Upload
yesio1
View
177
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
autisme
Citation preview
PROPOSAL PENELITIAN
FAKTOR ALERGI MAKANAN SEBAGAI RISIKO
PERBURUKAN KLINIS PADA ANAK AUTISME
Oleh :
dr. Mutya Dyah Arumsari
Pembimbing :
Dr.dr.H.M. Sholeh Kosim, Sp.A(K)
dr.Alifiani Hikmah P, Sp.A(K)
SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr.KARIADI SEMARANG
2012
1
DAFTAR ISI
BAB I. Pendahuluan.................................................................................................. ……. 1
1.1.latar Belakang ......................................................................................... ……. 1
1.2.Perumusan Masalah.............................................................................. …… 3
1.3.Tujuan...................................................................................................... …… 4
1.4.Manfaat Penelitian................................................................................... …… 4
1.5.Ruang Lingkup Penelitian..................................................................... ……. 5
1.6.Originalitas Penelitian............................................................................. …… 6
BAB II.Tinjauan Pustaka...........................................................................................….. 8
2.1.definisis Autisme.................................................................................... ….. 8
2.2.Insidensi Autisme.................................................................................. …. 8
2.3.Etiologi Autisme.................................................................................... …. 9
2.4.Diagnosis Autisme.............................................................................. ……. 11
2.5.Skala Derajat Autisme............................................................................. ……. 13
2.6.Mekanisme Terjadinya Alergi pada Anak Autisme............................. ……. 18
2.7.Tes Alergi............................................................................................ …… 23
2.8.Prognosis.............................................................................................. …… 24
BAB III.Kerangka Teori, Kerangka Konsep dan Hipotesis................................... …… 25
3.1.Kerangka Teori................................................................................... ….. 25
3.2.Kerangka konsep................................................................................. …… 26
3.3.Hipotesis.............................................................................................. …… 26
BAB IV.Metodologi Penelitian................................................................................ …… 27
Daftar Pustaka....................................................................................................... ……. 34
2
BAB.I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Autisme infantil atau yang sering disebut sebagai autisme, adalah suatu gangguan
otak yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kemampuan seseorang untuk
berkomunikasi baik verbal ataupun non verbal, gangguan interaksi sosial dan gangguan
tingkah laku yang onsetnya terjadi sebelum anak berusia 30 bulan 1. Kasus autisme akhir
akhir ini semakin sering dijumpai dalam masyarakat, dimana angka kejadian semakin
meningkat . kasus autisme terdapat pada semua negara di dunia , serta tidak memandang ras,
etnik, agama, maupun latar belakang sosial ekonomi1.
Sampai saat ini penyebab autisme secara pasti belum diketahui. Banyak masalah yang
dikemukakan antara lain karena sulitnya melakukan penelitian terhadap manusia untuk
mencari hubungan sebab akibat. Yang jelas diakui bahwa masalahnya sangat kompleks dan
banyak faktor (multifaktorial) yang berperan pada terjadiya autisme1. Di indonesia data
mengenai autis masih belum memiliki data yang tepat,tetapi tampaknya insidensinya
cenderung meningkat1,2,3.
Berbagai penyebab antara lain kelainan genetik, gangguan malabsorbsi di saluran
pencernaan dan gangguan saat prenatal, natal, postnatal diantaranya yang di duga berperan
adalah alergi, genetik, obat-obatan saat hamil, usia ibu saat mengandung, pestisida, sehingga
mempengaruhi pertumbuhan sel-sel otak dengan akibat di berbagai bagian tumbuh tidak
sempurna. Dari sudut patofisiologi misalnya peran ras/etnis terhadap metabolisme serotonin
berpengaruh besar terhadap resiko terjadinya autisme1.
Alergi pada anak dapat menyerang semua organ tanpa terkecuali mulai dari ujung
rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Terakhir terungkap bahwa alergi ternyata bisa mengganggu fungsi otak, sehingga sangat
mengganggu perkembangan anak. Gangguan fungsi otak itulah yang menimbulkan gangguan
perkembangan dan prilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan emosi,
keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga memperberat gejala autisme1.
3
Alergi makanan, secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu reaksi sistim imun
tubuh yang berlebihan (hipersensitivitas) akibat kontak dengan bahan makanan atau bahan
pelengkap makanan (alergen) yang tidak menimbulkan keluhan pada sebagian besar orang
normal. Saluran pencernaan dalam keadaan normal memiliki barier yang berfungsi untuk
mempertahankan diri terhadap berbagai antigen seperti bakteri,virus, parasit,dan protein
makanan/alergen makanan. Barier ini berupa : (1) barier imunologik,seperti IgA spesifik dan
IgG spesifik dan retikuloendotelial (2).barier fisiologik ,yang memecah antigen dalam lumen
saluran pencernaan, yaitu asam lambung,pepsin,enzim pankreas, enzim-enzim usus,dan
aktivitas lisozim sel-sel epitelial usus, cairan mukus usus, komposisi membran usus dengan
mikrovilinya, dan adanya gerakan peristaltik usus yang dapat mengurangi kontak mukosa
dengan substansi antigenik dalam lumen usus2.
Sistem imun yang merupakan bagian dari barier usus pada anak autistik mengalami
berbagai gangguan, sehingga individu tersebut menjadi rentan terhadap invasi bakteri, virus
dan jamur, seperti candida albicans. Saluran pencernaan anak autistik umumnya mengalami
peradangan kronik, dan hal inimenyebabkan masuknya benda-benda asing termasuk alergen
makanan dalam bentuk makromolekul ke dalam berbagai bagian tubuh yang lain3.
Mekanisme bagaimana alergi dapat mengganggu sistem susunan saraf pusat
khususnya fungsi otak masih belum banyak terungkap. Namun ada beberapa teori mekanisme
bisa menjelaskan, diantaranya adalah teori gangguan organ sasaran, pengaruh metabolisme
sulfat, teori gangguan perut dan otak (Gut Brain Axis) dan pengaruh reaksi hormonal pada
alergi1. Teori gangguan pencernaan berkaitan dengan Sistem susunan saraf pusat saat ini
sedang menjadi perhatian utama kaum klinisi. Penelitian secara neuropatologis dan
imunoneurofisiologis banyak dilaporkan. Teori inilah juga yang menjelaskan tentang salah
satu mekanisme terjadinya gangguan perilaku seperti autism melalui Intestinal
Hypermeability atau dikenal dengan Leaky Gut Syndrome6.
Alergi makanan dapat memperburuk kondisi pasien autis. Alergen makanan, pada
umumnya suatu glikoprotein yang larut dalam air dengan berat molekul 10-60 KD dan stabil
terhadap panas, asam, atau enzim protease. Dua alergen utama, yaitu : gluten (protein
gandum) dan kasein ( protein susu). Beberapa ahli berpendapat, terjadinya alergi pada kedua
jenis pangan tersebut karena disebabkan di dalam usus halus kedua protein tersebut dipecah
menjadi fraksi-fraksi molekuler yang kecil yang disebut peptida (gabungan dua asam amino
atau lebih). Beberapa peptida yang dihasilkan bersifat narkotik terhadap anak autis 5.
4
Terdapat juga beberapa makanan yang dapat mengganggu otak tetapi tidak melalui
reaksi imunologi melainkan karena reaksi simpang makanan atau intoleransi makanan,
diantaranya adalah salisilat, tartarzine (zat pewarna makanan), MSG (monosodium glutamat),
antioksidan, yeast, dan lactose1. Berbagai macam diet sering direkomendasikan untuk anak
autisme, Pada umumnya , orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti
menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten dan kasien.20 Sebuah Institut
Penelitian Autisme merekomendasikan pemberian diet GFCF sebagai terapi untuk autisme
dan kondisi yang berkaitan. Teori yang mendasari dari penggunaan GFCF sangatlah
beragam, menurut salah satunya adalah teori adanya pengeluaran efek opioid, sehingga
menurunkan aktifitas enzim peptidase, sehingga terjadi disfungsi imunitas tubuh dan juga
terjadinya ketidaknormalan gastrointestinal. 20
Berdasarkan uraian diatas, maka kami melakukan penelitian terhadap alergi makanan
khususnya kasein dan gluten sebagai faktor risiko perburukan klinis pada anak autis, hal ini
bermanfaat sebagai menambah pengetahuan pada orangtua dalam mengatasi anak autis.
1.2.PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang ada, serta teori mengenai
Gut-Brain-Axis yang membahas pengaruh alergi makanan terhadap anak autis, dan faktor
alergi lainnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini dapat disusun sebagai berikut:
“Apakah alergi gluten dan kasein dapat sebagai faktor resiko perburukan klinis anak autis ?”
1.3.TUJUAN
1.3.1.Tujuan Umum :
Membuktikan alergi sebagai faktor resiko perburukan klinis pada anak autisme.
1.3.2.Tujuan Khusus
1. Menganalisa pengaruh konsumsi makanan berbahan dasar gluten pada
perburukan klinis anak autis
2. Menganalisa pengaruh konsumsi makanan berbahan dasar kasein pada
perburukan klinis anak autis.
5
1.4.MANFAAT PENELITIAN
1.4.1. Manfaat Pendidikan / Keilmuan
Memberikan informasi apakah faktor alergi makanan dapat mempengaruhi
terhadap kejadian perburukan klinis anak autisme
1.4.2. Manfaat Pelayanan Kesehatan
Memberikan asupan mengenai pencegahan dini terhadap kejadian perburukan
Klinis anak autisme dan dapat sebagai masukan pada orangtua dalam penang-
anan diet pada anak autisme.
1.4.3. Manfaat Penelitian
1. Segi Akademis ( pendidikan ) : memberikan kontribusi tentang
status alergi makanan pada anak autisme.
2. Segi Penelitian : sebagai titik tolak penelitian berikutnya.
3. Segi Pelayanan Kesehatan : dapat memberikan informasi
kepada orangtua mengenai penanganan diet yang tepat pada anak
autisme serta pencegahan timbulnya reaksi alergi.
1.5.RUANG LINGKUP PENELITIAN
a. Lingkup keilmuan
i. Merupakan penelitian di bidang kesehatan, khususnya di bidang neurologi
anak dan alergi imunologi anak.
b. Lingkup waktu
i. Penelitian meliputi lima tahap, yaitu tahap penyusunan proposal, tahap
pelaksanaan, tahap pengukuran penelitian, tahap analisis dan tahap
penyusunan laporan akhir.
1.6. ORIGINALITAS PENELITIAN
6
No Peneliti Publikasi Judul artikel Hasil
1 Corri Black ,
James A
Kayne, Hershel
Jick
BMJ volume 324,
24 agustus 2002
Relation of Childhood
gastrointestinal disorder
to autism : nested case-
control study using data
from the UK general
Practice Research
Database
Tidak terbukti bahwa
anak autisme
memiliki lebih
banyak gangguan
gastrointestinal
dibanding anak
normal
Desain : nested case-
control
Sampel: kasus : 96
anak
kontrol : 448 anak
2 Hexanto
muhartomo
UPT Undip
Tahun 2004
Faktor-faktor resiko
yang berpengaruh
terhadap kejadian
autisme
Perdarahan antenatal
dan asfiksia saat lahir
berperan penting
terhadap kejadian
anak autis.
Desain : case control
Sampel: kasus : 38
anak
kontrol 38 anak
3. HyeKyeung
Seung, Ph.D,
Yvone
Rogalski,B.A,
Meena
Shankar,
Jennifer Elder
Journal of medical
speech-language
pathology
Tahun 2007
The Gluten-and Casein-
free diet and autism :
communication
outcomes from a
preliminary double
blind clinical trial
Tidak ada perbedaan
yang bermakna
dalam hal verbal dan
non-verbal baik pada
kondisi anak dengan
GFCF maupun
dengan makanan
biasa
Desain : RCT,
crossover study
N=13
7
4. Fredrick
J.stare,
Elizabeth
M.Whelan,
Margaret
Sheridan
American
Academy of
Pediatrics
Journals, publikasi
tgl. 5 Mei 2012
Diet and Hyperactivity :
Is There a
Relationship? ( review
article )
Salisilat dan pewarna
tambahan makanan
tidak berhubungan
dengan gejala
hiperaktif.
5. Harumi
Jyonouchi
Expert review,
clin. Immunol.
6(3), 397 – 411.
2010
Autism spectrum
disorders and allergy :
observation from a
pediatric
allergy/immunology
clinic
Perburukan klinis
anak autis tidak
hanya disebabkan
oleh alergi yang
diperantarai IgE
tetapi juga banyak
disebabkan oleh
faktor yang tidak
diperantarai IgE
6. Ananth N Rao,
Minakshi
Koch,
Sabyasachi G,
Suresh Kumar
International
Journal of Pharma
and
Biosciences .1.201
0
Food allergy
investigations and its
significance in autism
spektrum disorder.
Telur, susu, gandum,
kacang, merupakan
alergi makanan yang
paling banyak
ditemukan pada anak
autis
Keutamaan dari penelitian ini adalah :
Desain : Digunakan desain kohort prospektif untuk melihat faktor
alergi dalam kejadian perburukan klinis anak autisme.
Instrumen : Dengan skin prick test dan kuesioner CARS yang akan
ditanyakan pada orangtua.
BAB.II
8
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi Autisme
Autisme atau sering disebut autis, autistic spectrum disorder adalah suatu gangguan
otak yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kemampuan seseorang untuk
berkomunikasi baik verbal ataupun non verbal, gangguan interaksi sosial dan gangguan
tingkah laku yang onsetnya terjadi sebelum anak berusia 30 bulan.Autisme pada anak
merupakan gangguan perkembangan yang muncul pada usia batita (bawah tiga tahun) yang
menyebabkan mereka tidak mampu membentuk hubungan sosial atau mengembangkan
komunikasi normal 1.Anak autis menjadi terisolasi dari kontak dengan orang lain dan
tenggelam pada dunianya sendiri yang diekspresikan dalam minat dan perilaku yang terpaku
dan diulang-ulang. Kelainan anak autis ini mulai dari yang ringan sampai yang berat sehingga
dikatakan suatu spektrum kelainan atau Autism Spectrum Disorder (ASD)2.
2.2.Insidensi Autisme
Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme semakin tinggi, yang dulu jarang
ditemui kini semakin lebih sering. Dua puluh tahun yang lalu hanya sekitar 1 dari 10.000
anak autis. Lima tahun yang lalu 1 dari 1000, dan saat ini kurang lebih 2-5 kasus per 10.000
anak-anak dibawah usia 12 tahun. Pada kebanyakan kasus autisme dimulai sebelum usia 36
bulan. Di indonesia data mengenai autis masih belum memiliki data yang tepat,tetapi
tampaknya insidensinya cenderung meningkat2,3.
Komorbiditas penderita autisme adalah kejang, hiperaktif dan gangguan depresi.
Kejadian penderita autisme dijumpai laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dengan
perbandingan 4:1, tetapi bila anak perempuan yang menderita,maka gangguannya akan lebih
berat4.
2.3.Etiologi Autisme
9
Sampai saat ini penyebab autisme secara pasti belum diketahui. Banyak masalah yang
dikemukakan antara lain karena sulitnya melakukan penelitian terhadap manusia untuk
mencari hubungan sebab akibat. Banyak faktor (multifaktorial) yang berperan dalam kejadian
autisme, beberapa peneliti mengkelompokkan etiologi autisme sebagai berikut :1,5
1. Genetik
Lebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik
dan penyakit genetik yang sering dihubungkan dengan autisme 7,8,9 . Penelitian pada
keluarga dan anak kembar menunjukkan bukti bahwa ada faktor genetik dalam
perkembangan autisme dimana 25 anak autisme kembar satu telur (monozigot)
ternyata 15 anak pasangan kembarnya juga autisme dibandingkan dengan 20
pasangan kembar 2 telur (dizigot) yang autisme, tidak diketemukan pada anak
pasangan kembarnya. Penderita autisme memiliki dasar genetik yang kuat, meskipun
genetik dari autisme sangat kompleks dan terkadang tidak jelas disebabkan karena
adanya mutasi atau adanya interaksi multigen . Mutasi dan interaksi multigen tidak
mengubah DNA tetapi mempengaruhi ekspresi gen pada anak autis. Kelainan genetik
biokimiawi pada anak autisme terdapat ketidakseimbangan neurotransmitter yang
mengganggu pertumbuhan otak bayi pada masa awal-awal kehamilan. Sebagian besar
kasus autisme dengan tidak ada riwayat keluarga yang terkena, kemungkinan
merupakan hasil dari variasi spontan dari delesi atau duplikasi pada material gen
selama proses miosis6,7.
2. Gangguan saat prenatal,natal,postnatal
Insiden autis meningkat bila terdapat masalah dalam prenatal.natal.postnatal,
diantaranya adalah toksoplasmosis, perdarahan, bayi berat lahir rendah, distress
pernapasan, yang dapat mempengaruhi sel-sel otak. Sehingga mempengaruhi bayi,
dan beberapa ahli berpendapat bahwa awal terjadinya autis adalah sebelum lahir.Sel
saraf otak (neuron) terbentuk di dalam kandungan sejak 3 bulan sampai 7 bulan masa
kehamilan. Pada trimester ketiga dan setelah lahir tidak ada pembentukan sel saraf
lagi tetapi dilanjutkan dengan pembentukan akson, dendrit dan sinaps sampai anak
berumur 1-2 tahun, dengan adanya gangguan saat prenatal, natal, dan postnatal
mengakibatkan proses perkembangan otak terganggu, sehingga di beberapa bagian
otak anak autisme tumbuh tidak sempurna, seperti pada lobus frontalis, lobus
temporalis, serebelum, hipokampus, dan amigdala8.
10
3. Gangguan metabolisme
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan pada anak dengan autis adalah
darah,urin rambut, feses, yang menunjukkan adanya gangguan metabolisme pada
anak autis. Dari darah yang diteliti menunjukkan alergi pada beberapa jenis
makanan,diantaranya yang mengandung gluten dan kasein,serta gangguan kekebalan
tubuh seperti IgM terhadap serangan mikroba terutama virus, IgG yang timbul setelah
IgM terhadap serangan bakteri,serta IgA pada jaringan mukosa selaput hidung dan
pencernaan. Semuanya saling berkaitan ,misal pada merkuri membuat enzim
dipeptidilpeptidase (DPP IV) tidak bekerja, enzim ini berfungsi menghancurkan
peptida yang dihasilkan kasein dan gluten, yaitu caseomorphin dan gluteomorphin.
Caseomorphin dan gluteomorphin dapat diserap oleh saluran cerna anak autis yang
mengalami peradangan dan didalam otak bertindak sebagai neurotransmiter palsu dan
berkaitan dengan reseptor morfin, sehingga terjadi gangguan perilaku. Pada lapisan
usus terdapat IgA yang berkaitan dengan hipersensitifitas terhadap gluten, terjadinya
defisiensi IgA dan menimbulkan alergi. Pada anak yang sering sakit biasanya
mendapatkan antibiotik, yang umumnya membunuh semua bakteri baik yang jahat
maupun baik (laktobaksilus) sehingga jamur tumbuh subur, mengakibatkan sel-sel
mukosa usus mati, sehingga terjadi lubang-lubang kecil pada mukosa usus yang
disebut sindroma usus bocor. Adanya lubang-lubang pada usus menyebabkan peptida
yang tidak tercerna akan menembus dinding usus kemudian masuk ke dalam
pembuluh darah dan di otak akan ditangkap oleh reseptor opioid, kemudian berubah
sifatnya menjadi seperti morfin yang efeknya lebih ganas dari morfin biasa, sehingga
memperparah kelainan tingkah laku pada anak autisme9,10.
4. Lingkungan
Suatu hipotesis menyebutkan bahwa paparan logam berat dapat menyebabkan
autisme. Paparan logam berat yang dapat menganggu perkembangan otak adalah
merkuri,plumbum dan arsen, logam berat tersebut dapat berasal dari asap kendaraan
bermotor maupun limbah pabrik. Di jepang insidensi autis tinggi dikarenakan
masyarakatnya banyak mengkonsumsi ikan laut yang tercemar merkuri . merkuri
yang masuk dapat merusak dendrit di otak,sehingga mengganggu perkembangan otak
anak4,11.
11
2.4.DIAGNOSIS AUTIS
Keluhan orangtua adalah seringnya mencurigai adanya ketidakberesan dalam
perkembangan anaknya, beberapa keluhan tersebut adalah :8,19
1. Keluhan dalam bidang komunikasi
Anak tidak berespon bila dipanggil namanya, perkembangan bahasa terlambat,
sewaktu-waktu seolah-olah dia tuli. Anak tidak mampu menyatakan apa saja yang
dikehendaki
2. Keluhan dalam bidang sosial
Anak tidak dapat senyum sosial, seolah berada dalam dunia nya sendiri, memilih
bermain sendiri
3. Keluhan masalah perilaku
Suka mengamuk (tantrum) . Tidak tahu memainkan mainan. Jalan jinjit, sangat peka
atau tertarik pada tekstur atau bunyi tertentu
Umumnya diagnosis diteggakkan secara klinis. DSM IV (1994,2000) mengemukakan
kriteria untuk menegakkan diagnosis autisme
Kriteria DSM IV (1994,2000) bagi kelainan austistik: 20
A. Didapatkan jumlah total 6 (atau lebih) item dari (1),(2),(3), dengan sekurangnya 2 dari
(1) dan masing-masing satu dari (2) dan (3)
(1). Gangguan kualitatif interaksi sosial, bermanifestasi pada sekurangnya dua dari
berikut :
(a). Gangguan yang nyata dalam perilaku nonverbal multipel, seperti menatap
mata, ekspresi wajah, sikap badan, dan gestur (isyarat )untuk berinteraksi
sosial.
(b) gagal dalam mengembangkan hubungan antar sebaya sesuai dengan
tingkat perkembangannya
12
(c) kurang spontanitas membagi kegembiraan, kesenangan, interest, atau
perolehan (misalnya kurang menyatakan, membawakan atau menunjukkan
objek yang menarik)
(2). Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi , sebagaimana yang terlihat pada
sekurangnya satu dari hal berikut :
(a). Terlambat atau sama sekali tidak ada perkembangan bahasa lisan (tidak
disertai upaya untuk mengkompensasi dengan cara komunikasi seperti isyarat
atau mimik )
(b). Pada individu yang bicaranya memadai, terdapat gangguan yang nyata
dalam kemampuan untuk memulai atau mempertahankan konversasi dengan
orang lain
(c). Penggunaan bahasa secara stereotip atau berulang-ulang (yang itu-itu saja)
atau bahasa idiosinkratik.
(d). Kurang ragam bermain yang mengandai atau bermain sosial imitatif
sesuai dengan tingkat perkembangannya
(3). Pola yang terbatas, berulang dan stereotip dari perilaku , interes, dan aktivitas
sebagai yang bermanifestasi pada sekurangnya satu dari berikut :
(a). Terpaku perhatiannya pada satu atau lebih pola interes yang stereotip dan
terbatas yang abnormal intensitas atau fokusnya
(b) tampak menempel secara tidak fleksibel pada rutinitas atau ritual yang
spesifik, tidak ada fungsinya
(c) perilaku motorik yang aneh, stereotip dan berulang (misalnya mengelepak
atau memilin tangan atau jari,atau gerak seluruh badan yang kompleks)
(d) perhatiannya secara persisten dipenuhi atau melekat pada bagian suatu
objek.
B. Terlambat atau fungsi abnormal dari sekurangnya satu dari bidang berikut yang
bermula sebelum usia 3 tahun, yaitu : (1) interaksi sosial , (2) bahasa yang digunakkan
pada komunikasi sosial (3) permainan simbolik dan imajinatif
13
2.5. Skala Derajat Autisme
Skala derajat autisme dengan menggunakan CARS ( The Childhood Autism
Rating Scale ) dapat membantu mengidentifikasi anak usia 2 tahun atau lebih dengan
autisme dan dapat membedakan derajat autisme dari ringan, sedang, dan berat. Skala
derajat autisme yang dipakai sekarang disebut CARS2, dimana lebih memperluas
nilai klinisnya dan dapat menilai “High Functioning “ , dapat mengetahui skor IQ
rata-rata, kemampuan bahasa, dan gangguan perilaku. Terdiri dari 15 item, yaitu:16,17
Hubungan dengan orang lain
Imitasi
Respon emosional
Bahasa tubuh
Penggunaan objek
Adaptasi dengan perubahan
Respon visual
Respon terhadap pendengaran
Respon terhadap pengecapan dan penggunaannya
Ketakutan dan kekhwatiran
Komunikasi verbal
Komunikasi non-verbal
Tingkat aktifitas
Tingkat dan konsistensi dari respon intelektual
Kesan umum
SKALA DERAJAT AUTIS
14
01Normal. Tidak ada kesulitan bergaul dengan orang lain. Tingkah laku sesuai umur, anak dapat menunjukan malu-malu, rewel, sedikit masa bodoh kalau disuruh tetapi masih dalam batas wajar
1,5
02Ringan . Tidak mau melihat ke mata orang dewasa, kesal kalau dipaksa berinteraksi, terlalu malu, kadang-kadang mendekap orangtua nya berlebihan untuk usianya
02.5
03Sedang . Anak sering acuh pada kehadiran orang dewasa di sekitarnya, atensi atau perhatian baru timbul bila dipaksa terus menerus. Anak hanya sedikit kontak sosial.
04Berat. Tidak pernah pedulidengan adanya orang dewasa atau tidak memperhatikan apa yang dikerjakan orang dewasa disekitarnya. Tidak pernah timbul respons atau tidak pernah memulai kontak sosial dengan orang dewasaObservasi
Hubungan dengan Orang Lain / Kemampuan Bergaul
01 Normal. Meniru suara, kata-kata dan gerakan apabila diberi contoh yang sesuai dengan umumnya1.5
02Ringan . Masih mau meniru tingkah laku sederhana misalnya bertepuk tangan atau mengucapkan satu kata. Diperlukan usaha keras untuk memintanya meniru, ada keterlambatan reaksi.
02.5
03Sedang. Hanya kadang kadang seja mau meniru, atau hanya meniru setelah dirangsang kuat terus menerus. Ada keterlambatan reaksi
03.504 Berat. Jarang atau tidak pernah meniru suara, kata, gerak walaupun dipaksa.
Observasi
Imitasi atau Meniru
01 Normal. Emosi sesuai umur dan situasi, ditandai perubahan ekspresi, postur dan tingkah laku
1.5
02Ringan. Kadang kadang memperlihatkan respon emosi yang tidak sesuai jenis dan derajatnya dan tidak berhubungan dengan objek disekitarnya.
02.5
03Sedang. Jenis dan derajat respon abnormal. Reaksi kurang atau berlebihan, dan tidak berhubungan dengan situasi yang sebenarnya. Misalnya : menyeringai, tertawa sendiri, menjadi kaku tanpa pencetus apa-apa.03.5
04Berat. Respon hampir selalu tidak sesuai dengan situasi sekitar. Bila anak mendapat suatu mood tertentu sukar untuk berubah lagi. Sebaliknya dapat menunjukkan reaksi yang hebat tanpa pencetus.
Observasi
Respon Emosi
15
01 Normal. Kemampuan bergerak dan koordinasi gerakan normal sesuai umurnya.1.5
02Ringan. Gerakan yang abnormal misalnya : clumsiness, gerak berulang ulang tanpa tujuan jelas misalnya melambai lambai atau bertepuk tepuk, koordinasi kurang baik, sedikit gerakan aneh.
02.5
03Sedang. Tingkah laku dan gerakan aneh jelas. Gerakan jari aneh, posisi jari dan tubuh aneh, melihat terus ke satu bagian tubuh, bergoyang, berputar, jalan jinjit
03.5
04Berat. Gerakan tersebut menetap dan makin hebat. Gerakan juga menetap walaupun diberi aktivitas lain dan dicoba menghentikannya
Observasi
Penggunaan Tubuh Aktivitas dan Koordinasi
01 Normal. Perhatian dan penggunaan benda-benda dan mainan yang normal.
1.5
02Ringan. Kehilangan minat terhadap mainan. Penggunaan mainan tidak sesuai umur misalnya diisap atau dibanting.
02.5
03
Sedang. Kehilangan minat atau hanya suka satu jenis mainan tetapi dalam cara yang aneh. Tertarik pada bagian yang tidak penting dari mainan, misalnya hanya tertarik pada roda atau benda yang bulat , tertarik pada pantulan cahaya. Melepas dan memasang 1 bagian dari mainan tersebut berulang kali atau main dengan satu objek saja.
03.5
04 Berat. Frekwensi dan intensitas makin tinggi. Anak sulit dialihkan perhatiannya pada hal lain.
Observasi
Pengguna Obyek
01Normal. Anak dapat berkomentar terhadap perubahan rutinitas sehari, tapi ia dapat menyesuaikan diri dengan perubahan rutinitas tersebut tanpa merasa terganggu.
1.502 Ringan. Pada saat ada perubahan rutinitas, anak tetap menggunakan rutinitas atau materi yang sama.
02.503 Sedang. Ia menolak perubahan rutinitas dan tetap mencoba rutinitas yang lama. Bila dipaksa ia akan
marah.03.5
04Berat. Reaksi terhadap perubahan rutinitas sangat berat, ia menjadi marah yang hebat, membanting diri dan lain lain yang disebut sebagai tantrum.
Observasi
Adaptasi terhadap Perubahan
16
01Normal. Sesuai dengan umumnya. Penglihatan digunakan bersama dengan kemampuan lain untuk mengeksplorasi atau menyelidiki objek.
1.5
02Ringan. Kadang kadang harus diingatkan untuk melihat sesuatu objek. Ia lebih suka melihat kaca atau cahaya dibanding dengan melihat ke orang lain. Kadang kadang bengong saja atau tidak suka melihat mata orang lain.
02.5
03Sedang. Harus sering diingatkan untuk melihat suatu objek, bengong, menghindari melihat mata orang lain, melihat benda dari sudut yang anehatau memegang benda sangat dekat dengan mata.
03.5
04Berat. Selalu menghindari mata orang lain atau obyek tertentu atau menunjukkan bentuk berat dari gejala diatas.
Observasi
Respon Visual dan Penglihatan
01Normal. Ia mendengar dengan normal sesuai dengan umumnya. Pendengaran digunakan bersama aktivitas lainnya.
1.5
02Ringan, Respon pendengaran kurang atau sebaliknya berlebihan. Respon terhadap suara dapat terlambat dan suara harus diulang untuk menarik perhatian anak. Anak dapat beralih perhatiaannya karena mendengar suara lain.
02.5
03Sedang. Sering tidak memperdulikan suara sampai diulang beberapa kali, bisa memberi reaksi terkejut dan menutup telinganya bila mendengar suara yang sebenarnya biasa didengar sehari hari, misalnya bunyi klakson, bunyi pintu ditutup dengan keras.
03.5
04 Berat.Bereaksi berlebihan atau kurang dengan dengan derajat yang berat, tanpa memandang jenis suara.
Observasi
Respon Pendengaran
17
01. Normal. Anak menggunakan indra pengecapan, penciuman dan sentuhan dengan normal. Ia bereaksi pada rasa sakit dgn biasa, tidak berlebihan
1.5
02. Ringan. Ia senang memasukan benda ke dalam mulutnya. Mencium dan merasakan objek yang sebenarnya tidak ada bau dan rasa. Bereaksi berlebihan atau kurang terhadap nyeri.
02.5
03.Sedang. Ia terpaku pada menyentuh, mencium, mengecap suatu objek. Reaksi terhadap nyeri berlebihan atau kurang.
03.5
04Berat. Ia melakukan hal tersebut bukan untuk mengeksplorasi tetapi erupakan preokupasi atau suatu kebiasaan yang menetap. Ia sama sekali tidak takut sakit atau bereaksi berlebihan sekali terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan. Observasi
Pengecapan, penciuman dan sentuhan.
01. Normal1.502. Ringan. Menunjukan rasa takut yang berlebihan atau sebaliknya tidak takut berlebihan terhadap suatu
situasi.02.503 Sedang. Lebih berat.
03.5
0.4Berat. Rasa takut menetap walaupun sudah berpengalaman bahwa penyebab rasatakut tersebut tidak menyebabkan gangguan apa-apa. Ia sulit ditenangkan kalau sudah takut. Sebaliknya ia dapat tidak takut sama sekali terhadap apapun.
Observasi
Takut atau gelisah
01. Normal. Komunikasi sesuai umur dan situasi1,5
02.Ringan. Memperhatikan keterlambatan bicara. Bicara masih berarti kadang-kadang ada ekolalia atau mengulang kata-kata, atau kata terbalik masih mengucapkan kata atau jargon.
02.5
03.Sedang. Bicara tidak ada. Bila ada merupakan campuran kata yang dapat di mengerti dan yang aneh seperti ulangan kata-kata atau kata terbaik. Dapat juga mengandung pernyataan khusus atau hanya kata-kata yang berhubungan dengan topik topik tertentu.
03.5
04. Berat tidak ada yang dapat dimengerti. Suara aneh, kata aneh, bahasa planet.
Observasi
Komunikasi verbal atau kemampuan komunikasi dengan kata-kata
(sumber : Schopler E . CARS2: Childhood Autism Rating Scale,2nd.USA.1980.)
18
Skor Penilaian :
1 = Normal untuk anak seusianya.
2 = Abnormal ringan
3 = Abnormal sedang
4 = Abnormal berat
Nilai tengah 1.5, 2.5, dan 3.5 juga digunakan.
15-30 : Non Autistik
30-37 : Autis ringan – sedang
37-60 : Autis berat
Total skor CARS berkisar dari 15 hingga 60, dengan skor minimal adalah 13 sebagai
cutt off pointdiagnosis autisme terendah dapat dikatakan spektrum autisme.16,17
2.6. Mekanisme terjadinya pengaruh alergi pada autisme
Anak ASD diketahui menderita banyak komorbiditas, dengan gangguan
gastrointestinal dan gangguan tidur. Beberapa perilaku disebabkan oleh tidak nyamannya
gastrointestinal atau terasa sakit. Para orangtua anak ASD yang mengeluh terdapat keluhan
gastrointestinal, sering dilaporkan mengalami perbaikan tingkah laku setelah melakukan
intervensi diet, seperti diet bebas gluten dan kasein. Dari hasil pengamatan bahwa alergi
makanan dapat mempengaruuhi prilaku pada anak autism3,4.
Reaksi alergi dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu reaksi tipe lambat dan cepat.
Reaksi alergi tipe cepat diperantarai oleh antibodi IgE (Ab) mengikat reseptor IgE dengan
afinitas yang tinggi. Penyakit alergi ( rinitis alergi, konjungtivitis alergi, alergi makanan yang
diperantarai IgE, dan atopi ) sering ditemukan di negara berkembang. Reaksi tipe lambat
pada alergi makanan yang tidak diperantarai IgE, merupakan tantangan dalam status anak
ASD3,4,18.
19
Reaksi alergi yang diperantarai IgE
Sebagian besar alergen adalah protein yang ditangkap oleh antigen (Ag) presenting
cells (APCs) , dan kemudian dipresentasikan pada sel T-helper (Th) sebagai peptida
imunogenik (epitop) dalam ikatan Ag- molekul MHC kelas II. Presentasi alergen pada sel Th
memicu diferensiasi sel Th menjadi sel Th2 efektor yang secara genetik dapat menjadi faktor
predisposisi (atopi) pada individu. Sel Th2 dikarakteristikkan sebagai adanya lineage-specific
transcription factor (GATA3) dan produksi dari sitokin Th2 ( IL-4, IL-5, IL-13 dan IL-25).
Dari sitokin sitokin tersebut, IL-4 dan IL-13 yang penting dalam sintesis IgE, kunci
imunoglobulin (Ig) dalam reaksi alergi tipe cepat18.
Perubahan parameter imunologik telah dilaporkan terdapat pada anak ASD, yaitu
deviasi level sitokin Th1 atau Th2. Peningkatan level plasma sitokin yang berkaitan dengan
Th1 juga dilaporkan, bersamaan dengan peningkatan level sitokin Th1 dalam jumlah terbatas
pada jaringan otak individu ASD, sementara itu juga dilaporkan adanya penyimpangan
ekspresi sitokin Th2. Deviasi respon Th17 dan aktivasi sel mast juga dilaporkan terjadi pada
anak autis4,18.
Atopi berkaitan dengan sensitisasi alergen yang diturunkan secara genetik pada
individu. Rasa tidak nyaman dan sakit dapat berkaitan dengan gejala alergi sehingga dapat
menyebabkan gangguan psikiatri dan neurologisbpada individu normal . Hal ini
kemungkinan menjadi penyebab perubahan prilaku pada anak ASD18.
Penyakit alergi yang tidak diperantarai IgE , berkaitan dengan gejala pernapasn dan
gastrointestinal.
Penyakit seliak ( celiac disease )
Penyakit seliak merupakan suatu gangguan enteropati yang berkaitan dengan reaksi imun
dimana disebabkan oleh protein gandum yang dimakan oleh individu yang sensitif, sebagian
besar dari mereka membawa molekul HLA-DQ2 atau DQ818.
Alergi makanan yang tidak diperantarai IgE
Contoh penyakit yang termasuk didalamnya adalah alergi susu sapi dan sindrom enterokolitis
yang disebabkan protein makanan (FPIES, food protein-induced enterocolitis syndrome)18.
20
(Sumber : Jyonouchi H. Autism spectrum disorders and allergy: observation from a pediatric
allergy/immunology clinic. Expert rev. Clin.Immunol 2010;6(3):397-411 )18
Alergi mengganggu sistem susunan saraf pusat khususnya fungsi otak masih belum
banyak terungkap. Namun ada beberapa teori mekanisme yang bisa menjelaskan ,diantaranya
adalah teori gangguan organ sasaran, pengaruh metabolisme sulfat, teori gangguan perut dan
otak ( Gut-Brain –Axis) dan pengaruh reaksi hormonal pada alergi1.
1. Alergi mengganggu organ sasaran
Alergi adalah suatu proses inflamasi yang tidak hanya berupa reaksi cepat dan
lambat tetapi juga merupakan proses inflamasi kronis yang kompleks. Rendahnya
TH1 akan mengakibatkan kegagalan kemampuan untuk mengkontrol virus dan jamur,
21
menurunkan aktifitas NK cell dan merangsang autoantibodi dengan memproduksi
berbagai macam antibodi antibrain dan lainnya1.
Gejala klinis terjadi karena reaksi imunologik melalui pelepasan beberapa
mediator tersebut misalnya di paru-paru, maka manifestasinya adalah batuk atau
asma, bila mengenai saluran pencernaan maka gejalanya adalah diare1.
2. Teori metabolisme sulfat
Gangguan metabolisme sulfat juga diduga sebagai penyebab ke otak. Bahan
makanan mengandung sulfur yang masuk ke tubuh melalui konjugasi fenol dirubah
menjadi sulfat dibuang melalui urin. Gangguan ini mengakibatkan gangguan
pengeluaran sulfat melalui urin, metabolisme sulfur tersebut berubah menjadi sulfit.
Sulfit inilah yang mengakibatkan gangguan kulit (gatal) pada penderita. Diduga sulfit
dan beberapa zat toksin lainnya yang menggangu otak1.
3. Teori pencernaan dan perut ( enteric nervous system dan abdominal brain theory )
Secara patofisiologi kelainan leaky Gut Syndrome tersebut disebabkan karena
alergi makanan. Beberapa teori yang menjelaskan gangguan pencernaan berkaitan
dengan gangguan otak adalah 1.
a. Kekurangan enzim peptidil peptidase
Kekurangan ensim dipeptidilpeptidase IV ( DPP IV ) pada gangguan pencernaan
ternyata menghasilkan zat caseomorphin dan glutheomorphin ( semacam morfin
atau neurotransmiter palsu ) yang menganggu dan merangsang otak1.
b. Teori pelepasan opioid
Teori pelepasan opioid (zat semacam opium) ikut berperan dalam proses di atas.
Hal tersebut juga sudah dibuktikan penemuan seorang ahli pada binatang anjing.
Setelah dilakukan stimulasi tertentu pada binatang anjing, ternyata didapatkan
kadar opioid yang meningkat disertai perubahan perilaku pada binatang tersebut1.
c. Teori abdominal epilepsi
22
Teori Enteric nervous brain juga mungkin bisa menjelaskan adanya kejadian
abdominal epilepsi, yaitu adanya gangguan pencernaan khususnya nyeri perut
yang dapat mengakibatkan epilepsi (kejang) pad anak atau orang dewasa .
beberapa laporan ilmiah menyebutkan bahwa gangguan pencernaan atau nyeri
perut berulang pada penderita berhubungan dengan kejadian epilepsi1.
Gambar 1. Reaksi simpang makanan.
(Sumber : Judarwanto W. Alergi bukan penyebab autism tetapi sebagai pemicu/memperberat autism.
Prosiding dari seminar alergi; Jakarta. November 2005.)1
Contoh alergen makanan yang sering dijumpai adalah :
1. Susu sapi, biasanya merupakan protein makanan asing yang pertama kali
ditemui oleh bayi baru lahir, dan merupakan alergen yang paling umum
bagi anak-anak. Susu sapi mengandung protein yang dapat menimbulkan
gejala penyakit alergi, seperti casein (78-86%) dan whey.
2. Telur ayam, suatu alergen makanan yang sering menimbulkan gejala
penyakit alergi karena mengandung protein ovomucoid, ovoalbumin,
ovotransferin dan lysozyme.
3. Kacang dan kacang kedelai salah satu keluarga kacang-kacangan yang
dapat menimbulkan reaksi hipersensitifitas, terutama pada bayi baru lahir
dan anak-anak. Kacang kedelai mengandung beberapa jenis protein yaitu
23
protein whey (potensinya terkuat), b-conglycinin, glycinin yang
teragregasi.
4. Cereal grains sering menimbulkan reaksi alergi makanan, khususnya pada
anak. Cereal grain antara lain adalah terigu/gandum (wheat), spelt,
jewawut (barley), rye (bahan pembuat arak).
5. Ikan , seperti tuna, sarden, merupakan salah satu penyebab reaksi alergi
makanan ya pada orang dewasa dan anak-anak.
6. Makanan laut, seperti udang, lobtser dan kepiting.
Gejala alergi yang sering timbul adalah pada organ-organ sebagai berikut:
1. Saluran cerna. Penderita penyakit alergi makanan 40 - 70% nya
mengalami gejala saluran cerna, seperti kram pada perut, mual, muntah,
kembung dan diare.
2. Hidung. Dapat berupa rhinitis alergika, dengan gejala tersering : bersin ,
hidung gatal, hidung tersumbat.
3. Mata. Konjungtivitis alergika biasanya menyertai rinitis alergika, dengan
gejala tersering : mata gatal, mata merah, dan mata berarir.
4. Paru-paru. Asma alergika dengan gejala tersering: sesak napas, napas
pendek, bunyi mengi pada waktu bernapas, dada terasa tertekan.
5. Kulit. Gangguan pada kulit ini dapat berupa dermatitis atopi, urtikaria.
2.7. TES ALERGI
Zat anti atau antibodi yang khusus terhadap alergen tertentu adalah imunoglobulin E
spesifik (IgE spesifik). Antibodi IgE spesifik ini beredar ke seluruh tubuh termasuk dalam
darah dan jaringan dibawah kulit. Keberadaan Ig E spesifik ini dalam tubuh penderita dapat
dibuktikan melalui tes alergi. Tes alergi ini terdiri dari 3 macam, yaitu (1) tes kulit, (2) tes
darah, dan (3) tes provokasi. Tes kulit ini dapat berupa tes tusuk kulit, tes kulit tempel dan tes
kulit gores. Tes laboratorium darah memeriksa imunoglobulin E (IgE), dan tes provokasi
pada penderita dilaksanakan dengan memberikan alergen terduga pada organ yang bergejala
24
dengan maksud membuktikan alergen terduga inilah yang menjadi penyebab timbulnya
gejala, tetapi tes provokasi ini tidak dilakukan secara rutin3,4,18.
Tes laboratorium darah memeriksa Imunoglobulin E spesifik (IgE RAST).
Pemeriksaa Ig E spesifik memerlukan darah penderita yang kemudian diperiksa di
laboratorium dengan cara radioaktif (Radio Allegro Sorbent Test). Keuntungan tes ini adalah
hasilnya yang tidak dipengaruhi oleh obat-obatan seperti antihistamin dan tidak adanya risiko
bagi penderita yang sangat sensitif. Selain pemeriksaan Ig E spesifik RAST, pemeriksaan Ig
G spesifik RAST perlu dilakukan juga pada anak autis dengan alergi makanan yang kronik
guna penilaian reaksi alergi tipe lambat. Ig G yang berperan pada reaksi alergi adalah Ig G
dengan subtipe G4. Pemeriksaan Ig E dan Ig G spesifik RAST harus didahului diet bebas
casein selama 3 minggu, bebas gluten selama 3 bulan, bebas ragi (yeast) dan fenol selama 1-3
minggu3,4,18.
2.8.PROGNOSIS
Anak akan terus berkembang dan input dari keluarga dan edukasi sangat penting.
Prognosis umumnya buruk, sebagian besar anak akan tidak dapat berdikari pada usia dewasa,
namun ada sebagian kecil (15%) yang dapat berdikari dan memperoleh pekerjaan. Prognosis
berkaitan dengan inteligensia dan perilaku.20
25
BAB III
KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1.KERANGKA TEORI.
Bagan 1. Hubungan Alergi sebagai faktor resiko perburukan klinis anak autisme.
26
Asfiksia hipoksia Metabolisme anoksia otak
Infeksi toksoplasma
Kalsifikasi otak
Kelainan genetik, def.zink, def.sistein
Gangguan metabolisme metalotionin
Autisme
Gangguan dalam bidang :-Interaksi sosial-komunikasi-Perilaku-emosi-Pola bermain-Gangguan sensorik-motorik-Perkembangan terlambat
Alergi
IgE mediated
Non-IgE mediated
Atopi ( IgE RAST, IgE Atopi, SPT )
Kadar sitokin Th1 plasma , penyimpangan ekspresi Th2, deviasi respon Th17, aktivasi sel mast
Celiac diasease
Leaky-Gut-Syndrome
Pelepasan opioid kadar opiod darah
Defisiensi enzim peptidilpeptidase
Gangguan psikiatri, iritabilitas, hiperaktif
Perburukan klinis anak autis ( CARS )
Bagan 2. Konsep penelitian mengenai alergi sebagai faktor resiko perburukan klinis pada
anak autisme.
3.2. HIPOTESIS
Hipotesis mayor :
Alergi merupakan salah satu resiko terjadinya perburukan klinis
pada anak autis
Hipotesis minor :
Paparan makanan yang mengandung kasein susu merupakan faktor
risiko perburukan klinis autis
Paparan makanan yang mengandung gluten merupakan faktor risiko
perburukan klinis autis
27
Autis alergi makanan (+)
Autis alergi makanan (-)
Perburukan klinis autis (+) ( CARS )
Perburukan klinis autis (-) ( CARS )
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1.Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian adalah pusat pelatihan anak autis.
4.2.Tempat dan Waktu Penelitian.
Penelitian ini dilakukan di pusat pelatihan anak autis di Semarang, mulai Januari 2013
sampai proposal ini disetujui dan jumlah sampel terpenuhi.
4.3.Jenis dan Rancangan Penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan kohort prospektif
4.4.Populasi dan Sampel.
Populasi target : anak autis
Populasi terjangkau : anak autis di semarang
Sampel :anak autis di semarang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
28
Subyek penelitian
Anak autis dengan alergi (+)
Anak autis dengan alergi (-)
Perburukan klinis autis (-)
Perburukan klinis autis (+)
Perburukan klinis autis (-)
Perburukan klinis autis (+)
Kriteria Inklusi:
Penderita anak autis baik laki-laki maupun perempuan yang sekolah
di pusat pelatihan anak autis
Diagnosis autis berdasarkan DSM IV
Penderita usia 3 – 11 tahun
Penderita anak autis yang belum diketahui status alerginya.
Penderita anak autis yang tidak menderita penyakit bisu, tuli,
cerebral palsy.
Kriteria eksklusi:
Memiliki kriteria autisme seperti pada kriteria inklusi tetapi oleh
karena sebab, maka anak tidak melanjutkan program penelitian.
Sudah pernah menjalani tes alergi
Sudah mendapatkan terapi autisme
Besar sampel :
Adapun perhitungan besar sampel yang diperlukan adalah sebagai berikut :
n1 = n2 = {Zα√2PQ+ Zβ√P1Q1+ P2Q2}2
(P1-P2)2
“ Level of significance 5 % power 80%, two sided test “
Zα = standart deviasi pada tingkat kesalahan 5% (1.96)
Zß= power ditetapkan oleh peneliti sebesar 80% (0.842)
P2 = perkiraan proporsi paparan pada kelompok tanpa perburukan klinis autis 37.5% 19,21
Q2= 1-P2
RR = besarnya risiko relatif yang diharapkan sebesar 2
Hasil perhitungan jumlah besar sampel menurut rumus tersebut adalah 25 anak
29
Dari perhitungan sampel diatas jumlah besaran sampel adalah 25 anak untuk masing masing
kelompok, dengan memperhitungkan kasus yang drop out sebesar 20 %, maka ditetapkan
jumlah sampel untuk masing masing kelompok adalah :
N do = n = 25 = 30
(1-do) (1-0.2)
Maka berdasarkan besar sampel diatas, besar sampel yang dibutuhkan sebesar 30 bayi per
kelompok, sehingga sampel keseluruhan adalah 60 anak.
4.5.Variabel Penelitian
Variabel terikat : klinis buruk dan klinis baik pada anak autis
Variabel bebas : alergi
30
4.6. Definisi Operasional
No Variabel Definisi operasional kategori Skala
1 Autisme gangguan perkembangan otak yang ditandai
dengan adanya ketiga gejala sebagai berikut :
gangguan dalam berkomunikasi baik verbal
maupun non verbal; gangguan interaksi sosial;
gangguan tingkah laku
Yang onsetnya sebelum usia 30 bulan. ( DSM
IV )20
Autis
Tidak autis
Nominal
2 Alergi sekumpulan gejala hasil dari reaksi imunologik
yang menyimpang, yang memgenai banyak organ
dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi
terhadap bahan tertentu, bisa dikarenakan oleh
makanan atau inhalant. 6 Data dari hasil SPT. Skin
Prick Test adalah salah satu metode dalam
mendiagnosis adanya alergi, menggoreskan
bagian kulit di lengan bawah yang telah diberikan
bahan alergen, alergen biasanya beberapa jenis
makanan, debu, serbuk sari, tungau, kucing,dll.
Disebut positif bila timbul kemerahan/lepuh yang
dibandingkan dengan cairan netral pada titik lain
sebagai petunjuk alergi. Test ini dilakukan oleh
dokter
Alergi (+)
Alergi (-)
Nominal
3 Perburukan
klinis autis
Perburukan klinis pada anak autisme dengan
menggunakan skor CARS2, yaitu suatu skor
untuk menilai derajat autisme. Dengan nilai skor
berkisar antara 15 – 60 , dapat dianggap sebagai
spektrum autisme.16,17
Ya (klinis
buruk (+))
Tidak
(klinis
buruk (-))
Nominal
CARS I Penilaian saat kondisi awal sebelum diketahui
status alergi.
Ya(klinis
buruk (+))
Nominal
31
Tidak
(klinis
buruk (-))
CARS II Penilaian saat setelah dilakukan intervensi
penghindaran alergen
Ya(klinis
buruk(+))
Tidak
(klinis
buruk(-))
Nominal
∆ CARS ∆ CARS. Selisih nilai CARS untuk melihat
perubahan derajat perburukan klinis.
Ya (ada
perubahan)
Tidak (tidak
ada
perubahan)
Nominal
4.7. Cara Pengumpulan Data
Penderita yang telah memenuhi kriteria inklusi dilakukan penjelasan kepada orangtua
mengenai tujuan, prosedur pemeriksaan dan manfaat penelitian. Jika orangtua setuju maka
dimintakan bukti persetujuan tertulis dengan membubuhkan tanda tangan pada lembar
informed consent.
Langkah selanjutnya dilakukan pengumpulan data dari anamnesis orangtua dan dari
catatan medik di pusat pelatihan anak autis. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik secara
lengkap serta dilakukan skoring CARS yang pertama untuk menilai derajat autis. Dilakukan
Skin Prick Test yang dilakukan oleh satu orang dokter ahli kulit, kemudian setelah diketahui
status alergi, maka dilakukan edukasi pada orangtua untuk melakukan penghindaran pada
alergen yang positif sesuai dengan hasil SPT selama 3 bulan, setelah dilakukan penghindaran
alergen, maka dilakukan skoring CARS yang kedua , dengan melihat selisih skor CARS
didapatkan Ϫ CARS untuk melihat apakah ada perubahan dari derajat autis, jika ada
perubahan maka dapat disimpulkan terjadi perburukan klinis
32
Pemilihan subyek penelitian dilakukan secara randomisasi di pusat pelatihan anak
autis di Semarang.
4.7. Alur Penelitian
4.8. Analisis data
33
Sampel
Skin prick test
Alergi (+) Alergi (-)
Kriteria inklusi
CARS I
Informed consent
Klinis buruk autis (+)CARS II
Analisis data
penghindaran alergi selama 3 bulan
Klinis buruk autis (-)
Anak autis
GlutenKasein
Ϫ CARS
Data yang dikumpulkan dilakukan pemeriksaan / validasi data ,
pengkodean,rekapitulasi, dan tabulasi kemudian dianalisi dengan analisis yang sesuai, adapun
analisi statistik yang digunakan:
1. Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antar variabel bebas dengan terikat
secara sendiri-sendiri. Uji statistik yang digunakan tergantung dari skala data yang
ada. Uji oods ratio dengan 95 % confidence interval digunakan untuk data berskala
nominal dengan nominal.
2. Bila diperlukan analisis multivariat digunakan untuk mengetahui peran paparan secara
bersama-sama dari beberapa faktor resikoyang berpengaruh terhadap perburukan
klinis pada anak autis. Uji statistik yang digunakan adalah multiple logistic regression
untuk memperoleh model persamaan yang sesuai serta mendapatkan nilai oods ratio
yang telah disesuaikan.. Hasil uji kemaknaan dianggap bermakna bila p< 0.05 . Tes
statistik yang digunakan adalah dengan SPSS versi 17.
4.9.Etika penelitian
Sebelum dilakukan penelitian akan dimintakan Ethical Clearance dari Komisi Etika
Penelitian Kedokteran UNDIP/RSDK.Setiap sampel yang akan diteliti dimintakan
persetujuan ( informed consent ) kepada orangtua/ wali subjek penelitian.Kepentingan
penderita tetap di utamakan.Orangtua /wali sewaktu-waktu berhak menyatakan anaknya
keluar dari penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
34
1. Judarwanto W. Alergi bukan penyebab autism tetapi sebagai pemicu/memperberat
autism. Prosiding dari seminar alergi; Jakarta. November 2005.
2. Djuffrie M. Alergi makanan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press; 2001.
3. Jasaputra D K. Alergi makanan pada anak autis. Dalam: Sutadi R, Bawazir L A,
Tanjung N, Adeline R, penyunting. Penatalaksanaan holistik autisme . Kongres
Nasional Autisme Indonesia. Jakarta: Pusat informasi dan penerbitan bagian ilmu
penyakit dalam fakultas kedokteran universitas indonesia;2003.h.222-36.
4. Jasaputra D K. Gangguan sistem imun pada anak autistik.JKM 2008;2:114-222.
5. Bush R K, Taylor S L Adverse reaction to food and drug additives. Dalam: Adkinson
N F, Bochner B S, Busse W W, Holgate S T, lemanske R F, Simons F E, penyunting.
Middleton’s allergy principles and practice. Edisi ketujuh. London: Elsevier; 2009.h.
1169-1181.
6. Sampson H A, Burk A W. Adverse reaction to food. Dalam: Adkinson N F, Bochner
B S, Busse W W, Holgate S T, lemanske R F, Simons F E, penyunting. Middleton’s
allergy principles and practice. Edisi ketujuh. London: Elsevier; 2009.h.1139-1163
7. Ratnawati H. Leaky gut pada autisme. Dalam: Sutadi R, Bawazir L A, Tanjung N,
Adeline R, penyunting. Penatalaksanaan holistik autisme . Kongres Nasional Autisme
Indonesia. Jakarta: Pusat informasi dan penerbitan bagian ilmu penyakit dalam
fakultas kedokteran universitas indonesia;2003.h.237-248.
8. Adam RD, Victoria RH. Autism in principles neurology. Ed.1997. h.1039-41.
9. Bryson SE, Smith IM. Obstetrical Suboptimally in Autistic Children.
J.Am.Acad.Child.Adolesc.Psychiatry.1988.no.27.hal: 418-22.
10. Wargasetia T L. Aspek genetika pada autisme. Dalam: Sutadi R, Bawazir L A,
Tanjung N, Adeline R, penyunting. Penatalaksanaan holistik autisme . Kongres
Nasional Autisme Indonesia. Jakarta: Pusat informasi dan penerbitan bagian ilmu
penyakit dalam fakultas kedokteran universitas indonesia;2003.h.13-23.
11. Wakefield . Enterocolitis in Children with Developmental Disorder. Am J
Gastroenterol. 2000 ; 95(9) : 2285-95.
35
12. R J Print . Dietary Correlates of Hyperactive Behaviour in Children. J Consulting Clin
Psychol.1980;48:h.760-69.
13. Paul W. The Sunderland University Autism Unit. The Biology of Autism Unravelled .
proceedings of The Autism Unravelled Conference; 2001 May; London : 2001.
14. Paul W . A Gluten Free Diet as an Intervention for Autism and Associated Disorders:
Preliminary Findings Autism: International J of Research and Practice .1999;3:45-66.
15. National Institute of Mental Health. Autism NIH Publication. 1999.no.97:4023.
http//A/NIMH-Autism.html.
16. Schopler E . CARS2: Childhood Autism Rating Scale,2nd.USA.1980.
17. Kanner L . CARS: Characteristic Symptoms of Childhood Autism.USA 1943.
18. Jyonouchi H. Autism spectrum disorders and allergy: observation from a pediatric
allergy/immunology clinic. Expert rev. Clin.Immunol 2010;6(3):397-411.
19. Autistic spectrum disorder. ICD 10 classification of mental and behavior disorders.
1993.
20. Lumbantobing S M. Autisme. Dalam :Anak keterbelakangan mental. Balai penerbit
FKUI. 2001 : 83-85.
21. Rao AN, koch M, Ghosh S, Kumar S.Food allergy investigations and its significance
in autism spectrum disorders. Int J Phrm BioS 2010;1:1-9.
36