Upload
tiamartina
View
59
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
Pengelolaan Dana Perimbangan dan
Dana Otonomi Khusus dan
Penyesuaian
Oleh :
Amiruddin Maula (3)
Dzimar Rusydi Bathni (11)
Martina Dwi Pramesthi (19)
Okky Verizky Nobelta (27)
Rizki Nadia (32)
Kelompok 4
Kelas 3L
Spesialisasi Akuntansi
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
2012
1
Pengelolaan Dana Perimbangan dan Dana Otsus
dan Penyesuaian
DANA PERIMBANGAN
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menurut Ketentuan
Umum Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil
proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah. Perimbangan Keuangan antara pusat dan daerah merupakan subsistem
keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara pemerintah pusat dan
daerah.
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi. Dana perimbangan ini terdiri dari dana bagi hasil (DAU), dana alokasi
umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Jumlah dana perimbangan ditetapkan setiap
tahun anggaran dalam APBN (UU no 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pusat dan Pemerintah Daerah pasal 10)
Tujuan dari dana perimbangan
1) Terciptanya pemerintahan dengan otonomi yang kuat dan sanggup berjalan dengan
kemampuan administrasi sendiri.
2) Tercapainya pelayanan masyarakat yang semakin baik.
3) Kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik.
4) Pemerintah daerah mendapatkan jatah dari hasil kerjanya.
5) Tercapainya suatu sistim kerja yang baik antara pemerintah pusat dan daerah.
6) Terdorongnya otonomi daerah dengan keterlibatan operasianal oleh pemerintah
pusat
Secara umum, pengelompokkan dana perimbangan dan transfer ke daerah dapat
digambarkan seperti bagan berikut ini.
2
A. DANA ALOKASI UMUM (DAU)
DAU merupakan salah satu transfer dana Pemerintah yang bersumber dari APBN,
yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DAU bersifat “Black
Grant” yang berarti penggunaannya diserahkan kepada daerah sesuai dengan prioritas dan
kebutuhan daerah untuk peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
pelaksanaan otonomi daerah
DASAR HUKUM
1. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah; dan
2. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
3
3. Perpres No. 53 Tahun 2009 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi,
Kabupaten, dan Kota
ALOKASI DAU
1. Dialokasi untuk daerah provinsi dan kabupaten/kota
2. Besaran DAU ditetapkan sekurang – kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri
(PDN) Netto yang ditetapkan dalam APBN
3. Proporsi DAU untuk daerah provinsi dan untuk daerah kabupaten/kota ditetapkan
sesuai dengan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota
TUJUAN DAN FUNGSI DAU
Ada beberapa alasan perlunya dilakukan pemberian Dana Alokasi Umum dari pemerintah
pusat ke daerah, yaitu:
1. Untuk mengatasi permasalahan ketimpangan fiskal vertical. Hal ini disebabkan
sebagian besar sumber-sumber penerimaan utama di negara bersangkutan. Jadi
pemerintah daerah hanya menguasai sebahagian kecil sumber-sumber penerimaan
negara atau hanya berwenang untuk memungut pajak yang bersifat lokal dan
mobilitas yang rendah dengan karakteristik besaran penerimaan relatif kurang
signifikan.
2. Untuk menanggulangi persoalan ketimpangan fiskal horizontal. Hal ini disebabkan
karena kemampuan daerah untuk menghimpun pendapatan sangat bervariasi,
tergantung kepada kondisi daerah dan sangat bergantung pada sumber daya alam
yang dimiliki daerah tersebut.
3. Untuk menjaga standar pelayanan minimum di setiap daerah tersebut.
4. Untuk stabilitas ekonomi. Dana Alokasi Umum dapat dikurangi di saat
perekonomian daerah sedang maju pesat, dan dapat ditingkatkan ketika
perekonomian sedang lesu.
Sedang tujuan umum dari Dana Alokasi Umum adalah untuk:
1. Meniadakan atau meminimumkan Ketimpangan fiskal vertical
2. Meniadakan atau meminimumkanketimpangan fiskal horizontal
3. Menginternalisasikan/memperhitungkan sebahagian atau seluruh limpahan
manfaat/biaya kepada daerah yang menerima limpahan manfaat tersebut.
4
TAHAPAN PENGHITUNGAN DAU
1. Tahapan Akademis
Konsep awal penyusunan kebijakan atas implementasi formula DAU dilakukan oleh
Tim Independen dari berbagai universitas
2. Tahapan Administrasi
Dalam tahapan ini Depkeu c.q. DJPK melakukan koordinasi dengan instansi terkait
untuk penyiapan data dasar penghitungan DAU
3. Tahapan Teknis
Merupakan tahap pembuatan simulasi penghitungan DAU yang akan
dikonsultasikan Pemerintah kepada DPR RI
4. Tahapan Politis
Merupakan tahap akhir, pembahasan, penghitungan dan alokasi DAU antara
Pemerintah dengan Panja Belanja Daerah Panitia Anggaran DPR RI untuk
konsultasi dan mendapatkan persetujuan hasil penghitungan DAU
FORMULASI DAU
1. Formula DAU
Formula DAU menggunakan pendekatan celah fiscal (fiscal gap) yaitu selisih antara
kebutuhan fiscal (fiscal needs) dikurangi dengan kapasitas fiscal (fiscal capacity)
daerah dan Alokasi Dasar (AD) berupa jumlah gaji PNS daerah.
Rumus formula DAU
Dimana:
AD = Gaji PNS Daerah
CF = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
2. Variabel DAU
a. Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang digunakan untuk
pendekatan perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari: jumlah penduduk, luas
wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi
(IKK), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita.
DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiskal (CF)
5
b. Komponen variabel kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang merupakan sumber
pendanaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana
Bagi Hasil (DBH)
3. Metode Penghitungan
a. Alokasi Dasar (AD)
Besaran Alokasi Dasar dihitung berdasarkan realisasi gaji Pegawai Negeri Sipil
Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangan-tunjangan
yang melekat
sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku.
b. Celah Fiskal (CF)
Untuk mendapatkan alokasi berdasar celah fiskal suatu daerah dihitung dengan
mengalikan bobot celah fiskal daerah bersangkutan (CF daerah dibagi dengan total
CF nasional) dengan alokasi DAU CF nasional. Untuk CF suatu daerah dihitung
berdasarkan selisih antara KbF dengan KpF, sebagai berikut:
i. Kebutuhan Fiskal (KbF)
Dimana:
TBR = Total Belanja Rata-rata APBD
IP = Indeks Jumlah Penduduk
IW = Indeks Luas Wilayah
IPM = Indeks Pembangunan Manusia
IKK = Indeks Kemahalan Konstruksi
IPDRB/kap = Indek Produk Domestik
Regional Bruto per kapita
α = Bobot Indeks
ii. Kapasitas Fiskal (KpF)
Dimana:
KbF= TBR (1IP + 2IW + 3IKK + 4IPM + 5 IPDRB)
KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA
6
PAD = Pendapatan Asli Daerah
DBH Pajak = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pajak
DBH SDA = Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Sumber Daya Alam
Penentuan Bobot Dana Alokasi Umum Provinsi dan Kabupaten/Kota
1. Dana Alokasi Umum Provinsi
DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian
bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi.
7
DAU DPropi = Bobot DPropi x DAU Prop
Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi
yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi.
2. Dana Alokasi Umum Kabupaten/kota
DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota dihitung berdasarkan
perkalian bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh
daerah kabupaten/kota.
DAU DKab/Kotai = Bobot DKab/Kotai x DAU Kab/Kota
Bobot daerah kab/kota merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah kab/kota
yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah kab/kota
Kebutuhan fiskal dihitung berdasarkan perkalian antara Total Belanja Rata-rata
dengan penjumlahan dari pembobotan indeks jumlah penduduk, indeks luas
wilayah, indeks kemahalan konstruksi, invers indeks pembangunan manusia, dan
invers Produk Domestik Regional Bruto per kapita
Indeks jumlah penduduk dihitung dengan rumus:
Indeks luas wilayah dihitung dengan rumus:
Bobot DKab/Kota i
= Celah Fiskal DKab/Kota
i
Total Celah Fiskal Seluruh Daerah Kab/Kota
Total Belanja Rata-
rata X
α1 indeks jumlah penduduk+ α
2 indeks luas
wilayah + α3 indeks kemahalan konstruksi
+ α4 indeks pembangunan manusia + α
5
indeks PDRB per kapita
KbF =
8
Indeks kemahalan konstruksi dihitung dengan rumus:
Indeks pembangunan manusia dihitung dengan rumus:
Indeks PDRB per kapita dihitung dengan rumus:
Total Belanja Daerah Rata-Rata
Dalam penghitungan Total Belanja Daerah Rata-rata tidak dimasukkan data
belanja daerah yang jauh di atas dan/atau di bawah rata-rata (outlier), agar lebih
mencerminkan tingkat kewajaran total belanja rata-rata daerah.
9
B. DANA ALOKASI KHUSUS
DASAR HUKUM
Beberapa produk hukum yang mendasari Dana Alokasi Hukum (DAK) antara lain sebagai
berikut
a. UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah
b. PP Nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan
c. PMK DAK 2012: Nomor 209/PMK.07/2011 tentang Penetapan Alokasi dan
Pedoman Umum DAK
d. PMK Nomor 06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban
Anggaran Transfer ke Daerah
e. PMT tentang Petunjuk Teknis Penggunaan DAK
f. PMDN tentang Pengelolaan Keuangan DAK di Daerah
DEFINISI
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai
kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Tujuan dibentuknya DAK adalah untuk membantu daerah tertentu untuk mendanai
kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat, dan untuk mendorong
percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional. (UU no 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah).
Lebih lanjut mengenai Dana Alokasi Khusus (DAK) diatur juga dalam pasal 51 dan
52 PP 55/2005 tentang Dana Perimbangan. Dana Alokasi Khusus adalah dana yang
bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan bagian dari progam yang menjadi prioritas nasional yang menjadi
urusan daerah.
10
Pokok-pokok penting pengertian DAK
- Daerah tertentu sebagaimana dimaksud adalah daerah yang dapat memperoleh
alokasi DAK berdasarkan criteria umum, criteria khusus dan criteria teknis.
- Membantu dalam arti “bukan penyediaan dana yang utama” dan/atau “bukan
menggantikan yang semua sudah ada” Demikian juga hanya “diberikan kepada
daerah/bidang yang menurut kebijakannya harus dibantu”
- Kegiatan Khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah mengutamakan kegiatan
pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan sarana
dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarkat dengan umur ekonomis yang panjang,
termasuk pengadaan sarana fisik penunjang
- Kewenangan daerah, berartii bukan kewenangan pusat atau Kementerian/lembaga
- Program yang menjadi prioritas nasional sebagaimana dimaksud dimuat dalam
Rencana Kerja Pemerintah tahun anggaran bersangkutan. RKP yang telah disetuji
DPR, selanjutnya dimuat dalam Nota Keuangan dan RAPBN
MEKANISME PENGALOKASIAN DAK
A. Penetapan Program dan Kegiatan DAK
DAK dialokasikan dalam APBN sesuai dengan program yang menjadi prioritas
nasional yang dimuat dalam RKP tahun anggaran yang bersangkutan. Menteri
Teknis terlebih dahulu mengusulkan kegiatan khusus yang akan didanai dari
DAK dan ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri,
Menteri Keuangan, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional,
sesuai dengan RKP. Kemudian Menteri Teknis menyampaikan ketetapan
tentang kegiatan khusus tersebut kepada Menteri Keuangan.
B. Penghitungan Alokasi DAK
Setelah menerima usulan kegiatan khusus dari Menteri Teknis terkait, Menteri
Keuangan melakukan penghitungan alokasi DAK (Pasal 53 PP 55 tahun 2005).
Penghitungan Alokasi DAK dilakukan melalui dua tahapan yaitu: (Pasal 54 PP
55 tahun 2005)
11
o Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK
o Penentuan besaran alokasi DAK masing-masing daerah
Kriteria Pengalokasian DAK menurut Pasal 40 UU 33 tahun 2004, yaitu
o Kriteria Umum (KU), dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan
daerah yang tercermin dari penerimaan umum APBD setelah dikurang
belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD)
KU = (PAD+DAU+DBH-DBH DR) – Belanja Gaji PNSD.
Daerah dengan KU dibawah rata-rata KU secara Nasional adalah daerah
yang prioritas mendapatkan DAK.
o Kriteria Khusus (KK), berupa
Peraturan perundang-undangan mengatur penyelenggaraan
otonomi khusus (Papua&Papua Barat), dan seluruh daerah
tertinggal diprioritaskan mendapat alokasi DAK
Karakteristik daerah meliputi:
Daerah tertinggal
Daerah perbatasan dengan Negara lain
Daerah rawan bencana
Daerah pesisir dan/atau kepulauan
Daerah ketahanan pangan
Daerah pariwisata
o Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang
dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana, serta pencapaian
teknis pelaksanaan kegiatan DAK di daerah. (Pasal 57 PP 55/2005)
Kemudian besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan
perhitungan indeks berdasarkan criteria umum, criteria khusus dan criteria
teknis.
12
Kriteria Umum Kemampuan
Keuangan Daerah Indeks Fiskal Netto (IFN)
Kriteria Khusus Peraturan yg berlaku
& karakteristik kewilayahan
Indeks Kewilayahan (IKW)
Indeks Fiskal,
Wilayah dan
Teknis (IFWT)
Kriteria Teknis Ditetapkan oleh menteri teknis
terkait
Indeks Tenkis Per Bidang (IT)
13
Fungsi Kriteria/Indeks Teknis
1. Penentuan Daerah Penerima
a. Jika suatu daerah tidak layak dari sisi criteria umum maupun criteria khusus
(IFN>1; IFWT<1), dimungkinkan mendapatkan alokasi DAK di bidang
tertentu jika criteria teknis di bidang tersebut signifikan
b. Sebaliknya jika suatu daerah layak dari sisi criteria umum maupun criteria
khusus, namun daerah itu tidak mempunyai kebutuhan teknis di suatu
bidang (IT=0) maka daerah tersebut tidak akan mendapatkan alokasi DAK
bidang tersebut
2. Penentuan Besaran Alokasi
Diantara tiga indeks yang ada, Indeks Teknis mempunyai bobot yang terbesar di
dalam penentuan besaran alokasi DAK untuk masing-masing daerah.
C. Penetapan Alokasi dan Penggunaan DAK
Penetapan alokasi dan penggunaan DAK berpedoman pada Pedoman Umum dan
Alokasi DAK per daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Tersebut, Menteri Teknis menyusun
Petunjuk Teknis Penggunaan DAK.
D. Penganggaran DAK
Menurut PP 55/2005 tentang Dana Perimbangan Pasal 60 menyebutkan
bahwa Daerah penerima DAK wajib mencantumkan alokasi dan penggunaan DAK
di dalam APBD. Penggunaan DAK dilakukan sesuai dengan Petunjuk Tenkis
Penggunaan DAK, dan DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi
kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian, dan perjalanan dinas. Daerah
penerima DAK dapat melakukan optimalisasi penggunaan DAK dengan
merencanakan dan menganggarkan kembali kegiatan DAK dalam APBD Perubahan
tahun berjalan apabila akumulasi nilai kontrak pada suatu bidang DAK lebih kecil
dari pagu bidang DAK tersebut. Optimalisasi penggunaan DAK sebagaimana
14
dimaksud dilakukan untuk kegiatan-kegiatan pada bidang DAK yang sama sesuai
dengan petunjuk teknis yang ditetapkan.
Dalam hal terdapat sisa DAK pada kas daerah saat tahun anggaran berakhir,
daerah dapat menggunakan sisa DAK tersebut untuk mendanai kegiatan DAK pada
bidang yang sama tahun anggaran berikutnya sesuai dengan petunjuk teknis tahun
anggaran sebelumnya dan/atau tahun anggaran berjalan. Sisa DAK sebagaimana
dimaksud tidak dapat digunakan sebagai dana pendamping DAK. Pemerintah
daerah menyampaikan laporan penggunaan Sisa DAK sebagaimana dimaksud pada
kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan c.q. Direktur Dana Perimbangan
setelah kegiatan yang didanai dari sisa DAK selesai. (Pasal 29 PMK 06/2012)
POLA PENYALURAN DAK SESUAI PMK 06/PMK.07/2012
Penyaluran paling cepat Februari, setelah (1) Perda APBD, (2) Laporan DAK tahun sebelumnya, (3) Laporan Realisasi DAK tahap 3 (4) Rekap SP2D, (5) Surat Pernyataan Dana Pendamping diterima DJPK
Prinsip penyaluran adalah untuk pengisian Kas Daerah
Disalurkan secara bertahap
Tahap 1 : 30%
Tahap 2: 45% setelah sisa dana tahap 1 < 10%
Tahap 3 : 25% setelah sisa di kas Daerah < 10%
Data Penyerapan DAK dibuktikan dengan Laporan Penyerapan yang diterima Depkeu
Penyaluran paling akhir selambat-lambatnya 7 hari kerja sebelum akhir desember, dan tidak dapat dilakukan sekaligus di akhir tahun.
15
16
C. DANA BAGI HASIL (DBH)
DEFINISI
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil berdasarkan
angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Dana Bagi Hasil terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam
(SDA).
DASAR HUKUM
1. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;
2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang PerimbanganKeuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah;
3. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;
4. UUNo. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
5. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan; dan
6. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
PRINSIP-PRINSIP DANA BAGI HASIL
1. Pengalokasian DBH dilakukan berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil).
2. Penyaluran berdasarkan realisasi penerimaan.
DANA BAGI HASIL PAJAK
17
No Jenis Penerimaan
Pajak
UU No 33 tahun 2004
Pusat Provinsi Kab/Kot
a
Biaya
Pemungut
1 Pajak Bumi dan
Bangunan 10% 16,2% 64,8% 9%
2 Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan
Bangunan
20% 16% 64%
3 PPh Psl 25 dan 29
WPOP DN dan PPh
21
80% 8% 12%
Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri
Nomor 186/PMK.07/2010 dan Nomor 53/2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagai Pajak Daerah; bahwa sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan dialihkan menjadi
pajak daerah paling lambat tahun 2014; bahwa dengan dialihkannya Pajak Bumi dan
Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka tidak terdapat
alokasi Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan;
DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM
18
No Jenis Penerimaan
UU No 33 tahun 2004 UU
O
tsus
Pap
ua
dan
UU
PA
Pusat
Pro
v
Kab
/Kot
a Kab
/Kot
a Lain
nya
1 Kehutanan
a. IIUPH 20% 16% 64% 80%
b. PSDH 20% 16% 32% 32% 80%
c. Dana Reboisasi 60% 40% 40%
2 Pertambangan Umum
a. Landrent 20% 16% 64% 80%
b. Royalti 20% 16% 32% 32% 80%
3 Perikanan 20% 80% 80%
4 Minyak Bumi 84,5% 3,1% 6,2% 6,2% 70%
5 Gas Bumi 69,5% 6,1% 12,2% 12,2% 70%
6 Panas Bumi 20 16 32 32 80%
JENIS PENERIMAAN DBH SDA
1. Kehutanan, berasal dari:
a. Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH);
b. Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); dan
c. Dana Reboisasi.
2. Pertambangan Umum, berasal dari:
a. Iuran Tetap (Landrent); dan
b. Iuran Eksplorasi dan Eksploitasi (royalty).
3. Perikanan, berasal dari:
a. Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan
b. Pungutan Hasil Perikanan.
4. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, berasal dari:
19
a. Penerimaan Negara dari pertambangan minyak bumi dalam bentuk dana bagi hasil
dialokasikan kepada pemerintah daerah sebesar 15,5% setelah dikurangi komponen pajak
dan pungutan lainnya serta bagian Pemerintah Pusat sebesar 84,5%; dan
b. Penerimaan Negara dari pertambangan gas bumi dalam bentuk dana bagi hasil
dialokasikan kepada pemerintah daerah sebesar 30,5% setelah dikurangi komponen pajak
dan pungutan lainnya serta bagian pemerintah Pusat sebesar 69,5%.
5. Pertambangan Panas Bumi, berasal dari:
a. Setoran Bagian Pemerintah; atau
b. Iuran Tetap dan Iuran Produksi.
TAHAP PENETAPAN DBH SDA
1. Menteri teknis menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH SDA paling
lambat 60 hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan, setelah berkonsultasi
dengan Menteri Dalam Negeri dan disampaikan kepada Menteri Keuangan.
2. Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau berada pada
lebih dari satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil sumber daya
alam berdasarkan pertimbangan menteri teknis terkait paling lambat 60 hari setelah
diterimanya usulan pertimbangan dari Menteri Teknis.
3. Ketetapan Menteri Dalam Negeri sebagaimana disebutkan dalam butir 2 di atas menjadi
dasar penghitungan DBH SDA oleh Menteri Teknis.
4. Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH SDA untuk masing-masing
daerah paling lambat 30 hari setelah diterimanya ketetapan dari Menteri Teknis.
5. Perkiraan alokasi DBH SDA Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk masing-masing
daerah ditetapkan paling lambat 30 hari setelah menerima ketetapan dari Menteri Teknis
sebagaimana dimaksud pada butir 1, perkiraan bagian Pemerintah, dan perkiraan unsur-
unsur pengurang lainnya.
PENGHITUNGAN REALISASI PRODUKSI DBH SDA
1. Penghitungan realisasi DBH SDA dilakukan secara triwulanan melalui mekanisme
rekonsiliasi data antara Pemerintah dan daerah penghasil kecuali untuk DBH SDA
Perikanan.
20
2. Penghitungan realisasi DBH SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi didasarkan atas realisasi
lifting minyak bumi dan/atau gas bumi dari departemen teknis.
PEMANTAUAN DAN EVALUASI DBH SDA
1. Pemantauan dan evaluasi teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH Dana
Reboisasi (DR) dilaksanakan oleh Menteri Teknis;
2. Pemantauan dan evaluasi atas penggunaan anggaran rehabilitasi hutan dan lahan yang
berasal dari DBH DR dan penggunaan anggaran pendidikan dasar (sebesar 0,5% dari
minyak bumi dan gas bumi) dilaksanakan oleh Menteri Keuangan;
3. Dalam hal terdapat indikasi adanya penyimpangan, Menteri Keuangan dapat meminta
aparat pengawasan fungsional untuk melakukan pemeriksaan.
21
D. OTONOMI KHUSUS (OTSUS)
Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah
‘tertentu’ untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri tetapi sesuai dengan hak dan aspirasi masyarakat di daerah tersebut.
Kewenangan ini diberikan agar daerah ‘tertentu’ dapat menata daerah dan bagian dari
daerah tersebut agar lebih baik lagi di bidang tertentu sesuai dengan aspirasi daerahnya.
Otonomi khusus ditawarkan melebihi otonomi daerah biasa karena otonomi ini
diberikan kepada daerah ‘tertentu’ yang berarti daerah tersebut mempunyai kelompok
gerakan kemerdekaan yang ingin memisahkan dirinya dari wilayah NKRI. Jadi secara tidak
langsung, pemerintah memberikan otonomi khusus ini sebagai bentuk pendekatan damai
agar kelompok gerakan tersebut tidak terus bergejolak.
Butuh pertimbangan yang sangat matang untuk memberikan otonomi khusus
kepada daerah ‘tertentu’ ini. Karena suatu negara sangat bergantung pada pendapatan
daerah ‘tertentu’ yang akan diberikan otonomi khusus. Diperlukan beberapa kesepakatan
agar kedua belah pihak (negara yang memberikan otsus dan daerah yang menerima otsus)
akan sama-sama diuntungkan dengan adanya otonomi khusus ini karena setiap bangsa atau
negara memerlukan kemajuan yang relatif meningkat untuk melaksanakan proses
berkembangnya negara menuju kondisi yang lebih baik.
PERBEDAAN OTONOMI DAERAH DAN OTONOMI KHUSUS
Perbedaan Otonomi Daerah dan Otonomi Khusus
No Segi Otonomi Daerah Otonomi Khusus
1. Berlakunya
otonomi
Kewenangan yang
berlaku untuk semua
daerah di suatu negara.
Kewenangan yang tidak semua daerah
memperolehnya, melainkan karena adanya
faktor-faktor tertentu yang menyebabkan
daerah ‘tertentu’ memperolehnya.
2. Dasar hukum UU Otonomi Daerah:
UU Nomor 32 Tahun
2004, di mana diatur apa
saja kewenangan, hak,
dan kewajiban daerah.
UU Otonomi Khusus yang sesuai dengan
daerah ‘tertentu’
22
Beberapa daerah yang diberikan otonomi khusus
1. Papua dan Papua Barat
Otonomi Khusus Provinsi Papua diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2001 terdiri dari 79 pasal yang telah diubah dengan Perpu Nomor 1 Tahun
2008. Keputusan penyatuan Papua menjadi bagian dari NKRI merupakan salah satu
tujuan NKRI. Namun kenyataannya berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan masih menimbulkan masalah di Papua seperti
kesejahteraan rakyat yang timpang antara kaum pendatang dan pribumi,
kesenjangan ekonomi pusat dan daerah, eksploitasi sumber daya alam perusahaan
asing yang minim dirasakan manfaatnya oleh rakyat Papua, kesenjangan tingkat
pendidikan dan sumber daya manusia antara pendatang dan pribumi dan minimnya
infrastruktur dan konektivitas serta sering terjadinya konflik berdarah akibat kisruh
Papua.
Untuk menyelesaikan berbagai masalah tersebut, pemerintah pada tahun 1999 dan
2000 menetapkan perlu memberikan status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian
Jaya, hal ini merupakan suatu langkah awal dalam rangka membangun kepercayaan
rakyat kepada pemerintah untuk melaksanakan upaya penyelesaian masalah-
masalah di provinsi Papua
Dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua (dan provinsi-provinsi hasil
pemekarannya) mendapat bagi hasil dari pajak dan sumber daya alam sebagai
berikut:
1. Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan puluh persen)
2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebesar 80% (delapan puluh
persen)
3. Pajak Penghasilan Orang Pribadi sebesar 20% (dua puluh persen)
4. Kehutanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
5. Perikanan sebesar 80% (delapan puluh persen)
6. Pertambangan umum sebesar 80% (delapan puluh persen)
23
7. Pertambangan minyak bumi 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun
terhitung dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh
persen)
8. Pertambangan gas alam 70% (tujuh puluh persen) selama 25 tahun terhitung
dari tahun 2001. Mulai tahun ke-26 menjadi 50% (lima puluh persen).
Sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) penerimaan Pertambangan minyak
bumi dan gas alam dialokasikan untuk biaya pendidikan, dan sekurang-kurangnya
15% (lima belas persen) untuk kesehatan dan perbaikan gizi
2. Aceh
Setelah otonomi khusus diberikan kepada Aceh, nama daerah Aceh berubah
menjadi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam). Otonomi khusus memberikan
kebebasan Aceh dalam mengurus sistem pengadilan dan pendidikannya sendiri.
DEFINISI
Dana Otonomi Khusus adalah dana yang dialokasikan untuk membiayai
pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua menjadi Undang-Undang dan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Dana Otonomi Khusus
dibagi menjadi 5, yaitu:
1. Dana Otonomi Khusus Papua
2. Dana Otonomi Khusus Papua Barat
3. Dana Otonomi Khusus Nanggtoe Aceh Darussalam
4. Dana Infrastruktur Papua
5. Dana Infrastruktur Papua Barat
Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat didasarkan
pada UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan UU
Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan
atas Undang-undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
24
Dalam APBN tahun 2002 sampai dengan tahun 2012 telah dialokasikan Dana Otonomi
Khusus yang besarannya setara dengan 2 persen dari DAU nasional untuk Provinsi Papua
dan Papua Barat dengan pembagian 70 persen untuk Provinsi Papua dan 30 persen untuk
Provinsi Papua Barat. Penggunaan Dana Otonomi Khusus diutamakan untuk pendanaan di
bidang pendidikan dan kesehatan.
Dana Otonomi Khusus juga diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh yang besarannya setara dengan 2 persen dari DAU
nasional untuk 15 tahun pertama dan 1 persen dari DAU nasional untuk 5 tahun terakhir
dan penggunaannya diarahkan untuk mendanai pembangunan dan pemeliharaan
infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan
pendidikan, sosial, dan kesehatan.
Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus kepada Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat juga dialokasikan dana tambahan untuk infrastruktur, yang
besarannya disepakati antara Pemerintah dengan DPR, yang penggunaannya diutamakan
untuk pendanaan pembangunan infrastruktur. Berkaitan dengan hal tersebut, alokasi Dana
Otonomi Khusus dalam RAPBN 2013 direncanakan sebesar Rp13,2 triliun (0,1 persen dari
PDB). Pagu alokasi Dana Otonomi Khusus tersebut naik Rp1,3 triliun (10,8 persen) bila
dibandingkan dengan alokasi dalam APBNP 2012 sebesar Rp12,0 triliun. Alokasi Dana
Otonomi Khusus Rp13,2 triliun tersebut terdiri atas:
a. Dana Otonomi Khusus untuk Papua sebesar Rp6,1 triliun. Sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2008, Dana Otonomi Khusus untuk Papua tersebut
dibagikan kepada Provinsi Papua sebesar Rp4,3 triliun dan Provinsi Papua Barat
sebesar Rp1,8 triliun.
b. Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi Aceh sebesar Rp6,1 triliun.
c. Dana tambahan Otonomi Khusus Infrastruktur Papua dan Papua Barat sebesar
Rp1,0 triliun. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, Dana
Tambahan Infrastruktur Papua dan Papua Barat tersebut dibagikan kepada Provinsi
Papua sebesar Rp571,4 miliar dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp428,6 miliar.
Selanjutnya, guna mendukung percepatan pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi
Papua Barat, Pemerintah membentuk unit yang mengkoordinasikan dan mengawasi
25
penggunaan anggaran yang dialokasikan termasuk Dana Otonomi Khusus agar menjadi
lebih baik.
Perkembangan APBN, 2007-2013
Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
(Triliun Rupiah)
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Real. Real. Real. Real. Real. APBNP Outlook RAPBN
9,3 13,7 21,3 28,0 64,1 70,4 70,4 83,6
Transfer ke Daerah, 2012-2013
Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
(Miliar Rupiah)
2012
APBN-P
% thd
PDB
2013
RAPBN
% thd
PDB
Dana Otsus 10.952,6 0,1 12.246,4 0,1
a. Dana Otsus Papua dan Papua Barat
- Provinsi Papua
- Provinsi Papua Barat
5.476,3
3.833,4
1.642,9
0,1
0,0
0,0
6.123,2
4.286,3
1.837,0
0,1
0,0
0,0
b. Dana Otsus Aceh 5.476,3 0,1 6.123,2 0,1
RAPBN 2013 dan PRAKIRAAN MAJU 2014-2016
Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian
(Triliun Rupiah)
RAPBN 2013 Prakiraan Maju
2014 2015 2016
83,6 98,6 109,9 121,0
26
E. DANA PENYESUAIAN
DEFINISI
Definsi
(PASAL 1 ANGKA 25 UU NOMOR 45 TAHUN 2007 TENTANG ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2008)
dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam melaksanakan kebijakan
Pemerintah Pusat.
PASAL 1 ANGKA 27 UU NOMOR 41 TAHUN 2008 TENTANG ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2009)
dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melak-sanakan
kebijakan pemerintah pusat dan membantu mendukung percepatan pembangunan di
daerah.
PASAL 1 ANGKA 28 UU NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA TAHUN ANGGARAN 2011)
dana yang dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksanakan
kebijakan tertentu Pemerintah dan DPR sesuai peraturan perundangan, yang terdiri
atas dana insentif daerah, Dana Tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil
Daerah (PNSD), dana-dana yang dialihkan dari Kementerian Pendidikan Nasional
ke Transfer ke Daerah, berupa Tunjangan Profesi Guru dan Bantuan Operasional
Sekolah (BOS), Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah, serta Kurang Bayar Dana
Sarana dan Prasarana Infrastruktur Provinsi Papua Barat.
Dalam RAPBN 2013, alokasi Dana Penyesuaian terdiri atas Dana Tambahan Penghasilan
Guru PNSD, Dana Insentif Daerah, Tunjangan Profesi Guru PNSD, Bantuan
Operasional Sekolah (BOS), dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi
(P2D2).
27
DANA TAMBAHAN PENGHASILAN GURU PEGAWAI NEGERI SIPIL
DAERAH (PNSD)
Dasar hukum: Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2009.
Guru Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disebut Guru adalah Pegawai Negeri Sipil
yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan Guru sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, yang mempunyai satuan administrasi pangkal pada Taman Kanak-
kanak/Taman Kanak-kanak Luar Biasa/Raudlatul Athfal/Bustanul Athfal, Sekolah Dasar/
Sekolah Dasar Luar Biasa/Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/Sekolah
Menengah Pertama Luar Biasa/ Madrasah Tsanawiyah, dan Sekolah Menengah
Atas/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa/Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah
Aliyah/Madrasah Aliyah Kejuruan atau bentuk lain yang sederajat.
Tambahan penghasilan merupakan sejumlah uang yang diterimakan kepada Guru
yang belum menerima tunjangan profesi dan diberikan setiap bulan.
Besarnya tambahan penghasilan bagi Guru sebesar Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh
ribu rupiah) setiap bulan dan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2009.
Pemberian tambahan penghasilan bagi Guru dihentikan apabila Guru yang
bersangkutan diangkat dalam jabatan struktural atau jabatan fungsional lain atau sudah
menerima tunjangan profesi atau karena hal lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
DANA INSENTIF DAERAH (DID)
Dana Insentif Daerah (DID) ditujukan terutama dalam rangka pelaksanaan fungsi
kependidikan yang dialokasikan kepada daerah dengan mempertimbangkan kriteria
tertentu.
TUNJANGAN PROFESI GURU (TPG)
Tunjangan Profesi Guru diberikan kepada Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah
(PNSD) yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan
28
ketentuan peraturan perundang-undangan, yang diberikan sebesar 1 (satu) kali gaji pokok
PNS yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dasar Hukum
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengatur bahwa guru dan dosen berkedudukan
sebagai tenaga profesional yang bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional.
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru dan dosen berhak atas tunjangan profesi
yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.
Tunjangan profesi tersebut diberikan kepada guru dan dosen yang telah memiliki sertifikat
pendidik yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan yang
diselenggarakan oleh masyarakat. Selain memperoleh tunjangan profesi, guru dan dosen
yang ditugaskan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah di daerah khusus berhak atas
tunjangan khusus. Tunjangan khusus merupakan tunjangan yang diberikan kepada guru
atau dosen yang ditugaskan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah sebagai kompensasi
atas kesulitan hidup yang dihadapi dalam melaksanakan tugas di daerah khusus.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen juga mengatur mengenai pemberian tunjangan kehormatan bagi dosen yang
memiliki jabatan akademik profesor.
BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS)
Dalam rangka melaksanakan program wajib belajar 9 (Sembilan) tahun
sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pemerintah mengalokasikan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang
ditujukan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dasar
dimaksud. Pada tahun 2013, dana BOS akan tetap dialokasikan sebagai dana penyesuaian
mengingat penyelenggaraan pendidikan dasar merupakan urusan daerah sesuai Peraturan
Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan. Dana BOS
disalurkan dari rekening kas negara ke rekening kas umum daerah provinsi untuk
selanjutnya diteruskan ke sekolah dengan mekanisme hibah.
29
BOS adalah dana yang digunakan terutama untuk biaya non personalia bagi satuan
pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar, dan dapat dimungkinkan untuk
mendanai beberapa kegiatan lain sesuai petunjuk teknis Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Pemberian dana BOS bertujuan untuk membebaskan biaya pendidikan bagi
siswa tidak mampu dan meringankan beban biaya bagi siswa yang lain, sehingga
memperoleh layanan pendidikan yang lebih bermutu dalam rangka penuntasan Wajib
Belajar Sembilan Tahun. Dana BOS merupakan stimulus bagi daerah dan bukan pengganti
(substitusi) dari kewajiban daerah untuk menyediakan anggaran pendidikan. Sehubungan
dengan itu, pemberian dana BOS akan diikuti dengan perkuatan monitoring dan evaluasi
untuk menghindari terjadinya penyimpangan sekaligus memastikan bahwa daerah tidak
mengurangi alokasi anggaran untuk penyelenggaraan BOS Daerah (BOSDA). BOS akan
dikelola oleh Tim Pusat, Tim Provinsi, dan Tim Kabupaten/Kota yang berkoordinasi
secara teratur untuk menjamin agar pelaksanaan BOS mulai dari perencanaan,
penganggaran, pengalokasian, penyaluran, pelaporan, monitoring dan evaluasi berjalan
lancar dan dapat meminimalkan permasalahan.
DANA PROYEK PEMERINTAH DAERAH DAN DESENTRALISASI
(P2D2)
Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) merupakan bagian dari skema
pinjaman program Pemerintah yang bersumber dari Bank Dunia, dalam rangka
memperkuat transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan DAK, khususnya bidang
infrastruktur dengan melakukan perbaikan (reform) sistem monitoring dan evaluasi
pelaksanaan DAK. Tujuan utama P2D2 adalah untuk meningkatkan akuntabilitas dan
pelaporan pemerintah pusat dalam kegiatan DAK bidang infrastruktur di lingkungan daerah
percontohan. Tujuan utama tersebut akan dicapai dengan beberapa tujuan, antara lain
melalui:
a. Dukungan pembiayaan APBN (budget support);
b. Peningkatan monitoring, pelaporan, dan penguatan verifikasi output DAK di bidang
infrastruktur;
c. Mekanisme verifikasi DAK; dan
30
d. Penguatan kelembagaan pelaksanaan DAK di daerah.
Pelaksanaan P2D2 diharapkan dapat memberikan dampak bagi daerah, yang antara lain
berupa:
a. Peningkatan akuntabilitas dan pelaporan DAK pada sektor infrastruktur;
b. Peningkatan pelaporan keuangan dan teknis serta verifikasi output; dan
c. Persentase output fisik dari infraktruktur yang diverifikasi meningkat.
Daerah percontohan pelaksanaan P2D2 tersebar di 5 provinsi dan mencakup 75 Pemerintah
Daerah, yakni:
1. Provinsi Jambi (1 provinsi, 6 kabupaten, 2 kota);
2. Provinsi Jawa Timur (1 provinsi, 28 kabupaten, 8 kota);
3. Provinsi Kalimantan Tengah (1 provinsi, 12 kabupaten, 1 kota);
4. Provinsi Sulawesi Barat (1 provinsi, 5 kabupaten);
5. Provinsi Maluku Utara (1 provinsi, 6 kabupaten, 2 kota).
Dalam masa persiapan P2D2 yang dimulai sejak tahun 2009, pihak Pemerintah dan Bank
Dunia telah membahas hal-hal yang terkait dengan pemilihan daerah percontohan yang
akan ikut serta dalam pelaksanaan P2D2. Sebagai langkah awal, telah disepakati untuk
memilih 5 (lima) provinsi dimaksud dengan mempertimbangkan:
(1) keberagaman secara geografis mewakili wilayah barat, tengah dan timur Indonesia;
(2) kinerja pelaporan DAK tahun-tahun sebelumnya;
(3) kemampuan menyerap alokasi DAK; dan
(4) tingkat keberhasilan dalam menghasilkan output yang didanai dari DAK. Selanjutnya,
untuk melakukan pemilihan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota yang akan ikut,
dilakukan seleksi dengan mempertimbangkan:
(1) daerah menerima DAK pada tahun pelaksanaan P2D2; serta
(2) daerah mengirimkan surat pernyataan minat ikut serta (commitment letter). Dalam
rangka mencapai tujuan pelaksanaan P2D2 di atas, program dilaksanakan dengan 3 (tiga)
komponen pendanaan, yaitu:
(1) DAK Reimbursement dan Insentif untuk Pemerintah Daerah yang didanai dari pinjaman
Bank Dunia;
31
(2) Penguatan Kapasitas Kelembagaan Pusat dan Daerah; dan
(3) verifikasi keluaran. Dua komponen terakhir didanai dengan rupiah murni. DAK
Reimbursement (penggantian DAK) merupakan skema penggantian kepada pemerintah
pusat atas penyaluran DAK untuk proyek infrastruktur di provinsi/ kabupaten/ kota sesuai
dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Pendekatan yang digunakan dalam pembiayaan
adalah Output-Based Disbursement (OBD). Dengan pendekatan ini, Bank Dunia
membayarkan bagian dari DAK untuk infrastruktur (jalan, irigasi, dan air minum)
berdasarkan laporan dan verifikasi output fisik daerah percontohan provinsi/kabupaten/kota
dalam bentuk pencairan pinjaman. Selain penggantian DAK kepada pemerintah pusat,
pemerintah daerah percontohan akan diberikan insentif/reward berupa dana sebesar 10
persen dari total nilai keluaran DAK bidang infrastruktur yang memenuhi standar kualitas
output yang ditentukan serta dalam kurun waktu yang tepat dan melakukan pelaporan DAK
kepada pemerintah pusat.
32
DAFTAR PUSTAKA
http://www.djpk.depkeu.go.id/
Peraturan Menteri Keuangan DAK 2012: Nomor 209/PMK.07/2011 tentang Penetapan
Alokasi dan Pedoman Umum DAK
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Perpres No. 53 Tahun 2009 tentang Dana Alokasi Umum Daerah Provinsi, Kabupaten, dan
Kota
UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;
UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua;
UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah; dan
UUNo. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah