43
Pedoman Tatalaksana Cedera Kepala PEDOMAN TATALAKSANA CEDERA KEPALA 1. I. Riwayat Penyakit 1. Anamnesis : Hampir selalu ditemukan riwayat trauma oleh karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau trauma lainnya. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah perlu dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, apakah jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh. Anamnesis yang lebih terperinci meliputi sifat kecelakaan atau sebab-sebab trauma untuk estimasi berat ringannya benturan, saat terjadi beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit, ada tidaknya benturan kepala langsung dan keadaan penderita saat kecelakaan misalnya kejang, kelemahan motorik, gangguan bicara dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa serta adanya nyeri kepala, mual muntah. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwa sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah). 1. Riwayat Penyakit Sebelumya: perlu dianamnesis lebih jauh tentang riwayat penyakit sebelum cedera kepala. 1. Pengkajian Keperawatan Pengkajian keperawatan di instalasi gawat darurat mengunakan pendekatan survei primer dengan menilai jalan napas, pernapasan dan sirkulasi kemudian segera melakukan tindakan life saving. 1. II. Penemuan Klinis Kesan Umum : Pasien bisa compos mentis atau terdapat penurunan kesadaran sampai dengan koma (kriteria kesadaran Alert Verbal Pain Unresponsiveness ) Survei primer dilakukan menilai ada tidaknya gangguan jalan napas dan stabilisasi servikal, pernapasan dan sirkulasi kemudian segera melakukan tindakan resusitasi jika diperlukan. Survei sekunder dilakukan pemeriksaan lengkap mulai ujung kepala sampai ujung kaki melakukan anamnesis lengkap dan pemeriksaan penunjang.

PK3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PK3

Pedoman Tatalaksana Cedera Kepala

PEDOMAN TATALAKSANA

CEDERA KEPALA1. I.                   Riwayat Penyakit1. Anamnesis :

Hampir selalu ditemukan riwayat trauma oleh karena kecelakaan lalu lintas,

kecelakaan kerja atau trauma lainnya. Pada orang tua dengan kecelakaan yang

terjadi di rumah perlu dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah

otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan

kejadiannya, apakah jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih

dahulu sebelum jatuh. Anamnesis yang lebih terperinci meliputi sifat kecelakaan

atau sebab-sebab trauma untuk estimasi berat ringannya benturan, saat terjadi

beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit, ada tidaknya benturan kepala

langsung dan keadaan penderita saat kecelakaan misalnya kejang, kelemahan

motorik, gangguan bicara dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa serta

adanya nyeri kepala, mual muntah.

Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwa sejak sebelum

terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui

kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya

tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun

kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).

1. Riwayat Penyakit Sebelumya: perlu dianamnesis lebih jauh tentang riwayat penyakit sebelum cedera kepala.

1. Pengkajian Keperawatan

Pengkajian keperawatan di instalasi gawat darurat mengunakan pendekatan  survei

primer dengan menilai jalan napas, pernapasan dan sirkulasi kemudian segera

melakukan tindakan life saving.1. II.                Penemuan Klinis

Kesan Umum : Pasien bisa compos mentis atau terdapat penurunan kesadaran

sampai dengan koma (kriteria kesadaran Alert Verbal Pain Unresponsiveness )

Survei primer dilakukan menilai ada tidaknya gangguan jalan napas dan stabilisasi

servikal, pernapasan dan sirkulasi kemudian segera melakukan tindakan resusitasi

jika diperlukan.

Survei sekunder dilakukan pemeriksaan lengkap mulai ujung kepala sampai ujung

kaki melakukan anamnesis lengkap dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan fisik lengkap meliputi:1) tanda vital,  2) tingkat kesadaran

dengan Glasgow Coma Scale atau Pediatric Coma Scale, 3) ada tidaknya cedera luar

yang terlihat: cedera pada kulit kepala, perdarahan hidung ataupun telinga,

Page 2: PK3

hematom periorbital dan retroaurikuler, 4) tanda-tanda neurologis fokal seperti

ukuran pupil dan reaksi cahaya, gerakan mata, pola aktivitas motorik dan fungsi

batang otak, 5) reflek tendon, 6) fungsi sensorik dan serebeler perlu diperiksa jika

pasien sadar.

Kriteria Diagnosis

Cedera kepala ringan (CKR dengan GCS 13-15); Cedera kepala sedang (CKS

dengan GCS 9-12); Cedera kepala berat (CKB dengan GCS <= 8). Diagnosis

morfologi: fraktur cranium, perdarahan EDH; SDH; ICH, lesi intrakranial difus

komosio ringan; komosio klasik; diffuse axonal injury.1. III.             Pemeriksaan Penunjang1. Rontgen foto tengkorak 3 posisi: menilai ada tidaknya fraktur2. CT Scan kepala: menilai ada tidaknya perdarahan, edema serebri dan kelainan morfologi lain (bila

memungkinkan)3. Darah rutin dan pemeriksaan lain sesuai indikasi1. IV.             Diagnosis1. Masalah Aktif2. Cedera kepala ringan3. Cedera kepala sedang4. Cedera kepala berat5. Suspek fraktur basis craniii/fraktur…….2. Diagnosis Kerja

Epidural hematom, subdural hematom, perdarahan subarakhnoid, perdarahan

intracranial atau hematoma jaringan lunak

1. Diagnosis Banding

Stroke, tumor otak

1. Diagnosis Keperawatan1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler (penurunan

kesadaran)2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi/hiperventilasi/disfungsi neuromuskuler

(penurunan kesadaran)/cedera spinal.3. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral: trauma kepala4. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik1. V.                Standar Pengelolaan1. Standar Terapi

Penatalaksanaan cedera kepala secara umum dengan memperbaiki jalan

napas(airway), pernapasan (breathing) dan sirkulasi pasien, mencegah tidak sampai

terjadi hipoventilasi dan hipovolemia yang dapat menyebabkan secondary brain

damage.

 

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 13–15)

1. Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT Scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala sedang–berat, pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan, fraktur tengkorak, rinorea-otorea, cedera penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga yang di rumah, tidak mungkin kembali ke rumah sakit dengan segera, dan adanya amnesia. Bila tidak memenuhi kriteria rawat maka pasien dipulangkan dengan diberikan pengertian kemungkinan kembali ke rumah sakit bila dijumpai tanda-tanda perburukan.

2. Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara periodik setiap ½- 2 jam.3. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR kecuali memang sama sekali

asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal.

Page 3: PK3

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-12)

1. Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara periodik.2. Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi memburuk dilakukan

CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.

PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA  BERAT (GCS <= 8)

1. Pastikan jalan nafas korban clear (pasang ET), berikan oksigenasi 100% dan jangan banyak memanipulasi gerakan leher sebelum cedera cervical dapat disingkirkan.

2. Berikan cairan secukupnya (ringer laktat/ringer asetat) untuk resusitasi korban agar tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfusi darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl.

3. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain, GCS dan pemeriksaan batang otak secara periodik.

4. Berikan manitol iv dengan dosis 1 gr/kgBB diberikan secepat mungkin pada penderita dengan ancaman herniasi dan peningkatan TIK yang mencolok.

5. Berikan anti edema cerebri: kortikosteroid deksametason 0,5 mg 3×1, furosemide diuretik 1 mg/kg BB tiap 6-12 jam bila ada edema cerebri, berikan anti perdarahan.

6. Berikan obat-obatan neurotonik sebagai obat lini kedua, berikan anti kejang jika penderita kejang, berikan antibiotik dosis tinggi pada cedera kepala terbuka, rhinorea, otorea.

7. Berikan antagonis H2 simetidin, ranitidin iv untuk mencegah perdarahan gastrointestinal.8. Koreksi asidodis laktat dengan natrium bikarbonat.9. Operasi cito pada perkembangan ke arah indikasi operasi.10. Fisioterapi dan rehabilitasi.1. Standar Tindakan

Bila perlu dilakukan pembedahan (craniotomy), bila terjadi kegawatan dilakukan

resusitasi sesuai SOP resusitasi jantung paru.1. Standar Edukasi dan Rehabilitasi2. Edukasi:1. Terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan2. Dipuasakan dulu bila perlu.1. Standar Asuhan Keperawatan1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler (penurunan

kesadaran)

Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai kondisi pasien (maksimal dua jam)

seperti berikut, maka bersihan jalan nafas efektif dengan kriteria hasil suara nafas

bersih atau tidak ada suara tambahan.

NIC : Suction jalan nafas

Pastikan kebutuhan suction mulut/trakea, auskultasi suara nafas sebelum dan

sesudah suksion, informasikan pada klien dan keluarga tentang suksion, berikan

oksigen dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal,

lakukan suction, monitor status oksigen pasien, hentikan suksion dan berikan

oksigen apabila pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan saturasi oksigen.

NIC : Manajemen jalan nafas

Buka jalan nafas gunakan teknik manuver chin lift atau jaw thrust bila perlu,

posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi, identifikasi pasien perlunya

pemasangan alat jalan nafas buatan, pasang mayo bila perlu, berikan bronkodilator

bila perlu, monitor saturasi oksigen.

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi/hiperventilasi/disfungsi neuromuskuler (penurunan kesadaran)/cedera spinal.

Page 4: PK3

Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai kondisi pasien (maksimal 2 jam),

pola nafas efektif dengan kriteria hasil: frekuensi nafas dalam batas normal,

kedalaman inspirasi dan ekspansi paru simetris, tidak tampak adanya penggunaan

otot pernafasan tambahan, tidak tampak adanya retraksi dinding dada, tidak

tampak adanya nafas melalui mulut.

NIC : Terapi Oksigen

Atur peralatan oksigenasi, monitor aliran oksigen, pertahankan posisi pasien,

berikan oksigen sesuai dengan yang diresepkan, observasi adanya. tanda tanda

hipoventilasi/hiperventilasi.

NIC : Monitor Tanda-tanda Vital

Monitor tekanan darah, nadi, suhu, dan frekuensi nafas, catat adanya fluktuasi

tekanan darah, monitor pola pemapasan abnormal, monitor suhu, warna, dan

kelembaban kulit, monitor sianosis perifer, monitor adanya cushing triad (tekanan

nadi melebar, bradikardi, peningkatan sistolik).

1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral: trauma kepala

Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai keadaan pasien maksimal dua jam,

perfusi jaringan serebral efektif dengan kriteria hasil: tingkat kesadaran membaik,

tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK (edema papil, muntah proyektil)

NIC : Cerebral Perfussion Promotion

Kolaborasi dengan dokter untuk menentukan parameter hemodinamik yang

diperlukan, pertahankan posisi kepala pasien lebih tinggi 15 derajat, hindari

aktivitas secara tiba-tiba, pertahankan serum glukosa pada rentang normal,

monitor tanda-tanda perdarahan, monitor status neurologi

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik

Setelah dilakukan tindakan keperawatan sesuai dengan kondisi pasien maksimal 2

jam, nyeri teratasi dengan criteria hasil : mampu mengontrol nyeri, mampu

mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

NIC : Manajemen Nyeri

Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,

durasi, frekuensi, kualitas dan factor presipitasi, observasi reaksi non verbal dari

ketidak nyamanan, kurangi faktor presipitasi nyeri, kolaborasi dengan dokter jika

ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil.

dr Siswanto

Suci Wahyu H, S.Kp, Ns

Page 5: PK3

RS Akademik UGM

2012

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISIMenurut Dawodu (2002) dan Sutantoro (2003), cedera kepala adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif / non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.

2.2. PATOFISIOLOGIFungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Meskipun otak hanya seberat 2 % dari berat badan orang dewasa, ia menerima 20 % dari curah jantung. Sebagian besar yakni 80 % dari glukosa dan oksigen tersebut dikonsumsi oleh substansi kelabu.Cedera kepala yang terjadi langsung akibat trauma disebut cedera primer. Proses lanjutan yang sering terjadi adalah gangguan suplai untuk sel yaitu oksigen dan nutrien, terutama glukosa. Kekurangan oksigen dapat terjadi karena berkurangnya oksigenasi darah akibat kegagalan fungsi paru, atau karena aliran darah otak menurun, misalnya akibat syok. Karena itu pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu, sehingga oksigenasi tubuh cukup. Gangguan metabolisme jaringan otak akam menyebabkan edem yang mengakibaykan hernia melalui foramen tentorium, foramen magnum, atau herniasi dibawah falks serebrum.Jika terjadi herniasi jaringan otak yang bersangkutan akan mengalami iskemik sehingga dapat menimbulkan nekrosis atau perdarahan yang menimbulkan kematian (3).

Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :1. Cedera PrimerKerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater, laserasi, kontusio).

2. Cedera SekunderKerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui batas kompensasi ruang tengkorak.

Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat fatal pada tingkat seluler.

Cedera Sekunder dan Tekanan Perfusi :

CPP = MAP - ICP

CPP : Cerebral Perfusion PressureMAP : Mean Arterial PressureICP : Intra Cranial Pressure

Penurunan CPP kurang dari 70 mmHg menyebabkan iskemia otak. Iskemia otak mengakibatkan edema sitotoksik – kerusakan seluler yang makin parah (irreversibel). Diperberat oleh kelainan ekstrakranial hipotensi/syok, hiperkarbi, hipoksia, hipertermi, kejang, dll.

3. Edema Sitotoksik

Page 6: PK3

Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l. glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).

4. Kerusakan Membran SelDipicu Ca influks yang mengakitvasi enzym degradatif akan menyebabkan kerusakan DNA, protein, dan membran fosfolipid sel (BBB breakdown) melalui rendahnya CDP cholin (yang berfungsi sebagai prekusor yang banyak diperlukan pada sintesa fosfolipid untuk menjaga integritas dan repair membran tersebut).Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang berlebih.

5. ApoptosisSinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).Dalam penelitian ternyata program bunuh diri ini merupakan suatu proses yang dapat dihentikan.

2.3. PATOLOGIDari gambarannya (neuropatologi), kerusakan otak dapat digolongkan menjadi fokal dan difus, walaupun terkadang kedua tipe tersebut muncul bersamaan. Alternatif yang lain menggolongkan kerusakan otak menjadi primer (terjadi sebagai dampak) dan sekunder (munculnya kerusakan neuronal yang menetap, hematoma, pembengkakan otak, iskemia, atau infeksi).

2.3.1. KERUSAKAN FOKAL2.3.1.1. Kontusio kortikal dan laserasiKontusio kortikal dan laserasi bisa terjadi di bawah atau berlawanan (counter-coup) pada sisi yang terkena, tapi kebanyakan melibatkan lobus frontal dan temporal. Kontusio biasanya terjadi multiple dan bilateral. Kontusio multiple tidak depresi pada tingkat kesadaran, tapi hal ini dapat terjadi ketika perdarahan akibat kontusio memproduksi ruang yang menyebabkan hematoma.

2.3.1.2. Hematoma intracranialPerdarahan intracranial dapat terjadi baik di luar (ekstradural) maupun di dalam dura (intradural). Lesi intradural biasanya terdiri dari campuran dari hematoma subdural dan intraserebral, walaupun subdural murni juga terjadi. Kerusakan otak bisa disebabkan direk atau indirek akibat herniasi tentorial atau tonsilar.

2.3.1.3. Intraserebral (Burst lobe)Kontusio di lobus frontal dan temporal sering mengarah pada perdarahan di dalam substansia otak, biasanya dihubungkan dengan hematoma subdural yang hebat.“Burst Lobe” adalah definisi yang biasanya digunakan untuk menerangkan penampakan dari hematoma intraserebral bercampur dengan jaringan otak yang nekrotik, ruptur keluar ke ruang subdural.

2.3.1.4. SubduralPada beberapa pasien, dampaknya bisa mengakibatkan ruptur hubungan vena-vena dari permukaan kortikal dengan sinus venosus, memproduksi hematoma subdural murni dengan tidak adanya bukti mendasar adanya kontusio kortikal atau laserasi.

2.3.1.5. EkstraduralFraktur cranii merobek pembuluh darah meningeal tengah, mengalir ke dalam ruang ekstradural. Hal ini biasanya terjadi pada regio temporal atau temporoparietal. Kadang-kadang hematoma ekstradural terjadi akibat kerusakan sinus sagital atau transvesal.

2.3.1.6. Herniasi tentorial/tonsillar (sinonim: “cone”)Tidak seperti tekanan intrakranial tinggi yang secara direk merusak jaringan neuronal, tapi kerusakan otak terjadi sebagai akibat herniasi tentorial atau tonsillar.

Page 7: PK3

Peningkatan tekanan intrakranial yang progresif karena hematoma supratentorial, menyebabkan pergeseran garis tengah (mid line). Herniasi dari lobus temporal medial sampai hiatus tentorial juga terjadi (herniasi tentorial lateral), menyebabkan kompresi dan kerusakan otak tengah..Herniasi tentorial lateral yang tidak terkontrol atau pembengkakan hemispheric bilateral difus akan mengakibatkan herniasi tentrorial central.Herniasi dari tonsil serebellar melalui foramen magnum (herniasi tonsillar) dan berikut kompresi batang otak bawah bisa diikuti herniasi tentorial central atau yang jarang terjadi, yaitu traumatik posterior dari fossa hematoma.

2.3.2. KERUSAKAN DIFUS2.3.2.1. Diffused Axonal Injury (DAI)4, dapat memainkan peranan dalam hal ini. Tergantung dari tingkat keparahan dari luka, efek dapat bervariasi dari koma ringan sampai kematian.Tekanan yang berkurang menyebabkan kerusakan mekanik akson secara cepat. Lebih dari 48 jam, kerusakan lebih lanjut terjadi melalui pelepasan neurotransmiter eksitotoksik yang menyebabkan influís Ca 2+ ke dalam sel dan memacu kaskade fosfolipid. Kemungkinan genetik diketahui dengan adanya gen APOE DAI terjadi pada 10-15% CKB. 60% DAI berakhir dengan kecacatan menetap dan vegetative state, 35-50% berakhir dengan kematian. Dalam proses biomekanis, DAI terjadi karena adanya proses deselerasi yang menyebabkan syringe trauma (tergunting) karena adanya gaya yang simpang siur.2.3.2.2. Iskemia serebralIskemia serebral umumnya terjadi setelah cedera kepala berat dan disebabkan baik karena hipoksia atau perfusi serebral yang terganggu/rusak. Pada orang normal, tekanan darah yang rendah tidak mengakibatkan rendahnya perfusi serebral karena adanya ”autoregulasi”, terbukti adanya vasodilatasi serebral.Setelah cedera kepala, bagaimanapun juga sistem autoregulasi sering tidak sempurna/cacat dan hipotensi bisa menyebabkan efek yang drastis. Kelebihan glutamat dan akumulasi radikal bebas juga bisa mengkontribusikan kerusakan neuronal. Penyebab lain iskemia serebral adalah lesi massa yang menyebabkan herniasi tentorial, traksi atau perforasi pembuluh darah, spasme arterial, dan kenaikan TIK karena edema otak.Lokasi iskemia dapat terjadi pada korteks, hipokampus, ganglion basalis dan batang otak. (4,5,6)

2.4. GAMBARAN KLINISAssesment dan klasifikasi pasien-pasien yang diduga mengalami cedera kepala, harus dipandu secara primer menggunakan Glasgow Coma Scale versi untuk dewasa dan anak-anak dan ini diturunkan dari Glasgow Coma Score.Glasgow Coma Scale bernilai antara 3 dan 15, 3 adalah yang paling buruk dan 15 adalah yang terbaik. Terdiri dari tiga parameter: Respon mata terbaik, respon verbal terbaik, dan respon motor terbaik.

Glasgow Coma Scale (Dewasa)Respon Mata Terbaik (4) 4. Mata membuka spontan3. Mata membuka dengan perintah verbal2. Mata membuka dengan rangsang nyeri1. Mata tidak membuka

Respon Verbal Terbaik (5)5. Terorientasi baik4. Bingung / disorientasi3. Kata-kata tidak tepat2. Suara-suara yang tidak bisa dipahami1. Tidak ada respon verbal

Respon Motorik Terbaik (6)6. Mematuhi perintah5. Melokalisasi rasa nyeri4. Menghindari nyeri3. Fleksi terhadap nyeri2. Ekstensi terhadap nyeri1. Tidak ada respon motorik

Glasgow Coma Scale (Pediatric)

Page 8: PK3

Respon Mata Terbaik (4)4. Mata membuka spontan3. Mata membuka dengan perintah verbal2. Mata membuka dengan rangsang nyeri1. Mata tidak membuka

Respon Verbal Terbaik (5)5. Terjaga, mengoceh, kata/kalimat biasanya sesuai kemampuan.4. Kurang dari kemampuan biasa dan/atau menangis irritable spontan3. Menangis tidak tepat2. Kadang-kadang merengek dan/atau merintih1. Tidak ada respon vokal

Komunikasi dengan infant atau anak-anak diperlukan perhatian yang seksama untuk menentukan respon verbal terbaik yang sesuai. ”Grimace” adalah alternatif dari respon verbal, harus digunakan untuk pre-verbal atau pasien-pasien intubasi.

Grimace Response (5)5. Facial normal spontan/aktifitas oro-motor4. Kurang dari kemampuan spontan biasa atau hanya respon untuk menyentuh stimuli3. Menyeringai dengan semangat pada nyeri2. Menyeringai ringan pada nyeri1. Tidak ada respon pada nyeri

Respon Motor Terbaik (6)6. Mematuhi perintah atau menunjuukan gerakan spontan normal5. Melokalisasi rangsang nyeri atau menghindari untuk menyentuh4. Menghindari rangsang nyeri3. Fleksi abnormal pada nyeri (decorticate)2. Ekstensi abnormal pada nyeri (decerebrate)1. Tidak ada respon pada nyeri

Gejala klinis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya. Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa menit saja. Atas dasar ini trauma kepala dapat digolongkan menjadi ringan bila derajat koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) total adalah 13-15, sedang bila 9-12, dan berat bila 3-8. lokasi cedera otak primer dapat ditentukan pada pemeriksaan klinik (7).

2.5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALACedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi cedera.a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramter.* Trauma tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan).- kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)* Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)

b. Keparahan cedera.* Ringan : skala koma Glasgow (Glasgow Coma Scale, GCS) 14-15* Sedang : GCS 9-13* Berat : GCS 3-8

c. MorfologiFraktur tengkorak kraniium linear/stelatum; depresi/non depresi;terbuka/tertutupbasis dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan/tanpa kelumpuhannervus VIILesi intracranial fokal epidural, subdural, intraserebral.difus konkusi ringan, konkusi klasik, cederaaksonal difus (2).

Page 9: PK3

2.6. DIAGNOSIS2.6.1. AnamnesisDiagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.Anamnesis lebih rinci tentang:a. Sifat kecelakaan.b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang / turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung / disorientasi (kesadaran berubah)

2.6.2. Indikasi Rawat Inap :1. Perubahan kesadaran saat diperiksa.2. Fraktur tulang tengkorak.3. Terdapat defisit neurologik.4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak, riwayat minum alkohol, pasien tidak kooperatif.5. Adanya faktor sosial seperti :a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit.

Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera kembali ke rumah sakit bila timbul gejala sebagai berikut :1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan. Penderita harus dibangunkan tiap 2 jam selama periode tidur.2. Disorientasi, kacau, perubahan tingkah laku3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.4. Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan, penglihatan kabur.5. Kejang, pingsan.6. Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga7. Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh bola mata, melihat dobel, atau gangguan penglihatan lain8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak biasa

Rawat inap mempunyai dua tujuan, yakni observasi (pemantauan) dan perawatan. Observasi ialah usaha untuk menemukan sedini mungkin kemungkinan terjadinya penyulit atau kelainan lain yang tidak segera memberi tanda atau gejala.Pada penderita yang tidak sadar, perawatan merupakan bagian terpenting dari penatalaksanaan. Tindakan pembebasan jalan nafas dan pernapasan mendapat prioritas utama untuk diperhatikan. Penderita harus diletakkan dalam posisi berbaring yang aman (4,5).

2.7. PEMERIKSAAN2.7.1. Pemeriksaan FisikHal terpenting yang pertama kali dinilai bahkan mendahului trias adalah status fungsi vital dan status kesadaran pasien.Status fungsi vitalYang dinilai dalam status fungsi vital adalah:• Airway (jalan napas) dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher harus berhati-hati bila ada riwayat / dugaan trauma servikal (whiplash injury).• Breathing (pernapasan) dapat ditemukan adanya pernapasan Cheyne-Stokes, Biot / hiperventilasi, atau pernapasan ataksik yang menggambarkan makin buruknya tingkat kesadaran.• Circulation (nadi dan tekanan darah). Pemantauan dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama

Page 10: PK3

bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.

Status kesadaran pasienCara penilaian kesadaran yang luas digunakan ialah dengan Skala Koma Glasgow; cara ini sederhana tanpa memerlukan alat diagnostik sehingga dapat digunakan balk oleh dokter maupun perawat. Melalui cara ini pula, perkembangan/perubahan kesadaran dari waktu ke waktu dapat diikuti secara akurat. Yang dinilai adalah respon membuka mata, respon verbal dan respon motorik.

Status neurologisPemeriksaan neurologik pada kasus trauma kapitis terutama ditujukan untuk mendeteksi adanya tanda-tanda fokal yang dapat menunjukkan adanya kelainan fokal, dalam hal ini perdarahan intrakranial. Tanda fokal tersebut ialah : anisokori, paresis / paralisis, dan refleks patologis..Selain trauma kepala, harus diperhatikan adanya kemungkinan cedera di tempat lain seperti trauma thorax, trauma abdomen, fraktur iga atau tulang anggota gerak harus selalu dipikirkan dan dideteksi secepat mungkin

2.7.2. Pemeriksaan PenunjangFoto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan: defisit neurologik fokal, liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi, hematoma luas di daerah kepala.Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi karotis atau CT Scan kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih sederhana dan tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di setiap rumah sakit. CT Scan juga dapat dilakukan pada keadaan: perburukan kesadaran, dugaan fraktur basis kranii dan kejang.

2.8. PENANGGULANGAN PERAWATANSetelah ditentukan fungsi vital, kesadaran, dan status neurologis harus diperhatikan kesembilan aspek sebagai berikut.1. Pemberian cairan dan elektrolit disesuaikan dengan kebutuhan. Harus dicegah terjadinya hidrasi berlebih dan hiponatremia yang akan memperberat edem otak.2. Pemasangan kateter kandung kemih diperlukan untuk memantau keseimbangan cairan.3. Pencegahan terhadapa pneumonia hipostatik dilakukan dengan fisioterapi paru, mengubah secara berkala posisi berbaring, dan mengisap timbunan sekret.4. Kulit diusahakan tetap tetap bersih dan kering untuk mencegah dekubitus.5. Anggota gerak digerakkan secara pasif untuk mencegah kontraktur dan hipotrofi.6. Kornea harus terus menerus dibasahi dengan larutan asam borat 2 % untuk mencegah keratitis.7. Keadaan gelisah dapat disebabkan oleh perkembangan massa didalam tengkorak, kandung kemih yang penuh, atau nyeri. Setelah ketiga hal tersebut dapat dipastikan dan diatasi, baru boleh diberikan sedatif. Mengikat penderita hanya akan menambah kegelisahan, yang justru akan menaikkan tekanan intrakranial.8. Kejang-kejang harus segera diatasi karena akan menyebabkna hipoksia otak dan kenaikan tekanan darah serta memperberat edem otak.

Hipernatremi dapat timbul pada hari pertama pasca trauma, karena gangguan pada hipotalamus, batang otak, atau dehidrasi. Kenaikan suhu badan setelah hari kedua dapat disebabkan oleh dehidrasi, infeksi paru, infeksi saluran kemih, atau infeksi luka. Reaksi tranfusi dapat juga menimbulkan demam. Pemakaian antibiotik yang berlebihan dapat menyebabkan tumbuhnya kuman yang resisten, mengakibatkan kolitis pseudomembranosa, dan mengundang terjadinya sepsis. (3)

2.9. PENATALAKSANAAN

Pedoman resusitasi dan penilaian awal:1. Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jioka cedera orofasial mengganggu jalan napas, maka pasien harus diintubasi.2. Menilai pernapasan : tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak, beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi cedera dada berat seperti pneumotoraks, hemopneumotoraks, pneumotoraks tensif.3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan dengan

Page 11: PK3

menekan arterinya. Perhatikan secara khusus adanya cedera intraabdominal atau dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jatung dan tekanan darah, pasang alat pemantau dan EKG bila tersedia. Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid. Sedangkan larutan kristaloid (dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) menimbulkan eksaserbasi edem otak pasca cedera kepala.4. Obati kejang : kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala. Mula-mula berikan diazepam 10 mg iv perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan iv perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.5. Menilai tingkat keparahana. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)• Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, atentif, dan orientatif)• Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)• Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang.• Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing• Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematom kulit kepala.• Tidak ada criteria cedera kepala sedang-berat.

b. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)• Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)• Konkusi• Amnesia pasca-trauma• Muntah• Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea, atau rinorea cairan serebrospinal)• Kejang

c. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)• Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)• Penurunan derajat kesadaran secara progresif• Tanda neurologist fokal• Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium.

Pedoman umum penatalaksanaan:1. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal, kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh tulang servikal C1-C7 normal.2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur :- pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCl 0,9%) atau larutan Ringer Laktet : cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada cairan hipotonis, dan cairan ii tidak menambah edem serebri.- Lakukan pemeriksaan hamatokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah : glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu.

2.10. PENGOBATAN

1. Memperbaiki / mempertahankan fungsi vital (ingat ABC)2. Mengurangi edema otak dengan cara:• Hiperventilasi. Bertujuan untuk menurunkan PO2darah sehingga men-cegah vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat diperiksa, PO2dipertahankan > 100 mmHg dan PCO2di antara 2530 mmHg.• Cairan hiperosmoler. Umumnya digunakan cairan Manitol 1015% per infus untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. Untuk memperoleh efek yang dikehendaki, manitol harus diberikan dalam dosis yang cukup dalam waktu singkat, umumnya diberikan 0,51 g/kgBB dalam 1030 menit.• Kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid telah diperdebatkan manfaatnya sejak beberapa waktu yang lalu. Pendapat akhir-akhir ini cenderung menyatakan bahwa kortikosteroid tidak / kurang bermanfaat pada kasus cedera kepala. Penggunaannya berdasarkan pada asumsi bahwa obat ini menstabilkan sawar darah otak.

Page 12: PK3

• Barbiturat digunakan untuk mem"bius" pasien sehingga metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kemsakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan dengan pengawasan yang ketat.• Pada 2448 jam pertama, pemberian cairan dibatasi sampai 15002000 ml/24 jam agar tidak memperberat edema jaringan.3. Obat-obatan neuroprotectan seperti piritinol, piracetam dan citicholine dikatakan dapat membantu mengatasi kesulitan/gangguan metabolisme otak, termasuk pada keadaan koma.4. Perawatan luka da pencegahan dekubitus harus dilakukan sejak dini5. Hemostatik tidak digunakan secara rutin; pasien trauma kepala umumnya sehat dengan fungsi pembekuan normal. Perdarahan intrakranial tidak bisa diatasi hanya dengan hemostatik.6. Antikonvulsan diberikan bila pasien mengalami kejang, atau pada trauma tembus kepala dan fraktur impresi; preparat parenteral yang ada ialah fenitoin, dapat diberikan dengan dosis awa1250 mg intravena dalam waktu 10 menit diikuti dengan 250-500 mg fenitoin per infus selama 4 jam. Setelah itu diberi- kan 3 dd 100 mg/hari per oral atau intravena. Diazepam 10 mg iv diberikan bila terjadi kejang. Phenobarbital tidak dianjurkan karena efek sampingnya berupa penurunan kesadaran dan depresi pernapasan

2.11. PROGNOSIS

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.Penderita bisa mengalami sindroma pasca konkusio, dimana sakit kepala terus menerus dirasakan dan terjadi gangguan ingatan.Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu yang lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal.Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-fatal. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang mengendalikan fungsi mental), sedangkan talamus dan batang otak (yang mengatur siklus tidur, suhu tubuh, pernafasan dan denyut jantung) tetap utuh. Jika status vegetatif terus berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil.

2.12. KEGAWATDARURATAN CEDERA KEPALA

2.12.1. KOMOSIO SEREBRIKomosio serebri atau gegar otak adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin mutah, tampak pucat.Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak.Pada komosio serebri mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian antaranya di daerah lobus temporalis.Pemeriksaan yang selalu dibuat adalah: foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapinya simptomatis dengan mobilisasi secepatnya setelah keluhan-keluhan menghilang. (8)

2.12.2. EDEMA SEREBRI TRAUMATIKOtak dapat menjadi sembab tanpa disertai perdarahan pada trauma kapitis terutama pada anak-anak. Pada keadaan ini pingsan berlangsung lebih dari 10 menit dan pada pemeriksaan neurologik tidak dijumpai tanda-tanda kerusakan jaringan otak. Pasien mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah. Pada pemeriksaan cairan otak mungkin hanya dijumpai tekanan yang agak meingkat.Pada petinju mungkin terjadi keadaan grogi dengan kesadaran yang menurun ringan, tampak seperti linglung, gerakan tidak teratur, tidak efisien, kurang cepat, keseimbangan sedikit terganggu, mungkin hanay mengeluh sedikit nyeri kepala dan pusing. Keadaan demikian dapat berlangsung sebebntar atau

Page 13: PK3

hingga berhari-hari. Pada keadaan ini batang otak mengalami edema. Setelah membaik, penderita tidak ingat dengan baik apa yang telah dialaminya.Pemeriksaan tambahan yang dilakukan yang diperlukan sama dengan komosio serebri, bila mungkin ditambah dengan CT-Scan kepala. Terapi hanya istirahat dan simptomatis. (8)

2.12.3. KONTUSIO SEREBRIPada kontusio serebri atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi, kontusio terjadi di daerah otak yang mengalami benturan. Pada benturan di daerah parietal, temporalis dan occipital selain ditempat benturan dapat pula terjadi kontusio pada sisi yang bertentangan pada jalan garis benturan.Lesi kedua ini disebu lesi kontra benturan (contra-coup). Perdarahan mungkin pula terjadi di sepanjang garis gaya benturan ini, dan ada permukaan bagian otak yang menggeser karena gerakan akibat benturan ini.Pada pemeriksaan neurologik pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan neurologik yang jelas kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan kesadaran yang berlangsung berjam-jam pada pemeriksaan dapat atau dijumpai defisit neurologik. Pada kontusio serebri yang berlangsung 6 jam penurunan kesadarannya, biasanya selalu dijumpai defisit neurologik neurologik yang jelas. Gejala-gejalanya bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar di dalam jaringan otak, sering pula disertai perdarahan subarakhnoidal atau kontusio pada batang otak. Edema otak yang menyertainya tidak jarang berat dan menyebabkan meningkatnya tekanan intra kranial.Tekanan intra kranial yang meninggi menimbulakan gangguan mikrosirkulasi otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian timbullah lingkaran setan yang erakhir dengan kematian bila tidak diputus.Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon, pernapasan biasa atau bersifat Cheyne-Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin terjadi rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku.Pada gangguan di daerah mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pupil melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat, tidak teratur, pernapasan hiperventilasi, motorik menunjukkan rigidiras deserebrasi dengan keempa ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi.Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu bilateral, gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang. Pernapasan tidak teratur. Bila medulla oblongata terganggu, pernapasan melambat tak teratur, tersengal-sengal menjelang kematian.Pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan adalah: foto Rontgen polos, bila mungkin CT-Scan, EEG, pungsi lumbal.

Terapi:Tindakan yang diambil pada keadaan kontusio berat ditujukan untuk mencegah menigginya tekanan intra kranial.a. usahakan jalan napas yang lapang dengan:- membersihkan hidung dan mulut dari darah dan muntahan- melonggarkan pakaian yang ketat- menghisap lendir dari mulut, tenggorok dan hidung- untuk amannya gigi palsu perlu dikeluarkan- bila perlu pasang pipa endotrakeal atau lakukan trakeotomi- O2 diberikan bila tidak ada hiperventilasib. hentikan perdarahanc. bila ada fraktur pasang bidai untuk fiksasid. letakkan pasien dalam posisi miring hingga bila muntah dapat bebas keluar dan tidak mengganggu jalan napase. berikan profilaksis antibiotik bila ada luka-luka yang beratf. bila ada syok, infus dipasang untuk memberikan cairan yang sesuai. Bila tidak ada syok, pemasangan infus tidak perlu dilakukan dengan segera dan dapat menunggu hingga keesokan harinya.Pada hari I pemberian infus diberikan 1,5 liter cairan / hari, yang 0,5 liter adalah NaCl 0.9%. Bila digunakan glukosa, pakailah yang 1% untuk mencegah menghebatnya edema otak dan kemungkinan timbulk=nya edem pulmonum.Setelah hari ke IV jumlah cairan perlu ditambah hingga 2,5 liter / 24 jam. Bila bising usus sudah terdengar, dapat diberi makanan cair per sonde.g. Pada keadaan edema otak yang hebat diberikan mannitol 20% dalam infus sebanyak 250cc dalam waktu 30 menit yang dapat diulang tiap 12-24 jam.

Page 14: PK3

h. Furosemid intramuskular 20mg per 24 jam, selain meningkatkan diuresis berkhasiat juga mengurangi pembentukan cairan otak.i. Untuk menghambat pembentukan edema serebri diberikan deksametason dalam rangkaian pengobatan sebagai berikut:Hari I : 10mg iv diikuti 5mg tiap 4 jamHari II : 5mg iv tiap 6 jamHari III: 5mg iv tiap 8 jamHari IV: 5mg im tiap 12 jamHari V : 5mg imj. Pemantauan keadaan penderita selain keadaan umumnya perlu diperiksa secara teratur PCO2 dan PO2 darah. Keadaan yang normal ialah PCO2 sekitar 42mmHg dan PO2 diatas 70mmHg.Selanjutnya ialah perawatan dalam keadaan koma. (8,9)

2.12.4. EPIDURAL HEMATOMAPada hematom epidural terjadi perdarahan diantara tengkorak dan duramater akibat robeknya arteri meningea media atau cabang-cabangnya. Arteri terletak diantara meningens dan tulang tengkorak. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih cepat memancar.Kelainan pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intra kranial. Penderita akan mengalami sakit kepala, mual dan muntah dan diikuti oleh penurunan kesadaran. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada sisi kontra lateral dari benturan timbul gejala-gejala terganggunya traktus kortikospinalis, misalnya reflek tendo tinggi, reflek patologis positif dan hemiparese. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontra lateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkanreaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.Ciri khas pada epidural hematoma murni adalah terdapatnya interval bebas antara dua penurunan kesadaran yang disebut lucid interval. Jika epidural hematoma disertai cedera otak seperti memar otak, lucid interval tidak akan terlihat sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergency dalam bedah saraf karena progresifitasnya yang cepat. Duramater melekat erat pada sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim otak yang memudahkan terjadinya herniasi trans dan infra tentorial, sehingga jika penanganan terlambat maka pasien dapat meninggal.Diagnosis didasarkan pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto Rontgen kepala. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis epidural hematoma bila sisi fraktur yang terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar. Garis fraktur juga dapat menunjukkan lokasi hematoma. Bila memungkinkan dapat dilakukan CT-Scan.

Penanganan untuk epidural hematoma:a. Penanganan darurat: dengan trepanasi sederhana (boor hole) atau kraniotomi untuk mengevakuasi hematomab. Indikasi operasi dibidang bedah saraf: untuk life-saving dan untuk functional saving. Indikasi life-saving adalah jika lesi desak ruang bervolume >5cc (desak ruang thalamus), >10cc (desak ruang infra tentorial) dan >25cc (desak ruang supra tentorial).c. Indikasi evakuasi: efek massa yang signifikan yaitu penurunan klinis, efek massa dengan volume >20cc dengan midline shift >5mm dengan penurunan klinis yang progresif atau jika tebal EDH >1cm dengan midline shift >5mm dengan penurunan klinis yang progresif (3,5,8,10)

2.12.5. SUBDURAL HEMATOMASubdural hematoma disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya vena dalam ruang subarakhnoid. Pembesaran hematoma kerana robeknya vena akan memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu.Subdural hematoma dibagi menjadi hematoma subdural akut bila gejala timbul pada hari pertama sampai ketiga, subakut bila timbula antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronis apabila timbul sesudah minggu ketiga.Subdural hematoma akut secara klinis sukaar dibedakan dengan epidural hematoma yang berkembang lambat. Subdural hematoma akut dan kronik memberi gambaran klinis suatu proses desak ruang yang progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau dementia.Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan

Page 15: PK3

adanya genangan darah.Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan.Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:- sakit kepala yang menetap- rasa mengantuk yang hilang-timbul- linglung- perubahan ingatan- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.Subdural hematoma yang besar memberi gejala seperti hematom epidural. Pada perdarahan yang ringan memberi gejala permulaan yang ringan dan setelah beberapa waktu secara perlahan gejala menjadi berat dan sifatnya progresif.- Nyeri kepala hebat, muntah.- Gangguan penglihatan karena edem dari papil N II.- Pada sisi kontralateral hematom terdapat gangguan traktus piramidalis.

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan yaitu dengan Rontgen tengkorak AP-Lateral dengan sisi daerah trauma pada film. Jika memungkinkan dapat dilakukan CT-Scan dan EEG. Pada CT-Scan akan terlihat gambaran hiperdens berbentuk bulan sabit. Jika disertai kontusio serebri akan tampak pula bercak-bercak hiperdens di parenkim otak (salt and pepper). Pungsi lumbal tidak dilakukan karena tekanan intra kranial yang tinggi dapat menimbulkan herniasi tentorial.Penanggulangan terdiri dari trepanasi dan evakuasi hematoma.Karena subdural hematoma sering disertai cedera otak berat lain, maka dibandingkan dengan epidural hematoma, prognosisnya lebih jelek. (5,11)

2.12.6. SUBARAKHNOID HEMATOMAPerdarahan terjadi di rongga subarachnoid, sering menyertai kontusio serebri. Pada pungsi lumbal ditemukan cairan serebrospinal berdarah. Cairan serebrospinal yang berdarah tersebut dapat merangsang selaput otak sehingga timbul kaku kuduk. Penatalaksanaan seperti pada kontusio serebri. (2,3,5,12)

2.12.7. KERUSAKAN PADA BAGIAN OTAK TERTENTUKerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri) biasanya akan mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang.Daerah tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

2.12.7.1. Kerusakan Lobus FrontalisLobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan.Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.Kerusakan pada lobus frontalis dapat mengakibatkan kelainan yang berhubungan dengan hal ikhwal tingkah laku (kurang kontrol, agresif, anti-sosial), dementia, gerakan halus yang kurang lancar, gerakan yang kurang ritmis, dan afasia.

2.12.7.2. Kerusakan Lobus ParietalisLobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini.Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.Kerusakan pada lobus parietalis dapat mengakibatkan apraksia, agnosia, disorientasi, gangguan body

Page 16: PK3

image, emiparesis, hemihipestesia dan hemianopsia.

2.12.7.3. Kerusakan Lobus TemporalisLobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.(8)

2.13. KELAINAN-KELAINAN AKIBAT CEDERA KEPALA

2.13.1. EPILEPSI PASCA TRAUMAEpilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak.Kejang terjadi padda sekitar 10% penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera.Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.

2.13.2. AFASIAfasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau mengekspresikan kata-kata.Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.Gangguan bahasa bisa berupa:- Aleksia, hilangnya kemampuan untuk memahami kata-kata yang tertulis- Anomia, hilangnya kemampuan untuk mengingat atau mengucapkan nama-nama benda. Beberapa penderita anomia tidak dapat mengingat kata-kata yang tepat, sedangkan penderita yang lainnya dapat mengingat kata-kata dalam fikirannya, tetapi tidak mampu mengucapkannya.Disartria merupakan ketidakmampuan untuk mengartikulasikan kata-kata dengan tepat. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian otak yang mengendalikan otot-otot yang digunakan untuk menghasilkan suara atau mengatur gerakan dari alat-alat vokal.Afasia Wernicke merupakan suatu keadaan yang terjadi setelah adanya kerusakan pada lobus temporalis. Penderita tampaknya lancar berbicara, tetapi kalimat yang keluar kacau (disebut juga gado-gado kata). Penderita menjawab pertanyaan dengan ragu-ragu tetapi masuk akal.

Pertanyaan : Ini gambar apa? (anjing mengonggong)Jawaban : A-a-an-j-j-, eh bukan, a-a..aduh..b-b-bin, ya binatang, binatang..b-b..berisik

Pada afasia Broca (afasi ekspresif), penderita memahami arti kata-kata dan mengetahui bagaimana mereka ingin memberikan jawaban, tetapi mengalami kesulitan dalam mengucapkan kata-kata. Kata-kata keluar dengan perlahan dan diucapkan sekuat tenaga, seringkali diselingi oleh ungkapan yang tidak memiliki arti. Penderita menjawab pertanyaan dengan lancar, tetapi tidak masuk akal.

Pertanyaan : Bagaimana kabarmu hari ini?Jawaban : Kapan? Mudah sekali untuk melakukannya tapi semua tidak terjadi ketika matahari terbenam.

Page 17: PK3

Tabel: Jenis AfasiaPenetapan berdasarkan kemampuan

Bicara spontan Pengertian berbahasa Pengulangan kata / kalimat Penyebutan nama bendaWernicleBrocaKonduksiGlobalAnomi LancarTak lancarLancarTak lancarLancar BurukBaikBaikBurukBaik BurukBurukBurukBurukBaik BurukBurukBaikBurukBuruk

Dasar lancar dan tak lancar ialah

Anterior (Broca) Posterior (Wernicle)Laju curahanUpayaAliran wicaraIsiPanjang fraseParafasia BerkurangMeningkatBerkurangSubstantifPendekJarang ada Normal / meningkatNormalMeningkat (logorea)GramatikalPanjangAda: ketiga tipe

2.13.3. APRAKSIAApraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis.Ingatan akan serangkaian gerakan yang diperlukan untuk melakukan tugas yang rumit hilang; lengan atau tungkai tidak memiliki kelainan fisik yang bisa menjelaskan mengapa tugas tersebut tidak dapat dilakukan.Jenis-jenis apraksia ada 5 yaitu apraksia ideal, apraksia ideomotorik, apraksia kinetik, dressing apraksia, dan apraksia konstruksi.Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.

2.13.4. AGNOSIA

Page 18: PK3

Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut, atau dengan kata lain ketidakmampuan untuk mengenal dan menginterpretasi rangsang indera.Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut.Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi segera setelah cedera kepala atau stroke.Tidak ada pengobatan khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.2.13.5. AMNESIAAmnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya dimengerti.Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan (amnesia pasca trauma).Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesia bisa bersifat menetap.Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus temporalis.Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Serangan berlangsung selama 30 menit sampai 12 jam atau lebih.Arteri kecil di otak mungkin mengalami penyumbatan sementara sebagai akibat dari aterosklerosis. Pada penderita muda, sakit kepala migren (yang untuk sementara waktu menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak) bisa menyebabkan anemia menyeluruh sekejap. Peminum alkohol atau pemakai obat penenang dalam jumlah yang berlebihan (misalnya barbiturat dan benzodiazepin), juga bisa mengalami serangan ini.Penderita bisa mengalami kehilangan orientasi ruang dan waktu secara total serta ingatan akan peristiwa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya.Setelah suatu serangan, kebingungan biasanya akan segera menghilang dan penderita sembuh total.Alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut sindroma Wernicke-Korsakoff. Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang berlangsung lama. Kedua hal tersebut terjadi karena kelainan fungsi otak akibat kekurang vitamin B1 (tiamin). Mengkonsumsi sejumlah besar alkohol tanpa memakan makanan yang mengandung tiamin menyebabkan berkurangnya pasokan vitamin ini ke otak. Penderita kekurangan gizi yang mengkonsumsi sejumlah besar cairan lainnya atau sejumlah besar cairan infus setelah pembedahan, juga bisa mengalami ensefalopati Wernicke.Penderita ensefalopai Wernicke akut mengalami kelainan mata (misalnya kelumpuhan pergerakan mata, penglihatan ganda atau nistagmus), tatapan matanya kosong, linglung dan mengantuk. Untuk mengatasi masalah ini biasanya diberikan infus tiamin. Jika tidak diobati bisa berakibat fatal.Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Jika serangan ensefalopati terjadi berulang dan berat atau jika terjadi gejala putus alkohol, maka amnesia Korsakoff bisa bersifat menetap. Hilangnya ingatan yang berat disertai dengan agitasi dan delirium.Penderita mampu mengadakan interaksi sosial dan mengadakan perbincangan yang masuk akal meskipun tidak mampu mengingat peristiwa yang terjadi beberapa hari, bulan atau tahun, bahkan beberapa menit sebelumnya.Amnesia Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arrest atau ensefalitis akut. Pemberian tiamin kepada alkoholik kadang bisa memperbaiki ensefalopati Wernicke, tetapi tidak selalu dapat memperbaiki amnesi Korsakoff. Jika pemakaian alkohol dihentikan atau penyakit yang mendasarinya diobati, kadang kelainan ini menghilang dengan sendirinya. (8

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim._____. Cedera Kepala: Penatalaksanaan Fase Akut. http://www.kalbefarma.com/files/cdk/files/16PenatalaksanaanFaseAkut077.pdf/16PenatalaksanaanFaseAkut077.html2. Arif, et al, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta.3. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta.

Page 19: PK3

4. Basuki, Endro, Sp.BS,dr; 2003, Materi Pelatihan GELS (General Emergency Life Support), Tim Brigade Siaga Bencana (BSB), Jogjakarta.5. Sari, et al. 2005. Chirurgica Re-Package+ Edition. Jogjakarta, Tosca Enterprise.6. http://www.fleshandbones.com/readingroom/pdf/883.pdf7. http://www.boa.ac.uk/PDF%20files/NICE/NICE%20head%20injury%20guidelines.pdf8. Harsono, 2000. Kapita Selekta Neurologi. Jogjakarta, Gajah Mada University Press.9. Morales, D. 2005. Brain Contusion. www.emedicine.com10. McDonald, D.K., 2006. Epidural Hematoma. www.emedicine.com11. Wagner, A.L., 2005. Subdural Hematoma. www.emedicine.com12. Gershon, A. 2005. Subarachnoid Hematoma. www.emedicine.com

sorces : http://sanirachman.blogspot.com/2009/10/cedera-kepala_29.html#ixzz2PQUFTzmp Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial

CEDERA KEPALA

BAB IPENDAHULUAN

I. Latar BelakangCedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala. Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat. Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii fracture. Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.

Page 20: PK3

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI CEDERA KEPALACedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Japardi, 2004).

2. ANATOMI KEPALAa. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu: Skin atau kulit Connective tissue atau jaringan penyambung Aponeuris atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhbungan langsung dengan tengkorak

Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar. Perikranium Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktuLama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon, 1997).

b. Tulang TengkorakTerdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of surgeon, 1997).c. MeningesSelaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :1) DuramaterDuramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural(Japardi, 2004)Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat(Japardi,2004)

Page 21: PK3

Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).2) Selaput ArakhnoidSelaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college of surgeon,1997)3) Pia materPia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004).

d. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (American college of surgeon, 1997).e. Cairan serebrospinalisCairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari(Hafidh, 2007).f. TentoriumTentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior)(japardi,2004)g. Vaskularisasi OtakOtak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot

Page 22: PK3

didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis(japardi,2004).3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALAa. Tekanan intracranial Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intracranial yang tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi yang mengganggu fungsi otak. TIK Normal kira-kira sebesar 10 mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg dianggap tidak normal. Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala, semakin buruk prognosisnya (American college of surgeon,1997)b. Hukum Monroe-KellieKonsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997)c. Tekanan Perfusi otakTekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata (mean arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk bagi penderita.(American college of surgeon,1997)d. Aliran darah otak (ADO)ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEGakan menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American college of surgeon, 1997).

4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (japardi, 2004)Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(japardi, 2004)5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALACedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.a. Mekanisme cedera kepalaBerdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala tumpul dan cedera kepala tembus.

Page 23: PK3

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau tusukan (Bernath, 2009). b. Beratnya cederaCedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale adalah sebagai berikut :1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.Glasgow Glasgow Coma Scale nilai aiRespon membuka mata (E) Buka mata spontan 4Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3Buka mata bila dirangsang nyeri 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4Kata-kata tidak teratur 3Suara tidak jelas 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1

Respon motorik (M) Mengikuti perintah 6Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1(Kluwer, 2009)

c. Morfologi cedera Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesiintrakranial.1. Fraktur craniumFraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis nervus fasialis (Bernath, 2009)Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)

2. Lesi Intrakranial

Page 24: PK3

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath, 2009)

a. Hematoma EpiduralEpidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan darah yang terjadi tidak berlangsungg lama. Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf(Harga Daniel, 2009)Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas (Gazali, 2007).

b. Hematom SubduralHematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American college of surgeon, 1997)

Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagi menjadi akut dan kronis.1) SDH AkutPada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit ) dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom. Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural (Bernath, 2009).

Page 25: PK3

2) SDH KronisPada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens (Ghazali, 2007)

d. Kontusi dan hematoma intraserebral.Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).

e. Cedera difusCedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American college of surgeon, 1997).Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera. Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk beberapa waktu. Edfisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan diman pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau serangan iskemik. Biasanya penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi bersamaan (American college of surgeon,1997)

Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma wajah ini, yang meski bukan penyebab kematian namun kecacatan yang akan menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.

CEDERA MAXILLOFACIALFaktur maxilaris

Page 26: PK3

Fraktur maxilla merupakan cedera wajah yang paling berat, dan dicirikan oleh:- Mobilitas palatum- Mobilitas hidung yang menyertai palatum- Epistaksis- Mobilitas 1/3 wajah bag tengah.

Kalsifikasi menurut le fortLefort 1

Fraktur nelintang rendah pada maxila yang hanya melibatkan palatum, dicirikan oleh pergeseran arcus dentalis maxila dan palatum, maloklusi gigi biasanya bisa terjadi (Boies, 2002).

Lefort II

Fraktur ini dicirikan mabilitas palatum dan hidung end-block, juga epistaksis yang jelas. Biasanya maloklusi gigi dan pergeseran pllatum kebelakang. Fraktur end-block pada palatum dan sepertiga tngah wajah tremasuk hidung(Boies, 2002)

Lefort IIIMerupakan cedera paling berat, dimana perlekatan seluruh rangka wajah terputus.seluruh komplek zigomatikus menjadi mobile dan tergeser (Boies, 2002)

Fraktur mandibula Pada palpasi teraba garis fraktur dan mungkin terdapat mati rasa bibir bawah akibat kerusakan pada nervus mandibularis. Fraktur pada umumnya akan disertai dislokasi fragmen tulang sesuai dengan tonus otot yang berinsersi di tempat tersebut. Pada fraktur daerah dagu, otot akan menarik fragmen tulang kearah dorsokaudal, sedangkan pada fraktur bagian lateral tulang akan tertarik kearah cranial (Boies,2002). Fraktur gigi Merupakan fraktur tersendiri atau bersama- sama dengan fraktur maksila maupun mandibula, dimana gigi yang hancur perlu dicabut, sementara yang patah dibiarkan(Boies, 2002)Fraktur os nasal Biasanya disebabkan oleh trauma langsung, dimana pada pemeriksaan didapatkan pembengkakan, epistaksis nyeri tekan dan teraba garis fraktur. Foto radiologi diperlukan dalam membantu diagnosis yakni, proyeksi foto PA dan lateral, sedangkan tindakan yang perlu dilakukan adalah reposisi atau septoplasty (Boies, 2002) Fraktur orbita Biasanya didapatkan gejala klinis berupa hematom monokel yang dapat disertai diplopia, hemomaksila dan mati rasa pipi karena cedera nervus infraorbitalis atau mati rasa dahi karena kerusakan nervus supraorbitalis. Fraktur juga dapat menyebabkan enoftalmus dan sering disertai terjepitnya muskulus rectus inferior di dalam patahan sehingga gerakan bola mata sangat terganggu dan penderita mengalami diplopia(Boies, 2002)Fraktur os zygoma Fraktur ini sering terbatas pada arcus dan pinggir orbita sehingga tidak disertai hematom orbita, tetapi terlihat sebagai pembengkakan pipi di daerah arcus zygomaticus. Diagnosis ditegakan secara klinis atau dengan foto rontgen proyeksi waters, yaitu temporooksipital(Boies, 2002)

Page 27: PK3

6. PEMERIKSAAN PENUNJANGa. Foto polos kepala Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) Indikasi CT Scan adalah : 1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat–obatan analgesia/anti muntah.2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dicebandingkan dengan kejang general.3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).4) Adanya lateralisasi.5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologisf. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecilh. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otaki. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranialk. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkraniall. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan m. Kesadaran (Haryo, 2008)

7. PENATALAKSANAANPenatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei

Page 28: PK3

primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak(ariwibowo, 2008).Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain:a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)c. Penurunan tingkat kesadarand. Nyeri kepala sedang hingga berate. Intoksikasi alkohol atau obatf. Fraktura tengkorakg. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrheah. Cedera penyerta yang jelasi. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkanj. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebihb. dari 20 cc di daerah infratentorialc. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinisd. tanda fokal neurologis semakin berate. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebatf. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mmg. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.h. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scani. terjadi gejala akan terjadi herniasi otakj. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)

8. PROGNOSAApabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala (American college of surgeon,1997).Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

BAB IIIKESIMPULAN

Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai prosese patologis yang timbul sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan otak primer.Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa klasifikasi yaitu berdasarkan

Page 29: PK3

mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala, dan morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam bahasan cedeera kepala, yang walaupun bukan merupakan penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga tergantung kepada bagian otak mana yang terkena. Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan kebingungan dan koma.Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang. REVISI

Gejala klinis cedera kepala Lesi Intracranial FocalEpidural hematomGejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.Gejala yang sering tampak :•Penurunan kesadaran, bisa sampai koma• Bingung• Penglihatan kabur• Susah bicara• Nyeri kepala yang hebat• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga• Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.• Mual• Pusing• Berkeringat• Pucat• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur

Subdural Hematom1.Hematoma Subdural AkutHematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada

Page 30: PK3

jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.2. Hematoma Subdural SubakutHematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.3.Hematoma Subdural KronikTimbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahanIntracerebral hematom1. Sakit kepala mendadak yang eksplosif2. Fotofobia3. Mual dan muntah4. Hilang kesadaran5. Kejang-kejang6. Gangguan respiratori7. Shock

Perbedaan MRI dengan CT Scan secara umumMRIMagnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu alat kedokteran dibidang pemeriksaan diagnostik radiologi ,yang menghasilkan rekaman gambar potongan penampang tubuh / organ manusia. Gambaran tersebut didapat dengan menggunakan medan magnet berkekuatan antara 0,064 – 1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dengan resonansi getaran terhadap inti atom hidrogen. Beberapa faktor kelebihannya adalah kemampuan dalam membuat potongankoronal, sagital, aksial dan oblik tanpa banyak memanipulasi posisi tubuh pasien sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak.

Page 31: PK3

Teknik penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang dihasilkan tergantung pada banyak parameter. Bila pemilihan parameter tersebut tepat, kualitas gambar MRI dapat memberikan gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan yang kontras, sehingga anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti.

CT ScanCT Scan atau Computed tomography adalah pencitraan medis yang diperoleh dengan menggunakan sinar-X. radiasi tersebut melewati tubuh dan diterima oleh detektor dan kemudian terintegrasi dengan komputer untuk mendapatkan gambar cross sectional yang ditampilkan pada layar.CT, Computerized Axial Tomgraphy, menggunakan xrays untuk menghasilkan gambar tubuh, termasuk tulang .. Dalam CT scanner tabung x-ray, (sumber) berputar di sekitar pasien meletakkan di atas meja. Di sisi berlawanan dari pasien dari tabung detektor x-ray.. detektor ini menerima berkas yang membuat melalui pasien. Sinyal yang diterima oleh masing-masing saluran adalah digital untuk nilai 16 bit dan dikirim ke prosesor rekonstruksi. Pengukuran diambil sekitar 1000 kali per detik. Scan rotasi biasanya 1-2 detik. Setiap tampilan / saluran sepotong scan data dibandingkan dengan memindai data kalibrasi udara, air dan polyethelyne, (plastik lunak) sebelumnya diperoleh di lokasi yang relatif sama persis. Perbandingan mengijinkan piksel gambar untuk memiliki nilai yang dikenal untuk suatu zat tertentu dalam tubuh tanpa memandang perbedaan dalam ukuran pasien dan faktor eksposur.

Daftar pustaka

American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United States of America: Firs ImpressionAriwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta: Pustaka Cendekia Press of YogyakartaBernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.comBoies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.

Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif. Sumatra Utara: USU Press.Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott Williams and Wilkins

B.    ETIOLOGIPenyebab utama dari trauma kepala di antaranya adalah kecelakaan kendaraan bermotor baik sepeda motor maupun mobil yang biasanya disertai dengan kasus pengguna alcohol dan obat-obatan terlarang. Penyebab lain yang di ketahui adalah seperti jatuh dari ketinggian, korban kejahatan dan akibat dari olahraga yang tidak nyaman. Mekanisme kecelakaan sangat berperan penting dalam pathofisiologi terjadinya trauma kepala. Kekuatan/ benturan langsung yang mengenai kepala tersebut sebagai trauma langsung, sedangkan kekuatan benturan yang mengenai bagian tubuh lain sehingga menyebabkan adanya efek rebound maka otak akan bergerak kearah depan, kemudian karena adanya efek rebound maka otak akan berorientasi dari batang otak, sehingga memungkinkan otak akan bergeser dari posisi anatomisnya. Kejadian tersebut di kenal dengan proses

Page 32: PK3

“Akselerasi dan Deselerasi”. Cedera percepatan (akselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah otak yang tergeser tadi kemungkinan akan mengalami kotusio atau laserasi karena bergesekan dengan tulang tengkorak yang bentuknya tidak beraturan dan tajam. Kerusakan otak ini lebih sering terjadi pada lobus frontal dan temporal.(Hernawati, 2008).  

C.    PATOFISIOLOGIOtak di lindungi dari cedera oleh rambut, kulit, dan tulang yang membungkusnya. Tanpa perlindungan ini, otak yang lembut (yang membuat kita seperti adanya) akan mudah sekali terkena cedera dan mengalami kerusakan. Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala.. Lesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala. Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri.Terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan yaitu:1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak, 2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam dan,3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur oleh benda yang bergerak (kepala tergencet). Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak, pergeseran otak dan rotasi otak.Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan. Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan.;Keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak pada mobil/motor. Otak pertama kali akan menghantam bagian depan dari tulang kepala meskipun kepala pada awalnya bergerak ke belakang. Sehingga trauma terjadi pada otak bagian depan.Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala, sehingga pergerakan otak terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak menabrak tulang tengkorak bagian depan. Pada keadaan ini, terdapat daerah yang secara mendadak terjadi penurunan tekanan sehingga membuat ruang antara otak dan tulang tengkorak bagian belakang dan terbentuk gelembung udara. Pada saat otak bergerak ke belakang maka ruangan yang tadinya bertekanan rendah menjadi tekanan tinggi dan menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya dan kolapsnya gelembung yang mendadak sangat berbahaya bagi pembuluh darah otak karena terjadi penekanan, sehingga daerah yang memperoleh suplai darah dari pembuluh tersebut dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu juga bila terjadi pergerakan kepala ke depan.Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal.Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita.Penyebab cedera kepala sekunder antara lain; penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi). Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serenri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak(Maidun, 2010).           Menurut Arif muttaqin, 2008: 150,berdasarkan GCS cedera kepala/otak dapat di bagi menjadi 3, yaitu :1.    Cedera kepala ringan, bila GCS: 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran <30menit, tidak terdapat penyerta seperti fraktur tengkorak, kontusio/ hematoma.2.     Cedera kepala sedang, bila GCS: 9-12, hilangnya kesadaran/ amnesia antara 30 menit-24jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan(bingung).

Page 33: PK3

3.     cedera kepala berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8, hilang kesadaran >24jam, juga meliputi kontusio cerebral, laserasi/ hematoma itrakranial.

E.    PEMERIKSAAN PENUNJANG1.    Pemeriksaan penunjangPemeriksaan diagnostic yang di perlukan pada klien dengan cidera kepala, meliputi hal-hal di bawah ini :a.    Pemeriksaan Laboratorium Tidak ada pemeriksaan laboratorium khusus, tetapi untuk memonitoring kadar O2 dan CO2 dalam tubuh di lakukan pemeriksaan AGD adalah salah satu test diagnostic untuk menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat di gambarkan melaui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa. ,glukosa dan elektrolit untuk memantau keadaan hemodinamik dan keseimbangan elektrolit.b.    CT-scan : mengidentifikasi adanya hemoragik dan menentukan pergeseran jaringan otak.c.    Foto Rontgen : Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.d.    MRI : sama dengan CT-scan dengan/ tanpa kontras.e.    Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral, perdarahan.f.    Pemeriksaan pungsi lumbal: mengetahui kemungkinan perdarahan subarahnoid (Arif Muttaqin,2008

Daftar PustakaBrunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta : AGC.Corwin, J. Elizabeth. Buku Saku Patofisiologi, EGC, JakartaDoenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “Rencana Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC.Suyono, Slamet dkk, 2001, Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3, Balai Penerbit FKUI, JakartaGuyton &Hall. 2000. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGCMansjoer, Arif. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Aesculapius.