Upload
praktikumhasillaut
View
16
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kitin=kulit udang, kitin, kitosan
Citation preview
Acara II
KITIN DAN KITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Lois Nancy Noviani P.
NIM : 13.70.0089
Kelompok A3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI METODE
1.1. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan
gelas. Bahan-bahan yang digunakan adalah limbah udang HCl 0,75 N; 1 N dan 1,25 N,
NaOH 3,5%, NaOH 40%, 50%, dan 60%.
1.2. Metode
Demineralisasi
1
Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengan air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali.
Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh.
HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok A1 dan A2 menggunakan HCl 0,75N, A3 dan A4 HCl 1N, dan A5 HCl 1,25N
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
2
Deproteinasi
Lalu dicuci sampai pH netral.
Kemudiandikeringkanpadasuhu 80oC selama 24 jam
HasildemineralisasidicampurdenganNaOHdenganperbandingan 6:1
Kemudiandipanaskanpadasuhu 90oC selama 1 jam.
Kemudian disaring dan didinginkan
Lalu dicuci sampai pH netral.
3
Deasetilasi
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Kemudian dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Chitin yang didapat kemudian ditambahkan NaOH 40% untuk kelompok A1 dan A2, NaOH 50% untuk kelompok A3 dan A4, dan NaOH 60% untuk kelompok A5
Kemudian dipanaskan pada suhu 90oC selama 1 jam
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
A1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%30,00 20,00 10,40
A2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%45,00 26,67 13,07
A3HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%35,00 22,22 12,32
A4HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5%20,00 28,57 14,95
A5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%30,00 25,00 12,40
Pada tabel 1, dapat dilihat bahwa tiap kelompok mendapat perlakuan yang berbeda-
beda. Proses pembuatan kitin dan kitosan adalah demineralisasi, deproteinasi dan
deasetilasi. Pada proses demineralisasi, kelompok A1-A2 menggunakan HCl 0,75 N ,
pada kelompok A3-A4 menggunakan HCl 1 N, dan pada kelompok A5 menggunakan
HCl 1,25 N. Pada proses deproteinasi seluruh kelompok menggunakan NaOH sebesar
3,5%. Pada proses deasetilasi, kelompok A1-A2 menggunakan NaOH 40%, kelompok
A3-A4 menggunakan NaOH 50%, dan kelompok A5 menggunakan NaOH 60%. Hasil
rendemen kitin I paling tinggi terdapat pada kelompok A2 yaitu 45%, untuk rendemen
kitin II paling tinggi pada kelompok A4 sebesar 28,57% dan hasil rendemen kitosan
tertinggi pada kelompok A4 yaitu 14,95%.
5
3. PEMBAHASAN
Limbah udang mengandung protein yang cukup tinggi. Pada komponen eksoskeleton
hewan invertebrata mengandung kitin yang tinggi yaitu 20-60%, dan biasanya terdapat
pada Crustacea. Kitin dapat ditemukan pada eksoskeleton invertebrata, insekta, dan
dinding sel jamur (Muzzarelli, 1985). Ada 2 jenis limbah yang dihasilkan dari proses
pengolahan crustacea, yaitu limbah cair dan limbah padat. Limbah cair berupa suspensi
air dan kotoran sedangkan limbah padat berupa kulit, kepala dan kaki. Penanganan
limbah cair dilakukan dengan waste water treatment sedangkan limbah padat diolah
menjadi produk yang bernilai ekonomis tinggi. Cangkang dari Arthropoda mengandung
kitin sebesar 20-25% dari berat kering (Goody, 1995).
Pada praktikum ini digunakan bahan dari limbah udang (crustacea). Kulit udang sangat
berpotensi sebagai sumber pembuatan kitin dan kitosan. Kulit dari udang mengandung
sumber kitin yang tinggi yang terdiri dari kitin 15%-20%, protein sebesar 25%-40% dan
kalsium karbonat sebesar 45%-50%.
Kitin termasuk polisakarida yang melimpah di alam. Menurut Mohamed Abou-Shoer
(2010), kitin merupakan polimer linier rantai panjang yang tak bercabang dan tersusun
atas 2-asetamida-2-deoksi-β-D-glukosa yang berikatan dengan ikatan glikosidik 1,4.
Sedangkan kitosan adalah biopolimer yang tersusun atas β-2-amino-deoksi-D-
glukopiranosa dan β-2-asetamida-2-deoksi-β-D-glukopiranosa. Kitosan merupakan
turunan dari kitin dengan cara menghidrolisis kitin dengan menggunakan basa kuat.
Proses hidrolisis kitin dengan basa merupakan proses deasetilasi kitin. Kitin mengalami
prose deasetilasi dengan larutan basa 40%-50% pada suhu 120oC hingga 160oC.
Menurut Ben Amar Cheba (2011), kitin tidak berwarna atau putih, keras, inelastic,
mengandung nitrogen polisakarida, sedangkan kitosan berbentuk padatan amorf
berwarna putih dengan struktur kristal yang tetap dari bentuk awal kitin murni. Derajat
deasetilasi pada kitin sekitar 5-15% sedangkan kitosan 70-95%. Kitin dan kitosan stabil
pada larutan alkalin (basa) meskipun pada suhu yang tinggi. Kitosan tidak mempunyai
titik lebur dan bila disimpan dalam jangka waktu yang lama pada suhu sekitar 100oF,
6
7
sifat kelarutan dan viskositasnya akan berubah. Saat kitosan disimpan dalam keadaan
terbuka sehingga mengalami kontak dengan udara akan mengakibatkan dekomposisi,
perubahan warna menjadi kekuningan dan viskositasnya menurun (Dunn et al, 1997).
Kitin memiliki sifat hidrofobik (tidak larut ddalam air). Sifat kitin yang sulit larut air
menyebabkan produksi kitin sangat terbatas. Untuk mengembangkan produksi kitin bisa
dengan memodifikasi struktur kimiawi sehinga didapatkan turunan kitin yang memiliki
sifat kimia lebih baik. Kitosan merupakan turunan dari kitin yang bersifat larut dalam
larutan asam (Dunn et al, 1997). Kitosan memiliki sifat yang dapat larut dalam
konsentrasi asam asetat rendah, akan tetapi kitin tidak dapat larut didalamnya. Gugus
amina pada kitosan yang menyebabkan kitosan dapat larut pada asam asetat dengan
menyerap proton ketika pH suatu larutan kurang dari 6 (Morteza S.V et al, 2008). Hal
ini sesuai dengan teori dari Dunn et al (1997) yang mengatakan bahwa kitosan mudah
larut dalam asam asetat karena asam setat memiliki gugus karboksil yang memudahkan
kitosan terlarut. Hal ini terjadi karena interaksi antara gugus hidrogen antara gugus
karboksil dan gugus amina dari kitosan.
Pada praktikum ini ekstraksi kitin didapat dari limbah kulit udang dan telah dipisahkan
dari kepalanya. Dalam mengekstraksi limbah kulit udang harus mengalami proses
demineralisasi dan deproteinasi. Sedangkan untuk mendapatkan kitosan diambil dari
hasil kitin yang sudah diproses sebelumnya kemudian mengalami proses deasetilasi
(Robert, 1992). Demineralisasi bertujuan untuk penghilangan mineral biasanya
dilakukan dengan pencucian air panas, penggilingan lalu dilanjutkan dengan
pengayakan 40-60 mesh dan ditambahkan asam klorida (HCl) dengan perbandingan
10:1 (pelarut HCl:serbuk). Deproteinasi digunakan untuk penghilangan protein dengan
menambahkan larutan sodium hidroksida (NaOH 3,5%) dengan perbandingan 6:1.
Deasetilasi untuk menghasilkan kitosan dari hasil kitin sebelumnya dengan
menambahkan larutan sodium hidroksida (NaOH) 40%, 50%, dan 60% dengan
perbandingan 20:1.
3.1. Proses Pembuatan Kitin
3.1.1. Demineralisasi
8
Praktikum dimulai dengan mencuci limbah kulit udang dengan air mengalir kemudian
dikeringkan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran pada kulit udang,
adanya kotoran akan mencemari produk ekstrak kitin. Pengeringan bertujuan untuk
mengurangi bahkan menghilangkan air pada kulit udang, sehingga kadar air pada
produk kulit udang yang kering berkurang.
Setelah itu, dihancurkan hingga menjadi serbuk diambil sebanyak 10 gram. Proses
penghancuran dilakukan untuk memperbesar luas permukaan bahan sehingga pelarut
mampu melarutkan komponen-komponen dari limbah kulit udang (Prasetyo, 2006).
Ditambahkan HCl dengan perbandingan serbuk kitin dan HCl yaitu 1:10. HCl yang
digunakan 0,75 N (kelompok A1 dan A2), HCl 1 N (kelompok A3 dan A4), serta HCl
1,25 N (kelompok A5). Penambahan HCl dapat melarutkan komponen mineral didalam
kulit udang. Kulit udang mengandung mineral sebesar 30%-50% dari berat keringnya.
Kandungan mineral pada kulit udang adalah kalsium karbonat dan kalsium fosfat.
Mineral yang terkandung didalam kulit udang harus dilarutkan atau dihilangkan agar
tidak mempengaruhi hasil ekstrasi kitin, bisa dengan menambahkan asam encer yaitu
HCl, H2SO4, dan asam laktat (Bastaman, 1989).
Kemudian dipanaskan hingga suhunya mencapai 90oC dan diaduk selama 1 jam. Proses
pemanasan ini mampu mempercepat rusaknya mineral, sedangkan pengadukan
dilakukan untuk menghindari timbulnya gelembung-gelembung udara selama
berlangsungnya proses demineralisasi. Setelah itu dicuci dengan air hinga pH menjadi
netral dan dikeringkan selama 24 jam pada suhu 80oC.
Hasil praktikum menunjukkan rendemen kitin I paling tinggi terdapat pada kelompok
A2 yaitu 45% dengan larutan HCl 0,75 N, sedangkan rendemen kitin I terendah pada
kelompok A4 yaitu 20% dengan larutan HCl 1N. Menurut Johnson dan Peterson
(1974), semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan akan menghaslkan rendemen
kitin yang makin banyak, maka hasil dari praktikum ini tidak sesuai dengan teori yang
ada. Hal ini dapat terjadi karna penambahan asam yang tinggi menyebabkan lepasnya
ikatan protein dan mineral serta bahan organik yang ada pada kulit udang.
9
3.1.2. Deproteinasi
Kitin yang telah mengalami demineralisasi ditambahkan dengan larutan NaOH 3,5%
dengan perbandingan kitin : NaOH sebesar 1:6. Menurut Rogers (1986), NaOH
ditambahkan untuk memisahkan kandungan protein dalam kitin. Kemudian dipanaskan
hingga suhunya mencapai 90oC dan diaduk selama 1 jam, kemudian didinginkan. Proses
pemanasan dan pengadukan bertujuan untuk mengkonsentrasikan NaOH sehingga
menghasilkan rendemen kitin secara maksimal dan mempercepat proses deproteinasi.
Dilanjutkan dengan pencucian dengan air hingga pH netral. Setelah itu, dikeringkan
selama 24 jam pada suhu 80oC.
Hasil praktikum menunjukkan rendemen kitin II paling tinggi terdapat pada kelompok
A4 yaitu 28,57%, sedangkan rendemen kitin II terendah pada kelompok A1 yaitu 20%.
Pada seluruh kelompok megalami penurunan, kecuali pada A4 mengalami peningkatan,
namun hasil yang didapat pada seluruh kelompok sekitar 20%. Maka hal ini sesuai
dengan teori bahwa rendemen kitin yang dihasilkan dari limbah udang pada umunya
lebih dari 20% (Puspawati et al, 2010). Dari hasil ini maka dapat disimpulkan bahwa
dengan penambahan NaOH 3,5% akan memaksimalkan proses penghilangan mineral
dan protein yang ada dikitin sehingga hasil yang didapatkan adalah penurunan
rendemen kitin sebelumnya. Hal ini sesuai dengan teori Fennema (1985).
3.1.3. Deasetilasi
Kulit udang yang telah megalami demineralisasi dan deproteinasi akan diproses lanjut
sehingga terbentuk senyawa turunan yaitu kitosan. Kitin ditambahkan dengan NaOH
dengan perbandingan kitin : NaOH adalah 1 : 20. Pada proses deasetilasi digunakan
NaOH 40% (kelompok A1 dan A2), NaOH 50% (kelompok A3 dan A4), serta NaOH
60% (kelompok A5). Setelah itu, dipanaskan hingga suhunya mencapai 90oC dan
diaduk selama 1 jam, kemudian didinginkan. Suhu pemanasan berpengaruh terhadap
derajat deasetilasi kitosan yang terbentuk, dimana semakin tinggi suhu yang digunakan
maka akan meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk. Maka
pemanasan bertujuan untuk meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan. Sedangkan
pengadukan dilakukan untuk meratakan kitin sehingga larutan NaOH bekerja lebih
optimal. Selanjutnya, pencucian dengan air hingga pH mencapai netral dan disaring.
10
Penyaringan dilakukan untuk memisahkan rendemen kitosan yang terbentuk dengan
komponen lainnya. Kemudian, dikeringkan selama 24 jam pada suhu 70oC dan
dihasilkan kitosan. Setelah proses pengeringan akan terbentuk kitosan berbentuk serbuk
dengan warna putih kekuningan (Ramadhan et al, 2010).
Hasil dari praktikum menunjukkan rendemen kitosan tertinggi pada kelompok A4 yaitu
14,95% dengan larutan NaOH 50% sedangkan yang terendah pada kelompok A1 yaitu
10,4% dengan larutan NaOH 40%. Sesuai dengan teori Hirano (1989), proses
deasetilasi menggunakan larutan NaOH 40-50% dan suhu yang tinggi mampu
mengubah struktur kitin menjadi struktur kitosan, sehingga enzim akan lebih mudah
dalam menguraikan polimer kitin. Maka hal ini sesuai dengan teori sebelumnya dimana
makin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan maka derajat deasetilasi makin tinggi
pula dan proses deasetilasi berjalan secara optimal. Dan dengan proses deasetilasi yang
optimal akan menghasilkan rendemen kitosan yang lebih banyak juga.
3.2. Aplikasi Kitin dan Kitosan
Kitin bisa digunakan sebagai pendukung beberapa enzim yaitu papain, laktase,
kimotripsin, asam fosfat dan glukosa isomerase. Sebagian besar kitin digunakan dalam
industri pangan dan industri kosmetik (Peter, 1995). Sedangkan pada kitosan memiliki
kemampuan untuk membentuk film dan memiliki ion positif yang mampu membentuk
ikatan kimia dengan lemak. Kitosan dapat diaplikasikan dalam kesehatan, pemurnian
air, pertanian (seed coating), bioteknologi, nutrisi (suplemen diet). Dalam pemurnian air
kitosan digunakan sebagai koagulan untuk pengolahan limbah (Abou-Shoer, 2010).
Menurut Inmaculada Aranaz (2009), kitosan dapat digunakan sebgai pengawet
makanan, penyusun biodegradable films, menanggulangi bahan makanan yang telah
terbuang. Selain itu, bisa digunakan sebagai dietary fibre yang biasa digunakan sebagai
bumbu makanan. Sesuai dengan teori Robert (1992), kitosan bisa digunakan sebagai
pengawet karena mengandung gugus amino yang memiliki muatan positif yang mampu
mengikat muatan negatif dari senyawa lain.
Menurut H.N.D. Bao (2015), kitin dan kitosan dapat diaplikasikan berdasarkan sifat
fisikokimia dan aktivitas biologisnya. Bahan yang digunakan adalah limbah udang putih
11
yang dibuat dan menghasilkan kitosan. Kitosan yang dihasilkan mengandung
antioksidant sehingga mampu menghambat peroksidasi lemak. Dengan pengolahan
limbah udang menjadi limbah maka mampu meningkatkan nilai ekonomis produk yang
ternyata juga bermanfaat sebagai antioksidan.
Kitosan dapat digunakan juga sebagai bahan antimikroba. Hal ini dikarenakan kitosan
mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolisakarida yang dapat menghambat
pertumbuhan beberapa mikroba tertentu (Cahyaningrum, 2007).
4. KESIMPULAN
Kulit udang sangat berpotensi sebagai sumber pembuatan kitin dan kitosan.
Kitin merupakan polimer rantai panjang tersusun atas 2-asetamida-2-deoksi-β-
D-glukosa dengan ikatan glikosidik 1,4.
Kitosan adalah biopolimer yang tersusun atas β-2-amino-deoksi-D-
glukopiranosa dan β-2-asetamida-2-deoksi-β-D-glukopiranosa.
Kitosan merupakan turunan kitin melalui proses deasetilasi.
Demineralisasi bertujuan untuk penghilangan mineral dengan penambahan
larutan asam klorida (HCl).
Deproteinasi untuk penghilangan protein dengan penambahan larutan sodium
hidroksida (NaOH 3,5%).
Deasetilasi untuk menghasilkan kitosan dari hasil kitin dengan penambahan
larutan sodium hidroksida (NaOH) 40%, 50%, dan 60%.
Penambahan HCl dapat melarutkan komponen mineral didalam kulit udang.
Semakin tinggi konsentrasi HCl yang digunakan akan menghaslkan rendemen
kitin yang makin banyak.
Penambahan NaOH 3,5% akan memaksimalkan proses penghilangan mineral
dan protein pada kitin sehingga hasil rendemen kitin menurun.
Pemanasan akan meningkatkan derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk.
Proses pengeringan akan membentuk kitosan dengan warna putih kekuningan.
Proses deasetilasi yang optimal akan menghasilkan rendemen kitosan yang lebih
banyak.
Kitin digunakan dalam industri pangan dan industri kosmetik.
Kitosan dapat diaplikasikan dalam kesehatan, pemurnian air, pertanian (seed
coating), bioteknologi, nutrisi (suplemen diet).
Kitosan dapat digunakan sebgai pengawet makanan, antimikroba, penyusun
biodegradable films, dan dietary fibre.
Kitin dan kitosan juga mengandung antioksidan yang mampu menghambat
peroksidai lemak.
12
5. DAFTAR PUSTAKA
Abou-Shoer M. 2010. A Simple Colorimetric Method for The Evalution of Chitosan. American Journal of Analytical Chemistry.
Aranaz I., Mengíbar M., Harris R., Paños I., Miralles B., Acosta N., Galed G and Heras A. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. Current Chemical Biology 3, 203-230.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.
Cheba B.A. 2011. Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with Unique Properties and Versatile Applications. Global Journal of Biotechnology and Biochemistry 6 (3): 149-153. ISSN 2078-466X.
Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.
Gooday, G.W., 1995. Diversity of roles for 20. Kim, S.K. and N. Rajapakse, 2005. Chitinases in Nature in: Chitin and Chitosan. (MB. Zakaria, WM. Muda and M.P. Abdullah), pp: 191-202. Penerbit University- kebangs Malaysia.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Morteza Shahabi Viarsagh, Mohsen Janmaleki, Hamid Reza Falahatpisheh, Jafar Masoumi. (2008).Chitosan Preparation from Persian Gulf Shrimp Shells and Investigating the Effect of Time on the Degree of Deacetylation.
14
15
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc. Orlando. San Diego.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 15 Mei 2006.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.
Trung T.S. and Bao H.N.D. 2015. Physicochemical Properties and Antioxidant Activity of Chitin and Chitosan Prepared from Pacific White Shrimp Waste. International Journal of Carbohydrate Chemistry.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I = beratkering
beratbasa h I× 100 %
Rendemen Chitin II = berat kitin
berat basa h II×100 %
Rendemen Chitosan = berat kitosan
berat basa h III×100 %
KelompokA1
Rendemen Chitin I = 3,010
×100 %
= 30,00 %
Rendemen Chitin II = 1,05
×100 %
= 20,00 %
Rendemen Chitosan = 0,262,5
× 100 %
= 10,40 %
KelompokA2
Rendemen Chitin I = 4,510
× 100 %
= 45,00 %
Rendemen Chitin II = 2
7,5×100 %
= 26,67 %
Rendemen Chitosan = 0,987,5
× 100 %
= 13,07 %
KelompokA3
Rendemen Chitin I = 3,510
×100 %
= 35,00 %
Rendemen Chitin II = 1
4,5× 100 %
= 22,22 %
Rendemen Chitosan = 0,443,57
×100 %
16
17
= 12,32 %
KelompokA4
Rendemen Chitin I = 2
10×100 %
=20,00 %
Rendemen Chitin II = 1
3,5×100 %
= 28,57 %
Rendemen Chitosan = 0,291,94
× 100 %
= 14,95 %
KelompokA5
Rendemen Chitin I = 3
10×100 %
= 30,00 %
Rendemen Chitin II = 1,56
×100 %
= 25,00 %
Rendemen Chitosan = 0,62
5×100 %
= 12,40 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal