22
Abstract Since the reformation era in 1999, idealism of clean governance and authority likely has wide change reflecting in wish to figth againts corruption, collusion, and nepotism (KKN), Unfortunately, after it run well . In order hand, people are waiting for it, because th people need the fair, swift, and clean government service. This research focuses on this phenomenon taking place at the section of Building Estasblisment permit (IMB), Public Work Agency, and Section of Company Registration permit Lisence (SIUP) and Section of Company Registration Certificate (TDP) of trade and Industriy Agency of Bekasi Regency. How far is service quality of government apparatus to the community that reguests such permits. The design of research is descriptive by using qualitative approach methods of which the data and information are collected from various sources such as informant (key and turn) supportes by library data, and documents in accordance with the setting and field of research. The instrument for collecting information is the research by using procedures of data collecting consisting of observation, interview, document, photo, audio visual and library research, then it processed, tested on the validity by using triangulation technique and interpretation. Keyword : Clean Governance, Corruption, Collusion, Nepotism and Authority PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL Alim Bathoro 1 A. Latar Belakang Di Indonesia dalam masa Orde Baru (Orba), secara umum proses pelayanan civil mengalami distorsi yang cukup kuat, sehingga dengan demikian boleh jadi masyarakat merasa tidak terlayani secara optimal. Buruknya layanan civil ini boleh jadi karena kuatnya paradigma politik trilogi pembangunan, yang salah satunya ingin mewujudkan stabilitas nasional yang tinggi. Stabilitas itu dijabarkan oleh Orba yang dimaknai oleh kontrol politik yang kuat, agar pembangunan tidak terganggu. Salah satu contoh adalah konsep massa mengambang, dan 5 paket UU politik tahun 1 Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji.

PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

Abstract

Since the reformation era in 1999, idealism of clean governance andauthority likely has wide change reflecting in wish to figth againts corruption,collusion, and nepotism (KKN), Unfortunately, after it run well . In orderhand, people are waiting for it, because th people need the fair, swift, andclean government service. This research focuses on this phenomenontaking place at the section of Building Estasblisment permit (IMB), PublicWork Agency, and Section of Company Registration permit Lisence (SIUP)and Section of Company Registration Certificate (TDP) of trade and IndustriyAgency of Bekasi Regency. How far is service quality of governmentapparatus to the community that reguests such permits.The design of research is descriptive by using qualitative approach methodsof which the data and information are collected from various sources suchas informant (key and turn) supportes by library data, and documents inaccordance with the setting and field of research. The instrument forcollecting information is the research by using procedures of data collectingconsisting of observation, interview, document, photo, audio visual andlibrary research, then it processed, tested on the validity by using triangulationtechnique and interpretation.

Keyword : Clean Governance, Corruption, Collusion, Nepotism and Authority

PERILAKU APARAT DALAMMEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL

Alim Bathoro1

A. Latar BelakangDi Indonesia dalam masa Orde Baru

(Orba), secara umum proses pelayanan civilmengalami distorsi yang cukup kuat, sehinggadengan demikian boleh jadi masyarakatmerasa tidak terlayani secara optimal.Buruknya layanan civil ini boleh jadi karena

kuatnya paradigma politik trilogi pembangunan,yang salah satunya ingin mewujudkan stabilitasnasional yang tinggi. Stabilitas itu dijabarkanoleh Orba yang dimaknai oleh kontrol politikyang kuat, agar pembangunan tidak terganggu.Salah satu contoh adalah konsep massamengambang, dan 5 paket UU politik tahun

1 Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Page 2: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

85, yang telah ‘memperkosa’ hak asasi warganegara.

Selain itu, pemberlakuan izin yang ber-macam-macam jenisnya di tingkat pemerin-tah daerah (pemda) seperti izin prinsip, danizin membangun, disatu sisi pemberian izin iniadalah kebijakan pemda untuk mengatur agardunia usaha atau membangun bangunan ber-jalan selaras dengan kebijakan pemda yanglain. Tapi disisi lain, pemberlakuan izin ini me-nimbulkan adanya ongkos, yang kadangdalam pelaksanaanya terjadi mark up. sehing-ga akhirnya layanan civil yang tadinya beritikadmengatur justru menimbulkan distorsi yaitu,korupsi dan kolusi.

Dalam perkembangan sekarang ini,distorsi seperti itu tidaklah populer, karenakontrol masyarakat cukup kuat, Oleh karenaitu wajar bila tuntutan peningkatan pelayanankepada masyarakat merupakan keniscayaandi depan mata para birokrat, sehinggapelayanan yang memuaskan adalah dambaanmasyarakat. Pelayanan yang memuaskanadalah pelayanan yang. Didukung olehperilaku aparat yang baik. Dengan perilakuaparat yang baik itu berdampak pada kualitaspelayanan yang baik, bertanggungjawab, adil,cepat dan tepat.

Namun, keinginan masyarakat itu tampak-nya bertepuk sebelah tangan, karena dalamdalam penelitian oleh lembaga Political andEconomic Risk Consultancy (PERC) (Kompas,13 Maret 2000) Indonesia terburuk dalambirokrasi di Asia dan tidak mengalami perbaikandibandingkan tahun 1999, padahal sebelum-nya th 1998 dan 1995 Indonesia telah pula di-nobatkan sebagai negara terkorup di Asia olehPERC dan Transparency International (TI).

Riset PERC tersebut memperkuat penda-pat Robert Klitgaard tentang korupsi di ka-langan pegawai negeri, menurut Klitgaard Ko-rupsi justru marak di pemerintah daerah. Le-bih jauh (Klitgaard, 2002:1), mengatakan :

Di berbagai negara di dunia , korupsipaling banyak dijumpai di tingkat lokal,

dalam pemerintah daerah. Sebagai contoh,menurut sebuah penelitian di Jepang,jumlah pegawai pemerintah provinsi tigakali lipat jumlah pegawai pemerintah pusat,tetapi korupsi yang dilaporkan lima belaskali lipat dan, jumlah pejabat yang ditangkapempat kali lipat.Dengan demikian perilaku korupsi adalah

sebuah keniscayaan di Indonesia, sehinggabisa jadi perilaku tersebut juga secara endemikterjadi pula di Kabupaten Bekasi. Yang menarikseperti yang sudah diungkap di awal bab ini,Bekasi adalah salah satu kawasan industri yangdiincar oleh para investor dari dalam dan luarnegeri. Dengan demikian, lumrah bila jumlahperusahaan yang berada di Kabupaten Bekasibesar. Dan, jumlah perusahaan yang terdaftarrelatif banyak atau secara kumulatif hinggaSeptember 2001 berjumlah 6.454.

Hanya saja menurut Lembaga Penyelidi-kan Ekonomi dan Manajemen (LPEM) Uni-versitas Indonesia tahun 1994 (dalam Basyaib,2002:22) ditemukan bahwa “Walaupun peme-rintah sudah menghapus semua biaya untukmemperoleh izin penanaman modal, para in-vestor masih tetap harus membayar Rp 5-30juta setiap izin.” Hasil penelitian LPEM itu tentumenyedihkan karena akibat yang kentaramenurut (Mohammad Ikhsan dalam Basyaib,2002:31) mempengaruhi daya tarik investasidi Indonesia.

B. Metode PenelitianB. 1. Sumber DataSumber data penelitian kualitatif berupa

kata-kata dan tindakan yang diperoleh penelitidari informan (kunci dan guliran), yangdidukung data tambahan seperti dokumententang IMB, TDP, SIUP berupa naskah, datatertulis maupun foto. Sumber data tersebutdikelompokkan sebagai berikut :

B. 1. 1. InformanInforman, yaitu orang-orang yang dapat

diamati serta memberikan data dan informasibaik berupa kata-kata atau tindakan, serta

Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil12

Page 3: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

mengetahui dan memahami berbagai ma-salah yang diteliti. Informan (kunci dan guliran)yang ditunjuk dalam penelitian ini, tapi meng-ingat asas praduga tak bersalah dalam tindakkorupsi maka informan kunci dan guliran han-ya disajikan dengan kode. Hal ini dilakukanagar tugas pokok penelitian ini untuk melihatfenomena korupsi sebagai wacana, bukanmendahuhului proses hukum. Meski demi-kian saya dapat menyajikan informan kuncidan guliran menurut umur, agama, dan pen-didikan

B. 1. 2. KepustakaanKepustakaan, adalah salah satu sumber

mendapatkan data dan informasi yang dibutuh-kan dalam penelitian seperti buku teks, bahanbacaan, koran, literatur, ataupun karya tulis il-miah seperti misalnya tesis, jurnal ilmiah, hasilseminar, laporan penelitian dan lain-lainnya.Kepustakaan yan dimaksudkan adalah bukuyang berkaitan dengan teori dan metode pene-litian guna menunjang penulisan tesis.

B. 1. 3. DokumenDokumen, merupakan sumber data dalam

bentuk arsip, data statistik, serta berbagailaporan-laporan, termasuk berbagai peraturan-peraturan, perundang-undang atau aturan danketentuan serta naskah penting lainnya.Dokumen dapat bersifat resmi dan pribadi.

B. 2. Letak dan Lokasi PenelitianLetak penelitian ini adalah keadaan dima-

na berlangsungnya observasi dan wawancarakepada kelompok masyarakat sebagai infor-man yang sempat diwawancarai setelahmendapatkan pelayanan yang diberikan olehaparat di Kabupaten Bekasi.

Sedangkan lokasi penelitian adalah diKantor Dinas PU seksi IMB, Kantor DinasPerindag seksi SIUP dan TDP KabupatenBekasi. Selain itu dilakukan juga di rumah-rumah informan baik informan kunci danguliran sehingga lebih terbuka.

B. 3. Teknik Pengumpulan danPencatatan Data

B. 3. 1. Teknik Pengumpulan DataPengumpulan data menggunakan teknik

observasi partisipatif dengan wawancara tanpastruktur yang dilakukan kepada beberapakelompok informan tentang perilaku danpelayanan civil oleh aparat pemerintah yangbersangkutan di Kantor Dinas PU dan KantorDinas Perindag.

B. 3. 2. Pencatatan DataPencatatan data dilakukan terhadap

berbagai macam catatan, baik yang berupakata-kata inti, pokok isi pembicaraan danpengamatan langsung di lapangan, yangdilakukan dengan didasari pada adanyaketepatan dan struktur. Ketepatan berartikemampuan peneliti untuk menghasilkan datasetepat-tepatnya. Sedangkan struktur adalahpencatatan data dan informasi yang padamulanya bersifat umum kemudian diarahkanpada hal yang bersifat khusus. Sebagai contohkonkritnya antara lain melakukan pencatatandata secara umum tentang pelayanan IMB,TDP, dan SIUP.

B. 4. Teknik Pengolahan DataPengolahan data dimulai dari seluruh rang-

kaian kegiatan semenjak tahap awal turun kelapangan seperti mengolah data hasil wawan-cara dengan para informan sempai tahapakhirnya, selanjutnya data yang diperoleh mu-lai diolah dengan melakukan penelaahan ter-hadap seluruh data dan iformasi yang didapatdan tersedia dari berbagai sumber (wawan-cara, pengamatan, telaah dokumen, audio vi-sual, alat perekam, dan studi kepustakaan).Kemudian melakukan abstraksi, yaitu mem-buat rangkuman inti, proses, pernyataan yangperlu dijaga, sehingga tetap berada di dalam-nya, dengan kata lain menghaluskan penca-tatan data dan informasi.

B. 5. Teknik Pengujian Keabsahan DataTeknik pengujian keabsahan data memer-

lukan suatu teknik pemeriksaan yang didasar-kan sejumlah kriteria yang derajat kepercayaan

Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32 13

Page 4: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

(credibility), keteralihan (tranferability), keter-gantungan (dependendability), dan kepastian(confirmability). Selanjutnya didukung denganmemanfaatkan sesuatu di luar data untukpengecekan atau pembanding terhadap data(triangulasi) (Moleong, 1999 : 178). Istilahtriangulasi pertama kalinya dipergunakan Den-zin dalam (Creswell, 1994 : 174), bahwa : “Theterm triangulation, a term borrowed from navi-gation and military strategy, to argue for the com-bination of methodologies in the studdy of thesame phenomenon”. Hal tersebut dapat sajadilakukan dengan beberapa jalan yaitu :1. Membandingkan data hasil pengamatan

peneliti dengan data hasil wawancaradengan informan.

2. Membandingkan apa yang dikatakan orangdi depan umum dengan yang dikatakansecara pribadi.

3. Membandingkan apa yang telah dikatakanoleh orang tentang situasi penelitian denganapa yang dikatakan sepanjang waktu atausetiap harinya.

4. Membandingkan keadaan seseorangdengan berbagai pendapat dan pan-dangan dari orang lain seperti rakyat ataumasyarakat biasa, orang berpendidikanmenengah atau tinggi,orang berada, orangpemerintahan.Membandingkan hasil wawancara de-

ngan isi suatu dokumen yang berkaitan.

C. Kerangka TeoriC.1 Tugas Dan Fungsi PemerintahTujuan utama dibentuknya pemerintahan

adalah untuk menjaga seluruh sistem keter-tiban dan keamanan di dalam mana masya-rakat tetap menjalani kehidupan sehari-hari-nya secara wajar. Dengan demikia, keberadaanpemerintahan adalah karena suatu komitmenbersama antara pemerintah dengan pihakyang diperintah (rakyatnya sendiri) dimana ko-mitmen tersebut dapat dipegang apabila rakyatmerasakan bahwa pemerintah memangmelindungi, memberdayakan dan mense-

jahterakannya. Tugas utama pemerintahmenurut (Kaufman dalam Thoha, 1995:101)adalah untuk melayani dan mengatur masya-rakat. Secara umum tugas pokok pemerintahanmencakup unsur pelayanan.

C.1.1. PelayananSelain tugas dan fungsi yang wajib dan

harus dijalankan oleh pemerintah seperti te-lah diuraikan di atas, maka yang perlu kita ke-tahui lagi adalah masalah pelayanan yangternyata dibutuhkan orang semenjak beradadalam kandungan ibunya, hingga akhirnya keliang kubur. Sebelum melangkah lebih jauh,alangkah baiknya mengetahui dan memahamipengertian pelayanan itu sendiri. Berkaitandengan konsep pelayanan, (Ndraha, 2000:59)mengatakan bahwa : “Layanan dapat diartikansebagai produk dan dapat juga diartikan se-bagai cara atau alat yang digunakan oleh pro-vider dalam memasarkan atau mendistribusi-kan produknya”.

Selain itu, terdapat beberapa karakteristikdalam pemberian pelayan yang harus dimilikioleh suatu perusahaan pemberi layanan, se-perti yang diutarakan (Nisjar dalam Sedar-mayanti, 2000:195) antara lain :1. Prosedur pelayanan harus mudah dimeng-

erti dan mudah dilaksanakan, sehinggaterhindar dari prosedur birokratik yangsangat berlebihan, berbelit–belit (timeconsuming).

2. Pelayanan diberikan secara jelas danpasti, sehingga ada suatu kejelasan dankepastian bagi pelanggannya dan mene-rima pelayan tersebut.

3. Pemberian pelayanan senantiasa diusaha-kan agar pelayanan dapat dilaksanakansecara efektif dan efesien.

4. Memberikan pelayanan senantiasa mem-perhatikan kecepatan dan ketetapan waktuyang sudah ditentukan.

5. Pelanggan setiap saat dapat dengan mu-dah memperoleh berbagai informasi yangberkaitan dengan pelayanan secara

Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil14

Page 5: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

terbuka.6. Dalam berbagai kegiatan pelayanan baik

teknis maupun administrasi, pelangganselalu diperlakukan dengan motto :“costumer is king and cutomer is alwaysright”.

C. 1.2. PerilakuSelain pelayanan aparat, maka perilaku

aparat dalam melayani juga tak kalah penting-nya serta berpengaruh dalam upayanya me-ningkatkan tingkat pelayanan yang dibutuhkanmasyarakat. Perilaku adalah fungsi dari inter-aksi person atau individu dengan lingkungan-nya. Pemahaman ini, misalnya seorang stafIMB, SIUP, TDP melayani warga masyarakatyang mengajukan izin, petugas parkir yang se-lalu melayani pemilik kendaraan bermotor, tu-kang pos yang mengantarkan surat ke alamatyang hendak dituju. Mereka akan berperilakuberbeda antara satu sama lainnya di ling-kungan yang berbeda.

Tingkah laku akan selalu muncul dan tim-bul dalam setiap bentuk kontak sosial yang di-pelajari dalam psikologi sosial. Tingkah lakuinilah yang akhirnya membentuk perilaku indi-vidu, (A.M. Chorus dalam Ahmadi, 1993:3) Pe-rilaku (behavior) adalah operasionalisasi danaktualisasi sikap seseorang atau suatu kelom-pok dalam atau terhadap suatu (situasi dankondisi) lngkungan (masyarakat, alam, teknolo-gi, atau organisasi), sementara sikap adalahoperasionalisasi dan aktualisasi pendirian,menurut Ndraha (1997:33). Selanjutnya, Winar-di (1989:230) berpendapat juga tentang per-ilaku bahwa : “Perilaku pada dasarnya ber-orientasi pada tujuan. Dengan perkataan lain,perilaku kita pada umumnya dimotivasi olehsuatu keinginan untuk mencapai tujuan tertentu”.

C. 2. KorupsiHubungan erat antara pemerintah dan

masyarakat berlangsung dalam kerangkapelayanan civil, suatu fungsi yang dipegangpemerintah. Dengan tumbuhnya masyarakat

dalam berbagai bidang seperti ekonomi,industri, politik, dan hukum, maka makin luaspula layanan yang harus disediakan olehpemerintah.

C. 2.1. Korupsi di Pemerintah DaerahMenurut Klitgaard (2002 : 1), korupsi justru

paling banyak terjadi di tubuh pemeritnah dae-rah. Hal itu dibenarkan oleh Liu tentang ma-raknay korupsi di RRC, tingkat korupsi di dae-rah yang mencemaskan petinggi Beijing, Liu(dalam Lubis, 1993:76). Di Indonesia, menu-rut Masduki (dalam Kiltgaard, 2002:xxiii) ko-rupsi di daerah adalah dampak negatif otonomidaerah. Lebih jauh Masduki mengatakan:

Program otonomi daerah sejatinya da-pat menjadi salah satu terapi untuk meng-urangi sentralisasi kekuasaan pada peme-rintah pusat yang sangat rentan bagi ter-jadinya penyimpangan kekuasaan, se-bagaimana ditampilkan oleh pemerintahOrde Baru. Tetapi apa yang terjadi? De-sentralisasi hampir mendominasi seluruhkewenangan pusat ke daerah kecuali ke-wenangan dalam bidang luar negeri, per-tahanan, keuangan, peradilan, dan agama,maka pelbagai penyimpangan kekuasaanyang selama ini terjadi di pusat telah berge-ser ke daerah. Selain itu, hampir semuaproses pemilihan kepala daerah diwarnaipolitik yang melibatkan anggota DPRD dankalangan bisnis yang mencukongi kandi-dat kepala daerah.Hal senada juga diungkapkan Legowo

(dalam Klitgaard, 2002:xxiii).Dengan demikianjelaslah bahwa secara nyata korupsi dipemerintah daerah adalah dampak masalahkebijkan politik yaitu otonomi daerah, yangmemberikan kekuasaan politik yang dominankepada pemerintah daerah.

C. 2. 2. Definisi KorupsiMenurut Alatas (1987:12) “ada tiga klasifika-

si korupsi yaitu, penyuapan (bribery), pe-merasan (extortion), dan nepotisme. Pen-

Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32 15

Page 6: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

yuapan menurut Wertheim (dalam Alatas 1987:11) adalah :

Apabila pegawai negeri menerimapemberian yang disodorkan oleh orangswasta dengan maksud mempengaruhinyaagar dapat perhatian istimewa pda kepen-tingan-kepentingan si pemberiSedangkan pemerasan menurut Wertheim

(dalam Alatas 1987:11) adalah “permintaanpemberian-pemberian atau hadiah oleh pe-gawai negeri seperti dalam pelaksanaan tu-gas-tugas publik”.

Nepotisme menurut Alatas (1987:11) ada-lah “Pengangkatan sanak saudar, teman-te-man atau rekan-rekan politik pada jabatan-ja-batan publik tanpa memandang jasa merekamaupun kosekuensi-konsekuensinya padakesejahteraaan publik.” Secara definisi korup-si menurut Messi (dalam Basyaib 2002:89),“Definisi minimal dari korupsi adalah penyalah-gunaa kekuasaan untuk kepentingan pribadi.”.Definisi itu masih sering dipakai untuk men-jelaskan berbagai bentuk, jenis, dan tingkatkorupsi. Paling tidak dalam UU No 31/1999tentang tindak pidana korupsi dikatakan :

Setiap orang yang secara melawanhukum memperkaya diri sendiri atau oranglain atau suatu korporasi yang dapatmerugikan keuangan negara atau per-ekomian negara.

Sementara itu, Syed Husin Alatas (1987:3)mendefinisikan “korupsi sebagai penyalah-gunaan kepercayaan untuk kepentingan pri-badi.” Dalam perkembangannya, definisi ko-rupsi juga mengalami metamorfosis, daripendekatan individual ke pendekatan politik,seperti yang diungkapkan oleh Robert Klit-gaard. Menurut Klitgaard (2002:3), ada korup-si yang dilakukan secara freelance, artinya pe-jabat secara sendiri-sendiri atau kelompokkecil menggunkan wewenang yang dimiliki-nya untuk menerima suap. Dan, menurut Klit-gaard ada pula yang lebih canggih karenamelibatkan struktur kekuasaan yang ada.

D. Hasil PenelitianD. 1. Aktivitas Kerja dan KorupsiD. 1.1. Pelayanan yang Dirasakan

MasyarakatDi lokasi penelitian ternyata penyakit

birokrasi itu muncul, seperti yang dituturkanoleh para informan dari masyarakat. Karenadalam pelayanan perizinan di seksi perizinanIMB, SIUP dan TDP Kabupaten Bekasi kuali-tasnya mengecewakan, para informan darimasyarakat mengatakan bahwa pelayananberbelit-belit. Seperti yang diungkapkan olehseorang informan yang mengajukan IMB, TDPdan SIUP. Informan Didi mengungkapkan pi-haknya pernah mencoba untuk mengajukanperizinan sesuai dengan prosedur yang ada,tanpa memberikan uang pelicin, tetapi ternya-ta permohonan perizinan tidak kunjung sele-sai, Sehingga menurut informan tersebut pe-layanan yang diberikan aparat berbelit-belit se-hingga tidak tepat waktu.

Boleh dikatakan pelayanan yang diberikantidak cepat, padahal kecepatan memberikanpelayanan adalah penting, karena bila dilihatsudut masyarakat sebagai pihak yang mem-berikan mandat kepada pemerintah mempu-nyai hak untuk memperoleh pelayanan daripemerintah. Sementara itu, pemeritnah se-bagai lembaga birokrasi mempunyai fungsiuntuk memberikan pelayanan kepada masya-rakat, Saefullah (1999:5). Sehingga, wajar bilainforman ataupun masyarakat menuntut hak-nya memperoleh pelayanan yang cepat.

Padahal hubungan pemberian izin terse-but di dalam ilmu pemerintahan dikenal de-ngan hubungan pemerintahan (governance re-lations) yaitu hubungan yang terjadi antara yangdiperintah dengan pemerintah satu terhadapyang lain pada suatu posisi dan peran, menu-rut Ndraha (2000:21). Yang jelas, hal ini akanterus terjadi karena pemerintah sebagai unitkerja publik yang bertindak sebagai providertunggal akan jasa dan layanan civil. Sementa-ra masyarakat sebagai pihak yang diperintahdi pihak lain tidak dapat berbuat banyak kare-

Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil16

Page 7: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

na berada di pihak yang lemah atau tidak me-miliki wewenang apapun untuk memprotespelayanan itu. Kalau pun ditempuh proseshukum maka jaminan akan kepastian hukummasih lemah, oleh karenanya para informanmenerima saja apa yang diberikan aparatdalam proses pemberian izin itu, yang pentingizin dapat keluar, sehingga beban atau targetkerja dari pemohon izin tidak terganggu.

Keadilan adalah hasrat yang tetap dankekal untuk memberikan kepada setiap orangapa yang semestinya dan seseorang dikata-kan berbuat adil kalau ia memberikan kepadasetiap orang apa yang semestinya, tidak me-langgar hak dan kebebasan setiap orang, me-mandang setiap orang sama harkat dan mar-tabatnya, dan mempermalukan setiaporang secara layak dalam semua pertukaranbarang dan jasa, the (1998:17- 18). Hal yangsama juga diungkapkan Wiradharma(1999:85) dan Suseno (1994:81). Dan, pela-yanan akan disebut adil, jika pelayanan men-capai dan dinikmati setiap orang yang berhaksebagaimana mestinya. Maka dari itu, karenapelayanan IMB, TDP, SIUP yang diberikanbirokrat di Kabupten Bekasi tidak sebagaima-na mestinya, pelayanan tersebut dapat dika-takan tidak adil, karena persyaratan illegal yangharus dipenuhi yakni adanya uang tambahan.Secara umum uang tambahan itu dapat dika-tegorikan pungutan liar.

Kebiasaan memberikan uang tambahandalam prakteknya menjadi semacam budayaorganisasi karena secara merata terjadi dalamsetiap perizinan yang dijadikan obyek peneli-tian. Bila melihat kembali apa yang dimaksuddengan perilaku organisasi, yakni telaah danpenerapan pengetahuan tentang bagaimanaorang-orang bertindak di dalam organisasi.Maka, perilaku organisasi adalah saranamanusia bagi mencapai tujuannya, yaitu ke-untungan, menurut Davis dan Newstrom(1996:55).

D. 1. 2. Jenis KorupsiDengan adanya fakta uang tambahan

dalam pelayanan civil, maka hal itu dapatdiklasifikasikan menjadi pemerasan aparatkepada masyarakat yang mengajukan izin.Pemerasan itu menurut Alatas (1987:11) ada-lah perilaku korupsi. Ada tiga klasifikasi korup-si yaitu, penyuapan (bribery), pemerasan (ex-tortion), dan nepotisme, Alatas (1987:12). Se-dangkan, pemerasan menurut Wertheim(dalam Alatas, 1987:11) adalah permintaanpemberian-pemberian atau hadiah oleh pe-gawai negeri, seperti dalam pelaksanaan tu-gas-tugas publik. Korupsi menurut UU No 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi menga-takan korupsi adalah “Setiap orang yang se-cara melawan hukum memperkaya diri sendi-ri atau orang lain atau suatu korporasi yangdapat merugikan keuangan negara atauperekomian negara.”

Biasanya para usahawan memberikanuang para pejabat, agar memperoleh apa yangdiperlukan, bila tidak begitu maka akan me-makan tempo yang panjang dan berbelit-belitlantaran aturan-aturan yang sangat birokratis,para usahawan itu mengaku cuma membelihak-haknya saja, dengan perkataan lain, parausahawan membiarkan dirinya diperas. Peja-bat-pejabat pemerintah memaksa para usa-hawan memberikan suapan yang bila tidakbegitu usahanya akan mengalami kema-cetan.(Alatas, 1987:20-21). Berikut ini akanakan saya rincikan beberapa macam korupsiyang terjadi di lokasi penelitian, yakni pertama,pemerasan, yang akan dijelaskan lebih rincilagi dalam bentuk sasaran pemerasan, dannominal serta jenis pemerasan. Kedua, nepo-tisme dalam rekruitmen pegawai.

D. 1. 3. Pemerasana. Sasaran PemerasanKorupsi yang dilakukan birokrat itu itu me-

lekat pada jabatannya maka sasaran juga ter-gantung pada jabatan yang diembannya. Se-orang birokrat mungkin melakukan korupsisesuai dengan jabatan atau pembagian kerjayang ada di kantornya. Seperti seorang KorwilIMB di suatu wilayah tentu sasaran kliennya

Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32 17

Page 8: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

adalah pemohon IMB di wilayahnya. Dalampembagian kerja intern di Seksi Perizinan IMB,IMB perumahan di bagi dalam beberapa kor-wil untuk memudahkan pelayanan. Sedang-kan IMB untuk industri ditangani langsung olehkepala seksi. Tidak bertanggunjawabnya apa-rat terhadap tugas rutin yang diembannya te-lah menyebabkan pelayanan civil terganggu,Sehingga masyarakat terugikan secara materidan rasa keadilan, karena untuk memperolehpelayanan yang baik mereka harus memberiuang pada aparat yang memberi izin.

b. Jenis dan Nominal PemerasanKecepatan pelayanan aparat sangat ter-

gantung adanya uang tambahan. Dalam prak-tek korupsi di lokasi penelitian dilakukan de-ngan berbagai cara, pertama dengan penen-tuan prosentase, kedua dengan imbalansukarela dari masyarakat, ketiga denganmelakukan mark up biaya retribusi. Danu se-orang manager bagian perizinan perusahaanpengembang mengatakan bahwa dirinya di-mintai uang oleh seorang pejabat di Kasi Per-izinan IMB yang meminta tarif 10% untuk se-tiap izin dari total retribusi yang diberikan, se-hingga menurut informan Danu bila rata-ratanilai bangunan pabrik itu Rp. 3 milyar, retribusi-nya 2% dari Rp. 3 milyar sehingga nilainya Rp.60 juta. Pejabat tersebut meminta 10 %nya,sehingga perusahaan tempat Danu bekerjamembayar total Rp 60 juta + (Rp 60 juta x 10%)= Rp. 66 juta, demikian juga izin untuk peru-mahan di kawasan yang dikembangkan olehperusahaan tempat Danu bekerja. Dan, tarif10% itu merupakan tarif langganan.

Sedangkan informan Victor mengakumembayar uang ilegal dengan sukarela arti-nya tidak ditentukan sebelumnya berapaprosentasenya, untuk setiap perizinan yang iaajukan. Victor saat ini menjabat pemimpin pe-rusahaan real estat menengah di KabupatenBekasi. Bagi Victor menganggap pemberianuang tambahan oleh dirinya kepada aparatbukan nyogok. Uang tambahan yang diberi-

kannya jika ia ada dana untuk setiap izin yangdiajukannya, semua itu dilakukan karena Vic-tor tahu persis kesejahteraaann pegawai diKabupaten Bekasi.

Sementara itu, praktek mark up biasanyadilakukan dalam izin rumah-pertokoan (ruko)kecil. Hal ini dapat terjadi karena perincianbiaya biasanya tidak sampai ke pemohon IMB,artinya pemohon IMB membayar sesuaikesepakatan lisan. Seperti yang terjadi ketikapeneliti menemui Rukmana yang sedangmeneliti secara seksama berkas IMB rumahtoko kecil milik seorang pengusaha di SerangBekasi, Rukmana menuturkan bahwa nilai satujutaan yang sedang ia hitung itu tidak diketahuisama sekali oleh pengaju izin. MenurutRukmana dalam prakteknya nilai retribusi IMByang harus dibayar oleh pengaju izin bisa tigakali lipat.

Sedangkan untuk TDP juga terjadi hal se-rupa, yakni aparat meminta tambahan untuksetiap izin yang keluar, seperti yang diungkap-kan Cori yang mengaku memberikan tambah-an uang agar perizinan lancar, sehingga pe-kerjaan dirinya di departemen SDM dan Umumsebuah perusahaan komponen lancar.Sedangkan tambahan uang yang ia berikanpada birokrat dalam pengurusan izin jumlah-nya antara Rp. 25.000-50.000. Sedangkan to-tal untuk TDP, Victor mengeluarkan Rp 300.000itu termasuk ongkos para birokrat mengurus-nya ke Kanwil Bandung, sehingga Cori tidakperlu mengurus ke Bandung. Menurut Victor,untuk TDP sebenaranya tidak berbelit asal adaduitnya, tapi kalau IUI (Izin Usaha Industri)sudah ada duitnya berbelit lagi. Maksimal un-tuk IUI Rp 3 juta dana perusahaan keluar. De-ngan uang tersebut maka perizinan yang ia aju-kan menjadi lancar.

D. 1. 3. Nepotisme dalam Seleksi AwalPenerimaan Pegawai

Organisasi ditempat penelitian juga tidakmampu memberikan contoh yang baik kerenatimbulnya nepotisme dalam rekruitmenpegawai, hampir seluruh informan kunci punya

Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil18

Page 9: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

kaitan kekeluargaan dengan pegawai lain diKabupaten Bekasi atau Departemen DalamNegeri. Boleh dikatakan sebagian besarinforman kunci berasal dari keluarga priyayisesuai klasifikasi Cliffort Geertz, yang memilikikemampuan mobilitas vertikal cukup tinggi.Dengan demikian para informan kunci berasaldari keluarga yang cukup, sehingga sekolah diperguruan tinggi adalah sebuah keniscayaandan bukan kemewahan.

Indra staf Dinas PU menuturkan bahwabapaknya adalah seorang pensiunan pegawainegeri sipil dengan pangkat VI B, awalnya iaadalah pegawai di kantor pusat sebuah depar-temen di Jakarta, namun dengan alasan ter-tentu ia memutuskan pindah ke KabupatenBekasi. Hanya saja seperti yang dituturkan se-orang informan dari masyarakat yang kebetulankawan dekatnya, mengatakan bahwa Indramempunyai saudara-saudara sepupu di Kan-tor Kabupaten Bekasi. Inilah yang memudah-kannya pindah dari Pusat (sebuah departemendi Jakarta) ke Kabupaten Bekasi. Menurut In-dra kepindahannya sangat didorong oleh pim-pinannya sekarang, sehingga kepindahannyatidak memerlukan uang sogokan. Padahalmenurut pengakuan Indra biasanya untukmasuk ke kantor Kabupaten Bekasi apalagibagian yang ‘basah’ membutuhkan uang peli-cin. Demikian juga Krisna bapaknya mantanpejabat di sebuah pemerintahan kota di DKIJakarta dengan pangkat VI B, tak aneh bila sanganakpun kemudian mengikuti jejaknya mela-lui jalur STPDN. Sedangkan Setyanugraha(bukan nama sebenarnya) meski pegawai kon-trak ternyata juga berasal dari keluarga pe-gawai negeri. Bahkan, saudara kandung Se-tyanugraha juga PNS di Kabupaten Bekasi,dan menurut Krisna saudara kandung Se-tyanugraha itu sekarang menduduki jabatanpenting, oleh karenanya Setyanugraha tidakterlalu risau dengan masa depannya, karenabantuan saudara-saudaranya tetap mengalir,termasuk penempatannya di bagian IMB.Demikian pula Dirgantara, Rukmana juga be

rasal dari keluarga PNS Kabupaten Bekasi.Adanya hubungan kekerabatan dalam pe-

nerimaan pegawai tentu merugikan organisa-si, karena recruitment pegawai sebenarnyaadalah proses untuk mendapatkan sejumlahcalon tenaga kerja yang bermutu, untuk jabatandi sebuah organisasi. Selanjutnya ketepatanpenerimaan karyawan akan terlihat dari pe-nilaian karya setelah para pekerja melaksa-nakan tugas-tugas pokoknya pada periode ter-tentu, menurut Nawawi (1997:169). Namun,bila dari awal proses penerimaan bermasalah,maka kualitas aparat yang diterima menjadipertanyaan besar. Oleh karena itu, kemung-kinan bahwa proses seleksi dan penerimaanpegawai di Kabupaten Bekasi yang berbaunepotisme dan kronimse mempunyai kontri-busi terhadap perilaku korupsi tetaplah ada.

D. 1. 4. Perilaku KorupsiDengan demikian, perilaku aparat yang

memeras setiap masyarakat pada setiap laya-nan yang diberikan oleh aparat dapat dikate-gorikan memperkaya diri dan perbuatan mela-wan hukum, serta merugikan perekonomiannegara. Demikian pula praktek nepotismedalam penerimaan pegawai, yang semuanyaitu berdampak pada melemahnya kualitas pe-layanan pada masyarakat.Padahal seharusnyaaparat dalam melaksanakan tugas pokok danfungsi pelayanan perizinan harus tetap meng-acu para perundang-undangan dan peraturanyang berlaku baik itu Peraturan Daerah Kabu-paten DT II Bekasi No 7 tahun 1996 tentangIzin Mendirikan Bangunan di wilayah Kabupa-ten Bekas, Peraturan Daerah Kabupaten DatiII Bekasi No 17 Tahun 1999. atau UU no 1tahun 1995. tentang perseroan terbatas danUU No 3 tahun 1982 tentang wajib daftar peru-sahaan. Seharusnya tugas pokok dan fungsitersebut kemudian diimplementasikan dalampelaksanaan tugas dari setiap dinas dan seksiyang ada, secara jujur dan bertanggungjawab.Artinya, setiap aparat sebagai tenaga pelaksa-na pelayanan civil perlu berbuat, bersikap, ber-tingkah laku dan berperilaku baik, bertang-

Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32 19

Page 10: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

gungjawab sebagai acuan atau norma dalambertindak.

Hanya saja, yang ditemukan selama peng-amatan perilaku baik, bertanggungjawab dansesuai etika yang berkembang tidak nampakdi lapangan. Tentu ini mengecewakan teruta-ma para informan dari masyarakat, meskidalam ungkapan yang berbeda-beda. Artinya,ada yang menganggap hal itu wajar karenakesejahteraan pegawai, atau ada yang meng-aku sangat tidak menyukai. Namun, secaraprinsip mereka rata-rata tidak menyukai peri-laku aparat perizinan tersebut. Hanya karenatidak ada pilihan lain maka meski terjadi ko-rupsi mereka tetap mengajukan perizinan yangmereka butuhkan. Berikut ini akan penulisjelaskan tentang beberapa faktor pendukungperilaku korupsi dalam pelayanan civil.

1. Perilaku IndividuMenurut Gerungan (2000:181) pada

dasarnya perilaku individu itu juga sangattergantung pada lingkungan keluarganya danmasyarakatnya. Perilaku manusia adalah suatufungsi dari adanya interaksi antara person atauindividu dengan lingkungannya, Thoha(1998:29). Hal itu berarti seorang individudengan lingkungannya sangat menentukanperilaku keduanya secara langsung, PandjiAnoraga (1995:11). Tingkah laku ini akan selalumuncul dan timbul dalam setiap bentuk kontaksosial yang dipelajari dalam psikologi sosial.Tingkah laku inilah yang akhirnya membentukperilaku individu. Lingkungan melingkupisegala hal di luar diri seseorang maupun daridalam diri nya, baik yang bersifat fisik maupunide yang memberikan pengaruh, memberikanrangsangan (stimulan) hingga memunculkansuatu reaksi atau respons. Dalam hal ini adalingkungan dalam diri orang tersebut dan adalingkungan di luar dirinya, menurut Gumarsa(dalam Sofian, 1999:190). Oleh karena itu,untuk melihat sejauhmana kontribusi perilakuindividu penulis mencoba menelaah hal-halyang mempengaruhi perilaku individu.

a. Gaji Rendah dan Motivasi AparatMelakukan korupsi

Motivasi berkaitan dengan dorongan yangmempengaruhi perilaku setiap orang di dalamorganisasi dan tingkat komitmen yang ditun-jukkan oleh para pegawai terhadap penca-paian sasaran dan tujuan organisasi, menurutBarry Cushway dan Derek Lodge (1999:2)

Menurut Gerungan (2000:140) pengertiandari motivasi adalah “merupakan suatu penger-tian yang melingkupi semua penggerak,alasan-alasan atau dorongan-dorongan yangmenyebabkan ia berbuat sesuatu.”. Semuatingkah laku manusia pada dasarnya mempu-nyai motif. Salah satu pendorong perilaku ko-rupsi didorong adalah rendahnya gaji, yangberakibat rendahnya kesejahteraaan mereka.Dalam PP No 11/03 tentang peraturan gajipegawai negeri sipil sebagai pengganti per-aturan pemerintah sebelumnya, jumlah gajipokok pegawai negeri sipil untuk golonganIII(A-D) terendah Rp 905.400 dan tertinggi1.463.200. Memang ada pendapatan tam-bahan seperti tunjangan jabatan misalnya. Na-mun, jumlahnya tidak terlalu banyak, untukukuran kepala seksi dan staf.

Sehingga tak aneh bila informan dari StafPerizinan IMB Krisna mengatakan gajinya se-bagai pegawai gol IIIA hanya cukup untuk ma-kan bersama istri dan seorang anak, namuntidak cukup bila untuk ngontrak rumah petak disekitar Kantor Kabupaten Bekasi, Oleh karenaitu, Krisna dengan agak sinis mengatakanbahwa kadang pidato pejabat hanya menina-bobokan para pegawai untuk hidup selalu he-mat, padahal mereka tahu para pejabat hidupdengan berlebih. Maka dari itu, Krisna meng-anggap ucapan Bupati Bekasi (beberapa saatsebelum penelitian ini dibuat) yang mengan-jurkan bila PNS sudah menjadi pilihan hidupmaka jangan berharap kaya, dianggap Krisnaterlalu klise karena dalam praktiknya yang kayaadalah pimpinan-pimpinan itu. Beban berathidup Krisna telah mendorongnya untuk men-cari tambahan dengan menjadi calo IMB.

Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil20

Page 11: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

b. Rendahnya Pemahaman AgamaAparat Pelayanan

Pengungkapan kehidupan agama infor-man kunci ini didasarkan atas asumsi bahwapemahaman keagamaan akan mempeng-aruhi munculnya niat berperilaku korupsi. Pe-mahaman tentang agama akan menjadi kon-trol perilaku dalam diri individu. Dalam hu-bungan sibernetikanya, agama akan memberi-kan pengawasan pada sistem budaya manu-sia dalam berperilaku, menurut Madjid (dalamSudarsono, 24). Seluruh informan kunci be-ragama Islam, dan sebagaian besar dari mere-ka secara relatif rutin melaksanakan sholatlima waktu, bahkan sebagaian telah melak-sanakan rukun ke 5 yakni haji seperti Tony danNova

Ada satu informan yang merupakan aktiviskeagamaan, seperti Indra misalnya yangmengaku orang tuanya adalah aktivis NahdatulUlama bahkan sekarang aktif di sebuah partaiNU, di samping itu isteri Indra adalah aktivisperempuan NU juga. Sedangkan ketika kuliah,Indra juga aktif di organisasi kerohanian Islamkampusnya. Tampaknya, dengan adanyapehamaan keagamaan itulah, maka Indrarelatif steril dari korupsi. Selain itu kepedulianakan bahaya korupsi ternyata juga bagian daripetuah sang bapak, yang mantan PNS.

Namun, sikap Indra tersebut adalah sikapyang jarang ditemui pada informan-informanlain, karena mereka sebagian besar tidakpeduli dengan adanya praktek pemerasan. Halini tercermin dari sikap informan Staf perizinanIMB Krisna dan Setyanugraha yang secara usiatidak berbeda jauh dengan Indra. Baik Krisnadan Setyanugraha tidak merasa berdosa un-tuk melakukan korupsi seperti yang diungkap-kan Krisna. Bagi Krisna sah-sah saja merekamenerima uang dari masyarakat, karena mere-ka menganggap masyarakat memberikan itusecara sukarela, dan secara nominal uang-uang tersebut membantu kehidupan sehari-hari.

Namun demikian, meski melakukan peme-

rasan pada masyarakat yang mengajukan izin,ternyata para informan kunci mempunyaikepedulian terhadap ibadah-ibadah rutin. Se-perti yang ditemui oleh peneliti ketika waktu-sholat dzuhur atau ketika puasa Ramadhan,para informan rata-rata menunaikan ibadah-ibadah itu. Hanya saja, mereka rata-rata mere-ka tidak merasa berdosa memeras atau me-minta uang tambahan pada masyarakat yangmengajukan izin.

c. Lingkungan KeluargaBoleh dikatakan lingkungan keluarga

adalah pembentuk pertama perilaku individuyang kemudian bertemu dengan lingkunganyang lebih luas yakni masyarakat, bahwaPerilaku seseorang merupakan hasil interaksiantara diri dan lingkungannya. Pengaruh orangtua juga berpengaruh pada perilaku parainforman kunci. Seperti yang terjadi pada Indraseorang informan Staf Dinas PU yang pernahmenolak tawaran menjadi calo IMB. MenurutIndra bapaknya adalah pensiuanan pegawainegeri sipil yang tidak mau melakukan korupsi,tapi tidak mampu untuk melawan korupsi, danmemilih sikap masa bodoh pada rekan-rekannya yang melakukan korupsi. MenurutIndra sikap orang tuanyalah yang membentuksikapnya yang tidak mau korupsi. Menurut Indragodaan korupsi selalu muncul karena denganmudah dilakukan olehnya.

Hal sama ditemui pada Rukmana meng-ungkapkan bahwa ketika sang bapak menjadicamat dan wedana, bapaknya relatif bersih darikorupsi. Sehingga, ketika itu menurutnya hiduplebih banyak susah ketimbang senangnya,sehingga ketika pensiun keluargannya tidakterlalu berlebihan materi. Namun demikian,kekurangan materi ketika pensiun itulah yangmenurut informan dari Staf Perizinan IMB Ruk-mana membuat dirinya sekarang hanya men-jadi staf, boleh jadi menurut Rukmana bila sajaketika itu posisi camat seperti sekarang artinyamenjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),maka nasibnya tidak seperti sekarang yang

Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32 21

Page 12: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

menurutnya sangat pas-pasan. Oleh karenaitu, Rukmana relatif terbuka dengan perilakukorupsi, artinya bila ia mencari uang tambah-an dari pelayanan yang diberikannya hal terse-but menurunya tidak menjadi masalah.

Perbedaan sikap kedua informan, meskiberasal dari keluarga yang sama-sama tidakmenikmati korupsi, menunjukkan adanyapengaruh di luar lingkungan keluarga yangmembentuk perilaku korupsi aparat dalammemberikan pelayanan IMB, TDP, dan SIUP.Kemungkinan yang membentuk adalahlingkungan tempat kerja yang akan dibahassetelah ini

2. Perilaku OrganisasiPerilaku individu dapat dipengaruhi ber-

bagai faktor baik lingkungan kerja ataupun ke-luarganya. Dengan demikian dapat dipahamibahwa perilaku seseorang senantiasa meng-alami perubahan. Dalam arti baik-buruk se-buah lingkungan seseorang akan berpengaruhpada perilaku seseorang. Perilaku (behavior)adalah operasionalisasi dan aktualisasi sikapseseorang atau suatu kelompok dalam atauterhadap suatu (situasi dan kondisi) lngkungan(masyarakat, alam, teknologi, atau organisa-si), sementara sikap adalah operasionalisasidan aktualisasi pendirian, menurut Ndraha(1997:33).

Lingkungan tempat kerja tampaknya ber-pengaruh terhadap sikap seeorang terhadapkorupsi. Sebagai contoh adalah perbedaansikap Informan dari Staf Perizinan Indra danRukmana tentang korupsi dimana Indra antikorupsi sedangkan Rukmana terbuka terhadapkorupsi, padahal sama-sama dibesarkandalam lingkungan keluarga yang tidak korup-si. Bila dilihat dari pengalaman kerja, boleh jadihal tersebut disebabkan Indra belum ada 5tahun kerja di Dinas PU Kabupaten Bekasi,sedangkan Rukmana sudah lebih dari 15tahun bekerja di Kabupaten Bekasi, meskipunhal ini masih dapat diperdebatkan, tetapi pa-ling tidak ini menunjukkan adanya tingkat per-

bedaan pengaruh berdasarkan waktu berinter-aksi dengan lingkungan kerja.

Untuk lebih mengetahui sejauhmana peng-aruh perilaku organisasi yang korup dalampelayanan civil, penulis akan mencoba men-jelaskan dari berbagai faktor yang menyebab-kan perilaku organisasi yang korup.

a. Kepemimpinan yang LemahMelawan Korupsi

Di lokasi penelitian baik di Seksi PerizinanIMB, TDP dan SIUP, boleh dikatakan kurangkondusif untuk merangsang individu memberi-kan pelayanan yang optimal bagi masyarakat.Karena struktur kekuasaan telah menyebab-kan individu melakukan pungutan liar agardapat memberikan upeti pada atasannya. Se-perti yang diungkapkan seorang informan yangmenjabat staf perizinan IMB. Menurutnya pem-berian tempat yang dianggap basah biasanyaberimplikasi pada setoran yang secara perio-dik harus disampaikan kepada atasannya, danbila hal itu sampai telat atau tidak berkenan dihati atasan yang telah ‘berjasa’ tersebut maka,yang bersangkutan biasanya akan langsungditegur. Dengan demikian jelaslah, bahwalingkungan tempat kerja sangat rentan terjadi-nya korupsi, karena semua lini berusaha atauberkompetisi mendapatkan uang tambahandari masyarakat yang mengajukan izin. Se-hingga wajar, bila faktor teladan atau panutantidak ada, sehingga perilaku korupsi terjadidengan mudah dalam pelayanan civil

b. Kerjasama dalam Memeras RakyatDi Hongkong untuk contoh, sesuai dengan

laporan komisi independen pemantau korup-si pada akhir th 70-an telah melaporkan ada-nya apa yang disebut dengan ‘jaringan’ korup-si, di mana korupsi itu di lakukan oleh seke-lompok aparat pemerintah yang melakukanpengumpulan dan dan distribusi uang. Kasusyang mereka temukan sebagian besar terjadidi departemen Polisi dan beberapa departe-men lain. Di sana ada aturan main, tidak ada

Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil22

Page 13: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

aparat yang diperbolehkan menahan uang pri-badi sebelum dibagikan ke atasannya untukpersetujuan, semakin tinggi jabatan semakinbanyak upeti yang diterima. Korupsi organisa-si menempatkan tindakan aparat pemerintahdalam mengeksploitasi kekuasaan dalamperaturan pasar atau memonopoli atas sum-ber daya vital dengan mengambil keuntungankeuangan dan materi untuk organisasi. Keun-tungan semacam itu sering dilakukan dengancara melanggar peraturan atau ketetapan, dandibebankan pada biaya masyarakat dan nega-ra, Xiaobo Lu (2000:276).

Dalam penelitian ini tampaknya hal seru-pa ditemukan. Meskipun awalnya agak susahuntuk mengetahui ada-tidaknya suatu bentukkerjasama untuk korupsi, karena sifatnya yangtertutup. Namun akhirnya fakta kerjasama ko-rupsi mulai terbuka ketika seorang kepala sek-si pernah mengatakan bahwa hasil pungutanliar setiap izin yang diberikan kemudian diba-gi-bagi kepada staf dan bawahannya. Sepertiyang diungkapkan oleh Tony, bahwa ia mem-inta uang tambahan pada masyarakat adalahwajar, karena mereka yang mengajukan ada-lah pebisnis yang akan mencari uang. Dan,uang itu ia bagikan kepada anak buahnya se-cara merata.

Kasus yang lebih besar adalah ketidakje-lasan kelanjutan Pusat Pelayanan Terpadu.Pemerintah Kabupaten Bekasi pada awalnyaberhasrat untuk melakukan pelayanan terpaduuntuk melayani beberapa perizinan. Namundemikian, hingga penelitian ini dilakukan ter-nyata pusat pelayanan terpadu itu, belum di-laksanakan, hanya sebagian kecil yang ber-operasi (2 loket). Sedangkan sebagian besarpelayanan kembali ke kantor dinas masing-masing.

Ihwal belum terealisasinya pelayanan ter-padu itu menurut Rukmana dikarenakan ke-mungkinan hilangnya rejeki tambahan daripungutan liar yang diterima para birokrat. Ruka-mana menuturkan bahwa sebenarnya kalaupimpinan tegas bisa saja Pusat Pelayanan

Terpadu berjalan, tetapi masalahnya hal ituterkait dengan rejeki tambahan yang biasa di-terima, yang kemungkinan bisa berkurang kare-na konsekuensi dari Pusat Pelayanan Terpaduadalah keterbukaan tarif retribusi yang ditarikdari setiap izin yang diberikan. Sebenarnyakalau pimpinan Kabupaten tegas maka bisasaja, karena di Kota Bekasi Pusat Pelayananseperti ini sudah berjalan dan tarif retribusinyaterbuka.

Kebijakan Pusat Pelayanan Terpadu terse-but, hingga kini tidak dicoba untuk diberlaku-kan kembali, disamping itu para wakil rakyat diDPRD dan media massa tampaknya tidakmencoba untuk mengkritisi tidak jalannya Pu-sat Pelayanan Terpadu itu. Ketidakberdayaananggota DPRD, tampaknya juga berkaitan de-ngan rejeki tambahan yang biasanya diperolehdari sebuah kantor dinas, seperti yang ditemuipeneliti ketika menginterviu pegawai dinas PUyang pernah ditawari menjadi calo IMB.

Sementara itu menurut Indra dalam strukturkekuasaan di Kabupaten Bekasi, Dinas PUjuga merupakan ‘kasir’ Kabupaten untuk hal-hal yang tidak ada dalam anggaran. Dinas PUmenurut Indra dengar kerap dijadikan kasirtidak resmi pemerintah kabupaten, KepalaDinas (Kadin) PU diminta oleh pimpinan untukmenjamu tamu kabupaten, kunjungan kerja,rapat-rapat DPRD dll. Untuk itu menurut Indramaka Kadin minta ke kepala seksi (kasi) ataupimpinan proyek (Pimpro), sehingga mau takmau kasi minta pada masyarakat dan Pimprominta ke kontraktor. Sehingga saat ini menurutIndra setiap dana pemerintah turun ketikaproyek itu 95% selesai itu langsung dipotonguntuk Kadin, Kasubdin, Kasi, Pimpro.

Selain itu ada implikasi lain dari banyaknyauang ilegal yang beredar, misalnya seperti yangterjadi di Seksi Perizinan IMB, di mana jabatankasi tidak mengalami rotasi atau pergantianjabatan selama dua periode, hal itu diungkap-kan informan Danu, yang telah puluhan tahunberurusan dengan Nova hingga penelitian inidibuat. Danu mengatakan bahwa selama ia

Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32 23

Page 14: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

berhubungan dengan IMB, ia selalu berhu-bungan dengan Nova. Dan Danu mengakusudah berusrusan dengan Nova selama pu-luhan tahun. Bagi Danu hal itu tidak wajar kare-na orang bekerja rela tidak naik pangkat sela-ma puluhan tahun.

Melihat kenyataan di atas tampaknya ko-rupsi yang terjadi sudah demikian merajaleladan melibatkan berbagai dinas dan unsur.Oleh karenanya boleh dikatakan di lokasi pene-litian telah terjadi korupsi yang sistematik yangtidak hanya melibatkan politisi dan birokrat tapijuga masyarakat, khususnya masyarakat persyang sebenaranya diharapkan mengontrol ke-hidupan politik.

Maka dari itu, benarlah ungkapan bahwakorupsi adalah penghancuran bangunan poli-tik melalui kebejatan moral, Girling (dalamBasyaib, 2002:93). Jika Seseorang memegangmonopoli atas barang atau jasa dan memilikiwewenang untuk memutuskan siapa yangberhak mendapatkan barang atau jasa itu danberapa banyak, dan tidak ada akuntabilitas,dalam arti orang lain tidak dapat menyaksikanapa yang diputuskan oleh orang yang meme-gang wewenang itu, maka kemungkinan be-sar akan kita temukan korupsi di situ, (Klitgaard,2002:29).

E. Pembahasan PenelitianDengan adanya fakta bahwa korupsi di

lokasi penelitian terjadi karena adanya perilakuindividu dan organisasi, maka ada tiga pertan-yaan yang perlu dijawab untuk dapat menem-patkan perilaku korupsi di Kabupaten Bekasi.Pertama, apakah perilaku korupsi tersebut ber-sifat individual atau organisasional (sistema-tik) dan bagaimanakah upaya menurunkantingkat korupsi Kedua, mengapa hal tersebutdapat terjadi, dan ketiga, sejauhmana tang-gungjawab masyarakat untuk mengurangitingkat korupsi itu.

Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertan-yaan itu terutama diperoleh dari sumber-sum-ber yang berhubungan langsung dengan ko-

rupsi di Kabupaten Bekasi. Namun demikian,menurut hemat peneliti, akan lebih berman-faat kiranya bila analisis final dari korupsi diKabupaten Beksi itu ditempatkan dalam suatukajian yang lebih luas, agar alat-alat eksplana-si, yang dikembangkan untuk menjelaskanpola-pola perilaku korupsi birokrat di negara-negara lain, dapat dimanfaatkan.

Satu aliran pemikiran dalam kepustakaanmengenai studi tentang korupsi sistematik,yang diungkapkan oleh Robert Klitgaard, bah-wa Korupsi akan terjadi bila terjadi monopolikekuasaan, kemudian birokrat yang dapatmengeluarkan izin menurut seleranya.Korupsimerupakan titik kulminasi dari proses hu-bungan kolusi yang sistematik antara pelakuinstitusi politik (politisi maupun birokrat) denganpelaku ekonomi (ekonomi privat maupunmasyarakat biasa) yang relatif kontinyu sehing-ga menghasilkan semaca situasi dilematisdalam menentukan batas-batas lingkup ‘pub-lik dan ‘privat’, John Girling (dalam Hamid,2002:93).

Sementara itu, birokrasi pelayanan publikmenggambarkan suatu mata rantai yangmenyatukan konfigurasi hubungan-hubunganyang berbeda antara satu dan lain individu, atauantara satu dan lain posisi sosial. Pola-polakorupsi tersebut juga menunjukkan bahwatindakan individu yang tertanam di dalam dandi pengaruhi oleh ikatan-ikatan sosial yangmenyatukan aktor-aktor dalam suatu polainteraksi telah melatakkan individu sebagaiaktor pasif dari tekanan-tekanan lingkungansosialnya. Akhirnya jaringan sosial tersebut lebihmerupakan rambu-rambu yang bersifatmembatasi suatu diskresi, Dony Ardyanto(dalam Basyaib, 2002: 114). Peneltian diIndonesia yang senada dengan penelitianDony, mendudukan korupsi sebagai korupsiyang sistematik juga diungkapkan olehSudirman (dalam Basyaib, 2002:121-124) danLin Cin Wei (dalam Basyaib, 2002:72-73).

Berbeda dengan hal tersebut, ada jugapenelitian korupsi di Indonesia sebagian cen-

Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil24

Page 15: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

derung berpendapat bahwa korupsi dilakukansecara individual karena misalnya meng-hubungkan secara diametral korupsi dengangaji yang rendah, seperti yang dilakukan olehTheodore Smith di tiga daerah di Indonesia.

Di Indonesia korupsi tersebar luas sejakHindia Belanda. Sistem hukum yang dipaksa-kan oleh Belanda untuk sebagian besar tidakmampu menyentuh hubungan patrimonialmenurut tradisi. Kalau Belanda menghancur-kan hubungan itu melalui peraturan langsungakan mengakibatkan kekacauan sistem kolo-nial. Mengingat sejarah panjang tentang ko-rupsi di Indoesia tersebut, rendahnya gaji danfungsi pemerintah yang diperluas, makajelaslah diperlukan investasi besar, jika meng-inginkan korupsi lenyap di Indonesia, Smith(dalam Lubis, 1993:68).

Gaji rendah di lingkungan pegawai negerimemaksa mereka untuk menambahkanpenghasilannya dengan cara yang halal,sementara jika gaji mereka tinggi mereka akantakut melakukan korupsi, sebab bila ketahuanitu berarti suatu kehilangan besar, Rijckeghemdan Weder (dalam Basyaib, 2002:58).

Dan dalam perundangan UU anti korupsitersirat mendukung untuk mendudukan pelakukorupsi sebagai individu, UU No 31/1999 ten-tang Tindak Pidana Korupsi dikatakan “Setiaporang yang secara melawan hukum mem-perkaya diri sendiri atau orang lain atau suatukorporasi yang dapat merugikan keuangannegara atau perekomian negara”. Manakahyang paling tepat untuk menjelaskan fenome-na korupsi di Kabupaten Bekasi, faktor orga-nisasional atau justru faktor-faktor individual.Untuk menjawabnya barangkali pendapat Tho-mas S Kuhn dapat dipakai untuk menjawabkecenderungan tentang perubahan dari para-digma lama ke paradigma baru. Karena ilmupengetahuan tidak dapat berjalan dan ber-kembang tanpa paradigma, paling tidak menu-rut Kuhn, maka hancurnya paradigma lamaharus selalu menunggu lahirnya paradigmabaru, dan oleh karena itu kedua aktivis ini harus-

lah terjadi secara bersamaan. Kuhn (dalamSuwarsono, 1994 :243).

Menilik pendapat Kuhn tersebut, makaseharusnya paradigma lama tentang penyebabkorupsi lebih disebabkan oleh faktor-faktor in-dividual akan gugur dengan sendirinya, sete-lah muncul paradigma baru yakni korupsi poli-tik atau korupsi sistematik. Namun demikian,pendapat Kuhn ini tampaknya masih dapatdiperdebatkan, karena secara fakta sosial fak-tor-faktor individual masih nampak, sehinggaboleh dikatakan dalam hal korupsi ini teoriKuhn tampak kurang memperhatikan daya ta-han paradigma lama dan terlalu sederhanamenterjemahkan perdebatan paradigma lamadan baru. Dan, pada kenyataanya, dalam pene-litian yang saya lakukan, fakta-fakta sosial ten-tang perilaku korupsi lebih mendukung ada-nya faktor-faktor yang saling barkait, baik itu fak-tor politik dan non politik.

Oleh karena itu saya berpendapat bahwaperdebatan pendukung-pendukung keduateori itu. Sebenarnya boleh dikatakan tidak ter-lalu kontradiktif, hanya saja pembedaanpenyebab utama itu berdampak pada identi-fikasi dan implementasi pemberantasan ko-rupsi. Misalnya, masalah moral dan etika, ataudalam bahasa Syed Husen Alatas kelemahanpengajaran agama dan etika. Bisa jadi bagipendekatan struktural yang sekular, akan meng-atakan bahwa terjadinya korupsi disebabkanoleh lemahnya sebuah struktur kekuasaan yangterlalu kuat, seandainya kekuasaan itu terbagisehingga bila ada mekanisme cheks and ba-lances, maka korupsi akan tereduksi dengansendirinya.

Korupsi dapat berkurang bila ada pemi-sahan kekuasaan, ada kontrol dan perim-bangan, keterbukaan, sistem peradilan yangbaik dan definisi yang jelas mengenai peranan,tanggung jawab, aturan dan batas-batas, dankorupsi tidak dapat berkembang dalam budayademokrasi, persaingan, bila ada sistem kon-trol yang baik, dan ada tempat orang untukmemiliki hak informasi dan hak mengajukan

Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32 25

Page 16: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

pengaduan, (Klitgaard, 2002:29)Sementara, bagi pendukung non sekular,

mengatakan bahwa masalah utama disekitarkorupsi adalah rendahnya internalisasi nilai-nilai agama dalam diri setiap individu yang ter-sangkut korupsi. Dan, perbedaan pendapatyang memahami korupsi secara sekular dannon sekular ini telah ada sejak lama diakhirtahun 1960-an, misalnya pendapat JS Nye(dalam Lubis 1993:64) yang mengeluarkanmasalah korupsi dari konteks moral denganmencoba menganalisis biaya dan manfaatperilaku korupsi, kelompok ini dikenal sebagairevisionis. Dan pendapat ini kemudian dikuat-kan oleh beberapa peneliti, termasuk peneli-tian di Indoensia yang dilakukan Smith. Se-dangkan yang yang menentang mengeluar-kan masalah korupsi dari konteks moral ada-lah Syed Husin Alatas (1987:30), yang ber-pendapat atau mengasumsikan bila korupsidianggap ada biaya dan manfaat maka berartihal itu terlalu menyederhanakan persoalan dantidak melihat bahaya korupsi.

Saya tidak ingin terjebak dalam perbedaanitu, karena dalam penelitian yang saya lakukanbaik itu di Seksi Perizinan IMB Dinas PU, SeksiTDP, dan Seksi SIUP Dinas Perindag, ternyatafaktor-faktor organisasional jelas ada, demikianjuga faktor-faktor yang berhubungan moralindividu. Dan hasil penelitian ini mendukungpendapat Syed Husin Alatas, bahwa penyebabperilaku korupsi, adalah sistem politik danrendahnya moral individual.

Korupsi terjadi karena ketiadaan ataukelemahan kepemimpinan dalam posisi-po-sisi kunci yang mampu memberikan ilham danmempengaruhi tingkah laku yang menjinak-kan korupsi, kelemahan pegnajaran agamadan etika, kolonialisme, kurangnya pendidikan,kemiskinan, tiadanya hukuman keras, kelang-kaan lingkungan yang subur untuk perilakuantikorupsi, struktur pemerintahan, perubahanradikal, keadaan masyarakat, (Alatas, 1987:76).Artinya kedua faktor baik individu dan organisasisaling berpengaruh dalam perilaku korupsi di

Seksi Perizinan IMB, Seksi TDP. dan SeksiSIUP, akan tetapi karena organisasi pemerin-tah itu juga sebuah lembaga politik yang meru-pakan salah satu dari sebuah sistem politiknasional, yang memiliki wewenang, makaderajat pengaruhnya perilaku korupsi orga-nisasional (sistemik) lebih kuat daripada peri-laku korupsi individual. Maka dari itu, korupsitersebut tampak mapan dan bersifat rutindalam kehidupan pelayanan civil di Kabupa-ten Bekasi. Kemapanan tersebut terbukti de-ngan tidak mampunya masyarakat untuk mem-protes pelayanan civil yang koruptif tersebut.

Pertanyaan kedua, mengapa perilaku ko-rupsi tersebut dapat terjadi, melihat hasil pene-litian di atas, tampaknya sistem politik yang adatelah gagal untuk mengontrol korupsi. Sepertiyang diungkapkan oleh (Klitgaard, 2002:29)bahwa pada dasarnya untuk mengurangi ko-rupsi harus ada mekanisme checks and ba-lances. Mekanisme ini memang ada dansudah ada sub-sub sistemnya, seperti DPRDKabupaten Bekasi, media massa, dan LSM.

Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut diKabupaten Bekasi juga menikmati korupsiyang ada, sehingga pengontrolan jalannyasistem terutama dalam pelayanan IMB, TDPdan SIUP tidak sebagaimana yang diharap-kan. Ihwal terjadi distorsi checks and balancestersebut ditemukan dalam penelitian ini, se-perti yang disampaikan oleh dua orang infor-man dari staf perizinan IMB, dan laporan ten-tang perilaku buruk beberapa anggota DPRDyang menyuburkan perilaku korupsi juga diba-has oleh media massa, dibeberapa daerahseperti di Sukabumi (Media Indonesia, 24 Juli2003), Surabaya (Media Indonesia, 24 Juli2003), Padang (Media Indonesia, 24 Juli 2003),dan beberapa kota lain. Adapun di KabuptenBekasi seperti yang dituturkan oleh oleh Kepa-la Dinas Cipta Karya Kabupaten Bekasi HerryKoesaeri yang menyatakan adanya individuanggota DPRD yang menjadikan dinas terten-tu sebagai ladang penghasilan sampingan(Republika, 8 Mei 2003). Sekedar informasi

Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil26

Page 17: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

tambahan, Dinas Cipta Karya Kabupaten Beka-si ketika peneltian ini dilakukan bernama SubDinas Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum,tempat penelitian tentang perizinan IMB dilaku-kan Dan, menurut informasi terakhir SubdinCipta Karya dijadikan dinas tersendiri, bebera-pa saat setelah penelitian ini dibuat.

Dengan demikian, mekanisme yang nor-mal menurut khazanah demokrasi ternyatatidak ampuh untuk mengurangi korupsi yangada di Kabupaten Bekasi. Sehingga dalamposisi seperti ini tampaknya boleh dikatakansistem politik yang ada telah mengalami ke-gagalan dalam mengurangi korupsi. Semen-tara sistem hukum nasional, hingga saat inimasih belum menggembirakan. Di Kabupa-ten Bekasi, kasus korupsi yang sampai ke mejahijau saat ini hanya sedikit sekali dibanding-kan dugaan perilaku korupsi yang ada. Dan,kasus korupsi yang sampai pengadilan hing-ga kini hanya satu yakni kasus korupsi tanahKas Desa yang melibatkan beberapa pejabatdan mantan pejabat Kabupaten Bekasi.

Dengan lemahnya checks and balances,serta lemahnya law enforcement tersebut diatas maka sistem yang berjalan di KabupatenBekasi mengalami kegagalan. Dengankegagalan sistem ini masyarakatlah yangmenjadi korban, mengajukan perizinan diperasoleh aparat perizinan, mengadukannya keaparat penegak hukum kurang ditanggapi,akhirnya masyarakat memilih untuk diam, danmenuruti keinginan aparat pemerintah untukdiperas secara sukarela, hanya saja bila hal ituterjasi terus menerus bisa jadi hal tersebutmenjadi bahan bakar timbulnya konflik sosial.

Apabila masyarakat tak memiliki prosesyang sudah melembaga untuk mengartikulasi-kan tujuan dan menyelesaikan konflik, makasetiap kelompok atau organisasi yang mem-punyai keluhan, tuntutan, atau gagasan politik,akan berusaha mempengaruhi politik. Cara-cara yang digunakan masing-masing kelom-

pok akan berbeda dan mencerminkan sifatserta kemampuan yang khas. Yang kaya akanmenyuap, mahasiswa akan menimbulkanhura-hara, kaum buruh akan mogok, massarakyat akan berdemontrasi, dan militer akanmelakukan kudeta. Karena sistem sosial tidakberjalan benar, Huntington (dalam Sundhaus-sen, 1986 : 458).

Dan, secara nasional konflik tersebut telahterjadi pada tahun 1998, dengan munculnyagerakan reformasi. Salah satu agenda refor-masi adalah menghapuskan korupsi, kolusi dannepotisme atau dikenal dengan KKN. Gerakanreformasi 1998, telah mengakhiri rezim Orba,yang kemudian secara politik membuka krandemokratisasi, hal itu ditandai dengan dibu-kannya kesempatan mendirikan partai politik,dan dilanjutkan dengan adanya PemilihanUmum tahun 1999.

Dengan adanya Pemilu 1999, di Kabupa-ten Bekasi sebenarnya telah membuka sistemmonolitik selama 30 th, yang selama itu telahmenjadikan Golongan Karya (Golkar) sebagaipartai pemerintah. Hal tersebut ditandai de-ngan munculnya dominasi partai-partai nonGolkar , seperti PDIP, PPP, PAN, dan beberapapartai lain yang turut meramaikan kehidupandemokrasi. Hanya saja, sayangnya ketika pene-litian ini dibuat, partai-partai yang memiliki wakildi DPRD Kabupaten Bekasi tersebut kurangberdaya untuk mengontrol kegiatan pemerin-tah Kabupaten Bekasi, khususnya perilaku ko-rupsi di dinas-dinas yang dijadikan obyek pene-litian. Maka dari itu, kegagalan sistem dan ko-rupsi merupakan dua entitas yang saling mem-pengaruhi satu sama lain, dan bila salah satu-nya tidak mengalami perbaikan yang cukupberarti, maka akan terjadi konflik sosial, danbila tidak terjadi perbaikan yang bermakna se-telah konflik sosial, maka akan terjadi kembaliperilaku korupsi. Dengan demikian, ketiga haltersebut membentuk sebuah siklus yang tidakberujung pangkal, seperti dibawah ini;

Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32 27

Page 18: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

Oleh karena itu, berkaitan dengan pertan-yaan sejauhmana tanggungjawab masyarakatsebagai stake holder dalam perilaku korupsiini, maka jawaban yang relatif tepat adalahmemberdayaan masyarakat agar memiliki ke-sadaran dalam menentukan pilihan politik ter-hadap partai politik yang ada. Karena padahakekatnya masyarakat adalah stake holderyang memiliki hak mengeluarkan pendapatsecara lisan atau tulisan secara bebas. Untukmemunculkan kesadaran itu, mutlak diperlu-kan pendidikan politik yang baik sehingga da-pat menumbuhkan kesadaran akan hak dankewajiban sebagai warga negara.

Dengan demikian, korupsi sistemik diKabupaten Bekasi itu dampak dari kegagalansistem politik nasional yang tidak terbentuksecara baik. Apalagi, era reformasi sekarang,yang memunculkan masa transisi demokrasi,yang serba rawan baik dari segi sosial, maupunkeamanan. Dengan demikian di masa itubiasanya melestarikan korupsi sistemik yangsudah ada, dan berusia lebih lama daripadausia demokrasi di Indonesia.

Akhirnya, penelitian ini menyiratkan bahwasistem politik yang tidak jelas dan tidak padu-lah yang membuat korupsi demikian sistema-tik dan solid, serta didukung oleh individu-indi-vidu yang menikmati korupsi sebagai bagiankehidupan birokrasi. Sehingga hal itu berim-plikasi sangat luas termasuk dalam watak ataubudaya organisasi birokrasi di Kabupaten Beka-si, yang cenderung mendukung model Webertentang otoritas birokratis patrimonial dan me-nolak otoritas birokratis legal rasional. Pada-hal dalam era sekarang ini birokratis legal ra-sional adalah dambaan pemerintahan mo-deren. Dengan munculnya masalah korupsi

di Indonesia pada umumnya dan KabupatenBekasi pada khususnya, sejak dahulu kala te-lah menghambat munculnya sosok birokrasiyang legal rasional. Dari keseluruhan data daninformasi beberpa sumber yaitu informan kun-ci dan guliran secara keseluruhan berjumlah15 orang, peneliti melakukan pengujian ulangatau pembanding terhadap data yang diper-oleh yang dikenal dengan triangulasi. Informandalam pelaksanaan penelitian ini terbagi men-jadi beberapa kelompok, yaitu :1. Kelompok Informan 1 adalah para

pimpinan Seksi Perizinan IMB, TDP danSIUP

2. Kelompok Informan 2 adalah para stafSeksi Perizinan IMB, TDP, dan SIUP

3. Kelompok Infoman 3 adalah Masyarakatperusahaan kecil, menengah, dan besar.

Selanjutnya data tersebut diuji denganteknik pemeriksaan keabsahan data atautriangulasi sebagai berikut :

F. KESIMPULAN DAN SARANF. 1. Kesimpulan1. Pelayanan yang diberikan oleh aparat

belum didukung oleh penghayatanpengetahuan tentang pelayanan se-hingga kualitas pelayanan kurang baikdan kurang bertanggungjawab. Hal iniberakibat pelayanan tidak dapat dilak-sanakan secara cepat, baik dan adil,meskipun sebenarnya aparat telahmendapat pendidikan tentang pela-yanan pada masyarakat.

2. Rendahnya penghayatan pengetahuantentang pelayanan tersebut mengaki-batkan munculnya perilaku korupsidalam memberikan pelayanan padamasyarakat. Dengan adanya perilakukorupsi maka pelaksanaan pelayananmenjadi kurang cepat, kurang tepat dankurang adil.

3. Perilaku korupsi dalam pelayanandisebabkan perilaku individual dan or-

Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil28

Konflik Sosial

Perilaku korupsi

Gambar 4: Lingkaran Korupsi

Kegagalan Sistem

Page 19: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

ganisational, sehingga dua perilakutersebut membentuk perilaku korupsiyang terorganisir dan sistemik. Sehing-ga kebijakan tentang Pusat PelayananTerpadu yang awalnya untuk memberi-kan pelayanan yang baik dan bertang-gungjawab, tidak dapat terlaksana kare-na adanya kepentingan aparat yangterganggu aktivitas korupsinya bila ke-bijakan tersebut dilaksanakan.

4. Upaya menurunkan perilaku korupsimengalami hambatan yang cukupberarti karena perilaku korupsi sudahdemikian terorganisir dan sistemik.Untuk itu untuk menurunkannya mela-lui pendekatan sistem. Hanya saja,pendekatan sistem juga mengalamikendala dengan adanya beberapa ang-gota DPRD yang juga menikmati hasilkorupsi di lokasi penelitian.

5. Sedangkan upaya menurunkan perila-ku korupsi melalui pengawasan darimasyarakat juga mengalami ham-batan, karena ada beberapa media,atau LSM tertentu yang menikmati ha-sil korupsi dengan jalan memeras apa-rat yang melakukan korupsi.

6. Dengan demikian, korupsi yang terjadidi lokasi penelitian adalah sebuahlingkarang korupsi yang tidak berujungpangkal.

F. 2. SaranF. 2. 1. Saran konseptual untuk

pengembangan ilmu antara lain:

1. Dari segi keilmuan, perlu ada pema-haman bersama dari pemerhati ilmupemerintahan dan politik bahwa sela-ma ada monopoli kekuasaan denganberbagai variasinya ditambah we-wenang minus akuntabilitas, selama itupula akan terus ada korupsi. Di sam-ping itu, bila gaji pegawai negeri kecildan ia tidak mendapat tambahan lain

atau insentif atas prestasinya. Dan, bilasanksi terhdap korupsi jarang ditegak-kan serta ringan pula, maka dapat di-pastikan bahwa korupsi akan meraja-lela.

2. Korupsi seharusnya dianggap sebagaikajian tersendiri dengan melibatkanberbagai disiplin ilmu, agar pema-haman menjadi komprehensif dantidak ketinggalan dengan kecanggihanserta bahaya korupsi itu sendiri. Se-hingga suatu saat kita akan melihat pu-sat-pusat studi korupsi dalam 5-10tahun mendatang di Universitas Pa-djadjaran, dan universitas-universitasbesar di negeri ini. Dan, kualitasnyatidak kalah dengan Pusat Kajian Ameri-ka, Perempuan, Timur Tengah yangada dewasa ini.

F. 2. 2. Saran konseptual untuk kepen-tingan praktek

1. Kunci pemberantasan korupsi adalahmengubah struktur kekuasaan yangstatus qua, agar kekuasaan yangselama ini termonopoli para birokratdan politisi menjadi milik seluruhlapisan rakyat, artinya rakyat memilikiakses yang kuat dalam mengkritisikebijaksanaan di tingkat daerah. Untukdapat memiliki akses yang kuat makapendidikan politik bagi rakyat sangatstrategis, karena berkaitan denganpilihan terhadap partai yang dipilihnya.

2. Selain itu pendidikan dan pelatihan bagibirokrat harus diperbaiki kualitasnyaagar mereka dapat meningkatkan ke-mampuan menegakkan manajemen(enforcing power) pemerintahan. De-ngan demikian pendekatan dua sisiyaitu pendekatan pada struktural danaspek manajemen dapat menjadi so-lusi untuk mengurangi korupsi yangmenghadapi kemandekan.

3. Wewenang pemberian izin dan prose-dur meminta izin perlu dikomunikasi-

Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32 29

Page 20: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

kan secara jelas dan transparan kepa-da masyarakat, jangan ditutup-tutupisehingga baik birokrat dan masyarakattahu akan hak dan kewajibannya ber-kaitan dengan izin yang diajukan. De-ngan transparansi ini, membuat parabirokrat akan lebih bertanggungjawab,sementara rakyat menjadi sadar akan

Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil30

hak dan kewajibannya.4. Menjauhi rasa permusuhan dengan

para birokrat, karena dengan memu-suhi maka akan mempersulit pember-antasan korupsi itu sendiri, yang palingaman adalah menjadikan para birokratadalah agen pendukung pemberan-tasan itu sendiri.

Page 21: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

Jurnal Fisip UMRAH Vol. I, No. 1, 2011 : 11-32 31

Daftar Pustaka

Ahmadi, Abu, 1994, Psikologi Sosial Jakarta,Penerbit PT Rineka Cipta.

Ahmadi, Abu, 1999, Psikologi Sosial, penerbitPT Rineka Cipta, Jakarta.

Anaroga, Pandji dan Sri Suyati, 1995, PerilakuKeorganissian, PT Dunia Pustaka Jaya,Jakarta.Atkinson, Rita, Richard C danHilgard, Ernest R, 1994, PengantarPsikologi Jilid 2, Erlangga, Jakarta.

Alatas, Syed Husin, 1987, Sosiologi Korupsi,LP3ES, Jakarta.

Azwar, Azrul, 1996, Menjaga Mutu PelayananKesehatan, Pustaka Sinar Harapan,Jakarta.

Basyaib, Hamid, Nono Anwar M dkk (ed), 2002,Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi diIndonesia jilid 1-4, Aksara, Jakarta.

Britton, Peter, 1996, Profesionalisme danIdeologi Militer Indonesia, LP3ES, Jakarta.

Creswell, JW. 1994. Research Design Qualitativeand Quantitative. Thousand Daks, London,New Delhi, Sage Publication.

Cushway, Barry & Derek Logge, 1999,Organitational Behavior and Design(Penerjemah Sularno Tjptowardoyo),Jakarta. Flexmedia KomputindoGramedia.

Davey, Kenneth, 1998, PembiayaanPemerintah Daerah, UI Press, Jakarta.

Davis, Keith dan John W Newstrom, 1996,Perilaku Dalam Organisasi, Erlangga,Jakarta.

Garna, Judistira K, 1996, Ilmu-ilmu SosialDasar-Konsep-Posisi, PPs UNPAD,Bandung.

Gasperz, Vincent, 1997, Manajemen KualitasDalam Industri Jasa, Gramedia PustakaUtama, Jakarta.

Gerungan, 2000, Psikologi Sosial, RefikaAditama, Bandung.

Gie, The Liang, 1998, Kode Etik bagi petugasPemerintahan, Pustaka Belajar IlmuBerguna, Yogyakarta.

Kansil, C.S.T, 1978, Sistem PemerintahanIndonesia, Aksara Baru, Bandung.

Kiltgaard, Robert dkk, 2002, PenuntunPemberantasan Korupsi DalamPemerintahan Daerah, Parnership ForGovernance Reform, Jakarta.

Kumorotomo, Wahyudi, 1996, Etika AdminitrasiNegara, PT Radja Grafindo Perkasa,Jakarta.

Likert, Rensis, 1989, Organisasi Manusia,Erlangga, Jakarta.

Lubis, Mochtar & James C Scoot (ed),1993,Korupsi Politik, Yayasan Obor Indonesia,Jakarta.

Lukman, Sampara, 1999, Manajemen KualitasPelayanan, PT. Raja Grafindo Perkasa,Jakarta.

Makmun, Abin Syamsudin, 1998, PsikologiKependidikan, Remaja Rosdakarya,Bandung.

McGlynn, Frank & Tuden, Arthur (ed), 2000,Pendekatan Antropologi pada PerilakuPolitik, UI Press, Jakarta.

Moenir, H.A.S, 1995, Manajemen PelayananUmum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta.

Moleong J. Lexy, 1998, Metodologi PenelitianKualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Muhaimin, Yahya A, 1990, Bisnis dan PolitikKebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980, LP3ES, Jakarta.

Muhammad, Abdul Kadir, 1997, Etika ProfesiHukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Nasution, Adnan Buyung, 1995, AspirasiPemerintahan Konstitusional di IndonesiaStudi Sosiolegal atas Konstituante 1956-1959, Grafiti, Jakarta.

Nawawi, H. Hadori, 1997, Manajemen Sumber

Page 22: PERILAKU APARAT DALAM MEMBERIKAN PELAYANAN CIVIL.pdf

Perilaku Aparat Dalam Memberikan Pelayanan Civil32

Daya Manusia untuk Bisnis yang Kompetitif,Yogyakarta, Gajahmada Universty Press.

Ndraha, Taliziduhu, 2000, Ilmu PemerintahanI,BKU Ilmu Pemerintahan IIP-Unpad,Jakarta.

...., 2000, Ilmu Pemerintahan II, BKU IlmuPemerintahan IIP-Unpad, Jakarta....., 2000, Teori Budaya Organisasi, BKU Ilmu

Pemerintahan IIP-Unpad, Jakarta......, 1989, Konsep Admintrasi dan Adminitrasi di

Indonesia, Bina Aksara, Jakarta.Osborne, David & Ted Gaebler, 2000, Reinven-

ting Goverment, MemwirausahakanBirokrasi, Penerbit PPM, Jakarta.

Osborrne, David dan Peter Plastrik, 2000,Memangkas Birokrasi, Lima StrategiMenuju Pemerintahan Wirausaha, PenerbitPPM, Jakarta.

Pope, Jeremy, 2003, Strategi MemberantasKorupsi Elemen Sistem Integritas Nasional,Transparency International Indonesia,Jakarta.

Raphael, DD, 1992, Problem of PoliticalPhiloshophy, Humanities Press Interna-tional Inc, USA.

Redjo, Samugyo Ibnu, 1998, Analisis Peme-ntahan di Indonesia, Media Fisip UnpadPress, Bandung.

Revrison Baswir, 1999, Pembangunan TanpaPerasaan, Pustaka Pelajar-Elsam,Yogyakarta.

Ryaas, M Rasyid, 1997, Kajian Awal BirokrasiPemerintahan Politik Orde Baru, YarsifWatampone Jakarta.

Scott, James C, 2000, Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah, Yayasan OborIndonesia, Jakarta.

Sedarmiyati, 2000, Restrukturisasi danpemberdayaan Organisasi untuk Meng-hadapi Dinamika perubahan Lingkungan,CV Mandar Maju, Bandung.

Siagian, S.P, 1987, Teknik Menumbuhkandan Memelihara Perilaku Organisasional,Haji Mas Agung, Jakarta.

Soedjatmoko, 1984, Dimensi Manusia dalam

Pembangunan, LP3ES, Jakarta.Sudarsono, 1998, Gigolo dan Seks Resiko

Penularan dan pencegahan PMS, PPKUGM-Ford Foundation, Yogyakarta.

Sugiarto, Endar, 1999. Psikologi PelayananDalam Industri Jasa, Gramedia PustakaUtama, Jakarta.

Supranto, Johanes, 1997, Pengukuran TingkatKepuasan Pelanggan Untuk MenaikkanPangsa Pasar, Penerbit Rineka Cipta,Jakarta.

Suseno, Franz Magnis, 1994, Etika Politik :Prinsip-prinsip Moral Dasar KenegaraanModern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Suwarsono, Alvin Y. So, 1994, PerubahanSosial dan Pembangunan, LP3ES, Jakarta.

Sundhaussen, UlF, 1986, Politik Milik Indonesia1945-1965, Jakarta, LP3ES.

Thoha, Miftah, 1995, Birokrasi IndonesiaDalam Era Globalisasi, PD Batang Gadis,Jakarta.

Tyson, Shaun dan Tono Jackson, 2000,Perilaku Organisasi, Penerbit Andi, Jakarta.Winardi, J, 1989, Perilaku Organisasi,Penerbit Tarsito, Bandung.

Woworuntu, Bob, 1997, Dasar-dasarKetrampilan Abdi Negara MelayaniMasyarakat, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta.

Artikel:Djaenuri, M. Aris, 1999, Manajemen Pelayanan

Umum, Institiut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.Jaferson Kameo, 2003, Menggali Akar Korupsi,

Media Indonesia (Maret), Jakarta.Saefullah, A Djadja, 1999, Reformasi Pelayanan

Umum, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Bandung.

Lu, Xiaobo, 2000. Organizational Corruptionin China, Comparative Poitics (April)

Kompas, 13 Maret 2000Media Indonesia, 24 Juli 2003Republika, 8 Mei 2003