5
Perjalanan Terjal Kebijakan Pemerintahan Daerah di Indonesia Oleh : Taufik Nurhidayatulloh Untuk membedah sistem pemerintahan daerah di Indonesia, sudah seharusnya kita berangkat dari perkembangan kebijakan otonomi daerah. Fenomena ini sebenarnya bermuara dari sistem desentralisasi sebagai sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kalangan ilmuan pemerintahan merumuskan manfaat penggunaan sistem ini, diantaranya (1) dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan (2) sebagai wahana pendidikan politik masyarakat di daerah (3) dalam rangka memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasi nasional (4) untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah (5) guna memberikan peluang bagi masyarakat untuk membentuk karir dalam bidang politik dan pemerintahan (6) sebagai wahana yang diperlukan untuk mmberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pemerintahan (7) sebagai sarana ang diperlukan untuk mempercepat pembangunan di daerah, dan terakhir (8) guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Afan Gaffar : 2002). Perjalanan kebijakan pemerintahan daerah di Indonesia, sudah dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda. Memajukan kesejahteraan masyarakat setempat bukan menjadi domain kebijakan saat itu. Tidak lain tujuan mendasarnya adalah untuk mengeksploitasi wilayah jajahan. Pada 1903 pemerintah kolonial mengeluarkan Decentralisatiewet (Staatsblaad No. 329 tahun 1903) dimana memberikan peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang memiliki keuangannya sendiri.

Perjalanan Terjal Kebijakan Pemerintahan Daerah Di Indonesia

  • Upload
    pikpes

  • View
    219

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Perjalanan Terjal Kebijakan Pemerintahan Daerah di IndonesiaOleh : Taufik Nurhidayatulloh

Untuk membedah sistem pemerintahan daerah di Indonesia, sudah seharusnya kita berangkat dari perkembangan kebijakan otonomi daerah. Fenomena ini sebenarnya bermuara dari sistem desentralisasi sebagai sebuah mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang menyangkut pola hubungan pemerintah pusat dan daerah. Kalangan ilmuan pemerintahan merumuskan manfaat penggunaan sistem ini, diantaranya (1) dalam rangka peningkatan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan (2) sebagai wahana pendidikan politik masyarakat di daerah (3) dalam rangka memelihara keutuhan negara kesatuan atau integrasi nasional (4) untuk mewujudkan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimulai dari daerah (5) guna memberikan peluang bagi masyarakat untuk membentuk karir dalam bidang politik dan pemerintahan (6) sebagai wahana yang diperlukan untuk mmberikan peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pemerintahan (7) sebagai sarana ang diperlukan untuk mempercepat pembangunan di daerah, dan terakhir (8) guna mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Afan Gaffar : 2002). Perjalanan kebijakan pemerintahan daerah di Indonesia, sudah dimulai sejak pemerintahan kolonial Belanda. Memajukan kesejahteraan masyarakat setempat bukan menjadi domain kebijakan saat itu. Tidak lain tujuan mendasarnya adalah untuk mengeksploitasi wilayah jajahan. Pada 1903 pemerintah kolonial mengeluarkan Decentralisatiewet (Staatsblaad No. 329 tahun 1903) dimana memberikan peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang memiliki keuangannya sendiri. Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada sebuah Raad atau Dewan di masing-masing daerah. Kebijakan ini diperkuat dengan Decentralisatiebesluit (S 137/ 1905) dan Locale Radenordonantie (S181/1905) yang menjadi dasar terbentuknya Locale Ressort (Afan Gaffar : 2002). Namun secara substansial pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan, terbukti dari kuatnya peran Gouverneur-General Hindia Belanda yang melakukan pengawasan secara penuh terhadap daerah yang berkedudukan di Batavia. Disamping dibuatnya beberapa kebijakan mengenai pemerintah daerah pada masa kolonial Belanda, terdapat pula pemerintahan yang merupakan bentukan asli masyarakatnya yang disebut Zelfbestuurende landschappen yang oleh kolonial diakui kedudukannya seperti Desa di Jawa, Nagari di Minangkabau, dan lain sebagainya. Selain itu juga ada pengakuan mengenai kedudukan kerajaan yang dibatasi oleh kontrak politik dengan kolonial. Baik berupa Kontrak panjang (Lange Verklaring) atau Kontrak Pendek (Korte Verklaring). Begitu pula pada era penjajahan jepang, pemerintahan daerah tidak memiliki wewenang berarti. Seluruh kekuatan diarahkan pada upaya mendukung perang Asia Timur. Pasca pendudukan kolonial, Indonesia memiliki Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 yang merupakan proses politik pada masa peralihan dari kekuasaan pemerintah kolonial kepada pemerintah Indonesia. Sekalipun telah di proklamirkan pada 17 Agustus 1945, sesungguhnya Belanda belum mau mengakui kedaulatan negara yang baru lahir ini. Mengenai pemerintahan daerah dalam bab VI pasal 18 UUD 1945 menyatakan :Pembagian Daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil dengan bentuk dan susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa

Dengan penjelasan bahwa negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat maka tidak diperkenankan menjadi suatu daerah menjadi staat juga. Daerah Indonesia juga akan dibagi kedalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom atau berdifat daerah administratif belaka, semua didasarkan pada undang-undang yang dibuat oleh pemerintah pusat. Afan gaffar mencatat adanya impelementasi Undang-Undang ini yaitu, pertama penegasan atas sistem pemerintahan yang bertingkat dimana pemerintahan yang lebih tinggi berhak melakukan pengawassan atas suatu pemerintahan yang lebih rendah, kedua semangat penyelenggaraan pemerintahan daerah masih merupakan warisan pemerintah kolonial, ketiga adanya dualisme dalam pemerintahan daerah dimana disatu sisi Kepala daerah memimpin badan eksekutif maupun BPRD. Untuk mewujudkan UU ini pemerintah kemudian membentuk 17 keresidenan di Jawa dan Madura, ditambah sejumlah 18 Kota Otonom, serta 67 Kabupaten Otonom. Namun Undang-Undang ini belum mengenal istilah propinsi sebagai daerah otonom. Adapun kelemahan Undang-Undang ini meliputi banyaknya hal yang berkaitan dengan aspek pemerintah daerah tidak diatur di dalamnya, sehingga masih berpatkan pada peraturan masa lampau. Selain itu tidak jelasnya pengaturan tentang DPRD, sehingga banyak yang tidak mengetahui tugas kewajiban dan batas-batas wewenangnya, sehingga sering lebih memperhatikan masalah-masalah politik yang termasuk bidang kerja pemerintah pusat. Lebih lanjut, tidak adanya pengaturan yang tegas tentang daerah istimwea dan terjadinya dualisme pemerintahan eksekutif antara Kepala Daerah dan bada Eksekutif BPRD.

Selimut Otoritarianisme dan SentralisasiSetelah instabilitas politik yang menjangkiti Orde lama berlarut-larut, Orde Baru yang digerakan oleh Soeharto muncul dengan tameng pembangunan. Untuk menekan kondisi yang tidak stabil, pemusatan kekuasaan yang hirarkis dan sentralistik tertuang pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 mengenai Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 meninggalkan prinsip-prinsip otonomi yang riil dan seluas-luasnya dan diganti dengan prinsip Otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Dalam penjelasannya istilah seluas-luasnya tidak lagi dipergunakan karena berdasarkan pengalaman selama ini istilah tersebut ternyata dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat bahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia juga tidak serasi dengan maksud da tujuan pemerberian otonomi kepada Daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh GBHN. Undang-Undang ini memandang bahwa otonomi bukanlah merupakan hak dari masyarakat dan Pemerintah Daerah. Otonomi meruapakan kewajiban Daerah dalam rangka menyukseskan pembangunan nasional. Jadi pada hakekatnya Otonomi Daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban Daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana mencapai kesejahteraan rakyat yang harus diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab. Ada beberapa karakteristik yang menonjol dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1959 ini dianatara, (1) Wilayah negara dibagi kedalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau administratif saja. Pada kondisi ini, kewenangan dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah sendiri melekat dengan fungsi administrasi yang menjalankan kebijakan pemerintah pusat.