang dimaksudkan untuk menunjang kelayakan dan daya
tarik kawasan agar mampu menawarkan kenyamanan dan kemudahan bagi wisatawan.
5.1 Kebijakan Pemerintah Kabupaten Langkat Terhadap Pembangunan Kawasan Ekowisata
Tangkahan
Perencanaan pengembangan suatu kawasan ekowisata sebenarnyalah bukan merupakan hal yang
mudah. Selain diharapkan memberi peningkatan kepuasan bagi pengunjung (wisatawan), kegiatan
ekowisata diharapkan pula mampu memberhasilkan usaha-usaha lokal dengan baik serta tetap
melindungi sumberdaya sebagai aset pariwista, dan mengembangkan kesatuan wilayah dan masyrakat.
Dalam dialog yang dilakukan dengan instansi pemerintah Kabupaten yang terkait diperoleh data
bahwa kawasan Tangkahan memang belum memiliki rencana tata ruang kawasan yang diperuntukkan
bagi pengembangan objek ekowisata. Kenyataan ini sesuai pula dengan data dari Badan Perencena
Pembanguna Daerah Tingkat Kabupaten, bahwa program pengembangan kawasan Tangkahan sebagai
kawasan ekowisata belum teridentifikasi sebagai salah satu prioritas kawasan pengembangan, meskipun
di sisi lain ada dukungan dari lembaga-lembaga terkait seperti pihak Taman Nasional serta pihak PTPN
II, maupun pihak-pihak perseorangan yang memiliki lahan yang terkait dengan kawasan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Di samping itu beberapa lembaga swasdaya masyarakat bertaraf internasional sebenarnya sangat
bersedia untuk berpartisipasi dalam kerangka pengembangan kawasan Tangkahan sebagai objek
ekowisata, seperti UML/YLI, INDECON, CI, yang terus membina masyarakat setempat melalui LPT
maupun unit-unit kerjanya seperti Tangkahan Simalem Ranger yang merupakan wadah bagi muda-
mudi kawasan Tangkahan untuk terus menjaga, melestarikan dan mengembangkan Tangkahan sebagai
kawasan ekowista.
Sampai saat ini kelihatannya pihak pemerintah Kabupaten Langkat belum siap untuk
mengakomodir aspirasi masyarakat lokal dalam rangka pengembangan kawasan Tangkahan, baik dalam
bentuk peraturan di tingkat desa (PERDES) maupun tingkat Kabupaten (PERDA) yang sebenarnya
telah pernah menyetujui perencanaan pembangunan kawasan Tangkahan sebagai objek ekowisata (lihat
Suhandi, 2002), padahal dukungan politis dari pemerintah Kabupaten sebenarnyalah merupakan
kebutuhan yang mendasar bagi realisasi pengembangan kawasan secara partisipatif. Apalagi mengingat
bahwa pada tahun 2003 yang lalu Dinas Pariwisata Kabupaten Langkat bekerja sama dengan Unit
Manajemen Leuser (UML) sebenarnya telah menyusun Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan
(KA-ANDAL) pengembangan kawasan ekowisata Tangkahan, Langkat (2003). Namun pada
kenyataannya realisasi di lapangan tidak menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat sebagai
pengelola langsung kawasan. Perencanaan pengembangan dengan pola kemitraan yang pernah
dimusyawarahkan pada tahun 2002 yang menempatkan pemerintah kabupaten sebagai fasilitator,
katalisator dan pembina bagi pengembangan ekowisata Tangkahan belum berjalan sebagaimana
mestinya. Pengadopsian peraturan ditingkat desa (PERDES) di kawasan Tangkahan sebagai bahan
peraturan daerah (PERDA) belum pernah terwujud secara nyata. Hal ini juga merupakan jawaban
bahwa perencanaan pengembangan objek ekowisata Tangkahan belum merupakan agenda bagi
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) maupun Rencana Strategis Daerah
(RENSTRA) Kabupaten Langkat.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 12 : Sungai Hijau Kawasan Tangkahan (Sumber LPT)
5.2 Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal
Para perencana pembangunan pada dasarnya dapat memulai langkah awal dengan merumuskan
visi dan misi melalui analisis lingkungan. Hal ini dilakukan biasanya untuk mengidentifikasi setiap isu
strategis yang diperkirakan mempengaruhi kinerja dalam mencapai tujuannya. Analisis lingkungan
dapat pula dipakai sebagai alat diagnosis untuk mengenali apa yang dibutuhkan oleh para perencana.
Jaunch dan Glueck (1996) mengidentifikasikan strategi sebagai rencana yang disatukan,
menyeluruh dan terpadu ang mengaitkan keunggulan strategi perusahaan dengan tantangan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
(lingkungan) dan yang direncang untuk memastikan bahwa tujuan utama perusahaan dapat dicapai
melalui pelaksanaan yang tepat oleh perusahaan. Strategi berarti pula cara antisipatif yang harus
ditempuh organisasi terhadap sejumlah persoalan dan peluang di masa depan dalam upaya mewujudkan
visi melalui misi organisasi.
Dalam rangka perencanaan pengembangan ekowosata berbasis komonitas di kawasan
Tangkahan, perlu pula diantisipasi keadaan lingkungan internal dan eksternal untuk melihat sisi-sisi
kekuatan dan kelemahan, serta peluang dan ancaman.
Penganalisisan lingkungan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat kelayakan potensi
wilayah untuk dikembangkan dan dimanfaatkan. Berdasarakan potensi, peluang, kelemahan, dan
ancaman yang diidentifikasi akan dicoba membuat perencanaan pengembangan yang tepat sehingga
pembangunan ekowisata diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada setiap unsur yang terlibat.
Spesifikasi objek dan daya tarik wisata dalam dunia kepariwisataan merupakan unsure yang
harus diperhatikan. Dengan ke khususan tersebut, potensi kepariwisataan di kawasan Tangkahan
semakin memiliki kekuatan untuk menangkap berbagai peluang yang ada. Hal ini akan menjadi lebih
semarak lagi manakala masyarakat juga turut berpartisifasi aktif membenahi dan melakukan
pembangunan ekowisata yang berbasis komunitas tersebut. Dengan demikian upaya penciptaan dan
pemerataan pendapatan bagi sebagaian besar penduduk akan terpenuhi.
Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai atraksi budaya, event dan aktivitas kepariwisataan
lainnya semakin memperkaya khazanah kepariwisataan Kabupaten Langkat khususnya, terlebih bila
potensi kekhasan Pariwisata tersebut tetap dibina, dipelihara, dikembangkan dan dilestarikan; karena
sumberdaya merupakan aspek terpenting yang harus diperhitungkan apabila sebuah kawasan akan
dkembangkan sebagai daerah tujuan wisata.
Kawasan Tangkahan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya memang memiliki bentang alam,
pegunungan, air terjun, goa, sumber mata air panas, sungai dan kekayaan flora dan fauna yang luar
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
biasa, yang merupakan kekuatan dari kawasan tersebut untuk dapat dikembangkan sebagai daerah
tujuan ekowisata. Samapai saat ini kawasan Tangkahan merupakan salah satu kawasan wisata yang
diminati dan dikunjungi oleh wisatawan domestic, dan ini membuktikan kawasan ini memiliki kekuatan
untuk menarik wisatawan.
Buku pemandu wisata Sumatera Utara juga telah merekomendasikan kawasan Tangkahan
sebagai salah satu kawasan yang pantas untuk dikunjungi, terutama bagi wisatawan yang ingin
menikmati alam dan kekayaan hutan hujan tropis.
Kekuatan Tangkahan yang lain sebagai salah satu daerah tujuan ekowisata yang direncanakan
dapat dikembangkan ialah adanya organisasi non pemerintah yang tertarik untuk melaksanakan
kegiatan konservasi di kawasan tersebut, serta adanya institusi local yang berminat dan terus bertahan
sampai saat ini untuk terlibat aktif menangani pengembangan ekowisata di Tangkahan, yakni Lembaga
Pariwisata Tangkahan (LPT) yang anggota dan pengurusya adalah masyarakat setempat.
Disamping sumberdaya alam sebagai kekuatan alam, maka sumberdaya budaya masyarakat
setempat merupakan pula kekuatan yang cukup potensial untuk menciptakan produk wisata yang sangat
bervariasi, sehingga kawasan ekowisata ini nantinya mampu bersaing untuk menarik wisatawan lokal
maupun mancanegara, apalagi mengingat dari segi letak, kawasan Tangkahan dapat dikatakan cukup
strategis, sehingga lokasi ini relatif mudah dijangkau dan berada pada jalur pasar yang telah ada.
Kelemahan utama dalam mekanisme pengembangan bisnis kepariwisataan di daerah biasanya
terletak pada rendahnya kualitas SDM masyarakat lokal yang dalam hal ini bertindak selaku unsure
pokok pelaku pengembangan ekowisata berbasis komunitas. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia
tersebut pastilah akan berpengaruh langsung pada kualitas pelayanan yang diberikan secara pribadi
(person to person), sehingga tidak tertutup kemungkinan kondisi ini dapat menjadi faktor negative.
Padahal bertolak dari konsep pembangunan Pariwisata berbasis komunitas, tingkat
kesadaranmasyarakat terhadap pentingnya pariwisata merupakan modal keberhasilan pengembangan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
kepariwisataan di daerah. Sebab dengan latar belakang pendidikan yang memadai, masyarakat akan
menjadi lebih sadar wisata, yang pada akhirnya akan melahirkan rasa memiliki terhadap objek dan daya
tarik wisata tersebut.
Perubahan mendasar dalam manajemen kepariwisataan global menuntut setiap insan pelaku
bisnis kepariwisataan untuk menata kembali manajemen kepariwisataannya. Paradigma baru dalam
dunia kepariwisataan lebih berkonsentrasi pada pemanfaatan objek dan daya tarik wisata yang dapat
dinikmati dalam jangka panjang dan lestari. Namun pada kenyataannya juga aparatur instansi terkait
belum dapat diharapkan turut berkiprah membenahi manajemen kepariwisataan di daerahnya.
Secara jujur harus diakui bahwa SDM untuk kawasan Tangkahan merupakan salah satu sisi
kelemahan yang terbesar, terutama bila dikaitkan dengan perencanaan pengembangan kawasan objek
wisata berbasis ekologi. Kelemahan lain berupa lemahnya infrastruktur pendukung, kondisi jalan yang
rusak pada beberapa bagian, serta terbatasnya akses komunikasi telepon atau selular dari dan lokasi
kawasan. Produk-produk wisata yang ditawarkan juga belum belum dikemas dalam bentuk paket-
paket wisata yang sebenarnya harus mampu menarik minat wisatawan untuk dating, dan hal itu
mungkin disebabkan juga karena kawasan Tangkahan belum pernah dipasarkan secara serius.
Keterbatasan alokasi anggaran pembangunan/rutin bagi pengembangan kepariwisataan daerah
mengakibatkan lemahnya promosi dan pelayanan system informasi kepariwisataan. Padahal peranan
promosi sangat penting untuk meningkatkan persaingan di antara berbagai kawasan dan destinasi
wisatawan.
Kelemahan lain yang dapat diidentifikasi adalah terbukanya akses menuju Taman Nasional yang
hanya dibatasi sungai Batang Serangan dan perkebunan masyarakat, padahal kawasan Taman Nasional
merupakan daerah atraksi utama.
Di Sumatera Utara umumnya kawasan wisata alam yang dapat dikembangkan sebagai kawasan
ekowisata sebenarnya cukup banyak, dan khusus di wilayah Kabupaten Langkat, maka salah satu yang
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
selama ini cukup dikenal adalah kawasan wisata alam unggulan Bukit Lawang yang mengetengahkan
berbagai potensi sumberdaya alamnya yang indah serta pusat rehabilitasi orang utan. Pada lima tahun
berakhir ini kondisi kawasan Bukit Lawang sebagaimana diketahui benar-benar mengalami penurunan
kualitas dalam semua sisi, terutama sejak terjadinya banjir banding yang meluluhlantakkan hamir
semua sarana dan prasarana yang telah terbangun selama ini. Akibatnya Bukit Lawang mulai
ditinggalkan para peminat dan wisatawan khusus. Kondisi buruk Bukit Lawang ini sebenarnya harus
dicermati untuk merealisasikan pengembangan kawasan Tangkahan sebagai suatu prioritas
pengembangan objek wisata alternatif.
Kawasan yang didominasi oleh masyarakat etnis Karo ini sebenarnya membuka peluang untuk
menjadikan daerah tersebut dibangun sebagai desa wisata yang bercirikan budaya dan adat-istiadat
Karo, baik bangunan-bangunan yang secara fisik bercirikan arsitektur/ornament tradisional, maupun
gambaran-gambaran sosio-budaya Karo yang dapat ditampilkan melalui tata cara/pola hidup
masyarakat Karo, termasuk popularitas kearifan budaya “pengobatan tradisonal” yang sebenarnya
masih terdapat di kawasan tersebut.
Peluang lain ang dapat diidentifikasi ialah telah berlangsungnya proses pola kemitraan antar
berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, pihak PTPN II, LSM dalam dan luar negeri, pihak TNGL, dan
terpenting ialah terlibat aktifnya masyarakat setempat yang tergabung dalam Lembaga Pariwisata
Tangkahan (LPT) untuk mengelola dan mengawasi kawasan. Oleh karena itu pengembangan
Tangkahan sebagai objek ekowisata dapat menjadi model pengembangan kemitraan bagi berbagai
pihak nantinya.
Sebagaimana diketahui dewasa ini dunia kepariwisataan telah mencoba mengembangkan
paradigma pariwisata berkelanjutan yang secara sederhana bertumpu pada pilar-pilar kriteria : layak
secara ekonomi (economically viable), pengemabangan berwawasan lingkungan secara berkelanjutan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
(environmentally sustainable), dapat diterima secara social (socially acceptable) dan secara teknologi
dapat diterapkan (technologically appropriate).
Ketaatan terhadap azas-azas perencanaan merupakan kriteria utama konsep pembangunan
Pariwisata berbasis komunitas, sementara prinsip pengembangann kepariwisataan dilakukan dengan
berpijak kepada aspek-aspek pelestarian dan berorientasi kedepan (long term). Selain itu penekanan
dilakukan pada nilai manfaat yang besar bagi masyarakat lokal, serta membangun keselarasan yang
sinergis antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup dan masyarakat lokal dengan bermuara pada
pengembangan apresiasi yang lebih peka terhadap warisan budaya, lingkungan hidup, dan jati diri
bangsa dan agama.
Berdasarkan semua aspek itulah maka kawasan Tangkahan sangat berpeluang dikembangkan
sebagai kawasan tujuan ekowisata, karena kualitas sumberdaya alamnya yang relatif orisinal dan asri
dan sangat terjaga dari segala bentuk kerusakan/pencemaran.
Sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Lauser (meski sebagian) kawasan Tangkahan juga
memiliki ancaman-ancaman yang jika tidak diantisipasi sedini mungkin akan berakibat fatal setidaknya
dari upaya mempertahankan dan pelestarian ekosistem. Karena harus diakui bahwa kawasan Tangkahan
juga merupakan daerah yang menggiurkan bagi pengusahaan pembelahan kayu hutan, maupun bagi
kepentingan perburuan liar terhadap satwa lindung.
Ancaman lain ialah lemahnya penegakan peraturan-peraturan penggunaan tata guna lahan,
peraturan desa dan peraturan pariwisata yang mengatur tata pelaksanaan pengembangan kawasan. Di
sisi lain, sebagaimana diketahui bahwa pariwisata merupakan fenomena yang kompleks, bukan sekedar
kegiatan dengan objek utama industri pelayanan yang melibatkan manajemen produk dan pasar, tetapi
lebih dari itu merupakan proses dialog antara wisatawan sebagai guest dan masyarakat sebagai host.
Kegiatan pengembangan yang terkait dengan karekteristik masyarakat lokal namun hanya
menggunakan pendekatan sepihak dari sisi pasar merupakan konsep yang tidak proporsional.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Berdasarkan dinamika perubahan dunia kepariwisataan, kegiatan pengembangan terhadap suatu lokasi
komunitas tertentu, dimana karakter masyarakat secara fisik sosial buadaya merupakan sumberdaya
utama, maka pengembangannya perlu memandang masyarakat lokal sebagai sumberdaya yang
berkembang dinamis agar dapat berkembang sebagai subjek dan bukan sebagai objek. Pendekatan ini
perlu ditempuh karena masyarakat lokal adalah orang yang paling tahu kondisi sosial budaya
masyarakatnya.
Sebagai kawasan wisata yang terbuka bagi wisatawan, maka masuknya budaya asing yang
dibawa oleh wisatawan mancanegara dan tingginya daya serap masyarakat terhadap budaya asing
tersebut akan menimblkan fenomena positif maupun negartif bagi kehidupan sosial budaya yang
bersifat kontradiktif. Efek demonstratif yang ditimbulkannya akan sangat mempengaruhi pola
kehidupan masyarakat lokal. Apabila hal ini terjadi maka perubahan perilaku masyarakat pada akhirnya
akan turut merubah nilai-nilai buadaya lokal. Hal ini berarti bahwa pada suatu titik waktu tertentu akan
terjadi pergeseran terhadap budaya lokal. Oleh karena itu upaya antisipatif harus dilakukan sedini
mungkin agar kehidupan masyarakat berdasarkan norma-norma budayanya dapat terus dipelihara dan
bermanfaat bagi pengembangan objek wisata budaya. Oleh karena itu pulalah hal yang juga merupakan
ancaman bagi pengembangan sebuah kawasan wisata adalah kemampuan tingkat lokal untuk
menangani konflik-konflik yang mungkin saja akan timbul sebagai akibat upaya pengembangan
kawasan wisata tersebut.
5.3 Analisis Kawasan
A. Fungsi Kawasan
Perencanaan pengembangan ekowisata di kawsan Tangkahan mestilah menggunakan konsep
perencanaan tata ruang kawasan pariwisata yang harus memperhatikan rencana fungsi kawasan,
fasilitas yang tersedia serta optimalisasi atraksi wisata yang terdapat di kawasan. Sesuai dengan diskusi
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
yang dilakukan dengan masyarakat setempat berdasarkan pengetahuan dan kebutuhan masyarakat di
kawasan Tangkahan maka kawasan dibagi dalam empat fungsi utama yaitu :
a. Pemukiman penduduk
Kawasan pemukiman pendudukdi Tangkahan terdapat di desa Namo Sialang dan desa Sei Serdang
yang telah lama didiami oleh penduduk lokal dengan mayoritas suku Karo beragama Kristen dan
Islam.
Karekteristik perumahan penduduk adalah perumahan non/semi permanen yang menggunakan
teknologi konstruksi sederhana dan sistem utilitas yang seadanya. Sentuhan arsitektur tradisional
Karo pada perumahan penduduk sudah berkurang, dan dapat dikatakan perkampungan yang ada
memiliki tipikal citra perkampungan di pedesaan di Indonesia pada umumnya, tidak memiliki
identitas khas khusus, seperti misalnya desa Lingga di Kabupaten Karo. Hal ini bisa dimaklumi jika
ditinjau dari sejarah berdirinya kampung. Kedua kampung berdiri pada abad modern dan muncul
karena tuntutan kebutuhan penduduk yang bekerja sebagai buruh perkebunan dan petani akan
kebutuhan terhadap rumah sederhana dengan teknologi dan material yang sederhana, praktis dan
murah.
b. Hutan Lindung (Taman Nasional Gunung Leuser)
Sebagai kawsan ekowisata, Tangkahan termasuk dalam Taman Nasional Gunung Leuser yang
merupakan kawasan hutan lindung. Kawasan TNGL akan dikembangkan menjadi objek utama
ekowisata, khususnya wisata pendidikan konservasi.
c. Hutan Produksi Rakyat, merupaka perkebunan inti rakyat (PIR) sebagai salah satu mata
pencaharian penduduk lokal PIR yang ada terdiri dari perkebunan karet, jeruk, kelapa sawit dan
beberapa tanaman sayur. PIR merupakan inkubator ekonomi kawasan pada saat ini, yang dapat juga
dijadikan sebagai objek wisata agro.
d. Fungsi Kawasan sebagai Objek Wisata
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Kawasan Tangkahan memiliki beberapa potensi wisata seperti sungai dan hutan, yang telah mulai
menarik minat wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
B. Zonasi Kawasan
Melihat fungsi kawasan di atas, fasilitas yang ada saat ini dan atraksi wisata di kawasan, maka
kaawasan harus direncanakan, dikembangkan dan dikelola secara terintegrasi dan berkelanjutan sebagai
satu kesatuan guna mendukung terwujudnya kawasan wisata Tangkahan yang lestari. Keempat fungsi
kawasan ini memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi satu kesatuan daya tarik wisata yang kuat
bagi Tangkahan serta menjadi gambaran umum bagi perencanaan pengembangan kawasan tersebut.
Salah satu hal penting lainnya dalam penyiapan perencanaan pengembangan adalah pembagian
zonasi secara matang dengan memperhatikan aspek-aspek yang diperlukan dalam perencanaan. Zonasi
dibentuk dari kriteria pengembangan yang membantu para pengembang dan sekaligus meningkatkan
pengalaman dan kepuasan pengunjung.
Zonasi kawasan berhubungan erat dengan daya dukung kawasan. Informasi awal dari
gambaran umum kawasan dan permasalahan yang ada merupakan bahan dalam penentuan zonasi.
Zonasi merupakan aspek manajemen kawasan yang berhubungan dengan kepekaan` suatu kawasan,
objek dan atraksi wisata serta tingkat kunjungan maksimum yang disarankan.
Diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai zonasi dalam aturan kawasan konservasi
dan zonasi dalam pengembangan kawasan ekowisata. Dalam pengembangan ekowisata, zona-zona ini
menggambarkan pembagian kawasan dalam daerah-daerah tertentu.
Pembagian zonasi pada kawasan Tangkahan dihasilkan dari proses perencanaan yang
partisipatif bersama masyarakat, dimana zonasi yang dihasilkan telah sesuai dengan kebutuhan dan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
persepsi di tingkat masyarakat. Hal ini diharapkan dapat membantu para pengembang di masa yang
akan datang.
Beberapa petimbangan yang dijadikan dasar dalam penataan ruang di kawasan Tangkahan
adalah :
1. Kerentanan ekosistem dan hidupan liar ;
2. Nilai Keanekaragaman hayati;
3. Status Kawasan;
4. Peraturan Daerah dan Peraturan Taman Nasional;
5. Akses ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk partisipasi;
6. Sumberdaya manusia (kekuatan institusi termasuk alur pengambilan keputusan);
7. Nilai Sejarah kawasan;
8. Aksesibilitas, termasuk Akses kontrol;
9. Keamanan dan kenyamanan pengunjung;
10. Optimalisasi potensi wisata yang tersedia;
11. Optimalisasi potensi sarana pendukung wisata;
12. efisiensi biaya.
Pembuatan kriteria dari ruang-ruang yang diciptakan ini, menjadi sangat penting dan harus
dilakukan secara partisipatif, sehingga masyarakat dan para pihak mengerti peran dan tanggung
jawabnya dalam upaya mencapai tujuan pengembangan yang disepakati. Kriteria penting yang berhasil
diidentifikasi dan dihasilkan dari kajian ini adalah kriteria zonasi kawasan. Hal ini tentunya akan
memberikan arahan bagi pengembang kawasan untuk mengimplementasikan langkah-langkah yang
diperlukan untuk mencapai tujuan bersama.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 13 : Peta Zonasi Kawasan (Sumber LPT)
Berdasarkan hasil pengamatan dan kajian bersama masyarakat di lapangan mengenai kawasan
Tangkahan, maka pembagian zonasi dari kawasan terdiri dari :
1. Zonasi Intensif (± 10 Ha di kawasan PTPN II dan ± 7 Ha di kawasan Pulau Tujuh, Desa Kuala
Gemoh Lama).
A. Zona Intensif adalah kawasan yang dirancang untuk dapat menerima jumlah kunjungan dang
tingkat kegiatan yang tinggi, dengan memberikan ruang lebih luas untuk kegiatan dan
kenyamanan pengunjung.
B. Kriteria Zona Intensif
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Adapun beberapa kriteria Zona Intensif yang dimaksud adalah :
a. Berada di luar kawasan Taman Nasional.
b. Dapat merupakan lahan milik masyarakat dan/atau perkebunan (pemerintah atau
perseorangan).
c. Kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati rendah
d. Memilki ruang terbuka yang luas dan berkontur datar
e. Kemudahan aksesibilitas
f. Pembangunan sarana fisik dipusatkan pada kawasan ini dengan prosentase 40% dan 60%
tetap dibiarkan alami.
g. Rancang bangun dan lansekap yang alami
h. Kedekatan dengan sumber air
Gambar 14 : Peta Zonasi Kawasan Intensif]
2. Zonasi Semi Intensif (± 35 Ha)
A. Zonasi Semi Insentif adalah kawasan yang direncang sebagai kawasan untuk menerima
kunjungan dengan tujuan kegiatan yang bersifat lebih spesifik, dengan menyediakan ruang yang
cukup untuk untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung.
B. Kriteria Zona Semi Intensif :
Zona Semi Intensif memiliki kriteria sebagai berikut :
a. Berada di luar kawasan Taman Nasional
i. Kawasan ang memilki konsetrasi keanekaragaman hayati rendah
j. Kawasan dapat merupakan tahan/perkebunan milik masyarakat dan/atau pemerintah/swasta
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
k. Memilki ruang terbuka cukup dan relatif datar
l. Aksesibilitas dapat dikontrol
m. Pembangunan sarana fisik terbatas pada pembangunan sarana pendukung (15%) untuk
komodasi dan kegiatan spesifik.
Gambar 15 : Peta Zonasi Kawasan Semi intensif
3. Zonasi Ekstensif Primer (± 18 Ha)
A. Zona Ekstensif Primer, adalah kawasan yang dirancang hanya untuk menerima kunjungan dan
tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas keanekaragaman hayati. Dalam hal ini
merupakan kawasan Taman Nasional yang memilki kerentanan tinggi
B. Kriteria Zona Ekstensif Primer
Zona Ekstensif Primer mempunyai kriteria sebagai berikut :
a. Merupakan kawasan hutan di dalam Taman Nasional
b. Memilki keanekaragaman hayati sedang
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
c. Mampu menerima toleransi gangguan bertaraf sedang
d. Pembangunan sarana fisik dibatasi maksimal 5% dan hanya sebatas papan informasi dan
pendukung kegiatan (tempat istirahat, jalan setapak alami, tempat mengamati satwa, lokasi
perkemahan terbatas)
e. Aksesibilitas harus terkontrol (satu pintu masuk)
f. Hanya menerima jumlah wisatawan yang terbatas
g. Hanya dapat menerima tingkat kebisingan yang rendah.
Gambar 16 : Peta Zonasi Ekstensif Primer
4. Zonasi Ekstensif Sekunder (± 22 Ha)
A. Zona Ekstensif Sekunder, adalah kawasan yang dirancang hanya untuk menerima kunjungan
dan tingkat kegiatan sangat terbatas. Jalur lintasan memilki tingkat kesulitan yang lebih tinggi
dan memberikan nilai petualangan. Merupakan kawasan Taman Nasional yang memilki
kerentanan tinggi.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
B. Kriteria zona ekstensif sekunder
a. Merupakan kawasan hutan di dalam Taman Nasional
b. Kawasan yang memilki keanekaragaman hayati sangat tinggi
c. Kawasan yang memilki kerentanan yang sangat tinggi
d. Tingkat ancaman tinggi
e. Tidak ada pembangunan sarana fisik wisata
f. Aksesibilitas sangat terkontrol
g. Tidak boleh ada kebisingan
h. Kawasan yang memerlukan pemandu yang dilatih khusus dalam teknik-teknik berdampak
rendah.
Gambar 17 : Peta Zonasi Ekstensif Sekunder
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 18 : Peta Pengaturan Arus Wisatawan
c. Pengembangan Kawasan / Zonasi
Zona Intensif dialokasikan pada dua kawasan, pertama adalah di kawasan perkebunan kelapa
sawit milik PTPN II yang termasuk ke dalam wilayah Desa Sei Serdang dengan luas kawasan kurang
lebih 10 hektar. Lokasi tersebut direncanakan untuk diusahakan bersama menjadi Pusat Penerimaan
Pengunjung (Staging area) didukung oleh lahannya yang datar tidak bergelombang dan akses jalan
yang mudah.
Sarana dan prasarana yang lengkap ditempatkan pada kawasan ini untuk dapat memenuhi
kebutuhan pengunjung akan sarana pendukung wisata lainnya. Fasilitas yang disediakan di antaranya
adalah pusat informasi pengunjung, lapangan parkir, kedai cenderamata, warung, restoran, taman, dan
lapangan terbuka yang dapat digunakan sewaktu-waktu untuk dibuat panggung pertunjukan.
Alokasi kedua dari Zona Intensif Primer adalah kawasan Pantai Tujuh dengan luas kurang lebih
tujuh hektar dan dapat dikembangkan sebagai Wisata Desa di Desa Kuala Gemoh Lama. Kegiatan dan
produk wisata yang bersifat rekrreasi, masal dan cenderung bising akan ditempatkan pada Zona Intensif
ini dan tetap dengan pengaturan tertenu. Pengelolaan kawasan ini diharapkan dapat dilakukan bersama-
sama antara para pihak yang berkepentingan dalam pengembangan kawasan.
Kawasan ini direncanakan menjadi satu-satunya pintu masuk kedalam kawasan Tangkahan
dengan satu kali pungutan untuk semua jenis kegiatan. Pengunjung yang telah menentukan pilihan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
kegiatan wisatanya baru kemudian akan dibesarkan ke lokasi-lokasi yang dipilihnya. Di kawasan ini
arus serta jumlah pengunjung yang akan masuk ke zona-zona di dalam kawasan telah ditentukan.
Sumberdaya manusia yang diperlukan relatif tidak begitu memrlukan spesifikasi yang khusus.
Akan tetapi pembagian peran dari masing-masing pihak yang turut dalam pengelolaan bersama perlu
mendapatkan kesepakatan.
Dalam upaya mewujudkan pengembangan di zona intensif ini, proses negosiasi mengenai
pemakaian lahan dengan pihak PTPN II harus segera dimulai. Pihak PTPN II dan masyarakat masing-
masing memilki kepentingan. Disatu sisi masyarakat membutuhkan peningkatan ekonomi melalui
pariwisata dengan menggunakan peran serta masyarakat dalam upaya pengurangan dan pencegahan
pencurian kelapa sawit. Hal ini tentunya dapat dijadikan isu utama untuk menggalang kerjasama yang
saling menguntungkan kedua belah pihak dan piahk-pihak lainnya. Setelah proses ini berjalan, maka
perlu dipikirkan mengenai siapa yang dapat/akan mendanai pengembangan di kawasan ini? Pihak yang
terkait dengan kedua proses ini ditingkat awal harus segera diidentifikasikan.
Strategi pengelolaan dampak pengunjung dapat dilakukan dengan menyebarkan pengunjung
pada lokasi-lokasi objek daya tarik serta fasilitas yang akan dikembangkan di kawasan, disamping
Pantai Tujuh yang diperuntukkan bagi pengunjung domestik yang lebih bersifat masal. Kawasan ini
terletak kurang lebih tiga kilometer dari kawasan Ektensif Primer di lokasi PTPN II, yang dijadikan
daya tarik utama kawasan. Selain itu Desa Kuala Gemoh Lama, direkomendasikan untuk
dikembangkan menjadi Kawasan Model Pengembangan Wisata Budaya Karo, dimana sembilan rumah
yang ada saat ini, dapat dikembangkan dan dikembalikan kepada ciri tradisional Karo serta dapat
dikembangkan sebagai “homestay”
Akses masuk merupakan salah satu faktor penting dalam mengelola pariwisata yang berdampak
rendah terhadap lingkungan. Sepanjang pengelola mampu melakukan kontrol terhadap akses masuk,
maka dipastikan akan mampu memperkecil dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
disarankan untuk hanya menggunakan satu akses masuk untuk menuju Zona Intensif sekunder serta
ekstensif primer dan sekunder.
Selain melakukan kontrol akses, salah satu cara guna mengurangi dampak terhadap lingkungan
adalah menggunakan sistem reservasi pada pengelolaan di kawasan ekstensif, baik primer maupun
sekunder. Perlu diperhatikan pula bagaimana mengatur arus wisatawan yang datang dan memanfaatkan
Pusat Pengunjung sebagai staging area atau pusat penerimaan tamu yang berfungsi menyebarkan tamu
berdasarkan kemampuan membeli dan keingintahuan pengunjung.
Potensi di Zona Semi Intensif dengan luas kawasan kurang lebih 35 hektar terdiri dari
akomodasi terbatas, perkebunan karet rakyat dan kebun-kebun lainnya memiliki kekuatan untuk
dikembangkan sebagai kawasan wisata agro. Lokasinya yang relatif datar pun menjadi daya tarik
sendiri. Potensi wisata yang dapat dikembangkan adalah wisata agro dan juga pemandian air panas Sei
Glugur.
Pembuatan jalur wisata dan jalur interpretasi merupakan salah satu prioritas pengembangan.
Untuk mengembangkan jalur-jalur wisata agro di kawasan perkebunan rakyat tentunya harus
berdasarkan hasil kesepakatan bersama. Salah satu kesepakatan yang perlu dihasilkan adalah mengenai
kepemilikan tanah. Sangat diharapkan bahwa di kawasan ini tidak ada lagi penjualan tanah milik
masyarakat lokal kepada masyarakat pendatang. Alternatif yang diberikan adalah penyewaan lahan,
sehingga masyarakat tetap memiliki lahan tersebut sekaligus mendapatkan pendapatan dari uang sewa.
Sarana dan prasarana yang terbatas ditempatkan pada kawasan ini, diutamakan adalah
akomodasi di sepanjang Sungai Buluh. Dalam pengembagannya pembatasan jumlah bangunan menjadi
sangat penting dalam upaya untuk memberikan keuntungan lebih kepada masyarakat. Jumlah
akomodasi dalam kawasan ini tidak melebihi tujuh puluh kamar atau dengan total 140 tempat tidur.
Peningkatan jumlahnya pun harus dilakukan secara bertahap dan kemudian melakukan pemantauan
pada jumlah lima puluh kamar, terutama dampak yang diakibatkan dari besarnya jumlah pengunjung
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
pada kawasan ekstensif. Jika dalam perkembangannya pasar melebihi kapasitas akomodasi, maka
pembangunan akomodasi harus diarahkan pada dua lokasi, yaitu : lokasi desa Kuala Gemoh Lama,
dengan memperbaiki dan memodifikasi rumah tradisional serta lokasi rekreasi Pulau Tujuh. Hal ini
berguna untuk mengurangi tekanan dan sekaligus menyebarkan keuntungan ke tengah-tengah
masyarakat sehingga memberikan keuntungan lebih banyak pada masyarakat. Penambahan sarana dan
prasarana tidak disarankan dilakukan pada lahan di sepanjang Sungai Batang Serangan, yang dimiliki
masyarakat. Kawasan ini sebaiknya tetap dibiarkan alami dan menjadi pusat kawasan pertanian sebagai
pasokan sayur-mayur bagi pemilik akomodasi dan rumah makan.
Selain itu dalam pembangunan sarana dan prasana perlu adanya kesepakatan para pihak tentang
:
- bentuk bangunan
- rancangan sistem pengelolaan limbah
- rancangan sistem pengelolaan
- rancangan sistem energi
- rancangan sarana aksesibilitas
Peningkatan sumberdaya manusia untuk pengadaanakomodasi dan wisata agro pada zona semi
intensif sangat diperlukan, terutama mengenai tingkat pelayanan pada akomodasi dan rumah makan.
Sementara tenaga pemanduan bagi wisata agro dapat menjadi prioritas yang berikutnya.
Kawasan zona ekstensif primer adalah kawasan di dalam TNGL dan menjadi pusat daya tarik
ekowisata dengan luas kawasan kurang lebih 18 hektar. Ekowisata berbasiskan pendidikan diterapkan
pada kawasan ini, melalui pembuatan jalur-jalur interpretasi. Pembuatan jalur-jalur interpretasi adalah
prioritas, termasuk di dalamnya menentukan titik-titik hal-hal menarik, jalur jelajah hutan berdasarkan
tema-tema tertentu, seperti tanaman obat, pengamatan burung dan sebagainya. Juga mendesain sarana
yang dibutuhkan, seperti tempat peristirahatan, tempat pengamatan serta membuat buku panduan dan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
interpretasi dalam kawasan yang memanfaatkan informasi biologi kawasan maupun pengetahuan
tradisional masyarakat tentang hutan. Jalur jalan setapak minimal selebar satu meter dan harus dibuat
relatif mudah dan dapat dilalui oleh wisatawan dari berbagai umur (mulai 10 tahun hingga 60 tahun).
Kawasan ini haruslah memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengunjung, karena jalur intepretasi ini
bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pengunjung tentang pentingnya melesterikan
sumberdaya alam, khususnya hutan. Jalur ini hanya dikhususkan maksimum berjalan 4 jam dalam satu
hari dengan medan yang relatif mudah.
Fasilitas yang dikembangkan di kawasan ini hanyalah tanda-tanda petunjuk, tempat
pengamatan dan tempat istirahat yang bermanfaat untuk pembelajaran selama dalam hutan dan papan
interpretasi serta perkemahan terbatas. Perkemahan terbatas yang dimaksud adalah lahan perkemahan
dengan fasilitas MCK, dapau (alami), blok-blok perkemahan dengan titik-titik api unggun yang telah di
tentukan dan hanya diperuntukkan bagi kurang lebih sepuluh tenda.
Perlu peningkatan sumberdaya manusia terutama dalam hal pemanduan dan interpretasi aerta
monitoring kawasan. Setiap pengunjung dalam kawasan ini perlu ditemani oleh pemandu. Setiap
pemandu maksimum hanya memandu sebanyak enam pengunjung. Hal ini didasarkan pada upaya untuk
melibatkan pengunjung lebih aktif dan dapat efektif menerima pesan yang disampaikan interpreter.
Selain itu pula untuk menjaga keamanan para pengunjung sendiri, karena satu pemandu hanya
berkemampuan melakukan koordinasi dengan sebanyak lima sampai enam orang dalam satu perjalanan
di dalam hutan. Pemandu/interpreter perlu dilengkapi dengan alat komunikasi dan pemandu harus
terlatih dan memahami ceritera dan daya tarik pada setiap jalur. Pelibatan TNGL dalam pengelolaan
kasawan ini menjadi cukup penting, terutama di dalam mengarahkan pembangunan sarana fisik, serta
melakukan monitoring dampak yang diakibatkan pengunjung.
Potensi Zona Ekstensif Sekunder adalah kawasan di dalam Taman Nasional Gunung Leuser
dengan luas kurang lebih 22 hektar. Pesona hutan tropis dengan flora dan faunanya menjadi
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
sumberdaya bagi pengembangan jalur-jalur petualangan di dalam hutan. Kawasan ini direncanakan
menjadi kawasan petualangan dan pangamatan satwa liar. Oleh karena itu perlu untuk dibuatkan jalur-
jalur trekking, beserta dengan peta jalur dalam kawasan yang akurat. Disamping itu perlu petunjuk jalur
pada setiap persimpangan. Zona ini hanya dikembangkan dengan sarana dan prasarana sebatas
penyediaan jalur jalan setapak, papan informasi, dan lokasi peristirahatan. Zona ini akan meliputi
kawasan dengan jarak tempuh maksimal hingga enam sampai tujuh jam perjalanan dalam satu hari.
Daya tarik yang termasuk dalam kawasan ini adalah air terjun, sumber air panas dan goa-goa.
Kebutuhan akan sumberdaya manusia harus sejalan dengan pengembangan produk, yaitu
kebutuhan akan pemandu yang memiliki pengetahuan dalam interpretasi. Pengetahuan P3K dan search
and rescue, mereka diharapkan minimal menguasai pengetahuan umum mengenai apa dan bagaimana
perjalan di hutan tropis serta cara hidup di alam bebas. Pemandu perlu dibekali dengan alat komunikasi
dan selalu melakukan kontak dengan Pusat pengunjung serta disiapkan dengan peralatan yang
memadai.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ekowisata di zona ekstensif sekunder ini
adalah kerja sama dengan TNGL, terutama dalam masalah pengembangan sarana dan prasarana serta
kepemanduan. Harus ada kesepakatan bersama mengenai fasilitas yang akan dibangun oleh TNGL di
kawasan. Disamping itu pengembangan kawasan pun harus dapat meningkatan sumberdaya manusia di
TNGL (bukan hanya peningkatan di tingkat masyarakat setempat). Kesepakatan bersama juga harus
mengenai program-program apa saja yang akan dikembangkan baik yang menyangkut pelatihan
maupun sarana dan prasarana.
Salah satu prioritas di kawasan ini adalah TNGL melakukan monitoring agar dampak kegiatan
pada kawasan yang akan digunakan sebagai core dari produk ekowisata ini dapat diminimalkan. Selain
itu Taman Nasional juga diharapakan melakukan upaya perubahan status di kawasan Tangkahan
menjadi zona pemanfaatan menjadi lebih cepat.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Fasilitas kawasan yang akan disediakan guna mendukung terwujudnya Kawasan Wisata
Tangkahan yang nyaman bagi pengunjung, adalah sebagai berikut :
a. Gerbang Kawasan
b. Pusat Informasi dan Administrasi Kawasan Wisata Tangkahan
a. Fasilitas Akomodasi
b. Pasar Souvenir
c. Restoran dan warung kopi
d. Poliklinik
e. Musholla
f. Dermaga Tubing
g. Kantor Pengelola Utilitas Kawasan
h. Toilet Umum
i. Terminal Kenderaan umum dan pribadi.
5.4 Ekowisata Berbasis Komunitas
Perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas dikawasan Tangkahan seharusnya
mampu memberikan nuansa baru bagi upaya pencerahan kehidupan masyarakat setempat ke depan.
Oleh karena itu pngembangan industri pariwisata yang direncanakan haruslah merupakan sarana
penciptaan lapangan kerja dan mampu melahirkan pemerataan pendapatan secara struktural. Wacana ini
memberi pengertian bahwa perluasan lapangan kerja dapat dilakukan melalui pembangunan
infrastruktur kepariwisataan, terutama bila pembangunan tersebut berbasis pada pola pengegembangan
ekonomi masyarakat.
Kerterlibatan masyarakat di sekitar kawasan akan turut memberikan pencerahan usaha bagi
setiap aktivitas produksi yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga nilai tambah ekonomi dapat
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
dirasakan langsung dan momentum tersebut dapat memberdayakan masyarakat secara nyata. Partisipasi
masyarakat dalam setiap usaha pembangunan infrastruktur kepariwisataan merupakan pula upaya untuk
menyadarkan masyarakat akan perlunya kawasan kepariwisataan bagi pengembangan usaha dan
aktivitas mereka, yang pada gilirannya akan menciptakan pemerataan pendapatan yang berdampak
kepada tumbuhnya rasa memiliki (sense of belonging) terhadap kawasan maupun objek wisata yang
terdapat di wilayahnya.
Pembangunan infrastruktur kepariwisataan di suatu sisi harus pula mampu memberikan
prioritas pada pemanfaatan sumber-sumber lokal khususnya yang dimiliki oleh masyarakat, meskipun
pembangunan infrastruktur kepariwisataan yang dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat
akan mengakibatkan biaya produksi lebih mahal. Namun di sisi lain aktivitas kebersamaan ini memiliki
tingkat sosialisasi yang tinggi karena memanfaatkan berbagai potensi masyarakat setempat, sehingga
masyarakat turut dilibatkan. Di samping itu pemanfaatan sumber-sumber lokal yang dimiliki oleh
masyarakat akan memberikan keuntungan ganda, yakni melahirkan nuansa dan tema kepariwisataan
yang sejalan dengan tuntutan perubahan dunia kepariwisataan -- exoti tourism -- ,dan di sisi lain dapat
pula meningkatkan harkat dan martabat masyarakat lokal selaku pemilik adat, budaya dan kehidupan
sosial yang unik dan langka, serta mempunyai nilai jual yang tinggi.
Dalam konteks kualitas sumberdaya manusia sebagai pelaku utama pengembangan
kepariwisataan merupakan pula salah satu aspek penting yang harus diperhatikan. Ada tiga komponen
utama dalam pengelolaan manajemen kepariwisataan, yakni unsur pemerintah, swasta dan masyarakat.
Oleh karena itu kepada ketiga komponen ini perlu diberikan pelatihan-pelatihan yang mengarah kepada
peningkatan kapasitas maupun skil dalam rangka pengelolaan manajemen kepariwisataan tersebut.
Implikasi dari pendidikan ataupun pelatihan ini diharapkan meningkatkan kemampuan dan skil pelaku
utama dalam mengelola dan mengembangkan kepariwisataan terutama di daerah, dan juga
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
meningkatkan kesempatan masyarakat lokal untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pengelolaan
manajemen kepariwisataan di daerahnya bertempat.
Pengelolaan program pendidikan ataupun pelatihan ini seharusnya ditangani oleh suatu
lembaga pelatihan yang berada di dalam instansi daerah atau sektoral yang terkait dengan
kepariwisataan. Pelatihan juga merupakan salah satu upaya memberdayakan masyarakat lokal untuk
terlibat aktif. Oleh karena itu kepada masyarakat Tangkahan harus diberi peluang seluas-luasnya
mempersiapkan diri menjadi pemandu wisata yang handal melalui program pelatihan yang difokuskan
untuk membentuk tenaga-tenaga pramuwisata yang mempunyai pengetahuan dan skil dalam memandu
kegiatan atraksi wisata pada semua zona yang ditetapkan.
Pelatihan yang disarankan ini sebenarnya bukan hanya ditujukan bagi lembaga pariwisata
Tangkahan sebagai representasi masyarakat Tangkahan, tapi juga perlu untuk staf lapangan TNGL
maupun bagi staf Dinas Kepariwisataan Kabupaten Langkat. Beberapa bentuk pelatihan yang perlu bagi
peningkatan pengetahuan dan ketrampilan yang dimaksud adalah :
a. persepsi dan wawasan mengenai ekowisata,
b. bentuk-bentuk pengelolaan kawasan yang berkelanjutan,
c. peningkatan kemampuan dalam pemanduan dan interpretasi,
d. peningkatan pengetahuan dalam pelayanan jasa pariwisata,
e. peningkatan kemampuan dalam P3K dan SAR serta keamanan secara menyeluruh, dan
f. peningkatan kemampuan berbahasa asing.
Dalam konteks perencanaan pengembangan ekowisata produk-produk kegiatan wisata dilakukan
kawasan wisata Tangkahan dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk, yakni pengembangan kegiatan
wisata alam dan wisata budaya.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Kedua bentuk paket ini lebih lagi ditekankan pada pola pengembangan usaha yang berbasis
pada potensi ekologi dan budaya yang nantinya diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomi bagi
masyarakat, konservasi sumberdaya alam dan lingkungan sekaligus konservasi terhadap budaya lokal.
5.4.1 Paket / Produk Wisata
Dalam rangka perencanaan pengembangan kawasan Tangkahan sebagai daerah tujuan
ekowisata maka melalui bebrapa diskusi yang telah di lakukan dengan masyarakat setempat terutama
dengan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) dan Tangkahan Simalem Ranjer ditetapkan beberapa hal
seperti pengidentifikasian potensi pariwisata, jumlah dan kegiatan wisata yang di inginkan, penetapan
tata ruang pariwisata serta bentuk / model pengelolaan dengan prinsip kemitraan.
Dirinci juga beberapa bentuk pelibatan yang dapat dilakukan dalam konteks pengembangan
produkwisata sebagai salah satu upaya peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat secara langsung.
Beberapa produk wisata yang akan ditawarkan adalah sebagai berikut :
a. Wisata Pendidikan Konservasi
Wisata pendidikan koservasi bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian
pengunjung maupun masyarakat terhadap pentingnya konservasi hutan beserta ekosistemnya.
Perencanaan produk wisata ini dilakukan dalam kawasan Taman Nasional yang berupa hutan hujan
dataran rendah.
Fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan ini adalah jalur-jalur jalan setapak pada kawasan dengan
area tertentu, dengan menyediakan interpretasi berdasarkan tematik tentang hutan (fungsi dan
peranannya), fungsi Taman Nasional, serta persepsi masyarakat tentang pemanfaatan hutan.
Produk ini akan memberikan nilai tambah bagi upaya konservasi Taman Nasional, khususnya
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pengunjung.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
b. Paket Wisata Jalan Kaki dan Bersepeda
Paket jalan kaki dan bersepeda ini sebenarnya merupakan salah satu paket yang cukup diminati
oleh para wisatawan.
Paket wisata jalan kaki ini dapat pula dilakukan melalui dua bentuk, yakni jalan kaki santai (fun
trekking) dan jalan kaki petualangan (adventure trekking). Jalan kaki santai merupakan kegiatan jalan
santai melintasi jalur-jalur di sekitar kawasan pertanian dan perkampungan penduduk. Sambil
menghirup udara segar dan mendengarkan suara satwa dari dalam dan sekitar hutan, serta gemericik
dan benturan air ke batu dan tebing di sungai, wisatawan juga dapat menikmati keindahan panorama
persawahan dan perkebunan, serta menyaksikan secara langsung berbagai aktifitas bercocok tanam dan
tradisi kehidupan masyarakat setempat.
Kondisi medan untuk kegiatan ini haruslah relatif ringan, sehingga paket wisata ini sangat
memungkinkan untuk diikuti oleh kaum wisata, anak-anak ataupun orang lanjut usia. Kegiatan ini
nantinya dipandu oleh beberapa pemandu wisata lokal yang dianggap mewakili pengetahuan dan
keterampilan yang memadai. Semantara paket wisata adventure trekking lebih diperntukkan bagi
wisatawan yang menyukai kegiatan petualangan. Hal ini disebabkan kondisi medan yang dilalui
memang harus memiliki sejumlah tantangan dan rintangan yang bervariasi, seperti menyusuri
pematang-pematang sawah, menyeberangi sungai, memanjat dan menuruni tebing. Khusus untuk
pelaksanaan kegiatan ini diperlukan tenaga pemandu lokal dan sejumlah peralatan keselamatan.
Paket wisata bersepeda pada dasarnya merupakan kombinasi dari kegiatan olah raga dan
rekreasi. Para wisatawan diajak berkeliling mengenderai sepeda dan ditemani oleh tenaga pemandu.
Lokasi kegiatan ini juga meliputi kawasan persawahan, perkebunan, dan perkampungan penduduk yang
dapat dijangkau dengan mengenderai sepeda. Melalui kegiatan ini wisatawan dapat merasakan
nikmatnya bersepeda sambil menikmati suasana alam dan panorama pemandangan sekitar.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Jenis-jenis paket wisata ini memberikan peluang berperan serta yang lebih besar kepada
masyarakat setempat dibanding dengan paket wisata lainnya, karena pelaksanaannya relatif lebih aman,
dan murah. Selain tidak menuntut fasilitas dan keterampilan secara khusus, pada umumnya infrastruktur
yang digunakan dalam rangka paket ini merupakan infrastruktur alamiah yang telah tersedia dan
merupakan bagian integral darikehidupan masyarakat setempat. Kecuali untuk paket bersepeda, maka
peran serta masyarakat harus ditambah untuk dapat menyediakan fasilitas sepeda gunung.
Dengan mengacu kepada konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, maka paket wisata ini
harus dikelola dengan melibatkan masyarakat setempat. Memang dalam pelaksanaannya nanti
diperlukan adanya perjanjian kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak pengusaha agen
perjalanan wisata dengan masyarakat setempat. Adapun bentuk-bentuk keterlibatan masyarakat dalam
pengelolaan paket wisata jalan kaki dan bersepeda ini adalah : penataan dan pemeliharaan infrastruktur,
penyajian atraksi budaya, penyediaan jasa pemandu wisata, penyediaan konsumsi dan cendera mata.
Dengan demikian paket-paket wisata ini tidak saja memberikan keuntungan ekonomi kepada
para pengusaha agar perjalanan wisata, tetapi juga memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat
setempat sesuai dengan peran yang diberikannya. Disamping manfaat ekonomi, jenis paket wisata ini
relatif ramah lingkungan.
c. Wisata Petualangan dan Pengamatan Satwa Liar
Wisata Petualangan dan Pengamatan Satwa Liar bertujuan untuk menanmbah pengalaman
menjelajah hutan hujan tropis dataran rendah dan meningkatkan pengetahuan mengenai jenis-jenis
satwa yang terdapat di Taman Nasional perjalan dalam hutan akan dilakukan dengan memanfaatkan
jalur-jalur jalan setapak dan diharapkan para wisatawan akan dapat mengamati hidup liar dari menara
pengamatan yang dipersiapkan. Paket wisata ini tentunya ditawarkan bagi wisatawan yang memiliki
standar kesehatan dan stamina yang baik, karena direncanakan pula wisata petualangan ini pada
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
perjalan akhirnya menawarkan kegiatan menyusuri goa-goa dan tubing. Kegiatan ini juga mesti
dilakukan di bawah panduan tenaga terlatih dan diikuti oleh kelompok terbatas.
d. Wisata Agro
Wisata agro akan dikembangkan dengan merencanakan kunjungan ke berbagai areal perkebunan
tanaman keras dan kebun buah milik masyarakat. Kegiatan ini akan memberikan pengalaman serta
menambah wawasan dan pengetahuan wisatawan dalam hal kebiasaan berkebun dan bertani oleh
masyarakat. Jalur-jalur interpretasi wisata agro harus dibangun dan disaipkan untuk mampu
menawarkan perjalanan melalui berbagai areal kebun masyarakat sekligus utnuk biasa mendapat
pengalaman langsung sebagai pemanen hasil perkebunan/pertanian seperti menyadap karet, memetik
jeruk, memanen sayuran dan tanaman kebutuhan sehari-hari lainnya. Kegiatan ini ditawarkan dengan
cara berjalan kaki atau bersepeda menyusuri areal-areal yang telah ditentukan.
e. Wisata Tirta
Wisata tirta tentu saja diartikan sebagai wisata yang dikaitkan dengan air. Sebagaimana diketahui,
kawasan ekowisata Tangkahan sangat kaya dengan bentuk wisata tirta karena Tangkahan memang
memiliki sungai-sungai yang mengalir jernih, pantai, air terjun, maupun sumber air panas yang
memiliki peluang besar untuk dikembangkan dengan baik.
Wisata sunagi dengan pantainya khususnya pada zona intensif memang lebih menawarkan unsur
rekreasi, sehingga tidak berlebihan kalau target utamanya adalah masyarakat umum secara masal,
karena sebagaimana diketahui wisata pemandian ini merupakan produk wisata yang telah lama
berkembang di kawasan Tangkahan.
Berdasarkan potensi kawasawan Tangkahan yang kaya dengan sumberdaya alam air, maka beberapa
kegiatan yang jelas dapat ditawarkan adalah berenang dan menyusuri sungai dengan ban karet (tubing),
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
rafting dan kakayak. Disamping itu pengembangan objek wisata air masih bisa diperluas lagi dengan
mengunjungi lokasi-lokasi air terjun, goa-goa serta sumber air panas yang bermanfaat bagi
penyembuhan penyakit
f. Berkemah
Pada areal zona insentif sebenarnya sudah disediakan kegiatan bagi pengunjung yang ingin melakukan
kegiatan perkemahan dengan jumlah yang besar (perkemahan masal). Kegiatan berkemah pada zona
insentif ini akan diarahkan pada kegiatan berkemah ramah lingkungan dengan memperhatikan nilai-
nilai kebersiha, pelestarian kawasan dan juga sistem reservas, sehinggan pengunjung atau wisatawan
makin meningkat kesadarannya dan berperan aktif melestarikan lingkungan alam.
Selain perkemahan masal pada zona insentif, paket perkemahan lainnya juga dilakukan di dalam
kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, namun dalam bentuk yang terbatas. Kegiatan perkemahan
terbatas ini menawarkan kehidupan di alam bebas namun tetap dengan prinsip ramah lingkungan
sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap flora dan fauna di dalam kawasan hutan lindung
Taman Nasional.
g. Wisata Budaya
Wisata budaya merupakan pula kegiatan konservasi bagi keberlanjutan budaya masyarakat setempat
disamping kemungkinan untuk pengembangannya. Wisata budaya direncanakan ditawarkan dalam
bentuk kunjungan ke perkampungan penduduk yang mayoritas bersuku Karo. Kunjungan ke
perkampungan penduduk ini merupakan upaya untuk memperkenalkan model perumahan dengan
bentuk arsitektur tradisonalnya, memperkenalkan cara hidup dan adat-istiadat masyarakat Karo, yang
salah satu terkenal dengan kebiasaan pengobatan tradisonalnya.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pada paket ini akan diupaya untuk memperkenalkan pengembangan cara pengobatan dan perawatan diri
melalui pemanfaatan rempah-rempah (tanaman setempat) sebagai bagian dari kebiasaan turun-temurun
yang merupakan sebagaian dari kearifan buadaya bangsa yang sangat kaya, sehingga wisatawan dapat
melihat dan merasakan keterkaitan yang sangat erat antara alam dengan tumbuh-tumbuhannya dan
dukungannya terhadap kesehatana dan kebugaran fisik manusia.
Selain itu pada paket wisata budaya ini juga perlu direncanakan pembuatan dan penjualan barang-
barang souvenir atau makana khas masyarakat setempat yang mampu menunjukkan identitas
budayanya. Pakat penjualan barang-barang ini dirasa perlu untuk dikemas dengan terencana, mengingat
buruknya persepsi wisatawan terhadap produk-produk souvenir khususnya yang beridentitas etnik
Sumatera Utara selama ini. Laopran penelitian (Nasution, 2005) juga menyatakan bahwa pengamatan di
kancah menunjukkan bahwa banyaka cendera mata yang dijual sebagian besar sebenarnya tidak
merepresentasikan keunikan dan kekhasan lokal. Diluar cendera mata berupa kerajinan ukiran dan kain
tenun lokal, sebagian besar souvenir merupakan produk luar dan lebih banyak berbentuk pakaian (kaus
oblong), sandal, topi, tas, dompet dan sejenisnya.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 19 : Keindahan Sumberdaya Alam Tangkahan
5.4.2 Pemberdayaan / Pelibatan Masyarakat
Keikutsertaan masyarakat sekitar kawasan ekowisata dapat berbentuk usaha dagang atau
poelayanan jasa baik di dalam maupun di luar kawasan objek wisata, antara lain:
- penyediaan jasa penginapan atau homestay,
- penyediaan atau usaha warung makanan dan minuman,
- penyediaan toko sovenir / cendra mata yang bercurihas budaya setempat,
- penyediaan jasa pemandu / penunjuk jalan,
- penyedian jasa photografi
- menjadi karyawan perusaaan / pengusahaan ekowisata
- pelaku kesenian tradisional / seni pertunjukan
- pengamanan kawasan,
- ketertiban dan kebersihan kawasan
- pengembangan usaha transportasi baik yang berbentuk tradisional maupun konvesional.
5.4.3 Bentuk Pengelolaan dan Penegmbangan Fasilitas Penunjang
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Berdasarkan pengalaman-pengalaman pengelolaan kawasan pariwisata selama ini, maka dalam
pengelolaan kawasan Tangkahan sebagai kawasan ekowisata disepakati suatu usaha pengembangan
yang dikelola secara bersama-sama antara pihak-pihak yang terkait. Meskipun dikenal beberapa konsep
pengelolaan pengembangan suatu kawasan, perlu diingat bahwa khusus di kawasan Tangkahan sudah
sejak lama eksis suatu komunitas masyarakat setempat yang tergabung dalam Lembaga Pariwisata
Tangkahan (LPT) yang selama ini diketahui sangat dominan mengelola dan menjaga kawasan tersebut.
Memang disisi lain akan terdapat beberapa aspek kelemahan yang segera perlu dibenahi ditingkatkan,
seperti kualitas sumberdaya manusia, sarana dan prasarana kawasan, pengembangan sistem manajemen,
maupun kemampuan evaluasi dan monitoring dampak
Kawasan tangkahan diupayakan dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata yang dikelola
bersama (co-management) antara pihak-pihak yang terkait, seperti LPT sebagai wakil masyarakat,
lembaga pemerintahan tingkat desa, TNGL, PTPN II, YLI, Dinas Pariwisata Langkat, maupun biro
perjalanan ditingkat kabupaten.
Sementara untuk pengembangan fasilitas penunjang dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Pengembangan akomodasi wisata dengan memanfaatkan rumah-rumah pemukiman penduduk
setempat, dengan meningkatkan kualitas, penampilan (arsitektur, gaya) serta sarana dan prasarana yang
dibutuhkan sesuai dengan standarisasi perakomodasian. Pengembangan ini didasarkan atas pemikiran :
a. Pelestarian lingkungan dengan mengurangi daerah-daerah yang terbangun
b. Efisiensi biaya pengembangan
c. Memberdaya masyarakat setempat
d. Meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat
e. Menjaga kelestaraian lingkungan pemukiman
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
2. Pengembangan akomodasi wisata yang ditempatkan pada masing-masing zonasi dengan tetap
mempertimbangkan tata nilai, sosial budaya dan kelestarian lingkungan
3. Pengembangan akomodasi yang dikonsentrasikan pada suatu lokasi tertentu yang dianggap sangat
strategis.
Pengembangan dengan model ini memang membutuhkan investasi yang relatif besar, memerlukan
lahan baru, namun lebih mudah dalam menyediakan sarana dan prasarana karena terkonsentrasi pada
satu kawasan serta memungkinkan akulturasi budaya lebih kecil/rendah.
4. Pengembangan kampung/desa dan perumahan penduduk.
Pengembangan kawasan Tangkahan diharapkan akan menjadi daerah industri ekowisata yang maju
dengan pesat, oleh karena itu diperhitungkan bahwa perkembangan penduduk lokal maupun penduduk
pendatang di kawasan wisata Tangkahan akan semakin kompleks. Berdasarkan pengamatan tersebut
besar kemungkinan perkampungan pemukiman penduduk sebaiknya dipersiapkan sebagai
kampung/desa wisata sebagai bagian dari paket wisata lingkungan. Oleh karena itu perlu direncanakan
dengan baik konsep pengembangan desa wisata di kawasan ekowisata Tangkahan sebagai berikut:
a. Pemanfaatan konsep desa tradisional dengan keunikan/kekhasan identitas etnik Karo
b. Pemanfaatan konsep rancang bangun rumah penduduk melalui adaptasi konstruksi bangunan
tradisional etnik Karo, dan didasari dengan prinsip-prinsip rumah sehat dan ramah lingkungan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
BAB VI
PENUTUP
6.1 SIMPULAN
a. Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif yang mencakup perjalanan ke daerah alami
yang masih belum cemar dengan tujuan khusus hendak mempelajari, mengagumi dan menikmati
pemandangan alam dengan flora dan faunanya serta hidupan liarnya.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
b. Pengembangan kawasan Tangkahan Kabupaten Langkat sebagai objek ekowisata sangat beralasan
mengiingat kawasan Tangkahan sebagai bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang sebagain
wilayahnya masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) memiliki sumberdaya
alam, sumberdaya budaya, sumberdaya lingkungan dan sumberdaya manusia yang sangat potensial
sebagai modal pengembangannya. Pengembangan ekowisata di kawasan Tangkahan perlu direncanakan
dengan secermat-cermatnya mengingat multiplier effect ekonomi yang ditimbulkannya sangat
signifikan untuk memantapkan sumbangan ekonominya pada pendapatan daerah dan peningkatan
pendapatan masyarakat, maupun sebagai sarana promosi daerah di kancah kepariwisataan nasional dan
bahkan internasional (global tourism).
c. Pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan perlu direncanakan dengan
pendekatan Pengembangan Kepariwisataan Berbasis Komunitas (Tourism Based Community
Development) karena konsep yang mengedepankan pelibatan masyarakat ini bertumpu pada
pengelolaan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan (ecological sustainability), berkelanjutan secara
sosial budaya (social and cultural sustainability) dan berkelanjutan secara ekonomi (economic
sustainability) yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan generasi saat ini tanpa merugikan generasi
yang akan datang
d. Perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan harus pula
dilakukan berdasarkan daya dukung kawasan sesuai dengan pembagian zonasi kawasan. Hal ini
dilakukan karena zonasi kawasan merupakan aspek manajemen kawasan yang berhubungan dengan
kepekaan suatu kawasan, objek dan atraksi wisata serta tingkat kunjungan maksimal yang disarankan.
Pembagian zonasi dihasilkan melalui proses perencanaan yang partisipatif bersama masyarakat sesuai
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
dengan kebutuhan dan persepsi ditingkat masyarakat. Adapaun penetapan zonasi kawasan adalah
Zonasi Intensif, Zonasi Semi Intensif, Zonasi Ekstensif Primer dan Zonasi Ekstensif Sekunder.
e. Pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan direncanakan mampu
menawarkan produk/kegiatan wisata yang dikategorikan ke dalam dua bentuk yakni wisata alam dan
wisata budaya, seperti : wisata pendidikan/konservasi, wisata jalan kaki dan bersepeda, wisata
petualangan dan pengamatan satwa liar, wisata agro, wisata tirta, berkemah, wisata budaya, pembuatan
dan penjualan souvenir berciri khas setempat, pengobatan tradisional, maupun memperkenalkan cara
hidup dan adat-istiadat masyarakat setempat
f. pengembangan fasilitas penunjang diharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat
setempat sebagai bagian dari proses pemberdayaan masyarakat agar perencanaan pengembangan
ekowisata berbasis komunitas yang dimulai dari inisiatif masyarakat setempat akhirnya memberi
keuntungan bagi peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakatnya, yang konsisten menjaga,
memelihara dan melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan, sumberdaya budaya serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
6. 2 SARAN
a. Berkaitan dengan perubahan persepsi wisatawan yang semakin meningkat kepada kegiatan
ekowisata, maka pihak pemerintah Kabupaten seyogiyanya dapat melakukan antisipasi sedini mungkin
terhadap upaya pemberdayaan masyarakat lokal bagi pengembangan kawasan Tangkahan sebagai objek
ekowisata. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten diharapkan melakukan pembinaan secara serius
terhadap masyarakat lokal yang selama ini diketahui telah melakukan inisiatif menjaga dan mengolah
kawasan serta melestarikan Kawasan Hijau Tangkahan sebagai bagian dari Kawasan Ekonomi Leuser,
sehingga pada saatnya nanti masyarakat dapat memberikan konstribusi yang besar dalam pembangunan
kepariwisataan daerah.
b. Pemerintahan Kabupaten diharapkan memberi kesempatan dan kepercayaan yang seluas-luasnya
kepada masyarakat lokal dalam setiap proses perencanaan dan pelaksanaan sampai pada tahap
pengawasan dan evaluasi, terutama dalam hal pemerataan hasil untuk setiap komponen yang terlibat di
seluruh kawasan pengembangan. Oleh karena itu Dinas Kebudayaan dan Pariwisat harus siap berperan
sebagai fasilitator, katalisator dan pembina dalam upaya pengembangan kawasan Tangkahan sebagai
objek ekowisata yang dapat diandalkan untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara.
c. Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata diharapkan melakukan
inisiatif upaya peningkatan sumberdaya manusia di tingkat lokal dalam hal pemahaman, persepsi,
wawasan dan pengetahuan mengenai ekowisata. Disamping itu pengetahuan tentang upaya-upaya
pengelolaan kawasan dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan merupkan pula upaya
penyadaran bagi masyarakat setempat untuk bertindak lebih arif dan bijaksana dalam setiap aktifitas
kepariwisataan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
d. Pemerintahan kabupaten bersama BAPPEDA dan badan Legislatif sudah saatnya mengagendakan
Perencanaan Pengembangan Kawasan Tangkahan sebagai objek ekowisata dalam bentuk Rencana
Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) maupun dalam bentuk Rencana Strategis Daerah
Kabupaten Langkat, agar pada saat yang tepat nanti kawasan ekowisata Tangkahan Kabupaten Langkat
dapat menjadi daerah tujuan ekowisata yang handal dan sohor.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008