Upload
buitruc
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH
PERMASALAHAN HUKUM TERHADAP ISI
BUTIR-BUTIR PERJANJIAN RI-GAM
DALAM HAL KEWARGANEGARAAN
Disusun oleh
MAHATMA HADHI
RIZKY ARGAMA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
Jakarta, Desember 2005
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
1
ABSTRAK
Dengan dimulai melalui proklamasi 4 Desember 1976 di
Desa Tiro, Kabupaten Pidie, GAM telah menyatakan berpisah
dari induk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi
tersebut memberikan implikasi banyaknya rakyat Aceh yang
tergabung dalam GAM menyatakan untuk melepaskan status
kewarganegaraan Indonesianya untuk mengikuti jejak para
elit/pimpinan GAM yang telah melepaskan kewarganegaraan
Indonesianya terlebih dahulu dan berpindah menjadi warga
negara asing. Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan
hukum karena melepaskan status kewarganegaraan bukanlah
sesuatu yang mudah dilakukan karena akan menimbulkan
berbagai akibat hukum bagi dirinya. Dalam melepaskan
kewarganegaraan ada banyak hal yang perlu diperhatikan
karena kewarganegaraan Indonesia secara yuridis hendak
mendekatkan pada paham kewarganegaraan secara sosiologis,
yaitu ke arah satu bangsa Indonesia nasional hegemoni.
Rakyat Indonesia terutama rakyat Aceh telah
dibingungkan mengenai untuk siapakah pemerintah berunding
dan untuk siapakah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berjuang.
Karena selama ini pemerintah Indonesia dirasakan kurang
peduli terhadap nasib rakyat Aceh yang selama puluhan
tahun telah diabaikan hak-hak asasinya sebagai Warga
Negara Republik Indonesia. Sebagai obat dari sakit hati
rakyat Aceh kepada pemerintah Indonesia maka melalui nota
kesepahaman RI-GAM yang ditandatangani di Helsinki,
Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, pemerintah
memasukkan beberapa pasal yang memberikan perlakuan
istimewa terhadap para pemberontak eks-GAM yang sebagian
telah meninggalkan status kewarganegaraan Indonesianya.
Didapatnya perlakuan khusus tersebut perlu mendapat
perhatian lebih dari masyarakat karena jangan sampai
muncul perasaan ketidakadilan oleh masyarakat karena eks-
GAM secara sosiologis juga sama-sama Warga Negara
Indonesia walaupun pernah mengkhianati mendapat perlakuan
istimewa sedangkan Warga Negara Indonesia (WNI) sendiri
yang setia terhadap negaranya tidak mendapat perlakuan
istimewa.
Memberikan kembali status kewarganegaraan sebenarnya
bukanlah solusi yang terbaik mengingat sesungguhnya
Pemerintah RI juga memiliki posisi tawar yang baik dengan
mempergunakan argumen yang seperti disebutkan di atas.
Akan tetapi, memang permasalahan separatisme ini tidak
dapat dibiarkan berlarut-larut. Sehingga solusi dianggap
lebih baik dibandingkan apabila harus menempuh cara-cara
kekerasan.
(Mahatma Hadhi, Rizky Argama)
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan bernegara, kewarganegaraan seseorang
merupakan suatu hal yang penting. Kewarganegaraan ini
memegang peranan pula di lapangan lain, yaitu lapangan
hukum publik. Dalam hubungan antara negara dan
perseorangan lebih nyata pentingnya status
kewarganegaraan seseorang. Apakah seseorang termasuk
warga negara atau orang asing besar sekali konsekuensinya
dalam kehidupan publik ini. Lebih-lebih dalam suasana
hubungan perseorangan, maka dalam bidang publik ini
terasa betapa pentingnya status kewarganegaraan. Hal ini
adalah logis, mengingat bahwa sebenarnya kewarganegaraan
itu tidak lain artinya dari “keanggotaan” dari sesuatu
negara. Secara sederhana kita dapat mengadakan
perumpamaan dengan mengambil organisasi atau perkumpulan
sebagai contoh. Negara pun sama halnya dengan organisasi.
Suatu organisasi tentunya memerlukan pula orang-orang
yang dapat merupakan inti darinya. Demikian pula dengan
para anggota dari suatu negara yang lazim disebut dengan
istilah warga negara. Suatu organisasi tanpa anggota
tidak akan ada, begitu pula dengan negara. Negara
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
3
membutuhkan warganegara untuk dapat menunjukkan bahwa
negara tersebut ada1.
Beberapa tahun belakangan ini, Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) telah mendapat sorotan dunia
internasional dalam menangani konflik separatisme yang
terjadi di dalam negerinya. Konflik yang dimaksud dalam
tulisan ini adalah keberadaan Gerakan Aceh Merdeka dalam
wilayah NKRI. Kelompok yang mengatasnamakan rakyat Aceh
tersebut terbentuk dari berbagai macam kekecewaan rakyat
Aceh akan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Telah
banyak darah mengucur akibat konflik kepantingan pusat
dan para tokoh politik Aceh sendiri. Rakyat Indonesia
terutama rakyat Aceh telah dibingungkan mengenai untuk
siapakah pemerintah berunding dan untuk siapakah Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) berjuang. Karena selama ini pemerintah
Indonesia dirasakan kurang peduli terhadap nasib rakyat
Aceh yang selama puluhan tahun telah diabaikan hak-hak
asasinya sebagai Warga Negara Republik Indonesia. Sebagai
obat dari sakit hati rakyat Aceh kepada pemerintah
Indonesia maka melalui nota kesepahaman RI-GAM yang
ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15
Agustus 2005, pemerintah memasukkan beberapa pasal yang
memberikan perlakuan istimewa terhadap para pemberontak
eks-GAM yang sebagian telah meninggalkan status
1 Sudargo Gautama, Warga Negara dan Orang Asing, (Bandung:
Alumni, 1992).
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
4
kewarganegaraan Indonesianya. Didapatnya perlakuan khusus
tersebut perlu mendapat perhatian lebih dari masyarakat
karena jangan sampai muncul perasaan ketidakadilan oleh
masyarakat karena eks-GAM secara sosiologis juga sama-
sama Warga Negara Indonesia walupun pernah mengkhianati
mendapat perlakuan istimewa sedangkan Warga Negara
Indonesia (WNI) sendiri yang setia terhadap negaranya
tidak mendapat perlakuan istimewa.
Dengan dimulai melalui proklamasi 4 Desember 1976 di
Desa Tiro, Kabupaten Pidie, GAM telah menyatakan berpisah
dari induk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Proklamasi
tersebut memberikan implikasi banyaknya rakyat Aceh yang
tergabung dalam GAM menyatakan untuk melepaskan status
kewarganegaraan Indonesianya untuk mengikuti jejak para
elit/pimpinan GAM yang telah melepaskan kewarganegaraan
Indonesianya terlebih dahulu dan berpindah menjadi warga
negara asing. Hal ini tentu saja menimbulkan permasalahan
hukum karena melepaskan status kewarganegaraan bukanlah
sesuatu yang mudah dilakukan karena akan menimbulkan
berbagai akibat hukum bagi dirinya. Dalam melepaskan
kewarganegaraan ada banyak hal yang perlu diperhatikan
karena kewarganegaraan Indonesia secara yuridis hendak
mendekatkan pada paham kewarganegaraan secara sosiologis,
yaitu ke arah satu bangsa Indonesia nasional hegemoni.
Paham ini didasari untuk mencegah didapatnya
kewarganegaraan bipatride bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
5
1.2 Pokok Permasalahan
Oleh karena nota kesepahaman antara Pemerintah RI
dan GAM memiliki pengaruh yang besar terhadap
ketatanegaraan khususnya masalah kewarganegaraan, maka
diperlukanlah analisis yang mendalam dalam mencermati
pasal-pasal mengenai pemberian kembali status
kewarganegaraan eks-GAM beserta hak-hak istimewa yang
didapatkannya. Mendasarkan hal tersebut di atas, masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apakah status GAM dalam hukum internasional?
2. Bagaimana implikasi hukum terhadap para anggota
GAM yang telah melepaskan status kewarganegaraan
Indonesianya?
3. Akibat-akibat apa saja yang akan terjadi dengan
memberikan kembali status kewarganegaraan terhadap
eks-GAM terutama pada tokoh politik GAM?
1.3 Metodologi Penulisan
Dalam menyusun makalah ini, penulis mendapatkan data
dengan mengambil referensi dari buku-buku mengenai
kewarganegaraan. Penulis juga mencari referensi dari
media surat kabar untuk mengikuti perkembangan terkini.
Selain itu, dengan kemajuan teknologi informasi penulis
juga mendapatkan data-data berkaitan dengan naskah nota
kesepahaman Helsinki 15 Agustus 2005.
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
6
BAB II
GAM: ANTARA INTERNASIONALISASI DAN
STATUS SEBAGAI “BELLIGERENT”
2.1 Status GAM dalam Hukum Internasional
Sebelum membahas lebih jauh mengenai Nota
Kesepahaman antara RI–GAM, perlu diketahui dahulu status
GAM di dalam hukum internasional. GAM dalam hukum
internasional belumlah menjadi subyek hukum yang dapat
mengadakan kesepakatan dengan subyek hukum internasional
lain dalam hal ini adalah Negara Kesaturan Republik
Indonesia. Melalui konvensi-konvensi internasional subyek
hukum yang diklasifikasikan sebagai subyek hukum
internasional antara lain adalah negara, Tahta suci,
Palang Merah Internasional, organisasi internasional,
orang perorangan/individu (dalam arti yang terbatas) dan
pemberontak dalam sengketa2. Di antara subyek-subyek hukum
tersebut, negara merupakan subyek hukum yang utama
dikarenakan negara memiliki kedaulatan. Dengan kedaulatan
tersebut, negara memiliki hak-hak khusus terhadap
negaranya yang tidak dapat diganggu gugat oleh negara
lain.
Dengan melihat dari sudut ilmu ketatanegaraan, yang
dapat memberikan status warga negara hanyalah negara.
2 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional,
(Bandung: Alumni, 2003).
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
7
Karena itu, apabila ada penduduk Aceh yang tergabung
dalam GAM menyatakan melepaskan status kewarganegaraannya
tentunya selanjutnya dipertanyakan warga negara manakah
yang ia anut ataukah dia tidak memiliki kewarganegaraan
(apatride)?
2.2 Unsur-unsur Negara pada GAM
GAM agar dapat menjadi sebuah negara yang dapat
memberikan status kewarganegaraan terhadap penduduk Aceh
haruslah memenuhi unsur-unsur yang terbagi menjadi dua
jenis yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur
obyektif ada tiga, yang pertama adalah wilayah. Wilayah
merupakan batas/yuridiksi/wilayah hukum kewenangan suatu
negara. Dalam kasus Aceh, wilayah yang diklaim oleh GAM
adalah wilayah Aceh berdasarkan perjanjian Sumatera 1
Juli 1956 antara pemimpin Aceh pada masa itu dengan
kolonial Belanda pada abad ke-17.
Kedua adalah penduduk, yang dianggap sebagai
penduduk yang sah adalah sekelompok manusia yang memiliki
kesamaan (keturunan, ciri, ataupun tempat) yang
menyatakan bahwa mereka merupakan suatu negara. Ada
beberapa kriteria tidak tertulis yang harus dipenuhi
dalam menilai unsur penduduk. Kriterianya adalah sebagai
berikut.
1. Proporsionalitas jumlah penduduk dengan luas
wilayahnya.
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
8
2. Kemampuan negara tersebut dalam menjalankan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan dunia
internasional.
3. Ditujukan terhadap penduduk yang berdomisili
tetap dalam wilayah tersebut.
Dalam konteks kekinian dengan melihat perkembangan
yang terjadi di Aceh kebanyakan dari penduduk Aceh telah
banyak terjadi pencampuran ras. Selain itu, dengan
semakin mudahnya transportasi antarprovinsi dan banyaknya
industri di Aceh menjadikan sebagian dari penduduk Aceh
bukanlah merupakan penduduk asli Aceh. Akan tetapi,
mereka telah terikat secara kultural secara bertahun-
tahun dengan Aceh sehingga sulit untuk dibedakan dengan
penduduk asli Aceh.
Ketiga adalah pemerintahan yang mendapat legitimasi
dari rakyatnya, dengan melihat sepak terjang GAM dalam
melakukan aksinya tidaklah dapat dikatakan GAM mendapat
legitimasi oleh rakyat Aceh. Belum jelas siapakah yang
diperjuangkan oleh GAM karena selama ini banyak pula
tindakan dari GAM yang sewenang-wenang terhadap rakyat
Aceh sendiri. Rakyat Aceh masih memberikan legitimasinya
terhadap Republik Indonesia.
Selain syarat obyektif tersebut masih diperlukan
syarat subyektif untuk dapat dikategorikan menjadi
negara. Unsur subyektif tersebut adalah pengakuan dari
negara lain. Unsur inilah yang diperjuangkan oleh Hasan
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
9
Tiro dan elit GAM lainnya dari negara lain. Dalam
kehidupan politik internasional pengakuan dari negara
lain memiliki pengaruh yang kuat dalam terbentuknya suatu
negara. Dengan mendapat dukungan dari negara ketiga maka
tahapan untuk menjadi negara telah ditempuh. Minimal,
walaupun tidak diakui sebagai negara, akan tetapi dapat
berkedudukan sebagai subyek hukum internasional lainnya
yaitu pihak dalam sengketa (belligerent).
2.3 GAM sebagai Pihak dalam Sengketa (Belligerent)
Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh
kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa
(belligerent) dalam keadaan tertentu. Contoh yang paling
mudah adalah Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Untuk
mendapatkan status subyek hukum internasional tersebut,
GAM haruslah mendapat pengakuan dari negara lain bahwa
eksistensinya dapat dibenarkan berdasarkan alasan-alasan
yang rasional3.
Dalam menilai siapa saja yang dapat dimasukkan ke
pihak dalam sengketa, negara-negara yang hendak
memberikan pengakuan dituntut untuk berhati-hati karena
pengertian ini sudah berbeda konteks. Konteks yang
dimaksud oleh konvensi-konvensi internasional terdahulu
adalah mereka yang merupakan suatu bagian terjajah
berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan. Sedangkan pada
3 Ibid.
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
10
masa kini penjajahan dalam arti menyerang kedaulatan
negara lain sudah tidak tampak lagi. Bila tidak hati-hati
maka dapat dipastikan akan banyak pihak-pihak yang
berusaha melepaskan diri dari negara lain, sehingga dapat
membahayakan kedaulatan dari tiap-tiap negara.
GAM belumlah dapat dianggap sebagai pihak yang
bersengketa karena belum adanya negara lain yang mengakui
secara tegas eksistensi GAM dalam memperjuangkan
pencapaiannya. Adapun negara yang memberikan bantuan
terhadap secara tidak langsung terhadap GAM adalah Negara
Finlandia. Kedekatan Hasan Tiro dengan Pemerintahan
Finlandia telah menimbulkan pertanyaan apakah benar
Finlandia telah mengakui eksistensi GAM. Walaupun negara
ini telah memberikan bantuan-bantuan berupa
kewarganegaraan bagi Hasan Tiro dan sebagai fasilitator
perundingan bagi GAM dan Indonesia, negara ini belum
pernah memberikan pernyataan secara tegas akan eksistensi
GAM.
Dengan belum diakuinya GAM sebagai subyek hukum
internasional maka kewarganegaraan GAM tentulah tidak
dapat diakui karena yang berhak untuk memberikan
kewarganegaraan bagi rakyatnya hanyalah negara. Untuk itu
perlu disadari penolakan kewarganegaraan Indonesia oleh
mereka dapat menyebabkan hilangnya hak-hak dasar mereka
sebagai Warga Negara Indonesia.
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
11
BAB III
MOU RI-GAM DAN PERMASALAHAN KEWARGANEGARAAN
DI DALAMNYA
3.1 Permasalahan Kewarganegaraan dalam Memorandum of
Understanding (MoU) RI-GAM
Semenjak diproklamasikannya Aceh merdeka, para pihak
yang tergabung dalam GAM mulai melepaskan status
kewarganegaraanya. Ada yang berpindah menjadi warganegara
lain dan adapula yang tidak mengakui kewarganegaraan
Indonesiannya. Kedua hal tersebut memberikan pengertian
yang berbeda. Bagi yang berpindah menjadi warganegara
lain maka secara otomatis dia kehilangan status
kewarganegaraan Indonesianya. Hal tersebut disebabkan
oleh stelsel kewarganegaraan Indonesia menghindarkan
kewarganegaraan ganda (bipatride). Ditambah dengan
berpindahnya kewarganegaraan tersebut ia tentunya sudah
menggunakan haknya di negara lain, contohnya adalah
dengan mengikuti pemilu di negara lain. Jadi, dengan
berpindah kewarganegaraan tentunya ia telah kehilangan
kewarganegaraan RI.
Berbeda halnya dengan tidak mengakui kewarganegaraan
Indonesia. Mengingat kewarganegaraan lebih merupakan hak
bagi penduduk suatu negara maka dengan tidak mengakui
kewarganegaraan Indonesia tersebut tidak berarti dia akan
kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Akan tetapi bagi
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
12
para anggota GAM yang telah ikut latihan militer di
Liberia berdasarkan Undang-undang 62 Tahun 1958, dia
kehilangan warga negaranya Indonesianya. Mengikuti
latihan militer di negara lain berarti dia telah
mengikuti dinas militer yang tidak diperbolehkan oleh
undang-undang. Perlu untuk diingat, hilangnya
kewarganegaaraan tersebut bukan berarti segala tindakan
melawan hukum yang dilakukannya akan lepas dari jeratan
hukum Indonesia. Atas dasar melepaskan hak bukan berarti
menghapuskan kewajiban untuk patuh terhadap hukum4.
Perundingan Helsinki diharapkan menjadi perundingan
yang terakhir antara RI dengan GAM. Dalam perundingan
ini, RI memberikan maaf kepada para pihak yang tergabung
dalam GAM. Salah satu bentuk pemberian maaf tersebut
adalah dengan memberikan hak opsi kepada para anggota GAM
yang telah melepaskan kewarganegaraan Indonesianya. Hak
opsi tersebut memiliki syarat bahwa dengan memilih
kewarganegaraan Indonesia, maka bila dia masih memiliki
kewarganegaraan lain ia diwajibkan untuk melepaskan
kewarganegaraan lainnya itu. Pemberian kembali
kewarganegaraan RI tersebut memberikan implikasi bahwa
mantan pemberontak yang telah mengkhianati tanah airnya
mendapatkan kembali hak-haknya sebagai warga negara. Hak-
hak yang diperolehnya antara lain hak untuk mendapat
4 Abdul Bari Azed, Intisari Kuliah Kewarganegaraan, (Jakarta:
Indo Hill Co., 1995).
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
13
lapangan pekerjaan, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak
untuk memilih agama, hak untuk berserikat dan berkumpul,
hak untuk mendapat perlindungan hukum di negara lain,
serta hak-hak lainnya yang terdapat dalam Pasal 28 UUD
1945.
Kesepakatan mengenai penyelesaian permasalahan
kewarganegaraan terdapat dalam bab selanjutnya mengenai
amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat bagi para
eks-GAM. Dalam pasal-pasalnya dijelaskan bahwa paling
lambat 15 hari setelah penandatanganan MoU, berdasarkan
prosedur UUD 1945, Pemerintah RI akan memberikan amnesti
kepada semua orang yang telah ikut serta dalam aktivitas
GAM. Tahanan dan tawanan politik yang terkait dengan itu
segera dibebaskan tanpa syarat. Penggunaan senjata oleh
anggota GAM setelah penandatanganan MoU dianggap sebagai
pelanggaran, dan orang tersebut akan didiskualifikasikan
dari amnesti. Disepakati, semua pihak yang telah mendapat
amnesti, atau yang telah dibebaskan dari penjara mendapat
semua hak politik, ekonomi dan sosial, serta bebas
berpartisipasi dalam proses politik baik di Aceh maupun
tingkat nasional. Bahkan orang-orang yang selama konflik
telah melepaskan kewarganegaraan RI, mereka memiliki hak
untuk memperoleh kewarganegaraan tersebut. Pemerintah RI
dan penguasa-penguasa di Aceh akan membantu mempermudah
mantan anggota GAM dalam berintegrasi dan berbaur kembali
dengan masyarakat sipil.
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
14
Hak politik merupakan hal yang klasik melekat pada
status warganegara. Hak politis disini adalah hak untuk
turut serta dalam pemerintahan dan badan-badan perwakilan
rakyat dengan mempergunakan hak untuk dipilih dan
memilih. Bahwa orang yang bukan termasuk dalam
warganegara tak diperkenankan turut serta dalam pemilihan
umum adalah logis. Undang-undang tentang pemilihan umum
juga menegaskan dalam pasal pertamanya bahwa hak untuk
dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat
disediakan bagi warga negara. Ketentuan yang serupa dapat
kita ketemukan dalam peraturan-peraturan mengenai
pemilihan anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
yaitu dalam Pasal 18 dan 25 jo Pasal 2 ayat (1) UUD 1945.
Ketentuan-ketentuan ini merupakan pelaksanaan daripada
apa yang ditentukan dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (1).
Selain itu, untuk dapat dipilih menjadi Presiden RI
menurut UUD 1945 haruslah orang Indonesia asli. Sedangkan
dalam UUD Sementara 1950 yang kini tidak berlaku lagi
haruslah Warga Negara Indonesia.
Proses reintegrasi itu mencakup juga fasilitas
ekonomi, dan berlaku tidak hanya bagi mantan aktivis dan
pejuang GAM terdahulu, tetapi juga termaktub bagi bekas
tahanan politik bahkan orang sipil yang terkena dampak.
Dalam hubungan itu RI akan mengalokasikan dana untuk
rehabilitasi bangunan publik dan pribadi yang hancur
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
15
akibat konflik, dana tersebut akan dikelola oleh penguasa
di Aceh.
Selain itu, Pemerintah RI akan mengalokasikan tanah
pertanian dan juga dana kepada penguasa Aceh yang akan
dialokasikan kepada semua pejuang GAM terdahulu. Mereka
akan menerima tanah pertanian yang sesuai, pemberian
kerja, dan jika tidak mampu bekerja akan diberikan
jaminan sosial yang memadai dari pihak berwenang di Aceh.
Hal itu juga berlaku bagi bekas tahanan politik yang
telah mendapat amnesti, termasuk orang sipil yang terkena
dampak.
Dengan semua hak istimewa tersebut diharapkan para
pejuang GAM yang telah menaruh senjatanya diharapkan
dapat segera berbaur dengan rakyat Aceh yang lain tanpa
harus merasa terasing. Maksud pemerintah RI tersebut
memang baik tetapi hal tersebut tentu saja akan
menimbulkan kecemburuan sosial di antara rakyat Aceh
sendiri dan mungkin saja bagi rakyat provinsi lain bisa
juga melakukan hal yang sama seperti usaha-usaha yang
dilakukan oleh GAM.
Dengan didapatnya kembali status kewarganegaraan
Indonesia maka para mantan anggota GAM mendapatkan hak
untuk memilih dan dipilih untuk duduk dalam pemerintahan.
Hal tersebut terbuka lebar mengingat dalam pasal-pasal
nota kesepahaman antara pemerintah RI-GAM terdapat
pengaturan mengenai partisipasi partai politik lokal
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
16
dalam pemilu. Partai politik lokal tersebut tentunya
menjadi tunggangan yang empuk bagi para elit atau tokoh
politik GAM untuk kembali memperoleh pengaruhnya dalam
pemerintahan Aceh. Bukan tak mungkin partai politik lokal
tersebut tak lain merupakan dari perubahan nama GAM saja.
Melalui jangka panjang bukan tak mungkin bila konflik
Aceh kembali timbul ke permukaan manakala partai politik
tersebut merasa tidak puas dengan pemerintahan pusat.
Karena bila kita bicara politik kepentingan pribadi dan
golonganlah yang bermain di dalamnya.
3.2 Penerimaan Kembali Anggota GAM sebagai WNI
Hasil kesepakatan antara Pemerintah RI dan GAM
memungkinkan diterimanya kembali para mantan anggota GAM,
termasuk pemimpin dan tokohnya, menjadi WNI. Namun, dalam
wawancara dan pernyataan para petinggi GAM, terlihat
bahwa mereka terkesan menghindari penggunaan istilah
bahasa Indonesia, baik untuk merujuk masyarakat maupun
negara. Naskah MoU pun tidak menyebut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
sekalipun. Istilah yang digunakan dalam naskah tersebut
adalah Konstitusi.5
Sikap dan perilaku yang ditunjukkan para petinggi
GAM tersebut mengakibatkan berbagai pihak mengusulkan
5 Hikmahanto Juwana, “Perspektif Hukum atas Memorandum of
Understanding Helsinki,” Jurnal Konstitusi (September 2005): 144.
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
17
diadakannya sebuah pengujian terhadap kesetiaan para eks-
tokoh GAM kepada NKRI. Pendapat itu menyatakan bahwa
seharusnya pemberian amnesti kepada pimpinan dan anggota
GAM yang berada di lembaga pemasyarakatan dilakukan
dengan syarat pengucapan janji setia.6
Guru Besar Hukum Internasional Prof. Hikmahanto
Juwana, S.H., LL.M., Ph.D. merekomendasikan pemerintah
untuk menjalankan MoU berdasarkan tafsiran-tafsiran MoU
yang telah mereka sampaikan pada masyarakat. Seluruh
tafsiran yang disampaikan dalam menyikapi pasal-pasal
kontroversial selalu berbasis pada peraturan perundang-
undangan Indonesia.
Beliau juga berpendapat, seruan anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) agar pimpinan dan anggota GAM
berikrar setia pada NKRI setelah mendapatkan amnestiatau
abolisi perlu diperhatikan oleh pemerintah. Kewajiban
ikrar ini merupakan tafsiran yang didasarkan pada bingkai
NKRI karena MoU tidak mengaturnya. Ikrar menjadi penting
karena pemerintah harus menghindari situasi di mana
anggota dan pimpinan GAM menerima abolisi atau amnesti
tetapi tidak mengakui NKRI.7
6 Ibid. 7 Ibid., hlm. 154-155.
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
18
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang
dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
a. GAM dalam hukum internasional belumlah menjadi
subyek hukum yang dapat mengadakan kesepakatan
dengan subyek hukum internasional lain dalam hal
ini adalah Negara Kesaturan Republik Indonesia.
b. Kewarganegaraan GAM tidak dapat diakui karena
yang berhak untuk memberikan kewarganegaraan
bagi rakyatnya hanyalah negara. Dengan demikian,
penolakan kewarganegaraan Indonesia oleh para
anggota GAM dapat menyebabkan hilangnya hak-hak
dasar mereka sebagai Warga Negara Indonesia.
c. Dengan didapatnya kembali status kewarganegaraan
Indonesia maka para mantan anggota GAM
mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih untuk
duduk dalam pemerintahan.
4.2 Saran
Adalah hal yang amat penting bagi Pemerintah RI
untuk menjalankan MoU berdasarkan tafsiran-tafsiran
dengan berdasar pada bingkai RI, yaitu yang telah
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
19
disampaikan kepada publik di Indonesia. Namun demikian,
perlu disadari bahwa tafsiran ini belum tentu sejalan
dengan tafsiran dari GAM. Kemungkinan yang ada adalah GAM
menafsirkan dengan berdasar pada keinginan mereka untuk
merdeka.
Dalam situasi seperti telah dijelaskan di atas,
peran lembaga negara seperti DPR serta masyarakat sangat
penting untuk memberikan tekanan pada pemerintah agar
implementasi MoU selalu mengacu pada peraturan perundang-
undangan Indonesia.
Mahatma Hadhi dan Rizky Argama Desember 2005
20
DAFTAR PUSTAKA
Bari Azed, Abdul. Intisari Kuliah Kewarganegaraan.
Jakarta: Indo Hill-Co. 1995.
Gautama, Sudargo. Warga Negara dan Orang Asing. Bandung:
Alumni. 1992.
Juwana, Hikmahanto. “Perspektif Hukum atas Memorandum of
Understanding Helsinki,” Jurnal Konstitusi
(September 2005).
Kansil, C.S.T. Hukum Kewarganegaraan RI Dtinjau dari UUD
1945. Jakarta: Sinar Grafika. 1992.
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional.
Bandung: Alumni. 2003.
Paulus, B. P. Kewarganegaraan RI Ditinjau dari UUD 1945.
Jakarta: Pradnya Pramita. 1983.
http://www.acehlf.com