pidana-syafruddin8

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    1/78

    PERBEDAAN PERSEPSI MENGENAI PENGUASAAN TANAH DANAKIBATNYA TERHADAP MASYARAKAT PETANI

    DI SUMATERA TIMUR

    Pada Masa Kolonial Yang Berlanjut Pada Masa Kemerdekaan, Orde Barudan Reformasi

    SYAFRUDDIN KALO

    Program Studi Hukum Pidana

    Fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara

    PengantarSejak masuknya perusahaan perkebunan (onderneming) di wilayah

    Sumatera Utara, persoalan tanah telah menjadi pokok permasalahan utama

    mengingat perusahaan perkebunan memerlukan lahan bagi pengembanganusahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduksecara perorangan. Dengan kebutuhan tersebut, dan ditopang dengan

    pandangan tentang hak penguasaan tanah di Eropa, pengusaha perkebunan inimendekati para raja yang dianggap sebagai penguasa seluruh tanah di SumateraUtara agar menyediakan tanah milik rakyat melalui jalur kontrak sewa

    (conssesie).1

    Dengan dimulainya eksploitasi dan investasi modal pengusahaperkebunan swasta ini, maka sejak itu persoalan sengketa hak penguasaan atas

    tanah selalu terjadi secara periodik dalam kehidupan di Sumatera Utara.Sengketa ini berkisar tentang siapa yang berhak menyewakan, menggarap,mengolah dan menentukan perpanjangan sewa dengan pihak perkebunan. Di

    satu sisi terdapat rakyat yang memegang teguh prinsip adat2  dengan hakulayatnya, di sisi lain pengusaha perkebunan merasa berhak menguasai tanahkarena mereka telah membuat kontrak sewa dan menerima konsesi dari sultan

    yang dianggap sebagai pemilik tanah yang sah.

    1  Proses masuknya para pengusaha perkebunan Barat ke Sumatera Utara ini tidak terlepas dari

    munculnya sistim dan situasi kolonial pada akhir abad XIX di tanah-tanah koloni Eropa. Dalam

    sistem dan situasi kolonial ini muncul hubungan kolonial (ketundukan) antara penguasa kolonial

    dan penduduk jajahannya. Di samping itu juga terdapat hubungan serupa antara tanah jajahan di

    Asia dengan negara induknya di Eropa yang bertumpu pada prinsip dominasi politik, eksploitasi

    ekonomi dan penetrasi kebudayaan yang dipaksakan. Bentuk penjajahan yang diterapkan oleh

     penguasa Eropa pada akhir abad XIX ini mengalami pergeseran dari sistem lama. Dalam gaya

     penguasaan lama negara induk dianggap sebagai lahan eksploitasi yang wajib menyetorkan hasil-

    hasilnya demi kejayaan negara penjajahnya di Eropa, sementara itu dalam bentuk penjajahan baru

    tanah koloni dianggap juga sebagai tempat proses produksi berlangsung, tempat pencarian tenagakerja dan sekaligus sebagai lahan penjualan barang-barang hasil produksi di Eropa. Tentang

     perluasan kolonialisme ini periksa Sartono Kartodirdjo dan Djoko Suryo, Sejarah Perkebunan di

     Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi (Aditya Media, Yogyakarta, 1991), hal. 5 dan 13. 2  Yang dimaksud adat di sini adalah seperangkat aturan dan kebiasaan tak tertulis yang menentukan

    dan mengatur cara hidup penduduk pribumi serta yang muncul dari konsep orang pribumi tentang

    manusia dan kehidupan sosialnya. Adat mewarnai semua kehidupan sosial termasuk bidang yang

    sakral yang dalam hal ini mencakup juga penguasaan tanah. Periksa Franz von Benda-Beckmann,

    Property in Social Continuity (The Hague, Martinus Nijhoff, 1979) hal. 113-114. 

    ©2004 Digitized by USU digital library 1

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    2/78

    Pemerintah kolonial Belanda sebagai pihak fasilitator dan penjaga hukumserta ketertiban segera terlibat dalam persoalan sengketa tanah ini. Ada duakepentingan utama yang mendorong keterlibatan pemerintah Belanda :

    menegakkan keamanan dan ketertiban mengingat para Sultan Melayu dianggaptidak mampu melaksanakannya, dan yang kedua sebagai peluang untuk

    memperluas pengaruh politiknya di tanah Melayu yang dianggapnyamengandung potensi luas bagi sumber produksi, sehingga akan menambahpemasukan bagi devisa negara.3

    Keterlibatan pemerintah Belanda dalam aktivitas yang dilakukan oleh parapengusaha perkebunan swasta memaksa kalangan petinggi Belanda baik di DenHaag maupun Batavia untuk memikirkan suatu hukum khusus yang mengatur

    persoalan agraria dan diberlakukan di seluruh Hindia Belanda. Setelah melaluiperdebatan dan penelitian yang panjang, maka pada tahun 1870 dikeluarkannyaUU Agraria atau Agrarische Wet 1870. Dengan bertumpu pada dasar hukum ini,pemerintah Belanda mempermudah penerapan kebijakan dalam kaitannya

    dengan hak penguasaan atas tanah penduduk pribumi (domein).

    Hukum dasar ini tetap dipergunakan dan dipertahankan oleh pemerintah

     jajahan Belanda sampai akhir masa kekuasaannya, dan masih digunakan olehpemerintah Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan tanpa mengalamibanyak perubahan yang berarti.4 Sebagai akibatnya, berbagai bentuk sengketa

    tanah yang muncul di Sumatera Utara menunjukkan pola yang hampir samameskipun dengan pelaku peran (occupant role) yang berbeda. Bila di masakolonial, sengketa muncul diantara pengusaha onderneming dengan rakyat saja,

    maka pada masa kekuasaan Republik Indonesia di awal kemerdekaannyapersoalan ini diperparah lagi dengan munculnya partai-partai politik yangmemiliki kepentingan berbeda. Partai-partai ini memanfaatkan konflik sengketa

    tanah di Sumatra Utara tersebut untuk mendapatkan dukungan dan pengaruhdari rakyat serta menggunakannya sebagai sarana untuk mencapai tujuannasional mereka.

    Pemerintah Indonesia segera memberikan perhatian serius padapersoalan sengketa tanah yang selalu kembali muncul ini. Dengan mengadakan

    3  Hal ini dimungkinkan bagi Belanda karena para raja Melayu saat itu berada dalam posisi yang

    terpecah-pecah dan saling bersaing, sehingga para raja yang secara ekonomi dan militer sangat

    lemah bergantung pada bantuan dan sekutu mereka. Untuk menghadapi ancaman dari musuh-

    musuhnya termasuk kaum pendatang Batak Toba yang mulai banyak memasuki wilayah Melayu,

     para sultan ini memerlukan sekutu baru yang bisa melindungi struktur dan keberadaan

    Kesultanannya. Tanpa menggunakan kekuatan militer yang tinggi, Belanda berhasil lewat jalur

    diplomasi menyatukan para sultan bersama para kepala adat Melayu, Batak Toba dan Batak Karo

    tunduk pada sistem baru yang dibentuk oleh pemerintah kolonial. Periksa Anthony Reid, The

     Blood of the People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra (Perjuangan

     Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera) terjemahan Muchsin Zain (Jakarta, SinarHarapan, 1987) hal. 26. 

    4  Periksa R. Soepardi, “Beberapa Hal Tentang Hukum Agraria” , dalam Madjalah Perkebunan, edisi

    Maret 1959, tahun IX, hal. 50. Hal ini sangat rawan mengingat struktur penguasaan yang ada

    selama sebelum dan sesudah kemedekaan jauh berbeda, khususnya menyangkut pihak yang

    memegang hak penguasaan tanah: sebelum kemerdekaan, para penguasa swatantra pribumi

    ( zelfbestuurder ) menjadi pemegang hak penguasaan dengan mengeluarkan grant (karunia) sebagai

     bukti pemilikan tanah kepada warganya. Setelah kemerdekaan dengan dihapuskannya bentuk

    kekuasaan kesultanan, semua grant  ini tidak lagi berlaku.

    ©2004 Digitized by USU digital library 2

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    3/78

    penelitian lewat sebuah tim yang khusus dibentuk untuk itu, pemerintah mulaimenyusun bentuk perundangan baru yang diharapkan bisa menggantikan Agrarische Wet lama produk hukum kolonial. Dengan perundangan baru ini,

    negara mengambil alih semua hak penguasaan atas tanah dan menegaskanberbagai macam bentuk kepemilikan tanah secara jelas melalui diterbitkannya

    sertifikat oleh lembaga hukum yang berwenang.

    UUPA No.5 Tahun 1960 sebagai bentuk UU baru tentang ketentuan pokokagraria yang dikenal dengan UUPA, berlaku sebagai induk dari segenap peraturan

    pertanahan di Indonesia. UUPA ini mengandung asas (prinsip) bahwa semua hakatas tanah dikuasi oleh negara, dan asas bahwa hak milik atas tanah “dapatdicabut untuk kepentingan umum”. Kedua prinsip tersebut dengan tegas telah

    dituangkan dalam pasal 2 dan pasal 18 UUPA.

    Berdasarkan pasal 2 UUPA ini negara menjadi pengganti semua pihakyang mengaku sebagai penguasa tanah yang sah. Negara dalam hal ini

    merupakan lembaga hukum sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia.Pemerintah sebagai lembaga pelaksana UU negara dalam proses ini bertindaksebagai pihak yang melaksanakan dan menerapkan ketentuan yang terdapat

    dalam pasal 2 UUPA tersebut.

    Adapun kekuasaan negara yang dimaksud itu mengenai semua bumi, air

    dan ruang angkasa, baik sudah yang dihakki oleh seseorang maupun tidak.Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan suatu hakdibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberikekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai di

    situlah batas kekuasaan negara.5

    Dengan demikian pemerintah menjadi pihak yang wajib dan berwenang

    mengatasi dan menengahi sengketa hak penguasaan atas tanah yang munculsekaligus menjadi fasilitator bagi pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa.

    Berbagai kasus sering terjadi dalam masyarakat dengan berbagai

    masalah, diantaranya yang paling menonjol adalah persoalan sengketapertanahan antara masyarakat versus perkebunan yaitu tentang penggarapanbaik yang mempunyai izin maupun penggarapan secara liar oleh masyarakat.

    Disamping itu penggusuran masyarakat di atas tanah sengketa baik olehpemerintah maupun oleh pihak perkebunan baik secara paksa maupun ganti rugitetapi bentuk dan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh perkebunan kepada

    rakyat dinilai tidak layak. Bahkan proses ini banyak yang menjadikan rakyat lebihmiskin dari sebelumnya, karena uang ganti rugi itu tidak cukup untuk membelilahan baru atau untuk mencari nafkah sesuai dengan keadaan semula. Dengan

    demikian dari sudut ekonomi tindakan tersebut sangat merugikan bagi rakyat.Rakyat terpaksa menyingkir dari lahan yang telah dibebaskan untuk kepentingantanaman perkebunan dan harus mencari lahan baru yang tidak sesuai dengan

    tuntutan penanaman tanaman pangan mereka.Konflik terjadi sejak dari konsesi perkebunan yang diberikan oleh

    kesultanan/swapraja dan pemerintah kolonial pada persusahaan perkebunan.

    Tanah konsesi tersebut pada dasarnya menyangkut hak ulayat masyarakat.Pemberian konsesi kepada pengusaha perkebunan telah terjadi pada masakesultanan dan masa kolonial ini berlanjut dengan modifikasi hak konsesi

    5  Lihat penjelasan umum UUPA No.5 Tahun 1960, Bagian II. 

    ©2004 Digitized by USU digital library 3

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    4/78

    menjadi hak erfacht . Kondisi demikian diteruskan pula pada masa kemerdekaan,di mana tanah konsesi maupun hak erfacht   yang diberikan pada perkebunanyang berakhir masa berlakunya dimodifikasi menjadi Hak Guna Usaha (HGU).

    Dalam tiga periode tersebut sengketa pertanahan masih berlangsung diantarapihak pengusaha perkebunan dengan masyarakat penunggu maupun masyarakat

    penggarap.

    Pola sengketa berkisar antara rakyat dan pemerintah atau rakyat danperkebunan (yang didukung oleh orang-orang pemerintah) mengenai

    penguasaan atas tanah; antara rakyat dengan pihak perkebunan sertakehutanan mengenai tanah garapan antara rakyat dengan rakyat itu sendirimengenai masalah kepemilikan, penggarapan, warisan dan sewa menyewa.

    Sengketa tersebut diantaranya karena manipulasi pejabat atau perantara-perantara yang menjadi kaki-tangan perusahaan perkebunan sejak zamankolonial.

    Dalam praktek, penyelesaian masalah perkebunan itu ada yangdiupayakan dengan pemberian ganti rugi lahan oleh pihak perkebunan padapetani penggarap, rakyat penunggu, maupun penggarap liar. Oleh pihak

    pemerintah ditempuh penyelesaian dengan jalan melepaskan hak atas tanahatau membebaskan areal perkebunan yang yang telah dikuasai penggarapdengan mengeluarkannya dari Hak Guna Usaha atau terhadap Hak Guna Usaha

    yang telah habis masa waktunya tidak diberikan perpanjangan lagi, kemudianlahan tersebut dibagi-bagikan oleh panitia kepada masyarakat penggarap.Namun hal ini, tidak membawa hasil yang memuaskan bahkan sengketa tanah

    antara pihak perkebunan versus rakyat penggarap terus berlanjut sampai saatini.

    Khusus di Sumatera Utara, berdasarkan pemantauan, yang paling

    besar presentasinya adalah sengketa masalah tanah. Tuntutan ini demikianderasnya, dimana-mana, di wilayah Sumatera Utara, terutama di sektorperkebunan, lahan perkebunan menjadi ajang dan tumpuan penjarahan dan

    pendudukan dari para penggarap yang mengaku dirinya petani. Ini dimulaidari Kotamadya Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Langkatyang menjadi korban adalah PTPN II dan PTPN III, sebagian besar areal HGU

    nya jatuh dan diduduki oleh rakyat penggarap. Tuntutan masyarakatpenggarap berdalih demi reformasi dan atau karena reformasi, tanpamendalami dengan benar maksud dan cita-cita s reformasi itu sendiri. Secara

    internal, pelanggaran hukum, pelanggaran HAM, telah berlangsung dimana,para aparat penegak hukum, tidak mampu berbuat banyak.

    Disamping itu juga, penguasaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alas

    hak yang sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalamposisi yang demikian pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yangdilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang

    membutuhkan tanah dan berpotensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidakmemilik bukti yang lengkap dan cukup atas tanah yang dimilikinya. Hal initerutama terjadi pada tanah-tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan

    oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakanhak milik komunal (hak ulayat), sehingga mereka menganggap hak penguasaanotomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turun-

    temurun.

    ©2004 Digitized by USU digital library 4

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    5/78

    Keadaan itu bukannya tidak diketahui oleh pihak yang memerlukan tanahdalam hal ini perkebunan, tetapi dengan berbagai alasan untuk melaksanakanusaha yang telah direncanakan tetap dilakukan penguasaan lahan. Akibatnya

    sulit bagi pihak yang membutuhkan tanah untuk menentukan tentang keabsahanpemegang hak penguasaan lahan yang diakui oleh rakyat.

    Konflik juga terjadi antara pemerintah dengan rakyat atau antara rakyatdengan pihak perkebunan yang membutuhkan tanah, karena kurangnyakoordinasi antar instansi yang terkait di bidang pertanahan. Misalnya, tidak

    adanya sinkronisasi antara suatu sektor dengan sektor lainnya. Banyak sekaliperaturan-peraturan yang tidak berjalan, ataupun saling bertabrakan denganperaturan lain. Sebagai contoh dapat kita ajukan Undang-Undang Darurat

    Nomor 8 Tahun 1954 yang mengatur tentang penyelesaian soal pemakaian tanahperkebunan oleh rakyat, UU Darurat Nomor 1 Tahun 1956 tentang perubahandan tambahan atas perubahan UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 mengenai

    penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat, UU Nomor 28 Tahun1956 tentang pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanahperkebunan, UU Nomor 29 Tahun 1956 tentang peraturan-peraturan dan

    tindakan-tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan, UU Nomor 76 Tahun 1957tentang perubahan UU Nomor 24 Tahun 1954 dan UU Nomor 28 Tahun 1956, UUNomor 51 Prp Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yangberhak atau kuasanya, dan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang pencabutan hak-

    hak atas tanah dan benda-benda yang terletak di atasnya, dll.

    Namun keberadaan dari semua peraturan tersebut di atas, ternyata tidak

    dapat meredam terjadinya kasus pertanahan yang menimbulkan kegoncangandalam masyarakat. Dalam realita banyak terjadi konflik antara pemerintah danrakyat atau antara rakyat dengan pihak badan usaha perkebunan yang masing-

    masing pihak membutuhkan tanah. Sengketa pertanahan ini kita jumpai hampirpada setiap daerah perkebunan yang ada di Indonesia.

    Kecenderungan pemerintah mengabaikan faktor-faktor juridis dalam

    pembebasan atau pelepasan hak-hak atas tanah masyarakat, disebabkaninstansi pemerintah tersebut lebih mementingkan target pemasukan produksiekonomi sesuai dengan tahap-tahapnya. Oleh karena kuota produksi yang lebih

    diutamakan, maka pemerintah cenderung tidak teliti dalam memeriksa dokumen-dokumen kepemilikan dan hak-hak rakyat yang memiliki tanah, misalnya buktikepemilikan. Disamping itu selalu terjadi pemaksaan kehendak, sehingga

    musyawarah tidak berjalan dan bentuk penyelesaian sengketa hanya ditetapkansecara sepihak oleh pemerintah dengan pendekatan politik dan kekuasaan.

    Dengan adanya berbagai peraturan dan kebijakan mengenai tanah yang

    telah dikemukakan di atas, seharusnya dapat dijadikan patokan dalam dua halyaitu : di satu pihak peraturan itu merupakan landasan bagi pihak pemerintahuntuk membuat larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak, sedangkan di

    lain pihak ia merupakan suatu jaminan hukum bagi rakyat agar tidakdiperlakukan sewenang-wenang oleh pemerintah atau penguasa. Tetapi ternyatakeberadaan peraturan itu tidak dapat menjamin adanya perlindungan bagi rakyat

    dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak pemerintah.

    Berdasarkan penjelasan yang dipaparkan di atas, sungguh menarik bila sejauh

    ini belum banyak kajian yang khusus menyoroti permasalahan konflik dalamsengketa pemilikan tanah antara rakyat dan penyewa tanah di wilayah Sumatera

    ©2004 Digitized by USU digital library 5

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    6/78

    Timur dari sisi ilmu hukum. Berbagai karya telah ditulis tentang Sumatera Timur,namun sebagian besar berdasarkan perspektif dan pendekatan historis dengankurang menekankan prioritas pada aspek pendekatan ilmu hukum. Dalam

    sejumlah karya ilmiah yang telah dihasilkan tentang penguasaan wilayah diSumatera Timur,6  lebih banyak diberikan penekanan pada aspek politik sebagai

    faktor penentu perubahan yang terjadi. Sementara itu menurut penulis sisipenguasaan tanah dari aspek hukum sangat menentukan perubahan yang terjadidalam perkembangan sejarah politik dan ekonomi wilayah Sumatera Timur.Dalam hal ini penulis akan berusaha menggali beberapa pokok permasalahan

    yang terdapat dalam proses konflik dalam penguasaan tanah, bagaimanabenturan prinsip yang terjadi dan sejauh mana proses tersebut menentukanbentuk perubahan baru yang menghasilkan pergantian kebijakan dan keputusan

    lembaga kekuasaan pada periode yang terkait.

    Perbedaan Persepsi Tentang Hak Penguasaan Tanah di Sumatera Timur 

    Setiap negara mempunyai aturan tentang hak-hak penguasaan danpemilikan tanah, yang didasari atas konsep dan teori hukum tertentu yangdimodifikasi dengan kondisi yang dihadapi dan kebutuhan yang harus dipenuhi.

    Pada dasarnya pengaturan hukum tentang hak-hak penguasaan atas tanah ituberisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemeganghaknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah yang sudah dihakki. Kewenangan

    ini berbeda dari suatu negara dengan negara lain. Di Indonesia sebagai bekasnegara jajahan Belanda mempunyai pengalaman sejarah dalam menentukanpenguasaan atas tanah, ada yang bersumber dari hukum adat, hukum barat danhukum nasional.

    Pada zaman penjajahan, fungsi hukum tanah mengabdikan padakepentingan Pemerintah Hindia Belanda, tanpa memperdulikan kepentingan

    rakyat Indonesia. Akibatnya fungsi tanah yang semula sebagai sumberkesejahteraan dan kemakmuran yang merupakan karunia Illahi, setelahkedatangan penjajah berubah menjadi sumber penindasan, sumber malapetaka

    dan sumber ketidakadilan.

    Dalam kerangka teori yang digunakan, penulis membatasi beberapaaktivitas yang akan sangat menentukan dalam penjelasan dan pembuatan

    analisis atas disertasi yang dipaparkan. Sejumlah kerangka pemikiran inibersumber dari beberapa teori yang dapat mendukung tulisan ini.

    Dalam tema ini, perlu dijelaskan tentang teori penguasaan tanah dan

    kaitannya dengan persewaan tanah. Teori penguasaan tanah dalam sejarah

    6  Beberapa karya ilmiah tentang Sumatra Timur ditulis baik oleh para ilmuwan asing maupun

    ilmuwan Indonesia di antaranya adalah Karl. J. Pelzer, Toean Kebon dan Petani (Jakarta, Sinar

    Harapan, 1978); Karl J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani

    (Jakarta, Sinar Harapan, 1982); Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan HancurnyaKerajaan di Sumatra (Jakarta, Sinar Harapan, 1987); Suprayitno,  Mencoba (Lagi) Menjadi

     Indonesia (Yogyakarta, Tarawang Press, 2001); Tengku Lukman Sinar, Sari Sejarah Serdang 

    (Medan, tanpa penerbit, 1971). Semua karya ini cenderung menegaskan pada peristiwa-peristiwa

     politis dan perubahan kekuasaan yang mempengaruhi perubahan sosial dalam hubungan ekonomi

    dan kehidupan masyarakat di Sumatra Timur. Semua karya ini ditulis oleh para sejarawan

     profesional dengan melakukan pendekatan historis yang berlandaskan pada kajian politik untuk

    mendekati permasalahan yang berlaku di Sumatra Timur masa itu. Dengan demikian unsur kajian

    dari sisi hukum kurang begitu menonjol dalam eksplanasinya.

    ©2004 Digitized by USU digital library 6

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    7/78

    hukum pertanahan di Indonesia sejak zaman kesultanan, zaman kolonial sampaizaman kemerdekaan, dalam praktek diperlakukan teori penguasaan tanahberdasarkan teori Eropa, adat dan hukum nasional.

    Di Eropa sebelum masa Revolusi Perancis berlaku doktrin bahwa rajaadalah penguasa segala hal di negaranya dengan semboyan “L’etat c’est Moi ”

    atau Negara adalah Saya  teori ini mencerminkan kekuasaan yang besar atastanah. Raja dianggap sebagai wakil negara dan pemilik tanah adalah negara.Teori ini juga berlaku di Inggris dan Belanda. Indonesia sebagai negara jajahan

    Belanda memberlakukan teori ini di Indonesia, yang berarti bahwa semua tanahdi Indonesia adalah milik raja dan dengan demikian oleh karena raja taklukkepada pemerintahan kolonial, maka semua tanah di negara jajahan dikonversi

    menjadi milik raja Belanda. Oleh karena itu pemerintah Kolonial menganggapsemua tanah yang ada di Indonesia adalah milik penguasa kolonial. Denganmemberlakukan azas domein verklaring, dengan arti bahwa semua tanah-tanah

    tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah menjadi tanah negara.7  Atas

    dasar teori ini maka pemerintah kolonial dapat menyewakan tanah-tanah kepadaperusahaan onderneming dengan skala besar.

    Dengan diberlakukannya teori domein verklaring oleh pemerintah HindiaBelanda di Indonesia, dapat diasumsikan bahwa kebijakan itu didasari atasalasan-alasan karena pemerintah Belanda menganggap raja-raja di Indonesia

    yang mempunyai kekuasaan hak domein  atas tanah, maka dengan sendirinyahak domein itu juga diambil over oleh Belanda karena Belanda memegangkedaulatan di Indonesia.

    Anggapan pemerintah Belanda yang demikian itu, pada dasarnya adalahsangat keliru. Karena tidak semua raja-raja di Indonesia mempunyai hak domein atas tanah, khususnya di Sumatera Timur raja-raja tidak menguasai semua

    tanah di wilayah kerajaannya, tetapi di wilayah persekutuan hukum adat yangberada di bawah kekuasaan kesultanan tanah adalah merupakan milik komunal(beschikkingsrecht ). Anggota persekutuan dari hukum adat itu dapat membuka

    tanah dan memungut hasil hutan dengan seizin kepala persekutuan ataupengetua adat, hak ini merupakan hak ulayat dalam masyarakat adat itu.

    Dalam praktek fungsi domein verklaring dalam perundang-undanganpertanahan pemerintah kolonial Belanda adalah :a. Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai

     pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur

    dalam KUUHPdt, seperti hak erfacht, hak opstal dan lain-lainnya. Dalamrangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukandengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah.

    b. Bidang pembuktian pemilikan.8 Kutipan di atas, memberikan penjelasan bahwa negara bertindak sebagai

    pemilik. Pemerintah memberikan hak-hak erfacht atau persewaan tanah jangka

    panjang kepada perusahaan onderneming, dengan mengingkari hak-hakmasyarakat adat yang ada di atas tanah menjadi objek persewaan tersebut.

    Kebijakan pemerintah Belanda dalam memperlakukan teori domein

    7 Lihat pasal 1 Agrarisch Besluit dan hubungkan dengan pasal 519 dan pasal 520 BW.

    8  Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang undang Pokok Agraria,

     Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Hukum Tanah Nasional. (Jakarta : Djambatan, , 1999, hal. 43).

    ©2004 Digitized by USU digital library 7

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    8/78

    verklaring  ini adalah, sangat merugikan rakyat karena domein diperlakukan diatas tanah rakyat dan memungkinkan tanah-tanah hak ulayat diberikan kepadaorang asing dengan hak sewa (erfacht ).

    Dalam hal ini, perlu dijelaskan apa yang disebut dengan persewaan tanah(tenure), penyewa (tenant ) dan pemilik tanah yang menyewakan (landowner )

    khususnya yang muncul dalam sejarah persewaan dan penguasaan tanah diSumatera Timur. Pertama-tama kita akan membahas masalah persewaan tanah(tenure).

    Dalam hal ini, Kenneth P. Davis mengatakan sebagai berikut :

    The basic concept of ownership is that of tenure. This means the right or capacityto have and to hold land for certain uses. Historically,the concept of tenure long

     preceded the idea of individual ownership. The word “tenure” means “the holdingof property, especially real estate, of or by reference to a superior. Inherent inthe woed “held” is the idea of exclusion, that is to set aside and keep as one’s

    own by shutting out and excluding others. Another indispensable dimension oftenure is the period time for which the property is held”.9

    Berdasarkan defenisi Davis ini bisa kita jelaskan bahwa sewa tanahmerupakan jenis bentuk pemilikan tanah dengan tujuan tertentu. Persewaantanah ini berarti penguasaan lahan perkebunan dan menjadi bagian dari

    pemilikan. Perbedaan yang mendasari antara persewaan dengan pemilikanadalah bahwa persewaan (tenure) yang dimaksudkan Davis merupakanpemetikan hasilnya dari kerja tertentu, sehingga tanah ini diterima dari pihak laindalam bentuk pinjaman. Defenisi Davis ini bertolak dari sistem pemilikan tanah di

    Inggris yang menyebutkan bahwa hanya raja Inggris yang menjadi pemiliktanah, dan semua mereka yang menguasai serta menggarap tanah itu adalahpenyewa atau peminjam tanah.10

    Defenisi David di atas ini bisa dikembangkan dengan konsep tujuanpersewaan yang muncul atas penguasaan tanah. Tentang ini A.W.B. Simpson

    mengatakan: An obvious consequence of the tenurial system is that a number persons haveinterensts of some sort in the same parcel of land. Confining our attention for the

    time being simply to freholders, at the bottom of the feudal ladder there will be atenant who has seisin of the land and is called the tenant in demesne, dan at thetop there is the king. In between there may be a string of mesne lords who are

    lords and tenants at the same time. The tenant in demesne is conceived as theowner of the land and to treat the interest of the lords in land as inra in realiena.11

    Dengan melihat defenisi Simpson tersebut di atas, lebih tegas lagi bisakita ketahui bahwa persewaan tanah ini berasal dari pemilik tanah. Pemilik tanahyang diakui menurut hukum adat Eropa adalah raja. Raja akan membagi-bagikan

    tanah tersebut kepada para bangsawan dalam bentuk suatu struktur hirarkis,dengan tujuan dua hal: menyerahkan sebagian hasilnya sebagai upetikepadanya, dan memelihara para bangsawan beserta keluarganya dengan sisa

    hasil itu sebagai imbalan atas kepatuhan dan kesetiaannya kepadanya. Tentu

    9  Periksa Kenneth P. Davis, Land Use, (New York : McGraw-Hill Book Company, 1976) hal.13-14.10  Kenneth P. Davis, ibid ., hal. 14.11  Periksa A.W.B. Simpson, A History of the Land Law (Oxford : Clarendon Press, 1986) hal. 47.

    ©2004 Digitized by USU digital library 8

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    9/78

    saja bangsawan tidak menggarap sendiri tanah itu, namun membagi-bagikantanah itu kepada kelompok di bawahnya sebagai kelompok penggarap tanah.Para penggarap tanah ini juga mengalami kewajiban yang sama sebagai suatu

    bentuk perabdian feodal, dan mereka juga dianggap sebagai penyewa tanah itu.

    Konsep persewaan dan penguasaan tanah tersebut di atas telah

    menunjukan kepada kita bahwa sumber dari kepemilikan tanah terletak padapusat kekuasaan, dalam hal ini raja. Dengan demikian raja menjadi satu-satunyapemilik tanah (vorstdomein). Namun pada penggarapan dan pengolahan tanah-

    tanah itu, tentu saja raja tidak akan melakukannya sendiri. Hal ini bisa diketahuidari apa yang dikatakan oleh Mosca sebagai berikut :

    But the man who is at the head of the state would certainly not be able to govern

    without the support of a numerous class to enforce respect for his orders and tohave them carried out; and granting that he can make one individual, or indeedmany individuals,in the ruling class feel the weight of his power, he certainly

    cannot be at odds with the class as a whole or do away with it. Even if that were possible, he would at once be forced to create another class, without the supportof which action on his past would be completely paralyzed. 0n the other hand,

    granting that the discontent of the masses might succeed in deposing a rulingclass, inevitably as we shall later show, there would have to be anotherorganized minority within the masses themselves to discharge the functions of a

    ruling class. 0therwise all organization, and the whole social structure, would bedestroyed.12

    Dengan melihat kutipan di atas, Mosca menyebutkan bahwa raja dalam

    hal ini tidak menggarap sendiri namun membagi-bagi tanah itu kepada parapejabat dan bangsawan kecil bawahannya untuk digarap dan disetorkan sebagianhasilnya kepadanya. Dengan demikian tanah ini merupakan semacam pinjaman

    (leen) dalam pandangan raja-raja Eropa feodalis. Raja menjadi penentu daripemilikannya dan tidak akan bisa dilepaskan haknya tanpa merombak seluruhsistem feodal yang menjadi kekuasaannya.

    Teori pemilikan tanah berdasarkan hukum adat adalah tanah merupakanmilik komunal atau persekutuan hukum (beschikkingsrecht ). Setiap anggota

    persekutuan dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebihdahulu dan jika mereka mengerjakan secara terus-menerus maka tanah tersebutdapat menjadi hak milik secara individual.

    Dalam hal ini bisa kita lihat penjelasan Ter Haar tentang pemilikan tanahadat sebagai berikut :

    “Hukum adat memberikan hak terdahulu kepada orang yang dulu menaruh tanda pelarangannya atau mula-mula membuka tanah; bilamana ia tidak mengerjakan

    12

      Periksa Gaetano Mosca, The Ruling Class (New York : McGraw Hill Book Company, 1939) hal.51. Mosca adalah seorang sosiolog politik yang melontarkan teori dan konsep mengenai elite serta

     posisinya dalam struktur kekuasaan dan birokrasi. Dalam pandangan Mosca, elite merupakan

    kelompok yang menduduki jabatan strategis. Namun Mosca menyoroti elite dari perspektif

    monarki feodalistis yang lebih cenderung membatasi jangkauannya pada lingkup feodalisme di

    Eropa. Dalam sorotannya dia menyebut bahwa elite selalu berkaitan dengan kelompok yang

    memegang kendali kekuasaan dan menentukan segala dinamika kehidupan suatu negara dan

    warganya, termasuk dalam penguasaan lahan pertanahan.

    ©2004 Digitized by USU digital library 9

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    10/78

     pekerjaan-pekerjaan penebangan dan pembakaran menurut musimnya, makaorang lain bisa mendesaknya supaya memilih: mengerjakan terus ataumenyerahkan tanahnya kepadanya. Jadi tuntutan pemilikan hak milik ini lenyap

    sama sekali bilamana ada lain orang sesama anggota yang menginginkannya danmendesak dia memilih satu antara kedua pilihan itu”.13 

    Bertolak dari pandangan Ter Haar ini bisa diketahui, bahwa seseorangakan diakui kepemilikannya sebagai hak milik individu, apabila dia sudahmembuka terlebih dahulu tanah itu dan menggarapnya atau merubahnya dari

    kondisi hutan menjadi tanah sawah atau ladang. Selama dia masih mengerjakantanah itu, maka dia dianggap sebagai pemiliknya. Jadi dalam hal ini, tekanandiberikan pada hasil produksi dari tanah yang bisa dipetiknya, sebab apabila dia

    tidak lagi mengerjakannya maka tanah itu bisa diambil oleh orang lain yang akanmenggarapnya.

    Konsep Ter Haar tersebut bisa diperjelas lagi dengan apa yang dikatakan

    sebagai hak ulayat . Soerojo Wignjodipoero mengatakan berikut ini:

    Sebagai seorang warga persekutuan (komunal) maka tiap individu

    mempunyai hak untuk :a. mengumpulkan hasil-hasil hutan, seperti rotan dan sebagainya.b. memburu hewan liar yang hidup di wilayah wewenang komunal. c. mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar. d. membuka tanah dan kemudian mengerjakan tanah itu terus-menerus e. mengusahakan untuk diurus kolam ikan di atasnya14 

    Dengan mengungkapkan sejumlah hasil yang bisa dipetik ini, Soerojomenyebutkan bahwa hak ulayat  yang diakui oleh masyarakat adat ini merupakanhak pakai tanah oleh individu, namun kepemilikan ini diakui sebagai milik

    bersama seluruh anggota masyarakat (komunal). Anggota masyarakat tidak bisamengalihhakan atau melepaskan haknya atas tanah yang dibuka ini kepadaanggota dari masyarakat lain atau pendatang dari luar masyarakat tersebut,

    kecuali dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati bersama semua anggotakomunal tersebut.

    Semua tanah, hutan, jika perlu sampai ke puncak gunung, jika penduduk

    mempunyai hak baik yang nyata maupun hak yang secara diam-diam diakui,tanah itu bukan tanah negara. Menurut hukum adat, desa mempunyai hak untukmenguasai tanah di luar perbatasan desa, penduduk desa mempunyai hak untuk

    menggarap atau mencari nafkah dari hutan dengan izin kepala desa. Menurutpenafsiran Trenite, tanah tersebut milik negara, namun menurut pandangan VanVolenhoven, Logeman dan Ter Haar tanah tersebut tidak di bawah kekuasaan

    negara.15 Sistem hukum yang melandasi pemilikan tanah komunal dalam ulayat

    13

      Periksa Mr. B. Ter Haar,  Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat , terjemahan K. Ng. SoebaktiPoesponoto (Jakarta : Prajnya Paramita, 1958) hal. 91.

    14  Periksa Soerojo Wignjodipoero, S.H., Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat   (Jakarta: PT.

    Gunung Agung , 1984) hal. 201-202. 15  Periksa Erman Rajagukguk,  Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup.

    (Jakarta : Chandra Pratama, 1995 hal. 28). Selanjutnya dikatakan bahwa apabila mengikuti

     pendapat Trenite tidak cuku menghentikan sewa atas tanah bebas apabila penduduk satu desa atau

    desa yang lain menyatakan tanah bersangkutan di bawah kekuasaan mereka. Pernyataan ini tidak

    dapat ditolak. Namun mengikuti kenyataan bahwa tanah seperti itu selain perlu dibuktikan menjadi

    ©2004 Digitized by USU digital library 10

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    11/78

    ini adalah pandangan tentang kehidupan sosial dari masyarakat tradisionalsendiri.

    Menurut Unger16, hubungan yang berlaku antar-individu dilandasi denganikatan kekerabatan kolektif. Keanggotaan mereka ditetapkan oleh ikatankekerabatan nyata, namun tentang kepemilikan tanah hal ini diatur terlepas dari

    kelompok keluarga. Sebagai akibat dari ketatnya ikatan komunal yang berlakudalam masyarakat ini, perbedaan antara anggota masyarakat dan orang luarsangat jelas. Orang luar yang masuk ke dalam lingkaran komunal ini dianggap

    asing dan tidak boleh merampas hak atas penguasaan tanah oleh para anggotakomunal.

    Hal ini dapat disesuaikan dengan pandangan masyarakat Sumatera Timur

    yang mengakui pemilikan tanah sebagai milik komunal atau, dalam pandanganlain, milik raja.17  Sebagai akibatnya para pengusaha perkebunan asing(onderneming) dianggap oleh mereka telah merampas hak yang telah ada sejak

    turun-temurun atau hak yang diberikan oleh sultan kepada mereka. Denganmenanami dan menyewa tanah-tanah yang ada tanpa sepengetahuan atau tanpaberunding terlebih dahulu dengan penduduk, maka terjadi ketegangan sosial

    dengan tuduhan sebagai perampasan hak milik18. Sebagai ungkapan lahir darigejolak psikis sosial yang disertai dengan tekanan beban ekonomi, maka terjadikonflik di sini.

    Dalam hak pemilikan tanah yang berlaku secara yuridis di Indonesia,konsep ini tertuang dalam UUPA Nomor 5 Tahun 1960 pasal 2 yang berbunyi:

    I.  Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagaiyang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasukkekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan

    tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat.II. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi

    wewenang untuk:

    a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

    b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antaraorang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; 

    III.Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar

    suatu bagian yang tidak terpisahkan dari bagian teritorial desa, harus juga terdapat bukti tanah

    tersebut dimanfaatkan. Desa dapat menggunakan tanah sedemikian rupa, baik sebagai padang

    rumput pengembalaan milik bersama atau untuk maksud-maksud lain.16 Periksa Roberto Mangabeira Unger,  Law in Modern Society: Toward a Criticism of Social Theory

    (New York : The Free Press, 1977) hal. 140-141.17

      Dikatakan seperti semua wilayah yang berada di bawah pemerintahan para Sultan, Rajamenganggap dirinya sebagai pemilik tanah yang nampaknya bertentangan dengan seluruh

    adat yang diakui secara resmi oleh masyarakat sebagai pemiliknya . Tetapi raja berusaha

    keras agar semua tanah bisa memberikan pemasukan bagi kas kerajaannya, tanpa adanya

    gangguan yang muncul bagi pelaksanaan hak itu . Kondisi ini menimbulkan konflik antara

    masyarakat dan pengusaha Onderneming  , sehingga pemerintah kolonial perlu mengamankan

    kondisi tersebut . Periksa Memorie van Overgave L. Kapoort, Asisten Residen van

    Afdeeling, Asahan, 4 Mei 1903.18  Ibid

    ©2004 Digitized by USU digital library 11

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    12/78

    kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dankemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yangmerdeka, berdaulat, adil dan makmur; 

    IV.Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapatdikuasakan kepada Daerah-Daerah swatantra dan masyarakat-

    masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangandengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan PeraturanPemerintah. 

    Hak menguasai negara yang dimaksudkan dalam pasal 2 UUPA tersebut diatas adalah meliputi semua bumi, air dan ruang angkasa, baik yang sudahdihakki oleh seorang maupun tidak. Kekuasaan tanah terhadap tanah yang

    sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinyasampai seberapa negara memberikan kekuasaan kepada seorang yangmempunyainya untuk menggunakan haknya. Sedangkan kekuasaan negara atas

    tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainadalah sangat luas dan penuh. Misalnya negara dapat memberikan tanah yangsedemikian itu kepada seseorang atau badan hukum dengan suatu hak menurut

    peruntukkannya dan keperluannya, misalnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha, HakGuna Bangunan atau Hak Pakai ataupun dengan memberikan hak pengelolaanpada suatu badan penguasa. Dalam pada itu kekuasaan negara atas tanah-tanahini pun sedikit atau banyak dibatasi pula oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan

    masyarakat hukum sepanjang kenyataan hak ulayat itu masih ada.19 Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” di atas adalah merupakan aspek publik.

    Bertolak dari ketentuan dalam pasal 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960tersebut bisa diketahui bahwa yang menguasai semua tanah adalah Negara.20 Namun meskipun demikian Negara tidak sewenang-wenang dalam pemilikannya,melainkan mengusahakan dan mengolahnya demi kepentingan umum seluruh

    warga negara. Negara menjadi pengganti raja dalam masa pemerintahan feodal,dan negara bisa menjadi suatu lembaga hukum yang berwenang untuk

    melepaskan tanah dalam bentuk peralihan hak (jual-beli, hibah, warisan).21

    Substansi norma hukum dalam pasal 2 UUPA Nomor 5 Tahun 1960tersebut, merupakan upaya pengontrolan perilaku masyarakat dalam sistem

    hukum yang berlaku. Demikian juga sistem hukum agraria merupakan suatuperintah, tentang apa yang harus dan jangan dilakukan, dan menjunjungperintah-perintah itu dengan paksa.22  Artinya, keberadaan hukum agraria

    19  Lihat penjelasan umum UUPA Nomor 5 tahun 1960 Bagian II. 20  Menarik dalam hal ini membandingkan pengertian negara di sini dengan negara menurut Hans Kelsen. Kelsen

    menyebutkan bahwa negara dalam hal ini memiliki sejumlah fungsi yakni sebagai struktur hukum atau

    organisasi politik yang memiliki baas-batas wilayah tertentu; negara sebagai lembaga hukum yakni pemegang

    hak dan kewajiban tertinggi sebagai suatu lembaga; negara sebagai subyek, yakni berhak mengambil tindakan

    atas persoalan tertentu yang menyangkut penanganan hak-hak legal. Periksa Hans Kelsen, Pure Theory of Law (Berkeley; University of California Press, 1978) hal. 286-291.

    21  Ketentuan dalam UUPA Nomor 5 tahun 1960 ini sebenarnya kurang memberikan gambaran yang

     jelas sehingga mudah mengalami penyimpangan dan penyelewengan atau penyalahgunaan

    sehubungan dengan pelaksanaan hak menguasai tanah oleh negara tersebut. Sebagai contoh

     pengambilalihan hak ulayat atas tanah adat yang digunakan untuk pembangunan demi kepentingan

    negara.22  Keberadaan hukum yang demikian menunjukkan kekuasaan hukum pemerintah yang bersifat

    represif dengan memberikan tekanan kepada mereka yang diperintah, yakni ketika masyarakat

    ©2004 Digitized by USU digital library 12

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    13/78

    tersebut tidak akan menjamin keterbukaan, sehingga tidak tercapai keadilanyang substansif. Pada akhirnya fungsi hukum agraria itu tidak dapat digunakansebagai alat penyelesaian sengketa pertanahan.

    Kajian Yuridis Terhadap UUPA 

    Menurut Lawrence Friedman, bahwa dalam sistem hukum itu terdapat tigaelemen yang perlu diperhatikan yaitu : Structure; Substance; dan Culture.

    Struktur dalam suatu sistem hukum, misalnya mengenai kedudukan dariperadilan, eksekutif, yudikatif. Sedangkan substansi dari sistem hukum adalah,mengenai norma, peraturan maupun undang-undang, tetapi lebih manarik dari

    ketiga elemen itu adalah mengenai budaya hukum yang berarti pandangan,kebiasaan maupun prilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai danpengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya

    hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itudiaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan oleh masyarakat.23 

    Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat kita katakan bahwa UUPA

    tidak memperhatikan pandangan, kebiasaan maupun perilaku masyarakatmengenai pemikiran, nilai-nilai dan pengharapan yang merupakan budayahukum dalam masyarakat. Seharusnya UUPA dapat berfungsi sebagai

    pengontrolan perilaku masyarakat dalam sistem hukum yang berlaku. Bahkanfungsi hukum merupakan fungsi redistribusi (redistributive function) ataufungsi rekayasa sosial (social engineering function) yang mengarah pada

    penggunaan hukum untuk mengadakan perubahan sosial yang berencana,dan ditentukan dari atas yaitu oleh pemerintah, dengan memperhatikanbudaya hukum yang hidup dalam masyarakat.

    Donald Black dalam bukunya The Behavior of Law , mengatakanbahwa hukum adalah kontrol sosial  dari pemerintah (law is governmentalsocial control ).24 Black mengartikan kontrol sosial ini sebagai aturan dan

    proses sosial yang mencoba mendorong prilaku, baik yang berguna ataumencegah prilaku yang buruk.25 Sedangkan Lawrence Friedmann mengatakan,bahwa kontrol sosial adalah jaringan aturan dan proses yang menyeluruh

    yang membawa akibat hukum terhadap prilaku tertentu (social control in abroader sense it must mean the whole network of rules and processeswhich attach legal consequences to particular bits of behavior ).26  Misalnya

    aturan umum mengenai hukum perbuatan melanggar hukum.

    Pemerintah mengeluarkan undang-undang dan membuat aturan

    mengabaikan kepentingan atau menolak legitimasinya. Akibatnya posisi subjek menjadi peka dan

    rawan, tindakan pemerintah atau keputusan atas hukuman menuntut penyisihan suatu kepentingan bagi kepentingan yang lain dan tidak setiap tuntutan bisa dikabulkan juga tidak setiap kepentingan

    harus diberikan pengakuan yang sama. Philip Selznick, “ Law and Society in Transition”, (New

    York : Harper & Row Publisher, 1978), hal. 30.23  Lawrence Friedman, 1984,  American Law, W.W. Norton & Company, London, hal 9. 24  Donald Black, “The Behavior of Law”, Academic Press, New York, San Fransisco, London, 1976,

    hal 2.25  Lawrence Friedmann, Loc cit , hal 3.26   Ibid. 

    ©2004 Digitized by USU digital library 13

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    14/78

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    15/78

    Ketidak efektifan undang-undang larangan pemakaian tanah tanpa izinyang berhak atau kuasanya, menimbulkan perbuatan okupasi ilegal terhadap diareal tanah perkebunan. Menurut Friedman, bahwa ilegalitas  cenderung

    mempengaruhi waktu, sikap dan kuantitas ketidakpatuhan, jadi undang-undangmempunyai efek riil pada prilaku termasuk prilaku pelanggar.30

    Faktor yang mempengaruhi prilaku hukum adalah komunikasi hukum dan pengetahuan hukum.31  Aneh bila seseorang mematuhi aturan, menggunakanaturan atau menghindari aturan tanpa mengetahui aturan yang sebenarnya. Oleh

    karena itu aturan harus dikomunikasikan dan seseorang harus mengetahuitentang isi aturan itu. Dalam hal ini di setiap peraturan perlu dikomunikasikandan disosialisasikan pada masyarakat.

    Sehubungan dengan itu, dapat dianalisa bahwa berbagai peraturanperundang-undangan yang dikeluarkan untuk mencegah terjadinya konflikdan sengketa, serta melarang pemakaian tanah tanpa izin dari yang

    berhak, dan adanya polisi serta hakim yang berusaha menegakkannya adalahmerupakan contoh kontrol sosial dari pemerintah untuk menyelesaikansengketa pertanahan di Sumatera Utara.

    Dalam larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak, masyarakatpenunggu dan petani penggarap dilarang untuk menggarap tanah di areal

    perkebunan. Aturan ini merupakan aturan yang sah. Namun hukum yanghidup dalam masyarakat, membenarkan mereka untuk menggarap tanah diareal perkebunan, berdasarkan ketentuan hukum adat mereka, yangmemberikan kewenangan bagi mereka untuk memungut hasil hutan dan

    bercocok tanam di daerah persekutuan hukum, yang dikenal dengan hakulayat.

    Peristiwa ini menimbulkan interaksi tertentu diantara berbagai unsursistem hukum yang ada.32  Unsur-unsur sistem hukum itu, sebagaimana yangdikatakan oleh Friedmann, adalah meliputi struktur, substansi dan budaya

    hukum. Yang berarti sistem hukum itu tidak hanya meliputi undang-undang yangdiciptakan oleh Badan Legislatif, dan penegakkannya dilakukan Eksekutif, tetapi juga meliputi substansi atau norma hukum itu sendiri, dan meliputi sikap serta

    prilakunya.

    Berdasarkan pendapat Lawrence Friedmann tersebut, makakonteksnya dengan konflik dan sengketa pertanahan di areal perkebunan,

    dengan peristiwa penggarapan tanah yang dilakukan oleh rakyat penunggudan petani penggarap, menimbulkan interaksi tertentu diantara berbagaisistem hukum, tidak hanya undang-undang, peraturan, dan lembaga-

    lembaga yang termasuk dalam struktur hukum, tetapi yang terpentingadalah mengenai prilaku dan budaya hukum dari masyarakat. Apakah ituprilaku pengusaha-pengusaha perkebunan, dan masyarakat itu sendiri

    terhadap hukum dan sistem hukum yang ada.Struktur dan sistem hukum adalah meliputi Pengadilan, Yurisdiksinya

    dan Badan Legislatif serta Eksekutif, yang berlaku pada masa penjajahan

    Kolonial Belanda adalah sesuai dengan, prilaku dan alam pikiran hukum

    30  Ibid. 31  Ibid. 32  Ibid , hal 4

    ©2004 Digitized by USU digital library 15

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    16/78

    Barat. Dalam kenyataannya sama sekali mengenyampingkan hukum yanghidup (living law ) dalam masyarakat. Oleh karena itu, penyelesaiansengketa ketika itu dilakukan oleh penegak hukum, pada dasarnya dilakukan

    berdasarkan substansi hukum Barat, yang berorientasi pada kepentingankolonial. Sehingga filosofi hukum adat yang berlaku dihancurkan, yang

    akhirnya menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat. Keadaan ini terusberlanjut sampai Indonesia merdeka, bahkan UUPA secara filosofis juga telahdihancurkan oleh para penegak hukum di masa kemerdekaan, karena merekapada dasarnya menempatkan diri sebagai lawan dari masyarakat, bukan

    sebagai fasilitator atas aspirasi rakyat, tetapi cenderung bertindak sebagaimediator atau sebagai partisipan dalam penyelesaian konflik dan sengketadalam masyarakat, maka terjadilah konflik yang berkepanjangan yang sukar

    dicari penyelesaiannya.

    Analisa secara substansi hukum, maka sejak zaman kolonial, bahkan

    sampai ke alam kemerdekaan, norma-norma hukum dan pola prilakunyamasyarakat dalam sistem hukum, dan produk yang dihasilkan oleh orangyang berada dalam sistem hukum itu, adalah tidak terlepas dari pengaruh

    hukum kolonial, dan segala modifikasinya. Kenyataannya para penegakhukum hanya menerapkan substansi norma-norma hukum yang ada dalamundang-undang saja (law in book ). Dan undang-undang itu pun bersumberdari hukum Barat yang kolonialis. Kenyataan ini jelas mengenyampingkan

    hukum yang hidup (living law ) yang ada dalam masyarakat, yaitu hukumadat. Begitu juga budaya hukum yang ada di dalam masyarakat turutdikesampingkan, yaitu tentang sikap mereka terhadap hukum, sistem hukum

    yang berlaku, kepercayaan, nilai, pemikiran dan harapan masyarakat,khususnya petani dan rakyat penunggu.

    Masyarakat mempercayai bahwa tanah yang dipersengketakan adalahmerupakan hak ulayat mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup,serta mempunyai kepercayaan terhadap ketentuan hukum adat, mereka

    patuh dan taat walaupun normanya tidak tertulis. Sebaliknya budayahukum yang berlaku bagi para penegak hukum, mereka hanya meyakininorma-norma hukum positif yang berasal dari hukum Barat. Interaksidalam sistem hukum itu jelas mengarah kepada konflik yang terus-menerus

    tanpa dapat diselesaikan secara tuntas.

    Dengan adanya teori dan konsep penguasaan tanah, serta larangan

    pemakian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya. Berlaku di Indonesia baiksecara yuridis maupun hukum yang hidup dalam masyarakat (living law ),berakibat cenderung menimbulkan konflik pertanahan dalam masyarakat,

    bahkan konflik tersebut cenderung sulit untuk diselesaikan. Kesulitan dalampenyelesaian konflik sengketa atas tanah ini sangat rumit. Dalam hal ini penulismenggunakan teori Kelsen tentang hubungan antara aturan hukum dan peran.

    Ada lima alasan yang menyebabkan kesulitan dalam penyelesaian konflik :1. Hukum mencakup aturan universal saja dan sistim hukum masih agak kabur

    dari pengertian masyarakat sendiri.

    2. Model ini hanya bermaksud mengungkapkan hukum yang diberikan oleh pembuat UU kepada pemegang peran atas pelanggaran yang terkena sanksi.

    3. UU yang disahkan berubah sejak saat pengundangannya baik melaluiamandemen formal maupun karena kepentingan birokrasi.

    ©2004 Digitized by USU digital library 16

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    17/78

    4. UU tidak dibuat oleh seorang penyusun UU namun berasal dari proses pembuatan hukum yang melibatkan banyak peran dalam hubungan yangkompleks.

    5. Langkah-langkah untuk mencapai musyawarah bisa langsung ditujukan pada pemegang peran dengan merubah batasan dan sumber daya lingkungan atau

     persepsi pemegang peran tersebut, sehingga sanksi menjadi terlaluterbatas.33 

    Melihat kendala-kendala dalam penyelesaian konflik di atas, William

    Chambliss dan Robert B. Seidman mengajukan suatu perspektif bagi penerapanhukum dalam mengatasi masalah. Menurut Seidman peran kekuatan sosialbukan hanya berpengaruh pada rakyat sebagai pemegang peran yang tunduk

    kepada hukum, namun juga terhadap lembaga pembuat dan pelaksana hukumtersebut. Dengan demikian hasil akhir dari proses pelaksanaan hukum atasmasyarakat bukan hanya ditentukan oleh hukum, namun perlu juga

    dipertimbangkan kekuatan sosial dan pribadi yang muncul di sana.34

    Dengan melihat uraian tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa ada tiga

     jalur utama bagi penyelesaian konflik sengketa yang dilandasi dengan budayahukum : musyawarah, penerapan sanksi dan proses pengadilan. Pengertianmusyawarah harus dipisahkan dengan pengertian dari mufakat. Musyawarahmenunjuk kepada pembentukan kehendak bersama dalam urusan mengenai

    kepentingan hidup bersama, dalam masyarakat yang bersangkutan sebagaikeseluruhan, sedangkan mufakat menunjuk kepada pembentukan kehendakbersama antara dua orang atau lebih, dimana masing-masing berpangkal dari

    perhitungan untuk melindungi kepentingan masing-masing sejauh mungkin.35

    Seperti misalnya sengketa antara masyarakat adat versus perkebunan,

    yang saling memperebutkan hak atas tanah dalam lokasi yang sama. Masing-masing mempertahankan haknya berdasarkan landasan hukum masing-masing.Bagi masyarakat adat mempertahankan haknya berdasarkan hukum adat,

    sedangkan pengusaha perkebunan mempertahankan haknya berdasarkan UUPA.Atau antara masyarakat penggarap versus perkebunan dan pengusahaperkebunan berusaha untuk mengusir para penggarap di areal perkebunan.Semua ini adalah sengketa tuntutan yang tidak selaras terhadap sesuatu yang

    tidak ternilai.Berdasarkan teori tersebut di atas, penyelesaian persoalan dalam

    sengketa masyarakat versus perkebunan, pemerintah dalam melakukan

    penyelesaian sengketa pertanahan khususnya di areal PTPN-II dan PTPN-IIISumatera Utara, tidak semata-mata harus bersandar pada aturan tertulis saja.Tetapi harus lebih komprehensip menyangkut sistem hukum, prilaku hukum yang

    berlaku dalam masyarakat.

    Disamping itu penguasa harus sama-sama memperhatikan rasa keadilan

    dalam masyarakat.36  Dan masyarakat juga harus bertindak sesuai dengan

    33 Periksa Robert B. Seldman, The State, Law and Development  (New York : St. Martin’s Press,1978)

    hal. 74-75.34

      Periksa Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung : Penerbit Alumni,1986), hal. 22-23. 35   Ibid .36  Salmond mengatakan bahwa keadilan adalah tujuan hukum dan selayaknya bahwa alat seharusnya

    dibatasi oleh gambaran-gambaran tujuan yang menjadi raison d’etre, hal ini menimbulkan masalah

    mengenai hubungan hukum dan keadilan. Satu teori mensifatkan hukum dalam hubungannya

    ©2004 Digitized by USU digital library 17

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    18/78

    ketentuan hukum dan kenyataan hukum yang berlaku dalam masyarakat,yang pada akhirnya akan menimbulkan kedamaian dan ketertiban dalammasyarakat.

    Pemberian tanah bagi hak sewa (erfacht ) dan konsesi perkebunan yangdilakukan oleh pemerintah serta larangan pemakian tanah tanpa izin dari yang

    berhak atau kuasanya. Secara teoritis harus mengacu kepada konsep dasar yaituPancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian dilakukan perkiraanmengenai potensi nasional dan situasi kondisi. Potensi Nasional (POTNAS) itu

    meliputi Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), IlmuPengetahuan dan Tekhnologi (IPTEK).

    Situasi dan kondisi meliputi skala nasional, skala regional dan skala

    global. Konsep dasar dan potensi nasional serta situasi kondisi tersebutberinteraksi, sehingga menimbulkan wawasan yang dalam bidang ekonomiberfungsi untuk melangsungkan pembangunan nasional. Oleh karenanya

    dibentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, PeraturanDaerah dan lain-lain.

    Situasi kondisi dalam semua bidangnya, memberi pengaruh kepadasistem penyelesaian sengketa hak tanah antara masyarakat versus perkebunan,baik pengaruh negatif-destruktif , maupun yang  positif-konstruktif   yang

    semuanya itu harus diantisipasi dan diwaspadai.37 Oleh karena itu pelaksanaanpenguasaan hak-hak atas tanah masyarakat dilakukan berdasarkan undang-undang dan penegakkan hukum. Sehingga penyelesaian sengketa pertanahandapat diselesaikan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.

    Untuk menjelaskan teori yang dikemukakan di atas, di bawah ini dibuatbagan berikut ini:

    dengan keadilan, tetapi defenisi ini menimbulkan akibat bahwa tidak mungkin terdapat hukum

    yang tidak adil, karena seandainya ada, maka dalam premis-premis itu akan terdapat self-

    contradiction  yang merusak. Dalam George Whitecross Paton,  A Text Book of Jurisprudence,

    (Oxford : at The Clarendon Press, 1951), hal 69. 37  Lihat dan bandingkan dengan sistem manajemen pembagunan nasional (SISNAS) yang

    dikemukakan oleh Solly Lubis, 1996, dalam bukunya,  Dimensi-Dimensi Manajemen

    Pembangunan, (Bandung : Mandar Maju, 1996), hal 24.

    ©2004 Digitized by USU digital library 18

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    19/78

     

    Bagan 1 : Tentang Kerangka pemikiran mengenai sengketa pertanahan

    antara masyarakat dan perkebunan.

    KONSEP

    DASAR  PANCASILA

      UUD 1945

    MENGENAI

    SUMBER DAYA

    ALAM

    I NTERAKSI

    WAWASANPROGRAMPEMBANGUNAN

    NASI ONALDI BI DANGPERTANAHAN 

    SI KON :

     NASI ONAL

     REGI ONAL

     GLOBAL

    DI BI DANG

    PEREKONOMI AN

     YANG TERKAI T

    DENGAN

    PERTANAHAN 

    PERUNDANGUNDANGAN TENTANG

    PERTANAHAN TERMASUK,PELEPASANHAK ATAS

     TANAH

     UU

     KEPPRES

     PERMEN

     PERDA

     DLL

    PENEGAKAN

    HUKUM

    PERTANAHAN

     YANG

    BERKEADI LAN

    MASYARAKATADI L

    MAKMURSECARAUMUMDAN

    KHUSUSN YA DIBI DANGPERTANA

    HAN 

    POTNAS

      SUMBER DAYA ALAM  

      SUMBER DAYA MANUSI A

      I LMU PENGETAHUANDAN TEKNOLOGI DIBI DANG PERTANAHAN

    PEMERINTAH

      SWASTA

    FEED BACK (UMPAN BALIK) 

    Sumber : Derivasi Dari Sistem Manajemen Kehidupan Nasional ( SISNAS),

    Oleh: M. Solly Lubis

    ©2004 Digitized by USU digital library 19

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    20/78

    HASIL PENELITIAN

    I. Berdirinya Perkebunan Asing di Sumatera Timur dan Masalah

    Pertanahan.

    A. Kondisi di Sumatera Timur Sebelum Berdirinya Perkebunan

    Asing.

    Dalam perjalanan sejarah, Sumatera Timur telah menjadi perebutankekuasaan antara Aceh dan Siak. Pada abad ke-17 sampai abad ke-19,

    Aceh dan Siak merupakan dua kerajaan besar yang berpengaruh diSumatera Timur. Dua kerajaan ini juga secara silih berganti telahmenguasai kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Sebelum tahun 1820, tak

    satupun negara Eropa yang menaruh perhatian terhadap kerajaan-kerajaanyang ada di pantai Timur Sumatera ini. Hanya Inggris yang pertama sekalimenaruh perhatian serius terhadap Sumatera Timur sebagai pasar barang-

    barang ekspor maupun sumber dari barang-barang impor, terutama lada kePenang. Sumatera Timur merupakan tanah yang subur menghasilkan ladadan tembakau yang ditanami oleh petani-petani suku Melayu dan Batak

    Karo secara tradisional. Dalam dekade ini terjadi persaingan dagang antaraBelanda dan Iggris dalam memperebutkan kekuasaan dan pengaruh diSumatera Timur. Pada tanggal 17 Maret 1824, Inggris dan Belanda

    mengadakan perjanjian yang dikenal dengan T r ak t a a t L o n d o n yang berisiuntuk mengakhiri persaingan antara Inggris dan Belanda di Asia Tenggara.Berdasarkan perjanjian ini, Inggris menyerahkan Bengkulu dengan segala

    milik perusahaan Hindia Timur lainnya kepada Belanda, sedangkan Belandamenyerahkan Malaka beserta kantor-kantor dagang di Hindia Belandakepada Inggris. Dalam sejarah selanjutnya Traktaat London tidak membawahasil yang sempurna karena Inggris maupun Belanda tetap melakukan

    persaingan dan saling menanamkan pengaruh di kerajaan Sumatera Timurdemi kepentingan dagang masing-masing.

    Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, kerajaan Siak telah membuatkontrak politik dengan Belanda, yang dikenal dengan Traktaat Siak , Denganperjanjian perdamaian bahwa Siak mengakui kedaulatan Belanda, dan oleh

    karena itu, segala kerajaan-kerajaan yang berada di bawah taklukannya, juga termasuk takluk di bawah kekuasaan Belanda, akibatnya kerajaan Delidan Serdang yang dianggap kerajaan Siak sebagai taklukkannya ditentang

    oleh Aceh, dan Aceh menyatakan bahwa kedua kerajaan itu berada dibawah taklukkannya. Dalam kondisi demikian, Belanda membuat perjanjianperdamaian dengan Aceh yang telah disahkan di Parlemen Belanda padatahun 1858 sebagai suatu v e r d r a g    antar dua bangsa yang merdeka,

    namun akhirnya, dengan T r a k t a a t S ia k    Belanda menguasai SumateraTimur sepenuhnya pada tahun 1865, dan berhasil mambuat kontrakpolitik dengan kerajaan Deli dan Serdang, dan kedua kerajaan ini mengakui

    kedaulatan Belanda di Sumatera Timur, dalam periode inilah lahirnyaperkebunan-perkebunan (o n d e r n e m i n g   ) di Sumatera Timur.

    ©2004 Digitized by USU digital library 20

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    21/78

    B. Lahirnya Agrarische Wet

    Lahirnya  Agrarische Wet   tidak dapat dilepaskan dari proses

    terjadinya sebagai bagian dari sejarah perkembangan kekuasaan kolonialdan kebijakan mengenai tanah di Jawa. Agrarische Wet   lahir atas desakan

    modal besar swasta, sejalan dengan politik monopoli pemerintah dalambidang pertanahan dimana pihak pengusaha perkebunan terbataskemungkinannya untuk memperoleh tanah-tanah yang luas. Agrarische Wet  dijalankan dalam  Agrarische Besluit (S.1870 No. 118) yang dikenal dengan

    Domein Verklaring sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 AgrarischeBesluit yang menyatakan bahwa semua tanah yang tidak ada bukti hakeigendumnya adalah dinyatakan sebagai kepunyaan negara. Teori Domein

    ini telah menciptakan hak-hak tertentu berdasarkan hukum barat sepertieigendum, opstal dan hak erfacht . Tanah-tanah yang disewakan untuk hakerfacht , adalah tanah Woeste Gronden atau tanah-tanah hutan yang tidak

    dapat dibuktikan hak miliknya.

    C. Konsesi Tanah Perkebunan di Sumatera Timur.

    Sejak tahun 1862, raja-raja Sumatera Timur telah memberikan hakkonsesi kepada perusahaan-perusahaan onderneming Eropa. Konsesi yang

    diberikan pada dasarnya dalam jangka waktu yang cukup lama (99 tahun),tanpa batas-batas yang jelas. Tindakan dari Sultan Deli yang telahmenyewakan tanah dengan hak konsesi kepada perusahaan ondernemingtelah melanggar hak-hak masyarakat adat, suku Batak Karo, yang berada

    di wilayah kesultanan Deli. Pelanggaran hak-hak ulayat masyarakat adatBatak Karo ini, telah memicu pemberontakan orang-orang Karo terhadaponderneming dan menyerang bangsal-bangsal tembakau yang menimbulkan

    kerugian yang besar bagi pengusaha onderneming.

    Pemerintah Belanda sangat berkepentingan untuk menghentikan

    pemberontakan bagi orang Batak Karo demi perlindungan pihakOnderneming maupun kepentingan pihak Belanda sendiri, untuk itupemerintah Belanda meneliti daerah-daerah yang termasuk kekuasaan

    sultan. Setelah dilakukan penelitian, maka terungkap kerajaan Deli itu,sebagaimana yang telah dilaporkan oleh W.P.F.L. Winckle adalah terdiri dari :

    1. Da e r a h y a n g d i p e r i n t a h l a n g s u n g o l e h S u l t a n D e l i dengan kampung KotaMaksum, Kota Maimun, Sukarame, Pulau Brayan, Glugur, Tanjung Mulia,Kampung Besar, Labuhan, Belawan, Mabar, Titipapan, Martubung dan Tanah

     Anam Ratus.

    2. Em p a t u r u n g a t a u s u k u yakni, Serbanyaman, Sepuluhdua Kuta, Sukapiringdan Senembah.

    3. Da e r a h P e r c u t dengan sebagai bagiannya distrik Sungai Tuan.4. W i l ay a h P ad a n g - B e d a g e i  .

    Empat urung ini dibagi menjadi daerah Melayu dan Batak, sementara daerahBatak dibagi lagi menjadi daerah hilir dan hulu atau yang oleh penduduk disebut

    S in u a n B u n g o dan S in u a n G am b i r  . Mengenai pemerintahan atas bagiankesultanan ini berikut perlu disampaikan. U r u n g a t a u s u k u    berada di bawah pimpinan yang menyandang gelar D a t u k   , kecuali kepala sinembah yang disebut

    ©2004 Digitized by USU digital library 21

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    22/78

    K e j u r u a n   dan gelarnya juga disandang oleh kepala tanah Percut. Lima kepalaadat ini bersama-sama kemudian membentuk D e w a n B an g s aw a n  . Di daerahPadang-Bedagei Sultan Deli memiliki wakil juga di Labuhan Deli.

    Di bawah kekuasaan langsung sultan hanya para kepala dari empat urung diKejuruan Percut yang masih ada. Mengenai ahli warisnya sebagai aturan umum

    bisa diterima bahwa putera sulung harus menggantikan ayahnya dan kebiasaanini juga diberlakukan bagi kepala adat yang lebih rendah. Datuk dianggap olehsultan setelah berunding dengan Asisten Residen Deli dan Serdang serta dengan persetujuan Gubernur, dan penyimpangan baru bisa dilakukan apabila sistim ahli

    waris ini tidak memiliki syarat. Juga para kepala adat yang kurang cocok yanghanya memikirkan martabatnya sendiri masih terdapat diantara keturunanbangsawan itu.

    Di daerah Batak dari empat urung itu ada kebiasaan bahwa kepala dusundiangkat dan dipecat oleh kerapatan, para pejabat tinggi di kerapatan dusun dan para pejabat rendah oleh kerapatan urung.38

    Keadaan pemerintahan di Kesultanan Deli sebagaimana disebut di atasdari sumber lain dapat diperjelas, seperti yang diberitakan dalam Pewarta Deli

    tahun 1933 sebagai berikut : Afdeeling Boven Deli terbagi 4 District, jaitoe :

    I - X I I K o t a ( o e r o en g X I I k o t a ) dikepalai oleh Datoek Hamparan Perak,

    berkedoedoekan di Hamparan Perak.I I O e r o en g Se r b a j a m a n   , dikepalai oleh Datoek berkedoedoekan di

    Soenggal.

    I I I O e r o en g So e k a p i r in g dikepalai oleh Datoek Soeka Piringberkedoedoekan di Kp. Baroe.

    I V O e r o en g Se n em b a h   , dikepalai oleh Kedjoeroean, berkedoedoekan

    di Patoembak.Maka keempat District (Oeroeng) jang tsb. Ini ta’loek dan dikoeasai poelaoleh Spd. Toeankoe Sulthan Deli. Pada tiap-tiap Oeroeng terbagi poela atas

    doea nama :a. S in o e a n b o e n g a   , jaitoelah arah kesebelah hilir.

    b. Si n o e an g am b i r   , arah kesebelah selatan berwatas dengan tanah Karo(Karolanden).

    Masing-masing oeroeng diangkat doea orang jg berpangkat Ho o f dp e r b a p a a n   , satoe di Sinoean boenga dan satoe di Sinoean gambir.Kedoedoekan Hoofd perbapaan itoe masing masing Oeroeng, jaitoe: di

    Oeroeng XII kota, ialah kampoeng I L a u T j i h II Ra d j a B e r n e h   , diO e r o en g Se r b a j a m a n   , I K o e t a M b a r o e    II, Go e n o e n g M e r l a w a n    diOe r o e n g So e k a P ir i n g   , I N am o R a m b e i   , II Sa la B o e l a n di Oe r o e n g

    Se n em b a h   , I N am o S o er o II B a s o e k o em  .

    Dibawah Hoofd perbapaan jang delapan orang itoe terdiri poela 27 orangHoofd penghoeloe dan dibawah Hoofd penghoeloe ada 300 penghoeloe kitik,

    dibawah penghoeloe kitik jang 300 orang itoe, (menoeroet perhitoengantjahtjah djiwa jang paling achir) ada sedjoemlah ralat laki laki perempoean24,000 orang (hitoengan ini diambil riboe sadja).Maka pemerentahan dari pehak Zelfbestuur ini dibantoe dan dikepalai poela

    oleh seorang Eropeesch Bestuur ialah “Controleur” jang berkedoedoekan di

    38  Memorie van Overgave, W.P.F.L. Winckel, Opcit Hal.71-73. Periksa juga Gouvernement Besluit

    tanggal 30 Nopember 1920 nomer 42. 

    ©2004 Digitized by USU digital library 22

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    23/78

     Arnhemia.Sebagai pembantoe pada toean controleur diangkat seorang mantri Cultures(dahoeloe Controle Mantri) dan bagian Landbouw seorang Mantri sawah,

    ditambah 4 orang penghoeloe Balei ialah penghoeloe Balai dari masing-masing Oeroeng .39

    Ketika datuk-datuk kepala suku Batak Karo tidak diajak berunding olehsultan untuk menyerahkan konsesi-konsesi tanah di wilayah mereka, makadatuk-datuk ini menentang dan menuduh bahwa pemberian konsesi ini telah

    melanggar hukum adat yang sudah ada sebelum kedatangan Belanda. Denganmenyerang onderneming-onderneming  itu, orang Batak Karo berharap akanmengakhiri perampasan hak-hak mereka dan meyakinkan pengusaha

    onderneming  bahwa mereka harus merundingkan kontrak-kontrak tanah diwilayah Batak Karo dengan kepala suku masing-masing dan bukan dengansultan.40

    Residen Belanda menyelesaikan pertentangan langsung antara sultan dankepala-kepala suku Batak Karo itu, dengan menetapkan bahwa : pembayaranuntuk konsesi-konsesi di wilayah Karo harus dibagi tiga bagian yang sama,

    sepertiga untuk sultan, sepertiga untuk Datuk Batak Karo, dan diberikansepertiga untuk kepala-kepala desa dalam lingkungan konsesi.

    D. Sengketa Pertanahan Antara Masyarakat dan Perkebunan PadaMasa Konsesi di Sumatera Timur.

    Sengketa pertanahan antara masyarakat dan perkebunan pada masakonsesi di Sumatera Timur terjadi karena disebabkan adanya perbedaanpersepsi antara unsur-unsur yang berkepentingan dengan tanah yaitu

    sultan, perusahaan perkebunan (o n d e r n e m i n g  ) dalam menentukan siapayang berhak terhadap hak menguasai tanah di Sumatera Timur. SultanMelayu menganggap bahwa tanah adalah dikuasai oleh raja, dan raja adalah

    pemilik semua tanah (vorstdomein), dan berhak memberikan tanah kepadayang dianggapnya layak dan mampu menggarapnya dengan menyerahkanupeti dari sebagian hasilnya kepada sultan. Pada sisi lain rakyat sebagai

    kawula raja mempunyai prinsip bahwa tanah adalah milik adat yangbersifat komunal (ulayat), sementara raja dalam hal ini memegang statussebagai pemimpin adat, bukan sebagai penguasa/pemilik tanah.

    39  Pewarta Deli,  Boven Deli dalam Zaman Ciris, 10 Januari 1933, hal.2 kol.2-3. Koleksi

    Perpustakaan Nasional Microfilm rol No.429/ PN. Periksa juga Gouvernement Besluit tanggal 30

     Nopember 1920 nomer 42, bundel Algemeen Secretarie, koleksi ANRI Jakarta. 40  E.A. Halewijn, “Geographische en ethnographische gegevens betreffendehet Rijk van Deli“ ,

    Tijdschrift voor Indische Taal-, land-, en Volkenkunde, 23 (1876), hal. 147-152. 

    ©2004 Digitized by USU digital library 23

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    24/78

     

    II. Konflik Tanah Perkebunan PTPN-II dan PTPN-III Versus MasyarakatSetelah Indonesia Merdeka.

    A. Revolusi dan Dampaknya Atas Tanah-Tanah Perkebunan (1945-1949).

    Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 masaini merupakan pancaroba, dimana keadaan masyarakat serba belum menentu,sehingga sambil mempertahankan kemerdekaan, juga menata perekonomian,

    dan menegakkan ketertiban hukum. Pemerintahan Indonesia yang baru belumbisa segera mengambil alih semua kekuasaan daerah dan menegakkan kontrolpusat secara mapan di daerah, melainkan masih terpusat di Jawa dan Madura.

    Sebagai akibatnya berbagai gejolak sosial meledak yang bersumber padasengketa dan konflik lama baik yang bernuansa etnis, pelapisan sosial maupunsumber kehidupan ekonomi agraria khususnya yang menyangkut penguasaan

    tanah.Sekutu yang menerima kekalahan perang pemerintah militer Jepang,

    bertekad untuk memulihkan kondisi lama sebelum perang (status quo) untuk

    ditata kembali lebih lanjut di masa mendatang. Berdasarkan keputusan tinggimiliter Sekutu, tugas memulihkan kondisi di Indonesia diserahkan kepadapasukan Inggris di India yang tergabung dalam South East Asia Command .

    Untuk melaksanakan tugas pasukan Sekutu di Sumatera, SEAC membentuk Allied Forces Nedherlands Indies (AFNEI) yang terdiri atas Divisi ke-26 India dibawah Mayor Jenderal T.E.D Kelly untuk wilayah perang Sumatera. Pasukan ini

    mendarat di Belawan pada tanggal 10 0ktober 1945.41

    Keputusan Sekutu untuk memulihkan Status Quo  setelah pemulanganpasukan Jepang ini dijadikan dasar hukum oleh Belanda untuk kembali ke bekas

    tanah jajahannya yang ditinggalkan pada tahun 1942. Perangkat militer danpemerintahan sipil Belanda mengikuti kedatangan pasukan Sekutu ke SumateraUtara. Keterlambatan pemakluman proklamasi RI di Medan menjadi peluang

    yang dimanfaatkan oleh penguasa kolonial Belanda untuk memperkuatkedudukannya di Sumatera Utara. Hal ini dilakukan dengan kembali mendekatipara penguasa tradisional kerajaan Melayu yang mengharapkan kembalinya

    kekuasaan feodalisme lama di Sumatera Utara.42

    Di lain sisi kondisi politik di Sumatera Utara pada masa proklamasidiwarnai dengan gejolak revolusi yang mengarah pada pergolakan sosial. Ini

    dipicu dengan pembentukan laskar-laskar yang bernuansa ideologis politik danberbasiskan pada masa buruh di perkebunan. Langkah-langkah radikal yangdiambil oleh para kelompok revolusioner ini adalah mengambil alih tanah-tanah

    41  Periksa Suprayitno, Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia (Yogyakarta : Tarawang Press, 2001) hal.

    57-58. 42  Keterlambatan proklamasi kemerdekaan RI di Sumatera Utara yang dilakukan pada tanggal 6

    0ktober 1945 secara resmi ini disebabkan oleh sulitnya hubungan dengan Jawa dan berbagai

     persiapan darurat yang harus dilakukan di Sumatera Utara. Tumbuhnya berbagai golongan yang

     berkepentingan terhadap revolusi juga sangat mempengaruhi nuansa revolusioner dalam

     pengumuman proklamasi itu. 

    ©2004 Digitized by USU digital library 24

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    25/78

    bekas milik onderneming dan membagi-bagikan kepada para anggota laskarnyayang terdiri atas berbagai etnis.43

    Terutama dari gerombolan sayap kiri sangat aktif melancarkan tindakan-tindakan agresif terhadap posisi modal asing di Sumatera Timur. Pengaruhsayap kiri ini nampak sejak tanggal 1 Mei 1947 di mana mereka membentuk

    Barisan Arit Soematra yang kemudian melebur dalam Barisan Tani Indonesiadengan tujuan untuk membagi-bagi tanah-tanah perkebunan Sumatera Timur.

    Pemerintah Republik di Sumatera juga dipaksa untuk melepas pemilikanatas tanah-tanah perkebunan dan dibagi-bagikan kepada para bekas kuli danburuh perkebunan yang telah menggarapnya.

    Puncak dari ketegangan yang ada ini adalah meledaknya revolusi sosial diSumatera Timur dengan korban utama para raja dan bangsawan Melayu yangdibunuh dan harta kekayaan mereka dijarah oleh para penyerang yang terdiri

    atas laskar-laskar dan organisasi politik. Tanah-tanah kekuasaan para rajaMelayu ini kemudian dibagi-bagi dan dikuasai oleh gerakan politik yang ada diSumatera Timur tanpa aturan hukum yang jelas. Tanah sebagai suatu komoditi

    digunakan oleh gerakan politik dan kelaskaran sebagai sarana untuk menarikpengikut dengan jaminan politik yang kabur.

    Para pengusaha Belanda, yang ingin mendapatkan kembali

    perkebunannya di Indonesia, terutama di Sumatera Utara sangatberkepentingan bagi negeri Belanda. Mereka segera mendesak pemerintah DenHaag agar segera mengambil tindakan tegas untuk memulihkan kondisi di

    Sumatera. Langkah politik pertama yang bisa dijadikan sebagai dasar hukumadalah dicapainya Persetujuan Linggarjati antara pihak Belanda dan Indonesia, dimana Belanda mengakui kekuasaan RI secara de facto di Jawa dan Sumatera

    dan bertanggungjawab penuh atas keamanan di wilayah tersebut.44 

    Namun mengingat hasil yang dicapai di Linggarjati menurut Belandakurang memuaskan, tindakan lain harus dipertimbangkan. Karena itu segala

    upaya militer (Agresi I dan Agresi II) Belanda diambil, yang akhirnya mengarahpada diadakannya Konperensi Meja Bundar atas campur tangan PBB yangmengakhiri konflik antara Indonesia dan Belanda.45 Begitu pula dengan hasil-

    hasil Konferensi Meja Bundar, menegaskan eksistensi dan pengakuan milik(asset) Belanda yang ada di Indonesia.

    43 Justus M. van der Kroef, “Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa”, dalam Sediono

    M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi,  Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan

    Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa (Jakarta: Gramedia, 1984), hal. 163. Pada masa awal

     berdirinya Republik, partai-partai politik banyak mencari pendukung di kalangan petani miskin

    dan pemberian tanah menjadi senjata ampuh untuk menarik pengikut.44  Pada mulanya delegasi Belanda menghendaki agar RI hanya berkuasa atas Jawa sementara luar

    Jawa seluruhnya diletakan di bawah wewenang Belanda, dengan alasan RI tidak mampu mengatasirevolusi sosial yang terjadi di Sumatera Timur. Namun di balik itu pemerintah Belanda bermaksud

    menyerahkan kembali daerah perkebunan Sumatera Timur itu kepada para pengusaha perkebunan

    lama yang berkepentingan dengan investasi modalnya di sana. Periksa Suprayitno, ibid ., hal. 80. 45  Campur tangan PBB dalam persoalan Indonesia-Belanda ini menunjukan adanya pengakuan hukum

    internasional terhadap keberadaan RI baik secara de facto. Periksa J.G. Starke, Pengantar Hukum

     Internasional, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja, edisi X (Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hal. 173.

    Dalam hal ini pengakuan atas RI didasarkan pada urgentie diplomatik , yakni bahwa justifikasi hukum

    digunakan untuk menyebut status pengakuan ini meskipun secara fisik negara itu belum terbentuk.

    ©2004 Digitized by USU digital library 25

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    26/78

    Agresi Militer Belanda I pada Juli 1947 ditujukan pertama-tama kedaerah pusat onderneming di Sumatera Timur, dan daerah onderneminglainnnya di Indonesia. Demikian pula Agresi II pada Desember 1948,

    sasarannya selain ibukota RI di Yogyakarta adalah daerah Onderneming sepertiAsahan, Malang Selatan dan Kediri.46

    Sementara itu para pemimpin setempat yang anti Republik mulaimenghasut untuk memperoleh otonomi bagi Sumatera Timur. Komisaris urusanadministratif Hindia-Belanda, J.J van de Velde, panglima militer di Sumatera

    Timur Kolonel P. Scholten dari Brigade “Z”, dan kepala Dinas Administratifsementara J.Gerritsen secara resmi diundang meninjau sebuah demonstrasiyang menuntut pemerintahan otonomi untuk Sumatera Timur, diselenggarakan

    di Medan pada tanggal 31 Juli 1947.

    Kemenangan diperoleh para pejuang daerah otonomi itu ketika padatanggal 8 Oktober 1947 diumumkan sebuah keputusan oleh pemerintah Hindia-

    Belanda yang memberikan pengakuan sementara kepada Daerah IstimewaSumatera Timur, dan mengalihkan kepada anggota-anggota komite Medansebagai Dewan Perwakilan Sementara. Dewan itu diberi tugas menyusun sebuah

    Undang-Undang Dasar. Sebuah Keputusan secara resmi yang melahirkan negaraSumatera Timur ditandatangani pada tanggal 25 Desember 1947 oleh VanMook.47

     Pemindahan kekuasaan secara resmi kepada negara Sumatera Timurdilakukan tergesa-gesa tanpa persiapan yang memadai. Sebagai akibatnyapemindahan-pemindahan administratif yang sebenarnya menyangkut urusan

    agraria, pertanian, kehutanan, kesehatan masyarakat, dan pekerjaan umummasih dilakukan berbulan-bulan kemudian. Jabatan tinggi tetap dipegang olehpejabat Belanda, walaupun secara teoritis hanya bertanggung jawab kepada

    kepala negara Sumatera Timur.

    B. KMB (1950-1956) dan Masalah Tanah Perkebunan.

    Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), dan penyerahan kedaulatanpada tanggal 27 Desember 1949, Ratu Juliana menandatangani akte

    penyerahan dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Dansesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Induk Persetujuandengan Rancangan Penyerahan Kedaulatan yang terlampir, dinyatakan sah

    menurut hukum.48

    Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kerajaan Belanda,berkeinginan mengatur perhubungan baru, di lapangan keuangan dan

    46

      Muhammad Tauchid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan Dan KemakmuranRakyat, (Jakarta: Cakrawala, 1983), hal 14 - 115. 

    47  Van Mook mengembangkan federalisme, yang oleh rakyat Indonesia dipandang sebagai adik

    kandung kolonialisme, lihat K.M.L .Tobing, “Perjuangan Politik Bangsa Indonesia K.M.B“  ,

    C.V. Haji Mas Agung, (Jakarta: 1987, hal 248 . Periksa juga Suprayitno, op.cit., hal. 84-85.

    Sebagian dari para tokoh pendukung ini adalah para anggota bangsawan feodal Sumatera Timur

    yang lolos dari revolusi sosial Maret 1946.48  K.M.L. Tobing, “Perjuangan Politik Bangsa Indonesia K.M.B “. (Jakarta : C.V. Haji Mas

    Agung, 1988), hal 236 . 

    ©2004 Digitized by USU digital library 26

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    27/78

    perekonomian, yang terjadi karena penyerahan kedaulatan, denganpersetujuan sebagai berikut : Bahwa hak konsesi dan izin yang diberikandengan sah, menurut hukum Hindia Belanda (Indonesia), yang pada waktu

    penyerahan kedaulatan masih berlaku, maka Republik Indonesia Serikat (RIS),mengakui Konsesi dan izin tersebut.

    Dalam Persetujuan Keuangan dan Perekonomian Republik IndonesiaSerikat (RIS) dan Kerajaan Nederland, telah memutuskan mengadakanpersetujuan antara lain sebagai berikut : “Pada Bagian A tentang Hak,

    Konsesi, Ijin dan Menjalankan Perusahaan, pasal 1 ayat (3) menyatakan :

    a. Bahwa selama pendudukan Jepang dan kemudian selama masa revolusi telahterjadi bahwa tanah-tanah 0nderneming yang sudah dibongkar tanamannya

    untuk dipergunakan akan pertanian atau pekarangan, telah diduduki rakyatselama masa pendudukan Jepang dengan ijin pembesar-pembesar Jepang danbahwa pada hal-hal yang tertentu, jika tanah itu dicabut kembali daripada

    tangan rakyat yang berkepentingan dengan begitu saja, lalu dikembalikankepada 0nderneming yang bersangkutan, akan timbul kegelisahan yang amatsangat sehingga pengembalian tanah itu pada kebanyakan hal tidak mungkin

    terjadi. Tiap-tiap keadaan akan dipertimbangkan tersendiri dan akandiusahakan penyelesaian yang dapat diterima oleh segala pihak.

    b. Bahwa pemilik partikelir yang tertentu perlulah terus dipergunakan (diambil)secara paksa buat sementara, ialah untuk keperluan negara guna sesuatu

     jabatan pemerintah dengan mengganti kerugian49. 

    Berdasarkan ayat tersebut bisa dikatakan bahwa keberadaan onderneming khususnya di Sumatera Timur telah dijamin oleh pemerintah RIS, dan apabila

    ada infrastruktur mereka yang diambil oleh pemerintah baik untuk kepentinganpusat maupun kepentingan negara bagian, para pengusaha ini berhak menuntutdan menerima ganti rugi.

    Pendirian Pemerintah RIS yang lebih tegas lagi dikemukakan oleh

    Menteri Dalam Negeri RIS (29 Juli 1950), yang menyatakan antara lain : (a)Bilamana Onderneming  tidak dapat dapat dibangun kembali, maka tanahtinggal tetap seperti keadaan sekarang, yaitu rakyat dibolehkanmengerjakan sebagai tanah pertanian.

    Bilamana Onderneming  dapat dibangun kembali, maka rakyat yangmenduduki tanah-tanahnya tidak akan diusir begitu saja, akan ditinjautanah mana yang akan dipergunakan lagi oleh Onderneming. Tanah-tanah

    yang tersebut di belakang akan dikembalikan kepada Onderneming dengancara yang tidak merugikan rakyat yang mendudukinya. Misalnya,penduduknya diberi tanah lain atau diberi kerugian uang dan sebagainya.50

     49  Lihat Rancangan Persetujuan Keuangan dan Perekonomian, yang telah disyahkan, dalam aktaPernyerahan dan Pengakuan Kedaulatan, yang telah ditandatangani oleh Ratu Juliana di

    Amsterdam tanggal 27 Desember 1949 . Dari pihak Indonesia Drs. Mohammad Hatta, ketua

    Delegasi Republik Indonesia Serikat, bersama anggota-anggota delegasi, Dr.Mr. Supomo,

    Sultan Hamid, Dr. Suparno, Dr. Mr. Kusumaatmaja, Dr. Sukiman Wiryosanjoyo, Mr. Suyono

    Hadinoto, menyatakan atas nama Republik Indonesia Serikat, telah menerima penyerahan

    kedaulatan, sesuai dengan akta penyerahan dam pengakuan kedaulatan . 50  Muhammad Tauchid, op cit , hal 34 . 

    ©2004 Digitized by USU digital library 27

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    28/78

    Para pengusaha perkebunan bersandar pada jaminan yang diberikan olehRepublik. Jaminan yang diberikan dengan berdasarkan Konperensi Meja Bundar(KMB), menyangkut pengakuan dan pemulihan semua “hak konsesi, dan lisensi

    yang benar-benar diserahkan di bawah Undang-Undang Hindia-Belanda”, dankelangsungan syarat-syarat yang ”memungkinkan penanaman modal yang

    diperoleh untuk kegiatan jangka panjang yang biasa”, dan setiap pengecualianharus diperlakukan “ sesuai dengan prosedur yang ditentukan oleh hukum”.51

    Dalam perjalanan sejarahnya, RIS sebagai hasil utama dari KMB tidak

    mampu bertahan. Satu per satu negara federal yang dibentuk sebagai bagiandari RIS meleburkan diri dengan pemerintah RI di Yogyakarta hingga padaakhirnya hanya NST dan NIT yang masih tersisa di luar RI. Namun setelah

    melalui berbagai perundingan dan usaha, dan mengingat kondisi intern NST,akhirnya pada tanggal 13 Agustus berdasarkan UU yang disahkan oleh DewanNST negara federal ini bergabung dengan negara kesatuan RI dan dijadikansebagai Provinsi Sumatera Utara yang wilayahnya mencakup Aceh, bekas

    karesidenan Sumatera Timur dan bekas karesidenan Tapanuli.

    Perubahan dalam bidang tata kenegaraan ini sebaliknya tidak memberikan

    pengaruh yang besar pada kondisi pemilikan tanah oleh perusahaan-perusahaanperkebunan asing di wilayah Sumatera Timur. Para pengusaha onderneming tetap memiliki hak-haknya atas tanah dan mereka masih bisa mengelola

    usahanya dengan tenang.

    Kembalinya NST ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,menimbulkan akibat langsung bagi perjuangan agraria. Akibat yang paling dalam

    berasal dari prinsip sosial dan ekonomi dalam Undang-Undang Dasar 1945 yangdiambil alih oleh Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.52

    Sehubungan dengan hal tersebut, situasi Agraria menghendakiperumusan prinsip-prinsip baru untuk penentuan penggunaan tanah yangoptimum yang didasarkan pada prinsip-prinsip ini guna realokasi tanah-tanah

    perkebunan yang dikembalikan pada negara. Pada akhir tahun 1950, dibentukPanitia Pusat Urusan Tanah Pertanian (PPUTP) menghasilkan persetujuan umumantara penguasa sementara dan pengusaha perkebunan, bahwa perkebunan

    Tembakau harus mengembalikan sekitar 130.000 Ha. tanah, dari seluruh lahanperkebunan seluas 255.000 Ha. kepada pemerintah provinsi. Sisanya seluas125.000 Ha, diberikan kepada Deli Planters Vereniging ( DPV) , dengan haksewa selama 30 tahun. Dari luas tanah yang 130.000 Ha. ini, 90.000 Ha.

    diserahkan kepada rakyat sebagai hak milik.53

     51  K.M.L. Tobing, loc.cit , hal 40. 52  Lihat pasal-pasal 27, 29 dan 33 dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang berturut-turut menjadi

     pasal 7,18 dan 38 dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Dua pasal yang pertama( 27 dan 29 UUD 1945 ) mengalami sedikit perubahan yaitu bahwa dalam pasal 27 UUD 1945

    dirumuskan sebagai berikut. 1. “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum

    dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada

    kecualinya ”. 2.” Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

    kemanusiaan ”. Sedangkan yang ketiga ( pasal 33 UUD 1945 ) tidak mengalami perubahan.53  Periksa harian Indonesia Raya tanggal 9 Agustus 1951; periksa juga Ikhtisar Gerakan Tani, Juli-

    Agustus 1951 hal. 50, koleksi Perpustakaan Nasional RI. Perusahaan perkebunan ini masih belum

     bisa dihapuskan sama sekali mengingat masih berlakunya kontrak jangka panjang selama 75-99

    ©2004 Digitized by USU digital library 28

  • 8/17/2019 pidana-syafruddin8

    29/78

    Gubernur Sumatera Utara Abdul Hakim54  sedang mempertimbangkanundang-undang yang memberikan kekuasaan kepada pemerintah pusat untukmengeluarkan hak agraria baru atas lahan seluas 125.000 Ha,55 yang tidak boleh

    diduduki oleh penduduk liar dan penduduk liar yang sudah lama menyerobottanah itu, akan dimukimkan kembali. Dengan demikian, selain mendapat

     jaminan dari pemerintah pusat, perusahaan tembakau