Upload
william-wiryawan
View
5
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah ph minggu 1
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nutrisi merupakan komponen penting bagi kesehatan anak. Pertumbuhan dan
perkembangan yang dialami oleh anak-anak membuat mereka membutuhkan nutrisi yang baik
dalam hal protein, energi dan komponen nutrien lainnya. Hal tersebut juga membuat mereka
rentan terhadap kekurangan nutrisi dan gangguan pertumbuhan. Pola makan yang dimulai
sejak masa kanak-kanak dapat mempengaruhi kesehatan mereka selanjutnya. Pada masa
kanak-kanak, pemberian nutrisi yang kurang baik dapat mengakibatkan gagal tumbuh,
obesitas, dan penyakit-penyakit terkait defisiensi nutrisi. Akibat jangka panjang yang dapat
ditimbulkan adalah meningkatnya risiko penyakit degeneratif kelak saat usia lanjut.1
Asupan gizi pada anak sekolah dasar di beberapa wilayah di Indonesia sangat
memprihatinkan, padahal asupan gizi yang baik setiap harinya dibutuhkan supaya mereka
memiliki pertumbuhan, kesehatan dan kemampuan intelektual yang lebih baik.2 Pada
dasarnya asupan gizi yang diterima pada anak-anak sekolah dasar masih menunjukkan kurang
menerima asupan gizi yang baik untuk perkembangan tubuh dan intelektualitas yang tinggi,
oleh karena itu sudah selayaknya pemerintah, masyarakat terutama keluarga untuk dapat
memberikan asupan gizi yang cukup untuk pekembangan dan pertumbuhan anak.1,2
Kenyataan status gizi anak-anak sekolah dasar yang memprihatinkan ini terungkap
berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap 440 siswa Sekolah Dasar berusia 7
sampai 9 tahun di Jakarta dan Solo, yang di paparkan dalam diskusi soal status gizi anak
sekolah di Jakarta. Saptawati Bardosono, seorang Ahli Gizi dari Universitas Indonesia,
menjelaskan dari penelitian terhadap 220 anak sekolah di lima SD di Jakarta, asupan kalori
anak-anak umumnya di bawah 100 persen dari kebutuhan mereka. Dari total anak yang
diteliti, sebanyak 94,5 persen anak mengkonsumi kalori di bawah angka kecukupan gizi yang
dianjurkan (Recommended Dietary Allowances/RDA), yakni di bawah 1.800 kcal.
Dalam kaitannya dengan kesehatan, dari anak yang diteliti, 40 persen anak sering menderita
infeksi tenggorokan, memiliki berat badan yang kurang sebanyak 56,4 persen, bertubuh
pendek sebanyak 35 persen, bertubuh kurus 29,5 persen, dan CED 62,7 persen. Ada sebanyak
7,3 persen anak yang terindikasi gizi buruk. Temuan status gizi anak sekolah yang berasal
dari keluarga tidak mampu di Solo, menurut Endang Dewi Lestari dari Universitas Sebelas
2
Maret Solo, kondisinya tidak jauh berbeda dengan di Jakarta. Tetapi yang mengejutkan,
sebanyak 220 anak dari 10 SD yang diteliti semuanya menderita defisiensi zat seng. Padahal,
zat seng merupakan co-faktor hampir 100 enzim yang mengkatalisasi fungsi biologis yang
penting. Seng juga dibutuhkan untuk memfasilitasi sintesis DNA dan RNA (metabolisme
protein). Dari penelitian ini juga terungkap jika anak-anak itu jarang sarapan pagi di rumah.
Mereka mengandalkan jajan di sekolah yang kondisi kemanan dan kesehatannya belum
terjamin untuk kebutuhan gizi dan energi selama beraktivitas.
Di sisi lain, pada anak sekolah, kejadian kegemukan dan obesitas juga merupakan
masalah yang serius karena akan berlanjut hingga usia dewasa. Kegemukan dan obesitas pada
anak berisiko berlanjut ke masa dewasa, dan merupakan faktor risiko terjadinya berbagai
penyakit metabolik dan degeneratif seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, kanker,
osteoartritis, dan lain-lain. Pada anak, kegemukan dan obesitas juga dapat mengakibatkan
berbagai masalah kesehatan yang sangat merugikan kualitas hidup anak seperti gangguan
pertumbuhan tungkai kaki, gangguan tidur, sleep apnea (henti napas sesaat) dan gangguan
pernafasan lain.3
Hasil RISKESDAS tahun 2010 menunjukkan prevalensi kegemukan dan obesitas pada
anak sekolah (6-12 tahun) sebesar 9,2%. Sebelas propinsi, seperti D.I. Aceh (11,6%),
Sumatera Utara (10,5%), Sumatera Selatan (11,4%), Riau (10,9%), Lampung (11,6%),
Kepulauan Riau (9,7%), DKI Jakarta (12,8%), Jawa Tengah (10,9%), Jawa Timur (12,4%),
Sulawesi Tenggara (14,7%), Papua Barat (14,4%) berada di atas prevalensi nasional.3
Kegemukan dan obesitas terutama disebabkan oleh faktor lingkungan. Faktor genetik
meskipun diduga juga berperan tetapi tidak dapat menjelaskan terjadinya peningkatan
prevalensi kegemukan dan obesitas. Pengaruh faktor lingkungan terutama terjadi melalui
ketidakseimbangan antara pola makan, perilaku makan dan aktivitas fisik. Hal ini terutama
berkaitan dengan perubahan gaya hidup yang mengarah pada sedentary life style.1,3
1.2. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui masalah gizi dan penanggulangannya pada anak Sekolah Dasar.
b. Tujuan Khusus
3
a. memberikan gambaran bagaimana status asupan gizi yang diterima pada anak-
anak sekolah dasar.
b. Untuk memberikan masukan kepada pemerintah sehingga dapat memberikan
solusi bagi permasalahan asupan gizi yang kurang untuk dapat menciptakan
generasi penerus bangsa yang unggul.
c. Untuk memberikan masukan mengenai asupan gizi yang baik setiap harinya
yang dibutuhkan anak untuk memiliki pertumbuhan, kesehatan dan kemampuan
intelektualitas yang tinggi.
1.3. Manfaat
Bagi penulis, diharapkan tulisan ini menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman
selama menjalankan KKS Ilmu Kesehatan Masyarakat di Universitas Sumatera Utara, Medan,
khususnya tentang masalah gizi yang dihadapi oleh anak sekolah dasar dan cara-cara
penanggulangannya serta diharapkan tulisan ini menjadi salah satu sumber pustaka bagi
penulis berikutnya.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Zat Gizi dan Status Gizi
Zat gizi adalah ikatan kimia yang diperukan tubuh untuk melakukan fungsinya, membangun
dan memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan. Status gizi adalah keadaan
tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dibedakan
antara status gizi kurang, baik, dan lebih. Secara klasik kata gizi hanya dihubungkan dengan
kesehatan tubuh, yaitu untuk menyediakan energi, membangun, dan memelihara jaringan
tubuh, serta mengatur proses-proses kehidupan dalam tubuh. Tetapi, sekarang kata gizi
mempunyai pengertian lebih luas; disamping untuk kesehatan, gizi dikaitkan dengan potensi
ekonomi seseorang, karena gizi berkaitan dengan perkembangan otak, kemampuan belajar,
dan produktivitas kerja. Oleh karena itu, di Indonesia yang sekarang sedang membangun,
faktor gizi disamping faktor-faktor lain dianggap penting untuk memacu pembangunan,
khususnya yang berkaitan dengan pembangunan sumber daya manusia berkualitas.4
Masalah gizi kurang tersebar luas di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Anak usia sekolah membutuhkan asupan gizi yang baik agar kelak dapat menjadi generasi
penerus yang unggul dan lebih baik dari yang sekarang. Pada sisi lain, masalah gizi lebih
adalah masalah gizi di negara maju, yang juga mulai terlihat di negara berkembang, termasuk
Indonesia, sebagai dampak dari keberhasilan di bidang ekonomi. Banyak kita temukan anak
usia sekolah yang overweight atau obesitas. Penyuluhan gizi secara luas perlu digerakkan bagi
masyarakat guna perubahan perilaku untuk meningkatkan keadaan gizinya.3,4
Konsep-konsep baru yang ditemukan akhir-akhir ini antara lain adalah keturunan
terhadap kebutuhan gizi, pengaruh gizi terhadap perkembangan otak dan perilaku, terhadap
kemampuan bekerja dan produktivitas serta daya tahan terhadap penyakit infeksi.3 Di samping
itu ditemukan pula pengaruh stres, faktor-faktor lingkungan seperti polusi dan obat-obatan
terhadap status gizi, serta pengakuan terhadap faktor-faktor gizi yang berperan dalam
pencegahan dan penobatan terhadap penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, diabetes
mellitus, hati, dan kanker.1,4
2.2 Angka Kecukupan Gizi dan Angka Kebutuhan Gizi
5
Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menunjukan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh
untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis
kelamin dan kondisi fisiologi tertentu. Angka kecukupan gizi berbeda dengan angka
kebutuhan gizi (dietary requirements). Angka kebutuhan gizi (AKG) adalah jumlah zat-zat
gizi minimal yang dibutuhkan seseorang unutuk mempertajamkan status gizi adekuat.
AKG yang dianjurkan didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok
umur, jenis kelamin, dan aktivitas fisik.1,3 Dalam penggunaannya, bila kelompok penduduk
yang dihadapi mempunyai rata-rata berat badan yang berbeda dengan patokan yang
digunakan, maka diperlukan penyesuaian. AKG tidak dipergunakan untuk individu. Dalam
menentukan AKG, perlu dipertimbangkan setiap faktor yang berpengaruh terhadap absorpsi
zat-zat gizi atau efisiensi penggunaannya di dalam tubuh. Untuk sebagian zat gizi, sebagian
dari kebutuhan mungkin dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi suatu zat yang di dalam tubuh
kemudian dapat diubah menjadi zat gizi esensial. Pada kebanyakan zat gizi, pencernaan dan
atau absorpsinya tidak komplit, sehingga AKG yang dianjurkan harus sudah
memperhitungkan bagian zat gizi yang tidak di absrorpsi.6
Dalam memenuhi kebutuhan AKG seriap harinya, perlu dilakukan memberi variasi
makanan yang berbeda setiap harinya yang nantinya diharapkan cukup dapat memenuhi
semua kebutuhan gizi. Di Indonesia pola menu seimbang tergambar dalam menu 4 Sehat 5
Sempurna dan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS). Saat ini dikenal juga menu pelangi,
yaitu menu makanan yang berwarna-warni seperti pelangi untuk memenuhi kebutuhan
vitamin dan mineral yang diperlukan oleh tubuh seperti sayur-sayuran. Perlu pendidikan
khusus bagi anak usia sekolah atau sekolah dasar dalam memilih makanan yang berwarna-
warni. Peran orang tua sangat diperlukan, jangan sampai anak memilih makanan yang
berwarna-warni yang menggunakan zat pewarna. Dalam menyusun menu, selain AKG perlu
pula dipertimbangkan aspek akseptibilitas makan yang disajikan, karena selain sebagai
sumber zat-zat gizi, makanan juga mempunyai nilai sosial dan emosional.1,6
2.3 Kebutuhan Gizi Berkaitan dengan Proses Tubuh
Makanan sehari-hari yang dipilih dengan baik akan memberikan semua zat gizi yang
dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Sebaliknya, bila makanan tidak dipilih dengan baik,
tubuh akan mengalami kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu. Zat gizi esensial adalah zat
gizi yang harus didatangkan dari makanan. Bila dikelompokkan, ada tiga fungsi zat gizi dalam
6
tubuh. Pertama, memberi energi, dimana zat-zat gizi yang dapat memberikan energi adalah
karbohidrat, lemak, dan protein. Oksidasi zat-zat gizi ini menghasilkan energi yang
diperlukan tubuh untuk beraktivitas. Kedua, untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan
tubuh. Protein, mineral, dan air adalah bagian dari jaringan tubuh. Oleh karena itu, diperlukan
unutk membentuk sel-sel baru, memelihara, dan mengganti sel-sel yang rusak. Ketiga,
mengatur proses tubuh. Protein, mineral, air, dan vitamin diperlukan untuk mengatur prose
tubuh. Protein mengatur keseimbangan air di dalam sel. Mineral dan vitamin diperlukan
sebagai pengatur dalam peroses-proses oksidasi, fungsi normal saraf dan otot serta banyak
proses lain yang terjadi di dalam tubuh termasuk proses menua.2
2.4 Masalah-masalah Gizi
Penyakit-penyakit gizi di Indonesia tergolong ke dalam dua kelompok, yaitu, penyakit
defisiensi dan obesitas.
2.4.1 Penyakit Defisiensi Gizi
Penyakit Defisiensi Kurang Kalori Protein (KKP)
Ada berbagai variasi bentuk KKP yaitu penyakit kwashiorkor, marasmus, dan
marasmikwashiorkor. Kwashiorkor adalah penyakit KKP dengan kekurangan protein sebagai
penyakti dominan. Marasmus merupakan gambaran KKP dengan defisiensi energi yang
ekstrem. Marasmikwashiorkor merupakan kombinasi defisiensi kalori dan protein pada
berbagai variasi. Penyebab langsung dari KKP adalah konsumsi kurang dan sebab tidak
langsungnya adalah hambatan absorbsi dan hambatan utilisasi zat-zat gizi karena berbagai
hal, misalnya karena penyakit. Penyakti infeksi dan infestasi cacing dapat memberikan
hambatan absorpsi dan hambatan utilisai zat gizi yang menjadi dasar timbulnya penyakit
KKP.2,4
Penyakit Defisiensi Vitamin A
Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan penyebab utama terjadinya preventable blindness
pada anak-anak dan meningkatkan risiko penyakit dan kematian akibat infeksi berat. Pada
wanita hamil VAD menyebabkan kebutaan malam dan dapat meningkatkan risiko kematian
ibu. Kekurangan vitamin A merupakan masalah kesehatan masyarakat, terutama pada anak-
7
anak, di lebih dari setengah dari semua negara, terutama di Afrika dan Asia Tenggara.10
Gejala-gejala defisiensi vitamin A yang menimbulkan yang sering mengancam anak-
anak adalah berhubungan dengan gangguan penglihatan dan kebutaan, malah bisa juga
meningkatkan risiko penyakit yang lain, dan bahkan kematian, dari infeksi anak yang umum
seperti penyakit diare dan campak.1,10
Gambaran defisiensi vitamin A yang menyangkut kondisi mata, disebut Xerophtalmia.
Ternyata banyak kasus Xerophthalamia yang berakibat gangguan penglihatan yang menetap
bahkan sampai menjadi buta, terutama pada kelompok umur dewasa muda.6
Defisiensi vitamin A primer disebabkan kekurangan konsumsi vitamin tersebut,
sedangkan defisiensi sekunder karena absorbsi dan utilitasnya terhambat. Konsumsi vitamin
A kurang adalah karena kebiasaan makan yang salah, tidak suka sayur dan buah, atau karena
daya beli rendah, tidak sanggup membeli bahan makanan hewani maupun nabati yang akaya
akan vitamin A dan karoten tersebut. Hambatan absorbsi vitamin A dalam bentuk karoten
terjadi karena hidangan rata-rata rakyat umum di Indonesia mengandung rendah lemak dan
protein yang diperlukan dalam metabolisme vitamin A.1
Penyakit Defisiensi Yodium
Salah satu manifestasi gambaran penyakit kekurangan zat gizi yodium yang menonjol ialah
pembesaran kelenjar gondok yang disebut penyakit gondok oleh awam atau nama ilmiahnya
struma simplex. Karena terdapat endemik di wilyah-wilayah tertentu yang kekurangan
yodium, disebut juga endemic goitre. Defisiensi yodium memberikan juga berbagai gambaran
klinik lainnya yang disangka ada hubungan dengan kondisi kekurangan zat gizi yodium itu,
sehingga disebut Iodine Deficiency Diseases (IDD). Ada 4 jenis IDD yaitu gondok endemic,
hambatan pertumbuhan fisik dan mental yang disebut kretinism, hambatan neuromotor, dan
kondisi tuli disertai bisu.8
Anemia Defisiensi Zat Besi
Pengaruh defisiensi zat besi, terutama melalui kondisi gangguan fungsi hemoglobin yang
merupakan alat transportasi oksigen yang diperlukan pada banyak reaksi metabolik tubuh.
Pada anak sekolah telah ditunjukkan adanya korelasi erat antara kadar hemoglobin dan
kesanggupan anak untuk belajar. Dikatakan bahwa pada kondisi anemia, daya konsentrasi
dalam belajar menurun.9
Defisiensi zat besi dapat didiagnosis berdasarkan data klinik dan data laboratorik yang
ditunjang oleh data konsumsi pangan. Gambaran klinik memperlihatkan kondisi anemia.
8
Muka penderita terlihat pucat, jug selaput lendir kelopk mata, bibir, dan kuku. Penderita
terlihat dan merasa bandannya lemah, kurang bergairah, dan cpeat merasa lelah, serta sering
menunjukkan sesak napas. Data laboratorik memperlihatkan kadar hemoglobin menurun di
bawah 11%, bahkan pada yang berat penurunan hemoglobin ini dapat mencapai tingkat di
bawah 10% atau lebih rendah lagi, sampai di bawah 4%. Data konsumsi mungkin
memperlihatkan hidangan yang kurang mengandung daging atau bahan makanan hewani lain,
dan juga kurang sayur serta daun yang berwarna hijau.2,9
2.4.2 Obesitas
Kegemukan dan obesitas terjadi akibat asupan energi lebih tinggi daripada energi yang
dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan sumber energi dan
lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi yang rendah disebabkan karena kurangnya
aktivitas fisik dan sedentary life style.3,6
Pola makan yang merupakan pencetus terjadinya kegemukan dan obesitas adalah
mengkonsumsi makanan porsi besar (melebihi dari kebutuhan), makanan tinggi energi, tinggi
lemak, tinggi karbohidrat sederhana dan rendah serat. Sedangkan perilaku makan yang salah
adalah tindakan memilih makanan berupa junk food, makanan dalam kemasan dan minuman
ringan (soft drink).3
Selain pola makan dan perilaku makan, kurangnya aktivitas fisik juga merupakan faktor
penyebab terjadinya kegemukan dan obesitas pada anak sekolah. Keterbatasan lapangan untuk
bermain dan kurangnya fasilitas untuk beraktivitas fisik menyebabkan anak memilih untuk
bermain di dalam rumah. Selain itu, kemajuan teknologi berupa alat elektronik seperti video
games, playstation, televisi dan komputer menyebabkan anak malas untuk melakukan
aktivitas fisik.3,7
2.5 Penanggulangan Masalah Gizi
Penerapan pola makan seimbang dan peningkatan aktivitas fisik pada anak sekolah bukanlah
sesuatu yang mudah. Diperlukan dukungan dari orang tua, guru, tenaga kesehatan, dan pihak
lainnya. Berkaitan dengan hal itu maka upaya penanggulangan ini harus menjadi komitmen
nasional yang harus dilakukan secara sistimatis dan terpadu serta berkelanjutan.3
2.5.1 Penanggulangan Zat Gizi Makro
Pertama, dalam menangani masalah gizi makro, khususnya kurang energi protein, titik
tolak kebijakannya terletak pada adanya pertumbuhan dan status gizi anak yang tidak normal.
Dengan demikian tujuan program adalah memperbaiki pola pertumbuhan anak dan status gizi
9
anak dari tidak normal menjadi normal atau lebih baik. Oleh karena pola pertumbuhan dan
status gizi anak tidak hanya disebabkan oleh makanan, maka pendekatan ini mengharuskan
program gizi dikaitkan dengan kegiatan program lain diluar program pangan secara
konvergen seperti dengan program air bersih dan kesehatan lingkungan, imunisasi,
penyediaan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan. Dengan program yang bersifat
terintegrasi seperti itu, program gizi akan rasional untuk menjadi bagian dari pembangunan
nasional secara keseluruhan.4
Kedua, kegiatan pemantauan berat badan dan tinggi badan anak balita dan sekolah
akan menjadi modal utama bagi program gizi. Survei gizi nasional secara periodik dan
terprogram seharusnya menjadi kebijakan nasional. Pelaksanaannya dapat melalui Survei
Sosio-ekonomi Nasional atau lembaga lain yang ada. Kegiatan ini perlu didukung oleh sistem
pemantauan status gizi anak yang representatif mewakili daerah-daerah yang tidak terjangkau
survey gizi nasional.2,5,6
Ketiga, revitalisasi Posyandu dikatakan berhasil apabila dapat mengembalikan fungsi
utamanya sebagai lembaga masyarakat, terutama masyarakat desa untuk memantau
pertumbuhan anak. Kegiatan pendidikan dan pelatihan pada ibu-ibu bagaimana menimbang
dan mencatat di KMS pertumbuhan berat badan anak serta dapat mengartikan KMS dengan
baik, merupakan kunci keberhasilan revitalisasi Posyandu. Kegiatan penimbangan
diutamakan pada anak dibawah tiga atau dua tahun sesuai dengan perkembangan masalah
yang diketahui dari hasil penelitian mutakhir. Tolok ukur lain keberhasilan revitalisasi
posyandu ialah mengkoreksi kesalahan para petugas gizi dan kesehatan yang selama ini
dilakukan yang menggunakan KMS sebagai catatan status gizi. Konsep penyimpangan
pertambahan dari batas normal atau “growth faltering” sudah waktunya diajarkan dan latihkan
kepada petugas gizi dan kesehatan serta kader.5
Keempat, secara bertahap perlu ada “perombakan” kurikulum di lembaga pendidikan
tenaga gizi di semua tingkatan untuk lebih memahami perlunya paradigma baru yang
berorientasi pertumbuhan dan status gizi anak sebagai titik tolak dan tujuan program. Sebagai
contoh, Nutrition-friendly Schools Initiative yang disarankan oleh WHO, untuk meningkatkan
status gizi anak usia sekolah. Ini merupakan investasi yang efektif untuk meningkatkan hasil
pendidikan anak-anak sekolah, membangun pola aktivitas dan pola makan yang sehat
sehingga meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan gizi dan mencegah obesitas dan berbagai
penyakit menular, dan perbaikan gizi di kalangan remaja perempuan, yang dalam perspektif
lifecourse, akan bermanfaat bagi kesehatan dan gizi generasi masa depan. 4,5,7
10
2.6.2 Penanggulangan Zat Gizi Mikro
Untuk mencegah dan menanggulangi berbagai masalah kurang zat gizi mikro tersebut, selama
ini telah dilakukan berbagai upaya. Upaya utama yang telah dilakukan adalah suplementasi
tablet besi untuk mengatasi masalah AGB, suplementasi kapsul vitamin A untuk mengatasi
KVA dan suntikan lipiodoi serta suplementasi kapsul iodosol dan distribusi garam beriodium
untuk mengatasi rnasalah GAKI. Meskipun suplementasi telah terbukti efektif untuk
mengatasi masalah kurang zat gizi mikro, namun dari segi biaya program ini sangat mahal.
Harga suplemen serta biaya distribusi yang tinggi berimplikasi pada perlunya mencari
alternatif solusi pengganti/pendampingnya. Diantara yang telah teridentifikasi adalah
pendidikan gizi, diversifikasi konsumsi pangan dan fortifikasi pangan. Dari berbagai kajian,
fortifikasi pangan dianggap sebagai alternatif yang paling cost-efecfive.4
Mempertimbangkan keunggulan fortifikasi pangan, ke depan upaya ini akan lebih
dikedepankan dalam penanggulangan masalah kurang gizi mikro di Indonesia, seiring dengan
penurunan upaya suplementasi. Peningkatan fortifikasi pangan akan diikuti dengan upaya
pengenakaragaman pangan menuju gizi seimbang, yang disertai dengan pendidikan gizi yang
lebih intensif untuk mewujudkan keluarga sadar pangan dan gizi. Saat ini upaya fortifikasi
pangan secara mandatory (wajib) melalui Standar Nasional Indonesia (SNI) tidak hanya
diterapkan pada garam, tetapi sejak tahun 2002 juga telah diterapkan pada tepung terigu.
Upaya-upaya untuk mencari “vehicle” baru juga terus dilakukan. Hasil studi Koalisi
Fortifikasi Indonesia (KFI) dan Micronutrient lnitiatives (MI) tahun 2005 yang dilakukan di
beberapa propinsi menunjukkan bahwa minyak goreng curah adalah vehicle yang memenuhi
syarat untuk fortifikasi vitamin A. Sebagai tindak lanjut dari temuan tersebut tengah
dilakukan pengembangan proyek uji coba perigembangan fortifikasi vitamin A pada minyak
goreng di kota Makassar yang disertai dengan kajian tentang efektivitasnya.5,7
BAB 3
KESIMPULAN
3.1. Kesimpulan
11
Rendahnya asupan gizi anak usia sekolah diakibatkan oleh banyak faktor. Anak usia sekolah
sangat rentan dengan asupan gizi yang rendah atau buruk. Pada usia ini pola makan anak
dipengaruhi oleh teman dan lingkungan sekitarnya. Jajanan yang banyak dijual di sekolah-
sekolah termasuk ke dalam makanan yang tidak bergizi sehingga dapat dikatakan bahwa anak
usia sekolah sangat rentan dengan asupan gizi yang buruk.1
Asupan gizi yang buruk dapat berakibat fatal apabila terus dibiarkan, defisiensi kalori
yang dihasilkan protein akan menimbulkan penyakit seperti marasmus dan kwashiorkor,
defisiensi zat besi akan mengganggu kerja hemoglobin dalam transportasi oksigen ke seluruh
tubuh, dan defisiensi yodium akan mengganggu proses neuromotor. Selain itu, buruknya
status gizi anak sekolah semakin memperburuk kondisi bangsa Indonesia karena generasi
penerusnya tidak produktif. Perbaikan status gizi dengan asupan gizi yang baik dan seimbang
akan memberikan banyak perubahan. Orang tua saat ini terlalu membiarkan anaknya
mengkonsumsi jajanan yang ada di sekolah. Membiasakan anak untuk sarapan pagi sebelum
berangkat sekolah merupakan cara yang efektif dalam mengurangi kemungkinan anak
membeli makanan di luar rumah.3,7
Penerapan pola makan seimbang dan peningkatan aktivitas fisik pada anak sekolah
bukanlah sesuatu yang mudah. Semua pihak termasuk orang tua, guru, tenaga kesehatan, dan
pihak lainnya harus member dukungan dan menjalankan kewajiban sesuai dengan program-
program pemerintah yang sedia ada. Berkaitan dengan hal itu maka upaya penanggulangan ini
harus menjadi komitmen nasional yang harus dilakukan secara sistimatis dan terpadu serta
berkelanjutan untuk mewujudkan generasi masa depan yang sehat dan produktif.3
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Almatsier, Sunita. 2007, Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Diunduh dari :
http://library.um.ac.id/free-contents/downloadpdf.php/buku/prinsip-dasar-ilmu-gizi-
sunita-almatsier-30615.pdf
2. Chuluq, AC., Fadhilah, F., Bahabol, M., 2013. Hubungan Asupan Makan dengan
Status Gizi Anak Sekolah Dasar. Diunduh dari :
http://fk.ub.ac.id/artikel/id/filedownload/gizi/MARKUS%20BAHABOL.pdf
3. KEMENKES RI, 2012. Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan
Obesitas pada Anak Sekolah. Diunduh dari:
http://gizi.depkes.go.id/download/Pedoman%20Gizi/Obesitas.pdf
4. Martiano, D., Soekirman, 2005. Overview Masalah Pangan dan Gizi di Indonesia dan
Upaya Penanggulangannya. Diunduh dari :
5. Soekirman, 2003. Perlu paradigma baru untuk menanggulangi masalah gizi makro di
Indonesia. Diunduh dari : http://gizi.depkes.go.id/makalah/download/prof-
soekirman.pdf
6. Suyatno, 2009. Gizi Daur Hidup: Gizi Anak Sekolah. Diunduh dari :
http://suyatno.blog.undip.ac.id/files/2009/12/gizi-anak-sekolah.pdf
7. World Health Organization, 2006. Nutrition-friendly Schools Initiative. Public Health
Nutrition : 9(5), 658–660.
8. World Health Organization, 2013. Micronutrient deficiencies : Iodine Deficiency
Disorder. Diunduh dari : http://www.who.int/nutrition/topics/idd/en/index.html
9. World Health Organization, 2013. Micronutrient deficiencies : Iron Deficiency
Anemia. Diunduh dari : http://www.who.int/nutrition/topics/ida/en/index.html
10. World Health Organization, 2013. Micronutrient deficiencies : Vitamin A Deficiency.
Diunduh dari : http://www.who.int/nutrition/topics/vad/en/index.html