88
POLITIK HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL MAKALAH Tugas Mata Kuliah Perancangan Perda Oleh : Riska Kurnianingrum 126010100111003

Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pembentukan hukum dalam prinsip pembagian kekuasaan (division of powers principle) merupakan fungsi ketatanegaraan/pemerintahan yang dijalankan oleh badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk membentuk hukum, baik hukum yang tertulis (geschreven recht) maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht). Dalam konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers), fungsi ini menjadi otoritas badan legislatif saja, badan-badan kekuasaan lain tidak memiliki fungsi tersebut. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (division of powers), fungsi ini dijalankan baik oleh badan legislatif, ekskutif maupun yudikatif.

Citation preview

POLITIK HUKUM DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL

MAKALAHTugas Mata Kuliah Perancangan Perda

Oleh :Riska Kurnianingrum

126010100111003

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUMFAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2013

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara teoretikal, fungsi pembentukan hukum pada dasarnya merupakan

fungsi melaksanakan perintah undang-undang yang dibuat oleh badan legislatif.

Pembentukan hukum oleh hakim dalam rangka memutuskan perkara yang sedang

diperiksanya, termasuk pembentukan peraturan perundang-undangan baik oleh badan

eksekutif secara tersendiri maupun bersama-sama dengan badan legislatif, tidak lain

sebenarnya fungsi melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-

undang.

Pembentukan hukum dalam prinsip pembagian kekuasaan (division of powers

principle) merupakan fungsi ketatanegaraan/pemerintahan yang dijalankan oleh

badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk membentuk hukum, baik hukum yang

tertulis (geschreven recht) maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht).

Dalam konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers), fungsi ini menjadi

otoritas badan legislatif saja, badan-badan kekuasaan lain tidak memiliki fungsi

tersebut. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (division of powers), fungsi

ini dijalankan baik oleh badan legislatif, ekskutif maupun yudikatif.

Etimologis kata politik berasal dari bahasa Yunani polis yang dapat berarti

kota atau negara-kota. Dari kata polis ini kemudiIan diturunkankata-kata lain seperti

”polites” (warganegara) dan ”politikos” nama sifat yang berarti kewarganegaraan

(civic), dan ”politike techne” untuk kemahiran politik serta ”politike episteme” untuk

ilmu politik. Kemudian orang Romawi mengambil oper perkataan Yunani itu dan

menamakan pengetahuan tentang negara (pemerintah) ”ars politica”, artinya

kemahiran (kunst) tentang masalah-masalah kenegaraan.1

Menurut Prof. Sudarto ”Politik Hukum” adalah kebijaksanaan dari negara

dengan perantaraan badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-

peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk

mengekspresikan apa yang dicita-citakan. Pembentukan undang-undang merupakan

1 F. Isjwara, S.H.L.L.M. Pengantar Ilmu Politik, Putra Abardin, Bandung: 1999,  hal 21.

proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh

yang luas, karena itu (undang-undang) akan memberi bentuk dan mengatur atau

mengendalikan masyarakat. Undang-undang oleh penguasa digunakan untuk

mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan sesuai dengan yang dicitia-citakan. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa Undang-undang mempunyai dua fungsi, yaitu:

1. Fungsi untuk mengekspresikan nilai, dan

2. Fungsi instrumental.

Berpijak pada kedua fungsi hukum di atas, maka dapat dikatakan bahwa hukum

bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan apa yang

dicita-citakan. Ini berarti, apabila kita mau membicarakan ”Politik hukum Indonesia”,

maka mau tidak mau kita harus memahami terlebih dahulu ”apa yang menjadi cita-

cita dari bangsa Indonesia merdeka”.

Cita-cita inilah yang harus diwujudkan melalui sarana undang-undang

(hukum). Dengan mengetahui masyarakat yang bagaimana yang dicita-citakan oleh

bangsa Indonesia, maka dapat ditentukan ”sistem hukum” yang bagaimana yang

dapat mendorong terciptanya sistem hukum yang mampu menjadi sarana untuk

mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia.2

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perundang-undangan memang

bentuk pengaturan legal dalam sebuah negara hukum  yang demokratis. Namun

peraturan hukum  formal tak pernah netral, karena ada politik hukum  di belakangnya.

Hukum  formal itu lahir, hidup, dan juga bisa mati, dalam dinamika budaya hukum.

politik hukum  menjadi sangat terasa, karena pemerintah pusat sangat berperan dalam

penyusunannya, sementara sebagai pemerintah pusat juga menjadi pihak dalam tarik

ulur posisi otonomi daerah. Dengan demikian suatu sistem hukum harus mengandung

peraturan-peraturan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai

wujud aplikatif politik hukum sebisa mungkin bersifat netral dan tidak memihak.

Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem

hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan

2 Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH,MH, Politik Hukum, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Program Studi Magister Kenotariatan Undip, Semarang: 2007, hal 13.

pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum.

Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa

hukum dan/atau peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu produk

politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan

atau hasil desain lembaga politik (politic body).3 Sedangkan pemahaman atau definisi

dari politik hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum

yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.4 M. Mahfud MD

mengemukakan bahwa politik hukum meliputi:

Pertama; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan

terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;

Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi

lembaga dan pembinaan para penegak hukum.5

Sebagaimana telah disebutkan, bahwa politik peraturan perundang-undangan

merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat

dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama

dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian pula

sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya

mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya

peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan sifat ke arah mana hukum

akan dibangun dan ditegakkan.6 Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-

3 HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2. Lihat juga M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet.  II ,LP3ES, Jakarta, 2001, hal. 5. Mahfud MD menyebutkan bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersanginan. Lebih jauh Mahfud MD mengemukakan bahwa hubungan kausalitas antara hukum dan politik yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hukum mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, dapat dijawab Pertama; hukum determinan atas politik yaitu kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua; politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga; politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya4 M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet.  II ,LP3ES, Jaklarta, 2001,  hal. 95 Ibid. Lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985.6 Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1

undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau

obyek pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan

sebagai tindakan melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.7 Abdul Wahid

Masru mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan

(beleids/policy) yang diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam

membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai

dengan penegakannya (implementasinya).8 Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik

perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai

pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan

(hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Selanjutnya, dimana dapat kita melihat gambaran mengenai politik

perundang-undangan yang sedang dijalankan oleh pemerintah/negara? Untuk melihat

perkembangan politik perundang-undangan yang berlaku pada masa tertentu secara

substansial dan sederhana sebenarnya dapat dilihat dari:

1. produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada masa itu yang

secara mudah dan spesifik lagi biasanya tergambar pada konsiderans

menimbang dan penjelasan umum (bila ada) dari suatu peraturan perundang-

undangan yang dibentuk; dan

2. kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara pada saat itu yang merupakan

garis pokok arah pembentukan hukum, seperti GBHN pada masa

pemerintahan orde baru atau Prolegnas dan Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional yang berlaku pada saat ini

Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk mengkaji hubungan negara hukum dan

pembentukan hukum, politik hukum dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan nasional

B. Rumusan Masalah

7 Ibid, hal. 28 Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, 2004.

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang

dapat diambil adalah :

1. Bagaimana hubungan Negara hokum dengan pembentukan hokum, politik

dengan hukum, dan politik hukum dengan peraturan perundang-undangan di

Indonesia?

2. Apa saja upaya yang akan ditempuh dalam merealisasikan apa yang menjadi

pembenahan sistem politik hukum oleh pemerintah?

3. Bagaimana peranan politik hukum  dalam pembentukan Peraturan Perundang-

undangan di Indonesia?

.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Korelasi Hukum Dengan Ilmu Pengetahuan Non Hukum

Masuk dalam disiplin ilmu apakah hukum itu sebenarnya? Ini merupakan

pertanyaan dasar jika kita berbicara tentang hukum dan ilmu lain diluar hukum.

Apakah hukum itu berdiri sendiri dengan ciri khasnya? Tetapi mengapa hukum selalu

dapat dikaitkan dengan disiplin ilmu lainnya?

Perkembangan ilmu hukum selalu diikuti pertanyaan-pertanyaan diatas. Apa

hukum tetap pada porsinya sebagai ilmu murni sebagaimana tertuang dalam teori

hukum murni Hans Kelsen? Sedangkan perkembangan jaman menuntut hukum bisa

berkolaborasi dengan disiplin ilmu lain, jika tidak, maka hukum akan gagal

mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Hukum harus mengikuti

perkembangan masyarakat dan juga perkembangan ilmu pengetahuan agar hukum

bisa tetap eksis dalam mewarnai perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.

Hukum ada untuk masyarakat bukan sebaliknya, sehingga masyarakat dapat mentaati

hukum. Hukum tidak dapat dilihat hanya dengan menggunakan kacamata kuda tapi

harus dilihat secara luas karena hukum tidak hanya ilmu rasional sebagaimana yang

berkembang dalam era modern tapi hukum dapat juga dilihat dari segi ilmu lain,

sehingga hukum tidak hanya bersifat rasional tetapi juga metafisik dan metayuridik.

Aspek–aspek lain seperti masyarakat, sejarah, politik, ekonomi, teknologi juga dapat

dimasukkan dalam objek kajian ilmu hukum. Sebagaimana ungkapan Scholten

(dalam Mahendra putra kurnia) :

‘ bahan positif ini, yakni undang-undang, vonis-vonis dan sebagainya, ditentukan secara histories dan kemasyarakatan. Penetapan undang-undang adalah sebuah peristiwa histories, ia juga merupakan akibat dari serangkaian fakta yang dapat ditentukan secara kemasyarakatan. Dalam pengolahan undang-undang oleh ilmu hokum, bahan terberi ini tidak kehilangan karakter historical dan sosialnya. Sebaliknya, justru karakter historical dan kemasyarakatan bahan hukum itu menyebabkan pengolahan bahan hukum itu tidak sepenuhnya terolah. Ilu hokum sensiri mempertahankan unsure historical dan social bahan olahannya.’

Berdasarkan ungkapan Scholten tersebut dapat ditafsirkan bahwa hukum tidak

hanya memuat unsur hukum logika rasional saja melainkan juga memasukkan unsur-

unsur lainnya sebagai materi muatannya. Ilmu hukum merupakan hukum positif tapi

tidak hanya berkutat pada peraturan semata. Hukum harus tetap memperhatikan

aspek-aspek non hukum lainnya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kajian

ilmu hukum positif. Hal serupa juga diungkapkan oleh Mauwissen dalam sistematika

pengembanan hukum, menjelaskan jenis-jenis ilmu hukum yang pada intinya juga

memberikan peluang masuknya ilmu pengetahuan lain kedalam ilmu hukum,

sehingga dapat dikatakan bahwa ilmu hukum terbuka dan integrative dengan ilmu

yang lain.

B. POLITIK HUKUM

Dibawah ini ada beberapa definisi yang akan disampaikan oleh beberapa ahli :9

1. Satjipto Rahardjo

Politik Hukum adalah aktivitas untuk menentukan suatu pilihan mengenai

tujuan dan cara – cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan hukum dalam

masyarakat.

Satjipto Rahardjo memdefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara

yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan social dan hukum tertentu dalam

masyarakat. Didalam studi politik hukun. Menurut Satjipto Rahardjo muncul

beberapa pertanyaan mendasar, yaitu:10

1.      Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada?

2.      Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam

mencapai tujuan tersebut?

3.      Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hokum itu perlu diubah?

9 http://balianzahab.wordpress.com/politik hukum/Apa Politik Hukum Itu… « Makalah, Berita, Paparan dan Diskusi Masalah Hukum 'Law Education'.htm , diakses tanggal 27 Juni 2012 pukul 20.42 wib10 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, Rajawali Pres, Jakarta, 2011, Hal.14

4.      Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam

memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-carauntuk mencapai tujuan

tersebut dengan baik?

                Jadi yang di katakan politik hukum bila dilihat dari asal katanya

mengandung arti sebagai kegiatan yang berdasarkan kekuasaaan dalam Negara

berupa pengembilan keputusan, membuat kebijakan, melakukan pembagian hokum

berkenaan dengan masyarakat, lembaga-lembaga, proses-proses dalam kehidupan

Negara. Kegiatan tersebut menyangkut tujuan hukum dan melaksanakan tujuan

hokum dalam suatu Negara.

2. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus

Politik Hukum adalah kebijaksanaan penyelenggara Negara tentang apa yang

dijadikan criteria untuk menghukumkan sesuatu ( menjadikan sesuatu sebagai Hukum

). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hokum dan

penerapannya. Definisi politik hukum yang dikemukakan oleh padmo Wahjono

mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah,

bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk, di dalam tulisannya yang lain Padmo

Wahjono memperjelas politik hokum adalah kebijakan penyelegaraan Negara tentang

apa yang dijadikan kreteria untuk menghukumkan suatu yang di dalamnya mencakup

pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum

3. L. J. Van Apeldorn

Politik hukum sebagai politik perundang – undangan . Politik Hukum berarti

menetapkan tujuan dan  isi peraturan perundang – undangan . ( pengertian politik

hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja.

4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto

Politik Hukum sebagai kegiatan – kegiatan memilih nilai- nilai dan

menerapkan nilai – nilai.

5. Moh. Mahfud MD.

Politik Hukum ( dikaitkan di Indonesia ) adalah sebagai berikut :

a)      Bahwa definisi atau pengertian hukum juga bervariasi namun dengan meyakini

adanya persamaan substansif antara berbagai pengertian yang ada atau tidak

sesuai dengan kebutuhan penciptaan hukum yang diperlukan.

b)      Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada , termasuk penegasan Bellefroid

dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in Nederland

sehingga politik hukum adalah legal policy atas garis (kebijakan) resmi tentang

hokum yang akan diberlakukan baik dengan perbuatan hokum baru maupun dengan

pengantian hokum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara.

Mengutarakan posisi politik hukum dalam pohon ilmu hukum sebagai ilmu.

Politik hukum merupakan salah satu  cabang atau bagian dari ilmu hukum,

menurutnya ilmu hukum terbagi atas :11

1. Dogmatika Hukum

Memberikan penjelasan mengenai isi  ( in houd ) hukum , makna ketentuan –

ketentuan hukum , dan menyusunnya sesuai dengan asas – asas dalam suatu sistem

hukum.

2. Sejarah Hukum

Mempelajari susunan hukum yang lama yang mempunyai pengaruh dan

peranan terhadap pembentukan hukum sekarang. Sejarah Hukum mempunyai arti

penting apabila kita ingin memperoleh pemahaman yang baik tentang hukum yang

berlaku sekarang

3. Perbandingan Hukum

Mengadakan perbandingan hukum yang berlaku diberbagai negara , meneliti

kesamaan, dan perbedaanya

4. Politik Hukum

Politik Hukum bertugas untuk meneliti perubahan – perubahan mana yang

perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan – kebutuhan

baru didalam kehidupan masyarakat

11 Soeharjo dalam http://balianzahab.wordpress.com/politik hukum/Apa Politik Hukum Itu… « Makalah, Berita, Paparan dan Diskusi Masalah Hukum 'Law Education'.htm , diakses tanggal 27 Juni 2012 pukul 20.42 wib

5. Ilmu Hukum Umum

Tidak mempelajari suatu tertib hukum tertentu , tetapi melihat hukum itu

sebagai suatu hal sendiri, lepas dari kekhususan yang berkaitan dengan waktu dan

tempat. Ilmu Hukum umum berusaha untuk menentukan dasar- dasar pengertian 

perihal hukum , kewajiban hukum , person atau orang yang mampu bertindak dalam

hukum, objek hukum dan hubungan hukum. Tanpa pengertian dasar ini tidak

mungkin ada hukum dan ilmu hokum

Berdasarkan atas posisi ilmu politik hukum dalam dunia ilmu pengetahuan

seperti yang telah diuraikan , maka objek ilmu politik hukum adalah “ HUKUM “.

Hukum Nasional tradisional Mengandung  “ Ide ”, “ asas ”, “ nilai “, sumber

hukum ketika semua itu dijadikan satu maka disebut kegiatan Politik Hukum

Nasional.

I. Ruang Gerak Politik Hukum Suatu Negara

Adanya Politik Hukum menunjukkan eksistensi hukum negara tertentu ,

bergitu pula sebaliknya, eksistensi hukum menunjukkan eksistensi Politik Hukum

dari negara tertentu.

II. Poltik Hukum  Kekuasaan Dan Warga Masyarakat

Politik Hukum mengejawantahkan dalam nuansa kehidupan bersama para

warga masyarakat . Di lain pihak Politik Hukum juga erat bahkan hampir menyatu

dengan penggunaan kekuasaaan didalam kenyataan. Untuk mengatur negara , bangsa 

dan rakyat. Politik Hukum terwujud dalam seluruh jenis peraturan perundang –

undangan negara.

III. Lembaga – Lembaga Yang Berwenang

Montesquieu mengutarakan Trias Politica tentang kekuasaan negara yang

terdiri atas 3  ( tiga ) pusat kekuasaan dalam lembaga negara, antara lain :

a)      Eksekutif

b)      Legislatif

c)      Yudikatif

Yang berfungsi sebagai centra – centra kekuasaaan negara yang masing – masing

harus dipisahkan. Dalam kaitanya dengan Politik Hukum yang tidak lain tidak bukan

adalah penyusunan tertib hukum negara . Maka ketiga lembaga tersebut yang

berwenang melakukannya.

Ada pemahaman yang baru mengenai ruang gerak bahwa Politik Hukum itu

sendiri itu dinamis. Bersama dengan laju perkembangan jaman , maka ruang gerak

Politik Hukum tidak hanya sebatas negara sendiri saja melainkan meluas sampai

keluar batas negara hingga ke tingkat Internasional. Menurut pendapatnya Sunaryati

Hartono , Politik Hukum tidak terlepas dari realita sosial dan tradisional yang terdapat

di negara kita dan di lain pihk. Sebagai salah satu anggota masyarakat dunia ,maka

Politik Hukum Indonesia tidak terlepas pula dari Realita dan politik Hukum

Internasional.12

Kalau kita kaji antara Politik Hukum dan Asas-Asas Hukum maka akan

terlihat konsep sebagai berikut :

Politik Hukum di negara manapun juga termasuk di Indonesia tidak bisa lepas

dari asas Hukum.

diantara asas”itu terhadap asas yang dijadikan sumber tertib hukum bagi suatu

negara.

Asas hukum yang dijadikan sumber tertib Hukum/dasar Negara di sebut :

Grund Norm

Di Indonesia yang dijadikan dasar negara adalah Pancasila

Asas hukum yang dijadikan dasar negara ini merupakan hasil proses

pemikiran yang digali dari pengalaman Bangsa Indonesia sendiri; bukan

diambil dari hasil  perenungan belaka; bukan hal yang serta merta masuk

kedalam pemikiran masyarakat Indonesia tetapi ada yang bersifat Nasional

1. ada yang lebih khusus lagi seperti : kehidupan agama,suku,profesi, dll.

2. ada yang merupakan hasil pengaruh dari sejarah dan lingkungan

masyarakat dunia.

IV. Kerangka Landasan Politik Hukum Di Indonesia

Negara RI lahir dan berdiri tanggal 17 Agustus 1945, proklamasi

kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan Hatta atas nama bangsa

12 Op.cit.

Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 tersebut merupakan detik penjebolan tertib

hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional ( Tatanan

Hukum Nasional ).

V. Munculnya Politik Hukum Di Indonesia

Muncul pada tanggal 17 Agustus 1945 ,yaitu saat dikumandangkannya

Proklamasi, bukan tanggal 18 Agustus 1945 saat mulai berlakunya konstitusi / hukum

dasar negara RI.

VI. Sifat Politik Hukum

Menurut Bagir Manan , seperti yang dikutip oleh Kotan Y. Stefanus dalam

bukunya yang berjudul “ Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara ” bahwa

Politik Hukum terdiri dari13

1. Politik Hukum yang bersifat tetap ( permanen )

Berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijaksanaan

pembentukan dan penegakkan hukum. Bagi bangsa Indonesia , Politik Hukum tetap

antara lain :

i.    Terdapat satu sistem hukum yaitu Sistem Hukum Nasional.

Setelah 17 Agustus 1945, maka politik hukum yang berlaku adalah politik

hukum nasional , artinya telah terjadi unifikasi hukum ( berlakunya satu sistem

hukum diseluruh wilayah Indonesia ). Sistem Hukum nasional tersebut terdiri

dari:

1. Hukum Islam ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya)

2. Hukum Adat ( yang dimasukkan adalah asas – asasnya )

3. Hukum Barat (yang dimasukkan adalah sistematikanya)

ii.      Sistem hukum nasional yang dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

iii.     Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu

berdasarkan pada suku , ras , dan agama. Kalaupun ada perbedaan , semata –

mata didasarkan pada kepentingan nasional dalam rangka keasatuan dan

persatuan bangsa.

iv.      Pembentukan hukum memperhatikan kemajemukan masyarakat

13 Ibid.

Masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan hukum ,

sehingga masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam pembentukan hukum .

v.      Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem

hukum nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam

pergaulan masyarakat.

vi.      Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat.

vii.     Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum ( keadilan sosial

bagi seluruh rakyat ) terwujudnya masyarakat yang demokratis dan mandiri

serta terlaksananya negara berdasarkan hukum dan konstitusi.

2. Politik Hukum  yang bersifat temporer.

Dimaksudkan sebagai kebijaksanaan  yang ditetapkan dari waktu ke waktu

sesuai dengan kebutuhan.

C. HUKUM SEBAGAI ALAT

                Moh. Mahfud MD bahwa politik hukum itu merupakan “legal Policy”

tentang hokum yang diberlakukan atau tidak diberlakukan utuk mencapai tujuan

Negara. Disini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara.

Terkait dengan ini Suyaryati Hartono perna mengemukakan tentang “hukum sebagai

alat” sehingga secara praktis politik hukum politik hukum juga merupakan sebagai

alat atau sarana dan langka yang dapat digunakan pemerintah untuk menciptakan

sestem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan Negara.14

                Politik hokum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada

yang bersifat periodic. Yang bersifat permanen misalnya berlakunya prinsip

pengujian yudisial, ekonomi, kerakyatan, keseimbangan atara kepastian hokum,

keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan kolinial dengan

hukm nasional, penguasan sumber daya alam oleh Negara, kemerdekaan kekuasan

kehakiman, dan sebagainya. Disini terlihat bahwa beberapa prinsip yang dimuat di

dalam UUD sekaligus berlakunya sebagai Politik hokum.15        

14 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta,  2011, Hal.2.15 Ibid. Hal. 3

                Menurut Bagir Manan, Politik Hukum ada yang bersifat permanen (tetap)

ada yang bersifat temporer. Politik Hukum yang tetap adalah yang berkaitan dengan

sifat hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijakan pembentukan dan penegakan

hukum.sedangkan Hukum temporer adalah kebijakan yang di tetapkan dari waktu ke

waktu sesuai dengan kebutuhan termasuk kategori ini Misalnya penentuan Prioritas

pembentukan pereturan daerah, pembaharuan undang-undang yang menunjang

pembangunan nasiaonal dan sebagainya.16

D. HUKUM SEBAGAI PRODUK POLITIK

                Asumsi dasar yang diperngunakan kajian ini adalah hukum merupakan

produk politik sehingga kerakter isi setiap produk hukum akan dangat ditentukan atau

diwarnai oleh imbangan kekuatan atau komfigurasi politik yang melahirkannya.

Asusumsi ini dipilih berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hokum merupakan

produk keputusan politik sehingga hukum dapa dilihat sebagai kristalisasi dari

pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi. Meski dari sudut

“das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum,

namun kajian ini lebih  melihat sudut “das  sein” atau empiric bahwah hukumlah

yang dalam kenyataannya di tentukan oleh komfirgurasi politik yang

melatarbelakaginya. Fungi instrumental hukum sebagai sarana kekuasaan politik

dominan yang lebih terasa bila dibandingkan dengan fungsi-fungsi lainnya. Bahlkan,

fenomena itu dapat dilihat dari pertumbuhan pranata hukum, nilai dan prosedur,

perundangan-undangan dan birokrasi penegakan hukum yang bukuan hanya

mencerminkan hukum sebagai kondisi dan proses pembangunan melainkan juga

menjadi penopang tangguh struktur politik, ekonomi, social.17

                Hukum diberi fungsi utama sebagai instrumen program pembagunan karena

hukum sebenarnya bukan tujuan utam. Dengan demikian, dapat dipahami jika terjadi

kecenrungan bahwa hukum dinuat dalam rangka memfasilitasi dan mendukung

politik. Akibatnya segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat

16 Zudan Arif Fakrulloh, Ilmu Lembaga Dan Pranata Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, Hal. 12117 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum.., Op.cit. Hal.64

mewujutkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau

dihapuskan. Dengan demikian, sebagai produk politik, hukum dapat dijadikan alat

justifikasi bagi visi politik pengusaha. Dalam kenyataannya, kegiatan legeslatif

(pembuatan undang-undang) memang lebih banyak memuat keputusan-keputusan

politik ketimpangan menjalankan pekerjaan-pekerjaan hukum yang sesungguhnya

sehingga lembaga legeslatif lebih dekat dengan politik dari pada hukum.18

                Secara teoritis hubungan hukum dengan politik memag dapat di bedakan

atas tiga macam hubungan. Pertama sebagai das sollen, hukum diterima atas politik

karena setiap agenda politik harus tunduk pada aturan aturan. Kedua das sein, politik

determinan atas hukum karena dalam faktanya hukum merupakan produk politik

sehigga hukum apa pun yang ada di depan kita lain merupakan kristalisasi dari

kehendak politik yang saling bersaingan. Ketiga, politik dan hokum berhubungan

secara interdeterminan karana politik tampa hukum akan zalim sedangkan hukum

tampa pengawalan politik akan lumpuh. Hukum dalam konteks ini diartikan sebagai

undang-undang yang dibuat oleh lembaga legeslatif.19

18 Ibid. Hal.6519 Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal. 69-70

BAB III

POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN

PERUNDANG-UNDANGAN

A. Negara Hukum dan Pembentukan Hukum20

Pembentukan hukum dalam prinsip pembagian kekuasaan (division of powers

principle) merupakan fungsi ketatanegaraan/pemerintahan yang dijalankan oleh

badan eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk membentuk hukum, baik hukum yang

tertulis (geschreven recht) maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht).

Dalam konsep pemisahan kekuasaan (separation of powers), fungsi ini menjadi

otoritas badan legislatif saja, badan-badan kekuasaan lain tidak memiliki fungsi

tersebut. Sedangkan dalam konsep pembagian kekuasaan (division of powers), fungsi

ini dijalankan baik oleh badan legislatif, ekskutif maupun yudikatif.

Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu bagian

dari kegiatan pembentukan hukum. Menurut sifat hukum yang dibentuk,

pembentukan hukum itu dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:

(1) pembentukan hukum yang tertulis, berupa traktat, yurisprudensi, dan peraturan

perundang-undangan; dan

(2) pembentukan hukum yang tidak tertulis, berupa, hukum adat dan hukum

kebiasaan.

Dengan demikian, maka pembentukan peraturan perundang-undangan pada

dasarnya merupakan salah satu bagian dari pembentukan hukum yang tertulis.

Dikatakan demikian, karena pembentukan hukum yang tertulis itu tidak hanya berupa

pembentukan peraturan perundang-undangan saja, akan tetapi juga mencakup

pembentukan traktat dan yurisprudensi.

Fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fungsi yang

dapat dimiliki oleh setiap badan atau pejabat negara/pemerintahan. Fungsi

pembentukan peraturan perundang-undangan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

20 Delfina Gusman, Politik Hukum dan Modifikasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nasional, 25 Mei 2013.

(1)    fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang daya ikat dan daya

berlakunya ke dalam (internal pembentuk peraturan perundang-undangan); dan

(2)    fungsi pembentukan peraturan perundang-undangan yang daya ikat dan daya

berlakunya ke dalam (internal pembentuk peraturan perundang-undangan) dan

keluar (masyarakat/komunitas sasaran di luar pembentuk peraturan perundang-

undangan).

B. Hubungan politik hokum dengan hokum dan politik hokum dengan

peraturan perundang-undangan

Beberapa literatur mengungkapkan bahwa hukum  dianggap sebagai tujuan

dari politik. Adalah maksud dari politik agar ide-ide hukum  atau rechtsidee seperti

kebebasan, keadilan, kepastian, dan sebagainya ditempatkan dalam hukum  positif

dan pelaksanaan sebagian atau secara keseluruhan, dari ide hukum  itu merupakan

tujuan dari proses politik. Kedua, bahwa hukum  sekaligus merupakan alat dari

politik. Dalam hal ini politik mempergunakan hukum  positif (peraturan perundang-

undangan) untuk mencapai tujuannya dalam arti merealisasikan ide-ide hukum 

tersebut.

Dengan demikian, dengan peraturan yang ada atau hukum  positif, politik

dapat mengarahkan dan membentuk masyarakat kepada tujuan tertentu. Dalam hal

ini, kita ingat sebutan bahwa hukum  adalah alat rekayasa sosial atau a tool of social

engineering. politik dan hukum  mempunyai peranan serta tugas yang sama yaitu

memecahkan masalah kemasyarakatan di mana politik adalah aspek dinamis dan

hukum merupakan aspek yang statis.

Dari apa yang diuraikan itu, menjadi jelas bahwa hubungan antara politik dan

hukum adalah dasar dari politik hukum  dengan ketentuan bahwa pelaksanaan

pengembangan politik hukum  tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan

pengembangan politik secara keseluruhan. Atau, dapat dikatakan, prinsip dasar yang

dipergunakan sebagai ketentuan pengembangan politik akan juga berlaku bagi

pelaksanaan politik hukum  yang diwujudkan melalui peraturan perundang-undangan

Peraturan Perundang-undangan (legislation) merupakan bagaian dari hukum

yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Ia muncul tidak tiba-tiba. Namun,

dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu. Mengingat harus ada konsitensi dan korelasi

antara apa yang ditetapkan sebagai politik hukum  dengan yang ingin dicapai sebagai

tujuan. politik hukum  dapat dibedakan dalam dua dimensi. Dimensi pertama adalah

politik hukum  yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan

Perundang-undangan. politik hukum  dengan dimensi alasan dasar seperti ini menurut

Hikmahanto sebagai “kebijakan dasar” atau dalam bahasa inggris disebut “basic

policy”.

Dimensi kedua dari politik hukum  adalah tujuan atau alasan yang muncul

dibalik pemberlakuan suatu peraturan Perundang-undangan, yang kemudian disebut

sebagai “Kebijakan Pemberlakuan” atau yang dalam bahasa inggris disebut sebagai

“enactment policy”. Melalui “kebijakan Pemberlakuan” inilah dapat dilakukan

pengidentifikasian beragam kebijakan pemberlakuan undang-undang di Indonesia

Pembenahan sistem politik hukum  dalam lima tahun mendatang mempunyai

sasaran terciptanya sistem hukum  nasional yang adil, konsekuen, dan tidak

diskriminatif  termasuk tidak diskriminatif terhadap perempuan atau bias gender);

terjaminnya konsistensi seluruh peraturan Perundang-undangan pada tingkat pusat

dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih

tinggi; dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum  yang berwibawa, bersih,

profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum  masyarakat

secara keseluruhan. Arahan  kebijakan adalah untuk memperbaiki susbtansi (materi)

hukum , struktur (kelembagaan) hukum, dan kultur (budaya) hukum  sebagaimana

pendapat Lawrence M. Friedman seorang ahli hukum  tentang Sistem hukum .

Pembenahan sistem dan politik hukum  pada tahun 2007 diarahkan kepada

kebijakan untuk mendorong penyelenggaraan penegakan hukum, pemberantasan

korupsi dan reformasi birokrasi serta terjaminnya konsistensi peraturan Perundang-

undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan

dan perundangan diatasnya.

Upaya yang akan ditempuh dalam merealisasikan apa yang menjadi pembenahan

sistem politik hukum oleh pemerintah terangkum dalam Perpres Nomor 7 Tahun

2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009

meliputi :

1. Menata kembali substansi hukum  melalui peninjauan dan penataan kembali

peraturan Perundang-undangan untuk mewujudkan tertib Perundang-

undangan; dan menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum

adat untuk memperkaya sistem hukum  dan peraturan melalui pemberdayaan

yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum  nasional ;

2. Melakukan pembenahan sruktur hukum  melalui penguatan kelembagaan

dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan serta kualitas

sistem peradilan yang terbuka dan transparan ; menyederhanakan sistem

peradilan, meningkatkan transparansi  agar peradilan dapat diakses oleh

masyarakat dan memastikan bahwa hukum  diterapkan dengan adil dan

memihak pada kebenaran; memperkuat kearifan lokal dan hukum  adapt untuk

memperkaya sistem hukum  dan peraturan melalui pemberdayaan

yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan hukum  nasional;

3. Meningkatkan budaya hukum  antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi

berbagai peraturan Perundang-undangan serta perilaku keteladanan dari

kepala negara dan jajarannya dalam mematuhi dan menaati hukum  serta

penegakan supremasi hukum .

Dengan demikian pembenahan pada politik hukum akan memberikan

pembenahan pula pada pembenahan peraturan perundang-undangan

C. Politik hukum pebentukan peraturan perundang-undangan nasional

Pembentukan peraturan perundang-undangan secara ideal dilandasi paling

tidak oleh 3 (tiga) hal, yaitu:

(1)   Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik;

(2)   Politik hukum (peraturan perundang-undangan) nasional yang baik; dan

(3)   Sistem pengujian peraturan perundang-undangan yang memadai.

Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari konsep

politik hukum berada dalam ruang konfigurasi yang tidak bebas nilai. Nilai-nilai yang

berasal dari aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya saling

berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Dengan demikian,

pembentukan peraturan perundang-undangan dalam konsep politik hukum tidak

hanya memiliki satu konfigurasi saja, melainkan lebih. Ada konfigurasi politik, ada

konfigurasi sosio-kultural, ada konfigurasi sosial-ekonomi, ada konfigurasi hukum

dan sebagainya. Konfigurasi-konfigurasi dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan ini secara teoretikal akan menghasilkan 3 (tiga) klasifikasi dasar hukum 

atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat, yaitu :21

(1)         hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai pelayan kekuasaan

represif (law or legislation as the servant of repressive power);

(2)         hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai institusi tersendiri yang

mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (law or

legislation as a differentiated institution capable of taming repression and

protecting its own integrity);

(3)         hukum atau peraturan perundang-undangan sebagai fasilitator dari berbagai

respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (law or legislation as a

facilitator or response to social needs an aspirations).

Politik hukum (peraturan perundang-undangan) nasional merupakan

kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan/lembaga negara atau pemerintahan

untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baik. Politik hukum

nasional dalam arti ini secara konstitusional dapat ditemukan dalam Undang-Undang

Dasar. Pasal 1 UUD 1945 memberikan landasan bagi konsep politik hukum

(peraturan Perundang-undangan) nasional di Indonesia yang hendak

diimplementasikan.

            Pasal 1 UUD 1945 itu dirumuskan sebagai berikut :

(1)   Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk republik.

21 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978, hlm. 14

(2)   Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang

Dasar.

(3)   Negara Indonesia adalah negara hukum. 

Berdasarkan rumusan Pasal 1 UUD 1945 itu, maka konsep politik hukum

(peraturan Perundang-undangan) nasional kita paling tidak dilandasi oleh 3 (tiga)

prinsip yang fundamental sebagai berikut:

(1)   Prinsip negara hukum (welfare state);

(2)   Prinsip negara kesatuan (unitary state) dengan bentuk pemerintah republik; dan

(3)   Prinsip demokrasi (democracy).   

Prinsip negara hukum yang dianut dalam konsep politik hukum (peraturan

Perundang-undangan) nasional kita adalah prinsip welfare state. Prinsip ini dapat

ditemukan dalam Pembukaan UUD 1945 alenia keempat.

‘Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu …’

  Prinsip welfare state dalam Pembukaan UUD 1945 itu mengisyaratkan agar

dalam pembentukan politik perundang-undangan nasional berorientasi pada tujuan

untuk:

(1)     melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;

(2)     memajukan kesejahteraan umum;

(3)     mencerdaskan kehidupan bangsa; dan

(4)     ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Prinsip negara kesatuan (unitary state) mengisyaratkan agar setiap pembentukan

politik perundang-undangan nasional, bingkai dan limitasinya adalah negara

kesatuan, dengan bentuk pemerintahannya republik. Ini artinya, bahwa setiap

peraturan perundang-undangan yang hendak dibentuk harus dalam rangka

mengokohkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk negara kita menurut

UUD 1945 adalah negara kesatuan (bukan federal), sedangkan bentuk pemerintahan

negara kita adalah republik (bukan monarchi). Maka pembentukan dan materi

peraturan perundang-undangan baik di Pusat maupun Daerah tidak boleh lepas dari

kedua hal tersebut.

Selanjutnya prinsip demokrasi (democracy) mengisyaratkan agar setiap

pembentukan politik perundang-undangan nasional, senantiasa melibatkan peran serta

rakyat. Rakyat harus diberikan ruang secara demokratis untuk terlibat pada setiap

pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai pada tahap rancangan hingga

pasca pengundangan. Pelibatan rakyat dalam setiap pembentukan peraturan

perundang-undangan tidak saja mencerminkan prinsip demokrasi telah dianut dalam

konsep politik hukum nasional itu, akan tetapi juga memberikan indikasi

terbentuknya penyelenggaraan pemerintahan yang terbuka dan responsif

(partisipatif), serta mengarahkan bagi terbentuknya produk hukum (peraturan

perundang-undangan) yang demokratik.

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus memperhatikan

lingkup atau lingkungan kuasa hukum, yang menurut Logemann dapat dibedakan

menjadi 4 (empat) hal, yaitu:22

a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebeid atau territorial sphere).

Berlakunya aturan hukum (peraturan perundang-undangan) di batasi oleh

ruang atau tempat. Apakah sesuatu aturan hukum itu berlaku untuk suatu wilayah

negara atau hanya berlaku untuk suatu bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui,

’daerah kekuasaan” berlakunya suatu undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah

negara, tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu hanya

diberlakukan untuk suatu wilayah tertentu pula. Suatu Perda hanya berlaku untuk

suatu wilayah daerah tertentu.

b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebeid atau material sphere).

Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam suatu peraturan

perundang-undangan mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian maka

persoalan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan menunjukkan lingkup

22 Delfina Gusman, Politik Hukum dan Modifikasi Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nasional, 25 Mei 2013

materi yang diatur, apakah persoalannya adalah persoalan publik atau privat,

persoalan perdata atau pidana, dan sebagainya. Materi tersebut menunjukkan lingkup

masalah atau persoalan yang diatur.

c. Lingkungan kuasa orang (personengebied)

Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan bagi sekelompok atau

segolongan orang atau penduduk tertentu. Dengan ditetapkannya subjek atau orang

tertentu dalam peraturan perundang-undangan tersebut maka hal itu memperlihatkan

adanya pembatasan mengenai orangnya. Undang-Undang tentang Pegawai Negeri,

Undang-Undang tentang Tenaga Kerja, Undang-Undang tentang Peradilan Militer,

dan sebagainya, menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut hanya

diberlakukan bagi kelompok orang yang diidentifikasi dalam peraturan perundang-

undangan itu.

d. Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere)

Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan perundang-undangan

berlaku, apakah berlaku untuk suatu masa tertentu atau untuk masa tidak tertentu,

apakah mulai berlaku sejak ditetapkan berlaku surut sebelum ditetapkan. Berlakunya

suatu peraturan hukum ditentukan oleh waktu.

D. Konflik Hukum UU Nomor 12 Tahun 2011

Peraturan perundang-undangan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara

atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Berdasarkan pengertian ini,

maka yang disebut dengan peraturan perundang-undangan bentuknya pasti tertulis. Ia

dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat secara

umum. Jadi berdasarkan rumusan ketentuan ini, pembentuk peraturan perundang-

undangan itu ada 2 (dua), yaitu : (1) lembaga negara; dan (2) pejabat yang

berwenang.

Jika pengertian ’pejabat yang berwenang’ dapat diartikan sebagai pejabat

yang berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki kewenangan yang sah

untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan, maka pertanyaan hukumnya

kemudian adalah siapa yang dimaksud dengan lembaga negara itu?

Sebelum UUD 1945 diamandemen, lembaga-lembaga negara kita menurut Sri

Soemantri M., terdiri dari : Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden (dan

Wakil Presiden), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung

(DPA), Badan pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA).23

Setelah adanya perubahan (amandemen), UUD 1945 kita menurut Jimly

Asshiddiqie mengenal  beberapa lembaga negara, yaitu : MPR, DPR, Dewan

Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,

Badan Pemeriksa Keuangan, serta lembaga tambahan lain yang bersifat independen

seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU).24

Dengan demikian, apabila kita menggunakan pendapat Jimly Asshiddiqie

untuk menjawab pertanyaan : siapakah yang dimaksud dengan lembaga negara yang

berwenang membuat peraturan perundang-undangan itu, maka jawabannya adalah

MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, serta

lembaga tambahan lain yang bersifat independen seperti Komisi Pemilihan Umum

(KPU).

Pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah bahwa hanya lembaga negara saja

yang memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan di

Indonesia? Jawabannya jelas tidak. Di luar lembaga negara, seperti lembaga

pemerintahan daerah juga memiliki kewenangan untuk membentuk peraturan

perundang-undangan yang lazim kita kenal dengan Peraturan Daerah (Perda). Di

tingkat Desa, ternyata juga ada lembaga pemerintahan desa yang memiliki

kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan, yang lazim disebut

dengan Peraturan Desa.

23 Sri Soemantri M., Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawab Presiden Pasca Perubahan UUD 1945, makalah pada Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD1945, BPHN Departemen Kehakiman bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan kanwil Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, Surabaya 9 Juni 2004, hlm. 6.24 Jimly Asshiddiqie,  Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH-UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 12

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikemukakan, bahwa rumusan

pengertian peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 1 angka

2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 itu kurang tepat. Pengertian peraturan

perundang-undangan itu seharusnya juga mencakup lembaga pemerintahan, baik

pusat maupun daerah, di samping lembaga negara sebagai pembentuk peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

E. Kebijakan Politik Hukum Nasional

Sebelum telah diuraikan mengenai politik hukum pembentukan peraturan

perundang-undangan berikut konflik yang muncul dari peraturan pembentukan

perundang-undangan, sekarang kita akan membahas mengenai politik perundang-

undangan nasional, sebelum lebih jauh membahas politik perundang-undangan, maka

terlebih dahulu perlu kita memahami politik hukum sebagai induk dari politik

perundang-undangan. Oleh karena itu, perlu disinggung secara garis besar mengenai

arah kebijakan politik hukum nasional yang sedang dilaksanakan pada saat ini.

Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk

melakukan pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga)

prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu:

1. supremasi hukum;

2. kesetaraan di hadapan hukum; dan

3. penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.

Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita

terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan

dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun

kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus

senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam

penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi permasalahan yang

berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.

1. Substansi Hukum  (Legal Substance)

Pembenahan substansi hukum merupakan upaya menata kembali materi

hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan

untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas

umum dan hirarki perundang-undangan dan menghormati serta memperkuat

kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan

melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi

hukum nasional. Hal ini yang akan dibahas selanjutnya karena materi ini

merupakan bagian dari politik perundang-undangan.

2. Struktur Hukum (Legal Structure)

Pembenahan terhadap struktur hukum lebih difokuskan pada penguatan

kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim dan staf peradilan

serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan

sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh

masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak

pada kebenaran; memperkuat kearifan lokal dan hukum adat untuk memperkaya

sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian

dari upaya pembaruan materi hukum nasional. Dalam kaitannya dengan

pembenahan struktur hukum ini, langkah-langkah yang diterapkan adalah:

a. Menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat pada sistem

hukum dan kepastian hukum.

Kurangnya independensi lembaga penegak hukum yang terjadi

selama kurun waktu silam membawa dampak besar dalam sistem

hukum. Intervensi berbagai kekuasaan lain terhadap kekuasaan

yudikatif telah mengakibatkan terjadinya partialitas dalam berbagai

putusan, walaupun hal seperti ini menyalahi prinsip-prinsip

impartialitas dalam sistem peradilan telah mengakibatkan degradasi

kepercayaan masyarakat kepada sistem hukum maupun hilangnya

kepastian hukum.

b.   Penyelenggaraan proses hukum secara transparan dan dapat

dipertanggungjawabkan (akuntabilitas).

Akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik

kepada siapa atau lembaga mana lembaga tersebut harus

bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana yang harus

dilakukan untuk memberikan pertanggungjawabannya, sehingga

memberikan kesan proses hukum tidak transparan. Hal ini juga

berkaitan dengan “budaya” para penegak hukum dan masyarakatnya,

sebagai contoh kurangnya informasi mengenai alur atau proses

beracara di pengadilan sehingga hal tersebut sering dipakai oleh

oknum yang memanfaatkan hal tersebut untuk menguntungkan

dirinya sendiri. Kurangnya bahkan sulitnya akses masyarakat dalam

melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan

membuka kesempatan terjadinya penyimpangan kolektif di dalam

proses peradilan sebagaimana dikenal dengan istilah mafia peradilan

yang sampai saat ini tiada kunjung dapat teratasi, oleh kerena itu

sangat diperlukan penetapan langkah-langkah prioritas dalam

pembenahan lembaga peradilan.

c.   Pembenahan dan peningkatan sumber daya manusia di bidang

hukum.

Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari

mulai para peneliti hukum, perancang peraturan perundang-

undangan sampai tingkat pelaksana dan penegak hukum masih perlu

peningkatan, termasuk dalam hal memahami dan berperilaku

responsif gender. Rendahnya kualitas sumber daya manusia di

bidang hukum juga tidak terlepas dari belum mantapnya sistem

pendidikan hukum yang ada. Selain itu  telah menjadi rahasia umum

bahwa proses seleksi maupun kebijakan pengembangan sumber daya

manusia di bidang hukum yang diterapkan banyak menyimpang

yang akhirnya tidak menghasilkan SDM yang berkualitas. Hal ini

pula yang memberikan berpengaruh besar terhadap memudarnya

supremasi hukum serta semakin menambah ketidakpercayaan

masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.

3. Budaya Hukum (Legal Culture)

Unsur yang ketiga dalam arah kebijakan politik hukum nasional adalah

meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi

berbagai peraturan perundang-undangan.  Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan

kembali budaya hukum yang sepertinya “semakin hari semakin memudar”

(terdegradasi). Apatisme dan menurunnya tingkat appresiasi masyarakat pada

hukum dewasa ini sudah sangat mengkhawatirkan, maraknya kasus main hakim

sendiri, pembakaran para pelaku kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian

anggota masyarakat bahkan di depan aparat penegak hukum merupakan gambaran

nyata semakin menipisnya budaya hukum masyarakat. Sehingga konsep dan

makna hukum sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan individu dan

sosial hampir sudah kehilangan bentuknya yang berdampak pada terjadinya

ketidakpastian hukum ”yang tercipta” melalui proses pembenaran perilaku salah

dan menyimpang bahkan hukum sepetinya hanya merupakan instrumen pembenar

bagi ”perilaku salah”, seperti sweeping yang dilakukan oleh kelompok masa,

oknum aparat yang membacking orang atau kelompok tertentu, dan lain

sebagainya.

Tingkat kesadaran masyarakat terhadap hak, kewajibannya, dan hukum

sangat berkaitan dengan (antara lain) tingkat pendidikan dan proses sosialisasi

terhadap hukum itu sendiri. Di lain pihak kualitas, profesionalisme, dan kesadaran

aparat penegak hukum juga merupakan hal mutlak yang harus dibenahi.

Walaupun tingkat pendidikan sebagian masyarakat masih kurang memadai,

namun dengan kemampuan dan profesionalisme dalam melakukan pendekatan

dan penyuluhan hukum oleh para praktisi dan aparatur ke dalam masyarakat,

sehingga pesan yang disampaikan kepada masyarakat dapat diterima secara baik

dan dapat diterapkan apabila masyarakat menghadapi berbagai persoalan yang

terkait dengan hak dan kewajibannya serta bagaimana menyelesaikan suatu

permasalahan sesuai dengan jalur hukum yang benar dan tidak menyimpang.

Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah

ditetapkan sasaran politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum

nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif (termasuk bias gender);

terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat

dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih

tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih,

profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara

keseluruhan.

Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun suatu program pembangunan

politik hukum, antara lain dengan melakukan:

1. program perencanaan hukum;

2. Program pembentukan hukum;

3. program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan

hukum lainnya;

4. program peningkatan kualitas profesi hukum; dan

5. program peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia.

F. Politik Perundang-undangan

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa politik perundang-

undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah

pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan

(hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa

hanya menggambarkan keinginan atau kebijakan pemerintah atau negara?  Dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa

kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan adalah hanya

negara atau Pemerintah.25

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-

undangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat

25 Hal ini disebut sebagai “asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” yang terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah.

Sehingga pada prinsipnya tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan

penswastaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam

proses pembentukannya sangat mungkin mengikutsertakan pihak bukan negara  atau

Pemerintah dengan kata lain masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan

atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan

rancangan peraturan daerah.

Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundang-

undangan, baik langsung maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan

kepentingan umum, oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan

dalam penyusunannya.

Keikutsertaan tersebut dapat dalam bentuk memberikan kesempatan kepada

masyarakat untuk melakukan berbagai prakarsa dalam mengusulkan/memberikan

masukan untuk mengatur sesuatu atau memberikan kesempatan pada masyarakat

untuk menilai, memberikan pendapat atas berbagai kebijaksanaan negara atau

Pemerintah di bidang perundang-undangan. Dalam praktek, pengikutsertaan

dilakukan melalui kegiatan seperti pengkajian ilmiah, penelitian, berpartisipasi dalam

forum-forum diskusi atau duduk dalam kepanitiaan untuk mempersiapkan suatu

rancangan peraturan perundang-undangan.

Pada forum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana

partisipasi yang dilakukan melalui pranata "dengar pendapat" atau "public hearing".

Berbagai sarana untuk berpartisipasi tersebut akan lebih efektif bila dilakukan dalam

lingkup yang lebih luas bukan saja dari kalangan ilmiah atau kelompok profesi, tetapi

dari berbagai golongan kepentingan (interest groups) atau masyarakat pada

umumnya. Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya diperlukan suatu sistem

desiminasi rancangan peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat

mengetahui arah kebijakan atau politik hukum dan perundang-undangan yang

dilaksanakan. Sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundang-

undangan dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem hukum nasional Indonesia

yang dapat mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam masyarakat

Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang responsive. Berkaitan

dengan hal tersebut Mahfud MD juga menyatakan:

Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi

pembangunan hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi

secara penuh kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa

keadilan dan memenuhi harapan masyarakat pada umumnya.26

Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-

undangan dapat diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung

berbagai pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk

hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini

sangat penting karena dapat menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan

pemerintah atau negara yang akan terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar

jalur atau landasan hukum. Bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang

responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat (punya kekuasaan) akan

menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena lahirnya

hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan formulasi materi muatannya

telah menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi)

dan apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai,

keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.27

Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia

pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reformasi tahun 1998,

konfigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak

demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatif dan terpuruk

karena selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang

melekat pada hukum konservatif antara lain:

1. Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatif) karena didominasi oleh

lembaga-lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh

26 M. Mahfud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Responsif,  Makalah, FH UNDIP, Semarang, 1996, hlm 127 Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round Table Discussion) mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005

negara. Di sini peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat

sangat sumir.

2. Isinya bersifat positivist-instrumentalistik (tidak aspiratif) dalam arti lebih

mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah

dijadikan alat (instrumen) pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan

oleh pemegang kekuasaan yang dominan.

3. Lingkup isinya bersifat open responsive (tidak responsif) sehingga mudah

ditafsir secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang

kekuasaan negara.

4. Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka

pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku.

5. Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang

pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus

pelanggaran menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam

sebagai pelaku yang harus dihukum.28

Sejalan dengan M. Mahfud MD, mengenai ciri tersebut, Satya Arinanto

memberikan pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatif mempunyai makna:

Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih

mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersifat positivis-

instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia lebih

tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok maupun individu-individu

dalam masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif

kecil.

Sedangkan produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang

mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses

pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok

sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap

28 M. Mahfud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan Hukum Kita, Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004, hal 3-5

tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam

masyarakat.29

Dari pengalaman sejarah hukum30 tersebut seharusnya perlu dirancang suatu

skenario politik perundang-undangan nasional yang berorientasi pada pemahaman

konsep sistem hukum nasional yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan peraturan

perundang-undangan secara komprehensif dan aspiratif. Penyusunan atau

pembentukan peraturan perundang-undangan yang aspiratif tersebut merupakan

rangkaian dari langkah-langkah strategis yang dituangkan dalam program

pembangunan hukum nasional yang dilaksanakan untuk mewujudkan negara hukum

yang adil dan demokratis serta berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi

kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

G. Langkah Strategis Politik Perundang-undangan Nasional

Sehubungan dengan politik pembangunan hukum dan politik peraturan

perundang-undangan nasional, paling tidak pemerintah dan Dewan Perwakilan

Rakyat telah menetapkan dua langkah strategis, yaitu dengan menetapkan Program

Legislasi Nasional 2010-2014 dan menetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun

2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014.

1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014.

Dalam rangka pembenahan sistem dan politik hukum nasional, pada tanggal

20 Januari 2010 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. Satya

Arinanto dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas

Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa Peraturan Presiden tentang

29 Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan Politik Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal DPR RI, tanggal 14 April 2003, hal. 830 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 107. Satjipto Rahardjo mengutip Paul Scholten yang mengemukakan konsep bahwa hukum merupakan suatu kesatuan norma-norma yang merupakan rangkaian perjalanan sejarah yang memandang kebelakang kepada peraturan perundang-undangan yang ada dan memandang kedepan untuk mengatur kembali

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini dapat dikatakan

sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah ada dalam Era

Orde Lama dan Orde Baru. 31

Bila dilihat dari beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan substansi

hukum, maka dapat dikatakan bahwa politik hukum atau politik peraturan perundang-

undangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan

pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-

undangan dan implementasi undang-undang yang terhambat peraturan

pelaksanaannya. Berdasarkan adanya permasalahan tersebut, maka politik hukum

nasional akan diarah pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen, dan

tidak diskriminatif serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan

perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Untuk itu dalam rangka mengimplementasikan politik pembangunan hukum

nasional32 maka dengan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional tersebut ditetapkan suatu landasan politik perundang-undangan

nasional yang sejak tahun 2005 telah menetapkan kebijakan untuk memperbaiki

substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-

undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang-

undangan.

Peninjauan dan penataan kembali peraturan pundang-undangan tersebut

adalah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melakukan peninjauan dan

penataan peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya melakukan kegiatan

pengharmonisasian berbagai rancangan peraturan perundang-undangan dengan

rancangan peraturan perundang-undangan yang lain maupun terhadap peraturan

perundang-undangan yang telah ada, juga melakukan pengharmonisasi peraturan

31 Satya Arinanto,  Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18 Maret 2006, hal. 14 – 16. Alasan menyebut sama dengan GBHN dalam era Orde Lama dan Orde Baru, karena sebagai akibat proses perubahan UD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran perubahannya adalah tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR, maka semenjak tahun 2004, MPR hasil pemilihan umum pada tahun tersebut tidak lagi menetapkan produk hukum yang berupa GBHN32 Satya Arinanto, Op.Cit., hal. 25

perundang-undangan yang sudah ada dengan peraturan perundang-undangan yang

lain. Hal ini  dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih,

inkonsistensi, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

(disharmonis) dapat ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan atau revisi.

Politik perundang-undangan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional ditujukan untuk menciptakan persamaan persepsi dari

seluruh pelaku pembangunan khususnya di bidang hukum dalam menghadapi

berbagai isu strategis dan global yang secara cepat perlu diantipasi agar penegakan

dan kepastian hukum tetap berjalan secara berkesinambungan yang diharapkan akan

dihasilkan kebijakan/materi hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat serta

mempunyai daya laku yang efektif dalam masyarakat dan dapat menjadi sarana untuk

mewujudkan perubahan-perubahan di bidang sosial kemasyarakatan33.

Oleh karena itu, sasaran politik perundang-undangan nasional saat ini harus

mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai

arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap

dan juga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010-2014.

Acuan tersebut sangat penting karena politik peraturan perundang-undangan

merupakan salah satu unsur penting dalam rangka pembangunan hukum nasional

secara keseluruhan yang merupakan suatu proses yang dinamis, mengalami

perubahan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat dan politik yang tidak

terlepas dari:

a. keadaan masa lalu yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa;

b. keadaan saat ini yang berkaitan dengan kondisi obyektif yang

terjadi; serta

c. cita-cita atau keinginan yang ingin diwujudkan di masa yang akan

datang.34

33 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, jilid III, No. 4, Padjadjaran, Bandung, 1970, hal. 5-16, dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1979, hal. 161.34 Prolegnas: instrumen perencanaan perundang-undangan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang telah ditetapkan juga

telah mengarahkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus

dilakukan melalui proses yang benar dengan memperhatikan tertib perundang-

undangan serta asas umum peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun pokok-

pokok politik perundang-undangan yang akan dilaksanakan dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional,  dapat dikelompokkan antara lain meliputi

kegiatan:

a.  Penegakkan dan Kepastian Hukum yang meliputi antara lain:

1) Penguatan dan Pemantapan Hubungan Kelembagaan Antar Penegak

Hukum;

2) Peningkatan Kinerja Lembaga Bidang Hukum;

3) Peningkatan Pemberantasan Korupsi;

4) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik;

5) Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Aparat Hukum;

6) Inventarisasi dan Penyelarasan Peraturan Perundang-undangan yang

menghambat pembangunan;

7) Peningkatan Penghormatan, Pemajuan, dan Penegakan HAM

b. Pelaksanaan berbagai pengkajian hukum dengan mendasarkan baik dari hukum

tertulis maupun hukum tidak tertulis yang terkait dengan isu hukum, hak asasi

manusia dan peradilan;

c.  Pelaksanaan berbagai penelitian hukum untuk dapat lebih memahami kenyataan

yang ada dalam masyarakat;

d. Harmonisasi di bidang hukum (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis/hukum

adat) terutama pertentangan antara peraturan perundang-undangan pada tingkat

pusat dengan peraturan perundang-undangan pada tingkat daerah yang

mempunyai implikasi menghambat pencapaian kesejahteraan rakyat;

e. Penyusunan naskah akademis rancangan undang-undang berdasarkan kebutuhan

masyarakat;

f. Penyelenggaraan berbagai konsultasi publik terhadap hasil pengkajian dan

penelitian sebagai bagian dari proses pelibatan masyarakat dalam proses

penyusunan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat;

g. Penyempurnaan dan perubahan dan pembaruan berbagai peraturan perundang-

undangan yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan

pembangunan, serta yang masih berindikasi diskriminasi dan yang tidak

memenuhi prinsip kesetaraan dan keadilan;

h. Penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan

asas hukum umum, taat prosedur serta sesuai dengan pedoman penyusunan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Program Legislasi Nasional (Prolegnas)

Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah bagian dari manajemen dan

politik pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan instrument

perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana,

terpadu, dan sistematis35 yang ditetapkan untuk jangka waktu panjang, menengah, dan

tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang.

Prolegnas sangat diperlukan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh

dan terpadu yang didasarkan pada cita-cita Proklamasi dan landasan konstitusional

negara hukum Indonesia. Dasar hukum penyusunan Program Legislasi Nasional

(Prolegnas) saat ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Presiden Nomor 61

Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi

Nasional.

Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang dengan pokok

materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan

lainnya yang merupakan penjelasan secara lengkap mengenai konsep Rancangan

Undang-Undang yang meliputi:

a. latar belakang dan tujuan penyusunan;

35 Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Psl. 1 angka 1 lihat pula Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

b. sasaran yang akan diwujudkan;

c. pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan

d. jangkauan dan arah pengaturan.36

Penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat

dikoordinasikan oleh Badan Legislasi dan Penyusunan Prolegnas di lingkungan

Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hasil

penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi

dikoordinasikan dengan Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM dalam rangka

sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.

Di lingkungan pemerintah, Menteri Hukum dan HAM sebagai koordinator

dalam pelaksanaan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi

Rancangan Undang-Undang di lingkungan pemerintah. Upaya pengharmonisasian,

pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang diarahkan pada

perwujudan keselarasan dengan falsafah Negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang

melingkupinya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Undang-Undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan

kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam Rancangan Undang-

Undang tersebut.

Prolegnas merupakan acuan dalam proses perencanaan penyusunan peraturan

perundang-undangan sekaligus sebagai bagian dari proses persiapan pembentukan

peraturan perundang-undangan memiliki peran yang sangat penting dalam

pembangunan hukum secara keseluruhan. Prolegnas dapat pula dikatakan sebagai

gambaran politik perundang-undangan Indonesia yang berisi rencana pembangunan

peraturan perundang-undangan.

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang terarah melalui Prolegnas

diharapkan dapat mengarahkan pembangunan hukum, mewujudkan konsistensi

peraturan perundang-undangan, serta menghindari adanya disharmonis peraturan

perundang-undangan baik yang bersifat vertikal maupun horizontal. Dengan

disusunnya Prolegnas diharapkan akan dihasilkannya suatu kebijakan yang sesuai

36 Ibid, Psl. 4

dengan aspirasi masyarakat yang berkeadilan, mengandung perlindungan dan

penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta mempunyai daya laku yang efektif

dalam masyarakat.

Selain sebagai instrumen mekanisme perencanaan hukum yang

menggambarkan sasaran politik hukum atau polotik perundang-undangan secara

mendasar, Prolegnas juga  memuat daftar Rancangan Undang-Undang yang dibentuk

selaras dengan tujuan pembangunan hukum nasional yang tidak dapat dilepaskan dari

rumusan pencapaian tujuan negara sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:

a. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;

b. mencerdaskan kehidupan bangsa; memajukan kesejahteraan umum; dan

c. ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Berdasarkan hal tersebut, Program Legislasi Nasional Tahun 2010–2014 yang

berlaku saat ini disusun sebagai politik perundang-undangan yang  merupakan

implementasi dari substansi politik pembentukan hukum nasional untuk rentang

waktu tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Di dalam Prolegnas dimuat rencana

peraturan perundang-undangan yang akan dibuat selama kurun waktu lima tahun

tersebt yang dituangkan dalam Keputusan Dewan perwakilan Rakyat Republik

Indonesia. Berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor 41A/DPR RI/I/2009-2010 dan

Keputusan DPR RI Nomor 41B/DPR RI/I/2009-2010 terdapat sebanyak 247 (dua

ratus empat puluh tujuh) RUU yang disepakati dalam Prolegnas 2010-2014 untuk

disusun dan beberapa RUU Kumulatif Terbuka. Dari rencana tersebut, saat 70 RUU

telah ditetapkan menjadi prioritas pembahasan pada 2010 dan kemungkinan

penambahan dari 5 jenis RUU ng bersifa Kumulatif Terbuka.37

BAB III

POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

37 RUU Kumulatif Terbuka: 1)  RUU  tentang Pengesahan Perjanjian Internasional,  2) RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 3)  RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, 4)  RUU tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota , 5) RUU Kumulatif Terbuka tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang

A. UU Nomor 12 Tahun 2011 ”Versus” UU 32 Tahun 2004

Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (tentang Pemerintah

Daerah) disebutkan, bahwa Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi

daerah provinsi/kabupaten/ kota dan tugas pembantuan.38 Selanjutnya, Pasal 146

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga menyatakan, bahwa :

(1)   Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundang-undangan,

kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala

daerah.

(2)   Peraturan Kepala Daerah dan atau Keputusan Kepala Daerah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum,

Perda, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. (cetak tebal dari

penulis).

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka putusan atau

peraturan-peraturan di tingkat daerah berdasarkan pejabat atau badan penyelenggara

pemerintahannya dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

(1)    Peraturan-peraturan atau keputusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga

pemerintahan daerah Provinsi;

(2)     Peraturan-peraturan atau keputusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga

pemerintahan daerah Kabupaten/Kota; dan

(3)     Peraturan-peraturan atau keputusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga

pemerintahan desa.

Peraturan-peraturan atau putusan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga

pemerintahan daerah Provinsi dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

(1)      Peraturan Daerah Provinsi, yang dibentuk oleh DPRD bersama dengan

Gubernur;

(2)      Peraturan Gubernur, yang dibentuk oleh Gubernur sebagai kepala daerah; dan

(3)      Keputusan Gubernur yang dibentuk oleh Gubernur sebagai kepala daerah.

Peraturan-peraturan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga pemerintahan daerah

Kabupaten/Kota meliputi:

38 Lihat Pasal 136 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

(1)   Peraturan Daerah Kabupaten yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten bersama

dengan Bupati;

(2)   Peraturan Daerah Kota yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten bersama dengan

Walikota;

(3)   Peraturan Bupati yang dibentuk oleh Bupati sebagai kepala daerah;

(4)   Keputusan Bupati yang dibentuk oleh Bupati sebagai kepala daerah

(5)   Peraturan Walikota yang dibentuk oleh Walikota sebagai kepala daerah kota; dan

(6)   Keputusan Walikota yang dibentuk oleh Walikota sebagai kepala daerah kota.

Selanjutnya, peraturan-peraturan yang dibentuk oleh pejabat atau lembaga

pemerintahan desa meliputi:

(1)    Peraturan Desa yang dibentuk oleh Badan Perwakilan Desa bersama dengan

Kepala Desa, atau nama lain;

(2)    Peraturan Kepala Desa yang dibentuk oleh Kepala Desa; dan

(3)    Keputusan Kepala Desa.

Tidak ada penjelasan di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tetang apa

yang dimaksud dengan Keputusan Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/ Walikota).

Apakah keputusan ini merupakan bentuk peraturan (regeling) atau penetapan

(beschikking)?

Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, maka dapatlah

dikemukakan, bahwa ternyata peraturan-peraturan di tingkat daerah dapat berupa

Perda, dan dapat berupa Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota,

dan sebagainya. Pertanyaan hukumnya adalah, dimanakah letak atau kedudukan

masing-masing peraturan itu dalam sistem hierarkhi menurut Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004 ?  Mengenai hal ini, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 ternyata

belum mengatur dengan memadai tetapi dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun

2011 pengaturan tentang Perda telah diatur.39

B. POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

39 Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2011

                Pada dasarnya berbicara tentang kebijakan politik hukum Indonesia

sesungguhnya kita berbicara tentang pembanggunan hukum nasional sebagai arahan

yang dapat menjangkau semua subsistem dari dari system hokum nasional yang luas.

Namun, perlu dipahami terlebih dahulu tentang pengunaan yang di gunakan disini,

terutama hal yang menyangkut tentang kebijakan dengan politik hukum. Kebijakan

yang berorientasi pada sebuah proses politik yang dilakukan oleh institusi Negara

atau daerah. Dala menetukan arah yang akan atau mau dicapai. Terkait erat dengan

politik hukum sebagai manifestasi dari arah kebijakan yang akan dicapai. Politik

hukum cendrung pada bukti atau bentuk dari hasil peraturan perundang-undangan.

                Pada umumnya berbicara tentang kebijakan/politik hukum lebih banyak

berfokus pada materi hukum atau arah hukum tentang subtansi dan isi hukum apa saja

yang di gariskan untuk dibuat. Politik hukum yang menyangkut rencana

pembagunaan materi hukum di Indonesia pada saat ini termuat didalam program

legeslasi nasional (prolegnas) dan program legeslasi daerah (prolegda)yang

sebelumnya sudah terumuskan ke dalam pembagunan nasional (propenas) bidang

politik hukum yang di buat sebagai arah kebijakan Negara terutama di bidang

perundang undangan. Prolegnas dan prolegda adalah sala satu bagian dari

pembangunan hukum adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-

undang yang di susun secara berencana, terpadu dan sistematis.40

                Kedudukan Prolegnas sebagai wadah politik hukm (untuk jangka waktu

tertentu) dapat dilihat pada undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundanga-undangan yang dalam pasal 16 mengaris

bawahkan, “ perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam Program

legeslasi nasional. Sementara itu, setiap daerah, sesuai sesuai pasal 32 tersbut.

Digariskan juga untuk membuat program legeslasi daerah agar tercipta konsintensi

antara berbagai peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat ke tingkat daerah.

Dengan demikian, dari program legeslasi nasional dan/atau program legeslasi daerah

inilah dapat terlihat setiap jenis pereturan perundang-undangan yang dibuat oleh

40 Soimin, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Negara Di Indonesia, UII Press, Yogjakarta, 2010, Hal. 18

pemerintahan untuk jangka waktu tertentu sebagai arahan dari pada kebijakan/ politik

hukum nasional.

                Program legeslasi nasional dan/atau Program legeslasi Daerah yang

merupakan cerminan dari arah politik hukum sebagai bentuk sistem hukum  yang

akan di bangun di dalannya itu harus konsisten dengan tuntutan dan kebutuhan

masyarakat. Sehingga harus diingat, bahwa menurut undang-undang Nomor 12

Tahun 2011, proglam legeslasi nasional dan program legeslasi Daerah bukan hanya

terkait dengan materi dan atau rencana pembentukan perundang undangan melainkan.

Lebih daerah itu. Ia juga merupakan instrumen yang mencakup mekanisme

perencanaan hokum agar konsisten dengan tujuan, dasar, dan cita hokum yang

mendasarinya, yakni pancasila dan UUD 1945.41

                Program legeslasi nasional dan Program legeslasi daerah merupakan Potret

Politik hokum nasional dan daerah yang memuat rencana materi dan sekaligus

merupakan instrumen (mekanisme) pembuatan hokum atau pembentukan hokum

dalam bentuk kebijakan Negara dan pemerintah.42

Menurut Bagir Manan, ada dua lingkup Utama Politik Hukum, Yaitu:43

1.      Politik Pembentukan Hukum, yaitu Kebijakan yang bersangkutan dengan

penciptaan, pembaharuan , dan pengembangan hukum. Politik pembentuk

Hukum ini mencakup:

a.   Kebijakan (pembentukan) perundang-undangan

b.   Kebijakan (pembentukan) hukum yurisprudensi atau putusan hakim.

c.   Kebijaksanaan terhadap pereturan  tidak tertulis lainnya.

2.      Politik penegakan Hukum, yaitu kebijakan yang bersangkutan dengan:

a.   Kebijakan di bidang peredilan

b.   Kebijakan di bidang pelayanan umum.

            Antara kedua aspek Politik hukum tersebut, sekedar dibedakan, tetapi tidak

dapat dipisahkan karena:

1.      Keberhasilan suatu pereturan daerah tergantung pada penerapannya.

41 Ibid42 Ibid. Hal. 1943 Zudan Arif Fakrulloh, Ilmu Lembaga…Loc.cit. Hal. 121

2.      Putusan-putusan dalam rangka penegakan hokum merupakan instrumen control

bagi ketetapan atau kekurangan suatu pereturan.

3.      Penegakan hokum merupakan dimamisator peraturan melalui putusan dalam

rangka penegakan hukum.

              Dalam pelaksanan politik Hukum juga tidak dapat dipisahkan dari aspek

kebijaksanaan yang ada didalam negeri, misalnya aspek Realitas social, ekonomi, dan

politik maupun perkebangan hukum internasional karena Indonesia merupakan

bagian dari dunia internasional.

              Maka sebenarnya politik hukum dalam pembentukan pereturan daerah

(politik perundang-undangan) dapat dibaca sebagai segala sesuatu yang berada di

balik sebuah pereturan daerah antara lain berupa tujuan, fungsi, Paradigma, kehendak

politik Negara, maupun ideologi hokum.

              Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 pada dasarnya dimaksudkan untuk

membentuk suatu ketentuan yang baku mengenai tata cara pembentukan peraturan

Perundang-undangan sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu menegenai

system, asas, jenis, dan materi muatan dan persiapan pembahasan, penegasan,

perhundangan, dan penyebarluasan maupun partisipasi masyarakat.

              Dengan demikian, Undang-undang ini akan menjadi arah kebikjakan dan

politik hokum dalam pembentukan pereturan perundang-undangan di Indonesia baik

di tinggkat pusat maupun tinggkat daerah. Secara normatif, jenis dan hirarki

peratuaran Perundang-undangan di Indonesia telah diamanahkan dalam ketentuan

pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yaitu:

1.      Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

3.      Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

4.      Peraturan Pemerintah;

5.      Peraturan Presiden;

6.      Peraturan Daerah Provinsi; dan

7.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan daerah adala produk politik dan didesain oleh dua badan politik,

yaitu kepala daerah dan dewan perwakilan raktyat daerah, bukan badan peradilan.

Setelah sah dan dimuat dalam lembaga daerah barulah menjadi bagian dari sistem

hokum. Dalam pembuatanya, peraturan Daerah harus berpijak pada prinsip-prinsip

tertentu yaitu sebagai berikut:44

1.      ditetapkan oleh setelah mendapatkan persetujuan DPRD

2.      dibentuk dalam rangka penyelengaraan otonomi daerah, tugas dan merupakan

penjabaran lebih lanut peraturan perundanga-undangan yang lebih tinggih

dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah.

3.      Peraturan daerah tak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan 

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

4.      Peraturan daerah berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang

undangan.

5.      Masyarakat berhak member masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka

penyiapan dan pembahasan raperda

6.      Peraturan daerah dapat memuat ketentuan pidana

7.      Peraturan kepala daerah atau keputusan kepala daerah ditetapkan untuk

melaksanakan peraturan daerah.

C. PROSES PEMBEMBENTUKAN DAERAH

              Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) dapat berasal (usul Inisiatif) dari

Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) dapat juga berasal dari (Prakarsa) Dari Gubernur

atau Bupati/Walikota. Atau dengan Prakarsa Lain, sebagai Produk dua otoritas

Pemerintah Daerah, dalam Hal pengajuan Raperda dapat dilakukan berdasarkan

Prakrsa Gubernur atau Bupati/Walikota, atau sebaliknya dapat dilakukan oleh DPRD

melalui pengajuan usul inisiatif. Jadi, keduanya (Gubernur atau Bupati/Walikota

maupun DPRD) punyai hak sama untuk mengajukan Raperda. Karena itu, dari

manapun usul Inisiatif atau Prakarsa pengajuan Raperda itu berasal, tetep

memerlukan pembahasan dan persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau

44 H. Abdul Latif dan H hasbi Ali, Politik Hukum,  Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hal. 112-113

Bupati/Walikota dan Diundangkan oleh sekertaris daerah dalam Lembaran Daerah

agar Peraturan Daerah Tersebut mempunyai Kekuatan hukum mengikat (Legal

binding).45

              Raperda yang berasal dari hak inisiatif DPRD dapat disampaikan oleh

anggota, Komisi, gabungan komisi, atau kelengkapan DPRD yang khusus menengani

bidang legeslasi. Raperda ini Kemudian diusulkan kepimpinan DPRD agar di bahas

dalam rapat paripurna internal. Apa bila mendapatkan  persetujuan dalam rapat

paripurna internal DPRD, selanjutnya disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada

Gubernur atau Bupati/Walikota dengan Surat Pengantar Pimpinan DPRD.

              Sebaliknya, apabila Raperda dimaksut muncul berdasarkan prakarsa

Gubernur atau Bupati/Walikota, pertama-tama Raperda disiapkan oleh dinas-dinas,

Badan-badan, Kantor-Kantor, atau pangkal Pemerintah daerah lain yang

dikoordinasikan dengan biro/bagian Hukum  dan perundang-undangan. Raperda

tersebut kemudian disampaikan kepada gubernur atau Bupati/Walikota, Raperda

dimaksut disampaikan kepada DPRD dengan surat pengantar Gubernur atau

Bupati/Walikota.

              Penyebarluasan Raperda yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh

sekertaris DPRD. Sedangkan penyebarluasan Raperda yang berasal dari gubernur

atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh sekertaris Daerah.

              Apabila dalam suatu masa sidang, Gubernur atau Bupati/walikota dan DPRD

menyampaikan Raperda, Mengenai Materi yang sama, yang dibahas adalah Raperda

yang disampaikan DPRD, sedangkan Raperda yang disampaikan gubernur atau

Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan persidangan.

              Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan DPRD bersama Gubernur atau

Bupati /Walikota, yang dilakukan melalui tingkat-tingkat pembahasan yang dilakukan

dalam rapat komisi, rapat pansus, rapat alat kelengkapan DPRD dan rapat paripurna.

45 I Gde Panjia Astawa Dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundangan-undanga di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008, Hal.144

              Raperda dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD dan

Gubernur atau Bupati/Walikota. Raperda yang sedang dibahas hanya dapat ditarik

kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota.

              Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau

Bupati/Walikota diasmpaikan oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur atau

Bupati/Walikota untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, yang dilakukan dalam

jangaka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan

bersama.

              Raperda yang telah disetujui bersama dan telah disampaikan oleh pimpinan

DPRD ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota dengan membubuhkan tanda

tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut

disetujui bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Apabila Raperda

dimaksud tidak ditandatangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dalam waktu

paling lamabat 30 (tiga puluh) hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama, Raperda

tersebut sah menjadi Peraturan Daerah dan wajib di undangkan dengan kalimat

pengesahan yang berbunyi : Peraturan Daerah ini Dinyatakan Sah. Kalimat ini harus

dibubukahkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah sebelum pengundangan

naskah Peraturan Daerah kedalam lembar daerah.

D. Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam Proses Pembentukan

Peratuaran daerah

              Pada dasarnya keikutsertan masyarakat (partisipasi) didalam proses

pembentukan suatu peretuaran daerah telah di atur dan di jamin oleh pasal 53

Undang-Undang 12 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

dan tata tertip DPRD Provinsi, Kabupaen/Kota di seluruh wilayah Republik

Indonesia. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya telah ada

koridor hukum yang jelas melindungi hak atas info masyarakat. Ketentuan ini juga

berarti hak atas informasi masyarakat. Ketentuan ini juga berarti dalam pembentukan

sebuah Peraturan daerah harus terdapat prosedur yang memungkinkan masyarakat

untuk berperan aktif  di dalam proses perencangan tersebut.

              Praktik yang terjadi selama ini dalam proses pembentukan pereturan daerah

peran masyarakat masih bersifat parsial dan simbolis. Beberapa komunikasi massa

yang dilakukan hanyalah pelengkap prosedur adanya Basic research (penelitian

dasar) yang melandasi perancangan Pembentukan peraturan daerah. Itu put, di

lakukan hanya pada tahap perencanaan. Bahwah dapat dikatakan bahwa sudah bukan

rahasia umum banyak Peraturan daerah (kalau tidak semuanya) yang terbit dengan

tidak didahului proses penelitian, walaupun akhirnya “secara tiba-tiba” memiliki

naskah akademik. Sementara di dalam tahap perancangan pembahasan dilakukan oleh

unit kerja dinas dari pemeintah atau oleh pansus dari DPRD. Meski pada tahap ini

kemungkinan melibatkan akademisi atau pakar-pakar yang berkopoten dibidangnya.

Namun didalam realitasnya masyarakat umum yang berkepentingan tidak memiliki

pintu masuk ikut serta didalam pembentukan peraturan daerah. Kemudian dalam

terhadap pembahasan di DPRD,masyarakat yang sudah ‘terlanjur’ mewakilkan

kekuasaan pada wakil rakyat di DPRD tidak mendapatkan hak suara. Siding

paripurna anggota DPRD yang terhormat memang bersifat terbuka, tetapi tebal kritik

protocol dan tata tertip siding. Sementara rakyat tidak puas, harus cukup puas dengan

meneriaki aspirasi dan kepentingan dengan cara-cara itu-itu saja demo dan unjuk rasa

yang tidak perna efektif.46

              Menurut Rival G ahmad berpendapat bahwa terhadap sedikitnya 8 prinsip

mengenai optimalisasi parsipasi masyarakat di dalam proses pembentukan suatu

Peraturan Daerah, Yaitu:47

a.       Adanya kewajiban publikasi yang efektif

b.      Adanya kewajiban informasi dan dokumentasi yang sistematis, beban, dan

accessible.

c.       Adanya jaminan prosedur dan forum yang terbuka dan efektif bagi masyarakat

untuk terlibat dalam mengenai proses sejak tahap perencaan.

d.      Adanya prosedur yang menjamin public bias mengajukan Rancangan Peraturan

daerah selain anggota DPRD dan pemerintah;

46 Hamsa Halim dan Kemal Redindo  Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan perundagan, Jakarta, Kencana Media Grup, 2009. Hal. 14047 Ibid.Hal. 141

e.       Adanya pengaruh yang jelas mengenai dokumen dasar yang wajib tersedia dan

acceeseble seperti naska akatdemik dan Raperda Peraturan Daerah

f.       Adanya jaminan jaminan bagi pilotik hokum pembentukan pereturan daerah

secara partisipasi;

g.      Adanya pengaturan jangaka waktu yangmenandai untuk untuk seluru proses

penyusunan, Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, dan seminasi pereturan

daerah yang dilaksanakan ;

h.      Adanya pertanggungjawaban yang jelas dan memadai dari proses pembentukan

yang dengan sengajah menutup uang masyarakat untuk parsipasi.

BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Hubungan

Negara hokum dengan pembentukan hokum dapat dilihat dari definisi Negara hukum

itu sendiri, Negara hokum secara sederhana dapat diartikan bahwa Negara dalam

melaksanakan kegiatan pemerintahannya melandaskan pada hokum yang dalam hal

ini lebih pada peraturan perundang-undangan sebagai produk hokum, maupun dari

putusan hakim. Sedangkan hubungan politik hokum dengan hokum adalah bahwa

politik hukum merupakan bagian dari ilmu politik dengan objek kajian hokum

sehingga politik huku merupakan arah pandang hokum dari segi politik dan untuk

membatasi ilmu politik tersebut harus ada hokum didalamnya, begitu pula dengan

politik hokum pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan arah pandang

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini biasa

dilakukan dengan membuat rencana pembangunan jangka menengah dan juga

program legislasi nasional. Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada

keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hokum. Apabila hukum

ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman,

tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik

hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai

permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi

permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya

hokum.

Selain itu Program legeslasi nasional dan Program legeslasi daerah merupakan

Potret Politik hokum nasional dan daerah yang memuat rencana materi dan sekaligus

merupakan instrumen (mekanisme) pembuatan hukum atau pembentukan hukum

dalam bentuk kebijakan Negara dan pemerintah. Pembentukan hukum di Indonesia

dari pusat ke daerah  tidak lepas dari politik dan kekuasan dari para legislatornya,

pembentukan politik peratuaran daerah harusnya meberikan ruang masyarakat untuk

ikut serta dalam pembentukan peraturan daerah agar masyarakat biasa menaati

peraturan dan perencanaan hukum harusnya konsisten dengan tujuan, dasar dan cita

hokum yang mendasarinya. politik hukum itu merupakan “legal Policy” tentang

hukum yang diberlakukan atau tidak diberlakukan utuk mencapai tujuan Negara.

Disini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan Negara. Maka

sebenarnya politik hukum dalam pembentukan pereturan daerah (politik perundang-

undangan) dapat dibaca sebagai segala sesuatu yang berada di balik sebuah pereturan

daerah antara lain berupa tujuan, fungsi, Paradigma, kehendak politik Negara,

maupun ideologi hukum.

SARAN

Setiap persoalan hukum selalu dihadapkan pada persoalan substansi

hokum, struktur hokum dan budaya hokum, sehingga perlu dilakukan pembenahan

mulai dari substansi hukumnya , penegak hukumnya dan juga pelibatan masyarakat

dalam setiap proses pembuatan peraturan perundang-undangan dan juga sebaiknya

pembentukan pereturan peraturan perundang-undangan dari pusat dan daerah

harusnya memperhatikan apa yang di inginkan masyarakan dan sesuai dengan kultur

masyarakat Indonesia. Dan khususnya pemerintah daerah dalam pembentukan

peraturan daerah hasusnya memberi kesempatan yang lebih luas masyarakatnya

dalam Pembentukan peraturan daerah karena partisipasi masyarakat penting dalam

pembentukan pereturan daerah sehingga pemerintah daerah dan pusat harusnya

memberikan ruang kepada masyarakat dalam memberikan ide dan peraturan daerah

itu sesuai dengan lingkungan masyarakat.

DAFTAR BACAAN

Buku :H. Abdul Latif dan H hasbi Ali, Politik Hukum,  Sinar Grafika, Jakarta, 2010F. Isjwara, S.H.L.L.M. Pengantar Ilmu Politik, Putra Abardin, Bandung: 1999Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, SH,MH, Politik Hukum, Badan Penyediaan

Bahan Kuliah Program Studi Magister Kenotariatan Undip, Semarang: 2007M. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet.  II ,LP3ES, Jakarta, 2001Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi, Rajawali

Pres, Jakarta, 2011.Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta,  2011Moh. Mahfud MD, Konstitusi Dan Hukum Dalam Kontroversi, Rajawali Pers,

Jakarta, 2010, Hal. 69-70Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition : Toward

Responsive Law, Harper & Row, New York, 1978Hamsa Halim dan Kemal Redindo  Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun dan

Merancang Peraturan perundagan, Jakarta, Kencana Media Grup, 2009I Gde Panjia Astawa Dan Suprin Na’a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundangan-

undanga di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008Jimly Asshiddiqie,  Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam

UUD 1945, FH-UII Press, Yogyakarta, 2004Kurnia, Mahendra Putra, Hukum Kewilayahan Indonesia;Harmonisasi Hukum

Pengembangan Kawasan Perbatasan Nkri Berbasis Tekhnologi Goo Spasial, Malang:UB Press, 2011

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum , PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000Soimin, Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Negara Di Indonesia, UII

Press, Yogjakarta, 2010.Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan

Nasional, jilid III, No. 4, Padjadjaran, Bandung, 1970Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Penerbit Alumni, Bandung, 1979Zudan Arif Fakrulloh, Ilmu Lembaga Dan Pranata Hukum, Rajawali Pers, Jakarta,

2011

Jurnal, Makalah :HM. Laica Marzuki, Kekuatan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap

Undang-Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja

Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta,

2004Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round

Table Discussion) mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Jakarta

M. Mahfud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan Hukum Kita, Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004

M. Mahfud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Responsif,  Makalah, FH UNDIP, Semarang, 1996

Satya Arinanto,  Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18 Maret 2006Satya Arinanto, Kumpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan Politik Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal DPR RI, tanggal 14 April 2003

Sri Soemantri M., Kekuasaan dan Sistem Pertanggungjawab Presiden Pasca Perubahan UUD 1945, makalah pada Seminar Sistem Pemerintahan Indonesia Pasca Amandemen UUD1945, BPHN Departemen Kehakiman bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan kanwil Departemen Kehakiman dan HAM Provinsi Jawa Timur, Surabaya 9 Juni 2004

Peraturanperundang-undangan :Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan DaerahUndang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 .Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional Tahun 2004-2009Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005

Internet :Ade Didik Irawan, Teori Negara Hukum Rechtstaat, 27 Mei 2013.Delfina Gusman, Politik Hukum dan Modifikasi Hukum Dalam Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan Nasional, 25 Mei 2013Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi, Pengaruh Politik Dalam

Pembentukan Hukum di Indonesia, 25 Mei 2013http://balianzahab.wordpress.com/politik hukum/Apa Politik Hukum Itu… «

Makalah, Berita, Paparan dan Diskusi Masalah Hukum 'Law Education'.htm , diakses tanggal 27 Juni 2012 pukul 20.42 wib

Riska Kurnianingrum, Lahir di Blitar, 07 Maret 1986.

Penulis merupakan lulusan SMA Negeri 1 Blitar pada

tahun 2004 dan Mahasiswa S1 Fakultas Hukum

Universitas Jember dan saat ini merupakan Mahasiswa

Magister Hukum di Universitas Brawijaya.